Post on 27-Feb-2023
i
TESIS
JUAL BELI ATAS TANAH NEGARA YANG DIKUASAI
PEMERINTAH
(Buying and selling state land possessed by the government)
Julianto Jover Jotam Kalalo
P0903211403
PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS HUKUM
JURUSAN KEPERDATAAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2013
ii
JUAL BELI ATAS TANAH NEGARA YANG DIKUASAI
PEMERINTAH
(Buying and selling state land possessed by the government)
TESIS
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Magister
Program Studi
Ilmu Hukum
Disusun dan diajukan oleh
Julianto Jover Jotam Kalalo
P0903211403
kepada
PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS HUKUM
JURUSAN KEPERDATAAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2013
iv
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS
Yang bertanda tangan dibawah ini :
Nama : Julianto Jover Jotam Kalalo Nomor Mahasiswa : P0903211403 Program Studi : Ilmu Hukum Jurusan : Keperdataan
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang saya tulis ini
benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan
pengambilalihan tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila dikemudian hari
terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan tesis ini
hasil karya orang lain, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan
tersebut.
Makassar, Juni 2013
Yang menyatakan,
Julianto Jover Jotam Kalalo
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang
karena hanya dengan pertolongan dan penyertaanNya sehingga penulis
memperoleh hikmat serta kemampuan untuk dapat menyelesaikan penulisan
Tesis ini. Penulisan Tesis yang berjudul Jual Beli Tanah Negara yang
dikuasai pemerintah, disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar Magister Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin
Makassar.
Dalam penulisan Tesis ini tidak sedikit kendala-kendala yang penulis
hadapi, namun berkat kerja keras dan bantuan serta dukungan moril dari
berbagai pihak, maka penulisan Tesis ini dapat terselesaikan dengan baik.
Untuk itu pada kesempatan ini patutlah kiranya penulis menyampaikan rasa
terima kasih yang sebesar-besarnya disertai penghormatan yang tinggi
kepada:
1. Prof. Dr. dr. Idrus Paturusi, selaku Rektor Universitas Hasanuddin
Makassar atas jasanya dalam penyelenggaraan lembaga pendidkan.
2. Philipus Betaubun, S.T., M.T selaku Rektor Universitas Musamus
Merauke yang telah memberikan ijin dan kesempatan untuk mengikuti
pendidikan pada program Pascasarjana Universitas Hasanuddin.
3. Prof. Dr. Ir. Mursalim, selaku Direktur Pasca Sarjana Universitas
Hasanuddin Makassar yang telah memfasilitasi penulis untuk dapat
melanjutkan study Magister du Pascasarjana Universitas Hasanuddin.
4. Prof. Dr. Aswanto, S.H., M.H., DFM. selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Hasanuddin Makassar dan Prof. Dr. Marthen Arie, S.H., M.H.,
selaku Ketua Program Studi Magister Hukum Universitas Hasanuddin
Makassar beserta segenap pimpinan Fakultas Hukum Universitas
Hasanuddin Makassar atas berbagai bantuan selama penulis menjalani
masa perkuliahan.
vi
5. Prof. Dr. Farida Patittingi, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing Pertama
penulis dan Dr. Sri Susyanti Nur, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing
kedua penulis yang penuh kesabaran dalam membimbing dan
mengarahkan penulis sehingga terwujudnya penulisan hukum ini.
6. Prof. Dr. Abdullah Marlang, S.H., M.H., Prof. Dr. Ir. Abrar Saleng, S.H.,
M.H., Prof. Dr. Hj. A. Suryaman Mustari Pide, S.H., M.H., sebagai
Anggota Komisi Penguji atas saran dan kritik yang membangun guna
penyempurnaan tesis ini
7. Para Guru Besar dan dosen-dosen Fakultas Hukum Universitas
Hasanuddin Makassar yang telah membagi ilmunya kepada penulis
selama belajar di pasca Sarjana Universitas Hassanuddin Makassar.
8. Papa; Jopy A Kalalo dan Mama; Vera N Sahelangi yang telah mendidik,
mengarahkan, dan memberikan doa yang tulus bagi keberhasilan studi
penulis. Adik-adik ku, Ns. Chyntia N Kalalo, S.Kep. dan Prisilia A. A
Kalalo yang selalu memberikan motivasi bahkan yang selalu mendoakan
penulis.
9. Keluarga besar Kalalo-Rumondor dan Sahelangi-Kaligis, Opa dan Oma,
Paman dan Bibi, serta saudara-saudara lainnya terutama buat keluarga
Betaubun-Sahelangi, Papa Philip dan Mama Jeny yang banyak
mambantu penulis dalam menyelesaikan program Magister di
Pascasarjana Universitas Hasanuddin.
10. Bapak Riswan Suhendi, S.H., kepala kantor Pertanahan Kota Bitung,
Bapak Hendrik Tuhumuri, Aptnh, Kepala sesi sengketa dan Konflik, Ibu
Jetty Rondonuwu Kasubsesi Sengketa dan Konflik, Bapak Meyhard Mogi,
Bapak Bupati dan Wakil Bupati Kota Bitung, dan semua masyarakat dan
staff pemerintahan Kota Bitung dari tingkat daerah sampai Propinsi yang
telah banyak membantu penulis dalam pemberian data dan informasi.
11. Teman-teman Angkatan 2011 Program Pasca Sarjana Universitas
Hasanuddin Makassar jurusan Keperdataan, Udpa, Tiwi, Hamza, Adi,
vii
Kak’ Ima, Tendri, Mahyu, Shesa, Ibu Dian, Ibu Tuti, Pak Munawar,
Areman, Ina, Mula, Kak Ciwang dan Basyrah yang telah membantu
penulis dari pada saat awal masuk sebagai mahasiswa baru sampai pada
saat menyelesaikan studi Magister.
12. Teman-teman dari Universitas Musamus Merauke, Novel, Novri, Lia,
Essy, Ibu Nova, Ibu Hesty, Ibu Funny, Pak David, Kak Hairulla, Kak Jono,
Kak Endes, Kak Roy, Pak Rullof, Pak Leo, Pak Edwin, Pak Frans, Ibu
Rosmala, Ibu Amel, Ibu Sunarni yang telah banyak membantu penulis
selama menyelesaikan studi. Semangat buat angkatan 2011 universitas
Musamus.
13. Teman-teman Gereja Bait-El kakaskasen yang banyak mendukung dan
mendoakan penulis dalam menyelesaikan study di program Pascasarjana
Universitas Hasanuddin Makassar.
14. Semua pihak yang telah membantu dan mendoakan serta memberikan
dorongan dalam penyelesaian Tesis ini penulis mengucapkan bayak
terima kasih.
Makassar, Juni 2013
Penulis
Julianto J. J. kalalo
viii
ABSTRAK
JULIANTO JOVER JOTAM KALALO. Jual Beli Atas Tanah Negara yang
dikuasai Pemerintah (dibimbing oleh Farida Patittingi dan Sri Susyanti Nur)
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (1) keabsahan jual beli
tanah bekas Hak Guna Usaha yang dikuasai pemerintah telah
diperjualbelikan kepada pihak ketiga dan (2) upaya hukum Pemerintah untuk
menguasai kembali tanah bekas Hak Guna Usaha yang telah diperjualbelikan
masyarakat.
Penelitian ini dilaksanakan di Kota Bitung Provinsi Sulawesi Utara.
Metode yang digunakan dalam penelitian adalah yuridis empiris. Data-data
yang diperoleh baik data primer maupun data sekunder kemudian dianalisis
secara kualitatif.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa Jual beli atas
tanah yang objeknya merupakan tanah Negara antara penjual dan pembeli
tidak sah dan batal demi hukum karena tidak terpenuhinya syarat jual beli
yaitu syarat materiil sehingga tidak sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Dan upaya yang dilakukan Pemerintah
Kota Bitung pada saat ini yaitu telah melakukan pemetaan terhadap tanah
bekas Hak Guna Usaha tersebut dan bekerja sama dengan pihak kantor
pertanahan Kota Bitung untuk mengeksekusi tanah Negara sehingga dapat
dikuasai langsung oleh Pemerintah Kota Bitung dan upaya hukum yang
dapat ditempuh oleh pemerintah untuk menguasai kembali tanah Negara
yaitu dengan menggunakan proses mediasi Kantor Pertanahan Kota Bitung.
Kata Kunci : Tanah Negara, Jual Beli, Upaya Pemerintah.
ix
ABSTRACT
JULIANTO JOVER JOTAM KALALO. Selling-Buying of state land controlled
by the government (supervised by Farida Patittingi and Sri Susyanti Nur)
This research aimed to investigate: (1) the validity of the sale and
purchase of the former leasehold controlled by the government had been sold
and bought to the third party, and (2) the government legal effort to retake the
former leasehold land that had been sold and bought by the community
members.
The research was carried out in Bitung City, North Sulawesi Province.
The research used an empirical juridical method. Data obtained either primary
or secondary data were then analysed qualitatively.
The results and discussions indicate that the sale and purchase of the
land which the object is State land between sellers and buyers of illegal and
null and void because it was not selling the eligibility requirements so that the
material is not in accordance with the legislation in force. And the efforts
made by the Government of Bitung City at the moment that have been
mapped to the leasehold land of the former and working with the land office to
execute Bitung City State land so it can be controlled directly by the
Government of Bitung City and remedies that can be taken by the
government State to take back the land that is to use the mediation process
Bitung City land Office.
Keywords: State land, Sale Purchase, Government efforts.
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL……………………………………………………………... i
HALAMAN PENGAJUAN……………………………………………………… ii
HALAMAN PENGESAHAN………………………………………………..….. iii
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN………………………………………… iv
KATA PENGANTAR…………………………………………………………..... v
ABSTRAK BAHASA INDONESIA…………………………………………….. viii
ABSTRAK BAHASA INGGRIS………………………………………………… ix
DAFTAR ISI…………………………………………………………………........ x
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar belakang ………………………………,,,,,……………………... 1
B. Perumusan Masalah ………………………………………………….. 12
C. Tujuan Penelitian .……………………………………………….......... 12
D. Kegunaan Penelitian. …………………………………………..….….. 12
E. Orisinalitas Penelitian………………………………………………….. 13
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
A. Hukum Tanah di Indonesia ……………………………….………….. 15
B. Tanah Negara………………………………………………………….. 18
C. Hak-hak atas tanah. ………………………………..…………………. 23
D. Jual beli tanah………………………………………………………….. 36
1. Jual Beli Menurut Hukum Perdata (BW)……………….…….. 36
2. Jual Beli Tanah Menurut Hukum Adat……………………….. 39
3. Jual Beli Tanah Menurut UUPA………………………………. 43
E. Upaya penyelesaian sengketa tanah……………………………....... 49
1. Mediasi oleh Badan Pertanahan Nasional…………….…….. 49
2. Penyelesaian Sengketa Melalui Pengadilan (Litigasi)…….. 55
3. Penyelesaian Sengketa diluar pengadilan (ADR)….……... 57
xi
F. Landasan Teori………………………………………………………… 62
G. Kerangka Konseptual.…………………………………………..…….. 63
H. Bagan Kerangka Konseptual...……………………………….……… 65
I. Definisi Operasional…….………………………………………….….. 66
BAB III : METODE PENELITIAN
A. Tipe Penelitian…………………………………………………………. 67
B. Lokasi Penelitian ...………………………………………………….... 67
C. Populasi dan Sampel…………………………………………………. 68
D. Jenis dan Sumber Data……………………………………………..... 69
E. Teknik Pengumpulan Data ………………………….....................…. 70
F. Teknik Analisis Data…………………………………………………... 71
BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Keabsahan Jual Beli Tanah Negara……………………………….. 72
1. Riwayat Tanah tanah bekas Hak Guna Usaha………………… 72
2. penguasaan/pendudukan Masyarakat………………………….. 84
3. Status hukum tanah bekas Hak Guna Usaha.…………............ 97
4. Proses jual beli tanah…..………………………………………… 104
B. Upaya Pemerintah untuk mempertahankan Tanah Negara……… 119
1. Mediasi Badan Pertanahan Nasional……………………………. 127
2. ADR…………………………………………………………………. 125
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan……………………………………………………………. 131
B. Saran………………………………………………………………… .. 132
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………. 133
xii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945)
adalah Negara hukum yang memberikan jaminan dan perlindungan atas hak-
hak warga Negara, antara lain hak warga negara untuk mendapatkan,
mempunyai, dan menikmati hak milik. Hak Milik atas tanah sebagai salah
satu jenis hak milik, yang sangat penting bagi negara, bangsa, dan rakyat
Indonesia sebagai masyarakat agraria yang sedang membangun ke arah
perkembangan industri dan lain-lain. Akan tetapi, tanah yang merupakan
kehidupan pokok bagi manusia akan berhadapan dengan berbagai hal,
antara lain :1
1. keterbatasan tanah, baik dalam kuantitas maupun kualitas
dibandingkan dengan kebutuhan yang harus dipenuhi;
2. Pergeseran pola hubungan antara pemilik tanah dan tanah sebagai
akibat perubahan-perubahan yang ditimbulkan oleh proses
pembangunan dan perubahan-perubahan sosial pada umumnya;
1 Adrian Sutedi, Peralihan Hak Atas Tanah Dan Pendaftarannya,(Jakarta : Sinar Grafika,2010) hal. 1.
xiii
3. Tanah di satu pihak telah tumbuh sebagai benda ekonomi yang
sangat penting, pada lain pihak telah tumbuh sebagai bahan
perniagaan dan obyek spekulasi;
4. Tanah disatu pihak harus dipergunakan dan dimanfaatkan untuk
sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat lahir batin, adil dan merata,
sementara di lain pihak harus dijaga kelestariannya.
Tanah merupakan sumber daya penting dan strategis karena
menyangkut hajat hidup seluruh rakyat Indonesia yang sangat mendasar.
Sebagaimana diketahui masalah tanah memang merupakan masalah yang
sarat dengan berbagai kepentingan, baik ekonomi, sosial, politik, bahkan
untuk Indonesia, tanah juga mempunyai nilai religius yang tidak dapat diukur
secara ekonomis.
Tanah mempunyai arti penting dalam kehidupan manusia karena
tanah mempunyai fungsi ganda, yaitu sebagai social asset dan capital asset.
Sebagai social asset tanah merupakan sarana pengikat kesatuan sosial di
kalangan masyarakat Indonesia untuk hidup dan kehidupan, sedangkan
sebagai capital asset tanah merupakan faktor modal dalam pembangunan.
Sebagai capital asset tanah telah tumbuh sebagai benda ekonomi yang
sangat penting sekaligus sebagai bahan perniagaan dan objek spekulasi.
Disatu sisi tanah harus dipergunakan dan dimanfaatkan untuk sebesar-
xiv
besarnya kesejahteraan rakyat, secara lahir, batin, adil, dan merata,
sedangkan di sisi lain juga harus dijaga kelestariaannya.
Sebagai karunia Tuhan sekaligus sumber daya alam yang strategis
bagi bangsa, negara, dan rakyat, tanah dapat dijadikan sarana untuk
mencapai kesejahteraan hidup bangsa Indonesia sehingga perlu campur
tangan negara turut mengaturnya. Hal ini sesuai amanat konstitusional
sebagaimana tercantum pada Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945 yang
berbunyi : “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasi oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat”.
Dalam rangka mewujudkan amanat konstitusional tersebut, pada
tanggal 24 September 1960 telah disahkan oleh Presiden Republik Indonesia
Soekarno dan diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 104 Tahun 1960, yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA). Dengan
lahirnya UUPA maka terjadi perubahan fundamental pada Hukum Agraria di
Indonesia terutama hukum di bidang pertanahan yakni dengan terwujudnya
suatu keseragaman Hukum Tanah Nasional.
Adapun tujuan pokok dibentuknya UUPA, yaitu :
xv
1. Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan Hukum Agraria Nasional
yang akan merupakan alat untuk membawa kemakmuran,
kebahagiaan dan keadilan bagi negara dan rakyat, terutama rakyat
tani, dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur;
2. Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan
kesederhanaan dalam hukum pertanahan;
3. Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum
mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.
Didalam Pasal 2 ayat (2) UUPA, Negara sebagai organisasi
kekuasaan tertinggi mempunyai kewenangan untuk :
1. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan,
persediaan dan pemeliharaan bumi air dan ruangangkasa
tersebut.
2. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara
orang-orang dengan bumi air dan ruang angkasa.
3. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara
orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai
bumi air dan ruang angkasa.
Sebelum berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), hukum
tanah di Indonesia bersifat dualisme, artinya selain diakui berlakunya hukum
xvi
tanah adat yang bersumber dari hukum adat, diakui pula peraturan-peraturan
mengenai tanah yang didasarkan atas hukum barat. Setelah berlakunya
UUPA pada tanggal 24 September 1960, berakhirlah masa dualisme hukum
tanah yang berlaku di Indonesia menjadi suatu unifikasi hukum tanah. Hak
milik sebagai suatu lembaga hukum dalam hukum tanah telah diatur baik
dalam hukum tanah sebelum berlakunya UUPA maupun dalam UUPA.
Sebelum berlakunya UUPA, ada dua golongan besar hak milik atas tanah,
yaitu hak milik menurut hukum adat, dan hak milik menurut hukum perdata
barat yang dinamakan hak Eigendom.
Sejarah penguasaan tanah tidak dapat dilepaskan dari masa
penjajahan oleh Belanda. Melalui Agrarische wet, Pemerintah Belanda
memberikan konsensi bagi pengusaha-pengusahanya untuk membuka lahan
perkebunan di daerah jajahannya. Dengan adanya Agrarische wet, membuat
kemungkinan dan memberikan jaminan hukum kepada para pengusaha
besar swasta asing dalam rangka memperluas usahanya di bidang
perkebunan dengan memperoleh hak erfpacht berjangka waktu paling lama
75 tahun. Jangka waktu penguasaan dan penggunaan tanah selama 75
tahun memungkinkan pengusaha menyelenggarakan penanaman tanaman-
xvii
tanaman keras yang berumur panjang dan memperoleh laba yang lebih
besar daripada hak sewa, yang jangka waktu pemberiannya hanya 20 tahun.2
Menurut Pasal 28 ayat (2) UUPA, HGU diberikan atas tanah yang
luasnya paling sedikit 5 Ha. Apabila HGU diberikan untuk yang luasnya 25
Ha atau lebih maka harus memakai investasi modal yang layak dan teknis
perusahaan yang baik, sesuai dengan perkembangan zaman. Karena yang
dapat diberikan HGU hanya tanah negara saja, maka dalam Pasal 31
ditentukan bahwa HGU terjadi karena penetapan pemerintah dan dapat pula
terjadi karena Ketentuan Konversi dari hak barat dalam hal ini yaitu Hak
Erfpacht untuk perkebunan besar.
Dalam UUPA istilah jual beli hanya disebutkan dalam Pasal 26 yaitu
yang menyangkut jual beli hak milik atas tanah. Dalam pasal-pasal lainnya
tidak ada kata yang menyebutkan jual beli, tetapi disebutkan sebagai
dialihkan. Pengertian dialihkan menunjukkan suatu perbuatan hukum yang
disengaja untuk memindahkan hak atas tanah kepada pihak lain melalui jual
beli, hibah, tukar menukar, dan hibah wasiat. Jadi, meskipun dalam UUPA
hanya disebutkan dialihkan, termasuk salah satunya adalah perbuatan
hukum pemindahan hak atas tanah karena jual beli. Peralihan hak atas tanah
dapat melalui jual beli, tukar menukar, hibah, ataupun karena pewarisan.
2 Budi Harsono, Hukum Agrarian Indonesia : Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, isi
dan Pelaksanaannya, (Jakarta : Djambatan, 2008), hal. 38
xviii
Dalam Pasal 26 ayat (1) UUPA ditentukan bahwa “jual beli, penukaran,
penghibahan, pemberian dengan wasiat, dan perbuatan-perbuatan lain yang
dimaksudkan untuk memindahkan hak milik serta pengawasannya diatur
dengan Peraturan Pemerintah”.
Tanah bekas Hak Guna Usaha Nomor : 1/Girian Weru merupakan
tanah bekas Hak Guna Usaha Nomor: 1/Girian Weru yang telah dilepaskan
haknya oleh PT. Kinaeosan berdasarkan Surat Keputusan Kepala Badan
Pertanahan nasional Nomor : 1 – V.B 2004 tentang Pemberian ijin
Pelepasan Hak Guna Usaha atas Tanah terletak di Kota Bitung Provinsi
Sulawesi Utara yang ditetapkan di Jakarta pada 07 Januari 2004, maka
terhitung tanggal tersebut tanah bekas Hak Guna Usaha Nomor : 1/Girian
Weru pemegang Hak PT. Kinaleosan telah menjadi tanah yang dikuasai oleh
Negara dan selanjutnya tanah tersebut akan dimohonkan dengan hak atas
tanah oleh :
- Bekas pemilik Hak Guna Usaha dan ahli warisnya
- Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara dan Pemerintah Kota Bitung untuk
kepentingan pembangunan dan penampungan masyarakat yang terkena
penggusuran ;
- Koperasi Bumi Bhakti ;
- Yayasan Doulos Diakonos ;
xix
- Fasilitas sosial, fasilitas umum keperluan Kelurahan dan untuk
kepentingan pemukiman Tani /Pegawai Perusahaan dan pemukiman
penduduk sesuai dengan tata ruang wilayah dan sesuai dengan
persyaratan serta prosedur perundang- undangan ;
Tanah yang diduduki atau digarap oleh masyarakat sekarang telah
terbagi dalam dua wilayah Kelurahan yakni Kelurahan Girian Indah seluas ±
260.775 M2 dan Kelurahan Wangurer Barat seluas ± 121.080 M2, sehingga
luas secara keseluruhan tanah digarap/dikuasai , diduduki , dan di tempati
oleh masyarakat adalah seluas ± 381.855 M2
Namun demikian ditengah penguasaan masyarakat atas tanah
tersebut yang kini telah dibangun rumah serta rumah tempat ibadah seperti
Mesjid dan gereja serta juga tanaman yang ditanam oleh Masyarakat
penggarap bekas tanah Hak Guna Usaha ternyata sekarang ini telah
terungkap fakta bahwa tanah bekas Hak Guna Usaha yang telah dilepaskan
haknya berdasarkan Surat Keputusan Badan Pertanahan Nasiona l Nomor :
1-V.B – 2004 oleh PT. Kinaleosan sudah diterbitkan beberapa sertifikatnya
dalam dua wilayah Kelurahan masing-masing Kelurahan Girian Indah dan
Kelurahan Wangurer Barat yang masuk dalam bagian tanah garapan
masyarakat, dan dari ke 14 sertifikat tersebut bukan atas nama para
masyarakat penggarap melainkan masyarakat yang tidak dikenal yang punya
xx
hubungan saudara dengan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan
nasional Republik Indonesia Provinsi Sulawesi Utara.
Masyarakat penggarap kemudian mengajukan gugatan di pengadilan
Tata Usaha Negara terhadap keputusan dari pejabat Kantor Pertanahan
yang menerbitkan sertifikat hak guna bangunan dan hak milik terhadap tanah
bekas Hak Guna Usaha PT. Kinaleosan. Proses peradilan berlanjut sampai
pada putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung, akhirnya memperoleh
Putusan Mahkamah Agung nomor : 101 PK/TUN/2010 tertanggal 5 Januari
2011, dimana isi dari Peninjauan Kembali itu membatalkan Putusan
Mahkamah Agung No. 206 K/TUN/2008 tanggal 29 Januari 2009 dengan
cara mengabulkan gugatan masyarakat penggarap tanah Bekas Hak Guna
Usaha, menyatakan batal dan mencabut semua sertifikat hak atas tanah
yang berada di tanah bekas hak guna usaha .
Tanah bekas Hak Guna Usaha Nomor 1/Girian Weru PT. Kinaleosan
Kecamatan Girian dan Madidir yang telah diserahkan dan dialihkan kepada
Pemerintah Kota Bitung sesuai dengan Putusan Mahkamah Agung nomor :
101 PK/TUN/2010 tertanggal 5 januari 2011 kini telah diperjualbelikan ke
pihak ketiga oleh beberapa oknum masyarakat, tanpa sepengetahuan dari
Pemerintah Kota Bitung (Selanjutnya disebut Pemkot Bitung).
xxi
Pasca penyerahan hasil Putusan MA nomor : 101 PK/TUN/2010
tertanggal 5 januari 2011 kepada Pemkot Bitung,3 status tanah tersebut
berada di tangan Pemkot Bitung sebagai pemegang hak penuh atas tanah
tersebut, sebelumnya masyarakat yang tinggal di tanah bekas Hak Guna
Usaha itu telah sepakat tanah tersebut untuk dikosongkan karena akan
dibangun fasilitas pemerintah seperti SD, kantor Camat, dan STISIPOL.
