Post on 16-Jan-2023
PEMANFAATAN KERJASAMA KEAMANAN
(COOPERATIVE SECURITY ) UNTUK MENGHADAPI
BAHAYA KEAMANAN KOMPREHENSIF (COMPHREHENSIVE SECURITY THREAT)
DALAM RANGKA KETAHANAN NASIONAL DAN MEMPERKOKOHNKRI--------------------------------------------------------
Prof. Dr. Muladi, SH
(Bahan Ceramah PPRA DAN PPSA Lemhannas 2012)
ABST
RAK :
1) Konsep “cooperative security” secara umum didefinisikan
sebagai :
“a process whereby countries with common interest work jointly
through agreed mechanism to reduce tensions and suspicion, resolve or
mitigate disputes, build confidence, enhance economic development
prospects, and maintain stability in their regions” ( Michael Moodle,
Chemical and Biological Arms Control Institute, January, 2000);
2) Konsep “cooperative security” berkembang atas dasar beberapa
hal :
Masalah saat ini berada di luar kemampuan dari negara per
Negara untuk memecahkannya, karena bersifat transnasional
1
dan jauh dari kenyataan terjadinya fragmentasi dan
desentralisasi tertib keamanan pasca perang dingin di satu pihak
dan fenomena globalisasi ekonomi internasional, teknologi
informasi dan ketertiban sosial di lain pihak yang di samping
bersifat positif, juga memunculkan bahaya-bahaya keamanan
baru ; Di samping bahaya keamanan tradisional atau yang
bersifat simetrik dan “state centric” memungkinkan
berkembangnya bahaya keamanan baru yang bersifat
asimetrik atau non-tradisional yang didominasi
peranan aktor-aktor non-negara (non-state actors)
terhadap “human security” seperti radikalisme, terorisme,
proliferasi wmd, pelanggaran HAM berat, konflik horizontal,
degradasi lingkungan, migrasi illegal, kejahatan transnasional
terorganisasi (TOC), globalisasi ekonomi yang tidak adil (global
injustice), perompakan di laut, pemerintahan yang otoriter (state
crime) dll. Di samping itu masih terjadinya bahaya keamanan
tradisional yang berifat “state centric” dan bersifat lebih
kompleks ( Afrika Tengah menggambarkan terjadinya apa yang
dinamakan konflik yang merupakan perpaduan antara
“interstate rivalries, internal conflicts and transnational ethnic
problems”) ; dua spektrum ancaman bahaya ini digambarkan oleh
James Rosenau (1990) sebagai “the two world of world politics”
atau “bifurcated conflict environment” (lingkungan conflict dua
cabang);
Terjadinya fenomena penyebarluasan wmd dan senjata-senjata
berteknologi maju yang senyatanya diprodukasi oleh sector
swasta yang memerlukan pengawasan akibat praktek “dual use”
(privatisasi teknologi);
2
Kemajuan atau modernisasi alat komunikasi, transportasi dan
informatika di era globalisasi, yhamh dimanfaatkan untuk
kepentingan negatif (globalization of crime);
“The enemies of yesterday were static, predictable, homogenous,
rigid, hierarchical, and resistant to change. The enemies of today
are dynamic, unpredictable, diverse, fluid, networked, and
constantly evolving” (Jenkins, 2007);
Konsep “competitive security” yang bersifat tradisional melalui
pembangunan arsenal militer atau berusaha mendominasi
keamanan regional, ternyata tidak menghasilkan hal-hal positif
dan bahkan menciptakan masalah-masalah internal. Contoh
kasus Iraq yang melakukan agresi terhadap Kuwait. Persaingan
Pakistan dan India dalam test nuklir diragukan menciptakan
keamanan nasional. Begitu juga yang dilakukan Iran yang justru
menimbulkan rasa khawatir negara-negara tetangganya; Tidak
berbeda apa yang terjadi di ASEAN dan Amerika Latin serta Timur
Tengah;
Konsep “cooperative security” diharapkan dapat meningkatkan
kesadaran betapa pentingnya suatu struktur lingkungan yang
terintegrasi antar Negara, sehingga mampu memelihara
kesejahteraan dan kemanan rakyatnya. Munculnya Negara gagal
(failed states) seperti Somalia dll. yang potensial mengancam
Negara-negara lain, yang tak dapat diselesaikan oleh negara
yang bersangkutan, kecuali melalui “international and regional
cooperation”;
3) Paska perang dingin, di samping alasan-alasan yang masih
berkaitan dengan peranan kompetisi kekuatan militer, telah
3
mengemuka alasan ekonomis dan lingkungan dalam
pengembangan “cooperative security”;
Contoh “cooperative security” : Asean Security Community dalamkerangka ASEAN Charter, Lombok Treaty antara Indonesia-Australia,kesepakatan Korea Utara dan Selatan untuk menjamin proses perdamaiandalam rangka ”interKorean economic cooperation”; kerjasama keamananNegara-negara Amerika Latin yang dipelopori Argentina dan Brasilia untukmencegah penyebarluasan senjata nuklir, kimia, dan biologi, MunculnyaOrganizational of American States (OAS) tahun 1992 yang memiliki “SpecialCommitee on Hemispheric Security” , melalui intelligence sharing, jointexercises dll. untuk menjamin stabilitas kawasan; China yang mengembangkankerjasama dengan Negara-negara tetangga (Korsel, Pakistan, India, NegaraAsia Pasific, Rusia, Jepang, Asean, Amerika, , Burma, Laos, Mongolia), dalamrangka menciptakan stabilitas untuk perkembangan pertumbuhan ekonomidan pembangunan jangka panjang. China merupakan anggota ChemicalWeapon Convention (CWC), the Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT),pengiriman observer di pelbagai area di dunia, anggota APEC, ARF.Selanjutnya The Proliferation Security Initiative yang dipelopori AS + 90negara sejak 2003 untuk memegat kapal-kapal Niaga negara ketiga yangberlayar di laut bebas yang dicurigai membawa WMD dari negara-negara yangdianggap berbahaya seperti Korea Utara dll.; Yang menarik adalah latihanbersama pesawat-pesawat Nato dengan Rusia untuk menghadapi terorisme(Vigilant Skies 2011);
4) Di masa pasca perang dingin system internasional, di samping
memperhatikan peranan dari kekuatan dan kompetisi militer,
memperkenalkan “cooperative security” yang juga mencakup
keamanan ekonomi dan lingkungan. Kinerja ekonomi tidak kalah
pentingnya daripada kapabilitas militer dilihat sebagai kekuatan
negara di dalam komunitas internasional. Bahaya didefinisikan
sebagai bahaya ekonomi, lingkungan dan demografi. Namun
demikian kepedulian terhadap tantangan bahaya non-tradisional
tidak mengeliminasi kekhawatiran terhadap bahaya tradisional.
5) Kerjasama antar Negara dibutuhkan, karena negara-negara
merasa tidak mungkin mengatasi banyak permasalahan secara
sendirian. Untuk itu perlu dibangun kapabilitas melalui
kesepakatan internasional, usaha bersama mengatasi bahaya
4
transnasional, mencegah atau menyelesaikan konflik, dan
membangun masyarakat madani;
6) Makna kedaulatan mengalami pergeseran dari konsep
Westphalian 1648 yang menegaskan prinsip “privilege and
control” berkembang juga je arag tanggungjawab (responsibility)
baik internal maupun ekaternal;
7) Indonesia memiliki beban moral yang besar untuk
mengembangkan kerjasama keamanan karena:
sifat mayarakatnya yang ekstrapluralistik;
proses demokratisasi yang belum tuntas;
postur sebagai negara kepulauan (archipelagic state) terbesar
dengan kelemahan berupa multi akses yang sulit dikontrol secara
efektif;
PENDAHULUAN
Istilah kerjasama keamanan secara bergantian
digunakan sebagai terjemahan dari “security cooperation ”
atau “cooperative security”. Hal ini menjadi sangat populer
di kalangan negara-negara ASEAN dengan tekadnya pada
tahun 2003 dalam summit meeting di Bali menerima ASEAN
Concord II, menggantikan Deklarasi ASEAN Concord I (1976)
al. untuk membangun pilar “ASEAN Security Community”,
di mana terkandung tekad agar supaya segala konflik
dikelola secara kolektif (managed collectively ) . Dalam hal
ini tercakup apa yang dinamakan “ conflict prevention”,
“conflict resolution” dan “post-conflict peace building ”.
5
Dengan istilah “cooperative security” dapat
digambarkan adanya usaha penekanan perbedaan melalui
pendekatan konvensional , seperti “ collective defence and
collective security”. “Collective defence” menekankan pada
pembentukan “ military alliances ” ( defence pact) diarahkan
untuk melawan musuh yang bersifat spesifik. Dalam hal
ini pendekatan bersifat konfrontatif, yang ditujukan
untuk mencegah atau menghalangi serangan musuh dengan
cara memelihara kemampuan militer untuk melancarkan
serangan balik. Contoh : NATO (Kasus ketegangan
militer akibat penembakan pesawat tempur Turki oleh
Suriah), Pakta Warsawa di masa lalu (1955-1991), Pakta
militer antara AS-Korsel, AS-Jepang, Five Power Defence
Arrangement (FPDA) antara Inggris, Singapura, Malaysia,
dan Australia dan New Zealand dll.
Sebaliknya pengertian “cooperative security”
mendorong negara-negara untuk melakukan suatu
pendekatan kerjasama dan bertujuan membangun usaha-
usaha multilateral tanpa beranggapan adanya hubungan
antara teman-musuh. Hal ini merupakan usaha untuk
mencapai “security with others”, sedangkan “collective defence”
merupakan suatu usaha untuk memelihara prinsip
“ security against enemy ” . Selanjutnya tujuan “collective
security ” adalah mematahkan agresi melalui
pemeliharaan kekuatan militer untuk menghukum agresor.
