Post on 03-Jan-2016
description
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Demam dengue adalah wabah infeksi virus paling cepat menyebar yang di sebarkan oleh
nyamuk Aedes dan menjadi perhatian dalam departemen kesehatan masyarakat pada lebih dari
100 negara tropis dan subtropics di Timur Laut Asia, Pasifik Barat dan Selatan, serta Amerika
Tengah. Lebih dari 2.5 miliar masyarakat dunia terancam oleh demam dengue dan bentuk yang
lebih parah-dengue hemorrhagic fever (DHF) atau dengue shock syndrome (DSS). Lebih dari
75% dari pasien ini, atau sampai dengan 1.8 miliar, hidup di daerah Timur Laut Asia. Ketika
penyakit ini menyebar ke daerah geografik yang baru, frekuensi wabah meningkat bersamaan
dengan perubahan epidemiologinya. Diperkirakan 50 miliar kasus demam dengue timbul pada
saat-saat tertentu dan setengah miliar penderita DHF harus masuk rumah sakit tiap tahunnya, dan
jumlah yang sangat luar biasa ( mencapai 90%) merupakan pasien anak dengan usia kurang dari
5 tahun. Kira-kira 2.5% yang terinfeksi dengue, meninggal karena penyakit ini. (Comprehensive
Guidelines for Prevention and Control of Dengue and Dengue Hemorrhagic Fever, WHO 2011)
Pada awal abad ke 20, epidemic demam dengue biasa terjadi di Amerika, Eropa, Australia,
dan Asia. Namun kini demam dengue telah menjadi endemic di Asia Tropis, Africa Tropis,
Carribbean, Amerika Tengah dan Selatan. Menurut World Health Organization, jumlah kasus
demam dengue dan dengue hemorrhagic fever yang biasanya terjadi di seluruh dunia berkisar
antara 50-100miliar. Diperkirakan 2000 kematian karena kasus ini dikarenakan komplikasinya.
Wabah Demam Dengue ini pertama kali muncul di Pakistan dan tercatat pada tahun 1994-1995
di Karachi. Setelah itu, wabah yang berbeda tercatat terjadi di daerah lain di Pakistan khususnya
Karachi dan Lahore. Meski anak-anak adalah grup utama yang biasanya terinfeksi oleh penyakit
ini, namun data tentang penyakit ini yang menginfeksi anak-anak di Asia Selatan sangat sedikit.
(Dengue Fever Outbreak 2011: Clinical Profile of Children Presenting at Madina teaching
Hospital Faisalabad, WHO 2011)
Sejumlah 2.5 miliar masyarakat di seluruh dunia tinggal di negara dengan endemic dengue
dan beresiko menderita penyakit DF/DHF. 1.3 billion tinggal di 10 negara WHO di daerah Timur
Laut Asia yang memiliki daerah endemic dengue. Sampai tahun 2003, hanya 8 negara di daerah
tersebut yang melaporkan kasus dengue. Pada tahun 2009, seluruh Negara anggota WHO kecuali
1
Republik Demokratis (DPR) Korea melaporkan wabah dengue. Timor-Leste melaporkan wabah
pertama kali muncul pada tahun 2004. Bhutan juga melaporkan wabah pertama kali menyerang
pada tahun 2004. Hampir sama, Nepal jugab melaporkan kasus dengue ini pada November 2004.
Kasus dengue dan kematian yang dilaporkan tahun 1985 sampai 2009 di 10 negara WHO di
daerah SEA (South East Asia) (semua kecuali DPR Korea) mengurangi perhatian kesehatan
masyarakat terhadap penyakit ini di daerah ini.
Jumlah kasus dengue telah meningkat lebih dari tiga sampai lima tahun terakhir ini, dengan
epidemic yang muncul kembali. Selain itu, terdapat peningkatan proporsi pada kasus dengue
terkait dengan tingkat keparahan, khususnya di Thailand, Indonesia, dan Myanmar.
(Comprehensive Guidelines for Prevention and Control of Dengue and Dengue Hemorrhagic
Fever, Revised and Expanded edition, WHO,2011)
1.2 Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan referat ini adalah:
1. Sebagai tugas wajib SMF Ilmu Anak kepanitraan klinik kami di RSUD dr. Moh. Saleh
Probolinggo.
2. Sebagai bahan referensi bagi para dokter muda dalam memahami infeksi virus dengue.
3. Sebagai bahan referensi bagi kami dan kolega kami dalam pencegahan, penatalaksanaan,
dan edukasi kepada masyarakat terkait infeksi virus dengue.
1.4 Manfaat
Manfaat dari penulisan ini sebagai berikut:
1. Sebagai referensi bagi kolega medik dan paramedik dalam memahami infeksi virus
dengue.
2. Sebagai bahan perbandingan di pusat pelayanan kesehatan masyarakat dalam
penatalaksanaan pada pasien yang terkena infeksi virus dengue.
3. Sebagai bahan referansi teman sejawat dalam mencegah dan membuat program kesehatan
di klinik dan daerah di sekitarnya terkait dengan infeksi virus dengue.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Demam dengue/DF dan demam berdarah dengue/DBD (dengue haemorrhagic
fever/DHF) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan manifestasi klinis
demam, nyeri otot dan/atau nyeri sendi yang disertai lekopenia, ruam, limfadenopati,
trombositopenia dan diatesis hemoragik. Pada DBD terjadi perembesan plasma yang ditandai
oleh hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit) atau penumpukan cairan di rongga tubuh.
Sindrom renjatan dengue (dengue shock syndrome) adalah demam berdarah dengue yang
ditandai oleh renjatan/syok. (Sudoyo, 2006).
2.2 Virus Dengue
Transmisi virus dengue bergantung pada factor biotik dan abiotik. Factor biotik terdiri
dari virus, vektor dan host. Sedangkan factor abiotik terdapat factor suhu, kelembaban, dan
musim hujan (WHO,2011).
a. Virus
virus dengue termasuk genus Flavivirus dan Famili Flaviviridae. Virus kecil ini terdapat single-
strand RNA sebagai genom. Virion terdiri dari nukleokapsid dengan kubik simetris yang
terbungkus oleh lipoprotein envelope.
Ada empat tipe serotif pada dengue virus, yakni DENV-1, DENV-2, DENV-3, dan DENV-4.
Keempat tipe serotif ini menyebabkan demam dengue namun memiliki karakteristik keparahan
yang berbeda.
b. Vektor Dengue
Aedes (Stegomyia) aegepti (Ae. Aegepti) dan Aedes ( Stegomyia) albopictus (Ae. Albopictus)
adalah 2 vektor penyakit dengue yang paling penting.
Kompetensi vektor
Kompetensi vektor memiliki:
Kerentanan untuk terinfeksi virus
Kemampuan untuk mereplikasi virus
Kemampuan untuk menyebarkan virus ke host lain
Kapasitas Vektor
3
Kapasitas vektor ditentukan oleh lingkungan dan karakteristik biologic spesies dan 2
spesies ini memliki kapasitas vektor yang berbeda.
Ae aegepty besifat domestik, anthrophophilic yang sangat kuat, nervous feeder (menggigit
lebih dari satu host untuk melengkapi satu porsi makan darah) dan merupakan discordant species
(membutuhkan lebih dari satu kali makan untuk melengkapi siklus gonotropik). Sebaliknya Ae.
Albopictus masih mempertahankan sifatnya dan menyerang daerah pinggir di perkotaan,
sehingga menggigit pada manusia dan hewan. Nyamuk jenis ini adalah pemakan yang agresif
dan concordant spesies. Oleh karena itu Ae. Albopictus merupakan vektor yang buruk di daerah
epidemic perkotaan.
c. Host
Virus dengue, telah berevolusi dari nyamuk, lalu beradaptasi di nonhuman primate dan
kemudian manusia. Viraemia (virus yang sudah memasuki aliran darah) pada manusia dibentuk
dengan titer yang tinggi 2 hari sebelum mulainya panas (non-febris) dan hari ke 5-7 terakhir
setelah onset panas (febrile). Hanya pada 2 periode ini spesies vektor ini dapat terinfeksi.
