Post on 02-Feb-2016
description
BAB I
PENDAHULUAN
Meningitis cryptococcus merupakan infeksi oportunistik pada pasien
imunosupresif terutama pada penderita HIV/AIDS. Namun, infeksi ini juga dapat
menyerang pasien yang imunokompeten, terutama mereka yang menetap di
daerah yang beriklim torpis. Meningitis cryptococcus menginfeksi sekitar 957.900
orang per tahun, merupakan infeksi yang banyak ditemukan pada daerah Afrika
dan Asia Tenggara, dimana tingkat mortalitasnya sama atau bahkan melebihi
penyakit tuberkulosis. Meningitis cryptococcus adalah infeksi yang disebabkan
oleh Cryptococcus spp. Merupakan penyebab utama meningitis dan penyebab
utama kematian pada pasien dengan HIV/AIDS di Afrika. Deteksi antigen
cryptococcus, beberapa minggu sebelum adanya gejala yang jelas dari infeksi
meningitis, dapat memungkinkan terdeteksinya infeksi ini lebih awal. Melakukan
screening pada pasien yang terinfeksi HIV yang tidak menampakkan gejala
infeksi cryptococcus juga dapat dilakukan untuk melakukan penangan yang tepat
dan mecegah kematian. Insiden terjadinya meningitis karena jamur, terutama
meningitis cryptococcus meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Faktor
pencetus terjadinya infeksi ini juga meningkat seperti peningkatan penderita
AIDS, penggunaan kortikosteroid pada penyakit autoimun, penggunaan
radioterapi dan kemoterapi pada pasien kanker, serta penggunaan imunosupresan
dalam jangka waktu yang lama setelah transplantasi organ. 6,7,10,11
1
BAB IITINJAUAN PUSTAKA
I. Definisi
Meningitis berasal dari bahasa latin yaitu Meninga dan Yunani Menix
yang berarti membran. Sedangkan dalam bahasa medis, akhiran -itis berati
peradangan. Selaput yang mengelilingi otak dan sumsum tulang belakang secara
kolektif disebut menings. Sehingga, meningitis adalah peradangan pada menings.
Meningitis atau radang selaput otak adalah infeksi pada cairan sebrosipinal (CSS)
disertai radang pada pia dan araknoid, ruang subaraknoid, jaringan superfisial otak
dan medulla spinalis. Meningitis cryptococcus adalah infeksi jamur yang
disebabkan oleh Cryptococcus spp, biasanya ditemukan pada tanah yang telah
terkontaminasi dengan kotoran burung. Jamur tersebut bisanya dihirup melalui
paru-paru dan menetap (dorman) di dalam tubuh dalam beberapa tahun.
Reaktivasi yang terjadi terutama pada individu dengan daya tahan tubuh menurun,
seperti orang dengan HIV/AIDS.6
2
II. Anatomi
Meningitis merupakan suatu sindrom klinis yang ditandai dengan adanya
proses infalamasi dari menings, yaitu 3 lapisan membran yang melapisi otak dan
tulang belakang. Jaringan gelatinosa otak dan medulla spinalis dilindungi oleh
tulang tengkorak, tulang belakang, dan tiga lapis jaringan penyambung; pia mater,
araknoid, dan duramater. Masing-masing merupakan suatu lapisan yang terpisah
dan kontinu. Pia mater langsung berhubungan dengan otak dan jaringan spinal,
dan mengikuti kontur struktur eksternal. Piamater merupakan lapisan vaskuler
yang pembuluh-pembuluh darahnya jaln menuju struktur dalam SSP utuk member
nutrisi pada jaringan saraf. Pia mater meluas ke bagian bawah medulla spinalis
yang berakhir kira-kira setinggi bagian bawah L1. Arakhnoid merupakan suatu
membrane fibrosa yang tipis halus dan avaskular. Arakhnoid meliputi otak dan
medulla spinalis.
Daerah anatara arakhnoid dan piamater disebut ruang sub arakhnoid dan
terdapat arteria, vena serebral dan trabekula arakhnoid, dan cairan serebrospinal
yang membasahi SSP. Dura mater merupakan suatu jaringan liat , tidak elastik
dan mirip kulit sapi. Terdiri dua lapisan, bagian luar dinamakan dura endosteal
dan bagian dalam dinamakan dura meningeal. Sinus-sinus vena terletak diantara
kedua lapisan duramater pada tempat-tempat terpisahnya kedua lapisan tersebut.
