Evolusi Filsafat Hukum

22
11 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Evolusi filsafat hukum, yang melekat dalam evolusi filsafat secara keseluruhan, berputar di sekitar problema tertentu yang muncul berulang-ulang. Di antara problema ini, yang paling sering menjadi diskursus adalah tentang persoalan keadilan dalam kaitannya dengan hukum. 1 Keadilan hanya bisa dipahami jika ia diposisikan sebagai keadaan yang hendak diwujudkan oleh hukum. Upaya untuk mewujudkan keadilan dalam hukum tersebut merupakan proses yang dinamis yang memakan banyak waktu. Upaya ini seringkali juga didominasi oleh kekuatan-kekuatan yang bertarung dalam kerangka umum tatanan politik untuk mengaktualisasikannya. Hal ini dikarenakan hukum atau aturan perundangan harusnya adil, tapi nyatanya seringkali tidak. 2 1 Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum Perspektif Historis, Bandung: Nuansa dan Nusamedia, 2004, hal 24. 2 Ibid.. hlm. 23. Orang dapat menganggap keadilan sebagai sebuah gagasan atau realitas absolut dan mengasumsikan bahwa pengetahuan dan pemahaman tentangnya hanya bisa didapatkan secara parsial dan melalui upaya filosofis yang sangat sulit. Atau orang dapat menganggap keadilan sebagai hasil dari pandangan umum agama atau filsafat tentang dunia secara umum. Jika begitu, orang dapat mendefinisikan keadilan dalam satu pengertian atau pengertian lain dari pandangan ini. Keadilan Universitas Sumatera Utara

description

Evolusi Filsafat Hukum

Transcript of Evolusi Filsafat Hukum

Page 1: Evolusi Filsafat Hukum

11

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Evolusi filsafat hukum, yang melekat dalam evolusi filsafat secara

keseluruhan, berputar di sekitar problema tertentu yang muncul berulang-ulang.

Di antara problema ini, yang paling sering menjadi diskursus adalah tentang

persoalan keadilan dalam kaitannya dengan hukum.1

Keadilan hanya bisa dipahami jika ia diposisikan sebagai keadaan yang

hendak diwujudkan oleh hukum. Upaya untuk mewujudkan keadilan dalam

hukum tersebut merupakan proses yang dinamis yang memakan banyak waktu.

Upaya ini seringkali juga didominasi oleh kekuatan-kekuatan yang bertarung

dalam kerangka umum tatanan politik untuk mengaktualisasikannya.

Hal ini dikarenakan hukum

atau aturan perundangan harusnya adil, tapi nyatanya seringkali tidak.

2

1 Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum Perspektif Historis, Bandung: Nuansa dan

Nusamedia, 2004, hal 24. 2 Ibid.. hlm. 23.

Orang

dapat menganggap keadilan sebagai sebuah gagasan atau realitas absolut dan

mengasumsikan bahwa pengetahuan dan pemahaman tentangnya hanya bisa

didapatkan secara parsial dan melalui upaya filosofis yang sangat sulit. Atau

orang dapat menganggap keadilan sebagai hasil dari pandangan umum agama atau

filsafat tentang dunia secara umum. Jika begitu, orang dapat mendefinisikan

keadilan dalam satu pengertian atau pengertian lain dari pandangan ini. Keadilan

Universitas Sumatera Utara

Page 2: Evolusi Filsafat Hukum

12

dalam filsafat hukum menjadi landasan utama yang harus diwujudkan melalui

hukum yang ada.3

Aristoteles menegaskan bahwa keadilan sebagai inti dari filsafat

hukumnya.

4 Baginya, keadilan dipahami dalam pengertian kesamaan, antara

kesamaan numerik dan kesamaan proporsional. Kesamaan numerik

mempersamakan setiap manusia sebagai satu unit. Kesamaan proporsional

memberi tiap orang apa yang menjadi haknya sesuai dengan kemampuannya,

prestasinya, dan sebagainya. Dia juga membedakan keadilan menjadi jenis

keadilan distributif dan keadilan korektif.5 Pertama, berlaku dalam hukum publik,

kedua, dalam hukum perdata dan pidana. John Rawls dengan teori keadilan

sosialnya menegaskan bahwa program penegakan keadilan yang berdimensi

kerakyatan haruslah memperhatikan dua prinsip keadilan, yaitu memberi hak dan

kesempatan yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas, seluas kebebasan

yang sama bagi setiap orang dan mampu mengatur kembali kesenjangan sosial

ekonomi yang terjadi sehingga dapat memberi keuntungan yang bersifat timbal

balik (reciprocal benefits)6

Dalam kaitannya dengan teori keadilan tersebut diatas, dalam sebuah

negara penegakan hukum merupakan pusat dari seluruh “aktivitas kehidupan”

hukum yang dimulai dari perencanaan hukum, pembentukan hukum, penegakan

bagi setiap orang, baik mereka yang berasal dari

kelompok beruntung maupun tidak beruntung.

3 Ibid. 4 Ibid. hlm. 25. 5 Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam lintasan sejarah, cet VIII, Yogyakarta: kanisius,

1995 hal. 196. 6 John Rawls, A Theory of Justice, terjemahan Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, Teori

Keadilan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.

