Post on 28-Feb-2023
Lutfiyah Rahma
4415122364
Pendidikan Sejarah 2012 Kelas A
Penggunaan Jilbab
sebagai Simbol Kesopanan dan Perlawanan
Pemakaian jilbab pada kaum wanita merupakan sebuah
fenomena sosial yang sudah lumrah akhir-akhir ini di
negara Indonesia, karena telah kita semua ketahui bahwa
Indonesia merupakan negara mayoritas pemeluk agama Islam
di mana aturan mengenakan jilbab pada kaum wanita telah
tersurat dalam kitab suci umat Islam, Al-Qur’an.
Fenomena pemakaian jilbab pada kaum wanita bukan
berarti tidak menimbulkan suatu permasalahan apa-apa.
Apabila ditinjau dari segi sosial dan budaya, penggunaan
1
jilbab merupakan suatu simbol fundamental. Berjilbab
merupakan fenomena yang kaya makna dan penuh nuansa. Ia
berfungsi sebagai bahasa yang menyampaikan pesan-pesan
sosial dan budaya, sebuah praktik yang telah hadir dalam
legenda sepanjang zaman. Jilbab juga memiliki posisi
penting sebagai simbol identitas dan resistensi.
Dalam karya tulis ini, penulis mengambil kasus
mengenai fenomena penggunaan jilbab sebagai suatu simbol
kesopanan dan juga perlawanan. Dalam kajian terhadap
kasus ini, penulis menggunakan teori interaksionalisme
simbolik sebagai landasan atau dasar teori sosial budaya
untuk lebih memperkuat bahwa penggunaan jilbab dalam
masyarakat, yakni pada masyarakat kaum wanita merupakan
salah satu kasus sosial yang seharusnya tidak dianggap
sebagai angin lalu saja. Namun, dibalik itu, dalam
penggunaan jilbab mengandung sebuah interaksi sosial.
Menyoal pada salah satu teori sosial, yakni teori
interaksionisme simbolik, penulis akan menjelaskan
2
terlebih dahulu mengenai teori interaksionisme simbolik
sebelum membahas kasus yang menjadi sorotan utama dalam
tulisan ini.
Interaksionisme simbolik merupakan salah satu teori
sosial yag terkenal. Teori interaksionisme simbolik
adalah teori yang menunjukkan jenis-jenis aktivitas
manusia dalam memandang pentingnya memahami kehidupan
sosial. Interaksionisme simbolik mengacu pada interaksi
manusia melalui penggunaan simbol-simbol, yaitu bagaimana
cara manusia menggunakan simbol untuk mengungkapkan apa
yang mereka maksud, dan juga dapat dijadikan sebagai
suatu alat komunikasi satu sama lain, dari interpretasi
simbol iniah kemudian dapat mempengaruhi kelakuan pihak-
pihak yang terlibat dalam sebuah interaksi sosial.
Interaksionisme simbolik mempelajari sifat interaksi
yang merupakan kegiatan sosial dinamis yang terjadi pada
kehidupan manusia. Bagi perspektif ini, individu bersifat
aktif, reflektif, dan kreatif yang mammpu menafsirkan,
3
menampilkan perilaku yang rumit dan sulit diramalkan.
Paham atau teori ini menolak gagasan bahwa individu
adalah organisme yang pasif yang perilakunya ditentukan
oleh kekuatan-kekuatan atau struktur yang ada di luar
dirinya. Oleh karena individu terus berubah, maka
masyarakat pun berubah melalui interaksi. Jadi, interaksi
sosial lah yang dianggap sebagai suatu variabel penting
yang menentukan perilaku manusia, bukan struktur
masyarakat. Struktur sendiri tercipta dan berubah
disebabkan adanya interaksi manusia, yakni ketika
individu-individu berpikir dan bertindak secara stabil
terhadap seperangkat objek yang sama.
Persepektif interaksi simbolik berusaha memahami
perilaku manusia dari sudut pandang subjek. Persepektif
ini menyarankan bahwa perilaku manusia harus dilihat
sebagai proses yang memungkinkan manusia membentuk dan
mengatur perilaku mereka dengan mempertimbangkan
ekspektasi orang lain, situasi, objek dan bahkan diri
4
mereka sendirilah yang menentukan perilaku mereka.
