optimalisasi usaha sapi potong - Universitas Brawijaya

210
OPTIMALISASI USAHA SAPI POTONG PENERIMA KREDIT DI KABUPATEN DONGGALA PROVINSI SULAWESI TENGAH DISERTASI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Doktor Oleh RITHA RAHAYU MASHUDIE NIM. 117050100111008 PROGRAM DOKTOR ILMU TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN UNVERSITAS BRAWIJAYA M A L A N G 2019

Transcript of optimalisasi usaha sapi potong - Universitas Brawijaya

OPTIMALISASI USAHA SAPI POTONG PENERIMA KREDIT DI KABUPATEN DONGGALA

PROVINSI SULAWESI TENGAH

DISERTASI

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Doktor

Oleh

RITHA RAHAYU MASHUDIE NIM. 117050100111008

PROGRAM DOKTOR ILMU TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN UNVERSITAS BRAWIJAYA

M A L A N G 2019

iii

IDENTITAS TIM PENGUJI

JUDUL DISERTASI :

OPTIMALISASI USAHA SAPI POTONG PENERIMA KREDIT DI KABUPATEN

DONGGALA PROVINSI SULAWESI TENGAH

Nama Mahasiwa : Ritha Rahayu Mashudie

NIM : 117050100111008

Program Studi : Ilmu Ternak

Minat : Agribisnis Peternakan

KOMISI PROMOTOR

Promotor : Prof. Dr. Ir. Budi Hartono, MS., IPU

Ko-Promotor 1 : Prof. Dr. Ir. Zaenal Fanani, MS

Ko-Promotor 2 : Dr.Ir. Bambang Ali Nugroho, MS, DAA., IPM

TIM DOSEN PENGUJI

Dosen Penguji 1 : Prof.Dr.Ir. Hartutik, MS., IPU

Dosen Penguji 2 : Ir. Hari Dwi Utami, MS.,M Appl.Sc, Ph.D., IPM

Dosen Penguji 3 : Dr. Ir. Hari Nugroho, MS

Dosen Penguji 4 : Prof. Dr. Ir. Sri Hidanah, MS

Tanggal Ujian : 8 Agustus 2019

v

RIWAYAT HIDUP

Ritha Rahayu Mashudie, lahir di Tolitoli tanggal 12 Setember 1960, putri

ketiga dari enam orang bersaudara pasangan ayahanda Mashudie (alm) dan

ibunda Noek Istijah (alm). Pendidikan dasar di SDN No 1 Tolitoli, pendidikan

menengah pertama SMP Negeri Tolitoli, pendidikan menengah atas SMA Negeri

Tolitoli. Pendidikan sarjana di Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin lulus

tahun 1985. Pendidikan Magister Program Studi Ilmu Perencanaan

Pembangunan Wilayah Dan Pedesaan Institut Pertanian Bogor lulus tahun

1994. Pengalaman kerja sebagai staf pengajar Jurusan Peternakan Fakultas

Pertanian Universitas Tadulako pada tahun 1986, pangkat/gol: Pembina Utama

Muda/lVc. Tahun 2011 melanjutkan studi pada Program Doktor Ilmu Ternak

Minat Agribisnis Peternakan Program Pascasarjana Fakultas Peternakan

Universitas Brwijaya Malang.

Malang, 8 Agustus 2019

Mahasiswa

Ritha Rahayu Mashudie

vi

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah segala puji dan syukur ke hadirat Allah SWT atas berkah,

rahmat dan karuniaNya sehingga disertasi dengan judul Optimalisasi Usaha Sapi

Potong Penerima Kredit Di Kabupaten Donggala Provinsi Sulawesi Tengah ini

dapat diselesaikan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor.

Salawat dan salam kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW, beserta

sahabat dan pengikutnya hingga akhir jaman.

Disertasi ini dapat disusun berkat keterlibatan banyak pihak yang telah

memberikan kontribusi berupa sumbangan pemikiran, pendanaan, perijinan, data

dan segala sesuatu yang berkaitan dengan proses penelitian hingga penyusunan

disertasi. Oleh karena itu ungkapan terima kasih yang setinggi-tingginya penulis

sampaikan kepada :

1. Prof. Dr. Ir. Budi Hartono, MS., IPU, Prof. Dr. Ir. Zaenal Fanani, MS,

Dr. Ir. Bambang Ali Nugroho, MS, DAA., IPM sebagai Tim Promotor yang

telah memberikan arahan, bimbingan dan motivasi mulai dari persiapan

hingga penulisan laporan disertasi.

2. Prof.Dr. Ir. Hartutik, MS.,IPU, Ir. Hari Dwi Utami, MS., M Appl.Sc, Ph.D.,IPM,

Dr.Ir. Hari Nugroho, MS dan Prof. Dr. Ir. Sri Hidanah, MS sebagai Tim

Penguji yang banyak memberikan saran dan masukan terhadap disertasi ini.

3. Pemerintah Republik Indonesia cq. Kementerian Riset Teknologi dan

Pendidikan Tinggi yang telah memberikan Beasiswa BPPS untuk studi

program Doktor.

4. Direktorat Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat, Direktorat

Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan

Tinggi yang telah membiayai penelitian ini melalui Hibah Disertasi tahun

2013.

vii

5. Rektor Universitas Tadulako, Dekan Fakultas Peternakan dan Perikanan

Universitas Tadulako, atas izin dan rekomendasi sehingga penulis dapat

melanjutkan studi program doktor di Universitas Brawijaya.

7. Rektor Universitas Brawijaya, Dekan Fakultas Peternakan Universitas

Brawijaya beserta seluruh stafnya penulis menyampaikan ucapan dan terima

kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya atas bantuannya sehingga

penulis dapat mengikuti pendidikan program doktor di Universitas Brawijaya.

8. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Ketua Program Pasca

sarjana Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya beserta seluruh stafnya,

yang banyak membantu penulis dalam menjalakan aktivitas akademik di

Universitas Brawijaya.

9. Ucapan terima kasih kepada kedua orang tua saya Bapak Mashudie

(alm).dan Ibu Noek Istijah (alm) beserta mertua saya Bapak Andi Bau Petta

Werang (alm) dan ibu Dasing atas doa dan restu yang tiada putus

mengiringi setiap langkah kehidupanku. Keempat saudara kandung beserta

keluarga dan anak-anaknya, Kakanda Ernawati Mashudie dan kak Said

Umar, adinda Mike Iriani Mashudie dan Jibran Batalipu, adinda Nuning

Wahyuni Mashudie dan Rahmat Ali, adinda Endang Susilowati Mashudie

beserta seluruh keluarga besar yang senantiasa membantu, memberikan

doa dan dorongan moril sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan

pada program dokor Ilmu Ternak Program Pascasarjana Universitas

Brawijaya, semoga Allah SWT membalas atas segala kebaikannya..Aamiin

YRA.

9. Suami tercinta Andi Alang, keempat putra/putriku tersayang Andi Anugrah

Pratama, Andi Rizki Dwiayu, Andi Tri Kurniasari, Andi Muhammad Agung

beserta menantuku Kartika Septiana dan Tri Bakti Juniarto, cucuku tercinta

viii

Andi Razan Syakirah dan Bilai Bin Bakti, yang selalu mendukung dan tak

henti-hentinya berdoakan mama dalam penyelesaian studi.

10. Teman, sahabat dan keluarga yang selalu memberikan semangat dan

dorongan. Semoga semua amal kebaikkan yang diberikan mendapatkan

balasan dan dicatat sebagai amal jariyah oleh Allah SWT. Penulis

menyampaikan permohonan maaf atas segala kekhilafan dan kesalahan

baik sengaja maupun tidak sengaja yang penulis lakukan selama mengikuti

pendidikan Program Doktor di Universitas Brawijaya. Semoga Allah SWT

yang akan membalas segala amal kebaikan yang telah diberikan kepada

penulis. Semoga laporan penelitian disertasi ini bermanfaat dalam

meningkatkan wawasan keilmuan. Aamiin YRA.

Malang, 8 Agustus 2019

Penulis

Ritha Rahayu Mashudie

ix

RINGKASAN

Ritha Rahayu Mashudie, Program Doktor Ilmu Ternak Program

Pascasarjana Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya. Optimalisasi

Usaha Sapi Potong Penerima Kredit Di Kabupaten Donggala Provinsi

Sulawesi Tengah. Komisi Pembimbing, Ketua : Prof. Dr. Ir. Budi Hartono,

MS., IPU, Anggota : Prof. Dr. Zaenal Fanani, MS dan Dr. Ir. Bambang Ali

Nugroho, MS.DAA., IPM.

Pengembangan agribisnis sapi potong mempunyai peranan yang strategis

dalam pembangunan nasional dimana kontribusi sapi potong merupakan

penyumbang daging nomor dua di Indonesia setelah daging ayam. Namun

demikian, agribisnis sapi potong sebagai suatu sistem bisnis dibidang pertanian

yang menggerakkan perekonomian rakyat di pedesaan belum berkembang

sesuai dengan tujuan pembangunan pertanian.

Konsumsi daging sapi nasional pada tahun 2017 sebesar 7,817 kg per

kapita per tahun dimana kontribusi daging sapi sebesar 0,469 kg per kapita per

tahun atau meningkat sebesar 12,50% dari konsumsi daging sapi per kapita

tahun 2016 sebesar 0,417 kg.(Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan,

2018). Permintaan daging sapi tersebut diperkirakan akan terus meningkat

seiring dengan pertumbuhan ekonomi nasional, meningkatnya kesadaran

masyarakat akan pentingnya protein hewani, pertambahan jumlah penduduk,

dan meningkatnya daya beli masyarakat.

Salah satu faktor yang menentukan keberhasilan pembengunan pertanian.

adalah modal. Upaya untuk meningkatkan modal petani, peningkatan

produktivitas dan pendapatan petani tidak terlepas dari berbagai upaya

peningkatan pelayanan kredit yang diprogramkan pemerintah. Peran kredit yang

strategis dalam pembangunan pertanian dan pedesaan, telah mendorong

pemerintah untuk menjadikannya sebagai momentum kebijakan penting. Kredit

yang berasal dari program pemerintah sejak lama dilakukan untuk mengisi

kesenjangan dana di pedesaan untuk pembangunan pertanian. Salah satu

usaha pemerintah untuk mengatasi permodalan disektor peternakan adalah

memberikan bantuan sapi potong sistem bergulir dengan prosedur dan jaminan

yang lebih sederhana. Pada sistem bergulir peternak memperoleh ternak dari

pemerintah untuk selanjutnya ternak keturunannya disebarkan kembali

(revolving) kepeternak lain.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis solusi optimal usaha sapi potong

terhadap pendapatan petani, jumlah kepemilikan ternak dan kontibusi usaha sapi

potong di Kabupaten Donggala dan menganalisis pengaruh sensitivitas terhadap

pendapatan usahatani dan usaha ternak sapi potong di Kabupaten Donggala.

Pemilihan lokasi penelitian dilakukan dengan Multistage Sampling Method yaitu

penentuan lokasi penelitian yang dilakukan secara bertahap (provinsi,

kabupaten, kecamatan dan desa). Metode yang digunakan adalah metode

x

survai. Analisis data menggunakan analisis Linear Goal Programming (LGP).

Kendala tujuan dalam penelitian ini adalah pendapatan petani, jumlah

kepemilikan ternak, pertambahan bobot badan harian ternak, pemanfaatan

limbah ternak sebagai pupuk, pemanfaatan limbah pertanian sebagai pakan

ternak, luas lahan, modal kerja, tenaga kerja dan kredit sapi potong sistem

bergulir.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa komoditas di wilayah penelitian

adalah padi, kelapa, cengkeh dan sapi potong. Pola usahatani yang

teridentifikasi adalah: 1) padi dan sapi, 2) padi, kelapa dan sapi, 3) kelapa dan

sapi, 4) padi, cengkeh dan sapi. Pola tanam yang berkembang di wilayah

penelitian adalah: (1) padi, padi, (2) kelapa, (3) cengkeh.

Hasil solusi optimal usaha sapi potong, yang memberikan pendapatan

petani terbaik yaitu sebesar Rp 28.199.699 per tahun, jumlah kepemilikan

ternak direkomendasi sebesar 7.84 ST atau meningkat 53,42% per tahun,

pertambahan bobot badan harian ternak yang terbaik sebesar 205,31 kg atau

meningkat 96,66% per tahun. Usaha ternak sapi potong memberikan kontribusi

sebesar Rp 10.543.110 per tahun atau 30,68% terhadap total pendapatan

petani.

Hasil analisis sensitivitas usaha sapi potong yang memberikan

pendapatan tertinggi untuk petani adalah harga usahatani dan usaha ternak

tetap, bantuan ternak sapi potong sistem bergulir 2,00 ST.

xi

SUMMARY

Ritha Rahayu Mashudie, Postgraduate Program, Faculty of Animal

Husbandry Brawijaya University. Optimization of Credit Receiver Cattle

Business in Donggala Regency, Central Sulawesi Province. Supervisi,

Main supervisor : Prof. Dr. Ir. Budi Hartono, MS., IPU, Members: Prof. Dr.

Zaenal Fanani, MS and Dr. Ir. Bambang Ali Nugroho, MS.DAA., IPM.

The development of beef cattle agribusiness has a strategic role in national

development where the contribution of beef cattle is the number two meat

contributor in Indonesia after chicken meat. However, agribusiness of beef cattle

as a business system in agriculture that drives the economy of the people in the

countryside has not developed according to the objectives of agricultural

development.

National beef consumption in 2017 is 7.817 kg per capita per year where

the contribution of beef is 0.469 kg per capita per year or increases by 12.50%

from consumption of beef per capita in 2016 of 0.417 kg. (Animal Statistics and

Animal Health) , 2018). Demand for beef is expected to continue to increase

along with national economic growth, increasing public awareness of the

importance of animal protein, population growth, and increasing public

purchasing power.

One of the factors that determine the success of agricultural development is

capital. Efforts to increase farmer capital, increase productivity and farmer

income are inseparable from various efforts to improve credit services

programmed by the government. The role of strategic credit in agricultural and

rural development has encouraged the government to make it an important policy

momentum. Loans originating from government programs have long been carried

out to fill the funding gap in the countryside for agricultural development. One of

the government's efforts to overcome capital in the livestock sector is to provide

rolling beef cattle assistance with simpler procedures and guarantees than the

regular ones. In a rolling system, farmers get livestock from the government, and

then their offspring are revolved back to other farmers.

This study aimed to analyze the optimal solution of beef cattle business to

farmer's income, number of livestock ownership and contribution of beef cattle

business and analyzed the effect of sensitivity on farm income and beef cattle

business in Donggala Regency.

The location of the study was conducted by Multistage Sampling Method,

which was to determine the location of the study conducted in stages (provinces,

districts, sub-districts and villages). The method used is the survey method. Data

analysis using Linear Goal Programming (LGP) analysis. Goal constraints

in this study were farmers' income, number of livestock ownership, daily livestock

body weight gain, utilization of livestock waste as fertilizer, utilization of

xii

agricultural waste as animal feed, land area, working capital, labor and credit for

rolling cattle.

The results showed that the commodities in the study area were rice,

coconut, cloves and beef cattle. The identified farming patterns are: 1) rice and

cattle, 2) rice, coconut and cattle, 3) coconut and cattle, 4) rice, cloves and cattle.

Cropping patterns that develop in the study area are: (1) rice, rice, (2) coconut,

(3) cloves.

The results of the optimal solution to the highest farmer income were Rp.

28,199,699 per year, recommended number of livestock ownership was 7.84 ST

per year or increased by 53.42%, daily livestock body weight gain was 205.31 kg

per year or an increase of 96.66 %. Beef cattle business contributes Rp

10,543,110 per year or 30.68% to the total income of farmers.

The results of sensitivity analysis of beef cattle business that provide that

gives the highest farmer income for famers are the price of farming business and

permanent livestock business, and the assistance of beef cattle rolling system

2.00 ST.

xiii

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ..................................................................................... HALAMAN PENGESAHAN ......................................................................... HALAMAN IDENTITAS PENGUJI ............................................................. PERNYATAAN ORISINALITAS DISERTASI .............................................. RIWAYAT HIDUP ....................................................................................... KATA PENGANTAR ................................................................................... RINGKASAN .............................................................................................. SUMMARY ................................................................................................ DAFTAR ISI ............................................................................................... DAFFTAR TABEL....................................................................................... DAFTAR GAMBAR .....................................................................................

i ii iii iv v vi ix xi xiii

xv xvii

I. II. III. IV.

PENDAHULUAN ....................................................................................

1.1. Latar Belakang ............................................................................

1.2. Perumusan Masalah ...................................................................

1.3. Tujuan Penelitian ........................................................................

1.4. Kegunaan Penelitian ..................................................................

TINJAUAN PUSTAKA ...........................................................................

2.1. Penelitian Terdahulu ..................................................................

2.1.1. Penelitian Optimalisasi Usahatani ...................................

2.1.2. Penelitian Usaha Ternak Sapi Potong .............................

2.1.3. Penelitian Kredit ..............................................................

2.1.4. Penelitian Gaduahan Sapi Potong ..................................

2.2. Landasan Teori ...........................................................................

2.2.1. Optimalisasi dan Kredit ....................................................

2.2.2. Pasar Kredit .....................................................................

2.2.3. Konsep Pengembalian Kredit ..........................................

2.2.4. Modal Kerja .....................................................................

2.2.5. Linear Goal Programming ...............................................

2.2.6. Analisis Sensitivitas .........................................................

KERANGKA KONSEP PENELITIAN ....................................................

METODE PENELITIAN .........................................................................

4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian .........................................................

4.2. Metode Penelitian .........................................................................

4.3. Populasi dan Teknik Penentuan Responden ................................

4.4. Jenis dan Metode Pengambilan Data ...........................................

4.4.1. Jenis dan Sumber Data ......................................................

4.4.2. Metode Pengambilan dan Pengukuran Data .....................

4.5. Analisis Data ................................................................................ ......... 52

4.5.1. Analisis Linear Goal Programming ............................................... 52

1

1

7

8

9

10

10

10

12

13

18

21

21

24

26

28

30

38

40

47

47

47

48

51

51

52

53

53

xiv

V.

VI

4.5.2. Analisis Sensitivitas ................................................................... 61

4.6. Definisi Operasional Variabel dan Batasan Istilah ..........................

HASIL DAN PEMBAHASAN ....................................................................... 68

5.1. Deskripsi Daerah Penelitian .................................................................. 68

5.1.1. Letak dan Keadaan Geografis .................................................... 68

5.1.2. Kependudukan ........................................................................... 68

5.1.3. Pertanian ................................................................................... 72

5.1.4. Peternakan ................................................................................. 80

5.2. Kredit Sapi Potong Sistem Bergulir ....................................................... 84

5.3. Karakteristik Petani Responden ............................................................ 87

5.4. Komoditi Usahatani ............................................................................... 101

5.5. Pola Tanam ........................................................................................... 103

5.6. Karagaan Pola Usahatani ...................................................................... 104

5.7. Pola Usaha Ternak Sapi Potong ........................................................... 108

5.8. Aspek Permodalan ................................................................................ 113

5.9. Analisis Optimalisasi UsahaTernak Sapi Potong .................................. 115

5.9.1. Peubah Yang Diamati .................................................................. 115

5.9.2. Model Matematis Linear Goal Programming ................................. 115

5.10. Penyelesaian Optimalisasi Linear Goal Programing ............................ 127

5.10.1. Penyelesaian Optimalisasi Usaha Sapi Potong ...................... 127

5.10.2. Pencapaian Kendala Tujuan Usaha Sapi Potong ...................... 129

5.10.3. Pencapaian Tujuan Usahatani Adanya Perubahan

Skenario ..................................................................................... 130

5.10.4. Hasil Solusi Optimal Pendapatan ............................................. 135

5.10.5. Hasil Solusi Optimal Jumlah Pemilikan Ternak ...............

5.10.6. Hasil Solusi Optimal Pertambahan Bobot

Badan Harian Ternak........................................................

5.10.7. Hasil Solusi Optimal Pemanfaatan Kotoran

Ternak Sebagai Pupuk ..................... .............................

5.10.8. Hasil Solusi Optimal Pemanfaatan

Limbah Pertanian Sebagai Pakan Ternak .......................

5.10.9. Hasil Solusi Optimal Luas Lahan.. ...................................

5.10.10. Hasil Solusi Optimal Modal Kerja .....................................

5.10.11. Hasil Solusi Optimal Tenaga Kerja... ..............................

5.10.12. Hasil solusi Optimal Kredit Sapi Potong

Sistem Bergulir ...............................................................

5.11. Hasil Optimal Penggunan Sumberdaya ............................................... 165

5.12. Analisis Sensitivitas .............................................................................. 168

KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................................ 172

5.1. Kesimpulan ....................................................................................... 172

5.2. Saran ................................................................................................ 172

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 174

LAMPIRAN ............................................................................................

62

63

69

69

69

70

73

81

85

88

102

104

106

110

114

116

116

116

128

128

131

134

139

147

151

153

156

159

162

165

167

169

172

176

176

176

178 186

xv

xv

DAFTAR TABEL

Tabel Teks Halaman

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

10.

11.

12.

13.

14.

15.

16.

17.

18.

Kendala tujuan dalam pencapaian tujuan

optimal pada usaha sapi potong ....................................................................

Jenis-jenis kendala tujuan .............................................................................. 34

Tabel awal Linear Goal Programming (LGP) .................................................. 38

Variabel keputusan,kendala tujuan, kendala fungsional dan satuan Linear Goal Programming usaha sapi potong ....................

Ringkasan fungsi tujuan dan kendala tujuan pada Linear Goal Programming (LGP) ............................................

Matriks data untuk Linear Goal Programming (LGP) ...................................... Luas daerah, jumlah penduduk dan kepadatan penduduk menurut kecamatan Kabupaten Donggala tahun 2017 ................. Luas panen (Ha) produksi (Ton) padi menurut desa di Kecamatan Dampelas tahun 2015 ................................................... Rumah tangga usaha pertanian menurut kecamatan dan sub sektor yang diusahakan Kabupaten Donggala .................................. 74 Luas panen (Ha) dan produksi (Ton) padi menurut desa Di Kecamatan Dampelas tahun 2015 ............................................................ 75 Rumah tangga usaha perkebunan menurut kecamatan dan sub sektor yang diusahakan Kabupaten Donggala ....................... ................. 76 Luas kawasan perkebunan berdasarkan kecamatan Kabupaten Donggala ..................................................................................... 77 Luas tanaman perkebunan rakyat menurut desa di Kecamatan Dampelas tahun 2015 (Ha) .......................... ............................. 78

Luas lahan keringdi Kecamatan Dampelas 2017(Ha) ....................

Rumah tangga usaha peternakan sapi potong menurut

Kecamatan Kabupaten Donggala tahun 2013........... ...................................... 82

Karakteristik responden ................................................................................. 88 Biaya, penerimaan dan keuntungan usahatani padi ....................................... 98 Biaya, penerimaan dan keuntungan usaha kebun kelapa ............................. 99

21

33

37

60

61

62

70

74

75

76

77

78

79

81

84

89

99

100

xvi

19.

20.

21. 22.

23. 24.

25.

26.

27. 28. 29. 30 31. 32.

33. 34 35. 36. 37.

38.

Biaya,penerimaan dan keuntungan usaha kebun cengkeh ..............

9 Biaya, penerimaan dan keuntungan usaha ternak sapi

potong ........................................................................................................... 100 Komponen pendapatan responden ................................................................ 101

Pendapatan responden dari usahatani dan usaha ternak ................

1 Rataan kepemilikan ternak berdasarkan kelompok umur .............................. 117

Jumlah kepemilikan ternak ............................................................................. 117

Pertambahan bobot badan harian ternak ....................................................... 118

Pemanfaatan limbah kotoran tenak sebagai pupuk ....................................... 120

Pemanfaatan limbah pertanian sebagai pakan ternak .................................... 122

Luas lahan .................................................................................................... 123

Modal kerja .................................................................................................... 124

Tenaga kerja ...................................................................................

Kredit sapi potong sistem bergulir ................................................... Solusi optimal usahatani dan usaha ternak sapi potong ................. Pencapaian kendala tujuan usaha ternak sapi potong .................. Solusi optimal yang direkomendasikan pada variabel keputusan adanya skenario perubahan .......................................................... Solusi optimal direkomendasikan pada kendala tujuan adanya skenario perubahan kredit sapi potong.................. ............................ 133 Solusi optimal direkomendasikan pada kendala tujuan adanya skenario perubahan ........................................................... Hasil analisis sensitivitas aktivitas produksi usaha sapi potong ..................... 169 Hasil analisis sensitivitas skenario perubahan usaha sapi potong .................................................................................................

100

101

102

117

118

119

120

122

124

125

126

127

128

130

133

135

137

138

173

174

xvii

xvii

DAFTAR GAMBAR

Gambar Teks Halaman

1. 2. 3. 4.. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.

Pengaruh penambahan modal pada fungsi produksi ..................................... Skema kemitraan dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Kabupaten Donggala dengan kelompok peternak ............................... ........... 44 Kerangka pikir penelitian ................................................................................ 46

Penduduk menurut kelompok umur dan jenis kelamin Kabupaten Donggala ............................................................................ .......... 70 Kawasan budidaya menurut jenis penggunaannya tahun 2013 .................................................................................................... Populasi ternak sapi potong Kabupaten Donggala tahun 2012-1016 ........................................................................................ 81 Pemotongan ternak sapi potong tahun 2012-2016 ......................................... 83 Pendapatan petani padi pada kondisi aktual dan hasil optimasi ............................................................................................... 136 umlah kepemilikan ternak pada kondisi aktual dan hasil optimal ................................................................................................ 144 Pertambahan berat badan harian ternak pada kondisi aktual dan hasil optimal .............................................................................. 148 Pemanfaatan limbah kotoran ternak sebagai pupuk pada kondisi aktual dan hasil optimal ............................................................ Pemanfaatan limbah pertanian sebagai pakan ternak pada kondisi aktual dan hasil optimal .......................................................... 154 Luas lahan pada kondisi aktual dan hasil optimal ........................................ 157

26 43 45 71 80 83 84 140 148 152 154 158 161

1

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Tujuan pembangunan peternakan adalah untuk meningkatkan kualitas

kebijakan dan program yang mengarah pada pemanfaatan sumber daya lokal,

membangun peternakan yang berdaya saing dan berkelanjutan serta

membangun sistem peternakan yang mampu memenuhi kebutuhan terhadap

produk peternakan dan mensejahterakan peternak. Tujuan khusus program

pembangunan peternakan diarahkan untuk mengembangkan usaha budidaya

dalam rangka meningkatkan kuantitas dan kualitas bibit ternak, meningkatkan

populasi, produktivitas, produksi ternak, dan meningkatkan pelayanan prima

pada masyarakat peternakan. Permasalahan yang dihadapi saat ini adalah

produksi daging sapi belum meningkat secara nyata, proses produksi masih

bergantung pada produk impor, produksi susu masih jauh dari harapan,

penanganan penyakit hewan menular strategis belum optimal dan masih

rendahnya jaminan keamanan pangan asal ternak (Bahri, 2008).

Pertumbuhan ekonomi di Indonesia berpengaruh terhadap permintaan dan

konsumsi daging sapi, dapat dilihat dari konsumsi daging sapi nasional sebesar

411.000 ton pada tahun 2008 meningkat menjadi 441.000 ton pada tahun 2010

dengan pertumbuhan 4,71 %, pemerintah memproyeksikan tingkat konsumsi

daging dapat dicukupi dari produksi lokal pada tahun 2014, sementara produksi

daging sapi nasional pada tahun yang sama hanya mencapai 339.479,53 ton

setara dengan 1,14 juta ekor sapi (Dirjen Bina Produksi Peternakan, 2009).

Berarti masih terdapat kekurangan 101,52 ribu ton. sehingga kebutuhan daging

di Indonesia mencapai 799.822 ton dengan rata-rata tingkat pertumbuhan

konsumsi 1,49 %/tahun (Deptan, 2009). Peningkatan produksi daging sapi

2

potong pada tahun 2014 diperkirakan sebesar 541.000 ton dengan rata-rata

pertumbuhan 7,3 %. Konsumsi daging sapi nasional pada tahun 2017 sebesar

7,817 kg per kapita per tahun dimana kontribusi daging sapi sebesar 0,469 kg

per kapita per tahun atau meningkat sebesar 12,50% dari konsumsi daging sapi

per kapita tahun 2016 sebesar 0,417 kg.(Statistik Peternakan dan Kesehatan

Hewan, 2018). Permintaan daging sapi tersebut diperkirakan akan terus

meningkat seiring dengan pertumbuhan ekonomi nasional, meningkatnya

kesadaran masyarakat akan pentingnya protein hewani, pertambahan jumlah

penduduk, dan meningkatnya daya beli masyarakat.

Pengembangan agribisnis sapi potong mempunyai peranan yang strategis

dalam pembangunan nasional dimana kontribusi sapi potong merupakan

penyumbang daging nomor dua di Indonesia setelah daging ayam. Namun

demikian, agribisnis sapi potong sebagai suatu sistem bisnis dibidang pertanian

yang menggerakkan perekonomian rakyat di pedesaan belum berkembang

sesuai dengan tujuan pembangunan pertanian.

Kebutuhan hajat hidup masyarakat selain pangan (daging sapi) juga

kebutuhan energi. Upaya dalam memenuhi kedua kebutuhan tersebut dapat

disinergikan, karena kotoran ternak yang dihasilkan dari usaha peternakan dapat

dikelola/diproses menjadi sumber energi yang ramah lingkungan. Kotoran yang

dihasilkan dari 4 ekor sapi dapat diproses menjadi gas bio yang dapat mencukupi

kebutuhan energi satu rumah tangga terdiri dari 4-5 jiwa (Muryanto dkk, 2011).

Upaya yang ditempuh dalam rangka memenuhi kebutuhan pangan

(daging) adalah penyediaan investasi yang mampu mendorong pelaku usaha

untuk begerak dibidang usaha peternakan sapi baik untuk penggemukan

maupun perbibitan serta mendorong peternak memanfaatkan kotoran untuk

dijadikan pupuk dan biogas. Penyediaan investasi ini melibatkan pemerintah

3

dengan memberikan bantuan sistem bergulir maupun bentuk kredit program

lainnya dengan prosedur dan jaminan yang lebih sederhana.

Provinsi Sulawesi Tengah merupakan salah satu daerah yang menjadi

prioritas wilayah pengembangan sapi potong dengan sistem kawin alam. Hal ini

di dasarkan atas pertimbangan bahwa Sulawesi Tengah mempunyai potensi

untuk pengembangan sapi potong dengan kondisi populasi ternak sapi yang

cukup besar dan daya dukung lahan untuk pakan yang luas, serta pola budidaya,

faktor geografis dan sumberdaya manusia yang memenuhi kriteria yang telah

ditetapkan oleh pemerintah pusat. Secara administrasi Sulawesi Tengah

mempunyai luas wilayah sebesar 61.841,29 Km2, atau sekitar 6 juta Ha dan

jumlah penduduk 2.921.715 jiwa atau 677.382 KK dengan kepadatan penduduk

sebesar 46 jiwa/Km2. Sebagian besar penduduknya (70,35 %) tinggal dan

tersebar di pedesaan, mata pencarian penduduknya sebagian besar (671.661

jiwa atau 59,35 %) adalah sebagai petani (Badan Pusat Statistik Provinsi

Sulawesi Tengah, 2017).

Populasi ternak sapi potong Provinsi Sulawesi Tengah dalam 5 tahun

terakhir (2013– 2017) terjadi peningkatan. Pada tahun 2013 populasi ternak

sapi potong 249.990 ekor, tahun 2014 naik sebesar 17,23 % menjadi, 262.854

ekor, selanjutnya tahun 2015 populasi ternak sapi potong naik sebesar 299.485

ekor (21,81%), di tahun 2016 terjadi kenaikkan sebesar 22,40 % menjadi

320.637 ekor dan ditahun 2017 terjadi kenaikkan sebesar 22,93 % menjadi

353.486 ekor. Pemotongan ternak sapi potong tahun 2017 sebesar 30.844 ekor,

pemasukkan ternak sapi potong tahun 2017 sebesar 16.671 ekor, pengeluaran

ternak sapi potong tahun 2017 sebesar 11.173 ekor dan produksi daging sapi

tahun 2017 sebesar 4541,64 ton. Lahan kering Provinsi Sulawesi Tengah 2017

seluas 6651,93 ha dengan luas padang penggembalaan/padang rumput 84,19

ha (BPS Provinsi Sulawesi Tengah, 2018).

4

Provinsi Sulawesi Tengah merupakan suatu kawasan lahan kering dataran

rendah yang potensial untuk pengembangan usaha peternakan. Syafruddin dkk.

(2003), bahwa dengan curah hujan rendah, kelembaban udara rendah, suhu

udara tinggi, tingkat penyinaran yang tinggi, menyebabkan Sulawesi Tengah

merupakan salah satu kawasan yang mempunyai prospek penting untuk

pengembangan ternak sapi potong, Usaha peternakan yang cukup potensial dan

berkembang mendominasi adalah ternak ruminansia besar, kecil dan ternak

unggas. Untuk menunjang, maka prioritas utama dengan melihat ketersediaan

lahan diwilayah pengembangan, luas lahan atau sumber daya alam (SDA) yang

ada di Sulawesi Tengah.

Beberapa permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan sapi potong

di Provinsi Sulawesi Tengah adalah masih rendahnya sumberdaya peternak,

terbatasnya modal dan lembaga keuangan, lemahnya organisasi/kelembagaan

peternak, serta kebijakan pemerintah tidak konsisten. Kondisi tersebut

menyebabkan produktivitas sapi potong dan pendapatan peternak masih rendah

sehingga agribisnis sapi potong tidak berkembang.

Program peningkatan populasi dan produktivitas ternak sapi potong di

Sulawesi Tengah seyogyanya harus diikuti dengan program peningkatan pakan.

Namun pada kondisi peternakan sapi potong rakyat, penyediaan pakan sering

mendapatkan hambatan berupa : (1) kurangnya pengetahuan petani/peternak

mengenai peranan hijauan unggul terhadap produktivitas sapi, 2) kurangnya

akses informasi dan kesempatan untuk mendapatkan bibit hijauan unggul; 3)

kurangnya lahan untuk penanaman hijauan unggul, 4) kondisi lingkungan lokal

yang kurang menguntungkan untuk pertumbuhan hijauan, 5) kesulitan sumber

pakan konsentrat yang berkualitas. Pengetahuan peternak yang relatif rendah

menyebabkan ketergantungan peternak pada pakan hijauan segar sebagai

5

sumber pakan utama ternak sapi potong. Hal ini menjadi masalah bagi peternak

terutama pada musim kemarau dimana hijauan kurang tersedia. Selain itu

produksi hijauan padang penggembalaan pada umumnya relatif rendah baik

kuantitas maupun kualitasnya, sehingga kebutuhan gizi baik untuk produksi

maupun reproduksi ternak tidak terpenuhi. Sementara peternak tidak dapat

memanfaatkan limbah pertanian yang berlimpah pada saat panen untuk diolah

menjadi sumber pakan yang bergizi.

Langkah strategis untuk mengatasi hambatan tersebut dengan

menerapkan konsep feed budgetting secara akurat, perawatan hijauan yang ada,

penanaman hijauan unggul, pengawetan dan penyimpanan hijauan pada musim

surplus pakan, pengintegrasian sapi dengan tanaman pangan/perkebunan.

Penggalian potensi pakan lokal baik yang bersumber dari limbah

pertanian/perkebunan, industri dengan membuat tepung ikan atau membuat

pakan komplit juga harus dilakukan. Pertambahan bobot badan harian sapi yang

mendapatkan rumput lapang, rumput gajah, jerami jagung rendah dan dapat

ditingkatkan dengan penambahan pakan yang mengandung protein tinggi

(Marsetyo, 2008).

Kurangnya lembaga keuangan yang khusus memberikan bantuan kredit

untuk pengembangan sapi potong menyebabkan peternak kesulitan untuk

mengembangkan usahanya, jauhnya lokasi dan adanya persyaratan administrasi

dan jaminan yang ditetapkan oleh pihak bank atau lembaga keuangan juga

menyebabkan peternak mengalami kesulitan untuk mengakses ke lembaga

keuangan tersebut. . Kecilnya jumlah penyaluran kredit di sub sektor peternakan

disebabkan antara lain karena : 1) tingkat resiko usaha yang lebih tinggi

dibanding usaha lain, 2) investasi yang dibutuhkan relatif lebih besar, 3)

pengembalian modal cukup lama dan 4) budidaya peternakan masih dilakukan

secara tradisional sehingga produktivitas sangat rendah.

6

Modal merupakan faktor yang menentukan keberhasilan pembengunan

pertanian. Upaya untuk meningkatkan modal petani, peningkatan produktivitas

dan pendapatan petani tidak terlepas dari berbagai upaya peningkatan

pelayanan kredit yang diprogramkan pemerintah. Peran kredit yang strategis

dalam pembangunan pertanian dan pedesaan, telah mendorong pemerintah

untuk menjadikannya sebagai momentum kebijakan penting. Kredit yang berasal

dari program pemerintah sejak lama dilakukan untuk mengisi kesenjangan dana

di pedesaan untuk pembangunan pertanian.

Dalam rangka ahli teknologi dan membantu permodalan dalam usaha

pengembangan sapi potong oleh pemerintah dikembangkan pola kemitraan yang

melibatkan pemerintah sebagai pemodal dan peternak sebagai pelaksana. Pola

kemitraan atau kerjasama dalam suatu usaha telah lama dilaksanakan pada

kelompok petani peternak. Pola kemitraan antara pemerintah dengan peternak

yaitu dengan penyebaran ternak pemerintah kepada peternak melalui sistem

bergulir khususnya untuk ternak sapi potong, kerbau, domba dan kambing. Pada

sistem bergulir peternak penggaduh memperoleh ternak dari pemerintah untuk

selanjutnya ternak keturunannya disebarkan kembali (revolving) kepeternak lain.

Kabupaten Donggala dengan luas wiayah 5.275,69 Km2 terbagi menjadi

16 kecamatan. Jumlah penduduk 296.380 jiwa dan laju pertumbuhan penduduk

selama tahun 2015 – 2016 sebesar 0,90 % dengan tingkat kepadatan penduduk

mencapai 56 jiwa/km2. Luas padang penggembalaan 1.920 ha. Kebun hijauan

makanan ternak 47 ha dengan jumlah rumah tangga pemeliharaan ternak sapi

potong sebanyak 8.858. Populasi ternak sapi potong tahun 2017 berjumlah

42.217 ekor. Pemotongan ternak sapi tahun 2017 sebanyak 4.032 ekor

(Kabupaten Donggala Dalam Angka, 2018). Produksi daging tahun 2014

sebesar 352.216 kg (Kabupaten Donggala Dalam Angka, 2015).

7

Umumya usaha sapi di wilayah penelitian adalah usaha sambilan dengan

skala pemeliharaan rata-rata 3-5 ekor dalam suatu keluarga. Hal ini seringkali

menyebabkan pendapatan yang dihasilkan petani pun menjadi kurang optimal.

Rendahnya skala kepemilikan sapi potong karena keterbatasan modal yang

dimiliki petani untuk berinvestasi di bidang peternakan.

Kecamatan Dampelas adalah salah satu kecamatan di Kabupaten

Donggala dengan jumlah rumah tangga pemelihara ternak sapi potong sebanyak

2133 kepala keluarga (Statitik Pertanian, 2013). Populasi sapi potong setiap

tahunnya mengalami peningkatan yaitu sejak tahun 2013-2017. Jumlah ternak

sapi potong tahun 2013 sebanyak 7.396 ekor (18,55%), di tahun 2014 meningkat

19,18% menjadi 7651 ekor, tahun 2015 meningkat 19,86% menjadi 7923 ekor,

tahun 2016 meningkat 21,05% menjadi 8393 ekor dan tahun 2017 meningkat

21,36% berjumlah 8522 ekor (Kecamatan Dampelas Dalam Angka, 2018) dan

sejak tahun 2014 telah melakukan program pencapaian swasembada

daging/kerbau.

Salah satu usaha pemerintah untuk mengatasi permodalan disektor

peternakan adalah memberikan bantuan sapi potong sistem bergulir (gaduhan)

dengan prosedur dan jaminan yang lebih sederhana. Berdasarkan latar belakang

maka tantangan kedepan adalah bagaimana memberdayakan peternak sapi

potong di Kabupaten Donggala melalui program bantuan sapi potong sistem

bergulir sehingga dapat meningkatkan produktivitas dan nilai tambah usaha

ternak sapi potong. Untuk menilai seberapa besar pemanfaatan usaha sapi

potong sistem bergulir maka perlu dilakukan suatu penelitian tentang optimalisasi

usaha sapi potong penerima bantuan sapi potong sistem bergulir di Kabupaten

Donggala Provinsi Sulawesi Tengah.

8

I.2. Perumusan Masalah

Kabupaten Donggala merupakan salah satu wilayah usaha peternakan

sapi potong dengan populasi 42.217 ekor tahun 2017. Ternak sapi potong

berpeluang untuk dikembangkan seiring dengan pertambahan penduduk dan

meningkatnya konsumsi protein hewani. Disamping untuk memenuhi kebutuhan

daging di Provinsi Sulawesi Tengah, pengembangan ternak sapi potong

berpeluang untuk memenuhi kebutuhan daging di Pulau Kalimantan.

Pengembangan ternak sapi potong di wilayah ini tidak semata-mata

sebagai sumber pendapatan tetapi juga berperan dalam penyerapan tenaga

kerja. Usaha sapi potong dihadapkan pada masalah keterbatasan modal. Rata-

rata kepemilkan ternak sapi potong berkisar 1 – 9 ekor dengan pemeliharaan

secara tradisional. Rendahnya tingkat pemilikan modal merupakan salah satu

kendala dalam usaha sapi potong . Salah satu upaya pemerintah Kabupaten

Donggala untuk mengatasi masalah permodalan yaitu dengan sistem

pembiayaan kredit program disektor pertanian adalah dengan memberikan

bantuan langsung (grant) dan bersifat bergulir, sistem ini menjadi pilihan menarik

bagi petani dalam rangka untuk meningkatkan skala usaha. Pada jenis bantuan

langsung (grant) dan bersifat bergulir petani dibantu modal secara penuh tanpa

ada beban resiko untuk mengembalikan hutang sehingga petani lebih tenang

dalam berusahatani, selain itu jika dikelola dengan baik maka ada potensi bagi

petani/kelompok tani untuk pembentukan modal sehingga bisa mandiri dan tidak

lagi memerlukan bantuan modal dimasa mendatang. Pada bantuan sapi potong

sistem bergulir pemerintah memberikan ternak sapi kepada kelompok peternak,

Peternak tidak mengembalikan dalam bentuk uang melainkan hewan ternak

yang akan digulirkan kepada peternak lainnya. Bantuan sapi potong dengan

sistem bergulir diharapkan mampu mempercepat peningkatan populasi dan

9

produksi ternak ruminansia besar melalui program swasembada sapi dengan

Upsus Siwab mulai tahun 2017.

Berdasarkan uraian diatas maka permasalahan dalam penelitian ini sebagai

berikut:

1. Bagaimana solusi optimal usaha sapi potong terhadap pendapatan, jumlah

kepemilikan ternak dan kontibusi usaha sapi potong di Kabupaten Donggala.

2. Bagaimana pengaruh analisis sensitivitas terhadap pendapatan usahatani

dan usaha sapi potong di Kabupaten Donggala.

1.3. Tujuan Penelitian :

Tujuan penelitian dapatkan dirumuskan sebagai berikut :

1. Menganalisis solusi optimal usaha sapi potong terdapap pendapatan jumlah

kepemilikan ternak dan kontibusi usaha sapi potong di Kabupaten Donggala.

2. Menganalisis pengaruh sensitivitas terhadap pendapatan usahatani dan usaha

ternak sapi potong di Kabupaten Donggala.

1.4. Kegunaan Penelitian

Kegunaan yang diperoleh dari penelitian ini adalah :

1. Sebagai masukan bagi penentu kebijakan program kredit sapi potong.

2. Sebagai referensi bagi peminat ilmu yang ingin mengkaji bidang peternakan

dan hubungannya dengan program kredit sapi potong.

3. Sebagai sumber informasi dan pengetahuan bagi peternak peserta perguliran

ternak sapi potong sehingga program dapat terlaksana dengan baik.

10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Penelitian Terdahulu

2.1.1. Penelitian Optimalisasi Usahatani

Hasil penelitian Marzuki (2005) tentang analisis perancangan optimasi

usaha pada petani peternak sapi perah rakyat KTT Sedyo Mulyo desa

Hargobrinangun Kecamatan Pakem Kabupaten Sleman, bahwa perbandingan

kondisi usaha ternak sapi perah dan usahatani tanaman salak pondoh sebelum

dan sesudah optimasi menunjukan adanya peningkatan penerimaan,

pendapatan dan biaya produksi. Kombinasi optimal penggunaan sumberdaya

dalam usaha ternak-tanaman ini dapat memberikan kontribusi secara positif. Hal

ini berarti usahatani salak pondoh tidak efisien untuk meningkatkan pendapatan

peternak. Beberapa faktor yang mempengaruhi tidak efektifnya usahatani

tanaman salak pondoh ini dijalankan antara lain: pengalaman bertanam yang

rendah, kepemilikan tanaman salak pondoh yang relatif sedikit, tatalaksana

pemeliharaan tanaman tidak dilakukan dengan sempurna, serta pola pikir petani

yang menganggap usahatani ini merupakan usaha sambilan yang tidak perlu

dikembangkan.

Penelitian yang dilakukan Khandari (2015) tentang optimalisasi integrasi

usahatani tanaman ternak di Desa Petir Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor

menunjukkan bahwa sumberdaya yang dimiliki petani memungkinkan untuk

melakukan usahatani tanaman dan tenak secara terintegrasi. Keterbatasan

sumberdaya yang dimiliki petani akan membatasi alokasi sumberdaya guna

memperoleh pendapatan yang optimal, penerapan integrasi usahatani tanaman-

ternak sangat tergantung terhadap pendapatan petani. Dilokasi petani hanya

memiliki lahan di bawah 0.5 hektar, sehingga pendapatan dari pertanian

11

cenderung tidak mampu memenuhi kebutuhan keluarga petani. Selain itu

terdapat beberapa jenis tanaman yang rutin ditanam, maka dibangun dua

skenario untuk mengakomodir kondisi tersebut, khususnya pada model integrasi.

Pada skenario pertama (Skenario 1), tanpa adanya keterlibatan padi dan

singkong dalam model integrasi, maka jenis tanaman yang diusahakan adalah

diverisifikasi antara bengkuang seluas 2 362 m2 dan kacang panjang seluas 98

m2, serta mengusahakan domba pada setiap musim sesuai kapasitas kandang

yang dimiliki. Penerapan Skenario 1 memperoleh pendapatan lebih tinggi

sebesar 10.81 persen dibandingkan model tanpa integrasi. Sedangkan skenario

kedua (Skenario 2) dengan keharusan ubi jalar ditanam pada musim pertama

dan tanpa melibatkan padi dan singkong, diperoleh bahwa jenis usaha yang

diusahakan adalah ubi jalar dan bengkuang dengan pola tanam ubi jalar-

bengkuang-bengkuang, serta mengusahakan domba pada setiap musim sesuai

kapasitas kandang yang dimiliki. Penerapan skenario kedua (S2) memperoleh

pendapatan lebih tinggi sebesar 8.04 persen dibandingkan model tanpa

integrasi.

Hasil penelitian Indrayani dan Hellyward (2015), bahwa total produksi

yang dicapai peternak untuk setiap satu ekor induk yang dipelihara rata-

rata sebesar 1,7 ekor anak sapi/3tahun/ sehingga pendapatan yang

diperoleh oleh peternak sapi di Kecamatan Koto Besar sebesar Rp.

4.154.792/ 3 tahun pemeliharaan. Produksi optimal yang bisa dicapai oleh

Peternak untuk setiap satu ekor induk yang dipelihara adalah sebesar

2,33 ekor anak sapi selama 3 tahun pemeliharaan, sehingga didapatkan

pendapatan maksimal yang dicapai pada produksi optimal yaitu sebesar

Rp. 8.412.202,-

12

2.1.2. Penelitian Usaha Ternak Sapi Potong

Yusdja dan Winarsoh (2009), bahwa Faktor penghambat utama bagi

pengembangan peternakan rakyat adalah ketersediaan hijauan makanan ternak

dan butiran. Indonesia memproduksi hijauan makanan ternak untuk ruminansia

secara berlimpah dan tersebar diseluruh wilayah, namun sebagian besar

terbuang. Pada sisi lain peternak membutuhkan tenaga kerja untuk mencari

hijauan makanan ternak. Peternak tidak mempunyai modal untuk membayar

tenaga upahan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan skala usaha

melebihi kemampuan ketersediaanya tenaga kerja membuat usaha tidak efisien.

Faktor penghambat kedua adalah teknologi bibit. Hampir semua jenis ternak

tidak mendapatkan sentuhan teknologi pembibitan yang intensif. Mutu ternak

semakin buruk karena ternak yang baik selalu terpilih untuk dipotong. Hambatan

lain bahwa peternak rakyat tidak mempunyai intensif nyata dalam mengadopsi

teknologi baru karena pemanfaatan teknologi baru selalu disertai dengan

peningkatan biaya dan perbaikan manajemen.

Beberapa faktor yang sangat mempengaruhi produksi usaha pemeliharaan

sapi potong yakni jenis bangsa sapi, umur, penyediaan makanan, baik hijauan

maupun konsentrat, penanggulangan penyakit, manajemen, dan penanganan

setelah produksi (pasca panen). Faktor-faktor tersebut sangat penting dan saling

mempengaruhi dalam memperoleh keuntungan, bangsa sapi yang dipelihara

biasanya bervariasi tergantung dari tersedianya ternak di daerah, sedangkan

umur sebaiknya yang masih muda dan bisa berproduksi. Penyakit sapi walaupun

bukan merupakan masalah yang sering dijumpai dalam usaha peternakan sapi

perlu diperhatikan dengan cermat, karena penyakit pada sapi dapat menurunkan

produksi bahkan dapat mengakibatkan kematian sehingga bisa menimbulkan

kerugian yang sangat besar dalam usaha ternak.

13

Hasil penelitian Sodiq dkk. (2017) menyatakan bahwa pada sistem

produksi usaha peternakan sapi potong sudah memanfaatkan sumber daya

pakan lokal dan sebagian besar memelihara bangsa-bangsa lokal (Sapi PO dan

SO) dengan menerapkan integrasi antara usaha peternakan dan pertanian yang

saling menguntungkan. Keterkaitan usaha peternakan sapi potong dengan

tanaman padi pada sistem tersebut adalah limbah tanaman padi (berupa jerami

padi) langsung digunakan untuk pakan sapi, sedangkan kotoran ternak

dikembalikan ke sawah sebagai pupuk tanaman padi.

2.1.3. Penelitian Kredit

Hasil penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya

jumlah kredit rumah tangga di Indonesia, diantaranya dilakukan oleh Murdi

(2004) tentang kredit program dan non program serta jenis kredit informal. Data

yang digunakan dikumpulkan dari hasil survey menggunakan kuesioner terhadap

lebih dari 400 sampel, terutama rumah tangga di daerah pedesaan Jambi.

