Isi Filsafat Hukum

101
BAB I PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP FILSAFAT HUKUM Tujuan Instruksional Umum: Setelah mempelajari pokok bahasan ini mahasiswa dapat: 1. Memahami pengertian filsafat. 2. Memahami pengertian hukum. 3. Mengetahui pengertian filsafat hukum. Tujuan Instruksional Khusus: Setelah mempelajari bahasan ini mahasiswa mampu: 1. Membedakan pengertian Ilmu Filsafat dan Agama. 2. Menyebutkan ruang lingkup Ilmu Filsafat. 3. Menyebutkan pengertian hukum dari berbagai sarjana. 4. Mengetahui pengertian Filsafat Hukum dari berbagai sarjana. 1. Pengertian Filsafat dan Agama Adakalanya orang mengatakan bahwa orang harus berfilsafat. Sehingga untuk dapat berfilsafat, terlebih dahulu orang harus mengetahui apa yang disebut dengan filsafat. Sesungguhnya, istilah “filsafat” merupakan suatu istilah dari bahasa Arab yang terkait dengan istilah dari bahasa Yunani, yaitu: Filosofia. 1 1 ? I.R. Poedjawijatna, Pembimbing Ke Arah Alam Filsafat, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, 1990, halaman 1.

description

filsafat hukum

Transcript of Isi Filsafat Hukum

Page 1: Isi Filsafat Hukum

BAB I

PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP FILSAFAT HUKUM

Tujuan Instruksional Umum:

Setelah mempelajari pokok bahasan ini mahasiswa dapat:

1. Memahami pengertian filsafat.

2. Memahami pengertian hukum.

3. Mengetahui pengertian filsafat hukum.

Tujuan Instruksional Khusus:

Setelah mempelajari bahasan ini mahasiswa mampu:

1. Membedakan pengertian Ilmu Filsafat dan Agama.

2. Menyebutkan ruang lingkup Ilmu Filsafat.

3. Menyebutkan pengertian hukum dari berbagai sarjana.

4. Mengetahui pengertian Filsafat Hukum dari berbagai sarjana.

1. Pengertian Filsafat dan Agama

Adakalanya orang mengatakan bahwa orang harus berfilsafat. Sehingga untuk

dapat berfilsafat, terlebih dahulu orang harus mengetahui apa yang disebut dengan

filsafat. Sesungguhnya, istilah “filsafat” merupakan suatu istilah dari bahasa Arab

yang terkait dengan istilah dari bahasa Yunani, yaitu: Filosofia.1

Secara etimologis, kata “filsafat” berasal dari kata majemuk, yakni: filo dan

sofia. Filo artinya ‘cinta’ dalam arti yang seluas-luasnya, yaitu ingin dan karena

ingin itu, lalu berusaha mencapai yang diingini. Sedangkan Sofia artinya

‘kebijaksanaan’. Bijaksana inipun merupakan kata asing, yang artinya ialah

‘pandai’: mengerti dengan mendalam. Jadi secara etimologis, filsafat dapat

dimaknakan: “Ingin mengerti dengan mendalam” atau “cinta kepada

kebijaksanaan”. Dengan demikian, rumusan tersebut di atas dapat disebut sebagai

suatu definisi atau pembatasan yang semata-mata berdasarkan atas keterangan

nama atau pembatasan nama. 1 ? I.R. Poedjawijatna, Pembimbing Ke Arah Alam Filsafat, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, 1990, halaman 1.

Page 2: Isi Filsafat Hukum

Dari sudut isinya, terdapat banyak perumusan yang dikemukakan para penulis

filsafat. Filsafat dapat diartikan sebagai pandangan hidup manusia, yang tercermin

dalam berbagai pepatah, slogan, lambang dan sebagainya.2 Filsafat dapat juga

diartikan sebagai ilmu. Dikatakan sebagai ilmu karena filsafat adalah pengetahuan

yang metodis, sistematis, dan koheren tentang seluruh kenyataan dengan kata lain

filsafat memiliki objek, metode, dan sistematika tertentu, terlebih-lebih bersifat

universal. Dalam kaitannya dengan salah satu unsur yang dipenuhi filsafat sebagai

suatu ilmu, yaitu adanya objek tertentu yang dimiliki filsafat.

Menurut Poedjawijatna, objek suatu ilmu dapat dibedakan menjadi dua, yakni

objek materia dan objek forma. Objek materia adalah lapangan atau bahan

penyelidikan suatu ilmu, sedangkan objek forma adalah sudut pandang tertentu

yang menentukan jenis suatu ilmu. Objek materia filsafat adalah sesuatu yang ada

dan mungkin ada. Pada intinya objek materia filsafat dapat dibedakan menjadi

tiga macam, yaitu tentang hakikat Tuhan, hakikat alam, dan hakikat manusia.

Barangkali, objek materia filsafat sama dengan objek ilmu lainnya, tetapi yang

membedakan adalah objek formanya. Objek forma filsafat terdapat pada sudut

pandangnya yang tidak membatasi diri dan hendak mencari keterangan sampai

sedalam-dalamnya atau sampai kepada hakikat sesuatu, sehingga terdapat

kebenaran, jika filsafat dikatakan sebagai ilmu tanpa batas.3

Jika ditelaah lebih mendalam, filsafat memiliki sedikitnya tiga sifat pokok,

yaitu: menyeluruh, mendasar, dan spekulatif.4 Menyeluruh, artinya cara berfikir

filsafat tidak sempit, dari sudut pandang ilmu itu sendiri (fragmentaris atau

sektoral), senantiasa melihat persoalan dari tiap sudut yang ada. Mendasar,

artinya bahwa untuk dapat menganalisa suatu persoalan bukanlah pekerjaan yang

mudah, mengingat pertanyaan-pertanyaan yang dibahas berada di luar jangkauan

“ilmu biasa”.

2 ? Lihat Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995, halaman 4.3 ? I. R. Poedjawijatna, Op. Cit., halaman 6-9.4 ? Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, Penerbit Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1998.

Page 3: Isi Filsafat Hukum

Untuk itu, ciri ketiga dari filsafat yang berperan, yaitu spekulatif. Langkah-

langkah spekulatif yang dijalankan oleh filsafat tidak boleh sembarangan, tetapi

harus memiliki dasar-dasar yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Di samping ketiga ciri filsafat tersebut di atas, ada ciri lain yang perlu

ditambahkan, yaitu sifat refleksif kritis dari filsafat.5 Refleksi berarti pengendapan

dari pemikiran yang dilakukan secara berulang-ulang dan mendalam

(contemplation). Hal ini dimaksudkan untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan

yang lebih jauh lagi dan dilakukan secara terus-menerus. Kritis berarti analisis

yang dibuat filsafat tidak berhenti pada fakta saja, melainkan analisis nilai. Sebab,

jika yang dianalisis hanya fakta saja, maka subjek (manusia) tersebut baru

melakukan observasi, dan hasilnya ialah gejala-gejala semata. Lain halnya, jika

yang dianalisis nilai, maka hasilnya bukan gejala-gejala melainkan hakikat.

Ada beberapa sarjana penulis filsafat yang mengemukakan pendapatnya

tentang filsafat, antara lain:

a. Plato : filsafat adalah ilmu pengetahuan yang berminat mencapai

kebenaran yang asli.

b. Aristoteles : Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang meliputi kebenaran

yang terkandung di dalamnya ilmu-ilmu matematika,

logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika.

c. Al Farabi : Filsafat ialah ilmu pengetahuan tentang alam maujud

bagaimana hakekat yang sebenarnya.

d. Descartes : Filsafat adalah kumpulan segala pengetahuan di mana

Tuhan, alam dan manusia menjadi pokok penyelidikan.

e. Immanuel Kant : Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang menjadi pokok

dan pangkal dari segala pengetahuan yang tercakup di

dalam empat persoalan, yaitu metafisika, etika, agama,

dan antropologi.6

5 ? Darji Darmodiharjo & Shidarta, Op. Cit., halaman 7.6 ? Lili Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1990, halaman 5.

Page 4: Isi Filsafat Hukum

Dari perumusan filsafat sebagaimana dikemukakan oleh para penulis filsafat

tersebut dapat ditarik intisarinya bahwa filsafat merupakan karya manusia tentang

hakikat sesuatu.

Pada uraian terdahulu telah dikemukakan bahwa filsafat dapat diartikan

sebagai ilmu, meskipun demikian antara filsafat dengan keseluruhan ilmu yang

bertemu pada obyek materia (segala yang ada dan mungkin ada) tetap berbeda,

karena perbedaan itu terletak pada obyek formanya.

Tentu saja perbedaan itu tidak berlaku pada kedudukan filsafat dengan agama,

karena agama merupakan sesuatu yang ada, sehingga agama juga masuk ke dalam

lingkungan filsafat, dari sini muncul apa yang dinamakan filsafat agama.

Dalam agama ada beberapa hal penting yang diselidiki oleh filsafat, misalnya:

Tuhan, kebajikan, baik dan buruk, dan sebagainya, karena hal-hal tersebut ada

atau paling tidak mungkin ada, namun antara filsafat dan agama memiliki dasar

penyelidikan yang berbeda. Di satu sisi, sudut pandang penyelidikan agama

didasarkan atas wahyu Tuhan atau firman Tuhan. Pada agama, kebenaran

tergantung kepada diwahyukan atau tidak. Yang diwahyukan Tuhan harus

dipercayai, oleh akrena itu agama ada dan disebut kepercayaan.

Di sisi lain, kebenaran diterima oleh filsafat bukan karena kepercayaan,

melainkan diterima dengan penyelidikan sendiri, pikiran belaka. Filsafat tidak

mengingkari atau mengurangi wahyu, tetapi tidak mendasarkan penyelidikannya

atas wahyu. Dengan kata lain, filsafat berdasarkan pikiran belaka, sedangkan

agama berdasarkan wahyu.

2. Ruang Lingkup Ilmu Filsafat

Objek materia filsafat adalah segala sesuatu yang ada dan mungkin ada,

dengan kata lain objek filsafat itu ada. Adapun ada ini dapat ditinjau atau dilihat

dari berbagai penjuru sudut pandang, sehingga muncul bermacam-macam bagian

filsafat. Pembagian filsafat dapat dibedakan menjadi dua golongan besar, yaitu:

a. Berdasarkan Objek, yang dibedakan menjadi dua:

1) Filsafat Umum (Ada-Umum):

Page 5: Isi Filsafat Hukum

Pada filsafat umum, ada mungkin dipandang dari sudut keumumannya.

Segala sesuatunya itu ada. Dalam realitas, terdapat bermacam-macam hal,

yang semuanya mungkin ditangkap dalam adanya. Oleh karena itu,

terdapat ada yang bermacam-macam dan ada-umum. Ada menjadi dasar

dari segala yang ada, misalnya sifat-sifatnya, sehingga filsafat ada-umum

disebut Ontologia atau Metaphysica generalis.

2) Filsafat Khusus (Ada-Khusus):

Dalam filsafat khusus (ada-khusus), ada dipandang dari sudut pandang

tertentu yang lain dari umum. Oleh karena itu sudut pandang tersebut

banyak macamnya, sehingga memunculkan filsaft bagian yang bermacam-

macam pula, yang terdiri dari:

a) Theodicea (Ada-Mutlak):

Kekhususan dari ada itu mungkin terdapat dalam mutlaknya. Padahal

di dunia terdapat ada yang tidak mutlak. Jadi, apabila nanti terdapat

ada yang mutlak, maka harus diselidiki sifat-sifatnya, kemampuannya,

dan hubungannya dengan ada-khusus-tak mutlak. Dengan demikian,

filsafat yang mempersoalkan ada-mutlak disebut filsafat ada-mutlak,

yang lazim disebut sebagai Theodicea.

b) Ada-Tidak-Mutlak:

Di samping ada-mutlak terdapat ada-tidak mutlak. Pada ada-tidak

mutlak terdapat banyak macamnya ke golongan ini yang harus

diselidiki oleh filsafat darti sudut pandang tertentu, yang hendak dicari

sebabnya yang terakhir atau sebab yang sedalam-dalamnya, yang

dapat dibagi-bagi lagi ke dalam:

1)) Filsafat Alam (Cosmologia):

Alam semesta dan isinya merupakan ada yang tidak harus ada,

sehingga dapat disebut sebagai ada-tidak mutlak. Alam dicari

intinya oleh filsafat inti alam itu, apakah sebenarnya itu, apakah isi

alam pada umumnya, dan apakah hubungannya satu dengan yang

lain serta hubungannya dengan ada-mutlak, dengan demikian

filsafat alam disebut kosmologia.

Page 6: Isi Filsafat Hukum

2)) Manusia:

Alam merupakan ada-tidak mutlak, karena ada-nya tidak dengan

niscaya. Segala isi alam mungkin lenyap dan pernah tidak ada,

namun alam mempunyai kedudukan yang istimewa yang

menyelidiki semuanya, yaitu: manusia, yang dapat dibagi lagi ke

dalam tiga kelompok sebagaimana diuraikan dalam uraian di

bawah ini:

a)) Filsafat Manusia (Anthropologia-Metaphysika):

Dengan sendirinya, kekhususan ada-tidak mutlak merupakan

manusia yang mempunyai kemanusiaan yang tercakup di

dalamnya soal-soal tentang manusia, seperti: apakah manusia

itu sebenarnya, apakah hubungannya satu sama lain, apakah

kemampuan-kemampuannya, apa pendorong hidupnya, apa

sifat-sifat pendorong hidup itu, dan lain-lain. Sehingga

filsafatnya disebut filsafat manusia atau anthropologia

metphysica.

b)) Filsafat Tingkah Laku (Ethica):

Pada filsafat tingkah laku (ethica) yang diselidiki adalah

tindakan-tindakan manusia, yang terdorong oleh kehendaknya

dan diternagi budinya. Tindakan manusia sendiri dapat

dibedakan lagi menjadi tindakan yang baik atau buruk

sehingga untuk menilai tindakan tersebut diperlukan tolok ukur

yang terdiri dari norma (aturan) subyektif maupun yang

obyektif (terlepas dari subyek yang menilai) dan ini dilakukan

dalam ethica atau filsafat tingkah laku.

c)) Filsafat Budi (Logika):

Untuk melakukan penyelidikan, manusia memerlukan alat

penyelidikan yang disebut budi yang harus diselidiki, sebab

tanpa budi tidak akan ada penyelidikan. Oleh karena itu dicari

jawabannya mengenai persoalan-persoalan sebagai berikut:

adakah manusia mempunyai budi dan akal, dapatkah budi

Page 7: Isi Filsafat Hukum

mencapai kebenaran? Dari sini timbul persoalan baru: apakah

kebenaran itu, sampai di mana kebenaran itu dapat dicapai

budi, seluruh kebenaran ataukah hanya sebagian saja?

Dengan kata lain, seluruh isi budi diselidiki oleh filsafat yang

disebut filsafat budi (logika). Namun, dalam bekerjanya budi,

ia harus mentaati aturan-aturan yang ada, seperti: pengertian,

jalan pikiran, serta putusan-putusan. Penyelidikan tentang

bahan dan aturan berfikir merupakan bagian dari logika dan

disebut logika minor. Sedangkan penyelidikan terhadap isi

berfikir disebut logika mayor.

b. Pembagian filsafat berdasarkan Subjek:

Selain pembagian filsafat berdasarkan objek, dalam filsafat juga dikenal

pembagian filsafat berdasarkan subjek, karena dalam filsafat tentu ada yang

berfilsafat, dan itu dilakukan oleh subjeknya, yaitu manusia, sehingga perlu

dikenali pembagian filsafat menurut subjeknya, yang terdiri dari 3 (tiga) bidang,

yaitu:

1) Soal Tahu (Pengetahuan):

Soal pengetahuan ada 2 macam menurut sifatnya, yaitu pengetahuan

bermacam-macam yang tidak tetap dan pengeatahuan yang berlaku umum,

yang tidak beruba-ubah dan tetap satu macam. Dari sini timbul persoalan

menganai: bagaimanakah cara mencapai pengetahuan itu? Adakah bawaan

yang dibekalkan kepada manusia waktu lahir ataukah itu hasil dari usaha

kemampuan yang ada padanya dan merupakan pengambilan dari objek yang

dikenalnya itu. Mungkinkah itu hanya gambaran samar-samar atau nama-

nama belaka yang tidak ada hubungannya dengan realitas? Tentu saja

semua pertanyaan tersebut harus dijawab sebagian oleh Logika dan

sebagian oleh Anthropologia.

