arsitektur masa kini [amk] - Universitas Udayana

20
1 REKONSTRUKSI DAN REFORMASI NILAI-NILAI ARSITEKTUR TRADISIONAL BALI [ATB] PADA ARSITEKTUR MASA KINI [AMK] DI BALI SUATU KAJIAN PELESTARIAN TRADISI BERKELANJUTAN Oleh Ir. I WAYAN GOMUDHA., MT. 1 ABSTRAK Bali sebagai terminal akhir perjalanan budaya Hindu Indonesia telah melahirkan berbagai produk budaya, salah satu di antaranya arsitektur tradisional Bali (ATB). Menjelang akhir abad dua puluh menuju abad dua puluh satu, muncullah kekhawatiran akan terjadinya degradasi nilainilai arsitektur tradisional Bali dan berlanjut menjadi krisis identitas. Ditengarai fenomena tersebut muncul sebagai akibat benturan tata nilai arsitektur tradisional Bali (ATB) dengan tata nilai arsitektur masa kini (AMK), karena adanya perbedaan tata nilai yang sangat mendasar dalam karakter. Menyikapi benturan yang demikian, perlu sikap rasional dan sadar akan hakekat tradisi yang mentradisi dan proses perubahan yang tak dapat dihindari. Sejalan dengan pemikiran tersebut pada kesempatan ini diajukan sebuah gagasan untuk mengadakan “Reformasi dan Rekonstruksi Nilainilai Arsitektur Tradisional Bali (ATB) pada Arsitektur Masa Kini (AMK) di Bali”, suatu kajian pelestarian tradisi berkelanjutan. Arsitektur Tradisional Bali (ATB) merupakan salah satu karya budaya, keberadaannya tercermin dari filosofi, konsepsi, kemampuan teknologis, dan pola pembangunannya yang disesuaikan dengan perkembangan pola pikir masyarakat pada jamannya secara mentradisi. Dalam ATB belum ditemukan teoriteori arsitektur secara eksplisit, walaupun pedoman instan berarsitektur sudah ada berupa pustaka suci berwujud lontar. Untuk membedah, memilah dan memilih nilainilai dan makna arsitektur yang terkandung dalam ATB diperlukan metode dan ancangan teori arsitektur relefan dalam ranah ilmiah sesuai dengan tema kajian. Nilainilai arsitektur tradisional Bali (ATB) dan arsitektur masa kini (AMK) dikupas dan digelar melalui teori Semiotika dan Dekonstruksi untuk menemukan nilainilai nirupa/tanragawi dan rinupa/ragawi dari faktorfaktor dan unsurunsur utama rancangan. Teori Analogi untuk memilah dan memilih nilainilai rinupa yang setara, tidak setara dan nilainilai lebih yang dimiliki ATB dan AMK. Selanjutnya teori Langgam, teori Ornamen dan Dekorasi untuk menetapkan nilainilai ATB yang perlu dilestarikan, direformasi dan direkonstruksi, serta menetapkan konsekuensi dan konsistensi bagi ATB dan AMK. Dari hasil identifikasi, jelajah obyek kasus, nilainilai ATB pada AMK dapat disimpulkan bahwa nilainilai nirupa ATB pada paras substansiisi dan bentukisi yang sifatnya sangat mendasar dilestarikan sebagai faktor pengajeg; sedang nilainilai rinupa pada paras ekspresi dapat direkonstruksi dan direformasi sesuai dengan desa, kala, patra; desa mawa cara dan catur dresta. Reformasi dan Rekonstruksi dilakukan sebagai upaya pelestarian dan pengembangan ATB, sehingga memiliki definisi baru untuk dapat berkiprah dalam milenium mendatang. Kata kunci: 1. Reformasi. 2. Rekonstruksi. 3. Nilainilai Arsitektur 1 Dosen PS Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Udayana.

Transcript of arsitektur masa kini [amk] - Universitas Udayana

 

REKONSTRUKSI DAN REFORMASI NILAI-NILAI ARSITEKTUR TRADISIONAL BALI [ATB]

PADA ARSITEKTUR MASA KINI [AMK]

DI BALI

SUATU KAJIAN PELESTARIAN TRADISI BERKELANJUTAN

Oleh 

 Ir. I  WAYAN GOMUDHA., MT.1  

ABSTRAK

Bali sebagai terminal akhir perjalanan budaya Hindu Indonesia telah melahirkan berbagai produk budaya, salah satu di antaranya arsitektur tradisional Bali (ATB). Menjelang akhir abad dua puluh menuju abad dua puluh satu, muncullah  kekhawatiran  akan  terjadinya degradasi nilai‐nilai  arsitektur  tradisional Bali dan berlanjut menjadi krisis identitas.  

Ditengarai fenomena tersebut muncul sebagai akibat benturan tata nilai arsitektur tradisional Bali (ATB) dengan 

tata nilai arsitektur masa kini (AMK), karena adanya perbedaan tata nilai yang sangat mendasar dalam karakter. 

Menyikapi benturan  yang demikian, perlu  sikap  rasional dan  sadar  akan hakekat  tradisi  yang mentradisi dan 

proses perubahan yang  tak dapat dihindari. Sejalan dengan pemikiran  tersebut pada kesempatan  ini diajukan 

sebuah gagasan untuk mengadakan “Reformasi dan Rekonstruksi Nilai‐nilai Arsitektur Tradisional Bali (ATB) pada 

Arsitektur Masa Kini (AMK) di Bali”, suatu kajian pelestarian tradisi berkelanjutan. 

Arsitektur  Tradisional  Bali  (ATB) merupakan  salah  satu  karya  budaya,  keberadaannya  tercermin  dari  filosofi, konsepsi,  kemampuan  teknologis,  dan  pola  pembangunannya  yang  disesuaikan  dengan  perkembangan  pola pikir masyarakat pada  jamannya  secara mentradisi. Dalam ATB belum ditemukan  teori‐teori arsitektur  secara eksplisit,  walaupun  pedoman  instan  berarsitektur  sudah  ada  berupa  pustaka  suci  berwujud  lontar.  Untuk membedah, memilah  dan memilih  nilai‐nilai  dan makna  arsitektur  yang  terkandung  dalam  ATB  diperlukan metode dan ancangan teori arsitektur relefan dalam ranah ilmiah sesuai dengan tema kajian. 

Nilai‐nilai  arsitektur  tradisional  Bali  (ATB)  dan  arsitektur masa  kini  (AMK)  dikupas  dan  digelar melalui  teori 

Semiotika dan Dekonstruksi untuk menemukan nilai‐nilai nirupa/tan‐ragawi dan rinupa/ragawi dari faktor‐faktor 

dan unsur‐unsur utama rancangan. Teori Analogi untuk memilah dan memilih nilai‐nilai rinupa yang setara, tidak 

setara dan nilai‐nilai  lebih yang dimiliki ATB dan AMK. Selanjutnya teori Langgam, teori Ornamen dan Dekorasi 

untuk menetapkan  nilai‐nilai  ATB  yang  perlu  dilestarikan,  direformasi  dan  direkonstruksi,  serta menetapkan 

konsekuensi dan konsistensi bagi ATB dan AMK.  

Dari hasil  identifikasi,  jelajah obyek kasus, nilai‐nilai ATB pada AMK dapat disimpulkan bahwa nilai‐nilai nirupa 

ATB pada paras substansi‐isi dan bentuk‐isi yang sifatnya sangat mendasar dilestarikan sebagai faktor pengajeg; 

sedang nilai‐nilai  rinupa pada paras  ekspresi dapat direkonstruksi dan direformasi  sesuai dengan  desa,  kala, 

patra; desa mawa cara dan catur dresta. Reformasi dan Rekonstruksi dilakukan sebagai upaya pelestarian dan 

pengembangan ATB, sehingga memiliki definisi baru untuk dapat berkiprah dalam milenium mendatang. 

Kata kunci: 1. Reformasi. 2. Rekonstruksi. 3. Nilai‐nilai Arsitektur 

                                                            1 Dosen PS Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Udayana. 

 

I. PENDAHULUAN

1. Fenomena yang ada di Bali 

Manusia  selaku  makhluk  sosial  yang  berbudaya,  baik  individu  maupun  kelompok  di  dalam 

kehidupannya memiliki  sifat‐sifat  dinamis  selalu menginginkan  perubahan  kearah  yang  lebih  baik. 

Tradisi sebagai hasil kebudayaan manusia, baik itu dalam wujud ide, prilaku maupun dalam wujud fisik 

(artifact)  selalu  berkembang  dan  berubah  serta  memerlukan  perbaikan‐perbaikan  melalui  proses 

pembangunan. Dilain pihak ATB belum memiliki ‘teori arsitektur’secara eksplisit, tetapi telah memiliki 

‘pedoman yang sangat instan’, yang disusun pada jamannya.  

Perkembangan  dan  pembangunan  memang  sangat  dibutuhkan,  namun  dilain  pihak  adanya 

kekhawatiran  terjadi  degradasi  dan  ketidak‐harmonisan  nilai‐nilai  tradisi  sebagai  warisan  leluhur. 

Dalam bidang arsitektur terjadi perkembangan wujud fisik yang sangat ‘kontras’ dengan arsitektur dan 

lingkungan lokal, dikhawatirkan akan terjadi degradasi nilai‐nilai budaya dan alam Bali. Mengantisipasi 

kekhawatiran ini Pemerintah Daerah Provinsi Bali kemudian mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) 

Nomor:  2/PD/DPRD/1974,  tentang:  Tata  Ruang  untuk  Pembangunan;  Nomor:  3/PD/DPRD/1974, 

tentang: Lingkungan Khusus; dan Nomor: 4/PD/DPRD/1974,  tentang Bangun‐bangunan. Belakangan 

juga  dikeluarkan  Perda  No.  5  Tahun  2005  tentang  Persyaratan  Arsitektur  Bangunan  Gedung, 

dimaksudkan sebagai arahan atau pedoman lebih jelas tentang berarsitektur di Bali. 

Tujuan  utama  Perda  ini  untuk  mengatur  tata  pembangunan  fisik  di  Bali,  juga  sebagai  upaya 

pelestarian nilai‐nilai ATB. Perda ini masih bersifat umum dan belum memiliki petunjuk teknis maupun 

petunjuk pelaksanaan  serta  seolah‐olah perda  ini disusun untuk disiasati atau dilanggar. Kondisi  ini 

akhirnya mengakibatkan  terjadinya  berbagai  interpretasi  dan  persepsi  sesuai  kepentingan masing‐

masing yang berpengaruh terhadap perkembangan arsitektur Bali masa kini.   

Wujud akhir arsitektur ada yang dinilai berhasil dan ada pula yang justru dinilai melunturkan nilai‐nilai tradisi  yang  telah  ada,  nilai  sakral  diprofankan,  penyimpangan  fungsi  bangunan,  tidak  kontekstual, eklektis  (chaos).  Lain  kata  perkembangan  arsitektur  di  Bali  belum  terarah  dengan  jelas,  seperti diungkapkan oleh Robi Sularto (1993:6): 

Kita  seolah‐olah  terperangkap  dan  tidak  tahu  harus  memulai  dari  mana,  karena  ATB  itu  begitu  utuh  dan 

merupakan  ungkapan  kehidupan  masyarakatnya  secara  menyeluruh  tidak  cukup  hanya  dibenahi  oleh 

Pemerintah, Perguruan Tinggi, maupun badan‐badan profesi, tetapi bagaimana memandunya kearah yang benar 

untuk generasi mendatang.  

