Post on 22-Feb-2023
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
“Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa
pahlawannya” demikianlah kata pepatah yang hingga kini menjadi panutan
bangsa Indonesia dalam memberikan penghargaan bagi para pahlawan. Betapa
tidak, dalam perjalanannya bangsa Indonesia telah menghasilkan banyak
pahlawan yang telah berjuang mati-matian untuk memperoleh serta
mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Baik itu pahlawan nasional, pahlawan
kemerdekaan, hingga pahlawan revolusi, semua mendapat penghargaan karena
mereka telah berjasa besar bagi kepentingan bangsa Indonesia. Banyak dari para
pahlawan tersebut berjuang di medan peperangan, sebut saja sosok Pangeran
Diponegoro, Kapitan Pattimura, dan Sultan Agung yang berjasa dalam memerangi
tentara kolonial Belanda. Namun ada pula yang berjasa terhadap bangsa Indonesia
bukan melalui jalan perang melainkan melalui pendidikan. Salah satu di antaranya
adalah Raden Ajeng Kartini, pahlawan wanita yang telah berjasa dalam membela
hak kaum wanita Indonesia serta memperjuangkan kehidupan sosial yang lebih
baik bagi rakyat pribumi.
Presiden pertama Indonesia, Ir. Soekarno melalui Kep. Pres. RI No.108
Tahun 1964, pada tanggal 2 Mei 1964, mengangkat R.A. Kartini sebagai
Pahlawan Kemerdekaan Nasional sekaligus menetapkan tanggal 21 April sebagai
Hari Kartini. R.A. Kartini diangkat sebagai pahlawan bukan karena kegigihannya
2
dalam bergerilya melawan tentara kolonial Belanda, namun ia diangkat karena
cita-citanya sehubungan dengan nasib kaum wanita. Ia juga dikenang karena
surat-suratnya yang mengandung berbagai gagasan revolusioner untuk
memajukan bangsa Indonesia yang kala itu masih bodoh dan miskin. Ia
memperjuangkan hak kaum wanita bukan melalui jalur politik melainkan melalui
jalur pendidikan. Kartini ingin mengangkat derajat kaum wanita pribumi agar
dapat setara dengan kaum pria terutama dalam hal pendidikan. Ia juga memiliki
cita-cita agar suatu saat nanti bangsanya mampu bebas dari telapak kaki bangsa
lain dan dapat mengatur sendiri kehidupan bangsa yang merdeka dan berdaulat.
Bagi Kartini, untuk mencapai cita-cita tersebut yang dibutuhkan adalah
pendidikan. Karena jasanya yang besar dalam kemajuan bangsa inilah, Kartini
diangkat sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional.
Karena jasa besarnya dalam pendidikan, banyak sekolah di Indonesia
yang memperingati Hari Kartini secara khusus. Banyak kegiatan dilakukan untuk
memeriahkan Hari Kartini di antaranya mengadakan berbagai lomba seperti
membatik, memasak, hingga fashion show dengan busana tradisional. Semua
kegiatan tersebut sejatinya memang dilaksanakan untuk mengenang jasa R.A.
Kartini. Namun kenyataannya, peringatan tersebut kurang memberikan kesan
mendalam khususnya bagi para remaja Indonesia. Remaja masa kini cenderung
kurang menghayati nilai-nilai perjuangan Kartini. Buah pemikirannya yang
revolusioner hingga semangatnya yang besar untuk belajar, kurang mendapat
sorotan dari para remaja. Peringatan Hari Kartini hanya dijadikan sarana kegiatan
yang sifatnya formalitas tanpa dimaknai secara lebih mendalam. Nyatanya saat
ini, R.A. Kartini belum menjadi sosok yang diteladani atau diidolakan para
3
remaja. Remaja saat ini lebih cenderung meneladani idola-idola mereka seperti
Agnes Monica atau Lady Gaga. Mereka mencintai idolanya hingga menirukan
gaya berpakaian atau bahkan gaya hidup idolanya. Sosok Kartini yang seharusnya
menjadi teladan bagi remaja, kini malah hampir terlupakan seperti sebuah
pepatah, ”Kacang lupa akan kulitnya.” Remaja masa kini seolah-olah melupakan
sosok Kartini yang sejatinya telah membuat kehidupan mereka kini menjadi lebih
baik.
Melihat pelbagai keprihatinan tersebut, penulis merasa tertarik untuk
mengangkat kembali perjuangan Kartini dalam karya tulis ini karena bagi penulis
banyak nilai perjuangan Kartini yang masih relevan untuk diteladani dan
diimplementasikan ke dalam kehidupan sehari-hari.
1.2 Batasan Masalah
Penulis melakukan pembatasan masalah terhadap karya tulis ini agar
tidak menyimpang dari esensi dasarnya antara lain:
1. Perjuangan Kartini semasa hidupnya.
2. Buah pemikiran dan tulisan-tulisan Kartini.
3. Pengaruh Kartini dalam pendidikan.
4. Tanggapan remaja putri tingkat SMA terhadap Kartini.
5. Keteladanan Kartini bagi remaja putri dan seminaris.
1.3 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan pengamatan yang penulis lakukan,
penulis merumuskan sejumlah permasalahan serta keprihatinan yang ada antara
lain:
4
1. Kisah hidup dan perjuangan Kartini yang belum dikenal secara luas di
Indonesia karena hanya dipelajari di sekolah saja.
2. Banyak buah pemikiran dan gagasan revolusioner Kartini yang hanya
dipahami sebagai pengetahuan umum, bukan dimaknai sebagai inspirasi
hidup.
3. Remaja putri yang kurang mengenal Kartini secara mendalam. Kartini telah
berjuang demi hak perempuan Indonesia, sehingga menjadi sebuah
keprihatinan apabila remaja putri kurang mengenal pahlawannya sendiri.
4. Keteladanan Kartini yang kurang direfleksikan sebagai nilai-nilai hidup di
dalam kehidupan sehari-hari.
Untuk lebih memperjelas permasalahan utamanya, penulis memunculkan
pertanyaan sebagai perumusan terhadap masalah yakni:
1. Seperti apakah perjuangan Kartini semasa hidupnya?
2. Seperti apakah buah pemikiran dan karya-karya Kartini?
3. Bagaimanakah pandangan remaja putri terhadap sosok Kartini?
4. Apakah relevansi keteladanan Kartini bagi remaja putri dan seminaris saat
ini?
1.4 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan karya tulis ini adalah:
1. Penulis hendak mengenalkan kisah hidup dan perjuangan Kartini.
2. Menunjukkan buah pemikiran dan karya-karya inspiratif Kartini.
3. Mengetahui sejauh mana remaja putri mengenal dan meneladani sosok
Kartini.
5
4. Menunjukkan petikan makna hidup Kartini bagi remaja putri dan seminaris.
1.5 Metode Penelitian
Metode yang penulis gunakan dalam penyusunan karya tulis ini antara lain:
1. Studi Pustaka
Dalam penyusunan karya tulis ini, penulis menggunakan metode studi
pustaka sebagai bahan pokok. Studi Pustaka merupakan metode mendapatkan
data dan informasi dengan cara membaca buku. Studi pustaka ini penulis
lakukan dengan cara membaca buku mengenai R.A. Kartini. Penulis juga akan
melakukan observasi dengan menggunakan internet atau media massa lain
sebagai sarana untuk mendapatkan data.
2. Angket dan Wawancara
Untuk memperoleh data primer, penulis akan menggunakan metode angket
yang penulis sebarkan kepada 20 remaja putri di SMA PL Van Lith Muntilan
dan SMA Negeri 1 Magelang. Penulis juga menggunakan metode wawancara
terhadap 5 remaja putri yang sekiranya dapat memberikan informasi bagi karya
tulis ini.
1.6 Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan karya tulis ini antara lain:
Bab I : Pendahuluan
Pada Bab ini penulis hendak menyampaikan latar belakang masalah yang
akan dibahas dalam karya tulis ini serta berisi hal-hal teknis berkaitan
penyusunan karya tulis ini yang meliputi latar belakang, batasan masalah,
6
rumusan masalah, tujuan penulisan, metode penelitian, dan sistematika
penulisan.
Bab II : Hidup dan Perjuangan Kartini
Pada bab ini, penulis akan mengulas mengenai kisah hidup Kartini secara
singkat dari kelahiran, masa sekolah, masa pingitan hingga wafatnya Kartini
serta usahanya dalam memajukan kaum perempuan pribumi.
Bab III : Gagasan, Cita-Cita, dan Karya Kartini
Bab ini berisi buah pemikiran Kartini yang sangat inspiratif serta pandangan
Kartini mengenai pendidikan. Penulis juga hendak menyampaikan faktor-faktor
munculnya gagasan revolusioner Kartini serta surat-surat dan tulisannya yang
inspiratif.
Bab IV : Inspirasi Kartini di Kalangan Remaja Putri
Pada Bab ini, penulis hendak menunjukkan data tentang sejauh mana remaja
putri zaman sekarang mengenal dan meneladani Kartiniyang akan penulis
sajikan dalam bentuk diagram beserta analisisnya.
Bab V : Penutup
Dalam Bab terakhir ini akan berisi kesimpulan serta refleksi atas
keteladanan Kartini untuk membantu pembaca dalam mencecap relevansi kisah
hidup Kartini. Bab ini juga mengungkapkan keteladanan Kartini yang relevan
untuk dihidupi oleh seminaris.