Berdasarkan hasil penelitiannya menemukan bahwa jumlah kredit yang diterima

nasabah rumah tangga kredit program dipengaruhi oleh beberapa faktor penting

meliputi : tingkat suku bunga, besaran biaya transaksi, jangka waktu

pengembalian kredit nilai dan jenis anggunan, luas lahan yang digarap, luas

kepemilikan, jenis pekerjaan dan pengalaman mengambil kredit pada periode

sebelumnya. Sebaliknya pada kasus kredit informal, jumlah kredit yang diterima

rumah tangga dipengaruhi variabel suku bunga, jangka waktu pengembalian,

luas lahan yang digarap, jumlah kredit program dan non program yang diterima,

luas kepemilikan lahan, jenis pekerjaan dan pengalaman kredit pada periode

sebelumnya.

Hasil penelitian Wibowo dan Haryadi (2006) menunjukkan bahwa rata-

rata sikap peternak di kelompok ternak meragukan keberhasilan dari program

14

kredit sapi potong. Hal ini dikarenakan sebagian peternak merasa terbebani

dengan persyaratan kredit yang dirasa cukup berat apabila bantuan tersebut

diterima oleh peternak. Sebanyak 55% peternak bersikap raguragu terhadap

pernyataan bahwa program bantuan kredit sapi potong ini mudah dimengerti dan

dilaksanakan. Sebanyak 50% bersikap setuju, sebanyak 50% peternak bersikap

ragu-ragu terhadap pernyataan bahwa program bantuan kredit sapi potong ini

tidak bertentangan dengan adat dan kepercayaan/ agama. Walaupun program

bantuan kredit ini cukup mudah dimengerti dan dilaksanakan dan sebanyak 50%

peternak setuju bahwa bantuan kredit dari PT Telkom ini tidak bertentangan

dengan adat dan kepercayaan/agama di masyarakat, akan tetapi tetap saja

belum sesuai dengan keinginan para peternak. Hal ini dapat ditunjukkan bahwa

sebanyak 12,5% peternak bersikap setuju, 42,5% bersikap ragu-ragu, sebanyak

40% peternak bersikap tidak setuju dan sebanyak 5% peternak bersikap sangat

tidak setuju terhadap pernyataan tersebut. Sebanyak 77,5% bersikap ragu-ragu

terhadap pernyataan bahwa prosedur pemberian kredit sapi potong seperti ini

membutuhkan waktu yang lama dan berbelit-belit.

Hasil penelitian Suryadi (2008) analisis faktor-faktor yang mempengaruhi

kredit macet rumah tangga pada bank milik pemerintah, bahwa faktor-faktor yang

mempengaruhi ketidak mampuan rumah tangga debitur dalam pengembalian

kredit pada kelompok kurang dari Rp 50 juta adalah :

1. Faktor karakteristik individu ditunjukkan oleh variabel tingkat pendidikan

2. Karakteristik rumah tangga ditunjukkan oleh variabel rasio dependensi

3. Faktor bisnis ditunjukkan oleh variabel total pendapatan dan rasio angsuran.

4. Faktor skim kredit ditunjukkan oleh variabel biaya transaksi, tingkat bunga,

jangka waktu pengembalian dan nilai agunan.

Beberapa kesimpulan dari hasil penelitiannya sebelumnya antara lain :

15

studi mengenai faktor yang mempengaruhi perilaku pengembalian kredit oleh

rumah tangga dalam hubungannya dengan kegagalan kredit telah dilakukan

dibanyak negara dengan menggunakan pendekatan yang berbeda-beda,

demikian juga mengenai alat atau teknis analisis yang berbeda, mulai dari

analisis statistik deskriptif, covarian, analisis korelasi penekanan penelitian.

Secara umum dapat dikemukan bahwa faktor yang mempengaruhi kemampuan

pengembalian kredit oleh rumah tangga debitur dapat dibedakan atas dua bagian

besar yakni faktor ketidakmampuan dan ketidakmauan debitur, maka analisis

mengenai perilaku kegagalan kredit berhubungan dengan kedua faktor tersebut

(Suryadi, 2008).

Selama ini kredit program yang telah dilaksanakan oleh pemerintah

sebagian besar ditujukan untuk pembiayaan subsektor tanaman pangan. Nizar

(2004) melakukan penelitian di Sumatera Barat menggunakan pendekatan

ekonomi rumah tangga untuk menganalisis determinan perilaku permintaan

kredit usahatani. Hasil penelitian menunjukkan bahwa permintaan kredit nyata

dipengaruhi oleh suku bunga, nilai produksi usahatani dan biaya produksi.

Sementara pengembalian kredit usahatani (KUT) nyata dipengaruhi frekuensi

kontak petani dengan petugas lapangan, konsumsi, luas lahan, jarak antara

rumah petani dengan sumber kredit dan jenis bantuan kredit. Faktor lain yang

tidak nyata berpengaruh adalah pendidikan, jumlah anggota keluarga, nisbah

penerimaan dengan nilai kredit dan status penggarapan lahan. Pola kredit yang

dianalisis dibedakan menjadi pola umum dan pola khusus, yang semuanya

merupakan kredit program dalam bentuk uang tunai.

Adanya pengaruh positif dari variabel frekuensi kontak menunjukkan

bahwa program kredit erat kaitannya antara petani dengan petugas kredit,

ketua kelompok dan ketua Koperasi Unit Desa (KUD). Sanim (1998) mengkaji

sejauh mana peran lembaga yang terlibat dalam peningkatan efektivitas

16

penyaluran dan pengembalian Kredit Usaha Tani (KUT) pola khusus. Hasil

menunjukkan bahwa peran kelembagaan sangat mendukung dalam proses

pencairan dan penyaluran dan pengembalian kredit. Tingkat pengembalian kredit

lebih tinggi pada petani yang memperoleh pembinaan intensif dari petugas

lapangan. Disebutkan juga bahwa KUT pola khusus telah memberikan dampak

positif bagi petani dalam peningkatan dan pendapatan.

Hasil penelitian Karyanto dkk. (2008) menggunakan analisis fungsi

produksi yang diestimasi dengan model Cobb Douglass menunjukkan bahwa

pemanfaatan Kredit Usaha Tani (KUT) berpengaruh positif pada penggunaan

sarana produksi pada usahatani padi, produktivitas petani KUT lebih tinggi

dibandingkan petani non KUT, pendapatan petani KUT lebih besar dibandingkan

petani non KUT namun pengembalian dana KUT terjadi penunggakan karena

usaha tani terserang hama tikus. Implikasi untuk kebijakan hasil peneltian ini

adalah bahwa program pemberian dana KUT untuk petani tetap dilanjutkan dan

dikembangkan karena masih dibutuhkan petani yang memerlukan tambahan

modal untuk usaha tani dengan disertai pengelolaan dan pengawasan yang lebih

baik.

Pada penelitian mengenai pengaruh kredit terhadap tingkat produktivitas

pada rumah tangga di pedesaan India dilakukan oleh (Feder et all, 1990).

Pendekatan dilakukan dengan menggunakan alat analisis korelasi dan regresi

dengan data primer hasil survei dengan kuesioner. Penyebaran sampel dipilih

pada rumah tangga yang melakukan aktivitas pertanian (usahatani) terutama

pada komoditas padi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kredit yang

digunakan sebagai modal dalam proses produksi berpengaruh positif terhadap

tingkat produktivitas, jumlah produksi dan terhadap pendapatan rumah tangga.

Dengan demikian maka kredit secara tidak langsung berpengaruh terhadap

pendapatan rumah tangga. Kesimpulan lain dalam hubungannya dengan

17

kemungkinan perluasan kredit bahwa ternyata hanya sebagian kecil

rumahtangga yang menghadapi kendala ketidak cukupan kredit dalam

pengelolaan usaha.

Hasil penelitian Ashari (2009) tentang optimalisasi kebijakan kredit program

sektor pertanian di Indonesia, bahwa kredit program ataupun bantuan modal

kepetani/pelaku usaha pertanian dianggap sebagai instrumen kebijakan yang

strategis, sebagai bagian dari sebuah kebijakan, kredit program masih banyak

kekurangan. Namun demikian dalam situasi dan kondisi tertentu, bantuan

langsung masih diperlukan seperti di daerah yang baru dilanda bencana atau

wilayah yang sangat marjinal. Kelemahan dari jenis program bersubsidi antara

lain : 1) masih relatif sulit diakses oleh petani dan peternak karena syarat

pengajuan yang cukup ketat (mirip skim komersial, namun sedikit lebih longgar),

2) waktu yang dibutuhkan dari mulai pengajuan kredit hingga realisasi dinilai

masih relatif lama, 3) persyaratan agunan yang mengharuskan tanah bersertifikat

masih sulit dipenuhi, serta 4) dalam kasus tertentu keharusan berkelompok

dengan skala usaha minimal tertentu juga menjadi problema tersendiri terutama

bagi petani dan peternak kecil. Keharusan berkelompok juga menyisakan

persoalan tersendiri ketika harus menentukan ketua kelompok (pengurus) yang

benar-benar memiliki kompetensi, jujur dan mau bekerja keras.

Hasil penelitian Mahendri (2009) tentang analisis efektivitas kredit ternak

domba dan dampaknya terhadap pendapatan rumahtangga peternak petani

penerima kredit ternak domba di kabupaten Bogor menyimpulkan bahwa adanya

kredit domba kurang berdampak kepada peningkatan pendapatan rumahtangga

peternak karena target petani kredit yang tidak tepat dan innovation institution

mengalami kegagalan akibat tahapan-tahapan kredit yang tidak sesuai,

kemampuan petani untuk mengembalikan kredit domba dipengaruhi oleh faktor

produksi, waktu pengembalian kredit dan frekuensi mengikuti kegiatan dalam

18

kelompok sebagai sarana bertukar informasi, kinerja program kredit domba yang

dilaksanakan pemerintah Kabupaten Bogor tergolong kurang efektif mencapai

tujuannya sehingga tidak berdampak terhadap peningkatan pendapatan

rumahtangga.

2.1.4. Penelitian Gaduhan Sapi Potong Sistem Bergulir

Penelitian evaluasi program pengembangan sapi potong gaduhan melalui

kelompok lembaga mandiri yang mengakar di masyarakat (LM3) di kabupaten

Manokwari Papua Barat telah dilakukan oleh (Sonbait dkk., 2011), secara umum

program pengembangan sapi potong gaduhan melalui kelompok lembaga

mandiri yang mengakar di masyarakat (LM3) belum mencapai target yang

diinginkan. Hal ini dibuktikan dengan masih rendahnya peningkatan populasi

ternak sapi potong gaduhan, penyeleksian calon penerima belum sesuai

persyaratan, adanya pelanggaran tanpa saksi yang tegas, kurang efektifnya

petugas lapangan serta masih rendahnya peternak melunasi tepat pada waktu.

Rata-rata peningkatan pendapatan pertahun penerima gaduhan adalah Rp

5.212.500. Kenaikan populasi sebesar 27,05 % setahun. Hasil analisis regresi

menunjukkan bahwa calving interval dan angka mortalitas berpengaruh positif

terhadap waktu pengembalian gaduhan sapi potong.

Berdasarkan hasil penelitian Tribudi dan Ristyawan (2017) tentang analisis

sapi potong pola gaduhan bahwa penerimaan petani dari usaha ternak sapi

usaha ternak sapi potong pola gaduhan di Desa Slorok, Kecamatan Kromengan,

Kabupaten Malang rata-rata sebesar Rp 3.259.853/ekor/tahun, usaha

pemeliharaan sistem gaduhan disarankan agar para peternak menambah

populasi hewan ternaknya sehingga keuntungan yang diterima akan semakin

besar.

19

Priyono dan Priyanto (2018) menyatakan bahwa pola kemitraan di NTT

adalah pola inti plasma melalui mekanisme sistem gaduhan.Program kemitraan

merupakan upaya pengembangan sapi Bali melalui kerjasama vertikal pihak inti

(pemilik modal) dan plasma (peternak sapi Bali). Pola ini dilandasi oleh kerja

sama antara kedua belah pihak yaitu pihak pemilik modal dan pihak peternak

sapi Bali untuk berbagi resiko, biaya dan manfaat. Pola kemitraan ini bertujuan

untuk memberikan kontribusi dan dampak berupa manfaat dan keuntungan bagi

pemilik modal dan peternak sapi bali.

Afriani dkk. (2018), bahwa program penyebaran dan pengembangan ternak

sapi di kawasan sentra peternakan sapi Kabupaten Merangin belum berjalan

secara optimal terbukti cukup banyak tingkat perguliran ternak sapi yang masuk

kategori lancar, namun sisi lain cukup banyak juga kategori kurang dan tidak

lancar. Adapun tingkat kelancaran mengulirkan ternak sapi pada program

penyebaran dan pengembangan ternak sapi di kawasan sentra peternakan sapi

Kabupaten Merangin dipengaruhi oleh karakter peternak.

Hasil penelitian Ishak dkk. (2017) menunjukkan bahwa program

penggaduhan sapi potong melalui dana bantuan sosial dari pemerintah mampu

meningkatkan jumlah sapi milik petani yang sebelumnya belum memiliki sapi

menjadi memiliki sapi dengan rataan 2-4 ekor per KK. Peningkatan jumlah

kepemilikan sapi petani menurunkan minat petani menggaduh sapi kelompok,

namun melalui pengembangan kelembagaan kelompok tani menjadi koperasi

ternak. Jumlah populasi sapi milik kelompok tetap terus berkembang setelah

program bantuan sosial selesai. Sistem penggaduhan ternak berlangsung secara

berkelanjutan dengan adanya insentif dari koperasi ternak yang memotivasi

pengurus dan petani anggota koperasi ternak untuk bersama-sama menjaga

keberlanjutan pola penggaduhan ternak sapi pada level kelompok tani.

20

Berdasarkan hasil penelitian Setiani dan Prasetyo (2007), pola

pengembangan usaha pembibitan dilakukan melalui bantuan pinjaman langsung

masyarakat (BPLM) dan integrasi tanaman-ternak menunjukkan bahwa pola

pengembangan pembibitan sapi yang berkembang di kelompok tani Bumi Mulyo

adalah: jangka waktu pelunasan 4 tahun, mengembalikan pinjaman pokok

(ternak bibit+konsentrat) tanpa bunga. jika pedet yang dihasilkan betina, pada

umur 15 sampai 18 bulan digulirkan kepada anggota lain, namun jika yang

dihasilkan pedet jantan, hasil penjualan dibagi 50% : 50%, masing-masing untuk

penggaduh dan kelompok, sedangkan di kelompok tani Becik Asih jangka waktu

pelunasan 3 tahun, peternak berhak atas ternak pokok dan 70% hasil penjualan

pedet yang dihasilkan, berkewajiban mengembalikan pinjaman pokok untuk

pembelian ternak bibit dengan jumlah sesuai dengan akad kredit. Sumberdaya

alam di Desa Karangjambe didominasi tanah alluvial dan grumosol yang lahan

pertanian utamanya berupa lahan sawah dengan pola tanam padi-padi-palawija,

sedangkan di Desa Kalipoh didominasi tanah alluvial, lahan kering dengan pola

tanam jagung-jagung+ketela pohon.

Bank Indonesia (2013), bahwa modal yang selama ini dapat diakses oleh

peternak rakyat adalah dari pemilik sapi dengan sistem bagi hasil (Al-

mudharabah), baik bagi hasil anak (pada sapi pengembangbiakan) atau bagi

hasil keuntungan (pada penggemukan sapi). Sistem bagi hasil pada peternakan

sapi sudah berlangsung sejak lama dengan berbagai istilah adat setempat yaitu

di Jawa Tengah dikenal dengan istilah “maparo”, di Jawa Barat disebut “gaduh”

di Sumbawa disebut “ngadas” dan di Sumatra Barat disebut “diperduakan”.,

Priangan disebut “nengah”, di Sulawesi selatan disebut “teseng”, di Minahasa

disebut “toyo”, di Bali disebut Kadasan.

21

2.2. Landasan Teori

2.2.1. Optimalisasi dan Kredit

Optimalisasi berasal dari kata optimal berarti yang terbaik.

Optimalisasi adalah proses pencapaian suatu pekerjaan dengan hasil dan

keuntungan yang besar tanpa harus mengurangi mutu dan kualitas dari

pekerjaan.

Optimalisasi merupakan upaya penemuan nilai maksimal atau minimal dari

beberapa fungsi matematis dengan jalan menetapkan harga bagi peubah

yang dapat dikendalikan hingga batas tertentu. Tujuan mengoptimalkan alokasi

sumberdaya disamping maksimisasi keuntungan atau minimalisasi biaya, juga

tercapainya penggunaan sumberdaya atau faktor produksi secara optimal, yang

berarti tercapainya penggunaan sumberdaya secara efisien.

Program sapi potong sistem bergulir dapat dibuat skenario atas dasar

tujuan optimalisasi yang ingin dicapai yaitu lima tujuan/sasaran yang ingin

dicapai dan empat aktifitas kendala tujuan yang menjadi pembatas yang masing-

masing menggambarkan beberapa alternatif aktivitas dan kendala sumberdaya

pada tingkat petani. Sembilan kendala tujuan/sasaran yang ingin dicapai dalam

usaha sapi potong disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Kendala tujuan dalam pencapaian optimal usaha ternak sapi potong

No Uraian

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

Pendapatan petani

Jumlah ternak

Pertambahan berat badan harian

Pemanfaatan limbah ternak

Pemanfaatan limban pertanian

Luas lahan

Modal kerja

Tenaga kerja keluarga

Kredit sapi potong sistem bergulir

22

Skenario tersebut akan memudahkan petani dalam menentukan langkah

kebijaksanaan yang menguntungkan untuk dilaksanakan sehingga kondisi

optimal usaha sapi potong penerima kredit sistem bergulir dapat tercapai.

Kredit diartikan sebagai kesanggupan individu untuk memperoleh barang,

jasa atau uang, dengan perjanjian akan membayar kembali dikemudian hari

(Nizar, 2004). Secara umum, pengertian kredit adalah kegiatan pinjam meminjam

antara kreditur dengan debitur yang dilandasi oleh kejujuran dan kepercayaan

yang berlangsung selama kurun waktu tertentu. Memperoleh kredit tidak semua

orang memiliki kesanggupan, termasuk petani. Kenyataannya, sebagian besar

petani tidak sanggup memiliki aset berharga sebagai jaminan bagi pengembalian

kreditnya (Mahendri, 2009).

Pentingnya peranan kredit disebabkan oleh kenyataan bahwa secara relatif

modal merupakan faktor produksi non alami (buatan manusia) yang

persediaannya masih sangat terbatas. Cara yang paling mudah dan tepat untuk

memajukan pertanian dan meningkatkan produksi adalah dengan memperbesar

penggunaan modal. Prinsip inilah yang menjiwai usaha intensifikasi pertanian

dengan penggunaan bibit unggul baru, obat pemberantas hama dan penyakit,

penggunaan pupuk yang lebih banyak serta investasi dibidang pengairan

sehingga menyebabkan meningkatnya output.

Pemberian kredit yang dilakukan baik oleh lembaga formal maupun

lembaga non formal memiliki tujuan yang dapat dilihat dari dua sisi, yaitu dari

pemberi kredit dan penerima kredit. Tujuan pemberi kredit adalah untuk

memperoleh keuntungan yang terwujud dalam bentuk bunga. Tujuan penerima

kredit adalah untuk memperluas usaha, melaksanakan rehabilitasi usaha, untuk

menciptakan usaha baru, menciptakan efisiensi usaha yang lebih tinggi serta

dapat digunakan untuk kegiatan sosial dan kegiatan konsumen.

Jenis kredit berdasarkan penggunaan Kasmir (2004) antara lain :

23

1. Kredit Konsumtif, yaitu kredit yang digunakan oleh nasabah untuk memenuhi

kebutuhan pribadinya.

2. Kredit produktif, yaitu kredit yang digunakan oleh nasabah untuk

meningkatkan aktivitas perusahaan (menghasilkan sesuatu). Kredit ini dibagi

dua, yaitu : Kredit Investasi yaitu kredit yang digunakan untuk membeli

barang-barang modal dan Kredit Modal Kerja yaitu kredit yang digunakan

untuk membeli bahan baku.

Jenis Kredit menurut keperluannya, antara lain :

1. Kredit Produksi/Eksploitasi, kredit ini diperlukan perusahaan untuk

meningkatkan produksi baik peningkatan kuantutatif, yaitu jumlah hasil

produksi mupun peningkatan kualitatif, yaitu peningkatan kualitas / mutu hasil

produksi.

2. Kredit perdagangan, kredit ini dipergunakan untuk keperluan perdagangan

pada umumnya yang berarti peningkatan utility of place dari suatu barang.

Kredit perdagangan ini dapat terbagi dua, yaitu : kredit perdagangan dalam

negeri, dan kredit perdagangan luar negeri atau lebih dikenal dengan kredit

ekspor dan impor.

3. Kredit Investasi, kredit ini diberikan oleh bank kepada para pengusaha untuk

keperluan investasi. Ciri dari kredit investasi adalah : a) diperlukan untuk

penanaman modal, b) mempunyai perencanaan matang dan terarah, c) waktu

penyelesaian kredit berjangka menengah dan panjang.

Macam kredit menurut jangka waktu, antara lain : a) kredit jangka pendek,

yaitu kredit yang berjangka waktu selama-lamanya 1 tahun. Jadi pemakaian

kredit itu tidak melebihi 1 tahun, b) kredit jangka Menengah, yaitu kredit yang

berjangka waktu antara 1 sampai dengan 3 tahun, c) kredit jangka panjang,

adalah kredit yang berjangka waktu melebihi 3 tahun.

24

Dari sektor usaha pemberian fasilitas kredit memiliki karakteristik yang

berbeda sebagai berikut: 1) kredit pertanian, merupakan kredit yang dibiayai

untuk sektor pertanian rakyat/perkebunan dapat berupa jangka pendek atau

jangka panjang, 2) kredit peternakan, kredit diberikan untuk jangka pendek

peternakan ayam dan untuk jangka panjang pada peternakan sapi, kambing,

3) kredit industri, kredit untuk biaya industri pengolahan, industri kecil, industri

menengah, industri besar, 4) kredit pertambangan, kredit yang dibiayai untuk

jangka panjang, 5) kredit pendidikan, kredit yang diberikan untuk membangun

sarana dan prasarana pendidikan.

2.2.2. Pasar Kredit

Konsep Pasar kredit adalah pasar yang sangat dinamis, dimana

didalamnya terdapat dua kekuatan yang saling berinteraksi yaitu penawaran dan

permintaan akan kredit. Interaksi penawaran dan permintaan tersebut tentunya

memerlukan waktu, hal tersebut sangat terkait dengan keberadaan informasi

diantara penawaran dan permintaan . Bila informasi yang tersedia bagi para

pelaku pasar terjadi tidak sempurna (asimetris) maka proses penyesuaian akan

sangat lamban dan dapat terjadi ketidak keseimbangan, ataupun keseimbangan

yang terjadi diikuti dengan penjatahan kuantitas kredit (credit rationing

equilibrium). Namun jika informasi adalah sempurna, proses penyesuaian akan

berjalan cepat menuju keseimbangan.

Nuryantono (2005) menyatakan bahwa teori permintaan kredit berbeda

dengan teori permintaan barang dalam pasar, umumnya. pasar barang untuk

memenuhi permintaan dan penawaran barang, harga barang akan melakukan

penyesuaian. Permintaan barang tertentu meningkat maka harga barang

tersebut akan naik dan jumlah persediaan barang akan meningkat. Dalam pasar

kredit, jika terjadi kelebihan permintaan kredit maka terdapat keterbatasan untuk

25

memenuhi peningkatan permintaan tersebut. Mengikuti aturan umum yang

berlaku dalam pasar kredit, jika permintaan kredit melebihi persediaannya maka

akan diikuti dengan peningkatan jumlah peminjaman dan tingkat suku bunga

yang dikenakan tetap. Faktor resiko merupakan salah satu faktor yang

membedakan permintaan kredit dan permintaan barang, dimana dalam

permintaan kredit resiko yang dihadapi adalah pengembalian kredit dapat

menyebabkan kredit macet sehingga untuk menghindari resiko tersebut

diperlukan jaminan sebagai alat pengaman bila penerima kredit tidak dapat

melunasi kreditnya.

Hasil penelitian (Sodiq dkk., 2017), bahwa akses peternak kepada

permodalan selama ini masih menjadi salah satu kendala untuk meningkatkan

usaha peternak, sehingga secara umum mempengaruhi produktivitas nasional.

Lemahnya struktur modal peternak diakibatkan tidak adanya aset yang dapat

dijadikan agunan, untuk itu revitalisasi pembiayaan perlu dilakukan melalui kerja

sama dengan berbagai pihak, meliputi: (a) pemerintah pusat dan daerah melalui

kementerian, departemen/direktorat maupun dinas teknis terkait (b) lembaga

perbankan, (c) lembaga perguruan tinggi dan institusi penelitian, dan (d) lembaga

asuransi, serta (e) lembaga kemasyarakatan.

Peningkatan fungsi produksi akan meningkatkan penerimaan total. Namun

peningkatan penerimaan total belum tentu peningkatan pendapatan yang

diperoleh, hal ini disebabkan adanya biaya yang dikeluarkan sehubungan

dengan adanya kredit seperti cicilan dan biaya lainnya.

Adanya kredit dalam usaha sapi potong sebagai tambahan modal dalam

proses produksi akan bergeraknya fungsi produksi keatas yaitu dari t1 menjadi

t2 seperti pada Gambar 1.

26

(Q/L)

q2 p2

q1 p1 t2

t1

k1 k2 (K/L)

Gambar 1. Pengaruh penambahan modal pada fungsi produksi

Penelitian sistem produksi pternakan sapi potong d pedesaan dan strategi

pengembangan oleh Sodiq dkk. (2017) menyatakan bahwa untuk meningkatkan

akses pembiayaan kepada perbankan diperlukan sinergi berbagai pihak

(pemerintah, akademisi, pebisnis, perbankan dan kelompok masyarakat) serta

penguatan kelembagaan kelompok tani ternak sapi potong.

2.2.3. Konsep Pengembalian Kredit

Pengembalian kredit sangat terkait dengan pendapatan dan tingkat bunga.

Pendapatan merupakan faktor utama pangkal perilaku petani termasuk dalam

memperoleh kredit, penggunaan kredit dan pengembaliannya. Pendapatan akan

mempengaruhi perilaku ekonomi dalam dua aspek yakni keputusan konsumsi

dan menabung. Keseimbangan keduanya menentukan perlu tidaknya

memperoieh kredit. Pendapatan dapat berupa gaji, upah, sewa dan bunga.

Suryadi (2008) mengemukakan bahwa pendapatan dapat dihitung dari nilai

transaksi tidak tunai (non-cash) dan juga perubahan nilai aset yang

diperhitungkan. Pendapatan kotor usaha merupakan nilai produksi total jangka

waktu tertentu baik dijual maupun untuk keperluan konsumsi, membayar kredit

maupun dalam bentuk tabungan.

27

Pemberian kredit untuk meningkatkan pendapatan oleh bank memiliki

resiko kemacetan walaupun telah dilakukan analisis secara saksama . Faktor-

faktor yang menyebabkan terjadinya kemacetan diantaranya disebabkan oleh

kesalahan penggunaan kredit, manajemen yang buruk dan kondisi

perekonomian. Rumah tangga memerlukan suntikan kredit dari perbankan

disebabkan adanya kesenjangan (gap) antara pendapatan dan pengeluaran

dimana total pengeluaran jauh lebih besar dari pada total pendapatan. Suntikan

kredit dalam jangka pendek dapat dianggap sebagai bagian pendapatan, untuk

memberi kemampuan pada rumahtangga untuk memenuhi kebutuhan, baik

kebutuhan konsumsi maupun pengeluaran.

Kredit yang dikucurkan menggambarkan bahwa tingkat bunga sangat

berperan dalam kelancaran dalam pengembalian kredit dimana semakin tinggi

tingkat bunga maka semakin berat beban pengembalian kredit. Semakin rendah

tingkat bunga yang ditetapkan pihak perbankan maka semakin ringan beban

pengembalian yang harus diselesaikan. Tingkat bunga merupakan biaya kredit

dan pengembalian akan diperoleh karena meminjamkan dana ke pasar

keuangan maka tingkat suku bunga merupakan salah satu faktor yang harus

diperhatikan oleh debitur.

Sukirno (1998) menyatakan bahwa analisis mengenai tingkat bunga selalu

menganggap bahwa dalam perekonomian terdapat hanya satu tingkat bunga dan

kenyataannya terdapat beberapa tingkat bunga. Tingkat bunga pinjaman

pemerintah berbeda dengan tingkat bunga yang dibayar konsumen. Perbedaan

tersebut disebabkan beberapa faktor : 1) Perbedaan resiko. Pinjaman

pemerintah membayar tingkat suku bunga yang lebih rendah dari tingkat suku

bunga swasta karena resiko dari meminjamkan kepada pemerintah adalah

sangat kecil dibanding swasta. Kepada usaha yang telah lama berkembang atau

kepada usaha yang tidak banyak resikonya bank bersedia mengenakan tingkat

28

bunga yang lebih rendah sebaliknya pada usaha yang sangat tinggi resikonya

bank akan mengenakan tingkat bunga yang tinggi, 2) Jangka waktu pinjaman.

Semakin lama sejumlah modal dipinjamkan semakin besar tingkat bunga yang

harus dibayar. Salah satu sebab dari keadaan ini adalah karena resiko yang

ditanggung peminjam akan menjadi semakin besar apabila jangka waktu

peminjaman bertambah panjang, 3) Biaya administrasi pinjaman. Jumlah dana

yang dipinjam sangat berbeda, sedangkan biaya administrasi untuk memproses

tidak banyak berbeda.

2.2.4. Modal Kerja

Modal kerja adalah biaya variabel yang digunakan dalam usaha sapi

potong untuk setiap periode dalam proses produksi. Komponen modal kerja

meliputi biaya-biaya untuk keperluan operasional proses produksi yang terdiri

dari : pengadaan pakan hijauan, pengadaan konsentrat, obat-obatan dan

pengawasan kesehatan, tenaga kerja, pengadaan air, pengganti alas kandang,

manajemen, sewa lahan kering dan biaya lain-lain (Bank Indonesia, 2010).

Biaya pengadaan pakan hijauan. Pada dasarnya bisa dibedakan macam

pakan tersebut sebagai berikut : pakan khusus hijauan limbah, pakan berupa

hijauan hasil penanaman (rumput gajah, kinggras dan lainnya), pakan hijauan

yang telah tersedia pada lahan peternak (rumput, jerami padi dan lain-lain).

Biaya pengadaan konsentrat. Konsentrat yang diberikan berasal dari pihak

perusahaan inti .Masing-masing inti menyiapkan konsentrat berdasarkan

komposisi yang dibuat oleh ahlinya.

Biaya obat-obatan dan pengawasan kesehatan. Untuk menjaga agar

ternak penggemukkan senantiasa dalam keadaan sehat. Pihak inti memberikan

bantuan tenaga dokter hewan untuk secara rutin mengawasi dan bertanggung

jawab terhadap kesehatan ternak. Biaya obat untuk perawatan kesehatan karena

29

macam dan penggunaannya yang tidak pasti, maka biaya persediaan obat

disatukan dan mencakup pula biaya pengawasan yang jumlahnya untuk untuk

masing-masing ekor ternak selama masa penggemukan.

Biaya transportasi. Biaya pengangkutan sapi bakalan dari lokasi inti sampai

kelokasi kandang plasma dan pengangkutan sapi hasil penggemukan dari lokasi

kandang kelokasi inti, menjadi beban peternak plasma kecuali apabila di rancang

lain dalam proyek kemitraan yang bersangkutan. Biaya transpor untuk semua

peternak plasma agar diperhitungkan sama

Biaya tenaga kerja. Untuk tenaga kerja diperhitungkan atas dasar

penggemukan 24 ekor/HOK. Untuk jumlah ekor sapi yang lebih kecil dari itu

diperhitungkan besar bagian HOK yang bersangkutan. Artinya apabila dalam 1

paket penggemukan per peternak menggunakan 4 ekor sapi, besarnya HOK

setiap hari diperhitungkan menjadi 4/24 HOK. Biaya ini dengan memperhatikan

rata-rata persentase kenaikan pertahun selama 5 tahun berakhir, dipergunakan

untuk menghitung besarnya biaya tenaga selama masa sampai kredit lunas.

Biaya pengadaan air. Karena air harus tersedia secara cukup selama masa

penggemukan, sebaiknya hanya peternak yang memiliki sumber air melimpah

dapat diikut sertakan didalam proyek usaha penggemukan sapi potong.

Sehingga dalam hal ini air bukan menjadi hal yang perlu diperhitungkan biaya

pengadaannya. Namun demikian apabila keadaanya terpaksa biaya pengadaan

air bisa ikut diperhitungkan didalam analisis finansial untuk mempelajari

kelayakan. Biaya ini diperhitungkan sampai Rp. 10/m3. Sebaiknya hanya

peternak yang dilokasinya tersedia cukup air bisa ikut serta dalam usaha

penggemukan sapi potong.

Biaya alas kandang. Tergantung pada pola pemeliharaan sapi yang

dirancang oleh pihak inti sebagai alas kandang diatas lantai dasar bila ditaburkan

serbuk gergaji untuk selama masa penggemukan. Alas ini digantikan setiap

30

bulan. Cara lain kandang bisa dalam keadaan tanpa alas dan lantai dasar setiap

waktu tertentu. Apabila kandang dirancang menggunakan alas kandang harus

diganti setiap habis panen, maka biaya pengadaan bahan alas kandang ini

diperhitungkan mencapai Rp.3.000/ekor/periode.

Biaya manajemen dan pembinaan. Untuk keperluan kegiatan pengelolaan

dan pembinaan proyek kemitraan terpadu ini, banyak diperlukan biaya yang

sebagian merupakan bantuan pihak perusahaan inti. Namun demikian ada

kegiatan tertentu terutama penyelenggaraan latihan-latihan di dalam rangka

pembinaan plasma dan koperasi yang masih harus diadakan dan seharusnya

pihk peternak plasma ikut membiayainya. Untuk ini diperhitungkan 5 % dari

biaya operasional. Biaya untuk ini juga bisa diambil dari dana candangan karena

penggunaannya yang masih belum pasti, mengingat pembinaan diharapkan

merupakan bantuan dari pihak inti.

Sewa lahan kandang. Apabila lahan yang dipergunakan harus berada

diluar lahan kepemilikan petani, biaya sewa lahan akan dibebankan kepada

peternak plasma dari dana yang diperhitungkan sebagai cadangan. Sebaiknya

hanya peternak yang memiliki lahan untuk keperluan kandang yang dapat ikut

serta dalam usaha penggemukan sapi potong.

Biaya lain-lain. Biaya-biaya lain yang merupakan tambahan bagi

penggunaan kredit perbankan, termasuk biaya notaris dan asuransi (Perum PKK)

menjadi beban peternak plasma yang jumlahnya di perhitungkan Rp.

70.000/plasma yang ditambah dengan Rp. 175/ekor/hari untuk keperluan yang

pembiayaannya belum pasti.

2.2.5 . Linear Goal Programming (LGP)

Menurut Mulyono (1991) bahwa Istilah-istilah dan lambang-lambang

optimalisasi yang digunakan. Berikut ini adalah definisi dari beberapa istilah dan

31

lambang yang biasa digunakan dalam goal programming. Goal programming

kelebihan penggunanya (nilai sisi kanan).

Goal adalah keinginan untuk meminimumkan angka penyimpangan dari suatu

nilai RHS pada suatu goal constraint tertentu (tujuan).

Goal Constraint merupakan sinonim dari istilah goal equation, yaitu suatu tujuan

yang diekspresikan dalam persamaan matematik yang memasukkan variabel

simpangan (kendala tujuan).

Preemtive priority factor merupakan suatu sistem urutan yang dilambangkan

dengan Pk di mana k = 1,2.....k dan k menunjukkan banyaknya tujuan dan model

yang memungkinkan tujuan-tujuan disusun secara ordinal dalam model linear

goal programming. Sistem urutan ini menempatkan tujuan-tujuan dalam susunan

dengan hubungan sebagai berikut:

P1>P2>>>Pk

Keterangan : P1 merupakan tujuan yang paling penting

P2 merupakan tujuan yang kurang penting dan seterusnya

Deviational variable adalah variabel-variabel yang menunjukkan

kemungkinan penyimpangan negatif dari suatu nilai RHS kendala tujuan

(dalam model linear goal programming dilambangkan dengan di, dimana

1,2......m dan m adalah banyaknya kendala tujuan dalam model) atau

penyimpangan positif dari suatu nilai.

RHS (dilambangkan dengan di+ variabel-variabel ini sama dengan slack

variable dalam linear goal programming (variabel simpangan).

Differential weight adalah timbangan matematika yang diekspresikan dengan

angka). kardinal (dilambangkan dengan wki di mana k = 1,2......k ; i = 1,2.....m

dan digunakan untuk membedakan variabel simpangan i di dalam suatu tingkat

prioritas k (bobot).

32

Unsur- unsur Linear Goal Programming (LGP). Setiap model LGP terdiri

dari tiga komponen, yakni: sebuah fungsi tujuan, kendala-kendala tujuan dan

kendala non negatif (Mulyono. 1991).

m

Minimumkan Z = Σ di- + di

+ ...................................... 2.1

i=1

m

Minimumkan Z = Σ Pk ( di- + di

+ ) untuk k = 1,2......K ..... 2.2

i=1

m

Minimumkan Z = Σ wkiPk ( di- + di

+ ) untuk k = 1,2......K ..... 2.3

i=1

Pada Linear Goal Programming (LGP), fungsi tujuan yang pertama

digunakan jika variabel simpangan dalam suatu masalah tidak dibedakan

menurut prioritas atau bobot. Fungsi tujuan ke dua digunakan dalam suatu

masalah di mana urutan tujuan diperlukan, tetapi variabel simpangan di dalam

setiap tingkat prioritas memiliki kepentingan yang sama. Dalam fungsi tujuan ke

tiga, tujuan-tujuan diurutkan dan variabel simpangan pada setiap tingkat prioritas

dibedakan dengan menggunakan bobot wki. Jadi, fungsi tujuan yang digunakan

akan tergantung pada situasi masalahnya. .

Kendala tujuan dalam Linear Goal Progrmming (LGP), ada enam jenis

kendala tujuan yang berlainan. Maksud setiap jenis kendala itu ditentukan oleh

hubungannya dengan fungsi tujuan. Pada Tabel 2 disajikan ke enam jenis

kendala itu. Terlihat bahwa setiap jenis kendala tujuan harus punya satu atau

dua variabel simpangan yang ditempatkan pada fungsi tujuan. Adanya kendala-

kendala yang tidak memiliki variabel simpangan. sama seperti kendala-kendala

persamaan linear. Persamaan pertama pada Tabel 2 maknanya sama dengan

kendala pertidaksamaan ≤ dalam masalah program linear maksimasi.

Persamaan ke dua maknanya sama dengan kendala pertidaksamaan ≥ pada

masalah program linear minimasi. Persamaan ke tiga, ke empat dan ke lima

33

semuanya memperbolehkan penyimpangan dua arah, tetapi persamaan ke lima

mencari penggunaan sumber daya yang diinginkan. Ini sama dengan kendala

persamaan dalam linear programming, tetapi tidak selalu pada solusi, karena

dimungkinkan adanya penyimpangan negatif dan positif. Jika kendala

persamaan di anggap perlu dalam perumusan model linear goal programming,

maka dapat dimasukkan dengan menempatkan ke tiga dan ke empat

memperbolehkan adanya penyimpangan positif dan negatif RHSnya. Dalam

kendala linear programming tak ada pembanding untuk persamaan ke tiga dan

ke empat.

Tabel 2. Jenis-jenis kendala tujuan

Kendala Tujuan

Variabel Simpangan

Dalam Fungsi Tujuan

Kemungkinan Simpangan

Penggunaan Nilai RHS yang

Diinginkan

aij xj + di

- = bi

di

-

Negatif

= bi

aijxj – di

- = bi

di

+

Positif

= bi

aijxj + di

- - di

+ = bi

di

-

Negatif dan positif

bi atau lebih

aijxj + di

- - di

+ = bi

di

-

Negatif dan positif

bi atau kurang

aijxj + di

- - di

+ = bi

di

- dan di

+

Negatif dan positif

= bi

aijxj – di

- = bi

di

+ (artf)

Tidak ada

Pas = bi

Kendala Non – Negatif. Variabel-variabel model linear goal programming

biasanya bernilai lebih besar atau sama dengan nol. Semua model linear goal

programming terdiri dari variabel simpangan dan variabel keputusan, sehingga

pernyataan non negatif dilambangkan sebagai : xj , di-, di

+ ≥ 0.

Kendala Struktural. Di samping ke tiga komponen yang telah disebutkan

34

itu, dalam model linear goal programming kadang-kadang terdapat

komponen yang lain, yaitu, kendala struktural artinya kendala-kendala

lingkungan yang tidak berhubungan langsung dengan tujuan-tujuan masalah

yang dipelajari. Variabel simpangan tidak dimasukkan dalam kendala ini, karena

itu kendala ini tidak disertakan fungsi tujuan.

Charnes dan Cooper (1961) yang mengembangkan goal programming

sebagai pendekatan untuk menyelesaikan masalah yang infeasibility (tidak layak)

pada program linier yang disebabkan oleh tujuan yang bertentangan. Ijiri (1965)

kemudian melanjutkan dan melengkapinya sehingga dapat dipakai secara

operasional. Lee (1972) mengkontribusikan menjadi ke tingkat yang lebih baik

cara kerjanya, prestasi dari goal programming, pada bagian P1 lebih besar dari

bagian prioritas merangking yang lebih rendah P2. Ignizio (1976) membentuk dan

mengaplikasikan bilangan bulat yang tepat pada algoritma goal programming

dan juga mampu bekerja dalam program non linear. 1P 2P

Linear Goal programming berusaha untuk meminimumkan deviasi atau

simpangan di antara berbagai tujuan atau sasaran yang telah ditetapkan sebagai

targetnya, artinya nilai ruas kiri suatu persamaan kendala sebisa mungkin

mendekati nilai ruas kanannya. Dalam goal programming terdapat dua tipe

kendala yaitu kendala teknologi (technological constraint) yang

merupakan permasalahan kapasitas sumber dan kendala lainnya yang

bukan terhadap tujuan, kendala tujuan (goal constraint) yang mewakili

atau menggambarkan target dari objek-objek dalam urutan prioritas.

m

Minimumkan Z = Σ ( di- + di

+ ) ........................... 2.4

m

= ∑ i+ di

+ + wi- di

- .......................... ............................. 2.5 i=1

Syarat ikatan

35

m

(kendala tujuan) = Σ xj + di- - di

+ = bi untuk i = 1,2......m ..... 2.6

i=1

Xj , di- , di

+ ≥ 0

di- + di

- = 0

Keterangan :

di+ dan di

- = jumlah unit deviasi yang kekurangan (-) atau kelebihan (+) terhadap tujuan ( bi )

wi+ dan wi

- = timbangan atau bobot yang diberikan terhadap suatu unit deviasi yang kekurangan atau kelebihan terhadap tujuan ( bi )

aij = koefisien teknologi fungsi kendala yaitu yang berhubungan dengan tujuan peubah pengambil keputusan ( xj ).

Xj = variabel pengambil keputusan

bi = tujuan atau target yang ingin dicapai

Model tersebut merupakan perluasan pengoptimuman untuk

meminimumkan jumlah dari semua deviasi positif dan negatif yang individual dari

tujuan yang telah ditetapkan. Dalam perumusan goal programming dapat

dimasukkan satu tujuan atau lebih yang langsung berhubungan dengan fungsi

objektif dalam bentuk variabel deviasi

Algoritma simpleks menjamin persyaratan non negatif. Berhubungan tidak

dapat mencapai plus dan deviasi minus dari tujuan atau target yang ditetapkan

secara sekaligus atau simultan, salah satu dari variabel deviasi atau ke dua-

duanya akan menjadi nol (0), yang berarti target terpenuhi dengan sangat

memuaskan dan dapat dinyatakan sebagai berikut:

di- = 1, - z jika 1, > z, 1, = target

0, jika 1 ≤ z di

+ = 0, jika 1 ≥ z, z = tujuan z, -1, jika 1,< z,

Ukuran Prioritas. Pada persoalan linear tujuan yang saling bertentangan,

urutan prioritas perlu diperhatikam secara khusus. Pembagian urutan prioritas

36

dapat dikatakan pengutamaan (preemptive), yaitu mendahulukan tercapainya

feasibilitas pada sesuatu tujuan yang telah diberikan prioritas utama sebelum

menuju kepada tujuan-tujuan atau prioritas berikutnya. Misalnya untuk faktor

prioritas, diberikan simbol Pi (di mana i = 1,2,…..,m). Faktor-faktor prioritas

tersebut memiliki hubungan sebagai berikut:

P1>>>P2>>>P3>>>...>>>Pi>>>Pi + 1>0

di mana P1>>> berarti jauh lebih tinggi dari pada Pi+1. Hubungan tersebut

menjelaskan bahwa masing-masing faktor tersebut tidak akan berubah urutan

prioritasnya meskipun digandakan dengan sembarang konstanta. Tujuan yang

paling diutamakan ditetapkan sebagai prioritas utama ( P1) yang lebih rendah

ditetapkan sebagai prioritas ke dua ( P2) selanjutnya untuk tujuan dengan tingkat

prioritas yang lebih rendah berikutnya.

Model umum dari linear goal programming yang memiliki struktur

timbangan pengutamaan (Preemptive weights) dengan urutan ordinal dapat

dirumuskan sebagai berikut :

m

Minimumkan Z = Σ ( Pywi+ ydi

+ + Pswi- sdi

- ) ............ 2.7

i=1

Syarat ikatan

m

(kendala tujuan) = Σ aij xj + di- - di

+ = bi .............. 2.8

i=1

Untuk i = 1,2..........m

K = 1,2.........p

J = 1,2.........n

Dan xj , di- , di

+ ≥ 0

di- , di

+ = 0

keterangan :

di-, di

+ = deviasi plus dan minus dari tujuanatau target ke – i

37

Py,Px = faktor-faktor prioritas wi,

+y = timbangan relatif dari di

+ dalam urutan ke y wi

+,x = timbangan relatif dari di

- dalam urutan ke x

Dimana m buah tujuan, p kendala teknologi, n variabel pengambilan

keputusan. Perumusan umum dari linear goal programming ke dalam tabel awal

dimulai sama dengan tabel linear programming, kendala tujuan dirumuskan

dalam bentuk variabel di+ (yaitu variabel dasar). Kendala tujuan tidak memiliki

variabel di+ diberikan variabel artifisial dengan prioritas 0.

Tabel 3. Tabel Awal Linear Goal Programming

X

di . ... Xn ... X1 X2 Xk ... di ... dn

Nilai

Wi Pi

Cb

0 0 ... 0 ... 0 ... ...

Σw1b1

W1 P1

d1+

a11 a1n a12 ... a1k ... ... 0

b1

W2 P2

d2+

a21 . a1n

a22 ... a1k ... ... ... 0

b2

.... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ...

W1P1

d1+

a11 a1n

a12 ... a1k ... ... ... 0

b1

... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ...

Wn Pn

dn

+ an1 an2 ... ank ... an ... ... 1

bn

Zj - Cj

Baris 1 : Variabel keputusan Xj dan variabel deviasi di-

Baris 2 : Vektor baris dan penunjuk nol pada proses perhitungan.

Baris 3 : Bobot Wi untuk setiap variabel deviasi yang dimasukkan dalam fungsi objektif.

Kolom 1 : Faktor prioritas Pi dan bobot Wi untuk setiap variabel deviasi positif (yakni variabel basis) dan memasukkan variabel deviasi artifisial seperti ditampilkan dalam kolom 2.

Kolom 2 : Nilai total deviasi absolut, yang mewakili jumlah total deviasi dari semua tujuan untuk tiap tabel sebagai proses pendapatan

Kolom 3 : Koefisien variabel keputusan aij Kolom 4 : Matriks identitas menunjukkan pemasukan variabel deviasi

38

negatif di-

Kolom 5 : Nilai sebelah kanan

2.2.6. Analisis Sensitivitas

Kakiay (2008) menyatakan bahwa pemrograman linear dengan berbagai

metodenya selalu memperhitungkan solusi optimal dari variabel-variabelnya dan

harus dapat memberikan informasi yang dinamis. Solusi optimal dari suatu

pemrograman linear dapat menjadi tidak terpakai atau akan menjadi salah

setelah kondisi dari model tersebut mengalami perubahan. Dalam hal demikian

pengertian analisis sensitivitas merupakan suatu kepentingan untuk mempelajari

kemungkinan adanya perubahan pada solusi optimal sebagai hasil dari adanya

perubahan pada model yang asli.

Penggunaan analisis sensitivitas dimaksudkan akan memberikan bantuan

dua arah dalam pelaksanaannya yaitu :

1. Dapat menunjukkan adanya kebutuhan untuk menentukan data yang tepat

dan juga ketepatan dari model yang akan digunakan.

2. Dapat memberikan informasi atau penjelasan kepada pimpinan untuk

seberapa jauh dapat menyimpang dari solusi optimal sebelum pelaksanaan

yang akan meningkatkan pembiayaan ataupun mengakibatkan terjadinya

penurunan keuntungan.

Pada analisis sensitivitas sering juga terdapat beberapa data yang belum

memberikan validitas yang tepat dan benar sehingga perlu dilakukan perubahan

pada solusi optimal sehingga didapatkan nilai yang tepat. Analisis snsitivitas

akan dapat memberikan petunjuk data mana yang berperan sebagai bantuan.

Oleh karena itu dalam pemrograman linear terdapat beberapa kemungkinan

perubahan atau analisis yang sangat terkait dengan formulasinya, yang

dapat dinyatakan sebagai berikut :

39

1. Perubahan fungsi objektif terutama juga koefisiennya

2. Perubahan pada fungsi-fungsi kendala terutama juga pada koefisienya.

3. Perubahan pada fungsi-fungsi kendala dengan penambahan atau

pengurangan variabel keputusan.

4. Perubahan pada fungsi-fungsi kendala dengan penambahan atau

pengurangan fungsi kendala

5. Perubahan pada konstanta atau fungsi sebelah kanan (luar) dan tanda

ketidaksamaan atau persamaan sebagai material yang diperlukan.

Hendayana (2001) menyatakan bahwa analisis sensitivitas atau kepekaan

dari harga maupun kendala dalam penerapan pola optimum, melalui analisis

sensitivitas harga akan diketahui tingkat kepekaan biaya pembelian input

maupun harga jual output terhadap perubahan biaya maupun harga. Analisis

senstivitas kendala akan dihasilkan gambaran tentang kepekaan penggunaan

sumberdaya terhadap perubahan solusi optimum, kadar sensitivitas atau

kepekaan dapat dilihat dari besar kecilnya kisaran setiap harga atau penggunaan

sumberdaya.

40

BAB III

KERANGKA KONSEPTUAL PENELITIAN

Penguatan modal usaha kelompok merupakan salah satu program

pemberdayaan yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan dan

kemandirian peternak dalam pengembangan agribisnis sapi potong sehingga

usahanya menjadi lebih efisien dan mempunyai daya saing pada pasar bebas.

Pemberdayaan melalui penguatan modal usaha kelompok (PMUK) yang

diberikan kepada peternak terdiri atas bantuan kredit lunak jangka panjang atau

modal abadi yang disalurkan melalui kelompok dan pendampingan managemen

usaha. Bantuan kredit langsung digunakan untuk mengembangkan usahanya,

baik untuk menambah jumlah ternaknya maupun untuk keperluan perbaikan

kandang, serta pembelian pakan dan membayar tenaga kerja.

