Post on 22-Apr-2023
SEMINAR LITERATUR
PEMANFAATAN CANGKANG KERANG HIJAU,
KERANG DARAH, DAN REMIS SEBAGAI KATALIS
HETEROGEN UNTUK PRODUKSI BIODIESEL
OLEH:
ABDUL GAPUR
NIM: 1003135333
JURUSAN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2014
i
LEMBARAN PENGESAHAN
Pekanbaru, Mei 2014
Mengetahui,
Ketua Prodi S1 Jurusan Kimia
FMIPA UR
Menyetujui,
Pembimbing Seminar Literatur
Dra. Andi Dahliaty, M.S
NIP 196012121987022002
Dr. Nurhayati, M.Sc
NIP. 196412161991032002
Nama Mahasiswa : ABDUL GAPUR
NIM : 1003135333
Jurusan : KIMIA
Fakultas : MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
Judul Seminar Literatur : PEMANFAATAN CANGKANG KERANG HIJAU,
KERANG DARAH, DAN REMIS SEBAGAI KATALIS
HETEROGEN UNTUK PRODUKSI BIODIESEL.
ii
PEMANFAATAN CANGKANG KERANG HIJAU, KERANG DARAH, DAN
REMIS SEBAGAI KATALIS HETEROGEN
UNTUK PRODUKSI BIODIESEL
ABDUL GAPUR
NIM. 1003135333
RINGKASAN
Makalah ini akan memaparkan tentang pemanfaatan cangkang kerang hijau, kerang darah,
dan remis sebagai sumber hayati kalsium oksida. Kalsium oksida digunakan sebagai katalis
heterogen dalam mengkatalisis suatu reaksi transesterifikasi untuk menghasilkan biodiesel.
Katalis dari cangkang kerang tersebut dipersiapkan dengan kalsinasi pada suhu 700–
1.000oC selama 4 jam. Katalis heterogen ini dikarakterisasi dengan X-ray difraction
(XRD), X-ray fluorescence (XRF), scanning elektron microscopy (SEM), dan metode
Brunauer-Emmet-Teller (BET). Variabel reaksi pembuatan biodiesel yang diselidiki pada
makalah ini adalah waktu reaksi, suhu reaksi, rasio molar metanol/minyak, dan
penambahan katalis. Kemampuan dapat digunakan kembali dari katalis ini juga ditentukan.
Hasilnya menunjukkan bahwa katalis CaO yang berasal dari cangkang kerang tersebut
memiliki kemampuan dapat digunakan kembali yang baik dan memiliki potensi yang
tinggi untuk digunakan sebagai katalis pembuatan biodiesel dalam reaksi transesterifikasi
minyak kelapa sawit dengan metanol.
iii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis hanturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas
berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah seminar literatur yang
berjudul “Pemanfaatan Cangkang Kerang Hijau, Kerang Darah, dan Remis Sebagai
Katalis Heterogen untuk Produksi Biodiesel”. Tujuan penulisan makalah ini adalah
untuk mempelajari dan membahas penelitian yang telah dilakukan oleh Buasri, dkk.,
(2013) tentang Calcium Oxide Derived from Waste Shells of Mussel, Cockle, and Scallop
as the Heterogeneous Catalyst for Biodiesel Production.
Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada
Ibu Dr. Nurhayati, M.Sc selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktunya
untuk memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis sehingga makalah seminar
literatur ini dapat diselesaikan dengan baik.
Penulis menyadari bahwa makalah ini belum sempurna. Oleh karena itu, penulis
menerima berbagai kritik dan saran dari pembaca yang bersifat membangun. Penulis
berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua dalam pengembangan ilmu
pengetahuan di masa depan. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh
pihak yang telah membantu dalam penyelesaian makalah ini.
Pekanbaru, Mei 2014
Abdul Gapur
NIM. 1003135333
iv
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................................ i
RINGKASAN ...................................................................................................................... ii
KATA PENGANTAR ........................................................................................................ iii
DAFTAR ISI ....................................................................................................................... iv
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................................... v
DAFTAR TABEL ............................................................................................................... v
I. PENDAHULUAN ................................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang .............................................................................................. 1
1.2. Tujuan Penulisan .......................................................................................... 2
1.3. Landasan Teori ............................................................................................. 2
1.3.1. Biodiesel ........................................................................................... 2
1.3.2. Karakteristik biodiesel ...................................................................... 3
1.3.3. Katalis ............................................................................................... 5
1.3.4. Jenis-jenis kerang ............................................................................. 5
1.3.5. Metode karakterisasi cangkang kerang ............................................. 8
II. TATA KERJA ........................................................................................................ 12
2.1. Alat ............................................................................................................... 12
2.2. Bahan ............................................................................................................ 12
2.3. Metodologi ................................................................................................... 12
2.3.1. Persiapan katalis ............................................................................... 12
2.3.2. Karakterisasi katalis .......................................................................... 12
2.3.3. Transesterifikasi minyak kelapa sawit .............................................. 13
III. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................................... 15
3.1. Karakterisasi Cangkang dan Katalis CaO ................................................... 15
3.2. Pengaruh Variabel Reaksi ............................................................................ 18
3.3. Sifat Bahan Bakar Metil Ester ...................................................................... 22
IV. KESIMPULAN ....................................................................................................... 23
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................... 24
v
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Cangkang kerang hijau ………………………………………………...... 6
Gambar 2. Cangkang kerang darah …………………………………………………. 7
Gambar 3. Cangkang remis …………………………………………………………. 8
Gambar 4. Persiapan katalis CaO yang berasal dari cangkang (1000oC) ………...... 13
Gambar 5. Pola XRD cangkang kerang hijau alami dan kalsinasi ……..................... 15
Gambar 6. Pola XRD cangkang kerang hijau, kerang darah, dan remis yang
dikalsinasi pada suhu 1000oC …………………………………………… 16
Gambar 7. Gambar SEM dari (a) cangkang kerang hijau, (b) cangkang kerang
darah, dan (c) cangkang remis yang dikalsinasi pada suhu 1000oC ……. 17
Gambar 8. Pengaruh waktu reaksi pada persen (%) hasil biodiesel ………………... 18
Gambar 9. Pengaruh suhu reaksi pada persen (%) hasil biodiesel ………………...... 19
Gambar 10. Pengaruh rasio molar metanol/minyak pada persen (%) hasil biodiesel… 20
Gambar 11. Pengaruh penambahan katalis pada persen (%) hasil biodiesel ………… 21
Gambar 12. Pengaruh kemampuan dapat digunakan kembali katalis pada persen (%)
hasil biodiesel …………………………………………………………… 22
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Komposisi kimia katalis cangkang …………………………………….. 16
Tabel 2. Sifat fisika katalis cangkang …………………………………………… 17
Tabel 3. Sifat bahan bakar biodiesel ……………………………………………... 22
1
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Perkembangan industri di dunia pada saat ini mengakibatkan terjadinya
peningkatan kebutuhan akan bahan bakar. Selama ini, bahan bakar yang digunakan berasal
dari bahan bakar fosil yang sumbernya semakin menipis. Bahan bakar fosil cenderung
tidak ramah lingkungan. Oleh karena itu, dibutuhkan pengembangan sumber energi
alternatif terbarukan yang ramah lingkungan dan memberikan solusi terhadap peningkatan
kebutuhan akan bahan bakar tersebut (Fanny dkk., 2012).
