Post on 18-Jan-2023
PERBEDAAN TINGKAT KECERDASAN SPIRITUAL MAHASISWA LULUSAN PONDOK
PESANTREN DENGAN MAHASISWA LULUSAN NON-PONDOK PESANTREN FAKULTAS
ILMU AGAMA ISLAM PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
Penelitian ini dibuat guna memenuhi tugas akhir pada mata kuliahMetodologi Penelitian
Yang diampu oleh : Dr. Drs. Muhammad Idrus, S.Psi., M.Pd.
Disusun Oleh :
MIFTAHUL ULUM
(10422044)
FAKULTAS ILMU AGAMA ISLAM
PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
2013
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia pada dasarnya adalah memiliki berbagai potensi
kecerdasan. Potensi kecerdasan tersebut, yang dikenal abad
ke XX ini adalah kecerdasan intelektual, kecerdasan
emosional, dan kecerdasan spiritual. Manusia yang taat
beragama biasanya memiliki kecerdasan spiritual yang tinggi,
sehingga aktifitas biasanya didasarkan pada spirit beragama
atau atas dasar nilai-nilai teologi yang diyakininya.
Para ahli memberi tanggapan pada kecerdasan spiritual
di antaranya; menurut Zuhri, Muhammad (dalam Agus
Nggermanto, 2001:116-117), mendefinisikan “kecerdasan
spiritual adalah kecerdasan manusia yang digunakan untuk
berhubungan dengan Tuhan. Potensi SQ setiap orang sangat
besar dan tidak dibatasi oleh faktor keturunan, lingkungan
atau materi lainnya.
Sedangkan dalam ESQ, kecerdasan spiritual adalah
kemampuan untuk memberi makna ibadah terhadap setiap
perilaku dan kegiatan, melalui langkah-langkah dan pemikiran
yang bersifat fitrah, menuju manusia yang seutuhnya (hanif),
dan memiliki pola pemikiran tauhid (integralistik), serta
berprinsip “hanya karena Allah”. (Agustian, Ginanjar Ari.
2003:57). Kecerdasan spiritual memungkinkan seseorang untuk
menyatukan hal-hal yang bersifat intrapersonal, serta
menjembatani kesenjangan antara diri sendiri dan orang lain.
Daniel Golemon telah menulis tentang emosi-emosi
interpersonal yaitu sama-sama dimiliki manusia yang
digunakan untuk berhubungan dengan orang lain. Namun
kecerdasan emosional semata-mata tidak membantu menjembatani
kesenjangan itu. Kecerdasan spiritual adalah yang membuat
manusia mempunyai pemahaman siapa dirinya dan apa makna
sesungguhnya baginya, sebagimana semua itu memberikan suatu
temat di dalam diri manusia. (Agustian, Ginanjar Ari.
2003:142)
Dengan demikian, kecerdasan spiritual adalah
kecerdasan yang menyangkut fungsi jiwa sebagai perangkat
internal diri yang memiliki kemampuan dan kepekaan dalam
melihat makna yang ada dibalik kenyataan apa adanya. Orang
yang memiliki spiritual intelegen tinggi mampu memaknai
penderitaan hidup dengan memberikan makna positif pada
setiap peristiwa, bahkan masalah yang dialaminya. Dengan
memberi makna yang positif itu, ia mampu membangkitkan
jiwanya, melakukan perbuatan dan tindakan yang positif.
Dalam hal ini pendidikan agama tentu sangat mendukung
dalam pembentukkan nilai kecerdasan spiritual. Fakultas Ilmu
Agama Islam (FIAI) UII merupakan fakultas yang tidak hanya
membentuk kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional,
tetapi juga membentuk kecerdasan spiritual. Terlihat dari
LULUSAN PONPESEX: SQ = 50 %
LULUSAN NON-PONPESEX: SQ = 30 %
PAI-FIAI UII
KECERDASANSPIRITUAL(SQ = 30 %)
MHS LULUSAN PONPESEX: SQ = 80 %
MHS LULUSAN NON-PONPESEX: SQ = 60 %
aktifitas dan kegiatan yang terdapat di FIAI terutama
jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI). Pada kurikulum Prodi
PAI, 50 % merupakan mata kuliah kependidikan agama Islam
(materi pokok), 30 % adalah mata kuliah psikologi
kependidikan dan manajemen kependidikan, dan 10 % adalah
mata kuliah metodologi penelitan sosial. Prodi PAI sangat
mendukung sekali untuk meningkatkan kecerdasan
spiritualitasnya karena 50% merupakan materi keagamaan
ditambah 40 % psikologi yang mana dapat menambah kesadaran
mahasiswa PAI (self awareness).
Mahasiswa prodi PAI tidak hanya lulusan pondok
pesantren (ponpes) akan tetapi ada juga lulusan non pondok
pesantren (non-ponpes). Mahasiswa lulusan ponpes tentu lebih
banyak mengenyam materi pelajaran agama Islam dan sedangkan
mahasiswa lululsan non-ponpes tidak banyak mempelajari
materi agama Islam. Jadi, ketika dua macam mahasiswa
tersebut masuk pada prodi PAI, tentu ada perbedaan pada
tingkat kecerdasan spiritualitasnya. Logikanya, mahasiswa
PAI lulusan ponpes akan bertambah wawasan keIslamannya dan
dapat dipastikan kecerdasan spiritualitasnya bertambah naik.
Sedangkan mahasiswa PAI lulusan non-ponpes juga bertambah
akan tetapi sebelumnya hanya sedikit pengetahuan tentang
materi keIslamannya. Hal ini dapat peneliti ilustrasikan
pada gambar di bawah:
Rumusan idealnya bahwa mahasiswa lulusan ponpes akan
bertambah SQ-nya menjadi 80%, mahasiswa lulusan non-ponpes
juga bertambah menjadi 60 %, seperti gambar di atas. Tetapi,
apakah benar dalam kenyataannya seperti itu, bahwa SQ
mahasiswa lulusan ponpes (SQ mhs ponpes) lebih besar dari
pada mahasiswa lulusan non-ponpes (SQ mhs non-ponpes).
Dengan gambaran peneliti bahwa SQ mhs ponpes > SQ mhs non-
ponpes, peneliti ingin membuktikan senyatanya apakah memang
benar terjadi demikian saja atau justru terjadi sebaliknya
atau sama-sama saja.
B. Rumusan Masalah
Apakah ada perbedaan tingkat kecerdasan spiritual antara
mahasiswa lulusan pondok pesantren dengan non-pondok
pesantren Prodi Pendidikan Agama Islam FIAI UII?
C. Tujuan Penelitian
Mengetahui ada tidaknya perbedaan tingkat kecerdasan
spiritual antara mahasiswa lulusan pondok pesantren dengan
mahasiswa lulusan non-pondok pesantren.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini adalah:
1. Manfaat Teoritis
a. Penelitian ini diharapkan dapat menambah kajian dalam
psikologi perkembangan khususnya dalam tingkat
kecerdasan spiritual para remaja.
b. Penelitian ini diharapkan menambah pemahaman tentang
faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan spiritual.
c. Penelitian ini diharapkan sebagai bahan masukan bagi
peneliti selanjutnya terhapad objek sejenis atau aspek
yang belum tercakup dalam penelitian ini.
2. Manfaat Praktis
a. Penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi bagi
para pendidik, orang tua, dan masyarakat untuk
dijadikan bahan masukan dan evaluasi dalam mendidik
peserta didik untuk mencapai meningkatkan kecerdasan
spiritual.
b. Penelitian ini diharapkan menjadi bahan masukan bagi
pondok pesantren dalam pendidikan spiritual santri
untuk memantapkan kecerdasan spiritual.
E. Penelitian Terdahulu
Sepanjang pengetahuan peneliti, terdapat beberapa
penelitian yang berkaitan dengan tema yang diangkat oleh
peneliti, antara lain tentang Studi Komparasi Penelitian
Mila Nurqomariyah (PAI FIAI UII, 2003) tentang Studi
Komparasi Hasil Belajar Pendidikan Agama Islam antara Siswa
Pesantren dan Non Pesantren di MAN Pakem, Harjobinangun,
Sleman, Yogyakarta. Penelitian ini menyangkut pada tingkat
keberhasilan siswa, yang menitikberatkan pada nilai
Pendidikan Agama Islam, untuk mengetahui ada atau tidak
perbedaan tingkat keberhasilan siswa pesantren dan non
pesantren yang melaksanakan studinya di MAN Pakem. Pada
akhirnya dari berbagai analisis yang didasarkan pada
penelitian di atas, maka penulis menyimpulkan bahwa terdapat
perbedaan secara signifikan tingkat keberhasilan belajar
Pendidikan Agama Islam antara siswa pesantren dan siswa non
pesantren, hal ini dalam taraf 5%. Adanya perbedaan secara
signifikan tingkat keberhasilan belajar Pendidikan Agama
Islam antara siswa pesantren dan siswa non pesantren,
dikarenakan latar belakang lingkungan yang mendidik anak
didikpun berbeda pula.
