Post on 29-Jan-2023
MAKNA SIMBOLIK DALAM TEKS RITUAL MAGGIRI PADA PESTAADAT KOMUNITAS BISSU DI KABUPATEN PANGKEP
(Strukturalisme Levi-Strauss)
The Simbolik of Ritual Text Maggiri on the Feast of IndigenousCommunities Bissu in Pangkep (Structuralism Levi-Strauss)
Tesis
IRAWATINIM 04.08. 924.2013
PROGRAM PASCASARJANAPENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR2015
MOTTO DAN PERSEMBAHANMotto
Memulai dengan penuh keyakinan,
Menjalankan dengan penuh keikhlasan,
Menyelesaikan dengan penuh kebahagiaan.
Sesungguhnya bersama kesukaran itu ada keringanan.
Karena itu bila kau sudah selesai (mengerjakan yang lain).
Dan berharaplah kepada Tuhanmu. (Q.S Al Insyirah: 6-8)
Jadilah seperti karang di lautan yang selalu kuat meskipun terus
dihantam ombak dan lakukanlah hal yang bermanfaat untuk diri sendiri
dan juga untuk orang lain, karena hidup hanyalah sekali. Ingat hanyalah
kepada Allah apapun dan di manapun kita berada kepada Dia-lah tempat
meminta dan memohon.
PERSEMBAHAN
Kupersembahkan karyaku ini untuk suami dan anak-anakku tercinta:
1. A. Ari Festiyanto, Sp (suami)
2. Ferry Erlangga Reynaldi (anak)
3. Kesya Yumna Salsabila (anak)
4. Ahmad Nabil Fadhilah (anak)
5. Syafiq Khairy Nasywan (anak)
ABSTRAK
Irawati, 2015. Makna Simbolik dalam Teks Ritual Maggiri pada Pesta AdatKomunitas Bissu di Kabupaten Pangkep (Strukturalisme Levi-Strauss)dibimbing oleh Abd Rahman Rahim dan Sitti Aida Azis. Metode yangdigunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dengan bentukpenelitian kualitatif. Data dalam penelitian ini adalah data verbal dannonverbal. Alat pengumpul data utama dalam penelitian ini adalah penelitisendiri sebagai instrumen kunci. Selan itu, peneliti juga menggunakankeabsahan data sebagai ketekunan peneliti, triangulasi dan diskusi temansejawat. Tujuan penelitian ini adalah 1). memberikan kejelasan apakah yangterkandung dalam acara ritual maggiri pada pesta adat komunitas bissu, 2)menggambarkan bagaimanakah persepsi masyarakat Segeri terhadapkeberadaan komunitas Bissu di Kecamatan Segeri. Hasil temuan dalampenelitian ini adalah makna simbolik yang terdapat dalam ritual maggiriadalah 1). Simbol kesempurnaan bissu berupa ota sakke yang di dalamnyaterdiri atas ota atau siri’, kapur, tembakau dan pinang. 2) sesajen adalahsimbol dari status sosial, kesempurnaan agama Tuhan, dan hari-hari yangada dalam setiap minggunya, kue dua belas macam adalah simbolkebahagian yang selalu menjadi harapan akan terulang kembali danpembauran suku Bugis dengan suku lainnya, yang menandakan bahwamanusia sebagai makhluk sosial tidak dapat hidup sendiri, 3) pakaian adalahsimbol bahwa manusia harus menutup auratnya mulai dari kepala hinggamata kaki sebagai makhluk yang paling mulia di bumi ini. 4) mantera ataupunnyanyian adalah lantunan seorang hamba kepada sang pencipta tentang darimana manusia berasal dan bagaimana harus hidup secara beradab dan tidakboleh sombong, karena sesungguhnya kesombongan hanya akanmenghancurkan manusia melalui azab yang diturunkan oleh Sang Pencipta.
Kata kunci: ota sakke, sesajen, pakaian, dan mantera-mantera
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah Swt, yang
telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan tesis ini. Tak lupa pula penulis kirimkan salawat dan taslim
kepada junjungan Nabi Besar Nabiyullah Nabi Muhammad saw, yang telah
membawa kita dari alam kegelapan menuju alam yang terang benderang
seperti sekarang ini, penulisan tesis ini dimaksudkan sebagai salah satu
persyaratan dalam menyelesaikan studi untuk memperoleh gelar Magister
Pendidikan pada Perguruan Tinggi Universitas Muhammadiyah Makassar.
Pada kesempatan ini dengan penuh kerendahan hati penulis sampaikan
ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya dan penghargaan yang setinggi-
tingginya kepada yang terhormat:
Dr. Abd. Rahman Rahim, M. Hum. Ketua Program Magister Pendidikan
Bahasa Indonesia, dan juga sebagai pembimbing dalam penulisan tesis ini.
Dr. Sitti Aida Azis, M.Pd. Pembimbing yang di dalam berbagai kesibukan
dapat menyempatkan diri membimbing dan mengarahkan serta memberi
petunjuk dan saran yang sangat berharga dalam penulisan tesis ini.
Prof. Dr. H. M. Ide Said D. M., M.Pd. Direktur Program Pascasarjana
Universitas Muhammadiyah Makassar.
Pengelola, Dosen Pengajar dan Staf Sekretariat Magister Bahasa Indonesia,
yang teiah banyak membantu penulis selama mengikuti perkuliahan.
Suami dan anak-anakku yang telah memberikan semangat kepada penulis,
dan Semua pihak yang telah membantu dan terlibat dalam penyelesaian tesis
ini.
Semoga Allah swt senantiasa memberikan berkat dan anugrah-Nya
berlimpah bagi beliau yang tersebut di atas. Sangat disadari dalam tesis ini
terdapat banyak kekurangan, oleh karena itu semua saran dan kritik penulis
terima dengan lapang dada demi kesempurnaan penulisan tesis ini. Akhirnya
harapan penulis, semoga tesis ini bermanfaat bagi kita semua, Amin ya
Rabbal alamin.
Makassar, Oktober 2015
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL................................................................................... i
HALAMANPENGESAHAN....................................................................... ii
HALAMAN PENERIMAAN PENGUJI ...................................................... iii
ABSTRAK ............................................................................................... iv
ABSTRACK.............................................................................................. v
DAFTAR ISI ............................................................................................. vii
BAB I. PENDAHULUAN....................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ...................................................... 1
B. Rumusan Masalah............................................................... 13
C. Tujuan Penelitian ................................................................. 13
D. Manfaat Penelitian ............................................................... 13
BAB II. KAJIAN PUSTAKA.................................................................... 16
A. Tinjauan Pustaka ................................................................ 16
B. Penelitian yang Relevan ...................................................... 39
C. Kerangka Pikir ..................................................................... 44
BAB III. METODE PENELITIAN............................................................. 45
A. Pendekatan Penelitian.......................................................... 45
B. Lokasi Penelitian................................................................... 45
C. Unit Analisis dan Penentuan Instrumen................................ 46
D. Teknik Pengumpulan Data ...................................................... 46
E. Teknik Analisis Data ................................................................. 46
F. Triangulasi Data........................................................................ 48
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN................................. 50
A. Hasil Penelitian ......................................................................... 50
B. Pembahasan............................................................................. 97
BAB V. SIMPULAN DAN SARAN ............................................................ 104
A. Simpulan................................................................................... 104
B. Saran ........................................................................................ 105
DAFTAR PUSTAKA................................................................................. 107
LAMPIRAN............................................................................................... 109
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS
Dengan penuh kesadaran, saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : IRAWATI
NIM : 04.08.924.2013
Prog. Studi : Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia
Judul tesis : MAKNA SIMBOLIK DALAM TEKS RITUALMAGGIRI PADA PESTA ADAT KOMUNITAS BISSUDI KABUPATEN PANGKEP (Strukturalisme Levi-Strauss)
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang saya tulis ini benar-benar
merupakan hasil karya sendiri, bukan merupakan pengambilalihan tulisan
atau pemikiran orang lain. Apabila di kemudian hari terbukti atau dapat
dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan tesis ini hasil karya orang lain,
saya bersedia menerima sangsi atas perbuatan tersebut.
Makassar, Oktober 2015
Yang menyatakan
IRAWATI
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan negara yang terdiri atas berbagai suku dan
budaya yang terletak di seluruh pelosok negeri. Keberagaman suku
dan budaya merupakan ciri khas dan kebanggaan tersendiri bagi
rakyat Indonesia. Semua suku menyimpan mutiara kearifan lokal
dengan simbol- simbol dan keunikannya masing- masing. kejujuran,
keberanian, rendah hati, motivasi, pantang menyerah, harga diri,
pemimpin yang bijak, malu untuk korupsi, adalah sebagian kecil dari
filosofi hidup yang terkandung dalam nilai- nilai kearifan lokal. Sebuah
nilai yang dapat membentengi Indonesia dari paham- paham global
(Darmaputra, 2014: 5).
Tercipta dan terwujudnya suatu kebudayaan adalah hasil
interaksi antara manusia dengan segala isi alam raya ini. Manusia
yang telah dilengkapi Tuhan dengan akal pikirannya menjadikan
manusia sebagai khalifah di muka bumi ini dan diberikan kemampuan
daya antara lain akal, inteligensi, intuisi, kemauan, fantasi, dan
perilaku (Setiadi, 2005: 36)
Sulawesi Selatan merupakan salah satu provinsi yang ada di
Indonesia yang mempunyai kebudayaan dan komunitas yang unik,
yaitu Pakbissu=pbiisu yang terletak di Kabupaten Pangkajene dan
Kepulauan tepatnya di Kecamatan Segeri. Kabupaten Pangkajene
2
terdapat dua suku yang sangat dominan yaitu suku Bugis dan
Makassar.
Pangkajene berasal dari dua kata yang disatukan, yakni
Pangka=pnk yang berarti cabang dan Je’ne=ejen yang berarti air,
sedangkan kata Segeri=sEEgEri berasal dari kata Sigere-
gere=siEEgErE-sigErE (Bugis : saling membunuh). Dugaan ini
dilatarbelakangi terjadinya peristiwa pertumpahan darah di daerah
pada masa lampau, karena daerah itu menjadi tempat bertemunya
dua orang atau dua kelompok yang sama-sama mempertaruhkan
siriknya=siriny (harga dirinya) yang harus terbalaskan (terbayar)
setelah pertumpahan darah terjadi sebagai tumbalnya.
Dugaan kedua, daerah yang sekarang bernama Segeri=sEegri
itu awalnya adalah merupakan wilayah Kerajaan Siang, yang
diperebutkan oleh Gowa dan Bone untuk dijadikan wanua
palili=wnua plili (negeri bawahan) .
Perseteruan wilayah itu kemudian melahirkan konflik berdarah
pertempuran antara laskar Gowa dan Bone, saling membunuh untuk
memperebutkan wilayah itu. Dalam sejarah memang diketahui bahwa
Segeri pernah menjadi wanua palili (negeri bawahan) Bone, dalam
periode yang lain Segeri juga pernah menjadi wanua palili (negeri
bawahan) Gowa (Makkulau, 2006). Namun, ada pula yang
mengatakan bahwa kata Segeri=sEgEri berasal dari kata Sigegeri=
siegegri (Makassar : geger ; ribut diiringi tawa terbahak- bahak ;
saling melampiaskan rasa senangnya ; ramai), namun kurang
3
mendapatkan konfirmasi sosial karena fakta di lapangan
menunjukkan bahwa masyarakat Segeri=sEegri adalah masyarakat
berpenutur bahasa Bugis. (dari berbagai sumber: Makkulau, 2006) di
tempat inilah komunitas Bissu berada.
Bissu=bisu merupakan kaum pendeta yang tidak mempunyai
gender. Sebutan bissu=bisu berdasarkan keberadaan mereka di luar
batas gender, yakni bukan laki-laki pun bukan kaum perempuan.
Dikatakan di luar batas gender karena bissu tidak dianggap banci
atau waria.
Kata waria dalam bahasa Bugis disebut calabai=clbi, berasal
dari kata sala bai=sl bmi atau sala baine=slbien. Disebut demikian
karena terlahir sebagai pria, tetapi bertingkah laku seperti perempuan.
Dalam budaya Bugis kuno (pra-Islam), waria, wandu, banci
(calabai) punya kedudukan terhormat sebagai penyambung lidah raja
dan rakyat, penghubung antara raja dengan para dewa.
Kala itu, setiap ranreng=rnrE(wilayah) atau semacam wilayah
adat memilki komunitas bissu. Pada setiap upacara adat akan
dilaksanakan maka diharapkan hadir empat puluh bissu yang disebut
Bissu PatappuloE=bisu ptpuloea (empat puluh bissu). Menurut
Gilbert A Hamonic (dalam Makkulau, 2008) agama bissu mula-mula
lahir dari upacara dan kepercayaan rakyat yang sangat kuno. Dalam
perjalanan masa, kepercayaan orang biasa itu diubah oleh beberapa
pengaruh tradisi lainnya---termasuk tradisi Hindu dan Budha---lalu
diterima oleh kalangan bangsawan.
4
Sebagai “orang suci” bissu atau pendeta agama Bugis kuno,
bissu mendapat perlakuan yang sangat istimewa oleh istana
kerajaan.
Bissu dalam bahasa Bugis diambil dari kata bessi= bEsi yang
berarti bersih. Mereka disebut bissu karena tidak berdarah, suci
(tidak kotor), dan tidak haid. Selain laki-laki yang bersifat feminim ada
pula bissu perempuan, yaitu mereka yang menjadi bissu setelah
mengalami masa tidak subur lagi atau manopaus. Panggilan spiritual
menjadi bissu yang kemudian mengangkat derajat mereka menjadi,
bukan sekadar waria biasa. (Intisari, 2005 dalam Makkulau, 2007).
Pakaian yang digunakan oleh komunitas bissu berbeda
dengan pakaian laki-laki pada umumnya namun mereka juga tidak
memakai pakaian waria atau banci. Akan tetapi, mereka memiliki
pakaian sendiri sesuai dengan komunitas mereka.
Dalam kitab I La Galigo diuraikan bahwa setelah Batara Guru
diturunkan dari langit (dunia atas) ke bumi (dunia tengah) untuk
mengisi kekosongan bumi, menyusul diturunkan oleh istana yaitu selir,
saudara sesusuan, dan inang pengasuh, orang banyak beserta
rumah, gelanggang pohon wodi, dan pohon asam tempat bersantain.
We Nyillik Timo dimunculkan dari dunia bawah untuk menjadi
permaisurinya. Demikian pula diturunkan bissu yang bernama We
Sawammega dan rombongannya di Lenteriwu, di lereng Gunung
Latimojong. (Kompas, 2004 dalam Makkulau, 2008 ).
5
Diturunkannya We Sawammega ini atas usul Datu PatotoE’
kepada permaisurinya. Dari sinilah diyakini tradisi bissu berawal dan
menyebar ke seluruh wilayah Sulawesi Selatan.
We Sawammega diminta oleh Batara Guru dan isterinya agar
memohonkan keduanya kepada dewa agar memperoleh putera
mahkota. Maka, We Sawammega pergi tidur selama tujuh malam.
Dalam tidurnya (We Sawammega) merasakan dirinya naik ke langit
dan turun ke dunia bawah, memohonkan kehendak Batara Guru dan
isterinya. Setelah sadar dari tidurnya, We Sawammega
menyampaikan bahwa sudah dekat masanya We Nyilik Timo tidak
haid lagi, dan kelak akan melahirkan seorang anak laki-laki.
(Kompas,2004 dalam Makkulau 2008).
Menurut mitos dalam sureq Galigo, Batara Guru turun dan keluar
dari sebatang bambu. Keterasingan Batara Guru yang berasal dari
botting langi (dunia atas) terobati dengan pertemuan We Nyilik Timo
dari bori liung (dunia bawah) keduanya bertemu dan hidup secara
turun temurun di ale kawa (dunia tengah). Dari sinilah diyakini tradisi
bissu berawal dan menyebar ke seluruh wilayah Sulawesi Selatan
(Makkulau, 2005)
Bissu mengatur semua pelaksanaan upacara tradisional, seperti
upacara kehamilan (Bugis= maccerak wettang=mecr wEt),
kelahiran (Bugis= massuke lolo=msuek lolo), perkawinan
(Bugis=mappabotting=mpboti), kematian (Bugis=madduppa
wenni=mdup wEni), pelepasan nazar (Bugis=mappaleppe
6
tinja=mlEpE tij), persembahan tolak bala (Bugis=mattola bala=mtol
bl), dan lain-lain. Dalam surek Galigo termaktub, bahasa bissu
disebut juga “bahasa dewa” dalam pelaksaanaan upacaranya.
Religi orang Bugis Makassar, pada masa pra Islam sudah
menganut suatu kepercayaan pada suatu dewa (Tuhan) yang
tunggal, yang disebut dengan beberapa nama, seperti:
Patotoe=ptotoea (Dia yang menentukan nasib), Dewata
SeuwaE=edwt sEwea (Dewa yang tunggal), dan Turi Akrana= turi
arn (kehendak yang tertinggi). Sisa-sisa kepercayaan tersebut masih
tampak jelas hingga kini dibeberapa daerah, seperti bissu di
Kabupaten Pangkep, To Lotang di Kabupaten Sidenreng Rappang,
Kajang di Kabupaten Bulukumba. (Koentjaraningrat,1995 : 278,
dalam Mattulada)
Istilah Dewata SeuwaE=edwt sEwea dalam aksara Bugis
Lontara, dibaca dengan berbagai macam ucapan, misalnya :
Dewata=edwt (Tuhan), Dewangta=edwt (Tuhan) dan
Dewatangna=edwtn (yang tidak berwujud)) Bentuk pengucapan itu
mencerminkan sifat dan esensi Tuhan. De’watangna berarti yang
tidak punya wujud. De’Watangna juga dapat diucapkan De’batang.
De’=ed artinya tidak, sedangkan Watang=wt (batang) berarti tubuh.
Jadi De’watang dapat diartikan sebagai sesuatu yang tidak
berwujud. Yang dimaksudkan De’watang adalah sesuatu yang
tidak bertubuh seperti manusia. Jadi perkataan Dewata SeuwaE
(Tuhan kita yang satu) berarti Dewa yang Esa (Tunggal), pencipta
7
segala sesuatunya, dan yang tidak berwujud. Dialah yang patut
disembah oleh manusia. (Fauzi 1982 : 24 dalam Kambie, 2003).
Konsepsi Tuhan pada masa pra-Islam juga dijelaskan sebagai
berikut, Naiyya Dewata SeuwaE Tekkeinnang=naiiy edwt sEwea
tEekain, artinya : “ Adapun Tuhan Yang Maha Esa itu tidak beribu dan
tidak berayah”. Sedang dalam lontarak Sangkuru’ Patau’ Mulajaji
sering juga digunakan istilah Puang SeuwaE To PalanroE=, yaitu
Tuhan Yang Maha Esa, Sang Pencipta. Istilah lain, “Puang
MappancajiE’’= Tuhan yang menciptakan (Abidin, 1979 : 12). Konsep
Dewata SeuwaE disimpulkan oleh Abidin (1979 : 59) sebagai nama
yang diberikan kepada Tuhan yang dikenal etnik Bugis Makassar.
(Kambie, 2003).
Bissu dan calabai sangat berbeda. Pada masa lalu, calabai
banyak yang menjadi bissu, walau pun begitu tidak semua memang
bukan laki-laki dan bukan perempuan. Mereka adalah calabai kodrati
atau calabai tungkekna lino. Mereka terlahir sebagai pria, tetapi
bertingkah laku seperti perempuan (Darmaputra, 2014:41).
Calabai terbagi atas tiga kategori yaitu maccalabai, calabai
kedona, dan calabai tungkena lino. Kategori yang ketiga inilah yang
menjadi bissu penyambung lidah baik kepada raja maupun dengan
roh-roh leluhur. Orang yang menjadi bissu berarti telah siap dengan
segala konsekuensinya. Menjadi bissu berarti menyandang predikat
suci, tidak boleh menikah dan melakukan hubungan intim.
8
Seorang bissu harus menjadi penjaga ritus dan kepercayaan
masyarakat. Kepercayaan leluhur yang terwariskan secara turun
temurun dari tahun ke tahun selama ratusan tahun. Bissu adalah
perantara manusia dan Dewata. Bissu menjadi perantara manusia
yang hendak berkomunikasi dengan Dewata di kayangan. Bissu
dikenal sebagai pendeta Bugis kuno pra-Islam.
Dalam kepercayaan masyarakat Bugis, bissu dianggap
menampung dua jenis kelamin, laki-laki dan perempuan
(hermaphroditic beings who embody female and male elements).
Bissu juga dianggap mampu mengalami dua alam, alam makhluk dan
alam roh. Alam makhluk menempatkan bissu sebagai manusia biasa.
Alam roh diidentifikasi pada kemampuannya berkomunikasi dengan
para dewa.
Kemampuan bissu berkomunikasi dengan Dewa hanya
dilakukan saat ritual tertentu. Bissu memiliki gelar Puang
Matowa=pua mtoa atau Puang Towa=pua toa (Darmaputra: 2014).
Puang Towa inilah yang memimpin saat melakukan ritual.
Keberadaan bissu bagi masyarakat Sulawesi Selatan sangat
berperan penting bagi kehidupan mereka. Bissu selalu dijadikan
pemimpin ritual. Masyarakat yang mengadakan ritual atau
persembahan untuk Dewata harus dipimpin oleh bissu.
