Urgensi Filsafat Hukum

26
Urgensi Filsafat Hukum Author: bambang 21 AUG URGENSI DAN RELEVANSI FILSAFAT HUKUM DALAM PROSES REFORMASI DI INDONESIA Oleh : Bambang Sutiyoso, SH. M.Hum. ABSTRACT Bangsa Indonesia menghadapi suatu masalah serius yang harus dilalui dalam menjalankan agenda reformasi ini. Sudah terlampau banyak konsep dan gagasan para pakar untuk mengatasinya, tetapi ternyata belum sepenuhnya membawa hasil optimal ke arah penyelesaian yang kongkrit. Karena pada umumnya, mereka melihat berbagai peristiwa dan permasalahan bangsa dari sudut pandangnya sendiri-sendiri, jarang yang berpikir secara sistemik, melalui pendekatan yang lebih menyeluruh dan komprehensif. Hal ini membuktikan bahwa penyelesaian krisis yang menimpa bangsa Indonesia, diperlukan alternatif pendekatan yang lebih relevan yang mampu mengakomodasikan berbagai kepentingan yang ada. Dengan bertitik tolak dari kerangka pemikiran filsafat hukum yang bercirikan mendasar, rasional, reflektif dan komprehensif, diharapkan dapat membantu semua pihak dapat bersikap lebih arif dan tidak terkotak-kotak keilmuannya yang memungkinkan dapat menemukan akar masalahnya. Tahap selanjutnya diharapkan dapat memberikan solusi yang tepat dalam mengatasi krisis yang menerpa bangsa Indonesia. A.Pendahuluan Sudah hampir satu dasa warsa lamanya proses reformasi dijalankan bangsa Indonesia, sejak orde baru runtuh dari panggung kekuasaan politik pada penghujung Mei 1998. Seperti yang diprediksikan oleh banyak pihak, reformasi ini memerlukan proses yang cukup panjang dan tidak mungkin mengubah segala sesuatunya secara cepat sesuai dengan tuntutan dan keinginan yang diharapkan rakyat. Bahkan untuk mereformasi berbagai tatanan kehidupan bangsa yang sudah lama tertanam lebih dari tiga dasawarsa merupakan pekerjaan yang tidak mudah serta membutuhkan pengorbanan yang amat besar dari rakyat dan bangsa Indonesia. Tidak sekedar berupa harta benda, pikiran maupun tenaga, tetapi nyawa-nyawa anak bangsapun banyak berguguran di bumi pertiwi tercinta ini. Bangsa Indonesia menghadapi suatu masalah serius yang harus dilalui dalam proses reformasi ini, mulai dari krisis moneter yang berkembang menjadi krisis ekonomi, meletusnya berbagai kerusuhan, mencuatnya kembali pertentangan etnis dan agama, munculnya kelompok-kelompok kepentingan yang saling berebut pengaruh dan sebagainya. Langsung maupun tidak langsung tentu amat berpengaruh terhadap stabilitas negara dan ketentraman masyarakat. Masyarakat menjadi resah, trauma dan merasa tidak nyaman dalam menjalani kehidupan sehari-harinya, terutama yang terjadi di kota-kota besar yang potensial memunculkan aksi kerusuhan massa. Ekses-ekses reformasi yang merugikan tersebut tentunya tidak diharapkan oleh masyarakat dan sedapat mungkin harus dicarikan jalan keluarnya. Sudah banyak lontaran gagasan dikemukakan oleh banyak kalangan, mulai dari para pejabat pemerintah, tokoh masyarakat, tokoh agama, ilmuwan dan lain-lain untuk memberikan jalan keluar (solution) terhadap krisis yang tengah dihadapi masyarakat. Bermacam-macam teori dan retorikapun dikemukakan untuk meyakinkan masyarakat. Akan tetapi pada umumnya, mereka melihat berbagai peristiwa dan permasalahan bangsa dari kacamatanya atau sudut pandangnya sendiri-sendiri, jarang yang berpikir secara sistemik, melalui pendekatan yang lebih menyeluruh dan komprehensif. Tidak mengherankan kalau banyak pakar politik, pakar hukum, pakar ekonomi dan sebagainya berlomba-lomba mengemukan pendapatnya sesuai dengan versinya masing- masing. Bahkan nampaknya ada kecenderungan di lingkungan para pakar terlalu mendewa-dewakan disiplin bidang keilmuannya sendiri dan seolah-olah memandang rendah disiplin bidang lain. Hal ini

Transcript of Urgensi Filsafat Hukum

Urgensi Filsafat HukumAuthor: bambang

21

AUG

URGENSI DAN RELEVANSI FILSAFAT HUKUM DALAM PROSES REFORMASI DI INDONESIA Oleh : Bambang Sutiyoso, SH. M.Hum. ABSTRACT Bangsa Indonesia menghadapi suatu masalah serius yang harus dilalui dalam menjalankan agenda reformasi ini. Sudah terlampau banyak konsep dan gagasan para pakar untuk mengatasinya, tetapi ternyata belum sepenuhnya membawa hasil optimal ke arah penyelesaian yang kongkrit. Karena pada umumnya, mereka melihat berbagai peristiwa dan permasalahan bangsa dari sudut pandangnya sendiri-sendiri, jarang yang berpikir secara sistemik, melalui pendekatan yang lebih menyeluruh dan komprehensif. Hal ini membuktikan bahwa penyelesaian krisis yang menimpa bangsa Indonesia, diperlukan alternatif pendekatan yang lebih relevan yang mampu mengakomodasikan berbagai kepentingan yang ada. Dengan bertitik tolak dari kerangka pemikiran filsafat hukum yang bercirikan mendasar, rasional, reflektif dan komprehensif, diharapkan dapat membantu semua pihak dapat bersikap lebih arif dan tidak terkotak-kotak keilmuannya yang memungkinkan dapat menemukan akar masalahnya. Tahap selanjutnya diharapkan dapat memberikan solusi yang tepat dalam mengatasi krisis yang menerpa bangsa Indonesia. A.Pendahuluan Sudah hampir satu dasa warsa lamanya proses reformasi dijalankan bangsa Indonesia, sejak orde baru runtuh dari panggung kekuasaan politik pada penghujung Mei 1998. Seperti yang diprediksikan oleh banyak pihak, reformasi ini memerlukan proses yang cukup panjang dan tidak mungkin mengubah segala sesuatunya secara cepat sesuai dengan tuntutan dan keinginan yang diharapkan rakyat. Bahkan untuk mereformasi berbagai tatanan kehidupan bangsa yang sudah lama tertanam lebih dari tiga dasawarsa merupakan pekerjaan yang tidak mudah serta membutuhkan pengorbanan yang amat besar dari rakyat dan bangsa Indonesia. Tidak sekedar berupa harta benda, pikiran maupun tenaga, tetapi nyawa-nyawa anak bangsapun banyak berguguran di bumi pertiwi tercinta ini. Bangsa Indonesia menghadapi suatu masalah serius yang harus dilalui dalam proses reformasi ini, mulai dari krisis moneter yang berkembang menjadi krisis ekonomi, meletusnya berbagai kerusuhan, mencuatnya kembali pertentangan etnis dan agama, munculnya kelompok-kelompok kepentingan yang saling berebut pengaruh dan sebagainya. Langsung maupun tidak langsung tentu amat berpengaruh terhadap stabilitas negara dan ketentraman masyarakat. Masyarakat menjadi resah, trauma dan merasa tidak nyaman dalam menjalani kehidupan sehari-harinya, terutama yang terjadi di kota-kota besar yang potensial memunculkan aksi kerusuhan massa. Ekses-ekses reformasi yang merugikan tersebut tentunya tidak diharapkan oleh masyarakat dan sedapat mungkin harus dicarikan jalan keluarnya. Sudah banyak lontaran gagasan dikemukakan oleh banyak kalangan, mulai dari para pejabat pemerintah, tokoh masyarakat, tokoh agama, ilmuwan dan lain-lain untuk memberikan jalan keluar (solution) terhadap krisis yang tengah dihadapi masyarakat. Bermacam-macam teori dan retorikapun dikemukakan untuk meyakinkan masyarakat. Akan tetapi pada umumnya, mereka melihat berbagai peristiwa dan permasalahan bangsa dari kacamatanya atau sudut pandangnya sendiri-sendiri, jarang yang berpikir secara sistemik, melalui pendekatan yang lebih menyeluruh dan komprehensif. Tidak mengherankan kalau banyak pakar politik, pakar hukum, pakar ekonomi dan sebagainya berlomba-lomba mengemukan pendapatnya sesuai dengan versinya masingmasing. Bahkan nampaknya ada kecenderungan di lingkungan para pakar terlalu mendewa-dewakan disiplin bidang keilmuannya sendiri dan seolah-olah memandang rendah disiplin bidang lain. Hal ini