Beberapa penelitian telah dilakukan namun hasilnya baru sampai pada tahap deskripsi tata‐nilai dan berbagai  kemungkinan  allternatif  pengembangan  ATB.  Belum melakukan  suatu  rencana  aksi  yang lebih  realitis  untuk  dapat  dijadikan  pedoman  berarsitektur.  Untuk  itu  kajian  ini  dilakukan  sebagai tindak lanjut dari penelitian‐penelitian yang sudah ada dalam rangka pelestarian dan pengembangan nilai‐nilai ATB di masa datang.  

Hasil kajian diharapkan berupa ‘rumusan rekonstruksi dan reformasi nilai‐nilai ATB pada AMK’, sebagai masukan  atau  rekomendasi  penyusunan  konsep  rancangan  atau  design  guideline/design criteria/petunjuk  teknis  dan  pelaksanaan  suatu  peraturan  daerah.  Rekomendasi  tersebut  masih bersifat umum,  sehingga memberi peluang kreativitas pengembangan  lebih  lanjut oleh para pelaku pembangunan,  dalam  berbagai  variasi  citra  dan  nuansa. Dengan  pengharapan  dapat memperkaya khasanah arsitektur Bali dan arsitektur Nusantara.     

 

2. Tinjauan Aspek Hukum meliputi Perudangan‐udangan dan Peraturan  

UU  RI,  No.  28  Th.2002,  tentang  Bangunan  Gedung  ;  Paragraf  3,  Persyatan  Arsitektur  Bangunan Gedung, Pasal 14 : (1) Persyaratan arsitektur bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, ayat  (1) meliputi persyaratan penampilan bangunan gedung,  tata  ruang dalam, keseimbangan, dan keselarasan  bangunan  gedung  dengan  lingkungannya,  serta  pertimbangan  adanya  keseimbangan antara nilai‐nilai sosial budaya setempat terhadap penerapan berbagai perkembangan arsitektur dan rekayasa; (2) Persyaratan penampilan bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memperhatikan  bentuk  dan  karakteristik  arsitektur  dan  lingkungan  yang  ada  di  sekitarnya.;  (3) Ketentuan  mengenai  penampilan  bangunan  gedung,  tata  ruang  dalam,  keseimbangan,  dan keselarasan bangunan gedung dengan lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. 

Peraturan Menteri PU, No. 29/PRT/2006, 1 Desember 2006,  tentang Pedoman Persyaratan Teknis Bangunan Gedung  Tujuan  , Arsitektur Bangunan Gedung:  (1) menjamin  terwujudnya bangunan gedung yang didirikan berdasarkan  karakteristik  lingkungan,  ketentuan  wujud  bangunan,  dan  budaya  daerah,  sehingga seimbang,  serasi dan  selaras dengan  lingkungannya;  (2) menjamin bangunan gedung dibangun dan dimanfaatkan dengan tidak menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan. 

Perda Prov. Bali No. 4, Th 1974 Pasal  31:  (1)  Pejabat  pemberi  ijin  bangunan  wajib  berusaha/mengarahkan  agar  kegiatan pembangunan  mengarahkan  usaha  untuk  mempertahankan  serta  memperkembangkan  ‘inti’  dan ‘gaya’ ATB yang sekaligus mencerminkan  falsafah hidup  tradisional masyarakat setempat;  (2) Setiap bangunan  yang  dibangun  di  Bali  ‘wajib  memperhatikan  prinsip‐prinsip  ATB’;  (3)  Peraturan pelaksanaan’ dari Perda ini, tentang ketentuan‐ketentuan dan penjelasan selanjutnya mengenai gaya arsitektur tradisional bangun‐bangunan Bali, akan diatur lebih lanjut . 

Perda Prov Bali No. 5, Th 2005   Bagian Ketiga: Persyaratan Arsitektur Bangunan Gedung Non Tradisional Bali Pasal  13:  (1)  Arsitektur  bangunan  gedung  non  tradisional  Bali  harus  dapat  menampilkan  gaya arsitektur tradisional Bali dengan menetapkan prinsip‐prinsip arsitektur tradisional Bali yang selaras, seimbang  dan  terpadu  dengan  lingkungan  setempat;  (2)  Prinsip‐prinsip  arsitektur  tradisional  Bali sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)  tercantum  pada  Lampiran  yang  merupakan  bagian  tidak terpisahkan  dari  Peraturan Daerah  ini;  (3)  Pembangunan  bangunan  gedung  dengan  fungsi  khusus, yang karena kekhususannya tidak mungkin menerapkan prisip‐prinsip ATB, dapat menampilkan gaya arsitektur lain dengan persetujuan Gubernur setelah mendapat rekomendasi DPRD. 

Dalam UU RI, No. 28 Th.2002 dan Peraturan Menteri PU, No. 29/PRT/2006, menekankan pentingnya pelestarian  Arsitektur  setempat  dengan  menjaga  keseimbangan  antara  nilai‐nilai  sosial  budaya setempat  terhadap  penerapan  berbagai  perkembangan  arsitektur  dan  rekayasa.  Persyaratan penampilan  bangunan  gedung  harus  memperhatikan  bentuk  dan  karakteristik  arsitektur  dan lingkungan  yang  ada  di  sekitarnya.  Menjamin  terwujudnya  bangunan  gedung  yang  didirikan berdasarkan  karakteristik  lingkungan,  ketentuan  wujud  bangunan,  dan  budaya  daerah,  sehingga seimbang, serasi dan selaras dengan lingkungannya. 

Sedang Peraturan pelaksanaan’ dari Perda Prov. Bali No. 4, Th 1974,  tentang  ketentuan‐ketentuan dan penjelasan mengenai  inti dan gaya ATB, berupaya dilengkapi dengan Perda Prov Bali No. 5, Th 2005. Namun dalam pelaksanaannya tidak efektif dapat mengarahkan perkembangan arsitektur saat ini.  Akhirnya  berbagai  langgam  arsitektur  berkembang  bebas  sesuai  dengan  interpretasi masing‐masing pelaksana pembangunan dengan berbagai permasalahan arsitektural yang menyertainya. 

   

 

 

3. Permasalahan, Strategi dan Metode Kajian 

Kajian  ini dimulai dengan adanya  fenomena, bahwa manusia selaku makhluk sosial yang berbudaya selalu  menginginkan  perubahan  ke  arah  yang  lebih  baik  melalui  pembangunan.  Pembangunan memang  sangat  dibutuhkan,  namun  di  lain  pihak  munculnya  kekhawatiran  terutama  terjadinya ketidak‐serasian kultural dan keserasian estetika yang merupakan cacat yang harus ditiadakan (sejalan dengan Penjelasan Perda No. 2  th.1974, mengenai Latar belakang diterbitkannya Peraturan Daerah tentang Tata‐ruang untuk Pembangunan). 

Oposisi  biner  ini  telah  memunculkan  kontradiksi  antara  ‘perubahan’  yang  diidentikkan  dengan ‘modernisasi’  dan  ‘keajegan’  yang  diidentikkan  dengan  ‘tradisi’.  Fenomena  lain  memperlihatkan bahwa nilai‐nilai ATB tidak dapat berterima dengan nilai‐nilai AMK yang bersifat modern. Menyikapi fenomena  tersebut  di  atas  secara  rational,  bila  ATB  diharapkan  berkembang  tanpa  kehilangan identitas, maka proses  ‘rekonstruksi dan reformasi’ tak dapat dihindarkan. Diperlukan suatu strategi kearifan untuk melihat dan meletakkan ATB sebagai arsitektur yang  lebih ‘netral/universal’, sehingga dapat berterima dengan arsitektur yang lebih menjagat.  

Penjelajahan dalam ranah ATB yang tumbuh dan berkembang membulat dengan Agama Hindu, adat‐istiadat dalam tradisi masyarakat Bali yang demikian kuat, akan memunculkan hasil dan persepsi yang berbeda‐beda sebagi berikut : 

1) Cukup sulit memilah dan memilih mana nilai‐nilai subtansial dan mana nilai‐nilai ekspresi untuk dapat menyusun strategi dan metode pelestarian dan pengembangan ke depan.  

2) ATB  memiliki  pedoman  baku  dan  sangat  instant  untuk  berarsitektur  berupa  pustaka‐pustaka suci/teks, tertulis berujud  lontar‐lontar atau awig‐awig dan berujud verbal/ceritera/mythos yang diturunkan  secara  gugon  tuwon,  sehingga memerlukan  interpretasi  dan  persepsi  holistik.  Teks dan ceritera verbal ini dapat disebut sebagai pakem/tertib langgam/content.  

3) Dokumen rancangan hanya berupa gegulak/sukat  lantang dan bawak berupa bilah bambu yang berisikan ukuran‐ukuran panjang,  lebar dan  tinggi dengan modul dasar “r a  i”. Sukat bambu  ini akan dihancurkan pada saat penutupan upacara pemelaspas/pengurip bale. Merupakan upacara pengalihan  fungsi  dari  komponen/bahan  menjadi  wujud  bangunan/bale,  bermakna  pengurip/ pemberian jiwa menjadi setara bhuana agung. Sukat tersebut tdak dapat dipakai untuk bale milik orang  lain. Hasil  implementasi di  lapangan berupa  tinggalan artefak yang beragam dan masing‐masing  berbeda.  Kesulitan  ini  memerlukan  suatu  metode  penelusuran/pembacaan  teks  dan artefak ATB, sehingga dapat menggelar nilai‐nilai dan makna yang terpendam dalam ATB.  

4. Tinjuan Pustaka  

Reformasi secara umum berarti perubahan terhadap suatu sistem yang telah ada pada suatu masa. Di Indonesia sejak bulan Juli 1997 telah dilanda krisis moneter dengan anjloknya nilai Rupiah terhadap mata  uang  asing.  Krisis  ini  terus  berlanjut  menjadi  krisis  ekonomi  dan  kepercayaan  terhadap Pemerintah Pusat rezim Orde Baru. Kondisi  ini telah memicu demonstrasi mahasiswa di Jakarta dan daerah‐daerah lainnya yang menuntut ‘reformasi atau perubahan’ disegala bidang kehidupan (politik, sosial, ekonomi dan budaya).  

Kondisi serupa terjadi pula di Bali dalam perkembangan arsitektur saat ini sedang terjadi masa eklektik yang  disharmonis  (chaos).  Tercampur‐baurnya  berbagai  nilai  dan  gaya/langgam  arsitektur  dalam suasana  pertempuran  antara  yang  tradisional/vernakular  dengan  modern/universal;  antara  sikap konservatif selaku ‘agen pelestari’ dengan sikap modern revolusioner selaku ‘agen pengubah’ tatanan yang  sudah ada. Bila hal  ini dibiarkan berlarut‐larut ditengarai dapat menyebabkan degradasi nilai‐nilai ATB sebagai warisan budaya Bali dan Nusantara.  