Kemudian, manusia menjadi tempat pemberhentian transmisi. Penyebaran infeksi dimulai
melalui perpindahan host dan vektor.
d. Tranmisi virus Dengue
Tranmisi virus dengue dimulai dengan 3 siklus:
1. Enzootic cycle
2. Epizootic cycle
3. Epidemic cycle
(Comprehensive Guidelines for Prevention and Control of Dengue and Dengue Hemorrhagic
Fever, Revised and Expanded edition, WHO 2011)
4
2.3 Mekanisme Infeksi Virus Dengue
Mekanisme cara penularan yang terjadi dalam kasus DBD melalui 4 tahapan , yakni:
1. Masa Penularan Pada Manusia
Orang yang terinfeksi DBD, yang masih dalam periode 3-7 hari setelah demam,
kemudian digigit oleh nyamuk Aedes betina, lalu nyamuk itu menyebarkan virus DBD di
dalam tubuhnya
2. Masa Inkubasi Pada Nyamuk
Nyamuk menggigit tubuh manusia yang telah terinfeksi virus dengue, kemudian virus
tersebut terinkubasi di dalam tubuh nyamuk selama 7 hari.
3. Masa Penyebaran Penyakit
Hanya dalam 7 hari nyamuk yang membawa virus dengue, dapat menyebarkan penyakit
DBD ke dalam tubuh manusia.
4. Masa Penularan Kepada Orang Baru
Masa inkubasi pada pasien baru terjadi dalam waktu 3-14 hari (rata-rata 4-7 hari) Selama
masa ini, belum menampakkan gejala penyakit.
(Siklus Penularan Demam Berdarah Dengue at www.puskel.com )
2.4
Klasifikasi Infeksi Dengue
5
Gambar 1.1 Manifestasi Infeksi Virus Dengue (Comprehensive Guidelines for Prevention and
Control of Dengue and Dengue Hemorrhagic Fever, Revised and Expanded edition 2011)
2.5 Epidemiologi
Di Indonesia, demam berdarah dengue (DBD) pertama kali dicurigai di Surabaya pada
tahun 1968, tetapi konfirmasi virologis baru diperoleh pada tahun 1970. Di Jakarta, kasus
pertama di laporkan pada tahun 1968. Sejak dilaporkannya kasus demam berdarah dengue
(DBD) pada tahun 1968 terjadi kecenderungan peningkatan insiden. Sejak tahun 1994, seluruh
propinsi di Indonesia telah melaporkan kasus DBD dan daerah tingkat II yang melaporkan kasus
DBD juga meningkat, namun angka kematian menurun tajam dari 41,3% pada tahun 1968,
menjadi 3% pada tahun 1984 dan menjadi <3% pada tahun 1991. (Soedarmo, 2012)
Morbiditas dan mortalitas DBD yang dilaporkan berbagai negara bervariasi disebabkan
beberapa faktor, antara lain status umur penduduk, kepadatan vektor, tingkat penyebaran virus
dengue, prevalensi serotipe virus dengue dan kondisi meteorologis. Secara keseluruhan tidak
terdapat perbedaan antara jenis kelamin, tetapi kematian ditemukan lebih banyak terjadi pada
anak perempuan daripada anak laki-laki. Pada awal terjadinya wabah di sebuah negara, pola
distribusi umur memperlihatkan proporsi kasus terbanyak berasal dari golongan anak berumur
<15 tahun (86-95%). Namun pada wabah selanjutnya, jumlah kasus golongan usia dewasa muda
meningkat. Di Indonesia pengaruh musim terhadap DBD tidak begitu jelas, namun secara garis
besar jumlah kasus meningkat antara September sampai Februari dengan mencapai puncaknya
pada bulan Januari (Soedarmo, 2012)
6
Gambar 1.1 Negara dengan resiko transmisi dengue (WHO, 2011)
Beberapa faktor resiko yang dikaitkan dengan demam dengue dan demam berdarah
dengue antara lain : demografi dan perubahan sosial, suplai air, manejemen sampah padat,
infrastruktur pengontrol nyamuk, consumerism, peningkatan aliran udara dan globalisasi, serta
mikroevolusi virus. Indonesia berada di wilayah endemis untuk demam dengue dan demam
berdarah dengue. Hal tersebut berdasarkan penelitian WHO yang menyimpulkan demam dengue
dan demam berdarah dengue di Indonesia menjadi masalah kesehatan mayor, tingginya angka
kematian anak, endemis yang sangat tinggi untuk keempat serotype, dan tersebar di seluruh area
(WHO, 2011).
Selama 5 tahun terakhir, insiden DBD meningkat setiap tahun. Insiden tertinggi pada
tahun 2007 yakni 71,78 per 100.000 pddk, namun pada tahun 2008 menurun menjadi 59,02 per
100.000 penduduk. Walaupun angka kesakitan sudah dapat ditekan namun belum mencapai
target yang diinginkan yakni <20 per 100.000 penduduk (Depkes, 2008).
7
Gambar 1.2 Angka kesakitan dan kematian demam berdarah dengue di Indonesia (Depkes, 2008)
2.6 Etiologi
Demam dengue dan demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue, yang
termasuk dalam group B arthropod borne virus (arbovirus) dan sekarang dikenal sebagai genus
Flavivirus, famili Flaviviridae. Flavivirus merupakan virus dengan diameter 30 nm terdiri dari
asam ribonukleat rantai tunggal dengan berat molekul 4x106 (Sudoyo, 2006; Soedarmo, 2012)
Gambar 1.3 Virus Dengue (Smith, 2002)
Terdapat 4 serotipe virus yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4 yang semuanya dapat
menyebabkan demam dengue atau demam berdarah dengue. Keempat serotype ditemukan di
Indonesia dengan DEN-3 merupakan serotype terbanyak. Infeksi dengan salah satu serotipe akan
menimbulkan antibodi seumur hidup terhadap serotipe yang bersangkutan tetapi tidak ada
8
perlindungnan terhadap serotipe yang lain. Seseorang yang tinggal di daerah endemis dengue
dapat terinfeksi dengan 3 atau bahkan 4 serotipe selama hidupnya. Keempat jenis serotipe virus
dengue dapat ditemukan di berbagai daerah di Indonesia (Sudoyo, 2006; Soedarmo, 2012).
Virus Dengue dapat ditularkan oleh Nyamuk Aedes aegypti dan nyamuk Aedes
albopictus. Nyamuk Aedes aegypti merupakan nyamuk yang paling sering ditemukan. Nyamuk
Aedes aegypti hidup di daerah tropis, terutama hidup dan berkembang biak di dalam rumah,
yaitu tempat penampungan air jernih atau tempat penampungan air sekitar rumah. Nyamuk ini
sepintas lalu tampak berlurik, berbintik – bintik putih, biasanya menggigit pada siang hari,
terutama pada pagi dan sore hari. Jarak terbang nyamuk ini 100 meter. Sedangkan nyamuk Aedes
albopictus memiliki tempat habitat di tempat air jernih. Biasanya nyamuk ini berada di sekitar
rumah dan pohon – pohon, tempat menampung air hujan yang bersih, seperti pohon pisang,
pandan, kaleng bekas. Nyamuk ini menggigit pada siang hari dan memiliki jarak terbang 50
meter (Rampengan, 2008)
Gambar 1.4 Distribusi nyamuk Aedes aegypti dan nyamuk Aedes albopictus (WHO, 2011)
2.7 Patofisiologi
9
a. Volume Plasma
Fenomena patofisiologi utama yang menentukan derajat penyakit dan
membedakan antara DD dengan DBD ialah peningkatan permeabilitas dinding pembuluh
darah, penurunan volume plasma, terjadinya hipotensi, trombositopenia, serta diatesis
hemoragik. Penyelidikan volume plasma pada kasus DBD dengan menggunakan 131
Iodine labelled human albumin sebagai indikator membuktikan bahwa plasma merembes
selama perjalanan penyakit mulai dari permulaan masa demam dan mencapai puncaknya
pada masa syok. Pada kasus berat, syok terjadi secara akut, nilai hematokrit meningkat
bersamaan dengan menghilangnya plasma melalui endotel dinding pembuluh darah.
Meningginya nilai hematokrit pada kasus syok menimbulkan dugaan bahwa syok terjadi
sebagai akibat kebocoran plasma ke daerah ekstra vaskular (ruang interstisial dan rongga
serosa) melalui kapiler yang rusak. Bukti yang mendukung dugaan ini ialah
meningkatnya berat badan, ditemukannya cairan yang tertimbun dalam rongga serosa
yaitu rongga peritoneum, pleura, dan perikardium yang pada otopsi ternyata melebihi
cairan yang diberikan melalui infus, dan terdapatnya edema (Soedarmo, 2012).
