Post on 12-May-2023
Jurnal Ilmiah E-ISSN : 2807 - 3630
PENA: Jurnal Pendidikan Bahasa, Sastra, dan Pengajaran P-ISSN : 2807 - 3908 https://ejournal.hamjahdiha.or.id/index.php/PENA https://hamjahdiha.or.id
PENA, Vol. 1, No. 1. Juni - September 2021 HAMJAH DIHA FOUNDATION
Page | 17
NILAI MORAL DALAM LIRIK LAGU GUGUR MAYANG
(Analisis Semiotika Budaya) Selamet Riadi
(Dosen tetap pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP-UNIQHBA Bagu)
ABSTRAK Lirik lagu Gugur Mayang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan budaya masyarakat
Sasak. Di dalamnya, arat akan pesan- pesan moral bagi generasi Sasak khususnya. Pesan-pesan moral itu
diwujudkan dalam bentuk simbol-simbol khas masyarakat Sasak seperti gugur mayang (gugurnya
kembang mayang), besengkale (mendapatkan bahaya/musibah), kahuripan (kehidupan), dan lain-lain.
Kata Kunci : nilai, moral, lirik, gugur mayang
1. PENDAHULUAN
Indonesia sebagai bangsa yang
multukultural kaya akan keanekaragaman
budayanya. Warna-warni kebudayaan
masyarakat Indonesia terlihat dari berbagai
aktivitas budaya yang dilakukan oleh setiap
suku bangsa di Indonesia. Istimewanya,
setiap suku memiliki kebudayaan yang
berbeda dan beragam. Hal itu merupakan
kebanggaan dan keistimewaan tersendiri
bagi bangsa dan negara Indonesia untuk
terus memelihara dan mempertahankan
eksistensi kebudayaan tersebut.
Suku Sasak yang merupakan
salah satu suku di wilayah Nusa Tenggara
Barat masih tetap memelihara dan
mempertahankan eksistensi budayanya
hingga saat ini walaupun beberapa bagian
dari budaya itu sudah hilang, berubah, atau
tergantikan karena tergerus budaya modern.
Padahal, merupakan kewajiban setiap suku
bangsa terutama generasi muda untuk
melestarikan masing-masing kebudayaannya
seperti yang diamanatkan oleh undang-
undang.
Suku Sasak sebagai salah satu suku
bangsa yang ada di Nusantara tentu memiliki
warna-warni kebudayaan yang berbeda
dengan masyarakat suku lain. Hal ini
merupakan ciri khas yang dimiliki oleh
masing-masing suku bangsa. Beberapa
tradisi budaya, seperti upacara pemberian
nama, pernikahan, dan kematian sampai
saat ini masih terus dipertahankan
masyarakat Sasak. Secara umum, lima unsur
pokok kebudayaan, yaitu mitos, bahasa,
sejarah, seni, dan ilmu pengetahuan masih
dapat ditemukan pada masyarakat Sasak.
Wujud kebudayaan dalam bidang seni
yang masih melekat dan eksis di masyarakat
Sasak adalah lagu-lagu daerah. Lagu daerah
tidak hanya sebagai sarana bagi masyarakat
suku Sasak dalam mengekspresikan diri.
Namun, dalam setiap lirik lagunya
terkandung makna dan pesan moral yang
mendalam bagi masyarakat terutama
generasi muda.
Seiring perubahan dan perkembangan
zaman lagu Sasak banyak mengalami
Jurnal Ilmiah E-ISSN : 2807 - 3630
PENA: Jurnal Pendidikan Bahasa, Sastra, dan Pengajaran P-ISSN : 2807 - 3908 https://ejournal.hamjahdiha.or.id/index.php/PENA https://hamjahdiha.or.id
PENA, Vol. 1, No. 1. Juni - September 2021 HAMJAH DIHA FOUNDATION
Page | 18
perubahan dan penambahan. Jika pada
awalnya musik Sasak hanya berupa kayaq
dan cilokaq, maka saat ini musik sasak juga
diwarnai dengan genre musik lain seperti
lagu popular, reggey, dan dangdut yang
dinyanyikan dengan bahasa Sasak. Selain itu,
alat musik yang digunakan pun merupakan
kolaborasi antara alat musik tradisional dan
modern. Bahkan, tema-tema lagu yang
dibawakan saat ini lebih banyak berkaitan
dengan tema-tema percintaan muda-mudi.
Berbeda sekali dengan lagu-lagu daerah yang
dulu banyak bertema sosial dan religi
sehingga syarat dengan pesan moral yang
terkandung di dalam liriknya. Lirik lagu Sasak
memiliki kepadatan makna yang luas jika
dibandingkan lagu Sasak yang modern
(Rosyidi, 2013 : 4).
Salah satu lagu daerah Sasak yang masih
seringkali dinyanyikan dalam balutan musik
modern adalah lagu Gugur Mayang.
Walaupun dinyanyikan dalam nuansa musik
modern, namun tidak mengurangi nilai dan
pesan moral yang terkandung dalam lirik
lagu tersebut.
