Post on 22-Dec-2015
FILSAFAT HUKUM
PENERAPAN AFFIRMATIVE ACTION DI INDONESIA DALAM
MENINGKATKAN PERAN WANITA DALAM DUNIA POLITIK DITINJAU
DARI FEMINIST JURISPRUDENCE
Dosen:
Dr. Agus Brotosusilo, S.H., M.H.
Disusun Oleh:
Nama : Sanny Hayati Sinaga (Pembanding)
NPM : 1406585715
FAKULTAS HUKUM
PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM STUDI HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL
UNIVERSITAS INDONESIA
2015
i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena
karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul “Penerapan
Affirmative Action di Indonesia Dalam Meningkatkan Peran Wanita Dalam Dunia
Dalam Politik ditinjau dari Feminist Jurisprudence”.
Makalah ini berisikan perbandingan dari makalah penyaji tentang penerapan
affirmative action pada peningkatan partisipasi politik oleh wanita di Indonesia yang
dikaitkan dengan feminist jurisprudence yang sekarang menjadi isu hukum yang
sangat hangat.
Namun Penulis menyadari bahwa makalah ini terdapat ketidaksempurnaan,
maka atas hal tersebut penulis memohon maaf jika terdapat kesalahan dan semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis dan para pembaca
Salemba, April 2015
Penulis
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I: PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah 4
1.3 Tujuan Penulisan 4
1.4. Manfaat Penulisan 4
1.5 Kerangka Konseptual 5
1.6 Landasan Teori 5
1.6.1 Feminist Jurisprudence 6
1.6.2 Partisipasi dan Keterwakilan Politik Perempuan 7
1.7 Methodeologi Penulisan 7
BAB II: HASIL DAN PEMBAHASAN
2.1 Perkembangan Feminist Jurisprudence dan Affirmative Action 10
2.1.1 Perkembangan Feminist Jurisprudence 10
2.1.2 Perlembagaan Peran Politik Perempuan di Parlemen 15
2.1.3 Affirmative Action dan sistem kuota dalam perspektif teori politik 17
BAB III: PENUTUP
3.1 Kesimpulan 21
3.1 Saran 22
DAFTAR PUSTAKA
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Issue ketidakadilan gender dalam ruang publik tampaknya akan tetap menjadi
isu aktual, segar, kontroversial sekaligus menjadi agenda tematik dari tahun ke tahun.
Isu ketidakadilan gender pertama kali diusung oleh gerakan feminisme di dunia barat,
aliran ini berangkat dari sebuah kesadaran bahwa ketidakseimbangan kondisi antara
laki-laki dan perempuan telah menyebabkan perempuan tertindas, terampas hak
asasinya dan terpojokkan oleh tatanan masyarakat yang “male dominated”. Dalam
perkembangannya, gerakan feminisme tidak berjalan homogen akan tetapi terpecah
kedalam berbagai aliran seperti gerakan feminisme liberal, feminisme sosialis,
feminisme radikal dan sebagainya. Namun, heterogenitas aliran tersebut memiliki
satu kesamaan mendasar, yakni idiologi patriaki yang meletakkan laki-laki secara
istimewa sangat merugikan posisi perempuan.1
Pergerakan kesetaraan gender atau pergerakan hak-hak wanita atau dalam
dunia hukum dikenal dengan istilah “feminis jurisprudensi” muncul dalam bentuk
embrionya di Amirika Serikat pada akhir 1980-an. Cukup banyak dan beberapa dari
1 SurajI, M. H., Jurnal: Kesehatan Gender di Indonesia ditinjau dari Teori-Konsep dan
Pendekatan Sosiologi Hukum,
http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=2&cad=rja&uact=8&ved=
0CCEQFjAB&url=http%3A%2F%2Fpawonogirikab.go.id%2Fstatic%2Ffile%2FMakalah_Suraji.pdf
&ei=DNsgVZiJGYewuATHpIHgAQ&usg=AFQjCNHTEJKf6TZK4kegtKzeDPx1vQhDrw&sig2=zB4k
10cXUf6a-Qn1YjMsQ&bvm=bv.89947451,d.c2E
pergerakan ini (tidak semuanya) berakar atau berkaitan dengan hukum kritis (critical
legal studies movement), namun sebagian besar gerakan berada diluar jalur tradisi-
tradisi CLS bahkan pada kenyataannya dikembangkan justru sebagai suatu respon
kritis terhadap gerakan ini.2
Politik sebagaimana dipahami bersama adalah interaksi antara pemerintah dan
masyarakat dalam rangka proses pembuatan keputusan yang mengikat tentang
kebaikan bersama bagi masyarakat yang tinggal dalam suatu wilayah tertentu.
Dalam pemahaman tersebut, maka tidak ada perbedaaan sama sekali antara
laki-laki dan negara terhadap perempuan, karena hal ini bertentangan dengan prinsip-
prinsip perempuan. Perempuan, seperti juga laki-laki adalah warga negara dengan
hak-hak kewarganegaraan yang sama. Tidak boleh ada diskriminasi demokrasi dan
hak-hak asasi manusia yang universal. Setiap orang dengan jenis kelamin apapun
punya peluang yang sama untuk berpartisipasi dalam ranah politik.
