Post on 10-Dec-2015
description
BAB I
PENDAHULUAN
Halitosis adalah suatu istilah umum yang digunakan untuk menerangkan adanya
bau yang tak sedap sewaktu terhembus udara, tanpa melihat apakah substansi bau berasal
dari oral ataupun berasal dari non-oral. Halitosis ini sendiri ialah masalah yang umum
menyerang 50% dari populasi orang dewasa.1
Berdasarkan sebuah penelitian yang dilakukan di Jepang dari 2.762 subjek yang
diukur dengan pemantauan volatile-sulfur compounds (VSCs) didapatkan prevalensi
penderita bau mulut sebesar 23%. Demikian pula, sebuah penelitian dari 2000 subjek di
Cina mengungkapkan terdapat 27,5% mengalami bau mulut yang diukur dengan uji
organoleptik.1,2,3
Penyebab halitosis belum diketahui sepenuhnya, sebagian besar penyebab yang
diketahui berasal dari sisa makanan yang tertinggal di dalam rongga mulut yang diproses
oleh flora normal rongga mulut. Beberapa faktor di dalam rongga mulut yang perlu
mendapat perhatian khusus karena mempunyai peranan serta pengaruh yang besar
terhadap timbulnya halitosis pada seseorang, diantaranya adalah saliva, lidah, ruang
interdental dan gigi geligi.2
Kondisi mulut yang dapat memicu terjadinya bau mulut ialah kurangnya aliran
saliva, berhentinya aliran saliva, meningkatnya bakteri Gram negatif anaerob,
meningkatnya jumlah protein makanan, pH rongga mulut yang lebih bersifat alkali dan
meningkatnya jumlah sel-sel mati dan sel epitel nekrotik didalam mulut.1
Daerah di antara papila-papila serta dasar lidah merupakan tempat yang paling
disukai bakteri khususnya bakteri anaerob. Ruang interdental merupakan tempat yang
kondusif untuk aktifitas bakteri anaerob, karena ruang tersebut merupakan tempat
akumulasi plak dan kalkulus, serta terdapatnya sulkus gingiva dan kemungkinan
terjadinya poket serta penyakit-penyakit gusi dan periodontal. 4,5
1
Gingivitis dan periodontitis adalah penyakit inflamasi yang paling umum terjadi
dan dapat memicu terjadinya halitosis yang disebabkan bakteri Gram negatif seperti
Prevotella, Veillonella, Fusobacterium nucleatum dan Porphyromonas gingivalis
tersembunyi di dalam jaringan periodontal yang sakit dan menghasilkan gas yang bau.
Bakteri Porphyromonas gingivalis dapat menjadi salah satu bakteri yang bisa menjadi
penyebab dari terjadinya halitosis.1
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Anatomi Gigi dan Mulut
Cavum oris (rongga mulut) merupakan bagian paling awal dari Sistem Digestivus
dan pilihan Sekunder Sistem Respiratorius. Rongga ini mempunyai dinding superior
yaitu palatum, dinding Inferior / Dasar diaphragma oris, dinding Lateralis buccae dan
dinding anterior yaitu labia. Lubang pada bagian posterior cavum oris berhubungan
dengan oropharynx.6
Isi dari cavum oris terdiri atas ; dentes superior et inferior, Lingua (2/3 bagian
Anterior = Apex + Corpus lingual), glandula sublingualis, glandula submandibularis
pars profunda, percabangan a. lingualis,n. lingualis, n. hypoglossus, dan ductus
submandibularis.6
Gambar.1. Cavum Oris6
Anatomi dasar gigi terdiri dari bagian mahkota dan akar ter;ihat didalam mulut,
sedangkan bagian akar terbenam didalam tulang rahang dan gusi. Struktur
pendukung gigi terdiri atas; ligamentum periodontal, sementum, dan tulang
alveolar/ proseus alveolar.7
3
Gambar 2. Anatomi Gigi6
a. Ligamentum Periodontal
Ligamen periodontal terdiri atas pembuluh darah yang kompleks dan serabut
jaringan ikat (kolagen) yang mengelilingi akar gigi dan melekat ke prosesus
alveolar (inner wall of the alveolar bone).6
a) Fungsi ligamentum periodontal6,7
- Fungsi fisik
i. Melindungi pembuluh darah dan saraf dari tekanan mekanik
ii. Menyalurkan tekanan oklusal ke tulang alveolar
iii. Melekatkan gigi ke tulang alveolar
iv. Memelihara hubungan jaringan gingiva ke gigi
v. Sebagai peredam tekanan oklusal (shock absorption)
- Fungsi Formative dan remodelling
i. Ligamen periodontal dan sel-sel tulang alveolar terkena beban fisik
dalam merespon pengunyahan, bicara, dan pergerakan gigi (orto).