Menurut pengamatan peneliti, belum ada peneliti lain
yang meneliti secara spesifik tentang studi komparasi
tingkat kecerdasan spiritual antara mahasiswa lulusan pondok
pesantren dengan mahasiswa lulusan non-pondok pesantren di
Prodi Pendidikan Agama Islam, Fakultas Ilmu Agama Islam,
Universitas Islam Indonesia.
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Kecerdasan Spiritual
a. Pengertian Kecerdasan Spiritual
Dilihat dari segi bahasa, kecerdasan spiritual
terdiri dari dua kata yaitu: “kecerdasan” dan
“spiritual”. Kecerdasan diartikan sebagai kemampuan
memecahkan masalah yang dihadapinya, terutama masalah
yang menuntut kemampuan pikiran, berbagai batasan yang
dikemukakam oleh pakar disebabkan pada teorinya masing-
masing. Sedangkan arti kata spiritual adalah ajaran yang
mengatakan bahwa segala kenyataan (realitas) itu pada
hakikatnya bersifat rohani, (Munadir, 2001:123).
Sementara Zuhri, Muhammad (dalam Agus Nggermanto,
2001:116-117), mendefinisikan “kecerdasan spiritual
adalah kecerdasan manusia yang digunakan untuk
berhubungan dengan Tuhan. Potensi SQ setiap orang sangat
besar dan tidak dibatasi oleh faktor keturunan,
lingkungan atau materi lainnya.
Menurut Khavari, Khalil (dalam Reni Akbar,
2006:204), mengatakan “kecerdasan spiritual adalah
fakultas dari dimensi non-material kita, roh manusia.
Inilah intan yang belum terasah yang kita semua
memilikinya. Kita hasur mengenalinya seperti apa adanya,
menggosoknya sehingga berkilap dengan tekad yang besar
ddan menggunakannya untuk memperoleh kebahagiaan abadi.
Seperti dua bentuk kebahagiaan lainnya, kecerdasan
spiritual dapat ditingkatkan dan dapat juga diturunkan.
Akan tetapi, kemampuannya untuk ditingkatkan tampaknya
tidak terbatas”. SQ adalah landasan yang diperlukan untuk
memfungiskan IQ dan EQ secara efektif.
Sedangkan dalam ESQ, kecerdasan spiritual adalah
kemampuan untuk memberi makna ibadah terhadap setiap
perilaku dan kegiatan, melalui langkah-langkah dan
pemikiran yang bersifat fitrah, menuju manusia yang
seutuhnya (hanif), dan memiliki pola pemikiran tauhid
(integralistik), serta berprinsip “hanya karena Allah”.
(Agustian, Ginanjar Ari. 2003:57). Kecerdasan spiritual
memungkinkan seseorang untuk menyatukan hal-hal yang
bersifat intrapersonal, serta menjembatani kesenjangan
antara diri sendiri dan orang lain. Daniel Golemon telah
menulis tentang emosi-emosi interpersonal yaitu sama-sama
dimiliki manusia yang digunakan untuk berhubungan dengan
orang lain. Namun kecerdasan emosional semata-mata tidak
membantu menjembatani kesenjangan itu. Kecerdasan
spiritual adalah yang membuat manusia mempunyai pemahaman
siapa dirinya dan apa makna sesungguhnya baginya,
sebagimana semua itu memberikan suatu temat di dalam diri
manusia. (Agustian, Ginanjar Ari. 2003:142)
Dengan demikian, kecerdasan spiritual adalah
kecerdasan yang menyangkut fungsi jiwa sebagai perangkat
internal diri yang memiliki kemampuan dan kepekaan dalam
melihat maknaa yang ada dibalik kenyataan apa adanya.
Orang yang memiliki spiritual intelegen tinggi mampu
memaknai penderitaan hidup dengan memberikan makna
positif pada setiap peristiwa, bahkan masalah yang
dialaminya. Dengan memberi makna yang positif itu, ia
mampu membangkitkan jiwanya, melakukan perbuatan dan
tindakan yang positif.
Dari pemaparan para pakar terkait definisi dari
kecerdasan spiritual, peneliti menyimpulkan bahwa
kecerdasan spiritual adalah kemampuan manusia yang
berpusat pada hatinya, sehingga dapat memikirkan masa
depan yang lebih jauh (akhirat), dapat mengetahui siapa
dirinya, untuk apa dirinya diciptakan dan kepada siapakah
dia akan kembali sehingga dapat memandang kehidupannya
secara holistik.
b. Indikator-indikator Kecerdasan Spiritual
Kecerdasan spiritual diindikasikan oleh Tasmaran, Toto
(2001:1-38) dalam delapan indokator: (a) merasakan
kehadiran Allah SWT; (b) berdzikir dan berdoa; (c)
memiliki kualitas sabar; (d) cenderung pada kebaikan; (e)
memiliki empati yang kuat; (f) berjiwa besar memiliki
visi; (g) bagaimana melayani.
Menurut Zohar dan Marshall (2000), tanda-tanda dari
kecerdasan spiritual yang telah berkembang dengan baik
adalah sebagai berikut:
1) Kemampuan bersikap fleksibel. Misalnya, anak memiliki
pertimbangan yang dapat dipertanggungjawabkan di saat
mengalami situasi dilematis, tidak ada perajaran, ia
pergi ke perpustakaan.
2) Tingkat kesadaran yang tinggi. Misalnya, tanpa diminta,
seorang anak akan membantu temannya yang sedang
kesulitan mengerjakan tugas matematika.
3) Kemampuan untuk menghadapi dan memanfaatkan penderitaan. Hal
ini dapat dilihat ketika anak mampu memahami bahwa
belajar dengan tekun dan harus banyak mencari dan
membaca buku adalah perisapan bagi dirinya untuk
mengabdikan diri bagi sesama di kemudian hari.
4) Kemampuan untuk menghadapi dan melampaui rasa sakit. Ketika
seorang anak menderita sakit dan menyadari keterbatasan
dirinya, ia lebih dekat dengan Tuhan dan yakin bahwa
Tuhanlah yang akan memberinya kesembuhan. Ia mampu
berpikir transendental bahwa suatu kebahagiaan tercipta
bila seseorang mampu dekat dengan Tuhan Yang Maha
Memberi.
5) Kualitas hidup yang diilhami oleh kualitas visi dan misi. Seorang
siswa yang rajin belajar dan membaca buku-buku biologi
yang tidak diperintahkan oleh gurunya karena ia
bercita-cita menjadi seorang dokter yang pintar dan
dapat melayani orang banyak.
6) Keengganan untuk menyebabkan kerugian yang tidak perlu. Seorang
anak yang berani memutuskan untuk tidak menonton kenser
kelompok musik pujaannya “Coboy Junior” karena esok ia
harus menghadapi ujian bahasa Inggris.
7) Kecenderungan untuk melihat keterkaitan antara berbagai hal
(berpandangan holistik). Seorang anak yang mampu mengaitkan
antara pelajaran yang diterimanya di sekolah dengan
kehidupan sehari-hari, misalnya dalam pelajaran agama
yang mana seseorang harus beribadah dan mencintai
sesamanya. Dalah kehidupan sehari-hari, anak
mengamalkan pesan ini tidak sebatas menaati pelajaran
dan perintah agama, tetapi ia juga mampu berpikir bahwa
dengan berbuat demikian, ia akan merasakan kebahagiaan
di dalam dirinya ataupun sesama.
8) Kecenderungan nyata untuk bertanya “mengapa?” atau “bagaimana
jika?” untuk mencari jawaban-jawaban yang mendasar. Misalnya,
pertanyaan: mengapa ada kejahatan, korupsi, bencana,
penderitaan? Bagaimana jika semua orang selalu berbuat
baik?
9) Memiliki otonomi. Misalnya, ia menolak ketika teman-teman
kelompoknya menawari untuk bersama-sama menonton film
porno setelah pulang sekolah.
Biasanya seseorang yang kecerdasan spiritualnya tinggi
juga cenderung menjadi pemimpin yang penuh pengabdian,
yang bertanggung jawab untuk membawakan visi dan nilai
yang lebih tinggi kepada orang lain, dan memberi petunjuk
penggunaannya. Atau dengan kata lain, ia mampu memberi
inspirasi kepada orang lain.
B. Pondok Pesantren dan Non-Pondok Pesantren
1. Pondok Pesantren
a. Pengertian Pondok Pesantren
Dalam kamus besar bahasa Indonesia (Pusat Bahasa
Pendidikan Nasional, 2008:1266), kata santri berarti
(1) orang yang mendalami agama Islam; (2) orang yang
beribadah sungguh-sungguh; (3) orang shaleh. Menurut
Manfred Ziemik (dalam lubis, Saiful Akhyar 2007:163),
secara etimologi pesantren berasal dari pe-santri-an,
berarti tempat santri. Santri atau murid mendapat
pelajaran dari pimpinan pesantren dan dari guru (ulama
dan ustadz).
Pelajaran dalam pondok pesantren mencakup beragai
pengetahuan Islam. Dewaswa ini pengertian populer dari
pondok pesantren adalah suatu lembaga pendidikan Islam
Indonesia yang bertujuan mendalami agama Islam, dan
mengamalkannya sebagai pedoman hidup keseharian, atau
disebut tafaqquh fi al-dini dengan menekankan tingkat
spiritual dalam beribadah.
