Post on 18-Feb-2016
description
BAB I
STATUS PASIEN
A. Identitas
a. Nama/Jenis Kelamin/Umur : An. Alfino/ laki-laki / 5 tahun
b. Alamat : jl Rajawali.Belakang STIKOM
c. Pekerjaan : Pelajar
d. Pendidikan : SD
I. Latar Belakang Spasienio-ekonomi-demografi-lingkungan-keluarga
a. Status Perkawinan : -
b. Jumlah saudara : 3 orang bersaudara
c. Status ekonomi keluarga : cukup
d. Kondisi Rumah dan keseharian pasien :
Pasien tinggal di rumah permanen, beratap genteng dengan lantai
keramik dan dinding semen. Mempunyai 1 ruang tamu, 3 kamar tidur
dengan ventilasi yang cukup, 1 ruang keluarga yang menyatu dengan ruang
makan, 1 dapur dan 1 kamar mandi dengan wc jongkok. Sumber air
menggunakan air ledeng. Kondisi rumah cukup bersih dan rapi dengan
pencahayaan yang cukup.
e. Kondisi Lingkungan Keluarga:
Pasien tinggal bersama kedua orang tua dan 3 saudaranya. Ibu dan
ayah pasien bekerja sebagai karyawan swasta. Sumber penghasilan
keluarga dari kedua orang tuanya. Keharmonisan keluarga pasien baik,
pasien berhubungan baik dengan orang tua maupun saudaranya, tidak ada
masalah dalam hubungan satu sama lain. Biaya berobat ditanggung oleh
Jamsostek.
II. Aspek Psikologis di Keluarga :
Secara psikologis, pasien tidak ada masalah.
1
III. Riwayat Penyakit Dahulu/keluarga :
Pasien tidak pernah masuk rumah sakit sebelumnya. Pasien kadang-kadang
menderita batuk dan pilek, riwayat mengalami pengobatan jangka lama tidak
ada.
Tidak ada dikeluarga yang mengalami keluhan yang sama.
B. ANAMNESIS
I. Keluhan Utama:
Bengkak pada perut dan kaki sejak 3 bulan.
II. Riwayat Penyakit Sekarang : (autoanamnesa)
Sejak 3 bulan yang lalu, pasien awalnya mengeluh bengkak pada
kedua kelopak mata, mata dirasa menjadi lebih sipit, namun pasien maupun
ibunya tidak menghiraukannya. Sekitar 2 minggu kemudian timbul bengkak di
kaki, bengkak diperut, pasien juga mengeluhkan badannya terasa berat dari
biasanya. Tidak ada mual dan muntah. Demam dirasakan juga, demam tidak
terlalu tinggi, demam hilang timbul. Kemudian pasien dibawa berobat di
dokter spesialis anak dan dilakukan pemeriksaan laboratorium dan dokter
tersebut mengatakan kalau ginjal pasien bocor.
1 minggu sebelum kepuskesmas, penderita mengeluh sembab diseluruh
tubuh, demam ada, demam tidak terlalu tinggi, demam hilang timbul, mual
muntah tidak ada, nyeri perut ada, batuk berdahak ada, BAB biasa, BAK
sedikit- sedikit, warna biasa dan nyeri saat BAK. Air urin seperti cucian
daging (-), nyeri pinggang (-).
C. Pemeriksaan Fisik :
Keadaan Umum
1. Keadaan sakit : sakit sedang
2. Kesadaran : compos mentis
3. Suhu : 37,1°C
4. Nadi : 82 x/menit
2
5. Tekanan Darah : 110 / 70 mmHg
6. Pernafasan
- Frekuensi : 22 x/menit
- Irama : reguler
- Tipe : abdominotorakal
7. Kulit
- Turgor : baik
- Lembab / kering : lembab
- Lapisan lemak : ada
8. Berat badan : 19 kg
9. Tinggi badan : 120 cm
10. Status gizi : -2 SD s/d +2 SD gizi normal
Pemeriksaan Organ
1. Kepala Bentuk : normocephal
Simetri : simetris
2. Mata : Palpebra : edema
Alis & bulu mata : tidak mudah dicabut
Konjungtiva : tidak anemis
Sklera : tidak ikterik
Produksi air mata : cukup
Pupil : Diameter : 3 mm/3 mm
Simetris : isokor, normal
Reflek cahaya : +/+
Kornea : jernih
3. Telinga : Bentuk : simetris
Sekret : tidak ada
Serumen : minimal
Nyeri : tidak ada
4. Hidung : Bentuk : simetris
Pernafasan cuping hidung : tidak ada
3
Epistaksis : tidak ada
Sekret : tidak ada