Sejalan  dengan  pemikiran  tersebut  dalam  kajian  ini  ‘reformasi’  yang  dimaksud  bukanlah  suatu gerakan massal yang dilakukan dengan tata‐cara demonstratif, tetapi merupakan upaya, menyatukan 

 

dan  menyusun  kembali  (re‐construction)  serta  mengadakan  ubah‐suai  (re‐formation)  atas ‘wujud/bentuk’ (re‐form) dan ‘bentukan/formasi’ (re‐formation) nilai‐nilai dari faktor‐faktor dan unsur‐unsur  rinupa/ekspresi  arsitektur.  Dengan  demikian  diharapkan  akan  terjadi  keseimbangan  yang mantap dan hubungan  yang harmonis antara masyarakat  selaku  isi  (bhuana  alit) dengan arsitektur dan lingkungan (bhuana agung) selaku wadah. 

Filasafat  Dekonstruksi  Derrida  menawarkan  pemahaman  dan  perspektif  baru  tentang  arsitektur, sehingga proses pemikiran kembali (rethinking) premis dan kaidah tradisi arsitektur dapat dilakukan. Arsitektur sebagai suatu hasil karya dapat dipandang sebagai kumpulan tanda‐tanda atau sebuah teks yang mengkomunikasikan nilai‐nilai, makna/arti yang ada dibalik wujud fisiknya. Oleh karenanya ada peluang  dipinjam  untuk  “membaca maupun membuat”  hasil  karya  arsitektur  dengan  strategi  dan metode Dekonstruksi Derrida. 

Semiotik adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan  sistem  tanda dan  lambang di kehidupan manusia. Gagasan semiotik mulai memasuki arena perdebatan arsitektural di Italia pada tahun 1950‐an, sedang aplikasinya meluas dengan pesat pada awal tahun 1970‐an, terutama di Amerika Serikat [Sukada, 1992:1, Iwan Sudradjat, 1992:1, Tjahjono 1992:4]. Teori Semiotik dipinjam untuk menggelar nilai‐nilai berupa pernik dan manik ATB, model yang digunakan adalah yang dikembangkan oleh Louis Hjelmslev. Dalam model ini arsitektur dibedakan menjadi dua paras yaitu: ‘paras isi’ (level of content) dan  ‘paras ekspresi’  (level of expression), kemudian keduanya dibagi  lagi menjadi sub  ‘paras bentuk’ (form) dan sub ‘paras substansi’ (substance) seperti diagram Diagram‐01 sebagai berikut:  

                      s (substance)        Content/isi         f (form) Archiitecture                                                                             CULTURAL UNIT           POSSIBLE UNITS         f (form)       Expression/ekspresi         s (substance)  

Substance of content (substansi/kadar isi) sebagai petanda (signified) adalah mencakup ‘nilai‐nilai, ide‐ide/filosofi dan makna’ yang melatar belakangi konsep perwujudan hasil karya arsitektur. 

Form of content (bentuk isi) sebagai petanda (signified) adalah segenap himpunan konsep‐konsep perencanaan dan perancangan arsitektur yang akan ditransformasikan ke dalam wujud/ekspresi karya arsitektur. 

Form  of  expression  (bentuk  ekspresi)  sebagai  penanda  (signifier)  adalah  form  of  content  yang telah diekspresikan atau ditransformasikan ke dalam bentuk/wujud fisik, baik secara utuh maupun komponennya. 

Substance  of  expression  (substansi/kadar  ekspresi)  sebagai  penanda  (signifier)  adalah  segenap unsur‐unsur pembentuk dari form of expression wujud arsitektur. 

5. Positioning ATB dalam Budaya Bali 

Posisi ATB  dalam  konteks  budaya Bali  dilandasi oleh Agama Hindu,  dimana  dalam  pelaksanaannya telah disesuaikan dan dikembangkan menurut tempat, waktu dan kondisi dan kehidupan masyarakat di  Bali.  Penyesuaian  ini  telah  membentuk  nilai‐nilai,  norma‐norma,  pandangan‐pandangan  serta hukum‐hukum yang dikembangkan tetap berlandaskan pada ajaran agama semula, yang disebut ‘adat agama’. Di  samping  berkaitan  dengan  adat  dan  agama masih  ada  faktor  yang mempengaruhi  ATB yaitu  ‘tradisi’  dari masyarakat  di mana  dia  tumbuh.  Tradisi dimaksud  adalah  unsur‐unsur  asli  yang dimiliki masyarakat  dan  diwariskan  secara  turun  temurun.  Posisi  ATB  di  antara  ketiganya  berada ditengah‐tengah dipengaruhi dan dibentuk oleh Agama, Adat Agama dan Tradisi. 

 

AGAMA ADAT

ADAT AGAMA

Diagram 02. HUBUNGAN AGAMA ‐ ADAT 

Diagram‐03. HUBUNGAN ATB ‐ AGAMA ‐ ADAT ‐ TRADISI 

Diagram. 04. HUBUNGAN ATB – AGAMA ‐ KEBUDAYAAN 

Akibat  hubungan  antara  unsur‐unsur  kebudayaan  yang  dilandasi  agama  Hindu  telah  melahirkan   ‘nilai‐nilai’  yang  melandasi  kehidupan  masyarakat  Bali  dengan  nuansa  religius.  Hubungan  antara wujud  ide  dengan wujud  aktivitas melahirkan  adat‐istiadat/awig‐awig  yang mengatur  dan menata aktivitas itu berjalan sejalan dengan norma‐norma agama Hindu. Hubungan wujud ide dengan wujud fisik/artefak melahirkan konsep‐konsep lingkungan bina/buatan yang akan ditransformasikan menjadi hasil karya budaya termasuk ATB di dalamnya. Hubungan wujud aktivitas dengan wujud fisik/artefak melahirkan  pola  hunian/pola  menghuni  yaitu  bagaimana  masyarakat  Bali  menjaga  keharmonisan hidup dan penghidupannya dalam suatu bentuk hunian/permukiman,  liaht Diagram‐02, Diagram‐03, Diagram‐04, (Gomudha, 1999:278). 

 

 

 

 

 

 

 

Arsitektur  Tradisional  Bali  (ATB)  secara  garis  besar  terdiri  atas  tiga  kelompok/tipologi  yaitu:  1) arsitektur  tempat  suci/parhyangan;  2)  tempat  tinggal/pawongan;  dan  3)  bangunan  fasilitas umum/palemahan.  Sejalan  dengan  perkembangan  masyarakat  dan  modernisasi,  maka  tekanan perubahan dan permasalahan arsitektur dari yang paling kecil/ringan terjadi mulai dari kelompok: 1) Parhyangan; kondisi masih ajeg, karena terkait dengan kepercayaan dan adat‐istiadat; 2) Pawongan mengalami perubahan  terbatas; dan yang paling besar  terjadi pada kelompok 3) Bangunan  fasilitas umum/ palemahan yang tidak terikat pada adat‐istiadat. 

Besarnya  tekanan  perubahan  dan  permasalahan  pada  kelompok  sbb:  Pertama  :  bangunan  fasilitas umum/Palemahan,  yang  dipengaruhi  oleh  beberapa  faktor:  i)  acuan  pustaka  tradisional  untuk bangunan  fasilitas  umum  sangat  terbatas  pada  varian  atau  tipologi.  Referensi  yang  diacu  sebagai pedoman,  adalah  arsitektur  hunian/Pawongan,  sehingga  dalam  implementasinya  sering  terjadi disharmoni  tata‐nilai,  konsep  dan  ekspresi.  ii)  Tumbuh  dan  berkembangnya  aktivitas‐aktivitas  baru membutuhkan tipe bangunan baru yang lebih modern/kontemporer, sedang prinsip‐prinsip ATB tidak sepenuhnya dapat berterima pada bangunan modern. iii) Secara fungsional kelompok bangunan tipe baru  ini  tidak  ada  sangkut  pautnya  dengan  pelaksanaan  kegiatan  keagamaan  dan  adat  istiadat masyarakat. Kedua: bangunan hunian  yang dipengaruhi oleh beberapa  faktor:  i) hunian ATB hanya harmonis dan lestari bila dihuni oleh satu keluarga utama/anangga ayahan desa; ii) keterbatasan luas lahan yang  tersedia  sebagai pengembangan  rumah  induk/pokok;  iii) perubahan gaya hidup  sebagai akibat  kemajuan  ilmu  pengetahuan  dan  teknologi  atau  jaman.  Ketiga:  kelompok  bangunan parhyangan  umumnya  terjadi  perubahan  dan  penggantian  bahan  bangunan  yang  lebih  kuat  dan tahan lama berupa batu tabas/batu lahar yang berasal dari Karangasem yang bersifat seragam.   

II. KAJIAN NILAI-NILAI ARSITEKTUR SEBAGAI INTI [CONTENT] DAN GAYA [EXPRESSI] ARSITEKTUR TRADISIONAL BALI [ATB]

1. Hasil Penelitian yang telah ada 

Beberapa penelitian yang  telah dilakukan sebelumnya mendapatkan beberapa variasi nilai‐nilai ATB, sebagai  akibat membulatnya  antara  nilai‐nilai  agama,  adat‐istiadat  dan  arsitektur  yang  cukup  sulit dipilah dan dipilih, seperti :  

 

Eko Budiardjo: 1) Tri Loka (hirarki space), 2) Tri Angga (pembagian wujud), 3) Manik  ring cecupu (keseimbangan kosmos), 4) konsep halaman terbuka; 

Sulistyawati  : 1) konsep  filosofi  (philosophical concept), 2) prinsip praktis  (practical   concept), 3) prinsip menguntungkan (beneficial principles); dan  

NKA Siwalatri : 1) konsep natah, 2) sanga mandala, 3) tri loka. 

2. Identifikasi Nilai‐nilai Arsitektur Tradisional Bali 2 

Filosofi Kosmos dan Filosofi ATB 

Masyarakat Bali dalam hidup dan kehidupannya yakin dan percaya bahwa segala isi alam semesta ini ada melalui  suatu  proses  Tapa  dalam wujud  Tri  Kona  :  Utpeti  (kelahiran),  Sthiti  (kehidupan)  dan Pralina  (kematian). Keberadaan makluk hidup manusia  (tri  pramana) dan alam  semesta  terdiri atas ‘unsur  yang  sama’  yakni  Tri  Hita  Karana.  Tri:  tiga; Hita: baik,  senang, gembira, dan Karana:  sebab‐musabab  atau  sumbernya,  berarti  ‘tiga  jenis  unsur  yang  merupakan  sumbernya  sebab  yang memungkinkan timbul kebaikan atau kehidupan’.  

Unsur  unsur  tersebut  dalam  manusia  selaku  Bhuana  Alit  terdiri  atas:  Atma/jiwa  manusia  yang menyebabkan hidup; Prana atau  tenaga, yakni kekuatan  (bayu,  sabda,  idep) atau daya yang  timbul akibat menunggalnya  atma  dengan  angga/sarira;  Sarira  atau  badan wadag manusia.  Dalam  alam semesta selaku buana agung terdiri atas: Paramaatma adalah sinar suci Hyang Widhi selaku jiwa alam semesta; Prana adalah segenap tenaga alam; dan Angga /Sarira/fisik alam semesta. 