ii. Sel-sel ligamen periodontal berpartisipasi dalam pembentukan dan
resorpsi sementum dan tulang dalam pergerakan gigi fisiologis,
dalam mengakomodasi jaringan periodonto terhadap beban oklusal,
dan repair of injuries.
4
- Fungsi nutrisi dan sensori
i. Menghantarkan tekanan taktil dan sensasi nyeri melalui jalur
trigeminal
ii. Mensuplai nutrisi ke sementum, tulang dan gingiva melalui aliran
darah dan limfe.
b. Sementum7,8
Sementum adalah struktur terkalsifikasi (avaskuler mesenchymal) yang
menutupi permukaan luar anatomis akar, terdiri atas matriks terkalsifikasi yang
mengandung serabut kolagen.
c. Tulang Alveolar6
Tulang alveolar (prosesus alveolar) adalah bagian tulang rahang (maksila
dan mandibula) yang membentuk dan mendukung soket (alveoli) gigi.
Gambar.3. Tulang Alveolar6
2. Definisi
Halitosis merupakan satu istilah yang digunakan untuk menunjukkan bau nafas
yang tak sedap atau bau mulut yang tidak menyenangkan yang disebabkan faktor-
faktor fisiologis atau patologis yang dapat berasal dari mulut atau sistemik. Halitosis
bukan suatu penyakit, tetapi hanya merupakan suatu gejala dari adanya suatu kelainan
atau penyakit yang tidak disadari atau hanya sekedar merupakan keluhan saja.
Halitosis ini sendiri ialah masalah yang umum menyerang 50% dari populasi orang
dewasa.1,8
5
Halitosis ini dapat dibagi dalam dua kelompok besar yaitu: true halitosis dan
halitophobhia. Pada true halitosis penderita terkadang sadar bahwa ia menderita
keadaan ini tetapi dapat juga tak menyadari keadaan ini. Sedangkan istilah
halitophobia dipakai untuk penderita tanpa halitosis tetapi mengeluh halitosis saja.8
Halitosis dapat mengganggu kehidupan seseorang maupun orang disekitarnya.
Akibat-akibat yang dapat ditinjau dari penderita yang menyadarinya adalah akibat-
akibat yang sifatnya psikososial seperti; malu atau rendah diri, menghindari pergaulan
sosial, bicara tidak bebas, tidak ada rasa percaya diri.7
Gambar 4. Kurangnya kebersihan mulut menyebabkan halitosis6
3. Epidemiologi1,2,4
Terdapat anggapan bahwa 90% bau mulut itu berasal dari rongga mulut itu
sendiri. Istilah oral halitosis dipakai secara spesifik untuk menjelaskan halitosis yang
berasal dari rongga mulut.
Hampir sebagian orang dewasa mengalami masalah bau mulut yang tidak
menyenangkan ketika bangun di pagi hari dan hanya bersifat sementara. Hal ini
dihubungkan dengan gejala fisiologis, yaitu terjadinya penurunan aliran saliva selama
tidur.
6
4. Klasifikasi
A Yaegaki dan Coil (2000) mengklasifikasikan halitosis menjadi tiga kategori, yaitu:1,4
1. Genuine Halitosis
Genuine halitosis disebut juga halitosis sejati. Genuine halitosis dibagi
menjadi halitosis fisiologis dan halitosis patologis.
a. Halitosis Fisiologis
Halitosis fisiologis merupakan halitosis yang bersifat sementara dan tidak
membutuhkan perawatan. Pada halitosis tipe ini tidak ditemukan adanya kondisi
patologis yang menyebabkan halitosis. Contohnya adalah morning breath, yaitu
bau nafas pada waktu bangun pagi. Keadaan ini disebabkan berkurangnya aliran
saliva selama tidur. Bau nafas ini dapat diatasi dengan merangsang aliran saliva
dan menyingkirkan sisa makanan di dalam mulut dengan mengunyah, menyikat
gigi, atau berkumur.