Pada sebagian besar kasus, plasma yang menghilang dapat diganti secara efektif
dengan memberikan plasma atau ekspander plasma. Pada masa dini dapat diberikan
cairan yang mengandung elektrolit. Syok terjadi secara akut dan perbaikan klinis terjadi
secara cepat dan drastis. Sedangkan pada otopsi tidak ditemukan kerusakan dinding
pembuluh darah yang bersifat dekstruktif atau akibat radang, sehingga menimbulkan
dugaan bahwa perubahan fungsional dinding pembuluh darah agaknya disebabkan oleh
mediator farmakologis yang bekerja secara cepat. Gambaran mikroskop elektron biopsi
kulit pasien DBD pada masa akut memperlihatkan kerusakan sel endotel vaskular yang
mirip dengan luka akibat anoksia atau luka bakar. Gambaran itu juga mirip dengan
binatang yang diberi histamin atau serotonin atau dibuat keadaan trombositopenia
(Soedarmo, 2012).
b. Trombositopenia
Trombositopenia merupakan kelainan hematologis yang ditemukan pada sebagian
besar kasus DBD. Nilai trombosit mulai menurun pada masa demam dan mencapai nilai
terendah pada masa syok. Jumlah trombosit secara cepat meningkat pada masa
konvalesens dan nilai normal biasanya tercapai 7-10 hari sejak permulaan sakit.
10
Trombositopenia yang dihubungkan dengan meningkatnya megakariosit muda dalam
sumsum tulang dan pendeknya masa hidup trombosit diduga akibat meningkatnya
destruksi trombosit. Dugaan mekanisme lain trombositopenia ialah depresi fungsi
megakariosit. Penyelidikan dengan radioisotop membuktikan bahwa penghancuran
trombosit terjadi dalam sistem retikuloendotel, limpa dan hati. Penyebab peningkatan
destruksi trombosit tidak diketahui, namun beberapa faktor dapat menjadi penyebab yaitu
virus dengue, komponen aktif sistem komplemen, kerusakan sel endotel dan aktivasi
sistem pembekuan darah secara bersamaan atau secara terpisah. Lebih lanjut fungsi
trombosit pada DBD terbukti menurun mungkin disebabkan proses imunologis terbukti
ditemui kompleks imun dalam peredaran darah. Trombositopenia dan gangguan fungsi
trombosit dianggap sebagai penyebab utama terjadinya perdarahan pada DBD
(Soedarmo, 2012).
c. Sistem koagulasi dan fibrinolisis
Kelainan sistem koagulasi juga berperan dalam perdarahan DBD. Masa
perdarahan memanjang, masa pembekuan normal, masa tromboplastin parsial yang
teraktivasi memajang. Beberapa faktor pembekuan menurun, termasuk faktor II, V, VII,
VIII, X dan fibrinogen. Pada kasus DBD berat terjadi peningkatan Fibrinogen
Degradation Products (FDP). Penelitian lebih lanjut faktor koagulasi membuktikan
adanya penurunan aktivitas antitrombin III. Disamping itu juga dibuktikan bahwa
menurunnya aktivitas faktor VII, faktor II, dan antitrombin III tidak sebanyak seperti
fibrinogen da faktor VIII. Hal ini menimbulkan dugaan bahwa menurunnya kadar
fibrinogen dan faktor VIII tidak hanya diakibatkan oleh konsumsi sistem koagulasi, tetapi
juga oleh konsumsi sistem fibrinolisis. Kelainan fibrinolisis pada DBD dibuktikan
dengan penurunan alpha 2 plasmin inhibitor dan penurunan aktivitas plasminogen.
Seluruh penelitian di atas menunjukan bahwa (Soedarmo, 2012) :
1. Pada DBD stadium akut telah terjadi proses koagulasi dan fibrinolisis
2. Diseminated intravaskular coagulation secara potensial dapat terjadi juga DBD
tanpa syok. Pada masa dini DBD, peran DIC tidak menonjol dibandingkan
dengan perubahan plasma tetapi apabila penyakit memburuk sehingga terjadi
syok dan asidosis maka syok akan memperberat DIC sehingga perannya akan
mencolok. Syok dan DIC saling mempengaruhi sehingga penyakit akan
11
memasuki syok irreversible disertai perdarahan hebat, terlibatnya organ-organ
vital yang biasanya diakhiri dengan kematian.
3. Perdarahan kulit pada umumnya disebabkan oleh faktor kapiler, gangguan fungsi
trombosit dan trombositopeni, sedangkan perdarahan masif ialah akibat kelainan
mekanisme yang lebih komplek seperti trombositopenia, gangguan faktor
pembekuan, dan kemungkinan besar oleh faktor DIC, terutama pada kasus dengan
syok lama yang tidak dapat diatasi disertai komplikasi asidosis metabolik.
4. Antitrombin III yang merupakan kofaktor heparin. Pada kasus dengan kekurangan
antitrombin III, respon pemberian heparin akan berkurang (Soedarmo, 2012).
d. Sistem Komplemen
Penelitian sistem komplemen pada DBD memperlihatkan penurunan kadar C3,
C3 proaktivaktor, C4, dan C5 baik pada kasus yang disertai syok maupun tidak. Terdapat
hubungan positif antara kadar serum komplemen dengan derajat penyakit. Penurunan ini
menimbulkan perkiraan bahwa pada dengue, aktivasi komplemen terjadi baik melalui
jalur klasik maupun jalur alternatif. Hasil penelitian radio isotop mendukung pendapat
bahwa penurunan kadar serum komplemen disebabkan oleh aktivasi sistem komplemen
dan bukan oleh karena produksi yang menurun atau ekstrapolasi komplemen. Aktivasi ini
menghasilkan anafilatoksin C3a dan C5a yang mempunyai kemampuan stimulasi sel mast
untuk melepaskan histamin dan merupakan mediator kuat untuk menimbulkan
peningkatan permeabilitas kapiler, pengurangan plasma dan syok hipopolemik.
Komplemen juga bereaksi dengan epitop virus pada sel endotel, permukaan trombosit
dan limfosit T, yang menimbulkan waktu paruh trombosit memendek, kebocoran plasma,
syok, dan perdarahan. Disamping itu komplemen juga merangsang monosit untuk
memproduksi sitokin seperti tumor nekrosis faktor (TNF), interferon gama, interleukin
(IL-2 dan IL-1) (Soedarmo, 2012).
Bukti-bukti yang mendukung peran sistem komplemen pada penderita DBD ialah
(1) ditemukannya kadar histamin yang meningkat dalam urin 24 jam, (2) adanya
kompleks imun yang bersirkulasi (circulating immune complex) baik pada DBD derajat
ringan maupun berat, (3) adanya korelasi antara kadar kuantitatif kompleks imun dengan
derajat berat penyakit (Soedarmo, 2012).
e. Respon Leukosit
12
Pada perjalanan penyakit DBD, sejak demam hari ketiga terlihat peningkatan
limfosit atopik yang berlangsung sampai hari ke delapan. Pemeriksaan limfosit plasma
biru secara seri dari preparat hapus darah tepi memperlihatkan bahwa LPB pada infeksi
dengue mencapai puncak pada hari ke enam. Selanjutnya dibuktikan pula bahwa diantara
hari keempat sampai kedelapan demam terdapat perbedaan bermakna proporsi LPB pada
DBD dengan demam dengue. Dari penelitian imunologi disimpulkan bahwa LPB
merupakan campuran antara limfosit B dan limfosit T. (Soedarmo, 2012)
2.8 Patogenenis
Mekanisme sebenarnya tentang patofisiologi, hemodinamika, dan biokimiawi demam
berdarah dengue belum diketahui secara pasti karena kesukaran mendapatkan model binatang
percobaan yang dapat dipergunakan untuk menimbulkan gejala klinis DBD seperti pada
manusia. Hingga kini sebagaian besar masih menganut the secondary heterologous infection
hypothesis atau the sequential infection hypothesis yang menyatakan bahwa DBD dapat terjadi
apabila seseorang telah terinfeksi virus dengue pertama kali mendapatkan infeksi kedua dengan
virus serotype lain dalam jarak waktu 6 bulan sampai 5 tahun. (Soedarmo, 2012)
13
Gambar 1.5 Hipotesis secondary heterologus infections ( Soegijanto, 2006 )
Virus dengue masuk ke dalam tubuh manusia lewat gigitan nyamuk Aedes Aegypti atau
Aedes Albopictus. Organ sasaran dari virus adalah organ RES meliputi sel kuffer hepar, endotel
pembuluh darah, nodus limfaticus, sumsum tulang serta paru-paru. Data dari berbagai penelitian
menunjukkan bahwa sel-sel monosit dan makrofag mempunyai peranan besar pada infeksi ini.