Menurut Daulay, Haidar Putra (2001 :9) orientasi
pondok pesantren adalah memberikan pendidikann dan
pengajaran keagamaan. Pengajaran yang diberikan di
pesantren adalah mengenai pokok-pokok agama dalam
segala macam faknya. Terutama yang dipentingkan adalah
pengetahuan yang berhubungan dengan bahasa Arab, ilmu
pengetahuan yang berhubungan dengan syari’at, ilmu
hadits, al-Qur’an, ilmu kalam, tauhid dan sebagainya.
Dari beberapa pengertian pesantren yang diajukan
oleh para pakar, peneliti berkesimpulan bahwa pondok
pesantren adalah lembaga pendidikan swasta yang fokus
pada pendidika agama Islam yang dipimpin oleh kyai dan
menerapkan sistem asrama. Sebagian pondok pesantren ada
yang sepenuhnya fokus pada ilmu agama Islam dan masih
mempertahankan metode pengajaran tradisional, namun
tidak sedikit pondok pesantren yang fokus pada ilmu
agama Islam dan memadukannya dengan ilmu-ilmu umum.
b. Ciri-Ciri Pondok Pesantren
Menurut Lubis, Saiful Akhyar (2007:165), dengan
latar belakang berdirinya pondok pesantren, dari sini
dapat diketahui bahwa pondok pesantren memiliki cirri-
ciri secara umum, yaitu: (1) pondok pesantren
mengedepankan pendidikan dan pengajaran ilmu agama
Islam (tauhid, fiqh, akhlak dan lain-lain); (2) suasana
kehidupan belajar dan mengajar berlangsung siang dan
malam. Seorang santri mulai dari bangun subuh sampai
tidur malam, merupakan proses belajar ; (3) adanya
hubungan yang akrab antara santri dengan kyai, layaknya
orang tua dan anak; (4) penanaman akhlak merupakan hal
yang sangat penting, akhlak kepada teman, masyarakat,
terlebih kepada kyai; Asmani, Jamal Ma’mur (dalam
Hasyim, M. Affan. 2003:10) menambahkan dua ciri umum
pesantren, (5) santri dari berbagai daerah tinggal di
asrama yang telah disiapkan. Hal ini memudahkan proses
pendidikan yang diterapkan oleh pondok pesantren; (6)
disiplin sangat ditekankan dalam lingkungan pondok.
Segala kegiatan yang dilakukan oleh santri harus dengan
aturan dan harus tepat waktu.
c. Lulusan Pondok Pesantren
Telah banyak pengertian yang diberikan oleh para
ahli tentang istilah santri. Menuru Jamali (1999:130),
yang dimaksud dengan santri adalah orang yang sedang
dan pernah mengenyam pendidikan agama di pondok
pesantren, menggali ilmu-ilmu agamma dari kyai-ulama
selama berada di asrama pondok pesantren. Menurut
Zuhri, Saefudin (1999:209), tujuan dari pendirian
pondok pesantren adala untuk memberikan respon terhadap
situasi dan kondisi social suatu masyarakat yang tengah
dihapadkan pada sendi-sendi moral, melalui transformasi
nilai yang ditawarkan pesantren.
Dalam peringatan hari besar Islam (Peristiwa Isra’
dan Mi’raj) pada tanggal 18 Mei, 2013, Ustad Malik
Madani menyatakan bahwa umat Islam di Indonesia pada
umumnya berislam pada tarap mashalih al-ibadah (keutaman
ibadah). Aritnya, tidak dipungkiri bahwa pondok
pesantren adalah agen dari pada pembentukan insan-insan
yang taat beribadah, atau yang mana tingkat
spiritualnya lah yang diutamakan dari pada moral.
Dari pendapat beberapa pakar, dapat disimpulkan
bahwa, lulusan pondok pesantren adalah santri yang
telah menyelesaikan pendidikan di pesantren dan paham
dengan ilmu agama Islam. Selain itu juga, bahwa pondok
pesantren memiliki tujuan inti lulusan yang memiliki
kecerdasan spiritual yang tinggi sehingga membentuk
perilaku, sikap, akhlak yang baik.
2. Non-Pondok Pesantren
a. Pengertian Non-Pondok Pesantren
Peneliti mengelompokkan SMA, SMK, dan MAN ke dalam
non-pondok pesantren. Menurut Daulay, Haidar Putra
(2001:35), institusi pendidikan non-pesantren ini
menitik beratkan pada pendidikan formal, pelajaran-
pelajaran yang diajarkan lebih bersifat umum seperti,
biologi, fisika matematika, PKN, agama Islam dan lain-
lain. Seperti Madrasah Aliyah, pelajaran-pelajaran yang
diajarkan sebagian tentang ajaran Islam (akidah, akhla,
qur’an, hadits, SKI) dan sebagian lagi tentang ilmu-
ilmu umum.
Prosedur pendidikan non-pondok pesantren diatur
sedemikian rupa berdasarkan prosedur yang diatur oleh
pemerintah, baik Departemen Pendidikan Nasional maupun
Departemen Agama. Lubis (2007:167) menyatakan, proses
belajar mengajar yang berlangsung di lingkungan
institusi pendidikan non-pondok pesantren berlangsung
sekitar tujuh jam, mulai dari jam 07:00 sampai 14:00,
hal ini berbeda dengan proses belajar mengajar di
pondok pesantren yang berlangsung 24 jam, mulai dari
bangun subuh sampai tidur malam.
Paparan pengertian yang diajukan olah para pakar,
peneliti berkesimpulan bahwa non-pondok pesantren
adalah institusi pendidikan negeri atau swasta yang
focus menerapkan kurikulum Departemen Pendidikan
Nasional dan Departemen Agama.
b. Lulusan Non-Pondok Pesantren
Ali, Mohammad (1999) menyatakan bahwa, jenjang
pendidikan mengengah yang berciri umum (SMU),
lulusannya diharapkan memiliki pengetahuan dan
kemampuan yang terkait dengan dasar-dasar dan
penggunaan ilmu pengetahuan teknologi dan seni yang
dapat dimanfaatkan untuk kehidupan masyarakat, dan
berguan untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi.
pada yang berciri kejuruan (SMK), lulusannya diharapkan
memiliki kemampuan dan keterampilan yang memadai suatu
jenis pekerjaan tertentu. Adapun yang berciri keagamaan
(MA), diharapkan lulusannya memiliki kemampuan
sebagaimana yang dimiliki oleh kelulusan SMU dan
kemampuan yang terkait dengan keIslaman.
Lulusan non-pondok pesantren adalah mereka yang
telah selesai menempuh pendidikan di instansi
pendidikan negeri atau swasta yang focus pada penerapan
kurikulum DikNas dan DePag. Lulusan non-pondok
pesantren terdiri dari lulusan Sekolah Menengah Atas
(SMA), sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dan Madrasah
Aliyah (MA).
C. Keterkaitan Variabel Dependen dengan Variabel Independen
Menurut Zohar dan Marshall, orang yang pertama kali
mengeluarkan ide tentang konsep kecerdasan spiritual,
mendefinisikan kecerdasan spiritual (SQ) adalah kecerdasan
yang bertumpu pada bagian dalam diri kita yang berhubungan
dengan kearifan di luar ego atau jiwa sadar. Kecerdasan yang
digunakan tidak hanya untuk mengetahui nila-nilai yang ada,
melainkan juga untuk secara kreatif menemukan nilai-nilai
baru.
Sementara Zuhri, Muhammad (dalam Agus Nggermanto,
2001:116-117), mendefinisikan “kecerdasan spiritual adalah
kecerdasan manusia yang digunakan untuk berhubungan dengan
Tuhan. Potensi SQ setiap orang sangat besar dan tidak
dibatasi oleh faktor keturunan, lingkungan atau materi
lainnya.
Sedangkan dalam ESQ, kecerdasan spiritual adalah
kemampuan untuk memberi makna ibadah terhadap setiap
perilaku dan kegiatan, melalui langkah-langkah dan pemikiran
yang bersifat fitrah, menuju manusia yang seutuhnya (hanif),
dan memiliki pola pemikiran tauhid (integralistik), serta
berprinsip “hanya karena Allah”. (Agustian, Ginanjar Ari.
2003:57). Kecerdasan spiritual memungkinkan seseorang untuk
menyatukan hal-hal yang bersifat intrapersonal, serta
menjembatani kesenjangan antara diri sendiri dan orang lain.
Daniel Golemon telah menulis tentang emosi-emosi
interpersonal yaitu sama-sama dimiliki manusia yang
digunakan untuk berhubungan dengan orang lain. Namun
kecerdasan emosional semata-mata tidak membantu menjembatani
kesenjangan itu. Kecerdasan spiritual adalah yang membuat
manusia mempunyai pemahaman siapa dirinya dan apa makna
sesungguhnya baginya, sebagimana semua itu memberikan suatu
temat di dalam diri manusia. (Agustian, Ginanjar Ari.
