Post on 13-May-2023
1
A. PENDAHULUAN
HIV adalah retrovirus yang biasanya menyerang organ-organ vital sistem
kekebalan tubuh manusia. Virus ini menyerang manusia dan menyerang sistem
kekebalan (imunitas) tubuh, sehingga tubuh menjadi lemah dalam melawan
infeksi. Dengan kata lain, kehadiran virus ini dalam tubuh akan menyebabkan
defisiensi (kekurangan) sistem imun (Page et al, 2006). Virus ini merupakan
penyebab dari AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome). Pada awalnya virus
itu disebut ALV (lymphadenopathy-associated virus), kemudian pada tahun 1986,
istilah yang digunakan untuk menyebut virus tersebut adalah HIV, atau lebih
spesifik lagi disebut HIV-1 (Coffin et al, 1986).
HIV dapat ditularkan melalui injeksi langsung ke aliran darah, serta kontak
membran mukosa atau jaringan yang terluka dengan cairan tubuh tertentu yang
berasal dari penderita HIV. Cairan tertentu itu meliputi darah, semen, sekresi
vagina, dan ASI. Beberapa jalur penularan HIV yang telah diketahui adalah
melalui hubungan seksual, dari ibu ke anak (perinatal), penggunaan obat-obatan
intravena, transfusi dan transplantasi (Hughes, 2002). Orang yang terinfeksi HIV
AIDS umumnya tidak memberikan gejala apabila orang tersebut memiliki sistem
kekebalan tubuh yang baik. Kebanyakan kondisi tersebut akibat infeksi oleh
bakteri, virus, fungi dan parasit, yang biasanya dikendalikan oleh unsur-unsur
sistem kekebalan tubuh yang dirusak HIV (Holmes et al, 2003). Sebaliknya untuk
penderita AIDS yang memiliki sistem kekebalan tubuh yang lemah biasanya
memiliki gejala infeksi seperti demam, berkeringat (terutama pada malam hari),
pembengkakan kelenjar, kedinginan, lemah, serta penurunan berat badan (Guss,
1994).
Sampai saat ini belum ada vaksin atau obat untuk HIV atau AIDS.
Penanganan infeksi HIV terkini adalah dengan terapi antiretrovirus yang sangat
aktif (Highly Active Antiretroviral Therapy, disingkat HAART) (Department of
Health and Human Services, 2006). HAART merupakan kombinasi dari
setidaknya 3 obat antiretrovirus. Kombinasi yang umum digunakan adalah
Nucleoside Analogue Reverse Transcriptase Inhibitor (NRTI) dengan protease
2
inhibitor, atau dengan non nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NNRTI). Di
negara-negara berkembang yang menyediakan perawatan HAART, seorang
dokter akan mempertimbangkan kuantitas beban virus, kecepatan berkurangnya
CD-4+, serta kesiapan mental pasien saat memulai perawatan awal (Department of
Health and Human Services, 2006). Tanpa perawatan HAART, berubahnya
infeksi HIV menjadi AIDS terjadi dengan kecepatan rata-rata (median) antara
sembilan sampai sepuluh tahun, dan selanjutnya waktu bertahan setelah terjangkit
AIDS hanyalah 9,2 bulan (Morgan et al, 2002).
A. PATOFISIOLOGI AIDS
Sesuai dengan namanya, virus HIV hanya menyerang manusia khususnya
sistem kekebalan tubuh manusia yang melindungi tubuh dari infeksi. Sel imun
yang terinfeksi adalah CD-4+ sel T, makrofag, dan sel dendritik. CD-4
+ sel T
secara langsung maupun tidak langsung dihancurkan oleh virus tersebut. Infeksi
HIV menyebabkan sistem kekebalan tubuh akan semakin lemah. Keadaan ini
akan membuat orang mudah diserang beberapa jenis penyakit (sindrom) yang
kemungkinan tidak mempengaruhi orang dengan sistem kekebalan tubuh yang
sehat. Penyakit tersebut disebut sebagai infeksi oportunistik.