Data yang diperoleh dari masyarakat tanah bekas Hak Guna Usaha
ada sebidang tanah yang telah dijual oleh masyarakat dengan harga Rp 24
juta dengan luas tanah 13 meter kali 28 meter di Kelurahan Girian Indah
sesuai dengan bukti transaksi tersebut diatas copian materai bertanda tangan
dan materai 6000.4 Adapun tanah yang sudah dijual oleh masyarakat tidak
bertanggung jawab itu secara keseluruhannya memiliki luas 20 hektar.
Tanah bekas Hak Guna Usaha status hukumnya merupakan tanah
Negara yang dikuasai oleh Pemerintah pada saat ini mulai diperjualbelikan
oleh masyarakat. Adanya okupasi terhadap tanah Negara ini dikarenakan
secara yuridis diambil alih secara fisik oleh masyarakat penggarap, kemudian
setelah ada pelepasan hak telah diterbitkan sertifikat kepada masyarakat
bukan penggarap tanpa adanya alas hak terhadap tanah.
3 http://beritamanado.com/berita-utama/baramuli-serahkan-pk-ma-tanah-erpfacht-ex-hgu-pt-
kinaleosan/70682/ 4 http://manado.tribunnews.com/2012/02/06/tanah-erfacht-mulai-dijual-tanpa-sepengetahuan-warga
xxii
Jual beli yang telah terjadi diatas tanah bekas Hak Guna Usaha ini
menandakan bahwa dalam prosedur jual beli tanah yang seharusnya
berdasarkan Undang-undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 dan
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 belum dapat diaplikasikan
dengan baik. Ini terlihat adanya kesenjangan yang sangat jauh dimana tanah
bekas Hak Guna Usaha yang telah berpindah status hukumnya menjadi
Tanah Negara dan tidak bisa dialihkan ataupun dijual oleh masyarakat kini
telah terjadi proses jual beli.
Tidak hanya dalam penggunaan dan pengaplikasian aturan yang
berlaku, didalam prakteknya masyarakat juga sering menggunakan peraturan
yang dibuat sendiri dalam menentukan proses jual beli tanah tanpa melihat
syarat-syarat dalam pelaksanaan jual beli tanah yang sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Adapun
masyarakat sering bekerja sama dengan pemerintah dalam melaksanakan
jual beli tanah dimana tanah tersebut merupakan tanah yang dikuasai
langsung oleh pemerintah (tanah Negara).
xxiii
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah keabsahan jual beli tanah bekas Hak Guna Usaha yang
dikuasai Pemerintah telah diperjualbelikan masyarakat kepada pihak
ketiga ?
2. Sejauhmana upaya Pemerintah untuk menguasai kembali tanah bekas
Hak Guna Usaha yang telah diperjualbelikan masyarakat ?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui keabsahan jual beli tanah bekas Hak Guna Usaha yang
dikuasai Pemerintah telah diperjualbelikan masyarakat.
2. Untuk mengetahui upaya yang dilakukan oleh Pemerintah untuk
menguasai kembali tanah bekas Hak Guna Usaha yang telah
diperjualbelikan masyarakat.
D. Kegunaan Penelitian
1. Kegunaan Teoritis
Untuk menambah pengetahuan dan dapat dijadikan sebagai bahan
masukan bagi ilmu pengetahuan hukum, khususnya dalam bidang hukum
perdata dan hukum agrarian dimana untuk memperkuat dasar yuridis tentang
permasalahan tanah hak Bekas hak Guna Usaha dan ilmu pengetahuan
xxiv
hukum pada umumnya serta dapat dijadikan referensi bagi penelitian
selanjutnya.
2. Kegunaan Praktis
(1) Untuk memberikan informasi kepada masyarakat terutama berkaitan
dengan permasalahan tanah bekas Hak Guna Usaha.
(2) Dapat memberikan masukan kepada pihak-pihak lain yang setia
memperhatikan tentang pertanahan Indonesia. Disamping itu
diharapkan penulis dapat memberikan alternatif dan sumbangan
pemikiran secara yuridis terhadap pemanfaatan tanah-tanah dalam
kegiatan pembangunan di daerah maupun kegiatan pembangunan
nasional.
(3) Untuk dapat dimanfaatkan bagi pihak-pihak yang membutuhkan pokok
bahasan yang dikaji, dengan disertai pertanggungjawaban secara
ilmiah.
E. Orisinalitas Penelitian.
Penelitian yang berkaitan dengan tesis ini yaitu :
1. Pelaksanaan Jual Beli Tanah Kavling Di Kota Denpasat-Bali, oleh I
Nyoman Yuliarta Bayu Pramana, Tesis pada Magister HUkum
Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Tahun 2005. Tesis ini
bertujuan untuk mengetahui pelaksanaan jual beli tanaha kavling,
xxv
kekuatan hukum dan perlindungan hukum terhadap para pihak
dalamjual beli tanah kavling dan hambatan dalam proses peralihan
hak dari penjual ke pembeli.
2. Status dan Jual Beli tanah Bekas Desa Perdikan Kadalangu
Kabupaten Demak Setelah Berlakunya UUPA, oleh Yosephine Dwi
Hartati, Tesis pada Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro,
tahun 2007. Tesis ini bertujuan untuk mengetahui tetang status tanah
bekas Desa perdikan kadilangu, Kabupaten Demak setelah
berlakunya UUPA, dan pelaksanaan Jual Beli tanah bekas Desa
Perdikan Kadilangan Kabupaten Demak Menurut UUPA.
Perbedaan dengan tesis penulis yaitu terdapat dalam objek penelitian
yang membahas tentang jual beli tanah bekas Hak Guna Usaha yang di
kuasai oleh pemerintah dimana penulis ingin mengetahui begaimana
keabsahan jual beli tanah bekas Hak Guna Usaha yang di kuasai oleh
pemerintah telah diperjualbelikan oleh masyarakat kepada pihak ketiga dan
upaya apa yang akan dilakukan oleh pemerintah untuk mengusai kembali
tanah bekas Hak Guna Usaha yang saat ini telah diperjualbelikan.
xxvi
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Hukum Tanah di Indonesia.
Tanah merupakan sumber daya alam utama bagi Negara Indonesia
yang merupakan adalah Negara Agraris. Tanah mempunyai fungsi yang
amat penting bagi Negara pada umumnya dan masyarakat pada khususnya.
Hukum tanah mengatur tentang hubungan manusia dengan tanah.
Sebelum berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria hukum Agraria di
Indonesia masih dualistic, yaitu bahwa disamping hukum agraria adat berlaku
juga hukum tanah barat.5 Yang dimaksud dengan hukum adat adalah adat
kebiasaan yang mempunyai akibat hukum. hukum adat terdiri daripada
peraturan-peraturan yang tidak tertulis sedangkan hukum barat itu terdiri dari
peraturan-peraturan hukum yang tertulis. Dualisme ini merupakan
peninggalan dari zaman Hindia Belanda dimana dahulu masyarakat
Indonesia dibagi menjadi beberapa golongan yaitu golongan eropa, golongan
timur asing tionghoa, golongan timur asing bukan tionghoa, dan golongan
Indonesia dan terhadap mereka masiang-masing tidak diperlakukan satu
hukum macam hukum.6
5 Sudikno Mertokusumo, Perundang-undangan Agraria Indonesia, (Yogyakarta : Liberty,2011) hal. 5
6 Ibid
xxvii
Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada taggal 17 Agustus
1945 minimal mempunyai dua arti penting bagi pembentukan Hukum Agraria
Nasional, yaitu : 7
1. Dengan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, Bangsa
Indonesia memutuskan hubungannya dengan Tata Hukum Kolonial.
2. Dengan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, Bangsa
Indonesia sekaligus membentuk tata Hukum Agraria Nasional.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan, terdapat keinginan yang kuat untuk
segera mengakhiri berlakunya hukum pertanahan peninggalan pemerintah
Kolonial Belanda. Hal ini dilakukan antara lain dengan penghapusan
beberapa tanah Hak Barat yang dianggap bertentangan dengan nilai-nilai
keadilan dan semangat Proklamasi, yaitu :8
1. Penghapusan Tanah-Tanah Partikelir.
2. Nasionalisasi Perusahaan-perusahaan Milik Belanda.
3. Tanah-Tanah Milik Badan Hukum yang ditinggal Direksi.
4. Penguasaan Benda-Benda Tetap Milik Perorangan Warga Negara
Belanda.
7 H.Muchsin, Imam koeswahyono, Soimin, Hukum Agraria Indonesia Dalam Perspektif Sejarah, (Bandung : Refika Aditama,2007) hal. 1 8 http://opini-manadopost.blogspot.com, oleh Budi Tarigan. SH (dilihat pada tanggal 31 Oktober 2012).
xxviii
Setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria, atau yang lebih dikenal dengan
Undang Undang Pokok Agraria (UUPA), maka semua hak-hak Barat yang
belum dibatalkan sesuai ketentuan sebagaimana tersebut di atas, dan masih
berlaku tidak serta merta hapus dan tetap diakui, akan tetapi untuk dapat
menjadi hak atas tanah sesuai dengan system yang diatur oleh UUPA, harus
terlebih dahulu dikonversi menurut dan sesuai dengan ketentuan-ketentuan
konversi dan aturan pelaksanaannya. Dalam pelaksana konversi tersebut
ada beberapa prinsip yang mendasarinya, yaitu :9
1. Prinsip Nasionalitas
2. Pengakuan Hak-Hak Tanah Terdahulu
3. Penyesuaian Kepada Ketentuan Konversi.
4. Status Quo Hak-Hak Tanah Terdahulu.
Dengan berlakunya UUPA, maka tidak mungkin lagi diterbitkan hak-
hak baru atas tanah-tanah yang akan tunduk kepada hukum Barat. Setelah
disaring melalui ketentuan-ketentuan Konversi Undang-Undang Pokok
Agraria dan aturan pelaksanaannya, maka terhadap hak-hak atas tanah
bekas hak Barat dapat menjadi:10
9 Ibid
10 Ibid
xxix
a. Tanah negara karena terkena ketentuan asas nasionalitas atau
karena tidak dikonversi menjadi hak menurut UUPA.
b. Dikonversi menjadi hak yang diatur menurut UUPA seperti Hak
Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai.
B. Tanah Negara
Dalam konsep HTN (Hak Atas Tanah) dalam hubungan antara subjek
hak dan tanah sebagai objek hak dikenal pengertian tanah Negara dan tanah
hak. Tanah Negara adalah tanah yang tidak dilekati dengan sesuatu Hak
Atas Tanah .11 Menurut Ali Chomzah Tanah Negara adalah tanah yang tidak
dipunyai oleh perseorangan atau badan hukum dengan sesuatu Hak atas
tanah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.12
Sebelum keluarnya UUPA, Tanah Negara dikenal dengan asas
Domein Verklaring (Pernyataan Milik), asas tersebut menyatakan : semua
tanah yang pihak lain tidak dapat membuktikan bahwa tanah itu hak
eigondomnya, adalah Domein / Milik Negara. Karena tanah tersebut milik
negara maka terhadap hak atas tanah yang paling kuatpun menurut hukum
adat, seperti hak milik (adat) seolah-olah tidak diakui sama dengan hak
eigendom. Hal demikian tidak dimengerti dan merugikan kepada rakyat. Oleh
11
Maria S.W Sumardjono, Tanah dalam perspektif hak ekonomi social dan budaya.(Jakarta: Kompas, 2009). hal. 144 12
H. Ali Achmad Chomzah, Hukum Pertanahan: Seri Hukum Pertanahan I & II, (Jakarta : prestasi pustaka,2002) hal.1
xxx
karena itu dalam UUPA dinyatakan: pernyataan domein bertentangan
dengan kesadaran hukum rakyat Indonesia dan asas dari negara merdeka
dan modern.
Dalam perkembangannya, penguasaan tanah-tanah negara diatur
dalam PP Nomor 8 Tahun 1953.Dalam PP ini yang dimaksud dengan tanah
negara (dalam hal ini negara bebas /vrij landsdomein adalah tanah-tanah
yang dimiliki dan dikuasai penuh oleh negara yang meliputi semua tanah
yang sama sekali bebas dari hak-hak seseorang,baik yang berdasarkan
hukum adat maupun hukum barat.13
Setelah berlakunya UUPA asas domein verklaring tidak dipergunakan
lagi dalam Hukum Agraria Nasional, karena UUPA berpangkal pada
pendirian bahwa untuk mencapai apa yang ditentukan dalam pasal 33 ayat
(3) UUD NRI 1945 :bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam
yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan
sebesar-besar kemakmuran rakyat. Maka pengertian “tanah negara”
mempunyai ruang lingkup yang lebih sempit dari pada pengertian land
domein dahulu, karena hanya meliputi tanah tanah yang tidak dikuasai oleh
sesuatu pihak.14
13 Maria SW. Sumardjono, Kebijakan pertanahan antara regulasi dan implementasi, (Jakarta: Kompas 2008), hal.60 14 Boedi Harsono, Op. Cit., hal. 162
xxxi
Berbeda dengan konsep Domein Negara , maka UUPA menganut
sistem negara “menguasai” dan bukan “memiliki” dalam hubungan tanah
dengan negara.Negara sebagai personifikasi dari seluruh rakyat mempunyai
kewenangan untuk mengatur dan menyelenggarakan peruntukan
,penggunaan,penyediaan,,dan penyelenggaraan bumi,air,dan ruang
angkasa, serta menentukan dan mengatur hubungan hukum dan perbuatan
hukum yang berkenaan dengan bumi,air,dan ruang angkasa.15
Menurut Boedi Harsono Hak Menguasai dari Negara adalah sebutan
yang diberikan oleh Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960
(UUPA) kepada lembaga hukum dan hubungan hukum konkret antara
Negara dan tanah Indonesia, yang dirinci isi dan tujuannya dalam Pasal 2
ayat (2) dan (3) Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960.16
Adapun ruang lingkup pengaturannya, Hak Menguasai dari Negara
berlaku atas semua tanah yang ada di Indonesia, baik itu tanah yang belum
dihaki, juga tanah yang telah dihaki oleh perseorangan. Terhadap tanah yang
belum dihaki perseorangan, Hak Menguasai dari Negara melahirkan istilah
tanah yang dikuasai langsung oleh negara, atau kemudian disebut secara
singkat sebagai tanah negara
15
Maria SW. Sumardjono, Op.cit, hal.61 16 Boedi Harsono. Op.cit, Hal.268
xxxii
Walaupun Hak menguasai dari negara itu meliputi semua bumi,air dan
ruang angkasa,namun disamping adanya tanah negara,dikenal pula adanya
tanah-tanah hak, baik yang dipunyai perseorangan maupun badan hukum.
Sedangkan yang dimaksud dengan tanah hak adalah tanah yang dilekati
dengan sesuatu hak atas tanah yang diatur dalam Pasal 16 UUPA .Diantara
berbagai hak atas tanah yang pada umumnya dikenal oleh masyarakat
adalah Hak Milik,Hak Guna Usaha,Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai.17
Menurut Boedi Harsono dengan berkembangnya Hukum Tanah
Nasional lingkup pengertian tanah-tanah yang didalam UUPA disebut tanah-
tanah yang dikuasai langsung oleh negara,yang semula disingkat dengan
sebutan tanah-tanah negara itu,mengalami juga perkembangan . Semula
pengertiannya mencakup semua tanah yang dikuasai oleh negara,diluar apa
yang disebut tanah-tanah hak. Sekarang ini ditinjau dari segi kewenangannya
penguasaannya, ada kecenderungan untuk lebih memperinci status tanah-
tanah yang semula tercakup dalam pengertian tanah-tanah negara itu,
menjadi :18
1. Tanah-tanah Wakaf,yaitu tanah-tanah Hak Milik yang sudah diwakafkan;
17
Maria S.W. Sumardjono.Op.cit,Hal.60 18 Boedi Harsono., Op.cit, Hal.272
xxxiii
2.Tanah-tanah Hak Pengelolaan, yaitu tanah-tanah yang dikuasai dengan
Pengelolaan, yang merupakan pelimpahan pelaksanaan sebagian
kewenangan Hak Menguasai dari Negara kepada pemegang haknya;
3.Tanah-tanah Hak Ulayat, yaitu tanah-tanah yang dikuasai oleh
masyarakat-masyarakat hukum adat teritorial dengan Hak Ulayat;
4. Tanah-tanah kaum, yaitu tanah bersama masyarakat hukum adat
genealogis.
5. Tanah-tanah Kawasan Hutan ,yang dikuasai oleh Departemen Kehutanan,
Hak Pengusaan ini pada hakikatnya juga merupakan pelimpahan sebagian
kewenangan Hak Menguasai dari Negara;
6. Tanah-tanah sisanya, yaitu tanah-tanah yang dikuasai oleh negara,yang
bukan tanah-tanah Hak, bukan tanah Wakaf,bukan tanah pengelolaan, bukan
tanah-tanah Hak Ulayat, bukan tanah-tanah Kaum, dan bukan pula tanah-
tanah Kawasan Hutan. Tanah-tanah ini benar-benar langsung dikuasai oleh
Negara. Kiranya untuk singkatnya dapat disebut Tanah Negara.
penguasaannya dilakukan oleh Badan Pertanahan Nasional. Dengan
demikian kita jumpai pengertian tanah-tanah Negara dalam arti luas dan
tanah-tanah Negara dalam arti sempit.
Berdasarkan pengertian tentang Tanah Negara, maka Negara dapat
menentukan macam-macam hak atas tanah ,yang dapat dipunyai orang-
xxxiv
orang ,baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-
badan hukum.
C. Hak-hak atas tanah.
Dalam Pasal 4 ayat (2) UUPA disebutkan bahwa hak-hak atas tanah
yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini memberikan wewenang untuk
mempergunakan tanah yang bersangkutan demikian pula tubuh bumi dan air
serta ruang yang ada diatasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang
langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu, dalam batas-batas
menurut Undang-undang ini dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih
tinggi.19
Dari rumusan Pasal 4 ayat (2) UUPA diatas, dapat diambil kesimpulan
bahwa hak atas tanah adalah hak yang diterima oleh orang perseorangan
atau badan hukum selaku pemegang kuasa atas tanah yang memberi
wewenang kepada pemegangnya untuk mempergunakan tanah yang
bersangkutan dalam batas-batas yang diatur oleh peraturan perundang-
undangan.
Macam-macam penguasaan hak atas tanah diatur dalam Pasal 16
Ayat (1) UUPA. Adapun hak-hak atas tanah tersebut, antara lain :
1). Hak Milik
19 Lihat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria.
xxxv
Hak milik menurut Pasal 20 UUPA.
(1) UUPA adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat
dipunyai orang atas tanah dengan mengingat ketentuan Pasal 6.
(2) Hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.
Pemberian sifat terkuat dan terpenuhi tidak berarti bahwa hak itu
merupakan hak yang mutlak tak terbatas dan tidak dapat diganggu gugat
sebagaimana hak eigendom menurut pengertiannya yang asli dulu.20 Sifat
yang demikian bertentangan dengan sifat hukum adat dan fungsi sosiald ari
tiap-tiap hak. Kata-kata terkuat dan terpunuhi itu bermaksud untuk
membedakannya dengan hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai
dan lainnya yaitu untuk menunjukkan bahwa diantara hak-hak atas tanah
yang dapat dipunyai orang hak miliklah yang ter (paling) kuat dan terpenuhi.21
Jadi sifat khas dari hak milik ialah hak yang turun temurun, terkuat,
dan terpenuhi. Bahwa hak milik merupakan hak yang kuat, berarti hak itu
tidak mudah hapus dan mudah dipertahankan terhadap gangguan pihak lain,
oleh karena itu maka hak tersebut wajib untuk didaftarkan.22
Turun-temurun artinya hak itu dapat diwariskan berturut-turut ataupun
dan diturunkan kepada orang lain tanpa perlu diturunkan derajatnya atau hak
20
AP. Parlindungan, Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria, (Bandung : Mandar Maju, 2008), hlm. 137. 21
ibid 22 Adrian sutendi op. cit., hal. 61
xxxvi
itu menjadi tiada atau harus memohon haknya kembali ketika terjadi
perpindahan tangan.23 Hak milik tidak hanya berlangsung selama hidup
orang yang mempunyainya melainkan kepemilikannya akan dilanjutkan oleh
ahliwarisnya setelah dia meninggal dunia.24
Terpenuhi maksudnya hak milik itu memberikan wewwenang yang
paling luas kepada yang mempunyai hak jika dibandingkan dengan hak-hak
yang lain. Hak milik bias merupakan induk dari hak-hak lainnya, artinya
seorang pemilik hak milik atas tanah dapat menyewakan, membagi hasil,
menggadaikan, menyerahkan tanah itu kepada orang lan dengan hak guna
bangunan atau hak pakai.25
Sifat dan ciri hak milik :26
1. Hak milik adalah hak yang terkuat (Pasal 20 UUPA) sehingga harus
didaftarkan.
2. Dapat beralih, artinya dapt diwariskan kepada ahli warisnya. (Pasal 20
UUPA)
3. Dapat dialihkan kepada pihak yang memenuhi syarat. (Pasal 20 jo
Pasal 26 UUPA)
23
AP parlindungan loc. Cit., hal. 137 24 Adrian Sutendi Loc. Cit., hal. 61 25
Ibid 26 ibid
xxxvii
4. Dapat menjadi induk dari hak-hak atas tanah yang lain, artinya dapat
dibebani dengan hak-hak atas tanah lain.
5. Dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan.
(Pasal 25 UUPA)
6. Dapat dilepaskan oleh yang mempunyai hak atas tanah. (pasal 27
UUPA)
7. Dapat diwakafkan. (Pasal 49 ayat (3) UUPA).
Adapun yang dapat mempunyai hak milik menurut Pasal 21 UUPA,
yaitu :
a). Warga Negara Indonesia.
Dalam hal ini tidak dibedakan antara warga negara yang asli dengan
yang keturunan asing.
b). Badan-badan hukum yang ditetapkan oleh pemerintah.
Pada umumnya, suatu badan hukum tidak dapat mempunyai hak milik
selain yang ditetapkan oleh pemerintah. Adapun badan hukum yang dapat
mempunyai hak milik, seperti yang telah diatur di dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963 tentang Penunjukan Badan-Badan Hukum
Yang Dapat Mempunyai Hak Milik Atas Tanah, antara lain :27
27 Ibid., hal. 63
xxxviii
(1). Bank-bank yang didirikan oleh negara;
(2). Perkumpulan-perkumpulan koperasi pertanian yang didirikan
berdasarkan Undang-Undang Nomor 79 Tahun1963;
(3). Badan-badan Keagamaan yang ditunjuk oleh Menteri
Pertanian/Agraria setelah mendengar Menteri Agama;
(4). Badan-badan sosial yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria
setelah mendengar Menteri Sosial.
2). Hak Guna Usaha
Haka guna usaha menurut pasal 28 UUPA :
(1) Hak guna usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang
dikuasai langsung oleh Negara, dalam jangka waktu sebagaimana
tersebut dalam pasal 29 guna perusahaan pertanian, perikanan
atau peternakan.
(2) Hak guana usaha diberikan atas tanah yang luasnya paling sedikit
5 hektar, dengan ketentuan bahwa jika luasnya 25 hektar atau
lebih harus memakai investasi modal yang layak dan teknik
perusahaan yang baik, sesuai dengan perkembangan zaman.
(3) Hak guna usaha dapat beralih dan dialihkan kepihak lain.
xxxix
Berlainan dengan hak milik, tujuan penggunaan tanah yang dipunyai
dengan hak guna usaha itu terbatas, yaitu pada usaha pertanian, perikanan,
dan peternakan. Hak guna usaha hanya dapat diberikan oleh negara.
Dengan PP No. 40 tahun 1996 telah diterbitkan ketentuan-ketentuan
tentang Hak Guna Usaha yang diatur dari pasal 1 hinggal pasal 18, dan kalau
melihat apa yang diatur dalam PP No. 40 tahun 1996 tersebut terdapat
beberapa ketentuan yang memperkaya ketentuan tentang Hak Guna Usaha
ini dengan tidak beralih dari ketentuan yang sudah ada.
Seterusnya ketika mulai berlaku UUPA, maka hak erfpacht yang sudah
ada sebelum berlaku UUPA, dikonversi menjadi Hak Guna Usaha atas sisa
waktunya dengan batas maksimum tanggal 28 september 1980 atau
selambat-lambatnya 20 tahun (Pasal III ketentuan Konversi).28
Berdasarkan Pasal 30 ayat (1) UUPA jo Pasal 2 Peraturan Pemerintah No.