Dalam peredaran darah, virus tersebut akan difagosit oleh sel monosit perifer (Soegijanto, 2006).
Virus DEN mampu bertahan hidup dan mengadakan multifikasi di dalam sel tersebut.
Infeksi virus dengue dimulai dengan menempelnya virus genomnya masuk ke dalam sel dengan
bantuan organel-organel sel, genom virus membentuk komponen-komponennya, baik komponen
perantara maupun komponen struktural virus. Setelah komponen struktural dirakit, virus
dilepaskan dari dalam sel. Proses perkembangan biakan virus DEN terjadi di sitoplasma sel
(Soegijanto, 2006)
Antibodi yang terbentuk pada infeksi dengue terdiri dari Ig G yang berfungsi
menghambat replikasi virus dalam monosit, yaitu enhancing – antibody dan neutralizing
14
antibody. Pada saat ini dikenal 2 jenis tipe antibodi yang dibedakan berdasarkan adanya virion
determinant spesificity, yaitu (Soedarmo, 2012):
1. Kelompok monoklonal reaktif yang tidak mempunyai sifat menetralisasi tetapi memacu
replikasi virus
2. Antibodi yang dapat menetralisasi secara spesifik tanpa disertai daya memacu replikasi
virus.
Antibodi non neutralisasi yang terbentuk pada infeksi primer akan menyebabkan
terbentuknya kompleks imun pada infeksi sekunder dengan akibat memacu replikasi virus. Teori
ini pula yang mendasari pendapat bahwa infeksi virus dengue oleh serotipe dengue yang berbeda
cenderung menimbulkan manifestasi berat. Dasar utama hipotesis adalah meningkatnya reaksi
imunologis (the immunological enhancement hypothesis) yang berlangsung sebagai berikut
(Soedarmo, 2012):
a. Sel fagosit mononuklear yaitu monosit, makrofag, histiosit, dan sel kupffer merupakan
tempat utama terjadinya infeksi virus pertama
b. Antibodi non neutralisasi baik yang bebas dalam sirkulasi maupun yang melekat pada sel,
bertindak sebagai reseptor spesifik untuk melekatnya virus dengue pada permukaan sel
fagosit mononuklear. Mekanisme pertama ini disebut mekanisme aferen.
c. Virus dengue kemudian akan bereplikasi dalam sel fagosit mononuklear yang telah
terinfeksi
d. Selanjutnya sel monosit yang mengandung kompleks imun akan menyebar ke usus, hati,
lumpa, dan sumsum tulang. Mekanisme ini disebut mekanisme eferen. Parameter
perbedaan terjadinya DBD dengan dan tanpa syok adalah jumlah sel yang terkena infeksi
e. Sel monosit yang telah teraktivasi akan mengadakan interaksi dengan sistem humoral dan
sistem komplemen dengan akibat dilepaskannya mediator yang mempengaruhi
permeabilitas kapiler dan mengaktivasi sistem koagulasi. Mekanisme ini disebut
mekanisme efektor.
Limfosit T juga memegang peranan penting dalam patogenesis DBD. Akibat rangsang
monosit yang terinfeksi virus dengue, limfosit dapat mengeluarkan interferon α dan γ. Pada
infeksi sekunder oleh virus dengue, Limfosit T CD4 berproliferasi dan menghasilkan interferon
15
α. Interferon α selanjutnya merangsang sel yang terinfeksi virus dengue dan mengakibatkan
monosit memproduksi mediator. Oleh limfosit T CD4 dan CD8 spesifik virus dengue, monosit
akan mengalami lisis dan mengeluarkan mediator yang akan menyebabkan kebocoran plasma
dan perdarahan (Soedarmo, 2012).
Semua flavivirus memiliki kelompok epitop pada selubung protein yang menimbulkan
“cross reaction” atau reaksi silang pada uji serologis, hal ini menyebabkan diagnosis pasti
dengan uji serologi sulit ditegakkan. Kesulitan ini dapat terjadi diantara ke empat serotipe virus
DEN. Infeksi oleh satu serotip virus DEN menimbulkan imunitas protektif terhadap serotip virus
tersebut, tetapi tidak ada “cross protectif” terhadap serotip virus yang lain (Soegijanto, 2006)
2.9 Manifestasi Klinis
Pada dasarnya ada empat sindrom klinis dengue yaitu (Pudjiadi, 2010; WHO, 2011):
1. Silent dengue atau Undifferentiated fever
Pada bayi, anak, dan dewasa yang terinfeksi virus dengue untuk pertama kali
mungkin akan berkembang gejala yang tidak bisa dibedakan dari infeksi virus lainnya.
Bercak maculopapular biasanya mengiringi demam. Biasanya juga muncul gejala saluran
pernafasan atas dan gejala gastrointestinal.
2. Demam dengue klasik
Demam dengue atau disebut juga dengan demam dengue klasik lebih sering pada
anak yang lebih tua, remaja, dan dewasa. Secara umum, manifestasi berupa demam akut,
terkadang demam bifasik disertai dengan gejala nyeri kepala, mialgia, atralgia, rash,
leukopenia, dan trombositopenia. Adakalanya, secara tidak biasa muncul perdarahan
gastrointestinal, hipermenorea, dan epistaksis masif. Pada daerah yang endemis, insidensi
jarang muncul pada penduduk lokal
3. Demam berdarah Dengue ( Dengue Hemorrhagic fever)
Demam berdarah dengue lebih sering muncul pada anak usia kurang dari 15 tahun
pada daerah yang hiperendemis. Hal ini dikaitkan dengan infeksi virus dengue berulang.
Demam berdarah dengue memiliki karakteristik onset akut demam yang sangat tinggi,
disertai dengan tanda dan gejala yang sama dengan demam dengue. Gejala perdarahan
yang muncul dapat berupa tes torniquet yang positif, ptekie, perdarahan gastrointestinal
16
yang masif. Saat akhir dari fase demam, ada tendensi untuk berkembang menjadi keadaan
syok hipovolemik oleh karena adanya plasma leakage.
Terdapat tanda bahaya, antara lain : muntah persisten, nyeri abdomen, letargi,
oligouria yang harus diketahui untuk mencegah syok. Kelainan hemostasis dan adanya
plasma leakage merupakan tanda utama dari demam berdarah dengue. Trombositopenia
dan peningkatan hematokrit harus segera ditemukan sebelum muncul adanya tanda syok.
Demam berdarah dengue biasa terjadi pada anak dengan infeksi sekunder virus
dengue yang mana sudah pernah terinfeksi oleh virus dengue DEN-1 dan DEN-3.
4. Dengue Shock Syndrome (DSS)
Manifestasi yang tidak lazim melibatkan berbagai organ misalnya hepar, ginjal,
otak, dan jantung yang dikaitkan dengan infeksi dengue telah dilaporkan meningkat pada
berbagai kasus yang tidak memiliki bukti terjadinya plasma leakage. Manifestasi tersebut
dikaitkan dengan syok yang berkepanjangan.
2.9.1 Demam Dengue
Masa inkubasi antara 4 – 6 hari (berkisar 3 – 14 hari) disertai gejala konstitusional dan
nyeri kepala, nyeri punggung, dan malaise (WHO,2011).
Awal penyakit biasanya mendadak dengan adanya trias yaitu demam tinggi, nyeri pada
anggota badan dan ruam/rash (Soedarmo, 2012).
Demam : suhu tubuh biasanya mencapai 39oC sampai 40oC dan demam bersifat bifasik yang
berlangsung sekitar 5-7 hari (WHO, 2011).
Ruam kulit : kemerahan atau bercak-bercak merah yang terdapat di dada, tubuh serta
abdomen, menyebar ke anggota gerak dan muka. Ruam bersifat makulopapular yang
menghilang pada tekanan. Ruam timbul pada 6-12 jam sebelum suhu naik pertama kali (hari
sakit ke 3-5) dan berlangsung 3-4 hari (Soedarmo, 2012).
Anoreksi dan obstipasi sering dilaporkan, di samping itu perasaan tidak nyaman di daerah
epigastrium disertai nyeri kolik dan perut lembek sering ditemukan. Gejala klinis lainnya
meliputi fotofobia, berkeringat, batuk. Kelenjar limfa servikal dilaporkan membesar pada 67-
77% kasus atau dikenal sebagai Castelani’s sign yang patognomonik (Soedarmo, 2012).