Halitosis fisiologis juga terjadi melalui proses pencernaan makanan di
saluran pencernaan, misalnya bawang putih atau makanan pedas, atau melalui
proses pembusukan yang normal di dalam rongga mulut. Halitosis fisiologis ini
tidak terkait dengan penyakit sistemik atau keadaan patologis.
b. Halitosis Patologis
Halitosis patologis merupakan halitosis yang bersifat permanen dan tidak
dapat diatasi hanya dengan pemeliharaan oral hygiene saja, tetapi membutuhkan
suatu penanganan dan perawatan sesuai dengan sumber penyebab halitosis.
Karies dan penyakit periodontal merupakan penyebab utama halitosis patologis.
Selain itu, penyakit sistemik seperti diabetes, gagal ginjal, dan gangguan hati
juga dapat menimbulkan bau nafas yang khas.
7
Gambar 5. Karies6
2. Pseudohalitosis
Pseudohalitosis digambarkan sebagai suatu kondisi dimana pasien
merasakan dirinya memilki bau nafas yang buruk, namun tidak dapat terdeteksi
dengan tes ilmiah. 4
3. Halitophobia.
Pada kondisi ini, walaupun telah berhasil mengikuti perawatan genuine
halitosis maupun telah mendapat konseling pada kasus pseudohalitosis, pasien
masih khawatir dan terganggu oleh adanya halitosis, padahal setelah dilakukan
pemeriksaan yang teliti baik kesehatan gigi dan mulut maupun kesehatan tubuh
lainnya ternyata baik, dan tidak ditemukan suatu kelainan yang berhubungan
dengan halitosis. Diperlukan pendekatan psikologis untuk mengatasi masalah
kejiwaan yang melatar belakangi keluhan ini yang biasanya dapat dilakukan oleh
seorang ahli seperti psikiater ataupun psikolog.1,4
5. Etiologi Dan Patogenesis
Beberapa faktor di dalam rongga mulut yang perlu mendapat perhatian khusus
karena mempunyai peranan serta pengaruh yang besar terhadap timbulnya halitosis
pada seseorang, diantaranya adalah saliva, lidah, ruang interdental dan gigi geligi.
Saliva mempunyai peranan penting terhadap terjadinya halitosis, hal ini terjadi karena
adanya aktivitas pembusukan oleh bakteri yaitu adanya degenerasi protein menjadi
8
asam-asam amino oleh mikroorganisme, sehingga menghasilkan VSCs yang mudah
menguap dan sehingga dapat terjadi halitosis.1
Pembentukan VSCs dimungkinkan oleh suasana saliva yang alkali (pH basa),
sebaliknya pada suasana asam (pH rendah) pembentukan VSCs terhambat. Permukaan
lidah terutama bagian posterior yang sukar dijangkau dengan sikat (lapisan keputihan
lidah) merupakan tempat yang ideal bagi pengumpulan sel epitel mulut yang
mengalami deskuamasi, sisa-sisa makanan, bakteri dan deposit dari poket periodontal
sehingga merupakan tempat utama aktivitas dan perkembangbiakan bakteri. Daerah di
antara papila-papila serta dasar lidah tersebut merupakan tempat yang paling disukai
bakteri khususnya bakteri anaerob.1,4,5
Ruang interdental merupakan tempat yang kondusif untuk aktifitas bakteri
anaerob, karena ruang tersebut merupakan tempat akumulasi plak dan kalkulus, serta
terdapatnya sulkus gingiva dan kemungkinan terjadinya poket serta penyakit-penyakit
gusi dan periodontal.1
Gingivitis dan periodontitis adalah penyakit inflamasi yang paling umum terjadi
dan memicu terjadinya halitosis disebabkan bakteri Gram negatif seperti Prevotella,
Veillonella, Fusobacterium nucleatum dan Porphyromonas gingivalis tersembunyi di
dalam jaringan periodontal yang sakit dan menghasilkan gas yang bau.1
Tindakan penting untuk mengurangi halitosis adalah menghilangkan penyakit
periodontal serta mempertahankan kesehatan jaringan periodontal. Pada kasus gigi
berlubang, sisa makanan akan terkumpul di antara gigi sehingga dapat menimbulkan
bau busuk. Gigi yang jarang disikat dapat menyebabkan sisa makanan tertinggal di
celah gigi dan akan meningkatkan perkembangbiakan bakteri anaerob sebagai
penyebab halitosis. Debris merupakan substansi yang ideal bagi bakteri anaerob untuk
menghasilkan gas yang bau.1
9
5.1. Volatile-Sulfur Compounds (VSCs)
Volatile-Sulfur Compounds (VSCs) merupakan unsur utama penyebab halitosis.