Gerakan perempuan atau lebih dikenal sebagai gerakan gender sebagai
gerakan politik sebenarnya berakar pada suatu gerakan yang dalam akhir abad ke -19
di berbagai negara Baratdikenal sebagai gerakan “suffrage”, yaitu suatu gerakan
untuk memajukan perempuan baik disisi kondisi kehidupannya maupun mengenai
status dan perannya. Inti dari perjuangan merekaadalah bahwa mereka menyadari
bahwa di dalam masyarakat ada satu golongan manusia yang belum banyak
terpikirkan nasibnya. Golongan tersebut adalah kaum perempuan.
2 Otje Salman dan Susanto, Teori Hukum, Bandung: Rafika Aditama, 2004, hal. 130.
Berbicara tentang politik saat ini bukan hanya bagaimana kemudian partai
politik berkuasa tapi juga membahas mengenai bagaimana kemudian perempuan
dalam partai dan parlemen.
Pencapaian ini bukan berarti tanpa perjuangan, melainkan melalui pergerakan-
pergerakan politik yang pada akhirnya dapat diterima oleh pemerintah. Perjuangan
politik kaum perempuan di berbagai negara melalui proses yang berbeda-beda dan
mendapatkan respon yang berbeda-beda pula. Hal ini tergantung dari ideologi negara
tersebut.
Secara demografis jumlah penduduk perempuan di Indonesia lebih besar dari
pada jumlah penduduk laki-laki. Dengan deikian juga dengan jumlah pemilih
perempuan lebih besar dari pemilih laki-laki.3
Peluang perempuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan nasional
sesungguhnya telah terakomodasikan oleh berbagai kebijakan dan peraturan
perundang-undangan. Apabila ditelusuri dengan sistem hirarki ketatanegaraan di
Indonesia yang merujuk pada landasan hukum keberlakuan sistem hirarki tersebut
yakni melalui Undang-Undang (selanjutnya disebut dengan UU) Nomor 10 Tahun
2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menegaskan bahwa
urutan perundang-undangan yang tertinggi adalah Undang-Undang Dasar
(selanjutnya disebut dengan UUD) Republik Indonesia (selanjutnya disebut dengan
RI) 1945. Pasal 27 ayat (1) UUD RI 1945 menegaskan bahwa segala warga Negara
3 Teuku Mulkan, Makalah: Penerapan Affirmative Action di Indonesia dalam Meningkatkan
Peran Wanita Dalam Dunia Politik Ditinjau dari Feminist Jurisprudence, Salemba: Program Magister
Pascasarjana FHUI 2015, hal. 2.
bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung
hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
1.2. Rumusan Masalah
Sesuai dengan Rumusan Masalah yang disajikan oleh Penyaji dalam makalah
Penyaji maka Rumusan Masalah dalam makalah ini adalah:
1. Bagaimana perkembangan prinsip feminist jurisprudence dan affirmative
action secara umum?
2. Bagaimana penerapan affirmative action dalam meningkatkan peran wanita
dalam berpartisipasi politik di Indonesia ditinjau dari feminist jurisprudence?
1.3. Tujuan Penulisan
Makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas perkuliahan Filsafat Hukum.
Selain itu makalah ini memiliki tujuan lain yaitu menjelaskan mengenai penerapan
affirmative action dalam rangka meningkatkan partisipasi politik yang dilakukan oleh
wanita.
1.4. Manfaat Penulisan
Adapun penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman dan
pengetahuan yang lebih mendalam mengenai pemahaman tentang Penerapan
Affirmative Action di Indonesia dalam meningkatkan Peran Wanita dalam Dunia
Politik ditinjau dari Feminist Jurisprudence. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan
dapat menjadi bahan informasi ilmiah yang dapat digunakan oleh pihak-pihak lainnya
untuk melakukan kajian dan penelitian selanjutnya.
1.5. Kerangka Konseptual
Kerangka Konseptual yang digunakan oleh penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Affirmative Action dapat diartikan sebagai ketentuan atau kebijakan yang
mensyaratkan dikenakannya kepada kelompok tertentu pemberian kompensasi
dan keistimewaan dalam kasus-kasus tertentu guna mencapai representasi
yang lebih proporsional dalam beragam institusi dan okupasi. Tindakan ini
merupakan diskriminasi positif (positive discrimination) yang dilakukan untuk
mempercepat tercapainya keadilan dan kesetaraan. Salah satu sarana
terpenting untuk menerapkannya adalah hukum dan jaminan pelaksanaannya
harus ada dalam konstitusi dan undang-undang.4
2. Partisipasi politik merupakan tindakan seperti memberikan suara dalam
pemilu, menghadiri rapat umum, menjadi anggota suatu partai atau kelompok
kepentingan, melakukan kontrak dengan pejabat pemerintah atau anggota
parlemen5
1.6. Landasan Teori
1.6.1. Feminist Jurisprudence
Feminist Jurisprudence adalah teori pendekatan hukum yang menggunakan
perspektif perempuan yang didasarkan pada kesetaraan gender dibidang politik,
ekonomi, dan sosial. Jurisprudensi feminisme itu muncul antara lain disebabkan
4 Op., Cit, Teuku Mulkan, Makalah Penyaji, hal 6.
5 Ibid.
meningkatnya pemahaman perempuan akan hukum, peranan dan dampaknya pada
kehidupan manusia secara umum, termasuk perempuan.