17
Kelainan darah tepi demam dengue adalah leukopeni selama periode pra demam dan
demam, nutrofilia relatif dan limfopenia, disusul oleh neutropenia relatif dan limfositosis pada
periode puncak penyakit dan pada masa konvalesens. Eusinofil menurun atau menghilang pada
permulaan dan pada puncak penyakit, hitung jenis neutrofil bergeser ke kiri selama periode
demam, sel plasma meningkat pada periode memuncaknya penyakit dengan terdapatnya
trombositopenia. Darah tepi menjadi normal kembali dalam waktu 1 minggu (Soedarmo, 2012).
Pada daerah endemis, tes torniquet yang positif dan leukopenia ( < 5.000 cell/mm3) dapat
membantu penegakan diagnosis dari infeksi dengue dengan angka prediksi 70 – 80 %. Pada
pemeriksaan laboratorium didapatkan (WHO, 2011):
Hitung sel darah putih biasanya normal saat permulaan demam kemudian leukopeni
hingga periode demam berakhir
Hitung trombosit normal, demikian pula komponen lain dalam mekanisme pembekuaan
darah. Pada beberapa epidemi biasanya terjadi trombositopeni
Serum biokimia/enzim biasanya normal, kadar enzim hati mungkin meningkat.
Peningkatan hematokrit ringan oleh karena akibat dari dehidrasi dikaitkan dengan demam
yang tinggi, muntah, anoreksia, dan minimnya intake oral.
Penggunaaan analgesik, antipiretik, antiemetik, dan antibiotik dapat mengintervensi
peningkatan hasil laboratorium fungsi hepar dan pembekuan darah.
2.9.2 Demam Berdarah Dengue
Pada awal perjalanan penyakit, DBD menyerupai kasus DD. Pada DBD terdapat
perdarahan kulit, uji tornikuet positif, memar dan perdarahan pada tempat pengambilan darah
vena. Petekia halus tersebar di anggota gerak, muka, aksila sering kali ditemukan pada masa dini
demam. Epistaksis dan perdarahan gusi jarang dijumpai sedangkan perdarahan saluran
pencernaan hebat lebih jarang lagi dan biasanya timbul setelah renjatan tidak dapat diatasi
(Soedarmo, 2012).
Hati biasanya teraba sejak awal fase demam, bervariasi mulai dari teraba 2-4 cm dibawah
lengkung iga kanan. Derajat pembesaran hati tidak berhubungan dengan keparahan penyakit.
Untuk menemukan pembesaran hati, harus dilakukan perabaan setiap hari. Nyeri tekan di daerah
hati sering kali ditemukan dan pada sebagian kecil kasus dapat disertai ikterus. Nyeri tekan di
18
daerah hati tampak jelas pada anak besar dan ini berhubungan dengan adanya perdarahan
(Soedarmo, 2012)
Pada pemeriksaan laboratorium dapat ditemukan adanya trombositopenia sedang hingga
berat disertai hemokonsentrasi. Fenomena patofisiologis utama yang menentukan derajat
penyakit dan membedakan DBD dari DD ialah peningkatan permeabilitas pembuluh darah,
menurunnya volume plasma, trombositopenia, dan diatesis hemoragik (Soedarmo, 2012)
2.9.3 Expanded Dengue Syndrome /Manifestasi Unusual
Menurut Kalayanarooj dan Nimmannitya tahun 2004 mengklasifikasikan manifestasi
unusual infeksi virus dengue berupa keterlibatan gangguan susunan saraf pusat (SSP), gagal
fungsi hati, gagal fungsi ginjal, fungsi pernapasan, fungsi jantung, infeksi ganda dan kondisi
yang memperberat.
neurologi Ensefalopati/ensefalitis, meningitis aseptik, perdarahan/trombosis
intrakranial, kejang, mental confusion, kaku kuduk, mono-/poli-neuropati,
guillain barre syndrome, mielitis
gastro-intestinal Hepatitis/gagal hati fulminan, acalculous cholecystitis, pankreatitis akut,
febrile diarrhea
Ginjal Hemolytic uremic syndrome
Jantung Miokarditis, gangguan konduksi, perikarditis
Pernapasan ARDS, perdarahan paru
Hati spontaneous splenic rupture, lymphnode infarction
Gambar 1.6 Manifestasi Unusual (Kalayanarooj, 2004)
2.9.4 Dengue Shock Syndrome
Pada DSS dijumpai adanya manifestasi kegagalan sirkulasi yaitu nadi lemah dan cepat,
tekanan nadi menurun (<20mmHg), hipotensi, kulit dingin dan lembab dan pasien tampak
gelisah.
19
Gambar 1.7 Gambaran Skematis Kebocoran Plasma pada DBD
Gambar 1.8 Manifestasi Demam Dengue dan Demam Berdarah Dengue
2.10 Diagnosis
Berdasarkan kriteria WHO 2011 untuk diagnosis Demam Berdarah Dengue:
a. Kriteria Klinis
1. Demam
20
Demam mendadak terus menerus 2-7 hari tanpa sebab yang jelas. Tipe demam bifasik
(saddleback).
Gambar 1.9 Demam Bifasik pada Demam Berdarah Dengue
2. Manifestasi perdarahan, salah satu tergantung:
a. Uji torniket (+)
b. Petechie, ekhimosis ataupun purpura
c. perdarahan mukosa traktus gastrointestinal, epistaksis, perdarahan gusi
d. hematemesis dan melena
3. Hepatomegali
4. Kegagalan sirkulasi (tanda-tanda syok): ekstremitas dingin, nadi cepat dan lemah,
sistolik kurang 90 mmHg, dan tekanan darah menurun sampai tidak terukur, kulit
lembab, penyempitan tekanan nadi (< 20 mmHg), capillary refill time memanjang (>2
detik) dan pasien tampak gelisah.
b. Kriteria Laboratoris
1. Trombositopenia (trombosit < 100.000 /ul)
2. Hemokonsentrasi ( Peningkatan Ht 20% atau penurunan Ht 20% setelah mendapat
terapi cairan).
Penegakan diagnosis Demam Berdarah Dengue berdasarkan atas 2 kriteria klinis
ditambah trombositopenia dan hemokonsentrasi atau peningkatan hematokrit.
Pembagian derajat Demam Berdarah Dengue menurut WHO ialah :
a. Derajat I
Demam diikuti gejala tidak spesifik. Satu-satunya manifestasi perdarahan
adalah tes torniquet yang positif atau mudah memar.
21
b. Derajat II
Gejala yang ada pada tingkat I ditambah dengan perdarahan spontan.
Perdarahan bisa terjadi di kulit atau di tempat lain.
c. Derajat III
Kegagalan sirkulasi ditandai oleh denyut nadi yang cepat dan lemah, tekanan
nadi menurun (<20mmHg) atau hipotensi, suhu tubuh rendah, kulit lembab dan
penderita gelisah.
d. Derajat IV
Syok berat dengan nadi yang tidak teraba dan tekanan darah tidak dapat
diperiksa.
2.12 Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium
Trombositopeni dan hemokonsentrasi merupakan kelainan yang selalu ditemukan
pada DBD. Penurunan jumlah trombosit < 100.000/pl biasa ditemukan pada hari ke-3
sampai ke-8 sakit, sering terjadi sebelum atau bersamaan dengan perubahan nilai
hematokrit. Hemokonsentrasi yang disebabkan oleh kebocoran plasma dinilai dari
peningkatan nilai hematokrit (WHO, 2011).