Sinus-sinus vena merupakan bagian tak berkatup yang berfungsi mengalirkan
darah cerebral dan cairan serebrospinal.
3
Gambar 1. Tempat terjadinya infeksi pada a). intracranial dan b). tulang belakang (spina)1
III. Etiologi
Meningitis cryptococcus merupakan infeksi jamur yang disebabkan oleh
Cryptococcus spp, merupakan kasus terbanyak penyebab meningitis dengan
tingkat kematian yang tinggi pada penderita HIV/ AIDS di sub-Sahara Afrika.
Cryptococcus adalah jamur bentuk bulat atau oval, diameter 4-6 mm dengan
kapsul berukuran 1-30 mm. Berdasarkan pemeriksaan serologi Cryptococcus ssp
dapat diklasifikasikan menjadi Cryptococcus neoformans var. neoformans
(Serotype D), Cryptococcus neoformans var. grubii (Serotype A) dan
Cryptococcus neoformans var. gatii (Serotype B dan C). Kasus terbanyak dari
meningitis melibatkan serotype A, terutama pada pasien yang hidup di negara
dengan penghasilan perkapita rendah termasuk penderita HIV/AIDS. Sedangkan
serotype D lebih dominan ditemukan di Eropa dan infeksi ini jarang ditemukan.
4
C. gatii merupakan penyebab 70-80% infeksi cryptococcal pada manusia dengan
imunokompeten dan dapat terisolasi pada spesies tertentu. Infeksi ini terutama
ditemukan pada daerah tropis dan sub-tropis dimana penyakit klinis jarang
ditemukan. Isolasi jamur dapat dilakukan dengan membuat sediaan cairan
serebrospinal yang dicampur dengan tinta india kemudian diperiksa pada
mikroskop. 3,6
Sumber dari cryptococcus adalah kotoran burung merpati khususnya,
dapat juga ditemukan dari burung jenis lain. Burung merpati dinyatakan memiliki
lebih banyak level antibodi terhadap cryptococcus dibandingkan burung lain. Susu
yang telah terkontaminasi juga dilaporkan sebagai sumber infeksi.4
IV. Patogenesis
Infeksi berkembang dalam tubuh hewan maupun manusia. Telah tercatat
dalam penelitian transmisi kuman bukan hanya dari hewan ke hewan, namun juga
transmisi hewan ke manusia, maupun manusia ke manusia lainnya melalui kontak
langsung melalui saluran pernafasan. Organisme ini menular dan bertransmisi dari
seseorang ke yang lainnya melalui saluran pernafasan. Manusia dapat terinfeksi
hanya dengan menghirup udara yang terkontaminasi akan organisme tersebut.
Setelah terjadinya inhalasi, spora dari jamur akan menempati alveoli paru, dimana
mereka akan difagositosis oleh makrofag dalam alveoli, namun tidak semua jamur
dapat difagositosis, beberapa dari jamur yang berkapsul resisten terhadap
fagositosis, oleh karena antifagositas dan properti imunosupresif akan kapsul
polisakarida, yang mampu menghambat makrofag untuk memfagosit dan juga
mencegah migrasi sel darah putih ke daerah tempat jamur tersebut bereplikasi.
Respon inang terhadap infeksi cryptococcus dapat melibatkan komponen-
komponen sistem imunitas seluler maupun humoral, yaitu Natural Killer Sel,
Limfosit T, makrofag, dan anti-Cryptococcal antibody.3
5
Infeksi C. Neoformans terkadang ditandai dengan disfungsi organ, lesi
tipikal berupa sekelompok jamur berbentuk kista dengan respon inflamasi yang
tidak tampak dan berbentuk granuloma. Infeksi awal pada paru pada umumnya
asimtomatik, pada pasien yang imunokompeten, tidak akan tampak seperti
terinfeksi dan menjadi infeksi laten ataupun berbentuk pneumonia. Sebaliknya,
pada pasien yang imunosupresif, terutama dengan kerusakan pada fungsi sel T,
infeksi tersebut dapat berkembang menjadi meningitis maupun meningoencefalitis
dan juga penyakit lainnya yang lebih luas, yang merupakan hasil dari reaktivasi
dari infeksi laten paru. Kenyataannya, jamur cryptococcus dapat menyebar ke
seluruh tubuh secara hematogen dan limfogen (reaksi dari primary lung lymph
node complex, dorman dan menyebar pada limfenodus torakal) serta dapat
menginfeksi organ lainnya yang pada umumnya adalah saraf pusat, tulang,
prostat, mata dan juga kulit. 3,4
Jamur ini akan berproliferasi di ruang subarakhnoid. Respon dari
makrofag menyebabkan terbentuknya giant sel serta fokal granuloma. C.