Feminist Jurisprudence atau bisa disebut juga dengan Legal
Theory didasarkan pada pandangan gerakan feminist bahwa dalam sejarah, hukum
merupakan instrumen untuk melanggengkan posisi wanita dibawah subordinasi kaum
pria. Sejarah yang ditulis kaum pria telah menciptakan bias dalam konsep kodrat
manusia, potensi dan kemampuan gender, serta dalam pengaturan masyarakat.
Dengan menyatakan ke-pria-an sebagai norma, maka ke wanita an adalah deviasi dari
norma dan hal ini merupakan hegemoni dalam konsep dan penguatan hukum dan
kekuasaan patriakal. Budaya patriaki tersebut memunculkan apa yang disebut dengan
diskriminasi terhadap gender, dimana kedudukan wanita atau perempuan dalam
hukum dan masyarakat dianggap setingkat atau bahkan beberapa tingkat lebih rendah
dari kedudukan pria atau laki-laki. Padahal sebagaimana disebutkan dalam sebuah
adagium equality before the law, yaitu kedudukan setiap orang adalah sama di hadapan
hukum tanpa membedakan gender, ras, status sosial seseorang, dan lain sebagainya.
Untuk itu feminist jurisprudence atau feminist legal theory muncul sebagai bentuk
kritik terhadap aliran atau paham paham mengenai hukum yang telah ada. Kaum
Feminists menantang dan membongkar kepercayaan atau mitos bahwa pria dan
wanita begitu berbeda, sehingga perilaku tertentu bisa dibedakan atas dasar perbedaan
gender. Gender menurut kaum feminist diciptakan atau dibentuk secara sosial bukan
secara biologis. Gender menentukan penampilan fisik, kapasitas reproduksi, tetapi
tidak menentukan ciri-ciri psikologis, moral atau sosial. Dengan kata lain, feminist
jurisprudence mencoba untuk mempelajari hukum dari sudut pandang wanita dan
berdasarkan pada teori-teori feminist.
1.6.2. Partisipasi dan Keterwakilan Politik Perempuan6
Kaum perempuan, sebagai warga negara memiliki hak-hak politik yang
memungkinkannya untuk berpartisipasi dalam pemerintahan, tempat dimana mereka
dapat mempertahankan dan mengembangkan kepentingan-kepentingannya. Namun
ideology berkembang mapan menyebabkan perempuan dieksklusikan dari dunia
politik.
1.7. Methodologi Penulisan
Menurut Soetandyo Wignyosubroto, terdapat 5 (lima) jenis atau tipe penelitian
hukum, yaitu:
1. Tipe kajian filsafat hukum yang bertolak dari pandangan bahwa hukum adalah
asas kebenaran dan keadilan yang bersifat kodrati dan berlaku universal. Tipe
kajian ini berorientasi kefilsafatan, dengan menggunakan metode logika-
deduksi dari premis normatif yang diyakini bersifat self-evident.
2. Tipe kajian hukum murni yang mengkaji “law as it is written in the books”
yang bertolak dari pandangan bahwa hukum adalah norma-norma positif di
dalam sistem perundang-undangan hukum nasional. Berorienrasi positivistis,
6 Ibid, hal. 7.
dan menggunakan metode doktrinal bersaranakan logika deduksi untuk
membangun sistem hukum positif.
3. Tipe kajian American sociological jurisprudence yang mengkaji law as it is
by judges through judicial process, yang bertolak dari pandangan bahwa
hukum adalah apa yang diputuskan oleh hakim inkonkreto dan tersistematisasi
sebagai judge made law. Berorientasi behavioural dan sosiologik serta
menggunakan metode doktrinal dan nondoktrinal bersaranakan logika induksi
untuk mengakaji “court behaviours”.
4. Tipe kajian sosiologi hukum yang mengkaji “law as it is an society” yang
bertolak dari pada pandangan bahwa hukum adalah pola perilaku sosial yang
terlembaga dan eksis sebagai variable sosial yang empirik. Berorientasi
struktural, dan menggunakan metode sosial/ nondoktrinal dengan pendekatan
struktural/ makro dan umumnya kuantitatif.
5. Tipe kajian sosiologi dan/ atau antropologi hukum yang mengkaji law as it is
in (human) action, yang bertolak dari pandangan bahwa hukum adalah
manifestasi makna-makna simbolik pelaku sosial sebagaimana tampak dalam
interaksi mereka. Berorientasi simbolik interaksional, dan menggunakan
metode sosial/ nondoktrinal dengan pendekatan interaksional/ mikro dengan
analisis kualitatif.