40 Tahun 1996, hak guna usaha dapat dipunyai oleh :
a). Warga Negara Indonesia.
b). Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan
berkedudukan di Indonesia.
28 AP parlindungan op. Cit., hal. 161
xl
Dalam ayat 2 pasal 30 ini telah ditentukan dengan tegas jika Hak
Guna Usaha ini jatuh kepada bukan warga Negara Indonesia ataupun
pemiliknya bukan lagi warga Negara Indonesia maka dia harus melepaskan
kembali kepada warga Negara Indonesia dalam jangka waktu 1 tahun
dengan ancaman hak itu menjadi hapus karena hukum, sungguhpun hak-hak
orang lain yang terlekat akan diindahkan,sperti tanah itu sudah ada dalam
terikat hak tanggungan. Dengan demikian orang asing tidak dapat
mempunyai hak atas tanah di Indonesia seperti diatur dalam pasal 9 UUPA.29
Dalam Pasal 29 UUPA, jangka waktu hak guna usaha adalah selama
25 tahun atau 35 tahun dan atas permohonan pemegang hak dapat
diperpanjang paling lama 25 tahun. Hak guna usaha ini berbeda dengan Hak
Erfpacht atau konsensus yang dapat diberikan atau diperjanjiakan untuk 75
tahun.
Dengan demikian maka sifat-sifat dari Hak Guna Usaha adalah :30
1). Hak atas tanah untuk mengusahakan tanah Negara untuk
keperluan perusahaan pertanian, perikanan dan peternakan.
2). Jangka waktu 25 atau 35 tahun dan dapat diperpanjang dengan
waktu 25 tahun.
29 AP. Parlindungan, Beberapa Pelaksanaan Kegiatan dari UUPA, ( Jakarta: Mandar Maju, 1992), hal. 15 30 H. Ali Achmad Chomzah, Op. cit. hal.17
xli
3). Luas minimum 5 hektar jika luasnya lebih dari 25 hektar, harus
mempergunakan teknik perusahaan yang baik.
4). Dapat beralih dan dialihkan.
5). Dapat dijadikan jaminan kredit dengan dibebani hak tanggungan.
Sesuai pasal 8 Peraturan Pemerintah No. 40 tahun 1996, maka
pemerintah perlu memandang untuk memberikan waktu yang maksimal pada
pemberian hak tersebut, dan dapat diberikan jangka waktu 60 tahun dengan
catatan setelah sampai jangka waktu 35 tahun pertama haruslah dilaporkan
untuk dicatat kembali pada sertifikat hak atas tanahnya dengan ketentuan
pasal 9 ayat 1 Peraturan Pemerintah No. 40 tahun 1996 yaitu :31
a. tanahnya masih diusahakan dengan baik sesuai dengan keadaan,
sifat dan tujuan pemberian hak tersebut.
b. syarat-syarat pemberian hak tersebut dipenuhi dengan baik oleh
pemegang hak.
c. pemegang hak masi memenuhi syarat sebagai pemegang hak.
Dalam ketentuan Pasal 34 UUPA jo pasal 17 ayat (1) Peraturan Pemerintah
No. 40 tahun 1996, Hak Guna Usaha hapus karena :
a). Jangka waktunya berakhir;
31 AP. Parlindungan, komentar atas Undang-undang Pokon Agraria, Op. cit., hal 165
xlii
b). Dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu
syarat tidak dipenuhi;
c). Dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya
berakhir;
d). Dicabut untuk kepentingan umum;
e). Diterlantarkan;
f). Tanahnya musnah;
g). Ketentuan dalam Pasal 30 ayat (2) UUPA yaitu bahwa pemegang
hak tidak memenuhi syarat dan dalam waktu tertentu tidak
memindahkan/melepaskan pada pihak lain yang memenuhi syarat.
3). Hak Guna Bangunan
Dalam Pasal 35 ayat (1) dan (2) UUPA, hak guna bangunan adalah
hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang
bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun yang bila
diperlukan dapat diperpanjang lagi selama 20 tahun.
Sebagai suatu hak atas tanah maka hak guna bangunan memberi
wewenang kepada yang mempunyai untuk mempergunakan tanah yang
bersangkutan.
Dalam Pasal 37 UUPA, hak guna bangunan terjadi :
xliii
a). Mengenai tanah yang dikuasai langsung oleh negara; karena
penetapan Pemerintah;
b). Mengenai tanah milik; karena perjanjian yang berbentuk otentik
antara pemilik tanah yang bersangkutan dengan pihak yang akan
memperoleh hak.
Berlainan dengan hak guna usaha, maka penggunaan tanah yang
dipunyai dengan hak guna bangunan bukan untuk usaha pertanian,
melainkan untuk bangunan, oleh karena itu, baik tanah negara maupun tanah
milik seseorang atau badan hukum dapat diberikan dengan hak guna
bangunan.
Seperti halnya hak guna usaha, mengenai hak guna bangunan, juga
diatur lebih lanjut di dalam Peraturan. Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang
Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah. Dalam
Pasal 30 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996, pemegang hak guna
bangunan berkewajiban :
a). Membayar uang pemasukan yang jumlah dan cara pembayarannya
ditetapkan dalam keputusan pemberian haknya;
b). Menggunakan tanah sesuai dengan peruntukannya dan
persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam keputusan dan perjanjian
pemberiannya;
xliv
c). Memelihara dengan baik tanah dan bangunan yang ada di atasnya
serta menjaga kelestarian lingkungan hidup;
d). Menyerahkan kembali tanah yang diberikan dengan hak guna
bangunan kepada negara, pemegang hak pengelolaan atau
pemegang hak milik sesudah hak guna bangunan itu hapus;
e). Menyerahkan sertipikat hak guna bangunan yang telah hapus
kepada Kepala Kantor Pertanahan.
Berdasarkan Pasal 36 ayat (1) UUPA Jo. Pasal 19 Peraturan Pemerintah No.
40 Tahun 1996, hak guna bangunan dapat dipunyai oleh :
a). Warga Negara Indonesia.
b). Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan
berkedudukan di Indonesia.
Dalam ketentuan Pasal 40 UUPA, hak guna bangunan hapus karena :
a). Jangka waktunya berakhir;
b). Dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu
syarat tidak dipenuhi;
c). Dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya
berakhir;
d). Dicabut untuk kepentingan umum;
e). Diterlantarkan;
xlv
f). Tanahnya musnah;
g). Ketentuan dalam Pasal 36 ayat (2).
4). Hak Pakai
Dalam Pasal 41 ayat (1) UUPA, hak pakai adalah hak untuk
menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung
oleh negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan
kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat
yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik
tanahnya, yang bukan perjanjian sewa menyewa atau perjanjian pengelolaan
tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan
ketentuanketentuan undang-undang ini.
Berdasarkan ketentuan Pasal 41 ayat (2) UUPA, hak pakai dapat diberikan :
a). selama jangka waktu yang tertentu atau selama tanahnya
dipergunakan untuk keperluan yang tertentu;
b). dengan cuma-cuma, dengan pembayaran atau pemberian jasa
berupa apapun.
Adapun yang dapat mempunyai hak pakai, seperti yang diatur dalam Pasal
42 UUPA, yaitu :
a). Warga Negara Indonesia;
xlvi
b). Orang asing yang berkedudukan di Indonesia;
c). Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan
berkedudukan di Indonesia;
d). Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia.
5). Hak Pengelolaan
Dalam Pasal 1 Ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996
tentang HGU, HGB, dan Hak Pakai Atas Tanah, yang dimaksud dengan hak
pengelolaan adalah hak menguasai dari negara yang kewenangan
pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegangnya. Adanya hak
pengelolaan dalam hukum tanah tidak disebutkan dalam UUPA, tetapi tersirat
dalam pernyataan penjelasan umum bahwa : dengan berpedoman pada
tujuan yang disebut di atas, negara dapat memberi tanah yang demikian
kepada seseorang atau badan-badan dengan suatu hak menurut peruntukan
dan keperluan, misal hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan atau
hak pakai atau memberikannya dalam pengelolaan kepada suatu badan
penguasa (departemen, jawatan atau daerah swatantra) untuk dipergunakan
bagi pelaksanaan tugasnya masing-masing.32
32 Boedi Harsono, Op. cit., hlm. 276
xlvii
D. Jual beli tanah.
Seseorang yang memiliki tanah, karena kebutuhan tertentu kadang
tanah yang bersangkutan dipindahkan kepada orang lain. Peralihan hak atas
tanah dapat berupa jual beli, hibah, tukar menukar dan lelang. Dari perbuatan
hukum tersebut yang sering dilakukan adalah jual beli tanah. jual beli tanah
sering dilakukan oleh warga masyarakat baik di kota maupun didesa.
Pengertian Jual Beli tanah hak Milik dibedakan menjadi 3 (dua) yaitu
menurut Hukum Barat yang termuat dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (KUHPerdata), Hukum Adat dan menurut Undang-Undang Pokok
Agraria.
1. Jual Beli Menurut Hukum Perdata (BW).
Menurut ketentuan dari Pasal 1457 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, yang dimaksud dengan jual beli adalah :
”suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya
untuk menyerahkan hak atas suatu barang dan pihak yang lain untuk
membayar harga yang telah dijanjikan”.
Sedangkan menurut Pasal 1320 KUH Perdata untuk sahnya suatu
perjanjian harus memenuhi 4 syarat, yaitu :
a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.
xlviii
b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
c. Suatu hal tertentu.
d. Suatu sebab yang halal
Dalam hal jual beli tanah, jual beli telah dianggap terjadi walaupun
tanah belum diserahkan atau harganya belum dibayar. Untuk pemindahan
hak itu masih diperlukan suatu perbuatan hukum lain berupa penyerahkan
yang caranya ditetapkan dengan suatu peraturan lain lagi.
Peraturan yang dimaksud diatur dalam Overschrijving Ordonantie Stb.
1934 Nomor 27. Jual beli tanah disini terdapat dua perbuatan hukum, yaitu:33
a. perjanjian jual beli tanah dibuat dengan akta notaris atau akta
dibawah tangan.perjanjian jual beli ini, pengaturannya termasuk
hukum perjanjian. Pada saat ini belum terjadi pemindahan hak atas
tanah dari penjual kepada pembeli.
b. penyerahan yuridis (juridiche levering) diselenggarakan dengan
perbuatan akta balik nama dimuka dan oleh kepala kantor pendaftaran
tanah selaku overschrijving Ambtenaar. Pada saat inilah terjadi
pemindahan hak atas tanah dari penjual kepada pembeli.
33 Urip Santoso, Pendaftaran dan Peralihan Hak atas Tanah, (Jakarta: Kencana, 2011) hal. 362
xlix
Untuk terjadinya perjanjian jual-beli ini cukup jika kedua belah pihak
sudah mencapai persetujuan tentang barang dan harga si penjual
mempunyai dua kewajiban pokok, yaitu pertama menyerahkan barangnya
serta menjamin si pembeli dapat memiliki barang itu dengan aman dan kedua
bertanggung jawab terhadap cacat-cacat yang tersembunyi. Kewajiban si
pembeli membayar harga dan di tempat yang telah ditentukan. Barang harus
diserahkan pada waktu perjanjian jual beli ditutup dan ditempat barang itu
berada.
Menurut Undang-Undang, sejalan saat ditutupnya perjanjian risiko
mengenai barangnya sudah beralih kepada si pembeli, artinya jika barang itu
rusak hingga tidak dapat diserahkan kepada pembeli, maka orang ini harus
tetap membayar harganya. Sampai pada waktu penyerahannya itu si penjual
harus merawatnya dengan baik. Jika si penjual melalaikan kewajibannya,
misalnya pada waktu yang telah ditentukan belum menyerahkan barangnya,
maka mulai saat itu ia memikul risiko terhadap barang itu dan dapat dituntut
untuk memberikan pembayaran kerugian atau pembeli dapat menuntut
pembatalan perjanjian. Sebaliknya jika si pembeli tidak membayar harga
barang pada waktu yang ditentukan si penjual dapat menuntut pembayaran
itu yang jika ada alasan dapat disertai dengan tuntutan kerugian ataupun ia
dapat menuntut pembatalan perjanjian dengan pemberian kerugian juga
barang yang belum dibayar itu dapat diminta kembali.
l
Jual beli yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(BW) ini bersifat obligatoir, yanq artinya bahwa perjanjian jual beli baru
meletakkan hak dan kewajiban timbal balik antara kedua belah pihak penjual
dan pembeli, yaitu meletakkan kepada penjual kewajiban untuk menyerahkan
hak milik atas barang yang dijualnya sekaligus memberikan kepadanya hak
untuk mendapat pembayaran harga yang telah disetujui dan disisi lain
meletakkan kewajiban kepada pembeli untuk membayar harga barang sesuai
imbalan haknya untuk menuntut penyerahan hak milik atas barang yang
dibelinya. Atau dengan perkataan lain bahwa jual beli yang dianut Hukum
Perdata jual beli belum memisahkan hak milik.
Saat mengikatnya perjanjian jual beli, adalah bersamaan dengan saat
terjadinya jual beli, dimana perjanjian jual beli itu sudah dilahirkan, pada detik
tercapainya kata “sepakat“ mengenai barang dan harga. Dengan
kesepakatan tersebut berarti perjanjian jual beli, tersebut menganut asas
konsessualisme yang ditentukan dalam, Pasal 1458 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata, yang berbunyi :
“Jual-beli itu dianggap telah mencapai sepakat tentang kebendaan
tersebut dan harganya, meskipun kebendaan itu sebelum diserahkan,
maupun harganya belum dibayar.”
2. Jual Beli Tanah Menurut Hukum Adat.
Pengertian Jual beli tanah pada hakekatnya merupakan salah satu
pengalihan hak atas tanah kepada pihak lain/orang lain yang berupa rumah
li
dari penjual kepada pembeli tanah. Pengalihan hak-hak pemilikan atas tanah
ini tidak hanya melaiui jual beli saja, tetapi pengalihan hak pemilikan ini juga
terjadi karena hibah, tukar-menukar, pemberian dengan surat wasiat dan
perbuatan-perbuatan lain yang bermaksud memindahkan hak pemilikan atas
tanah. Tetapi peralihan hak pemilikan itu terjadi demi hukum, misalnya
karena pewarisan. Karena Hukum pula segala harta kekayaan seseorang
beralih menjadi harta warisan sejak saat orang tersebut meninggal dunia.
Karena itu beralihnya hak milik atas tanah apabila kita lihat dari segi hukum
dapat terjadi karena suatu tindakan hukum (antara lain perbuatan hukum)
atau karena suatu peristiwa hukum.
Tindakan hukum (rechhtshandelingen) termasuk jual beli, hibah,
pemberian dengan wasiat, penukaran, pemberian menurut adat dan
perbuatan-perbuatan hukum lainnya. Sedangkan beralihnya hak milik karena
peristiwa hukum misalnya karena pewarisan.
Pengertian jual-beli menurut Hukum Adat dan Boedi Harsono, adalah
perbuatan hukum pemindahan hak yang bersifat tunai.34 Jual beli tanah
dalam hukum adat, adalah perbuatan hukum pemindahan hak atas tanah
dengan pembayaran harganya pada saat yang bersamaan secara tunai
dilakukan. Maka dengan penyerahan tanahnya kepada pembeli dan
pembayaran harganya kepada penjual pada saat jual-beli dilakukan,
34 Boedi Harsono, op.cit, hal. 333.
lii
perbuatan jual beli itu selesai dalam arti pembeli telah menjadi pemegang
hak yang baru.
Bahwa kemudian pemilik tanah yang baru itu meminta perubahan girik
bukan, berarti bahwa ia merasa belum menjadi pemilik yang baru.
Penggantian girik tersebut justru dimaksudkan untuk mengamankan
pemilikan tanah yang bersangkutan olehnya. Dengan tunai dimaksudkan,
bahwa perbuatan pemindahan hak dan pembayaran harganya dilakukan
secara serentak. Oleh karena itu, maka tunai mungkin berarti bahwa harga
tanah dibayar kontan atau baru dibayar sebagian (dianggap tunai). Dalam hal
pembeli tidak membayar sisanya, maka penjual tidak dapat menuntut atas
dasar terjadinya jual beli tanah akan tetapi atas dasar hukum hutang piutang.
Bentuk-bentuk jual beli tanah dalam hukum adat antara lain yaitu:35
a. Jual lepas
Jual lepas merupakan proses pemindahan hak atas tanah yang
bersifat terang dan tunai, dimana semua ikatan antara bekas penjual
dengan tanahnya menjadi lepas sama sekali.
35 Urip Santoso, op. cit., hal. 359
liii
b. Jual gadai
Jual gadai merupakan suatu perbuatan pemindahan hak atas tanah
kepada pihak lain yang dilakukan secara terang dan tunai sedemikian
rupa sehingga pihak yang melakukan pemindahan hak mempunyai
hak untuk menebus kembali tanah tersebut. Dengan demikian maka
pemindahan hak atas tanah pada jual gadai bersifat sementara,
walaupun kadang-kadang tidak ada patokan tegas mengenai sifat
sementara waktu tersebut.
Ada kecenderungan untuk membedakan antara gadai biasa dengan
gadai jangka waktu, dimana yang terakhir cenderung memberikan
semacam patokan pada sifat sementara dan perpindahan hak atas
tanah tersebut. Pada gadai biasa, maka tanah dapat ditebus oleh
penggadai setiap saat. Pembatasnya adalah satu tahun panen atau
apabila di atas tanah masih terdapat tumbuh-tumbuhan yang belum
dipetik hasilhasilnya. Dalam hal ini maka penerima gadai tidak berhak
untuk menuntut agar penggadai menebus tanahnya pada suatu waktu
tertentu.
c. Jual tahunan
Jual tahunan merupakan suatu perilaku hukum yang berisikan
penyerahan hak atas sebidang tanah tersebut kepada subyek hukum
liv
lain dengan menerima sejumlah uang tertentu dengan ketentuan
bahwa setelah jangka waktu tertentu, maka tanah tersebut akan
kembali dengan sendirinya tanpa melalui hukum tertentu. Dalam hal ini
terjadi peralihan hak atas tanah yang bersifat sementara waktu.
3. Jual Beli Tanah Menurut UUPA.
Di atas telah diuraikan pengertian jual beli tanah menurut Hukum Barat
(BW) dan Hukum Adat. Sekarang ini setelah berlakunya UUPA, pengertian
jual beli tanah bukan lagi suatu perjanjian seperti dalam Pasal 1457 jo Pasal
1458 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia. Jual beli tanah
sekarang memiliki pengertian, yaitu di mana pihak penjual menyerahkan
tanah dan pembeli membayar harga tanah, maka berpindahlah hak atas
tanah itu kepada pembeli. Perbuatan hukum perpindahan hak ini bersifat
tunai, terang dan riil.36
Tunai, berarti dengan dilakukannya perbuatan hukum tersebut, hak
atas tanah yang bersangkutan berpindah kepada pihak lain untuk selama-
lamanya, dengan disertai pembayaran sebagian atau seluruh harga tanah
tersebut. Terang, berarti perbuatan hukum pemindahan hak tersebut
dilakukan di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), tidak dilakukan
36 Boedi Harsono, Op. Cit, hal. 330
lv
secara sembunyi-sembunyi. Riil atau secara nyata adalah menunjukkan
kepada akta PPAT yang ditandatatangani oleh kedua belah pihak.37
Dalam pengertian tunai, mencakup dua perbuatan yang dilakukan
bersamaan/serentak, yaitu:
a.Pemindahan hak/pemindahan penguasaan yuridis dari penjual
(pemilik/pemegang hak) kepada pembelinya (penerima hak);
b. Pembayaran harganya.
Dengan dipenuhinya poin a dan b di atas, maka perbuatan hukum jual
beli tanah telah selesai. Dan apabila baru dibayar sebagian, sisa
harganya merupakan pinjaman atau utang piutang diluar perbuatan
jual beli.
Sebelum kita membeli sebidang tanah, maka kiranya perlu dilakukan
secara hati-hati, dikarenakan banyaknya terjadi hal-hal yang bersifat kurang
menguntungkan dikemudian harinya bagi pembeli, misalnya tanah dalam
keadaan sengketa ataupun tanah terletak dalam lokasi daerah yang terkena
penertiban dan sebagainya.
37 Ibid
lvi
Syarat jual beli tanah ada dua yaitu:38
1. Syarat materil.
Syarat materil sangat menentukan akan sahnya jual beli tanah
tersebut antara lain sebagai berikut :
a. Pembeli berhak membeli tanah yang bersangkutan.
Pembeli sebagai penerima hak harus memenuhi syarat untuk memiliki
tanah yang akan dibelinya, menurut UUPA, yang dapat mempunyai
hak milik atas tanah hanya warga Negara Indonesia tunggal dan
badan-badan hukum yang ditetapkan oleh pemerintah. Jika pembeli
berkewarganegaraaan asing atau suatu badan hukum yang
dikecualikan oleh pemerintah maka jual beli itu batal karena hukum
dan tanah jatuh pada Negara.
b. Pejual berhak menjual tanah yang bersangkutan.
Yang berhak menjual tanah adalah pemilik tanah, apabila pemilik
tanah itu hanya satu orang, maka ia berhak menjual sendiri tanah itu,
tetapi apabila pemilik tanah ada dua orang maka yang berhak menjual
tanah itu adalah semua pemegang hak itu secara bersama-sama tidak
boleh hanya seorang saja yang bertindak sebagai penjual jual beli
38 Adrian sutendi, op. cit., hal 77
lvii
tanah yang dilakukan oleh orang yang tidak berhak adalah batal demi
hukum, artinya semula hukum menganggap tidak pernah terjadi jual
beli, Dalam hal demikian maka kepentingan pembeli sangat dirugikan.
c. Tanah hak yang bersangkutan boleh diperjualbelikan dan tidak
dalam sengketa.
Tanah yang dimaksud adalah tanah yang memiliki kejelasan akan hak
atas tanah dan tidak dalam keadaan dipersengketakan.
2. Syarat formil.
Setelah semua persyaratan materiil dipenuhi maka PPAT (Pejabat
Pembuat Akte Tanah) akan membuat akta jual belinya. Syarat jual beli
harus dibuktikan dengan akta PPAT yang ditegaskan dalam pasal 37
Peraturan Pemerintah No 24 Tahun 1997. Jual beli yang dilakukan
tanpa dihadapan PPAT tetap sah karena UUPA berlandaskan pada
hukum Adat ( Pasal 5 UUPA).39
Sebelum akta jual beli dibuat PPAT, maka para pihak disyaratkan
untuk menyerahkan surat-surat yang diperlukan PPAT, yaitu: 40
1. Jika tanahnya sudah bersertifikat: setifikat tanahnya yang asli dan
tanda bukti pembayaran biaya pendaftaran.
39
Ibid, hal. 78 40 ibid
lviii
2. Jika tanahnya belum bersertifikat: surat keterangan bahwa tanah
tersebut belum bersertifikat, surat-surat tanah yang ada yang
memerlukan penguatan oleh kepala desa dan camat, dilengkapi
dengan surat-surat yang membuktikan identitas penjual dan
pembelinya yang diperlukan untk persertifikatan tanahnya setelah
selesai dilakukan jual beli.
Setelah akta dibuat, selambat-lambatnya 7 hari kerja akta tersebut
ditanda tangani, PPAT menyerahkan akta tersebut kepada kantor
pendaftaran tanah untuk pendaftaran pemindahan haknya.