Sampai saat ini, tidak ada yang
mengetahui pasti pencipta lirik lagu gugur
mayang. Satu informasi yang belum bisa
dipastikan kebenarannya mengatakan
bahwa lirik lagu ini ditulis oleh keturunan
dari Dende Terong Kuning, seorang Putri dari
wilayah Kuripan atau Kerajaan Kahuripan.
Berdasarkan setitik informasi tersebut
peneliti kemudian mengaitkan lagu gugur
mayang ini dengan sebuah cerita rakyat NTB
yang ditulis ulang oleh Samsuni berjudul Ki
Rangga, karena pada bait kedua dalam lirik
lagu gugur mayang terdapat kata Gusti
Rangge yang merujuk pada seseorang yang
bernama Rangga (Rangge dalam bahasa
Sasak). Tidak Cuma itu, isi cerita dalam cerita
rakyat KI Rangga sangat korelatif dengan
pesan yang ingin disampaikan dalam lirik
lagu. Cerita Ki Rangga dan lirik lagu gugur
mayang keduanya menceritakan tentang
penghianatan seorang pemuda yang pada
awalnya begitu dibanggakan namun budi
baik dibalas dengan kejahatan.
Terlepas dari ada tidaknya hubungan
antara keduanya, lirik lagu gugur mayang
memiliki pesan moral yang tinggi dan
mendalam yang ingin disampaikan oleh
pengarang atau penulis lagu. Hal ini senada
dengan apa yang disampaikan oleh
Nurgiantoro (2013 :430) bahwa nilai moral
dalam karya sastra biasanya mencerminkan
pandangan hidup pengarang yang
bersangkutan, pandangannya tentang nilai-
nilai kebenaran dan hal itulah yang ingin
disampaikan kepada pembaca. Selanjutnya,
Nurgiantoro (2013 : 441- 442)
mengungkapkan bahwa ajaran moral yang
mencakup seluruh persoalan hidup dan
kehidupan manusia itu dapat dibedakan ke
dalam persoalan hubungan manusia dengan
diri sendiri, hubungan manusia dengan
manusia lain dalam lingkup sosial dan
Jurnal Ilmiah E-ISSN : 2807 - 3630
PENA: Jurnal Pendidikan Bahasa, Sastra, dan Pengajaran P-ISSN : 2807 - 3908 https://ejournal.hamjahdiha.or.id/index.php/PENA https://hamjahdiha.or.id
PENA, Vol. 1, No. 1. Juni - September 2021 HAMJAH DIHA FOUNDATION
Page | 19
lingkungan alam, dan hubungan manusia
dengan Tuhannya.
Berdasarkan latar belakang itulah
peneliti sangat tertantang untuk memaknai
dan menganalisis kata demi kata, baris demi
baris, dan bait demi bait lagu gugur mayang
untuk mendapatkan makna utuh dan pesan
atau nilai moral yang tersembunyi dan ingin
disampaikan oleh pengarang atau penulis
lagu.
2. LANDASAN TEORI a. Semiotika
Secara etimologis, istilah semiotik
berasal dari kata Yunani ”semeion” yang
berarti ”tanda”. Tanda itu sendiri
didefinisikan sebagai sesuatu yang atas dasar
konvensi sosial yang terbangun sebelumnya,
dapat dianggap memiliki sesuatu yang lain
(Sobur, 2006:95).
Semiotika adalah studi tentang tanda
dan cara tanda-tanda itu bekerja. Semiotika
adalah suatu ilmu atau metode analisis
untuk mengkaji tanda. Tanda-tanda adalah
perangkat yang dipakai dalam upaya
berusaha mencari jalan di dunia ini,
ditengah-tengah manusia dan bersama-sama
manusia. Semiotika atau dalam istilah
Barthes, semiologi, pada dasarnya hendak
mempelajari bagaimana kemanusiaan
(humanity) memaknai hal-hal (things).
Memaknai (to signify) dalam hal ini tidak
dapat dicampuradukkan dengan
mengkomunikasikan (to communicate).
Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak
hanya membawa informasi, dalam hal mana
objek- objek itu hendak berkomunikasi,
tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur
dari tanda (Barthes, 1988:179; Kurniawan,
2001:53 dalam Sobur,2003:15). Semiotika
mempunyai tiga bidang studi utama, yaitu:
1. Tanda itu sendiri. Hal ini terdiri atas
studi tentang berbagai tanda yang
berbeda, cara tanda-tanda yang berbeda
itu dalam menyampaikan makna, dan
cara tanda-tanda itu terkait dengan
manusia.
2. Kode atau system yang
mengorganisasikan tanda. Studi ini
mencakup cara berbagai kode
dikembangkan guna memenuhi
kebutuhan suatu masyarakat atau
budaya atau untuk mengeksploitasi
saluran komunikasi yang tersedia untuk
mentransmisikannya.
3. Kebudayaan tempat kode dan tanda
bekerja. Ini pada gilirannya bergantung
pada penggunaan kode-kode dan tanda-
tanda itu untuk keberadaan dan
bentuknya sendiri.
b. Semiologi Komunikasi Saussure
Semiologi adalah 'sains tentang tanda'.