2) Soal Ada:

Orang berfikir tentu ada. Sehingga, jika ia tidak ada maka dia tidak berfikir.

Oleh karena itu, timbul pertanyaan-pertanyaan tentang ada yang memiliki

Page 8: Isi Filsafat Hukum

bermacam-macam sudut pandang, dan ini dijawab oleh filsafat tentang ada

(ontologia, theodicea, kosmologia, dan anthropologia).

3) Soal Pernilaian:

Dalam berfikir dan mengadakan putusan, setiap orang akan memiliki

pernialaian yang berbeda dan saling bertentangan, misalnya: ada yang

tinggi dan rendah, baik lawan buruk, indah lawan jelek, dan sebagainya.

Tentu saja untuk melakukan pernilaian harus ada tolok ukurnya (kriteria),

sehingga timbul pertanyaan seperti: apakah sebetulnya nilai itu dan lebih-

lebih dalam tingkah laku manusia, apakah yang dipakai ukuran untuk

menentukan baik buruknya? Pertanyaan tersebut dijawab oleh Ethica.

Jadi, secara garis besar, pembagian filsafat menurut obyek dan subyek dapat

digambarkan dalam ikhtisar berikut ini:

a. Menurut Objek:

Ada-umum (fils. ada-umum, ontologia, metaphysica generalis)

Ada Ada-mutlak (filsafat ada-mutlak, theodicea)

Ada-khusus Alam (filsafat alam, kosmologia)

Fils. manusia (anthropologia)

Tidak-ada mutlak

Manusia Fils. tingkah laku (ethica)

Fils. budi (logika mayor &

minor)

Page 9: Isi Filsafat Hukum

b. Menurut Subjek:

Logika Mayor & Minor

Soal Pengetahuan

Anthropologia

Ontologia

Theodicea

Soal Ada

Kosmologia

Anthropologia

Soal Penilaian Ethica

3. Pengertian Hukum

Bagi mahasiswa yang baru belajar tentang hukum tentu sangat bermanfaat jika

disodori definisi atau pengertian hukum sebelum mengetahui dan mempelajari

filsafat hukum.

MacIver menggambarkan masyarakat sebagai sarang laba-laba, karena di

dalamnya terdapat berbagai kaidah yang mengatur hubungan antarindividu yang

bertujuan untuk menciptakan kedamaian, ketertiban, dan kesejahteraan.7

Kaidah/norma sengaja diciptakan agar tidak terjadi benturan-benturan dalam

masyarakat, terutama anatara kepentingan-kepentingan yang saling berlawanan.

Dengan adanya kepentingan-kepentingan yang berbeda dan saling berlawanan, 7 ? Lili Rasjidi, Filsafat Hukum, Apakah Hukum Itu?, Penerbit PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 1991, halaman 31.

Page 10: Isi Filsafat Hukum

terciptalah 4 (empat) kaedah/norma, yaitu: kaedah kepercayaan (keagamaan),

kaedah kesusilaan, kaedah sopan santun (adat), dan kaedah hukum.8 Dari ke-4

kaedah/norma tersebut hanya kaedah hukum-lah yang lebih melindungi

kepentingan-kepentingan manusia yang sudah dan belum mendapat perlindungan

dari ketiga kaedah tersebut, dengan alasan sebagai berikut:

a. Dari segi tujuan, kaedah hukum ditujukan kepada pelaku yang konkrit,

untuk ketertiban masyarakat, agar jangan sampai jatuh korban.

b. Dari segi isi, kaedah hukum ditujukan kepada sikap lahir.

c. Dari segi asal-usul, berasal dari kekuasaan luar yang memaksa.

d. Dari segi sanksi, berasal dari masyarakat secara resmi.

e. Dari segi daya kerja, membebani kewajiban dan memberikan hak.

Dengan melihat gambaran mengenai kaedah hukum sebagaimana telah

diuraikan tersebut, rasanya masih terlalu sulit untuk mendefinisikan hukum,

karena memang tidak ada satu pun sarjana yang dapat membuat pengertian atau

definisi hukum secara sempurna. Tentu saja, untuk mendefinisikan hukum

bukanlah pekerjaan yang mudah dan ini terkait dengan perkembangan sejarah

hukum dan aliran-aliran dalam filsafat hukum yang tentunya dapat mempengaruhi

pengertian dari hukum.

Sebagai contoh pertama, pada zaman Romawi, para pemikir hukum lebih

banyak dituntut untuk memberikan sumbangan pemikiran ke arah pembentukan

hukum yang dapat diberlakukan secara luas di semua wilayah Romawi.

Kedua, pada Zaman Pertengahan, kekuasaan gereja sedemikian besar sehingga

turut melakukan intervensi ke dalam masalah duniawi, termasuk mengatur

pemerintahan, sehingga hukum yang dihasilkan pada waktu itu bernafaskan

keagamaan dengan mengaitkan inti pemikiran hukum dengan ajaran-ajaran gereja,

misalnya saja Thomas Aquino, yang membagi hukum ke dalam 4 (empat)

golongan, yaitu:9 Lex Aeterna, Lex Divina, Lex Naturalis, dan Lex Positivis yang

8 ? Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, Penerbit Liberty, Yogyakarta, 1988, halaman 5.9

? Lili Rasjidi, Op. Cit., halaman 29-30.

Page 11: Isi Filsafat Hukum

nantinya akan dikupas dalam bagian lain dari tulisan ini mengenai berbagai aliran

dalam filsafat hukum.

Ketiga, pada abad ke-19 hukum dipengaruhi oleh perkembangan dunia

ekonomi yang dibarengi dengan kedudukan negara yang semakin kuat dan kukuh

dalam hal melakukan kontrol dan mengarahkan masyarakat ke arah yang

dikehendakinya, sehingga pada masa ini lahirlah aliran positivisme (analitis

maupun murni) yang menekankan pentingnya kedudukan negara sebagai

pembentuk hukum. Pada masa ini, pemikiran dari John Austin dan Hans Kelsen

sangat berpengaruh pada dunia ilmu maupun teori hukum, baik pada masa

tersebut maupun sesudahnya.

Di samping itu, masih banyak pendapat dari pemikir-pemikir hukum lain,

seperti Carl von Savigny dan Puchta, juga yang lainnya yang nantinya akan

dibahas dalam madzab filsafat hukum.

3. Pengertian Filsafat Hukum

Untuk mengupas pengertian filsafat hukum, terlebih dahulu kita harus

mengetahui di mana letak filsafat hukum dalam filsafat. Sebagaimana telah

diketahui bahwa hukum terkait dengan tingkah laku/perilaku manusia, terutama

untuk mengatur perilaku manusia agar tidak terjadi kekacauan. Dengan demikian,

dapat disimpulkan bahwa filsafat hukum adalah sub dari cabang filsafat manusia

yang disebut dengan etika atau filsafat tingkah laku. Jadi, tepat dikatakan bahwa

filsafat manusia berkedudukan sebagai genus, etika sebagai species dan filsafat

hukum sebagai subspecies.10 Hal ini dapat dilihat dalam bagan di bawah ini:

Umum

Ada Ada Mutlak

Ada Khusus Alam

Ada

Tidak Mutlak Anthropologia

10

? Lihat Darji Darmodiharjo & Shidarta, Op. Cit., halaman 10. Bandingkan juga dengan Lili Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1988, halaman 4.

Page 12: Isi Filsafat Hukum

Manusia Etika Filsafat Hukum

Logika

Filsafat hukum sebagai sub dari cabang filsafat manusia, yaitu etika

mempelajari hakikat hukum. Dengan kata lain, filsafat hukum adalah ilmu yang

mempelajari hukum secara filosofis. Rasionya, filsafat hukum adalah hukum dan

objek tersebut dikaji secara mendalam sampai kepada inti atau dasarnya yang

disebut hakikat. Hakikat dari hukum dapat dijelaskan dengan jalan memberikan

definisi dari hukum. Definisi hukum sangat bervariasi tergantung dari sudut

pandang para ahli hukum melihatnya seperti yang dikemukakan oleh beberapa

sarjana dalam uraian di bawah ini.

J. van Kan mendefinisikan hukum sebagai keseluruhan ketentuan-ketentuan

kehidupan yang bersifat memaksa, yang melindungi kepentingan-kepentingan

orang dalam masyarakat. Pendapat ini senada dengan pendapat Rudolf von

Jhering yang menyatakan bahwa hukum adalah keseluruhan norma-norma yang

memaksa yang berlaku dalam suatu negara. Sementara itu Hans Kelsen

menyatakan hukum terdiri dari norma-norma bagaimana orang harus berperilaku.

Pendapat tersebut didukung oleh salah seorang ahli hukum Indonesia Wirjono

Prodjodikoro yang menyatakan hukum adalah serangkaian peraturan mengenai

tingkah laku orang-orang sebagai anggota suatu masyarakat, sedangkan satu-

satunya tujuan dari hukum ialah menjamin keselamatan, kebahagiaan, dan tata

tertib dalam masyarakat. Definisi-definisi hukum tersebut menunjukkan betapa

luasnya hukum itu. Dengan mengetahui definisi hukum yang luas tersebut kita

dapat menguraikan definisi dari filsafat hukum.

Uraian tentang definisi filsafat hukum dikemukakan oleh Rudolf Stammler

yang menyatakan bahwa definisi filsafat hukum adalah ilmu dan ajaran tentang

hukum yang adil. Sementara itu, J.J. Von Schid menyatakan filsafat hukum

merupakan suatu perenungan metodis mengenai hakekat dari hukum (Metodische

bebezinning over het wezen van he recht). Sedangkan D.H.M. Meuwissen

berpendapat bahwa filsafat hukum adalah pemikiran sistematis tentang masalah-

masalah fundamental dan perbatasan yang berhubungan dengan fenomena hukum,

Page 13: Isi Filsafat Hukum

dan/atau hakekat kenyataan hukum sebagai realisasi dari cita hukum (het

systematisch nadenken over alle fundamentele kwesties en grensproblemen het

verschijnsel recht samenhangen; over de werkelijkheid van het recht als de

realisatie van de rechtsidee).11

Uraian lainnya tentang definisi dari filsafat hukum dikemukakan oleh

Kusumadi Pudjosewojo yang mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mendasar

tentang hukum yang tidak bisa dijawab oleh ilmu hukum mengenai pertanyaan-

pertanyaan sebagai berikut: Apakah tujuan dari hukum itu? Apakah semua syarat

keadilan? Apakah keadilan itu? Bagaimanakah hubungannya antara hukum dan

keadilan? Dengan adanya pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya mendasar, dengan

sendirinya orang melewati batas-batas jangkauan ilmu hukum, dan pada saat

menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, orang sudah menginjakkan kakinya ke

lapangan filsafat hukum. Dengan kata lain, filsafat hukum berusaha menjawab

pertanyaan-pertanyaan yang tidak dapat dijawab oleh ilmu hukum.

DAFTAR PUSTAKA

Darmodiharjo, Darji & Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan

Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Penerbit PT. Gramedia Pustaka

Utama, Jakarta, 1995.

Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, Penerbit Liberty,

Yogyakarta, 1988.

11 ? Soehardjo Sastrosoehardjo, Silabus Mata Kuliah Filsafat Hukum, Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 1997, halaman 5.

Page 14: Isi Filsafat Hukum

Poedjawijatna, I.R., Pembimbing Ke Arah Alam Filsafat, Penerbit Rineka

Cipta, Jakarta, 1990.

Rasjidi, Lili, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti,

Bandung, 1990.

________________, Filsafat Hukum, Apakah Hukum Itu?, Penerbit PT.

Remaja Rosdakarya, Bandung, 1991.

Sastrosoehardjo, Soehardjo, Silabus Mata Kuliah Filsafat Hukum, Program

Pascasarjana Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro, Semarang, 1997.

Suriasumantri, Jujun S., Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, Penerbit

Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1998.

Page 15: Isi Filsafat Hukum

BAB II

SEJARAH PERKEMBANGAN FILSAFAT HUKUM

Tujuan Instruksional Umum:

Setelah mempelajari pokok bahasan ini mahasiswa dapat membedakan sejarah

perkembangan filsafat hukum dari zaman Yunani sampai dengan abad dewasa ini.

Tujuan Instruksional Khusus:

Setelah mempelajari bahasan ini mahasiswa mampu:

1. Mengetahui dan menjelaskan Sejarah Filsafat Hukum pada zaman Yunani

(Kuno).

2. Mengetahui dan menjelaskan Sejarah Filsafat Hukum pada zaman

pertengahan.

3. Mengetahui dan menjelaskan Sejarah Filsafat Hukum pada zaman modern.

4. Mengetahui dan menjelaskan Sejarah Filsafat Hukum pada zaman

sekarang.

1. Sejarah Filsafat Hukum Pada Zaman Yunani (Kuno)

Berbicara sejarah tidak akan terlepas dari dimensi waktu, karena waktu yang

sangat menentukan terjadinya sejarah, yaitu dimensi waktu yang terdiri waktu

pada masa lampau, sekarang, dan masa depan. Hal ini berlaku juga pada saat

membicarakan sejarah perkembangan filsafat hukum yang diawali dengan zaman

Yunani (Kuno).

Pada zaman Yunani hiduplah kaum bijak yang disebut atau dikenal dengan

sebutan kaum Sofis. Kaum sofis inilah yang berperan dalam perkembangan

sejarah filsaft hukum pada zaman Yunani. Tokoh-tokoh penting yang hidup pada

zaman ini, antara lain: Anaximander, Herakleitos, Parmenides, Socrates, Plato,

dan Aristoteles.12 Para filsuf alam yang bernama Anaximander (610-547 SM),

Herakleitos (540-475 SM), dan Parmenides (540-475 SM) tetap meyakini adanya

keharusan alam ini. Untuk itu diperlukan keteraturan dan keadilan yang hanya 12 ? Darji Darmodiharjo, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995, halaman 70-71.

Page 16: Isi Filsafat Hukum

dapat diperoleh dengan nomos yang tidak bersumber pada dewa tetapi logos

(rasio).13 Anaximander berpendapat bahwa keharusan alam dan hidup kurang

dimengerti manusia. Tetapi jelas baginya, bahwa keteraturan hidup bersama harus

disesuaikan dengan keharusan alamiah. Apabila hal ini terjadi, maka timbullah

keadilan (dike).

Sementara itu, Herakleitos berpandangan bahwa hidup manusia harus sesuai

dengan keteraturan alamiah, tetapi dalam hidup manusia telah digabungkan

dengan pengertian-pengertian yang berasal dari logos.

Sedangkan Parmenides sudah melangkah lebih jauh lagi. Ia berpendapat

bahwa logos membimbing arus alam, sehingga alam dan hidup mendapat suatu

keteraturan yang terang dan tetap.

Kondisi masyarakat pada saat kaum sofis ini hidup sudah terkonsentrasi ke

dalam polis-polis. Kaum sofis tersebut menyatakan bahwa rakyat yang berhak

menentukan isi hukum, dari sini mulai dikenal pengertian demokrasi, karena

dalam negara demokrasi peranan warga negara sangat besar pengaruhnya dalam

membentuk undang-undang. Dengan kata lain, kaum sofis tersebut berpendapat

bahwa kebenaran objektif tidak ada, yang ada hanyalah kebenaran subjektif,

karena manusialah yang menjadi ukuran untuk segala-galanya.

Tetapi Socrates tidak setuju dengan pendapat yang demikian ini. Socrates

berpendapat bahwa hukum dari penguasa (hukum negara) harus ditaati, terlepas

dari hukum itu memiliki kebenaran objektif atau tidak. Ia tidak menginginkan

terjadinya anarkisme, yakni ketidakpercayaan terhadap hukum. Ini terbukti dari

kesediaannya untuk dihukum mati, sekalipun ia meyakini bahwa hukum negara

itu salah. Dalam mempertahankan pendapatnya, Socrates menyatakan bahwa

untuk dapat memahami kebenaran objektif orang harus memiliki pengetahuan

(theoria). Pendapat ini dikembangkan oleh Plato murid dari Socrates.

