Dinda's Novel

95
Tirta dan aku adalah sahabat sejati yang tak bisa digambarkan dengan untaian kata-kata bijak atau apapun itu. Persahabatan kami memang terbilang belum lama, yaitu sekitar dua tahunan, namun keakraban kami bisa dibilang melebihi orang yang sudah bersahabat lebih dari 14 tahun. Jika melihat dari fisik, Tirta adalah sosok yang gagah dan rupawan. Namun, jika telah mengenalnya, sepertiku, dia adalah pribadi yang baik hati, pintar, peduli, suka bercanda dan yang penting dia selalu ingi melindungiku, itulah yang membuatku begitu menyayangi dan mengaguminya. Banyak kenangan manis yang telah ku lewati bersamanya. Saat ku bahagia, saat ku sedih, saat ku kecewa, marah, bingung, takut, lelah, kedinginan, kepanasan, kehausan bahkan saat aku kelaparan sekalipun dia selalu ada untukku. Jika orang-orang yang belum mengenal kami, akan mengartikan persahabatan kami sebagai sebuah jalinan kasih asmara karena kedekatan kami melebihi kata “PACARAN”. Tapi itu dalam hal positif. Walau begitu kami saling menjaga privasi masing-masing. Kami tidak ingin terintimidasi. Apalagi usia kami tidak terpaut jauh. Dia menemukanku saat ku terpuruk dalam kesedihan saat dua orang sepupuku meninggalkan aku secara bersamaan. Dua orang itu adalah Dion dan Tyo. Mas Dion pergi untuk menikah dan Mas Tyo pergi untuk melanjutkan studynya di luar kota. “Ta, ku banyak tugas nih…” Rengekku “Lha terus? Ya dikerjain dong. Apa mau ku bantu?” Tirta menanggapiku dengan nada yang biasa ku dengar. “Iyalah, tapi ini tugasnya bener-bener banyak……banget…” “Tenang aja…” Itulah kata-kata yang selalu keluar dari bibir manisnya sebagai respon dari keluhanku. Ku sangat menyayanginya. Sebenarnya persahabatan kami telah lebih dari dua tahun, karena kami saling kenal mulai dari kamu kecil hingga saat ini, hingga umurku 17 tahun dan menginjak 18 tahun. Aku tak ingin selangkahpun jauh darinya. Namun, tak terelakan dan tak bisa ku pungkiri, sebenarnya dia lebih tahu banyak mengenai diriku, bahkan satu helai rambutku jatuhpun dia tahu daripada aku. Di dalam hidupku, ku akui aku tak memiliki banyak teman, walaupun ku mengenal banyak orang. Bahkan lebih banyak orang yang mengenalku dan mungkin mereka telah menganggapku teman mereka. Di sekitar rumahku atau sekitar lingkungan hidupku tepatnya, aku hanya memiliki beberapa teman baik. Walaupun begitu, aku tetap merasa bahagia karena keluarga- keluaragaku menyayangiku, dan aku memiliki teman baik yang hanya beberapa itu. Meski bagaimanapun juga ini hidupku kan? Jadi ku harus pandai-pandai bersyukur walaupun terkadang hatiku merasa tertekan. Setiap langkah hidupku, aku merasa itu sebagai proses belajarku untuk lebih mengenal kerasnya kehidupan yang terkadang terasa tidak adil. Aku adalah anak kedua dari dua bersaudara. Aku mempunyai seorang kakak perempuan, namanya Kak Kristin. Ia telah menikah dan dikaruniai seorang anak perempuan, yang diberi nama Sabil. Suaminya adalah seorang pengusah muda yang cukup sukses, namanya Kak Sapto. Meski aku, Sabil, dan Kak Sapto buka kakak adik kandung dan hanya aku dan kak Kristin yang merupakan saudara kandung, namun kami berempat nampak seperti saudara kandung, dan aku merasa seperti itu. Kak Kristin dan Kak Sapto atau Kak Ato, begitulah ku memanggilnya, mereka tak terlihat sebagai suami-istri dan telah memiliki momongan, melainkan seperti anak muda yang sedang dimabuk asmara atau kakak adik yang masih sama- sama kuliah lantaran mereka masih sama-sama muda. Kak Kristin orangnya

description

novel

Transcript of Dinda's Novel

Tirta dan aku adalah sahabat sejati yang tak bisa digambarkan dengan untaian kata-kata bijak atau apapun itu. Persahabatan kami memang terbilang belum lama, yaitu sekitar dua tahunan, namun keakraban kami bisa dibilang melebihi orang yang sudah bersahabat lebih dari 14 tahun. Jika melihat dari fisik, Tirta adalah sosok yang gagah dan rupawan. Namun, jika telah mengenalnya, sepertiku, dia adalah pribadi yang baik hati, pintar, peduli, suka bercanda dan yang penting dia selalu ingi melindungiku, itulah yang membuatku begitu menyayangi dan mengaguminya.

Banyak kenangan manis yang telah ku lewati bersamanya. Saat ku bahagia, saat ku sedih, saat ku kecewa, marah, bingung, takut, lelah, kedinginan, kepanasan, kehausan bahkan saat aku kelaparan sekalipun dia selalu ada untukku. Jika orang-orang yang belum mengenal kami, akan mengartikan persahabatan kami sebagai sebuah jalinan kasih asmara karena kedekatan kami melebihi kata PACARAN. Tapi itu dalam hal positif. Walau begitu kami saling menjaga privasi masing-masing. Kami tidak ingin terintimidasi. Apalagi usia kami tidak terpaut jauh. Dia menemukanku saat ku terpuruk dalam kesedihan saat dua orang sepupuku meninggalkan aku secara bersamaan. Dua orang itu adalah Dion dan Tyo. Mas Dion pergi untuk menikah dan Mas Tyo pergi untuk melanjutkan studynya di luar kota.

Ta, ku banyak tugas nih Rengekku

Lha terus? Ya dikerjain dong. Apa mau ku bantu? Tirta menanggapiku dengan nada yang biasa ku dengar.

Iyalah, tapi ini tugasnya bener-bener banyakbanget

Tenang aja Itulah kata-kata yang selalu keluar dari bibir manisnya sebagai respon dari keluhanku.

Ku sangat menyayanginya. Sebenarnya persahabatan kami telah lebih dari dua tahun, karena kami saling kenal mulai dari kamu kecil hingga saat ini, hingga umurku 17 tahun dan menginjak 18 tahun. Aku tak ingin selangkahpun jauh darinya. Namun, tak terelakan dan tak bisa ku pungkiri, sebenarnya dia lebih tahu banyak mengenai diriku, bahkan satu helai rambutku jatuhpun dia tahu daripada aku.

Di dalam hidupku, ku akui aku tak memiliki banyak teman, walaupun ku mengenal banyak orang. Bahkan lebih banyak orang yang mengenalku dan mungkin mereka telah menganggapku teman mereka. Di sekitar rumahku atau sekitar lingkungan hidupku tepatnya, aku hanya memiliki beberapa teman baik. Walaupun begitu, aku tetap merasa bahagia karena keluarga-keluaragaku menyayangiku, dan aku memiliki teman baik yang hanya beberapa itu. Meski bagaimanapun juga ini hidupku kan? Jadi ku harus pandai-pandai bersyukur walaupun terkadang hatiku merasa tertekan. Setiap langkah hidupku, aku merasa itu sebagai proses belajarku untuk lebih mengenal kerasnya kehidupan yang terkadang terasa tidak adil.

Aku adalah anak kedua dari dua bersaudara. Aku mempunyai seorang kakak perempuan, namanya Kak Kristin. Ia telah menikah dan dikaruniai seorang anak perempuan, yang diberi nama Sabil. Suaminya adalah seorang pengusah muda yang cukup sukses, namanya Kak Sapto. Meski aku, Sabil, dan Kak Sapto buka kakak adik kandung dan hanya aku dan kak Kristin yang merupakan saudara kandung, namun kami berempat nampak seperti saudara kandung, dan aku merasa seperti itu. Kak Kristin dan Kak Sapto atau Kak Ato, begitulah ku memanggilnya, mereka tak terlihat sebagai suami-istri dan telah memiliki momongan, melainkan seperti anak muda yang sedang dimabuk asmara atau kakak adik yang masih sama-sama kuliah lantaran mereka masih sama-sama muda. Kak Kristin orangnya sangat modis dan memperhatikan penampilan daripada aku, dia sangat gaul. Mereka bertiga tidak tinggal satu rumah lagi denganku. Mereka telah membeli rumah yang besar di salah satu perumahan elite. Jadi, aku hanya bersama kedua orang tuaku di rumah.

Orang tuaku memberikan aku kebebasan yang membuat diriku merasa senang. Walaupun demikian, aku merasa mereka sangat menyayangiku, begitu pula dengan aku. Mereka disibukkan dengan pekerjaan masing-masing. Karena aku tinggal bertiga di rumah, terkadang aku merasa kesepian jika aku sedang di rumah sendirian. Kalau aku sedang di rumah, aku menyibukkan diri dengan membersihkan kamar tidur atau sekadar membersihkan buku. Semenjak pembantu di rumahku meninggal, ibuku tidak lagi menggunakan jasa pesuruh. Meski demikian, rumahku tetap terlihat bersih dan rapi. Sering aku merasa sebagai anak tunggal dan kedua orang tuaku sangat menggantungkan harapannya pada pundakku yang kerap membuat aku terbebani. Meraka mendidik aku dengan cara yang berbeda. Ibuku mengajar aku dengan sangat keras, bagaikan anak tiri yang hidup dengan ibu tirinya di mes militer, agar ku disiplin. Aku tahu dia sangat menyayangiku dan menginginkan yang terbaik untukku. Ayahku berbeda halnya dengan ibuku. Ayahku orangya sangat sangat memperhatikan kebersihan. Jadi beliau mengajarku bagaikan sedang OSPEK di Akademi Kedokteran. Dan beliau adalah PH-nya (Pengurus Harian). Kalau dipikir-pikir cara mereka mengajarku sangat bertolak belakang. Tentu saja, dalam bidang militer, orang yang diajarkan untuk tidak pilih-pilih, tidak takut kotor, cepat, tegas dan biasanya tegas itu sering diartikan sebagai kasar. Sedangkan dalam ilmu kedokteran, orang harus memilih dan memilih mana yang kotor dan mana yang tidak akan menyebabkan penyakit, dan lemah lembut. Itulah yang mendominasi dari perbedaan-perbedaan tersebut. Bisa dipikirkan, bagaiman tertekannya aku yang harus menjalaninya semua dan berusaha agar semuanya tetap balance, seimbang.

Kadang-kadang mereka berselesih paham dengan hal itu yang membuat keluarga kami seakan-akan tidak harmonis. Ibuku adalah tipe orang yang cepat panik, mudah cemas, gampang terpenagaruh oleh orang lain, jika sudah terpengaruh sedikit sulit untuk membelokkan pandanganya tersebut, KERAS KEPALA. Sedangkan ayahku, sosok yang berpegang teguh terhadap pendiriannya yang malah menimbulkan penilaian EGOIS dari orang lain, serta beliau juga memiliki sifat yang sama dengan ibuku, yaitu KERAS KEPALA. Sulit dibayangkan memang, orang yang sama-sama keras kepala dan memiliki prinsip yang berbeda telah hidup bersama selama berpulu-puluh tahun. Tapi itulah keluargaku yang tak jarang membuatku BOSAN.

Aku tak dekat dengan banyak orang karena berbagai pengalaman. Ya, pengalaman dikhianati dan disakiti tentu saja. Satu-satunya orang yang benar-beanr aku percaya adalah Tirta Kaustar.

Hari itu seperti biasa aku jalan dengan Tirta.

Anda, mau nggak kamu janji ke aku? Tirta memulai pembicaraanya saat kami berdua masih di dalam mobilnya.

Ehmjanji apa dulu?

Nda, kamu tetep ceria, sabar dan slalu optimis ya, saat kamu lagi nggak sama aku.

Ya iyalah, kamunya ja yang Ge-Er

Aku serius !!!! tambah Tirta

Aku juga !!!!

Satu lagi, kamu juga jangan pernah boongin perasaanmu lagi tentang cowo-cowo yang kamu suka. Jangan sampai kamu salah pilih dan sakit hati lagi. Pesan Tirta.

Aku tak tahu apa maksudnya. Tapi, mungkin dia cuma pengin ngingetin aku tentang cowo-cowo yang nembak aku. Okay, aku akui aku emang pernah pacaran 3 kali. Tapi dari 3 kali itu, aku tak pernah mengenal apa itu CINTA. I mean, aku nggak pernah mencintai mereka. Pacarku yang pertama bernama Anfa, dia dalah temen sepupuku yang sekaligus sahabatku, Viana. Anfa itu anaknya manja, kekanak-kanakan, playboy (walaupun dia takluk denganku) dan yang paling parah dia adalah cowo pelit, otomatis cap MATRE nempel deh di tubuhnya. Yang kedua namanya Ufa. Dia itu cowo yang dewasa, supel, pinter, gagah, baik. Seperti halnya dengan Anfa, dia adalah temen sahabat terbaiku yaitu Mas Tyo. Aku putus dengannya lantaran kau merasa bersalah karena aku berpacaran dengannya tanpa menyuguhkan cintaku untuknya. Aku menganggap ia yang tak bersalah, terlalu baik untukku. Aku tak mau dia kecewa karna ku. Yang ketiga bernama Kak Ami. Kak Ami adalah kakak kelasku. Dia anak yang aktif dan tipe cowo yang mempunyai jiwa sosial yang tinggi. Ia selalu ada untukku. Tapi masih sama, tak ada cinta untuknya. Aku putus karena ada beberapa sifatnya yang nggak aku suka. Antara lain, ia terlalu possessive atau terlalu mengekang pergaulanku dan sedikit temperamental (emosional) mungkin karena dia masih ada pada tahap pubertas yang membuat jiwanya terlalu meledak-ledak.

Mirisnya Tirta mengetahui hal itu yang mungkin mendasarinya berkata seperti itu.