neoformans juga akan mengisi ruang Virchow Robin yang menyebabkan
pelebaran ruang perivaskular.Respon imun selular sangat berperan melawan jamur
ini, termasuk di dalamnya CD4 dan CD8.Infeksi jamur cryptococcus banyak
ditemukan pada mereka yang memiliki kadar CD4 di bawah 100 sel/µl dan dapat
muncul bersamaan dengan infeksi oportunistik lainnya.4,5,6,7
Infeksi cryptococcus merupakan infeksi jamur yang merupakan infeksi
oportunistik utama pada pasien penderita HIV-AIDS di Negara berkembang.
Infeksi limfosit CD4 oleh virus HIV dengan menempel pada reseptor CD4
dipermukaan sel membuat sel yang terinfeksi mati. Pada manusia, reseptor CD4
diekspresikan oleh beberapa sel bahkan oleh neuron dan sel glia di otak, namun
tidak ditemukan bukti terjadi replikasi virus selain di sel limfosit, makrofag,
monosit dan sel turunan lainnya. Pada penderita HIV-AIDS dengan infeksi
oportunistik ini, ditemukan jumlah sel-T (CD4) <100. 5,6
V. Manifestasi Klinis
6
Sistem saraf pusat merupakan target infeksi utama oleh jamur
cryptococcus, baik inang yang terinfeksi merupakan imunokompeten maupun
imunosupresif. Infeksi pada umumnya melibatkan menings dan otak,
menyebabkan suatu penyakit kronik yang difus terkadang menjadi sub akut.
Inang yang imunokompeten kurang beresiko untuk terinfeksi meningitis
daripada yang imunosupresif. Pada penderita kriptokokoma dapat terjadi
defek neurologis.3
Manifestasi klinis dari meningitis kriptokokosis sangat bervariasi
tergantung dari kondisi medis yang mendasari dan status imunologis dari
inang, namun gejala yang paling umum adalah: sakit kepala, perubahan status
mental (perubahan karakter, kehilangan memori, menurunnya tingkat
kesadaran, confusion, letargi, dan juga koma), mual dan muntah (terkadang
disebabkan oleh meningkatnya tekanan intracranial), dan juga paralisis nervus
kranialis. Gejala lain yang juga dapat ditemukan termasuk ataxia, afasia, defek
pendengaran, dan pergerakan koreoatetosis. Gejala pada okular termasuk
pandangan kabur, fotofobia ataupun diplopia yang dapat terjadi akibat
araknoiditis, papilledema, neuritis nervus optikus, ataupun korioretinitis.3
Demam dan kaku kuduk jarang ditemukan oleh karena respon
inflamasi yang terbatas yang disebabkan oleh jamur yang berkapsul.