Kemampuannya berkomunikasi dengan Dewata dan berkomunkasi
dengan sesama menjadikan bissu memainkan peran vital di
masyarakat. Sebagai pendeta kuno masyarakat Bugis, bissu telah
9
memerankan diri sebagai sosok setengah Dewa. Bissu sebagai
penyambung doa masyarakat dengan Dewata melalui bahasa
Torilangi (bahasa langit).
Untuk menjadi seorang bissu bukanlah hal yang mudah karena
harus melalui prosesi yang sangat lama, dan bukanlah berasal dari
calabai biasa yang bisa menjadi bissu, namun ada hal-hal tertentu
yang harus dilewati seperti: berawal dari mimpi, (Puang matowa
akan mendapat isyarat bahwa akan datang seorang waria yang akan
datang magang kepadanya).
Sesama bissu juga mendapat semacam anugerah untuk dapat
mengetahui bahasa torilangi (bahasa Bugis kuno), meski tidak ada
yang mengajarkannya kepada mereka. (intisari, 2005 dalam
Makkulau, 2007).
Seorang calon bissu juga harus memenuhi persyaratan yang
lain. Yakni, mereka harus suci dari hal-hal duniawi yang sangat
menggoda. Sebut saja, mereka harus menahan nesunna=nEsu(hawa
nafsu atau syahwat), mappanre tomalupu=mpeN tomlupu (memberi
makan orang yang kelaparan), mappeinung to madekka=mepainu
to mdEk (memberi minum orang yang kehausan), maksampo to
mabelang=mspo to mebl (saling menutupi kekurangan), dan mali
siparape= mli siprep (saling mengingatkan).
Waria atau calabai yang akan dilantik menjadi bissu juga
diwajibkan untuk berpuasa ( Bugis=mappuasa=mpuas) selama satu
minggu hingga empat puluh hari. Selama menjalani puasa, banyak
10
sekali pantangan- pantangan (Bugis: Pammali=pmli, Makassar:
Kasipalli=ksipli) yang harus dihindari oleh seorang calon bissu
(Makkulau, 2007). Setelah puasa, sang calon bissu diharuskan
bernazar (mattinjak=mtij) untuk menjalani proses irebba=airEb (
proses dibaringkan). Dalam menjalani proses proses puasa, seorang
calon bissu dituntut untuk menjaga segala sikap, tingkah laku dan
perbuatan agar tidak tercela dan menodai kekhusu’an berpuasa.
Prosesi irebba= airEb(prosesi dibaringkan) dilakukan berhari-
hari yaitu (dibaringkan) yang dilakukan di loteng bagian depan pada
“Bola arajang” (Rumah Pusaka), (Intisari, 2005 dalam Makkulau,
2007).
Prosesi irebba=airEb biasanya berlangsung selama tiga atau
tujuh hari. Setelah itu sang calon bissu dimandikan, lalu dikafani dan
dibaringkan selama hari yang dinazarkan. Di atasnya digantung
sebuah guci berisi air.
Selama disemayamkan sesuai nazarnya, calon bissu dianggap
dan diperlakukan sebagai “orang mati”=tau met. Pada hari yang
dinazarkan, guci dipecahkan hingga airnya menyirami waria yang
sedang menjalani prosesi irebba=airEb (prosesi ini juga biasa juga
disebut mapparebba).
Setelah menjalani prosesi sakral ini seorang waria dapat
dinyatakan sudah resmi menjadi seorang bissu . setelah menjalani
proses panjang itu (prosesi irebba), seorang bissu diharuskan tampil
anggun (bugis=malebbi=mlEbi) dan senantiasa berlaku sopan.
11
Seorang bissu diwajibkan untuk menjaga sikap, perilaku dan
tutur katanya. Hal inilah yang membedakan antara waria-waria
lainnya. Bissu memang bukan sembarang calabai, tetapi seorang
calabai sakti yang lahir atau dilahirkan kembali dari peradaban Bugis
Kuno. Mereka adalah pelestari tradisi dan pemelihara benda-benda
arajang yang dikeramatkan. (Intisari, 2005 dalam Makkulau, 2007).
Bissu atau komunitas bissu yang ada sekarang ini (Kabupaten
Pangkajene Kepulauan) kini masih tetap kuat memegang teguh tradisi
dan peran sebagai pemelihara dan pelestari nilai-nilai budaya bugis
klasik dan digambarkan sebagai “manusia setengah dewa” yang
memiliki kekuatan supranatural. Mereka mendayagunakan hubungan
dengan dunia roh dan bertindak sebagai media bagi roh yang
memasukinya.
Bissu dengan tradisi transvestite-nya (lelaki yang berperan
sebagai perempuan) juga dikategorikan sebagai pendeta agama
Bugis kuno praislam. Mereka memiliki bahasa sendiri untuk
berkomunkasi dengan para Dewata dan sesamanya.
Keberadaan bissu sebagai benang merah kesinambungan adat
dan tradisi Bugis kuno yang masih eksis di tanah Bugis hingga kini.
Bissu dalam upacara adat tidaklah berdiri sendiri, melainkan menjadi
bagian dari budaya atau tradisi yang berlaku bagi masyarakat
penyangga pertunjukan tersebut (Ahmad, Makalah Disparbud, 2003).
Keberadaan pusaka bagi bissu sangat penting. Pusaka atau
arajang bukan hanya sebagai senjata atau benda keramat , tetapi
12
sebagai simbol rohani bissu. Oleh karenanya, bissu selalu merawat
dan mengagungkan arajang.
Arajang menjadi simbol pusaka yang harus dilestarikan dan
dirawat. Simbol yang ada dalam komunitas bissu bukan hanya
merupakan benda pusaka namun nyanyian dan bahasa yang
digunakan pun adalah bukti adanya makna yang tersimpan, baik itu
berupa nasihat ataupun sebagai alat komunikasi dengan Sang
Pencipta.
Simbol dalam ritual maggiri dikenal simbol verbal dan simbol
nonverbal. Simbol verbal yang dimaksud adalah bahasa yang
digunakan dalam acara ritual berupa nyanyian yang dilantunkan
maupun mantra-mantra yang diucapkan sebelum ritual maggiri
dilaksanakan dan simbol nonverbal yang dimaksud adalah berupa
benda benda yang digunakan dalam acara maggiri seperti keris atau
badik maupun sesajen yang berupa kue-kue tradisional dan songkolo(
nasi dari ketan yang telah diberi warna) yang terdiri atas berbagai
warna yang kesemuanya memiliki makna tersendiri.
B. Rumusan Masalah
Berkaitan dengan latar belakang rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
13
1. Bagaimanakah makna simbolik yang terkandung dalam acara
ritual maggiri pada pesta adat komunitas bissu di Kecamatan
Segeri Kabupaten Pangkep?
2. Bagaimanakah persepsi masyarakat Segeri mengenai
keberadaan bissu di Kecamatan Segeri Kabupaten Pangkep?
C. Tujuan Penelitian
Pada hakikatnya tujuan penelitian ini dapat dirumuskan sebagai
berikut :
1. Untuk memberikan kejelasan bagaimanakah makna simbolik yang
terkandung dalam acara ritual maggiri pada pesta adat komunitas
bissu di Kecamatan Segeri Kabupaten Pangkep?
2. Untuk menggambarkan bagaimanakah persepsi masyarakat
Segeri terhadap keberadaan komunitas bissu di Kecamatan Segeri
Kabupaten Pangkep?
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik
secara teoritis maupun secara praktis,
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat menyikapi esensi dasar dalam
makna proses acara ritual maggiri dalam komunitas bissu sebagai
14
kebiasaan atau adat yang harus dilaksanakan oleh komunitas bissu
setiap tahunnya pada pertengahan bulan November. Selain itu,
penelitian ini dapat memberikan sumbangsi interaksi simbolik
pengajaran makna ungkapan kebahasaan bagi para siswa,
mahasiswa, dan bahkan pembaca di sekolah untuk dapat menelusuri
kejelasan makna acara ritual maggiri pada komunitas bissu yang
merupakan tradisi atau budaya yang dilaksanakan oleh bissu di
Kecamatan Segeri Kabupaten Pangkep.
2. Manfaat Praktis
Secara praktis, manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah
sebagai berikut:
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khazanah
kepustakaan terkhusus bidang semantik, yang masih sangat
terbatas.
b. Menghilangkan persepsi tentang bissu yang cenderung mendapat
stigma negatif dari masyarakat modern.
c. Agar masyarakat Bugis pada khususnya lebih menghargai dan
menghormati komunitas tersebut sebagai pelestari adat dan
budaya Bugis kuno sebagai Pelestari warisan leluhur termasuk
benda-benda keramat, pusaka, dan kepercayaan masyarakat Bugis
d. Menambah atau memperdalam wawasan guru khususnya dalam
mengajarkan materi tentang simbol.
16
A. Kajian Pustaka
Penelitian ini membutuhkan sejumlah teori yang merupakan
landasan dalam melaksanakan penelitian maupun dalam penulisan
laporan.
Pengertian teori menurut seorang ahli dalam penelitian,
Snelbecker (dalam Moelong, 1995: 38) menyatakan: “Teori adalah
seperangkat proposisi terintegrasi secara sintaksis yaitu mengikuti
aturan tertentu yang dapat dihubungkan secara logis satu sama lain
dengan data dasar yang dapat diamati dan berfungsi sebagai wahana
untuk meramalkan dan menjelaskan fenomena yang diamati”.
Kemudian fungsi teori itu dirumuskan pula oleh Snelbecker (dalam
Moleong, 2007: 39) menyatakan bahwa:
“Fungsi teori terdiri atas empat yaitu 1) mensistematiskan
penemuan-penemuan peneliti, 2) menjadi pendorong untuk menyusun
hipotesis, dan dengan hipotesis membantu peneliti mencari jawaban-
jawaban, 3) membuat ramalan-ramalan atas penemuan, dan 4)
menyajikan penjelasan, menjawab pertanyaan mengapa dan
bagaimanakah”.
Sedangkan teori menurut Jonathan H. Turner teori adalah proses
mengembangkn ide-ide yang membantu kita menjelaskan bagaimana
dan mengapa suatu peristiwa terjadi. Sedangkan menurut Litlle Jhon
dan Karen Foss teori merupakan sebuah sistem konsep yang abstrak
dan hubungan-hubungan konsep yang membantu kita memahami
sebuah fenomena.
17
Jadi, teori adalah instrumen penghubung antara data yang
diperoleh dengan sejumlah proposisi awal dalam penelitian, selain
teori dan fungsi pada bab ini, juga dijelaskan konsep-konsep yang
merupakan tinjauan tentang unsur-unsur di dalam karya sastra yang
mempunyai makna dalam teori semantik.
1. Strukturalisme Levi-Strauss
Sehubungan dengan strukturalisme Levi-Strauss, dapat
ditemukan paling tidak lima pandangan dari de Saussure yang
kemudian menjadi dasar dari strukturalisme Levi-Strauss, yakni
pandangan tentang: (1) signified (tinanda) dan signifier (penanda). (2)
form (bentuk) dan content (isi); (3) langue (bahasa) dan parole (ujaran,
tuturan); (4) synchronic (singkronis) dan diachronic (diakronis); (5)
syntagmatic (sintagmatik) dan associative (paradigmatik).
De Saussure berpendapat bahwa elemen dasar bahasa adalah
tanda-tanda linguistik atau tanda-tanda kebahasaan (linguistic sign),
yang wujudnya tidak lain adalah ‘kata-kata’. De Saussure menolak
anggapan kubu nominalis yang mengatakan bahwa kata-kata ini
memiliki makna karena kata-kata ini stand for sesuatu atau mewakili
sesuatu. Alasan penolakannya adalah karena: (a) pandangan tersebut
menganggap bahwa ide-ide sebelum kata-kata, padahal (b)
pandangan tersebut tidak mengatakan kepada kita, apakah suatu
nama pada dasarnya bersifat ‘vokal’ (bersuara) atau psikologis
(psychological). Selain itu, (c) pandangan tersebut menganggap
18
bahwa hubungan antara suatu nama dengan suatu benda adalah
sederhana, atau tidak problematis (Pettit, 1976:5-6).
Bagi De Saussure ide-ide tidak ada sebelum kata-kata, dan
menurut dia secara psikologis pikiran kita –terlepas dari
perwujudannya dalam kata-kata –sebenarnya hanyalah “a shapeless
and indistinct mass”, suatu massa yang tak berbentuk dan tak
mengenal perbedaan-perbedaan atau tak bisa dibeda-bedakan.
De Saussure mengemukakan dua macam pembedaan yang
sangat penting, yakni (a) pembedaan antara signified (tinanda) dan
signifier (penanda), serta (b) pembedaan antara form (bentuk) dan
content, substance (isi). Dua pembedaan ini saling menyilang
sehingga pada setiap kata terdapat empat aspek, yakni: bentuk dan isi
dari tinanda, dan bentuk dan isi dari penanda.
Tanda adalah juga kesatuan dari suatu bentuk penanda yang
signifier-, dengan sebuah ide atau tinanda –yang disebut signified-.
Walaupun penanda dan tinanda tampak sebagai entitas yang
terpisah-pisah namun keduanya hanya ada sebagai komponen dari
tanda. Tandalah yang merupakan fakta dasar dari bahasa (Culler,
1976: 19). oleh karena itu, setiap upaya untuk memaparkan teori de
saussure mengenai bahasa pertama-tama harus membicarakan
pandangan de Saussure tentang hakekat tanda tersebut.
De Saussure ( dalam Ahimsa:2001-34) mengatakan bahwa
setiap tanda kebahasaan pada dasarnya menyatukan sebuah konsep
(concept) dan suatu citra suara (sound image), bukan menyatukan
19
sesuatu dengan sebuah nama. Suara yang muncul dari sebuah kata
yang diucapkan merupakan penanda (signifier), sedang konsepnya
adalah tinanda (signified). Dua unsur ini tidak dapat dipisahkan sama
sekali.
Pemisahan hanya akan menghancurkan ‘kata’ tersebut. Ambil
saja misalnya sebuah kata, apa saja, maka kata tersebut pasti
menunjukkan tidak hanya suatu konsep yang berbeda (distinct
concept), tetapi juga suara yang berbeda (distinct sound). “In
language, a concept is a quality of its phonic substance, just as
particular slice of sound is a quality of the concept” (Saussure, 1996:
103).
Bahasa dapat diumpamakan seperti selembar kertas yang
memiliki dua sisi. Sisi yang satu adalah pikiran dan sisi yang lain
adalah suara, dan tidak dapat menggunting sisi yang satu tanpa
menggunting sisi yang lain.
Selanjutnya tanda kebahasaan (Linguistic Sign), menurut de
Saussure, adalah sebuah entitas yang arbitrair, semena-mena.
Artinya, hubungan atau kombinasi antara elemen penanda dan
tinanda yang bersifat semena-mena. Tidak ada hubungan alami atau
intrinsik antara kedua unsur tersebut. Contoh, tidak ada alasan yang
jelas dan pasti mengapa seekor binatang berkaki empat yang dapat
berlari kencang atau citra binatang yang seperti itu dalam pikiran –
yang disebut konsep- disebut dengan istilah ‘kuda’, pada orang jawa
menyebutnya jaran dan orang Inggris menyebutnya horse.
20
Bahasa bukan sekedar kumpulan nama-nama atau nomenklatur
(nomenclatures). Tinanda dalam berbagai bahasa bisa sangat
berbeda antara satu dengan yang lain. Kata tresna dalam bahasa
Jawa misalnya, tidak dapat diterjemahkan begitu saja menjadi kata
cinta atau setia dalam bahasa Indonesia. Demikian pula halnya kata
kunduran. Kata tresna dalam bahasa Jawa misalnya tidak dapat
diterjemahkan begitu saja menjadi kata cinta atau setia dalam bahasa
Indonesia. Demikian pula halnya kata kunduran. Kata ini tidak dapat
diartikan sebagai kemunduran . Jadi, setiap bahasa sebenarnya
mengartikulasikan, menyatakan ide tentang realitas di dunia dengan
cara yang berbeda-beda.
Oleh karena bahasa bukanlah sekedar nomenklatur, maka
tinanda-tinandanya bukanlah konsep-konsep yang sudah ada lebih
dulu, tetapi konsep-konsep yang dapat berubah-ubah dan tergantung
pada yang lain; konsep-konsep yang bervariasi mengikuti perubahan
dari suatu keadaan ke keadaan yang lain. Dengan kata lain, setiap
bahasa sebenarnya merupakan seperangkat tinanda-tinanda yang
berbeda-beda. Setiap bahasa memiliki sendiri caranya yang khas dan
arbitrair, seenaknya, dalam mengorganisir dunia dengan segala isinya
ini menjadi konsep-konsep, menjadi kategori-kategori (Culler, 1976:
23).
Lebih dari itu, bahasa juga membagi suatu spektrum
kemungkinan konseptual dengan cara yang disukainya. Fakta bahwa
konsep-konsep atau tinanda-tinanda tersebut merupakan pembagian
21
–pembagian suatu kontinum secara arbitrair menunjukkan bahwa
tinanda-tinanda tersebut tidaklah otonom atau berdiri sendiri, yang
masing-masing memiliki semacam esensi atau inti yang
menentukannya. Sebaliknya, tinanda-tinanda tersebut adalah bagian
dari sebuah sistem dan ditentukan, didefinisikan, oleh bagian-bagian
lain dari sistem tersebut (Culler, 1976: 24).
Menurut De Saussure bahasa juga harus mengandung
differential structure (struktur differensial), sebab kalau tidak
bagaiamana kita akan dapat mengetahui apakah suatu kata tetap
tampak sama –jika ada peralihan atau pergantian dalam pengucapan
dan penggunaan-, jika kata tersebut tidak memiliki suatu identitas
formal dalam bahasa lewat pembedaannya dengan kaa-kata yang
lain. Bahasa –demikian De Saussure menyimpulkan-, pada
hakekatnya adalah juga sebuah sistem untuk membedakan kata-kata
(Pettit, 1976: 8).
Berbeda dengan parole, atau performance menurut Chomsky,
yang merupakan wujud atau aktualisasi dari languge dalam rupa lisan
maupun tulisan (Culler, 1973: 8). Parole atau tuturan adalah apa yang
di wujudkan ketika menggunakan suatu bahasa dalam percakapan
atau ketika menyampaikan pesan tertentu lewat sura-suara simbolik
yang keluar dari mulut seseorang. Tuturan bersifat individual,
sehingga mencerminkan atau menunjukkan kebebasan pibadi
seseorang.
22
Dalam istilah Levi-Staruss (1963) tuturan adalah sisi statistical
dari fenomena bahasa Walaupun tuturan merupakan wujud empiris
bahasa, namun sebuah tuturan tidak tidak pernah merupakan
perwujudan dari keseluruhan dari bahasa yang merupakan sistem
dengan struktrur tertentu.
Language dan parole memang berbeda, meskipun demikian
bagaikan dua sisi dari sebuah mata uang yang sama, keduanya tidak
mungkin dipisahkan satu sama lain. Agar pesan yang ingin
disampaikan seseorang mencapai sasarannya atau dimengerti oleh
pihak yang lain, maka parole yang diwujudkannya harus berada dalam
sistem languge tertentu. Diabaikannya language akan membuat
pesan yang ingin disampaikan tidak dapat dimengerti atau
disalahmengertikan. Dengan kata lain, tanpa adanya language tidak
akan ada parole. Sebaliknya, tanpa parole, language juga tidak akan
diketahui keberadaannya.
Dalam analisis struktural struktur ini dibedakan menjadi dua
macam: struktur lahir, struktur luar (surface structure), dan struktur
batin, struktur dalam (deep structure). Struktur luar adalah relasi-relasi
antar unsur yang dapat dibuat atau bangun berdasar, atas ciri-ciri luar
atau ciri-ciri empiris dari relasi-relasi tersebut, sedang struktur dalam
adalah susunan tertentu yang dibangun berdasarkan atas struktur
lahir yang telah berhasil dibuat, namun tidak selalu tampak pada sisi
empiris fenomena yang dipelajari. Struktur dalam ini dapat disusun
23
dengan menganalisis dan membandingkan berbagai struktur luar yang
berhasil diketemukan atau dibangun.
2. Mitos dan Bahasa
Ada dua persamaan antara bahasa dan mitos menurut Levi-
Strauss yaitu: pertama, bahasa adalah sebuah media, alat, atau
sarana untuk komunikasi, untuk menyampaikan pesan-pesan dari
satu individu ke individu yang lain, dari kelompok yang satu ke
kelompok yang lain. Demikian pula halnya dengan mitos. Mitos
disampaikan melalui bahasa dan mengandung pesan-pesan. Pesan-
pesan dalam sebuah mitos diketahui lewat proses penceritaannya,
seperti halnya pesan-pesan yang disampaikan lewat bahasa diketahui
dari pengucapannya.
Kedua, mengikuti pandangan de Saussure tentang bahasa yang
memiliki aspek language dan parole-, Levi-Strauss juga melihat mitos
sebagai fenomena yang memiliki dua aspek tersebut. Di mata Levi-
Strauss parole adalah aspek statistikal dari bahasa, yang muncul dari
adanya penggunaan bahasa secara konkret, sedang aspek langue
dari sebuah bahasa adalah aspek strukturalnya.Bahasa dalam
pengertian kedua ini merupakan struktur-struktur yang membentuk
suatu sistem atau merupakan suatu sistem struktur, yang relatif tetap,
yang tidak terpengaruh oleh individu-individu yang menggunakannya.
