ANALISIS PUTUSAN PTUN JAKARTA
Transcript of ANALISIS PUTUSAN PTUN JAKARTA
ANALISIS PUTUSAN PTUN JAKARTA
NO. 71/G.TUN/2001/PTUN-JKT
(KASUS KAPAS TRANSGENIK)
Oleh :
1. Achmad Fadhil Arsandy Mirza 0806341210
2. Astrie Sekarlaranti Lestari
0806316934
3. Gina Natasha Ardiyanti 0806321695
4. Hangkoso Satrio Wibawanto 0806461505
5. I Gusti Agung Putra Trisnajaya 0806317054
6. Maryam Az Zahra 0806342693
7. Naftalia Siregar 0806342796
8. Roma Rita Oktaviyanti 0806319702
9. Sita Putri Anandhani 0806461865
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS INDONESIA
Tujuan Pembahasan
1. Mahasiswa mampu memahami dan melihat penerapan hak
prosedural di dalam kasus nyata.
2. Mahasiswa mampu memberikan komentar kritis atas
pertimbangan hakim
Materi Pembahasan Kasus Kapas Transgenik
A. Hak Gugat Penggugat
Dalam perkara kasus transgenik Putusan
Nomor:71/G.TUN/2001/PTUN-JKT, pihak Penggugat adalah
beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Menjadi suatu
pertanyaan bagaimanakah kedudukan Hak Gugat Penggugat,
yakni apakah Penggugat dalam kasus ini memiliki hak gugat
dalam mengajukan gugatan terhadap keputusan Menteri
Pertanian Republik Indonesia. Sesuai dengan asas pont
d’interet – point d’action dalam Hukum Acara Peradilan Tata Usaha
Negara, maka yang berhak untuk mengajukan gugatan
terhadap suatu keputusan pejabat TUN hanyalah pihak yang
memiliki kepentingan atas keputusan tersebut. Maka dalam
menganalisis kepentingan para Penggugat dalam kasus ini,
diperlukan suatu uraian mengenai Hak Gugat Penggugat.
Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup mulai diperkenalkan adanya
hak gugat organisasi lingkungan atau Lembaga Swadaya
Masyarakat (NGO’s standing to sue).
Hak Gugat Lembaga Swadaya Masyarakat (NGO’s standing to sue)
adalah kecakapan serta kewenangan Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang pelestarian
lingkungan sebagai Penggugat di muka pengadilan untuk
menguji suatu kebijaksanaan penguasa negara maupun swasta
yang mengancam kelestarian daya dukung lingkungan.1 NGO’s
standing to sue atau Hak Gugat LSM (Lembaga Swadaya
Masyrakat), dimana LSM mewakili kepentingan tertentu yang
didasarkan pada sistem pemberian hak gugatan kepada
organisasi tertentu oleh undang-undang. Secara
Konseptual, Hak Gugat LSM bukanlah perwakilan dari korban
atau pihak yang mengalami kerugian nyata dalam suatu
peristiwa hukum. LSM disini dikondisikan bertindak dalam
konteks gugatan lingkungan sebagai pihak yang mewakili
kepentingan perlindungan lingkungan hidup. Hal ini
berkembang dari adanya posisi lingkungan sebagai hal yang
sangat penting yang tidak dapat mempertahankan haknya
(dimana lingkungan bersifat inanimatif) sehingga perlu
adanya pihak yang memperjuangkannya. Teori lingkungan
yang bersifat inanimatif ini memberikan landasan dimana
lingkungan sebagai ekosistem dan makhluk hidup memiliki
suatu hak yang mana ia tidak dapat mempertahankan dirinya
sendiri, sehingga perlu diwakilkan, yakni oleh LSM.
1 Mas Achmad Santosa. Good Governance dan Hukum Lingkungan. Jakarta:ICEL, 2001. Hal. 286
Hak masyarakat dan organisasi lingkungan hidup untuk
mengajukan gugatan atas dasar kepentingan lingkungan
hidup diatur pada UU No 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup diatur dalam Pasal 38, yang mengatur
sebagai berikut:
1) Dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab pengelolaan
lingkungan hidup sesuai dengan pola kemitraan,
organisasi lingkungan hidup berhak mengajukan
gugatan untuk kepentingan pelestarian fungsi
lingkungan hidup.
2) Hak mengajukan gugatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) terbatas pada tuntutan untuk hak melakukan
tindakan tertentu tanpa adanya tuntutan ganti rugi,
kecuali biaya atau pengeluaran riil.
3) Organisasi lingkungan hidup berhak mengajukan
gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila
memenuhi persyaratan :
a berbentuk badan hukum atau yayasan;
b dalam anggaran dasar organisasi lingkungan
hidup yang bersangkutan menyebutkan dengan
tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi
tersebut adalah untuk kepentingan pelestarian
lingkungan hidup;
c telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan
anggaran dasarnya.
Dengan adanya perubahan UU Nomor 32 Tahun 2009
Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,
pengaturan mengenai hak gugat organisasi lingkungan (LSM)
diatur dalam pasal 92 yang mengatur sebagai berikut:
1) Dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup, organisasi
lingkungan hidup berhak mengajukan gugatan untuk
kepentingan pelestarian lingkungan hidup
2) Hak mengajukan gugatan terbatas pada tuntutan untuk
melakukan tindakan tertentu tanpa adanya tuntutan
ganti rugi kecuali biaya atau pengeluaran riil.
3) Organisasi lingkungan hidup dapat mengajukan gugatan
apabila memenuhi persyaratan :
a berbentuk badan hukum
b menegaskan di dalam anggaran dasarnya bahwa
organisasi tersebut didirikan untuk kepentingan
pelestarian fungsi lingkungan hidup
c telah melaksanakan kegiatan nyata sesuai dengan
anggaran dasarnya paling singkat 2 (dua) tahun.
Berdasarkan kedua pasal di atas, kita dapat melihat
bahwa Para Penggugat, terkecuali Yayasan Lembaga Konsumen
Indonesia (YLKI); Yayasan Lembaga Konsumen Sulawesi
Selatan; Yayasan Lembaga Pengkajian dan Pemberdayaan
Masyarakat (LPP M), adalah benar merupakan Organisasi
Lingkungan atau Lembaga Swadaya Masyarakat yang mana
telah memenuhi unsur-unsur Pasal 38 ayat (3) UU No. 23
Tahun 1997 serta Pasal 92 ayat (3) UU No. 32 Tahun 2009,
yang unsur-unsurnya adalah sebagai berikut:
1) Berbentuk badan hukum, yakni para Penggugat
merupakan sebuah organisasi lingkungan yang
berbentuk suatu badan hukum yakni berupa sebuah
yayasan. Sehingga dengan demikian dapat dikatakan
bahwa para Penggugat telah memenuhi ketentuan suatu
badan hukum.