Universitas Sumatera Utara

Page 3: Evolusi Filsafat Hukum

13

hukum dan evaluasi hukum. Penegakan hukum pada hakikatnya merupakan

interaksi antara berbagai perilaku manusia yang mewakili kepentingan-

kepentingan yang berbeda dalam bingkai aturan yang telah disepakati bersama.

Oleh karena itu, penegakan hukum tidak dapat semata mata dianggap sebagai

proses menerapkan hukum sebagaimana pendapat kaum legalistik. Namun proses

penegakan hukum mempunyai dimensi yang lebih luas daripada pendapat

tersebut, karena dalam penegakan hukum akan melibatkan dimensi perilaku

manusia. Dengan pemahaman tersebut maka kita dapat mengetahui bahwa

problem-problem hukum yang akan selalu menonjol adalah problema law in

action bukan pada law in the books. Saat ini dapat dilihat dan dirasakan bahwa

penegakan hukum berada dalam posisi yang tidak menggembirakan. Masyarakat

mempertanyakan kinerja aparat penegak hukum dalam pemberantasan korupsi,

merebaknya mafia peradilan, dan pelanggaran hukum.7

Beberapa perkembangan yang terjadi dalam kurun waktu beberapa tahun

terakhir, yang dimulai dengan bergulirnya agenda reformasi, telah menghasilkan

berbagai perubahan besar di tanah air, khususnya dalam hal demokratisasi dan

sistem ketatanegaraan. Dimana agenda yang paling mendasar dalam proses

transisi menuju demokrasi adalah reformasi konstitusi sebagai syarat utama dari

sebuah Negara demokrasi konstitusional. Karena proses transformasi kearah

pembentukan sistem demokrasi hanya dimungkinkan bila didahului oleh

perubahan fundamental dalam aturan konstitusi yang memberikan dasar bagi

7 Prof. Zudan Arif Fakrulloh, SH., MH., Penegakan Hukum Sebagai Peluang

Menciptakan Keadilan, Sebuah Tulisan yang diterbitkan dalam Majalah Jurisprudence, Vol. 2, No. 1, Maret 2005, hlm. 22 - 34

Universitas Sumatera Utara

Page 4: Evolusi Filsafat Hukum

14

berbagai agenda demokrasi lainnya.8 Reformasi politik dan Ekonomi yang

bersifat menyeluruh tidak mungkin dilakukan tanpa diiringi oleh reformasi

hukum. Namun menurut Prof. Jimly Assiddiqie, S.H.,9

Dalam sebuah Negara, tidak ada konstitusi yang memasukkan semua

peraturan yang berkaitan dengan penyelenggaraan Negara dan pemerintahan.

Karena itu, konstitusi merupakan dokumen yang hanya memuat prinsip-prinsip

pemerintahan yang bersifat fundamental. Artinya ia hanya mengandung hal-hal

yang bersifat pokok, mendasar, atau asas-asasnya saja.

reformasi hukum yang

menyeluruh juga tidak mungkin dilakukan tanpa didasari oleh agenda reformasi

ketatanegaraan yang mendasar, dan itu artinya diperlukan sebuah constitutional

reform yang tidak setengah hati.

10

Karena itu, sifat dan karakteristik konstitusi yang demikian dimaksudkan

agar ia tidak selalu diubah karena perkembangan zaman dan masyarakat.

Menurut, Miriam Budiarjo

11

Sejalan dengan prinsip konstitusionalisme, gagasan konstitusi sebagai

alat pembatasan kekuasaan, tidak dapat dilepaskan lagi dari gagasan hak asasi

manusia, demokrasi dan Negara hukum. Dimana konstitusi merupakan kristalisasi

, konstitusi merupakan sebuah piagam yang

menyatakan cita-cita bangsa dan merupakan dasar organisasi kenegaraan suatu

bangsa. Dimana dalam konstitusi terdapat berbagai aturan pokok yang berkaitan

dengan kedaulatan, pembagian kekuasaan, lembaga-lembaga Negara, cita-cita dan

ideology Negara, masalah ekonomi dan sebagainya.

8 Ni’ matul Huda, S.H.,M.Hum. UUD 1945 dan Gagasan Amandemen Ulang, Jakarta:

Rajawali Pers, 2008, hlm. 193. 9 Ibid. 10 Ibid. hlm.6. 11 Prof. Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia, 1989, hlm. 107.