Plato berpendapat bahwa penguasa tidak memiliki theoria sehingga tidak

dapat memahami hukum yang ideal bagi rakyatnya, sehingga hukum ditafsirkan

13 ? Logos menciptakan bentuk , ukuran, dan harmoni yang menghasilkan aturan. Aturan ini terwujud dalam polis di mana warga-warga polis memberi bentuk kepada hidupya sesuai dengan logos (Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1993, halaman 20).

Page 17: Isi Filsafat Hukum

menurut selera dan kepentingan penguasa. Oleh karena itu, Plato menyarankan

agar dalam setiap undang-undang dicantumkan dasar (landasan) filosofisnya.

Tujuannya tidak lain agar penguasa tidak menafsirkan hukum sesuai

kepentingannya sendiri. Pemikiran Plato inilah yang menjadi cerminan bayangan

dari hukum dan negara yang ideal.

Aristoteles, murid dari Plato tidak sependapat dengan Plato. Aristoteles

berpendapat bahwa hakikat dari sesuatu ada pada benda itu sendiri. Pemikiran

Aristoteles sudah membawa kepada hukum yang realistis. Menurut Aristoteles,

manusia tidak dapat hidup sendiri karena manusia adalah mahkluk yang

bermasyarakat (zoon politikon). Oleh karena itu, perlu ketaatan terhadap hukum

yang dibuat penguasa polis.

Hukum yang harus ditaati dabagi menjadi dua, yakni hukum alam dan hukum

positif. Dari gagasan Aristoteles ini, pengertian hukum alam dan hukum positif

muncul, kedua hukum tersebut memiliki pengertian yang berbeda. Menurut

Aristoteles, hukum alam ditanggapi sebagai suatu hukum yang selalu berlaku dan

di mana-mana, karena hubungannya dengan aturan alam, sehingga hukum tidak

pernah berubah, lenyap dan berlaku dengan sendirinya.

Hukum alam berbeda dengan hukum positif yang seluruhnya tergantung pada

ketentuan manusia. Misalnya, hukum alam menuntut sumbangan warga negara

bagi kepentingan umum, jenis dan besarnya sumbangan ditentukan oleh hukum

positif, yakni undang-undang negara, yang baru berlaku setelah ditetapkan dan

diresmikan isinya oleh instansi yang berwibawa.

Pada zaman Yunani (Kuno) muncul masa Hellenisme, yaitu puncak keemasan

kebudayaan Yunani yang dipelopori oleh aliran Epikurisme (berasal dari nama

filsuf Epikuros) dan Stoisisme (berasal dari kata Stoa yang dicetuskan oleh Zeno).

Kedua aliran ini menekankan filsafatnya pada bidang etika. Meskipun demikian,

dari Epikurisme muncul konsep penting tentang undang-undang (hukum posistif)

yang mengakomodasi kepentingan individu sebagai perjanjian antar individu,

sehingga pemikiran dari penganut Epikurisme merupakan embrio dari teori

perjanjian masyarakat.

Page 18: Isi Filsafat Hukum

Stoisisme mencoba meletakkan prinsip-prinsip kesederajatan manusia dalam

hukum. Ide dasar aliran ini terletak pada kesatuan yang teratur (kosmos) yang

bersumber dari jiwa dunia (logos), yakni Budi Ilahi yang menjiwai segalanya.

Dengan kata lain, telah timbul keterikatan antara manusia dengan logos, yang

selanjutnya diartikan sebagai rasio. Oleh karena itu, menurut Stoisisme, tujuan

hukum adalah keadilan menurut logos, bukan menurut hukum positif. Sehingga

ketaatan menurut hukum positif baru dapat dilakukan sepanjang hukum positif

sesuai dengan hukum alam.

2. Sejarah Filsafat Hukum Pada Zaman Pertengahan

Perkembangan sejarah filsafat hukum pada zaman pertengahan dimulai sejak

runtuhnya kekuasaan kekaisaran Romawi pada abad ke-5 SM (masa gelap/the

dark ages) yang ditandai dengan kejayaan agama Kristen di Eropa (masa

scholastic),14 dan mulai berkembangnya agama Islam. Sebelum ada zaman

pertengahan terdapat suatu fase yang disebut dengan Masa Gelap, terjadi pada

saat Kekaisaran Romawi runtuh dihancurkan oleh suku-suku Germania, sehingga

tidak ada satupun peninggalan peradaban bangsa Romawi yang tersisa, sehingga

masa ini dikenal sebagai masa gelap.

Tokoh-tokoh filsafat hukum yang hidup di zaman ini, antara lain Augustinus

(354-430) dan Thomas Aquino/Thomas Aquinas (1225-1275). Dalam

perkembangannya, pemikiran para filsuf di zaman pertengahan tidak terlepas dari

pengaruh filsuf pada zaman Yunani, misalnya saja Augustinus mendapat

pengaruh dari Plato tentang hubungan antara ide-ide abadi dengan benda-benda

duniawi. Tentu saja pemikiran Augustinus bersumber dari Tuhan atau Budi Allah

yang diketemukan dalam jiwa manusia.

Sedangkan Thomas Aquinas sebagai seorang rohaniwan Katolik telah

meletakkan perbedaan secara tegas antara hukum-hukum yang berasal dari wahyu

Tuhan (Lex Aeterna), hukum yang dijangkau akal budi manusia (Lex Divina),

hukum yang berdasarkan akal budi manusia (Lex Naturalis), dan hukum positif

14 ? Lihat Lili Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1990, halaman 13.

Page 19: Isi Filsafat Hukum

(Lex Positivis).15 Pembagian hukum atas keempat jenis hukum yang dilakukan

oleh Thomas Aquinas nantinya akan dibahas dalam pelbagai aliran filsafat hukum

pada bagian lain dari tulisan ini.

3. Sejarah Filsafat Hukum Pada Zaman Modern

Pada zaman ini para filsuf telah meletakkan dasar bagi hukum yang mandiri,

yang terlepas sama sekali dari hukum abadi yang berasal dari Tuhan. Tokoh-tokoh

yang berperan sangat penting pada abad pertengahan ini, antara lain: William

Occam (1290-1350), Rene Descartes (1596-1650), Thomas Hobbes (1588-1679),

John Locke (1632-1704), George Berkeley (1685-1753), David Hume (1711-

1776), Francis Bacon (1561-1626), Samuel Pufendorf (1632-1694), Thomasius

(1655-1728), Wolf (1679-1754), Montesquieu (1689-1755), J.J. Rousseau (1712-

1778), dan Immanuel Kant (1724-1804). Zaman modern ini juga disebut

Renaissance. Terlepasnya alam pikiran manusia dari ikatan-ikatan keagamaan

menandai lahirnya zaman ini. Tentu saja zaman Renaissance membawa dampak

perubahan yang tajam dalam segi kehidupan manusia, perkembangan teknologi

yang sangat pesat, berdirinya negara-negara baru, ditemukannya dunia-dunia baru,

lahirnya segala macam ilmu baru, dan sebagainya.

Demikian juga terhadap dunia pemikiran hukum, rasio manusia tidak lagi

dapat dilihat sebagai penjelmaan dari rasio Tuhan, sehingga rasio manusia sama

sekali terlepas dari ketertiban ketuhanan. Rasio manusia ini dipandang sebagai

satu-satunya sumber hukum. Pandangan ini jelas dikumandangkan oleh para

penganut hukum alam yang rasionalistis dan para penganut faham positivisme

hukum.

4. Sejarah Filsafat Hukum Pada Zaman Sekarang

Yang dimaksud dengan zaman sekarang dimulai pada abad ke-19. Filsafat hukum

yang berkembang di zaman modern berbeda dengan filsafat hukum yang

berkembang pada zaman modern. Jika pada zaman modern berkembang

rsionalisme, maka pada zaman sekarang rasionalisme yang berkembang 15 ? Lihat Theo Huijbers, Op. Cit., halaman 39.

Page 20: Isi Filsafat Hukum

dilengkapi dengan empirisme, seperti Hobbes. Namun, aliran ini berkembang

pesat pada abad ke-19, sehingga faktor sejarah juga mendapat perhatian dari para

pemikir hukum pada waktu itu, seperti Hegel (1770-1831), Karl Marx (1818-

1883), juga von Savigny sebagai pelopor mazhab sejarah.

Hegel merupakan tokoh utama dalam idealisme Jerman, ia merupakan penerus

rasionalisme yang dikembangkan oleh Immanuel Kant. Menurut Hegel, rasio

tidak hanya rasio individual melainkan juga rasio Keilahian. Teorinya disebut

Dialektika, yang popularitasnya mengalahkah ahli pikir di zamannya, seperti J.F.

Fichte (1762-1814) dan F.W.J. Schelling (1775-1854).

Menurut teori dialektika Hagel, setiap fase dalam perkembangan dunia

merupakan rentetan dari fase berikutnya, artinya setiap pengertian mengandung

lawan dari pengertian itu sendiri. Perkembangan dari yang ada kepada yang tidak

ada atau sebaliknya mengandung katagori yang ketiga, yaitu akan menjadi.

Tritunggal tersebut terdiri dari these-antithese-synthese, yang pada akhirnya dari

setiap synthese merupakan titik tolak dari tritunggal yang baru.16 Teori dialektika

Hegel ini dapat digambarkan dalam ikhtisar berikut ini:

Ada Tidak Ada Negara diktator Negara Anarkhis

Ide Menjadi Negara demokratis konstitusional

Selain Hegel, masih ada beberapa ahli pikir lain, seperti Karl Marx dan Engels

yang menyatakan bahwa hukum dipandang sebagai pernyataan hidup dalam

masyarakat. Di samping Marx dan Engels, juga von Savigny yang menyatakan

bahwa hukum tidak dibuat tetapi tumbuh bersama-sama dengan perkembangan

masyarakat. Pandangan Savigny ini telah memasukkan faktor sejarah ke dalam

pemikiran hukum yang selanjutnya melahirkan pandangan relatif terhadap hukum.

Sehingga pandangan dari Savigny melahirkan Mazhab Sejarah.17

Dari beberapa fase perkembangan filsafat hukum yang diawali sejak zaman

Yunani (Kuno) dapat digambarkan dalam suatu ikhtisar berikut ini:

16 ? Lili Rasjidi, Op. Cit., halaman 37.17 ? Darji Darmodiharjo & Shidarta, Op. Cit., halaman 82.

Page 21: Isi Filsafat Hukum

Z. Yunani (Kuno) Z. Pertengahan Z. Modern Z. Sekarang

Masa Gelap

Anaximander Augustinus W. Occam Hegel

Herakleitos Thomas Aquino R. Descartes Fichte

Parmenides T. Hobbes Schelling

Socrates J. Locke von Savigny

Plato G. Berkeley

Aristoteles D. Hume

F. Bacon

Wolf

Montesquieu

J.J. Rousseau

Immanuel Kant

5. Latihan Soal

1. Mengapa kaum Sofis (Anaximander, Herakleitos, dan Parmenides)

berpendapat untuk dapat menciptakan keteraturan dan keadilan diperlukan

nomos yang bersumber pada logos (rasio)?

2. Mengapa Socrates tidak percaya terhadap kebenaran subjektif

sebagaimana dikemukakan oleh kaum Sofis?

3. Di mana letak pengaruh pemikiran filsuf zaman Yunani terhadap

pemikiran para filsuf di zaman pertengahan? Bagaimana pula Thomas

Aquinas membagi hukum?

4. Mengapa zaman modern dikatakan sebagai zaman Renaissance? Jelaskan!

5. Mengapa Hegel dikatakan sebagai penerus Immanuel Kant?

6. Jelaskan teori dialektika Hegel?

DAFTAR PUSTAKA

Page 22: Isi Filsafat Hukum

Darmodiharjo, Darji & Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan

Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Penerbit PT. Gramedia Pustaka

Utama, Jakarta, 1995.

Huijbers, Theo, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Penerbit Kanisius,

Yogyakarta, 1993.

Rasjidi, Lili, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti,

Bandung, 1990.

Page 23: Isi Filsafat Hukum

BAB III

ALIRAN-ALIRAN DALAM FILSAFAT HUKUM

Tujuan Instruksional Umum:

1. Mahasiswa dapat memahami berbagai aliran dalam Filsafat Hukum.

2. Mahasiswa dapat membandingkan berbagai aliran dalam Filsafat Hukum.

Tujuan Instruksional Khusus:

1. Mahasiswa dapat menyebutkan berbagai aliran dalam Filsafat Hukum,

yaitu: a. Aliran Hukum Alam.

b. Aliran Hukum Positif.

c. Aliran Utilitarianisme.

d. Aliran Sejarah.

e. Alian Positivisme.

f. Aliran Sociological Jurisprudence.

g. Aliran Legal Realism.

1. Berbagai Aliran Dalam Filsafat Hukum dan Perbedaannya

Dalam filsafat hukum dikenal pembagian pelbagai aliran atau mazhab, yang

dikemukakan oleh beberapa orang sarjana, antara lain F.S.G. Northrop dan Lili

Rasjidi.18

Northrop membagi aliran atau madzhab filsafat hukum ke dalam 5 (lima)

aliran, yaitu:

a. Legal Positivism.

b. Pragmatic Legal Realism.

c. Neo Kantian and Kelsenian Ethical Jurisprudence.

d. Functional Anthropological or Sociological Jurisprudence.

e. Naturalistic Jurisprudence.

18 ? Lili Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti Bandung, 1990, halaman 26-27.

Page 24: Isi Filsafat Hukum

Sedangkan Lili Rasjidi membagi aliran/madzhab filsafat hukum ke dalam 6

(enam) aliran besar, masing-masing:

a. Aliran Hukum Alam:

1) Yang Irrasional.

2) Yang Rasional.

b. Aliran Hukum Positif:

1) Analitis.

2) Murni.

c. Aliran Utilitarianisme.

d. Madzhab Sejarah.

e. Sociological Jurisprudence.

f. Pragmatic Legal Realism.

Selain kedua orang tokoh tersebut ada juga sarjana lain, yaitu Soehardjo

Sastrosoehardjo yang membagi filsafat hukum ke dalam 9 (sembilan) aliran atau

madzhab, yaitu:19

a. Aliran Hukum Kodrat/Hukum Alam.

b. Aliran Idealisme Transendental (Kantianisme).

c. Aliran Neo Kantianisme.

d. Aliran Sejarah.

e. Aliran Positivisme.

f. Aliran Ajaran Hukum Umum.

g. Aliran Sosiologi Hukum.

h. Aliran Realisme Hukum.

i. Aliran Hukum Bebas.

Ketiga sarjana tersebut dalam membagi-bagi aliran dalam filsafat hukum tidak

sama, karena memang tergantung pada penafsiran masing-masing orang dalam

memilah-milahkan aliran dalam filsafat hukum.

19 ? Soehardjo Sastrosoehardjo, Silabus Mata Kuliah Filsafat Hukum, Program Pascasarjana Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro, Semarang, 1997, halaman 1.

Page 25: Isi Filsafat Hukum

Dalam tulisan ini, penulis menggunakan pembagian aliran/madzhab filsafat

hukum menurut pendapat dari Lili Rasjidi, seorang guru besar imu hukum dari

Universitas Padjadjaran, Bandung dengan penjelasan sebagai berikut:

a. Aliran Hukum Alam:

Aliran ini berpendapat bahwa hukum berlaku universal (umum). Menurut

Friedman, aliran ini timbul karena kegagalan manusia dalam mencari keadilan

yang absolut, sehingga hukum alam dipandang sebagai hukum yang berlaku

secara universal dan abadi.20

Gagasan mengenai hukum alam didasarkan pada asumsi bahwa melalui

penalaran, hakikat mahkluk hidup akan dapat diketahui dan pengetahuan tersebut

menjadi dasar bagi tertib sosial serta tertib hukum eksistensi manusia. Hukum

alam dianggap lebih tinggi dari hukum yang sengaja dibentuk oleh manusia.

Aliran hukum alam ini dibagi menjadi 2 (dua), yaitu:

1) Irrasional:

Aliran ini berpendapat bahwa hukum yang berlaku universal dan abadi

bersumber dari Tuhan secara langsung. Pendukung aliran ini antara lain:

Thomas Aquinas (Aquino), John Salisbury, Daante, Piere Dubois, Marsilius

Padua, dan John Wyclife.

