Pemanfaatan Cangkang Kerang Darah, Kerang Hijau dan Remis Sebagai Katalis Heterogen Untuk Produksi...

30
SEMINAR LITERATUR PEMANFAATAN CANGKANG KERANG HIJAU, KERANG DARAH, DAN REMIS SEBAGAI KATALIS HETEROGEN UNTUK PRODUKSI BIODIESEL OLEH: ABDUL GAPUR NIM: 1003135333 JURUSAN KIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS RIAU PEKANBARU 2014

Transcript of Pemanfaatan Cangkang Kerang Darah, Kerang Hijau dan Remis Sebagai Katalis Heterogen Untuk Produksi...

SEMINAR LITERATUR

PEMANFAATAN CANGKANG KERANG HIJAU,

KERANG DARAH, DAN REMIS SEBAGAI KATALIS

HETEROGEN UNTUK PRODUKSI BIODIESEL

OLEH:

ABDUL GAPUR

NIM: 1003135333

JURUSAN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS RIAU

PEKANBARU

2014

i

LEMBARAN PENGESAHAN

Pekanbaru, Mei 2014

Mengetahui,

Ketua Prodi S1 Jurusan Kimia

FMIPA UR

Menyetujui,

Pembimbing Seminar Literatur

Dra. Andi Dahliaty, M.S

NIP 196012121987022002

Dr. Nurhayati, M.Sc

NIP. 196412161991032002

Nama Mahasiswa : ABDUL GAPUR

NIM : 1003135333

Jurusan : KIMIA

Fakultas : MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

Judul Seminar Literatur : PEMANFAATAN CANGKANG KERANG HIJAU,

KERANG DARAH, DAN REMIS SEBAGAI KATALIS

HETEROGEN UNTUK PRODUKSI BIODIESEL.

ii

PEMANFAATAN CANGKANG KERANG HIJAU, KERANG DARAH, DAN

REMIS SEBAGAI KATALIS HETEROGEN

UNTUK PRODUKSI BIODIESEL

ABDUL GAPUR

NIM. 1003135333

RINGKASAN

Makalah ini akan memaparkan tentang pemanfaatan cangkang kerang hijau, kerang darah,

dan remis sebagai sumber hayati kalsium oksida. Kalsium oksida digunakan sebagai katalis

heterogen dalam mengkatalisis suatu reaksi transesterifikasi untuk menghasilkan biodiesel.

Katalis dari cangkang kerang tersebut dipersiapkan dengan kalsinasi pada suhu 700–

1.000oC selama 4 jam. Katalis heterogen ini dikarakterisasi dengan X-ray difraction

(XRD), X-ray fluorescence (XRF), scanning elektron microscopy (SEM), dan metode

Brunauer-Emmet-Teller (BET). Variabel reaksi pembuatan biodiesel yang diselidiki pada

makalah ini adalah waktu reaksi, suhu reaksi, rasio molar metanol/minyak, dan

penambahan katalis. Kemampuan dapat digunakan kembali dari katalis ini juga ditentukan.

Hasilnya menunjukkan bahwa katalis CaO yang berasal dari cangkang kerang tersebut

memiliki kemampuan dapat digunakan kembali yang baik dan memiliki potensi yang

tinggi untuk digunakan sebagai katalis pembuatan biodiesel dalam reaksi transesterifikasi

minyak kelapa sawit dengan metanol.

iii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis hanturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas

berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah seminar literatur yang

berjudul “Pemanfaatan Cangkang Kerang Hijau, Kerang Darah, dan Remis Sebagai

Katalis Heterogen untuk Produksi Biodiesel”. Tujuan penulisan makalah ini adalah

untuk mempelajari dan membahas penelitian yang telah dilakukan oleh Buasri, dkk.,

(2013) tentang Calcium Oxide Derived from Waste Shells of Mussel, Cockle, and Scallop

as the Heterogeneous Catalyst for Biodiesel Production.

Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada

Ibu Dr. Nurhayati, M.Sc selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktunya

untuk memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis sehingga makalah seminar

literatur ini dapat diselesaikan dengan baik.

Penulis menyadari bahwa makalah ini belum sempurna. Oleh karena itu, penulis

menerima berbagai kritik dan saran dari pembaca yang bersifat membangun. Penulis

berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua dalam pengembangan ilmu

pengetahuan di masa depan. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh

pihak yang telah membantu dalam penyelesaian makalah ini.

Pekanbaru, Mei 2014

Abdul Gapur

NIM. 1003135333

iv

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................................ i

RINGKASAN ...................................................................................................................... ii

KATA PENGANTAR ........................................................................................................ iii

DAFTAR ISI ....................................................................................................................... iv

DAFTAR GAMBAR .......................................................................................................... v

DAFTAR TABEL ............................................................................................................... v

I. PENDAHULUAN ................................................................................................... 1

1.1. Latar Belakang .............................................................................................. 1

1.2. Tujuan Penulisan .......................................................................................... 2

1.3. Landasan Teori ............................................................................................. 2

1.3.1. Biodiesel ........................................................................................... 2

1.3.2. Karakteristik biodiesel ...................................................................... 3

1.3.3. Katalis ............................................................................................... 5

1.3.4. Jenis-jenis kerang ............................................................................. 5

1.3.5. Metode karakterisasi cangkang kerang ............................................. 8

II. TATA KERJA ........................................................................................................ 12

2.1. Alat ............................................................................................................... 12

2.2. Bahan ............................................................................................................ 12

2.3. Metodologi ................................................................................................... 12

2.3.1. Persiapan katalis ............................................................................... 12

2.3.2. Karakterisasi katalis .......................................................................... 12

2.3.3. Transesterifikasi minyak kelapa sawit .............................................. 13

III. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................................... 15

3.1. Karakterisasi Cangkang dan Katalis CaO ................................................... 15

3.2. Pengaruh Variabel Reaksi ............................................................................ 18

3.3. Sifat Bahan Bakar Metil Ester ...................................................................... 22

IV. KESIMPULAN ....................................................................................................... 23

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................... 24

v

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Cangkang kerang hijau ………………………………………………...... 6

Gambar 2. Cangkang kerang darah …………………………………………………. 7

Gambar 3. Cangkang remis …………………………………………………………. 8

Gambar 4. Persiapan katalis CaO yang berasal dari cangkang (1000oC) ………...... 13

Gambar 5. Pola XRD cangkang kerang hijau alami dan kalsinasi ……..................... 15