Modal merupakan faktor yang menentukan besarnya produksi dan

pendapatan. Kurangnya modal dalam usahatani akan menyebabkan

penggunanan sarana produksi menjadi sangat terbatas yang pada gilirannya

akan mempengaruhi produksi dan pendapatan. Mubyarto (1991) menyatakan

bahwa penciptaan modal petani melalui dua cara, yakni : 1) dengan menyisihkan

kekayaannya atau sebagian dari hasil produksi untuk disimpan dan

diinvestasikan kembali kedalam usaha tani atau usaha lainnya yang produktif, 2)

melalui pinjaman kredit dari bank atau sumber lainnya. Karena pendapatan

petani yang musiman serta tingginya proporsi konsumsi rumah tangga

mengakibatkan akumulasi modal. Cara pertama ini tidak dapat dilakukan. Untuk

itu dibutuhkan kredit dari bank atau sumber lainnya.

Mosher (1991) menyatakan bahwa kredit tidak merupakan syarat mutlak

dalam pembangunan pertanian. Hal yang utama adalah mendorong motivasi

petani untuk menggunakan barang modal dan penemuan-penemuan teknologi

41

baru untuk meningkatkan produksi dengan cara menyediakan alat-alat dan

bahan-bahan pertanian. kredit akan melancarkan adopsi dan penerapannya

dalam usahatani

Pelayanan kredit dalam usahatani hanyalah merupakan salah satu bagian

dari upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Hal lain yang cukup

menentukan meningkatkan kesejahteraan masyarakat adalah adanya pengertian

yang benar bahwa penggunaan kredit harus mampu meningkatkan produksi,

menciptakan jaminan pemasaran hasil, meningkatkan pendapatan sehingga

dengan kredit tersebut dapat menciptakan pemupukan modal yang pada

gilirannya meningkatkan masyarakat yang bersangkutan.

Ashari (2009) menyimpulkan terdapat faktor menjadi penghambat bagi

petani dan peternak dalam mengakses kredit formal, baik internal maupun

eksternal. Secara internal ada beberapa faktor penghambat, yaitu pendidikan

yang umumnya rendah membuat petani/peternak sulit mengikuti prosedur yang

ditetapkan bank. Petani dan peternak yang tidak menjadi anggota kelompok tani

tidak bisa memperoleh kredit program yang seharusnya bisa diperoleh secara

mandiri. Minimnya agunan yang dimiliki petani/peternak dan bukti kepemilikan

yang kurang kuat membuat bank tidak bersedia memberi pinjaman. Pengalaman

meminjam ke bank mempermudah akses petani/peternak untuk memperoleh

kredit formal karena sudah mengetahui prosedur yang diperlukan dan sudah

dikenal oleh bank. Faktor eksternal juga menjadi penghambat akses yaitu kurang

sosialisasi dari pihak perbankan, lokasi perbankan yang cukup jauh atau

maksimal hanya ada dikota kecamatan.

Petani di Indonesia kebanyakan merupakan petani kecil, petani miskin

yang mempunyai pendapatan relatif kecil. Untuk meningkatkan taraf hidup petani

maka perlu diusahakan peningkatan pendapatannya melalui peningkatan

produksi. Salah satu cara untuk mencapai peningkatan produksi melalui

42

penggunaan faktor seperti, pakan hijauan, konsentrat, obat-obatan, sewa lahan,

tenaga kerja dan manajemen. Sedangkan untuk meningkatkan penggunaan

faktor produksi diperlukan biaya. Disisi lain petani tidak mempunyai modal yang

cukup untuk membeli faktor-faktor produksi tersebut.

Provinsi Sulawesi Tengah merupakan salah satu daerah yang menjadi

prioritas wilayah pengembangan sapi potong dengan sistem kawin alam. Hal ini

di dasarkan atas pertimbangan bahwa Sulawesi Tengah mempunyai potensi

untuk pengembangan sapi potong dengan kondisi populasi ternak sapi yang

cukup besar dan daya dukung lahan untuk pakan yang luas, serta pola budidaya,

faktor geografis dan sumberdaya manusia yang memenuhi kriteria yang telah

ditetapkan oleh pemerintah pusat. Secara administrasi Sulawesi Tengah

mempunyai luas wilayah sebesar 68.033 Km2, atau sekitar 6 juta ha dan jumlah

penduduk 607.141 KK atau 2.438.706 jiwa dengan kepadatan penduduk sebesar

36 jiwa/Km2. Sebagian besar penduduknya (70,35 %) tinggal dan tersebar di

pedesaan. Adapun mata pencarian penduduknya sebagian besar (671.661 jiwa

atau 59,35 %) adalah sebagai petani (Biro Pusat Statistik Sulawesi Tengah,

2009).

Kendala pengembangan sapi potong di Sulawesi Tengah yaitu : transfer

teknologi kepeternak berjalan lambat, peternak sulit mendapatkan modal usaha,

investasi dana kesub sektor peternakan relatif rendah, jumlah bibit ternak belum

terpenuhi, kualitas bibit rendah dan terjadi pemotongan betina produktif.

Usaha ternak sapi potong di Kabupaten Donggala masih didominasi usaha

kecil dan menengah dengan sistem pemeliharaan ekstensif. Salah satu tujuan

dalam mengelola usaha ternaknya adalah untuk memperoleh keuntungan..

Tujuan yang ingin dicapai dan kendala yang dihadapi merupakan faktor penentu

bagi peternak dalam mengambil keputusan dalam usaha ternaknya. Olehnya itu,

peternak sebagai pengelola usaha akan mengalokasikan sumberdaya yang

43

dimiliki sesuai dengan tujuan yang hendaki. Kondisi peternakan sapi potong di

Kabupaten Donggala masih dikelola secara ekstensif, jumlah kepemilikan ternak

1-4 ekor per keluarga.

Masalah kredit dalam pertanian berhubungan erat dengan modal. Cara

paling mudah untuk memajukan pertanian dan meningkatkan produksi adalah

dengan memperbesar penggunaan modal baik itu berasal dari luar maupun

modal sendiri. Hasil penelitian (Gayatri dkk., 2003).menunjukkan bahwa peternak

yang memiliki modal diharapkan lebih memilih menanamkan modalnya untuk

pengembangan usaha ternak sapi perah, dapat juga melakukan peminjaman

kepada bank atau koperasi karena usaha ini ternyata cukup menguntungkan

Untuk mengatasi masalah permodalan dan pemasaran, Dinas Peternakan

dan Kesehatan Hewan (pihak pertama) bekerja sama dengan petani ternak

(pihak kedua). Kerjasama antara pihak pertama dengan pihak kedua melahirkan

hubungan kerjasama kemitraan yaitu dengan memberikan bantuan sapi kepada

kelompok peternak dalam bentuk kredit sapi potong sistem bergulir. Pelaksanaan

kemitraan usaha peternakan yang dilakukan pihak pertama dengan pihak kedua

ditunjukan pada Gambar 2.

Gambar 2 : Skema kemitraan Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Kabupaten Donggala (pihak pertama) dengan kelompok peternak (pihak kedua).

Dinas Peternakan dan Kesehatan

Hewan Kabupaten Donggala

Kelompok

peternak

Kelompok

peternak

Kelompok

peternak

Peternak Peternak

k Peternak Peternak

k

Peternak

k Peternak

ak

44

Kredit sapi potong sistem bergulir merupakan salah satu pilihan skema

kredit yang dapat digunakan oleh peternak untuk penambahan skala usaha..

Berdasarkan SK Direktorat Jenderal Peternakan No.50/HK.050/KPST/2/93

Tahun 1993 (Ditjennak 1993b), yang dimaksud dengan sistem bergulir adalah

sistem penyebaran ternak dari pemerintah kepada peternak dan dalam kurun

waktu tertentu, maka peternak harus mengembalikan ternak pengganti hasil

keturunan dari ternak yang pernah diberikan kepadanya dan tidak dinilai dengan

uang. Semi bergulir adalah sistem penyebaran ternak pemerintah dimana ternak

yang digaduhkan pemerintah kepada petani yang pengembaliannya berupa

ternak yang dinilai dengan uang. Penggaduh adalah peternak yang berdasarkan

suatu perjanjian tertentu memelihara ternak bergulir. Ternak pokok adalah ternak

bibit yang diserahkan kepada penggaduh untuk dikembangbiakkan. Ternak

setoran adalah ternak keturunan hasil pengembanganternak dari pemerintah

yang diserahkan oleh penggaduh sebagai kewajiban pengembalian bergulir

sesuai dengan peraturan (Hadiana 1996)

.Berdasarkan pengertian kredit menurut FAO (1965), tujuan sistem bergulir

ternak pada dasarnya identik dengan kredit produksi, keduanya dibangun atas

kesepakatan kedua belah pihak antara peminjam (penggaduh) dengan pemilik

modal. Penggaduh memperoleh kewenangan untuk menggunakan aset pada

saat sekarang dengan perjanjian kelak pada saat tertentu akan dikembalikan.

Perbedaannya terletak pada cara dan bentuk pengembalian pinjaman. Pada

sistim bergulir setoran berbentuk natura (ternak setoran), sedangkan dalam

sistem kredit produksi, pengembalian berupa innatura atau kalaupun dibayar

secara natura, namun tetap didasarkan atas ukuran uang (Hadiana 1996)

Secara ringkas kerangka pemikiran operasional dalam penelitian ini

ditunjukkan pada Gambar 3.

45

Gambar 3. Kerangka pikir penelitian

Gambar 3 terlihat bahwa dalam usaha ternak sapi potong petani

dihadapkan pada masalah sumberdaya rendah menyebabkan usaha ternak

tidak efisien. Petani ternak membutuhkan kredit untuk menambah modal dalam

kegiatan usaha ternaknya. Kebutuhan modal peternak disediakan pemerintah

dalam bentuk kredit sapi potong sistem bergulir. Upaya ini dilakukan agar

peternak dapat memanfaatkan sumberdaya dengan optimal

Pada tahap awal, kelompok peternak mengajukan proposal kemudian

indentifikasi calon penerima/calon lokasi. Setelah proposal mendapat

persetujuan bantuan modal dari pemerintah diberikan kepada kelompok peternak

yang telah terseleksi selanjutnya dibuat perjanjian ternak pemerintah (pihak

pertama) dengan kelompok peternak (pihak kedua) mengenai kewajiban dan

usaha sapi potong sistem

bergulir

Peternak Sumberdaya rendah

Dinas Peternakan dan

Kesehatan Hewan

Kesejahteraan

meningkat

Usaha ternak tidak efisien

Optimalisasi kredit sapi

potong sistem bergulir

Analisis LGP

Pendapatan meningkat Produksi meningkat Populasi meningkat

Usaha ternak

efisien

Analisis

Sensitivitas

46

waktu pengembalian kredit. Pada tahap selanjutnya penyebaran ternak sapi

kepada kelompok peternak. Pihak kedua mempunyai kewajiban: 1) menyerahkan

kepada pihak pertama sebagian keturunan ternak yang diterimanya sebanyak

(ekor) yang memenuhi syarat dalam jangka tertentu (tahun) sebagai setoran, 2)

sanggup menyediakan kandang, pakan dan memelihara ternak yang diterima

dengan baik, 3) memanfatkan pejantan untuk mengawini ternak betina

dikelompoknya, 4) mengikuti petunjuk dan bimbingan teknis yang diberikan oleh

petugas dinas peternakan, 5) melaporkan segala sesuatu yang terjadi terhadap

ternak yang dipelihara, 6) menanggung resiko ternak yang dipelihara sesuai

ketentuan yang berlaku, 7) menanda tangani perjanjian kredit untuk ternak semi

gaduhan. Pihak kedua berhak: 1) memiliki ternak yang diterimanya dan sisa

keturunan ternaknya setelah melunasi kewajibannya, 2) memanfaatkan tenaga

ternak yang dipelihara dalam batas-batas tertentu, 3) memanfaatkan pupuk

kandang hasil ternak yang dipelihara. populasi dan pada akhirnya meningkatkan

kesejahteraan petani. Apabila pelaksanaan kredit sapi dapat berjalan dengan

optimal, maka akan terjadi perguliran yang disertai peningkatan pendapatan,

peningkatan produksi, peningkatan populasi dan dapat meningkatkan

kesejahteraan petani peternak.

47

BAB IV

METODOLOGI PENELITIAN

4.1. Lokasi dan Waktu Peneltian

Pemilihan lokasi penelitian menggunakan metode multistage sampling

method yaitu sampel bertahap ganda (Singaribuan dan Efendi, 1987). Penentuan

lokasi ditentukan secara bertahap berdasarkan wilayah yang ada yakni dari

provinsi, kabupaten, kecamatan dan desa.

Penelitian dilakukan di Kecamatan Dampelas Kabupaten Donggala

Provinsi Sulawesi tengah dengan pertimbangan di daerah ini merupakan daerah

percontohan untuk pengembangan ternak sapi potong dengan sistem semi

intensif melalui bantuan ternak sistem bergulir, memiliki populasi ternak sapi

potong terbanyak 20,88 % dari total populasi sapi potong di Kabupaten

Donggala yaitu 36.328 ekor, memiliki jumlah rumah tangga usaha peternakan

sapi potong terbanyak 24,02 % dari total rumah tangga usaha ternak sapi di

Kabupaten Donggala (Dinas Pertanian Peternakan dan Kesehatan Hewan

Kabupaten Donggala, 2014). Pengambilan data dilokasi penelitian dilaksanakan

selama 6 bulan dari bulan November 2013 sampai dengan bulan Mei 2014.

4.2. Metode Penelitian

Metode penelitian menggunakan metode survei yaitu penyelidikan yang

dilakukan untuk memperoleh fakta-fakta dari gejala-gejala yang ada dan mencari

keterangan secara faktual, baik institusi sosial, ekonomi atau politik dari suatu

kelompok ataupun daerah. Metode survei membedah, menguliti dan mengenal

masalah-masalah serta mendapatkan pembenaran terhadap keadaan dan

praktek-praktek yang sedang berlangsung (Nazir, 2009). Variabel yang diteliti

untuk analisis Linear Goal Programming (LGP) terdiri atas pendapatan petani

48

jumlah ternak, pertambahan bobot badan harian ternak, pemanfaatan limbah

kotoran ternak sebagai pupuk, pemanfaatan limbah pertanian sebagai pakan

ternak, luas lahan, penggunaan modal kerja, ketersediaan tenaga kerja keluarga,

besarnya nilai bantuan sapi potong sistem bergulir.

4.3. Populasi dan Teknik Penentuan Responden

Populasi dalam penelitian ini adalah peternak yang mengusahakan sapi

potong pembibitan di Kecamatan Dampelas yakni peternak yang menerima

bantuan sapi potong sistem bergulir sebanyak 264 peternak.

Teknik penentuan responden dimaksudkan untuk menggali informasi

dan pengetahuan yang diteliti dengan pertimbangan tertentu (purposive) (Natsir,

2009). Penentuan responden dilakukan secara sengaja (purposive sampling).

Responden adalah peternak yang mengusahakan sapi potong pembibitan dan

yang menerima bantuan ternak sapi potong sistem bergulir, sebagai anggota

kelompok tani ternak, serta mengusahakan tanaman pertanian baik tanaman

pangan maupun tanaman perkebunan sesuai dengan komoditas yang ada di

wilayah penelitian. Pemilihan responden disesuaikan dengan kriteria dapat

mewakili dan memahami permasalahan yang diteliti. Jumlah responden

ditentukan dengan menggunakan rumus (Yamane, 1979) sebagai berikut :

N n = ----------- 1 + Ne 2

keterangan :

n = Besarnya sampel N = Besarnya populasi (kepala keluarga peternak sapi potong) e = galat yang dapat diterima (10%)

Berdasarkan rumus diatas maka ditetapkan sebanyak 73 responden,

yang terdiri: 25 responden dari Desa Malonas, 25 responden dari Desa Lembah

Mukti, 10 responden dari Desa Ponggerang dan 13 responden dari Desa

49

Rerang. Kriteria pemilihan responden atas dasar pertimbangan :

1. Sebagai anggota kelompok tani ternak,

2. mendapatkan bantuan ternak sapi potong sistem bergulir

3. Memiliki dan mengusahakan usahatani (tanaman pangan dan tanaman

perkebunan).

Responden lain terdiri: 2 dari dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi

Sulawesi Tengah, 2 dari Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Kabupaten

Donggaala, 3 petugas penyuluh pertanian, 4 kepala desa dan 1 dari kantor

Kecamatan Dampelas. Bangsa sapi potong yang diusahakan adalah sapi

Donggala. sapi Bali dan sapi Peranakan Ongole (PO).

Karakteristik sapi Donggala terdiri dari sifat kualitatif dan sifat kuantitatif.

Sifat kualitatif : 1). Warna tubuh: putih abu-abu, putih coklat dan putih, 2). Bentuk

tanduk melingkar kesamping atas, gelambir menggantung sepanjang hingga

tulang dada (stemum), 3).Gumba kecil. Sifat kuantitatif : 1). Ukuran tubuh ; Tinggi

pundak Jantan: 137 –138 cm.Betina: 131 –132 cm. 2). Panjang badan:Jantan:

125 –127 cm. Betina: 119 –121 cm. 3). Lingkar dada: Jantan: 176 –178 cm.

Betina: 167 –170 cm. 4). Bobot badan: Jantan: 361 –366 kg. Betina: 344 –349

kg. Umur dewasa kelamin : 18–21 bulan. Umur beranak pertama : 31–40

bulan.d.Jarak beranak:18–21 bulan. Lama berahi:16 –22 jam. Siklus berahi

18 –20 hari.

Secara fisik, sapi Bali mudah dikenali karena mempunyai ciri-ciri sebagai

berikut: Warna bulunya pada badannya akan berubah sesuai usia dan jenis

kelaminnya, sehingga termasuk hewan dimoprhism-sex. Pada saat masih

“pedet”, bulu badannya berwarna sawo matang sampai kemerahan, setelah

dewasa sapi Bali jantan berwarna lebih gelap bila dibandingkan dengan sapi Bali

betina. Warna bulu sapi Bali jantan biasanya berubah dari merah bata menjadi

coklat tua atau hitam setelah mencapai dewasa kelamin sejak umur 1,5 tahun

50

dan menjadi hitam mulus pada umur 3 tahun. Warna hitam dapat berubah

menjadi coklat tua atau merah bata kembali apabila sapi Bali jantan itu dikebiri,

yang disebabkan pengaruh hormon testosterone. Kaki di bawah persendian

telapak kaki depan (articulatio carpo metacarpeae) dan persendian telapak kaki

belakang (articulatio tarco metatarseae) berwarna putih. Kulit berwarna putih juga

ditemukan pada bagian pantatnya dan pada paha bagian dalam kulit berwarna

putih tersebut berbentuk oval (white mirror). Warna bulu putih juga dijumpai pada

bibir atas/bawah, ujung ekor dan tepi daun telinga. Kadang-kadang bulu putih

terdapat di antara bulu yang coklat (merupakan bintik-bintik putih) yang

merupakan kekecualian atau penyimpangan yang ditemukan sekitar kurang

daripada 1% . Bulu sapi Bali dapat dikatakan bagus (halus) pendek-pendek dan

mengkilap. Karakteristik sapi Bali : Ukuran badan berukuran sedang dan bentuk

badan memanjang.Badan padat dengan dada yang dalam. Tidak berpunuk dan

seolah-olah tidak bergelambir Kakinya ramping, agak pendek menyerupai kaki

kerbau. Pada tengah-tengah (median) punggungnya selalu ditemukan bulu hitam

membentuk garis (garis belut) memanjang dari gumba hingga pangkal ekor.

Cermin hidung, kuku dan bulu ujung ekornya berwarna hitam. Tanduk pada sapi

jantan tumbuh agak ke bagian luar kepala, sebaliknya untuk jenis sapi betina

tumbuh ke bagian dalam.

Secara fisik Sapi Peranakan Ongole mempunyai ciri-ciri yang hampir sama

dengan Sapi Ongole hanya saja ukuran tubuhnya lebih kecil dibandingkan

dengan Sapi Ongole. Ciri-ciri fisik sapi Peranakan Ongole : 1) warna bulu

bervariasi, tetap ikebanyakan berwarna putih atau putih keabua-abuan; 2) warna

bulu putih abu-abu baru muncul ketika lepas sapih; 3) pada jantan kadang

dijumpai bercak-bercak berwarna hitam pada lututnya; 4) mata besar dan terang;

5) bulu sekitar mata berwarna hitam; 6) bulu jambul ekor berwarna hitam; 7)

bentuk kepala pendek melengkung; 8) telinga panjang menggantung; perut agak

51

besar; 9) bergelambir longgar dan menggentung; punuk besar; 10) leher pendek;

11) tanduk pendek.

4.4. Jenis dan Metode Pengambilan Data

4.4.1. Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penilitian ini adalah data primer dan

data sekunder. Pengumpulan data primer dilakukan dengan teknik

wawancara terhadap responden dengan menggunakan daftar pertanyaan

(quesioner) yang sudah dipersiapkan. Disamping itu, dilakukan juga observasi

(pengamatan langsung) ke lokasi kandang milik peternak responden untuk

mengamati aspek teknis dalam kegiatan usaha ternak. Lebih jelasnya data

primer yang terkait adalah :

1. Karakteristik peternak : umur, pendidikan, jumlah anggota keluarga, mata

pencaharian, pengalaman beternak.

2. Karakteristik usaha ternaknya : luas lahan, kepemilikan ternak, jumlah tenaga

kerja keluarga, modal yang dimiliki, komoditas yang diusahakan.

3. Produksi usaha sapi potong : jumlah dan jenis penggunaan pakan hijauan per

hari, jumlah penggunaan konsentrat per hari, frekuensi pemberian pakan,

jumlah penggunaan tenaga kerja per hari (tenaga kerja upah, tenaga kerja

keluarga).

4. Biaya usaha ternak : biaya pakan hijauan per ekor/bulan. biaya konsentrat

perekor/bulan, biaya vaksin per bulan.

5. Biaya usahatani: biaya sebelum panen, biaya pasca panen, biaya tenaga

kerja per bulan.

6. Pendapatan : pendapatan dari usaha ternak per tahun, pendapatan dari

usahatani per tahun, pendapatan dari non usahatani per tahun.

7. Karakteristik bantuan ternak: jumlah bantuan sapi potong sistem bergulir.

52

Data sekunder diperoleh dari instansi terkait antara lain Dinas Peternakan,

Badan Pusat Statistik (BPS), Kantor Kecamatan. Data sekunder meliputi :

gambaran umum wilayah penelitian, luas daerah, jumlah penduduk, kepadatan

penduduk, potensi lahan pertanian, potensi lahan perkebunan, populasi dan jenis

ternak dan kebijakan pemerintah tentang kredit sapi potong sistem bergulir.

4.4.2. Metode Pengambilan dan Pengukuran Data

Metode pengambilan data primer dilakukan dengan cara diskusi,

wawancara, pengisian kuisioner dan pengamatan langsung ke lapangan. Data

sekunder berupa laporan dan dokumen yang bersumber dari instansi terkait yang

berhubungan dengan bidang penelitian, hasil penelitian terdahulu, atau hasil

studi pustaka.

Pengukuran pendapatan usahatani yaitu dengan cara menghitung semua

pendapatan yang diperoleh dari kegiatan penjualan hasil usahatani tanaman

pangan maupun tanaman kebun beserta hasil olahannya yang merupakan selisih

antara semua penerimaan dengan biaya usahatani dinyatakan dalam

Rupiah/tahun. Pengukuran pendapatan usaha ternak dilkukan dengan cara

semua pendapatan yang diperoleh dari kegiatan penjualan ternak dan nilai

tambah ternak yang merupakan selisih antara semua penerimaan dengan biaya,

dinyatakan dalam Rupiah/tahun.dikurangi biaya Pengukuran jumlah ternak

dihitung berdasarkan jumlah pemilikan ternak yang dipelihara peternak pada

saat penelitian berlangsung (ST). Pengukuran pertambahan bobot badan harian

ternak dilakukan berdasarkan rataan kenaikan bobot badan ternak per hari.

(kg/hari). Pengukuran pemanfaatan limbah ternak untuk pupuk atas dasar

wawancara, berapa jumlah limbah ternak yang dimanfaatkan untuk pupuk

dihitung jumlahnya per hari. Pengukuran pemanfaatan limbah pertanian untuk

pakan ternak dihitung berdasarkan berapa jumlah limbah pertanian yang

53

diberikan pada ternak per hari. Pengukuran luas lahan berapa luas lahan

pertanian yang dimilik petani. Pengukuran modal kerja atas dengan menghitung

berapa pengeluaran untuk kegiatan produksi usaha ternak dan usahatani dalam

setahun. Pengukuran penyerapan tenaga kerja berdasarkan dengan

menghitung jumlah Hari Orang Kerja (HOK) dalam tiap komoditas yang

diusahakan. Pengukuran bantuan sapi potong sistem bergulir dengan

menghitung berapa bantuan ternak sapi potong untuk setiap peternak.

4.5. Analisis Data

Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis

deskriptif dan analisis Linear Goal Programming (LGP). Analisis deskriptif untuk

menggambarkan wilayah dan menjelaskan gambaran umum usaha ternak sapi

potong dan usahatani. Analisis Linear Goal Programming (LGP) untuk

mengetahui optimasl bantuan sapi potong slstem bergulir dan menjelaskan

kemungkinan adanya perubahan pada solusi optimal.

4.5.1. Analisis Linear Goal Programming

Goal Programming merupakan modifikasi atau variasi khusus dari linier

programming yang memiliki banyak tujuan. Goal Programming bertujuan untuk

meminimumkan penyimpangan-penyimpangan dari tujuan-tujuan tertentu

dengan mempertimbangkan hirarki prioritas (Mulyono,1991).

Kendala tujuan dalam Linear Goal Programming bertujuan untuk

meminimumkan deviasi (penyimpangan) ketidak tercapaian sasaran yang

ditargetkan. Kendala tujuan dicirikan adanya sepasang variabel deviasional (d)

yang bertanda positif dan negatif. Kendala fungsional adalah kendala yang

menjadi pembatas dalam mencapai tujuan.

Pada analisis Linear Goal Programming ini, optimalisasi yang ingin

54

dicapai adalah fungsi tujuan dan kendala tujuan, oleh karena itu tujuan

optimalisasi dijadikan sebagai kendala tujuan. Linear Goal Programming yang

disusun untuk mencapai beberapa tujuan terdiri atas beberapa alternatif aktivitas

dan kendala sumberdaya yang dianalisis pada tingkat petani.

Kendala tujuan yang ingin dicapai pada penelitian ini adalah :

1. Pendapatan petani.

2. Jumlah pemeliharaan ternak sapi.

3. Pertambahan bobot badan harian ternak.

4. Pemanfaatan limbah peternakan untuk pupuk.

5. Pemanfaatan limbah pertanian untuk pakan ternak.

6. Luas lahan.

7. Modal kerja.

8. Tenaga kerja.

9. Kredit sapi potong sistem bergulir.

Bentuk umum model matematis Linier Goal Programming (LGP) tanpa

faktor prioritas struktur (Nasendi dan Anwar, 1985) dirumuskan sebagai berikut :

m m Min Z = ∑ W1 (d1

- + d1+ ) = ∑ W1

+ d1- + d1

+ i=1 i=1

Keterangan :

d1- dan d1

+ : jumlah unit deviasi yang kekurangan (-) atau kelebihan (+) dari target (b1)’

W1+ dan W1

-: bobot atau penalti yang diberikan terhadap unit deviasi yang kekurangan (-) atau kelebihan (+) dari target (b1)

Persamaan matematis fungsi tujuan dalam model LGP pada penelitian ini

dirumuskan sebagai berikut :

Min Z = d1+ + d1

- + d2+ + d2

- + d3+ + d3

- + d4+ + d4

- + d5+ + d2

- + d6+ + d6

- + d7

+ + d7- + d8

+ + d8-+ d9

+ + d9-

keterangan :

55

d1+ : deviasi kelebihan target meningkatkan pendapatan petani sebagai

tujuan ke 1 d1

- : deviasi ketidak tercapaian target pendapatan bersih petani sebagai tujuan ke 1

d2+ deviasi kelebihan target meningkatkan jumlah pemeliharaan ternak

sebagai tujuan ke 2 d2

- : deviasi ketidak tercapaian target meningkatkan jumlah pemeliharaan ternak sebagai tujuan ke 2

d3+ : deviasi kelebihan target meningkatkan pertambahan bobot badan

harian ternak sebagai tujuan ke 3 d3

- : deviasi ketidak tercapaian target meningkatkan pertambahan bobot badan harian ternak tujuan ke 3

d4+ : deviasi kelebihan target memanfaatkan limbah kotoran ternak sebagai

pupuk sebagai tujuan ke 4 d4

- : deviasi ketidak tercapaian target memanfaatkan limbah kotoran ternak sebagai pupuk sebagai tujuan ke 4

d5+ : deviasi kelebihan target memanfaatkan limbah pertanian sebagai

pakan ternak sebagai tujuan ke 5 d5

- : deviasi ketidak tercapaian target memanfaatkan limbah pertanian sebagai pakan ternak sebagai tujuan ke 5

d6+ : deviasi kelebihan target luas lahan sebagai tujuan ke 6

d6- : deviasi ketidak tercapaian target luas lahan sebagai tujuan ke 6

d7+ : deviasi kelebihan target modal kerja sebagai tujuan ke 7

d7- : deviasi ketidak tercapaian target modal kerja sebagai tujuan ke 7

d8+ : deviasi kelebihan target penyerapan tenaga kerja sebagai tujuan ke 8

d8- : deviasi ketidak tercapaian target penyerapan tenaga kerja sebagai

tujuan ke 8 d9

+ : deviasi kelebihan kredit sapi potong sebagai tujuan ke 9 d9

- : deviasi ketidak tercapaian target kredit sapi potong sebagai tujuan ke 9

Kendala tujuan dijabarkan sebagai berikut :

1. Kendala tujuan

1.1. Pendapatan petani

Kendala tujuan pendapatan petani pada model operasional penelitian ini,

menggunakan rumus sebagai berikut :

n ∑PiXi + d1

- + d1+ = P

i=1

keterangan :

P : target tujuan pendapatan petani (Rp/th) Pi : jumlah pendapatan petani (Rp/th) pada usahatani ke i Xi : usahatani kei d1

- : deviasi ketidak tercapaian target pendapatan petani sebagai tujuan ke 1

56

d1+ : deviasi kelebihan target pendapatan petani sebagai tujuan ke 1

Target pencapaian tujuan pendapatan petani melalui analisis Linear

Goal Programming ini diharapkan maksimal sama dengan besarnya

pendapatan keluarga petani diwilayah penelitian.

1.2. Jumlah kepemilikan ternak

Kendala tujuan jumlah pemilikan ternak pada model operasional

penelitian ini, menggunakan rumus sebagai berikut :

4

∑ JiXi + d2- + d2

+ = J i=1

keterangan :

J : target tujuan jumlah pemilikan ternak (ST/tahun) Ji : Jumlah pemeliharaan ternak sapi (ST/tahun) pada usaha ternak

sapi sampai ke i Xi : Usaha ternak kei d2

- : deviasi ketidak tercapaian target jumlah pemilikan ternak sebagai tujuan ke 2

d2+ : deviasi kelebihan target jumlah pemeliharaan ternak sapi

sebagai tujuan ke 2

Target pencapaian tujuan jumlah kepemilikan ternak pada analisis ini

diharapkan minimal sama dengan rata-rata jumlah ternak sapi potong

yang ada di wilayah penelitian.

1.3. Pertambahan bobot badan harian ternak

Tujuan untuk meningkatkan pertambahan bobot badan harian pada

model operasional penelitian ini, menggunakan rumus sebagai berikut :

4

∑ PbiXi + d3- + d3

+ = Pb i=1

keterangan :

Pb : target tujuan meningkatkan pertambahan bobot badan harian ternak (kg/ekor/hari)

Pbi : Pertambahan bobot badan harian ternak pada usaha ternak sapi ke i

Xi : Usaha ternak kei d3

- : deviasi ketidak tercapaian target meningkatkan pertambahan bobot badan harian ternak sebagai tujuan ke 3

57

d3+ : deviasi kelebihan target meningkatkan pertambahan bobot

badan harian ternak sebagai tujuan ke 3

Target pencapaian pertambahan bobot badan harian ternak ini

diharapkan minimal sama dengan jumlah rata-rata pertambahan bobot

badan harian ternak di wilayah penelitian.

1.4. Pemanfaatan limbah kotoran ternak sebagai pupuk

Tujuan untuk pemanfaatan kotoran ternak pada model operasional

penelitian ini, menggunakan rumus sebagai berikut :

4

∑ LtiXi + d4- + d4

+ = Lt i=1

keterangan :

Lt : target tujuan pemanfaatan limbah kotoran ternak sebagai pupuk (kg/tahun)

Lti : Jumlah pemanfatan limbah kotoran ternak sebagai pupuk (ton/tahun) pada usaha ternak sapi ke i

Xi : Usaha ternak kei d4

- : deviasi ketidak tercapaian target pemanfaatan limbah kotoran untuk pupuk ternak sebagai tujuan ke 4

d4+ : deviasi kelebihan target pemanfaatan limbah ternak untuk

pupuk sebagai tujuan ke 4

Target pencapaian pemanfaatan limbah kotoran ternak untuk pupuk ini

diharapkan minimal sama dengan rata-rata pemanfaatan limbah kotoran

ternak untuk pupuk di wilayah penelitian.

1.5. Pemanfaatan limbah pertanian sebagai pakan ternak

Kendala tujuan untuk meningkatkan pemanfaatan limbah pertanian

sebagai pakan ternak pada model operasional penelitian ini

menggunakan menggunakan rumus sebagai berikut :

1

∑ LpiXi + d5- + d5

+ = Lp i=1

keterangan :

Lp : target tujuan pemanfaatan limbah pertanian sebagai pakan

ternak (kg/ekor/tahun)

58

Lpi : jumlah pemanfaatan limbah pertanian sebagai pakan ternak (kg/ekor/tahun) pada usaha ternak sapi ke i

Xi : usahatani kei d5

- : deviasi ketidak tercapaian target pemanfaatan limbah pertanian sebagai pakan ternak sebagai tujuan ke 5

d5+ : deviasi kelebihan target meningkatkan pemanfaatan limbah

pertanian sebagai pakan ternak sebagai tujuan ke 5

2. Kendala sumberdaya :

2.1. Kendala terbatasnya luas pemilikan lahan

Kendala terbatasnya luas pemilikan lahan pada model operasional, ini

dirumuskan sebagai berikut :

n

∑ LiXi + d- + d+ ≤ L i=1

keterangan : L : target luas lahan sawah, kebun (ha) Li : luas lahan minimal yang tersedia pada usaha ternak sapi ke i Xi : usahatani kei d6

- : deviasi ketidak tercapaian target luas lahan sebagai tujuan ke 6

d6+ : deviasi kelebihan target luas lahan sebagai tujuan ke 6

Target ketersediaan lahan (sawah, kebun) melalui analisis LGP ini

diharapkan minimal sama dengan rata-rata luas lahan yang ada di

wilayah penelitian.

2.2. Kendala terbatasnya modal kerja

Kendala modal kerja usahatani model operasional ini dirumuskan

sebagai berikut :

n

∑ MiXi + d- + d+ ≤ M i=1

keterangan :

M : target jumlah modal kerja tahunan (Rp/tahun) yang tersedia Mi : jumlah modal kerja minimal yang dialokasikan oleh petani pada

usaha ternak sapi ke i Xi : usahatani kei d7

- : deviasi ketidak tercapaian target penggunaan modal kerja sebagai tujuan ke 7

59

d7

+

: deviasi kelebihan target penggunaan modal kerja sebagai tujuan ke 7

Target ketersediaan modal kerja melalui analisis LGP diharapkan

minimal sama dengan rata-rata modal kerja yang disiapkan oleh petani

pada usaha ternak sapi di wilayah penelitian.

2.3. Kendala terbatasnya jumlah tenaga kerja keluarga

Kendala jumlah tenaga kerja keluarga pada model operasi ini

dirumuskan sebagai berikut :

n

∑ TkiXi + d- + d+ ≤ Tk i=1 keterangan : Tk : target jumlah tenaga kerja keluarga (HOK/tahun) yang tersedia Tki : Jumlah tenaga kerja keluarga (HOK/tahun) minimal yang

dialokasikan oleh petani pada usaha ternak sapi ke i Xi : usahatani kei d8

- : deviasi ketidak tercapaian target penggunaan tenaga kerja keluarga sebagai tujuan ke 8

d8+ : deviasi kelebihan target penggunaan tenaga kerja keluarga

sebagai tujuan ke 8

Target ketersediaan tenaga kerja keluarga melalui analisis LGP ini

diharapkan minimal sama dengan rata-rata tenaga kerja keluarga yang

dimiliki oleh petani selama satu tahun pada usaha ternak sapi.

2,4. Kendala terbatasnya kredit sapi potong slstem bergulir

Kendala terbatasnya kredit sapi potong sistem bergulir pada model

operasional ini dirumuskan sebagai berikut :

4

∑ KiXi + d- + d+ ≤ K i=1

keterangan : K : target jumlah kredit sapi potong sistem bergulir yang diterima

petani Ki : Jumlah yang kredit sapi potong sistem bergulir diterima petani

60

pada usaha ternak sapi ke i Xi : Usaha ternak kei d9

- : deviasi ketidak tercapaian target kredit sapi potong sistem bergulir sebagai tujuan ke 9

d9+ : deviasi kelebihan target kredit sapi potong sistem bergulir

sebagai tujuan ke 9

Target ketersediaan kredit sapi potong melalui analisis LGP ini diharapkan

minimal sama dengan rata-rata besarnya bantuanternak sapi potong yang

diberikan pada usaha ternak sapi yng ada di wilayah penelitian.

Tabel 4 menampilkan Variabel keputusan, kendala tujuan, kendala

fungsional dan satuan(ukuran) pada Linear Goal Programming (LGP) kredit sapi

potong sistem bergulir.

Tabel 4. Variabel keputusan,fungsi tujuan, kendala tujuan pada Linear Goal Programming (LGP) usaha sapi potong

variabel Kendala tujuan Satuan

X1 Usahatani padi (Ha)

X2 Usaha kebun kelapa (Ha)

X3 Usaha kebun cengkeh (Ha)

X4 Usaha ternak sapi (ST)

Pendapatan petani Jumlah ternak Pertambahan bobot badan harian ternak Pemanfaatan limbah kotoran ternak Untuk pupuk Pemanfaatan limbah pertanian untuk pakan ternak Luas lahan Modal petani Tenaga kerja keluarga Kredit sapi potong

Rp/thn

ST Kg

Kg

Kg

Ha

Rp/thn HOK ST

Pada Tabel 5 ditampilkan ringkasan tujuan, kendala tujuan dan kendala

fungsional pada Linear Goal Programming (LGP),

61

Tabel 5. Ringkasan fungsi tujuan dan kendala tujuan pada Linear Goal Programming (LGP)

Tujuan fungsi tujuan Kendala

Kendala tujuan

Pendapatan petani n ∑PiXi + d1

- + d1

+ = P

i=1

Terbatasnya luas pemilikan lahan

n

∑LiXi + d6- + d6

+ ≤ L

i=1

Jumlah kepemilikan ternak

n

∑JiXi + d2- + d2

+ ≤ J

i=1

Terbatasya modal kerja petani

n

∑MiXi + d7- + d7

+ ≤ M

i=

Pertambahan bobot badan harian

n

∑PbiXi + d3- + d3

+ ≥ Pb

i=1

Terbatasnya ketersediaan tenaga kerja keluarga

n

∑TkiXi + d8- + d8

+ ≤Tk

i=1

Pemanfaatan limbah kotoran ternak untuk pupuk

n

∑LtiXi + d4- + d4

+ = Lt

i=1

Terbatasya kredit sapi potong

n

∑ KiXi + d9- + d9

+ ≤ K

i=1

Pemanfaatan limbah pertanian untuk pakan ternak

n

∑LpiXi + d5- + d5

+ = Lp

i=1

Keterangan : P : pendapatan; J : jumlah kepemilikan ternak, Pb : pertambahan

bobot badan harian ternak LT : limbah kotoran ternak sebagai pupuk;

LP : limbah pertanian sebagai pakan ternak; Lh : luas lahan; M : modal

kerja; TKK : tenaga kerja keluarga; K : kredit sapi potong

Matriks data bentuk Linear Goal Programming (LGP) yang akan digunakan.

disajikan pada Tabel 6.

62

Tabel 6. Matriks data untuk Linear Goal Programming (LGP).

Kegiatan

Sumber

Aktivitas

1 2.........................................n

Kapasitas

Kendala tujuan

Pendapatan petani P1X1 + P2X2 + .................... + PnXn + d- + d

+

P : pendapatan petani pada usaha ternak sapi ke i

=

Jumlah pemeliharaan ternak

J1X1 + J2X2 + ..................... + JnXn + d- + d

+

J : jumlah ternak sapi yang dipelihara petani pada usaha ternak sapi sampai ke i

=

Pertambahan bobot badan harian

Pb1X1 + Pb2X2 + ................... + PbnXn + d- + d

+

Pb : pertambahan bobot badan harian pada usaha ternak sapi ke i

=

Pemanfaatan limbah kotoran ternak untuk pupuk

Lt1X1 + Lt2X2 + .................. + LtnXn + d- + d

+

Lt : limbah kotoran ternak yang dimanfaatkan pada usaha ternak sapi ke i

=

Pemanfaatan limbah pertanian sebagai pakanternak

Lp1X1 + Lp2X2 + ...................+ LpnXn + d- + d

+

Lp : limbah pertanian yang dimanfaatkan untuk pakan ternak pada usaha ternak sapi ke i

=

Kendala sumberdaya

Luas kahan L1X1 + L2X2 + ............ .... + LnXn + d- + d

+

L : Luas lahan yang dimiliki petani pada usaha ternak sapi ke i

>

Modal kerja M1X1 + M1X2 +.....................+ MnXn + d- + d

+

M : modal kerja yang dimiliki petani untuk usahatani pada usaha ternak sapi ke i

=

Tenaga kerja keluarga Tk1X1 + Tk2X2 + .................... + TknXn + d- - d

+

Tk : tenaga kerja keluarga yang tersedia pada usaha ternak sapi ke i

=

Kredit sapi potong K1X1 + K2X2 + ......................+ KnXn + d- + d

+

K : kredit sapi potong yang diterima petani pada usaha ternak sapi ke i

=

Keterangan : P : pendapatan; J : jumlah ternak, Pb : pertambahan bobot badan harian ternak LT : limbah kotoran ternak; LP : limbah pertanian sebagai pakan ternak; ; Lh : luas lahan; M : modal kerja; TKK : tenaga kerja keluarga; K : kredit sistem bergulir

4.5.2 Analisis Sensitivitas

Analisa perubahan parameter dan pengaruhnya terhadap solusi linear

programing (LP) dinamakan post optimality analysis yang menunjukan bahwa

analisis ini terjadi setelah diperoleh solusi optimum dengan mengasumsikan

seperangkat nilai parameter yang digunakan dalam model (Mulyono.1991).

63

Analisis sensitivitas bertujuan untuk melihat suatu keadaan atau faktor teknis

yang berubah terhadap hasil analisis suatu aktivitas produksi. Oleh karena itu

pada suatu analisis kepekaan setiap kemungkinan harus dicoba yang berarti

bahwa setiap kali harus dilakukan analisis kembali. Namun analisis yang

dilakukan hanya melihat akibat dari beberapa kemungkinan perubahan yang

terjadi terutama yang berkaitan dengan resiko kesalahan dalam varibel.

Analisis sensitivitas pada penelitian ini adalah melihat suatu keadaan

yang berubah terhadap hasil analisis optimasi. Pada aktivitas operasional usaha

ternak sapi potong dilakukan analisis sensitivitas terhadap :

1. Perubahan pendapatan petani.

2. Perubahan modal kerja yang digunakan untuk usahatani dan usaha ternak.

3. Perubahan kredit sapi potong sistem bergulir

4.6. Definisi Operasional Variabel dan Batasan Istilah

Beberapa definisi operasional semua variabel dan istilah-istilah yang

digunakan dalam penelitian ini adalah :

1. Kredit adalah sebagai kesanggupan individu untuk memperoleh barang,

jasa atau uang, dengan perjanjian akan membayar kembali dikemudian

hari.

2. Kredit sapi potong sistem bergulir dalam penelitian ini adalah pinjaman

yang diberikan berupa ternak sapi betina berumur 1,5 tahun dengan

pengembalian berupa keturunan pertama baik jantan maupun betina.

2. Gaduhan adalah sistem bagi hasil dengan memberikan pokok atau modal

dari seseorang kepada orang lain untuk diusahakan atau dipelihara dan

pembagian keuntungan serta mekanisme pelaksanaannya tergantung pada

persetujuan atau kesepakatan kedua belah pihak.

64

3. Waktu pengembalian kredit adalah waktu yang diberikan oleh pemerintah

kepada peternak untuk melunasi kredit sapi potong yang diterimanya

diukur dalam 5 tahun.

4. Skim kredit merupakan suatu cara atau pola pemberian kredit yang meliputi

persyaratan yang diperlukan, jumlah pemberian kredit maksimum, jangka

waktu pengembalian dan sistem pembayaran.

5. Nilai kredit merupakan besarnya nilai kredit sapi potong yang diterima oleh

peternak dinyatakan dalam rupiah.

6. Optimalisasi usaha ternak sapi potong adalah proses pencapaian hasil

pada usahatani tanaman pangan, tanaman perkebunan dan usaha ternak

sapi potong sistem bergulir.

7. Petani adalah yang mengusahakan tanaman pangan dan atau tanaman

perkebunan serta memelihara ternak sapi potong.

8. Usaha ternak sapi potong adalah usaha pemeliharaan pembibitan ternak

sapi potong yang bertujuan untuk mendapatkan hasil utama maupun

sampingan yang dapat dijual atau dimanfaatkan untuk kepentingan

manusia.

9. Usahatani yaitu usaha tanaman pangan, perkebunan yang ada di suatu

wilayah dinyatakan dalam satuan hektar.

10. Luas lahan individu adalah luas tanah pertanian yang secara riil

diusahakan oleh petani baik lahan milik sendiri maupun disewa, dinyatakan

dalam satuan hektar.

11. Luas lahan pertanian adalah luas yang diusahakan untuk usaha pertanian

yaitu untuk tanaman pangan, tanaman perkebunan dan ternak yang ada di

suatu wilayah dinyatakan dalam satuan hektar.

12. Populasi ternak adalah jumlah ternak sapi yang ada pada wilayah

penelitian dinyatakan dalam ekor.

65

13. Pendapatan usahatani adalah pendapatan yang diperoleh dari kegiatan

penjualan hasil usahatani tanaman pangan maupun tanaman kebun

beserta hasil olahannya yang merupakan selisih antara semua penerimaan

dengan biaya usahatani dinyatakan dalam Rupiah/tahun.

14. Pendapatan usaha ternak adalah pendapatan yang diperoleh dari kegiatan

penjualan ternak dan nilai tambah ternak, yang merupakan selisih antara

semua penerimaan dengan biaya, dinyatakan dalam Rupiah/tahun.

15. Pendapatan non usahatani adalah pendapatan yang diperoleh dari

kegiatan diluar usahatani maupun usaha ternak, dinyatakan dalam

Rupiah/tahun.

16. Penerimaan usaha ternak sapi adalah harga sapi pedet, dara maupun

dewasa per ekor dan pertambahan nilai ternak hasil pemeliharaan dalam

satu tahun, dinyatakan dalam rupiah (Rp).

17. Penerimaan usahatani tanaman/perkebunan adalah hasil kali antara harga

jual dan produk yang dihasilkan untuk setiap jenis tanaman padi, kakao,

kelapa , cengkeh pada setiap musim tanam/produksi dalam satu tahun,

dinyatakan dalam rupiah (Rp).

18. Biaya input tanaman/perkebunan adalah pengeluaran yang ditujukan untuk

pembelian bibit, pupuk maupun pestisida yang digunakan untuk setiap jenis

tanaman pada setiap musim tanam/produksi dalam satu tahun, dinyatakan

dalam rupiah(Rp).

19. Biaya input ternak adalah pengeluaran untuk pembelian obat-obatan,

pengadaan pakan ternak, pengadaan konsentrat setiap tahun, biaya IB

atau pupuk untuk tanaman pakan ternak per satuan ternak/unit, dinyatakan

dalam rupiah (Rp).

20. Jumlah ternak yang dimiliki adalah jumlah ternak sapi potong yang

diusahakan oleh peternak dinyatakan dalan Satuan Ternak.

66

21. Pertambahan bobot badan harian adalah dengan cara menimbang berat

badan ternak, dinyatakan dalam kg/ekor/hari.

22. Limbah ternak adalah kotoran yang dihasilkan ternak yang dimanfaatkan

untuk usahatani lain sebagai pupuk, bio gas.

23. Limbah pertanian adalah limbah yang dihasilkan pada usahatani tanaman

pangan setelah panen yang dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak.

24. Kendala adalah faktor pembatas pada kegiatan usahatani yang dilakukan

petani, pada penelitan ini pembatasnya adalah luas lahan, modal kerja

ketersediaan tenaga kerja keluarga dan bantuan ternak sapi potong sistem

bergulir.

25. Kendala luas lahan pertanian dibedakan atas lahan sawah dan kebun

kendala luas lahan diambil berdasarkan luas lahan yang diusahakan

dinyatakan dalam satuan ha.

26. Kendala modal kerja adalah seluruh pengeluaran yang digunakan untuk

kegiatan usahatani berupa uang tunai yang dikeluarkan petani dinyatakan

dalam satuan rupiah (Rp).

27. Tenaga kerja keluarga adalah jumlah tenaga kerja produktif usia diatas 15

tahun yang dimiliki oleh rumahtangga petani yang dapat dilibatkan dalam

aktivitas produksi tanaman/perkebunan dan ternak, dinyatakan dalam Hari

Orang Kerja (HOK). 1 HOK setara dengan bekerja 7 jam per hari, 25 hari

per bulan dan 300 hari per tahun. Satu HOK tenaga kerja pria = 1, tenaga

wanita = 0,8. Tenaga kerja anak-anak = 0,5.

28. Kendala bantuan sapi potong sistem bergulir dihitung berdasarkan nilai

bantuan yang diterima peternak dinyatakan dalam rupiah (Rp).

29. Tenaga kerja pertanian adalah banyaknya jumlah tenaga kerja dalam usia

produktif yang berada pada suatu wilayah dinyatakan dalam Hari Orang

Kerja (HOK), pria = 1 HOK, wanita = 0,8 HOK, anak-anak = 0,5 HOK.

67

30. Produksi ternak adalah produksi yang dihasilkan ternak dengan cara

mengestimasi pada kenaikan bobot badan ternak yang ada pada wilayah

penelitian,

31. Aktivitas yaitu kegiatan usahatani yang dilakukan petani yang mempunyai

kontribusi terhadap pendapatan. Aktivitas yang dikembangkan dalam

penelitian ini adalah aktivitas produksi, aktivitas penjualan hasil, baik untuk

usahatani tanaman, kebun maupun usahatani ternak, aktivitas menyewa

tenaga kerja dari luar.

32. Aktivitas produksi merupakan proses produksi dari setiap jenis usaha

(tanaman padi,kebun kelapa, kebun cengkeh dan ternak sapi potong) yang

diusahakan petani dalam satu tahun. Aktivitas usahatani tanaman pangan

dirinci per musim tanam per tahun, sedang untuk tanaman perkebunan

(tahunan) tidak dibedakan atas musim tanam. Aktivitas yang dihasilkan

dari tanaman diukur dalam satuan ha. Aktivitas produksi ternak diukur

dalam satuan ekor merupakan biaya yang dikeluarkan untuk pemeliharaan

ternak selama satu tahun.

