Post on 27-Feb-2023
1
Analisis Yuridis Formil Sengketa Informasi Publik dan
Perbandingannya dengan Inggris (Studi Kasus Putusan
Pengadilan Negeri Sumenep Nomor 14/Pdt.Plw/2012/PN.Smp
dan Putusan Pengadilan Tingkat Pertama Inggris Decision
of The First-Tier Tribunal EA/2011/0024)
Oleh: Ardy Prasetyo
I. Pendahuluan
Informasi menjadi aspek penting tidak hanya dalam
perkembangan ilmu pengetahuan, tetapi juga dalam segala
aspek kehidupan manusia. Setiap orang dalam menjalani
kehidupan pada dasarnya selalu berhubungan dengan
informasi termasuk dalam hal berkomunikasi. Dalam era
persaingan global, entitas yang bisa bertahan dan
mengambil keuntungan dari persaingan global adalah
entitas yang menguasai sebanyak mungkin informasi.
Informasi dipakai sebagai dasar dalam pengambilan
keputusan, menerima dan menggunakan informasi itu untuk
memastikan pemahaman umum kita, dan menggunakannya
sebagai sarana untuk menambah pengetahuan.1
Hak atas informasi juga termasuk salah satu hak asasi
manusia yang tercantum dalam Pasal 19 Piagam Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) pada tahun 1946.2
1 Roger Cartwright et. al., The Handbook for Managing Resources andInformation, (New Delhi: Infinity Books, 2001).
2 Universal Declaration of Human Right 1946, Article 19:Everyone has the right to freedom of opinion and expression; this right includes freedomto hold opinions without interference and to seek, receive, and impart information and
2
Dalam DUHAM jelas terlihat bahwa hak untuk mencari dan
mendapatkan informasi merupakan bagian yang termasuk
dalam kerangka kebebasan berpendapat dan berekspresi
(freedom of opinion and expression).3 Pentingnya hak atas
informasi dan akses untuk mendapatkan informasi membuat
negara-negara di dunia merasa perlu untuk menciptakan
serangkaian peraturan-peraturan menyangkut akses
informasi (Access to Information). Masing-masing negara
memiliki terminologi berbeda mengenai kebebasan
informasi, seperti Freedom of Information (FOI) di Inggris dan
Amerika Serikat, Right to Information (RTI) di Belanda dan
Kanada, dan Jepang yang menggunakan istilah Access to
Information (ATI).4
Di negara-negara demokratis, pengakuan terhadap hak
atas informasi sekaligus merupakan sarana untuk
memantau dan mengawasi penyelenggaraan pemerintahan.
Pemerintah yang demokratis akan berusaha semaksimal
mungkin membuka ruang informasi yang dibutuhkan publik.
Itu sebabnya, di negara demokratis konstitusional,
keterbukaan informasi publik merupakan sarana untuk
mengoptimalkan penyelenggaraan negara secara umum,
mengoptimalkan peran dan kinerja badan-badan publik,
ideas through any media and regarless of frontiers.3Diskusi Serial KIP dan OGP, “Transparansi Informasi dalam 3
Cara Pandang” www.kebebasaninformasi.org/en/2013/12/03/diskusi-serial-iii-transparansi-informasi-dalam-3-cara-pandang/ diaksestanggal 25 Oktober 2014.
4 Ibid.
3
serta segala sesuatu yang berakibat pada kepentingan
publik.5
Keterbukaan informasi publik merupakan salah satu
syarat terwujudnya pemerintahan terbuka (Open Government)
dan pemerintahan yang baik (Good Governance). Pemerintahan
yang terbuka mensyaratkan adanya jaminan atas lima hal,
yaitu: (i) hak untuk memantau perilaku pejabat publik;
(ii) hak untuk memperoleh informasi; (iii) hak untuk
terlibat dalam pembentukan kebijakan publik; (iv)
kebebasan berekspresi antara lain kebebasan pers; dan
(v) hak untuk mengajukan keberatan terhadap penolakan
atas keempat hak tersebut.6 Indonesia mengakui
keberadaan Freedom of Information dengan membuat pengaturan
tersendiri mengenai kebebasan informasi melalui Undang-
undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan
Informasi Publik. Undang-undang tersebut merupakan
pengejawantahan amanat konstitusi yang termaktub dalam
Pasal 28F UUD 1945.7
Penyediaan informasi dan menjamin kemudahan di dalam
memperoleh informasi yang akurat dan memadai juga
merupakan suatu asas dalam menyelenggarakan
pemerintahan yang bersih. Asas Keterbukaan merupakan
5 Komisi Informasi Pusat Republik Indonesia, Anotasi Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, ed. 1, cet. 1(Jakarta: Komisi Informasi Pusat Republik Indonesia, 2009), hlm.4.
6 Mas Achmad Santosa, Good Governance dan Hukum Lingkungan,(Jakarta: ICEL, 2001), hlm. 22.
7 Lih. Pasal 28F Undang-Undang Dasar 1945
4
asas yang memiliki pengertian asas yang membuka diri
terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang
benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang
penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan
perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan
rahasia negara sebagaimana disebutkan dalam Penjelasan
Pasal 3 Angka 4 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999
tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas
Dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.8
Mekanisme akses terhadap informasi pada kenyataannya
tidak semudah yang dibayangkan dan pasti akan
menimbulkan sengketa. Undang-undang Keterbukaan
Informasi Publik telah mengakomodasi kesulitan tersebut
dan upaya penyelesaian sengketa informasi publik. Untuk
itu, pemerintah melalui Undang-undang Keterbukaan
Informasi Publik membentuk sebuah lembaga negara yang
bertugas untuk menyelesaikan sengketa informasi publik
melalui Mediasi dan/atau Ajudikasi non-litigasi yang
bernama Komisi Informasi.9 Di negara lain seperti
Inggris, negara tersebut juga memiliki pengaturan
tersendiri mengenai kebebasan infromasi yang tertuang
dalam Freedom of Information Act 2000 (FOIA) yang di dalamnya
mengatur pula mengenai penyelesaian sengketa informasi
melalui suatu lembaga negara yang bernama The Information
8 Indonesia, Undang-Undang Penyelenggara Negara Yang Bersih DariKorupsi, Kolusi, Dan Nepotisme, UU No. 28 Tahun 1999, LN No. 75 Tahun1999, TLN No. 3851, Penjelasan Pasal 3 Angka 4.