Penurunan nilai trombosit yang disertai atau segera disusul dengan peningkatan
nilai hematokrit sangat unik untuk DBD, kedua hal tersebut biasanya terjadi pada saat
suhu turun atau sebelum syok terjadi. Perlu diketahui bahwa nilai hematokrit dapat
dipengaruhi oleh pemberian cairan atau oleh perdarahan. Jumlah leukosit bisa menurun
(leukopenia) atau leukositosis, limfositosis relatif dengan limfosit atipik sering ditemukan
pada saat sebelum suhu turun atau syok. Hipoproteinemi akibat kebocoran plasma biasa
ditemukan. Adanya fibrinolisis dan ganggungan koagulasi tampak pada pengurangan
fibrinogen, protrombin, faktor VIII, faktor XII, dan antitrombin III. PTT dan PT
memanjang pada sepertiga sampai setengah kasus DBD (WHO, 2011).
b. Pencitraan
Pada pemeriksaan radiologi dan USG kasus DBD, terdapat beberapa kelainan
yang dapat dideteksi yaitu, dilatasi pembuluh darah paru, efusi pleura, kardiomegali dan
22
efusi perikard, hepatomegali, cairan dalam rongga peritoneum, penebalan dinding vesica
felea (WHO, 2011).
c. Pemeriksaan Rumple leed test
Percobaan ini bermaksud menguji ketahanan kapiler darah dengan cara
mengenakan pembendungan kepada vena-vena, sehingga darah menekan kepada dinding
kapiler. Dinding kapiler yang oleh suatu sebab kurang kuat akan rusak oleh
pembendungan itu, darah dari dalam kapiler itu keluar dari kapiler dan merembes ke
dalam jaringan sekitarnya sehingga nampak sebagai bercak merah kecil pada permukaan
kulit (petechiae). Pemeriksaan ini didefinisikan oleh WHO (2011) sebagai salah satu
syarat yang diperlukan untuk diagnosis demam berdarah. Suatu manset tekanan darah
diterapkan dan meningkat ke titik antara sistolik dan diastolik tekanan darah selama lima
menit. Tes positif jika ada 10 atau lebih ptekia per inci persegi. Pada penderita demam
berdarah tes dengue biasanya memberikan hasil positif yang pasti dengan 20 ptekia atau
lebih. Dewasa ini rumple leed test dianggap tes yang sudah usang atau tidak dapat
diandakan. Akan tetapi tes ini tetap menjadi bagian penting dari penilaian seoang pasien
yang mungkin memiliki demam berdarah dengue.
d. Pemeriksaan lainnya :
Ada beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk mengetahi infeksi virus dengue
yaitu (WHO, 2011):
-Isolasi Virus
Karakteristik serotypic/genotypic
-Deteksi Asam Nukleat Virus
Dengan RT-PCR (Reverse Transcripterase Polymerase Chain Reaction)
-Deteksi Antigen Virus
Deteksi antigen NS1.
23
-Pemeriksaan serologis yang meliputi : Haemagglutination-inhibition (HI), Complement
Fixation (CF), Neutralization Test (NT), Ig M capture enzyme-linked immunosorbent
assay (MAC-ELISA), danpemeriksaan Ig G ELISA indirect
Viremia pada pasien dengan infeksi dengue sangatlah pendek, yaitu muncul pada 2 – 3
hari sebelum onset demam dan bertahan hingga 4 – 7 hari saat sakit. Selama periode ini, asam
nukleat virus dan antigen virus dapat terdeteksi.
Respon antibodi dapat dilihat dari 2 jenis imunoglobulin. Antibodi Ig M dapat terdeteksi
pada 3 – 5 hari setelah onset, meningkat cepat selama 2 minggu, dan menurun hingga tidak
terdeteksi pada 2 – 3 bulan. Antibodi Ig G terdeteksi rendah pada akhir minggu pertama,
meningkat kemudian, dan menetap hingga bertahun – tahun. Pada infeksi sekunder virus dengue,
titer antibodi meningkat cepat. Antibodi Ig G terdeteksi pada level tinggi, pada saat fase inisial,
dan menetap hingga beberapa bulan. Antibodi Ig M biasanya lebih rendah pada infeksi dengue
sekunder. Oleh karena itu, perbandingan Ig M/ Ig G digunakan untuk membedakan antara infeksi
primer dan infeksi sekunder virus dengue. Disebut infeksi primer jika perbandingan Ig M / Ig G
lebih dari 1,2, dan disebut infeksi sekunder jika perbandingan Ig M / Ig G kurang dari 1,2
(WHO, 2011).
Gambar 1.10 Deteksi jumlah Ig M dan Ig G pada Demam Berdarah Dengue
24
2.13 Diagnosis Banding
Diagnosis banding Demam Dengue terdiri atas ( WHO, 2011) :
a. Infeksi virus golongan Arbovirus : Chikungunya
b. Penyakit virus lainnya
Misalnya : Measles, Rubella, dan berbagai virus lainnya, seperti : Epstein barr virus,
Enterovirus, Influenza, Hepatitis A, Hantavirus
c. Penyakit bakterial
Meningocuccaemia, Leptospirosis, Thypoid, Meliodosis, Rackettsial disease, Scarlet Fever
d. Penyakit parasit : Malaria
Pada fase awal demam dari demam berdarah dengue, diagnosis banding meliputi infeksi
spektrum luas oleh virus, bakteri, dan protozoa, sama halnya dengan diagnosis banding dari
demam dengue. Adanya trombositopenia disertai dengan hemokonsentrasi membedakan demam
berdarah dengue dengan penyakit yang lainnya. Hasil yang normal dari ESR (Erythrocyte
Sedimentation Rate) dapat membedakan dengue dengan infeksi bakteri dan syok septik (WHO,
2011).
Gambar 1.11 Manifestasi DBD dibandingkan dengan Demam Chikungunya
25
2.14 Komplikasi dan Penatalaksanaan Komplikasi
a. Ensefalopati dengue dapat terjadi pada DBD dengan maupun tanpa syok.
Ensefalopati dengue dapat terjadi pada DBD dengan maupun tanpa syok, cenderung
terjadi edema otak dan alkalosis, maka bila syok teratasi cairan diganti dengan cairan yang
tidak mengandung HCO3-, dan jumlah cairan harus segera dikurangi. Larutan laktar ringer
dekstrosa segera ditukar dengan larutan Nacl (0,9%) : glukosa (5%) = 3:1. untuk
mengurangi edema otak diberikan kortikosteroid, tetapi bila terdapat perdarahan saluran
cerna sebaiknya kortikosteroid tidak diberikan. Bila terdapat disfungsi hati, maka diberikan
vitamin K intravena 3-10 mg selama 3 hari, kadar gula darah diusahakan >60 mg/dl,
mencegah terjadinya peningkatan tekanan intrakranial dengan mengurangi jumlah cairan
(bila perlu diberikan diuretik), koreksi asidosis dan elektrolit. Perawatan jalan nafas dengan
pemberiaan oksigen yang adekuat. Untuk mengurangi produksi amoniak dapat diberikan
neomisin dan laktulosa. Pada DBD ensefalopati mudah terjadi infeksi bakteri sekunder,
makaa untuk mencegah dapat diberikan antibiotik profilaksis (kombinasi ampisilin 100
mg/kgbb/hari + kloramfenikol 75 mg/kgbb/hari). Usahakan tidak memberikan obat-obat
yang tidak diperlukan (misalnya antasid, anti muntah) untuk mengurangi beban detoksifikasi
obat dalam hati (Novie Homenta, 2011).
b. Kelainan Ginjal
Kelainan ginjal akibat syok yang berkepanjangan dapat terjadi gagal ginjal akut.
Dalam keadaan syok harus yakin benar bahwa penggantian volume intravascular telah
benar-benar terpenuhi dengan baik. Apabila diuresis belum mencukupi 2 ml/kgbb/jam,
sedangkan cairan yang diberikan sudah sesuai kebutuhan, maka selanjutnya furosemid 1
mg/kgbb dapat diberikan. Pemantauan tetap dilakukan untuk jumlah diuresis, kadar ureum,
dan kreatinin. Tetapi apabila diuresis tetap belum mencukupi, pada umumnya syok juga
belum dapat dikoreksi dengan baik, maka pemasangan CVP (central venous pressure) perlu
dilakukan untuk pedoman pemberian cairan selanjutnya (Novie Homenta, 2011).
c. Edema paru
Edema paru adalah komplikasi yang mungkin terjadi sebagai akibat pemberian cairan
yang berlebihan. Pemberian cairan pada hari sakit ketiga sampai kelima sesuai panduan
26
yang diberikan, biasanya tidak akan menyebabkan edema paru oleh karena perembesan
plasma masih terjadi. Tetapi pada saat terjadi reabsorbsi plasma dari ruang ekstravaskular,
apabila cairan diberikan berlebih (kesalahan terjadi bila hanya melihat penurunan
hemoglobin dan hematokrit tanpa memperhatikan hari sakit), pasien akan mengalami
distress pernafasan, disertai sembab pada kelopak mata, dan ditunjang dengan gambaran
edem paru pada foto roentgen dada. Gambaran edem paru harus dibedakan dengan
perdarahan paru (Novie Homenta, 2011).
2.15 Penatalaksanaan
Pengobatan DBD menurut WHO (2011) bersifat suportif simptomatik dengan tujuan
memperbaiki sirkulasi dan mencegah timbulnya renjatan dan timbulnya Koagulasi Intravaskuler
Diseminata (KID).