2) Menyebutkan tujuan organisasi adalah untuk
kepentingan pelestarian lingkungan hidup dalam
AD/ART organisasi tersebut. Para pengguggat memiliki
AD/ART yang merupakan anggaran dasar pembentukan dan
pelaksanaan urusan organisasi lingkungan tersebut.
Dalam AD/ART tersebut telah disebutkan dengan tegas
bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah
untuk kepentingan pelestarian lingkungan hidup.2
Salah satunya adalah Yayasan Lembaga Pengembangan
Hukum Lingkungan Indonesia/Indonesian Centre for
Environmental Law (ICEL) menyebutkan dengan jelas
pada pasal 10 ayat (4) Anggaran Dasar/Anggaran Rumah
Tangga Yayasan tujuan pendirian yayasan tersebut
adalah untuk kepentingan pelestarian lingkungan
hidup.
3) Pada unsur yang ketiga terdapat perbedaan antara UU
No. 23 Tahun 1997 dan UU No. 32 Tahun 2009, yakni
pada UU No. 23 Tahun 1997 disebutkan bahwa perlu
adanya pelaksanaan kegiatan sesuai dengan tujuan
anggaran dasarnya, yang dalam UU No. 32 Tahun 2009
disebutkan jangka waktu pelaksanaan kegiatan
tersebut. Para Penggugat telah memenuhinya dengan
melaksanakan kegiatan perlindungan lingkungan, yang
mana dapat dilihat berdasarkan jangka waktu2 Vide Putusan Hal. 1 sampai dengan Hal. 7
pendirian yang rentang waktunya telah melebihi 2
(dua) tahun.
Dengan demikian dapat disimpulkan kedudukan dan
kepentingan Para Penggugat yang terdiri dari Yayasan
Lembaga Pengembangan Hukum Lingkungan
Indonesia/Indonesian Centre for Environmental Law (ICEL);
Yayasan Konsorsium Nasional untuk Pelestarian Hutan dan
Alam Indonesia (KONPHALINDO); Yayasan Biodinamika
Pertanian Indonesia adalah Organisasi Lingkunagn yang
memiliki Hak Gugat Organisasi Lingkungan atau Lembaga
Swadaya Masyarakat (NGO’s standing to sue) yang mana dapat
dianalisis sebagai berikut:
1) Para Penggugat adalah LSM yang tumbuh secara
swadaya, atas kehendak sendiri dan keinginan sendiri
dari beberapa kelompok masyarakat yang bergerak
dalam lingkungan hidup.
2) Alat uji bahwa mereka telah melakukan kegiatan-
kegiatan advokasi dan pelestarian fungsi lingkungan
tercermin dalam AD/ART lembaga tersebut sesuai
dengan yang telah diuraikan dalam kedudukan para
Penggugat pada putusan3.
3) Bentuk-bentuk kegiatan para Penggugat yang
dilaksanakan dalam hal mencapai tujuan sesuai dengan
yang tertuang dalam AD/ART antara lain:
a Penyebarluasan informasi kepada masyarakat.
b Aktif dalam pembahasan dan penyusunan peraturan
perundang-undangan.
c Melakukan kegiatan advokasi publik.3 Vide Ibid.,
d Pengumpulan data-data tentang hal-hal yg
berhubungan dgn produk transgenik.
e Melakukan pendampingan kpd petani utk tuj
pertanian berwawasan lingkungan.
4) Para Penggugat memenuhi kriteria dan kedudukan hukum
untuk mengajukan gugatan atas nama kepentingan
lingkungan hidup sesuai dengan UU No. 23 Tahun 1997
dan UU No. 32 Tahun 2009.
Gugatan pada kasus ini secara keseluruhan
mendalilkan mengenai kepentingan lingkungan hidup, oleh
karena itu Hak Gugat Penggugat hanya dimiliki oleh
Yayasan Lembaga Pengembangan Hukum Lingkungan
Indonesia/Indonesian Centre for Environmental Law (ICEL);
Yayasan Konsorsium Nasional untuk Pelestarian Hutan dan
Alam Indonesia (KONPHALINDO); Yayasan Biodinamika
Pertanian Indonesia, yang mana merupakan organisasi
lingkungan hidup sebagai pihak yang memiliki hak untuk
mengatasnamakan kepentingan lingkungan hidup dalam
gugatannya. Sedangkan pengggugat selain yang tersebut
diatas, yakni Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI);
Yayasan Lembaga Konsumen Sulawesi Selatan; Yayasan
Lembaga Pengkajian dan Pemberdayaan Masyarakat (LPPM)
bukan merupakan organisasi yang memiliki hak gugat dalam
hal membela kepentingan lingkungan hidup. Mengingat
keempat organisasi tersebut bergerak untuk kepentingan
perlindungan konsumen serta pemberdayaan masyarakat, yang
mana tidak sesuai dengan persyaratan pada Pasal 37 UU No.
23 tahun 1997, dan Pasal 96 UU No. 32 Tahun 2009.
B. Pertimbangan Hakim Mengenai Kedudukan AMDAL (Analasis
Mengenai Dampak Lingkungan) dan ERA (Environmental Risk
assessment.
Analisis mengenai dampak lingkungan hidup (AMDAL)
adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu
usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan
hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan
tentang penyelenggaran usaha dan/atau kegiatan (Pasal 1
Angka 21 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 yang diubah
dengan Pasal 1 Angka 11 Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2009). Adapun dokumen AMDAL berdasarkan Pasal 25 UU No.
32 Tahun 2009 memuat:
a pengkajian mengenai dampak rencana usaha dan/atau
kegiatan;
b evaluasi kegiatan di sekitar lokasi rencana usaha
dan/atau kegiatan;
c saran masukan serta tanggapan masyarakat terhadap
rencana usaha dan/atau kegiatan;
d prakiraan terhadap besaran dampak serta sifat
penting dampak yang terjadi jika rencana usaha
dan/atau kegiatan tersebut dilaksanakan;
e evaluasi secara holistik terhadap dampak yang
terjadi untuk menentukan kelayakan atau
ketidaklayakan lingkungan hidup; dan
f rencana pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup;
Environmental Risk Assesment atau biasa disingkat
ERA adalah suatu kajian yang dilakukan terhadap resiko
yang akan ditimbulkan dari suatu bentuk kegiatan yang
memiliki hubungan baik secara langsung maupun tidak
langsung terhadap lingkungan hidup. Dalam melakukan ERA
terdapat empat tahapan yang harus dilakukan, yakni
anatara lain4:
1. Hazard Identification, yang meliputi identifikasi mengenai
hal-hal yang kemungkinan dapat menyebabkan dampak-
dampak yang buruk, namun seringkali diperluas hingga
meliputi tindakan identifikasi dari kemungkinan
timbulnya konsekuensi yang buruk yang mana dihasilkan
dari bahaya yang telah teridentifikasi.
