Post on 06-May-2023
OPTIMALISASI USAHA SAPI POTONG PENERIMA KREDIT DI KABUPATEN DONGGALA
PROVINSI SULAWESI TENGAH
DISERTASI
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Doktor
Oleh
RITHA RAHAYU MASHUDIE NIM. 117050100111008
PROGRAM DOKTOR ILMU TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN UNVERSITAS BRAWIJAYA
M A L A N G 2019
iii
IDENTITAS TIM PENGUJI
JUDUL DISERTASI :
OPTIMALISASI USAHA SAPI POTONG PENERIMA KREDIT DI KABUPATEN
DONGGALA PROVINSI SULAWESI TENGAH
Nama Mahasiwa : Ritha Rahayu Mashudie
NIM : 117050100111008
Program Studi : Ilmu Ternak
Minat : Agribisnis Peternakan
KOMISI PROMOTOR
Promotor : Prof. Dr. Ir. Budi Hartono, MS., IPU
Ko-Promotor 1 : Prof. Dr. Ir. Zaenal Fanani, MS
Ko-Promotor 2 : Dr.Ir. Bambang Ali Nugroho, MS, DAA., IPM
TIM DOSEN PENGUJI
Dosen Penguji 1 : Prof.Dr.Ir. Hartutik, MS., IPU
Dosen Penguji 2 : Ir. Hari Dwi Utami, MS.,M Appl.Sc, Ph.D., IPM
Dosen Penguji 3 : Dr. Ir. Hari Nugroho, MS
Dosen Penguji 4 : Prof. Dr. Ir. Sri Hidanah, MS
Tanggal Ujian : 8 Agustus 2019
v
RIWAYAT HIDUP
Ritha Rahayu Mashudie, lahir di Tolitoli tanggal 12 Setember 1960, putri
ketiga dari enam orang bersaudara pasangan ayahanda Mashudie (alm) dan
ibunda Noek Istijah (alm). Pendidikan dasar di SDN No 1 Tolitoli, pendidikan
menengah pertama SMP Negeri Tolitoli, pendidikan menengah atas SMA Negeri
Tolitoli. Pendidikan sarjana di Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin lulus
tahun 1985. Pendidikan Magister Program Studi Ilmu Perencanaan
Pembangunan Wilayah Dan Pedesaan Institut Pertanian Bogor lulus tahun
1994. Pengalaman kerja sebagai staf pengajar Jurusan Peternakan Fakultas
Pertanian Universitas Tadulako pada tahun 1986, pangkat/gol: Pembina Utama
Muda/lVc. Tahun 2011 melanjutkan studi pada Program Doktor Ilmu Ternak
Minat Agribisnis Peternakan Program Pascasarjana Fakultas Peternakan
Universitas Brwijaya Malang.
Malang, 8 Agustus 2019
Mahasiswa
Ritha Rahayu Mashudie
vi
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah segala puji dan syukur ke hadirat Allah SWT atas berkah,
rahmat dan karuniaNya sehingga disertasi dengan judul Optimalisasi Usaha Sapi
Potong Penerima Kredit Di Kabupaten Donggala Provinsi Sulawesi Tengah ini
dapat diselesaikan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor.
Salawat dan salam kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW, beserta
sahabat dan pengikutnya hingga akhir jaman.
Disertasi ini dapat disusun berkat keterlibatan banyak pihak yang telah
memberikan kontribusi berupa sumbangan pemikiran, pendanaan, perijinan, data
dan segala sesuatu yang berkaitan dengan proses penelitian hingga penyusunan
disertasi. Oleh karena itu ungkapan terima kasih yang setinggi-tingginya penulis
sampaikan kepada :
1. Prof. Dr. Ir. Budi Hartono, MS., IPU, Prof. Dr. Ir. Zaenal Fanani, MS,
Dr. Ir. Bambang Ali Nugroho, MS, DAA., IPM sebagai Tim Promotor yang
telah memberikan arahan, bimbingan dan motivasi mulai dari persiapan
hingga penulisan laporan disertasi.
2. Prof.Dr. Ir. Hartutik, MS.,IPU, Ir. Hari Dwi Utami, MS., M Appl.Sc, Ph.D.,IPM,
Dr.Ir. Hari Nugroho, MS dan Prof. Dr. Ir. Sri Hidanah, MS sebagai Tim
Penguji yang banyak memberikan saran dan masukan terhadap disertasi ini.
3. Pemerintah Republik Indonesia cq. Kementerian Riset Teknologi dan
Pendidikan Tinggi yang telah memberikan Beasiswa BPPS untuk studi
program Doktor.
4. Direktorat Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat, Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan
Tinggi yang telah membiayai penelitian ini melalui Hibah Disertasi tahun
2013.
vii
5. Rektor Universitas Tadulako, Dekan Fakultas Peternakan dan Perikanan
Universitas Tadulako, atas izin dan rekomendasi sehingga penulis dapat
melanjutkan studi program doktor di Universitas Brawijaya.
7. Rektor Universitas Brawijaya, Dekan Fakultas Peternakan Universitas
Brawijaya beserta seluruh stafnya penulis menyampaikan ucapan dan terima
kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya atas bantuannya sehingga
penulis dapat mengikuti pendidikan program doktor di Universitas Brawijaya.
8. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Ketua Program Pasca
sarjana Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya beserta seluruh stafnya,
yang banyak membantu penulis dalam menjalakan aktivitas akademik di
Universitas Brawijaya.
9. Ucapan terima kasih kepada kedua orang tua saya Bapak Mashudie
(alm).dan Ibu Noek Istijah (alm) beserta mertua saya Bapak Andi Bau Petta
Werang (alm) dan ibu Dasing atas doa dan restu yang tiada putus
mengiringi setiap langkah kehidupanku. Keempat saudara kandung beserta
keluarga dan anak-anaknya, Kakanda Ernawati Mashudie dan kak Said
Umar, adinda Mike Iriani Mashudie dan Jibran Batalipu, adinda Nuning
Wahyuni Mashudie dan Rahmat Ali, adinda Endang Susilowati Mashudie
beserta seluruh keluarga besar yang senantiasa membantu, memberikan
doa dan dorongan moril sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan
pada program dokor Ilmu Ternak Program Pascasarjana Universitas
Brawijaya, semoga Allah SWT membalas atas segala kebaikannya..Aamiin
YRA.
9. Suami tercinta Andi Alang, keempat putra/putriku tersayang Andi Anugrah
Pratama, Andi Rizki Dwiayu, Andi Tri Kurniasari, Andi Muhammad Agung
beserta menantuku Kartika Septiana dan Tri Bakti Juniarto, cucuku tercinta
viii
Andi Razan Syakirah dan Bilai Bin Bakti, yang selalu mendukung dan tak
henti-hentinya berdoakan mama dalam penyelesaian studi.
10. Teman, sahabat dan keluarga yang selalu memberikan semangat dan
dorongan. Semoga semua amal kebaikkan yang diberikan mendapatkan
balasan dan dicatat sebagai amal jariyah oleh Allah SWT. Penulis
menyampaikan permohonan maaf atas segala kekhilafan dan kesalahan
baik sengaja maupun tidak sengaja yang penulis lakukan selama mengikuti
pendidikan Program Doktor di Universitas Brawijaya. Semoga Allah SWT
yang akan membalas segala amal kebaikan yang telah diberikan kepada
penulis. Semoga laporan penelitian disertasi ini bermanfaat dalam
meningkatkan wawasan keilmuan. Aamiin YRA.
Malang, 8 Agustus 2019
Penulis
Ritha Rahayu Mashudie
ix
RINGKASAN
Ritha Rahayu Mashudie, Program Doktor Ilmu Ternak Program
Pascasarjana Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya. Optimalisasi
Usaha Sapi Potong Penerima Kredit Di Kabupaten Donggala Provinsi
Sulawesi Tengah. Komisi Pembimbing, Ketua : Prof. Dr. Ir. Budi Hartono,
MS., IPU, Anggota : Prof. Dr. Zaenal Fanani, MS dan Dr. Ir. Bambang Ali
Nugroho, MS.DAA., IPM.
Pengembangan agribisnis sapi potong mempunyai peranan yang strategis
dalam pembangunan nasional dimana kontribusi sapi potong merupakan
penyumbang daging nomor dua di Indonesia setelah daging ayam. Namun
demikian, agribisnis sapi potong sebagai suatu sistem bisnis dibidang pertanian
yang menggerakkan perekonomian rakyat di pedesaan belum berkembang
sesuai dengan tujuan pembangunan pertanian.
Konsumsi daging sapi nasional pada tahun 2017 sebesar 7,817 kg per
kapita per tahun dimana kontribusi daging sapi sebesar 0,469 kg per kapita per
tahun atau meningkat sebesar 12,50% dari konsumsi daging sapi per kapita
tahun 2016 sebesar 0,417 kg.(Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan,
2018). Permintaan daging sapi tersebut diperkirakan akan terus meningkat
seiring dengan pertumbuhan ekonomi nasional, meningkatnya kesadaran
masyarakat akan pentingnya protein hewani, pertambahan jumlah penduduk,
dan meningkatnya daya beli masyarakat.
Salah satu faktor yang menentukan keberhasilan pembengunan pertanian.
adalah modal. Upaya untuk meningkatkan modal petani, peningkatan
produktivitas dan pendapatan petani tidak terlepas dari berbagai upaya
peningkatan pelayanan kredit yang diprogramkan pemerintah. Peran kredit yang
strategis dalam pembangunan pertanian dan pedesaan, telah mendorong
pemerintah untuk menjadikannya sebagai momentum kebijakan penting. Kredit
yang berasal dari program pemerintah sejak lama dilakukan untuk mengisi
kesenjangan dana di pedesaan untuk pembangunan pertanian. Salah satu
usaha pemerintah untuk mengatasi permodalan disektor peternakan adalah
memberikan bantuan sapi potong sistem bergulir dengan prosedur dan jaminan
yang lebih sederhana. Pada sistem bergulir peternak memperoleh ternak dari
pemerintah untuk selanjutnya ternak keturunannya disebarkan kembali
(revolving) kepeternak lain.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis solusi optimal usaha sapi potong
terhadap pendapatan petani, jumlah kepemilikan ternak dan kontibusi usaha sapi
potong di Kabupaten Donggala dan menganalisis pengaruh sensitivitas terhadap
pendapatan usahatani dan usaha ternak sapi potong di Kabupaten Donggala.
Pemilihan lokasi penelitian dilakukan dengan Multistage Sampling Method yaitu
penentuan lokasi penelitian yang dilakukan secara bertahap (provinsi,
kabupaten, kecamatan dan desa). Metode yang digunakan adalah metode
x
survai. Analisis data menggunakan analisis Linear Goal Programming (LGP).
Kendala tujuan dalam penelitian ini adalah pendapatan petani, jumlah
kepemilikan ternak, pertambahan bobot badan harian ternak, pemanfaatan
limbah ternak sebagai pupuk, pemanfaatan limbah pertanian sebagai pakan
ternak, luas lahan, modal kerja, tenaga kerja dan kredit sapi potong sistem
bergulir.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa komoditas di wilayah penelitian
adalah padi, kelapa, cengkeh dan sapi potong. Pola usahatani yang
teridentifikasi adalah: 1) padi dan sapi, 2) padi, kelapa dan sapi, 3) kelapa dan
sapi, 4) padi, cengkeh dan sapi. Pola tanam yang berkembang di wilayah
penelitian adalah: (1) padi, padi, (2) kelapa, (3) cengkeh.
Hasil solusi optimal usaha sapi potong, yang memberikan pendapatan
petani terbaik yaitu sebesar Rp 28.199.699 per tahun, jumlah kepemilikan
ternak direkomendasi sebesar 7.84 ST atau meningkat 53,42% per tahun,
pertambahan bobot badan harian ternak yang terbaik sebesar 205,31 kg atau
meningkat 96,66% per tahun. Usaha ternak sapi potong memberikan kontribusi
sebesar Rp 10.543.110 per tahun atau 30,68% terhadap total pendapatan
petani.
Hasil analisis sensitivitas usaha sapi potong yang memberikan
pendapatan tertinggi untuk petani adalah harga usahatani dan usaha ternak
tetap, bantuan ternak sapi potong sistem bergulir 2,00 ST.
xi
SUMMARY
Ritha Rahayu Mashudie, Postgraduate Program, Faculty of Animal
Husbandry Brawijaya University. Optimization of Credit Receiver Cattle
Business in Donggala Regency, Central Sulawesi Province. Supervisi,
Main supervisor : Prof. Dr. Ir. Budi Hartono, MS., IPU, Members: Prof. Dr.
Zaenal Fanani, MS and Dr. Ir. Bambang Ali Nugroho, MS.DAA., IPM.
The development of beef cattle agribusiness has a strategic role in national
development where the contribution of beef cattle is the number two meat
contributor in Indonesia after chicken meat. However, agribusiness of beef cattle
as a business system in agriculture that drives the economy of the people in the
countryside has not developed according to the objectives of agricultural
development.
National beef consumption in 2017 is 7.817 kg per capita per year where
the contribution of beef is 0.469 kg per capita per year or increases by 12.50%
from consumption of beef per capita in 2016 of 0.417 kg. (Animal Statistics and
Animal Health) , 2018). Demand for beef is expected to continue to increase
along with national economic growth, increasing public awareness of the
importance of animal protein, population growth, and increasing public
purchasing power.
One of the factors that determine the success of agricultural development is
capital. Efforts to increase farmer capital, increase productivity and farmer
income are inseparable from various efforts to improve credit services
programmed by the government. The role of strategic credit in agricultural and
rural development has encouraged the government to make it an important policy
momentum. Loans originating from government programs have long been carried
out to fill the funding gap in the countryside for agricultural development. One of
the government's efforts to overcome capital in the livestock sector is to provide
rolling beef cattle assistance with simpler procedures and guarantees than the
regular ones. In a rolling system, farmers get livestock from the government, and
then their offspring are revolved back to other farmers.
This study aimed to analyze the optimal solution of beef cattle business to
farmer's income, number of livestock ownership and contribution of beef cattle
business and analyzed the effect of sensitivity on farm income and beef cattle
business in Donggala Regency.
The location of the study was conducted by Multistage Sampling Method,
which was to determine the location of the study conducted in stages (provinces,
districts, sub-districts and villages). The method used is the survey method. Data
analysis using Linear Goal Programming (LGP) analysis. Goal constraints
in this study were farmers' income, number of livestock ownership, daily livestock
body weight gain, utilization of livestock waste as fertilizer, utilization of
xii
agricultural waste as animal feed, land area, working capital, labor and credit for
rolling cattle.
The results showed that the commodities in the study area were rice,
coconut, cloves and beef cattle. The identified farming patterns are: 1) rice and
cattle, 2) rice, coconut and cattle, 3) coconut and cattle, 4) rice, cloves and cattle.
Cropping patterns that develop in the study area are: (1) rice, rice, (2) coconut,
(3) cloves.
The results of the optimal solution to the highest farmer income were Rp.
28,199,699 per year, recommended number of livestock ownership was 7.84 ST
per year or increased by 53.42%, daily livestock body weight gain was 205.31 kg
per year or an increase of 96.66 %. Beef cattle business contributes Rp
10,543,110 per year or 30.68% to the total income of farmers.
The results of sensitivity analysis of beef cattle business that provide that
gives the highest farmer income for famers are the price of farming business and
permanent livestock business, and the assistance of beef cattle rolling system
2.00 ST.
xiii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ..................................................................................... HALAMAN PENGESAHAN ......................................................................... HALAMAN IDENTITAS PENGUJI ............................................................. PERNYATAAN ORISINALITAS DISERTASI .............................................. RIWAYAT HIDUP ....................................................................................... KATA PENGANTAR ................................................................................... RINGKASAN .............................................................................................. SUMMARY ................................................................................................ DAFTAR ISI ............................................................................................... DAFFTAR TABEL....................................................................................... DAFTAR GAMBAR .....................................................................................
i ii iii iv v vi ix xi xiii
xv xvii
I. II. III. IV.
PENDAHULUAN ....................................................................................
1.1. Latar Belakang ............................................................................
1.2. Perumusan Masalah ...................................................................
1.3. Tujuan Penelitian ........................................................................
1.4. Kegunaan Penelitian ..................................................................
TINJAUAN PUSTAKA ...........................................................................
2.1. Penelitian Terdahulu ..................................................................
2.1.1. Penelitian Optimalisasi Usahatani ...................................
2.1.2. Penelitian Usaha Ternak Sapi Potong .............................
2.1.3. Penelitian Kredit ..............................................................
2.1.4. Penelitian Gaduahan Sapi Potong ..................................
2.2. Landasan Teori ...........................................................................
2.2.1. Optimalisasi dan Kredit ....................................................
2.2.2. Pasar Kredit .....................................................................
2.2.3. Konsep Pengembalian Kredit ..........................................
2.2.4. Modal Kerja .....................................................................
2.2.5. Linear Goal Programming ...............................................
2.2.6. Analisis Sensitivitas .........................................................
KERANGKA KONSEP PENELITIAN ....................................................
METODE PENELITIAN .........................................................................
4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian .........................................................
4.2. Metode Penelitian .........................................................................
4.3. Populasi dan Teknik Penentuan Responden ................................
4.4. Jenis dan Metode Pengambilan Data ...........................................
4.4.1. Jenis dan Sumber Data ......................................................
4.4.2. Metode Pengambilan dan Pengukuran Data .....................
4.5. Analisis Data ................................................................................ ......... 52
4.5.1. Analisis Linear Goal Programming ............................................... 52
1
1
7
8
9
10
10
10
12
13
18
21
21
24
26
28
30
38
40
47
47
47
48
51
51
52
53
53
xiv
V.
VI
4.5.2. Analisis Sensitivitas ................................................................... 61
4.6. Definisi Operasional Variabel dan Batasan Istilah ..........................
HASIL DAN PEMBAHASAN ....................................................................... 68
5.1. Deskripsi Daerah Penelitian .................................................................. 68
5.1.1. Letak dan Keadaan Geografis .................................................... 68
5.1.2. Kependudukan ........................................................................... 68
5.1.3. Pertanian ................................................................................... 72
5.1.4. Peternakan ................................................................................. 80
5.2. Kredit Sapi Potong Sistem Bergulir ....................................................... 84
5.3. Karakteristik Petani Responden ............................................................ 87
5.4. Komoditi Usahatani ............................................................................... 101
5.5. Pola Tanam ........................................................................................... 103
5.6. Karagaan Pola Usahatani ...................................................................... 104
5.7. Pola Usaha Ternak Sapi Potong ........................................................... 108
5.8. Aspek Permodalan ................................................................................ 113
5.9. Analisis Optimalisasi UsahaTernak Sapi Potong .................................. 115
5.9.1. Peubah Yang Diamati .................................................................. 115
5.9.2. Model Matematis Linear Goal Programming ................................. 115
5.10. Penyelesaian Optimalisasi Linear Goal Programing ............................ 127
5.10.1. Penyelesaian Optimalisasi Usaha Sapi Potong ...................... 127
5.10.2. Pencapaian Kendala Tujuan Usaha Sapi Potong ...................... 129
5.10.3. Pencapaian Tujuan Usahatani Adanya Perubahan
Skenario ..................................................................................... 130
5.10.4. Hasil Solusi Optimal Pendapatan ............................................. 135
5.10.5. Hasil Solusi Optimal Jumlah Pemilikan Ternak ...............
5.10.6. Hasil Solusi Optimal Pertambahan Bobot
Badan Harian Ternak........................................................
5.10.7. Hasil Solusi Optimal Pemanfaatan Kotoran
Ternak Sebagai Pupuk ..................... .............................
5.10.8. Hasil Solusi Optimal Pemanfaatan
Limbah Pertanian Sebagai Pakan Ternak .......................
5.10.9. Hasil Solusi Optimal Luas Lahan.. ...................................
5.10.10. Hasil Solusi Optimal Modal Kerja .....................................
5.10.11. Hasil Solusi Optimal Tenaga Kerja... ..............................
5.10.12. Hasil solusi Optimal Kredit Sapi Potong
Sistem Bergulir ...............................................................
5.11. Hasil Optimal Penggunan Sumberdaya ............................................... 165
5.12. Analisis Sensitivitas .............................................................................. 168
KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................................ 172
5.1. Kesimpulan ....................................................................................... 172
5.2. Saran ................................................................................................ 172
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 174
LAMPIRAN ............................................................................................
62
63
69
69
69
70
73
81
85
88
102
104
106
110
114
116
116
116
128
128
131
134
139
147
151
153
156
159
162
165
167
169
172
176
176
176
178 186
xv
DAFTAR TABEL
Tabel Teks Halaman
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
Kendala tujuan dalam pencapaian tujuan
optimal pada usaha sapi potong ....................................................................
Jenis-jenis kendala tujuan .............................................................................. 34
Tabel awal Linear Goal Programming (LGP) .................................................. 38
Variabel keputusan,kendala tujuan, kendala fungsional dan satuan Linear Goal Programming usaha sapi potong ....................
Ringkasan fungsi tujuan dan kendala tujuan pada Linear Goal Programming (LGP) ............................................
Matriks data untuk Linear Goal Programming (LGP) ...................................... Luas daerah, jumlah penduduk dan kepadatan penduduk menurut kecamatan Kabupaten Donggala tahun 2017 ................. Luas panen (Ha) produksi (Ton) padi menurut desa di Kecamatan Dampelas tahun 2015 ................................................... Rumah tangga usaha pertanian menurut kecamatan dan sub sektor yang diusahakan Kabupaten Donggala .................................. 74 Luas panen (Ha) dan produksi (Ton) padi menurut desa Di Kecamatan Dampelas tahun 2015 ............................................................ 75 Rumah tangga usaha perkebunan menurut kecamatan dan sub sektor yang diusahakan Kabupaten Donggala ....................... ................. 76 Luas kawasan perkebunan berdasarkan kecamatan Kabupaten Donggala ..................................................................................... 77 Luas tanaman perkebunan rakyat menurut desa di Kecamatan Dampelas tahun 2015 (Ha) .......................... ............................. 78
Luas lahan keringdi Kecamatan Dampelas 2017(Ha) ....................
Rumah tangga usaha peternakan sapi potong menurut
Kecamatan Kabupaten Donggala tahun 2013........... ...................................... 82
Karakteristik responden ................................................................................. 88 Biaya, penerimaan dan keuntungan usahatani padi ....................................... 98 Biaya, penerimaan dan keuntungan usaha kebun kelapa ............................. 99
21
33
37
60
61
62
70
74
75
76
77
78
79
81
84
89
99
100
xvi
19.
20.
21. 22.
23. 24.
25.
26.
27. 28. 29. 30 31. 32.
33. 34 35. 36. 37.
38.
Biaya,penerimaan dan keuntungan usaha kebun cengkeh ..............
9 Biaya, penerimaan dan keuntungan usaha ternak sapi
potong ........................................................................................................... 100 Komponen pendapatan responden ................................................................ 101
Pendapatan responden dari usahatani dan usaha ternak ................
1 Rataan kepemilikan ternak berdasarkan kelompok umur .............................. 117
Jumlah kepemilikan ternak ............................................................................. 117
Pertambahan bobot badan harian ternak ....................................................... 118
Pemanfaatan limbah kotoran tenak sebagai pupuk ....................................... 120
Pemanfaatan limbah pertanian sebagai pakan ternak .................................... 122
Luas lahan .................................................................................................... 123
Modal kerja .................................................................................................... 124
Tenaga kerja ...................................................................................
Kredit sapi potong sistem bergulir ................................................... Solusi optimal usahatani dan usaha ternak sapi potong ................. Pencapaian kendala tujuan usaha ternak sapi potong .................. Solusi optimal yang direkomendasikan pada variabel keputusan adanya skenario perubahan .......................................................... Solusi optimal direkomendasikan pada kendala tujuan adanya skenario perubahan kredit sapi potong.................. ............................ 133 Solusi optimal direkomendasikan pada kendala tujuan adanya skenario perubahan ........................................................... Hasil analisis sensitivitas aktivitas produksi usaha sapi potong ..................... 169 Hasil analisis sensitivitas skenario perubahan usaha sapi potong .................................................................................................
100
101
102
117
118
119
120
122
124
125
126
127
128
130
133
135
137
138
173
174
xvii
DAFTAR GAMBAR
Gambar Teks Halaman
1. 2. 3. 4.. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
Pengaruh penambahan modal pada fungsi produksi ..................................... Skema kemitraan dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Kabupaten Donggala dengan kelompok peternak ............................... ........... 44 Kerangka pikir penelitian ................................................................................ 46
Penduduk menurut kelompok umur dan jenis kelamin Kabupaten Donggala ............................................................................ .......... 70 Kawasan budidaya menurut jenis penggunaannya tahun 2013 .................................................................................................... Populasi ternak sapi potong Kabupaten Donggala tahun 2012-1016 ........................................................................................ 81 Pemotongan ternak sapi potong tahun 2012-2016 ......................................... 83 Pendapatan petani padi pada kondisi aktual dan hasil optimasi ............................................................................................... 136 umlah kepemilikan ternak pada kondisi aktual dan hasil optimal ................................................................................................ 144 Pertambahan berat badan harian ternak pada kondisi aktual dan hasil optimal .............................................................................. 148 Pemanfaatan limbah kotoran ternak sebagai pupuk pada kondisi aktual dan hasil optimal ............................................................ Pemanfaatan limbah pertanian sebagai pakan ternak pada kondisi aktual dan hasil optimal .......................................................... 154 Luas lahan pada kondisi aktual dan hasil optimal ........................................ 157
26 43 45 71 80 83 84 140 148 152 154 158 161
1
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Tujuan pembangunan peternakan adalah untuk meningkatkan kualitas
kebijakan dan program yang mengarah pada pemanfaatan sumber daya lokal,
membangun peternakan yang berdaya saing dan berkelanjutan serta
membangun sistem peternakan yang mampu memenuhi kebutuhan terhadap
produk peternakan dan mensejahterakan peternak. Tujuan khusus program
pembangunan peternakan diarahkan untuk mengembangkan usaha budidaya
dalam rangka meningkatkan kuantitas dan kualitas bibit ternak, meningkatkan
populasi, produktivitas, produksi ternak, dan meningkatkan pelayanan prima
pada masyarakat peternakan. Permasalahan yang dihadapi saat ini adalah
produksi daging sapi belum meningkat secara nyata, proses produksi masih
bergantung pada produk impor, produksi susu masih jauh dari harapan,
penanganan penyakit hewan menular strategis belum optimal dan masih
rendahnya jaminan keamanan pangan asal ternak (Bahri, 2008).
Pertumbuhan ekonomi di Indonesia berpengaruh terhadap permintaan dan
konsumsi daging sapi, dapat dilihat dari konsumsi daging sapi nasional sebesar
411.000 ton pada tahun 2008 meningkat menjadi 441.000 ton pada tahun 2010
dengan pertumbuhan 4,71 %, pemerintah memproyeksikan tingkat konsumsi
daging dapat dicukupi dari produksi lokal pada tahun 2014, sementara produksi
daging sapi nasional pada tahun yang sama hanya mencapai 339.479,53 ton
setara dengan 1,14 juta ekor sapi (Dirjen Bina Produksi Peternakan, 2009).
Berarti masih terdapat kekurangan 101,52 ribu ton. sehingga kebutuhan daging
di Indonesia mencapai 799.822 ton dengan rata-rata tingkat pertumbuhan
konsumsi 1,49 %/tahun (Deptan, 2009). Peningkatan produksi daging sapi
2
potong pada tahun 2014 diperkirakan sebesar 541.000 ton dengan rata-rata
pertumbuhan 7,3 %. Konsumsi daging sapi nasional pada tahun 2017 sebesar
7,817 kg per kapita per tahun dimana kontribusi daging sapi sebesar 0,469 kg
per kapita per tahun atau meningkat sebesar 12,50% dari konsumsi daging sapi
per kapita tahun 2016 sebesar 0,417 kg.(Statistik Peternakan dan Kesehatan
Hewan, 2018). Permintaan daging sapi tersebut diperkirakan akan terus
meningkat seiring dengan pertumbuhan ekonomi nasional, meningkatnya
kesadaran masyarakat akan pentingnya protein hewani, pertambahan jumlah
penduduk, dan meningkatnya daya beli masyarakat.
Pengembangan agribisnis sapi potong mempunyai peranan yang strategis
dalam pembangunan nasional dimana kontribusi sapi potong merupakan
penyumbang daging nomor dua di Indonesia setelah daging ayam. Namun
demikian, agribisnis sapi potong sebagai suatu sistem bisnis dibidang pertanian
yang menggerakkan perekonomian rakyat di pedesaan belum berkembang
sesuai dengan tujuan pembangunan pertanian.
Kebutuhan hajat hidup masyarakat selain pangan (daging sapi) juga
kebutuhan energi. Upaya dalam memenuhi kedua kebutuhan tersebut dapat
disinergikan, karena kotoran ternak yang dihasilkan dari usaha peternakan dapat
dikelola/diproses menjadi sumber energi yang ramah lingkungan. Kotoran yang
dihasilkan dari 4 ekor sapi dapat diproses menjadi gas bio yang dapat mencukupi
kebutuhan energi satu rumah tangga terdiri dari 4-5 jiwa (Muryanto dkk, 2011).
Upaya yang ditempuh dalam rangka memenuhi kebutuhan pangan
(daging) adalah penyediaan investasi yang mampu mendorong pelaku usaha
untuk begerak dibidang usaha peternakan sapi baik untuk penggemukan
maupun perbibitan serta mendorong peternak memanfaatkan kotoran untuk
dijadikan pupuk dan biogas. Penyediaan investasi ini melibatkan pemerintah
3
dengan memberikan bantuan sistem bergulir maupun bentuk kredit program
lainnya dengan prosedur dan jaminan yang lebih sederhana.
Provinsi Sulawesi Tengah merupakan salah satu daerah yang menjadi
prioritas wilayah pengembangan sapi potong dengan sistem kawin alam. Hal ini
di dasarkan atas pertimbangan bahwa Sulawesi Tengah mempunyai potensi
untuk pengembangan sapi potong dengan kondisi populasi ternak sapi yang
cukup besar dan daya dukung lahan untuk pakan yang luas, serta pola budidaya,
faktor geografis dan sumberdaya manusia yang memenuhi kriteria yang telah
ditetapkan oleh pemerintah pusat. Secara administrasi Sulawesi Tengah
mempunyai luas wilayah sebesar 61.841,29 Km2, atau sekitar 6 juta Ha dan
jumlah penduduk 2.921.715 jiwa atau 677.382 KK dengan kepadatan penduduk
sebesar 46 jiwa/Km2. Sebagian besar penduduknya (70,35 %) tinggal dan
tersebar di pedesaan, mata pencarian penduduknya sebagian besar (671.661
jiwa atau 59,35 %) adalah sebagai petani (Badan Pusat Statistik Provinsi
Sulawesi Tengah, 2017).
Populasi ternak sapi potong Provinsi Sulawesi Tengah dalam 5 tahun
terakhir (2013– 2017) terjadi peningkatan. Pada tahun 2013 populasi ternak
sapi potong 249.990 ekor, tahun 2014 naik sebesar 17,23 % menjadi, 262.854
ekor, selanjutnya tahun 2015 populasi ternak sapi potong naik sebesar 299.485
ekor (21,81%), di tahun 2016 terjadi kenaikkan sebesar 22,40 % menjadi
320.637 ekor dan ditahun 2017 terjadi kenaikkan sebesar 22,93 % menjadi
353.486 ekor. Pemotongan ternak sapi potong tahun 2017 sebesar 30.844 ekor,
pemasukkan ternak sapi potong tahun 2017 sebesar 16.671 ekor, pengeluaran
ternak sapi potong tahun 2017 sebesar 11.173 ekor dan produksi daging sapi
tahun 2017 sebesar 4541,64 ton. Lahan kering Provinsi Sulawesi Tengah 2017
seluas 6651,93 ha dengan luas padang penggembalaan/padang rumput 84,19
ha (BPS Provinsi Sulawesi Tengah, 2018).
4
Provinsi Sulawesi Tengah merupakan suatu kawasan lahan kering dataran
rendah yang potensial untuk pengembangan usaha peternakan. Syafruddin dkk.
(2003), bahwa dengan curah hujan rendah, kelembaban udara rendah, suhu
udara tinggi, tingkat penyinaran yang tinggi, menyebabkan Sulawesi Tengah
merupakan salah satu kawasan yang mempunyai prospek penting untuk
pengembangan ternak sapi potong, Usaha peternakan yang cukup potensial dan
berkembang mendominasi adalah ternak ruminansia besar, kecil dan ternak
unggas. Untuk menunjang, maka prioritas utama dengan melihat ketersediaan
lahan diwilayah pengembangan, luas lahan atau sumber daya alam (SDA) yang
ada di Sulawesi Tengah.
Beberapa permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan sapi potong
di Provinsi Sulawesi Tengah adalah masih rendahnya sumberdaya peternak,
terbatasnya modal dan lembaga keuangan, lemahnya organisasi/kelembagaan
peternak, serta kebijakan pemerintah tidak konsisten. Kondisi tersebut
menyebabkan produktivitas sapi potong dan pendapatan peternak masih rendah
sehingga agribisnis sapi potong tidak berkembang.
Program peningkatan populasi dan produktivitas ternak sapi potong di
Sulawesi Tengah seyogyanya harus diikuti dengan program peningkatan pakan.
Namun pada kondisi peternakan sapi potong rakyat, penyediaan pakan sering
mendapatkan hambatan berupa : (1) kurangnya pengetahuan petani/peternak
mengenai peranan hijauan unggul terhadap produktivitas sapi, 2) kurangnya
akses informasi dan kesempatan untuk mendapatkan bibit hijauan unggul; 3)
kurangnya lahan untuk penanaman hijauan unggul, 4) kondisi lingkungan lokal
yang kurang menguntungkan untuk pertumbuhan hijauan, 5) kesulitan sumber
pakan konsentrat yang berkualitas. Pengetahuan peternak yang relatif rendah
menyebabkan ketergantungan peternak pada pakan hijauan segar sebagai
5
sumber pakan utama ternak sapi potong. Hal ini menjadi masalah bagi peternak
terutama pada musim kemarau dimana hijauan kurang tersedia. Selain itu
produksi hijauan padang penggembalaan pada umumnya relatif rendah baik
kuantitas maupun kualitasnya, sehingga kebutuhan gizi baik untuk produksi
maupun reproduksi ternak tidak terpenuhi. Sementara peternak tidak dapat
memanfaatkan limbah pertanian yang berlimpah pada saat panen untuk diolah
menjadi sumber pakan yang bergizi.
Langkah strategis untuk mengatasi hambatan tersebut dengan
menerapkan konsep feed budgetting secara akurat, perawatan hijauan yang ada,
penanaman hijauan unggul, pengawetan dan penyimpanan hijauan pada musim
surplus pakan, pengintegrasian sapi dengan tanaman pangan/perkebunan.
Penggalian potensi pakan lokal baik yang bersumber dari limbah
pertanian/perkebunan, industri dengan membuat tepung ikan atau membuat
pakan komplit juga harus dilakukan. Pertambahan bobot badan harian sapi yang
mendapatkan rumput lapang, rumput gajah, jerami jagung rendah dan dapat
ditingkatkan dengan penambahan pakan yang mengandung protein tinggi
(Marsetyo, 2008).
Kurangnya lembaga keuangan yang khusus memberikan bantuan kredit
untuk pengembangan sapi potong menyebabkan peternak kesulitan untuk
mengembangkan usahanya, jauhnya lokasi dan adanya persyaratan administrasi
dan jaminan yang ditetapkan oleh pihak bank atau lembaga keuangan juga
menyebabkan peternak mengalami kesulitan untuk mengakses ke lembaga
keuangan tersebut. . Kecilnya jumlah penyaluran kredit di sub sektor peternakan
disebabkan antara lain karena : 1) tingkat resiko usaha yang lebih tinggi
dibanding usaha lain, 2) investasi yang dibutuhkan relatif lebih besar, 3)
pengembalian modal cukup lama dan 4) budidaya peternakan masih dilakukan
secara tradisional sehingga produktivitas sangat rendah.
6
Modal merupakan faktor yang menentukan keberhasilan pembengunan
pertanian. Upaya untuk meningkatkan modal petani, peningkatan produktivitas
dan pendapatan petani tidak terlepas dari berbagai upaya peningkatan
pelayanan kredit yang diprogramkan pemerintah. Peran kredit yang strategis
dalam pembangunan pertanian dan pedesaan, telah mendorong pemerintah
untuk menjadikannya sebagai momentum kebijakan penting. Kredit yang berasal
dari program pemerintah sejak lama dilakukan untuk mengisi kesenjangan dana
di pedesaan untuk pembangunan pertanian.
Dalam rangka ahli teknologi dan membantu permodalan dalam usaha
pengembangan sapi potong oleh pemerintah dikembangkan pola kemitraan yang
melibatkan pemerintah sebagai pemodal dan peternak sebagai pelaksana. Pola
kemitraan atau kerjasama dalam suatu usaha telah lama dilaksanakan pada
kelompok petani peternak. Pola kemitraan antara pemerintah dengan peternak
yaitu dengan penyebaran ternak pemerintah kepada peternak melalui sistem
bergulir khususnya untuk ternak sapi potong, kerbau, domba dan kambing. Pada
sistem bergulir peternak penggaduh memperoleh ternak dari pemerintah untuk
selanjutnya ternak keturunannya disebarkan kembali (revolving) kepeternak lain.
Kabupaten Donggala dengan luas wiayah 5.275,69 Km2 terbagi menjadi
16 kecamatan. Jumlah penduduk 296.380 jiwa dan laju pertumbuhan penduduk
selama tahun 2015 – 2016 sebesar 0,90 % dengan tingkat kepadatan penduduk
mencapai 56 jiwa/km2. Luas padang penggembalaan 1.920 ha. Kebun hijauan
makanan ternak 47 ha dengan jumlah rumah tangga pemeliharaan ternak sapi
potong sebanyak 8.858. Populasi ternak sapi potong tahun 2017 berjumlah
42.217 ekor. Pemotongan ternak sapi tahun 2017 sebanyak 4.032 ekor
(Kabupaten Donggala Dalam Angka, 2018). Produksi daging tahun 2014
sebesar 352.216 kg (Kabupaten Donggala Dalam Angka, 2015).
7
Umumya usaha sapi di wilayah penelitian adalah usaha sambilan dengan
skala pemeliharaan rata-rata 3-5 ekor dalam suatu keluarga. Hal ini seringkali
menyebabkan pendapatan yang dihasilkan petani pun menjadi kurang optimal.
Rendahnya skala kepemilikan sapi potong karena keterbatasan modal yang
dimiliki petani untuk berinvestasi di bidang peternakan.
Kecamatan Dampelas adalah salah satu kecamatan di Kabupaten
Donggala dengan jumlah rumah tangga pemelihara ternak sapi potong sebanyak
2133 kepala keluarga (Statitik Pertanian, 2013). Populasi sapi potong setiap
tahunnya mengalami peningkatan yaitu sejak tahun 2013-2017. Jumlah ternak
sapi potong tahun 2013 sebanyak 7.396 ekor (18,55%), di tahun 2014 meningkat
19,18% menjadi 7651 ekor, tahun 2015 meningkat 19,86% menjadi 7923 ekor,
tahun 2016 meningkat 21,05% menjadi 8393 ekor dan tahun 2017 meningkat
21,36% berjumlah 8522 ekor (Kecamatan Dampelas Dalam Angka, 2018) dan
sejak tahun 2014 telah melakukan program pencapaian swasembada
daging/kerbau.
Salah satu usaha pemerintah untuk mengatasi permodalan disektor
peternakan adalah memberikan bantuan sapi potong sistem bergulir (gaduhan)
dengan prosedur dan jaminan yang lebih sederhana. Berdasarkan latar belakang
maka tantangan kedepan adalah bagaimana memberdayakan peternak sapi
potong di Kabupaten Donggala melalui program bantuan sapi potong sistem
bergulir sehingga dapat meningkatkan produktivitas dan nilai tambah usaha
ternak sapi potong. Untuk menilai seberapa besar pemanfaatan usaha sapi
potong sistem bergulir maka perlu dilakukan suatu penelitian tentang optimalisasi
usaha sapi potong penerima bantuan sapi potong sistem bergulir di Kabupaten
Donggala Provinsi Sulawesi Tengah.
8
I.2. Perumusan Masalah
Kabupaten Donggala merupakan salah satu wilayah usaha peternakan
sapi potong dengan populasi 42.217 ekor tahun 2017. Ternak sapi potong
berpeluang untuk dikembangkan seiring dengan pertambahan penduduk dan
meningkatnya konsumsi protein hewani. Disamping untuk memenuhi kebutuhan
daging di Provinsi Sulawesi Tengah, pengembangan ternak sapi potong
berpeluang untuk memenuhi kebutuhan daging di Pulau Kalimantan.
Pengembangan ternak sapi potong di wilayah ini tidak semata-mata
sebagai sumber pendapatan tetapi juga berperan dalam penyerapan tenaga
kerja. Usaha sapi potong dihadapkan pada masalah keterbatasan modal. Rata-
rata kepemilkan ternak sapi potong berkisar 1 – 9 ekor dengan pemeliharaan
secara tradisional. Rendahnya tingkat pemilikan modal merupakan salah satu
kendala dalam usaha sapi potong . Salah satu upaya pemerintah Kabupaten
Donggala untuk mengatasi masalah permodalan yaitu dengan sistem
pembiayaan kredit program disektor pertanian adalah dengan memberikan
bantuan langsung (grant) dan bersifat bergulir, sistem ini menjadi pilihan menarik
bagi petani dalam rangka untuk meningkatkan skala usaha. Pada jenis bantuan
langsung (grant) dan bersifat bergulir petani dibantu modal secara penuh tanpa
ada beban resiko untuk mengembalikan hutang sehingga petani lebih tenang
dalam berusahatani, selain itu jika dikelola dengan baik maka ada potensi bagi
petani/kelompok tani untuk pembentukan modal sehingga bisa mandiri dan tidak
lagi memerlukan bantuan modal dimasa mendatang. Pada bantuan sapi potong
sistem bergulir pemerintah memberikan ternak sapi kepada kelompok peternak,
Peternak tidak mengembalikan dalam bentuk uang melainkan hewan ternak
yang akan digulirkan kepada peternak lainnya. Bantuan sapi potong dengan
sistem bergulir diharapkan mampu mempercepat peningkatan populasi dan
9
produksi ternak ruminansia besar melalui program swasembada sapi dengan
Upsus Siwab mulai tahun 2017.
Berdasarkan uraian diatas maka permasalahan dalam penelitian ini sebagai
berikut:
1. Bagaimana solusi optimal usaha sapi potong terhadap pendapatan, jumlah
kepemilikan ternak dan kontibusi usaha sapi potong di Kabupaten Donggala.
2. Bagaimana pengaruh analisis sensitivitas terhadap pendapatan usahatani
dan usaha sapi potong di Kabupaten Donggala.
1.3. Tujuan Penelitian :
Tujuan penelitian dapatkan dirumuskan sebagai berikut :
1. Menganalisis solusi optimal usaha sapi potong terdapap pendapatan jumlah
kepemilikan ternak dan kontibusi usaha sapi potong di Kabupaten Donggala.
2. Menganalisis pengaruh sensitivitas terhadap pendapatan usahatani dan usaha
ternak sapi potong di Kabupaten Donggala.
1.4. Kegunaan Penelitian
Kegunaan yang diperoleh dari penelitian ini adalah :
1. Sebagai masukan bagi penentu kebijakan program kredit sapi potong.
2. Sebagai referensi bagi peminat ilmu yang ingin mengkaji bidang peternakan
dan hubungannya dengan program kredit sapi potong.
3. Sebagai sumber informasi dan pengetahuan bagi peternak peserta perguliran
ternak sapi potong sehingga program dapat terlaksana dengan baik.
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Penelitian Terdahulu
2.1.1. Penelitian Optimalisasi Usahatani
Hasil penelitian Marzuki (2005) tentang analisis perancangan optimasi
usaha pada petani peternak sapi perah rakyat KTT Sedyo Mulyo desa
Hargobrinangun Kecamatan Pakem Kabupaten Sleman, bahwa perbandingan
kondisi usaha ternak sapi perah dan usahatani tanaman salak pondoh sebelum
dan sesudah optimasi menunjukan adanya peningkatan penerimaan,
pendapatan dan biaya produksi. Kombinasi optimal penggunaan sumberdaya
dalam usaha ternak-tanaman ini dapat memberikan kontribusi secara positif. Hal
ini berarti usahatani salak pondoh tidak efisien untuk meningkatkan pendapatan
peternak. Beberapa faktor yang mempengaruhi tidak efektifnya usahatani
tanaman salak pondoh ini dijalankan antara lain: pengalaman bertanam yang
rendah, kepemilikan tanaman salak pondoh yang relatif sedikit, tatalaksana
pemeliharaan tanaman tidak dilakukan dengan sempurna, serta pola pikir petani
yang menganggap usahatani ini merupakan usaha sambilan yang tidak perlu
dikembangkan.
Penelitian yang dilakukan Khandari (2015) tentang optimalisasi integrasi
usahatani tanaman ternak di Desa Petir Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor
menunjukkan bahwa sumberdaya yang dimiliki petani memungkinkan untuk
melakukan usahatani tanaman dan tenak secara terintegrasi. Keterbatasan
sumberdaya yang dimiliki petani akan membatasi alokasi sumberdaya guna
memperoleh pendapatan yang optimal, penerapan integrasi usahatani tanaman-
ternak sangat tergantung terhadap pendapatan petani. Dilokasi petani hanya
memiliki lahan di bawah 0.5 hektar, sehingga pendapatan dari pertanian
11
cenderung tidak mampu memenuhi kebutuhan keluarga petani. Selain itu
terdapat beberapa jenis tanaman yang rutin ditanam, maka dibangun dua
skenario untuk mengakomodir kondisi tersebut, khususnya pada model integrasi.
Pada skenario pertama (Skenario 1), tanpa adanya keterlibatan padi dan
singkong dalam model integrasi, maka jenis tanaman yang diusahakan adalah
diverisifikasi antara bengkuang seluas 2 362 m2 dan kacang panjang seluas 98
m2, serta mengusahakan domba pada setiap musim sesuai kapasitas kandang
yang dimiliki. Penerapan Skenario 1 memperoleh pendapatan lebih tinggi
sebesar 10.81 persen dibandingkan model tanpa integrasi. Sedangkan skenario
kedua (Skenario 2) dengan keharusan ubi jalar ditanam pada musim pertama
dan tanpa melibatkan padi dan singkong, diperoleh bahwa jenis usaha yang
diusahakan adalah ubi jalar dan bengkuang dengan pola tanam ubi jalar-
bengkuang-bengkuang, serta mengusahakan domba pada setiap musim sesuai
kapasitas kandang yang dimiliki. Penerapan skenario kedua (S2) memperoleh
pendapatan lebih tinggi sebesar 8.04 persen dibandingkan model tanpa
integrasi.
Hasil penelitian Indrayani dan Hellyward (2015), bahwa total produksi
yang dicapai peternak untuk setiap satu ekor induk yang dipelihara rata-
rata sebesar 1,7 ekor anak sapi/3tahun/ sehingga pendapatan yang
diperoleh oleh peternak sapi di Kecamatan Koto Besar sebesar Rp.
4.154.792/ 3 tahun pemeliharaan. Produksi optimal yang bisa dicapai oleh
Peternak untuk setiap satu ekor induk yang dipelihara adalah sebesar
2,33 ekor anak sapi selama 3 tahun pemeliharaan, sehingga didapatkan
pendapatan maksimal yang dicapai pada produksi optimal yaitu sebesar
Rp. 8.412.202,-
12
2.1.2. Penelitian Usaha Ternak Sapi Potong
Yusdja dan Winarsoh (2009), bahwa Faktor penghambat utama bagi
pengembangan peternakan rakyat adalah ketersediaan hijauan makanan ternak
dan butiran. Indonesia memproduksi hijauan makanan ternak untuk ruminansia
secara berlimpah dan tersebar diseluruh wilayah, namun sebagian besar
terbuang. Pada sisi lain peternak membutuhkan tenaga kerja untuk mencari
hijauan makanan ternak. Peternak tidak mempunyai modal untuk membayar
tenaga upahan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan skala usaha
melebihi kemampuan ketersediaanya tenaga kerja membuat usaha tidak efisien.
Faktor penghambat kedua adalah teknologi bibit. Hampir semua jenis ternak
tidak mendapatkan sentuhan teknologi pembibitan yang intensif. Mutu ternak
semakin buruk karena ternak yang baik selalu terpilih untuk dipotong. Hambatan
lain bahwa peternak rakyat tidak mempunyai intensif nyata dalam mengadopsi
teknologi baru karena pemanfaatan teknologi baru selalu disertai dengan
peningkatan biaya dan perbaikan manajemen.
Beberapa faktor yang sangat mempengaruhi produksi usaha pemeliharaan
sapi potong yakni jenis bangsa sapi, umur, penyediaan makanan, baik hijauan
maupun konsentrat, penanggulangan penyakit, manajemen, dan penanganan
setelah produksi (pasca panen). Faktor-faktor tersebut sangat penting dan saling
mempengaruhi dalam memperoleh keuntungan, bangsa sapi yang dipelihara
biasanya bervariasi tergantung dari tersedianya ternak di daerah, sedangkan
umur sebaiknya yang masih muda dan bisa berproduksi. Penyakit sapi walaupun
bukan merupakan masalah yang sering dijumpai dalam usaha peternakan sapi
perlu diperhatikan dengan cermat, karena penyakit pada sapi dapat menurunkan
produksi bahkan dapat mengakibatkan kematian sehingga bisa menimbulkan
kerugian yang sangat besar dalam usaha ternak.
13
Hasil penelitian Sodiq dkk. (2017) menyatakan bahwa pada sistem
produksi usaha peternakan sapi potong sudah memanfaatkan sumber daya
pakan lokal dan sebagian besar memelihara bangsa-bangsa lokal (Sapi PO dan
SO) dengan menerapkan integrasi antara usaha peternakan dan pertanian yang
saling menguntungkan. Keterkaitan usaha peternakan sapi potong dengan
tanaman padi pada sistem tersebut adalah limbah tanaman padi (berupa jerami
padi) langsung digunakan untuk pakan sapi, sedangkan kotoran ternak
dikembalikan ke sawah sebagai pupuk tanaman padi.
2.1.3. Penelitian Kredit
Hasil penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya
jumlah kredit rumah tangga di Indonesia, diantaranya dilakukan oleh Murdi
(2004) tentang kredit program dan non program serta jenis kredit informal. Data
yang digunakan dikumpulkan dari hasil survey menggunakan kuesioner terhadap
lebih dari 400 sampel, terutama rumah tangga di daerah pedesaan Jambi.
Berdasarkan hasil penelitiannya menemukan bahwa jumlah kredit yang diterima
nasabah rumah tangga kredit program dipengaruhi oleh beberapa faktor penting
meliputi : tingkat suku bunga, besaran biaya transaksi, jangka waktu
pengembalian kredit nilai dan jenis anggunan, luas lahan yang digarap, luas
kepemilikan, jenis pekerjaan dan pengalaman mengambil kredit pada periode
sebelumnya. Sebaliknya pada kasus kredit informal, jumlah kredit yang diterima
rumah tangga dipengaruhi variabel suku bunga, jangka waktu pengembalian,
luas lahan yang digarap, jumlah kredit program dan non program yang diterima,
luas kepemilikan lahan, jenis pekerjaan dan pengalaman kredit pada periode
sebelumnya.
