Post on 11-Jan-2016
description
PRESENTASI KASUS
KEHAMILAN EKTOPIK TERGANGGU
Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik di Bagian
Obstetri dan Ginekologi Rumah Sakit Umum Daerah Panembahan Senopati Bantul
Diajukan Kepada :
dr. I Nyoman Tritia Widiantara, Sp.OG
Disusun oleh :
Dwi Yuliannisa Amri
20100310133
SMF OBSTETRI GINEKOLOGI
RSUD PANEMBAHAN SENOPATI BANTUL
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2015
HALAMAN PENGESAHAN
PRESENTASI KASUS
KEHAMILAN EKTOPIK TERGANGGU
Disusun oleh:
Dwi Yuliannisa Amri
20100310133
Telah dipresentasikan pada:
Maret 2015
Bantul, Maret 2015
Menyetujui dan mengesahkan,
Pembimbing
dr. I Nyoman Tritia Widiantara, Sp.OG
BAB I
PENDAHULUAN
Pembangunan kesehatan di laksanakan pada segala bidang. Tujuan pembangunan
kesehatan adalah untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi
setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang optimal. Komplikasi
kehamilan, persalinan dan nifas merupakan masalah kesehatan yang penting, bila tidak
ditanggulangi akan menyebabkan angka kematian ibu yang tinggi. Kematian seorang ibu
dalam proses reproduksi merupakan tragedi yang mencemaskan. Keberadaan seorang ibu
merupakan tonggak untuk tercapainya keluarga yang sejahtera dan kematian seorang ibu
merupakan suatu bencana bagi keluarganya. Dampak sosial dan ekonomi kejadian ini dapat
dipastikan sangat besar, baik bagi keluarga, masyarakat maupun angkatan kerja.
World Health organization (2008) melaporkan pada tahun 2005 terdapat 536.000
wanita meninggal akibat dari komplikasi kehamilan dan persalinan, dan 400 ibu meninggal
per 100.000 kelahiran hidup (Maternal Mortality Ratio). Angka Kematian Ibu (AKI) di
negara maju diperkirakan 9 per 100.000 kelahiran hidup dan 450 per 100.000 kelahiran
hidup di negara yang berkembang, hal ini berarti 99% dari kematian ibu oleh karena
kehamilan dan persalinan berasal dari negara berkembang.
Indonesia sebagai Negara berkembang mempunyai AKI yang relatif lebih tinggi
dibandingkan dengan Negara-negara ASEAN. Pada tahun 2005 terdapat AKI sebesar
13/100.000 kelahiran hidup di Brunei Darussalam, 62/100.000 kelahiran hidup di Malaysia,
110/100.000 kelahiran hidup di Thailand, 380/100.000 kelahiran hidup di Myanmar dan
420/100.000 kelahiran hidup di Indonesia.
Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia 2006, AKI di Rumah Sakit periode 2001-
2005 cenderung menurun dari 7,5/1000 kelahiran hidup pada tahun 2001 menjadi 0,9/1000
kelahiran hidup pada tahun 2005. Namun pada tahun 2004, AKI mengalami kenaikan tajam
dari sebelumnya 1,1/1000 kelahiran hidup pada tahun 2003 menjadi 8,6/1000 kelahiran
hidup.
Jika dilihat dari golongan sebab sakit, kasus obstetrik terbanyak pada tahun 2006
adalah disebabkan penyulit kehamilan, persalinan dan masa nifas lainnya dengan proporsi
47,3 %, diikuti dengan kehamilan yang berakhir abortus dengan proporsi 31,5%.5 Kehamilan
ektopik merupakan salah satu kehamilan yang berakhir abortus, dan sekitar 16 % kematian
oleh sebab perdarahan dalam kehamilan dilaporkan disebabkan oleh kehamilan ektopik yang
pecah.