Bahasa sebagai suatu langue berada dalam waktu yang bisa
berbalik (reversible time), karena terlepas dari perangkap waktu yang
24
diakronis, tetapi bahasa sebagai parole tidak dapat terlepas dari
perangkap waktu ini sehingga parole dianggap oleh Levi-Staruss
berada dalam waktu yang tidak dapat berbalik (non-reversible time).
Mitos, kata Levi-Staruss, juga berada dalam dua waktu
sekaligus, yaitu waktu yang bisa berbalik, dan waktu yang tidak bisa
berbalik. Ini terlihat misalnya dari fakta bahwa mitos selalu menunjuk
ke peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa lampau. Kata-kata “konon
dahulu kala...”, “Alkisah di zaman dahulu...”, :Tersebutlah di zaman
dahulu...”, dan sebagainya, adalah kata-kata yang lazim ditemukan
dalam pembukaan sebuah mitos.
Di pihak lain, pola-pola khas dari mitos merupakan ciri yang
membuat mitos dapat tetap relevan dan operasional dalam konteks
yang ada sekarang. Pola-pola tertentu yang diungkapkan mitos, yang
dideskripsikan oleh mitos, bersifat timeless, tidak terikat pada waktu,
atau berada pada reversible time.Pola-pola ini menjelaskan apa yang
terjadi di masa lalu, namun sekaligus juga dapat menjelaskan apa
yang tengah terjadi sekarang, dan apa yang akan terjadi di masa
mendatang. Pola-pola tersebut dapat “explains the present and the
past, as wellas the future” (Levi-Strauss,1963: 209).
Mitos bisa sama dengan bahasa, tetapi juga berbeda
dengannya. Kalau bahasa memiliki sisi singkronis dan diakronis, dan
pangkronis (singkronis dan diakronis sekaligus tidak terpisah, tetapi
menyatu). Di sini mitos dikatakan oleh Levi-Strauss memiliki struktur
ganda (dublestructure), yaitu historis dan ahistoris sekaligus. Sturktur
25
ganda inilah yang membuat mitos sama namun sekaligus juga
berbeda dengan bahasa. Kata Levi-Strauss (1963: 210), “...It is that
double structure, altogether ahistorical which explains how myth, while
pertaining to realm of parole and calling for an explanation as such, as
well as to that of langue in which it is expressed, can also be an
abslute entity on a third level which, though it remains linguistic by
nature, is never theless distinct from the other two”.
Ada dua implikasi yang penting tentang mitos yang di
kemukakan oleh Levi-Staruss (1963: 210-211) pertama, mitos -seperti
halnya bahasa- terbentuk dari constituent units.
Unit-unit ini adalah seperti unit-unit dalam bahasa ketika
dianalisis pada tingkat-tingkat yang berbeda, seperti fonem, morfem,
dan semem. Kedua, walaupun unit-unit dalam mitos ini sama seperti
unit-unit tersebut, tetapi merek juga berbeda, sebagaimana halnya
unit-unit tersebut berbeda satu dengan yang lain. Fonem berbeda
dengan morfem, morfem berbeda dengan semem dan seterusnya.
Unit atau satuan-satuan dalam mitos berada pada tataran yang lebih
kompleks, dan karena itu disebut oleh Levi-Strauss gross constituent
units atau mythemes, yang di Indonesiakan menjadi miteme.
Miteme-miteme inilah yang harus didapatkan terlebih dulu
sebelum berusaha untuk mengetahui makna sebuah mitos secara
keseluruhan, karena miteme merupakan unit yang terkecil dari
ceritera. Di sinilah dapat ditemukan kedudukan mitemeyang berada
26
pada posisi sebagai simbol dan tanda. Secara sederhana dapat
dikatakan bahwa simbol adalah segala sesuatu yang dimaknai.
Simbol mengacu pada sesuatu. Simbol dapat dikatakan
mempunyai makna referential. Suatu simbol mengacu pada sesuatu di
luar dirinya, sedang tanda tidak mengacu pada apa-apa. Sebuah
tanda pada dasarnya ‘tidak bermakna’ tetapi mempunyai ‘nilai’. Nilai
ini lahir jika tanda berada dalam konteks. Tanpa konteks, tanda
adalah nothing, bukan apa-apa. Lain halnya dengan simbol, yang
masih bisa bermakna walaupun konteksnya tidak ada, walaupun tidak
tahu makna mana yang diacu dalam suatu saat tertentu. Oleh karena
itu, makna suatu simbol pada suatu waktu dan ruang tertentu, selalu
tergantung pada konteksnya juga.
Unit-unit terkecil mitos, yaitu miteme, adalah kalimat-kalimat atau
kata-kata yang menunjukkan relasi tertentu atau mempunyai makna
tertentu. Berbeda dengan fonem yang memang betul-betul merupakan
tanda yang tak bermakna, namun bernilai. Oieh karena itu, sebuah
miteme dapat dikatakan sebagai sebuah simbol, karena memiliki
acuan, mempunyai makna referential, tetapi di lain pihak miteme juga
dapat ditanggapi sebagai sebuah tanda, yang mempunyai ‘nilai’
(value) dalam konteks tertentu. Jadi, sebuah miteme dapat ditanggapi
sebagai simbol dan tanda sekaligus.
3. Pengertian Semantik
27
Istilah semantik berasal dari bahasa Yunani sema, yang berarti
‘tanda’ atau ‘lambang’. Kata kerjanya adalah semaino yang berarti
menandai atau melambangkan. Yang dimaksud dengan tanda atau
lambang adalah sebagai padanan kata sema itu adalah tanda
linguistik (Prancis: signe´linguistique) menurut Ferdinand de Saussure
(1966), yaitu yang terdiri atas (1) komponen yang mengartikan, yang
berujud bentuk-bentuk bunyi bahasa dan (2) komponen yang diartikan
makna dari komponen yang pertama itu.
Kata semantik diterima masuk dalam perbendaharaan bahasa
Indonesia terutama digunakan dalam pengetahuan yang
berhubungan dengan linguistik. Hal ini menunjukkan bahwa semantik
merupakan cabang linguistik yang menelaah tentang makna bahasa.
Dengan demikian, semantik sebagaimana asalnya digunakan sebagi
salah satu ilmu bahasa yang mempermasalahkan makna dan
perubahan atau perkembangan kata dalam bidang arti (Rahman,
dalam Alwasilah, 1984 : 27).
Menurut beberapa ahli pengertian semantik sangat beragam,
berikut ini akan diturunkan beberapa pendapat agar semakin jelas
makna semantik yang sesungguhnya, antara lain sebagai berikut:
Kridalaksana (1993 : 193) dalam Kamus Linguistik edisi ketiga
mengatakan bahwa semantik adalah sebagian dari struktur bahasa
yang berhubungan dengan makna ungkapan dan juga dengan struktur
makna suatu wicara, sistem penyelidikan makna dan arti dalam suatu
bahasa atau bahasa pada umumnya.
28
Kridalaksana (1993 : 195) menyatakan bahwa semiotika
(semiotics) adalah ilmu yang mempelajari lambang-lambang dan
tanda-tanda. Semantika (semantics) adalah cabang semiotika yang
mempelajari hubungan antara lambang dan referennya.
Kridalaksana (1993:120) memberikan pengertian makna
sebagai berikut: “Makna (1) maksud pembicaraan, (2) pengaruh
satuan bahasa dalam pemahaman persepsi atau perilaku manusia
atau kelompok manusia, (3) hubungan, dalam arti
kesepadanan/ketidaksepadanan antara bahasa dan alam di luar
bahasa atau ujaran dan semua hal yang ditujukannya, dan (4)
menggunakan lambang-lambang bahasa.
Slametmuljana, (1964 : 1) mengatakan bahwa semantik adalah
makna kata dalam bahasa tertentu menurut sistem penggolongan.
Tarigan (1985: 166) menyebutkan “semantik adalah telaah tentang
makna kata”. Lanjut Aminuddin (1988 : 15) mengatakan bahwa
semantik mengandung pengertian studi tentang makna. Demikian
pula Verhaar (dalam Pateda, 1989 : 14) menyebutkan bahwa
“semantik adalah teori makna atau teori arti (Ing. semantics :
Indonesia semantik ) dengan semantics dengan kata sifatnya”.
Beberapa pendapat di atas, menurut penulis bahwa “semantik
merupakan salah cabang ilmu linguistik yang membahas tentang
makna” sehingga dapat dikatakan bahwa makna yang menjadi objek
dari semantik yaitu:
4. Definisi Makna
29
Makna merupakan pertautan yang ada di antara unsur-unsur
bahasa itu sendiri terutama (terutama kata-kata) “Makna”: 1) maksud
pembicaraan, 2) pengaruh suatu bahasadalam pemahaman persepsi
atau perilaku manusia atau kelompok manusia, 3) hubungan dalam
arti kesepadanan atau ketidaksepadanan antara bahasa dan alam di
luar bahasa atau antara dari semua hal yang ditunjuk, dan 4) cara
menggunakan lambang-lambang bahasa.
Kridalaksana (1993:120) memberikan pengertian makna
sebagai berikut: “Makna (1) maksud pembicaraan, (2) pengaruh
satuan bahasa dalam pemahaman persepsi atau perilaku manusia
atau kelompok manusia, (3) hubungan, dalam arti
kesepadanan/ketidaksepadanan antara bahasa dan alam di luar
bahasa atau ujaran dan semua hal yang ditujukannya, dan (4)
menggunakan lambang-lambang bahasa.
Chaer (2009: 32) mengatakan, bahwa hubungan antara kata
dengan maknanya memang bersifat arbitrer. Artinya tidak ada
hubungan wajib antara deretan fonem pembentuk kata itu dengan
maknanya. Namun, hubungannya bersifat konvensional. Artinya
disepakati oleh setiap anggota masyarakat suatu bahasa untuk
mematuhi hubungan itu; sebab kalau tidak, komunikasi verbal yang
dilakukan akan mendapat hambatan.
Dengan demikian, terdapat adanya hubungan antara makna
dengan pengertian. Misalnya, apabila seseorang mendengarkan
sesuatu atau sebuah kata tentulah membayangkan bendanya, dan
30
apabila seseorang membayangkan bendanya, maka ia akan segera
mengatakan benda tersebut.
Hakikat makna, dinyatakan dalam “The Nature of Meaning “ oleh
Paul Horwich ( dalam Michael Devitt and Richard Hanley ,2006)
adalah setiap ungkapan berarti atau mengandung sesuatu.
Poerwadarminta (dalam Pateda, 1989 : 45) menyatakan sebagai
berikut : makna adalah arti atau maksud (sesuatu kata); misalnya
mengetahui lafal dan maknanya bermakna berarti; mengandung arti
yang penting (dalam); berbilang, mengandung beberapa arti :
memaknakan : menerangkan arti (maksud) sesuatu kata dan
sebagainya”.
Berdasarkan uraian tersebut dapat dikatakan bahwa makna
merupakan konsep yang lahir dari hasil interpretasi yang menunjuk
kepada suatu makna tertentu yang dapat dipahami. Hal ini berarti
bahwa hal itu berkaitan erat dengan upaya agar setiap pemakai
bahasa atau pembicara maupun pendengar bisa saling memahami
dengan apa yang telah dituturkan. Oleh karena itu, makna hanya
berlaku untuk bahasa yang bersangkutan maka dengan sendirinya
pula makna itu terbentuk berdasarkan sistem aturan yang berlaku dan
dimiliki oleh bahasa tersebut , sehingga perhatian dalam mencari dan
menemukan suatu makna adalah dengan memperhatikan leksem ymg
terdapat dalam bahasa seseorang.
31
Leksem terbagi atas beberapa jenis, ada yang memiliki makna
sendiri tanpa terikat oleh konteks yang mengikutinya dan maknanya
juga lebih mudah untuk dianalisis.
5. Jenis Makna
Jenis makna dapat dibedakan dalam beberapa kriteria dan sudut
pandang. Sedang jenis semantik dibedakan atas dua yaitu semantik
leksikal dan semantik gramatikal. Berdasarkan ada tidaknya referen
pada sebuah leksem/kata dapat dibedakan adanya makna denotasi
dan makna konotatif, berdasarkan ketepatan maknanya dikenal
adanya makna kata dan makna istilah atau makna umum dan makna
khusus, berdasarkan kriteria dan sudut pandang lain dapat disebutkan
adanya makna deskriptif dan referensial dan sebagainya.
a. Makna Deskriptif
Makna deskriptif (descriptive meaning) atau makna kognitif
(cognitive meaning) atau makna referensial (referential meaning)
adalah makna yang ditunjukkan oleh acuannya, makna unsur bahasa
yang sangat dekat dengan dunia luar bahasa, objek atau gagasan,
dan dapat dijelaskan berdasarkan analisis komponenya. Seperti kata
“pohon” bermakna tumbuhan yang berbatang keras dan besar. Yang
terbayang dalam ingatan kita yakni sebatang pohon (entah pohon
apa yang jelas bukan seekor sapi).
32
b. Makna Referensial
Makna referensial (referential meaning) adalah makna yang
langsung berhubungan dengan acuan yang ditunjuk oleh kata.
Referen adalah sesuatu yang ditunjuk oleh lambang. Menurut Palmer
(1976 : 30) makna referen adalah hubungan antara unsur unsur
linguistik berupa kata-kata, kalimat-kalimat, dan dunia pengalaman
yang non linguistik, sedangkan menurut Anthoni (1975 : 5) referen
adalah kenyataan yang disegmentasikan dan merupakan fokus
lambang.
Makna referensial mengisyaratkan kepada kita tentang makna
yang langsung menunjuk pada sesuatu, apakah benda, gejala,
kenyataan, peristiwa, proses, sifat. Jadi, kalau seseorang mengatakan
marah maka yang diacu adalah gejala marah, misalnya mukanya
cemberut, diam, dan kalau berbicara menggunakan bahasa yang
bernada tinggi yang kadang-kadang diikuti dengan anggota badan.
Begitu pula, jika seseorang mengatakan sungai , maka yang ditunjuk
oleh lambang tersebut, yakni tanah yang berlubang lebar dan panjang
tempat air mengalir dari hulu ke danau atau laut. Kata sungai
langsung dihubungkan dengan acuannya. Tidak mungkin timbul
asosiasi lain.
6. Makna Simbolik
Makna simbolik adalah interaksi yang menggunakan simbol
(yaitu objek sosial yang disetujui orang
33
menggantikan/merepresentasikan sesuatu) , manusia mempelajari
simbol) manusia mempelajari simbol dan maknanya melalui interaksi,
simbol berupa benda, gerak/isyarat atau kata-kata, bahasa adalah
simbol yang paling penting, simbol harus dimaknai sama oleh pihak
yang bersangkutan.
7. Bahasa dan Sastra
Bahasa dalam sastra merupakan unsur bahan, alat sarana, yang
diolah untuk dijadikan sebuah karya yang mengandung “nilai lebih”
daripada sekadar bahasa itu sendiri. Bahasa dimanfaatkan sastra
dalam menyampaikan sesuatu, mendialogkan sesuatu. Jadi bahasa
dalam sastra juga mengemban fungsi komunikatif (Nurgiantoro,
2002:15). Untuk mengefektivitaskan pengungkapan, pengarang
(penutur) menyiasati, memanipulasi, dan mendayagunakan secermat
mungkin sehingga bahasa tampil dalam sosok berbeda dengan
bahasa nonsastra.
Pada kesempatan lain Pradopo (1995:118) mengatakan bahwa
“struktur karya sastra tidak dapat dimengerti maknanya secara optimal
bila tidak memperhatikan tanda, sistem tanda, makna tanda, dan
konvensi tanda”. Oleh karena itu, tanda atau simbol yang digunakan
dalam pesta adat ritual maggiri.
8. Pengertian Tari Maggiri
Maggiri berasal dari kata giri ( Bugis giri=ditusukkan). Tarian ini
dimainkan oleh enam orang penari (dahulu tarian ini dilakukan
34
dimainkan oleh empat puluh satu orang penari). Layaknya tarian pada
umumnya, diiringi oleh tabuhan gendang yang berirama khas. Dalam
gerakannya, keenam penari ini melantunkan mantra-mantra mistis
dalam bahasa to rilangi (bahasa kuno suku Bugis). Selain lantunan
mantra-mantranya, diarena pertunjukan ini tersedia berbagai sesajen.
Sesajen ini terdiri atas kue- kue tradisional Bugis, buah-buahan,
ayam, kepala kerbau, dan sapi sebagai persembahan kepada roh
leluhur.
Tari maggiri dikenal sebagai tarian yang mempertontonkan
kekebalan tubuh bissu. Tari maggiri adalah tarian yang penuh dengan
nilai estetika dan sarat dengan muatan spiritual. Tari maggiri
dianggap sebagai tari pengagunan terhadap Dewata. Tarian bissu
menyanyikan doa dan ekspresi syukur kepada Dewata.
Kesakralan tari maggiri terlihat dari prosesi yang dilakukan bissu
sebelum memulai tariannya. Para bissu menyiapkan dupa=dup
(kemenyang) dan beberapa tappi=tpi (keris). Di dekat dupa dan keris,
terdapat ota sakke =wt skE (daun sirih yang ruas yang saling
ketemu, kapur serta pinang).
Beberapa menit setelah itu, ruangan akan ditutupi kain putih.
Tujuannya agar ada pembatas antara bissu dengan pengunjung.
Selain para bissu tidak boleh berada dalam ruangan yang dibatasi
kain tersebut. Masyarakat umum pun tidak diperbolehkan melihat
prosesi ritual yang dilakukan bissu di dalam tirai tersebut.
35
Puang Matowa menyanyikan lagu Bugis yang dipercaya sebagai
nyanyian La Galigo waktu masih kecil. Lagu tersebut berbunyi; yaa
saboo yaa saboo, aju bitti.
Setelah prosesi ritual dalam tirai tersebut selesai, para bissu
akan menuju panggung yang telah dipersiapkan untuk tarian maggiri.
Panggung tersebut berupa serambi rumah pemimpin bissu. Di
panggung tersebut, bissu akan menari maggiri.
Sebagai penanda dimulainya tarian maggiri, gendang akan
ditabuh. Tabuhan pembuka, hanya pelan-pelan. Tabuhan gendang
yang pelan ini disebut Bali’ Sumange=bli sumGE (mengembalikan
semangat). Bissu akan menari mengikuti irama gendangnya. Semakin
lama, gendang akan ditabuh lebih kencang dan lebih cepat. Tabuhan
ini disebut Tettek Sompa=tEet soP. Perlahan-lahan, tabuhan
gendang akan terus meningkat, mulai dari pukulan losa-losa=los- los
(mpellung= timbul tenggelam), sala kanjara=sl kjr (hentakan kaki
yang tidak beraturan), na kanjara=n kjr (hentakan kaki mulai agak
cepat) sampai U kanjara=au kjr (hentakan kaki yang semakin kuat
dan semakin hebat tusukan badik pada tubuh sang penari).
Tarian bissu mengikuti irama tabuhan gendang. Ketika tabuhan
masuk pada irama sala kanjara, para bissu akan memulai
menunjukkan atraksinya. Ketika pukulan masuk pada irama kanjara,
yaitu pukulan gendang yang paling cepat tari terus berlangsung
hingga bissu sendiri mengakhiri tariannya. Pada saat tarian maggiri
akan dihentikan, pemimpin bissu akan berteriak dengan bahasa
36
Bugis. Saat itulah, pemimpin bissu diangkat dan dimasukkan ke
dalam kamar penanda tari maggiri telah selesai. Selesai acara,
pemimpin bissu dan para penari akan kembali ke tempat upacara
untuk membaca doa.
Yang unik dari pertunjukan ini adalah pakaian yang digunakan
oleh penari. Keenam penari berdandan layaknya seorang perempuan
dengan pakaian berwarna keemasan dan badik terselip di pinggang.
Penari mabissu atau tari Maggiri ini biasanya menggunakan pakaian
berwarna terang. Celana berpadu rok berwarna hijau, biru muda,
kuning, dan merah menjadi pelengkap yang sangat indah.
Pertunjukan bissu diawali dengan tari-tarian sederhana diiringi
musik palappasa. Alat musik itu hanya terdiri atas dua bilah bambu
yang dipukulkan satu sama lain. Bunyi-bunyian lain berasal dari pantat
piring dan mangkuk yang saling digesekkan sehingga timbul suara
berisik. (Monoharto,etal,2003).
Seiring musik mengalun, para penari mengelilingi Arajange
(benda yang dikeramatkan) sambil menggerakkan tangannya dengan
gemulai. Awalnya, gerakan penari-penari ini terlihat semakin lambat.
Namun, lama-kelamaan gerakannya semakin cepat.
Ketika sang penari semakin tak terkendali, tangan mereka
langsung mengeluarkan badik yang terselip dipinggangnya. Seolah
ada pengendali lain di dalam tubuhnya, para penari terlihat tak mampu
melawannya. Mereka pun langsung menusuk-nusukkan seluruh
tubuhnya dengan badik tersebut. Inilah yang disebut dengan maggiri.