5. Mulut : Bentuk : normal
Bibir : mukosa bibir basah, sianosis tidak ada
Gusi : - tidak mudah berdarah
- pembengkakan tidak ada
6. Lidah : Bentuk : normal
Pucat/tidak : tidak pucat
Tremor/tidak : tidak tremor
Kotor/tidak : tidak kotor
Warna : kemerahan
7. Faring : Hiperemi : tidak ada
Edema : tidak ada
Membran/pseudomembran : (-)
8. Tonsil : Warna : kemerahan
Pembesaran : tidak ada
Abses/tidak : tidak ada
Membran/pseudomembran : (-)
9. Leher :
Vena Jugularis : Pulsasi : tidak terlihat
Tekanan : tidak meningkat
Pembesaran kelenjar leher : tidak ada
Kaku kuduk : tidak ada
Masa : tidak ada
Tortikolis : tidak ada
10. Thorak :
a. Dinding dada/paru :
Inspeksi : Bentuk : simetris
Retraksi : tidak ada
Dispnea : tidak ada
Pernafasan : thorakal
Palpasi : Fremitus fokal : simetris
4
Perkusi : sonor/sonor
Auskultasi : Suara Napas Dasar : Suara napas vesikuler
Suara Napas Tambahan : Rhonki (-/-), Wheezing (-/-)
b. Jantung :
Inspeksi : Iktus : tidak terlihat
Palpasi : Apeks : tidak teraba
Thrill : tidak ada
Perkusi : Batas kanan : ICS IV LPS dextra
Batas kiri : ICS V LMK sinistra
Batas atas : ICS II LPS dextra
Auskultasi :
Suara dasar : S1 dan S2 tunggal
Bising : tidak ada
2. Abdomen
Inspeksi : Bentuk : cembung
Palpasi : Hati : tidak teraba
Lien : tidak teraba
Ginjal : tidak teraba
Masa : tidak ada
Undulasi : (+)
Perkusi :timpani, shifting dullness (+), ascites (+)
Auskultasi : bising usus (+) normal
3. Ekstremitas : akral hangat, sianosis (-), CRT<2 detik, edema (+) di pretibia
dan dorsum pedis dextra dan sinistra.
4. Genetalia : edema scrotum (-) , kelainan genital lain tidak ada
5
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Darah Rutin
Leukosit 12,7 . 103 mm3
Eritrosit 5,6 . 106 mm3
Hemoglobin 11,4 g/ dl
Hematokrit 36%
Kolesterol 339 mg/dl
GDS 135 mg/dl
Urin Rutin
Makroskopis
Warna: kuning muda jernih
Mikroskopis
Protein : (+++) positif tiga
Bilirubin : -
Epitel : -
Leukosit : 0 – 4 / LPB
Eritrosit : : 0 – 1 / LPB
E.USULAN PEMERIKSAAN
Kadar albumin serum
Kadar ureum dan kreatinin
USG Ginjal dan Abdomen
F.DIAGNOSA KERJA
Sindrom Nefrotik
G.DIAGNOSA BANDING
Gagal Ginjal Akut
Gromeluronefritis Akut Pasca Streptokokus
H.PROGNOSIS
Dubia ad bonam
6
III. Manajemen
Promotif
Menjelaskan kepada orang tua pasien mengenai penyakit Sindrom
Nefritis yang diderita anaknya, penyebabnya, dan pengobatan apa yang
harus dilakukan.
Menjelaskan kepada orang tua pasien bahwa penyakit yang diderita
anaknya cukup serius sehingga dibutuhkan pengobatan yang cukup lama.
Menjelaskan kepada orang tua mengenai jumlah cairan dari makanan
ataupun minuman yang dikonsumsi anaknya harus sesuai dengan jumlah
urine yang dikeluarkan.
Preventif
Mengontrol makanan yang dikonsumsi, hindari makanan yang banyak
mengandung garam serta mengkonsumsi makanan yang banyak
mengandung protein misalnya putih telur, ikan, tahu, tempe.
Mengurangi asupan cairan.
Hindari aktifitas fisik yang berlebihan
Sanitasi dan hygiene lingkungan untuk mencegah terjadinya infeksi
sekunder.
Kuratif
Non Farmakologi
Bedrest total
Diet tinggi kalori, tinggi protein dan rendah garam.
Farmakologi
Paracetamol 500 mg, 3 x ⅓ tab
Furosemid 40 mg, 1 x ⅓ tab
Dexametason 0,5 mg, 3 x ⅓ tab
7
Rehabilitatif
Perlu diperhatikan sanitasi dan hygiene lingkungan untuk mencegah
terjadinya infeksi sekunder.
Segera rujuk ke Rumah Sakit untuk mendapatkan pemeriksaan dan perawatan
lebih lanjut.