Kehamilan ektopik terjadi apabila hasil konsepsi berimplantasi, tumbuh dan
berkembang di luar endometrium normal. Kehamilan ektopik ini merupakan kehamilan yang
berbahaya bagi wanita yang bersangkutan berhubung dengan besarnya kemungkinan terjadi
keadaan gawat. Keadaan gawat ini dapat terjadi apabila Kehamilan Ektopik Terganggu
(KET) dimana terjadi abortus maupun ruptur tuba. Abortus dan ruptur tuba menimbulkan
perdarahan ke dalam kavum abdominalis yang bila cukup banyak dapat menyebabkan
hipotensi berat atau syok. Bila tidak atau terlambat mendapat penanganan yang tepat
penderita akan meninggal akibat kehilangan darah yang sangat banyak.
Insiden rate Kehamilan ektopik di Amerika Serikat mengalami peningkatan lebih dari
3 kali lipat selama tahun 1970 dan 1987, dari 4,5/1000 kehamilan menjadi 16,8/1000
kehamilan. Berdasarkan data Centers for Disease Control and Prevention, insiden rate
kehamilan ektopik di Amerika Serikat pada tahun 1990-1992 diperkirakan 19,7/1000
kehamilan. Dan pada tahun 1997-2000 mengalami peningkatan lagi menjadi 20,7/1000
kehamilan. Di Logos, Nigeria, 8,6% kematian ibu disebabkan oleh kehamilan ektopik dengan
Case Fatality Rate (CFR) 3,7 %.9 Di Norwegia, insiden rate kehamilan ektopik meningkat
dari 4,3/10.000 kehamilan menjadi 16/10.000 kehamilan selama periode 1970-1974 sampai
1990-1994, dan menurun menjadi 8,4/10.000 kehamilan.
Di Indonesia frekuensi kehamilan ektopik bervariasi antara 1 dalam 28 persalinan
sampai 1 dalam 329 persalinan. Di RS Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta selama periode
tahun 1971-1975 terdapat 1 kehamilan ektopik diantara 24 persalinan, pada tahun 1987
terdapat 153 kasus diantara 4007 persalinan atau 1 diantara 26 persalinan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Kehamilan ektopik ialah suatu kehamilan yang pertumbuhan sel telurnya yang telah
dibuahioleh spermatozoa, berimplantasi dan tumbuh diluar endometrium kavum uterus,atau
tidak menempel pada dinding endometrium kavum uteri.Implantasi ditempat lain dianggap
sebagai kehamilan ektopik. Kata ini berasal dari bahasa yunani ektopos-di luar
tempatnya.Sedangkan Kehamilan Ektopik Terganggu ialah kehamilan ektopik yang
mengalami mengalami gangguan dapat berupa abortus atau ruptur apabila masa kehamilan
berkembang melebihi kapasitas ruang implantasi misalnya tuba, dan hal ini dapat berbahaya
bagi wanita tersebut.
B. Lokasi
Menurut lokasinya, kehamilan ektopik dapat dibagi dalam beberapa golongan, yaitu:
1. Tuba Fallopii (95%-98% dari seluruh kehamilan ektopik), yaitu pada:
- Pars interstisialis (2%)
- Istmus (25%)
- Ampulla (55%)
- Infundibulum (1%)
- Fimbria (17%)
2. Uterus, yaitu pada :
- Kanalis servikalis (<1%)
- Divertikulum
- Kornu (1-2%)
- Tanduk rudimenter
3. Ovarium (<1%)
4. Intraligamenter (<%)
5. Abdominal (1-2%)
- Primer
- Sekunder
6. Kehamilan ektopik kombinasi (combined ectopic pregnancy)
Kehamilan Abdominal
Kebanyakan kehamilan abdominal merupakan kehamilan ektopik sekunder akibat
ruptur atau aborsi kehamilan tuba atau ovarium ke dalam rongga abdomen.Implantasi primer
di dalam rongga abdomen amatlah jarang.Mortalitas akibat kehamilan abdominal tujuh kali
lebih tinggi daripada kehamilan tuba, dan 90 kali lebih tinggi daripada kehamila
intrauterin.Morbiditas maternal dapat disebabkan perdarahan, infeksi, anemia, koagulasi