9 Indonesia, Undang-undang Keterbukaan Informasi Publik, UU No. 14Tahun 2008, LN No. 61, TLN No. 4846, Pasal 23.
5
Commisioner dan penyelesaian dengan jalur litigasi
melalui The Information Tribunal.10
Dalam beracara melalui jalur litigasi atau pengadilan
mengenai sengketa informasi publik di Indonesia,
Mahkamah Agung Republik Indonesia telah mengeluarkan
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2011 tentang
Tata Cara Penyelesaian Sengketa Informasi Publik di
Pengadilan. Terdapat dua kompetensi Absolut dari
sengketa informasi publik, yaitu Peradilan Umum dan
Peradilan Tata Usaha Negara.11 Masing-masing peradilan
menerapkan hukum acaranya dengan ketentuan-ketentuan
khusus yang diatur tersendiri dalam Peraturan Mahkamah
Agung tersebut. Sedangkan beracara melalui Mediasi
ataupun Ajudikasi Non-Litigasi dilakukan melalui Komisi
Informasi dengan tata cara yang diatur dalam Peraturan
Komisi Informasi Nomor 1 Tahun 2013 tentang Prosedur
Penyelesaian Sengketa Informasi Publik. Dalam tulisan
ini akan dijabarkan mengenai prosedur dan proses
beracara dalam sengketa informasi publik yang dilakukan
oleh Moh. Siddiq sebagai pemohon informasi publik
terhadap RSUD. Moh. Anwar Kab. Sumenep melalui analisis
Putusan Pengadilan Negeri Sumenep Nomor
14/Pdt.Plw/2012/PN.Smp serta perbandingan tata cara
penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh Roger Conway
10 United Kingdom, Freedom of Information Act 2000 Chapter 36,Section 18
11 Indonesia, Peraturan Mahkamah Agung tentang Tata Cara PenyelesaianSengketa Informasi Publik Di Indonesia, Perma No. 2 Tahun 2011, Pasal 2.
6
melawan The Information Comissioner dalam putusan pengadilan
tingkat pertama Inggris Information Tribunal Decision
EA/2011/0024.
II. Rumusan Masalah
Dalam tulisan ini, penulis akan merumuskan pokok
permasalahan berdasarkan latar belakang yang ada dalam
pendahuluan di atas sebagai berikut:
1. Bagaimana mekanisme permohonan informasi terhadap
badan publik dan acara penyelesaian sengketa
informasi publik melalui jalur litigasi dan non-
litigasi?
2. Bagaimana penerapan ketentuan mengenai hukum acara
sengketa informasi publik terhadap kasus Putusan
Nomor 14/Pdt.Plw/2012/PN.Smp dan perbandingannya
dengan kasus di Inggris dalam Information Tribunal Decision
EA/2011/0024?
III. Kasus Posisi
Mohammad Siddiq adalah seorang warga negara Indonesia
yang mengajukan surat permohonan informasi publik
kepada Rumah Sakit Umum Daerah dr. Moh. Anwar Kabupaten
Sumenep pada tanggal 9 November 2011. Informasi yang
diminta oleh Moh. Siddiq adalah berupa:
7
1. Salinan Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA) Tahun
Anggaran 2009 beserta Perubahannya;
2. Salinan Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA) Tahun
Anggaran 2011 (PAK);
3. Seluruh salinan Dokumen Kontrak pada pelaksanaan
kegiatan dan pekerjaan di RSUD dr. Moh. Anwar
Kabupaten Sumenep;
4. Salinan SPJ Perjalanan Dinas untuk tahun anggaran
2009 s.d. tahun anggaran 2011 termasuk di dalamnya
bukti pembayaran atau kwitansi.
Atas surat permohonan Moh. Siddiq tersebut, RSUD dr.
Moh. Anwar Kabupaten Sumenep tidak memberikan tanggapan
atas permohonan informasi dari pemohon informasi
tersebut. Kemudian pada tanggal 5 Desember 2011 Pemohon
informasi mengirimkan surat keberatan kepada Termohon
informasi.
RSUD Moh. Anwar Kab. Sumenep sebagai Termohon informasi
juga tidak memberikan tanggapan atas keberatan yang
diajukan Pemohon. Dengan demikian Moh. Siddiq
mengajukan surat permohonan penyelesaian sengketa
informasi ke Komisi Informasi Jawa Timur pada tanggal
16 Januari 2012.
Pada tanggal 21 Februari 2012 Komisi Informasi Jawa
Timur telah melakukan Mediasi untuk menyelesaikan
Sengketa Informasi Publik antara Pemohon dengan
Termohon. Namun, Moh. Siddiq menarik diri dari Mediasi
8
dengan Surat No: 800/281/435.210/2012 pada tanggal 20
Februari 2012 perihal Penarikan Diri Mediasi sehingga
penyelesaian sengketa informasi dilakukan melalui
ajudikasi non-litigasi.
Komisi Informasi Jawa Timur pada akhirnya memutus
sengketa tersebut melalui Putusan Komisi Informasi Jawa
Timur Nomor: 009/I/KI-Prov.Jatim-PS-M-A/2012 dengan
amar putusan yang pada intinya sebagai berikut:
1. Menyatakan bahwa permohonan pemohon tentang Salinan
Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA) Tahun Anggaran
2009 dan perubahannya dan Salinan Dokumen
Pelaksanaan Anggaran (DPA) Tahun Anggaran 2011 (PAK)
adalah informasi yang terbuka dan dapat diakses oleh
publik, tetapi jika dalam dokumen terdapat kegiatan
yang menyangkut Pasal 17 Undang-undang Nomor 14
Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik,
maka kegiatan tersebut harus dihitamkan/dikaburkan
oleh Termohon disertai alasannya.