Beberapa pasien dengan HIV positif terkadang memiliki gejala yang sangat
minim, bahkan tidak menunjukkan gejala febris, hal yang seperti ini dapat
menyebabkan keterlambatan penanganan.3
Pada kasus penyakit SSP, lesi cryptococcus harus diperiksa dengan
seksama di bagian tubuh atau orang lainnya, terutama pada pasien
imunosupresif seperti pada penderita AIDS. Organ virtual dapat terlibat,
seperti pneumonia tanpa gejala yang khas maupun lesi pada kulit yang terlihat
seperti moluskum kontagiosum.3
VI. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan
7
tambahan. Pemeriksaan yang dilakukan bertujuan untuk mengidentifikasi jamur
melalui prosedur yang kompatibel. Spesimen yang dapat digunakan berupa cairan
serebrospinal, darah, feses, dan sputum jika memungkinkan. 3
Pada pemeriksaan laboratorium rutin, tidak memberikan hasil yang khas,
hasil yang nampak hanya berupa gejala infeksi pada umumnya meliputi
meningkatnya sel darah putih (leukositosis). Pemeriksaan kultur juga dilakukan
dengan tujuan untuk mengidentifikasi jamur yang biasanya dibiakkan dalam agar
seboraud.3,4
Setelah itu dilanjutkan dengan pemeriksaan tambahan meliputi pemeriksaan
cairan serebrospinal. Gambaran cairan serebrospinal infeksi Cryptococcus sama
dengan meningitis tuberkulosa. Tekanan biasanya meningkat, terdapat
peningkatan jumlah sel dari 10-500 sel/mm3, jumlah protein dan limfosit yang
meningkat dan glukosa menurun biasanya sekitar 15-35 mg, warna terlihat keruh
oleh karena meningkatnya jumlah sel termauk leukosit polimorfonuklear. 3,14
Diagnosis definitif dapat melalui observasi dari cairan serebrospinal
menggunakan preparat tinta india (tingkat sensitifitas 75-85%), pewarnaan ini
bukan untuk mewarnai mikroba, tetapi mewarnai latar belakangnya menjadi
gelap. Caranya secara umum dengan mencampur mikroba dalam setetes tinta
india (negrosin) lalu meyebarkan diatas kaca objek yang bersih, kemudian dilihat
di bawah mikroskop. Pewarnaan ini menyebabkan mikroba kelihatan transparan
(tembus pandang) dan tampak jelas pisah diatara medan yang gelap karena
pewarnaan ini berguna untuk menentukan morfologi dan ukuran sel. Berbeda
dengan metode pewarnaan yang lain, pada pewarnaan negative tidak mengalami
pemanasan atau perlakuan lain dengan dengan bahan kimia. 3,4,13,14
Adapun pemeriksaan yang lebih dikembangkan, meliputi pemeriksaan
antigen menggunakan Latex Agglutination (LA) ataupun Enzyme Immunoassay
(EA). Pemeriksaan LA relatif mudah dan memiliki tingkat sensitivitas (95%) dan
spesifisitas yang tinggi namun harga relatif mahal, sehingga di negara-negara
berkembang agak susah untuk dilakukan. Penemuan baru yaitu Lateral Flow
Immunoassay (LFA) sedang dikembangkan untuk mengidentifikasi kriptokokosis
(immunomikologi), cara kerjanya sama seperti menggunakan strip tes kehamilan.
8
Relatif lebih murah dengan tingkat sensitivitas yang tinggi, namun saat ini sedang
ditinjau oleh pihak Food and Drug Administration (FDA). 6,8
Pemeriksaan radiologi mungkin dapat memberikan informasi dalam
menunjang diagnosis, namun dalam kasus meningitis cryptococcus, tidak
menunjukkan gambaran yang patognomik pada pemeriksaan. Pada foto polos
toraks, tidak ditemukannya gejala yang patognomik. Terkadang menunjukkan lesi
soliter, infiltrasi pneumonia, gejala yang tidak khas, dapat juga menyerupai
tuberculosis miliar. Pada pemeriksaan CT-Scan, gambaran hidrosefalus dapat
muncul oleh karena eksudat meningeal akut namun juga dapat muncul terlambat
disebabkan oleh adhesi meningeal, pseudokista yang kecil. Pada pemeriksaan
MRI, akan tampak lesi multiple hipointens T1 dan hiperintens T2. Tampilan dari
kluster dari kista di ganglia basalis dan thalamus merupakan tanda yang khas.4,6,14
VII. Penatalaksanaan
Jika tidak ditindak-lanjuti, meningitis cyrptococcus dapat berhasil fatal.