intravaskular diseminata (DIC), emboli paru atau terbentuknya fistula antara kantong amnion
dengan usus.Pada kehamilan abdominal yang khas, plasenta yang telah menembus dinding
tuba secara bertahap membuat perlekatan baru dengan jaringan serosa di sekitarnya, namun
juga mempertahankan perlekatannya dengan tuba.Pada beberapa kasus, setelah ruptur tuba
plasenta mengadakan implantasi di tempat yang terpisah dari tuba dalam rongga
abdomen.Kehamilan abdominal dapat juga terjadi akibat ruptur bekas insisi seksio sesaria,
dan pada kasus ini kehamilan berlanjut di balik plika vesikouterina.Diagnosis kehamilan
abdominal berawal dari indeks kecurigaan yang tinggi. Temuan-temuan ultrasonografik
berikut, meskipun tidak patognomonis, harus segera membuat kita berpikir akan suatu
kehamilan abdominal: 1) tidak tampaknya dinding uterus antara kandung kemih dengan
janin, 2) plasenta terletak di luar uterus, 3) bagian-bagian janin dekat dengan dinding
abdomen ibu, 4) letak janin abnormal, dan 5) tidak ada cairan amnion antara plasenta dan
janin.
Kehamilan abdominal pula memberikan ancaman-ancaman kesehatan bagi si ibu.Oleh
sebab itu, terminasi sedini mungkin sangat dianjurkan. Janin yang mati namun terlalu besar
untuk diresorbsi dapat mengalami proses supurasi, mumifikasi atau kalsifikasi. Karena letak
janin yang sangat dekat dengan traktus gastrointestinal, bakteri dengan mudah mencapai janin
dan berkembang biak dengan subur. Selanjutnya, janin akan mengalami supurasi, terbentuk
abses, dan abses tersebut dapat ruptur sehingga terjadi peritonitis. Bagian-bagian janin pun
dapat merusak organ-organ ibu di sekitarnya. Pada satu atau dua kasus yang telah dilaporkan,
janin yang mati mengalami proses mumifikasi, menjadi lithopedion, dan menetap dalam
rongga abdomen selama lebih dari 15 tahun. Penanganan kehamilan abdominal sangat
berisiko tinggi. Penyulit utama adalah perdarahan yang disebabkan ketidakmampuan tempat
implantasi plasenta untuk mengadakan vasokonstriksi seperti miometrium(4). Sebelum
operasi, cairan resusitasi dan darah harus tersedia, dan pada pasien harus terpasang minimal
dua jalur intravena yang cukup besar.
Pengangkatan plasenta membawa masalah tersendiri pula.Plasenta boleh diangkat
hanya jika pembuluh darah yang mendarahi implantasi plasenta tersebut dapat diidentifikasi
dan diligasi.Karena hal tersebut tidak selalu dapat dilaksanakan, dan lepasnya plasenta sering
mengakibatkan perdarahan hebat, umumnya plasenta ditinggalkan in situ.Pada sebuah
laporan kasus, plasenta yang lepas sebagian terpaksa dijahit kembali karena perdarahan tidak
dapat dihentikan dengan berbagai macam manuver hemostasis. Dengan ditinggalkan in situ,
plasenta diharapkan mengalami regresi dalam 4 bulan(10). Komplikasi-komplikasi yang sering
terjadi adalah ileus, peritonitis, pembentukan abses intraabdomen dan infeksi organ-organ
sekitar plasenta, serta preeklamsia persisten. Regresi plasenta dimonitor dengan pencitraan
ultrasonografi dan pengukuran kadar b-hCG serum. Pemberian methotrexate untuk
mempercepat involusi plasenta tidak dianjurkan, karena degradasi jaringan plasenta yang
terlalu cepat akan menyebabkan akumulasi jaringan nekrotik, yang selanjutnya dapat
mengakibatkan sepsis. Embolisasi per angiografi arteri-arteri yang mendarahi tempat
implantasi plasenta adalah sebuah alternatif yang baik(9).