2. Menyatakan bahwa permohonan tentang Salinan SPJ
Perjalanan Dinas untuk tahun anggaran 2009 s.d.
tahun anggaran 2011 beserta dokumen pendukungnya
adalah informasi yang terbuka dan dapat diakses oleh
publik setelah diperiksa oleh instansi yang
berwenang dan telah berkekuatan hukum tetap.
3. Menyatakan bahwa tidak mengabulkan permohonan
Pemohon untuk mendapatkan seluruh salinan dokumen
9
kontrak pada pelaksanaan kegiatan dan pekerjaan di
RSUD Moh. Anwar Kab. Sumenep beserta dokumen
pendukungnya karena informasi yang diminta oleh
Pemohon tidak jelas/kabur.
Pada tanggal 22 Juni 2012, RSUD Moh. Anwar Kab. Sumenep
sebagai Termohon informasi mengajukan Gugatan
Keberatan/Perlawanan terhadap Putusan Komisi Informasi
Jawa Timur Nomor: 009/I/KI-Prov.Jatim-PS-M-A/2012 di
Kepaniteraan Pengadilan Negeri Sumenep dengan Nomor
Register Perkara 14/Pdt.Plw/2012/PN.Smp dan menempatkan
Moh. Siddiq sebagai Terlawan dalam gugatan tersebut.
IV. Analisis Yuridis Hukum Acara Keterbukaan Informasi
Publik Perkara 14/Pdt.Plw/2012/PN.Smp
Proses awal pengajuan permohonan informasi publik
adalah dengan melakukan permohonan kepada badan publik
yang bersangkutan secara tertulis atau tidak tertulis.12
Moh. Siddiq sebagai pemohon informasi telah mengajukan
surat permohonan kepada badan publik pada tanggal 9
November 2011 yang berarti permohoan diajukan secara
tertulis. RSUD Moh. Anwar Kab. Sumenep seharusnya
diwajibkan untuk melakukan pemberitahuan atas
permintaan informasi tersebut dalam waktu sepuluh
hari.13 Namun, pihak rumah sakit tidak menyampaikan
12 Indonesia, Undang-undang Nomor Keterbukaan Informasi Publik, Op. Cit., Pasal 22 ayat (1)
13 Ibid., Pasal 22 ayat (7).
10
tanggapan apapun terhadap permintaan tersebut. Sesuai
dengan Pasal 35 ayat (1) huruf c Undang-undang
Keterbukaan Informasi Publik, pihak pemohon dapat
mengajukan keberatan terhadap badan publik yang
bersangkutan dan Moh. Siddiq telah mengajukan
keberatannya pada tanggal 5 Desember 2011, yaitu lebih
dari jangka waktu sepuluh hari yang diberikan oleh
undang-undang kepada badan publik. Atas keberatan yang
diajukan oleh Moh. Siddiq, RSUD Kab. Sumenep pun tidak
memberikan respon terhadap keberatan tersebut. Oleh
karena itu, langkah yang dapat diambil adalah upaya
penyelesaian sengketa informasi publik melalui Komisi
Informasi dengan Mediasi dan/atau Ajudikasi non-
litigasi.
Komisi Informasi menerima pendaftaran sengketa
informasi publik oleh Moh. Siddiq dengan nomor register
009/KI-Prov.Jatim-PS-M/2012 dan menjalani proses
mediasi terlebih dahulu sebelum akhirnya masuk kepada
proses Ajudikasi non-litigasi dengan Komisi Informasi
sebagai badan yang memiliki wewenang untuk memutus.
RSUD Moh. Anwar Kab. Sumenep sebagai termohon sengketa
di Komisi Informasi tidak pernah hadir dalam seluruh
rangkaian proses persidangan melalui Komisi Informasi.
Komisi Informasi kemudian memutus sengketa tersebut
dengan amar putusan sebagaimana disebutkan dalam kasus
posisi di atas. Atas putusan Komisi Informasi tersebut,
RSUD Moh. Anwar merasa dirugikan dan mengajukan gugatan
11
ke Pengadilan Negeri Sumenep pada tanggal 22 Juni 2012
dengan nomor register perkara 14/Pdt.Plw/2012/PN.Smp
dengan Moh. Siddiq sebagai terlawan. Hak RSUD Kab.
Sumenep untuk mengajukan gugatan perlawanan terhadap
Putusan Komisi Informasi adalah hak yang diatur oleh
Pasal 48 ayat (1) Undang-undang Keterbukaaan Informasi
Publik, Pasal 4 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun
2011, Pasal 60 ayat (1) Peraturan Komisi Informasi
Nomor 1 Tahun 2013. Objek gugatan yang diajukan oleh
RSUD Kab. Sumenep adalah Putusan Komisi Informasi
karena memang sesuai dengan ketentuan pasal-pasal
tersebut, hanya Putusan Mediasi atau Ajudikasi Non-
Litigasi dari Komisi Informasi lah yang dapat dijadikan
objek gugatan sengketa informasi publik di peradilan
umum maupun peradilan tata usaha negara.
Jangka waktu yang diberikan oleh undang-undang adalah
empat belas hari setelah diterimanya Putusan Komisi
Informasi oleh para pihak. Dalam kasus ini, jarak
antara tanggal Putusan Komisi Informasi dan Gugatan
yang didaftarkan oleh RSUD Moh. Anwar Kab. Sumenep
adalah enam belas hari. Hal ini tidak mengabaikan
ketentuan empat belas hari yang diberikan undang-undang
sesuai Pasal 48 ayat (1) UU KIP, Pasal 4 ayat (2) PERMA
Nomor 2 Tahun 2011, dan Pasal 60 ayat (2) Peraturan
Komisi Informasi Nomor 1 Tahun 2013 karena jangka waktu
dimulai sejak diterimanya putusan dengan suatu tanda
bukti penerimaan. Hal tersebut memang tidak memberikan
12
suatu kepastian hukum akan waktu diterimanya putusan
tersebut, tetapi setidaknya telah memberikan rasa
keadilan melihat perbedaan jarak dan akses para pihak
dalam mendapatkan salinan putusan.