XI.RESEP
Dinas Kesehatan Kota Jambi
Puskesmas III Pakuan Baru
Dokter : Rully Dwi Saputra
SIP : No.388/SIP/2013 STR : No.883/STR/2013
Tanggal 17 Januari 2014
R/ Paracetamol 500 mg No V
∫ 3 dd tab ⅓
R/ Deksametason 0,5 mg No V
∫ 1 dd tab ⅓
R/ Furosemid 40 mg No V
∫ 1 dd tab ⅓
Pro : An. Alfino / 5 tahun
Alamat : Jln Rajawali Belakang Stikom
Resep Tidak Boleh Ditukar Tanpa Sepengetahuan Dokter
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi Sindrom Nefrotik
Sindrom nefrotik merupakan kumpulan gejala-gejala yang terdiri dari
proteinuria masif (>40 mg/m2 LPB/jam atau rasio protein/kreatinin pada urin sewaktu
>2 mg atau dipsick ≥2+), hipoalbuminemia (≤2,5 gr/uL), edema, dan dapat disertai
hiperkolesterolemia (250 mg/uL).1,2
Terdapat beberapa definisi/batasan yang dipakai pada SN, antara lain:1,2
1. Remisi, yaitu proteinuria negatif atau trace (proteinuria <4 mg/m2 LPB/jam)
selama 3 hari berturut-turut dalam 1 minggu.
2. Relaps, yaitu proteinuria ≥2+ (proteinuria ≥40 mg/m2 LPB/jam) selama 3 hari
berturut-turut dalam 1 minggu.
3. Relaps jarang, yang terjai kurang dari 2 kali dalam 6 bulan pertama setelah
respon awal atau kurang dari 4 kali per tahun selama pengamatan.
4. Relaps sering (frequent relapse), yaitu relaps terjadi ≥2 kali dalam 6 bulan
pertama atau ≥4 kali dalam periode satu tahun.
5. Dependen steroid, yaitu keadaan dimana terjadi relaps saat dosis steroid
diturunkan atau dalam 14 hari setelah pengobatan dihentikan, dalam hal ini
terjadi 2 kali berturut-turut.
6. Resisten steroid, yaitu suatu keadaan tidak terjadinya remisi pada pengobatan
prednison dosis penuh (full dosis) 2 mg/kgBB/hari selama 4 minggu.
2.2 Epidmiologi
SN lebih sering terjadi pada pria dibandingkan wanita (2:1) dan kebanyakan
terjadi antara umur 2 dan 6 tahun. Telah dilaporkan terjadi paling muda pada anak
umur 6 bulan dan paling tua pada dewasa. Di Indonesia dilaporkan 6 kaus per
100.000 anak per tahun. Angka kejadian SN pada anak dibawah usia 18 tahun
diperkirakan berkisar 2-7 kasus per 100.000 anak per tahun, dengan onset tertinggi
9
terjadi pada usia 2-3 tahun. Hampir 50% penderita mulai sakit saat berusia 1-4 tahun,
75% sebelum berusia 10 tahun.2,3,4
2.3 Etiologi
Secara klinis SN dibagi menjadi 2 golongan, yaitu:1,3,4,8
1. Sindrom nefrotik primer (idiopatik)
Dikatakan SN primer oleh karena terjadi akibat kelainan pada glomerulus itu
sendiri tanpa ada penyebab lain. Golongan ini paling sering dijumpai pada
anak. Termasuk dalam SN primer adalah SN kongenital, salah satu jenis SN
yang ditemukan sejak anak itu lahir atau usia di bawah 1 tahun.
Sekitar 90% anak dengan SN meruakan SN idiopatik. SN idiopatik terdiri dari
3 tipe secara histologis. SN kelainan minimal, glomerulonepritis proliferarif
(mesangial proliferation), dan glomerulosklerosis fokal segmental. Ketiga
gangguan ini mewakili suatu spektrum dari satu penyakit tunggal.
Patologi:
Pada sindrom nefrotik kelainan minimal (SNKM) (85% dari kasus SN pada
anak), glomerulus terlihat normal atau memperlihatkan peningkatan minimal
pada sel mesangial dan matrixnya. Penemuan pada mikroskop
immunoflourecence biasanya negatif, dan mikroskop electron hanya
memperlihatkan hilangnya epithelial cell foot processes (podosit) pada
glomerulus. Lebih dari 95% anak dengan SNKM berespon dengan terapi
kortikosteroid.