Kami sampai di tempat tujuan, di depan rumahku. Itulah kebiasan Tirta, yaitu mengantarku. Apapun yang aku alami dan apapun yang aku rasakan selalu aku ceritakan padanya. Tanpa rasa canggung, rasa malu, perasaan tak enak dan tanpa perasaan apapun yang membuatku tak nyaman untuk bercerita kepadanya. Mungkin begitu juga dengan Tirta yang selalu antusias mendengarkan cerita-ceritaku. Tirta selalu sabar menghadapiku yang tak mengenal diriku sendiri, mungkin Anda Vaganzhasari. Itulah yang aku tahu. Tak lebih. Itulah nama panjangku. Aku dan Tirta adalah satu, boleh dibilang kami SOULMATE. Sama halnya dengannya, aku tahu baik tentang Tirta. Dia bukan tipe orang yang pandai berbohong dan bukan tipe orang yang kukuh menyimpan rahasia. Tirta selalu ada di saat ku membutuhkannya. Kami mengenal satu sama lain semenjak umurku 2 tahun dan itulah yang membuat kami sering menyebut persahabatan kami berusia 2 tahun padahal lebih dari 14 tahun. Tapi persahabatanku atau kesetian tepatnya aku rasakan saat Mas Dion dan Mas Tyo pergi secara bersamaan. Tirta selalu menenangkanku saat aku punya masalah entah itu dengan orang tuaku atau hubunganku yang tanpa didasari cinta, dan masih banyak lagi. Aku yang sedikit tomboy, membuatku mengenal beberapa temen cowo Tirta. Dan untungnya Tirta tak merasa terganggu dengan hal tersebut.( ( ( ( (

Nda, kayaknya ntar pulang sekolah aku nggak jadi nganterin kamu pulang deh, maaf yah Katanya di suatu pagi lewat telepon.

Emangnya kenapa? Ya, bukan masalah sih buatku jalan kaki, tapi kok nggak biasanya. But its no problem. Hiburku.

Thanks Anda, you are really my best friend!

Forget it, my do best friend. Timpalku.

Aku tak tahu apa alasannya. Tak masalah bagiku untuk jalan kaki tapi yang jadi masalah, dia begitu aneh batalin janjinya. Bukan hanya mengantarku pulang tapi dia nggak mau ngajak download foto tokoh idolaku di Film Twilight. Sebenarnya, itu semua bukan hal yang bisa membuatku marah. Tapi... Okay lah ga apa-apa mungkin memang dia ada acara. Tetapi aku harus bisa ngerti dia, karena hanya dialah Sahabat Sejatiku. Kurang lebihnya seperti itu aku menggolongkan orang-orang menjadi 6 golongan yaitu kenalan, teman, teman baik, sahabat, sahabat deket, sahabat baik dan sahabat sejati. Kalau kenalan, dia orang yang kita kenal saat itu saja. Teman, tak beda jauh dengan kenalan tapi sering ketemu dan saling ber-say HELLO. Teman baik, satu tingkat di atas teman, udah mulai sering ketemu, kadang-kadang duduk bareng, jalan bareng dan yang lainnya itu masih sangat jarang. Sahabat, udah mulai tahu kita, udah sering ketemu tapi belum tahu terlalu banyak. Sahabat deket, udah mulai sering bersama-sama dengan kita sebenernya sih nggak jauh beda dengan sahabat cuma bedanya sahabat deket udah tahu kepribadian kita lebih jauh. Yang ke-5, sahabat baik adalah orang yang telah lebih dalam mengenal kita, bukan hanya kepribadian kita saja tetapi sudah mulai mengenal orang tua dan keluarga kita. Dan yang terakhir or runner up-nya adalah Sahabat Sejati, orang yang telah mengenal lebih jauh lebih dari sahabat baik. Dia adalah orang yang selalu ada di lahir dan batin kita. Selalu ada setiap saat, dimanapun, kapanpun, dan bagaiman keadaan kita. Dan yang ku punya adala TIRTA. ( ( ( ( (

Keesokan harinya, sepulang sekolah, aku langsung pulang ke rumah tempat ia tinggal selama ini. Rumahku beda kota dengan Tirta, walaupun demikian, kami tetap bersama. Namun, yang lebih mengejutkan lagi, Ibuku ada di rumah. Aku langsung mencium tangannya, sebagai tanda penghormatanku.

Aku langsung bergegas untuk mengganti seragam sekolahku dengan bajuku sehari-hari. Setelah mengenakan celana jeans pendek di atas lutut dan T-Shirt. Aku keluar dari kamar dan menuju ruang makan. Kalau dibandingkan dengan tetangga-tetanggaku, rumahku bisa tergolong rumah yang cukup besar apalagi aku tinggal di kompleks orang-orang yang agak dipandang orang perekonomian menengah keatas. Memang, masalah materi syukurku kepada Tuhan, keluargaku tak kekurangan, meski demikian, Ibuku sangat membatasi uang jajan dan pengeluaranku.

Aku makan siang ditemani Ibuku di ruang makan.

Nda Ibuku memulai pembicaraan.

Iya bu, ada apa?

Anda, minggu besok Kak Atri mau menikah lho

Oh ya? Baguslah kalau begitu. Aku mencoba menutupi keterkejutanku dengan berpura-pura ikut berbahagia.

Sebenarnya aku merasa kaget juga dibuatnya. Oh Tuhan, sahabatku satu persatu aka pergi. Di tempatku tinggal ku memiliki 6 sahabat baik dan 1 sahabat sejatiku. Enam sahabat baik yaitu Kak Dion, Kak Tyo, Kak Atri, Kak Viana, Suda dan Kak Purwa.

Aku tetap melanjutkan makan siangku. Sambil memikirkan hari esok.

( ( ( ( (

Dreeeeettttdreeeeetttttt

Suara getaran di atas mejaa belajarku. Itu suara getaran handphoneku. Aku melangkah cepat-cepat dari ruang keluarga menuju kamarku. Setelah aku meraihnya ku pencet tombol warna hijau dan ku tempelkan handphoneku di telinga.

Hallo, ada apa Tirta? Sapaku begitu aku mengangkat telepon dan aku tahu itu Tirta karena ada nama dan fotonya di layar handphoneku.

Nggak ada apa-apa Ndaaku cuma kangen aja sama kamu. Kan udah dua hari gak ketemu.

Iya Tirta. Memang aku dan Tirta sudah dua hari tidak bertemu. Hal itu dikarenakan rumah kami yang terletak di kota yang berbeda jaraknya mencapai 40 km. Biasanya Tirta datang ke rumahku atau aku yang ke rumahnya hanya sekedar untuk melepas rindu sahabat.

Anda Vaganzhasari yang LOLA,,,

Eits,,, apa itu eL-O-eL-A?

LOLA itu akronim dari LOADING LAMA. Udah paham Miss LOLA?

Tirta Bentakku. Jangan jayus deh!! Kata-kata itu melesat tak seperti yang aku inginkan. Aku ingin terdengar jutek tapi yang keluar malah tawa kecil.

Udah deh Anda, Eh Nda maafin semua kesalahnku ya, mungkin selama ini aku udah banyak banget salah ma kamu.

EhTirta sahabat sejatiku, kok tumben kamu minta maaf ke aku? Biasanya kamu nggak ngaku kalau kamu punya salah sama aku.

Makanya Nda, aku pengin yang nggak biasa. Hidup itu cuma sekali, harus dimanfaatin dengan baik dong. Aku lagi sadar Nda, aku punya banyak dosa jadi aku pengin menghapus semua itu mumpung aku masih hidup.

Apa maksud Tirta seperti itu? Aku tak tahu apa tujuan pembicaraannya tadi. Sungguh tidak seperti biasa dia berbicara begitu dewasa sampai aku hanya terdiam sesaat berusaha untuk mencerna kata-katanya. Belum sempat aku menanggapinya.

Anda Teriak seseorang dari arah ruang keluarga.

Iya

Anda, makan dulu ini Ayah udah nunggu. Itu suara Ibuku.

Tirta, maaf yah kita lanjutin besok. Itu Ibu manggil aku suruh makan. Oh ya, besok kamu di rumah nggak?

Iya besok aku di rumah.

Besok aku mau ke tempat budhe, kalau sempat aku besok mampir ke rumahmu. Janjiku.

Oke. Aku tunggu.

Bye....Tirta, see you

See you too

Akhirnya aku melompat dari tempat tidur dan berhambur ke ruang keluarga. Aku makan malam bersama keluarga. Kami bertiga masih terdiam. Aku tak cukup nyali untuk memecah keheningan sehingga kuputuskan untuk tetap melanjutkan makan tanpa berkata-kata.

Besok jadi, Nda? Akhirnya Ibuku berinisiatif untuk memulai pembicaraan.

Iya. Jawabku singkat, suaraku masih parau.

Kalau begitu besok kamu bangunya jangan kesiangan. Pesan Ayah.

Oke Boss. Aku kembali bersemangat.

( ( ( ( (

Pagi menjelang, aku telah siap untuk pergi ikut Ayah dan cepat-cepat ke rumah Tirta, ke rumah orang yang sangat aku cintai dan sayangi, ke rumah Dewa Penyelamatku, ke rumah orang yang menjadi sahabat sejatiku, teman hidup dan matiku.

Anda, udah siap belum? Teriak Ayah.

Sip Aku keluar dari kamar.

Di luar, mobil telah dipanaskan. Sesudah bersiap-siap dan pamit dengan Ibu, aku dan ayah pergi. Ibu tidak ikut dengan kami, beliau ada urusan kerja. Kalau aku tidak ada acara atau tidak pergi seperti ini, aku pasti kesepian di rumah. Paling-paling hanya menonton TV, ndengerin I-Pod atau hal yang jarang aku lakukan yaitu berkunjung ke rumah Kak Kristin hanya untuk mengisi kekosongan.

Nda, kamu mau kemana? Ke rumah Budhe atau ke rumah Tirta? Tanya Ayah memecah keheningan diantara kami saat dalam perjalanan. Ayah adalah orang yang pengertian, tahu apa mau anak muda. Itulah kelebihannya yang aku suka.

Tirta dong,Yah. Nanti kalau Anda masih pengin sama Tirta, pulangnya diantar Tirta aja atau nanti minta dijemput sama Ayah, pokoknya nanti Anda telepon Ayah deh.

Tapi jangan ngerepotin Tirta lagi ya, kamu udah terlalu sering ngerepotin dia. Ku hanya menganggukan kepala sebai tanda iya.

Orang tuaku dan orang tua Tirta memang sudah saling kenal, bahkan aku telah dianggap sebagai anak oleh orang tuanya Tirta, begitu juga orang tuaku terhadap Tirta.

Aku sungguh tak sabar bertemu dengan Tirta. Walaupun baru dua hari, itu terasa sangat lama bagiku. Aku ingin memberi kejutan kepada Tirta dengan tidak memberi tahu bahwa aku akan ke rumahnya.

Akhirnya saat-saat yang dinantikan tiba. Sekarang, aku telah sampai di depan rumahnya yang cukup megah. Lega rasanya melihat rumah itu walaupun belum sepenuhnya merasa bahagia karena aku belum melihat wajahnya.

Yah, aku turun ya. Pamitku kepada Ayah. Ayah hanya mengantarku saja, tidak ikut masuk. Beliau ada acara di tempatnya bekerja.

Ya udah hati-hati, kalau mau pulang telepon aja. Aku tak mengucap apa-apa lagi, hanya gerakan seperti hormat yang aku lakukan.

Aku berjalan cepat menuju garasi dan halaman rumah Tirta. Ingin secepatnya bertemu dengannya. Setelah sampai di teras rumahnya, aku bertemu dengan pembantu rumahnya. Tak tampak mobil Tirta di depan rumah.

Eh Mba Anda, kok ayahnya nggak diajak masuk?

Iya, Bi. Ayah mau bekerja.

Mba, tumben nih masih pagi.

Iya dong, kan pengin ketemu Tirta. Oh ya, Tirtanya ada nggak?

Tadi pagi Den Tirtanya pergi bawa mobil.

Kemana, Bi? Lama gak yah?

Duh, kalau itu saya nggak tau mbak.

Tante Adya sama Om Dodo ada?

Sudah pergi kerja tadi, malah pergi duluan sebelum Den Tirta, Mbak Anda mau masuk? Atau mau minum dulu?

Nggak usah repot-repot. Bibi lanjutin aja nyiram bunganya, Anda bisa nunggu di luar aja.

Oh ya sudah kalau begitu, kalau Mbak Anda mau apa tinggal bilang aja, ya Mba. Aku hanya menganggukkan kepala.

Aku dan Bi Inah, pembantu di rumah Tirta memang sudah akrab. Apalagi dengan Tante Adya dan Om Dodo, orang tua Tirta. Mereka sama halnya dengan orang tuaku. Mereka adalah orang yang sibuk. Tante Adya bekerja sebagai dosen di salah satu Universitas, sedangkan Om Dodo bekerja di sebuah perusahaan besar. Tirta memiliki seorang kaka laki-laki bernama Kak Banyu.

Kak Banyu dan Tirta memiliki marga yang sama yaitu Kautsar Widodo. Kak Banyu sekarang telah menjadi seorang dokter yang sukses di luar kota. Aku juga sudah mengenal Kak Banyu dengan baik, begitu juga sebaliknya. Tapi setelah Kak Banyu menjadi dokter dan bertugas di luar kota, kami jarang bertemu.

Beberapa menit aku melamun menunggu Tirta pulang di teras rumah Tirta. Akhirnya ku putuskan untuk menghubungi Tirta. Aku bingung akan menelpon atau sms saja.

Pesanku terkirim. Beberapa menit aku menunggu balasan tapi tak ada respon.

Mba Anda, masuk aja yuk ! ajak Bi Inah.

Ku hanya menggerutu.

Ayo mba, nunggu di dalam saja.

Ya udah deh. Aku menyetujui ajakan Bi Inah.

Saat berjalan menuju pintu rumah Tirta, ada suara klakson mobil di depan gerbang. Aku membalikkan badan dengan enggan, sedangkan Bi Inah berlarian untuk membukakan pintu gerbang. Tampak di sana mobil Honda Jazz merah yang sudah dimodofikasi dengan pengemudi yang beberapa menit aku tunggu. Mobil melaju menuju halaman rumah dengan pelan. Sang Pengemudi tersenyum manis ke arahku. Akau hanya menyenderkan tubuh di pilar rumah yang begitu besar sebagai penyangga rumah yang megah.