Sejalan dengan Ganapati  Tattwa diyakini bahwa unsur sarira manusia dan alam semesta  terbentuk dari unsur‐unsur yang sama Panca mahabhuta yakni: zat cair (apah), zat padat (pertiwi), angin (bayu), panas  (teja),  dan  ether  (akasa).  Pada  alam‐semesta/tubuh  besar  (makro  kosmos)  membentuk susunan struktur ‘Tri Loka’ (bagian dari Sapta‐loka). Struktur alam dikuasai oleh zat padat dan zat cair disebut Bhur‐loka, alam yang dikuasai oleh zat padat dan teja disebut Bhuah‐loka, alam yang dikuasai oleh  sinar  dan  bayu  disebut  Swah‐loka/Swarga‐loka/Dewa‐loka).  Sedangkan  pada  tubuh  manusia (jagat kecil/mikro kosmos) terbentuk susunan struktur ‘Tri Angga’ terdiri atas: kepala (utama angga), badan (madya angga) dan, kaki (nista angga).  

Moksartham Jagadhita ya ca  iti Dharma, artinya bahwa agama (dharma) bertujuan untuk mencapai kebahagiaan  rohani  dan  kesejahteraan  hidup  jasmani  atau  kebahagiaan  secara  lahir  dan  bathin (moksa)  adalah  sebagai  tujuan  agama  Hindu.  Untuk  mencapai  tujuan  ini  manusis  didalam kehidupannya  harus  menjalin  hubungan  yang  “harmonis”  dengan  alam  semesta.  Implementasi harmonisasi  ini  diwujudkan  dalam  skala  ruang  yang  lebih  terbatas  dan  dapat  dirasakan keberadaannya. Terwujud dalam ruang skala teritorial Bali, Desa Pekraman/Adat, Paumahan dan Bale sampai pada komponen arsitektural/Bale lihat Tabel‐01 dan Tabel‐02 berikut: 

a. Nilai‐nilai substansi konsep  (substance of content)  tata‐ruang pada  tingkat gama    (regional Bali) adalah : Nilai‐nilai/kerangka dasar agama Hindu (tattwa, susila/etika dan upacara),  Tri Hita Karana sebagai unsur bhuana alit dan bhuana agung didalam kehidupannya hendaknya selalu harmonis Tabel ‐01:  

BHUANA ALIT  HARMONY 

BHUANA AGUNG USUR MANUSIA  UNSUR ALAM  PALEMAHAN DESA  PALEMAHAN UMAH 

Atma  Paramatma  Parhyangan  Sangah/Mrajan 

Prana (bayu,sabda,idep) 

Prana/segenap Tenaga Alam Pawongan/Kerama 

Desa Pawongan/Penghuni 

Umah 

Angga Sarira  Panca Mahabhuta  Palemahan  Palemahan 

                                                            2 Gomudha, I Wayan (1999), Kajian Thesis S2, Institut Teknologfi Sepuluh Nopember Surabaya (ITS), Surabaya 

 

b. Nilai‐nilai konsep (form of content) tata‐ruang pada tingkat gama (regional Bali) adalah : nilai hulu ‐ (tengah)  ‐  teben baik  arah horizontal maupun  vertikal  yaitu,  kesetaraan  Tri  Loka  dan  Tri  Angga sebagai susunan unsur Angga dalam wujud yang selalu harmonis Tabel‐02: 

NILAI

BHUANA ALIT

HARMONY

BHUANA AGUNG

ANGGA MANUSIA

ANGGA ALAM SEMESTA

PALEMAHAN DESA

PALEMAHAN PURA

PALEMAHAN UMAH

BANGUNAN

1. UTAMA /

HULU Kepala

Swah Loka/ Gunung/Kaja/

Kangin Parhyangan Jeroan

Sanggah/ Parhyangan

Atap

2. MADYA / TENGAH

Badan Buah Loka/

Dataran/Tengah

Paumahan Jaba Tengah Tegak Umah/

Pawongan Pengawak/

Badan

3. NISTA/ TEBEN

Kaki Bhur Loka/ Laut/Klod/Kauh

Setra Jaba Pisan Teba/Sesa Batur

c. Nilai‐nilai ekspresi (form of expression) tata‐ruang pada tingkat lokal/desa pekraman/Sima adalah: 

Tri  Loka  (tiga  zona  vertikal);  Tri Mandala  (tiga  zona horizontal);  Sanga Mandala  (sembilan nilai zona  horizontal)  dan  Natah  sebagai  ruang  Inti/Pusat/centrality  dan  Sesa  sebagai  ruang tepi/marginality. 

d. Nilai‐nilai ekspresi (form of expression) pada sebuah Hunian ATB adalah : Penyengker, Paduraksa dan  Angkul‐angkul  adalah  sebagai  penanda Umah,  sehingga  Bale  yang  ada  dalam  penyengker adalah setara bilik/room. Dari ekspresi/tipologi Angkul‐angkul, Penyengker dan Paduraksa dapat pula diketahui “status warna” penghuni Jaba ataukah Tri Wangsa, lain kata sebagai penunjuk jati diri penghuni. 

Klasifikasi  tipologi  ini akan  tercermin dari wujud Peyengker dan Paduraksa dan  terpadu dengan Kori/Angkul‐angkul sebagai keluar‐masuk penghuni. Penyengker berasal dari kata  ‘sengker’ yang artinya  kurung  (‘kurung’),  kurung  itu  sendiri memiliki  pengertian  dan  fungsi:  pertama  sebagai tanda untuk mengumpulkan beberapa unsur menjadi satu kelompok yang membentuk satu unit hunian;  kedua mengkonotasikan  suatu  keberadaan  di  dalam  rumah,  kamar/bilik/sangkar;  dan ketiga melindungi dan mewadahi segala sesuatu yang ada di dalam kurungan, [Gbr‐02] 

Sebagai petanda, pertama penyengker berfungsi sebagai batas properti dari sebidang tanah, pada tempat  mana  terkumpul  unsur‐unsur  fisik  pembentuk  hunian  beserta  penghuninya.  Pada pengertian  kedua,  penyengker  yang  dilengkapi  ‘Angkul‐angkul’  dan  ‘Paduraksa’  menandakan suatu unit  ‘umah’ dan sekaligus berfungsi sebagai petunjuk status penghuninya, apakah sebagai Griha untuk profesi Brahmana, Puri untuk profesi Ksatria, Jero bagi Ksatria yang tidak memegang jabatan,  Jeroan  bagi  profesi  Waisya,  serta  Umah  atau  Kubu  bagi  golongan  masyarakat kebanyakan. Pengertian ini menandakan bahwa penyengker, Paduraksa dan Kori dapat dipandang sebagai satu unit bangunan rumah, dalam hal ini Hunian Bali Aga [Gbr‐01] setara dengan Hunian Bali Arya [Gbr‐02]. 

KAJA‐UTAMA

KLOD‐NISTA 

KAUH‐NISTA

KANGIN‐UTAMA 

Gbr‐01 Hunian Bali Aga 

Gbr‐02 Hunian Bali Arya 

 

Gbr‐04. STUAN JARAK ANTROPOMETRI Sumber: Meganada 1990 

Gbr‐03. STUAN UKURAN ANTROPOMETRI 

Sumber: Meganada 1990 

Gugus‐gugus massa  di  dalam  penyengker  yang  disebut  ‘Bale’,  akhirnya  setara  peruntukannya sebagai bilik‐bilik rumah sebagaimana pengertian rumah non tradisional pada umumnya. Sedang pengertian melindungi dan mewadahi, di samping berfungsi sebagai pelindung dari pengelihatan (privacy); juga sebagai pelindung bagi segenap isi dari marabahaya (keselamatan/keamanan) baik secara nyata maupun magis, dengan adanya Paduraksa pada keempat sudut pertemuannya  (Sri Raksa, Aji Raksa, Rudra Raksa dan Kala Raksa). Sebagai wadah hunian, penyengker akan memberi kan suatu keleluasaan dan kenyamanan bagi isinya untuk beraktivitas didalamnya, [Gbr‐02.].  

Sejalan dengan profesi penghuni, maka luas pekarangan ditetapkan dengan ukuran utama: depa agung,  depa alit dan ahasta,  amusti,  anyari adalah pengurip  (pelebih), dengan klasifikasi: Singa untuk Satria, Lembu Agung bagi Prabali, dan Gajah untuk Brahmana, masing‐masing klasifikasi ini dibagi  lagi  dengan  klasifikasi:  utama  (besar), madya  (sedang)  dan  nista  (kecil).  Pembagian  ini dapat dibagi  lagi menjadi  sembilan  klas: utamaning  utama,  utamaning madya,  dan  utamaning nista;  madyaning  utama,  madyaning madya,  dan madyaning  nista;  nistaning  utama,  nistaning madya, dan nistaning nista. Bila dipandang perlu yang sembilan klas ini dapat digandakan dengan cara yang sama, sehingga didapat dua puluh tujuh klas atau variasi ukuran pekarangan, demikian seterusnya, [Gbr‐03 & Gbr‐04]. 

Sebidang  tanah  yang  sudah  ter‐sengker  diibaratkan  sebagai  sebidang  kertas  kosong  berbentuk segi empat panjang diletakkan di tanah dengan orientasi Kaja‐Klod dan Kangin‐Kauh (gunung‐laut dan  matahari  terbit‐matahari  terbenam).  Kemudian  gugus‐gugus  massa  berupa  bale  ditata dengan satuan ukuran tapak kaki untuk kegiatan manusia (Pawongan dan Palemahan), dan tapak tangan untuk tempat suci (Parahyangan). Penggunaan unsur‐unsur antropometri sebagai satuan dasar ukuran, merupakan upaya kesesuaian dan keharmonisan antara penghuni selaku isi (buana alit) dengan bale  selaku wadahnya  (disetarakan buana  agung). Kelipatan ukuran  ini didasarkan atas  kelipatan  perhitungan  asta  dewa  (delapan  personifikasi  dewa)  dari  perhitungan  ini  akan menentukan  watak  bale.  Setiap  satuan  ukuran  dan  pengurip  yang  dipilih,  masing‐masing membawa perwatakan yang diyakini berpengaruh terhadap keberuntungan penghuni, [Gbr‐04].  

Bale dalam ATB sesungguhnya setara dengan bilik (room), karena Penyengker, Paduraksa dan Kori sebagai penanda Umah atau Rumah. Bale berfungsi serba guna, pada malam hari sebagai tempat tidur/kamar  tidur  (bed  room)  dan  pada  siang  hari  sebagai  tempat melakukan  kegiatan  rumah tangga  lainnya seperti menerima  tamu, bekerja, upacara, memasak/pawon, makan, menyimpan dan  sebagainya,  jadi peruntukannya dapat berlapis‐lapis  (layering).  Pada hunian  standar  setiap umah memiliki beberapa bale yang ditata menganut suatu pola yang tersirat dan tersurat dalam lontar‐lontar: Asta‐bumi, Sikuting Umah, Asta‐kosali, Asta‐kosala, Swakarma, dll. [Gbr‐ 04]  

 

 

 

 

 

 

 

 

 

   

10 

 

Gbr‐06.DIAGRAM PROGRAMMATIC DECONSTRUCTION Gbr‐05.TIPOLOGI BALE DALAM HUNIAN ATB 

Sumber: Sulistyawati 1995   

Bale  setara  bilik  diberi  julukan/sebutan  bukan  karena  fungsinya,  namun  karena  letak  dan  nilai guna, misal  Bale  Dangin  letaknya  di  bagian  Timur,  juga  disebut  Sumanggen  karena  digunakan kuburan sementara (Sema‐anggen) sebagai tempat upacara orang mati. Bila ditelusuri lebih jauh jejak‐jejak  bale  dan  disandingkan  dengan  metode  dan  strategi  rancangan  dekonstruksi  yang digunakan  oleh  Bernard  Tschumi  di  proyek  Park  de  la  Villette  Paris  1982  [Gbr‐06], maka  ada kesamaan  prinsip  bahwa  “umah  Bali  Arya  [Gbr‐05]”  berasal  dari  “rumah  Bali  Aga  [Gbr‐01]” setelah  diexploded  kemudian  direkomposisi  menjadilah  umah.  Hal  ini  sebagai  upaya mendekatkan diri terhadap alam selama dua puluh empat jam sehari.  

e. Tata Bangunan : 

Sosok dan bentuk wujud fisik ruang dan bangunan tradisional muncul dari upaya penyeimbangan yang harmonis antara manusia selaku isi (bhuana alit) dengan ruang dan bangunan selaku wadah (bhuana agung). Sosok dan bentuk dianalogikan  sebagai proporsi  fisik/angga manusia yakni Tri Angga  (kepala nilai utama, badan nilai madya dan  kaki nilai nista). Pembagian  ini diberlakukan secara konsisten dan konskuen hingga ke bagian yang sekecil‐kecilnya dari sosok dan bentuk.  