Tata cara dalam pelaksanaannya menurut UUPA dengan peraturan
pelaksanaannya, secara sederhana dapat diuraikan sebagai berikut:
a) Calon pembeli dan penjual sepakat untuk melakukan jual beli
menentukan sendiri segala sesuatunya, tentang tanah dan harganya;
b) Calon pembeli dan penjual datang sendiri atau mewajibkan kepada
orang lain dengan surat kuasa, menghadap kepada Pejabat Pembuat
Akta Tanah (PPAT) (Kepala Kecamatan, Notaris atau lainnya yang
diangkat oleh pemerintah);
c) Dalam hal tanah yang akan dijual itu belum dibukukan (belum
bersertipikat), maka diharuskan kehadiran Kepala Desa atau seorang
anggota Pemerintah Desa yang disamping akan bertindak sebagai
lix
saksi, juga menjamin bahwa tanah yang akan dijual itu memang betul
adalah milik penjual dan ia berwenang untuk menjualnya;
d) Dalam hal tanah yang akan dijual itu sudah dibukukan (sudah ada
sertipikat) dihadiri dua orang saksi, tidak harus Kepala Desa dan
anqgota pemerintah desa. Tetapi apabila Pejabat Pembuat Akta
Tanah (PPAT) menganggap perlu (jika ada keraguan tentang
wewenang orang yang melakukan jual beli itu), maka PPAT dapat
meminta kehadiran Kepala Desa dan seorang anggota Pemerintah
Desa dari tempat letak tanah yang akan dijual;
e) Kalau tanah yang dijual telah dibukukan, penjual harus
menyerahkan sertipikat, tetapi kalau belum di bukukan sebagai
gantinya harus dibuat surat keterangan dari Kepala Kantor Pertahanan
yang menyatakan bahwa tanah itu belum dibukukan;
f) Setelah PPAT merasa cukup persyaratan, tidak ada halangan
(umpamanya ada persengketaan) dan tidak ragu-ragu lagi, maka
PPAT membuat Akta Jual Bali Tanah tersebut;
g) Selanjutnya dengan telah adanya akta tersebut, maka PPAT
menguruskan pendaftaran sampai mendapat sertipikat.
lx
E. Upaya penyelesaian sengketa tanah.
1. Mediasi Oleh Badan Pertanahan Nasional.
Suatu sengketa hak atas tanah itu timbul adalah karena adanya
pengaduan/keberatan dari orang/Badan Hukum yang berisi kebenaran dan
tuntutan terhadap suatu keputusan Tata Usaha Negara di bidang Pertanahan
yang telah ditetapkan oleh Pejabat Tata Usaha Negara di lingkungan Badan
Pertanahan Nasional, dimana keputusan tersebut dirasakan merugikan hak-
hak mereka atas suatu bidang tanah tertentu.
Prosedur yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan sengketa
tersebut, para pihak dapat meminta bantuan kepada instansi BPN dengan
tahapan sebagai berikut :41
a. Pengaduan/Keberatan dari Masyarakat.
Pengaduan tersebut diajukan karena mereka ingin mendapatkan
penyelesaian secara administrasi dengan apa yang disebut koreksi
serta merta dari pejabat yang berwenang untuk itu. Kewenangan untuk
melakukan koreksi terhadap suatu keputusan Tata Usaha Negara
dibidang pertanahan (sertipikat/Surat Keputusan Pemberian Hak Atas
Tanah), hanya ada pada Kepala Badan Pertanahan Nasional.
41
H. Ali Achmad Chomzah, Hukum Pertanahan: Seri Hukum Pertanahan III & IV, (Jakarta : prestasi pustaka,2003) hal.29
lxi
Adapun sengketa hak atas tanah adalah meliputi beberapa macam
antara lain mengenai status tanah, siapa-siapa yang berhak, bantahan
terhadap bukti-bukti perolehan yang menjadi dasar pemberian hak
atau pendaftaran dalam buku tanah dan sebagainya.
b. Penelitian dan Pengumpulan Data.
Setelah menerima berkas pengaduan dari masyarakat tersebut diatas,
pejabat yang berwenang menyelesaikan masalah ini dengan
mengadakan penelitian terhadap berkas yang diadukan tersebut. Dari
hasil penelitian ini dapat diproses lebih lanjut atau tidak dapat. Apabila
data yang disampaikan secara langsung ke Badan Pertanahan
Nasional itu masih kurang jelas atau kurang lengkap, maka BPN akan
meminta penjelasan disertai dengan data serta saran ke para Kepala
Kantor Wilayah BPN Propinsi dan Kepala Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kota setempat letak tanah yang disengketakan.
Selanjutnya setelah lengkap data yang diperlukan, kemudian diadakan
pengkajian kembali terhadap masalah yang diajukan tersebut yang
meliputi segi prosedur kewenangan dan penerapan hukumnya.
c. Pencegahan Mutasi (Penetapan Status Quo).
Agar kepentingan orang atau Badan Hukum yang berhak atas tanah
yang disengketakan tersebut mendapatkan perlindungan hukum,
lxii
maka apabila dipandang perlu setelah Kepala Kantor Pertanahan
setempat mengadakan penelitian dan apabila dari keyakinannya
memang harus distatus quo-kan, dapat dilakukan pemblokiran atas
tanah sengketa. Kebijakan ini dituangkan dalam Surat Edaran Kepala
BPN No. 110-150 perihal Pencabutan Instruksi Dalam Negeri No. 16
Tahun 1984. Dengan dicabutnya Instruksi Menteri Dalam Negeri No.
16 Tahun 1984, memang diminta perhatian dari Pejabat Badan
Pertanahan Nasional di daerah yaitu para Kakanwil BPN Propinsi dan
Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota, agar selanjutnya didalam
melakukan penetapan status quo atau pemblokiran hanya dilakukan
apabila ada CB dari Pengadilan.
Oleh karena itu dapat kita simpulkan bahwa apabila Kepala Kantor
Pertanahan setempat hendak melakukan tindakan status quo terhadap
suatau Keputusan Tata Usaha Negara di bidang pertanahan
(sertipikat/Surat Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah), harusnya
bertindak hati-hati dan memperhatikan azas-azas umum Pemerintahan
yang baik, antara lain asas kecermatan dan ketelitian, asas
keterbukaan (Fair Play), asas persamaan didalam melayani
kepentingan masyarakat dan memperhatikan pihak-pihak yang
bersegketa.
lxiii
d. Pelayanan secara Musyawarah
Terhadap sengketa hak atas tanah yang disampaikan ke BPN untuk
dimintakan penyelesaian, apabila bisa dipertemukan pihak-pihak yang
bersengketa, maka sangat baik jika diselesaikan melalui cara
musyawarah penyelesaian melalui cara ini seringkali BPN diminta
sebagai mediator didalam menyelesaikan sengketa hak atas tanah
secara damai saling menghormati pihak-pihak yang bersengketa.
Dalam hal tercapai penyelesaian secara musyawarah seperti ini, harus
pula disertai dengan bukti tertulis sejak permulaan,yaitu dari Surat
Pemberitahuan untuk para pihak, Bertita Acara Rapat dan selanjutnya
sebagai bukti adanya perdamaian dituangkan dalam Akta Pernyataan
Perdamaian yang bila perlu dihadapan Notarissehingga mempunyai
kekuatan pembuktian yang sempurna.
e. Pencabutan/Pembatalan Surat Keputusan Tata Usaha Negara
dibidang Pertanahan oleh Kepala BPN berdasarkan adanya cacat
hukum /administrasi di dalam penerbitannya.
Yang menjadi dasar hukum kewenangan tersebut adalah :42
1. UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria.
42 Ibid., hal.32
lxiv
2. PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
3. Keppres No. 26 Tahun 1988 tentang Pembentukan BPN
(Pasal 16 sub. C).
4. PMNA/Ka.BPN No. 3 Tahun 1999 Permohonan tersebut
sebagian besar biasanya diajukan langsung kepada Kepala
BPN dan lainnya diajukan melalui Kepala Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kota setempat dan diteruskan melalui Kakanwil BPN
Propinsi.
Apabila penyelesaian sengketa melalui musyawarah antar pihak yang
bersangkutan tidak tercapai, demikian juga penyelesaian secara sepihak dari
Kepala BPN karena mengadakan peninjauan kembali atas Keputusan Kepala
Tata Usaha Negara yang telah dikeluarkannya, maka penyelesaiannya harus
melalui pengadilan. Setelah diteliti lebih lanjut ternyata Keputusan Tata
Usaha Negara yang diterbitkan oleh Pejabat BPN menurut hukum sudah
benar dan sesuai dengan prosedur yang berlaku, maka Kepala BPN juga
dapat mengeluarkan suatu Keputusan yang berisi menolak tuntutan pihak
ketiga atas Keputusan Tata Usaha Negara, sebagai konsekuensi dari
penolakan tersebut berarti Keputusan Tata Usaha yang telah dikeluarkan
tersebut tetap benar dan sah walaupun ada pihak lain yang mengajukan
gugatan ke Pengadilan setempat.
lxv
Sementara menunggu Putusan Pengadilan, sampai adanya Putusan
yang berkekuatan hukum tetap, dilarang bagi Pejabat Tata Usaha Negara
yang terkait untuk mengadakan mutasi atas tanah yang bersangkutan (status
quo). Hal ini dimaksudkan untuk menghindari terjadinya masalah dikemudian
hari yang menimbulkan kerugian pihak ketiga, untuk itu Pejabat Tata Usaha
Negara dibidang Pertanahan yang terkait harus menerapkan azas-azas
umum pemerintahan yang baik, yaitu untuk melindungi semua pihak yang
berkepentingan sambil menunggu adanya putusan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap (In Kracht Van Gewijsde).
Kemudian apabila sudah ada putusan hakim yang mempunyai
kekuatan hukum yang pasti, maka Kepala Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kota setempat melalui Kakanwil BPN Propinsi yang bersangkutan
mengusulkan permohonan pembatalan/pencabutan suatu Keputusan Tata
Usaha Negara dibidang Pertanahan yang telah diputuskan tersebut diatas.
Permohonan tersebut harus dilengkapi dengan laporan mengenai semua
data-data yang menyangkut subyek dan beban-beban yang ada diatas tanah
tersebut serta segala permasalahan yang ada.
Kewenangan administratif untuk mencabut/membatalkan suatu Surat
Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah atau Sertipikat Hak Atas Tanah
adalah menjadi kewenangan Kepala BPN termasuk langkah-langkah
kebijaksanaan yang akan diambil berkenaan dengan adanya suatu putusan
lxvi
hakim yang tidak dapat dilaksanakan (non eksekutable). Semua ini agar
diserahkan kepada Kepala BPN untuk menilainya dan mengambil keputusan
lebih lanjut.
2. Penyelesaian Sengketa Melalui Pengadilan (Litigasi).
Penyeledaian sengketa pertanahan melalui jalur pengadilan sering
memakan waktu yang lama. Lamanya berperkara ini banyak disebabkan
karena kemungkinan berperkara sekurang-kurangnya 3 sampai 4 tahap.43
Pertama, pada tingkat Pengadilan Negeri, yang akan berlangsung
cepat sekarang ini, karena ada petunjuk Mahkamah Agung (MA) bahwa
sedapatnya harus dibatasi berperkara sampai kurang lebih 6 (enam) bulan.
Namun dalam praktik biasa berbulan-bulan, kadang-kadang setahun.
Kedua, pada tingkat Banding di Pengadilan Tinggi, seperti halnya
dalam Pengadilan Negeri, perkara sering berlangsung lama. Disamping itu
pemeriksaan melalui pengadilan seringkali dihantui adanya anggapan bahwa
pengadilan lebih mementingkan kepentingan dirinya sendiri atau lebih dikenal
dengan sebutan mafia peradilan.
Ketiga, pada tingkat Kasasi, sesuai dengan Pasal 131 UU no 5 Tahun
1986, terhadap putusan tingkat terakhir yaitu putusan Pengadilan Tinggi
dapat diajukan periksaan kasasi ke Mahkamah Agung. Acara pemeriksaan
43 Bernhard Limbong, Konglik Pertanahan (Jakarta: Margaretha Pustaka, 2012), hal. 325
lxvii
kasasi sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) dilakukan sesuai pasal
55 ayat (1) UU no 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung jo UU no 5
tahun 2004 tentang perubahan atas Undang-undang No. 14 tahun 1985
tentang Mahkamah Agung.44 Pada tingkat kasasi sering terjadi keterlambatan
dalam pemeriksaan. Untuk mendapatkan pemriksaan di tingkat kasasi ini
harus menunggu bertahun-tahun lamanya ini disebabkan karena antrian
pemeriksaan dalam acara kasasi yang lama sekali yang disebabkan
banyaknya perkara kasasi yang ditangani.45
Keempat, pada Peninjauan Kembali. Pada tingkat ini, waktu yang
diperlukan bias mencapai 8-9 tahun sebelum perkara ini tiba pada taraf dapat
dilaksanakan eksekusi oleh pengadilan negeri. Prinsip umum Peninjauan
Kembali diatur dalam Pasal 77 UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah
Agung. Maksud dari ketentuan ini adalah agar tidak ada lagi upaya luar biasa
lain yang terbuka untuk mengoreksi. Tertutup semua upaya hukum demi
tegaknya kepastian hukum.46
Selama ini, putusan yang dijatuhkan oleh Pengadilan belum bias
menyelesaikan persoalan apabila putusan tersebut tidak dapat dilaksanakan.
44 Elza syarief, menuntaskan sengketa tanah, (Jakarta: KPG, 2012), hal. 242 45
Bernhard Limbong, op. cit., hal. 326 46 Elza syarief, op. cit hal.245-246
lxviii
Oleh karena itu, putusan pengadilan harusn mudah dilaksanakan
(eksekusi).47
3. Penyelesaian Sengketa Diluar Pengadilan (ADR).
Meskipun telah ada lembaga peradilan yang disediakan oleh
pemerintah untuk menyelesaikan sengketa yang timbul, masyarakat
terkadang memilih cara lain yaitu melalui penyelesaian di luar pengadilan
atau non litigasi atau alternative dispute resolution (ADR)48. Penyelesaian
sengketa diluar pengadilan ini diatur dalam Undang-undang No. 30 tahun
1999 tentang Arbitrase dan Alternatif penyelesaian Sengketa.
Alternatif penyelesaian sngketa yang dikenal di Indonesia pada saat ini
adalah:49
1. Negosiasi.
Negosiasi merupakan salah satu cara penyelesaian sengketa yang
banyak digunakan oleh berbagai pihak dalam menyelesaikan permasalahan
ataupun sengketa diantara mereka. Dalam UU no. 30 tahun 1999 tentang
arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa, penyelesaian menggunakan
negosiasi diatur dalam pasal 6 ayat (2).
47
Bernhard Limbong, loc. cit 48 Ibid, hal. 327 49
Jimmy joses Sembiring, Cara menyelesaikan Sengketa di Luar Pengadilan (Jakarta: Visimedia, 2011) hal. 12
lxix
Pada umumnya negosiasi digunakan dalam sengketa yang tidak
terlalu pelik, dimana para pihak masih beritikat baik dan bersedia untuk
duduk bersama memecahkan masalah.50 Jika perundingan berhasil dilakukan
dan mencapai kesepakatan, maka akan dibuatkan perjanjian bersama yang
isinya mengikat para pihak, sebaliknya jika dalam waktu 14 hari tidak
mencapai kesepakatan, maka atas kesepakatan tertulis kedua belah pihak,
sengketa diselesaikan melalui konsiliasi ataupun mediasi.51
2. Mediasi.
Mediasi merupakan pengendalian konflik pertanahan yang dilakukan
dengan cara membuat consensus diantara kedua belah pihak yang berkonflik
untuk mencari pihak ketiga yang berkedudukan netral sebagai mediator
dalam penyelesaian konflik.52
Mediator wajib menyelesaikan tugasnya paling lama 30 hari kerja
sejak menerima pendaftaran penyelesaian konflik dari para pihak. Apabila
dalam musyawara tersebut mencapai kesepakatan maka dibuatkan
perjanjian berssama ubtuk didaftarkan di pengadilan wilayah hukum tempat
perjanjian tersebut dibuat. Tetapi jika gagal, mediator menyampaikan anjuran
tertulis selambat-lambatnya 10 hari kerja sejak sidang mediasi pertama. Jika
50 Bernhard Limbong, op. cit hal. 336 51
Ibid., hal. 337 52 Ibid., hal. 339
lxx
anjuran tersebut ditolak, maka pihak yang menolak dapat mengajukan
gugatan ke pengadilan.53
3. Konsiliasi.
Konsiliasi adalah penyelesaian konflik, termasuk konflik pertanahan
yang ditengahi oleh seorang atau lebih konsiliator yang netral yang dipilih
atas kesepakatan bersama para pihak. Konsiliator tersebut harus didaftarkan
di kantor yang berwenang, menangani masalah pertanahan, dalam hal ini
BPN.54 Konsiliator harus dapat menyelesaiakan perselisihan dalam waktu 30
hari, pada kesempatan pertama konsiliator wajib mendamaikan para pihak
terlebih dahulu. Jika terjadi kesepakatan damai, maka dibuatkan perjanjian
bersama untuk kemudian didaftarkan di pengadilan, tetapi apabila salah satu
tidak menjalankan kesepakatan tersebut, pihak lainnya dapat mengajukan
permohonan eksekusi dipengadilan tempat perjanjian bersama didaftarkan.
4. Arbitrase.
Dalam penyelesaian secara arbitrase, kedua belah pihak sepakat
untuk mendapatkan keputusan yang bersifat legal sebagai jalan keluar bagi
konflik yang terjadi diantara para pihak. Yang berperan untuk
menyelesaiakan konflik disni adalah seorang arbitrator atau majelis
53
ibid 54 Ibid., hal. 337
lxxi
arbitrator.55 Secara umum proses persidangan arbitrase dapat melalui
beberapa tahap. Mulai dari upaya damai, jawaban termohon, tanggapan
pemohon, pemeriksaan bukti, keterangan saksi dan ahli, kesimpulan akhir
para pihak, dan terakhir pembacaan putusan.56
Proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase dapat dibagi menjadi
dua jenis yaitu:57
a. Arbitrase Ad Hoc.58
Arbitrase ini disebut juga arbitrase volunter, dibentuk khusus untuk
memeriksa dan memutuskan sengketa tertentu diluar pengadilan
sesuai kebutuhan saat ini. Arbitrase berakhir apabila arbiter atau
majelis arbiter telah melaksanakan tugasnya dan dicantumkan dalam
kalusula arbitrasse dalam suatu dokumen. Klausula aribitrase ini
merupakan syarat mutlak karena menyangkut kompetensi absolut.
b. Arbitrase institusional.59
Arbitrase institusional adalah suatu lembaga atau badan arbitrase
yang bersifat tetap dan sengaja dibentuk untuk menyelesaikan
sengketa para pihak di luar pengadilan.
55
Ibid., hal. 343 56
Ibid., hal. 344 57 Elza Syarief, op. cit., hal.252 58
ibid 59 Ibid hal 254
lxxii
Putusan arbitrase bersifat final, mempunyai kekuatan hukum tetap
serta mengikat para pihak. Dengan demikian terhadap putusan arbitrase
tidak dapat diajukan banding, kasasi atau peninjauan kembali.60
Meskipun upaya Banding , Kasasi, dan Peninjauan Kembali telah
ditiadakan, terdapat alasan yang bersifat limittif unutk mengajukan
permohonan pembatalan putusan arbitrase ad hoc ataupun arbitrase
institusional. Putusan dapat dibatalkan apabila mengandung unsur-unsur:61
a. Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan setelah
putusan diajukan, diakui palsu atau dinyatakan palsu.
b. Setelah putusan diambil, ditemukan dokumen yang bersifat
menentukan, yang disembunyikan pihak lawan.
c. Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan salah satu
pihak dalam pemeriksaan sengketa (Pasal 70 UU No. 20 Tahun
1999).
Permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan secara
tertulis dalam waktu paling lama 30 hari terhitung sejak hari penyerahan
pendaftaran putusan arbitrase kepada panitera pengadilan Negeri. (Pasal 7
UU No. 30 tahun 1999).62
60 Bernhard Limbong, op. cit., hal. 345 61
Elza Syarief, op. cit., hal.255 62 Ibid., hal. 256
lxxiii
F. Landasan Teori.
Hukum dibentuk bukan tanpa visi atau dibuat secara tak bermaksud.
Hukum pada umumnya dibentuk atau dibuat dengan visi atau tujuan untuk
memenuhi rasa keadilan, kepastian, dan kemanfaatan. Penganut aliran
normatif positivisme,secara dogmatis lebih menitikberatkan hukum pada
aspek kepastian hukum bagi para pendukung hak dan kewajiban.
Kepastian hukum bagi subjek hukum dapat diwujudkan dalam bentuk
yang telah ditetapkan terhadap suatu perbuatan dan peristiwa hukum. Hukum
yang berlaku pada prinsipnya harus ditaati dan tidak boleh menyimpang atau
disimpangkan oleh subjek hukum. Ada tertulis istilah fiat justitia et pereat
mundus yang diterjemahkan secara bebas menjadi “meskipun dunia runtuh
hukum harus ditegakkan” yang menjadi dasar dari asas kepastian dianut oleh
aliran positivisme.
Penganut aliran positivisme lebih menitikberatkan kepastian sebagai
bentuk perlindungan hukum bagi subjek hukum dari kesewenang-wenangan
pihak yang lebih dominan. Subjek hukum yang kurang bahkan tidak dominan
pada umumnya kurang bahkan tidak terlindungi haknya dalam suatu
perbuatan dan peristiwa hukum. Kesetaraan hukum adalah latar belakang
yang memunculkan teori tentang kepastian hukum. Hukum diciptakan untuk
lxxiv
memberikan kepastian perlindungan kepada subjek hukum yang lebih lemah
kedudukan hukumnya.
Kepastian hukum bermuara pada ketertiban secara sosial. Dalam
kehidupan sosial, kepastian adalah menyaratakan kedudukan subjek hukum
dalam suatu perbuatan dan peristiwa hukum. Dalam paham positivisme,
kepastian diberikan oleh negara sebagai pencipta hukum dalam bentuk
undang-undang. Pelaksanaan kepastian dikonkretkan dalam bentuk lembaga
yudikatif yang berwenang mengadili atau menjadi wasit yang memberikan
kepastian bagi setiap subjek hukum.
Melihat dari UUPA Pasal 28 sampai Pasal 34 jo PP Nomor 40 tahun
1996 tentang Hak Guna Usaha, apabila terjadinya pelepasan Hak Guna
Usaha secara sukarela dari pemegang hak sebelum jangka waktunya
berakhir maka tanah bekas Hak Guna Usaha kembali status tanahnya
menjadi Tanah yang dikuasai Negara (Tanah Negara).
G. Kerangka Konseptual
Berdasarkan latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan
penelitian dan tinjauan pustaka yang telah diuraikan sebelumnya. Maka
kerangka pikir disusun dengan pertama melihat undang-undang yang
kedudukannya tertinggi dari seluruh undang-undang yang ada di Indonesia.
Untuk itu penulis mengambil titik tolak terhadap Undang Undang Dasar
lxxv
Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945) Pasal 33 Ayat (3),
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok
Agraria (UUPA),Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna
Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pengelolaan atas tanah, Peraturan
Pemerintah No. 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
Adanya kegiatan jual beli tanah bekas Hak Guna Usaha yang dikuasai
oleh Pemerintah telah diperjualbelikan masyarakat dimana proses penjualan
ini tidak diketahui oleh pemegang hak atas tanah bekas Hak Guna Usaha
tersebut. Maka dua variable yang diambil untuk diteliti yaitu; keabsahan jual
beli tanah bekas Hak Guna Usaha yang dikuasai Pemerintah telah diperjual
belikan masyarakat, dan upaya hukum pemerintah untuk menguasai kembali
tanah bekas Hak Guna Usaha yang telah di jual masyarakat. Indikator dari
variabel keabsahan jual beli tanah bekas Hak Guna Usaha yang dikuasai
Pemerintah yaitu proses jual beli tanah Hak Guna Usaha yang melibatkan
masyarakat penjual serta pihak ketiga sebagai pembeli, dan keabsahan
tanah bekas Hak Guna Usaha Sebagai Tanah Negara yang dikuasai oleh
Pemerintah. Sedangkan indikator dari variabel upaya hukum untuk
mempertahankan tanah bekas Hak Guna Usaha yang dikuasai Pemerintah
meliputi meliputi mediasi melalui BPN dan ADR. Melihat bagaimana upaya
hukum yang akan diambil oleh pemerintah untuk menguasai kembali tanah
bekas Hak Guna Usaha.
lxxvi
H. Bagan Kerangka Konseptual
Peraturan Perundang-undangan
1. Undang-Undang Dasar 1945
2. Undang-Undang No. 5 Tahun 1960
3. Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996
4. Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997
1. Keabsahan jual beli tanah bekas Hak Guna
Usaha.
Riwayat Tanah Negara
Penguasaan/pendudukan masyarakat
Status tanah bekas HGU
Proses jual beli tanah bekas HGU
2. Upaya Pemerintah untuk menguasai
kembali tanah bekas Hak Guna Usaha.