Setelah memarkirkan mobilnya, Si Pengemudi turun dan berjalan mendekatiku. Aku masih memasang wajah jutek nan cemberut.

Anda sayangudah lama nunggu? Sapanya sambil berjalan semakin mendekat.

Ta, kamu kemana aja sih? Aku udah sampai ngantuk nih nunggu kamu!!!

Ya maaf Kata itu keluar bersamaan dengan gerakannya memelukku.

Ah, nggak asik. Aku masih dipeluk Tirta.

Tapi sekarang udah asik lagi kan? Tirta mengerlingkan matanya dan memberantakan rambutku

Tirta !!!!!!!! protesku.

Tapi Tirta tak mempedulikan kekesalanku, dia hanya melepas tanganya dari rambutku dan menuntun tanganku menuju pintu. Walau bagaimanapun, aku tak bisa marah kepadanya sedikitpun. Kami telah sampai di dalam rumahnya Tirta yang luas nan megah.

Nda, kamu udah sarapan belum?

Udah, sarapan BeTe nungguin kamu.

Jangan BeTe dong, kalo gitu mau nggak nemenin aku sarapan?

Aku hanya mengangguk. Sebagai respon tanda setuju. Kami berjalan menuju dapur, di sana ada Bi Surti, ia adalah juru masak keluarga Tirta. Apapun yang dimasak Bi Surti pasti enak. Pembantu-pembantu di rumah Tirta betah karena keluarganya Tirta sangat baik.

Mau makan apa den, Mba? Tanya Bi Surti ketika sampai di dapur. Kebetulan ruang makan berdekatan dengan dapur, namun ruangan-ruangan di rumah Tirta ditata dengan klasik. Bukan hanya Bi Inah, Bi Surti pun telah mengenqlku.

Nda, kamu mau makan apa? Tanya Tirta dengan lembut dan masih menggandeng tanganku.

Hmmmmmm??? Makasih, masih kenyang. Rasa marah, rasa kangen telah hilang seketika, ketika aku bersamanya.

Kenyang sama BeTe? Tirta memandangku.

Nggak kok, sebelum ke sini aku udah sarapan.

Ok, kalo gitu. Aku nggak jadi makan deh Bi

Aku kaget mendengarnya, aku langsung memandang Tirta dengan marah. Tirta masih memandangku.

Ta, kamu harus sarapan. Nanti kamu sakit.

Ah, nggak apa-apa yang penting aku terus sama kamu, sahabat sejatiku. Kini Tirta tak menghiraukan tatapan marahku, dia terus menuntunku menuju ruang tengah. Di sana terpajang foto keluarga Tirta. Sofa klasik berwarna coklat soft, televisi beserta home theather yang mutakhir dan yang kerap membuatku terharu, di sebelah televisi yang sangat besar, di sana terdapat banyak figura foto yang unik-unik, dan di sana pula foto-fotoku bersama Tirta dan keluarganya dipajang. Bukan hanya di sana saja foto-fotoku ada, tetapi di kamar Tirta, di handphone seluruh keluarganya, di laptopnya dan di album keluarganya. Aku bisa merasakan kasih sayang yang tercurahkan dari keluarga Tirta kepadaku amat sangat begitu besar. Bahkan aku tak bisa membayangkan suatu hari nanti kami akan berpisah.

Waktu telah menunjukkan pukul 10.00 WIB.

Nda, kalau aku pergi kamu mau ngapain? Tiba-tiba Tirta berbicara seperti itu saat kami menonton film dari DVD.

Hah? Kamu mau pergi kemana? Kamu gak BOLEH PERGI !!! Aku terus memandang wajah Tirta yang tadinya dia juga memandangku kini beralih pandangan ke film yang sedang kami tonton.

Ta, aku benci perpisahan. Kamu jangan ninggalin aku. Kalau kamu pergi aku ikut!!! Aku memegang tangan Tirta. Kami memang duduk berdekatan.

Aku nggak kemana-mana kok, Dia memandangku kembali.

Janji ya !!! Aku juga masih memandangnya. Tiba-tiba ia terbatuk.

Nda, bentar yah Dia berlari menuju toilet terdekat dari ruangan itu.

Kini aku masih menonton televisi, tapi aku sendiri. Beberapa saat kemudian ia kembali sambil membawa buah kesukaanku, jambu biji.

Ini Andaku sayang.

Makasih.

Nda, rencananya mau kemana nih hari ini?

Aku bernafas lega dia telah berganti topik pembicaraan, bukan membahas perpisahan lagi.

Terserah kamu aja deh.

Oh ya, ntar sore aku mau ke rumah temen, kamu mau ikut nggak?

Ke rumah siapa?

Ke rumah temenku, kayanya kamu belum kenal. Dia temenku, aku kenal dia pas waktu di bengkel. Dia baik banget lho.

Nggak tahu ah, Ta.

Kalo kamu nggak mau ya, aku juga nggak jadi deh.

Ta, ke pantai aja yuk.

OK. Berangkat sekarang, Non?

Kalo kamu gak keberatan sih.

Sama sekali tidak. Tirta langsung berdiri meraih tanganku dan berjalan.

Tirta membukakan pintu mobilnya untukku dengan sopan.

Kami masih dalam perjalanan menuju pantai. Sesekali mata Tirta mengamatiku. Namun tetap saja Tirta mengemudikan mobil dengan ngebut tapi tetap hati-hati dan mematuhi peraturan lalu lintas.

Sungguh kalau aku perhatikan, Tirta begitu tampan dan baik hati. Aku yakin tak ada orang sesempurna dia, bahkan aku yakin aku tak kan mendapat sahabat sejati yang sempurna seperti dia lagi. Kadang-kadang aku bingung kenapa sampai sekarang dia belum memiliki pacar. Sebenarnya banyak yang naksir dan mengejar-ngejarnya secara Tirta Kautsar Widodo adalah orang tajir, pinter, tampan, gagah, baik, setia, tidak sombong, rendah diri, gak angkuh, penyabar, easy going, friendly, tanggung jawab, penyayang. Dan masih banyak lagi rasanya tidak ada habisnya untuk menceritakannya.

Kami telah sampai di lokasi yang di tuju. Setelah membayar tiket masuk, kami langsung menuju tempat parkiran. Setelah memarkirkan mobilnya, Tirta langsung turun dan aku mengikutinya. Walaupun matahari semakin terik, tak menyurutkan niat kami untuk menghilangkan penat di pantai. Aku sama sekali tak membawa baju ganti, hanya mengenakan T-Shirt yang dipadukan dengan sweater biru dan celana jeans panjang. Begitu juga dengan Tirta yang hanya mengenakan T-Shirt berkerah dan celana jeans panjang.

Tirta langsung menggandeng tanganku menuju pantai, meninggalkan mobil merah itu bersama mobil-mobil lain di tempat parkiran. Tirta menggenggam tanganku erat-erat.

Udah, sweaternya dipake aja, nanti kamu adi eksotik lagi. Itu responnya ketika aku akan membuka sweaterku dan hanya mengenakan T-Shirt. Tirta tak pernah menggunakan kata-kata kasar di setiap ucapannya. Memang kulitku dan kulitnya Tirta hampir sama putihnya. Lebih putih kulitku sedikit. Walaupun kulitnya lebih putih dari teman-temanya yang lain, Tirta tetap rendah diri bahkan tidak takabur, dan tak pernah meremehkan orang lain.

Kami sampai di tepi pantai. Banyak pengunjung pantai hari itu. Ada yang berpasang-pasangan, sendirian, berkumpul dengan kerabat atau sahabat. Ada yang sedang memadu kain, bermain ombak, bermain pasir, mencari kulit kerang, berjemur, atau sekedar berjalan-jalan. Sedangkan kami masih berdiri menanti datangnya ombak di tepi pantai, memandang lurus ke depan, dan masih bergandengan. Itulah ritual yang kami lakukan setiap kami ke pantai. Bukan kali itu saja kami ke pantai berdua.

Nda, kayaknya ada hal lain yang belum kita lakukan deh!

Apa ?

Tirta melepaskan tanganya dari tanganku dengan lembut. Kemudian berlari ke arah belakang. Pandanganku mengikutinya. Tirta mencari sebilah kayu atau tongkat. Setelah mendapatkannya, kemudian ia menuliskan sesuatu di atas pasir yang basah. Sesaat kemudian ia memintaku tuk membacanya. Aku mendekatinya dan menuruti keinginannya, di sana terdapat tulisan

Aku tersenyum. Kemudian aku juga menuliskan sesuatu di sampingnya

Tirta membalas senyumanku dan menghampiriku. Setelah Tirta berada tepat di depanku aku langsung memeluknya.

Nda. Kamu jangan ninggalin aku ya,,,

Aku yang seharusnya ngomong gitu ke kamu.

Kemudian dia menggeser posisiku, sehingga aku berada tepat di sampingya dan memeluk lenganku. Tangannya berpindah di atas kepalaku dan ia mulai mengacak-acak rambutku. Selanjutnya aku yang membuat rambutnya berantakan. Tirta berlari meninggalkanku.

Tirtttaaaaaaaaaaaaaaa

Kejar aku kalo berani !!!!!!!!!

Awas kamu yahsiapa takut !!!!!!!

Aku langsung mengejarnya dan selanjutanya kami bermain ombak. Setelah beberapa lama, kami berjalan menuju tepian.

Kamu laper nggak, Nda?

Pasti kamu laper yah? Aku balas dengan tanya dan masih merasakan sisa-sisa tawa tadi saat bermain ombak.

Ya udah ayo Sambungku

Gitu dong. Dari tadi napa? Cacingnya demo tau!!!

Kami berjalan menuju jalanan beraspal di pinggir pantai.

Kita mau makan dimana, Ta?

Aku kemarin dapet info baru nih, Nda?

Info apaan?

Info tempat makan yang lagi in. Kita kan udah lama nggak kesini, jadi agak ketinggalan info.

Oh,,,OK. Menunya apa?

Ups maaf Nda?

Maaf napa?

Menunya seafood, kamu kan alergi. Ya udah kita pindah aja ya

Nggak apa-apa, Ta. Kan nggak sering ini.

Kami terus berjalan menuju tempat yang dimaksud dengan Tirta. Beberapa menit berlalu. Kini kami telah sampai di Resto Seafood. Tempatnya kedaearahan namun bersih.

Setelah memesan menu yang diinginkan, kami langsung makan. Kami makan dengan lahap, dan acara di pantai hari ini begitu asyik sampai memerlukan energi yang banyak. Setelah kami berdua kenyang, Tirta langsung membayar dan kami berjalan menuju mobil di parkir. Di pinggir jalan terdapat banyak toko yang menjual souvenir dan di salah satunya ada toko yang besar. Tirta menarik tanganku masuk.

Tirta memilihkan berbagai aksesoris untukku. Aku berniat membayarnya sendiri tapi Tirta sudah mendahuluiku untuk membayar barang-barang itu.

Ta, ku kan maunya dibayar sendiri.

Udahlah

Kami melanjutkan perjalanan menuju mobil.

Nda, nggak terasa yah, kita udah jalan jauh banget.

Yoyoyoyoyyoiiiii, kenapa? Kamu cape?

NGGAK.

Kami terus melanjutkan pekerjaan. Lelah tak terasa jika aku bersamanya. Akhirnya sampai juga di mobil. Tirta membukakan pintu untukku. Sungguh Tirta adalah tipe orang yang romantis. Aku telah duduk di jok mobil Tirta yang berlapis kulit berwarna cream dengan bantal bergambar boneka di bagian leher, semakin nyaman rasanya, ya itu pilihanku saat aku menemaninya ke bengkel. Aku langsung membuka handphoneku yang sengaja aku tinggal di mobil. Ternyata ada sepuluh panggilan tak terjawab.

Ya Tuhan reflekku.

Ada apa, Nda? Tirta menanggapi dengan panik.

Nggak ada apa-apa. Ini, ayah missed call aku sampai sepuluh kali.

Waduh, Nda. Cepet telpon balik aja. Takut ada yang penting.

Yah, handphoneku lowbat ni.

Ya udah, nih pake punyaku dulu. Dia menyerahkan BlackBerrynya dengan lembut kepadaku.

Makasih.

Hallo, Ayah,,, Sapaku.

Hallo, Ta. Andanya ada? Tampak suara seseorang yang tak asing lagi bagiku.

Ayah, ini Anda pake handphonenya Tirta. Handphonenya Anda lowbat. Ada apa, Yah? Ku coba tuk meyakinkan ayah.

Ini lho, Nda. Ayah mau ke rumah Om Satijo. Kamu ikut ya, masalahnya Shela katanya pulang terus Ayah ada urusan sama Om Satijo. Kamu lagi dimana? Ayah jemput ya !!!

Oh,,,, Aku terdiam.

Ada apa, Nda? Tanya Tirta sambil mengemudikan mobilnya.

Ta, ayahku ngajakin ke rumahnya Om Satijo. Tapi aku masih pengen sama kamu.

Udah lah, Nda. Kamu mau aja. Kita kan masih bisa maen lagi laen waktu.

Tapi, Ta

Udah lha, Nda jangan nakal deh Desaknya

Ya udah deh, Yah. Jemput Anda di rumahnya Tirta.

Tunggu sebentar lagi ya.

Ya, Ayah.

Aku mematikan telepon dan mengembalikannya kepada Tirta.

Makasih yah, Ta. Ucapku tak bersemangat.

Udah lha, Nda. Nggak usah sedih, kan masih bersama di laen waktu. Masih bisa ketemu besok atau lusa kan?

Tapi, Ta aku masih penen sama kamu.

Tenang aja. Tirta meyakinkanku dengan mengusap lembut pipiku.