33. Aktivitas jual merupakan aktivitas untuk menjual hasil dari setiap usahatani

tanaman dan ternak yang dihasilkan dalam setahun. Koefisien fungsi

tujuan dari aktivitas ini adalah harga jual untuk setiap komoditas, aktivitas

ini akan menambah nilai fungsi tujuan sebesar nilai jual dari masing-

masing komoditas

34. Aktivitas membeli produk untuk tanaman dan ternak yaitu aktivitas untuk

menambah sumberdaya berupa saprodi yang dinyatakan dalam kilogram

yang dikalikan dengan harga sumberdaya.

35. Aktivitas menyewa tenaga kerja adalah aktivitas untuk menambah

sumberdaya tenaga kerja dari luar keluarga untuk melakukan aktivitas

usahatani dihitung dalam satu tahun.

68

36. Upah tenaga kerja adalah jumlah tenaga kerja luar keluarga yang

digunakan pada saat tertentu dimana tingkat pekerjaan usahatani cukup

banyak dan tidak dapat dilakukan hanya oleh tenaga kerja keluarga,

dengan besarnya upah sesuai dengan yang berlaku di lokasi penelitian,

dinyatakan dalam Rupiah/HOK.

37. Produksi usahatani dihitung dalam satuan fisik, misalnya kilogram

atau ekor, merupakan rata-rata produksi dalam satu tahun, nilai hasil

merupakan perkalian dari produksi dengan harga jual yang berlaku.

38. Harga pada tingkat usahatani merupakan harga jual produksi yang diterima

petani atau harga beli input yang langsung dibayar petani.

39. Pola usahatani merupakan usahatani yang diusahakan atau yang ditanam

petani pada lahan pertanian dalam satu tahun. Komoditas yang diusahakan

terdiri atas tanaman padi, kebun kakao, kebun kelapa dan kebun cengkeh.

69

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Deskripsi Daerah Penelitian

5.1.1. Letak dan Keadaan Geografia

Provinsi Sulawesi Tengah dengan ibukota Provinsi Kota Palu, terletak

diantara 2022” Lintang Utara, 3048” Lintang Selatan, 119022” - 124022” Bujur

Timur. Provinsi Sulawesi Tengah merupakan provinsi terluas di Pulau Sulawesi,

dengan luas wilayah daratan 63.330 km2 dan luas wilayah laut 189.480 km2,

berbatasan dengan Laut Sulawesi di sebelah utara, Provinsi Maluku di sebelah

timur, Provinsi Sulawesi Tenggara di sebelah selatan, Selat Makassar di sebelah

barat.

Kabupaten Donggala adalah salah satu kabupaten di Sulawesi tengah,

terletak antara 0°,30” Lintang Utara dan 2°,20” Lintang Selatan serta 119°,45”-

121°,45” Bujur Timur. Kabupaten Donggala dengan ibukota Banawa, luas

wilayah 5,275.69 km2 terbagi menjadi 16 kecamatan. Wilayah Kabupaten

Donggala berbatasan langsung dengan KabupatenTolitoli di sebelah utara,

Propinsi Sulawesi Barat dan Kabupaten Sigi serta Kota Palu di sebelah selatan,

wilayah Propinsi Sulawesi Barat dan Selat Makassar di sebelah barat,

Kabupaten Sigi dan Kabupaten Parigi Moutong di sebelah timur.

Kecamatan Dampelas yang merupakan lokasi penelitian terletak pada

belahan utara wilayah Kabupaten Donggala pada posisi 0o25’08”–0o05’27” LU

dan 119o46’16”-120o06’03” BT yang membentang dari Desa Kambayang sampai

Desa Rerang. Secara administratif terdiri dari 13 desa dengan keadaan tanah

terdiri dari dataran 22,42%, perbukitan 18,57% dan pegunungan 59,01%.

70

5.1.2. Kependudukan

Jumlah penduduk di Kabupaten Donggala tahun 20117 mencapai 299.174

jiwa, kepadatan penduduk rata-rata 57 jiwa/km2. Kecamatan Rio Pakava memiliki

luas wilayah terbesar 872,16 Km2 atau sekitar 16,53% dan yang terkecil

Kecamatan Banawa Tengah memiliki luas 74,64 Km2 atau sekitar 1,41%. Bila

dilihat penyebaran penduduk pada tingkat kecamatan, ternyata Kecamatan

Banawa merupakan wilayah dengan kepadatan tertinggi yaitu 333 jiwa/km², hal

ini dimungkinkan karena Kecamatan Banawa adalah merupakan Ibukota

Kabupaten Donggala. Luas daerah, jumlah penduduk dan kepadatan penduduk

berdasarkan kecamatan disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7 Luas Daerah, Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk di Kabupaten Donggala tahun 2017

No

Kecamatan

Luas (km

2)

Persentase Luas (%)

Jumlah Penduduk

(jiwa)

Persentase Penduduk

(%)

Kepadatan Penduduk

1 2 3 4 5 6 7 8 9

10 11 12 13

14 15 16

Riopakava Pinembani Banawa Banawa Selatan BanawaTengah Labuan Tanantovea Sindue Sindue Tumbusambora Sindue Tobata Sirenja Balaesang Balaesang Tanjung Dampelas Sojol Sojol Utara

872,16 402,61 99,04

430,67 74,64

126,01 302,64 177,19 211,55

211,92 286,94 314,23 188,85

732,76 705,41 139,07

16,53

7,63 1,88 8,16 1,41 2,39 5,74 3,36 4,01

4,01 5,44 5,96 3,58

13,89 13,37 2,64

24 850 7.038

33.788 25.387 10.950 14.479 16.247 19.594 12.458

9.472 21.543 24.375 11.156

30.559 27.188 10.010

8,31 2,35

11,29 8,48 3,66 4,84 5,43 6,55 4,16

3,17 7,23 8,15 3,73

10,21 9,09 3,35

28 17

341 59

147 115

54 111

59

45 75 78 59

42 39 72

Jumlah 5275,69 100,00 299.174 100,00 57

Sumber BPS Kabupaten Donggala Dalam Angka 2018

Penduduk Kabupaten Donggala Tahun 2016 mencapai 299.174 jiwa, yang

terdiri dari 152.914 jiwa penduduk laki-laki dan 146.260 jiwa penduduk

perempuan. Rasio jenis kelamin di Kabupaten Donggala Tahun 2016 adalah

71

sebesar 105 yang berarti setiap 100 penduduk perempuan terdapat 105

penduduk laki-laki. Laju pertumbuhan penduduk dari tahun 2017 sebesar 0,94%

dengan tingkat kepadatan penduduk mencapai 57 orang per km2.

Jumlah penduduk Kabupaten Donggala tahun 2017 berdasarkan sebaran

umur ditampilkan pada Gambar 4.

Gambar 4. Penduduk menurut kelompok umur di Kabupaten Donggala tahun 2017 (Jiwa)

Jumlah penduduk usia 0-14 tahun 31,03%, penduduk usia 15 – 64 tahun

64,20%, penduduk usia lanjut 4,77%, hal ini menunjukkan bahwa penduduk

Kabupaten Donggala masih tergolong dalam sruktur penduduk muda dan berada

pada usia sekolah. Berdasarkan Gambar 6, bahwa tenaga kerja di Kabupaten

Donggala sebagian besar masuk dalam usia produktif (64,20%) yang

memungkinkan untuk lebih mengembangkan diri dan mengembangkan

usahanya sehingga dapat berkontribusi dalam kemajuan daerah. Komposisi

atau struktur umur penduduk di Kabupaten Donggala terdapat (31,03%)

penduduk berusia di bawah 15 tahun, hal ini menunjukkan bahwa Kabupaten

Donggala masih tergolong penduduk muda.

Berdasarkan kegiatan, penduduk usia 15 tahun keatas dapat dibedakan

menjadi angkatan kerja dan bukan angkatan kerja. Pada tahun 2017 jumlah

angkatan kerja Kabupaten Donggala sebesar 125.194 jiwa dan bukan angkatan

0

50.000

100.000

150.000

200.000

0-14 Tahun 15-64Tahun

>65 Tahun

92.041

190.326

14.013

Jiw

a

Umur

72

kerja 82.3100 jiwa. Komponen angkatan kerja tersebut terdapat penduduk

bekerja sebanyak 122.484 jiwa. Penduduk yang bekerja tersebut mempunyai

pendidikan SD kebawah sebanyak 63,45%, SLTP sebanyak 12,08%, SLTA

keatas sebanyak 24,47% (BPS Kabupaten Donggala, 2017). Jumlah dan

persentase penduduk menurut pendidikan tertinggi dapat menunjukkan kualitas

sumber daya manusia pada suatu wilayah.

Pendidikan terdiri dari pendidikan formal dan informal dan merupakan

kegiatan untuk meningkatkan kualitas manusia termasuk di dalamnya

kecerdasan dan keterampilannya. Kualitas sumber daya manusia sangat

tergantung pada kualitas pendidikan. Makin tinggi tingkat pendidikan yang

ditamatkan makin tinggi pula kualitas sumber daya manusianya. Jumlah

penduduk merupakan modal yang potensial dan sangat menguntungkan bila

diimbangi dengan peningkatan kualitas yang baik.

Jika dilihat berdasarkan lapangan usaha penduduk yang bekerja di

Kabupaten Donggala terdapat sekitar 52,16% bekerja pada lapangan usaha

pertanian, bekerja pada lapangan usaha perdagangan besar 17,40%, bekerja

pada lapangan usaha jasa 13,58%, bekerja pada lapangan usaha Industri serta

6,29% pada (BPS Kabupaten Donggala, 2018). Hal ini menunjukkan bahwa

sebagian besar (54,93%) penduduk berusaha di sektor pertanian.

Perkembangan di sektor pertanian menjadi lebih penting disebabkan jumlah

penduduk yang be rgerak di sektor pertanian masih sangat besar.

Kecamatan Dampelas adalah salah satu kecamatan di Kabupaten

Donggala dan merupakan lokasi penelitian terletak pada belahan utara

Kabupaten Donggala mempunyai luas wilayahnya sebesar 732,76 Km2 atau

sekitar 13,89%, jumlah penduduk 30.559 jiwa atau 10,21% dengan jumlah

kepadatan penduduk 42 jiwa per km2. Bila dilihat dari luasan wilayah dan jumlah

73

penduduk maka Kecamatan Dampelas menduduki peringkat dua di Kabupaten

Donggala (BPS Kabupaten Donggala, 2018).

Jumlah penduduk Kecamatan Dampelas pada tahun 2017sebanyak 30.559

jiwa. kepadatan penduduk di kecamatan ini mencapai 42 jiwa per km2. Jika

dilihat menurut desa, kepadatan penduduk tertinggi terdapat di Desa Karya Mukti

332 jiwa per km2. Sebaliknya, kepadatan penduduk terendah terdapat di Desa

Rerang 17 jiwa per km2 (BPS Kabupaten Donggala, 2018).

Di kecamatan ini, program wajib belajar yang dicanangkan oleh pemerintah

sudah dapat diterapkan. Hal ini dapat dilihat dari adanya Sekolah Dasar (SD) di

masing-masing desa. Selain itu, dari 13 desa yang ada, hanya empat desa yang

tidak memiliki Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP). Pada tahun 2017

terdapat 34 Sekolah Dasar, 11 SekolahMenengah Pertama (9 SLTP Negeri dan

2 Madrasah Tsanawiyah) dan 2 Sekolah Lanjutan Tingkat Atas. (BPS Kabupaten

Donggala, 2018).

5.1.3. Pertanian

Sektor pertanian merupakan tumpuan kehidupan perekonomian, oleh

sebab itu pembangunan di sektor pertanian masih merupakan hal yang penting

dalam mendukung pembangunan ekonomi di Kabupaten Donggala. Pertanian

tanaman pangan salah satu sumber penerimaan utama di Kabupaten Donggala

ini disebabkan jumlah penduduk yang berusaha dibidang pertanian tanaman

pangan masih sangat besar.

Kabupaten Donggala, bila ditinjau dari aspek pembangunan memiliki

kekayaan sumber daya alam yang sangat potensial dan ditunjang oleh letak

yang strategis bagi pengembangan sektor pertanian. Potensi lahan pertanian

Kabupaten Donggala sebesar 189.343,88 ha yang terdiri dari lahan sawah

sebesar 14.864 Ha, lahan kering 174.479,88 ha. Dari total lahan tersebut telah

74

dimanfaatkan sebesar 130.659,88 ha (69,06%), sehingga masih terdapat

peluang pengembangan lahan pertanian sebesar 58.548,87 ha (30,94%) melalui

perluasan areal (penambahan baku lahan) terhadap potensi lahan yang belum

dimanfaatkan.

Komoditas tanaman pangan yang dominan diusahakan di Kabupaten

Donggala terdiri dari padi dan tanaman palawija. Tanaman palawija adalah

jagung, kacang tanah, kacang hijau, ubi kayu dan ubi jalar. Produktivitas

tanaman padi ditampilkan pada Tabel 8.

Tabel 8. Luas Panen (Ha) dan Produksi (Ton) Tanaman Pangan Kabupaten Donggala

Uraian 2015 2016 2017

Padi sawah Luas panen (Ha) Produksi (T0n) Padi ladang Luas panen (Ha) Produksi (Ton)

20.371

106.090

427 943

18.557 92.076

985

1.753

22.555

106.060

859 1.583

Sumber : Kabupaten Donggala dalam angka 2018

Luas panen padi Kabupaten Donggala tahun 2015 terdiri dari padi sawah

20.371 ha dengan produksi 106 ton, padi ladang 427 ha dengan produksi 943

ton. Tahun 2016 luas panen padi 18.577 ha dengan produksi hanya 92.076 ton

menurun dibanding tahun 2015, namun demikian luas panen padi ladang 985 ha

dengan produksi 1.753 ton meningkat dari tahun 2015. Tahun 2017 luas panen

padi sawah meningkat mencapai 22.555 ha dengan produksi 106.060 ton dan

luas panen padi ladang menurun menjadi 859 ha dengan produksi 1.583 ton

(BPS Kabupaten Donggala 2018). Penurunan produksi padi sawah maupun padi

ladang disebabkan penurunan luas tanam dan pengalihan fungsi lahan untuk

komoditas lain. Semakin sempit luas lahan garapan menyebabkan kegiatan

produksi tanaman pangan menurun.

Sektor pertanian ditempatkan sebagai penggerak utama ekonomi rumah

tangga pedesaan. lahan, potensi tenaga kerja dan ekonomi lokal pedesaan

75

menjadi faktor utama pengembangan pertanian. Rumah tangga usaha pertanian

menurut kecamatan dan subsektor yang diusahakan tahun 2013 di Kabupaten

Donggala tersaji pada Tabel 9.

Tabel 9. Rumah Tangga Usaha Pertanian dan Subsektor yang Diusahakan Kabupaten DonggalaTahun 2013

No Kecamatan

Sektor pertanian

Tanaman pangan

Padi Palawija Padi/palawija

1. Rio Pakava 2. Panembani 3. Banawa 4. Banawa Selatan 5. Banawa Tengah 6. Labuan 7. Tanantovea 8. Sindue 9. Sindue Tombusabora 10. Sindue Tobata 11. Sirenja 12. Balaesang 13. Balaesang Tanjung 14. Dampelas 15. Sojol 16. Sojol Utara

4.277 1.414 2.583 4.948 1.586 1.865 2.007 2.934 2.059

1.716 3.604 3.824 2.157

6.036 5.194 1.676

992 182 16

891 210 113 252 369 62

216 900 1.125 104 2.438 2.415 1.087

903 871 338

1.487 344 677 389 792 629

499 736 85 308

490 422 53

1.728 871 341 2.100 427 714 597 1.053 653

662 1.481 1.195 408

2.850 2.706 1.110

Jumlah

47.880 11.372 9,023 18.896

Sumber : Sensus pertanian 2013

Tabel 9 menunjukkan bahwa di Kabupaten Donggala, rumah tangga yang

berusaha di sektor pertanian berjumlah 47.880 rumah tangga, padi sebanyak

11.372 rumah tangga, palawija sebanyak 9.023 rumah tangga, padi/palawija

18.896 rumah tangga. Pada daerah penelitian yakni Kecamatan Dampelas

rumah tangga yang berusaha di sektor pertanian, padi/palawija menempati

urutan pertama sebanyak 6.036 rumaha tangga. Hal ini menunjukkan sektor

pertanian merupakan lapangan usaha yang berperan dalam menompang

perekonomian rumah tangga.

Pertanian tanaman padi merupakan salah satu sumber penghasilan utama

Kecamatan Dampelas, luas tanah sawah dari tahun 2015 sampai dengan tahun

2017 tetap yaitu 2.292,99 ha. Luas panen tanaman padi menurut desa di

76

Kecamatan Dampelas disajikan pada Tabel 10.

Tabel 10. Luas Panen (Ha) dan Produksi (Ton) Padi Menurut Desa di Kecamatan Dampelas tahun 2015 (Ha)

No Desa Luas panen (Ha) Produksi (Ton) Persentase (%)

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

13

Kambayang

Budi Mukti

Talaga

Sabang

Sioyong

Karya Mukti

Panii

Ponggerang

Malonas

Rerang

Lembah Mukti

Parisan Agung

Long

-

65,70

-

136,80

910,28

482,52

446,52

837,36

922,00

412,00

130,50

242,30

-

-

142,64

-

297,00

5.697,57

2.702,11

2.500,51

4.689,22

5.163,20

2.307,20

730,00

1.356,88

-

-

0,57

-

1,19

22,80

10,81

10,01

18,77

20,66

9,23

2,92

5,43

-

Jumlah

4.585,98

24.987,13 100,00

Sumber : Kecamatan Dampelas dalam angka 2016

Data Tabel 10 menunjukkan bahwa luas panen padi diKecamatan

Dampelas tahun 2015 masih sama dengan luas panen padi tahun 2014

mencapai 4,585,98 ha dengan produksi menurun 24.987,13 ton dibanding

produksi tahun lalu, ini disebabkan kemarau panjang sehingga produksi

menurun. Bila dilihat menurut sebarannya maka luas panen padi tertinggi

diketahui berada di Desa Malonas. Dari 13 desa di Kecamatan Dampelas

terdapat tiga desa yang tidak memiliki tanaman padi yaitu Desa Kambayang,

Desa Talaga dan Desa Long.

Sub sektor perkebunan mempunyai peran yang strategis dalam

pembangunan nasional yaitu dengan peningkatan produksi dan produktivitas

tanaman perkebunan. Sektor perkebunan merupakan salah satu andalan

Kabupaten Donggala, sebagian besar masyarakatnya berusaha di sektor

perkebunan tanaman tahunan . Jumlah rumah tangga usaha perkebunan

77

menurut kecamatan dan subsektor yang diusahakan tahun 2013 di kabupaten

Donggala disajikan pada Tabel 11.

Tabel 11. Rumah Tangga Usaha Perkebunan Menurut Kecamatan dan Subsektor yang Diusahakan Kabupaten Donggala Tahun 2013

No Kecamatan

Sektor

perkebunan

Tanaman perkebunan

Kelapa Kakao Cengkeh

1. Rio Pakava

2. Panembani

3. Banawa

4. Banawa Selatan

5. Banawa Tengah

6. Labuan

7. Tanantovea

8. Sindue

9. Sindue Tombusabora

10. Sindue Tobata

11. Sirenja

12. Balaesang

13. Balaesang Tanjung

14. Dampelas

15. Sojol

16. Sojol Utara

3.963

1.407

1.573

4.691

1.236

1.126

1.415

2.474

1.871

1.594

3.010

3.316

2.087

5.239

4.760

1.452

178

201

1.206

2.402

814

671

764

1.994

1.356

1.245

1.485

2.438

1.229

3.685

3.028

983

1906

1320

267

3.958

564

798

599

1.212

1.310

1.051

1.060

787

104

2.256

2.233

848

15

6

274

2.783

506

87

487

360

847

863

2.157

1.532

1.975

2.863

3.222

1.050

Jumlah 41 214 23.679 20.273 19.022

Sumber : Statistik pertanian 2013

Tabel 11 terlihat bahwa jumlah rumah tangga usaha perkebunan di

Kabupaten Donggala terbanyak ada di kecamatan Dampelas dengan 5.239

rumah tangga. Ini mengindikasikan bahwa petani di Kecamatan Dampelas selain

berusaha tanaman pangan juga berusaha di sektor perkebunan.

Di Kabupaten Donggala, kawasan perkebunan selain diarahkan untuk

pengembangan perkebunan skala besar yang diusahakan oleh kegiatan usaha

berbadan hukum, juga diarahkan bagi pengembangan perkebunan rakyat.

Pengembangan perkebunan rakyat dilakukan melalui perluasan dan peningkatan

produktivitas lahan dengan beragam komoditi, antara lain jenis tanaman utama

kelapa, kakao, cengkeh dan kelapa sawit. Total luas kawasan perkebunan yang

Ada di Kabupaten Donggala yakni kurang lebih seluas 67.021 ha atau sekitar

78

12,70% dari luas wilayah Kabupaten Donggala. Daerah kecamatan yang saat ini

memiliki potensi kawasan perkebunan adalah Kecamatan Sojol Utara, Sojol,

Dampelas, Balaesang, Sindue, dan Rio Pakava.

Luas kawasan perkebunan berdasarkan kecamatan di Kabupaten

Donggala disajikan pada Tabel 12.

Tabel 12. Luas Kawasan Perkebunan Berdasarkan Kecamatan Kabupaten Donggala Tahun 2013.

No

Kecamatan

Kawasan Perkebunan (Ha)

Perkebunan

Besar

Perkebunan

Rakyat

Jumlah

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

13

14

15

16

Rio Pakawa

Pinembani

Banawa

Banawa Selatan

Banawa Tengah

Labuan

Tanantovea

Sindue

Sindue Tombusabora

Sinduae Tobata

Sirenja

Balaesang

Balaesang Tanjung

Dampelas

Sojol

Sojol Utara

2.582

1.010

1.432

8.371

628

571

1.716

4.788

4.846

3.703

3.986

4.791

6.545

11.971

8.818

1.353

2.582

1.010

1.432

8.371

628

571

1.716

4.788

4.846

3.703

3.986

4.791

6.545

11.971

8.818

1.353

Total 2.582 64.439 67.021

Sumber : Statistik Pertanian 2013

Data pada Tabel 12 menunjukkan bahwa Kecamatan Dampelas

mempunyai luas perkebunan rakyat 11.971 ha, hal ini menunjukkan kecamatan

Dampelas mempunyai potensi pengembangan perkebunan sehingga dapat

meningkatkan produksi komoditas perkebunan dan dapat menggerakan ekonomi

masyarakat.

Komoditas perkebunan yang berkembang di Kabupaten Donggala adalah

tanaman kelapa, kelapa sawit, kakao, cengkeh, kopi, lada, jambu mente, pala,

vanili dan kapuk. Komoditas perkebunan didominasi oleh tanaman kelapa, kakao

dan tanaman cengkeh.

79

Produksi komoditi perkebunan di Kabupaten Donggala tahun 2016, untuk

produksi kelapa mencapai 27994 ton, kelapa sawit 16970 ton atau meningkat

17,37% dari tahun sebelumnya, kakao mencapai 19335 ton atau meningkat dari

tahun sebelumnya 2,86%, produksi komoditi cengkeh tahun 2013 hanya 1454

ton. Sebagian besar hasil komoditi perkebunan tersebut di produksi oleh hampir

semua atau sebagian Kecamatan, kecuali komoditi kelapa sawit hanya terdapat

di Kecamatan Rio Pakava. Luas perkebunan rakyat menurut desa di Kecamatan

Dampelas tahun 2015 (Ha) disajikan pada Tabel 13.

Tabel 13. Luas Tanaman Perkebunan Rakyat Menurut Desa di Kecamatan Dampelas Tahun 2015 (Ha)

No Desa Kelapa Cengkeh

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

13

Kambayang

Budi Mukti

Talaga

Sabang

Sioyong

Karya Mukti

Panii

Ponggerang

Malonas

Rerang

Lembah Mukti

Parisan Agung

Long

460,00

84,00

534,00

240,00

316,00

70,00

185.00

60,00

355,00

443,00

407,00

135,00

163,00

155,00

23,00

66,00

123,00

17,00

60,00

40,00

278,00

79,00

292,00

225,00

82,00

83,00

Jumlah 3.452,00 1.523,00

Sumber : Kecamatan Dampelas dalam angka tahun 2016

Tabel 13 diketahui bahwa luas tanaman perkebunan rakyat di Kecamatan Dampelas meningkat, tahun 2014 luas tanaman perkebunan kelapa mencapai

3.397,75 ha meningkat menjadi 3,452,00 ha (1,57%) di tahun 2015. Demikian

pula dengan luas tanaman cengkeh tahun 2014 luas tanaman cengkeh 1,489,00

ha mengalami peningkatan di tahun 2015 menjadi 1.524,00 ha (2,23%). Untuk

Luas tanaman kakao tidak terjadi peningkatan yakni luas tanaman kakao tahun

2014 sama dengan tahun 2015 luasnya yaitu 4.763,79 ha.

80

Berdasarkan data sekunder yang dikumpulkan dari dinas Perkebunan dan

Kehutanan Kabupaten Donggala Tahun 2013. tercatat luas kawasan hutan

sekitar 527.569 ha, maka luas kawasan hutan negara tercatat sebesar 302.257

ha serta hutan rakyat sebesar 225.312 ha. Kawasan budidaya menurut jenis

penggunaannya ditampilkan pada Gambar 5.

Gambar 5 : Kawasan Budidaya menurut Jenis Pengunaannya Tahun 2013 (Ha)

Pada gambar 5 menunjukkan bahwa kawasan budidaya kabupaten

Dongala menurut penggunannya tercatat sebesar 166.168 ha, yang terdiri

atas lahan sawah sebesar 14.055 ha (9%), lahan perkebunan 70.943 ha (43%),

tambak 3.635 ha (2%), ladang 28.412 ha (17%), tegal/kebun 22.255 ha (13%)

serta lahan yang tidak diusahakan 26.868 ha (16%). Luas lahan kering di

Kecamatan Dampelas disajikan pada Tabel 14.

Data pada Tabel 14 menunjukkan bahwa luas lahan kering di Kecamatan

Dampelas tahun 2017 sebesar 8219, 16 ha terbagi atas bangunan 968,80 ha,

kebun 6210 ha, padang rumput 996 ha, tambak 36,50 ha dan kolam 7,80 ha.

Gambar 9. Persentase Kawasan Budidaya menurut jenis penggunaan, 2013 (BPS Kabupaten Donggala 2014).

Perkebuan 43%

Ladang/Huma 17%

Sementara tdk Diusahakan

16%

Tegal/Kebun 13%

Lahan Sawah

9%

Tambak/Kolam/Empang

2%

81

Tabel 14. Luas lahan kering di Kecamatan Dampelas 2017 (Ha)

Uraian Jumlah Persentase (%)

1. Bangunan

2. Kebun

3. Padang rumput

4. Tambak

5. Kolam

968,80

6.210

996

36,50

7,80

11,79

75,56

12,12

0,44

0,09

Jumlah 8219,16 100,00

Sumber: Kecamatan Dampelas dalam angka tahun 2017

Berdasarkan data pada tabel diatas menunjukkan bahwa pada wilayah

penelitian luas padang rumput sebesar 996 ha, ini mengindikasikan kecamatan

Dampelas layak untuk pengembangan sapi potong.

5.1.4. Peternakan

Kegiatan peternakan di Kabupaten Donggala bertujuan untuk

meningkatkan populasi dan produksi ternak sehingga dapat memenuhi

kebutuhan daging bagi daerah maupun untuk konsumsi bagi daerah lain

(termasuk ekspor). Kawasan peternakan diarahkan bagi pengembangan

peternakan skala besar dan kecil dengan jenis ternak antara lain sapi, kambing,

ayam buras, dan ayam ras. Untuk mendukung kegiatan peternakan, di

Kecamatan yang potensial bagi peternakan dikembangkan program HMT

(hijauan makanan ternak) melalui pemanfaatan limbah pertanian, seperti kacang-

kacangan, batang jagung, tanaman gamal, rumput penguat teras, cover crop

pada kawasan perkebunan, dan sebagainya. Pengembangan kawasan

peternakan saat ini terdapat di Kecamatan Dampelas, Kecamatan Balaesang,

Kecamatan Sirenja dan Kecamatan Banawa, namun masih berasosiasi dengan

lahan yang potensial untuk peruntukkan lahan pertanian.

Pembangunan disektor peternakan yang memihak kepada rakyat dalam

rangka pemberdayaan masyarakat dan salah satu misi yang diemban adalah

penyediaan pangan asal ternak yang cukup, baik kualitas maupun kuantitasnya

82

dalam rangka pencapaian swasembada daging. Kinerja produksi peternakan

dapat diukur dari perkembangan populasi, produksi daging dan produksi telur.

Populasi ternak sapi di Kabupaten Donggala pada tahun 2017 mencapai

42,217 ekor yang tersebar di enam belas kecamatan dengan pemotongan

sebesar 4.032 ekor. Populasi ternak sapi tertinggi berada pada lokasi penelitian

yakni Kecamatan Dampelas 8.810 ekor (20,88%) dan yang terendah di

Kecamatan Pinembani 70 ekor (0,17%) Ini menunjukkan bahwa dari 16

kecamatan yang berada di Kabupaten Donggala, jumlah terbesar berada di

Kecamatan Dampelas.

Dalam upaya pengembangan sapi potong, pemerintah menempuh dua

kebijakan, yaitu ekstensifikasi dan intensifikasi. Disamping itu adanya program

dari pemerintah melalui dinas peternakan melakukan program kawin suntik yaitu

Inseminasi Buatan (IB). Kondisi tersebut membuat wilayah ini menjadi target

serta tujuan dalam pengembangan usaha ternak sapi. Pengembangan sapi

potong di wilayah ini di dukung oleh potensi lahan, sumberdaya manusia,

ketersediaan pakan ternak.

Ternak sapi potong yang merupakan salah satu komoditas unggulan di

Kabupaten Donggala dalam lima tahun terakhir terjadi peningkatan populasi

dari yakni dari tahun 2013 sampai tahun 2017. Populasi ternak sapi potong

disajikan pada Gambar 6.

Dari Tabel 6 menunjukkan bahwa populasi ternak sapi tahun 2013 sampai

tahun 2017 di Kabupaten Donggala mengalami peningkatan. Pada tahun 2013

ternak sapi berjumlah 36.328 ekor (14,26%), tahun 2014 naik 37.374 ekor

(20,24%) , pada tahun 2015 naik 38.346 ekor (20,77%), tahun 2016 naik 40.321

ekor (21,84%), tahun 2017 naik menjadi 42.217 ekor (22,87). Hal ini

menunjukkan bahwa populasi ternak sapi meningkat setiap tahunnya.

83

Gambar 6. Populasi sapi potong Kabupaten Donggala tahun 2013–2017 (Ekor)

Populasi ternak tahun 2017 di Kecamatan Dampelas terdiri dari tiga jenis

ternak, yaitu sapi 8.552 ekor, kambing 4031 ekor, dan babi. 4523 ekor, dari tiga

jenis ternak tersebut, populasi terrnak terbesar didominasi oleh sapi sebesar

8.522ekor (BPS Kabupaten Donggala, 2018). Jumlah rumah tangga yang

memelihara sapi potong di Kabupaten Donggala tahun 2013 disajikan pada

Tabel 15.

Jumlah rumah tangga usaha peternakan sapi dikabupaten Donggala tahun

2013 sebanyak 9466. Hasil sensus pertanian menunjukkan bahwa jumlah rumah

tangga yang memelihara ternak sapi terbanyak berada di Kecamatan Dampelas

berjumlah 2274 rumah tangga atau 23,48%, yang terkecil berada di Kecamatan

Pinembani dengan 16 rumah tangga atau 0,47%.

Berdasarkan Tabel 15 diketahui bahwa usaha ternak sapi potong

menyebar di seluruh kecamatan di Kabupaten Donggala, hal ini menunjukkan

bahwa usaha sapi potong merupakan usaha rakyat yang sangat potensial

untuk dikembangkan.

32000

34000

36000

38000

40000

42000

44000

2013 2014 2015 2016 2017

36328 37374 38346

40321

42217

Eko

r

Tahun

84

Tabel 15. Rumah Tangga Usaha Peternakan Sapi Potong di Kabupaten Donggala 2013

No Kecamatan Peternakan Sapi Potong Persentase (%)

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

13

14

15

16

Rio Pakava

Pinembani

Banawa

Banawa Selatan

Banawa Tengah

Labuan

Tanantovea

Sindue

Sindue Tombusabora

Sindue Tobata

Sirenja

Balaesang

Balaesang Tanjung

Damsol

Sojol

Sojol Utara

457

16

309

496

302

669

681

710

361

429

1.250

726

358

2.274

337

82

4,74

0,47

3,20

5,46

3,25

6,86

6,99

7,44

3,90

4,64

13,16

8,22

3,89

23,48

3,45

0,84

Jumlah 9.466 100,00

Sumber : Statistik Pertanian 2013.

Pemotongan ternak sapi di Kabupaten Donggala mengalami peningkatan

dari tahun 2012 sampai dengan tahun 2016. Tingginya pemotongan akan

diikuti dengan tingginya produksi serta meningkatnya permintaan daging

sapi. Pemotongan sapi potong di Kabupaten Donggala disajikan pada Gambar

7.

Gambar 7. Pemotongan sapi potong di Kabupaten Donggala tahun 2012-2016

(Ekor)

0

1000

2000

3000

4000

5000

2012 2013 2014 2015 2016

2390 2871

3633 3731 4032

Eko

r

Tahun

85

Jumlah pemotongan ternak sapi dipengaruhi oleh Jumlah penduduk

disuatu wilayah. Gambar 7 menampilkan pemotongan ternak sapi potong di

Kabupaten Dongala terjadi kenaikan setiap tahunnya yakni 2012 – 2016. Hal ini

terkait dengan pertambahan jumlah penduduk di Kabupaten Donggala yakni

tahun 2014 penduduk berjumlah tahun 277.620 jiwa meningkat tahun 2015

sebesar 34,98% dan tahun 2016 meningkat sebesar 35,29% menyebabkan

permintaan daging sapi meningkat setiap tahunnya.

Populasi ternak sapi di Kecamatan Dampelas dalam 5 tahun terakhir yakni

Tahun 2013 berjumlah 7396 ekor, mengalami peningkatan di tahun 2014

sebesar %mencapai 7651 ekor, tahun 2015 meningkat sebesar % menjadi 7923

ekor, tahun 2016 meningkat % menjadi 8398 ekor dan tahun 2017 meningkat %

menjadi 8522 ekor. Selain ternak sapi, terdapat juga ternak ternak kecil yaitu

ternak kambing dan babi dengan populasi ternak kambing tahun 2017 berjumlah

4031 ekor dan ternak babi berjumlah 4523 ekor.

Luas lahan kering yang berada di Kecamatan Dampelas selain untuk

banugunan, perkebunan, tambak dan kolam terdapat juga padang

penggembalaan, bila padang penggembalaan dimanfaatkan secara optimal

untuk pemeliharaan ternak sapi tentunya nilai ekonomis dari padang

penggembalaan/padang merumput akan meningkat.

5.2. Kredit Sapi Potong Sistem Bergulir

Kredit sapi potong sistem bergulir yang dimaksud dalam penelitian ini

adalah bantuan pinjaman langsung masyarakat (BPLM) yakni pemberian

bantuan ternak sapi potong kepada masyarakat dengan perjanjian untuk

membayar di waktu yang telah ditentukan. Pembayaran dilakukan dengan

menyerahkan sebagian keturunannya sebanyak 2 ekor disebarkan kembali

(revolving) kepeternak lain. Bantuan pinjam langsung kepada masyarakat

86

(BPLM) ditujukan kepada kelompok tani ternak yang potensial bagi

pengembangan pembibitan sapi.

Penyebaran sapi potong kepada calon peternak penerima perguliran

ternak (penggaduh) hendaknya berdasarkan kriteria yang telah di tetapkan.

Sesuai dengan penelitian Wibowo dkk (2011), kriteria seleksi calon penerima

bantuan (selection criteria of grant receiver candidate) ternak sapi adalah

a) Penerimaan bantuan berada dalam satu kelompok (recipient in group);

b) Bersedia mengikuti arahan dan bimbingan dari petugas (have a will to follow

the guidance of government fungsionary); c) Harus sudah memiliki pengalaman

beternak sapi (have an experience in raising cattle); d) Harus bersedia mentaati

tata peraturan yang disepakati (have a will to obey the agreement); dan e) Wajib

masuk lembaga keuangan desa/mikro (have to join the financial institution).

Mekanisme dalam perguliran ternak sapi di Kabupaten Donggala dilakukan

sesuai dengan perjanjian kerja antara pemeritah dan peternak penerima

perguliran ternak (penggaduh) sebagai berikut :

1. Pemerintah memberikan 1 ekor betina kepada penggaduh,

2. Penggaduh mempunyai kewajiban.

a. menyerahkan sebagian keturunan ternak yang diterima sebanyak 2 ekor

yang memenuhi syarat dalam jangka waktu tertentu,

b. Sanggup menyediakan kandang, pakan dan memelihara ternak yang

diterimanya dengan baik,

c. Memanfaatkan pejantan untuk mengawini ternak betina dikelompoknya bagi

penggaduh yang menerima ternak pejantan,

d. Mengikuti bimbingan teknis yang diberikan oleh petugas,

e. Melaporkan segala sesuatu yang terjadi terhadap yang dipelihara

3. Penggaduh berhak.

87

a. Memiliki ternak yang diterimanya dan sisa keturunan ternaknya setelah

melunasi kewajibannya

b. Memanfaatkan tenaga ternak dalam batas-batas tertentu.

c. Memanfaatkan pupuk kandang hasil ternak yang dipelihara.

4. Bila ternyata ternak yang diterima peternak mati, majir, hilang bukan karena

kesalahan peternak maka peternak bebas dari tanggung jawab untuk

mengganti ternak yang bersangkutan dan mendapat prioritas untuk

memperoleh ternak yang baru dengan ketentuan peternak tetap memenuhi

kewajibannya.

5, Dalam hal ternak majir, peternak selain memperoleh pengganti ternak yang

baru juga memperoleh bagian 25 % dari harga ternak yang dijual dan 75 %

untuk pemerintah.

6. Bila ternyata ternak pemerintah yang diterima peternak mati, hilang karena

kesalahan penggaduh maka penggaduh harus mengganti ternak tersebut

dengan ternak yang sama selambat-lambatnya 3 (bulan) terhitung sejak

ternak tersebut mati atau hilang serta tetap memenuhi kewajibannya yang

belum dipenuhi.

7. Apabila penggaduh tidak dapat memenuhi kewajibannya disebabkan bukan

karena kesalahan atau kelalaiannya, maka penggaduh diberi kelonggaran

waktu 3 (tiga) bulan setelah jatuh tempo untuk memenuhi kewajibannya.

a. Apabila penggaduh tidak dapat memenuhi kewajibannya disebabkan

karena kesalahan atau kelalaiannya maka perjanijian batal dengan

dengan sendirinya menurut hukum dan ternak tersebut ditarik kembali

oleh pemerintah tanpa ganti rugi apapun.

b. Apabila setelah diberikan kelonggaran waktu 3 (tiga) bulan setelah jatuh

tempo penggaduh belum dapat memenuhi kewajibanya maka pelunasan

88

dapat ditunda paling lambat 2(dua) tahun berdasarkan permohonan

penggaduh.

8. Penggaduh tidak berhak menjual, menukarkan dan memindah tangankan

ternak sebelum penggaduh memenuhi kewajibannya.

9. Jika penggaduh tidak melaksanakan kewajiban-kewajibannya maka

pemerintah berhak membatalkan dan menarik kembali ternak yang

diserahkan tanpa ganti rugi.

a. Apabila penggaduh meninggal dunia maka perjanjian berlaku bagi ahli

waris penggaduh.

b. Apabila ahli waris tidak bersedia maka ternak yang bersangkutan ditarik

kembali untuk dijual atau digaduhkan kepada penggaduh lainnya.

5.3. Karakteristik Petani Responden

Karakteristik petani responden dalam penelitian ini adalah umur,

pendidikan, jumlah anggota keluarga, pengalaman beternak, jumlah ternak.dan

luas lahan. Jumlah responden sebanyak 73 petani yang berasal dari Kecamatan

Dampelas yaitu Desa Malonas, Desa Lembah Mukti, Desa Ponggerang, dan

Desa Rerang. Karakteristik petani responden di tampilkan pada Tabel 16.

Umur. Umur adalah salah satu faktor yang mempengaruhi kerja dan pola

pikir responden dalam menentukan manajemen dalam usaha ternak sapi potong.

Berdasarkan Tabel 16 menunjukkan bahwa komposisi umur responden dalam

usia produktif (20-64 tahun) 97% dan hanya 3% usia non produktif (> 64 tahun),

rataan umur responden 44 tahun. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa

mayoritas responden masih pada kisaran umur produktif untuk dapat

diberdayakan dalam pengembangan sapi potong mayoritas responden masih

relatif kuat dan mampu dalam melaksanakan kegiatan usahatani. Hartono and

Rohaeni (2014) menyatakan bahwa usia produktif adalah usia ketika petani

89

mampu melakukan kegiatan yang produktif secara efisien sehingga mereka bisa

menghasilkan pendapatan. Adinata (2012) menyatakan pada umur produktif

tenaga yang digunakan masih prima sehingga mampu mengembangkan

usahanya dan ada kemungkinan menambah pengetahuan serta metode

budidaya di bidang usaha ternak sapi potong. Tjiptoherijanto (2001) menjelaskan

bahwa usia produktif tenaga kerja antara 15 – 64 tahun, pada kelompok umur

tersebut dinilai mampu untuk mengembangkan diri dan mengembangkan

usahanya.

Tabel 16. Karakteristik Responden

No Karakteristik Responden Jumlah (orang) Persentase (%)

1

2

3

4

5 6

Umur (tahun) a. 20 – 64 (produktif) b. > 64 (non produktif) Pendidikan (tahun) a. SD (1-6) b SMP (7-9) c. SMA (10-12) Pengalaman beternak (tahun) a. 1 – 10 b. 11- 20 c. > 20 Anggota Rumah Tangga (orang) a. 1 - 2 b. 3 - 4 c. > 4 Jumlah Pemilikan Ternak (ST) a. 1 - 2 b. 3-4 c. > 4 Luas Lahan (Ha) a.< 1 b. 1 – 2 c. > 2

71 2

37 25 11

53 17 3

33 37 3

34 25 14

24 41 8

97 3

51 34 15

73 23 4

45 51 4

47 34 19

33 56 11

Sumber : Diolah dari data primer

Hasil ini sesuai dengan penelitian Ilham dkk. (2007) melaporkan dari data

sensus nasional menunjukkan bahwa 69% petani masih tergolong dalam usia

produktif. Purnaningsih (2006) menuliskan bahwa sebagian besar petani di

Indonesia (76,2%) berusia antara 25 – 54 tahun. Umur seseorang merupakan

salah satu indikator yang berpengaruh terhadap kemampuan fisik. Seseorang

90

yang memiliki umur lebih muda cenderung akan memiliki kemampuan fisik yang

lebih kuat dari pada mereka yang memiliki umur yang lebih tua. Dalam berusaha

tingkat produktivitas kerja seseorang akan mengalami peningkatan sesuai

dengan pertambahan umur, kemudian akan menurun kembali ,menjelang usia

tua. Umur produktif merupakan tingkatan umur dimana seseorang akan mampu

menghasilkan produk maupun jasa, atau dengan kata lain umur produktif

merupakan umur dimana seseorang akan mampu bekerja dengan baik. Tingkat

produktivitas seseorang dipengaruhi oleh tingkat umur yang dapat dilihat dan

diamati dari beberapa segi antara lain lamban,kurang kreatif, sukar dimengerti

dan diarahkan dan sebagainya. Dari segi efisiensi kerja bisaanya golongan yang

nonproduktif yang lebih sukar mengerjakan sesuatu secara maksimal.

Harmoko (2017) menyatakan bahwa Umur produktif tergolong umur muda

sedangkan umur tidak produktif golongan umur tua. Antara petani dengan umur

muda dan tua hampir tidak ada kesulitan dalam beternak sapi. Sapi yang

dipelihara umumnya dikandangkan dengan pemberian pakan berupa rumput

segar. Aktifitas berupa mencari rumput untuk pakan sapi dapat dikerjakan oleh

petani dengan umur produktif dan umur yang tidak produktif memiliki motivasi

yang sama dalam beternak sapi. Umur seseorang pengusaha dapat

berpengaruh terhadap produktivitas kerja, sebab umur erat kaitannya dengan

kemampuan kerja serta pola pikir dalam menentukan pola manajemen yang

diterapkan dalam usaha. Semakin bertambah umur peternak maka motivasi

semakin tinggi, dengan bertambahnya umur, ilmu dan pengalaman beternak sapi

akan semakin baik. Hal ini berkorelasi positif terhadap motivasi peternak.Melihat

persentasi umur pada Tabel 16, maka dapat dikatakan bahwa umur dapat

mempengaruhi seseorang dalam mengadopsi suatu inovasi untuk meningkatkan

usahatani yang dimilikinya. Hal ini sesuai dengan pendapat Soekartawi (2008)

91

yang menyatakan bahwa petani berusia lebih tua biasanya cenderung sangat

konservatif dalam menyikapi perubahan atau inovasi teknologi.

Berbeda dengan petani yang berusia lebih muda, makin muda umur petani,

biasanya mempunyai semangat ingin tahu apa yang belum mereka ketahui,

sehingga dengan demikian mereka berusaha untuk lebih cepat melakukan

anjuran dari kegiatan penyuluhan. Prabayanti (2010), bahwa seseorang dengan

umur produktif biasanya mempunyai semangat untuk ingin tahu tentang berbagai

hal yang belum diketahui. Selain itu usia juga mempengaruhi kondisi fisik

seseorang. Terkait dengan adanya inovasi, seseorang pada umur non-produktif

akan cenderung sulit menerima inovasi.

Pendidikan. Pendidikan adalah lamanya bangku sekolah yang pernah

ditempuh oleh petani. Pada Tabel 16 menunjukkan bahwa pendidikan petani

tingkat Sekolah Dasar sebesar 51%, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama

sebesar 34% dan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas sebesar 15%.. Hal ini

menunjukkan bahwa tingkat pendidikan petani masih tergolong rendah sehingga

perlu pendidikan non formal untuk meningkatkan pengetahuan petani terutama

yang berhubungan usahanya.

Tingkat pendidikan berfungsi sebagai proses untuk menggali dan

mengontrol potensi yang ada pada diri seseorang untuk dikembangkan dan

dimanfaatkan bagi peningkatan kualitas hidup, selain itu tingkat pendidikan

berpengaruh terhadap perilaku dalam mengakses informasi pasar, modal

maupun teknologi. Tingkat pendidikan seseorang mempunyai pengaruh terhadap

cara berpikir, sikap, perilaku dan menentukan kemampuan untuk mencari

informasi (Harjati, 2007).

Pendidikan petani umumnya mempengaruhi terhadap cara dan pola pikir

petani dalam mengelola dan melakukan usahataninya. Petani yang tingkat

92

pendidikannya tinggi biasanya lebih terbuka, kreatif dan mempunyai tingkat

adopsi yang tinggi. Rendahnya tingkat pendidikan formal Dapat diimbangi

dengan pendidikan non formal seperti penyuluhan atau pembinaan dan pelatihan

yang lebih intensif (Mardikanto dalam Damihartini dan Jahi 2005).

Tingkat pendidikan dapat mempengaruhi kualitas pengembangan sumber

daya manusia yang menjadi modal dalam peningkatan dan memperlancar

pembangunan. Pada masyarakat yang mempunyai tingkat pendidikan tinggi

akan mudah untuk diarahkan dalam berbagai pelaksanaan pembangunan demi

kemajuan pembangunan. Sebaliknya pada masyarakat yang memiliki tingkat

pendidikan yang rendah akan sulit diarahkan dalam berbagai pelaksanaan

pembangunan demi kemajuan pembangunan. Demikian pula sebagian besar

penduduk di wilayah penelitian tingkat pendidikan tergolong rendah. Hal Ini

disebabkan kesadaran akan pentingnya pendidikan masih kurang sehingga

informasi dan pengetahuan tentang pendidikan yang mereka miliki masih

terbatas. Kondisi seperti ini dapat menghambat kemajuan pembangunan di

wilayah penelitian, karena orang-orang yang mempunyai tingkat pendidikan yang

rendah cenderung sulit untuk menerima dan menerapkan teknologi baru yang

berkembang saat ini.

Pendidikan mempunyai pengaruh pada peternak dalam mengadopsi

teknologi dan keterampilan manajemen dalam mengelola usaha ternaknya.

Semakin tinggi tingkat pendidikan, maka pola pikir juga akan semakin rasional.

Pendidikan akan mempengaruhi pola pikir seseorang dalam mengambil

keputusan dan tindakan yang dihadapi. Peternak yang berpendidikan lebih tinggi

akan memiliki wawasan dalam berpikir serta responnya lebih cepat terhadap

perubahan-perubahan yang terjadi, dibanding dengan peternak yang

berpendidikan rendah. Pendidikan berfungsi sebagai proses untuk menggali dan

93

mengontrol potensi yang ada untuk dikembangkan dan dimanfaatkan bagi

peningkatan kualitas hidup seseorang Pendidikan formal adalah lama tahun yang

ditempuh petani dalam mengikuti sekolah formal yang berdasarkan jenjang

sekolah dasar.

Salah satu faktor yang menyebabkan seorang peternak berbeda dalam hal

menerima inovasi adalah tingkat pendidikan yang dimiliki semakin tinggi

pendidikan petani maka semakin cepat dalam menyerap inovasi dan berdampak

positif terhadap usaha yang dijalankannya. Tinggi rendahnya pendidikan petani

akan menanamkan sikap yang menuju penggunaan praktek pertanian yang

lebih modern. Mengenai tingkat pendidikan petani, dimana mereka yang

berpendidikan tinggi relatif lebih cepat dalam melaksanakan adopsi inovasi

(Ibrahim dkk., 2003).

Tingkat pendidikan formal merupakan salah satu faktor penting dalam

mengelola usaha tani. Pendidikan formal juga sangat erat kaitannya dengan

petani dalam hal menerima suatu teknologi serta informasi yang diperoleh dari

penyuluh untuk mengoptimalkan usaha tani yang dijalankan. Tingkat pendidikan

yang rendah umumnya kurang menyenangi inovasi sehingga sikap mental untuk

menambah ilmu pengetahuan khususnya ilmu pertanian kurang diminati petani.

Soekartawi (2008) menyatakan bahwa petani yang berpendidikan tinggi relatif

lebih cepat dalam melaksanakan adopsi inovasi, tingkat pendidikan formal yang

dimiliki petani akan menunjukkan tingkat pengetahuan serta wawasan yang luas

untuk petani.

Pengalaman beternak. Pengalaman beternak adalah jumlah tahun yang

dilalui seorang peternak dalam mengelola usaha ternaknya, sebagai bagian dari

proses belajar dalam kegiatan budidaya, produksi dan pemasaran hasil panen

dalam rangka memperoleh pendapatan. Pengalaman beternak dijadikan dasar

94

untuk kemajuan usaha ternaknya terutama dalam penanganan produksi dan

reproduksi. Pengalaman beternak akan berpengaruh terhadap kapasitas

pengetahuan peternak. Semakin lama pengalaman beternak semakin

meningkatkan kemampuan dalam mengambil keputusan. Pengalaman petani

responden dalam menjalankan usaha ternak sapi potong berkisar antara 1 – <20

tahun. Pengalaman petani 1-10 tahun sebesar 73%, pengalaman beternak

10 – 20 tahun sebesar 23% dan sisanya 4% berpengalaman diatas 20 tahun

(Tabel 16).