37
Tujuannya adalah untuk menguji apakah roh leluhur atau Dewata
yang sakti sudah merasuk ke dalam diri mereka. Jika mereka kebal,
berarti bissu itu dan roh yang merasukinya dipercaya dapat
memberikan berkat. Sebaliknya, jika badik itu menembus dan melukai
tubuh mereka, berarti yang merasukinya adalah roh lemah. Akan
tetapi, apabila seorang penari terluka dalam acara maggiri tersebut itu
pertanda bahwa ada salah satu persyaratan tarian yang tidak
dipenuhi, sehingga badik bisa menembus kulit sang penari maggiri
tersebut.
Seni tradisional tari bissu sedikit telah mengalami perubahan
yang ekstensif. Tari bissu saat ini masih tampil sebagai genre tari
tradisisonal yang lebih adaptif terhadap lingkungan, sebagai bagian
dari upacara mappalili dan upacara adat lainnya. Kehadiran tari
bissu atau maggiri dewasa ini telah mengalami perubahan karena
telah menjadi seni hiburan atau pertunjukan dalam seni hiburan. Jadi
pada hakikatnya tarian maggiri ini bagi bissu merupakan
persembahan dan permohonan doa kepada Dewata.
9. Jenis-Jenis Tarian Maggiri
Menurut penjelasan pemimpin bissu bahwa tari maggiri terbagi
atas dua yaitu tarian maggiri Dewata dan tarian maggiri mamata.
a. Tarian maggiri Dewata (Madewata)
38
Tarian Maggiri Dewata adalah salah satu prosesi tarian maggiri
yang betul-betul bernuansa spiritual mendalam. Tarian maggiri
Dewata bercirikan bissu yang tidak tahu pengunjungnya. Bissu yang
melakukan tarian maggiri tidak akan tahu para pengunjung. Ketika
tarian dimulai, tarian bissu tidak dapat dihentikan oleh siapa pun,
kecuali bissu sendiri. Proses berhentinya tarian melalui ritual yang
dilakukan oleh bissu.
b. Tari Maggiri Mammata
Tarian Maggiri Mamata adalah tarian bissu yang tidak
mempunyai nuansa spiritual atau ritual. Maggiri Mamata hanya
bertujuan untuk pertunjukan, seperti ada festival, undangan
pemerintah daerah atau tarian menjemput tamu undangan luar
daerah. Tarian maggiri mamata adalah tarian yang fleksibel. Tarian ini
bisa menyesuaikan sesuai ketetapan panitia acara.
Persiapan yang dilakukan tarian Maggiri Mamata biasa dilakukan
di rumah Bissu. Artinya, persiapan tari Maggiri Mamata tidak perlu
menunggu hingga sampai di tempat ritual diadakan.
Bila tari Maggiri Dewata, persiapannya harus menunggu sampai
di tempat acara ritual. Jadi, persiapan tari Mamata dapat dilaksanakan
di rumah Bissu sebelum berangkat ke acara.
Tari maggiri yang ditampilkan dewasa ini adalah tarian Maggiri
Mamata. Dikatakan tarian Maggiri Mamata, karena tarian ini ada
39
perubahannya, baik gerakan atau lainnya. Tarian yang ditampilkan
sekarang tidak mengandung nilai spiritual dan upacara.
Sedangkan gerak tari Dewata tidak pernah mengalami
perubahan. Maggiri Mamata adalah tarian asli Bissu yang
mencerminkan persembahan dan pemujaan terhadap dewata. Hal ini
sesuai dengan namanya, Maggiri. Maggiri berarti penyembahan.
Tujuan Maggiri Dewata adalah seni atau tarian yang bertujuan
spiritual bukan sebatas seni pertunjukan.
Dalam kepercayaan Bissu, ketika Maggiri dipentaskan atau
kesakralan. Maggiri akan kehilangan nilai spiritualnya. Bahkan Maggiri
yang diniatkan sebagai seni akan mendatangkan bala bagi Bissu
sendiri. Oleh karenanya, kalangan bissu akan memperingatkan Bissu
lain yang terlibat tari Maggiri Mamata.
B. Penelitian yang Relevan
1. Simbol dalam penelitian yang Relevan
Peneliti yang pernah menganalisis simbol dalam karya sastra
antara lain:
Pertama, Sujinah (2009) dengan menganalisis Simbol-Simbol
dalam Cerpen Anjing-Anjing Menyerbu Kuburan karya Kunowijoyo.
Hasil yang dicapai adalah ditemukan simbol-simbol yang berupa
simbol verbal dan simbol benda (nonverbal). Simbol verbal yang
ditemukan yakni”mantra”, sedangkan simbol benda atau nonverbal
yakni “danyang, anjing, beras kuning dan penunggu makam”
40
Kedua, Rosyidi,dkk.(2010) dengan menganalisis Mistisme
Cahaya pada Puisi “Rumah Cahaya” Karya Abdul Wachid B.S.: Kajian
Metafora dan Simbol dalam Perspektif Hermeneutika Paul Ricoeur.
Hasil yang dicapai adalah adanya simbol seperti “cahaya” dalah
simbol hidayah atau jiwa yang terang,”malam” adalah simbol
kehidupan manusia yang sering terjebak pada persoalan keduniawian.
Ketiga, A.Yayi Amie (2014) dengan menganalisis Interaksi
Simbolik Tokoh Dewa dalam novel “Biola Tak Berdawai” Karya Seno
Gumira Adjidarma: kajian Interaksionisme Simbolik George Herbert
Mead. Hasil yang dicapai menunjukkan bahwa simbol yang muncul
adalah simbol secara tersirat digunakan untuk berinteraksi secara
simbolik.
Keempat, Wulan (2010) yang menganalisis Mendengar Hati
Mengejar Mimpi dan relitas Dunia: Interpretasi Simbol dalam Novel
The Alchest Karya Paulo Coelho. Hasil yang ditemukan adalah
menginterpretasikan 11 simbol utama yang terdapat di alam novel
tersebut yaitu, a shepherd, an Old Gypsy Woman, the King of Salem,
Personal Lagend, the Stone, the Sword, the Egyptian Pyramid, the
Crystal Merhant, the Soul of the Word, Fatima dan the Alchemist.
Kelima, Azis (2009) yang menganalisis puisi Sodom dan
Gomorrha Karya Sastrowardoyo Suatu Tinjauan Semiotik. Hasil yang
ditemukan adalah gambaran simbolik ungkapan penyair secara
semiotik diekspresikan lewat puisinya Sodom dan Gomorrha,
mengungkapkan kemurkaan Allah swt., atas kaum Nabi Luth a.s.,
41
yang penduduknya homoseksual. Oleh penyair keadaan yang
tergambar dalam larik-larik puisi diasosiasikan dengan sebagian kota-
kota yang ada di Indonesia. Tempat maksiat bukan lagi tabu,
pelacuran merajalela, narkoba menjamur. Pada tingkat atas
(pimpinan) sebagian korupsi adalah santapan yang empuk,
dipengadilan merupakan arena sandiwara yang dilakonkan menurut
keinginan sutradara.
Keenam, Winata (2011) yang menganalisis Simbol dalam Novel
Diaroma Sepasang Albanna Karya Ari Nur Utami: Tinjauan
Strukturalisme Semiotik. Hasil yang ditemukan adalah adanya nilai-
nilai dan simbol-simbol religius yang membangun cerita sehingga lebih
menarik.
2. Sastra Daerah dalam Penelitian yang Relevan
Peneliti yang pernah melakukan penelitian yang relevan dalam
sastra daerah antara lain:
Pertama, A. Yenni Wahyuliana (2005) yang menganalisis Makna
Simbolik Gerak Ma’bissu dalam Upacara Ritual Mattompang Arajang
di Kabupaten Bone.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 1) Ritual mattompang
arajang di Kabupten Bone adalah tradisi yang diciptakan oleh bissu
untuk membersihkan benda-benda kerajaan atau arajang.2) Ma’bissu
atau sere bissu dalam ritual Mattompang Arajang adalah bentuk ritual
permohonan doa kepada Dewata seuwa’E. 3) Ma’bissu atau sere
42
bissu adalah tarian yang tidak berpola lantai dan pola gerak yang
tetap, para bissu hanya bergerak bebas dalam bahasa Bugis disebut
sere bissu. 4) Bissu mulai ada di Kerajaan Bone sejak raja I To
Manurunge pada tahun 1326, dengan tugas menangani urusan
kepercayaan kepada Dewata Seuwa’E. 5) Bissu mulai mengurusi
benda-benda kerajaan setelah masuknya agama islam tahun 1611,
masa pemerintahan raja XI La Tenri Ruwa Matinroe Ri Bantaeng. 6)
Maggiri adalah tahapan terakhir sere bissu, yang menyimbolkan
kesetiaan kepada Dewata seuwa’E, arung (raja) dan masyarakat. 7)
Puang Matowa hanya ikut sere (menari) setelah tarian memasuki
tahapan terakhir yaitu maggiri. 8) Timbulnya upacara adat termasuk
sere bissu dalam upacara Ritual Mattompang Arajang di Kabupaten
Bone disebabkan karena adanya kepercayaan terhadap dunia mistis,
sehingga banyak masalah (gejala alam) dijawab dengan mitos.
Kedua, Mujahiduddin (2004) yang menelaah Konsep Calabai
dalam Pandangan Komunitas Bissu di kabupatenPangkep Sulawesi
Selatan (sebuah kajian fenomenologi Edmund Husserl) hasil temuan
yaitu bissu atau calabai terbagi atas tiga, yaitu 1) Calabai tungkena
lino (bissu). 2) Paccalabai. 3) Calabai kedo-kedonami.
Perbedaan bissu dengan kedua calabai itu adalah bissu tidak
boleh kawin dan harus menjaga perilaku agar tidak menyimpang dan
senantiasa suci. Hal ini dikarenakan tugas bissu sebagai wasilah
antara dunia dewa dan manusia. Ke-calabai-an bissu datangnya dari
Dewata atau takdir dan merupakan simbol bahwa Dewata memiliki
43
ketidakjelasan jenis kelamin, sehingga ke-calabai-an bissu bersifat
sakral dan suci atau merupakan konsep spiritual-transedental. Suatu
posisi yang mampu menghindarkan Bissu untuk tidak melakukan
hubungan seksual.
Ketiga, Syahrul (2012) yang menelaah Ritual Bissu Segeri
Fungsi Mappalili dalam Transformasi Sosial di Kabupaten Pangkep
Sulawesi Selatan. Hasil penelitian yang didapatkan bahwa identitas
bissu merupakan identitas yang lahir melalui proses sosial yang
panjang . Identitas bissu merupakan konstruksi dari relasi sosial.
Berangkat dari uraian di atas menggambarkan bahwa sudah
banyak penelitian tentang simbol dalam karya sastra. Begitu pula
dengan Bissu di Segeri (Kabupaten Pangkajene Kepulauan) telah
banyak diteliti. Namun, dalam penelitian ini, peneliti memfokuskan
perhatian pada makna simbol pada teks dan benda yang digunakan
dalam acara riual tersebut, yang menurut pengetahuan peneliti belum
pernah diangkat dalam penelitian dan layak untuk diteliti.
C. Kerangka Pikir
Makna simbolik yang terkandung dalam ritual maggiri dapat
dilihat dari berbagai sudut. Sebagai salah satu jenis semantik dalam
makna simbolik benda dan bahasa dalam ritual maggiri Kabupaten
pangkep dengan pendekatan jenis semantik yang ada relevansinya
antara lain makna deskriptif dan makna referensial keinteraksi
44
simbolik yang tersirat serta benda-benda yang digunakan dalam acara
ritual maggiri kabupaten pangkep.
untuk lebih memperjelas bentuk ini dikemukakan dalam bagan
kerangka pikir.
Bagan Kerangka Pikir
Ritual Maggiri
Simbol Verbal Simbol Nonverbal
a. Maknab. Bentukc. Fungsi
a. Maknab. Bentukc. Fungsi
Analisis
Temuan
45
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk memahami, menganalisis,
mendeskripsikan, dan menjelaskan penggunaan sistem tanda,
lambang atau simbol dalam acara Ritual Maggiri dalam Pesta
Adat Komunitas Bissu yang ada di Kabupaten Pangkep Kecamatan
Segeri.
Berdasarkan jenisnya penelitian ini termasuk penelitian deskriptif
kualitatif, karena penelitian dimaksudkan untuk menggambarkan atau
mendeskripsikan hasil penelitian sebagaimana adanya .
Penelitian kualitatif ini memiliki karakteristik di antaranya memiliki
sifat induktif yaitu pengembangan konsep yang didasarkan atas data
yang ada, mengikuti desain penelitian yang fleksibel sesuai dengan
konteksnya. Desain yang dimaksud tidak kaku sifatnya sehingga
memberi peluang kepada peneliti untuk menyesuaikan diri sesuai
dengan konteks yang ada.
B. Tempat Penelitian
Lokasi penelitian ini dilaksanakan di wilayah Kabupaten Pangkep
(Pangkajene dan Kepulauan) tepatnya di Kecamatan Segeri
Kelurahan Segeri .
46
Alasan peneliti memilih lokasi ini karena di daerah inilah bissu
bertempat tinggal dan melaksanakan ritual setiap tahunnya.
C. Unit Analisis dan Penentuan Instrumen
Instrumen penelitian yang digunakan adalah peneliti sendiri
sebagai instrumen, pedoman wawancara, daftar petanyaan, rating
role sebagai pelengkap untuk data terdokumentasi dan akuntabilitas.
D. Teknik Pengumpulan Data
Teknik yang digunakan dalam pengumpulan data meliputi
pengumpulan data verbal dan data simbol nonverbal.
1. Data verbal berupa bahasa-bahasa yang digunakan atau
dilantunkan oleh pemimpin bissu atau puang towa sebelum acara
ritual maggiri dimulai.
2. Data simbol nonverbal, berupa benda-benda yang digunakan
sewaktu berlangsungnya acara prosesi maggiri.
E. Teknik Analisis Data
Menurut Sugiyono (2011: 244) analisis data adalah proses
mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari
wawancara, catatan lapangan, dan dokumentasi, dengan cara
mengorganisasikan data ke dalam kategori menjabarkan ke unit-unit,
melakukan sintesa,menyusun ke dalam pola, memilih mana yang
47
penting dan yang akan dipelajari , dan membuat kesimpulan sehingga
mudah difahami oleh diri sendiri maupun orang lain.
Dalam penelitian ini teknik analisis data yang digunakan adalah
1. Teknik observasi
Peneliti langsung mengadakan observasi atau pengamatan ke
lapangan yakni tempat dan waktu pelaksanaan acara ritual maggiri.
Peneliti mengamati bagaimana prosesi pelaksanaan acara ritual
maggiri secara khusus bagaimana lantunan lagu yang diucapkan
sebelum maggiri dilaksanakan.
2. Rekaman audio-visual
Peneliti mendokumentasikan proses pelaksanaan acara ritual
maggiri secara audio-visual agar terdengar dan terlihat bagaimana
bahasa dan benda-benda yang digunakan pada saat
melaksanakan acara ritual maggiri.
3. teknik wawancara
Wawancara adalah cara menghimpun bahan keterangan yang
dilakukan dengan tanya jawab secara lisan secara sepihak
berhadapan muka, dan dengan arah serta tujuan yang telah
ditetapkan.
4. Teknik simak-catat
Wawancara yang dilakukan dengan informan disimak dan dicatat
kemudian dipilah-pilah dan dianalisis lebih lanjut.
48
5. Dokumentasi
Dokumentasi adalah cara pengumpulan data melalui peninggalan
tertulis terutama berupa arsip-arsip, termasuk buku dan majalah
yang berhubungan dengan permasalahan yang sedang diteliti.
F. Triangulasi Data
Penelitian kualitatif harus mengungkap kebenaran yang objektif.
Karena itu, keabsahan data dalam sebuah penelitian kualitatif sangat
penting. Melalui keabsahan data kredibilitas (kepercayaan) penelitian
kualitatif dapat tercapai.
Dalam penelitian ini untuk mendapatkan keabsahan data
dilakukan dengan triangulasi. Adapun triangulasi adalah teknik
pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain
di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding
terhadap data itu (Moleong, 2007:330).
Dalam memenuhi keabsahan data penelitian ini dilakukan
triangulasi dengan sumber. Menurut Patton, triangulasi dengan
sumber berarti membandingkan dan mengecek balik derajat
kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat
yang berbeda dalam penelitian kualitatif (Moleong, 2007:29). Dengan
triangulasi akan lebih meningkatkan kekuatan data bila dibandingkan
dengan satu pendekatan.
49
Triangulasi sumber juga berarti, unttuk mendapatkan data dari
sumber yang berbeda-beda dengan teknik yang sama. Di bawah ini
adalah bagan triangulasi “teknik” pengumpulan data (bermacam-
macam cara pada sumber yang sama).
Bagan triangulasi “teknik” pengumpulan data
Observasipartisipatif
Wawancaramendalam
Dokumentasi
Sumberdata sama
50
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Bab ini akan menguraikan (1) makna simbolik yang terkandung
dalam acara maggiri pada pesta adat komunitas Bissu di Kecamatan
Segeri Kabupaten Pangkep (2) Persepsi masyarakat Segeri terhadap
keberadaan Bissu.
Simbol dalam acara maggiri akan dianalisis berdasarkan aspek
bentuk dan jenis peralatan yang digunakan, maka peneliti
menggunakan teori stukturalsme Levi-Strauss karena teori tersebut
berhubungan dengan mitos dan bahasa. Sebagaimana diungkapkan
oleh Levi-Staruss bahwa bahasa adalah sebuah media, alat, dan
sarana dalam berkomunikasi.
Untuk lebih jelasnya analisis mempeoleh hasil berikut:
a. Temuan Peneliti
(a). Simbol yang ditemukan oleh peneliti adalah perlengkapan
yang digunakan dalam acara maggiri yang terdiri atas:
1. Alat yaitu berupa badik, ota, beras , dan ayam.
2. Kue yaitu onde-onde (umba-umba), cangkuling, lapisi, dan
beppa oto, cucuru bayao dll.
3. Pakaian yaitu baju, sarung, celana, selendang, dan passapu.
(b) Syair atau lantunan mantera sebelum maggiri
51
Berdasarkan hasil perolehan data maka untuk lebih jelasnya
dipaparkan di bawah ini.
b. Makna simbol dalam penelitian ini
1. Alat
Alat atau perkakas (inggris: tools). Alat adalah suatu benda yang
dapat dipakai untuk mengerjakan sesuatu; perkakas, perabot, yang
dipakai untuk mencapai maksud (Kamus Besar Bahasa Indonesia,
2005, hal: 30). Begitu pula halnya peralatan yang digunakan oleh
para bissu dalam melakukan ritual adalah untuk mempermudah
komunitas tersebut dalam melaksanakan pekerjaannya dalam hal
maggiri, sebagai berikut:
a. Ota Sakke (Sirih, pinang, kapur, tembakau)
Ota atau lebih dikenal dengan sebutan siri yang mempunyai
nama latin piper betle l merupakan tanaman asli Indonesia yang
tumbuh merambat atau bersandar pada batang pohon lain. Sebagai
budaya daun dan buahnya biasa dikunyah bersama gambir, pinang,
tembakau, dan kapur. Selain itu sirih juga mempunyai banyak manfaat
untuk menjaga kesehatan.
Ciri daun sirih adalah panjangnya 5-8 cm daunnya tunggal
berbentuk jantung, berujung runcing, tumbuh berselang-seling,
bertangkai, dan mengeluarkan bau yang sedap bila diremas.
Sedangkan batangnya ialah berwarna coklat kehijauan berbentuk
bulat, beruas dan merupakan tempat keluarnya akar. Jenis-jenis daun
52
sirih terbagi atas sirih hias, sirih hitam, sirih merah, sirih gading, sirih
belanda, sirih hijau, sirih kuning, dan sirih hitam.
Ota (Sirih)
Konon sebelum dunia ini berpenghuni, Dewa Patotote
berkeinginan untuk menurunkan salah seorang putranya untuk turun
ke dunia tengah ( Ale lino=bumi) menjadi tunas yang akan
berketurunan dan dapat memakmurkan bumi yang masih kosong dari
pengaruh kerajaan dan kedewaan, yang kelak akan menyembah
kepada Dewata dikala sulit maupun mengirim doa-doa pujian dikala
senang kepada Dewa. Maka, diutuslah seorang putra Dewata
untuk turun ke bumi dan berkembang biak seperti sekarang ini.
Ota atau sirih yang konon digunakan oleh Batara Guru turun ke
bumi sebagai kendaraan, yang menyerupai sebuah mangkuk oleh
Batara Guru dari botting langi turun ke ale lino (dari langit turun ke
bumi).
Siri (bahasa la galigo) namun lebih dikenal oleh masyarakat
bugis dengan nama ota dan selalu digunakan pada setiap upacara
adat baik untuk acara pengantin mupun acara sakral lainnya, seperti
pada saat hendak memanggil perias pengantin atau indo botting,
dukun beranak dan lain sebagainya, maka sirih atau ota ini dijadikan
sebagai salah satu syarat untuk dapat diterima oleh sang perias
pengantin maupun dukun beranak tadi, begitupun halnya pada acara
ritual bissu yang selalu menyertakan ota dalam setiap melakukan
ritual.