Kami telah sampai di depan rumah Tirta. Tampak di sana dua mobil milik orang tua Tirta. Yang satu memang dari tadi pagi sudah ada di sana, dan yang satunya lagi adalah mobil yang tadi pagi dipakai oleh kedua orang tua Tirta. Kami berjalan menuju pintu rumah. Tirta yang membukanya, kali ini dia ada di belakangku sambil memegangi bahuku. Di ruang tengah Om Dodo dan Tante Adya sedang bersantai. Karena hari sudah sore, habis waktu maghrib.

HaiAnda ! Sapa Tante Adya.

Aku berhambur menujunya. Mencium tanganya dan ia mencium pipiku.

Hai juga tante, om, lagi santai nih

Kini Tirta duduk di dekat ayahnya. Sedangkan aku duduk di bawah sambil meletakkan tangan dan kepala di pangkuan Tante Adya.

Kemana aja nih? Tadi Anda kesini jam berapa? Anda yang kesini apa Tirta yang jemput?

Tadi ke pantai. Anda yang kesini diantar ayah, jam sembilan. Tadi tante sama om kata Bi Inah baru berangkat ke kantor, terus Tirtanya gak ada.

Lho, kamu gimana sih Ta? Emang kamu kemana tadi?

Hmmmmm, maaf mah, tadi Tirta ada urusan mendadak.

Minta maafnya sama Anda dong ! tambah Om Dodo.

Iya, maaf Andaku sayang. Tirta berdiri dan mencubit pipiku sambil berlari.

Mau kemana Ta? Aku langsung bertanya sambil menahan sakit bekas cubitan tadi.

Ntar Nda, ku mau mandi dulu ! Teriak Tirta masih terus berlari menaiki anak tangga menuju kamarnya yang ada di lantai dua.

Ah Tirta, kan kasian Anda, pipinya sakit. Tegur Om Dodo.

Terdengar Tirta terbatuk-batuk di kamarnya.

Suara mobil di luar terdengar semakin jelas. Hingga terdengar suara ketukan pintu depan. Bi Inah berjalan tergopoh-gopoh untuk membuka pintu. Aku kembali menyesap yoghurt jambu biji yang tadi disuguhkan Bi Surti.

Om Dodo bangkit dari duduknya, berjalan menuju ruang tamu. Bi Inah menuju tempat duduk aku dan Tante Adya duduk.

Mba Anda, ayah datang.

Oh, Anda itu ayah mau jemput? Tanya Tante Adya.

Iya Tante, tapi aku mau tunggu Tirta dulu.

Tante Adya berdiri dan memegang lenganku dengan penuh keibuan, mendirikan aku dan menuntunku menuju ruang tamu.

Setelah kami sampai di ruang tamu, aku dan Tante Adya duduk di sofa kosong. Ayah dan kedua orang tua bercerita tentang pekerjaan mereka masing-masing. Dan sebenarnya aku tak begitu menghiraukan ketiganya karena aku masih duduk melamun menunggu kedatang Tirta dan mempersiapkan diri untuk berpisah dengannya. Ayahku dan kedua orang Tirta telah berteman lama sampai akhirnya mereka menjadi saudara.

Tak berapa lama kemudian, penantian panjang yang aku rasakan berakhir juga. Belahan jiwaku datang mengenakan T-Shirt putih dan celana pendek. Apapun yang ia kenakan rasanya selalu enak dipandang. Ia berdiri di belakang sofa tempatku duduk. Kedua tanganya ditempelkan ke pipiku. Dingin rasanya.

Ah,,,,Tirtaaaaaa, dingin tau. Aku memegangi kedua pergelangan tanganya.

Ya iyalah dingin, aku kan habis mandi. Emangnya kamu apa yang belum mandi, Ih jorok Sautnya. Orang tuaku dan orang tuanya tertawa mendengarkan perkataan Tirta.

Ta, jangankan di sini, di rumah aja jarang mandi ! Imbuh Ayah.

Ih, ayah apaan sih!!! Gerutuku.

Iya om, makanya nggak ada nyamuk yang gigit Anda. Pada gak doyan. Tirta menanggapi sambil tertawa terbahak-bahak.

Aku berbalik menghadap Tirta. Menatapnya lekat-lekat Tirta yang tadinya tertawa lebar kini menutup mulutnya dengan satu tangan dan tangan satunya lagi terangkat memperlihatkan jari telunjuk dan jari tengahnya sebagai tanda damai.

Ya udah. Anda mandi dulu di kamar mandinya Tirta aja. Kalo nggak salah bajunya Anda ada yang disini apa yah? kata Tante Adya sambil terus mengingat-ingat.

Oh iya tante.

Cup,,,cup,,,cup,,,ayo cayangku, ledek Tirta seraya memegang tanganku. Kemudian menuntunku menuju kamarnya yang berada di lantai dua.

Pegangan tangga menuju lantai dua begitu lembut bagai satin. Kami sering dimarahi dulu waktu kecil gara-gara bermain di tangga yang sedang kami lewati, lantaran orang tua kami takut kalau kami terjatuh.

Kami tiba di depan pintu kamar Tirta. Di sana tertempel nama Tirta dan namaku yang dibuat sewaktu kami masih kecil. Itu memang sengaja tidak dibuang atau diganti karena itu memang kenangan kami.

Tirta membukakan pintu dengan lembut, dan membiarkan aku masuk terlebih dahulu. Kemudian dia menutup pintu dengan pelan dan nyaris tidak bersuara. Kamarnya yang terang dipadukan dengan warna cat abu-abu yang ditambahkan dengan benda-benda diruangan itu, kamar tersebut tampak begitu maskulin. Kamar yang luas itu menyisakan berjuta kenangan kami. Ranjang kasur yang terlihat kokoh sangat serasi dengan kasur yang nyaman, dua pasang bantal bedcover bercorak bola. Disana terdapat banyak foto, meja belajar, dan masih banyak lagi. Selain itu terdapat televisi, stereo dan peralatan PlayStation serta laptop. Lantainyapun dilapisi karpet lembut.

Ta, kamu jangan kemana-mana ya! pesanku.

Iya, Anda. Mandinya yang cepet ya. Takut masuk angin. Oh iya sabun kamu ada di tempat biasa. Ini handuknya. Dia melemparkan handuk ke arakhu. Sabunku memang khusus. Tak sama dengannya. Aku punya sabun dan peralatan mandi pribadi lainnya disini. Aku tak mengulur-ulur waktu lagi. Kemudian aku masuk ke kamar mandi.

Aku mandi secepat mungkin. Otot-ototku sudah terasa rileks sekarang setelah dilemaskan dengan siraman air hangat yang keluar dari shower. Aku langsung mengganti pakaianku. Disini aku punya baju-bajuku sendiri. Aku keluar dari kamar mandi dengan senyuman.

Tirta masih duduk di tepi ranjangnya. Kali ini dia sedang memegang handphonenya. Aku berdiri di hadapannya.

Nah, kalo gini kan udah enak dilihat. Dia tersenyum.

Kurang ajar. Berarti dari tadi aku berantakan dong.

Tapi bagaimanapun aku tetep sayang kamu kok. Dia mencubit hidungku kemudian bangkit dari duduknya.

Ta, kan sakit. Sambil memegangi hidung karena kesakitan.

Maaf, sayang. Tangannya menggandeng tanganku. Kita keluar yuk, kasian tuh ayah nunggu kamu lama.

Biarin aku kan nggak minta ditungguin.

Tapi kamu nggak boleh gitu sayang. Udahlah, Ndaayo. Nanti kamu kemaleman lagi kerumahnya Om Satijonya.

Tirta berdiri di belakangku. Melakukan gerakan seperti mendorongku. Dan saat di tangga, dia memegangi bahuku dengan hati-hati.

Kami sampai di ruang tamu. Aku masih berdiri di samping Tirta.

Ayo Nda, ntar kita kemaleman lagi. Ajak ayah.

Tapi yah, aku kan masih pengin sama Tirta.

Tapi Nda, besok kita kan masih bisa ketemu lagi. Semangat Tirta.

Ayah keluar menuju mobil diikuti dengan kedua orang tua Tirta yang juga ingin mengantar sampai luar, baru kemudian diikuti aku dan Tirta. Ayah sudah bersiap masuk mobil. Aku masih berdiri di teras rumah. Tirta juga di sampingku. Tangannya merangkul bahuku. Pipinya menempel di pipiku.

Udah dong Nda, jangan BeTe terus! Bujuk Tirta.

Nggak apa-apa Nda, besok kan kalian masih bisa ketemu lagi. Tambah Tante Adya.

Ya udah deh, Ta. Aku luluh juga.

Selanjutnya bibir dingin Tirta mengecup pipiku. Kemudian dia menggerakan tangannya diatas kepalaku, membuat rambutku berantakan lagi setelah tadi disisir di kamarnya. Aku mencium tangan Tante Adya dan Om Dodo. Disambut pelukan Tante Adya. Kemudian aku berpamitan.

Dagh Tirta, Om Dodo, Tante Adya. Aku melambaikan tangan dan mereka membalasnya.

( ( ( ( (

Aku dan Ayah dalam perjalan menuju rumah Om Satijo.

Jangan ngambek lah Nda ! rayu Ayah.

Nggak kok, Yah. Siapa yang ngambek.

Nah itu ngapain diem aja?

Hmmmm, beneran nggak apa-apa. Lagian ngapain marah.

Syukur kalo emang nggak marah gara-gara pisah sama sahabat sejati.

Nggak apa-apa, besok kan masih bisa ketemu lagi. Terus sekarang kan Anda mau ketemu temen lagi. Aku mencoba meyakinkan Ayah. Padahal hatiku begitu tak karuan. Aku hanya ingin menghormati Ayah. Dan membuatnya bahagia.

Nah gitu dong. Jawab ayah singkat sambil terus menginjak pedal gas. Walaupun begitu, tetap saja ayah membawa mobil tak sengebut Tirta. Diam-diam aku melihat jam di dashbor mobil, terlihat pukul 06.50 p.m.( ( ( ( (

Tak berapa lama kemudian kami sampai di garasi rumah Om Satijo yang terlihat mewah. Maklum, Om Satijo adalah seorang pengusaha dan seorang anggota dewan. Satpam di rumah Om Satijo terburu-buru membukakan pintu gerbang.

Setelah memarkirkan mobil, ayah turun dari mobil. Tanpa berlama-lama lagi, aku juga ikut turun. Ternyata Om Satijo telah ada di depan rumahnya dan menyambut kedatangan kami. Di samping Om Satijo berdiri seorang wanita yang tampak anggun. Ya, itulah Tante Ratna, istri Om Satijo. Beliau adalah seorang bidan. Selain itu, tampak juga kedua anaknya yaitu Ka Sheyla dan Ajeng. Ka Sheyla adalah seorang mahasiswi Fakultas Psikologi di sebuah unversitas negeri di luar kota, kebetulan dia pulang karena sedang liburan semester sedangkan Ajeng, adiknya adalah siswi SD di salah satu sekolah di kota tersebut.

Hallo Pak. Ayahku dan Om Satijo bersalaman akrab.

Hallo Anda. Sapa Tante Ratna diikuti Ka Sheyla dan Ajeng yang memamerkan senyum mereka.

Hallo juga Tante, Om, Ka, Ajeng. Aku menyalami Om Satijo dan lainnya.

Silahkan masuk, Pak. Ajak Om Satijo. Ayah, Om Satijo dan Tante Ratna masuk ke dalam rumah. Sedangkan aku, Ka Sheyla dan Ajeng duduk-duduk di teras rumah.

Anda tadi dari mana, apa langsung kesini? Tanya Ka Sheyla.

Anda ke rumah Tirta dulu Ka. Aku masih memperhatikan Ajeng yang masih asyik dengan melukis. Walaupun di perumahan, tempat Ka Sheyla cukup ramai. Banyak anak muda di luar rumah. Dan banyak pedagang makanan di pinggir jalan masuk menuju perumahan tersebut. Hal demikian juga sama di komplek perumahan Tirta. Rumah-rumah tetangga Ka Sheyla besar dan megah-megah dan yang intertior bangunannya sangat menarik adalah rumah di depan kediaman Ka Sheyla. Arsitekturnya klasik dan modern. Tampak indah, asri dan nyaman.

Oh berangkat pagi dong dari rumah.

Iya.

Saat tengah asyik bercakap-cakap dan menikmati hidangan yang disajikan ada sebuah mobil melintasi di depan rumah Ka Sheyla. Mobil itu berhenti di depan rumah yang sedari tadi aku kagumi, namun tidak masuk garasi. Aku terus memperhatikannya. Pintu jazz silver itu terbuka, terlihat seseorang sedang melepas kacamata hitamnya dan turun dari mobil. Yang terlihat kini baru punggungnya. Dari belakang dia tampak gagah dengan mengenakan dress cream, celana jeans panjang warna yang serasi dan sepatu.

Oh my God, who is him ? Tanyaku dalam hati.

Dia berbalik dan menuju arah rumah Ka Sheyla, arah dimana kami duduk, tempat dimana kami berada. Tuhan makhluk apa ini? Seseorang yang sangat tampan, tinggi, putih, cool, berwibawa. Aku masih terdiam. What happened to me? May be I look like a foolish girl. Seseorang tadi terus mendekati, menghampiri kami. Sungguh jantungku berdebar tak karuan, bahkan mungkin mereka mendengar degup jantungku.

Anda, Anda kenapa?

Hmmm, nggak kok. Aku masih gugup.

Ka, tadi itu siapa? Pacar kakak yah? Kok aku nggak pernah dikenalin? Aku berbicara tetapi setengah berbisik.

Hahaha.bukanlah Nda. Kamu in ingaco deh ! Itu kan Shaka. Rumahnya itu yang di depan. Dia sekolah. Kayaknya masih kuliah sama kaya Tirta.

Oh, tapi kok aku kaya pernah liat dia yah Ka?

Ya bisa jadi, kamu kan sering ke sini. Aku masih mengingat-ingat. Tiba-tiba aku ingat sesuatu.

Ka, dia punya motor CS-One warna merah nggak?

Iya, lho kok tahu Nda? Apa kamu udah kenal sebelumnya sama dia?

Nggak kok, Anda kaya pernah liat waktu ada acara di pantai itu Ka, waktu itu macetnya minta ampun, Anda sama Kak Kristin terus Ibu lagi nunggu jemputan Ayah. Eh liat dia.