Perilaku mereka tidak dapat digolongkan sebagai
kebutuhan, dorongan impuls, tuntutan budaya atau tuntutan
peran. Manusia bertindak hanyalah berdasarkan definisi
dan penafsiran atas objek-objek di sekeliling mereka.
Tidak mengherankan apabila frase-frase “definisi
situasi”, “realitas terletak pada mata yang melihat” dan
“bila manusia mendefinisikan situasi sebagai riil,
situasi tersebut riil dalam konsekuensinya” sering
dihubungkan dengan interaksionisme simbolik.1
Salah satu tokoh yang menganut teori interaksionimse
simbolik ini adalah Herbert Mead. Sedikit mengenai
riwayat Herbert Mead, beliau dilahirkan pada 27 Februari
1863 di Hadley Selatan, Massachussets, Amerika Serikat.
Ayahnya bernama Hiram Mead dan ibunya bernama Elizabeth
Storrs Mead, sedangkan saudara perempuannya bernama
Alice. Ayahnya adalah seorang Pastor di Orbelin College
1 Deddy Mulyana, Human Communication: Konteks-Konteks Komunikasi (Bandung:Remaja Rosdakarya, 2001), hlm. 70.
5
dan ibunya juga semapat mengajar di Orbelin College
selama dua tahun. Mead mendapatkan gelar B.A. di Oberlin
College, lalu mengajar di sana selama 4 bulan. Setelah
itu ia melanjuktan sekolahnya di Harvard University
dimana ia sangat tertarik dengan filsafat dan psikologi.
Setelah menyelesaikan disertasinya, ia pun pindah ke
University of Michigan, dan kemudian ia pindah lagi ke
University of Chicago, di sana ia bertemu dengan Charles
Horton Cooley dan John Dewey. Merekalah yang mempengaruhi
pemikirannya. Mead mengajar di University of Chicago
hingga akhir hayatnya.2
Mead mengembangkan teori interaksionisme simbolik
pada tahun 1920-an ketika beliau menjadi professor
filsafat di Universitas Chicago. Namun, gagasan-
gagasannya mengenai interaksionisme simbolik berkembang
pesat setelah para mahasiswanya menerbitkan catatan dan
kuliah-kuliah dari Mead. Terutama melalui buku yang
2 http://en.wikipedia.org/wiki/George_Herbert_Mead. (Diakses padatanggal 2 Januari 2015, pukul 10.15 WIB).
6
menjadi rujukan utama teori interaksionisme simbolik,
yakni mind, self and society.3
Karya Mead yang paling terkenal tersebut
menggarisbawahi tiga konsep kritis yang dibutuhkan dalam
menyusun sebuah diskusi tentang teori interaksionisme
simbolik. Tiga konsep ini saling mempengaruhi satu sama
lain dalam term interaksionisme simbolik. Dari itu,
pikiran manusia (mind) dan interaksi sosial (self dengan
orang lain) digunakan untuk menginterpretasikan dan
memediasi masyarakat (society) di mana kita hidup. Makna
berasal dari interaksi dan tidak dari cara yang lain.
Pada saat yang sama “pikiran” dan “diri” timbul dalam
konteks sosial masyarakat. Pengaruh timbal balik antara
masyarakat, pengalaman individu dan interaksi menjadi
bahan bagi penelaahan dalam tradisi interaksionalisme
simbolik.
1. Pikiran (Mind)
3 Op.cit., hlm.68.
7
Pikiran, yang didefinisikan Mead sebagai proses
percakapan seseorang dengan dirinya sendiri, tidak
ditemukan di dalam diri individu, pikiran adalah
fenomena sosial. Pikiran muncul dan berkembang
dalam proses sosial dan merupakan bagian integral
dari proses sosial. Proses sosial mendahului
pikiran, proses sosial bukanlah produk dari
pikiran. Jadi, pikiran juga didefinisikan secara
fungsional ketimbang secara substantif.
Karakteristik istimewa dari pikiran adalah
kemampuan individu untuk memunculkan dalam dirinya
sendiri tidak hanya satu respon saja, tetapi juga
respon komunitas secara keseluruhan. Itulah yang
kita namakan pikiran.