Gambar 6. Pola XRD cangkang kerang hijau, kerang darah, dan remis yang

dikalsinasi pada suhu 1000oC …………………………………………… 16

Gambar 7. Gambar SEM dari (a) cangkang kerang hijau, (b) cangkang kerang

darah, dan (c) cangkang remis yang dikalsinasi pada suhu 1000oC ……. 17

Gambar 8. Pengaruh waktu reaksi pada persen (%) hasil biodiesel ………………... 18

Gambar 9. Pengaruh suhu reaksi pada persen (%) hasil biodiesel ………………...... 19

Gambar 10. Pengaruh rasio molar metanol/minyak pada persen (%) hasil biodiesel… 20

Gambar 11. Pengaruh penambahan katalis pada persen (%) hasil biodiesel ………… 21

Gambar 12. Pengaruh kemampuan dapat digunakan kembali katalis pada persen (%)

hasil biodiesel …………………………………………………………… 22

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Komposisi kimia katalis cangkang …………………………………….. 16

Tabel 2. Sifat fisika katalis cangkang …………………………………………… 17

Tabel 3. Sifat bahan bakar biodiesel ……………………………………………... 22

1

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang

Perkembangan industri di dunia pada saat ini mengakibatkan terjadinya

peningkatan kebutuhan akan bahan bakar. Selama ini, bahan bakar yang digunakan berasal

dari bahan bakar fosil yang sumbernya semakin menipis. Bahan bakar fosil cenderung

tidak ramah lingkungan. Oleh karena itu, dibutuhkan pengembangan sumber energi

alternatif terbarukan yang ramah lingkungan dan memberikan solusi terhadap peningkatan

kebutuhan akan bahan bakar tersebut (Fanny dkk., 2012).

Produksi biodiesel dari sumber alam hayati yang melimpah telah menarik perhatian

masyarakat akademis dan industri dalam beberapa tahun terakhir. Di banyak negara,

biodiesel mendapat perhatian yang tinggi sebagai energi alternatif dan terbarukan karena

cadangan minyak bumi berkurang, kenaikan harga BBM, dan masalah lingkungan hidup

meningkat (Hayyan dkk., 2010). Biodisel dapat dibuat dari sumber hayati terbarukan

seperti minyak nabati (Buasri dkk., 2013; Hambali dkk., 2006), lemak hewan, dan limbah

minyak (Hayyan dkk., 2010).

Manfaat utama penggunaan biodiesel sebagai bahan bakar mesin adalah

mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil dan mengurangi emisi polutan

udara dari mesin diesel (Berchmans dan Hirata, 2008). Namun, terlepas dari dampak yang

menguntungkan, aspek ekonomi produksi biodiesel masih menjadi hambatan untuk

pengembangannya, terutama karena harga bahan bakar fosil yang lebih rendah saat ini.

Oleh karena itu, mencari cara untuk mengurangi biaya produksi adalah perhatian utama

dalam penelitian biodiesel saat ini (Hayyan dkk., 2010).

Biodiesel dapat disintesis melalui transesterifikasi minyak atau esterifikasi lemak

menggunakan katalis basa atau asam. Katalis homogen diharapkan akan digantikan oleh

katalis heterogen dalam waktu dekat karena kendala lingkungan dan penyederhanaan

dalam proses yang ada. Katalis heterogen padat dapat dengan mudah dipisahkan dari

campuran reaksi dengan penyaringan dan dapat digunakan kembali. Katalis basa heterogen

menghilangkan kebutuhan untuk netralisasi katalis basa homogen dengan asam dan

penghilangan air dalam produksi komersial biodiesel sehingga menurunkan biaya

produksinya. Di antara katalis heterogen yang digunakan dalam transesterifikasi,

pemanfaatan kalsium oksida (CaO) sebagai katalis heterogen dalam pembuatan biodiesel

cukup menjanjikan, dan banyak laporan telah dipublikasikan tentang CaO mengkatalisis

transesterifikasi menggunakan standar laboratorium. Kalsium oksida murah, banyak

tersedia di alam, dan beberapa sumber dari senyawa ini dapat diperbaharui (bahan limbah

2

yang terdiri dari kalsium karbonat, CaCO3). Namun, belakangan ini pemanfaatan bahan

limbah sebagai katalis heterogen telah menarik perhatian dalam penelitian untuk proses

yang berkelanjutan (Buasri dkk., 2013).

Sintesis katalis menggunakan limbah cangkang memberikan peluang untuk katalis

terbarukan. Pemanfaatan bahan limbah ini tidak hanya mengurangi biaya katalis tetapi juga

meningkatkan proses ramah lingkungan. Kerang hijau, kerang darah, dan remis ditemukan

di beberapa wilayah Thailand. Produksi kerang hijau, kerang darah, dan remis cukup besar

dan pengolahan makanan ini juga menghasilkan sejumlah besar limbah cangkang. Pada

makalah ini, Buasri dkk. (2013) memanfaatkan limbah cangkang kerang hijau, kerang

darah, dan remis sebagai sumber CaO untuk transesterifikasi minyak sawit menjadi

biodiesel. Pengaruh waktu reaksi, suhu reaksi, rasio molar metanol/minyak, penambahan

katalis, dan kemampuan dapat digunakan kembali katalis diselidiki secara sistematis.

1.2. Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mempelajari dan membahas penelitian

yang telah dilakukan oleh Buasri dkk. (2013) tentang pemanfaatan cangkang kerang hijau,

kerang darah, dan remis sebagai katalis heterogen untuk produksi biodiesel.

1.3. Landasan Teori

1.3.1. Biodiesel

Biodiesel merupakan bahan bakar alternatif diesel yang dihasilkan dari reaksi

minyak nabati atau lemak hewani dengan alkohol seperti metanol. Reaksinya

membutuhkan katalis, umumnya katalis yang digunakan adalah basa kuat seperti natrium

atau kalium hidroksida dan menghasilkan senyawa kimia baru yang disebut metil ester.

Ester inilah yang kemudian lebih dikenal sebagai biodiesel (Gerpen, 2005).

Banyak keuntungan pengunaan biodiesel sebagai bahan bakar alternatif pengganti

minyak bumi. Biodiesel diproduksi dari sumber hayati yang merupakan sumber energi

terbarukan. Biodiesel bersifat ramah lingkungan karena tanaman penghasil biodiesel

banyak menyerap CO2 dari atmosfer untuk fotosintesisnya sehingga tidak memberikan

kontribusi yang berarti pada pemanasan global. Selain itu, biodiesel juga tidak

mengandung sulfur, mudah terdegradasi dan tidak beracun. Biodiesel sebagai bahan bakar

memiliki angka setana yang tinggi, bahkan lebih tinggi daripada solar dan juga memiliki

sifat pelumasan yang baik. Produksi biodiesel akan menciptakan kebutuhan bahan baku

hayati sehingga akan memacu budidaya dan produksi pertanian, yang pada akhirnya akan

3

meningkatkan pendapatan petani (Sari, 2012). Kelebihan lainnya, biodiesel dapat

digunakan secara murni atau dicampur dengan minyak solar tanpa perlu adanya perubahan

pada mesin kendaraan (Hambali dkk., 2006).