2. Exposure Assesment, merupakan suatu kajian mengenai
kemungkinan bahaya yang mengancam lingkungan hidup.
3. Effect Assesment, merupakan suatu kajian terhadap
kemungkinan kondisi yang mengandung efek berbahaya yang
mana akan merusak lingkungan hidup.
4. Risk Characterization, merupakan suatu tahapan di mana
dilakukan tindakan penggabungan terhadap seluruh
informasi yang didapat untuk nantinya digunakan dalam
memprediksi suatu resiko yang akan ditimbulkan.
Berdasarkan uraian diatas, dapat kita lihat bahwa
AMDAL di Indonesia merupakan suatu bentuk dari ERA. ERA
merupakan suatu kajian standar terhadap resiko lingkungan
hidup yang dikenal secara luas dalam dunia internasional.
Namun terdapat perbedaan karakteristik diantara keduanya,
yakni ERA hanya memuat kajian mengenai resiko yang akan
timbul terhadap lingkungan dari adanya suatu
4 Andow, D.A. and C. Zwahlen. 2006. “Assessing Environmental Risks of Transgenik Plants”. Ecology Letters, Vol. 9, No.2, February, pp. 196-214
usaha/kegiatan, sedangkan AMDAL sendiri di Indonesia juga
memuat evaluasi dari kegiatan yang dilakukan bahkan
hingga memuat mengenai bagaimana pengelolaan dan
pemantauan lingkungan hidup atas dasar kegiatan yang
dilaksanakan. Hal tersebut mengindikasikan bahwa AMDAL
memiliki cakupan yang lebih luas dari ERA itu sendiri,
yang mana dapat terlihat dari komponen-komponen AMDAL
yang sifatnya lebih luas daripada tahapan-tahapan dalam
ERA.
Adapun dalam kasus pelepasan kapas transgenik Bt,
perihal AMDAL sebagai suatu dokumen kajian lingkungan
hidup merupakan suatu hal yang menjadi pokok
permasalahan. Dimana pihak Penggugat mengajukan gugatan
terhadap Surat Keputusan Menteri Pertanian RI
No.107/Kpts/KB.430/2/2001 tentang pelepasan kapas
transgenik Bt (BOLLGARD) di 7 Kabupaten di Sulawesi
Selatan tanpa melalui pelaksanaaan proses AMDAL, yang
mana hal tersebut bertentangan dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku pada saat itu.
Sebagaimana dikatakan di dalam pasal 7 ayat (2) PP
No.27 tahun 1999 tentang AMDAL, “AMDAL merupakan bagian dari
proses perizinan untuk melakukan usaha dan/atau kegiatan yang
menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup.” Di
dalam pasal 3 ayat 1 huruf (F) juga disebutkan mengenai
“introduksi jenis tumbuh-tumbuhan, jenis hewan dan jasad renik.”, dimana
hal tersebut merupakan kualifikasi atas pelepasan kapas
transgenik Bt yang termasuk ke dalam jenis usaha dan/atau
kegiatan yang menimbulkan dampak besar dan penting
terhadap lingkungan sehingga wajib memiliki AMDAL.
Yang menjadi permasalahan hukum disini ialah
mengenai Surat Keputusan Menteri Pertanian tentang
pelepasan secara terbatas kapas transgenik Bt. DP 5690 B
sebagai suatu varietas unggul, apakah termasuk ke dalam
bagian proses perizinan untuk melakukan usaha sebagaimana
dimaksud oleh PP No.27 tahun 1999 tersebut atau tidak.
Menurut pendapat dari hakim Pengadilan Tata Usaha Negara
yang mengadili perkara tersebut, materi muatan dari Surat
Keputusan Menteri Pertanian tersebut bukanlah merupakan
bagian dari proses perizinan untuk melakukan usaha
dan/atau kegiatan yang wajib memiliki AMDAL, namun
melainkan berisi tindakan hukum administrasi dari Menteri
Pertanian yang berwenang untuk melepas kapas transgenik
Bt. DP 5690 B tersebut secara terbatas dengan syarat
tertentu, yakni hanya dimanfaatkan oleh para petani
pekebun di 7 kabupaten yang telah ditentukan di provinsi
Sulawesi Selatan.
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup Nomor KEP-39/MENLH/08/1996 tentang Jenis
Usaha atau Kegiatan yang Wajib Dilengkapi dengan AMDAL,
di dalam daftar lampirannya, mengenai kasus pelepasan
kapas transgenik tidak dengan jelas diatur apakah ia
termasuk atau tidak. Maka pihak Penggugat menggunakan
dasar hukum diktum ke-5 dari Surat Keputusan Menteri
Lingkungan Hidup tersebut yang berbunyi, “Apabila dalam
pelaksanaan, instansi yang bertanggung jawab mempunyai keraguan
tentang jenis usaha atau kegiatan yang tidak terdapat dalam lampiran I
keputusan ini, makan instansi tersebut wajib meminta kepastian penetapan
AMDAL kepada Menteri Negara Lingkungan Hidup secara tertulis”.
Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup tersebut
telah dicabut dan diperbaharui oleh Surat Keputusan
Menteri Lingkungan Hidup No.3 tahun 2000 dimana tidak
terdapat diktum seperti diktum ke-5, sehingga meskipun
ada keraguan terhadap jenis usaha atau kegiatan yang
memerlukan AMDAL, Menteri Pertanian tidak perlu lagi
meminta kepastian kepada Menteri Lingkungan Hidup tentang
perlunya AMDAL.
Berdasarkan adanya gugatan dari Penggugat seperti
yang telah diuraikan sebelumnya, Majelis Hakim dalam
memutus perkara ini dalam amar putusannya menimbang
berbagai hal, yakni antara lain:
Berdasarkan PP no.27 tahun 1999, dalam penjelasan
pasal 7 ayat (2) dinyatakan AMDAL merupakan bagian
dari proses perijinan melakukan usaha dan / atau
kegiatan yang menimbulkan dampak besar dan penting
terhadap lingkungan hidup.
Usaha dan/atau kegiatan yang menimbulkan dampak besar
dan penting terhadap lingkungan, menurut pasal 3 ayat
(1) PP no.27 tahun 1999 yaitu (f) introduksi jenis
tumbuh2an, jenis hewa, dan jasad renik.
Usaha dan/atau kegiatan yang menimbulkan dampak besar
dan penting terhadap lingkungan, menurut penjelasan
pasal 3 PP no.27 tahun 1999 adalah usaha dan/atau
kegiatan yang merupakan kategori usaha dan/atau
kegiatan yang berdasarkan pengalaman dan tingkat
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi mempunyai
potensi menimbulkan dampak besar dan penting terhadap
lingkungan.