7
BAB II
HIDUP DAN PERJUANGAN KARTINI
2.1 Masa Kecil
2.1.1 Kelahiran Kartini
Raden Ajeng Kartini dilahirkan di Mayong, sebelah utara Jepara, Jawa
Tengah pada tanggal 21 April 1897 atau tahun Jawa 28 Rabiulakhir 1808.
Ayahnya, Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat menjadi Asisten Wedana1
Mayong, Kabupaten Jepara waktu itu. Ibu kandung Kartini, M.A. Ngasirah adalah
seorang „bijvrouw‟2 atau istri kedua R.M. A.A. Sosroningrat. Ketika Kartini
dilahirkan, ayahnya menikah lagi dengan Raden Ajeng Woerjan dan menjadi
Bupati Jepara menggantikan kedudukan R.A.A. Tjitrowikromo, ayah R.A.
Woerjan.
Sesuai dengan adat-istiadat zaman itu, keluarga Kartini mengadakan
kenduri berupa bubur merah putih untuk upacara pemberian nama bagi Kartini.
Kartini juga melewati upacara-upacara seperti cukur rambut dan turun bumi
(upacara di mana sang bayi untuk pertama kali diturunkan ke tanah) karena bagi
orang Jawa, ada babak-babak yang sangat penting dalam hidup yang tidak boleh
dibiarkan berlalu tanpa upacara yakni kelahiran, kedewasaan, perkawinan, dan
kematian.3
1 Setara dengan camat 2 Bijvrouw : istri sah tetapi berasal dari tingkat sosial yang lebih rendah dari suami bdk.
Koentjaraningrat, “A Preliminary Description of the Javanese Kinship System” 3 Pramoedya Ananta Toer, “Panggil Aku Kartini Saja”, Lentera Dipantara, Jakarta, 2010, hlm 53
8
2.1.2 Latar Belakang Keluarga
Ayah Kartini, R.M.A. Sosroningrat adalah putra dari Pangeran4 Ario
Tjondronegoro IV, Bupati Demak sehingga secara garis keturunan ayah Kartini
termasuk dalam golongan ningrat. Sedangkan ibu kandungnya, M.A. Ngasirah
adalah putri Madirono, seorang mandor pabrik gula dan hanyalah seorang rakyat
biasa. Karena itulah Ngasirah hanya dijadikan sebagai istri kedua setelah Raden
Ayu Woerjan yang murni golongan ningrat karena masih keturunan Raja Madura.
Meskipun Kartini tidak 100% darah bangsawan, namun ia tetap tinggal bersama
ayahnya dan menjadi golongan ningrat. Namanya menjadi Raden Ajeng Kartini.
2.2 Masa Sekolah
2.2.1 Mencecap Pendidikan Barat
Kakek Kartini, Ario Tjondronegoro adalah bupati pertama yang
memberikan pendidikan kepada putera-puterinya dengan pengajaran Eropa. Enam
belas tahun lamanya beliau menjadi Bupati Demak. Beberapa tahun sebelum
meninggal pada tahun 1866, beliau memberikan wejangan kepada putra-putrinya,
yaitu: Anak-anak, tanpa pengajaran kelak tuan-tuan tiada akan merasai kebahagiaan,
tanpa pengajaran tuan-tuan akan makin memundurkan keturunan kita; ingat-ingat kata-
kataku ini.5
Waktu itu bahasa Belanda merupakan satu-satunya bahasa ilmu
pengetahuan, karena itu tinggi rendahnya pengetahuan seseorang dapat diukur
dari tinggi rendahnya seseorang menguasai bahasa Belanda. Ayah Kartini, R.M.
A.A. Sosroningrat adalah salah satu bupati yang pandai berbahasa Belanda.
4 Gelar ini dianugerahkan pemerintah Hindia Belanda atas jasanya dalam membela rakyatnya saat
terjadi bencana kelaparan di Demak 5 Sitisoemandari Soeroto, “Kartini, Sebuah Biografi”,Gunung Agung, Jakarta. 1977
9
Pendidikan Barat yang ia terima dari sang ayah, menjadikannya maju dalam
berpikir. Untuk itu ia memberi kebebasan bagi putera-puterinya untuk menuntut
pelajaran di sekolah. Karena baginya, pendidikan menjadi sesuatu yang penting
sehingga sebisa mungkin seluruh anaknya harus bersekolah. Drs. R.M.
Sosrokartono, kakak laki-laki Kartini bahkan dapat meneruskan sekolahnya
hingga ke negeri Belanda.
Kartini pun masuk ke Europese Lagere School6. Kartini jelas beruntung
bisa bersekolah, karena menurut adat Jawa, anak perempuan tidak boleh
bersekolah karena hanya anak laki-lakilah yang boleh memperoleh pendidikan. Di
sekolah rendah tersebut, tak jarang Kartini mengalami diskriminasi warna kulit
yang pada zaman itu masih membeda-bedakan antara kulit putih dan coklat.
Orang-orang pribumi yang secara kelas sosial lebih rendah dari orang-orang
Belanda, menjadi sasaran tindakan diskriminasi baik itu dalam hal pergaulan
hingga penilaian dari guru yang lebih memihak siswa Belanda.
Pengalaman diskriminasi itu Kartini sadari sebagai akibat dari politik
kolonial Belanda yang tidak ingin memajukan kaum pribumi. Kartini meyakini
bahwa sebenarnya orang pribumi mampu lebih pandai dari orang-orang Belanda.
Semua tergantung dari kebebasan yang diperoleh orang pribumi untuk
memajukan pendidikan. Meskipun begitu, Kartini tidak mau menyerah. Ia tetap
bersemangat dalam belajar hingga tamat sekolah.
2.2.2 Cita-Cita Kartini
Di sekolah, Kartini memiliki seorang sahabat karib bernama Lesty,
seorang gadis Belanda. Perjumpaannya dengan Lesty ternyata menjadi bekal
6 Setara dengan sekolah dasar dengan tahun pendidikan 7 tahun. Menggunakan bahasa dan
kurikulum Belanda
10
perjuangannya. Suatu ketika Kartini hendak mengajak Lesty untuk bermain.
Namun Lesty menolak karena ingin belajar Bahasa Prancis demi melanjutkan
sekolah di Negeri Belanda. Lesty juga mengungkapkan tentang cita-citanya
menjadi guru. Lesty pun menanyakan tentang cita-cita Kartini. Namun Kartini
tidak pernah memikirkan tentang cita-citanya.
Pertanyaan yang diajukan Lesty masih terngiang di pikiran Kartini. Ia
tidak tahu ketika dewasa nanti akan menjadi apa. Dalam kebingungannya, ia
menghadap ayahnya dan minta diterangkan tentang pertanyaan itu. Ketika ditanya
tentang hal itu, ayahnya hanya tertawa tanpa ada jawaban. Merasa belum
mendapat jawaban, Kartini terus saja merengek minta jawaban pasti. Ia sangat
ingin tahu tentang masa depannya sehingga ia takkan puas sebelum mendapat
jawaban dari sang ayah. Akhirnya, Kartini pun diberi tahu tentang masa depannya
bahwa ia akan menjadi seorang Raden Ayu. Hatinya menjadi senang karena
ketika dewasa nanti ia akan menjadi Raden Ayu. Namun sebenarnya, dari sinilah
lahir cita-cita perjuangan Kartini yang sangat mulia. Pemikirannya akan masa
depan semakin terasah.
2.3 Masa Pingitan
2.3.1 Tradisi Yang Tidak Terhindarkan
Ketika berusia 12 tahun, Kartini tidak diperbolehkan melanjutkan sekolah
karena harus dipingit sesuai dengan tradisi ningrat Jawa. Tradisi itu
mengharuskan seorang gadis bangsawan untuk dipingit hingga seorang pria
datang melamarnya. Ia sangat sedih karena keinginannya untuk meneruskan
sekolah di H.B.S (Hoogere Burgerscholen)7 Semarang tidak diizinkan oleh
7 Masa pendidikan 5 tahun (setingkat SMP dan SMA yang digabung), setelah lulus dapat
meneruskan ke perguruan tinggi
11
keluarganya. Ayahnya yang sangat maju dalam pendidikan, ternyata tdidak
mampu melawan tradisi Jawa yang sudah turun-temurun itu. Begitu pula dengan
Raden Ayu8 dan saudaranya yang lain tetap menghendaki Kartini untuk dipingit
sesuai adat istiadat. Kartini tidak diperbolehkan keluar dari area kabupaten,
bahkan keluar rumah pun ia tidak boleh. Kartini merasakan masa pingitan yang ia
alami sebagai penjara baginya.
Ia merasa tersiksa dengan tradisi tersebut karena baginya seorang manusia
itu seharusnya bebas menentukan hidupnya. Ia ingin seperti teman-teman
Belandanya yang dapat meneruskan pendidikan hingga negeri Belanda. Ia sadar
bahwa sebenarnya pengalaman pahit ini juga dialami oleh gadis pribumi lain.
Dalam benaknya, ia ingin agar gadis pribumi di kemudian hari tidak mengalami
nasib seperti dia. Ia menghendaki kebebasan yang lepas dari keterikatan adat
khususnya bagi gadis pribumi. Dari situlah lahirnya cita-cita Kartini untuk
memperjuangkan hak kaum wanita pribumi. Ia mencita-citakan kesetaraan di
antara pria dan wanita di Hindia Belanda. Kartini memang tidak dapat
menghindari tradisi itu, namun setidaknya muncul keinginannya untuk
menghentikan tradisi kolot yang baginya sudah tidak relevan lagi pada jaman itu.