Ferdinand De Saussure, seorang ahli
linguistik dalam pendekatan terhadap tanda-
tanda menyatakan bahwa bahasa di mata
Saussure tak ubahnya seperti sebuah karya
musik. Untuk memahami sebuah simponi,
harus diperhatikan keutuhan karya musik
secara keseluruhan dan bukan kepada
permainan individual dari setiap pemain
Jurnal Ilmiah E-ISSN : 2807 - 3630
PENA: Jurnal Pendidikan Bahasa, Sastra, dan Pengajaran P-ISSN : 2807 - 3908 https://ejournal.hamjahdiha.or.id/index.php/PENA https://hamjahdiha.or.id
PENA, Vol. 1, No. 1. Juni - September 2021 HAMJAH DIHA FOUNDATION
Page | 20
musik. Untuk memahami bahasa, individu
harus melihatnya secara “sinkronis”, sebagai
suatu jaringan hubungan antara bunyi dan
makna (Sobur, 2003:44).
Yang cukup penting dalam upaya
menangkap hal pokok dari Saussure adalah
prinsip yang mengatakan bahwa bahasa itu
adalah suatu sistem tanda, dan setiap tanda
itu tersusun dari dua bagian, yakni signifier
(penanda) dan signified (petanda). Menurut
Saussure bahasa merupakan suatu sistem
tanda (sign). Tanda dalam pendekatan
Saussure merupakan kesatuan dari suatu
bentuk penanda (signifier) dengan sebuah
ide atau (petanda). Jadi penanda adalah
aspek material dari bahasa (Sobur, 2003:46).
Tanda merupakan kesatuan dari suatu
bentuk penanda (signifier) dengan sebuah
ide atau petanda (signified). Dengan kata
lain, penanda adalah “bunyi yang bermakna”
atau “coretan yang bermakna”. Jadi,
penanda adalah aspek material dari bahasa,
apa yang dikatakan atau didengar dan apa
yang ditulis atau dibaca. Petanda adalah
gambaran mental, pikiran, atau konsep. Jadi
petanda adalah aspek mental dari bahasa.
Dalam tanda bahasa yang konkret, kedua
unsur tersebut tidak bisa dilepaskan. Tanda
bahasa selalu mempunyai dua segi, yaitu :
penanda (signifier) dan petanda (signified).
Satu penanda tanpa petanda tidak berarti
apa-apa dan karena itu tidak merupakan
tanda. Sebaliknya suatu petanda tidak
mungkin disampaikan atau ditangkap lepas
dari penanda, petanda atau yang ditandakan
itu termasuk tanda sendiri dan dengan
demikian merupakan suatu faktor linguistis
(Sobur, 2003:46).
c. Perspektif Interpretif dalam Ilmu
komunikasi Komunikasi adalah salah satu aktifitas
manusia yang diakui dan dilakukan setiap
orang. Hal ini menunjukkan bahwa manusia
sangatlah dipengaruhi oleh komunikasi dan
cara mereka berkomunikasi. Manusia dapat
saling berbagi rasa, pikiran, ide dan gagasan
berdasarkan pengalaman yang mereka miliki.
Pengalaman ini disebut materi yang dimiliki
oleh komunikator untuk dibagikan kepada
orang lain. Pada tahap selanjutnya pesan
diterjemahkan oleh penerima berdasar
kerangka pengalaman yang dimilikinya
menurut konvensi budaya yang menjadi latar
belakangnya. Hal ini dapat diartikan bahwa
dengan adanya perbedaan budaya sangat
dimungkinkan ditemukannya perbedaan
makna pesan.
Proses komunikasi mempunyai sudut
pandang yang berbeda dalam melihat suatu
fenomena sosial. Setiap individu akan
mempunyai pandangan yang berbeda
terhadap suatu hal, atau mungkin akan
saling melengkapi. Kemudian sudut pandang
(perspektif) akan menghasilkan suatu
interpretasi terhadap suatu fenomena sosial.
Glenn dan Marty mengemukakan bahwa ada
dua perspektif yang menjadi dasar untuk
melakukan sebuah penelitian komunikasi.
Jurnal Ilmiah E-ISSN : 2807 - 3630
PENA: Jurnal Pendidikan Bahasa, Sastra, dan Pengajaran P-ISSN : 2807 - 3908 https://ejournal.hamjahdiha.or.id/index.php/PENA https://hamjahdiha.or.id
PENA, Vol. 1, No. 1. Juni - September 2021 HAMJAH DIHA FOUNDATION
Page | 21
Mereka mempunyai berbeda dalam
memandang pendekatan komunikasi. Glen
lebih tertarik kepada penelitian yang bersifat
empiris, sedangkan Marty lebih menyukai
menginterpretasikan teks (Griffin, 2000: 6).
Kemudian mereka mengemukakan dua
perspektif dalam memahami teori
komunikasi, yaitu perspektif objektif dan
perspektif interpretif. Menurut mereka
”theory as an umbrella term for all careful,
systematic and self-conscious discussion and
analysis of communication phenomena”
(Griffin, 2000: 6). Sebuah perspektif sangat
penting dalam melakukan sebuah penelitian
komunikasi, yakni berfungsi sebagai payung
yang menaungi analisis dari fenomena
komunikasi. Sebelum melakukan penelitian
komunikasi, peneliti harus tahu dengan tepat
perspektif mana yang digunakan dalam
penelitian. Karena perspektif merupakan
grand theory yang menjadi landasan dasar
dari sebuah penelitian komunikasi.