Kompetensi absolut dari penyelesaian sengketa informasi
publik adalah peradilan umum melalui pengadilan negeri
dan peradilan tata usaha negara melalui pengadilan tata
usaha negara sebagaimana yang diatur dalam Pasal 47 UU
KIP dan Pasal 3 PERMA Nomor 2 Tahun 2011. RSUD Moh.
Anwar Kab. Sumenep merupakan rumah sakit publik yang
dikelola oleh pemerintah daerah dan dilaksanakan
berdasarkan pengelolaan Badan Layanan Umum Daerah
berdasarkan SK Bupati Sumenep Nomor:
188/459/435.013/2011 tanggal 28 Desember 2011. Badan
Layanan Umum Daerah merupakan bagian dari entitas
Pemerintah Daerah yang pendanaan kegiatannya didapatkan
dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan status
hukum yang tidak terpisah dari Pemerintah Daerah.14 PPK-
BLUD bukanlah BUMD yang mengedepankan profit oriented karena
akuntabilitas pengelolaan keuangan BLUD masih di dalam
entitas pemerintah daerah. 15Dengan demikian, RSUD Moh.
Anwar Kab. Sumenep merupakan Badan Publik Negara
sebagaimana definisinya dijelaskan dalan Pasal 1 Angka
14 Indonesia, Peraturan Menteri Dalam Negeri tentang Pedoman TeknisPengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah, Permendagri No. 61Tahun 2007, Pasal 2 ayat (2).
15 Dewi, “Badan Layanan Umum Daerah”www.kemendagri.go.id/article/2013/12/02/badan-layanan-umum-daerahdiakses tanggal 25 Oktober 2014.
13
8 PERMA Nomor 2 Tahun 2011. Tindakan RSUD mengajukan
gugatan ke pengadilan negeri adalah tepat karena
tergugat dari gugatan tersebut adalah subjek hukum
individu (natuurlijk persoon) yang bukan merupakan Badan
Publik Negara.Gugatan tidak diajukan ke Pengadilan Tata
Usaha Negara karena yang digugat adalah individu dan
penggugat lah justru yang merupakan Badan Publik
Negara. Tidaklah mungkin tergugat dalam Pengadilan Tata
Usaha Negara adalah individu dan bukan Badan Publik
Negara. Dengan demikian secara kompetensi absolut,
gugatan sengketa informasi publik yang dilayangkan oleh
RSUD Moh. Anwar adalah tepat. Hukum acara pemeriksaan
perkara gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara dan
Pengadilan Negeri ini dilakukan sesuai dengan hukum
acara peradilan tata usaha negara dan peradilan umum
yang berlaku sepanjang tidak menyangkut hal-hal yang
telah diatur dalam UU KIP.16
Pemeriksaan sengketa informasi publik di Pengadilan
pada dasarnya mengikuti hukum acara masing-masing
sepanjang tidak bertentangan dengan UU KIP. Oleh karena
RSUD Kab. Sumenep mengajukan gugatan di lingkungan
peradilan umum, yaitu Pengadilan Negeri, maka hukum
acara yang berlaku adalah hukum acara perdata. Akan
tetapi, hukum acara penyelesaian sengketa informasi di
pengadilan yang diatur dalam PERMA Nomor 2 Tahun 2011
merupakan suatu lex specialis dari hukum acara perdata atau
16 Komisi Informasi Pusat Republik Indonesia, Op. Cit., hlm. 380.
14
hukum acara tata usaha negara. Konsekuensinya adalah
dalam kasus ini diterapkannya hukum acara perdata
dengan ketentuan-ketentuan khusus yang berbeda dengan
hukum acara perdata pada umumnya.
Mengenai pemeriksaan sengketa informasi publik dalam
kasus Moh. Siddiq melawan RSUD Kab. Sumenep tersebut,
Tergugat atau Terlawan mengajukan materi eksepsi dan
gugatan rekonvensi bersamaan dengan memori jawaban
Terlawan. Pelawan pun dalam gugatan perlawanannya
mengajukan tuntutan provisi. Akan tetapi, Majelis Hakim
melimitasi pemeriksaan sengketa diarahkan kepada
dokumen-dokumen berkas perkara, gugatan keberatan,
Putusan Komisi Informasi, dan Jawaban atas keberatan.
Hal tersebut tepat karena memang pada dasarnya Pasal 7
ayat (1) PERMA Nomor 2 Tahun 2011 sebagai pedoman hukum
acara bagi sengketa informasi publik telah mengarahkan
proses pemeriksaan hanya sebatas Putusan Komisi
Informasi, berkas perkara, gugatan keberatan, dan
Jawaban atas keberatan.17
Pada dasarnya eksepsi, gugatan rekonvensi, ataupun
tuntutan provisi dikenal dalam hukum acara perdata.