Kepada kedua adik perempuannya Rukmini dan Kardinah, Kartini
mengungkapkan segala isi hatinya. “Biar sekarang dipingit, tetapi aku akan berusaha
supaya gadis pribumi di kemudian hari jangan sampai mengalami nasib seperti kita ini.
Mereka harus bebas seperti teman-teman kita di Barat.”9
2.3.2 Buku Bacaan Sebagai Penghiburan
8 Ibu tiri Kartini 9 A. Soeroto, Raden Ajeng Kartini Pendekar Wanita Indonesia, Djembatan,1981, hlm 16
12
Meskipun harus terkurung dalam tradisi pingitan yang menyiksa, ternyata
Kartini tidak menyerah sama sekali. Meskipun tidak sekolah, ternyata semangat
belajar Kartini tetap besar. Ayah Kartini yang takluk oleh adat istiadat ternyata
masih menghendaki putrinya maju dalam pendidikan. Ayah dan kakaknya, RM.
Sosrokartono selalu membawakan Kartini buku-buku bacaan sebagai penghiburan
yang disambut antusias oleh Kartini. Sejak saat itulah Kartini menjadi senang
membaca. Semua buku bacaan baru baik itu yang berbahasa Belanda, Jawa,
maupun Melayu, ia baca hingga berulang-ulang. Meskipun terkadang Kartini
kesulitan memahami isi buku, namun ia tidak pernah menyerah. Ia selalu meminta
tolong kakaknya untuk menerjemahkan isi buku yang dianggapnya sulit.
Kakaknya pun dengan tulus membantu Kartini. Kartini juga tertarik pada majalah
kebudayaan dan pengetahuan yang sebenarnya cukup berat bagi gadis seusianya.
Selain membaca, Kartini juga mengisi waktunya dengan menulis. Sejak
berkenalan dengan Estelle Zeehandelaar, Kartini menjadi gemar menulis surat.
Kartini pun semakin terbuka akan kehidupan rakyat pribumi. Kendati hanya
melalui buku bacaan, bukan melihat secara nyata. Dalam kungkungan tradisi yang
keras itu, Kartini memang tidak mempunyai kesempatan untuk mengenal lebih
banyak tentang rakyatnya, tetapi ia mencintai, menghargai, dan menderita buat
rakyatnya. Ia ikut memikirkan kesulitan dan penderitaan mereka. Masa pingitan
yang sangat menyiksa, ternyata mampu memberi penghiburan baginya terutama
dengan aktivitas membaca dan menulis. Semua itu berawal dari buku-buku
bacaan pemberian sang ayah. Sehingga selain menjadi sumber penghiburan, buku-
buku itu juga menjadi sumber pengetahuan bagi Kartini. Bahkan di usianya yang
13
relatif muda, ia mampu berpikir kritis tentang keadaan bangsanya yang begitu
terbelakang dibandingkan dengan Belanda.
2.3.3 Dunia Barat Terbuka Baginya
Tahun 1895, ketika Kartini menginjak usia 16 tahun, Raden Ajeng Sulastri
kakak perempuan tertua, menikah dan mengikuti suaminya ke Kendal. Selepas
kepergian Sulastri, Kartini pun menjadi anak perempuan tertua dalam keluarga
dan ia pun memperoleh kebebasannya kembali. Kini ia boleh ke luar kabupaten
dan tidak lagi terkurung di dalam rumah. Meski masih tidak diperbolehkan
meneruskan sekolah, setidaknya Kartini dapat mencium kembali udara segar di
luar kabupaten Jepara. Kini ia dapat melihat keadaan rakyat pribumi secara nyata
bukan hanya sekedar dari buku. Sebagai kakak tertua, Kartini juga menghentikan
tradisi kolot yang mengharuskan adik-adiknya untuk berjongkok dan menyembah
kakaknya. Ia menekankan kesetaraan di keluarganya.
Pada awal tahun 1900, tuan Ovink-Soer, yang menjabat sebagai Asisten
Residen10
ditemani nyonya Ovink datang berkunjung ke rumahnya. Kartini dan
kedua adiknya, Rukmini dan Kardinah dengan senang hati menerima kehadiran
mereka. Kedua orang Belanda itu sangat heran mendengar Kartini dapat
berbahasa Belanda dengan lancar. Tuan Ovink menjadi tertarik dengan Kartini
karena baru pertama kalinya beliau menggunakan bahasa Belanda dengan anak
pribumi. Padahal ketika mengunjungi kabupaten-kabupaten, tuan Ovink hanya
menggunakan bahasa Melayu pasar. Karena itulah, nyonya Ovink ingin mengajak
Kartini untuk datang ke rumah mereka. Ayahnya pun dengan terbuka
memperbolehkan Kartini datang ke rumah tuan Ovink.
10 Asisten Residen: Pegawai pamong praja yang mengepalai daerah (bagian dari propinsi yang
meliputi beberapa kabupaten) pada masa kolonial Belanda. ________Bdk. Depdiknas, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 2002, hlm. 950
14
Nyonya Ovink ternyata menjadi tempat curahan hati Kartini akan
pemikirannya tentang keadaan wanita pribumi yang jauh berbeda dengan keadaan
wanita di Eropa. Melalui saran nyonya Ovink, Kartini memasang sebuah iklan di
surat kabar setempat yang berbunyi: Seorang gadis bangsawan Jawa ingin
mengadakan surat-menyurat dengan seorang gadis di negeri Belanda.11 Setelah
menunggu sekitar dua bulan, akhirnya iklannya ditanggapi. Ia memperoleh surat
atas nama Estelle Zeehandelaar dari negeri Belanda yang bersedia menjadi teman
surat-menyurat Kartini. Sejak saat itulah Kartini gemar menulis surat untuk
bertukar pikiran dengan sahabat barunya itu. Keinginannya untuk
memperjuangkan hak kaum wanita pribumi pun semakin memuncak dengan
surat-surat yang ia kirim kepada Stella. Dunia barat semakin terbuka baginya dan
semangatnya untuk memperjuangkan emansipasi wanita pribumi pun semakin
memuncak.
2.4 Mengejar Cita-Cita
2.4.1 Hasrat Mendidik Gadis Pribumi
Kartini merasa bahwa perjuangannya tidak akan pernah tuntas apabila ia
tidak mengenyam pendidikan yang lebih tinggi. Awalnya ia sangat berhasrat
menjadi seorang dokter karena dapat bersekolah di Belanda. Namun ia sadar
bahwa ayahnya tidak mengizinkannya melanjutkan pendidikan di Belanda.
Meskipun ayahnya sangat mendukung keinginan Kartini, namun ayahnya masih
takluk dengan adat yang menganggap bahwa hanya prialah yang pantas mendapat
pendidikan tinggi ketimbang perempuan. Meskipun kecewa dengan sikap
11 A. Soeroto, Raden Ajeng Kartini Pendekar Wanita Indonesia, Djembatan, 1981, hlm 20
15
ayahnya, namun ia merasa bersyukur karena telah memperoleh pendidikan Barat
yang banyak mengembangkan cara berpikirnya kendati hanya di sekolah rendah.
Kartini merasa bahwa pendidikan itu tidak hanya diperuntukkan bagi
kaum pria. Baginya, kaum wanita juga perlu mendapat pendidikan sehingga tidak
hanya mengikuti apa kata orang tua harus rela untuk menerima lelaki yang tidak
ia kenal. Ia ingin agar para wanita dapat menentukan masa depannya sendiri dan
tidak hanya mengandalkan suami dalam mencari nafkah. Ia ingin agar para wanita
juga memperoleh keterampilan dan pendidikan sama seperti para laki-laki.
Kartini merasa tergerak hatinya untuk mendidik gadis-gadis pribumi.
Karena baginya, gadis-gadis pribumi perlu mendapat pendidikan seperti gadis-
gadis di Belanda. Ia telah membulatkan tekadnya untuk menjadi pendidik. Ia ingin
menjadi seorang pendidik yang tidak hanya mengajarkan pengetahuan namun
juga keterampilan, dan kepribadian bagi gadis-gadis pribumi.
2.4.2 Perjuangan Sekolah Kartini
Karena keinginannya untuk meneruskan sekolah ke negeri Belanda ditolak
ayahnya, Kartini kembali mendesak ayahnya agar memberinya izin bersekolah di
Semarang yang letaknya tidak jauh dari Jepara. Namun ayahnya tidak berani
menentang adat dan tetap menolak permintaan Kartini. Ternyata Kartini tidak
menyerah begitu saja. Ia mencari cara lain yakni dengan mengirimkan surat
kepada Direktur Pendidikan dan Kebudayaan Belanda, Mr. J.H. Abendanon. Surat
Kartini ditanggapi positif dan beliau bersedia berkunjung ke Jepara pada tanggal
25 Januari 1902 bersama Nyonya Abendanon Mandri .
Kesempatan inilah yang Kartini manfaatkan untuk mengutarakan segala
keinginannya untuk bersekolah lebih tinggi dan untuk mendirikan sekolah putri
16
kepada Mr. Abendanon. Kartini berharap Mr. Abendanon dapat membantunya
untuk memperoleh beasiswa dari pemerintah Belanda agar ia dapat meneruskan
sekolah ke negeri Belanda. Namun setelah menunggu sekian lama, Kartini tidak
kunjung memperoleh kepastian dari pemerintah Belanda. Ia sempat berpikiran
untuk masuk ke sekolah dokter di Jakarta, namun keinginan itu juga tidak kunjung
terealisasikan. Kartini kemudian membuka sebuah sekolah putri sesuai saran dari
Nyonya Abendanon yang ia beri nama Sekolah Kartini (Kartini-
Schoolvereniging). Muridnya ketika itu hanya sembilan orang gadis Jepara yang
masih kerabat dekatnya.