Melakukan sesuatu berarti member respon
terorganisir tertentu, dan bila seseorang mempunyai
respon itu dalam dirinya, ia mempunyai apa yang
kita sebut pikiran. Dengan demikian pikiran dapat
8
dibedakan dari konsep logis lain seperti konsep
ingatan dalam karya Mead melalui kemampuannya
menanggapi komunitas secara menyeluruh dan
mengembangkan tanggapan terorganisir. Mead juga
melihat pikiran secara pragmatis. Yakni, pikiran
melibatkan proses berpikir yang mengarah pada
penyelesaian masalah.4
2. Diri (Self)
Pemikiran Mead tentang pikiran, melibatkan
gagasannya mengenai konsep diri. Pada dasarnya diri
adalah kemampua untuk menerima diri sendiri sebagai
sebuah objek. Diri adalah kemampuan khusus untuk
menjadi subjek maupun objek. Diri mensyaratkan
proses sosial yakni komunikasi antar manusia. Diri,
muncul dan berkembang melalui aktivitas dan antara
hubungan sosial. Menurut Mead adalah mustahil
4 Ritzer, George dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern(Jakarta : Kencana, 2005), hlm. 280.
9
membayangkan diri yang muncul dalam ketiadaan
pengalaman sosial. Tetapi, segera setelah diri
berkembang, ada kemungkinan baginya untuk terus ada
tanpa kontak sosial.
3. Masyarakat (Society)
Pada tingkat paling umum, Mead menggunakan
istilah masyarakat (society) yang berarti proses
sosial tanpa henti yang mendahului pikiran dan
diri. Masyarakat penting perannya dalam membentuk
pikiran dan diri. Di tingkat lain, menurut Mead,
masyarakat mencerminkan sekumpulan tanggapan
terorganisir yang diambil alih oleh individu dalam
bentuk “aku” (me). Menurut pengertian individual
ini masyarakat memperngaruhi mereka, member mereka
kemampuan melalui kritik diri, untuk mengendalikan
mereka sendiri. Sumbangan terpenting Mead tentang
masyarakat, terletak dalam pemikirannya mengenai
pikiran dan diri.
10
Pada tingkat kemasyarakatan yang lebih khusus,
Mead mempunyai sejumlah pemikiran tentang pranata
sosial. Secara luas, Mead mendefinisikan pranata
sebagai “tanggapan bersama dalam komunitas” atau
“kebiasaan hidup komunitas”.secara lebih khusus, ia
mengatakan bahwa, keseluruhan tindakan komunitas
tertuju pada individu berdasarkan keadaan tertentu
menurut cara yang sama, berdasarkan keadaan itu
pula, terdapat respon yang sama di pihak komunitas.
Proses ini disebut “pembentukan pranata”.5
Persepektif interaksi simbolik sebenarnya berada di
bawah paying persepektif yang lebih besar lagi, yakni
persepektif fenomenologis atau persepektif interpretatif.
Secara konseptual, fenomenologi merupakan studi tentang
pengetahuan yang berasal dari kesadaran atau cara kita
sampai pada pemahaman tentang objek-objek atau kejadian-
kejadian yang secara sadar kita lami. Fenomenologi
5 Ibid., hlm. 287-288.
11
melihat objek-objek dan peristiwa-peristiwa dari
persepektif seseorang sebagai perceiver. Sebuah fenomena
adalah penampakan sebuah objek, peristiwa atau kondisi
dalam persepsi individu.6
Menurut teori interaksi simbolik, kehidupan sosial
pada dasarnya adalah interaksi manusia dengan menggunakan
simbol-simbol. Secara ringkas, interaksionisme simbolik
didasarkan pada premis-premis berikut. Pertama, individu
merespon suatu simbolik. Mereka merespon lingkungan,
termasuk objek fisik dan sosial berdasarkan makna yang
dikandung komponen-komponen lingkungan tersebut bagi
mereka. Kedua, makna adalah produk interaksi sosial,
karena itu makna tidak melekat pada objek, melainkan
dinegosiasikan melalui penggunaan bahasa. Ketiga, makna
yang diinterpretasikan individu dapat berubah dari waktu
ke waktu, sejalan dengan perubahan situasi yang ditemukan
dalam interaksi sosial.
6 Turnomo Rahardjo, Menghargai Perbedaan Kultural: Mindfulness Dalam KomunikasiAntaretnis, (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 44.
12
Dalam merelevansikan kerangka teori mengenai
interaksionisme simbolik pada kasus sosial yang terjadi
di dalam masyarakat, maka berikut pembahasan mengenai
topik yang diambil oleh penulis.
