Post on 22-Feb-2023
1
PENDIDIKAN ISLAM ANTARA INVESTASI EKONOMI, SDM DAN
IBADAH
Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Problematika Pendidikan Islam
Disusun Oleh:
Fendi Teguh Cahyono
NIM. F 13213152
Dosen Pengampu:
Ach. Muzakki, Gran Dip SEA, M.Ag, M.Phil, Ph.D
PROGRAM PASCASARJANA
KOSENTRASI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2014
2
A. Pendahuluan
Krisis pendidikan dan kebudayaan akan berdampak terhadap krisis
kehidupan disegala bidang. Pernyataan tersebut tergambar oleh penulis ketika
mengkaji perang kebudayaan terhadap perkembangan kehidupan bangsa. Seperti
halnya yang ada di Negara indonesi. Perang kebudayaan seolah melekat disegala
bidang kehidupan baik, ekonomi, pendidikan, politik, dan bahkan sampai masuk
ke persoalan yang paling sakral yaitu sektor keagamaan.
Sebagai contoh, ketika kita mengkaji sejarah peradaban dunia. Sekitar
abad ke-5 sampai abad ke-16 yang disebut juga zaman pertengahan eropa, peran
geraja sangat mendominasi sampai terjadinya jual-beli surat penebusan dosa
(korpus) yang ada di belahan dunia eropa. Konsekwensinya adalah orang kaya
dapat membeli surat penebusan dosa dan dijamin akan masuk surga namun hal ini
tidak berpihak terhadap orang miskin karena tidak akan mungkin mampu membeli
surat tersebut. Sehingga dimungkinkan bahwa mereka yang tidak mampu
membeli corpus tersebut akan dijamin masuk neraka. Momok ini dapat
mempengaruhi bangsa eropa pada saat itu khususnya rakyat miskin dikarenakan,
hal ini mampu menjadi penderitaan tersendiri karena sudah dicap sebagai orang
yang masuk neraka.1
Disisi lain, dalam sektor ilmu pengetahuan (sains) yang telah
berkembang dimasa zaman klasik berusaha untuk dipinggirkan dan dianggap
lebih sebagai ilmu sihir yang mengalihkan perhatian manusia terhadap ketuhanan.
Tokoh yang dapat dijadikan contoh sejarah adalah Hypatia (370 – 415 M),
Nicolaus Kopernicus (1473 – 1543 M), Johanes Kepler (1571 – 1630 M), Galileo
Galilei (1564 – 1642 M)2 yang hidupnya berakhir di dalam jeruji atau dipancung
karena berusaha melawan dan tidak mengindahkan kebenaran yang berasal dari
gereja.
Kemudian disektor politik, peran gereja sangat berpengaruh sampai
kebijakan Negara atas dasar inisiatif dari pihak gereja dan demi kebijakan tersebut
1 Penderitaan yang dialami oleh bangsa eropa yang kala itu jauh dari kata beradab hemat penulis,
ini merupakan problem structural yang dibangun untuk memenuhi kebutuhan ekonomi sebagian
kelompok khususnya para pembesar dan tokoh agamawan yang berada dalam lingkaran gereja.
Momok seperti ini dapat dilihat dilingkungan pedesaan jika ada seorang kiyai sepuh yang
berpengaruh telah menjustifikasi akan seseorang masuk neraka. Maka orang tersebut akan
dihinggapi perasaan bersalah dan ketidak nyamanan yang luar biasa. 2 Harun Hadiwijoyo, Sari Sejarah Filsafat Barat 2 (Yogyakarta: Kanisius, 2011), 13-14
3
demi kepentingan pihak gereja. Dalam teori politik hubungan agama dan Negara
dapat dibagi menjadi tiga yaitu integrative, simbiosis dan sekuler. Namun pada
saat itu lebih bertendensi terhadap bentuk hubungan yang integrative karena posisi
Negara dan agama menjadi satu entitas yang tidak dapat dipisahkan absolud
entity.
Dengan penjelasan di atas bahwa kepentingan yang berangkat dari
problematika kebudayaan ini sangat berpengaruh terhadap leading sektor disegala
bidang. Bahkan masyarakat pada saat itu mengalami kesenjangan yang sangat luar
biasa antara orang yang kaya dan yang miskin, namun diakhir cerita sejarah
terdapat tokoh yang berusaha menggulingkan status quo pada saat itu salah satu
tokoh yang dikenal sejarah adalah Martin Lutter (1483 - 1546 M), Bruno, Nocolo
Marcievelli (1469 – 1527 M), Francis Bacon (1561 – 1626 M), Rene Descartes
(1596 – 1650 M) dan tokoh lain yang ikut andil menjadikan bangsa eropa sampai
saat ini.
Kajian tersebut berusaha penulis munculkan karena sebagai pisau analisa
serta untuk mengkomparasikan problematika di atas dengan problematika yang
ada dibelahan dunia timur. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa dibelahan dunia
timur yang lebih bercorak islam ini tidak kalah kompleks persoalan yang dihadapi
khususnya yang berkenaan dengan masalah ekonomi, budaya, politik dan bahkan
problem sakral keagamaan yang ini membutuhkan analisa yang lebih mendalam.
Informasi terbaru yang mencoreng wajah keislaman di Indonesia adalah
perilaku Ustad Guntur Bum yang lebih dikenal dengan UGB. Dia terbongkar
kedok pengobatan alternatifnya yang terkesan menyimpang dari ajaran islam.