Kehamilan Ovarium
Kehamilan ektopik pada ovarium jarang terjadi. Spiegelberg merumuskan kriteria
diagnosis kehamilan ovarium: 1) tuba pada sisi ipsilateral harus utuh, 2) kantong gestasi
harus menempati posisi ovarium, 3) ovarium dan uterus harus berhubungan melalui
ligamentum ovarii, dan 4) jaringan ovarium harus ditemukan dalam dinding kantong gestasi.
Secara umum faktor risiko kehamilan ovarium sama dengan faktor risiko kehamilan tuba.
Meskipun daya akomodasi ovarium terhadap kehamilan lebih besar daripada daya akomodasi
tuba, kehamilan ovarium umumnya mengalami ruptur pada tahap awal.Manifestasi klinik
kehamilan ovarium menyerupai manifestasi klinik kehamilan tuba atau perdarahan korpus
luteum.Umumnya kehamilan ovarium pada awalnya dicurigai sebagai kista korpus luteum
atau perdarahan korpus luteum.Kehamilan ovarium terganggu ditangani dengan pembedahan
yang sering kali mencakup ovariektomi.Bila hasil konsepsi masih kecil, maka reseksi parsial
ovarium masih mungkin dilakukan. Methotrexate dapat pula digunakan untuk terminasi
kehamilan ovarium yang belum terganggu(3).
Kehamilan Serviks
Kehamilan serviks juga merupakan varian kehamilan ektopik yang cukup
jarang.Etiologinya masih belum jelas, namun beberapa kemungkinan telah diajukan.Burg
mengatakan bahwa kehamilan serviks disebabkan transpor zigot yang terlalu cepat, yang
disertai oleh belum siapnya endometrium untuk implantasi.Dikatakan pula bahwa
instrumentasi dan kuretase mengakibatkan kerusakan endometrium sehingga endometrium
tidak lagi menjadi tempat nidasi yang baik. Sebuah pengamatan pada 5 kasus kehamilan
serviks mengindikasikan adanya hubungan antara kehamilan serviks dengan kuretase
traumatik dan penggunaan IUD pada sindroma Asherman(7).
Kehamilan serviks juga berhubungan dengan fertilisasi in-vitro dan transfer embrio.
Pada kehamilan serviks, endoserviks tererosi oleh trofoblas dan kehamilan berkembang
dalam jaringan fibrosa dinding serviks.Lamanya kehamilan tergantung pada tempat
nidasi.Semakin tinggi tempat nidasi di kanalis servikalis, semakin besar kemungkinan janin
dapat tumbuh dan semakin besar pula tendensi perdarahan hebat.Perdarahan per vaginam
tanpa rasa sakit dijumpai pada 90% kasus, dan sepertiganya mengalami perdarahan hebat.
Kehamilan serviks jarang melewati usia gestasi 20 minggu. Prinsip dasar penanganan
kehamilan serviks, seperti kehamilan ektopik lainnya, adalah evakuasi. Karena kehamilan
serviks jarang melewati usia gestasi 20 minggu, umumnya hasil konsepsi masih kecil dan
dievakuasi dengan kuretase. Namun evakuasi hasil konsepsi pada kehamilan serviks sering
kali mengakibatkan perdarahan hebat karena serviks mengandung sedikit jaringan otot dan
tidak mampu berkontraksi seperti miometrium.Bila perdarahan tidak terkontrol, sering kali
histerektomi harus dilakukan.Hal ini menjadi dilema, terutama bila pasien ingin
mempertahankan kemampuan reproduksinya. Beberapa metode-metode nonradikal yang
digunakan sebagai alternatif histerektomi antara lain pemasangan kateter Foley, ligasi arteri
hipogastrika dan cabang desendens arteri uterina, embolisasi arteri dan terapi medis. Kateter
Foley dipasang pada kanalis servikalis segera setelah kuretase, dan balon kateter segera
dikembangkan untuk mengkompresi sumber perdarahan.Selanjutnya vagina ditampon dengan
kasa. Beberapa pakar mengusulkan penjahitan serviks pada jam 3 dan 9 untuk tujuan
hemostasis (hemostatic suture) sebelum dilakukan kuretase. Embolisasi angiografik arteri
uterina adalah teknik yang belakangan ini dikembangkan dan memberikan hasil yang baik,
seperti pada sebuah laporan kasus kehamilan serviks di Italia24. Sebelum kuretase dilakukan,
arteri uterina diembolisasi dengan fibrin, gel atau kolagen dengan bantuan angiografi. Pada
kasus tersebut, perdarahan yang terjadi saat dan setelah kuretase tidak signifikan.Seperti pada
kehamilan tuba, methotrexate pun digunakan untuk terminasi kehamilan serviks.Methotrexate
adalah modalitas terapeutik yang pertama kali digunakan setelah diagnosis kehamilan serviks
ditegakkan. Namun pada umumnya methotrexate hanya memberikan hasil yang baik bila usia
gestasi belum melewati 12 minggu. Methotrexate dapat diberikan secara intramuskular,
intraarterial maupun intraamnion(8).