Glomerulosklerosis fokal segmental (focal segmental glomerulosclerosis
/FSGS) (10% dari kasus SN), glomerulus memperlihatkan proliferasi
mesangial dan jaringan parut segmental pada pemeriksaan dengan mikroskop
biasa. Mikroskop immunofluerescence menunjukkan adanya IGM dan C3
pada area yang mengalami sclerosis. Pada pemeriksaan dengan mikroskop
electron, dapat dilihat jaringan parut segmental pada glomerular tuft disertai
dengan kerusakan pada lumen kapiler glomerulus. Lesi serupa dapat terlihat
pula pada infeksi HIC, reflux vesicoureteral, dan penyalahgunaan heroin
intravena. Hanya 20% pasien dengan FSGS yang berespon terapi dengan
prednison. Penyakit ini biasanya bersifat progresif, pada akhirnya dapat
10
melibatkan semua glomeruli, dan mennyebabkan penyakit ginjal stadium
akhir pada kebanyakan pasien.
2. Sindrom nefrotik sekunder
Timbul sebagai akibat dari suatu penyakit sistemik atau sebagai akibat dari
berbagai sebab yang nyata seperti misalnya efek samping obat. Penyebab
yang sering dijumpai adalah: penyakit metabolik atau kongenital (DM,
amiloidosis, sindrom Alport, miksedema). Infeksi: hepatitis B, malaria, lepra,
sifilis, streptokokus, AIDS. Toksin dan alergen: logam berat (Hg),
penisillamin, probenesid, racun serangga, bisa ular. Penyakit sistemik
imunologik: SLE, purpura Henoch-Schinlein, sarkoidosis. Neoplasma: tumor
paru, penyakit Hodgkin, tumor gastroinestinal.
2.4 Patofisiologi 3,4,5,7,10
1. Proteinuria
Proteinuria merupakan kelainnan dasar SN. Proteinuria sebagian besar berasal
dari kebocoran glomerulus (proteinuri glomerular) dan hanya sebagian kecil
berasal dari sekresi tubulus (proteinuri tubular). Perubahan integritas membrana
basalis glomerulus menyebabkan permeabilitas glomerulus terhadap protein
plasma dan protein utama yang di eksresikan dalam urin adalah albumin. Dalam
keadaan normal membran basal glomerulus (MBG) mempunyai mekanisme
penghalang pertama berdasarkan ukuran moleku (size barrier) dan yang kedua
berdasarkan muatan listrik (charge barrier). Pada SN kedua mekanisme
penghalang tersebut ikut tertanggu. Selain itu konfigurasi molekul protein juga
menentukan lolos tidaknya protein melalui MBG. Proteinuria dibedakan
menjadi selektif dan no-selektif berdasarkan ukuran molekul protein yang
keluar melalui urin. Proteinuria selektif apabila yang keluar terdiri dari molekul
kecil misalnya albumin. Sedangkan non-selektif apabila protein yang keluar
terdiri dari molekul besar seperti imunoglobulin. Selektivtas proteinuria
ditentukan oleh keutuhan struktur MBG.
2. Hipoalbuminemia
Hipoalbuminemia disebabkan oelh hilangnya albumin melalui urin dan
penigkatan katabolisme albumin di ginjal. Sintesis protein di hati biasanya
11
meningkat (namun tidak memadai untuk mengganti kehilangan albumin dalam
urin), tetapi mungkin normal atau menurun.
3. Edema
Edema pada SN dapat diterangkan dengan teori underfill dan overfill. Teori
underfill menjelaskan bahwa hipoalbuminemia merupakan faktor kunci
terjadinya edema pada SN. Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan
onktik plasma sehingga cairan bergeser dari intavaskular ke jaringan intertitium
dan terjadi edem. Akibat penurunan tekanan onkotik plasma dan bergesernya
cairan plasma terjadi hipovolemia, dan ginjal melakukan kompensasi dengan
meningkatkan retensi natrium dan air. Mekanisme kompensasi ini kan
memperbaiki volume intravaskular tetapi juga akan mengekserbasi terjadinya
hipoalbuminemia sehingga edema semakin berlanjut.
Teori overfill menjelaskan bahwa retensi natrium adalah defek renal utama.
Retensi natrium oleh ginjal menyebabkan cairan ekstraselular meningkat
sehingga terjadi edema. Penurunan laju filtrasi glomerulus akibat kerusakan
ginjal akan menambah retensi natrium dan edema akibat teraktivasinya sistem
renin-angiotensin-aldosteron terutama kenaikan konsentrasi hormon aldosteron
yang akan mempengaruhi sel-sel tubulus ginjal untuk mengabsorbsi ion natrium
sehingga ion natrium (natriuresis) menurun. Selain itu juga terjadi kenaikan
aktivasi saraf simpatetik dan konsentrasi katekolamin yang menyebabkan
tahanan atau resisten vaskuler glomerulus meningkat, hal ini menngakibatkan
penurunan LFG dan kenaikan desakan starling kapiler peritubular sehingga
terjadi penurunan ekskresi natrium.