2003:142)
Dengan demikian, kecerdasan spiritual adalah
kecerdasan yang menyangkut fungsi jiwa sebagai perangkat
internal diri yang memiliki kemampuan dan kepekaan dalam
melihat maknaa yang ada dibalik kenyataan apa adanya. Orang
yang memiliki spiritual intelegen tinggi mampu memaknai
penderitaan hidup dengan memberikan makna positif pada
setiap peristiwa, bahkan masalah yang dialaminya. Dengan
memberi makna yang positif itu, ia mampu membangkitkan
jiwanya, melakukan perbuatan dan tindakan yang positif.
Dari pemaparan para pakar terkait definisi dari
kecerdasan spiritual, peneliti menyimpulkan bahwa kecerdasan
spiritual adalah kemampuan manusia yang berpusat pada
hatinya, sehingga dapat memikirkan masa depan yang lebih
jauh (akhirat), dapat mengetahui siapa dirinya, untuk apa
dirinya diciptakan dan kepada siapakah dia akan kembali
sehingga dapat memandang kehidupannya secara holistik.
Sekolah merupakan salah satu faktor yang berperan
besar dalam perkembangan semua aspek, tidak terkecuali
keshalehan spiritual (meminjam istilah Malik Madani) untuk
mencapai tingkat spiritualitas. Di Indonesia, sekolah
menengah atas terdiri dari sekolah menengah atas (SMA),
sekolah menengah kejuruan (SMK), madrasah aliyah (MA), dan
Pondok Pesantren.
Menurut Djubaedi, Dedi (1999:185), lembaga pendidikan
pondok pesantren dan pendidikan sekolah diakomodasi dalam
pendidikan nasional karena fungsinya yang kreatif, paham
menjabarkan nilai-nilai luhur, baik dalam keshalehan
spiritual (pendidikan pesantren) maupun intelektual
(pendidikan formal). Djubaedi juga menyatakan bahwa tujuan
dari pendidikan nasional tidak hanya meningkatkan kecerdasan
dan keterampilan, tetapi juga meningkatkan ketaqwaan kepada
Tuhan Yang Maha Esa, mempertinggi budi pekerti, memperkuat
kepribadian, dan memperkuat semangat kebangsaan dan cinta
tanah air.
Dari pernyataan Djubaedi mengenai salah satu tujuan
pendidikan nasional – baik itu pondok pesantren dan
pendidikan sekolah – adalah meningkatkan ketaqwaan kepada
Tuhan Yang Maha Esa, mempertinggi budi pekerti, moral. Dari
pernyataan tersebut, dapat dinyatakan bahwa, baik pondok
pesantren maupun non-pondok pesantren memiliki salah satu
tujuan yang sama yaitu mempertinggi budi pekerti, moral atau
akhlak pada lulusan. Sama halnya dengan meningkatkan
kecerdasan spiritual selain meningkatkan kecerdasan
intelektual.
Dalam penelitian ini, variabel bebas adalah mahasiswa
lulusan pondok pesantren dan lulusan non-pondok pesantren,
sedangkan variabel terikatnya adalah kecerdasan spiritual.
Variabel bebas memiliki keterkaitan dengan variabel terikat.
Menurut peneliti, adanya keterikatan ini karena mahasiswa
lulusan pondok pesantren dan non-pondok pesantren sama-sama
mengenyam pendidikan agama yang bertujuan meningkatkan
kecerdasannya pada kecerdasan spiritual. Di samping itu,
mahasiswa lulusan pondok pesantren dan non-pondok pesantren
sama-sama masih dalam masa remaja dan pada masa ini
perkembangan spiritual intelegen mereka dapat mencapai titik
tertinggi, yiatu kekhusuan dalam beribadah. Pondok pesantren
maupun non-pondok pesantren tergabung dalam pendidikan
nasional yang memiliki tujuan yang tidak jauh berbeda. Hal
tersebut sesuai dengan yang diungkapkan oleh Djubaedi
(1999:184).
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Variable Penelitian
1. Identifikasi Variabel Penelitian
Variable yang terdiri dalam penelitian ini terdiri
dari variable bebas (Independent), variable bebas ini
terbagi menjadi dua, yaitu : (a) mahasiswa lulusan
pesantren dan (b) mahasiswa lulusan non-pesantren. Dan
variable terikat (dependent), yaitu: kecerdasan
spiritual. Dalam penelitian ini, variable terikat
(dependent) merupakan variable yang tidak diukur secara
langsung. Jadi, pengukuran terhapad variable terikat ini
dilakukan melalui variabel terukur.
2. Definisi Oprasional Variabel Penelitian
Berikut ini dijelaskan beberapa definisi operasional
yang berkaitan dengan variable-variabel penelitian.
Pendefinisian variable-variabel ini berfungsi untuk
memperjelas makna yang terkandung dalam tiap variable
sesuai dengan harapan penulis.
a. Pondok Pesantren
Pondok pesantren adalah institusi pendidikan
swasta yang focus pada pendidikan agama Islam dan
menerapkan system asrama bagi seluruh santri. Sebagian
pondok pesantren ada yang sepenuhnya focus pada ilmu
agama Islam dan masih mempertahankan metode
pembelajaran tradisional, namun tidak sedikit pondok
pesasntren yang focus pada ilmu agama Islam dan
memadukannya dengan ilmu-ilmu umum.
b. Non-Pondok Pesantren
Lulusan non-pondok ppesantren adalah mereka yang
telah selesai menempuh pendidikan di institusi
pendidikan negeri atau swasta yang focus pada penerapan
kurikulum DikNas dan DePag. Lulusan non-pondok
pesantren terdiri dari lulusan Sekolah Menengah Atas
(SMA), sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dan Madrasah
Aliyah (MA).
c. Kecerdasan Spiritual
kecerdasan spiritual adalah kecerdasan yang
menyangkut fungsi jiwa sebagai perangkat internal diri
yang memiliki kemampuan dan kepekaan dalam melihat
maknaa yang ada dibalik kenyataan apa adanya. Orang
yang memiliki spiritual intelegen tinggi mampu memaknai
penderitaan hidup dengan memberikan makna positif pada
setiap peristiwa, bahkan masalah yang dialaminya.
Dengan memberi makna yang positif itu, ia mampu
membangkitkan jiwanya, melakukan perbuatan dan tindakan
yang positif.
Kecerdasan spiritual dapat dilihat dari aspek-
aspek berikut: (1) kemampuan bersikap fleksibel, (2)
memiliki tingkat kesadaran yang tinggi, (3) kemampuan
untuk menghadapi dan memanfaatkan penderitaan, (4)
kemampuan untuk menghadapi dan melawan rasa sakit, (5)
kualitas hidup yang diilhami oleh visi dan misi, (6)
keenganan untuk mengalami kerugian yang tidak perlu,
(7) kemampuan untuk melihat keterkaitan berbagai hal,
(8) memiliki kecenderungan untuk bertanya “mengapa”
atau “bagaimana jika” dalam rangka mencari jawaban yang
benar.
B. Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Fakultas Ilmu Agama
Islam, Universitas Islam Indonesia (UII). UII kampus terpadu
terletak di jalan Kaliurang KM 14,5 Sleman Yogyakarta. Letak
kampus UII terpadu yangg berada di pinggir jalan raya
Kaliurang cukup mudah diakses dengan kendaraan umum. FIAI
sendiri berada di kawasan kampus UII terpadu yang paling
baratnya, bersebelahan dengan Gedung Olah Raga UII dan
berada di seberang M. Natsir.
Gedung perkantoran dan gedung perkuliahan FIAI berada di
tempat terpisah. Gedung perkantoran FIAI berada di gedung
KH. Wahid Hasyim lantai 1, gedung KH. Wahid Hasyim terdiri
dari tiga lantai. Lantai 1 dan sebagian lantai 2 digunakan
untuk ruangan perkantoran FIAI dan perpustakaan, sebagian
lantai 2 dan lantai 3 digunakan sebagai ruang laboratorium
Fakultas Teknologi Industri (FTI). Gedung perkuliahan
mahasiswa FIAI terletak di gedung M. Natsir lantai 2 dan 3
dan berada di bagian utara, terdapat tujuh ruang yang
digunakan sebagian ruang kelas dan satu ruang sebagai ruang
piket bagian akademik FIAI.
C. Subjek Penelitian
Menurut Idrus, Muhammad (2009:91), subjek penelitian
merupakan seseorang atau suatu yangg mengenainya ingin
diperoleh keterangan. Batasan subjek penelitian beliputi
benda, hal, orang tempat data untuk variabel penelitian
melekat dan yang dipermasalahkan. Dalam penelitian subjek
memiliki peran penting, karena pada subjek penelitian itulah
data tentang variabel penelitian akan diamati.
Subjek dalam penelitian ini adalah mahasiswa prodi PAI,
Fakultas Ilmu Agama Islam (FIAI) Universitas Islam Indonesia
(UII) angkatan 2010 karena mereka sudah semester VI.