dapat terlihat, bahwa pakar yang satu kerap kali mengecam pakar yang lain atau menyalahkan suatu kebijakan tanpa memberikan konsep dan solusi yang lebih jelas. Fenomena semacam ini menggambarkan adanya tanda-tanda arogansi keilmuan seseorang yang kalau dibiarkan lama-lama dapat melahirkan atau mengarahkan pada sikap vak idiot . Banyaknya konsep dan gagasan di atas, ternyata belum sepenuhnya membawa hasil optimal ke arah penyelesaian yang kongkrit. Justru masyarakat awam yang hidup serba miskin fasilitas, menjadi semakin bingung harus mengikuti pendapat yang mana, karena semua pendapat selalu mengaku yang terbaik, meskipun dalam praktik ternyata sulit pula untuk diaplikasikan (non aplicable). Hal ini membuktikan bahwa penyelesaian krisis yang menimpa bangsa Indonesia, diperlukan alternatif pendekatan yang lebih relevan yang mampu mengakomodasikan berbagai kepentingan yang ada. Betapapun memang harus diakui bahwa untuk memberikan jalan keluar dari krisis ini tidak mudah, karena begitu kompleks permasalahan yang melatarbelakanginya. Melihat kenyataan tersebut, sudah selayaknya kalangan dunia pendidikan tinggi harus mencoba mencari alternatif yang tepat untuk diterapkan mengatasi krisis yang menimpa bangsa Indonesia ini. Dalam kaitan inilah, para pakar, kaum akademisi maupun para praktisi terutama yang berbasis pendidikan tinggi hukum, sebenarnya dapat ikut berpartisipasi memberikan peran dan sumbangan pemikirannya terhadap situasi dan kondisi krisis yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini. Dalam hal ini, para sarjana hukum tentunya tidak sekedar melihat persoalan dari pedekatan hukum dalam arti normatif semata, tetapi dapat ditempuh dengan pendekatan yang lebih mendasar, rasional, reflektif dan komprehensif melalui pengkajian dan analisis filsafati, terutama bertitik tolak dari kerangka tinjauan filsafat hukum. Permasalahan yang kemudian muncul adalah bagaimanakah peran dan sumbangan yang dapat diberikan filsafat hukum dalam era reformasi. Dalam wujud apakah filsafat hukum memberikan kontribusinya. Kemudian apakah mungkin filsafat hukum dijadikan salah satu terapi untuk membantu memecahkan berbagai krisis yang terjadi dalam masyarakat kita pasca reformasi. Untuk membahas dan mencermati permasalahan tersebut, dalam tulisan ini akan diuraikan tentang tinjauan ontologis, epistemologis dan aksiogis ilmu hukum, ruang lingkup objek pengkajian filsafat hukum, serta urgensi dan relevansinya filsafat hukum dalam membantu menyelesaikan krisis yang multidimensional ini. B.Tinjauan ontologis, epistemologis dan aksiologis ilmu hukum Apabila dilihat kecenderungan dalam ilmu hukum, ternyata ada dua kecenderungan yang sedang terjadi, yakni : (1) ilmu hukum terbagi-bagi ke dalam berbagai bidang yang seolah-olah masingmasing berdiri sendiri, (2) ilmu hukum menumpang pada bidang ilmu lain sehingga seolah-olah bukan merupakan suatu ilmu yang berdiri sendiri. Kecenderungan pertama terlihat dengan terbentuknya ilmu hukum ke dalam ilmu yang bersifat normatif, ilmu yang bersifat empiris dan ilmu yang bersifat filosofis. Terkadang para penganut ketiga bidang ilmu hukum itu masing-masing saling menafikan. Kecenderungan kedua tampak dengan semakin kentalnya sikap yang menganologikan ilmu hukum dengan sosiologi hukum dan antropologi hukum. Kecenderungan ilmu hukum tersebut sudah tentu mengurangi kemampuan ilmu hukum dalam perkembangannya dan dalam menghadapi masalah-masalahnya. Adanya ilmu hukum yang bersifat integratif merupakan suatu kebutuhan. Hal ini karena adanya kelemahan yang dijumpai dalam ilmu hukum yang murni secara teoritis semata-mata (normative) maupun ilmu hukum yang terapan semata-mata (empiris). Integralitas ilmu adalah kebalikan dari spesialisasi dalam ilmu. Spesialisasi ilmu dalam perkembangan ilmu merupakan bukti dari kemajuan karena ilmu menjadi berkembang semakin kaya. Tetapi spesialisasi ilmu dalam ilmu hukum menjadi steril dan dangkal. Mungkin ilmu hukum dapat berkembang tetapi tidak dapat menangkap hakekat yang lebih menyeluruh dari kenyataan yang dihadapi. Seolah-olah seperti orang buta yang menangkap ekor disangka itulah gambaran gajah atau seperti halnya melihat bagian sisi saja dari mata uang dan melupakan sisi lainnya. Ilmu hukum mempunyai objek kajian hukum. Sebab itu kebenaran hukum yang hendak diungkapkan

oleh ilmuwan hukum berdasarkan pada sifat-sifat yang melekat pada hakekat hukum. Untuk membicarakan hakekat hukum secara tuntas, maka perlu diketahui tiga tinjauan yang mendasarinya, yaitu tinjauan ontologis, tinjauan epistemologis dan tinjauan aksiologis. Tinjauan ontologis membicarakan tentang keberadaan sesuatu (being) atau eksistensi (existence) sebagai objek yang hendak dikaji. Dalam hal ini ada aliran yang mengatakan bahwa segala sesuatu bersifat materi (alls being is material) , sementara pendapat lain menyebutkan bahwa semua yang ada bersifat sebagai roh atau spirit (alls being is spirit) . Pandangan ini menentukan bagaimana atau dengan kacamata apa seseorang (subjek) melihat suatu objek tertentu. Tinjauan epistemologis menyoroti tentang syarat-syarat dan kaidah-kaidah apa yang harus dipenuhi oleh suatu objek tertentu. Hal ini berkaitan dengan cara, metode atau pendekatan apa yang akan digunakan untuk melihat objek itu. Selanjutnya tinjauan aksiologis adalah melihat bagaimana aksi atau pelaksanaan dari sesuatu. Dengan kata lain bagaimana pengaruh dan kemanfaatan (utility) suatu objek bagi kepentingan hidup manusia. Tinjauan aksiologis tak dapat dilepaskan dari persoalan nilai (value) yang dianut dan mendasari suatu objek tertentu. a. Tinjauan Ontologis Secara umum ada tiga hal yang dapat dipelajari dari hukum, yaitu : (1) nilai-nilai hukum, seperti keadilan, ketertiban, kepastian hukum dan lain-lain, (2) kaidah-kaidah hukum berupa kaidah yang tertulis maupun tidak tertulis, kaidah yang bersifat abstrak maupun nyata, (3) perilaku hukum atau dapat juga disebut kenyataan hukum atau peristiwa hukum. Secara umum filsafat hukum mengkaji nilai-nilai hukum, sosiologi hukum, antropologi hukum, psikologi hukum, dan lain-lain serta mengkaji perilaku hukum. Sedang kaidah hukum dikaji oleh bidang yang disebut normwissenschaf atau ilmu tentang kaidah. Titik sentral pengkajian dan penelitian ilmu hukum adalah kaidah-kaidah hukum. Ilmu hukum tidak dapat dipisahkan dari kaidah hukum. Tetapi persoalannya adalah dalam posisi dan situasi kaidah hukum yang bagaimana yang menjadi perhatian dari ilmu hukum. Sosiologi hukum dan antropologi hukum mempelajari perilaku hukum sebagai kenyataan hukum. Kedua bidang ilmu hukum ini tidak bisa dilepaskan dari adanya kriteria bahwa perilaku atau kenyataan itu sudah bersifat normatif. Jadi harus ada ukuran bahwa bidang penelitian itu bersifat normatif. Dalam filsafat hukum, nilai-nilai yang dikajipun harus bersifat normatif. Ciri yang umum dari kaidah hukum ialah adanya legitimasi dan sanksi. Tanpa terbagi-bagi ke dalam bidang-bidang kajian, ilmu hukum dengan sendirinya sudah mengkaji nilai, kaidah dan perilaku. Yang berbeda antara satu kajian dengan kajian lain ialah kadar, intensitas atau derajat di anatara ketiga hal tersebut. b. Tinjauan Epistemologis Ilmu hukum sebagai ilmu bertujuan untuk mencari kebenaran atau tepatnya keadilan yang benar. Untuk mencari keadilan yang benar itu maka ditentukanlah cara untuk mencarinya yang disebut metode. Metode ilmu hukum ditentukan oleh aspek ontologis dan aksiologis dari hukum. Konsep mengenai metode dan ilmu bersifat universal. Artinya, untuk bidang apa saja atau untuk jenis ilmu manapun adalah sama, tetapi pengaruh dari obyek suatu ilmu tentu tak dapat dihindarkan. Sebab itu hakekat hukum dan fungsinya dalam praktek tak dapat dihindari berpengaruh dalam menentukan metode yang digunakan dalam ilmu hukum. Apabila melihat hakekat hukum, ilmu hukum tidak didasarkan pada empirisme atau rasionalisme saja, karena gejala hukum tidak hanya berupa hal yang dapat diserap oleh indra atau pengalaman manusia berupa perilaku hukum saja tetapi juga berisi hal-hal yang tak terserap oleh indra manusia, yakni nilai-nilai hukum. Kebenaran yang dapat dicapai oleh ilmu hukum ialah apabila disadari adanya penampakan dari obyek dan seraya menyadari pula arti dibelakang obyek tersebut. Secara hakekat, ilmu hukum berusaha untuk menampilkan hukum secara integral. Oleh karenanya metode ilmu hukum harus bersifat integral pula. Dalam ilmu hukum pada waktu sekarang sering dibedakan antara metode normatif, metode sosiologis dan metode filosofis. Metode penemuan hukum (rechtsvinding) bukan metode ilmu hukum karena metode penemuan hukum hanya dapat

dipergunakan dalam praktek hukum. Penentuan penggunaan metode sosiologis dan metode filosofis tergantung pada kadar atau intensitas kaidah yang diteliti, sebab tidak semua kaidah memerlukan analisa baik filosofis maupun sosiologis. Dalam perkembangannya, karena para ilmuwan hukum tidak puas dengan metode yang ada, maka muncullah metode multi disipliner atau disipliner, yang merupakan perwujudan dari logika hipotikodeduktif-verifikatif. Dalam metode ini suatu masalah berusaha dipecahkan atau didekati dari berbagai disiplin baik yang termasuk deduktif maupun induktif. Istilah hipotiko deduktif menempatkan kaidah hukum sebagai hal yang mentah yang perlu untuk dimasukkan kedalam proses verifikasi untuk dibuktikan kebenarannya. Dengan mengadakan verifikasi maka suatu hipotesa atau teori seakan-akan dicocokkan dengan fakta-fakta. Menurut Popper, bukan verifikasi yang menjadi kriterium demarkasi antara yang ilmu dan bukan ilmu tetapi ialah falsifikasi, yakni kemampuan menyangkal kesalahan. Dengan demikian Popper telah mengganti verifikasi yang bersifat induktif dengan falsifikasi yang deduktif. Secara epistemologis, metode hipotiko-deduktyif-verifikatif dinggap ideal, tetapi dalam praktek penerapannya menjadi pragmatis. Metode tersebut tidak mutlak dipergunakan secara padu. Yang menjadi ukuran dalam penggunaan metode ialah situasi, kepentingan, kebutuhan dan biaya. Ilmu hukum akan mempunyai kewibawaan dan kekuatannya apabila bersifat integral dalam aspek ontologis, epistemologis dan aksiologis. Sebab itu yang diperlukan dalam ilmu hukum ialah sintesis dari metode-metode, sehingga ilmu hukum memiliki suatu metode yang mempunyai ciri khas. Ilmu hukum adalah suatu sistem. Sebagai suatu sistem, ilmu hukum harus merupakan suatu kebulatan dari seluruh komponen atau subsistem yang satu sama lainnya saling berhubungan. c. Tinjauan Aksiologis Ilmu hukum bersifat dinamis. Ilmu hukum mempunyai peran dan fungsi yang khas dibanding dengan bidang-bidang hukum yang lain. Secara aksiologis, peran dan fungsi dari ilmu hukum antara lain seperti diuraikan dibawah ini. Pertama, ilmu hukum berpengaruh dalam pembentukan hukum melalui penyusunan perundangundangan. Hasil-hasil penelitian ilmu hukum menjadi masukan untuk menyusun rancangan peundangundangan. Kedua, ilmu hukum berpengaruh dalam praktek hukum atau pelaksanaan hukum. dalam rangka peradilan, seorang hakim atau lebih sering memutuskan perkara dengan mengambil pendapat ahli hukum yang berwibawa sebagai salah satu dasar pertimbangannya. Begitupun juga jaksa dan pengacara sering mengambil pendapat ahli hukum sebagai penguat argumentasinya dalam mengajukan tuntutan dan pembelaannya. Ketiga, ilmu hukum berpengaruh dalam pendidikan hukum. Pendidikan hukum yang formal yakni di bangku sekolah dan yang informal di tengah masyarakat lewat media massa dan penyuluhanpenyuluhan sangat dipengaruhi oleh ilmu hukum. Seorang mahasiswa di didik oleh seorang pengajar yang mempunyai status sebagai ahli hukum. Seorang ahli hukum mempunyai wawasan yang khas dan pernah sekurang-kurangnya meneliti hukum. Kualitas pengajar akan menentukan kualitas dari mereka yang diajar. Keempat, ilmu hukum akan berpengaruh atas perkembangan dari bidang-bidang yang lainnya. Dalam suatu sistem hukum yang berusaha untuk mengatur segala hal atau segala bidang, maka sistem seperti itu bersifat progressif dan interventif. Sebab itulah bidang-bidang yang diatur itu memerlukan suatu kejelasan atas pengaturan tersebut. Kelima, ilmu hukum berusaha untuk mengadakan sistematisasi. Bahan-bahan yang tercerai berai disatukan dalam suatu susunan yang bersifat komprehensif. Hasil sistematisasi menyajikan informasi yang memudahkan. Ilmu hukum juga menyajikan pertimbangan-pertimbangan. Adanya sejumlah data dan sejumlah peraturan tidak cukup bermakna. Semua itu harus dianalisa. Analisa atas suatu peraturan akan memudahkan pemahaman atas peraturan itu. Dan selanjutnya, ilmu hukum mempunyai fungsi sebagai pencerah terhadap kebekuan yang melanda dunia hukum. Hukum adakalanya diabaikan bukan semata-mata demi hukum tetapi untuk sesuatu