Skala dan proporsi ruang dan bangunan tradisional Bali menggunakan sikut dewek/antropometri dengan modul dasar  “r  a  i” dari penghuni utama  (anangga  ayah),  sehingga  skala dan proporsi ruang  dan  bangunan  yang  didapat  tidak  pernah  “out  of  human  scale”  dan  “out  of  human proportion”serta  akan  selalu  harmonis.  Kebutuhan  ruang  yang  lebih  luas  didapat  dengan menggandakan dimensi/modul ruang, bukan memperbesar dimensi ruang atau bangunan, misal Sakanem = 2 x Sakepat; Tiangsanga = 4 x Sakapat.  

Ornamen dan Dekorasi merupakan penghargaan atas keindahan yang telah diberikan oleh alam dan  penciptaNya  kepada  tanah  Bali.  Ornamen  diciptakan  sebagai  upaya  memperkuat harmonisasi,  sedang dekorasi  lebih menekankan perubahan  suasana  yang diinginkan. Ornamen dan dekorasi bersifat kontekstual sesuai dengan tata‐nilai atau karakter tema/wujud obyek yang ingin diciptakan, misal : (karang Gajah ditaruh di bawah, karang Tapel di tengah dan karang Guak ditaruh di atas). 

Struktur dan bahan  tradisional Bali bersifat ekologis dan natural, sangat menghormati alam dan lingkungan,  sebagian  besar  bahan  berasal  dari  kebun  yang  dibudi‐dayakan  dan  dapat  didaur‐ulang.  Penggunaan  batu  Cadas  sebenarnya  hanya  diperuntukan  bagi  bangunan  Puri  dan  Pura, sedang bagi  paumahan hanya menggunakan  citakan  atau polpolan. Bahan disusun  dari bawah yang  berkarakter  berat makin  keatas makin  berkarakter  ringan,  hal  ini  sejalan  dengan  logika pembebanan yang meberikan tingkat keamanan bangunan yang tinggi.  

Penggunaan bahan organis yang memiliki umur terbatas menuntut penyelesaian kontruksi sistem knock down, sehingga gampang dibongkar‐pasang, serta penggunaan sukat sikut dewek penhuni utama (anangga ayah). Sebagai  indikasi bahwa umah tradisional Bali hanya harmonis bila dihuni oleh  ‘hanya  satu  keluarga  yang  beragama  Hindu’  dan  bukan  sebagai  obyek  warisan.  Setiap keluarga  baru  (mulai  hidup  ghrahasta) wajib  ‘Ngarangin’  dan membuat bangunan  yang  sesuai dengan sikut antropometri dan kemampuan dirinya.  

11 

 

3. Rekonstruksi (re‐construction) dan Reformasi (re‐form; re‐formation) nilai‐nilai  ATB  pada  Arsitektur  Masa  Kini  (AMK)  sebagai  upaya  pelestarian tradisi  berkelanjutan  melalui  perkawinan/hybrid,  sehingga  lahir  dalam wujud dan dimensi baru untuk dapat berkiprah kemasa depan 

a. Nilai‐nilai Substansi Isi (Substance of Content) Arsitektur. 

Nilai‐nilai ATB agar tetap lestari dan berkembang sejalan dengan perubahan dan  perkembangan  masyarakat  Bali,  reformasi  dilakukan  hanya  pada  sub  paras  ekspresi  (form  of  expression  dan substance  of  expression),  sedang  sub  paras  substansi  isi  (substance  of  content)  yaitu keharmonisan Bhuana Alit dan Bhuana Agung dilestarikan.  

Walupun  demikian  pada  sub  paras  bentuk  isi  (form  of  content)  tidak  tertutup  kemungkinan diadakan  perubahan‐perubahan/reformasi  terbatas  dengan  metoda  ‘transformasi’  dan ‘modifikasi’.  Perubahan  tersebut  tetap  mengacu  kepada:  tempat  (desa),  waktu  (kala), kondisi/sasaran  yang  tepat  (patra);  Desa  mawa  cara  (setiap  tempat memiliki  adat/kebiasaan sendiri);  dan  Catur  dresta  (purwa/kuna  dresta,  loka  dresta,  desa  dresta  dan  sastra  dresta) pengambilan  keputusan  yang  didasarkan  atas  berbagai  pertimbangan  rasional  atau  kebiasaan yang dapat diterima semua pihak.  

Setiap petak  site atau  lahan  yang dikembangkan di Bali wajib mengacu  kepada  tata‐nilai Hulu‐Teben,  dilengkai  tempat  Suci  (House  Hold  Temple)  terutama  untuk  bangunan  fasilitas  publik dimana sebagian besar karyawannya beragama Hindu, sebagai pengejawantahan Tri Hita Karana (parhyangan,  pawongan  dan  palemahan).  Hubungan  antara  manusia,  bangunan  dan  alam lingkungan tetap harus dijaga agar tetap harmoni. Harmonisasi antara manusia dengan ruang dan bangunan,  implementasi  pembagian  tiga  Tri  Angga  tetap  diacu  secara  proporsional,  sehingga tidak terjadi out of human scale dan out of human proportion dan tetap humanis. 

Menghadapi permasalahan adanya tuntutan pengembangan konsep dan ekspresi ATB pada AMK; dalam suatu organisasi fungsi yang lebih kompleks, lahan sempit, perubahan tata‐nilai tradisional menjadi ke‐modern‐an, dan bangunan  tidak dominan  terhadap  lingkungan, maka konsep massa majemuk  dapat  di  re‐konstruksi  menjadi  konsep  massa  tunggal/monolit  yang  lebih  kompak, namun nilai‐nilai konsep ATB  secara esensial masih dapat dikenali dalam  rancangan yang baru. Demikian pula sebaliknya apabila dibutuhkan ruang yang luas atau massa yang besar, maka massa yang besar tersebut di de‐konstruksi menjadi massa kecil‐kecil, sehingga tidak dominan terhadap lingkungan. Ujud Natah sebagai centrality yang bermakna pertemuan antara bapak Akasa (langit) dengan  ibu  Pertiwi  (bumi)  diganti  dengan  ujud  void/courtyard  sebagai  sumber  dari  segala kehidupan. 

Sebagai ilustrasi, nilai‐nilai konsepsi dan ekspresi spasial Umah ATB [Gbr‐02] sebagai de‐konstruksi Umah Bali Aga  [Gbr‐01] dapat di  (Re‐) Konstruksi  (reconstruction) atau disusun kembali menjadi ‘Rumah Bali Modern yang  Indonesiawi’, dengan  formulasi  (R + umah ATB = Rumah Bali Modern Indonesia). Rekonstruksi sebenarnya sudah dilakukan secara terbatas seperti pada spasial tempat suci hunian tipikal Desa Kuno Bugbug Karangasem Bali. Konsep operasional desa, kala, dan patra, catur dresta (empat jenis cara pandang/pertimbangan) memberikan peluang dan fleksibilitas yang sangat tinggi seuai kebutuhan fasilitas dan kemampuan dimasa dating.  

b. Tata ruang dan Orientasi. 

Secara  umum  esensi  tata  ruang  yang  dapat  direspon  pada  kondisi  awal  adalah  ‘kesan’  dan ‘suasana  ruang/atmosphere’.  Kesan  berkaitan  dengan  wujud/sosok,  dan  suasana  berkaitan dengan  rasa  ruang,  kesan  dan  suasana  tak  akan  tergarap,  bila  tidak menggarap  permukaan‐permukaan  dari  semua  bagian  arsitektur  sebagai  elemen  pembentuk  ruang.  Kata  lain  elemen‐elemen pembentuk  ruang menjadi penting untuk digarap  sejalan dengan  rumusan  rekonstruksi dan reformasi secara terpadu.  

12 

 

Bentuk dan formasi tata ruang dalam ATB dapat disesuaikan dengan kebutuhan tata ruang AMK yang disusun atas dasar pola aktivitas/hubungan ruang dan sirkulasi yang diturunkan dari fungsi, sehingga bersifat  fungsional dan  rasional,  tetapi pengarapan elemen‐elemen pembentuk  ruang tetap mengacu kepada nilai‐nilai/karakter ATB. Formasi orientasi/kiblat kompas (kaja‐klod), kiblat kosmik  (kangin‐kauh)  tetap  dipertahankan  apabila  fasilitas  umum  tersebut  diperuntukkan  bagi masyarakat  Bali,  terutama  yang  berkaitan  dengan  kepercayaan  dan  adat‐istiadat/kebiasaan masyarakat.  Formasi  orientasi/kiblat  ini  dapat  direformasi  apabila  fasilitas  umum  tersebut semata‐mata  diperuntukkan  bagi  masyarakat  non  Bali  atau  asing  yang  tidak  peduli  dengan masalah perkiblatan, tetapi lebih mengutamakan view. 

Pola ruang Natah dapat diterapkan pada gubahan massa majemuk, dengan wujud terbuka (open air), diletakkan di tengah gugus‐gugus massa sebagai sentral (centrality). Bentuk dan formasinya dapat di ubah‐suaikan dalam gugus massa monolit,  sebagai void yang dikitari oleh gugus‐gugus ruang aktivitas atau massa bangunan. 

Pola Tri Mandala, sebagai pola tiga zona horizontal yang terdiri atas: jaba pisan, jaba tengah, dan jeroan, dapat direformasi (bentuk dan formasinya dapat di ubah‐suaikan) untuk diterapkan pada rancangan yang memiliki  tiga  klasifikasi hirarki pembagian aktivitas:  jaba untuk aktivitas publik, jaba tengah untuk aktivitas semi‐publik, dan  jeroan untuk aktivitas private. Kandungan tata nilai masing‐masing zona disesuaikan dengan keyakinan/kepercayaan pemakai. 

Pola Sanga Mandala  sebagai pembagian sembilan zona dengan  tata nilai masing‐masing, dapat diterapkan  pada  gubahan massa majemuk  yang menghendaki  adanya  pembagian  klasifikkasi/ hirarki akktivitas yang cukup kompleks. Bentuk dan formasinya dapat direformai untuk diterapkan pada  rancangan massa monolit,  dengan membuat  void  di  tengah  sebagai  centrality.  Tata  nilai masing‐masing zona disesuaikan dengan hirarki aktivitas yang ada bila diperlukan. 