Di dalam kerangka “collective security “ ini, asas “ one for
all, all for one ” diterapkan . Agresi terhadap salah satu
anggota dianggap sebagai suatu serangan terhadap
6
seluruhnya, sehingga semua anggota dapat menghukum
agresor.
Sebaliknya “cooperative security” pada hakikatnya
bersifat “ non-militeristic ”. Dalam kerangka kerjasama ini
semua peserta bekerjasama untuk meningkatkan
stabilitas suatu kawasan, yang sangat didambakan oleh
semua anggota. Asas yang berlaku dalam hal ini adalah
“all for all”.
Hal ini sangat menjiwai makna security community
yang memungkinkan para anggotanya untuk mengembangkan
rasa “W e-ness ” atau “W e -feeling ” dan ada suatu jaminan
bahwa mereka tidak akan berkelahi secara fisik satu
sama lain dan akan menyelesaikan segala perselisihannya
dengan cara lain , yaitu cara damai.
Bagi Indonesia konsep “ cooperative security ” sangat
tepat sehubungan politik bebas aktif yang dianut dan
berkaitan pula dengan salah satu tujuan nasional dalam
Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 yakni “ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan social”.
Kadang-kadang hal ini bersifat ironis,
mengingat di sekitar kita terdapat semacam “collective
defence” yaitu FPDA (The Five Power Defence Arrangements)
antara Australia, New Zealand, The United Kingdom,
Malaysia dan Singapura (sejak 1971), pasca
konfrontasi Indonesia vs. Malaysia ( 1963-1966),
sekalipun bentuknya sebagai forum konsultasi. Seorang
7
penulis menyebutkannya sebagai “unobtrusive alliance”
(aliansi rendah hati).
Indonesia tidak begitu mengkhawatirkan hal ini
(eksistensi FPDA) , karena perdamaian dan keamanan
internasional dilindungi oleh norma, nilai dan standard
badan-badan internasional seperti PBB dengan UN
Charternya serta berfungsinya Dewan Keamanan PBB, di
samping kesepakatan-kesepakatan baik multilateral,
bilateral maupun regional yang dibangun. Di samping itu
atas dasar Statuta Roma tahun 1998 yang dipertegas oleh
Deklarasi Kampala (2010), “the crime of agression”
dinyatakan sebagai kejahatan internasional.
Dalam hal ini Sekjen PBB Ban Ki-Moon
menyebutnya sebagai : “the historic agreement in the a new age
of accountability, replacing the old era of impunity” yang datang
dari Kampala, Uganda (14 Juni 2010), di mana
International Criminal Court Review Conference (The Assembly of
State Parties of Rome Statute of ICC), setelah 2 minggu
melakukan perdebatan telah mendefinisikan dengan baik
salah satu yurisdiksi materi yang tertera di dalam
Statuta Roma 1998 tentang apa yang dinamakan “the crime
of aggression” (di samping yang sudah baku seperti
genosida, kejahatan terhadap kemanusian dan kejahatan
perang) yang dapat diadili oleh Mahkamah Pidana
Internasional (International Criminal Court). Karena alasan
prosedural, perjuangan bertahun-tahun tersebut baru
akan mulai berlaku tahun 2017. Definisi agresi yang
disepakati adalah :
8
“the planning, preparation, initiation or execution, by a person in a
position effectively to exercise control over or to direct the political
or military action of a State, of an act of aggression which, by its
character, gravity and scale, constitutes a manifest violation of the
Charter of the United Nations”.
Dalam kerangka ini blokade pelabuhan dan pantai
dari suatu Negara oleh angkatan bersenjata Negara
lain, termasuk suatu invasi atau serangan oleh
tentara suatu Negara ke dalam wilayah Negara lain,
merupakan perbuatan agresi di bawah Statuta tersebut.
Namun demikian pilihan untuk memperkuat sistem
pertahanan nasional yang didukung oleh substasi,
struktur dan kultur yang solid serta keberadaan
alutsista yang memadai dan didukung oleh industri
strategis yang unggul merupakan pilihan yang tidak
dapat dihindarkan untuk memperkuat posisi tawar
Indonesia serta menimbulkan effek deterrent ( Penulis
Romawi Publius Flavius Vegetius Renatus menyatakan : “Civis Pacem
Para Bellum” – IF YOU WANT PEACE PREPARE FOR WAR ( barang
siapa menginginkan perdamaian harus siap untuk
berperang ).” Iqitur qui desiderat pacem praeparet bellum ”.
Ada yang berpendapat bahwa lingkungan ASEAN yang
penuh konflik memang sulit untuk menerapkan spirit
“security community” tersebut. Tetapi yang jelas hampir
tidak ada konflik bersenjata/perang terbuka antar
negara ASEAN. Dalam hal ini proses konsultasi dan
dialog melalui diplomasi selalu didorong oleh perasaan
kepentingan dan nilai bersama dengan bantuan Negara
9
ASEAN lain (contoh konflik antara Thailand dan Kamboja,
Indonesia dan Malaysia).
Di kalangan ASEAN dikenal istilah “ the ASEAN Way”
yang norma-normanya menekankan betapa pentingnya
kedaulatan dan otonomi atas dasar prinsip “ non-
interference” di dalam masalah dalam negerinya masing-
masing dan segala keputusan diperoleh melalui
konsensus. Secara luas hal ini dirumuskan dalam Chapter I
(Purposes and Principles) Asean Charter. Di lain pihak prinsip
tersebut sering mempersulit pemecahan masalah.
Asean Security Community menjadi semakin mantab dengan
adanya ASEAN Charter (2007) yang diharapkan dapat
memberikan andil keamanan bersama baik di kawasan ASEAN
maupun Asia Timur. Dalam perkembangannya baik ASEAN
maupun ASEAN + 3 (ASEAN + China, Jepang dan Korsel)
yang semula lebih menekankan pada kerjasama ekonomi
dan keuangan, beberapa tahun terakhir sangat aktif
berbicara tentang keamanan komprehensif, termasuk apa
yang dinamakan kerjasama di bidang issue-issue keamanan
non- tradisional seperti terorisme global dan keamanan
maritim, termasuk juga issue-issue sosial seperti
kemiskinan dan kesetaraan gender.
Yang menarik adalah diselenggarakannya East Asian Summit(EAS) pada tgl. 14 Desember 2005 di Kuala Lumpur yangdihadiri 16 negara yang kemudian akan mencapai 18 negara, termasuk negara-negara ASEAN, Amerika Serikat , China, India,Jepang, Korea Selatan, , Australia dan New Zealand, sertaRussia. Hal ini bersaing dengan East Asian Community (EAC) yang hanya terdiri atas ASEAN 10 + 3 yang banyak didominasi China,yang bersifat tertutup dan eksklusif, sedangkan EAS bersifat inklusif dan telah merobah arsitektur keamanan Asia. Hal ini
10
melengkapi ARF (Asean Regional Forum) yang mempromosikanperdamaian dan keamanan di Asia Pasifik melalui dialog dankerjasama. Di samping itu APEC (Asia Pacific Economi Cooperation)juga membahas tentang issue-issue keamanan non-tradisionalseperti counter terrorisme dan penyakit menular serta keamananmaritim, energi dan lingkungan dan hal-hal yang lebih luas,di mana AS juga berperanan di dalamnya. AS mempertimbangkankeduanya sebagai instrumen diplomatik terhadap sistem aliansimiliter bilateral, khususnya dengan Jepang. Belum lagikdrjasama untuk memerangi terorisme di ASEAN ; ASEAN-Australia; ASEAN-Canada; ; ASEAN-India; ASEAN-Japan; ASEAN-Republic of Korea; ASEAN -New Zealand; ASEAN-Pakistan; ASEAN-Russian Federation; dan ASEAN-US;
KEAMANAN KOMPREHENSIF
Istilah “comphrehensive security ” yang muncul di
dalam Bali Concord II (2003) , semakin popul e r seiring
pula dengan berakhirnya Perang Dingin sekitar tahun
1988, yang berseberangan dengan harapan masyarakat
dunia yang mengharapkan dengan penuh optimisme
munculnya perdamaian abadi, baik internal maupun antar
negara, berkurangnya kekerasan dan tegaknya ketertiban
dunia di bawah kendali PBB.
Namun yang terjadi pada tahun 1990-an justru
menimbulkan pertanyaan, karena yang muncul adalah
kekerasan yang dilakukan oleh “ non-state actors ” seperti
perang saudara, pelanggaran HAM berat seperti
genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan, konflik
berdasar identitas, pemanasan bumi (global warming) yang
menyebabkan perubahan iklim (climate change) yang
membahayakan umat manusia akibat ulah manusia (man
made), terorisme yang dipicu oleh frustasi akibat
11
perasaan-perasaan kasenjangan sosial ekonomi,
ketidakadilan, “xenophobia”, ketidakamanan akibat
globalisasi yang dirasakan sebagai “corporate globalism”
yang menimbulkan “global injustice” (kaji pula peristiwa
krisis ekonomi global sebagai dampak krisis dengan
center of gravity Amerika Serikat beberapa waktu yang
lalu), separasi politik, tuntutan solidaritas agama
yang sempit, yang dimanipulasi oleh kaum ekstremis,
fanatik, fundamentalis dan kelompok radikalis. (Muladi,
2006).