4. Hiperlipidemia
Kolestrol serum, very low density lipoprotein (VLDL), low density lipoprotein
(LDL), trigliserida meningkat sedangkan high density lipoprotein (HDL) dapat
meningkat, normal atau menurun. Hal ini disebabkan peningkatan sintesis lipid
di hepar dan penurunan katabolisme di perifer (penurunan pengeluaran
lipoprotein, VLDL, kilomikon dan intermediae density lipoprotein dari darah).
12
Penignkatan sintesis lipoprotein lipid distimulasi oleh penurunan albumin
serum dan penurunan tekanan onkotik.
2.5 Manifestasi Klinis 1,2.3,4,6,9
Manifestasi klinis yang sering ditemukan adalah edema yang menyeluruh dan
terdistribusi mengikuti gaya gravitasi bumi. Edema sering ditemukan dimulai dari
wajah dan kelopak mata pada pagi hari, yang kemudian menghilang, digantikan oleh
edema di daerah pretibial pada sore hari.
Anak biasanya datang dengan keluhan edema ringan, dimana awalnya terjadi
disekitar mata dan ekstremitas bawah. SN pada mulanya diduga sebagai gangguan
alergi karena pembengkakan periorbital yang menurun dari hari ke hari. Seiring
waktu, edema semakin meluas, dengan pembentukan asites, efusi pleura, dan edema
genital. Anorexia, iritabilitas, nyeri perut dan diare sering terjadi. Hipertensi dan
hematuria jarang ditemukan. Differensial diagnosis untuk anak dengan edema adalah
penyakit hati, penyakit jantung kongenital, glomerulonefitis akut atau kronis, dan
malnutrisi protein.
Asites sering ditemukan tanpa edem anasarka, terutama pada anak kecil dan
bayi yang jaringannya lebih resiten terhadap pembentukan edema interstisial
dibandingkan anak yang lebih besar. Efusi transudat lain sering ditemukan, seperti
efusi pleura. Bila tidak diobati edema dapat menjadi anasarka, sampai ke skrotum
atau daerah vulva.
Pada pemeriksaan fisik harus disertai pemeriksaan berat badan, tinggi badan,
lingkar erut, dan tekanan darah. Tekanan darah umumnya normal atau rendah, namun
21% pasien mempunyai tekanan darah tinggi yang sifat sementara, terutama pada
pasien yang pernah mengalami deplesi volume intravaskuler berat. Keadaan ini
disebabkan oleh sekresi renin berlebihan, sekresi akdosteron, dan vasokonstriktor
lainnya, sebagai respon tubuh terhadap hipovolemia. Pada SN kelainan (SNKM) dan
glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS) jarang ditemukan hipertensi yang
menetap. Dalam laporan ISKDC (Intenational Study of Kidney Diseases in Children),
pada SNKM ditemukan 22% disertai hematuria mikroskopik, 15-20% disertai
hipertensi, dan 32% dengan peningkatan kadar kreatinin dan ureum darah yang
13
bersifat sementara. Pasien SN perlu diwaspadai sebagai gejala syok dikarenakan
kekurangan perfusi ke daerah splanchnik atau akibat peritonitis.
Diagnosa banding antara lain Diabetic Nephropathy, Light Chain-Associated
Renal Disorders, Focal Segmental Glomerulosclerosis, Glomerulonephritis
akut/kronis, HIV Nephropathy, IgA Nepropathy.
2.6 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan antara lain:1,2
1. Urinalisis dan bila perlu biakan urin
2. Protein urin kuantitatif, dapat berupa urin 24 jam atau rasio protein/kreatinin
pada urin pertama pagi hari
3. Pemeriksaan darah antara lain:
a. Darah tepi lengkap (hemoglobin, leukosit, hitung jenis, trombosit,
hematokrit, LED)
b. Kadar albumin dan kolesterol plasma
c. Kadar ureum, kreatinin, serta klirens kreatinin dengan cara klasik atau
dengan rumus Schwartz
d. Kada komplemen C3 bila dicurigai SLE, pemeriksaan ditambah dengan
komplemen C4, ANA (Anti Nuclear Antibody) dan anti ds-DNA
Indikasi biopsi ginjal:2
a. SN dengan hematuria nyata, hipertensi, kadar kreatinin dan ureum atau
kadar komplemen serum menurun
b. SN resisten steroid
c. SN dependen steroid
2.7 Penatalaksanaan
Pada kasus SN yang diketahui untuk pertama kalinya, sebaiknya penderita
dirawat di rumah sakit dengan tujuan untuk mempercepat pemeriksaan dan evaluasi
pengaturan diet, penanggunlangan edema, memulai pengobatan steroid, dan edukasi
bagi orang tua. Sebagai pengobatan seroid dimulai, dilakukan uji Mantoux. Bila
hasilnya positif diberikan profilaksis INH bersama steroid, dan bila ditemukan
14
tuberkulosis maka diberikan OAT. Perawatan pada SN relaps dilakukan bila disertai
edema anasarka yang berat atau disertai komplikasi muntah, infeksi berat, gagal
ginjal, atau syok. Tirah baring tidak perlu dipaksakan dan aktivitas disesuaikan
dengan kemampuan pasien.1,2
Pemberian diet tinggi protein tidak diperlukan. Bahkan sekarang dianggap
kontraindikasi, karena akan menambah beban glomerulus untuk mengeluarkan sisa
metabolisme protein (hiperfiltrasi) dan menyebabkan terjadinya sklerosis glomerulus.