Produksi biodiesel dari sumber alam hayati yang melimpah telah menarik perhatian
masyarakat akademis dan industri dalam beberapa tahun terakhir. Di banyak negara,
biodiesel mendapat perhatian yang tinggi sebagai energi alternatif dan terbarukan karena
cadangan minyak bumi berkurang, kenaikan harga BBM, dan masalah lingkungan hidup
meningkat (Hayyan dkk., 2010). Biodisel dapat dibuat dari sumber hayati terbarukan
seperti minyak nabati (Buasri dkk., 2013; Hambali dkk., 2006), lemak hewan, dan limbah
minyak (Hayyan dkk., 2010).
Manfaat utama penggunaan biodiesel sebagai bahan bakar mesin adalah
mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil dan mengurangi emisi polutan
udara dari mesin diesel (Berchmans dan Hirata, 2008). Namun, terlepas dari dampak yang
menguntungkan, aspek ekonomi produksi biodiesel masih menjadi hambatan untuk
pengembangannya, terutama karena harga bahan bakar fosil yang lebih rendah saat ini.
Oleh karena itu, mencari cara untuk mengurangi biaya produksi adalah perhatian utama
dalam penelitian biodiesel saat ini (Hayyan dkk., 2010).
Biodiesel dapat disintesis melalui transesterifikasi minyak atau esterifikasi lemak
menggunakan katalis basa atau asam. Katalis homogen diharapkan akan digantikan oleh
katalis heterogen dalam waktu dekat karena kendala lingkungan dan penyederhanaan
dalam proses yang ada. Katalis heterogen padat dapat dengan mudah dipisahkan dari
campuran reaksi dengan penyaringan dan dapat digunakan kembali. Katalis basa heterogen
menghilangkan kebutuhan untuk netralisasi katalis basa homogen dengan asam dan
penghilangan air dalam produksi komersial biodiesel sehingga menurunkan biaya
produksinya. Di antara katalis heterogen yang digunakan dalam transesterifikasi,
pemanfaatan kalsium oksida (CaO) sebagai katalis heterogen dalam pembuatan biodiesel
cukup menjanjikan, dan banyak laporan telah dipublikasikan tentang CaO mengkatalisis
transesterifikasi menggunakan standar laboratorium. Kalsium oksida murah, banyak
tersedia di alam, dan beberapa sumber dari senyawa ini dapat diperbaharui (bahan limbah
2
yang terdiri dari kalsium karbonat, CaCO3). Namun, belakangan ini pemanfaatan bahan
limbah sebagai katalis heterogen telah menarik perhatian dalam penelitian untuk proses
yang berkelanjutan (Buasri dkk., 2013).
Sintesis katalis menggunakan limbah cangkang memberikan peluang untuk katalis
terbarukan. Pemanfaatan bahan limbah ini tidak hanya mengurangi biaya katalis tetapi juga
meningkatkan proses ramah lingkungan. Kerang hijau, kerang darah, dan remis ditemukan
di beberapa wilayah Thailand. Produksi kerang hijau, kerang darah, dan remis cukup besar
dan pengolahan makanan ini juga menghasilkan sejumlah besar limbah cangkang. Pada
makalah ini, Buasri dkk. (2013) memanfaatkan limbah cangkang kerang hijau, kerang
darah, dan remis sebagai sumber CaO untuk transesterifikasi minyak sawit menjadi
biodiesel. Pengaruh waktu reaksi, suhu reaksi, rasio molar metanol/minyak, penambahan
katalis, dan kemampuan dapat digunakan kembali katalis diselidiki secara sistematis.
1.2. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mempelajari dan membahas penelitian
yang telah dilakukan oleh Buasri dkk. (2013) tentang pemanfaatan cangkang kerang hijau,
kerang darah, dan remis sebagai katalis heterogen untuk produksi biodiesel.
1.3. Landasan Teori
1.3.1. Biodiesel
Biodiesel merupakan bahan bakar alternatif diesel yang dihasilkan dari reaksi
minyak nabati atau lemak hewani dengan alkohol seperti metanol. Reaksinya
membutuhkan katalis, umumnya katalis yang digunakan adalah basa kuat seperti natrium
atau kalium hidroksida dan menghasilkan senyawa kimia baru yang disebut metil ester.
Ester inilah yang kemudian lebih dikenal sebagai biodiesel (Gerpen, 2005).
Banyak keuntungan pengunaan biodiesel sebagai bahan bakar alternatif pengganti
minyak bumi. Biodiesel diproduksi dari sumber hayati yang merupakan sumber energi
terbarukan. Biodiesel bersifat ramah lingkungan karena tanaman penghasil biodiesel
banyak menyerap CO2 dari atmosfer untuk fotosintesisnya sehingga tidak memberikan
kontribusi yang berarti pada pemanasan global. Selain itu, biodiesel juga tidak
mengandung sulfur, mudah terdegradasi dan tidak beracun. Biodiesel sebagai bahan bakar
memiliki angka setana yang tinggi, bahkan lebih tinggi daripada solar dan juga memiliki
sifat pelumasan yang baik. Produksi biodiesel akan menciptakan kebutuhan bahan baku
hayati sehingga akan memacu budidaya dan produksi pertanian, yang pada akhirnya akan
3
meningkatkan pendapatan petani (Sari, 2012). Kelebihan lainnya, biodiesel dapat
digunakan secara murni atau dicampur dengan minyak solar tanpa perlu adanya perubahan
pada mesin kendaraan (Hambali dkk., 2006).