Pertama adalah perspektif obyektif,
perspektif ini biasanya digunakan dalam
penelitian kuantitatif yang menggunakan
paradigma post positivistik. Perspektif ini
menekankan keobjektifan peneliti dalam
melakukan penelitiannya, sehingga
kebenaran bersifat tunggal dan mutlak. Dan
yang kedua adalah perspektif interpretif,
perspektif ini biasanya digunakan untuk
melakukan penelitian kualitatif. Dengan
perspektif interpretif ini, penelitian yang
dilakukan tidak bersifat obyektif, melainkan
subyektif. Perspektif ini menekankan
keberpihakan peneliti dalam melakukan
penelitiannya. Kedua perspektif ini memiliki
kelebihan dan kekurangan masing- masing,
seperti yang dikatakan Griffin dalam
bukunya, not all objective and interpretative
communication theory are equally good, for
each type, some are better than others
(Griffin, 2000: 20). Menurut Griffin tidak ada
salah satu perspektif yang lebih unggul,
kedua-duanya mencari kebenaran dan
makna dari sisi yang berbeda dari suatu
fenomena sosial.
Penelitian ini bersifat kualitatif dan
menggunakan perspektif interpretif.
Interpretif peduli terhadap makna, berbeda
dengan objektif yang menganggap
kebenaran itu tunggal, interpretif
mempunyai asumsi bahwa kebenaran dan
makna itu tidak memiliki batas-batas umum.
Ciri-ciri perspektif interpretif yang baik
adalah dapat memahami orang lain, dapat
menjelaskan nilai, memiliki standar estetika,
hasil kesepakatan bersama, dan dapat
memberikan kontribusi kepada pihak yang
diteliti (Griffin, 2000: 31). Dalam perspektif
interpretif tidak ada kebenaran yang bersifat
mutlak atau kesalahan tidak bersifat absolut.
Semua fenomena sosial dinilai dari sudut
pandang tertentu dimana ia berada dalam
suatu kelompok masyarakat. Semua akan
tergantung dari sudut pandang yang mereka
yakini.
Jurnal Ilmiah E-ISSN : 2807 - 3630
PENA: Jurnal Pendidikan Bahasa, Sastra, dan Pengajaran P-ISSN : 2807 - 3908 https://ejournal.hamjahdiha.or.id/index.php/PENA https://hamjahdiha.or.id
PENA, Vol. 1, No. 1. Juni - September 2021 HAMJAH DIHA FOUNDATION
Page | 22
Penelitian ini menggunakan perspektif
yang kedua, yaitu perspektif interpretif. Para
ahli komunikasi yakin bahwa perspektif
interpretif ini sangat bersifat subyektif, hasil
dari penelitian ini sangat bergantung pada
interpretasi peneliti (Griffin, 2000: 10).
Dengan demikian penelitian tentang
representasi nilai moral dalam lirik lagu
gugur mayang ini dapat dikatakan bersifat
subyektif. Mungkin saja hasil interpretasi
dari penelitian ini akan berbeda apabila
peneliti lain yang melakukan penelitian ini
karena sifat yang subyektif dari masing-
masing peneliti.
3. METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan metode analisis teks dengan
pendekatan semiotika. Metode semiotika
bersifat kualitatif-interpretatif, atau dapat
dijelaskan bahwa metode tersebut
memfokuskan pada “tanda” dan “teks”
sebagai objek kajian, serta bagaimana
peneliti “menafsirkan” dan “memahami
kode” dibalik tanda dan teks tersebut dan
memberikan kesimpulan yang komprehensif
mengenai hasil penafsiran dan pemahaman
yang telah dilakukan.
Pendekatan semiotika dalam penelitian
ini digunakan karena peneliti ingin
mengungkapkan makna yang terkandung
dalam objek penelitian ini, yaitu lirik lagu
Sasak gugur mayang. Dengan menggunakan
metode semiotika, makna dan tanda yang
terkandung dalam lirik lagu tersebut dapat
dianalisis, sehingga makna yang terkandung
dalam lagu tersebut dapat terungkap.
Terdapat tiga teknik pengumpulan data
dalam penelitian ini, yaitu : teknik
dokumentasi, studi pustaka, dan teknik
analisis teks. Teknik dokumentasi digunakan
untuk pengumpulan data primer dengan
cara memanfaatkan dokumentasi dengan
menggunakan lirik Lagu gugur mayang
sebagai alat utama guna mengkaji objek
penelitian. Penelitian dilakukan dengan
mengamati dan menganalisis simbol-simbol
dalam lagu tersebut. Adapun, teknik studi
pustaka bertujuan melengkapi data
penelitian yang mengacu pada wacana-
wacana pustaka sebagai pembanding
ataupun sebagai referensi dalam penelitian.