Sehingga cukup diberikan diet protein normal sesuai dengan RDA (Recommended
Daily Allowences) yaitu 2g/kgBB/hari. Diet rendah protein akan menyebabkan
malnutrisi energi protein (MEP) dan hambatan pertumbuhan anak. Diet rendah garam
(1-2 g/hari) hanya diperlukan jika anak menderita edem.
a. Pengobatan Inisial
Sesuai ajuran ISKDC pengobatan inisial pada SN dimulai dengan pemberian
prednison dosis penuh 60 mg/m2 LPB/hari (maksimal 80 mg/hari), dibagi
dalam 3 dosis, untuk menginduksi remisi. Dosis prednison dihitung
berdasarkan BB ideal (BB terhadap TB). Prednison dalam dosis penuh inisial
diberikan selama 4 minggu. Bila terjadi remisi pada 4 minggu pertama, maka
pemberian steroid dilanjutkan dengan 4 minggu kedua dengan dosis 40
mg/m2 LPB/hari (2/3 dosis awal) secara alternating (selang hari), 1 kali sehari
setelah makan pagi. Bila setelah 4 minggu pengobatan steroid dosis penuh,
tidak terjadi remisi, pasien dinyatakan sebagai resiten steroid.
b. Pengobatan Relaps
Pengobatan relaps diberikan prednison dosis penuh sampai remisi (maksimal
4 minggu) dilanjutkan dengan prednison dosis alternating selama 4 minggu.
Pada SN yang mengalami proteinuria ≥2+ kembali terapi tanpa edema,
sebelum dimulai pemberian prednison terlebih dahulu dicari pemicunya,
biasanya infeksi saluran napas atas. Bila ada infeksi diberikan antibiotik 5-7
hari, dan bila setelah pemberian antibiotik proteinuria menghilang tidak perlu
diberikan pengobatan relaps. Bila sejak awal ditemukan proteinuria ≥2+
disertai edema, maka didiagnosis sebagai relaps dan diberikan pengobatan
relaps.
15
c. Pengobatan SN relaps sering atau dependen steroid
Ada 4 pilihan yaitu:
1. Pemberian steroid jangka panjang
2. Pemberian levamisol
3. Pengobatan dengan sitostatik
4. Pengobatan dengan siklosporin (pilihan terakhir)
Selain itu perlu dicari fokus infeksi, seperti tuberkulosis, infeksi di gigi, atau
cacingan. Bila telah dinyatakan SN relaps sering atau dependen steroid,
setelah mencapai remisi dengan prednison dosis penuh diteruskan dengan
steroid alternating dengan dosis yang diturunkan perlahan/bertahap 0,2
mg/kgBB sampai dosis terkecil yang tidak menimbulkan relaps yaitu antara
0,1-0,5 mg/kgBB alternating. Dosis ini disebut dosis trheshold dan dapat
diteruskan selama 6-12 bulan kemudian dicoba dihentikan.
d. Penderita lama (Pengobatan Relaps)
Relap tidak frekuen: prednison 2 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis,
diberikan 3 hari sampai remisi. Dilannjutkan dosis intermitten dibagi 3 dosis
selama 4 minggu.
Relap frekuen: berikan prednison dosis penuh sampai remisi, kemudian
dilanjutkan dengan sitostatika atau imunosupresen, siklosfosfamid atau
klorampusil bersama-sama dengan dosis intermitten selama 8 minggu.
e. Penderita rawat jalan
Pemeriksaan fisik dilakukan dengan menimbang BB, mengukur TB, TD dan
tanda-tanda lainnya.
Pemeriksaan penunjang yang harus dievaluasi adalah urin rutin, darah tepi,
kadar urin serta kreatinin darah 3-6 bulan sekali tergantung pada situasi.
f. Pengobatan tambahan
16
1. Mengatasi edema anasarka dengan memberikan diuretik, furosemid 1-2
mg/kgBB/kali, 2 kali sehari per oral.