yang lebih mulia yakni terwujudnya keadilan yang diridhloi oleh Tuhan Yang Maha Esa. Sebab itu dalam situasi hukum yang legalistis dan beku, maka ilmu hukum berfungsi memberikan pencerahan dengan mengajukan pemikiran-pemikiran dan kemungkinan-kemungkinan baru. C. Objek pengkajian filsafat hukum Ada pendapat yang mengatakan bahwa karena filsafat hukum merupakan bagian khusus dari filsafat pada umumnya, maka berarti filsafat hukum hanya mempelajari hukum secara khusus. Sehingga, halhal non hukum menjadi tidak relevan dalam pengkajian filsafat hukum. Penarikan kesimpulan seperti ini sebetulnya tidak begitu tepat. Filsafat hukum sebagai suatu filsafat yang khusus mempelajari hukum hanyalah suatu pembatasan akademik dan intelektual saja dalam usaha studi dan bukan menunjukkan hakekat dari filsafat hukum itu sendiri. Sebagai filsafat, filsafat hukum tunduk pada sifat-sifat, cara-cara dan tujuan-tujuan dari filsafat pada umumnya. Di samping itu, hukum sebagai obyek dari filsafat hukum akan mempengaruhi filsafat hukum. Dengan demikian secara timbal balik antara filsafat hukum dan filsafat saling berhubungan. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa filsafat hukum adalah cabang filsafat, yaitu filsafat tingkah laku atau etika, yang mempelajari hakikat hukum. Dengan perkataan lain, filsafat hukum adalah ilmu yang mempelajari hukum secara filosofis. Jadi objek filsafat hukum adalah hukum, dan obyek tersebut dikaji secara mendalam sampai kepada inti atau dasarnya, yang disebut hakikat. Pertanyaan tentang apa apa hakikat hukum itu sekaligus merupakan pertanyaan filsafat hukum juga. Pertanyaan tersebut mungkin saja dapat dijawab oleh ilmu hukum, tetapi jawaban yang diberikan ternyata serba tidak memuaskan. Menurut Apeldorn , hal tersebut tidak lain karena ilmu hukum hanya memberikan jawaban yang sepihak. Ilmu hukum hanya melihat gejala-gejala hukum sebagaimana dapat diamati oleh pancaindra manusia mengenai perbuatan-perbuatan manusia dan kebiasaankebiasaan masyarakat. Sementara itu pertimbangan nilai di balik gejala-gejala hukum, luput dari pengamatan ilmu hukum. Norma atau kaidah hukum, tidak termasuk dunia kenyataan (sein), tetapi berada pada dunia nilai (sollen), sehingga norma hukum bukan dunia penyelelidikan ilmu hukum. Hakikat hukum dapat dijelaskan dengan cara memberikan suatu definisi tentang hukum. Sampai saat ini menurut Apeldorn, sebagaimana dikutip dari Immanuel Kant, para ahli hukum masih mencari tentang apa definisi hukum. Definisi (batasan) tentang hukum yang dikemukakan para ahli hukum sangat beragam, tergantung dari sudut mana mereka melihatnya. Ahli hukum Belanda J. van Kan , mendefinisikan hukum sebagai keseluruhan ketentuan-ketentuan kehidupan yang bersifat memaksa, yang melindungi kepentingan-kepentingan orang dalam mayarakat. Pendapat tersebut mirip dengan definisi dari Rudolf von Ihering, yang menyatakan bahwa hukum bahwa hukum adalah keseluruhan norma-norma yang memaksa yang berlaku dalam suatu negara. Hans Kelsen menyatakan hukum terdiri dari norma-norma bagaimana orang harus berperilaku. Pendapat ini di dukung oleh ahli hukum Indonesia, Wiryono Prodjodikoro , yang menyatakan hukum adalah rangkaian peraturan mengenai tingkah lau orang-orangsebgai anggota suatu masyarakat, sedangkan satu-satunya tujuan dari hukum ialah menjamin keselamatan, kebahagiaan, dan tata tertib dalam masyarakat itu. Selanjutnya Notohamidjoyo berpendapat bahwa hukum adalah keseluruhan peraturan yang tertulis dan tidak tertulisyang biasanya bersifat memaksa untuk kelakuan manusia dalam masyarakat negara serta antar negara, yang berorientasi pada dua asas, yaitu keadilan dan daya guna, demi tata tertib dan kedamaian dalam masyarakat. Definisi-definisi tersebut menunjukkan betapa luas sesungguhnya hukum itu. Keluasan bidang hukum itu dilukiskan oleh Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto dengan menyebutkan sembilan arti hukum. Menurut mereka, hukum dapat diartikan sebagai : (1) ilmu pengetahuan, yakni pengetahuan yang tersusun secara sistematis atas dasar kekuatan pemikiran; (2) disiplin, yakni suatu sistem ajaran tentang kenyataan atau gejala-gejala yang dihadapi ; (3) norma, yakni pedoman atau patokan siakap tindak atau perikelakuan yang pantas atau diharapkan; (4) tata hukum, yakni struktur dan proses perangkat norma-norma hukum yang berlaku pada suatu waktu dan tempat tertentu serta berbentuk tertulis; (5) petugas, yakni pribadi-pribadi yang merupakan kalangan yang berhubungan

erat dengan penegakan hukum (law enforcement officer) ; (6) keputusan penguasa, yakni hasil proses diskresi ; (7) proses pemerintahan, yaitu proses hubungan timbal balik antara unsur-unsur pokok dari sistem kenegaraan; (8) sikap tindak ajeg atau perikelakuan yang teratur, yakni perikelakuan yang diulang-ulang dengan cara yang sama, yang bertujuan untuk untuk mencapai kedamaian; (9) jalinan nilai-nilai, yaitu jalinan dari konsepsi-konsepsi abstrak tentang apa yang dianggap baik dan buruk. Dengan demikian, apabila kita ingin mendefinisikan hukum secara memuaskan, kita harus dapat merumuskannya dalam suatu kalimat yang cukup panjang yang meliputi paling tidak sembilan arti hukum di atas. Mengingat objek filsafat hukum adalah hukum, maka masalah atau pertanyaan yang dibahas oleh filsafat hukum itupun antara lain berkaitan dengan hukum itu sendiri, seperti hubungan hukum dengan kekuasaan, hubungan hukum kodrat dengan hukum positif, apa sebab orang menaati hukum, apa tujuan hukum, sampai pada masalah-masalah kontemporer seperti masalah hak asasi manusia, keadilan dan etika profesi hukum. Selanjutnya Apeldorn , menyebutkan tiga pertanyaan penting yang dibahas oleh filsafat hukum, yaitu : (1) adakah pengertian hukum yang berlaku umum ; (2) apakah dasar kekuatan mengikat dari hukum ; dan (3) adakah sesuatau hukum kodrat. Lili Rasyidi menyebutkan pertanyaan yang menjadi masalah filsafat hukum, antara lain : (1) hubungan hukum dengan kekuasaan ; (2) hubungan hukum dengan nilai-nilai sosial budaya ; (3) apa sebabnya negara berhak menghukum seseorang ; (4) apa sebab orang menaati hukum ; (5) masalah pertanggungjawaban ; (6) masalah hak milik ; (7) masalah kontrak ; (8) dan masalah peranan hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat. Apabila kita perbandingkan antara apa yang dikemukakan oleh Apeldorn dan Lili Rasyidi tersebut, tampak bahwa masalah-masalah yang dianggap penting dalam pembahasan filsafat hukum terus bertambah dan berkembang, seiring dengan perkembangan zaman. Demikian pula karena semakin banyaknya para ahli hukum yang menekuni dunian filsafat hukum. D. Urgensi dan relevansi filsafat hukum Kita tidak dapat memungkiri, bahwa perkembangan ilmu dan teknologi begitu pesatnya. Dengan ilmu yang dimiliki manusia, sudah banyak masalah yang berhasil dipecahkan. Rahasia alam semesta, misalnya, telah banyak diungkapkan melalui kemajuan ilmu tersebut, yang pada gilirannya menghasilkan teknologi-teknologi spektakuler, seperti bioteknologi, teknologi di bidang komputer, komunikasi maupun ruang angkasa. Akan tetapi sebanyak dan semaju apapun ilmu yang dimiliki manusia, tetap saja ada pertanyaan-pertanyaan yang belum berhasil dijawab. Maka ketika ilmu tidak lagi mampu menjawab, pertanyaan-pertanyaan tersebut menjadi porsi pekerjaan filsafat. Berfilsafat adalah berfikir. Hal ini tidak berarti setiap berfikir adalah berfilsafat, karena berfilsafat itu berfikir dengan ciri-ciri tertentu. Ada beberapa ciri berpikir secara kefilsafatan, yaitu : 1. Berfikir secara kefilsafatan dicirikan secara radikal. Radikal berasal dari kata Yunani, radix yang berarti akar. Berfikir secara radikal adalah berfikir sampai ke akar-akarnya. Berfikir sampai ke hakikat, essensi, atau samapai ke substansi yang dipikirkan. manusia yang berfilsafat tidak puas hanya memperoleh pengetahuan lewat indera yang selalu berubah dan tidak tetap. Manusia yang berfilsafat dengan akalnya berusaha untuk dapat menangkap pengetahuan hakiki, yaitu pengetahuan yang mendasari segala pengetahuan inderawi. 2. Berfikir secara kefilsafatan dicirikan secara universal (umum). Berfikir secara universal adalah berfikir tentang hal-hal serta proses-proses yang bersifat umum. Filsafat bersangkutan dengan pengalaman umum dari ummat manusia (common experience of mankind). Dengan jalan penjajakan yang radikal, filsafat berusaha untuk sampai pada kesimpulan-kesimpulan yang universal. Bagaimana cara atau jalan yang ditempuh untuk mencapai sasaran pemikirannya dapat berbeda-beda. Akan tetapi yang dituju adalah keumuman yang diperoleh dari hal-hal khusus yang ada dalam kenyataan. 3. Berfikir secara kefilsafatan dicirikan secara konseptual. Yang dimaksud dengan konsep di sini adala hasil generalisasi dan abstraksi dari pengalaman tentang hal-hal sertya proses-proses individual.