Pola  Tri  Loka  sebagai  pembagian  tiga  zona  vertikal  dan  bersifat  universal,  dalam  skala  ruang/ bangunan dapat diterapkan pada tata ruang vertikal dengan mengambil analogi bahwa bhur‐loka untuk  parkir/gudang/service,  bhuah‐loka  untuk  aktivitas  publik/manusia,  dan  swah‐loka  untuk aktivitas‐aktivitas utama seperti ruang pertemuan/rapat/mushola/ruang suci. Dalam hunian urban bhur‐loka: untuk bisnis/garage/service; bhuah loka: untuk aktivitas hunian; dan swah loka: untuk tempat  suci/Merajan.  Tata  nilai  disesuaikan  dengan  kepentingan  aktivitas  dan  kepercayaan pemakai.  Bentuk  dan  formasinya  dapat  digabung  dengan  Pola  Sanga Mandala,  sehingga  akan didapat dua puluh tujuh nilai/karakteristik zona bila diperlukan. 

c. Tata letak/Setting Massa. 

Penentuan tata letak dalam ATB yang didasarkan atas tata nilai (utama, madya, nista) bentuk dan formasinya  dapat  diubah‐suaikan menjadi  berdasarkan  pada  kepentingan  aktivitas,  sepanjang aktivitas yang ditampung tidak memimiliki tata nilai sakral. Seperti tata letak fasilitas tempat suci pada suatu fasilitas umum (household temple) tetap mengacu kepada orientasi/kiblat ATB.  

Hadirnya  sosok massa  besar  dalam  AMK  dengan  organisasi  ruang  yang  sangat  kompleks  akan memunculkan dominasi massa  terhadap  lingkungan. Untuk menghindari dominasi maka bentuk dan formasi pola ruang yang memunculkan massa besar, didekonstruksi menjadi massa yang lebih kecil  dan  ditata/setting  sebagai  massa  majemuk,  pada  kondisi  ini  ada  kesempatan  untuk menerapkan nilai‐nilai ATB. Demikian pula sebaliknya sebagai akibat lahan sempit mengharuskan muncul  massa  monolit,  maka  nilai‐nilai  setting  massa/tata  ruang  ATB  dapat  direkonstruksi kembali,  sehingga  dapat  diciptakan  tata  ruang  lebih  kompak  senilai  dengan  tata  ruang  ATB. Penentuan  ukuran  tata  letak  dalam  ATB  yang  menggunakan  ukuran  satuan  tapak kaki/antropometri),  dapat  diubah  suaikan  dengan  satuan  ukuran  ‘meter’,  Penggunaan  ukuran ‘pengurip’ dapat diabaikan, karena bersifat dogmatis di samping dampak yang ditimbulkan akibat penggantian satuan ukuran pengurip ini belum ada penelitiannya. 

13 

 

Keberadaan  karang  tuang/sesa/margin  pada  sisi  dalam  tembok  penyengker  harus  tetap dipertahankan  untuk  memberi  peluang  terciptanya  sosok  dan/atau  bentuk  Bali,  di  samping pertimbangan  teknis  lainnya  (faktor  keamanan,  pencegahan  kebakaran,  sirkulasi  udara, penghijauan). 

Tata  letak bebas sebagai dikenal pada AMK dapat dilakukan pada kawasan yang mengutamakan view dan sebagai akibat penyelesaian setting sudut, sepanjang tidak mengganggu setting kawasan secara keseluruhan menjadi semrawut. Di dalam kebebasan  setting, minimal ada bagian‐bagian dari suatu kompleks/kawasan tersebut  menganut sistem tata letak dengan perkiblatan ATB.  

 

d. Tata bangunan 

Sosok Bangunan 

Melestarikan  aspek  nirupa/tan‐ragawi/makna  dapat  dilakukan  dengan mengubah  sosok/ragawi bangunan,  sebagai  konsekuensinya  akan muncul  sosok  baru  yang  berbeda  dengan  sosok  ATB. Demikian pula sebaliknya mempertahankan sosok ATB yang kurang sesuai  terhadap  fungsi baru akan berakibat melunturkan nilai‐nilai/makna ATB,  seperti  sosok  Lumbung dipakai untuk  fungsi kamar  tidur hotel, Tugu  tempat suci untuk  tempat  lampu stage. Menggubah sosok ATB dengan jalan mengubah ukuran/skala akan memunculkan disharmoni atau out of human scale/proportion.  

Bentuk dan  formasi  sosok  bangunan AMK  tidak  dapat diterapkan  di Bali,  sehingga  yang  dapat dilakukan  adalah memanfaatkan  elemen‐elemen/komponen‐komponen  dari  sosok  AMK  dalam bentuk dan formasi baru (hibrida) untuk menciptakan sosok AMK baru yang berterima di Bali.  

Di samping  itu sosok dalam ATB memiliki karakter sebagai bangunan tropis yang berpenampilan Bali juga memiliki susunan struktur fisik tri angga yaitu adanya “pembagian tiga” yang jelas antara bagian  atap  (kepala),  dinding/tiang  (badan)  dan  batur  (kaki)  secara  proporsional.  Bila  mau konsisten dengan sosok Bali, maka sejak awal rancangan telah memperhatikan karakteristik sosok Bali  dan  proporsi  tri  angga  dengan  baik  termasuk  bagian‐bagian  detail  dari  tri  angga  secara proporsional. 

Bentuk Bangunan 

Adanya perbedaan yang mendasar karakteristik bentuk ATB dan AMK, walaupun dengan bentuk dasar  yang  sama  (primary  form)  adalah  terletak  pada  tatacara  olah  bentuk;  yang ATB  sebagai handicraft dan yang AMK  sebagai produk  industri/mesin. Pengolahan  tatacara handicraft dapat diubah‐suaikan dengan kemajuan  ilmu pengetahuan dan  teknologi,  sepanjang hasil bentuk dan formasi bentuk yang muncul tidak dominan sebagai produk mesin. Bentuk ATB pada hakekatnya merupakan suatu formasi dari bentuk‐bentuk yang sifatnya ornamental dan dekoratif menyatu di dalam wujud yang utuh. 

Skala dan Proporsi 

Bagi  ATB,  skala  dan  proporsi  merupakan  pertimbangan  yang  sangat  penting  untuk  dapat menciptakan  keharmonisan  hubungan  antara manusia  selaku  isi  dan  arsitektur  selaku wadah. Ekspresi  bentuk  fisik  manusia  (tri  angga)  tercermin  pada  bentuk  dan  formasi  struktur  fisik arsitekturnya. Out  of  human  proportion, dan  out  of  human  scale  tidak dapat  dihindari dengan hadirnya sosok massa besar dan  tinggi pada AMK. Kondisi  ini dapat dihindari/dieleminir dengan melakukan  penggubahan  bentuk  kotak  menjadi  konfigurasi  bentuk  kotak  dinamis  (splite level/punden  berundak,  penambahan  penampil)    pada  ujung‐ujung  bangunan  (seperti  bentuk bangunan guest rooms block Club Mediterranee, Nusa Dua). Mendekontruksi massa besar seolah‐olah menjadi massa kecil‐kecil namun tetap kompak. 

 

 

14 

 

Ornamen dan Dekorasi sebagai Ragam Hias Arsitektur 

Bentuk  dan  formasi  ornamen  dan  dekorasi  ATB  sejalan  dengan  karakter  AMK  dapat  diubah‐suaikan/direformasi  sebagai  karakter  modern  yang  lebih  sederhana/simplisity  wujud.  Untuk mendukung penyederhanaan wujud ini dapat dipilih metoda penampilan ‘konsepsual obyek’ yaitu ornamen  dan  dekorasi  yang  ditampilkan  berupa  bagan  dan  berwujud  abstrak  dalam  bentuk ‘pepalihan’ atau  tata‐hias abstrak  lainnya untuk penampangan arsitektur. Metoda  ‘visual obyek’ yaitu  ornamen  dan  dekorasi  yang  ditampilkan  secara  tuntas/terselesaikan/real  dalam  bentuk ukiran  atau  tata‐hias  lainnya  hanya  untuk  penyelesaian  ragam  hias  interior.  Ornamen  dan dekorasi  dibubuhkan  seperlunya  sebagai  aksen,  sesuai  dengan  skala  pandang  saat  ini  dengan skala kendaraan di mana waktu penikmatan relatif singkat.  

Sesungguhnya sosok dan bentuk ATB secara utuh merupakan komponen ornamen dan dekoratif dari  sebuah  lingkungan  sebagai  hasil  olah  handicraft. Unsur‐unsur  ornamen  dan  dekorasi  luar (baca: bukan/non Bali) sangat memungkinkan untuk distilisasi/dipadukan/hibrida dengan unsur‐unsur  ornamen  dan  dekorasi  Bali  agar menghasilkan  wujud  baru,  sepanjang  tidak  kehilangan pakem ragam hias ATB. 

Penggunaan  tembok penyengker yang  semula hanya  sebagai elemen batas  site  terdepan dapat dimanfaatkan  untuk menghadirkan  identitas  Bali  dengan  jalan menstilir menjadi  langgam  Bali. Penggunaan  elemen‐elemen  Candi  Bentar,  Kori  Agung  sebagaimana  umumnya  dipakai  pada tempat  suci  yang  sakral  untuk  fasilitas  umum  yang  bersifat  profan  dapat  mengurangi  nilai‐nilai/makna yang dikandung, untuk itu perlu diadakan stilisasi.  

Struktur dan Bahan 

Prinsip‐prinsip  struktur  ATB  yang  jujur  terekspose  dengan  tektonikanya  dapat  dikembangkan dalam  AMK,  sepanjang  tidak mengubah  sosok  dan  bentuk  ATB.  Demikian  pula  dalam  prinsip‐prinsip  sususan  bahan  dari  yang  berkarakter  berat  di  bawah makin  ke  atas makin  ringan  juga dapat dikembangkan pada AMK. Bahan‐bahan alamiah  (bata Bali, paras, dan bebatuan  lainnya) yang dikenal dalam ATB hanya sesuai untuk perampungan/finishing luar bangunan, sedang untuk bahan perampungan interior dapat dipakai bahan‐bahan modern dari AMK yang memiliki karakter artifisial  dari  produk  industri/pabrik.  Pemanfatan  bahan‐bahan  hasil  teknologi modern  sangat mendukung  peningkatan  kualitas  penampilan  ATB,  dukungan  pemahaman  karakteristik  bahan‐bahan  bangunan  modern  sangat  diperlukan.  Dengan  kemajuan  teknologi  saat  ini  sangat memungkinkan untuk menciptakan bahan‐bahan bangunan buatan berkarakter alamiah, sehingga penggalian bahan‐bahan  tradisional  yang  telah merusak  alam‐lingkungan Bali dewasa  ini dapat dicegah lebih lanjut. 