Pada awal infeksi, HIV tidak segera menyebabkan kematian dari sel yang
diinfeksinya tetapi terlebih dahulu mengalami replikasi (penggandaan), sehingga
ada kesempatan untuk berkembang dalam tubuh penderita tersebut, yang lambat
laun akan menghabiskan atau merusak sampai jumlah tertentu dari CD-4+ sel T.
Jika seseorang didiagnosis terinfeksi HIV (HIV positif), orang tersebut dapat tetap
sehat tanpa gejala klinis sehingga disebut penyakit HIV tanpa gejala. Setelah
timbul gejala, maka disebut sebagai infeksi HIV bergejala atau penyakit HIV
lanjutan. Masa antara terinfeksinya HIV dengan timbulnya gejala-gejala penyakit
(masa inkubasi) adalah 6 bulan sampai lebih dari 10 tahun, rata-rata 21 bulan pada
anak-anak dan 60 bulan pada orang dewasa (WHO, 2006).
Pasien HIV positif tidak langsung didiagnosis menderita AIDS. AIDS itu
sendiri merupakan kumpulan gejala dan infeksi akibat melemahnya sistem
3
kekebalan tubuh yang disebabkan oleh infeksi HIV. Beberapa negara mempunyai
kriteria tertentu dalam mendiagnosis pasien AIDS. Di Amerika Serikat dan
beberapa negara lainnya, seseorang didiagnosis menderita AIDS ketika HIV
membunuh CD-4+ sel T hingga jumlah CD-4
+ sel T dalam darah kurang dari 200
sel/µL darah akibatnya kekebalan seluler menjadi hilang. Sedangkan di Kanada,
orang yang terinfeksi HIV didiagnosis menderita AIDS ketika muncul infeksi
oportunistik.
Tanpa terapi antiretroviral, rata-rata waktu infeksi HIV berubah menjadi
penyakit AIDS adalah sekitar 9 hingga 10 tahun dan rata-rata harapan hidup
penderita AIDS adalah 9,2 bulan. Bagaimanapun perkembangan klinis masing-
masing pasien bervariasi, mulai dari 2 minggu hingga 20 tahun. Banyak faktor
yang mempengaruhi perkembangan penyakit ini, misalnya kemampuan tubuh
untuk melawan HIV yang bekaitan dengan sistem imun tubuh. Pasien AIDS yang
lebih tua mempunyai sistem imun tubuh yang lebih lemah daripada pasien muda
sehingga resiko perkembangan penyakit AIDS menjadi lebih besar. Akses yang
sulit untuk mencapai pelayanan kesehatan dan kehadiran agen infeksiseperti TBC
juga dapat memperburuk perkembangan penyakit.
B. HIV(Human Immunodeficiency Virus)
Retrovirus adalah virus RNA yang mempunyai enzim reverse transcriptase.
Dengan menggunakan enzim reverse transcriptase, virus ini menggunakan RNA
sebagai cetakan untuk membuat DNA komplementer yang dapat berintegrasi
dengan DNA sel inang.
4
Gambar 1. Anatomi HIV
Infeksi awal HIV terjadi ketika virion berikatan dengan reseptor spesifik
pada sel inang. Limfosit CD-4+ dan makrofag merupakan sel-sel target primer dari
HIV. Glikoprotein gp120 pada selubung permukaan virus berikatan dengan sel
limfosit tersebut dengan afinitas yang kuat. Ikatan gp120 terhadap CD-4+ sendiri
tidak cukup menghasilkan penetrasi virus, sehingga dibutuhkan reseptor sekunder
atau ko-reseptor(Borkowsky W., 2001, Nadler JP., 2006, Raffanti S. dan Haas
DW., 2001,dan National pediatric and family HIV resource center, 1998).