Tipe kajian hukum (1) (2), dan (3) berada dalam tipe penelitian hukum yang
mengacu konsep hukum sebagai kaidah yang disebut penelitian normatif. Metodenya
disebut dengan metode doktrinal-monologik yang bertolak dari kaidah sebagai ajaran
yang mengkaidahi perilaku. Tipe kajian hukum yang mengacu konsep hukum sebagai
kaidah dan metode doktrinal adalah metode yang digunakan dalam kegiatan
pengembanan teori hukum dan ilmu hukum.
Oleh karena penelitian ini mengacu pada kasus Penerapan Affirmative Action
di Indonesia dalam Meningkatkan Peran Wanita dalam Dunia Politik Ditinjau Dari
Feminist Jurisprudence maka penelitian ini termasuk dalam tipe penelitian hukum
normatif. Penelitian hukum dilihat dari pelaksanaannya melalui adalah norma-norma
positif di dalam sistem perundang-undangan hukum nasional.
BAB II
HASIL DAN PEMBAHASAN
2.1 Perkembangan Feminist Jurisprudence dan Affirmative Action
2.1.1. Perkembangan Feminist Jurisprudence
Feminist Jurisprudence adalah filsafat hukum yang didasarkan pada
kesetaraan dalam bidang politik, ekonomi dan sosial. Feminisme Jurisprudence atau
bisa disebut Feminist Legal Theori dimana kita mempelajari hukum dari sudut
pandang teori-teori feminist. Yang melatarbelakangi teori Feminisme Jurisprudence
ini adalah karena untuk mengurangi ideologi patriarkhi melalui penggunaan ideologi
hukum dan sejak dulu badan-badan hukum sangat didominasi oleh laki-laki. Teori
Feminisme Jurisprudence didasari pada pandangan gerakan feminis bahwa dalam
sejarah, hukum merupakan instrumen untuk melanggengkan posisi wanita dibawah
subordinasi kaum pria.7
Untuk mewujudkan cita-cita tersebut Feminisme Jurisprudence menggunakan
metode bertanya pada perempuan apa yang sebenarnya dikehendaki oleh perempuan,
mempertimbangkan segala pengalaman konkrit dan unik dari perempuan (perempuan
yang banyak mengalami diskriminasi).8
Masuknya teori Feminisme Jurisprudence di Indonesia tidak begitu saja
langsung dapat diterima oleh masyarakat termasuk para perempuan Indonesia, hal
7 Anonim, Feminist Jurisprudence, http://qitah-qitah.blogspot.com/2012/07/feminisme-
jurisprudence.html, diakses: 21 Juni 2012. 8 Ibid.
tersebut dikarenakan masyarakat Indonesia telah memiliki adat istiadat, budaya
ketimuran yang kental dengan adat melayu (Islam) sehingga tidak mudah menerima
budaya dari negeri barat.9
Melalui beberapa pendekatan, feminist telah mengidentifikasi unsur-unsur
gender dan akibatnya pada hukum yang netral serta pelaksanaannya. Hukum akan
mempengaruhi masalah-masalah perkawinan, perceraian, hak reproduksi, perkosaan,
dan kekerasan terhadap wanita.10
Walaupun feminist memiliki komitment umum
untuk kesetaraan, feminist jurisprudence terpisah ke dalam tiga aliran besar yaitu:
a. Feminist tradisional menyatakan bahwa wanita sama rasionalnya dengan laki-
laki dan karenanya harus memiliki kesempatan yang sama dalam memilih.
b. Feminist liberal menentang asumsi danya kewenangan kaum laki-laki dan
berusaha menghapus perbedaan gender yang disebabkan oleh hukum yang
sekaligus membuat wanita mampu bersaing di dalam pasar bebas.
c. Feminist kultural memfokuskan diri pada perbedaan antara laki-laki dan
wanita. Kelompok ini menekankan pentingnya relasi antara dua golongan
tersebut dan tujuannya adalah memberikan pengakuan setara kepada wanita
bahwa wanita memiliki nilai-nilai moral untuk komunitasnya dalam hal
pemberian kasih sayang.11
Seperti yang disampaikan dalam makalah penyaji yang mengutip pendapat
dari Omas Ihromi yang mengatakan bahwa telah banyak sekali rumusan dalam
Undang-undang kita yang sudah adil dari segi gender, namun dalam kenyataan masih
9 Ibid.
10 Teuku Mulkan, Op., Cit, hal. 17.
11 Ibid.
belum terwujud. Masyarakat masih tertinggal dalam sikap, dalam pemikiran, dalam
konsep gender.
Tetapi disini saya melihat bahwa sering kali orang lupa bertanya kepada
perempuan, adakah hukum telah menajamin dia dalam memperoleh hak-hak dasarnya
sebagai manusia yang bermartabat? Apakah hukum sedah menjamin perempuan
untuk didengar suaranya dalam ruang-ruang public pengambilan keputusan penting
dalam bernegara dan bermasyarakat? Apakah hukum sudah melindungi diri
perempuan dari kekerasan, kelaparan, kebodohan? Apakah hukum sudah menjamin
perempua untuk dapat mengekspresikan dirinya apa adanya dan mengontrol tubuhnya
sendiri?