Sekolah Kartini ini diadakan di pendopo kabupaten, sedangkan gurunya
adalah Kartini, Rukmini, dan Kardinah. Mereka mengajarkan para gadis itu
keterampilan menjahit, memasak, menyulam, dan bahasa Jawa. Kartini berharap
dapat membantu para gadis Jepara agar menjadi lebih pandai sehingga dapat
memperoleh kehidupan yang lebih baik.
2.5 Senyum Di Akhir Hidup
2.5.1 Perkawinan Kartini
Ternyata apa yang diimpikan Kartini terjadi. Ia memperoleh beasiswa
sebesar f 4.800 dari pemerintah Belanda sehingga ia dapat meneruskan sekolah ke
negeri Belanda. Namun di saat bersamaan, orang tuanya telah menerima pinangan
Bupati Rembang, Raden Adipati Ario Singgih Joyodiningrat, yang sudah
memiliki tiga istri serta beberapa anak. Kartini tidak diizinkan untuk melanjutkan
sekolah ke negeri Belanda karena ia harus menikah dengan Bupati Rembang itu.
Beasiswa yang diperoleh, Kartini berikan kepada pemuda yang sangat cerdas
17
bernama Agus Salim12
. Tanggal 8 November 1903, Kartini menikah dan
selanjutnya tinggal di Rembang bersama suaminya. Kartini jelas merasa kecewa
karena perkawinan ini ia rasakan sebagai paksaan bukan sebagai pilihannya
sendiri. Sebenarnya hasratnya untuk memperoleh pendidikan masih sangat tinggi
bahkan Kartini tidak pernah berpikir untuk menikah terlalu dini. Ia merasa masa
depannya akan terusik dengan perkawinannya. Namun ia berusaha untuk
menerima keadaannya karena ia percaya bahwa suaminya adalah pria yang baik.
Ia menghormati suaminya yang sudah berusia 50 tahun, namun ia merasa kecewa
karena suaminya berpoligami13
, sesuatu yang dilarang oleh agama. Meskipun
Kartini dijadikan istri utama, namun ia tetap harus hidup satu atap dengan istri
yang lain.
Kartini menyadari bahwa pengalaman ini juga dialami oleh gadis-gadis
pribumi lain, dijodohkan oleh orang tua tanpa persetujuan untuk mengikuti lelaki
pilihan orang tua yang tidak ia kenal. Ia merasa prihatin karena kaum wanita tidak
diberi kesempatan untuk memilih masa depannya sendiri termasuk kebebasan
dalam perkawinan. Dalam masyarakat Jawa kala itu, memang dalam hal
perkawinan, kaum wanita dianggap tidak perlu memberi persetujuan karena orang
tualah yang berhak menentukan perkawinan anak gadisnya.
2.5.2 Dukungan Sang Suami
R.A.A. Joyodiningrat, suami Kartini ternyata berpikiran maju seperti ayah
Kartini di mana ia mendukung cita-cita Kartini. Ia memperbolehkan Kartini untuk
12
Yang dimaksudkan dalam konteks ini ialah Haji Agus Salim, salah satu pahlawan nasional
Indonesia 13 Poligami: sistem perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan
jenisnya dalam waktu yang bersamaan. ______Bdk. Depdiknas,”Kamus Besar Bahasa
Indonesia”,Balai Pustaka, Jakarta,2002, hlm.885
18
mendirikan sekolah putri di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor
kabupaten Rembang, atau di sebuah bangunan yang kini digunakan sebagai
Gedung Pramuka. Kartini tidak hanya memperjuangkan sekolah putri saja, ia juga
berkeinginan untuk mendidik anak laki-laki dalam sekolah pertukangan kayu.
Melihat hasil yang dicapai Kartini dalam kegiatan sekolahnya, suaminya
mengabulkan keinginannya mendatangkan pengukir dari Jepara untuk mendidik
anak laki-laki dalam sekolah pertukangan kayu. Kartini merasa bahagia karena
suaminya banyak membantu usaha dan perjuangannya sebagai guru.
2.5.3 Akhir Hidup Kartini
Sebagaimana istri pada umumnya, Kartini pun hamil setelah beberapa
bulan menikah. Namun dalam masa kehamilan itu, Kartini seringkali jatuh sakit.
Tubuhnya semakin lemah namun semangatnya masih tetap membara. Pada
tanggal 13 September 1904, Kartini melahirkan seorang bayi laki-laki yang diberi
nama R.M. Soesalit. Setelah melahirkan Soesalit, kesehatan Kartini semakin
menurun. Hingga akhirnya ia menghembuskan nafas terakhirnya pada tanggal 17
September 1904 di saat usianya masih 25 tahun. Jenazahnya dikebumikan di desa
Bulu, Rembang.
Setelah Kartini wafat, sekolah Kartini yang telah beliau dirikan ternyata
tidak berhenti begitu saja. Sekolah Kartini menjadi semakin berkembang tidak
hanya di Rembang namun berdiri pula Sekolah Kartini di Semarang, Surabaya,
Yogyakarta, Malang, dan Madiun.
19
Pada tanggal 2 Mei 1964, Presiden Pertama Indonesia, Ir. Soekarno
mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No.108 Tahun 1964 yang
menetapkan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional sekaligus
menetapkan hari lahir Kartini, tanggal 21 April, untuk diperingati setiap tahun
sebagai hari besar yang kemudian dikenal sebagai Hari Kartini.
20
BAB III
GAGASAN, CITA-CITA, DAN KARYA KARTINI
Kalau aku jadi pengarang, betul dapat aku bekerja banyak-banyak dengan
luasnya mewujudkan cita-citaku dan memajukan bangsa kami, sedang kalau aku jadi
guru, hanya kecil lingkungan kerjaku, tetapi aku dapat mendidik dengan langsung, dan
lingkungan yang kecil itu boleh jadi menjadi luas, akhirnya menjadi contoh teladan bagi
orang, asal saja contoh yang diberikan itu ternyata contoh yang baik..... Engkau tahu
gemarnya hatiku akan kesusasteraan, dan tahulah engkau, cita-citakulah menjadi
pengarang yang ada berharga.14
3.1 Di Balik Pemikiran Revolusioner Kartini
3.1.1 Kemajuan Pendidikan dalam Keluarga Tjondronegoro
Kartini adalah sosok yang fenomenal, sebab di usianya yang relatif muda,
ia sudah mampu berpikir maju demi kemajuan bangsa Indonesia. Pemikiran-
pemikirannya yang revolusioner ini ternyata tidak datang dengan sendirinya.
Kartini mengalami suatu proses dalam hidupnya yang telah membangkitkan
semangatnya dalam memperjuangkan hak asasi manusia bagi perempuan pribumi
khususnya dan rakyat pribumi pada umumnya. Salah satu faktor yang turut
berperan membentuk pemikiran maju Kartini adalah kemajuan pendidikan dalam
keluarga Tjondronegoro yang secara turun-temurun diterima oleh Sosroningrat
(ayah Kartini) hingga Kartini sendiri.
Selama dipingit, Kartini merasakan penderitaan batin karena tidak boleh
keluar dari kompleks kabupaten. Namun, ternyata ayahnya, Sosroningrat tetap
14 Surat Kartini kepada Nyonya Abendanon, 30 September 1901
21
berpikiran maju dengan memberikan buku-buku bacaan kepada Kartini. Buku-
buku itu selain memberikan ilmu pengetahuan sekaligus sebagai sumber
penghiburan bagi Kartini di dalam pingitan. Dengan buku-buku itulah, Kartini
menjadi semakin tahu akan dunia Barat dan Hindia Belanda secara lebih
mendalam. Hal itulah yang secara tidak langsung telah membentuk karakter
dalam diri Kartini. Kemajuan pendidikan dalam keluarganya berperan besar
terhadap lahirnya pemikiran-pemikiran Kartini. Ayahnya terbukti mau
memberikan kesempatan bagi Kartini untuk berkembang meskipun secara fisik
masih terikat oleh tradisi.
3.1.2 Perkenalan dengan Dunia Barat
Semasa hidupnya, Kartini adalah pribadi yang terbuka dan rendah hati. Ia
tidak hanya bergaul dengan kaum ningrat, namun juga mau bergaul dengan
pribumi Jawa yang dalam stratifikasi sosial zaman itu termasuk strata terbawah.
Kartini tidak mempedulikan golongan sosial secara vertikal, karena baginya
semua manusia itu sederajat, demikian juga antara laki-laki dan perempuan.
Pemikiran-pemikiran ini banyak muncul setelah perkenalannya dengan dunia
barat baik itu melalui ilmu pengetahuan mengenai Eropa maupun perjumpaannya
dengan orang Belanda.