Berfilsafat tidak berfikir tentang manusia tertentu atau manusia khusus, tetap[i berfikir tentang manusia secara umum. Dengan ciri yang konseptual ini, berfikir secara kefilsafatan melampoi batas pengalaman hidup sehari-hari. 4. Berfikir secara kefilsafatan dicirikan secara koheren dan konsisten. Koheren artinya sesuai dengan kaidah-kaidah berfikir (logis). Konsisten artinya tidak mengandung kontradiksi. Baik koheren maupun konsisten, keduanya dapat diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, yaitu runtut. Adapun yang dimaksud runtut adalah bagan konseptual yang disusun tidak terdiri atas pendapat-pendapat yang saling berkontradiksi di dalamnya. 5. Berfikir secara kefilsafatan dicirikan secara sistematik. Sistematik berasal dari kata sistem yang artinya kebulatan dari sejumlah unsur yang saling berhubungan menurut tata pengaturan untuk mencapai sesuatu maksud atau menunaikan sesuatu peranan tertentu. Dalam mengemukakan jawaban terhadap sesuatu masalah, digunakan pendapat atau argumen yang merupakan uraian kefilsafatan yang saling berhubungan secara teratur dan terkandung adanya maksud atau tujuan tertentu. 6. Berfikir secara kefilsafatan dicirikan secara komprehensif. Komprehensif adalah mencakup secara menyeluruh. Berfikir secara kefilsafatan berusaha untuk menjelaskan fenomena yang ada di alam semesta secara keseluruhan sebagai suatu sistem. 7. Berfikir secara kefilsafatan dicirikan secara bebas. Sampai batas-batas yang luas, setiap filsafat boleh dikatakan merupakan suatu hasil dari pemikiran yang bebas. Bebas dari prasangka-prasangka sosial, historis, kultural, atau religius. Sikap-sikap bebas demikian ini banyak dilukiskan oleh filsuffilsuf dari segala zaman. Socrates memilih minum racun dan menatap maut daripada harus mengorbankan kebebasannya untuk berpikir menurut keyakinannya. Spinoza karena khawatir kehilangan kebebasannya untuk berfikir, menolak pengangkatannya sebagai guru besar filsafat pada Universitas Heidelberg. 8. Berfikir secara kefilsafatan dicirikan dengan pemikiran yang bertanggungjawab. Pertangungjawaban yang pertama adalah terhadap hati nuraninya. Di sini tampak hubungan antara kebebasan berfikir dalam filsafat dengan etika yang melandasinya. Sebagaimana berfikir secara kefilsafatan, maka pemikiran filsafat hukum juga memiliki beberapa sifat atau karakteritik khusus yang membedakannya dengan ilmu-ilmu lain. Pertama, filsafat hukum memiliki karakteristik yang bersifat menyeluruh dan universal. Dengan cara berfikir holistik tersebut, maka siapa saja yang mempelajari filsafat hukum diajak untuk berwawasan luas dan terbuka. Mereka diajak untuk menghargai pemikiran, pendapat dan pendirian orang lain. Itulah sebabnya dalam filsafat hukumpun dikenal pula berbagai aliran pemikiran tentang hukum, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Dengan demikian diharapkan para cendekiawan hukum, tidak bersikap arogan dan apriori, bahwa disiplin ilmu yang dimilikinya lebih tinggi dengan disiplin ilmu yang lainnya. Kemudian filsafat hukum dengan sifat universalitasnya, memandang kehidupan secara menyeluruh, tidak memandang hanya bagian-bagian dari gejala kehidupan saja atau secara partikular. Dengan demikian filsafat hukum dapat menukik pada persoalan lain yang relevan atau menerawang pada keseluruhan dalam perjalanan reflektifnya, tidak sekedar hanya memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya. Dalam filsafat hukum, pertimbangan-pertimbangan di luar obyek adalah salah satu ciri khasnya. Filsafat hukum tidak bersifat bebas nilai. Justru filsafat hukum menimba nilai yang berasal dari hidup dan pemikiran. Ciri yang kedua, filsafat hukum juga memiliki sifat yang mendasar atau memusatkan diri pada pertanyaan-pertanyaan mendasar (basic or fundamental questions). Artinya dalam menganalisis suatu masalah, seseorang diajak untuk berpikir kritis dan radikal. Dengan mempelajari dan memahami filsafat hukum berarti diajak untuk memahami hukum tidak dalam arti hukum positif belaka. Orang yang mempelajari hukum dalam arti positif belaka, tidak akan mampu memanfaatkan dan mengembangkan hukum secara baik. Apabila orang itu menjadi hakim misalnya, dikhawatirkan ia akan menjadi hakim yang bertindak selaku corong undang-undang semata. Ciri berikutnya yang tidak kalah pentingnya adalah sifat filsafat yang spekulatif. Sifat ini tidak boleh

diartikan secara negatif sebagai sifat gambling. Sebagai dinyatakan oleh Suriasumantri , bahwa semua ilmu yang berkembang saat ini bermula dari sifat spekulatif tersebut. Sifat ini mengajak mereka yang mempelajari filsafat hukum untuk berpikir inovatif, selalu mencari sesuatu yang baru. Memang, salah satu ciri orang yang berpikir radikal adalah senang kepada hal-hal yang baru. Tentu saja tindakan spekulatif yang dimaksud di sini adalah tindakan yang terarah, yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Dengan berpikir spekulatif dalam arti positif itulah hukum dapat dikembangkan ke arah yang dicita-citakan bersama. Secara spekulatif, filsafat hukum terjadi dengan pengajuan pertanyaan-pertanyaan mengenai hakekat hukum. Pertanyaan-pertanyaan itu menimbulkan rasa sangsi dan rasa terpesona atas suatu kebenaran yang dikandung dalam suatu persoalan. Apabila jawaban-jawabannya diperoleh maka jawaban-jawaban itu disusun dalam suatu sistem pemikiran yang universal dan radikal. Kemudian ciri yang lain lagi adalah sifat filsafat yang reflektif kritis. Melalui sifat ini, filsafat hukum berguna untuk membimbing kita menganalisis masalah-masalah hukum secara rasional dan kemudian mempertanyakan jawaban itu secara terus menerus. Jawaban tersebut seharusnya tidak sekedar diangkat dari gejala-gejala yang tampak, tetapi sudah sampai kepada nilai-nilai yang ada dibalik gejala-gejala itu. Analisis nilai inilah yang membantu kita untuk menentukan sikap secara bijaksana dalam menghadapi suatu masalah kongkret. Secara kritis, filsafat hukum berusaha untuk memeriksa gagasan-gagasan tentang hukum yang sudah ada, melihat koherensi, korespodensi dan fungsinya. Filsafat hukum berusaha untuk memeriksa nilai dari pernyataan-pernyataan yang dapat dikategorikan sebagai hukum. Filsafat itu juga bersifat introspektif atau mempergunakan daya upaya introspektif. Artinya, filsafat tidak hanya menjangkau kedalaman dan keluasan dari permasalahan yang dihadapi tetapi juga mempertanyakan peranan dari dirinya dan dari permasalahan tersebut. Filsafat mempertanyakan tentang struktur yang ada dalam dirinya dan permasalahan yang dihadapinya. Sifat introspektif dari filsafat sesuai dengan sifat manusia yang memiliki hakekat dapat mengambil jarak (distansi) tidak hanya pada hal-hal yang berada di luarnya tetapi juga pada dirinya sendiri. Sebagai bahan perbandingan, Radhakrisnan dalam bukunya The History of Philosophy, mengemukakan pula tentang arti penting mempelajari filsafat, termasuk dalam hal ini mempelajari filsafat hukum, bukanlah sekedar mencerminkan semangat masa ketika kita hidup, melainkan membimbing kita untuk maju. Fungsi filsafat adalah kreatif, menetapkan nilai, menetapkan tujuan, menentukan arah, dan menuntun pada jalan baru. Filsafat hendaknya mengilhamkan keyakinan kepada kita untuk menopang dunia baru, mencetak manusia-manusia yang tergolong ke dalam berbagai bangsa, ras dan agama itu mengabdi kepada cita-cita mulia kemanusiaan. Filsafat tidak ada artinya sama sekali apabila tidak universal, baik dalam ruang lingkupnya maupun dalam semangatnya. Adanya karakteristik khusus dari pemikiran filsafat hukum di atas sekaligus juga menunjukkan arti pentingnya. Dengan mengetahui dan memahami filsafat hukum dengan berbagai sifat dan karakternya tersebut, maka sebenarnya filsafat hukum dapat dijadikan salah satu alternatif untuk ikut membantu memberikan jalan keluar atau pemecahan terhadap berbagai krisis permasalahan yang menimpa bangsa Indonesia dalam proses reformasi ini. Tentu saja kontribusi yang dapat diberikan oleh filsafat hukum dalam bentuk konsepsi dan persepsi terhadap pendekatan yang hendak dipakai dalam penyelesaian masalah-masalah yang terjadi. Pendekatan mana didasarkan pada sifat-sifat dan karakter yang melekat pada filsafat hukum itu sendiri. Dengan pendekatan dan analisis filsafat hukum, maka para para pejabat, tokoh masyarakat, pemuka agama dan kalangan cendekiawan atau siapapun juga dapat bersikap lebih arif dan bijaksana serta mempunyai ruang lingkup pandangan yang lebih luas dan tidak terkotak-kotak yang memungkinkan dapat menemukan akar masalahnya. Tahap selanjutnya diharapkan dapat memberikan solusi yang tepat. Karena penyelesaian krisis yang terjadi di negara kita itu tidak mungkin dapat dilakukan sepotong-potong atau hanya melalui satu bidang tertentu saja, tapi harus meninjau melalui beberapa pendekatan lain sekaligus (interdisipliner.atau multidisipliner).