Eksepsi atau tangkisan adalah jawaban yang tidak
langsung mengenai pokok perkara.18 Gugatan rekonvensi
merupakan gugatan yang diajukan tergugat sebagai
17 Indonesia, Peraturan Mahkamah Agung tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Informasi Publik di Indonesia, Op. Cit., Pasal 7 ayat (1)
18 Retnowulan Sutantio, Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek, Cet. 11 (Bandung: Mandar Maju, 2009), hlm. 38
15
gugatan balasan terhadap gugatan yang diajukan
penggugat kepadanya.19 Mengenai gugatan rekonvensi
diatur dalam Pasal 132a HIR. Sedangkan tuntutan provisi
atau gugatan provisi adalah permohonan kepada hakim
agar ada tindakan sementara mengenai hal yang tidak
termasuk dalam pokok perkara yang apabila dikabulkan
oleh hakim akan disebut putusan provisionil.20 Eksepsi
pada dasarnya merupakan jawaban tergugat atas gugatan
yang tidak mengenai pokok perkara. Waktu diajukannya
eksepsi adalah setelah surat gugatan diterima oleh
tergugat. Tergugat memiliki pilihan apakah akan
mengajukan eksepsi atau langsung mengajukan jawaban
atas gugatan yang langsung kepada pokok perkara.
Gugatan rekonvensi biasanya diajukan bersamaan dengan
jawaban secara lisan atau tertulis mengenai pokok
perkara. Gugatan rekonvensi dalam praktek dapat
diajukan selama belum dimulai pemeriksaan bukti,
artinya belum pula dimulai dengan pendengaran para
saksi.21 Akan tetapi, dengan dasar pengaturan lex specialis
dalam Pasal 7 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2
Tahun 2011, hak-hak tersebut dihapuskan dalam
pertimbangan Majelis Hakim karena dinilai oleh Majelis
Hakim akan melenceng dari maksud PERMA tersebut dan
menjadi tidak sederhana lagi. Menurut Majelis Hakim,
19 Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan (Jakarta: Sinar Grafika. 2007), hlm. 468
20 Ibid., hlm. 88421 Retnowulan Sutantio, Op. Cit., hlm. 41
16
jika eksepsi, gugatan rekonvensi, ataupun gugatan
provisi dipertimbangkan dalam pemeriksaan di pengadilan
negeri dalam sengketa informasi publik ini. Maka akan
menyebabkan perkara tersebut tidak lagi bersifat khusus
(specialis). Ini merupakan cerminan perlakukan khusus dalam
beracara sengketa informasi publik dibandingkan dengan
beracara di pengadilan perdata pada umumnya.
Prosedur beracara di sengketa informasi publik, selain
yang dijelaskan di atas, tidak mengenal adanya proses
mediasi.22 Proses mediasi dalam beracara perkara
perdata diamanatkan dalam Pasal 130 ayat (1) HIR dan
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 tentang
Prosedur Mediasi di Pengadilan. Pada dasarnya dalam
perkara perdata, proses mediasi wajib dilakukan oleh
para pihak melalui hakim atau seorang mediator pada
sidang pertama sebelum tergugat memberikan jawaban atas
gugatan, baik yang tidak mengenai pokok perkara maupun
yang mengenai pokok perkara.23 Tidak dilakukannya
prosedur mediasi yang diamanatkan dalam Pasal 130 ayat
(1) HIR akan berakibat putusan batal demi hukum.24
Ketentuan mengenai ketidakadaan proses mediasi dalam
penyelesaian sengketa informasi publik di pengadilan
dapat diterima. Hal tersebut dikarenakan sebelum
gugatan tersebut diterima oleh pengadilan negeri, para22 Indonesia, Peraturan Mahkamah Agung tentang Tata Cara Penyelesaian
Sengketa Informasi Publik di Pengadilan, Op. Cit., Pasal 7 ayat (2).23 Indonesia, Peraturan Mahkamah Agung tentang Prosedur Mediasi di
Pengadilan, Perma No. 1 Tahun 2008, Pasal 2 ayat (2).24 Ibid., Pasal 2 ayat (3).
17
pihak yang bersengketa dalam sengketa informasi publik
sudah melalui upaya penyelesaian sengketa di Komisi
Informasi yang merupakan bagian dari upaya penyelesaian
secara administratif (atau lebih tepatnya quasi-
yudisial).25
Sebelum RSUD Moh. Anwar Kab. Sumenep mengajukan gugatan
keberatan/perlawanan ke Pengadilan Negeri Sumenep, para
pihak telah melalui suatu proses upaya penyelesaian
sengketa baik melalui Mediasi maupun Ajudikasi Non-
Litigasi di Komisi Informasi. Dengan demikian, hakim
pengadilan negeri yang mengadili perkara sengketa
informasi publik tidak perlu mengusahakan suatu mediasi
sebelum masuk kepada pokok perkara seperti yang
diamanatkan Pasal 130 ayat (1) HIR dengan ancaman
putusan batal demi hukum sesuai dengan Pasal 2 ayat (3)
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008.
Setelah proses jawaban langsung mengenai pokok perkara
oleh tergugat atau terlawan, selanjutnya adalah masuk
ke dalam tahap pembuktian. Alat-alat bukti yang diatur
dalam perkara perdata yang diatur dalam Pasal 164 HIR,
juga diterapkan dalam pemeriksaan dalam sengketa
informasi publik. Akan tetapi, dalam acara penyelesaian
sengketa informasi publik, pemeriksaan bukti-bukti
tersebut hanya dilimitasi terhadap hal-hal yang
dibantah oleh salah satu para pihak serta jika ada
25 Komisi Informasi Pusat Republik Indonesia, Op. Cit., hlm. 380
18
bukti baru selama dipandang perlu oleh hakim.26 Dalam
kasus Moh. Siddiq melawan RSUD Moh. Anwar Kab. Sumenep,
pihak pelawan lah yang mengajukan bantahan atas Putusan
Komisi Informasi dan mengajukan bukti-bukti berupa
surat serta bukti tambahan Surat Permohonan Informasi
tanggal 9 November 2011 oleh pemohon informasi. Oleh
karena itu, selama persidangan berlangsung, pemeriksaan
sangat ditekankan kepada isi dari Surat Permohonan
Informasi yang diajukan oleh pemohon informasi.