Artinya, PAI 2010 telah mempelajari dan lulus pada mata
kuliah keagamaan, materi kependidikan Islam, dan juga materi
psikologi kependidikan yang mengembangkan kesadaran diri
(self awareness) dengan jumlah tolal subjek penelitian 46
orang. Adapun rincian subjek penelitian dalam penelitian ini
adalah:
Tabel 3.1Data Subjek Penelitian
Jurusan Angkatan
LulusanPesantren
Lulusannon-
pesantrenPendidika Agama
Islam 2010 17 orang 29 orang
Jumlah Total 46 orang
D. Metode Pengumpulan Data
Alat pengumpulan data yang digunakan dalam plenelitian
ini adalah angket.
Angket
Angket pengumpulan data yang digunakan untuk mendapatkan
data dalam penelitian ini adalah metode angket. Menurut
Idur, Muhammad (2009:100), angket adalah daftar pertanyaan
yang diberikan kepada orang lain dengan maksud agar orang
yang diberi angket tersebut bersedia memberikan respons
sesuai dengan permintaan. Trio, Muhammad Arif (2005:93),
berpendapat bahwa, angket merupakan sekumpulan pertanyaan
yang secara logis berhubungan dengan masalah penelitian.
Jadi, setiap pertanyaan menghasilkan jawaaban yang mempunyai
makna dalam menguji hipotesis. Dari beberapa definisi angket
yang diajukan oleh kedua pakar tersebut, menurut peneliti,
angket adalah daftar pertanyaan atau pernyataan yang
berhubungan dengan masalah penelitian dan diberikan kepada
subjek penelitian untuk diberi respon sesuai petunjuk.
Metode angket digunakan untuk mengetahui tingkat
kecerdasan spiritual mahasiswa angkatan 2010 lulusan pondok
pesantren dengan lulusan non-pondok pesantren program studi
Pendidikan Agama Islam FIAI UII. Pada penelitian ini, angket
kecerdasan spiritual yang digunakan mengandung pernyataan-
pernyataan. Pernyataan-pernyataan dalam angket penelitian
ini bertitik tolak pada teori kecerdasan spiritual menurut
Zohar dan Marshall yang membagi dimensi kecerdasan spiritual
menjadi sembilan aspek. Sembilan aspket tersebut adalah
kemampuan bersikap fleksibel, Tingkat kesadaran yang tinggi,
kemampuan untuk menghadapi dan memanfaatkan penderitaan,
kemampuan untuk menghadapi dan melampaui rasa sakit,
kualitas hidup yang diilhami oleh kualitas visi dan misi,
keengganan untuk menyebabkan kerugian yang tidak perlu,
kecenderungan untuk melihat keterkaitan antara berbagai hal
(berpandangan holistik), kecenderungan nyata untuk bertanya
“mengapa?” atau “bagaimana jika?” untuk mencari jawaban-
jawaban yang mendasar, dan memiliki otonomi.
Angket ini disusun dengan memiliki item-item yang
berbentuk pernyataan positif (favorable) dan pernyataan negatif
(unfavorable). Setiap item terdapat lima alternatif jawaban
yaitu 1 = sangat setuju, 2 = setuju, 3 = ragu-ragu, 4 =
tidak setuju, 5 = sangat tidak setuju. Nilai untuk setiap
jawaban berjenjang 1-5, pernyataan yang bersifat positif
berjenjang 5, 4, 3, 2, 1 dan pernyataan negatif berjenjang
1, 2, 3, 4, 5. Semakin tinggi sekor yang diperoleh, maka
semakin rendah juga tingkat spiritualitas subjek.
E. Instrumen Penelitian dan Prosedur Pengumpulan Data
1. Instrumen Penelitian
Sebagai acuan dalam pengembangan instrumen penelitian
dengan berkaca pada teori kecerdasan spiritual yang
digagas oleh Zohar dann Marshall. Peneliti berkesimpulan
bahwa spiritual intelegen dapat diukur dengan menggunakan
beberapa aspek, yaitu seperti peneliti cantumkan dalam
tabel no. 3.2 pada kolom aspek. Tabel kebutuhan kisi-kisi
instrumen kecerdasan spiritual sebelum uji coba disajikan
dalam tabel no.3.2 berikut :
Tabel 3.2
Blue Print Kisi-Kisi Instrumen Kecerdasan Spiritual
Aspek Indikator NomorItem
kemampuan bersikapfleksibel
- bersilaturahmi 3, 32,31, 4
memiliki tingkatkesadaran yang tinggi
Kesadaran adanyaTuhan
1, 34,24, 14
kemampuan untukmenghadapi danmemanfaatkan penderitaan
- cobaan sebagaiujian- kesabaran- ikhlas
13, 26,
kemampuan untukmenghadapi dan melawanrasa sakit
Tawakkal 17, 21,27, 11
kualitas hidup yangdiilhami oleh visi danmisi
- Hari ini lebihbaik dari kemarin- Tujuan hidup
5, 10,28, 15,23, 22,16,
keenganan untukmengalami kerugian yangtidak perlu
- gibah- mengakhirkan waktushalat- berkorban
12, 29,8, 1, 33
kemampuan untuk melihatketerkaitan berbagai hal
- Keterkaitan antarmakhluk ataukejadian-tentang nasibmanusia
7, 30,20, 18,
memiliki kecenderunganuntuk bertanya “mengapa”atau “bagaimana jika”dalam rangka mencarijawaban yang benar.
- mencari jawabanatas sesuatu- bertanya padaulama/buku- mengikutipengajian/kajianagama
19, 25,
memiliki otonomi Beramal tanpaatergantung orang
6, 9,
lainJumlah Item Pernyataan Seluruhnya 34
2. Uji Validitas
Uji validitas berfungsi untuk mengetahui sejauh mana
tingkat validitas instrumen. Validitas atal ukur adalah
akurasi alat ukur terhadap yang diukur walaupun dilakukan
berkali-kali dan dimana-mana. Menurut Ancok, Jamaludi
(dalam Singarimbun, dkk. 1989:124), validitas menunjukkan
sejauh mana suatu alat pengukur itu mengukur apa yang
ingin diukur. Menurut Bungin, Burhan (2005:96), alat ukur
haruslah memiliki akurasi yang baik terutama apabila ala
ukut tersebut digunakan sehingga validitas akan
meningkatkan bobot kebenaran yang diinginkan peneliti.
Valid tidaknya suatu instrumen dapat dilihat dari nilai
koefisien korelasi antara skor item dnegan skor total
pada taraf signifikansi 5% dan item-item yang tidak
berkorelasi secara signifikan dinyatakan gugur. Manurut
Idrus, Muhammad (2009:130) suatu item dinyatakan valid
jikia memiliki harga di atas 0,3. Meskipun ada juga pakar
lain yang menyatakann harga validitas item dapat sebesar
0,25. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan harga
validitas sebesar 0,3.
Menurut Ancok, Jamaludin (dalam Singarimbun, dkk.,
1995:141) untuk menguji validitas instrumen digunakan
teknik korelasi “product moment”, yaitu dengan menghitung
korelasi masing-masing pernyataan dengan skor total.
Analisis data untuk uji validitas menggunakan program IMB
SPSS STATISTICS VERSION 20
3. Uji Reliabilitas
Uji reliabilitas dilakukna untuk mengetahui sejauh mana
hasil suatu pengukuran dapat dipercaya. Menurut Ancok,
Jamaludin (dalam Singarimbun, dkk., 1995:143),
reliabilitas adalah indeks yang menunjukkan sejauh mana
suatu alat pengukuran dapat dipercaya atau dapat
diandalkan. Menurut Idrus, Muhammad (2007:130),
reliabilitas instrumen adalah keajekan instrumen saat
digunakan kepan dan oleh siapa saja sehingga akan
cenderung menghailkan data yang sama atau hampir sama
dengan sebelumnya.
Manurut Arikunto (1998:170), instrumen dinyatakan
reliabel apabila suatu instrumen cukup datap dipercaya
untuk digunakan sebagai alat pengumpul data karena
instrumen tersebut sudah baik. Uji reliabilitas dalam
penelitian ini menggunakan bantuan IMB SPSS STATISTICS VERSION
20.
4. Uji Asumsi
a. Uji Normalitas
Uji normalitas bertujuan untuk mengetahui apakah data
yang diperoleh merupakan distribusi data normal atau
tidak. Adapun metode statistik untuk menguji normalitas
dalam penelitian ini dengan menggunakan Kolmogorov-
Smirnov Z. Uji normalitas dalam penelitian ini dengan
menggunakan bantuan software IMB SPSS STATISTICS VERSION 20.
b. Uji Homogenitas
Uji normalitas digunakan untuk mengetahui apakah data
mahasiswa lulusan pondok pesantren dan mahasiswa
lulusan non-pondok pesantren memiliki variasi yang sama
atau tidak. Uji homogenitas dalam penelitian ini
menggunakan uji Levene. Data dinyatakan homogen jika
probabilitas > 0,05. Pengujian homogentias ini
dilakukan dengan bantuan program IMB SPSS STATISTICS
VERSION 20.