53
Ota atau sirih bisa juga diartikan mappalise (berisi), karena
manusia diciptakan dan terlahir dalam keadaan sempurna yang
mempunyai akal dan pikiran yang dinamai otak. Dengan otak inilah,
manusia dapat hidup dan menghidupi keluarganya dengan
menggunakan otaknya untuk berfikir dan bekerja sehingga mereka
dapat hidup dengan layak di bumi ini dan saling menghargai dengan
sesama mahluk hidup lainnya. Karena sesungguhnya manusia adalah
mahluk yang paling sempurna yang diciptakan oleh Tuhan Yang Maha
Kuasa yang diberikan akal serta fikiran yang bisa membedakan antara
hal yang baik dan perbuatan yang buruk.
Dalam budaya Bugis Makassar siri atau ota juga dipercaya
adalah simbol atau cermin identitas serta watak seseorang, rasa malu
atau harga diri orang bugis pada masa itu dan bahkan sampai saat
ini, masih sangat dipegang kuat. Suku bugis sangat memegang kuat
dan menghindari agar tidak kehilangan siri, karena seorang bugis
merasa siri itu diatas segala-galanya mereka rela mati mati demi
memertahankan martabat dan harga dirinya. Karena seseorang tidak
akan tertimpa atau kehilangan siri apabila mereka menggunakan
otaknya untuk berpikir dengan baik dan akal sehat agar tidak
kehilangan sirina atau pammate siri (dipermalukan).
Kata siri , dalam bahasa Bugis atau Makassar bermakna “malu”.
Struktur siri dalam budaya Bugis atau Makassar mempunyai empat
kategori yaitu, (1) Siri’Ripakkasiri’, (2) Siri’Mappakasiri’siri, (3)
Tabbe’Siri”, (4) Siri’Mate siri”.
54
Siri Ripakasiri
Adalah siri yang berhubungan dengan harga diri pribadi, serta harga
diri atau tau harkat dan martabat keluarga. Siri jenis ini adalah sesuatu
yang tabu dan pantang untuk dilanggar karena taruhannya adalah
nyawa.
Sebagai contoh dalam hal ini adalah membwa lari seorang gadis
(kawin lari), baik laki-laki maupun perempuan, harus dibunuh,
terutama oleh pihak kelurga perempuan (gadis yang dibawa lari)
karena telah membuat malu keluarga.
Contoh lain adalah kasus kekerasan, penganiayaan atau
pembunuhan dimana pihak ke;uarga korban yang merasa terinjak-
injak harga dirinya (Sirina) wajib untuk menegakkannya kembali,
kendati pun ia harus membunuh atau terbunuh. Utang darah harus
dibalas dengan darah, utang nyaa harus dibals dengan nyawa.
Dalam keyakinan orang Bugis atau Makassar bahwa orang yang mati
terbunuh karena mempertahankan siri’, mtinya adalah mati syahid,
atau yang mereka sebut Mate risantangi atau Mate Rigollai, yang
artinya bahwa, yang atinya kematiannya ibarat kematian yang terbalut
oleh santan atau gula.
Secara logika orang lain (selain suku Bugis-Makassar) memang tidak
dapat memahami hal tersebut, kecuali bagi mereka yang telah paham
makna siri yang sesungguhnya. Agar dapat memahami tentang
bagaimana pentingnya menjaga siri’Ripakkasiri, simaklah pepatah
55
berikut: sirimi imonro tuo rilinoe, narekko denagaga sirimu mutuwo
sirupa olokoloe, yang artinya karena malu kita masih hidup, jika hidup
sudah tidak mempunyai rasa malu maka hidup ini menjadi hina seperti
binatang, bahkan lebih dari binatang.
Siri’Mapakkasiri’Siri’
Siri ini berhubungan dengan etos kerja. Dalam falsafah Bugis
disebutkan, “narekko de gaga sirimu inrengko siri”, yang artinya kalau
anda tidak mempunyai rasa malu maka pinjamlh kepada orang yang
masih memilki rasa malu (siri). Begitu pula sebaliknya, “Narekko
engka siri’mu, aja’ mupakasiri-siri.”Artinya jangan membuat malu.
Bekerjalah dengan giat, agar harkat dan martabat keluarga dapat
terangkat. Jangan menjadi peminta-minta karena itu sama halnya
dengan membuat keluarga menjadi malu atau mempermalukan
keluarga.
Dengan dimotivasi oleh semangat siri’ sebagaimana ungkapan orang
Makassar “Takkunjunga bangun turu’ naku gunciri’ gulingku
kualleangngangi tallanganna to waliya”. Artinya, begitu mata terbuka
(bangun di pagi hari), arahkan kemudi, tetapkan tujuan ke mana kaki
akan melangkah, bulatkan tekad “lebih baik tenggelam daripada balik
haluan (kembli ke rumah) sebelum tercapai cita-cita”. Atau, sekali
layar terkembang panang biduk surut ke pantai sebelum tercapai
tujuan, sebelum tercapai pulau harapan.
56
Selain itu, siri’ Mappakasiri’siri’ juga dapat mencegah seseorang
melakukan hal-hal yang bertentangan dengan hukum, nilai-nilai moral,
agama, adat-istiadat dan perbuatn-perbuatan lainnya ang dapat
merugikan manusia daan kemanusiaan itu sendiri.
Salah satu falsafah Bugis dalam kehidupan bermasyarakat adalah
“Mali siparappe, Malilu sipakainge”, dan “pada idi’ pada elo’ sipatuo
sipattokkong” atau “pada idi’ pada elo’ sipatuo sipatettong”. Artinya
ketika seorang sanak keluarga tertimpa kesusahan atau musibah
maka keluarga yang lain ikut membantu. Dan, kalau seseorang
terjerumus ke dalam kubangan nista karena khilaf maka kelurga yang
lain wajib untuk mengingatkan atau meluruskannya.
Siri’ Tappela’ Siri’ (Makassar) atau Siri’ Tabbe Siri’ (Bugis)
Yang artinya rasa malu sesorang sudah hilang “terusik” karena
sesuatu hal. Misalnya, seseorang yang mempunyai utang dan telah
berjanji untuk membayarnya maka si pihak yang berutang berusaha
sekuat tenaga untuk menepati janjinya atau membayar utangnya,
sebagaimana waktu yang telah ditentukan (disepakati). Ketika sampai
waktu yang telah ditentukan, jika orang yang berutang tidak menepati
janjinya, itu artinya telah mempermalukan dirinya sendiri.
Orang Bugis atau orang Makassar yang masih memegang teguh
nilai-nilai Siri’, ketika berutang tidak perlu ditagih, dia akaan datang
senddiri untuk membayar utangnya.
Siri’ Mate Siri’
57
Siri’ yang satu ini, berhubungan dengan iman. Dalam pandangan
orang Bugis atau Makassar,orang yang mate siri’-nya adalah orang
yang di dalam dirinya sudah tidak ada rasa malu (iman) sedikit pun.
Orang seperti ini diapakan juga tidak akan pernah merasa malu, atau
yang biasa disebut bangkai hidup yang hidup.
Betapa hina dan tercelanya orang seperti ini dalam kehidupan.
Aroma busuk kan tercium di mana-mana. Tidak hanya di lingkungan
Istana, di senayan, bahkan di tempat-tempat ibadah juga tercium bau
busuk yang terasa sangat menyengat. Korupsi, kolusi dan nepotisme,
jual-beli putusan, mafia anggaran, mafia pajak, serta mafia-mafia
lainnya, akan senantiasa mewarnai pemberitaan media setiap harinya,
Nauzubillahi min-dzalik.
Siri’ yang merupakan konsep kesadaran hukum dan falsafah
dalam masyarakat Bugis-Makassar adalah sesuatu yang dianggap
sakral. Begitu sakralnya kata tersebut, sehingga apabila seseorang
kehilangan Siri’-nya atau Dena gaga siri’na, maka tak ada lagi artinya
menempuh kehidupan sebagai manusia. Bahkan orang Bugis-
Makassar berpendapat kalau mereka itu sirupai olo’ kolo’ e (seperti
binatang). Petuah Bugis berkata: Siri’mi Narituo (karena malu kita
hidup).
Alosi (Pinang)
Alosi (Bahasa Bugis) yang lebih dikenal dengan nama pinang
mempunyai nama latin Areca catechu L. Alosi atau pinang
58
mempunyai ciri-ciri pohon tumbuh satu-satu tidak berumpun jenis
palem. Batang lurus agak licin, dengan tinggi pohon dapat mencapai
25 meter, sedangkan dimeter batang atau jarak ruas batang sekitar 15
cm dan mempunyai garis lingkaran batangtampak jelas, bentuk buah
bulat telurdengan ukuran sekitar 3,5 cm sampai 7 cm serta berwarna
hijau aktu muda dan merah kekuningan saat masak atau tua.
Alosi atau pinang pada jaman dahulu terutama ditanam untuk
dimanfaatkan bijinya, yang di dunia Barat dikenal sebagai betel nut.
Biji ini dikenal sebagai salah satu campuran orang makan sirih, selan
gambir dan kapur. Biji ini juga dimanfaatkan sebagai penghasil zat
pewarna merah dan bahan penyamak.
Konon pada jaman dahulu jenis pinang hitam, digunakan
sebagai bahan peracun untuk menyingkirkan musuh atau orang yang
disukai. Sedangkan pelepahnya yang mirip tabung (dikenal sebagai
upih) digunakan sebagai pembungkus kue-kue dan makanan,
sedangkan umbutnya dimakan sebagai lalapan atau dibikin acar.
Alosi atau pinang yang berbiji keras ini diibaratkan sebagai
gambaran otak manusia, bijinya yang keras tidak dapat dipisahkan
dari karakter orang bugis yang keras dalam pendirian namun tetap
mengedepankan pikiran yang sehat agar tidak terjadi
kesalahpahaman baik dengan suku sendiri terlebih lagi dengan suku
lain.
Alosi atau pinang ini diibaratkan seseorang yang mempunyai
martabat yang tinggi, berbudi pekerti yang luhur, serta jujur yang
59
bersedia melakukan pekerjaan dengan ikhlas dan pikiran yang
terbuka. Makna ini bisa dilihat dari pohonnya yang tinggi menjulang,
buahnya yang lebat, semua berguna untuk kehidupan manusia, mulai
dari akarnya yang bisa dijadikan obat, buahnya yang pada jaman
dahulu bisa digunakan untuk memperkuat gigi, serta batangnya yang
bisa dijadikan tiang, bahkan bisa dibuat menjadi papan dan masih
banyak lagi kegunaan dari pinang tersebut.
Puale (kapur)
Puale atau Kapur berasal dari batu kapur atau Calcium
Carbonate (Ca CO3) terbentuk lebih dari 300-500 juta tahun lalu, yang
berasal dari kerang, karang, ikan purba dan kalsium yang
mengendap ke dasar laut dan membentuk lapisan dari batuan kapur.
Batuan kapur (Limestone) dapat berubah menjadi “kapur reaktif”
apabila mendapatkan pemanasan 900 c, yang apabila dicampur
dengan air membentuk reaksi kimia menjadi Calcium Hidroksida (Ca
(OH) 2)an apabila mengering akan kembali ke bentuk aslinya.
Kapur yang digunakan dalam mengonsumsi sirih pinang
mengandung manfaat untuk kesehatan periodental karena
mengandung zat-zat kitin yang bermanfaat untuk kesehatan.
Kapur atau puale yang berwarna putih, merupakan simbol
tulang belulang manusia yang dibungkus oleh daging dan kulit. Warna
putih selalu diidentikkan dengan kebersihan dan kesucian. Warna
putih sering dihubungkan dengan terang, kebaikan, kemurnian,
kesucian dan keperawanan.
60
Makna dari warna putih adalah aman, murni, dan bersih. Warna
putih pun oleh budaya manapun selalu dimaknai dengan suci, seperti
halnya di Bali, pakaian pedanda memakai bajun yang berwarna putih,
demikin pun paus dan uskup menggunakan jubah berwarna putih,
terlebih lagi bagi umat islam menggunakan kain putih dalam
menjalankan Ibadah haji yaitu kain Ihram baik laki-laki maupun wanita
menggunakan warna yang sama yaiu warna putih.
Dari sinilah kenapa bissu dalam setiap melakukan ritualnya
harus ada kapur atau puale tersebut, yang menganggap seorang
bissu adalah sekelompok orang suci dan bersih karena sesungguhnya
mereka tidak berdarah atau haid, tidak melahirkan dan tidak pula
menyusui. namun mereka pun bisa lebih agresif dan marah bila
keadaan memaksa.
Kapur diperoleh dari pemrosesan cangkang kerang atau
pembakaran batu kapur. Secara fisik, warnanya putih bersih, tetapi
reaksi kimianya bisa menghancurkan. Begitu pun dengan bissu,
mereka lemah lembut dalam bertingkah laku dan bertutur kata,
namun sesungguhnya mereka akan bisa lebih kuat dari laki-laki yang
sempurna, apabila mereka dalam keadaan yang terdesak dan
terancam.
Ico (tembakau)
Tembakau (ico) yang bernama latin Nicoiana tabacum. Dalam
Bahasa Indonesia tembakau merupakan serapan dari bahasa asing.
Bahasa Spanyol “tabaco” dianggap sebagai asal kata dalam bahasa
61
Arawakan, khususnya, dalam bahasa Tainodi Karibia, disebutkan
mengacu pada gulungan daun-daun pada tumbuhan ini (menurut
Bartolome de Las Casas, 1552) atau bisa juga dari kata “tabago”,
sejenis pipa berbentuk y untuk menghirup asap tembakau (menurut
Oviedo, daun-daun tembakau dirujuk sebagai Cohiba, tetapi Sp.
Tabaco (juga It. Tobacco) umumnya digunakan untuk mendefinisikan
tumbuhan obat-obatan sejak 1410, yang berasal dari Bahasa arab
“tabbaq”, yang dikabarkan ada sejak abad ke-9, sebagai nama dari
berbagai jenis tumbuhan. Kata tobacco (bahasa Inggris) bisa jadi
berasal dari Eropa dan pada akhirnya diterapkan untuk tumbuhan
sejenis yang berasal dari Amerika.
Tembakau adalah produk pertanian semusim yang bukan
termasuk komoditas pangan, melainkan komoditas perkebunan.
Produk ini dikomsumsi bukan untuk makanan tetapi sebagai pengisi
waktu luang atau “hiburan” , yaitu sebagai bahan baku rokok dan
cerutu.
Tembakau dapat dikunyah. Kandungan metabolit sekunder yang
kaya juga membuatnya bermanfaat sebagai pestisida dan bahan baku
obat. Ico atau tembakau di simbolkan sebagai rumpu api (dapur
yang selalu berasap) yang berarti kehidupan manusia sangat
bergantung dengan dapur yang selalu harus beraktifitas.
Dapur adalah tempat keluarga untuk melakukan segala aktifitas
yang berhubungan dengan perut, baik untuk keluarga itu sendiri
maupun sekedar untuk berbagi dengan sesama. Dapur diumpamakan
62
sebagai sebuah negeri atau kampung, yang bila suatu kampung
keadaannya subur, makmur dan sentosa tentu akan selalu berasap
atau ada aktifitas yang selalu dijalankan atau dikerjakan oleh
masyarakat tersebut.
Apabila sebuah kampung yang penduduknya sangat miskin
maka, diibaratkan dapurnya tak akan pernah berasap atau
masyarakat dalam kampung tersebut taraf ekonominya berada di
tingkat paling bawah, karena mungkin penghuninya atau
masyarakatnya malas atau tidak mau untuk bekerja keras agar bisa
mendapatkan kehidupan yang lebih layak, yang pada akhirnya
mengakibatkan dapur menjadi diam dan tidak berasap. Apabila dapur
tak berasap maka sebuah keluarga atau kaum akan tersebut akan
mati dan bahkan bisa punah.
Kehidupan manusia di dunia ini akan selalu membutuhkan
makanan dan mengonsumsinya untuk kelangsungan hidupnya. Yang
berarti manusia hidup karena semua makanan harus selalu dan pasti
ada hubungannya dengan api, yang menurut orang bugis bahwa “iya
maneng kianrede nakke’na maneng sellung api” yang berarti apapun
yang ada hubungnnya dengan makanan yang akan kita konsumsi
setidaknya harus dimasak terlebih dahulu dengan menggunakan api.
Sellung-sellung api ini juga mengingatkan pada salah satu filosofi
Bugis yang mengatakan “Makkalu Dapureng Wekka Pitu” yang berarti
dalam kehidupan berumah tangga, seorang suami atau pemimpin
keluarga harus mampu untuk bisa mengelilingi dapur sebanyak tujuh
63
kali, yang bermakna bahwa seseorang yang telah bertekad untuk
membina rumah tangga, maka orang tersebut telah sanggup untuk
dapat menafkahi istrinya atau keluarganya dengan usaha sekuat
tenaga agar keluarga yang dibinanya bisa menjadi langgeng,
sejahtera tanpa kekurangan sedikit pun, baik sandang, pangan dan
papan.
Keluarga yang sejahtera adalah keluarga yang mampu untuk
selalu membuat dapurnya selalu berasap. Dengan berasapnya dapur
berarti keluarga tersebut atau sebuah kampung telah dapat
mencukupi segala kebutuhan dan keperluan yang dapat menunjang
terciptanya keluarga yang sehat bukan hanya dari lahir namun dari
segi batin membuat keluarga menjadi tenteram dan sentaosa demi
kelangsungan kehidupan selanjutnya.
Lempu (Bunga nangka)
Nangka yang mempunyai nama latin (Artocarpus heterophyllus)
pohonnya memiliki tinggi 10-15 m. Batangnya tegak berkayu, bulat,
kasar dan berwarna hijau kotor. Daun Artocarpus heterophyllus,
tunggal, berseling, lonjong, memiliki tulang daun yang menyirip,
daging daun tebal, tepi rata, ujung runcing, panjang 5-15 cm,
mempunyai lebar 4-5 cm, tangkai panjang lebih kurang 2 cm dan
berwarna hijau, bunga jantan dan betinanya terpisah dengan tangkai
yang memiliki cincin, bunga jantan ada di batang baru diantara daun
64
atau di atas bunga betina. Buah berwarna kuning ketika masa, oval,
dan berbiji coklat muda (Heyne, 1987).
Lempu atau bunga nangka melambangkan kejujuran, lurus dan
tidak macam-macam. Kejujuran harus selalu dijunjung tinggi dimana
pun seseorang berada dan dalam keadaan apapun, kejujuran inilah
yang harus dipegang teguh dan dijadikan pegangan dan menjadi
pagar diri agar tidak terjerumus ke dalam hal-hal yang bersipat buruk
ataupun jatuh dalam kenistaan.
Orang tua dulu sering berpesan kepada remaja atau anak-anak
muda yaitu ”Duami Uala Sappo, Unganna panasae na belo kanuku”
yang berarti “Hanya dua yang kujadikan pegangan dalam hidup,
bunga nangka=lempu yang bermakna kejujuran, dan perhiasan
kuku=pacci= paccing yang berarti bersih.
Dalam bahasa Bugis, bunga nangka disebut lempu yang
berasosiasi dengan kata jujur, sedangkan hiasan kuku dalam bahasa
Bugis disebut pacci yang kalau ditulis dalam aksara lontara’ dapat
dibaca paccing yang berarti suci atau bersih. Bagi suku Bugis, segala
macam perbuatan harus dimulai dengan yang suci karena tanpa niat
suci (baik), tindakan manusia mendapatkan ridha dari Tuhan Yang
Maha Kuasa.
Saat ini, seiring pesatnya perkembangan dunia modern,
semakin banyak pengaruh-pengaruh negatif yang mungkin saja bisa
menjerumuskan generasi saat ini, bahkan pemimpin-pemimpin dalam
negeri ini pun masih bisa diragukan tingkat kejujurannya.
65
Seorang manusia yang hidup di dalam sebuah masyarakat,
tentulah sangat diharapkan kejujurannya dalam segala hal, bukan
hanya perilaku namun juga ucapan-ucapan yang dikeluarkan dalam
setiap berkomunikasi akan menjadi modal utama untuk bisa dipercaya
apakah orang tersebut mempunyai sifat jujur atau tidak.
Dalam adat Bugis atau kebiasaan suku Bugis, sering diucapkan
oleh orang-orang tua bahwa “Ikkonami yakkateni olokolo’e, tau adami
yakkateni” yang berarti bahwa binatang yang kita pegang adalah
ekornya agar tidak lari, namun manusia yang dipegang adalah
ucapannya atau janjinya, maksudnya apabila seseorang berkata atau
berjanji hendaklah ucapannya itu bisa dipercaya dan menjadi
pegangan bahwa apa yang telah diucapkan bisa dipercaya, karena
satu kali saja kita ingkar akan apa yang telah terucapkan berarti orang
tidak akan menaruh kepercayaan kepada seseorang untuk kedua
kalinya.
a. Sesajen dalam ritual
Adapun sesajen yang bisa djumpai sebelum bissu melakukan
ritualnya dan makna yang terkandung didalamnya adalah sebagai
berikut:
1. Benang 7 ikat
2. Ayam (manu) 17 ekor
3. Siri (ota) 40
4. Pisang (utti) 41 sisir
66
5. Cucu Bannang
6. Beppa (kue) 12 macam
1. Wennang Pitu Sio (Benang tujuh ikat) adalah simbol status
sosial
Benang tak bisa dipisahkan dengan kehidupan sehari-hari,
karena baju,celana dan sarung yang kita gunakan berasal dari benang
yang telah dipintal menjadi kain dan diolah menjadi pakaian. Fungsi
pakaian yang digunakan sehari-hari adalah sebagai penutup tubuh
atau aurat ( yang tentunya akan memberikan rasa nyaman dan
aman). Pakaian dalam fungsinya memberikan keamanan adalah
sebagai benteng atau tameng dari gangguan baik gangguan dari
udara dingin, panas, atau gangguan yang diakibatkan karena
pandangan mata.