III. KESIMPULAN 

a. Perlanggaman dalam Perancangan Arsitektur 

Taat Asas pada Langgam pada bentuk ekspresi (form of expression), yakni mengkuti sebagian besar tertib  langgam  ATB  maupun  AMK  dapat  dihadirkan  melalui  metode  penyandingan.  Dalam penyandingan  tersebut  langgam  ATB  hendaknya  dapat  mendominasi  AMK  dan  tetap  terjaga keharmonisan  karakter  ekspresi  keduanya.  Konsekuensi  bagi  ATB  dan  AMK  adalah  terjadi persaingan  disharmonis  atau  sebaliknya  saling  bersinergi/saling  melengkapi  kekurangan  dari ekspresi  yang  dapat  dihadirkan.  Konsisten  dan  tegas menjaga  tidak  terjadi  peleburan  langgam, tetapi unity/penyatuan karakter perlu dilakukan. Untuk pengembangan langgam di Bali seharusnya konsisten pada pilihan penyandingan dengan dominasi ATB pada AMK. 

Pemaduan dua  langgam pada paras bentuk  ekspresi  (form  of  expression),  yankni mengahdirkan dua atau lebih langgam arsitektur dengan metode ekletik/pencampuran. Pemaduan ini sangat sulit dilakukan  apabila  kedua‐duanya  ingin  ditampilkan  ibarat  air  dengan minyak,  kecuali  sejak  awal 

15 

 

sudah ditetapkan bahwa  langgam  yang  akan ditampilkan, ATB  atau AMK.  Pemaduan  yang  tidak sesuai/harmonis,  sering memunculkan  kesan  campuran atau gado‐gado  tidak memiliki  identitas. Konsekuensi  yang  terjadi  pada ATB dan AMK  adalah hilangnya  identitas  langgam  keduanya  lain kata terjadi kehancuran arsitektur. Harus ditetapkan  langgam mana yang akan ditampilkan secara konsisten sedang yang lainnya menyatu didalamnya. 

Hibrida  (hybrid) Langgam, yakni perkawinan atau pencampuran dua nilai  langgam ATB dan AMK yang dilakukan pada paras konsep/isi/tertib langgam (form of content), dari hasil perkawinan atau pencampuran  ini diharapkan menghasilkan  turunan  langgam  (form of expression) baru. Langgam baru diharapkan lebih berterima dengan perkembangan dan kemajuan peradaban masyarakat Bali, ramah  lingkungan budaya dan alam Bali, survive dan berkesinambungan serta memiliki  identitas lokal dalam pergaulan global. Konsekuensi bagi ATB dan AMK tidak ada malah hadir dalam wujud yang  berbeda  namun  benang merah/raut  langgam  keduanya masih  nampak.  Dalam  hibrida  ini konsistensi yang harus dijaga adalah perimbangan proporsi nilai konsep yang dihibrid, pemahaman tata‐nilai langgam dan pengalaman empiris sangat mendukung kelancaran proses.  

b. Nikmatnya sesuatu yang instant 

Para leluhur dan Undhagi Bali jaman dahulu telah berjasa luar biasa untuk membuatkan pedoman berarsitektur  yang  bernama  “Asta‐kosala/kosali”,  demikian  gamblang,  sangat  fleksibel,  supel, sangat  instan,  mudah  diterapkan  oleh  siapapun,  dimanapun  berada  dan  pasti  serasi.  Betapa nikmatnya masyarakat  (baca:  Bali)  selaku  pengguna  atas  pedoman  tersebut,  sehingga menjadi terlena  hampir  satu  millennium  dalam  nikmat  yang  instan,  lupa  akan  ruang  dan  waktu  telah berubah. Sebagai suatu pedoman dalam bidang arsitektur yang berkembang pesat, sudah saatnya diadakan evaluasi kemudian dilakukan ubah‐suai sesuai dengan perkembangan saat ini. 

Kini ruang dan waktu  telah berubah akankah pedoman tersebut masih berterima? ataukah perlu penyesuaian dan bahkan tidak dipakai  lagi?  Ini semua berpulang kepada masyarakat Bali sebagai pengguna  menyikapinya,  dalam  hidup‐penghidupan  sudah  diberi  peluang  berupa  konsep operasional  desa  (tempat),  kala  (waktu)  dan  patra  (situasi/kondisi)  serta  empat  dasar pertimbangan: catur drasta (sastra drasta, kuna drasta, loka drasta dan desa drasta). Pertanyaan yang kini muncul, mampukah arsitek masa kini mengikuti jejak para Undhagi masa lalu menyusun suatu “pedoman arsitektural” atau design guideline, sebagaimana  telah dilakukan pada  jamannya untuk Bali?  Sebagai  salah  satu  bagian  dari  arsitektur  etnik  Indonesia,  arsitektur Bali  semestinya menginginkan diri untuk dapat diterima sebagai Arsitektur Nsantara dan bahkan menjagat. Upaya kearah  ini  sedang  berproses  dan  berlanjut  dengan  dieksportnya  rumah  Bali  keberbagai mancanegara. 

c. Menyongsong hari Esok yang lebih baik 

Ketiadaan teori, strategi dan metode yang dimiliki arsitktur tradisiona Bali untuk menggelar jelajah nilai‐nilai berupa pernik dan manik  spasial hunian ATB,  ternyata membawa hikmah bahwa  teori Dekonstruksi  dan  teori  Semiotik  (yang  kedua‐duanya  dikembangkan  dari  wacana  ilmu pengetahuan sastra pada tahun 1980‐an) telah diterapkan di Bali jauh sebelum teori‐teori tersebut diwacanakan.  

Menghadapi permasalahan adanya  tuntutan pengembangan konsep dan expresi ATB pada AMK; dalam suatu organisasi fungsi yang  lebih kompleks,  lahan sempit, perubahan tata‐nilai tradisional menjadi  ke‐modern‐an, maka  nilai‐nilai/konsepsi  dan  ekspresi  spasial  umah  ATB  dapat  di  (Re‐) Konstruksi  (reconstruction)/disusun  kembali  menjadi  ‘Rumah  Bali  Modern  yang  Indonesiawi’ dengan formulasi (R + umah ATB = Rumah Bali Modern Indonesia). Konsep operasional desa, kala, dan  patra,  catur  dresta  (empat  jenis  cara  pandang/pertimbangan)  sangat memberikan  peluang dan fleksibilitas yang sangat tinggi dalam pengembangan kekinian  

 .

16 

 

. DAFTAR PUSTAKA Achmad Djunaedi. [1989]. 

Pengantar Metodologi  Penelitian  Arsitektural,  Jurusan  Teknik  Arsitektur,  Fakultas  Teknik, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.. 

Amir Piliang, Yasraf. [1998]. Sebuah  Dunia  yang  Dilipat,  Realitas  Kebudayaan  menjelang  Milenium  Ketiga  dan  matinya Posmodernisme, Mizan Pustaka, Kronik Indonesia Baru, Bandung. 

Appignanesi, Richard. (dkk). [1997]. Mengenal Posmodernisme, For Beginners, (Judul asli: Postmodernism for Beginners, terjemahan oleh  : Alfathri Adlin), Mizan, Bandung. 

Benedikt, Michael. [1991]. Deconstructing The Kimbell, An Essay on Meaning and Architecture, Sites Books, Lumen Inch., New York. 

Bonta, Juan Pablo. [1979]. Architecture And It Interpretation. Lind Humpriest, London. 

Broadbent, Geoffrey; Bunt, Richard; Jencks, Charles. [1980]. Sign, Symbol and Architecture. John Willey & Son, Chichester, New York, Brisbane, Toronto. 

Budihardjo, Eko. [1985]. Arcitectural Conservation in Bali, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, Indonesia. 

‐‐‐‐‐‐‐‐, (Editor) [1987]. Arsitek Bicara Tentang Arsitektur, Alumni, Bandung. 

‐‐‐‐‐‐‐‐, [1989]. Jati‐diri Arsitektur Indonesia, Alumni, Bandung. 

Collins, Peter. [1965]. Changing Ideal in Modern Architecture 1750‐1950,, Faber and Faber, London. 

Conrads, Ulrich (ed), translated by Michael Bullock, [1970]. Programs and manifestoes on 20 th‐century architecture, The MIT, Cambridge, Massachusetts. 

Dharmayuda, Suasthawa. D, I Made. [1990]. Hubungan Adat dengan Agama dan Kebudayaan, CV. Kayumas, Denpasar. 

    Fredy H.Istanto. [1997]. Kajian  ‘Gaya’  Arsitektur Mediterania  di  Indonesia,  Tesis  Pascasarjana  ‐  S2,  PS.  Arsitektur,  Program Pascasarjana FTSP‐ITS, Surabaya. 

Gelebet. I Nyoman, dkk. [1982]. Arsitektur Tradisional Daerah Bali. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek  Inventarisasi dan Dokumentasi. 

Gomudha, I Wayan. [1999]. Pernik Manik Spasial Hunian Tradisional Bali, dalam Ngawangun Ki Nusantara – Nominasi Lomba Kara Tulis Teori Arsitektur Nusantara. Laboratorium Sejarah, Teori dan Falsafah Arsitektur Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik, Uniiversitas Katolik Parahyangan, Bandung.  

    ‐‐‐‐‐‐‐, [1999]. Masyarakat Tradisional dan Modern di Simpang Jalan, Harian Umum Bali Pos, 31 Maret 1999. Denpasar. 

‐‐‐‐‐‐‐, [1997]. Ke‐Jatidiri‐an  Ragam  Hias  (Ornamen  dan  Dekorasi),  Studi  Kasus  Arsitektur  Tradisional  Bali,  Seminar Arsitektur, “Kuliah Arsitektur Nusantara”, PS. Arsitektur Program Pascasarjana, ITS, Surabaya. 

‐‐‐‐‐‐‐, [1991]. Ungkapan Nilai‐nilai Arsitektur Tradisional Bali pada Perencanann & Perancangan Bali Garden Hotel di Kuta  Bali,  Penelitian  Arsitektur  (tidak  dipublikasikan),  PS.  Arsitektur,  Fakultas  Teknik,  Universitas Udayana, Denpasar. 

    Gunawan Tjahjono. [1995]. Keajegan  dan  Perubahan  Berarsitektur  di  Indoneisa  Menghadapi  Abad  Pasifik,  Seminar  Arsitektur, “Arsitektur Nusantara, Keajegan dan Perubahan “, Word Trade Centre , 9 September 1995, Surabaya 

Jencks, Charles and Baird, George. [1970]. Meaning in Architecture. Barrie & Jenkins, London. 

‐‐‐‐‐‐‐, [1970]. The Language of Post Modern Architecture. Rizzoli, New York. 

.  

17 

 

Josef Prijotomo. [1988]. Pasang‐Surut Arsitektur di Indonesia, CV. Arjun, Surabaya. 

‐‐‐‐‐‐‐, (ed), [1996]. Himpunan  Materi  Arsitektur  Dekonstruksi  dalam  Tinjauan  Indonesia,  Jurusan  Arsitektur  FTSP,  ITS Surabaya, (tidak dipublikasikan) 

‐‐‐‐‐‐‐. [1997]. Dekonstruksi  Arsitektur Nusantara  (?),  Jelajah  Pendek  Tipe  Tajug/k  dari  Arsitektur  Jawa.    Seri  Kuliah Umum 1997/1998, Jurusan Arsitektur, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung.   

‐‐‐‐‐‐‐‐, [1992] Model  Semiologi Petungan di Primbon  Jawa dan  Signifikasi Arsitekturalnya,  Seminar  Semiotika,  Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya LPUI dan Lingkaran Peminat Semiotik, Jakarta. 