5. Uji Hipotesis
Berdasarkan rumusan masalah yang diajukan, maka hipotesis
yang akan diuji dalam penelitian ini adalah Null Hypothesis
(H0) dan Alternative Hypothesis (Hi) seperti di bawah ini:
H0 = tidak adanya perbedaan tingkat kecerdasan
spiritual mahasiswa PAI FIAI UII antara lulusan
pondok pesantren dengan lulusan non-pondok
pesantren.
Hi = ada perbedaan tingkat kecerdasan spiritual
mahasiswa PAI FIAI UII antara lulusan pondok
pesantren dengan lulusan non-pondok pesantren.
F. Metode Analisis Data
Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah
uji t. Metode analisis tersebut digunakan karena penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan tingkat kecerdasan
spiritual mahasiswa PAI FIAI UII antara lulusan pondok
pesantren dengan lulusan non-pondok pesantren. Dalam
menganalisis data untuk uji t, peneliti menggunakan program
komputer IMB SPSS STATISTICS VERSION 20 dengan menggunakan
Independent Sample T-test.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Visi, Misi Prodi Pendidikan Agama Islam FIAI UII
1. Visi
Menjadi pusat rujukan pengembangan Pendidikan Agama Islam
2. Misi
- Menyipakan pakar profesional pendidikan Islam
- Mengembangkan, mengaktualisasikan dan mengkomunikasikan
Pendidikan Agama Islam.
3. Tujuan Prodi PAI
a. Bertaqwa, berakhlak, terampil, berilmu ilmiah beramal
amaliah
b. Berjiwa pancasila dan memiliki integritas kepribadian
yang tinggi sebagai sejana yang berwawasan Islam
c. Bersifat terbuka, peka terhapad perubahan dan kemajuan
IPTEK maupun masalah kontemoporer yang dihadapi
masyarakat, relevan dengan bidang kepakarannya.
d. Mampu mengenali, mengamati, dan melakukan pendikatan
dan penalaran permasalahan berdasarkan kajian Islam.
e. Mempunyai bekal dasar ilmu yang cukup untuk
menlanjutkan pendidikan.
(Sumber: FIAI UII)
B. Gambaran Umum Prodi Pendidikan Agama Islam FIAI UII
Program Studi Pendidikan Agama Islam dirancang untuk
pencapaian kompetensi keguruan/pendidik, yaitu kompetensi:
pedagogic, prefesional personal dan sosial. Dengan harapan
dapat memenuhi kebutuhan guru agama yang bermutu dan
berkualitas di tengah masyarakat global. Program Pendidikan
Strata Satu (S1) ini mencetak Sarjana Pendidikan Islam
(S.Pd.I) yang dikelola secara profesional sejak tahun 1948
M.
1. Keunggulana. Terakreditasi A dari (BAN-PT)
b. Kurikulum diarahkan pada penguasaan bidang pendidikan
baik teori dan aplikasinya yang berlandaskan tuntunan
dan nilai-nilai Agama Islam
c. Prodi PAI membuka program akta IV untuk
guru-guru/lulusan S1 non kependidikan dan program alih
jalur dari D1, D2 dan D3 ke Strata 1 (S1) PAI
2. Laboratoriuma. Micro Teachingb. Praktik Mengajar (PPL) di SLTAc. Komputer
(Sumber: http://fis.uii.ac.id/prodi-pendidikan-agama-islam/)
C. Pelaksanaan Uji Angket
1. Uji Validitas
Uji validitas dilakukan dalam penelitian ini adalah
dengan menggunakan bantuan software program IMB SPSS
STATISTICS VERSION 20. Seleksi item pada 34 item pernyataan
untuk menunjukkan kelayakan item dalam penelitian yang
diberikan kepada 6 mahasiswa lulusan pondok pesantren dan
9 mahasiswa lulusan non-pondok pesantren.
Menurut Idrus, Muhammad (2009:130), umumnya satu item
dinyatakan valid jika memiliki harga di atas 0,3.
Meskipun demikian, ada juga para pakar yang menyatakan
harga validitas item sebesar 0,25. Dalam penelitian ini,
peneliti imenggunakan besarnya harga validitas 0,3. Dari
hasil uji validitas yang dilakukan oleh peneliti terhadap
15 mahasiswa PAI angkatan 2010 dan dianalisis menggunakan
computer program IMB SPSS STATISTICS VERSION 20.
Hasil uji validitasnya sebagai berikut:
Table 4.1 Hasil Uji Validitas
Noitem
Corrected Item-TotalCorrelation
Keterangan
i1 0,569 Valid
i2 0,417 Valid
i3 0,637 Valid
i4 0,089 TidakValid
i5 0,512 Valid
i6 0,450 Valid
i7 0,455 Valid
i8 0,169 TidakValid
i9 0,515 Valid
i10 0,122 TidakValid
i11 0,456 Valid
i12 0,524 Valid
i13 0,662 Valid
i14 0,529 Valid
i15 0,154 TidakValid
i16 0,652 Valid
i17 0,501 Valid
i18 0,368 Valid
i19 0,608 Valid
i20 0,524 Valid
i21 0,515 Valid
i22 0,426 Valid
i23 0,228 TidakValid
i24 0,772 Valid
i25 0,483 Valid
i26 0,672 Valid
i27 0,200 TidakValid
i28 -0,055 TidakValid
i29 0,337 Valid
i30 -0,371 TidakValid
i31 0,208 TidakValid
i32 0,537 Valid
i33 0,523 Valid
i34 0,510 Valid
Berdasarkan hasil uji validitas butir soal instrumen
dalam tabel di atas, dapat diketahui bahwa dari 34 butir
soal, hanya ada 25 item soal yang memiliki harga
validitas di atas 0,3 yaitu butir soal nomor 1, 2, 3, 5,
6, 7, 9, 11, 12, 13, 14, 16, 17, 18, 19, 20, 21, 22, 24,
25, 26, 29, 32, 33, 34. Adapun sisanya, 9 butir soal yang
gugur atau dihilangkan karena memiliki harga validitas di
bawah 0,3 yaitu item butir soal nomor 4, 8, 10, 15, 23,
27, 28, 30, 31.
Berdasarkan hasil uji validitas tersebut di atas,
diketahui bahwa sebagian besar instrumen dalam penelitian
ini adalah valid dan dapat digunakan untuk penelitian
yang sebenarnya.
2. Uji Reliabilitas
Metode estimasi reliabilitas dalam penelitian ini
menggunakan model internal consistency reliability dan
juga menggunakan bantuan komputer dengan program SPSS 20.
Metode ini dilakukan dengan cara memberikan seperangkat
tes kepada sekelompok subjek sebanyak satu kali, kemudian
dengan cara tertentu estimasi reliabilitas tes tersebut
dihitung (Idrus, 2009: 136). Cara uji reliabilitas yang
dimaksudkan adalah dengan menggunakan formula dari Alpha
Cronbach. Hasilnya adalah:
Tabel 4.2 Reliability Statistics
Cronbach'sAlpha
Cronbach's AlphaBased on
StandardizedItems
N ofItems
.871 .889 34
Hasil reliabilitas di atas menunjukkan harga sebesar
0,889, hasil tersebut merupakan hasil reliabilitas dari
varibel kecerdasan spiritual. Menurut Walizer dan Wiener
(1978: 110) reliabilitas sempurna akan menghasilkan r =
1,0: tetapi bila r sebesar 0,80 atau lebih biasanya
dianggap petunjuk reliabilitas. Berdasarkan teori
tersebut, maka soal kecerdasan spiritual dalam penelitian
ini sudah dianggap baik dan reliabel untuk digunakan
dalam penelitian sebenarnya.
3. Hasil Uji Instrumen
Dalam uji instrumen, upaya yang dilakukan untuk
menghindari kesalahan dala menganalisis data, terlebih
dahulu hasil kuesioner yang telah disebarkan dilakukan
seleksi terhadap item angket. Secara terperinci, tabel
berikut menyajikan hasil seleksi item yang telah
dilakukan. Tabel 4.3 berikut ini adalah instrumen
penelitian kecerdasan spiritual yang berjumlah 25 item
soal.
Tabel 4.3Instrumen Kecerdasan Spiritual
Aspek Indikator NomorItem
kemampuan bersikapfleksibel
- bersilaturahmi 3, 32,
memiliki tingkatkesadaran yang tinggi
Kesadaran adanyaTuhan
1, 34,24, 14
kemampuan untukmenghadapi danmemanfaatkan penderitaan
- cobaan sebagaiujian- kesabaran- ikhlas
13, 26,
kemampuan untukmenghadapi dan melawanrasa sakit
Tawakkal 17, 21,11
kualitas hidup yangdiilhami oleh visi danmisi
- Hari ini lebihbaik dari kemarin- Tujuan hidup
5, 22,16,
keenganan untukmengalami kerugian yangtidak perlu
- gibah- mengakhirkan waktushalat- berkorban
12, 29,1, 33
kemampuan untuk melihatketerkaitan berbagai hal
- Keterkaitan antarmakhluk ataukejadian-tentang nasibmanusia
7, 20,18,
memiliki kecenderunganuntuk bertanya “mengapa”atau “bagaimana jika”dalam rangka mencarijawaban yang benar.