Thomas Aquinas membagi hukum ke dalam 4 golongan, yaitu:

a) Lex Aeterna, merupakan rasio Tuhan sendiri yang mengatur segala hal

dan merupakan sumber dari segala hukum. Rasio ini tidak dapat ditangkap

oleh pancaindera manusia.

b) Lex Divina, bagia dari rasio Tuhan yang dapat ditangkap oleh manusia

berdasarkan waktu yang diterimanya.

c) Lex Naaturalis, inilah yang dikenal sebagai hukum alam dan merupakan

penjelmaan dari rasio manusia.

d) Lex Posistivis, hukum yang berlaku merupakan pelaksanaan hukum alam

oleh manusia berhubung dengan syarat khusus yang diperlukan oleh

20 ? Darji Darmodiharjo & Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 1995, halaman 102.

Page 26: Isi Filsafat Hukum

keadaan dunia. Hukum ini diwujudkan ke dalam kitab-kitab suci dan

hukum positif buatan manusia.

Penulis lain, William Occam dari Inggris mengemukakn adanya hirarkis

hukum, dengan penjelasan sebagai berikut:

a) Hukum Universal, yaitu hukum yang mengatur tingkah laku manusia

yang bersumber dari rasio alam.

b) Apa yang disebut sebagai hukum yang mengikat masyarakat berasal

dari alam.

c) Hukum yang juga bersumber dari prinsip-prinsip alam tetapi dapat

diubah oleh penguasa.

Occam juga berpendapat bahwa hukum identik dengan kehendak mutlak

Tuhan Sementara itu Fransisco Suarez dari Spanyol berpendapat demikian,

manusia yang bersusila dalam pergaulan hidupnya diatur oleh suatu peraturan

umum yang harus memuat unsusr-unsur kemauan dan akal. Tuhan adalah

pencipta hukum alam yang berlaku di semua tempat dan waktu. Berdasarkan

akalnya manusia dapat menerima hukum alam tersebut, sehingga manusia

dapat membedakan antara yang adil dan tidak adil, buruk atau jahat dan baik

atau jujur. Hukum alam yang dapat diterima oleh manusia adalah sebagian

saja, sedang selebihnya adalah hasil dari akal (rasio) manusia.

1) Rasional:

Sebaliknya, aliran ini mengatakan bahwa sumber dari hukum yang universal

dan abadi adalah rasio manusia. Pandangan ini muncul setelah zaman

Renaissance (pada saat rasio manusia dipandang terlepas dari tertib

ketuhanan/lepas dari rasio Tuhan) yang berpendapat bahwa hukum alam

muncul dari pikiran (rasio) manusia tentang apa yang baik dan buruk

penilaiannya diserahkan kepada kesusilaan (moral) alam. Tokoh-tokohnya,

antara lain: Hugo de Groot (Grotius), Christian Thomasius, Immanuel Kant,

dan Samuel Pufendorf.

Pendasar hukum alam yang rasional adalah Hugo de Groot (Grotius), ia

menekankan adanya peranan rasio manusia dalam garis depan, sehingga rasio

Page 27: Isi Filsafat Hukum

manusia sama sekali terlepas dari Tuhan. Oleh karena itu rasio manusialah

sebagai satu-satunya sumber hukum.

Tokoh penting lainnya dalam aliran ini ialah Immanuel Kant. Filsafat dari

Kant dikenal sebagai filsafat kritis, lawan dari filsafat dogmatis. Ajaran Kant

dimuat dalam tiga buah karya besar, yaitu: Kritik Akal Budi Manusia (kritik

der reinen Vernunft yang terkait dengan persepsi), Kritik Akal Budi Praktis

(kritik der praktischen Vernunft yang terkait dengan moralitas), Kritik Daya

Adirasa (kritik der Urteilskraft yang terkait dengan estetika dan harmoni).

Ajaran Kant tersebut ada korelasinya dengan tiga macam aspek jiwa manusia,

yaitu cipta, rasa, dan karsa (thinking, volition, and feeling).21

Metode kritis tidak skeptis, tidak dogmatis (trancendental). Hakekat manusia

(homo noumenon) tidak terletak pada akalnya, beserta corak berfikir yang

bersifat teoritis keilmuan alamiah (natuurweten schappelijke denkwijze),

tetapi pada kebebasan jiwa susila manusia yang mampu secara mandiri

menciptakan hukum kesusilaan bagi dirinya sendiri dan juga orang lain. Yang

penting bukan manusia ideal berilmu atau ilmuwan, tetapi justru pada

manusia ideala berkepribadian humanistis.

Salah satu karya Kant yang berjudul Metaphysische Anfangsgruende der

Rechtslehre (Dasar Permulaan Metafisika Ajaran Hukum merupakan bagian

dari karyanya yang berjudul Metaphysik der Sitten) pokok pikirannya ialah

bahwa manusia menurut darma kesusilaannya mempunyai hak untuk

berjuang bagi kebebasan lahiriahnya untuk menghadirkan dan melaksanakan

kesusilaan. Dan hukum berfungsi untuk menciptakan situasi kondisi guna

mendukung perjuangan tersebut. Hakekat hukum bagi Kant adalah bahwa

hukum itu merupakan keseluruhan kondisi-kondisi di mana kehendak sendiri

dari seseorang dapat digabungkan dengan kehendak orang lain di bawah

hukum kebebasan umum yang meliputi kesemuanya.

Katagori imperatif Kant mewajibkan semua anggota masyarakat tetap

mentaati hukum positif negara sekalipun di dalam hukum terebut terdapat

21 ? Soehardjo Sastrosoehardjo, Op. Cit., halaman 12.

Page 28: Isi Filsafat Hukum

unsur-unsur yang bertentangan dengan dasar-dasar kemanusiaan. Jadi, di sini

sudah terdapat larangan mutlak bagi perilaku yang tergolong melawan

penguasa negara, sehingga dengan katagori imperatif ini ajaran dari

Immanuel Kant juga dapat digolongkan ke dalam aliran positivisme.

Pendapat Kant ini diikuti oleh Fichte yang mengatakan bahwa hukum alam

itu bersumber dari rasio manusia.

Penulis lain yang tidak kalah pentingnya ialah Hegel dari Jerman. Yang

dijadikan motto oleh Hegel ialah: Apa yang nyata menurut nalar adalah nyata,

dan apa yang nyata adalah menurut nalar (Was vernunftig ist, das ist wirklich

ist, das ist vernunftig. What is reasonable is real, and what is real is

reasonable). Tidak ada antimoni antara nalar/akal dengan kenyataan atau

realitas. Bagi Hegel, seluruh kenyataan kodrat alam dan kejiwaan merupakan

proses perkembangan sejarah secara dialektis dari roh/cita/spirit mutlak yang

senantiasa maju dan berkembang. Jiwa mutlak mengandung dan mencakup

seluruh tahap-tahap perkembangan sebelumnya jadi merupakan permulaan

dan kelahiran segala sesuatu. Pertumbuhan dan perkembangan dialektis

melalui tesa, antitesa, san sintesa yang berlangsung secara berulang-ulang dan

terus-menerus. Filsafat hukum dalam bentuk maupun isinya, penampilan dan

esensinya juga dikuasai oleh hukum dialektika. Negara merupakan

perwujudan jiwa mutlak, demikan juga dengan hukum.

b. Aliran Hukum Positif

Sebelum aliran ini lahir, telah berkembang suatu pemikiran dalam ilmu hukum

yang disebut dengan Legisme yang memandang tidak ada hukum di luar undang-

undang, dalam hal ini satu-satunya sumber hukum adalah undang-undang.

1) Analitis

Pemikiran ini berkembang di Inggris namun sedikit ada perbedaan dari tempat

asal kelahiran Legisme di Jerman. Di Inggris, berkembang bentuk yang agak lain,

yang dikenal dengan ajaran Positivisme Hukum dari John Austin, yaitu Analytical

Jurisprudence. Austin membagi hukum atas 2 hal, yaitu:

a) Hukum yang diciptakan oleh Tuhan untuk manusia.

Page 29: Isi Filsafat Hukum

b) Hukum yang disusun dan dibuat oleh manusia, yang terdiri dari:

- hukum dalam arti yang sebenarnya. Jenis ini disebut sebagai hukum positif

yang terdiri dari hukum yang dibuat penguasa, seperti: undang-undang,

peraturan pemerintah, dan sebagainya, hukum yang dibuat atau disusun

rakyat secara individuil yang dipergunakan untuk melaksanakan hak-

haknya, contoh hak wali terhadap perwaliannya.

- Hukum dalam arti yang tidak sebenarnya, dalam arti hukum yang tidak

memenuhi persyaratan sebagai hukum, contoh: ketentuan-ketentuan dalam

organisasi atau perkumpulan-perkumpulan.

Menurut Austin, dalam hukum yang nyata pada point pertama, di dalamnya

terkandung perintah, sanksi, kewajiban, dan kedaulatan. Sehingga ketentuan yang

tidak memenuhi keempat unsur tersebut tidak dapat dikatakan sebagai hukum.

2) Murni

Ajaran hukum murni dikatagorikan ke dalam aliran positivisme, karena

pandangan-pandangannya tidak jauh berbeda dengan ajaran Auistin. Hans Kelsen

seorang Neo Kantian, namun pemikirannya sedikit berbeda apabila dibandingkan

dengan Rudolf Stammler. Perbedaannya terletak pada penggunaan hukum alam.

Stanmmler masih menerima dan menganut berlakunya suatu hukum alam

walaupun ajaran hukum alamnya dibatasi oleh ruang dan waktu. Sedang Hans

Kelsen secara tegas mengatakan tidak menganut berlakunya suatu hukum alam,

walaupun Kelsen mengemukakan adanya asas-asas hukum umum sebagaimana

tercermin dalam Grundnorm/Ursprungnormnya.

Ajaran Kelsen juga dapat dikatakan mewakili aliran positivisme kritis (aliran

Wina). Ajaran tersebut dikenal dengan nama Reine Rechtslehre atau ajaran

hukum murni. Menurut ajaran tersebut, hukum harus dibersihkan dari dan/atau

tidak boleh dicampuri oleh politik, etika, sosiologi, sejarah, dan sebagainya. Ilmu

(hukum) adalah susunan formal tata urutan/hirarki norma-norma. Idealisme

hukum ditolak sama sekali, karena hal-hal ini oleh Kelsen dianggap tidak ilmiah.

Adapun pokok-pokok ajaran Kelsen adalah sebagai berikut:

Page 30: Isi Filsafat Hukum

a) Tujuan teori ilmu hukum sama halnya dengan ilmu-ulmu yang lain adalah

meringkas dan merumuskan bahan-bahan yang serba kacau dan

keserbanekaragaman menjadi sesuatu yang serasi.

b) Teori filsaft hukum adalah ilmu, bukan masalah apa yang dikehendaki,

masalah cipta, bukan karsa dan rasa.

c) Hukum adalah ilmu normatif, bukan ilmu ke-alaman (natuurwetenschap)

yang dikuasai oleh hukum kausalitas.

d) Teori/filsafat hukum adalah teori yang tidak bersangkut paut dengan

kegunaaan atau efektivitas norma-norma hukum.

e) Teori hukum adalah formal, teori tentang ara atau jalannya mengatur

perubahan-perubahan dalam hukum secara khusus.

f) Hubungan kedudukan antara tori hukum dengan sistem hukum positif

tertentu adalah hubungan antara hukum yang serba mungkin dan hukum

yang senyatanya.

Fungsi teori hukum ilah menjelaskan hubungan antara norma-norma dasar dan

norma-norma lebih rendah dari hukum, tetapi tidak menentukan apakah norma

dasar itu baik atau tidak. Yang disebut belakangan adalah tugas ilmum politik,

etiika atau agama.

Teori konkretisasi hukum menganggap suatu sistem hukum sebagai atau

susunan yang piramidal. Stufentheorie diciptakan pertama kali oleh Adolf Merkl

(1836-1896), seorang murid dari Rudolf von Jhering,22 yang kemudian diambil

alih oleh Hans Kelsen. Kekuatan berlakunya hukum tertentu tergantung pada

norma hukum yang lebih tinggi, demikian seterusnya hingga sampai pada suatu

Grundnorm, yang berfungsi sebagai dasar terakhir/tertinggi bagi berlakunya

keseluruhan hukum positif yang bersangkutan. Fungsi hukum tersebut bukan

dalam arti hukum kodrat, tetapi sebagai suatu Transcendental Logische

Voraussetzung, yaitu dalil yang secara transendental menentukan bahwa norma

dasar terakhir/tertinggi secara logis harus ada lebih dahulu, yang sekaligus

berfungsi sebagai penjelasan atau pembenaran ilmiah bahwa keseluruhan norma-

22 ? Bandingkan dengan Lili Rasjidi, Op. Cit., halaman 43.

Page 31: Isi Filsafat Hukum

norma c.q. peraturan-peraturan dalam hukum positif yang bersangkutan itu pada

hakekatnya merupakan satu kesatuan yang serasi.

Penulis lain bernama Rudolf Stammler (1856-1938) merupakan tokoh

kebangkitan kembali filsafat c.q. hukum kodrat gaya baru, yaitu hukum kodrat

yang senantiasa berubah yang mengajarkan bahwa filsafat hukum adalah

ilmu/ajaran tentang hukum yang adil (die lehre vom richtigen recht). Apabila

ilmu hukum meneliti dan mengkaji, secara positif, maka tugas dan fungsi filsafat

hukum ialah dengan abstraksi bahan-bahan variabel tersebut, meneliti secara

transendental kritis (metode yang berasal dari Kant) bentuk-bentuk kesadaran

manusia hingga menerobos sampai pada landasan/dasar transendental logis

penghayatan hukum yang berujud hakekat pengertian hukum.

Hakekat pengertian hukum atau pengertian hukum yang transendental ini

mempunyai unsur-unsur: kehendak/karsa, mengikat, berkuasa atas diri dan tidak

bisa diganggu (wollen, verbinden, selbstherrlichkeit unverletzbarkeit). Dari

hakekat ini lebih lanjut ditarik 8 (delapan) macam kategori hukum, yaitu: subjek

hukum, objek hukum, dasar hukum, hubungan hukum, kekuasaan hukum,

penundukan hukum, menurut hukum (rechtmatigeheid), dan melawan hukum.

Pengertian dasar atau kategori hukum itu berupa metode pikiran formil yang

adanya tidak ditentukan oleh atau digantungkan pada isi atau aturan hukum. Asas-

asas hukum umum yang menentukan kebaikan isi atuan hukum, tidak termasuk

pengertian hukum tetapi tergolong pada cita hukum. Hukum yang adil adalah

hukum yang memenuhi syarat atau tertentu “social-ideal”, yakni ujud dari

manusia dalam kehidupan masyarakat yang memiliki kehendak bebas

(Gemeinschaft frei wollender Menschen). Cita hukum yang sosial ini berfungsi

regulatif terhadap sistem hukum positif, tidak semata-mata pada bentuk

hukumnya.

c. Aliran Utilitarianisme

Aliran ini dipelopori oleh Jeremy Bentham (1748-1832), John Stuart Mill

(1806-1873), dan Rudolf von Jhering (1818-1889). Bentham berpendapat bahwa

alam memberikan kebahagiaan dan kesusahan. Manusia selalu berusaha

Page 32: Isi Filsafat Hukum

memperbanyak kebahagiaan dan mengurangi kesusahannya. Kebaikan adalah

kebahagiaan dan kejahatan adalah kesusahan. Tugas hukum adalah memelihara

kebaikan dan mencegah kejahatan. Dengan kata lain, untuk memelihara kegunaan.

Keberadaan hukum diperlukan untuk menjaga agar tidak terjadi bentrokan

kepentingan individu dalam mengejar kebahagiaan yang sebesar-besarnya, untuk

itu perlu ada batasan yang diwujudkan dalam hukum, jikas tidak demikian, maka

akan terjadi homo homini lupus (manusia menjadi serigala bagi manusia yang

lain). Oleh karena itu, ajaran Bentham dikenal sebagai utilitarianisme yang

individual.

Penulis lain yang tidak kalah pentingnya ialah John Stuart Mill yang lebih

banyak dipengaruhi oleh pertimbangan psikologis. Ia menyatakan bahwa tujuan

manusia ialah kebahagiaan. Manusia berusaha memperoleh kebahagiaan melalui

hal-hal yang membangkitkan nafsunya. Mill juga menolak pandangan Kant yang

mengajarkan bahwa individu harus bersimpati pada kepentingan umum.