Jurnal, Buku Satu, No. 007/A/I/94 [1994]. Jurnal Arsitektur & Bahan Bangunan, Arjun, CV, Surabaya.   

Jurnal, Buku Dua, No. 008/A/VI/95 [1995].            Jurnal Arsitektur & Bahan Bangunan, Arjun, CV, Surabaya. Kerthiyasa, I Made. [1984]. 

Rumusan Arsitektur Bali, Hasil Sabha Arsitektur Tradisional Bali. Mauro Purnomo Rahadjo. [1989]. 

Meaning in Balinese Traditional Architecture, Thesis Master of Architecture, School of Architecture and Urban Design of The University of Kansas, USA. 

Meganada, I Wayan. [1990]. Pola  Tata  Ruang  Arsitektur  Tradisional  Bali  dalam  Perumahan  KPR_BTN  di  Bali,  Thesis  Program Pascasarjana ‐ S2 Arsitektur, ITB, Bandung. 

Ozkan, Suha. [1985]. Regionalism  Within  Modernism,  dalam  Regionalism  in  Architecture,  editor  Robert  Powel,  Concept Media, Singapore. 

Parisada Hindu Dharma. [1978]. U p a d e s a, tentang Ajaran‐ajaran Agama Hindu, Parisada Hindu Dharma Pusat, Denpasar. 

Pell, Lucy; Powell, Polly and; Garrett, Alexander. [1989]. An Introduction To 20 th – Century Architecture, The Apple Press, London. 

Purwita, Ida Bagus Putu. [1993]. Desa Adat Pusat Pembinaan Kebudayaan Bali, Majelis Pembina Lembaga Adat Daerah Tingkat I Bali, PT. Upada Sastra, Denpasar. 

Runa, I Wayan. [1993]. Variasi  Perubahan  Rumah  Tinggal  Tradisional,  Desa  Adat  Tenganan  Pegring‐singan,  Thesis  Program Pascasarjana ‐ S2, PS. Teknik Arsitektur, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. 

Robi Sularto Sastrowardojo, IAI. [1987]. A Brief Introduction Traditional Architecture of Bali, Some Basic Norm, PT. Atelier 6, Jakarta. 

Siwalatri, Ni Ketut Ayu. [1997]. Transformasi Nilai‐nilai Arsitektur Tradisional Bali pada Arsitektur Modern, Studi Kasus di Kawasan Niti Mandala Renon, Bali. Tesis Pascasarjana – S2, PS. Arsitektur, Program Pascasarjana FTSP‐ITS, Surabaya. 

Soeranto Darsopuspito. [1997]. Analogi  Estetika  Seni  Tari  dengan  Arsitektur,  Kajian  Kasus  pada  Arsitektur  Jawa  Tesis  Program Pascasarjana ‐ S2, PS. Arsitektur, Program Pascasarjana FTSP‐ITS, Surabaya. 

Sulistyawati, A. [1995]. Balinese  Tradisional  Architectural  Principles  in  Hotel  Building.  Desertation  of  Doctor  of  Philosophy, Oxpford Brookes University, England. 

Tom Heath. [1984]. Method in Architecture, John Willey & Son, Chichester, New York, Brisbane, Toronto, Singapore. 

Wondoamiseno, Ra. [1990]. Regionalisme dalam Arsitektur Indonesia, sebuah Harapan. Yayasan Rupadatu, Yogyakarta. 

Suryani, Ni Ketut. (Editor), [1996]. Kajian Budaya Bali, Menghadapi Milleniium Ketiga, Pertemuan Tahunan,  Lembaga Pengkajian Budaya Bali, Denpasar. 

 . 

18 

 

Lampiran : MATRIK KINERJA ARSITEKTUR BALI 

Matrik Penilian Kinerja Arsitektur Bali  terhadap hasil Kaya Desain maupun Karya Terbangun adalah suatu table yang dapat digunakan untuk menilai dengan berbasis score range 1‐5 untuk setiap sub kriteria/guideline,  sehingga  akan memberikan  gambaran  lebih  terukur  terhadap  kinerja  arsitektur Bali yang dapat dihasilkan baik berupa karya desain maupun karya terbangun:  

PENILAIAN KINERJA ARSITEKTUR BALI TERHADAP HASIL KARYA DESAIN MAUPUN KARYA TERBANGUN

NO UNSUR-UNSUR ARSITEKTUR

INDIKATOR KINERJA RATING/GRADE

INDIKATOR KET

a.  b.  c.  d. 

I FILOSOFI TRI HITA KARANA SEBAGAI INTI [KONSEP] ARSITEKTUR TRADISIONAL BALI               

 

1.1 

Ke‐harmonis‐an yang setara antara manusia dengan ruang/bangunan/lingkungan (masih dalam skala manusia/human scale dan humanis terpenuhinya kebutuhan serta persyaratan manusia pada ruang/bangunan/lingkungan). 

1 2 3 4 5

  

1.2 

Ke‐harmonis‐an yang setara antara ruang/ bangunan dengan lingkungan dan alam sekitar (tidak dominan terhadap lingkungan dan merusak lingkungan secara fisik, fisikis dan estetis). 

1 2 3 4 5

  

1.3 

Merupakan suatu Lingkung Bina yang memiliki Atmosphere (suasana dan karakter) Alam Bali; dan memiliki sebuah house hold temple/tempat suci" bila banyak karyawan beragama Hindu (implementasi Nilai‐nilai (gama) Tri Hita Karana: zona Parhyangan, Pawongan dan Palemahan). 

1 2 3 4 5

      Jumlah: I   3 ‐ 15 

II TATA RUANG DAN ORIENTASI                 

   2.1 

Nilai Ekspresi Tata Ruang pada tingkat Lokal/Desa (sima) yaitu: Penerapan Pembagian Tiga Zona Vertikal (Tri Loka) & Horizontal (Tri Mandala), atau Kombinasi (Sanga Mandala) atas nilai Hulu ‐ ( Tengah ) ‐ Teben. 

1 2 3 4 5

  

2.2 

Pola Compound / Cluster yaitu: adanya Ruang Sentral (sima : Natah) sebagai Pengikat Gugus Massa Bangunan Jamak atau adanya Void dalam massa bangunan monolit/kompak. 

1 2 3 4 5

  

2.3 

Ada bagian dari Lingkung Bina yang paling mudah dikenali dan berorientasi / kiblat kaja‐klod & kangin‐kauh (gama: sikap tegas di tengah kosmos). 

1 2 3 4 5

      Jumlah: II  3 ‐ 15 

19 

 

III TATA LETAK / SETTING MASSA  

  

3.1 

Gubahan massa harmonis/tidak dominan terhadap lingkungan (massa besar di dekonstruksi menjadi kecil‐kecil, sebaliknya pada lahan sempit pola massa cluster dapat di rekonstruksi jadi massa monolit/kompak). 

1 2 3 4 5

 3.2 

Keberadaan Natah (centrality) dan ruang bebas /marginality (sesa) di sekitar bangunan atau intensitas bangunan tetap dipertahankan proporsional (peluang sosok Bali, keamanan, pencegahan kebakaran, sirkulasi udara, RTH). 

1 2 3 4 5

 3.3 

Kebebasan setting massa akibat view atau 

penyelesaian sudut, namun tetap ada bagian‐

bagian utama bangunan/kawasan menganut 

kiblat Bali (kaje‐klod & kangin‐kauh). 

1 2 3 4 5

      Jumlah: III 3 ‐ 15    

IV TATA BANGUNAN              

   4.1  Sosok Bangunan :               

 a 

Menerapkan sejak awal sosok Bali dengan struktur fisik Tri Angga secara proporsiaonal hingga kebagian terkecil atau memanfaatkan bagian‐bagian sosok non Bali yang distilisasi. 

1 2 3 4 5

  

b. 

Memiliki karakter sosok bangunan tropis beratap limas /pelana  (pith roof), dihindari atap datar; ada ruang antara (serambi) dan memiliki oversteck yang cukup lebar untuk menahan tiris. 

1 2 3 4 5

      Jumlah: 4.1. 2 ‐ 10    4.2  Bentuk Bangunan :                 

  a. 

Menggunakan bentuk dasar Punden Berundak, menghindari bentuk‐bentuk miring/bulat/plain. 

1 2 3 4 5

  

b. Tata olah bentuk mencerminkan tata olah “handicraft” dan dihindari karakter tata olah mesin (cleaness, excactness, prececision). 

1 2 3 4 5

      Jumlah: 4.2. 2 ‐ 10 

   4.3  Skala dan Proporsi :               

  

a. Tidak terjadi “di luar skala manusia dan di luar proporsi manusia (out of human scale & out of human proportion”). 

1 2 3 4 5

  

b. 

Gubahan massa besar di dekonstruksi menjadi massa kecil‐kecil dan sebaliknya, bila lahan sempit massa jamak/kluster dapat di rekonstruksi menjadi massa kompak/monolit. 

1 2 3 4 5

      Jumlah: 4.3. 2 ‐ 10 

20 

 

   4.4  Ornamen dan Dekorasi :                 

  

a. Dipahatkan ornamen sebagai representasi Tri Angga pada bagian‐bagian utama bangunan (batur, tiang / dinding dan atap).   

1 2 3 4 5

 

b. Dekorasi pakem Bali dibubuhkan seperlunya sebagai aksen dan dihindari penggunaan simbol‐simbol agama yang disakralkan. 

1 2 3 4 5

  

c. Pemanfaatan “Tembok Penyengker dan Angkul‐angkul / Pemesuan Langgam Bali “ dg stilisasi sebagai penghadir jati diri atau identitas Bali 

1 2 3 4 5

      Jumlah: 4.4. 3 ‐ 15   

   4.5  Struktur dan Bahan :                 

  

a. 

Tata bahan dan warna: karakter alamiah, jujur terekspose (sustainable architecture); disusun dari yang berkarakter berat di bawah dan makin ke atas makin ringan. 

1 2 3 4 5

  

b. Merupakan gubahan “tektonika” (the art of construction) anrata struktur dan konstruksi dengan ornamen secara harmoni 

1 2 3 4 5

      Jumlah: 4.5. 2 ‐ 10 

       Jumlah Semua Nilai  20  40  60  80  100   

  JUMLAH SEMUA NILAI INDIKATOR  20‐100 

 

 

Panduan penilaian: 

Skor sesuai dengan kriteria dan nilai dasar yang dicapai Indikator dengan rating/grade:  1,2,3,4,5 

1. Sangat tdk memuaskan    2. Tidak memuaskan      3. Sedang         4. Memuaskan      5. Sangat memuaskan 

1. Jelek        2. Kurang               3. Cukup           4. Baik           5. Baik sekali 

Jumlah Nilai Indikator: 

1. E  =      < 50 – Tidak  memenuhi  Kinerja  Arsitektur Bali 2. D = 51 – 54 – Kurang memenuhi Kinerja Arsitektur Bali 3. C = 55 – 64 – Cukup memenuhi  Kinerja Arsitektur Bali 4. B = 65 – 79 – Memenuhi Kinerja Arsitektur Bali 5. A = 80‐ 100 ‐  Sangat memenuhi Kinerja Arsitektur Bali  

 

Disusun dan dikembangkan dari rumusan rekonstruksi dan reformasi nilai‐nilai ATB pada AMK dan rangkuman hasil Penelitian Tesis Pasca Sarjana ITS Surabaya, 1999, 

I Wayan Gomudha