- mencari jawabanatas sesuatu- bertanya padaulama/buku- mengikutipengajian/kajianagama
19, 25,
memiliki otonomi Beramal tanpaatergantung oranglain
6, 9,
Jumlah Item Pernyataan Seluruhnya 25D. Hasil Penelitian
1. Deskripsi Subjek
Dalam penelitian ini, peneliti membandingkan tingkat
kecerdasan spiritual mahasiswa PAI FIAI angkatan 2010
lulusan pondok pesantren dengan mahasiswa PAI FIAI
angaktan 2010 lulusan non-pondok pesantren. Jumlah
mahasiswa lulusan pondok pesantren sebanyak 17 orang,
sedangkan jumlah mahasiswa lulusan non-pondok pesantren
sebanyak 29 orang. Secara rinci, tabel 4.4 berikut ini
menyajikan data yang menjadi subjek dalam penelitian ini
Tabel 4.4
Jumlah Responden
Lulusan
Mahasiswa
Jumlah subjek
Pondok Pesantren 17Non-Pondok
Pesantren
29
Jumlah 46
Pada tabel 5 menunjukkan bahwa, dari data mahasiswa
angkatan 2010 diketahui jumlah mahasiswa lulusan pondok
pesantren adalah 17 orang dan jumlah lulusan non-pondok
pesantren adalah 29 orang. Dalam penelitian ini, peneliti
mengambil seluruh seluruh populasi mahasiswa angkatan
2010 dengan jumlah total 46 orang.
Penyebaran angket dilaksanakan pada tanggal 21 Mei
sampai 28 Mei 2013. Dalam pelaksanaan penyebaran angket,
terdapat kendala yang dihadapi oleh peneliti sehingga
menyebabkan peneliti tidak mendapatkan data sesuai jumlah
angkatan 2010. Peneliti kesulitan untuk menemui subjek
penelitian dan ada beberapa subjek penelitian yang enggan
untuk mengisi angket. Hal inilah yang menyebabkan
peneliti tidak mendapatkan data sebanyak jumah angkatan
2010. Setelah penyebaran angket dilakukan, peneliti
mendapat data sebanyak 15 data yang terdiri atas 6
lulusan pondok pesantren dan 9 lulusan non-pondok
pesantren. Adapun untuk lebih rinci digambarkan dalam
tabel 4.5 di bawah ini:
Tabel 4.5
Jumlah data yang diperoleh
Lulusan Mahasiswa Jumlah PresentasePondok Pesantren 6 35.29%Non-Pondok
Pesantren
931.03%
2. Uji Asumsi
Untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan tingkat
kecerdasan spiritual mahasiswa lulusan pondok pesantren
dengan lulusan non-pondok pesantren, maka terlebih dahulu
akan dilakukan uji asumsi normalitas dan homogenitas
sebagai syarat uji beda.
a. Uji Normalitas
Uji normalitas dalam penelitian ini digunakan
untuk mengetahui apakah data dalam penelitian ini
terdistribusi secara normal ata tidak. Menurut
Trihendradi, C. (2009 :107), jika data yang diuji
terdistribusi normal maka uji statistik yang digunakan
adalah statsitik parametrik (Independent Sample Test).
Apabila data tidak terdistribusi normal atau tidak
valid, maka uji statistic yang digunakan adalah
statistik parametric (Chi Square).
Table 4.6 berikut adalah hasil analisis dari uji
normalitas kecerdasan spiritual mahasiswa lulusan
pondok pesantren dengan lulusan non-pondok pesantren.
Tabel 4.6
Hasil Uji Normalitas
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Testlulusan SQ
pondok
N 6
Normal Parametersa,b
Mean 91.50Std. Deviation
11.362
Most Extreme Differences
Absolute .273Positive .273Negative -.156-
Kolmogorov-Smirnov Z .668Asymp. Sig. (2-tailed) .763
non-pondok
N 9
Normal Parametersa,b
Mean 96.89Std. Deviation
10.706
Most Extreme Differences
Absolute .239Positive .239Negative -.136-
Kolmogorov-Smirnov Z .718Asymp. Sig. (2-tailed) .681
a. Test distribution is Normal.b. Calculated from data.
Pada tabel 4.6 menunjukkan bahwa, tingkat kecerdasan
mahasiswa lulusan pondok pesantren memiliki nilai
Kolmogorov Smirnov Z sebesar 0,668 dengan tingkat
signifikansi atau probabilitas di atas 0,05 (0,763
>0,05). Pada tabel tersebut juga dijelaskan bahwa
tingkat kecerdasan spiritual mahasiswa lulusan non-
pondok pesantren memiliki nilai Kolmogorov Smirnov Z
sebesar 0,718 dengan nilai probabilitas di atas 0,05
(0,681 > 0,05). Jadi dapat dikatakan bahwa, distribusi
kedua populasi penelitian adalah normal. Hal tersebut
diperkuat dengan gambar plot normalitas di bawah ini:
Gambar : 1
Terlihat gambar no. 1 di atas, dapat dinyatakan bahwa
seluruh titik-titik atau data yang ada berada di
sekeliling garis. Hal tersebut membuktikan bahwa data
terdistribusi normal.
Gambar 2
Pada gambar 2 di atas terlihat bahwa, ada satu data
yang terlihat agak jauh dari garis, namun masih tetap
mengelilingi garis. Jadi, dapat disimpulkan bahwa,
distribusi data adalah normal. Berdasarkan hal
tersebut, maka uji statistik yang akan digunakan adalah
statistik parametrik (Independent Sample Test).
b. Uji Homogenitas
Uji homogenitas dalam penelitian ini digunakan untuk
mengetahui apakah data tingkat kecerdasan spiritual
mahasiswa lulusan pondok pesantren dengan lulusan non-
pondok pesantren memiliki varians yang sama atau tidak.
Uji coba dalam penelitian ini menggunakan uji Levene.
Menurut Singgih, Santoso (2007:154), suatu data
dinyatakan memiliki varians yang sama atau homogen jika
nilai probabilitasnya > 0,05. Dan hasil uji homogenitas
yang dilakukan menggunakan bantuan komputer program IMB
SPSS Statistics V 20 dihasilkan sebagai berikut:
Table 4.7
Test of Homogeneity of VarianceLeveneStatist
ic
df1 df2 Sig.
SQ
Based on Mean .389 1 13 .544Based on Median .492 1 13 .495Based on Median and with adjusted df
.492 1 11.234 .497
Based on trimmedmean .453 1 13 .513
Dari tabel 4.7 menunjukkan bahwa terlihat hasil test
Levene adalah 0,389 dengan nilai probabilitas mean
0,544. Seperti dijelaskan sebelumnya, jika nilai
brobabilitas > 0,05 (0,544 > 0,05), maka data tersebut
dianggap homogen atau memiliki varians yang sama. Jika
dilihat dari dasar pengukuran median data, angka
signifikansi adalah 0,495 dan memiliki nilai di atas
0,05. Jadi, dinyatakan bahwa data berasal dari
populasi-populasi yang mempunyai varians yang sama,
atau populasi mahasiswa lulusan ponpes dan lulusan non-
ponpes di atas di ambil dari populasi lulusan ponpes
dan non-ponpes yang mempunyai varians tingkat
kecardasan spiritual yang sama.
3. Uji Hipotesis
Uji hipotesis dalam penelitian ini menggunakan komputer
program IMB SPSS Stasistics V 20 dan menggunakan analisis
uji t. Uji hipotesis dalam penelitian ini digunakan untuk
menguji hipotesa atau dugaan sementara yang diajukan oleh
peneiti. Salah satu hal yang dilakukan untuk mengetahui
perbedaan tingkat kecerdasan spiritual mahasiswa PAI
angkatan 2010 lulusan ponpes dengan lulusan non-ponpes
adalah mengetahui hipotesisnya.
Dalam menjawab permasalahan di atas, peneliti
menentukan Null Hypothesis (H0) dan Alternative Hypothesis (Hi)
seperti di bawah ini:
H0 = tidak adanya perbedaan tingkat kecerdasan
spiritual mahasiswa PAI FIAI UII antara lulusan
pondok pesantren dengan lulusan non-pondok
pesantren.
Hi = ada perbedaan tingkat kecerdasan spiritual
mahasiswa PAI FIAI UII antara lulusan pondok
pesantren dengan lulusan non-pondok pesantren.