Hasil penelitian Wibowo dan Haryadi (2006) menunjukkan bahwa rata-
rata sikap peternak di kelompok ternak meragukan keberhasilan dari program
14
kredit sapi potong. Hal ini dikarenakan sebagian peternak merasa terbebani
dengan persyaratan kredit yang dirasa cukup berat apabila bantuan tersebut
diterima oleh peternak. Sebanyak 55% peternak bersikap raguragu terhadap
pernyataan bahwa program bantuan kredit sapi potong ini mudah dimengerti dan
dilaksanakan. Sebanyak 50% bersikap setuju, sebanyak 50% peternak bersikap
ragu-ragu terhadap pernyataan bahwa program bantuan kredit sapi potong ini
tidak bertentangan dengan adat dan kepercayaan/ agama. Walaupun program
bantuan kredit ini cukup mudah dimengerti dan dilaksanakan dan sebanyak 50%
peternak setuju bahwa bantuan kredit dari PT Telkom ini tidak bertentangan
dengan adat dan kepercayaan/agama di masyarakat, akan tetapi tetap saja
belum sesuai dengan keinginan para peternak. Hal ini dapat ditunjukkan bahwa
sebanyak 12,5% peternak bersikap setuju, 42,5% bersikap ragu-ragu, sebanyak
40% peternak bersikap tidak setuju dan sebanyak 5% peternak bersikap sangat
tidak setuju terhadap pernyataan tersebut. Sebanyak 77,5% bersikap ragu-ragu
terhadap pernyataan bahwa prosedur pemberian kredit sapi potong seperti ini
membutuhkan waktu yang lama dan berbelit-belit.
Hasil penelitian Suryadi (2008) analisis faktor-faktor yang mempengaruhi
kredit macet rumah tangga pada bank milik pemerintah, bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi ketidak mampuan rumah tangga debitur dalam pengembalian
kredit pada kelompok kurang dari Rp 50 juta adalah :
1. Faktor karakteristik individu ditunjukkan oleh variabel tingkat pendidikan
2. Karakteristik rumah tangga ditunjukkan oleh variabel rasio dependensi
3. Faktor bisnis ditunjukkan oleh variabel total pendapatan dan rasio angsuran.
4. Faktor skim kredit ditunjukkan oleh variabel biaya transaksi, tingkat bunga,
jangka waktu pengembalian dan nilai agunan.
Beberapa kesimpulan dari hasil penelitiannya sebelumnya antara lain :
15
studi mengenai faktor yang mempengaruhi perilaku pengembalian kredit oleh
rumah tangga dalam hubungannya dengan kegagalan kredit telah dilakukan
dibanyak negara dengan menggunakan pendekatan yang berbeda-beda,
demikian juga mengenai alat atau teknis analisis yang berbeda, mulai dari
analisis statistik deskriptif, covarian, analisis korelasi penekanan penelitian.
Secara umum dapat dikemukan bahwa faktor yang mempengaruhi kemampuan
pengembalian kredit oleh rumah tangga debitur dapat dibedakan atas dua bagian
besar yakni faktor ketidakmampuan dan ketidakmauan debitur, maka analisis
mengenai perilaku kegagalan kredit berhubungan dengan kedua faktor tersebut
(Suryadi, 2008).
Selama ini kredit program yang telah dilaksanakan oleh pemerintah
sebagian besar ditujukan untuk pembiayaan subsektor tanaman pangan. Nizar
(2004) melakukan penelitian di Sumatera Barat menggunakan pendekatan
ekonomi rumah tangga untuk menganalisis determinan perilaku permintaan
kredit usahatani. Hasil penelitian menunjukkan bahwa permintaan kredit nyata
dipengaruhi oleh suku bunga, nilai produksi usahatani dan biaya produksi.
Sementara pengembalian kredit usahatani (KUT) nyata dipengaruhi frekuensi
kontak petani dengan petugas lapangan, konsumsi, luas lahan, jarak antara
rumah petani dengan sumber kredit dan jenis bantuan kredit. Faktor lain yang
tidak nyata berpengaruh adalah pendidikan, jumlah anggota keluarga, nisbah
penerimaan dengan nilai kredit dan status penggarapan lahan. Pola kredit yang
dianalisis dibedakan menjadi pola umum dan pola khusus, yang semuanya
merupakan kredit program dalam bentuk uang tunai.
Adanya pengaruh positif dari variabel frekuensi kontak menunjukkan
bahwa program kredit erat kaitannya antara petani dengan petugas kredit,
ketua kelompok dan ketua Koperasi Unit Desa (KUD). Sanim (1998) mengkaji
sejauh mana peran lembaga yang terlibat dalam peningkatan efektivitas
16
penyaluran dan pengembalian Kredit Usaha Tani (KUT) pola khusus. Hasil
menunjukkan bahwa peran kelembagaan sangat mendukung dalam proses
pencairan dan penyaluran dan pengembalian kredit. Tingkat pengembalian kredit
lebih tinggi pada petani yang memperoleh pembinaan intensif dari petugas
lapangan. Disebutkan juga bahwa KUT pola khusus telah memberikan dampak
positif bagi petani dalam peningkatan dan pendapatan.
Hasil penelitian Karyanto dkk. (2008) menggunakan analisis fungsi
produksi yang diestimasi dengan model Cobb Douglass menunjukkan bahwa
pemanfaatan Kredit Usaha Tani (KUT) berpengaruh positif pada penggunaan
sarana produksi pada usahatani padi, produktivitas petani KUT lebih tinggi
dibandingkan petani non KUT, pendapatan petani KUT lebih besar dibandingkan
petani non KUT namun pengembalian dana KUT terjadi penunggakan karena
usaha tani terserang hama tikus. Implikasi untuk kebijakan hasil peneltian ini
adalah bahwa program pemberian dana KUT untuk petani tetap dilanjutkan dan
dikembangkan karena masih dibutuhkan petani yang memerlukan tambahan
modal untuk usaha tani dengan disertai pengelolaan dan pengawasan yang lebih
baik.
Pada penelitian mengenai pengaruh kredit terhadap tingkat produktivitas
pada rumah tangga di pedesaan India dilakukan oleh (Feder et all, 1990).
Pendekatan dilakukan dengan menggunakan alat analisis korelasi dan regresi
dengan data primer hasil survei dengan kuesioner. Penyebaran sampel dipilih
pada rumah tangga yang melakukan aktivitas pertanian (usahatani) terutama
pada komoditas padi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kredit yang
digunakan sebagai modal dalam proses produksi berpengaruh positif terhadap
tingkat produktivitas, jumlah produksi dan terhadap pendapatan rumah tangga.
Dengan demikian maka kredit secara tidak langsung berpengaruh terhadap
pendapatan rumah tangga. Kesimpulan lain dalam hubungannya dengan
17
kemungkinan perluasan kredit bahwa ternyata hanya sebagian kecil
rumahtangga yang menghadapi kendala ketidak cukupan kredit dalam
pengelolaan usaha.
Hasil penelitian Ashari (2009) tentang optimalisasi kebijakan kredit program
sektor pertanian di Indonesia, bahwa kredit program ataupun bantuan modal
kepetani/pelaku usaha pertanian dianggap sebagai instrumen kebijakan yang
strategis, sebagai bagian dari sebuah kebijakan, kredit program masih banyak
kekurangan. Namun demikian dalam situasi dan kondisi tertentu, bantuan
langsung masih diperlukan seperti di daerah yang baru dilanda bencana atau
wilayah yang sangat marjinal. Kelemahan dari jenis program bersubsidi antara
lain : 1) masih relatif sulit diakses oleh petani dan peternak karena syarat
pengajuan yang cukup ketat (mirip skim komersial, namun sedikit lebih longgar),
2) waktu yang dibutuhkan dari mulai pengajuan kredit hingga realisasi dinilai
masih relatif lama, 3) persyaratan agunan yang mengharuskan tanah bersertifikat
masih sulit dipenuhi, serta 4) dalam kasus tertentu keharusan berkelompok
dengan skala usaha minimal tertentu juga menjadi problema tersendiri terutama
bagi petani dan peternak kecil. Keharusan berkelompok juga menyisakan
persoalan tersendiri ketika harus menentukan ketua kelompok (pengurus) yang
benar-benar memiliki kompetensi, jujur dan mau bekerja keras.
Hasil penelitian Mahendri (2009) tentang analisis efektivitas kredit ternak
domba dan dampaknya terhadap pendapatan rumahtangga peternak petani
penerima kredit ternak domba di kabupaten Bogor menyimpulkan bahwa adanya
kredit domba kurang berdampak kepada peningkatan pendapatan rumahtangga
peternak karena target petani kredit yang tidak tepat dan innovation institution
mengalami kegagalan akibat tahapan-tahapan kredit yang tidak sesuai,
kemampuan petani untuk mengembalikan kredit domba dipengaruhi oleh faktor
produksi, waktu pengembalian kredit dan frekuensi mengikuti kegiatan dalam
18
kelompok sebagai sarana bertukar informasi, kinerja program kredit domba yang
dilaksanakan pemerintah Kabupaten Bogor tergolong kurang efektif mencapai
tujuannya sehingga tidak berdampak terhadap peningkatan pendapatan
rumahtangga.
2.1.4. Penelitian Gaduhan Sapi Potong Sistem Bergulir
Penelitian evaluasi program pengembangan sapi potong gaduhan melalui
kelompok lembaga mandiri yang mengakar di masyarakat (LM3) di kabupaten
Manokwari Papua Barat telah dilakukan oleh (Sonbait dkk., 2011), secara umum
program pengembangan sapi potong gaduhan melalui kelompok lembaga
mandiri yang mengakar di masyarakat (LM3) belum mencapai target yang
diinginkan. Hal ini dibuktikan dengan masih rendahnya peningkatan populasi
ternak sapi potong gaduhan, penyeleksian calon penerima belum sesuai
persyaratan, adanya pelanggaran tanpa saksi yang tegas, kurang efektifnya
petugas lapangan serta masih rendahnya peternak melunasi tepat pada waktu.
Rata-rata peningkatan pendapatan pertahun penerima gaduhan adalah Rp
5.212.500. Kenaikan populasi sebesar 27,05 % setahun. Hasil analisis regresi
menunjukkan bahwa calving interval dan angka mortalitas berpengaruh positif
terhadap waktu pengembalian gaduhan sapi potong.
Berdasarkan hasil penelitian Tribudi dan Ristyawan (2017) tentang analisis
sapi potong pola gaduhan bahwa penerimaan petani dari usaha ternak sapi
usaha ternak sapi potong pola gaduhan di Desa Slorok, Kecamatan Kromengan,
Kabupaten Malang rata-rata sebesar Rp 3.259.853/ekor/tahun, usaha
pemeliharaan sistem gaduhan disarankan agar para peternak menambah
populasi hewan ternaknya sehingga keuntungan yang diterima akan semakin
besar.
19
Priyono dan Priyanto (2018) menyatakan bahwa pola kemitraan di NTT
adalah pola inti plasma melalui mekanisme sistem gaduhan.Program kemitraan
merupakan upaya pengembangan sapi Bali melalui kerjasama vertikal pihak inti
(pemilik modal) dan plasma (peternak sapi Bali). Pola ini dilandasi oleh kerja
sama antara kedua belah pihak yaitu pihak pemilik modal dan pihak peternak
sapi Bali untuk berbagi resiko, biaya dan manfaat. Pola kemitraan ini bertujuan
untuk memberikan kontribusi dan dampak berupa manfaat dan keuntungan bagi
pemilik modal dan peternak sapi bali.
Afriani dkk. (2018), bahwa program penyebaran dan pengembangan ternak
sapi di kawasan sentra peternakan sapi Kabupaten Merangin belum berjalan
secara optimal terbukti cukup banyak tingkat perguliran ternak sapi yang masuk
kategori lancar, namun sisi lain cukup banyak juga kategori kurang dan tidak
lancar. Adapun tingkat kelancaran mengulirkan ternak sapi pada program
penyebaran dan pengembangan ternak sapi di kawasan sentra peternakan sapi
Kabupaten Merangin dipengaruhi oleh karakter peternak.
Hasil penelitian Ishak dkk. (2017) menunjukkan bahwa program
penggaduhan sapi potong melalui dana bantuan sosial dari pemerintah mampu
meningkatkan jumlah sapi milik petani yang sebelumnya belum memiliki sapi
menjadi memiliki sapi dengan rataan 2-4 ekor per KK. Peningkatan jumlah
kepemilikan sapi petani menurunkan minat petani menggaduh sapi kelompok,
namun melalui pengembangan kelembagaan kelompok tani menjadi koperasi
ternak. Jumlah populasi sapi milik kelompok tetap terus berkembang setelah
program bantuan sosial selesai. Sistem penggaduhan ternak berlangsung secara
berkelanjutan dengan adanya insentif dari koperasi ternak yang memotivasi
pengurus dan petani anggota koperasi ternak untuk bersama-sama menjaga
keberlanjutan pola penggaduhan ternak sapi pada level kelompok tani.
20
Berdasarkan hasil penelitian Setiani dan Prasetyo (2007), pola
pengembangan usaha pembibitan dilakukan melalui bantuan pinjaman langsung
masyarakat (BPLM) dan integrasi tanaman-ternak menunjukkan bahwa pola
pengembangan pembibitan sapi yang berkembang di kelompok tani Bumi Mulyo
adalah: jangka waktu pelunasan 4 tahun, mengembalikan pinjaman pokok
(ternak bibit+konsentrat) tanpa bunga. jika pedet yang dihasilkan betina, pada
umur 15 sampai 18 bulan digulirkan kepada anggota lain, namun jika yang
dihasilkan pedet jantan, hasil penjualan dibagi 50% : 50%, masing-masing untuk
penggaduh dan kelompok, sedangkan di kelompok tani Becik Asih jangka waktu
pelunasan 3 tahun, peternak berhak atas ternak pokok dan 70% hasil penjualan
pedet yang dihasilkan, berkewajiban mengembalikan pinjaman pokok untuk
pembelian ternak bibit dengan jumlah sesuai dengan akad kredit. Sumberdaya
alam di Desa Karangjambe didominasi tanah alluvial dan grumosol yang lahan
pertanian utamanya berupa lahan sawah dengan pola tanam padi-padi-palawija,
sedangkan di Desa Kalipoh didominasi tanah alluvial, lahan kering dengan pola
tanam jagung-jagung+ketela pohon.
Bank Indonesia (2013), bahwa modal yang selama ini dapat diakses oleh
peternak rakyat adalah dari pemilik sapi dengan sistem bagi hasil (Al-
mudharabah), baik bagi hasil anak (pada sapi pengembangbiakan) atau bagi
hasil keuntungan (pada penggemukan sapi). Sistem bagi hasil pada peternakan
sapi sudah berlangsung sejak lama dengan berbagai istilah adat setempat yaitu
di Jawa Tengah dikenal dengan istilah “maparo”, di Jawa Barat disebut “gaduh”
di Sumbawa disebut “ngadas” dan di Sumatra Barat disebut “diperduakan”.,
Priangan disebut “nengah”, di Sulawesi selatan disebut “teseng”, di Minahasa
disebut “toyo”, di Bali disebut Kadasan.
21
2.2. Landasan Teori
2.2.1. Optimalisasi dan Kredit
Optimalisasi berasal dari kata optimal berarti yang terbaik.
Optimalisasi adalah proses pencapaian suatu pekerjaan dengan hasil dan
keuntungan yang besar tanpa harus mengurangi mutu dan kualitas dari
pekerjaan.
Optimalisasi merupakan upaya penemuan nilai maksimal atau minimal dari
beberapa fungsi matematis dengan jalan menetapkan harga bagi peubah
yang dapat dikendalikan hingga batas tertentu. Tujuan mengoptimalkan alokasi
sumberdaya disamping maksimisasi keuntungan atau minimalisasi biaya, juga
tercapainya penggunaan sumberdaya atau faktor produksi secara optimal, yang
berarti tercapainya penggunaan sumberdaya secara efisien.
Program sapi potong sistem bergulir dapat dibuat skenario atas dasar
tujuan optimalisasi yang ingin dicapai yaitu lima tujuan/sasaran yang ingin
dicapai dan empat aktifitas kendala tujuan yang menjadi pembatas yang masing-
masing menggambarkan beberapa alternatif aktivitas dan kendala sumberdaya
pada tingkat petani. Sembilan kendala tujuan/sasaran yang ingin dicapai dalam
usaha sapi potong disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Kendala tujuan dalam pencapaian optimal usaha ternak sapi potong
No Uraian
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Pendapatan petani
Jumlah ternak
Pertambahan berat badan harian
Pemanfaatan limbah ternak
Pemanfaatan limban pertanian
Luas lahan
Modal kerja
Tenaga kerja keluarga
Kredit sapi potong sistem bergulir
22
Skenario tersebut akan memudahkan petani dalam menentukan langkah
kebijaksanaan yang menguntungkan untuk dilaksanakan sehingga kondisi
optimal usaha sapi potong penerima kredit sistem bergulir dapat tercapai.
Kredit diartikan sebagai kesanggupan individu untuk memperoleh barang,
jasa atau uang, dengan perjanjian akan membayar kembali dikemudian hari
(Nizar, 2004). Secara umum, pengertian kredit adalah kegiatan pinjam meminjam
antara kreditur dengan debitur yang dilandasi oleh kejujuran dan kepercayaan
yang berlangsung selama kurun waktu tertentu. Memperoleh kredit tidak semua
orang memiliki kesanggupan, termasuk petani. Kenyataannya, sebagian besar
petani tidak sanggup memiliki aset berharga sebagai jaminan bagi pengembalian
kreditnya (Mahendri, 2009).
Pentingnya peranan kredit disebabkan oleh kenyataan bahwa secara relatif
modal merupakan faktor produksi non alami (buatan manusia) yang
persediaannya masih sangat terbatas. Cara yang paling mudah dan tepat untuk
memajukan pertanian dan meningkatkan produksi adalah dengan memperbesar
penggunaan modal. Prinsip inilah yang menjiwai usaha intensifikasi pertanian
dengan penggunaan bibit unggul baru, obat pemberantas hama dan penyakit,
penggunaan pupuk yang lebih banyak serta investasi dibidang pengairan
sehingga menyebabkan meningkatnya output.
Pemberian kredit yang dilakukan baik oleh lembaga formal maupun
lembaga non formal memiliki tujuan yang dapat dilihat dari dua sisi, yaitu dari
pemberi kredit dan penerima kredit. Tujuan pemberi kredit adalah untuk
memperoleh keuntungan yang terwujud dalam bentuk bunga. Tujuan penerima
kredit adalah untuk memperluas usaha, melaksanakan rehabilitasi usaha, untuk
menciptakan usaha baru, menciptakan efisiensi usaha yang lebih tinggi serta
dapat digunakan untuk kegiatan sosial dan kegiatan konsumen.
Jenis kredit berdasarkan penggunaan Kasmir (2004) antara lain :
23
1. Kredit Konsumtif, yaitu kredit yang digunakan oleh nasabah untuk memenuhi
kebutuhan pribadinya.
2. Kredit produktif, yaitu kredit yang digunakan oleh nasabah untuk
meningkatkan aktivitas perusahaan (menghasilkan sesuatu). Kredit ini dibagi
dua, yaitu : Kredit Investasi yaitu kredit yang digunakan untuk membeli
barang-barang modal dan Kredit Modal Kerja yaitu kredit yang digunakan
untuk membeli bahan baku.
Jenis Kredit menurut keperluannya, antara lain :
1. Kredit Produksi/Eksploitasi, kredit ini diperlukan perusahaan untuk
meningkatkan produksi baik peningkatan kuantutatif, yaitu jumlah hasil
produksi mupun peningkatan kualitatif, yaitu peningkatan kualitas / mutu hasil
produksi.
2. Kredit perdagangan, kredit ini dipergunakan untuk keperluan perdagangan
pada umumnya yang berarti peningkatan utility of place dari suatu barang.
Kredit perdagangan ini dapat terbagi dua, yaitu : kredit perdagangan dalam
negeri, dan kredit perdagangan luar negeri atau lebih dikenal dengan kredit
ekspor dan impor.
3. Kredit Investasi, kredit ini diberikan oleh bank kepada para pengusaha untuk
keperluan investasi. Ciri dari kredit investasi adalah : a) diperlukan untuk
penanaman modal, b) mempunyai perencanaan matang dan terarah, c) waktu
penyelesaian kredit berjangka menengah dan panjang.
Macam kredit menurut jangka waktu, antara lain : a) kredit jangka pendek,
yaitu kredit yang berjangka waktu selama-lamanya 1 tahun. Jadi pemakaian
kredit itu tidak melebihi 1 tahun, b) kredit jangka Menengah, yaitu kredit yang
berjangka waktu antara 1 sampai dengan 3 tahun, c) kredit jangka panjang,
adalah kredit yang berjangka waktu melebihi 3 tahun.
24
Dari sektor usaha pemberian fasilitas kredit memiliki karakteristik yang
berbeda sebagai berikut: 1) kredit pertanian, merupakan kredit yang dibiayai
untuk sektor pertanian rakyat/perkebunan dapat berupa jangka pendek atau
jangka panjang, 2) kredit peternakan, kredit diberikan untuk jangka pendek
peternakan ayam dan untuk jangka panjang pada peternakan sapi, kambing,
3) kredit industri, kredit untuk biaya industri pengolahan, industri kecil, industri
menengah, industri besar, 4) kredit pertambangan, kredit yang dibiayai untuk
jangka panjang, 5) kredit pendidikan, kredit yang diberikan untuk membangun
sarana dan prasarana pendidikan.
2.2.2. Pasar Kredit
Konsep Pasar kredit adalah pasar yang sangat dinamis, dimana
didalamnya terdapat dua kekuatan yang saling berinteraksi yaitu penawaran dan
permintaan akan kredit. Interaksi penawaran dan permintaan tersebut tentunya
memerlukan waktu, hal tersebut sangat terkait dengan keberadaan informasi
diantara penawaran dan permintaan . Bila informasi yang tersedia bagi para
pelaku pasar terjadi tidak sempurna (asimetris) maka proses penyesuaian akan
sangat lamban dan dapat terjadi ketidak keseimbangan, ataupun keseimbangan
yang terjadi diikuti dengan penjatahan kuantitas kredit (credit rationing
equilibrium). Namun jika informasi adalah sempurna, proses penyesuaian akan
berjalan cepat menuju keseimbangan.
Nuryantono (2005) menyatakan bahwa teori permintaan kredit berbeda
dengan teori permintaan barang dalam pasar, umumnya. pasar barang untuk
memenuhi permintaan dan penawaran barang, harga barang akan melakukan
penyesuaian. Permintaan barang tertentu meningkat maka harga barang
tersebut akan naik dan jumlah persediaan barang akan meningkat. Dalam pasar
kredit, jika terjadi kelebihan permintaan kredit maka terdapat keterbatasan untuk
25
memenuhi peningkatan permintaan tersebut. Mengikuti aturan umum yang
berlaku dalam pasar kredit, jika permintaan kredit melebihi persediaannya maka
akan diikuti dengan peningkatan jumlah peminjaman dan tingkat suku bunga
yang dikenakan tetap. Faktor resiko merupakan salah satu faktor yang
membedakan permintaan kredit dan permintaan barang, dimana dalam
permintaan kredit resiko yang dihadapi adalah pengembalian kredit dapat
menyebabkan kredit macet sehingga untuk menghindari resiko tersebut
diperlukan jaminan sebagai alat pengaman bila penerima kredit tidak dapat
melunasi kreditnya.
Hasil penelitian (Sodiq dkk., 2017), bahwa akses peternak kepada
permodalan selama ini masih menjadi salah satu kendala untuk meningkatkan
usaha peternak, sehingga secara umum mempengaruhi produktivitas nasional.
Lemahnya struktur modal peternak diakibatkan tidak adanya aset yang dapat
dijadikan agunan, untuk itu revitalisasi pembiayaan perlu dilakukan melalui kerja
sama dengan berbagai pihak, meliputi: (a) pemerintah pusat dan daerah melalui
kementerian, departemen/direktorat maupun dinas teknis terkait (b) lembaga
perbankan, (c) lembaga perguruan tinggi dan institusi penelitian, dan (d) lembaga
asuransi, serta (e) lembaga kemasyarakatan.
Peningkatan fungsi produksi akan meningkatkan penerimaan total. Namun
peningkatan penerimaan total belum tentu peningkatan pendapatan yang
diperoleh, hal ini disebabkan adanya biaya yang dikeluarkan sehubungan
dengan adanya kredit seperti cicilan dan biaya lainnya.
Adanya kredit dalam usaha sapi potong sebagai tambahan modal dalam
proses produksi akan bergeraknya fungsi produksi keatas yaitu dari t1 menjadi
t2 seperti pada Gambar 1.
26
(Q/L)
q2 p2
q1 p1 t2
t1
k1 k2 (K/L)
Gambar 1. Pengaruh penambahan modal pada fungsi produksi
Penelitian sistem produksi pternakan sapi potong d pedesaan dan strategi
pengembangan oleh Sodiq dkk. (2017) menyatakan bahwa untuk meningkatkan
akses pembiayaan kepada perbankan diperlukan sinergi berbagai pihak
(pemerintah, akademisi, pebisnis, perbankan dan kelompok masyarakat) serta
penguatan kelembagaan kelompok tani ternak sapi potong.
2.2.3. Konsep Pengembalian Kredit
Pengembalian kredit sangat terkait dengan pendapatan dan tingkat bunga.
Pendapatan merupakan faktor utama pangkal perilaku petani termasuk dalam
memperoleh kredit, penggunaan kredit dan pengembaliannya. Pendapatan akan
mempengaruhi perilaku ekonomi dalam dua aspek yakni keputusan konsumsi
dan menabung. Keseimbangan keduanya menentukan perlu tidaknya
memperoieh kredit. Pendapatan dapat berupa gaji, upah, sewa dan bunga.
Suryadi (2008) mengemukakan bahwa pendapatan dapat dihitung dari nilai
transaksi tidak tunai (non-cash) dan juga perubahan nilai aset yang
diperhitungkan. Pendapatan kotor usaha merupakan nilai produksi total jangka
waktu tertentu baik dijual maupun untuk keperluan konsumsi, membayar kredit
maupun dalam bentuk tabungan.
27
Pemberian kredit untuk meningkatkan pendapatan oleh bank memiliki
resiko kemacetan walaupun telah dilakukan analisis secara saksama . Faktor-
faktor yang menyebabkan terjadinya kemacetan diantaranya disebabkan oleh
kesalahan penggunaan kredit, manajemen yang buruk dan kondisi
perekonomian. Rumah tangga memerlukan suntikan kredit dari perbankan
disebabkan adanya kesenjangan (gap) antara pendapatan dan pengeluaran
dimana total pengeluaran jauh lebih besar dari pada total pendapatan. Suntikan
kredit dalam jangka pendek dapat dianggap sebagai bagian pendapatan, untuk
memberi kemampuan pada rumahtangga untuk memenuhi kebutuhan, baik
kebutuhan konsumsi maupun pengeluaran.
Kredit yang dikucurkan menggambarkan bahwa tingkat bunga sangat
berperan dalam kelancaran dalam pengembalian kredit dimana semakin tinggi
tingkat bunga maka semakin berat beban pengembalian kredit. Semakin rendah
tingkat bunga yang ditetapkan pihak perbankan maka semakin ringan beban
pengembalian yang harus diselesaikan. Tingkat bunga merupakan biaya kredit
dan pengembalian akan diperoleh karena meminjamkan dana ke pasar
keuangan maka tingkat suku bunga merupakan salah satu faktor yang harus
diperhatikan oleh debitur.
Sukirno (1998) menyatakan bahwa analisis mengenai tingkat bunga selalu
menganggap bahwa dalam perekonomian terdapat hanya satu tingkat bunga dan
kenyataannya terdapat beberapa tingkat bunga. Tingkat bunga pinjaman
pemerintah berbeda dengan tingkat bunga yang dibayar konsumen. Perbedaan
tersebut disebabkan beberapa faktor : 1) Perbedaan resiko. Pinjaman
pemerintah membayar tingkat suku bunga yang lebih rendah dari tingkat suku
bunga swasta karena resiko dari meminjamkan kepada pemerintah adalah
sangat kecil dibanding swasta. Kepada usaha yang telah lama berkembang atau
kepada usaha yang tidak banyak resikonya bank bersedia mengenakan tingkat
28
bunga yang lebih rendah sebaliknya pada usaha yang sangat tinggi resikonya
bank akan mengenakan tingkat bunga yang tinggi, 2) Jangka waktu pinjaman.
Semakin lama sejumlah modal dipinjamkan semakin besar tingkat bunga yang
harus dibayar. Salah satu sebab dari keadaan ini adalah karena resiko yang
ditanggung peminjam akan menjadi semakin besar apabila jangka waktu
peminjaman bertambah panjang, 3) Biaya administrasi pinjaman. Jumlah dana
yang dipinjam sangat berbeda, sedangkan biaya administrasi untuk memproses
tidak banyak berbeda.
2.2.4. Modal Kerja
Modal kerja adalah biaya variabel yang digunakan dalam usaha sapi
potong untuk setiap periode dalam proses produksi. Komponen modal kerja
meliputi biaya-biaya untuk keperluan operasional proses produksi yang terdiri
dari : pengadaan pakan hijauan, pengadaan konsentrat, obat-obatan dan
pengawasan kesehatan, tenaga kerja, pengadaan air, pengganti alas kandang,
manajemen, sewa lahan kering dan biaya lain-lain (Bank Indonesia, 2010).
Biaya pengadaan pakan hijauan. Pada dasarnya bisa dibedakan macam
pakan tersebut sebagai berikut : pakan khusus hijauan limbah, pakan berupa
hijauan hasil penanaman (rumput gajah, kinggras dan lainnya), pakan hijauan
yang telah tersedia pada lahan peternak (rumput, jerami padi dan lain-lain).
Biaya pengadaan konsentrat. Konsentrat yang diberikan berasal dari pihak
perusahaan inti .Masing-masing inti menyiapkan konsentrat berdasarkan
komposisi yang dibuat oleh ahlinya.
Biaya obat-obatan dan pengawasan kesehatan. Untuk menjaga agar
ternak penggemukkan senantiasa dalam keadaan sehat. Pihak inti memberikan
bantuan tenaga dokter hewan untuk secara rutin mengawasi dan bertanggung
jawab terhadap kesehatan ternak. Biaya obat untuk perawatan kesehatan karena
29
macam dan penggunaannya yang tidak pasti, maka biaya persediaan obat
disatukan dan mencakup pula biaya pengawasan yang jumlahnya untuk untuk
masing-masing ekor ternak selama masa penggemukan.
Biaya transportasi. Biaya pengangkutan sapi bakalan dari lokasi inti sampai
kelokasi kandang plasma dan pengangkutan sapi hasil penggemukan dari lokasi
kandang kelokasi inti, menjadi beban peternak plasma kecuali apabila di rancang
lain dalam proyek kemitraan yang bersangkutan. Biaya transpor untuk semua
peternak plasma agar diperhitungkan sama
Biaya tenaga kerja. Untuk tenaga kerja diperhitungkan atas dasar
penggemukan 24 ekor/HOK. Untuk jumlah ekor sapi yang lebih kecil dari itu
diperhitungkan besar bagian HOK yang bersangkutan. Artinya apabila dalam 1
paket penggemukan per peternak menggunakan 4 ekor sapi, besarnya HOK
setiap hari diperhitungkan menjadi 4/24 HOK. Biaya ini dengan memperhatikan
rata-rata persentase kenaikan pertahun selama 5 tahun berakhir, dipergunakan
untuk menghitung besarnya biaya tenaga selama masa sampai kredit lunas.
Biaya pengadaan air. Karena air harus tersedia secara cukup selama masa
penggemukan, sebaiknya hanya peternak yang memiliki sumber air melimpah
dapat diikut sertakan didalam proyek usaha penggemukan sapi potong.
Sehingga dalam hal ini air bukan menjadi hal yang perlu diperhitungkan biaya
pengadaannya. Namun demikian apabila keadaanya terpaksa biaya pengadaan
air bisa ikut diperhitungkan didalam analisis finansial untuk mempelajari
kelayakan. Biaya ini diperhitungkan sampai Rp. 10/m3. Sebaiknya hanya
peternak yang dilokasinya tersedia cukup air bisa ikut serta dalam usaha
penggemukan sapi potong.
Biaya alas kandang. Tergantung pada pola pemeliharaan sapi yang
dirancang oleh pihak inti sebagai alas kandang diatas lantai dasar bila ditaburkan
serbuk gergaji untuk selama masa penggemukan. Alas ini digantikan setiap
30
bulan. Cara lain kandang bisa dalam keadaan tanpa alas dan lantai dasar setiap
waktu tertentu. Apabila kandang dirancang menggunakan alas kandang harus
diganti setiap habis panen, maka biaya pengadaan bahan alas kandang ini
diperhitungkan mencapai Rp.3.000/ekor/periode.
Biaya manajemen dan pembinaan. Untuk keperluan kegiatan pengelolaan
dan pembinaan proyek kemitraan terpadu ini, banyak diperlukan biaya yang
sebagian merupakan bantuan pihak perusahaan inti. Namun demikian ada
kegiatan tertentu terutama penyelenggaraan latihan-latihan di dalam rangka
pembinaan plasma dan koperasi yang masih harus diadakan dan seharusnya
pihk peternak plasma ikut membiayainya. Untuk ini diperhitungkan 5 % dari
biaya operasional. Biaya untuk ini juga bisa diambil dari dana candangan karena
penggunaannya yang masih belum pasti, mengingat pembinaan diharapkan
merupakan bantuan dari pihak inti.
Sewa lahan kandang. Apabila lahan yang dipergunakan harus berada
diluar lahan kepemilikan petani, biaya sewa lahan akan dibebankan kepada
peternak plasma dari dana yang diperhitungkan sebagai cadangan. Sebaiknya
hanya peternak yang memiliki lahan untuk keperluan kandang yang dapat ikut
serta dalam usaha penggemukan sapi potong.
Biaya lain-lain. Biaya-biaya lain yang merupakan tambahan bagi
penggunaan kredit perbankan, termasuk biaya notaris dan asuransi (Perum PKK)
menjadi beban peternak plasma yang jumlahnya di perhitungkan Rp.
70.000/plasma yang ditambah dengan Rp. 175/ekor/hari untuk keperluan yang
pembiayaannya belum pasti.
2.2.5 . Linear Goal Programming (LGP)
Menurut Mulyono (1991) bahwa Istilah-istilah dan lambang-lambang
optimalisasi yang digunakan. Berikut ini adalah definisi dari beberapa istilah dan
31
lambang yang biasa digunakan dalam goal programming. Goal programming
kelebihan penggunanya (nilai sisi kanan).
Goal adalah keinginan untuk meminimumkan angka penyimpangan dari suatu
nilai RHS pada suatu goal constraint tertentu (tujuan).
Goal Constraint merupakan sinonim dari istilah goal equation, yaitu suatu tujuan
yang diekspresikan dalam persamaan matematik yang memasukkan variabel
simpangan (kendala tujuan).
Preemtive priority factor merupakan suatu sistem urutan yang dilambangkan
dengan Pk di mana k = 1,2.....k dan k menunjukkan banyaknya tujuan dan model
yang memungkinkan tujuan-tujuan disusun secara ordinal dalam model linear
goal programming. Sistem urutan ini menempatkan tujuan-tujuan dalam susunan
dengan hubungan sebagai berikut:
P1>P2>>>Pk
Keterangan : P1 merupakan tujuan yang paling penting
P2 merupakan tujuan yang kurang penting dan seterusnya
Deviational variable adalah variabel-variabel yang menunjukkan
kemungkinan penyimpangan negatif dari suatu nilai RHS kendala tujuan
(dalam model linear goal programming dilambangkan dengan di, dimana
1,2......m dan m adalah banyaknya kendala tujuan dalam model) atau
penyimpangan positif dari suatu nilai.
RHS (dilambangkan dengan di+ variabel-variabel ini sama dengan slack
variable dalam linear goal programming (variabel simpangan).
Differential weight adalah timbangan matematika yang diekspresikan dengan
angka). kardinal (dilambangkan dengan wki di mana k = 1,2......k ; i = 1,2.....m
dan digunakan untuk membedakan variabel simpangan i di dalam suatu tingkat
prioritas k (bobot).
32
Unsur- unsur Linear Goal Programming (LGP). Setiap model LGP terdiri
dari tiga komponen, yakni: sebuah fungsi tujuan, kendala-kendala tujuan dan
kendala non negatif (Mulyono. 1991).
m
Minimumkan Z = Σ di- + di
+ ...................................... 2.1
i=1
m
Minimumkan Z = Σ Pk ( di- + di
+ ) untuk k = 1,2......K ..... 2.2
i=1
m
Minimumkan Z = Σ wkiPk ( di- + di
+ ) untuk k = 1,2......K ..... 2.3
i=1
Pada Linear Goal Programming (LGP), fungsi tujuan yang pertama
digunakan jika variabel simpangan dalam suatu masalah tidak dibedakan
menurut prioritas atau bobot. Fungsi tujuan ke dua digunakan dalam suatu
masalah di mana urutan tujuan diperlukan, tetapi variabel simpangan di dalam
setiap tingkat prioritas memiliki kepentingan yang sama. Dalam fungsi tujuan ke
tiga, tujuan-tujuan diurutkan dan variabel simpangan pada setiap tingkat prioritas
dibedakan dengan menggunakan bobot wki. Jadi, fungsi tujuan yang digunakan
akan tergantung pada situasi masalahnya. .
Kendala tujuan dalam Linear Goal Progrmming (LGP), ada enam jenis
kendala tujuan yang berlainan. Maksud setiap jenis kendala itu ditentukan oleh
hubungannya dengan fungsi tujuan. Pada Tabel 2 disajikan ke enam jenis
kendala itu. Terlihat bahwa setiap jenis kendala tujuan harus punya satu atau
dua variabel simpangan yang ditempatkan pada fungsi tujuan. Adanya kendala-
kendala yang tidak memiliki variabel simpangan. sama seperti kendala-kendala
persamaan linear. Persamaan pertama pada Tabel 2 maknanya sama dengan
kendala pertidaksamaan ≤ dalam masalah program linear maksimasi.
Persamaan ke dua maknanya sama dengan kendala pertidaksamaan ≥ pada
masalah program linear minimasi. Persamaan ke tiga, ke empat dan ke lima
33
semuanya memperbolehkan penyimpangan dua arah, tetapi persamaan ke lima
mencari penggunaan sumber daya yang diinginkan. Ini sama dengan kendala
persamaan dalam linear programming, tetapi tidak selalu pada solusi, karena
dimungkinkan adanya penyimpangan negatif dan positif. Jika kendala
persamaan di anggap perlu dalam perumusan model linear goal programming,
maka dapat dimasukkan dengan menempatkan ke tiga dan ke empat
memperbolehkan adanya penyimpangan positif dan negatif RHSnya. Dalam
kendala linear programming tak ada pembanding untuk persamaan ke tiga dan
ke empat.
Tabel 2. Jenis-jenis kendala tujuan
Kendala Tujuan
Variabel Simpangan
Dalam Fungsi Tujuan
Kemungkinan Simpangan
Penggunaan Nilai RHS yang
Diinginkan
aij xj + di
- = bi
di
-
Negatif
= bi
aijxj – di
- = bi
di
+
Positif
= bi
aijxj + di
- - di
+ = bi
di
-
Negatif dan positif
bi atau lebih
aijxj + di
- - di
+ = bi
di
-
Negatif dan positif
bi atau kurang
aijxj + di
- - di
+ = bi
di
- dan di
+
Negatif dan positif
= bi
aijxj – di
- = bi
di
+ (artf)
Tidak ada
Pas = bi
Kendala Non – Negatif. Variabel-variabel model linear goal programming
biasanya bernilai lebih besar atau sama dengan nol. Semua model linear goal
programming terdiri dari variabel simpangan dan variabel keputusan, sehingga
pernyataan non negatif dilambangkan sebagai : xj , di-, di
+ ≥ 0.
Kendala Struktural. Di samping ke tiga komponen yang telah disebutkan
34
itu, dalam model linear goal programming kadang-kadang terdapat
komponen yang lain, yaitu, kendala struktural artinya kendala-kendala
lingkungan yang tidak berhubungan langsung dengan tujuan-tujuan masalah
yang dipelajari. Variabel simpangan tidak dimasukkan dalam kendala ini, karena
itu kendala ini tidak disertakan fungsi tujuan.
Charnes dan Cooper (1961) yang mengembangkan goal programming
sebagai pendekatan untuk menyelesaikan masalah yang infeasibility (tidak layak)
pada program linier yang disebabkan oleh tujuan yang bertentangan. Ijiri (1965)
kemudian melanjutkan dan melengkapinya sehingga dapat dipakai secara
operasional. Lee (1972) mengkontribusikan menjadi ke tingkat yang lebih baik
cara kerjanya, prestasi dari goal programming, pada bagian P1 lebih besar dari
bagian prioritas merangking yang lebih rendah P2. Ignizio (1976) membentuk dan
mengaplikasikan bilangan bulat yang tepat pada algoritma goal programming
dan juga mampu bekerja dalam program non linear. 1P 2P
Linear Goal programming berusaha untuk meminimumkan deviasi atau
simpangan di antara berbagai tujuan atau sasaran yang telah ditetapkan sebagai
targetnya, artinya nilai ruas kiri suatu persamaan kendala sebisa mungkin
mendekati nilai ruas kanannya. Dalam goal programming terdapat dua tipe
kendala yaitu kendala teknologi (technological constraint) yang
merupakan permasalahan kapasitas sumber dan kendala lainnya yang
bukan terhadap tujuan, kendala tujuan (goal constraint) yang mewakili
atau menggambarkan target dari objek-objek dalam urutan prioritas.
m
Minimumkan Z = Σ ( di- + di
+ ) ........................... 2.4
m
= ∑ i+ di
+ + wi- di
- .......................... ............................. 2.5 i=1
Syarat ikatan
35
m
(kendala tujuan) = Σ xj + di- - di
+ = bi untuk i = 1,2......m ..... 2.6
i=1
Xj , di- , di
+ ≥ 0
di- + di
- = 0
Keterangan :
di+ dan di
- = jumlah unit deviasi yang kekurangan (-) atau kelebihan (+) terhadap tujuan ( bi )
wi+ dan wi
- = timbangan atau bobot yang diberikan terhadap suatu unit deviasi yang kekurangan atau kelebihan terhadap tujuan ( bi )
aij = koefisien teknologi fungsi kendala yaitu yang berhubungan dengan tujuan peubah pengambil keputusan ( xj ).
Xj = variabel pengambil keputusan
bi = tujuan atau target yang ingin dicapai
Model tersebut merupakan perluasan pengoptimuman untuk
meminimumkan jumlah dari semua deviasi positif dan negatif yang individual dari
tujuan yang telah ditetapkan. Dalam perumusan goal programming dapat
dimasukkan satu tujuan atau lebih yang langsung berhubungan dengan fungsi
objektif dalam bentuk variabel deviasi
Algoritma simpleks menjamin persyaratan non negatif. Berhubungan tidak
dapat mencapai plus dan deviasi minus dari tujuan atau target yang ditetapkan
secara sekaligus atau simultan, salah satu dari variabel deviasi atau ke dua-
duanya akan menjadi nol (0), yang berarti target terpenuhi dengan sangat
memuaskan dan dapat dinyatakan sebagai berikut:
di- = 1, - z jika 1, > z, 1, = target
0, jika 1 ≤ z di
+ = 0, jika 1 ≥ z, z = tujuan z, -1, jika 1,< z,
Ukuran Prioritas. Pada persoalan linear tujuan yang saling bertentangan,
urutan prioritas perlu diperhatikam secara khusus. Pembagian urutan prioritas
36
dapat dikatakan pengutamaan (preemptive), yaitu mendahulukan tercapainya
feasibilitas pada sesuatu tujuan yang telah diberikan prioritas utama sebelum
menuju kepada tujuan-tujuan atau prioritas berikutnya. Misalnya untuk faktor
prioritas, diberikan simbol Pi (di mana i = 1,2,…..,m). Faktor-faktor prioritas
tersebut memiliki hubungan sebagai berikut:
P1>>>P2>>>P3>>>...>>>Pi>>>Pi + 1>0
di mana P1>>> berarti jauh lebih tinggi dari pada Pi+1. Hubungan tersebut
menjelaskan bahwa masing-masing faktor tersebut tidak akan berubah urutan
prioritasnya meskipun digandakan dengan sembarang konstanta. Tujuan yang
paling diutamakan ditetapkan sebagai prioritas utama ( P1) yang lebih rendah
ditetapkan sebagai prioritas ke dua ( P2) selanjutnya untuk tujuan dengan tingkat
prioritas yang lebih rendah berikutnya.
Model umum dari linear goal programming yang memiliki struktur
timbangan pengutamaan (Preemptive weights) dengan urutan ordinal dapat
dirumuskan sebagai berikut :
m
Minimumkan Z = Σ ( Pywi+ ydi
+ + Pswi- sdi
- ) ............ 2.7
i=1
Syarat ikatan
m
(kendala tujuan) = Σ aij xj + di- - di
+ = bi .............. 2.8
i=1
Untuk i = 1,2..........m
K = 1,2.........p
J = 1,2.........n
Dan xj , di- , di
+ ≥ 0
di- , di
+ = 0
keterangan :
di-, di
+ = deviasi plus dan minus dari tujuanatau target ke – i
37
Py,Px = faktor-faktor prioritas wi,
+y = timbangan relatif dari di
+ dalam urutan ke y wi
+,x = timbangan relatif dari di
- dalam urutan ke x
Dimana m buah tujuan, p kendala teknologi, n variabel pengambilan
keputusan. Perumusan umum dari linear goal programming ke dalam tabel awal
dimulai sama dengan tabel linear programming, kendala tujuan dirumuskan
dalam bentuk variabel di+ (yaitu variabel dasar). Kendala tujuan tidak memiliki
variabel di+ diberikan variabel artifisial dengan prioritas 0.
Tabel 3. Tabel Awal Linear Goal Programming
X
di . ... Xn ... X1 X2 Xk ... di ... dn
Nilai
Wi Pi
Cb
0 0 ... 0 ... 0 ... ...
Σw1b1
W1 P1
d1+
a11 a1n a12 ... a1k ... ... 0
b1
W2 P2
d2+
a21 . a1n
a22 ... a1k ... ... ... 0
b2
.... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ...
W1P1
d1+
a11 a1n
a12 ... a1k ... ... ... 0
b1
... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ...
Wn Pn
dn
+ an1 an2 ... ank ... an ... ... 1
bn
Zj - Cj
Baris 1 : Variabel keputusan Xj dan variabel deviasi di-
Baris 2 : Vektor baris dan penunjuk nol pada proses perhitungan.
Baris 3 : Bobot Wi untuk setiap variabel deviasi yang dimasukkan dalam fungsi objektif.
Kolom 1 : Faktor prioritas Pi dan bobot Wi untuk setiap variabel deviasi positif (yakni variabel basis) dan memasukkan variabel deviasi artifisial seperti ditampilkan dalam kolom 2.
Kolom 2 : Nilai total deviasi absolut, yang mewakili jumlah total deviasi dari semua tujuan untuk tiap tabel sebagai proses pendapatan
Kolom 3 : Koefisien variabel keputusan aij Kolom 4 : Matriks identitas menunjukkan pemasukan variabel deviasi
38
negatif di-
Kolom 5 : Nilai sebelah kanan
2.2.6. Analisis Sensitivitas
Kakiay (2008) menyatakan bahwa pemrograman linear dengan berbagai
metodenya selalu memperhitungkan solusi optimal dari variabel-variabelnya dan
harus dapat memberikan informasi yang dinamis. Solusi optimal dari suatu
pemrograman linear dapat menjadi tidak terpakai atau akan menjadi salah
setelah kondisi dari model tersebut mengalami perubahan. Dalam hal demikian
pengertian analisis sensitivitas merupakan suatu kepentingan untuk mempelajari
kemungkinan adanya perubahan pada solusi optimal sebagai hasil dari adanya
perubahan pada model yang asli.
Penggunaan analisis sensitivitas dimaksudkan akan memberikan bantuan
dua arah dalam pelaksanaannya yaitu :
1. Dapat menunjukkan adanya kebutuhan untuk menentukan data yang tepat
dan juga ketepatan dari model yang akan digunakan.
2. Dapat memberikan informasi atau penjelasan kepada pimpinan untuk
seberapa jauh dapat menyimpang dari solusi optimal sebelum pelaksanaan
yang akan meningkatkan pembiayaan ataupun mengakibatkan terjadinya
penurunan keuntungan.
Pada analisis sensitivitas sering juga terdapat beberapa data yang belum
memberikan validitas yang tepat dan benar sehingga perlu dilakukan perubahan
pada solusi optimal sehingga didapatkan nilai yang tepat. Analisis snsitivitas
akan dapat memberikan petunjuk data mana yang berperan sebagai bantuan.
Oleh karena itu dalam pemrograman linear terdapat beberapa kemungkinan
perubahan atau analisis yang sangat terkait dengan formulasinya, yang
dapat dinyatakan sebagai berikut :
39
1. Perubahan fungsi objektif terutama juga koefisiennya
2. Perubahan pada fungsi-fungsi kendala terutama juga pada koefisienya.
3. Perubahan pada fungsi-fungsi kendala dengan penambahan atau
pengurangan variabel keputusan.
4. Perubahan pada fungsi-fungsi kendala dengan penambahan atau
pengurangan fungsi kendala
5. Perubahan pada konstanta atau fungsi sebelah kanan (luar) dan tanda
ketidaksamaan atau persamaan sebagai material yang diperlukan.
Hendayana (2001) menyatakan bahwa analisis sensitivitas atau kepekaan
dari harga maupun kendala dalam penerapan pola optimum, melalui analisis
sensitivitas harga akan diketahui tingkat kepekaan biaya pembelian input
maupun harga jual output terhadap perubahan biaya maupun harga. Analisis
senstivitas kendala akan dihasilkan gambaran tentang kepekaan penggunaan
sumberdaya terhadap perubahan solusi optimum, kadar sensitivitas atau
kepekaan dapat dilihat dari besar kecilnya kisaran setiap harga atau penggunaan
sumberdaya.
40
BAB III
KERANGKA KONSEPTUAL PENELITIAN
Penguatan modal usaha kelompok merupakan salah satu program
pemberdayaan yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan dan
kemandirian peternak dalam pengembangan agribisnis sapi potong sehingga
usahanya menjadi lebih efisien dan mempunyai daya saing pada pasar bebas.
Pemberdayaan melalui penguatan modal usaha kelompok (PMUK) yang
diberikan kepada peternak terdiri atas bantuan kredit lunak jangka panjang atau
modal abadi yang disalurkan melalui kelompok dan pendampingan managemen
usaha. Bantuan kredit langsung digunakan untuk mengembangkan usahanya,
baik untuk menambah jumlah ternaknya maupun untuk keperluan perbaikan
kandang, serta pembelian pakan dan membayar tenaga kerja.
Modal merupakan faktor yang menentukan besarnya produksi dan
pendapatan. Kurangnya modal dalam usahatani akan menyebabkan
penggunanan sarana produksi menjadi sangat terbatas yang pada gilirannya
akan mempengaruhi produksi dan pendapatan. Mubyarto (1991) menyatakan
bahwa penciptaan modal petani melalui dua cara, yakni : 1) dengan menyisihkan
kekayaannya atau sebagian dari hasil produksi untuk disimpan dan
diinvestasikan kembali kedalam usaha tani atau usaha lainnya yang produktif, 2)
melalui pinjaman kredit dari bank atau sumber lainnya. Karena pendapatan
petani yang musiman serta tingginya proporsi konsumsi rumah tangga
mengakibatkan akumulasi modal. Cara pertama ini tidak dapat dilakukan. Untuk
itu dibutuhkan kredit dari bank atau sumber lainnya.