Dalam perkembangannya istilah “ comphrehensive
security ” pada dasarnya merupakan “ re-organized
security concept ” yang “goes beyond (but does not exclude) the
military to embrace the political, economic and sociocultural
dimensions”. (Alagappa, 1998). Oleh Council for Security
Cooperation in the Asia Pacific (CSCAP)(20 negara), “comphrehensive
security” didefinisikan sebagai “the pursuit of sustainable
security in all fields (personal, political. economic, social, cultural,
military, environmental) in both the domestic and external spheres,
essentially through cooperative means”. (CSCAP, 1995).
Secara tradisional, keamanan telah didefinisikan
dalam kerangka geo-politik, yang mencakup pelbagai aspek
seperti “ deterrence, power balancing and military strategy” yang
cenderung melekat pada “nation’s security”, hubungan antar
negara dan kekuatan militer. Hal ini selama beberapa waktu
merefleksikan “intellectual myopia” atau “intellectal straitjacket”
( Tan and Boutin, 2001).
12
Konsep keamanan komprehensif tersebut
mempromosikan apa yang dinamakan “human security ” untuk
menggantikan kerangka pemikiran yang berorientasi pada
“state-centrism”, yang sama sekali meninggalkan ruang
lingkup pengertian keamanan simetrik, untuk
merefleksikan ketidakamanan yang biasa dihadapi oleh
manusia baik individual, kelompok atau masyarakat yang
bersifat kronis dan kompleks dalam kaitannya dengan
kondisi kehidupan sehari-hari seperti persoalan makanan,
tempat berteduh, lapangan kerja, kesehatan, keamanan
umum, dan HAM, jauh dari kaitannya dengan hubungan
dengan negara lain sebagai aktor dan kekuatan militer .
Doktrin Jepang tentang “human security ” dilandasi
oleh premis bahwa keamanan nasional tidak hanya berkaitan
dengan keamanan yang bersifat militer ( military security)
untuk mempertahankan suatu bangsa dari ancaman dari luar,
tetapi juga “human security ” untuk mempertahankan bangsa
dari ancaman dari dalam, karena stabilitas nasional
tergantung pada kondisi dimana manusia individual
mempunyai dan merasakan “ food security; employment security;
social security (education, health and old age pension); energy security;
information security (acces to transport and communication). (Rana,
2008 , p.3).
Canada mensikapi pemikiran tentang keamanan
komprehensif lebih luas lagi dan mencakup “ individual
human rights as an integral part of international law and diplomacy ”.
Dengan demikian terkait di sini “rights and duties” dari
negara-negara untuk mengikuti Preamble Piagam PBB (UN
13
Charter) yang menyatakan bahwa “ We the peoples of the
UN ------------------“. Jadi bukan “ states atau governments ”
yang ditekankan untuk menjaga perdamaian dan harmoni
internasional. Gangguan terhadap kualitas kehidupan akan
menyebabkan “human insecurity” dan ujung-ujungnya akan
mengancam perdamaian dunia, sebab dalam kerangka
globalisasi yang menumbuhkan “international society ”, aktor-
aktor non-negara ( non-state actors ) memainkan peranan
penting di dalam perdamaian dan kemajuan dunia.
UN Development Programme ( Report 1994) menggambarkan bahwa
“ human security ” mencakup “ safety from chronic threats such as
hunger, disease, and repression, as well as protection from sudden and
harmful disruptions in the pattern of daily life”. Semua dalam
kerangka “freedom from want, freedom from fear and freedom to live
in dignity” bagi semua orang yang mencakup tujuh area
yaitu : keamanan ekonomi, makanan, kesehatan, lingkungan
hidup, personal, masyarakat dan keamanan politik.
Selanjutnya muncul istilah “Roque States” (Noam
Chomsky, 2000) yang menggambarkan suatu Negara yang
memerintah atas dasar kekerasan (the Rule of Force), tidak
taat dan tidak merasa terikat kepada norma-norma hukum
internasional (UN Charter, pelbagai konvensi
internasional, putusan International Court of Justice), dan
sering pula disebut sebagai “outlaw nation” atau “ criminal
state” yang membahayakan negara tetangga dan dunia
internasional. Untuk itu muncullah pelbagai
pemikiran untuk mengembangkan kerjasama keamanan regional
atau internasional seperti “ ASEAN Security Community” di
14
bawah ASEAN Charter (ART.1.8. “ To respond effectively, in accordance
with the principle of comphrehensive security, to all forms of threat,
transnational crimes, and transboundary challenges”) , kemudian
Lombok Treaty (2007) antara Indonesia dan Australia
(2007). Hal ini merupakan ‘legal basis’ pengakuan atas
integritas teritorial masing-masing, yang mengatur
kerjasama sbb. :
a. Defence cooperation;
Konsep keamanan komprehensif sangat valid di Era
pasca perang dingin 1990-an , karena di era globalisasi
saat ini tidak ada sesuatu negara yang secara sendirian
mampu mengendalikan, mengkoordinasikan kepentingan
nasionalnya melalui diplomasi tradisional, yang
mengandalkan penggunaan kekuatan untuk ditaati, karena
dalam hal ini yang terlibat politik internasional tidak
hanya negara tetapi juga aktor-aktor non-negara .
Ditambah lagi bahaya yang ditimbulkan oleh “ the failed
states” (Failed states can no longer perform basic functions such as
education, security, or governance, usually due to fractious violence or
extreme poverty. –Global Policy Forum, 2008), yang sangat
rentan, lemah, dan berada dalam konflik atau krisis yang
pemerintahan pusatnya sangat lemah atau tidak effektif,
tidak dapat mengawasi dan mengendalikan wilayahnya serta
sangat membahayakan keamanan regional dan global.
(Indonesia tahun 2011, masuk kategori “warning” (no. 63
dari 177 negara dengan kategori “alert, warning,
moderate, sustainable” melalui 13 indikator).
15
b. Law enforcement cooperation (in preventing and combating
transnational crimes, in particular related to : people smuggling
and trafficking in persons; money laundering; financing terrorism;
corruption; illegal fishing; cyber crimes, illicit trafficking in
narcotics drugs and psychotropic substances and its precursors;
illicit trafficking in arms, ammunition, explosives and other
dangerous materials and the illegal production thereof; and other
types of crime if deemed necessary by both parties);).
c. Counter-terrorism cooperation;
d. Intelligence cooperation;
e. Maritime security;
f. Aviation safety and security;
g. Proliferation of weapon of mass destruction;
h. Emergency cooperation;
i. Community understanding and people- to -people cooperation.
SAARC (1985) (South Asian Association for Regional Cooperation)
terdiri atas : India, Pakistan, Sri Lanka, Maldives, Bhutan, Pakistan,
Bangladesh, Nepal, Afganistan. Akan menusul Korea Selatan, Iran,
Myanmar, Russia.
Hal-hal yang ditekankan dalam kerjasama
keamanan adalah :
1) Penghormatan terhadap kedaulatan, kemerdekaan dan
integritas teritorial;
2) Tanggungjawab kolektif untuk memperkokoh perdamaian,
keamanan dan kesejahteraan;
3) Penolakan agresi;
4) prinsip non-interference dalam masalah internal;
5) mengembangkan konsultasi;
16
6) penolakan kekerasan;
7) pengembangan terhadap kebenaran dan rekonsiliasi;
8) penolakan blokade ekonomi dan boikot serta ancaman
penggunaan kekuatan;
9) batas nasional yang tak boleh diganggu gugat;
10)penghormatan terhadap HAM , perbedaan kultur, bahasa
dan agama serta warisan peradaban;
11)ketentuan tentang “human security” untuk semua;
12)penyelesaian perselisihan secara damai;
13)saling membantu dalam mengatasi bencana alam;
14)perhatian atas keluhan atas rasa takut atau
khawatir;
15)terbuka, komprehensif dan berorientsi ke depan;
16)menghargai Piagam PBB, hukum internasional; prinsip
good governance, demokrasi dan konstitusi;
17)menghargai pluralisme budaya, sosial dan agama dan
keanekaragaman;
18)perlakuan khusus terhadap negara-negara yang belum
berkembang;
19)pengembangan “people to people contact”;
Di samping itu kerjasama pertahanan dan atau
keamanan juga dilakukan dengan pelbagai negara seperti
dengan India, Korea Selatan, China, Amerika Serikat dll.
al. untuk memajukan industry strategis dan latihan
bersama serta pendidikan.
Dengan Korea Selatan kerjasama sangat maju dalam
bentuk “ Joint Defence Logistics and Industrial Committee” yang
telah membangun kapal “landing plattform dock” bersama PT
17
PAL, overhaul kapal selam, pembuatan panser kanon dan
rencana membangun Korean Fighter (KF-X).
Istilah keamanan komprehensif ini dalam
perkembangannya dikaitkan dengan “non-traditional security”
(NTS) atau “ non-military security threat ” atau “ non-conventional
security threat ” atau “ asymetric security threat ”. Digunakannya
istilah “security” dalam hal ini dimaksudkan agar
masalahnya memperoleh perhatian sungguh-sungguh dari
negara-negara di dunia, karena potensi viktimisasi yang
ditimbulkannya terhadap umat manusia sangat besar.
Kita tidak dapat menutup mata bahwa pada 50 tahun
terakhir dalam kerangka proses globalisasi, pertumbuhan
dinamis masyarakat dunia luar biasa, yang diwarnai oleh
pelbagai inovasi di segala bidang. Namun demikian kita
juga tidak buta terhadap kenyataan, bahwa terutama sejak
krisis ekonomi di Asia orang juga disadarkan oleh
keterbukaan dan interdependensi serta sifat transnasional
dari hal-hal yang bersifat mencederai tidak hanya negara,
tetapi juga “human security”. Contoh terakhir adalah krisis
ekonomi global yang melanda dunia, akibat perilaku
korporasi multi nasional di Amerika Serikat yang
berperilaku jauh dari etika bisnis.