Ternyata materi muatan dari SK PTUN in litis berisi
tindakan hukum administrasi dari Tergugat berdasarkan
wewenang yang ada padanya, dengan demikian SK PTUN in
litis merupaka norma hukum. Dan karena berlakunya
terbatas terhadap petani di wilayah tertentu di
provinsi Sulawesi Selatan maka sifat norma hukum
adalah norma hukum konkrit dan dapat diindividualisir
terhadap subyek yang dituju. Jadi bukan merupakan
proses perizinan untuk melakukan usaha dan / atau
kegiatan yang wajib AMDAL. Hal tersebut adalah sejalan
dengan pendapat saksi ahli Prof. DR. DAUD SILALAHI,SH.
Permasalahannya adalah dalam kasus a quo dapat
digolongkan sebagai kegiatan introduksi jenis tumbuh-
tumbuhan sebagaimana dimaksud pasasl 3 ayat (1) huruf
f PP no.27 tahun 1999.
Menurut ketentuan Pasal 3 ayat (2) PP no.27 tahun
1999, jenis usaha yang wajib AMDAL ditetapkan oleh
menteri setelah mendengar dan memperhatikan saran dan
pendapat Menteri lain dan / atau pimpinan lembaga
pemerintah non departemen terkait ( pasal 3 ayat (1)
PP no.27 tahun 1999). Dari makna tersebut tidak secara
otomatis setiap usaha atau kegiatan yang kemungkinan
dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap
lingkungan hidup wajib AMDAL.
Menurut peraturan dasarnya, yang berwenang menetapkan
wajib AMDAL atau tidak bukan ada pada Tergugat, tetapi
pada wewenang atributif Menteri yang ditugasi
mengelola lingkungan hidup5.
Menurut pasal 3 ayat (1) PP no.27 tahun 1999 kegiatan
seperti dalam kasus a quo wajib AMDAL. Tetapi
berdasarkan bukti tertulis yang diajukan para pihak
terdapat peraturan kebijaksanaan dari Menteri Negara
Lingkungan Hidup yang menyatakan bahwa keguatan
introduksi tidak termasuk sebagai kegiatan yang wajib
AMDAL (Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No.3 Tahun
2000).
Berbeda dengan keputusan menteri sebelumnya; Apabila
dalam pelaksanaan, instansi yang bertanggung jawab
mempunyai keraguan tentang jenis usaha atau kegiatan
yang tidak terdapat dalam lampiran I keputusan, maka
instansi tersebut wajib meminta kepastian AMDAL kepada
Menteri Negara Lingkungan Hidup secara tertulis.
Majelis Hakim berpendapat secara mutatis-mitandis
dalam kasus a quo kewajiban untuk AMDAL bagi Tergugat
tidak dipersyaratkan.
Dengan adanya pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas,
dalam kasus ini Majelis Hukum memutus bahwa dalam
penerbitan Surat Keputusan yang menjadi objek gugatan
dalam kasus a quo, kedudukan AMDAL dalam hal ini adalah
bukan merupakan kewajiban dari Menteri Pertanian Republik
Indonesia. Majelsi Hakim menetapkan bahwa pihak yang
wajib AMDAL dalam kasus a quo adalah pihak pemarkrasa5 vide pasal 1 butir 12 jo. Pasal 3 ayat 1 PP no.27 tahun 1999
dan/ atau kegiatan. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat
kita lihat bahwa Majelis Hakim telah menolak seluruh
gugatan Tergugat.
Menurut kelompok kami, pada dasarnya keputusan hakim
tersebut dari segi pertimbangannya telah sesuai dengan
obyek gugatan , yang berupa surat keputusan pejabat TUN,
yakni termasuk dalam lingkup gugatan Pengadilan Tata
Usaha Negara. Sehingga, menurut hakim ketentuan surat
keputusan tersebut tidaklah memerlukan AMDAL dalam
penerbitannya. Hal tersebut sesuai dengan peraturan yang
berlaku, yang mana telah diatur bahwa pihak yang
diwajibkan untuk membuat AMDAL adalah pemrakarsa kegiatan
dan/atau usaha, bukan Pemerintah yang mengeluarkan
keputusan penetapan pelepasan kapas transgenik tersebut.
Namun, di sisi lain Penggugat mempunyai pertimbangan
bahwa AMDAL merupakan suatu hal yang penting dalam
pelaksanaan usaha yang merupakan usaha dari PT Monagro
Kimia (sebagai pihak Tergugat II Intervensi 1 dalam kasus
a quo), yang mengusulkan diterbitkannya surat keputusan
No. 107/Kpts/KB.430/2/2001.
Permasalahan utama yang dipermasalahkan disini oleh
Penggugat adalah tidak adanya AMDAL dalam kegiatan
dan/atau usaha kapas transgenik PT. Monagro Kimia.
Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada seperti
yang telah diuraikan di atas, kegiatan pelepasan kapas
transgenik termasuk ke dalam kualifikasi kegiatan yang
membutuhkan AMDAL (PP No. 27 Tahun 1999), oleh karena itu
tindakan Menteri Pertanian yang mengeluarkan Surat
Keputusan yang mana meleigitimasi kegiatan pelepasan
kapas transgenik ini, menurut kami tidak sepenuhnya dapat
dibenarkan. Hal tersebut disebabkan karena seharusnya,
menurut kelompok kami, Menteri Pertanian sebelum
mengeluarkan SK yang mentapkan diperbolehkannya pelepasan
transgenik secara terbatas itu, telah meneliti apakah
usaha yang berhubungan dengan kapas transgenik itu telah
memiliki AMDAL, sehingga layak untuk dilepaskan atau
dikembangbiakan lebih lanjut.
Kelompok kami melihat bahwa terdapat kepentingan
dari PT Monagro Kimia di dalam SK tersebut, yakni SK itu
memberikan legitimasi kepada petani-petani yang hendak
membudidayakan (dalam kasus dikualifikasikan dengan
tindakan melepas) kapas transgenik itu, di mana petani-
petani itu sendiri mendapatkan bibit kapas transgenik
dari PT Monagro Kimia. Dari hal itu lah, kelompok kami
melihat adanya kepentingan dari PT Monagro Kimia dalam
penerbitan SK tersebut, terlebih PT Monagro Kimia juga
menjadi inisiator atau pengusul diterbitkannya SK itu.
Dengan latar belakang seperti itu, seharusnya Majelis
Hakim bisa lebih melihat posisi PT Monagro Kimia, yang
secara tidak langsung akan menjadi pihak yang turut
melepaskan produk kapas transgeniknya (berdasarkan jual
beli bibit transgenik dengan petani yang akan melepaskan
secara terbatas kapas transgenik itu), apakah telah
mempunyai AMDAL atau tidak yang pada akhirnya menentukan
apakah produknya itu layak untuk dilepaskan atau tidak.