Bantahan yang diajukan oleh pelawan adalah bahwa Surat
Permohonan Informasi yang diajukan terlawan (dahulu
pemohon) tidak menjelaskan tujuan yang bersifat khusus
untuk apa informasi-informasi tersebut diminta. Dengan
demikian, Majelis Hakim mempertimbangkan bunyi Pasal 4
ayat (3) UU KIP yang menyatakan bahwa setiap pemohon
informasi publik berhak mengajukan permintaan informasi
publik disertai alasan permintaan tersebut.
Pembuktian hanya dilakukan sebatas pemeriksaan surat
dalam kasus tersebut karena isi surat permohonan lah
yang menjadi substansi masalah. Kemudian, pemeriksaan
sengketa informasi publik secara keseluruhan tidak
boleh lebih dari enam puluh hari sejak Majelis Hakim
ditetapkan.27 Sedangkan, hukum acara perdata tidak
mengenal pembatasan waktu seperti yang diatur secara
26 Indonesia, Peraturan Mahkamah Agung tentang Tata Cara PenyelesaianSengketa Informasi Publik di Pengadilan., Op. Cit., Pasal 7 ayat (2).
27 Indonesia, Peraturan Mahkamah Agung tentang Tata Cara PenyelesaianSengketa Informasi Publik di Pengadilan, Op. Cit., Pasal 9 ayat (1).
19
khusus dalam tata cara penyelesaian sengketa informasi
publik tersebut. Pemeriksaan perkara perdata dapat
memakan waktu yang cukup lama bahkan sampai bertahun-
tahun yang mengakibatkan menjadi kurang efisiennya
berperkara di pengadilan perdata. Atas dasar itu lah,
undang-undang membatasi waktu pemeriksaan perkara
sengketa informasi publik dengan alasan efektivitas dan
efisiensi bagi para pihak yang bersengketa informasi.
Hal tersebut juga bertujuan untuk memberikan kepastian
hukum bagi pemohon informasi atas informasi yang
diminta tersebut.
Dalam kurun waktu enam puluh hari yang diberikan oleh
undang-undang dalam menyelesaikan sengketa informasi
publik, Majelis Hakim wajib memutus sengketa tersebut
sesuai dengan Pasal 9 ayat (1) Perma No. 2 Tahun 2011
tersebut. Putusan memiliki dua golongan, yaitu putusan
sela dan putusan akhir. Menurut sifatnya, putusan
terdiri dari tiga macam, yaitu putusan declaratoir,
putusan constitutif, dan putusan condemnatoir.28
Putusan sela juga memiliki beberapa macam, yaitu
putusan preparatoir, putusan insidentil, dan putusan
provisionil.29 Hukum acara penyelesaian sengketa
informasi publik menjelaskan lebih jauh mengenai
putusan Majelis Hakim atas sengketa informasi publik.
Diatur bahwa putusan Pengadilan dapat berupa
28 Retnowulan Sutantio, Op. Cit., hlm. 109.29 Ibid., hlm. 110.
20
membatalkan atau menguatkan putusan Komisi Informasi
dengan merujuk pada Pasal 49 UU KIP.30 Maksud dari
pasal tersebut adalah bahwa putusan Majelis Hakim yang
mengadili sengketa informasi publik secara umum terdiri
dari dua jenis putusan tersebut. Karena objek sengketa
adalah putusan Komisi Informasi, maka putusan Majelis
Hakim memang sudah seyogyanya adalah memutus mengenai
putusan Komisi Informasi tersebut apakah dibatalkan
atau dikuatkan oleh Majelis Hakim di Pengadilan.
Pengaturan putusan Majelis Hakim pada dasarnya tidak
dibatasi oleh kedua jenis putusan tersebut. Majelis
Hakim dapat memutus atas sengketa informasi publik
berupa perintah kepada para pihak untuk melakukan
sesuatu yang berhubungan dengan informasi publik.
Perintah tersebut dapat berupa memerintahkan badan
publik untuk memberikan seluruh atau sebagian informasi
atau untuk menolak memberikan informasi tersebut. Yang
kedua adalah putusan Majelis Hakim dapat berupa
perintah kepada Pejabat Pengelola Informasi dan
Dokumentasi untuk melaksanakan kewajiban, menolak surat
permohonan informasi, dan memutuskan biaya penggandaan
informasi.31 Dilihat dari klasifikasi putusan
berdasarkan pendapat Retnowulan Sutantio di atas,
putusan Majelis Hakim terhadap sengketa informasi
30 Indonesia, Peraturan Mahkamah Agung tentang Tata Cara PenyelesaianSengketa Informasi Publik di Pengadilan, Op. Cit., Pasal 10 ayat (2).
31 Indonesia, Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik, Op. Cit.,Pasal 49.
21
publik pada dasarnya dapat berupa putusan declaratoir
sekaligus putusan condemnatoir atau putusan
constitutief sekaligus putusan condemnatoir. Maksudnya
adalah selain putusan tersebut bersifat declaratoir
atau constitutief, yaitu berisi penegasan atau
peniadaan keadaan hukum berdasarkan putusan Komisi
Informasi, tetapi juga putusan Pengadilan berisi
konsekuensi tindakan yang diambil atas putusan
declaratoir atau constitutief tersebut, yaitu putusan
condemnatoir yang isinya memerintahkan suatu badan
publik untuk memberikan atau menolak informasi publik
yang diminta oleh pemohon informasi. Dalam Putusan
Pengadilan Negeri Sumenep No. 14/Pdt.Plw/2012/PN.Smp,
Majelis Hakim menjatuhkan putusan yang berupa putusan
constitutief disertai dengan putusan condemnatoir.
Putusan constitutief tercermin dalam amar putusan
Majelis Hakim yang membatalkan putusan Komisi Informasi
Jawa Timur No. 009/I/KI-Prov.Jatim-PS-M-A/2012 dan
mengadili sendiri dengan mengabulkan sebagian
permohonan informasi. Dengan adanya amar putusan
tersebut, berarti ada suatu keadaan hukum yang
ditiadakan, yaitu putusan Komisi Informasi Jawa Timur
dan adanya suatu keadaan hukum baru, yaitu putusan
mengadili sendiri oleh Majelis Hakim. Kemudian putusan
condemnatoir dapat dilihat dari putusan Majelis Hakim
yang memerintahkan Pelawan untuk menyediakan beberapa
22
informasi yang disebutkan dalam amar putusan untuk
disediakan setiap saat.