UGB dianggap merugikan beberapa kliannya. Salah satu contoh adalah klian yang
identitasnya dirahasiakan membayar uang 70 juta untuk berobat namun belum
juga mengalami kesembuhan.3 Kemudian, ada lagi yang mengaku sebagai
kliannya merasa dicabuli oleh UGB serta kataman al qur’an yang ditarget dengan
puluhan juta.
3 Ustad Guntur Bumi dianggap melakukan tindakan penipuan karena berusaha untuk mengelabuhi
kliannya dengan menyediakan tali pocong, kecoak, ulat dalam praktik pengobatan alternatifnya.
Sehingga kesan yang dibangun adalah si penderita didiagnosa oleh UGB menderita penyakit guna-
guna, santet dan kerasukan jin dengan barang bukti barang yang telah disediakan tersebut tanpa
sepengetahuan klian.
4
Khasus di atas merupakan sebagian kecil problematika kehidupan yang
berangkat dari pemanfaatan ajaran agama untuk pemenuhan kebutuhan ekonomi.
Padahal kalau kita kaji bahwa sebenarnya islam itu fitrah (suci) karena berangkat
dari wahyu ilahiyah (transendental) namun berhak di interpretasi oleh siapapun
untuk mendapatkan kenyamanan dan ketenangan di dunia. Karena kebebasan
interpretasi ini, sehingga dimanfaatkan oleh sebagian orang / kelompeok demi
memenuhi kebutuhan nafsunya.
Dengan demikian untuk mengkaji problematika tersebut di atas, maka
penulis memberikan batasan masalah berupa Problem pendidikan islam di tengah
tuntutan kepentingan pemenuhan ekonomi, Problem pendidikan islam dalam
pengembangan sumber daya manusia dan Problem struktural pendidikan islam
dengan memperkuat kapasitas sebagai pelaksanaan ibadah.
B. DASAR PERMASALAHAN
1. Investasi Ekonomi dalam Pendidikan Islam
Investasi dalam kamus ilmiah popular diartikan sebagai penanaman
modal (uang), perbekalan atau permodalan.4 Kemudian yang dimaksud dengan
ekonomi adalah segala usaha manusia dalam memenuhi kebutuhannya guna
mencapai kemakmuran hudupnya (pengaturan rumah tangga).5 Kebutuhan yang
dimaksud dalam hal ini adalah kebutuhan yang bersifat materi berupa pakaian,
makanan dan rumah.6 Karl mark (1818 - 1855 M) pernah berkata bahwa
kebutuhan primer manusia adalah makan. Sehingga semua orang akan berlomba-
lomba untuk mencari makan demi memenuhi kebutuhan hidup sebelum
terpenuhinya pakaian, rumah dll.
Dengan pemenuhan kebutuhan tersebut yang terkadang seseorang
memperolehnya dengan menghalalkan segala cara. Harus diakui bahwa, untuk
saat ini yang merupakan transmisi dari peradaban modern dengan karakteristik
semua dimanjakan dengan cara kerja teknologi. Sehingga tidak jarang kita temui
disekeliling kita bahwa untuk naik di lantai dua itu menggunakan Lift. pola
4 Pius A Partanto, M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Popular (Surabaya: Arkola, 2001), 278
5 Ibid, 137
6 Dalam istilah jawa pemenuhan kebutuhan yang berupa pakaian, makanan dan rumah ini
diistilahkan sandang, pangan dan papan.
5
pemikiran seperti ini sebenarnya salah satu dampak dari maraknya industrialisasi.
Yang saat ini sulit untuk di bendung.
Puncak industrialisasi abad ke-21 ditandai dengan semakin kukuh dan
tegaknya filsafat hidup ‘Positivisme - Materialistik’ dan gaya hidup ‘Ekonomi -
Kapitalistik’. Perilaku manusia berkecenderungan memperoleh kekayaan material
sebanyak mungkin melalui jalan manapun. Filosofi hidup demikian bisa tegak
karena didukung oleh lahan subur berupa kepadatan penduduk dunia dan asumsi
kekurangan pangan. Hal itulah yang menjadikan ekonomi perdagangan menjadi
jalan utama kehidupan masyarakat dunia yang sarat dengan persaingan baik
secara individual maupun sosial. Moralitas persaingan mendorong system
‘Ekonomi - Kapitalistik’ yang cenderung memonopoli barang-barang produksi
mulai dari proses produksi sampai mekanisme pasar.7
Akibat system ekonomi perdagangan monopolistik itu, sosialitas
terbelah menjadi yaitu produsen dan konsumen. Dengan spirit kapitalistik tersebut
produsen melakukan produksi dengan berusaha menguasai pasar untuk
memperoleh keuntungan sebesar-besarnya. Dengan perolehan keuntungan besar,
produsen merasakan suatu kebahagiaan berupa kenikmatan. Sedangkan
konsumen, terjebak ke dalam sikap dan perilaku sebagai penikmat. Konsumen
merasakan kebahagiaan berupa mengkonsumsi barang-barang produksi. Dengan
sifat seperti ini maka konsumen menjadi semakin terjerat dengan
ketergantungannya kepada produsen.8
Ke dua belah pihak di atas diam-diam membangun sebuah kompromi
berupa nilai kenikmatan hidup dari barang-barang produksi. Keadaan ini membuat
posisi sentral kaum kapitalis sebagai produsen semakin kukuh untuk mendapatkan