Mosher (1991) menyatakan bahwa kredit tidak merupakan syarat mutlak
dalam pembangunan pertanian. Hal yang utama adalah mendorong motivasi
petani untuk menggunakan barang modal dan penemuan-penemuan teknologi
41
baru untuk meningkatkan produksi dengan cara menyediakan alat-alat dan
bahan-bahan pertanian. kredit akan melancarkan adopsi dan penerapannya
dalam usahatani
Pelayanan kredit dalam usahatani hanyalah merupakan salah satu bagian
dari upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Hal lain yang cukup
menentukan meningkatkan kesejahteraan masyarakat adalah adanya pengertian
yang benar bahwa penggunaan kredit harus mampu meningkatkan produksi,
menciptakan jaminan pemasaran hasil, meningkatkan pendapatan sehingga
dengan kredit tersebut dapat menciptakan pemupukan modal yang pada
gilirannya meningkatkan masyarakat yang bersangkutan.
Ashari (2009) menyimpulkan terdapat faktor menjadi penghambat bagi
petani dan peternak dalam mengakses kredit formal, baik internal maupun
eksternal. Secara internal ada beberapa faktor penghambat, yaitu pendidikan
yang umumnya rendah membuat petani/peternak sulit mengikuti prosedur yang
ditetapkan bank. Petani dan peternak yang tidak menjadi anggota kelompok tani
tidak bisa memperoleh kredit program yang seharusnya bisa diperoleh secara
mandiri. Minimnya agunan yang dimiliki petani/peternak dan bukti kepemilikan
yang kurang kuat membuat bank tidak bersedia memberi pinjaman. Pengalaman
meminjam ke bank mempermudah akses petani/peternak untuk memperoleh
kredit formal karena sudah mengetahui prosedur yang diperlukan dan sudah
dikenal oleh bank. Faktor eksternal juga menjadi penghambat akses yaitu kurang
sosialisasi dari pihak perbankan, lokasi perbankan yang cukup jauh atau
maksimal hanya ada dikota kecamatan.
Petani di Indonesia kebanyakan merupakan petani kecil, petani miskin
yang mempunyai pendapatan relatif kecil. Untuk meningkatkan taraf hidup petani
maka perlu diusahakan peningkatan pendapatannya melalui peningkatan
produksi. Salah satu cara untuk mencapai peningkatan produksi melalui
42
penggunaan faktor seperti, pakan hijauan, konsentrat, obat-obatan, sewa lahan,
tenaga kerja dan manajemen. Sedangkan untuk meningkatkan penggunaan
faktor produksi diperlukan biaya. Disisi lain petani tidak mempunyai modal yang
cukup untuk membeli faktor-faktor produksi tersebut.
Provinsi Sulawesi Tengah merupakan salah satu daerah yang menjadi
prioritas wilayah pengembangan sapi potong dengan sistem kawin alam. Hal ini
di dasarkan atas pertimbangan bahwa Sulawesi Tengah mempunyai potensi
untuk pengembangan sapi potong dengan kondisi populasi ternak sapi yang
cukup besar dan daya dukung lahan untuk pakan yang luas, serta pola budidaya,
faktor geografis dan sumberdaya manusia yang memenuhi kriteria yang telah
ditetapkan oleh pemerintah pusat. Secara administrasi Sulawesi Tengah
mempunyai luas wilayah sebesar 68.033 Km2, atau sekitar 6 juta ha dan jumlah
penduduk 607.141 KK atau 2.438.706 jiwa dengan kepadatan penduduk sebesar
36 jiwa/Km2. Sebagian besar penduduknya (70,35 %) tinggal dan tersebar di
pedesaan. Adapun mata pencarian penduduknya sebagian besar (671.661 jiwa
atau 59,35 %) adalah sebagai petani (Biro Pusat Statistik Sulawesi Tengah,
2009).
Kendala pengembangan sapi potong di Sulawesi Tengah yaitu : transfer
teknologi kepeternak berjalan lambat, peternak sulit mendapatkan modal usaha,
investasi dana kesub sektor peternakan relatif rendah, jumlah bibit ternak belum
terpenuhi, kualitas bibit rendah dan terjadi pemotongan betina produktif.
Usaha ternak sapi potong di Kabupaten Donggala masih didominasi usaha
kecil dan menengah dengan sistem pemeliharaan ekstensif. Salah satu tujuan
dalam mengelola usaha ternaknya adalah untuk memperoleh keuntungan..
Tujuan yang ingin dicapai dan kendala yang dihadapi merupakan faktor penentu
bagi peternak dalam mengambil keputusan dalam usaha ternaknya. Olehnya itu,
peternak sebagai pengelola usaha akan mengalokasikan sumberdaya yang
43
dimiliki sesuai dengan tujuan yang hendaki. Kondisi peternakan sapi potong di
Kabupaten Donggala masih dikelola secara ekstensif, jumlah kepemilikan ternak
1-4 ekor per keluarga.
Masalah kredit dalam pertanian berhubungan erat dengan modal. Cara
paling mudah untuk memajukan pertanian dan meningkatkan produksi adalah
dengan memperbesar penggunaan modal baik itu berasal dari luar maupun
modal sendiri. Hasil penelitian (Gayatri dkk., 2003).menunjukkan bahwa peternak
yang memiliki modal diharapkan lebih memilih menanamkan modalnya untuk
pengembangan usaha ternak sapi perah, dapat juga melakukan peminjaman
kepada bank atau koperasi karena usaha ini ternyata cukup menguntungkan
Untuk mengatasi masalah permodalan dan pemasaran, Dinas Peternakan
dan Kesehatan Hewan (pihak pertama) bekerja sama dengan petani ternak
(pihak kedua). Kerjasama antara pihak pertama dengan pihak kedua melahirkan
hubungan kerjasama kemitraan yaitu dengan memberikan bantuan sapi kepada
kelompok peternak dalam bentuk kredit sapi potong sistem bergulir. Pelaksanaan
kemitraan usaha peternakan yang dilakukan pihak pertama dengan pihak kedua
ditunjukan pada Gambar 2.
Gambar 2 : Skema kemitraan Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Kabupaten Donggala (pihak pertama) dengan kelompok peternak (pihak kedua).
Dinas Peternakan dan Kesehatan
Hewan Kabupaten Donggala
Kelompok
peternak
Kelompok
peternak
Kelompok
peternak
Peternak Peternak
k Peternak Peternak
k
Peternak
k Peternak
ak
44
Kredit sapi potong sistem bergulir merupakan salah satu pilihan skema
kredit yang dapat digunakan oleh peternak untuk penambahan skala usaha..
Berdasarkan SK Direktorat Jenderal Peternakan No.50/HK.050/KPST/2/93
Tahun 1993 (Ditjennak 1993b), yang dimaksud dengan sistem bergulir adalah
sistem penyebaran ternak dari pemerintah kepada peternak dan dalam kurun
waktu tertentu, maka peternak harus mengembalikan ternak pengganti hasil
keturunan dari ternak yang pernah diberikan kepadanya dan tidak dinilai dengan
uang. Semi bergulir adalah sistem penyebaran ternak pemerintah dimana ternak
yang digaduhkan pemerintah kepada petani yang pengembaliannya berupa
ternak yang dinilai dengan uang. Penggaduh adalah peternak yang berdasarkan
suatu perjanjian tertentu memelihara ternak bergulir. Ternak pokok adalah ternak
bibit yang diserahkan kepada penggaduh untuk dikembangbiakkan. Ternak
setoran adalah ternak keturunan hasil pengembanganternak dari pemerintah
yang diserahkan oleh penggaduh sebagai kewajiban pengembalian bergulir
sesuai dengan peraturan (Hadiana 1996)
.Berdasarkan pengertian kredit menurut FAO (1965), tujuan sistem bergulir
ternak pada dasarnya identik dengan kredit produksi, keduanya dibangun atas
kesepakatan kedua belah pihak antara peminjam (penggaduh) dengan pemilik
modal. Penggaduh memperoleh kewenangan untuk menggunakan aset pada
saat sekarang dengan perjanjian kelak pada saat tertentu akan dikembalikan.
Perbedaannya terletak pada cara dan bentuk pengembalian pinjaman. Pada
sistim bergulir setoran berbentuk natura (ternak setoran), sedangkan dalam
sistem kredit produksi, pengembalian berupa innatura atau kalaupun dibayar
secara natura, namun tetap didasarkan atas ukuran uang (Hadiana 1996)
Secara ringkas kerangka pemikiran operasional dalam penelitian ini
ditunjukkan pada Gambar 3.
45
Gambar 3. Kerangka pikir penelitian
Gambar 3 terlihat bahwa dalam usaha ternak sapi potong petani
dihadapkan pada masalah sumberdaya rendah menyebabkan usaha ternak
tidak efisien. Petani ternak membutuhkan kredit untuk menambah modal dalam
kegiatan usaha ternaknya. Kebutuhan modal peternak disediakan pemerintah
dalam bentuk kredit sapi potong sistem bergulir. Upaya ini dilakukan agar
peternak dapat memanfaatkan sumberdaya dengan optimal
Pada tahap awal, kelompok peternak mengajukan proposal kemudian
indentifikasi calon penerima/calon lokasi. Setelah proposal mendapat
persetujuan bantuan modal dari pemerintah diberikan kepada kelompok peternak
yang telah terseleksi selanjutnya dibuat perjanjian ternak pemerintah (pihak
pertama) dengan kelompok peternak (pihak kedua) mengenai kewajiban dan
usaha sapi potong sistem
bergulir
Peternak Sumberdaya rendah
Dinas Peternakan dan
Kesehatan Hewan
Kesejahteraan
meningkat
Usaha ternak tidak efisien
Optimalisasi kredit sapi
potong sistem bergulir
Analisis LGP
Pendapatan meningkat Produksi meningkat Populasi meningkat
Usaha ternak
efisien
Analisis
Sensitivitas
46
waktu pengembalian kredit. Pada tahap selanjutnya penyebaran ternak sapi
kepada kelompok peternak. Pihak kedua mempunyai kewajiban: 1) menyerahkan
kepada pihak pertama sebagian keturunan ternak yang diterimanya sebanyak
(ekor) yang memenuhi syarat dalam jangka tertentu (tahun) sebagai setoran, 2)
sanggup menyediakan kandang, pakan dan memelihara ternak yang diterima
dengan baik, 3) memanfatkan pejantan untuk mengawini ternak betina
dikelompoknya, 4) mengikuti petunjuk dan bimbingan teknis yang diberikan oleh
petugas dinas peternakan, 5) melaporkan segala sesuatu yang terjadi terhadap
ternak yang dipelihara, 6) menanggung resiko ternak yang dipelihara sesuai
ketentuan yang berlaku, 7) menanda tangani perjanjian kredit untuk ternak semi
gaduhan. Pihak kedua berhak: 1) memiliki ternak yang diterimanya dan sisa
keturunan ternaknya setelah melunasi kewajibannya, 2) memanfaatkan tenaga
ternak yang dipelihara dalam batas-batas tertentu, 3) memanfaatkan pupuk
kandang hasil ternak yang dipelihara. populasi dan pada akhirnya meningkatkan
kesejahteraan petani. Apabila pelaksanaan kredit sapi dapat berjalan dengan
optimal, maka akan terjadi perguliran yang disertai peningkatan pendapatan,
peningkatan produksi, peningkatan populasi dan dapat meningkatkan
kesejahteraan petani peternak.
47
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
4.1. Lokasi dan Waktu Peneltian
Pemilihan lokasi penelitian menggunakan metode multistage sampling
method yaitu sampel bertahap ganda (Singaribuan dan Efendi, 1987). Penentuan
lokasi ditentukan secara bertahap berdasarkan wilayah yang ada yakni dari
provinsi, kabupaten, kecamatan dan desa.
Penelitian dilakukan di Kecamatan Dampelas Kabupaten Donggala
Provinsi Sulawesi tengah dengan pertimbangan di daerah ini merupakan daerah
percontohan untuk pengembangan ternak sapi potong dengan sistem semi
intensif melalui bantuan ternak sistem bergulir, memiliki populasi ternak sapi
potong terbanyak 20,88 % dari total populasi sapi potong di Kabupaten
Donggala yaitu 36.328 ekor, memiliki jumlah rumah tangga usaha peternakan
sapi potong terbanyak 24,02 % dari total rumah tangga usaha ternak sapi di
Kabupaten Donggala (Dinas Pertanian Peternakan dan Kesehatan Hewan
Kabupaten Donggala, 2014). Pengambilan data dilokasi penelitian dilaksanakan
selama 6 bulan dari bulan November 2013 sampai dengan bulan Mei 2014.
4.2. Metode Penelitian
Metode penelitian menggunakan metode survei yaitu penyelidikan yang
dilakukan untuk memperoleh fakta-fakta dari gejala-gejala yang ada dan mencari
keterangan secara faktual, baik institusi sosial, ekonomi atau politik dari suatu
kelompok ataupun daerah. Metode survei membedah, menguliti dan mengenal
masalah-masalah serta mendapatkan pembenaran terhadap keadaan dan
praktek-praktek yang sedang berlangsung (Nazir, 2009). Variabel yang diteliti
untuk analisis Linear Goal Programming (LGP) terdiri atas pendapatan petani
48
jumlah ternak, pertambahan bobot badan harian ternak, pemanfaatan limbah
kotoran ternak sebagai pupuk, pemanfaatan limbah pertanian sebagai pakan
ternak, luas lahan, penggunaan modal kerja, ketersediaan tenaga kerja keluarga,
besarnya nilai bantuan sapi potong sistem bergulir.
4.3. Populasi dan Teknik Penentuan Responden
Populasi dalam penelitian ini adalah peternak yang mengusahakan sapi
potong pembibitan di Kecamatan Dampelas yakni peternak yang menerima
bantuan sapi potong sistem bergulir sebanyak 264 peternak.
Teknik penentuan responden dimaksudkan untuk menggali informasi
dan pengetahuan yang diteliti dengan pertimbangan tertentu (purposive) (Natsir,
2009). Penentuan responden dilakukan secara sengaja (purposive sampling).
Responden adalah peternak yang mengusahakan sapi potong pembibitan dan
yang menerima bantuan ternak sapi potong sistem bergulir, sebagai anggota
kelompok tani ternak, serta mengusahakan tanaman pertanian baik tanaman
pangan maupun tanaman perkebunan sesuai dengan komoditas yang ada di
wilayah penelitian. Pemilihan responden disesuaikan dengan kriteria dapat
mewakili dan memahami permasalahan yang diteliti. Jumlah responden
ditentukan dengan menggunakan rumus (Yamane, 1979) sebagai berikut :
N n = ----------- 1 + Ne 2
keterangan :
n = Besarnya sampel N = Besarnya populasi (kepala keluarga peternak sapi potong) e = galat yang dapat diterima (10%)
Berdasarkan rumus diatas maka ditetapkan sebanyak 73 responden,
yang terdiri: 25 responden dari Desa Malonas, 25 responden dari Desa Lembah
Mukti, 10 responden dari Desa Ponggerang dan 13 responden dari Desa
49
Rerang. Kriteria pemilihan responden atas dasar pertimbangan :
1. Sebagai anggota kelompok tani ternak,
2. mendapatkan bantuan ternak sapi potong sistem bergulir
3. Memiliki dan mengusahakan usahatani (tanaman pangan dan tanaman
perkebunan).
Responden lain terdiri: 2 dari dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi
Sulawesi Tengah, 2 dari Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Kabupaten
Donggaala, 3 petugas penyuluh pertanian, 4 kepala desa dan 1 dari kantor
Kecamatan Dampelas. Bangsa sapi potong yang diusahakan adalah sapi
Donggala. sapi Bali dan sapi Peranakan Ongole (PO).
Karakteristik sapi Donggala terdiri dari sifat kualitatif dan sifat kuantitatif.
Sifat kualitatif : 1). Warna tubuh: putih abu-abu, putih coklat dan putih, 2). Bentuk
tanduk melingkar kesamping atas, gelambir menggantung sepanjang hingga
tulang dada (stemum), 3).Gumba kecil. Sifat kuantitatif : 1). Ukuran tubuh ; Tinggi
pundak Jantan: 137 –138 cm.Betina: 131 –132 cm. 2). Panjang badan:Jantan:
125 –127 cm. Betina: 119 –121 cm. 3). Lingkar dada: Jantan: 176 –178 cm.
Betina: 167 –170 cm. 4). Bobot badan: Jantan: 361 –366 kg. Betina: 344 –349
kg. Umur dewasa kelamin : 18–21 bulan. Umur beranak pertama : 31–40
bulan.d.Jarak beranak:18–21 bulan. Lama berahi:16 –22 jam. Siklus berahi
18 –20 hari.
Secara fisik, sapi Bali mudah dikenali karena mempunyai ciri-ciri sebagai
berikut: Warna bulunya pada badannya akan berubah sesuai usia dan jenis
kelaminnya, sehingga termasuk hewan dimoprhism-sex. Pada saat masih
“pedet”, bulu badannya berwarna sawo matang sampai kemerahan, setelah
dewasa sapi Bali jantan berwarna lebih gelap bila dibandingkan dengan sapi Bali
betina. Warna bulu sapi Bali jantan biasanya berubah dari merah bata menjadi
coklat tua atau hitam setelah mencapai dewasa kelamin sejak umur 1,5 tahun
50
dan menjadi hitam mulus pada umur 3 tahun. Warna hitam dapat berubah
menjadi coklat tua atau merah bata kembali apabila sapi Bali jantan itu dikebiri,
yang disebabkan pengaruh hormon testosterone. Kaki di bawah persendian
telapak kaki depan (articulatio carpo metacarpeae) dan persendian telapak kaki
belakang (articulatio tarco metatarseae) berwarna putih. Kulit berwarna putih juga
ditemukan pada bagian pantatnya dan pada paha bagian dalam kulit berwarna
putih tersebut berbentuk oval (white mirror). Warna bulu putih juga dijumpai pada
bibir atas/bawah, ujung ekor dan tepi daun telinga. Kadang-kadang bulu putih
terdapat di antara bulu yang coklat (merupakan bintik-bintik putih) yang
merupakan kekecualian atau penyimpangan yang ditemukan sekitar kurang
daripada 1% . Bulu sapi Bali dapat dikatakan bagus (halus) pendek-pendek dan
mengkilap. Karakteristik sapi Bali : Ukuran badan berukuran sedang dan bentuk
badan memanjang.Badan padat dengan dada yang dalam. Tidak berpunuk dan
seolah-olah tidak bergelambir Kakinya ramping, agak pendek menyerupai kaki
kerbau. Pada tengah-tengah (median) punggungnya selalu ditemukan bulu hitam
membentuk garis (garis belut) memanjang dari gumba hingga pangkal ekor.
Cermin hidung, kuku dan bulu ujung ekornya berwarna hitam. Tanduk pada sapi
jantan tumbuh agak ke bagian luar kepala, sebaliknya untuk jenis sapi betina
tumbuh ke bagian dalam.
Secara fisik Sapi Peranakan Ongole mempunyai ciri-ciri yang hampir sama
dengan Sapi Ongole hanya saja ukuran tubuhnya lebih kecil dibandingkan
dengan Sapi Ongole. Ciri-ciri fisik sapi Peranakan Ongole : 1) warna bulu
bervariasi, tetap ikebanyakan berwarna putih atau putih keabua-abuan; 2) warna
bulu putih abu-abu baru muncul ketika lepas sapih; 3) pada jantan kadang
dijumpai bercak-bercak berwarna hitam pada lututnya; 4) mata besar dan terang;
5) bulu sekitar mata berwarna hitam; 6) bulu jambul ekor berwarna hitam; 7)
bentuk kepala pendek melengkung; 8) telinga panjang menggantung; perut agak
51
besar; 9) bergelambir longgar dan menggentung; punuk besar; 10) leher pendek;
11) tanduk pendek.
4.4. Jenis dan Metode Pengambilan Data
4.4.1. Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penilitian ini adalah data primer dan
data sekunder. Pengumpulan data primer dilakukan dengan teknik
wawancara terhadap responden dengan menggunakan daftar pertanyaan
(quesioner) yang sudah dipersiapkan. Disamping itu, dilakukan juga observasi
(pengamatan langsung) ke lokasi kandang milik peternak responden untuk
mengamati aspek teknis dalam kegiatan usaha ternak. Lebih jelasnya data
primer yang terkait adalah :
1. Karakteristik peternak : umur, pendidikan, jumlah anggota keluarga, mata
pencaharian, pengalaman beternak.
2. Karakteristik usaha ternaknya : luas lahan, kepemilikan ternak, jumlah tenaga
kerja keluarga, modal yang dimiliki, komoditas yang diusahakan.
3. Produksi usaha sapi potong : jumlah dan jenis penggunaan pakan hijauan per
hari, jumlah penggunaan konsentrat per hari, frekuensi pemberian pakan,
jumlah penggunaan tenaga kerja per hari (tenaga kerja upah, tenaga kerja
keluarga).
4. Biaya usaha ternak : biaya pakan hijauan per ekor/bulan. biaya konsentrat
perekor/bulan, biaya vaksin per bulan.
5. Biaya usahatani: biaya sebelum panen, biaya pasca panen, biaya tenaga
kerja per bulan.
6. Pendapatan : pendapatan dari usaha ternak per tahun, pendapatan dari
usahatani per tahun, pendapatan dari non usahatani per tahun.
7. Karakteristik bantuan ternak: jumlah bantuan sapi potong sistem bergulir.
52
Data sekunder diperoleh dari instansi terkait antara lain Dinas Peternakan,
Badan Pusat Statistik (BPS), Kantor Kecamatan. Data sekunder meliputi :
gambaran umum wilayah penelitian, luas daerah, jumlah penduduk, kepadatan
penduduk, potensi lahan pertanian, potensi lahan perkebunan, populasi dan jenis
ternak dan kebijakan pemerintah tentang kredit sapi potong sistem bergulir.
4.4.2. Metode Pengambilan dan Pengukuran Data
Metode pengambilan data primer dilakukan dengan cara diskusi,
wawancara, pengisian kuisioner dan pengamatan langsung ke lapangan. Data
sekunder berupa laporan dan dokumen yang bersumber dari instansi terkait yang
berhubungan dengan bidang penelitian, hasil penelitian terdahulu, atau hasil
studi pustaka.
Pengukuran pendapatan usahatani yaitu dengan cara menghitung semua
pendapatan yang diperoleh dari kegiatan penjualan hasil usahatani tanaman
pangan maupun tanaman kebun beserta hasil olahannya yang merupakan selisih
antara semua penerimaan dengan biaya usahatani dinyatakan dalam
Rupiah/tahun. Pengukuran pendapatan usaha ternak dilkukan dengan cara
semua pendapatan yang diperoleh dari kegiatan penjualan ternak dan nilai
tambah ternak yang merupakan selisih antara semua penerimaan dengan biaya,
dinyatakan dalam Rupiah/tahun.dikurangi biaya Pengukuran jumlah ternak
dihitung berdasarkan jumlah pemilikan ternak yang dipelihara peternak pada
saat penelitian berlangsung (ST). Pengukuran pertambahan bobot badan harian
ternak dilakukan berdasarkan rataan kenaikan bobot badan ternak per hari.
(kg/hari). Pengukuran pemanfaatan limbah ternak untuk pupuk atas dasar
wawancara, berapa jumlah limbah ternak yang dimanfaatkan untuk pupuk
dihitung jumlahnya per hari. Pengukuran pemanfaatan limbah pertanian untuk
pakan ternak dihitung berdasarkan berapa jumlah limbah pertanian yang
53
diberikan pada ternak per hari. Pengukuran luas lahan berapa luas lahan
pertanian yang dimilik petani. Pengukuran modal kerja atas dengan menghitung
berapa pengeluaran untuk kegiatan produksi usaha ternak dan usahatani dalam
setahun. Pengukuran penyerapan tenaga kerja berdasarkan dengan
menghitung jumlah Hari Orang Kerja (HOK) dalam tiap komoditas yang
diusahakan. Pengukuran bantuan sapi potong sistem bergulir dengan
menghitung berapa bantuan ternak sapi potong untuk setiap peternak.
4.5. Analisis Data
Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis
deskriptif dan analisis Linear Goal Programming (LGP). Analisis deskriptif untuk
menggambarkan wilayah dan menjelaskan gambaran umum usaha ternak sapi
potong dan usahatani. Analisis Linear Goal Programming (LGP) untuk
mengetahui optimasl bantuan sapi potong slstem bergulir dan menjelaskan
kemungkinan adanya perubahan pada solusi optimal.
4.5.1. Analisis Linear Goal Programming
Goal Programming merupakan modifikasi atau variasi khusus dari linier
programming yang memiliki banyak tujuan. Goal Programming bertujuan untuk
meminimumkan penyimpangan-penyimpangan dari tujuan-tujuan tertentu
dengan mempertimbangkan hirarki prioritas (Mulyono,1991).
Kendala tujuan dalam Linear Goal Programming bertujuan untuk
meminimumkan deviasi (penyimpangan) ketidak tercapaian sasaran yang
ditargetkan. Kendala tujuan dicirikan adanya sepasang variabel deviasional (d)
yang bertanda positif dan negatif. Kendala fungsional adalah kendala yang
menjadi pembatas dalam mencapai tujuan.
Pada analisis Linear Goal Programming ini, optimalisasi yang ingin
54
dicapai adalah fungsi tujuan dan kendala tujuan, oleh karena itu tujuan
optimalisasi dijadikan sebagai kendala tujuan. Linear Goal Programming yang
disusun untuk mencapai beberapa tujuan terdiri atas beberapa alternatif aktivitas
dan kendala sumberdaya yang dianalisis pada tingkat petani.
Kendala tujuan yang ingin dicapai pada penelitian ini adalah :
1. Pendapatan petani.
2. Jumlah pemeliharaan ternak sapi.
3. Pertambahan bobot badan harian ternak.
4. Pemanfaatan limbah peternakan untuk pupuk.
5. Pemanfaatan limbah pertanian untuk pakan ternak.
6. Luas lahan.
7. Modal kerja.
8. Tenaga kerja.
9. Kredit sapi potong sistem bergulir.
Bentuk umum model matematis Linier Goal Programming (LGP) tanpa
faktor prioritas struktur (Nasendi dan Anwar, 1985) dirumuskan sebagai berikut :
m m Min Z = ∑ W1 (d1
- + d1+ ) = ∑ W1
+ d1- + d1
+ i=1 i=1
Keterangan :
d1- dan d1
+ : jumlah unit deviasi yang kekurangan (-) atau kelebihan (+) dari target (b1)’
W1+ dan W1
-: bobot atau penalti yang diberikan terhadap unit deviasi yang kekurangan (-) atau kelebihan (+) dari target (b1)
Persamaan matematis fungsi tujuan dalam model LGP pada penelitian ini
dirumuskan sebagai berikut :
Min Z = d1+ + d1
- + d2+ + d2
- + d3+ + d3
- + d4+ + d4
- + d5+ + d2
- + d6+ + d6
- + d7
+ + d7- + d8
+ + d8-+ d9
+ + d9-
keterangan :
55
d1+ : deviasi kelebihan target meningkatkan pendapatan petani sebagai
tujuan ke 1 d1
- : deviasi ketidak tercapaian target pendapatan bersih petani sebagai tujuan ke 1
d2+ deviasi kelebihan target meningkatkan jumlah pemeliharaan ternak
sebagai tujuan ke 2 d2
- : deviasi ketidak tercapaian target meningkatkan jumlah pemeliharaan ternak sebagai tujuan ke 2
d3+ : deviasi kelebihan target meningkatkan pertambahan bobot badan
harian ternak sebagai tujuan ke 3 d3
- : deviasi ketidak tercapaian target meningkatkan pertambahan bobot badan harian ternak tujuan ke 3
d4+ : deviasi kelebihan target memanfaatkan limbah kotoran ternak sebagai
pupuk sebagai tujuan ke 4 d4
- : deviasi ketidak tercapaian target memanfaatkan limbah kotoran ternak sebagai pupuk sebagai tujuan ke 4
d5+ : deviasi kelebihan target memanfaatkan limbah pertanian sebagai
pakan ternak sebagai tujuan ke 5 d5
- : deviasi ketidak tercapaian target memanfaatkan limbah pertanian sebagai pakan ternak sebagai tujuan ke 5
d6+ : deviasi kelebihan target luas lahan sebagai tujuan ke 6
d6- : deviasi ketidak tercapaian target luas lahan sebagai tujuan ke 6
d7+ : deviasi kelebihan target modal kerja sebagai tujuan ke 7
d7- : deviasi ketidak tercapaian target modal kerja sebagai tujuan ke 7
d8+ : deviasi kelebihan target penyerapan tenaga kerja sebagai tujuan ke 8
d8- : deviasi ketidak tercapaian target penyerapan tenaga kerja sebagai
tujuan ke 8 d9
+ : deviasi kelebihan kredit sapi potong sebagai tujuan ke 9 d9
- : deviasi ketidak tercapaian target kredit sapi potong sebagai tujuan ke 9
Kendala tujuan dijabarkan sebagai berikut :
1. Kendala tujuan
1.1. Pendapatan petani
Kendala tujuan pendapatan petani pada model operasional penelitian ini,
menggunakan rumus sebagai berikut :
n ∑PiXi + d1
- + d1+ = P
i=1
keterangan :
P : target tujuan pendapatan petani (Rp/th) Pi : jumlah pendapatan petani (Rp/th) pada usahatani ke i Xi : usahatani kei d1
- : deviasi ketidak tercapaian target pendapatan petani sebagai tujuan ke 1
56
d1+ : deviasi kelebihan target pendapatan petani sebagai tujuan ke 1
Target pencapaian tujuan pendapatan petani melalui analisis Linear
Goal Programming ini diharapkan maksimal sama dengan besarnya
pendapatan keluarga petani diwilayah penelitian.
1.2. Jumlah kepemilikan ternak
Kendala tujuan jumlah pemilikan ternak pada model operasional
penelitian ini, menggunakan rumus sebagai berikut :
4
∑ JiXi + d2- + d2
+ = J i=1
keterangan :
J : target tujuan jumlah pemilikan ternak (ST/tahun) Ji : Jumlah pemeliharaan ternak sapi (ST/tahun) pada usaha ternak
sapi sampai ke i Xi : Usaha ternak kei d2
- : deviasi ketidak tercapaian target jumlah pemilikan ternak sebagai tujuan ke 2
d2+ : deviasi kelebihan target jumlah pemeliharaan ternak sapi
sebagai tujuan ke 2
Target pencapaian tujuan jumlah kepemilikan ternak pada analisis ini
diharapkan minimal sama dengan rata-rata jumlah ternak sapi potong
yang ada di wilayah penelitian.
1.3. Pertambahan bobot badan harian ternak
Tujuan untuk meningkatkan pertambahan bobot badan harian pada
model operasional penelitian ini, menggunakan rumus sebagai berikut :
4
∑ PbiXi + d3- + d3
+ = Pb i=1
keterangan :
Pb : target tujuan meningkatkan pertambahan bobot badan harian ternak (kg/ekor/hari)
Pbi : Pertambahan bobot badan harian ternak pada usaha ternak sapi ke i
Xi : Usaha ternak kei d3
- : deviasi ketidak tercapaian target meningkatkan pertambahan bobot badan harian ternak sebagai tujuan ke 3
57
d3+ : deviasi kelebihan target meningkatkan pertambahan bobot
badan harian ternak sebagai tujuan ke 3
Target pencapaian pertambahan bobot badan harian ternak ini
diharapkan minimal sama dengan jumlah rata-rata pertambahan bobot
badan harian ternak di wilayah penelitian.
1.4. Pemanfaatan limbah kotoran ternak sebagai pupuk
Tujuan untuk pemanfaatan kotoran ternak pada model operasional
penelitian ini, menggunakan rumus sebagai berikut :
4
∑ LtiXi + d4- + d4
+ = Lt i=1
keterangan :
Lt : target tujuan pemanfaatan limbah kotoran ternak sebagai pupuk (kg/tahun)
Lti : Jumlah pemanfatan limbah kotoran ternak sebagai pupuk (ton/tahun) pada usaha ternak sapi ke i
Xi : Usaha ternak kei d4
- : deviasi ketidak tercapaian target pemanfaatan limbah kotoran untuk pupuk ternak sebagai tujuan ke 4
d4+ : deviasi kelebihan target pemanfaatan limbah ternak untuk
pupuk sebagai tujuan ke 4
Target pencapaian pemanfaatan limbah kotoran ternak untuk pupuk ini
diharapkan minimal sama dengan rata-rata pemanfaatan limbah kotoran
ternak untuk pupuk di wilayah penelitian.
1.5. Pemanfaatan limbah pertanian sebagai pakan ternak
Kendala tujuan untuk meningkatkan pemanfaatan limbah pertanian
sebagai pakan ternak pada model operasional penelitian ini
menggunakan menggunakan rumus sebagai berikut :
1
∑ LpiXi + d5- + d5
+ = Lp i=1
keterangan :
Lp : target tujuan pemanfaatan limbah pertanian sebagai pakan
ternak (kg/ekor/tahun)
58
Lpi : jumlah pemanfaatan limbah pertanian sebagai pakan ternak (kg/ekor/tahun) pada usaha ternak sapi ke i
Xi : usahatani kei d5
- : deviasi ketidak tercapaian target pemanfaatan limbah pertanian sebagai pakan ternak sebagai tujuan ke 5
d5+ : deviasi kelebihan target meningkatkan pemanfaatan limbah
pertanian sebagai pakan ternak sebagai tujuan ke 5
2. Kendala sumberdaya :
2.1. Kendala terbatasnya luas pemilikan lahan
Kendala terbatasnya luas pemilikan lahan pada model operasional, ini
dirumuskan sebagai berikut :
n
∑ LiXi + d- + d+ ≤ L i=1
keterangan : L : target luas lahan sawah, kebun (ha) Li : luas lahan minimal yang tersedia pada usaha ternak sapi ke i Xi : usahatani kei d6
- : deviasi ketidak tercapaian target luas lahan sebagai tujuan ke 6
d6+ : deviasi kelebihan target luas lahan sebagai tujuan ke 6
Target ketersediaan lahan (sawah, kebun) melalui analisis LGP ini
diharapkan minimal sama dengan rata-rata luas lahan yang ada di
wilayah penelitian.
2.2. Kendala terbatasnya modal kerja
Kendala modal kerja usahatani model operasional ini dirumuskan
sebagai berikut :
n
∑ MiXi + d- + d+ ≤ M i=1
keterangan :
M : target jumlah modal kerja tahunan (Rp/tahun) yang tersedia Mi : jumlah modal kerja minimal yang dialokasikan oleh petani pada
usaha ternak sapi ke i Xi : usahatani kei d7
- : deviasi ketidak tercapaian target penggunaan modal kerja sebagai tujuan ke 7
59
d7
+
: deviasi kelebihan target penggunaan modal kerja sebagai tujuan ke 7
Target ketersediaan modal kerja melalui analisis LGP diharapkan
minimal sama dengan rata-rata modal kerja yang disiapkan oleh petani
pada usaha ternak sapi di wilayah penelitian.
2.3. Kendala terbatasnya jumlah tenaga kerja keluarga
Kendala jumlah tenaga kerja keluarga pada model operasi ini
dirumuskan sebagai berikut :
n
∑ TkiXi + d- + d+ ≤ Tk i=1 keterangan : Tk : target jumlah tenaga kerja keluarga (HOK/tahun) yang tersedia Tki : Jumlah tenaga kerja keluarga (HOK/tahun) minimal yang
dialokasikan oleh petani pada usaha ternak sapi ke i Xi : usahatani kei d8
- : deviasi ketidak tercapaian target penggunaan tenaga kerja keluarga sebagai tujuan ke 8
d8+ : deviasi kelebihan target penggunaan tenaga kerja keluarga
sebagai tujuan ke 8
Target ketersediaan tenaga kerja keluarga melalui analisis LGP ini
diharapkan minimal sama dengan rata-rata tenaga kerja keluarga yang
dimiliki oleh petani selama satu tahun pada usaha ternak sapi.
2,4. Kendala terbatasnya kredit sapi potong slstem bergulir
Kendala terbatasnya kredit sapi potong sistem bergulir pada model
operasional ini dirumuskan sebagai berikut :
4
∑ KiXi + d- + d+ ≤ K i=1
keterangan : K : target jumlah kredit sapi potong sistem bergulir yang diterima
petani Ki : Jumlah yang kredit sapi potong sistem bergulir diterima petani
60
pada usaha ternak sapi ke i Xi : Usaha ternak kei d9
- : deviasi ketidak tercapaian target kredit sapi potong sistem bergulir sebagai tujuan ke 9
d9+ : deviasi kelebihan target kredit sapi potong sistem bergulir
sebagai tujuan ke 9
Target ketersediaan kredit sapi potong melalui analisis LGP ini diharapkan
minimal sama dengan rata-rata besarnya bantuanternak sapi potong yang
diberikan pada usaha ternak sapi yng ada di wilayah penelitian.
Tabel 4 menampilkan Variabel keputusan, kendala tujuan, kendala
fungsional dan satuan(ukuran) pada Linear Goal Programming (LGP) kredit sapi
potong sistem bergulir.
Tabel 4. Variabel keputusan,fungsi tujuan, kendala tujuan pada Linear Goal Programming (LGP) usaha sapi potong
variabel Kendala tujuan Satuan
X1 Usahatani padi (Ha)
X2 Usaha kebun kelapa (Ha)
X3 Usaha kebun cengkeh (Ha)
X4 Usaha ternak sapi (ST)
Pendapatan petani Jumlah ternak Pertambahan bobot badan harian ternak Pemanfaatan limbah kotoran ternak Untuk pupuk Pemanfaatan limbah pertanian untuk pakan ternak Luas lahan Modal petani Tenaga kerja keluarga Kredit sapi potong
Rp/thn
ST Kg
Kg
Kg
Ha
Rp/thn HOK ST
Pada Tabel 5 ditampilkan ringkasan tujuan, kendala tujuan dan kendala
fungsional pada Linear Goal Programming (LGP),
61
Tabel 5. Ringkasan fungsi tujuan dan kendala tujuan pada Linear Goal Programming (LGP)
Tujuan fungsi tujuan Kendala
Kendala tujuan
Pendapatan petani n ∑PiXi + d1
- + d1
+ = P
i=1
Terbatasnya luas pemilikan lahan
n
∑LiXi + d6- + d6
+ ≤ L
i=1
Jumlah kepemilikan ternak
n
∑JiXi + d2- + d2
+ ≤ J
i=1
Terbatasya modal kerja petani
n
∑MiXi + d7- + d7
+ ≤ M
i=
Pertambahan bobot badan harian
n
∑PbiXi + d3- + d3
+ ≥ Pb
i=1
Terbatasnya ketersediaan tenaga kerja keluarga
n
∑TkiXi + d8- + d8
+ ≤Tk
i=1
Pemanfaatan limbah kotoran ternak untuk pupuk
n
∑LtiXi + d4- + d4
+ = Lt
i=1
Terbatasya kredit sapi potong
n
∑ KiXi + d9- + d9
+ ≤ K
i=1
Pemanfaatan limbah pertanian untuk pakan ternak
n
∑LpiXi + d5- + d5
+ = Lp
i=1
Keterangan : P : pendapatan; J : jumlah kepemilikan ternak, Pb : pertambahan
bobot badan harian ternak LT : limbah kotoran ternak sebagai pupuk;
LP : limbah pertanian sebagai pakan ternak; Lh : luas lahan; M : modal
kerja; TKK : tenaga kerja keluarga; K : kredit sapi potong
Matriks data bentuk Linear Goal Programming (LGP) yang akan digunakan.
disajikan pada Tabel 6.
62
Tabel 6. Matriks data untuk Linear Goal Programming (LGP).
Kegiatan
Sumber
Aktivitas
1 2.........................................n
Kapasitas
Kendala tujuan
Pendapatan petani P1X1 + P2X2 + .................... + PnXn + d- + d
+
P : pendapatan petani pada usaha ternak sapi ke i
=
Jumlah pemeliharaan ternak
J1X1 + J2X2 + ..................... + JnXn + d- + d
+
J : jumlah ternak sapi yang dipelihara petani pada usaha ternak sapi sampai ke i
=
Pertambahan bobot badan harian
Pb1X1 + Pb2X2 + ................... + PbnXn + d- + d
+
Pb : pertambahan bobot badan harian pada usaha ternak sapi ke i
=
Pemanfaatan limbah kotoran ternak untuk pupuk
Lt1X1 + Lt2X2 + .................. + LtnXn + d- + d
+
Lt : limbah kotoran ternak yang dimanfaatkan pada usaha ternak sapi ke i
=
Pemanfaatan limbah pertanian sebagai pakanternak
Lp1X1 + Lp2X2 + ...................+ LpnXn + d- + d
+
Lp : limbah pertanian yang dimanfaatkan untuk pakan ternak pada usaha ternak sapi ke i
=
Kendala sumberdaya
Luas kahan L1X1 + L2X2 + ............ .... + LnXn + d- + d
+
L : Luas lahan yang dimiliki petani pada usaha ternak sapi ke i
>
Modal kerja M1X1 + M1X2 +.....................+ MnXn + d- + d
+
M : modal kerja yang dimiliki petani untuk usahatani pada usaha ternak sapi ke i
=
Tenaga kerja keluarga Tk1X1 + Tk2X2 + .................... + TknXn + d- - d
+
Tk : tenaga kerja keluarga yang tersedia pada usaha ternak sapi ke i
=
Kredit sapi potong K1X1 + K2X2 + ......................+ KnXn + d- + d
+
K : kredit sapi potong yang diterima petani pada usaha ternak sapi ke i
=
Keterangan : P : pendapatan; J : jumlah ternak, Pb : pertambahan bobot badan harian ternak LT : limbah kotoran ternak; LP : limbah pertanian sebagai pakan ternak; ; Lh : luas lahan; M : modal kerja; TKK : tenaga kerja keluarga; K : kredit sistem bergulir
4.5.2 Analisis Sensitivitas
Analisa perubahan parameter dan pengaruhnya terhadap solusi linear
programing (LP) dinamakan post optimality analysis yang menunjukan bahwa
analisis ini terjadi setelah diperoleh solusi optimum dengan mengasumsikan
seperangkat nilai parameter yang digunakan dalam model (Mulyono.1991).
63
Analisis sensitivitas bertujuan untuk melihat suatu keadaan atau faktor teknis
yang berubah terhadap hasil analisis suatu aktivitas produksi. Oleh karena itu
pada suatu analisis kepekaan setiap kemungkinan harus dicoba yang berarti
bahwa setiap kali harus dilakukan analisis kembali. Namun analisis yang
dilakukan hanya melihat akibat dari beberapa kemungkinan perubahan yang
terjadi terutama yang berkaitan dengan resiko kesalahan dalam varibel.
Analisis sensitivitas pada penelitian ini adalah melihat suatu keadaan
yang berubah terhadap hasil analisis optimasi. Pada aktivitas operasional usaha
ternak sapi potong dilakukan analisis sensitivitas terhadap :
1. Perubahan pendapatan petani.
2. Perubahan modal kerja yang digunakan untuk usahatani dan usaha ternak.
3. Perubahan kredit sapi potong sistem bergulir
4.6. Definisi Operasional Variabel dan Batasan Istilah
Beberapa definisi operasional semua variabel dan istilah-istilah yang
digunakan dalam penelitian ini adalah :
1. Kredit adalah sebagai kesanggupan individu untuk memperoleh barang,
jasa atau uang, dengan perjanjian akan membayar kembali dikemudian
hari.
2. Kredit sapi potong sistem bergulir dalam penelitian ini adalah pinjaman
yang diberikan berupa ternak sapi betina berumur 1,5 tahun dengan
pengembalian berupa keturunan pertama baik jantan maupun betina.
2. Gaduhan adalah sistem bagi hasil dengan memberikan pokok atau modal
dari seseorang kepada orang lain untuk diusahakan atau dipelihara dan
pembagian keuntungan serta mekanisme pelaksanaannya tergantung pada
persetujuan atau kesepakatan kedua belah pihak.
64
3. Waktu pengembalian kredit adalah waktu yang diberikan oleh pemerintah
kepada peternak untuk melunasi kredit sapi potong yang diterimanya
diukur dalam 5 tahun.
4. Skim kredit merupakan suatu cara atau pola pemberian kredit yang meliputi
persyaratan yang diperlukan, jumlah pemberian kredit maksimum, jangka
waktu pengembalian dan sistem pembayaran.
5. Nilai kredit merupakan besarnya nilai kredit sapi potong yang diterima oleh
peternak dinyatakan dalam rupiah.
6. Optimalisasi usaha ternak sapi potong adalah proses pencapaian hasil
pada usahatani tanaman pangan, tanaman perkebunan dan usaha ternak
sapi potong sistem bergulir.
7. Petani adalah yang mengusahakan tanaman pangan dan atau tanaman
perkebunan serta memelihara ternak sapi potong.
8. Usaha ternak sapi potong adalah usaha pemeliharaan pembibitan ternak
sapi potong yang bertujuan untuk mendapatkan hasil utama maupun
sampingan yang dapat dijual atau dimanfaatkan untuk kepentingan
manusia.
9. Usahatani yaitu usaha tanaman pangan, perkebunan yang ada di suatu
wilayah dinyatakan dalam satuan hektar.
10. Luas lahan individu adalah luas tanah pertanian yang secara riil
diusahakan oleh petani baik lahan milik sendiri maupun disewa, dinyatakan
dalam satuan hektar.
11. Luas lahan pertanian adalah luas yang diusahakan untuk usaha pertanian
yaitu untuk tanaman pangan, tanaman perkebunan dan ternak yang ada di
suatu wilayah dinyatakan dalam satuan hektar.
12. Populasi ternak adalah jumlah ternak sapi yang ada pada wilayah
penelitian dinyatakan dalam ekor.
65
13. Pendapatan usahatani adalah pendapatan yang diperoleh dari kegiatan
penjualan hasil usahatani tanaman pangan maupun tanaman kebun
beserta hasil olahannya yang merupakan selisih antara semua penerimaan
dengan biaya usahatani dinyatakan dalam Rupiah/tahun.
14. Pendapatan usaha ternak adalah pendapatan yang diperoleh dari kegiatan
penjualan ternak dan nilai tambah ternak, yang merupakan selisih antara
semua penerimaan dengan biaya, dinyatakan dalam Rupiah/tahun.
15. Pendapatan non usahatani adalah pendapatan yang diperoleh dari
kegiatan diluar usahatani maupun usaha ternak, dinyatakan dalam
Rupiah/tahun.
16. Penerimaan usaha ternak sapi adalah harga sapi pedet, dara maupun
dewasa per ekor dan pertambahan nilai ternak hasil pemeliharaan dalam
satu tahun, dinyatakan dalam rupiah (Rp).
17. Penerimaan usahatani tanaman/perkebunan adalah hasil kali antara harga
jual dan produk yang dihasilkan untuk setiap jenis tanaman padi, kakao,
kelapa , cengkeh pada setiap musim tanam/produksi dalam satu tahun,
dinyatakan dalam rupiah (Rp).
18. Biaya input tanaman/perkebunan adalah pengeluaran yang ditujukan untuk
pembelian bibit, pupuk maupun pestisida yang digunakan untuk setiap jenis
tanaman pada setiap musim tanam/produksi dalam satu tahun, dinyatakan
dalam rupiah(Rp).
19. Biaya input ternak adalah pengeluaran untuk pembelian obat-obatan,
pengadaan pakan ternak, pengadaan konsentrat setiap tahun, biaya IB
atau pupuk untuk tanaman pakan ternak per satuan ternak/unit, dinyatakan
dalam rupiah (Rp).
20. Jumlah ternak yang dimiliki adalah jumlah ternak sapi potong yang
diusahakan oleh peternak dinyatakan dalan Satuan Ternak.
66
21. Pertambahan bobot badan harian adalah dengan cara menimbang berat
badan ternak, dinyatakan dalam kg/ekor/hari.
22. Limbah ternak adalah kotoran yang dihasilkan ternak yang dimanfaatkan
untuk usahatani lain sebagai pupuk, bio gas.
23. Limbah pertanian adalah limbah yang dihasilkan pada usahatani tanaman
pangan setelah panen yang dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak.
24. Kendala adalah faktor pembatas pada kegiatan usahatani yang dilakukan
petani, pada penelitan ini pembatasnya adalah luas lahan, modal kerja
ketersediaan tenaga kerja keluarga dan bantuan ternak sapi potong sistem
bergulir.
25. Kendala luas lahan pertanian dibedakan atas lahan sawah dan kebun
kendala luas lahan diambil berdasarkan luas lahan yang diusahakan
dinyatakan dalam satuan ha.
26. Kendala modal kerja adalah seluruh pengeluaran yang digunakan untuk
kegiatan usahatani berupa uang tunai yang dikeluarkan petani dinyatakan
dalam satuan rupiah (Rp).
27. Tenaga kerja keluarga adalah jumlah tenaga kerja produktif usia diatas 15
tahun yang dimiliki oleh rumahtangga petani yang dapat dilibatkan dalam
aktivitas produksi tanaman/perkebunan dan ternak, dinyatakan dalam Hari
Orang Kerja (HOK). 1 HOK setara dengan bekerja 7 jam per hari, 25 hari
per bulan dan 300 hari per tahun. Satu HOK tenaga kerja pria = 1, tenaga
wanita = 0,8. Tenaga kerja anak-anak = 0,5.
28. Kendala bantuan sapi potong sistem bergulir dihitung berdasarkan nilai
bantuan yang diterima peternak dinyatakan dalam rupiah (Rp).
29. Tenaga kerja pertanian adalah banyaknya jumlah tenaga kerja dalam usia
produktif yang berada pada suatu wilayah dinyatakan dalam Hari Orang
Kerja (HOK), pria = 1 HOK, wanita = 0,8 HOK, anak-anak = 0,5 HOK.
67
30. Produksi ternak adalah produksi yang dihasilkan ternak dengan cara
mengestimasi pada kenaikan bobot badan ternak yang ada pada wilayah
penelitian,
31. Aktivitas yaitu kegiatan usahatani yang dilakukan petani yang mempunyai
kontribusi terhadap pendapatan. Aktivitas yang dikembangkan dalam
penelitian ini adalah aktivitas produksi, aktivitas penjualan hasil, baik untuk
usahatani tanaman, kebun maupun usahatani ternak, aktivitas menyewa
tenaga kerja dari luar.
32. Aktivitas produksi merupakan proses produksi dari setiap jenis usaha
(tanaman padi,kebun kelapa, kebun cengkeh dan ternak sapi potong) yang
diusahakan petani dalam satu tahun. Aktivitas usahatani tanaman pangan
dirinci per musim tanam per tahun, sedang untuk tanaman perkebunan
(tahunan) tidak dibedakan atas musim tanam. Aktivitas yang dihasilkan
dari tanaman diukur dalam satuan ha. Aktivitas produksi ternak diukur
dalam satuan ekor merupakan biaya yang dikeluarkan untuk pemeliharaan
ternak selama satu tahun.