Tidak ada lagi pihak-pihak yang merasa dirinya paling benar atau paling jago dengan pendapatnya sendiri dan menafikan pendapat yang lain. Atau dengan kata lain hanya ingin menangnya sendiri tanpa mau menghargai pendapat orang lain. Karena masing-masing bidang atau cara pandang tertentu, mempunyai kelebihan dan keterbatasannya masing-masing. Justru pandangan-pandangan yang berbeda kalau dapat dikelola dengan baik, dapat dijadikan alternatif penyelesaian masalah yang saling menopang satu sama lain. Apalagi krisis permasalahan yang melanda bangsa Indonesia sesungguhnya amat kompleks dan multidimensional sifatnya, mulai krisis ekonomi, politik, hukum, pemerintahan serta krisis moral dan budaya, yang satu sama lain berkaitan sehingga diperlukan cara penyelesaian yang terpadu dan menyeluruh yang melibatkan berbagai komponen bangsa yang ada. Dalam konteks ini diperlukan adanya kerjasama dan sinergi yang erat dari berbagai komponen tersebut. Maka pejabat pemerintah harus mendengar aspirasi dari rakyat, para pakar mau mendengar pendapat pakar lainnya, tokoh masyarakat harus saling menghormati terhadap dengan tokoh masyarakat yang lain. Semua bekerja bahu membahu dan menghindarkan diri dari rasa curiga, kebencian dan permusuhan. Dengan pendekatan dan kerangka berfikir filsafati seperti di atas, diharapkan dapat membantu ke arah penyelesaian krisis yang sedang menerpa bangsa Indonesia saat ini. E. Kesimpulan Penyelesaian krisis yang menimpa bangsa Indonesia tidak mungkin dapat dilaksanakan melalui pendekatan sepihak yang bertumpu pada satu persepsi atau bidang ilmu tertentu saja. Karena kalau itu yang terjadi, maka masing-masing pihak akan merasa bahwa pendapatnya yang paling benar dan cenderung meremehkan pendapat dari pihak lain. Oleh karena itu perlu adanya pendekatan yang lebih komprehensif dan integral, yaitu dengan pendekatan dan analisis filsafati. Karena pada dasarnya, semua bidang ilmu mempunyai kelebihan dan kelemahan masing-masing, sehingga sudah seharusnya saling melengkapi satu sama lain. Filsafat dapat digunakan untuk menjembatani permasalahan ini. Dan bagi kalangan cendekiawan, akademisi maupun praktisi yang menekuni dunia hukum, dapat memberikan konsepsi dan sumbangannya melalui berbagai cara, dengan tetap berpegang teguh pada prinsip-prinsip yang terkandung dalam filsafat hukum yang bercirikan antara lain kritis, radikal, reflektif, introspektif dan universal. Adanya karakteristik dan nilai-nilai seperti itulah, sekaligus yang menunjukkan urgensi dan relevansinya, ketika pendekatan filsafat hukum menjadi pilihan.

FILSAFAT HUKUM DAN PERANNYA DALAM PEMBENTUKAN HUKUM DI INDONESIAFILSAFAT HUKUM DAN PERANNYA DALAM PEMBENTUKAN HUKUM DI INDONESIA1

Oleh : HUDA LUKONI, S.H.I., S.H.2

A. LATAR BELAKANG SEKALIGUS SEBAGAI PENDAHULUAN

Jika kita berbicara filsafat, kita seakan berada pada ranah yang sangat abstrak, dan filsafat hukum merupakan cabang dari filsafat, filsafat hukum mempunyai fungsi yang strategis dalam pembentukan hukum di Indonesia. Sekedar menyinggung konsep dalam Islam, bahwa Islam menilai hukum tidak hanya berlaku di dunia saja, akan tetapi juga di akhirat, karena putusan kebenaran, atau ketetapan sangsi, disamping berhubungan dengan manusia secara langsung, juga berhubungan dengan Allah SWT, 3 maka manusia disamping ia mengadopsi hukum-hukum yang langsung (baca ; samawi dalam Islam) wahyu Tuhan yang berbentuk kitab suci, manusia dituntut untuk selalu mencari formula kebenaran yang berserakan dalam kehidupan masyarakat, 4 manusia akan melihat dari kenyataan empiris sebagai bekal mengkaji secara mendalam, memberikan makna filosofis dengan mengetahui hakikat kebenaran yang hakiki. Kaitannya dengan pembentukan hukum di Indonesia, setidaknya kita sadar bahwa hukum di bentuk karena pertimbangan keadilan (gerechtigkeit) disamping sebagai kepastian hukum (rechtssicherheit) dan kemanfaatan (zweckmassigkeit) 5 Keadilan ini berkaitan dengan pendistribusian hak dan kewajiban, diantara sekian hak yang dimiliki manusia terdapat hak yang bersifat mendasar yang merupakan

_____________________________ 1. Makalah ini pernah didiskusikan sekaligus dikoreksi oleh Prof. Dr. H. Muchsin, S.H seorang hakim Agung pada Mahkamah Agung RI, yang dilaksanakan pada Program Pascasarjana Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya Prodi Magister Ilmu Hukum, Tahun Akademik 2007-2008 M

2.

Al-Faqir ila Allah, Calon Hakim Peradilan Agama Angkatan III yang juga peminat filsafat hukum, dan kini sebagai pelayan masyarakat di Pengadilan Agama Jombang

3.

Muchsin, Ikhtisar Filsafat Hukum, Cet ke2, Badan Penerbit Iblam Jakarta, 2006, hal.24

4.

Dalam kapasitas seorang yuris dapat dilihat dalam Undang-undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman pasal 28 ayat 1 yang berbunyi Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup daam masyarakat.

5.

Darji Darmodiharjo, dan ShidartaPokok-pokok Filsafat Hukum (Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia), PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Cet, VI Mei 2006, hal. 154

anugerah alamiah langsung dari Allah, SWT, yaitu hak asasi manusia atau hak kodrati manusia, semua manusia tanpa pembedaan ras, suku, bangsa, agama, berhak mendapatkan keadilan, maka di Indonesia yang notabene adalah negara yang sangat heterogen tampaknya dalam membentuk formulasi hukum positif agak berbeda dengan negara-negara yang kulturnya homogen, sangatlah penting kiranya sebelum membentuk suatu hukum yang akan mengatur perjalanan masyarakat, haruslah digali tentang filsafat hukum secara lebih komprehensif yang akan mewujudkan keadilan yang nyata bagi seluruh golongan, suku, ras, agama yang ada di Indonesia, penulis tertarik dengan argumen Bismar Siregar bahwa ia pernah mengatakan bila untuk menegakkan keadilan saya korbankan kepastian hukum, akan saya korbankan hukum itu, hukum hanya sarana, sedangkan tujuan akhirnya adalah keadilan, lalui bagaimana sebenarnya membentuk hukum yang mencerminkan keadilan yang didambakan, untuk itulah penulis tertarik untuk mencoba mendudukkan filsafat hukum sebagai Starting Point pembentukan hukum yang akan kita bahas berikutnya, dalam hal ini penulis juga sangat tertarik dengan buku seorang hakim agung jebolan Unair yang juga pakar filsafat hukum Prof. Dr. H.Muchsin, S.H., dimana dalam bukunya yang berjudul Ikhtisar Filsafat Hukum telah memaparkan dengan jelas berkenaan dengan bahasan penulis diatas, dan penulisan yang sederhana ini sedikit banyak terinspirasi dari buku beliau tersebut.

B. RUMUSAN MASALAH 1. Apakah sebenarnya hakikat filsafat hukum ? 2. Bagaimana peran filsafat hukum dalam pembentukan hukum di Indonesia ?

C. PEMBAHASAN Semenjak kita duduk di bangku pendidikan lanjutan serta Perguruan Tinggi kita sering mendengar tentang filsafat, apakah sebenarnya filsafat tersebut ? Seseorang yang berfilsafat diumpamakan seorang yang berpijak dibumi sedang tengadah ke bintang-bintang, dia ingin mengetahui hakikat keberadaan dirinya, ia berfikir dengan sifat menyeluruh (tidak puas jika mengenal sesuatu hanya dari segi pandang yang semata-mata terlihat oleh indrawi saja). Ia juga berfikir dengan sifat (tidak lagi percaya begitu saja bahwa sesuatu itu benar). Ia juga berfikir dengan sifat spekulatif (dalam analisis maupun pembuktiannya dapat memisahkan spekulasi mana yang dapat diandalkan dan mana yang tidak), dan tugas utama filsafat adalah menetapkan dasar-dasar yang dapat diandalkan.6

Kemudian lebih mengerucut lagi adalah Filsafat hukum, yaitu ilmu yang mempelajari hukum secara filosofi, yang dikaji secara luas, mendalam sampai kepada inti atau dasarnya yang disebut dengan hakikat. Dan tujuan mempelajari filsafat hukum untuk memperluas cakrawala pandang sehingga dapat memahami dan mengkaji dengan kritis atas hukum dan diharapkan akan menumbuhkan sifat kritis sehingga mampu menilai dan menerapkan kaidah-kaidah hukum. Filsafat hukum ini berpengaruh terhadap pembentukan kaidah hukum sebagai hukum in abstracto.7

1. Pengertian Filsafat, dan Filsafat Hukum Pengertian Filsafat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, adalah 1) Pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat segala yang ada, sebab, asal, dan hukumnya, 2) Teori yang mendasari alam pikiran atau suatu kegiatan atau juga berarti ilmu yang berintikan logika, estetika, metafisika dan epistemologi. Pakar Filsafat kenamaan Plato (427 - 347 SM) mendefinisikan filsafat adalah ilmu pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran yang asli, Kemudian Aristoteles (382 - 322 SM) mengartikan filsafat adalah ilmu pengetahuan yang meliputi kebenaran, dan berisikan di dalamnya ilmu ; metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika. Secara Umum Pengertian Filsafat adalah Ilmu pengetahuan yang ingin mencapai hakikat kebenaran yang asli dengan ciri-ciri pemikirannya yang 1) rasional, metodis, sistematis, koheren, integral, 2) tentang makro dan mikro kosmos 3) baik yang bersifat inderawi maupun non inderawi. Hakikat kebenaran yang dicari dari berfilsafat adalah _______________________________ 6. Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Harapan, Jakarta Cet.XVI, 2003 Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Pustaka Sinar

7.