Beberapa reseptor kemokin terutama reseptor CCR5 dan CXCR4 berperan
sebagai reseptor sekunder yang memfasilitasi proses masuknya virus. Peran
reseptor-reseptor kemokin ini sebagai ko-faktor dalam masuknya virus
memperjelas pengertian mengenai proses masuknya virus. Baik makrofag maupun
limfosit T memerlukan ko-reseptor, dimana makrofag CCR5 merupakan ko-
reseptornya, sedangkan CXCR4 merupakan ko-faktor bagi sel T. Setelah melekat
pada sel target, selubung virus kemudian berfusi dengan membran sel inang
sehingga virus dapat masuk. Fusi ke membran ini difasilitasi oleh interaksi dengan
protein selubung gp41(Borkowsky W., 2001, Nadler JP., 2006, Raffanti S. dan
Haas DW., 2001,dan National pediatric and family HIV resource center, 1998).
Setelah protein selubung virus berfusi dengan sel inang, virion HIV
mengalami internalisasi, RNA virus (2 rantai tunggal tiap virion) kemudian
diubah oleh enzim reversetranscriptase virus. Enzim ini memfasilitasi produksi
rantai deoxyribonucleic acid (DNA)komplementer yang akan menjadi rantai
5
ganda dan dibawa ke inti sel inang. Rantai gandaDNA berikatan pada komplek
pre-integrasi yang ditransfer melewati pori-pori inti sel dankemudian
ditranslokasikan pada tempat yang berdekatan dengan genom sel inang.
Tiruanrantai ganda DNA kemudian diintegrasikan ke dalam genom sel inang.
Langkah inimembutuhkan derivat enzim yaitu enzim integrase virus. Enzim
reverse transcriptase adalahpolimerase DNA yang bergantung RNA yang
berperan dalam memulai sintesis rantai DNAdari RNA yang kemudian dicerna
oleh RNA-ase virus. Enzim reverse transcriptase ini rentan membuat kesalahan,
disamping hal tersebut virus HIV juga kurang memiliki histon khusus yang
berfungsi memperbaiki enzim-enzim sehingga terjadi akumulasi terbentuknya
beberapa pasang basa yang salah selama replikasi HIV. Ketidakakuratan dalam
proses pengkodean ini mengakibatkan variasi urutan nukleotida yang bervariasi
antar strain yang menyebabkan heterogenitas virus yang disebut ”quasispecies
mixture”(Borkowsky W., 2001, Nadler JP., 2006, Raffanti S. dan Haas DW.,
2001,dan National pediatric and family HIV resource center, 1998).
Enzim reverse transcriptase merupakan target dari penghambat nukleosida,
nukleotida, dan non-nukleosida. Penghambat integrase HIV merupakan tujuan
berikutnya dari penelitian yang dilakukan untuk mengatasi infeksi HIV. Aktivasi
sel inang menghasilkan RNA HIV baru, yang sebagian ditranslasikan menjadi
genom dan sebagian ditranslasikan menjadi poliprotein HIV. Poliprotein ini
dipecah oleh enzim virus menjadi komponen pengatur dan struktural yang
kemudian berada disekitar RNA HIV genom yang muncul dari sel inang. Enzim
protease HIV berperan menyelesaikan pemecahan poliprotein menjadi protein
yang berfungsi secara penuh sehingga menghasilkan virion HIV baru yang matur
dan infeksius. Langkah terakhir ini merupakan langkah yang penting dalam
infeksi HIV dan merupakan target dari obat antiretroviral yaitu sebagai
penghambat protease (protease inhibitor)(Borkowsky W., 2001, Nadler JP., 2006,
Raffanti S. dan Haas DW., 2001,dan National pediatric and family HIV resource
center, 1998).
6
C. OBAT ANTIRETROVIRAL
Obat-obat antiretroviral terbagi dalam 5 kelas yang berbeda yaitu nucleoside
reverse transcriptase inhibitors (NRTI), nucleotide reverse transcriptase
inhibitors (NtRTI), non-nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NNRTI),
protease inhibitors (PI), dan fusion inhibitors (Akib AAP., 2004).
1. Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor (NRTI)
Penghambat enzim reverse transcriptase adalah golongan obat pertama
yang digunakan untuk pengobatan HIV-1. Golongan obat NRTI adalah
penghambat kuat enzim reverse transcriptase dari RNA menjadi DNA yang
terjadi sebelum penggabungan DNA virus dengan kromosom sel inang. Obat ini
membutuhkan enzim kinase sel untuk membentuk zat aktifnyamelalui proses
fosforilasi intraseluler. Aksi obat yang sudah difosforilasi adalah
menghambatsecara kompetitif enzim reverse transcriptase virus dan mengakhiri
proses elongasi DNAvirus selanjutnya. Oleh karena obat-obat ini beraksi pada
tahap sebelum integrasi dalam siklushidup virus, obat ini hanya sedikit berefek
pada sel yang sudah terinfeksi secara kronis dimana DNA virus sudah tergabung
dalam kromosom sel(Raffanti S. dan Haas DW, 2001 dan WHO, 2007).
2. Nucleotide Reverse Transcriptase Inhibitor (NtRTI)
Tenofovir disoproksil fumarat merupakan nukleutida reverse transcriptase
inhibitor pertama yang ada untuk terapi infeksi HIV-1. Obat ini digunakan dalam
kombinasi dengan obat anti retrovirus lainnya. Tidak seperti NRTI yang harus
melalui tiga tahap fosforilase intraselular untuk menjadi bentuk aktif, NtRTI
hanya membutuhkan dua tahap fosforilase saja. Diharapkan berkurangnya satu
tahap fosforilase obat dapat bekerja lebih cepat dan konversinya menjadi bentuk
aktif lebih sempurna (Raffanti S. dan Haas DW, 2001 dan WHO, 2007).
3. Non Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor (NNRTI)
Golongan non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NNRTI) secara
spesifik menghambat aktivitas enzim reverse transcriptase dengan mengikat
7
secara langsung tempat yang aktif pada enzim tanpa aktivasi sebelumnya (WHO,
2007).
4. Protease Inhibitor (PI)
Golongan protease inhibitor (PI) menghambat enzim protease HIV yang
dibutuhkan untukmemecah prekursor poliprotein virus dan membangkitkan fungsi
protein virus. Enzimprotease penting pada tahap replikasi virus yang terjadi
setelah transkripsi DNA virus ke RNA dan translasi ke dalam protein virus.
Karena golongan PI beraksi pada langkah setelah integrasi dalam siklus virus,
maka golongan obat ini efektif dalam menghambat replikasi baik pada sel-sel
yang baru terinfeksi maupun yang sudah kronis(Borkowsky W., 2001, Raffanti S.
dan Haas DW, 2001 dan WHO, 2007).
5. Fusioninhibitor
Golongan obat ini menghambat masuknya virus HIV tipe 1 (HIV-1) ke
dalam sel target pada orang yang terinfeksi. Obat ini secara spesifik mencegah
fusi glikoprotein transmembran gp41 HIV-1 dengan reseptor CD-4+ pada sel
inang (WHO, 2007).
D. PROSES RETROTRANSKRIPSI
Setelah virus berfusi dengan permukaan sel inang, partikel yang terkandung
dalam sitoplasma virus dikeluarkan ke dalam sitoplasma sel inang di mana RNA
untai tunggal virus menjadi template untuk pembentukan DNA untai ganda yang
akan terintegrasi ke dalam genom sel inang. Hasil integrasi tersebut akan
ditrnaskripsikan menjadi mRNA yang akan menyandi protein-protein virus dan
RNA untai tunggal yang akan membentuk virus baru. Konversi dari RNA untai
ganda menjadi DNA untai ganda terintegrasi disebut retrotranskripsi (Esposito
F.et al. 2012).
Setiap HIV, mengandung dua kopi RNA untai tunggal identik yang terdiri
dari 9.7 kb yang mengkode protein struktural dan non struktural. Pada sisi 5’-end
terdapat bagian sepanjang 18 nukleotida yang merupakan primer binding site
8
(PBS), yang komplemen dengan 3’-end nukleotida dari tRNALys3 pada manusia.