VSCs merupakan hasil produksi dari aktivitas bakteri-bakteri anaerob di dalam mulut
yang berupa senyawa yang berbau tidak sedap dan mudah menguap sehingga
menimbulkan bau yang mudah tercium oleh orang lain di sekitarnya. Halitosis
dihasilkan oleh bakteri yang hidup secara normal di dalam permukaan lidah dan dalam
kerongkongan.1,2
Bakteri secara normal ada karena bakteri membantu proses pencernaan manusia
dengan cara memecah protein. Spesies bakteri yang terdapat pada permukaan oral
dapat bersifat sakarolitik, yaitu menggunakan karbohidrat sebagai sumber energi.
Spesies lain bersifat asakarolitik atau proteolitik, yaitu; menggunakan protein, peptida
atau asam amino sebagai sumber utamanya. Kebanyakan bakteri gram positif bersifat
sakarolitik dan bakteri gram negatif bersifat asakarolitik atau proteolitik. Bakteri gram
negatif merupakan penghuni utama plak supragingival termasuk plak yang menutupi
lidah dan permukaan mukosa lainnya. Porphyromonas gingivalis dan provotella
intermedia (bentuk Bacteroides intermedius) secara normal terdapat dalam plak
supragingival dan sangat efektif dalam pembentukan halitosis.1,5
Didalam aktivitasnya didalam mulut bakteri anaerob beraksi dengan protein-
protein yang ada, protein di dalam mulut dapat diperoleh dari sisa-sisa makanan yang
mengandung protein sel-sel darah yang telah mati, bakteri-bakteri yang mati ataupun
sel-sel epitel yang terkelupas dari mukosa mulut. Disamping itu, didalam saliva sendiri
terdapat substrat yang mengandung protein.1
Didalam mulut banyak terdapat bakteri baik Gram positif maupun Gram negatif.
Kebanyakan bakteri Gram positif adalah bakteri sakarolitik artinya di dalam aktivitas
hidupnya banyak memerlukan karbohidrat, sedangkan kebanyakan bakteri Gram
negatif adalah bakteri proteolitik di mana untuk kelangsungan hidupnya banyak
memerlukan protein. Protein akan dipecah oleh bakteri menjadi asam-asam amino.
Terdapat tiga asam amino utama yang menghasilkan VSCs yaitu cysteine
10
menghasilkan H2S, methionine menghasilkan CH3SH dan cistine menghasilkan
(CH3)2S. Ketiga macam VSCs di atas menonjol karena jumlahnya cukup banyak dan
sangat mudah. sekali menguap sehingga menimbulkan bau. Sedangkan VSCs lain
hanya berpengaruh sedikit seperti indole, skatole, amonia, cadaverin dan putrescine. 1,2
Oleh karena faktor-faktor utama penyebab halitosis yang bersumber dari mulut
ialah sesuatu yang normal dalam arti faktor-faktor penyebabnya seperti bakteri dan
protein senantiasa ada pada semua orang, maka pada dasarnya halitosis ialah masalah
semua orang hanya mempunyai derajat yang berbeda-beda. Halitosis yang disebabkan
oleh faktor-faktor di dalam mulut dapat dialami oleh semua orang baik tua, muda,
wanita, pria, golongan sosio-ekonomi rendah ataupun tinggi. Ada orang-orang yang
mempunyai kondisi halitosis ringan bahkan sangat ringan sehingga sama sekali tidak
mengganggu orang-orang di sekitarnya, sementara orang lain mempunyai kondisi
yang berat sehingga dalam jarak cukup jauh sudah mengganggu orang disekitarnya.