Nyatanya tidak, hukum bahkan telah membatasi ruang gerak perempuan,
menentukan jam berapa perempuan boleh keluar rumah, menggunakan pakaian
seperti apa, berperilaku seperti apa, dan sudah sejak lama hukum menempatkan
perempuan kawin tidak layak untuk sebagai nahkoda keluarga bersama dengan
suaminya.
Hukum bahkan telah menyebabkan perempuan, keluar dari hutan-hutan tamah
leluhurnya, ketika masyarakat adat kehilangan aksesnya kepada tanah dan sember
daya alam, menjadi “budak” dinegara orang lain, hanya demi sesuap nasi bagi
keluarga dan dirinya sendiri, dan kehilangan haknya sebgai orang merdeka.
Pertanyaan dalam mengakaji persoalan hukum dari perspektif perempuan
ialah, benarkan bahwa hukum sungguh netral dan objektif? Benarkah prinsip
“Equality before the law” memang menjamin setiap orang berada dalam posisi yang
setara dan adil? Dalam hal ada kelompok tertinggal yang tidak mendapatkan akses
kepada keadilan dalam masyarakat, dan untuk dapat mengejar ketertinggalan itu,
maka dibuatkan “Affirmative Action”, apakah dalam arti ini hukum berpihak,
bolehkah? Kebijakan pemberian kuota 30% kepada perempuan untuk duduk
diparlemen, adalah salah satu contohnya.
Dalam perjalanannya, feminist jurisprudence membongkar dan menjelaskan
bagaimana hukum memainkan peran untuk melegalkan status wanita dalam posisi
subordinasi pria, dengan kata lain hukum menjadi sarana untuk melestarikan status
quo yaitu dominasi pria atas kaum wanita. Selain itu, feminist jurisprudence juga
berusaha untuk melakukan perubahan / transformasi merubah status kaum wanita
dengan merubah hukum dan pendekatannya dan pandangannya terhadap
perkara gender menjadi lebih adil dan berimbang. Ini adalah proyek emansipatoris
kaum wanita dibidang hukum. Sehingga pada akhirnya Feminist
jurisprudence mempengaruhi pemikiran hukum dalam setiap bidang hukum,
diantaranya hubungan rumah tangga (domestic relations) seperti perkawinan,
perceraian dan keluarga, kekerasan dalam rumah tangga, pekerjaan, pelecehan sexual,
hak-hak sipil, perpajakan, hak asasi manusia dan hak-hak reproduksi.
Di Indonesia perjuangan perempuan sudah dimulai sejak kartini pertama kali
memberi apinuansa kebangkitan kaum perempuan Indonesia dalam upaya membela
diri. Kartini kemudian menjadi sosok perintis hingga kemudian bermunculanlah
tokoh perempuan lainnya seperti RadenDewi Sartika dan Rohanna Kudus yang
mendirikan lembaga pendidikan yang diperuntukkan bagi kaum perempuan dan terus
berkembang hingga pada waktu tercapainya kongres perempuan Indonesia pertama
kalinya pada 22 Desember 1928 yang dihadiri 30 organisasi perempuan.12
Feminisme Jurisprudence mendorong emansipatoris kaum perempuan
dibidang hukum di Indonesia, yaitu dimana kaum perempuan banyak melakukan
usaha perubahan kearah kesetaraan gender di Indonesia telah mulai terasa dengan
segala polemiknya. Usaha pembuatan Rancangan Undang-Undang seperti
perlindungan kekerasan dalam rumah tangga, perlindungan pekerja wanita migran,
12
Sekretariat Negara,
http://www.setneg.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id+2260&Itemid+219,
diakses: Selasa, 10 April 2013.
perlindungan korban anak perempuan telah diperjuangkan. Berdirinya lembaga-
lembaga yang memperjuangkan hak-hak perempuan dan LSM banyak menyadarkan
kaum perempuan atas adanya struktur dominasi kaum laki-laki yang tertanam
didalam pikiran, struktur dan budaya dengan melakukan kajian kritis terhadap
berbagai produk kebijakan yang tidak berperspektif gender serta melakukan berbagai
upaya untuk mengadvokasi usulan-usulan perubahan kebijakan dalam berbagai
bentuk seperti, dialog publik, seminar, talkshow, dan loka karya.
Melalui pendekatan di atas, nampaknya sudah sejak lama upaya berkaitan
dengan kesetaraan gender diperjuangkan. Terlepas dari apakah seseorang akan
cenderung pada salah satu isme, tetapi perjuangan para pegiat gender melalui
feminisme terbukti sedikit demi sedikit dan perlahan-lahan telah mengubah persepsi,
pemahaman, dan perlakuan masyarakat secara luas.