1.3.2. Karakteristik biodiesel

Biodiesel yang dihasilkan harus diuji dan dianalisis sebelum digunakan pada mesin

kendaraan. Biodiesel harus memenuhi parameter standar mutu biodiesel agar mesin dapat

bekerja dengan baik dan lebih awet. Standar mutu pada masing-masing negara berbeda-

beda, hal ini dikarenakan standar mutu biodiesel harus disesuaikan dengan iklim dan

kondisi di masing-masing negara (Hambali dkk., 2006). Secara umum, parameter yang

menjadi standar mutu biodiesel adalah viskositas, massa jenis, titik nyala, titik kabut, titik

tuang, bilangan asam, dan kandungan air (Buasri dkk., 2013).

1.3.2.1. Viskositas

Viskositas adalah tahanan yang dimiliki fluida yang dialirkan dalam pipa kapiler

terhadap gaya gravitasi. Biasanya dinyatakan dalam waktu yang diperlukan untuk

mengalir pada jarak tertentu. Jika viskositas semakin tinggi, maka tahanan untuk mengalir

semakin tinggi. Viskositas biodiesel ditetapkan lebih rendah yakni 2,3 – 6,0 mm2/s. Hal ini

dapat dicapai apabila proses konversi minyak nabati secara kimia di pabrik biodiesel

berlangsung sempurna (Prihandana dkk., 2006).

Viskositas sangat penting karena mempengaruhi kinerja injektor pada mesin diesel.

Atomisasi bahan bakar sangat tergantung pada viskositas, tekanan injeksi serta ukuran

lubang injektor. Viskositas yang lebih tinggi akan membuat bahan bakar teratomisasi

menjadi tetesan lebih besar dengan momentum tinggi dan memiliki kecenderungan

bertumbukan dengan dinding silinder yang relatif lebih dingin. Sebaliknya, bahan bakar

dengan viskositas rendah akan memproduksi spray yang terlalu halus dan tidak dapat

masuk lebh jauh ke dalam silinder pembakaran sehingga terbentuk daerah fuel rich zone

yang menyebabkan pembentukan jelaga (Prihandana dkk., 2006).

Viskositas dapat diukur dengan cara mengukur laju aliran cairan yang melalui

tabung berbentuk silinder. Salah satu viskometer yang sering digunakan yaitu viskometer

Ostwald. Pada viskometer Ostwald yang diukur adalah waktu yang dibutuhkan oleh

sejumlah cairan tertentu untuk mengalir melewati pipa kapiler (Prihandana dkk., 2006).

4

1.3.2.2. Massa jenis (densitas)

Massa jenis merupakan perbandingan antara massa per satuan volume (g/mL).

Salah satu cara penetapan massa jenis yaitu dengan menggunakan piknometer (Ketaren,

1986). Karakteristik ini berkaitan dengan nilai kalor dan daya yang dihasilkan oleh mesin

diesel persatuan volume bahan bakar. Jika biodiesel mempunyai massa jenis melebihi

ketentuan, akan terjadi reaksi tidak sempurna pada konversi minyak nabati. Biodiesel

dengan mutu seperti ini seharusnya tidak digunakan untuk mesin diesel karena akan

meningkatkan kehausan mesin, emisi dan menyebabkan kerusakan pada mesin (Prihandana

dkk., 2006).

1.3.2.3. Titik nyala

Titik nyala adalah suhu terendah yang menyebabkan bahan bakar dapat menyala.

Penentuan titik nyala ini berkaitan dengan keamanan dalam penyimpanan dan penanganan

bahan bakar. Makin rendah titik nyala suatu bahan, maka bahan tersebut akan semakin

mudah terbakar. Berdasarkan SNI, titik nyala minimum pada biodiesel adalah 100oC

bertujuan untuk mengeliminasi kontaminasi metanol akibat proses konversi minyak nabati

yang tidak sempurna. Jika titik nyala terlalu tinggi akan menyebabkan keterlambatan

penyalaan pada mesin, sementara titik nyala pada biodiesel terlalu rendah menyebabkan

timbulnya detonasi yaitu ledakan-ledakan kecil yang terjadi sebelum bahan bakar masuk

ruang bakar (Prihandana dkk., 2006).

1.3.2.4. Titik kabut dan titik tuang

Titik kabut atau titik awan adalah temperatur suatu minyak mulai keruh bagaikan

berkabut, tidak lagi jernih pada saat didinginkan. SNI menetapkan titik kabut biodiesel

maksimum sebesar 18oC. Titik tuang adalah titik temperatur terendah yang menunjukkan

mulai terbentuknya kristal parafin yang dapat menyumbat saluran bahan bakar. Semakin

tinggi ketidakjenuhan, titik tuang akan semakin rendah. Titik tuang juga dipengaruhi oleh

panjang rantai karbon. Semakin panjang rantai karbon, semakin tinggi titik tuangnya

(Prihandana dkk., 2006).

1.3.2.5. Bilangan asam

Bilangan asam adalah jumlah miligram KOH yang dibutuhkan untuk menetralkan

asam-asam lemak bebas dari satu gram minyak atau lemak. Bilangan asam dipergunakan

untuk mengukur jumlah asam lemak bebas yang terdapat dalam minyak atau lemak.

5

Bilangan asam yang tinggi merupakan indikator biodiesel masih mengandung asam lemak

bebas. Biodiesel yang masih mengandung asam lemak bebas dapat menimbulkan jelaga

atau kerak di injektor mesin diesel (Prihandana dkk., 2006).

1.3.2.6. Kandungan air

Proses pembuatan biodiesel, minyak nabati/hewani yang digunakan sebagai bahan

baku harus bebas air. Kandungan air akan memberikan dampak negatif pada efisiensi

penggunaan katalis. Kandungan air yang terdapat dalam bahan bakar dapat membentuk

kristal yang bisa menyumbat aliran bahan bakar. Keberadaan air juga bisa menyebabkan

korosi dan memicu pertumbuhan mikroorganisme yang tentunya dapat menyumbat aliran

bahan bakar. Kandungan air yang nilainya di atas ketentuan akan menyebabkan reaksi

yang terjadi pada konversi minyak nabati tidak sempurna dan menyebabkan terjadinya

proses hidrolisis pada biodiesel sehingga akan meningkatkan bilangan asam, menurunkan

pH, dan meningkatkan sifat korosif (Prihandana dkk., 2006).