Setelah ditemukannya VSCs banyak sekali studi dan penelitian dilakukan sampai
sekarang dimana tujuannya tidak hanya mengatasi halitosis akan tetapi juga
bagaimana pengaruh serta akibat dari adanya VSCs. Beberapa studi telah
membuktikan bahwa VSCs juga mempunyai efek destruksi pada jaringan mukosa
mulut khususnya jaringan-jaringan penghubung seperti jaringan periodontium. VSCs
dianggap mempunyai peranan penting pada etiologi penyakit periodontal.1
11
6. Diagnosis
Diagnosis halitosis ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang.
Pertanyaan-pertanyaan yang digali dari anamnesis untuk mengarahkan kita
pada diagnosis halitosis adalah;3
- Bagaimana anda tahu, anda memiliki napas yang bau?
- Kapan anda pertama kali mengetahuinya?
- Apakah anda seorang perokok?
- Apakah anda peduli dengan bau napas anda?
- Apakah anda pernah berusaha melakukan berbagai cara untuk menghilangkan
bau napas anda (seperti membersihkan mulut, mengunyah permen karet dan
mint)?
- Pernahkah anda mengonsultasikan ini dengan dokter? Dan ke dokter mana
anda mengkonsultasikan keluhan ini (dokter gigi, dokter keluarga, THT,
internist, dan lain-lain).
- Apa tindakan yang dilakukan oleh dokter (pemeriksaan mulut, tenggorokan,
sinus, darah,endoskopi, pengobatan gigi dan lain-lain).
12
- Terapi apa yang diberikan oleh dokter?
- Apakah ada diet khusus?
Pada pemeriksaan fisik ditemukan adanya periodontitis, ginggivitis, kita juga
perlu melakukan pemeriksaan lain bila dicurigai berasal dari organ lain seperti
telinga, hidung, maupun tenggorokan. Paling sering penyebab extra oral bau ini
berasal dari sinusitis.1,2,9
Secara umum, diagnosis halitosis dapat dilakukan dengan identifikasi kadar
bahan volatil yang dihasilkan dan identifikasi mikroba penyebab halitosis.
Penggunaan halimeter yang berfungsi mengukur kadar sulfida volatil, tes BANA
(N-benzoyl-DL-arginine-2- naphthylamide) yang mengukur kadar sulfida sulkus
gingiva, kromatografi gas, pengukuran dengan organoleptik, electronic nose,
pemeriksaan kadar salivary β-galactosidase, metoda ninhydrine (kadar amin
saliva), inkubasi saliva, cysteine challenge testing merupakan beberapa cara
identifikasi kadar bahan volatil penyebab halitosis.1
Cara identifikasi mikroba penyebab halitosis antara lain dilakukan dengan
spesifik untuk bakteri tertentu. Tehnik kultur mikroba penyebab halitosis,
sepertinya tidak dapat digunakan karena sekitar 50% mikrobiota oral tersebut
tidak dapat dikultur.1
13
Tabel.1. diagnosis halitosis dikelompokkan menjadi identifikasi bahan volatil dan
identifikasi mikroba.1
7. Terapi
Untuk mengatasi halitosis intraoral, dapat dilakukan kontrol terhadap
kebersihan mulut, kesehatan jaringan lunak dan keras, faktor-faktor pendukung
timbulnya halitosis. Upaya menghilangkan faktor lokal dapat dilakukan secara;
a. Mekanis dengan cara penyikatan lidah dan gigi, dan
b. Kimiawi melalui penggunaan obat kumur, pasta gigi, permen karet; serta
sistemik, kontrol diet dan terapi biologis dengan menggunakan probiotik.