Ohgitu.

Tanpa disadari sosok yang gagah itu semakin dekat. Saat dia sampai di depan teras, Ka Sheyla langsung berdiri dari duduknya. Aku masih berdiam diri dan pura-pura memperhatikan Ajeng yang asyik mewarnai.

Sebelah sini Jeng, warnanya kurang rata. Ka Sheyla langsung menyapa Shaka.

Hai Shaka dari mana nih? Sambil berjabat tangan.

Dari bengkel aja, Ka. Jawabnya singkat tapi menghanyutkan.

Kak Shaka. Sapa Ajeng ikut-ikutan.

Shaka, kenalin. Ini Anda, Anda ini Shaka. Aku langsung berdiri menyambut uluran tangan Shaka.

Anda.

Shaka.

Oh ya, Shaka mau minum apa nih?

Ah nggak usah Ka, rumahnya deket ini !

Jangan gitu. Mau yang dingin apa yang hangat?

Apa aja deh, yang ada di rumah.

Oh, ya udah kalo gitu. Duduk dulu Ka, aku mau ngambil minum dulu. Pamit Ka Sheyla.

Ka, ikut. Ajeng mau pipis. Rengek Ajeng.

Haduhtinggal aku sendirian nih disini. Gumamku dalam hati. Ka Sheyla dan Ajeng masuk ke dalam rumah. Kini hanya aku dan Shaka yang duduk di teras.

Ehm, Anda udah lama di sini? Tanya Shaka memulai pembicaraan namun suaranya masih terdengar ragu.

Ehehh?? Lumayan lama, tadi ke bengkel ngapain?

Hah?? Ehm, ganti spare part.

Di modif kah?

Kami berdua masih terdengar kaku.

Ya gitu deh..

Beberapa saat kami berdiam diri. Ka Sheyla datang membawa segelas minuman yang sama dengan punyaku.

Anda, pulang yuk. Udah malem nih. Tiba-tiba ayah mengagetkan dengan cara berdiri tepat di depan pintu.

Oh, ayah udah selesai urusannya.

Udah, dilanjutin besok di kantor aja. Kasian kamu yang udah cape dari tadi pagi.

Ya udah deh.

Ah.Ayah nggak asik, mengajakku pulang di saat yang tak tepat. Ayah berpamitan dengan Om Satijo. Aku juga mengikutinya untuk bersalamn dengan Om Satijo dan keluarga. Dan yang terakhir aku menyalami Shaka.

Kapan-kapan main aja ke rumahku. Kataku sambil berbasa-basi.

Kamu juga Nda, kalo kesini lagi mampir aja ke rumah.

Ntar ngeropotin lagi.

Eitzzzzzz,,, nggak kok. Dia mengerlingkan mata kea rahku.

Waw,,,Its so surprise. Aku tak bisa mengatakan apa-apa lagi. Rasanya, mulutku terkunci rapat. Dan yang bisa aku lakukan adalah melontarkan senyuman dan anggukan. Aku langsung membuka pintu mobil dan masuk ke dalam. Ayah langsung mengemudikan mobil.

Hari ini terasa begitu cepat dan banyak kejutan di dalamnya.

( ( ( ( (

Hari telah berganti. Dan pagi menyambut hariku yang baru. Aku bangun dari tidurku yang cukup panjang. Aku rasa tidurku cukup nyenyak tadi malam setelah aku menjalani hari yang panjang dan mengesankan kemarin. Kini aku harus memulai hari-hariku lagi. Besok adalah hari libur. Aku berniat menikmati liburanku dengan sahabat sejatiku.

Hari ini adalah hari yang membosankan. Terlalu biasa untukku melewatinya. Tak ada yang menarik.

Matahari telah ada di peraduannya. Aku berdiri di depan jendala dalam kamarku sambil melihat keluar. Warna kemerah-merahan menyembul di kaki langit karena siang tadi memang cukup cerah. Aku teringat tentang Tirta biasanya pada saat Twilight seperti ini, kami duduk bersama dan memandang langit. Jika seperti itu, ingin rasanya hidup bersama selamanya. Aku terhanyut dalam lamunanku. Sehingga aku terkaget saat handphoneku bergetar.

Lega rasanya telah mengetahui kabarnya walau hanya lewat SMS. Tak sabar hatiku menantikan hari esok. Besok, aku akan bertemu dengannya. Namun, aku tak memberi tahunya terlebih dahulu. Aku pergi kesana bersama keluarga. Kebetulan ayahku punya rumah di sana meskipun rumah itu kecil, bahkan lebih kecil dari rumahku disini. Tapi tu tidak masalah yang penting aku bisa bertemu dengannya.

Aku baru menyadari, hari sudah semakin gelap. Aku merangkang menuju temapt tidur setelah menutup jendela sebelumnya. Aku berdoa kepada Tuhan agar aku bisa mendapatkan apa yang aku inginkan, yaitu bertemu dengan Tirta.

( ( ( ( (

Aku berada di tengah keluargaku sekarang. Kami sedang sarapan. Aku telah siap untuk pergi. Aku telah mengenakan celana jeans sehingga membuatku sedikit feminine. Aku menghabiskan sarapanku cepat-cepat.

Setelah kami selesai, kami memulai perjalanan kami. Ku pasang headset di telingaku. Aku duduk di jok belakang, sendirian. Aku masih berdiam diri mendengarakan dentuman musik dan menikmati pemandangan sepanjang perjalanan. Tak menghiraukan pembicaraan ayah dan ibu. Cuaca hari ini tidak terlalu cerah. Semakin dekat tujuan kami, semakin mendung pula cuacanya. Udara cukup dingin di luar, maka dari itu, aku mengenakan jaket yang aku bawa.

Bu, nanti Anda ke rumahnya Tirta sendiri aja, ya.

Lha mau naik apa? Ibu antusias.

Tenang aja bu, Anda udah sedikit-sedikit ngerti kota ini.

Paling kalo bingung balik lagi ! Ledek ayah.

Paling begitu. Aku tak cukup mood untuk menanggapi gurauan ayah.

Kamu mau turun dimana? Tanya Ibu.

Anda mau ikut ke rumah dulu.

Oh, ya udah.

Kami telah sampai di rumah. Ayah sedang menurunkan barang-barang. Aku turun dari mobil kemudian masuk rumah menuju kamarku. Rumah kami berada di suatu perumahan. Dulu aku tinggal di sini, tapi kami sekeluarga pindah ke kotaku sekarang. Dulu memang aku tak bisa menerima kenyataan itu, dan aku sempat memberontak. Tapi apa boleh buat, mungkin itu memang yang terbaik.

Aku selesai menata barang-barangku di kamar. Aku membawa beberapa persiapan baju ganti, walau hanya beberapa hari di sini. Aku memasukan handphoneku dan dompetku ke dalam tas boneka sapiku.

Ibu, Anda pergi dulu ya. Pamitku.

Kalo nyasar telepon ayah aja. Pesan ayah.

Beres, Yah

Hati-hati ya, Nda.

Iya Aku mencium tangan mereka.

Aku berjalan menuju depan perumahan. Karena rumahku berada di tengah perumahan tersebut.

Aku berdiri di halte bus. Rambutku yang dikucir tertiup angina jalan. Lima belis menit sudah aku menunggu, tak ada bus satupun yang lewat. Mending tak ada bus daripada taksi. Siang itu tidak terasa panas bahkan malah bisa dikatakan dingin, karena hari semakin mendung. Akhirnya aku putuskan untuk menunggu metromini sambil berjalan ke arah terminal.

Saat aku tertawa di atas semua .

Saat aku menangisi kesediahanku .

Suara ringtone handphoneku. Ada panggilan masuk.

TIRTA CALLING .

Segera aku mengangkat telepon

Hallo, Ta.

Saat aku membuka telepon, gerimis mulai turun. Aku langsung berlari mencari tempat berteduh atau menuju depan pertokoan terdekat.

Hallo, maaf Ta, ada apa?

Nggak, cuma pengin telepon aja. Kamu lagi dimana sih, Nda?

Aku lagi di depan pertokoan nih. Lagi nunggu taksi atau metromini.

Mau kemana? Jawabnya masih santai.

Mau ke rumah kamu. Tapi gak ada metromini.

Apa?? Anda, ini kqn hujqn. Pertokoqn mana Anda ? Tirta mulai panik.

Di toko Italy deket terminal.

Ya ampun Anda, Nda. Kamu di situ aja dulu ya. Tunggu sebentar ! jangan kemana-mana.

Nggak usah Ta, lagian baru gerimis ini !

Tirta seperti tak menghiraukanku. Dia mematikan telepon begiu saja. Udara semakin dingin. Aku menyesal tadi jaketku ditinggal di rumah. Gerimis telah berganti menjadi hujan. Semakin banyak orang yang menepi dan berteduh di depan pertokoan sepertiku.

Kurang dari sepuluh menit ada sosok cowok gagah yang mengendarai sepeda motor mio putih berhenti tepat di depanku. Dia langsung turun dari motor dan menghampiriku.

Anda, Nda, kamu nggak kenapa-napa kan? Dia menggoyang-goyangkan bahuku. Orang-orang yang ada di sebelahku langsung memperhatikan kami.

Aku nggak apa-apa, Ta.

Kenapa kamu gak bilang sih kalo kamu mau ke rumahku? dia masih begitu panik, dan aku bisa merasakannya. Dia terus melepas jaketnya yang setengah basah dan dipakaikan di badanku.

Ya ampun, Ta. Aku gak apa-apa.

Udah lha Anda, dipakai aja ! begitulah Tirta kalau sedang panik. Walau memaksa, namun dengan lembut, dia memakaikan jaketnya. Kemudian dia juga meleaps helmnya dan memasangkannya dikepalaku.

Ayo Anda. Kita pulang. Dia menarik tanganku tak menghiraukan tatapan aneh dari orang-orang yang dari tadi memperhatikan kami seperti sedang menonton telenovela.

Aku tak mengucap apa-apa. Aku langsung mengikuti Tirta dan duduk di jok motor. Tirta dengan cepat menyalakan mesin motor dengan satu tangan dan tangan yang satunya masih memegangi tanganku.

Motor melaju menembus hujan dengan begitu cepatnya sehingga aku tak melihat keadaan di pinggir jalan. Aku memeluk tubuh Tirta dengan erat. Berlindung di balik badannya yang gagah. Tangannya masih memegang tanganku erat. Inilah Tirta yang selalu melindungiku, walaupun badannya sendiri entah apa rasanya. Dia hanya mengenakan kaos dan celana jeans pendek. Parahnya lagi dia mengendarai motor dalam hujan tanpa helm.

Perjalanan yang terasa mengharukan itu kini berakhir. Karena kami telah sampai di teraas rumah Tirta.

Anda, kamu nggak apa-apa kan? Tanya Tirta gugup setelah mematikan mesin dan turun dari motor.

Aku baik-baik aja, Ta. Aku mencoba meyakinkanya, wajahku yang pucat tak bisa membohonginya. Tirta membantuku melepaskan jaket dan helm. Jaket dan helm tersebut diserahkan kepada Bi Inah yang dari tadi di belakang kami.

Nda, kamu pusing yah? Ternyata kepanikannya belum hilang. Satu tanganya mengusap pipiku dan satunya lagi memegangi tanganku.

Den Tirta, Mba Anda cepet dibawa masuk rumah aja. Jangan lama-lama di luar, nanti masuk angin.

Iya Bi, Ayo Nda. Tirta menuntunku masuk ke dalam. Aku hanya mengikutinya.

Kami terus berjalan masuk ke dalam rumah tanpa kata-kata lagi.

Bi, siapin makanan. Kata Tirta saat kami berjalan melewati Bi Surti.

Nda

Hmmmmmm.

Kami terus berjalan menuju lantai dua. Tirta membuka pintu kamarnya, kemudian menarikku masuk.

Nda, kamu cepet mandi. Suruhnya.

Nggak, kamu dulu deh. Kamu kan yang kedinginan.

Kaya kamu gak ngrasa kedinginan aja !

Tanpa omong lagi, aku masuk kamar mandi, menyalakan shower dan mulai melakukan ritual mandi. Setelah selesai aku bergegas berganti baju, menyisir rambut dan cepat-cepat keluar. Aku hanya mengenakan kaos dan celana pendek. Namun, aku tak mendapati Tirta di kamar. Aku duduk di ranjang, sambil memgangi handphoneku yang lowbat . Tak lama kemudian Tirta datang dan telah berganti pakaian.

Gimana Nda? Udah gak dingin lagi kan? Ia berdiri di depanku.

Yah, lumayan lah

Dia mengambilkan jaketnya di lemari dan memberikannya padaku.

Ini Nda, pakai aja dulu ! Aku menurutinya.

Kita makan dulu yuk, pasti kamu lapar?

Nggak ah, Ta. Masih kenyang.

Anda ! Dia menarik tanganku dan memberdirikanku. Kemudian ia memegangi bahuku.

Kami sudah berada di ruang makan.

Mba Anda, makan yang banyak, biar nggak masuk angin ! kata Bi Surti sambil menyajikan makanan.

Kriiiiiiiiinnggggggggkringggggggg

Bi Inah berlari kecil untuk mengangkat telepon

Den Tirta, ada telepon ! Teriak Bi Inah. Tirta bangkit dari duduknya.

Bentar yah Nda, kamu makan dulu !

Ehem,,,,,

Ia berjalan menghampiri telepon.

Hallo.

Iyah

Oh,,

Terdengar suara Tirta merespon Si Penelpon. Kemudian dia kembali ke meja makan, tempat dimana aku berada.

Siapa, Ta?

Om Tarno? Jawabnya sambil tersenyum.

Ih,,, kurang ajar. Ada apa? Om Tarno yang dimaksud Tirta adalah ayahku.

Dia nanyain kamu, takut kamu nyasar.

Apa ya?

Beliau itu bener Nda, nggak kaya kamu ! Dia masih memandangku.

Lho kok?

Ya iya lah. Sama kaya aku, ia khawatir sama kamu. Jawabnya serius.