Perbedaan patofisiologik utama antara Demam Dengue/Demam Berdarah
Dengue/Demam Syok sindrom dan penyakit lain, ialah adanya peningkatan permeabilitas kapiler
yang menyebabkan perembesan plasma, dan gangguan hemostasis. Penatalaksanaan fase demam
pada Demam Berdarah Dengue dan Demam Dengue tidak jauh berbeda, bersifat simptomatik
dan suportif yaitu pemberian cairan oral untuk mencegah dehidrasi. Berikan nasihat kepada
orang tua agar anak diberikan minum banyak seperti air teh, susu, sirup, oralit, jus buah, dan lain
– lain. Selain itu diberikan pula obat antipiretik golongan parasetamol. Penggunaan antipiretik
golongan salisilat tidak dianjurkan pada penanganan demam. Parasetamol direkomendasikan
untuk mempertahankan suhu di bawah 39 0C dengan dosis 10 – 15 mg/KgBB/kali (WHO, 2011).
Rasa haus dan keadaan dehidrasi dapat timbul sebagai akibat demam tinggi, anoreksia,
dan muntah. Pasien perlu diberikan minum 50 ml/KgBB dalam 4 – 6 jam pertama. Setelah
keadaan dehidrasi dapat teratasi, anak dapat diberikan cairan rumatan 80 – 100 ml/KgBB/hari
dalam 24 jam berikutnya. Bayi yang masih minum ASI, tetap diberikan disamping larutan oralit.
Bila terjadi kejang demam, disamping diberikan antipiretik, diberikan pula antikonvulsif selama
masih demam (WHO, 2011).
Masa kritis ialah pada atau setelah hari sakit yang ke 3 – 5 yang memperlihatkan
penurunan tajam hitung trombosit dan peningkatan tajam hematokrit yang menunjukkan adanya
kehilangan cairan, Observasi tanda vital, kadar hematokrit, trombosit dan jumlah urin 6 jam
sekali (minimal 12 jam sekali) perlu dilakukan. Kunci keberhasilan pengobatan DBD ialah
27
ketepatan volume replacement atau penggantian volume, sehingga dapat mencegah syok (WHO,
2011).
Cairan intravena diperlukan apabila :
1. Anak terus muntah, tidak mau minum, demam tinggi sehingga tidak mungkin
diberikan minum per oral
2. Nilai hematokrit cenderung meningkat pada pemeriksaan berkala
Pada pasien DBD derajat II apabila dijumpai demam tinggi, terus menerus selama < 7
hari tanpa sebab yang jelas, disertai tanda perdarahan spontan, disertai penurunan jumlah
trombosit, dan peningkatan kadar hematokrit. Pada saat pasien dating, berikan cairan kristaloid 7
ml/KgBB/jam. Monitor tanda vital dan kadar hematokrit serta trombosit tiap 6 ja,. Selanjutnya
evaluasi 12 – 24 jam. Apabila selama observasi keadaan umum membaik, yaitu anak tampak
tenang, tekanan nadi kuat, tekanan darah stabil, dan kadar PCV cenderung turun minimal dalam
2 kali pemeriksaan berturut – turut, maka tetesan dikurangi menjadi 5 ml/KgBB/jam. Apabila
dalam observasi selanjutnya tanda vital tetap stabil, tetesan dikurangi menjadi 3 ml/KgBB/jam
dan akhirnya cairan dihentikan dalam 24 – 48 jam. Apabila keadaan klinis pasien tidak ada
perbaikan, yaitu : anak tampak gelisah, nafas cepat, frekuensi nadi meningkat, deuresis kurang,
tekanan nadi < 20 mmHg memburuk, serta peningkatan PCV, maka tetesan dinaikkan menjadi
10 ml/KgBB/jam. Apabila belum terjadi perbaikan setelah 12 jam, maka tetesan di naikkan
menjadi 10 ml/KgBB/jam. Apabila belum terjadi perbaikan klinis setelah 12 jam, cairan
dinaikkan menjadi 15 ml/KgBB/jam. Kemudian dievaluasi 12 jam lagi. Apabila tampak distress
pernafasan menjadi lebih berat dan ht naik maka berikan koloid 10 – 20 ml/KgBB/jam, dengan
jumlah maksimal 30 ml/KgBB. Namun bila Ht atau Hb turun, berikan tranfusi darah segar 10
ml/KgBB/jam (WHO, 2011).
Bila terdapat asidosis, ¼ dari cairan total dikeluarkan dan diganti dengan larutan berisi
0,167 mol/liter Natrium bikarbonat (3/4 bagian berisi larutan NaCl 0,9 % + glukosa ditambah ¼
Natrium bikarbonat). Volume dan komposisi cairan yang diperlukan sesuai seperti cairan untuk
dehidrasi pada diare ringan sampai sedang, yaitu cairan rumatan ditambah deficit 6 % (5 – 8 %)
seperti tertera pada tabel dibawah ini (WHO, 2011):
28
Tabel 1.2 Kebutuhan Cairan pada Dehidrasi Sedang ( Defisit Cairan 5 – 8 %)
Berat Waktu Masuk (Kg) Jumlah Cairan tiap hari
< 7 Kg
7 – 11 Kg
12 – 18 Kg
> 18 Kg
220 ml/KgBB/hari
165 ml/KgBB/hari
132 ml/KgBB/hari
88 ml/KgBB/hari
Sindroma syok dengue adalah DBD dengan gejala gelisah, nafas cepat, nadi teraba kecil,
lembut atau tak teraba, tekanan nadi menyempit, bibir biru, tangan dan kaki dingin, dan tidak ada
produksi urin. Langkah yang harus dilakukan adalah segera berikan infus kristaloid 20 ml/KgBB
secepatnya dalam 30 menit dan oksigen 2 liter/menit. Untuk DSS berat 20 ml/KgBB/jam
diberikan bersama koloid 10 – 20 ml/KgBB/jam. Observasi tensi dan nadi tiap 15 menit,
hematokrit dan trombosit tiap 4 – 6 jam, serta periksa pula elektrolit dan gula darah (WHO,
2011).
Apabila dalam waktu 30 menit syok belum teratasi, tetesan kristaloid belum dilanjutkan
20 ml/KgBB, ditambah plasma atau koloid sebanyak 10 – 20 ml/KgBB maksimal 30 ml/KgBB.
Koloid ini diberikan pada jalur infus yang sama dengan kristaloid, diberikan secepatnya.
Observasi keadaan umum, tekanan darah, keadaan nadi tiap 15 menit, dan periksa hematokrit
tiap 4 – 6 jam. Lakukan pula koreksi terhadap asidosis, elektrolit, dan gula darah (WHO, 2011).
Apabila syok teratasi disertai penurunan kadar Hb/Ht, tekanan nadi > 20 mmHg, nadi
kuat, maka tetesan cairan dikurangi menjadi 10 ml/KgBB/jam dan dipertahankan hingga 24 jam
atau sampai klinis stabil dan Ht menurun < 40%. Selanjutnya cairan diturunkan menjadi 7
ml/KgBB sampai keadaan klinis dan Ht stabil, kemudian secara bertahap diturunkan menjadi 5
ml/Kg/BB/jam dan seterusnya 3 ml/Kg/BB/jam. Dianjurkan pemberian cairan tidak melebihi 48
jam setelah syok teratasi. Apabila syok belum teratasi, sedangkan Ht menurun tapi masih > 40%,
berikan darah dalam volume kecil 10 ml/KgBB. Apabila tampak perdarahan massif, berikan
darah segar 20 ml/KgBB dan lanjutkan cairan kristaloid 10 ml/Kg/BB/jam. Pemasangan CVP
pada syok berat kadang diperlukan, sedangkan pemasangan sonde lambung tidak dianjurkan
(WHO, 2011)
29
Bila pada syok DBD tidak berhasil diatasi selama 30 menit dengan resusitasi kristaloid
maka cairan koloid harus diberikan sebanyak 10 – 20 ml/kgBB/jam. Cairan koloid tersebut
antara lain :
1. Dekstan
2. Gelatin
3. Hydroxy Ethyl Starch (HES)
4. Fresh Frozen Plasma (FFP)
Pemasangan CVP pada DBD tidak dianjurkan karena prosedur CVP bersifat traumatis
untuk anak dengan trombositopenia, gangguan vaskular dan homeostasis sehingga mudah terjadi
perdarahan dan infeksi, disamping prosedur pengerjaannya juga tidak mudah dan manfaatnya
juga tidak banyak (WHO, 2011).