Pembersihan gigi dan mulut secara mekanis bertujuan untuk mengurangi jumlah
mikroba patogen dari biofilm dan tongue coating, sehingga pembentukkan karies
dihambat, kadar halitosis menjadi rendah dan risiko penyakit sistemik dapat
berkurang.1,3,4
Secara kimiawi, penggunaan obat kumur klorheksidin diglukonat juga
memberikan hasil yang baik terhadap timbulnya halitosis. Bahan lain yang juga
dapat memperbaiki kondisi halitosis antara lain zinc chloride dan sodium
chloride22, TCF (triclosan, copolimer dan NaF), oxygen release device,
oxohalogen oxidant (campuran chlorite anion dan chlorine dioxide) serta minyak
esensial.1
Kombinasi terapi mekanik dan kimiawi ternyata dapat memperbaiki
kondisi halitosis oral, ditandai dengan penurunan kadar komponen sulfur volatil
14
dan organoleptik. Contohnya, pada pasien dengan gigi tiruan, penyikatan gigi
tiruan saja ternyata tidak dapat mengurangi halitosis, tetapi penyikatan gigi yang
disertai perendaman gigi tiruan dalam larutan antiseptik, ternyata jauh lebih
efektif. Dahulu permen karet sering digunakan untuk menghilangkan bau mulut,
tetapi ternyata permen karet tidak bergula justru akan meningkatkan kadar metil
merkaptan. Rasa mint dalam permen, tidak menurunkan konsentrasi metil
merkaptan, tetapi hanya menutupi malodor oral saja.1
Modifikasi faktor pendukung timbulnya halitosis, dapat dilakukan dengan
mengurangi diet protein. Adanya keseimbangan diet protein dan karbohidrat akan
mengurangi pembentukan bahan odor. Daging yang masih berdarah, daging ikan,
susu fermentasi, dapat meningkatkan metabolisme protein sehingga bahan odor
yang terbentuk akan meningkat pula. Makanan yang banyak mengandung mineral
sulfat, juga dapat menimbulkan halitosis. Berdasarkan penelitian, jika makanan
yang banyak mengandung bahan odor dianginkan pada udara kering maka akan
mengurangi jumlah mikroorganisme anaerob yang ada didalamnya.1,4
Probiotik pertama kali digunakan dalam bidang kedokteran, sebagai terapi
atau pencegahan terhadap diare akibat antibiotik. Terapi antibiotik biasanya akan
membunuh bakteri penyebab penyakit dan bakteri normal Bakteri normal
intestinal berfungsi dalam menjaga keseimbangan saluran pencernaan normal.
Beberapa bakteri bersifat lebih resisten terhadap antimikrobial tertentu, sehingga
bakteri tersebut akan mendominasi gastrointestinal dengan cepat jika kompetitor
(bakteri yang dihambat oleh antimikrobial) berkurang jumlahnya. Hal ini
menimbulkan gangguan keseimbangan ekologi yang memudahkan timbulnya
infeksi dan imunoinflamasi. Probiotik berfungsi untuk mengembalikan
keseimbangan mikroflora secara optimal sehingga dapat mencegah dan
memperbaiki kondisi penyakit1,3,4
Berdasarkan definisi WHO, probiotik adalah mikroorganisme hidup yang
jika diberikan dalam jumlah tertentu dapat memberikan dampak sehat bagi host.
15
Sekarang diketahui bahwa mekanisme toleransi probiotik adalah meregulasi
respon imun terhadap fragmen makanan potensial antigenik dan menghilangkan
adhesi bakteri patogen dan menggantikannya dengan bakteri non-patogen.1
Gambar.6. Efek bakteri probiotik terhadap sel epitel tubuh, yaitu sekresi asam organik, surfactans, bahan antimikrobial (bacteriocin dan hidrogen peroksida). Probiotik juga akan
berkompetisi dengan patogen melalui adhesi dan pertukaran stimulus dengan reseptor sel epitel sehingga terjadi sekresi sitokin yang akan menghambat patogen dan virus.1
Bakteri normal mulut yang telah dicoba digunakan sebagai probiotik
antara lain Lactococcus lactis, Lactobacillus acidophilus, Streptococcus
thermophilus, Streptococcus mutans, dan Streptococcus salivarius. Dari semua
spesies, S. Salivarius merupakan kandidat probiotik yang sangat baik, dapat
menempati lingkungan biofilm dengan jumlah dominan pada lidah. Bakteri ini
dapat menghasilkan sangat sedikit komponen sulfur volatil dan tidak berimplikasi
terhadap karies gigi maupun penyakit infeksius lainnya.3
Saat kini, S. salivarius K12 sudah banyak ditemukan dalam pasaran dan
dikemas dalam bentuk bubuk, lozenges, dan permen karet. Kemasan bubuk dapat
digunakan untuk terapi halitosis dengan cara ditambahkan air dan dikumur selama
30 detik dan gargle selama 5detik kemudian dibuang.1
16
Gambar.7. Jenis kemasan probiotik Streptococcus salivarius K12 yang tersedia di pasaran; A sediaan lozenges; B sediaan obat kumur; C sediaan permen karet; dan D
sediaan bubuk.1
17
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Halitosis merupakan satu istilah yang digunakan untuk menunjukkan bau
nafas yang tak sedap atau bau mulut yang tidak menyenangkan yang disebabkan
faktor-faktor fisiologis atau patologis yang dapat berasal dari mulut atau sistemik.