1.3.2. Karakteristik biodiesel
Biodiesel yang dihasilkan harus diuji dan dianalisis sebelum digunakan pada mesin
kendaraan. Biodiesel harus memenuhi parameter standar mutu biodiesel agar mesin dapat
bekerja dengan baik dan lebih awet. Standar mutu pada masing-masing negara berbeda-
beda, hal ini dikarenakan standar mutu biodiesel harus disesuaikan dengan iklim dan
kondisi di masing-masing negara (Hambali dkk., 2006). Secara umum, parameter yang
menjadi standar mutu biodiesel adalah viskositas, massa jenis, titik nyala, titik kabut, titik
tuang, bilangan asam, dan kandungan air (Buasri dkk., 2013).
1.3.2.1. Viskositas
Viskositas adalah tahanan yang dimiliki fluida yang dialirkan dalam pipa kapiler
terhadap gaya gravitasi. Biasanya dinyatakan dalam waktu yang diperlukan untuk
mengalir pada jarak tertentu. Jika viskositas semakin tinggi, maka tahanan untuk mengalir
semakin tinggi. Viskositas biodiesel ditetapkan lebih rendah yakni 2,3 – 6,0 mm2/s. Hal ini
dapat dicapai apabila proses konversi minyak nabati secara kimia di pabrik biodiesel
berlangsung sempurna (Prihandana dkk., 2006).
Viskositas sangat penting karena mempengaruhi kinerja injektor pada mesin diesel.
Atomisasi bahan bakar sangat tergantung pada viskositas, tekanan injeksi serta ukuran
lubang injektor. Viskositas yang lebih tinggi akan membuat bahan bakar teratomisasi
menjadi tetesan lebih besar dengan momentum tinggi dan memiliki kecenderungan
bertumbukan dengan dinding silinder yang relatif lebih dingin. Sebaliknya, bahan bakar
dengan viskositas rendah akan memproduksi spray yang terlalu halus dan tidak dapat
masuk lebh jauh ke dalam silinder pembakaran sehingga terbentuk daerah fuel rich zone
yang menyebabkan pembentukan jelaga (Prihandana dkk., 2006).
Viskositas dapat diukur dengan cara mengukur laju aliran cairan yang melalui
tabung berbentuk silinder. Salah satu viskometer yang sering digunakan yaitu viskometer
Ostwald. Pada viskometer Ostwald yang diukur adalah waktu yang dibutuhkan oleh
sejumlah cairan tertentu untuk mengalir melewati pipa kapiler (Prihandana dkk., 2006).
4
1.3.2.2. Massa jenis (densitas)
Massa jenis merupakan perbandingan antara massa per satuan volume (g/mL).
Salah satu cara penetapan massa jenis yaitu dengan menggunakan piknometer (Ketaren,
1986). Karakteristik ini berkaitan dengan nilai kalor dan daya yang dihasilkan oleh mesin
diesel persatuan volume bahan bakar. Jika biodiesel mempunyai massa jenis melebihi
ketentuan, akan terjadi reaksi tidak sempurna pada konversi minyak nabati. Biodiesel
dengan mutu seperti ini seharusnya tidak digunakan untuk mesin diesel karena akan
meningkatkan kehausan mesin, emisi dan menyebabkan kerusakan pada mesin (Prihandana
dkk., 2006).
1.3.2.3. Titik nyala
Titik nyala adalah suhu terendah yang menyebabkan bahan bakar dapat menyala.
Penentuan titik nyala ini berkaitan dengan keamanan dalam penyimpanan dan penanganan
bahan bakar. Makin rendah titik nyala suatu bahan, maka bahan tersebut akan semakin
mudah terbakar. Berdasarkan SNI, titik nyala minimum pada biodiesel adalah 100oC
bertujuan untuk mengeliminasi kontaminasi metanol akibat proses konversi minyak nabati
yang tidak sempurna. Jika titik nyala terlalu tinggi akan menyebabkan keterlambatan
penyalaan pada mesin, sementara titik nyala pada biodiesel terlalu rendah menyebabkan
timbulnya detonasi yaitu ledakan-ledakan kecil yang terjadi sebelum bahan bakar masuk
ruang bakar (Prihandana dkk., 2006).
1.3.2.4. Titik kabut dan titik tuang
Titik kabut atau titik awan adalah temperatur suatu minyak mulai keruh bagaikan
berkabut, tidak lagi jernih pada saat didinginkan. SNI menetapkan titik kabut biodiesel
maksimum sebesar 18oC. Titik tuang adalah titik temperatur terendah yang menunjukkan
mulai terbentuknya kristal parafin yang dapat menyumbat saluran bahan bakar. Semakin
tinggi ketidakjenuhan, titik tuang akan semakin rendah. Titik tuang juga dipengaruhi oleh
panjang rantai karbon. Semakin panjang rantai karbon, semakin tinggi titik tuangnya
(Prihandana dkk., 2006).
1.3.2.5. Bilangan asam
Bilangan asam adalah jumlah miligram KOH yang dibutuhkan untuk menetralkan
asam-asam lemak bebas dari satu gram minyak atau lemak. Bilangan asam dipergunakan
untuk mengukur jumlah asam lemak bebas yang terdapat dalam minyak atau lemak.
5
Bilangan asam yang tinggi merupakan indikator biodiesel masih mengandung asam lemak
bebas. Biodiesel yang masih mengandung asam lemak bebas dapat menimbulkan jelaga
atau kerak di injektor mesin diesel (Prihandana dkk., 2006).
1.3.2.6. Kandungan air
Proses pembuatan biodiesel, minyak nabati/hewani yang digunakan sebagai bahan
baku harus bebas air. Kandungan air akan memberikan dampak negatif pada efisiensi
penggunaan katalis. Kandungan air yang terdapat dalam bahan bakar dapat membentuk
kristal yang bisa menyumbat aliran bahan bakar. Keberadaan air juga bisa menyebabkan
korosi dan memicu pertumbuhan mikroorganisme yang tentunya dapat menyumbat aliran
bahan bakar. Kandungan air yang nilainya di atas ketentuan akan menyebabkan reaksi
yang terjadi pada konversi minyak nabati tidak sempurna dan menyebabkan terjadinya
proses hidrolisis pada biodiesel sehingga akan meningkatkan bilangan asam, menurunkan
pH, dan meningkatkan sifat korosif (Prihandana dkk., 2006).
1.3.3. Katalis
Katalis adalah zat kimia yang dapat meningkatkan laju reaksi dengan menurunkan
energi aktivasi dan mengarahkan reaksi untuk mencapai kesetimbangan, tanpa
terkonsumsi. Reaksi kimia yang menggunakan bantuan katalis disebut reaksi katalitik.