keluasan menguasaai ekonomi pasar (perdagangan). Semakin barang-barang
produksi itu memberikan kenikmatan maka semakin kuat pula ketergantungan
konsumen kepada produsen. Hubungan seperti itu terkesan logis dan tidak ada
kesalahan. Pada titik nilai kenikmatan itu, kedua belah pihak seolah-olah saling
mendapatkan keuntungan, sehingga mereka terkait dengan romantika kehidupan.9
7 Suparlan Suhartono, Filsafat Pendidikan (Yogjakarta: Ar-Ruzz Media, Cet-2, 2007), 18-19
8 Ibid, 19
9 Suparlan Suhartono, Filsafat Pendidikan, 19-20
6
Tetapi, di balik romantisme ekonomi kapitalis, sesungguhnya terjadi
suatu ‘kanibalisme’ kehidupan yang pada waktu tertentu bisa menghancurkan
realitas kehidupan. Pasalnya, produsen semakin terdorong untuk melipatgandakan
kuantitas kenikmatan. Dorongan ini selanjutnya membentuk sikap dan perilaku
serakah, dimana menurut hukum alam lebih cenderung untuk merusak dan
menghancurkan. Begitu pula dengan pihak konsumen, ketergantungan kepada
produsen mengakibatkan sikap hidup malas dan tidak kreatif. Moralitas hidup ini
sangan berlainan dengan hukum kodrat kehidupan manusia yang pada waktu
tertentu bisa merusak tatanan kehidupan manusia. Dengan moralitas kanibalistik
di masa depan, maka dapat digambarkan bahwa produsen memangsa habis
konsumen dan di antara produsen saling memangsa. Akibatnya kiamatlah
peradaban manusia. 10
Kedua belah pihak sudah saling terjebak ke dalam moralitas
konsumeristik. Moralitas ini disamping memakan korban manusia sendiri, juga
cenderung mengorbankan alam sebagai sumber dayanya. Jika alam sudah menjadi
korban maka dapat dikatakan bahwa sesungguhnya bumi ini mengalami kiamat,
dan seluruh kehidupan bumi mengalami kiamat total. Hal ini mutlak bertentangan
dengan hukum kodrat karena pembuat bumi bukanlah manusia tetapi manusialah
pembuat kiamat (kehancuran di bumi).11
Di sisi lain, persoalan ini menjadi sangat komplek karena sebenarnya
negara juga ikut andil dalam membangun sistem ekonomi yang sebegitu mapan.
Hal ini dikarenakan tipologi masyarakan begitu kentara antara orang miskin dan
orang kaya seolah terdapat jurang pemisah yang sangat dalam di antara keduanya.
Gramsci memberikan pengertian bahwa negara adalah organisasi
ekonomi dan politik dari kelas borjuis. Bahkan negara merupakan kelas borjuis itu
10
Suparlan Suhartono, Filsafat Pendidikan, 20 11
Kehancuran bumi yang telah dijelaskan di atas, sebenarnya senada dengan kritikan malaikat
terhadap Allah SWT. Yang dibahas dalam al-qur’an surat al baqarah ayat 30 yang artinya: “aku
akan menciptakan khalifah di muka bumi”. Kemudian mendapat kritikan tajam dari malaikat yang
dijelaskan dalam ayat selanjutnya: “apakah engkau akan menciptakan orang yang akan berbuat
kerusakan dan pertumpahan darah di muka bumi”. Dengan retorika seperti itu sebenarnya
malaikat merasa malu jika secara langsung mengatakan: “Ya tuhan kami, mengapa engkau
menciptakan makhluk lain sebagai pengurus bumi?. Bukankah kami lebih pantas menjadi khalifah
di muka bumi, karena tidak ada makhluk yang melebihi ketaatan dan kepandaian kami?”. Lihat:
Imadudin, Dan Tuhan pun Dikritik (Kediri: tp, 2005), 3
7
sendiri.12
Sehingga gramsci memberikan describsi bahwa negara juga ikut andil
dalam memberikan persoalan atas sistem kapitalisme yang menjamur di abad ke
21 ini. Pemerintah menambahkan atas kesenjangan dalam bidang ekonomi dengan
kenyataan bahwa orang kaya semakin kaya dan orang miskin semakin miskin.
Describsi di atas sebenarnya senada dengan hemat penulis bahwa banyak
orang berlomba - lomba untuk masuk dalam gerakan intra parlementer karena
dapat dimungkinkan seseorang tersebut mudah memperoleh akses ekonomi
dengan berusaha memanfaatkan situasi dan kondisi dari perputaran ekonomi yang
ada dipemerintahan.
Kerangka epistemologi di atas dapat dijadikan sebagai pisau analisis
dalam dunia pendidikan saat ini, kaum produsen dalam sistem ekonomi
kapitalistik didesribsikan sebagai para pemegang kebijakan dalam dunia
pendidikan. Kemudian konsumen dideskribsikan sebagai orang tua yang
menyekolahkan anaknya untuk menikmati dunia pendidikan dalam hal ini
masyarakat kalayak umum.
Pernah dalam suatu kesempatan, penulis berdiskusi dengan
Darmaningtias sekitar akhir tahun 2011, istilah yang digunakan dalam
menggambarkan realitas di atas adalah korporasi pendidikan. Yang berarti,
keberadaan dunia pendidikan hanya dapat dinikmati oleh sekelompok orang yaitu
orang-orang yang membuat kebijakan.