Kemudian Mill lalu menganalisis hubungan antara kegunaan dan keadilan. Pada

hakekatnya, perasaan individu akan keadilan dapat membuat individu itu

menyesal dan ingin membalas dendam kepada tiap yang tidak menyenangkannya.

Pendapat lain dilontarkan Rudolf von Jhering yang menggabungkan antara

utilitarianisme yang individual maupun yang sosial, karena Jhering dikenal

sebagai pandangan utilitarianisme yang bersifat sosial, jadi merupakan gabungan

antara teori yang dikemukakan oleh Bentham, Mill, dan positivisme hukum dari

John Austin. Bagi Jhering, tujuan hukum adalah untuk melindungi kepentingan-

kepentingan. Dalam mendefinisikan kepentingan, ia mengikuti Bentham, dengan

melukiskannya sebagai pengejaran kesenangan dan menghindari penderitaan

tetapi kepentingan individu dijadikan bagian dari tujuan sosial dengan

menghubungkan tujuan pribadi seseorang dengan kepentingan-kepentingan orang

lain.

d. Aliran Sejarah

Tokoh-tokohnya antara lain Friedrich Carl von Savigny (1778-1861) dan

Puchta (1789-1846). Sebagian dari pokok ajarannya ialah bahwa hukum itu tidak

Page 33: Isi Filsafat Hukum

dibuat, tetapi pada hakekatnya lahir dan tumbuh dari dan dengan rakyat,

berkembang bersama dengan rakyat, namun ia akan mati, manakala rakyat

kehilangan kepribadiannya (das recht wirdnicht gemacht, es wachst mit dem volke

vort, bilden sich aus mit diesem, und strirbt endlich ab sowie das volk seineen

eigentuum lichkeit verliert). Sumber hukum intinya adalah hukum kebiasaan

adalah volksgeist jiwa bangsa atau jiwa rakyat.

Paton memberikan sejumlah catatan terhadap pemikiran Savigny sebagai

berikut:

1) Jangan sampai kepentingan dari golongan masyarakat tertentu dinyatakan

sebagai volksgeist dari masyarakat secara keseluruhannya.

2) Tidak selamanya peraturan perundang-undangan timbul begitu saja, karena

dalam kenyataannya banyak ketentuan mengenai serikat kerja di Inggris

yang tidak akan terbentuk tanpa perjuangan keras.

3) Jangan sampai peranan hakim dan ahli hukum lainnya tidak mendapat

perhatian, karena walaupun volksgeist itu dapat menjadi bahan kasarnya,

tetap saja perlu ada yang menyusunnya kembali untuk diproses menjadi

bentuk hukum.

4) Dalam banyak kasus peniruan memainkan peranan yang lebih besar

daripada yang diakui oleh penganut Mazhab Sejarah. Banyak bangsa yang

dengan sadar mengambil alih Hukum Romawi dan mendapat pengaruh dari

Hukum Perancis.

Tulisan von Savigny sebenarnya merupakan reaksi langsung terhadap Thibaut , di

samping itu juga hendak memberi tempat yang terhormat bagi hukum rakyat

Jerman yang asli di negara Jerman sendiri. Von Savigny berkeinginan agar hukum

Jerman itu berkembang menjadi hukum nasional Jerman. Tantangan von Savigny

terhadap kodifikasi Perancis itu telah menyebabkan hampir satu abad lamanya

Jerman tidak memiliki kodifikasi hukum perdata. Pengaruh pandangan von

Savigny juga terasa sampai jauh ke luar batas negeri Jerman.

Sedang Puchta, termasuk penganut aliran sejarah dan sebagai murid von

Savigny berpendapat bahwa hukum dapat berbentuk:

1) Langsung, berupa adat-istiadat.

Page 34: Isi Filsafat Hukum

2) Melalui undang-undang.

3) Melalui ilmu hukum dalam bentuk karya para ahli hukum.

Namun ketika pembentukan hukum tersebut masih berhubungan erat dengan jiwa

bangsa (volksgeist) yang bersangkutan.

Lebih lanjut, Puchta membedakan pengertian “bangsa” ke dalam dua jenis,

yaitu bangsa dalam pengertian etnis yang disebut “bangsa alam” dan bangsa

dalam arti nasional sebagai kesatuan organis yang membentuk satu negara.

Adapun yang memiliki hukum yang sah hanyalah bangsa dalam pengertian

nasional (negara), sedangkan “bangsa alam” memiliki hukum sebagai keyakinan

belaka.

Menurut Puchta, keyakinan hukum yang hidup dalam jiwa bangsa harus

disahkan melalui kehendak umum masyarakat yang terorganisasi dalam negara.

Negera mengesahkan hukum itu dengan membentuk undang-undang, Puchta

mengutamakan pembentukan hukum dalam negara sedemikian rupa, sehingga

akhirnya tidak ada tempat lagi bagi sumber-sumber hukum lainnya, yakni praktik

hukum dalam adat-istiadat bangsa dan pengolahan ilmiah hukum oleh ahli-ahli

hukum. Adat-istadat bangsa hanya berlaku sebagai hukum sesudah disahkan oleh

negara. Sama halnya dengan pengolahan hukum oleh kaum Yuris, pikiran-pikiran

mereka tentang hukum memerlukan pengesahan negara supaya berlaku sebagai

hukum. Di lain pihak, yang berkuasa dalam negara tidak membutuhkan dukungan

apapun. Ia berhak membentuk undang-undang tanpa bantuan kaum yuris, tanpa

menghiraukan apa yang hidup dalam jiwa orang dan dipraktikkan sebagai adat-

istiadat.

Dengan adanya pemikiran dan pandangan puchta yang demikian ini, menurut

Theo Huijbers dikatakan tidak jauh berbeda dengan Teori Absolutisme negara dan

Positivisme Yuridis.23 Buku Puchta yang terkenal berjudul Gewohnheitsrecht.

e. Aliran Sociological Jurisprudence

23 ? Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1993, halaman 120-121.

Page 35: Isi Filsafat Hukum

Pendasar aliran ini, antara lain: Roscoe Pound, Eugen Ehrlich, Benjamin

Cardozo, Kontorowics, Gurvitch dan lain-lain. Aliran ini berkembang di Amerika,

pada intinya aliran ini hendak mengatakan bahwa hukum yang baik adalah hukum

yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat.24 Kata “sesuai”

diartikan sebagai hukum yang mencerminkan nilai-nilai yang hidup di dalam

masyarakat.

Aliran Sociological Jurisprudence berbeda dengan Sosiologi Hukum. Dengan

rasio demikian, Sosiologi Hukum merupakan cabang sosiologi yang mempelajari

hukum sebagai gejala sosial, sedang Sociological Jurisprudence merupakan suatu

mazhab dalam filsafat hukum yang mempelajari pengaruh timbal balik antara

hukum dan masyarakat dan sebaliknya. Sosiologi hukum sebagai cabang sosiologi

yang mempelajari pengaruh masyarakat kepada hukum dan dan sejauh mana

gejala-gejala yang ada dalam masyarakat dapat mempengaruhi hukum di samping

juga diselidiki juga pengaruh sebaliknya, yaitu pengaruh hukum terhadap

masyarakat. Dari 2 (dua) hal tersebut di atas (sociological jurisprudence dan

sosiologi hukum) dapat dibedakan cara pendekatannya. Sociological

jurisprudence, cara pendekatannya bertolak dari hukum kepada masyarakat,

sedang sosiologi hukum cara pendekatannya bertolak dari masyarakat kepada

hukum.

Roscoe Pound menganggap bahwa hukum sebagai alat rekayasa sosial (Law

as a tool of social engineering and social controle) yang bertujuan menciptakan

harmoni dan keserasian agar secara optimal dapat memenuhi kebutuhan dan

kepentingan manusia dalam masyarakat. Keadilan adalah lambang usaha

penyerasian yang harmonis dan tidak memihak dalam mengupayakan kepentingan

anggota masyarakat yang bersangkutan. Untuk kepentingan yang ideal itu

diperlukan kekuatan paksa yang dilakukan oleh penguasa negara.

Pendapat/pandangan dari Roscoe Pound ini banyak persamaannya dengan

aliran Interessen Jurisprudence. Primat logika dalam hukum digantikan dengan

primat “pengkajian dan penilaian terhadap kehidupan manusia (Lebens forschung

und Lebens bewertung), atau secara konkritnya lebih memikirkan keseimbangan

24 ? Lili Rasjidi, Op. Cit., halaman 47.

Page 36: Isi Filsafat Hukum

kepentingan-kepentingan (balancing of interest, private as well as public

interest).

Roscoe Pound juga berpendapat bahwa living law merupakan synthese dari

these positivisme hukum dan antithese mazhab sejarah. Maksudnya, kedua liran

tersebut ada kebenarannya. Hanya hukum yang sanggup menghadapi ujian akal

agar dapat hidup terus. Yang menjadi unsur-unsur kekal dalam hukum itu

hanyalah pernyataan-pernyataan akal yang terdiri dari atas pengalaman dan diuji

oleh pengalaman. Pengalaman dikembangkan oleh akal dan akal diuji oleh

pengalaman . Tidak ada sesuatu yang dapat bertahan sendiri di dalam sistem

hukum. Hukum adalah pengalaman yang diatur dan dikembangkan oleh akal,

yang diumumkan dengan wibawa oleh badan-badan yang membuat undang-

undang atau mensahkan undang-undang dalam masyarakat yang berorganisasi

politik dibantu oleh kekuasaan masyarakat itu.

f. Pragmatic Legal Realism

Salah seorang sarjana bernama Friedman membahas aliran ini dalam

kaitannya sebagai salah satu subaliran dari positivisme hukum. Sebab, pangkal

pikir dari aliran ini bersumber pada pentingnya rasio atau akal sebagai sumber

hukum. Pendasar mazhab/aliran ini ialah John Chipman, Gray, Oliver Wendell

Holmes, Karl Llewellyn, Jerome Frank, William James dan sebagainya. Friedman

juga berpendapat bahwa Roscoe Pound juga dapat digolongkan ke dalam

Pragmatic Legal Realism di samping masuk ke dalam Sociological

Jurisprudence. Hal ini disebabkan oleh pendapat atau pandangan Roscoe Pound

yang mengatakan bahwa hukum itu adalah a tool of social engineering. Sementara

itu, Llewellyn berpendapat bahwa Pragmatic Legal Realism bukan aliran tapi

suatu gerakan yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

1) Realisme bukanlah suatu aliran/mazhab. Realisme adalah suatu gerakan

dalam cara berpikir dan cara bekerja tentang hukum.

2) Realisme adalah suatu konsep mengenai hukum yang berubah-ubah dan

sebagai alat untuk mencapai tujuan sosial; maka tiap bagiannya harus

Page 37: Isi Filsafat Hukum

diselidiki mengenai tujuan maupun hasilnya. Hal ini berarti bahwa keadaan

sosial lebih cepat mengalami perubahan daripada hukum.

3) Realisme mendasarkan ajarannya atas pemisahan sementara antara sollen

dan sein untuk keperluan suatu penyelidikan agar penyelidikan itu

mempunyai tujuan, maka hendaknya diperhatikan adanya nilai-nilai dan

observasi terhadap nilai-nilai itu haruslah seumum mungkin dan tidak

boleh dipenuhi oleh kehendak observer maupun tujuan-tujuan kesusilaan.

4) Realisme telah mendasarkan pada konsep-konsep hukum tradisional oleh

karena realisme bermaksud melukiskan apa yang sebenarnya oleh

pengadilan-pengadilan dan orang-orangnya. Untuk itu dirumuskan definisi-

definisi dalam peraturan-peraturan yang merupakan ramalan umum tentang

apa yang akan dikerjakan oelh pengadilan-pengadilan. Sesuai dengan

keyakinan ini, maka realisme menciptakan penggolongan-penggolongan

perkara dan keadaan-keadaan hukum yang lebih kecil jumlahnya daripada

jumlah penggolongan-penggolongan yang ada pada masa lampau.

5) Gerakan realisme menekankan pada perkembangan setiap bagian hukum

haruslah diperhatikan dengan seksama mengenai akibatnya.

Pendekatan yang harus dilakukan oleh gerakan realisme untuk mewujudkan

program tersebut di atas telah digariskan sebagai berikut:

1) Keterampilan diperlukan bagi seseorang dalam memberikan

argumentasinya yang logis atas putusan-putusan yang telah diambilnya

bukan hanya sekedar argumen-argumen yang diajukan oleh ahli hukum

yang nilainya tidak berbobot.

2) Mengadakan perbedaan antara peraturan-peraturan dengan memperhatikan

relativitas makna peraturan-peraturan tersebut.

3) Menggantikan katagori-katagori hukum yang bersifat umum dengan

hubungan-hubungan khsusus dari keadaan-keadaan yang nyata.

4) Cara pendekatan seperti tersebut di atas mencakup juga penyelidikan

tentang faktor-faktor/unsur-unsur yang bersifat perseornagan maupun

umum dengan penelitian atas kepribadian sang hakim dengan disertai data-

Page 38: Isi Filsafat Hukum

data statistik tentang ramalan-ramalan apa yang akan diperbuat oloeh

pengadilan dan lain-lain.25

Mengenai aliran Pragmatic Legal Realism yang berkembang pada waktu itu

dapat dibedakan menjadi 2 (dua) macam, yaitu:

1) Aliran Realisme Hukum Amerika

Tokoh-tokohnya adalah Oliver Wendell Holmes dan Jerome Frank. “The path

of Law” berasal dari Holmes, sedang “Law in the modern mind” berasal dari

Jerome Frank. Sifat normatif hukum agak dikesampingkan. Hukum pada

hakekatnya adalah berupa pola perilaku/tindakan (pattern of behaviour) nyata dari

hakim dan petugas/pejabat hukum (law officials) lainnya. Pendorong utama

perilaku Hakim atau pejabat-pejabat hukum segarusnya berpijak pada moral

positif dan kemaslahatan masyarakat (social advanrage). Bagi Frank, hukum

dapat dibagi menjadi dua, yaitu hukum yang senyatanya dan hukum yang

mungkin (actual law and probable law). Peraturan-peraturan hukum dan asas-asas

hukum tidak lain adalah semacam stimuli yang mempengaruhi perilaku hakim

yang dapat dilihat dalam putusan-putusan hakim, di samping faktor-faktor lain,

yakni, prasangka politis, ekonomis, dan moril, simpati maupun antipati pribadi

(Frank). Terhadap sikap yang agak ekstrim dari kedua tokoh tersebut, yakni

Roscoe Pound dan benjamin Cardozo dalam bukunya yang berjudul “The nature

of the juridical process” mengambil pendirian yang lebih moderat, yakni

wawasan sosiologis.

2) Aliran Realisme Skandinavia

Di Skandinavia, para sarjana hukum modern mengembangkan cara berfikir

tentang hukum yang memiliki ciri khas ala Skandinavia yang tidak ada

persamaannya di negara-negara lain. Walaupun istilah realisme sering

dipergunakan untuk gerakan cara berfikir di Skandinavia akan tetapi persamaan

nama dengan gerakan cara berfikir di Amerika Serikat, hanyalah sebatas

persamaan nama saja. Realisme Skandinavia adalah dasar-dasar filsafat yang

memberikan kritik-kritik terhadap dasar-dasar metafisika hukum (Skandinavian

25 ? Soetiksno, Filsafat Hukum, Bagian I, Penerbit PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 1997, halaman 77.

Page 39: Isi Filsafat Hukum

realism is essentialy a philosophical critique of the metaphysical foundations

law). Gerakan ini menolak cara pendekatan yang dipergunakan oleh kaum realis

Amerika Serikat yang mempunyai nilai rendah. Dalam caranya memberi kritik

dan pengupasan prinsip-prinsip pertama yang seringkali sangat abstrak, grakan

realis mempunyai ciri-ciri yang mirip sekali dengan ciri-ciri Filsafat Hukum

Eropa. Adanya persamaan cara pendekatan antara penganut-penganut gerakan

relaisme Skandinavia diusebabkan oleh pengaruh dari Axel Hagestrom terhadap

tokoh-tokoh gerakan realisme Skandinavia pada waktu itu, yaitu Oliverscrona,

Lundstedt, sekalipun pengaruh Axel tidak sebesar Ross.