Slide Muchsin, yang di sampaikan pada mahasiswa Pascasarjana Program Magister Hukum Untag (Universitas 17 Agustus)Surabaya angkatan ke 18 tanggal 11 November 2007.

kebenaran akan hakikat hidup dan kehidupan, bukan hanya dalam teori tetapi juga praktek. 8 Kemudian berkenaan dengan Filsafat Hukum Menurut Gustaff Radbruch adalah cabang filsafat yang mempelajari hukum yang benar. Sedangkan menurut Langmeyer: Filsafat Hukum adalah pembahasan secara filosofis tentang hukum, Anthoni DAmato mengistilahkan dengan Jurisprudence atau filsafat hukum yang acapkali dikonotasikan sebagai penelitian mendasar dan pengertian hukum secara abstrak, Kemudian Bruce D. Fischer mendefinisikan Jurisprudence adalah suatu studi tentang filsafat hukum. Kata ini berasal dari bahasa Latin yang berarti kebijaksanaan (prudence) berkenaan dengan hukum (juris) sehingga secara tata bahasa berarti studi tentang filsafat hukum.9 Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa Filsafat hukum merupakan cabang filsafat, yakni filsafat tingkah laku atau etika, yang mempelajari hakikat hukum. Dengan perkataan lain filsafat hukum adalah ilmu yang mempelajari hukum secara filosofis, jadi objek filsafat hukum adalah hukum,

dan objek tersebut dikaji secara mendalam sampai pada inti atau dasarnya, yang disebut dengan hakikat.10 Purnadi Purbacaraka & Soerjono Soekanto menyebutkan sembilan arti hukum, yaitu : 1) Ilmu pengetahuan, yaitu pengetahuan yang tersusun secara sistematis atas dasar kekuatan pemikiran. 2) Disiplin, yaitu suatu sistem ajaran tentang kenyataan atau gejala-gejala yang dihadapi. 3) Norma, yaitu pedoman atau patokan sikap tindak atau perilaku yang pantas atau diharapkan. 4) Tata Hukum, yaitu struktur dan proses perangkat norma-norma hukum yang berlaku pada suatu waktu dan tempat tertentu serta berbentuk tertulis. 5) Petugas, yakni pribadi-pribadi yang merupakan kalangan yang berhubungan erat dengan penegakan hukum (law enforcement officer) 6) Keputusan Penguasa, yakni hasil proses diskresi 7) Proses Pemerintahan, yaitu proses hubungan timbal balik antara unsur-unsur pokok dari sistem kenegaraan 8) Sikap tindak ajeg atau perilaku yang teratur, yakni perilaku yang diulang-ulang dengan cara yang sama, yang bertujuan mencapai kedamaian

_________________________ 8. Ibid 9. Ibid 10. Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Op. Cit, hal. 11

9) Jalinan nilai-nilai, yaitu jalinan dari konsepsi-konsepsi abstrak tentang apa yang dianggap baik dan buruk.11 Filsafat hukum mempelajari hukum secara spekulatif dan kritis 12 artinya filsafat hukum berusaha untuk memeriksa nilai dari pernyataan-pernyataan yang dapat dikatagorikan sebagai hukum ; Secara spekulatif, filsafat hukum terjadi dengan pengajuan pertanyaan-pertanyaan mengenai hakekat hukum. Secara kritis, filsafat hukum berusaha untuk memeriksa gagasan-gagasan tentang hukum yang sudah ada, melihat koherensi, korespondensi dan fungsinya.13

Lebih jauh Prof. Dr. H. Muchsin, SH. dalam bukunya Ikhtisar Filsafat Hukum menjelaskan dengan cara membagi definisi filsafat dengan hukum secara tersendiri, filsafat diartikan sebagai upaya berpikir secara sungguh-sungguh untuk memahami segala sesuatu dan makna terdalam dari sesuatu itu14 kemudian hukum disimpulkan sebagai aturan, baik tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur tingkah laku manusia dalam masyarakat, berupa perintah dan larangan yang keberadaanya ditegakkan dengan sanksi yang tegas dan nyata dari pihak yang berwenang di sebuah negara. 15 Penulis tidak mempermasalahkan definisi mana yang paling benar atau paling tepat, dalam hal ini penulis mengetengahkan beberapa pendapat para ahli agar dalam makalah ini lebih kaya khazanah, serta terdapat perbandingan bagi pembaca, secara kritis _______________________ 11. Ibid hal. 12 12. Dalam hal berfilsafat hukum secara spekulatif dan kritis ini nampaknya telah dipraktekkan oleh kalangan Kristiani pada era lampau, dalam kajian sejarah berfilsafat hukum memunculkan interpretasi, termasuk interpretasi pada teks hukum maupun pada kitab suci, diantaranya menggunakan metode hermeneutika, yang lebih lanjut memunculkan problem teks kitab suci pada abad-abad pertama Masehi, dimana terhadap teks-teks kitab suci itu, kalangan Kristiani mencoba memberikan dua macam penafsiran, yaitu penafsiran simbolis dan penafsiran harfiah. Kedua macam interpretasi teks ini tampil dalam kontroversi antara Mazhab Antiokhia dan Mazhab Aleksandria, yaitu dua pusat agama Kristen pada awal perkembangannnya. Mazhab Antiokhia menafsirkan kitab suci secara harfiah, sedangkan Mazhab Aleksandria secara alegoris atau simbolis. Kemudian pada generasi selanjutnya agama Kristen terpecah karena perbedaan prinsipprinsip hermeneutika. Disatu sisi golongan Protestan memegang prinsip sola scriptura (hanya kitab suci), pada sisi yang lain Gereja Katolik memegang prinsip tradisi, dimana kitab suci ditafsirkan dalam terang tradisi. 13 Slide Muchsin, Op. Cit. 14 Muchsin, Ikhtisar Filsafat Hukum,, Ibid, Hal 13 15 Ibid, Hal . 24

penulis mendudukkan filsafat hukum sebagai perwujudan pembentukan hukum yang dilakukan oleh pembentuk hukum di negara kita.

2. Bagan Filsafat Hukum Hingga Pada Pemunculan Kaidah Hukum (Hukum In Concreto). Dalam bagian ini penulis mengutip bagan filsafat hukum dari Prof. Dr. H. Muchsin, S.H. yang mana beliau menjelaskan definisi dari tiap hubungan bagan sebagai berikut : Filsafat adalah ilmu pengetahuan alam maujud dan bertujuan menyelidiki hakikat yang sebenarnya, Filsafat Hukum adalah ilmu yang mempelajari hukum secara filosofis, Teori merupakan pendapat yang dikemukakan oleh seseorang mengenai suatu asas umum yang menjadi dasar atau pedoman suatu ilmu pengetahuan, kemudian hukum adalah semua aturan-aturan, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis yang dibuat maupun diakui oleh negara sebagai pedoman tingkah laku masyarakat yang memiliki sanksi yang tegas dan nyata bagi yang melanggarnya, jadi Teori Hukum adalah teori yang terdiri atas seperangkat prinsip-prinsip hukum yang menjadi pedoman dalam merumuskan suatu produk hukum sehingga hukum tersebut dapat dilaksanakan di dalam praktek kehidupan masyarakat, Asas Hukum adalah dasar-dasar umum yang terkandung dalam peraturan hukum dasar-dasar umumtersebut mengandung nilai-nilai etis, Politik Hukum adalah perwujudan kehendak dari pemerintah Penyelenggaraan Negara mengenai hukum yang belaku di wilayahnya dan kearah mana kukum itu dikembangkkan, Kaedah Hukum adalah aturan yang dibuat secara resmi oleh penguasa negara mengikat setiap orang dan belakunya dapat dipaksakan oleh aparat negara yang berwenang sehingga berlakunya dapat dipertahankan, Praktik Hukum adalah pelaksanaan dan penerapan hukum dari aturan-aturan yang telah dibuat pada kaedah hukum dalam peristiwa konkrit.16

_________________________

16. Ibid, Hal 29

Bagan yang dimaksud adalah sebagaimana tergambar dibawah ini :

Penulis melihat bagan ini adalah sebagai suatu rangkaian yang tak terpisahkan antara filsafat hukum, serta pembentukan hukum di Indonesia, di Indonesia hukum dibuat sebenarnya adalah sebagai pemenuhan asas legalitas, serta untuk menciptakan masyarakat yang tertib serta kemakmuran yang menyeluruh, karena Indonesia menganut Civil Law Sistem, dimana dalam sistem tersebut peraturan perundang-undangan adalah merupakan pijakan dalam penerapan hukum oleh seorang hakim, melihat bagan diatas sudah sangat ideal bagaimana membentuk sebuah hukum, tetapi bagaimana sebenarnya pembentukan hukum di Indonesia, apakah tidak ada kepentingan yang masuk didalamnya.