Ketika tRNA terhibridisasi pada PBS, maka reverse transcriptase akan
mengawali sintesis untai (-) DNAnascent dengan RNA virus sebagai template.
Elongasi tRNA menuju sisi 5’-end dari RNA akan menghasilkan untai (-)
DNAnascent. Hasil hibridisasi RNA dan untai (-) DNA nascent tersebut
merupakan substrat dari RNase H yang akan mendegradasi RNA dari hibrid
tersebut. Untai (-) DNA nascent selanjutnya akan menempel pada R region dari
RNA dan akan terjadi perpanjangan DNA dimulai dari sisi 3’-end (Esposito F.et
al. 2012).
Gambar 2. Proses retrotranskripsi pada HIV (Esposito F. et al. 2012)
Ketika sintesis berjalan, RNase H mendegradasi RNA pada beberapa titik.
Polypurine tract (PPTs) resisten terhadap RNase H sehingga tetap terhibridisasi
dengan untai (-) DNA nascent. PPT tersebut selanjutnya akan menjadi primer
pada sintesis untai (+) DNA. Perpanjangan DNA terjadi hingga sisi 5’-end dari
untai (-) DNA yang berlanjut hingga 18 nukleotida dari PBS sebagai template.
9
Basa ke-19 dari sisi 3’-end tRNALys3 merupakan methyl A akan mengeblok
kerja dari reverse transcriptase dan menghentikan sintesis untai (+) DNA. RNase
kemudian akan mendegradasi bagian RNA dari hibrid yang terbentuk sehingga
sisi PBS dari untai (+) DNA akan dapat terhibridisasi dengan sisi PBS dari untai
(-) DNA. Kemudian akan terjadi sintesis bidirectional untuk melengkapi DNA
untai ganda yang akan terdiri dari 90 nukleotida pada masing-masing untainya.
PPT selanjutnya akan didegradasi oleh endonuklease-1 (Esposito F.et al. 2012).
E. STRUKTUR DAN FUNGSI REVERSE TRANSCRIPTASE
Reverse transcriptase oleh sebuah enzim protease dipecah menjadi 2
subunit protein yaitu p66 dan p51 yang membentuk heterodimer asimetrik.
Analisis struktur kristal dari reverse transcriptase menunjukkan bahwa p66 terdiri
dari 2 domain yaitu polimerase dan RNase H. Domain polimerase berbentuk
seperti tangan kanan terdiri dari subdomain yang berbentuk seperti jari (residu 1-
85 dan residu 118-155), telapak tangan (residu 86-117 dan 156-237), serta ibu jari
(residu 238-318). Sisi aktif polimerase terdapat pada tengah antara subdomain
telapak tangan, jari dan ibu jari. Subunit p66 juga terdiri dari subdomain konektor
(residu 319-426) dan domain RNase (residu 427-560). Subunit p51 tidak memiliki
domain RNase dan memili 4 domain yang sama dengan p66, namun terlipat
dengan cara yang berbeda dengan p66. Oleh karena itu, p51 tidak memiliki
aktivitas enzimatik. Fungsi dari p51 adalah untuk membuat p66 berada pada
lipatan yang tepat sehingga bisa menjalankan semua aktivitas katalitiknya
(Esposito F.et al. 2012).
Gambar 3. Struktur reverse transcriptase
10
Keterangan gambar : domain p66 (berwarna), domain p51 (abu-abu), subdomain jari
(magenta), subdomain telapak tangan (cyan), subdomain ibu jari (biru), domain konektor
(orange), domain RNase (kuning). 3 katalitik residu asam aspartat (D110, D185 dan D186)
terletak pada subdomain telapak tangan yang berikatan dengan ion Mg2+ (merah). Domain
RNase terletak pada daerah C-terminus dari p66, berjarak 60Å dari sisi aktif polimerase.
Sisi aktif RNase terdiri dari residu karboksilat dari D443, E478, D498 dan D549 yang dapat
berikatan dengan Mg2+(Esposito F.et al. 2012).