Kejadian terakhir di Indonesia yang menjurus
terrorisme yang diarahkan untuk mencederai simbol-simbol
Negara oleh kelompok radikalis dapat dikatakan merupakan
sinergi ( hybrid ) antra ancaman yang simetrik dan
asimetrik.
18
Kita sadar bahwa masalah keamanan selalu
didominasi oleh ke prihatinan tradisional seperti
kedaulatan, kemerdekaan politik dan militer serta
pertahanan sampai dengan keamanan regional.
Meskipun demikian kenyataan yang terjadi adalah
munculnya tantangan-tantangan baru seperti ancaman
terhadap kesehatan (penyakit infeksi menular seperti
SARS, flu burung dll), pengangguran, kemiskinan, krisis
ekonomi, bencana alam (tsunami) , degradasi lingkungan
hidup, migrasi manusia yang tidak tertib, kompetisi untuk
memperoleh sumberdaya alam, kejahatan transnasional
terorganisasi, perdagangan illegal narkoba, terorisme
dan saling ketergantungan ekonomi, yang sangat berbahaya
baik bagi negara maupun umat manusia.
Hal ini sama sekali telah merobah pandangan
manusia, bahwa ancaman bahaya keamanan tidak hanya
bersumber pada hal-hal yang bersentuhan dengan
terminologi geopolitik, yang meliputi “ deterrence, power
balancing and military strategy” sehubungan dengan pertahanan
dari serangan militer dari luar saja, yang sebelumnya
merupakan fokus eksklusif dari kebijakan keamanan. Dengan
demikian pengertian keamanan dalam arti sempit (narrow
definition of security) mulai dipertanyakan dan seharusnya juga
mencakup ancaman keamanan yang non- militer.
Human security konsep menyadarkan kita bahwa apa
yang dinamakan “people centered view of security ” sangat penting
untuk diperhatikan dalam rangka terciptanya stabilitas
baik secara nasional, regional maupun global. Suatu
19
konsorsium yaitu Consortium on Non-Traditional Security Studies
in Asia mendefinisikan NTS sebagai “challenges to the survival
and well-being of peoples and states that arise primarily out of non
military sources, such as climate change, resource scarcity, infectous
deseases (SARS, pandemi avian flu), natural disasters, irregular
migration, famine, people smuggling, drug trafficking and transnational
crime”. Krisis finansial 1997-1998, bencana asap,
terorisme, TOC, bancana alam (tsunami) termasuk di dalam
ruang lingkup NTS.
Bahaya keamanan non-tradisional pada dasarnya
cenderung bersifat transnasional, yang penanggulangannya
harus didasarkan atas kerjasama antar negara dan bahaya
ini mencakup 3 (tiga) kategori :
Bahaya alam (nature threat ) seperti bahaya penyakit
infeksi menular misalnya virus HIV/AIDS, SARS, H5NI,
bencana alam, “climate change/global warming” karena ulah umat
manusia yang meningkatkan emisi gas rumah kaca secara
tidak terkendali, dalam proses industrialisasi
(karbondioksida) dan deforestisasi;
Bahaya terhadap ekonomi dan pembangunan (economic
and development threat) seperti dampak negatif globalisasi
(the worldwide phenomenon of technological, economic, political, and
cultural exchanges, brought about by modern communication,
transportation and legal infrastructure as well as the political choise to
consciously open cross border links in international trade and finance)
yang cenderung menguntungkan negara-negara maju dengan
mengesampingkan solidaritas sosial, demokrasi,
egalitarianisme, HAM ; urbanisasi; peledakan penduduk;
20
kemiskinan; penganggguran; krisis ekonomi; krisis
energi; dan
Bahaya sosial dan politik (social and political threat)
yang mencakup konflik etnik, agama dan budaya, terorisme,
kultur militerisme, kejahatan terorganisasi, bahaya
narkoba, ketidaksetaraan gender, perompakan di laut,
“illegal fishing, illegal logging dan illgal mining”, penyelundupan;
ekstrimisme, migran gelap, perdagangan manusia (termasuk
perdagangan organ tubuh), gerakan separatis, radikalisme
dan sebagainya. (Feng, 2007).
Khusus tentang “global warming and climate change”,
masalahnya sangat aktual, sebab pelbagai bencana alam
yang ditimbulkannya seperti meningkatnya gelombang panas,
peningkatan curah hujan yang menimbulkan banjir,
peningkatan badai tropis, cuaca buruk, pengurangan salju
dan gletzer, munculnya penyakit-penyakit endemi, kenaikan
air laut, peningkatan suhu di permukaan bumi dan
sebagainya, di samping faktor alam juga karena ulah
manusia yang tidak terkendali di bidang industri,
kendaraan bermotor, deforestasi, , pertanian, manufaktur,
dll, yang mengakibatkan meningkatnya konsentrasi gas
rumah kaca (GRK) di atmosfir (CO, CH4, N2 dll). Dengan
demikian sangat dibutuhkan kerjasama antar negara baik
antar negara maju (emission trading, joint implementation)
maupun antara nergara maju dengan negara berkembang
(clean development mechanism) untuk melakukan langkah-langkah
mitigasi (memperlambat) maupun adaptasi (menyesuaikan
21
diri) terhadap perobahan iklim (climate change) tersebut
(Muladi, 2008).
Dalam beberapa hal bahaya terhadap keamanan non-
tradisional menimbulkan kondisai “overlap” di mana “soft
security” berinteraksi dan bersinergi dengan “hard security”
yang menimbulkan dilemma terhadap keterlibatan militer
dalam suasana demokrasi, mengingat hal ini cenderung
bisa mencederai kedaulatan negara dan bahaya terhadap
masyarakat sekaligus. Contohnya adalah terorisme,
perompakan di laut dan ekastremisme serta keberadaan
kelompok bersenjata transnasional. Terkait di sini apa
yang dinamakan dalam kehidupan militer sebagai “ military
operation other than war”.(vide UU No. 34 Tahun 2004 Pasal 7 ayat 2
butir b). (mengatasi separatis bersenjata; mengatasi pemberontakan
bersenjata; mengatasi aksi terorisme; mengamankan wilayah
perbatasan; mengamankan obyek vital nasional yang bersifat strategis;
melaksanakan tugas perdamaian dunia sesuai dengan kebijakan politik
luar negeri; pengamanan Presiden dan Wapres beserta keluarganya;
memberdayakan wilayah pertahanan dan kekuatan pendukungnya
secara dini dengan sitem pertahanan semesta; membantu tugas
pemerintahan di daerah; membantu kepolisian negara RI dalam rangka
keamanan dan ketertiban masyarakat yang diatur dalam UU;
membantu pengamanan tamu negara setingkat kepala negara dan
perwakilan pemerintah asing yang sedang berada di Indonesia,
membantu menanggulangi akibat bencana alam, pengungsian dan
pemberian bantuan kemanusian; membantu pencarian dan
pertolongan dalam kecelakaan (S and R) dan membantu pemerintah
dalam pengamanan pelayaran dan penerbangan terhadap pembajakan,
22
perampokan dan penyelundupan). Pelaksanaan OMSP tergantung pada
kebijakan dan keputusan politik Negara (Pasal 7 yat 3);
Atas dasar Pasal 15 UU No. 3 tahun 2002 tentang
Pertahanan Negara, diisyaratkan pembentukan semacam
Dewan Keamanan (istilahnya “ Pertahanan”) Nasional atau
di AS The National Security Council yang berfungsi memberi
nasehat kepada Presiden dengan memperhatikann integrasi
berbagai kebijakan dalam negeri, luar negeri, militer dan
departemen/badan lainnya, untuk bekerjasama secara
efektif dalam berbagai masalah menyangkut keamanan
nasional.
Hal ini diharapkan dapat menjembatani dikotomi
antara tugas TNI dan POLRI menurut Pasal 30 UUD NRI Tahun
1945, yang memisahkan tugas TNI ( sebagai alat Negara
bertugas mempertahankan, melindungi, dan memelihara
keutuhan dan kedaulatan Negara) dan tugas POLRI (sebagai
alat Negara yang menjaga keamanan dan ketertiban
masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani
masyarakat, serta menegakkan hukum). Hal ini dapat
dikatakan sebagi kerjasama keamanan di tingkat nasional.
Kofi A. Annan pada laporannya semasa menjabat
Sekretaris Jenderal PBB mengidentifikasi adanya 6
kelompok ancaman atau bahaya bersama ( six clusters of threats )
yang dihadapi oleh bangsa-bangsa di dunia yaitu ancaman
sosial ekonomi berupa kemiskinan, penyakit menular dan
degradasi lingkungan; konflik antar negara, konflik
internal negara termasuk perang saudara, genosida dan
kekejaman berskala besar lainnya; senjata nuklir,
23
radiologi, kimia dan biologi; terorisme dan kejahatan
lintas negara terorganisasi (TOC). (Annan, 2005).
Dari sini nampak bahwa bahaya bersama terhadap
keamanan manusia di masa depan akan bersifat dua
dimensi, yaitu bahaya keamanan yang tradisional (konflik
antar negara) yang masih ada seperti konflik China-
Taiwan, Korea Utara-Korea Selatan, India-Pakistan dll.
dan bahaya keamanan non -tradisional di atas.
Sehubungan dengan ini “South African White Paper on
Defence” mendefinisikan keamanan ( security ) sebagai :
“an all-encompassing condition in which individual citizens live in
freedom, peace and safety; participate fully in the process of
governance; enjoy the protection of fundamental rights; have access
to resources and the basic neccecities of life; and inhabit an
environmental which is not detrimental to their health and well-
being”
(Len le Roux, 1999).