C. Etiologi
Etiologi kehamilan ektopik telah banyak diselidiki, namun sebagian besar
penyebabnya masih tidak diketahui. Pada tiap kehamilan akan dimulai dengan pembuahan
didalam ampulla tuba, dan dalam perjalanan kedalam uterus telur mengalami hambatan
sehingga pada saat nidasi masih berada di tuba, atau nidasinya di tuba dipermudah.
Resiko terjadinya kehamilan ektopik ini meningkat dengan adanya beberapa faktor,
yaitu
1. riwayat infertilitas
2. riwayat kehamilan ektopik sebelumnya
3. operasi pada tuba
4. infeksi pelvis
5. paparan Diethylstil-bestrol (DES)
6. penggunaan IUD
7. Riwayat endometriosis
8. Riwayat penggunaan obat untuk induksi ovulasi
9. Penyakit radang panggul (PID : Pelvic Inflammatory Disease)
Faktor-faktor ini mungkin berbagi mekanisme umum yang dapat berupa mekanisme
anatomis, fungsional, atau keduanya. Pastinya, sangat sulit untuk menilai penyebab dari
implantasi ektopik dengan tidak adanya alat pendeteksi kelainan tuba. Normalnya, seperti
disebut diatas, sel telur dibuahi di tuba fallopii dan berjalan kedalam tuba ketempat
implantasi. Mekanisme apapun yang mengganggu fungsi normal dari tuba fallopii selama
proses ini meningkatkan resiko terjadinya kehamilan ektopik.
Kehamilan ovarium dapat terjadi apabila spermatozoa memasuki folikel de Graaf
yang baru pecah dan membuahi sel telur yang masih tinggal dalam folikel, atau apabila sel
telur yang dibuahi bernidasi di daerah endometriosis di ovarium. Kehamilan intraligamenter
biasanya terjadi sekunder dari kehamilan tuba atau kehamilan ovarial yang mengalami
rupture dan mudigah masuk di antara 2 lapisan ligamentum latum. Kehamilan servikal
berkaitan dengan faktor multiparitas yang beriwayat pernah mengalami abortus atau operasi
pada rahim termasuk seksio sesarea. Sedangkan kehamilan abdominal biasanya terjadi
sekunder dari kehamilan tuba, walau ada yang primer terjadi di rongga abdomen.
Secara ringkas dapat dipisahkan faktor-faktor pada tuba yang dapat mendukung
terjadinya kehamilan ektopik :
1. Faktor dalam lumen tuba :
a) Endosalpingitis dapat menyebabkan perlengketan endosalping, sehingga
lumen tuba menyempit atau membentuk kantong buntu;
b) Lumen tuba sempit dan berlekuk-lekuk yang dapat terjadi pada hipoplasia
uteri. Hal ini dapat disertai kelainan fungsi silia endosalping;
c) Lumen tuba sempit yang diakibatkan oleh operasi plastik tuba dan sterilisasi
yang tidak sempurna.