2. Edema menetap berikan albumin (IVFD) 0,5-1 g/kgBB atau plasma 10-20
ml/kgBB/hari dilanjutkan dengan furosemid i.v. 1 mg/kgBB/kali.
3. Mengatasi renjatan yang diduga karena hipoalbuminemia (1,5 g/dl)
berikan albumin atau plasma darah.
2.8 Komplikasi
Ada beberapa komplikasi yaitu:2
1. Infeksi
Pada SN mudah terjadi dan paling sering adalah selulitis dan peritonitis. Hal
ini disebabkan karena terjadi kebocoran IgG dan komplemen fakor B dan D di
urin. Bila terjadi penyult infeksi bakterial (pneumona penumokokal atau
peritonitis, selulitis, sepsis, ISK) diberikan antibiotik yang sesuai dan dapat
disertai pemberian IgG intravena. Untuk mencegah infeksi digunakan vaksin
pneumokokus.
2. Hiperlipidemia
Pada SN relaps atau resisten steroid terjadi peningkatan kadar kolesterol LDL,
VLDL, trigliserida, lipoprotein a, sedangkan kolesterol HDL menurun atau
normal. Zat-zat tersebut bersifat aterogenik dan trombogenik. Pada SN sensitif
steroid, karena penignkatan zat-zat tersebut bersifat sementara, cukup dengan
pengurangan diet lemak.
3. Hipokalsemia
Terjadi hipokalsemia karena penggunaan steroid jangka panjang yang
menimbulkan osteoporosis dan osteoponia, dan terjadi kebocoran metabolik
vitamin D. Oleh karena itu pada SN relaps sering dan SN steroid dianjurkan
pemberian suplementasi kalsium 500 mg/hari dan vitamin D. Bila terjadi
tetani, diobati dengan kalsium glukonas 50 mg/kgBB intravena.
4. Hipovolemia
17
Pemberian diuretik yang berlebihan atau dalam keadaan Sn relaps dapat
menyebabkan hipovolemia dengan gejala hipotensi, takikardi, ekstremitas
dingin dan sering disertai sakit perut.
Penyulit lain yang dapat terjadi diantaranya hipertensi, syok hipovolemik,
gagal ginjal akut, gagal ginjal kronik (setelah5-15 tahun).
3.9 Prognosis
Prognosis baik bila penderita SN memberikan respon baik terhadap
pengobatan kortikosteroid dan jarang terjadi relaps. Pada umumnya sebagian
besar (+80%) SN primer memberi respon yang baik terhadap pengobatan awal
dengan steroid, tetapi kira-kira 50% diantaranya akan relaps berulang dan
sekitar 10% tidak memberi respon lagi dengan pengobatan steroid.2,3
BAB III
ANALISA KASUS
18
PENDEKATAN HOLISTIK
ANALISIS SECARA HOLISTIK
a. Hubungan anamnesis, diagnosis dengan keadaan rumah :
Sejak 3 bulan yang lalu, pasien awalnya mengeluh bengkak pada
kedua kelopak mata, mata dirasa menjadi lebih sipit, namun pasien maupun
ibunya tidak menghiraukannya. Sekitar 2 minggu kemudian timbul bengkak di
kaki, bengkak diperut, pasien juga mengeluhkan badannya terasa berat dari
biasanya. Tidak ada mual dan muntah. Demam dirasakan juga, demam tidak
terlalu tinggi, demam hilang timbul. Kemudian pasien dibawa berobat di
dokter spesialis anak dan dilakukan pemeriksaan laboratorium dan dokter
tersebut mengatakan kalau ginjal pasien bocor.
1 minggu sebelum kepuskesmas, penderita mengeluh sembab diseluruh
tubuh, demam ada, demam tidak terlalu tinggi, demam hilang timbul, mual
muntah tidak ada, nyeri perut ada, batuk berdahak ada, BAB biasa, BAK
sedikit- sedikit, warna biasa dan nyeri saat BAK. Air urin seperti cucian
daging (-), nyeri pinggang (-).
Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik, akhirnya didapatkan diagnosa
penyakit yang diderita pasien yaitu Sindrom Nefrotik
Pasien tinggal di rumah permanen, beratap seng dengan lantai semen
dan dinding semen. Mempunyai 1 ruang tamu, 3 kamar tidur dengan ventilasi
yang cukup, 1 ruang keluarga yang menyatu dengan ruang makan, 1 dapur
dan 1 kamar mandi dengan wc jongkok. Sumber air menggunakan air ledeng.