Perkenalannya dengan dunia barat diawali ketika Kartini sekolah di ELS
yang mayoritas muridnya adalah peranakan Eropa. Kartini bersahabat dengan
Lesty, seorang gadis Belanda yang memperkenalkan arti cita-cita padanya. Ia
menjadi tahu bahwa setiap orang itu memiliki sebuah tujuan yang hendak dicapai.
Di sinilah saat di mana Kartini mulai memikirkan cita-citanya mulai dari menjadi
Raden Ayu hingga cita-cita luhurnya untuk memajukan bangsa.
22
Munculnya pemikiran dan gagasan Kartini tidak lepas pula dari pengaruh
orang-orang Belanda yang menjadi sahabat dan pembimbing Kartini. Mereka
adalah:
Mr. J.H. Abendanon dan Nyonya Abendanon yang turut membantu Kartini
dalam usahanya mendirikan sekolah putri. Kartini sendiri banyak
mencurahkan isi hatinya kepada Nyonya Abendanon yang dalam beberapa
suratnya dipanggil ’ibu’ oleh Kartini.
Nyonya M.C.E. Ovink-Soer, nyonya asisten residen Jepara yang
mendukung niat Kartini untuk bersekolah di Belanda.
Tuan H.H van Kol dan Nyonya van Kol yang banyak memberi dukungan
padanya.
Estelle Zeehandelaar, seorang gadis Yahudi-Belanda yang aktif dalam
gerakan sosial dan feminisme di negeri Belanda. Ia menjadi sahabat pena
Kartini dalam bertukar pikiran, pengetahuan, dan pengalaman yang sangat
kontras dengan Kartini. Pertemanannya dengan Estelle menjadikan
wawasan Kartini akan negeri Belanda semakin luas. Meski tidak
berkontak secara langsung, hubungan tersebut secara nyata banyak
mempengaruhi sikap dan mental Kartini terutama dalam memperjuangkan
cita-citanya.
3.1.3 Buku-Buku yang Menginspirasi
Munculnya gagasan dan cita-cita revolusioner Kartini juga didukung oleh
buku-buku bacaan pemberian ayah dan kakaknya Sosrokartono semasa pingitan.
Penderitaan batin yang dialami Kartini semasa pingitan, serasa terobati oleh
kehadiran buku-buku tersebut. Buku-buku tersebut secara nyata menjadi sumber
23
penghiburan bagi Kartini dalam penderitaan, namun juga memberikan ilmu
pengetahuan serta wawasan yang luas baginya. Sastra-sastra Belanda yang ia baca
juga turut mempengaruhi pemikiran serta cita-citanya. Berikut adalah buku-buku
yang menginspirasi gagasan dan cita-cita Kartini:
Buku karangan Multatuli yang berjudul Max Havelaar dan Minnebrieven.
Lewat buku ini, ia mengetahui akibat buruk dari penindasan yang
dilakukan Belanda terhadap pribumi.
Buku karangan Mr. C. Th. van Deventer yang berjudul Een Eereschuld
memberi inspirasi bagi Kartini terutama dalam membela hak-hak kaum
pribumi.
Buku karangan Nyonya C. Goekoop de Jong yang berjudul Hilda van
Suylenburg. Buku ini menjadi salah satu pembuka jalan bagi Kartini untuk
mengenal kewajiban-kewajiban wanita terhadap keluarganya, lingkungan
dan masyarakat. Di samping itu juga mengajarinya mengenal hak-haknya
sebagai wanita yang adalah manusia. Hasratnya untuk membela
emansipasi wanita khususnya pribumi Hindia Belanda semakin membulat
setelah beberapa kali membaca buku ini.
Buku karangan August Babel yang berjudul De Vrouw en Socialisme
(Wanita dan Sosialisme) yang membuat Kartini semakin sadar akan kodrat
antara pria dan wanita yang sejatinya sama sebagai manusia.
Majalah wanita Belanda De Hollandsche Lelie yang memberi pengetahuan
tentang kemajuan kaum wanita di Belanda yang sudah setara dengan kaum
pria. Majalah inilah yang membuat pemikiran Kartini semakin kritis
24
karena keadaan wanita di Belanda sangat bertolak belakang dengan wanita
pribumi di negerinya.
Buku Moderne Maagden atau Perawan-perawan Modern karangan
Marcel Prěvost. Dari buku ini Kartini memperoleh inspirasi tentang
Gerakan Wanita di Eropa yang mencerminkan keberanian serta daya juang
wanita dalam menegakkan keadilan.
Buku De Wapens Neergelegd atau Sarungkan Senjata karangan Bertha
von Suttner yang memberinya inspirasi tentang perjuangan untuk
memenangkan perdamaian sosial.
Buku karangan Henryk Sienkiewicz yang berjudul Quo Vadis? Atau Iman
dan Pengasihan yang menceritakan tentang keuletan serta ketabahan
jemaat Nasrani dalam menghadapi siksaan serta ancaman dari kekuasaan
Romawi. Buku tersebut memberikan pengaruh besar pada Kartini di
bidang kesetiaan serta keuletan dalam memperjuangkan cita-citanya.15
3.2 Karya-Karya Inspiratif Kartini
Jalan yang diambil Kartini untuk mewujudkan gagasan dan cita-citanya
adalah melalui jalan sebagai pengarang melalui karangan-karangannya baik itu
dalam bentuk surat, catatan harian, puisi, maupun prosa.
Sebagai pengarang, aku akan bekerja secara besar-besaran untuk mewujudkan cita-
citaku, serta bekerja untuk menaikkan derajat dan peradaban Rakyat kami.16
15Pramoedya Ananta Toer, Panggil Aku Kartini Saja, Lentera Dipantera, Jakarta, 2010, hlm 167-
173 16
Surat, 11 Oktober 1901, kepada Estelle Zeehandelaar.
25
3.2.1 Door Duisternis tot Licht17
Cita-cita dan gagasan Kartini yang maju itu ternyata banyak terbentuk dari
karya-karyanya ketika masa pingitan hingga ia menikah. Salah satu karya
inspiratif Kartini ialah surat-suratnya yang terkumpul dalam buku Door
Duisternis tot Licht. Buku yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1911 di
Semarang, Surabaya, dan Den Haag ini diprakarsai oleh Mr. J.H. Abendanon.
Buku ini berisi 105 tulisan yang terdiri dari surat, catatan harian, sajak dan nota18
Kartini tentang pendidikan dan pengajaran.
Buku tulisan Kartini ini diterbitkan dengan tujuan untuk menarik perhatian
dan meminta pertolongan orang dalam pengembangan sekolah putri pribumi yang
menjadi cita-cita Kartini semasa hidupnya. Buku ini ternyata mampu
menginspirasi pembacanya dan disambut dengan baik sehingga buku ini
mengalami pencetakan berulang kali. Hasil penjualan buku ini dikumpulkan
dalam perhimpunan ”Kartinifonds” di Den Haag dan akan digunakan untuk
mendirikan sekolah putri dan membantu gadis-gadis pribumi.
“Surat itu penting benar dalam hidup kami; hampir semuanya kami peroleh dari
berkirim-kiriman surat itulah; bila tiada pernah berkirim-kiriman surat itu, tiadalah
akan sampai kami berani meninggalkan adat kebiasaan yang telah berabad-abad
lamanya itu. Amatlah banyaknya barang yang indah jelita dan berharga datang kepada
kami dengan perantaraan post, mutiara, intan permata bagi otak dan hati.”(Surat
kepada Mr. Abendanon, 8 Agustus 1902)19
17 Judul asli kumpulan surat-surat Kartini yang oleh Armijn Pane diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia menjadi Habis Gelap Terbitlah Terang 18 Semacam masukan / kritik yang biasanya ditujukan pada penguasa / pemerintah 19 Armijn Pane, Habis Gelap Terbitlah Terang, Balai Pustaka, Jakarta, 1997, hlm 25
26
Surat-surat Kartini yang ada di dalam buku Door Duisternis tot Licht ini
terdiri atas:
- 14 surat kepada Estelle Zeehandelaar,
- 8 surat kepada Nyonya M.C.E Ovink-Soer,
- 3 surat kepada Tuan dan Nyonya Prof. Dr. G.K. Anton di Jena (Jerman),
- 4 surat kepada Dr. N. Adriani,
- 5 surat kepada Nyonya G.G. de Booij-Boissevain,
- 3 surat kepada Ir. H.H. van Kol,
- 7 suratkepada Nyonya Nelly van Kol,
- 49 surat kepada Nyonya R.M. Abendanon,
- dan 6 surat kepada E.C Abendanon (putra Mr. Abendanon).20
Kartini menuliskan surat-suratnya bukan dengan bahasa Melayu atau
bahasa Jawa, melainkan menggunakan bahasa Belanda terutama karena ia
berkorespondensi lebih banyak dengan orang Belanda. Sastrawan Indonesia,
Armijn Pane menerjemahkan surat-surat Kartini dari bahasa Belanda ke dalam
bahasa Indonesia menjadi “Habis Gelap Terbitlah Terang.” Karena pengaruhnya
yang cukup besar terutama bagi pribumi, seorang sastrawan Jawa bernama Raden
Sosrosoegondo pun menerjemahkan surat Kartini dari bahasa Belanda ke bahasa
Jawa.