1.3.3. Katalis

Katalis adalah zat kimia yang dapat meningkatkan laju reaksi dengan menurunkan

energi aktivasi dan mengarahkan reaksi untuk mencapai kesetimbangan, tanpa

terkonsumsi. Reaksi kimia yang menggunakan bantuan katalis disebut reaksi katalitik.

Menurut Sukardjo (1990) semua katalisator mempunyai sifat yang sama, yaitu:

a. Katalisator tidak berubah selama reaksi berlangsung, namun ada kemungkinan ikut

dalam reaksi tetapi setelah reaksi berakhir, katalisator tersebut diperoleh kembali.

b. Katalisator tidak mempengaruhi letak dan besarnya tetapan kesetimbangan, sebab

semua reaksi akan berakhir setelah terjadi kesetimbangan.

c. Katalisator tidak dapat mengawali suatu reaksi, reaksi harus sudah berjalan walau

lambat.

d. Katalisator yang diperlukan untuk mempercepat reaksi biasanya hanya sedikit

namun pada umumnya jumlah juga mempengaruhi kecepatan reaksi.

1.3.4. Jenis-jenis kerang

1.3.4.1. Kerang hijau

Kerang hijau (Perna viridis) atau dikenal sebagai "green mussels" adalah jenis yang

memiliki nilai ekonomis tinggi. Tersebar luas di perairan Indonesia dan ditemukan

melimpah pada perairan pesisir, daerah mangrove dan muara sungai. Di Indonesia jenis ini

6

ditemukan melimpah pada bulan Maret hingga Juli pada areal pasang surut dan subtidal,

hidup bergerombol dan menempel kuat dengan menggunakan benang byssus-nya pada

benda-benda keras seperti kayu, bambu, batu ataupun substrat yang keras. Kerang hijau

memiliki sebaran yang luas yaitu mulai dari laut India bagian barat hingga Pasifik Barat,

dari Teluk Persia hingga Filipina, bagian utara dan timur Laut China, Taiwan hingga

Indonesia.

Klasifikasi Perna viridis adalah sebagai berikut:

Kerajaan : Animalia

Filum : Moluska

Kelas : Bivalvia

Sub klas : Lamellibranchiata

Bangsa : Anisomyria

Induk suku : Mytilacea

Suku : Mytilidae

Anak suku : Mytilinae

Marga : Perna

Jenis : Perna viridis

(Cappenberg, 2008)

1.3.4.2. Kerang darah

Kerang darah (Anadara granosa) merupakan jenis kerang yang paling populer di

Indonesia. Kerang darah biasa hidup di ekosistem estuaria atau mangrove yang cenderung

payau pada kondisi salinitas 5-30% tetapi tidak terdapat di air tawar maupun air laut.

Kerang darah banyak ditemukan di substrat lumpur, hal ini diperkirakan karena kerang

Gambar 1. Cangkang kerang hijau (sumber: http:// www.sustainablesushi.net/the-fish/

murugai, diakses pada 28 April 2014)

7

darah bersifat infauna, yaitu hidup dengan cara membenamkan diri di bawah permukaan

lumpur di perairan dangkal dan umumnya ditemukan di pantai pada substrat lumpur

berpasir pada kedalaman 10-30 m. Spesies ini menyebar di kawasan Indo-Pasifik dari

Afrika sampai Australia, Polynesia dan Jepang. Kerang darah hidup terutama di zona

intertidal laut sampai kedalaman air dua meter, menyelam ke dalam pasir atau lumpur.

Klasifikasi dari kerang darah (Anadara granosa) adalah sebagai berikut :

Filum : Mollusca

Kelas : Pelecypoda/Lameelibranchiata/Bivalvia

Subkelas : Lamellibranchia (Polysyringia)

Bangsa : Taxodonta

Suku : Arcidae

Marga : Anadara

Jenis : Anadara granosa

(Setiabudiningsih, 2004).

1.3.4.3. Remis

Remis (Amusium pleuronectes) adalah sejenis kekerangan dari keluarga Pectinidae,

Ordo Ostreoida, dan terdiri dari beberapa Genus diantaranya Amusium, Pecten,

Argoipecten, Aequipecten, Placopecten dan lain-lain. Remis mudah dikenali dengan

bentuk cangkang kerangnya yang simetris seperti kipas dan seringkali berwarna cerah

menarik sehingga tak jarang dijadikan bahan ataupun simbol dekoratif. Remis dijuluki

sebagai kerang kosmopolitan karena hidup di hampir semua perairan laut di dunia.

Gambar 2. Cangkang kerang darah (Sumber: http://beachchairscientist.com/2013/03/15/

molly-malones-cockles-and-mussels, diakses pada 28 April 2014)

8

Klasifikasi dari remis (Amusium pleuronectes) adalah sebagai berikut:

Kerajaan : Animalia

Filum : Mollusca

Kelas : Bivalvia

Bangsa : Pterioida

Suku : Pectinidae

Marga : Amusium

Jenis : Amusium pleuronectes

(Dewi, 2010)

1.3.5. Metode karakterisasi cangkang kerang

1.3.5.1. Jenis mineral dengan X-ray Diffraction (XRD)

XRD merupakan merupakan salah satu metoda karakterisasi material yang paling

tua dan paling sering digunakan saat ini. Teknik ini digunakan untuk mengidentifikasi fasa

kristalin dalam material dengan cara menentukan parameter struktur kisi serta untuk

mendapatkan ukuran partikel. Difraksi sinar-X terjadi pada hamburan elastisitas foton-

foton sinar-X oleh atom dalam sebuah kisi periodik. Hamburan monokromatis sinar-X

dalam fasa tersebut memberikan interfensi yang konstruktif. Difraksi sinar-X dapat dilihat

berdasarkan persamaan Bragg:

n.λ = 2.d sin θ ..................................................................................................... (1)

keterangan : n = bilangan bulat (orde pembiasan)

λ = panjang gelombang sinar-X yang digunakan

d = jarak antara dua bidang kisi

θ = sudut antara sinar datang dengan bidang normal

Gambar 3. Cangkang remis (Sumber: http://www.schnr-specimen-shells.com/

PectenPalace, diakses pada 28 April 2014)

9

Berdasarkan persamaan Bragg, jika seberkas sinar-X dijatuhkan pada sampel

kristal, maka bidang kristal itu akan membiaskan sinar-X yang memiliki panjang

gelombang sama dengan jarak antar kisi dalam kristal tersebut. Sinar yang dibiaskan akan

ditangkap oleh detektor kemudian diterjemahkan sebagai sebuah puncak difraksi. Semakin

banyak bidang kristal yang terdapat dalam sampel, maka semakin kuat intensitas

pembiasan yang dihasilkannya. Tiap puncak yang muncul pada pola XRD mewakili satu

bidang kristal yang memiliki orientasi tertentu dalam sumbu tiga dimensi. Puncak-puncak

yang didapatkan dari data pengukuran ini kemudian dicocokkan dengan standar difraksi

sinar-X untuk semua jenis material (Day dan Underwood, 1996).