3. Hukum dan Fungsinya Menurut Para Pakar Hukum Fungsi Hukum secara garis besar adalah sebagaimana termaktub dibawah ini :

Sebagai alat pengendalian sosial (a tool of social control). Sebagai alat untuk mengubah masyarakat ( a tool of social engineering). Sebagai alat ketertiban dan pengaturan masyarakat. Sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan sosial lahir dan batin. Sebagai sarana penggerak pembangunan. Sebagai fungsi kritis dalam hukum. Sebagai fungsi pengayoman. Sebaga alat politik.17

Sedangkan konsep Hukum yang dipaparkan oleh Prof. Soetandyo Wignjosoebroto, M.PA adalah : 1) Hukum sebagai asas moral atau asas keadilan yang bernilai universal dan menjadi bagian inherent sistem hukum alam, 2) Hukum sebagai kaidah-kaidah positif, dan 3) Hukum sebagai institusi sosial.18

Fungsi Hukum (The Funcions of Law) Menurut Sjachran Basah hukum terutama dalam masyarakat Indonesia mempunyai panca fungsi, yaitu: 1) Direktif 2) Integratif 3) Stabilitatif 4). Perfektif 5). Korektif. Dalam Implementasinya Hukum Dapat Berwujud: 1). Preventif 2). Represif dan 3). Rehabilitatif. Tujuan Hukum Menurut Teori Etis (Aristoteles) Hukum hanya semata-mata bertujuan untuk mewujudkan rasa keadilan, sedangkan keadilan dibedakan menjadi dua yaitu : 1).Keadilan komutatif, yang menyamakan prestasi dan kontra prestasi, dan yang ke 2). Keadilan Distributif, keadilan yang membutuhkan distribusi atau penghargaan. Lain halnya Utiliteis (Jeremy Bentham) menganggap hukum bertujuan mewujudkan semata-mata apa yang berfaedah saja, sedangkan ajaran yuridis dogmatic

____________________________ 17. Slide Muchsin, op.cit. 18. Materi Kuliah Program Pascasarjana Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya Prodi Magister Ilmu Hukum, Tahun Akademik 2007-2008 M

(John Austin, Hans Kelsen) bertujuan untuk menjamin terwujudnya kepastian hukum.

19

Kita tahu bahwa Hukum di Indonesia ini merupakan campuran dari sistem hukum hukum Eropa, hukum Agama dan hukum Adat, sebagian besar sistem yang dianut, baik perdata maupun pidana, berbasis pada hukum Eropa kontinental, khususnya dari Belanda karena aspek sejarah masa lalu Indonesia yang merupakan wilayah jajahan dengan sebutan Hindia Belanda (NederlandschIndie). Juga hukum Agama, karena sebagian besar masyarakat Indonesia menganut Islam, maka dominasi hukum atau Syari'at Islam lebih banyak terutama di bidang perkawinan, kekeluargaan dan warisan. Selain itu, di Indonesia juga berlaku sistem hukum Adat, yang merupakan penerusan dari aturan-aturan setempat dari masyarakat dan budaya-budaya yang ada di wilayah Nusantara. 4. Hukum di Indonesia Salah satu tuntutan aspirasi masyarakat yang berkembang dalam era reformasi sekarang ini adalah reformasi hukum menuju terwujudnya supremasi sistem hukum di bawah sistem konstitusi yang berfungsi sebagai acuan dasar yang efektif dalam proses penyelenggaraan negara dan kehidupan nasional sehari-hari. Dalam upaya mewujudkan sistem hukum yang efektif itu, penataan kembali kelembagaan hukum, didukung oleh kualitas sumberdaya manusia dan kultur dan kesadaran hukum masyarakat yang terus meningkat, seiring dengan pembaruan materi hukum yang terstruktur secara harmonis, dan terus menerus diperbarui sesuai dengan tuntutan perkembangan kebutuhan. Dalam upaya pembaruan hukum tersebut, penataan kembali susunan hirarkis peraturan perundang-undangan kiranya memang sudah sangat tepat, Di samping itu, era Orde Baru yang semula berusaha memurnikan kembali falsafah Pancasila dan pelaksanaan UUD 1945 dengan menata kembali sumber tertib hukum dan tata-urut peraturan perundang-undangan, dalam prakteknya selama 32 tahun belum berhasil membangun susunan perundang-undangan yang dapat dijadikan acuan bagi upaya memantapkan sistem perundang-undangan di masa depan. Lebih-lebih dalam prakteknya, masih banyak produk peraturan yang tumpang tindih dan tidak mengikuti sistem yang baku, Sebagai contoh, produk hukum yang dikeluarkan Bank Indonesia yang dimaksud _______________________ 19. Ibid untuk memberikan aturan terhadap dunia perbankan menggunakan istilah Surat Edaran yang tidak dikenal dalam sistem peraturan perundang-undangan yang berlaku. Beberapa kementerian mengeluarkan peraturan di bidangnya dengan menggunakan sebutan Keputusan Menteri, dan beberapa lainnya menggunakan istilah Peraturan Menteri. Keputusan Presiden yang bersifat mengatur dengan Keputusan Presiden yang bersifat penetapan administratif biasa tidak dibedakan, kecuali dalam kode nomernya saja, sehingga tidak jelas kedudukan masing-masing sebagai salah satu bentuk peraturan perundang-undangan yang bersifat mengatur. Sementara itu, setelah lebih dari 50 tahun Indonesia merdeka, sangat dirasakan adanya kebutuhan untuk mengadakan perubahan terhadap pasal-pasal dalam UUD 1945 yang banyak pihak menilai ada pasal yang tidak relevan lagi dengan perkembangan zaman. Ditambah lagi dengan munculnya kebutuhan untuk mewadahi perkembangan otonomi daerah di masa depan yang dapat

mendorong tumbuh dan berkembangnya dinamika hukum adat di desa-desa yang cenderung diabaikan atau malah sebaliknya dikesampingkan dalam setiap upaya pembangunan hukum selama lebihdari 50 tahun terakhir. Didalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 telah disebutkan bahwa Pancasila adalah merupakan sumber dari segala sumber hukum negara Indonesia, hal ini dirasa sesuai mengingat falsafah Pancasila adalah merupakan ruh perjuangan dari para pejuang bangsa, yang merupakan alat pemersatu, dari yang sebelumnya terkotak-kotak oleh daerah, ras, suku, agama, golongan, dan lain sebagainya, mengingat masyarakat Indonesia sangat heterogen, maka dengan kembali pada Pancasila, cita-cita luhur para pejuang untuk menciptakan masyarakat yang adil dan makmur sejahtera dimungkinkan dapat tercapai. Dilihat dari materinya Pancasila digali dari pandangan hidup bangsa Indonesia yang merupakan jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia sendiri. Dasar negara Pancasila terbuat dari materi atau bahan dalam negeri yang merupakan asli murni dan menjadi kebanggaan bangsa, tidak merupakan produk impor dari luar negeri, meskipun mungkin saja mendapat pengaruh dari luar negeri.20

_______________________ 20 Darji Darmodiharjo, dan Shidarta, Op. Cit hal.229

Pancasila merupakan Grundnorm atau sumber dari segala sumber hukum di Indonesia, rumusan Pancasila ini dijumpai dalam Alinea keempat Pembukaan UUD 1945, maka dapat dikatakan bahwa Pembukaan UUD 1945 adalah filsafat hukum Indonesia, maka Batang Tubuh berikut dengan Penjelasan UUD 1945 adalah teori hukumnya, dikatakan demikian karena dalam Batang Tubuh UUD 1945 itu akan ditemukan landasan hukum positif Indonesia. Teori Hukum tersebut meletakkan dasar-dasar falsafati hukum positif kita. 21

Dengan demikian penulis sepakat jika filsafat hukum Indonesia, adalah di mulai dari pemaham kembali (re interpretasi) terhadap pembukaan UUD 1945.

5. PERAN FILSAFAT HUKUM DI INDONESIA Negara di dunia yang menganut paham negara teokrasi menganggap sumber dari segala sumber hukum adahal ajaran-ajaran Tuhan yang berwujud wahyu, yang terhimpun dalam kitab-kitab suci atau yang serupa denga itu, kemudian untuk negara yang menganut paham negara kekuasaan (rechstaat) yang dianggap sebagai sumber dari segala sumber hukum adalah kekuasaan, lain halnya dengan negara yang menganut paham kedaulatan rakyat, yang dianggap sebagai sumber dari segala sumber hukum adalak

kedaulatan rakyat, dan Indonesia menganut paham kedaulatan rakyat dari Pancasila, akan tetapi berbeda dengan konsep kedaulatan rakyat oleh Hobbes (yang mengarah pada ke absolutisme) dan John Locke (yang mengarah pada demokrasi parlementer). Rumusan Pancasila yang dijumpai dalam Alinea keempat Pembukaan UUD 1945 adalah sumber dari segala sumber hukum di Indonesia yang merupakan produk filsafat hukum negara Indonesia, Pancasila ini muncul diilhami dari banyaknya suku, ras, kemudian latar belakang, serta perbedaan ideologi dalam masyarakat yang majemuk, untuk itu muncullah filsafat hukum untuk menyatukan masyarakat Indonesia dalam satu bangsa, satu kesatuan, satu bahasa, dan prinsip kekeluargaan, walau tindak lanjut hukum-hukum yang tercipta sering terjadi hibrida (percampuran), terutama dari hukum Islam, hukum adat, dan hukum barat (civil law / khususnya negara Belanda), hukum Islam (baca ; AlQuran) sering dijadikan __________________________ 21 Darji Darmodiharjo, dan Shidarta, Loc. Cit,, hal.230 dasar filsafat hukum sebagai rujukan mengingat mayoritas penduduk Indonesia adalah umat muslim, contoh konkrit dari hukum Islam yang masuk dalam konstitusi Indonesia melalui produk filsafat hukum adalah Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, apalagi didalamnya terdapat pasal tentang bolehnya poligami bagi laki-laki yaitu dalam Pasal 3 ayat 1, Pasal 4 ayat 1,2, dan Pasal 5 ayat 1 dan 2, walau banyak pihak yang protes pada pasal kebolehan poligami tersebut, namun di sisi lain tidak sedikit pula yang mempertahankan pasal serta isi dari Undang-undang Perkawinan tersebut. DPR adalah lembaga yang berjuang mengesahkan Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, yang diundangkan pada tanggal 2 Januari tahun 1974, dan sampai sekarang masih berlaku tanpa adanya perubahan, ini bukti nyata dari perkembangan filsafat hukum yang muncul dari kebutuhan masyarakat perihal penuangan hukum secara konstitusi kenegaraan, yang mayoritas masyarakat Indonesia adalah agama Islam, yang menganggap ayat-ayat ahkam dalam kitab suci AlQuran adalah mutlak untuk diikuti dalam hukum.

Hukum adat juga sedikit banyak masuk dalam konstitusi negara Indonesia, contoh adanya Undang-undang Agraria, kemudian munculnya Undang-undang Otonomi daerah, yang pada intinya memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia yang sangat heterogen.

Maka dengan filsafat hukum yang dikembangkan melalui ide dasar Pancasila akan dapat mengakomodir berbagai kepentingan, berbagai suku, serta menyatukan perbedaan ideologi dalam masyarakat yang sangat beraneka ragam, dengan demikian masyarakat Indonesia akan tetap dalam koridor satu nusa, satu bangsa, satu kesatuan, satu bahasa, yang menjunjung nilai-nilai luhur Pancasila.