Dikman dkk. (2010), bahwa rata-rata pengalaman peternak sapi potong di

Probolinggo sebagian besar 81,15% di atas 10 tahun dan sisanya 31,58%

kurang dari 10 tahun. Wibowo dan Haryadi (2006) menyatakan bahwa

pengalaman peternak dalam memelihara sapi dapat mempengaruhi tingkat

keberhasilan peternak dalam mengembangkan usahanya. Semakin lama

pengalaman beternak sapi potong maka tingkat ketrampilan dan pengetahuan

peternak dalam menerapkan teknologi semakin mudah dan cepat. Suresti dan

Wati (2012) menyatakan bahwa semakin lama peternak menjalankan usahanya

maka akan semakin banyak pula pengalaman yang mereka peroleh sehingga

dapat dijadikan pedoman dalam menghadapi permasalahan dalam menjalankan

usaha ternak sapi potong.

Agussabti (2002), bahwa pengalaman dapat menentukan pemilihan dan

tingkat adopsi inovasi teknologi, jika seorang petani banyak mengalami

kegagalan dalam usahataninya maka akan berhati-hati dalam memutuskan suatu

inovasi, sebaliknya jika pengalaman banyak berhasil maka akan lebih responsif

terhadap inovasi teknologi yang ditawarkan. Pengalaman merupakan salah satu

cara untuk belajar dan menemukan pengetahuan sehingga dengan pengalaman

Yang banyak maka proses belajar dan pengetahuan yang dikuasai petani

95

relatif bertambah.

Jumlah Anggota Rumah Tangga (ART). Jumlah anggota rumah tangga

terbesar berkisar antara 3 – 4 orang/KK yaitu 64% ART dapat dilibatkan dalam

kegiatan usahatani jika tidak dilibatkan maka dalam kegiatan usahatani masih

memerlukan tenaga kerja dari luar keluarga, biasanya petani responden

memanfaatkan tenaga keluarga yaitu tenaga wanita (ibu atau istri) untuk

membantu usaha taninya, tenaga kerja anak tidak dimanfaatkan karena sekolah.

Hasil penelitian yang dilaporkan Ilham dkk. (2007) bahwa hasil sensus pertanian

2003 menunjukkan bahwa sebagian besar 45 – 85% keluarga mempunyai

anggota rumah tangga antara 3 – 4 orang. Fakta ini mengindikasikan keluarga

petani sudah membatasi jumlah anggota keluarga agar kualitas hidupnya dapat

lebih baik. Hartono (2011) menyatakan bahwa jumlah anggota rumah tangga

pada keluarga peternak sapi potong sebesar 3,33 orang pada peternak

penggemukan dan 3,37 orang pada peternak pembibitan sapi. Anggota rumah

tangga dapat membantu dalam melakukan aktifitas produksi untuk memenuhi

kebutuhan hidup dan merupakan sumber tenaga kelurga yang potensial untuk

pemeliharaan sapi potong. Jumlah anggota keluarga akan mempengaruhi petani

dalam mengambil keputusan. Karena semakin banyak jumlah tanggungan

keluarga maka semakin banyak pula beban hidup yang harus dipikul oleh

seorang petani.

Anggota rumah tangga terbesar berkisar antara 3 – 4 orang/KK yaitu

51% (Tabel 16). ART dapat dilibatkan dalam kegiatan usahatani jika tidak

dilibatkan maka dalam kegiatan usahatani masih memerlukan tenaga kerja dari

luar keluarga, biasanya petani responden memanfaatkan tenaga keluarga yaitu

tenaga wanita (ibu atau istri) untuk membantu usaha taninya tenaga, kerja anak

tidak dimanfaatkan karena sekolah. Hasil penelitian yang dilaporkan Ilham dkk.

96

(2007) bahwa hasil sensus pertanian 2003 menunjukkan bahwa sebagian besar

45– 85% keluarga mempunyai ART antara 3 – 4 orang.Fakta ini mengindikasikan

keluarga petani sudah membatasi jumlah anggota keluarga agar kualitas

hidupnya dapat lebih baik. Hasil penelitian di Kabupaten Donggala yang

dilaporkan Hartono (2011), bahwa jumlah ART pada keluarga peternak sapi

potong sebesar 3,33 orang pada peternak penggemukan dan 3,37 orang pada

peternak pembibitan sapi.

Jumlah Pemilikan Ternak (ST). Tabel 16 menunjukkan bahwa jumlah

kepemilikan ternak sapi terbanyak pada pemeliharaan 1-2 ST/KK sebesar 48%,

pemeliharaan >3 ST/KK sebanyak 37% dan pemeliharaan terkecil >1 ST/KK

sebanyak 15%. Ternak sapi yang dimiliki responden terdiri atas kelompok pedet,

dara dan dewasa, Jumlah ternak yang dipelihara relatif kecil, hal ini disebakan

oleh faktor keterbatasan modal. Winarso (2004) menyatakan bahwa pola

pemeliharaan 2-3 ekor banyak dimininati masyarakat dengan alasan jumlah

ternak yang terlalu besar memerlukan biaya besar, waktu yang lama dengan pola

kemitraan merupakan salah satu upaya dalam mengatasi kekurangan modal bagi

peternak. Mukson dkk (2014) menyatakan bahwa masing-masing rumah tangga

usaha ternak sapi potong di Jawa Tengah memelihara kurang lebih sebanyak

2,19 ST Jumlah ini masih relatif kecil, mengingat berbagai faktor keterbatasan

yang ada pada peternak, seperti permodalan, ketrampilan usaha, dan motif

usaha yang rata-rata masih bersifat sambilan.Tujuan pemeliharaan sapi oleh

petani biasanya sebagai tabungan bila sewaktu-waktu membutuhkan biaya maka

petani akan menjual sapinya, Penjualan ternak sapi merupakan salah satu

sumber pendapatan yang memberikan kontribusi kepada pendapatan keluarga.

Hasil penelitian yang dilaporkan Hartono (2011), bahwa rataan kepemilikan

sapi pola pembibitan 3,85 ST/responden dan untuk usaha ternak sapi pola

97

penggemukan sebanyak Berdasarkan hasil survey yang dilaporkan tentang

penyerapan tenaga kerja untuk pemeliharaan ternak dapat diketahui bahwa rata-

rata peternak memiliki ternak sapi sebanyak 4 ekor dengan curahan waktu untuk

pemeliharaannya sebanyak 3 jam dalam satu hari. Ini berarti satu ekor ternak

hanya membutuhkan waktu 0,75 jam/ekor/hari untuk pemeliharaannyan yang

meliputi kegiatan menyabit rumput, membersihkan kandang, memandikan sapi

dan memberi makan. Dari sini dapat kita hitung seorang pekerja yang biasanya

bekerja 8 jam dalam satu hari bila jam kerjanya di alokasikan untuk pemeliharaan

sapi, maka pekerja itu bisa memelihara 10 ekor sapi dalam satu hari kerja.

Luas Lahan. Luas lahan merupakan suatu areal/tempat yang digunakan

untuk melakukan usahatani diatas sebidang tanah dalam satuan hektar (ha).

Luas kepemilikan lahan petani bervariasi < 1 ha 33%, 1-2 ha 56% dan > 2 ha

11% (Tabel 16). Hasil survei diketahui bahwa lahan diperuntukkan tanaman

pangan dan perkebunan, sedangkan untuk pengembangan peternakan maupun

pengembangan hijauan pakan ternak di wilayah peneltian masih sangat terbatas

menyebabkan pendapatan petani dari usaha ternak rendah, hal tersebut sangat

mempengaruh kesejahteraan petani. Hal ini sesuai penelitian Suwandi (2005)

bahwa adanya penerapan pola usahatani padi sawah – sapi potong dapat

meningkatkan produksi dan keuntungan bagi petani dengan lahan sempit.

Penelitian yang dilaporkan Manyansari dan Mujiburrahmad (2014) di Kecamatan

Dramaga Kabupaten Bogor petani dengan luas lahan sempit > 0,1 ha sebanyak

50 %, luas lahan sedang 0,1 – 0,2 ha sebanyak 37,5 % dan sisanya 12,5 % luas

lahan yang diusahakan petani luas > 0,2 ha.

Far-Far (2011) melaporkan hasil penelitian di Kabupaten Serang Bagian

Barat menunjukkan bahwa luas pemilikan lahan yang diusahakan responden

responden bervariasi dengan luas lahan terendah 0,25 ha sebesa 43,3%, luas

98

lahan sedang >1 – 2 ha sebesar 33,3 %, lahan terluas >2 – 3 ha sebesar

23,4% dan tertinggi 3 ha dengan rata-rata 0,98 ha yang berarti masuk pada

kategori sempit. Hal ini menunjukkan bahwa petani di lokasi penelitian masih

merupakan petani kecil. Luas lahan garapan tiap petani cenderung semakin kecil

akibat dari sistem warisan yang berlaku dimasyarakat pedesaan, dan tingkat

pertumbuhan penduduk yang relatif makin besar. Luas lahan usahatani yang

diusahakan akan berpengaruh terhadap produksi dan pendapatan usahatani.

Selain itu, di pedesaan luas lahan juga mencerminkan status sosial petani yang

bersangkutan. Semakin luas lahan yang dimiliki atau diusahakan, semakin tinggi

pula status sosial. Berdasarkan hasil penelitian Yunita dkk (2011), bahwa luas

lahan usahatani padi yang diusahakan petani di Sumatera Selatan pada

umumnya relatif sempit berkisar < 0,5 – 1,0 ha sebesar 80 % dan > 1-1,6 ha

sebesar 20 %, hal ini akan mengurangi efisiensi usahatani yang dikelola..

Jumlah tenaga kerja. Umumnya tenaga kerja yang dicurahkan untuk

usahatani adalah berasal dari keluarga. Petani cenderung menggunakan tenaga

kerja yang berasal dari keluarga dengan melibatkan istri dan anaknya dalam

berbagai macam kegiatan usahatani, jumlah tenaga kerja keluarga yang

dimanfaatkan 174,38 HOK/tahun. Darmawi (2012) melaporkan hasil penelitian di

kabupaten Tanjung Jabung Barat Jambi bahwa curahan waktu tenaga kerja

keluarga peternak yakni berasal dari curahan waktu anggota keluarga (ayah,

ibu,anak) yang ikut dalam kerja pemeliharaan ternak sapi. Hasil dari perhitungan

yang disetarakan dengan jam kerja pria (Standar untuk : pria dewasa=1, wanita

dewasa=0.7, anak=0.5), maka tenaga kerja keluarga telah dapat memberikan

peranan dalam pemeliharaan sapi berupa curahan waktu sebesar 3.997.500

KP/periode. Penelitian yang dllakukan Sani dkk (2010) tentang curahan tenaga

kerja transmigrasi dan lokal di Kabupaten Konawe Selatan melapokan bahwa

99

rata-rata curahan tenaga kerja keluarga untuk peternak lokal usaha ternak sapi

hanya 188,49 HOK/tahun sedangkan peternak transmigran pada usaha ternak

sapi mencapai 262,91 HOK/tahun.

Pendapatan. Pendapatan rumahtangga petani bersumber dari usaha

pertanian, usaha perkebunan, usaha ternak dan diluar usaha pertanian (non

pertanian). Usahatani padi merupakan usahatani yang dominan dilakukan

peternak karena sebagian besar mengusahakan tanaman padi sebagai tanaman

pokoknya dan menjadi sumber utama pendapatan rumahtangga. Petani yang

mengusahakan tanaman padi sebanyak 57 responden, usaha perkebunan

kelapa sebanyak 15 responden , usaha perkebunan cengkeh sebanyak 11

responden, dan non pertanian sebanyak 45 responden. Komponen biaya,

penerimaan dan keuntungan usahatani padi per responden ditampilkan pada

Tabel 17.

Tabel 17 . Biaya, penerimaan dan keuntungan usahatani padi (Rp/tahun)

Uraian Rata-rata per responden

(Rp/Tahun)

Persentase (%)

(I). Biaya

a. Biaya Variabel

Biaya benih

Biaya pupuk

Biaya pestisida

Biaya pengolahan lahan

Biaya tenaga kerja

b. Biaya Tetap

Biaya peyusutan peralatan

Biaya lain-lain

c. Total biaya (1)

180.074

1.020.985

230.500

700.500

1.320.100

132.000

120.000

3.704.159

4,86

27,56

6,22

18,91

35,64

3,56

3,25

100,00

(II). Penerimaan (2) 12.383.241

(III). Keuntungan (3) = (2-1) 8.679.082

Sumber : Diolah dari data primer

Tabel 17 memperlihatkan bahwa rata-rata biaya usahatani padi per

responden pertahun sebesar Rp 3,704,159 dengan biaya terbesar adalah biaya

tenaga kerja Rp 1.320.100 pertahun atau 35,64% dan biaya terkecil adalah biaya

100

lain-lain (transportasi) sebesar Rp 120.000 pertahun atau 3,25%. Biaya,

penerimaan dan keuntungan usaha kebun kelapa disajikan pada Tabel 18.

Tabel 18 . Biaya, penerimaan dan keuntungan usaha kebun kelapa (Rp/tahun)

Uraian Rata-rata per responden

(Rp/tahun)

Persentase (%)

(I). Biaya

a. Biaya Variabel

Biaya pupuk

Biaya pestisida

Biaya tenaga kerja

b. Biaya Tetap.

Biaya penyusutan peralatan

Biaya lain-lain

c.Total biaya (1)

551.053

213.436

1.373.400

155.000

150.000

2.442.889

22,56

8,74

56,22

6,34

6,14

100,00

(II). Penerimaan (2) 6.442.200

(III). Keuntungan (3) = (2-1) 3.993.311

Sumber : Diolah dari data primer

Tabel 18 menyajikan rata-rata biaya usaha kebun kelapa per responden

per tahun sebesar Rp 2.442.889 dengan biaya terbesar adalah biaya tenaga

kerja Rp 1.373,400 pertahun atau 56.22% dan biaya terkecil adalah biaya dan

lain sebesar Rp 150.000 atau 6,14%. Biaya, penerimaan dan keuntungan usaha

kebun cengkeh disajikan pada Tabel 19.

Tabel 19 . Biaya, penerimaan dan keuntungan usaha kebun cengkeh (Rp/tahun)

Uraian Rata-rata per responden

(Rp/tahun)

Persentase (%)

(I). Biaya

a. Biaya Variabel

Biaya pupuk

Biaya pestisida

Biaya tenaga kerja

b. Biaya Tetap.

Biaya penyusutan peralatan

Biaya lain-lain

c.Total biaya (1)

382.000

130.000

1.388.727

178.000

200.000

2.278.727

16,76

5,71

60,94

7,81

8,78 100,00

(II). Penerimaan (2) 6.036.364

(III). Keuntungan (3) = (2-1) 3.757.637

Sumber : Diolah dari data primer

Tabel 19 menunjukkan bahwa rata-rata biaya usaha kebun cengkeh per

responden per tahun sebesar Rp 2.278.272 dengan biaya terbesar adalah biaya

101

tenaga kerja Rp 1.388,727 pertahun atau 60,94% dan biaya terkecil adalah biaya

dan penyusutan peralatan sebesar Rp 178.000 atau 7,81%.

Penerimaan ternak sapi terdiri dari penerimaan tunai dan non tunai.

Peneriman tunai diperoleh dari hasil penjualan ternak, sedangkan penerimaan

non tunai berasal dari nilai tambah ternak. Biaya, penerimaan dan keuntungan

usaha ternak sapi disajikan pada Tabel 20.

Tabel 20 . Biaya, penerimaan dan keuntungan usaha ternak sapi potong (Rp/tahun)

Uraian Rata-rata peresponden

(Rp/tahun)

Persentase (%)

(I). Biaya

a. Biaya Variabel

Biaya pakan

Biaya obat-obatan

Biaya sewa pejantan

b. Biaya Tetap.

Biaya penyusutan kandang/peralatan

Biaya lain-lain

c.Total biaya (1)

2.488.130

139.998

50.000

716.555

110.000

3.504.863

70,99

3,99

1,43

20,45

3,14

100,00

(II). Penerimaan (2) 14.047.973

(III). Keuntungan (3) = (2-1) 10.543.110

Sumber : Diolah dari data primer

Hasil penelitianTalib (2002) bahwa berat hidup anak sapi jantan 83,1 kg,

anak sapi betina 77,5 kg, dara jantan 140 kg dan betina dara 130 kg, dewasa

jantan 350 kg dan dewasa betina 257 kg, pertambahan bobot badan per hari

0,28 kg. Dalam penelitian ini nilai ternak diperoleh dengan mengalikan harga per

kg bobot hidup sapi yaitu selisih bobot hidup ternak akhir (saat penelitian

dilakukan) dengan bobot ternak awal (tahun lalu).

Tabel 20 menunjukkan bahwa rata-rata biaya usaha ternak sapi potong per

responden per tahun sebesar Rp 3.504.863 dengan biaya terbesar adalah biaya

tenaga kerja Rp 2.488.130 pertahun atau 70,99% dan biaya terkecil adalah biaya

lain-lain sebesar Rp 110.000 atau 3,14%. Penerimaan usahatani sebagian besar

berasal dari lahan sawah, sedangkan usahatani kelapa dan cengkeh berasal dari

102

lahan kebun. Penerimaan usaha ternak sapi potong berasal dari penerimaan

tunai dan non tunai. Penerimaan tunai berasal dari penjualan ternak, sedangkan

berupa natura dari penambahan nilai ternak, yaitu dari perkiraan nilai ternak sapi

jika seandainya dijual (berdasarkan bobot badan ternak sapi pada setiap tahapan

umur).

Tabel 21. Komponen pendapatan responden (Rp/tahun)

Sumber pendapatan Penerimaan (Rp/tahun)

Biaya operasional (Rp/tahun)

pendapatan (Rp/tahun)

Persentase (%)

Usahatani padi

Usaha kebun kelapa

Usaha kebun cengkeh

Usaha ternak sapi

Non pertanian

12.383.241

6.376.711

6.036.364

14.047.973

14.803.968

3.704.159

2.443.400

2.278.727

3.504.863

6.930.000

8.679.082

3.933.311

3.757.637

10.543.110

7.873.968

24,82

11,25

10,74

30,68

22,51

Total (tahun)

Rataan (bulan)

53.648.257

4.470.688

18.861.149

1,571.762

34.787.108

2.898.925

100,00

Sumber : Diolah dari data primer

Pendapatan dari usahatani padi memberikan kontribusi sebesar 24,82%

terhadap total pendapatan peternak. Produksi padi tertinggi sebesar 5.156 kg/ha

dan produksi terendah 1.025 kg/ha dengan rata-rata 2,131kg/ha. Pendapatan

dari usaha perkebunan kelapa memberikan kontribusi sebesar 11,25% terhadap

total pendapatan peternak dengan produksi kopra sebesar 2.871 kg/tahun,

usaha perkebunan cengkeh memberikan kontribusi sebesar 10,74% terhadap

total pendapatan peternak dengan produksi sebesar 826,45 kg/tahun, usaha

ternak sapi memberikan kontribusi sebesar 30,68% terhadap total pendapatan

peternak, dan non pertanian memberikan kontribusi sebesar 22,51% terhadap

total pendapatan peternak. Usaha ternak sapi memberikan kontribusi tertinggi

yaitu 30,68% terhadap total pendapatan peternak.

5.4. Komoditi Usahatani.

Berdasarkan hasil survei di wilayah penelitian terdapat beberapa komoditas

usahatani yang dominan diusahakan oleh petani, komoditas usahatani tersebut

103

adalah (1) padi, (2) kelapa, (3) cengkeh dan (4) sapi.

Kabupaten Donggala adalah salah satu penghasil padi di Sulawesi

Tengah, dimana komoditi ini sangat berperan dalam perekonomian yang

diarahkan untuk peningkatan produksi dan pendapatan petani. Luas panen padi

sawah di Kabupaten Donggala tahun 2016 mencapai 18.557 ha mengalami

penurunan dibandingkan tahun 2015 mencapai 20.374 ha. Akan tetapi luas

panen padi ladang pada tahun 2016 mencapai 985 ha mengalami peningkatan

dibandingkan pada tahun 2015 mencapai 427 ha. Untuk produktivitas, padi

sawah mengalami penurunan dibandingkan 2015 yaitu 49,62 kwintal/ha dengan

total produksi mencapai 92076 ton. Luas tanam padi di Kabupaten Donggala

adalah peringkat keempat dari 12 kabupaten/kota Provinsi Sulawesi Tengah

dengan produksi 107.032,88 ton (BPS Sulawesi Tengah, 2017) Penanaman padi

dilakukan dua kali dalam setahun. Penanaman padi dilakukan pada musim

tanam pertama yaitu bulan Pebruari, panen pada bulan juni dan musim tanam

kedua pada bulan agustus, panen bulan desember. Kecamatan Dampelas

sebagian besar penduduk menjadikan sektor pertanian sebagai kehidupan

utama, sehingga sektor pertanian menjadi sangat strategis bagi pembangunan

desa.

Di Kabupaten Donggala, lahan kering umumnya diusahakan dengan

tanaman tahunan seperti kakao, kelapa dan cengkeh, sebagian kecil menanam

vanili, lada. Tanaman kakao adalah salah satu komoditas perkebunan yang

memiliki peran penting bagi perekonomian daerah dan menjadikan sumber

kehidupan masyarakat. Dalam beberapa tahun terakhir ini tingkat produksi kakao

mengalami penurunan yang signifikan. Beberapa persoalan dalam

pengembangan kakao di Kabupaten Donggala adalah pohon kakao yang sudah

tua, serangan hama penyakit, mutu biji kakao rendah dan kurangnya perawatan.

104

Hasil wawancara diketahui bahwa perawatan tanaman kakao harus dilakukan

secara rutin mengingat kakao adalah tumbuhan yang rentan terhadap hama dan

penyakit, hal ini menyebabkan tanaman kurang nutrisi sehingga tanaman kakao

kurang berproduksi. Olehnya itu tanaman kakao tidak termasuk dalam penelitian

ini.

Tanaman kelapa adalah tanaman tahunan yang diusahakan oleh petani

diwilayah penelitian. Luas tanaman kelapa tahun 2015 mencapai 3.452,710 ha,

jumlah tanaman 515.246 pohon kelapa, produksi 1.545.738 ton Tanaman kelapa

di wilayah penelitian dan rata-rata berumur diatas 10 tahun. Tanaman kelapa

mulai produksi umur 5 sampai dengan 7 tahun dan puncak produksi dicapai

antara 12 sampai dengan tahun ke 15.. Tanaman kelapa dipanen sebanyak tiga

kali dalam setahun. Pemeliharaan tanaman sebagian besar dilakukan pada saat

memasuki musim panen melalui pembersihan di sekitar tanaman kelapa.

Pemupukan dilakukan setiap habis panen atau paling sedikit setelah dua kali

panen dilakukan satu kali pemupukan.

Selain tanaman kelapa, tanaman cengkeh banyak diusahakan petani

wilayah penelitian. Luas tanaman cengkeh tahun 2015 di Kecamatan Dampelas

mencapai 1.523,00 ha dengan jumlah tanaman 197.990 pohon dan produksi

1.092.910 ton. Produksi cengkeh nasional, mengalami pasang surut sebagai

dampak fluktuatif harga yang berpengaruh pada minat petani untuk melakukan

budidaya tanaman cengkeh. Mengingat harga cengkeh yang tidak menentu

menyebabkan banyak petani menelantarkan pohon cengkehnya, disamping itu

karena musim kemarau banyak pohon cengkeh mengalami kekeringan.

5.5. Pola Tanam

Sebagian besar penduduk di wilayah penelitian menjadikan sektor

pertanian sebagai kehidupan utama, sehingga sektor pertanian menjadi stategis

105

bagi pembangunan. Pola tanam yang berkembang di wilayah penelitian adalah:

(1) padi, padi, (2) kelapa, (3) cengkeh.

Pola tanam padi dalam setahun dilakukan dua kali tanam, penanaman padi

dilakukan pada musim tanam pertama yaitu pada bulan Februari-Juni dan musim

tanam kedua pada bulan Agustus-Desember. Setelah panen, lahan diistirahatkan

dan dibiarkan kosong kurang lebih satu bulan sebelum diolah kembali untuk

penanaman pada musim tanam berikutnya.

Pola tanam tanaman kelapa yang dilakukan di wilayah penelitian umumnya

monokulture, namun ada juga pola diversifikasi baik dengan tanaman umumnya

rumput maupun ternak sapi, kotoran feses/urin bermanfaat sebagai pupuk

organik untuk tanaman tersebut sehingga produksi meningkat. Manfaat

diversifikasi adalah meminimumkan resiko gagal panen kelapa dan sebagai

sumber pertumbuhan pendapatan. Keuntungan lain yang diperoleh dengan

diversifikasi adalah meningkatkan pendapatan, penyerapan tenaga kerja dan

konservasi lingkungan.

Budhi (2010) menyatakan bahwa pengembangan diversifikasi tanaman

tetap relevan dengan tujuan untuk meningkatkan pendapatan dan optimalisasi

penggunaan lahan Pengembangan diversifikasi tanaman pangan perlu dukungan

dari pemerintah berupa penyediaan bibit unggul sampai pemasaran dan

memfasilitasi untuk kerjasama antara petani dan swasta.

Pola tanaman cengkeh diwilayah penelitian adalah monokulture dengan

umur tanaman rata-rata diatas 15 tahun. Tanaman cengkeh banyak tidak

berproduksi karena kurangnya pemeliharaan dan mengalami kekeringan akibat

pengaruh iklim. Tanaman cengkeh bila dipelihara dengan baik yaitu dengan

menyiangi dan memberikan pupuk akan berproduksi maksimal. Petani kurang

memberi perhatian terhadap tanaman cengkeh karena pada saat pengambilan

106

data harga cengkeh sangat murah menyebabkan biaya produksi lebih tinggi

dibandingkan dengan penerimaan petani, hal inilah yang menyebabkan

pendapatan petani cengkeh menurun.

5.6. Keragaan Pola Usahatani

Pola usahatani diwilayah penelitian adalah 1) padi - sapi, 2) padi kelapa

dan sapi, 3) kelapa – sapi, 4) padi, cengkeh dan sapi. Priyanti (2007)

menyatakan bahwa usaha sapi - tanaman dapat memberikan dampak budidaya,

sosial, ekonomi yang postif. Potensi ketersediaan pakan dari limbah tanaman

cukup besar sepanjang tahun sehingga dapat mengurangi ketergantungan

terhadap pakan dari luar dan menjamin keberlanjutan usaha sistem integrasi.

Pola Usaha Padi dan Sapi. Luas tanam padi di Kabupaten Donggala

tahun 2015 adalah sebesar 20.083 ha yang terdiri dari padi sawah 19.455 ha

dan padi ladang 628 ha. Luas panen padi selama tahun 2015 mencapai 20.801

ha yang terdiri dari 20.374 ha padi sawah dan 427 ha padi ladang. Produktivitas

padi selama tahun 2015 mencapai 107.033 ton yang terdiri dari 106.090 ton padi

sawah dan 943 ton padi ladang (Statistik pertanian tanaman pangan Kabupaten

Donggala 2016). Sapi dengan berat badan rata-rata 300 kg kebutuhan BK 2-3%

BB (6-9 kg BK) sehingga kebutuhan BK sudah terpenuhi namun secara kualitas

masih kurang.

Pertanian tanaman pangan merupakan sumber penghasilan utama

Kecamatan Dampelas dan masih didominasi tanaman padi, dimana tahun 2015

luas panen mencapai 4.585,98 ha dengan produksi menurun 24.987,13 ton

dibanding tahun 2014. Ini disebabkan kemarau panjang menyebabkan produksi

menurun.

Populasi ternak di Kabupaten Donggala terdiri dari sapi potong, kerbau,

kuda, kambing, domba dan babi. Populasi ternak terbesar tahun 2017 adalah

107

sapi potong dengan jumlah 42.217 ekor dimana jumlah terbesar berada di

Kecamatan Dampelas sebanyak 8419 ekor. Pembangunan sub sektor

peternakan di wilayah penelitian diupayakan untuk meningkatkan populasi dan

produksi ternak sehingga dapat memenuhi kebutuhan daging bagi daerah

Pola Usaha Padi, Kelapa dan Sapi. Komoditas yang diusahakan petani

terlihat pada komoditas yang diandalkan dalam perekonomian rakyat yaitu

tanaman kelapa. Tanaman kelapa adalah salah satu tanaman tahunan yang

terdapat di Kabupaten Donggala. Luas tanam kelapa tahun 2016 mencapai

28.442 ha dengan produksi 28.355,47 ton. Tanaman kelapa dominan diusahakan

petani di wilayah penelitian dengan luas tanaman kelapa tahun 2015 mencapai

3.452,10 ha dan jumlah pohon mencapai 515.249 dengan produksi sebesar

1.545.738 ton.

Pola Usaha Kelapa dan Sapi. Kelapa memiliki peran strategis bagi

perekonomian marjinal karena disamping dapat dikonsumsi langsung juga dapat

dijadikan bahan baku industri, Komoditi ini telah lama dikenal dan sangat

berperan bagi kehidupan bangsa Indonesia baik ditinjau dari aspek ekonomi

maupun aspek sosial budaya. Seiring dengan laju pertumbuhan penduduk

dewasa ini menunjukkan bahwa kebutuhan/permintaan akan kelapa makin tinggi

mengigat produknya merupakan salah satu dari sembilan bahan pokok

masyarakat. Dilain pihak produksi kelapa dalam perkembangannya cenderung

tetap atau tidak seimbang dengan laju permintaannya. Produksi dan harga kopra

yang tidak stabil merupakan penyebab berfluktuasinya pendapatan ditingkat

petani (Tumoka, 2013). Hal in ididuga disebabkan oleh beberapa masalah antara

lain: penebangan pohon kelapa untuk bahan bangunan sehinga jumlah tanaman

yang ada berkurang tiap tahun, kurangnya peremajaan tanaman tua,

ketersediaan lahan untuk ekstensifikasi semakin terbatas, kurangnya

108

penggunaan sarana teknologi produksi seperti penggunaan pupuk, pemeliharaan

tanaman yang kunrang intensif dan alih fungsi lahan menjadi perumahan dan

lain-lain yang juga berpengaruh secara langsung pada pendapatan petani kelapa

dalam.

Hasil penelitian Rusnan dkk (2015), bahwa Kabupaten Halmahera selatan

memiliki potensi dalam pengembangan peternakan sapi potong dengan pola

integrasi kelapa-sapi berupa sumberdaya alam, sumberdaya manusia, dukungan

kebijakan pemerintah, sarana dan prasarana dan peluang pasar. Hasil penelitian

Suwandi (2005), bahwa integrasi sapi potong-padi di Kabupaten Sragen

meningkatkan pendapatan petani dan kesuburan tanah akibat bertambahnya

unsur hara dari kompos. Hal ini dapat dilihat dari peningkatan hasil gabah

permusim (Rp 145.000/ha). Selain itu produktivitas pakan meningkat (dihitung

dari nilai penghematan konsentrat Rp 1.500.000/tahun) serta kesempatan kerja

bertambah melalui pengolahan limbah mencapai 100 HOK atau

Rp 1.000.000/tahun. Elly dkk. (2008) menyatakan bahwa sistem integrasi sapi-

tanaman jagung memberikan keuntungan kepada petani peternak karena 1)

pupuk kompos dar kotoran ternak sapi dapat meningkatkan kesuburan tanah dan

sebagai sumber pendapatan, 2) ternak dapat dimanfaatkan sebagai tenaga kerja

dan sumber pendapatan bila disewa petani lain yang tidak memiliki tenak sapi,

3) limbah jagung bermanfaat sebagai pakan sehingga mengurangi biaya

penyediaan pakan dan 4) lahan diantara pohon kelapa berupa rumput Brachiria

brizanta dan leguminosa Arahis pintoi untuk meningkatkan kesuburan tanah

sebagai sumber pakan yang berkualitas dan sumber pendapatan bila dijual.

Soedjana (2007) menjelaskan bahwa ada empat model penerapan sistem

usaha tani campuran, yaitu: 1) sistem yang dipraktekkan secara alami dan turun-

temurun oleh petani setempat, 2) sistem usaha tani tanpa melibatkan ternak,

109

3) sistem usaha tani ternak, dan 4) sistem usaha yang berbasis pada sumber

daya lahan, tenaga kerja, dan modal. Masing-masing sistem usaha tani tersebut

memiliki risiko dan ketidakpastian usaha di masa yang akan datang. Dari risiko

mendasar tersebut, dengan menggunakan perhitungan sistem fungsional, usaha

tani terintegrasi tanaman-ternak mempunyai peluang risiko yang minimal. Yuliani

(2014) menyatakan bahwa Sistem integrasi padi-ternak (SIPT) dalam sistem

pertanian merupakan strategi yang sangat penting untuk mewujudkan usaha tani

yang ramah lingkungan, kesejahteraan petani dan masyarakat desa. SIPT

merupakan salah satu program pemerintah untuk mewujudkan kedaulatan

pangan yang telah menjadi hak seluruh rakyat Indonesia untuk memperoleh

pangan yang sehat, cukup, dan mudah diakses untuk keberlangsungan hidup.

Prinsip dari SIPT adalah usaha tani yang menerapkan zero waste dengan

memanfaatkan sumber daya lokal yaitu jerami padi, dedak, kulit buah kakao dan

kotoran ternak secara efisien. tercipta zero waste dan integrated farming system

yang baik untuk mewujudkan kedaulatan pangan.

Pola Usaha Padi, Cengkeh dan Sapi. Cengkeh di Kabupaten Donggala

merupakan sektor yang sangat menunjang pendapatan daerah. Perkembangan

komoditi cengkeh di Donggala berlangsung sesuai dengan laju luas tanaman dan

produksi. Perkembangan produksi cengkeh di Kabupaten Donggala pada tahun

2008-2012 mengalami fluktuasi. Hal ini disebabkan karena adanya perubahan

luas panen tiap tahun, adanya keadaan iklim yang tidak menentu, gangguan

hama dan penyakit serta terjadinya fluktuasi harga cengkeh yang cukup besar

dan biaya panen serta pengolahan cukup tinggi. kondisi tersebut menyebabkan

perubahan peningkatan produksi. Produksi tanaman cengkeh di Kabupaten

Donggala tahun 2015 dengan luas panen 34.136 ha produksi sebesar 1.454 ton.

Luas tanam tanaman cengkeh Kecamatan Dampelas tahun 2014

110

mencapai 1,489,00 ha mengalami peningkatan di tahun 2015 menjadi 1.524,00

ha. Produksi cengkeh tahun 2014 mencapai 987,54 ton dan produksi cengkeh di

tahun 2015 mengalami peningkatan mencapai 1.092.910 ton.

5.7. Pola Usaha Ternak Sapi Potong

Usaha ternak sapi potong di wilayah penelitian adalah usaha pembibitan

dan usaha memelihara ternak sapi potong bagi petani merupakan salah satu

bagian untuk mendukung dalam memenuhi kebutuhan keluarga peternak. Tujuan

peternak dalam memelihara sapi potong adalah untuk mendapatkan keuntungan

namun pada pola pembibitan yang dilakukan oleh peternak pada mulanya untuk

tabungan namun seiring dengan berkembangnya usaha ternaknya maka lama-

kelamaan menjadi usaha komersil. Pemeliharaan ternak sapi di wilayah

penelitian, dilakukan petani sebagai usaha sambilan. Berdasarkan hasil

wawancara diketahui bahwa usaha pokok umumnya adalah bertani. Usaha

ternak diposisikan sebagai tabungan jika sewaktu-waktu petani membutuhkan

uang maka ternak sapinya akan dijual.

Sistem pemeliharaan ternak sapi diwilayah penelitian umumnya dilakukan

secara, intensif, semi intensif dan ekstensif Pada pemeliharaan intensif, peternak

memelihara ternak dalam kandang kelompok, pemberian pakan dilakukan 2 kali

sehari jam 10.00 pagi dan 17.00. Pemeliharaan sapi potong dengan cara

dikandangkan memudahkan pengawasan dan penanganan, tetapi jika

pemberian pakan kurang mencukupi baik kuantitas maupun kualitasnya maka

sering terjadi kelumpuhan akibat sapi kurang bergerak atau exercise.

Pemeliharaan semi intensif, sapi digembalakan siang hingga sore hari dan

dikandangkan pada malam hari. Pada siang hari ternak digembalakan diareal

persawahan atau padang rumput yang ada disekitar desa. Pemberian pakan

hijauan makanan ternak 2 kali sehari yakni jam 10.00 pagi dan jam 16.00 sore

111

sedangkan pakan tambahan berupa dedak diberikan 1 kali sehari. Pemeliharaan

secara ekstensif, ternak dipelihara dengan cara dilepas di padang

penggembalan. Khusus di desa Lembah Mukti ternak sapi dipelihara diareal

perkebunan kelapa, sapi diikat dibawah pohon kelapa dan dibiarkan merumput

siang hari dan diikat kembali sore hari. Peternak menanam hijauan makanan

ternak berupa rumput gajah dan rumput raja di sela-sela tanaman kelapa.

Pemeliharaan ternak di areal kebun kelapa memudahkan petani dalam hal

penyediaan pakan ternak, hal ini dapat dipahami karena disekitar areal

perkebunan kelapa terdapat hijauan yang tumbuh sehingga kebutuhan

pakan ternak sebahagaian telah terpenuhi.

Sistem pemberian pakan menunjukkan bahwa pemberian pakan hijauan

untuk ternak hanya dikira-kira saja tanpa memperhatikan kuantitas. Jenis pakan

yang diberikan berupa rumput lapangan, rumput raja, rumput gajah dan pakan

tambahan/konsentrat berupa dedak. Dedak adalah hasil sisa penggilingan dari

padi yang dapat digunakan sebagai pakan ternak, Dedak merupakan bahan

pakan konsentrat yang banyak digunakan oleh petani sebagai sumber energi

dan protein. Selain itu bahan pakan ternak ini banyak tersedia karena tidak

bersaing dengan kebutuhan manusia. Siregar, (1994) dalam Purwanto (2012)

mengemukakan bahwa pemberian dedak dapat memberikan efisiensi

penggunaan makanan lebih baik karena dedak mudah dicerna dan mengandung

gizi yang tinggi. Adapun kandungan/komposisi gizi dari dedak halus adalah:

protein kasar 15,9% lemak kasar 9,10%.

Pada musim hujan ketersediaan pakan hijauan berlimpah tetapi pada

musim kemarau ketersediaannya terbatas. Pada wilayah penelitian potensi

limbah hasil pertanian dan perkebunan berlimpah dan belum dimanfaatkan scara

maksimal. Hal ini disebabkan tingkat pengetahuan petani dalam teknologi

112

pengolahan pemanfaatan limbah hasil pertanian dan perkebunan masih rendah

sehingga pada kondisi musim kemarau ternak akan kekurangan pakan dan

berakibat pada penurunan produksi dan populasi ternak sapi.

Jenis sapi yang dominan dipelihara peternak di wilayah penelitian adalah

sapi Bali, sapi PO dan sebagian kecil memelihara sapi lokal atau sapi Donggala.

Sapi Bali disenangi petani dengan alasan bahwa sapi Bali mudah berkembang

biak, memiliki daya tahan tubuh yang baik, cepat beranak, mudah beradaptasi

dengan lingkungan yang sangat ekstrim. Hasil wawancara dengan petani

diketahui sapi bali pertama kawin umur 3 tahun, beranak pertama umur 4 tahun,

jarak minta kawin lagi setelah beranak 60 hari. Pencegahan penyakit bisa

dilakukan dengan mengupayakan kebersihan kandang dan lingkungan. Penyakit

yang biasa diderita ternak sapi dilokasi penelitian adalah kudisan (kurap),

cacingan dan perut kembung. Vaksinasi biasa dilakukan oleh petugas dari dinas

pertanian, peternakan dan kesehatan hewan Kabupaten Donggala.

Teknik perkawinan dilakukan dengan sistem kawin alam dan inseminasi

buatan (IB). Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa pengamatan birahi

dilakukan setiap hari yakni pagi dan sore hari dengan melihat gejala birahi

secara langsung dengan tanda estrus. Jika birahi pagi hari ternak sapi

dikawinkan sore hari, bila birahi sore hari dikawinkan besok pagi hingga siang

hari. Sebagian petani tidak mempunyai pejantan sehingga pada saat terjadi

birahi pada ternak betina petani akan menyewa pejantan Rp 30.000 –

Rp 50.000. Keberhasilan kebuntingan sapi induk biasanya dicapai dengan

dengan frekuensi penyuntikan sebanyak 2-3 kali.

. Penyapihan pada umumnya dilakukan pada usia pedet 3-4 bulan,

sehingga sejak disapih sampai umur setahun sudah mulai kekurangan pakan

disebabkan keterbatasan peternak dalam menyediakan pakan, seharusnya pada

113

usia pertumbuhan pemberian pakan harus diperhatikan baik kualitas maupun

kuantitasnya.

Pemeliharaan ternak sapi potong, peternak memanfaatkan tenaga kerja

keluarga untuk menggembalakan ternak, memotong rumput atau mengumpulkan

sisa-sisa hasil pertanian yang dapat dimanfaatkan untuk pakan ternak, dan

selanjutnya ternak mendatangkan pendapatan yang berupa anak sapi, nilai

ternak dan kotoran ternak sebagai pupuk.

Pemasaran pada prinsipnya merupakan proses kegiatan penyaluran

produk yang dihasilkan oleh produsen agar dapat sampai kepada konsumen.

Peternak didalam melaksanakan usahanya selalu menghadapi masalah

pemasaran. Pola pemasaran ternak sapi potong di wilayah penelitian masih

bersifat konvensional yaitu peternak tidak menjual langsung sapinya ke pasar

hewan atau pedagang besar melainkan ke pedagang pengumpul ditingkat desa

atau kepada peternak disekitar desa yang membutuhkan dan penjualan

tergantung kesepakatan antara peternak dan pembeli. Peran pedagang

pengumpul didesa masih dirasakan sangat membantu peternak, sehingga

pedagang pengumpul ditingkat desa tidak mungkin dihilangkan dari saluran

pemasaran. Peternak dihadapkan pada posisi tawar yang lemah, mereka tidak

mengetahui informasi harga ternak terlebih lagi pada saat peternak memerlukan

uang, sehingga harga jual ternak menjadi tidak wajar. Hal inilah yang

menyebabkan keuntungan peternak kurang maksimal, di lain pihak pedagang

desa, pedagang besar dan jagal mendapatkan keuntungan yang lebih besar,

karena merekalah yang berhubungan langsung dengan pasar. Sistem penjualan

tersebut telah berlangsung lama tanpa adanya perubahan. Penyerahan barang

berupa ternak dapat dilakukan di tempat penjual dan ada kalanya penjual

mengantarkan ternaknya yang dijual kepada pembeli, sedangkan pembayaran

114

harga ternak dapat dilakukan secara tunai atau dibayar dengan selang waktu

seminggu sesuai kesepakatan.

Kondisi faktual dari proses menjual sapi potong baik pada peternak

kelompok maupun peternak individu, semua didasarkan pada kriteria

performance atau tampilan fisik sapi potong dan umur. Berdasarkan wawancara

diketahui bahwa 23 % petani mampu menaksir bobot badan sapi dan 77 % tidak

mampu menaksir bobot badan sapi. Penentuan harga jual ternak di tingkat

peternak dilakukan dengan sistem taksiran bukan berdasarkan bobot badan

ternak, mengakibatkan kecenderungannya merugikan pihak peternak.

Dari hasil wawancara diketahui, sebagian besar hasil ternak sapi

dipasarkan keluar daerah dan hanya dalam jumlah kecil ternak dipasarkan

secara lokal. Pemasaran secara lokal melalui dua jalur yaitu dari peternak

(produsen) langsung ke konsumen, kedua melalui perantara ke tukang jagal lalu

ke konsumen, dan pedagang antar daerah. Pengadaan ternak untuk pedagang

antar daerah selain bersumber dari peternak dan pasar hewan setempat, juga

melakukan pembelian ke luar daerah. Hartono (2011) menyatakan bahwa di

kecamatan Damsol, jangkauan pembelian para pedagang ini ke luar daerah

mencakup Kabupaten Parigi Moutong, Kabupaten Luwuk Banggai dan atau

sesuai keinginan pedagang. Bagi pedagang pengumpul, pengadaan ternak

umumnya di lakukan di lokasi setempat, meskipun ada juga yang melakukan

pembelian ke luar daerah. Tujuan pemasaran ternak sapi antar daerah yaitu

Provinsi Kalimantan Timur.

5.8. Aspek Permodalan

Modal mempunyai kedudukan dan peranan yang sangat penting dalam

proses produksi usahatani. Modal merupakan salah satu syarat untuk

menjalankan suatu usahatani/usaha ternak, modal digunakan untuk membeli

115

sarana produksi seperti bibit, alat, pupuk, membeli ternak, memberikan upah

tenaga kerja dan membayar pajak lahan usahatani. Modal dapat berasal dari

petani itu sendiri atau melalui pinjaman bank atau pihak terkait (Rangkuti dkk.,

2014).

Tujuan setiap produsen menekan biaya serendah-rendahnya dengan

menggunakan sumberdaya yang ada secara efisien dan efektif. Dikatakan efektif

bila petani dapat mengalokasikan sumber daya yang mereka miliki sebaik-

baiknya, dan dapat dikatakan efisien bila pemanfaatan sumberdaya tersebut

mengeluarkan output yang melebihi input (Shinta, 2011). Sejalan dengan

berkembangnya produksi usahatani maka bertambah pula akan kebutuhan

modal baik modal sendiri/pribadi maupun modal dari sumber luar. Modal kerja

dalam penelitian ini adalah dana yang dimiliki oleh petani untuk memenuhi

kebutuhan operasinya di mana dana tersebut diharapkan dapat kembali melalui

hasil penjualan produknya untuk kemudian digunakan kembali untuk membiayai

operasi selanjutnya. Pada umumnya masalah yang sebagian besar dihadapi

petani, terutama petani kecil tidak sanggup membiayai usahataninya dengan

menggunakan biaya sendiri. Berbagai upaya-upaya telah dilakukan oleh

pemerintah untuk memberikan bantuan modal. Namun, upaya itu tidak

sepenuhnya dapat mengatasi kesulitan modal bagi petani.

Dalam penelitian ini modal yang dimaksud adalah modal kerja yaitu biaya

yang dikeluarkan pada usahatani maupun usaha ternak. Hasil survei diketahui

bahwa peternak menggunakan modal kerja sendiri/pribadi untuk usahataninya

maupun usaha ternaknya. Dalam pengembangan usaha ternak sapi di wilayah

penelitian peternak dihadapkan pada keadaan yang sulit didalam menyediakan

modal untuk membeli ternak sapi potong. Olehnya itu adanya bantuan modal

usaha yang diberikan pemerintah kepada kelompok melalui BLM (bantuan

116

langsung masyarakat) berupa dana (uang cash) yang dicairkan oleh kelompok

dibelikan sapi bibit dan diberikan kepada anggota kelompok, program ini sangat

membantu peternak untuk pengembangan sapi potong. Peternak yang

mendapatkan bantuan bibit baik betina atau jantan, harus mengembalikan

berupa keturunannya selama lima tahun dengan sistem bergulir. Kebijakan

pemerintah tentang bantuan modal berupa satu ekor sapi potong sangat

membantu petani dalam menjalankan usaha ternaknya yang pada akhirnya akan

meningkatkan pendapatan peternak.

5.9. Analisis Optimasi Usaha Ternak Sapi Potong

5.9.1. Peubah Yang Diamati

Peubah pengambilan keputusan berdasarkan komoditas adalah sebagai

berikut :

X1 : padi

X2 : kelapa

X3 : cengkeh

X4 : sapi

Sedangkan peubah deviasinya adalah sebagai berikut :

DA : ketercapaian tujuan dalam syarat ikatan ke i

DB : ketidak tercapaian tujuan dalam syarat ikatan ke i

5.9.2. Model Matematis Linear Goal Programming

Analisis optimasi yang dilakukan menggunakan Linear Goal Programming

secara komputasi dengan menggunakan paket Program Lindo.

Persamaan matematis fungsi tujuan model Linear Goal Programming (LGP)

dalam penelitian ini adalah :

Min Z = d1+ + d1

- + d2+ + d2

- + d3+ + d3

-+d4+ + d4

- + d5+ + d2

- + d6+ + d6

- + d7

+ + d7- + d8

+ + d8-+ d9

+ + d9-

117

Kendala tujuan model linear goal programming dalam penelitian ini

sebagai berikut :

1. Pendapatan petani

2 . Jumlah ternak

3. Pertambahan berat badan harian

4. Pemanfaatan limbah ternak

5. Pemanfaatan limbah pertanian

6 . Luas lahan

7. Modal kerja

8. Tenaga kerja keluarga

9. Kredit sapi potong

5.9.2.1. Pendapatan Petani

Kendala tujuan pertama adalah pendapatan petani dari usahatani, usaha

kebun dan usaha ternak per tahun (Rp/tahun). Berdasarkan hasil survey

pendapatan petani dari 4 jenis komoditas yang telah diusahakan petani disajikan

pada Tabel 22.

Tabel 22. Pendapatan responden dari usahatani dan usaha ternak

Jenis Usaha Rataan Pendapatan (Rp/tahun)

Usahatani padi

Usaha kebun kelapa

Usaha kebun cengkeh cengkeh

Usaha ternak sapi

8.679.082

3.933.311

3.757.636

10.543.110

Sumber : Diolah dari data primer

Tabel 22 menunjukkan bahwa usaha ternak sapi potong menghasilkan

rataan pendapatan tertinggi sebesar Rp 10.730.860/tahun, diikuti pendapatan

usahatani padi sebesar Rp 8.679.082/tahun, pendapatani kelapa sebesar

Rp 3.933.311/tahun, dan pendapatan cengkeh sebesar RP 3.757.636/tahun

dengan total pendapatan Rp 26.973.138

118

Formulasi kendala tujuan pertama sebagai berikut :

1). 8.679.082 X1 + 3.993.311 X2 + 3.757.636 X3 + 10.543.110 X4 +

DA1 – DB1 = 26.973.138

5.9.2.2. Jumlah Kepemilikan Ternak

Pada umumnya pemeliharaan sapi potong di Indonesia diusahakan oleh

peternak rakyat skala usaha kecil dengan manajemen pemeliharaan secara

tradisional. Sifat usaha adalah sambilan disamping usaha pokoknya sebagai

petani tanaman pangan. Tujuan pemeliharaan adalah untuk menambah

pendapatan keluarga, memanfaatkan kotoran sebagai pupuk lahan pertaniannya,

memanfaatkan limbah pertanian untuk pakan dan sebagai tabungan (asuransi)

hidup yang sewaktu-waktu dapat diuangkan (dijual). Demikian pula usaha ternak

sapi di wilayah penelitian dilakukan oleh peternak rakyat skala usaha kecil

dengan jumlah kepemilikan ternak sapi potong untuk bervariasi 1 – 11 ekor

dengan rata-rata 2,38 ST.