Mediasi BPN
ADR
Kepastian hukum terhadap status tanah negara
lxxvii
H. Definisi Operasional
Agar tidak terjadi perbedaan pengertian tentang konsep-konsep yang
digunakan dalam penelitian ini, maka perlu diuraikan pengertian-pengertian
kerangka konsep yang dipakai, yaitu :
a. Tanah Negara adalah tanah yang dikuasai oleh Negara dimana
kondisi dan status tanah bekas Hak Guna Usaha setelah pelepasan
Hak dan Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung.
b. Tanah bekas Hak Guna Usaha merupakan tanah bekas penggunaan
Hak Guna Usaha yang telah dilepaskan haknya dan menjadi Tanah
Negara.
c. Jual beli tanah yaitu proses kegiatan untuk mengalihkan kepemilikan
hak atas tanah dari pihak yang satu kepihak yang lain.
d. Masyarakat tanah bekas Hak Guna Usaha yaitu sekelompok
masyarakat yang tinggal dalam lingkungan tanah bekas Hak Guna
Usaha, baik yang merupakan pekerja aktif dan bekas pekerja yang
mengusahakan tanah bekas Hak Guna Usaha.
e. Pihak ketiga adalah orang yang membeli tanah tanah bekas Hak Guna
Usaha dari masyarakat yang menjual tanah.
lxxviii
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Tipe Penelitian
Dalam menyusun penulisan tesis ini, pendekatan masalah yang
digunakan adalah pendekatan yuridis empiris, yaitu suatu pendekatan
penelitian yang dilakukan untuk menganalisa sejauh manakah efektivitas
suatu peraturan/perundang-undangan atau hukum didalam masyarakat.63
Untuk mendekati pokok permasalahan dalam penulisan tesis ini,
dipergunakan spesifikasi penelitian deskriptif analitis, yaitu penelitian yang
dimaksudkan untuk memberikan gambaran secara rinci, sistematis dan
menyeluruh tentang manusia dan keadaan/gejala-gejala lainnya64. Penelitian
ini berusaha menggambarkan masalah hukum, sistem hukum dan
mengkajinya atau menganalisisnya sesuai dengan kebutuhan dari penelitian.
B. Lokasi Penelitian.
Pada penulisan Tesis ini, penulis mengambil lokasi penelitian di Kota
Bitung Sulawesi Utara yaitu lokasi Tanah bekas Hak Guna Usaha Nomor
1/Girian Weru PT. Kinaleosan Kecamatan Girian dan Madidir, sebagaimana
telah terjadi proses jual beli terhadap tanah bekas Hak Guna Usaha yang
63
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : UI Press, 2012), hlm. 52. 64 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta : Rajawali Press, 2012), hlm. 36.
lxxix
dikuasai oleh pemerintah. Lokasi dalam tahap pengumpulan data tersebut
berlokasi :
a. Kantor Pertanahan Nasional Sulawesi Utara di Kota Bitung
b. Kantor Pemerintah Kota Bitung Provinsi Sulawesi Utara.
c. Kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Bitung.
d. Kantor Kecamatan Girian Kota Bitung.
e. Kantor Kelurahan Girian Indah Kecamatan Girian Kota Bitung.
f. Lembaga Swadaya Masyarakat Brigander Manguni Kota Bitung.
g. Lembaga Pemasyarakatan Masyarakat kecamatan Girian Kota
Bitung.
C. Populasi Dan Sampel.
Populasi adalah keseluruhan atau himpunan objek dengan ciri yang
sama.65 Populasi dalam penelitian ini adalah semua pihak yang berhubungan
dengan Tanah Negara yang dikuasai Pemerintah yang telah diperjualbelikan
yaitu Masyarakat Tanah Bekas Hak Guna Usaha baik penggarap maupun
bukan penggarap, dan Pemerintah Kota bitung.
Sampel adalah himpunan bagian atau sebagian dari populasi66. Teknik
sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah secara purposive
65
Ibid hal.118 66 Ibid hal. 119
lxxx
sampling67 yaitu Pengambilan sampel dilakukan dengan cara mengambil
subjek yang didasarkan pada tujuan tertentu yang memberikan kesempatan
yang sama. Berdasarkan sampel maka yang menjadi responden dalam
penelitian ini yaitu: Masyarakat penggarap : 2 orang, Masyarakat pemilik
sertifikat : 2 orang, Ahli waris : 1 orang, Yayasan Doulos Diakonos 1 orang,
Koperasi bumi bhakti 1 orang.
Selain mengambil data dari responden penulis juga melakukan
wawancara terhadap Narasumber yaitu : Riswan Suhendi, S.H. (Kepala
Kantor Pertanahan di Bitung), Hendrik Tuhumuri, Aptnh. (kepala seksi
sengketa dan konflik pertanahan Kota Bitung), Fabian Kaloh, S.Sos., MSc
(Asisten 1 Pemerintah Kota Bitung), Steven Suluh (Kepala Kecamatan
Girian), Demetrius Langgori, SH., (Kepala Kelurahan Girian Indah), Christian
Egam, S.Sos.,(wakil Ketua Lembaga Swadaya Masyarakat Brigander
Manguni Kota Bitung), A. J. Sumampow,(Ketua Lembaga Pemasyarakatan
Masyarakat kecamatan Girian).
D. Jenis dan Sumber Data.
Jenis data yang akan digunakan oleh penulis dalam proses
pelaksanaan penelitian ini yaitu:
67 Soerjono Soekanto, Op.cit., hal 196
lxxxi
a. Data primer berupa data yang penulis peroleh di lapangan melalui
wawancara. Wawancara dilakukan kepada narasumber terkait dengan
kegiatan penelitian ini.
b. Data sekunder yaitu data yang diperoleh melalui penelitian
kepustakaan berupa bahan-bahan tertulis berkaitan dengan masalah
yang akan dibahas dalam penelitian. Sumber data sekunder
mencakup dokumen-dokumen resmi dari instansi pemerintah, buku-
buku, hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan, media elektronik,
dan lain sebagainya.
Selain itu pula penulis mengambil bahan hukum primer yaitu peraturan
perundang-undangan yang berhubungan dengan penelitian dan bahan
hukum tersier yang digunakan penulis untuk mendapatkan petunjuk
maupun penjelasan. Bahan hukum tersier tersebut yaitu kamus
bahasa dan kamus hukum. Semua data-data tersebut Penulis baca
dan telaah secara seksama untuk mendapatkan data yang Penulis
perlukan dalam penelitian.
E. Teknik Pengumpulan Data.
Teknik Pengumpulan data primer dan sekunder yang penulis gunakan
antara lain:
a) Teknik Wawancara
lxxxii
Wawancara yaitu usaha pengumpulan data yang dilakukan dengan
cara mengadakan tanya jawab berkaitan dengan kegiatan penelitian.
Wawancara dalam penelitian ini dilakukan menggunakan metode
wawancara terstruktur, dimana dilakukan secara langsung kepada
para narasumber dengan memberikan beberapa daftar pertanyaan
untuk memperoleh jawaban yang sesuai dengan masalah dari yang
akan di teliti.
F. Teknik Analisis Data.
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian hukum ini
adalah analisis data kualitatif, yaitu suatu tata cara penelitian yang
menghasilkan data deskriptif analitis, yaitu apa yang dinyatakan oleh
respoden secara tertulis atau lisan, dan juga perilakunya yang nyata, yang
diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu yang utuh.68 Penggunaan metode
deskriptif ini dimaksudkan untuk memperoleh gambaran yang baik, jelas, dan
dapat memberikan data sedetail mungkin tentang objek yang diteliti.
68 Soerjono Seokanto, Op. cit., hal. 264
lxxxiii
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Keabsahan Jual Beli Tanah Negara.
1. Riwayat Tanah Bekas Hak Guna Usaha
Tanah ini sebelumnya tercatat sebagai tanah Hak Guna Usaha Nomor
1/Girian sesuai dengan Sertifikat Sementara tanggal 19 Desember 1962 dan
Surat Keterangan Pendaftaran Tanah (SKPT) tanggal 29 Maret 1978 yang
tercatat An. Sie Tjoan Po sebagian dan Kho Tien Nio janda dari Sie Tjoan
Tek, Sie Tjae Seng, Sie Sian Hoa, Sie Liem Eng dan Sie Sian Lee sebagian
dimana tanah tersebut telah berakhir pada tanggal 24 September 1980.
Berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal 11 Juni 1976 yang
dilegalisir oleh R.H. Hardaseputra selaku Notaris di Manado tanggal 11 Juni
1976 Nomor 245/1976/1165 Kho Tien Nio bersama yang lain telah menerima
sejumlah uang sebagai ganti rugi atas tanah tersebut (½ bagian)
menyerahkan bagiannya kepada Han Sie Batuna agar dapat dimasukkan
kedalam kekayaan PT. Kinaleosan.
Pada tanggal 3 April 1978 berdasarkan Surat Pelepasan Hak yang
dibuat dihadapan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I cq Kepala Direktorat
Agraria Propinsi Sulawesi Utara, Han Sie Batuna Bertindak untuk dan/atau
lxxxiv
atas nama diri sendiri dan Paul Batuna (Sie Tjoan Po) untuk kepentingan PT.
Kinaleosan yang dibentuk oleh para bekas pemegang hak/ahli warisnya.
PT. Kinaleosan mengajukan Surat Permohonan pada tanggal 22
Maret 1976 atas tanah seluas ±1.490.730 M² dengan Nomor 001/KL/78 untuk
mendapatkan Hak Guna Usaha baru, Surat Permohonan PT. Kinaleosan
disetujui oleh Menteri Dalam Negeri dengan SK. Nomor 43/HGU/DA/78 yaitu
Pemberian Hak Guna Usaha atas tanah seluas ±1.490.730 M² yang terletak
di Kelurahan Girian Kota Bitung dan didaftarkan pada kantor Agraria
Kabupaten Minahasa serta diterbitkan Sertifikat Hak Guna Usaha Nomor
1/Girian Weru An. PT Kinaleosan dengan luas 1.450.890 M² (sesuai
pengukuran secara kadasteral) yang akan berakhir haknya pada tanggal 31
Desember 2008.
Sebelum berakhir Hak Guna Usaha tersebut pada tanggal 31
Desember 2008, pada tahun 2003 PT Kinaleosan telah mengajukan surat
permohonan ijin perubahan peruntukan/penggunaan tanah serta penataan
kembali (pelepasan) Hak Guna Usaha Nomor 1/Giring Weru (saat ini
sebagian masuk dalam wilayah Kelurahan Girian Indah dan sebagian
Kelurahan Wangurer Barat, Kecamatan Bitung Barat) kepada Kepala Badan
Pertanahan Nasional di Jakarta.
lxxxv
Permohonan tersebut disertai beberapa rekomendasi pendukung yaitu
sebagai berikut :
a. Walikota Bitung dalam suratnya tanggal 14 Februari 2003 Nomor
590/BAPEDA/110 menyatakan lokasi perkebunan PT Kinaleosan
masuk pada rencana pengelolaan kawasan perkotaan dengan
arahan antara lain untuk kegiatan perdagangan, jasa, perkantoran,
pendidikan, pariwisata dan permukiman.
b. Kepala Dinas Perkebunan Propinsi Sulawesi Utara dalam suratnya
tanggal 27 Oktober 2003 Nomor 525/10/1169.a/I/2003 menyatakan
dapat disetujui/mendukung rencana pengembangan Kota Bitung
dalam rangka pelepasan hak dan penataan kembali terhadap
lokasi Hak Guna Usaha Nomor 1/Girian Weru An. PT. Kinaleosan.
c. Gubernur Sulawesi Utara dalam suratnya tanggal 31 Oktober 2003
Nomor 181.1/2/207/2003 menyatakan tidak menaruh keberatan
dan memberikan persetujuan pelepasan Hak Guna Usaha Nomor
1/Girian Weru An. PT. Kinaleosan untuk keperluan sebagai berikut:
Pemilik Hak Guna Usaha dan ahli warisnya
Pemerintah Propinsi Sulawesi Utara
Pemerintah Kota Bitung
Koperasi Bumi Bakti
Yayasan Doulos Diaxonos
lxxxvi
Fasilitas sosial dan fasilitas umum
Buruh/pegawai perusahaan PT. Kinaleosan
d. Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi
Sulawesi Utara dalam suratnya tanggal 04 November 2003 Nomor
540-640 pada prinsipnya dapat menyetujui permohonan ijin
pelepasan Hak Guna Usaha Nomor 1/Girian Weru An. PT.
Kinaleosan.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut maka Kepala
Badan Pertanahan Nasional telah menerbitkan Surat Keputusan Nomor 1-
V.B-2004 tertanggal 07 Januari 2004 tentang pemberian ijin pelepasan Hak
Guna Usaha atas tanah terletak di Kota Bitung, Propinsi Sulawesi Utara atas
tanah Hak Guna Usaha Nomor 1/Girian Weru seluas 1.458.900 M² terletak di
Kecamatan Bitung Tengah, Kota Bitung, Propinsi Sulawesi Utara
sebagaimana diuraikan dalam Gambar Situasi tanggal 12 Februari 1979
Nomor 01/sdpt/1979 dilaksanakan pelepasan haknya di Kantor Pertanahan
Bitung dan ditentukan penggunaannya/peruntukkan dan pemilikannya sesuai
dengan kebutuhan yang riil di lapangan dan tetap mengacu kepada Surat
Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional dimaksud dalam Peraturan
Perundang-Undangan yang berlaku dan atas persetujuan PT. Kinaleosan.
Berdasarkan Diktum Ketiga keputusan dimaksud menyatakan tanah
bekas Hak Guna Usaha Nomor 1/Girian Weru sebagai tanah yang dikuasai
lxxxvii
langsung oleh Negara dan selanjutnya akan dimohonkan dengan hak atas
tanah oleh :
Bekas pemilikan usaha dan ahli warisnya.
Pemerintah Propinsi Sulawesi Utara dan Pemerintah Kota
Bitung untuk kepentingan pembangunan dan penampungan
masyarakat yang terkena penggusuran.
Koperasi Bumi Bakti
Yayasan Doulos Diaxonos
Fasilitas sosial, fasilitas umum, keperluan kelurahan dan untuk
kepentingan pemukiman buruh/pegawai perusahaan dan
pemukiman penduduk.
Selain itu pada Diktum Kedua keputusan dimaksud mewajibkan
pemegang hak (PT. Kinaleosan) atau kuasanya untuk membuat surat
pernyataan pelepasan hak dihadapan Kepala Kantor Pertanahan Kota
Bitung. Pemegang Hak telah membuat Surat Pernyataan Pelepasan atas
Tanah Hak Guna Usaha Nomor 1/ Girian Weru yang dibuat dihadapan
Kepala Kantor Pertanahan Kota Bitung, sehingga menjadi tanah yang
langsung dikuasai Negara untuk dimohonkan hak oleh pihak-pihak yang
dimaksud sesuai dengan dictum ketiga surat keputusan pelepasan hak.
lxxxviii
Berdasarkan dokumen pelepasan hak bekas pemilik Hak Guna Usaha
Nomor 1/Girian Weru oleh sebagian dari penerima pelepasan mengajukan
permohonan pemberian hak kepada Kantor Pertanahan Kota Bitung.
Kemudian permohonan dimaksud diproses sesuai dengan ketentuan yang
berlaku dan telah diterbitkan sertifikat hak masing-masing :
a. Atas nama buruh/karyawan PT. Kinaleosan dan masyarakat
sebanyak 336 subjek hak seluas 112.498 M² yang diproses
melalui Prona Tahun Anggaran 2004.
b. Selain itu terdapat juga beberapa anggota masyarakat yang
diproses diluar Prona Tahun 2004 (permohonan Rutin) seluas
274.301 M² masiang-masiang atas nama :
Angganitje Sumelang, Sertifikat Hak Milik Nomor 84/ Girian
Indah seluas 98.851 M².
Denny L Wuwungan. Sertifikat Hak Milik Nomor 36/
Wangurer Barat seluas 17.828 M².
Daniel Tulandi, Sertifikat Hak Milik Nomor 37/ Wangurer
Barat seluas 10.000 M².
Eric C Nikijuluw, Sertifikat Hak Milik Nomor 83/ Girian Indah
seluas 31.490 M².
Thresya Pandelaki Tendean, Sertifikat Hak Milik Nomor 82/
Girian Indah seluas 25.851 M².
lxxxix
Yuliana Kemur, Sertifikat Hak Milik Nomor 395/ Girian Indah
seluas 3297 M².
Ryonne H. Sertifikat Hak Milik Nomor 39/ Wangurer Barat
seluas 37.340 M².
Teddy M Massie, Sertifikat Hak Milik Nomor 43/ Girian
Indah seluas 892 M².
Emmy Sulastri D, Sertifikat Hak Milik Nomor 404/ Girian
Indah seluas 892 M².
Jaqline S Sumilat, Sertifikat Hak Milik Nomor 38/ Wangurer
Barat seluas 10.000 M².
Julius Kaunang, Sertifikat Hak Milik Nomor 40/ Wangurer
Barat seluas 47.944 M².
Octavianus Kandoli, Sertifikat Hak Milik Nomor 42/
Wangurer Barat seluas 6280 M².
Karwan Sudahyo, Sertifikat Hak Milik Nomor 398/ Wangurer
Barat seluas 47.944 M².
c. Atas nama Yayasan Doulos Diaxonos, Hak Guna Bangunan
Nomor 2/Girian Indah seluas 100.260 M².
d. Atas nama pemerintah Kota Bitung, Sertifikat Hak Pakai Nomor
01/Wangurer Barat seluas 70.140 M².
xc
e. Atas nama bekas pemegang hak dan ahli warisnya seluas 505.497
M² masiang-masing :
Dirk Batuna, Sertifikat Hak Milik Nomor 394/ Girian Indah
seluas 47.944 M².
Waldian Batuna, Sertifikat Hak Milik Nomor 396/ Girian
Indah seluas 50.642 M².
Paul Irwan Batuna, Sertifikat Hak Milik Nomor 397/ Girian
Indah seluas 74.726 M².
Benny Watuna, Sertifikat Hak Milik Nomor 398/ Girian Indah
seluas 50.571 M².
Hansil Batuna, Sertifikat Hak Milik Nomor 399/ Girian Indah
seluas 74.790 M².
Ineke Sondakh, Sertifikat Hak Milik Nomor 400/ Girian Indah
seluas 74.722 M².
Sander Batuna, Sertifikat Hak Milik Nomor 401/ Girian Indah
seluas 47.425 M².
A.M Batuna, Sertifikat Hak Milik Nomor 402/ Girian Indah
seluas 74.677 M².
Alien Tumbelaka, Sertifikat Hak Milik Nomor 403/ Wangurer
Barat seluas 47.944 M².
xci
Riwayat tanah bekas Hak guna Usaha dapat di gambarkan sebagai
berikut :
Pelepasan Hak oleh PT. Kinaleosan
tahun 2004
Tanah bekas Hak Guna Usaha
Pada saat dilepaskan haknya menjadi
Tanah Negara sesuai
pasal 17 PP 40 tahun 1996
Tanah Hak Guna Usaha No. 1
Girian Weru
Tanah bekas Hak Guna Usaha
No. 1 Girian weru
Di garap oleh Masyarakat
(okupasi)
Tanah Negara
Dimohonkan Sesuai Surat Keputusan
Badan Pertanahan Nasional
Bekas pemilik HGU/ ahli
waris.
Pemerintah Propinsi
Pemerintah Kota
Koperasi bumi bhakti
Yayasan doulos diakonos
Fasilitas umum
Fasilitas social.
Terdiri atas 2 kelurahan yaitu :
Kelurahan Girian indah
dengan luas ±260.775 M²
Kelurahan Wangurer Barat
± 121.080 M²
Terbitnya 14 sertifikat
bukan atas nama
masyarakat penggarap
xcii
Hak Guna Usaha PT. Kinaleosan Nomor 1 Girian Weru masa
berlakunya berakhir pada tahun 2008, akan tetapi sebelum masa berlakunya
berakhir pemegang Hak atas tanah telah melakukan permohonan pelepasan
Hak Guna Usaha. Permohonan pelepasan Hak Guna Usaha disetujui pada
tahun 2004 dengan Surat keputusan Badan Pertanahan Nasiona l Nomor : 1-
V.B – 2004, akhirnya status tanah tersebut menjadi Tanah Negara, sesuai
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1996 Pasal 17 ayat (2)
menyatakan bahwa hapusnya Hak Guna Usaha sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) mengakibatkan tanah tersebut menjadi tanah Negara.
Pada saat tanah bekas Hak Guna Usaha menjadi tanah Negara
terjadi dua penguasaan tanah, dimana adanya penguasaan dari masyarakat
yang menggarap tanah bekas hak guna usaha dan ada yang dimohonkan
sesuai dengan Surat Keputusan Badan Pertanahan Nasiona l Nomor : 1- V.B
– 2004. Disaat yang bersamaan juga telah diterbitkan 14 sertifikat yang
dimohonkan dari masyarakat yang tidak berkepentingan dan berhubungan
dengan tanah bekas Hak Guna Usaha melainkan merupakan kerabat dari
pejabat Badan Pertanahan Nasional wilayah Manado.
Sesuai dengan Surat Keputusan Badan Pertanahan Nasiona l Nomor :
1- V.B – 2004 tanah tersebut dimohonkan oleh ahli waris bekas pengguna
Hak Guna Usaha PT. Kinaleosan, Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara,
xciii
Pemerintah Kota Bitung, Koperasi Bumi Bhakti, Yayasan Doulos Diakonos
dan penggunaan tanah sebagai fasilitas Umum dan fasilitas sosial.
Masyarakat penggarap yang menempati tanah bekas hak guna usaha
tersebut telah mendirikan bangunan semi permanen untuk tempat tinggal dan
sebagiannya lagi diusahakan untuk lahan pertanian dan perkubunan.
Masyarakat yang mendiami tanah tersebut telah menjadi dua wilayah yaitu
kelurahan Girian Indah dengan luas ± 260.775 M² dan kelurahan Wangurer
Barat ± 121.080 M². Pada saat adanya penguasaan Masyarakat maka
keluarlah sertifikat atas tanah yang mereka garap akan tetapi bukan atas
nama para masyarakat penggarap melainkan atas nama keluarga dekat dari
kepala kantor wilayah pertanahan Manado.
Menurut penulis konstruksi tanah Negara bekas Hak Guna Usaha
yaitu:
Tanah bekas Hak Guna Usaha merupakan Tanah Hak Guna Usaha
yang telah dilepaskan oleh pemegang Hak Guna Usaha sehingga apabila
dilepaskan maka tanah tersebut kembali menjadi tanah negara. Sesuai
dengan Pasal 28 UUPA jo Pasal 4 PP No. 40 tahun 1996 dimana Tanah Hak
Guna Usaha dikuasai oleh Negara dan diberikan oleh Negara untuk
mengusahakan tanah untuk bidang pertanian/perkebunan, perikanan dan
peternakan. Tanah Hak Guna Usaha PT. Kinaleosan bergerak di bidang
xciv
perkebunan, penggunaan tanah yang diberikan oleh Negara yaitu 149,5
hektar dengan jangka waktu penggunaan tanah selama 25 tahun.
Akan tetapi sebelum masa berlakunya tanah bekas hak guna usaha
tersebut berakhir tanah ini telah dimohonkan pelepasan hak. Adapun syarat-
syarat pelepasan tanah yang telah terjadi yaitu surat permohonan pelepasan
hak terhadap Badan Pertanahan Nasional. Sebelum melakukan surat
permohonan ke Badan Pertanahan Nasional, terlebih dahulu menyurat ke
Dinas Perkebunan Sulawesi Utara untuk meminta surat persetujuan tidak
melakukan penggunaan tanah sebagai lahan perkebunan karena usaha
bergerak dibidang perkebunan. Selain itu juga meminta persetujuan dari
pemerintah Provinsi Sulawesi Utara dan Pemerintah Kota Bitung yang
merupakan tempat lokasi tanah tersebut dimana pada tanah setelah
pelepasan akan diperuntukkan untuk kepentingan umum bagi masyarakat
dan pemerintah dalam pengelolaan dan penggunaan tanah dikemudian harih
dan juga dari Kantor Wilayah Pertanahan RI di Sulawesi Utara sebagai wakil
dari Badan Pertanahan Nasional yang akan mengurus proses pelepasan
tanah tersebut.
Setelah mendapatkan persetujuan dari pemerintah provinsi,
pemerintah daerah dan dinas perkebunan pemerintah provinsi yang tidak
menaruh keberatan terhadap ijin pelepasan tanah, maka semua surat
persetujuan tersebut di lampirkan dalam surat permohonan pelepasan hak ke
xcv
Badan Pertanahan Nasional. Dengan tidak adanya keberatan terhadap
pelepasan tanah Hak Guna Usaha tersebut dan melihat pertimbangan-
pertimbangan untuk penggunaan tanah tersebut maka pihak Badan
Pertanahan Nasional mengeluarkan Surat Keputusan pelepasan Hak
sehingga tanah tersebut menjadi tanah Negara. setelah itu pemegang hak
membuat Surat Pernyataan Pelepasan Hak dihadapan Kepala Kantor
Pertanahan kota Bitung, sehingga tanah tersebut menjadi tanah yang
dikuasai langsung oleh Negara.