D. KESIMPULAN Dari paparan penulis secara singkat diatas, kiranya penulis menyimpulkan sebagai

jawaban dari rumusan masalah yang termaktub diatas : 1. Untuk menjawab apakah sebenarnya hakikat filsafat hukum ? Filsafat Hukum adalah cabang dari filsafat yang mempelajari hukum yang benar, atau dapat juga kita katakan Filsafat Hukum adalah merupakan pembahasan secara filosofis tentang hukum, yang sering juga diistilahkan lain dengan Jurisprudence, adalah ilmu yang mempelajari hukum secara filosofis, yang objeknya dikaji secara mendalam sampai pada inti atau dasarnya, yang disebut hakikat. Filsafat hukum dalam menyikapi masalah, kita diajak untuk berfikir kritis dan radikal, atau dalam artian kita diajak untuk memahami hukum tidak dalam arti hukum positif semata, karena jika kita hanya mempelajari arti hukum dalam arti positif semata, tidak akan mampu memanfaatkan dan mengembangkan hukum secara baik, jika demikian adanya ketika ia menjadi seorang pengadil (hakim) misalnya, ia hanya menjadi corong undang-undang belaka. Terkait itu penulis sepakat bahwa suatu masalah atau problem pasti dapat dicari apa sebenarnya analisis filsafat hukumnya yang tepat untuk diterapkan, dengan kita menganalisis secara rasional dan kemudian kita mempertanyakan jawaban secara terus menerus, yang jawaban itu tidak hanya dari masalah yang tampak, tetapi sudah pada tataran nilai dari gejala-gejala itu sendiri, maka analisis filsafati seperti inilah yang membantu kita untuk menentukan sikap secara bijaksana dalam menghadapi suatu masalah yang konkrit. Kiranya dalam kesimpulan ini pula dapat kita tampilkan review hakikat filsafat hukum yang diungkapkan Prof. Dr. H. Muchsin, S.H,22 bahwa filsafat hukum mengajak kita untuk berpikir spekulatif, dalam artian spekulatif yang tidak hanya untung-untungan belaka, akan tetapi diimbangi dengan sikap kritis, serta rasional, yang dengan iti berusaha untuk memeriksa nilai dari pernyataan-pernyataan yang dapat dikategorikan sebagai hukum. Secara spekulatif filsafat hukum dapat dicapai dengan pengajuan pertanyaan-pertanyaan mengenai hakekat hukum, kemudian secara kritis, dengan berusaha untuk memeriksa gagasan-gagasan tentang hukum yang sudah ada, melihat koherensi, korespondensi dan fungsinya. Filsafat hukum ini sebenarnya adalah induk dari semua disiplin yuridik, karena filsafat hukum membahas masalah-masalah yang paling fundamental yang timbul dalam hukum, contoh kasus jika ada masalah-masalah yang melampaui kemampuan berpikir manusia, maka filsafat hukum akan merupakan kegiatan

_________________________ 22 . Lihat kembali pendapat Muchsin, dalam Slide Pascasarjana Untag.

yang tidak pernah berakhir, karena mencoba memberikan jawaban pada pertanyaan-pertanyaan abadi.23

Kemudian untuk waktu yang lama, dalam sejarah filsafat hukum, orang berpendapat bahwa landasan hukum itu adalah hukum kodrat (filsafat hukum kodrat) yaitu yang berpandangan terdapat suatu kodrat ideal yang abadi, yang takkan berubah sepanjang masa, namun hal ini memunculkan pertanyaan tentang keterikatan dengan tempat dan waktu, orang akan memegang suatu prinsip hukum pada suatu waktu, akan tetapi dilain waktu (masa yang akan datang) apakah hukum akan tetap stagnan dan tetap, maka orang banyak bersepakat bahwa hukum akan selalu dinamis seiring dengan perubahan waktu dan tempat, dengan cara berfilsafat hukum melalui realitas-realitas yang terjadi dalam masyarakat luas.

2. Secara spekulatif dan secara kritis filsafat hukum berusaha untuk memeriksa gagasan-gagasan tentang hukum yang sudah ada, melihat koherensi, korespondensi dan fungsi hukum yang diciptakan, Indonesia memang menganut paham kedaulatan rakyat dari Pancasila, kaitannya filsafat hukum terhadap pembentukan hukum di Indonesia adalah filsafat hukum sangat berperan dalam perubahan hukum kearah lebih demokratis, lebih mengarah pada kebutuhan masyarakat yang hakiki, filsafat hukum mengubah tata urutan Peraturan Perundang-undangan yang pernah berlaku di Indonesia, dimulai dari berlakunya tata urutan Peraturan Perundang-undangan yang didasari TAP XX/MPRS tahun 1966, kemudian tata urutan Peraturan Perundang-undangan yang didasari TAP III/MPR/2000, sampai terakhir adalah tata urutan Peraturan Perundang-undangan yang didasari Pasal 7 UU Nomor 10 Th 2004 yang hingga kini berlaku di Indonesia, pengubahan itu atas dasar pembaharuan yang didasari pada asas kemanfaatan dan asas keadilan, jadi pembaharuan hukum lewat

_______________________ 23 Lebih jelasnya lihat karya Bruggink, Refleksi Tentang Hukum, alih bahasa Arief sidharta, SH, Citra Aditya Bakti, Cet II, 1999, Hal. 178

filsafat hukum di Indonesia ada pada teori hukumnya 24, hal ini telah sesuai dengan bunyi kalimat kunci dalam Penjelasan UUD 1945 : Undang-undang dasar menciptakan pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam pembukaan dalam pasal-pasalnya, maka perubahan hukum di Indonesia adalah didasarkan dari ide-ide pasal-pasal dalam Batang Tubuh berikut dengan Penjelasan UUD 1945 (sebagai teori hukumnya).

Kita harus tahu pula bahwa fungsi hukum nasional adalah untuk pengayoman, maka perubahan atau pembangunan hukum Indonesia harus melalui proses filsafat hukum yang didalamnya mampu mengarahkan dan menampung kebutuhan-kebutuhan hukum sesuai dengan tingkat-tingkat kemajuan pembangunan disegala bidang, juga mampu memenuhi kebutuhan masyarakat luas yang cenderung majemuk, yang mana hukum yang diciptakan adalah merupakan rules for the game of life, hukum diciptakan untuk mengatur prilaku anggota masyarakat agar tetap berada pada koridor nilai-nilai sosial budaya yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Dan yang terpenting hukum diciptakan sebagai pemenuhan rasa keadilan bagi masyarakat luas, tanpa membedakan ras, golongan, suku, partai, agama, atau pembedaan lain.

____________________ 24 Memakai Filsafat Pancasila sebagai Grundnorm, kemudian Filsafat Hukum, diteruskan lewat Teori Hukum serta Asas Hukum yang didalamnya mengandung nilai-nilai etis perubahan hukum, kemudian dipadu dengan Politik Hukum yang merupakan perwujudan kehendak dari pemerintah Penyelenggaraan Negara mengenai hukum yang belaku dan kearah mana kukum itu dikembangkkan, akhirnya muncul Kaedah Hukum (in Abstacto) yang merupakan aturan yang dibuat secara resmi oleh penguasa negara yang mengikat setiap orang dan belakunya dapat dipaksakan oleh aparat negara yang berwenangdan berlakunya dapat dipertahankan, maka akan lahir Praktik Hukum yaitu pelaksanaan dan penerapan hukum dari aturan-aturan yang telah dibuat pada kaedah hukum dalam peristiwa konkrit .

E. SARAN-SARAN 1. Hendaknya bagi pemegang kekuasaan di Indonesia terutama (legislatif, Eksekutif, dan yudikatif), agar selalu belajar dan mengkaji lebih jauh tentang filsafat hukum, serta pemahaman terhadap Grundnorm atau sumber dari segala sumber hukum di Indonesia (Pancasila), agar pembaharuan atau hukum yang diciptakan adalah benar-benar merupakan rules for the game of life bagi masyarakat luas. 2. Hendaknya sering dilakukan diskusi (pembahasan ulang) oleh pakar filsafat hukum terhadap perundang-undangan yang masih belum memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat luas, dan

tentunya peran diskusi ilmiah antar pakar filsafat hukum di indonesia sangatlah urgen untuk dilakukan dalam mengubah hukum yang hanya mengedepankan legalitas belaka, tanpa melihat living law yang terjadi dalam masyarakat, serta mengingat sekian lama Indonesia di doktrin oleh Belanda untuk mengikat setiap orang dan berlakunya dapat dipaksaka n oleh aparat negara yang berwenangdan berlakunya dapat dipertahankan, maka akan lahir Praktik Hukum yaitu pelaksanaan dan penerapan hukum dari aturan-aturan yang telah dibuat pada kaedah hukum dalam peristiwa konkrit . dipaksa, memakai sistem Civil law yang bermuara pada legalitas belaka, yang terkadang sering tidak bermuara pada keadilan yang seutuhnya. 3. Terkhusus bagi mahasiswa-i pemerhati hukum pada Perguruan Tinggi, haruslah terus belajar terhadap hakikat filsafat hukum, yang nantinya pasti akan berguna bagi perbaikan sistem hukum di Indonesia yang masih dirasa carut marut.

F. Rekomendasi

Kepada yang terhormat badan Legislatif (DPR) Indonesia, tetaplah Pancasila dipertahankan sebagai sumber dari segala sumber hukum di Indonesia, karena Pancasila adalah ruh perjuangan para pahlawan, serta produk hukum yang asli tercipta oleh karya para pejuang / pahlawan Indonesia.

Kepada yang terhormat badan Yudikatif (para hakim khususnya) dengan memahami fisafat hukum agar mengadili perkara dengan adil, tidak hanya melihat hukum sebagai teks belaka, tetapi juga milahat secara konteks / keadilan masyarakat, sesuai dengan firman Allah, SWT, yang artintya : ...dan jika kamu memutuskan perkara mereka, maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka dengan adil, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil AQ.S. Al-Maidah : 42 ;

Yang terhormat para ilmuwan filsafat hukum, jangan jemu-jemu dalam membimbing generasi muda sebagai cikal bakal penerus perjuanganmu, yang bakal mengubah Indonesia menjadi negara yang makmur sebagaimana cuta-cita para pejuang yang berbunyimenuju ke baldatun thoyyibatun warobbun ghofuur

REFERENSI

Muchsin, Ikhtisar Filsafat Hukum, cetakan kedua , Badan Penerbit Iblam Jakarta, 2006

Darmodiharjo, dan Shidarta, Pokok-pokok Filsafat Hukum (Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia), PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, cetakan keenam, Mei 2006 Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta cetakan keenam belas, 2003