1.3.5.2. Komposisi kimia dengan Spekroskopi X-ray Fluorescence (XRF)

Spektroskopi XRF adalah teknik analisis unsur yang membentuk suatu material

dengan dasar interaksi sinar-X dengan material analit. Teknik ini banyak digunakan dalam

analisis batuan karena membutuhkan jumlah sampel yang relatif kecil (sekitar 1 gram).

Teknik ini dapat digunakan untuk mengukur unsur-unsur terutama yang banyak terdapat

dalam batuan atau mineral. Sampel yang digunakan biasanya berupa serbuk hasil

penggilingan atau pengepresan manjadi film.

Instrumen yang digunakan untuk melakukan pengukuran tersebut dinamakan

Spektrometer X-Ray Flouroscence. X-Ray Fluorescent Spectroscocy (XRF) mempunyai

banyak keuntungannya yaitu analisis tidak merusak, cepat, multi elemen dan murah.

Penggunaan sinar-X untuk mengalirkan radiasi flourocent dari sample pertama kali

diusulkan oleh Glocker dan Schreiber pada tahun 1928. Metode ini telah banyak digunakan

dalam teknik analitis non destruktif dan sebagai alat kontrol dalam industri pengolahan.

Peralatan ini terdiri dari tabung pembangkit sinar-X yang mampu mengeluarkan elektron

dari semua jenis unsur yang telah diteliti. Sinar-X ini yang dihasilkan harus berenergi

sangat tinggi, sehingga anoda target dalam tabung pembangkit harus berupa unsur Cr, Mo,

W atau Au.

1.3.5.3. Morfologi dengan Scanning Electron Microscopy (SEM)

Scanning Electron Microscopy (SEM) merupakan sejenis mikroskop yang

menggunakan elektron sebagai pengganti cahaya untuk melihat benda dengan resolusi

tinggi. Analisis SEM bermanfaat untuk mengetahui mikrostruktur (termasuk porositas dan

bentuk retakan) benda padat. Kemampuan untuk mengetahui komposisi dan informasi

kristalografi membuat SEM banyak digunakan untuk keperluan penelitian dan industri.

10

Adapun fungsi utama dari SEM antara lain dapat digunakan untuk mengetahui

informasi-informasi mengenai:

a. Topografi, yaitu ciri-ciri permukaan dan teksturnya (kekerasan, sifat

memantulkan cahaya, dan sebagainya).

b. Morfologi, yaitu bentuk dan ukuran dari partikel penyusun objek (kekuatan,

cacat pada Integrated Circuit (IC) dan chip, dan sebagainya).

c. Komposisi, yaitu data kuantitatif unsur dan senyawa yang terkandung di dalam

objek (titik lebur, kereaktifan, kekerasan, dan sebagainya).

d. Informasi kristalografi, yaitu informasi mengenai bagaimana susunan dari butir-

butir di dalam objek yang diamati (konduktifitas, sifat elektrik, kekuatan, dan

sebagainya).

1.3.5.4. Luas permukaan dengan Brunauer-Emmet-Teller (BET)

Luas permukaan spesifik adalah luas permukaan suatu material per massa material

tersebut. Luas permukaan (surface area) merupakan sifat yang penting dalam aplikasi

katalis. Istilah tekstur merujuk pada struktur pori-pori partikel secara umum meliputi

parameter luas permukaan, distribusi ukuran dan bentuk pori. Parameter tersebut sangat

menentukan jumlah sisi aktif di dalam katalis yang berkaitan dengan aktivitas katalis. Dari

beberapa sifat kaitannya dengan tekstur tersebut, luas permukaan (surface area, Sg, m2g

-1)

merupakan parameter yang paling penting kaitannya dengan permukaan katalis dalam

desain katalis heterogen.

Luas permukaan total merupakan kriteria krusial untuk katalis padat karena sangat

menentukan jumlah situs aktif dalam katalis dan berkaitan dengan aktifitas katalis. Luas

permukaan total ditentukan dengan metode BET. Brunauer, Emmet dan Teller pada tahun

1938 memperluas teori kinetik Langmuir untuk adsorpsi multilayer. Metode BET untuk

menghitung luas permukaan adalah sebagai berikut :

(( ) )

[

] ........................................................................... (2)

W = Berat gas total yang terserap pada tekanan relatif P/Po (g gas/g adsorben)

Wm = Berat gas nitrogen yang membentuk lapisan monolayer pada permukaan zat padat

(g gas/g adsorben)

P = Tekanan adsorbat dalam keadaan setimbang

Po = Tekanan uap jenuh adsorbat pada keadaan setimbang

P/Po = Tekanan relatif

11

C = Tetapan BET

Untuk mencari C pada persamaan BET yang tetap yaitu :

............................................................................................................. (3)

...................................................................................................... (4)

.................................................................................................. (5)

............................................................................................................ (6)

Aplikasi metode BET ini dapat digunakan untuk menghitung luas permukaan.

Untuk itu perlu diketahui luas rata-rata molekul gas teradsorpsi. Luas permukaan, S, dari

cuplikan diperoleh dari persamaan :

-20

m2 ............................................................................................. (7)

Keterangan :

N = Bilangan Avogadro (6,02 x 1023

partikel/mol)

M = Berat molekul dari gas teradsorp (g/mol)

Wm = Berat gas teradsorpsi monolayer

Ss = Luas permukaan spesifik

12

II. TATA KERJA

Penulisan ini berdasarkan penelitian Buasri dkk. (2013) tentang pemanfaatan

cangkang kerang hijau, kerang darah, dan remis sebagai katalis heterogen untuk produksi

biodiesel dengan tata kerja seperti yang diterangkan di bawah ini.

2.1. Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah XRD Rigaku (MiniFlex II),

Spektroskopi XRF (XRF-Oxford, ED-2000), SEM, Quantachrome Instrument (Autosorb-1

Model No. ASIMP.VP4, USA) dan peralatan gelas lainnya yang biasa digunakan di

laboratorium.