Universitas Sumatera Utara

Page 5: Evolusi Filsafat Hukum

15

normatif atas tugas Negara dalam memberikan perlindungan hak asasi manusia

dan melaksanakan pemerintahan berdasarkan kedaulatan rakyat disertai batas-

batas kekuasaan secara hukum yang diarahkan bagi kepentingan masyarakat

secara keseluruhan.12

Dalam setiap perubahan konstitusi harus didasarkan pada paradigma atau

pandangan mengenai perubahan yang harus dipatuhi oleh pelaku perubahan, yang

terarah dan sesuai dengan kebutuhan yang berkembang di masyarakat. Paradigma

ini digali dari kelemahan sistem bangunan konstitusi yang lama, dengan

argumentasi diciptakan sebagai landasan agar dapat menghasilkan sistem yang

menjamin stabilitas pemerintahan dan memajukan kesejahteraan rakyat. Sebuah

ide untuk melakukan perubahan ini muncul dari Majelis Permusyawaratan Rakyat

hasil pemilu tahun 1999, yang mencetuskan sebuah gagasan yaitu untuk

menerapkan prinsip pemisahan kekuasaan yang tegas antara cabang-cabang

kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudisial yang diwujudkan dalam pelembagaan

Pada awal bergulirnya gerakan reformasi, tekad untuk

memberantas segala penyalahgunaan kekuasaan dan penyelewengan-

penyelewengan seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme, ternyata belum diikuti

dengan langkah nyata dan kesungguhan pemerintah termasuk juga aparat penegak

hukum dalam usaha penegakan hukum di Indonesia. Sebagai reaksi dari adanya

tuntutan reformasi tersebut, pada akhirnya membawa perubahan mendasar dalam

sendi kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk bidang hukum dan politik,

yang seakan telah membawa Negara Republik Indonesia ke arah yang demokratis

dan konstitusional.

12 Moh. Mahfud MD, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta,

2003, hlm.142.

Universitas Sumatera Utara

Page 6: Evolusi Filsafat Hukum

16

organ-organ Negara yang sederajat dan menjalankan fungsi check and balance.

Masing-masing organ Negara tidak lagi terstruktur secara hierarkhi, tetapi

terstruktur menurut fungsinya.13 Perubahan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan salah satu pilar utama yang menandai

upaya penyempurnaan dan pengembangan demokrasi dalam aspek kehidupan

berbangsa dan bernegara.14

Dengan adanya perubahan UUD 1945 telah mengimplikasikan berbagai

kemajuan terutama terkait dengan semangat dalam penguatan sendi-sendi

berdemokrasi termasuk penjaminan terhadap kebebasan sipil. Dan untuk

menciptakan pemerintahan yang demokratis dan konstitusional. Dimana dalam

menjalankan fungsi check and balances tersebut, diperlukan sebuah lembaga yang

memiliki kewenangan untuk melakukan pengawasan yudisial (judicial control)

terhadap penyelenggaraan Negara. Di Indonesia sendiri, terdapat upaya untuk

memperbaiki penegakan hukum di Indonesia melalui melalui perubahan konstitusi

Hal ini akan hanya memiliki arti yang sangat besar

dan bermanfaat bagi kehidupan berbangsa dan bernegara apabila seluruh elemen

masyarakat telah memiliki satu kesamaan dalam pemahaman yang menyeluruh

terhadap konstitusi. Dimana perubahan Undang-Undang Dasar 1945 pada tataran

implementasi, membawa perubahan baik penghapusan maupun pembentukan

lembaga-lembaga Negara, kedudukan masing-masing Lembaga Negara

tergantung kepada tugas dan wewenang yang diberikan oleh Undang-Undang

Dasar 1945.

13Dr. Abdul Rsyid Thalib, SH., Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Implikasinya dalam

Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Jakarta: Citra Aditya Bakti, 2006, hlm. 2. 14Materi Sosialisasi Putusan Majelis Permusyawaratan Republik Indonesia, tentang

Ketetapan MPR RI dan Keputusan MPR RI Tahun 2006

Universitas Sumatera Utara

Page 7: Evolusi Filsafat Hukum

17

dan sebuah reformasi ketatanegaraan. Terutama dalam lembaga peradilan dan

kekuasaan kehakiman.15

Menurut Moh. Mahfud MD

16

15 Sebuah Tulisan Moh. Mahfud MD, Kekuasaan Kehakiman Pasca Amandemen UUD

1945, yang kemudian dimuat dalam Buku Komisi Hukum Nasional “Gagasan Amandemen UUD 1945: Suatu Rekomendasi” Vol. 1, Desember 2008, hlm. 15.

16 Ibid.

, ada tiga hal yang terkait dengan wacana

untuk memperbaiki penegakan hukum di Indonesia melalui reformasi. Pertama,

maraknya mafia peradilan (judicial corruption) yang melibatkan hakim-hakim

dan para penegak hukum lainnya (catur wangsa penegak hukum). Jucial

corruption terasa menyengat tetapi tidak dapat terlihat atau dibuktikan secara

formal karena pelaku-pelakunya terdiri dari orang-orang yang pandai

memanipulasi hukum untuk saling melindungi. Kedua, banyaknya peraturan

perundang-undangan, termasuk produk undang-undang, yang secara substantif

dinilai bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi,

termasuk dengan Undang-Undang Dasar 1945, tetapi tidak ada lembaga atau

mekanisme pengujian yang efektif melalui lembaga yudisial (judicial review).

Yang ada saat itu hanyalah pengujian oleh legislatif (legislative review) dan

pengujian oleh lembaga eksekutif (executive review) yang bergantung pada

keputusan Presiden, sesuai dengan system politik executive heavy yang

mendasarinya. Maka setelah adanya perubahan Undang-Undang Dasar, terlihat

salah satu capaian penting dari Perubahan Ke III adalah kehadiran lembaga baru

dalam sistem kekuasaan kehakiman yang dinamakan Mahkamah Konstitusi, yang

ditasbihkan sebagai the Guardian and the Protector of the Constitution.