Tabel 23. Rataan kepemilikan ternak berdasarkan kelompok umur

Uraian Anak (ST) Dara (ST) Dewasa (ST) Jumlah (ST)

Jantan

Betina

0,32258065

0,28571429

0,94117647

0,80

1,26190476

1,5070422

2,62216517

2,528613

Total 0,60829493 1,74117647 2,76894702 5,11841842

Sumber : Diolah dari data primer

Jumlah kepemilikan ternak sapi potong di wilayah penelitian sangat

mempengaruhi tingkat pendapatan peternak. Umumnya petani memposisikan

usaha ternak sapi potong sebagai usaha sambilan namun disisi lain usaha ternak

sapi potong ini memberikan kontribusi terhadap pendapatan petani. Petani tidak

mempunyai cukup modal untuk meningkatkan jumlah kepemilikan ternak

walaupun demikian usaha ternak sapi potong sangat membantu petani untuk

meningkatkan kesejahteraan petani

119

Kendala tujuan kedua adalah jumlah kepemilikan ternak sapi (ST/tahun)

disajikan pada Tabel 24.

Tabel 24. Jumlah kepemilikan ternak

Jenis Usaha

Rataan Kepemilikan

Ternak (ST/)

Rataan Kepemilikan Ternak berdasarkan Umur

(ST)

Usahatani padi

Usaha kebun kelapa

Usaha kebun cengkeh

Usaha ternak sapi

-

-

-

2,38

- - -

5,11

Sumber : Diolah dari data primer

Hasil penelitian menunjukkan bahwa rataan jumlah pemilikan ternak sapi

2.38 ST/tahun dan rataan kepemilikan berdasarkan umur 5,11 ST.

Formulasi kendala tujuan kedua sebagai berikut :

2). 2,38 X4 + DA2 – DB2 = 5,11

5.9.2.3. Pertambahan Bobot Badan Harian Ternak

Pertambahan bobot badan adalah salah satu parameter untuk mengetahui

pertumbuhan sapi selama kurun waktu tertentu dan lama pemeliharaan

berpengaruh terhadap pertumbuhan atau pertambahan bobot badan harian

ternak. Pertumbuhan ternak dapat diduga dengan memperhatikan penampilan

fisik dan bobot hidupnya. Pertambahan bobot badan sapi ditentukan oleh

berbagai faktor terutama jenis kelamin, jenis sapi, umur, ransum atau pakan yang

diberikan dan teknik pengolahannya,. Pengukuran bobot bobot badan harian

ternak di wilayah penelitian dilakukan dengan mengukur panjang tubuh awal dan

panjang tubuh akhir, mengukur lingkar dada awal dan lingkar dada akhir.

Pertambahan bobot badan harian ternak sapi Bali dihitung menggunakan

rumus (Ida Bagus Dagra dalam Guntoro,S. 2002) yaitu bobot badan = ((lingkar

dada (cm))2 X (panjang badan (cm)) : 11050, dinyatakan dalam kg/ekor/hari.

Kendala tujuan ketiga adalah meningkatkan pertambahan bobot badan

120

harian ternak (kg/ekor/hari) di sajikan pada Tabel 25.

Tabel 25. Pertambahan bobot badan harian ternak

Jenis usaha Rataan PBBH(kg/ekor/hari) PBBH(kg/ekor/tahun)

Usahatani padi

Usaha kebun kelapa

Usaha kebun cengkeh

Usaha ternak sapi

-

-

-

0,28

-

-

-

102,8

Sumber : Diolah dari data primer

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertambahan bobot badan harian

ternak sapi potong sebesar 0,28 kg/ekor/hari, untuk pertambahan berat badan

harian ternak pertahun adalah 102,8 kg/ekor/tahun.

Formulasi kendala tujuan ketiga sebagai berikut :

3). 0,28X4 + DA3 – DB3 = 102.8

5.9.2.4. Pemanfaatan Limbah Kotoran Ternak Sebagai Pupuk

Limbah kotoran ternak sapi merupakan bahan organik atau anorganik yang

tidak termanfaatkan lagi dan dapat menimbulkan masalah serius bagi lingkungan

jika tidak ditangani dengan baik. Limbah dapat berasal dari berbagai sumber

hasil buangan dari suatu proses produksi salah satunya limbah peternakan.

Limbah tersebut dapat berasal dari rumah potong hewan, pengolahan produksi

ternak, dan hasil dari kegiatan usaha ternak. Limbah ini dapat berupa limbah

padat, cair, dan gas yang apabila tidak ditangani dengan baik akan berdampak

buruk pada lingkungan

Limbah Kotoran ternak sapi merupakan salah satu bahan membuat pupuk

organik. Ada banyak cara yang dapat dilakukan untuk mengolah limbah

peternakan tersebut yaitu dengan mengolah kotoran menjadi pupuk kandang,

Cara ini merupakan cara yang paling sederhana yang sering kita jumpai yaitu

kotoran ternak dibiarkan hingga kering. Namun dengan cara pengolahan kotoran

tersebut belum bisa dikatakan ramah lingkungan, karena kotoran ternak yang

121

diolah dengan cara dikeringkan akan menimbulkan pencemaran dalam bentuk

gas atau bau. Bau yang menyengat yang ditimbulkan dari kotoran ternak akan

mengganggu pernafasan yang menyebabkan gangguan kesehatan.

Meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga lingkungan

menimbulkan pemikiran untuk mengolah kotoran ternak tersebut menjadi suatu

produk yang lebih bermanfaat. Kotoran ternak diolah dengan cara yang lebih

baik akan bernilai ekonomi tinggi seperti pemanfaatan kotoran tersebut sebagai

bahan pembuatan biogas, pupuk padat, dan pupuk cair. Pengolahan kotoran

ternak menjadi biogas pupuk padat ataupun pupuk cair akan menambah nilai

ekonomis dari kotoran ternak tersebut.

Huda dan Wikanda (2017), bahwa hasil pemanfaatan limbah kotoran sapi

menjadi pupuk organik ternyata menghasilkan potensi ekonomi yang lumayan

besar bagi anggota kelompok tani ternak sehingga dapat meningkatkan

pendapatan ekonomi dan dapat mendorong kesejahertaan petani. Selain itu,

pemanfaatan limbah kotoran sapi menjadi pupuk organik juga dapat menjaga

kesehatan lingkungan dan menjaga kesehatan masyarakat sekitar peternakan,

karena limbah kotoron sapi ini dapat menghasilkan NH3 yang apabila bersatu

dengan debu dalam jangka waktu lama akan menyebabkan beberapa penyakit

yang terkait dengan paru-paru dan mencemari udara di sekitar masyarakat

karena baunya. Sehingga dengan pemanfaatn limbah tersebut dapat

membangun hubungan yang simbiosis muatualisme yang saling memanfaatkan

secara positif.

Kendala tujuan keempat adalah pemanfaatan limbah kotoran ternak

sapi sebagai pupuk disajikan pada Tabel 26.

122

Tabel 26. Pemanfaatan limbah kotoran ternak sebagai pupuk

Jenis usaha Rataan Limbah kotoran ternak

(kg//hari)

Jumlah Limbah kotoran

ternak (kg/tahun)

Usahatani padi

Usaha kebun kelapa

Usaha kebun cengkeh

Usaha ternak sapi

-

-

-

25,53

-

-

-

9318,45

Sumber : Diolah dari data primer

Hasil penelitian menunjukkan produksi limbah ternak yang dapat

dimanfaatkan sebagai pupuk organik adalah 25,53 kg/hari, sehingga total

produksi limbah ternak yang dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organik selama

setahun adalah 9318,45 kg/tahun.

Formulasi kendala tujuan keempat adalah sebagai berikut :

4). 25,53 X4 + DA5 – DB5 = 9318,45

5.9.2.5. Pemanfaatan Limbah Pertanian Sebagai Pakan Ternak

Pengembangan usaha ternak sapi potong sebaiknya memanfaatkan

limbah pertanian sebagai pakan ternak mengingat penyediaan rumput dan

hijauan pakan lainnya sangat terbatas. Limbah pertanian yang berasal dari

limbah tanaman pangan seperti jerami jagung, jerami padi, dedak dan lain-lain

dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak, namun ketersediaannya sangat

dipengaruhi oleh pola pertanian tanaman pangan di suatu wilayah.

Harnbatan utama petani ternak untuk meningkatkan populasi ternaknya

adalah terbatasnya pakan. Perluasan daerah untuk penanaman rumput sebagai

pakan ruminansia sangat sulit, karena terbatasnya lahan. Mengingat makin

sempitnya tempat penggembalaan ternak, maka usaha pemanfaatan bahan sisa

hasil pertanian untuk pakan perlu diperluas. Umumnya limbah pertanian banyak

tersedia di daerah pedesaan, integrasi antara tanaman pangan dengan ternak

merupakan suatu alternatif untuk memanfaatkan limbah pertanian sebagai pakan

123

ternak. Limbah pertanian adalah sisa tanaman pertanian pasca panen setelah

diambil hasil utamanya.

Sumber pakan untuk ternak ruminansia adalah hijauan dan konsentrat,

sehingga untuk meningkatkan produksi ternak ruminansia harus diikuti oleh

peningkatan penyediaan hijauan dan konsentrat yang cukup baik kuantitas

maupun kualitas. Beberapa faktor yang menghambat penyediaan hijauan, yakni

terjadinya perubahan fungsi lahan yang sebelumnya sebagai sumber hijauan

pakan menjadi lahan pemukiman, lahan untuk tanaman pangan, dan tanaman

industri. Salah satu langkah untuk menurunkan keterbatasan hijauan dan pakan

lainnya adalah dengan pemanfaatan limbah pertanian sebagai pakan ternak.

Limbah pertanian dapat dimanfaatkan sebagai sumber pengganti pakan yang

dapat memenuhi nilai gizi ransum yang setara, mudah diperoleh, dan

penggunaannya sebagai bahan pakan ternak yang tidak bersaing dengan

manusia. Salah satu diantaranya adalah pemanfaatan limbah dari tanaman padi

berupa jerami padi dan dedak. Jerami padi dan dedak merupakan limbah

tanaman padi yang mudah diperoleh dan dijadikan bahan campuran ransum

karena nilai gizi yang dimiliki limbah tersebut dapat menunjang pertumbuhan dan

perkembangan ternak. Jerami padi dan dedak merupakan sumber serat kasar

dan protein yang dibutuhkan untuk produktivitas sapi Bali. Di wilayah penelitian

banyak terdapat jerami padi dan dedak, yang sudah dimanfaatkan oleh peternak

adalah dedak, sedangkan jerami padi belum dimanfaatkan karena peternak

belum mengetahui cara mengola jerami padi menjadi pakan ternak.

Kendala tujuan kelima adalah pemanfaatan limbah pertanian sebagai

pakan ternak disajikan pada Tabel 27.

124

Tabel 27. Pemanfaatan limbah pertanian sebagai pakan ternak

Jenis usaha Rataan Limbah pertanian

(kg/hari)

Limbah pertanian

(kg/tahun)

Usahatani padi

Usaha kebun kelapa

Usaha kebun cengkeh

Usaha ternak sapi

6,49

-

-

-

2389,95

Sumber : Diolah dari data primer

Hasil penelitian menunjukkan pemanfaatan limbah pertanian untuk pakan

ternak sejumlah 6,49 kg/hari. Total pemanfaatan limbah pertanian sebagai

pakan ternak adalah 2389,95 kg/tahun.

Formulasi kendala tujuan kelima adalah sebagai berikut :

5. 6,49X1 + DA6 - DB6 = 2389,95

5.9.2.6. Luas Lahan

Luas lahan adalah area/tempat yang digunakan untuk melakukan

usahatani diatas sebidang tanah dalam satuan hektar (ha). Lahan di wilayah

penelitian umumnya diusahakan tanaman pangan dan tanaman perkebunan,

tanaman pangan didominasi tanaman padi dan tanaman perkebunan didominasi

tanaman kelapa dan cengkeh. DI wilayah penelitian daya dukung lahan yang

dimiliki masih memungkinkan bagi pengembangan usaha ternak baik ruminansia

(sapi potong) maupun non ruminansia. Ketersediaan hijauan pakan ternak baik

rumput atau limbah pertanian sebagai pakan ternak masih cukup tersedia bagi

ternak ruminansia.

Optimasi dilakukan pada luas lahan usahatani untuk setiap komoditas

padi, kelapa dan cengkeh. Kendala tujuan keenam adalah luasan lahan yang

diusahakan peternak disajikan pada Tabel 28.

125

Tabel 28. Luas lahan

Jenis usaha Rataan Luas lahan (Ha)

Usahatani Padi

Usaha kebun kelapa

Usaha kebun cengkeh

Usaha ternak sapi

0,82

1,29

1,13

-

Sumber : Diolah dari data primer

Data yang ditampilkan pada Tabel 28 menunjukkan bahwa petani memiliki

rataan luas lahan usahatani padi 0,82 ha, usaha kebun kelapa 1,29 ha, usaha

kebun cengkeh 1,13ha dengan total luasan lahan sebesar 3,24 ha.

Formulasi kendala tujuan keenam sebagai berikut :

6). 0,82X1 + 1,29 X2 + 1,13 X3 + DA7 – DB7 <= 3,24

5.9.2.7. Modal Kerja

Modal kerja adalah seluruh biaya yang dikeluarkan peternak berupa uang

tunai untuk kegiatan usahatani maupun usaha ternaknya. Peternak dalam

mengelola usahataninya menggunakan modal kerja sendiri. Ketersediaan modal

kerja didekati dengan cara menghitung rata-rata pengeluaran peternak untuk

membiayai usahatani maupun usaha ternaknya dalam satu tahun. Modal kerja

digunakan untuk membiayai pengadaan sarana produksi berupa bibit, pupuk,

pestisida, sewa lahan, sewa traktor, pakan ternak dan obat-obatan.

Kendala tujuan ketujuh adalah modal kerja usahatani pada setiap

komoditas yang diusahakan petani disajikan pada Tabel 29.

Tabel 29 terlihat bahwa usaha padi menyerap modal kerja tertinggi

sebesar Rp 3.704.150/tahun (31,05%), usaha ternak sapi sebesar

Rp 3.504.883/tahun (29,38%), usaha kebun kelapa sebesar Rp 2.443.400/tahun

(20,24%) dan usaha kebun cengkeh menyerap modal kerja sebesar

Rp 2.278.727/tahun (19,09%).

126

Tabel 29. Modal kerja

Jenis usaha Rataan Modal kerja (Rp/tahun) Persentase (%)

Usahatani padi

Usaha kebun kelapa

Usaha kebun cengkeh

Usaha ternak sapi

3.704.150

2.443.400

2.278.727

3.504.863

31,05

20,24

19,09

29,38

Sumber : Diolah dari data primer

Formulasi Kendala tujuan ketujuh sebagai berikut :

7). 3.704.159X1+ 2.443.400X2 + 2.278.727X3 + 3.504.863X4 + DA7 – DB7

<= 11,931.140

5.9.2.8. Tenaga Kerja

Tenaga kerja yang berperan dalam usahatani maupun usaha ternak

umumnya melibatkan tenaga kerja keluarga yaitu kepala keluarga sebagai

tenaga kerja pria dewasa, juga melibatkan anggota keluarga lain yakni istri

sebagai tenaga kerja wanita dewasa dan anak. Peranan ini terlihat dari seberapa

besar curahan waktu yang dikorbankan dalam pekerjaan-pekerjaan yang

dilakukan dalam usahatani padi, usaha perkebunan kelapa, usaha perkebunan

cengkeh dan usaha ternak sapi. Hasil wawancara diketahui bahwa untuk

curahan waktu yang dikorbanan dalam pekerjaan yang dilakukan untuk

usahatani padi adalah pengolahan sawah, pembibitan, persemaian, penanaman,

pemupukan, penyemprotan, panen. Curahan waktu yang dikorbankan dalam

pekerjaan diareal kebun kelapa meliputi pemupukan, pembersihan areal

perkebunan, panen dan penanganan pasca panen. Curahan waktu yang

dikorbankan dalam pekerjaan diareal kebun cengkeh meliputi pembersihan areal

perkebunan, pemupukan, penyemprotan pestisida, panen dan penanganan

pasca panen. Curahan waktu yang dikorbankan dalam pemeliharaan ternak sapi

potong meliputi mulai dari mencari rumput, memberikan pakan dan konsentrat,

memberi minum, memandikan, melepas dan memasukan sapi dalam kandang.

127

Kendala tujuan delapan adalah penyerapan tenaga kerja disajikan pada Tabel

30.

Tabel 30. Tenaga kerja

Jenis usaha Rataan Tenaga kerja

(HOK/tahun)

Persentase (%)

Usahatani padi

Usaha kebun kelapa

Usaha kebun cengkeh

Usaha ternak sapi

43,23

24.05

28,60

78,50

28,05

13,87

17,48

33,05

Sumber : Diolah dari data primer.

Data yang ditampilkan pada Tabel 30 menunjukkan bahwa tenaga kerja

keluarga tersedia pada usahatani padi sebanyak 42,23 HOK/tahun, tenaga

kerja keluarga pada usahatani kelapa sebanyak 24,05 HOK/tahun, tenaga kerja

keluarga pada usahatani cengkeh sebanyak 28,60 HOK/tahun, tenaga kerja

pada usaha ternak sapi sebanyak 78,50 HOK/tahun.

Kendala tujuan delapan dapat diformulasikan sebagai berikut :

8). 43,50 X1 + 24,60 X2 + 28,60 X3 + 78,50X4 + DA8 – DB8 <= 174.38

5.9.2.9. Kredit Sapi Potong sistem bergulir

Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan kredit ternak sapi potong

dengan sistem bergulir adalah penyebaran ternak sapi potong kepada peternak

melalui bantuan pinjaman langsung masyarakat (BPLM) dengan perjanjian akan

dikembalikan pada waktu yang telah ditentukan. Penyebaran ternak sapi potong

kepada peternak melalui bantuan pinjaman langsung masyarakat (BPLM) telah

lama dilaksanakan di wilayah penelitian, upaya ini dilakukan agar supaya

peternak dapat memanfaatkan sumberdaya dengan optimal. Bantuan pinjaman

langsung masyarakat dengan sistem bergulir dimana peternak memperoleh

ternak dari pemerintah sebanyak satu ekor untuk selanjutnya keturunannya

sebanyak dua ekor disebarkan (revolving) ke peternak lain dalam waktu 5 tahun.

Paturochman (2006) menyatakan bahwa pola pengembalian untuk satu ekor

128

induk betina, peternak penggaduh harus mengembalikan sebanyak dua ekor

keturunanya dalam waktu lima tahun, namun dalam pelaksanaannya hambatan

yang dialami peternak yaitu kematian ternak bibit, realisasi pengembalian,

intensitas dan kualitas pembinaan serta monitoring.

Pada analisis ini menggunakan asumsi bahwa bantuan kepada peternak

berupa 1 ekor sapi potong betina umur 1,5 - 2 tahun Kendala tujuan sembilan

adalah kredit sapi potong sistem bergulir disajikan pada Tabel 31.

Tabel 31. Kredit sapi potong sistem bergulir

Jenis usaha Bantuan ternak sapi potong (ST)

Usahatani padi

Usaha kebun kelapa

Usaha kebun cengkeh

Usaha ternak sapi

-

-

-

1,00

Sumber : Diolah dari data primer

Tabel 31 menunjukkan bahwa kredit ternak sapi yang diterima petani

adalah satu satuan ternak (ST) sapi. Kendala tujuan sembilan dapat

diformulasikan sebagai berikut :

9). X4 + DA9 – DB9 <= 1.00

5.10. Penyelesaian Optimalisasi Linear Goal Programming (LGP)

5.10.1. Penyelesaian Optimalisasi Usaha Ternak Sapi Potong

Penyelesaian yang telah diformulasikan dalam bentuk model matematik

dilakukan analisis dengan program Linear Interactive Diskret Optimizer (LINDO).

Formulasi masalah dalam bentuk matematik sesuai aturan program sasaran

linear. Hasil pengolahan persamaan matematik dengan menggunakan LINDO.

dapat dilihat pada Lampiran 1, 2, 3 dan 4.

Hasil dari program komputer LINDO memberikan dua bagian informasi

penting. Bagian pertama memberikan dua bagian informasi mengenai

penyelesaian optimal (nilai fungsi tujuan, nilai kendala tujuan, nilai variabel

129

keputusan, nilai variabel deviasional, nilai reduced cost) dan nilai slack, surplus

serta dual price. Bagian kedua memberi informasi mengenai analisis sensitivitas

. Nilai fungsi tujuan (Zmin) setelah pengolahan dengan program LINDO

memberikan informasi bahwa nilai fungsi tujuan dalam program sasaran atau

program goal programming merupakan nilai minimal dari hasil penampungan

penyimpangan-penyimpangan (deviasi) terhadap sasaran yang tidak

dikehendaki. Penyimpangan tersebut dapat berupa penyimpangan diatas atau

dibawah dari sasaran-sasaran yang ditetapkan.

Hasil analisis (Lampiran1) menunjukkan nilai fungsi objektif (Objective

Function Value) memperoleh nilai 1.018.953. Nilai tersebut merupakan total

biaya minimum berdasarkan komoditas yang diusahakan petani dimana X1=

0,75, X2= 1,19, X3= 1,13 dan X4= 1.00. Hasil analisis (Lampiran 2) menunjukkan

nilai fungsi objektif (Objective Function Value) memperoleh nilai 1.062.491. Nilai

tersebut merupakan total biaya minimum berdasarkan komoditas yang

diusahakan petani dimana X1= 0,73, X2= 1,16, X3= 1,10 dan X4= 1.00. Hasil

analisis (Lampiran 3) menunjukkan nilai fungsi objektif (Objective Function Value)

memperoleh nilai 1.062.491. Nilai tersebut merupakan total biaya minimum

berdasarkan komoditas yang diusahakan petani dimana X1= 0,73, X2= 1,17,

X3= 1,11 dan X4= 1.00. Hasil analisis (Lampiran 4) menunjukkan nilai fungsi

objektif (Objective Function Value) memperoleh nilai 1.048.707. Nilai tersebut

merupakan total biaya minimum berdasarkan komoditas yang diusahakan petani

dimana X1= 0,73, X2= 1,17, X3= 1,11 dan X4= 1.00. Solusi optimal disajikan

pada Tabel 32.

Tabel 32 menunjukkan bahwa hasil optimal usahatani padi

direkomendasikan menurun yaitu dari 0,82 ha menjadi 0,75 ha, usahatani

kelapa direkomendasikan menurun dari 1,29 ha menjadi 01,19 ha, usahatani

130

cengkeh direkomendasikan tetap yaitu 1,13 ha, sedangkan usaha ternak sapi

direkomendasikan tetap 1,00 ST.

Tabel 32. Solusi optimal usahatani dan usaha ternak sapi potong

Variabel Jenis tanaman dan ternak Kondisi aktual

Solusi optimal

X1 Padi (Ha) 0,82 0,75

X2 Kelapa (Ha) 1.29 1,19

X3 Cengkeh (Ha) 1,13 1,13

X4 Sapi (ST) 1,00 1,00

Sumber : Diolah dari data primer (Lampiran 1)

Hasil solusi optimal merekomendasikan bahwa usahatani padi menurun

yaitu dari 0,82 ha menjadi 0,75 ha. Hal ini mengindikasikan bahwa pengusahaan

lahan usahatani padi menurun disebabkan adanya pematang dan saluran air.

Usahatani padi di wilayah penelitian memberikan kontribusi terhadap pendapatan

dan kesejahteraan petani, sebagian besar petani mengusahakan tanaman padi

sebagai usaha pokok, memberikan finansial yang tinggi yaitu meningkatnya

pendapatan petani serta dapat meningkatkan kesejahteraan hidup petani.

Hasil solusi optimal menunjukkan bahwa luas tanam kelapa menurun

yakni dari kondisi aktual 1,29 ha menjadi 1,19 ha. Hal ini mengindikasikan bahwa

telah terjadi pengurangan tanaman kelapa diareal perkebunan kelapa. Terjadi

pengurangan lahan kebun kelapa disebabkan sebagian petani tidak lagi merawat

kebun kelapa dengan baik dikarenakan harga kopra menurun, pohon kelapa

produksinya rendah rata-rata berumur diatas 20 tahun, pohon kelapa banyak

yang ditebang di buat bahan bangunan rumah.

Solusi optimal menunjukkan bahwa luas tanam cengkeh tetap yakni 1,13

ha. Hal ini mengindikasikan bahwa tanaman cengkeh di daerah penelitian tetap

menjadi tumpuan harapan petani karena permintaan akan buah cengkeh

meningkat dan merupakan salah satu sumber pendapatan yang dapat

meningkatkan kesejahteraan petani. Usahatani cengkeh jika diusahakan

131

memerlukan waktu yang cukup lama yaitu sekitar 5 tahun sampai panen

(produksi) karena tanaman cengkeh merupakan komoditas tahunan. Tanaman

cengkeh didaerah penelitian rata-rata berumur diatas 15 tahun dan selama

Beberapa tahun terakhir petani kurang memelihara kebun cengkehnya

sehingga produksinya menurun.

Pada kredit sapi potong sistem bergulir pemerintah memberikan bantuan

ternak sapi kepada kelompok ternak yang selanjutnya diberikan kepada anggota

kelompok ternak. Pada kondisi aktual peternak mendapatkan bantuan ternak

dari pemerintah melalui kelompok ternak berupa 1 ekor sapi potong, Pada

analisis ini setiap anggota kelompok ternak mendapatkan 1 ekor ternak sapi.

Hasil solusi optimal menunjukkan bahwa usaha sapi potong direkomendasikan

tetap yaitu 1,00 ST. Hal ini mengindikasikan bahwa peternak yang mendapatkan

bantuan ternak sapi potong sistem bergulir adalah 1 ekor sapi.

5.10.2. Pencapaian Kendala Tujuan Usaha Sapi Potong

Pemanfaatan komoditas usahatani maupun usaha ternak yang

direkomendasikan menunjukkan bahwa target yang ingin dicapai dapat

dimaksimumkan maupun diminimumkan deviasinya. Target yang dicapai pada

analisis Linear Goal Programmiing (LGP) adalah besarnya manfaat usahatani

dan usaha ternak yang dikelola peternak.

Pencapaian kendala tujuan usahatani maupun usaha ternak dimaksudkan

untuk melihat besaran target yang ingin dicapai berdasarkan hasil solusi optimal

yang diperoleh. Besaran target pada kendala tujuan pada penelitian ini adalah

1. Besaran target pendapatan diperoleh dari pendapatan petani selama setahun

baik dari usahatani, usaha kebun maupun usaha ternak sebesar

Rp 26.973.139 sehingga d1+= pencapaian lebih dari Rp 26.973.139 dan d1

- =

pencapaian kurang dari Rp 26.973.139.

132

2. Besaran target jumlah kepemilikan ternak diperoleh dari rataan kepemilikan

ternak berdasarkan kelompok umur ternak yaitu 5,11 ST sehingga d2+ =

pencapaian lebih dari 5,11 ST dan d2- = pencapaian kurang dari 5,11 ST.

3. Besaran target pertambahan bobot badan harian ternak (PBBH) diperoleh

dari PBBH sebesar 102,8 (kg/ekor/tahun) sehingga d3+ = pencapaian lebih

dari 102,8 (kg/ekor/tahun) dan d3- = pencapaian kurang dari 102,8

(kg/ekor/tahun).

4. Besaran target pemanfaatan limbah kotoran ternak sebagai pupuk diperoleh

dari jumlah limbah kotoran ternak sebagai pupuk selama setahun sebesar

9318,45 kg, sehingga d4+ = pencapaian lebih dari 9318,45 kg dan d4

- =

pencapaian kurang dari 9318,45 kg.

5. Besaran target limbah pertanian sebagai pakan ternak diperoleh dari jumlah

limbah pertanian sebagai pakan ternak selama setahun sebesar 2389,95 kg

sehingga d5+ = pencapaian lebih dari 2389,95 kg dan d5

- = pencapaian kurang

dari 2389,95 kg.

6. Besaran target luas lahan diperoleh dari luas lahan usahatani padi,usaha

kebun kelapa dan usaha kebun cengkeh sebesar 3,24 ha, sehingga d6+ =

pencapaian lebih dari 3,24 ha dan d6- = pencapaian kurang dari 3,24 ha.

7. Besaran target modal kerja diperoleh dari modal kerja yang digunakan pada

usahatani padi, usaha kebun kelapa, usaha kebun cengkeh dan usaha ternak

sapi potong selama setahun sebesar Rp 11.931.140, sehingga d7+ =

pencapaian lebih dari Rp 11.931.140 dan d7- = pencapaian kurang dari

Rp 11.931.140.

8. Besaran target tenaga kerja diperoleh dari penyerapan tenaga kerja pada

usahatani padi, usaha kebun kelapa, usaha kebun cengkeh dan usaha ternak

sapi potong selama setahun sebesar 174,38 HOK, sehingga d8+ =

133

pencapaian lebih dari 174,38 HOK dan d8- = pencapaian kurang dari

174,38 HOK.

9. Besaran target kredit sapi potong sistem bergulir diperoleh dari bantuan

ternak sapi potong yang diberikan kepada peternak sebesar 1.00 ST,

sehingga d9+ = pencapaian lebih dari 1.00 ST dan d9

- = pencapaian kurang

dari 1.00 ST.

Pencapaian kendala tujuan usaha ternak sapi potong kredit sistem bergulir

disajikan pada Tabel 33.

Tabel 33. Pencapaian kendala tujuan usaha ternak sapi potong No Kendala tujuan

Kondisi

aktual

Besaran target

Solusi Optimal

DA dan DB

1

2

3

4

5

6

7

8

9

Pendapatan (Rp)

Jumlah ternak (ST)

Pertambahan bobot badan harian

(Kg)

Pemanfaatan limbah kotoran ternak

sebagai pupuk (Kg)

Pemanfaatan limbah pertanian

sebagai pakan ternak (Kg)

Luas lahan (Ha)

Modal kerja (Rp)

Tenaga kerja keluarga (HOK)

Kredit sapi potong sistem bergulir

(ST/ (Rp)

2.898.925

2,38

0,28

25,53

6,49

3,24

994.262

174,38

1,00

26.973.139

5,11

102.8

9318,45

2369,95

3,24

11.931.149

174,38

1,00

791.038

2,73

102,51

9292,91

2365,02

-0,32

0

0

0

Sumber : Diolah dari data primer (Lampiran 1)

Keterangan : DA = pencapaian lebih dari target

DB = pencapaian kurang dari target

Hasil solusi optimal Tabel 33 pada pencapaian kendala tujuan

menunjukkan bahwa besarnya pendapatan yang diterima meningkat sebesar

Rp 791.038 (3,39%) dari besaran target, jumlah kepemilikan ternak meningkat

sebesar 2.73 ST (46,58%) dari besaran target, pertambahan bobot badan harian

ternak meningkat sebesar 102,51 kg (99,72%) dari besaran target, pemanfaatan

limbah kotoran ternak sebagai pupuk meningkat sebesar 9296,9 kg (99,73%)

dari besaran target, pemanfaatan limbah pertanian sebagai pupuk meningkat

134

sebesar 2365,02 kg (99,79%) dari besaran target, pengusahaan luas lahan

menurun sebesar 0,32 ha (9,88%), modal kerja telah digunakan secara optimal,

tenaga kerja telah terserap secara optimal, kredit ternak sapi mencapai nilai

optimal.

5.10.3. Pencapaian Tujuan Usahatani Adanya Perubahan Skenario

Hasil solusi optimal tujuan usaha tani dinilai belum optimal maka perlu

dilakukan kembali analisis Linear Goal Programming (LGP) dengan tujuan untuk

mendapatkan formulasi baru. Analisis dilakukan kembali karena adanya

perubahan skenario.

Skenario dilakukan untuk mengetahui perubahan fungsi tujuan dan

konsekuensi keputusan jika terjadi perubahan dari satu atau beberapa koefisien

model, skenario tersebut adalah:

a. Skenario 1, asumsi harga usahatani dan usaha ternak tetap, bantuan

kredit ternak sapi potong meningkat menjadi 2 ekor.

b. Skenario 2, asumsi perubahan harga usahatani dan usaha ternak naik

15 % yakni pada harga jual komoditas kelapa, cengkeh dan sapi potong

tanpa menaikkan harga padi, peningkatan modal kerja operasional

sebesar 5 %, mencakup semua biaya usahatani dan usaha ternak

meliputi biaya pupuk, obat-obatan , pakan dan upah tenaga kerja,

bantuan kredit ternak sapi potong 1 ekor.

c. Skenario 3, asumsi perubahan harga usahatani naik 15 % yakni pada

harga jual komoditas kelapa, cengkeh dan sapi potong tanpa menaikkan

perubahan harga padi, peningkatan modal kerja operasional sebesar

5 %, mencakup semua biaya usahatani dan usaha ternak meliputi biaya

pupuk, obat-obatan dan upah tenaga kerja, bantuan kredit ternak sapi

potong menjadi 2 ekor.

135

Solusi optimal yang direkomendasikan akibat perubahan skenario disajikan

pada Tabel 34.

Tabel 34. Solusi optimal yang di rekomendasikan pada variabel keputusan adanya perubahan skenario

Variabel

Jenis tanaman dan ternak

Kondisi Aktual

Kondisi Optimal

Solusi Optimal

Skenario1 Skenario 2 Skenario 3

X1 Padi (Ha) 0,82 0,75 0,73 0,73 0,73

X2 Kelapa (Ha) 1.29 1.19 1,16 1,17 1,17

X3 Cengkeh (Ha) 1,13 1,13 1.10 1,11 1,10

X4 Sapi (ST) 1.00

2.00

1,00 1,00

1.00

1.00

1.00

1.00

Sumber : Diolah dari data primer (Lampiran 2, 3 dan 4)

Hasil solusi optimal Tabel 34 menunjukkan bahwa luas lahan padi pada

skenario 1, 2 dan 3 menjadi 0,73 atau menurun 10,98% dari kondisi aktual,

penurunan luas lahan tanaman padi disebabkan pada lahan sawah terdapat

bedengan dan saluran. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya penurunan luas

lahan padi. Implikasi dari skenario 1, skenario 2 dan skenario 3 berpengaruh

terhadap pendapatan petani maka pengusahaan tanaman padi harus

dioptimalkan sebab usahatani padi merupakan usaha pokok yang akan

memberikan dampak finansial yaitu meningkatnya pendapatan petani serta

dapat meningkatkan kesejahteraan hidup petani.

Hasil solusi optimal menunjukkan bahwa luas lahan kelapa pada skenario 1

direkomendasikan menurun dari kondisi aktual 1,29 ha menjadi 1,19 ha atau

turun 7.75 %, demikian pula skenario 2 dan 3 menjadi 1,17 atau menurun 9,30%.

Hal ini mengindikasikan bahwa adanya perubahan harga dan modal kerja, maka

luas lahan kelapa menurun, olehnya itu petani harus mengoptimalkan usaha

tanaman kelapa sehingga dapat menghasilkan produksi maksimal yang pada

akhirnya meningkatkan pendapatan petani.

Hasil solusi optimal menunjukkan bahwa luas lahan cengkeh pada

skenario 1 dan 3 direkomendasikan menurun dari kondisi aktual menjadi 1,10 ha

136

atau menurun 2,65%, demikian pula skenario 2 menjadi 1,11 ha atau menurun

1,77% Hal ini berarti bahwa adanya perubahan harga dan modal kerja maka

terjadi perubahan pada luas tanam cengkeh. Tanaman cengkeh di wilayah

penelitian menjadi tumpuan harapan petani sejak harga cengkeh mengalami

peningkatan. Namun akhir-akhir ini harga cengkeh mengalami penurunan

sehingga Petani tidak lagi mememelihara tanaman cengkeh dengan baik

mengakibatkan pohon cengkeh banyak yang mati selain itu karena faktor iklim

menyebabkan tanaman cengkeh mengalami kekeringan sehingga produksi

cengkeh menurun. Fenomena ini merupakan salah satu pertimbangan petani

untuk mempunyai usahatani lain selain tanaman cengkeh sebagai sumber

pendapatan. Usahatani cengkeh jika diusahakan memerlukan waktu yang cukup

lama yaitu sekitar 5 tahun sampai panen (produksi) karena merupakan

komoditas tahunan. Tanaman cengkeh di wilayah penelitian rata-rata berumur

diatas 15 tahun dan selama beberapa tahun terakhir produksi cengkeh menurun

diakibatkan kondisi cuaca yang kurang baik.

Hasil solusi optimal menunjukkan bahwa kredit sapi potong berupa 1.00

ST, baik skenario 1, 2 maupun skenario 3 direkomendasikan tetap yaitu 1.00 ST.

Hal ini terkait dengan kebijakan pemerintah bahwa setiap anggota kelompok

ternak mendapatkan bantuan 1 ekor sapi potong.

Untuk melihat solusi optimal tujuan usahatani akibat kenaikan sumberdaya

di sajikan pada Tabel 35.

137

Tabel 35. Solusi optimal direkomendasikan pada kendala tujuan adanya skenario perubahan kredit sapi potong

No KendalaTujuan Kondisi

Aktual Besaran Target

DA dan DB

Skenario 1

1

2

3

4

5

6

7

8

9

Pendapatan (Rp)

Jumlah ternak (ST)

Pertambahan bobot badan harian

(Kg)

Pemanfaatan limbah kotoran ternak

sebagai pupuk (Kg)

Pemanfaatan limbah pertanian

sebagai pakan ternak (Kg)

Luas lahan (Ha)

Modal kerja (Rp)

Tenaga kerja keluarga (HOK)

Kredit ternak sapi potong (ST/Rp)

2.898.925

2,38

0,28

25,53

6,49

3,24

994.262

174,38

2.00

26.973.139

5,11

102.8

9318,45

2369,95

3,24

11.931.149

174,38

2.00

1.226.617

2,73

102,51

9292,91

2365,17

-0,12

327.535

4,35

0

,Sumber : Diolah dari data primer (Lampiran 2)

Keterangan : DA = pencapaian lebih dari target DB = pencapaian kurang dari target

Hasil solusi optimal pada Tabel 35 menunjukkan pencapaian kendala

tujuan adanya skenario perubahan kredit sapi potong bahwa besarnya

pendapatan yang diterima meningkat sebesar Rp 1.226.617 (4,53%) dari

besaran target, jumlah kepemilikan ternak meningkat sebesar 2.73 ST (53,42%)

dari besaran target, pertambahan bobot badan harian ternak meningkat sebesar

102,51 kg (99,71%) dari besaran target, pemanfaatan limbah kotoran ternak

sebagai pupuk meningkat sebesar 9296,9 kg (99,73%) dari besaran target,

pemanfaatan limbah pertanian sebagai pupuk meningkat sebesar 2365,02 kg

(99,82%) dari besaran target, pengusahaan luas lahan menurun sebesar 0,12

ha (3,70%), modal kerja meningkat sebesar Rp 327,53 (2,75%) dari besaran

target, penggunaan tenaga kerja meningkat sebesar 4,35 HOK (2.49%) dari

besaran target dan kredit ternak sapi mencapai nilai optimal.

Untuk melihat solusi optimal tujuan usahatani akibat kenaikan sumberdaya

disajikan pada Tabel 36.

138

Tabel 36. Solusi optimal direkomendasikan pada kendala tujuan adanya skenario perubahan

No Kendala

Tujuan Kondisi Aktual

Besaran Target

DA dan DB

Skenario 2 Skenario3

1

2

3

4

5

6

7

8

9

Pendapatan (Rp)

Jumlah ternak (ST)

Pertambahan bobot badan

harian (Kg)

Pemanfaatan limbah

kotoran ternak sebagai

pupuk (Kg)

Pemanfaatan limbah

pertanian sebagai pakan

ternak (Kg)

Luas lahan (Ha)

Modal kerja (Rp)

Tenaga kerja keluarga

(HOK)

Kredit ternak sapi potong

(ST)

2.898.925

2,38

0,28

25,53

6,49

3,24

1.021.395

174,38

1,00

2,00

30.026.218

5,11

1002,8

9318,45

2369,,45

3,24

12.256.751

174,38

1.00

2.00

1.010.110

2,73

102,51

9292,91

2365,16

-0,12

0

0

0

1131.993

2.73

102.51

9292,91

2365,21

-0,11

0

0

0

Sumber : Diolah dari data primer (Lampiran 3 dan 4) Keterangan : DA = pencapaian lebih dari target

DB = pencapaian kurang dari target

Hasil solusi optimal pada Tabel 36 menunjukkan bahwa akibat adanya

perubahan pada skenario 2 maka pendapatan yang diterima meningkat sebesar

Rp 1.010.110 (3,24%), demikian pula skenario 3 meningkat sebesar

Rp 1131.993 ( 3,13%) dari besaran target, jumlah kepemilikan ternak baik pada

skenario 2 maupun 3 meningkat sebesar 2,73 ST (53,42 %) dari besaran target,

pertambahan bobot badan harian ternak pada skenario 2 maupun 3 meningkat

sebesar 102,51 kg (96,66%) dari besaran target, pemanfaatan limbah kotoran

ternak sebagai pupuk baik pada skenario 2 maupun 3 meningkat sebesar

9292,91 kg (99,72%) dari besaran target, pemanfaatan limbah pertanian sebagai

pupuk pada skenario 2 maupun 3 meningkat sebesar 2365,16 kg (99,79%) dari

besaran target, luas lahan pada skenario 2 menurun sebesar 0,12 ha (3,70%)

dan pada skenario 3 menurun sebesar 0,11 ha (3,39%), modal kerja pada

skenario 2 maupun skenario 3 telah mencapai nilai optimal, tenaga kerja pada

139

skenario 2 maupun skenario 3 telah terserap secara optimal, kredit sapi potong

sistem bergulir baik skenario 2 maupun skenario 3 telah mencapai nilai optimal.

5.10.4. Hasil Solusi Optimal Pendapatan

Total pendapatan petani (Tabel 33) pada kondisi aktual untuk komoditas

padi, kelapa, cengkeh dan sapi sebesar Rp 27.100.890 hasil solusi optimal pada

kondisi optimal menunjukkan terjadi peningkatan pendapatan petani sebesar

Rp 791.038 (2,92%), demikian pula pada skenario 1 (Tabel 35) terjadi

peningkatan pendapatan sebesar Rp 1.226. 617 (45,53%). Adanya perubahan

harga dan modal kerja (skenario 2 dan 3) maka besaran target pendapatan

menjadi Rp 30.026.218 (Tabel 36). Hasil solusi optimal skenario 2 menunjukkan

bahwa terjadi peningkatan pendapatan petani sebesar Rp 1.010.110 (3,24%)

dan skenario 3 terjadi peningkatan pendapatan petani sebesar Rp 1.131.993

(3,77%). Pendapatan petani dapat meningkat jika pengolahan lahan dilakukan

secara maksimal.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa rataan pendapatan petani baik

dari usahatani, usaha kebun, usaha ternak maupun non pertanian sebesar Rp

2.898.925/bulan, hasil ini telah melebihi UMP Provinsi Sulawesi Tengah tahun

2018 sebesar Rp 1.900.000 per bulan.

Usahatani padi di wilayah penelitian memberikan kontribusi terhadap

pendapatan petani dan kesejahteraan petani. Sebagian besar petani

mengusahakan tanaman padi sebagai tanaman pokoknya, usahatani padi

memberikan kontribusi sebesar 24,82% terhadap total pendapatan atau rata-

rata Rp 8.679.082/tahun. Grafik pendapatan petani pada kondisi aktual dan hasil

optimal disajikan pada Gambar 8.

140

Gambar 8. Pendapatan petani pada kondisi aktual dan hasil optimal (Rp)

Pola tanam yang dilakukan didaerah penelitian untuk lahan sawah terjadi

dua kali musim tanam yaitu penanaman padi dilakukan pada musim tanam

pertama pada bulan Februari – Juni dan musim tanam kedua pada bulan

Agustus – Desember. Setelah panen, lahan diistirahatkan dan dibiarkan kosong

selama kurang lebih satu bulan, sebelum diolah kembali untuk penanaman pada

musim tanam berikutnya. Semakin optimal petani memanfaatkan lahan pertanian

untuk tanaman padi akan meningkatkan produksi padi dengan memperhitungkan

biaya produksi. Kepemilikan lahan berperan pada sistem pertanian yang

diusahakan petani, rata-rata kepemilikan luas lahan usahatani padi dalam

penelitian ini adalah 0,82 ha. Damayanti (2013) menyatakan bahwa luas lahan

hasil analisis regresi menunjukkan bahwa variabel luas lahan mempengaruhi

pendapatan usaha tani dengan koefisien elastisitasnya sebesar 1,192274,

artinya apabila luas lahan ditingkatkan sebesar 1%, maka akan meningkatkan

pendapatan usaha tani sebesar 1,192274 %. Penambahan luas lahan masih

dapat dilakukan karena masih dapat meningkatkan efisiensi ekonomi dalam

usaha tani padi sawah. Penambahan luas lahan secara tidak langsung akan

memberikan pengaruh terhadap peningkatan produksi dan akan meningkatkan

pendapatan usahatani.

26973139

28199756

31036328 31158075

240000002500000026000000270000002800000029000000300000003100000032000000

Kondisiaktual

Optimal 1 Optimal 2 Optimal 3

Rp

/tah

un

Pendapatan

141

Hasil penelitian Howara (2011) menunjukkan bahwa tingkat pendapatan

usahatani tanaman ternak pola optimal tanpa memasukkan pinjaman kredit

sebesar 1,34 milyar, total pendapatan dengan analisis usahatani skenario 1

(tersedianya kredit usaha dan pupuk diwilayah penelitian) sebesar Rp 1,61 milyar

dan total pendapatan skenario 2 (tersedianya sumberdaya benih dan pupuk di

wilayah peneltian) sebesar Rp 1,64 milyar, dengan demikian pendapatan yang

paling mendekati usahatani aktual adalah pola usahatani optimal. Darmawati

(2011) melaporkan hasil penelitian pada kelompok tani tunas jaya di Muaro

Jambi, secara ekonomi pendapatan yang dihasilkan dari usaha

sapi Bali selama periode 5 tahun sebesar Rp 272.302.450 dengan

pendapatan rata-rata sebesar Rp4.950.953,65/tahun/peternak atau rata-rata

Rp 412.579,47/bulan/peternak. Budiasa dkk. (2012), melaporkan bahwa pola

usahatani pada SIMANTRI 074 adalah integrasi antara tanaman perkebunan

(kakao, cengkeh, kelapa dalam, pisang), tanaman hijauan (rumput gajah), dan

ternak sapi bali pada rata-rata luasan lahan kering 0,48 ha. di Kabupaten

Jemberana oleh petani berdasarkan sumberdaya yang tersedia dan tingkat

teknologi yang ada telah berjalan secara optimal. Dalam kondisi optimal tersebut

petani memperoleh pendapatan maksimal sebesar Rp 26.041.250/tahun.

Siswati (2012), bahwa pertanian terpadu tanaman holtikultura dan ternak

dapat meningkatkan pendapatan petani serta dapat memanfaatkan lahan kosong

menjadi produktif. Pendapatan maksimal sebesar Rp 3.96245,5/bulan. Basuni

dkk (2010), bahwa pendapatan usahatani integrasi padi per hektar dan 2 ekor

sapi mencapai Rp 9.417.907 dengan R/C ratio 1,61. Pupuk organik yang

dihasilkan rata-rata 5 kg/ekor/hari serta jerami padi 13 ton/ha/musim, C/N ratio

pupuk organik 19%. Kontribusi tambahan penerimaan dari fine compost selama

setahun sebesar 9,7% dari total pendapatan usahatani. Pendapatan dari

142

usahatani padi (5 ha) dan sapi (20 ekor) dengan cara integrasi masing-masing

sebesar Rp 24.867.500 dan Rp 60.675.333 per musim. Nilai R/C yang dihasilkan

sistem integrasi sebesar 1,44 sedang dari petani tradisional 1,33. Sistem

usahatani integrasi dengan skala padi seluas 5 ha dan sapi 20 ekor

meningkatkan pendapatan sebesar 69% per musim, dibanding usahatani

tradisional. Sistem usahatani integrasi-padi-ternak perlu dikembangkan pada

usahatani skala kecil untuk meningkatkan pendapatan petani.

Hasil penelitian Tarmizi dkk. (2012), bahwa pendapatan petani sistem

integrasi padi ternak per Ha dalam satu tahun lebih tinggi dari pendapatan petani

non SIPT. Jumlah pendapatan petani SIPT dari usaha tani padi sawah adalah

Rp. 35.002.719 sedangkan pendapatan petani non sistem integrasi padi ternak

adalah sebesar Rp. 34.335.796. Selain pendapatan dari usaha tani padi sawah,

petani SIPT juga memperoleh pendapatan dari penjualan sapi, yang diperkirakan

rata-rata Rp 5.476.000 per tahun.

Hasil survei diketahui bahwa petani memiliki lahan yang sempit

menyebabkan petani melakukan lebih dari 1 unit usaha yaitu mengintegrasikan

dengan ternak sapi. Pengembangan pola usaha padi dengan ternak sapi

diharapkan dapat meningkatkan keuntungan bagi petani sehingga dapat

meningkatkan pendapatan petani.

Usaha kebun kelapa merupakan salah satu tanaman yang diusahakan

oleh petani di wilayah penelitian. Rata-rata kepemilikan lahan perkebunan kelapa

1,29 ha dengan rata-rata pendapatan Rp 3.933.311/ tahun. Usaha kebun kelapa

memberikan kontribusi sebesar 11,25% terhadap total pendapatan petani.

Tanaman kelapa diwilayah penelitian adalah kelapa dalam dan sebagian besar

diusahakan sebagai perkebunan rakyat. Hasil solusi optimal luas tanam kelapa

pada kondisi optimal menurun menjadi 0,75 ha, skenario 1, 2 dan 3 menurun

143

menjadi 0,73 ha dari target sasaran. Hal ini mengindikasikan bahwa luas tanam

kelapa akan menurun jika skenario ini diberlakukan yang nantinya akan

pengaruh terhadap pendapatan petani.

Untuk meningkatkan produksi tanaman kelapa maka petani perlu

melakukan peremajaan dengan pemeliharaan yang baik. Pemeliharaan tanaman

kelapa yang baik yaitu melalui pemupukan dan membersihkan lahan yang

ditumbuhi semak belukar. Petani kelapa di daerah penelitian jarang melakukan

pemupukan pada tanaman kelapa karena harga pupuk mahal demikian juga

dengan pembersihan lahan akan melibatkan tenaga kerja dengan mengeluarkan

biaya sehingga untuk mengurangi biaya saprodi petani mengintegrasikan

tanaman kelapa dengan ternak sapi. Salah satu upaya yang dapat dilakukan

untuk meningkatkan pendapatan petani yaitu melalui diversifikasi dengan jenis

tanaman lain untuk mengefisiensikan penggunaan lahan. Diversifikasi tanaman

kelapa dengan jenis tanaman lainnya dapat memanfaatkan lahan secara optimal

sehingga sumber pendapatan tidak hanya dari tanaman kelapa tetapi juga dari

jenis tanaman lainnya.

Tanaman kelapa wilayah penelitian sudah tidak produktif lagi dikarenakan

tanaman kelapa rata-rata berumur diatas 15 tahun, sehingga untuk dapat

memanfaatkan lahan secara maksimal tanaman kelapa dipadukan dengan

tanaman palawija, optimalisasi kebun kelapa dapat ditingkatkan melalui sistem

pertanian terpadu yakni dipadukan dengan ternak dan tanaman palawija yang

bisa ditanam di antara sela pohon kelapa.

Pemeliharaan ternak sapi dilahan kebun kelapa dapat mengurangi biaya

Pembelian pupuk anorganik dan biaya membersihkan lahan. Petani dapat

memanfaatkan kotoran sapi sebagai pupuk organik dan rumput/hijauan disekitar

lahan kelapa dimanfaatkan sebagai pakan ternak.. Keberadaan ternak sapi

144

diareal kebun kelapa dapat dijadikan sebagai sarana pengendali gulma.