Nda, ngapain sih kamu? Kesini kasih tahu dong ! Aku berhenti makan dan meletakkan sendok.

Ta, kamu marah? Aku balas menatapnya. Dia duduk di sampingku. Sehingga aku harus memutar posisi dudukku untuk menatapnya.

Ya jelas dong aku marah !

Aku kaget mendengarnya. Kini pandangan Tirta telah beralih dariku. Tangannya yang satu dilipat dan yang satunya lagi memegangi keningnya.

Ta, maafin aku. Aku menyentuh tangannya yang terlipat. Inilah kekuranganku. Aku ingin sekali meneteskan air mata. Aku telah mengecewakan sahabat sejatiku dan membuatnya marah. Mataku berkaca-kaca. Tirta menoleh ke arahku.

Apaan si, Nda? Gitu aja nangis.

Aku menundukkan kepala.

Tangan yang tadinya dilipat kini menggenggam tanganku dan yang tadinya memegang kening, kini mengusap pipiku.

Nda, aku marah itu karena aku sayang banget sama kamu. Aku nggak mau kamu sakit, Aku mencoba memandang wajah Tirta. Kemudian tangannya yang tadi di pipiku kini menarikku ke dadanya.

Ta, aku juga sayang kamu kok.

Ya udah, sekarang lanjutin makannya yah !

Aku mengangkat kepalaku. Aku masih diam.

Ayo, makan Nda !

Nggak ah, Ta. Aku udah kenyang.

Kamu jangan bohongin aku, pasti kamu laper ya kan? Dia tersenyum simpul.

Apaan sih

Setelah selesai makan, kami berdua duduk di ruang keluarga sambil menonton televisi.

Nda, kamu mau di rumah kamu yang lama berapa hari?

Nggak tahu, pinginnya sih aku di sini terus.

Kamu nyampe sini kapan?

Tadi, terus aku punya niat mau ke sini.

Kenapa kamu nggak bilang? Kan kalau kamu ngomong, aku bisa jemput?

Kan niatnya mau bikin kejutan, malah aku yang terkejut. Nih yah, aku nyampe rumah, langsung jalan ke hlate, eh aku nunggu lama, nggak ada metromini atau taksi juga, akhirnya aku putuskan aja nunggu sambil jalan ke arah terminal siapa tahu di jalan nemuin taksi. Malah keburu ujan.

Lah kenapa kamu udah tau kalo mau hujan nggak telepon aku? Kalau aku nggak telepon, kamu juga nggak telepon? Tanggapnya. Kepalanya masih bersender di kursi.

Ya maaf. Eitzkenapa kamu jemput aku pake motor, Ta?

Mobil papa dibawa kerja, mobilku di bengkel, baru tadi pagi dibawa kesana, diambil besok.

Lah itu di luar masih ada.

Yang itu, tadi juga aku mau bawa, tapi bannya kempes sayang, mau aku ganti takut kelamaan. Ntar keburu kamu masuk angin gimana?? Dia merangkul pundakku.

Oh. Aku melirik jam dinding, ternyata sekarang pukul 17.00 WIB

Oh ya, kamu belum cerita tentang kemarin yang kerumahnya Om Satijo.

Ah, biasa aja Ta. Nggak ada yang menarik.

Di luar hujan turun makin deras. Tapi tak begitu terdengar dari dalam rumah Tirta. Aku bersender di bahunya. Tak terasa dinginnya. Ternyata aku tertidur pulas di ruang keluarganya.

Aku menggerak-gerakkan kepala sebagai awal aku terjaga. Kini aku tebaring di kursi. Masih di depan televisi. Tapi seingatku tadi sebelum aku tertidur, aku duduk di lantai, kok sekarang di kursi. Ku edarkan pandangan ke seisi ruangan, mencari sosok yang ingin aku lihat. Ternyata dia duduk di bawah kursi tempatku tidur. Televisi masih menyala namun volumenya sangat kecil bahkan nyaris tak terdengar. Ku angkat kepalaku yang terasa berat dan dengan susah payah mencoba untuk duduk. Tirta menoleh ke arahku.

Udah bangun Nda? Tanyanya penuh kasih sayang.

Iya Ta. Aku memegang bahunya.

Laper?

Nggak. Jam berapa sekarang?

Baru jam delapan lewat.

Hah??? Jam delapan??? Berarti aku tidur lama banget dong?

Nggak baru sekitar tiga jam.

Itu namanya lama, Ta.

Hmmmmmmm Ia menggenggam tanganku.

Dari tadi kamu nunguin aku?

PeDe O-De kamu.

Lho, nyatanya kamu masih di tempat kamu semula.

Ya, masa aku mau pergi sih? Kan ada kamu.

Iyaeh, orang tuamu belum pulang?

Udah.

Hah??Udah?? Tanyaku seperti orang kebingungan.

Lagi pada kemana, Ta?

Lagi pada pergi lagi.

Kemana?

Ngehadirin jamuan makan malam.

Oh

Kamu mau makan Nda?

Aku hanya menggeleng. Tirta berdiri untuk duduk di sampingku. Mengusap rambutku yang berantakan. (Kringggggg..kringggggggg,,,,)

Tirta berdiri untuk mengangkat telepon yang berdering.

Hallo.

Iya.

Iya Om. Ini baru bangun tidur.

Oh iya om. Nanti Tirta anter.

Iya Om sama-sama.

Dia menutup teleponnya kemudian berjalan mendekatiku.

Siapa Ta? Ayahku lagi?

Yaps..bener banget. Dia telah duduk di sampingku.

Ada apa lagi Ta?

Beliau nanyain kamu. Kok udah malam kamu belum pulang.

Oh

Gimana mau pulang nanti apa sekarang?

Hmmm, emangnya kamu mau ngapain? Apa aku ganggu kamu?

Ia menggelengkan kepala.

Aku nggak bemaksud ngusir kamu Nda, aku juga gak mau ngapa-ngapain. Apalagi kalau kamu ganggu aku. Itu sih sama sekali gak bener.

Terus kenapa?

Aku cuma nggak mau kamu sakit gara-gara pulang kemaleman.

AhTirta.

Tangannya menarik samping kepalaku kemudian mencium kepalaku. Tanganku melingkar di pinggangnya. Beberapa detik kami berada dalam keadaan seperti itu. Kemudian aku menarik tubuhku.

Ya udah deh Ta, aku pulang sekarang.

Beneran? Dia menatapku lekat-lekat. Aku mengangguk tanda setuju.

Dia bangun dari posisi duduknya. Dan meangangkat bahuku, selanjutnya mendirikanku. Tirta memegang bahuku dan memanduku untuk berjalan keluar setelah sempat mengambil kunci mobilnya.

Den, mau kemana? Tanya Bi Inah ketika kami melewatinya sedang bersama Bi Surti.

Mau nganterin Anda, Bi.

Nganterin kemana? Tambah Bi Surti.

Pulang ke Puri Indah. Oh ya, nanti kalo papa sama mama nanyai aku, sampein aja ya Bi

Oh iya Den.

Dah dulu, Bi. Pamitku. Tangan Tirta masih di bahuku, yang kemudian membalikan badanku yang tadinya menghadap ke belakang.

Duh bener-bener, Den Tirta itu sayang banget sama Mba Anda ya ! celetuk Bi Surti.

Iya, Mba Anda juga setia banget ma Den Tirta.

Waduh jadi gak bisa bayangin kalu satu diantara mereka pergi yah !

Terdengar samara-samar bisikan kedua pembantu Tirta. Aku dan Tirta terus berjalan menuju mobil Taruna milik Tirta.

Ta, kamu mau nganter aku pake apa? Aku bertanya sambil mengamatinya yang tidak mengenakan jaket. Hanya memakai kaos belang warna hitam putih dan celana panjang.

Pake mobil lha ! Jawabnya elegan.

Lho katanya mobil kamu bannya kempes?

Kan udah dibenerin.

Siapa yang pasang ban serepnya?

Ya, aku lah.

Dia membukakn pintu untukku dan membiarkan aku masuk dan menutup pintunya rapat-rapat. Kemudian dengan cepat dia telah ada di jok pengemudi. Dia menyalakan mesin dan mulai menginjak pedal gas.

Ta, emangnya kamu bisa ganti ban? Aku masih memandang lurus ke depan. Sedangkan Tirta. Aku rasa dia melirikku tadi, tapi aku tak tahu pastinya. Karena gelap.

Buat kamu apa sih yang nggak.

Lho kok buat aku sih?

Iya, aku nggak tega nganterin kamu pake motor, dalam keadaan kamu yang kaya gini.

Kaya gini gimana maksudnya? Aku sehat-sehat aja kuk.

Iya, kamu cuma pake celana pendek. Nggak mungkin kan kamu pake celana panjang punyaku. Mana muat?

Hmmmmmmm. Aku tersenyum.

Ya ampun Ta, tasku ketinggalan di rumah kamu ! Aku kaget tiba-tiba teringat tentang tasku yang berisi handphone dan dompet.

Tas Apa?

Tas sapiku itu lho Ta. Aku agak panik.

Yang ini bukan ? Dia menghadap belakang dan menunjukkan tas yang aku maksud.

Ya Tuhan. Kamu kok tahu sih, Ta.

Ya tau lah, kan kamu sering lupa. Dia tersenyum. Susah payah aku melihat senyumnya di dalam gelapnya jalan raya. Dan aku hanya melihat silhuet senyumnya. Namun, tak apa lha. Dia tetaplah Dewa Penyelamtaku yang sangat menyayangiku.

Ta, gimana kabarnya Vira? Kok udah lama sih kamu nggak cerita tenteng dia?

Vira adalah cewek yang disukai Tirta dulu. Dan dari dulu pula Tirta menyembunyikan perasaan itu ke Vira, karena dulu Vira sudah punya pacar. Tapi setelah terdengar kabar bahwa Vira telah putus dengan pacarnya Tirta mulai mendekati Vira. Namun yang selalu membuatku yakin bahwa Tirta nggak mungkin meninggalkanku adalah karena Tirta sangat menyayangiku. Vira, oh Vira. Aku terkadang tak bisa membuat diriku tidak merasa minder jika membayangkan dan memikirkan sosok Vira. Vira adalah cewek yang sempurna. Parasnya ayu, badan yang proporsional, tubuh jangkung dan sangat menarik. Dia adalah type cewek yang feminine, intelek dan mempunyai segalanya. Tidak salah jika Tirta tertarik oleh pesonanya. Aku belum cukup tahu lebih jauh tentang kepribadiannya, Karen dia yang sedikit pendiam kepada orang yang belum dikenal.

Ya gitu deh Nda. Dia menghadapku.

Tirta mengerem mobilnya karena lampu merah. Malam ini Tirta tidak mengemudikan mobil seperti biasanya yang ngebut, kali ini cukup pelan.

Ya gitu gimana maksudnya? Mobil telah melaju lagi.

Udah hampir kena Nda.

Oh, syukurlah tapi Ta.. Aku tak melanjutkan kata-kataku, suaraku lemah.

Tapi apa?

Kalau kamu udah jadian sama dia ..

Ya, terus? Dia memegang tanganku.

Kalau kamu udah jadian sama dia kita makan-makan. Sahutku dengan suara parau dan pura-pura terdengar riang.

Kamu boong Nda. Kamu nggak mau ngomong makan-makan kan? Kamu mau ngomong kalau aku tetep sayang kamu apa nggak kan? Ya iaya lah Nda. You are the best person in my live. Dia mencoba meyakinkanku. Dan tanganku yang digenggamnya ditempelkannya di dada. Aku masih terdiam. Dan menunduk. Seakan aku telah kehabisan kata-kata untuk berucap.

Nda, kalau kamu bilang aku nggak boleh sama Vira. Aku nggak akan sama Vira. Asal kamu tahu, sayangku padamu itu jauh lebih besar dibandingkan sayangku buat Vira. Perasaan kuterhadap Vira itu cuma tertarik bukan cinta bahkan nggak lebih.

Tak terasa kami sudah sampai di depan rumahku. Aku bisa melihatnya di bawah sinar remang-remang lampu jalan. Mataku rasanya panas, dan air mataku ingin rasanya menetes. Dan akhirnya menetes juga.

Hei, kamu kenapa Beibz? Jangan nangis dong ! Aku masih menunduk. Tangan kami masih bergandengan dan diangkatnya tangan kami, kemudian diusapkan punggung tangannya untuk menyeka air mataku.

Aku nggak nangis kok.

Lah ini apa?

Aku cuma terharu kamu ngomong kaya gitu.

Udahlah. Sekarang kamu masuk sana !

Hah ?

Iya, takut kemaleman. Pasti kamu capek banget.

Kamu kali yang capek?

Nggak kok.

Ya udah deh aku masuk dulu. Hati-hati ya di jalan. Kalo udah nyampe rumah langsung telepon, aku nggak bakalan tidur kalo kamu belum telepon.

Ok, Beibs,,,

Dia mencium tanganku yang sedari tadi digenggam olehnya. Kemudian aku turun dari mobil dan berdiri. Memandang mobil Tirta pergi. Aku terus menatap mobilnya hingga tak kelihatan ditelan gelapnya malam. Aku berjalan menuju pintu. Tetangga-tetanggaku ada yang berada di luar dan di dalam rumah. Ada, tetanggaku yang sedang berduaan ada juga yang sedang kumpul keluarga. Namun, ayah dan ibu tak tampak di luar sepertinya mereka berada di dalam. Aku membuka pintu dengan pelan.

Hallo ayah. Sapaku ketika aku sampai di ruang keluarga dan mendapati ayah sedang menonton televisi.

Hallo juga. Udah pulang Nda?

Iya, Yah.

Ibu menghampiri kami dan duduk di sampingku.

Lho tumben pulang sendirian? Ibu ikut-ikutan nimbrung.

Nggak kok. Tadi dianter Tirta.

Tirtanya mana? Tengok ayah kea rah luar.

Udah pulang, Yah.

Kok nggak mampir?

Mungkin kecapean kali dia.

Oh. Timpal ibu.

Bu, Yah. Anda mau istirahat dulu.