Selanjutnya dikatakan bahwa di tingkat nasional
tujuan kebijakan keamanan (security policy) mencakup
konsolidasi demokrasi, pencapaian keadilan sosial,
pembangunan ekonomi, dan suatu lingkungan hidup yang
aman; pengurangan signifikan tingkat kejahatan,
kekerasan, instabilitas politik. Stabilitas dan
pembangunan saling memperkuat satu sama lain (mutually
reinforcing) dan berkaitan satu sama lain (inextricbly
linked). Di tingkat internasional tujuan kebijakan
keamanan mencakup usaha untuk mempertahankan
24
kedaulatan, integritas teritorial dan kemerdekaan
politik, dan promosi keamanan regional.
Presiden AS Harry S. Truman menegaskan bahwa
“NATIONAL SECURITY DOES NOT CONSIST ONLY OF AN ARMY, A NAVY, AND
AIR FORCE ….IT DEPENDS ON A SOUND ECONOMY ….ON CIVIL LIBERIES
AND HUMAN FREEDOM .” Dengan demikian keamanan selalu
dipengaruhi oleh lima hal utama : militer, politik,
ekonomi , social dan lingkungan. Militer, ekonomi,
teknologi maju, politik stabil dan kehidupan social
budaya kohesif.
Untuk itu dapat difahami bahwa di dalam
kerjasama keamanan (security cooperation) antara Indonesia
dan Australia ( Lombok Treaty, 2008) yang disetujui oleh
kedua negara, mencakup tidak hanya “ defence cooperation”
yang bersentuhan dengan angkatan bersenjata (armed
forces) kedua negara , tetapi juga mencakup “ law
enforcement cooperation ” dalam rangka penanggulangan
kejahatan transnasional (people smuggling and trafficking in
persons, money laundering, financing of terrorism, corruption, illegal
fishing, cyber crimes, illicit trafficking in narcotics drugs and
psychotropic substances and its precusors, illicit trafficking in arms,
ammunition, explosives and other dangerous materials and the
illegal production thereof; and other types of crime if deemed
necessary by both Parties) dan “counter-terrorism cooperation”
dan lain-lain. Dalam hal ini keamanan harus ditafsirkan
sebagai “ comphrehensive security ” , yang mencakup pula
“ non military security ” .
25
Sebagai referensi dapat dikemukakan pula
kebijakan keamanan komprehensif Canada yang mencakup
elemen militer dan non-militer (national soft power) yang
dirumuskan sebagai “The Five D’s of Security”yang mencakup :
Development – Measures to create the kind of economic, social,
and environmental conditions that are conducive to sustainable
peace and stability;
Democracy – Measures to promote good governance that
emphasize political inclusiveness and participatrion, as well as
respect for human rights;
Disarmament – Measures to prevent excessive and destabilizing
accumulations of arms and to prohibit weapons of mass
destruction;
Diplomacy – Engagement in multilateral efforts toward the
prevention of armed conflict, the peaceful management of
political conflict, the development of a rules-based international
order, and the promotion of development, democracy and
disarmament;
Defence – The capacity to resort to the use of force in
extraordinary circumstancew in support of the full range of peace
and security efforts; (Regehr, 2005)
PENDEKATAN DIKOTOMIS
a. Referent : Keamanan Tradisional (KT) melindungi
batas-batas negara, rakyat, lembaga dan nilai-nilai
yang berkaitan dengan negara; Keamanan Non-
26
Tradisional (KNT) melindungi kesejahteraan umat
manusia ;
b. Ruang Lingkup ( Scope) : KT berusaha mempertahankan
integritas dan wilayah negara dari serangan agresi
eksternal (deter or defeat); KNT juga berusaha
memperluas ruang lingkup untuk melindungi dari
ancaman yang lebih luas jangkauannya termasuk
lingkungan, polusi, penyakit menular dan deprevasi
atau kerugian ekonomi;
c. Aktor : KT menampakkan adanya peran negara dan
pemerintah sebagai aktor tunggal dalam pengambilan
keputusan untuk menjamin daya survival; KNT
melibatkan tidak hanya pemerintah dan negara, tetapi
tetapi juga partisipasi dari aktor lain yaitu
organisasi regional, internasional dan NGO termasuk
komunitas lokal;
d. Sarana (means) : KT menyandarkan diri kepada
pembangunan kekuatan nasional atau militer yang
berakibat perlombaan senjata dan aliansi militer;
KNT tidak hanya melindungi, tetapi juga
memberdayakan masyarakat sebagai sarana keamanan.
Snow, dalam bukunya “National Security for a New
Era “ (2007), menggambarkan dikotomi antara “symetrical
and asymetrical warfare” sebagai berikut :
1) Di dalam perang simetrik (komotasi Amerika dan Eropa
modern) , perang dilakukan secara tradisional,
mendayagunakan kekuatan militer konvensional, kedua
pihak terorganisasi dengan baik (pakaian uniform
27
dengan pangkat yang jelas, terdiri atas AD, AL dan
AU), memiliki kepentingan politik yang
berseberangan, mewakili negara/ pemerintah yang
berdaulat, dan menerima hukum atau konvensi
ingternasional tentang apa yang boleh atau tidak
boleh dilakukan dalam perang (mi. Konvensi Jenewa
1948) sebagai kehormatan. Contoh dua Perag Dunia.
Bentuk ini juga bisa dilakukan baik secara
unilateral maupun multilateral;
2) Perang asimetrik (konotasi model Asiatic dan Timur
Tengah) yang berlawanan dengan perang simetrik,
pelaku mewakili kelompok kepentingan yang menentang
negara yang menjalankan perang simetrik, pelaku
tidak mewakili negara berdaulat , tidak tunduk pada
standar tradisional (mis. Pejuang gerilya) dan
sama sekali menolak berlakunya hukum atau konvensi
perang yang dianut oleh mereka yang melakukan
perang secara konvensional; Mereka tidak berusaha
mengendalikan pemerintahan sebagai tujuan utama,
juga tidak mewakili pemerintahan dan tidak tunduk
pada konvensi atau hukum perang yang dianut lawan;
3) Perang asimetrik dilakukan karena mereka sadar tidak
akan mampu berkompetisi dengan lawan yang kuat
dengan cara -cara simetrik (Goulding : “ approach by
which weaker oppnonents have sought to neutralized
their enemy’s technological or numerical
superiority by fighting in ways or on
battlefields that nulify it“. Dengan demikian
28
apabila di satu kesempatn tidak akan menang, di
kesempatan lain dapat diharapkan kemungkinan
menang;
4) Yang menarik adalah negara-negara yang semula taat
melakukan perang simetrik mulai tertarik juga
menggunakan cara-cara asimetrik. Contoh Amerika
menerapkan : “pre-emptive strike”, membuka
“Guantanamo detention center” dan mendayagunakan
“drone” dengan alasan yang dibadapi adalah “illegal
combatant”;
GLOBAL TRENDS
Suatu dialog tentang masa depan yang
dilakukan oleh National Intelligence Council (NIC) ,
suatu lembaga studi strategis di lingkungan US Intelligence
Community menggambarkan beberapa kecenderungan menonjol, yang
pada dasarnya mengandung “drivers” bagi munculnya bahaya non-
tradisional yang antara lain adalah sebagai berikut :
Peledakan penduduk terutama di negara-negara
berkembang akibat meningkatnya harapan hidup karena
kemajuan teknologi kesehatan dan menurunnya angka
kematian bayi serta tidak effektifnya keluarga
berencana akan meningkatkan arus urbanisasi serta
mengalirnya imigran gelap lintas negara ke negara-
negara maju, yang memicu instabilitas dan ketegangan
sosial dan politik;
29
Permintaan terhadap kebutuhan air dan energi semakin
meningkat, khususnya di negara-negara industri, yang
cenderung menimbulkan ketegangan politik
internasional;
Perkembangan IPTEK yang maju pesat di bidang-bidang
IT, bioteknologi, dan nanoteknologi, yang dapat
memicu pula terjadinya perkembangan pesat terhadap
senjata-senjata pemusnah masal (WMD), termasuk
kemungkinan pemanfaatannya oleh para teroris dan
penjahat transnasional terorganisasi (weapon
proliferators, narcotictrafickers) serta negara-negara yang
tidak stabil (fail state, rogue states) yang dapat
membahayakan keamanan dunia; Dalam hal ini ada
istilah “cyber-warfare” dalam bentuk perang informasi
yang bersifat ofensif dengan target sistem komputer
yang potensial sangat berbahaya, mulai terhadap
system telekomunikasi, keamanan dan perbankan atau
sering disebut “digital Pearl Harbor”;
Issue pencemaran lingkungan dan degradasi lingkungan
akan tetap menjadi fokus negara-negara di dunia
untuk mengatasinya melalui mitigasi dan adaptasi,
disertai usaha untuk mengembangkan alternative –energy ;
Perkembangan ekonomi global terjadi dan dipicu oleh
arus cepat dan tidak terbatas atas informasi, ide,
nilai-nilai kultural, modal, barang dan jasa, serta
manusia. Hal ini di samping menguntungkan negara-
negara maju, juga akan menimbulkan permasalahan
besar di lingkungan regional, negara-negara,
30
kelompok yang merasa ketinggalan (tidak mampu, tidak
effektif) , dengan akibat stagnasi ekonomi,
instabilitas politik, dan keterasingan budaya. Hal
ini akan menggerakkan ekstrimisme politik, etnik,
ideologi dan agama, yang tidak jarang disertai
dengan kekerasan yang menimbulkan konflik baik di
dalam negeri maupun di luar negeri;
Di dalam “national dan international governance ” peranan
negara akan tetap dominan, tetapi sulit mengawasi
dan mengendalikan arus informasi, teknologi,
penyakit menular, migran, senjata, dan transaksi
finansial, baik yang sah maupun tidak sah serta
lintas batas negara. Dalam hal ini peranan “non-state
actors” sangat besar, baik berupa “for-profit sector”
seperti MNC; “non-profit sector or organizations ” di
bidang-bidang kesehatan, pendidikan dan pelayanan
sosial serta proyek kemanusiaan lainnya, melalui
pelayanan informasi, dan keahlian, advokasi
kebijakan serta bergerak melalui organisasi
internasional; maupun dalam bentuk “traditional
communal groups”, baik bersifat keagamaan maupun
ethnik yang bergerak di bidang HAM, lingkungan
hidup, sosial dan sebagainya.