Melalui penelusuran literatur atau mencari
data mengenai teori seperti semiotika
makna, simbol, pesan, serta untuk
mendapatkan data lain yang berhubungan
dengan penelitian ini. Sedangkan teknik
analisis teks dilakukan dengan membagi
keseluruhan lirik lagu menjadi beberapa bait
dan selanjutnya per bait akan dianalisis
dengan menggunakan teori semiotika dari
Saussure.
Analisis data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah analisis kualitatif.
Metode kualitatif digunakan untuk
mendapatkan data yang mendalam, suatu
data yang mengandung makna. Makna
adalah data yang sebenarnya, data yang
pasti yang merupakan suatu nilai dibalik data
Jurnal Ilmiah E-ISSN : 2807 - 3630
PENA: Jurnal Pendidikan Bahasa, Sastra, dan Pengajaran P-ISSN : 2807 - 3908 https://ejournal.hamjahdiha.or.id/index.php/PENA https://hamjahdiha.or.id
PENA, Vol. 1, No. 1. Juni - September 2021 HAMJAH DIHA FOUNDATION
Page | 23
yang tampak. Oleh karena itu dalam
penelitian kualitatif tidak menekankan pada
generalisasi, tetapi lebih menekankan pada
makna (Sugiyono, 2005:201).
1. Mencari lirik lagu gugur mayang;
2. Melakukan pendefenisian terhadap lirik
lagu kemudian dioperasionalkan melalui
kategorisasi untuk memperoleh jawaban
dari tujuan yang di inginkan yaitu untuk
mengetahui gambaran tentang nilai
moral yang terdapat dalam lirik lagu
gugur mayang;
3. Analisis atau penafsiran tanda-tanda
komunikasi digunakan sebagai upaya
mengetahui gambaran makna tentang
nilai moral dalam lirik lagu gugur
mayang.
Dalam penelitian kualitatif, data
diperoleh dari berbagai sumber, dengan
menggunakan teknik pengumpulan data
yang bermacam-macam, dan dilakukan
secara terus menerus hingga data tersebut
mendalam. Kualitatif merupakan yang
memaparkan peristiwa serta situasi dan
bukan semata-mata mencari kebenaran
tetapi lebih pada pemahaman subjek
terhadap dunia sekitar.
4. PEMBAHASAN
Gugur mayang kahuripan Kembang gadung sedin gunung Awun-awun panas jelo Aseq ate lalo telang Side nune
Umbak umbul leq tembuang Rendo tangis gumi sasak Pasek dese ilang sirne Kahuripan besengkale gusti rangge Gong medaye side nune Semu ayu bales ale Eling-eling ringu baye Mangde jari tutur mudi leq semeton jari
Gugur mayang kahuripan
Kata gugur adalah kata kerja (v) yang
bermakna rontok atau jatuh sebelum masak
(KBBI : 464). Biasanya kata gugur dikaitkan
dengan bakal buah atau bunga berjatuhan
atau berguguran sebelum waktunya, hal ini
sesuai dengan kata yang mengikutinya yaitu
kata mayang (pinang). Kata gugur seringkali
berkonotasi dengan kematian dalam situasi
yang tidak menguntungkan dalam konteks
revolusi, perang, persaingan, dan kontestasi
sosial. Adapun mayang dalam lirik lagu
tersebut berarti pinang, yaitu buah yang
memiliki arti penting bagi kehidupan
masyarakat Sasak (terutama waktu dulu).
Buah pinang tidak hanya digunakan sebagai
temannya sirih waktu menyirih (mamaq),
namun bunga maupun buah pinang banyak
digunakan pada saat ritual adat masyarakat
Sasak. Dalam konteks lagu ini, mayang
merupakan simbol yang mewakili pemuda
Sasak, melambangkan kekuatan, harapan,
dan keindahan.
Selanjutnya, kata kahuripan (dalam larik
yang sama) bermakna kehidupan. Dalam
versi lainnya kata ini disebut leq kuripan (di
Jurnal Ilmiah E-ISSN : 2807 - 3630
PENA: Jurnal Pendidikan Bahasa, Sastra, dan Pengajaran P-ISSN : 2807 - 3908 https://ejournal.hamjahdiha.or.id/index.php/PENA https://hamjahdiha.or.id
PENA, Vol. 1, No. 1. Juni - September 2021 HAMJAH DIHA FOUNDATION
Page | 24
Kuripan), yaitu kata yang mengacu pada
sebuah tempat yang disebut Kuripan atau
nama sebuah kerajaan di Lombok yang
dinamakan Kerajaan Kuripan. Secara
etimologis kata kahuripan merupakan
bentukan dari bentuk dasar urip (hidup) +
konfik (ke-, -an) yang bermakna
“kehidupan”.
Jika ketiga kata (Gugur mayang
kahuripan) dalam bait pertama dan baris
pertama ini dimaknai berdasarkan
pemaknaan setiap kata tersebut maka
maknanya adalah gugur atau matinya
kehidupan tunas atau generasi muda yang
dikonotasikan dengan gugurnya buah/bunga
mayang sebelum waktunya dipetik.