Keberadaan Mahkamah Konstitusi dalam system ketatanegaraan Indonesia dapat

Universitas Sumatera Utara

Page 8: Evolusi Filsafat Hukum

18

dikatakan sebagai sebuah lembaga baru, yang tidak dapat dipungkiri terinspirasi

oleh Mahkamah Konstitusi di Negara lain.

Namun, konsep mengenai Mahkamah Konstitusi tidak diadopsi secara

keseluruhan, karena setiap Negara memiliki karakteristik system ketatanegaraan

yang berbeda. Dan saat ini, terdapat 78 negara yang telah memiliki Mahkamah

Konstitusi, dan merupakan trend di negara-negara yang baru mengalami

perubahan dari rezim otoriter ke arah rezim demokrasi.17

Kehadiran Mahkamah Konstitusi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia

merupakan tuntutan atau konsekuensi teoritis dari perubahan Undang-Undang

Dasar 1945. Gagasan utama yang melandasi perubahan tersebut adalah keinginan

untuk mewujudkan Indonesia sebagai Negara hukum (rule of law, rechsstaat) dan

Negara demokrasi yang berdasarkan konstitusi (constitutional democracy).

18

17 I Dewa Gede Palguna, Mahkamah Konstitusi, Judicial review, dan Welfare State,

Jakarta: Konstitusi Press, 2008, hlm.3. 18 Ibid., hlm. 47.

Bersama Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi adalah pemegang kekuasaan

kehakiman di Indonesia. Sebagai pemegang kekuasaan kehakiman mahkamah

konstitusi diharapkan dapat menjadi ujung tombak penegakan keadilan. Banyak

yang berharap bahwa pembentukan Mahkamah Konstitusi dapat menjamin hak

konstitusioanal warganegara. Sebab selama masa orde baru hak-hak dasar

warganegara selalu diabaikan oleh penguasa pada saat itu. Masyarakat pada masa

itu sering menjadi korban kebijakan pemerintah yang selalu mangabaikan hak

masyarakat. Keberadaan mahkamah konstitusi dapat menjadi wadah bagi

Universitas Sumatera Utara

Page 9: Evolusi Filsafat Hukum

19

masyarakat untuk mendapatkan perlindungan akan hak-haknya yang telah diatur

dalam konstitusi, dalam hal ini adalah undang-undang dasar 1945.19

Salah satu kewenangan dari Mahkamah Konstitusi adalah menguji

undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945, yang merupakan cermin

pelaksanaan mekanisme check and balances di Indonesia, dimana kekuasaan

pembuat undang-undang yang selama ini berada pada badan legislatif tidak dapat

diuji oleh lembaga yudisial. Dengan berwenangnya kekuasaan kehakiman,

melalui Mahkamah Konstitusi menguji undang-undang, maka semua pengadilan

dan lembaga Negara, dan lembaga lainnya termasuk pemerintah daerah harus

terikat dengan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut. Namun, dalam pengujian

ini, terdapat ketentuan beracara seperti yang tercantum dalam ketentuan pasal 28

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003. Pengujian undang-undang terhadap

Undang-Undang Dasar 1945, merupakan tugas yang mendominasi kewenangan

Mahkamah Konstitusi sebagaimana terlihat dalam permohonan yang masuk dan

terdaftar di kepaniteraan Mahkamah Konstitusi. Sebagai data, dapat dikemukakan

Mahkamah Konstitusi sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman, telah

diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 24, dan mengenai

kewenangannya diatur dalam pasal 24C. Serta, sesuai dengan ketentuan di dalam

pasal 24C ayat (6) Undang-Undang Dasar 1945, dibentuk pula sebuah peraturan

sebagai pelaksana Undang-Undang Dasar 1945, yaitu Undang-Undang Nomor 24

Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, dan peraturan ini tidak membatasi

pelaksanaan ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Dasar 1945.

19 http://wongbanyumas.com, Senin, 30 November 2009. (diakses pada 04 Februari 2010)

Universitas Sumatera Utara

Page 10: Evolusi Filsafat Hukum

20

bahwa sejak terbentuk tahun 2003 sampai bulan Juni 2008, Mahkamah Konstitusi

sudah memeriksa dan memutus pengujian undang-undang terhadap Undang-

Undang Dasar 1945 (judicial review) sebanyak 137 kali dan permohonan yang

sedang dalam proses pemeriksaan sebanyak 11 kasus.20

Mahkamah Konstitusi dalam melakukan tugasnya, mengacu pada

Peraturan Mahkah Konstitusi Nomor 06 Tahun 2005 tentang pedoman beracara

dalam perkara pengujian undang-undang. Dan menurut banyak pakar, kekosongan

hukum dalam hukum acara Mahkamah Konstitusi memang menyulitkan bagi para

hakim dalam menjalankan praktek beracara Mahkamah Konstitusi.