Pengobatan yang dilakukan sesuai dengan keadaan penderita. Kesimpulan dari
hasil penelitian menunjukkan bahwa terapi kombinasi awal dengan amfoterisin B
dan flusitosin selama 2 minggu dikaitkan dengan penurunan mortalitas di antara
pasien dengan HIV terkait meningitis cryptococcus, dibandingkan dengan 4
minggu amfoterisin B monoterapi. Terapi kombinasi dengan flukonazol selama 2
minggu tidak ditemukan banyak manfaat. Meningkatkan flucytocine memiliki
potensi untuk mengurangi jumlah kematian dari penyakit ini. (9)
Kesesuaian pemilihan terapi dengan keadaan klinis penderita berdampak
baik pada prognosis akhir. Penatalaksanaan yang sesuai dengan kondisi pasien
berupa:12
A. Pada pasien yang terinfeksi HIV
Terapi utama : induksi dan konsolidasi
A.1. Amphotericin B deoxycholate (AmBd; 0.7-0.1
mg/kg/hari/IV + flucytosine (100 mg/kg/hari diminum
9
dibagi menjadi 4 dosis ; paling tidak selama 2 minggu,
diikuti flukonazol (400 mg [6 mg/kg]per hari diminum)
minimal selama 8 minggu Lipid formulation of AmB
(LFAmb), disertai liposomal AmB (3-4 mg/kg per hari
IV) dan AmB lipid complex (ABLC; 5 mg/kg perhari IV)
paling tidak selama 2 minggu, dapat diganti dengan
AmBd untuk pasien yang mempunyai kecendurangan
gagal ginjal
Terapi utama; regimen alternative untuk induksi dan konsolidasi
A.2. AmBd (0.7-1.0 mg/kg perhari IV), liposomal AmB (3-4
mg/kg per hari IV), atau ABLC (5 mg/kg perhari IV)
untuk 4-6 minggu (A-II). Liposomal AmB telah diberikan
secara aman sebanyak 6 mg/kg perhari IV pada
cryptococcal meningoencephalitis dan dapat dianggap
gagal perawatan atau beban penyakit fungal yang tinggi
A.3. AmBd (0.7 mg/kg per hari IV) ditambah flukonazol (800
mg/kg per hari diminum) selama 2 minggu, diikuti
flukonazol (800 mg/kg perhari diminum) selama minimal
8 minggu (B-I).
A.4. Flukonazol (≥800 mg/kg per hari diminum; 1200 mg
perhari disarankan) ditambah flucytosine (100 mg/kg
perhari diminum ) selama 6 minggu
A.5. Flukonazol (800-2000 mg perhari diminum) selama 10-
12 minggu; dosis ≥1200 mg per hari disarankan jika
hanya flukonazol yang digunakan (B-II).
A.6. Itraconazole (200 mg 2 kali sehari diminum) selama 10-
12 minggu (C-II), walaupun penggunaan perawatan ini
tidak disarankan
10
B. Perawatan profilaksis
B.1. Flukonazol (200mg perhari diminum) (A-I).
B.2. Itraconazole (200mg 2 kali sehari diminum; memonitor
drug-level sangat disarankan).
B.3. AmBd (1 mg/kg perminggu IV); perawatan ini kurang
efektif dibandingkan dengan azoles dan diasosiasikan
dengan IV catherter-related infection; gunakan untuk pasien
yang azole-intolerant (C-I).
B.4. Initiate HAART selama 2-10 minggu setelah permulaan
perawatan antifungal
B.5. Pertimbangkan untuk tidak melanjutkan terapi suppressive
selama HAART pada pasien dengan CD4 cell count >100
cells/μL dan HIV RNA level yang tidak terdeteksi atau
sangat rendah secara terus-menerus selama ≥ 3 bulan
(minimal 12 bulan terapi antifungal) (B-II); pertimbangkan
untuk memulai terapi perawatan jika CD4 cell count
berkurang menjadi <100 cells/μL (B-III).
B.6. Untuk asymptomatic antigenemic, lakukan lumbal pungsi
dan blood culture; jika hasilnya positif, rawat seperti
symptomatic meningoencephalitis, rawat dengan
flukonazol (400 mg perhari diminum) sampai immune
reconstitution (B-III).
B.7. Antifungal prophylaxis utama untuk cryptococcosis sering
tidak disarankan pada pasien yang terinfeksi HIV di
amerika dan eropa, tetapi pada area mempunya
keterbatasan HAART, kekebalan terhadap high level of
antiretroviral, dan beban penyakit yang tinggi mungkin
dapat menjadi pertimbangan atau strategi pencegahan
dengan pengujian cryptococcal antigen serum untuk
asymptomatic antigenemia (B-I).