33. Aktivitas jual merupakan aktivitas untuk menjual hasil dari setiap usahatani
tanaman dan ternak yang dihasilkan dalam setahun. Koefisien fungsi
tujuan dari aktivitas ini adalah harga jual untuk setiap komoditas, aktivitas
ini akan menambah nilai fungsi tujuan sebesar nilai jual dari masing-
masing komoditas
34. Aktivitas membeli produk untuk tanaman dan ternak yaitu aktivitas untuk
menambah sumberdaya berupa saprodi yang dinyatakan dalam kilogram
yang dikalikan dengan harga sumberdaya.
35. Aktivitas menyewa tenaga kerja adalah aktivitas untuk menambah
sumberdaya tenaga kerja dari luar keluarga untuk melakukan aktivitas
usahatani dihitung dalam satu tahun.
68
36. Upah tenaga kerja adalah jumlah tenaga kerja luar keluarga yang
digunakan pada saat tertentu dimana tingkat pekerjaan usahatani cukup
banyak dan tidak dapat dilakukan hanya oleh tenaga kerja keluarga,
dengan besarnya upah sesuai dengan yang berlaku di lokasi penelitian,
dinyatakan dalam Rupiah/HOK.
37. Produksi usahatani dihitung dalam satuan fisik, misalnya kilogram
atau ekor, merupakan rata-rata produksi dalam satu tahun, nilai hasil
merupakan perkalian dari produksi dengan harga jual yang berlaku.
38. Harga pada tingkat usahatani merupakan harga jual produksi yang diterima
petani atau harga beli input yang langsung dibayar petani.
39. Pola usahatani merupakan usahatani yang diusahakan atau yang ditanam
petani pada lahan pertanian dalam satu tahun. Komoditas yang diusahakan
terdiri atas tanaman padi, kebun kakao, kebun kelapa dan kebun cengkeh.
69
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Deskripsi Daerah Penelitian
5.1.1. Letak dan Keadaan Geografia
Provinsi Sulawesi Tengah dengan ibukota Provinsi Kota Palu, terletak
diantara 2022” Lintang Utara, 3048” Lintang Selatan, 119022” - 124022” Bujur
Timur. Provinsi Sulawesi Tengah merupakan provinsi terluas di Pulau Sulawesi,
dengan luas wilayah daratan 63.330 km2 dan luas wilayah laut 189.480 km2,
berbatasan dengan Laut Sulawesi di sebelah utara, Provinsi Maluku di sebelah
timur, Provinsi Sulawesi Tenggara di sebelah selatan, Selat Makassar di sebelah
barat.
Kabupaten Donggala adalah salah satu kabupaten di Sulawesi tengah,
terletak antara 0°,30” Lintang Utara dan 2°,20” Lintang Selatan serta 119°,45”-
121°,45” Bujur Timur. Kabupaten Donggala dengan ibukota Banawa, luas
wilayah 5,275.69 km2 terbagi menjadi 16 kecamatan. Wilayah Kabupaten
Donggala berbatasan langsung dengan KabupatenTolitoli di sebelah utara,
Propinsi Sulawesi Barat dan Kabupaten Sigi serta Kota Palu di sebelah selatan,
wilayah Propinsi Sulawesi Barat dan Selat Makassar di sebelah barat,
Kabupaten Sigi dan Kabupaten Parigi Moutong di sebelah timur.
Kecamatan Dampelas yang merupakan lokasi penelitian terletak pada
belahan utara wilayah Kabupaten Donggala pada posisi 0o25’08”–0o05’27” LU
dan 119o46’16”-120o06’03” BT yang membentang dari Desa Kambayang sampai
Desa Rerang. Secara administratif terdiri dari 13 desa dengan keadaan tanah
terdiri dari dataran 22,42%, perbukitan 18,57% dan pegunungan 59,01%.
70
5.1.2. Kependudukan
Jumlah penduduk di Kabupaten Donggala tahun 20117 mencapai 299.174
jiwa, kepadatan penduduk rata-rata 57 jiwa/km2. Kecamatan Rio Pakava memiliki
luas wilayah terbesar 872,16 Km2 atau sekitar 16,53% dan yang terkecil
Kecamatan Banawa Tengah memiliki luas 74,64 Km2 atau sekitar 1,41%. Bila
dilihat penyebaran penduduk pada tingkat kecamatan, ternyata Kecamatan
Banawa merupakan wilayah dengan kepadatan tertinggi yaitu 333 jiwa/km², hal
ini dimungkinkan karena Kecamatan Banawa adalah merupakan Ibukota
Kabupaten Donggala. Luas daerah, jumlah penduduk dan kepadatan penduduk
berdasarkan kecamatan disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7 Luas Daerah, Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk di Kabupaten Donggala tahun 2017
No
Kecamatan
Luas (km
2)
Persentase Luas (%)
Jumlah Penduduk
(jiwa)
Persentase Penduduk
(%)
Kepadatan Penduduk
1 2 3 4 5 6 7 8 9
10 11 12 13
14 15 16
Riopakava Pinembani Banawa Banawa Selatan BanawaTengah Labuan Tanantovea Sindue Sindue Tumbusambora Sindue Tobata Sirenja Balaesang Balaesang Tanjung Dampelas Sojol Sojol Utara
872,16 402,61 99,04
430,67 74,64
126,01 302,64 177,19 211,55
211,92 286,94 314,23 188,85
732,76 705,41 139,07
16,53
7,63 1,88 8,16 1,41 2,39 5,74 3,36 4,01
4,01 5,44 5,96 3,58
13,89 13,37 2,64
24 850 7.038
33.788 25.387 10.950 14.479 16.247 19.594 12.458
9.472 21.543 24.375 11.156
30.559 27.188 10.010
8,31 2,35
11,29 8,48 3,66 4,84 5,43 6,55 4,16
3,17 7,23 8,15 3,73
10,21 9,09 3,35
28 17
341 59
147 115
54 111
59
45 75 78 59
42 39 72
Jumlah 5275,69 100,00 299.174 100,00 57
Sumber BPS Kabupaten Donggala Dalam Angka 2018
Penduduk Kabupaten Donggala Tahun 2016 mencapai 299.174 jiwa, yang
terdiri dari 152.914 jiwa penduduk laki-laki dan 146.260 jiwa penduduk
perempuan. Rasio jenis kelamin di Kabupaten Donggala Tahun 2016 adalah
71
sebesar 105 yang berarti setiap 100 penduduk perempuan terdapat 105
penduduk laki-laki. Laju pertumbuhan penduduk dari tahun 2017 sebesar 0,94%
dengan tingkat kepadatan penduduk mencapai 57 orang per km2.
Jumlah penduduk Kabupaten Donggala tahun 2017 berdasarkan sebaran
umur ditampilkan pada Gambar 4.
Gambar 4. Penduduk menurut kelompok umur di Kabupaten Donggala tahun 2017 (Jiwa)
Jumlah penduduk usia 0-14 tahun 31,03%, penduduk usia 15 – 64 tahun
64,20%, penduduk usia lanjut 4,77%, hal ini menunjukkan bahwa penduduk
Kabupaten Donggala masih tergolong dalam sruktur penduduk muda dan berada
pada usia sekolah. Berdasarkan Gambar 6, bahwa tenaga kerja di Kabupaten
Donggala sebagian besar masuk dalam usia produktif (64,20%) yang
memungkinkan untuk lebih mengembangkan diri dan mengembangkan
usahanya sehingga dapat berkontribusi dalam kemajuan daerah. Komposisi
atau struktur umur penduduk di Kabupaten Donggala terdapat (31,03%)
penduduk berusia di bawah 15 tahun, hal ini menunjukkan bahwa Kabupaten
Donggala masih tergolong penduduk muda.
Berdasarkan kegiatan, penduduk usia 15 tahun keatas dapat dibedakan
menjadi angkatan kerja dan bukan angkatan kerja. Pada tahun 2017 jumlah
angkatan kerja Kabupaten Donggala sebesar 125.194 jiwa dan bukan angkatan
0
50.000
100.000
150.000
200.000
0-14 Tahun 15-64Tahun
>65 Tahun
92.041
190.326
14.013
Jiw
a
Umur
72
kerja 82.3100 jiwa. Komponen angkatan kerja tersebut terdapat penduduk
bekerja sebanyak 122.484 jiwa. Penduduk yang bekerja tersebut mempunyai
pendidikan SD kebawah sebanyak 63,45%, SLTP sebanyak 12,08%, SLTA
keatas sebanyak 24,47% (BPS Kabupaten Donggala, 2017). Jumlah dan
persentase penduduk menurut pendidikan tertinggi dapat menunjukkan kualitas
sumber daya manusia pada suatu wilayah.
Pendidikan terdiri dari pendidikan formal dan informal dan merupakan
kegiatan untuk meningkatkan kualitas manusia termasuk di dalamnya
kecerdasan dan keterampilannya. Kualitas sumber daya manusia sangat
tergantung pada kualitas pendidikan. Makin tinggi tingkat pendidikan yang
ditamatkan makin tinggi pula kualitas sumber daya manusianya. Jumlah
penduduk merupakan modal yang potensial dan sangat menguntungkan bila
diimbangi dengan peningkatan kualitas yang baik.
Jika dilihat berdasarkan lapangan usaha penduduk yang bekerja di
Kabupaten Donggala terdapat sekitar 52,16% bekerja pada lapangan usaha
pertanian, bekerja pada lapangan usaha perdagangan besar 17,40%, bekerja
pada lapangan usaha jasa 13,58%, bekerja pada lapangan usaha Industri serta
6,29% pada (BPS Kabupaten Donggala, 2018). Hal ini menunjukkan bahwa
sebagian besar (54,93%) penduduk berusaha di sektor pertanian.
Perkembangan di sektor pertanian menjadi lebih penting disebabkan jumlah
penduduk yang be rgerak di sektor pertanian masih sangat besar.
Kecamatan Dampelas adalah salah satu kecamatan di Kabupaten
Donggala dan merupakan lokasi penelitian terletak pada belahan utara
Kabupaten Donggala mempunyai luas wilayahnya sebesar 732,76 Km2 atau
sekitar 13,89%, jumlah penduduk 30.559 jiwa atau 10,21% dengan jumlah
kepadatan penduduk 42 jiwa per km2. Bila dilihat dari luasan wilayah dan jumlah
73
penduduk maka Kecamatan Dampelas menduduki peringkat dua di Kabupaten
Donggala (BPS Kabupaten Donggala, 2018).
Jumlah penduduk Kecamatan Dampelas pada tahun 2017sebanyak 30.559
jiwa. kepadatan penduduk di kecamatan ini mencapai 42 jiwa per km2. Jika
dilihat menurut desa, kepadatan penduduk tertinggi terdapat di Desa Karya Mukti
332 jiwa per km2. Sebaliknya, kepadatan penduduk terendah terdapat di Desa
Rerang 17 jiwa per km2 (BPS Kabupaten Donggala, 2018).
Di kecamatan ini, program wajib belajar yang dicanangkan oleh pemerintah
sudah dapat diterapkan. Hal ini dapat dilihat dari adanya Sekolah Dasar (SD) di
masing-masing desa. Selain itu, dari 13 desa yang ada, hanya empat desa yang
tidak memiliki Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP). Pada tahun 2017
terdapat 34 Sekolah Dasar, 11 SekolahMenengah Pertama (9 SLTP Negeri dan
2 Madrasah Tsanawiyah) dan 2 Sekolah Lanjutan Tingkat Atas. (BPS Kabupaten
Donggala, 2018).
5.1.3. Pertanian
Sektor pertanian merupakan tumpuan kehidupan perekonomian, oleh
sebab itu pembangunan di sektor pertanian masih merupakan hal yang penting
dalam mendukung pembangunan ekonomi di Kabupaten Donggala. Pertanian
tanaman pangan salah satu sumber penerimaan utama di Kabupaten Donggala
ini disebabkan jumlah penduduk yang berusaha dibidang pertanian tanaman
pangan masih sangat besar.
Kabupaten Donggala, bila ditinjau dari aspek pembangunan memiliki
kekayaan sumber daya alam yang sangat potensial dan ditunjang oleh letak
yang strategis bagi pengembangan sektor pertanian. Potensi lahan pertanian
Kabupaten Donggala sebesar 189.343,88 ha yang terdiri dari lahan sawah
sebesar 14.864 Ha, lahan kering 174.479,88 ha. Dari total lahan tersebut telah
74
dimanfaatkan sebesar 130.659,88 ha (69,06%), sehingga masih terdapat
peluang pengembangan lahan pertanian sebesar 58.548,87 ha (30,94%) melalui
perluasan areal (penambahan baku lahan) terhadap potensi lahan yang belum
dimanfaatkan.
Komoditas tanaman pangan yang dominan diusahakan di Kabupaten
Donggala terdiri dari padi dan tanaman palawija. Tanaman palawija adalah
jagung, kacang tanah, kacang hijau, ubi kayu dan ubi jalar. Produktivitas
tanaman padi ditampilkan pada Tabel 8.
Tabel 8. Luas Panen (Ha) dan Produksi (Ton) Tanaman Pangan Kabupaten Donggala
Uraian 2015 2016 2017
Padi sawah Luas panen (Ha) Produksi (T0n) Padi ladang Luas panen (Ha) Produksi (Ton)
20.371
106.090
427 943
18.557 92.076
985
1.753
22.555
106.060
859 1.583
Sumber : Kabupaten Donggala dalam angka 2018
Luas panen padi Kabupaten Donggala tahun 2015 terdiri dari padi sawah
20.371 ha dengan produksi 106 ton, padi ladang 427 ha dengan produksi 943
ton. Tahun 2016 luas panen padi 18.577 ha dengan produksi hanya 92.076 ton
menurun dibanding tahun 2015, namun demikian luas panen padi ladang 985 ha
dengan produksi 1.753 ton meningkat dari tahun 2015. Tahun 2017 luas panen
padi sawah meningkat mencapai 22.555 ha dengan produksi 106.060 ton dan
luas panen padi ladang menurun menjadi 859 ha dengan produksi 1.583 ton
(BPS Kabupaten Donggala 2018). Penurunan produksi padi sawah maupun padi
ladang disebabkan penurunan luas tanam dan pengalihan fungsi lahan untuk
komoditas lain. Semakin sempit luas lahan garapan menyebabkan kegiatan
produksi tanaman pangan menurun.
Sektor pertanian ditempatkan sebagai penggerak utama ekonomi rumah
tangga pedesaan. lahan, potensi tenaga kerja dan ekonomi lokal pedesaan
75
menjadi faktor utama pengembangan pertanian. Rumah tangga usaha pertanian
menurut kecamatan dan subsektor yang diusahakan tahun 2013 di Kabupaten
Donggala tersaji pada Tabel 9.
Tabel 9. Rumah Tangga Usaha Pertanian dan Subsektor yang Diusahakan Kabupaten DonggalaTahun 2013
No Kecamatan
Sektor pertanian
Tanaman pangan
Padi Palawija Padi/palawija
1. Rio Pakava 2. Panembani 3. Banawa 4. Banawa Selatan 5. Banawa Tengah 6. Labuan 7. Tanantovea 8. Sindue 9. Sindue Tombusabora 10. Sindue Tobata 11. Sirenja 12. Balaesang 13. Balaesang Tanjung 14. Dampelas 15. Sojol 16. Sojol Utara
4.277 1.414 2.583 4.948 1.586 1.865 2.007 2.934 2.059
1.716 3.604 3.824 2.157
6.036 5.194 1.676
992 182 16
891 210 113 252 369 62
216 900 1.125 104 2.438 2.415 1.087
903 871 338
1.487 344 677 389 792 629
499 736 85 308
490 422 53
1.728 871 341 2.100 427 714 597 1.053 653
662 1.481 1.195 408
2.850 2.706 1.110
Jumlah
47.880 11.372 9,023 18.896
Sumber : Sensus pertanian 2013
Tabel 9 menunjukkan bahwa di Kabupaten Donggala, rumah tangga yang
berusaha di sektor pertanian berjumlah 47.880 rumah tangga, padi sebanyak
11.372 rumah tangga, palawija sebanyak 9.023 rumah tangga, padi/palawija
18.896 rumah tangga. Pada daerah penelitian yakni Kecamatan Dampelas
rumah tangga yang berusaha di sektor pertanian, padi/palawija menempati
urutan pertama sebanyak 6.036 rumaha tangga. Hal ini menunjukkan sektor
pertanian merupakan lapangan usaha yang berperan dalam menompang
perekonomian rumah tangga.
Pertanian tanaman padi merupakan salah satu sumber penghasilan utama
Kecamatan Dampelas, luas tanah sawah dari tahun 2015 sampai dengan tahun
2017 tetap yaitu 2.292,99 ha. Luas panen tanaman padi menurut desa di
76
Kecamatan Dampelas disajikan pada Tabel 10.
Tabel 10. Luas Panen (Ha) dan Produksi (Ton) Padi Menurut Desa di Kecamatan Dampelas tahun 2015 (Ha)
No Desa Luas panen (Ha) Produksi (Ton) Persentase (%)
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
Kambayang
Budi Mukti
Talaga
Sabang
Sioyong
Karya Mukti
Panii
Ponggerang
Malonas
Rerang
Lembah Mukti
Parisan Agung
Long
-
65,70
-
136,80
910,28
482,52
446,52
837,36
922,00
412,00
130,50
242,30
-
-
142,64
-
297,00
5.697,57
2.702,11
2.500,51
4.689,22
5.163,20
2.307,20
730,00
1.356,88
-
-
0,57
-
1,19
22,80
10,81
10,01
18,77
20,66
9,23
2,92
5,43
-
Jumlah
4.585,98
24.987,13 100,00
Sumber : Kecamatan Dampelas dalam angka 2016
Data Tabel 10 menunjukkan bahwa luas panen padi diKecamatan
Dampelas tahun 2015 masih sama dengan luas panen padi tahun 2014
mencapai 4,585,98 ha dengan produksi menurun 24.987,13 ton dibanding
produksi tahun lalu, ini disebabkan kemarau panjang sehingga produksi
menurun. Bila dilihat menurut sebarannya maka luas panen padi tertinggi
diketahui berada di Desa Malonas. Dari 13 desa di Kecamatan Dampelas
terdapat tiga desa yang tidak memiliki tanaman padi yaitu Desa Kambayang,
Desa Talaga dan Desa Long.
Sub sektor perkebunan mempunyai peran yang strategis dalam
pembangunan nasional yaitu dengan peningkatan produksi dan produktivitas
tanaman perkebunan. Sektor perkebunan merupakan salah satu andalan
Kabupaten Donggala, sebagian besar masyarakatnya berusaha di sektor
perkebunan tanaman tahunan . Jumlah rumah tangga usaha perkebunan
77
menurut kecamatan dan subsektor yang diusahakan tahun 2013 di kabupaten
Donggala disajikan pada Tabel 11.
Tabel 11. Rumah Tangga Usaha Perkebunan Menurut Kecamatan dan Subsektor yang Diusahakan Kabupaten Donggala Tahun 2013
No Kecamatan
Sektor
perkebunan
Tanaman perkebunan
Kelapa Kakao Cengkeh
1. Rio Pakava
2. Panembani
3. Banawa
4. Banawa Selatan
5. Banawa Tengah
6. Labuan
7. Tanantovea
8. Sindue
9. Sindue Tombusabora
10. Sindue Tobata
11. Sirenja
12. Balaesang
13. Balaesang Tanjung
14. Dampelas
15. Sojol
16. Sojol Utara
3.963
1.407
1.573
4.691
1.236
1.126
1.415
2.474
1.871
1.594
3.010
3.316
2.087
5.239
4.760
1.452
178
201
1.206
2.402
814
671
764
1.994
1.356
1.245
1.485
2.438
1.229
3.685
3.028
983
1906
1320
267
3.958
564
798
599
1.212
1.310
1.051
1.060
787
104
2.256
2.233
848
15
6
274
2.783
506
87
487
360
847
863
2.157
1.532
1.975
2.863
3.222
1.050
Jumlah 41 214 23.679 20.273 19.022
Sumber : Statistik pertanian 2013
Tabel 11 terlihat bahwa jumlah rumah tangga usaha perkebunan di
Kabupaten Donggala terbanyak ada di kecamatan Dampelas dengan 5.239
rumah tangga. Ini mengindikasikan bahwa petani di Kecamatan Dampelas selain
berusaha tanaman pangan juga berusaha di sektor perkebunan.
Di Kabupaten Donggala, kawasan perkebunan selain diarahkan untuk
pengembangan perkebunan skala besar yang diusahakan oleh kegiatan usaha
berbadan hukum, juga diarahkan bagi pengembangan perkebunan rakyat.
Pengembangan perkebunan rakyat dilakukan melalui perluasan dan peningkatan
produktivitas lahan dengan beragam komoditi, antara lain jenis tanaman utama
kelapa, kakao, cengkeh dan kelapa sawit. Total luas kawasan perkebunan yang
Ada di Kabupaten Donggala yakni kurang lebih seluas 67.021 ha atau sekitar
78
12,70% dari luas wilayah Kabupaten Donggala. Daerah kecamatan yang saat ini
memiliki potensi kawasan perkebunan adalah Kecamatan Sojol Utara, Sojol,
Dampelas, Balaesang, Sindue, dan Rio Pakava.
Luas kawasan perkebunan berdasarkan kecamatan di Kabupaten
Donggala disajikan pada Tabel 12.
Tabel 12. Luas Kawasan Perkebunan Berdasarkan Kecamatan Kabupaten Donggala Tahun 2013.
No
Kecamatan
Kawasan Perkebunan (Ha)
Perkebunan
Besar
Perkebunan
Rakyat
Jumlah
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
Rio Pakawa
Pinembani
Banawa
Banawa Selatan
Banawa Tengah
Labuan
Tanantovea
Sindue
Sindue Tombusabora
Sinduae Tobata
Sirenja
Balaesang
Balaesang Tanjung
Dampelas
Sojol
Sojol Utara
2.582
1.010
1.432
8.371
628
571
1.716
4.788
4.846
3.703
3.986
4.791
6.545
11.971
8.818
1.353
2.582
1.010
1.432
8.371
628
571
1.716
4.788
4.846
3.703
3.986
4.791
6.545
11.971
8.818
1.353
Total 2.582 64.439 67.021
Sumber : Statistik Pertanian 2013
Data pada Tabel 12 menunjukkan bahwa Kecamatan Dampelas
mempunyai luas perkebunan rakyat 11.971 ha, hal ini menunjukkan kecamatan
Dampelas mempunyai potensi pengembangan perkebunan sehingga dapat
meningkatkan produksi komoditas perkebunan dan dapat menggerakan ekonomi
masyarakat.
Komoditas perkebunan yang berkembang di Kabupaten Donggala adalah
tanaman kelapa, kelapa sawit, kakao, cengkeh, kopi, lada, jambu mente, pala,
vanili dan kapuk. Komoditas perkebunan didominasi oleh tanaman kelapa, kakao
dan tanaman cengkeh.
79
Produksi komoditi perkebunan di Kabupaten Donggala tahun 2016, untuk
produksi kelapa mencapai 27994 ton, kelapa sawit 16970 ton atau meningkat
17,37% dari tahun sebelumnya, kakao mencapai 19335 ton atau meningkat dari
tahun sebelumnya 2,86%, produksi komoditi cengkeh tahun 2013 hanya 1454
ton. Sebagian besar hasil komoditi perkebunan tersebut di produksi oleh hampir
semua atau sebagian Kecamatan, kecuali komoditi kelapa sawit hanya terdapat
di Kecamatan Rio Pakava. Luas perkebunan rakyat menurut desa di Kecamatan
Dampelas tahun 2015 (Ha) disajikan pada Tabel 13.
Tabel 13. Luas Tanaman Perkebunan Rakyat Menurut Desa di Kecamatan Dampelas Tahun 2015 (Ha)
No Desa Kelapa Cengkeh
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
Kambayang
Budi Mukti
Talaga
Sabang
Sioyong
Karya Mukti
Panii
Ponggerang
Malonas
Rerang
Lembah Mukti
Parisan Agung
Long
460,00
84,00
534,00
240,00
316,00
70,00
185.00
60,00
355,00
443,00
407,00
135,00
163,00
155,00
23,00
66,00
123,00
17,00
60,00
40,00
278,00
79,00
292,00
225,00
82,00
83,00
Jumlah 3.452,00 1.523,00
Sumber : Kecamatan Dampelas dalam angka tahun 2016
Tabel 13 diketahui bahwa luas tanaman perkebunan rakyat di Kecamatan Dampelas meningkat, tahun 2014 luas tanaman perkebunan kelapa mencapai
3.397,75 ha meningkat menjadi 3,452,00 ha (1,57%) di tahun 2015. Demikian
pula dengan luas tanaman cengkeh tahun 2014 luas tanaman cengkeh 1,489,00
ha mengalami peningkatan di tahun 2015 menjadi 1.524,00 ha (2,23%). Untuk
Luas tanaman kakao tidak terjadi peningkatan yakni luas tanaman kakao tahun
2014 sama dengan tahun 2015 luasnya yaitu 4.763,79 ha.
80
Berdasarkan data sekunder yang dikumpulkan dari dinas Perkebunan dan
Kehutanan Kabupaten Donggala Tahun 2013. tercatat luas kawasan hutan
sekitar 527.569 ha, maka luas kawasan hutan negara tercatat sebesar 302.257
ha serta hutan rakyat sebesar 225.312 ha. Kawasan budidaya menurut jenis
penggunaannya ditampilkan pada Gambar 5.
Gambar 5 : Kawasan Budidaya menurut Jenis Pengunaannya Tahun 2013 (Ha)
Pada gambar 5 menunjukkan bahwa kawasan budidaya kabupaten
Dongala menurut penggunannya tercatat sebesar 166.168 ha, yang terdiri
atas lahan sawah sebesar 14.055 ha (9%), lahan perkebunan 70.943 ha (43%),
tambak 3.635 ha (2%), ladang 28.412 ha (17%), tegal/kebun 22.255 ha (13%)
serta lahan yang tidak diusahakan 26.868 ha (16%). Luas lahan kering di
Kecamatan Dampelas disajikan pada Tabel 14.
Data pada Tabel 14 menunjukkan bahwa luas lahan kering di Kecamatan
Dampelas tahun 2017 sebesar 8219, 16 ha terbagi atas bangunan 968,80 ha,
kebun 6210 ha, padang rumput 996 ha, tambak 36,50 ha dan kolam 7,80 ha.
Gambar 9. Persentase Kawasan Budidaya menurut jenis penggunaan, 2013 (BPS Kabupaten Donggala 2014).
Perkebuan 43%
Ladang/Huma 17%
Sementara tdk Diusahakan
16%
Tegal/Kebun 13%
Lahan Sawah
9%
Tambak/Kolam/Empang
2%
81
Tabel 14. Luas lahan kering di Kecamatan Dampelas 2017 (Ha)
Uraian Jumlah Persentase (%)
1. Bangunan
2. Kebun
3. Padang rumput
4. Tambak
5. Kolam
968,80
6.210
996
36,50
7,80
11,79
75,56
12,12
0,44
0,09
Jumlah 8219,16 100,00
Sumber: Kecamatan Dampelas dalam angka tahun 2017
Berdasarkan data pada tabel diatas menunjukkan bahwa pada wilayah
penelitian luas padang rumput sebesar 996 ha, ini mengindikasikan kecamatan
Dampelas layak untuk pengembangan sapi potong.
5.1.4. Peternakan
Kegiatan peternakan di Kabupaten Donggala bertujuan untuk
meningkatkan populasi dan produksi ternak sehingga dapat memenuhi
kebutuhan daging bagi daerah maupun untuk konsumsi bagi daerah lain
(termasuk ekspor). Kawasan peternakan diarahkan bagi pengembangan
peternakan skala besar dan kecil dengan jenis ternak antara lain sapi, kambing,
ayam buras, dan ayam ras. Untuk mendukung kegiatan peternakan, di
Kecamatan yang potensial bagi peternakan dikembangkan program HMT
(hijauan makanan ternak) melalui pemanfaatan limbah pertanian, seperti kacang-
kacangan, batang jagung, tanaman gamal, rumput penguat teras, cover crop
pada kawasan perkebunan, dan sebagainya. Pengembangan kawasan
peternakan saat ini terdapat di Kecamatan Dampelas, Kecamatan Balaesang,
Kecamatan Sirenja dan Kecamatan Banawa, namun masih berasosiasi dengan
lahan yang potensial untuk peruntukkan lahan pertanian.
Pembangunan disektor peternakan yang memihak kepada rakyat dalam
rangka pemberdayaan masyarakat dan salah satu misi yang diemban adalah
penyediaan pangan asal ternak yang cukup, baik kualitas maupun kuantitasnya
82
dalam rangka pencapaian swasembada daging. Kinerja produksi peternakan
dapat diukur dari perkembangan populasi, produksi daging dan produksi telur.
Populasi ternak sapi di Kabupaten Donggala pada tahun 2017 mencapai
42,217 ekor yang tersebar di enam belas kecamatan dengan pemotongan
sebesar 4.032 ekor. Populasi ternak sapi tertinggi berada pada lokasi penelitian
yakni Kecamatan Dampelas 8.810 ekor (20,88%) dan yang terendah di
Kecamatan Pinembani 70 ekor (0,17%) Ini menunjukkan bahwa dari 16
kecamatan yang berada di Kabupaten Donggala, jumlah terbesar berada di
Kecamatan Dampelas.
Dalam upaya pengembangan sapi potong, pemerintah menempuh dua
kebijakan, yaitu ekstensifikasi dan intensifikasi. Disamping itu adanya program
dari pemerintah melalui dinas peternakan melakukan program kawin suntik yaitu
Inseminasi Buatan (IB). Kondisi tersebut membuat wilayah ini menjadi target
serta tujuan dalam pengembangan usaha ternak sapi. Pengembangan sapi
potong di wilayah ini di dukung oleh potensi lahan, sumberdaya manusia,
ketersediaan pakan ternak.
Ternak sapi potong yang merupakan salah satu komoditas unggulan di
Kabupaten Donggala dalam lima tahun terakhir terjadi peningkatan populasi
dari yakni dari tahun 2013 sampai tahun 2017. Populasi ternak sapi potong
disajikan pada Gambar 6.
Dari Tabel 6 menunjukkan bahwa populasi ternak sapi tahun 2013 sampai
tahun 2017 di Kabupaten Donggala mengalami peningkatan. Pada tahun 2013
ternak sapi berjumlah 36.328 ekor (14,26%), tahun 2014 naik 37.374 ekor
(20,24%) , pada tahun 2015 naik 38.346 ekor (20,77%), tahun 2016 naik 40.321
ekor (21,84%), tahun 2017 naik menjadi 42.217 ekor (22,87). Hal ini
menunjukkan bahwa populasi ternak sapi meningkat setiap tahunnya.
83
Gambar 6. Populasi sapi potong Kabupaten Donggala tahun 2013–2017 (Ekor)
Populasi ternak tahun 2017 di Kecamatan Dampelas terdiri dari tiga jenis
ternak, yaitu sapi 8.552 ekor, kambing 4031 ekor, dan babi. 4523 ekor, dari tiga
jenis ternak tersebut, populasi terrnak terbesar didominasi oleh sapi sebesar
8.522ekor (BPS Kabupaten Donggala, 2018). Jumlah rumah tangga yang
memelihara sapi potong di Kabupaten Donggala tahun 2013 disajikan pada
Tabel 15.
Jumlah rumah tangga usaha peternakan sapi dikabupaten Donggala tahun
2013 sebanyak 9466. Hasil sensus pertanian menunjukkan bahwa jumlah rumah
tangga yang memelihara ternak sapi terbanyak berada di Kecamatan Dampelas
berjumlah 2274 rumah tangga atau 23,48%, yang terkecil berada di Kecamatan
Pinembani dengan 16 rumah tangga atau 0,47%.
Berdasarkan Tabel 15 diketahui bahwa usaha ternak sapi potong
menyebar di seluruh kecamatan di Kabupaten Donggala, hal ini menunjukkan
bahwa usaha sapi potong merupakan usaha rakyat yang sangat potensial
untuk dikembangkan.
32000
34000
36000
38000
40000
42000
44000
2013 2014 2015 2016 2017
36328 37374 38346
40321
42217
Eko
r
Tahun
84
Tabel 15. Rumah Tangga Usaha Peternakan Sapi Potong di Kabupaten Donggala 2013
No Kecamatan Peternakan Sapi Potong Persentase (%)
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
Rio Pakava
Pinembani
Banawa
Banawa Selatan
Banawa Tengah
Labuan
Tanantovea
Sindue
Sindue Tombusabora
Sindue Tobata
Sirenja
Balaesang
Balaesang Tanjung
Damsol
Sojol
Sojol Utara
457
16
309
496
302
669
681
710
361
429
1.250
726
358
2.274
337
82
4,74
0,47
3,20
5,46
3,25
6,86
6,99
7,44
3,90
4,64
13,16
8,22
3,89
23,48
3,45
0,84
Jumlah 9.466 100,00
Sumber : Statistik Pertanian 2013.
Pemotongan ternak sapi di Kabupaten Donggala mengalami peningkatan
dari tahun 2012 sampai dengan tahun 2016. Tingginya pemotongan akan
diikuti dengan tingginya produksi serta meningkatnya permintaan daging
sapi. Pemotongan sapi potong di Kabupaten Donggala disajikan pada Gambar
7.
Gambar 7. Pemotongan sapi potong di Kabupaten Donggala tahun 2012-2016
(Ekor)
0
1000
2000
3000
4000
5000
2012 2013 2014 2015 2016
2390 2871
3633 3731 4032
Eko
r
Tahun
85
Jumlah pemotongan ternak sapi dipengaruhi oleh Jumlah penduduk
disuatu wilayah. Gambar 7 menampilkan pemotongan ternak sapi potong di
Kabupaten Dongala terjadi kenaikan setiap tahunnya yakni 2012 – 2016. Hal ini
terkait dengan pertambahan jumlah penduduk di Kabupaten Donggala yakni
tahun 2014 penduduk berjumlah tahun 277.620 jiwa meningkat tahun 2015
sebesar 34,98% dan tahun 2016 meningkat sebesar 35,29% menyebabkan
permintaan daging sapi meningkat setiap tahunnya.
Populasi ternak sapi di Kecamatan Dampelas dalam 5 tahun terakhir yakni
Tahun 2013 berjumlah 7396 ekor, mengalami peningkatan di tahun 2014
sebesar %mencapai 7651 ekor, tahun 2015 meningkat sebesar % menjadi 7923
ekor, tahun 2016 meningkat % menjadi 8398 ekor dan tahun 2017 meningkat %
menjadi 8522 ekor. Selain ternak sapi, terdapat juga ternak ternak kecil yaitu
ternak kambing dan babi dengan populasi ternak kambing tahun 2017 berjumlah
4031 ekor dan ternak babi berjumlah 4523 ekor.
Luas lahan kering yang berada di Kecamatan Dampelas selain untuk
banugunan, perkebunan, tambak dan kolam terdapat juga padang
penggembalaan, bila padang penggembalaan dimanfaatkan secara optimal
untuk pemeliharaan ternak sapi tentunya nilai ekonomis dari padang
penggembalaan/padang merumput akan meningkat.
5.2. Kredit Sapi Potong Sistem Bergulir
Kredit sapi potong sistem bergulir yang dimaksud dalam penelitian ini
adalah bantuan pinjaman langsung masyarakat (BPLM) yakni pemberian
bantuan ternak sapi potong kepada masyarakat dengan perjanjian untuk
membayar di waktu yang telah ditentukan. Pembayaran dilakukan dengan
menyerahkan sebagian keturunannya sebanyak 2 ekor disebarkan kembali
(revolving) kepeternak lain. Bantuan pinjam langsung kepada masyarakat
86
(BPLM) ditujukan kepada kelompok tani ternak yang potensial bagi
pengembangan pembibitan sapi.
Penyebaran sapi potong kepada calon peternak penerima perguliran
ternak (penggaduh) hendaknya berdasarkan kriteria yang telah di tetapkan.
Sesuai dengan penelitian Wibowo dkk (2011), kriteria seleksi calon penerima
bantuan (selection criteria of grant receiver candidate) ternak sapi adalah
a) Penerimaan bantuan berada dalam satu kelompok (recipient in group);
b) Bersedia mengikuti arahan dan bimbingan dari petugas (have a will to follow
the guidance of government fungsionary); c) Harus sudah memiliki pengalaman
beternak sapi (have an experience in raising cattle); d) Harus bersedia mentaati
tata peraturan yang disepakati (have a will to obey the agreement); dan e) Wajib
masuk lembaga keuangan desa/mikro (have to join the financial institution).
Mekanisme dalam perguliran ternak sapi di Kabupaten Donggala dilakukan
sesuai dengan perjanjian kerja antara pemeritah dan peternak penerima
perguliran ternak (penggaduh) sebagai berikut :
1. Pemerintah memberikan 1 ekor betina kepada penggaduh,
2. Penggaduh mempunyai kewajiban.
a. menyerahkan sebagian keturunan ternak yang diterima sebanyak 2 ekor
yang memenuhi syarat dalam jangka waktu tertentu,
b. Sanggup menyediakan kandang, pakan dan memelihara ternak yang
diterimanya dengan baik,
c. Memanfaatkan pejantan untuk mengawini ternak betina dikelompoknya bagi
penggaduh yang menerima ternak pejantan,
d. Mengikuti bimbingan teknis yang diberikan oleh petugas,
e. Melaporkan segala sesuatu yang terjadi terhadap yang dipelihara
3. Penggaduh berhak.
87
a. Memiliki ternak yang diterimanya dan sisa keturunan ternaknya setelah
melunasi kewajibannya
b. Memanfaatkan tenaga ternak dalam batas-batas tertentu.
c. Memanfaatkan pupuk kandang hasil ternak yang dipelihara.
4. Bila ternyata ternak yang diterima peternak mati, majir, hilang bukan karena
kesalahan peternak maka peternak bebas dari tanggung jawab untuk
mengganti ternak yang bersangkutan dan mendapat prioritas untuk
memperoleh ternak yang baru dengan ketentuan peternak tetap memenuhi
kewajibannya.
5, Dalam hal ternak majir, peternak selain memperoleh pengganti ternak yang
baru juga memperoleh bagian 25 % dari harga ternak yang dijual dan 75 %
untuk pemerintah.
6. Bila ternyata ternak pemerintah yang diterima peternak mati, hilang karena
kesalahan penggaduh maka penggaduh harus mengganti ternak tersebut
dengan ternak yang sama selambat-lambatnya 3 (bulan) terhitung sejak
ternak tersebut mati atau hilang serta tetap memenuhi kewajibannya yang
belum dipenuhi.
7. Apabila penggaduh tidak dapat memenuhi kewajibannya disebabkan bukan
karena kesalahan atau kelalaiannya, maka penggaduh diberi kelonggaran
waktu 3 (tiga) bulan setelah jatuh tempo untuk memenuhi kewajibannya.
a. Apabila penggaduh tidak dapat memenuhi kewajibannya disebabkan
karena kesalahan atau kelalaiannya maka perjanijian batal dengan
dengan sendirinya menurut hukum dan ternak tersebut ditarik kembali
oleh pemerintah tanpa ganti rugi apapun.
b. Apabila setelah diberikan kelonggaran waktu 3 (tiga) bulan setelah jatuh
tempo penggaduh belum dapat memenuhi kewajibanya maka pelunasan
88
dapat ditunda paling lambat 2(dua) tahun berdasarkan permohonan
penggaduh.
8. Penggaduh tidak berhak menjual, menukarkan dan memindah tangankan
ternak sebelum penggaduh memenuhi kewajibannya.
9. Jika penggaduh tidak melaksanakan kewajiban-kewajibannya maka
pemerintah berhak membatalkan dan menarik kembali ternak yang
diserahkan tanpa ganti rugi.
a. Apabila penggaduh meninggal dunia maka perjanjian berlaku bagi ahli
waris penggaduh.
b. Apabila ahli waris tidak bersedia maka ternak yang bersangkutan ditarik
kembali untuk dijual atau digaduhkan kepada penggaduh lainnya.
5.3. Karakteristik Petani Responden
Karakteristik petani responden dalam penelitian ini adalah umur,
pendidikan, jumlah anggota keluarga, pengalaman beternak, jumlah ternak.dan
luas lahan. Jumlah responden sebanyak 73 petani yang berasal dari Kecamatan
Dampelas yaitu Desa Malonas, Desa Lembah Mukti, Desa Ponggerang, dan
Desa Rerang. Karakteristik petani responden di tampilkan pada Tabel 16.
Umur. Umur adalah salah satu faktor yang mempengaruhi kerja dan pola
pikir responden dalam menentukan manajemen dalam usaha ternak sapi potong.
Berdasarkan Tabel 16 menunjukkan bahwa komposisi umur responden dalam
usia produktif (20-64 tahun) 97% dan hanya 3% usia non produktif (> 64 tahun),
rataan umur responden 44 tahun. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
mayoritas responden masih pada kisaran umur produktif untuk dapat
diberdayakan dalam pengembangan sapi potong mayoritas responden masih
relatif kuat dan mampu dalam melaksanakan kegiatan usahatani. Hartono and
Rohaeni (2014) menyatakan bahwa usia produktif adalah usia ketika petani
89
mampu melakukan kegiatan yang produktif secara efisien sehingga mereka bisa
menghasilkan pendapatan. Adinata (2012) menyatakan pada umur produktif
tenaga yang digunakan masih prima sehingga mampu mengembangkan
usahanya dan ada kemungkinan menambah pengetahuan serta metode
budidaya di bidang usaha ternak sapi potong. Tjiptoherijanto (2001) menjelaskan
bahwa usia produktif tenaga kerja antara 15 – 64 tahun, pada kelompok umur
tersebut dinilai mampu untuk mengembangkan diri dan mengembangkan
usahanya.
Tabel 16. Karakteristik Responden
No Karakteristik Responden Jumlah (orang) Persentase (%)
1
2
3
4
5 6
Umur (tahun) a. 20 – 64 (produktif) b. > 64 (non produktif) Pendidikan (tahun) a. SD (1-6) b SMP (7-9) c. SMA (10-12) Pengalaman beternak (tahun) a. 1 – 10 b. 11- 20 c. > 20 Anggota Rumah Tangga (orang) a. 1 - 2 b. 3 - 4 c. > 4 Jumlah Pemilikan Ternak (ST) a. 1 - 2 b. 3-4 c. > 4 Luas Lahan (Ha) a.< 1 b. 1 – 2 c. > 2
71 2
37 25 11
53 17 3
33 37 3
34 25 14
24 41 8
97 3
51 34 15
73 23 4
45 51 4
47 34 19
33 56 11
Sumber : Diolah dari data primer
Hasil ini sesuai dengan penelitian Ilham dkk. (2007) melaporkan dari data
sensus nasional menunjukkan bahwa 69% petani masih tergolong dalam usia
produktif. Purnaningsih (2006) menuliskan bahwa sebagian besar petani di
Indonesia (76,2%) berusia antara 25 – 54 tahun. Umur seseorang merupakan
salah satu indikator yang berpengaruh terhadap kemampuan fisik. Seseorang
90
yang memiliki umur lebih muda cenderung akan memiliki kemampuan fisik yang
lebih kuat dari pada mereka yang memiliki umur yang lebih tua. Dalam berusaha
tingkat produktivitas kerja seseorang akan mengalami peningkatan sesuai
dengan pertambahan umur, kemudian akan menurun kembali ,menjelang usia
tua. Umur produktif merupakan tingkatan umur dimana seseorang akan mampu
menghasilkan produk maupun jasa, atau dengan kata lain umur produktif
merupakan umur dimana seseorang akan mampu bekerja dengan baik. Tingkat
produktivitas seseorang dipengaruhi oleh tingkat umur yang dapat dilihat dan
diamati dari beberapa segi antara lain lamban,kurang kreatif, sukar dimengerti
dan diarahkan dan sebagainya. Dari segi efisiensi kerja bisaanya golongan yang
nonproduktif yang lebih sukar mengerjakan sesuatu secara maksimal.
Harmoko (2017) menyatakan bahwa Umur produktif tergolong umur muda
sedangkan umur tidak produktif golongan umur tua. Antara petani dengan umur
muda dan tua hampir tidak ada kesulitan dalam beternak sapi. Sapi yang
dipelihara umumnya dikandangkan dengan pemberian pakan berupa rumput
segar. Aktifitas berupa mencari rumput untuk pakan sapi dapat dikerjakan oleh
petani dengan umur produktif dan umur yang tidak produktif memiliki motivasi
yang sama dalam beternak sapi. Umur seseorang pengusaha dapat
berpengaruh terhadap produktivitas kerja, sebab umur erat kaitannya dengan
kemampuan kerja serta pola pikir dalam menentukan pola manajemen yang
diterapkan dalam usaha. Semakin bertambah umur peternak maka motivasi
semakin tinggi, dengan bertambahnya umur, ilmu dan pengalaman beternak sapi
akan semakin baik. Hal ini berkorelasi positif terhadap motivasi peternak.Melihat
persentasi umur pada Tabel 16, maka dapat dikatakan bahwa umur dapat
mempengaruhi seseorang dalam mengadopsi suatu inovasi untuk meningkatkan
usahatani yang dimilikinya. Hal ini sesuai dengan pendapat Soekartawi (2008)
91
yang menyatakan bahwa petani berusia lebih tua biasanya cenderung sangat
konservatif dalam menyikapi perubahan atau inovasi teknologi.
Berbeda dengan petani yang berusia lebih muda, makin muda umur petani,
biasanya mempunyai semangat ingin tahu apa yang belum mereka ketahui,
sehingga dengan demikian mereka berusaha untuk lebih cepat melakukan
anjuran dari kegiatan penyuluhan. Prabayanti (2010), bahwa seseorang dengan
umur produktif biasanya mempunyai semangat untuk ingin tahu tentang berbagai
hal yang belum diketahui. Selain itu usia juga mempengaruhi kondisi fisik
seseorang. Terkait dengan adanya inovasi, seseorang pada umur non-produktif
akan cenderung sulit menerima inovasi.
Pendidikan. Pendidikan adalah lamanya bangku sekolah yang pernah
ditempuh oleh petani. Pada Tabel 16 menunjukkan bahwa pendidikan petani
tingkat Sekolah Dasar sebesar 51%, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama
sebesar 34% dan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas sebesar 15%.. Hal ini
menunjukkan bahwa tingkat pendidikan petani masih tergolong rendah sehingga
perlu pendidikan non formal untuk meningkatkan pengetahuan petani terutama
yang berhubungan usahanya.
Tingkat pendidikan berfungsi sebagai proses untuk menggali dan
mengontrol potensi yang ada pada diri seseorang untuk dikembangkan dan
dimanfaatkan bagi peningkatan kualitas hidup, selain itu tingkat pendidikan
berpengaruh terhadap perilaku dalam mengakses informasi pasar, modal
maupun teknologi. Tingkat pendidikan seseorang mempunyai pengaruh terhadap
cara berpikir, sikap, perilaku dan menentukan kemampuan untuk mencari
informasi (Harjati, 2007).
Pendidikan petani umumnya mempengaruhi terhadap cara dan pola pikir
petani dalam mengelola dan melakukan usahataninya. Petani yang tingkat
92
pendidikannya tinggi biasanya lebih terbuka, kreatif dan mempunyai tingkat
adopsi yang tinggi. Rendahnya tingkat pendidikan formal Dapat diimbangi
dengan pendidikan non formal seperti penyuluhan atau pembinaan dan pelatihan
yang lebih intensif (Mardikanto dalam Damihartini dan Jahi 2005).
Tingkat pendidikan dapat mempengaruhi kualitas pengembangan sumber
daya manusia yang menjadi modal dalam peningkatan dan memperlancar
pembangunan. Pada masyarakat yang mempunyai tingkat pendidikan tinggi
akan mudah untuk diarahkan dalam berbagai pelaksanaan pembangunan demi
kemajuan pembangunan. Sebaliknya pada masyarakat yang memiliki tingkat
pendidikan yang rendah akan sulit diarahkan dalam berbagai pelaksanaan
pembangunan demi kemajuan pembangunan. Demikian pula sebagian besar
penduduk di wilayah penelitian tingkat pendidikan tergolong rendah. Hal Ini
disebabkan kesadaran akan pentingnya pendidikan masih kurang sehingga
informasi dan pengetahuan tentang pendidikan yang mereka miliki masih
terbatas. Kondisi seperti ini dapat menghambat kemajuan pembangunan di
wilayah penelitian, karena orang-orang yang mempunyai tingkat pendidikan yang
rendah cenderung sulit untuk menerima dan menerapkan teknologi baru yang
berkembang saat ini.
Pendidikan mempunyai pengaruh pada peternak dalam mengadopsi
teknologi dan keterampilan manajemen dalam mengelola usaha ternaknya.
Semakin tinggi tingkat pendidikan, maka pola pikir juga akan semakin rasional.
Pendidikan akan mempengaruhi pola pikir seseorang dalam mengambil
keputusan dan tindakan yang dihadapi. Peternak yang berpendidikan lebih tinggi
akan memiliki wawasan dalam berpikir serta responnya lebih cepat terhadap
perubahan-perubahan yang terjadi, dibanding dengan peternak yang
berpendidikan rendah. Pendidikan berfungsi sebagai proses untuk menggali dan
93
mengontrol potensi yang ada untuk dikembangkan dan dimanfaatkan bagi
peningkatan kualitas hidup seseorang Pendidikan formal adalah lama tahun yang
ditempuh petani dalam mengikuti sekolah formal yang berdasarkan jenjang
sekolah dasar.
Salah satu faktor yang menyebabkan seorang peternak berbeda dalam hal
menerima inovasi adalah tingkat pendidikan yang dimiliki semakin tinggi
pendidikan petani maka semakin cepat dalam menyerap inovasi dan berdampak
positif terhadap usaha yang dijalankannya. Tinggi rendahnya pendidikan petani
akan menanamkan sikap yang menuju penggunaan praktek pertanian yang
lebih modern. Mengenai tingkat pendidikan petani, dimana mereka yang
berpendidikan tinggi relatif lebih cepat dalam melaksanakan adopsi inovasi
(Ibrahim dkk., 2003).
Tingkat pendidikan formal merupakan salah satu faktor penting dalam
mengelola usaha tani. Pendidikan formal juga sangat erat kaitannya dengan
petani dalam hal menerima suatu teknologi serta informasi yang diperoleh dari
penyuluh untuk mengoptimalkan usaha tani yang dijalankan. Tingkat pendidikan
yang rendah umumnya kurang menyenangi inovasi sehingga sikap mental untuk
menambah ilmu pengetahuan khususnya ilmu pertanian kurang diminati petani.
Soekartawi (2008) menyatakan bahwa petani yang berpendidikan tinggi relatif
lebih cepat dalam melaksanakan adopsi inovasi, tingkat pendidikan formal yang
dimiliki petani akan menunjukkan tingkat pengetahuan serta wawasan yang luas
untuk petani.
Pengalaman beternak. Pengalaman beternak adalah jumlah tahun yang
dilalui seorang peternak dalam mengelola usaha ternaknya, sebagai bagian dari
proses belajar dalam kegiatan budidaya, produksi dan pemasaran hasil panen
dalam rangka memperoleh pendapatan. Pengalaman beternak dijadikan dasar
94
untuk kemajuan usaha ternaknya terutama dalam penanganan produksi dan
reproduksi. Pengalaman beternak akan berpengaruh terhadap kapasitas
pengetahuan peternak. Semakin lama pengalaman beternak semakin
meningkatkan kemampuan dalam mengambil keputusan. Pengalaman petani
responden dalam menjalankan usaha ternak sapi potong berkisar antara 1 – <20
tahun. Pengalaman petani 1-10 tahun sebesar 73%, pengalaman beternak
10 – 20 tahun sebesar 23% dan sisanya 4% berpengalaman diatas 20 tahun
(Tabel 16).