3.2.2 Tulisan Inspiratif Kartini Lainnya
Ketika berumur 16 tahun, Kartini telah menulis sebuah karangan
antropologi tentang adat perkawinan golongan Koja di Jepara, yang kemudian
diterbitkan dengan judul Het Huwelijk bij de Kodja‟s. Karangan antropologi
20
Pramoedya Ananta Toer, Panggil Aku Kartin Saja, Lentera Dipantera, Jakarta, 2010, hlm 233
27
tentang perkawinan kembali ia tulis, tetapi kali ini tentang perkawinan yang
terjadi di kalangan pembesar pribumi. Ia terinspirasi bahan ini sewaktu adiknya,
Kardinah menikah pada tahun 1903. Lalu pada umur 19 tahun, Kartini menulis
sebuah naskah berjudul Handchrift Jepara sewaktu diadakannya Pameran
Nasional untuk Karya Wanita di Den Haag, Belanda pada tahun 1898. Tulisan itu
Kartini buat untuk memperkenalkan keunggulan-keunggulan seni rakyat dan hasil
kerajinan tangan negerinya terutama seni batik. Tulisan Kartini ini menjadi
perhatian banyak orang di Belanda sehingga banyak dari antara mereka yang
mulai menyukai hasil seni Jawa.
Kartini juga menulis sebuah artikel yang berjudul Van een Vergeten
Uithoekje atau Dari Pojok yang Dilupakan demi membela para pengukir kayu di
Jepara yang terancam kehilangan pekerjaannya kala itu. Tulisan-tulisan Kartini
seperti yang disebutkan di atas ternyata semakin menunjukkan bahwa ia sangat
peduli akan kebudayaan Indonesia dan pelbagai polemik yang dialami kaum
pribumi. Kita dapat membayangkan, betapa agung pemikiran dan cita-citanya dari
berbagai tulisan yang telah ia buat.
3.3 Kartini dan Pendidikan
3.3.1 Pandangan Kartini tentang Pendidikan
Pendidikan, bagi Kartini menjadi sesuatu yang sangat fundamental karena
baginya satu-satunya jalan untuk memajukan bangsa ialah melalui pendidikan. Ia
berpendapat bahwa pendidikan itu mampu mengembangkan setiap pribadi dengan
ilmu pengetahuan, keterampilan, dan pendidikan moral yang didapatkan. Kartini
juga berpendapat bahwa pendidikan tidak cukup hanya diberikan kepada kaum
28
laki-laki saja, namun kaum perempuan juga perlu memperoleh pendidikan yang
sama.
Pandangan Kartini akan pendidikan pernah ia tulis dalam sebuah nota
yang berjudul “Berikanlah Pendidikan kepada Bangsa Jawa (baca Indonesia)”
yang ditujukan kepada Mr. J. Slingenberg yang pada tahun 1903 dipublikasikan
melalui berbagai surat kabar. Isinya adalah:
“Siapakah yang akan menyangkal bahwa wanita memegang peranan penting dalam hal
pendidikan moral pada masyarakat. Dialah orang yang sangat tepat pada tempatnya. Ia
dapat menyumbang banyak (atau boleh dikatakan terbanyak) untuk meninggikan taraf
moral masyarakat. Alam sendirilah yang memberikan tugas itu padanya. Sebagai
seorang ibu, wanita merupakan pengajar dan pendidik yang pertama. Dalam
pangkuannyalah seorang anak pertama-tama belajar merasa, berpikir, dan berbicara;
dan dalam banyak hal pendidikan pertama ini mempunyai arti yang besar bagi seluruh
hidup anak…”
Pandangan Kartini mengenai pendidikan ini memang tidak dapat dilepaskan
dari pengalaman empiris yang ia alami sejak masa pingitan yang begitu menyiksa
batinnya. Segala pengalaman ini telah memunculkan gagasan-gagasannya tentang
pendidikan dan melahirkan sebuah cita-cita luhur untuk memajukan pribumi.
Secara garis besar, pokok-pokok pandangan Kartini tentang pendidikan adalah
sebagai berikut:
1. Kunci kemajuan bangsanya terletak pada pendidikan; karena itu seluruh
rakyat harus menerima pendidikan tersebut.
2. Pendidikan sifatnya harus non-diskriminatif dan harus diberikan kepada
siapa saja tanpa membeda-bedakan jenis kelamin, agama, keturunan,
kedudukan sosial dan sebagainya..
29
3. Pendidikan untuk rakyat yang bersifat nasional meliputi pendidikan
sekolah (formal) dan juga pendidikan watak dan kepribadian anak-anak.
4. Kartini memandang bahwa begitu penting untuk secara khusus
menyelenggarakan persekolahan bagi kaum wanita.
Gagasan Kartini tentang pendidikan terlihat jelas dalam suratnya kepada E.C.
Abendanon pada tanggal 15 Agustus 1902 yang berbunyi:
Duh, karena itu aku inginkan, hendaknya di lapangan pendidikan itu
pembentukan watak diperhatikan dengan tidak kurang baiknya akan dan
terutama sekali pendidikan ketabahan. Dalam pendidikan ini harus dapat
dikembangkan dalam diri kanak-kanak, terus-terus...
3.3.2 Terwujudnya Gagasan Pendidikan Kartini
Gagasan Kartini tentang pendidikan, secara nyata terwujud melalui
Sekolah Kartini yang ia dirikan bersama saudarinya Rukmini dan Kardinah.
Bahkan setelah Kartini wafat, Sekolah Kartini banyak didirikan seperti di
Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Malang, dan Madiun. Pandangan Kartini
mengenai pentingnya pendidikan bagi usaha memajukan bangsa secara tertulis
tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 yakni di dalam kalimat “mencerdaskan
kehidupan bangsa”. Gagasan-gagasan Kartini tentang pendidikan yang tercantum
dalam perundangan Indonesia antara lain:
Pasal 31 UUD 1945 tentang pemerataan pendidikan yang sifatnya non
diskriminatif. Gagasan tersebut ditegaskan dalam ayat 1 pasal 31 yang
berbunyi, “Tiap-tiap warganegara berhak mendapat pengajaran
(pendidikan)” yang dalam perspektif Kartini adalah pendidikan tanpa
membedakan gender atau suku bangsa.
30
Gagasan tentang pendidikan juga tercantum dalam ayat 2 pasal 31 yang
berisikan tentang tugas pemerintah untuk mengusahakan dan
menyelenggarakan satu sistem pengajaran (pendidikan) nasional yang
diatur dengan Undang-undang.
TAP IV MPR/1978 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara mengenai
tujuan pendidikan nasional kita, semakin menegaskan asas pendidikan
yang meliputi pendidikan di sekolah dan di luar sekolah.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional. Pasal 3 dalam Bab II UU Nomor 20 Tahun 2003
berbunyi,” Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan
menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.” Undang-
undang ini secara tidak langsung telah mengungkapkan pemikiran Kartini
tentang pendidikan yang tidak hanya mengajarkan ilmu pengetahuan
namun juga pengembangan watak dan kepribadian yang baik.
Pada pasal 4 ayat 1 UU No. 20 Tahun 2003 juga terdapat buah pemikiran
Kartini yang berbunyi,” Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan
berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi
manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.” Dalam
31
gagasannya ini, Kartini memperjuangkan hak asasi manusia terlebih bagi
kaum perempuan agar memperoleh pendidikan yang layak serta setara
dengan kaum laki-laki. 21
21 _____Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, Bidang DIKBUD KBRI Tokyo
32
BAB IV
INSPIRASI KARTINI DI KALANGAN REMAJA PUTRI
4.1 Kartini di Mata Remaja Putri
Dalam bab ini, penulis akan memaparkan analisa data dari hasil angket
yang telah disebarkan kepada 20 orang responden pada dua sekolah yakni SMA
Negeri 1 Magelang dan SMA PL Van Lith Muntilan. Data tersebut digabungkan
dengan hasil wawancara yang penulis lakukan terhadap 5 responden dari SMA
Negeri 1 Magelang, SMA PL Van Lith Muntilan, SMA Kolese Gonzaga Jakarta
dan SMA Kolese Loyola Semarang. Data ini didasarkan pada relevansi
keteladanan Kartini bagi remaja putri jaman sekarang.
4.1.1 Remaja Putri Mengenal Kartini
Salah satu nilai yang diperjuangkan Kartini semasa hidupnya adalah
emansipasi bagi perempuan. Sudah selayaknya remaja putri mengenal sosok
Kartini. Pengenalan sosok Kartini kepada remaja putri dapat melalui orang tua,
100%
0%
Remaja Putri Mengenal Kartini
Tidak
Kenal
33
pendidikan formal, teman sebaya, dan media elektronik seperti televisi, radio dan
lain-lain. Diagram di atas menunjukkan bahwa 100% responden mengenal sosok
Kartini. Berarti sosok Kartini sudah tidak asing lagi bagi remaja putri jaman
sekarang.
4.1.2 Pertama Kali Remaja Putri Mengenal Kartini
Diagram di atas menunjukkan bahwa sebanyak 50% responden mengaku
mengenal Kartini melalui pendidikan formal di sekolah. Pengenalan Kartini
secara khusus diberikan oleh guru mata pelajaran sejarah dalam materi pelajaran
sejarah tentang Kartini. Sebanyak 35% responden menyatakan bahwa orang tua
merekalah yang memperkenalkan Kartini. Sebanyak 15% responden menyatakan
mengenal Kartini melalui media elektronik seperti televisi atau radio yang
membahas tentang Kartini, serta melalui karya-karya Kartini seperti surat, lukisan,
dan puisi ciptaannya.