Menurut Sukardjo (1990) semua katalisator mempunyai sifat yang sama, yaitu:
a. Katalisator tidak berubah selama reaksi berlangsung, namun ada kemungkinan ikut
dalam reaksi tetapi setelah reaksi berakhir, katalisator tersebut diperoleh kembali.
b. Katalisator tidak mempengaruhi letak dan besarnya tetapan kesetimbangan, sebab
semua reaksi akan berakhir setelah terjadi kesetimbangan.
c. Katalisator tidak dapat mengawali suatu reaksi, reaksi harus sudah berjalan walau
lambat.
d. Katalisator yang diperlukan untuk mempercepat reaksi biasanya hanya sedikit
namun pada umumnya jumlah juga mempengaruhi kecepatan reaksi.
1.3.4. Jenis-jenis kerang
1.3.4.1. Kerang hijau
Kerang hijau (Perna viridis) atau dikenal sebagai "green mussels" adalah jenis yang
memiliki nilai ekonomis tinggi. Tersebar luas di perairan Indonesia dan ditemukan
melimpah pada perairan pesisir, daerah mangrove dan muara sungai. Di Indonesia jenis ini
6
ditemukan melimpah pada bulan Maret hingga Juli pada areal pasang surut dan subtidal,
hidup bergerombol dan menempel kuat dengan menggunakan benang byssus-nya pada
benda-benda keras seperti kayu, bambu, batu ataupun substrat yang keras. Kerang hijau
memiliki sebaran yang luas yaitu mulai dari laut India bagian barat hingga Pasifik Barat,
dari Teluk Persia hingga Filipina, bagian utara dan timur Laut China, Taiwan hingga
Indonesia.
Klasifikasi Perna viridis adalah sebagai berikut:
Kerajaan : Animalia
Filum : Moluska
Kelas : Bivalvia
Sub klas : Lamellibranchiata
Bangsa : Anisomyria
Induk suku : Mytilacea
Suku : Mytilidae
Anak suku : Mytilinae
Marga : Perna
Jenis : Perna viridis
(Cappenberg, 2008)
1.3.4.2. Kerang darah
Kerang darah (Anadara granosa) merupakan jenis kerang yang paling populer di
Indonesia. Kerang darah biasa hidup di ekosistem estuaria atau mangrove yang cenderung
payau pada kondisi salinitas 5-30% tetapi tidak terdapat di air tawar maupun air laut.
Kerang darah banyak ditemukan di substrat lumpur, hal ini diperkirakan karena kerang
Gambar 1. Cangkang kerang hijau (sumber: http:// www.sustainablesushi.net/the-fish/
murugai, diakses pada 28 April 2014)
7
darah bersifat infauna, yaitu hidup dengan cara membenamkan diri di bawah permukaan
lumpur di perairan dangkal dan umumnya ditemukan di pantai pada substrat lumpur
berpasir pada kedalaman 10-30 m. Spesies ini menyebar di kawasan Indo-Pasifik dari
Afrika sampai Australia, Polynesia dan Jepang. Kerang darah hidup terutama di zona
intertidal laut sampai kedalaman air dua meter, menyelam ke dalam pasir atau lumpur.
Klasifikasi dari kerang darah (Anadara granosa) adalah sebagai berikut :
Filum : Mollusca
Kelas : Pelecypoda/Lameelibranchiata/Bivalvia
Subkelas : Lamellibranchia (Polysyringia)
Bangsa : Taxodonta
Suku : Arcidae
Marga : Anadara
Jenis : Anadara granosa
(Setiabudiningsih, 2004).
1.3.4.3. Remis
Remis (Amusium pleuronectes) adalah sejenis kekerangan dari keluarga Pectinidae,
Ordo Ostreoida, dan terdiri dari beberapa Genus diantaranya Amusium, Pecten,
Argoipecten, Aequipecten, Placopecten dan lain-lain. Remis mudah dikenali dengan
bentuk cangkang kerangnya yang simetris seperti kipas dan seringkali berwarna cerah
menarik sehingga tak jarang dijadikan bahan ataupun simbol dekoratif. Remis dijuluki
sebagai kerang kosmopolitan karena hidup di hampir semua perairan laut di dunia.
Gambar 2. Cangkang kerang darah (Sumber: http://beachchairscientist.com/2013/03/15/
molly-malones-cockles-and-mussels, diakses pada 28 April 2014)
8
Klasifikasi dari remis (Amusium pleuronectes) adalah sebagai berikut:
Kerajaan : Animalia
Filum : Mollusca
Kelas : Bivalvia
Bangsa : Pterioida
Suku : Pectinidae
Marga : Amusium
Jenis : Amusium pleuronectes
(Dewi, 2010)
1.3.5. Metode karakterisasi cangkang kerang
1.3.5.1. Jenis mineral dengan X-ray Diffraction (XRD)
XRD merupakan merupakan salah satu metoda karakterisasi material yang paling
tua dan paling sering digunakan saat ini. Teknik ini digunakan untuk mengidentifikasi fasa
kristalin dalam material dengan cara menentukan parameter struktur kisi serta untuk
mendapatkan ukuran partikel. Difraksi sinar-X terjadi pada hamburan elastisitas foton-
foton sinar-X oleh atom dalam sebuah kisi periodik. Hamburan monokromatis sinar-X
dalam fasa tersebut memberikan interfensi yang konstruktif. Difraksi sinar-X dapat dilihat
berdasarkan persamaan Bragg:
n.λ = 2.d sin θ ..................................................................................................... (1)
keterangan : n = bilangan bulat (orde pembiasan)
λ = panjang gelombang sinar-X yang digunakan
d = jarak antara dua bidang kisi
θ = sudut antara sinar datang dengan bidang normal
Gambar 3. Cangkang remis (Sumber: http://www.schnr-specimen-shells.com/
PectenPalace, diakses pada 28 April 2014)
9
Berdasarkan persamaan Bragg, jika seberkas sinar-X dijatuhkan pada sampel
kristal, maka bidang kristal itu akan membiaskan sinar-X yang memiliki panjang
gelombang sama dengan jarak antar kisi dalam kristal tersebut. Sinar yang dibiaskan akan
ditangkap oleh detektor kemudian diterjemahkan sebagai sebuah puncak difraksi. Semakin
banyak bidang kristal yang terdapat dalam sampel, maka semakin kuat intensitas
pembiasan yang dihasilkannya. Tiap puncak yang muncul pada pola XRD mewakili satu
bidang kristal yang memiliki orientasi tertentu dalam sumbu tiga dimensi. Puncak-puncak
yang didapatkan dari data pengukuran ini kemudian dicocokkan dengan standar difraksi
sinar-X untuk semua jenis material (Day dan Underwood, 1996).