Banyak istilah kata yang digunakan dalam menyebut
kain penutup kepala tersebut, ada yang menyebutnya hijab,
kerudung, atau pun jilbab. Dalam bahasa Inggris, jilbab
dikenal dengan sebutan veil, biasa dipakai untuk merujuk
pada penutup tradisional kepala, wajah, atau tubuh wanita
di Timur Tengah dan Asia Selatan. Sebagai kata benda,
kata ini digunakan untuk empat ungkapan :
1. Kain panjang yang dipakai wanita untuk menutup
kepala, bahu, dan kadang-kadang muka
2. Rajutan panjang yang ditempelkan pada topi atau
tutup kepala wanita, yang dipakai untuk memperindah
atau melindungi kepala dan wajah
3. a. Bagian tutup kepala biarawati yang melingkari
wajah terus ke bawah sampai menutupi bahu.
13
b. kehidupan atau sumpah biarawati
4. Secarik tekstil tipis yang digantung untuk
memisahkan atau menyembunyikan sesuatu yang da di
baliknya, sebuah gorden.7
Dapat disimpulkan bahwa sederet makna yang diterapkan
dalam istilah veil meliputi empat dimensi, yaitu material,
ruang, komunikatif, dan religious. Dimensi material
berisi pakaian dan ornamen-ornamen seperti jilbab dalam
arti bagian dari pakaian yang menutupi kepala, bahu, dan
wajah atau dalam arti hiasan yang menutup topi dan
menggantung di depan mata. Dalam penggunaan ini, veil
tidak saja menutupi wajah, tapi terus memanjang sampai
kepala dan bahu. Dimensi ruang mengartikan veil sebagai
layar yang membagi ruang secara fisik, sedangkan dimensi
komunikatif menekankan pada makna penyembunyian dan
ketidaktampakan. Dalam dimensi religius, bermakna
7Fadwa El Guindi, Jilbab : Antara Kesalehan, Kesopanan, dan Perlawanan(Jakarta : Serambi, 1999), hlm. 29.
14
pengasingan diri dari kehidupan dunia dan kebutuhan
seksual.
Penggunaan jilbab memiliki sejarah yang sangat
panjang bagi kehidupan manusia. Jilbab tidak hanya
dikenal pada kalangan umat muslim saja, tetapi ada juga
aturan memakai jilbab atau penutup kepala pada wanita-
wanita Nasrani dan Yahudi. Namun, pada masa dewasa ini
jilbab lebih dikenal sebagai simbol dari agama Islam.
Jilbab adalah sebuah benda yang kemunculannya akibat
dari dorongan syariat, artinya munculnya ide budaya
materi jilbab adalah berasal dari hukum Allah yang jelas,
telah diberi definisi dan ketentuan apa yang dimaksud,
dan dalam kadar seperti apa sesuatu itu bisa disebut
sebagai jilbab, semuanya tertulis jelas dalam kitab suci
Al-Qur’an, surat An-Nur ayat 23. Dapat ditafsirkan bahwa
awalnya jilbab masih sebatas sebagai fungsi teknis,
artinya baru sebatas sebagai sebuah benda yang memiliki
fungsi untuk menutupi bagian tubuh yang dilarang utuk
15
dilihat oleh orang lain dan untuk menghindari maksiat
bagi yang melihat.
Masyarakat pendukung atau yang menggunakan jilbab
pada awalnya masih memegang teguh ketentuan-ketentuan
dalil tentang jilbab, dan belum terfikirkan untuk
mengubah makna jilbab itu sendiri. Ketika Islam pada abad
9 sampai 12 mengalami perkembangan dan persebaran,
sehingga mengalami akulturasi dengan kebudayaan lainnya,
seperti di sebagian negara Timur Tengah berkembang model
jilbab dengan cadar, burqa8, niqab9. Kemudian berkembang
pula di Nusantara atau Melayu pada abad 19 jilbab dalam
bentuk selendang yang tidak sepenuhnya menutupi kepala
digunakan oleh kaum wanita yang telah memeluk agama
Islam. Hal ini menggambarkan bahwa ada sebuah
perkembangan dalam upaya utuk menafsirkan jilbab.8Burqa adalah sebuah pakaian yang membungkus seluruhtubuh yang dikenakan oleh sebagian perempuan Muslim diAfganistan, Pakistan, dan India utara. 9 Niqab adalah sesuatu yang dijadikan penutup muka olehpara wanita. Atau istilah yang ma'ruf pada dewasa iniadalah cadar.