Setidaknya dibidang perundang-undangan, Indonesia mempunyai Undang-
Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT), Undang-Undang
Perlindungan Anak, Undang-Undang Trafficking, Undang-Undang Partai Politik dan
Pemilu, Undang-Undang Kewarganegaraan, Undang-Undang Pornografi, rencana
revisi Undang-Undang Perkawinan, dan lain-lain.
Meski demikian, beberapa perundangan tersebut masih memerlukan kajian
gender yang lebih mendalam, terutama soal implementasi di lapangan. Dengan
demikian, untuk mencapai tujuan tersebut, kaum perempuan tetap harus
mengoptimalkan kemampuannya agar menjadi sumber daya manusia yang potensial.
2.1.2 Pelembagaan Peran Politik Perempuan di Parlemen
Peran perempuan yang berkiprah dibidang parlemen mungkin telah menjadi
format perjuangan baru di Indonesia terutama di era reformasi. Tuntutan reformasi
dalam segala aspek kemudian terejewantahkan dan terlembagaka dalam berbagai
kekuatan social yang berkembang. Menuju masyarakat yang demokratis inilah
kemudian peran perempuan mulai nampak dalam berbagai kegiatan social politik
yang ada. Perempuan yang dulu diidentikan hanya sebagai seorang yang hanya
mengurus rumah tangga, merawat anak dan mengurus suami, kini melakukan
transformasi identitas dan etos kerja yang lebih luas tanpa melupakan kewajiban
utamanya sebagai seorang perempuan.
Budaya patriarki menghambat perempuan memperoleh pendidikan agama
yang tinggi. Dengan alasan, perempuan hanya bertugas di ranah domestik, yaitu
rumah tanggal. Dikemukakan pula bahwa sebab-sebab wanita gagal untuk
mempergunakan kesempatan dalam bidang ekonomi, sosial dan politik yang
diberikan kepada mereka dinegara-negara tersebut adalah karena sikap tradisional dan
kerendahan atau kekurangan wanita sendiri.
Faktanya, kehidupan politik, termasuk partai politik dan parlemen di
Indonesia merupakan bidang-bidang yang berbias gender. Untuk waktu yang cukup
lama dan hingga saat ini, hamper keseluruhan bidang politik Indonesia dikuasai oleh
laki-laki, sementara perempuan hanya berperan sangat kecil didalamnya. Paling tidak
ada dua persoalan perempuan dalam bidang politik, yaitu pertama masalah
keterwakilan perempuan yang sangat rendah di ruang publik dan yang kedua adalah
masalah belum adanya partai yang secara kongkrit membela kepentingan kaum
perempuan. Masalah keterwakilan perempuan dalam politik menjadi isu dan menjadi
persoalan hangat dalam gerakan perempuan di Indonesia.
Bagi perempuan, konsep demokrasi bisa jadi suatu hal yang diidam-idamkan
namun sekaligus bisa menjadi sebuah mimpi buruk. Paling tidak ada dua persoalan
perempuan dalam politik, pertama masalah keterwakilan perempuan yang sangat
rendah pada ruang publik dan yang kedua adalah belum adanya platform partai yang
secara konkrit membela kepentingan perempuan. Malahan kalangan feminis yakin,
bahwa memberi tempat lebih banyak kepada perempuan dalam dunia politik akan
memberi angin segar dan harapan bagi perubahan politik yang arogan, korup dan
patriakis.
Itulah sebabnya mengapa mematok kuota 30% perempuan di parlemen dalam
pemilu 2009 harus konsisten dipenuhi dalam rangka tindakan afirmatif (affirmative
action), tidak seperti kejadian pada pemilu 2004 dimana kuota 30% tidak bisa
dicapai, alasannya karena tidak ada komitmen dari parpol yang menjadi peserta
pemilu (apakah parpol islam, nasionalis) memenuhi kuota tersebut. Hanya sedikit dari
parpol yang bisa melaksanakan amanat UU No 12 tahun 2003 dalam pasal 6513
tersebut. Memang pasal tersebut tidak secara tegas, karena dia tidak bersifat imperatif
dan tidak menyediakan dasar bagi KPU untuk menjatuhkan sanksi sekiramya partai-
partai politik tidak mentaatinya. Pasal tersebut juga tidak secara tegas mengatur,
13
Pasal 65 ayat 1 tersebut menegaskan bahwa setiap partai politik peserta pemilu dapat
mengajukan calon anggota DPR, DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten atau kota untuk setiap daerah
pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang- kurangnya 30%.
apakah keterwakilan 30 % yang diinginkan terletak pada level pencalonan atau pada
level perolehan suara.14
Pada titik seperti ini perempuan hanya digunakan sebagai alat oleh partai
politik demi alasan ’pembaharuan dunia’. Mereka semata- mata hanya dijadikan
sebagai alat politik dan akhirnya lagi - lagi menjadi kaum mayoritas yang inferior dan
terbungkamkan. Perempuan oleh masyarakat dipaksa untuk menerima mereka
sebagai pembawa hal baru dalam tahap-tahap perpolitikan, namun minimnya
pengalaman dan pengetahuan serta akses yang sulit ke kancah politik membuat
mereka hanya menjadi sebuah pemain figuran.