Negara-negara adikuasa, khususnya AS akan menghadapi
3 (tiga) jenis ancaman :
(1) “asymmetric threats” di mana negara-negara dan
aktor-aktor non-negara yang bermusuhan akan
menghindari konflik langsung secara militer,
31
tetapi mengembangkan strategi, taktik, dan
persenjataan modern, untuk memperkecil kekuatan AS
dan mengeksploitasi kelemahannya;(the fourth
generation of war);
(2) Penggunaan senjata-senjata pemusnah masal (WMD)
termasuk senjata nuklir (peluru kendali) oleh
Russia, China, Korut, Iran, yang dapat menyerang
AS dan secara potensial terjadi penyebarluasan
secara inkonvensional WMD (nuklir, biologi, kimia)
baik oleh negara-negara atau aktor non-negara;
(3) Ancaman militer regional dimana beberapa negara
memelihara kekuatan militer besar dengan
menggabungkan konsep-konsep dan teknologi Perang
Dingin dan Pasca Perang Dingin;
AS akan tetap merupakan pemegang hegemoni kekuatan
utama dalam masyarakat dunia baik di bidang ekonomi,
teknologi, militer dan diplomasi, sehingga akan
mendapat manfaat besar dari proses globalisasi yang
sangat intensif. (NIC, 2000)
PERGESERAN HAKIKAT LINGKUNGAN KEAMANAN ABAD 21
Selama kurang lebih 15 tahun terakhir
masyarakat di dunia menjadi saksi terjadinya 3 hal
yang berkaitan satu sama lain, yaitu : berakhirnya
Perang Dingin; keruntuhan Marxisme-Leninisme sebagai
suatu ideologi revolusioner di dunia; dan bangkitnya
suatu lingkungan keamanan dunia yang baru. Lingkungan
32
strategis telah mengalami suatu transformasi dari apa
yang oleh John Lewis Gaddis dikatakan sebagai the “Long
Peace’of the 20 century Cold War” ke arah suatu situasi yang
oleh US Pentagon digambarkan sebagai a “Long War’
against the diffuse of an Islamist insurgency”.(Evans, 2007)
Selama Perang Dingin (Long Peace) abad 20 terjadi
banyak perang regional mulai dari perang Korea terus
ke Vienam dan selanjutnya Afganistan, tetapi
stabilitas struktural tidak pernah goyah sebab tidak
terjadi perang utama antara dua kekuatan besar.
Digambarkan bahwa persiapan perang memang terjadi
antara Pakta Pertahanan NATO dan Pakta Warsawa, yang
digambarkan sebagai suatu “symphony orchestra ” yang
megah dengan tahapan (lembaran musik) yang bisa
diperkirakan dan dimengerti dengan baik oleh masing-
masing musisi. Saat ini dalam suasana “Long War ” A bad
21 persiapan konflik bersenjata menyerupai musik jazz
( jazz playing) , dengan segala improvisasinya dan akan
sulit diramalkan bentuk musik yang akan terdengar.
Kejadian 11 September 2001 merupakan gejala
mengerikan tentang terjadinya perobahan mendalam di
dunia . Teknologi telah menyebarkan kekuatan jauh dari
pemerintah dan memperkuat individu dan kelompok untuk
berperanan dalam politik dunia termasuk menimbulkan
kerusakan secara besar-besaran untuk melawan
pemerintah. Privatisasi telah meningkat dan terorisme
merupakan privatisasi perang (terrorism is the privatization
33
of war). Kejadian 11 September berasal dari globalisasi
dari kekerasan informal sebagai kategori baru dari
“asymmetric warfare” yang diprakarsai oleh “non-state actors”.
Di dalam perkembangan “the Long War” terjadi apa
yang oleh Blok Barat disebut sebagai bentuk baru dari
penyebaran senjata pemusnah masal, dan penyebaran rasa
takut terorisme (novel setting of diffusion and diversification of
weapons of mass destruction, percolating global turbulence, and
widespread fear of terrorism). Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa karakter atau hakekat perang telah
berobah.
Namun harus dicatat bahwa berkembangnya bahaya
asimetrik yang bersifat dan berdimensi “new multi-centric
environment” tidak dengan sendirinya akan menghapuskan
bahaya tradisional yang bersifat simetrik ( state-centric
world order). Yang terjadi adalah “the two worlds of world
politics ”, dimana interaksi dunia yang berkarakter
simetrik atau “state centric ” dan dunia asimetrik berupa
“multicentric world ” semakin meningkat dan menciptakan
bentuk konflik bersenjata yang berubah-ubah dan sulit
diprediksi sebelumnya.
Apa yang menjadikan lingkungan strategis abad 21
begitu bergolak bukanlah faktor perobahan itu
sendiri, tetapi karena kompresi atau tekanan dan
saling keterkaitan dari perobahan yang cepat antara
dunia “the state- centric” dan “multi-centric” akibat
penggunaan jaringan elektronik.
34
Dalam hal ini dua cabang sistem keamanan global
yang telah berkembang mengandung 3 (tiga)
kecenderungan: (a) pergeseran pemikiran yang
berorientasi pada teritorialitas kearah keterhubungan
(connectedness) dan pengurangan frekuensi perang antar
negara; (b) kekaburan perbedaan antara negara dan
masyarakat serta kebijakan luar negeri dan domestik
sehingga menciptakaan suatu kebutuhan nasional
tentang kebijakan keamanan; dan (c) penggabungan dari
bentuk –bentuk konflik bersenjata yang konvensional dan
tidak konvensional. Dalam hal ini dikatakan bahwa “the
most powerful weapon in the world, the ability to manage every
aspect of a conflict from one operation centre”.
Jenkins menggambarkan perbedaan antara musuh
dunia Barat di Era Perang Dingin dan yang berkembang di
abad 21 sebagai berikut :
“The enemies of yesterday were static, predictable, homogenous,
rigid, hierarchical, and resistant to change. The enemies of today are
dynamic, unpredictable, diverse, fluid, networked, and constantly
evolving” (Evans, 2007).
Logika dari timbulnya perang asimetrik pada
dasarnya berkaitan dengan ketidakseimbangan kekuatan
dan teknologi perang antara kekuatan atau negara yang
beselisih (mis. Palestina menghadapi Israel; Al Qaeda
melawan AS), sehingga menerapkan taktik yang tidak
konvensional. Yang lemah mengklaim punya hak untuk
menggunakan taktik tidak konvensional, yang terdiri
atas serangan terhadap penduduk sipil, karena
35
merupakan jalan satu-satunya untuk mengimbangi
kekuatan musuh. ereka mengklaim dirinya sebagai pihak
yang tidak beruntung menghadapi perang yang tidak
imbang.
Dengan demikian nampak adanya dua dimensi bahaya
terhadap baik negara maupun manusia di masa depan pasca
Perang Dingin. Di samping tetap adanya ketegangan antar
negara seperti antara India dan Pakistan yang sama-sama
memiliki senjata nuklir, munculnya kekuatan baru
seperti China, kecurigaan AS dan Barat terhadap negara-
negara yang dianggap sebagai “roque States” (Korea
Utara, Iran), intervensi antar negara dalam masalah-
masalah konflik antar nagara (di Afrika), muncul
“ new threat patterns ” seperti : kejahatan transnasional
terorganisasi, perdagangan senjata-senjata ringan
(small arms) , perompakan di laut bebas, terrorisme yang
melengkapi dirinya dengan senjata-senjata pemusnah
massal, “information warfare ” , ancaman terhadap kedutaan-
kedutaan besar, kapal, pesawat udara dan asset-asset
lepas pantai, migrasi illegal, dan degradasi
lingkungan.
GENERASI KE-4 DAN KE-5 PERANG
Terkait dengan apa yang telah dikemukakan di
atas, perlu dikaji apa yang dinamakan Generasi Keempat
Perang (Fourth Generation of War - 4GW) sebagai berikut:
36
Generasi I : perang modern terjadi antara 1648-
1860. Perang ini merupakan perang dalam barisan dan
lajur, di mana perang dilakukan secara formal dan
medan perang yang tertib dan rapi serta linier. Hal
ini dikaitkan dengan kultur militer yang penuh
keteraturan. Hal-hal yang membedakan antara orang
sipil dan militer seperti pakaian seragam, pemberian
hormat, dan pangkat, pada dasarnya merupakan
produk Generasi I ini dan dimaksudkan untuk
menegakkan budaya ketertiban. Generasi I ini
didominasi oleh “massed manpower” seperti yang
terjadi dalam perang Napoleon;
Generasi II : perang dikembangkan oleh Tentara
Perancis, selama Perang Dunia I, dengan mengedepankan
daya tembak atau “mass firepower” yang sebagian besar
memanfaatkan tembakan meriam tidak langsung. Doktrin
yang dikembangkan adalah “ The artillery conquers, the cavalry
as the attacker and the infantry occupies”. Daya tembak yang
terkendali secara terpusat dan hati-hati
disinkronisasikan dengan menggunakan rencana yang
khusus dan terperinci dan teratur bagi infantri, tank
dan artilery di mana komander sangat memegang peranan;
Generasi III : perang yang sebenarnya juga
merupakan produk PD I dikembangkan oleh Tentara
Jerman dalam PD II yang dikenal secara luas sebagai
“Blitzkrieg” atau perang dengan maneuver, didasarkan
atas daya tembak dan menghabiskan tenaga lawan
(attrition), tetapi mengutamakan kecepatan, daya
37
dadak, dan kekuatan mental serta fisik. Sebagai
pengganti doktrin “close with and destroy” motto yang
lain yang dikembangkan adalah “bypass and collapse”.