Reverse transcriptase dapat berikatan dengan substrat asam nukleat pada 2
orientasi yaitu RNase H dan polimerase. Kedua orientasi tersebut berada pada
kesetimbangan yang dinamis, dapat secara spontan dan cepat berganti orientasi
tanpa harus berpisah dengan substrat. Reverse transcriptase bertanggung jawab
terhadap aktivitas yang terjadi dalam proses retrotranskripsi seperti sintesis DNA,
aktivitas RNase, strand transfer dan strand displacement synthesis(Esposito F.et
al. 2012).
F. MEKANISME AKSI NUCLEOSIDE REVERSE TRANSCRIPTASE
INHIBITOR
Obat golongan NRTI untuk dapat menghambat kerja dari enzim reverse
transcriptase harus difosforilasi dengan kinase seluler untuk membentuk derivat
triphosphate. Semua NRTI memiliki mekanisme aksi yang sama, sekali
teraktivasi dalam bentuk triphosphate nya, mereka akan dapat berikatan dengan
primer yang tumbuh, berkompetisi dengan dNTP natural, dan mengakhiri sintesis
DNA karena tidak adanya gugus 3’-hydroxyl. Oleh karena itu, sekali senyawa
NRTI terintegrasi ke dalam DNA, maka mereka akan mencegah integrasi
nukleotida lebih lanjut. Yang menarik adalah ketika HIV reverse transcriptase
menggunakan senyawa NRTI sebagai substrat, DNA polimerase dari sel tidak
dapat berikatan dengan mereka dengan afinitas yang sama (Esposito F.et al.
2012) sehingga menjamin selektivitas kerjanya.
11
Gambar 4. Mekanisme aksi NRTI sebagai chain terminator
Keterangan gambar : reverse transcriptase (lingkaran berwarna hijau pucat), PBS binding
site (cyan), nucleotide binding site (putih), template RNA (biru), untai (-) DNA (ungu),
NRTI triphosphate (hijau) akan berkompetisi dengan dNTP natural, terintegrasi dengan
DNA dan mencegah elongasi karena tidak adanya gugus 3’-hydroxyl (Esposito F.et al.
2012)
Adanya resistensi terhadap obat NRTI melibatkan 2 mekanisme yaitu NRTI
discrimination yang akan mengurangi kecepatan integrasi NRTI terhadap DNA
dan NRTI excision yang menghalangi proses terminasi primer. Sebagai contoh
dari NRTI discrimination adalah adanya hambatan sterik seperti pada kasus
mutasi M184V dan lamivudine, di mana substitusi sisi aktif menjadi valin
menyebabkan adanya kontak sterik dengan cincin oxathiolane dari lamivudine
triphosphate sehingga mencegah aktivitas katalitiknya. Mutasi pada sisi aktif
nukleosida seperti K65R, T69D, L74V, V75T yang berlokasi pada subdomain jari
p66, juga dilaporkan menyebabkan NRTI discrimination antara NRTI
triphosphate dengan dNTP natural (Esposito F.et al. 2012).
12
Gambar 5. Residu asam amino yang terlibat dalam RTI binding
Keterangan gambar : domain p66 (hijau), domain p51 (abu-abu), residu katalitik dari sisi aktif polimerase dan RNase (kuning), NRTI berinteraksi dengan residu yang dekat dekat
sisi aktif polimerase (biru) (Esposito F.et al. 2012)
G. EMTRICITABINE
Emtricitabine digunakan dalam bentuk kombinasi dengan obat
antiretroviral yang lain dalam terapi infeksi HIV. Menurut WHO, 2013,
emtricitabine bersama dengan tenofovir disoproxil fumarate dan efavirens
merupakan first line therapy antiretroviral pada orang dewasa, wanita hamil dan
menyusui, serta anak di atas usia 10 tahun atau memiliki berat badan ≥ 35 kg.