2.1.3. Affirmative Action dan sistem kuota dalam perspektif teori politik
Sebenarnya tindakan affirmative terhadap perempuan merupakan sebagai
suatu pemahaman kita terhadap persoalan politik perempuan yang intinya bukan
untuk menguasai, saling menjajah atau saling menjegal. Tujuan utamanya adalah
membuka peluang terhadap perempuan agar mereka sebagai kelompok yang marginal
bisa terintegrasi dalam kehidupan public secara adil. affirmative action disini bisa kita
jadikan sebagai alat penting untuk mempertahankan paling tidak 30 % perempuan
14
Berdasarkan dari hasil penelitian Pusat Studi Otonomi Daerah Universitas Anadalas yang
dilakukan diwilayah KPU Sumatera Barat memperlihatkan bahwa hanya 2 partai politik yaitu PPP dan
PKS yang dapat memenuhi ketentuan kuota 30 % perempuan.
agar tetap berada pada tingkat pembuatan keputusan sehingga bisa meminimalisir
aturan- aturan yang tidak sah untuk mencapai kesetaraan gender.15
Tindakan affirmative 30% merupakan sebagai alat atau sarana kita untuk
mencapai ”gong” yang lebih besar, yaitu masyarakat yang demokrartis. Keberhasilan
kebijakan tersebut sangat bergantung pada aktor, diantaranya memerlukan perubahan
secara simultan di tingkat makro dan mikro yang bisa kita sebut sebagai “berpolitik
dengan cara baru”.
Berbicara tentang konsep affirmative dalam prakteknya dilapangan
dilaksanakan dengan sistem kuota. Sistem ini memang banyak menimbulkan pro dan
kontra tersendiri. Dalam penelitian ini peneliti memakai konsepnya Melanie
Reyes,salah satu peneliti dari centre for legislative development, menurut Melanie
Reyes sistem kuota adalah sebuah pilihan antara mendapatkan kutukan atau
anugerah.16
Ada makna dalam sistem kuota ini yaitu
(1) Sistem kuota pada dasarnya meletakan persentase minimum bagi kedua jenis
kelamin yakni laki- laki dan perempuan, untuk memastikan adanya
keseimbangan posisi dan peran gender dari keduanya dalam dunia politik,
atau khususnya dalam pembuatan keputusan.17
15
Kalliope Migirou, (1999). Menuju implementasi efektif mengenal legislasi dan hak azazi
perempuan internasional. Hal 26. Dalam Nadezhda Shvedovan (1999) . kendala terhadap partispasi
perempuan dalam parlemen. Dalam Azza Karam dkk. (eds). Perempuan parlemen bukan sekedar
jumlah, bukan sekedar hiasan (terj). Jakarta: YJP dan IDEA.hal 24. 16
Melanie Reyes et all. (2000). The quota system : Women’s Boon or bane? The centre for
legislative development. Vol 1, No3, April 2000. 17
Argumen yang digunakan dalam penggunaan sistem kuota ini adalah untuk mengatasi
masalah ketidaksetaraan atau ketidakadilan gender akibat dari UU atau hukum dan budaya yang bias
gender
(2) Sistem kuota dimaknai sebagai pemeberian kesempatan dengan memaksakan
sejumlah pesentase tertentu pada keleompok tertentu (perempuan) sistem
kuota ini pada dasarnya tidak memiliki basis hukum yang kuat alias tidak
konstitusional. Belum lagi pernyataan yang menyatakan bahwa sistem kuota
bertentangan dengan hak- hak azazi manusia ( baca: mendiskriminasi laki),
dan bahkan merendahkan kemampuan perempuan itu sendiri.
Kebijakan affirmative menurut Ani Soetjipto, berbeda dengan kuota karena
kebijakan ini bukan hanya sekedar menetapkan persentase tertentu dimana kebijakan
affirmative mempunyai tiga sasaran yaitu:
(1) Memberikan dampak positif kepada suatu institusi agar lebih cakap
memahami sekaligus mengeliminasi berbagai bentuk rasisme dan seksisme di
tempat kerja
(2) Agar institusi tersebut mampu mencega terjadinya bias gender maupun bias
ras dalam segala kesempatan
(3) Sifatnya lebih sementara tapi konsisten, ketika sasaran untuk mencapai
kegiatan telah tercapai, dan jika kelompok yang telah dilindungi terintegrasi.
Maka kebijakan tersebut bisa dicabut.
Yang menjadi penekanan dalam terhadap affirmative ini adalah persamaan dalam
kesempatan dan persamaan terhadap hasil yang dicapai.
Tapi affirmative action bukan sebuah obat yang mujarab yang bisa
menyelesaikan permasalahan diatas dalam sekejap. Tindakan affirmative 30%
merupakan sebagai alat atau sarana kita untuk mencapai ”gong” yang lebih besar,
yaitu masyarakat yang demokrartis. Keberhasilan kebijakan tersebut sangat
bergantung pada aktor, diantaranya memerlukan perubahan secara simultan di tingkat
makro dan mikro yang bisa kita sebut sebagai “berpolitik dengan cara baru”.