1.3.5.2. Komposisi kimia dengan Spekroskopi X-ray Fluorescence (XRF)
Spektroskopi XRF adalah teknik analisis unsur yang membentuk suatu material
dengan dasar interaksi sinar-X dengan material analit. Teknik ini banyak digunakan dalam
analisis batuan karena membutuhkan jumlah sampel yang relatif kecil (sekitar 1 gram).
Teknik ini dapat digunakan untuk mengukur unsur-unsur terutama yang banyak terdapat
dalam batuan atau mineral. Sampel yang digunakan biasanya berupa serbuk hasil
penggilingan atau pengepresan manjadi film.
Instrumen yang digunakan untuk melakukan pengukuran tersebut dinamakan
Spektrometer X-Ray Flouroscence. X-Ray Fluorescent Spectroscocy (XRF) mempunyai
banyak keuntungannya yaitu analisis tidak merusak, cepat, multi elemen dan murah.
Penggunaan sinar-X untuk mengalirkan radiasi flourocent dari sample pertama kali
diusulkan oleh Glocker dan Schreiber pada tahun 1928. Metode ini telah banyak digunakan
dalam teknik analitis non destruktif dan sebagai alat kontrol dalam industri pengolahan.
Peralatan ini terdiri dari tabung pembangkit sinar-X yang mampu mengeluarkan elektron
dari semua jenis unsur yang telah diteliti. Sinar-X ini yang dihasilkan harus berenergi
sangat tinggi, sehingga anoda target dalam tabung pembangkit harus berupa unsur Cr, Mo,
W atau Au.
1.3.5.3. Morfologi dengan Scanning Electron Microscopy (SEM)
Scanning Electron Microscopy (SEM) merupakan sejenis mikroskop yang
menggunakan elektron sebagai pengganti cahaya untuk melihat benda dengan resolusi
tinggi. Analisis SEM bermanfaat untuk mengetahui mikrostruktur (termasuk porositas dan
bentuk retakan) benda padat. Kemampuan untuk mengetahui komposisi dan informasi
kristalografi membuat SEM banyak digunakan untuk keperluan penelitian dan industri.
10
Adapun fungsi utama dari SEM antara lain dapat digunakan untuk mengetahui
informasi-informasi mengenai:
a. Topografi, yaitu ciri-ciri permukaan dan teksturnya (kekerasan, sifat
memantulkan cahaya, dan sebagainya).
b. Morfologi, yaitu bentuk dan ukuran dari partikel penyusun objek (kekuatan,
cacat pada Integrated Circuit (IC) dan chip, dan sebagainya).
c. Komposisi, yaitu data kuantitatif unsur dan senyawa yang terkandung di dalam
objek (titik lebur, kereaktifan, kekerasan, dan sebagainya).
d. Informasi kristalografi, yaitu informasi mengenai bagaimana susunan dari butir-
butir di dalam objek yang diamati (konduktifitas, sifat elektrik, kekuatan, dan
sebagainya).
1.3.5.4. Luas permukaan dengan Brunauer-Emmet-Teller (BET)
Luas permukaan spesifik adalah luas permukaan suatu material per massa material
tersebut. Luas permukaan (surface area) merupakan sifat yang penting dalam aplikasi
katalis. Istilah tekstur merujuk pada struktur pori-pori partikel secara umum meliputi
parameter luas permukaan, distribusi ukuran dan bentuk pori. Parameter tersebut sangat
menentukan jumlah sisi aktif di dalam katalis yang berkaitan dengan aktivitas katalis. Dari
beberapa sifat kaitannya dengan tekstur tersebut, luas permukaan (surface area, Sg, m2g
-1)
merupakan parameter yang paling penting kaitannya dengan permukaan katalis dalam
desain katalis heterogen.
Luas permukaan total merupakan kriteria krusial untuk katalis padat karena sangat
menentukan jumlah situs aktif dalam katalis dan berkaitan dengan aktifitas katalis. Luas
permukaan total ditentukan dengan metode BET. Brunauer, Emmet dan Teller pada tahun
1938 memperluas teori kinetik Langmuir untuk adsorpsi multilayer. Metode BET untuk
menghitung luas permukaan adalah sebagai berikut :
(( ) )
[
] ........................................................................... (2)
W = Berat gas total yang terserap pada tekanan relatif P/Po (g gas/g adsorben)
Wm = Berat gas nitrogen yang membentuk lapisan monolayer pada permukaan zat padat
(g gas/g adsorben)
P = Tekanan adsorbat dalam keadaan setimbang
Po = Tekanan uap jenuh adsorbat pada keadaan setimbang
P/Po = Tekanan relatif
11
C = Tetapan BET
Untuk mencari C pada persamaan BET yang tetap yaitu :
............................................................................................................. (3)
...................................................................................................... (4)
.................................................................................................. (5)
............................................................................................................ (6)
Aplikasi metode BET ini dapat digunakan untuk menghitung luas permukaan.
Untuk itu perlu diketahui luas rata-rata molekul gas teradsorpsi. Luas permukaan, S, dari
cuplikan diperoleh dari persamaan :
-20
m2 ............................................................................................. (7)
Keterangan :
N = Bilangan Avogadro (6,02 x 1023
partikel/mol)
M = Berat molekul dari gas teradsorp (g/mol)
Wm = Berat gas teradsorpsi monolayer
Ss = Luas permukaan spesifik
12
II. TATA KERJA
Penulisan ini berdasarkan penelitian Buasri dkk. (2013) tentang pemanfaatan
cangkang kerang hijau, kerang darah, dan remis sebagai katalis heterogen untuk produksi
biodiesel dengan tata kerja seperti yang diterangkan di bawah ini.
2.1. Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah XRD Rigaku (MiniFlex II),
Spektroskopi XRF (XRF-Oxford, ED-2000), SEM, Quantachrome Instrument (Autosorb-1
Model No. ASIMP.VP4, USA) dan peralatan gelas lainnya yang biasa digunakan di
laboratorium.
2.2. Bahan
Minyak kelapa sawit dibeli dari Morakot Industries Public Company Limited,
Thailand. Berat molekul dan kepadatan minyak yang telah diukur masing-masing 851,06
g/mol dan 0,868 g/cm3. Cangkang kerang hijau, kerang darah, dan remis yang
dikumpulkan adalah limbah dari kafetaria universitas. Limbah cangkang dibilas dengan air
untuk menghilangkan debu dan kotoran kemudian dikeringkan dalam oven. Semua bahan
kimia adalah reagen standar analitis (Merck, kemurnian > 99%) dan digunakan setelah
diterima.