Aku berjalan pelan melewati Ayah dan Ibu menuju kamarku. Ku buka pintu dengan pelan dan menutupnya setelah aku masuk. Aku duduk di tepian ranjang sambil mentap jendelaku yang belum tertutup. Kemudian aku menutupnya setelah aku menghirup udara luar.

Aku mengganti celana yang aku pakai dengan celana tidur dan melepas jaket Tirta. Ku rebahkan badanku di ranjang.

Ah, hariku yang melelahkan. Aku bergumam sendiri dan menegok ke arah meja belajarku dan meraih sebuah figura yang berisi fotoku bersama Tirta. Aku terus menatapnya lekat-lekat. Ku tarik bedcover dan mencoba untuk memejamkan mata.

( ( ( ( (

Aku tersadar ketika cahaya kuning menembus jendela kamarku. Susah payah aku mencoba untuk duduk.

Nda, bangun ! Suara Ibu semakin meyakinkanku bahwa aku telah kembali ke dunia nyata.

Iya bu, ini Anda udah bangun.

Ini cepet buka pintunya.

Ada apa sih Bu? Aku merangkak menuju tepi ranjang dan berjalan sempoyongan untuk menggapai gagang pintu.

Ada apa bu? Aku masih memegangi kepalaku yang terasa agak pusing karena cairan di otakku belum mengalir stabil.

Ini lho Nda, sarapan kamu udah ada di meja ruang makan. Cerocos ibu sembari berjalan membelakangiku menuju dapur. Telunjuk kanannya msih menunjuk-nunjuk apa yag ia katakan. Aku tak mengucap apa-apa, hanya terdiam melihat penampilan ibu yang sudah rapi dan siap untuk berpergian sambil menenteng tas. Kemudian ia berjalan keluar.

Udah, Anda jangan tidur lagi. Cepet mandi !

Iya Bu. Jawabku ogah-ogahan, sambil mengikutinya dari belakang.

Memangnya ibu mau kemana? Rapi banget? Tanyaku tak bergairah.

Ibu ada urusan kerja sama ayah. Nanti kalau ada yang cari Ibu, bilang aja ibu udah berangkat dan bilang Ibu sama ayah udah nunggu di tempat biasa.

Aku mendengarkannya dengan enggan, bodoh sekali aku ini, kenapa harus tanya seperti itu, sedangkan aku sudah terbiasa di rumah kesepian.

Ibu berangkat dulu ya Anda.

Iya bu. Aku mencium tangannya. Ibu beranjak dari hadapanku menuju pintu mobil. Ayah sudah stand by di mobil.

Dah Anda ! pamit Ibu.

Dah Ibu, Ayah. Aku melambaikan tangan kepada meraka, dan dibalas dengan sebuah senyuman.

Rumah memang sudah rapi, jadi aku tak punya pekerjaan lainnya untuk mengalihkan kesepianku. Akhirnya keputusanku untuk kembali ke kamar. Ku ambil handuk dan masuk kamar mandi. Aku sengaja mandi dengan shower yang mengeluarkan air dingin atau biasa. Tujuanku agar badanku segar dan siap untuk kembali ke dunia nyata. Aku mencoba untuk menikmati mandiku. Tapi aku masih ingat Tirta. Aku memikirkan dirinya dengan Vira.

Ah, masa bodo ! Aku mencoba untuk menghibur diri.

Tirta adalah sahabat sejatiku, jadi nggak mungkin dia ninggalin aku.

Aku menyudahi ritual mandiku ketika aku merasa segar. Aku memakai baju yang aku bawa. Ku sisir rambutku yang setengah kering. Dan bergegas berdandan tipis layaknya wanita normal.

Aku merasa butuh sesuatu untuk mengisi perutku yang keroncongan karena dari tadi malam perutku belum ku isi. Aku berniat untuk pergi ke ruang makan untuk sarapan. Ketika aku berjalan menuju ruang makan aku mendengar telepon rumahku berdering.

Hallo. Sapaku ketika aku mengangkat teleponnya.

Hallo, selamat pagi.

Pagi. Maaf ini dengan siapa? Tanyaku sopan.

Ini dari Pak Hari. Maaf saya sedang berbicara dengan siapa? Dia balik bertanya.

Ini Anda.

Oh, Mba Anda, saya Pak Hari teman Pak Tarno , bisa berbicara denga Pak Tarno?

Maaf pak, ayah sama ibu sudah pergi.

Pergi kemana ya mba?

Apa bapak sudah janjain sama ayah?

Iya mbak.

Oh, kalau begitu ayah dan ibu sudah pergi ke tempat biasa.

Jam berapa kira-kira mereka pergi?

Aku melihat jam dinding. Menunjukkan pukul 08.00

Baru berangkat setengah jam yang lalu pak.

Oh ya sudah. Terimakasih Mba.

Sama-sama.

Aku menutup telepon dan bermaksud untuk menjalankan niat semuala, yaitu sarapan. Aku berdiri dari posisi dudukku. Dan kemudian berjalan menuju ruang makan.

Baru beberapa langkah aku meninggalkan telepon, telepon tersebut berdering lagi. Dengan enggan aku menghampirinya lagi.

Hallo.

Hallo Anda . Selamat Pagi. Terdengar suara yang tak asing lagi bagiku.

Met pagi juga.

Kok lesu sih beibs?

Enggak kok.

Syukur deh.

Ada apa Ta?

Aku ganggu kamu nggak kalo aku main ke rumahmu?

Nggak lah, Ta.

Ya udah deh Nda. See You.

Hmmmmmmmmmm

Aku menutup telepon dan masih duduk termenung. Bebreapa detik kemudian, terdengar suar ketukan pintu dari luar. Dengan setengah tergesa aku bejalan menuju pintu. Kemudian membukanya.

Aku menemukan sesosok yang tadi aku pikirkan.

Tirta. Aku memeluknya. Tangqnku melingkar di pinggangnya dan kepalaku menempel di danya.

Anda Sayang. Dia membalas pelukanku dan mencium rambutku yang sudah agak kering.

Kamu itu kebiasaan deh Ta. Suka bikin kejutan. Dia tersenyum di atas kepalaku. Kami masih ada dalam keadaan sebelumnya.

Nda, aku punya kabar gembira.

Apa? Aku antusias.

Nda, aku jadian sama Vira. Jawabnya riang.

Apa ??????????????? gumamku dalam hati dan jantungku tak karuan

Aku melepas pelukanku dan menarik diriku dari pelukannya. Aku membalikan badan dan hendak berjalan masuk.

Nda, kamu kenapa?

Aku nggak apa-apa, Ta. Aku masih berjalan masuk. Dia mengikutiku dari belakang. Tirta menarik tanganku.

Nda,,, Aku berhenti sejenak. Dan menoleh ke arahnya.

Apa Tirta? Kita masuk yuk. Aku mengusap pipinya.

Nda, kamu pucet banget! Kamu sakit yah?

Aku nggak apa-apa kok.

Nda, apa sakit kamu kambuh lagi? Jawab jujur Nda !

Nggak Tirta, aku cuma pengen sarapan aja.

Kamu beneran gak apa-apa?

Iya aku beneran.

Tirta memang sangat mengkhawatirkanku kalau wajahku terlihat pucat. Aku memang punya masalah dengan jantungku yang terkadang membuatku terlihat pucat dan lemas. Tirta mengikutiku yang berjalan munuju ruang makan.

Nda, kamu beneran nggak apa-apa? Dia berdiri di belakangku ketika aku membuka kulkas untuk mengambil kotak susu dan menuangkannya dalam gelas.

Iya, Ta. Aku nggak apa-apa. Kamu udah sarapan belum? Aku duduk di salah satu kursi makan. Tirta juga duduk di samping tempatku duduk. Aku mengambil menu sarapanku, yaitu nasi goreng.

Aku udah sarapan. Kamu aja makan yang banyak biar nggak pucat lagi !

Ehmmmm. Aku menggangguk.

Udah, sekarang cerita tentang jadiannya kamu sama Vira !

Nda, kamu sebenernya seneng nggak sih, kalo aku jadian sama Vira?

Aku seneng kalo ngliat kamu seneng juga Ta. Aku mengerlingkan mata ke arahnya sambil menahan sedikit rasa nyeri di dadaku sebelah kiri.

Makasih Anda. Dia menyentuh pundakku.

Nyante aja lagi. Aku mencoba menghibur.

Nda, tadi malem pas aku pulang dari sini, aku ke apotik.

Eitz,,, kamu ke apotik nagapian Ta? Aku cemas.

Aku beli obat batuk.

Oke lanjutin. Aku mendengarkan ceritanya sembari meneruskan sarapanku dengan pelan karena takut Tirta tahu kalau aku sedang menahan rasa sakit.

Lah pas aku di apotik. Aku ketemu dia. Terus dia keluar dari apotik. Aku ngikutin dia. Eh nggak taunya dia lagi nunggu taksi, akhirnya aku punya inisiatif buat nawarin nganterin dia pulang. Kagetnya, dia mau Nda. Aku hanya mengangguk-angguk. Rasa nyeri itu kian mereda. Dia melanjutkan ceritanya.

Awalnya aku canggung untuk memulai pembicaraan tapi akhirnya aku memberanikan diriku buat memulainya. Saat kita nyampai di depan rumahnya, dan pada saat itulah dia pamit mau turun, aku raih tangannya dan aku ngungkapin perasaanku. Rasanya nggak percaya, dia nerima aku Nda.

Aku tersenyum semanis mungkin. Aku tidak mau dia kecewa dengan keegoisanku. Aku hanya mengedipkan mata dengan genit, bahkan aku yakin kalau aku berbicara pasti suaraku parau tak berbentu.

Gimana Nda pendapatmu? Dia memegang bahuku. Aku mencoba mengumpulkan tenagaku untuk memulai berbicara dengan menegak sisa susu dalam gelas karena aku sudah tidak meneruskan acara sarapanku.

Hmmmmmm,,,,,,kalo itu emang bikin kamu bahagia, aku juga ikut bahagia kok. Tenang aja Ta, aku akan selalu mendukungmu ! SEMANGAT !!!!! Aku mencoba terlihat seceria mungkin.

Makasih Nda. Kamu emang yang terbaik dalam hidupku. Dia tersenyum bangga kepadaku. Aku berdiri untuk meletakkan piring di westaffle. Dia mengikutiku. Selanjutnya, aku berjalan meuju ruang televisi. Tirta yang setia masih mengikutiku. Sampai-sampai aku duduk di depan Televisi, dia juga duduk di sebelahku.

Apa acara kita hari ini Nda?

Aku sih terserah kamu aja.

Nggak ah, hari ini aku untukmu.

Jangan kaya gitu.

Emang iya. Memangnya kenapa?

Kamu tadi bilang hari ini kamu untukku. Berarti besok-besok udah nggak dong.?

Nggak gitu Sayang. Dia menyenderkan kepalaku di bahunya.

Cukup lama kami berbincang-bincang, bertukar pikiran, berbagi cerita tentang kehidupan kami saat kami tidak sedang bersama, Tirta dengan kota yang penuh nostalgia ini, dan aku, dengan kotaku sendiri. Kami sangat menikmati perbincangan yang dipenuhi canda dan suka itu. Tiba-tiba handphone Tirta yang ada di meja bergetar. Tanda ada telepon masuk, namun Tirta masih diam saja.

Ta, angkat dong.

Hmmm???

Ayolah.!!!!!

Kemudian Tirta mengangkat telepon itu. Dia berdiri dan berjalan agak menjauh dariku.

Beberapa saat dia berbicara dalam telepon dengan suara pelan dan kembali duduk di sampingku.

Siapa Ta?

Ehm.

Ta???

Vira.

Ada apa?

Dia cuma pengin aku ke rumahnya.

Terus kenapa kamu masih ada disini?

Emangnya kenapa?

Ya ampun Ta, cepet dong, kamu ke tempatnya Vira. Siapa tahu dia lagi butuh kamu !

Tapi Nda. Hari in kamu mau kemana?

Ah, nggak usah mikirin aku Ta. Aku cukup mengenal kota ini, dan aku bisa pergi kemana saja sesukaku !

Tapi Nda

Udah lha Ta, cepet, sekarang kamu samperin Vira. Jangan sampai dia nunggu kamu kelamaan. Nunggu itu nggak seru tau !

Ya udah ya Nda. Oh, apa kamu mau aku anterin ke tujuan kamu?

Nggak usah, aku bisa pergi sendiri.

OK, kalo gitu. Aku pergi dulu ya Nda !

Siiieeeepppp. Aku melemparkan senyuman kearahnya, kemudian ia mengecup keningku.

Aku mengantarnya sampai ke depan rumah. Dia masuk ke dalam mobil, menutup pintu, menyalakan mesin kemudian melambaikan tangan kearahku sambil melontarkan senyum manisnya.

Aku masih berdiri terpaku di depa rumah menatap mobil Tirta sampai tak terlihat lagi di kejauhan. Aku masuk ke dalam rumah setelah menutup pintu. Aku melihat jam dinding terlihat pukul 10.15 WIB. Aku duduk di depan televisi yang masih menyala. Lama-lama aku jenuh di depan televisi sendirian akhirnya aku punya ide untuk pergi dari rumah. Aku ingin ke pantai. Tekadku sedah bulat. Kemudian aku masuk ke kamar untuk berganti pakaian, mengambil tas dan mengisinya dengan dompetku. Setelah itu aku keluar dari kamar, mematikan televisi, mengunci pintu dan berjalan menuju halte. Perjalananku terasa sunyi karena aku hanya sendiri. Tak berapa lama aku telah sampai di halte. Aku menjumpai banyak orang juga sedang menunggu taksi dan metromini, sama sepertiku.

Setelah sekitar 15 menit aku menunggu, akhirya ada taksi juga yang berhenti di depanku. Tanpa berlama-lama lagi, aku masuk kedalamnya.

Mau kemana mba?

Hmmmmmmke pantai, Pak. Aku gelagapan menjawabnya karena tadinya aku melamun. Dan sekarang, aku melanjutkan acara melamunkn lagi

( ( ( ( (

Kini aku telah sampai di pintu masuk pantai. Aku membayar taksi tersebut klemudia masuk pantai. Aku berjalan di pinggir trotoar dengan tenang. Saat ini tak ada yang ingin aku pikirkan, dan memang tak ada yang aku pikirkan.