Mengenai keberhasilan kuota ke depan, hal ini tentu saja diperlukan upaya
dan perjuangan yang terus menerus agar semangat melakukan perubahan tetap hidup
dengan terus memelihara kontinuitas aktivitas politik sehingga politik membawa
manfaat bagi kehidupan perempuan dan masyarakat sipil lainnya. Semoga
cara berpikir dan berlakumasyarakat politik dan juga masyarakat sipil
tentang melakukan perlawanan terhadaph egem o n i d an i d e l o g i ,
m em b an gk i tk an h eg em o ni d an id eo log y m as ya r ak a t s ip i l menjadi
budaya, hegemoni baru yang mampu mengkonstruksi realitas masyarakat yang lebih
baik.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesipulan
1. Dengan melihat ketentuan kuota telah berhasil dimasukkan ke
dalam UU Pemilu tahun 2003. Hal itu adalah suatu keberhasilan
yang luar biasa dari perjuangan kaum perempuan. Dan dapat pula
dilihat dengan banyaknya peraturan yang mengatur mengenai kepentingan
hukum wanita itu sendiri. Dengan adanya kepastian, perlindungan, dan
kemudahan untuk setara atau sejajar dengan kaum pria. Jadi,
perkembangan Feminist Jurisprudence dan Affirmative Action telah
mengalami perkembangan yang luar biasa tentunya.
2. Meski potensi perempuan dalam percaturan bidang politik terhalang dengan
budaya atau kulturan yang masih mengaggap bahwa perempuan dalam bidang
politik merupakan sesuatu yang lain dan tabu tetapi penerapan affirmative
action dalam meningkatkan partisipasi politik wanita di Indonesia dapat
dikatakan cukup berhasil dan mengupas satu persatu elemen-elemen yang
berada dalam pemenuhan keadilan untuk perempuan sebagai orang yang
merdeka dan bermartabat. Meski, affirmative action bukan sebuah obat yang
mujarab yang bisa menyelesaikan permasalahan feminist dalam sekejap.
3.2. Saran
Masih banyak peraturan perundangan-undangan di Indonesia harus memerlukan
kajian feminist yang lebih mendalam, terutama soal implementasi di lapangan.
Dengan demikian, untuk mencapai tujuan tersebut, kaum perempuan tetap harus
mengoptimalkan kemampuannya agar menjadi sumber daya manusia yang potensial.
Hal itu bisa membuat persepsi, eksistensi, dan peluang perempuan yang telah
terstruktur dalam masyarakat menjadi makin terbuka, termasuk membangun kaum ibu
melalui pembangunan keluarga berkualitas.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Brotosusilo Agus, Bahan Bacaan Program Magister, Filsafat Hukum, FHUI: 2015.
Otje Salman dan Susanto, Teori Hukum, Bandung: Rafika Aditama, 2004. Kalliope.
Migirou, (1999). Menuju implementasi efektif mengenal legislasi dan hak azazi
perempuan internasional. Dalam Nadezhda Shvedovan (1999). kendala
terhadap partispasi perempuan dalam parlemen. Dalam Azza Karam dkk.
(eds). Perempuan parlemen bukan sekedar jumlah, bukan sekedar hiasan
(terj). Jakarta: YJP dan IDEA.
JURNAL
Mulkan Teuku, Makalah: Penerapan Affirmative Action di Indonesia dalam
Meningkatkan Peran Wanita Dalam Dunia Politik Ditinjau dari Feminist
Jurisprudence, Salemba: Program Magister Pascasarjana FHUI 2015.
Melanie Reyes et all. (2000). The quota system : Women’s Boon or bane? The centre
for legislative development. Vol 1, No3, April 2000.
Jurnal Konstitusi, PSHK-FH UI dengan Mahkamah Konstitusi RI.
Patricia A. Cain, Feminist Jurisprudence: Grounding The Theories, Berkeley Journal
of Gender, Law & Justice, Volume 4, Issue 2, September 2013.
INTERNET
SurajI, M. H., Jurnal: Kesehatan Gender di Indonesia ditinjau dari Teori-Konsep dan
Pendekatan Sosiologi Hukum,
http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=2&
cad=rja&uact=8&ved=0CCEQFjAB&url=http%3A%2F%2Fpawonogirikab.
go.id%2Fstatic%2Ffile%2FMakalah_Suraji.pdf&ei=DNsgVZiJGYewuATHpI
HgAQ&usg=AFQjCNHTEJKf6TZK4kegtKzeDPx1vQhDrw&sig2=zB4k10cX
Uf6a-Qn1YjMsQ&bvm=bv.89947451,d.c2E.
SekretariatNegara,http://www.setneg.go.id/index.php?option=com_content&task=vie
w&id+2260&Itemid+219, diakses: Selasa, 10 April 2013.
Anonim, Feminist Jurisprudence, http://qitah-qitah.blogspot.com/2012/07/feminisme-
jurisprudence.html, diakses: 21 Juni 2012.