Tentunya, yang dimaksud dengan “matinya
kehidupan generasi muda” adalah bukan
secara fisik namun, secara psikis yang berarti
matinya semangat (ghiroh) generasi muda
mempertahankan budaya dan nilai-nilai arif
bijaksana yang terdapat di dalamnya.
Baris kedua kembang gadung sedin
gunung, merepresentasikan situasi dan
kondisi masyarakat Sasak yang dalam serba
sulit. Gadung merupakan makanan pokok
masa penjajahan karena ketiadaan jagung
dan beras. Dalam hubungannya,
kembang dan gadung secara simbolis
mewakili aspek material kehidupan, menjadi
tanda-tanda dari materi, tubuh, dan
kebutuhan fisik (makanan, sandang, dan
papan).
Manusia memiliki kebutuhan dasar
tertentu yang harus mereka penuhi bahkan
ketika mereka mengalami kesulitan. Frasa
kembang gadung melambangkan kebutuhan
dasar ini, mengacu pada makanan pokok
yang dikonsumsi oleh orang Sasak ketika
jagung dan beras tidak tersedia. Sedangkan
ungkapan sedin gunung melambangkan
tempat yang tidak mudah dijangkau. Kata ini
memperkuat makna kata sebelumnya
(kembang gadung) bahwa kesulitan yang
dialami masyarakat Sasak dalam
kesehariannya waktu itu benar-benar tidak
terbayangkan. Untuk memperoleh gadung
saja masyarakat harus menempuh banyak
bahaya dan rintangan yang dimetaforkan
dengan istilah sedin gunung. Sedin gunung
secara metaforis mewakili tempat yang
berbahaya, sulit, dan situasi yang
rumit. Seperti situasi hegemoni Jawa dan Bali
di Lombok (Kraan, 1981; Satrya HD, 2018),
dimana masyarakat Lombok ditundukkan
dan identitas budaya mereka dikaburkan. Ini
menyiratkan hukum kekuasaan, bahwa
mereka yang datang di Lombok berusaha
untuk menguasainya dan meminggirkan
orang Sasak ( leq sedin gunung ). Ini adalah
kenyataan pahit yang dialami oleh orang
Sasak di bawah pemerintahan Kerajaan
Karang Asem Bali, Kerajaan Jawa Majapahit,
serta kolonialisme Belanda dan Jepang.
Gambaran penderitan masyarakat Sasak
masih direpresentasikan pada baris ketiga
bait pertama awun-awun panas jelo. Frase
Jurnal Ilmiah E-ISSN : 2807 - 3630
PENA: Jurnal Pendidikan Bahasa, Sastra, dan Pengajaran P-ISSN : 2807 - 3908 https://ejournal.hamjahdiha.or.id/index.php/PENA https://hamjahdiha.or.id
PENA, Vol. 1, No. 1. Juni - September 2021 HAMJAH DIHA FOUNDATION
Page | 25
ini mengacu pada kehidupan sulit yang
penuh dengan rintangan. Kata awun -
awun berarti kabut, yang melambangkan
halangan dan rintangan
kehidupan. Meskipun keberadaan kabut
biasanya tidak lama, yaitu pada pagi hari dan
hilang di siang harinya namun pada bait lagu
gugur mayang, kabut (awun- awun) ini
berlangsung cukup lama, yaitu sampai siang
harinya (panas jelo). Hal ini menggambarkan
bahwa penderitaan (kembang gadung, sein
gunung, awun- awun) masyarakat Sasak
cukup lama, yaitu sejak Kerajaan Karang
Asem Bali, Kerajaan Jawa Majapahit, serta
kolonialisme Belanda dan Jepang.
Selanjutnya, baris aseq ate lalo
telang menyimpulkan kesedihan yang
mendalam, kesedihan yang disebabkan oleh
kekerasan dan situasi serta kondisi. Frasa
tersebut melambangkan kompleksitas hidup,
termasuk sulitnya meninggalkan tanah air
bahkan saat keadaan menuntutnya. Aseq
ate (sedih hati) adalah sebuah ungkapan
yang menyampaikan kesedihan yang
mendalam. Kemudian, lalo telang (pergi
menghilang) yang berarti pergi merantau ke
negara lain merupakan jalan keluar yang
dilakukan masyarakat Sasak. Demi keluar
dari kesulitan ekonomi, masyarakat Sasak
banyak yang hijrah ke Malaysia untuk
mencari ringgit (uang) sebagai sarana
mengentaskan kemiskinan mereka (Haris,
2002).
Sedangkan frase Side nune dalaam
bahasa Sasak digunakan masyarakat untuk
panggilan anak yang
disayangi. Kata nune berarti seorang anak
laki-laki. Pada saat yang sama berkonotasi
kekuatan dan kemampuan untuk mengatasi
rintangan dan kompleksitas kehidupan.
Bait kedua, umbul-umbul leq
tembuang / rendo tangis gumi sasak / pasek
dese ilang sirne / Kahuripan besengkale.