Dengan demikian, bila dicermati pola mekanisme kerja antara intitusi
pendidikan dengan supermarket atau pasar swalayan, maka sesungguhnya ada
pola mekanisme kerja yang sama antara pengelolaan pasar swalayan dengan
sekolah / universitas. Salah satu ukuran keberhasilan pasar swalayan adalah bila
banyak pengunjung yang datang dan membeli barang-barang yang dijualnya,
sehingga barang-barangnya cepat habis. Para pengelola sekolah / universitas juga
punya prinsip yang sama yaitu banyak orang yang memasukkan anaknya di sana,
mampu membayar mahal, dan setelah lulus cepat mendapat kerja. Cepat mendapat
kerja di sektor industri adalah ukuran keberhasilan suatu pendidikan di masa
sekarang.13
12
A Pozzalini, Pijar-Pijar Pemikiran Gramsci (Yogyakarta: Resist Book, 2006), 55-56 13
Darmaningtias, Pendidikan Rusak-Rusakan (Yogyakarta: LKIS Group, 2011), 25
8
Penyederhanaan fungsi dari pendidikan di atas sebenarnya dapat
diketahui melalui dampak konkrit dalam jangka pendek yaitu mendapatkan
pekerjaan yang layak, cepat kaya dan mendapat penghormatan di kalangan
masyarakat. Yang pada intinya hanya untuk memenuhi kebutuhan ekonomi.
Sebagaimana WL Miller mengatakan bahwa “usaha untuk menghitung
kontribusi pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi jelas memerlukan
penjelasan tentang mengapa kita harus memperkirakan adanya kontribusi terhadap
pertumbuhan ekonomi dari pendidikan.14
Diyakini atau tidak, sebenarnya tidak setiap bentuk pendidikan akan
meningkatkan pertumbuhan ekonomi. “Pendidikan adalah sumber pertumbuhan
ekonomi jika bersifat anti tradisional sampai ke taraf dia membebaskan dan
merangsang serta menginformasikan kepada orang dan mengajarinya bagaimana
dan mengapa tuntutan dibuat terhadap dirinya sendiri.” Karena itu, strategi
pendidikan yang tepat akan muncul dalam empat kapasitas yang menghasilkan
pertumbuhan. “perkembangan suatu lingkungan umum yang menguntungkan bagi
kemajuan ekonomi.” Maksudnya adalah bagi mobilitas sosial, suatu peningkatan
umum baca tulis perlu untuk meningkatkan kesejahteraan.15
2. Investasi SDM dalam Pendidikan Islam
Saat ini, adanya ujian nasional yang dianggap menjadi tolak ukur
kelulusan seseorang dalam menempuh pendidikan formal. Dengan materi yang
diujikan rata-rata bersifat esakta bukan humaniora, serta jika kedua konsentrasi
pengetahuan itu disandingkan maka yang mendapat perhatian yang lebih serius
adalah pelajaran yang bersifat esakta seperta matematika, fisika, kimia. Ini
menandakan bahwa setiap orang yang hidup di negeri ini seolah-olah diharapkan
bisa menjadi tokoh ilmuan secara keseluruhan. Karena jika dikaji dari segi minat,
peserta didik juga lebih tertarik untuk memahami ilmu yang bersifat esakta
dibandingkan dengan yang bersifat humaniora.
Kemudian, klaim kebenaran atas peserta didik dikatakan cerdas jika dia
mendapatkan nilai yang bagus pada mata pelajaran yang bersifat esakta
14
W.L. Miller, Education as a Source of Economy Growth.( Jurnal of Economy Issue, 1967), 280-
296 15 S. Rosen, Measuring Obsolescence of Knowledge, dalam F.T. Juster, (ed), Education, Income
and Human behavior, (New York: Mc. Graw-Hill, 1975), 199-232
9
dibandingkan dengan peserta didik yang mendapatkan nilai bagus pada mata
pelajaran humaniora. Hemat penulis, kecenderungan seperti ini membentuk
karakteristik untuk hidup lebih mandiri, karena dengan anggapan bahwa ilmu
esakta membutuhkan waktu yang cukup lama untuk menggelutinya maka ini
menyita waktu untuk bersosialisasi terhadap masyarakat atau kurang pemahaman
terhadap pentingnya hidup bermasyarakat. Konkritnya, mustahil anak didik
dengan inisiatifnya sendiri membawa temannya yang sakit untuk ke UKS.16
Di sisi yang lain, jurusan atau fakultas ekonomi, kedokteran, MIPA yang
cepat membawa seseorang terjun ke dunia kerja kebanjiran mahasiswa. Sementara
jurusan yang dianggap menjadikan seseorang untuk lama mendapat pekerjaan
kurang mendapatkan peminat. Sering terdengar, betapa minornya masyarakat
menilai ilmu yang bersifat humaniora, sehingga sering terdengar bahwa jurusan
tekhnik yang tidak terdapat laboratorium atau prakteknya sering dianggap sebagai
sastra tekhnik.