Pemanfaatan hijauan membuat areal kebun kelapa menjadi lebih bersih

sehingga hama penyakit tanaman lebih rendah. Kebutuhan akan pakan ternak

membuat areal kebun kelapa menjadi bersih karena gulma yang ada disekitar

kebun kelapa selalu dipangkas untuk pakan ternak. Pemanfaatan kotoran sapi

sebagai pupuk organik pada tanaman kelapa dapat meningkatkan produksi

tanaman kelapa sehingga dapat meningkatkan pendapatan petani.

Luasan areal kebun kelapa di wilayah penelitian merupakan peluang untuk

pengembangan peternakan sapi. Di areal kelapa tersedia sumber pakan yang

bisa dimanfaatkan untuk pengembangan ternak sapi dan areal penggembalaan

Dalam upaya meningkatkan ternak sapi dengan biaya yang layak, pendekatan

pola integrasi tanaman perkebunan layak untuk dikembangkan. Rundengan

(2013), bahwa integrasi sapi dengan tanaman kelapa dan tanaman pangan

dapat menurunkan biaya pakan. Hal tersebut karena pada sistem integrasi

antara sapi, tanaman kelapa dan tanaman pangan, petani tidak hanya dapat

memanfaatkan sumber hijauan yang ada disekitar areal kebun kelapa, tetapi juga

limbah dari tanaman pangan. Dimana biaya pakan berkisar Rp 68.858 – Rp

90.858 per tahun untuk sapi 2,19 sampai 2,47 ST atau total biaya pakan sampai

sapi dijual sebesar Rp 296.292 sampai Rp 307.200.

Kusnadi (2008) menyatakan bahwa pemanfaatan lahan seperti areal

perkebunan untuk peternakan belum optimal, mengakibatkan rata-rata usahatani

di Indonesia hanya mampu memelihara ternak 0,5 ST/tahun, untuk Jawa hanya

0,06 ST dan untuk luar Jawa 1,2 ST. Oleh karenanya kondisi ini harus segera

dirubah agar usaha ternak dapat menjadi usaha pokok yang dapat

mensejahterahkan petani dan keluarganya, dan bukan hanya sebagai

penompang keluarga tani dipedesaan.

145

Selain tanaman kelapa tanaman cengkeh merupakan salah satu tanaman

perkebunan yang telah lama diusahakan petani. Tanaman cengkeh di wilayah

penelitian telah berumur diatas 20 tahun dan tingkat produksi rendah dengan

rata-rata pendapatan Rp 3.757.636/tahun. Hal tersebut karena tanaman cengkeh

banyak mengalami kekeringan akibat musim kemarau yang panjang dan

pemeliharaan yang kurang baik serta rendahnya pemberian pupuk menyebabkan

produksi tanaman cengkeh rendah. Petani kurang bergairah merawat tanaman

cengkeh disebabkan harga komoditas cengkeh murah sedangkan biaya

operasional cukup besar. Tanaman cengkeh bila dirawat dengan baik

memerlukan biaya yang cukup besar baik untuk pembelian pupuk anorganik

maupun untuk pembersihan areal perkebunan, namun bila petani merawat

dengan baik yaitu dengan memberikan pupuk yang tepat dan membersihkan

kebun dari semak maka akan meningkatkan produksi buah cengkeh yang akan

meningkatkan pendapatan petani.

Secara ekonomi lahan bisa dikatakan layak jika hasil yang didapat

melampaui total modal tidak tetap dan penurunan nilai modal tetap. Harga

cengkeh yang tidak menentu juga menjadi faktor utama dalam menurunnya

pendapatan rumah tangga petani cengkeh. Karena itu para petani cengkeh

sebagian mulai mencari pekerjaan tambahan dan petani cengkeh lainnya bahkan

sudah menjual atau menggadaikan lahan kebunnya, meskipun sebagaian petani

masih bertahan sebagai petani cengkeh saja,

Penelitian tentang cengkeh, Kerap dkk. (2018), bahwa besarnya hasil

pendapatan rumah tangga petani cengkeh bersumber dari usaha tani cengkeh,

usaha tani lainnya, dan luar usaha tani. dengan total pendapatan rumah tangga

pertahunnya sebesar Rp. 41.288.808, sedangkan tertinggi di peroleh oleh rumah

tangga petani yang memenuhi empat sumber pendapatan yaitu dari usaha tani

146

cengkeh, usaha tani lainnya, pendapatan di luar usaha tani dan pendapatan

anggota keluarga yaitu dengan rata-rata sebesar Rp. 113.476.641 per tahun

dengan persentase 15,22%. Hal ini membuktikan apabila petani cengkeh

memiliki usaha tani lainnya, memiliki pekerjaan di luar usaha tani, dan anggota

rumah tangganya memiliki pekerjaan dan turut berkontribusi dalam pendapatan

rumah tangga maka pendapatan rumah tangga akan meningkat.

Usaha peternakan sapi mempunyai prospek untuk dikembangkan karena

tingginya permintaan akan produk sapi. Usaha peternakan sapi juga memberi

keuntungan yang cukup tinggi dan menjadi sumber pendapatan bagi banyak

masyarakat di pedesaaan di Indonesia. Usaha pemeliharaan ternak sangat

diminati masyarakat karena dapat dipelihara dengan teknolgi yang sederhana

dan hasilnya dapat menyumbangkan pendapatan petani di pedesaan. Ternak

sapi potong merupakan salah satu ternak yang diharapkan sumbangannya guna

meningkatkan pendapatan petani yang sekaligus memberikan peranan dalam

pertumbuhan ekonomi di pedesaan. Kenyataan yang ada di pedesaan pada

umumnya usaha peternakan sapi potong masih sederhana, sehingga

diupayakan suatu usaha introduksi inovasi teknologi peternakan yang sesuai

dengan kondisi dan situasi wilayah sasaran dengan tujuan untuk meningkatkan

pendapatan petani.

Pemeliharaan ternak di wilayah penelitian masih sederhana dan berskala

kecil yang tidak berbeda dengan daerah-daerah lain. Keterbatasan penguasaan

sumberdaya lahan, pendapatan, inovasi dan teknologi. menunjukkan bahwa

pola usaha pemeliharaan ternak sapi potong belum merupakan usaha komersial,

yakni merupakan usaha sampingan yang ditandai dengan penguasaan ternak

antara 1 sampai 11 ekor/KK dan tatalaksana pemeliharaan masih sederhana.

Namun demikian hasil penelitian menunjukkan usaha sapi potong memberikan

147

kontribusi 30,68% sebesar terhadap total pendapatan dengan rata-rata

Rp 10.543.110/tahun. Hal tersebut menunjukkan bahwa usaha sapi potong

sangat berperan dalam kehidupan penduduk pedesaan dan mampu membantu

pendapatan peternak. Ternak sapi potong dapat memanfaatkan sumberdaya

alam yang tersedia disekitarnya disamping itu berfungsi sebagai sumber protein

hewani bagi masyarakat, juga sebagai tabungan, tambahan penghasilan, dan

kotorannya dapat dijadikan sebagai sumber pupuk yang sekaligus memberikan

keuntungan bagi petani.

Peternak yang dijadikan responden dalam penelitian ini adalah peternak

yang masih tergolong peternak sapi potong tradisional, hal tersebut dikemukakan

Nurcholida dkk. (2013), bahwa 90 persen usaha ternak sapi dilaksanakan secara

tradisional oleh petani dipedesaan, usaha ternak sapi yang demikian

dikategorikan sebagai peternakan rakyat. Hasil penelitian Aiba dkk. (2018), rata-

rata pendapatan peternak di dataran tinggi Rp 19.086.453 per tahun, sedangkan

didataran rendah rata-rata pendapatan peternak Rp 12.877.628 per tahun,

jumlah sapi (nilai sapi akhir tahun) berpengaruh terhadap pendapatan usaha

sapi potong, Hal serupa penelitian tentang usaha ternak sapi potong pola

gaduhan di Desa Slorok, Kecamatan Kromengan, Kabupaten Malang oleh

Tribudi dan Ristyawa (2017), bahwa penerimaan petani dari usaha ternak

sapi rata-rata sebesar Rp 3.259.853/ekor/tahun. Disarankan dalam usaha

pemeliharaan sistema gaduhan agar para peternak menambah populasi hewan

hewan ternaknya sehingga keuntungan yang diterima akan semakin besar.

5.10.5. Hasil Solusi Optimal Jumlah Pemilikan Ternak

Hasil solusi optimal (Tabel 33) terhadap jumlah pemilikan ternak

menunjukkan nilai deviasi 2,73 berarti sasaran untuk jumlah kepemilikan ternak

148

tidak tercapai. Hasil ini menunjukkan bahwa jumlah kepemilikan ternak.

meningkat sebesar 53,42 % melebihi target yang ditetapkan.

Berdasarkan Tabel 35 maka hasil solusi optimal skenario 1, skenario 2

maupun 3 menunjukkan bahwa ke tiganya memperoleh nilai deviasi yang sama

yaitu 2,73. Hasil ini merekomendasikan bahwa jumlah kepemilikan ternak

melebihi target sebesar 53.42% dari target yang telah ditetapkan, hal tersebut

menunjukkan pencapaian jumlah kepemilikan ternak lebih besar dari sasaran

yang ditetapkan.

Gambar 9. Jumlah kepemilikan ternak pada kondisi aktual dan hasil optimal (ST)

Jumlah kepemilikan ternak erat kaitannya dengan ketersediaan pakan baik

dari segi jumlah, mutu dan kontinuitas. Pakan ternak sapi potong cukup tersedia

didaerah penelitian yakni hijauan makanan ternak berupa rumput lapangan yang

tumbuh disekitar area persawahan dan area kebun kelapa. Selain pakan ternak

faktor lain adalah ketersediaan tenaga kerja keluarga dan modal.

Jumlah kepemilikan ternak adalah banyaknya ternak yang dipelihara oleh

peternak responden. Hasil wawancara diketahui bahwa jumlah kepemilikan

ternak sapi tiap responden bervariasi antara 1 sampai 11 ekor. Bangsa sapi yang

0

2

4

6

8

Kondisiaktual

Optimal 1 Optimal 2

5,11

7,84 7,84

ST/t

ahu

n

Jumlah kepemilikan ternak

149

banyak dipelihara adalah bangsa sapi Bali, sebagian memelihara sapi

Peranakan Ongole (PO) dan sapi lokal (sapi Donggala)

Jumlah kepemilikan ternak rendah karena bantuan ternak sapi potong

sistem bergulir yang diterima petani 1 ekor, dengan rendahnya jumlah ternak

yang dipelihara maka peternak harus meningkatkan produktivitas dari ternak

tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat Wibowo dan Haryadi (2006) yang

menyatakan bahwa rendahnya jumlah kepemilikan ternak akan mengakibatkan

peternak berusaha meningkatkan produktivitas dari ternak tersebut. Jumlah

ternak berpengaruh terhadap tingkat pengembalian kredit karena jumlah ternak

yang semakin banyak maka pendapatan akan semakin tinggi dan tingkat

pengembalian kredit tinggi atau tidak terjadi tunggakan dan sebaliknya. Hal ini

sesuai dengan pendapat Sayaka dan Rivai (2010) yang menyatakan bahwa

sistem KKPE di Desa Pontang Kecamatan Ambulu Kabupaten Jember dalam

pengembalian kredit dilihat dari agunan atau jaminan, jangka waktu

pengembalian, jumlah anggota, jumlah ternak, mempunyai kelompok tani ternak,

jenis ternak. Semakin banyak ternak yang dipelihara maka tingkat pengembalian

kredit tidak terjadi macet atau tunggakan.

Berdasarkan hasil survei diketahui bahwa pemeliharaan ternak sapi di

daerah penelitian sebagian besar dilakukan secara semi intensif dan sebagian

kecil secara ekstensif. Pemeliharaan ternak sapi secara semi intensif dilakukan

dengan cara kombinasi pemeliharaan yaitu pagi sampai sore hari ternak sapi

diikat dan digembalakan di lahan kosong atau di padang penggembalian dan

sore harinya ternak sapi dimasukkan kekandang, hijauan pakan ternak diberikan

2 kali yaitu pagi dan sore hari. Area kandang dibangun dibelakang rumah

peternak. Sebagaian kandang dibuat semi permanan dengan lantai kandang

terbuat dari semen dicor kasar, sedangkan atap terbuat dari seng atau atap

150

rumbia, tempat makan dan air minum terbuat dari papan. Pemeliharaan secara

ekstensif, siang sampai sore hari ternak sapi digembalakan dan malam hari

dikumpulkan di tempat tertentu yang diberi pagar atau diikat pada pohon.

Pakan yang diberikan umumnya berupa rumput lokal yang dikumpulkan

disekitar kebun, tegalan, rawa dan hutan serta berasal dari rumput lapangan,

rumput gajah, rumput raja, daun gamal dan dedak.

Ketersediaan rumput lokal di lapangan relatif berfluktuasi tergantung curah

hujan. Pada saat musim kemarau panjang umumnya lahan menjadi kering dan

hanya rumput-rumput tertentu yang masih tersedia di lapangan sehingga

ketersediaan rumput terbatas. Ketersediaan rumput melimpah umumnya pada

saat kondisi musim hujan. Dengan kondisi ketersediaan pakan seperti ini, rata-

rata peternak hanya mampu memelihara sapi 3-4 ekor per orang sehingga

peluang pengembangan sapi menjadi terbatas dan kemampuan peternak untuk

berusaha dalam skala ekonomi yang lebih efisien berkurang.

Pemberian pakan harus sesuai dengan bobot ternak dan umur sehingga

dapat mencapai pertambahan berat badan harian yang optimal, namun

sebagian besar peternak hanya menaksir jumlah pakan yang diberikan jika

pengambilan hijauan kurang lebih 40-50 kg maka jumlah ini akan diberikan

kepada ternak tanpa memperhatikan jumlah ternak. Pemberian dedak antara 1

sampai 2 kg per ekor. Vitamin dan obat-obatan diberikan secara berkala, vitamin

B comp diberikan sebulan sekali dan obat cacing diberikan 2 bulan sekali.

Usaha ternak sapi potong sebagian besar dilakukan oleh tenaga kerja

keluarga, ketersediaan tenaga kerja sangat menentukan akan keberhasilan

usaha ternak sapi potong dan perlu diimbangi dengan manajemen pemeliharaan

yang baik meliputi bibit, pakan dan tatalaksana (perkandangan, perkawinan dan

kesehatan) agar produksi yang dihasilkan maksimal. Tenaga kerja keluarga

151

dapat juga dioptimalkan untuk usahatani.

5.10.6. Hasil Solusi Optimal Pertambahan Bobot Badan Harian Ternak

Hasil penelitian menunjukkan bahwa rataan pertambahan bobot badan

harian sapi bali betina 0,28kg/hari. Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian Damry

et all. (2008) menyatakan bahwa rata-rata pertambahan bobot badan harian

ternak sapi Bali dengan pemberian rumput lapangan 0,286 kg/ekor/hari atau

8.58 kg/ekor/bulan. Hasil penelitian Kadarsih (2004) tentang pertambahan bobot

badan harian ternak sapi bali menunjukkan bahwa di daerah perbukitan rata-rata

pertambahan bobot badan sapi bali jantan 0,3024kg/hari, sapi bali betina 0,3336

kg/hari, dataran rendah rata-rata pertambahan bobot badan sapi bali jantan

0,2576 kg/hari, sapi bali betina 0,2163 kg/hari, di dataran tinggi rata-rata

pertambahan bobot badan sapi bali jantan 0,3021 kg/hari, sapi bali betina 0,2626

kg/hari.

Hasil solusi optimal (Tabel 33) menunjukkan bahwa pertambahan bobot

badan harian ternak sapi menunjukkan nilai deviasi 102,51 berarti sasaran

pertambahan bobot badan harian ternak sapi tidak tercapai, hasil ini

menunjukkan bahwa pertambahan bobot badan harian ternak sapi melebihi

target yang ditetapkan . Demikian pula hasil solusi optimal skenario 1 (Tabel 35),

skenario 2 maupun 3 (Tabel 36) memperoleh nilai deviasi yang sama yakni

102.51. Hasil ini menunjukkan pencapaian pertambahan bobot badan harian

ternak sapi melebihi target yang ditetapkan. Hal tersebut menunjukkan bahwa

dengan adanya perubahan skenario maka pertambahan bobot badan harian

Ternak tetap yaitu 102,51 kg atau meningkat sebesar 99,24% dari target

yang

ditetapkan.

152

Hasil penelitian Rauf dkk (2015) melaporkan pertambahan bobot badan

harian sapi yang merumput pada padang penggembalaan ditambahkan dedak

menghasilkan pertambahan bobot badan lebih tinggi (0,207/kg/ekor/hari)

dibandingkan dengan ternak yang hanya merumput seharian pada padang

pengembalan (0,148kg/ekor/hari) dan penambahan kulit kakao

(0,138kg/ekor/hari). Pertambahan bobot badan harian (PBBH) di sebabkan

nutrisi pada jenis pakan sangat rendah terutama protein pada kulit kakao. Salah

satu yang menyebabkan rendahnya tingkat konsumsi pakan oleh ternak karena

faktor palatabilitas pakan, ternak memerlukan waktu lama beradaptasi baik

terhadap pakan, lingkungan kandang, pekerja maupun lingkungan.

Pertambahan berat badan harian ternak sapi potong pada kondisi aktual

dan hasil optimal disajikan pada Gambar 10.

Gambar 10. Pertambahan berat badan harian ternak sapi potong pada kondisi

aktual dan hasil optimal (Kg) Laju pertambahan bobot hidup seekor ternak dapat dijadikan patokan untuk

mengukur keberhasilan dalam suatu usaha peternakan yang ditandai dengan

laju pertambahan bobot hidup yang meningkat. Usaha perbaikan budidaya

diantaranya adalah melalui perbaikan nutrisi konsentrat yang diberikan.

Komposisi nutrisi pakan konsentrat dapat diperbaiki dengan cara

menyeimbangkan nilai nutrisi yang dikandungnya, antara kandungan protein

0

50

100

150

200

250

Kondisiaktual

Optimal 1 Optimal 2

102,8

205,31 205,31

Kg/

tah

un

PBBH

153

dengan serat kasar (Supriadi dan Soeharsono, 2003). Hasil penelitian Basri dkk

(2008) tentang pemanfaatan pakan murah untuk penggemukan sapi potong

menunjukkan bahwa bobot hidup harian ternak sapi potong meningkat nyata (P <

0,05) dengan pemberian pakan konsentrat sebanyak 1% bobot hidup.

Peningkatan bobot hidup harian (PBHH) perlakuan dengan memberikan rumput

rata-rata 0,37 kg/ekor/ hari. Pemberian pakan dilakukan secara tradisional, pakan

yang diberikan berupa jerami padi dan rumput-rumputan (rumput Gajah, rumput

jagung) sebagai pakan utama dan diberikan pakan tambahan berupa dedak.

Rendahnya peningkatan bobot hidup ini disebabkan oleh rendahnya kualitas

pakan yang diberikan.

Produktivitas ternak, terutama pada masa pertumbuhan dan kemampuan

produksinya, dipengaruhi oleh faktor genetik (30%) dan lingkungan (70%).

Pengaruh faktor lingkungan antara lain terdiri atas pakan, teknik pemeliharaan,

kesehatan dan iklim. Diantara faktor lingkungan ternyata pakan mempunyai

pengaruh yang paling besar (60%), besarnya pengaruh pakan ini membuktikan

bahwa produksi ternak yang tinggi tidak bisa tercapai tanpa pemberian pakan

yang memenuhi persyaratan kualitas dan kuantitas. Kebutuhan zat pakan

tergantung pada berat ternak, fase pertumbuhan atau reproduksi dan laju

pertumbuhan (Rianto dan Purbowati, 2011).

5.10.7. Hasil Solusi Optimal Pemanfaatan Limbah Kotoran Ternak Sebagai Pupuk

Hasil utama dari usaha ternak sapi adalah pertambahan berat badan selain

itu ternak sapi juga menghasilkan kotoran yang merupakan salah satu bahan

potensial untuk membuat pupuk organik. Produksi kotoran untuk satu Satuan

Ternak sapi adalah 8,11 -10,7 kg bahan segar/ekor/hari (Handayani). Kebutuhan

pupuk organik akan meningkat seiring dengan permintaan akan produk organik.

154

Berdasarkan hasil solusi optimal skenario 1 (Tabel 35), skenario 2 maupun

3 (Tabel 36) menunjukkan bahwa pemanfaatan limbah kotoran ternak sebagai

pupuk memperoleh nilai deviasi 9292,91 berarti sasaran untuk limbah kotoran

ternak tidak tercapai. Hasil ini mengindikasikan bahwa dengan adanya

perubahan skenario maka limbah kotoran ternak sebagai pupuk meningkati

sebesar 99,72% dari target yang telah ditetapkan.

Gambar 11. Pemanfaatan limbah kotoran ternak sebagai pupuk pada kondisi aktual dan hasil optimal (Kg)

Budiyanto (2011) menyatakan bahwa satu ekor sapi dapat menghasilkan

kotoran berkisar 8 – 10 kg per hari atau 2,6 – 3,6 ton per tahun atau setara

dengan 1,5 - 2 ton pupuk organik sehingga akan mengurangi penggunaan pupuk

anorganik dan mempercepat proses perbaikan lahan. Potensi jumlah kotoran

sapi dapat dilihat dari populasi sapi.Berdasarkan populasi sapi potong di

Indonesia diperkirakan 10,8 juta ekor dan apabila satu ekor sapi rata-rata setiap

hari menghasilkan 7 kilogram kotoran kering maka kotoran kotoran sapi kering

yang dihasilkan di Indonesia sebesar 78,4 juta kilogram kering per hari. Keadaan

potensial inilah yang menjadi alasan perlu adanya penanganan yang benar pada

kotoran ternak.

0

5000

10000

15000

20000

Kondisiaktual

Optimal 1 Optimal 2

9318,45

18611,36 18611,36

Kg/

tah

un

Pemanfaatan limbah kotoran ternak

155

Penelitian tentang manfaat kotoran ternak sapi oleh Budiyanto dan Krisno

(2011), potensi jumlah kotoran ternak sapi dapat dilihat dari populasi ternak sapi

dimana, populasi sapi potong di Indonesia diperkirakan 10,8 juta ekor dan sapi

perah 350.000-400.000 ekor, apabila satu ekor sapi rata-rata setiap hari

menghasilkan 7 kg kotoran kering maka kotoran sapi kering yang dihasilkan di

Indonesia sebesar 78,4 juta kg kering per hari maka satu ekor sapi setiap harinya

menghasilkan kotoran berkisar 8–10 kg per hari atau 2,6–3,6 ton per tahun atau

setara dengan 1,5-2 ton pupuk organik sehingga akan mengurangi penggunaan

pupuk anorganik dan mempercepat proses perbaikan lahan.

Hasil penelitian Sudiarto dan Bambang (2008) tentang pengelolaan limbah

peternakan terpadu dan agribisnis menyatakan bahwa keadan potensial inilah

yang menjadi alasan perlu adanya penanganan yang benar pada kotoran ternak.

Limbah peternakan yang dihasilkan tidak lagi menjadi beban biaya usaha akan

tetapi menjadi hasil ikutan yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan bila mungkin

setara dengan nilai ekonomi produk utama (daging) dengan begitu, usaha

peternakan ke depan harus dapat dibangun secara berkesinambungan sehingga

dapat memberikan kontribusi pendapatan yang besar dan berkelanjutan. Hasil

penelitian Nastiti (2008) menyatakan bahwa penerapan teknologi budidaya

ternak yang ramah lingkungan dapat dilakukan melalui pemanfaatan limbah

pertanian yang diperkaya nutrisinya serta pemanfaatan kotoran ternak menjadi

pupuk organik dan biogas dapat meningkatkan produktivitas ternak, peternak

dan perbaikan lingkungan.

Kotoran ternak bila diolah dengan cara yang lebih baik akan bernilai

ekonomi tinggi seperti pemanfaatan kotoran ternak sapi sebagai bahan

pembuatan biogas, pupuk padat, dan pupuk cair. Pengolahan kotoran ternak

sapi menjadi biogas pupuk padat ataupun pupuk cair akan menambah nilai

156

ekonomis dari kotoran ternak sapi. Permasalahan pengelolaan sampah tersebut

dapat diminimalkan dengan menerapkan pengelolaan sampah yang terpadu

(Integrated Solid Waste Management/ISWM), diantaranya waste to energy atau

pengolahan sampah menjadi energi (Damanhuri 2010).

Usaha ternak sapi di wilayah penelitian sampai saat ini masih

mementingkan produktivitas ternak dan belum mempertimbangkan aspek

lingkungan atau dampak kegiatan terhadap lingkungan. Limbah peternakan yang

dihasilkan seharusnya tidak lagi menjadi beban biaya usaha tetapi menjadi hasil

ikutan yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan bila mungkin setara dengan nilai

ekonomi produk utama (daging). Berdasarkan hasil wawancara diperoleh hasil

bahwa sebagian besar petani belum memanfaatkan kotoran ternak sebagai

pupuk. Pembuatan pupuk relatif sederhana dengan menumpuk kotoran ternak di

suatu tempat dibiarkan membusuk sendiri tanpa perlakuan khusus kemudian

setelah jumlahnya banyak dibawa ke lahan. Menumpuk kotoran di suatu tempat

akan berpengaruh terhadap lingkungan berupa pencemaran tanah, air dan udara

yang berpotensi mengganggu kesehatan ternak itu sendiri dan manusia. Alasan

penggunaan kotoran sapi sebagai pupuk biasanya karena barangnya mudah

didapat, relatif murah dan memberikan hasil yang lebih baik.

5.10.8. Hasil Solusi Optimal Pemanfaatan Limbah Pertanian Sebagai Pakan

Usaha pengembangan ternak sapi potong perlu didukung dengan

ketersediaan pakan yang sampai saat ini masih merupakan kendala utama

dalam industri ternak potong. Oleh karena itu, untuk memenuhi kebutuhan

daging tahun 2019 tersebut diperlukan peningkatan produksi peternakan secara

berkesinambungan yang dapat dicapai melalui efisiensi produksi peternakan

secara menyeluruh. Efisiensi produksi peternakan sangat bergantung kepada

ketersediaan pakan ternak yang berkualitas dalam jumlah yang cukup sepanjang

157

tahun. Namun demikian kendala yang dihadapi dalam pengembangan ternak

sapi potong saat ini adalah keterbatasan lahan pengembalaan dan penyedian

hijauan pakan ternak akibat perubahan fungsi lahan produktif menjadi lahan

pemukiman dan kawasan industri. Sementara itu, daya beli peternakan rakyat

terhadap pakan komersial (konsentrat) yang berkualitas masih rendah akibat

sebagian besar bahan baku pakan merupakan komoditas impor. Dalam hal ini

perlu mencari alternatif pakan ternak yang mampu memanfaatkan sumberdaya

lokal. Salah satu alternatif pakan ternak adalah dengan memanfaatkan dan

mengembangkan limbah hasil pertanian dan perkebunan yang diduga memiliki

kandungan nutrisi setara dengan pakan komersial, antara lain jerami padi, jerami

jagung, limbah dedak (padi) adalah salah contoh bahan baku yang tersedia

cukup memadai tetapi belum dimanfaatkan secara optimal sebagai pakan ternak

Pemanfaatan limbah pertanian di wilayah penelitian memanfaatkan limbah

padi berupa dedak. Ketersediaan dedak berlimpah sehingga peternak

memanfaatkan sebagai bahan tambahan pakan ternaknya dengan pemberian

1-2 kg setiap ekor per hari. Hasil solusi optimal terhadap pemanfaatan limbah

pertanian sebagai pakan ternak pada kondisi optimal dan skenario 1(Tabel 35)

pada skenario 2 dan 3 (Tabel 36) diperoleh nilai 2365,16 berarti sasaran limbah

pertanian sebagai pakan ternak tidak tercapai. terjadi peningkatan pemanfaatan

limbah pertanian sebagai pakan ternak sebesar 99,79 %.

DIdiek dan Hardiyanto, (2004), dalam rangka pengembangan sapi potong

perlu mendapat perhatian dari pemerintah mengingat permintaan daging yang

setiap tahunnya meningkat dan tidak dapat dipenuhi di dalam negeri. Salah satu

kendala yang sering dijumpai adalah rendahnya produktivitas ternak karena

kualitas pakan rendah. Di lain pihak, potensi bahan baku pakan lokal seperti

limbah pertanian dan perkebunan belum dimanfaatkan secara optimal.

158

Gambar 12. Pemanfaatan limbah pertanian sebagai pakan ternak pada kondisi aktual dan hasil optimal (Kg)

Dalam usaha ternak, biaya produksi yang cukup besar adalah pakan

ternak, memproduksi pakan tidak hanya dituntut kelayakan dari aspek kualitas

dan kecukupan nutrisi, tetapi bagaimana memproduksi pakan yang ekonomis,

murah dan terjangkau oleh kemampuan para peternak. Peningkatan

produktivitas ternak dapat dilakukan dengan pemberian pakan tambahan berupa

konsentrat. Namun konsentrat sulit tersedia dan harganya relatif mahal sehingga

tidak terjangkau oleh peternak. Selain itu, bahan baku pakan terbatas jumlahnya

dan harganya juga bervariasi sehingga perlu dicari sumber pakan alternatif,

berkualitas dan murah. Salah satu sumberdaya alam yang dapat dimanfaatkan

sebagai bahan pakan ternak adalah limbah pertanian yang meliputi limbah hasil

budidaya pertanian dan limbah industri yang mengolah hasil pertanian.

Pemanfaatan limbah pertanian sebagai bahan pakan ternak ruminansia ini

Penting dilakukan karena lebih dari 90 % penghasil bakalan khususnya ternak

ternak sapi didalam negeri adalah peternakan rakyat (Diwyanto, 2002).

Ketersediaan pakan ternak yang murah dan terjamin masih jauh dari yang

diharapkan. Oleh karena itu diperlukan upaya untuk mencari substitusi bahan

0

1000

2000

3000

4000

5000

Kondisiaktual

Optimal 1 Optimal 2

2369,45

4730,97 4730,97

Kg/

tah

un

Pemanfaatan limbah pertanian

159

baku yang harganya tinggi dengan bahan baku yang murah dan tersedia

dilokasi. Bahan-bahan sebagai pencampur pakan tambahan cukup banyak

tersedia di wilayah penelitian , seperti dedak, jerami padi namun yang sering

digunakan untuk bahan pakan tambahan adalah dedak sedangkan jerami padi

belum dimanfaatkan sebagai pakan ternak sapi karena pengetahuan peternak

tentang pengolahan jerami padi menjadi pakan ternak terbatas.

Pakan mempunyai peranan penting dalam usaha peternakan karena pakan

merupakan bagian terbesar (70%) dari total biaya produksi. Komponen biaya

pakan ini terutama untuk pakan tambahan (konsentrat) yang pemberiannya

dapat mencapai 60 – 80% dari jumlah pakan. Untuk menekan biaya adalah

dengan pemberian pakan dari bahan yang tersedia secara lokal dan relatif murah

harganya. Hasil wawancara diketahui bahwa petani dilokasi penelitian

memanfaatkan limbah pertanian dedak sebagai pakan tambahan pada ternak

sapi potong.

5.10.9. Hasil Solusi Optimal Luas lahan

Hasil survei menunjukkan bahwa responden selain beternak mereka juga

berusaha di bidang pertanian dan kebun. Adapun rataan luas lahan yang

dikuasai peternak yakni luas lahan sawah 0,82 ha, luas lahan kebun kelapa 1,29

ha dan luas lahan kebun cengkeh 1,13 ha dengan total luas lahan 3,24 ha.

(Tabel 34) hasil solusi optimal pada kondisi optimal merekomendasikan bahwa

luas lahan sawah menurun menjadi 0,75 ha, skenario 1, 2 dan 3 menurun

menjadi 0,73 ha. Penurunan lahan pertanian akan berpengaruh terhadap daya

dukung lahan, ketersediaan pangan dan pakan ternak, dengan menurunnya

pemanfaatan lahan pertanian akan berpengaruh terhadap produksi dan

pendapatan petani.

Hasil solusi optimal terhadap pemanfaatan keseluruhan luas lahan baik

160

skenario1 dan 2 terjadi penurunan sebesar 0,12 ha, skenario 3 terjadi

penurunan sebesar 0,11 ha berarti sasaran luas lahan tidak tercapai..

Berdasarkan hasil solusi optimal yang diperoleh bahwa luas lahan yang

diusahakan petani belum dimanfaatkan secara maksimal. Pengolahan lahan

usahatani padi, usaha kebun kelapa maupun usaha kebun cengkeh harus

dioptimalkan sehingga menghasilkan produksi maksimal yang akan memberikan

dampak finansial yaitu meningkatnya pendapatan petani serta dapat

meningkatkan kesejahteraan hidup petani.

Hasil solusi optimal menunjukkan bahwa luas lahan kelapa kondisi awal

1,29 ha direkomendasikan menurun pada kondisi optimal menjadi 1,19 ha,

skenario 1 menjadi 1,16 ha, skenario 2 dan 3 menjadi 1,17 ha,. Hal ini

mengindikasikan bahwa adanya perubahan skenario terjadi penurunan luas

lahan kelapa. Petani harus mengoptimalkan usaha tanaman kelapa sehingga

dapat menghasilkan produksi maksimal yang pada akhirnya meningkatkan

pendapatan petani. Tanaman kelapa wilayah penelitian sudah tidak produktif lagi

dikarenakan tanaman kelapa rata-rata berumur diatas 15 tahun, sehingga untuk

dapat memanfaatkan lahan secara optimal tanaman kelapa dipadukan dengan

tanaman palawija. optimalisasi kebun kelapa dapat ditingkatkan melalui sistem

pertanian terpadu, kebun kelapa dapat dipadukan dengan ternak dan tanaman

palawija yang bisa ditanam di antara pohon kelapa.

Penanaman jagung diantara tanaman kelapa dapat meningkatkan optimalisasi

lahan kebun kelapa dan akan memberikan kontribusi terhadap pendapatan

petani serta dapat meningkatkan ketahanan pangan. Hal tersebut sesuai dengan

penelitian Hadi (2008), bahwa petani di daerah pasang surut Jambi telah

melakukan kegiatan pemanfaatan lahan di antara tanaman kelapa tua dengan

tanaman jagung dapat meningkatkan optimalisasi lahan dan memberikan

161

kontribusi terhadap pendapatan

Gambar 13. Luas lahan pada kondisi aktual dan hasil optimal (Ha)

Hasil solusi optimal menunjukkan bahwa luas lahan cengkeh pada kondisi

aktual direkomendasikan menurun pada skenario 1, 3 menjadi 1,10 ha dan

skenario 2 menjadi 1,11 ha, Hal ini mengindikasikan bahwa adanya perubahan

skenario terjadi penurunan luas lahan cengkeh. Petani harus mengoptimalkan

usaha tanaman kelapa sehingga dapat menghasilkan produksi maksimal yang

pada akhirnya meningkatkan pendapatan petani Hal ini mengindikasikan bahwa

tanaman cengkeh menjadi tumpuan harapan petani walaupun harga cengkeh

mengalami penurunan. Petani tidak lagi mememelihara tanaman cengkeh

dengan baik mengakibatkan pohon cengkeh banyak yang mati menyebabkan

produksi cengkeh menurun. Fenomena ini merupakan salah satu pertimbangan

petani untuk mempunyai usahatani lain selain tanaman cengkeh sebagai sumber

pendapatan. Usahatani cengkeh jika diusahakan memerlukan waktu yang cukup

lama yaitu sekitar 5 tahun sampai panen (produksi) karena merupakan

komoditas tahunan. Tanaman cengkeh didaerah penelitian rata-rata berumur

diatas 20 tahun dan selama beberapa tahun terakhir petani kurang memelihara

kebun cengkehnya sehingga tidak produktif lagi. Pengurangan areal lahan

tanaman cengkeh dimaksudkan untuk mengusahakan tanaman lain sehingga

2,9

2,95

3

3,05

3,1

3,15

3,2

3,25

Kondisiaktual

Optimal 1 Optimal 2 optimal 3

3,24

3,07 3,04 3,03

Ha

Luas lahan

162

dapat meningkatkan pendapatan.

Sasaran untuk mengolah lahan sesuai dengan total rataan lahan yang

dimiliki petani tidak tercapai atau dengan kata lain lahan yang dimiliki petani tidak

dapat diolah seluruhnya untuk menghasilkan produksi maksimal. Hal ini mungkin

disebabkan pohon cengkeh yang ada sudah tidak produktif dikarenakan pohon

cengkeh ada yang kering dan tanpa pemberian pupuk menyebabkan produksi

menurun.

Secara nasional produksi cengkeh mengalami penurunan sebagai dampak

dari flutuaktif harga yang berpengaruh pada minat petani untuk melakukan

budidaya tanaman cengkeh.Kondisi ini menyebabkan petani menelantarkan

pohonnya dan sebagian petani menebang pohon cengkehnya. Berdasarkan hasil

optimasi maka petani harus mengolah lahan yang belum termanfaatkan dengan

mempertimbangkan biaya dan tenaga kerja yang akan digunakan.

Berdasarkan hasil survei diketahui bahwa daya dukung lahan di wilayah

penelitian masih memungkinkan bagi pengembangan usaha ternak baik

ruminansia maupun non ruminansia. Ketersediaan hijauan pakan ternak

khususnya rumput atau berbagai limbah pertanian sebagai pakan ternak masih

cukup tersedia bagi usaha ternak sapi potong.

5.10.10. Hasil Solusi Optimal Modal Kerja

Hasil solusi optimal modal kerja pada kondisi optimal, skenario1, 2 dan 3

menunjukkan nilai deviasi 0 berarti sasaran modal kerja tercapai. Pada kondisi

aktual total modal kerja petani Rp 11.931.149 dengan hasil yang diperoleh

berarti modal kerja telah mencapai nilai optimal.

Modal kerja dalam penelitian ini adalah biaya yang dikeluarkan dalam

usahatani padi, kelapa, cengkeh dan usaha ternak sapi potong untuk setiap

periode dalam proses produksi. Hasil wawancara diketahui bahwa komponen

163

modal kerja usahatani padi meliputi pengadaan pupuk, pestisida, benih, sewa

traktor. Komponen modal kerja usaha perkebunan kelapa meliputi pengadaan

pupuk, pestisida, pembersihan gulma, panen dan pasca panen. Komponen

modal kerja usaha perkebunan cengkeh meliputi pengadaan pupuk, pestisida,

pembersihan gulma, panen dan pasca panen. Komponen modal kerja usaha

ternak sapi potong meliputi biaya-biaya untuk keperluan operasional proses

produksi yang terdiri dari: pengadaan pakan hijauan, pengadaan konsentrat,

obat-obatan dan pengawasan kesehatan, tenaga kerja, pengadaan air,

pengganti alas kandang, manajemen, sewa lahan kering dan biaya lain-lain

(Bank Indonesia 2010). Modal kerja adalah seluruh pengeluaran yang digunakan

untuk kegiatan usahatani berupa uang tunai yang di keluarkan petani. Petani

dalam mengelola usahataninya menggunakan modal kerja sendiri. Ketersediaan

modal kerja didekati dengan cara menghitung rata-rata tingkat pengeluaran

petani dalam satu tahun. Modal kerja digunakan untuk membiayai pengadaan

sarana produksi berupa bibit, pupuk pestisida, sewa lahan, sewa traktor dan

biaya pengairan.

Modal kerja adalah seluruh pengeluaran yang digunakan untuk kegiatan

usahatani berupa uang tunai yang di keluarkan petani. Petani dalam mengelola

usahataninya menggunakan modal kerja sendiri. Ketersediaan modal kerja

didekati dengan cara menghitung rata-rata pengeluaran petani untuk membiayai

usahatani maupun usaha ternaknya t dalam satu tahun. Modal kerja digunakan

untuk membiayai pengadaan sarana produksi berupa bibit, pupuk pestisida,

sewa lahan, sewa traktor dan biaya pengairan. Oleh karena itu pemerintah

memberikan peluang bagi peternak untuk memperolehnya yaitu dengan sistem

kredit ataupun dengan sistem gaduhan. Bantuan ini salah satu diantaranya

adalah program penguatan modal usaha kelompok tani.

164

Fasilitas penguatan modal usaha kelompok merupakan bagian dari upaya

pemberdayaan masyarakat petani, yang dikawal dengan kegiatan terkait yaitu

penguatan kelembagaan petani melalui pembinaan, penyuluhan, pelatihan ,

monitoring, evaluasi, dan lainnya. Penguatan modal usaha kelompok (PMUK)

adalah stimulasi dana bagi pelaku peternakan yang mengalami keterbatasan

modal sehingga selanjutnya mampu mengakses lembaga permodalan secara

mandiri (Dirjen Peternakan, 2008). Kegiatan ini bertujuan untuk 1) memperkuat

modal pelaku usaha dalam mengembangkan usaha agribisnis dan ketahanan

pangan, 2) meningkatkan produksi, produktivitas dan pendapatan pelaku usaha

pertanian dan agroindustri dikawasan pengembangan serta 5) mendorong

berkembangnya lembaga keuangan mikro agribisnis dan kelembagaan ekonomi

pedesaan lainnya.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa rataan modal kerja yang dikeluarkan

petani pada kondisi aktual yaitu untuk lahan sawah sebesar Rp 3.907.676/tahun.

Modal kerja ini dipergunakan untuk mengolah lahan, menyiapkan bibit,

pembelian pupuk, pestisida, panen dan paca panen. Rataan modal kerja yang

dikeluarkan petani untuk, usaha perkebunan kelapa sebesar Rp 2.443.400

/tahun dan kebun cengkeh sebesar Rp 2.278.727/tahun, modal dipergunakan

untuk membiayai pengadaan pupuk, pestisida dan membersihkan lahan dari

semak belukar, panen dan pasca panen. Rataan modal kerja untuk usaha

ternak sapi potong sebesar Rp 3.504.804/tahun yang dikeluarkan untuk

pengadaan hijauan pakan ternak, konsentrat, obat-obatan dan pengawasan

kesehatan.

Penelitian Howara (2011) tentang optimalisasi pengembangan usahatani

tanaman padi dan ternak sapi secara terpadu menyatakan bahwa petani dalam

mengelola usahatani, menggunakan modal kerja sendiri dan modal pinjaman

165

(kredit). Untuk membantu modal petani dalam mengembangkan usahataninya

maka tersedia dana kredit untuk anggota P3T atau Program Peningkatan

Produktivitas Padi Terpadu yang ditetapkan maksimum Rp 915.000,00 per hektar

dengan bunga kredit 4 persen per musim tanam. Ketersediaan kredit ini berasal

dari proyek P3T untuk mengembangkan usahatani tanaman-ternak, tetapi kredit

tersebut dikhususkan hanya untuk tanaman. Ketersediaan sumberdaya modal

sendiri didekati dengan cara menghitung rata-rata tingkat pendapatan petani

yang mengikuti proyek P3T selama satu tahun. Data yang diperoleh

menunjukkan bahwa, total ketersediaan sumberdaya modal sendiri adalah Rp

237.450.000,00 per musim tanam. Modal kerja digunakan untuk membiayai

pengadaan sarana produksi berupa bibit, pupuk, pestisida, sewa lahan, sewa

traktor dan biaya pengairan.

5.10.11. Hasil Solusi Optimal Tenaga Kerja

Hasil solusi optimal terhadap tenaga kerja pada kondisi optimal, skenario

1, 2 dan 3 menunjukkan nilai deviasi 0 berarti sasaran tenaga kerja tercapai. Hal

tersebut menunjukkan bahwa tenaga kerja telah mencapai optimal.

Petani atau keluarganya dalam mengelola usahatani/usaha ternaknya

pada umumnya sekaligus berperan sebagai tenaga kerja dalam mengelolah

usahatani/usaha ternaknya. Tenaga kerja keluarga petani ini, nilainya tidak bisa

diabaikan begitu saja, karena tenaga kerja merupakan salah satu komponen

produksi dalam usahatani maupun usaha ternak. Petani dalam menjalankan

usahanya selalu memberikan pengorbanan, diantaranya adalah : tenaga, fikiran

dan modal usaha. Selain tenaga dan fikiran, maka modal usaha bagi petani

sering mengalami kesulitan untuk mendapatkan atau memperolehnya, walaupun

usahatani yang mereka lakukan masih dalam pola usahatani keluarga dan

166

pemeliharaan sapi yang mereka lakukan masih dalam pola peternakan rakyat

yaitu dengan cara pemeliharaan semi intensif.

Tenaga kerja yang berperan dalam usahatani maupun usaha ternak

umumnya melibatkan tenaga kerja keluarga yaitu kepala keluarga sebagai

tenaga kerja pria dewasa juga melibatkan anggota keluarga lain yakni istri

sebagai tenaga kerja wanita dewasa dan anak. Peranan ini terlihat dari seberapa

besar curahan waktu yang dikorbankan dalam pekerjaan-pekerjaan yang

dilakukan dalam usahatani padi, usaha perkebunan kelapa, usaha perkebunan

cengkeh dan usaha ternak sapi. Hasil wawancara diketahui bahwa untuk

usahatani padi menyerap tenaga kerja keluarga 518.8 HOK/tahun. Curahan

waktu yang dikorbanan dalam pekerjaan yang dilakukan untuk usahatani padi

adalah pengolahan sawah, pembibitan, persemaian, penanaman, pemupukan,

penyemprotan, panen. Usaha kebun kelapa menyerap tenaga kerja keluarga

24.05 HOK/tahun, curahan waktu yang dikorbanan dalam pekerjaan-pekerjaan

diareal kebun kelapa adalah pemupukan, pembersihan areal perkebunan, panen

dan penanganan pasca panen. Usaha kebun cengkeh menyerap tenaga kerja

keluarga 28.60 HOK/tahun, curahan waktu yang dikorbankan dalam pekerjaan

diareal kebun cengkeh adalah pembersihan areal perkebunan, pemupukan,

pestisida, panen dan penanganan pasca panen. Usaha ternak sapi potong

menyerap tenaga kerja keluarga 78.50 HOK/tahun, curahan waktu yang

dikorbankan dalam pekerjaan yang dilakukan dalam pmeliharaan ternak sapi

potong yakni mulai dari mencari, memberikan makanan hijauan, konsentrat,

memberi minum, memandikan, melepas dan memasukan sapi dalam kandang

dan sebagainya.

Potensi usaha sapi potong dalam menyerap tenaga kerja keluarga, maka

petani menggunakan tenaga kerja keluarga dan tenaga kerja diluar keluarga.

167

Tenaga kerja digunakan untuk mencari hijauan makanan ternak dan

pemeliharaan ternak. Yuwono dkk (2011) menyatakan bahwa sebagian besar

peternak (87,5%) dalam budidaya sapi potong hanya mengandalkan tenaga

kerja keluarga, sebagian kecil saja (12,5%) menggunakan tambahan tenaga

kerja luar keluarga. Tenaga kerja digunakan untuk mencari hijauan pakan

maupun perawatan ternak, adapun jumlah tenaga yang terlibat berkisar 1 - 6

orang dengan jumlah waktu yang dicurahkan berkisar 2,5 - 12,5 jam/hari dengan

rata-rata 6,94 jam/peternak/hari. Sani (2010) menyatakan bahwa variasi variabel

indenpenden jumlah tenaga kerja keluarga berkorelasi positif terhadap curahan

tenaga kerja pada pemeliharaan sapi potong, namun demikian ketersedian

curahan tenaga produktif tidak berpengaruh terhadap curahan tenaga kerja

karena skala usaha kepemilikan sapi masih relatif kecil rata-rata 1-4 ekor dan

tidak semua tenaga kerja yang tersedia dalam keluarga ikut terlibat dalam usaha

sapi potong. Hasil penelitian Hartono (2005) bahwa jumlah anggota keluarga

usia produktif berkorelasi positif terhadap curahan tenaga kerja keluarga di

usaha ternak sapi perah. Semakin banyak jumlah anggota keluarga usia

produktif, maka curahan tenaga kerja keluarga di usaha ternak sapi perah

semakin meningkat.

5.10.12. Hasil Solusi Optimal Kredit Sapi Potong Sistem Bergulir

Hasil solusi optimal terhadap kredit sapi potong sistem bergulir baik pada

kondisi opimal, maupun skenario 1, 2 dan 3 menunjukkan nilai deviasi 0 berarti

sasaran kredit sapi potong tercapai. Hal ini menunjukkan bahwa kredit yang

diberikan kepada petani berupa 1 ST sapi potong telah mencapai nilai optimal.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian kredit sapi potong sistem

bergulir kepada petani dalam bentuk sapi gaduhan berupa ternak sapi umur 1,5 -

2 tahun dapat meningkatkan jumlah kepemilikan ternak. Apabila pelaksanaan

168

kredit sapi dapat berjalan dengan optimal, maka akan terjadi perguliran yang

disertai peningkatan pendapatan, peningkatan produksi, peningkatan populasi

dan pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan petani peternak.

Penelitian evaluasi program pengembangan sapi potong gaduhan melalui

kelompok lembaga mandiri yang mengakar di masyarakat (LM3) di kabupaten

Manokwari Papua Barat telah dilakukan oleh (Sonbait dkk., 2011), bahwa

program pengembangan sapi potong gaduhan melalui kelompok LM3 secara

umum belum mencapai target program. Hal ini dibuktikan dengan masih

rendahnya peningkatan populasi ternak gaduhan, penyeleksian calon penerima

belum sesuai persyaratan, adanya pelanggaran tanpa saksi yang tegas, kurang

efektifnya petugas lapangan serta masih rendahnya peternak melunasi tepat

pada waktu. Rata-rata peningkatan pendapatan pertahun penerima gaduhan

adalah Rp 5.212.500. Kenaikan populasi sebesar 27,05 % setahun. Hasil analisis

regresi menunjukkan bahwa calving interval dan angka mortalitas berpengaruh

positif terhadap waktu pengembalian gaduhan sapi potong

Ibrahim dkk. (2013) melaporkan hasil penelitiannya tentang Analisis Kinerja

Program Pengembangan Usaha Sapi Potong Pola Gaduhan Sistem Revolving

bahwa faktor output yaitu produktivitas bibit sapi pokok berpengaruh signifikan

terhadap terhadap faktor outcome hasil revolving anak sapi. Hal ini

memperlihatkan jika semakin tinggi produktivitas bibit sapi pokok, maka akan

mengakibatkan semakin tinggi pula hasil revolving anak sapi. Demikian

sebaliknya, jika semakin rendahproduktivitas bibit sapi pokok, maka akan

mengakibatkan semakin rendah pula hasil revolving anak sapi.Hal inilah yang

menjadi tujuan dari program, yaitu adanya peningkatan produksi dan populasi

ternak sapi. Dengan produksi dan populasi meningkat maka proses revolving

diharapkan akan berhasil dengan baik. Namun untuk meningkatkan produksi

169

diperlukan faktor input identifikasi calon penggaduh, pemahaman hasil pelatihan

dan kualitas bibit sapi dan faktor proses yang baik pula.

5.11. Hasil Solusi Optimal Penggunaan Sumberdaya

Hasil optimasi penggunaan sumberdaya akan menampilkan analisis dual.

Analisis dual memberikan penilaian terhadap sumberdaya dengan melihat nilai

slack/surplus dan nilai dual price. Slack/surplus sumberdaya menunjukkan

bahwa sumberdaya bersifat terbatas. Nilai dual price merupakan nilai harga

sumberdaya yang menunjukkan besarnya pengaruh terhadap nilai fungsi tujuan,

karena adanya penambahan atau pengurangan pada nilai ruas kanan kendala.