Pada bait kedua ini, lagi-lagi menceritakan
situasi dan kondisi yang dialami oleh orang
masyarakat Sasak, frasa umbak
umbul melambangkan cobaan berat yang
terjadi seperti gulungan umbak tinggi di laut
Selatan (Lek
Tembuang). Umbak artinya ombak laut,
sedangkan umbul berarti muncul. Cobaan
berat yang dialami masyarakat Sasak
menimbulkan kesedihan mendalam yang
digambarkan dalam baris kedua rendo tangis
gumi sasak (riuh tangis masyarakat bumi
Sasak). rnedo tangis , dengan demikian,
mengacu pada air mata yang ditumpahkan
ketika situasi masih sangat terasa. Air mata
ini menetes di gumi Sasak (tanah orang
Sasak) karena pasek dese hilang sirne.
Frase pasek dese merujuk kepada
pemuda Sasak. Kata pasek berarti sejenis
paku dari bilah bambu yang diruncingkan
untuk menguatkan bagian kayu yang
disambung. Pasek dalam GM merupakan
ikon pemimpin, pemuda, dan harapan
masyarakat. Dalam budaya Sasak,
Jurnal Ilmiah E-ISSN : 2807 - 3630
PENA: Jurnal Pendidikan Bahasa, Sastra, dan Pengajaran P-ISSN : 2807 - 3908 https://ejournal.hamjahdiha.or.id/index.php/PENA https://hamjahdiha.or.id
PENA, Vol. 1, No. 1. Juni - September 2021 HAMJAH DIHA FOUNDATION
Page | 26
Kata pasek juga berarti orang pertama
(pemimpin) yang menempati sebuah
wilayah, yang memiliki pengaruh sosial yang
kuat. Hilang sirne bermakna hilang
lenyap. Jika diartikan secara utuh baris
ketiga bait kedua tersebut maknanya adalah
lenyap, hilang, atau meninggalnya pemuda,
panutan, atau pemimpin sasak. Sebenarnya,
hilang atau lenyap yang dimaksudkan di sini
tidak secara fisik, melainkan psikis, yaitu
hilangnya semangat, prinsip dan identitas
Sasak. Dengan kehilangannya (pasek dese),
identitas Sasak pun ikut hilang hilang.
Kemudian, baris ke empat Kahuripan
besengkale bermakna hidup selalu penuh
dengan sengkale (bencana, rintangan); tidak
ada kehidupan tanpa sengkale, dan karena
itu sengkale merupakan prasyarat yang tak
terelakkan bagi kehidupan.
Bait ketiga, Gong medaye side nune/
semu ayu bales ale / iling-iling ring ubaye /
Mangde jari tutur mudi leq semeton jari,
merupakan peringatan untuk generasi sasak
(side nune). Hal ini diungkapkan dengan frase
gong medaye (gong/gaung peringatan) yang
ditujukan kepada pemuda sasak.
Baris berikutnya, semu ayu bales ale ,
berarti 'kebaikan dibalas dengan kejahatan
'. Ungkapan semu ayu menunjukkan kualitas
kebaikan, seperti yang diwujudkan melalui
sikap atau perbuatan, sementara itu,
frase semu ayu menunjukkan kebaikan yang
diberikan dengan tulus, satu yang tidak
selalu ditanggapi dengan baik oleh orang
lain. Secara implisit, Sifat baik yang
ditunjukkan oleh semu ayu dengan jelas
menekankan bahwa orang Sasak memiliki
karakter yang kuat dan baik (Lombok : lurus).
Sementara itu, Bales ale menunjukkan sikap
yang jahat. Kata besengkale artinya
'rintangan', karena manusia merupakan
makhluk yang mengalami
banyak sengkale; Dalam konteks sejarah,
Orang Jawa dan Bali telah
menjadi sengkale bagi orang Sasak, karena
mereka telah mencegah Sasak menemukan
identitas mereka sendiri. Identitas Sasak saat
ini adalah hasil konstruksi orientalis, yang
mengidentifikasi Lombok sebagai bagian dari
Jawa (Kraan, 1981). Identitas Sasak
dikonseptualisasikan tidak dalam istilahnya
sendiri, tetapi dalam istilah bangsa lain
(Sudirman & Bahri, 2014; Tim Penyusun,
1977; Tim Penyusun Depdikbud, 1977),
khususnya ketujuh negara yang telah
menggunakan kendali kolonial di atas
Lombok. Kolonialisme semacam itu
diidentifikasikan sebagai kejahatan dengan
itu kebaikan orang Sasak telah terbayar.
Bahkan saat mereka memberi kebaikan,
mereka hanya mengalami rasa sakit. Mereka
kehilangan jati diri dan hidup mereka di
bawah penjajahan dan kekuasaan
hegemonik negara asing.