Para ahli hukum tersebut di atas menolak adanya pengertian-pengertian

mutlak tentang keadilan yang menguasai dan yang memberi pedoman pada

sistem-sistem hukum positif. Mengenai nilai-nilai hukum gerakan realisme

Skandinaviamempunyai pendirian yang sama dengan filsafat relativisme; mereka

menolak pendirian yang mengatakan bahwa ketentuan-ketentuan tentang hukum

dapat disalurkan secara memaksa dari prinsip-prinsip tentang keadilan yang tidak

adapat diubah.

Menureut Friedman,26 keberadaan realisme Skandinavia telah memberikan

sumbangan yang amat besar kepada teori hukum, yaitu tentang penggunaan

pengertian kehendak kolektif, satu kehendak umum atau kehendak negara (a

collective or general will or of the state) oleh ilmu hukum analitis. Menurut

Hargerstrom dan kawan-kawan, pengertian-pengertian tersebut adalah semacam

satu pengertian gaib yang dipergunakan mereka untuk memberi dasar hukum pada

kemahakuasaan orang-orang yang memegang perintah negara; dan cara mereka

membuktikan legitimitas (dasar hukum) kekuasaan negara tersebut menurut

Hargerstrom dan kawan-kawan adalah pada dasarnya sama dengan cara-cara yang

dipergunakan filsafat hukum kodrat.

2. Latihan Soal

26

? Ibid., halaman 86.

Page 40: Isi Filsafat Hukum

a. Mengapa hukum alam dianggap lebih tinggi dari hukum yang

sengaja dibentuk oleh manusia? Jelaskan!

b. Apa yang melatarbelakangi Thomas Aquinas membagi hukum

menjadi 4, serta sebutkan dan jelaskan ke-4 hukum menurut

Thomas Aquinas?

c. Mengapa dalam aliran hukum positif timbul aliran analitis dan

murni dan bagaimana pula perbedaan yang menonjol antara dua

liran tersebut? Jelaskan!

d. Siapakah pendasar aliran Utilitarianisme dan bagaimana pula

pendapat atau pandangan para ahli hukum penganut aliran

Utilitarianisme terhadap hukum? Sebut dan jelaskan!

e. Adakah perbedaan pendapat antara Karl von Savigny dan Puchta?

Jelaskan jawaban Sdr.!

f. Ada berapa pandangan realisme hukum? Di manakah pertama kali

realisme hukum itu timbul? Jelaskan perbedaannya masing-masing!

Page 41: Isi Filsafat Hukum

DAFTAR PUSTAKA

Darmodiharjo, Darji & Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan

Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Penerbit PT. Gramedia

Pustaka Utama. Jakarta. 1995.

Huijbers, Theo Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Penerbit Kanisius,

Yogyakarta, 1993.

Rasjidi, Lili, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti

Bandung, 1990, halaman.

Soehardjo Sastrosoehardjo, Silabus Mata Kuliah Filsafat Hukum, Program

Pascasarjana Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro, Semarang, 1997.

Soetiksno, Filsafat Hukum, Bagian I, Penerbit PT. Pradnya Paramita, Jakarta,

1997.

Page 42: Isi Filsafat Hukum

BAB IV

PENGERTIAN DAN TUJUAN HUKUM SECARA FILOSOFIS

Tujuan Instruksional Umum:

Setelah mempelajari pokok bahasan ini mahasiswa dapat:

1. Memahami berbagai pengertian hukum secara

filosofis.

2. Memahami berbagai tujuan hukum secara filosofis.

Tujuan Instruksional Khusus:

1. Menyebutkan dan

menjelaskan konsepsi hukum menurut Roscoe Pound.

2. Menyebutkan dan

menjelaskan tujuan hukum secara tradisional.

3. Menyebutkan dan

menjelaskan tujuan hukum secara modern.

1. Konsepsi Hukum Menurut Roscoe Pound

Roscoe Pound sebagai salah seorang pendasar aliran Sociological

Jurisprudence yang tumbuh dan berkembang di Amerika Serikat, memiliki 12

(dua belas) konsepsi tentang hukum. Kedua belas konsepsi hukum yang

dikemukakan oleh Pound tersebut dipergunakan untuk menjelaskan gagasan

tentang hak-hak asasi yang sebenarnya berguna untuk menerangkan untuk apa

sebenarnya hukum itu, dan menunjukkan bahwa seberapa mungkin harruslah

sedikit hukum itu, karena hukum merupakan satu kekangan terhadap kebebasan

manusia, dan kekangan itu walaupun hanya sedikit menuntut pembenaran yang

kuat. Hal inilah yang melatarbelakangi adanya 12 konsepsi Pound tentang

hukum, karena gagasan untuk apa hukum itu terkandung sebagian besarnya di

dalam gagasan tentang apa hukum itu, maka satu tinjauan pendek mengenai

gagasan tentang sifat hukum dipandang dari pendirian ini akan sangat berguna

Page 43: Isi Filsafat Hukum

dalam mepelajari tujuan hukum dari segi filososfis. Adapun ke-12 konsepsi Pound

tentang hukum tersebut terdiri dari:27

a. Pertama, boleh kita

kemukakan gagasan tentang satu kaidah atau sehimpunan kaidah yang

diturunkan oleh Tuhan untuk mengatur tindakan manusia, misalnya undang-

undang Nabi Musa, atau undang-undang Hammurabi, yang diturunkan oleh

Dewa Matahari setelah selesai disusun, atau undang-undang Manu yang

didiktekan kepada para budiman oleh putra Manu, Bhrigu namanya, di

depan Manu sendiri dan atas petunjuknya.

b. Ada satu gagasan

tentang hukum sebagai satu tradisi dari kebiasaan lama yang ternyata dapat

diterima oleh dewa-dewa dan karena itu menunjukkan jalan yang boleh

ditempuh manusia dengan amannya. Sebab manusia primitif, yang

menganggap dirinya dilingkungi oleh kekuatan gaib di dalam alam yang

banyak tingkah dan suka membalas dendam, terus-menerus dalam ketakutan

kalau-kalau ia melanggar sesuatu yang dilarang oleh mahkluk gaib. Dengan

demikian ia dan orang sekampungnya akan dimarahi oleh mahkluk gaib

tersebut. Kesalahan umum menuntut supaya orang melakukan hanya apa

yang diperbolehkan, dan melakukan menurut cara yang digariskan oleh

kebiasaan yang sudah lama dituruti, setidaknya jangan melakukan apa yang

tidak disenangi oleh dewa-dewa. Hukum adalah himpunan perintah yang

tradisional akan dicatat, yang di alam kebiasaan itu dipelihara dan

dinyatakan. Bilamana kita menjumpai sehimpunan hukum primitif yang

merupakan tradisi golongan dipunyai oleh satu oligarchi politik, boleh jadi

ia akan dianggap sebagai tradisi golongan, persis seperti sehimpunan tradisi

yang sama tetapi dipelihara oleh ulama atau pendeta, pasti akan dipandang

sebagai yang telah diwahyukan oleh Tuhan.

c. Gagasan ini rapat

dengan yang kedua, yakni memahamkan hukum sebagai kebijaksanaan yang

27

? Roscoe Pound, Pengantar Filsafat Hukum, (Terj.) Muhammad radjab, Penerbit Bhratara, Jakarta, 1996, halaman 28-32.

Page 44: Isi Filsafat Hukum

dicatat dari para budiman di masa lalu yang telah dipelajari. Jalan yang

selamat, atau jalan kelakuan manusia yang disetujui oleh Tuhan. Apabila

satu kebiasaan tradisional dari keputusan dan kebiasaan tindakan telah

dituliskan dalam kitab undang-undang primitif, mungkin dia akan dianggap

sebagai hukum. Demosthenes yang hidup dalam abad kekempat sebelum

Masehi dapat melukiskan hukum Athena dengan kata-kata tadi.

d. Hukum dapat

dipahamkan sebagai satu sistem asas-asas yang ditemukan secara filasaft,

yang menyatakan sifat benda-benda, dan karena itu manusia harus

menyesuaikan kelakuannya dengan sifat benda-benda itu. Demikianlah,

gagasan sarjana hukum Romawi, yang sebenarnya merupakan cangkokan

dari gagasan kedua dan ketiga tadi, dan dari satu teori politik tentang hukum

sebagai perintah dari bangsa Romawi; dan semuanya dirukunkan dengan

memahamkan tradisi dan kebijaksanaan yang tercatat dan perintah bangsa-

bangsa yang semata-mata sebagai pernyataan atau pencerminan dari asas-

asas yang dicari kepastiannya secara filsafat, harus diukur, dibentuk,

ditafsirkan , dan ditambah oleh yang tigta tadi. Setelah diolah oleh ahli-ahli

filsafat ini, konsepsi yang tersebut tadi kerapkali mendapat bentuk lain,

e. Sehingga kelima

hukum dipandang sebagai satu himpunan penegasan dan pernyataan dari

satu undang-undang kesusilaan yang abadi dan tidak berubah-ubah.

f. Ada satu gagasan

mengenai hukum sebagai satu himpunan persetujuan yang dibuat manusia di

dalam masyarakat yang diatur secara politik, persetujuan yang mengatur

hubungan antara yang seorang dengan yang lainnya. Ini adalah suatu

pandangan demokratis tentang identifikasi hukum dengan kaidah hukum,

dan karena itu dengan pengundangan dekrit dari negara kota yang

diperbincangkan di dalam buku Minos dari Plato. Sudah sewajarnyalah

Demosthenes menganjurkan kepada satu juri di Athena. Sangat mungkin

dengan teori serupa itu, satu gagasan filsafat akan menyokong gagasan

politik dan kewajiban moril yang melekat pada suatu janji akan

Page 45: Isi Filsafat Hukum

dipergunakan untuk menunjukkan mengapa orang harus menepati

persetujuan yang mereka buat di dalam majelis rakyat.

g. Hukum dipikirkan

sebagai satu pencerminan dari akal Illahi yang menguatkan alam semesta

ini; satu pencerminan dari bagian yang menentukan apa yang seharusnya

dilakukan oleh manusia sebagai satuan yang berkesusilaan, yang berbeda

dengan yang masih dilakukan, yang ditujukan kepada mahkluk lain selain

manusia. Begitulah konsepsi Thomas Aquino, yang mempunyai penganut

banyak sampai abad ke-17 dan semenjak itu masih besar pengaruhnya.

h. Hukum telah

dipahamkan sebagai satu himpunan perintah dari penguasa yang berdaulat

di dalam satu masyarakat yang disusun menurut satu sistem kenegaraan,

tentang bagaimana orang harus bertindak di dalam masyarakat itu, dan

perintah itu pada tingkat terakhir berdasarkan apa saja yang dianggap

terdapat di belakang wewenang dari yang berdaulat. Demikianlah anggapan-

anggapan sarjana-sarjana Romawi pada masa republik dan masa klasik

mengenai hukum positif. Dan karena Kaisar memegang kedaulatan rakyat

Romawi yang diserahkan kepada baginda, maka Institutiones dari Kaisar

Justinianus dapat menetapkan bahawa kemauan kaisar mempunyai keuatan

satu undang-undang. Cara berfikir serupa itu cocok dengan pikiran-pikiran

ahli-ahli hukum yang giat menyokong kekuasaan raja dalam memusatkan

kerajaan Perancis pada abad ke-16 dan ke-17, dan dengan perantaraan ahli-

ahli hukum itu masuklah cara berfikir itu ke dalam hukum publik. Rupanya

dia sesuai dengan keadaan di sekitar kekuasaan tertinggi Parlemen di tanah

Inggris sesudah tahun 1688 dan menjadi teori hukum Inggris yang kolot.

Demikianlah dia dicocokkan dengan satu teori politik tentang kedaulatan

rakyat yang menurut teori itu, rakyat dianggap sebagai pengganti parlemen

untuk memegang kedaulatan pada waktu Revolusi Amerika, atau sebagai

pengganti Raja Perancis pada waktu Revolusi Perancis.

i. Satu gagasan yang

menganggap hukum sebagai satu sistem pemerintah, ditemukan oleh

Page 46: Isi Filsafat Hukum

pengalaman manusia yang menunjukkan, bahwa kemauan tiap manusia

perseorangan akan mencapai kebebasan sesempurna mungkin yang sejalan

dengan kebebasan serupa itu pula, yang diberikan kepada kemauan orang-

orang lain. Gagasan ini yang dianut dalam salah satu bentuk oleh mazhab

sejarah, telah membagi ksetiaan sarjana hukum kepada teori hukum sebagai

perintah dari pemegang kedaulatan, dan hal in terjadi hampir di sepanjang

abad yang lalu. Menurut anggapan pada masa itu, pengalaman manusia

yang menemukan prinsip hukum ditentukan dengan sesuatu cara yang tak

dapat dielakkan lagi. Ini bukanlah soal daya upaya manusia yang

dilakukannya dengan sadar. Prosesnya ditentukan oleh pengembangan suatu

gagasan mengenai hak dan keadilan, satu gagasan tentang kebebasan yang

mewujudkan dirinya di dalam pelaksanaan peradilan oleh manusia, atau

oleh kerja-kerja hukum yang biologis atau psikologis atau tentang sifat-sifat

jenis bangsa, yang kemudian menghasilkan sistem hukum daru suatu masa

dan suatu bangsa yang bersangkutan.

j. Orang menganggap

hukum itu sebagai satu sistem asas-asas, yang ditemukan secara filsafat dan

dikembangkan sampai pada perinciannya oleh tulisan-tulisan sarjana hukum

dan putusan pengadilan, yang dengan perantaraan tulisan dan putusan itu

kehidupan lahir manusia diukur oleh akal, atau pada taraf lain, dengan

tulisan dan putusan itu kemauan tiap orang yang bertindak diselaraskan

dengan kehendak orang lain. Cara berfikir ini muncul pada abad ke-19

sesudah ditinggalkan teori hukum alam dalam bentuk yang mempengaruhi

pikiran hukum selama dua abad, dan filsafat diminta untuk memberikan satu

terhadap kritik susunan sistematik dan perkembangan detail.

k. Hukum dipahamkan

sebagai sehimpunan atau sistem kaidah yang dipikulkan atas manusia di

dalam masyarakat oleh satu kelas yang berkuasa untuk sementara buat

memajukan kepentingan kelas itu sendiri, baik dilakukan dengan sadar

maupun tidak sadar. Interpretasi ekonomis dari hukum ini banyak

bentuknya. Di dalam satu bentuk yang idealistis, yang dipikirkannya adalah

Page 47: Isi Filsafat Hukum

pengembangan satu gagasan ekonomi yang tak dapat dihindarkan. Di dalam

satu bentuk sosiologis mekanis, pikirannya dihadapkan pada perjuangan

kelas atau satu perjuangan untuk hidup di lapangan perekonomian, dan

hukum adalah akibat dari pekerjaan tenaga atau hukum yang terlibat atau

menentukan perjuangan serupa itu. Di dalam betuk Positivistis-Analistis,

hukum dipandang sebagai perintah dari pemegang kedaulatan, tetapi

perintah itu seperti yang ditentukan isi ekonomisnya oleh kemauan kelas

yang berkuasa, pada gilirannya ditentukan oleh kepentingan mereka sendiri.

Semua bentuk ini terdapat dalam masa peralihan dari stabilitas kematangan

hukum ke satu masa pertumbuhan baru. Apabila gagasan bahwa hukum

dapat mencukupkan keperluan sendiri telah ditinggalkan, dan orang mulai

mencoba menghubungkan ilmu hukum dengan ilmu-ilmu sosial lainnya,

yang lebih dulu menonjol ialah hubungan dengan ilmu ekonomi. Tambahan

lagi pada masa undang-undang banyak dibuat peraturan perundang-

undangan yang dundangkan mudah dianggap orang sebagai type

darimperintah hukum, dan satu percobaan hendak membentuk satu teori

tentang pembuatan undang-undang oleh badan legislatif dianggap

memberikan uraian tentang semua hukum.

l. Akhirnya ada satu

gagasan tentang hukum sebagai perintah dari undang-undang ekonomi dan

sosial yang berhubungan dengan tindak-tanduk manusia di dalam

masyarakat, yang ditemukan oleh pengamatan, dinyatakan dalam perintah

yang disempurnakan oleh pengalaman manusia mengenai apa yang akan

terpakai dan apa yang tidak terpakai di dalam penyelenggaraan peradilan.