21 Dalam

menjalankan kewenangan menguji konstitusionalitas sebuah undang-undang,

Mahkamah Konstitusi banyak mendapat kritik mengenai substansi perkaranya dan

bagaimana hukum formilnya, khususnya masalah ultra petita atau putusan yang

melebihi tuntutan pemohon.22

20 Moh. Mahfud MD, op. cit., hlm.22 21 http://wongbanyumas.com 22 http://www.miftakhulhuda.com

Hal ini dapat dilihat dalam salah satu Putusan

Perkara Nomor 006/PUU-IV/2006 yang menguji Undang-Undang Nomor 27

Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Dalam putusannya,

Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Undang-Undang Nomor 27 Tahun

2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi tidak mempunyai kekuatan

hukum yang mengikat. Dengan kekuatan mengikat dari putusan Mahkamah

Konstitusi ini, selain mengikat pihak-pihak yang berperkara (interpartes), namun

juga mengikat bagi semua orang, dan lembaga-lembaga hukum serta badan

hukum di wilayah Republik Indonesia. Hal inilah yang menjadi kelemahan bagi

Universitas Sumatera Utara

Page 11: Evolusi Filsafat Hukum

21

Mahkamah Konstitusi dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, karena dalam

Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06 Tahun 2005 ini, tidak mengatur

batasan apakah Mahkamah Konstitusi boleh melakukan ultra petita. Oleh karena

itulah Mahkamah Konstitsi mengadopsi berbagai aturan dalam hukum acara

terutama hukum acara peradilan tata usaha negara. Selain itu, Mahkamah

Konstitusi juga mengadopsi peraturan yang berasal dari negara lain yang memiliki

lembaga Constitutional Courts.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian yang terdapat dalam latar belakang, penulis

berpendapat bahwa studi terhadap Kewenangan dalam Mahkamah Konstitusi

masih belum banyak menjadi perhatian para ahli hukum terutama ahli hukum tata

Negara. Hal ini disebabkan karena Mahkamah Konstitusi sebagai pelaksana

Kekuasaan Kehakiman yang tergolong baru dalam sistem ketatanegaraan di

Indonesia akan terus-menerus berupaya untuk memperbaiki segala hal yang

belum sempurna dengan sebaik-baiknya.

Dengan demikian penulis mengidentifikasi beberapa permasalahan untuk

dibahas secara lebih terperinci dalam tulisan ini. Adapun permasalahan tersebut

adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana pelaksanaan kekuasaan kehakiman oleh Mahkamah Konstitusi

setelah perubahan UUD 1945?

2. Bagaimana pengaturan putusan ultra petita dalam Hukum Acara pada

Pengadilan Umum di Indonesia?

Universitas Sumatera Utara

Page 12: Evolusi Filsafat Hukum

22

3. Bagaimana akibat hukum Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Ketentuan

Beracara di Mahkamah Konstitusi?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

1. Tujuan Penulisan

Adapun yang menjadi tujuan dari penulisan skripsi ini dapat diuraikan

sebagai berikut :

a. Untuk mengetahui yang menjadi dasar legitimasi teori konstitusi dalam

perubahan Undang-Undang Dasar 1945 terhadap kekuasaan kehakiman

yang dijalankan oleh Mahkamah Konstitusi.

b. Untuk mengetahui ketentuan beracara di Pengadilan Umum dan secara

khusus ketentuan beracara di Mahkamah Konstitusi dalam melaksanakan

uji materil Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945

menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah

Konstitusi.

c. Untuk mengetahui bagaimana akibat hukum dari putusan Mahkamah

Konstitusi.

2. Manfaat Penulisan

A. Secara Teoritis

Pembahasan terhadap permasalahan-permasalahan sebagaimana

diuraikan diatas, diharapkan akan menimbulkan pemahaman dan pengertian bagi

pembaca mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam perkembangan

Universitas Sumatera Utara

Page 13: Evolusi Filsafat Hukum

23

pelaksanaan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945.

Jadi, secara teoritis, manfaat penulisan skripsi ini adalah sebagai sumbangan

pikiran untuk memperkaya ilmu pengetahuan, menambah dan melengkapi koleksi

karya ilmiah serta memberikan kontribusi pemikiran yang membahas fungsi

judicial review terkait dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagai salah

satu lembaga yang melaksanakan kekuasaan kehakiman. Selain itu, manfaat

penulisan skripsi diharapkan mampu menemukan konsep baru dan argumentasi

baru mengenai keberadaan Mahkamah Konstitusi di Indonesia.

B. Secara Praktis

Penulis berharap, semoga hasil penulisan ini bermanfaat bagi semua

orang, terutama bagi setiap orang yang berminat untuk mengikuti perkuliahan di

fakultas hukum di setiap perguruan tinggi, dan menjadi sumbangan pemikiran

ilmiah bagi hukum positif di Indonesia, berkaitan dengan salah satu ciri dari

Negara Indonesia, yang demokratis dengan menjunjung tinggi supremasi hukum

(supremacy of law). Hal ini tidak terlepas dari penempatan Hukum Tata Negara

sebagai unsur terpenting dalam sistem hukum Indonesia. Dimana, dengan adanya

penulisan skripsi ini, diharapkan mampu memberikan pandangan baru terhadap

perubahan sistem ketatanegaraan ketika Mahkamah Konstitusi hadir sebagai salah

satu Pelaksana Kekuasaan Kehakiman di Indonesia.