11
C. Pasien Non-HIV
C.1. AmBd (0.7-1.0 mg/kg perhari IV) ditambah flucytosine
(100 mg/kg perhari diminum dibagi menjadi 4 dosis)
selama minimal 4 minggu untuk terapi induksi. Terapi
induksi 4 minggu tersebut diharuskan untuk pasien dengan
meingoencephalitis tanpa neurological complications dan
cerebrospinal fluid (CSF) hasil yeast culture yang negative
setelah 2 minggu perawatan.
C.2. Jika pasien intoleransi AmBd, ganti dengan liposomal AmB
(3-4 mg/kg perari IV) atai ABLC (5 mg/kg perhari IV) (B-
II).
C.3. Jika flucytosine tidak diberikan atau perawatan terhenti,
pertimbangkan untuk memperpanjang AmBd atau LFAmB
terapi induksi selama minimal 2 minggu
C.4. Jika pasien beresiko rendah therapeutic failure (contoh, jika
pasien mempunyai sejarah diagnosis awal, tidak ada
penyakit pokok yang tidak terkontrol atau keadaan
immumocompromised, dan clinical respon yang baik pada
2 minggu pertama perawatan antifungal ) pertimbangkan
terpapi induksi dengan kombinasi AmBd ditambah
flucytosine selama 2 minggu saja., diikuti konsolidasi
dengan flukonazol (800 mg [12 mg/kg] perhari diminum)
selama 8 minggu.
C.5. Setelah terapi induksi dan konsolidasi, gunakan terapi
perawatan dengan flukonazol (200 mg [3 mg/kg] perhari
diminum) selama 6-12 bulan.
12
VIII. Komplikasi
a. Persisten dan Relaps
Infeksi yang persisten ditandai dengan hasil kultur cairan
serebrospinal yang positif setelah 4 minggu pengobatan anti jamur
secara efektif, sedangkan relaps ditandai dengan munculnya
kembali jamur Cryptococcus pada tempat yang pada awalnya telah
di sterilisasi dan kambuhnya gejala manifestasi klinis setelah
dilakukan pengobatan awal. Kebanyakan kasus relaps terjadi oleh
karena terapi awal yang tidak adekuat baik dalam pemberian dosis
maupun penetapan durasi pengobatan, ataupun karena pasien yang
kurang disiplin dalam pengobatan. Terapi pada kasus yang
persisten:11
- Meningkatkan status imun
- Mengulang kembali fase induksi dari terapi utama untuk waktu
yang lebih lama (4-10 minggu)
- Pertimbangkan untuk meningkatkan dosis jika dosis awal dari
terapi induksi ≤0.7 mg/kg IV AmBd perhari atau ≤3 mg/kg
LFAmB perhari, sampai dengan 1 mg/kg IV AmBd perhari
atau 6 mg/kg liposomal AmB perhari; pada umumnya, terapi
kombinasi ini disarankan.
- Jika pasien intoleransi polyne, pertimbangkan flukonazol (≥
800 mg perhari diminum) ditambah flucytosine (100 mg/kg
perhari diminum dibagi menjadi 4 dosis).
- Jika pasien intoleransi flucytosine, pertimbangkan AmBd (0.7
mg/kg perhari IV) ditambah flukonazol (800 mg [12 mg/kg]
diminum perhari)
- Terapi imunologis dengan rekombinan Interferon (IFN)-γ pada
dosis 100 μg/m2 untuk dewasa yang memiliki berat badan ≥50
13
kg (untuk pasien yang memiliki berat badan <50 kg,
pertimbangkan 50μg/m2) 3 kali dalam seminggu untuk 10
minggu dapat dipertimbakan untuk infeksi refraktoris, dengan
penggunaan obat anti-fungal yang spesifik.
Penatalaksanaan pada kasus yang relaps:
- Lakukan kembali terapi induksi
- Pertimbangkan terapi konsolidasi dengan salah satu flukonazol
(800-1200 mg perhari), voriconazole (200-400 mg 2x1), atau
posaconazole (200 mg 4x1 atau 400 mg 2x1) selama 10-12
minggu.
b. Meningkatnya tekanan cairan serebrospinal dan intracranial
Tekanan cairan serebrospinal yang terkontrol adalah salah
satu faktor yang dapat mempengaruhi hasil akhir dalam kasus
meningitis Cryptococcus, oleh karena peningkatan tekanan
serebrospinal berhubungan dengan akumulasi mikroorganisme
jamur yang lebih tinggi pada sistem saraf pusat, yang dapat
meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Penatalaksanaan berupa:
- Identifikasi tekanan cairan serebrospinal pada garis batas
(baseline). Prosedur lumbar punksi sangat disarankan, tidak
dilakukan apabila terdapat tanda nerologis fokal atau gangguan
pikiran.