Setelah menentukan hipotesis, maka dilakukan pengujian
berdasarkan taraf signifikansi yaitu:
o Jika signifikansi >0,05, maka H0 diterima
o Jika signifikansi <0,05, maka H0 ditolak
Hasil analisis Independent simple t-test yang telah
dilakukan dengan bantuan komputer program IMB SPSS v 20
serta menggunakan buku panduan karangan C. Trihendradi
(2009:111-115) adalah sebagai berikut
Table 4.8Perbedaan tingkat kecerdasan spiritual mahsiswa lulusan ponpes
dengan lulusan non-ponpesLevene'sTest forEquality
ofVariances
t-test for Equality of Means
F Sig. t df Sig.(2-tailed)
MeanDifference
Std.Error
Difference
95%ConfidenceInterval of
theDifferenceLower Upper
SQ
Equal variances assumed
.389 .544 -.933- 13 .368
-5.389
-5.778
-17.871
-7.094
Equal variances notassumed
-.921-
10.394 .378
-5.389
-5.852
-18.362
-7.584
Dari hasil analisis seperti pada tabel 4.8 di atas,
dapat dilihat tes Levene yang berfungsi untuk menguji
homogenitas atau untuk mengetahui apakah kedua kelompok
memiliki varians yang sama. Dalam tabel tersebut,
terlihat bahwa F hitung untuk tingkat kecerdasan
spiritual dengan equal variances assumed adalah 0,389 dengan
taraf probabilitas 0,389. Taraf probabilitas 0,389 maka
diketahui pepulasi varians dalam penelitian ini adalah
sama atau homogen.
Setelah mengetahui bahwa populasi varians dalam
penelitian ini adalah sama atau homogen, selanjutnya
adalah memaknai t-test untuk mengetahui apakah rata-rata
tingkat kecerdasan spiritual mahasiswa lulusan pondok
dengan lulusan non-pondok berbeda secara signifikan. Pada
tabel 4.8 didapatkan bahwa t hitung untuk kecerdasan
spiritual dengan equal variance assumed adalah -0,933 dengan
probabilitas 0,368, untuk uji dua sisi, probabilitas
menjadi 0,368/2 = 0,184, sedangkan t tabelnya (α) adalah
0,05/2 = 0,025. Menurut Trihendradi, C. (2007:115), jika
sig. (2-tailed) > α, maka H0 diterima. Jadi, karena 0,184 >
0,025, maka H0 diterima. Dapat disimpulkan bahwa rata-
rata tingkat kecerdasan spiritual mahasiswa lulusan
pondok pesantren tidak berbeda dengan rata-rata tingkat
kecerdasan spiritual mahasiswa lulusan non-pondok
pesantren.
Jika dilihat dari nilai mean mahasiswa lulusan pondok
pesantren dengan lulusan non-pondok pesantren, terdapat
selisih mean yang tipis antara mahasiswa lulusan pondok
pesantren dengan mahasiswa lulusan non-pondok pesantren.
Adapun pebedaan tersebut, secara lebih rinci dapat
dilihat pada tabel 4.9 berikut ini:
Tabel 4.9
Mean mahasiswa lulusan ponpes dengan non-ponpeslulusan N Mean Std.
DeviationStd. Error
MeanSQ pondok 6 91.50 11.362 4.639
non-pondok 9 96.89 10.706 3.569
Dalam tabel di atas dapat dilihat, mean mahasiswa lulusan
ponpes dengan mahsiswa lulusan non-ponpes 91,50 < 96,89,
terlihat ada selisih 5,39. Mean mahasiswa lulusan ponpes
lebih kecil dari pada mean mahasiswa lulusan non-ponpes.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa kecerdasan spiritual
mahasiswa lulusan non-ponpes lebih baik dari pada
mahasiswa lulusan pon-pes.
E. Pembahasan
Berdasarkan hasil analisis data menunjukkan bahwa tidak
ada perbedaan kecerdasan spiritual antara mahasiswa lulusan
ponpes dan mahasiswa lulusan non-ponpes. Hal ini diketahui
dari uji-t yang menunjukkan bahwa hasil t-hitung sebesar -0,933
dengan signifikansi 0,368. Dengan demikian hipotesis yang
diajukan bahwa tidak ada perbedaan tingkat kecerdasan
spiritual antara mahasiswa lulusan ponpes dengan lulusan
non-ponpes, diterima. Hal ini sejalan dengan materi kuliah
aqidah Islam I yang diampu oleh Bapak Dosen Jujun Junaedi
bahwa iman itu dapat bertambah dan dapat berkurang.
Sementara kekurangan iman itu juga karena kemaksiatan dan
bertambahnya iman karena ketaatan, manakala hati sedang fit,
maka ibadah mungkin didahulukan, tetapi jika hati galau,
jangankan mengerjakannya. Hal ini pun sama halnya dengan
kecerdasan spiritual yang dimaknai oleh Ginanjar Ari
Agustian (2003) bahwa SQ seseorang yang tinggi dapat
memurnikan suara hatinya, dan terlepas dari godaan nafsu
yang amatir.
Penelitian ini tentunya masih banyak kekurangannya dalam
berbagai hal, sehingga dapat dijadikan evaluasi untuk
peneliti yang akan datang. Kelemahan dari peneliti ini
yaitu: (1) pembuatan angket tanpa diketahui oleh sang ahli;
(2) subjek penelitian yang masih terbatas; (3) penulisan
yang amatir dirasakan oleh peneliti ini.
BAB V
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan yang telah
dilakukan peneliti, maka peneliti mengambil kesimpulan sebagai
berikut:
1. Berdasarkan hasil analisis data menunjukkan bahwa tidak ada
perbedaan kecerdasan spiritual antara mahasiswa lulusan
ponpes dan mahasiswa lulusan non-ponpes. Hal ini diketahui
dari uji-t yang menunjukkan bahwa hasil t-hitung sebesar -0,933
dengan signifikansi 0,368.
2. Faktor yang mempengaruhi kesamaan tingkat kecerdasan
spiritual pada mahasiswa lulusan ponpes dan lulusan non-
ponpes di prodi PAI adalah sesuatu yang membuat mahasiswa
lulusan ponpes merasa bosan dengan materi keagamaan (karena
sudah merasa tahu sebelumnya), sedangkan mahasiswa lulusan
non-ponpes baru tahu, maka hasilnya sama saja.
3. Tidak adanya perbedaan kecerdasan spiritual antar mahasiswa
lulusan ponpes dengan mahasiswa lulusan non-ponpes
dimungkinkan kesadaran mahasiswa lulusan ponpes memudar dan
memiliki sisi black shadow.
B. Saran
Berdasarkan temuan tersebut, ada beberapa hal yang dapat
peneliti sarankan kepada pihak-pihak terkait, di antaranya
sebagai berikut:
1. Bagi para orang tua, diharapkan dapat menanamkan pondasi
spiritualitas pada anak sejak dini sehingga potensi
spiritualnya meningkat
2. Bari para pendidik diharapkan tidak pernah bosan mendidik
perserta didiknya untuk berusaha menancapkan pendidikan
yang berkarakter terpuji.
3. Bagi pondok pesantren diharapkan adanya evaluasi terhadap
proses pendidikan dalam lingkungan pondok pesantren dan
menekankan pada kesadaran diri.
4. Bagi fakultas Ilmu Agama Islam, khususnya Prodi PAI
disarankan adanya perlakuan yang berbeda pada mahasiswa
lulusan pondok pesantren agar kompetesni yang ada pada
mereka (lulusan ponpes) bertambah meningkat, lebih
baiknya lagi diadakan exellent class untuk mahasiswa
lulusan ponpes sehingga FIAI UII bertambah keren.
5. Bagi peneliti selanjutnya, diharapkan meneliti faktor-
faktor yang dapat mengurangi minat mahasiswa lulusan
ponpes terhadap materi keagamaan di FIAI UII khususnya
Prodi PAI.
DAFTAR PUSTAKA
Agustian, Ari Ginanjar. 2003. Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi
dan Spiritual ESQ. Jakarta : Arga.
Akbar, Reni. 2006. Akselerasi. Jakarta : PT Grasindo.
Idrus, Muhammad. 2009. Metode Penelitian Ilmu Sosial: Pendekatan Kualitatif dan
Kuantitatif. Jakarta: Erlangga.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1998. Kamus Besar BahasaIndonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Munadir. 2001. Ensiklopedi Pendidikan. Malang : UM Press.
Nggermanto, Agus. 2001. Quantum Quotient (Kecerdasan Quantum) : Cara Cepat
Melejitkan IQ, IE, dan SQ Secara Harmonis. Bandung :Nuansa.
Putra Daulay, Haidar. 2001. Sejarah Pertumbuhan dan Pembaharuan
Pendidikan Islam di Indonesia. Bandung: Cita Pustaka Media.
--------------------------2001. Historisitas Dan Eksistensi Pesantren,
Sekolah Dan Madrasah. Yogyakarta: Tiara Wacanayogya.
-------------------------2004. Dinamika Pendidikan Islam. Bandung:
Cita Pustaka Media.
Sugiyono. 2007. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: CV.
Alfabeta.
Trihendradi, Cornalious. 2009. 7 Langkah Mudah Melakukan Analisis
Statistik menggunakan SPSS 17. Yogyakarta: Andi Publisher.
Yani, Fitri. Pengaruh Kecerdasan Intelektual, Kecerdasan
Emosional, Kecerdasan Spiritual Terhadap Pemahaman Akuntansi.
Jurnal. FKIP-UNRI.
Zohar, Danah & Ian Marshal. 2007. SQ Kecerdasan Spiritual. Bandung:
Mizan
http://fis.uii.ac.id/prodi-pendidikan-agama-islam. diakses pada tanggal 23
Juni 2013.