2.2. Bahan

Minyak kelapa sawit dibeli dari Morakot Industries Public Company Limited,

Thailand. Berat molekul dan kepadatan minyak yang telah diukur masing-masing 851,06

g/mol dan 0,868 g/cm3. Cangkang kerang hijau, kerang darah, dan remis yang

dikumpulkan adalah limbah dari kafetaria universitas. Limbah cangkang dibilas dengan air

untuk menghilangkan debu dan kotoran kemudian dikeringkan dalam oven. Semua bahan

kimia adalah reagen standar analitis (Merck, kemurnian > 99%) dan digunakan setelah

diterima.

2.3. Metodologi

2.3.1. Persiapan katalis

Katalis disiapkan dengan metode kalsinasi. Limbah cangkang kering dikalsinasi

pada 700 – 1.000oC di udara atmosfer dengan laju pemanasan 10

oC/menit selama 4 jam.

Hasil padatan dihancurkan dan diayak dengan ukuran 100 – 200 mesh. Produk (38 – 75

µm) diperoleh sebagai bubuk putih. Semua sampel yang dikalsinasi disimpan dalam bejana

rapat untuk menghindari reaksi dengan karbon dioksida (CO2) dan kelembaban di udara

sebelum digunakan. Gambar 4 menggambarkan proses persiapan katalis dari limbah

cangkang.

2.3.2. Karakterisasi katalis

Karakterisasi difraksi sinar-X (XRD) dari katalis yang berasal dari limbah

cangkang dilakukan pada Rigaku (MiniFlex II, Inggris) Generator berbasis difraksi sinar-

X menggunakan radiasi CuKα pada 2θ berkisar dari 20o sampai 80

o dengan ukuran tahap

0,04o pada kecepatan scanning dari 3

o/menit.

13

Gambar 4. Persiapan katalis CaO yang berasal dari limbah cangkang (1000oC)

Komposisi kimia unsur materi dianalisis mengunakan spektroskopi XRF (XRF-

Oxford, ED-2000, Inggris) di bawah mode dispersi energi untuk pengukuran tepat dari

kedua cahaya dan unsur-unsur berat.

Struktur mikro dari limbah cangkang yang dikalsinasi diamati dengan scanning

electron microscopy (SEM). Gambar SEM dari sampel yang representatif diperoleh dari

Camscan-MX 2000 (Inggris) yang dilengkapi dengan energy dispersive spektroscope

(EDS).

2.3.3. Transesterifikasi minyak kelapa sawit

Sintesis biodiesel dari minyak kelapa sawit dan metanol dilakukan dalam reaktor

kaca 500 mL yang dilengkapi dengan kondensor dan pengaduk mekanik pada tekanan

atmosfer. Pengaruh waktu reaksi (2 sampai 6 jam), suhu reaksi (50 sampai 70oC),

penambahan katalis (5 sampai 25% berat), dan kemampuan dapat digunakan kembali

katalis (1 sampai 4 kali) diteliti pada konversi biodieseli. Setelah jangka waktu tertentu,

sejumlah besar sampel dikeluarkan dari reaktor untuk analisis. Semua percobaan diulang 3

kali dan standar deviasi tidak pernah melebihi 7% untuk setiap uji.

Komposisi asam lemak metil ester (biodiesel) dianalisis dengan GCMS yang

dilengkapi dengan detektor ionisasi nyala dan kolom kapiler 30 m x 0,32 mm x 0,25 µm.

Hasil biodiesel dihitung dengan:

Hasil (%) =

....................................................................................... (8)

14

Dimana mi adalah massa baku internal yang ditambahkan pada sampel, Ai adalah luas

puncak baku internal, mb adalah massa sampel biodiesel dan Ab adalah luas puncak sampel

biodiesel. Sifat fisika dan kimia biodiesel termasuk viskositas kinematik, massa jenis, titik

nyala, titik kabut, titik tuang, bilangan asam, dan kandungan air dianalisis sesuai dengan

metode ASTM.

15

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Karakterisasi Limbah Cangkang dan Katalis CaO

Gambar XRD dari cangkang kerang hijau alami dan yang sudah dikalsinasi terdapat

pada Gambar 5. Hasil XRD menunjukkan bahwa komposisi utama cangkang kerang

alami adalah CaCO3 tanpa adanya puncak CaO, yang terlihat pada puncak difraksi 2θ

sekitar 29,2o. Semakin meningkatnya suhu kalsinasi, maka CaCO3 akan berubah menjadi

CaO dengan hilangnya CO2 pada CaCO3. Komposisi utama katalis yang dikalsinasi pada

suhu ≥ 900oC adalah CaO. Puncak yang sempit dan intensitas tinggi dari katalis yang

dikalsinasi menentukan struktur kristal yang baik dari katalis CaO. Komponen utama dari

limbah cangkang yang dikalsinasi pada 1.000oC selama 4 jam adalah senyawa CaO

(Gambar 6).

Komposisi kimia katalis dapat dilihat pada Tabel 1. Komponen mineral utama

adalah CaO. Katalis yang berasal dari limbah cangkang kerang hijau, kerang darah, dan

remis mempunyai konsentrasi CaO masing-masing 98,37; 99,17; dan 97,53 % berat.

Gambar 5. Pola XRD dari cangkang kerang hijau alami dan kalsinasi (□: CaCO3, ■: CaO)

16

Tabel 1. Komposisi kimia katalis limbah cangkang

Senyawa

Konsentrasi (% berat)

Cangkang

kerang hijau

Cangkang

kerang darah

Cangkang

remis

CaO 98,367 99,170 97,529

Na2O 0,937 0,438 0,565

SO3 0,293 0,117 1,568

P2O5 0,163 0,096 0,204

SrO 0,158 0,132 0,107

ZrO2 0,046 - 0,027

Cl 0,037 - -

Fe2O3 - 0,026 -

Morfologi limbah cangkang kerang hijau, kerang darah, dan remis yang dikalsinasi

pada 1000oC ditentukan dengan SEM (Gambar 7). Cangkang alami menampilkan

arsitektur khas berlapis, dengan meningkatkan suhu dari 700 sampai 1000oC, mikrostruktur

cangkang alami berubah secara signifikan dari struktur berlapis menjadi struktur berpori.

Gambar 6. Pola XRD limbah cangkang kerang hijau, kerang darah, dan remis

yang dikalsinasi pada suhu 1000oC (■: CaO)

17

Cangkang kerang darah dan remis yang dikalsinasi menunjukkan morfologi partikel mirip

dengan cangkang kerang hijau yang dikalsinasi.