- Jika tekanan cairan serebrospinal ≥25 cm dan ada gejala
peningkatan tekanan intrakranial selama terapi induksi,
ringankan dengan lumbar punksi
- Permanent ventriculoperitoneal (VP) shunts sebaiknya
digantikan hanya jika pasien menerima atau telah menerima
terapi antifungal yang tepat dan jika tindakan konservatif untuk
mengontrol peningkatan tekanan intrakranial telah gagal.
- Mannitol terbukti memiliki keuntungan dan tidak disarankan
14
- Acetazolamide dan kortikosteroid (kecuali jika bagian dari
perawatan IRIS) sebaiknya dihindari untuk mengontrol
peningkatan tekanan intracranial.
c. Sindrom Inflamasi Rekonstusi Imun (IRIS)
Sindrom inflamasi rekonstitusi imun (IRIS) atau sindrom
rekonstitusi imun (IRS) merupakan sebuah kondisi yang ditemukan
pada beberapa kasus AIDS atau imunosupresi, dimana sistem imun
mulai pulih, tetapi kemudian merespon terhadap infeksi oportunis
yang didapatkan sebelumnya dengan respons inflamasi yang
menjadikan gejala infeksi semakin buruk. Penatalaksanaan berupa:
- Tidak perlu mengubah terapi anti-fungal.
- Tidak ada perawatan tertentu yang disarankan untuk manifestasi
IRIS yang minor, akan membaik dalam hitungan hari sampai
minggu.
- Untuk komplikasi besar/utama, seperti inflamasi sistem saraf
pusat dengan peningkatan tekanan intracranial, pertimbangkan
kortikosteroid (0.5-1.0 mg/kg perhari setara prednisone) dan
memungkin dexamethasone pada dosis yang tinggi untuk tanda
dan gejala SSP yang parah.
d. Cryptococcoma serebri
Ditandai dengan massa pada otak yang menyerupai tumor
pada hemisfer serebri. Pada umumnya ditemukan pada pasien
imunosupresif dengan infeksi oportunistik tahap lanjut.
Penatalaksanaan berupa:
- Terapi induksi dengan AmBd (0.7-1 mg/kg perhari IV),
liposomal AmB (3-4 mg/kg perhari IV), atau ABLC (5 mg/kg
perhari IV) ditambah flucytosine (100 mg/kg perhari diminum
dosis dibagi menjadi 4) selama minimal 6 minggu (B-III).
15
- Terapi perawatan dan konsolidasi dengan flukonazol (400-800
mg perhari diminum) selama 6-18 bulan (B-III).
Terapi adjuvan disertai dengan :
- Kortikosteroid untuk mengurangi edema dan massa
- Operatif: lesi ≥3-cm
IX. Diagnosis Banding
a. Toxoplasma encephalitis
Tanda dan gejala yang ditemukan adalah sakit kepala, demam,
pusing, kejang +/-, gangguan bicara, disfungsi cerebellar, abnormal nervus
cranial, gangguan pergerakan, gangguan sensorik, gangguan lapang
pandang. Pada tes antibody IgG toxoplasma memberikan hasil positiv,
tetapi dapat juga negative pada 15% pasien. Pada pemeriksaan Ct scan/
MRI memberikan gambaran; lesi multiple, ganglia basalis dan
corticomedullary junction sering terlibat, gambaran ring-enhacing, serta
edema.1,2
b. Meningitis tuberculosis
Tanda dan gejala yang ditemukan adalah demam, sakit kepala,
perubahan sensorik, meningismus, (+/-) TB pulmonal aktif (tampak pada
40% kasus), kesadaran berkabut. Pada meriksaan radilogi Ct scan/ MRI,
tampak gambaran peningkatan basal meningeal serta dapat juga
memberikan gambaran tuberculoma. 1,2
X. Prognosis
Meningitis kriptokokkus merupakan penyebab kematian dan kecatatan
yang signifikan pada penderita HIV/AIDS. Cryptococcus spp menginfeksi sekitar
1.000.000 orang pertahun dan tingkat mortalitas sekitar 625.000 setiap tahun.