Lebih lanjut, kelompok kami melihat adanya indikasi
dari PT Monagro Kimia yang ingin memasarkan serta
membudidayakan (dalam kasus ini melalui tindakan
peleapasan ke lingkungan) produknya itu, namun dengan
tanpa memenuhi kewajibannya terlebih dahulu untuk membuat
AMDAL. Dalam hal ini, PT Monagro Kimia merealisasikan
tujuannya itu dengan memberikan saran kepada Menteri
Pertanian untuk mengeluarkan SK yang menetapkan pelepasan
kapas transgenik bersyarat kepada petani, yang mana pada
akhirnya kapas transgenik yang dilepaskan oleh petani
yang dimaksud adalah merupakan produk dari PT Monagro
Kimia juga. Namun, dalam hal memutus perkara, Majelis
Hakim menyimpulkan hal tersebut berbeda dengan pandangan
Penggugat maupun pandangan kelompok kami, dimana hakim
melihat bahwa Penggugat menekankan adanya AMDAL dalam
penerbitan surat keputusan tersebut, yang mana sesuai
dengan pertimbangan yang ada maka hakim menyatakan hal
tersebut tidak memerlukan AMDAL. Padahal, sekali lagi
ditekankan bahwa permasalahan utama bukan terletak apakah
SK tersebut memerlukan AMDAL atau tidak dalam
penerbitannya. Permasalahan utama yang terjadi adalah
bahwa dalam mengeluarkan keputusan yang pada kenyataannya
dapat mendukung kegiatan pelepasan kapas transegnik dari
PT Monagro Kimia, Pemerintah dalam hal ini Menteri
Pertanian perlu melihat apakah produk tersebut layak
dilepas atau tidak, dengan jalan melihat ada tidaknya
AMDAL dalam kegiatan atau usaha itu.
Adapun menurut kelompok kami, kedudukan AMDAL pada
saat kasus di atas terjadi adalah sebagi suatu kajian
mengenai kegiatan yang berdampak besar terhadap
lingkungan hidup, dimana pada pertimbangannya hakim
mendasarkan bahwa pada PP no.27 tahun 1999, dalam
penjelasan pasal 7 ayat (2) dinyatakan AMDAL merupakan
bagian dari proses perijinan melakukan usaha dan / atau
kegiatan yang menimbulkan dampak besar dan penting
terhadap lingkungan hidup. Dalam UU No. 27 Tahun 1999,
hanya dijelaskan bahwa AMDAL merupakan suatu kewajiban
bagi setiap rencana kegiatan dan/atau usaha yang
berdampak besar pada lingkungan hidup. Berdasarkan
pertimbangan hakim yang demikian, kita dapat mengartikan
bahwa kedudukan AMDAL merupakan suatu proses yang wajib
dilaksanakan dalam setiap kegiatan dan/atau usaha yang
berdampak besar pada lingkungan hidup, yang mana juga
merupakan bagian dari proses perijinan.
Namun, dengan adanya perubahan terhadap UU Nomor 23
Tahun 1997, yakni dengan UU Nomor 32 Tahun 2009, AMDAL
merupakan suatu dokumen yang sangat penting dalam
menentukan perolehan izin lingkungan. AMDAL merupakan
komponen dari izin lingkungan yang merupakan izin yang
diberikan kepada setiap usaha dan/atau kegiatan yang
mempunya pengaruh penting terhadap lingkungan hidup.
Kemudian izin lingkungan merupakan dasar dari adanya izin
usaha yang mana merupakan izin yang diberikan kepada
setiap kegiatan atau usaha dalam melaksanakn kegiatannya.
Hal tersebut dapat digambarkan sebagai berikut :
(Kedudukan AMDAL dalam UU No 32 Tahun 2009)
(Kedudukan AMDAL dalam UU No 29 Tahun 1997)
Jadi disimpulkan bahwa kedudukan AMDAL dalam kedua UU
tersebut adalah berbeda, dimana AMDAL merupakan komponen
penentuan penerbitan izin lingkungan yang merupakan
komponen dari izin usaha pada UU No 32 Tahun 2009.
Sedangkan dalam UU No 29 Tahun 1997, AMDAL merupakan
suatu kewajiban yang diperlukan dalam kegiatan dan/atau
usaha yang berdampak besar terhadap lingkungan hidup.
C. PENGAKUAN TERHADAP THE PRECAUTIONARY PRINCIPLE DAN
KAITANNYA DENGAN ERA (ENVIRONMENTAL RISK ASSESSMENT)
Secara sederhana, Penggugat dalam pokok perkara
meminta pembatalan Surat Keputusan Nomor
107/Kpts/KB.430/2/2001 tentang Pelepasan Secara Terbatas
Kapas Transgenik Bt Dp 5690B Sebagai Varietas Unggul
Dengan Nama NuCOTN 35B (“Bollgard”) tertanggal 7 Februari
2001 sebagaimana yang diusulkan oleh PT. Monagro Kimia
(“Surat Keputusan”). Dalam keterkaitannya dengan prinsip
kehati-hatian, pembatalan tersebut dimintakan oleh
Penggugat karena berdasarkan ketentuan Undang Undang
Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup,
pelepasan kapas Bollgard harus didahului dengan
AMDAL atau UKL/UPL
IZIN LINGKUNGAN
IZIN USAHA
AMDAL IZIN USAHA
pelaksanaan proses Analisa Mengenai Dampak Lingkungan
(“AMDAL”). Hal ini sesuai juga dengan prinsip kehati-
hatian yang diadopsi oleh Undang Undang Nomor 5 Tahun
1994 tentang Ratifikasi Terhadap Konvensi Keanekaragaman
Hayati. Tergugat tidak memenuhi ketentuan ini padahal
kapas transgenik berpotensi menimbulkan dampak negatif
terhadap lingkungan.
Gugatan Penggugat dijawab oleh Tergugat yang pada
pokoknya menyatakan bahwa Tergugat tidak memiliki
kewajiban untuk melaksanakan AMDAL karena belum ada
peraturan teknis mengenai pelaksanaan AMDAL berkaitan
dengan pelepasan terbatas Bollgard. Tergugat juga
menyatakan bahwa meskipun tidak ada kewajiban
melaksanakan AMDAL namun pelepasan Bollgard telah
dilakukan dengan memperhatikan prinsip kehati-hatian.
Pada akhir persidangan, majelis hakim mengambil keputusan
yang menguntungkan Tergugat dengan menolak gugatan
Penggugat seluruhnya.