Pemberian suspensi trombosit umumnya diperlukan dengan pertimbangan bila terjadi
perdarahan secara klinis dan pada keadaan KID. Bila diperlukan suspensi trombosit maka
pemberiannya diikuti dengan pemberian fresh frozen plasma (FFP) yang masih mengandung
faktor-faktor pembekuan untuk mencegah agregasi trombosit yang lebih hebat. Bila kadar
hemoglobin rendah dapat pula diberikan packed red cell (PRC).
Setelah fase krisis terlampau, cairan ekstravaskular akan masuk kembali dalam
intravaskular sehingga perlu dihentikan pemberian cairan intravena untuk mencegah terjadinya
edem paru. Pada fase penyembuhan (setelah hari ketujuh) bila terdapat penurunan kadar
hemoglobin, bukan berarti perdarahan tetapi terjadi hemodilusi sehingga kadar hemoglobin akan
kembali ke awal seperti saat anak masih sehat. Pada anak yang awalnya menderita anemia akan
tampak kadar hemoglobin rendah, hati-hati tidak perlu diberikan transfuse (WHO, 2011).
Penatalaksanaan DBD disesuaikan dengan derajat terlampir sebagai berikut:
30
Gambar 1.12. Tatalaksana infeksi virus Dengue pada kasus tersangka DBD.
31
Gambar 1.13. Tatalaksana tersangka DBD (rawat inap) atau demam Dengue.
32
Gambar 1.14 Tatalaksana kasus DBD derajat I dan II.
33
Gambar 1.15. Tatalaksana Kasus DBD derajat III dan IV atau DSS.
Kriteria memulangkan pasien antara lain (Soedarmo, 2012) :
1. Tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik
2. Nafsu makan membaik
3. Tampak perbaikan secara klinis
34
4. Hematokrit stabil
5. Tiga hari setelah syok teratasi
6. Jumlah trombosit diatas 50.000/ml dan cenderung meningkat
7. Tidak dijumpai adanya distress pernafasan (akibat efusi pleura atau asidosis).4
2.16 Prognosis
Bila tidak disertai renjatan dalam 24 – 36 jam, biasanya prognosis akan menjadi baik.
Kalau lebih dari 36 jam belum ada tanda perbaikan, kemungkinan sembuh kecil dan
prognosisnya menjadi buruk (Rampengan, 2008). Penyebab kematian Demam Berdarah Dengue
cukup tinggi yaitu 41,5 %. (Soegijanto, 2001). Secara keseluruhan tidak terdapat perbedaan
antara jenis kelamin penderita demam berdarah dengue, tetapi kematian lebih banyak ditemukan
pada anak perempuan daripada laki – laki. Penyebab kematian tersebut antara lain (Rampengan,
2008) :
1. Syok lama
2. Overhidrasi
3. Perdarahan masif
4. Demam Berdarah Dengue dengan syok yang disertai manifestasi yang tidak syok
2.17 Pencegahan
Pencegahan yang dilakukan adalah dengan cara Pengendalian vektor virus dengue.
Pengendalian vektor bertujuan (Purnomo, 2010) :
1. Mengurangi populasi vektor serendah – rendahnya sehingga tidak berarti lagi sebagai
penular penyakit.
2. Menghindarkan terjadi kontak antara vektor dan manusia.
Cara efektif untuk pengendalian vektor adalah dengan penatalaksanaan lingkungan yang
termasuk perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pemantauan aktivitas untuk
modifikasi faktor-faktor lingkungan dengan suatu pandangan untuk mencegah perkembangan
vektor dan kontak manusia-vektor-patogen. Pengendalian vektor dapat berupa (Purnomo, 2010):
1. Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN)
a. Melakukan metode 4 M (menguras, Menutup dan Menyingkirkan, dan monitor
tempat perindukan nyamuk) minimal 1 x seminggu bagi tiap keluarga,
35
b. 100% tempat penampungan air sukar dikuras diberi abate tiap 3 bulan
c. ABJ (angka bebas jentik) diharapkan mencapai 95%
2. Foging Focus dan Foging Masal
a. Foging fokus dilakukan 2 siklus dengan radius 200 m dengan selang waktu 1
minggu
b. Foging masal dilakukan 2 siklus diseluruh wilayah suspek KLB dalam jangka
waktu 1 bulan
c. Obat yang dipakai : Malation 96EC atau Fendona 30EC dengan menggunakan
Swing Fog
3. Penyelidikan Epidemiologi
a. Dilakukan petugas puskesmas yang terlatih dalam waktu 3x24 jam setelah
menerima laporan kasus
b. Hasil dicatat sebagai dasar tindak lanjut penanggulangan kasus
4. Penyuluhan perorangan/kelompok untuk meningkatkan kesadaran masyarakat.
5. Kemitraan untuk sosialisasi penanggulangan DBD.
Kewajiban pelaporan kasus dalam tempo 24 jam ke Dinas Kesehatan tingkat
II/Puskesmas tempat tinggal pasien merupakan keharusan yang sesuai dengan Peraturan Menteri
Kesehatan 560 tahun 1989 dengan tujuan kemungkinan terjadinya penularan lebih lanjut,
penyakit DBD dapat dicegah dan ditanggulangi sedini mungkin. Dengan adanya laporan kasus
pada Puskesmas/ Dinas Kesehatan tingkat II yang bersangkutan, dapat dengan segera melakukan
penyelidika epidemiologi di sekitar tempat tinggal kasus untuk melihat kemungkinan resiko
penularan (Soedarmo, 2012).
Apabila dari hasil penyelidikan epidemiologi diperoleh data adanya resiko penularan
DBD, maka pihak terkait akan melakukan langkah – langkah upaya penanggulangan berupa :
foging fokus dan abatisasi selektif. Tujuan abatisasi adalah membunuh larva dengan butir – butir
abate sand granule (SG) 1 % pada tempat penyimpanan air dengan dosis ppm (part per milion)
yaitu : 10 gram meter 100 liter air. Selain itu dapat dilakukan dengan menggalakkan masyarakat
untuk melakukan kerja bakti dalan pemberantasan sarang nyamuk (Soedarmo, 2012).
36
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Kesehatan. 2008. Profil Pengendalian Penyakit dan Penyelamatan Lingkungan.
Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Kalayanarooj S, Nimmannitya S. Guidelines for dengue hemorrhagic fever case management.
WHO collaborating centre for case management of Dengue/DHF/DSS and Queen Sirikit
National Institute of Child Health (Children’s Hospital). Bangkok medical publisher
2004.
Nelson waldo E. 1999. Ilmu Kesehatan Anak Volume 2 Edisi 15. Jakarta : EGC
Pudjiadi, Antonius H., dkk. 2010. Pedoman Pelayanan Medis Jilid 1. Jakarta : Ikatan Dokter
Anak Indonesia
Purnama, S. Gede. 2010. Pengendalian Vektor DBD. Denpasar : Program Studi Ilmu Kesehatan
Masyarakat Universitas Udayana.
Pusponegoro, Hardiono D. dkk. 2004. Standar Pelayanan Medis Edisi 1. Jakarta : Ikatan Dokter
Anak Indonesia
Rampengan, T.H. 2008. Penyakit Infeksi Tropis pada Anak Edisi 2. Jakarta : EGC
Smith, Tracy. 2002. Dengue Virus. Nature Publishing Group.
Soedarmo, Sumarmo S. Poorwo, dkk. 2012. Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis Edisi Kedua.
Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia
Soegijanto, Soegeng. 2001. Penatalaksanaan Demam Berdarah Dengue pada Anak. Surabaya :
Tropical Disease Center (TDC) Universitas Airlangga Surabaya
Soegijanto, Soegeng. 2006. Patogenesa dan Perubahan Patofisologi Infeki Virus Dengue.
Surabaya : Tropical Disease Center (TDC) Universitas Airlangga Surabaya
37
Soegijanto, Soegeng. 2006. Demam Berdarah Dengue edisi 2. Surabaya : Airlangga University
Press
Sudoyo Aru W. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi IV. Jakarta : Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia
Trihadi, Djoko. 2012. Demam Berdarah Dengue. Semarang : Rumah Sakit Umum Daerah Kota
Semarang.
WHO. 2009. Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. Jakarta: WHO
WHO. 2011. Conprehensive Guidelines for Prevention and Control of Dengue and Dengue
Haemorraghic Fever. India : WHO
Wibowo, Krisnanto, dkk. 2011. Pengaruh Tranfusi Trombosit terhadap Terjadinya Perdarahan
Masif pada Demam Berdarah Dengue. Yogyakarta : Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada.
38