(a)

(b)

(c)

Sifat fisik katalis CaO dirangkum dalam Tabel 2. Katalis yang berasal dari

limbah cangkang kerang hijau memiliki luas permukaan yang besar (89,91 m2/g) dan

volume pori (0,130 cm3/g) yang disajikan dalam ukuran pori seragam.

Tabel 2. Sifat fisik katalis limbah cangkang

Sifat fisik

Asal katalis

Cangkang

kerang hijau

Cangkang

kerang darah

Cangkang

remis

Luas permuakaan (m2/g) 89,91 59,87 74,96

Volume pori (cm2/g) 0,130 0,087 0,097

Diameter pori (A) 34,55 25,53 30,55

Gambar 7. Gambar SEM dari (a) cangkang kerang hijau, (b) cangkang kerang darah,

dan (c) cangkang remis yang dikalsinasi pada suhu 1000oC.

18

Gambar 8. Pengaruh waktu reaksi terhadap persen (%) hasil biodiesel

Katalis yang berasal dari limbah cangkang kerang darah dan remis ada dalam nilai yang

lebih rendah untuk luas permukaan (masing-masing 59,87 dan 74,96 m2/g) dan volume

pori (masing-masing 0,087 dan 0,097 cm3/g) dibandingkan cangkang kerang hijau. Hal ini

dapat dilihat bahwa katalis heterogen menghasilkan peningkatan yang kuat dalam situs

aktif. Asumsi ini didukung oleh gambar SEM katalis.

3.2. Pengaruh Variabel Reaksi

Hasil biodiesel dipengaruhi oleh variabel reaksi seperti waktu reaksi, suhu reaksi,

rasio molar metanol/minyak, penambahan katalis, dan kemampuan dapat digunakan

kembali katalis. Variabel reaksi dikaitkan dengan tipe katalis yang digunakan. Oleh karena

itu, pengaruh variabel reaksi dipelajari dengan adanya katalis limbah cangkang. Untuk

reaksi berikut, semua katalis disiapkan dengan kalsinasi limbah cangkang pada 1.000oC

selama 4 jam.

Pengaruh waktu reaksi pada konversi minyak kelapa sawit menjadi biodiesel telah

diselidiki. Waktu reaksi adalah salah satu parameter kunci selama transesterifikasi

dilakukan pada reaktor kaca. Gambar 8 menunjukkan peningkatan hasil dengan waktu 2

sampai 3 jam dengan penambahan katalis 10% berat terhadap minyak dan rasio molar

metanol/minyak 9:1. Hasil maksimum 97,23; 94,47; dan 96,68% didapatkan dalam waktu

reaksi 4 jam pada suhu 65oC untuk masing-masing cangkang kerang hijau, kerang darah,

19

dan remis. Pada tahap awal reaksi transesterifikasi, produksi biodiesel adalah cepat, dan

kemudian kecepatan menurun dan akhirnya mencapai kesetimbangan di sekitar waktu 4

jam. Hal ini dapat dijelaskan bahwa reaksi transesterifikasi antara minyak dan alkohol

adalah reversibel, ketika waktu reaksi cukup lama.

Secara umum, suhu reaksi dapat mempengaruhi kecepatan reaksi dan hasil

biodiesel. Transesterifikasi trigliserida (TG) dengan matanol menjadi metil ester dilakukan

dengan katalis CaO pada waktu reaksi 50 – 70oC. Persen (%) hasil biodiesel setelah 3 jam

waktu reaksi ditunjukkan sebagai fungsi suhu dalam Gambar 9. Hasil biodiesel jelas

meningkat dari 76,85 sampai 95,50% untuk cangkang kerang hijau, 63,68 sampai 94,13%

untuk cangkang kerang darah, dan 70,14 sampai 95,44% untuk cangkang remis dengan

meningkatnya suhu dari 50 sampai 65oC. Pengaruh suhu reaksi dalam mendukung

transesterifikasi dapat dijelaskan karena reaksi endoterm. Hasil tertinggi diperoleh pada

suhu reaksi 65oC. Ketika suhu reaksi ditingkatkan melebihi 65

oC, hasil biodiesel

berkurang. Suhu reaksi yang melebihi titik didih metanol seperti 70oC, metanol akan lebih

cepat menguap dan membentuk sejumlah besar gelembung yang menghambat reaksi pada

antarmuka dua fasa. Selain itu, dalam rangka menghemat energi, hal ini perlu untuk

memilih suhu yang relatif rendah. Oleh karena itu, suhu reaksi optimum untuk

transesterifikasi TG menjadi metil ester diangap sekitar 65oC.

Gambar 9. Pengaruh suhu reaksi terhadap persen (%) hasil biodiesel

20

Gambar 10. Pengaruh rasio molar metanol/minyak terhadap persen (%) hasil biodiesel

Kelebihan metanol diperlukan karena hal ini dapat meningkatkan kecepatan

metanolisis. Secara normal, stoikiometri rasio molar metanol/TG mendekati 6:1 ketika

proses katalis basa digunakan. Namun, rasio molar metanol/TG meningkat menjadi 30:1,

bahkan 50:1, dalam katalis asam untuk memastikan konversi yang tinggi. Kandungan metil

ester meningkat signifikan ketika rasio molar metanol/minyak diubah dari 6 sampai 18.

(Gambar 10). Jumlah metanol yang tinggi mendukung pembentukan spesi metoksi pada

permukaan CaO, menyebabkan pergeseran kesetimbangan ke arah produk, sehingga

meningkatkan kecepatan konversi sampai 95,90; 94,13; dan 95,44% untuk masing-masing

cangkang kerang hijau, kerang darah, dan remis. Namun, kenaikan lebih lanjut rasio molar

metanol/minyak, tidak mendukung reaksi.

Hal ini dimengerti bahwa gliserol akan larut dalam kelebihan metanol dan

kemudian menghambat reaksi metanol pada reaktan, dan katalis, sehingga mengganggu

pemisahan gliserin, yang pada akhirnya menurunkan konversi dengan menggeser

kesetimbangan ke arah sebaliknya. Oleh karena itu, molar rasio optimum metanol/minyak

adalah 9:1.

Gambar 11 menunjukkan pengaruh penambahan katalis pada pembentukan metil

ester dalam transesterifikasi minyak kelapa sawit dengan katalis limbah cangkang. Tanpa

adanya katalis, tidak ada pembentukan metil ester pada reaksi. Penggunaan katalis

sebanyak 10% berat, hasil biodiesel tertinggi yang didapatkan dalam 3 jam untuk masing-

21

masing kerang hijau, kerang darah, dan remis adalah 95,90; 94,13; dan 95,44%.