Pendidikan yang membawa anak didik menjadi pribadi yang berbudaya
instan menjadi penyebab merajalelanya korupsi di negeri ini. Korupsi artinya
ingin berumah bagus, beristri cantik dan berpenghasilan besar tanpa dibarengi
dengan kerja keras. Korupsi yang telah berbudaya dan secara sistematis merusak
dalam berbagai sendi kehidupan tidak perlu lagi dipelajari tetapi berubah menjadi
kebiasaan. Korupsi juga berkembang tidak hanya dalam lingkup birokrasi dengan
mengkorup uang negara, melainkan juga soal disiplin, kepercayaan antar pribadi,
berkembangnya sikap kecurigaan yang merusak elemen persaudaraan.17
Pendidikan tidak mendidik seseorang untuk mengembangkan budaya
proses, melainkan budaya instan. Mentalitas mencontek, menyogok, plagiator
juga dalam penyusunan makalah, karya ilmiah atau tugas akhir (sekripsi, tesis dan
desertasi) menunjukkan rapuhnya mental para generasi muda. Seorang teman
yang baru saja menyelesaikan sekripsinya dengan menjiplak karya orang lain
dengan bangga bagaimana bisa mengelabuhi dosen sehingga proses bimbingan
dan ujian berjalan lancar.
16
Paulus Mujiran, KERIKIL - KERIKIL DIMASA TRANSISI; Serpihan Esai Pendidikan, Agama,
Politik dan Sosial (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), 36 17
Paulus Mujiran, KERIKIL - KERIKIL DIMASA TRANSISI, 38
10
Harus diakui, kegagalan bangsa ini keluar dari krisis multidimensi yang
membelit bangsa ini salah satu penyebabnya adalah rendahnya kualitas
pendidikan dan sumber daya manusia bangsa ini. Secara kuantitas banyak orang
terdidik duduk dalam jabatan – jabatan terkemuka, tetapi dalam hal yang sama
mereka tidak dibekali dengan kualitas moral. Dalam hal ini, pendidikan yang
diperlukan tidak sekedar membuat orang mempunyai ijazah, melainkan
bagaimana dengan jenjang pendidikan yang diraihnya mampu membangun
bangsa. 18
Kaitan antara kemiskinan dan pendidikan ini telah menjadi isu meluas di
banyak negara. Dinegara-negara maju seperti amerika serikat, permasalahan
muncul sebagai akibat besarnya subsidi yang diperuntukkan bagi orang-orang
miskin. Sedangkan di negara-negara miskin, seperti indonesia, permasalahan
muncul terletak pada ketidakadilan dalam memperoleh akses pendidikan antara
orang kaya dengan orang miskin. Kenyataannya biaya yang dikeluarkan oleh para
orang tua untuk menyekolahkan anaknya di lembaga pendidikan formal itu sama.
Bahkan cenderung lebih mahal bagi orang miskin. Hal itu disebabkan, sekolah-
sekolah negeri yang 90% pembiayaannya ditanggung oleh negara justru di duduki
oleh mayoritas anak-anak orang kaya. Sebaliknya, anak-anak buruh pabrik, buruh
kasar, buruh bangunan, nelayan, pemulung, buruh tani, petani dan lain-lain justru
bersekolah di lembaga pendidikan swasta kecil, yang 90% pembiayaannya
ditanggung sendiri19
Munculnya ketidak adilan itu bersumber pada sistem seleksi siswa atau
mahasiswa baru yang di dasarkan pada besaran angka nilai rapor atau ijazah.
Kasus terbaru ketika bulan mei tahun 2014 kemaren. Adik-adik kita berkompetisi
untuk masuk perguruan tinggi negeri melalui jalur SMPTN dan SPAI PTAIN
hanya didasarkan pada nilai rapor. Logikanya, prasyarat pencapaian angka
tertinggi itu adalah fasilitas-fasilitas belajar yang lengkap dan makanan yang
bergizi sehingga anak itu menjadi cerdas.
Kedua prasyarat di atas hanya dimiliki oleh orang-orang yang secara
ekonomis mampu. Orang-orang miskin karena sejak awal gizinya tidak terpenuhi
18
Paulus Mujiran, KERIKIL - KERIKIL DIMASA TRANSISI, 37-38 19
Darmaningtias, Pendidikan Rusak-Rusakan, 326
11
dan fasilitas belajarnya tidak mendukung, kemudian memperoleh nilai rendah.
Akibatnya, mereka tidak lulus seleksi masuk ke sekolah-sekolah negeri yang
biayanya ditanggung oleh negara. Sampai sekarang, belum pernah ada kebijakan
seleksi masuk ke sekolah-sekolah formal yang di dasarkan pada kemampuan
sosial ekonomi calon murid / mahasiswa. Akibatnya, sampai sekarang kita belum
melihat berakhirnya keadilan tersebut yang bertujuan untuk pemerataan sumber
daya manusia di indonesia.
3. Praktik Ibadah dalam Islam
Saat ini sering kita jumpai orang-orang yang memburu harta secara liar
namun lupa dengan hakikat dirinya hidup di dunia yaitu untuk beribadah kepada
allah swt. Realitas ini timbul dikarenakan pemahaman keberagamaan dari orang-
orang tersebut kurang. Dan masih dangkalnya pemahaman keislaman. Namun,
tidak bisa dipungkiri pula bahwa orang yang pemahanan keislamannya kuat
namun tetap tidak menghayati ilmunya dan berusaha untuk memburu harta
semata.