16
Faktornya tentu banyak sekali, hal ini bisa terkait
dengan kondisi sosial budaya, lingkungan, dan pemahaman
atas dalil agama.
Misalnya, di Jawa pada abad 19 masih sedikit
masyarakat yang memakai jilbab yang sesuai dengan
ketentuan dalil, mereka hanya mengenakan sebatas
selendang yang diselampirkan di kepala, beberapa pendapat
mengemukakan bahwa hal ini sebagai dampak pola penyebaran
agama Islam yang dilakukan oleh Wali Songo sangat toleran
dengan budaya lokal sehingga Wali Songo baru menyampaikan
masalah Teologis dan belum sampai pada masalah fiqih
tentang pemakaian jilbab, karena mereka menyadari bahwa
hal ini akan mengubah budaya berpakaian masyarakat Jawa.
Hingga abad-abad selanjutnya, pemahaman manusia atas
dalil agama yang menyebutkan keharusan dalam berjilbab
mulai dimaknai sebagai materi yang sakral, karena ini
adalah perintah Allah, dan penggunaan jilbab pada pola
pemikiran seperti ini merupakan penggunaan jilbab masih
17
dalam lingkup simbol kesopanan, karena mereka yang
menggunakan jilbab ingin menutupi aurat mereka, yakni
bagian anggota tubuh dari seorang wanita yang harus
disembunyikan dari pandangan masyarakat umum yang bukan
menjadi mahram atau tidak memiliki hubungan darah dengan
wanita pemakai jilbab tersebut. Selain itu, simbol
kesopanan ini menggambarkan akan ketaatan pada perintah
Tuhannya yang sudah tercantum di dalam kitab agamanya.
Kasus penggunaan jilbab di samping menjadi sebuah
kesopanan dan ketaatan pada agama ialah sebagai simbol
dari suatu gerakan atau perlawanan.
Semisal yang terjadi di Mesir, jilbab kontemporer
merepresentasikan sebuah pergerakan yang telah melewati
beberapa kali fase transisi sejak tahun 1970-an, yang
telah menyebar di seluruh wilayah Arab dan belahan dunia
yang lain. Rupanya, pakaian termasuk jilbab telah
18
memainkan sebuah simbol yang sangat penting, peran ritual
dan politik dalam fenomena yang dinamis.10
Pada tahun 1970-an, ketika beberapa wanita muda Mesir
memakai jilbab, pemerintah yang sekularis mulai merasakan
ancaman dari militansi Islam dan mencari berbagai solusi.
Pada tahun 1993, menteri pendidikan (Husain Kamal Baha’
al-Din) tampaknya berusaha memerangi aktivisme Islam
dengan memberlakukan beberapa perubahan dalam area
pendidikan, seperti transfer atau penurunan pangkat guru-
guru yang berkecenderungan aktivis, revisi kurikulum, dan
pembatasan pemakaian jilbab. Namun, larangan pemakaian
jilbab pada universitas-universitas ditolak oleh
pengadilan. Menjelang 1994, usaha untuk membatasi
pemakaian jilbab di sekolah-sekolah hanya bagi siswa yang
memperoleh izin dari orang tuanya menerima kritik tajam.
Menteri pendidikan mulai berputar balik, menyerah dengan
mengiinkan gadis-gadis pelajar berjilbab walaupun tanpa
10 Fedwa El Guindi, op.cit., hlm. 210.
19
kesediaan orang tua. Campur tangan pemerintah dalam
urusan jilbab masih kontroversial di Mesir.
Selanjutnya, selama dekade pertama pergerakan yang
terjadi di Mesir, kode berpakaian untuk wanita
dihubungkan dengan tingkat pengetahuan dan bacaan
mengenai Islam, juga sampai pada tahap skala kepemimpinan
di kalangan wanita. Semakin intensif seorang wanita di
perguruan tinggi menutup tubuhnya, yakni dengan
mengenakan jilbab sampai rapat dan panjang, maka semakin
“serius” perilaku publiknya, semakin banyak pula
pengetahuannya terhadap sumber-sumber Islam, dan semakin
tinggi skala kepemimpinannya di kalangan wanita. Ia akan
memimpin diskusi-diskusi, seperti di masjid-masjid dan
dalam ruang-ruang mahasiswa di sela-sela kuliah. Namun
penghubungan ini kemudian agak pudar ketika gerakan itu
telah menyebar di luar kampus dan jilbab menjadi bagian
20
dari kehidupan normal, bercampur dengan lingkungan
sekuler di Kairo dan kota-kota besar lainnya.11
Lalu di Turki, pada tahun 1970-an terdapat
serangkaian upaya untuk menciptakan “gaya pakaian asli
bagi wanita muslim dan untuk melegitimasi pakaian Islam
tradisional”. Wanita turki mulai memakai jubah panjang
dan selendang kepala, aksi ini merupakan akibat dari
perpecahan yang terjadi antara sekularis dan pembela
Islam.