Pengurangan penambahan katalis menjadi 5% berat menurunkan kandungan metil ester

50,92 sampai 65,45%. Hasil ini menunjukkan bahwa transesterifikasi TG sangat tergantung

pada jumlah situs dasar. Penambahan 15-25% membuat katalis terakumulasi di dinding

reaktor kaca, mungkin berkontribusi pada masalah difusi selama reaksi dan oleh karena itu

menurunkan aktivitas. Dari penelitian ini, kita dapat menyimpulkan bahwa jumlah CaO

yang dibutuhkan untuk transesterifikasi minyak kelapa sawit adalah 10% berat.

Kemampuan dapat digunakan kembali katalis ditentukan dengan melakukan siklus

reaksi. Ketika reaksi transesterifikasi selesai, katalis dipisahkan dari campuran dan

digunakan kembali tanpa perlakuan khusus dalam reaksi kedua di bawah kondisi yang

sama dengan sebelumnya. Hal ini menemukan bahwa katalis yang disiapkan aktif untuk 3

siklus reaksi, dengan hasil biodiesel di atas 90%. Setelah 3 siklus reaksi, hasil biodiesel

menurun menjadi 90% (Gambar 12). Kerusakan katalis mungkin disebabkan perubahan

struktur permukaan katalis. Kalsium oksida berubah secara bertahap menjadi kalsium

hidroksida karena kelembaban dalam reaktan, yang merusakkan aktivitas katalis. Namun,

aktivitas dapat dikembalikan setelah kalsinasi di udara pada 600oC.

Gambar 11. Pengaruh penambahan katalis terhadap persen (%) hasil biodiesel

22

Gambar 12. Pengaruh kemampuan dapat digunakan kembali katalis pada

persen (%) hasil biodiesel.

3.3. Sifat Bahan Bakar Metil Ester

Sifat bahan bakar metil ester yang didapatkan pada penelitian ini dirangkum dalam

Tabel 3. Hal ini dapat dilihat bahwa sebagian besar dari sifatnya masih dalam kisaran sifat

bahan bakar yang dideskripsikan pada standar terbaru biodiesel.

Tabel 3. Sifat bahan bakar biodiesel

Sifat bahan bakar

Asal katalis

Cangkang

kerang hijau

Cangkang

kerang darah

Cangkang

Remis

Viskositas (mm2/s) pada 40

oC 4,4 4,6 4,5

Massa jenis (g/cm3) pada 80

oC 0,877 0,878 0,878

Titik nyala (oC) 164 165 164

Titik kabut (oC) 11 12 11

Titik tuang (oC) 7 8 8

Bilangan asam (mg KOH/g minyak) 0,47 0,67 0,55

Kandungan air (%) 0,02 0,03 0,02

23

IV. KESIMPULAN

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan Buasri dkk. (2013) dapat diambil

kesimpulan:

a. Katalis yang mengandung CaCO3 berubah menjadi CaO setelah kalsinasi pada

suhu 1000oC.

b. Kondisi optimum, hasil konversi minyak kelapa sawit mendekati 95% untuk

semua katalis limbah cangkang kerang pada waktu reaksi 3 jam, suhu reaksi

65oC, rasio molar metanol/minyak 9:1, dan penambahan katalis 10% berat

dengan tekanan 1 atm dalam reaktor kaca.

c. Penelitian menunjukkan bahwa katalis CaO memiliki aktivitas dan kestabilan

yang sangat baik selama transesterifikasi.

d. Katalis yang telah digunakan selama 4 siklus, jelas terlihat kehilangan

aktivitasnya rendah.

e. Sifat bahan bakar biodiesel yang diperoleh memenuhi semua standar biodiesel.

f. Sebagai katalis padat, CaO dapat menurunkan biaya biodiesel dan tahap

pemurnian. Sehingga memiliki potensi untuk aplikasi industri dalam

transesterifikasi minyak kelapa sawit menjadi biodiesel.

24

DAFTAR PUSTAKA

Berchmans, H.J., dan Hirata, S. 2008. Biodiesel Production from Crude Jatropha curcas L.

Seed oil with a high content of free fatty acids. Bioresource Technology 99, 1716-

1721.

Buasri, A., Chaiyut, N., Loryuenyong, V., Worawanitchaphong, P., dan Trongyong, V.

2013. Calcium Oxide Derived from Waste Shells of Mussel, Cockle, and Scallop as

the heterogeneous Catalyst for Biodiesel Production. The Scientific World Journal

2013, Article ID 460923.

Cappenberg, H.A.W. 2008. Beberapa Aspek Biologi Kerang Hijau Perna viridis Linnaeus

1758. Oseana, XXXIII, Nomor l, Tahun 2008 : 33-40.

Day, R. A dan Underwood, A. L. 1996. Analisa Kimia Kuantitatif. Erlangga, Jakarta

Fanny, W.A., Subagja, dan Prakoso, T. 2012. Pengembangan Katalis Kalsium Oksida

Untuk Sintesis Biodiesel. Jurnal Teknik Kimia Indonesia, 11 (2) : 66-73.

Gerpen, J.V. 2005. Biodiesel Processing and Production. Fuel Processing Technology 86,

1097-1107.

Hambali, E., Suryani, A., Dadang, Hariyadi, Hanafie, H., Reksowardojo, I., K., Rivai, M.,

Ihsanur, M., Suryadarma, P., Tjitrosemito, S., Soerawidjaja, T., H., Prawitasari, T.,

Prakoso, T., dan Purnama, W. 2006. Jarak Pagar Tanaman Penghasil Biodiesel.

Penebar Swadaya, Jakarta.

Hayyan, A., Alam, Md.Z., Mirghani, M.E.S., Kabbashi, N.A., Hakimi, N.I.N.M, Siran,

Y.M., dan Tahiruddin, S. 2010. Sludge Palm Oil As a Renewable Raw Material For

Biodiesel Production by Two-Step Processes. Bioresourse Technology 101, 7804-

7811.

Ketaren, S. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Universitas Indonesia

Press, Jakarta.

Prihandana, R., Hendroko, R., dan Nuramin, M. 2006. Menghasilkan Biodiesel Murah

Mengatasi Polusi dan Kelangkaan BBM. Agromedia Pustaka, Jakarta.

Sari, Y.M. 2012. Potensi Minyak Kelapa Sawit (CPO) Sebagai Biodiesel Alternatif

Pengganti Solar di Provinsi Riau. Univeritas Riau, Pekanbaru.

Setiabudiningsih. 2004. Penelitian Kerang di Concong Luar Kecamatan Kuinora

Kabupaten Indragiri Hilir. Dinas Kelautan dan Perikanan, Pekanbaru.

Sukardjo. 1990. Kimia Anorganik. Rineka Cipta, Jakarta.