Generasi ketiga ini bersifat “non-linier”. Ketertiban
menentukan hasil yang akan dicapai, tetapi tidak
menentukan cara. Inisiatif lebih penting daripada
ketaatan.
Generasi IV : desentralisasi dan inisiatif yang
berasal dari generasi ketiga diambil alih oleh
Generasi IV perang. Yang sangat menonjol dalam
Generasi IV ini adalah perobahan radikal terhadap
norma yang dihasilkan oleh perjanjian Westphalia
1648 bahwa negara adalah yang memonopoli perang,
karena di seluruh dunia militer negara dalam
generasi ini bertempur dengan “non-state opponents”,
seperti al Qaeda dan organisasi-organisasi teroris
lain. Dalam generasi ini sebenarnya yang terjadi
adalah berulangnya budaya perang di masa lalu di
mana yang terlibat konflik bukanlah negara, tetapi
keluarga, suku, penganut agama, kota, dunia usaha
yang menggunakan segala cara. Generasi keempat ini
mengembangkan apa yang dinamakan “insurgency”,
bersifat asimetrik yang mendayagunakan segala
jaringan yang tersedia -politik, ekonomi, sosial,
militer- untuk meyakinkan pengambil keputusan musuh
bahwa tujuan strategis mereka tidak dapat dicapai
atau sangat mahal. (Lind, 2007).
38
Karakter lain adalah bersifat transnasional, tidak
mengenal “ battlefield ” yang pasti, tidak membedakan sipil
dan militer, tidak mengenal masa perang dan damai,
tidak mengenal “ front-line”, dan bergerak melalui
kelompok-kelompok kecil. Contohnya adalah terorisme.
“As the world moves further away from the 20th century
concept of the Cold War, it becomes increasingly clear that the very
nature of warfare itself has changed. The Old Style conflicts were
about overpowering the enemy and winning ground. The new wars
are about ideas, belief systems and ideologies. The battle is no longer
about winning territory, it is about winning minds”.
Generasi V : “Fifth Generation of Warfare” yang disebut
sebagai “Information Operations/Warfare” melalui mass
media, internet (cyber warrior) yang dapat menimbulkan
kerusakan luar biasa di segala bidang (ekonomi,
pertahanan, transportasi, politik dll). (Patriot
Post, 2007)
Dalam menghadapi Generasi IV dan Generasi V
perang ini, khususnya yang dikendalikan oleh “non-state
actor” dan “rogue state” (states considered threatening to the world’s
peace, such as being ruled by authoritarian regimes that severely
restrict human rights, sponsor terrorism, and seek to proliferate
weapons of mass destruction) Amerika Serikat menerapkan
“anticipatory strike/self defence”. Bahkan saat ini bersama
sekutu-sekutunya AS menerapkan “Proliferation Security
Initiatives”(PSI) yang memungkinkan negara-negara pendukung
PSI memegat kapal-kapal asing dan kapal-kapal lainnya
yang berlayar di laut bebas dan di perairan nasional jika
39
dicurigai membawa senjata pemusnah massal (WMD) dan atau
bahan-bahannya untuk mencegah penyebarannya, khususnya
dari atau ke negara-negara yang dicurigai mengembangkan
senjata nuklir atau WMD lainnya.
DOKTRIN KETAHANAN NASIONAL DAN KEKUATAN NASIONAL.
Doktrin Ketahanan Nasional (National Resilience)
mulai disadari bangsa Indonesia setelah secara relatif
dapat melewati krisis keamanan tradisional pasca
kemerdekaan yang banyak menyentuh masalah-masalah
pertahanan (defence) sebagai faktor dominan, sehingga
Bung Karno memunculkan keberadaan Lembaga Pertahanan
Nasional pada tahun 1965. Kemudian Doktrin Ketahanan
Nasional di Era Presiden Suharto bersifat khas (unique
and different), - yang melihat kehidupan nasional sebagai
sistem sosial dan sistem alamiah yang utuh - khususnya
apabila disandingkan dengan Doktrin Kekuatan Nasional
(National Power) yang diadopsi oleh negara-negara adi
kuasa.
Doktrin Ketahanan Nasional erat sekali kaitannya
dengan Tujuan Nasional yang terpateri dalam Pembukaan
UUD 1945, yaitu “melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia; untuk memajukan
kesejahteraan umum , mencerdaskan kehidupan bangsa, dan
ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial “.
Doktrin Ketahanan Nasional, sekalipun tidak pernah
40
menafikan elemen “outward looking” sebagai lingkungan
strategis yang harus diperhitungkan, namun cenderung
bersifat defensif dan mementingkan pendekatan “inward
looking”. Tannas mengandung kemampuan untuk segera bangkit
dari krisis (engineering resilience), kemampuan untuk
menyesuaikan diri dengan perkembangan positif (ecological
resilience) dan kemampuan untuk memprediksi apa yang akan
terjadi di depan (anticipatory resilience).
Sebaliknya Doktrin Kekuatan Nasional (National
Power), cenderung bersifat ofensif dan militeristik. Dalam
hal ini fokus terhadap “power” diarahkan sebagai sarana
(means), kekuatan (strength) dan kemampuan (capacity) yang
menyediakan “the ability to influence the behavior of other actors in
accordance with ones own objectives”. Hal ini diadopsi dalam
arena internasional, baik sebagai tujuan sesaat, maupun
sebagai sarana untuk mencapai tujuan akhir. Doktrin ini
cenderung offensive, milteristik, berwawasan ke luar dan
bersifat kontekstual, serta hanya dapat dievaluasi
dalam kerangka seluruh determinan dalam kaitannya dengan
pelaku-pelaku lain dan situasi dimana kekuatan harus
diterapkan (Jablonsky, 2006).
Namun demikian tidak berarti bahwa antara keduanya
tidak terdapat persamaan ( similarities) . Dalam hal ini
persamaan antara keduanya yang bisa diidentifikasi adalah
adanya kesadaran adanya hubungan multidimensional antar
elemen atau determinan, baik natural maupun sosial;
adanya kaitan determinan satu sama lain dan bersifat
dinamis, karena sifat determinan tersebut tidak bersifat
41
kemampuan abstrak, tetapi hanya dapat dinilai dalam
hubungan dengan negara lain. Dalam hal ini Doktrin
Kekuatan Nasional memfokuskan diri pada keunggulan
kompetitif, sedangkan Doktrin Ketahanan Nasional
memfokuskan diri pada evaluasi tentang keunggulan
komparatif dan keunggulan kompetitif.
Persamaan logis yang muncul adalah bahwa baik
doktrin tannas maupun kekuatan nasional sama-sama
menghindari kesalahan akibat terjebak hanya dalam fokus
pada satu determinan semata-mata (Morgenthau ; “ the fallacy
of single factor” ) .
Persamaan yang lain adalah karakter “situasional”,
karena beberapa elemen atau determinan atau kombinasi
antar elemen tidak dapat diterapkan dalam situasi-
situasi khusus sehubungan dengan kompleksitas dari
lingkungan strategis.
Dalam hal ini bagi Doktrin Ketahanan Nasional
mungkin bahaya yang datang bersifat baru, terlalu cepat
atau terlalu besar untuk dihadapi, dan bagi Doktrin
Kekuatan Nasional penerapan kekuatan selalu didasarkan
atas analisis biaya dan hasil (cost and benefit analysis).
Jablonsky menyatakan bahwa “elements of national
power” terdiri atas determinants natural (geography,
population, natural resources) dan determinants sosial
(economic, military, political, psychological,
informational). Oleh Fendrick , ditambahkan elemen
diplomasi sebagai suatu “instrument of national power”.
42
P e n u t u p
1. Doktrin Tannas sudah mencerminkan konsep untuk
menghadapi bahaya kemanan komprehensif. Tidak
hanya berkaitan dengan bahaya militer antar
Negara semata-mata. Faktor pertahanan dan
keamanan hanya salah satu elemen dari Tannas.
Tannas berisi seperangkat parameter untuk
mengukur ketahanan nasional bangsa, yang harus
dilihat secara sistemik, komprehensif, integral
dan tidak secara ad hoc’;
2. Pemahaman tentang kerjasama keamanan dan
keamanan komprehensif sangat diperlukan dengan
menyadari adanya bahaya ancaman k e amanan yang
multidimensional di dunia termasuk menghadapi NTS
yang bersifat transnasional, tidak mungkin
dihadapi sendiri oleh suatu negara, di mana
konflik dan ancaman akan dikelola secara
kolektif melalui kerjasama internasional atau
regional, baik multilateral maupun bilateral;
3. “Cooperative security ” bukan pakta militer
(military alliances and collective security) menghadapi
musuh khusus, tetapi merupakan merupakan
“multilateral effort to achieve security among all the
participants through non-military means, without attributing
43
either friend or enemy status to the relation involved”.