Dikman dkk. (2010), bahwa rata-rata pengalaman peternak sapi potong di
Probolinggo sebagian besar 81,15% di atas 10 tahun dan sisanya 31,58%
kurang dari 10 tahun. Wibowo dan Haryadi (2006) menyatakan bahwa
pengalaman peternak dalam memelihara sapi dapat mempengaruhi tingkat
keberhasilan peternak dalam mengembangkan usahanya. Semakin lama
pengalaman beternak sapi potong maka tingkat ketrampilan dan pengetahuan
peternak dalam menerapkan teknologi semakin mudah dan cepat. Suresti dan
Wati (2012) menyatakan bahwa semakin lama peternak menjalankan usahanya
maka akan semakin banyak pula pengalaman yang mereka peroleh sehingga
dapat dijadikan pedoman dalam menghadapi permasalahan dalam menjalankan
usaha ternak sapi potong.
Agussabti (2002), bahwa pengalaman dapat menentukan pemilihan dan
tingkat adopsi inovasi teknologi, jika seorang petani banyak mengalami
kegagalan dalam usahataninya maka akan berhati-hati dalam memutuskan suatu
inovasi, sebaliknya jika pengalaman banyak berhasil maka akan lebih responsif
terhadap inovasi teknologi yang ditawarkan. Pengalaman merupakan salah satu
cara untuk belajar dan menemukan pengetahuan sehingga dengan pengalaman
Yang banyak maka proses belajar dan pengetahuan yang dikuasai petani
95
relatif bertambah.
Jumlah Anggota Rumah Tangga (ART). Jumlah anggota rumah tangga
terbesar berkisar antara 3 – 4 orang/KK yaitu 64% ART dapat dilibatkan dalam
kegiatan usahatani jika tidak dilibatkan maka dalam kegiatan usahatani masih
memerlukan tenaga kerja dari luar keluarga, biasanya petani responden
memanfaatkan tenaga keluarga yaitu tenaga wanita (ibu atau istri) untuk
membantu usaha taninya, tenaga kerja anak tidak dimanfaatkan karena sekolah.
Hasil penelitian yang dilaporkan Ilham dkk. (2007) bahwa hasil sensus pertanian
2003 menunjukkan bahwa sebagian besar 45 – 85% keluarga mempunyai
anggota rumah tangga antara 3 – 4 orang. Fakta ini mengindikasikan keluarga
petani sudah membatasi jumlah anggota keluarga agar kualitas hidupnya dapat
lebih baik. Hartono (2011) menyatakan bahwa jumlah anggota rumah tangga
pada keluarga peternak sapi potong sebesar 3,33 orang pada peternak
penggemukan dan 3,37 orang pada peternak pembibitan sapi. Anggota rumah
tangga dapat membantu dalam melakukan aktifitas produksi untuk memenuhi
kebutuhan hidup dan merupakan sumber tenaga kelurga yang potensial untuk
pemeliharaan sapi potong. Jumlah anggota keluarga akan mempengaruhi petani
dalam mengambil keputusan. Karena semakin banyak jumlah tanggungan
keluarga maka semakin banyak pula beban hidup yang harus dipikul oleh
seorang petani.
Anggota rumah tangga terbesar berkisar antara 3 – 4 orang/KK yaitu
51% (Tabel 16). ART dapat dilibatkan dalam kegiatan usahatani jika tidak
dilibatkan maka dalam kegiatan usahatani masih memerlukan tenaga kerja dari
luar keluarga, biasanya petani responden memanfaatkan tenaga keluarga yaitu
tenaga wanita (ibu atau istri) untuk membantu usaha taninya tenaga, kerja anak
tidak dimanfaatkan karena sekolah. Hasil penelitian yang dilaporkan Ilham dkk.
96
(2007) bahwa hasil sensus pertanian 2003 menunjukkan bahwa sebagian besar
45– 85% keluarga mempunyai ART antara 3 – 4 orang.Fakta ini mengindikasikan
keluarga petani sudah membatasi jumlah anggota keluarga agar kualitas
hidupnya dapat lebih baik. Hasil penelitian di Kabupaten Donggala yang
dilaporkan Hartono (2011), bahwa jumlah ART pada keluarga peternak sapi
potong sebesar 3,33 orang pada peternak penggemukan dan 3,37 orang pada
peternak pembibitan sapi.
Jumlah Pemilikan Ternak (ST). Tabel 16 menunjukkan bahwa jumlah
kepemilikan ternak sapi terbanyak pada pemeliharaan 1-2 ST/KK sebesar 48%,
pemeliharaan >3 ST/KK sebanyak 37% dan pemeliharaan terkecil >1 ST/KK
sebanyak 15%. Ternak sapi yang dimiliki responden terdiri atas kelompok pedet,
dara dan dewasa, Jumlah ternak yang dipelihara relatif kecil, hal ini disebakan
oleh faktor keterbatasan modal. Winarso (2004) menyatakan bahwa pola
pemeliharaan 2-3 ekor banyak dimininati masyarakat dengan alasan jumlah
ternak yang terlalu besar memerlukan biaya besar, waktu yang lama dengan pola
kemitraan merupakan salah satu upaya dalam mengatasi kekurangan modal bagi
peternak. Mukson dkk (2014) menyatakan bahwa masing-masing rumah tangga
usaha ternak sapi potong di Jawa Tengah memelihara kurang lebih sebanyak
2,19 ST Jumlah ini masih relatif kecil, mengingat berbagai faktor keterbatasan
yang ada pada peternak, seperti permodalan, ketrampilan usaha, dan motif
usaha yang rata-rata masih bersifat sambilan.Tujuan pemeliharaan sapi oleh
petani biasanya sebagai tabungan bila sewaktu-waktu membutuhkan biaya maka
petani akan menjual sapinya, Penjualan ternak sapi merupakan salah satu
sumber pendapatan yang memberikan kontribusi kepada pendapatan keluarga.
Hasil penelitian yang dilaporkan Hartono (2011), bahwa rataan kepemilikan
sapi pola pembibitan 3,85 ST/responden dan untuk usaha ternak sapi pola
97
penggemukan sebanyak Berdasarkan hasil survey yang dilaporkan tentang
penyerapan tenaga kerja untuk pemeliharaan ternak dapat diketahui bahwa rata-
rata peternak memiliki ternak sapi sebanyak 4 ekor dengan curahan waktu untuk
pemeliharaannya sebanyak 3 jam dalam satu hari. Ini berarti satu ekor ternak
hanya membutuhkan waktu 0,75 jam/ekor/hari untuk pemeliharaannyan yang
meliputi kegiatan menyabit rumput, membersihkan kandang, memandikan sapi
dan memberi makan. Dari sini dapat kita hitung seorang pekerja yang biasanya
bekerja 8 jam dalam satu hari bila jam kerjanya di alokasikan untuk pemeliharaan
sapi, maka pekerja itu bisa memelihara 10 ekor sapi dalam satu hari kerja.
Luas Lahan. Luas lahan merupakan suatu areal/tempat yang digunakan
untuk melakukan usahatani diatas sebidang tanah dalam satuan hektar (ha).
Luas kepemilikan lahan petani bervariasi < 1 ha 33%, 1-2 ha 56% dan > 2 ha
11% (Tabel 16). Hasil survei diketahui bahwa lahan diperuntukkan tanaman
pangan dan perkebunan, sedangkan untuk pengembangan peternakan maupun
pengembangan hijauan pakan ternak di wilayah peneltian masih sangat terbatas
menyebabkan pendapatan petani dari usaha ternak rendah, hal tersebut sangat
mempengaruh kesejahteraan petani. Hal ini sesuai penelitian Suwandi (2005)
bahwa adanya penerapan pola usahatani padi sawah – sapi potong dapat
meningkatkan produksi dan keuntungan bagi petani dengan lahan sempit.
Penelitian yang dilaporkan Manyansari dan Mujiburrahmad (2014) di Kecamatan
Dramaga Kabupaten Bogor petani dengan luas lahan sempit > 0,1 ha sebanyak
50 %, luas lahan sedang 0,1 – 0,2 ha sebanyak 37,5 % dan sisanya 12,5 % luas
lahan yang diusahakan petani luas > 0,2 ha.
Far-Far (2011) melaporkan hasil penelitian di Kabupaten Serang Bagian
Barat menunjukkan bahwa luas pemilikan lahan yang diusahakan responden
responden bervariasi dengan luas lahan terendah 0,25 ha sebesa 43,3%, luas
98
lahan sedang >1 – 2 ha sebesar 33,3 %, lahan terluas >2 – 3 ha sebesar
23,4% dan tertinggi 3 ha dengan rata-rata 0,98 ha yang berarti masuk pada
kategori sempit. Hal ini menunjukkan bahwa petani di lokasi penelitian masih
merupakan petani kecil. Luas lahan garapan tiap petani cenderung semakin kecil
akibat dari sistem warisan yang berlaku dimasyarakat pedesaan, dan tingkat
pertumbuhan penduduk yang relatif makin besar. Luas lahan usahatani yang
diusahakan akan berpengaruh terhadap produksi dan pendapatan usahatani.
Selain itu, di pedesaan luas lahan juga mencerminkan status sosial petani yang
bersangkutan. Semakin luas lahan yang dimiliki atau diusahakan, semakin tinggi
pula status sosial. Berdasarkan hasil penelitian Yunita dkk (2011), bahwa luas
lahan usahatani padi yang diusahakan petani di Sumatera Selatan pada
umumnya relatif sempit berkisar < 0,5 – 1,0 ha sebesar 80 % dan > 1-1,6 ha
sebesar 20 %, hal ini akan mengurangi efisiensi usahatani yang dikelola..
Jumlah tenaga kerja. Umumnya tenaga kerja yang dicurahkan untuk
usahatani adalah berasal dari keluarga. Petani cenderung menggunakan tenaga
kerja yang berasal dari keluarga dengan melibatkan istri dan anaknya dalam
berbagai macam kegiatan usahatani, jumlah tenaga kerja keluarga yang
dimanfaatkan 174,38 HOK/tahun. Darmawi (2012) melaporkan hasil penelitian di
kabupaten Tanjung Jabung Barat Jambi bahwa curahan waktu tenaga kerja
keluarga peternak yakni berasal dari curahan waktu anggota keluarga (ayah,
ibu,anak) yang ikut dalam kerja pemeliharaan ternak sapi. Hasil dari perhitungan
yang disetarakan dengan jam kerja pria (Standar untuk : pria dewasa=1, wanita
dewasa=0.7, anak=0.5), maka tenaga kerja keluarga telah dapat memberikan
peranan dalam pemeliharaan sapi berupa curahan waktu sebesar 3.997.500
KP/periode. Penelitian yang dllakukan Sani dkk (2010) tentang curahan tenaga
kerja transmigrasi dan lokal di Kabupaten Konawe Selatan melapokan bahwa
99
rata-rata curahan tenaga kerja keluarga untuk peternak lokal usaha ternak sapi
hanya 188,49 HOK/tahun sedangkan peternak transmigran pada usaha ternak
sapi mencapai 262,91 HOK/tahun.
Pendapatan. Pendapatan rumahtangga petani bersumber dari usaha
pertanian, usaha perkebunan, usaha ternak dan diluar usaha pertanian (non
pertanian). Usahatani padi merupakan usahatani yang dominan dilakukan
peternak karena sebagian besar mengusahakan tanaman padi sebagai tanaman
pokoknya dan menjadi sumber utama pendapatan rumahtangga. Petani yang
mengusahakan tanaman padi sebanyak 57 responden, usaha perkebunan
kelapa sebanyak 15 responden , usaha perkebunan cengkeh sebanyak 11
responden, dan non pertanian sebanyak 45 responden. Komponen biaya,
penerimaan dan keuntungan usahatani padi per responden ditampilkan pada
Tabel 17.
Tabel 17 . Biaya, penerimaan dan keuntungan usahatani padi (Rp/tahun)
Uraian Rata-rata per responden
(Rp/Tahun)
Persentase (%)
(I). Biaya
a. Biaya Variabel
Biaya benih
Biaya pupuk
Biaya pestisida
Biaya pengolahan lahan
Biaya tenaga kerja
b. Biaya Tetap
Biaya peyusutan peralatan
Biaya lain-lain
c. Total biaya (1)
180.074
1.020.985
230.500
700.500
1.320.100
132.000
120.000
3.704.159
4,86
27,56
6,22
18,91
35,64
3,56
3,25
100,00
(II). Penerimaan (2) 12.383.241
(III). Keuntungan (3) = (2-1) 8.679.082
Sumber : Diolah dari data primer
Tabel 17 memperlihatkan bahwa rata-rata biaya usahatani padi per
responden pertahun sebesar Rp 3,704,159 dengan biaya terbesar adalah biaya
tenaga kerja Rp 1.320.100 pertahun atau 35,64% dan biaya terkecil adalah biaya
100
lain-lain (transportasi) sebesar Rp 120.000 pertahun atau 3,25%. Biaya,
penerimaan dan keuntungan usaha kebun kelapa disajikan pada Tabel 18.
Tabel 18 . Biaya, penerimaan dan keuntungan usaha kebun kelapa (Rp/tahun)
Uraian Rata-rata per responden
(Rp/tahun)
Persentase (%)
(I). Biaya
a. Biaya Variabel
Biaya pupuk
Biaya pestisida
Biaya tenaga kerja
b. Biaya Tetap.
Biaya penyusutan peralatan
Biaya lain-lain
c.Total biaya (1)
551.053
213.436
1.373.400
155.000
150.000
2.442.889
22,56
8,74
56,22
6,34
6,14
100,00
(II). Penerimaan (2) 6.442.200
(III). Keuntungan (3) = (2-1) 3.993.311
Sumber : Diolah dari data primer
Tabel 18 menyajikan rata-rata biaya usaha kebun kelapa per responden
per tahun sebesar Rp 2.442.889 dengan biaya terbesar adalah biaya tenaga
kerja Rp 1.373,400 pertahun atau 56.22% dan biaya terkecil adalah biaya dan
lain sebesar Rp 150.000 atau 6,14%. Biaya, penerimaan dan keuntungan usaha
kebun cengkeh disajikan pada Tabel 19.
Tabel 19 . Biaya, penerimaan dan keuntungan usaha kebun cengkeh (Rp/tahun)
Uraian Rata-rata per responden
(Rp/tahun)
Persentase (%)
(I). Biaya
a. Biaya Variabel
Biaya pupuk
Biaya pestisida
Biaya tenaga kerja
b. Biaya Tetap.
Biaya penyusutan peralatan
Biaya lain-lain
c.Total biaya (1)
382.000
130.000
1.388.727
178.000
200.000
2.278.727
16,76
5,71
60,94
7,81
8,78 100,00
(II). Penerimaan (2) 6.036.364
(III). Keuntungan (3) = (2-1) 3.757.637
Sumber : Diolah dari data primer
Tabel 19 menunjukkan bahwa rata-rata biaya usaha kebun cengkeh per
responden per tahun sebesar Rp 2.278.272 dengan biaya terbesar adalah biaya
101
tenaga kerja Rp 1.388,727 pertahun atau 60,94% dan biaya terkecil adalah biaya
dan penyusutan peralatan sebesar Rp 178.000 atau 7,81%.
Penerimaan ternak sapi terdiri dari penerimaan tunai dan non tunai.
Peneriman tunai diperoleh dari hasil penjualan ternak, sedangkan penerimaan
non tunai berasal dari nilai tambah ternak. Biaya, penerimaan dan keuntungan
usaha ternak sapi disajikan pada Tabel 20.
Tabel 20 . Biaya, penerimaan dan keuntungan usaha ternak sapi potong (Rp/tahun)
Uraian Rata-rata peresponden
(Rp/tahun)
Persentase (%)
(I). Biaya
a. Biaya Variabel
Biaya pakan
Biaya obat-obatan
Biaya sewa pejantan
b. Biaya Tetap.
Biaya penyusutan kandang/peralatan
Biaya lain-lain
c.Total biaya (1)
2.488.130
139.998
50.000
716.555
110.000
3.504.863
70,99
3,99
1,43
20,45
3,14
100,00
(II). Penerimaan (2) 14.047.973
(III). Keuntungan (3) = (2-1) 10.543.110
Sumber : Diolah dari data primer
Hasil penelitianTalib (2002) bahwa berat hidup anak sapi jantan 83,1 kg,
anak sapi betina 77,5 kg, dara jantan 140 kg dan betina dara 130 kg, dewasa
jantan 350 kg dan dewasa betina 257 kg, pertambahan bobot badan per hari
0,28 kg. Dalam penelitian ini nilai ternak diperoleh dengan mengalikan harga per
kg bobot hidup sapi yaitu selisih bobot hidup ternak akhir (saat penelitian
dilakukan) dengan bobot ternak awal (tahun lalu).
Tabel 20 menunjukkan bahwa rata-rata biaya usaha ternak sapi potong per
responden per tahun sebesar Rp 3.504.863 dengan biaya terbesar adalah biaya
tenaga kerja Rp 2.488.130 pertahun atau 70,99% dan biaya terkecil adalah biaya
lain-lain sebesar Rp 110.000 atau 3,14%. Penerimaan usahatani sebagian besar
berasal dari lahan sawah, sedangkan usahatani kelapa dan cengkeh berasal dari
102
lahan kebun. Penerimaan usaha ternak sapi potong berasal dari penerimaan
tunai dan non tunai. Penerimaan tunai berasal dari penjualan ternak, sedangkan
berupa natura dari penambahan nilai ternak, yaitu dari perkiraan nilai ternak sapi
jika seandainya dijual (berdasarkan bobot badan ternak sapi pada setiap tahapan
umur).
Tabel 21. Komponen pendapatan responden (Rp/tahun)
Sumber pendapatan Penerimaan (Rp/tahun)
Biaya operasional (Rp/tahun)
pendapatan (Rp/tahun)
Persentase (%)
Usahatani padi
Usaha kebun kelapa
Usaha kebun cengkeh
Usaha ternak sapi
Non pertanian
12.383.241
6.376.711
6.036.364
14.047.973
14.803.968
3.704.159
2.443.400
2.278.727
3.504.863
6.930.000
8.679.082
3.933.311
3.757.637
10.543.110
7.873.968
24,82
11,25
10,74
30,68
22,51
Total (tahun)
Rataan (bulan)
53.648.257
4.470.688
18.861.149
1,571.762
34.787.108
2.898.925
100,00
Sumber : Diolah dari data primer
Pendapatan dari usahatani padi memberikan kontribusi sebesar 24,82%
terhadap total pendapatan peternak. Produksi padi tertinggi sebesar 5.156 kg/ha
dan produksi terendah 1.025 kg/ha dengan rata-rata 2,131kg/ha. Pendapatan
dari usaha perkebunan kelapa memberikan kontribusi sebesar 11,25% terhadap
total pendapatan peternak dengan produksi kopra sebesar 2.871 kg/tahun,
usaha perkebunan cengkeh memberikan kontribusi sebesar 10,74% terhadap
total pendapatan peternak dengan produksi sebesar 826,45 kg/tahun, usaha
ternak sapi memberikan kontribusi sebesar 30,68% terhadap total pendapatan
peternak, dan non pertanian memberikan kontribusi sebesar 22,51% terhadap
total pendapatan peternak. Usaha ternak sapi memberikan kontribusi tertinggi
yaitu 30,68% terhadap total pendapatan peternak.
5.4. Komoditi Usahatani.
Berdasarkan hasil survei di wilayah penelitian terdapat beberapa komoditas
usahatani yang dominan diusahakan oleh petani, komoditas usahatani tersebut
103
adalah (1) padi, (2) kelapa, (3) cengkeh dan (4) sapi.
Kabupaten Donggala adalah salah satu penghasil padi di Sulawesi
Tengah, dimana komoditi ini sangat berperan dalam perekonomian yang
diarahkan untuk peningkatan produksi dan pendapatan petani. Luas panen padi
sawah di Kabupaten Donggala tahun 2016 mencapai 18.557 ha mengalami
penurunan dibandingkan tahun 2015 mencapai 20.374 ha. Akan tetapi luas
panen padi ladang pada tahun 2016 mencapai 985 ha mengalami peningkatan
dibandingkan pada tahun 2015 mencapai 427 ha. Untuk produktivitas, padi
sawah mengalami penurunan dibandingkan 2015 yaitu 49,62 kwintal/ha dengan
total produksi mencapai 92076 ton. Luas tanam padi di Kabupaten Donggala
adalah peringkat keempat dari 12 kabupaten/kota Provinsi Sulawesi Tengah
dengan produksi 107.032,88 ton (BPS Sulawesi Tengah, 2017) Penanaman padi
dilakukan dua kali dalam setahun. Penanaman padi dilakukan pada musim
tanam pertama yaitu bulan Pebruari, panen pada bulan juni dan musim tanam
kedua pada bulan agustus, panen bulan desember. Kecamatan Dampelas
sebagian besar penduduk menjadikan sektor pertanian sebagai kehidupan
utama, sehingga sektor pertanian menjadi sangat strategis bagi pembangunan
desa.
Di Kabupaten Donggala, lahan kering umumnya diusahakan dengan
tanaman tahunan seperti kakao, kelapa dan cengkeh, sebagian kecil menanam
vanili, lada. Tanaman kakao adalah salah satu komoditas perkebunan yang
memiliki peran penting bagi perekonomian daerah dan menjadikan sumber
kehidupan masyarakat. Dalam beberapa tahun terakhir ini tingkat produksi kakao
mengalami penurunan yang signifikan. Beberapa persoalan dalam
pengembangan kakao di Kabupaten Donggala adalah pohon kakao yang sudah
tua, serangan hama penyakit, mutu biji kakao rendah dan kurangnya perawatan.
104
Hasil wawancara diketahui bahwa perawatan tanaman kakao harus dilakukan
secara rutin mengingat kakao adalah tumbuhan yang rentan terhadap hama dan
penyakit, hal ini menyebabkan tanaman kurang nutrisi sehingga tanaman kakao
kurang berproduksi. Olehnya itu tanaman kakao tidak termasuk dalam penelitian
ini.
Tanaman kelapa adalah tanaman tahunan yang diusahakan oleh petani
diwilayah penelitian. Luas tanaman kelapa tahun 2015 mencapai 3.452,710 ha,
jumlah tanaman 515.246 pohon kelapa, produksi 1.545.738 ton Tanaman kelapa
di wilayah penelitian dan rata-rata berumur diatas 10 tahun. Tanaman kelapa
mulai produksi umur 5 sampai dengan 7 tahun dan puncak produksi dicapai
antara 12 sampai dengan tahun ke 15.. Tanaman kelapa dipanen sebanyak tiga
kali dalam setahun. Pemeliharaan tanaman sebagian besar dilakukan pada saat
memasuki musim panen melalui pembersihan di sekitar tanaman kelapa.
Pemupukan dilakukan setiap habis panen atau paling sedikit setelah dua kali
panen dilakukan satu kali pemupukan.
Selain tanaman kelapa, tanaman cengkeh banyak diusahakan petani
wilayah penelitian. Luas tanaman cengkeh tahun 2015 di Kecamatan Dampelas
mencapai 1.523,00 ha dengan jumlah tanaman 197.990 pohon dan produksi
1.092.910 ton. Produksi cengkeh nasional, mengalami pasang surut sebagai
dampak fluktuatif harga yang berpengaruh pada minat petani untuk melakukan
budidaya tanaman cengkeh. Mengingat harga cengkeh yang tidak menentu
menyebabkan banyak petani menelantarkan pohon cengkehnya, disamping itu
karena musim kemarau banyak pohon cengkeh mengalami kekeringan.
5.5. Pola Tanam
Sebagian besar penduduk di wilayah penelitian menjadikan sektor
pertanian sebagai kehidupan utama, sehingga sektor pertanian menjadi stategis
105
bagi pembangunan. Pola tanam yang berkembang di wilayah penelitian adalah:
(1) padi, padi, (2) kelapa, (3) cengkeh.
Pola tanam padi dalam setahun dilakukan dua kali tanam, penanaman padi
dilakukan pada musim tanam pertama yaitu pada bulan Februari-Juni dan musim
tanam kedua pada bulan Agustus-Desember. Setelah panen, lahan diistirahatkan
dan dibiarkan kosong kurang lebih satu bulan sebelum diolah kembali untuk
penanaman pada musim tanam berikutnya.
Pola tanam tanaman kelapa yang dilakukan di wilayah penelitian umumnya
monokulture, namun ada juga pola diversifikasi baik dengan tanaman umumnya
rumput maupun ternak sapi, kotoran feses/urin bermanfaat sebagai pupuk
organik untuk tanaman tersebut sehingga produksi meningkat. Manfaat
diversifikasi adalah meminimumkan resiko gagal panen kelapa dan sebagai
sumber pertumbuhan pendapatan. Keuntungan lain yang diperoleh dengan
diversifikasi adalah meningkatkan pendapatan, penyerapan tenaga kerja dan
konservasi lingkungan.
Budhi (2010) menyatakan bahwa pengembangan diversifikasi tanaman
tetap relevan dengan tujuan untuk meningkatkan pendapatan dan optimalisasi
penggunaan lahan Pengembangan diversifikasi tanaman pangan perlu dukungan
dari pemerintah berupa penyediaan bibit unggul sampai pemasaran dan
memfasilitasi untuk kerjasama antara petani dan swasta.
Pola tanaman cengkeh diwilayah penelitian adalah monokulture dengan
umur tanaman rata-rata diatas 15 tahun. Tanaman cengkeh banyak tidak
berproduksi karena kurangnya pemeliharaan dan mengalami kekeringan akibat
pengaruh iklim. Tanaman cengkeh bila dipelihara dengan baik yaitu dengan
menyiangi dan memberikan pupuk akan berproduksi maksimal. Petani kurang
memberi perhatian terhadap tanaman cengkeh karena pada saat pengambilan
106
data harga cengkeh sangat murah menyebabkan biaya produksi lebih tinggi
dibandingkan dengan penerimaan petani, hal inilah yang menyebabkan
pendapatan petani cengkeh menurun.
5.6. Keragaan Pola Usahatani
Pola usahatani diwilayah penelitian adalah 1) padi - sapi, 2) padi kelapa
dan sapi, 3) kelapa – sapi, 4) padi, cengkeh dan sapi. Priyanti (2007)
menyatakan bahwa usaha sapi - tanaman dapat memberikan dampak budidaya,
sosial, ekonomi yang postif. Potensi ketersediaan pakan dari limbah tanaman
cukup besar sepanjang tahun sehingga dapat mengurangi ketergantungan
terhadap pakan dari luar dan menjamin keberlanjutan usaha sistem integrasi.
Pola Usaha Padi dan Sapi. Luas tanam padi di Kabupaten Donggala
tahun 2015 adalah sebesar 20.083 ha yang terdiri dari padi sawah 19.455 ha
dan padi ladang 628 ha. Luas panen padi selama tahun 2015 mencapai 20.801
ha yang terdiri dari 20.374 ha padi sawah dan 427 ha padi ladang. Produktivitas
padi selama tahun 2015 mencapai 107.033 ton yang terdiri dari 106.090 ton padi
sawah dan 943 ton padi ladang (Statistik pertanian tanaman pangan Kabupaten
Donggala 2016). Sapi dengan berat badan rata-rata 300 kg kebutuhan BK 2-3%
BB (6-9 kg BK) sehingga kebutuhan BK sudah terpenuhi namun secara kualitas
masih kurang.
Pertanian tanaman pangan merupakan sumber penghasilan utama
Kecamatan Dampelas dan masih didominasi tanaman padi, dimana tahun 2015
luas panen mencapai 4.585,98 ha dengan produksi menurun 24.987,13 ton
dibanding tahun 2014. Ini disebabkan kemarau panjang menyebabkan produksi
menurun.
Populasi ternak di Kabupaten Donggala terdiri dari sapi potong, kerbau,
kuda, kambing, domba dan babi. Populasi ternak terbesar tahun 2017 adalah
107
sapi potong dengan jumlah 42.217 ekor dimana jumlah terbesar berada di
Kecamatan Dampelas sebanyak 8419 ekor. Pembangunan sub sektor
peternakan di wilayah penelitian diupayakan untuk meningkatkan populasi dan
produksi ternak sehingga dapat memenuhi kebutuhan daging bagi daerah
Pola Usaha Padi, Kelapa dan Sapi. Komoditas yang diusahakan petani
terlihat pada komoditas yang diandalkan dalam perekonomian rakyat yaitu
tanaman kelapa. Tanaman kelapa adalah salah satu tanaman tahunan yang
terdapat di Kabupaten Donggala. Luas tanam kelapa tahun 2016 mencapai
28.442 ha dengan produksi 28.355,47 ton. Tanaman kelapa dominan diusahakan
petani di wilayah penelitian dengan luas tanaman kelapa tahun 2015 mencapai
3.452,10 ha dan jumlah pohon mencapai 515.249 dengan produksi sebesar
1.545.738 ton.
Pola Usaha Kelapa dan Sapi. Kelapa memiliki peran strategis bagi
perekonomian marjinal karena disamping dapat dikonsumsi langsung juga dapat
dijadikan bahan baku industri, Komoditi ini telah lama dikenal dan sangat
berperan bagi kehidupan bangsa Indonesia baik ditinjau dari aspek ekonomi
maupun aspek sosial budaya. Seiring dengan laju pertumbuhan penduduk
dewasa ini menunjukkan bahwa kebutuhan/permintaan akan kelapa makin tinggi
mengigat produknya merupakan salah satu dari sembilan bahan pokok
masyarakat. Dilain pihak produksi kelapa dalam perkembangannya cenderung
tetap atau tidak seimbang dengan laju permintaannya. Produksi dan harga kopra
yang tidak stabil merupakan penyebab berfluktuasinya pendapatan ditingkat
petani (Tumoka, 2013). Hal in ididuga disebabkan oleh beberapa masalah antara
lain: penebangan pohon kelapa untuk bahan bangunan sehinga jumlah tanaman
yang ada berkurang tiap tahun, kurangnya peremajaan tanaman tua,
ketersediaan lahan untuk ekstensifikasi semakin terbatas, kurangnya
108
penggunaan sarana teknologi produksi seperti penggunaan pupuk, pemeliharaan
tanaman yang kunrang intensif dan alih fungsi lahan menjadi perumahan dan
lain-lain yang juga berpengaruh secara langsung pada pendapatan petani kelapa
dalam.
Hasil penelitian Rusnan dkk (2015), bahwa Kabupaten Halmahera selatan
memiliki potensi dalam pengembangan peternakan sapi potong dengan pola
integrasi kelapa-sapi berupa sumberdaya alam, sumberdaya manusia, dukungan
kebijakan pemerintah, sarana dan prasarana dan peluang pasar. Hasil penelitian
Suwandi (2005), bahwa integrasi sapi potong-padi di Kabupaten Sragen
meningkatkan pendapatan petani dan kesuburan tanah akibat bertambahnya
unsur hara dari kompos. Hal ini dapat dilihat dari peningkatan hasil gabah
permusim (Rp 145.000/ha). Selain itu produktivitas pakan meningkat (dihitung
dari nilai penghematan konsentrat Rp 1.500.000/tahun) serta kesempatan kerja
bertambah melalui pengolahan limbah mencapai 100 HOK atau
Rp 1.000.000/tahun. Elly dkk. (2008) menyatakan bahwa sistem integrasi sapi-
tanaman jagung memberikan keuntungan kepada petani peternak karena 1)
pupuk kompos dar kotoran ternak sapi dapat meningkatkan kesuburan tanah dan
sebagai sumber pendapatan, 2) ternak dapat dimanfaatkan sebagai tenaga kerja
dan sumber pendapatan bila disewa petani lain yang tidak memiliki tenak sapi,
3) limbah jagung bermanfaat sebagai pakan sehingga mengurangi biaya
penyediaan pakan dan 4) lahan diantara pohon kelapa berupa rumput Brachiria
brizanta dan leguminosa Arahis pintoi untuk meningkatkan kesuburan tanah
sebagai sumber pakan yang berkualitas dan sumber pendapatan bila dijual.
Soedjana (2007) menjelaskan bahwa ada empat model penerapan sistem
usaha tani campuran, yaitu: 1) sistem yang dipraktekkan secara alami dan turun-
temurun oleh petani setempat, 2) sistem usaha tani tanpa melibatkan ternak,
109
3) sistem usaha tani ternak, dan 4) sistem usaha yang berbasis pada sumber
daya lahan, tenaga kerja, dan modal. Masing-masing sistem usaha tani tersebut
memiliki risiko dan ketidakpastian usaha di masa yang akan datang. Dari risiko
mendasar tersebut, dengan menggunakan perhitungan sistem fungsional, usaha
tani terintegrasi tanaman-ternak mempunyai peluang risiko yang minimal. Yuliani
(2014) menyatakan bahwa Sistem integrasi padi-ternak (SIPT) dalam sistem
pertanian merupakan strategi yang sangat penting untuk mewujudkan usaha tani
yang ramah lingkungan, kesejahteraan petani dan masyarakat desa. SIPT
merupakan salah satu program pemerintah untuk mewujudkan kedaulatan
pangan yang telah menjadi hak seluruh rakyat Indonesia untuk memperoleh
pangan yang sehat, cukup, dan mudah diakses untuk keberlangsungan hidup.
Prinsip dari SIPT adalah usaha tani yang menerapkan zero waste dengan
memanfaatkan sumber daya lokal yaitu jerami padi, dedak, kulit buah kakao dan
kotoran ternak secara efisien. tercipta zero waste dan integrated farming system
yang baik untuk mewujudkan kedaulatan pangan.
Pola Usaha Padi, Cengkeh dan Sapi. Cengkeh di Kabupaten Donggala
merupakan sektor yang sangat menunjang pendapatan daerah. Perkembangan
komoditi cengkeh di Donggala berlangsung sesuai dengan laju luas tanaman dan
produksi. Perkembangan produksi cengkeh di Kabupaten Donggala pada tahun
2008-2012 mengalami fluktuasi. Hal ini disebabkan karena adanya perubahan
luas panen tiap tahun, adanya keadaan iklim yang tidak menentu, gangguan
hama dan penyakit serta terjadinya fluktuasi harga cengkeh yang cukup besar
dan biaya panen serta pengolahan cukup tinggi. kondisi tersebut menyebabkan
perubahan peningkatan produksi. Produksi tanaman cengkeh di Kabupaten
Donggala tahun 2015 dengan luas panen 34.136 ha produksi sebesar 1.454 ton.
Luas tanam tanaman cengkeh Kecamatan Dampelas tahun 2014
110
mencapai 1,489,00 ha mengalami peningkatan di tahun 2015 menjadi 1.524,00
ha. Produksi cengkeh tahun 2014 mencapai 987,54 ton dan produksi cengkeh di
tahun 2015 mengalami peningkatan mencapai 1.092.910 ton.
5.7. Pola Usaha Ternak Sapi Potong
Usaha ternak sapi potong di wilayah penelitian adalah usaha pembibitan
dan usaha memelihara ternak sapi potong bagi petani merupakan salah satu
bagian untuk mendukung dalam memenuhi kebutuhan keluarga peternak. Tujuan
peternak dalam memelihara sapi potong adalah untuk mendapatkan keuntungan
namun pada pola pembibitan yang dilakukan oleh peternak pada mulanya untuk
tabungan namun seiring dengan berkembangnya usaha ternaknya maka lama-
kelamaan menjadi usaha komersil. Pemeliharaan ternak sapi di wilayah
penelitian, dilakukan petani sebagai usaha sambilan. Berdasarkan hasil
wawancara diketahui bahwa usaha pokok umumnya adalah bertani. Usaha
ternak diposisikan sebagai tabungan jika sewaktu-waktu petani membutuhkan
uang maka ternak sapinya akan dijual.
Sistem pemeliharaan ternak sapi diwilayah penelitian umumnya dilakukan
secara, intensif, semi intensif dan ekstensif Pada pemeliharaan intensif, peternak
memelihara ternak dalam kandang kelompok, pemberian pakan dilakukan 2 kali
sehari jam 10.00 pagi dan 17.00. Pemeliharaan sapi potong dengan cara
dikandangkan memudahkan pengawasan dan penanganan, tetapi jika
pemberian pakan kurang mencukupi baik kuantitas maupun kualitasnya maka
sering terjadi kelumpuhan akibat sapi kurang bergerak atau exercise.
Pemeliharaan semi intensif, sapi digembalakan siang hingga sore hari dan
dikandangkan pada malam hari. Pada siang hari ternak digembalakan diareal
persawahan atau padang rumput yang ada disekitar desa. Pemberian pakan
hijauan makanan ternak 2 kali sehari yakni jam 10.00 pagi dan jam 16.00 sore
111
sedangkan pakan tambahan berupa dedak diberikan 1 kali sehari. Pemeliharaan
secara ekstensif, ternak dipelihara dengan cara dilepas di padang
penggembalan. Khusus di desa Lembah Mukti ternak sapi dipelihara diareal
perkebunan kelapa, sapi diikat dibawah pohon kelapa dan dibiarkan merumput
siang hari dan diikat kembali sore hari. Peternak menanam hijauan makanan
ternak berupa rumput gajah dan rumput raja di sela-sela tanaman kelapa.
Pemeliharaan ternak di areal kebun kelapa memudahkan petani dalam hal
penyediaan pakan ternak, hal ini dapat dipahami karena disekitar areal
perkebunan kelapa terdapat hijauan yang tumbuh sehingga kebutuhan
pakan ternak sebahagaian telah terpenuhi.
Sistem pemberian pakan menunjukkan bahwa pemberian pakan hijauan
untuk ternak hanya dikira-kira saja tanpa memperhatikan kuantitas. Jenis pakan
yang diberikan berupa rumput lapangan, rumput raja, rumput gajah dan pakan
tambahan/konsentrat berupa dedak. Dedak adalah hasil sisa penggilingan dari
padi yang dapat digunakan sebagai pakan ternak, Dedak merupakan bahan
pakan konsentrat yang banyak digunakan oleh petani sebagai sumber energi
dan protein. Selain itu bahan pakan ternak ini banyak tersedia karena tidak
bersaing dengan kebutuhan manusia. Siregar, (1994) dalam Purwanto (2012)
mengemukakan bahwa pemberian dedak dapat memberikan efisiensi
penggunaan makanan lebih baik karena dedak mudah dicerna dan mengandung
gizi yang tinggi. Adapun kandungan/komposisi gizi dari dedak halus adalah:
protein kasar 15,9% lemak kasar 9,10%.
Pada musim hujan ketersediaan pakan hijauan berlimpah tetapi pada
musim kemarau ketersediaannya terbatas. Pada wilayah penelitian potensi
limbah hasil pertanian dan perkebunan berlimpah dan belum dimanfaatkan scara
maksimal. Hal ini disebabkan tingkat pengetahuan petani dalam teknologi
112
pengolahan pemanfaatan limbah hasil pertanian dan perkebunan masih rendah
sehingga pada kondisi musim kemarau ternak akan kekurangan pakan dan
berakibat pada penurunan produksi dan populasi ternak sapi.
Jenis sapi yang dominan dipelihara peternak di wilayah penelitian adalah
sapi Bali, sapi PO dan sebagian kecil memelihara sapi lokal atau sapi Donggala.
Sapi Bali disenangi petani dengan alasan bahwa sapi Bali mudah berkembang
biak, memiliki daya tahan tubuh yang baik, cepat beranak, mudah beradaptasi
dengan lingkungan yang sangat ekstrim. Hasil wawancara dengan petani
diketahui sapi bali pertama kawin umur 3 tahun, beranak pertama umur 4 tahun,
jarak minta kawin lagi setelah beranak 60 hari. Pencegahan penyakit bisa
dilakukan dengan mengupayakan kebersihan kandang dan lingkungan. Penyakit
yang biasa diderita ternak sapi dilokasi penelitian adalah kudisan (kurap),
cacingan dan perut kembung. Vaksinasi biasa dilakukan oleh petugas dari dinas
pertanian, peternakan dan kesehatan hewan Kabupaten Donggala.
Teknik perkawinan dilakukan dengan sistem kawin alam dan inseminasi
buatan (IB). Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa pengamatan birahi
dilakukan setiap hari yakni pagi dan sore hari dengan melihat gejala birahi
secara langsung dengan tanda estrus. Jika birahi pagi hari ternak sapi
dikawinkan sore hari, bila birahi sore hari dikawinkan besok pagi hingga siang
hari. Sebagian petani tidak mempunyai pejantan sehingga pada saat terjadi
birahi pada ternak betina petani akan menyewa pejantan Rp 30.000 –
Rp 50.000. Keberhasilan kebuntingan sapi induk biasanya dicapai dengan
dengan frekuensi penyuntikan sebanyak 2-3 kali.
. Penyapihan pada umumnya dilakukan pada usia pedet 3-4 bulan,
sehingga sejak disapih sampai umur setahun sudah mulai kekurangan pakan
disebabkan keterbatasan peternak dalam menyediakan pakan, seharusnya pada
113
usia pertumbuhan pemberian pakan harus diperhatikan baik kualitas maupun
kuantitasnya.
Pemeliharaan ternak sapi potong, peternak memanfaatkan tenaga kerja
keluarga untuk menggembalakan ternak, memotong rumput atau mengumpulkan
sisa-sisa hasil pertanian yang dapat dimanfaatkan untuk pakan ternak, dan
selanjutnya ternak mendatangkan pendapatan yang berupa anak sapi, nilai
ternak dan kotoran ternak sebagai pupuk.
Pemasaran pada prinsipnya merupakan proses kegiatan penyaluran
produk yang dihasilkan oleh produsen agar dapat sampai kepada konsumen.
Peternak didalam melaksanakan usahanya selalu menghadapi masalah
pemasaran. Pola pemasaran ternak sapi potong di wilayah penelitian masih
bersifat konvensional yaitu peternak tidak menjual langsung sapinya ke pasar
hewan atau pedagang besar melainkan ke pedagang pengumpul ditingkat desa
atau kepada peternak disekitar desa yang membutuhkan dan penjualan
tergantung kesepakatan antara peternak dan pembeli. Peran pedagang
pengumpul didesa masih dirasakan sangat membantu peternak, sehingga
pedagang pengumpul ditingkat desa tidak mungkin dihilangkan dari saluran
pemasaran. Peternak dihadapkan pada posisi tawar yang lemah, mereka tidak
mengetahui informasi harga ternak terlebih lagi pada saat peternak memerlukan
uang, sehingga harga jual ternak menjadi tidak wajar. Hal inilah yang
menyebabkan keuntungan peternak kurang maksimal, di lain pihak pedagang
desa, pedagang besar dan jagal mendapatkan keuntungan yang lebih besar,
karena merekalah yang berhubungan langsung dengan pasar. Sistem penjualan
tersebut telah berlangsung lama tanpa adanya perubahan. Penyerahan barang
berupa ternak dapat dilakukan di tempat penjual dan ada kalanya penjual
mengantarkan ternaknya yang dijual kepada pembeli, sedangkan pembayaran
114
harga ternak dapat dilakukan secara tunai atau dibayar dengan selang waktu
seminggu sesuai kesepakatan.
Kondisi faktual dari proses menjual sapi potong baik pada peternak
kelompok maupun peternak individu, semua didasarkan pada kriteria
performance atau tampilan fisik sapi potong dan umur. Berdasarkan wawancara
diketahui bahwa 23 % petani mampu menaksir bobot badan sapi dan 77 % tidak
mampu menaksir bobot badan sapi. Penentuan harga jual ternak di tingkat
peternak dilakukan dengan sistem taksiran bukan berdasarkan bobot badan
ternak, mengakibatkan kecenderungannya merugikan pihak peternak.
Dari hasil wawancara diketahui, sebagian besar hasil ternak sapi
dipasarkan keluar daerah dan hanya dalam jumlah kecil ternak dipasarkan
secara lokal. Pemasaran secara lokal melalui dua jalur yaitu dari peternak
(produsen) langsung ke konsumen, kedua melalui perantara ke tukang jagal lalu
ke konsumen, dan pedagang antar daerah. Pengadaan ternak untuk pedagang
antar daerah selain bersumber dari peternak dan pasar hewan setempat, juga
melakukan pembelian ke luar daerah. Hartono (2011) menyatakan bahwa di
kecamatan Damsol, jangkauan pembelian para pedagang ini ke luar daerah
mencakup Kabupaten Parigi Moutong, Kabupaten Luwuk Banggai dan atau
sesuai keinginan pedagang. Bagi pedagang pengumpul, pengadaan ternak
umumnya di lakukan di lokasi setempat, meskipun ada juga yang melakukan
pembelian ke luar daerah. Tujuan pemasaran ternak sapi antar daerah yaitu
Provinsi Kalimantan Timur.
5.8. Aspek Permodalan
Modal mempunyai kedudukan dan peranan yang sangat penting dalam
proses produksi usahatani. Modal merupakan salah satu syarat untuk
menjalankan suatu usahatani/usaha ternak, modal digunakan untuk membeli
115
sarana produksi seperti bibit, alat, pupuk, membeli ternak, memberikan upah
tenaga kerja dan membayar pajak lahan usahatani. Modal dapat berasal dari
petani itu sendiri atau melalui pinjaman bank atau pihak terkait (Rangkuti dkk.,
2014).
Tujuan setiap produsen menekan biaya serendah-rendahnya dengan
menggunakan sumberdaya yang ada secara efisien dan efektif. Dikatakan efektif
bila petani dapat mengalokasikan sumber daya yang mereka miliki sebaik-
baiknya, dan dapat dikatakan efisien bila pemanfaatan sumberdaya tersebut
mengeluarkan output yang melebihi input (Shinta, 2011). Sejalan dengan
berkembangnya produksi usahatani maka bertambah pula akan kebutuhan
modal baik modal sendiri/pribadi maupun modal dari sumber luar. Modal kerja
dalam penelitian ini adalah dana yang dimiliki oleh petani untuk memenuhi
kebutuhan operasinya di mana dana tersebut diharapkan dapat kembali melalui
hasil penjualan produknya untuk kemudian digunakan kembali untuk membiayai
operasi selanjutnya. Pada umumnya masalah yang sebagian besar dihadapi
petani, terutama petani kecil tidak sanggup membiayai usahataninya dengan
menggunakan biaya sendiri. Berbagai upaya-upaya telah dilakukan oleh
pemerintah untuk memberikan bantuan modal. Namun, upaya itu tidak
sepenuhnya dapat mengatasi kesulitan modal bagi petani.
Dalam penelitian ini modal yang dimaksud adalah modal kerja yaitu biaya
yang dikeluarkan pada usahatani maupun usaha ternak. Hasil survei diketahui
bahwa peternak menggunakan modal kerja sendiri/pribadi untuk usahataninya
maupun usaha ternaknya. Dalam pengembangan usaha ternak sapi di wilayah
penelitian peternak dihadapkan pada keadaan yang sulit didalam menyediakan
modal untuk membeli ternak sapi potong. Olehnya itu adanya bantuan modal
usaha yang diberikan pemerintah kepada kelompok melalui BLM (bantuan
116
langsung masyarakat) berupa dana (uang cash) yang dicairkan oleh kelompok
dibelikan sapi bibit dan diberikan kepada anggota kelompok, program ini sangat
membantu peternak untuk pengembangan sapi potong. Peternak yang
mendapatkan bantuan bibit baik betina atau jantan, harus mengembalikan
berupa keturunannya selama lima tahun dengan sistem bergulir. Kebijakan
pemerintah tentang bantuan modal berupa satu ekor sapi potong sangat
membantu petani dalam menjalankan usaha ternaknya yang pada akhirnya akan
meningkatkan pendapatan peternak.
5.9. Analisis Optimasi Usaha Ternak Sapi Potong
5.9.1. Peubah Yang Diamati
Peubah pengambilan keputusan berdasarkan komoditas adalah sebagai
berikut :
X1 : padi
X2 : kelapa
X3 : cengkeh
X4 : sapi
Sedangkan peubah deviasinya adalah sebagai berikut :
DA : ketercapaian tujuan dalam syarat ikatan ke i
DB : ketidak tercapaian tujuan dalam syarat ikatan ke i
5.9.2. Model Matematis Linear Goal Programming
Analisis optimasi yang dilakukan menggunakan Linear Goal Programming
secara komputasi dengan menggunakan paket Program Lindo.
Persamaan matematis fungsi tujuan model Linear Goal Programming (LGP)
dalam penelitian ini adalah :
Min Z = d1+ + d1
- + d2+ + d2
- + d3+ + d3
-+d4+ + d4
- + d5+ + d2
- + d6+ + d6
- + d7
+ + d7- + d8
+ + d8-+ d9
+ + d9-
117
Kendala tujuan model linear goal programming dalam penelitian ini
sebagai berikut :
1. Pendapatan petani
2 . Jumlah ternak
3. Pertambahan berat badan harian
4. Pemanfaatan limbah ternak
5. Pemanfaatan limbah pertanian
6 . Luas lahan
7. Modal kerja
8. Tenaga kerja keluarga
9. Kredit sapi potong
5.9.2.1. Pendapatan Petani
Kendala tujuan pertama adalah pendapatan petani dari usahatani, usaha
kebun dan usaha ternak per tahun (Rp/tahun). Berdasarkan hasil survey
pendapatan petani dari 4 jenis komoditas yang telah diusahakan petani disajikan
pada Tabel 22.
Tabel 22. Pendapatan responden dari usahatani dan usaha ternak
Jenis Usaha Rataan Pendapatan (Rp/tahun)
Usahatani padi
Usaha kebun kelapa
Usaha kebun cengkeh cengkeh
Usaha ternak sapi
8.679.082
3.933.311
3.757.636
10.543.110
Sumber : Diolah dari data primer
Tabel 22 menunjukkan bahwa usaha ternak sapi potong menghasilkan
rataan pendapatan tertinggi sebesar Rp 10.730.860/tahun, diikuti pendapatan
usahatani padi sebesar Rp 8.679.082/tahun, pendapatani kelapa sebesar
Rp 3.933.311/tahun, dan pendapatan cengkeh sebesar RP 3.757.636/tahun
dengan total pendapatan Rp 26.973.138
118
Formulasi kendala tujuan pertama sebagai berikut :
1). 8.679.082 X1 + 3.993.311 X2 + 3.757.636 X3 + 10.543.110 X4 +
DA1 – DB1 = 26.973.138
5.9.2.2. Jumlah Kepemilikan Ternak
Pada umumnya pemeliharaan sapi potong di Indonesia diusahakan oleh
peternak rakyat skala usaha kecil dengan manajemen pemeliharaan secara
tradisional. Sifat usaha adalah sambilan disamping usaha pokoknya sebagai
petani tanaman pangan. Tujuan pemeliharaan adalah untuk menambah
pendapatan keluarga, memanfaatkan kotoran sebagai pupuk lahan pertaniannya,
memanfaatkan limbah pertanian untuk pakan dan sebagai tabungan (asuransi)
hidup yang sewaktu-waktu dapat diuangkan (dijual). Demikian pula usaha ternak
sapi di wilayah penelitian dilakukan oleh peternak rakyat skala usaha kecil
dengan jumlah kepemilikan ternak sapi potong untuk bervariasi 1 – 11 ekor
dengan rata-rata 2,38 ST.
Tabel 23. Rataan kepemilikan ternak berdasarkan kelompok umur
Uraian Anak (ST) Dara (ST) Dewasa (ST) Jumlah (ST)
Jantan
Betina
0,32258065
0,28571429
0,94117647
0,80
1,26190476
1,5070422
2,62216517
2,528613
Total 0,60829493 1,74117647 2,76894702 5,11841842
Sumber : Diolah dari data primer
Jumlah kepemilikan ternak sapi potong di wilayah penelitian sangat
mempengaruhi tingkat pendapatan peternak. Umumnya petani memposisikan
usaha ternak sapi potong sebagai usaha sambilan namun disisi lain usaha ternak
sapi potong ini memberikan kontribusi terhadap pendapatan petani. Petani tidak
mempunyai cukup modal untuk meningkatkan jumlah kepemilikan ternak
walaupun demikian usaha ternak sapi potong sangat membantu petani untuk
meningkatkan kesejahteraan petani
119
Kendala tujuan kedua adalah jumlah kepemilikan ternak sapi (ST/tahun)
disajikan pada Tabel 24.