Sebagaimana disebutkan dalam Deklarasi Rio bahwa
ketika terdapat ancaman yang nyata atau dampak kerusakan
lingkungan yang tidak bisa ditanggulangi, tidak adanya
atau kurang memadainya informasi ilmiah, tidak boleh
digunakan untuk menunda atau menghambat langkah
preventif yang tepat untuk mencegah kerusakan
lingkungan. Dalam kasus ini, menurut Penggugat, Tergugat
tidak telah melaksanakan pelepasan kapas Bollgard ini
sesuai dengan prinsip kehati-hatian berdasarkan beberapa
alasan. Pertama, Penggugat menyatakan bahwa berdasarkan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup serta peraturan pelaksananya, bahwa
usaha dan/atau kegiatan introduksi jenis tumbuh-tumbuhan,
jenis hewan dan jasad renik termasuk didalamnya pelepasan
kapas transgenik harus didahului oleh pelaksanaan proses
Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (“AMDAL”). Kedua,
Penggugat sebelumnya telah meminta keterbukaan informasi
dari Tergugat tentang kajian uji keamanan hayati kapas
transgenik namun tidak ditanggapi. Bahkan, Penggugat
pernah juga meminta untuk membahas masalah tanaman
transgenik dengan Tergugat namun tidak pernah ditanggapi.
Dan, ketiga, pengiriman benih kapas ini dari Afrika
Selatan dilakukan tanpa adanya keterbukaan informasi dan
cenderung ditutupi dan dimanipulasi pengirimannya serta
dengan pengawalan ketat dari militer Indonesia.
Majelis hakim menilai berbeda mengenai pelaksanaan
prinsip ini. Secara fakta, Tergugat tidak melaksanakan
AMDAL namun hal ini semata-mata disebabkan karena
ketiadaaan petunjuk teknis mengenai pelaksanaan AMDAL
untuk penanaman kapas transgenik. Tapi, Tergugat sebelum
melakukan pelepasan terbatas kapas transgenik ini telah
melakukan beberapa tindakan yang merupakan bentuk dari
pelaksanaan prinsip kehati-hatian.
Pertama, Balai Penelitian Bioteknologi Bogor
melakukan uji laboratorium dan uji lapangan terhadap
kapas jenis tersebut dan telah mengambil kesimpulan bahwa
kapas Bollgard ini memnuhi keamanan hayati dan aman
terhadap kelestarian lingkungan. Langkah selanjutnya yang
diambil adalah dengan dilakukannya uji multilokasi untuk
melengkapi kedua pengujian sebelumnya. Tindakan yang
mencerminkan adanya pelaksanaan prinsip kehati-hatian
lainnya adalah dengan dilakukannya Risk Assesment terhadap
pelaksanaan penanaman kapas ini. Bahkan, Gubernur
Sulawesi Selatan juga telah membentuk Tim Pemantau dan
Pengawasan Penggunaan Kapas Bollgard yang bertugas untuk
melakukan pengamatan dan evaluasi, koordinasi dengan
perguruan tinggi, lembaga penelitian, dan instansi
terkait, serta melakukan pengkajian mendalam terhadap
teknologi budidaya dan sistem pengelolaan kapas Bollgard.
Jadi, jika ditelusuri berdasarkan ketentuan undang-
undang, Tergugat memang telah secara nyata tidak
melakukan AMDAL terhadap pelaksanaan penanaman kapas
Bollgard ini. Namun, pada sisi lain, Tergugat telah
dengan secara nyata melakukan pelaksanaan prinsip kehati-
hatian sebagaimana dijelaskan pada fakta-fakta diatas.
Oleh karena itu, AMDAL tidaklah semata-mata elemen dalam
pelaksanaan prinsip kehati-hatian namun juga denagn
dibentuknya tim pengawas dan uji coba laboratorium dan
uji lokasi sebagai bentuk penerapan prinsip kehati-hatian
*. Hal inilah yang membuat majelis hakim mengambil
keputusan untuk menolak secara keseluruhan gugatan
Penggugat.
Adapun Prinsip Kehati-hatian mulai menjadi perhatian
publik pada tahun 1980 dan 1990-an dengan
dilatarbelakangi oleh timbulnya dampak buruk dari
berbagai aktivitas manusia. Secara terminologi, prinsip
kehati-hatian berasal dari kata Jerman “vorsorgeprinzip”.
Prinsip ini muncul pertama kali dalam legislasi negara-
negara Skandinavia dan Eropa pada tahun 1970an serta
menjadi landasan dari 1987 treaty on dumping of persistent toxic
substances in the North Sea6. Lebih lanjut, prinsip ini
terreflesikan dalam Convention on Biodiversity Di Swedia,
prinsip kehati-hatian pertama kali terdapat dalam the 1973
Act on Products Hazardous to Man or the Environment; sementara di
Jerman dalam Water Protection Law pada tahun 19707.
Terdapat beberapa definisi dari prinsip kehati-
hatian, dua diantaranya yang paling dikenal ialah
definisi yang terdapat dalam The Rio Declaration from the United
Nations Conference on Environment and Development (Principle 15) dan
definisi yang dihasilkan oleh The Wingspread Conference on the
Precautionary Principle pada tahun 1998. The Rio Declaration from the
United Nations Conference on Environment and Development (Principle 15)
menyatakan:
6 The Precautionary Principle A Common Sense Way to Protect Public Health andthe Environment, The Science and Environmental Health Network, January2000.
7 Raffensperger C, Tickner J. 1999. Introduction: to foresee and to
forestall. In: Raffensperger C, Tickner J, editors. Protecting Public
Health and the Environment: Implementing the Precautionary Principle. Washington,
D.C.: Island. p 1-11. Wahlström B. 1999. The precautionary approach
to chemicals. In: Raffensperger C, Tickner J, editors. Protecting Public
Health and the Environment: Implementing the Precautionary Principle. Washington,
D.C.: Island. p 51-69.
“In order to protect the environment, the precautionary approach shall be
widely applied by States according to their capabilities. Where there are
threats of serious or irreversible damage, lack of full scientific certainty shall
not be used as a reason for postponing cost-effective measures to prevent
environmental degradation.”
Sedangkan The Wingspread Conference on the Precautionary
Principle menyertakan aspek human health (kesehatan manusia)
dalam definisinya mengenai prinsip kehati-hatian, yaitu:
“When an activity raises threats of harm to human health or the environment,
precautionary measures should be taken even if some cause and effect
relationships are not fully established scientifically.”
Secara khusus, keberlakuan dari prinsip kehati-hatian
ditegaskan oleh the European Commission Communication on the
Precautionary Principle pada tahun 2000, yakni:
“The precautionary principle applies where scientific evidence is insufficient,
inconclusive or uncertain and preliminary scientific evaluation indicates that
there are reasonable grounds for concern that the potentially dangerous
effects on the environment, human, animal or plant health may be
inconsistent with the high level of protection chosen by the EU.”
Definisi prinsip kehati-hatian yang dikemukakan oleh
The Wingspread Conference on the Precautionary Principle
mengandung empat komponen penting, yakni: (1) mengambil
tindakan-tindakan preventif dalam hal terdapat
ketidakpastian; (2) meletakkan tanggung jawab pada pihak
yang menimbulkan akibat, termasuk untuk mempelajari serta
mencegah dampak buruk dari tindakannya; (3) mencari
alternatif-alternatif dari aktivitas yang berpotensi
untuk menimbulkan dampak buruk; dan (4) meningkatkan
partisipasi publik dan transparansi dalam proses
pengambilan keputusan8.