2.3. Metodologi
2.3.1. Persiapan katalis
Katalis disiapkan dengan metode kalsinasi. Limbah cangkang kering dikalsinasi
pada 700 – 1.000oC di udara atmosfer dengan laju pemanasan 10
oC/menit selama 4 jam.
Hasil padatan dihancurkan dan diayak dengan ukuran 100 – 200 mesh. Produk (38 – 75
µm) diperoleh sebagai bubuk putih. Semua sampel yang dikalsinasi disimpan dalam bejana
rapat untuk menghindari reaksi dengan karbon dioksida (CO2) dan kelembaban di udara
sebelum digunakan. Gambar 4 menggambarkan proses persiapan katalis dari limbah
cangkang.
2.3.2. Karakterisasi katalis
Karakterisasi difraksi sinar-X (XRD) dari katalis yang berasal dari limbah
cangkang dilakukan pada Rigaku (MiniFlex II, Inggris) Generator berbasis difraksi sinar-
X menggunakan radiasi CuKα pada 2θ berkisar dari 20o sampai 80
o dengan ukuran tahap
0,04o pada kecepatan scanning dari 3
o/menit.
13
Gambar 4. Persiapan katalis CaO yang berasal dari limbah cangkang (1000oC)
Komposisi kimia unsur materi dianalisis mengunakan spektroskopi XRF (XRF-
Oxford, ED-2000, Inggris) di bawah mode dispersi energi untuk pengukuran tepat dari
kedua cahaya dan unsur-unsur berat.
Struktur mikro dari limbah cangkang yang dikalsinasi diamati dengan scanning
electron microscopy (SEM). Gambar SEM dari sampel yang representatif diperoleh dari
Camscan-MX 2000 (Inggris) yang dilengkapi dengan energy dispersive spektroscope
(EDS).
2.3.3. Transesterifikasi minyak kelapa sawit
Sintesis biodiesel dari minyak kelapa sawit dan metanol dilakukan dalam reaktor
kaca 500 mL yang dilengkapi dengan kondensor dan pengaduk mekanik pada tekanan
atmosfer. Pengaruh waktu reaksi (2 sampai 6 jam), suhu reaksi (50 sampai 70oC),
penambahan katalis (5 sampai 25% berat), dan kemampuan dapat digunakan kembali
katalis (1 sampai 4 kali) diteliti pada konversi biodieseli. Setelah jangka waktu tertentu,
sejumlah besar sampel dikeluarkan dari reaktor untuk analisis. Semua percobaan diulang 3
kali dan standar deviasi tidak pernah melebihi 7% untuk setiap uji.
Komposisi asam lemak metil ester (biodiesel) dianalisis dengan GCMS yang
dilengkapi dengan detektor ionisasi nyala dan kolom kapiler 30 m x 0,32 mm x 0,25 µm.
Hasil biodiesel dihitung dengan:
Hasil (%) =
....................................................................................... (8)
14
Dimana mi adalah massa baku internal yang ditambahkan pada sampel, Ai adalah luas
puncak baku internal, mb adalah massa sampel biodiesel dan Ab adalah luas puncak sampel
biodiesel. Sifat fisika dan kimia biodiesel termasuk viskositas kinematik, massa jenis, titik
nyala, titik kabut, titik tuang, bilangan asam, dan kandungan air dianalisis sesuai dengan
metode ASTM.
15
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Karakterisasi Limbah Cangkang dan Katalis CaO
Gambar XRD dari cangkang kerang hijau alami dan yang sudah dikalsinasi terdapat
pada Gambar 5. Hasil XRD menunjukkan bahwa komposisi utama cangkang kerang
alami adalah CaCO3 tanpa adanya puncak CaO, yang terlihat pada puncak difraksi 2θ
sekitar 29,2o. Semakin meningkatnya suhu kalsinasi, maka CaCO3 akan berubah menjadi
CaO dengan hilangnya CO2 pada CaCO3. Komposisi utama katalis yang dikalsinasi pada
suhu ≥ 900oC adalah CaO. Puncak yang sempit dan intensitas tinggi dari katalis yang
dikalsinasi menentukan struktur kristal yang baik dari katalis CaO. Komponen utama dari
limbah cangkang yang dikalsinasi pada 1.000oC selama 4 jam adalah senyawa CaO
(Gambar 6).
Komposisi kimia katalis dapat dilihat pada Tabel 1. Komponen mineral utama
adalah CaO. Katalis yang berasal dari limbah cangkang kerang hijau, kerang darah, dan
remis mempunyai konsentrasi CaO masing-masing 98,37; 99,17; dan 97,53 % berat.
Gambar 5. Pola XRD dari cangkang kerang hijau alami dan kalsinasi (□: CaCO3, ■: CaO)
16
Tabel 1. Komposisi kimia katalis limbah cangkang
Senyawa
Konsentrasi (% berat)
Cangkang
kerang hijau
Cangkang
kerang darah
Cangkang
remis
CaO 98,367 99,170 97,529
Na2O 0,937 0,438 0,565
SO3 0,293 0,117 1,568
P2O5 0,163 0,096 0,204
SrO 0,158 0,132 0,107
ZrO2 0,046 - 0,027
Cl 0,037 - -
Fe2O3 - 0,026 -
Morfologi limbah cangkang kerang hijau, kerang darah, dan remis yang dikalsinasi
pada 1000oC ditentukan dengan SEM (Gambar 7). Cangkang alami menampilkan
arsitektur khas berlapis, dengan meningkatkan suhu dari 700 sampai 1000oC, mikrostruktur
cangkang alami berubah secara signifikan dari struktur berlapis menjadi struktur berpori.
Gambar 6. Pola XRD limbah cangkang kerang hijau, kerang darah, dan remis
yang dikalsinasi pada suhu 1000oC (■: CaO)
17
Cangkang kerang darah dan remis yang dikalsinasi menunjukkan morfologi partikel mirip
dengan cangkang kerang hijau yang dikalsinasi.
(a)
(b)
(c)
Sifat fisik katalis CaO dirangkum dalam Tabel 2. Katalis yang berasal dari
limbah cangkang kerang hijau memiliki luas permukaan yang besar (89,91 m2/g) dan
volume pori (0,130 cm3/g) yang disajikan dalam ukuran pori seragam.