2. Penguasaan dan Pendudukan Masyarakat.
Setelah penerbitan Sertifikat bukti hak atas sebagian tanah bekas Hak
Guna Usaha Nomor 1/ Girian Weru sesuai dengan rencana penggunaan dan
peruntukan yang telah ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Kepala
Badan Pertanahan Nasional Nomor 1-V.B-2004 tanggal 7 Januari 2004,
diwaktu yang bersamaan terjadi penguasaan dan pendudukan oleh beberapa
kelompok masyarakat secara tidak beraturan, bahkan sampai menimbulkan
konflik perebutan lahan antara kelompok-kelompok masyarakat
memperebutkan bagian tanah bekas Hak Guna Usaha Nomor 1 Girian Weru.
Pada saat ini sebagian besar dari tanah bekas Hak Guna Usaha
Nomor 1/ Girian Weru tersebut baik yang sudah diterbitkan sertifikat hak
maupun yang belum, telah dikuasai/diduduki oleh anggota masyarakat dan
xcvi
telah mendirikan bangunan semi permanen maupun bangunan darurat
sehingga penggunaan dan peruntukan sekarang tidak sesuai dengan lagi
dengan Surat Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1-V.B-
2004 tanggal 7 Januari 2004.
Tanah yang diduduki atau digarap oleh masyarakat sekarang telah
terbagi dalam dua wilayah Kelurahan yakni Kelurahan Girian Indah seluas ±
260.775 M2 dan Kelurahan Wangurer Barat seluas ± 121.080 M2, sehingga
luas secara keseluruhan tanah digarap/dikuasai, diduduki, dan ditempati oleh
masyarakat adalah seluas ± 381.855 M2 yang batas-batasnya adalah
sebagai berikut :
Utara : Bukit Wangurer
Timur : Perumnas Griya
Selatan : Tanah Pasini
Barat : Tanah Pasini;
xcvii
Gambar 1.1 Peta bidang tanah bekas hak guna Usaha
Dengan adanya Surat Keputusan dari badan Pertanahan Nasional
Nomor : 1- V.B- 2004 tersebut diatas telah menyatakan bahwa terhitung
sejak tanggal 7 januari 2004 tanah bekas Hak Guna Usaha Nomor : 1/Girian
Weru pemegang Hak PT. Kinaleosan telah menjadi tanah yang dikuasai oleh
Negara dan selanjutnya tanah tersebut akan dimohonkan dengan hak atas
tanah oleh :
- Bekas pemilik Hak guna Usaha dan ahli warisnya ;
xcviii
- Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara dan Pemerintah Kota Bitung untuk
kepentingan pembangunan dan penampungan masyarakat yang terkena
penggusuran ;
- Koperasi Bumi Bhakti ;
- Yayasan Doulos Diakonos ;
- Fasilitas soasial, fasilitas umum keperluan Kelurahan dan untuk
kepentingan pemukiman Tani/Pegawai Perusahaan dan pemukiman
penduduk sesuai dengan tata ruang wilayah dan sesuai dengan persyaratan
serta prosedur perundang- undangan ;
Namun demikian ditengah penguasaan masyarakat atas tanah
tersebut yang kini telah dibangun rumah serta rumah tempat ibadah seperti
Mesjid dan gereja serta juga tanaman yang di tanam oleh masyarakat
ternyata sekarang ini tanah bekas Hak Guna Usaha yang telah dilepaskan
haknya berdasarkan Surat Keputusan Badan Pertanahan Nasiona l Nomor :
1- V.B – 2004 oleh PT. Kinaleosan sudah diterbitkan Sertifikatnya dalam dua
wilayah Kelurahan masing- masing Kelurahan Girian Indah dan Kelurahan
Wangurer Barat yang masuk dalam bagian tanah garapan masyarakat.
Penerbitan ke 14 (keempat belas) buah sertifikat ini yang menjadi
objek sengketa nanti diketahui pasti dan jelas ketika masyarakat menerima
surat dari Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan nasional Republik
xcix
Indonesia Provinsi Sulawesi Utara Nomor : 570 – 828 tanggal 29 Desember
2006 yang telah menguraikan tentang riwayat tanah serta riwayat penerbitan
sertifikat yang menjadi objek sengketa , sehingga pengajuan gugatan ini
masih dalam batas waktu yang telah ditentukan oleh Undang-Undang
menurut Pasal 55 UU No. 5 Tahun 1986 yang telah diubah dengan UU No. 9
Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara ;
Penerbitan Surat Keputusan Tata Usaha Negara terhadap bagian
tanah yang menjadi garapan masyarakat jelas sangat merugikan sebagai
masyarakat yang telah lama menggarap, menduduki bahkan menanam
tanaman diatas tanah tersebut , lagi pula penerbitan sertifikat sarat dengan
perbuatan kolusi dan nepotisme yang dilakukan dimana sertifikat Hak Guna
Bangunan No. 02/Girian Indah atas nama Yayasan Doulos Diakonos di
terbitkan pada lahan tanah yang sudah ada penggarap dan/atau
penghuninya, demikian pula salah satu Pengurus dari Yayasan Doulos
Diakkonos tersebut ternyata adalah mantan Kepala Kantor Wilayah Badan
Pertanahan Nasional Republik Indonesia Provinsi Sulawesi Utara yakni
Benyamin Mangga, SH. Demikian pula terhadap penerbitan objek sengketa
lainnya yang hanya mementingkan keluarga dekat dari mantan Kepala kantor
Wilayah Badan Pertanahan Nasional Republik Indonsia Provinsi Sulawesi
Utara yakni Benyamin Mengga, SH. Antara lain dengan menerbitkan
Sertifikat hak Milik No. 84/Girian Indah atas nama Angganitje Sumelang yang
c
merupakan isteri sah dari Benyamin Mengga, SH, Sertifikat Hak Milik No.
83/Girian Indah atas nama Eric Niki juluw serta Sertifikat hak Milik No.
38/Wangurer Barat atas nama Daniel George Tulandi masing- masing selaku
menantu dari Benyamin Mengga, SH. Sertifikat lainnya yang di terbitkan oleh
Tergugat masih terhadap keluarga dekat mantan Kepala Kantor Wilayah
Badan Pertanahan Nasional Provinsi Sulawesi Utara yakni Benyamin
Mengga, SH, antara lain Sertifikat Hak Milik No. 36/Wangurer Barat atas
nama Denny Wuwungan dan Sertifikat Hak Milik No. 39/Wangurer Barat atas
nama Jaqline Soan Warouw Sumilat masing-masing keluarga dekat dari isteri
mantan Kakanwil BPN Provinsi Sulawesi Utara yakni Benyamin Mengga, SH,
selain itu pula ada juga Sertifikat Hak Milik No. 395/Girian Indah atas nama
Yuliana Kemur yang adalah mantan Kepala Kelurahan Girian Indah,
sedangkan Sertifikat hak Milik No. 42/Wangurer Barat atas nama Oktavianus
Kandoli adalah suami dari Yuliana Kemur (mantan Kepala Kelurahan Girian
Indah) , selain itu sertifikat Hak Milik No.40/Wangurer Barat atas nama Ryone
Sabab Hutabarat dan Sertifikat Hak Milik No. 43/Wangurer Barat atas nama
Karwan Sudahyo masing- masing bukan sebagai penggarap/penduduk di
lokasi bersertifikat a quo ;
Terhadap Sertifikat yang menjadi objek sengketa tersebut sampai saat
ini diatas tanah bekas Hak Guna Usaha PT. Kinaeleosan tidak pernah sama
sekali dimanfaatkan/digarap, diduduki oleh para pemegang sertifikat selain
ci
hanya masyarakat apalagi keluarga dekat dari mantan Kakanwil BPN
Provinsi Sulawesi Utara yakni Benyamin Mengga, SH. yang bukanlah
penduduk kota Bitung , akan tetapi penduduk Kota Manado yang bukan
sebagai penggarap . Selain itu, penerbitan beberapa sertifikat sangat
bertentangan dengan maksud Surat Keputusan Badan Pertanahan Nasiona l
Nomor : 1 – V.B – 2004 dan juga bertentangan dengan PP No. 24 Tahun
1997 tentang Pendaftaran Tanah serta pula Tergugat telah melakukan
perbuatan yang bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang
baik sesuai dengan Pasal 53 ayat (2) butir a dan b UU No. 5 Tahun 1986
yang telah diubah dengan UU No. 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara diantaranya dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Asas Kepastian Hukum dimana prosedur penerbitan Sertifikat Hak
Milik tersebut kepada keluarga dekat dan kerabat mantan Kepala
Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia
Provinsi Sulawesi Utara dan Sertifikat Hak Guna Bangunan kepada
Yayasan Doulos Diakonos yang di dalamnya Benyamin Mengga, SH.
sebagai Pengurus Yayasan adalah tidak menggunakan landasan
hukum serta melanggar keputusan dan keadilan in casu;
2. Asas Kepentingan Umum, bahwa dalam menerbitkan sertifikat a quo
hanya mengutamakan kepentingan golongan pribadi yakni keluarga
dekat dan kerabat dan mantan Kepala Kantor Wilayah Badan
cii
Pertanahan Nasional Republik Indonesia Provinsi Sulawesi Utara
dalam hal ini Benyamin Mengga, SH dan tidak mendahulukan
kepentingan masyarakat penduduk in casu masyarakat dengan cara
aspiratif , akmodatif dan selektif ;
3. Asas Akuntabilitas , bahwa Penerbitan Sertifikat Hak Milik kepada
keluarga dan kerabat Benyamin Mengga, SH. mantan Kepala Kantor
Wilayah Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Provinsi
Sulawesi Utara waktu itu tidak dilakukan secara transparan dan
terbuka karena ternyata dalam penerbitan sertifikat a quo tidak di
lakukan pengumuman/pengukuran, sehingga hal tersebut jelas telah
terjadi perbuatan kolusi dan nepotisme sebab pemberian hak atas
tanah bekas Hak Guna Usaha dari PT. Kinaleosan tersebut hanya
mengutamakan kepentingan keluarga dan kerabat dari Benyamin
Mengga, SH selaku Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan
nasional Republik Indonesia Provinsi Sulawesi Utara waktu itu dan
Benyamin Mengga sendiri selaku Pengurus Yayasan Doulos
Diakonos.
Atas dasar ketidakadilan terhadap terbitnya beberapa sertifikat yang
bukan atas nama masyarakat penggarap tanah bekas Hak Guna Usaha
maka masyarakat bekas Hak Guna Usaha melakukan gugatan di Pengadilan
Tata Usaha Negara di Manado dengan gugatan bahwa tanah yang telah
ciii
dikeluarkan sertifikat merupakan tanah yang diduduki atau yang digarap oleh
masyarakat penggarap tanah bekas Hak Guna Usaha no. 1 Girian Weru PT.
Kinaleosan, penerbitan ke 14 sertifikat baru diketahui masyarakat setelah
menerima surat dari kepala kantor wilayah BPN manado pada tanggal 29
Desember 2006 yang telah menguraikan tentang riwayat tanah serta riwayat
penerbitan sertifikat tanpa ada pengukuran dan pemberitahuan terlebih
dahulu kepada pihak masyarakat.
Pada putusan Nomor : 08/G.TUN/ 2007/P.TUN.MDO, tertanggal 2
Oktober 2007 pada perkara tingkat pertama ini dimenangkan oleh para
masyarakat penggarap tanah bekas Hak Guna Usaha dengan keputusan
pengadilan menolak eksepsi dari tergugat, mengabulkan gugatan masyarakat
untuk sebagaian yaitu menyatakan batal sertifikat dan mewajibkan kepada
pejabat pertanahan yang berwenang untuk mencabut sertifikat yang telah
diterbitkan.
Adapun dasar dari gugatan yang dikabulkan adalah bahwa tanah yang
diduduki atau digarap oleh masyarakat terbagi 2 wilayah yaitu Kelurahan
Girian Indah dan Kelurahan Wangurer Barat telah diterbitkan sertifikat atas
tanah yang telah diduduki atau digarap masyarakat tanpa sepengetahuan
masyarakat, penerbitan sertifikat atas tanah yang sedang diduduki atau
digarap sangat merugikan masyarakat ini disebabkan dalam proses
penerbitan sertifikat tidak adanya pemberitahuan dan sertifikat tersebut
civ
diterbitkan atas nama kerabat/keluarga dari Pejabat Kantor Badan
pertanahan Manado.
Dalam putusan banding Di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara
Makassar No.11/ B.TUN/ 2008/ PT.TUN.MKS. tanggal 16 April 2008
menghasilkan amar putusan, menerima permohonan banding dari
masyarakat yang mempunyai 14 sertifikat hak milik atas tanah bekas hak
Guna Usaha dan Membatalkan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara
Manado Nomor: 08/G.TUN/2007/P.TUN.Mdo tertanggal 2 Oktober 2007.
Alasan gugatan adalah masyarakat keliru mengajukan gugatan
kepada Pejabat Badan Pertanahan Nasional Manado, tuduhan yang
ditujukan tidak ada hubungan hukumnya dengan sengketa ini serta tuduhan
adanya kolusi dan nepotisme dalam pengurusan sertifikat tidak mendasar
dan tidak adanya landasan hukum. Dinyatakan bahwa pengurusan sertifikat
dimaksud telah melalui prosedur yang berlaku. Pada hasil dari Putusan
Pengadilan Tinggi Tata usaha Negara Makassar dimenangkan oleh
masyarakat yang mempunyai 14 sertifikat hak milik atas tanah bekas Hak
Guna Usaha.
Kemudian masyarakat penggarap tanah bekas hak guna Usaha
mengajuan Kasasi kepada Mahkamah Agung dan Putusan Mahkamah
Agung RI No. 206 K/TUN/2008 tanggal 29 Januari 2009 yang telah
cv
berkekuatan hukum tetap, akan tetapi permohonan kasasi dari masayrakat
ditolak dan menyatakan gugatan para penggugat tidak bias diterima sehingga
dimenangkan oleh pihak masyarakat yang memiliki 14 sertifikat diwilayah
tanah bekas hak Guna usaha dengan amar putusan , menolak permohonan
kasasi dari Para Pemohon Kasasi.
Masyarakat penggarap tanah bekas Hak Guna Usaha akhirnya
mengajukan Peninjauan Kembali sebagai upaya hukum tingkat terakhir
didalam memperoleh keadilan atas haknya dan akhirnya memperoleh
Putusan MA nomor : 101 PK/TUN/2010 tertanggal 5 januari 2011, adapun
alasan permohonan penijauan kembali ini didasarkan pada Pasal 67 huruf (f)
Undang-Undang No. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah agung yang berbunyi
: apabila dalam putusan terdapat suatu kekhilfan hakim atau suatu kekeliruan
yang nyata.
Hal ini dapat dilihat dalam konstruksi Pertimbangan Hukum atas
putusan Mahkamah Agung RI No. 206 K/TUN/2008 dimana terdapat
diseenting opinion dari majelis hakim dalam menentukan pendapat
perhitungan waktu 90 hari atas pengajuan gugatanpemohon peninjauan
kembali. Bahwa alasan-alasan peninjauan kembali ini dapat dibenarkan,
Karena terdapat kekeliruan yang nyata dari judex juris dalam penentuan
waktu menggugat. Pertimbangan tertera didalam dissenting opinion dalam
putusan Kasasi Mahkamah Agung tanggal 29 januari 2009 sudah tepat dan
cvi
sesuai dengan doktrin dalam Hukum Administrasi Negara (Hukum Acara
Peratun)
Sesuai dengan asas hukum pembuktian yang materiil, maka tanggal
penggugat mengetahui adanya Keputusan Tata Usaha Negara Objek
sengketa dihitung sejak diterimanya Surat Kepala Kantor Wilayah Badan
Pertanahan Nasional Selawesi Selatan secara nyata diketahui oleh pihak
ketiga yang langsung berkepentingan dan yang merata dirugikan oleh
keputusan Tata Negar objek sengketa, sedangkan selebihnya yang bersifat
informative tidak dapat dijadikan patokan yuridis pengetahuan pihak ketiga
terhadapa putusan Tata Usaha Negara objek sengketa.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan, maka menurut Mahkamah
Agung terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan Peninjauan
Kembali dan dimana hasil dari Peninjauan Kembali itu membatalkan Putusan
Mahkamah Agung No. 206 K/TUN/2008 tanggal 29 Januari 2009 dengan
mengabulkan gugatan masyarakat penggarap tanah Bekas Hak Guna
Usaha, menyatakan batal dan mencabut semua sertifikat hak atas tanah
yang berada di tanah bekas Hak Guna Usaha .
Disaat adanya putusan Peninjauan Kembali dimana sertifikat
dibatalkan dan status tanah pada saat itu merupakan tanah Negara derta
telah dialihkan ke Pemerintah Kota Bitung, tanah bekas hak Guna usaha
cvii
yang telah dibatalkan sertifikatnya telah terjadi proses jual beli baik melalui
PPAT maupun dilakukan dibawah tangan.
Menurut ibu Jetty Rondonuwu69, setelah adanya putusan Peninjauan
Kembali dari Mahkamah Agung pihak dari Kantor Pertanahan Kota Bitung
telah melakukan penarikan kembali terhadap sertifikat yang dibatalkan sesuai
dengan keputusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung, akan tetapi dari
semua sertifikat yang dibatalkan, yang dikembalikan kepada pihak kantor
Pertanahan baru sebagian belum seluruhnya. Ini dimungkinkan karena telah
terjadi proses jual beli atau sertifikat tersebut telah di gadaikan ke bank.
Menurut penulis, seharusnya setelah adanya putusan Peninjauan
Kembali Mahkamah Agung tersebut pihak dari Kantor Pertanahan Nasional
harus langsung melakukan penarikan sertifikat terhadap sertifikat tanah yang
telah dibatalkan, pihak dari Kantor Pertanahan melakukan kesalahan dengan
tidak langsung menarik sertifikat tanah tersebut, sehingga pada saat ini
masyarakat yang memiliki sertifikat tersebut masih menganggap bahwa tanah
yang masih bersertifikat tersebut merupakan hak mereka dan mereka bisa
melakukan proses jual beli ataupun di gadaikan ke bank.
Pihak kantor Pertanahan Bitung tidak melakukan penataan kembali
terhadap tanah bekas Hak Guna Usaha tersebut yang telah menjadi tanah
69 Wawancara dengan kasubsi sengketa dan konflik perkara Kantor Pertanahan Bitung.
cviii
Negara, apabila pihak Kantor Pertanahan Kota Bitung telah melakukan
pemetaan dan pengaturan kembali terhadap tanah tersebut, maka secara
langsung masyarakat yang memiliki sertifikat tidak akan melakukan proses
jual beli, selain itu juga tidak akan adanya penguasaan dari masyarakat
penggarap yang tidak memiliki alas hak. Masyarakat penggarap juga tidak
akan bisa melakukan jual beli terhadap sesama masyarakat jika pada waktu
putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung kantor Pertanahan Bitung
telah melakukan eksekusi terhadap tanah yang menjadi tanah Negara.
3. Status Tanah Bekas Hak Guna Usaha
Tanah bekas Hak Guna Usaha Nomor : 1/Girian Weru merupakan
tanah bekas Hak Guna Usaha Nomor: 1/Girian Weru yang telah dilepaskan
haknya oleh PT. Kinaeosan berdasarkan Surat Keputusan Kepala Badan
Pertanahan nasional Nomor : 1 – V.B 2004 tentang Pemberian ijin
Pelepasan Hak Guna Usaha atas Tanah terletak di Kota Bitung Provinsi
Sulawesi Utara yang ditetapkan di Jakarta pada 07 Januari 2004, maka
terhitung tanggal tersebut tanah bekas Hak Guna Usaha Nomor : 1/Girian
Weru pemegang Hak PT. Kinaleosan telah menjadi tanah yang dikuasai oleh
Negara dan selanjutnya tanah tersebut akan dimohonkan dengan hak atas
tanah oleh :
- Bekas pemilik Hak Guna Usaha dan ahli warisnya
cix
- Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara dan Pemerintah Kota Bitung untuk
kepentingan pembangunan dan penampungan masyarakat yang terkena
penggusuran ;
- Koperasi Bumi Bhakti ;
- Yayasan Doulos Diakonos ;
- Fasilitas sosial, fasilitas umum keperluan Kelurahan dan untuk
kepentingan pemukiman Tani /Pegawai Perusahaan dan pemukiman
penduduk sesuai dengan tata ruang wilayah dan sesuai dengan
persyaratan serta prosedur perundang- undangan ;
Sesuai dengan teori kepastian hukum yang menyatakan bahwa surat
keputusan dari BPN merupakan kepastian diberikan oleh negara sebagai
pencipta hukum dalam bentuk undang-undang ini menekankan bahwa
Secara langsung menurut penulis pada saat pelepasan hak berdasarkan
Surat Keputusan Kepala Badan Pertanahan nasional Nomor : 1 – V.B 2004
tanah bekas Hak Guna Usaha ini kembali status tanahnya menjadi Tanah
Negara, dengan melaksanakan beberapa putusan terhadap permohonan hak
atas tanah.
Permohonan terhadap tanah bekas hak guna usaha dimana berturut-
turut yaitu ahli waris secara keseluruhan mendapatkan luas tanah 501.274
M², Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara seluas 140.582 M², Pemerintah kota
Bitung terdapat 2 bagian yaitu pertama seluas 33.000 M² dan ke dua seluas
cx
173.288 M², Koperasi mendapatkan tanah seluas 118.976 M², Yayasan
Doulos Diakonos dengan luas tanah 100.260 M², adapun untuk kepentingan
social dan fasilitas umum yang lainnya ada berupa sekolah, gereja dan
lainnya seluas 8.840 M² dan untuk para masyarakat bekas pekerja Hak Guna
Usaha PT. Kinaleosan seluas 106.628 M² untuk Prona tahun 2004. Akan
tetapi di dalam peta bidang tanah70 ada juga beberapa sertifikat yang telah
diterbitkan diatas tanah Bekas Hak Guna Usaha tersebut.
Namun demikian ditengah penguasaan masyarakat atas tanah
tersebut yang kini telah dibangun rumah serta rumah tempat ibadah seperti
Mesjid dan gereja serta juga tanaman yang di tanam oleh Masyarakat
penggarap bekas tanah Hak Guna Usaha ternyata sekarang ini tanah bekas
Hak Guna Usaha yang telah dilepaskan haknya berdasarkan Surat
Keputusan Badan Pertanahan Nasiona l Nomor : 1-V.B – 2004 oleh PT.
Kinaleosan sudah diterbitkan beberapa sertifikat dalam dua wilayah
Kelurahan masing-masing Kelurahan Girian Indah dan Kelurahan Wangurer
Barat yang masuk dalam bagian tanah garapan masyarakat, dan dari ke 14
sertifikat tersebut bukan atas nama para masyarakat penggarap melainkan
masyarakat yang tidak dikenal yang punya hubungan saudara dengan
Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan nasional Republik Indonesia
Provinsi Sulawesi Utara. Masyarakat yang telah mendapatkan sertifikat
70 Lihat Gambar 1.1 hal. 77
cxi
tersebut merupakan masyarakata yang tidak ada hubungannya dengan tanah
bekas hak guna usaha, disini telah terjadi wile okupasi dimana pemberian
tanah Negara tidak sesuai dengan penguasaan masyarakat, yang
mendapatkan hak baru atas tanah Negara adalah masyarakat yang tidak
berhubungan langsung dengan tanah Negara tersebut.
Dengan sudah diterbitkan ke 14 sertifikat tersebut status tanah bekas
Hak Guna Usaha ini menjadi tidak jelas ini disebabkan karena pada saat
penertiban ke 14 sertifikat itu tidak sesuai dengan Surat Keputusan Badan
Pertanahan Nasional Nomor : 1-V.B – 2004 sehingga membuat masyarakat
tidak memiliki kekuatan hukum yang pasti terhadap tanah yang mereka garap
yang pada saat di terbitkan sertifikat merupakan tanah garapan para
masyarakat penggarap tanah bekas Hak Guna Usaha.
Dengan adanya gugatan terhadap tanah bekas Hak Guna Usaha ini
maka sengketa status tanah ini masuk dalam perkara pengadilan, proses
pengadilan berlangsung di Pengadilan Tata Usaha Negara. Proses
pengadilan berlangsung sampai pada putusan Peninjauan Kembali
Mahkamah Agung dengan putusan mengabulkan gugatan masyarakat
penggarap tanah Bekas Hak Guna Usaha, menyatakan batal dan mencabut
empatbelas sertifikat hak atas tanah yang berada di tanah bekas hak guna
usaha.
cxii
Sesuai dengan Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung
nomor: 101 PK/TUN/2010 tertanggal 5 Januari 2011 Tanah bekas Hak Guna
Usaha Nomor 1/Girian Weru PT. Kinaleosan Kecamatan Girian dan Madidir
yang telah diserahkan dan dialihkan kepada Pemerintah Kota Bitung. Setelah
adanya putusan ini maka secara langsung Tanah Bekas Hak Guna Usaha ini
kembali menjadi tanah Negara.