Di negara-negara Timur Tengah lainnya, berjilbab
bagi wanita perguruan tinggi yang oleh banyak orang
ditolak karena dianggap “iseng” saja, berbalik menjadi
sebuah gerakan sosial dan politik yang kuat dan ulet.
Walaupun mungkin dimulai oleh wanita, tren itu berkembang
dan memiliki pesan tegas untuk disampaikan. Pakaian
melembagakan sebuah kode sosial moral dan berfungsi
sebagai alat sentral bagi pesan ini. dalam konteks ini,
11 Ibid., hlm. 233.
21
faktor-faktor lokal, regional, dan global berpadu ketika
berjuang untuk meraih kemerdekaan dari kekuasaan kolonial
atau pemerintahan kolonial dan para wanita berjuang untuk
emansipasi.
Perlawanan dengan pakaian wanita dan jilbab lainnya
terjadi juga di Aljazair. Aljazair sebagai negara jajahan
dari Prancis, rakyatnya yang sebagian besar pemeluk agama
Islam mengadakan perlawanan kepada Prancis. Pada akhir
tahun 1980-an, Prancis melakukan sebuah gerakan yakni
gereja dan pastur kulit putih terlibat dalam kegiatan
misionaris yang agresif untuk mencari pengikut baru.
Namun, bagaimana pun hal ini mengalami kegagalan total.
Di Aljazair, sebagaimana di kawasan Arab lainnya,
misionaris Kristen tidak mampu menggantikan Islam. Dan di
sisi lain gerakan nasionalis Aljazair mulai terbentuk.
Pemerintahan Prancis mulai menyerang letupan-letupan anti
Prancis tersebut, sebagian besar dengan cara membuat
patokan-patokan untuk meruntuhkan kebudayaan Aljazair.
22
Strategi lainnya yang dilakukan oleh Prancis ialah
dengan mengadakan asimilasi kelas atas Aljazair dengan
mem-Pranciskan wanita Aljazair. Latarbelakang melakukan
hal tersebut ialah apabila wanita telah tercerabut dari
akar budayanya, maka yang lainnya akan mengikuti. Jilbab
menjadi target strategi kolonial untuk mengontrol dan
mempengaruhi wanita Aljazair agar melepaskan jilbabnya.
Penjajah tersebut bersikap hormat kepada wanita yang
tidak berjilbab di Aljazair. Proses tersebut diperkuat
dengan alasan bahwa aturan-aturan tersebut dibuat untuk
memodernisir Aljazair agar sesuai dengan selera penjajah.
Akan tetapi, aljazair sebagaimana seperti semua
nasionalis Arab lainnya memandangnya sebagai taktik untuk
menghina akar budaya. Taktik seperti itu membuat orang-
orang Arab menghubungkan proses pelepasan jilbab wanita
muslim dengan strategi kolonial untuk menghina dan
menghancurkan kebudayaan. Efeknya adalah perlawanan
terhadap apa yang dilakukan oleh Prancis dan mereka malah
23
memperkuat jilbab sebagai bagian dari simbol nasionl dan
kultural perjuangan wanita Aljazair, yang memberikan
jilbab vitalitas baru.
Pada masa itu, jilbab merupakan simbol resistensi
melawan hukum penjajah asing, melawan penjajahan
kontemporer di tanah Palestina, dan melawan rezim yang
tidak disahkan oleh pemilu, tapi tetap menegaskan tradisi
dan identitas Aljazair. Perjuangan Aljazair masih terus
berlangsung, pada tahun 1998 Aljazair masih membebaskan
dirinya dari hukum kolonial Prancis, walaupun telah
merdeka sejak 1956. Pada Juli 1998, Aljazair telah
menetapkan (kembali) bahasa Arab sebagai bahasa resmi
negara itu.