Aku sampai di sebuah tempat duduk di pinggir pantai. Banyak pengunung pantai hari itu. Aku sedikit tidak terbiasa duduk disana sendirian, biasanya ada Tirta di sampingku. Tapi tak apalah, Tirta sedang memperjuangkan cintanya.

Selamat siang mba, ada yang bisa saya bantu? Suara seseorang membuyarkan lamunanku, ya dia adalah suara seorang pelayan disitu.

Hmmmmmmm, ya mba, aku pesan minum satu.

Mau minum apa mba?

Apa aja deh yang penting dingin.

OK, tunggu sebentar ya mba, pesanan akan segera datang.

Makasih.

Aku kini berada di bawah pohon yang cukup rindang, duduk di kursi untuk berlindung dari teriknya matahari. Aku sedikit merasa kesepian sekarang, tapi aku juga senang karena jarang ada waktu untuk merenung seperti ini. Pesanan minumku sudah datang, aku menyerahkan selembar uang 10ribuan untuk membayar.

Ini mba, kembaliannya.

Udah nggak usah mba.

Terima kasih.

Aku menyesap minumanku setelah pelayan itu pergi. Aku masih diam dalam keramaian. Banyak orang yang lalu lalang di depanku, tapi aku tak memperdulikannya. Aku mencoba untuk melepas kepenatanku namun tetap berusaha agar pikiranku tidak kosong.

Hari mulai gelap. Aku menyaksikan sunset yang sempurna dalam kesendirian. Ku tatap jam di tanganku. Terlihat pukul 17.55 WIB. Aku berdiri dari posisi dudukku semula kemudian mulai berjalan menjauh dari tepi pantai. Banyak kendaraan beroda dua saat sore-sore seperti ini, dan mayoritasnya adalah remaja. Remaja yang usai menghabiskan waktunya di pantai untuk memadu kasih. Di pinggir jalan ramai dengan pedagang-pedagang makanan kaki lima di sepanjang jalan. Aku cukup terhibur dengan pemandangan seperti itu, hingga aku tak sadar aku telah berjalan cukup jauh 700 m. Dan aku menemukan sebuah halte. Senang rasanya. Disana ada beberapa orang yang sedang menunggu taksi juga sepertiku. Kini waktu menunjukkan pukul 19.00 WIB. Yang sedang menunggu taksi kini tinggal dua orang. Aku dan seorang ibu-ibu.

Aku merasa sedikit kedinginan, tapi aku hanya memakai kaos lengan pendek dan celana panjang. Aku tak membawa jaket. Rasanya semakin malam, udara semakin menusuk tulang pula. Aku berniat untuk menghubungi ayah. Aku mencari-cari handphone di dalam tasku dan aku baru teringat bahwa aku tak membawa handphone. SIAL !!!!!!!! di saat terdesak seperti ini, kepikunanku muncul juga.

Lama aku menunggu dengan rasa bosan yang menyelimutiku. Tak banyak orang yang hilir mudik di depanku, bahkan bisa dibilang sepi. Karena keramaian orang-orang ada di tempat penjual makanan kaki lima.

Tampak di kejauhan ada sebuah taksi. Lega rasanya ingin cepat pulang. Taksi yang aku tunggu-tunggu kini berhenti di depan aku dan ibu-ibu yang juga menunggu taksi. Aku melirik ke arah Si Ibu tadi. Aku memang ingin pulang, tapi aku juga tidak tega melihat Si Ibu in sendirian. Akhirnya mempersilahkan Si Ibu untuk masuk taksi dengan gerakan tangan.

Terima kasih, Mba. Ia tersenyum kearahku. Aku membalas senyumanya.

Si Ibu beserta taksi yang aku tunggu kini telah berlalu. Aku kembali melihat jam tangan sabari menghela nafas panjang.

Aku merasa ada seseorang yang sengaja menyorotiku dengan lampu motornya. Kontan aku kaget dibuatnya dan aku membalikkan badan.

Ada sesosok orang yang gagah dengan motor CS-One merahnya, yang kemudian berhenti di hadapanku. Aku masih terpana melihatnya.

Anda ??? Dia menyapaku sambil membuka kaca helmnya.

Iiii,,,,iya,,, Aku belum terlalu jelas mengenalinya.

Kok sendirian Nda? Dia membuka helm. Baru aku yakin bahwa dia orang yang sam seperti dulu saat dia mengendarai motor dan memakai helm yang sama pula.

Hmmm, iya, Shaka darimana?

Aku habis ketemu sama temen.

Ohhh Aku mengangguk dan menunduk.

Lagi nunggu taksi? Atau nunggu jemputan?

Aku lagi nunggu taksi.

Oh, gimana kalo aku anter jah?

Deg.deg.deg..

Jantungku rasanya melonjak tak karuan. Aku tak dapat memastikan warna mukaku entah merah padam atau bahkan pucat bagai tak dialiri darah.

Tap.Tapi

Udahlah Anda, nggak baik lho cewe sendirian di pinggir jalan malem-malem.

Aku hanya mengangguk samar.

Nah gitu dong. Dia melepas jaket yang dipakainya.

Nih dipaki dulu.

Hmmmmmm??????? Aku melihat mukanya lekat-lekat.

Dia memberikan jaketnya kepadaku. Aku menerimanya dan memakainya. Terasa aroma yang begitu maskulin tecium dari balik jaketnya. Selanjutnya aku duudk di jok penumpang, namun aku masih menjaga jarak. Aku takut dibilang cewe nggak bener.

Suasana masih hening ditengah hiruk pikuknya kota. Perjalanan yang begitu mendebarkan sedang kami lalui. Entah apa yang ada dalam pikirannya sekarang, atau cewe bodoh yang tersesat yang tidak tahu jalan pulang. Banyak argumentasi di otakku yang tengah beradu satu sama lain. Ku coba untuk menepisnya. Tapi aku tak bisa karena hal itu terlalu banyak.

Kami sampai di depan rumahku. Aku turun dengan hati-hati. Tangan-tanganku mencoba membuka jaketnya. Aku berdiri di sampingnya dan menyerahkan jaketnya.

Shaka, makasih yah.

Iya, sama-sama. Aku pulang dulu ya,

Ehmmmm,,,,

Bye Anda.

Aku tak menjawab, aku hanya melambaikan tangan ke arahnya. Dia melesat dengan motornya dari hadapanku. Aku tak tahu apa yang saat ini aku rasakan. Aku berjalan mendekati pintu. Lampu rumah dan teras sudah menyala dan mobil ayah bertengger di depan, semakin menguatkan keyakinanku bahwa orang tuaku telah berada di rumah. Aku membuka pintu dengan pelan. Aku melihat mereka sedang duduk di ruang keluarga.

Hallo ayah , ibu.

Baru pulang Nda? Tanya ayah

Iya,

Dari mana sih Nda? Sama Tirta? Ibu nimbrung.

Anda habis ke suatu tempat. Anda nggak sama Tirta.

Terus sama siapa? Lah tadi siapa yang nganterin?

Sendirian. Tadi dianter temen. Ibu, Ayah,, Anda mandi dulu yah.

Udah makan belum Nda? Tanya ayah lagi. Aku hanya menggeleng.

Kalo gitu cepet mandinya terus makan. Imbuh ibu. Aku tak menjawab. Aku hanya beranjak menuju kamar dan meninggalkan mereka.

Ku buka pintu kamarku dengan pelan. Aku menutup pintu dan berjalan mendekati handphoneku yang tergeletak di atas ranjang dan menyalakan lampu sebelumnya. Aku tersedak ketika melihat dua puluh sembilan panggilan tak terjawab dan ternyata itu dari Tirta, serta ada satu pesan. Aku cepat-cepat membukanya.

Aku bisa menangkap kekhawatiran yang tersirat dari SMS itu. Aku memang berniat untuk membalas SMS tersebut, tapi aku mengurungkan niatku dan aku hendak mandi dulu untuk merilekskan badan.

Ku ambil handuk dan masuk kamar mandi. Aku mandi bertujuan untuk melemaskan otot-ototku yang kaku setelah seharian ini aku menghabiskan waktu di pinggir pantai tanpa seseorang temanpun. Setelah aku mandi. Ku keringkan rambutku dengan handuk dan mengenakan piamaku. Hari ini memang hariku yang penuh hal baru dimulai dari pagi sampai saat ini.

Setelah selesai berpakaian, aku duduk di tepi ranjang dan meraih ponselku bergetar. Ada panggilan masuk dan ternyata itu dari Tirta.

Hallo Ta,,,

Hallo Nda??!!!

Ada apa Ta?

Nda, kamu dari mana aja sih? Apa kamu marah sama aku? Atau ,,,,

Ssssssstttttt..Ta, aku nggak apa-apa, aku nggk marah sama kamu, kan kamu nggak salah !

Nda, tapi kenapa kamu nggak angkat telepon aku? Terus kamu pulang jam berapa?

Ponselku ketinggalan. Aku baru pulang lansung mandi.

Ya ampun Nda, kamu baru pulang?

Iya, udahlah Ta, tenang,tenang.

Nda, kamu pulang jam segini sendirian? Udah Nda, aku ketempat kamu sekarang ya ! Kamu udah makan beluim?

Ih, nggak apa-apa. Aku udah makan kok Ta, terus aku dah ngantuk, kamu kesininya bsok aja ya.

Tapi Nda.!!!

Ta, udah dulu ya, See You....

Aku langsung memutuskan telepon tanpa berkata-kata lagi. Aku tak tahu apakah aku ini marah atau tidak. Jika aku marah, aku tak punya alasan untuk itu, dan jika aku tidak marah, mengapa sikapku begitu. Apakah aku hanya cemburu, iri atau apalah aku tak tahu jelasnya.

Aku mematikan lampu kamar dan berjalan menuju ranjang kemudian merebahkan badanku di sana. Ku coba pejamkan mata dan melupakan kepenatanku.( ( ( ( (

Ku buka mata dan ku coba menggerakan badanku. Tenyata aku baru terjaga setelah tertidur malam tadi. Aku duduk di tepi ranjang dan mencoba mengumpulkan sisa-sisa tenagaku. Setelah aku merasa cukup kuat untuk berjalan, ku putuskan untuk keluar dari kamar. Sebelumnya aku melihat jam di mejaku ternyata sekarang sudah pukul 07.00 WIB. Aku keluar dari kamar sambil merapikan rambutku. Ku jumpai ayah sedang menonton televisi dan sudah berpakaian rapi nan lengkap sedangkan ibuku sedang bersiap-siap untuk pergi.

Udah bangun Nda? Tanya ayah.

Ehm,,,,, Aku mengangguk.

Ibu keluar dari kamar dalam keadaan sudah rapi.

Anda, ini sarapannya di meja makan. Ibu menunjukkan menu sarapanku. Jangan lupa makan Anda !

Iya Bu. Aku berdiri terpaku di belakang beliau.

Jangan cuma iya-iya. Tadi malem aja kamu nggak makan. Pasti siangnya juga nggak kalo kamu nggak pergi sama Tirta. Itulah ibuku yang selalu cerewet demi kebaikanku. Aku tak berkata-kata lagi, hanya melihatnya. Aku terus mengikuti ibu, sampai di depan rumah. Ibu dan ayah sudah siap untuk pergi. Mereka masuk ke dalam mobil. Aku terpaku di tempat. Mereka melambaikan tangan ke arahku dan kemudian menghilang dari pandangan.

Aku masuk ke dalam rumah dan menutup pintu. Aku masuk ke dalam kamar dan membiaskan televisi masih tetap menyala. Ku ambil handuk dan melanjutkan acaraku selanjutnya yaitu mandi. Aku mandi dengan santai mencoba memberi semangat baru untuk jiwaku. Mencoba mencari inspirasi untuk menghilangkan kejenuhanku.

Kini aku sudah selesai mandi. Aku keluar dari kamar mandi dan berjalan menuju kursi di depan meja belajar, tempat dimana ponselku berada. Aku masih dililiti handuk. Sekarang aku tengah menggenggam ponselku. Ternyata tak ada kabar dari Tirta. Akhirnya aku berinisiatif untuk pergi kerumahnya nanti setelah siap sepenuhnya. Ku taruh ponselku di tempat semula kemudian menghampiri lemari pakaianku. Selain pakaian yang sengaja aku bawa dari rumah, di sini memang aku juga punya pakaian yang biasa aku pakai saat aku masih di sini. Aku memadukan anata blouse abu-abu dengan celana panjang dan sandal yang ada disini. Aku berniat memakai tas yang biasa aku bawa kemana saja. Setelah mengenakan apa yang ingin aku kenakan, aku keluar dari kamar dengan jiwa baru untuk menghadapi hari yang baru pula. Aku berjalan menghampiri meja makan bermaksud untuk sarapan. Namun setelah aku lihat jam dinding yang menunjukkan angka 08.30, aku mengurungkan niatku untuk sarapan. Aku hanya menuangkan segelas susu dari kotak susu dan meminum setengah gelas. Aku terus berjalan, aku mematikan televisi yang masih menyala saat ku melewatinya. Ku raih gagang pintu, kemudian keluar untuk menguncinya. Sebelum aku melanjutkan langkahku, aku mengontrol isi tasku memastikan bahwa dompet dan ponsel tak tertinggal. Aku terus melangkah mantap dengan tekad yang bulat. Hari ini aku berniat untuk pergi ke rumah Tirta. Aku ingin sampai disana lebih awal takut di pergi.

Sesampainya di halte aku menunggu taksi seperti biasa. Aku belum menunggu lama sudah ada taksi. Baru sekitar 10 menit aku keluar dari rumah, kini aku sudah mendapatkan taksi. Sepertinya sudah jalanku untuk ke rumah Tirta karena Tuhan memudahkan jalanku untuk bertemu dengan Tirta. Rasanya ingin cepat-cepat di sana, memeluknya, kemudian menggandeng tanganya dan pergi bersama.

Mau kemana neng?

Bisma, Pak. Oh