Setiap bentuk dan jenis pakaian apapun yang dikenakan baik
secara gamblang maupun secara samar-samar akan menyampaikan
penanda sosial (social signals) tentang si pemakainya. Orang yang
berpakaian asal-asalan karena tidak menyukai perhatian orang lain
tertuju pada pakaiannya, sekalipun mereka sadari telah menunjukkan
peran sosial dan kode-kode sosial yang dianutnya terhadap budaya
dimana mereka berada (Morris, 1977).
Menurut Morris, pakaian yang dikenakan oleh manusia memiliki
tiga fungsi mendasar yaitu, memberikan kenyamanan, sopan-santun
dan pamer (display), seperti diungkapkan oleh Broby-Johansen (1968:
5) “it seeks not pretend, but rather to display” .
67
Hal tersebut sejalan dengan apa yang diutarakan oleh Horn dan
Gurel yang mengemukakan empat teori tentang fungsi pakaian
pakaian bagi manusia (1981: 19-34) secara umum orang meyakini
bahwa sopan santun merupakan hasil atau akibat dari pakaiannya.
Sopan santun bukanlah bukanlah yang mendorong seseorang untuk
berpakaian.
Teori lainnya menyatakan bahwa dengan menutupi tubuh
dengan pakaian justru menarik perhatian orang terhadap tubuh yang
tertutupi. Teori ke tiga yang dikemukakan oleh Horn dan Gurel
tersebut menyatakan bahwa pakaian yang dikenakan oleh manusia
memiliki fungsi sebagai pelindung.
Menurut teori ini pakaian dipandang sebagai benteng antara
manusia dan lingkungannya yang melindungi mereka dari unsur-unsur
berbahaya baik yang bersifat fisik maupun psikologis. Teori terakhir
kecenderungan berkaitan dengan nilai ornamental (ornamental
values) dari pakaian yang mampu memberikan pengalaman estetik
dan memenuhi kepuasan atau kenikmatan inderawi bagi seseorang
yang menginginkan keindahan.
Selain sebagai penutup tubuh, pakaian juga mempunyai fungsi
lain yang dapat menunjukkan lambang status sosial seseorang dalam
kehidupan bermasyarakat.
Benang dalam arti yang lain adalah simbol urat-urat yang ada
dalam tubuh manusia yang saling berhubungan satu dengan yang
lain.
68
2. Ayam 17 ekor (Simbol Hari dan Agama Tuhan)
7 (hitungan hari dalam satu minggu)
Dalam keseharian hidup di dunia ini, dalam satu minggu ada
beberapa hari yang merupakan hari untuk beraktifitas, dimulai dari hari
senin, selasa, rabu, kamis, jumat, sabtu, dan minggu. Begitulah setiap
hari, manusia melakukan segala aktifitasnya, siang dan malam
digunakan untuk mencari nafkah, berkumpul dengan keluarga, teman
dan handai tolan, tak pernah terlepas dari ketujuh hari tersebut, baik
siang maupun malam hari.
5 (pengabdian kepada Tuhan)
Setiap makhluk yang ada di bumi ini, pasti mempunyai keyakinan
dan kepercayaan akan adanya Tuhan yang harus disembah setiap
saat. Manusia adalah makhluk yang diciptakan Tuhan adalah makhluk
yang paling sempurna yang dikarunai akal dan fikiran, untuk
menggunakan akalnya agar menyembah Tuhan Yang Maha Esa yang
telah menciptakannya. Bagi umat Islam telah ditetapkan waktu-waktu
untuk dapat bersujud kepada Pencipta-Nya dimulai dari Subuh,
Dhuhur, Ashar, Magrib, dan Isya.
5 (Puang Sewwae dan Eppa Sulapa)
Eppa sulapa (Empat sudut) adalah empat penjuru mata angin
yaitu utara, selatan, barat dan timur. Namun kepercayaan orang bugis
69
mengatakan bahwa empat penjuru ini adalah hanya tiga yang
merupakan sulapa (sudut) yang ada dalam kehidupan sedangkan
yang satu sulapa (satu sudut) adalah bagi manusia yang telah
meninggalkan dunia.
Sudut-sudut yang dipakai dalam kehidupan ini yaitu, selatan ,
barat dan timur sedangkan utara setelah kita meninggal dunia maka
kehidupan di dunia tidak menempati sudut yang Utara.
Selatan, barat dan timur diibaratkan sebagai Botting langi (Dunia
atas), tempat dimana para dewa atau tempat asal muasal manusia
yang pertama yang dibawa turun ke bumi untuk mengisi kekosongan
ale lino.
Ale lino adalah bumi yang ditempati manusia saat ini,
sedangkan ale kawah adalah dunia dimana dibawah air yang
ditempati oleh mahluk-mahluk yang di dalam laut yang hidupnya
adalah untuk menjadi penghibur maupun sebagai makanan bagi
mahluk hidup yang ada di ale lino.
Pappunna sewwae (Tuhan Yang Maha Esa) adalah melengkapi
dari keempat sulapa yang merupakan satu-satunya tempat kita
menyembah yang telah menciptakan bumi beserta isinya. Dimana
manusia menjalani lakon kehidupan sebelum akhirnya kembali
kepada Sang Pencipta seru sekalian alam.
Sedangkan 17 Makna yang ke dua adalah kesempurnaan
agama Islam dalam keseluruhan jumlah hitungan rakaatnya. Disaat
adzan menggema,maka tiba waktunya dimana seorang hamba harus
70
menghadap dan bersujud kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
menciptakan manusia. Hitungan rakaat dari subuh sampai isya
semuanya berjumlah 17 rakaat.
Siri 40 ikat simbol (hidup dan kehidupan yang ada di Bumi ini)
Dalam satu minggu terdapat tujuh hitungan hari, dimulai dari hari
senin sampai minggu, manusia tidak pernah berhenti untuk
melakukan aktifitas dalam sehari pun, baik untuk mencari nafkah
ataupun menyembah kepada sang Pencipta-Nya, semuanya
dilakukan pada hari-hari yang sudah dikodratkan sebagai nama hari
untuk manusia selalu melakukan aktifitas.
Dalam satu minggu itu pula (hitungan tujuh hari) baik siang
maupun malam, seorang hamba tidak pernah akaan pernah
melupakan Tuhan-nya dalam setiap harinya atau hitungan hari
tersebut.
Tellu (tiga) diibaratkan adanya hubungan timbal balik antara
Tuhan (Puang), datu (raja), dan ata (hamba). Tuhan sudah pasti
disembah oleh hambanya entah itu raja maupun hanya seorang
hamba sahaya atau pun budak. Begitupula halnya seorang Raja tetap
akan dihormati dan disembah oleh rakyatnya baik dalam keadaan
susah maupun dalam keadaan senang, karena hal itu tidak dapat
dilepas dari kehidupan dan penghidupan yang ada di dunia ini.
Tuhan menciptakan manusia ke bumi ini, tentunya dengan
maksud agar manusia tidak melupakan bahwa dari mana asalnya
71
sehingga bisa berada di dunia dan dengan segala karunia yang di
berikan oleh Sang pencipta, tentunya ada yang menciptakannya
Dialah Tuhan Yang Maha Kuasa, kuasa segala-galanya yang apabila
dikehendakinya sesuatu terjadi maka akan terjadi tanpa ada yang bisa
mencegahnya.
Tuhan menciptakan manusia dari berbagai suku dan agama
tentunya untuk saling menghrgai satu sama lain. Dalam kehidupan
masyarakat dahulu terdapat kasta ataupun golongan. Golongan-
golongan tersebut terdiri dari berbagai kasta, ada kasta yang tinggi
adapula yang rendah.
Kasta yang tertinggi pada masa itu adalah raja atau karaeng dan
yang dibawah kastanya hamba atau rakyat jelata. Namun, diantara
kedua hal tersebut antara raja dan hamba tentulah mempunyai
pencipta yang hanya dapat dirasakan oleh hati, namun tidak dapat
nampak oleh mata kasar manusia, dialah Sang Pencipta langit dan
Bumi seru sekalian alam, yang tentunya harus disembah oleh
hambanya.
Karaeng=krea’ (raja) ataupun ata=at (hamba sahaya atau
rakyat jelata) tidak memandang miskin maupun kaya, karena
sesungguhnya manusia tidak dapat dinilai dari apa yang dimiliki,
namun apa yang diperbuat, baik pada dirinya sendiri maupun kepada
orang lain.
72
Utti Patappulo Seddi Seppe (Simbol Hidup Mandiri)
Pisang atau dalam bahasa Bugis dikenal dengan nama Utti= auti
(Pisang). Pisang adalah nama umum yang diberikan pada tumbuhan
terna raksasa berdaun besar memanjang dari suku Musaceae .
Pisang baik daun dan buahnya sangat memegang peranan penting
dalam upacara-upacara adat, baik untuk acara pernikahan,
mendirikan rumah, dan upacara keagamaan.
Pisang atau utti= auti yang bisa di jumpai di daerah manapun saja
baik di Indonesia maupun di luar Negeri.
Pisang diibaratkan sebagai seorang manusia yang mampu untuk
menghidupi dirinya walaupun tanpa kehadiran orang tua atau telah
menjadi anak yatim. Dan ternyata justru pisang dapat memberikan
kehidupan kepada orang lain dan dapat berbaur dengan mudah
dimanapun berada, diibaratkan bahwa pisang ini dapat hidup baik di
sawah, di ladang bahkan di pekarangan rumah pun bisa tumbuh
dengan subur walaupun tidak dirawat atau diberi perhatian khusus
tetap dapat berbuah.
Dalam kepercayaan orang Bugis bahwa mereka tidak boleh
memakan pisang pada saat magrib karena diyakini mereka akan
membuat sial kehidupan dalam keluarganya utamanya orang tua laki-
laki atau ayah, yang akan cepat meninggal apabila si anak atau siapa
pun dalam keluarga tersebut yang memakan pisang pada saat
magrib, yang menurut kepercayaan orang terdahulu nasibnya akan
sama dengan pisang yang tidak mempunyai ayah atau bapak. Itu pula
73
yang menyebabkan orang-orang dahulu meyakini, apabila dijumpai
oleh mereka anak yang menangis didekat rumpun bambu, diambil
oleh mereka dan disebut sebagai To’ Manurung.
Suku Bugis meyakini bahwa apa yang ditemukannya tersebut
adalah pemberian Tuhan yang harus dipelihara dan dirawat dengan
baik, sehingga kelak setelah dewasa berguna dan bermanfaat bagi
sekelilingnya, maka dari itulah di Bugis atau suku Bugis akan selalu
menyiapkan Utti Manurung dalam setiap acara-acara adat dan
keagamaan untuk mengingat asal mereka.
Utti atau pisang juga merupakan keyakinan orang Bugis atau
suku Bugis bahwa dimanapun mereka berada akan berusaha untuk
bisa beradaptasi dan berbaur dengan suku manapun tanpa melihat
status sosialnya, miskin ataupun kaya sama, namun satu yang selalu
dipegang adalah kejujuran atau lempu sepeti batang pisang yang
berdiri lurus dan tegak tanpa pernah bengkok kekiri ataupun kekanan
walaupun diterpa angin kencang.
Utti atau pisang ini dalam melaksanaakan sebuah hajatan baik
untuk pernikahan naik rumah ataupun kegiatan keagamaan, utti atau
pisang dijadikan lauk. Oleh oang-orang yang dituakan dalam setiap
atau sesepuh yang meyakini bahwa tidak sempurna pabberena atau
sesajen kepada keluarga yang sudah meninggal apabila tidak
dibuatkan lawa’ (Bugis ) lawara (Makassar) atau urap (bagi suku
Jawa). Lawa ini mengandung makna pembauran dari berbagai suku,
karena lawa terdiri dari kelapa, ikan, cuka, garam dan penyedap rasa
74
yang berbaur menjadi satu, saling melengkapi antara satu dengan
yang lain.
Lauk yang lainnya yang selalu ada adalah tempa-tempa (bahasa
Bugis) yang bentuknya ada tiga macam yaitu bentuk segitiga, bentuk
daun, bentuk bundar kecil-kecil, dan berbentuk seperti alu-alu (
anakan untuk menumbuk pada lesung kecil) yang masing-masing
mempunyai makna tersendiri, yang berbahan dasar: kelapa, ikan
garam, asam, dan kunyit.
Tempa-tempa atau ditepuk-tepuk adalah cara membuat lauk
tersebut sehingga bisa berubah bentuknya. Tempa-tempa dengan
bentuk segitiga adalah simbol ‘atuongen ri lino’ (kehidupan di dunia)
atau disebut dengan tiga arah mata angin yaitu alau’ atau timur,
maniang atau selatan, arai atau barat.
Segitiga juga simbol bentuk timpa’ laja’ atau bentuk bubungan
atap rumah orang Bugis yang membedakan strata sosial seseorang.
Tempa-tempa berbentuk daun adalah simbol tumbuh-
tumbuhan. Jenis tanaman yang ada di bumi sungguh sangat beraneka
ragam mulai dari yang bisa di komsumsi sampai tumbuhan yang
hanya sebagai penghias atau tanaman hias, semua pasti mempunyai
daun yang berfungsi sebagai pembuat makanan yang utama dari
hampir semua tumbuhan.
Tempa-tempa tello bale= etP-etP tElo bel diibaratkan bulatan-
bulatan kecil itu adalah simbol dari planet-planet yang ada di alam
semesta. Sedangkan yang melingkari atau yang mengitari bulatan
75
kecil tersebut diibaratkan Bumi mengelilingi matahari, hal ini
mengingatkan kepada manusia bahwa hidup ini masih terus berputar
selama masih ada kehidupan. Karena itu manusia tidak boleh
sombong dan angkuh, bahkan takabur karena kehidupan seseorang
tidak akan selamanya berada pada posisi yang tetap namun akan
selalu berputar dan menjadikan seseorang yang sombong berada
pada penghidupan yang rendah.
Tempa-tempa gambere adalah simbol eppa sulapa yaitu ada
tanah, api, air, dan angin, yang berarti bahwa dalam kehidupan ini
dari keempat unsur ini ada dalam kehidupan. Manusia berasal dari
tanah dan akan kembali kepada tanah. Air dalam kehidupan sangat
berarti karena dengan air, baik manusia, hewan dan tanaman
memerlukan air, tanpa air maka alam akan menjadi kering dan
penghuninya bisa terancam mati kelaparan.
Tempa-tempa yang berbentuk seperti alu adalah bisa
diartikan dalam berbagai simbol, yang pertama adalah simbol huruf
pertama dalam kitab suci Al-Quran yaitu alif. Simbol kedua yaitu
watakkale tettong ( batang tubuh manusia). Manusia adalah khalifah
di muka bumi ini dengan dibekali akal pikiran untuk berkarya agar
bisa berguna bagi dirinya dan bagi orang lain.
Cucu Bannang (Beras empat warna) simbol warna dalam
kehidupan.
76
Dalam kehidupan ini ada empat warna yang sangat dominan
menyertai dalam setiap aktifitas manusia baik warna pakaian maupun
warna makanan yaitu: putih, hitam , merah dan kuning.
Pute Bali’ Lotong=puet bli lot (Putih berubah menjadi hitam)
Maknanya manusia dilahirkan dalam keadaan suci dan bersih,
seperti kain putih polos bersih tanpa noda. Pute (putih) dan hitam
(lotong) dua hal yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia,
karena sesungguhnya manusia bisa berubah dalam waktu sekejap
dalam hitungan detik pun manusia bisa terjatuh kedalam hal yang
bersipat buruk atau jelek. Persoalan yang membuat manusia dari baik
menjadi buruk disebabkan oleh berbagai faktor, salah satunya karena
harta atau uang yang bisa menjadikan manusia yang jujur menjadi
pembohong.
Hal seperti itu di jaman sekarang ini sudah biasa terjadi, karena
hal itu sudah menjadi kodrat alam bahwa alam ini terlahir diciptakan
secara berpasangan. Ada siang ada malam, ada kaya ada miskin, ada
laki-laki ada perempuan, ada calabai dan ada calalai. Begitulah
seterusnya kehidupan berputar seperti roda kadang diatas terkadang
dibawah, yang apabila manusia tidak dapat mengalahkan napsunya
maka tidak mustahil akan terperosok kedunia yang kelam, dari yang
putih menjadi hitam.
Pute Bali’ cella = peut bli cEl (putih menjadi merah)
77
Pute (putih) berarti suci merah artinya berani. Dalam tubuh
manusia mengalir darah yang merah dan segar, manusia tidak dapat
hidup tanpa ada darah dalam tubuhnya.
Namun disisi lain darah dalam filosofi bugis adalah tamu
perempuan yang setiap bulan selalu hadir tanpa bisa ditolak
kehadirannya, karena sudah merupakan kodrat yang diberikan oleh
Tuhan Yang maha Kuasa.
Warna ridi= wrn ridi (kuning)
Kuning diibaratkan tulang sumsung manusia ,
Warna Gau = wrn gau (biru)
Gau dalam bahasa bugis adalah tingkah laku atau perbuatan
manusia dalam melakoni kehidupan di muka bumi sebagai khalipah.
Gau atau dalam Bahasa Indonesia di kenal sebagai warna biru
merupakan simbol ampe-ampe atau tingkah laku manusia.
Tindakan bawaan hati yang baik dari seseorang dimulai dari
suatu niat yang baik dan ikhlas unutk melakukan sesuatu demi
tegaknya harkat dan martabat manusia. Bawaan hati yang baik
mengandung tiga makna, yaitu a) menyucikan hati, b) bermaksud
lurus, dan c) mengatur emosi-emosi. Pertama, manusia menyucikan
dan memurnikan hatinya dari segala nafsu-nafsu kotor, dengki, iri hati,
dan kepalsuan-kepalsuan.
78
Niat suci atau bawaan hati yang baik diasosiasikan dengan
tameng (pagar) yang dapat menjaga manusia dari serangan sifat-sifat
tercela. Ia bagai permata bercahaya yang dapat menerangi dan
menjadi hiasan yang sangat berharga. Ia bagai air jernih yang belum
tercemar oleh noda-noda atau polusi. Segala macam hal yang dapat
menodai kesucian itu harus dihindarkan dari hati, sehingga baik
perkataan maupun perbuatan dapat terkendali dengan baik. Segala
macam perbuatan harus dimulai dengan niat yang suci karena tanpa
niat suci (baik), tindakan manusia tidak akan mendapatkan ridha dari
Tuhan Yang Maha Kuasa.
Seseorang yang mempunyai bawaan hati yang baik tidak akan
pernah goyah dalam pendiriannya yang benar karena penilainnya.
Demikian pula, ia sanggup melihat kewajiban dan tanggung jawabnya
dengan lebih tepat.
Manusia sanggup untuk mengejar apa yang memang
direncanakannya, tanpa dibelokkan ke kiri dan ke kanan. Lontara’
menyebutkan:
Atutuiwi anngolona atimmu; aja’
Mummamminasangi ri ja’e padammu rupa tau nasaba’ mattentui iko
matti’ nareweki ja’na apa riturungenngi ritu gau’ madecenge riati
maja’e nade’sa nariturungeng ati madecenge ri gau’ maja’e. Naiya tau
maja’ akaleng atie lettu’ rimonri ja’na.
79
(jagalah arah hatimu; jangan menghajatkan yang buruk kepada
sesamamu manusia, sebab pasti engkau kelak akan menerima
akibatnya, karena perbuatan baik terpengaruh oleh perbuatan buruk
akibatnya akan sampai pada keturunanya keburukan itu).
Maksud dari papesangka diatas menitikberatkan pentingnya
seorang individu untuk memelihara arah hatinya. Manusia dituntut
untuk selalu berniat baik kepada sesama. Manusia tidak akan
membiarkan dirinya digerakkan oleh nafsu-nafsu , emosi, perasaan,
kecondongan , melainkan dari suatu pedoman (toddo), yang
memungkinkannya untuk menegakkan harkat dan martabat manusia.
Ada satu pepatah Orang Bugis yang mengatakan “ Buru Buku-
buku te’ buru rampe-rampe” yang artinya apabila kelakuan seseorang
baik, tidak pernah berbuat hal-hal yang aneh atau merugikan orang
lain maka baik pula cerita atau ingatan seseorang terhadapnya,
namun apabila orang tersebut kelakuannya buruk dan selalu membuat
onar, maka tidak berhenti orang mengingat keburukan orang tersebut,
walaupun orangnya telah tiada atau meninggal dunia. Kebaikan dan
keburukan seseorang akan tetap dibicarakan walaupun sudah
meninggal.