Tabel 2. Sifat fisik katalis limbah cangkang
Sifat fisik
Asal katalis
Cangkang
kerang hijau
Cangkang
kerang darah
Cangkang
remis
Luas permuakaan (m2/g) 89,91 59,87 74,96
Volume pori (cm2/g) 0,130 0,087 0,097
Diameter pori (A) 34,55 25,53 30,55
Gambar 7. Gambar SEM dari (a) cangkang kerang hijau, (b) cangkang kerang darah,
dan (c) cangkang remis yang dikalsinasi pada suhu 1000oC.
18
Gambar 8. Pengaruh waktu reaksi terhadap persen (%) hasil biodiesel
Katalis yang berasal dari limbah cangkang kerang darah dan remis ada dalam nilai yang
lebih rendah untuk luas permukaan (masing-masing 59,87 dan 74,96 m2/g) dan volume
pori (masing-masing 0,087 dan 0,097 cm3/g) dibandingkan cangkang kerang hijau. Hal ini
dapat dilihat bahwa katalis heterogen menghasilkan peningkatan yang kuat dalam situs
aktif. Asumsi ini didukung oleh gambar SEM katalis.
3.2. Pengaruh Variabel Reaksi
Hasil biodiesel dipengaruhi oleh variabel reaksi seperti waktu reaksi, suhu reaksi,
rasio molar metanol/minyak, penambahan katalis, dan kemampuan dapat digunakan
kembali katalis. Variabel reaksi dikaitkan dengan tipe katalis yang digunakan. Oleh karena
itu, pengaruh variabel reaksi dipelajari dengan adanya katalis limbah cangkang. Untuk
reaksi berikut, semua katalis disiapkan dengan kalsinasi limbah cangkang pada 1.000oC
selama 4 jam.
Pengaruh waktu reaksi pada konversi minyak kelapa sawit menjadi biodiesel telah
diselidiki. Waktu reaksi adalah salah satu parameter kunci selama transesterifikasi
dilakukan pada reaktor kaca. Gambar 8 menunjukkan peningkatan hasil dengan waktu 2
sampai 3 jam dengan penambahan katalis 10% berat terhadap minyak dan rasio molar
metanol/minyak 9:1. Hasil maksimum 97,23; 94,47; dan 96,68% didapatkan dalam waktu
reaksi 4 jam pada suhu 65oC untuk masing-masing cangkang kerang hijau, kerang darah,
19
dan remis. Pada tahap awal reaksi transesterifikasi, produksi biodiesel adalah cepat, dan
kemudian kecepatan menurun dan akhirnya mencapai kesetimbangan di sekitar waktu 4
jam. Hal ini dapat dijelaskan bahwa reaksi transesterifikasi antara minyak dan alkohol
adalah reversibel, ketika waktu reaksi cukup lama.
Secara umum, suhu reaksi dapat mempengaruhi kecepatan reaksi dan hasil
biodiesel. Transesterifikasi trigliserida (TG) dengan matanol menjadi metil ester dilakukan
dengan katalis CaO pada waktu reaksi 50 – 70oC. Persen (%) hasil biodiesel setelah 3 jam
waktu reaksi ditunjukkan sebagai fungsi suhu dalam Gambar 9. Hasil biodiesel jelas
meningkat dari 76,85 sampai 95,50% untuk cangkang kerang hijau, 63,68 sampai 94,13%
untuk cangkang kerang darah, dan 70,14 sampai 95,44% untuk cangkang remis dengan
meningkatnya suhu dari 50 sampai 65oC. Pengaruh suhu reaksi dalam mendukung
transesterifikasi dapat dijelaskan karena reaksi endoterm. Hasil tertinggi diperoleh pada
suhu reaksi 65oC. Ketika suhu reaksi ditingkatkan melebihi 65
oC, hasil biodiesel
berkurang. Suhu reaksi yang melebihi titik didih metanol seperti 70oC, metanol akan lebih
cepat menguap dan membentuk sejumlah besar gelembung yang menghambat reaksi pada
antarmuka dua fasa. Selain itu, dalam rangka menghemat energi, hal ini perlu untuk
memilih suhu yang relatif rendah. Oleh karena itu, suhu reaksi optimum untuk
transesterifikasi TG menjadi metil ester diangap sekitar 65oC.
Gambar 9. Pengaruh suhu reaksi terhadap persen (%) hasil biodiesel
20
Gambar 10. Pengaruh rasio molar metanol/minyak terhadap persen (%) hasil biodiesel
Kelebihan metanol diperlukan karena hal ini dapat meningkatkan kecepatan
metanolisis. Secara normal, stoikiometri rasio molar metanol/TG mendekati 6:1 ketika
proses katalis basa digunakan. Namun, rasio molar metanol/TG meningkat menjadi 30:1,
bahkan 50:1, dalam katalis asam untuk memastikan konversi yang tinggi. Kandungan metil
ester meningkat signifikan ketika rasio molar metanol/minyak diubah dari 6 sampai 18.
(Gambar 10). Jumlah metanol yang tinggi mendukung pembentukan spesi metoksi pada
permukaan CaO, menyebabkan pergeseran kesetimbangan ke arah produk, sehingga
meningkatkan kecepatan konversi sampai 95,90; 94,13; dan 95,44% untuk masing-masing
cangkang kerang hijau, kerang darah, dan remis. Namun, kenaikan lebih lanjut rasio molar
metanol/minyak, tidak mendukung reaksi.
Hal ini dimengerti bahwa gliserol akan larut dalam kelebihan metanol dan
kemudian menghambat reaksi metanol pada reaktan, dan katalis, sehingga mengganggu
pemisahan gliserin, yang pada akhirnya menurunkan konversi dengan menggeser
kesetimbangan ke arah sebaliknya. Oleh karena itu, molar rasio optimum metanol/minyak
adalah 9:1.
Gambar 11 menunjukkan pengaruh penambahan katalis pada pembentukan metil
ester dalam transesterifikasi minyak kelapa sawit dengan katalis limbah cangkang. Tanpa
adanya katalis, tidak ada pembentukan metil ester pada reaksi. Penggunaan katalis
sebanyak 10% berat, hasil biodiesel tertinggi yang didapatkan dalam 3 jam untuk masing-
21
masing kerang hijau, kerang darah, dan remis adalah 95,90; 94,13; dan 95,44%.