Isu jilbab di negara Iran juga menuai polemik yang
berarti. Pada masa kepemimpinan Syah Reza pada tahun 196,
dalam perjuangan Westernisasinya ia melarang penggunaan
jilbab pada masyarakatnya, dan para polisi menahan
wanita-wanita yang memakai jilbab dan dengan paksa
24
melepasnya, serta para ulama dianiaya. Tindakan yang
dilakukan oleh pemerintah ini mendapat sambutan yang baik
oleh laki-laki dan perempuan dari kelas atas dan mereka
yang telah ter-Baratkan, yang memandangnya dalam istilah
liberal sebagai tahap pertama untuk memberikan hak-hak
wanita. Sejak itulah isu jilbab menajdi luka dalam bagi
politik Iran, membangkitkan emosi kuat bagi semua pihak.
Isu ini juga menjadi arena utama konflik antara kekuatan
modernitas melawan otentisitas Islam, di mana setiap
pihak telah memproyeksikan visi mereka sendiri akan
moralitas.12
Setelah Syah Reza turun tahta pada tahun 1941,
kewajiban melepas jilbab tidak diberlakukan lagi,
walaupun kebijakan itu masih utuh di sepanjang era
Pahlevi. Antara tahun 1941 sampai 199, memakai jilbab
tidak lagi dianggap melanggar hukum, tetapi jilbab masih
merupakan penghalang untuk meningkatkan karir sosial,
12 Ibid., hlm. 276.
25
sebuah lambang untuk keterbelakangan dan penanda kelas.
Sehelai kain pun yang menutupi kepala para wanita di Iran
dapat menghambat kesempatan untuk maju dalam bekerja dan
bermasyarakat.
Di Indonesia yang juga sebagian besar penduduknya
merupakan pemeluk agama Islam, telah mengalami pula masa-
masa pelarangan untuk menegnakan jilbab bagi kaum wanita,
sehingga bagi siapa saja yang melanggar pemerintahan saat
itu dan tetap menggunakan jilbab maka dianggap sebagai
aksi perlawanan terhadap pemerintah. Adalah rezim orde
baru pada tahun 1980-an, hampir mustahil menemukan
perempuan yang berjilbab di Indonesia yang bekerja
sebagai sekretaris di perusahaan multinasional, atau
instansi pemerintahan lainnya.
Pada era Orde Baru, pemerintah mengeluarkan SK
052/1982 tentang larangan berjilbab di sekolah dan
mengasosiasikan pemakainya sebagai gerakan politik yang
26
menentang rezim.13 Larangan pemakaian jilbab ini juga
berlaku bagi pegawai negeri sipil. Larangan ini membuat
ratusan perempuan muslim bernegosiasi, mereka menggunakan
jilbab di rumah, tetapi tidak menggunakannya apabila
mereka beraktivitas di kantor pemerintahan. Bahkan
beberapa sekolah dan universitas mengusulkan agar para
pelajar wanita tidak menggunakan jilbab untuk foto di
ijazah dengan alasan agar mudah dalam mencari pekerjaan.
Hal ini mengakibatkan muslimah berjilbab memiliki
keterbatasan pada pilihan karir di era Orde Baru.
Dari pembahasan mengenai fenomena penggunaan jilbab
yang ternyata dijadikan sebagai simbol, baik dari
kesopanan maupun perlawanan, maka dapat disimpulkan bahwa
jilbab sebagai simbol dalam kesopanan seorang wanita
adalah karena perintah untuk mengenakan jilbab telah
jelas tertulis dalam kitab suci Al-Qur’an sebagai
perintah Allah swt. yang wajib untuk dilaksanakan. Simbol
13 http://www.rahima.or.id/, (Diakses pada 02 Januari 2015, pukul15.59 WIB.)
27
jilbab dalam arti kesopanan berarti seorang wanita yang
menggunakan jilbab tealah menutupi auratnya. Aurat ialah
bagian tubuh yang harus dilindungi dan tidak boleh
diperlihatkan secara public oleh seorang wanita tersebut
selain kepada keluarga atau orang yang telah menjadi
mahramnya atau memiliki hubungan darah. Serta agar wanita
tersebut mampu menjaga pandangan dan perbuatannya ketika
ia mengenakan jilbab yang menutupi kepalanya, karena
jilbab tersebut merupakan suatu benda yang sakral.