Tabel 24. Jumlah kepemilikan ternak
Jenis Usaha
Rataan Kepemilikan
Ternak (ST/)
Rataan Kepemilikan Ternak berdasarkan Umur
(ST)
Usahatani padi
Usaha kebun kelapa
Usaha kebun cengkeh
Usaha ternak sapi
-
-
-
2,38
- - -
5,11
Sumber : Diolah dari data primer
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rataan jumlah pemilikan ternak sapi
2.38 ST/tahun dan rataan kepemilikan berdasarkan umur 5,11 ST.
Formulasi kendala tujuan kedua sebagai berikut :
2). 2,38 X4 + DA2 – DB2 = 5,11
5.9.2.3. Pertambahan Bobot Badan Harian Ternak
Pertambahan bobot badan adalah salah satu parameter untuk mengetahui
pertumbuhan sapi selama kurun waktu tertentu dan lama pemeliharaan
berpengaruh terhadap pertumbuhan atau pertambahan bobot badan harian
ternak. Pertumbuhan ternak dapat diduga dengan memperhatikan penampilan
fisik dan bobot hidupnya. Pertambahan bobot badan sapi ditentukan oleh
berbagai faktor terutama jenis kelamin, jenis sapi, umur, ransum atau pakan yang
diberikan dan teknik pengolahannya,. Pengukuran bobot bobot badan harian
ternak di wilayah penelitian dilakukan dengan mengukur panjang tubuh awal dan
panjang tubuh akhir, mengukur lingkar dada awal dan lingkar dada akhir.
Pertambahan bobot badan harian ternak sapi Bali dihitung menggunakan
rumus (Ida Bagus Dagra dalam Guntoro,S. 2002) yaitu bobot badan = ((lingkar
dada (cm))2 X (panjang badan (cm)) : 11050, dinyatakan dalam kg/ekor/hari.
Kendala tujuan ketiga adalah meningkatkan pertambahan bobot badan
120
harian ternak (kg/ekor/hari) di sajikan pada Tabel 25.
Tabel 25. Pertambahan bobot badan harian ternak
Jenis usaha Rataan PBBH(kg/ekor/hari) PBBH(kg/ekor/tahun)
Usahatani padi
Usaha kebun kelapa
Usaha kebun cengkeh
Usaha ternak sapi
-
-
-
0,28
-
-
-
102,8
Sumber : Diolah dari data primer
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertambahan bobot badan harian
ternak sapi potong sebesar 0,28 kg/ekor/hari, untuk pertambahan berat badan
harian ternak pertahun adalah 102,8 kg/ekor/tahun.
Formulasi kendala tujuan ketiga sebagai berikut :
3). 0,28X4 + DA3 – DB3 = 102.8
5.9.2.4. Pemanfaatan Limbah Kotoran Ternak Sebagai Pupuk
Limbah kotoran ternak sapi merupakan bahan organik atau anorganik yang
tidak termanfaatkan lagi dan dapat menimbulkan masalah serius bagi lingkungan
jika tidak ditangani dengan baik. Limbah dapat berasal dari berbagai sumber
hasil buangan dari suatu proses produksi salah satunya limbah peternakan.
Limbah tersebut dapat berasal dari rumah potong hewan, pengolahan produksi
ternak, dan hasil dari kegiatan usaha ternak. Limbah ini dapat berupa limbah
padat, cair, dan gas yang apabila tidak ditangani dengan baik akan berdampak
buruk pada lingkungan
Limbah Kotoran ternak sapi merupakan salah satu bahan membuat pupuk
organik. Ada banyak cara yang dapat dilakukan untuk mengolah limbah
peternakan tersebut yaitu dengan mengolah kotoran menjadi pupuk kandang,
Cara ini merupakan cara yang paling sederhana yang sering kita jumpai yaitu
kotoran ternak dibiarkan hingga kering. Namun dengan cara pengolahan kotoran
tersebut belum bisa dikatakan ramah lingkungan, karena kotoran ternak yang
121
diolah dengan cara dikeringkan akan menimbulkan pencemaran dalam bentuk
gas atau bau. Bau yang menyengat yang ditimbulkan dari kotoran ternak akan
mengganggu pernafasan yang menyebabkan gangguan kesehatan.
Meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga lingkungan
menimbulkan pemikiran untuk mengolah kotoran ternak tersebut menjadi suatu
produk yang lebih bermanfaat. Kotoran ternak diolah dengan cara yang lebih
baik akan bernilai ekonomi tinggi seperti pemanfaatan kotoran tersebut sebagai
bahan pembuatan biogas, pupuk padat, dan pupuk cair. Pengolahan kotoran
ternak menjadi biogas pupuk padat ataupun pupuk cair akan menambah nilai
ekonomis dari kotoran ternak tersebut.
Huda dan Wikanda (2017), bahwa hasil pemanfaatan limbah kotoran sapi
menjadi pupuk organik ternyata menghasilkan potensi ekonomi yang lumayan
besar bagi anggota kelompok tani ternak sehingga dapat meningkatkan
pendapatan ekonomi dan dapat mendorong kesejahertaan petani. Selain itu,
pemanfaatan limbah kotoran sapi menjadi pupuk organik juga dapat menjaga
kesehatan lingkungan dan menjaga kesehatan masyarakat sekitar peternakan,
karena limbah kotoron sapi ini dapat menghasilkan NH3 yang apabila bersatu
dengan debu dalam jangka waktu lama akan menyebabkan beberapa penyakit
yang terkait dengan paru-paru dan mencemari udara di sekitar masyarakat
karena baunya. Sehingga dengan pemanfaatn limbah tersebut dapat
membangun hubungan yang simbiosis muatualisme yang saling memanfaatkan
secara positif.
Kendala tujuan keempat adalah pemanfaatan limbah kotoran ternak
sapi sebagai pupuk disajikan pada Tabel 26.
122
Tabel 26. Pemanfaatan limbah kotoran ternak sebagai pupuk
Jenis usaha Rataan Limbah kotoran ternak
(kg//hari)
Jumlah Limbah kotoran
ternak (kg/tahun)
Usahatani padi
Usaha kebun kelapa
Usaha kebun cengkeh
Usaha ternak sapi
-
-
-
25,53
-
-
-
9318,45
Sumber : Diolah dari data primer
Hasil penelitian menunjukkan produksi limbah ternak yang dapat
dimanfaatkan sebagai pupuk organik adalah 25,53 kg/hari, sehingga total
produksi limbah ternak yang dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organik selama
setahun adalah 9318,45 kg/tahun.
Formulasi kendala tujuan keempat adalah sebagai berikut :
4). 25,53 X4 + DA5 – DB5 = 9318,45
5.9.2.5. Pemanfaatan Limbah Pertanian Sebagai Pakan Ternak
Pengembangan usaha ternak sapi potong sebaiknya memanfaatkan
limbah pertanian sebagai pakan ternak mengingat penyediaan rumput dan
hijauan pakan lainnya sangat terbatas. Limbah pertanian yang berasal dari
limbah tanaman pangan seperti jerami jagung, jerami padi, dedak dan lain-lain
dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak, namun ketersediaannya sangat
dipengaruhi oleh pola pertanian tanaman pangan di suatu wilayah.
Harnbatan utama petani ternak untuk meningkatkan populasi ternaknya
adalah terbatasnya pakan. Perluasan daerah untuk penanaman rumput sebagai
pakan ruminansia sangat sulit, karena terbatasnya lahan. Mengingat makin
sempitnya tempat penggembalaan ternak, maka usaha pemanfaatan bahan sisa
hasil pertanian untuk pakan perlu diperluas. Umumnya limbah pertanian banyak
tersedia di daerah pedesaan, integrasi antara tanaman pangan dengan ternak
merupakan suatu alternatif untuk memanfaatkan limbah pertanian sebagai pakan
123
ternak. Limbah pertanian adalah sisa tanaman pertanian pasca panen setelah
diambil hasil utamanya.
Sumber pakan untuk ternak ruminansia adalah hijauan dan konsentrat,
sehingga untuk meningkatkan produksi ternak ruminansia harus diikuti oleh
peningkatan penyediaan hijauan dan konsentrat yang cukup baik kuantitas
maupun kualitas. Beberapa faktor yang menghambat penyediaan hijauan, yakni
terjadinya perubahan fungsi lahan yang sebelumnya sebagai sumber hijauan
pakan menjadi lahan pemukiman, lahan untuk tanaman pangan, dan tanaman
industri. Salah satu langkah untuk menurunkan keterbatasan hijauan dan pakan
lainnya adalah dengan pemanfaatan limbah pertanian sebagai pakan ternak.
Limbah pertanian dapat dimanfaatkan sebagai sumber pengganti pakan yang
dapat memenuhi nilai gizi ransum yang setara, mudah diperoleh, dan
penggunaannya sebagai bahan pakan ternak yang tidak bersaing dengan
manusia. Salah satu diantaranya adalah pemanfaatan limbah dari tanaman padi
berupa jerami padi dan dedak. Jerami padi dan dedak merupakan limbah
tanaman padi yang mudah diperoleh dan dijadikan bahan campuran ransum
karena nilai gizi yang dimiliki limbah tersebut dapat menunjang pertumbuhan dan
perkembangan ternak. Jerami padi dan dedak merupakan sumber serat kasar
dan protein yang dibutuhkan untuk produktivitas sapi Bali. Di wilayah penelitian
banyak terdapat jerami padi dan dedak, yang sudah dimanfaatkan oleh peternak
adalah dedak, sedangkan jerami padi belum dimanfaatkan karena peternak
belum mengetahui cara mengola jerami padi menjadi pakan ternak.
Kendala tujuan kelima adalah pemanfaatan limbah pertanian sebagai
pakan ternak disajikan pada Tabel 27.
124
Tabel 27. Pemanfaatan limbah pertanian sebagai pakan ternak
Jenis usaha Rataan Limbah pertanian
(kg/hari)
Limbah pertanian
(kg/tahun)
Usahatani padi
Usaha kebun kelapa
Usaha kebun cengkeh
Usaha ternak sapi
6,49
-
-
-
2389,95
Sumber : Diolah dari data primer
Hasil penelitian menunjukkan pemanfaatan limbah pertanian untuk pakan
ternak sejumlah 6,49 kg/hari. Total pemanfaatan limbah pertanian sebagai
pakan ternak adalah 2389,95 kg/tahun.
Formulasi kendala tujuan kelima adalah sebagai berikut :
5. 6,49X1 + DA6 - DB6 = 2389,95
5.9.2.6. Luas Lahan
Luas lahan adalah area/tempat yang digunakan untuk melakukan
usahatani diatas sebidang tanah dalam satuan hektar (ha). Lahan di wilayah
penelitian umumnya diusahakan tanaman pangan dan tanaman perkebunan,
tanaman pangan didominasi tanaman padi dan tanaman perkebunan didominasi
tanaman kelapa dan cengkeh. DI wilayah penelitian daya dukung lahan yang
dimiliki masih memungkinkan bagi pengembangan usaha ternak baik ruminansia
(sapi potong) maupun non ruminansia. Ketersediaan hijauan pakan ternak baik
rumput atau limbah pertanian sebagai pakan ternak masih cukup tersedia bagi
ternak ruminansia.
Optimasi dilakukan pada luas lahan usahatani untuk setiap komoditas
padi, kelapa dan cengkeh. Kendala tujuan keenam adalah luasan lahan yang
diusahakan peternak disajikan pada Tabel 28.
125
Tabel 28. Luas lahan
Jenis usaha Rataan Luas lahan (Ha)
Usahatani Padi
Usaha kebun kelapa
Usaha kebun cengkeh
Usaha ternak sapi
0,82
1,29
1,13
-
Sumber : Diolah dari data primer
Data yang ditampilkan pada Tabel 28 menunjukkan bahwa petani memiliki
rataan luas lahan usahatani padi 0,82 ha, usaha kebun kelapa 1,29 ha, usaha
kebun cengkeh 1,13ha dengan total luasan lahan sebesar 3,24 ha.
Formulasi kendala tujuan keenam sebagai berikut :
6). 0,82X1 + 1,29 X2 + 1,13 X3 + DA7 – DB7 <= 3,24
5.9.2.7. Modal Kerja
Modal kerja adalah seluruh biaya yang dikeluarkan peternak berupa uang
tunai untuk kegiatan usahatani maupun usaha ternaknya. Peternak dalam
mengelola usahataninya menggunakan modal kerja sendiri. Ketersediaan modal
kerja didekati dengan cara menghitung rata-rata pengeluaran peternak untuk
membiayai usahatani maupun usaha ternaknya dalam satu tahun. Modal kerja
digunakan untuk membiayai pengadaan sarana produksi berupa bibit, pupuk,
pestisida, sewa lahan, sewa traktor, pakan ternak dan obat-obatan.
Kendala tujuan ketujuh adalah modal kerja usahatani pada setiap
komoditas yang diusahakan petani disajikan pada Tabel 29.
Tabel 29 terlihat bahwa usaha padi menyerap modal kerja tertinggi
sebesar Rp 3.704.150/tahun (31,05%), usaha ternak sapi sebesar
Rp 3.504.883/tahun (29,38%), usaha kebun kelapa sebesar Rp 2.443.400/tahun
(20,24%) dan usaha kebun cengkeh menyerap modal kerja sebesar
Rp 2.278.727/tahun (19,09%).
126
Tabel 29. Modal kerja
Jenis usaha Rataan Modal kerja (Rp/tahun) Persentase (%)
Usahatani padi
Usaha kebun kelapa
Usaha kebun cengkeh
Usaha ternak sapi
3.704.150
2.443.400
2.278.727
3.504.863
31,05
20,24
19,09
29,38
Sumber : Diolah dari data primer
Formulasi Kendala tujuan ketujuh sebagai berikut :
7). 3.704.159X1+ 2.443.400X2 + 2.278.727X3 + 3.504.863X4 + DA7 – DB7
<= 11,931.140
5.9.2.8. Tenaga Kerja
Tenaga kerja yang berperan dalam usahatani maupun usaha ternak
umumnya melibatkan tenaga kerja keluarga yaitu kepala keluarga sebagai
tenaga kerja pria dewasa, juga melibatkan anggota keluarga lain yakni istri
sebagai tenaga kerja wanita dewasa dan anak. Peranan ini terlihat dari seberapa
besar curahan waktu yang dikorbankan dalam pekerjaan-pekerjaan yang
dilakukan dalam usahatani padi, usaha perkebunan kelapa, usaha perkebunan
cengkeh dan usaha ternak sapi. Hasil wawancara diketahui bahwa untuk
curahan waktu yang dikorbanan dalam pekerjaan yang dilakukan untuk
usahatani padi adalah pengolahan sawah, pembibitan, persemaian, penanaman,
pemupukan, penyemprotan, panen. Curahan waktu yang dikorbankan dalam
pekerjaan diareal kebun kelapa meliputi pemupukan, pembersihan areal
perkebunan, panen dan penanganan pasca panen. Curahan waktu yang
dikorbankan dalam pekerjaan diareal kebun cengkeh meliputi pembersihan areal
perkebunan, pemupukan, penyemprotan pestisida, panen dan penanganan
pasca panen. Curahan waktu yang dikorbankan dalam pemeliharaan ternak sapi
potong meliputi mulai dari mencari rumput, memberikan pakan dan konsentrat,
memberi minum, memandikan, melepas dan memasukan sapi dalam kandang.
127
Kendala tujuan delapan adalah penyerapan tenaga kerja disajikan pada Tabel
30.
Tabel 30. Tenaga kerja
Jenis usaha Rataan Tenaga kerja
(HOK/tahun)
Persentase (%)
Usahatani padi
Usaha kebun kelapa
Usaha kebun cengkeh
Usaha ternak sapi
43,23
24.05
28,60
78,50
28,05
13,87
17,48
33,05
Sumber : Diolah dari data primer.
Data yang ditampilkan pada Tabel 30 menunjukkan bahwa tenaga kerja
keluarga tersedia pada usahatani padi sebanyak 42,23 HOK/tahun, tenaga
kerja keluarga pada usahatani kelapa sebanyak 24,05 HOK/tahun, tenaga kerja
keluarga pada usahatani cengkeh sebanyak 28,60 HOK/tahun, tenaga kerja
pada usaha ternak sapi sebanyak 78,50 HOK/tahun.
Kendala tujuan delapan dapat diformulasikan sebagai berikut :
8). 43,50 X1 + 24,60 X2 + 28,60 X3 + 78,50X4 + DA8 – DB8 <= 174.38
5.9.2.9. Kredit Sapi Potong sistem bergulir
Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan kredit ternak sapi potong
dengan sistem bergulir adalah penyebaran ternak sapi potong kepada peternak
melalui bantuan pinjaman langsung masyarakat (BPLM) dengan perjanjian akan
dikembalikan pada waktu yang telah ditentukan. Penyebaran ternak sapi potong
kepada peternak melalui bantuan pinjaman langsung masyarakat (BPLM) telah
lama dilaksanakan di wilayah penelitian, upaya ini dilakukan agar supaya
peternak dapat memanfaatkan sumberdaya dengan optimal. Bantuan pinjaman
langsung masyarakat dengan sistem bergulir dimana peternak memperoleh
ternak dari pemerintah sebanyak satu ekor untuk selanjutnya keturunannya
sebanyak dua ekor disebarkan (revolving) ke peternak lain dalam waktu 5 tahun.
Paturochman (2006) menyatakan bahwa pola pengembalian untuk satu ekor
128
induk betina, peternak penggaduh harus mengembalikan sebanyak dua ekor
keturunanya dalam waktu lima tahun, namun dalam pelaksanaannya hambatan
yang dialami peternak yaitu kematian ternak bibit, realisasi pengembalian,
intensitas dan kualitas pembinaan serta monitoring.
Pada analisis ini menggunakan asumsi bahwa bantuan kepada peternak
berupa 1 ekor sapi potong betina umur 1,5 - 2 tahun Kendala tujuan sembilan
adalah kredit sapi potong sistem bergulir disajikan pada Tabel 31.
Tabel 31. Kredit sapi potong sistem bergulir
Jenis usaha Bantuan ternak sapi potong (ST)
Usahatani padi
Usaha kebun kelapa
Usaha kebun cengkeh
Usaha ternak sapi
-
-
-
1,00
Sumber : Diolah dari data primer
Tabel 31 menunjukkan bahwa kredit ternak sapi yang diterima petani
adalah satu satuan ternak (ST) sapi. Kendala tujuan sembilan dapat
diformulasikan sebagai berikut :
9). X4 + DA9 – DB9 <= 1.00
5.10. Penyelesaian Optimalisasi Linear Goal Programming (LGP)
5.10.1. Penyelesaian Optimalisasi Usaha Ternak Sapi Potong
Penyelesaian yang telah diformulasikan dalam bentuk model matematik
dilakukan analisis dengan program Linear Interactive Diskret Optimizer (LINDO).
Formulasi masalah dalam bentuk matematik sesuai aturan program sasaran
linear. Hasil pengolahan persamaan matematik dengan menggunakan LINDO.
dapat dilihat pada Lampiran 1, 2, 3 dan 4.
Hasil dari program komputer LINDO memberikan dua bagian informasi
penting. Bagian pertama memberikan dua bagian informasi mengenai
penyelesaian optimal (nilai fungsi tujuan, nilai kendala tujuan, nilai variabel
129
keputusan, nilai variabel deviasional, nilai reduced cost) dan nilai slack, surplus
serta dual price. Bagian kedua memberi informasi mengenai analisis sensitivitas
. Nilai fungsi tujuan (Zmin) setelah pengolahan dengan program LINDO
memberikan informasi bahwa nilai fungsi tujuan dalam program sasaran atau
program goal programming merupakan nilai minimal dari hasil penampungan
penyimpangan-penyimpangan (deviasi) terhadap sasaran yang tidak
dikehendaki. Penyimpangan tersebut dapat berupa penyimpangan diatas atau
dibawah dari sasaran-sasaran yang ditetapkan.
Hasil analisis (Lampiran1) menunjukkan nilai fungsi objektif (Objective
Function Value) memperoleh nilai 1.018.953. Nilai tersebut merupakan total
biaya minimum berdasarkan komoditas yang diusahakan petani dimana X1=
0,75, X2= 1,19, X3= 1,13 dan X4= 1.00. Hasil analisis (Lampiran 2) menunjukkan
nilai fungsi objektif (Objective Function Value) memperoleh nilai 1.062.491. Nilai
tersebut merupakan total biaya minimum berdasarkan komoditas yang
diusahakan petani dimana X1= 0,73, X2= 1,16, X3= 1,10 dan X4= 1.00. Hasil
analisis (Lampiran 3) menunjukkan nilai fungsi objektif (Objective Function Value)
memperoleh nilai 1.062.491. Nilai tersebut merupakan total biaya minimum
berdasarkan komoditas yang diusahakan petani dimana X1= 0,73, X2= 1,17,
X3= 1,11 dan X4= 1.00. Hasil analisis (Lampiran 4) menunjukkan nilai fungsi
objektif (Objective Function Value) memperoleh nilai 1.048.707. Nilai tersebut
merupakan total biaya minimum berdasarkan komoditas yang diusahakan petani
dimana X1= 0,73, X2= 1,17, X3= 1,11 dan X4= 1.00. Solusi optimal disajikan
pada Tabel 32.
Tabel 32 menunjukkan bahwa hasil optimal usahatani padi
direkomendasikan menurun yaitu dari 0,82 ha menjadi 0,75 ha, usahatani
kelapa direkomendasikan menurun dari 1,29 ha menjadi 01,19 ha, usahatani
130
cengkeh direkomendasikan tetap yaitu 1,13 ha, sedangkan usaha ternak sapi
direkomendasikan tetap 1,00 ST.
Tabel 32. Solusi optimal usahatani dan usaha ternak sapi potong
Variabel Jenis tanaman dan ternak Kondisi aktual
Solusi optimal
X1 Padi (Ha) 0,82 0,75
X2 Kelapa (Ha) 1.29 1,19
X3 Cengkeh (Ha) 1,13 1,13
X4 Sapi (ST) 1,00 1,00
Sumber : Diolah dari data primer (Lampiran 1)
Hasil solusi optimal merekomendasikan bahwa usahatani padi menurun
yaitu dari 0,82 ha menjadi 0,75 ha. Hal ini mengindikasikan bahwa pengusahaan
lahan usahatani padi menurun disebabkan adanya pematang dan saluran air.
Usahatani padi di wilayah penelitian memberikan kontribusi terhadap pendapatan
dan kesejahteraan petani, sebagian besar petani mengusahakan tanaman padi
sebagai usaha pokok, memberikan finansial yang tinggi yaitu meningkatnya
pendapatan petani serta dapat meningkatkan kesejahteraan hidup petani.
Hasil solusi optimal menunjukkan bahwa luas tanam kelapa menurun
yakni dari kondisi aktual 1,29 ha menjadi 1,19 ha. Hal ini mengindikasikan bahwa
telah terjadi pengurangan tanaman kelapa diareal perkebunan kelapa. Terjadi
pengurangan lahan kebun kelapa disebabkan sebagian petani tidak lagi merawat
kebun kelapa dengan baik dikarenakan harga kopra menurun, pohon kelapa
produksinya rendah rata-rata berumur diatas 20 tahun, pohon kelapa banyak
yang ditebang di buat bahan bangunan rumah.
Solusi optimal menunjukkan bahwa luas tanam cengkeh tetap yakni 1,13
ha. Hal ini mengindikasikan bahwa tanaman cengkeh di daerah penelitian tetap
menjadi tumpuan harapan petani karena permintaan akan buah cengkeh
meningkat dan merupakan salah satu sumber pendapatan yang dapat
meningkatkan kesejahteraan petani. Usahatani cengkeh jika diusahakan
131
memerlukan waktu yang cukup lama yaitu sekitar 5 tahun sampai panen
(produksi) karena tanaman cengkeh merupakan komoditas tahunan. Tanaman
cengkeh didaerah penelitian rata-rata berumur diatas 15 tahun dan selama
Beberapa tahun terakhir petani kurang memelihara kebun cengkehnya
sehingga produksinya menurun.
Pada kredit sapi potong sistem bergulir pemerintah memberikan bantuan
ternak sapi kepada kelompok ternak yang selanjutnya diberikan kepada anggota
kelompok ternak. Pada kondisi aktual peternak mendapatkan bantuan ternak
dari pemerintah melalui kelompok ternak berupa 1 ekor sapi potong, Pada
analisis ini setiap anggota kelompok ternak mendapatkan 1 ekor ternak sapi.
Hasil solusi optimal menunjukkan bahwa usaha sapi potong direkomendasikan
tetap yaitu 1,00 ST. Hal ini mengindikasikan bahwa peternak yang mendapatkan
bantuan ternak sapi potong sistem bergulir adalah 1 ekor sapi.
5.10.2. Pencapaian Kendala Tujuan Usaha Sapi Potong
Pemanfaatan komoditas usahatani maupun usaha ternak yang
direkomendasikan menunjukkan bahwa target yang ingin dicapai dapat
dimaksimumkan maupun diminimumkan deviasinya. Target yang dicapai pada
analisis Linear Goal Programmiing (LGP) adalah besarnya manfaat usahatani
dan usaha ternak yang dikelola peternak.
Pencapaian kendala tujuan usahatani maupun usaha ternak dimaksudkan
untuk melihat besaran target yang ingin dicapai berdasarkan hasil solusi optimal
yang diperoleh. Besaran target pada kendala tujuan pada penelitian ini adalah
1. Besaran target pendapatan diperoleh dari pendapatan petani selama setahun
baik dari usahatani, usaha kebun maupun usaha ternak sebesar
Rp 26.973.139 sehingga d1+= pencapaian lebih dari Rp 26.973.139 dan d1
- =
pencapaian kurang dari Rp 26.973.139.
132
2. Besaran target jumlah kepemilikan ternak diperoleh dari rataan kepemilikan
ternak berdasarkan kelompok umur ternak yaitu 5,11 ST sehingga d2+ =
pencapaian lebih dari 5,11 ST dan d2- = pencapaian kurang dari 5,11 ST.
3. Besaran target pertambahan bobot badan harian ternak (PBBH) diperoleh
dari PBBH sebesar 102,8 (kg/ekor/tahun) sehingga d3+ = pencapaian lebih
dari 102,8 (kg/ekor/tahun) dan d3- = pencapaian kurang dari 102,8
(kg/ekor/tahun).
4. Besaran target pemanfaatan limbah kotoran ternak sebagai pupuk diperoleh
dari jumlah limbah kotoran ternak sebagai pupuk selama setahun sebesar
9318,45 kg, sehingga d4+ = pencapaian lebih dari 9318,45 kg dan d4
- =
pencapaian kurang dari 9318,45 kg.
5. Besaran target limbah pertanian sebagai pakan ternak diperoleh dari jumlah
limbah pertanian sebagai pakan ternak selama setahun sebesar 2389,95 kg
sehingga d5+ = pencapaian lebih dari 2389,95 kg dan d5
- = pencapaian kurang
dari 2389,95 kg.
6. Besaran target luas lahan diperoleh dari luas lahan usahatani padi,usaha
kebun kelapa dan usaha kebun cengkeh sebesar 3,24 ha, sehingga d6+ =
pencapaian lebih dari 3,24 ha dan d6- = pencapaian kurang dari 3,24 ha.
7. Besaran target modal kerja diperoleh dari modal kerja yang digunakan pada
usahatani padi, usaha kebun kelapa, usaha kebun cengkeh dan usaha ternak
sapi potong selama setahun sebesar Rp 11.931.140, sehingga d7+ =
pencapaian lebih dari Rp 11.931.140 dan d7- = pencapaian kurang dari
Rp 11.931.140.
8. Besaran target tenaga kerja diperoleh dari penyerapan tenaga kerja pada
usahatani padi, usaha kebun kelapa, usaha kebun cengkeh dan usaha ternak
sapi potong selama setahun sebesar 174,38 HOK, sehingga d8+ =
133
pencapaian lebih dari 174,38 HOK dan d8- = pencapaian kurang dari
174,38 HOK.
9. Besaran target kredit sapi potong sistem bergulir diperoleh dari bantuan
ternak sapi potong yang diberikan kepada peternak sebesar 1.00 ST,
sehingga d9+ = pencapaian lebih dari 1.00 ST dan d9
- = pencapaian kurang
dari 1.00 ST.
Pencapaian kendala tujuan usaha ternak sapi potong kredit sistem bergulir
disajikan pada Tabel 33.
Tabel 33. Pencapaian kendala tujuan usaha ternak sapi potong No Kendala tujuan
Kondisi
aktual
Besaran target
Solusi Optimal
DA dan DB
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Pendapatan (Rp)
Jumlah ternak (ST)
Pertambahan bobot badan harian
(Kg)
Pemanfaatan limbah kotoran ternak
sebagai pupuk (Kg)
Pemanfaatan limbah pertanian
sebagai pakan ternak (Kg)
Luas lahan (Ha)
Modal kerja (Rp)
Tenaga kerja keluarga (HOK)
Kredit sapi potong sistem bergulir
(ST/ (Rp)
2.898.925
2,38
0,28
25,53
6,49
3,24
994.262
174,38
1,00
26.973.139
5,11
102.8
9318,45
2369,95
3,24
11.931.149
174,38
1,00
791.038
2,73
102,51
9292,91
2365,02
-0,32
0
0
0
Sumber : Diolah dari data primer (Lampiran 1)
Keterangan : DA = pencapaian lebih dari target
DB = pencapaian kurang dari target
Hasil solusi optimal Tabel 33 pada pencapaian kendala tujuan
menunjukkan bahwa besarnya pendapatan yang diterima meningkat sebesar
Rp 791.038 (3,39%) dari besaran target, jumlah kepemilikan ternak meningkat
sebesar 2.73 ST (46,58%) dari besaran target, pertambahan bobot badan harian
ternak meningkat sebesar 102,51 kg (99,72%) dari besaran target, pemanfaatan
limbah kotoran ternak sebagai pupuk meningkat sebesar 9296,9 kg (99,73%)
dari besaran target, pemanfaatan limbah pertanian sebagai pupuk meningkat
134
sebesar 2365,02 kg (99,79%) dari besaran target, pengusahaan luas lahan
menurun sebesar 0,32 ha (9,88%), modal kerja telah digunakan secara optimal,
tenaga kerja telah terserap secara optimal, kredit ternak sapi mencapai nilai
optimal.
5.10.3. Pencapaian Tujuan Usahatani Adanya Perubahan Skenario
Hasil solusi optimal tujuan usaha tani dinilai belum optimal maka perlu
dilakukan kembali analisis Linear Goal Programming (LGP) dengan tujuan untuk
mendapatkan formulasi baru. Analisis dilakukan kembali karena adanya
perubahan skenario.
Skenario dilakukan untuk mengetahui perubahan fungsi tujuan dan
konsekuensi keputusan jika terjadi perubahan dari satu atau beberapa koefisien
model, skenario tersebut adalah:
a. Skenario 1, asumsi harga usahatani dan usaha ternak tetap, bantuan
kredit ternak sapi potong meningkat menjadi 2 ekor.
b. Skenario 2, asumsi perubahan harga usahatani dan usaha ternak naik
15 % yakni pada harga jual komoditas kelapa, cengkeh dan sapi potong
tanpa menaikkan harga padi, peningkatan modal kerja operasional
sebesar 5 %, mencakup semua biaya usahatani dan usaha ternak
meliputi biaya pupuk, obat-obatan , pakan dan upah tenaga kerja,
bantuan kredit ternak sapi potong 1 ekor.
c. Skenario 3, asumsi perubahan harga usahatani naik 15 % yakni pada
harga jual komoditas kelapa, cengkeh dan sapi potong tanpa menaikkan
perubahan harga padi, peningkatan modal kerja operasional sebesar
5 %, mencakup semua biaya usahatani dan usaha ternak meliputi biaya
pupuk, obat-obatan dan upah tenaga kerja, bantuan kredit ternak sapi
potong menjadi 2 ekor.
135
Solusi optimal yang direkomendasikan akibat perubahan skenario disajikan
pada Tabel 34.
Tabel 34. Solusi optimal yang di rekomendasikan pada variabel keputusan adanya perubahan skenario
Variabel
Jenis tanaman dan ternak
Kondisi Aktual
Kondisi Optimal
Solusi Optimal
Skenario1 Skenario 2 Skenario 3
X1 Padi (Ha) 0,82 0,75 0,73 0,73 0,73
X2 Kelapa (Ha) 1.29 1.19 1,16 1,17 1,17
X3 Cengkeh (Ha) 1,13 1,13 1.10 1,11 1,10
X4 Sapi (ST) 1.00
2.00
1,00 1,00
1.00
1.00
1.00
1.00
Sumber : Diolah dari data primer (Lampiran 2, 3 dan 4)
Hasil solusi optimal Tabel 34 menunjukkan bahwa luas lahan padi pada
skenario 1, 2 dan 3 menjadi 0,73 atau menurun 10,98% dari kondisi aktual,
penurunan luas lahan tanaman padi disebabkan pada lahan sawah terdapat
bedengan dan saluran. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya penurunan luas
lahan padi. Implikasi dari skenario 1, skenario 2 dan skenario 3 berpengaruh
terhadap pendapatan petani maka pengusahaan tanaman padi harus
dioptimalkan sebab usahatani padi merupakan usaha pokok yang akan
memberikan dampak finansial yaitu meningkatnya pendapatan petani serta
dapat meningkatkan kesejahteraan hidup petani.
Hasil solusi optimal menunjukkan bahwa luas lahan kelapa pada skenario 1
direkomendasikan menurun dari kondisi aktual 1,29 ha menjadi 1,19 ha atau
turun 7.75 %, demikian pula skenario 2 dan 3 menjadi 1,17 atau menurun 9,30%.
Hal ini mengindikasikan bahwa adanya perubahan harga dan modal kerja, maka
luas lahan kelapa menurun, olehnya itu petani harus mengoptimalkan usaha
tanaman kelapa sehingga dapat menghasilkan produksi maksimal yang pada
akhirnya meningkatkan pendapatan petani.
Hasil solusi optimal menunjukkan bahwa luas lahan cengkeh pada
skenario 1 dan 3 direkomendasikan menurun dari kondisi aktual menjadi 1,10 ha
136
atau menurun 2,65%, demikian pula skenario 2 menjadi 1,11 ha atau menurun
1,77% Hal ini berarti bahwa adanya perubahan harga dan modal kerja maka
terjadi perubahan pada luas tanam cengkeh. Tanaman cengkeh di wilayah
penelitian menjadi tumpuan harapan petani sejak harga cengkeh mengalami
peningkatan. Namun akhir-akhir ini harga cengkeh mengalami penurunan
sehingga Petani tidak lagi mememelihara tanaman cengkeh dengan baik
mengakibatkan pohon cengkeh banyak yang mati selain itu karena faktor iklim
menyebabkan tanaman cengkeh mengalami kekeringan sehingga produksi
cengkeh menurun. Fenomena ini merupakan salah satu pertimbangan petani
untuk mempunyai usahatani lain selain tanaman cengkeh sebagai sumber
pendapatan. Usahatani cengkeh jika diusahakan memerlukan waktu yang cukup
lama yaitu sekitar 5 tahun sampai panen (produksi) karena merupakan
komoditas tahunan. Tanaman cengkeh di wilayah penelitian rata-rata berumur
diatas 15 tahun dan selama beberapa tahun terakhir produksi cengkeh menurun
diakibatkan kondisi cuaca yang kurang baik.
Hasil solusi optimal menunjukkan bahwa kredit sapi potong berupa 1.00
ST, baik skenario 1, 2 maupun skenario 3 direkomendasikan tetap yaitu 1.00 ST.
Hal ini terkait dengan kebijakan pemerintah bahwa setiap anggota kelompok
ternak mendapatkan bantuan 1 ekor sapi potong.
Untuk melihat solusi optimal tujuan usahatani akibat kenaikan sumberdaya
di sajikan pada Tabel 35.
137
Tabel 35. Solusi optimal direkomendasikan pada kendala tujuan adanya skenario perubahan kredit sapi potong
No KendalaTujuan Kondisi
Aktual Besaran Target
DA dan DB
Skenario 1
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Pendapatan (Rp)
Jumlah ternak (ST)
Pertambahan bobot badan harian
(Kg)
Pemanfaatan limbah kotoran ternak
sebagai pupuk (Kg)
Pemanfaatan limbah pertanian
sebagai pakan ternak (Kg)
Luas lahan (Ha)
Modal kerja (Rp)
Tenaga kerja keluarga (HOK)
Kredit ternak sapi potong (ST/Rp)
2.898.925
2,38
0,28
25,53
6,49
3,24
994.262
174,38
2.00
26.973.139
5,11
102.8
9318,45
2369,95
3,24
11.931.149
174,38
2.00
1.226.617
2,73
102,51
9292,91
2365,17
-0,12
327.535
4,35
0
,Sumber : Diolah dari data primer (Lampiran 2)
Keterangan : DA = pencapaian lebih dari target DB = pencapaian kurang dari target
Hasil solusi optimal pada Tabel 35 menunjukkan pencapaian kendala
tujuan adanya skenario perubahan kredit sapi potong bahwa besarnya
pendapatan yang diterima meningkat sebesar Rp 1.226.617 (4,53%) dari
besaran target, jumlah kepemilikan ternak meningkat sebesar 2.73 ST (53,42%)
dari besaran target, pertambahan bobot badan harian ternak meningkat sebesar
102,51 kg (99,71%) dari besaran target, pemanfaatan limbah kotoran ternak
sebagai pupuk meningkat sebesar 9296,9 kg (99,73%) dari besaran target,
pemanfaatan limbah pertanian sebagai pupuk meningkat sebesar 2365,02 kg
(99,82%) dari besaran target, pengusahaan luas lahan menurun sebesar 0,12
ha (3,70%), modal kerja meningkat sebesar Rp 327,53 (2,75%) dari besaran
target, penggunaan tenaga kerja meningkat sebesar 4,35 HOK (2.49%) dari
besaran target dan kredit ternak sapi mencapai nilai optimal.
Untuk melihat solusi optimal tujuan usahatani akibat kenaikan sumberdaya
disajikan pada Tabel 36.
138
Tabel 36. Solusi optimal direkomendasikan pada kendala tujuan adanya skenario perubahan
No Kendala
Tujuan Kondisi Aktual
Besaran Target
DA dan DB
Skenario 2 Skenario3
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Pendapatan (Rp)
Jumlah ternak (ST)
Pertambahan bobot badan
harian (Kg)
Pemanfaatan limbah
kotoran ternak sebagai
pupuk (Kg)
Pemanfaatan limbah
pertanian sebagai pakan
ternak (Kg)
Luas lahan (Ha)
Modal kerja (Rp)
Tenaga kerja keluarga
(HOK)
Kredit ternak sapi potong
(ST)
2.898.925
2,38
0,28
25,53
6,49
3,24
1.021.395
174,38
1,00
2,00
30.026.218
5,11
1002,8
9318,45
2369,,45
3,24
12.256.751
174,38
1.00
2.00
1.010.110
2,73
102,51
9292,91
2365,16
-0,12
0
0
0
1131.993
2.73
102.51
9292,91
2365,21
-0,11
0
0
0
Sumber : Diolah dari data primer (Lampiran 3 dan 4) Keterangan : DA = pencapaian lebih dari target
DB = pencapaian kurang dari target
Hasil solusi optimal pada Tabel 36 menunjukkan bahwa akibat adanya
perubahan pada skenario 2 maka pendapatan yang diterima meningkat sebesar
Rp 1.010.110 (3,24%), demikian pula skenario 3 meningkat sebesar
Rp 1131.993 ( 3,13%) dari besaran target, jumlah kepemilikan ternak baik pada
skenario 2 maupun 3 meningkat sebesar 2,73 ST (53,42 %) dari besaran target,
pertambahan bobot badan harian ternak pada skenario 2 maupun 3 meningkat
sebesar 102,51 kg (96,66%) dari besaran target, pemanfaatan limbah kotoran
ternak sebagai pupuk baik pada skenario 2 maupun 3 meningkat sebesar
9292,91 kg (99,72%) dari besaran target, pemanfaatan limbah pertanian sebagai
pupuk pada skenario 2 maupun 3 meningkat sebesar 2365,16 kg (99,79%) dari
besaran target, luas lahan pada skenario 2 menurun sebesar 0,12 ha (3,70%)
dan pada skenario 3 menurun sebesar 0,11 ha (3,39%), modal kerja pada
skenario 2 maupun skenario 3 telah mencapai nilai optimal, tenaga kerja pada
139
skenario 2 maupun skenario 3 telah terserap secara optimal, kredit sapi potong
sistem bergulir baik skenario 2 maupun skenario 3 telah mencapai nilai optimal.
5.10.4. Hasil Solusi Optimal Pendapatan
Total pendapatan petani (Tabel 33) pada kondisi aktual untuk komoditas
padi, kelapa, cengkeh dan sapi sebesar Rp 27.100.890 hasil solusi optimal pada
kondisi optimal menunjukkan terjadi peningkatan pendapatan petani sebesar
Rp 791.038 (2,92%), demikian pula pada skenario 1 (Tabel 35) terjadi
peningkatan pendapatan sebesar Rp 1.226. 617 (45,53%). Adanya perubahan
harga dan modal kerja (skenario 2 dan 3) maka besaran target pendapatan
menjadi Rp 30.026.218 (Tabel 36). Hasil solusi optimal skenario 2 menunjukkan
bahwa terjadi peningkatan pendapatan petani sebesar Rp 1.010.110 (3,24%)
dan skenario 3 terjadi peningkatan pendapatan petani sebesar Rp 1.131.993
(3,77%). Pendapatan petani dapat meningkat jika pengolahan lahan dilakukan
secara maksimal.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa rataan pendapatan petani baik
dari usahatani, usaha kebun, usaha ternak maupun non pertanian sebesar Rp
2.898.925/bulan, hasil ini telah melebihi UMP Provinsi Sulawesi Tengah tahun
2018 sebesar Rp 1.900.000 per bulan.
Usahatani padi di wilayah penelitian memberikan kontribusi terhadap
pendapatan petani dan kesejahteraan petani. Sebagian besar petani
mengusahakan tanaman padi sebagai tanaman pokoknya, usahatani padi
memberikan kontribusi sebesar 24,82% terhadap total pendapatan atau rata-
rata Rp 8.679.082/tahun. Grafik pendapatan petani pada kondisi aktual dan hasil
optimal disajikan pada Gambar 8.
140
Gambar 8. Pendapatan petani pada kondisi aktual dan hasil optimal (Rp)
Pola tanam yang dilakukan didaerah penelitian untuk lahan sawah terjadi
dua kali musim tanam yaitu penanaman padi dilakukan pada musim tanam
pertama pada bulan Februari – Juni dan musim tanam kedua pada bulan
Agustus – Desember. Setelah panen, lahan diistirahatkan dan dibiarkan kosong
selama kurang lebih satu bulan, sebelum diolah kembali untuk penanaman pada
musim tanam berikutnya. Semakin optimal petani memanfaatkan lahan pertanian
untuk tanaman padi akan meningkatkan produksi padi dengan memperhitungkan
biaya produksi. Kepemilikan lahan berperan pada sistem pertanian yang
diusahakan petani, rata-rata kepemilikan luas lahan usahatani padi dalam
penelitian ini adalah 0,82 ha. Damayanti (2013) menyatakan bahwa luas lahan
hasil analisis regresi menunjukkan bahwa variabel luas lahan mempengaruhi
pendapatan usaha tani dengan koefisien elastisitasnya sebesar 1,192274,
artinya apabila luas lahan ditingkatkan sebesar 1%, maka akan meningkatkan
pendapatan usaha tani sebesar 1,192274 %. Penambahan luas lahan masih
dapat dilakukan karena masih dapat meningkatkan efisiensi ekonomi dalam
usaha tani padi sawah. Penambahan luas lahan secara tidak langsung akan
memberikan pengaruh terhadap peningkatan produksi dan akan meningkatkan
pendapatan usahatani.
26973139
28199756
31036328 31158075
240000002500000026000000270000002800000029000000300000003100000032000000
Kondisiaktual
Optimal 1 Optimal 2 Optimal 3
Rp
/tah
un
Pendapatan
141
Hasil penelitian Howara (2011) menunjukkan bahwa tingkat pendapatan
usahatani tanaman ternak pola optimal tanpa memasukkan pinjaman kredit
sebesar 1,34 milyar, total pendapatan dengan analisis usahatani skenario 1
(tersedianya kredit usaha dan pupuk diwilayah penelitian) sebesar Rp 1,61 milyar
dan total pendapatan skenario 2 (tersedianya sumberdaya benih dan pupuk di
wilayah peneltian) sebesar Rp 1,64 milyar, dengan demikian pendapatan yang
paling mendekati usahatani aktual adalah pola usahatani optimal. Darmawati
(2011) melaporkan hasil penelitian pada kelompok tani tunas jaya di Muaro
Jambi, secara ekonomi pendapatan yang dihasilkan dari usaha
sapi Bali selama periode 5 tahun sebesar Rp 272.302.450 dengan
pendapatan rata-rata sebesar Rp4.950.953,65/tahun/peternak atau rata-rata
Rp 412.579,47/bulan/peternak. Budiasa dkk. (2012), melaporkan bahwa pola
usahatani pada SIMANTRI 074 adalah integrasi antara tanaman perkebunan
(kakao, cengkeh, kelapa dalam, pisang), tanaman hijauan (rumput gajah), dan
ternak sapi bali pada rata-rata luasan lahan kering 0,48 ha. di Kabupaten
Jemberana oleh petani berdasarkan sumberdaya yang tersedia dan tingkat
teknologi yang ada telah berjalan secara optimal. Dalam kondisi optimal tersebut
petani memperoleh pendapatan maksimal sebesar Rp 26.041.250/tahun.
Siswati (2012), bahwa pertanian terpadu tanaman holtikultura dan ternak
dapat meningkatkan pendapatan petani serta dapat memanfaatkan lahan kosong
menjadi produktif. Pendapatan maksimal sebesar Rp 3.96245,5/bulan. Basuni
dkk (2010), bahwa pendapatan usahatani integrasi padi per hektar dan 2 ekor
sapi mencapai Rp 9.417.907 dengan R/C ratio 1,61. Pupuk organik yang
dihasilkan rata-rata 5 kg/ekor/hari serta jerami padi 13 ton/ha/musim, C/N ratio
pupuk organik 19%. Kontribusi tambahan penerimaan dari fine compost selama
setahun sebesar 9,7% dari total pendapatan usahatani. Pendapatan dari
142
usahatani padi (5 ha) dan sapi (20 ekor) dengan cara integrasi masing-masing
sebesar Rp 24.867.500 dan Rp 60.675.333 per musim. Nilai R/C yang dihasilkan
sistem integrasi sebesar 1,44 sedang dari petani tradisional 1,33. Sistem
usahatani integrasi dengan skala padi seluas 5 ha dan sapi 20 ekor
meningkatkan pendapatan sebesar 69% per musim, dibanding usahatani
tradisional. Sistem usahatani integrasi-padi-ternak perlu dikembangkan pada
usahatani skala kecil untuk meningkatkan pendapatan petani.
Hasil penelitian Tarmizi dkk. (2012), bahwa pendapatan petani sistem
integrasi padi ternak per Ha dalam satu tahun lebih tinggi dari pendapatan petani
non SIPT. Jumlah pendapatan petani SIPT dari usaha tani padi sawah adalah
Rp. 35.002.719 sedangkan pendapatan petani non sistem integrasi padi ternak
adalah sebesar Rp. 34.335.796. Selain pendapatan dari usaha tani padi sawah,
petani SIPT juga memperoleh pendapatan dari penjualan sapi, yang diperkirakan
rata-rata Rp 5.476.000 per tahun.
Hasil survei diketahui bahwa petani memiliki lahan yang sempit
menyebabkan petani melakukan lebih dari 1 unit usaha yaitu mengintegrasikan
dengan ternak sapi. Pengembangan pola usaha padi dengan ternak sapi
diharapkan dapat meningkatkan keuntungan bagi petani sehingga dapat
meningkatkan pendapatan petani.
Usaha kebun kelapa merupakan salah satu tanaman yang diusahakan
oleh petani di wilayah penelitian. Rata-rata kepemilikan lahan perkebunan kelapa
1,29 ha dengan rata-rata pendapatan Rp 3.933.311/ tahun. Usaha kebun kelapa
memberikan kontribusi sebesar 11,25% terhadap total pendapatan petani.
Tanaman kelapa diwilayah penelitian adalah kelapa dalam dan sebagian besar
diusahakan sebagai perkebunan rakyat. Hasil solusi optimal luas tanam kelapa
pada kondisi optimal menurun menjadi 0,75 ha, skenario 1, 2 dan 3 menurun
143
menjadi 0,73 ha dari target sasaran. Hal ini mengindikasikan bahwa luas tanam
kelapa akan menurun jika skenario ini diberlakukan yang nantinya akan
pengaruh terhadap pendapatan petani.
Untuk meningkatkan produksi tanaman kelapa maka petani perlu
melakukan peremajaan dengan pemeliharaan yang baik. Pemeliharaan tanaman
kelapa yang baik yaitu melalui pemupukan dan membersihkan lahan yang
ditumbuhi semak belukar. Petani kelapa di daerah penelitian jarang melakukan
pemupukan pada tanaman kelapa karena harga pupuk mahal demikian juga
dengan pembersihan lahan akan melibatkan tenaga kerja dengan mengeluarkan
biaya sehingga untuk mengurangi biaya saprodi petani mengintegrasikan
tanaman kelapa dengan ternak sapi. Salah satu upaya yang dapat dilakukan
untuk meningkatkan pendapatan petani yaitu melalui diversifikasi dengan jenis
tanaman lain untuk mengefisiensikan penggunaan lahan. Diversifikasi tanaman
kelapa dengan jenis tanaman lainnya dapat memanfaatkan lahan secara optimal
sehingga sumber pendapatan tidak hanya dari tanaman kelapa tetapi juga dari
jenis tanaman lainnya.
Tanaman kelapa wilayah penelitian sudah tidak produktif lagi dikarenakan
tanaman kelapa rata-rata berumur diatas 15 tahun, sehingga untuk dapat
memanfaatkan lahan secara maksimal tanaman kelapa dipadukan dengan
tanaman palawija, optimalisasi kebun kelapa dapat ditingkatkan melalui sistem
pertanian terpadu yakni dipadukan dengan ternak dan tanaman palawija yang
bisa ditanam di antara sela pohon kelapa.
Pemeliharaan ternak sapi dilahan kebun kelapa dapat mengurangi biaya
Pembelian pupuk anorganik dan biaya membersihkan lahan. Petani dapat
memanfaatkan kotoran sapi sebagai pupuk organik dan rumput/hijauan disekitar
lahan kelapa dimanfaatkan sebagai pakan ternak.. Keberadaan ternak sapi
144
diareal kebun kelapa dapat dijadikan sebagai sarana pengendali gulma.