Menurut ibu Jetty Rondonuwu71, status tanah bekas hak Guna Usaha
tersebut pada saat ini merupakan Tanah Negara sehingga semua sertifikat
Hak Milik yang dibatalkan dalam putusan Peninjauan Kembali Mahkamah
Agung tidak berlaku lagi, semua sertifikat tersebut batal demi hukum dan
dalam proses penarikan kembali dari Kantor Pertanahan Kota Bitung.
Menurut penulis, sebelum adanya putusan dari Mahkamah Agung
seharusnya status tanah tersebut memang merupakan Tanah Negara, dan
yang mendapatkan hak atas tanah dimohonkan permohonan hak sesuai
dengan Surat Keputusan Badan Pertanahan Nasional yang ada. Akan tetapi
dengan diterbitkannya sertifikat yang tidak sesuai dengan Surat Keputusan
Badan Pertanahan Nasional pada waktu itu membuat tanah bekas Hak Guna
Usaha berubah status menjadi hak Milik masyarakat, sehingga menimbulkan
masalah dalam penggunaan tanah tersebut. Disini menimbulkan dua
kepastian hukum yang saling bertolakbelakang, disatu sisi adanya surat
71 ibid
cxiii
keputusan dari BPN dan disisi lain adanya surat Sertifikat yang tidak sesuai
dengan Surat Keputusan BPN.
Sertifikat yang telah diterbitkan merupakan kesalahan administrasi dari
pihak Kantor Pertanahan, proses sertifikasi tidak memenuhi syarat
penguasaan terhadap tanah, adapun syarat yang harus dipenuhi yaitu
menguasai dengan itikat baik, secara sosiologis diakui oleh masyarakat
setempat, tidak diatas tanah orang dan orang yang benar-benar menguasai
tanah tersebut. Dengan tidak adanya alas hak tersebut menurut penulis
seharusnya tidak ada penerbitan sertifikat terhadap masyarakat yang
melakukan okupasi liar dan mendapatkan sertifikat hak milik.
Adanya konspirasi dari pihak Kantor Pertanahan Nasional di Sulawesi
Utara terhadap proses pelepasan tanah Hak Guna Usaha sehingga terbitnya
ke 14 sertifikat tersebut maka menurut penulis bahwa adanya
penyelewengan penggunaan kekuasaan terhadap jabatan sebagai pejabat
yang berwenang dalam proses status tanah tersebut. Pihak dari kantor
pertanahan telah melakukan suatu kesalahan administrasi yaitu Pejabat
kantor Pertanahan telah menerbitkan sertifikat hak milik terhadap tanah
bekas hak guna usaha kepada kerabat keluarganya tanpa melihat akan
kebutuhan masyarakat penggarap yang sedang menduduki tanah bekas hak
guna usaha dan dalam proses permohonan hak terhadap tanah Negara.
cxiv
Dengan adanya putusan Peninjauan Kembali dari Mahkamah Agung
pada saat ini menurut penulis, tanah bekas Hak Guna Usaha sekarang status
hukumnya kembali menjadi tanah Negara, dengan demikian tanah tersebut
tidak diperkenankan untuk mengijinkan atau memasukan orang lain atau
masyarakat atupun organisasi untuk tingal ataupun menetap di lokasi yang
telah di batalkan sertifikatnya menurut putusan Peninjauan Kembali
Mahkamah Agung tersebut. Status tanah yang dahulu menjadi hak milik saat
ini merupakan tanah Negara sehingga masyarakat yang memiliki sertifikat
hak milik yang dibatalkan harus mengembalikan sertifikat tersebut ke kantor
Pertanahan untuk proses pembatalan.
Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung merupakan upaya
hukum paling terakhir didalam sistem peradilan di Indonesia sehingga
keputusan ini memiliki kekuatan hukum tetap dan kepastian hukum terhadap
status tanah tersebut, sesuai dengan teori kepastian hukum penulis
berpendapat bahwa putusan tersebut merupakan kepastian yang telah
ditetapkan oleh Undang-undang yang diberikan oleh negara sebagai
pencipta. Pelaksanaan kepastian lebih dikonkretkan dalam bentuk lembaga
yudikatif yang berwenang mengadili atau menjadi wasit yang memberikan
kepastian bagi setiap subjek hukum. Sehingga setelah adanya keputusan
dari upaya hukum luar biasa yaitu Keputusan PK mahkamah Agung maka
status tanah yang bekas Hak Guna Usaha (tanah Negara) yang diokupasi
cxv
masyarakat penggarap dan diterbitkan sertifikat kembali menjadi Tanah
Negara yang dikuasai langsung oleh Pemerintah.
4. Proses jual beli Tanah Bekas Hak Guna Usaha.
a. Proses jual beli melalui akta bawah tangan
Jual beli hak atas tanah merupakan proses peralihan hak yang sudah
ada sejak jaman dahulu. Jual beli ini didasarkan pada hukum Adat, dan harus
memenuhi syarat-syarat seperti: Terang, Tunai dan Rill. Terang artinya di
lakukan di hadapan Pejabat Umum yang berwenang, Tunai artinya di
bayarkan secara tunai, dan Rill artinya jual beli dilakukan secara nyata. Jadi,
apabila harga belum lunas, maka belum dapat dilakukan proses jual beli
sebagaimana dimaksud.
Menurut Bapak Christian Egam72, jual beli yang terjadi masih
berdasarkan hukum adat, proses jual beli yang terjadi melalui akta dibawah
tangan dimana penjual dan pembeli bertemu dan langsung melakukan
tranksaksi. Penjual menawarkan sebidang tanah kepada pembeli dengan
menyatakan bahwa tanah yang akan dijualnya itu merupakan tanah milik dari
penjual dengan bukti penguasaan terhadap tanah tersebut. Kemudian
pembeli membeli tanah tersebut dengan kepercayaan terhadap penjual
72 Wawancara dengan wakil ketua Brigadir Manguni LSM Kota Bitung.
cxvi
dengan menggunakan surat perjanjian yang ditandatangani oleh kedua belah
pihak diatas materai 6000.
Akan tetapi proses jual beli tanah tersebut tidak sah karena tidak
sesuai dengan peraturan yang berlaku dimana setiap proses jual beli tanah
yang akan terjadi harus melalui pemerintah yang berwenang dan menurut
Bapak Demetrinus Langgori73 tidak ada transaksi jual beli yang melibatkan
pemerintah pada saat ini sehingga menurutnya proses jual beli itu tidak sah
dimata hukum Indonesia.
Proses jual beli yang terjadi diatas tanah bekas Hak Guna Usaha pada
dasarnya hanya melibatkan pihak penjual dan pembeli. Masyarakat
penggarap (penjual) menawarkan tanah yang sedang digarapnya walaupun
tidak dapat membuktikan bahwa tanah itu merupakan hak milik melalui
sertifikat hak atas tanah kepada masyarakat pihak ketiga (pembeli).
Berdasarkan kepercayaan terhadap penjual sehingga bukti transaksi
dilaksanakan diatas suatu perjanjian jual beli bermateraikian 6000 sebagai
tanda sahnya suatu perjanjian jual bli tersebut.
Masyarakat yang membeli tanah tersebut tanpa memeriksa terlebih
dahulu, apakah tanah tersebut memang benar dimiliki oleh penjual atau tidak
73 Wawancara dengan Lurah Girian Indah.
cxvii
dengan saling percaya langsung membayarkan sejumlah uang juga kwuitansi
pembayaran sebagai bukti bahwa tanah tersebut telah lunas dibayarkan.
Dengan memiliki bukti kwuitansi dan perjanjian jual beli yang di tanda
tangani oleh kedua belah pihak diatas materai 6000, maka masyarakat yang
membeli tanah tersebut merasa mempunyai kekuatan hukum yang kuat
terhadapa kepemilikan atas tanah tersebut.
Adapun proses jual beli yang berlangsung diantara masyarakat dapat
diuraikan sebagai berikut :
Sebagaimana yang telah disebutkan diatas bahwa status tanah bekas
Hak Guna Usaha pada saat ini adalah tanah Negara maka menurut bapak
Jual beli tanah
Penjual Pembeli
perjanjian jual beli
diatas materai 6000
Hadir :
- Penjual
- Pembeli
- Saksi-saksi.
Menguasai /menggarap
tanah tanpa memiliki
sertifikat hak atas tanah
Asas kepercayaan terhadap
kepemilikan tanah
cxviii
Hendrik Tahumuri74, apabila proses pembuatan akta jual beli telah terlaksana
walaupun melalui akta dibawah tangan yang telah ditandatangani oleh kedua
belah pihak diatas materai 6000, merupakan sesuatu yang tidak sah dan
batal demi hukum. Dan apabila akan diproses untuk balik nama di kantor
pertanahan secara langsung tidak akan diproses karena transaksi tersebut
cacat hukum dan secara langsung batal karena tidak sesuai dengan
peraturan yang berlaku.
Menurut penulis proses jual beli yang berlangsung diatas merupakan
jual beli menurut hukum adat yaitu jual lepas, karena pihak pembeli dan
penjual melakukan transaksi jual beli secara langsung dengan membayarkan
sejumlah uang dan meyetujui suatu perjanjian yang di tanda tangani kedua
belah pihak sebagai tanda bukti bahwa tanah yang dilakukan proses jual beli
itu telah beralih dan dilepaskan ke pemilik yang baru. Walaupun jual beli
tanah sebagaimana yang diatur dalam Pasal 5 UUPA adalah berdasarkan
hukum adat yaitu jual-beli bersifat Kontan dan Tunai artinya pada saat
ditanda-tangani jual-beli tanah tersebut dianggap telah selesai (walaupun
kenyataanya belum lunas) dan tanah yang diperjual-belikan tersebut
dianggap telah diserahkan oleh penjual kepada pembeli. Hal ini bukan berarti
bahwa pendaftaran hak atas tanah di Kantor Pertanahan dapat dilakukan
74 Wawancara dengan Kepala seksi sengketa dan Konflik Kantor pertanahan Kota Bitung.
cxix
dengan akta yang dibuat dibawah-tangan yaitu yang dibuat dihadapan
Kepala Desa sebagaimana jual-beli tanah yang berdasarkan hukum adat.
Sesuai dengan PP No. 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah,
maka pada saat tanah tersebut untuk didaftarkan ke kantor pertanahan
karena belum memiliki sertifikat, maka proses pembuatan sertifikat tidak
dapat berlangsung dan sertifikat tidak bisa diterbitkan disebabkan karena
tidak memenuhi syarat materiil dan formil untuk pengajuan permohonan
pembuatan sertifikat yang sesuai dengan UUPA dan PP No. 40 Tahun 1996.
Ini sangat merugikan masyarakat yang membeli tanah tersebut karena tidak
memiliki bukti kepemilikan yang sah atas tanah yang telah dibelinya.
b. Proses jual beli melalui PPAT
Dewasa ini, yang diberi wewenang untuk melaksanakan jual beli
adalah Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang terdiri dari:
1. PPAT sementara yakni Camat yang oleh karena jabatannya dapat
melaksanakan tugas PPAT untuk membuat akta jual beli tanah. Camat
disini diangkat sebagai PPAT untuk daerah terpencil atau daerah–
daerah yang belum cukup jumlah PPAT nya.
2. PPAT yakni Pejabat Umum yang diangkat oleh kepala Badan
Pertanahan Nasional yang mempunyai kewenangan membuat akta
jual beli yang bertugas untuk wilayah kerja tertentu.
cxx
Adapun prosedur jual beli tanah yang harus ditempuh dalam
pelaksanaan jual beli tanah dan bangunan adalah sebagai berikut:
1. Akta Jual Beli (AJB) Bilamana sudah tercapai kesepakatan mengenai
harga tanah termasuk didalamnya cara pembayaran dan siapa yang
menangung biaya pembuatan Akta Jual Beli (AJB) antara pihak
penjual dan pembeli, maka para pihak harus datang ke kantor PPAT
untuk membuat akta jual beli tanah.
2. Persyaratan Akta Jual Beli (AJB). Hal-hal yang diperlukan dalam
membuat Akta Jual Beli tanah di kantor PPAT adalah sebagai berikut:
Syarat-syarat yang harus dibawa Penjual Tanah:
1) Asli sertifikat hak atas tanah yang akan dijual;
2) Kartu Tanda Penduduk;
3) Bukti Pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sepuluh
tahun terakhir;
4) Surat persetujuan suami isteri serta kartu keluarga bagi yang
telah berkeluarga.
Syarat-syarat yang harus dibawa oleh Calon Pembeli Tanah:
1) Kartu Tanda Penduduk
2) Kartu Keluarga
3) Proses pembuatan AJB di Kantor PPAT
cxxi
Persiapan pembuatan AJB sebelum dilakukan proses Jual Beli
Tanah:
1) Dilakukan pemeriksaan mengenai keaslian dari sertipikat
termaksud di kantor Pertanahan untuk mengetahui status sertifikat
saat ini seperti keasliannya, apakah sedang dijaminkan kepada
pihak lain atau sedang dalam sengketa kepemilikan, dan terhadap
keterangan sengketa atau tidak, maka harus disertai surat
pernyataan tidak sengketa atas tanah tersebut.
2) Terkait status tanah dalam keadaan sengketa, maka PPAT akan
menolak pembuatan AJB atas tanah tersebut.
3) Calon pembeli dapat membuat pernyataan bahwa dengan
membeli tanah tersebut maka tidak lantas menjadi pemegang hak
atas tanah yang melebihi ketentuan batas luas maksimum.
4) Penjual diharuskan membayar Pajak Penghasilan (Pph)
sedangkan pembeli diharuskan membayar bea perolehan hak atas
tanah dan anggunan (BPHTB) dengan ketentuan berikut ini: Pajak
Penjual (Pph) = NJOP/harga jual X 5 % Pajak Pembeli (BPHTB) =
{NJOP/harga jual - nilai tidak kena pajak} X 5%
Pembuatan Akta Jual Beli Tanah :
cxxii
1) Dalam pembuatan akta harus dihadiri oleh penjual dan calon
pembeli atau orang yang diberi kuasa dengan surat kuasa tertulis.
2) Dalam pembuatan akta harus dihadiri oleh sekurang-kurangnya
dua orang saksi.
3) PPAT akan membacakan serta menjelaskan mengenai isi dan
maksud pembuatan akta, dan bila isi akta disetujui maka oleh
penjual dan calon pembeli akta tersebut akan ditandatangani oleh
para pihak, sekaligus saksi dan pejabat pembuat akta tanah
sendiri.
4) Akta dibuat dua lembar asli, satu disimpan oleh di kantor PPAT
dan lembar lainnya akan disampaikan kepada kantor pertanahan
setempat untuk keperluan balik nama atas tanah, sedangkan
salinannya akan diberikan kepada masing-masing pihak.
Proses setelah Akta Jual Beli jadi dibuat:
1) Setelah Akta Jual Beli selesai dibuat, PPAT menyerahkan berkas
tersebut ke kantor pertanahan untuk balik nama sertipikat; dan,
2) Penyerahan akta harus dilakukan selambat-lambatnya 7 (tujuh)
hari kerja sejak ditandatangani, dengan berkas-berkas yang harus
diserahkan antara lain: Surat permohonan balik nama yang telah
ditandatangani pembeli, Akta Jual Beli dari PPAT, Sertipikat hak
atas tanah, Kartu tanda penduduk kedua belah pihak, Bukti lunas
cxxiii
pembayaran Pph, serta bukti lunas pembayaran bea perolehan
hak atas tanah dan bangunan.
Proses di Kantor Pertanahan:
1) Saat berkas diserahkan kepada kantor pertanahan, maka kantor
pertanahan akan memberikan tanda bukti penerimaan
permohonan balik nama kepada Pejabat Pembuat Akta Tanah
yang selanjutkan akan diberikan kepada pembeli;
2) Nama penjual dalam buku tanah dan sertipikat akan dicoret
dengan tinta hitam dan diberi paraf oleh kepala kantor pertanahan
atau pejabat yang ditunjuk;
3) Nama pembeli selaku pemegang hak atas tanah yang baru akan
ditulis pada halaman dan kolom yang terdapat pada buku tanah
dan sertipikat dengan dibubuhi tanggal pencatatan serta
tandatangan kepala kantor pertanahan atau pejabat yang ditunjuk;
dan,
4) Dalam waktu 14 (empat belas) hari pembeli berhak mengambil
sertipikat yang sudah dibalik atas nama pembeli di kantor
pertanahan setempat.
cxxiv
Adapun mengenai skema mengenai prosedur pendaftaran jual beli
tanah secara singkat dapat dilihat pada skema berikut ini:
Jual beli tanah
Penjual Pembeli
Akta jual beli
Dan berkas-berkas
Dibuat oleh PPAT Pendaftaran jual beli tanah
Kantor pertanahan seksi
pendaftaran tanah
kemudian mencatat jual beli
tersebut pada :
- Buku tanah
- Sertifikat hak tanah atas
nama pembeli
Dibuat dulu :
- Buku tanah
- Sertifikat hak tanah atas
nama penjual
Mencatat jual beli tanah pada :
- Buku tanah
- Sertifikat hak tanah atas
nama pembeli
Tanah hak yang belum
bersertifikat
Tanah hak yang sudah
bersertifikat
Hadir :
- Penjual
- Pembeli
- Saksi-saksi.
cxxv
Penjual atau wakilnya dan pembeli atau wakilnya harus hadir didepan
PPAT untuk menandatangani Akta Jual Beli dengan disaksikan oleh
sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi yang memenuhi syarat untuk
bertindak sebagai saksi dalam perbuatan hukum itu (pasal 38 PP 24/1997).
Baik penjual (wakil), pembeli (wakil) maupun saksi-saksi dan PPAT,
semuanya harus menandatangani Akta tersebut. Kemudian, Akta ini berikut
berkas-berkasnya dibawa ke Kantor Pertanahan Seksi Pendaftaran Tanah
untuk dilakukan pendaftaran. PPAT bersifat tertutup, karena memang ia
harus menyimpan rahasia. Maka dari itu, dengan Akta Jual Beli yang dibuat
oleh PPAT, orang yang tahu tentang adanya jual beli tersebut terbatas.
Lain halnya jika sudah didaftarkan pada Kantor Pertanahan, maka dari
pendaftaran itu selain memperkuat pembuktian karena perbuatan hukum itu
dicatat dalam Buku Tanah dan Sertipikat Hak Tanah, juga memperluas
pembuktian karena setiap orang atau siapa saja yang berkepentingan dan
memerlukan keterangan tentang tanah tersebut dapat mengeceknya pada
Kantor Pertanahan Seksi Pendaftaran Tanah dimana data-data tentang tanah
tersebut disimpan dan sewaktu-waktu terbuka untuk umum.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa Akta Jual Beli yang
dibuat oleh PPAT sudah terjadi jual beli dalam arti levering yuridis. Jadi,
pendaftaran jual beli pada Kantor Pertanahan bukan untuk sahnya jual beli
cxxvi
tetapi berfungsi untuk meperkuat pembuktian dan memperluas pembuktian.
Tata cara jual beli tanah menurut hukum positif sebenarnya adalah sama
dengan tata cara jual beli tanah yang berlaku menurut Hukum Adat yang
dikenal dengan istilah “jual lepas” dan “terang” sifatnya. Dalam Hukum Adat
tindakan yang menyebabkan pemindahan hak bersifat “kontan”. Sedangkan
pendaftaran, sesuai dengan UUPA dan peraturan pelaksanaan bersifat
administratif belaka”.
“... Pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 berlaku khusus
bagi pemindahan hak pada kadaster, sedangkan hakim menilai sah atau
tidak sahnya suatu perbuatan materiil yang merupakan jual beli (materiele
handeling van verkoop) tidak hanya terikat pada pasal 19 tersebut”. Intinya :
1. Jual beli atau pemindahan hak bersifat tunai;
2. Jual beli didepan PPAT bukan merupakan syarat sahnya jual beli,
melainkan ditentukan oleh syarat materiil dari jual beli;
3. Perbuatan jual beli dilakukan di hadapan PPAT hanya syarat untuk
pendaftaran jual beli di Kantor Pertanahan Seksi Pendaftaran
Tanah.
Sesuai dengan ketentuan pasal 19 dan 22 dari PP 10/1961 yang
kemudian diubah dengan ketentuan pasal 37 ayat 1 PP nomor 24 tahun 1997
bahwa jual beli tanah selain harus dilakukan dihadapan PPAT dan dibuatkan
cxxvii
Akta Jual Beli, juga harus diikuti dengan pendaftaran jual belinya pada Kantor
Pertanahan Seksi Pendaftaran Tanah.
Adanya proses jual beli terhadap salah satu sertifikat tanah yang
dibatalkan oleh Putusan Mahkamah Agung menurut bapak A.J Sumampow75
dilakukan oleh pemilik sertifikat dihadapan PPATs, dalam proses jual beli
tersebut adanya konspirasi atau persekongkolan antara penjual dan PPATs
pada saat itu. Dasar penjualan tanah bersertifikat adalah tanah yang memiliki
sertifikat tersebut sah sesuai dengan putusan Kasasi Mahkamah Agung yang
dimenangkan oleh para masyarakat yangmemiliki 13 sertifikat hak milik. Akan
tetapi tanah tersebut sebenarnya masih dalam proses berperkara dimana
masih berlanjut ke Peninjauan Kembali. Sesuai dengan Bapak A.J
Sumampow, Bapak Steven Suluh76 menyatakan bahwa camat yang
terdahulu memang telah melakukan proses jual beli terhadap tanah yang
telah menjadi tanah Negara tersebut dengan menggunakan sertifikat yang
telah dibatalkan. Prosesnya pada saat ini telah masuk ke ranah kepolisian.
Sebagaimana telah ada putusan dari Mahkamah Agung bahwa status
tanah bekas Hak Guna Usaha pada saat ini adalah tanah Negara maka
menurut bapak Hendrik Tahumuri77, apabila proses pembuatan akta jual beli
telah terlaksana didepan PPAT(camat), merupakan sesuatu yang tidak sah
75 Wawancara dengan ketua LPM Girian Indah. 76
Wawancara dengan kepala kecamatan girian. 77 Wawancara dengan Kepala seksi sengketa dan Konflik Kantor pertanahan Kota Bitung.
cxxviii
dan batal demi hukum ini disebabkan tanah tersebut dalam status tanah
berperkara. Dan apabila akan diproses untuk balik nama di kantor
pertanahan secara langsung tidak akan diproses karena transaksi tersebut
cacat hukum dan secara langsung batal karena tidak sesuai dengan
peraturan yang berlaku.
Terjadinya proses jual beli ini disebabkan karena adanya kerja sama
antara penjual yang memiliki sertifikat dengan kepala desa, selain dengan
kepala desa penjual juga melakukan konspirasi dengan kepala kecamatan
untuk pelaksanaan proses Akta jual Beli. Prosedur jual beli tanah
berlangsung sesuai dengan peraturan perundang-undangan dimana
dilaksanakan didepan Pejabat Pembuat Akte Tanah yang diangkat oleh
pemerintah, dalam hal ini Camat setempat. Persekongkolan yang terjadi
menutupi persyaratan materiil dalam proses jual beli sesuai dengan UUPA
dan PP no 24 tahun 1997.
Sahnya jual beli ditentukan oleh syarat materil dari perbuatan jual beli
yang bersangkutan, bukan oleh pasal 19 PP 10/1961 jo PP no. 24 tahun
1997. Sedangkan yang merupakan syarat materil ialah:
1. Penjual berhak menjual tanah yang bersangkutan;
2. Pembeli berhak membeli tanah yang bersangkutan;
3. Tanah hak yang bersangkutan boleh diperjualbelikan menurut hukum;
cxxix
4. Tanah hak yang bersangkutan tidak dalam sengketa.
Ditegaskan juga oleh KEPUTUSAN MAKAMAH AGUNG NO.
123/K/SIP/1970 bahwa :
“Pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 berlaku khusus bagi pemindahan hak pada kadaster, sedangkan hakim menilai sah atau tidaknya suatu perbuatan hukum materiil yang merupakan jual beli (materiele handeling van verkoop) tidak hanya terikat pada Pasal 19 tersebut.”
Melihat dari syarat materiil yang tidak terpenuhi maka menurut penulis
bahwa proses jual beli yang terjadi diatas tanah bekas Hak Guna Usaha
tersebut sah menurut kedua belah pihak dan dihadapan PPAT, akan tetapi
tidak sah menurut perundang-undangan yang berlaku karena tanah tersebut
bukan menjadi hak milik dari penjual walaupun pada saat proses jual beli
berlangsung penjual masih memiliki kuasa atas tanah tersebut melalui
sertifikat hak milik. Penjual tidak berhak untuk menjual tanah tersebut
disebabkan tanah tersebut merupakan tanah yang masih dalam proses
sengketa dan dalam proses penataan serta penarikan sertifikat sehingga
tidak dibenarkan untuk dilakukan transaksi jual beli.