Berita terbaru (Jawapos tanggal 27) tentang penangkapan Surya Darma
Ali (SDA) sebagai Menteri Agama oleh KPK. Mengingatkan kita bahwa orang
yang paham tentang ajaran agama pun bisa terjerat kasus korupsi. Kasus ini
mencuat, berangkat dari realitas bahwa SDA membawa sekitark 35 keluarganya
untuk berangkat haji secara geratis. (www. tribunnews .com)
Pola peribadatan dari seseorang tak lepas dari pemahana nilai keislaman
yang komprehensif karena ini menjadi barometer dari langkah-langkah yang
dilakukan dalam kehidupan bermasyarakat. Namun kasus SDA di atas
menunjukkan kepada kita bahwa pemahanan keagamaan pun masih belum cukup
untuk bebas dari genggaman materi dan keselamatan melainkan juga butuh
penghayatan yang mendalam dari wacana keislaman.
Di sisi lain, dapat kita analisis bahwa SDA ini ketika menjadi Menteri
Agama apakah berangkat dari amanat yang deberikan oleh rakyat atau berangkat
dari ambisi pribadi, khususnya melalui politik dagang sapi (bagi-bagi kue).
Dalam Shahih Bukhari no. 7148 dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu
dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwasanya beliau bersabda:
12
مارة و …ستكون ندامة يوم القيامة إنكم ستحرصون على ال
"Kalian akan berambisi atas kekuasaan & akan menjadi penyesalan
pada hari kiamat…". Ambisi terhadap kehormatan sangat membahayakan
pelakunya, (dia akan menghalalkan segala macam cara) dalam usahanya mencapai
tujuan, & juga sangat membahayakan pelakunya ketika telah mendapatkan
kehormatan di dunia, dengan cara mempertahankan statusnya. Walaupun dengan
melakukan kezhaliman, kesombongan & kerusakan-kerusakan yang lain
sebagaimana dilakukan oleh penguasa yg zhalim.20
Di antara bahaya ambisi terhadap kehormatan adalah, biasanya orang
yang memiliki kehormatan karena harta / kekuasaannya, dia akan suka dipuji
dengan perbuatannya dan dia menginginkan pujian dari manusia, meskipun
terkadang perbuatan itu lebih tepat disebut sebagai perbuatan tercela dari pd
perbuatan terpuji. Orang yang tidak mengikuti keinginannya, dia tidak segan-
segan untuk menyakiti & menterornya. Bahkan terkadang dia melakukan
perbuatan yangg zhahirnya baik, tetapi ia menyembunyikan maksud yang buruk,
dia senang dengan kamuflase tersebut, apalagi dg adanya sambutan yang positif
dari khalayak ramai.
Perbuatan tersebut termasuk dalam firman Allah:
ن ال تحسبن الذين يفرحون بمآ أت وا ويحبون أن يحمدوا بما لم يفعلوا فال تحسبنهم بمفازة م
العذاب
"Janganlah sekali-kali kamu menyangka bahwa orang-orang yang
gembira dengan apa yngg telah mereka kerjakan & mereka suka supaya dipuji
terhadap perbuatan yang belum mereka kerjakan janganlah kamu menyangka
bahwa mereka terlepas dari siksa". (ali Imran 188)
Dari sinilah para ulama’ yang mendapatkan petunjuk dari Allah
melarang manusia untuk memuji mereka atas kebaikan yang mereka lakukan
kepada sesama manusia, bahkan mereka menyuruh manusia untuk
mengembalikan pujian hanya kepada pemiliknya, yaitu hanya kepada Allah
20
Penulis teringat tokoh barat abat renaisence yaitu nicolo marcievelli yang berusaha
menghalalkan segala cara untuk memperoleh jabata. Dan akan menjaganya dengan cara apapun
untuk tetap duduk di singgasananya meskipun dengan menghilangkan nyawa seseorang pun
13
Subhanahu wa Ta'ala semata, tiada sekutu bagiNya, karena sesungguhnya segala
kenikmatan itu datang dariNya.
(Penguasa yang adil) menginginkan agar dien Islam itu semuanya milik
Allah, begitu pula kemuliaan hanya milik Allah, bersama itu pula dia takut kalau-
kalau dia lalai dalam menjalankan kewajiban-kewajiban yang dibebankan Allah
kepadanya.21
Orang-orang yang mencintai sesama muslim dengan dasar ikhlas karena
Allah, maka yang paling mereka inginkan dari orang lain adalah agar manusia
mencintai Allah, mentaati & mengesakanNya dalam beribadah. Mereka tidak
menginginkan imbalan jasa ataupun ucapan terimakasih dari manusia, mereka
hanya mengharapkan imbalan dari Allah atas amalan baik yg mereka lakukan.
C. TAWARAN SOLUSI
Berangkat dari kasus di atas, penulis mengutip dari firman allah (QS.
Fushilat : 33)
Artinya: Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang
menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata:
"Sesungguhnya aku Termasuk orang-orang yang menyerah diri?"
Perkataan, “sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah
diri” adalah sebuah pengakuan secara percaya diri terhadap ajaran islam, sebagai
ajaran yang terbaik. Sebagai ajaran yang memerintahkan kepada kebaikan,
mencegah segala kemungkaran dan mengajak untuk beriman kepada allah swt22
.