Proses pertimbangan risiko (risk assessment process)
seringkali dilakukan untuk mencari dan menetapkan suatu
tingkat risiko yang dapat diterima dari pemakaian zat-zat
berbahaya. Namun, yang seharusnya dilakukan dalam proses
tersebut jika prinsip kehati-hatian diterapkan ialah
mencari dan menyadari dampak-dampak buruk yang mungkin
ditimbulkan serta cara-cara untuk meminimalisir dampak
buruk tersebut, misalnya, dengan menggunakan zat-zat
kimia atau metode-metode yang lebih aman. Pendekatan
semacam ini dikenal dengan alternatives assessment, the principle of
minimum harm, atau the substitution principle.
The principle of minimum harm berarti metode dengan dampak
buruk paling sedikitlah yang harus digunakan. Negara-
negara EU atas usul the European Commission telah menetapkan
The European Union’s Registration, Evaluation, Authorisation and Restriction
of Chemicals (REACH) pada tahun 2006. Dalam kebijakan tersebut
terkandung the substitution principle yang bertujuan
8 Briefing Paper of Pesticide Action Network International (PAN) on the Precautionary Principle, 2006; Commentary, The Precautionary Principle in Environmental Science, David Kriebel, Joel Tickner, Paul Epstein, John Lemons, Richard Levins, Edward L. Loechler, Margaret Quinn, Ruthann Rudel, Ted Schettler, and Michael Stoto, Environmental Health Perspectives Volume 109, Number 9, September 2001.
menggantikan penggunaan zat-zat berbahaya dengan
alternatif zat-zat atau teknologi yang lebih aman. Semua
perusahaan yang hendak mengajukan izin penggunaan zat-zat
kimia tertentu harus mengajukan analisis dari alternatif-
alternatif yang ada dengan mempertimbangkan risiko/dampak
buruk yang mungkin ditimbulkan serta kemungkinan
dilakukannya substitusi secara teknis dan ekonomi. Selain
itu, pemberian izin akan disertai dengan laporan
periodik, dengan jangka waktu/periode yang ditetapkan
secara kasuistis, termasuk pengawasan.
Berdasarkan uraian di atas mengenai perananan serta
penerapan prinsip kehati-hatian dalam kasus pelepasan
Kapas Transgenik dan juga uraian mengenai Environmental
Risk Assesment, kelompok kami memiliki beberapa pandangan
mengenai pengakuan The Precationary Principles dalam
kaitannya dengan Environmental Risk Assesment.
D. PERTIMBANGAN MENGENAI RISIKO/KEAMANAN DARI GENETICALLY
MODIFIED ORGANISMS (GMOs)
Genetically Modified Organisms (GMOs) pada intinya
merupakan suatu bentuk modifikasi genetik terhadap
organisme (tumbuhan, hewan atau organisme lainnya) dalam
rangka pemenuhan suatu standar tertentu. Dalam kasus a
quo, Kapas Transgenik Bollgard itu sendiri merupakan
GMOs, di mana kapas tersebut merupakan hasil rekayasa
genetika varietas Delta pine (DP) 5690 yang telah
disisipi gen Cry1A yang mengandung endotoxin Bt (Bacillus
thuriengiensis) sehingga tahan lama karena dapat membunuh
serangga-serangga tertentu. Oleh karena itu, Pihak
Penggugat menyatakan bahwa tanaman transgenik tahan hama
merupakan tanaman yang harus melalui kajian lingkungan
yang rinci dan ketat, karena kemampuannya menghasilkan
toxic (racun) yang mampu membunuh hama sasaran.
Berdasarkan uraian di atas mengenai kualifikasi
Kapas Bollgard yang ternyata termasuk ke dalam jenih
GMOs, Pihak Penggugat menyatakan bahwa kapas transgenik
tersebut mengandung resiko serta potensi besar untuk :
Menimbulkan kerugian pada keanekaragaman hayati,
berupa : terbunuhnya suatu jenis hewan atau
menurunna populasi suatu jenis tanaman yang bukan
merupakan sasaran semula;
Terjadinya perpindahan gen dari tanaman transgenik
ke kerabat lainnya sehingga menimbulkan gulma super
yang sulit diberantas;
Pembentukan senyawa yang menimbulkan alergi atau
keracunan bagi manusia.
Untuk mendukung gugatan Penggugat mengenai adanya resiko
dari tanaman transgenik, Penggugat menghadirkan saksi
ahli, atas nama Dr. Agus Dana Permana, yang pada intinya
menyatakan bahwa keuntungan dari Transgenik adalah
tanaman tersebut dapat meningkatkan produksi kapas;
menggunakan gen tunggal; mengurangi pestisida;
menghasilkan toksin atau racun yang membunuh serangga.
Namun, di sisi lain kerugian dari Transgenik adalah
tingkat ekspresi dari gen tunggal sehingga menahan
biomasa dari Transgenik; akan menimbulkan toleransi
terhadap hama, sehingga menimbulkan kekebalan yang cepat
pada serangga (imun) yang merusak daun sampai ke batang;
apabila bakteri tersebut sampai ke tanah akan merusak
struktur tanah dan menggangu ekosistem antropoda pada
tanah. Selain itu, Transgenik juga akan merusak fauna
tanah dan sampai saat ni belum ada teknologi yang dapat
mematikan atau mengatasi hama yang ada pada daun dan
batang.
Disamping hal-hal yang telah diuraikan di atas,
terdapat beberapa resiko/keamanan dari tanaman transgenik
yang pertama kali disimpulkan oleh Snow dan Moran-Palma
(1997), yang terbagi kepada beberapa bentuk risiko,
yakni9:
1. Non Target and Biodiversity Risks, (Risiko pengaruh terhadap non
target organisme dan keanekaragaman hayati), yakni
merupakan suatu risiko adanya pengaruh hasil rekayasa
transgenik terhadap organisme lain, selain hama, yang
ditargetkan dalam pembentukan tumbuhan transgenik
tersebut. Non target organism tersebut dapat dikelompokkan
kedalam beberapa kategori, antara lain:10
a Beneficial species;
b Non-target organisms;
c Soil organisms;
d Species of conservation concern, including endangered species and
charismatic species;
9 Andow, D.A. and C. Zwahlen. Op.cit., pp 197.
10 Ibid., hal.198
e Species that contribute to local biodiversity.
Risiko yang mungkin terjadi adalah organisme-organisme
tersebut diatas dapat dirugikan akibat kandungan toksin
yang terdapat pada tumbuhan transgenik.