Kondisi rumah cukup bersih dan pencahayaan cukup.
disini tidak ada hubungan antara kondisi keluarga pasien dengan penyakit
yang diderita pasien.
b. Hubungan diagnosis dengan aspek psikologis di keluarga
19
Pasien tinggal bersama kedua orang tua dan 3 saudaranya. Ibu dan
ayah pasien bekerja sebagai karyawan swasta. Sumber penghasilan keluarga
dari kedua orang tuanya. Keharmonisan keluarga pasien baik, pasien
berhubungan baik dengan orang tua maupun saudaranya, tidak ada masalah
dalam hubungan satu sama lain. Biaya berobat ditanggung oleh Jamsostek
Didalam hubungan diagnosis dan aspek psikologis dikeluarga tidak ada
hubungannya dengan penyakit pasien, karena didalam keluarga pasien
berhubungan baik dengan orang tua maupun ketiga saudaranya.
c. Hubungan kausal antara beberapa masalah dengan diagnosis
Penyebab dari penyakit Sindrom Nefrotik bisa idiopatik ataupun
merupakan akibat dari penyakit sekunder. Penyebab utama terjadinya SN
pada anak ini merupakan tipe sekunder sesuai teori di dapatkan ada riwatat
infeksi sebelumnya. Pasien mengeluh batuk berdahak, dan didapat gejala
nyeri berkemih dengan panas tinggi. Sebenarnya untuk lebih memastikan tipe
dari SN ini adalah dengan melakukan biopsi ginjal
d. Analisis untuk menghindari factor pencetus timbulnya Sindrom Nefrotik:
Untuk menghindari factor pencetus timbulnya Sindrom Nefrotik adalah
Mengontrol makanan yang dikonsumsi, hindari makanan yang tinggi
garam, berlemak, bersantan,
Mengkonsunsi makanan yang tinggi protein dan tinggi kalori.
Jangan makan atau minum makanan atau minuman yang berpengawet.
RENCANA PROMOSI DAN PENDIDIKAN KESEHATAN KEPADA PASIEN
DAN KEPADA KELUARGA
Menjelaskan kepada pasien bahwa ini adalah penyakit Sindrom Nefrotik atau
orang awam menyebutnya penyakit ginjal. Menjelaskan tentang penyakitnya
maupun pengobatannya.
20
RENCANA EDUKASI PENYAKIT KEPADA PASIEN DAN KEPADA
KELUARGA
Menjelaskan kepada pasien bahwa penyakit Sindroma Nefrotik merupakan
sekumpulan gejala yang berhubungan dengan penyakit ginjal. Penyebabnya
belum diketahui pasti, namun pada anak ini diduga akibat penyakit sekunder,
karena didapatkan batuk berdahak sebelumnya.
ANJURAN-ANJURAN PROMOSI KESEHATAN PENTING YANG DAPAT
MEMBERI SEMANGAT/MEMPERCEPAT PENYEMBUHAN PADA PASIEN
Menganjurkan untuk istirahat total
Membatasi asupan garam dan menghindari makanan yang diasinkan.
Rujuk ke Rumah Sakit untuk mendapatkan pemeriksaan dan penanganan yang
maksimal
21
DAFTAR PUSTAKA
1. Dadiyanto DW, dkk. Sindrom Nefrotik dalam buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak.
Jakarta: Badan Penerbit UNDIP. 2011. Hal 252-259.
2. Alatas H, dkk. Konsensus tatalaksana Sindrom Nefrotik Idiopatik pada Anak.
Jakarta: Unit Koordinasi Nefrologi IDAI. 2005. Hal 1-18.
3. Wila WIG. Sindrom Nefrotik. In Alatas H,dkk. Buku Ajar Nefrologi Anak. Edisi
ke-2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.2002. hal 381-426.
4. Kliegman, dkk. Nelson textbook of pediatrics 18th ed. Suanders. Philadephia.
2007.
5. Gunawan AC. Sindrom Nefrotik: Patogenesis dan Penatalaksanaan. Jakarta:
Cermin Dunia Kedokteran. 2006. Hal 50-54.
6. Mansjoer A. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 2. Jakarta: Media Aesculapius.
2000.
7. Pardede SO. Sindrom Nefrotik Infantil. Jakarta: Cermin Dunia Kedokteran.
2002. Hal 32-37.
8. Markum, et al. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: FKUI. 2002.
9. Pusponegoro HD, dkk. Sindrom Nefrotik dalam Standar pelayanan medis
kesehatan anak. Edisi1. Jakarta: Badan Penerbit IDAI. 2004. Hal 189-191.
10. Price SA, Wilson LM. Buku Ajar Patofisiologi. Jilid 2. Edisi 4. Jakarta: EGC.
1995. Hal 645-648.
22
LAMPIRAN
23