Teori type ini terdapat pada akhir abad ke-19, tatkala orang mulai mencari

dasar fisik dan biologis, yang dapat ditemukan oleh pengamatan, dan bukan

lagi dasar metafisik, yang ditemukan oleh perenungan filsafat. Satu bentuk

lain menemukan satu kenyataan sosial yang terakhir dengan pengamatan

dan mengembangkan kesmpulan yang logis dari kenyataan itu, mirip seperti

yang dilakukan oleh sarjana hukum metafisika. Ini adalah akibat lagi dari

Page 48: Isi Filsafat Hukum

suatu kecenderungan dalam tahun mutakhir yang hendak mempersatukan

ilmu-ilmu sosial, yang lebih besar kepada teori-teori sosiologi.

Keduabelas konsepsi tentang hukum tersebut terkait dengan teorinya yang

dikenal dengan “Law as a tool of social engineering”. Untuk itu, Pound membuat

penggolongan atas kepentingan-kepentingan yang harus dilindungi oleh hukum

sebagai berikut:28

1) Kepentingan Umum (Public Interest), terdiri dari:

a) kepentingan negara sebagai badan hukum;

b) kepentingan negara sebagai penjaga kepentingan masyarakat.

2) Kepentingan Masyarakat (Social Interest):

a) kepentingan akan kedamaian dan ketertiban;

b) perlindungan lembaga-lembaga sosial;

c) pencegahan kemerosotan akhlak;

d) pencegahan pelanggaran hak;

e) kesejahteraan sosial.

3) Kepentingan Pribadi (Private Recht):

a) kepentingan individu;

b) kepentingan keluarga;

c) kepentingan hak milik.

Dari klasifikasi tersebut dapat ditarik dua hal penting, yaitu: Pertama, Pound

mengikuti garis pemikiran yang berasal dari von Jhering dan Bentham, yaitu

berupa pendekatan terhadap hukum sebagai ke arah tujuan sosial dan sebagai alat

dalam perkembangan sosial. Penggolongan kepentingan tersebut sebenarnya

merupakan kelanjutan dari apa yang telah dilakukan Jhering. Oleh karena itu,

dilihat dari hal tersebut, Pound dapat pula digolongkan ke dalam alairan

Utilitarianisme dalam kapasitasnya sebagai penerus Jhering dan Bentham.

Kedua, klasifikasi tersebut membantu menjelaskan premis-premis hukum,

sehingga membuat pembentuk undng-undang, hakim, pengacara, dan pengajar

28

? Darji Darmodiharjo & Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995, halaman 129-130.

Page 49: Isi Filsafat Hukum

hukum menyadari prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang terkait dalam tiap-tiap

persoalan khusus. Dengan kata lain, klasifikasi tersebut membantu

menghubungkan antara prinsip hukum dan praktiknya.

2. Tujuan Hukum Secara Tradisional

Tujuan hukum sudah timbul di dalam pemikiran yang sadar, kita mengenal

tiga gagasan dalam sejarah hukum.

a. Ketertiban Hukum

Tujuan hukum yang paling sederhana ialah hukum diadakan supaya terjaga

ketenteraman dalam masyarakat tertentu, tujuan hukum yang demikian ini

sangat penting artinya bagi masyarakat, karena dalam masyarakat yang

disusun dalam suatu kekerabatan, yang acapkali di dalamnya terjadi benturan-

benturan kepentingan sehingga timbul perselisihan.

b. Menjaga Perdamaian:

Tujuan hukum ialah untuk menjga perdamaian dalam keadaan bagaimana saja,

dan dipelihara dengan mengorbankan apa saja. Pengertian hukum yang

demikian ini disebut sebagai hukum yang primitif, alasannya ialah bahwa

perdamaian antara kekerabatan yang satu dengan kekerabatan lain , antara

orang-orang yang sekutu, dan penduduk yang bertambah banyak. Sehingga

dimungkinkan terjadi benturan-benturan kepentingan. Oleh karena itu, hukum

dibentuk.

c. Mencegah Pergeseran dalam Masyarakat:

Tujuan hukum ketiga ini timbul, untuk mencegah pergeseran anatar sesama

masyarakat. Hal ini disebabkan sistem kekerabatan semakin hilang dan

digeser oleh orang-orang yang kehilangan kekerabatan serta para pendatang,

sementara itu orang-orang yang memiliki kekerabatan masih berkuasa,

sehingga gagasan mengenai tujuan hukum ketiga dapat juga disebut untuk

menjaga ketertiban sosial.

3. Tujuan Hukum Secara Modern

Page 50: Isi Filsafat Hukum

Seiring dengan perkembangan ekonomi dalam masyarakat, semakin terasa

akan adanya perlindungan hukum untuk kegiatan yang terkait ekonomi, yaitu:

a. Tujuan Penyingkiran Pembatasan Kegiatan Ekonomi yang Bebas:

Hukum ditujukan untuk menyingkirkan pembatasan terhadap kegiatan

ekonomi yang bebas, yang bertumpuk-tumpuk selama jaman pertengahan

sebagai insiden dari sistem kewajiban di dalam hubungan antar manusia dan

sebagai pengucapan dari gagasan tentang penetapan orang di tempatnya

masing-masing di dalam suatu masyarakat yang statis.

b. Tujuan Konstruktif:

Tujuan ini berkembang pada saat hukum dagang memberikan efek kepada apa

yang dilakukan orang menurut kehendaknya, yang menilik niat bukan

bentuknya, yang menafsirkan keamanan umum sebagai keamanan bagi

transaksi dan mencoba melaksanakan kemauan tiap orang untuk menciptakan

akibat hukum. Tujuan konstruktif ini dikembangkan dari hukum Romawi dan

kebiasaan saudagar dengan perantaraan teori hukum mengenai hukum alam.

c. Menjaga Kestabilan:

Pada akhir abad ke-19, timbul pandangan hukum adalah keburukan, karena

pada hakekatnya hukum mengekang kebebasan orang, sehingga para sarjana

hukum dan pembuat undang-undang dengan senang hati membiarkan

masyarakat melakukan kemauannya untuk mencapai kesenangannya maupun

kesengsaraannya. Oleh karena itu pada akhir abad ke-19 gagasan hukum yang

ada dipergunakan untuk mencapai kebebasan secara maksimum.

3. Latihan Soal

a. Ada berapa konsepsi hukum yang

dikemukakan oleh Roscoe Pound?

b. Sebut dan jelaskan secara singkat keduabelas

konsepsi hukum yang dikemukakan oleh Roscoe Pound!

c. Mengapa Roscoe Pound juga digolongkan ke

dalam tokoh aliran Utilitarianisme? Jelaskan!

Page 51: Isi Filsafat Hukum

d. Di mana letak perbedaan tujuan hukum yang

tradisional dan yang modern?

DAFTAR PUSTAKA

Pound, Roscoe, Pengantar Filsafat Hukum, (Terj.) Muhammad radjab, Penerbit

Bhratara, Jakarta, 1996.

Darmodiharjo, Darji & Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan

Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Penerbit PT. Gramedia Pustaka

Utama, Jakarta, 1995.

Page 52: Isi Filsafat Hukum

BAB V

KEADILAN DAN HUKUM YANG BENAR DAN ADIL

Tujuan Instruksional Umum:

Setelah mempelajari pokok bahasan ini mahasiswa dapat :

1. Memahami bermacam-macam

arti keadilan.

2. Memahami pengertian hukum

yang benar dan adil.

Tujuan Instruksional Khusus:

Setelah mempelajari bahasan ini mahasiswa mampu:

1. Menyebutkan bermacam-macam arti keadilan.

2. Menyebutkan kriteria hukum yang benar dan adil.

1. Arti Keadilan

Membicarakan hukum tidak lepas dari kata “keadilan” yang sudah ada sejak

jaman Yunani Kuno. Masalah keadilan sudah mulai disinggung pada saat Plato

dan Aristoteles melontarkan pemikiran-pemikirannya yang menjadi latar belakang

perenungan tentang keadilan yang menguasai filsafat hukum.29 Plato mencoba

mengemukakan konsepsinya tentang keadilan dari “inspirasi”, sedang Aristoteles

mencoba mendekatinya dan menganalisis berdsarkan ilmu dan prinsip-prinsip

rasional dengan latar belakang type masyarakat politik dan peraturan-peraturan

hukum yang ada pada waktu itu. Hal yang menghubungkan mereka adalah

concept of virtue, yaitu sifat baik, yang meliputi suatu pengertian yang sudah

mencakup segala-galanya dan darimana keadilan merupakan suatu bagiannya.

Concept of virtue inilah yang menghadirkan pengertian keimbangan (balance) dan

harmoni sebagai suatu ukuran pada masyarakat maupun perorangan yang adil,

sehingga dari sini tidak jarang pula antara keimbangan dan harmoni terpisah jalan

29 ? Soetiksno, Filsafat Hukum, Bagian I, Penerbit PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 1997, halaman 11.

Page 53: Isi Filsafat Hukum

keadilannya. Dengan perkataan lain, keadilan merupakan pengertian yang tercipta

pada perpaduan antara keimbangan dan harmoni sebagai suatu ukuran.

Menurut Plato, harmoni adalah suatu keadaan dari dalam yang tidak dapat

dianalisis dengan akal. Sedang menurut Aristoteles, harmoni adalah suatu yang

ada di tengah-tengah antara dua keadaan yang ekstrem. Pertanyaan tentang apa

keadilan mulai dijawab oleh Ulpianus (200 M) yang mengatakan bahwa keadilan

adalah kehendak yang ajeg dan tetap untuk memberikan kepada masing-masing

bagiannya. Kata adil dapat berarti menurut hukum dan apa yang sebanding. Hal

senada juga dikatakan oleh Aristoteles bahwa seorang dikatakan berlaku tidak adil

apabila orang tersebut mengambil lebih dari bagian yang semestinya ia terima.

Demikian pula kata tidak adil dapat ditujukan kepada orang yang mengabaikan

hukum, oleh karena itu keadilan menurut hukum dikatakan sebagai keadilan

umum.30

Keadilan dapat pula diartikan sebagai keutamaan moral khusus, yang

menentukan sikap manusia pada bidang tertentu, yang ditandai dengan sifat-sifat

berikut ini:31

a. Keadilan menentukan

bagaimanakah hubungan yang baik antara orang-orang yang satu dengan

yang lain;

b. Keadilan berada di

tengah dua ekstrem, yaitu diusahakan supaya dalam mengejar keuntungan

tercipta keseimbangan antara dua belah pihak;

c. Untuk mengutamakan

dimanakah letak keseimbangan yang tepat antara orang-orang digunakan

ukuran kesamaan yang dihitung secara aritmetis dan geometris.

Dalam menganalisis keadilan, Aristoteles membagi keadilan menjadi dua, yaitu:32

30 ? Darji Darmodiharjo & Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995, halaman 154. 31 ? Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1993, halaman 29.32 ? Bandingkan dengan Darji Darmodiharjo & Shidarta, Op. Cit., halaman 155.

Page 54: Isi Filsafat Hukum

a. Keadilan distributif (Distributive Justice), yaitu memberi petunjuk tentang

pembagian barang-barang dan kehormatan pada masing-masing orang

menurut tempatnya.

b. Keadilan Korektif (Corrective Justice/Commutative Justice),terutama

untuk ukuran prinsip-prinsip teknis yang mengatur administrasi hukum,

untuk itu harus ada ukuran umum guna memperbaiki akibat-akibat

tindakan tanpa memperhatikan siapa orangnya yang berkepentingan. Oleh

karena itu tindakan-tindakan tersebut harus diukur dengan ukuran yang

obyektif.

Selain membagi keadilan menjadi dua, Aristoteles juga memberikan kontribusi

lain, yatu membuat perbedaan antara keadilan menurut hukum kodrat dan hukum

poisitif. Hukum kodrat mendasrkan kekuatannya pada pembawaan manusia yang

sama di manapun juga dan untuk waktu kapanpun, karana hal ini adalah masalah

keabadian dari filsafat hukum. Sedang hukum positif mendapat kekuatannya

karena ditentukan sebagai hukum, adil atau tidak adil, memberi penjelasan adanya

bermacam-macam hukum positif.

Kontribusi Aristoteles berikutnya, ialah pembedaan antara keadilan abstrak

dan kepatutan (equity). Perbedaannya ialah, hukum terpaksa membuat aturan-

aturan yang berlaku umum, dan seringkali bertindak kejam terhadap soal-soal

perseorangan. Sedang equity melunakkan kekerasan dengan memperhatikan hal-

hal yang benar tentang sesuatu undang-undang.

Pemikir aliran hukum alam lainnya ialah Thomas Aquino, membagi keadilan

menjadi 2, yaitu:

a. Keadialan Umum (Justitia Generali); adlah keadilan menurut kehendak

masing-masing yang harus ditunaikan menurut kepentingan umum.

b. Keadilan Khusus; yaitu keadilan atas dasar kesamaan, yang dibedakan lagi

menjadi 3, yaitu:

1) keadilan distributif;

2) keadilan komutatif;

3) keadilan vindikatif.

Page 55: Isi Filsafat Hukum

Kaum Positivis (aliran Positivisme) memandang keadilan sebagai tujuan

hukum. Namun relativitas keadilan sering mengaburkan tujuan hukum lain, yaitu

kepastian hukum. Hal ini sesuai dengan adagium “Summun jus, summa injuria,

summa lex, summa crux”, yaitu hukum yang keras akan dalam melukai kecuali

keadilan dapat menolongnya. Ungkapan tersebut berawal dari ketidakpercayaan

kaum positivis terhadap keadilan yang sebenarnya, karena keadilan yang tertinggi

adalah ketidakadilannyang tertinggi pula.

3. Hukum Yang Adil dan

Benar

Gambaran mengenai hukum yang adil dan benar dapat diketemukan dalam

pemikiran yang dikemukakan oleh Gustav Radbruch, seorang politikus dan

sarjana hukum dari Jerman. Ia berusaha menyeberangi jurang bidang “ada” (sein)

dan bidang “harus” (sollen) dengan menerima bahwa suatu bidang terkandung

kedua bidang tersebut untuk mencapai apa yang disebut dengan kebenaran.

Menurut Radbruch, bidang kebudayaan tidak hanya terletak di antara dua bidang

tersebut, tetapi menggabungkan kedua bidang itu juga, sebab kebudayaan

merupakan perwujudan dari nilai-nilai realitas alam, dan Radbruch hendak

menerapkan teori ini pada hukum.33

Alasan yang dipergunakan Radbruch ialah bahwa hukum merupakan unsur

kebudayaan, maka seperti unsur-unsur kebudayaan lain, hukum diwujudkan

dalam satu nilai, yakni nilai keadilan. Sehingga hukum merupakan perwujudan

dari keadilan, sedikitnya merupakan usaha ke arah terwujudnya keadilan.

Sedangkan tolok ukur adil atau tidak adilnya tata hukum dibentuk dalam

masyarakat, namun tolok ukur tersebut belumlah cukup, karena ada dasar lain,

yaitu dasar hukum sebagai hukum.

Dalam mewujudkan adanya hukum yang benar dan adil ini, Radbruch

membagi keadilan menjadi 3 (tiga) aspek, yaitu:

33

? Theo Huijbers, Op. Cit., halaman 162.

Page 56: Isi Filsafat Hukum

a. Keadilan dalam arti

sempit, artinya keadilan merupakan persamaan hak untuk semua orang di

depan pengadilan.

b. Tujuan keadilan atau

finalitas, aspek ini menentukan isi hukum, sebab isi hukum sesuai dengan

tujuan yang hendak dicapai.

c. Kepastian hukum atau

legalitas, aspek ini menjamin bahwa hukum dapat berfungsi sebagai

peraturan yang harus ditaati.

Dengan adanya pembagian keadilan ke dalam tiga aspek tersebut, kita dapat

mengetahui bahwa suatu hukum yang adil haruskah hukum memenuhi unsur

konstitutif hukum atau hanya unsur regulatif sebagimana dikatakan oleh

Huijbers.34 Apabila adil merupakan unsur konstitutif hukum, maka suatu peraturan

tidak adil bukan hanya hukum yang buruk, tetapi karena faktor non hukum (non

yuridis), seperti politik. Sebaliknya apabila adil merupakan unsur regulatif bagi

hukum, maka suatu peraturan yang tidak adil tetap merupakan hukum walaupun

buruk, dan tetap berlaku dan mewajibkan masyarakat untuk mentaatinya.