Sedangkan penggunaan jilbab sebagai simbol
perlawanan, merujuk pembahasan dari beberapa negara yang
mengalami hal demikian, maka dapat ditarik pula
kesimpulan bahwa kaum berjilbab yang melakukan perlawanan
ialah mereka yang ingin mempertahankan nilai-nilai Islam
melawan pemerintahan atau pihak yang menganut sekularisme
dan merasa terancam apabila pemakaian jilbab pada umat
Islam diperbolehkan.
28
Hal ini berkaitan dengan anggapan dunia Barat atau
penganut paham sekularisme bahwa agama atau tradisi pada
agama Islam merupakan agama yang keras dan kejam, menurut
anggapan mereka Islam selalu menggunakan cara kekerasan
dan sama sekali tidak menghormati dan selalu merendahkan
kaum wanita. Akibat dari hal itulah kemudian para
pemerintah atau golongan sekularian sangat menentang
dengan keras penggunaan simbol agama Islam seperti jilbab
dalam negara atau pemerintahannya. Dengan demikian, siapa
saja yang berani melanggar aturan larangan pemakaian
jilbab tersebut maka dengan terang-terangan mereka
menentang rezim atau pemerintah yang mengeluarkan
peraturan itu.
Ketegangan antara negara dan simbol-simbol agama yang
terjadi baik di Indonesia maupun belahan lain di dunia
adalah akibat dari pergumulan semangat sekularisme dan
aliran politik yang menggunakan semangat agama, yang
29
kemudian berujung pada prasangka dan salah pengenalan
antara yang religius dan yang politis.
Dalam kasus penggunaan jilbab di Indonesia pada masa
rezim Orde Baru ialah korban dari kecurigaan rezim
terhadap kelompok Islam Politik. Jilbab oleh Orde Baru
diartikan secara sederhana sebagai representasi kelompok
Islam ekstrimis yang bisa mengganggu keamanan negara.
Jilbab bukan lagi dianggap sebagai pilihan religius
individu, tapi sejenis bentuk pemberontakan sehingga
setiap muslimah yang menggunakan jilbab dicurigai
ideologinya dan kesetiaannya pada negara. Pada tingkat
ini lah jilbab yang idealnya merupakan sebuah pilihan dan
hak individu dalam mengartikan agamanya kemudian ditarik
ke ranah politik oleh Orde Baru.
Jilbab merupakan metafora yang penuh kekuatan,
sanggup mengayomi berbagai makna dan membentuk banyak
fungsi. Pemberdayaan jilbab dapat menjadi sangat kuat
sebagaimana pelarangannya. Sementara jilbab tidak
30
diragukan lagi membatasi sebagian wanita, jilbab juga
mengemansipasikan yang lain dengan melegitimasi kehadiran
mereka di tengah kehidupan publik. 14
Tentu saja persepsi mengenai jilbab adalah
representasi dari politik yang anti negara sekuler
merupakan tuduhan yang ahistoris dan tidak dapat
dibuktikan kebenarannya. Pada perkembangannya, kita
menemui banyak perempuan berjilbab menempati posisi
penting di pemerintahan yang menyokong negara sekuler.
Di Indonesia sendiri, penggunaan jilbab telah
mengalami kemajuan yang luar biasa dengan mengembalikan
jilbab sebagai hak muslimah dan tidak mencampuradukannya
dengan pandangan politik pengguna walaupun hal ini
memerlukan waktu selama lebih kurang 15 tahun.
14 Fedwa El-Guindi, op.cit., hlm. 28.
31
Daftar Pustaka
Buku :
El Guindi, Fadwa. Jilbab : Antara Kesalehan, Kesopanan, dan
Perlawanan. Jakarta : Serambi. 1999.
Mulyana, Deddy. Human Communication: Konteks-Konteks Komunikasi.
Bandung: Remaja Rosdakarya. 2001.
Rahardjo, Turnomo. Menghargai Perbedaan Kultural: Mindfulness
Dalam Komunikasi Antaretnis. Jogjakarta: Pustaka
Pelajar 2005.
32
Ritzer, George dan Douglas J. Goodman. Teori Sosiologi
Modern. Jakarta : Kencana. 2005.
Sumber Penunjang Lainnya :
http://en.wikipedia.org/wiki/George_Herbert_Mead.
(Diakses pada 02 Januari 2015, pukul 10.15 WIB).
http://www.rahima.or.id/. (Diakses pada 02 Januari 2015,
pukul 15.59 WIB)
33