Nilai dual price pada sumberdaya terbatas menunjukkan bahwa setiap

penambahan sumberdaya sebesar satu satuan akan meningkatkan nilai fungsi

tujuan sebesar nilai dual price sedangkan nilai dual price negatif pada

sumberdaya terbatas menunjukkan bahwa setiap penambahan satu satuan akan

menurunkan nilai fungsi tujuan sebesar nilai dual price tersebut.

Tingkat produksi usaha ternak sapi potong dipengaruhi oleh ketersediaan

sumberdaya di daerah penelitian. Hasil analisis menunjukkan bahwa

pendapatan, jumlah kepemilikan ternak, pertambahan berat badan harian

ternak, pemanfaatan limbah kotoran ternak, pemanfatan limbah pertanian, luas

lahan, baik pada kondisi optimal maupun skenario 1, 2 dan skenario 3

memperoleh nilai slack = 0, ini berarti bahwa strategi optimal memerlukan

semua sumberdaya sehingga semua input yang digunakan sudah

termanfaatkan/tidak bersisa.

Nilai slack surplus modal kerja pada kondisi optimal memperoleh nilai

sebesar nilai 100.147 berarti ada sebesar Rp 100.147 belum dimanfaatkan oleh

petani. Demikian pula skenario 1 memperoleh nilai 327.535 berarti bahwa masih

ada modal kerja sebesar Rp 327.535 belum dimanfaatkan petani, skenario 2

170

memperoleh nilai 266.404 berarti bahwa masih ada modal kerja sebesar

Rp 266.404 yang belum dimanfaatkan petani dan skenario 3 memperoleh nilai

324.708 berarti ada sebesar Rp 324.708 belum dimanfaatkan petani.

Nilai slack surplus tenaga kerja pada kondisi optimal memperoleh nilai

1,75 berarti ada 1,75 HOK belum terserap pada usahatani, demikian pula

skenario 1 memperoleh nilai 4,35 berari ada 4,35 HOK belum terserap, skenario

2 memperoleh nilai 4,05 berarti ada 4,05 HOK belum terserap dan skenario 3

memperoleh nilai 4.72 berarti ada 4,72 HOK yang belum terserap dalam

usahatani.

Nilai slack surplus bantuan kredit ternak sistem bergulir pada kondisi

optimal dan skenario 2 memperoleh nilai 0 berarti bantuan ternak 1 ekor sudah

termanfaatkan oleh peternak. Skenario 1 dan 3 memperoleh nilai 1.00 berarti

peternak akan mendapatkan manfaat adanya tambahan bantuan ternak sistem

bergulir sebesar 1.00 ST.

Nilai slack surplus lahan padi, lahan kebun kelapa, lahan kebun cengkeh

dan bantuan kredit sapi potong sistem bergulir memperoleh nilai 0 ini berarti

bahwa strategi optimal memerlukan semua sumberdaya sehingga semua input

yang digunakan sudah termanfaatkan dan tidak/tidak bersisa.

Hasil analisis menunjukkan nilai dual price untuk pemanfaatan limbah

pertanian, modal kerja, tenaga kerja dan kredit ternak sapi memperoleh nilai 0,

berarti bahwa meskipun pemanfaatan limbah pertanian, modal kerja, tenaga

kerja, kredit sapi potong dinaikkan 1 unit keuntungan tidak meningkat. Nilai dual

price untuk pendapatan, jumlah ternak, pertambahan berat badan harian,

pemanfaatan limbah ternak, memperoleh nilai – 1. Ini mengindikasikan jika

pendapatan, jumlah ternak, pertambahan bobot badan harian ternak,

pemanfaatan limbah ternak, dinaikkan 1 unit maka akan rugi sebesar

171

Rp 1.000, Nilai dual price luas lahan memperoleh nilai 1 berarti bahwa luas

lahan dapat dinaikan 1 unit.

Nilai dual price lahan padi pada kondisi optimal memperoleh nilai 8763.929

berarti bahwa lahan padi bila dinaikkan 1 unit maka akan memperoleh

keuntungan sebesar Rp 8.763.929, demikian pula pada skenario 1

memperoleh nilai 8508.168 berarti bila lahan padi dinaikkan 1 unit akan

memperoleh keuntungan sebesar Rp 8.508.168. pada skenario 2 memperoleh

nilai 8763.992 berarti bahwa bila dinaikkan 1 unit petani akan memperoleh

keuntungan Rp 8.763.992 dan skenario 3 memperoleh nilai 8676.351 berarti bila

dinaikkan 1 ha maka petani akan memperoleh keuntungan sebesar Rp

8.676.351.

Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai dual price lahan kebun kelapa pada

kondisi optimal, skenario 1 memperoleh nilai 3913.844 berarti bahwa bila

dinaikkan 1 unit maka petani akan memperolah keuntungan sebesar

Rp 3.913.844, skenario 2 memperoleh nilai 4637.523 berarti bila lahan kebun

kelapa dinaikkan 1 unit akan memperoleh keuntungan sebesar Rp 4.637.523,

skenario 3 memperoleh nilai 4591.138 berarti bila dinaikkan 1 unit maka akan

memperoleh keuntungan Rp 4.591.138.

Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai dual price lahan kebun cengkeh

pada kondisi optimal, skenario 1 memperoleh nilai 3682.849 berarti bahwa bila

dinaikkan 1 unit maka petani akan memperolah keuntungan sebesar

Rp 3.682.849, skenario 2 memperoleh nilai 4363.821 berarti bila lahan kebun

cengkeh dinaikkan 1 unit akan memperoleh keuntungan sebesar Rp 4.363.821,

skenario 3 memperoleh nilai 4620.173 berarti bila dinaikkan 1 unit maka akan

memperoleh keuntungan Rp 4.620.173.

Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai dual price kredit sapi potong sistem

172

bergulir pada kondisi optimal dan skenario 1 memperoleh nilai 10571.299 berarti

bahwa bila diberikan bantuan 1 ekor maka petani akan memperolah keuntungan

sebesar Rp 10.571.299, skenario 2 dan 3 memperoleh nilai 12.461.735 berarti

bahwa bila bantuan ternak sapi potong diberikan 1 ekor akan memperoleh

keuntungan sebesar Rp 12.461.735.

5.12. Analisis Sensitivitas

Analisis sensitivitas bertujuan untuk melihat suatu keadaan atau faktor

teknis yang berubah terhadap hasil analisis suatu aktivitas produksi. Analisa

perubahan parameter dan pengaruhnya terhadap solusi linear programming (LP)

dinamakan post optimality analysis yang menunjukkan bahwa analisis ini terjadi

setelah diperoleh solusi optimum dengan mengasumsikan seperangkat nilai

parameter yang digunakan dalam model (Mulyono,1991).

Pada penelitian ini analisis sensitivitas merupakan analisis yang dilakukan

untuk mengetahui perubahan yang terjadi pada saat aktivitas produksi

berlangsung. Analisis sensitivitas pada penelitian ini terdiri dua batasan yaitu

batasan atas (allowble increase) dan batasan bawah (allowable decrease).

Batasan atas merupakan nilai maksimal yang dibutuhkan untuk menentukan

jumlah dalam kondisi optimal, sedangkan batasan bawah adalah nilai minimal

untuk menentukan jumlah dalam kondisi optimal. Kedua batasan tersebut

menjadi petunjuk terhadap interval nilai yang dibutuhkan variabel untuk jenis

bantuan kredit sapi potong sistem bergulir yang diberikan kepada kelompok

peternak supaya nilainya tetap optimal. Analisis sensitivitas yang digunakan

dalam penelitian ini mengacu pada dua skenario yang diuji.

Hasil sensitivitas aktivitas proses produksi usaha ternak sapi potong

disajikan pada Tabel 37.

173

Tabel 37 . Hasil sensitivitas aktivitas produksi usaha sapi potong

No Aktifitas Maksimum Minimum

1

2

3

4

5

6

7

8

9

Pendapatan (Rp)

Jumlah ternak (ST)

Pertambahan bobot badan harian ternak

(Kg)

Pemanfaatan limbah kotoran ternak

sebagai pupuk (Kg)

Pemanfaatan limbah pertanian sebagai

pakan (Kg)

Luas lahan (Ha)

Modal kerja (Rp)

Tenaga kerja (HOK)

Kredit sapi potong sistem bergulir (ST)

Infinity

Infinity

Infinity

Infinity

Infinity

0,21

Infinity

infinity

Infinity

791.038

2,73

102,51

2992,91

2365,02

Infinity

100.13

1.72,

0.00

Sumber : Diolah dari data primer (Lampiran 1)

Berdasarkan Tabel 37 hasil analisis sensitivitas aktivitas produksi usaha

sapi potong sebagai berikut :

1. Pendapatan usaha sapi potong memperoleh nilai akhir maksimal yang

diterima tanpa merubah solusi optimal sebesar Rp 26.182.100.

2. Jumlah ternak memperoleh nilai maksimal dengan tidak merubah solusi

optimal adalah 2,38 ST.

3. Pertambahan berat badan harian ternak sapi potong memperoleh nilai

maksimal dengan tidak merubah solusi optimal adalah 0,29 kg.

4. Pemanfaatan limbah kotoran ternak sebagai pupuk memperoleh nilai

maksimal dengan tidak merubah solusi optimal sebesar 25,54 kg.

5. Pemanfaatan limbah pertanian sebagai pakan ternak memperoleh nilai

maksimal dengan tidak merubah solusi optimal sebesar 4,92 kg.

6. Luas lahan memperoleh nilai maksimal tanpa merubah solusi optimal sebesar

3,56 ha.

7. Modal kerja memperoleh nilai maksimal tanpa merubah solusi optimal sebesar

Rp 11.831.002.

8. Tenaga kerja memperoleh nilai maksimal tanpa merubah solusi optimal adalah

174

172,63 HOK.

9. Kredit sapi potong memperoleh nilai maksimal tanpa merubah solusi optimal

sebesar 1.00 ST.

Perubahan kendala tujuan dapat merubah solusi optimal. Namun tingkat

perubahan tersebut masih dalam selang kepekaan dan tidak akan merubah

solusi optimal.

Hasil analisis sensitivitas skenario perubahan usaha sapi potong disajikan

pada Tabel 38.

Tabel 38. Hasil analiis sensitivitas skenario perubahan usaha sapi potong No Aktivitas Skenario 1 Skenario 2 Skenario 3

Maks Min Maks Min Maks Min

1

2

3

4

5

6

7

8

9

Pendapatan (Rp)

Jumlah ternak

(ST)

Pertambahan

bobot badan

harian ternak (Kg)

Pemanfaatan

limbah kotoran

ternak sebagai

pupuk (Kg)

Pemanfaatan

limbah pertanian

sebagai pakan

(Kg)

Luas lahan (Ha)

Modal kerja (Rp)

Tenaga kerja

(HOK)

Kredit sapi

sisstem bergulir

potong (ST)

Infinity

Infinity

Infinity

Infinity

Infinity

0,12

Infinity

Infinity

Infinity

1.226.617

2,73

102,51

9292,91

2365,17

Infinity

327.535

4.35

1.00

Infinity

Infinity

Infinity

Infinity

Infinity

0,12

Infinity

Infinity

Infinity

1.010.110

2,73

102,51

9292,91

2365,16

Infinity

266.404

4,04

0.00

Infinity

Infinity

Infinity

Infinity

Infinity

0,1 1

Infinity

Infinity

Infinity

1.131.993

2,73

102,51

9292,91

2365,21

Infinity

324.708

4,72

1.00

Sumber : Diolah dari data primer (Lampiran 2,3 dan 4)

Berdasarkan Tabel 38 hasil analisis sensitivitas aktivitas produksi usaha

sapi potong adanya perubahan skenario sebagai berikut :

1. Pendapatan sapi potong yang diterima memperoleh nilai akhir maksimal tanpa

merubah solusi optimal yaitu pada skenario 1 sebesar Rp 25.746.521,

175

skenario 2 sebesar Rp 29.014.108 dan skenario 3 sebesar Rp 29.016.108.

2. Jumlah ternak skenario 1, 2 dan skenario 3 memperoleh nilai maksimal

dengan tidak merubah solusi optimal adalah 2,38 ST.

3. Pertambahan berat badan harian ternak sapi potong skenario 1, 2 dan

skenario 3 memperoleh nilai maksimal dengan tidak merubah solusi optimal

sebesar 0,29 kg.

4. Pemanfaatan limbah kotoran ternak sebagai pupuk memperoleh nilai

maksimal dengan tidak merubah solusi optimal, pada skenario 1, 2 dan

skenario 3 sebesar 25,54 kg.

5. Pemanfaatan limbah pertanian sebagai pakan ternak, yaitu untuk skenario 1, 2

dan skenario 3 memperoleh nilai maksimal dengan tidak merubah solusi

optimal sebesar 4,92 kg.

6. Luas lahan memperoleh nilai maksimal tanpa merubah solusi optimal yaitu

untuk skenario 1 sebesar 2,95 ha, skenario 2 sebesar 2,87 ha dan skenario 3

sebesar 2,89 ha.

7. Modal kerja memperoleh nilai maksimal tanpa merubah solusi optimal yaitu

untuk skenario 1 sebesar Rp11.603.614, skenario 2 sebesar Rp 11.998.346

dan skenario 3 sebesar Rp 11.932.042.

8. Tenaga kerja memperoleh nilai maksimal tanpa merubah solusi optimal yaitu

pada skenario 1 sebesar 170,03 HOK, skenario 2 sebesar 170,34 HOK dan

skenario 3 sebesar 169,66 HOK.

9. Kredit sapi potong memperoleh nilai maksimal tanpa merubah solusi optimal

yaitu baik skenario 1, 2 maupun skenario 3 adalah 1.00 ST.

176

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan maka

dapat disimpulkan :

1.a. Hasil solusi optimal terhadap pendapatan petani yang tertinggi yaitu

meningkat sebesar 4,53% per tahun.

b. Jumlah kepemilikan ternak direkomendasi meningkat sebesar 53,42% per

tahun.

c. Pertambahan bobot badan harian ternak yang terbaik meningkat sebesar

96,66% per tahun.

d. Usaha ternak sapi potong memberikan kontribusi sebesar 30,68% terhadap

total pendapatan petani.

2. Analisis sensitivitas usaha sapi potong yang berpengaruh terhadap

pendapatan petani adalah perubahan harga usahatani, perubahan harga

usaha ternak dan perubahan bantuan sapi potong sistem bergulir. Skenario

terbaik adalah harga usahatani dan usaha ternak tetap, bantuan ternak

sapi potong sistem bergulir meningkat menjadi 2.00 ST karena

memberikan pendapatan tertinggi untuk petani.

6.2. Saran

Kebijakan pemerintah memberikan bantuan 1 ekor ternak sapi potong

kepada anggota kelompok ternak dapat meningkatkan produksi, pendapatan dan

populasi ternak sapi potong namun demikian pemerintah seharusnya

menyiapkan anggota kelompok ternak dengan memberikan penyuluhan tentang

pemberian pakan ternak yang mengandung gizi tinggi yaitu dengan menanam

177

rumput unggul pada lahan yang belum dimanfaatkan dan limbah pertanian jerami

padi yang belum dimanfaatkan bisa diolah menjadi silase yaitu pakan ternak

yang bernilai gizi tinggi sehingga tujuan pemerintah untuk meningkatkan

populasi ternak sapi potong dapat tercapai,

178

DAFTAR PUSTAKA

Adinata, 2012. Strategi Pengembangan Usaha Sapi Potong di Kecamatan Mojoloban Kabupaten Sukoharjo. Jurnal Kajian Ekonomi Vol. 5 No. 1.

Afriani, Firmansyah, A. K. Hamzah dan R. Rahmi. 2018. Analisis Program

Penyebaran dan Pengembangan Ternak Sapi pada Kawasan Sentra

Peternakan Sapi di Kabupaten Merangin. Jurnal Ilmu-Ilmu Peternakan Vol.

21 No 1 Mei 2018: 37-46. Agussabti. 2002. Kemandirian Petani dalam Pengammbilan Keputusan Adopsi

Inovasi (Kasus Petani Sayuran di Provinsi Jawa Barat). Disertasi Institut Pertanian Bogor.

Aiba A, J. C. Loing, B. Rorimpandey, L. S. Kalangi. 2018. Analisis

Pendapatan Usaha Peternak Sapi Potong di Kecamatan Weda Selatan

Kabupaten Halmahera Tengah. Jurnal Zootek (“Zootek” Journal ) Vol. 38

No. 1: 149 -159.

Ashari. 2009. Optimalisasi Kebijakan Kredit Program Sektor Pertanian di Indonesia. Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 7 No.1, Maret 2009: 21-42.

Bank Indonesia. 2010. Pola Pembiayaan Usaha Kecil (PPUK) Penggemukan

Sapi Potong. Direktorat Kredit, BPR dan UMKM. Bank Indonesia. 2013. Pola Pembiayaan Usaha Keci Menengah Syariah. Usaha

Pengembangbiakan sapi daging. Badan Pusat Statistik Kabupaten Donggala. 2014. Kabupaten Donggala Dalam

Angka Palu. ___________________________________. 2017. Kecamatan Dampelas Dalam

Angka Palu. ____________________________________. 2018. Kabupaten Donggala Dalam

Angka Palu. Badan Pusat Statistik Sulawesi Tengah. 2017. Sulawesi Tengah Dalam Angka

Palu ________________________________ . 2018. Sulawesi Tengah dalam Angka

Palu. Bahri, S. (2008). Kebijakan dan Strategi Pengembangan Temak (strategy and

programmes of livestock development in Indonesia). Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008. Jakarta, Direktorat Jenderal Peternakan Departemen Pertanian.

Basri. E, R. D. Tambunan dan Y, Pujiharti. 2008. Pemanfaatan Pakan Murah

Untuk Penggemukaan Sapi Potong Di Lokasi Prima Tani Kabupaten

179

Tulang Bawang . Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008.

Budiasa. I. W, IGAA Ambarawati, I.M Mega, I.K.M Budiasa. 2012. Optimasi

Sistem Usahatani Terintegrasi untuk Memaksimalkan Pendapatan Petani.

E-Jurnal Agribisnis dan Agrowisata Vol. 1, No. 2, Oktober 2012.

http://ojs.unud.ac.id/index.php/JAA

Budiyanto dan Krisno. 2011. “Tipologi Pendayagunaan Kotoran Sapi dalam Upaya Mendukung Pertanian Organik di Desa Sumbersari Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang. Jurnal GAMMA 7 (1) 42-49.

Budhi, G.S. 2010. Dilema Kebijakan dan Tantangan Pengembangan

Diversifikiasi Usahatani Tanaman Pangan. Analisis Kebijakan Pertanian. Vol. VIII (3) : 241-258.

Basuni, Muladno, Kusmana, Suryahadi. 2010. Model Sistem Integrasi Padi-Sapi

Potong di Lahan Sawah. Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan

Pendidik dan Tenaga Kependidikan Pertanian Cianjur. IPB, Bogor. Iptek

Tanaman Pangan Vol. 5 No. 1 Januari 2010.

Charnes, A. Dan Cooper, W.W. 1961. Management Models and Industrial Applications of Linear Programming, New York : John Wiley & Sons.

Damayanti. L. 2013. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Produksi, Pendapatan

Dan Kesempatan Kerja Pada Usahatani Padi Sawah Di Daerah Irigasi Parigi Moutung. Jurnal Sepa Vol 9 No. 2 Februari 2013 : 249-259.

Damihartini, R.S., dan Jahi, A. 2005. Hubungan karakteristik petani dengan

kompetensi agribisnis pada usahatani sayuran di Kabupaten Kediri Jawa Timur. Jurnal Penyuluhan 1:41-48.

Damry, Marsetyo, S. P Quigley and D. P. Poop. 2008. Strategies in Enhance

Growth of Weaned Bali (Bos sondaicus) Calves of Small Holders in Donggala District, Central Sulawesi. Animal Production. Jurnal Produksi Ternak 10(3): 135-139.

Darmawi, D. 2012. Peranan Tenaga Kerja Keluarga Dalam Usaha Pemeliharaan

Sapi di Kabupaten Tanjung Jabung Barat. Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Peternakan Vol. XV No.2 November 2012.

Departemen Pertanian. 2009. Rancangan Rencana Strategi Kementrian

Pertanian 2010 – 2014 Jakarta. Didiek, E. W dan R. Hardiyanto.2004. Pemanfaatan Sumber Daya Pakan Lokal

untuk Pengembangan Usaha Sapi Potong. Lokakarya Nasional Sapi Potong, Grati, Pasuruan, Jawa Timur.

Dikman, M. P, W. Prihandini dan Y.N. Anggraeny. 2010. Profil Pembibitan Sapi

Potong Peranakan Onggole (PO) di Kelompok Ternak BangoJaya Kabupaten Probolinggo. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor 13-14 September 2009. Hal 181-185.

180

Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Kabupaten Donggala. 2014. Laporan Tahunan 2014.

Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Sulawesi Tengah. 2010. Laporan Tahunan 2010 Peternakan di Sulawesi Tengah. Palu.

Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Daerah Provinsi Sulawesi Tengah. 2012. Statistik Peternakan. Palu.

Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan. 2009. Pengembangan Kawasan Agribisnis Berbasis Peternakan.

Direktorat Budidaya Ternak Ruminansia. 2016. Pedoman Teknis Pengembangan Integrasi Ternak Sapi dan Tanaman. Direktorat Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian, Jakarta.

Dwiyanto, K. 2001. Model perencanaan terpadu: Proyek integrasi tanaman

ternak (Crop Livestock System). Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan Bogor.

Elly F. M, B. M. Sinaga, S. U. Kuntjoro dan N. Kusnadi. 2008. Pengembangan

Usaha Ternak Sapi Rakyat Melalui Integrasi Sapi-Tanaman di Sulawesi

Utara. Jurnal Litbang Petanian 27(2), 2008.

Far-Far, R. A. 2011 Hubungan Komunikasi Interpersonal dengan Perilaku Petani

Dalam Bercocok Tanam Padi Sawah Di Desa Waimital Kabupaten Seram

Bagian Barat. Jurnal Budidaya Pertanian, Vol. 7. No 2. Hal 100-106.

Feder, Gershon. Lawrence, J. Lau, J.Y. Lin and X, Lua. 1990. The Relationship

Beetween Credit and Productivity in Chinese Agriculture A Microeconomic Model Desequilibrium. America Journal of Agricultural Economic, Vol 72 Number 5 December 1990, pages 1161-1168.

Gayatri, A. Setiadi, Isbandi dan K. Budiharjo. 2003. Analisis Ekonomi Pemberian

Kredit Sapi Terhadap Tingkat Pendapatan Peternak Sapi Perah Kecamatan Pakem Kabupaten Sleman Yogyakarta. Makalah. Seminar Nasional Teknologi Peternakan Veteriner, 2003.

Guntoro, S. 2002. Membudidayakan Sapi Bali. Kanisius, Yokyakarta.

Hadi. 2009. Teknik Optimalisasi Pemanfaatan Lahan di Antara Tanaman Kelapa

di Daerah Pasang Surut Jambi. Buletin Teknik Pertanian 14(1) 40-4.

Harijati, S. (2007). Potensi dan pengembangan kompetensi agribisnis petani berlahan sempit : kasus petani sayuran di kota dan pinggiran Jakarta dan Bandung. Disertasi. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Harmoko. 2017. Tingkat Motivasi Petani Dalam Beternak Sapi di Kecamatan

Samba Kabupaten Samba. JSEP Hartono, B. 2011. Analisis Ekonomi Rumahtangga Peternak Sapi Potong di

Kecamatan Damsol Kabupaten Donggala Provinsi Sulawesi Tengah. Ternak Tropika Vol 12 No 1 60-70.

181

Hadiana H. 1996. Kajian evaluasi pelaksanaan sistem pola bergulir ternak pemerintah. Bandung: Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran bekerja sama dengan Dinas Peternakan Propinsi DT I Jawa Barat.

Hendayana, R. 2001. Optimalisasi Penggunaan Sumberdaya Rumahtangga

Petani di Daerah Aliran Sungai kasus DAS Wawar, Kabupaten Kebumen dan Purworejo, Jawa Tengah. Agro Ekonomi Vol VIII(2) : 9-28.

Howara, D. 2011.Optimalisasi Pengembangan Usahatani Tanaman Padi dan ternak Sa pi Secara Terpadu di Kabupaten Majalengka. J. Agroland 18(1) : 43-49.

Huda, S dan W. Wikanta.2017. Pemanfaatan Limbah Kotoran Sapi Menjadi

Pupuk Organik Sebagai Upaya Mendudkung Usaha Peternakan Sapi Potong Di Kelompok Tani Ternak Mandiri Jaya Desa Moropelang Kec. Babat Kab. Lamongan. Axiologiya, Jurnal Pengabdian Masyarakat . Vol.1, No.1, Februari 2017 Hal 26 – 35.

Ibrahim, J. T, Sutawi dan Jayus. 2013. Analisis Kinerja Program Pengembangan

Usaha Sapi Potong Pola Gaduhan Sistem Revolving. Agrise. Vol. XIII.No. 2. Mei 2013.

Ignizio, J.P.1976. Goal Programming and Extensions, Lexington, Mas sachusetts

:Lexington Books. Ilham, N. 2001. Prospek Pasar dan Sistem Tataniaga Ternak Daging Sapi di

Nusa Tenggara Barat. Wartazoa Vol :11 (2) 2001.

Ilham, N, K. Surasdisastra, T. Pranadji, A. Agustian, G. S. Hardono dan E. L.

Hastuti. 2007. Analisis Profil Petani dan Pertanian Indonesia. Laporan Akhir

Penelitian. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Badan

Litbang Pertanian. DepartemenPertanian.

Ijiri, Y. 1965. Management Goals and Acconting for Control, Chicago : Rand-

McNally.

Indrayani, I. dan J. Helyward. 2015. Optimalisasi Produksi dan Maksimalisasi

Keuntungan Usaha Sapi Potong dengan Sistem Integrasi Sapi Sawit di

Kabupaten Dharmasraya. Jurnal Peternakan Indonesia. Vol 17 (3). Oktober

2015.

Kadarsih, S. 2004. Performans Sapi Bali Berdasarkan Ketinggian Tempat Di Daerah Tranmigrasi Bengkulu. Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian Indonesia. Volume 6, No. 1, 2004, Hlm. 50 – 56

Kakiay, T.J. 2008. Pemrograman Linear. Metode dan Problema. Penerbit Andi

Yogyakarta. Karyanto, D, Zain dan A. Suman. 2008. Kajian Kredit Usahatani (KUT) Dalam

Peningkatan Produksi dan Pendapatan Usahatani Padi. Jurnal Agritek Vol. 16. No 12 Desember 2008.

182

Kasmir. 2004. Manajemen Perbankan. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Kusnadi, U. 2008. Inovasi teknologi peternakan dalam sistem integrasi padi-

ternak untuk menunjang swasembada daging sapi. Pengembangan Inovasi Pertanian 1 (3): 189-205.

Lee, S.M. 1972. Goal Programming for Analysis, Philadelphia : Auerbach

Publisher.

Mahendri, I.G.A.P. 2009. Analisis Efektivitas Kredit Ternak Domba dan Dampaknya Terhadap Pendapatan Rumah Tangga Petani Penerima Kredit di Kabupaten Bogor. Tesis. Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Manyamsari, I dan Mujiburrahmad. 2014. Karakteristik Petani dan Hubungannya

Dengan Kompetensi Petani Lahan Sempit (Kasus : Di Desa Sinar Sari Kecamatan Dramaga Kab. Bogor Jawa Barat). Agrisep Vol (15) No.2,2014.jurnal unsyiah.ac.id/agrisep/article/download/2099/2050

Marsetyo. 2008. Strategi Pemenuhan Pakan Untuk Peningkatan Produktivitas

dan Populasi Sapi Potong. Prosiding Seminar Nasional Sapi Potong di Provinsi Sulawesi Tengah 24 November 2004.

Marzuki, S. 2005. Analisis Perancangan Optimasi Usaha Pada Petani Peternak

Sapi Perah Rakyat KTT Sedyo Mulyo Desa Hargobrinangun Kecamatan Pakem Kabupaten Sleman. Jurnal Of Agricultural Socio-Economic 1(1) Juli 2005

Matatula, M. J. 2010. Analisis Finansial Usaha Peternakan Sapi Potong Pola

Gaduhan Di Kecamatan Kairatu Kabupaten Seram Bagian Barat. Jurnal Agroforestri Volume V No. 3 September 2010.

Mukson, W. Roessali dan H. Setiyawan. 2014. Analisis Wilayah Pengembangan

Sapi Potong dalam Mendukung Swasembada Daging di Jawa Tengah. Jurnal Peternakan Indonesia, Februari 2014 Vol. 16 (1).

Mosher, A. T. 1991. Menggerakkan Dan Membangun Pertanian. CV. Yasaguna.

Jakarta.

Mubyarto. 1993. Pengantar Ekonomi Pertanian. Penerbit LP3ES. Jakarta.

Mulyono, S. 1991. Operations Research. Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Murdi, S. 2004. Implikasi Perkreditan Terhadap Pendapatan Rumahtangga di Jambi. Disertasi. Pascasarjana Universitas Brawijaya, Malang.

Muryanto, Subiharta, dan Maryono. 2011. Kajian Pengambangan Ternak Yang Difasilitasi Program KKP-E dan KUPS di Kabupaten Semarang. Makalah Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran Bandung.

183

Nasendi, B.D dan A. Anwar. 1984. Program Linear Dan Variasinya. Gramedia Jakarta.

Nastiti, Sri. 2008. “Penampilan Budidaya Ternak Ruminansia di Pedesaan Melalui Teknologi Ramah Lingkungan.” Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008

Natsir, M. 2009. Metode Penelitian. Penerbit Ghalia Indonesia. Cetakan ke tujuh, November 2009.

Nizar, R. 2004. Analisis Permintaan dan Pengembalian Kredit Usahatani untuk Rumahtangga Petani Padi di Sumatera Barat. Tesis. Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Nurcholida., Sodiq dan K. Muatip. 2013. Kinerja Usaha Peternakan Sapi Potong

Sebelum dan Setelah Mengikuti Program Sarjana Membangun Desa (SMD) Periode 2008-2012. Jurnal Ilmiah Peternakan1(3): 1183-1191.

Paturochman, M. 2006. Studi Perbandingan Sistem Kredit Ternak Ternak Domba dan Kerbau di Kabupaten Sumedang dan Tasikmalaya. Bandung.

Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran . Jurnal Sosiohumaniora.Vol 8 No 3.

Purnaningsih, N. 2006. Adopsi Inovasi Pola Kemitraan Agribisnis Sayuran di

Provinsi Jawa Barat. Disertasi. Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Priyanti, A. 2007. Dampak Program Sistem Integrasi Tanaman Ternak Terhadap Alokasi Waktu Kerja, Pendapatan dan Pengeluaran Rumahtangga Petani. Disertasi. Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Priyono dan D. Priyanto. 2018. Kemitraan Penggemukkan Sapi Bali berbasis

Sumber Daya Lokal di Wilayah Lahan Suboptimal Nusa Tenggara Timur.

Wartazoa. Vol. 28 No. 2.

Rangkuti. K, S.Siregar, M. Thamrin dan R. Andriano. 2014. Pengaruh Faktor Sosial Ekonomi Terhadap Pendapatan Petani Jagung. Agrium. Oktober 2014 Volume 19 No. 1.

Rauf. A, R. Priyanto dan P. Dewi 2015. Produktivitas Sapi Bali pada Sistem

Penggembalaan di Kabupaten Bombana. Jurnal Ilmu Produksi dan Teknologi Hasil Peternakan. Vol. 03 No. 2 Juni 2015.

Rianto, E dan E. Purbowati. 2010. Panduan Lengkap Sapi Potong. Jakarta :

Penebar Swadaya.

Rundengan. M. L. 2013. Optimalisasi Usahatani Terpadu Antara Usaha Sapi Potong Dengan Perkebunan Kelapa Di Kabupaten Minahasa Selatan Provinsi Sulawesi Utara. Disertasi. Program Pasca Sarjana Fakulatas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang.

184

Rusnan. H, C. L. Kaunang, Y. L. R. Tulung. 2015. Analisis potensi dan Strategi

Pengembangan Sapi Potong dengan Pola Integrasi Kelapa-sapi di

Kabupaten Halmahera Selatan Provinsi Maluku Utara. Jurnal Zootek

(“Zootek Journal”) Vol 35 No 2m: 187-200.

Sani. L.O. A. 2010. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Curahan Tenaga Kerja Keluarga Transmigrasi Dan Lokal Pada Pemeliharaan Sapi Potong DI Kabupaten Konawe Selatan. Jurnal AGRIPLUS, Volume 20 Nomor : 01 Januari 2010, ISSN 0854-0128.

Sanim, B. 1998. Aspek Kelembagaan Dalam Penyaluran dan Pengembalian

Kredit Usahatani Pola Khusus. Jurnal Ilmiah Sosio Ekonomi 4(1) 1-17. Shinta, A. 2011. Ilmu Usahatani. UB Press Malang.

Siswati, L. 2012. Pendapatan Petani melalui Pertanian Terpadu Tanaman Hortikultura dan Terak Di Kota Pekanbaru.Jurnal Peternakan UNAND 2012.http://unilak.ac.id/media/file/72735468205Pendapatan_Petani.pdf

Sodiq. A, Suwarno, F.R. Fauziyah, Y. N. Wakhidah, dan P. Yuwono. 2017.

Sistem Produksi Peternakan Sapi Potong di Pedesaan dan Strategi Pengembangannya. Jurnal Agripet Vol 17, No. 1, April 2017.

Soejana, T.D. 2007. Sistem Usahatani Terintegrasi Tanaman ternak Sebagai

Respon Petani Terhadap FaktorResiko. Jurnal Litbang Pertanian Vol.26(2),

2007.

Sonbait, L. K, K. A. Santoso, dan Panjono. 2011. Evaluasi Program Pengembangan Sapi Potong Gaduhan Melalui Kelompok Lembaga Mandiri Yang Mengakar Di Masyarakat Di Kabupaten Monokwari Papua Barat. Buletin Peternakan Vol. 35(3): 208-217.

Sudiarto dan Bambang. 2008. Pengelolaan Limbah Peternakan Terpadu dan

Agribisnis yang Berwawasan Lingkungan. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Universitas Padjajaran Bandung.

Sukirno, S. 1997. Pengantar Teori Mikroekonomi. PT Raja Grafindo Persada.

Jakarta. Suresti, A dan R.Wati. 2012. Strategi Pengembangan Usaha Peternakan Sapi

Potong di Kabupaten Pesisir Selatan. Jurnal Peternakan Indonesia vol 14 (1). http://jpi.faterna.unand.ac.id/index.php/jpi/article/view/5

Suwandi. 2005. Keberlanjutan usaha tani terpadu pola padi sawah-sapi potong

terpadu di Kabupaten Sragen. Pendekatan RAP-CLS. Disertasi . Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Suryadi, A. 2008. Analisis Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kredit Macet

Rumah Tangga Debitur Pada Bank Milik Pemerintah di Wilayah Malang Raya. Disertasi. Pascasarjana Fakultas Ekonomi Universitas Malang.

185

Syafrudin, A.N. Kairupan, dan F. F. Munier. 2003. Potensi dan Kesesuaian Lahan Untuk Pengembangan Pakan Ruminansia di Lembah Palu. Prosiding. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor 29-30 September 2003. P. 266-271.

Tarmizi, H. B dan Safaruddin. 2012. Pengaruh Sistem Integrasi Padi ternak

(SIPT) Terhadap Peningkatan Pendapatan Petani dan Dampaknya terhadap Pengembangan Wilayah Di Kabupaten Serdang Bedagai. Jurnal Ekonomi Vol 15, No 4,Oktober 2012. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/43519/1/tarmizi%20saparuddin.pdf

Tjiptoherijanto, P. 2001. Proyeksi Penduduk Angkatan Kerja, Tenaga Kerja dan Peran Serikat Pekerja Dalam Peningkatan Kesejahteraan. Majalah Perencanaan Pembangunan.Edisi 23.

Tribudi, Y. A dan M. R. Ristyawan. 2017. Analisis Ekonomi Sapi Potong Pola

Gaduhan:Studi Kasus di Desa Slorok, Kecamatan Kromengan,Kabupaten Malang. Jurnal Ekonomi Bisnis dan Kewirausahaan2017, Vol. 6, No. 1, 27-42.

Wibowo, S. A. dan F.T. Haryadi. 2006. Faktor Karakteristik Peternak Yang

Mempengaruhi Sikap Terhadap Program Kredit Sapi Potong di Kelompok Peternak Andiniharjo Kabupaten Sleman. Media Peternakan Vol 29 No 3 Desember 2006, hal 176-186.

Wibowo, M. H. S, B. Guntoro dan E. Sulastri. 2011. Penilaian Pelaksanaan

Program Pengembangan Agribisnis Peternakan Sapi Potong diKabupaten Sekadau, kalimantan Barat. Buletin Peternakan Vol 35(2), hal 142-152.

Yamane. 1979. Methematic for Economics and Elementary, Englewood Cliff.

New Jersey. Yuliani, D. 2014. Sistem Integrasi Padi Ternak Untuk Mewujudkan Kedaulatan

Pangan. Jurnal Agroteknologi, Vol. 4. No. 2, Februari 2014: 15 – 26. Yusdja, Y. dan B. Winarsoh. 2009. Kebijakan Pembangunan Sosial Ekonomi

Menuju Sistem Peternakan Yang Diharapkan. Analisis Kebijakan Pertanian Volume 7 No. 3. September 2009: 209-282.

Yuwono, D.M, Subiharta dan U. Nuschati, 2011. Karakteristik Peternak Sapi

Potong di Lokasi Feati Desa Krinjing Kecamatan Dukun Kabupaten Magelang Prosiding Semiloka Nasional Dukungan Agro-Inovasi untuk Pemberdayaan Petani, 655 Kerjasama UNDIP, BPTP Jateng, dan Pemprov Jateng, Semarang 14 Juli 2011.

186

LAMPIRAN 1

Linear Goal Programming (LGP) KONDISI OPTIMAL

LP OPTIMUM FOUND AT STEP 3

OBJECTIVE FUNCTION VALUE

1) 10189.53

VARIABLE VALUE REDUCED COST

DA1 791.038574 0.000000

DA2 2.730000 0.000000

DA3 102.519997 0.000000

DA4 9292.919922 0.000000

DB5 0.000000 1.000000

DB6 0.324259 0.000000

DB7 0.000000 1.000000

DB8 0.000000 1.000000

DB9 0.000000 1.000000

X1 0.759259 0.000000

X2 1.194444 0.000000

X3 1.138889 0.000000

X4 1.000000 0.000000

DB1 0.000000 1.000000

DB2 0.000000 1.000000

DB3 0.000000 1.000000

DB4 0.000000 1.000000

DA5 2365.022461 0.000000

DA6 0.000000 1.000000

DA7 0.000000 0.000000

DA8 0.000000 0.000000

DA9 0.000000 0.000000

ROW SLACK OR SURPLUS DUAL PRICES

2) 0.000000 -1.000000

3) 0.000000 -1.000000

4) 0.000000 -1.000000

5) 0.000000 -1.000000

6) 0.000000 0.000000

7) 0.000000 1.000000

8) 100.147522 0.000000

9) 1.758611 0.000000

10) 0.000000 0.000000

11) 0.000000 8035.427734

12) 0.000000 3696.315674

13) 0.000000 3478.153809

14) 0.000000 10571.299805

NO. ITERATIONS= 3

187

RANGES IN WHICH THE BASIS IS UNCHANGED:

OBJ COEFFICIENT RANGES

VARIABLE CURRENT ALLOWABLE ALLOWABLE

COEF INCREASE DECREASE

DA1 1.000000 INFINITY 0.999673

DA2 1.000000 INFINITY 1.000000

DA3 1.000000 INFINITY 1.000000

DA4 1.000000 INFINITY 1.000000

DB5 1.000000 INFINITY 1.000000

DB6 1.000000 3053.988770 1.000000

DB7 1.000000 INFINITY 1.000000

DB8 1.000000 INFINITY 1.000000

DB9 1.000000 INFINITY 1.000000

X1 0.000000 8678.261719 INFINITY

X2 0.000000 3992.020996 INFINITY

X3 0.000000 3756.406250 INFINITY

X4 0.000000 10571.299805 INFINITY

DB1 0.000000 INFINITY 1.000000

DB2 0.000000 INFINITY 1.000000

DB3 0.000000 INFINITY 1.000000

DB4 0.000000 INFINITY 1.000000

DA5 0.000000 INFINITY 1.000000

DA6 0.000000 INFINITY 1.000000

DA7 0.000000 INFINITY 0.000000

DA8 0.000000 INFINITY 0.000000

DA9 0.000000 INFINITY 0.000000

RIGHTHAND SIDE RANGES

ROW CURRENT ALLOWABLE ALLOWABLE

RHS INCREASE DECREASE

2 26973.138672 INFINITY 791.038574

3 5.110000 INFINITY 2.730000

4 102.800003 INFINITY 102.519997

5 9318.450195 INFINITY 9292.919922

6 2369.949951 INFINITY 2365.022461

7 3.240000 0.324259 INFINITY

8 11931.149414 INFINITY 100.147522

9 174.380005 INFINITY 1.758611

10 1.000000 INFINITY 0.000000

11 0.820000 0.029199 0.427073

12 1.290000 0.044266 0.271473

13 1.230000 0.047465 0.284715

14 1.000000 0.000000 1.000000

188

LAMPIRAN 2 SKENARIO 1

LP OPTIMUM FOUND AT STEP 5

OBJECTIVE FUNCTION VALUE

1) 10624.91

VARIABLE VALUE REDUCED COST

DA1 1226.617920 0.000000

DA2 2.730000 0.000000

DA3 102.519997 0.000000

DA4 9292.919922 0.000000

DB5 0.000000 1.000000

DB6 0.121667 0.000000

DB7 0.000000 1.000000

DB8 0.000000 1.000000

DB9 0.000000 1.000000

X1 0.735294 0.000000

X2 1.166667 0.000000

X3 1.107843 0.000000

X4 1.000000 0.000000

DB1 0.000000 1.000000

DB2 0.000000 1.000000

DB3 0.000000 1.000000

DB4 0.000000 1.000000

DA5 2365.177979 0.000000

DA6 0.000000 1.000000

DA7 0.000000 0.000000

DA8 0.000000 0.000000

DA9 0.000000 0.000000

ROW SLACK OR SURPLUS DUAL PRICES

2) 0.000000 -1.000000

3) 0.000000 -1.000000

4) 0.000000 -1.000000

5) 0.000000 -1.000000

6) 0.000000 0.000000

7) 0.000000 1.000000

8) 327.535217 0.000000

9) 4.350588 0.000000

10) 1.000000 0.000000

11) 0.000000 8508.168945

12) 0.000000 3913.844238

13) 0.000000 3682.849121

14) 0.000000 10571.299805

NO. ITERATIONS= 5

189

RANGES IN WHICH THE BASIS IS UNCHANGED:

OBJ COEFFICIENT RANGES

VARIABLE CURRENT ALLOWABLE ALLOWABLE

COEF INCREASE DECREASE

DA1 1.000000 INFINITY 0.999699

DA2 1.000000 INFINITY 1.000000

DA3 1.000000 INFINITY 1.000000

DA4 1.000000 INFINITY 1.000000

DB5 1.000000 INFINITY 1.000000

DB6 1.000000 3324.341553 1.000000

DB7 1.000000 INFINITY 1.000000

DB8 1.000000 INFINITY 1.000000

DB9 1.000000 INFINITY 1.000000

X1 0.000000 8678.332031 INFINITY

X2 0.000000 3992.121094 INFINITY

X3 0.000000 3756.506104 INFINITY

X4 0.000000 10571.299805 INFINITY

DB1 0.000000 INFINITY 1.000000

DB2 0.000000 INFINITY 1.000000

DB3 0.000000 INFINITY 1.000000

DB4 0.000000 INFINITY 1.000000

DA5 0.000000 INFINITY 1.000000

DA6 0.000000 INFINITY 1.000000

DA7 0.000000 INFINITY 0.000000

DA8 0.000000 INFINITY 0.000000

DA9 0.000000 INFINITY 0.000000

RIGHTHAND SIDE RANGES

ROW CURRENT ALLOWABLE ALLOWABLE

RHS INCREASE DECREASE

2 26973.138672 INFINITY 1226.617920

3 5.110000 INFINITY 2.730000

4 102.800003 INFINITY 102.519997

5 9318.450195 INFINITY 9292.919922

6 2369.949951 INFINITY 2365.177979

7 3.070000 0.121667 INFINITY

8 11931.149414 INFINITY 327.535217

9 174.380005 INFINITY 4.350588

10 2.000000 INFINITY 1.000000

11 0.750000 0.090192 0.165467

12 1.190000 0.136730 0.104286

13 1.130000 0.146611 0.109823

14 1.000000 0.055422 1.000000

190

LAMPIRAN 3

SKENARIO 2

LP OPTIMUM FOUND AT STEP 5

OBJECTIVE FUNCTION VALUE

1) 10410.41

VARIABLE VALUE REDUCED COST

DA1 1012.110596 0.000000

DA2 2.730000 0.000000

DA3 102.519997 0.000000

DA4 9292.919922 0.000000

DB5 0.000000 1.000000

DB6 0.129697 0.000000

DB7 0.000000 1.000000

DB8 0.000000 1.000000

DB9 0.000000 1.000000

X1 0.737374 0.000000

X2 1.171717 0.000000

X3 1.111111 0.000000

X4 1.000000 0.000000

DB1 0.000000 1.000000

DB2 0.000000 1.000000

DB3 0.000000 1.000000

DB4 0.000000 1.000000

DA5 2365.164551 0.000000

DA6 0.000000 1.000000

DA7 0.000000 0.000000

DA8 0.000000 0.000000

DA9 0.000000 0.000000

ROW SLACK OR SURPLUS DUAL PRICES

2) 0.000000 -1.000000

3) 0.000000 -1.000000

4) 0.000000 -1.000000

5) 0.000000 -1.000000

6) 0.000000 0.000000

7) 0.000000 1.000000

8) 266.404633 0.000000

9) 4.045758 0.000000

10) 0.000000 0.000000

11) 0.000000 8763.992188

12) 0.000000 4637.523438

13) 0.000000 4363.821289

14) 0.000000 12461.735352

NO. ITERATIONS= 5

191

RANGES IN WHICH THE BASIS IS UNCHANGED:

OBJ COEFFICIENT RANGES

VARIABLE CURRENT ALLOWABLE ALLOWABLE

COEF INCREASE DECREASE

DA1 1.000000 INFINITY 0.999745

DA2 1.000000 INFINITY 1.000000

DA3 1.000000 INFINITY 1.000000

DA4 1.000000 INFINITY 1.000000

DB5 1.000000 INFINITY 1.000000

DB6 1.000000 3927.438965 1.000000

DB7 1.000000 INFINITY 1.000000

DB8 1.000000 INFINITY 1.000000

DB9 1.000000 INFINITY 1.000000

X1 0.000000 8676.352539 INFINITY

X2 0.000000 4591.148438 INFINITY

X3 0.000000 4320.183105 INFINITY

X4 0.000000 12461.735352 INFINITY

DB1 0.000000 INFINITY 1.000000

DB2 0.000000 INFINITY 1.000000

DB3 0.000000 INFINITY 1.000000

DB4 0.000000 INFINITY 1.000000

DA5 0.000000 INFINITY 1.000000

DA6 0.000000 INFINITY 1.000000

DA7 0.000000 INFINITY 0.000000

DA8 0.000000 INFINITY 0.000000

DA9 0.000000 INFINITY 0.000000

RIGHTHAND SIDE RANGES

ROW CURRENT ALLOWABLE ALLOWABLE

RHS INCREASE DECREASE

2 30026.218750 INFINITY 1012.110596

3 5.110000 INFINITY 2.730000

4 102.800003 INFINITY 102.519997

5 9318.450195 INFINITY 9292.919922

6 2369.949951 INFINITY 2365.164551

7 2.990000 0.129697 INFINITY

8 12256.750977 INFINITY 266.404633

9 174.380005 INFINITY 4.045758

10 1.000000 INFINITY 0.000000

11 0.730000 0.071201 0.175890

12 1.160000 0.102800 0.110690

13 1.100000 0.110229 0.116727

14 1.000000 0.000000 1.000000

192

LAMPIRAN 4

SKENARIO 3

LP OPTIMUM FOUND AT STEP 5

OBJECTIVE FUNCTION VALUE

1) 10487.07

VARIABLE VALUE REDUCED COST

DA1 1088.780396 0.000000

DA2 2.730000 0.000000

DA3 102.519997 0.000000

DA4 9292.919922 0.000000

DB5 0.000000 1.000000

DB6 0.123900 0.000000

DB7 0.000000 1.000000

DB8 0.000000 1.000000

DB9 0.000000 1.000000

X1 0.730000 0.000000

X2 1.170000 0.000000

X3 1.110000 0.000000

X4 1.000000 0.000000

DB1 0.000000 1.000000

DB2 0.000000 1.000000

DB3 0.000000 1.000000

DB4 0.000000 1.000000

DA5 2365.212402 0.000000

DA6 0.000000 1.000000

DA7 0.000000 0.000000

DA8 0.000000 0.000000

DA9 0.000000 0.000000

ROW SLACK OR SURPLUS DUAL PRICES

2) 0.000000 -1.000000

3) 0.000000 -1.000000

4) 0.000000 -1.000000

5) 0.000000 -1.000000

6) 0.000000 0.000000

7) 0.000000 1.000000

8) 300.782166 0.000000

9) 4.437600 0.000000

10) 1.000000 0.000000

11) 0.000000 8676.351562

12) 0.000000 4591.138184

13) 0.000000 4320.173340

14) 0.000000 12461.735352

NO. ITERATIONS= 5

193

RANGES IN WHICH THE BASIS IS UNCHANGED:

OBJ COEFFICIENT RANGES

VARIABLE CURRENT ALLOWABLE ALLOWABLE

COEF INCREASE DECREASE

DA1 1.000000 INFINITY 0.999743

DA2 1.000000 INFINITY 1.000000

DA3 1.000000 INFINITY 1.000000

DA4 1.000000 INFINITY 1.000000

DB5 1.000000 INFINITY 1.000000

DB6 1.000000 3892.048096 1.000000

DB7 1.000000 INFINITY 1.000000

DB8 1.000000 INFINITY 1.000000

DB9 1.000000 INFINITY 1.000000

X1 0.000000 8676.351562 INFINITY

X2 0.000000 4591.138184 INFINITY

X3 0.000000 4320.173340 INFINITY

X4 0.000000 12461.735352 INFINITY

DB1 0.000000 INFINITY 1.000000

DB2 0.000000 INFINITY 1.000000

DB3 0.000000 INFINITY 1.000000

DB4 0.000000 INFINITY 1.000000

DA5 0.000000 INFINITY 1.000000

DA6 0.000000 INFINITY 1.000000

DA7 0.000000 INFINITY 0.000000

DA8 0.000000 INFINITY 0.000000

DA9 0.000000 INFINITY 0.000000

RIGHTHAND SIDE RANGES

ROW CURRENT ALLOWABLE ALLOWABLE

RHS INCREASE DECREASE

2 30026.218750 INFINITY 1088.780396

3 5.110000 INFINITY 2.730000

4 102.800003 INFINITY 102.519997

5 9318.450195 INFINITY 9292.919922

6 2369.949951 INFINITY 2365.212402

7 3.010000 0.123900 INFINITY

8 12256.750977 INFINITY 300.782166

9 174.380005 INFINITY 4.437600

10 2.000000 INFINITY 1.000000

11 0.730000 0.081201 0.169726

12 1.170000 0.117238 0.105897

13 1.110000 0.125710 0.111622

14 1.000000 0.056530 1.000000