Dalam analisa yang lain, hemat penulis dalam memahami ayat di atas.
sebenarnya mengkaji dua dimensi yang dalam kajian keislaman membutuhkan
porsi yang sama yaitu untuk beriman kepada allah swt (teosentris), seraya tidak
21
Seorang pemimpin pada dasarnya adalah seorang penutan. Oleh karena itu, semua tingkah
lakunya, yang baik maupun yang buruk, kelak akan ditiru oleh para pengikutnya. Jika tingkah
lakunya buruk ditiru, maka secara tidak sadar dia ikut menjerumuskan orang lain ke dalam lembah
dosa. Di akhirat nanti, selain menanggung dosa pribadinya, dia juga akan menanggung dosa orang-
orang yang mengikutinya itu. 22
Yusuf Qardhawi, Kithaabunaa Al Islami Fi Ashri I-Awlamah (Kairo: Tp, Cetakan ke-1, 2004)
diterjemahkan oleh: Yusuf Burhanuddin, Menjadi Muslim Par Excellence; Jihad, Terorisme dan
Spiritualitas Di Era Global (Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu, 2004), 89-90
14
mengingkari maupun mengabaikan urusan kemanusiaan (antroposentris). Karena
agama menganjurkan keduanya untuk diperhatiakn dengan segala
kemampuannya.
Istilah keshalehan sosial diperguakan untuk menggambarkan seseorang
yang berbuat baik kepada sesama. Seperti, membantu sesama, membersihkan
lingkungan dll. Kemudian istilah keshalehan tauhit dipergunakan untuk
menggambarkan seseorang yang menjalankan perintah allah dalam bentuk ritual-
ritual keagamaan dalam kehidupan sehari-hari. Seperti, sholat, dzikir, berdoa dll.
Merespon kasus yang ada di awal pembahasan bahwa, arus globalisasi
yang berangkat dari industrialisasi memberikan gambaran kepada kita tentang
pentingnya menghayati nilai-nilai keislaman dan nilai-nilai keindonesiaan dengan
berusaha mengintegrasikan kedua nilai tersebut. Nilai tersebut menjadi dasar
untuk berpijak dalam sistem ekonomi yang ada di negeri ibu pertiwi ini. Yaitu
dengan istilah sistem ekonomi kerakyatan.
Konsepsi mengenai sistem ekonomi kerakyatan ini berangkat dari
karakteristik negara indonesia yang itu berada di antara sistem pemikiran barat
dan timur serta diatara arus ideologi kapitalistik dan komunis. Sehingga yang
sering dipergunakan dalam istilah ini untuk menggambarkan karakteristik dari
negara indonesia ini adalah local wisdom.
Maka dalam pengarahan kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah,
seyogyanya berangkat dari nilai-nilai yang ada di indonesia itu sendiri. Bukan
mengadopsi pemikiran asing atau ideologi asing yang itu akan membahayakan
keberadaan bangsa indonesia. Hal ini tidak dapat dipungkiri jika semua elemen
masyarakat memahami akan pentingnya nilai-nilai keislaman.
Dalam ranah pendidikan, penting untuk diperhatikan bahwa pendidikan
itu milik bersama dan untuk kepentingan bersama maka yang menjadi titik poin
adalah berusaha meminimalisir mindside pendidikan hanya untuk orang kaya
karena sudah dijelaskan bahwa dalam UURI No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem
Pendidikan Nasional (SISDIKNAS) akan pemerataan pendidikan di Indonesia.23
23
SISDIKNAS No 20 tahun 2003 bab iv tentang hak dan kewajiban warga negara, orang tua,
masyarakat dan pemerintah pasal 5, ayat 1 yang berbunyi: Setiap warga negara mempunyai hak
yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Lihat; UUD SISDIKNAS (Bandung:
Citra Umbara, 2003), 8
15
Disisi yang lain, pentingnya untuk menghargai proses ketika dalam
menghadapi sesuatu itu menjadikan kehidupan yang lebih bermakna. Sebagai
ungkapan yang lebih sederhana adalah berkenaan dengan struktur pengetahuan
yang menjadi dasar dalam berfikir dan bergerak. Cara berfikir yang kita
kembangkan adalah cara berfikir relasional bukan subtansial.
Cara berfikir subtansial membawa seseorang kedalam olah pikir yang
terlalu abstrak, karena cara berfikir demikian selalu menuntut pencarian sebuah
esensi, dan juga mendoroang abstraksi atas kenyataan yang menjadikan kita
semakin jauh dari pandangan yang utuh tentang kenyataan itu sendiri. Cara
berfikir relasional tidak lagi memahami persoalan dalam subtansinya, tetapi dalam
hubungannya dengan persoalan lain dan pihak-pihak yang terlibat di dalamnya,
termasuk pola-pola relasinya.24
Dengan demikian, maka dapat dikatakan bahwa perlu adanya
reformulasi tentang pentingnya mengenyam pendidikan dengan mengedepankan
etos kerja dan gairah untuk memperoleh ilmu dengan menanggalkan kesenangan
yang bersifat sesaat.
Terkahir, dalam problem yang dipaparkan di atas, berkaitan dengan
pemahaman keagamaan yang kurang utuh serta tanpa adanya penghayatan tentang
nilai-nilai keislaman akan berdampak pada pola gerakan yang dangkal sehingga
dia akan cepat berfikir bahwa tidak ada yang lebih nikmat di dunia ini melainkan
terpenuhinya materi yang diharapkan. Kasus seperti isi sebenarnya tidak serta
merta dianggap salah namun yang menjadi perhatian dia menghilangkan secara
sisi ruhaniahnya / immateri untuk tidak dipenuhi kebutuhannya.