Manfaat lain dari penulisan ini adalah masyarakat diharapkan dapat

mengetahui bagaimana pelaksanaan kewenangan Mahkamah Konstitusi di

Indonesia, ketika terdapat produk perundang-undangan yang inkonstitusional

Universitas Sumatera Utara

Page 14: Evolusi Filsafat Hukum

24

dapat mengajukan permohonan penyelesaian sengketa ke Mahkamah Konstitusi,

dan dapat dijadikan dasar untuk melakukan pengawasan terhadap perbuatan

komponen konstitusi (institusi) pemerintah.

D. Keaslian Penulisan

Sebelum tulisan ini dimulai, penulis telah terlebih dahulu melakukan

penelusuran terhadap tulisan-tulisan terdahulu, dan sepanjang penelusuran

tersebut, diketahui di Lingkungan Fakultas Hukum USU, penulisan tentang

“Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan Ultra Petita oleh Mahkamah

Konstitusi Republik Indonesia” belum pernah ada. Kemudian, permasalahan

yang dimunculkan dalam penulisan ini merupakan hasil olah pikir dari penulis

sendiri. Kendatipun terdapat tulisan atau skripsi yang menyerupai tulisan ini,

penulis yakin bahwa substansi pembahasannya berbeda dengan skripsi ini.

Dimana dalam skripsi ini, penulis mencoba untuk mengarahkan pembahasannya

mengenai proses pelaksanaan kewenangan Mahkamah Konstitusi berdasarkan

ketentuan beracara di Lembaga ini, dan dalam implementasi putusan perkara dari

Mahkamah Konstitusi ini. Oleh sebab itu, keaslian dari tulisan ini dapat dijamin

oleh penulis.

E. Tinjauan Kepustakaan

Kegagalan dewan konstituante dalam membentuk sebuah undang-undang

dasar sebagai pengganti Undang-Undang Dasar 1945 merupakan salah satu

penyebab keluarnya Dekrit Presiden, yang merupakan salah satu langkah

Universitas Sumatera Utara

Page 15: Evolusi Filsafat Hukum

25

pemerintah Indonesia untuk menyelamatkan negara ini dari ketidakjelasan dalam

sistem konstitusi. Dengan keluarnya dekrit 5 Juli 1959 tersebut, maka Indonesia

memberlakukan kembali Undang-Undang Dasar 1945. Setelah pemberlakuan

kembali Undang-Undang Dasar 1945, tampaknya masyarakat Indonesia tidak

memiliki keinginan untuk mengadakan perubahan, namun ketika tuntutan

reformasi bergulir, terdapat sebuah tuntutan untuk mengubah Undang-Undang

Dasar 1945, yang terlaksana pada tahun 1999 sampai dengan tahun 2002.

Menurut Sri Soemantri, suatu Undang-Undang Dasar memungkinkan untuk

diubah. Hal ini terlihat dari pendapat beliau :

“perubahan Undang-Undang Dasar pada dasarnya merupakan suatu keniscayaan karena pertama, generasi yang hidup saat ini tidak dapat mengikat generasi yang akan datang. Kedua, hukum konstitusi hanyalah salah satu bagian dari hukum tata negara, dan ketiga, ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam suatu konstitusi atau undang-undang dasar selalu dapat diubah.”23

23 Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Undang-Undang Dasar, Bandung:

Penerbit Alumni, 2006, hlm. 272.

Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

membawa implikasi terhadap kedudukan, tugas, dan wewenang Majelis

Permusyawaratan Rakyat (MPR). MPR yang dahulu berkedudukan sebagai

Lembaga Tertinggi Negara, pemegang dan pelaksana sepenuhnya kedaulatan

rakyat, kini Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) berkedudukan sebagai

lembaga negara yang berkedudukan sebagai lembaga negara yang setara dengan

lembaga negara lainnya, yaitu Lembaga Kepresidenan, Dewan Perwakilan

Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Badan Pemeriksa Keuangan, Mahkamah

Agung dan Mahkamah Konstitusi.

Universitas Sumatera Utara

Page 16: Evolusi Filsafat Hukum

26

Keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai special tribunal secara

terpisah dari Mahkamah Agung, merupakan konsepsi yang dapat ditelusuri jauh

sebelum keberadaan Negara bangsa yang modern, yang pada dasarnya menguji

konstitusionalitas norma hukum yang lebih rendah terhadap norma hukum yang

lebih tinggi. Sejarah modern judicial review dapat dilihat sebagai perkembangan

yang berlangsung selama 250 tahun sebagai cirri utama Mahkamah Konstitusi,

dengan adanya penerimaan yang luas terhadap hal ini, namun ada juga menerima

dengan rasa kebencian terhadap lembaga ini.