16
Prognosis akan sangat bergantung pada ketepatan waktu mendiagnosis, memberi
penatalaksanaan, dan pengobatan yang tepat.(6)
XI. Algoritma Diagnosis dan Penatalaksanaan
Ada Tidak
Diagnosis Meningitis Kriptokokosis (+)
Ya Tidak
Gejala meningitis:Sakit kepala, demam, kaku kuduk (+)
Evaluasi: Status mental & tanda
fokal Serum anti-
cryptococcal, kultur CT Scan
Ada tanda fokal & SOL pada CT Scan
Investigasi dan lakukan penanganan pada massa
intrakranial
Lumbal Punksi: Protein, glukosa,
jumlah sel Pewarnaan gram &
tinta india Cryptococcal antigen,
VDRL Kultur
17
Referensi
1. Mumenthaler M, Mattle H, Taub E. Fundamentals of Neurology. New York: Thieme; 2006: 111-119
2. Moore AJ, Newell DW. Neurosurgery Principles and Practice. London: Springer; 2005:640-641
3. Fabrizio C, Carbonara S, Angarano G. Cryptococcal Meningitis. Europe: Intech; 2012
4. McDonald R, Greenberg EN, Kramer R. Cryptococcal Meningitis. Archieves of Disease in Childhood 2011; 45(1): 417-420.
5. Joseph N, Jarvis, Harrison T. HIV-associated cryptococcal meningitis. AIDS 2007; 21(1): 2119-2129.
6. Roy M, Chiller T. Preventing deaths from cryptococcal meningitis: from bench to bedside. Expert Rev. Anti Infect. Ther. 2011; 9(9): 715-717.
7. Ghasemian R, Najafi N, Shokohi T. Cyrptococcal meningitis relapse in an immunocompetent patient. Iranian Journal of Clinical Infectious Disease 2011; 6(1): 51-55.
8. Bello YB, Machado HG, Silveira JF, Schettini F, Junior GM, Junior SD et all. Cryptococcal meningitis in immunocompetent patient-case report. American Medical Journal 2013; 4(1): 100-104.
9. Day JN, Chau TT, Wolbers M, Mai PP, Dung NT, Mai NH et all. Combination antifungal therapy for cyrptococcal meningitis. N Engl J Med 2013; 368(1): 1291-1302.
10. Rajasingsham R, Rolfes MA, Birkenkamp KE, Meya DB, Boulware DR. Cyrptococcal meningitis treatment strategies in resource-limited settings: A cost-effectiveness analysis. PLOS Medicine 2012; 9(9): e1001316.
11. Perfect JR, Dismukes WE, Dromer F, Goldman DL, Graybill JR, Hamill RJ et al.. Clinical practice guidelines for the management of cryptococcal disease: 2010 update by the infectious diseases society of America. Clinical Infectious Diseases 2010; 50(1): 291-322.
HIV (+):Amphotericin B deoxycholate 0.7-0.1 mg/kg/perhari + Flucytosine 100mg/kg 4x1 selama 2 minggu.+ Fluconazole 400mg/hari selama 8 minggu
HIV (-):Amphotericin B deoxycholate 0.7-0.1 mg/kg/perhari + Flucytosine 100mg/kg 4x1 selama 4 minggu. +Fluconazole 400mg/hari selama 8 minggu
Profilaksis:Fluconazole 200mg/hariItrakonasol 200mg 2x1AmBd 1mg/kg perminggu / IVInisial HAART selama 2-10 minggu
Cari kausa lain meningitis
Awasi tanda-tanda komplikasi
18
12. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses Penyakit Terjemahan, 6 ed. Indonesia: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2003; 2(9): 1016-1018.
13. Harsono. Buku Ajar Neurologi Klinis. Indonesia: Gadjah Mada University Press; 2011.4(1): 161-169
14. Bicanic T, Harrison TS. Cryptococcal Meningitis. British Medical Bulletin 2005; 2004(99): 118.
15. Hafeez R, Chughtai AS. Cryptococcal meningitis case report and review literature. International Journal of Pathology 2004; 2(2): 105-107.
19