Beppa Seppulo Dua Rupanna= ebp sEpulo dua rupn (Kue dua
belas macam )
Onde-onde= aoed-aoed (umba-umba/kelepon)
berbahan dasar
80
1. beras ,
2.gula, dan
3.kelapa
Onde-onde yang dalam Bugis dan umba-umba dalam bahasa
Makassar akan selalu dijumpai dalam setiap acara atau hajat
masyarakat Bugis-Makassar entah itu naik rumah (menre bola atau
panai’ balla, menikah, sunat, dan hajat lain) yang selalu menandakan
bahwa hajatan tersebut adalah suatu hajatan yang berbau
kegembiraan dan maksud yang baik.
Onde-onde ini menandakan seseorang yang selalu
menginginkan kehidupan yang penuh dengan kebahagiaan dan
kesenangan, yang berarti kehidupan “malunra na macenning
akkatuongenna” adalah kehidupan yang penuh dengan
kegembiraan, kesenangan dan berkecukupan. Dalam arti lain
kehidupan manusia semakin hari akan semakin lebih baik dari
kehidupan sebelumnya.
Beppa Cangkuling
Cangkuling berbahan dasar
1. Beras ketan
2. Gula merah
3. Kelapa
Menurut filosofi dan keyakinan orang tua-tua masyarakat bugis-
Makassar kue ini dilambangkan dengan segala sesuatu kebaikan
akan terus-menerus berulang tanpa henti dalam hal kebaikan rejeki
81
dan penghidupan. Perpaduan dari kelapa, beras dan gula adalah
agar kehidupan yang penuh nikmat dan penuh rezeki akan bisa
berulang-ulang secara terus-menerus. Cangkuling berasal dari kata
“kuling” ditambah “ma” menjadi “makkuling” , makkuling-kuling aga-
aga madecenge. Dan diharapkan sesuatu yang baik itu akan
bermanfaat dan penuh isi “malunra na maccenning” hidup yang
selalu dianugrhi kebahagiaan dan kesenangan.
Beppa oto= ebp aoto yang berarti bangun atau bangkit. Oto
yang dari bahasa bugis yang berati bangun adalah kehidupan ini
harus terus dibangun jangan sampai tertidur dan berusaha untuk
selalu bangkit menghadapi arus kehidupan yang keras dan bangkit
untuk bekerja keras agar kehidupan keluarga bisa terus berlangsung
tanpa kekurangan apapun, terpenuhi segal keperluan baik sandang,
pangan maupun papan.
Cucuru bayao dan kue-kue yang lainnya adalah kue yang menjadi
bahan pelengkap saja. Kue-kue yang lainnya menandakan bahwa
orang bugis atau suku Bugis selalu dan menginginkan perubahan dan
pembauran dengan suku lain yang ada di nusantara, karena
sesungguhnya keanekaragaman dan perbedaan akan menambah
hasanah budaya yang beragam.
Bhineka tunggal ika merupakan semboyang bangsa Indonesia
yang mengungkapkan persatuan dan kesatuan yang berasal dari
keanekaragaman. Membiasakan bersahabat dan saling membantu
dengan sesama warga yang ada dilingkungan sekitar, walaupun tidak
82
satu suku, seperti gotong-royong, akan dapat memudahkan
tercapainya persatuan dan kesatuan bangsa. Sehingga tercipta
suasana yang damai berbaur untuk selalu menjadi satu dan bersama-
sama dalam membangun keutuhan masyarakat dengan memegang
prinsip bersatu kita teguh bercerai kita runtuh. Perbedaan yang ada
bukanlah halangan untuk menjadi maju, namun perbedaan akan bisa
membawa bangsa atau suku untuk lebih maju.
Aksesoris yang digunakan dalam kegiatan maggiri atau ritual
adalah sebagai berikut:
Passapu atau sikku tellu (segitiga di kepala) adalah simbol
perempuan yang harus menggunakan tutup kepala atau hijab yang
berarti juga harus menutup aurat, agar terlindung dari pandangan
yang bukan menjadi muhrimnya.
Pakambang atau selendang adalah simbol jaring yang diartikan
dunia ini pada akhirnya akan kiamat dan yang menurut
kepercayaan bissu bahwa pada saat itu manusia yang
berterbangan seperti anai-anai akan dijala atau dijaring untuk
kembali kedunia atas.
Baju yang diberi nama Bella dada yang berarti kesopanan. Dalam
dada ada hati yang bisa memilih dan memilah segala yang baik dan
segala yang buruk.
Sarung namanya tope adalah, luasnya dunia yang harus dapat
diarungi dengan segala daya. Sedangkan hati yang luas berarti
manusia harus bisa menerima apapun yan diberikan oleh Sang
83
pencipta, harus dengan hati yang ikhlas menerima hal tersebut.
Wiring tope atau wiring lipa (pinggir sarung) adalah simbol
kehidupan dunia atas (botting langi), dunia tengah (ale lino), dunia
duniah bawah (ale kawah).
Celana namanya pakalepe. Simbol pallawa-lawa atau pateppo
(penghalang atau pemotong) adalah penangkal, yang dapat
berfungsi sebagai penangkal dari segala perbuatan yang jahat, baik
oleh bangsa manusia maupun oleh bangsa jin yang diartikan
adalah Paccalla lino (cobaan hidup di dunia).
Hidup di dunia ini diibaratkan sebuah perahu yang mengarungi
lautan luas tak bertepi dengan ombak yang besar, yang apabila
nahkoda tidak mengendalikan kemudi maka kapal akan terbalik dan
bahkan tenggelam didasar lautan, begitu pun dengan dalam
kehidupan yang pasti selalu ada cobaan dari sang pencipta kepada
umatnya. Apabila seorang hamba tabah menghadapi semua
cobaan yang diberikan, maka niscaya derajat yang lebih tinggi akan
diberikan oleh sang pencipta.
Badik atau dalam bahasa Bugis disebut kawali adalah senjata
tradisional Bugis- Makassar. Badik mempunyai bagian-bagian
seperti pangulu (hulu), bessi (bilah) dan wanua (sarung), seperti
pada senjata tradisonal lainnya, kawali juga dipercaya memiliki
kekuatan sakti, baik itu yang dapat membawa keberuntungan
ataupun kesialan. Seperti kata orang Bugis Makassar mengenai
badik atau kawali “Teyai bura’ne punna tena ammallakki badik
84
(bukan seorang lelaki jika tidak memiliki badik), begitupun dengan
kata orang Bugis “taniya ugi narekko de’na punnai kawali” (bukan
orang Bugis jika tidak memiliki badik). Badik atau kawali bukan
hanya berfungsi sekadar sebagai senjata tikam, melainkan juga
melambangkan status, pribadi dan karakter pembawanya. Badik
sejatinya adalah sebagai media simbolik, ia hanya bisa tercabut
atau dicabut untuk menjaga diri dan kehormatan pemiliknya atau
keluarganya dan bukan alat untuk melakukan kejahatan atau
pengancaman. Badik adalah pelengkap dari “pappaseng” (pesan-
pesan leluhur yang baik) yang diwariskan kepada anak cucunya
sebagai pendamping untuk menegakkannya. Sejatinya, badik
adalah untuk menegakkan kebenaran dan menjaga kehormatan,
lebih penting dari itu semua adalah kematangan dan kearifan si
pembawa badik itu sendiri.
Paccoda adalah simbol asal usul nenek moyang atau manusia
yang pertama turun dari botting langi turun kebumi atau ale lino,
yang sengaja diturunkan oleh dewa patotoe untuk meramaikan
bumi atau ale lino yang bisa menyembah kepada dewata baik
dalam keadaan susah terlebih lagi dalam keadaan bahagia atau
senang.
Adidi masebbu (lidi beribu-ribu) adalah simbol persatuan dan
kesatuan. Diibaratkan bahwa dalam sebuah masyarakat apabila
menghadapi kesusahan atau menghadapi musuh, tidaklah mungkin
dapat dihadapi sendirian akan tetapi harus bersama-sama
85
menghadapi musuh, niscaya musuh dengan mudah dapat
ditaklukkan. Hal itu sejalan dengan pribahasa “bersatu kita teguh
bercerai kita runtuh”. Begitu pun dengan lidi yang apabila hanya
satu batang lidi saja digunakan untuk menyapu kotoran niscaya
akan sangat susah untuk menghilangkan kotoran tersebut, namun
apabila lidinya banyak maka dengan mudahnya membersihkan
kotoran yang ada.
Lellu adalah teddung yang menyerupai sebuah payung yang
digunakan pada zaman dulu untuk memayungi karaeng atau raja,
dan diperbolehkan memegangnya adalah sandro atau pawang
yang bisa massappo eppae sulapa atau memagari eppa sulapa
(empat penjuru) . Teddung atau payung berarti memayungi atau
menaungi, memberikan naungan kepada siapa saja, agar bisa
terlindung dari segala marabahaya dan malapetaka.
Taluttu adalah sejenis kain putih yang dibentangkan sepanjang lima
puluh meter, yang dijadikan alas atau yang diinjak mempunyai
makna bahwa selama kita hidup di dunia ini haruslah tetap berjalan
di jalan yang lurus atau bersih, melangkan kaki untuk hal yang baik
yang bisa berguna bagi siapa pun.
Ada’ papaseng orang tua dulu “lokkako mangkalinga panggadereng
riawana barugae” yang berarti berjalanlah kalian untuk mendengar
hal-hal yang baik tentang kebaikan dan adat-istiadat atau
kebiasaan orang Bugis yaitu sipakatau, sipakainge, dan
sipakalebbi. Sipakatau Artinya saling menghormati atau saling
86
memanusiakan, menghargai harkat dan martabat orang lain
sebagai mahluk ciptaan Tuhan yan paling sempurna.
Sipakalebbi yang berati saling memuliakan posisi dan fungsi
masing-masing dalam kehidupan sosial, senantiasa berperilaku
yang baik sesuai dengan adat yang berlaku, dan Sipakainge adalah
saling mengingatkan satu sama lain, saling menghargai dan
menerima saran dan kritikan yang bersifat membangun.
Bulo reppa (bambu pecah) adalah simbol assedingen, yang
menandakan bahwa betapa anak-anak suku Bugis selalu bersatu
dalam melakukan suatu pekerjaan agar hasilnya lebih maksimal.
Oje adalah simbol bumi yang mengelilingi rotasinya
Alameng adalah sejenis pedang atau senjata tajam yang dibawa
oleh puang Towa kemanapun beliau pergi barang tersebut selalu
dibawa apabila hendak melakukan ritual. Sementara Bissu yang
lain hanya berupa keris atau tappi.
Arumpigi atau lolosi arumpigi simbol perkawinan burung dengan
ular . Benda ini sejenis alat musik yang digunakan untuk memanggil
sesama burung.
Memmang atau nyanyian yang dilantunkan oleh pemimpin bissu
sebelum melakukan ritual adalah sebagai berikut:
Ooo rueee
Kerru jiwamu pale
Talaga pun ratu
Uppaddirate mai alebiremmu
87
ao ruea
kEru jiwmu pel
tlg pu rtu
aupdiret mai alEbirEmu
Ya Tuhan
Semangat jiwamulah,
wahai adinda
Kujunjung tinggi derajatmu
Maknanya adalah sikap seorang hamba yang senantiasa
memberi hormat dan menyembah kepada tuannya ataupun
rajanya dalam keadaan apa pun.
Ooo rue
Mangkau iko mu pale
Eee puangge pole wiring langie
ao ruea
mKau aiko mupel
ea puaeG poel wiri lGiea
ya tuhan
ternyata engkau tuhan
tuhan yang berasal dari pinggir langit
Artinya:
Tuhan (Dewata), engkaulah Tuhan yang diturunkan dari langit
menuju bumi yang akan dijadikan pemimpin .
88
Kekkengenggi linoe
Tenrenrengi pole linoe
Salangkaengi tanae
O mularennunnu pale
kEkEGi linoea
tEeReRGi poel lino
slKeaGi tnea
ao mul ernunu pel
yang memegang dunia
yang datang tanpa bantuan siapa pun
yang menopang tanah dari bawah
yang mencari jalan kehidupan
Maknanya adalah;
Dunia ini akan berada dalam kekuasaannya, karena kesaktian
yang di miliki akan mampu menopang seluruh sendi kehidupan di
dunia dan akan menjalani kehidupan dengan penuh kebahagiaan
Addampengeko mai mangkau e
Duae rate tellui rate
Uppaddirate mai alebbiremmu
Iko pue
89
adPEko mai mKau ea
duea rtE tEluea rtE
aupdirtE mai alEbirEmu
aiko puea
memohonlah ampun wahai pemimpin (Raja atau arung)
kepada Sang pencipta.
Dua diatas, tiga diatas,
Kujunjung tinggi derajatmu
Tuhan pencipta seru sekalian alam
Artinya,
seorang hamba harus senantiasa memohon ampun kepada Tuhan
Pencipta-nya atas segala apa yang dilakukannya. Karena
sesungguhnya manusia tak pernah luput dari khilap dan dosa. Dan
sesungguhnya antara seorang hamba dan pencipta-nya, ada hal
yang tak bisa terucapkan itulah yang dikatakan, tubuh, nyawa dan
rahasia. Sungguh Tuhan adalah pencipta langit dan bumi yang tak
pernah terbantahkan kebenarannya.
Oooo......rueee
Oteddukka matu
ri alla nabi cicue iya malaeka eppae
ao ruea
autEduko mtu rial nbi cicuea
aiylea rimleak aEpea
90
Ya Tuhan....
Engkau akan dibangunkan
Oleh empat malaikat
Artinya, manusia akan dibangkitkan dari segala penjuru arahyaitu
timur, barat, utara dan selatan.
Aja musala panggade
Aj musala passessung
Utau calikereng lete
lao ri panggemerekku
aj musl psEsu
aj musl pGdE
autauu clikErE elet
lao ri pGEEEmErEku
jangan salah dalam berbicara
jangan salah dalam berperilaku
manusia sering mengucapkan sesuatu yang menjadi keinginnanya.
Artinya,
Manusia jangan berbuat atau melakukan tindakan yang dapat
meyalahi aturan yang telah ditetapkan baik yang dibut oleh
manusia apalagi yang sudah di tetapkan oleh Tuhan. Manusia tidak
boleh berlebihan dalam segala hal, baik dalam berbicara, dan
91
bertindak, karena sesungguhnya,apa yang dimiliki saat ini adalah
titipan yang diberikan oleh-Nya, apakah sebagai manusia mampu
memahami dan menyadari bahwa in semua adalah sementara,
apakah manusia bisa bersyukur atau tidak dengan apa yang telah
diperolehnya.
Rau-rau patola tarau
muola lete
Nagae muattongcengi
Pottoe muakkarekkengi mangkau
Rau-rau ptol trau
muaol elet
ngea muatoeCGi
potoea muakrEkEGi
pelangi yang engkau lalui
naga tungganganmu
Usaweko mai ri paratiwi
Usaweko mai ri lino tenggae
Usawekko mai ri botting langie
auswEko mai riprtiwi
auswEko mai ri lino tEGea
auswEko mai ri boti lGiea
yakin akan kekuasaan Tuhan
yang membawamu ke dunia bawah
92
yang membawamu ke dunia tengah
yang membawamu ke dunia atas
Iko are ga hatu mai
Iya Buajana bulue
Lampuarana tasie
aiko aerg htumai
aiy buajn buluea
lPuarn tsiea
mEet tERi bliea
ternyata kamu
buaya di atas gunung
buaya yang ada di laut
berbicara namun tak ada yang menjawabmu
Maknanya,
Sesungguhnya ini adalah peringatan kepada manusia yang lalai,
manusia yang selalu berhura-hura, manusia pendosa. Tuhan telah
mengingatkan akan murka Allah yang sangat pedih, yang akan
membuat manusia menyesal. Apabila nyawa sudah terlepas dari
raga, tak ada lagi yang bisa diperbuat. Tuhan telah murka, dunia
dihancur-leburkan dengan mendatangkan bencana alam, namun
manusi tak pernah sadar. Bertobatlah selalu, sebelum ajal datang
menjemput, sebelum pintu tobat tertutup, sesungguhnya Allah
Maha penyayang dan Maha Pengampun.
93
Mette tenri balie
Makkedae tenri sumpala
Musorokoha matu
Iko la Dewatae maccalae
Waliyala maddenrungeng
mEet tERi bliea
mkEdea tERi suPl
musoro kohamtu
aiko ldEwt mclea
wliyl mdERuGE
Tuhan akan mengambil nyawamu
Karena sesungguhnya,
Semua yang ada di dunia ini
Pada akhirnya akan mati, dan
Akan kembali kepada-Nya. Bertobatlah, ingat kepada Sang
Pencipta. Manusia, hewan dan seluruh yang ada di bumi ini adalah
tanda kebesaran Sang PenciptaTuhan Semesta Alam.
Artinya,
hidup di dunia ini sangat banyak cobaan, manusia harus kuat untuk
menjalaninya, karena cobaan yang diberikan adalah untuk menguji
ketaatan seorang hamba kepada pencipta-Nya. Jalani kehidupan
dengan berpedoman kepada agama, agar tidak menyesal nantinya.
94
Pungo tennana tiwi
sini ompo tennawawa
sumangeko ri lino
tunrue papengeng sikkiri
adekia assarae puo-puo cudae
alamakeng abbisungeng arukaju, o pabatari
puGo tEn tiwi
sini aoPo tEn ww
sumGEko ri lino
tuRuea pepGE sikiri
adEki asrea puo cudea
almkE abisuGe arukju
ao pbtri
sesungguhnya kehidupan di dunia ini
sungguh sangat berat
manusia harus kuat menghadapi segala tantangan
harus tetap semangat untuk menjalani kehidupan di dunia
selalu berjalan sesuai yang ditentukan oleh agama
agar lebih mengetahui asal usul dan tardisi kita
melalui abbisungeng, oh Tuhan...!
ooorueee
95
Dapo-dapona batara
Kusimulajajing kuteteng
kupangesara
aoruea
dpo-dpona btr
kusimuljji kuetet
kupeGsr
ya tuhan,
Kuali kepunyaan Dewa
Telah ada sejak dia lahir
Di pegang dan dibawah kemana-mana
Artinya,
sesungguhnya sumber kehidupan telah ada sejak awal dunia ini
tercipta dan sampai akhir zaman. Manusia sebagai khalipah di bumi
harus bisa mencari jalan rejekinya agar dapat hidup dengan layak
dan tidak menjadi beban bagi yang lain.
Saliu sarompo-rompo
Saliu sanra batara
Ana toa battoa
Lao-lao ko hamai musolo
sliau sroPo-roPo
sliau sR btr
an toa btoa
96
lao-lao kohmai musolo
berdatanganlah semua
datanglah kepada tuhanmu
anak-anak, orang tua
datanglah untuk bersedekah
Lanyu-lanyu anurungeng
Toriwakasi na upasangajiko
ro sakkoro
Wennie tunrui papenge
lNu-lNu anuruGEu
toriwksi n aupsGjiko
ro skoro
wEniaE tuRuai pepGE
mengetahui asal dunia atas
seluruh jagat raya tercipta
bagaikan sebuah keajaiban
yakinlah...!
Madekia assarae sikkiri’e
Pao-pao cudae ampulangeng
Alamakeng abbissungeng
Arung kaju, Opa batari
mdEki asrae sikiriaea
pao-pao cde aPlGEu
97
almkE abisuGE
aru kju, ao pbtri
seluruh tanda-tanda kebesaran Tuhan
segala perintah untuk selalu mengingatnya
bersikir selalu,
yang mengingatkan manusia untuk
selalu mengingat asal muasalnya
dan tradisi lama ( attauriolong) melalui abbisungeng
ya... Tuhan!
Mantera yang kedua bissu sudah bersiap untuk memasuki arena
maggiri
Ya sabo yoo
E ya saboo yoo
E pole alauka mai wanuanna bessie
E yaa saboo yooo
E yaa saboo yooo
E langkana aja mumarusseng
E natudduko no mpissue
E yaa saboo yoo
E laengkana aja mumarusseng
E natudduko no mpissue
98
E cenrana datu ajue
E yaa saboo yoo
E cenrana datu ajue
ea y sbo yo
ea y sbo yo
ea poel alauk mai wnuan bEsiea
ea y sbo yo
ea y sbo yo
ea laEKn aj mumrues
ea ntuduko no Pisuea
ea y sbo yo
ea laEKn aj mumrues
ea ntuduko no Pisuea
ea cERn dtu ajuea
ea y sbo yo
ea cRn dtu ajuea
Iko malaekana bolae
aja mumacai
99
pa elokkona onroi ma’bbissu,
bissu dewata, eloko na rumpu
aja mumacai
ya Tuhan...
Ya Tuhan...
Aku datang dari timur
wahai engkau malaikat rumah
janganlah engkau marah
janganlah engkau marah
rumah ini akan dipakai untuk mabissu
janganlah marah bila terkena asap dupa
Artinya
mereka meminta izin kepada malaikat rumah, agar tidak marah karena
rumahnya akan di pakai untuk acara mabbissu dan terkena oleh
paparan asap dupa-dupa yang telah di bakar sebelumnya.