Dalam wacana yang lebih luas, Indonesia harus melakukan reformasi
dalam proses pendidikan, dengan tekanan menciptakan sistem pendidikan yang
lebih komprehensif, dan fleksibel, sehingga para lulusan dapat berfungsi secara
efektif dalam kehidupan masyarakat global industrialis. Untuk itu, pendidikan
harus dirancang sedemikian rupa yang memungkinkan para peserta didik
mengembangkan potensi yang dimiliki secara alami dan kreatif dalam suasana
penuh kebebasan, kebersamaan, dan tanggung jawab. Disamping itu, pendidikan
harus menghasilkan lulusan yang dapat memahami masyarakatnya dengan segala
24
Eman Hermawan, Nalar Kekuasaan Kaum Pergerakan (Yogyakarta: KLIK.R, 2008), 13-14
16
faktor yang dapat mendukung mencapai sukses ataupun penghalang yang
menyebabkan kegagalan dalam kehidupan bermasyarakat..25
D. KESIMPULAN
Dalam kasus ini melauli pola hidup ekonomi – kapitalistik serta filsafat
hidup positivistik – materialistik yang berdampak pada pola pemikiran yang pasif,
manja, malas, tidak mementingkan proses, tidak menghargai etos kerja, hidup
lebih individualistik dan hilangnya nilai-nilai kemanusiaan.
Untuk menghadapi dampak dari arus modernitas di atas yang ditandai
oleh industrialisasi yang berlebihan serta filsafat hidup dan pengangan hidup yang
jauh dari nilai kemanusiaan sehingga tidak dapat dibendung lagi akan dampak
negataf dari arus tersebut. Walaupun demikian kita tidak dapat memungkiri akan
dampak positif dari arus tersebut. Namun kalau hal negatif ini tidak di antisipasi
maka berakibat pada kurangnya kesejahteraan rakyat karena banyaknya
pengangguran yang disebabkan oleh tenaga manual berasal dari manusia tidak
dipergunakan lagi dalam ranah industri. Inipun berdampak pada ranah pendidikan
karena dengan arus seperti ini para peserta didik dan orang tua tidak menghargai
proses dalam mendapat ilmu. Mereka lebih mementingkan cara instan untuk
mencapai sesuatu sehingga dampak negatifnya mereka dibuat manja dan malas
serta tidak mengindahkan tentang arti kerja keras.
Dan, untuk mengantisipasi hal buruk dari dampak di atas. seyogyanya,
sebagai umat islam. Harus dikembalikan pada ranah teosentris dan tidak melulu
kearah atroposentris dalam mencapai keamanan dan kenyamanan dalam hidup di
dunia ini. Kembalinya seseorang untuk memenuhi kebutuhan ruhaniah ini senada
dengan konsep emanasi dengan teorinya ibnu farabi karena sebenarnya seseorang
itu merupakan pancaran dari akal yang pertama yang ini sama-sama bersifat
immateri.
Sehingga menurut hemat penulis, perlunya pendidikan islam ini untuk
memenuh kebutuhan hidup yang di dunia. Karena kalau kita amati dunia ini
25
Zamroni, Paradigma Pendidikan Masa Depan, (Jogjakarta : Gigraf Publishing, 2000, Cet. I),
90-91
17
mengarah ke arah yang lebih gersang dan tandus. Entah tandus dalam makna
geografis maupun tandus dalam arti ukhrowis
18
DAFTAR PUSTAKA
Hadiwijoyo. Harun, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta: Kanisius, 2011
Partanto. Pius A, Al Barry. M. Dahlan, Kamus Ilmiah Popular, Surabaya: Arkola,
2001
Suhartono. Suparlan, Filsafat Pendidikan, Yogjakarta: Ar-Ruzz Media, Cet-2,
2007
Imadudin, Dan Tuhan pun Dikritik, Kediri: tp, 2005
Pozzalini. A, Pijar-Pijar Pemikiran Gramsci, Yogyakarta: Resist Book, 2006
Mujiran. Paulus, KERIKIL - KERIKIL DIMASA TRANSISI; Serpihan Esai
Pendidikan, Agama, Politik dan Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003
Darmaningtias, Pendidikan Rusak-Rusakan, Yogyakarta: LKIS Group, 2011
Qardhawi. Yusuf, Kithaabunaa Al Islami Fi Ashri I-Awlamah (Kairo: Tp, Cetakan
ke-1, 2004) diterjemahkan oleh: Yusuf Burhanuddin, Menjadi Muslim Par
Excellence; Jihad, Terorisme dan Spiritualitas Di Era Global, Jakarta:
Grafindo Khazanah Ilmu, 2004
Miller. W.L, Education as a Source of Economy Growth. Jurnal of Economy
Issue, 1967
Rosen. S, Measuring Obsolescence of Knowledge, dalam F.T. Juster, (ed),
Education, Income and Human behavior, New York: Mc. Graw-Hill, 1975
UUD SISDIKNAS (Bandung: Citra Umbara, 2003
Zamroni, Paradigma Pendidikan Masa Depan, Jogjakarta : Gigraf Publishing,
2000, Cet. I
Al qur’an Al Kharim, (Semarang: CV Pustaka Al Alawiyah, 1995)
Jawapos, edisi 27
Tribunnews.com edisi 28