Pemanfaatan hijauan membuat areal kebun kelapa menjadi lebih bersih
sehingga hama penyakit tanaman lebih rendah. Kebutuhan akan pakan ternak
membuat areal kebun kelapa menjadi bersih karena gulma yang ada disekitar
kebun kelapa selalu dipangkas untuk pakan ternak. Pemanfaatan kotoran sapi
sebagai pupuk organik pada tanaman kelapa dapat meningkatkan produksi
tanaman kelapa sehingga dapat meningkatkan pendapatan petani.
Luasan areal kebun kelapa di wilayah penelitian merupakan peluang untuk
pengembangan peternakan sapi. Di areal kelapa tersedia sumber pakan yang
bisa dimanfaatkan untuk pengembangan ternak sapi dan areal penggembalaan
Dalam upaya meningkatkan ternak sapi dengan biaya yang layak, pendekatan
pola integrasi tanaman perkebunan layak untuk dikembangkan. Rundengan
(2013), bahwa integrasi sapi dengan tanaman kelapa dan tanaman pangan
dapat menurunkan biaya pakan. Hal tersebut karena pada sistem integrasi
antara sapi, tanaman kelapa dan tanaman pangan, petani tidak hanya dapat
memanfaatkan sumber hijauan yang ada disekitar areal kebun kelapa, tetapi juga
limbah dari tanaman pangan. Dimana biaya pakan berkisar Rp 68.858 – Rp
90.858 per tahun untuk sapi 2,19 sampai 2,47 ST atau total biaya pakan sampai
sapi dijual sebesar Rp 296.292 sampai Rp 307.200.
Kusnadi (2008) menyatakan bahwa pemanfaatan lahan seperti areal
perkebunan untuk peternakan belum optimal, mengakibatkan rata-rata usahatani
di Indonesia hanya mampu memelihara ternak 0,5 ST/tahun, untuk Jawa hanya
0,06 ST dan untuk luar Jawa 1,2 ST. Oleh karenanya kondisi ini harus segera
dirubah agar usaha ternak dapat menjadi usaha pokok yang dapat
mensejahterahkan petani dan keluarganya, dan bukan hanya sebagai
penompang keluarga tani dipedesaan.
145
Selain tanaman kelapa tanaman cengkeh merupakan salah satu tanaman
perkebunan yang telah lama diusahakan petani. Tanaman cengkeh di wilayah
penelitian telah berumur diatas 20 tahun dan tingkat produksi rendah dengan
rata-rata pendapatan Rp 3.757.636/tahun. Hal tersebut karena tanaman cengkeh
banyak mengalami kekeringan akibat musim kemarau yang panjang dan
pemeliharaan yang kurang baik serta rendahnya pemberian pupuk menyebabkan
produksi tanaman cengkeh rendah. Petani kurang bergairah merawat tanaman
cengkeh disebabkan harga komoditas cengkeh murah sedangkan biaya
operasional cukup besar. Tanaman cengkeh bila dirawat dengan baik
memerlukan biaya yang cukup besar baik untuk pembelian pupuk anorganik
maupun untuk pembersihan areal perkebunan, namun bila petani merawat
dengan baik yaitu dengan memberikan pupuk yang tepat dan membersihkan
kebun dari semak maka akan meningkatkan produksi buah cengkeh yang akan
meningkatkan pendapatan petani.
Secara ekonomi lahan bisa dikatakan layak jika hasil yang didapat
melampaui total modal tidak tetap dan penurunan nilai modal tetap. Harga
cengkeh yang tidak menentu juga menjadi faktor utama dalam menurunnya
pendapatan rumah tangga petani cengkeh. Karena itu para petani cengkeh
sebagian mulai mencari pekerjaan tambahan dan petani cengkeh lainnya bahkan
sudah menjual atau menggadaikan lahan kebunnya, meskipun sebagaian petani
masih bertahan sebagai petani cengkeh saja,
Penelitian tentang cengkeh, Kerap dkk. (2018), bahwa besarnya hasil
pendapatan rumah tangga petani cengkeh bersumber dari usaha tani cengkeh,
usaha tani lainnya, dan luar usaha tani. dengan total pendapatan rumah tangga
pertahunnya sebesar Rp. 41.288.808, sedangkan tertinggi di peroleh oleh rumah
tangga petani yang memenuhi empat sumber pendapatan yaitu dari usaha tani
146
cengkeh, usaha tani lainnya, pendapatan di luar usaha tani dan pendapatan
anggota keluarga yaitu dengan rata-rata sebesar Rp. 113.476.641 per tahun
dengan persentase 15,22%. Hal ini membuktikan apabila petani cengkeh
memiliki usaha tani lainnya, memiliki pekerjaan di luar usaha tani, dan anggota
rumah tangganya memiliki pekerjaan dan turut berkontribusi dalam pendapatan
rumah tangga maka pendapatan rumah tangga akan meningkat.
Usaha peternakan sapi mempunyai prospek untuk dikembangkan karena
tingginya permintaan akan produk sapi. Usaha peternakan sapi juga memberi
keuntungan yang cukup tinggi dan menjadi sumber pendapatan bagi banyak
masyarakat di pedesaaan di Indonesia. Usaha pemeliharaan ternak sangat
diminati masyarakat karena dapat dipelihara dengan teknolgi yang sederhana
dan hasilnya dapat menyumbangkan pendapatan petani di pedesaan. Ternak
sapi potong merupakan salah satu ternak yang diharapkan sumbangannya guna
meningkatkan pendapatan petani yang sekaligus memberikan peranan dalam
pertumbuhan ekonomi di pedesaan. Kenyataan yang ada di pedesaan pada
umumnya usaha peternakan sapi potong masih sederhana, sehingga
diupayakan suatu usaha introduksi inovasi teknologi peternakan yang sesuai
dengan kondisi dan situasi wilayah sasaran dengan tujuan untuk meningkatkan
pendapatan petani.
Pemeliharaan ternak di wilayah penelitian masih sederhana dan berskala
kecil yang tidak berbeda dengan daerah-daerah lain. Keterbatasan penguasaan
sumberdaya lahan, pendapatan, inovasi dan teknologi. menunjukkan bahwa
pola usaha pemeliharaan ternak sapi potong belum merupakan usaha komersial,
yakni merupakan usaha sampingan yang ditandai dengan penguasaan ternak
antara 1 sampai 11 ekor/KK dan tatalaksana pemeliharaan masih sederhana.
Namun demikian hasil penelitian menunjukkan usaha sapi potong memberikan
147
kontribusi 30,68% sebesar terhadap total pendapatan dengan rata-rata
Rp 10.543.110/tahun. Hal tersebut menunjukkan bahwa usaha sapi potong
sangat berperan dalam kehidupan penduduk pedesaan dan mampu membantu
pendapatan peternak. Ternak sapi potong dapat memanfaatkan sumberdaya
alam yang tersedia disekitarnya disamping itu berfungsi sebagai sumber protein
hewani bagi masyarakat, juga sebagai tabungan, tambahan penghasilan, dan
kotorannya dapat dijadikan sebagai sumber pupuk yang sekaligus memberikan
keuntungan bagi petani.
Peternak yang dijadikan responden dalam penelitian ini adalah peternak
yang masih tergolong peternak sapi potong tradisional, hal tersebut dikemukakan
Nurcholida dkk. (2013), bahwa 90 persen usaha ternak sapi dilaksanakan secara
tradisional oleh petani dipedesaan, usaha ternak sapi yang demikian
dikategorikan sebagai peternakan rakyat. Hasil penelitian Aiba dkk. (2018), rata-
rata pendapatan peternak di dataran tinggi Rp 19.086.453 per tahun, sedangkan
didataran rendah rata-rata pendapatan peternak Rp 12.877.628 per tahun,
jumlah sapi (nilai sapi akhir tahun) berpengaruh terhadap pendapatan usaha
sapi potong, Hal serupa penelitian tentang usaha ternak sapi potong pola
gaduhan di Desa Slorok, Kecamatan Kromengan, Kabupaten Malang oleh
Tribudi dan Ristyawa (2017), bahwa penerimaan petani dari usaha ternak
sapi rata-rata sebesar Rp 3.259.853/ekor/tahun. Disarankan dalam usaha
pemeliharaan sistema gaduhan agar para peternak menambah populasi hewan
hewan ternaknya sehingga keuntungan yang diterima akan semakin besar.
5.10.5. Hasil Solusi Optimal Jumlah Pemilikan Ternak
Hasil solusi optimal (Tabel 33) terhadap jumlah pemilikan ternak
menunjukkan nilai deviasi 2,73 berarti sasaran untuk jumlah kepemilikan ternak
148
tidak tercapai. Hasil ini menunjukkan bahwa jumlah kepemilikan ternak.
meningkat sebesar 53,42 % melebihi target yang ditetapkan.
Berdasarkan Tabel 35 maka hasil solusi optimal skenario 1, skenario 2
maupun 3 menunjukkan bahwa ke tiganya memperoleh nilai deviasi yang sama
yaitu 2,73. Hasil ini merekomendasikan bahwa jumlah kepemilikan ternak
melebihi target sebesar 53.42% dari target yang telah ditetapkan, hal tersebut
menunjukkan pencapaian jumlah kepemilikan ternak lebih besar dari sasaran
yang ditetapkan.
Gambar 9. Jumlah kepemilikan ternak pada kondisi aktual dan hasil optimal (ST)
Jumlah kepemilikan ternak erat kaitannya dengan ketersediaan pakan baik
dari segi jumlah, mutu dan kontinuitas. Pakan ternak sapi potong cukup tersedia
didaerah penelitian yakni hijauan makanan ternak berupa rumput lapangan yang
tumbuh disekitar area persawahan dan area kebun kelapa. Selain pakan ternak
faktor lain adalah ketersediaan tenaga kerja keluarga dan modal.
Jumlah kepemilikan ternak adalah banyaknya ternak yang dipelihara oleh
peternak responden. Hasil wawancara diketahui bahwa jumlah kepemilikan
ternak sapi tiap responden bervariasi antara 1 sampai 11 ekor. Bangsa sapi yang
0
2
4
6
8
Kondisiaktual
Optimal 1 Optimal 2
5,11
7,84 7,84
ST/t
ahu
n
Jumlah kepemilikan ternak
149
banyak dipelihara adalah bangsa sapi Bali, sebagian memelihara sapi
Peranakan Ongole (PO) dan sapi lokal (sapi Donggala)
Jumlah kepemilikan ternak rendah karena bantuan ternak sapi potong
sistem bergulir yang diterima petani 1 ekor, dengan rendahnya jumlah ternak
yang dipelihara maka peternak harus meningkatkan produktivitas dari ternak
tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat Wibowo dan Haryadi (2006) yang
menyatakan bahwa rendahnya jumlah kepemilikan ternak akan mengakibatkan
peternak berusaha meningkatkan produktivitas dari ternak tersebut. Jumlah
ternak berpengaruh terhadap tingkat pengembalian kredit karena jumlah ternak
yang semakin banyak maka pendapatan akan semakin tinggi dan tingkat
pengembalian kredit tinggi atau tidak terjadi tunggakan dan sebaliknya. Hal ini
sesuai dengan pendapat Sayaka dan Rivai (2010) yang menyatakan bahwa
sistem KKPE di Desa Pontang Kecamatan Ambulu Kabupaten Jember dalam
pengembalian kredit dilihat dari agunan atau jaminan, jangka waktu
pengembalian, jumlah anggota, jumlah ternak, mempunyai kelompok tani ternak,
jenis ternak. Semakin banyak ternak yang dipelihara maka tingkat pengembalian
kredit tidak terjadi macet atau tunggakan.
Berdasarkan hasil survei diketahui bahwa pemeliharaan ternak sapi di
daerah penelitian sebagian besar dilakukan secara semi intensif dan sebagian
kecil secara ekstensif. Pemeliharaan ternak sapi secara semi intensif dilakukan
dengan cara kombinasi pemeliharaan yaitu pagi sampai sore hari ternak sapi
diikat dan digembalakan di lahan kosong atau di padang penggembalian dan
sore harinya ternak sapi dimasukkan kekandang, hijauan pakan ternak diberikan
2 kali yaitu pagi dan sore hari. Area kandang dibangun dibelakang rumah
peternak. Sebagaian kandang dibuat semi permanan dengan lantai kandang
terbuat dari semen dicor kasar, sedangkan atap terbuat dari seng atau atap
150
rumbia, tempat makan dan air minum terbuat dari papan. Pemeliharaan secara
ekstensif, siang sampai sore hari ternak sapi digembalakan dan malam hari
dikumpulkan di tempat tertentu yang diberi pagar atau diikat pada pohon.
Pakan yang diberikan umumnya berupa rumput lokal yang dikumpulkan
disekitar kebun, tegalan, rawa dan hutan serta berasal dari rumput lapangan,
rumput gajah, rumput raja, daun gamal dan dedak.
Ketersediaan rumput lokal di lapangan relatif berfluktuasi tergantung curah
hujan. Pada saat musim kemarau panjang umumnya lahan menjadi kering dan
hanya rumput-rumput tertentu yang masih tersedia di lapangan sehingga
ketersediaan rumput terbatas. Ketersediaan rumput melimpah umumnya pada
saat kondisi musim hujan. Dengan kondisi ketersediaan pakan seperti ini, rata-
rata peternak hanya mampu memelihara sapi 3-4 ekor per orang sehingga
peluang pengembangan sapi menjadi terbatas dan kemampuan peternak untuk
berusaha dalam skala ekonomi yang lebih efisien berkurang.
Pemberian pakan harus sesuai dengan bobot ternak dan umur sehingga
dapat mencapai pertambahan berat badan harian yang optimal, namun
sebagian besar peternak hanya menaksir jumlah pakan yang diberikan jika
pengambilan hijauan kurang lebih 40-50 kg maka jumlah ini akan diberikan
kepada ternak tanpa memperhatikan jumlah ternak. Pemberian dedak antara 1
sampai 2 kg per ekor. Vitamin dan obat-obatan diberikan secara berkala, vitamin
B comp diberikan sebulan sekali dan obat cacing diberikan 2 bulan sekali.
Usaha ternak sapi potong sebagian besar dilakukan oleh tenaga kerja
keluarga, ketersediaan tenaga kerja sangat menentukan akan keberhasilan
usaha ternak sapi potong dan perlu diimbangi dengan manajemen pemeliharaan
yang baik meliputi bibit, pakan dan tatalaksana (perkandangan, perkawinan dan
kesehatan) agar produksi yang dihasilkan maksimal. Tenaga kerja keluarga
151
dapat juga dioptimalkan untuk usahatani.
5.10.6. Hasil Solusi Optimal Pertambahan Bobot Badan Harian Ternak
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rataan pertambahan bobot badan
harian sapi bali betina 0,28kg/hari. Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian Damry
et all. (2008) menyatakan bahwa rata-rata pertambahan bobot badan harian
ternak sapi Bali dengan pemberian rumput lapangan 0,286 kg/ekor/hari atau
8.58 kg/ekor/bulan. Hasil penelitian Kadarsih (2004) tentang pertambahan bobot
badan harian ternak sapi bali menunjukkan bahwa di daerah perbukitan rata-rata
pertambahan bobot badan sapi bali jantan 0,3024kg/hari, sapi bali betina 0,3336
kg/hari, dataran rendah rata-rata pertambahan bobot badan sapi bali jantan
0,2576 kg/hari, sapi bali betina 0,2163 kg/hari, di dataran tinggi rata-rata
pertambahan bobot badan sapi bali jantan 0,3021 kg/hari, sapi bali betina 0,2626
kg/hari.
Hasil solusi optimal (Tabel 33) menunjukkan bahwa pertambahan bobot
badan harian ternak sapi menunjukkan nilai deviasi 102,51 berarti sasaran
pertambahan bobot badan harian ternak sapi tidak tercapai, hasil ini
menunjukkan bahwa pertambahan bobot badan harian ternak sapi melebihi
target yang ditetapkan . Demikian pula hasil solusi optimal skenario 1 (Tabel 35),
skenario 2 maupun 3 (Tabel 36) memperoleh nilai deviasi yang sama yakni
102.51. Hasil ini menunjukkan pencapaian pertambahan bobot badan harian
ternak sapi melebihi target yang ditetapkan. Hal tersebut menunjukkan bahwa
dengan adanya perubahan skenario maka pertambahan bobot badan harian
Ternak tetap yaitu 102,51 kg atau meningkat sebesar 99,24% dari target
yang
ditetapkan.
152
Hasil penelitian Rauf dkk (2015) melaporkan pertambahan bobot badan
harian sapi yang merumput pada padang penggembalaan ditambahkan dedak
menghasilkan pertambahan bobot badan lebih tinggi (0,207/kg/ekor/hari)
dibandingkan dengan ternak yang hanya merumput seharian pada padang
pengembalan (0,148kg/ekor/hari) dan penambahan kulit kakao
(0,138kg/ekor/hari). Pertambahan bobot badan harian (PBBH) di sebabkan
nutrisi pada jenis pakan sangat rendah terutama protein pada kulit kakao. Salah
satu yang menyebabkan rendahnya tingkat konsumsi pakan oleh ternak karena
faktor palatabilitas pakan, ternak memerlukan waktu lama beradaptasi baik
terhadap pakan, lingkungan kandang, pekerja maupun lingkungan.
Pertambahan berat badan harian ternak sapi potong pada kondisi aktual
dan hasil optimal disajikan pada Gambar 10.
Gambar 10. Pertambahan berat badan harian ternak sapi potong pada kondisi
aktual dan hasil optimal (Kg) Laju pertambahan bobot hidup seekor ternak dapat dijadikan patokan untuk
mengukur keberhasilan dalam suatu usaha peternakan yang ditandai dengan
laju pertambahan bobot hidup yang meningkat. Usaha perbaikan budidaya
diantaranya adalah melalui perbaikan nutrisi konsentrat yang diberikan.
Komposisi nutrisi pakan konsentrat dapat diperbaiki dengan cara
menyeimbangkan nilai nutrisi yang dikandungnya, antara kandungan protein
0
50
100
150
200
250
Kondisiaktual
Optimal 1 Optimal 2
102,8
205,31 205,31
Kg/
tah
un
PBBH
153
dengan serat kasar (Supriadi dan Soeharsono, 2003). Hasil penelitian Basri dkk
(2008) tentang pemanfaatan pakan murah untuk penggemukan sapi potong
menunjukkan bahwa bobot hidup harian ternak sapi potong meningkat nyata (P <
0,05) dengan pemberian pakan konsentrat sebanyak 1% bobot hidup.
Peningkatan bobot hidup harian (PBHH) perlakuan dengan memberikan rumput
rata-rata 0,37 kg/ekor/ hari. Pemberian pakan dilakukan secara tradisional, pakan
yang diberikan berupa jerami padi dan rumput-rumputan (rumput Gajah, rumput
jagung) sebagai pakan utama dan diberikan pakan tambahan berupa dedak.
Rendahnya peningkatan bobot hidup ini disebabkan oleh rendahnya kualitas
pakan yang diberikan.
Produktivitas ternak, terutama pada masa pertumbuhan dan kemampuan
produksinya, dipengaruhi oleh faktor genetik (30%) dan lingkungan (70%).
Pengaruh faktor lingkungan antara lain terdiri atas pakan, teknik pemeliharaan,
kesehatan dan iklim. Diantara faktor lingkungan ternyata pakan mempunyai
pengaruh yang paling besar (60%), besarnya pengaruh pakan ini membuktikan
bahwa produksi ternak yang tinggi tidak bisa tercapai tanpa pemberian pakan
yang memenuhi persyaratan kualitas dan kuantitas. Kebutuhan zat pakan
tergantung pada berat ternak, fase pertumbuhan atau reproduksi dan laju
pertumbuhan (Rianto dan Purbowati, 2011).
5.10.7. Hasil Solusi Optimal Pemanfaatan Limbah Kotoran Ternak Sebagai Pupuk
Hasil utama dari usaha ternak sapi adalah pertambahan berat badan selain
itu ternak sapi juga menghasilkan kotoran yang merupakan salah satu bahan
potensial untuk membuat pupuk organik. Produksi kotoran untuk satu Satuan
Ternak sapi adalah 8,11 -10,7 kg bahan segar/ekor/hari (Handayani). Kebutuhan
pupuk organik akan meningkat seiring dengan permintaan akan produk organik.
154
Berdasarkan hasil solusi optimal skenario 1 (Tabel 35), skenario 2 maupun
3 (Tabel 36) menunjukkan bahwa pemanfaatan limbah kotoran ternak sebagai
pupuk memperoleh nilai deviasi 9292,91 berarti sasaran untuk limbah kotoran
ternak tidak tercapai. Hasil ini mengindikasikan bahwa dengan adanya
perubahan skenario maka limbah kotoran ternak sebagai pupuk meningkati
sebesar 99,72% dari target yang telah ditetapkan.
Gambar 11. Pemanfaatan limbah kotoran ternak sebagai pupuk pada kondisi aktual dan hasil optimal (Kg)
Budiyanto (2011) menyatakan bahwa satu ekor sapi dapat menghasilkan
kotoran berkisar 8 – 10 kg per hari atau 2,6 – 3,6 ton per tahun atau setara
dengan 1,5 - 2 ton pupuk organik sehingga akan mengurangi penggunaan pupuk
anorganik dan mempercepat proses perbaikan lahan. Potensi jumlah kotoran
sapi dapat dilihat dari populasi sapi.Berdasarkan populasi sapi potong di
Indonesia diperkirakan 10,8 juta ekor dan apabila satu ekor sapi rata-rata setiap
hari menghasilkan 7 kilogram kotoran kering maka kotoran kotoran sapi kering
yang dihasilkan di Indonesia sebesar 78,4 juta kilogram kering per hari. Keadaan
potensial inilah yang menjadi alasan perlu adanya penanganan yang benar pada
kotoran ternak.
0
5000
10000
15000
20000
Kondisiaktual
Optimal 1 Optimal 2
9318,45
18611,36 18611,36
Kg/
tah
un
Pemanfaatan limbah kotoran ternak
155
Penelitian tentang manfaat kotoran ternak sapi oleh Budiyanto dan Krisno
(2011), potensi jumlah kotoran ternak sapi dapat dilihat dari populasi ternak sapi
dimana, populasi sapi potong di Indonesia diperkirakan 10,8 juta ekor dan sapi
perah 350.000-400.000 ekor, apabila satu ekor sapi rata-rata setiap hari
menghasilkan 7 kg kotoran kering maka kotoran sapi kering yang dihasilkan di
Indonesia sebesar 78,4 juta kg kering per hari maka satu ekor sapi setiap harinya
menghasilkan kotoran berkisar 8–10 kg per hari atau 2,6–3,6 ton per tahun atau
setara dengan 1,5-2 ton pupuk organik sehingga akan mengurangi penggunaan
pupuk anorganik dan mempercepat proses perbaikan lahan.
Hasil penelitian Sudiarto dan Bambang (2008) tentang pengelolaan limbah
peternakan terpadu dan agribisnis menyatakan bahwa keadan potensial inilah
yang menjadi alasan perlu adanya penanganan yang benar pada kotoran ternak.
Limbah peternakan yang dihasilkan tidak lagi menjadi beban biaya usaha akan
tetapi menjadi hasil ikutan yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan bila mungkin
setara dengan nilai ekonomi produk utama (daging) dengan begitu, usaha
peternakan ke depan harus dapat dibangun secara berkesinambungan sehingga
dapat memberikan kontribusi pendapatan yang besar dan berkelanjutan. Hasil
penelitian Nastiti (2008) menyatakan bahwa penerapan teknologi budidaya
ternak yang ramah lingkungan dapat dilakukan melalui pemanfaatan limbah
pertanian yang diperkaya nutrisinya serta pemanfaatan kotoran ternak menjadi
pupuk organik dan biogas dapat meningkatkan produktivitas ternak, peternak
dan perbaikan lingkungan.
Kotoran ternak bila diolah dengan cara yang lebih baik akan bernilai
ekonomi tinggi seperti pemanfaatan kotoran ternak sapi sebagai bahan
pembuatan biogas, pupuk padat, dan pupuk cair. Pengolahan kotoran ternak
sapi menjadi biogas pupuk padat ataupun pupuk cair akan menambah nilai
156
ekonomis dari kotoran ternak sapi. Permasalahan pengelolaan sampah tersebut
dapat diminimalkan dengan menerapkan pengelolaan sampah yang terpadu
(Integrated Solid Waste Management/ISWM), diantaranya waste to energy atau
pengolahan sampah menjadi energi (Damanhuri 2010).
Usaha ternak sapi di wilayah penelitian sampai saat ini masih
mementingkan produktivitas ternak dan belum mempertimbangkan aspek
lingkungan atau dampak kegiatan terhadap lingkungan. Limbah peternakan yang
dihasilkan seharusnya tidak lagi menjadi beban biaya usaha tetapi menjadi hasil
ikutan yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan bila mungkin setara dengan nilai
ekonomi produk utama (daging). Berdasarkan hasil wawancara diperoleh hasil
bahwa sebagian besar petani belum memanfaatkan kotoran ternak sebagai
pupuk. Pembuatan pupuk relatif sederhana dengan menumpuk kotoran ternak di
suatu tempat dibiarkan membusuk sendiri tanpa perlakuan khusus kemudian
setelah jumlahnya banyak dibawa ke lahan. Menumpuk kotoran di suatu tempat
akan berpengaruh terhadap lingkungan berupa pencemaran tanah, air dan udara
yang berpotensi mengganggu kesehatan ternak itu sendiri dan manusia. Alasan
penggunaan kotoran sapi sebagai pupuk biasanya karena barangnya mudah
didapat, relatif murah dan memberikan hasil yang lebih baik.
5.10.8. Hasil Solusi Optimal Pemanfaatan Limbah Pertanian Sebagai Pakan
Usaha pengembangan ternak sapi potong perlu didukung dengan
ketersediaan pakan yang sampai saat ini masih merupakan kendala utama
dalam industri ternak potong. Oleh karena itu, untuk memenuhi kebutuhan
daging tahun 2019 tersebut diperlukan peningkatan produksi peternakan secara
berkesinambungan yang dapat dicapai melalui efisiensi produksi peternakan
secara menyeluruh. Efisiensi produksi peternakan sangat bergantung kepada
ketersediaan pakan ternak yang berkualitas dalam jumlah yang cukup sepanjang
157
tahun. Namun demikian kendala yang dihadapi dalam pengembangan ternak
sapi potong saat ini adalah keterbatasan lahan pengembalaan dan penyedian
hijauan pakan ternak akibat perubahan fungsi lahan produktif menjadi lahan
pemukiman dan kawasan industri. Sementara itu, daya beli peternakan rakyat
terhadap pakan komersial (konsentrat) yang berkualitas masih rendah akibat
sebagian besar bahan baku pakan merupakan komoditas impor. Dalam hal ini
perlu mencari alternatif pakan ternak yang mampu memanfaatkan sumberdaya
lokal. Salah satu alternatif pakan ternak adalah dengan memanfaatkan dan
mengembangkan limbah hasil pertanian dan perkebunan yang diduga memiliki
kandungan nutrisi setara dengan pakan komersial, antara lain jerami padi, jerami
jagung, limbah dedak (padi) adalah salah contoh bahan baku yang tersedia
cukup memadai tetapi belum dimanfaatkan secara optimal sebagai pakan ternak
Pemanfaatan limbah pertanian di wilayah penelitian memanfaatkan limbah
padi berupa dedak. Ketersediaan dedak berlimpah sehingga peternak
memanfaatkan sebagai bahan tambahan pakan ternaknya dengan pemberian
1-2 kg setiap ekor per hari. Hasil solusi optimal terhadap pemanfaatan limbah
pertanian sebagai pakan ternak pada kondisi optimal dan skenario 1(Tabel 35)
pada skenario 2 dan 3 (Tabel 36) diperoleh nilai 2365,16 berarti sasaran limbah
pertanian sebagai pakan ternak tidak tercapai. terjadi peningkatan pemanfaatan
limbah pertanian sebagai pakan ternak sebesar 99,79 %.
DIdiek dan Hardiyanto, (2004), dalam rangka pengembangan sapi potong
perlu mendapat perhatian dari pemerintah mengingat permintaan daging yang
setiap tahunnya meningkat dan tidak dapat dipenuhi di dalam negeri. Salah satu
kendala yang sering dijumpai adalah rendahnya produktivitas ternak karena
kualitas pakan rendah. Di lain pihak, potensi bahan baku pakan lokal seperti
limbah pertanian dan perkebunan belum dimanfaatkan secara optimal.
158
Gambar 12. Pemanfaatan limbah pertanian sebagai pakan ternak pada kondisi aktual dan hasil optimal (Kg)
Dalam usaha ternak, biaya produksi yang cukup besar adalah pakan
ternak, memproduksi pakan tidak hanya dituntut kelayakan dari aspek kualitas
dan kecukupan nutrisi, tetapi bagaimana memproduksi pakan yang ekonomis,
murah dan terjangkau oleh kemampuan para peternak. Peningkatan
produktivitas ternak dapat dilakukan dengan pemberian pakan tambahan berupa
konsentrat. Namun konsentrat sulit tersedia dan harganya relatif mahal sehingga
tidak terjangkau oleh peternak. Selain itu, bahan baku pakan terbatas jumlahnya
dan harganya juga bervariasi sehingga perlu dicari sumber pakan alternatif,
berkualitas dan murah. Salah satu sumberdaya alam yang dapat dimanfaatkan
sebagai bahan pakan ternak adalah limbah pertanian yang meliputi limbah hasil
budidaya pertanian dan limbah industri yang mengolah hasil pertanian.
Pemanfaatan limbah pertanian sebagai bahan pakan ternak ruminansia ini
Penting dilakukan karena lebih dari 90 % penghasil bakalan khususnya ternak
ternak sapi didalam negeri adalah peternakan rakyat (Diwyanto, 2002).
Ketersediaan pakan ternak yang murah dan terjamin masih jauh dari yang
diharapkan. Oleh karena itu diperlukan upaya untuk mencari substitusi bahan
0
1000
2000
3000
4000
5000
Kondisiaktual
Optimal 1 Optimal 2
2369,45
4730,97 4730,97
Kg/
tah
un
Pemanfaatan limbah pertanian
159
baku yang harganya tinggi dengan bahan baku yang murah dan tersedia
dilokasi. Bahan-bahan sebagai pencampur pakan tambahan cukup banyak
tersedia di wilayah penelitian , seperti dedak, jerami padi namun yang sering
digunakan untuk bahan pakan tambahan adalah dedak sedangkan jerami padi
belum dimanfaatkan sebagai pakan ternak sapi karena pengetahuan peternak
tentang pengolahan jerami padi menjadi pakan ternak terbatas.
Pakan mempunyai peranan penting dalam usaha peternakan karena pakan
merupakan bagian terbesar (70%) dari total biaya produksi. Komponen biaya
pakan ini terutama untuk pakan tambahan (konsentrat) yang pemberiannya
dapat mencapai 60 – 80% dari jumlah pakan. Untuk menekan biaya adalah
dengan pemberian pakan dari bahan yang tersedia secara lokal dan relatif murah
harganya. Hasil wawancara diketahui bahwa petani dilokasi penelitian
memanfaatkan limbah pertanian dedak sebagai pakan tambahan pada ternak
sapi potong.
5.10.9. Hasil Solusi Optimal Luas lahan
Hasil survei menunjukkan bahwa responden selain beternak mereka juga
berusaha di bidang pertanian dan kebun. Adapun rataan luas lahan yang
dikuasai peternak yakni luas lahan sawah 0,82 ha, luas lahan kebun kelapa 1,29
ha dan luas lahan kebun cengkeh 1,13 ha dengan total luas lahan 3,24 ha.
(Tabel 34) hasil solusi optimal pada kondisi optimal merekomendasikan bahwa
luas lahan sawah menurun menjadi 0,75 ha, skenario 1, 2 dan 3 menurun
menjadi 0,73 ha. Penurunan lahan pertanian akan berpengaruh terhadap daya
dukung lahan, ketersediaan pangan dan pakan ternak, dengan menurunnya
pemanfaatan lahan pertanian akan berpengaruh terhadap produksi dan
pendapatan petani.
Hasil solusi optimal terhadap pemanfaatan keseluruhan luas lahan baik
160
skenario1 dan 2 terjadi penurunan sebesar 0,12 ha, skenario 3 terjadi
penurunan sebesar 0,11 ha berarti sasaran luas lahan tidak tercapai..
Berdasarkan hasil solusi optimal yang diperoleh bahwa luas lahan yang
diusahakan petani belum dimanfaatkan secara maksimal. Pengolahan lahan
usahatani padi, usaha kebun kelapa maupun usaha kebun cengkeh harus
dioptimalkan sehingga menghasilkan produksi maksimal yang akan memberikan
dampak finansial yaitu meningkatnya pendapatan petani serta dapat
meningkatkan kesejahteraan hidup petani.
Hasil solusi optimal menunjukkan bahwa luas lahan kelapa kondisi awal
1,29 ha direkomendasikan menurun pada kondisi optimal menjadi 1,19 ha,
skenario 1 menjadi 1,16 ha, skenario 2 dan 3 menjadi 1,17 ha,. Hal ini
mengindikasikan bahwa adanya perubahan skenario terjadi penurunan luas
lahan kelapa. Petani harus mengoptimalkan usaha tanaman kelapa sehingga
dapat menghasilkan produksi maksimal yang pada akhirnya meningkatkan
pendapatan petani. Tanaman kelapa wilayah penelitian sudah tidak produktif lagi
dikarenakan tanaman kelapa rata-rata berumur diatas 15 tahun, sehingga untuk
dapat memanfaatkan lahan secara optimal tanaman kelapa dipadukan dengan
tanaman palawija. optimalisasi kebun kelapa dapat ditingkatkan melalui sistem
pertanian terpadu, kebun kelapa dapat dipadukan dengan ternak dan tanaman
palawija yang bisa ditanam di antara pohon kelapa.
Penanaman jagung diantara tanaman kelapa dapat meningkatkan optimalisasi
lahan kebun kelapa dan akan memberikan kontribusi terhadap pendapatan
petani serta dapat meningkatkan ketahanan pangan. Hal tersebut sesuai dengan
penelitian Hadi (2008), bahwa petani di daerah pasang surut Jambi telah
melakukan kegiatan pemanfaatan lahan di antara tanaman kelapa tua dengan
tanaman jagung dapat meningkatkan optimalisasi lahan dan memberikan
161
kontribusi terhadap pendapatan
Gambar 13. Luas lahan pada kondisi aktual dan hasil optimal (Ha)
Hasil solusi optimal menunjukkan bahwa luas lahan cengkeh pada kondisi
aktual direkomendasikan menurun pada skenario 1, 3 menjadi 1,10 ha dan
skenario 2 menjadi 1,11 ha, Hal ini mengindikasikan bahwa adanya perubahan
skenario terjadi penurunan luas lahan cengkeh. Petani harus mengoptimalkan
usaha tanaman kelapa sehingga dapat menghasilkan produksi maksimal yang
pada akhirnya meningkatkan pendapatan petani Hal ini mengindikasikan bahwa
tanaman cengkeh menjadi tumpuan harapan petani walaupun harga cengkeh
mengalami penurunan. Petani tidak lagi mememelihara tanaman cengkeh
dengan baik mengakibatkan pohon cengkeh banyak yang mati menyebabkan
produksi cengkeh menurun. Fenomena ini merupakan salah satu pertimbangan
petani untuk mempunyai usahatani lain selain tanaman cengkeh sebagai sumber
pendapatan. Usahatani cengkeh jika diusahakan memerlukan waktu yang cukup
lama yaitu sekitar 5 tahun sampai panen (produksi) karena merupakan
komoditas tahunan. Tanaman cengkeh didaerah penelitian rata-rata berumur
diatas 20 tahun dan selama beberapa tahun terakhir petani kurang memelihara
kebun cengkehnya sehingga tidak produktif lagi. Pengurangan areal lahan
tanaman cengkeh dimaksudkan untuk mengusahakan tanaman lain sehingga
2,9
2,95
3
3,05
3,1
3,15
3,2
3,25
Kondisiaktual
Optimal 1 Optimal 2 optimal 3
3,24
3,07 3,04 3,03
Ha
Luas lahan
162
dapat meningkatkan pendapatan.
Sasaran untuk mengolah lahan sesuai dengan total rataan lahan yang
dimiliki petani tidak tercapai atau dengan kata lain lahan yang dimiliki petani tidak
dapat diolah seluruhnya untuk menghasilkan produksi maksimal. Hal ini mungkin
disebabkan pohon cengkeh yang ada sudah tidak produktif dikarenakan pohon
cengkeh ada yang kering dan tanpa pemberian pupuk menyebabkan produksi
menurun.
Secara nasional produksi cengkeh mengalami penurunan sebagai dampak
dari flutuaktif harga yang berpengaruh pada minat petani untuk melakukan
budidaya tanaman cengkeh.Kondisi ini menyebabkan petani menelantarkan
pohonnya dan sebagian petani menebang pohon cengkehnya. Berdasarkan hasil
optimasi maka petani harus mengolah lahan yang belum termanfaatkan dengan
mempertimbangkan biaya dan tenaga kerja yang akan digunakan.
Berdasarkan hasil survei diketahui bahwa daya dukung lahan di wilayah
penelitian masih memungkinkan bagi pengembangan usaha ternak baik
ruminansia maupun non ruminansia. Ketersediaan hijauan pakan ternak
khususnya rumput atau berbagai limbah pertanian sebagai pakan ternak masih
cukup tersedia bagi usaha ternak sapi potong.
5.10.10. Hasil Solusi Optimal Modal Kerja
Hasil solusi optimal modal kerja pada kondisi optimal, skenario1, 2 dan 3
menunjukkan nilai deviasi 0 berarti sasaran modal kerja tercapai. Pada kondisi
aktual total modal kerja petani Rp 11.931.149 dengan hasil yang diperoleh
berarti modal kerja telah mencapai nilai optimal.
Modal kerja dalam penelitian ini adalah biaya yang dikeluarkan dalam
usahatani padi, kelapa, cengkeh dan usaha ternak sapi potong untuk setiap
periode dalam proses produksi. Hasil wawancara diketahui bahwa komponen
163
modal kerja usahatani padi meliputi pengadaan pupuk, pestisida, benih, sewa
traktor. Komponen modal kerja usaha perkebunan kelapa meliputi pengadaan
pupuk, pestisida, pembersihan gulma, panen dan pasca panen. Komponen
modal kerja usaha perkebunan cengkeh meliputi pengadaan pupuk, pestisida,
pembersihan gulma, panen dan pasca panen. Komponen modal kerja usaha
ternak sapi potong meliputi biaya-biaya untuk keperluan operasional proses
produksi yang terdiri dari: pengadaan pakan hijauan, pengadaan konsentrat,
obat-obatan dan pengawasan kesehatan, tenaga kerja, pengadaan air,
pengganti alas kandang, manajemen, sewa lahan kering dan biaya lain-lain
(Bank Indonesia 2010). Modal kerja adalah seluruh pengeluaran yang digunakan
untuk kegiatan usahatani berupa uang tunai yang di keluarkan petani. Petani
dalam mengelola usahataninya menggunakan modal kerja sendiri. Ketersediaan
modal kerja didekati dengan cara menghitung rata-rata tingkat pengeluaran
petani dalam satu tahun. Modal kerja digunakan untuk membiayai pengadaan
sarana produksi berupa bibit, pupuk pestisida, sewa lahan, sewa traktor dan
biaya pengairan.
Modal kerja adalah seluruh pengeluaran yang digunakan untuk kegiatan
usahatani berupa uang tunai yang di keluarkan petani. Petani dalam mengelola
usahataninya menggunakan modal kerja sendiri. Ketersediaan modal kerja
didekati dengan cara menghitung rata-rata pengeluaran petani untuk membiayai
usahatani maupun usaha ternaknya t dalam satu tahun. Modal kerja digunakan
untuk membiayai pengadaan sarana produksi berupa bibit, pupuk pestisida,
sewa lahan, sewa traktor dan biaya pengairan. Oleh karena itu pemerintah
memberikan peluang bagi peternak untuk memperolehnya yaitu dengan sistem
kredit ataupun dengan sistem gaduhan. Bantuan ini salah satu diantaranya
adalah program penguatan modal usaha kelompok tani.
164
Fasilitas penguatan modal usaha kelompok merupakan bagian dari upaya
pemberdayaan masyarakat petani, yang dikawal dengan kegiatan terkait yaitu
penguatan kelembagaan petani melalui pembinaan, penyuluhan, pelatihan ,
monitoring, evaluasi, dan lainnya. Penguatan modal usaha kelompok (PMUK)
adalah stimulasi dana bagi pelaku peternakan yang mengalami keterbatasan
modal sehingga selanjutnya mampu mengakses lembaga permodalan secara
mandiri (Dirjen Peternakan, 2008). Kegiatan ini bertujuan untuk 1) memperkuat
modal pelaku usaha dalam mengembangkan usaha agribisnis dan ketahanan
pangan, 2) meningkatkan produksi, produktivitas dan pendapatan pelaku usaha
pertanian dan agroindustri dikawasan pengembangan serta 5) mendorong
berkembangnya lembaga keuangan mikro agribisnis dan kelembagaan ekonomi
pedesaan lainnya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rataan modal kerja yang dikeluarkan
petani pada kondisi aktual yaitu untuk lahan sawah sebesar Rp 3.907.676/tahun.
Modal kerja ini dipergunakan untuk mengolah lahan, menyiapkan bibit,
pembelian pupuk, pestisida, panen dan paca panen. Rataan modal kerja yang
dikeluarkan petani untuk, usaha perkebunan kelapa sebesar Rp 2.443.400
/tahun dan kebun cengkeh sebesar Rp 2.278.727/tahun, modal dipergunakan
untuk membiayai pengadaan pupuk, pestisida dan membersihkan lahan dari
semak belukar, panen dan pasca panen. Rataan modal kerja untuk usaha
ternak sapi potong sebesar Rp 3.504.804/tahun yang dikeluarkan untuk
pengadaan hijauan pakan ternak, konsentrat, obat-obatan dan pengawasan
kesehatan.
Penelitian Howara (2011) tentang optimalisasi pengembangan usahatani
tanaman padi dan ternak sapi secara terpadu menyatakan bahwa petani dalam
mengelola usahatani, menggunakan modal kerja sendiri dan modal pinjaman
165
(kredit). Untuk membantu modal petani dalam mengembangkan usahataninya
maka tersedia dana kredit untuk anggota P3T atau Program Peningkatan
Produktivitas Padi Terpadu yang ditetapkan maksimum Rp 915.000,00 per hektar
dengan bunga kredit 4 persen per musim tanam. Ketersediaan kredit ini berasal
dari proyek P3T untuk mengembangkan usahatani tanaman-ternak, tetapi kredit
tersebut dikhususkan hanya untuk tanaman. Ketersediaan sumberdaya modal
sendiri didekati dengan cara menghitung rata-rata tingkat pendapatan petani
yang mengikuti proyek P3T selama satu tahun. Data yang diperoleh
menunjukkan bahwa, total ketersediaan sumberdaya modal sendiri adalah Rp
237.450.000,00 per musim tanam. Modal kerja digunakan untuk membiayai
pengadaan sarana produksi berupa bibit, pupuk, pestisida, sewa lahan, sewa
traktor dan biaya pengairan.
5.10.11. Hasil Solusi Optimal Tenaga Kerja
Hasil solusi optimal terhadap tenaga kerja pada kondisi optimal, skenario
1, 2 dan 3 menunjukkan nilai deviasi 0 berarti sasaran tenaga kerja tercapai. Hal
tersebut menunjukkan bahwa tenaga kerja telah mencapai optimal.
Petani atau keluarganya dalam mengelola usahatani/usaha ternaknya
pada umumnya sekaligus berperan sebagai tenaga kerja dalam mengelolah
usahatani/usaha ternaknya. Tenaga kerja keluarga petani ini, nilainya tidak bisa
diabaikan begitu saja, karena tenaga kerja merupakan salah satu komponen
produksi dalam usahatani maupun usaha ternak. Petani dalam menjalankan
usahanya selalu memberikan pengorbanan, diantaranya adalah : tenaga, fikiran
dan modal usaha. Selain tenaga dan fikiran, maka modal usaha bagi petani
sering mengalami kesulitan untuk mendapatkan atau memperolehnya, walaupun
usahatani yang mereka lakukan masih dalam pola usahatani keluarga dan
166
pemeliharaan sapi yang mereka lakukan masih dalam pola peternakan rakyat
yaitu dengan cara pemeliharaan semi intensif.
Tenaga kerja yang berperan dalam usahatani maupun usaha ternak
umumnya melibatkan tenaga kerja keluarga yaitu kepala keluarga sebagai
tenaga kerja pria dewasa juga melibatkan anggota keluarga lain yakni istri
sebagai tenaga kerja wanita dewasa dan anak. Peranan ini terlihat dari seberapa
besar curahan waktu yang dikorbankan dalam pekerjaan-pekerjaan yang
dilakukan dalam usahatani padi, usaha perkebunan kelapa, usaha perkebunan
cengkeh dan usaha ternak sapi. Hasil wawancara diketahui bahwa untuk
usahatani padi menyerap tenaga kerja keluarga 518.8 HOK/tahun. Curahan
waktu yang dikorbanan dalam pekerjaan yang dilakukan untuk usahatani padi
adalah pengolahan sawah, pembibitan, persemaian, penanaman, pemupukan,
penyemprotan, panen. Usaha kebun kelapa menyerap tenaga kerja keluarga
24.05 HOK/tahun, curahan waktu yang dikorbanan dalam pekerjaan-pekerjaan
diareal kebun kelapa adalah pemupukan, pembersihan areal perkebunan, panen
dan penanganan pasca panen. Usaha kebun cengkeh menyerap tenaga kerja
keluarga 28.60 HOK/tahun, curahan waktu yang dikorbankan dalam pekerjaan
diareal kebun cengkeh adalah pembersihan areal perkebunan, pemupukan,
pestisida, panen dan penanganan pasca panen. Usaha ternak sapi potong
menyerap tenaga kerja keluarga 78.50 HOK/tahun, curahan waktu yang
dikorbankan dalam pekerjaan yang dilakukan dalam pmeliharaan ternak sapi
potong yakni mulai dari mencari, memberikan makanan hijauan, konsentrat,
memberi minum, memandikan, melepas dan memasukan sapi dalam kandang
dan sebagainya.
Potensi usaha sapi potong dalam menyerap tenaga kerja keluarga, maka
petani menggunakan tenaga kerja keluarga dan tenaga kerja diluar keluarga.
167
Tenaga kerja digunakan untuk mencari hijauan makanan ternak dan
pemeliharaan ternak. Yuwono dkk (2011) menyatakan bahwa sebagian besar
peternak (87,5%) dalam budidaya sapi potong hanya mengandalkan tenaga
kerja keluarga, sebagian kecil saja (12,5%) menggunakan tambahan tenaga
kerja luar keluarga. Tenaga kerja digunakan untuk mencari hijauan pakan
maupun perawatan ternak, adapun jumlah tenaga yang terlibat berkisar 1 - 6
orang dengan jumlah waktu yang dicurahkan berkisar 2,5 - 12,5 jam/hari dengan
rata-rata 6,94 jam/peternak/hari. Sani (2010) menyatakan bahwa variasi variabel
indenpenden jumlah tenaga kerja keluarga berkorelasi positif terhadap curahan
tenaga kerja pada pemeliharaan sapi potong, namun demikian ketersedian
curahan tenaga produktif tidak berpengaruh terhadap curahan tenaga kerja
karena skala usaha kepemilikan sapi masih relatif kecil rata-rata 1-4 ekor dan
tidak semua tenaga kerja yang tersedia dalam keluarga ikut terlibat dalam usaha
sapi potong. Hasil penelitian Hartono (2005) bahwa jumlah anggota keluarga
usia produktif berkorelasi positif terhadap curahan tenaga kerja keluarga di
usaha ternak sapi perah. Semakin banyak jumlah anggota keluarga usia
produktif, maka curahan tenaga kerja keluarga di usaha ternak sapi perah
semakin meningkat.
5.10.12. Hasil Solusi Optimal Kredit Sapi Potong Sistem Bergulir
Hasil solusi optimal terhadap kredit sapi potong sistem bergulir baik pada
kondisi opimal, maupun skenario 1, 2 dan 3 menunjukkan nilai deviasi 0 berarti
sasaran kredit sapi potong tercapai. Hal ini menunjukkan bahwa kredit yang
diberikan kepada petani berupa 1 ST sapi potong telah mencapai nilai optimal.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian kredit sapi potong sistem
bergulir kepada petani dalam bentuk sapi gaduhan berupa ternak sapi umur 1,5 -
2 tahun dapat meningkatkan jumlah kepemilikan ternak. Apabila pelaksanaan
168
kredit sapi dapat berjalan dengan optimal, maka akan terjadi perguliran yang
disertai peningkatan pendapatan, peningkatan produksi, peningkatan populasi
dan pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan petani peternak.
Penelitian evaluasi program pengembangan sapi potong gaduhan melalui
kelompok lembaga mandiri yang mengakar di masyarakat (LM3) di kabupaten
Manokwari Papua Barat telah dilakukan oleh (Sonbait dkk., 2011), bahwa
program pengembangan sapi potong gaduhan melalui kelompok LM3 secara
umum belum mencapai target program. Hal ini dibuktikan dengan masih
rendahnya peningkatan populasi ternak gaduhan, penyeleksian calon penerima
belum sesuai persyaratan, adanya pelanggaran tanpa saksi yang tegas, kurang
efektifnya petugas lapangan serta masih rendahnya peternak melunasi tepat
pada waktu. Rata-rata peningkatan pendapatan pertahun penerima gaduhan
adalah Rp 5.212.500. Kenaikan populasi sebesar 27,05 % setahun. Hasil analisis
regresi menunjukkan bahwa calving interval dan angka mortalitas berpengaruh
positif terhadap waktu pengembalian gaduhan sapi potong
Ibrahim dkk. (2013) melaporkan hasil penelitiannya tentang Analisis Kinerja
Program Pengembangan Usaha Sapi Potong Pola Gaduhan Sistem Revolving
bahwa faktor output yaitu produktivitas bibit sapi pokok berpengaruh signifikan
terhadap terhadap faktor outcome hasil revolving anak sapi. Hal ini
memperlihatkan jika semakin tinggi produktivitas bibit sapi pokok, maka akan
mengakibatkan semakin tinggi pula hasil revolving anak sapi. Demikian
sebaliknya, jika semakin rendahproduktivitas bibit sapi pokok, maka akan
mengakibatkan semakin rendah pula hasil revolving anak sapi.Hal inilah yang
menjadi tujuan dari program, yaitu adanya peningkatan produksi dan populasi
ternak sapi. Dengan produksi dan populasi meningkat maka proses revolving
diharapkan akan berhasil dengan baik. Namun untuk meningkatkan produksi
169
diperlukan faktor input identifikasi calon penggaduh, pemahaman hasil pelatihan
dan kualitas bibit sapi dan faktor proses yang baik pula.
5.11. Hasil Solusi Optimal Penggunaan Sumberdaya
Hasil optimasi penggunaan sumberdaya akan menampilkan analisis dual.
Analisis dual memberikan penilaian terhadap sumberdaya dengan melihat nilai
slack/surplus dan nilai dual price. Slack/surplus sumberdaya menunjukkan
bahwa sumberdaya bersifat terbatas. Nilai dual price merupakan nilai harga
sumberdaya yang menunjukkan besarnya pengaruh terhadap nilai fungsi tujuan,
karena adanya penambahan atau pengurangan pada nilai ruas kanan kendala.