4.1.3 Kesan Remaja Putri Akan Kartini
50%
35%
15%
Pertama Kali Mengenal Kartini Melalui
Pendidikan formalorang tua
Lain-lain
60%20%
20%
Yang Berkesan Dari Kartini
Memperjuangkan hak perempuan
Semangat belajar
Menentang tradisi demi kemajuan
34
70%
30%
Remaja Putri Ikut Merayakan Hari Kartini
Terlibat
Tidak
Setelah mengetahui bahwa remaja putri jaman sekarang sudah mengenal
Kartini, diagram di atas menunjukkan kesan remaja putri terhadap Kartini. Kesan
tersebut didasarkan pada keteladanan Kartini semasa hidupnya. Sebanyak 60%
responden terkesan akan perjuangan Kartini dalam membela hak perempuan.
Sebanyak 20% responden terkesan akan semangat Kartini untuk bersekolah lebih
tinggi kendati hal itu tidak terpenuhi. Sebanyak 20% responden mengaku terkesan
akan sikap Kartini yang rela menentang tradisi demi kemajuan bangsa.
4.2 Keterlibatan Remaja Putri dalam Hari Kartini
Hari peringatan Kartini secara resmi dirayakan setiap tanggal 21 April.
Perayaan Hari Kartini diselenggarakan di sekolah-sekolah baik itu dengan upacara
bendera atau lomba Hari Kartini. Pada diagram di atas sebanyak 70% responden
70%
30%
Hari Kartini di Sekolah
Ada
Tidak ada
35
mengatakan di sekolahnya diselenggarakan Hari Kartini, sedangkan 30%
responden mengatakan di sekolahnya tidak diselenggarakan Hari Kartini. Data
tersebut diperkuat dengan diagram di bawahnya yang menunjukkan bahwa
sebanyak 70% responden yang di sekolahnya diselenggarakan Hari Kartini
menyatakan terlibat di dalam kegiatan tersebut, sedangkan 30% responden
mengaku tidak ikut terlibat di dalam merayakan Hari Kartini di sekolahnya. Hal
ini menunjukkan bahwa sebagian besar sekolah masih tetap merayakan Hari
Kartini dan sebagian siswi-siswi (remaja putri) di sekolah tersebut ikut terlibat di
dalam merayakan Hari Kartini.
4.2.1 Aksi Remaja Putri dalam Hari Kartini
Bentuk keterlibatan yang dilakukan oleh remaja putri pada Hari Kartini di
sekolahnya menunjukkan antusiasme mereka terutama di dalam merayakan Hari
Kartini. Pada diagram di atas sebanyak 35% responden terlibat dalam Hari Kartini
melalui lomba-lomba seperti lomba memasak, fashion show, dan ketrampilan.
Sebanyak 30% responden menyatakan terlibat di dalam Hari Kartini melalui
pemilihan Kartini sekolah, dan hanya 5% responden yang terlibat sebagai panitia
35%
30%5%
30%
Aksi Remaja Putri dalam Hari Kartini
Lomba-lomba
pemilihan kartini sekolah
menjadi panitia
abstain
36
lomba Hari Kartini. Sedangkan sebanyak 30% responden memilih abstain (tidak
menjawab).
4.2.2 Perasaan Remaja Putri Saat Mengikuti Hari Kartini
Mereka yang ikut terlibat di dalam Hari Kartini tentunya memiliki
perasaan tersendiri ketika mengikutinya. Pada diagram di atas sebanyak 45%
mengaku bersemangat ketika mengikuti Hari Kartini, sebanyak 40% responden
mengaku senang mengikuti Hari Kartini. Tidak ada responden yang menjawab
tidak peduli dan malas. Sebanyak 15% responden memilih abstain (tidak
menjawab).
4.3 Keteladanan Kartini Bagi Remaja Putri
4.3.1 Nilai Hidup Kartini Yang Dipetik
Senang40%
Semangat45%
0%0%
15%
Perasaan Mengikuti Hari Kartini
Senang
Semangat
Malas
Tidak Peduli
Abstain
30%
10%20%
30%
10%
Nilai Hidup Kartini Yang Bisa Dipetik
Pantang menyerah
Kerendahan hati
Keuletan
Kritis
Lain-lain
37
Perjuangan Kartini dalam memperjuangkan hak perempuan tentunya
mengandung banyak inspirasi yang bisa kita terapkan di dalam hidup kita. Banyak
nilai hidup Kartini yang bisa dipetik terutama oleh kalangan remaja putri jaman
sekarang. Pada diagram di atas, sebanyak 30% responden menjawab nilai pantang
menyerah. Sebanyak 30% responden menjawab pemikiran kritis yang bisa
didapatkan. Sebanyak 10% responden menjawab nilai kerendahan hati dan
sebanyak 10% responden menjawab nilai lain ( teguh pendirian, pemberani).
Sisanya sebanyak 20% responden menjawab nilai keuletan yang bisa dipetik dari
Kartini.
4.3.2 Relevansi Nilai Hidup Kartini
Tidak dapat dipungkiri bahwa banyak nilai hidup yang bisa dipetik dari
Kartini. Nilai-nilai tersebut hanya akan menjadi pengetahuan saja jika tidak
dimaknai dan dihidupi oleh remaja putri di dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Pada diagram di atas menggambarkan relevansi nilai-nilai hidup Kartini pada
jaman sekarang. Sebanyak 95% responden menyatakan bahwa nilai-nilai hidup
Kartini masih relevan (sesuai) untuk dihidupi oleh remaja putri jaman sekarang.
Hanya 5% responden saja yang menyatakan bahwa nilai-nilai hidup Kartini sudah
tidak relevan pada jaman sekarang.
95%
5%
Relevansi Nilai Hidup Kartini Jaman Sekarang
Relevan
Tidak
38
4.3.3 Remaja Meneladani Kartini
Pada diagram sebelumnya telah diperoleh data bahwa sebagian besar
remaja putri menyatakan bahwa nilai-nilai hidup yang diteladankan Kartini masih
relevan untuk dihidupi di jaman sekarang. Kini pertanyaannya apakah mereka
sudah menjalankan nilai-nilai hidup Kartini yang telah mereka sebutkan? Diagram
di atas menunjukkan bahwa baru 20% responden saja yang sudah menjalankan
nilai-nilai hidup Kartini di dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan sebanyak
80% responden mengaku belum menjalankan nilai-nilai hidup Kartini di dalam
kehidupan mereka. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar remaja putri
jaman sekarang belum mampu menghayati sosok Kartini sebagai teladan hidup,
namun masih sekedar ilmu pengetahuan saja.
20%
80%
Sudahkah Meneladani Nilai Hidup
Kartini?
Sudah
Belum
39
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Satu-satunya ungkapan yang bisa penulis simpulkan tentang kisah hidup
dan perjuangan Kartini adalah Luar biasa! Kartini telah memperlihatkan
bagaimana impian dan cita-cita itu dapat diraih dengan semangat serta keyakinan
yang besar. Kartini telah membuktikan bahwa seorang perempuan mampu
berperan besar terhadap kemajuan bangsa.
Kesimpulan tentang kisah hidup, gagasan, serta karya-karya Kartini antara lain:
1. Kartini adalah seorang gadis bangsawan Jawa yang harus menjalani
tradisi ningrat Jawa yakni dipingit. Dalam keadaannya dipingit itu, Kartini
mengalami penderitaan batin karena ia merasa sebagai manusia tidak
memperoleh kebebasan di dalam menjalani hidup terutama keinginannya
untuk memperoleh pendidikan yang lebih tinggi.
2. Kartini tidak menyerah akan keterbatasannya, berbekal buku-buku bacaan
pemberian ayahnya, Kartini mulai mengenal dunia secara lebih luas.
Meski impiannya untuk sekolah kandas karena dinikahkan, ia tetap
berjuang dengan mendirikan sekolah khusus putri. Kartini wafat pada usia
25 tahun setelah melahirkan anaknya yang pertama.
40
3. Kartini memiliki pemikiran yang kritis serta kedewasaan yang matang di
usianya yang relatif muda. Gagasan dan cita-cita Kartini terutama
menyangkut tentang kesetaraan gender antara kaum pria dan wanita
pribumi dan pendidikan bagi wanita pribumi. Gagasan tentang pendidikan
yang non diskriminatif tanpa membedakan agama, ras, atau gender.
Gagasan-gagasan itu termuat dalam UUD 1945 Republik Indonesia salah
satunya terdapat dalam pasal 31.
4. Gagasan dan cita-cita Kartini tersebut dipengaruhi oleh kemajuan
pendidikan di keluarga Tjondronegoro serta pergaulannya dengan orang
Belanda seperti Nyonya Abendanon, Nyonya Ovink Soer, dan Estelle
Zeehandelaar. Gagasan dan cita-cita Kartini juga dipengaruhi oleh buku-
buku bacaan seperti Max Havelaar dan Minnebrieven karya Multatuli.
5. Karya-karya Kartini semasa hidupnya antara lain surat-suratnya kepada
Nyonya Abendanon hingga Estelle Zeehandelaar yang kemudian menjadi
buku Door Duisternis tot Lict dan diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia oleh Armijn Pane dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang.
Selain surat-surat, Kartini juga mahir membuat puisi, sajak, hingga
lukisan.