Cenrana Datu aju yang dianggap dan diyakini bahwa kayu cenrana
adalah Datu=dtu (raja) kayu karena getahnya yang berwarna merah
merupakan darah yang berwarna merah (dara aju atau aju maddara),
dan kayu cendana pammali digunakan sebagai papan untuk lantai
rumah hanya boleh dijadikan dinding saja, karena barang siapa yang
100
menggunakan kayu cendana untuk lantai rumah, maka penghuni
rumah tersebut akan mengalami sakit keras, yang tidak ada obatnya
dan pada akhirnya meninggal.
B. Pembahasan
Sebagai tindak lanjut dari pengolahan dan analisis data tentang
Makna Simbolik dalam Teks Ritual Maggiri pada Pesta Adat
Komunitas Bissu di Kabupaten Pangkep, pembahasan sebagai
berikut:
Pelaksanaan ritual Maggiri di Kabupaten Pangkep ternyata sarat
dengan simbol yang terdapat pada setiap kata dan gerakan serta
pernak-pernik yang digunakan. Ricoeur (1976: 6) menyatakan bahwa
bentuk simbol dapat diidentifikasikan dan diklasifikasikan menjadi dua
kelompok, yakni simbol verbal dan simbol non verbal. Simbol verbal
adalah simbol-simbol yang berupa bahasa yang dituturkan oleh para
pelaku sedangkan simbol nonverbal adalah benda-benda yang
menjadi pelengkap dalam ritual.
Seperti yang dikemukakan oleh Pierre (dalam Endraswara, 2008:
65) bahwa salah satu jenis tanda berdasarkan hubungan antara tanda
dengan yang ditandakan adalah simbol. Simbol adalah tanda yang
memiliki hubungan makna dengan yang ditandakan bersifat arbitrer,
sesuai dengan suatu konvensi lingkungan tertentu.
Simbol-simbol dalam ritual maggiri adalah tanda yang memiliki
hubungan makna dengan yang ditandakan bersifat arbitrer, sesuai
dengan konvensi masyarakat bugis segeri . Seperti “alosi” (pinang)
101
adalah simbol kejujuran , “ota sakke” (siri) adalah simbol
kesempurnaan “tope” (sarung) adalah simbol betapa dunia bulat dan
luas, “pakambang” (selendang) adalah simbol jaring, “alameng”
(pedang), “passapu” (segitiga di kepala) adalah simbol penutup aurat,
bella dada (baju) adalah simbol manusia yang mempunyai hati,
pakkalepe (celana) adalah simbol penangkal dari segala mara bahaya
dan badik atau kawali atau tappi adalah simbol status sosial,
kepribadian dan karakter pembawanya. semua simbol tersebut adalah
persetujuan masyarakat bugis tentang yang disimbolkan.
Selanjutnya Azis (2012: 18) menyebutkan bahwa ada empat ciri
utama simbol (1) simbol bersifat figuratif yang selalu menunjukkan
kepada sesuatu diluar dirinya, (2) simbol bersifat dapat dicerap baik
sebagai bentuk objektif dan sebagai konsep imajinatif, (3) simbol
memiliki daya kekuatan yang melekat secara gaib, mistis, religius atau
rohaniah, dan (4) simbol mendapat dukungan dari masyarakat.
Misalnya “Siri” (sirih) adalah simbol harga diri dan rasa malu.
“Ota Sakke” adalah simbol kesempurnaan seorang Bissu, “ota”
(otak manusia) mappalise adalah simbol isi atau berisi, karena
manusia diciptakan dan terlahir dalam keadaan sempurna yang
dikaruniai akal dan pikiran yang ada dalam otak manusia. “siri” (Sirih)
adalah simbol malu atau harga diri masyarakat Bugis. Siri bagi orang
Bugis menyangkut reputasi, harga diri atau martabat, dan kehormatan
semuanya harus dipelihara dan ditegakkan dalam kehidupan nyata.
102
Istilah malu atau siri’ adalah menyangkut unsur yang hakiki
dalam diri manusia Bugis yang telah dipelihara sejak mereka
mengenal apa sesungguhnya arti hidup ini dan apa arti harga diri bagi
seorang manusia (Abdullah, 1985: 40-41).begitu pentingnya siri ‘
dalam kehidupan orang bugis sehingga mereka beranggapan bahwa
tujuan manusia hidup di dunia ini adalah untuk mempertahankan atau
menegakkan dan menjaga siri’ tersebut.
Siri merupakan konsep kesadaran hukum dan falsafah dalam
masyarakat Bugis makassar merupakan sesuatu yang sangat sakral,
begitu sakralnya kata tersebut, sehingga apabila seseorang
kehilangan siri’na atau tidak mempunyai rasa malu tak ada lagi artinya
menempuh kehidupan sebagai manusia. Bunga nangka atau lempu
adalah simbol kejujuran, lurus dan tidak menyimpang dari aturan yang
berlaku.
Warna-warna yang digunakan dalam berupa warna putih, merah,
kuning, dan biru adalah merupakan warna yang dalam kehidupan
setiap warna yang tertera adalah bagaimana manusia bisa menyikapi
semua dengan penuh optimis agar kehidupan yang dijalani bisa
berdaya guna. Hidup dan kehidupan yang diwarnai akan lebih
bermakna jika apa yang telah terjadi menjadi pengalaman dan
dijadikan pedoman dalam menjalani hidup sebelum mengambil
sebuah keputusan yang pasti.
103
“Passapu” atau segitiga, yang berarti manusia harus menutup
kepalanya atau berkerudung karena merupakan kewajiban yang telah
ditentukan oleh sang Pencipta.
“pakambang” atau selendang, adalah simbol kehidupan di dunia
ini hanya sementara, yang bila sudah masanya maka manusia akan
dijala karena manusia begitu sangat kecil. Apabila sangkakala telah
ditiupkan maka manusia beterbangan seperti anai-anai dan bumi akan
hancur, semua akan kembali ke sang pencipta, tanpa seorang pun
yang dapat menolaknya.
Bella dada” atau baju adalah simbol manusia yang mempunyai
hati yang dapat memilah baik dan buruknya sesuatu. Kata hati
(arab:qalbun) mempunyai du penggunaan dalam bahasa, pertama
menunjukkan bagian yang paling murni dan paling mulia dari sesuatu,
kedua bermaknaerubah dan membalikkan sesuatu dari satu posisi ke
posisi yang lain.
Hati merupakan bagian yang paling murni dan paling mulia dari
seluruh makhluk hidup, dan dia juga sangat rawan untuk berbolak-
balik dan berubah haluan. Nabi Muhammad saw bersabda yang
artinya “wahai yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hatiku pada
agamamu” (HR.At-Tirmidzi dari Anas bin Malik) adapun letaknya,
maka Al-Qur-an dan As- Sunnah menunjukkan bahwa dia terletak di
dalam dada. Allah berfirman,”karena sesungguhnyabukanlah mata itu
yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada” (Qs. Al-
Hajj: 46).
104
“Tope” atau lipa adalah simbol luasnya dunia yang begitu
banyak cobaan dan rintangan yang harus dihadapi. Namun,
sesungguhnya sarung merupakan kain yang selalu digunakan oleh
manusia dalam segala aktifitasnya, bahkan meninggal pun manusia
masih diberikan sarung sebagai penutup jasadnya. Sarung dapat
menyentuh segala lapisan masyarakat dan pada masa kolonial
belanda, sarung merupakan simbol sebuah perlawanan.
“Pakkalepe” atau celana atau patteppo adalah simbol
penangkal dari segala mara bahaya yang ada, baik secara kasar
maupun secara kasat mata.
Makna yang terkandung di balik simbol dalam ritual maggiri
merupakan makna yang terkandung oleh pandangan dan budaya
Bugis pada umumnya yang bersifat arbitrer dengan hal yang
disimbolkan.
Dalam komunias bissu terdapat seorang pemimpin bissu
yang disebut “Puang matowa” atau “Puang Towa” yang merupakan
pimpinan tertinggi dalam komunitas tersebut. Tugas Puang Matowa ini
antara lain, sebagai penasehat kerajaan, pengabdi dan penjaga
arajang (benda-benda pusaka kerajaan) yang merupakan benda
pusaka dan dianggap keramat.
Dalam kenyataannya dewasa ini, bissu yang ada sekarang
adalah pewaris bissu zaman dahulu sebelum masuknya Agama
Islam di Sulawesi Selatan kepercayaan Bugis pada masa silam
dijalankan dengan konsep dewa tertinggi atau To Palanroe.
105
Sistem kepercayaan ini disebut attoriolong (leluhur), yang
secara harfiah berarti mengikuti tata cara leluhur. Melalui
attoriolong=atoriaolo (leluhur), petunjuk- petunjuk normatif dalam
kehidupan bermasyarakat diwariskan. Sampai saat ini kepercayaan ini
belum hilang meskipun masyarakat telah memeluk Agama Islam.
Sebelum kedatangan Agama Islam, sebagian masyarakat
Sulawesi Selatan sudah mempunyai kepercayaan asli dan menyebut
Tuhan dengan sebutan Dewata SeuwaE (Tuhan Yang Maha Esa),
yang berarti Tuhan kita yang satu.
106
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan, maka peneliti
dapat menarik simpulan bahwa:
Makna Simbolik Ritual Maggiri pada Pesta Adat Komunitas
Bissu di Kabupaten Pangkep sarat dengan simbol. Adapun jenis
simbol yang digunakan dalam acara tersebut adalah simbol
kesempurnaan seorang manusia atau bissu, simbol starata sosial,
simbol religius, simbol kehidupan, simbol kejujuran, simbol warna
kehidupan, simbol persatuan, simbol dunia simbol kerukunan.
Simbol kesempurnaan seperti “ota sakkek” (siri,kapur, tembakau,
dan pinang), simbol rasa malu atau harga diri masyarakat Bugis,
“puale” (kapur) tulang-belulang manusia, putih bersih, “ico” (tembakau)
simbol kehidupan masih berlangsung, “alosi” (pinang) simbol otak
manusia. “ota patapullo” (sirih empat puluh) simbol religius. “lempu-
lempu” (bunga nangka) simbol kejujuran. “ pute bali’ lotong, pute bali’
cella, ridi, dan gau” ( putih berubah menjadi hitam, putih menjadi
merah , kuning, biru) simbol warna-warna kehidupan. “adidi
massebbu” (seribu lidi) simbol persatuan. “tope” (sarung) adalah
107
simbol dunia yang luas. Beppa seppulo dua rupanna (kue dua belas
macam) simbol pembauran dengan suku lain. Sedangkan
memmangnya (mantera) atau nyanyiannya adalah pesan-pesan
kepada manusia untuk selalu mengingat sang pencipta akan semua
yang ada di dunia ini pada akhirnya akan kembali ke haribaan sang
Pencipta, jangan sombong dan jangan pernah takabur karena hidup
di dunia hanya sementara saja.
Makna yang terkandung di balik Simbol ritual maggiri pada pesta
adat komunitas bissu merupakan makna yang ditentukan oleh
pandangan dan budaya suku Bugis serta adanya kesamaan sifat dan
wujud suatu simbol dengan hal-hal yang disimbolkan.
Begitu pun persepsi masyarakat yang menganggap kehadiran
bissu sebagai hal yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan
masyarakat, terkhusus para petani yang sangat mempercayai ritual
bissu dapat memengaruhi hasil panen.
A. Saran
Sehubungan dengan tujuan penulisan ini, maka peneliti mengajukan
beberapa saran sebagai berikut:
1. Sebagai anggota masyarakat Bugis tidak berlebihan jika peneliti
menyarankan bahwa penelitian tentang sastra terkhusus tentang
acara Ritual Bissu perlu mendapat perhatian peneliti, secara
khusus masyarakat bugis atau peneliti yang cinta dan tertarik
dengan kebudayaan Bugis.
108
2. Seiring dengan perkembangan zaman Keberadaan sastra Bugis
kuno semakin terkikis oleh oleh adanya pengaruh budaya luar,
Oleh karena itu generasi muda sebagai pewaris budaya agar
menjaga dan melestarikannya.
3. Makna Simbolik Ritual Maggiri pada Pesta Adat Komunitas Bissu
yang penulis kaji belumlah sempurna, mengingat masih banyak hal
yang belum terungkap secara maksimal. Penulis mengharapkan
penelitian dan pengkajian lebih lanjut untuk lebih
menyempurnakan penelitian ini.
109
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Hamid. 1985. Manusia Bugis Makassar.Jakarta: Inti IdayuPress
Abidin Farid, Andi Zaenal. 1979. Beberapa Istilah dan Ungkapan didalam Lontarak dan Petuah Lisan. Ujung Pandang: FIISBUDUniversitas Hasanuddin.
Ahimsa-Putra, Heddy Sri. 2001. Strukturalisme Levi-Strauss Mitos danKarya Sastra. Yogyakarta: Galang Press
Ahmad. 2003. Urgensi Pemetaan Wilayah Bahasa Daerah danReinventarisasi Nilai Sejarah dan Seni Budaya KabupatenPangkajene dan Kepulauan. Dinas Pendidikan NasionalPemerintah Kabupaten Pangkep: Pangkep
Alwasilah, A, Chaedar. 1984. Linguistik Suatu Pengantar. Bandung:Angkasa.
Amie, A, Yayi. 2014. Interaksi Simbolik Tokoh Dewa dalam Novel“Biola Tak Berdawai” Karya Seno Gumira Adjidarma: KajianInteraksionisme Simbolik George Herbert Mead.
Anthoni. 1975. Pengantar Semantik Indonesia dalam KaryaSastra.Jakarta: Rineke Cipta.
Azis, Sitti Aida. 2009. Puisi Sodom dan Gomorrha KaryaSastrowardoyo Suatu Tinjauan Semiotik. Stilistika. 1:69-87.
Azis, Sitti Aida. 2012. Apresiasi dan Kajian Prosa Fiksi. Surabaya:Penerbit Bintang Surabaya.
Bogdan, R,C. dan Sari Knopp Biklen. 1982. Riset Kualitatif. Jakarta:Raja Grafindo Persada.
Chaer, Abdul. 2009. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta:Rieneke Cipta.
Culler, J. 1973. “The Linguistik Basic of Strukturalism dalamStrukturalism: An Introduction, D. Robey (ed) Oxford: ClarendonPress.
Culler, J. 1976. Saussure. Pontana Paperbacks.
110
Darmaputra, Juma. 2014. Bissu Perantara Dewa. Makassar: ArusTimur.
de Saussure, Ferdinand. 1996. Course in Generale Linguistic. NewYork: Mc Grow Hill.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1991. Kamus BesarBahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Devvit, Michael dan Richard Hanley. 2006. Black Well Guide toPhilosophy. Oxford: Blackwell.
Gofman, Ervin. 1947. Interaksi Simbolik Sosial. Bandung: Angkasa.
Endraswara, Suwardi. 2008. Metodologi Penelitian Sastra:Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta: PustakaWidiyatama.
Fausi, Mappasare. 1982. Transliterasi dan Terjemahan Naskah KunoBugis Surek Selleang, Departemen Pendidikan danKebudayaan. Jakarta: Radjawali.
Kambie, A,S. 2003. Akar Kenabian Sawerigading. Makassar: PenerbitParasufia.
Kridalaksana, Harimurti. 1993. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia.
Levi-Strauss. 1963. Struktural Anthropology. New York: Basic Books.
Makkulau. 2005. Sejarah dan Kebudayaan Pangkep –I. DinasKebudayaanPemerintah Kabupaten Pangkep
Makkulau, M, Farid. 2006. Upacara Adat Perkawinan Bugis Makassar.Makassar: YKAM.
Makkulau, M, Farid. 2007. Komunitas Bissu di Pangkep dan Bone.Makassar: Refleksi.
Makkulau,W,Farid. 2008. Manusia Bissu. Makassar: PustakaRefleksi.
Mattulada. 1970. “Kebudayaan Bugis Makassar” dalamKoentjraningrat, Manusia dan Kebudayaan Di Indonesia. Jakarta:Djambatan.
Moleong, J, Lexy. 1995. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung:PT. Remaja Rosda
Monoharto, Goenawan, dkk. 2003. Seni Tradisional Sulawesi Selatan,Pengantar. Makassar: Adjiep Padindang, Lamacca Press.
111
Mujahiduddin. 2004. Konsep Calabai dalam Pandangan KomunitasBissu di Kabupaten Pangkep Sulawesi Selatan (Sebuah KajianEdmund-Husserl) Tesis Fakultas UGM, 2004.
Nurgiantoro, Burhan. 2002. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta:Universits Gajah Mada.
Palmer, F.R. 1976. Semantics. A New Outline London: CambridgeUniv Press.
Pateda, Mansur. 1981. Semantik Leksikal. Ende: Nusa Indah
Pettit,L. 1976. The Concept of Strukturalism. Berkeley University ofCalifornia Press.
Pradopo, Rahmat Djoko. 1995. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik,dan Penerapannya. Universits Michigan: Pustaka Pelajar.
Rosyidi, M. Ikwan, dkk. 2010. Analisis Mistisme. Yogyakarta: GrahaIlmu.
Setiadi, Elly, M. 2005. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Bandung:Kencana.
Slametmuljana. 1964. Semantik. Jakarta: Djembatan.
Sugiono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D.Bandung: Alfabeta.
Sujinah. 2009. Simbol-Simbol dalam Cerpen Anjing-Anjing MenyerbuKuburan Karya Kontowijoyo. Stilistika. 1: 89-113.
Syahrul. 2012. ”Menjadi Muslim yang Animis” Telaah Identitas Bissu.Al Fihr. Makassar: Stain Bone
Tarigan, H.G. 1985. Pengajaran Semantik. Bandung: Angkasa.
Veerhar, S.J.1981. Pengantar Semantik. Yogyakarta: Gadjah MadaUniversity Of Press.
Wahyuliana, A. Yenni. 2005. Makna simbolik Gerak Ma’bissu dalamUpacara Ritual Mattompang Arajang. Skripsi Fakultas Seni TariIKIP Ujung Pandang.
Winata, Hendra. 2011. Simbol dalam Novel Diaroma SepasangAlbanna Karya Ari Nur Utami: Tinjauan Strukturalisme Semiotik”tanggal 12 Februari 2011 dalamhttp://repository.usu.ac.id/handle/123456789/30125.
Wulan, Nanang. 2010. “Mendengar Hati, Mengejar Mimpi dan RealitasDunia: Interpretasi Simbol dalam Novel The Alchest Karya Paulo
ANGKET
1. Bagaimanakah persepsi masyarakat Segeri terhadap acara ritual
maggiri?
a) Biasa saja
b) Acuh
c) Antusias
d) Ikutserta
2. Bagaimanakah partisipasi masyarakat Segeri dalam acara ritual
maggiri?
a) Biasa saja
b) Acuh
c) Antusias
d) Ikutserta
3. Bagaimanakah tanggapan masyarakat Segeri terhadap kehadiran
Bissu?
a) Biasa saja
b) Mencemooh
c) Menghargai
d) Menolak
4. Bagaimanakah partisipasi masyarakat dalam menyumbangkan dana
untuk kegiatan ritual tersebut?
a) Menolak memberi
b) Memberi
c) Memberi semampunya
d) Memberi jika dipaksakan
5. Adakah upaya masyarakat segeri untuk menghilangkan atau
meninggalkan ritual tersebut?
a) Tidaktahu
b) Tidak ada
c) Tidak ingin
d) Menolak
6. Adakah kekhawatiran masyarakat akan gagal panen apabila ritual
tersebut tidak dilaksanakan?
a) Tidak tahu
b) Tidak ada
c) Ada
d) Biasasaja
7. Apakah masyarakat Segeri masih mempercayai bahwa bissu satu-
satunya yang bisa membawakan ritual tersebut?
a) Ya
b) Tidak
8. Bagaimanakah tanggapan pemuka agama terhadap rirula tersebut?
a) Diam saja
b) Menolak
c) Tidak mau tahu
d) Acuh saja
9. Bagaimana tanggapan para pemuda di kecamatan segeri
terhadap keberadaan bissu?
a) Diam saja
b) Menolak
c) Tidak mau tahu
d) Acuh saja
10.Adakah rasa prihatin masyarakat Segeri terhadap kaum bissu yang
semakin sedikitjumlahnya?
a) Biasasaja
b) Tidakada
c) Khawatir
d) Tidaktahu
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
IRAWATI. Lahir di Segeri Mandalle, Kabupaten
Pangkep Sulawesi Selatan pada tanggal 27 Juni
1976. Menghabiskan masa kecil sampai remaja (SD,
SMP, dan SMEAdi kabupaten Pangkep. Penulis
melanjutkan kuliah pada jenjang yang lebih tinggi yaitu
pada STKIP Cokroaminoto Pinrang dengan mengambil Program Studi
Bahasa dan Sastra Indonesia pada tahun 2006- 2008.
Pada tahun 2013 penulis kembali melanjutkan studi ke jenjang S-2
pada perguruan tinggi Universitas Muhammadiyah Makassar dengan
tetap memilih program yang sama yaitu Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia pada program Pascasarjana.
Saat ini, penulis selain sebagai Ibu rumah tangga juga
menyibukkan diri dengan mengajar pada salah satu sekolah di
kecamatan Segeri, tepatnya SMA negeri 1 Segeri. Dan untuk
memperoleh gelar Magister Pendidikan (M.Pd) dan menulis Tesis
dengan judul Makna Simbolik dalam Teks Ritual Maggiri pada Pesta
Adat Komunitas Bissu di Kabupaten Pangkep.