Nilai dual price pada sumberdaya terbatas menunjukkan bahwa setiap
penambahan sumberdaya sebesar satu satuan akan meningkatkan nilai fungsi
tujuan sebesar nilai dual price sedangkan nilai dual price negatif pada
sumberdaya terbatas menunjukkan bahwa setiap penambahan satu satuan akan
menurunkan nilai fungsi tujuan sebesar nilai dual price tersebut.
Tingkat produksi usaha ternak sapi potong dipengaruhi oleh ketersediaan
sumberdaya di daerah penelitian. Hasil analisis menunjukkan bahwa
pendapatan, jumlah kepemilikan ternak, pertambahan berat badan harian
ternak, pemanfaatan limbah kotoran ternak, pemanfatan limbah pertanian, luas
lahan, baik pada kondisi optimal maupun skenario 1, 2 dan skenario 3
memperoleh nilai slack = 0, ini berarti bahwa strategi optimal memerlukan
semua sumberdaya sehingga semua input yang digunakan sudah
termanfaatkan/tidak bersisa.
Nilai slack surplus modal kerja pada kondisi optimal memperoleh nilai
sebesar nilai 100.147 berarti ada sebesar Rp 100.147 belum dimanfaatkan oleh
petani. Demikian pula skenario 1 memperoleh nilai 327.535 berarti bahwa masih
ada modal kerja sebesar Rp 327.535 belum dimanfaatkan petani, skenario 2
170
memperoleh nilai 266.404 berarti bahwa masih ada modal kerja sebesar
Rp 266.404 yang belum dimanfaatkan petani dan skenario 3 memperoleh nilai
324.708 berarti ada sebesar Rp 324.708 belum dimanfaatkan petani.
Nilai slack surplus tenaga kerja pada kondisi optimal memperoleh nilai
1,75 berarti ada 1,75 HOK belum terserap pada usahatani, demikian pula
skenario 1 memperoleh nilai 4,35 berari ada 4,35 HOK belum terserap, skenario
2 memperoleh nilai 4,05 berarti ada 4,05 HOK belum terserap dan skenario 3
memperoleh nilai 4.72 berarti ada 4,72 HOK yang belum terserap dalam
usahatani.
Nilai slack surplus bantuan kredit ternak sistem bergulir pada kondisi
optimal dan skenario 2 memperoleh nilai 0 berarti bantuan ternak 1 ekor sudah
termanfaatkan oleh peternak. Skenario 1 dan 3 memperoleh nilai 1.00 berarti
peternak akan mendapatkan manfaat adanya tambahan bantuan ternak sistem
bergulir sebesar 1.00 ST.
Nilai slack surplus lahan padi, lahan kebun kelapa, lahan kebun cengkeh
dan bantuan kredit sapi potong sistem bergulir memperoleh nilai 0 ini berarti
bahwa strategi optimal memerlukan semua sumberdaya sehingga semua input
yang digunakan sudah termanfaatkan dan tidak/tidak bersisa.
Hasil analisis menunjukkan nilai dual price untuk pemanfaatan limbah
pertanian, modal kerja, tenaga kerja dan kredit ternak sapi memperoleh nilai 0,
berarti bahwa meskipun pemanfaatan limbah pertanian, modal kerja, tenaga
kerja, kredit sapi potong dinaikkan 1 unit keuntungan tidak meningkat. Nilai dual
price untuk pendapatan, jumlah ternak, pertambahan berat badan harian,
pemanfaatan limbah ternak, memperoleh nilai – 1. Ini mengindikasikan jika
pendapatan, jumlah ternak, pertambahan bobot badan harian ternak,
pemanfaatan limbah ternak, dinaikkan 1 unit maka akan rugi sebesar
171
Rp 1.000, Nilai dual price luas lahan memperoleh nilai 1 berarti bahwa luas
lahan dapat dinaikan 1 unit.
Nilai dual price lahan padi pada kondisi optimal memperoleh nilai 8763.929
berarti bahwa lahan padi bila dinaikkan 1 unit maka akan memperoleh
keuntungan sebesar Rp 8.763.929, demikian pula pada skenario 1
memperoleh nilai 8508.168 berarti bila lahan padi dinaikkan 1 unit akan
memperoleh keuntungan sebesar Rp 8.508.168. pada skenario 2 memperoleh
nilai 8763.992 berarti bahwa bila dinaikkan 1 unit petani akan memperoleh
keuntungan Rp 8.763.992 dan skenario 3 memperoleh nilai 8676.351 berarti bila
dinaikkan 1 ha maka petani akan memperoleh keuntungan sebesar Rp
8.676.351.
Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai dual price lahan kebun kelapa pada
kondisi optimal, skenario 1 memperoleh nilai 3913.844 berarti bahwa bila
dinaikkan 1 unit maka petani akan memperolah keuntungan sebesar
Rp 3.913.844, skenario 2 memperoleh nilai 4637.523 berarti bila lahan kebun
kelapa dinaikkan 1 unit akan memperoleh keuntungan sebesar Rp 4.637.523,
skenario 3 memperoleh nilai 4591.138 berarti bila dinaikkan 1 unit maka akan
memperoleh keuntungan Rp 4.591.138.
Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai dual price lahan kebun cengkeh
pada kondisi optimal, skenario 1 memperoleh nilai 3682.849 berarti bahwa bila
dinaikkan 1 unit maka petani akan memperolah keuntungan sebesar
Rp 3.682.849, skenario 2 memperoleh nilai 4363.821 berarti bila lahan kebun
cengkeh dinaikkan 1 unit akan memperoleh keuntungan sebesar Rp 4.363.821,
skenario 3 memperoleh nilai 4620.173 berarti bila dinaikkan 1 unit maka akan
memperoleh keuntungan Rp 4.620.173.
Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai dual price kredit sapi potong sistem
172
bergulir pada kondisi optimal dan skenario 1 memperoleh nilai 10571.299 berarti
bahwa bila diberikan bantuan 1 ekor maka petani akan memperolah keuntungan
sebesar Rp 10.571.299, skenario 2 dan 3 memperoleh nilai 12.461.735 berarti
bahwa bila bantuan ternak sapi potong diberikan 1 ekor akan memperoleh
keuntungan sebesar Rp 12.461.735.
5.12. Analisis Sensitivitas
Analisis sensitivitas bertujuan untuk melihat suatu keadaan atau faktor
teknis yang berubah terhadap hasil analisis suatu aktivitas produksi. Analisa
perubahan parameter dan pengaruhnya terhadap solusi linear programming (LP)
dinamakan post optimality analysis yang menunjukkan bahwa analisis ini terjadi
setelah diperoleh solusi optimum dengan mengasumsikan seperangkat nilai
parameter yang digunakan dalam model (Mulyono,1991).
Pada penelitian ini analisis sensitivitas merupakan analisis yang dilakukan
untuk mengetahui perubahan yang terjadi pada saat aktivitas produksi
berlangsung. Analisis sensitivitas pada penelitian ini terdiri dua batasan yaitu
batasan atas (allowble increase) dan batasan bawah (allowable decrease).
Batasan atas merupakan nilai maksimal yang dibutuhkan untuk menentukan
jumlah dalam kondisi optimal, sedangkan batasan bawah adalah nilai minimal
untuk menentukan jumlah dalam kondisi optimal. Kedua batasan tersebut
menjadi petunjuk terhadap interval nilai yang dibutuhkan variabel untuk jenis
bantuan kredit sapi potong sistem bergulir yang diberikan kepada kelompok
peternak supaya nilainya tetap optimal. Analisis sensitivitas yang digunakan
dalam penelitian ini mengacu pada dua skenario yang diuji.
Hasil sensitivitas aktivitas proses produksi usaha ternak sapi potong
disajikan pada Tabel 37.
173
Tabel 37 . Hasil sensitivitas aktivitas produksi usaha sapi potong
No Aktifitas Maksimum Minimum
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Pendapatan (Rp)
Jumlah ternak (ST)
Pertambahan bobot badan harian ternak
(Kg)
Pemanfaatan limbah kotoran ternak
sebagai pupuk (Kg)
Pemanfaatan limbah pertanian sebagai
pakan (Kg)
Luas lahan (Ha)
Modal kerja (Rp)
Tenaga kerja (HOK)
Kredit sapi potong sistem bergulir (ST)
Infinity
Infinity
Infinity
Infinity
Infinity
0,21
Infinity
infinity
Infinity
791.038
2,73
102,51
2992,91
2365,02
Infinity
100.13
1.72,
0.00
Sumber : Diolah dari data primer (Lampiran 1)
Berdasarkan Tabel 37 hasil analisis sensitivitas aktivitas produksi usaha
sapi potong sebagai berikut :
1. Pendapatan usaha sapi potong memperoleh nilai akhir maksimal yang
diterima tanpa merubah solusi optimal sebesar Rp 26.182.100.
2. Jumlah ternak memperoleh nilai maksimal dengan tidak merubah solusi
optimal adalah 2,38 ST.
3. Pertambahan berat badan harian ternak sapi potong memperoleh nilai
maksimal dengan tidak merubah solusi optimal adalah 0,29 kg.
4. Pemanfaatan limbah kotoran ternak sebagai pupuk memperoleh nilai
maksimal dengan tidak merubah solusi optimal sebesar 25,54 kg.
5. Pemanfaatan limbah pertanian sebagai pakan ternak memperoleh nilai
maksimal dengan tidak merubah solusi optimal sebesar 4,92 kg.
6. Luas lahan memperoleh nilai maksimal tanpa merubah solusi optimal sebesar
3,56 ha.
7. Modal kerja memperoleh nilai maksimal tanpa merubah solusi optimal sebesar
Rp 11.831.002.
8. Tenaga kerja memperoleh nilai maksimal tanpa merubah solusi optimal adalah
174
172,63 HOK.
9. Kredit sapi potong memperoleh nilai maksimal tanpa merubah solusi optimal
sebesar 1.00 ST.
Perubahan kendala tujuan dapat merubah solusi optimal. Namun tingkat
perubahan tersebut masih dalam selang kepekaan dan tidak akan merubah
solusi optimal.
Hasil analisis sensitivitas skenario perubahan usaha sapi potong disajikan
pada Tabel 38.
Tabel 38. Hasil analiis sensitivitas skenario perubahan usaha sapi potong No Aktivitas Skenario 1 Skenario 2 Skenario 3
Maks Min Maks Min Maks Min
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Pendapatan (Rp)
Jumlah ternak
(ST)
Pertambahan
bobot badan
harian ternak (Kg)
Pemanfaatan
limbah kotoran
ternak sebagai
pupuk (Kg)
Pemanfaatan
limbah pertanian
sebagai pakan
(Kg)
Luas lahan (Ha)
Modal kerja (Rp)
Tenaga kerja
(HOK)
Kredit sapi
sisstem bergulir
potong (ST)
Infinity
Infinity
Infinity
Infinity
Infinity
0,12
Infinity
Infinity
Infinity
1.226.617
2,73
102,51
9292,91
2365,17
Infinity
327.535
4.35
1.00
Infinity
Infinity
Infinity
Infinity
Infinity
0,12
Infinity
Infinity
Infinity
1.010.110
2,73
102,51
9292,91
2365,16
Infinity
266.404
4,04
0.00
Infinity
Infinity
Infinity
Infinity
Infinity
0,1 1
Infinity
Infinity
Infinity
1.131.993
2,73
102,51
9292,91
2365,21
Infinity
324.708
4,72
1.00
Sumber : Diolah dari data primer (Lampiran 2,3 dan 4)
Berdasarkan Tabel 38 hasil analisis sensitivitas aktivitas produksi usaha
sapi potong adanya perubahan skenario sebagai berikut :
1. Pendapatan sapi potong yang diterima memperoleh nilai akhir maksimal tanpa
merubah solusi optimal yaitu pada skenario 1 sebesar Rp 25.746.521,
175
skenario 2 sebesar Rp 29.014.108 dan skenario 3 sebesar Rp 29.016.108.
2. Jumlah ternak skenario 1, 2 dan skenario 3 memperoleh nilai maksimal
dengan tidak merubah solusi optimal adalah 2,38 ST.
3. Pertambahan berat badan harian ternak sapi potong skenario 1, 2 dan
skenario 3 memperoleh nilai maksimal dengan tidak merubah solusi optimal
sebesar 0,29 kg.
4. Pemanfaatan limbah kotoran ternak sebagai pupuk memperoleh nilai
maksimal dengan tidak merubah solusi optimal, pada skenario 1, 2 dan
skenario 3 sebesar 25,54 kg.
5. Pemanfaatan limbah pertanian sebagai pakan ternak, yaitu untuk skenario 1, 2
dan skenario 3 memperoleh nilai maksimal dengan tidak merubah solusi
optimal sebesar 4,92 kg.
6. Luas lahan memperoleh nilai maksimal tanpa merubah solusi optimal yaitu
untuk skenario 1 sebesar 2,95 ha, skenario 2 sebesar 2,87 ha dan skenario 3
sebesar 2,89 ha.
7. Modal kerja memperoleh nilai maksimal tanpa merubah solusi optimal yaitu
untuk skenario 1 sebesar Rp11.603.614, skenario 2 sebesar Rp 11.998.346
dan skenario 3 sebesar Rp 11.932.042.
8. Tenaga kerja memperoleh nilai maksimal tanpa merubah solusi optimal yaitu
pada skenario 1 sebesar 170,03 HOK, skenario 2 sebesar 170,34 HOK dan
skenario 3 sebesar 169,66 HOK.
9. Kredit sapi potong memperoleh nilai maksimal tanpa merubah solusi optimal
yaitu baik skenario 1, 2 maupun skenario 3 adalah 1.00 ST.
176
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan maka
dapat disimpulkan :
1.a. Hasil solusi optimal terhadap pendapatan petani yang tertinggi yaitu
meningkat sebesar 4,53% per tahun.
b. Jumlah kepemilikan ternak direkomendasi meningkat sebesar 53,42% per
tahun.
c. Pertambahan bobot badan harian ternak yang terbaik meningkat sebesar
96,66% per tahun.
d. Usaha ternak sapi potong memberikan kontribusi sebesar 30,68% terhadap
total pendapatan petani.
2. Analisis sensitivitas usaha sapi potong yang berpengaruh terhadap
pendapatan petani adalah perubahan harga usahatani, perubahan harga
usaha ternak dan perubahan bantuan sapi potong sistem bergulir. Skenario
terbaik adalah harga usahatani dan usaha ternak tetap, bantuan ternak
sapi potong sistem bergulir meningkat menjadi 2.00 ST karena
memberikan pendapatan tertinggi untuk petani.
6.2. Saran
Kebijakan pemerintah memberikan bantuan 1 ekor ternak sapi potong
kepada anggota kelompok ternak dapat meningkatkan produksi, pendapatan dan
populasi ternak sapi potong namun demikian pemerintah seharusnya
menyiapkan anggota kelompok ternak dengan memberikan penyuluhan tentang
pemberian pakan ternak yang mengandung gizi tinggi yaitu dengan menanam
177
rumput unggul pada lahan yang belum dimanfaatkan dan limbah pertanian jerami
padi yang belum dimanfaatkan bisa diolah menjadi silase yaitu pakan ternak
yang bernilai gizi tinggi sehingga tujuan pemerintah untuk meningkatkan
populasi ternak sapi potong dapat tercapai,
178
DAFTAR PUSTAKA
Adinata, 2012. Strategi Pengembangan Usaha Sapi Potong di Kecamatan Mojoloban Kabupaten Sukoharjo. Jurnal Kajian Ekonomi Vol. 5 No. 1.
Afriani, Firmansyah, A. K. Hamzah dan R. Rahmi. 2018. Analisis Program
Penyebaran dan Pengembangan Ternak Sapi pada Kawasan Sentra
Peternakan Sapi di Kabupaten Merangin. Jurnal Ilmu-Ilmu Peternakan Vol.
21 No 1 Mei 2018: 37-46. Agussabti. 2002. Kemandirian Petani dalam Pengammbilan Keputusan Adopsi
Inovasi (Kasus Petani Sayuran di Provinsi Jawa Barat). Disertasi Institut Pertanian Bogor.
Aiba A, J. C. Loing, B. Rorimpandey, L. S. Kalangi. 2018. Analisis
Pendapatan Usaha Peternak Sapi Potong di Kecamatan Weda Selatan
Kabupaten Halmahera Tengah. Jurnal Zootek (“Zootek” Journal ) Vol. 38
No. 1: 149 -159.
Ashari. 2009. Optimalisasi Kebijakan Kredit Program Sektor Pertanian di Indonesia. Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 7 No.1, Maret 2009: 21-42.
Bank Indonesia. 2010. Pola Pembiayaan Usaha Kecil (PPUK) Penggemukan
Sapi Potong. Direktorat Kredit, BPR dan UMKM. Bank Indonesia. 2013. Pola Pembiayaan Usaha Keci Menengah Syariah. Usaha
Pengembangbiakan sapi daging. Badan Pusat Statistik Kabupaten Donggala. 2014. Kabupaten Donggala Dalam
Angka Palu. ___________________________________. 2017. Kecamatan Dampelas Dalam
Angka Palu. ____________________________________. 2018. Kabupaten Donggala Dalam
Angka Palu. Badan Pusat Statistik Sulawesi Tengah. 2017. Sulawesi Tengah Dalam Angka
Palu ________________________________ . 2018. Sulawesi Tengah dalam Angka
Palu. Bahri, S. (2008). Kebijakan dan Strategi Pengembangan Temak (strategy and
programmes of livestock development in Indonesia). Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008. Jakarta, Direktorat Jenderal Peternakan Departemen Pertanian.
Basri. E, R. D. Tambunan dan Y, Pujiharti. 2008. Pemanfaatan Pakan Murah
Untuk Penggemukaan Sapi Potong Di Lokasi Prima Tani Kabupaten
179
Tulang Bawang . Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008.
Budiasa. I. W, IGAA Ambarawati, I.M Mega, I.K.M Budiasa. 2012. Optimasi
Sistem Usahatani Terintegrasi untuk Memaksimalkan Pendapatan Petani.
E-Jurnal Agribisnis dan Agrowisata Vol. 1, No. 2, Oktober 2012.
http://ojs.unud.ac.id/index.php/JAA
Budiyanto dan Krisno. 2011. “Tipologi Pendayagunaan Kotoran Sapi dalam Upaya Mendukung Pertanian Organik di Desa Sumbersari Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang. Jurnal GAMMA 7 (1) 42-49.
Budhi, G.S. 2010. Dilema Kebijakan dan Tantangan Pengembangan
Diversifikiasi Usahatani Tanaman Pangan. Analisis Kebijakan Pertanian. Vol. VIII (3) : 241-258.
Basuni, Muladno, Kusmana, Suryahadi. 2010. Model Sistem Integrasi Padi-Sapi
Potong di Lahan Sawah. Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan
Pendidik dan Tenaga Kependidikan Pertanian Cianjur. IPB, Bogor. Iptek
Tanaman Pangan Vol. 5 No. 1 Januari 2010.
Charnes, A. Dan Cooper, W.W. 1961. Management Models and Industrial Applications of Linear Programming, New York : John Wiley & Sons.
Damayanti. L. 2013. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Produksi, Pendapatan
Dan Kesempatan Kerja Pada Usahatani Padi Sawah Di Daerah Irigasi Parigi Moutung. Jurnal Sepa Vol 9 No. 2 Februari 2013 : 249-259.
Damihartini, R.S., dan Jahi, A. 2005. Hubungan karakteristik petani dengan
kompetensi agribisnis pada usahatani sayuran di Kabupaten Kediri Jawa Timur. Jurnal Penyuluhan 1:41-48.
Damry, Marsetyo, S. P Quigley and D. P. Poop. 2008. Strategies in Enhance
Growth of Weaned Bali (Bos sondaicus) Calves of Small Holders in Donggala District, Central Sulawesi. Animal Production. Jurnal Produksi Ternak 10(3): 135-139.
Darmawi, D. 2012. Peranan Tenaga Kerja Keluarga Dalam Usaha Pemeliharaan
Sapi di Kabupaten Tanjung Jabung Barat. Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Peternakan Vol. XV No.2 November 2012.
Departemen Pertanian. 2009. Rancangan Rencana Strategi Kementrian
Pertanian 2010 – 2014 Jakarta. Didiek, E. W dan R. Hardiyanto.2004. Pemanfaatan Sumber Daya Pakan Lokal
untuk Pengembangan Usaha Sapi Potong. Lokakarya Nasional Sapi Potong, Grati, Pasuruan, Jawa Timur.
Dikman, M. P, W. Prihandini dan Y.N. Anggraeny. 2010. Profil Pembibitan Sapi
Potong Peranakan Onggole (PO) di Kelompok Ternak BangoJaya Kabupaten Probolinggo. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor 13-14 September 2009. Hal 181-185.
180
Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Kabupaten Donggala. 2014. Laporan Tahunan 2014.
Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Sulawesi Tengah. 2010. Laporan Tahunan 2010 Peternakan di Sulawesi Tengah. Palu.
Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Daerah Provinsi Sulawesi Tengah. 2012. Statistik Peternakan. Palu.
Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan. 2009. Pengembangan Kawasan Agribisnis Berbasis Peternakan.
Direktorat Budidaya Ternak Ruminansia. 2016. Pedoman Teknis Pengembangan Integrasi Ternak Sapi dan Tanaman. Direktorat Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian, Jakarta.
Dwiyanto, K. 2001. Model perencanaan terpadu: Proyek integrasi tanaman
ternak (Crop Livestock System). Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan Bogor.
Elly F. M, B. M. Sinaga, S. U. Kuntjoro dan N. Kusnadi. 2008. Pengembangan
Usaha Ternak Sapi Rakyat Melalui Integrasi Sapi-Tanaman di Sulawesi
Utara. Jurnal Litbang Petanian 27(2), 2008.
Far-Far, R. A. 2011 Hubungan Komunikasi Interpersonal dengan Perilaku Petani
Dalam Bercocok Tanam Padi Sawah Di Desa Waimital Kabupaten Seram
Bagian Barat. Jurnal Budidaya Pertanian, Vol. 7. No 2. Hal 100-106.
Feder, Gershon. Lawrence, J. Lau, J.Y. Lin and X, Lua. 1990. The Relationship
Beetween Credit and Productivity in Chinese Agriculture A Microeconomic Model Desequilibrium. America Journal of Agricultural Economic, Vol 72 Number 5 December 1990, pages 1161-1168.
Gayatri, A. Setiadi, Isbandi dan K. Budiharjo. 2003. Analisis Ekonomi Pemberian
Kredit Sapi Terhadap Tingkat Pendapatan Peternak Sapi Perah Kecamatan Pakem Kabupaten Sleman Yogyakarta. Makalah. Seminar Nasional Teknologi Peternakan Veteriner, 2003.
Guntoro, S. 2002. Membudidayakan Sapi Bali. Kanisius, Yokyakarta.
Hadi. 2009. Teknik Optimalisasi Pemanfaatan Lahan di Antara Tanaman Kelapa
di Daerah Pasang Surut Jambi. Buletin Teknik Pertanian 14(1) 40-4.
Harijati, S. (2007). Potensi dan pengembangan kompetensi agribisnis petani berlahan sempit : kasus petani sayuran di kota dan pinggiran Jakarta dan Bandung. Disertasi. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Harmoko. 2017. Tingkat Motivasi Petani Dalam Beternak Sapi di Kecamatan
Samba Kabupaten Samba. JSEP Hartono, B. 2011. Analisis Ekonomi Rumahtangga Peternak Sapi Potong di
Kecamatan Damsol Kabupaten Donggala Provinsi Sulawesi Tengah. Ternak Tropika Vol 12 No 1 60-70.
181
Hadiana H. 1996. Kajian evaluasi pelaksanaan sistem pola bergulir ternak pemerintah. Bandung: Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran bekerja sama dengan Dinas Peternakan Propinsi DT I Jawa Barat.
Hendayana, R. 2001. Optimalisasi Penggunaan Sumberdaya Rumahtangga
Petani di Daerah Aliran Sungai kasus DAS Wawar, Kabupaten Kebumen dan Purworejo, Jawa Tengah. Agro Ekonomi Vol VIII(2) : 9-28.
Howara, D. 2011.Optimalisasi Pengembangan Usahatani Tanaman Padi dan ternak Sa pi Secara Terpadu di Kabupaten Majalengka. J. Agroland 18(1) : 43-49.
Huda, S dan W. Wikanta.2017. Pemanfaatan Limbah Kotoran Sapi Menjadi
Pupuk Organik Sebagai Upaya Mendudkung Usaha Peternakan Sapi Potong Di Kelompok Tani Ternak Mandiri Jaya Desa Moropelang Kec. Babat Kab. Lamongan. Axiologiya, Jurnal Pengabdian Masyarakat . Vol.1, No.1, Februari 2017 Hal 26 – 35.
Ibrahim, J. T, Sutawi dan Jayus. 2013. Analisis Kinerja Program Pengembangan
Usaha Sapi Potong Pola Gaduhan Sistem Revolving. Agrise. Vol. XIII.No. 2. Mei 2013.
Ignizio, J.P.1976. Goal Programming and Extensions, Lexington, Mas sachusetts
:Lexington Books. Ilham, N. 2001. Prospek Pasar dan Sistem Tataniaga Ternak Daging Sapi di
Nusa Tenggara Barat. Wartazoa Vol :11 (2) 2001.
Ilham, N, K. Surasdisastra, T. Pranadji, A. Agustian, G. S. Hardono dan E. L.
Hastuti. 2007. Analisis Profil Petani dan Pertanian Indonesia. Laporan Akhir
Penelitian. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Badan
Litbang Pertanian. DepartemenPertanian.
Ijiri, Y. 1965. Management Goals and Acconting for Control, Chicago : Rand-
McNally.
Indrayani, I. dan J. Helyward. 2015. Optimalisasi Produksi dan Maksimalisasi
Keuntungan Usaha Sapi Potong dengan Sistem Integrasi Sapi Sawit di
Kabupaten Dharmasraya. Jurnal Peternakan Indonesia. Vol 17 (3). Oktober
2015.
Kadarsih, S. 2004. Performans Sapi Bali Berdasarkan Ketinggian Tempat Di Daerah Tranmigrasi Bengkulu. Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian Indonesia. Volume 6, No. 1, 2004, Hlm. 50 – 56
Kakiay, T.J. 2008. Pemrograman Linear. Metode dan Problema. Penerbit Andi
Yogyakarta. Karyanto, D, Zain dan A. Suman. 2008. Kajian Kredit Usahatani (KUT) Dalam
Peningkatan Produksi dan Pendapatan Usahatani Padi. Jurnal Agritek Vol. 16. No 12 Desember 2008.
182
Kasmir. 2004. Manajemen Perbankan. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Kusnadi, U. 2008. Inovasi teknologi peternakan dalam sistem integrasi padi-
ternak untuk menunjang swasembada daging sapi. Pengembangan Inovasi Pertanian 1 (3): 189-205.
Lee, S.M. 1972. Goal Programming for Analysis, Philadelphia : Auerbach
Publisher.
Mahendri, I.G.A.P. 2009. Analisis Efektivitas Kredit Ternak Domba dan Dampaknya Terhadap Pendapatan Rumah Tangga Petani Penerima Kredit di Kabupaten Bogor. Tesis. Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Manyamsari, I dan Mujiburrahmad. 2014. Karakteristik Petani dan Hubungannya
Dengan Kompetensi Petani Lahan Sempit (Kasus : Di Desa Sinar Sari Kecamatan Dramaga Kab. Bogor Jawa Barat). Agrisep Vol (15) No.2,2014.jurnal unsyiah.ac.id/agrisep/article/download/2099/2050
Marsetyo. 2008. Strategi Pemenuhan Pakan Untuk Peningkatan Produktivitas
dan Populasi Sapi Potong. Prosiding Seminar Nasional Sapi Potong di Provinsi Sulawesi Tengah 24 November 2004.
Marzuki, S. 2005. Analisis Perancangan Optimasi Usaha Pada Petani Peternak
Sapi Perah Rakyat KTT Sedyo Mulyo Desa Hargobrinangun Kecamatan Pakem Kabupaten Sleman. Jurnal Of Agricultural Socio-Economic 1(1) Juli 2005
Matatula, M. J. 2010. Analisis Finansial Usaha Peternakan Sapi Potong Pola
Gaduhan Di Kecamatan Kairatu Kabupaten Seram Bagian Barat. Jurnal Agroforestri Volume V No. 3 September 2010.
Mukson, W. Roessali dan H. Setiyawan. 2014. Analisis Wilayah Pengembangan
Sapi Potong dalam Mendukung Swasembada Daging di Jawa Tengah. Jurnal Peternakan Indonesia, Februari 2014 Vol. 16 (1).
Mosher, A. T. 1991. Menggerakkan Dan Membangun Pertanian. CV. Yasaguna.
Jakarta.
Mubyarto. 1993. Pengantar Ekonomi Pertanian. Penerbit LP3ES. Jakarta.
Mulyono, S. 1991. Operations Research. Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Murdi, S. 2004. Implikasi Perkreditan Terhadap Pendapatan Rumahtangga di Jambi. Disertasi. Pascasarjana Universitas Brawijaya, Malang.
Muryanto, Subiharta, dan Maryono. 2011. Kajian Pengambangan Ternak Yang Difasilitasi Program KKP-E dan KUPS di Kabupaten Semarang. Makalah Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran Bandung.
183
Nasendi, B.D dan A. Anwar. 1984. Program Linear Dan Variasinya. Gramedia Jakarta.
Nastiti, Sri. 2008. “Penampilan Budidaya Ternak Ruminansia di Pedesaan Melalui Teknologi Ramah Lingkungan.” Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008
Natsir, M. 2009. Metode Penelitian. Penerbit Ghalia Indonesia. Cetakan ke tujuh, November 2009.
Nizar, R. 2004. Analisis Permintaan dan Pengembalian Kredit Usahatani untuk Rumahtangga Petani Padi di Sumatera Barat. Tesis. Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Nurcholida., Sodiq dan K. Muatip. 2013. Kinerja Usaha Peternakan Sapi Potong
Sebelum dan Setelah Mengikuti Program Sarjana Membangun Desa (SMD) Periode 2008-2012. Jurnal Ilmiah Peternakan1(3): 1183-1191.
Paturochman, M. 2006. Studi Perbandingan Sistem Kredit Ternak Ternak Domba dan Kerbau di Kabupaten Sumedang dan Tasikmalaya. Bandung.
Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran . Jurnal Sosiohumaniora.Vol 8 No 3.
Purnaningsih, N. 2006. Adopsi Inovasi Pola Kemitraan Agribisnis Sayuran di
Provinsi Jawa Barat. Disertasi. Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Priyanti, A. 2007. Dampak Program Sistem Integrasi Tanaman Ternak Terhadap Alokasi Waktu Kerja, Pendapatan dan Pengeluaran Rumahtangga Petani. Disertasi. Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Priyono dan D. Priyanto. 2018. Kemitraan Penggemukkan Sapi Bali berbasis
Sumber Daya Lokal di Wilayah Lahan Suboptimal Nusa Tenggara Timur.
Wartazoa. Vol. 28 No. 2.
Rangkuti. K, S.Siregar, M. Thamrin dan R. Andriano. 2014. Pengaruh Faktor Sosial Ekonomi Terhadap Pendapatan Petani Jagung. Agrium. Oktober 2014 Volume 19 No. 1.
Rauf. A, R. Priyanto dan P. Dewi 2015. Produktivitas Sapi Bali pada Sistem
Penggembalaan di Kabupaten Bombana. Jurnal Ilmu Produksi dan Teknologi Hasil Peternakan. Vol. 03 No. 2 Juni 2015.
Rianto, E dan E. Purbowati. 2010. Panduan Lengkap Sapi Potong. Jakarta :
Penebar Swadaya.
Rundengan. M. L. 2013. Optimalisasi Usahatani Terpadu Antara Usaha Sapi Potong Dengan Perkebunan Kelapa Di Kabupaten Minahasa Selatan Provinsi Sulawesi Utara. Disertasi. Program Pasca Sarjana Fakulatas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang.
184
Rusnan. H, C. L. Kaunang, Y. L. R. Tulung. 2015. Analisis potensi dan Strategi
Pengembangan Sapi Potong dengan Pola Integrasi Kelapa-sapi di
Kabupaten Halmahera Selatan Provinsi Maluku Utara. Jurnal Zootek
(“Zootek Journal”) Vol 35 No 2m: 187-200.
Sani. L.O. A. 2010. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Curahan Tenaga Kerja Keluarga Transmigrasi Dan Lokal Pada Pemeliharaan Sapi Potong DI Kabupaten Konawe Selatan. Jurnal AGRIPLUS, Volume 20 Nomor : 01 Januari 2010, ISSN 0854-0128.
Sanim, B. 1998. Aspek Kelembagaan Dalam Penyaluran dan Pengembalian
Kredit Usahatani Pola Khusus. Jurnal Ilmiah Sosio Ekonomi 4(1) 1-17. Shinta, A. 2011. Ilmu Usahatani. UB Press Malang.
Siswati, L. 2012. Pendapatan Petani melalui Pertanian Terpadu Tanaman Hortikultura dan Terak Di Kota Pekanbaru.Jurnal Peternakan UNAND 2012.http://unilak.ac.id/media/file/72735468205Pendapatan_Petani.pdf
Sodiq. A, Suwarno, F.R. Fauziyah, Y. N. Wakhidah, dan P. Yuwono. 2017.
Sistem Produksi Peternakan Sapi Potong di Pedesaan dan Strategi Pengembangannya. Jurnal Agripet Vol 17, No. 1, April 2017.
Soejana, T.D. 2007. Sistem Usahatani Terintegrasi Tanaman ternak Sebagai
Respon Petani Terhadap FaktorResiko. Jurnal Litbang Pertanian Vol.26(2),
2007.
Sonbait, L. K, K. A. Santoso, dan Panjono. 2011. Evaluasi Program Pengembangan Sapi Potong Gaduhan Melalui Kelompok Lembaga Mandiri Yang Mengakar Di Masyarakat Di Kabupaten Monokwari Papua Barat. Buletin Peternakan Vol. 35(3): 208-217.
Sudiarto dan Bambang. 2008. Pengelolaan Limbah Peternakan Terpadu dan
Agribisnis yang Berwawasan Lingkungan. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Universitas Padjajaran Bandung.
Sukirno, S. 1997. Pengantar Teori Mikroekonomi. PT Raja Grafindo Persada.
Jakarta. Suresti, A dan R.Wati. 2012. Strategi Pengembangan Usaha Peternakan Sapi
Potong di Kabupaten Pesisir Selatan. Jurnal Peternakan Indonesia vol 14 (1). http://jpi.faterna.unand.ac.id/index.php/jpi/article/view/5
Suwandi. 2005. Keberlanjutan usaha tani terpadu pola padi sawah-sapi potong
terpadu di Kabupaten Sragen. Pendekatan RAP-CLS. Disertasi . Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Suryadi, A. 2008. Analisis Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kredit Macet
Rumah Tangga Debitur Pada Bank Milik Pemerintah di Wilayah Malang Raya. Disertasi. Pascasarjana Fakultas Ekonomi Universitas Malang.
185
Syafrudin, A.N. Kairupan, dan F. F. Munier. 2003. Potensi dan Kesesuaian Lahan Untuk Pengembangan Pakan Ruminansia di Lembah Palu. Prosiding. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor 29-30 September 2003. P. 266-271.
Tarmizi, H. B dan Safaruddin. 2012. Pengaruh Sistem Integrasi Padi ternak
(SIPT) Terhadap Peningkatan Pendapatan Petani dan Dampaknya terhadap Pengembangan Wilayah Di Kabupaten Serdang Bedagai. Jurnal Ekonomi Vol 15, No 4,Oktober 2012. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/43519/1/tarmizi%20saparuddin.pdf
Tjiptoherijanto, P. 2001. Proyeksi Penduduk Angkatan Kerja, Tenaga Kerja dan Peran Serikat Pekerja Dalam Peningkatan Kesejahteraan. Majalah Perencanaan Pembangunan.Edisi 23.
Tribudi, Y. A dan M. R. Ristyawan. 2017. Analisis Ekonomi Sapi Potong Pola
Gaduhan:Studi Kasus di Desa Slorok, Kecamatan Kromengan,Kabupaten Malang. Jurnal Ekonomi Bisnis dan Kewirausahaan2017, Vol. 6, No. 1, 27-42.
Wibowo, S. A. dan F.T. Haryadi. 2006. Faktor Karakteristik Peternak Yang
Mempengaruhi Sikap Terhadap Program Kredit Sapi Potong di Kelompok Peternak Andiniharjo Kabupaten Sleman. Media Peternakan Vol 29 No 3 Desember 2006, hal 176-186.
Wibowo, M. H. S, B. Guntoro dan E. Sulastri. 2011. Penilaian Pelaksanaan
Program Pengembangan Agribisnis Peternakan Sapi Potong diKabupaten Sekadau, kalimantan Barat. Buletin Peternakan Vol 35(2), hal 142-152.
Yamane. 1979. Methematic for Economics and Elementary, Englewood Cliff.
New Jersey. Yuliani, D. 2014. Sistem Integrasi Padi Ternak Untuk Mewujudkan Kedaulatan
Pangan. Jurnal Agroteknologi, Vol. 4. No. 2, Februari 2014: 15 – 26. Yusdja, Y. dan B. Winarsoh. 2009. Kebijakan Pembangunan Sosial Ekonomi
Menuju Sistem Peternakan Yang Diharapkan. Analisis Kebijakan Pertanian Volume 7 No. 3. September 2009: 209-282.
Yuwono, D.M, Subiharta dan U. Nuschati, 2011. Karakteristik Peternak Sapi
Potong di Lokasi Feati Desa Krinjing Kecamatan Dukun Kabupaten Magelang Prosiding Semiloka Nasional Dukungan Agro-Inovasi untuk Pemberdayaan Petani, 655 Kerjasama UNDIP, BPTP Jateng, dan Pemprov Jateng, Semarang 14 Juli 2011.
186
LAMPIRAN 1
Linear Goal Programming (LGP) KONDISI OPTIMAL
LP OPTIMUM FOUND AT STEP 3
OBJECTIVE FUNCTION VALUE
1) 10189.53
VARIABLE VALUE REDUCED COST
DA1 791.038574 0.000000
DA2 2.730000 0.000000
DA3 102.519997 0.000000
DA4 9292.919922 0.000000
DB5 0.000000 1.000000
DB6 0.324259 0.000000
DB7 0.000000 1.000000
DB8 0.000000 1.000000
DB9 0.000000 1.000000
X1 0.759259 0.000000
X2 1.194444 0.000000
X3 1.138889 0.000000
X4 1.000000 0.000000
DB1 0.000000 1.000000
DB2 0.000000 1.000000
DB3 0.000000 1.000000
DB4 0.000000 1.000000
DA5 2365.022461 0.000000
DA6 0.000000 1.000000
DA7 0.000000 0.000000
DA8 0.000000 0.000000
DA9 0.000000 0.000000
ROW SLACK OR SURPLUS DUAL PRICES
2) 0.000000 -1.000000
3) 0.000000 -1.000000
4) 0.000000 -1.000000
5) 0.000000 -1.000000
6) 0.000000 0.000000
7) 0.000000 1.000000
8) 100.147522 0.000000
9) 1.758611 0.000000
10) 0.000000 0.000000
11) 0.000000 8035.427734
12) 0.000000 3696.315674
13) 0.000000 3478.153809
14) 0.000000 10571.299805
NO. ITERATIONS= 3
187
RANGES IN WHICH THE BASIS IS UNCHANGED:
OBJ COEFFICIENT RANGES
VARIABLE CURRENT ALLOWABLE ALLOWABLE
COEF INCREASE DECREASE
DA1 1.000000 INFINITY 0.999673
DA2 1.000000 INFINITY 1.000000
DA3 1.000000 INFINITY 1.000000
DA4 1.000000 INFINITY 1.000000
DB5 1.000000 INFINITY 1.000000
DB6 1.000000 3053.988770 1.000000
DB7 1.000000 INFINITY 1.000000
DB8 1.000000 INFINITY 1.000000
DB9 1.000000 INFINITY 1.000000
X1 0.000000 8678.261719 INFINITY
X2 0.000000 3992.020996 INFINITY
X3 0.000000 3756.406250 INFINITY
X4 0.000000 10571.299805 INFINITY
DB1 0.000000 INFINITY 1.000000
DB2 0.000000 INFINITY 1.000000
DB3 0.000000 INFINITY 1.000000
DB4 0.000000 INFINITY 1.000000
DA5 0.000000 INFINITY 1.000000
DA6 0.000000 INFINITY 1.000000
DA7 0.000000 INFINITY 0.000000
DA8 0.000000 INFINITY 0.000000
DA9 0.000000 INFINITY 0.000000
RIGHTHAND SIDE RANGES
ROW CURRENT ALLOWABLE ALLOWABLE
RHS INCREASE DECREASE
2 26973.138672 INFINITY 791.038574
3 5.110000 INFINITY 2.730000
4 102.800003 INFINITY 102.519997
5 9318.450195 INFINITY 9292.919922
6 2369.949951 INFINITY 2365.022461
7 3.240000 0.324259 INFINITY
8 11931.149414 INFINITY 100.147522
9 174.380005 INFINITY 1.758611
10 1.000000 INFINITY 0.000000
11 0.820000 0.029199 0.427073
12 1.290000 0.044266 0.271473
13 1.230000 0.047465 0.284715
14 1.000000 0.000000 1.000000
188
LAMPIRAN 2 SKENARIO 1
LP OPTIMUM FOUND AT STEP 5
OBJECTIVE FUNCTION VALUE
1) 10624.91
VARIABLE VALUE REDUCED COST
DA1 1226.617920 0.000000
DA2 2.730000 0.000000
DA3 102.519997 0.000000
DA4 9292.919922 0.000000
DB5 0.000000 1.000000
DB6 0.121667 0.000000
DB7 0.000000 1.000000
DB8 0.000000 1.000000
DB9 0.000000 1.000000
X1 0.735294 0.000000
X2 1.166667 0.000000
X3 1.107843 0.000000
X4 1.000000 0.000000
DB1 0.000000 1.000000
DB2 0.000000 1.000000
DB3 0.000000 1.000000
DB4 0.000000 1.000000
DA5 2365.177979 0.000000
DA6 0.000000 1.000000
DA7 0.000000 0.000000
DA8 0.000000 0.000000
DA9 0.000000 0.000000
ROW SLACK OR SURPLUS DUAL PRICES
2) 0.000000 -1.000000
3) 0.000000 -1.000000
4) 0.000000 -1.000000
5) 0.000000 -1.000000
6) 0.000000 0.000000
7) 0.000000 1.000000
8) 327.535217 0.000000
9) 4.350588 0.000000
10) 1.000000 0.000000
11) 0.000000 8508.168945
12) 0.000000 3913.844238
13) 0.000000 3682.849121
14) 0.000000 10571.299805
NO. ITERATIONS= 5
189
RANGES IN WHICH THE BASIS IS UNCHANGED:
OBJ COEFFICIENT RANGES
VARIABLE CURRENT ALLOWABLE ALLOWABLE
COEF INCREASE DECREASE
DA1 1.000000 INFINITY 0.999699
DA2 1.000000 INFINITY 1.000000
DA3 1.000000 INFINITY 1.000000
DA4 1.000000 INFINITY 1.000000
DB5 1.000000 INFINITY 1.000000
DB6 1.000000 3324.341553 1.000000
DB7 1.000000 INFINITY 1.000000
DB8 1.000000 INFINITY 1.000000
DB9 1.000000 INFINITY 1.000000
X1 0.000000 8678.332031 INFINITY
X2 0.000000 3992.121094 INFINITY
X3 0.000000 3756.506104 INFINITY
X4 0.000000 10571.299805 INFINITY
DB1 0.000000 INFINITY 1.000000
DB2 0.000000 INFINITY 1.000000
DB3 0.000000 INFINITY 1.000000
DB4 0.000000 INFINITY 1.000000
DA5 0.000000 INFINITY 1.000000
DA6 0.000000 INFINITY 1.000000
DA7 0.000000 INFINITY 0.000000
DA8 0.000000 INFINITY 0.000000
DA9 0.000000 INFINITY 0.000000
RIGHTHAND SIDE RANGES
ROW CURRENT ALLOWABLE ALLOWABLE
RHS INCREASE DECREASE
2 26973.138672 INFINITY 1226.617920
3 5.110000 INFINITY 2.730000
4 102.800003 INFINITY 102.519997
5 9318.450195 INFINITY 9292.919922
6 2369.949951 INFINITY 2365.177979
7 3.070000 0.121667 INFINITY
8 11931.149414 INFINITY 327.535217
9 174.380005 INFINITY 4.350588
10 2.000000 INFINITY 1.000000
11 0.750000 0.090192 0.165467
12 1.190000 0.136730 0.104286
13 1.130000 0.146611 0.109823
14 1.000000 0.055422 1.000000
190
LAMPIRAN 3
SKENARIO 2
LP OPTIMUM FOUND AT STEP 5
OBJECTIVE FUNCTION VALUE
1) 10410.41
VARIABLE VALUE REDUCED COST
DA1 1012.110596 0.000000
DA2 2.730000 0.000000
DA3 102.519997 0.000000
DA4 9292.919922 0.000000
DB5 0.000000 1.000000
DB6 0.129697 0.000000
DB7 0.000000 1.000000
DB8 0.000000 1.000000
DB9 0.000000 1.000000
X1 0.737374 0.000000
X2 1.171717 0.000000
X3 1.111111 0.000000
X4 1.000000 0.000000
DB1 0.000000 1.000000
DB2 0.000000 1.000000
DB3 0.000000 1.000000
DB4 0.000000 1.000000
DA5 2365.164551 0.000000
DA6 0.000000 1.000000
DA7 0.000000 0.000000
DA8 0.000000 0.000000
DA9 0.000000 0.000000
ROW SLACK OR SURPLUS DUAL PRICES
2) 0.000000 -1.000000
3) 0.000000 -1.000000
4) 0.000000 -1.000000
5) 0.000000 -1.000000
6) 0.000000 0.000000
7) 0.000000 1.000000
8) 266.404633 0.000000
9) 4.045758 0.000000
10) 0.000000 0.000000
11) 0.000000 8763.992188
12) 0.000000 4637.523438
13) 0.000000 4363.821289
14) 0.000000 12461.735352
NO. ITERATIONS= 5
191
RANGES IN WHICH THE BASIS IS UNCHANGED:
OBJ COEFFICIENT RANGES
VARIABLE CURRENT ALLOWABLE ALLOWABLE
COEF INCREASE DECREASE
DA1 1.000000 INFINITY 0.999745
DA2 1.000000 INFINITY 1.000000
DA3 1.000000 INFINITY 1.000000
DA4 1.000000 INFINITY 1.000000
DB5 1.000000 INFINITY 1.000000
DB6 1.000000 3927.438965 1.000000
DB7 1.000000 INFINITY 1.000000
DB8 1.000000 INFINITY 1.000000
DB9 1.000000 INFINITY 1.000000
X1 0.000000 8676.352539 INFINITY
X2 0.000000 4591.148438 INFINITY
X3 0.000000 4320.183105 INFINITY
X4 0.000000 12461.735352 INFINITY
DB1 0.000000 INFINITY 1.000000
DB2 0.000000 INFINITY 1.000000
DB3 0.000000 INFINITY 1.000000
DB4 0.000000 INFINITY 1.000000
DA5 0.000000 INFINITY 1.000000
DA6 0.000000 INFINITY 1.000000
DA7 0.000000 INFINITY 0.000000
DA8 0.000000 INFINITY 0.000000
DA9 0.000000 INFINITY 0.000000
RIGHTHAND SIDE RANGES
ROW CURRENT ALLOWABLE ALLOWABLE
RHS INCREASE DECREASE
2 30026.218750 INFINITY 1012.110596
3 5.110000 INFINITY 2.730000
4 102.800003 INFINITY 102.519997
5 9318.450195 INFINITY 9292.919922
6 2369.949951 INFINITY 2365.164551
7 2.990000 0.129697 INFINITY
8 12256.750977 INFINITY 266.404633
9 174.380005 INFINITY 4.045758
10 1.000000 INFINITY 0.000000
11 0.730000 0.071201 0.175890
12 1.160000 0.102800 0.110690
13 1.100000 0.110229 0.116727
14 1.000000 0.000000 1.000000
192
LAMPIRAN 4
SKENARIO 3
LP OPTIMUM FOUND AT STEP 5
OBJECTIVE FUNCTION VALUE
1) 10487.07
VARIABLE VALUE REDUCED COST
DA1 1088.780396 0.000000
DA2 2.730000 0.000000
DA3 102.519997 0.000000
DA4 9292.919922 0.000000
DB5 0.000000 1.000000
DB6 0.123900 0.000000
DB7 0.000000 1.000000
DB8 0.000000 1.000000
DB9 0.000000 1.000000
X1 0.730000 0.000000
X2 1.170000 0.000000
X3 1.110000 0.000000
X4 1.000000 0.000000
DB1 0.000000 1.000000
DB2 0.000000 1.000000
DB3 0.000000 1.000000
DB4 0.000000 1.000000
DA5 2365.212402 0.000000
DA6 0.000000 1.000000
DA7 0.000000 0.000000
DA8 0.000000 0.000000
DA9 0.000000 0.000000
ROW SLACK OR SURPLUS DUAL PRICES
2) 0.000000 -1.000000
3) 0.000000 -1.000000
4) 0.000000 -1.000000
5) 0.000000 -1.000000
6) 0.000000 0.000000
7) 0.000000 1.000000
8) 300.782166 0.000000
9) 4.437600 0.000000
10) 1.000000 0.000000
11) 0.000000 8676.351562
12) 0.000000 4591.138184
13) 0.000000 4320.173340
14) 0.000000 12461.735352
NO. ITERATIONS= 5
193
RANGES IN WHICH THE BASIS IS UNCHANGED:
OBJ COEFFICIENT RANGES
VARIABLE CURRENT ALLOWABLE ALLOWABLE
COEF INCREASE DECREASE
DA1 1.000000 INFINITY 0.999743
DA2 1.000000 INFINITY 1.000000
DA3 1.000000 INFINITY 1.000000
DA4 1.000000 INFINITY 1.000000
DB5 1.000000 INFINITY 1.000000
DB6 1.000000 3892.048096 1.000000
DB7 1.000000 INFINITY 1.000000
DB8 1.000000 INFINITY 1.000000
DB9 1.000000 INFINITY 1.000000
X1 0.000000 8676.351562 INFINITY
X2 0.000000 4591.138184 INFINITY
X3 0.000000 4320.173340 INFINITY
X4 0.000000 12461.735352 INFINITY
DB1 0.000000 INFINITY 1.000000
DB2 0.000000 INFINITY 1.000000
DB3 0.000000 INFINITY 1.000000
DB4 0.000000 INFINITY 1.000000
DA5 0.000000 INFINITY 1.000000
DA6 0.000000 INFINITY 1.000000
DA7 0.000000 INFINITY 0.000000
DA8 0.000000 INFINITY 0.000000
DA9 0.000000 INFINITY 0.000000
RIGHTHAND SIDE RANGES
ROW CURRENT ALLOWABLE ALLOWABLE
RHS INCREASE DECREASE
2 30026.218750 INFINITY 1088.780396
3 5.110000 INFINITY 2.730000
4 102.800003 INFINITY 102.519997
5 9318.450195 INFINITY 9292.919922
6 2369.949951 INFINITY 2365.212402
7 3.010000 0.123900 INFINITY
8 12256.750977 INFINITY 300.782166
9 174.380005 INFINITY 4.437600
10 2.000000 INFINITY 1.000000
11 0.730000 0.081201 0.169726
12 1.170000 0.117238 0.105897
13 1.110000 0.125710 0.111622
14 1.000000 0.056530 1.000000