2. Risks Associated with Gene Flow and Recombination (Risiko adanya
perpindahan gen dan kombinasi gen yang terjadi antar
organisme), merupakan suatu risiko adanya perpindahan
genetik antara tumbuhan transgenik dan tumbuhan lainnya
yang dapat menyebabkan permasalahan lingkungan.
Tumbuhan transgenik dapat mempengaruhi gen tumbuhan
lain yang dilakukan dengan cara-cara antara lain:11
a Seed and propagule dispersal, yakni penyebaran benih
tumbuhan baik seacara natural maupun dengan bantuan
manusia.
b Horizontal (non sexual) transfer, yakni perpindahan gen dari
tumbuhan yang tidak melalui suatu proses perkawinan.
c Pollen dispersal, yakni perpindahan serbuk bunga yang
terjadi secara natural, nantinya akan terjadi
perkawinan antar serbuk bunga dan putik yang
mengakibatkan adanya perpindahan gen.
Hal ini nantinya akan menyebabkan hilangnya
kenanekaragaman genetik dari organisme-organisme yang
ada dalam lingkungan hidup, mengurangi kualitas benih
tanaman, mengancam keamanan pangan, dan mempengaruhi
produksi pangan.
3. Risks Associated with the Evolution of Resistance in the Target Organisms
(Risiko terhadap timbulnya kekebalan atas rekayasa
toksin tumbuhan transgenik pada organisme (hama) yang11 Ibid., hal.200
dijadikan target dalam pembentukan rekayasa
transgenik). Lebih jauh lagi, hama yang pada mulanya
akan terpengaruhi oleh toksin yang dihasilkan tanaman
transgenik, dapat berevolusi dan menjadi resisten akan
toksin tersebut. Terlihat juga dalam penggunaan
pestisida sebagai pembasmi hama, yang mana hama
berevolusi menjadi resisten terhadap toksin-toksin
pestisida.
Mengenai putusan Majelis Hakim yang berkaitan
dengan resiko dari kapas trangenik, terdapat berbagai hal
yang menjadi pertimbangan hakim, yakni walaupun
didalilkan oleh para Penggugat dalam gugatan, replik,
kesimpulan, maupun beberapa kesaksian ahli, ada
kemungkinan Kapas Transgenik menimbulkan dampak negatif
terhadap lingkungan, namun hakim tidak dapat memakai
dalil-dalil dan/atau kemungkinan-kemungkinan tersebut
sebagai dasar penilaian dalam pertimbangan hukum untuk
memutuskan telah terjadindya akibat yang merugikan dalam
kasus ini. Karena sebagaimana telah dipertimbangkan dalam
angka 112, yaitu sifat penilaian yang dilakukan oleh
badan peradilan adalah bersifat a posteriori, yaitu
setelah ada akibat yang secara factual benar-benar
terjadi dan bukan berdasarkan kemungkinan. Jadi, oleh
karena SK PTUN yang diterbitkan Tergugat belum
mengakibatkan kerugian terhadap kepentingan Penggugat,
maka Majelis Hakim memutuskan untuk menolak gugatan
Penggugat terhadap SK tersebut yang mana mendalilkan
12 Vide Putusan hal. 174
kemungkinan dampak negative yang akan ditimbulkan dari
pelepasan kapas transgenik.
Terhadap pertimbangan hakim di atas mengenai resiko
pelepasan kapas transgenik, kelompok kami berpendapat
bahwa memang benar kapas transgenik mungkin menimbulkan
suatu risiko terhadap lingkungan hidup, dimana sifat
dari risiko-risiko tersebut masih berupa suatu precaution
(prediksi), yang mungkin akan terjadi ataupun tidak
terjadi. Permasalahan mengenai resiko yang akan timbul
seperti yang telah diuraikan di atas pun masih menjadi
suatu perdebatan antara para ahli-ahli lingkungan hidup.
Hal tersebut terlihat dari setiap penelitian yang
dilakukan menimbulkan beberapa hasil yang berbeda, yakni
yang mendukung maupun yang tidak mendukung akan adanya
risiko terhadap lingkungan hidup tersebut. Hakim di sini,
dalam memutuskan perkara a quo mendasarkan alasannya
kepada sifat Peradilan Tata Usaha negara, yakni a
posteriori. Maksudnya adalah dalam hal memutuskan perkara
ang diadilinya, hakim harus mempertimbangkan kerugian
yang diakibatkan dari putusan pejabat TUN yang telah
secara nyata terjadi atau yang bersifat aktual, bukan
berupa suatu kesimpulan-kesimpulan atau dalil-dalil yang
kepastiannya diragukan. Dengan demikian, pertimbangan
hakim di sini dilihat dari segi peradilan tata usaha
negara, menurut kami sudahlah mengikuti ketentuan yang
ada dalam lingkup peradilan tersebut. Namun, dalam hal
melihat adanya suatu pelepasan atau introduksi suatu
produk rekayasa genetika ke dalam lingkungan hidup, perlu
diperhatikan adanya suatu precautionary principles yang
menekankan pada suatu tindakan kehati-hatian terhadap
sutau risiko yang walaupun masih belum pasti terjadi.
Sehingga menurut kami, seharusnya hakim juga
memperhatikan dan mempertimbangkan bahwa mengenai kapas
transgenik, tindakan pelepasannya tetap harus didahului
dengan pengaturan yang lebih mengakomidir segala dampak
yang timbul serta dilakukan atas dasar peraturan yang
mengandung prinsip kehati-hatian.
DAFTAR PUSTAKA
Andow, D.A. and C. Zwahlen. 2006. Assessing Environmental Risks of
Transgenik Plants. Ecology Letters, Vol. 9, No.2, February, pp.
196-214
David Kriebel, Joel Tickner, Paul Epstein, John Lemons,
Richard Levins, Edward L. Loechler, Margaret Quinn,
Ruthann Rudel, Ted Schettler, and Michael Stoto “Briefing
Paper of Pesticide Action Network International (PAN) on
the Precautionary Principle”, 2006; Commentary, The
Precautionary Principle in Environmental Science, Environmental
Health Perspectives Volume 109, Number 9, September 2001.
Mas Achmad Santosa. Good Governance dan Hukum Lingkungan.
Jakarta:ICEL, 2001. Hal. 286
Raffensperger C, Tickner J. 1999. Introduction: to foresee and to
forestall. In: Raffensperger C, Tickner J, editors. Protecting
Public Health and the Environment: Implementing the Precautionary
Principle. Washington, D.C.: Island. p 1-11. Wahlström B.
1999. The precautionary approach to chemicals. In: Raffensperger
C, Tickner J, editors. Protecting Public Health and the Environment:
Implementing the Precautionary Principle. Washington, D.C.:
Island. p 51-69.
The Precautionary Principle A Common Sense Way to Protect Public Health and the
Environment, The Science and Environmental Health Network,
January 2000.