Berdasarkan analisis data dari angket dan wawancara yang telah penulis
lakukan, ada beberapa kesimpulan yang dapat penulis sampaikan yakni:
1. Remaja putri masa kini sudah mengenal Kartini sejak Taman Kanak-
Kanak melalui orang tua, guru sekolah, media elektronik, dan karya-karya
Kartini.
41
2. Yang berkesan bagi remaja putri masa kini adalah perjuangannya dalam
membela hak kaum perempuan, semangat belajarnya yang tinggi, serta
keberaniannya dalam menentang tradisi demi kemajuan bangsa.
3. Mayoritas sekolah di Magelang merayakan Hari Kartini. Sebagian besar
siswinya (remaja putri) ikut terlibat didalamnya antara lain dalam lomba
pemilihan Kartini sekolah, lomba-lomba keterampilan, dan menjadi
panitia lomba. Sebagian besar siswi yang terlibat dalam Hari Kartini
mengaku senang dan bersemangat dalam mengikuti Hari Kartini.
4. Nilai-nilai hidup yang dapat dipetik remaja putri masa kini adalah sikap
pantang menyerah, berpikir kritis, keuletan, kerendahan hati serta sikap
teguh dan pemberani.
5. Sebagian besar remaja putri mengakui bahwa nilai-nilai hidup yang
diteladankan oleh Kartini masih relevan untuk dihidupi remaja putri masa
kini. Sedangkan sebagian kecil remaja putri belum meneladani nilai-nilai
hidup Kartini.
5.2 Relevansi Keteladanan Kartini Bagi Seminaris
Bila kita mau mengingat kembali kisah hidup Kartini, keadaannya
pun hampir sama dengan apa yang dialami para seminaris22
di Seminari
Menengah Mertoyudan. Para seminaris yang notabene adalah calon imam
harus menjalani masa formationya di seminari dengan sistem berasrama.
Dengan tinggal di asrama, mereka harus rela meninggalkan keluarganya
dan hidup di dalam keteraturan serta rutinitas yang terlepas dari dunia
luar23
. Hal ini sama seperti yang dialami oleh Kartini dimana ia harus
22 Sebutan untuk para siswa di Seminari Mertoyudan 23 Kehidupan masyarakat di luar kompleks Seminari
42
meninggalkan sekolahnya untuk dipingit sesuai adat istiadat gadis Jawa
pada waktu itu. Namun, pengalaman itulah yang membentuk pribadi
Kartini menjadi kritis, bercita-cita luhur, dan pemberani. Keteladanan
hidup yang diperlihatkan oleh Kartini nyatanya tidak hanya relevan bagi
remaja putri, namun juga relevan bagi para seminaris. Mengapa demikian?
Para seminaris sebagai calon imam masa depan yang nantinya akan
menggembalakan umat Katolik dalam mengarungi jaman. Untuk itu
mereka perlu mengembangkan sikap kritis terhadap perkembangan jaman,
memiliki visi ke depan yang revolusioner, serta berani menghadapi segala
godaan dunia demi panggilan hidup yang telah dipilih. Keteladanan
Kartini yang relevan untuk para seminaris hidupi antara lain:
Pertama, semangat belajar yang dimiliki oleh Kartini semasa
dipingit menjadi salah satu keteladanan yang dapat dicontoh. Para
seminaris yang hidup di asrama dalam tanda kutip juga mengalami masa
pingitan sama seperti Kartini. Mereka dijauhkan dari kehidupan
masyarakat pada umumnya dan harus menjalani kehidupan sesuai dengan
tradisi, kebiasaan, dan aturan di Seminari. Sebagai contoh, para seminaris
tidak bisa menonton televisi seperti masyarakat pada umumnya. Mereka
hanya diperbolehkan menonton televisi pada hari Rabu malam, Sabtu
malam, dan Minggu. Itu pun dengan waktu yang dibatasi. Segala informasi
tentang keadaan yang terjadi di dunia, mereka temui dari membaca koran,
majalah, atau buku yang telah disediakan Seminari. Seperti Kartini yang
selalu ingin tahu, para seminaris dapat meneladani sifat Kartini ini dengan
memanfaatkan sarana informasi yang telah disediakan Seminari secara
43
optimal. Meski terbatas, dengan semangat belajar, para seminaris dapat
memperoleh wawasan dunia yang lebih luas serta mendalam.
Kedua, gagasan-gagasan kritis Kartini terhadap penderitaan kaum
pribumi dan diskriminasi yang dialami kaum perempuan pribumi. Dalam
pendidikan Seminari, para seminaris dilatih untuk berpikir secara kritis dan
mendalam baik itu ketika diskusi kelompok sekolah, rapat, konferensi
medan24
, dan menulis refleksi harian. Salah satu keunggulan seminaris
adalah dalam hal refleksi. Dalam surat-suratnya, Kartini juga selalu
berefleksi tentang segala yang ia alami serta rasakan. Kartini tidak sekedar
kritis, namun juga memaknai segala gagasan-gagasannya untuk ke depan.
Hal inilah yang perlu seminaris teladani yakni pemikiran kritis dan
mendalam yang reflektif. Pemikiran kritis dalam konteks ini adalah
pemikiran yang konstruktif seperti yang telah dilakukan oleh Kartini.
Dan ketiga, adalah sikap pantang menyerah demi cita-cita. Telah
kita ketahui bahwa cita-cita Kartini untuk membela hak kaum perempuan
pribumi sangat dibatasi oleh tradisi pingitan yang ia alami. Namun, dengan
semangatnya yang pantang menyerah, ia banyak menulis surat dan artikel
untuk memperjuangkan hak pribumi dan khususnya kaum perempuan.
Ketika Kartini dikawinkan, cita-cita itu seolah kandas di tengah jalan.
Namun, sifatnya yang pantang menyerah menjadikan cita-citanya terwujud
dengan berdirinya Sekolah Kartini. Semangat itulah yang perlu dimiliki
oleh para seminaris dalam kehidupan mereka di Seminari.
24 Forum bersama satu angkatan Seminari untuk membahas keadaan dan masalah yang sedang
terjadi
44
5.3 Refleksi
Bagi penulis, Kartini adalah sosok yang sangat inspiratif. Sejak
membaca kisah hidup Kartini, penulis merasa ada sesuatu yang istimewa
dalam diri Kartini yang membuat penulis begitu mengidolakannya.
Sesungguhnya kita dapat belajar banyak dari keteladanan Kartini. Ia telah
membuat langkah yang besar dengan mengawali sebuah revolusi terhadap
kemajuan kaum perempuan pribumi. Kartini telah memperlihatkan kepada
kita bagaimana ia berhasil mencapai langkah besar itu melalui langkah-
langkah kecil dalam hidupnya yang ia jalani dengan setia. Perjuangan
Kartini dalam membela hak-hak perempuan diawali dengan kesetiaannya
dalam membaca buku. Buku-buku itu tidak hanya Kartini baca, namun ia
dalami dan diresapi sebagai sebuah refleksi yang dapat ia terapkan untuk
memperjuangkan cita-citanya.
Kita juga dapat belajar kisah hidup Kartini yang lebih banyak
memperjuangkan kepentingan orang lain ketimbang kepentingannya
sendiri. Ketika beasiswa dari pemerintah Belanda datang padanya, Kartini
lalu menghibahkan beasiswa itu kepada Agus Salim. Betapa besar usaha
Kartini untuk memperjuangkan pendidikan bagi kaum perempuan pribumi
padahal ia sendiri hanya memperoleh pendidikan sekolah rendah. Marilah
kita belajar dari sosok Kartini. Kartini bukanlah semata-mata untuk
perempuan Indonesia saja melainkan untuk kita semua yang tengah
berjuang demi kemajuan bangsa Indonesia. Hidup Kartini, Hidup
Indonesia!
45
DAFTAR PUSTAKA
Sumber Utama:
Pane, Armijn. 1997
Habis Gelap Terbitlah Terang, Jakarta : Balai Pustaka
Ananta Toer, Pramoedya. 2010
Panggil Aku Kartini Saja, Jakarta : Lentera Dipantara
Sumber Sekunder:
Soetoro, Sitisoemandarai. 1997
Kartini, Sebuah Biografi, Jakarta : Gunung Agung
Soeroto, A. 1981
Raden Ajeng Kartini Pendekar Wanita Indonesia, Djembatan
Pengabdian Pahlawan Nasional Ibu Kartini 1879-1904. Rembang, 1964
Sumber Penunjang:
Mujanto, G. 1974
Sejarah Indonesia, Yogyakarta : Kanisius.
Adam, Asvi Warman, 2009
Membongkar Manipulasi Sejarah, Jakarta : Kompas.
46
Depdiknas. 2002
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka
Ensiklopedi Nasional Indonesia Jilid 8, 1990
Jakarta: PT Cipta Adi Pustaka
Ensiklopedi Sejarah dan Budaya Di Bawah Kolonialisme Barat, 2002
Jakarta: PT Lentera Abadi
Soebadio, Haryati dkk, 1979
Satu Abad Kartini, Jakarta: Sinar Harapan
Condro Purnomo S, Yustinus
Kedudukan dan Peranan Wanita Jawa, Karya Tulis
Sumber Website:
http://id.wikipedia.org/wiki/Kartini
Ditulis tanggal:21/04/2010
http://www.dapunta.com/raden-ajeng-kartini-1879-1904/516.html