Terhadap putusan pengadilan negeri tersebut juga dapat
dimintakan kasasi oleh para pihak yang bersengketa
langsung ke Mahkamah Agung dalam kurun waktu empat
belas hari sejak diterimanya putusan pengadilan yang
berkekuatan hukum tetap tersebut.32 Proses kasasi yang
langsung tanpa upaya banding tersebut diperbolehkan
oleh undang-undang selama hal tersebut diatur oleh
undang-undang.33
V. Perbandingan dengan Hukum Acara Keterbukaan
Informasi Publik Inggris Perkara EA/2011/0024
Keterbukaan Informasi Publik di Inggris tertuang dalam
Freedom of Information Act 2000 yang mengatur tentang akses
publik terhadap informasi yang dikelola oleh otoritas
publik atau badan publik.34 Sama halnya dengan yang ada
di Indonesia, pemohon informasi publik Inggris dapat
meminta The Information Commissioner untuk memutus apakah
suatu permohonan informasi publik yang diminta oleh
pemohon telah memenuhi persyaratan hak pemohon
32 Indonesia, Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik, Op. Cit.,Pasal 50
33 Indonesia, Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, UU No. 48 Tahun2009, LN No. 157 Tahun 2009, TLN No. 5076, Pasal 26 ayat (1).
34 Information Commisioner’s Office, The Guide to Freedom ofInformation, version 4.3 (Chesire: Information Commissioner’s Office.2014), hlm. 3
23
informasi.35 The Information Commissioner akan mengeluarkan
sebuah putusan yang disebut dengan Decision Notice dalam
hal terdapat permintaan penyelesaian sengketa informasi
publik tersebut. Decision Notice yang dikeluarkan oleh The
Information Commissioner dapat digugat oleh para pihak yang
dirugikan dalam sengketa informasi publik melalui
pengadilan tingkat pertama Inggris atau First-Tier
Tribunal.36 Putusan First-Tier Information Tribunal Decision
EA/2011/0024 merupakan putusan pengadilan tingkat pertama
Inggris yang memutus kasus sengketa informasi antara
Roger Conway sebagai pemohon informasi melawan The
Information Commissioner terhadap objek sengketa, yaitu The
Information Commissioner Decision Notice FS50370481. Tergugat
(respondant) dalam kasus sengketa informasi di Inggris
adalah The Information Commissioner karena objek dari
sengketa adalah Decision Notice dari komisi tersebut.
Pihak-pihak lain hanya merupakan sebagai turut tergugat
atau pihak yang terlibat. Dalam kasus ini, contohnya,
tergugat adalah The Information Commissioner dan pihak badan
publik yang terlibat adalah the Somerset County Council.
Berbeda dengan di Indonesia bahwa yang menjadi tergugat
adalah badan publik atau individu yang menjadi para
pihak dalam sengketa informasi publik tersebut.
Freedom of Information Act 2000 memiliki definisi tersendiri
mengenai public authority atau otoritas publik. Yang
35 United Kingdom, Op. Cit., Section 5036 Ibid., Section 57
24
dimaksud dengan badan publik adalah badan atau individu
yang sudah ditetapkan dalam daftar badan publik, badan
atau individu yang didirikan berdasarkan perintah
Secretary of State, atau perusahaan milik publik.37 Dalam
kasus Roger Conway, badan publik yang dimintakan
informasi adalah the Somerset County Council. Penolakan
terhadap informasi yang diminta oleh Roger Conway
mengakibatkan pengajuan penyelesaian sengeketa
informasi oleh Conway kepada The Information Commissioner
yang pada akhirnya menegaskan posisi the Somerset County
Council atas penolakannya terhadap informasi yang diminta
oleh Conway.
Pemeriksaan terhadap kasus Conway melawan The Information
Commissioner dilakukan terhadap permintaan informasi
publik. Majelis Hakim memeriksa apakah tujuan
permintaan informasi yang dilakukan oleh Conway dapat
digolongkan sebagai permintaan yang dilarang oleh
Freedom of Information Act atau tidak. Sama halnya dengan
pemeriksaan kasus Moh. Siddiq melawan RSUD Kab.
Sumenep. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Sumenep juga
memeriksa apakah surat permohonan informasi yang
diajukan oleh Moh. Siddiq memiliki tujuan khusus selain
tujuan yang diamanatkan oleh undang-undang atau tujuan
yang dilarang oleh UU KIP. Majelis Hakim di Pengadilan
dalam sengeketa informasi publik hanya memeriksa
Decision Notice yang dikeluarkan oleh The Information
37 Ibid., Section 3
25
Commissioner apakah putusan tersebut sesuai dengan
Freedom of Information Act 2000 atau tidak.
Majelis Hakim Inggris juga pada akhirnya akan
menjatuhkan putusan Pengadilan apakah menguatkan atau
membatalkan putusan Komisi Informasi (The Information
Commissioner Decision Notice). Dalam putusan Pengadilan
Tingkat Pertama Inggris yang mengadili sengketa
informai, Tribunal Judge menjatuhkan putusan Decision
EA/2011/0024 membatalkan The Information Commissioner Decision
Notice FS50370481 dan memerintahkan badan publik the
Somerset County Council untuk menyediakan informasi yang
dibutuhkan oleh penggugat atau pemohon informasi.