Sebelum Mahkamah Konstitusi terbentuk sebagai lembaga yang

mempunyai kewenangan melakukan judicial review, Indonesia telah memiliki

Mahkamah Agung yang juga mempunyai kewenangan yang sama. Namun,

judicial review yang menjadi kewenangan Mahkamah Agung adalah judicial

review terhadap peraturan perundang-undangan yang berada dibawah undang-

undang. Sedangkan judicial review yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi

adalah pengujian atas undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945.

Berkaitan dengan hal diatas, Jimly Asshiddiqie menjelaskan:

“Pengujian konstitusionalitas undang-undang adalah pengujian mengenai nilai konstitusionalitas undang-undang itu, baik dari segi formil maupun materil. Karena itu pada tingkat pertama, pengujian konstitusionalitas itu haruslah dibedakan dari pengujian legalitas. Mahkamah Konstitusi melakukan pengujian konstitusionalitas, sedangkan Mahkamah Agung melakukan pengujian legalitas, bukan pengujian konstitusionalitas.”24

Didalam penyelenggaraan kekuasaan kehakiman, Mahkamah Konstitusi

lahir untuk menjaga kestabilan sistem pemerintahan serta menjadi penjaga dan

24 Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Jakarta: Konstitusi

Press, 2006, hlm. 1.

Universitas Sumatera Utara

Page 17: Evolusi Filsafat Hukum

27

pelindung bagi konstitusi. Sehingga ketika Mahkamah Konstitusi melaksanakan

kewenangannya, tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003.

Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa Mahkamah Konstitusi telah

muncul sebagai lembaga Negara yang independent dan cukup produktif

mengeluarkan putusan-putusan yang sangat mendukung bagi kehidupan

ketatanegaraan yang demokrat.25

Namun dalam menjalankan kewenangan

menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, terdapat beberapa

putusan Mahkamah Konstitusi yang dianggap kontroversial karena dianggap

melampaui batas kewenangan dan melanggar atau memasuki wilayah legislatif.

Yaitu, memutuskan melebihi apa yang diminta oleh pemohon atau yang lebih

lazim disebut sebagai ultra petita.

Ketentuan mengenai larangan ultra petita,dapat dilihat dalam Pasal 178

ayat (2) dan (3) Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) serta padanannya

dalam Pasal 189 ayat (2) dan (3) RBg yang melarang seorang hakim memutus

melebihi apa yang dituntut (petitum). Ketentuan HIR merupakan hukum acara

yang berlaku di pengadilan perdata di Indonesia. Namun seperti yang kita ketahui

juga, bahwa dalam Hukum Acara Mahkamah Konstitusi tidak dikenal ketentuan

ultra petita.

25 Moh. Mahfud MD, Konstitusi dan Hukum Dalam Kontroversi Isu, Jakarta:Rajawali

Pers, 2009, hlm. 275.

Universitas Sumatera Utara

Page 18: Evolusi Filsafat Hukum

28

F. Metode Penelitan

Metode dapat diartikan sebagai cara atau jalan untuk mencapai sesuatu.

Namun, menurut kebiasaan metode dapat dirumuskan dalam beberapa

kemungkinan26

a. Suatu tipe pemikiran yang dipergunakan dalam penelitian dan penilaian;

yaitu :

b. Suatu teknik yang umum digunakan dalam ilmu pengetahuan;

c. Cara tertentu untuk melaksanakan suatu prosedur.

Dalam pembahasan skripsi ini, metode yang digunakan dalam penulisan

skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Spesifikasi Penelitian

Jenis dari penelitian ini adalah dengan menggunakan metode Penelitian

Hukum Normatif (legal research), yaitu dengan mengacu pada berbagai

norma hukum, dalam hal ini adalah perangkat hukum tata negara yang

terdapat di dalam berbagai sumber terkait dengan Putusan Mahkamah

Konstitusi yang dibahas dalam skripsi ini.

2. Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang digunakan oleh penulis adalah metode pendekatan

yuridis (legal approach), mengingat permasalahan yang diteliti dan dibahas

dala skripsi ini adalah ketentuan beracara di Mahkamah Konstitusi dan

tinjauan yuridis mengenai ketentuan ultra petita dalam putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 006/PUU-IV/2006 terkait dengan pengujian Undang-

Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.

26 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 1986, hlm. 5.

Universitas Sumatera Utara

Page 19: Evolusi Filsafat Hukum

29

3. Alat Pengumpul Data

Pengumpulan data yang diperlukan oleh penulis berkaitan dengan

penyelesaian skripsi ini adalah dengan cara penelitian kepustakaan (library

research). Dalam hal ini, penulis melakukan penelitian terhadap literatur-

literatur untuk memperoleh bahan teoritis ilmiah yang dapat digunakan

sebagai dasar analisis terhadap substansi pembahasan dalam skripsi ini.

Tujuan dari tinjauan kepustakaan (library research) ini adalah untuk

memperoleh data-data sekunder27

4. Analisis Data

yang meliputi peraturan perundang-

undangan, buku-buku, majalah, surat kabar, situs internet, maupun bahan

bacaan lainnya yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini.