Halitosis bukan suatu penyakit, tetapi hanya merupakan suatu gejala dari adanya
suatu kelainan atau penyakit yang tidak disadari atau hanya sekedar merupakan
keluhan saja.
Beberapa faktor di dalam rongga mulut yang perlu mendapat perhatian
khusus karena mempunyai peranan serta pengaruh yang besar terhadap timbulnya
halitosis pada seseorang, diantaranya adalah saliva, lidah, ruang interdental dan
gigi geligi. Saliva mempunyai peranan penting terhadap terjadinya halitosis, hal
ini terjadi karena adanya aktivitas pembusukan oleh bakteri yaitu adanya
degenerasi protein menjadi asam-asam amino oleh mikroorganisme, sehingga
menghasilkan VSCs (Volatile-Sulfur Compounds) yang mudah menguap dan
sehingga dapat terjadi halitosis.
Diagnosis halitosis ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Namun, secara umum diagnosis halitosis dapat dilakukan
dengan identifikasi kadar bahan volatil yang dihasilkan dan identifikasi mikroba
penyebab halitosis.
Tujuan diberikan terapi pada kasus ini adalah untuk menghilangkan faktor
lokal yang dapat dilakukan secara; Mekanis dengan cara penyikatan lidah dan
gigi, dan Kimiawi melalui penggunaan obat kumur, pasta gigi, permen karet; serta
sistemik, kontrol diet dan terapi biologis dengan menggunakan probiotik.
18
DAFTAR PUSTAKA
1. Indrayadi Gunardi dkk. Oral Probiotik: Pendekatan Baru Terapi Halitosis. Jakarta:
indonesian Journal of dentistry. 2009. h. 64-71
2. Widagdo Yanuaris, Suntya Kristina. Volatile Sulfur Compounds Sebagai
Penyebab Halitosis. Denpasar 2011. h. 1-41
3. Zahnmed Schweiz. Finding, Diagnosis And Result Of A Halitosis Clinic Over A
Seven Year Periode. Vol. 122. Zwitzerland: Departement Of Oral Surgery, Oral
Radiology, And Oral Medicine. 2012. h. 205-11
4. Kuchenbecker Lassiano, Walter Loesche. Halitosis: An Overview Of
Epidemiology, Etiology, And Clinical Management. Brazil. 2011. h. 466-71
5. Yaegahi Ken, Coil Jeffrey. Examination, Classification And Treatment Of
Haalitosis, Clinical Prespectives. Vol. 66. Journal Of The Canadian Dental
Association. 2000. h. 257-61
6. Berkovitz BKB. Oral Anatomi, Histology, And Embriology. 4 th Ed. London:
Mosby Elserier. 2009
7. PPL Lee, Mark WY. The Etiology And Treatment Of Oral Halitosis. Vol. 10.
Hongkong: Hospital Road. 2004. h. 10; 414-8
8. Meurman jukka. Oral Malodour-Background And Diagnostics University Of
Helsinki-Faculty Of Medicine-Institute Of Dentistry. 2008. h. 1-40
9. Endang Mangunkusumo, dkk. Sinusitis. Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT-KL. Ed.
6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2010. h. 153
19