Terhadap putusan tersebut juga dapat diajukan banding
langsung ke mahkamah tinggi sesuai dengan yurisdiksi
masing-masing sebagaimana diatur dalam Freedom of
Infromation Act 2000. Decision First-Tier Tribunal tersebut dapat
diajukan banding terhadapnya ke the High Court of England
apabila alamat badan publik tersebut berada di Inggris
dan Wales, the Court of Session jika alamat badan publik
berada di Skotlandia, dan the High Court of Justice in Northern
Ireland apabila badan publik tersebut berada di Irlandia
Utara.38
38 United Kingdom, Op. Cit., Section 59.
26
VI. Kesimpulan
Keterbukaan Informasi Publik menjadi sesuatu yang
penting bagi negara yang berdemokrasi. Baik Indonesia
maupun Inggris menjunjung tinggi kebebasan informasi
dengan dikeluarkannya Undang-Undang Keterbukaan
Informasi Publik di Indonesia dan Freedom of Information Act
2000 di Inggris. Pada pokoknya konsep beracara dalam
sengketa informasi publik di Indonesia dan di Inggris
tidak jauh berbeda. Pemohon informasi dapat mengajukan
penyelesaian sengketa informasi publik kepada Komisi
Informasi terhadap penolakan informasi publik tersebut.
Di Indonesia, upaya administratif atau quasi-yudisial
dapat ditempuh melalui Komisi Informasi untuk
menyelesaikan sengketa informasi publik. Di Inggris,
tugas the Information Commissioner-lah memutuskan apakah
permintaan informasi publik sudah sesuai dengan syarat-
syarat yang ditentukan dalam Freedom of Information Act.
Komisi Informasi atau the Information Commissioner memiliki
kewenangan untuk memutus sengketa tersebut dan
menentukan apakah suatu informasi memenuhi persyaratan
dan tidak melanggar ketentuan-ketentuan dalam undang-
undang serta permohonan informasi tersebut memiliki
tujuan yang jelas. Terhadap putusan Komisi Informasi
atau the Information Commissioner Decision Notice dapat diajukan
gugatan atau appeal ke Pengadilan Negeri di Indonesia
dan ke First-Tier Information Tribunal di Inggris. Yang menjadi
27
objek sengketa adalah putusan Komisi Informasi. Akan
tetapi, perbedaannya dengan di Inggris adalah bahwa di
Inggris yang menjadi tergugat atau terlawan dalam
sengketa di Pengadilan adalah the Information Commissioner
karena objek sengketanya adalah Decision Notice dari
Commissioner tersebut. Sedangkan di Indonesia, yang
menjadi tergugat atau terlawan adalah pihak lain dari
sengketa informasi publik, yaitu badan publik, baik
negara maupun non negara, atau individu. Komisi
Informasi tidak ditempatkan sebagai tergugat atau
terlawan dalam sengketa informasi publik di Indonesia
walaupun objek sengketanya adalah putusan Komisi
Informasi. Selanjutnya, terhadap putusan pengadilan
tersebut, pihak yang dirugikan masih memiliki upaya
hukum, yaitu upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung di
Indonesia dan upaya hukum Appeal on Decision of Tribunal di
Inggris ke the High Court of Justice in England, the Court of Session,
atau the High Court of Justice in Northern Ireland. Keterbukaan
Informasi Publik menjadi sangat penting sehingga
pengaturan terhadap mekanisme aksesnya harus diatur
dalam undang-undang serta bagaimana penyelesaian
sengekta terhadapnya. Secara garis besar, mekanisme
permohonan informasi dan penyelesaian secara litigasi
atau non-litigasi yang ditempuh di Indonesia tidak jauh
berbeda dengan di Inggris. Perbedaannya terdapat pada
substansinya, yaitu tolak ukur terhadap persyaratan
28
informasi yang diperbolehkan dan tujuan permohonan
informasi tersebut.
VII. Daftar Pustaka
Cartwright, Roger. Et. al. The Handbook for Managing Resources and Information. New Delhi: Infinity Books, 2001.
Dewi. “Badan Layanan Umum Daerah.”
www.kemendagri.go.id/article/2013/12/02/badan-
layanan-umum-daerah diakses tanggal 25 Oktober
2014.
Diskusi Serial KIP dan OGP. “Transparansi Informasi
dalam 3 Cara Pandang.”
www.kebebasaninformasi.org/en/2013/12/03/diskusi-
serial-iii-transparansi-informasi-dalam-3-cara-
pandang/ diakses tanggal 25 Oktober 2014.
Harahap, Yahya. Hukum Acara Perdata tentang Gugatan,
Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan.
Jakarta: Sinar Grafika, 2007.
Information Commissioner’s Office. The Guide to Freedom of Information, version 4.3. Chesire: Informtion Commissioner’s Office, 2014.
Komisi Informasi Pusat Republik Indonesia. Anotasi
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan
Informasi Publik, ed.1, cet.1, Jakarta: Komisi
Informasi Pusat Republik Indonesia, 2009.
29
Santosa, Mas Achmad. Good Governance dan Hukum Lingkungan.
Jakarta: ICEL, 2001.
Sutantio, Retnowulan. Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan
Praktek, Cet.11. Bandung: Mandar Maju, 2009.
VIII.Daftar Peraturan Perundang-Undangan
Indonesia. Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
Indonesia. Undang-Undang Penyelenggara Negara Yang Bersih Dari Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme, UU No. 28 Tahun 1999, LN No. 75 Tahun 1999, TLN No. 3851.
Indonesia. Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik, UU No. 14 Tahun 2008, LN No. 61, TLN No. 4846.
Indonesia. Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, UU No. 48 Tahun 2009, LN No, 157 Tahun 2009, TLN No. 5076.
Indonesia. Peraturan Menteri Dalam Negeri tentang Pedoman Teknis Keuangan Badan Layanan Umum Daerah. Permendagri No. 61Tahun 2007.
Mahkamah Agung. Peraturan Mahkamah Agung tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Informasi Publik di Pengadilan. Perma No.2 Tahun 2011.
Mahkamah Agung. Peraturan Mahkamah Agung tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Perma No. 1 Tahun 2008.
Universal Declaration of Human Right 1946.
United Kingdom. Freedom of Information Act 2000.