Pengurangan penambahan katalis menjadi 5% berat menurunkan kandungan metil ester
50,92 sampai 65,45%. Hasil ini menunjukkan bahwa transesterifikasi TG sangat tergantung
pada jumlah situs dasar. Penambahan 15-25% membuat katalis terakumulasi di dinding
reaktor kaca, mungkin berkontribusi pada masalah difusi selama reaksi dan oleh karena itu
menurunkan aktivitas. Dari penelitian ini, kita dapat menyimpulkan bahwa jumlah CaO
yang dibutuhkan untuk transesterifikasi minyak kelapa sawit adalah 10% berat.
Kemampuan dapat digunakan kembali katalis ditentukan dengan melakukan siklus
reaksi. Ketika reaksi transesterifikasi selesai, katalis dipisahkan dari campuran dan
digunakan kembali tanpa perlakuan khusus dalam reaksi kedua di bawah kondisi yang
sama dengan sebelumnya. Hal ini menemukan bahwa katalis yang disiapkan aktif untuk 3
siklus reaksi, dengan hasil biodiesel di atas 90%. Setelah 3 siklus reaksi, hasil biodiesel
menurun menjadi 90% (Gambar 12). Kerusakan katalis mungkin disebabkan perubahan
struktur permukaan katalis. Kalsium oksida berubah secara bertahap menjadi kalsium
hidroksida karena kelembaban dalam reaktan, yang merusakkan aktivitas katalis. Namun,
aktivitas dapat dikembalikan setelah kalsinasi di udara pada 600oC.
Gambar 11. Pengaruh penambahan katalis terhadap persen (%) hasil biodiesel
22
Gambar 12. Pengaruh kemampuan dapat digunakan kembali katalis pada
persen (%) hasil biodiesel.
3.3. Sifat Bahan Bakar Metil Ester
Sifat bahan bakar metil ester yang didapatkan pada penelitian ini dirangkum dalam
Tabel 3. Hal ini dapat dilihat bahwa sebagian besar dari sifatnya masih dalam kisaran sifat
bahan bakar yang dideskripsikan pada standar terbaru biodiesel.
Tabel 3. Sifat bahan bakar biodiesel
Sifat bahan bakar
Asal katalis
Cangkang
kerang hijau
Cangkang
kerang darah
Cangkang
Remis
Viskositas (mm2/s) pada 40
oC 4,4 4,6 4,5
Massa jenis (g/cm3) pada 80
oC 0,877 0,878 0,878
Titik nyala (oC) 164 165 164
Titik kabut (oC) 11 12 11
Titik tuang (oC) 7 8 8
Bilangan asam (mg KOH/g minyak) 0,47 0,67 0,55
Kandungan air (%) 0,02 0,03 0,02
23
IV. KESIMPULAN
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan Buasri dkk. (2013) dapat diambil
kesimpulan:
a. Katalis yang mengandung CaCO3 berubah menjadi CaO setelah kalsinasi pada
suhu 1000oC.
b. Kondisi optimum, hasil konversi minyak kelapa sawit mendekati 95% untuk
semua katalis limbah cangkang kerang pada waktu reaksi 3 jam, suhu reaksi
65oC, rasio molar metanol/minyak 9:1, dan penambahan katalis 10% berat
dengan tekanan 1 atm dalam reaktor kaca.
c. Penelitian menunjukkan bahwa katalis CaO memiliki aktivitas dan kestabilan
yang sangat baik selama transesterifikasi.
d. Katalis yang telah digunakan selama 4 siklus, jelas terlihat kehilangan
aktivitasnya rendah.
e. Sifat bahan bakar biodiesel yang diperoleh memenuhi semua standar biodiesel.
f. Sebagai katalis padat, CaO dapat menurunkan biaya biodiesel dan tahap
pemurnian. Sehingga memiliki potensi untuk aplikasi industri dalam
transesterifikasi minyak kelapa sawit menjadi biodiesel.
24
DAFTAR PUSTAKA
Berchmans, H.J., dan Hirata, S. 2008. Biodiesel Production from Crude Jatropha curcas L.
Seed oil with a high content of free fatty acids. Bioresource Technology 99, 1716-
1721.
Buasri, A., Chaiyut, N., Loryuenyong, V., Worawanitchaphong, P., dan Trongyong, V.
2013. Calcium Oxide Derived from Waste Shells of Mussel, Cockle, and Scallop as
the heterogeneous Catalyst for Biodiesel Production. The Scientific World Journal
2013, Article ID 460923.
Cappenberg, H.A.W. 2008. Beberapa Aspek Biologi Kerang Hijau Perna viridis Linnaeus
1758. Oseana, XXXIII, Nomor l, Tahun 2008 : 33-40.
Day, R. A dan Underwood, A. L. 1996. Analisa Kimia Kuantitatif. Erlangga, Jakarta
Fanny, W.A., Subagja, dan Prakoso, T. 2012. Pengembangan Katalis Kalsium Oksida
Untuk Sintesis Biodiesel. Jurnal Teknik Kimia Indonesia, 11 (2) : 66-73.
Gerpen, J.V. 2005. Biodiesel Processing and Production. Fuel Processing Technology 86,
1097-1107.
Hambali, E., Suryani, A., Dadang, Hariyadi, Hanafie, H., Reksowardojo, I., K., Rivai, M.,
Ihsanur, M., Suryadarma, P., Tjitrosemito, S., Soerawidjaja, T., H., Prawitasari, T.,
Prakoso, T., dan Purnama, W. 2006. Jarak Pagar Tanaman Penghasil Biodiesel.
Penebar Swadaya, Jakarta.
Hayyan, A., Alam, Md.Z., Mirghani, M.E.S., Kabbashi, N.A., Hakimi, N.I.N.M, Siran,
Y.M., dan Tahiruddin, S. 2010. Sludge Palm Oil As a Renewable Raw Material For
Biodiesel Production by Two-Step Processes. Bioresourse Technology 101, 7804-
7811.
Ketaren, S. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Universitas Indonesia
Press, Jakarta.
Prihandana, R., Hendroko, R., dan Nuramin, M. 2006. Menghasilkan Biodiesel Murah
Mengatasi Polusi dan Kelangkaan BBM. Agromedia Pustaka, Jakarta.
Sari, Y.M. 2012. Potensi Minyak Kelapa Sawit (CPO) Sebagai Biodiesel Alternatif
Pengganti Solar di Provinsi Riau. Univeritas Riau, Pekanbaru.
Setiabudiningsih. 2004. Penelitian Kerang di Concong Luar Kecamatan Kuinora
Kabupaten Indragiri Hilir. Dinas Kelautan dan Perikanan, Pekanbaru.
Sukardjo. 1990. Kimia Anorganik. Rineka Cipta, Jakarta.