Emtricitabine termasuk ke dalam golongan NRTI (nucleoside reverse
transcriptase inhibitor). Emtricitabine merupakan analog nukleosida sintetik
cytidine yang beraksi secara spesifik terhadap human immunodeficiency virus
(HIV-1 dan HIV-2) dan hepatitis B virus (HBV). Obat ini difosforilasi oleh enzim
seluler menghasilkan emtricitabine 5’-triphosphate yang akan berkompetisi
dengan susbtrat asli deoxycytidine 5’-triphosphate untuk berikatan dengan enzim
reverse transcriptase dan menghasilkan reaksi terminasi pada pembentukan DNA.
Emtricitabine merupakan inhibitor yang lemah terhadap DNA polimerase (Gilead,
2003).
13
NH2
F
HOS
O
O
N
N
1'
5'
4'3'
2'
(a)
NH2
O S
O
O
N
N
P
O
P
O
P
HO
O
O
O
OH
HO
HO
F
5'
2'
(b)
NH2
O
O
O
N
N
PO
P
O
P
OH
O
O
O
OH
OH
OH
1'2'
3'4'
5'
HO
(c)
Gambar 6. Emtricitabine, hasil fosforilasi, dan kompetitornya
Keterangan gambar : Emtricitabine (a), Emtricitabine 5’-triphosphate (b), 2-
Deoxycytidine 5;-triphosphate (c)
Emtricitabine digunakan sebagai pengganti lamivudine terkait adanya
resistensi M184V (mutasi methionin menjadi valin pada kodon 184) yang
dihasilkan oleh lamivudine pada enzim reverse transcriptase (WHO, 2012).
Emtricitabine diketahui memiliki kecenderungan yang lebih rendah untuk dapat
memunculkan resistensi tersebut berdasarkan uji secara in vitro (Svicher V.et al.
2010). Emtricitabine telah diketahui memiliki ekivalensi secara farmakologi dan
clinical interchangeability terhadap lamivudine. Review telah dilakukan melalui
14
studi preklinik, efikasi dan keamanan, kemungkinan munculnya resistensi,
perbandingan analisis harga dan ketersediaan obat (WHO, 2012).
Gambar 7. Lamivudine
Berdasarkan pada studi in vitro, emtricitabine diklaim superior terhadap
lamivudine oleh Gilead Sciences :
− Waktu paruh intrasel yang lebih lama dibanding lamivudine (39 jam vs
15-22 jam)
− Potensi yang lebih besar dibanding lamivudine (EC50 rata-rata 11
kalinya, dan kira-kira 3 kali pada dual infection)
− Inhibisi replikasi virus yang lebih baik jika digunakan bersama dengan
tenovofir disoproxil fumarate bila dibandingkan dengan kombinasi
lamivudine dan tenovofir disoproxil fumarate
− Sinergi yang lebih baik dengan tenofovir tenovofir disoproxil fumarate
dibanding lamivudine
− Afinitas ikatan yang lebih besar terhadap reverse transcriptase dan
afinitas lebih kecil terhadap DNA polimerasi mitokondria bila dibanding
lamivudine
Emtricitabine tidak menghambat metabolisme obat oleh isoenzim CYP450
seperti 1A2, 2A6, 2B6, 2C9, 2C19, 2D6 dan 3A4. Emtricitabine juga tidak tidak
menghambat kerja enzim uridine-5’-diphosphoglucuronyl transferase, yaitu
enzim yang bertanggung jawab dalam proses glukuronidasi. Namun demikian,
dalam tubuh emtricitabine dimetabolisme secara terbatas. Biotransformasi dari
emtricitabine terjadi pada gugus thiol melalui proses oksidasi sehingga dihasilkan
15
3’-sulphoxide diastereomers (± 9% dosis) dan konjugasi dengan asam glukuronat
membentuk 2’-O-glukuronida ((± 4% dosis) (Gilead, 2003).