(Katsumata, 2007);
4. Dalam kerjasama keamanan tersebut masing-masing
negara harus menghormat i kebijakan keamanan dn
pertahanan nasional (the policy of national security and
defence ) masing-masing dengan sikap dan cara
sebagai berikut :
Mentaati pelbagai perjanjian internasional;
Menghormati integritas dan kedaulatan negara lain;
Menghormati asas-asas perdamaian, stabilitas dan
keamanan internasional serta aktif berpartisipasi
secara internasional untuk pencapaiannya;
Mengusahakan penyelesaian secara damai segala
perbedaan dan mengutamakan pencegahan terhadap
gangguan keamanan nasional melalui saluran
diplomatik, politik dan militer;
Menentang penyebarluasan penggunaan senjata-senjata
pemusnah massal (nuklir, kimia, biologi) .
5. Perobahan nama Lembaga Pertahanan Nasional
menjadi Lembaga Ketahanan Nasional pada tahun
1984 merupakan langkah yang tepat bagi LEMHANNAS,
karena sekaligus menyadarkan kepada kita tentang
realitas “two worlds of world politics” di atas, dimana
bahaya atau ancaman tradisional terhadap negara
yang bersifat militeristik saat ini bersinergi
negative dengan jaringan desentralisasi ancaman
44
yang berasal dari aktor-aktor non–negara yang
mendayagunakan segenap senjata (teknologi,
ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya). Di
samping itu pendekatan komprehensif-integral
terhadap Ketahanan Nasional (National Resilience)
yang mengandung determinan Asta Gatra yang
merupakan gabungan antara determinan natural dan
sosial, juga meningkatkan kewaspadaan kita
terhadap “Non-Traditional Security Threat” (NTS) baik
yang bersifat “soft threat” maupun “hard threat”; di
tingkat ASEAN berkembang iatilah “regional resilience”;
6. Dalam hal ini harus diyakini bahwa hubungan antar
determinan Asta Gatra tersebut bersifat
“multidimensional interrelationship; dinamic dan situational”.
Morgenthau telah memperingatkan agar dalam
mengelola pelbagai determinan sebagai kekuatan
nasional, kita jangan terj e bak pada apa yang
dinamakan “the Fallacy of the Single Factor” . Fallacy yang
lain adalah “the failure to distinguish between potential
and actual power”. Alumni Lemhannas dan keluarga
besar Lemhannas diharapkan dapat menjadi kelompok
yang memelopori terwujudnya “Comphrehensive Security
Community” sebagai tanggungjawab bersama;
7. Persoalan tentang kewenangan dan pembagian
kewenangan antar lembaga yang menangani masalah
pertahanan atau keamanan dalam arti sempit, dan
kerjasama antar lembaga yang menangani keamanan
komprehensif, sangat tergantung pada Konstitusi
45
dan hukum positif yang berlaku di suatu negara
dalam rangka Sistem Keamanan Nasional, dengan
menjauhi egoisme sektoral. Dalam hal ini
pembentukan semacam Dewan Keamanan Nasional
sangat diharapkan;
8. Selain itu harus tetap disadari bahwa atas dasar
perjanjian internasional pada dasarnya keamanan
nasional merupakan sub-sistem keamanan regional
dan semuanya merupakan sub-sistem perdamaian dan
keamanan internasional ( international peace and
security system) . Sebagai contoh dalam hal ini dapat
dikemukakan bahwa dalam ASEAN Charter sudah
digunakan istilah “regional resilience”. Indonesia saat
ini sangat dipercaya komitmennya terhadap
perdamaian dan keamanan regional dan
internasional, karena Indonesia dianggap sebagai
negara demokrasi ketiga terbesar di dunia,
disertai parlemen yang aktif dan masyarakat
madani yang berkembang secara positif dalam
masyarakat yang sangat pluralistik. Belum lagi
dengan kondisi ekonomi yang relatif stabil,
sekalipun menghadapi krisis finansial global.
Pertumbuhan ekonomi masih terjadi dan strandar
kehidupan meningkat;
9. Sering dikatakan bahwa untuk dapat melakukan
kerjasama keamanan diperlukan “level of playing field ”
yang sama seperti “promotion of democracy, human rights
and obligations, transparency and good governance and
46
strengthening democratic institutions”. Di samping itu
harus dibangun apa yang dinamakan “confidence-
building measures” (CBMs) yang berintikan
transparansi melalui pertukaran data dan
informasi, kapabilitas dsb.nya;’
10. Bagi Indonesia Karakter Nasional berupa 4
(empat) konsensus dasar nasional (Pancasila, UUD
NRI tahun 1945, prinsip NKRI dan Sesanti
Bhinneka Tunggal Ika) dan Karakter Pemerintahan
yang demokratis merupakan determinan atau gatra
khusus ketahanan nasional yang harus
diperhitungkan;
11. Secara empiris bentuk-bentuk kerjasama keamanan
regional dan internasional dilakukan dengan cara
–cara :
a) exchange of information;
b) enhance cross-border cooperation;
c) promote capacity building (training, education,
consultations, seminars/conferences, joint project
and technical cooperation;
d) enhance intelligence sharing and sharing of
information;
e) enhance existing cooperation towards developing
database;
f) joint research and development;
g) encourage the use of video conference or
teleconference facilities;
h) extraterritorial jurisdiction;
47
i) ratification and harmonization of law and standard;
j) mutual legal assiastance in criminal matters;
k) extradition;
l) designation of central authorities or coordinating
structures;
m) reviews and strengthen national mechanism;
n) deepen cooperation among the front-line law
enforcement agencies;
o) provide assistance on transport security, border and
immigration control;
p) comply with all binding UN resolutions and
declarations;
q) strengthen measures to prevent illegal manufacture,
possesion or trafficking in weapon, ammunition,
explosives and potentially destructive material;
r) joint exploration of additional areas of
cooperation;
s) identifying and addressing the root causes of common
security threat;
t) strengthen links with interpol, aseanopol, europol;
u) building state capacity building (JCLEC =Jakarta
Center for Law Enforcement Cooperation in Semarang;
ILEA = International Law Enforcement Academy in
Bangkok; SEARCCT = Southeast Asia Regional Center
for Counter Terrorism in Kuala Lumpur;and Bilateral
Dialog and Regional Talks;;
v) cooperation to support development initiatves aimed
at enhancinfg quality of life, rule of law, god
48
governance and communty awareness of security
threat;
w) Joint Task Force seperti usaha untuk mengatasi “sea
piracy” di Somalia (Combined Task Force 150 dan
151);
x) di tingkat nasional segera dibentuk Dewan Keamanan
Nasional.
Jakarta, 12 Juli 2012.
Daftar Pustaka
Alagappa, Muthiah, Asian Security Practices {Material and
Ideational Influences), Stanford University Press, 1988.
Annan, Kofi A., In Larger Freedom :Towards Development,
Security and Human Rights for All, UN, 2005.
Agreement Between The Republic of Indonesia and Australia
on the Framework for Security Cooperation, Lombok, 13
Desember 2007.
CSCAP, Memorandum No. 3: The Concept of Comphrehensive
and Cooperative Security, Kuala Lumpur, ISIS, 1995.
49
Desker, Barry, New Security Dimensions in the Asia
Pacific, tha Indonesian Quarterly. Vol. 36. No. 3-4, 2008
p.355-368.
Emmers, Ralf, Anthony, Melly Caballero, Acharya, Amitav,
Studying Non-Traditional Security in Asia, Trend and
Issues, Marshall Cavendish Academic, Singapore, 2006.
Evans, From the Long Peace to the Long War : Armed
Conflict and Military Education and Training in the 21 st
Century, Australian Defence College, Occasional Series
No. 1, 2007.
Feng,Han, NTS Challenges and Policy Responses in North
East Asia, in Inaugural Meeting of the Consortium of NTS
Studies in Asia, Singapore, 2007.
Hernandez, Carolina, The Asean Charter and the Building
of an ASEAN Security Community, The Indonesia Quarterly
Vol. 36 No. 3-4, 2008, p.296-311.
Hsiung, James C., Comphrehensive Security,: Challenge for
Pacific Asia, New York University, 2008.
Jablonsky, David, National Power, US War College Guide to
National Security Policy and Strategy, 2 nd Edition,
June 2006.
Katsumata, Hiro, Asean Security Community Background
Paper for the Informal Meeting of ASEAN Defence and
Security Think Tanks, Singapore, 2007.
Len le Roux, Defining defence requirements : Force Design
Considerations for the South African National Defence
Force, ,African Security Review Vol. 8 No. 5, 1999.
50
Lind, William S, Understanding Fourth Generation War,
http://www.lewrockwell.com/lind/lind3b.html, 2007.
Lutz, James M and Lutz Brend J, Global Terroirism,
Routledge, London and New York, 2008.
Muladi, International Terrorism, Paper Presented in IDSS
Seminar, Singapore, 2006.
Muladi, “Global Warming” dan a”Climate Change” Sebagai
Masalah Nasional dan Internasional, Jakarta, 10 Maret
2008.
Moodie, Michael, Cooperative Security : Implications for
National Security and International Relations, Chemical
and Biological Arms Control Institute, Jnuary, 2000.
NIC, Global Trends 2015, A Dialog About the Future With
NGO Expert, December 2000.
Patriot Post. Us, http://patriotpost.us/papers/05-10
paper asp., 2007
Rana, Madhukar, SJB, Comphrehensiver Security for South
Asia, Conceptualization Toward a Regional Strategy, Sge
Publication, New Delhi, 2008.
Regehr, Ernie, Project Ploughshares, Canadian Defence
Policy Within a Comphrehensive Security Strategy, March
21, 2005.
Sukma, Rizal, The Future of Asean, Towards a Security
Community, New York, 3 June 2003.
Snow, Domnld M, National Securityfor a New Era, Longman,
New York, 2007
Tan, Andrew T.H. and Boutin Kenneth J.D., Non Traditional
Security Issues in Southeast Asia, IDSS, Singapore, 2001.
51