Jadi apabila syarat materiil terpenuhi maka dapat dikatakan bahwa
perjanjian jual beli atas tanah tersebut sah dan dan dapat diproses untuk
balik nama terhadap sertifikat hak atas tanah, sedangkan apabila syarat
materil tersebut tidak terpenuhi maka perjanjian jual beli tersebut tidak sah
dan tidak dapat diproses untuk balik nama di kantor pertanahan Kota Bitung.
cxxx
B. Upaya Hukum Yang Dilakukan Pemerintah Untuk Menguasai Kembali
Tanah Bekas Hak Guna Usaha.
Tanah bekas Hak Guna Usaha, berdasarkan ketentuan Undang-
Undang Pokok Agraria (UUPA) jo Surat Keputusan Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 1-V.B-2004 jo Putusan Peninjauan Kembali
Mahkama Agung nomor: 101 PK/TUN/2010, status hukumnya telah menjadi
tanah yang dikuasai langsung oleh negara (tanah negara).
Dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA, menyatakan bahwa : “Atas dasar hak
menguasai dari negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2, ditentukan
adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang
dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun
bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum”.
Setelah adanya Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung
tanah bekas Hak Guna Usaha diserahkan kepada Pemerintah Kota Bitung
pada tanggal 5 Januari 2011. Pemkot Bitung mulai melakukan penataan
terhadap lahan Tanah bekas Hak Guna Usaha PT. Kinaleosan di Kecamatan
Girian dengan luas 145,59 hektar, dimana saat ini telah dibentuk tim
pemetaan dan penatagunaan yang dipimpin langsung oleh Sekertaris Kota
Bitung Edison Humiang dan wakil ketua Fabian Kaloh.
cxxxi
Menurut Fabian Kaloh78, berdasarkan putusan Mahkamah Agung
nomor 101 PK/TUN/201R0 tanggal 5 Januari 2011, satu diantara isinya
diminta untuk tidak melakukan transaksi jual beli, hibah dan Ruislag dengan
pihak manapun. Untuk itulah menurut Fabian Kaloh kepada mereka-mereka
yang ingin menduduki atupun yang akan menjual tanah tersebut harus
mengikuti aturan yang dikeluarkan Mahkamah Agung.
Apalagi Pemerintah Kota bitung telah membentuk Tim yang bertujuan
untuk menata tanah bekas Hak Guna Usaha Kinaleosan, apabila adanya
oknum atupun sekelompok masyarakat yang ingin menduduki atau berniat
menjual akan membuat gagal upaya penataan yang akan dilakukan
pemerintah kota Bitung melalui Tim Pemetaan dan Penatagunaan. Jika telah
terjadi hal-hal seperti itu otomatis akan mempersulit Pemerintah dalam
melakukan pemetaan dan Pemerintah akan melakukan konsultasi dengan
pihak BPN mengenai kasus jual beli tanah ini.
1. Upaya Pemerintah melalui Mediasi Badan Pertanahan Nasional.
Upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk mempertahankan status
tanah saat ini adalah melakukan pemetaan dan sosialisasi kepada
masyarakat terhadap tanah Negara bekas Hak Guna Usaha, akan tetapi
upaya yang dilakukan pemerintah ini belum berdampak pada kenyataan
78 Wawancara dengan Asisten I Bagian Urusan Pemerintahan Kota Bitung.
cxxxii
yang terjadi. Masyarakat penggarap telah melakukan jual beli antar sesame
masayrakat penggarap yang menduduki tanah bahkan ada juga jual beli
yang terjadi diatas sertifikat yang telah dibatalkan.
Menurut penulis, upaya penyelesaian yang dapat ditempuh oleh
Pemerintah Kota Bitung yaitu dengan cara musyawarah untuk mencari
kesepakatan antara pemerintah yang memliki hak atas tanah dengan
masyarakat yang telah melakukan penjualan tanah bekas Hak Guna Usaha.
Musyawarah dengan cara langkah-langkah pendekatan terhadap para
pihak yang bersengketa sering berhasil di dalam usaha penyelesaian
sengketa di wilayah Kota Bitung. Tindakan ini tidak jarang menempatkan
pihak Kepala Kantor Pertanahan Kota Bitung untuk menempatkan dirinya
sebagai mediator (penengah) didalam menyelesaikan sengketa secara
kekeluargaan. Untuk itu diperlukan sikap tidak memihak serta tidak
melakukan tekanan-tekanan, akan tetapi tidak berarti bahwa mediator
tersebut harus bersifat pasif. Pihak Kantor Pertanahan Kota Bitung harus
mengemukakan beberapa cara penyelesaian, menunjukkan kelemahan-
kelemahan serta kesulitan-kesulitan yang mungkin timbul, yang
dikemukakan kepada para pihak yang bersengketa.
Musyawarah ini apabila dilakukan, harus pula memperhatikan tata
cara formal seperti surat pemanggilan, berita acara atau notulen rapat, akta
cxxxiii
atau pernyataan perdamaian yang berguna sebagai bukti bagi para pihak
maupun pihak ketiga. Hal-hal semacam ini biasanya kita temukan dalam
akta perdamaian, baik yang dilakukan di muka hakim maupun diluar
pengadilan atau notaris.
Berikut adalah prosedur Penyelesaian Sengketa Tanah Di Kantor
Pertanahan Kota Bitung :
a. Pihak penggugat melaporkan gugatannya dikantor pertanahan
Kota Bitung pada seksi bagian tata usaha ;
b. Seksi bagian tata usaha lalu membuat surat rekomendasi yang di
tujukan kepada Kepala Seksi Hak Atas Tanah kantor pertanahan
kota Bitung guna di tanganinya permasalahan yang diajukan oleh
si penggugat ;
c. Kepala Seksi Hak Atas Tanah kantor pertanahan kota Bitung
membuat surat pemanggilan kepada para pihak yang bersengketa
guna diadakannya negosiasi-negosiasi untuk mencapai titik temu
kesepakatan yang dapat memuaskan para pihak yang
bersengketa (win-win solution)
d. Setelah adanya kesepakatan dari para pihak untuk
dilaksanakannya penyelesaian masalah melalui musyawarah
maka Kepala Seksi Hak Atas Tanah kantor pertanahan kota
cxxxiv
Bitung membuat suatu berita acara guna dilaksanakan
musyawarah tersebut .
Setelah dibuatnya Berita Acara maka pihak mediator (penengah)
dalam hal ini adalah Kepala Kantor Pertanahan Kota Bitung akan
mengadakan musyawarah dengan kedua belah pihak yang sedang
bersengketa guna mendapatkan putusan yang saling menguntungkan dari
kedua belah pihak .
Apabila kedua belah pihak yang bersengketa sepakat dengan putusan
yang diberikan oleh seorang mediator maka putusan tersebut akan ditindak
lanjuti. Adapun penindaklanjutan putusan tersebut dengan perbuatan-
perbuatan administrasi yaitu penyelesaian sengketa itu sendiri. Adapun
fungsi dari perjanjian perdamaian, berita acara, notulis maupun laporan
tersebut merupakan dokumen tertulis sebagai dasar pertimbangan Kepala
Kantor Pertanahan Kota Bitung untuk merumuskan putusan penyelesaian
sengketa yang diterima Kantor Pertanahan Kota Bitung, sedangkan realisasi
fisik maupun administrasinya yaitu perubahan data sebagai akibat dari
penyelesaian sengketa tersebut yang dilakukan oleh Kantor Pertanahan
Kota Bitung. Isi dari putusan mediasi itu sendiri setidak-tidaknya memuat hal-
hal sebagai berikut:
1) Perjanjian Perdamaian
cxxxv
2) Berita Acara Pelaksanaan Musyawarah
3) Notula
4) Laporan
Putusan musyawarah harus ditandatangani oleh para pihak yang
bersengketa, Kepala Kantor Pertanahan Kota Bitung sebagai mediator dan
saksi-saksi. Penandatanganan hendaknya dilakukan pada hari dan tanggal
saat diambilnya putusan tersebut secara bersamaan dan tidak
diperkenankan dilakukan secara terpisah.
Apabila usaha-usaha musyawarah tersebut mengalami jalan buntu,
atau ternyata ada masalah-masalah prinsipil yang harus diselesaikan oleh
instansi lain yang berwenang, misalnya pengadilan, maka kepada yang
bersangkutan disarankan untuk mengajukan masalahnya ke pengadilan. Hal
tersebut diatas tidak menutup kemungkinan bagi Kantor Pertanahan Kota
Bitung untuk dapat memutuskan sengketa dengan mengeluarkan sesuatu
keputusan yang sesuai dengan kewenangan yang ada berdasarkan
ketentuan peraturan perundangan yang berlaku.
Jadi pada umumnya sifat dari sengketa ini adalah karena adanya
pengaduan yang mengandung pertentangan hak atas tanah maupun hak-
hak lain atas suatu kesempatan/prioritas atau adanya suatu ketetapan yang
merugika. Pada akhirnya penyelesaian tersebut, senantiasa harus
memperhatikan dan selalu mendasarkan kepada peraturan yang berlaku,
cxxxvi
mempertimbangkan keseimbangan kepentingan-kepentingan para pihak,
menegakkan keadilan hukumnya serta penyelesaian ini diusahakan harus
tuntas.
Dalam Pasal 6 ayat (2) Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala
Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 1999 Tentang Tata Cara
Penanganan Sengketa Pertanahan bahwa Penanganan penyelesaian
masalah/sengketa pertanahan di tingkat Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kotamadya ditugaskan kepada Kepala Seksi Hak Atas Tanah
dengan dibantu oleh pejabat/petugas terkait dari Kantor Pertanahan.
2. Upaya pemerintah melalui system penyelesaian sengketa diluar
pengadilan (ADR).
Upaya penyelesaian sengketa antara masyarakat dengan pemerintah
dapat dilakukan juga dengan penyelesaian sengketa diluar pengadilan atau
non litigasi atau alternative dispute resolution (ADR). Penyelesaian sengketa
diluar pengadilan ini diatur dalam Undang-undang No. 30 tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif penyelesaian Sengketa, ada beberapa cara
penyelesaian sengketa yang dapat digunakan yaitu melalui jalur negosiasi,
mediasi, konsiliasi dan arbitrase, serta dapat ditempuh dengan bantuan
pihak-pihak yang biasa menfasilitasi tercapainya kesepakatan dengan para
pihak yang bersengketa.
cxxxvii
Begitu juga halnya dengan sengketa yang terjadi didalam jual beli
tanah Negara yang dikuasai pemerintah, pemerintah kota bitung sebagai
pemilik hak atas tanah bisa menggunakan upaya negosiasi, yaitu dengan
proses perundingan atau tawar menawar suatu konsesi, dalam
permasalahan yang timbul di tengah masyarakat dengan Pemerintah, yaitu
masyarakat yang menjual, masyarakat pembeli dan perwakilan pemerintah.
Jika perundingan berhasil dilakukan dan mencapai kesepakatan, maka akan
dibuatkan perjanjian bersama yang isinya mengikat para pihak, sebaliknya
jika dalam waktu 14 hari tidak mencapai kesepakatan, maka atas
kesepakatan tertulis kedua belah pihak, sengketa diselesaikan melalui
mediasi.
Menurut Bapak Steven Suluh79, pemerintah bisa menjadi tempat untuk
mengadakan penyelesaian sengketa tersebut dengan cara negosiasi,
pemerintah akan melakukan proses negosiasi dimana posisi pemerintah
sebagai negosiator diwakili oleh camat yang berada di lokasi yang telah
terjadi jual beli. menurutnya akan sangat membantu dalam penyelesaian
proses ini sehingga bisa menguntungkan bagi para pihak disini, pemerintah
ingin membantu pihak pembeli yang telah melakukan pembelian diatas tanah
Negara dengan itikat baik dimana tidak dapat disalahkan terhadap proses
jual beli ini, pihak pembeli juga merasa ditipu oleh pihak penjual.
79 Wawancara dengan kepala kecamatan Girian.
cxxxviii
Menurut penulis, proses negosiasi cukup menguntungkan bagi para
pihak, apalagi salah satu pihak bersedia sebagai negosiator, disini
pemerintah dengan pihak penjual dan pembeli melakukan suatu
perundingan mengenai tanah yang telah terjadi penguasaan dari masyarakat
sehingga masyarakat penjual bisa menjual kepada pembeli, pemerintah disini
juga harus melihat kepentingan dari pembeli yang telah melakukan
pembelian dengan itikat baik, pemerintah harus menjelaskan status tanah
tersebut kepada pihak pembeli maupun penjual, bahwa tanah tersebut
merupakan tanah Negara yang pada saat ini dikuasai langsung oleh
pemerintah Kota Bitung, sehingga dari perundingan tersebut bisa diambil
suatu keputusan terhadap tanah tersebut. Seandainya dalam perundingan
tidak mencapai kesepakatan antara para pihak maka tahap selanjutnya
dilakukan proses mediasi.
Tahap selanjutnya diupayakan proses penyelesaian sengketa melalui
mediasi, dengan bantuan mediator, mediator disini bisa juga dari pihak
Badan Pertanahan. Adapun teknik mediasi yang dilakukan dengan
mengandung unsur-unsur:
a. Proses penyelesaian sengketa berdasarkan perundingan para pihak
menempuh mediasi ini.
cxxxix
b. Adanya pihak ketiga yang bersifat netral sebagai penengah terlibat dan
diterima oleh kedua belah pihak
c. Mediator bertugas membantu para pihak yang bersengketa untuk mencari
penyelesaian atas masalah–masalah sengketa.
d. Mediator tidak mempunyai kewenangan membuat keputusan selama
proses perdamaian berlangsung
e. Proses ini bertujuan agar sengketa lahan antara masyarakat penjual,
masyarakat pembeli dengan Pemerintah segera terselesaikan.
Adapun Peranan mediator dalam membantu para pihak adalah
Sebagai katalisator atau pendorong lahirnya suasana damai dan
memberi pengertian dan solusi atas masalah yang ada. Sebagai pendidik
atau dengan memahami keinginan masing-masing pihak dan menyampaikan
keinginan tersebut dengan cara penyampaian yang baik, sebagai
penterjemah usulan baik yang tersirat maupun tersurat.
Proses mediasi ini dilakukan dengan tahapan:
a. Pertemuan terpisah (separate sessions), dimana pada pertemuan ini
mediator melakukan pertemuan secara terpisah dengan pemerintah,
masyarakat penjual tanah dan masyarakat pembeli. Mediator mencoba
cxl
merumuskan permasalahan dari masing-masing pihak dan mencoba mencari
suatu proses penyelesaian yang terbaik antara para pihak.
b. Pertemuan bersama (Join meeting), pada proses ini mediator
mempertemukan semua pihak yang berhubungan dengan perkara ini.
Mediator melakukan penilaian dengan cara terbaik untuk melanjutkan proses
Persiapan untuk melakukan pertemuan bersama kemudian mengatur
suasana para pihak dan mendengarkan issu sehingga dapat
mengembangkan kesepakatan. Pada pertemuan bersama ini para pihak
dapat mengutarakan kepentingan-kepentingan yang diperlukan para pihak
sehingga dapat memilih suatu proses penyelesaian sengketa yang terbaik.
Menurut penulis, Proses penyelesaian menggunakan mediator antara
pemerintah, masyarakat penjual dan masyarakat pembeli bisa mendapatkan
suatu keputusan yang menguntungkan antara para pihak (win-win solution).
Menurut penulis, pemerintah kota bitung harus bekerja sama dengan semua
pihak, baik masyarakat penjual, pembeli maupun masyarakat penggarap
tanah bekas Hak Guna usaha untuk memproses tanah bekas Hak guna
Usaha tersebut, pemerintah kota bitung harus mempertegas status tanah
tersebut dan bersama dengan pihak kantor Pertanahan kota Bitung harus
menindaklanjuti terhadap proses jual beli tanah yang telah terjadi terhadap
sebagian tanah bekas Hak Guna Usaha yang saat ini merupakan tanah
Negara yang dikuasai oleh pemerintah Kota Bitung.
cxli
Untuk itu agar tidak terjadinya sengketa pertanahan yang akan
merugikan salah satu pihak, maka sebaiknya tanah bekas hak guna usaha
yang telah dilepaskan haknya menjadi tanah Negara dan dialihkan kepada
Pemerintah Kota harus segera dilakukan penataan dan dengan bantuan
Kantor Pertanahan Kota bitung harus segera melakukan eksekusi terhadap
tanah bersertifikat yang telah dibatalkan oleh putusan PK setelah itu harus
dibuatkan suatu peraturan daerah untuk memperkuat status tanah tersebut
sehingga tidak dimasuki/diduduki/dikuasai oleh masyarakat yang tidak
berkepentingan terlebih terjadinya proses jual beli atas tanah tersebut.
Dengan adanya kepastian hukum terhadap tanah bekas hak guna
usaha yang telah menjadi tanah Negara maka para okupan yang telah
melakukan pendudukan terhadap tanah tersebut harus dikeluarkan dari
lokasi tanah sehingga tanah tersebut menjadi tanah yang dikuasai langsung
oleh Negara bukan dikuasai para maysarakat okupasi. Dengan kembalinya
status tanah menjadi tanah Negara maka sangat bermanfaat bagi
masyarakat penggarap yang belum mendapatkan bagian hak atas tanah
untuk melakukan permohonan hak terhadap tanah Negara, dan bagi
pemerintah dapat melakukan pemetaan dan perencanaan tanah yang
diperuntukkan bagi pembangunan daerah.
cxlii
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan.
1. Jual beli atas tanah yang objeknya merupakan tanah Negara antara
penjual dan pembeli tidak sah dan batal demi hukum karena tidak
terpenuhinya syarat jual beli yaitu syarat materiil sehingga tidak
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
2. Upaya yang dilakukan Pemerintah Kota Bitung pada saat ini yaitu
telah melakukan pemetaan terhadap tanah bekas Hak Guna Usaha
(Tanah Negara) dan bekerja sama dengan pihak kantor pertanahan
Kota Bitung untuk mengeksekusi tanah Negara sehingga dapat
dikuasai langsung oleh Pemerintah Kota Bitung dan upaya hukum
yang dapat ditempuh oleh pemerintah untuk menguasai kembali
tanah Negara yaitu dengan menggunakan proses mediasi Kantor
Pertanahan Kota Bitung.
cxliii
B. Saran.
1. Perlu ditingkatkan adanya penyuluhan hukum oleh Pejabat
pemerintahan Kantor Pertanahan Kota Bitung juga oleh Kepala-kepala
Kecamatan Kota Bitung kepada masyarakat setempat dan perlu
diingatkan juga kepada masyarakat agar lebih sadar hukum atau
memiliki kesadaran hukum yang tinggi, sehingga sengketa dalam
pengalihan melalui jual beli tanah dapat di atasi dengan mudah baik
sekarang maupun masa yang akan datang.
2. Pemerintah Kota Bitung dan Kantor Pertanahan Kota Bitung hendaknya
dapat segera mengatur kembali dan memperhatikan status tanah
berupa tanah Negara baik yang sudah memiliki kepastian hukum
maupun yang belum, sehingga dapat dimaksimalkan penggunaan tanah
Negara, dan tidak terjadi penyalahgunaan penggunaan tanah.
Sebaiknya dibuatkan suatu peraturan khusus berupa peraturan daerah
yang mengatur tentang Tanah Negara yang dikuasai pemerintah.
cxliv
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Achmad Ali. 2009. Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence): Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence). Kencana, Jakarta
Adrian Sutedi. 2010. Peralihan Hak Atas Tanah Dan Pendaftarannya. Sinar Grafika, Jakarta.
Ali Achmad Chomzah. 2002. Hukum Pertanahan: Seri Hukum Pertanahan I & II. Prestasi Pustaka, Jakarta.
. 2003. Hukum Pertanahan: Seri Hukum Pertanahan III & IV. Prestasi Pustaka, Jakarta.
Arie Sukanti Hutagalung. Markus Gunawan. 2009. Kewenangan Pemerintah di Bidang Pertanahan. Rajawali Pers, Jakarta.
Bambang Sunggono. 2012 Metodologi Penelitian Hukum. Rajawali Press, Jakarta.
Bernhard Limbong. 2012. Konflik Pertanahan. Margaretha Pustaka, Jakarta.
Budi Harsono. 2008. Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Tanah. Djambatan, Jakarta.
___________ . 2008. Hukum Agrarian Indonesia : Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, isi dan Pelaksanaannya. Djambatan, Jakarta.
Elza syarief. 2012. Menuntaskan Sengketa Tanah. KPG, Jakarta.
Hans Kelsen. 2011. Teori Hukum Murni. Nusa Media, Bandung.
Jimmy joses Sembiring. 2011. Cara menyelesaikan Sengketa di Luar Pengadilan. Visimedia, Jakarta.
Jeffery M. Paige. 2011. Revolusi Agraria. Imperium, Yogyakarta.
cxlv
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja. 2008. Hak-Hak Atas Tanah. Kencana, Jakarta.
Lili Rasjidi, Ira Thania Rasjidi. 2010. Pengantar Filsafat Hukum. Mandar Maju, Bandung.
Maria SW. Sumardjono. 2008. Kebijakan pertanahan antara regulasi dan implementasi. Kompas, Jakarta
. 2009. Tanah dalam Perpektif Hak Ekonomi Sosial Dan Budaya. Kompas, Jakarta.
Muchsin, Imam koeswahyono, Soimin. 2007. Hukum Agraria Indonesia Dalam Perspektif Sejarah. Refika Aditama, Bandung.
Parlindungan. A.P. 1992. Beberapa Pelaksanaan Kegiatan dari UUPA. Mandar Maju, Bandung.
. 2008. Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria. Mandar Maju, Bandung.
Peter Mahmud Marzuki. 2010. Penelitian Hukum. Kencana, Jakarta.
Sudikno Mertokusumo. 2011 Perundang-undangan Agraria Indonesia, Liberty, Yogyakarta.
Supriyadi. 2011. Aspek Hukum Tanah Asset Daerah. Prestasi Pustaka, Jakarta.
Soerjono Soekanto. Sri Mamudji. 2011 Penelitian Hukum Normatif. Rajawali Pers, Jakarta.
Soerjono Soekanto. 2012. Pengantar Penelitian Hukum. UI Press, Jakarta.
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan. 2000. Hukum Perdata : Hukum Benda. Liberty, Yogyakarta.
Urip Santoso. 2010. Hukum Agraria: Kajian Komprehensif. Kencana, Jakarta.
. 2011. Pendaftaran dan Peralihan Hak atas Tanah. Kencana, Jakarta.
cxlvi
TAMBAHAN BACAAN :
Akh Munif. (2010). Perlindungan Hukum terhadap petani yang menguasai tanah pertanian bekas hak barat. Jurnal Yustitia, 10(pt1): 50-94
Mudjiono. (2007). Alternatif penyelesaian Sengketa Pertanahan Di Indonesia Melalui Revitalisasi Fungsi Badan peradilan. Jurnal Hukum, 14(pt3): 458-473
Riska Fitriani. (2012). Penyelesain sengketa lahan hutan melalui proses mediasi. Jurnal Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Riau, 2(pt2):213-227
Trie Sakti. (2011). Land Ownership Rules For Foreigners. Jurnal Pertanahan, 3:69-88
Trie sakti., Rahman Yuliardhi Sukamto. (2011). Sinkronisasi Perundang-Undangan Sumberdaya Agraria. Jurnal Pertanahan, 4:89-120
http://manado.tribunnews.com/2012/02/06/tanah-erfacht-mulai-dijual-tanpa-sepengetahuan-warga ( 7 september 2012 pukul 19.30 WITA)
http://beritamanado.com/berita-utama/baramuli-serahkan-pk-ma-tanah-erpfacht-ex-hgu-pt-kinaleosan/70682/ ( 8 September 2012 Pukul 20.00 WITA)
http://skripsi.dagdigdug.com (12 Oktober 2012 pukul 19.30 WITA).
http://opini-manadopost.blogspot.com (13 Oktober 2012 pukul 19.30 WITA).
http://www.landpolicy.or.id (14 Oktober 2012 pukul 18.30 WITA).
http://www.ptpnix.co.id (2 Nopember 2012 pukul 19.30 WITA).
http://ptpnixbatujamus.blogspot.com (2 Nopember 2012 pukul 19.30 WITA).
http://mariotedja.blogspot.com/2012/12/teori-kepastian-dalam-prespektif-hukum.html (30 April 2013 Pukul 19.00 WITA)