Baris berikutnya, iling-iling ring ubaye ,
menunjukkan kesadaran
akan ubaye (bahaya) leq kuripan (dalam
hidup). Artinya, dalam hidup, seseorang akan
Jurnal Ilmiah E-ISSN : 2807 - 3630
PENA: Jurnal Pendidikan Bahasa, Sastra, dan Pengajaran P-ISSN : 2807 - 3908 https://ejournal.hamjahdiha.or.id/index.php/PENA https://hamjahdiha.or.id
PENA, Vol. 1, No. 1. Juni - September 2021 HAMJAH DIHA FOUNDATION
Page | 27
mengalami bahaya dan rintangan. Iling-
iling merepresentasikan tingkah laku
manusia, sedangkan ubaye melambangkan
sifat kehidupan duniawi. Manusia yang tidak
memiliki iling (kesadaran) akan
mengalami ubaye, dan karena itu mereka
harus selalu waspada saat berperilaku diri
mereka sendiri dalam kehidupan sehari-hari
mereka. Iling (kesadaran) adalah ikon
kemanusiaan dan kesadarannya yang lebih
tinggi, dan itu kesadaran inilah yang
memungkinkan orang Jawa, Bali, dan
pengaruh Belanda atas orang Sasak untuk
bertahan.
Kata iling juga berkorelasi dengan lolon
buaq (pohon palem), pohon lurus yang
menjadi ikon Sasak. Begitulah kualitas
karakter masyarakat Sasak, khususnya
kesadaran mereka tentang yang baik dan
yang buruk dalam hidup serta perlu
menghindari salah langkah. Sikap seperti itu
juga terbukti dalam frasa adeng-adeng entan
bekelampan (bepergian dengan hati-hati),
yang secara simbolis mengacu pada
perbuatan iling diri.
Baris terakhir dalam lagu GM, Mangde
jari tutur mudi leq semeton jari
menggarisbawahi pentingnya harapan,
mengakui perjuangan panjang untuk
mempertahankan Identitas Sasak, untuk
mengatasi cobaan dan kesulitan hidup, dan
tetap sadar akan sengkale, umbak, ubaye,
dan awun-awun . Ini bisa diwujudkan melalui
wacana dan pesan yang terus menerus
disediakan untuk masa depan generasi
sasak.
5. KESIMPULAN
Masyarakat Sasak kaya akan peninggalan
tradisi dan budaya yang sarat dengan norma
dan nilai moralitas. Salah satu manifestasi
budaya yang tetap eksis hingga saat ini yaitu
lagu daerah yang salah satunya adalah lagu
Gugur Mayang. Lagu ini sarat akan pesan
moral yang terkandung di dalamnya. Hal ini
bisa dilihat dari ketiga bait lirik lagu tersebut.
Bait pertama dan kedua menggambarkan
kesedihan masyarakat Sasak yang
disebabkan oleh dahsyatnya ujian, bahaya
dan rintangan yang dikonotasikan dalam
frase seperti gugur mayang (jatuh buah) ,
Kahuripan (hidup) , kembang gadung (bunga
gadung) , awun-awun (awan) , aseq
ate (prihatin) , lalo telang (kesedihan),
umbak umbul (timbulnya umbak), rendo
tangis (riuh tangis), ilang sirne (hilang
lenyap), besengkale (mendapat bahaya).
Kemudin bait ketiga merupakan peringatan
keras bahwa kebaikan bisa saja dibalas
dengan kejahatan. Dan pda baris terakhir
penulis syair lagu mengingatkan agar
kejadian pahit masa silam tidak terulang
sehingga perlu diingatkan kepada generasi
setelahnya. Hal ini dimanifestasikan dalam
frase gong medaye (gong peringatan), semu
ayu (budi kebaikan), balas ale (dibalas
kejahtan), eling-eling (ingat-ingatlah), dan
jari tutur muri (menjadi cerita kemudian
hari).
Jurnal Ilmiah E-ISSN : 2807 - 3630
PENA: Jurnal Pendidikan Bahasa, Sastra, dan Pengajaran P-ISSN : 2807 - 3908 https://ejournal.hamjahdiha.or.id/index.php/PENA https://hamjahdiha.or.id
PENA, Vol. 1, No. 1. Juni - September 2021 HAMJAH DIHA FOUNDATION
Page | 28
Kesimpulannya, lagu GM memiliki pesan
moral kepada generasi muda Sasak agar
selalu bertindak dengan bijaksana dan penuh
kehati-hatian dalam menjalani kehidupan ini.
Karena kehidupan ini penuh dengan bahaya
dan rintangan (ubaye), bahkan kebaikan
yang diperbuat sekalipun bisa saja dibalas
dengan kejahatan. Kemudian, generasi muda
sasak jangan sampai meninggalkan dan
melupakan nilai-nilai luhur budaya Sasak
hanya karena teknologi dan budaya luar
yang dianggap lebih bergengsi. Karena
pemuda sasak merupakan pasek dese,
pemimpin dan harapan untuk generasi yang
lebih baik. Jangan sampai pasek dese ilang
sirne, menghilang secara psikis, yaitu
hilangnya semangat mempertahankan
budaya-budaya luhur masyarakat sasak.
Terakhir, peringatan ini harus tetap hidup
dari generasi ke generasi demi menjaga nilai
moralitas dalam budaya Sasak.
REFERENSI Fadjri, M. (2015). Mentalitas dan Ideologi dalam Tradisi Historigrafi Sasak Lombok pada Abad XIX-XX.
Disertasi . Universitas Gadjah Mada. Faruk (2012). Metode Penelitian Sastra: Sebuah Penjelajahan Awal . Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Fathurrahman, HLA (2017). Kosmologi Sasak, Risalah Inan Paer . Mataram: Jenius.