4. Latihan Soal

a. Sebutkan pengertian keadilan menurut para

penganut aliran hukum alam dan positivisme !

b. Bagaimana pendapat Sdr. Tentang suatu

hukum yang adil dan benar? Bagaimana pula kaitannya dengan keberadaan

UU No. 23 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia jika

dikaitkan dengan teori tentang hukum yang benar dan adil? Jelaskan!

34 ? Theo Huijbers, Filsafat Hukum, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1995, halaman 48.

Page 57: Isi Filsafat Hukum

DAFTAR PUSTAKA

Darmodiharjo, Darji & Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan

Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Penerbit PT. Gramedia Pustaka

Utama, Jakarta, 1995.

Huijbers, Theo, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Penerbit Kanisius,

Yogyakarta, 1993.

_________________, Filsafat Hukum, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1993.

Soetiksno, Filsafat Hukum, Bagian I, Penerbit PT. Pradnya Paramita, Jakarta,

1997.

Page 58: Isi Filsafat Hukum

BAB VI

FILSAFAT HUKUM BERDASARKAN PANCASILA

Tujuan Instruksional Umum:

Setelah mempelajari pokok bahasan ini, mahasiswa dapat memahami filsafat

hukum berdasarkan Pancasila.

Tujuan Instruksional Khusus:

Setelah mempelajari bahasan ini, mahasiswa mampu:

1. Menjelaskan falsafah hukum

nasional.

2. Menjelaskan filsafat hukum

dan Pancasila.

1. Falsafah Hukum Nasional

Usaha pengembangan falsafah hukum nasional di Indonesia bertumpu kepada

3 konsep dasar, yaitu:35

a. Pemahaman ukum

yang bersifat normatif sosiologis yang melihat huku tidak hanya sekumpulan

kaidah dan asas yang mengatur hubungan manusia dalam masyarakat, tetapi

juga meliputi lembaga-lembaga dan proses yang diperlukan untuk mewujudkan

berlakunya hukum itu. Sejalan dengan konsep tersebut maka fungsi hukum

dalam masyarakat adalah untuk terwujudnya ketertiban dan kepastian sebagai

prasarana yang harus ditujukan ke arah peningkatan pembinaan kesatuan

bangsa, serta sebagai sarana penunjang perkembangan modernisasi dan

pembangunan yang menyeluruh.

b. Tujuan hukum yang

merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari tujuan bernegara sebagaimana

35 ? Soehardjo Sastrosoehardjo, Silabus Mata Kuliah Filsafat Hukum, Program Pascasarjana Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro, Semarang, 1997, halaman 44.

Page 59: Isi Filsafat Hukum

tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 yang sekaligus juga merupakan

perwujudan sila-sila Pancasila.

c. Cita-cita falsafah yang

telah dirumuskan oleh para pendiri Kenegaraan dalam Konsep Indonesia

adalah Negara Hukum dan setiap orang sama di depan hukum, mengandung

arti:

1) Indonesia sebagai negara yang berdasarkan atas hukum

menentukan bahwa dalam hubungan antara hukum dan kekuasaan,

kekuasaan tunduk pada hukum sebagai kunci kestabilan politik yang

berkesinambungan.

2) Persamaan kedudukan setiap orang di hadapan hukum menentukan

bahwa hukum tidak membeda-bedakan antara orang berdasarkan status,

sosial, kekuasaan, agama, atau keturunan. Setiap orang mendapat

kesempatan yang sama untuk mendapatkan bantuan dan melakukan

pembelaan di muka pengadilan.

Dalam pengembangan hukum dan ilmu hukum, falsafah hukum mempunyai

peranan penting dalam memberikan dasar dan arahan melalui aspek-aspek:

a. Ontologi, meliputi permasalahan apa hakekat ilmu, apa

hakekat kebenaran, dan kenyataan yang inheren dengan pengetahuan.

b. Epistemologi, meliputi berbagai sarana dan tata cara dan

sumber pengetahuan untuk mencapai kebenaran atau kenyataan.

c. Aksiologi, meliputi nilai-nilai normatif parameter bagi

apa yang disebut kebenaran atau kenyataan dalam konteks dunia simbolik, dan

sebagainya.

Pengembangan filsafat hukum nasional harus diarahkan menjadi falsafah

hukum Pancasila. Pancasila sebagai dasar negara yang juga merupakan dasar

falsafah hukum nasional mempunyai sifat imperatif yang tidak saja dijadikan

dasar dan arah pengembanganfalsafah hukum nasional kita, melainkan sekaligus

juga menjadi acuan dalam penyusunan, membina dan mengembangkan falsafah

hukum yang konsisten dan relevan dengan nilai-nilai Pancasila itu sendiri.

Page 60: Isi Filsafat Hukum

Sehubungan dengan itu, maka falsafah Pancasila melalui tafsiran falsafatinya

harus dikembangkan agar mampu menunjukkan nilai-nilai yang aktual dan

relevan dengan kemajuan dan mengarahkan kemajuan itu sesuai dengan apa yang

terkandung dalam nilai-nilai Pancasila itu sendiri. Untuk itu, Pancasila harus tetap

terbuka , tidak difahami secara doktriner dan dogmatis tanpa kehilangan substansi

falsafahnya ditafsirkan secara kreatif dan dinamis dalam perspektif ke masa kini

dan masa depan.

Dalam hubungan dengan perkembangan filsafat hukum nasional, perlu

dikembangkan critical mass, yaitu suatu masyarakat akademik yang mau dan

mampu menukik ke dalam masalah-masalah yang bersifat falsafati untuk bersikap

kritis, radikal, kreatif, dan eksploratif. Dalam suasana yang demikian, maka nilai-

nilai falsafati universal perlu digali untuk menentukan unsur-unsur yang relevan

bagi sumber hukum pada umumnya dan falsafah hukum pada khususnya. Untuk

itu, perlu dikembangkan kondisi yang makin kondusif untuk mengembangkan

falsafah hukum Pancasila tersebut.

Sistem hukum nasional yang juga merupakan sistem hukum Pancasila harus

merupakan penjabaran dari seluruh sila-sila Pancasila secara keseluruhan.

Mengenai asas persamaan kedudukan di muka hukum ada yang melihat bahwa

pembinaan perlakuan yang sama dalam kondisi yang berbeda adalah sebuah

ketidakadilan, sehingga untuk hal-hal tertentu adanya berbagais tudi masih sangat

diperlukan.

Hukum dan kekuasaan dalam kenyataan masih sering tidak saling melengkapi

antara satu dengan yang lain.

2. Filsafat Hukum dan Pancasila

Untuk mengetahui keterkaitan antara Pancasila dengan berbagai aliran dalam

filsafat hukum, perlu dipahami mengenai hakekat dari Pancasila sampai sedalam-

dalamnya. Di dalam mengupas hakekat Pancasila sampai kedalamannya, dapat

dipergunakan pendekatan filosofis. Adapun pendekatan filosofis yang digunakan

ialah metode dialektis dan analitis.36

36

Page 61: Isi Filsafat Hukum

Metode deduktif paralel dengan metode sintesis sebagaimana dikemukakan

oleh Hegel pada abad XIX (zaman Modern),37 mengemukakan teorinya yang

disebut “Teori Dialektika”. Dalam Teorinya, Hegel berpendapat bahwa proses

perkembangan rohani berjalan dialektis, yang menurut Hegel ide-ide saling

berlawanan dan sekalian rohani melemah untuk menjadi kesatuan dalam suatu ide

baru, yang merangkap kebenaran yang terkandung dalam dua ide tadi. Sebagai

contoh, ide tadi berawal daru suatu yang “ada”, kemudian diperkirakan sesuatu

yang ada, akan tetapi belum ada secara menyeluruh, yakni ide “menjadi”

mempunyai pikiran melalui tesei, anti tesis, dan sintesis, sehingga cara berfikir

yang demikian ini disebut dialektis. Hal ini berlangsung secara terus-menerus.

Menurut Hegel pula, teori dialektis berlaku tidak hanya bidang logika, tetapi juga

dalam bidang realitas, dan yang paling banyak adalah bidang sejarah.

Pancasila yang kita kenal sebagai dasar negara Indonesia sebagaimana

dikemukakan oleh Notonegoro yang menggunakan teori Causalis untuk

menyelesaikan Pancasila. Teori ini mengatakan bahwa semua yang ada

mempunyai sebab, lebih lanjut dikemukakan pula, berdasarkan teori causalis,

Pancasila juga dapat dipahami secara mendalam, yaitu:

Pertama, dilihat dari causa materialis, Pancasila berdasar adat kebiasaan,

kebudayaan, dan agama yang dianut oleh bangsa Indonesia. Adat kebiasaan di sini

ialah adat kebiasaan dalam arti luas yang meliputi adat kebiasaan politik,

kewarganegaraan, ekonomi, sosial, dan sebagainya.

Causa Formalis Pancasila, menurut Notonegoro, ialah anggota BPUPKI, yaitu

Soekarno dan Hatta yang kemudian disebut sebagai pembentuk negara. Causa

Finalis, Pancasila adalah calon dasar filsafat negara. Hal ini tertuang dalam pidato

Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945 yang secara tegas menyebutkan bahwa tujuan

dari pidatonya tentang Pancasila ialah untuk merumuskan dasar Indonesia

merdeka yang disebut sebagai Filosofische Grondslag. Hal ini dapat juga

disebutkan untuk Pancasila dalam Piagam Jakarta yang ditandatangani pada

? Woro Winandi & Sri Hartini, Dialektika Hegel dan Sociological Jurisprudence Dalam Filsafat Hukum dan Pancasila, Makalah disampaikan dalam diskusi kelas, Program Pascasarjana Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro, Semarang, 1997, halaman 9.37 ? Theo Hujibers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1993, halaman 106.

Page 62: Isi Filsafat Hukum

tanggal 22 Juni 1945 yang selanjutnya dipakai sebagai Pembukaan UUD 1945.

Sehingga dalam hal ini dapat dikatakan bahwa Causa Finalis Pancasila ialah dasar

filsafat negara, sebab Pembukaan UUD 1945 yang telah ditetapkan pada tanggal

18 Agustus 1945 oleh PPKI dimaksudkan sebagai dasar filsafat negara.

Causa Efficient Pancasila ialah PPKI, karena PPKI secara resmi menetapkan

Pembukaan UUD 1945 yang berintikan Pancasila sebagai dasar filsafat negara.

Dengan demikian, causa efficient Pancasila sebagai dasar filasafat negara ialah

pembentuk negara Indonesia, dalam hal ini PPKI.

Pancasila merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dan

dijungkirbalikkan tanpa mengubah inti dari isinya, karena susunan Pancasila

berbentuk hirarkis piramidal. Dikatakan hirarkis, karena jika dilihat dari isinya,

urut-urutan lima sila tersebut menunjukkan satu rangkaian tingkatan dalam luas

dan isinya. Selanjutnya, dikatakan piramidal, karena tiap-tiap sila yang ada di

belakang sila lainnya merupakan pengkhususan dari sila/sisla-sila yang ada di

depannya. Penjelasan selanjutnya, Sila Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi basis

dari Kemanusiaan, Persatuan Indonesia, Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat

Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan Perwakilan, dan Keadilan Sosial.

Sebaliknya, Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Ketuhanan yang

berperikemanusiaan, berpersatuan, berkerakyatan, dan berkeadilans osial,

demikian seterusnya. Sehingga tiap-tiap sila yang ada di dalamnya terkandung

sila-sila lainnya. Kecuali itu, ditegaskan bahwa sila ketuhanan dan kemanusiaan

meliputi seluruh hidup manusia dan menjadi dasar dari sila-sila persatuan,

kerakyatan, keadilan sosial. Mengenai susunan hirarki Pancasila bahwa nilai-nilai

Ketuhanan lebih tinggi dari nilai kemanusiaan, nilai kemanusiaan lebih tinggi

daripada nilai kerakyatan, dan nilai kerakyatan lebih tinggi daripada nilai keadilan

sosial. Namun mengenai bentuk piramid dapat dijelaskan bahwa tiap-tiap sila

yang berada di belakang sila lainnya merupakan pengkhususan dari sila-sila yang

ada di depannya. Jadi kalau diterapkan dalam sila-sila pada Pancasila dapat

dijelaskan sebagai berikut: Bahwa sila kemanusiaan merupakan pengkhususan

dari sila Ketuhanan, sila kerakyatan merupakan pengkhususan dari sila persatuan

Indonesia dan sila keadilan sosial merupakan pengkhususan dari sila kerakyatan.

Page 63: Isi Filsafat Hukum

Pancasila sebagai pandangan hidup, Ideologi Nasional dan Dasar Negara pada

esensinya adalah perwujudan dari pelaksanaan hak dan kewajiban individu

sebagai anggota masyarakat untuk mengejawantahkan pola perilaku sebagaimana

tercermin dalam masing-masing kelima sila tersebut. Demikian pula sebagai

bangsa Indonesia dan warga negara. Pancasila dengan dimensinya pada

hakekatnya selaras dengan aliran dalam filsafat hukum, yaitu Sociological

Jurisprudence, sebagaimana keinginan dan tujuan dari tiga dimensi Pancasila yang

bertujuan menciptakan harmoni berupa keserasian pelaksanaan hak dan kewajiban

sehingga secra optimal kebutuhan dan kepentingan manusia dalam masyarakat

dapat terpenuhi secara tidak memihak, yang oleh Roscoe Pound dikatakan

terdapat 3 kepentingan hukum yang perlu mendapat perlindungan, yaitu:

a. Kepentingan Umum.

b. Kepentingan Masyarakat.

c. Kepentingan Individu.

Aliran Sociological Jurisprudence timbuld ari proses dialektika antara

positivisme hukum dan mazhab sejarah. Pada aliran Positivisme Hukum,

memandang tidak ada hukum kecuali perintah yang diberikan penguasa,

sebaliknya Mazhab Sejarah menyatakan hukum timbul dan berkembang bersama

masyarakat. Kedua mazhab tersebut dapat dilihat pada kepentingannya, yaitu:

Positivisme mementingkan logika, sedang mazhab Sejarah mengutamakan

pengalaman. Namun Sociological Jurisprudence mementingkan keduanya. Oleh

karena itu dalam kaitannya dengan Pancasila sebagai pandangan hidup, ideologi

negara, dan dasar negara, terdapat kesamaan dengan mazhab Sociological

Jurisprudence, karena adanya kesamaan tujuan yang ingin dicapainya. Seperti

yang dikatakan Roscoe Pound yang menganggap hukum sebagai alat untuk

rekayasa sosial/masyarakat, dan ini tercermin dalam kelima sila dari Pancasila,

yang di dalamnya terkandung cita-cita untuk mewujudkan kehidupan masyarakat

adil dan makmur. Dengan demikian, pencerminan kedua aliran tersebut terdapat

kesesuaian dengan apa yang terkandung di dalam UUD 1945, baik pembukaan,

batang tubuh, maupun penjelasannya.

3. Latihan Soal

Page 64: Isi Filsafat Hukum

a. Mengapa Pancasila disebut sebagai dasar falsafah negara?

Jelaskan!

b. Mengapa ada keterkaitan antara Pancasila dengan mazhab

sejarah dan dialektika Hegel? Jelaskan!

c. Jelaskan pula tentang teori causalis untuk mendalami

Pancaila!

DAFTAR PUSTAKA

Hujibers, Theo, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Penerbit Kanisius,

Yogyakarta, 1993 Theo Hujibers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan

Sejarah, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1993.

Soehardjo Sastrosoehardjo, Silabus Mata Kuliah Filsafat Hukum, Program

Pascasarjana Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro, Semarang, 1997.

Winandi, Woro & Sri Hartini, Dialektika Hegel dan Sociological Jurisprudence

Dalam Filsafat Hukum dan Pancasila, Makalah disampaikan dalam diskusi

kelas, Program Pascasarjana Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro,

Semarang, 1997

Page 65: Isi Filsafat Hukum
Page 66: Isi Filsafat Hukum