(a) (b)
Gambar 8. Hasil biotransformasi Emtricitabine
Keterangan gambar : Emtricitabine 3’-sulphoxide (a), Emtricitabine 2’-O-glukuronida (b)
16
DAFTAR PUSTAKA
Akib AAP., 2004, Infeksi HIV pada bayi dan anak, Sari Pediatri, 6:1:1-14
Borkowsky W., 2001, Acquired immunodefficiency syndrome (AIDS) and
humanimmunodefficiency virus (HIV) in: Katz SL, Gershon AA, Hotez PJ,
editors, Krugman’sinfectious diseases of children, 10th edition, St Louis:
Mosby-Year Book Inc., p. 1-24
Coffin, J, Haase, A.,Levy J.A, Montagnier L. Orozian,S. Teich N. Temin, H,
Toyoshima.K, Varmus, H. Vogt, P and weiss, R.A, 1986, what to call the
AIDS virus
Department of Health and Human Servives Panel on Clinical practices for
treatment of HIV infection, 2005 “ Guidlines for the use of Antiretroviral
Agents in HIV-1-Infected Adults an Adolescents”
Esposito F., Corona A., and Tramontano E., 2012, HIV-1 Reverse Transcriptase
Still Remains a New Drug Target: Structure, Function, Classical Inhibitors,
and New Inhibitors with Innovative Mechanisms of Actions, Review
Article, Molecular Biology International, Vol. 2012, Hindawi Publishing
Corporation
Gilead, 2003, Summary of product characteristics of Emtriva, diakses dari
http://www.ema.europa.eu/docs/en_GB/document_library/EPAR_-
_Product_Information/human/000533/WC500055586.pdf
Guss D.A 1994, The Aquired immuno deficiency syndrome, “An overview for the
emergency physcian, Part 1, J. Emerg. Med, 12 (3) PubMed
Holmes, C.B.,Losina, E. walensky, R.P.,Yazdanpanah, Y.,Freedberg,K.A, 2003
“Review of Human immunodeficiency virus type 1-related opportunistic
infections in sub-saharan Africa”
Jenny Page, Maylani Louw, Delene Pakkiri, Monica Jacobs, 2006. Working with
HIV/AIDS. Cape Town: Juta Legal and Academic Publisher
Jonathan Richard Hughes, 2002, HIV, structure, Life cycle, and Pathogenecity.
Morgan.,D. Mahe,C. Mayanja,B.,Okongo, J, M.,Lubega,R. and whitworth J.A,
2002, “HIV-1 infection in rural Africa: Is there a difference in median time
to AIDS and survival compared with that in industrialized countries”
National pediatric and family HIV resource center, 1998, Antiretroviral therapy
and medicalmanagement of pediatric HIV infection, Pediatrics, 102:1005-
63
Nadler JP., 2006, Pathophysiology of HIV infection, diakses dari
http://www.faetc.org/PDF/Primary_Care_Guide/Chapter_03-
Pathophysiology.pdf
Raffanti S. and Haas DW.,2001, Antiretroviral agents in: Hardman JG, Limbird
LE, Gilman AG editors, Gooman & Gilman’s the pharmacological basis of
17
therapeutics, 10th edition, NewYork: Mcgraw-Hill Medical Publishing
Division, p. 1349-73
Svicher V., Alteri C., Artese A., Forbici F., Santoro MM., Schols D., Laethem
KV., Alcaro S., Costa G., Tommasi C., Zaccarelli M., Narciso P., Antinori
A., Silberstein FC., Balzarini J., and Perno CF., 2010, Different Evolution
of Genotypic Resistance Profiles to Emtricitabine Versus Lamivudine in
Tenofovir-Containing Regimens, J. Acquir Immune Defic Syndr, Vol. 55,
No. 3
WHO, 2006, Progress on global access to HIV antiretroviral therapy: a report on
"3 by 5" and beyond
WHO, 2007, Antiretroviral therapy for HIV infection in infants andchildren:
toward universal access, recomendations for a public health approach,
Geneva, p. 1-143
WHO, 2012, Pharmacological equivalence and clinical interchangeability of
lamivudine and emtricitabine: a review of current literature, Technical
update on treatment optimization, Geneva, p. 4-6
WHO, 2013, Consolidated guidelines on the use of antiretroviral drugs for
treating and preventing HIV infection, recommendations for a public health
approach, Chapter 7, p. 90-151