Data yang diperoleh penulis dari tinjauan kepustakaan ini akan dianalisis

secara deskriptif dengan menggunakan metode induktif dan deduktif yang

berpedoman kepada bagaimana putusan ultra petita tersebut dalam ketentuan

hukum acara yang terdapat dalam proses peradilan di Indonesia.

Analisis deskriptif maksudnya adalah penulis semaksimal mungkin berupaya

untuk memaparkan data-data yang sebenarnya.

Metode Deduktif maksudnya adalah berdasarkan peraturan perundang-

undangan yang berlaku di Indonesia tentang ultra petita dan hukum acara di

Pengadilan Umum dan Mahkamah Konstitusi yang dapat dijadikan sebagai

27 Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari dokumen-dokumen resmi, buku-buku,

hasil penelitian, laporan, buku harian surat kabar, dan lain sebagainya, dalam keadaan yang siap tersaji dan telah dibentuk serta diisi oleh peneliti-peneliti terdahulu.

Universitas Sumatera Utara

Page 20: Evolusi Filsafat Hukum

30

pedoman untuk mengambil kesimpulan yang bersifat khusus berdasarkan data

yang diperoleh dari penelitian.

Metode induktif artinya adalah melalui data-data khusus mengenai

implementasi kewenangan Mahkamah Konstitusi akan dapat ditarik

kesimpulan umum yang akan digunakan dalam pembahasan selanjutnya.

G. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini berisi tentang dasar-dasar pemikiran dan gambaran

umum tentang permasalahan yang akan dibahas, serta berisi

tentang teknis penulisan skripsi ini yang dimulai dengan

mengemukakan latar belakang pemilihan judul, rumusan

masalah, tujuan dan manfaat penulisan, tinjauan pustaka, metode

penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II : MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAI BAGIAN DARI

KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA

Bab ini merupakan awal dari pembahasan terhadap

permasalahan yang telah dirumuskan dalam pendahuluan. Jika

melihat skripsi ini, maka penulis melakukan penelusuran yang

dimulai dari pandangan umum mengenai Penyelenggaraan

Kekuasaan Kehakiman Sebelum Amandemen UUD 1945

maupun Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman pasca

Universitas Sumatera Utara

Page 21: Evolusi Filsafat Hukum

31

amandemen UUD 1945, serta sejarah pembentukan dan

perkembangan kedudukan mahkamah konstitusi sebagai bagian

dari kekuasaan kehakiman, di Indonesia.

BAB III : KETENTUAN ULTRA PETITA DALAM HUKUM

ACARA DI INDONESIA

Didalam bab ini, diberikan gambaran mengenai pengaturan ultra

petita didalam hukum acara di pengadilan umum di Indonesia.

Selain itu, dalam bab ini juga dijelaskan bagaimana akibat

hukum dari sebuah putusan yang bersifat ultra petita dalam

sitem peradilan Republik Indonesia. Dilanjutkan dengan

pembahasan mengenai Hukum Acara di Mahkamah Konstitusi.

Yaitu, mulai dari Konstitusionalitas Undang-Undang, serta legal

standing pemohon dalam pengajuan perkara. Selain itu, dalam

bab ini juga dibahas mengenai akibat hukum putusan Hakim

Konstitusi termasuk Putusan Hakim yang melebihi tuntutan

pemohon (ultra petita).

BAB IV : TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PUTUSAN ULTRA

PETITA OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI Bab ini merupakan inti dari permasalahan yang dibahas dalam

skripsi ini. Dalam bab ini, penulis melakukan pembahasan dan

analisi mengenai pelaksanaan kewenangan Mahkamah

Konstitusi yang merupakan Lembaga Negara Yudikatif dalam

menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945.

Dan berdasarkan ketentuan beracara di Mahkamah Konstitusi,

Universitas Sumatera Utara

Page 22: Evolusi Filsafat Hukum

32

uji materil dilakukan mulai dari pemeriksaan mengenai

inkonstitusionalitas undang-undang, objek pengujian, serta legal

standing pemohon, terhadap pengujian terhadap Undang-

Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan

Rekonsiliasi, serta putusan terhadap Perkara Nomor 6/PUU-

IV/2006. Dalam putusan tersebut diatas dapat dianalisis

mengenai ketentuan ultra petita yang dilakukan oleh Hakim

Konstitusi. Dan dicentumkan juga pendapat berbeda (dissenting

opinion) oleh Hakim Konstitusi mengenai ultra petita yang

dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi.

Dari hal ini, kiranya dapat ditarik kesimpulan untuk selanjutnya

memecahkan permasalahan yang telah dirumuskan.

BAB V : PENUTUP

Bab ini merupakan akhir dari penulisan skripsi ini, yang berisi

kesimpulan dari tiga pembahasan yang telah ada sebelumnya

diatas, kiranya dapat memberikan gambaran yang jelas

mengenai pelaksanaan kekuasaan kehakiman oleh Mahkamah

Konstitusi serta implementasi dari Putusan Mahkamah

Konstitusi tersebut, sehingga dapat memberikan saran-saran

konstruktif yang tentunya didasarkan pada pemikiran yuridis

yang didapat dari proses penulisan ini.

Universitas Sumatera Utara