Gambar 2 : Gambaran mikroskopik dari saluran tuba
2. Faktor pada dinding tuba :
a) Endometriosis tuba, dapat memudahkan implantasi telur yang dibuahi dalam
tuba;
b) Divertikel tuba kongenital atau ostium assesorius tubae dapat menahan telur
yang dibuahi ditempat itu.
3. Faktor diluar dinding tuba :
a) Perlekatan peritubal dengan distorsi atau lekukan tuba dapat menghambat
perjalanan telur;
b) Tumor yang menekan dinding tuba dapat menyempitkan lumen tuba.
4. Faktor lain :
a) Migrasi luar ovum, yaitu perjalanan dari ovum kanan ke tuba kiri- atau
sebaliknya- dapat memperpanjang perjalanan telur yang dibuahi ke uterus.
Pertumbuhan telur yang terlalu cepat dapat menyebabkan implantasi
premature;
b) Fertilisasi in vitro.
Diantara faktor-faktor tersebut diatas, salpingitis akut merupakan penyebab utama.
Sequele morfologik berpengaruh pada setengah dari episode awal kehamilan ektopik. Tempat
keluar ovum pada ovulasi di ovarium juga disinyalir mempunyai peran dalam kehamilan
ektopik. Ovulasi yang berasal dari arah kontralateral dari ovarium telah dianggap sebagai
penyebab dari terlambatnya transport blastokist, dan oleh Breen, dilaporkan bahwa ovulasi
dari arah kontralateral ditemukan pada sepertiga dari gestasi tuba yang diobati dengan
laparatomi. Bagaimanapun juga, Saito dkk. mengamati bahwa bagian dari tuba dimana
terjadi implantasi pada wanita dengan kehamilan ektopik adalah sama pada apakah korpus
luteum berada di ipsilateral atau kontralateral. Jika transmigrasi adalah salah satu faktor,
hipotesis dari mereka adalah ada banyak insiden terjadinya kehamilan di distal tuba dengan
ovulasi dari kontralateral ovarium.
Penyebab lain yang lebih fisiologik adalah ketidakseimbangan hormonal, yang mana
peningkatan kadar estrogen atau progesterone yang beredar dapat merusak kontraktilitas
normal tuba. Kenaikan rata-rata kehamilan ektopik dilaporkan terjadi pada wanita yang
digambarkan secara fisiologis dan farmakologis mempunyai kadar progestin yang
meningakat. Secara iatrogenik, dapat terjadi peningkatan estrogen dan progesterone setelah
induksi ovulasi baik itu dengan clomiphene citrate atau human menopausalgonadotrophins,
dan dilaporkan terjadi kenaikan angka kehamilan ektopik pada wanita dengan perlakuan
seperti itu.Kemungkinan penyebab lainnya adalah perkembangan embrionik yang abnormal.
Stratford memeriksa 44 konseptus dari gestasi ektopik dengan mikrodiseksi dan potongan
histologik dan menemukan sekitar duapertiga abnormal dan setengahnya mempunyai
banormalitas structural umum. Kelainan abnormal-abnormal ini dapat mengganggu transport
normal di tuba.7
Tatum dan Schmidt menyimpulkan bahwa kehamilan yang mucul yang dikarenakan
kegagalan beberapa metode kontrasepsi mempunyai kesempatan yang lebih besar untuk
menjadi ektopik dibandingkan pada wanita yang hamil karena tidak memakai alat
kontrasepsi. Wanita yang menjadi hamil sewaktu memakai IUD Copper T380 atau
kontrasepsi oral progestin saja, mempunyai kemungkinan 5% lebih tinggi untuk mengalami
kehamilan ektopik. Wanita yang menjadi hamil selama memakai progesterone-releasing IUD
bahkan lebih tinggi, sekitar 25%, bahkan bila dibandingkan dengan wanita yang tidak
memakai alat kontrasepsi sama sekali, kemungkinan terjadi kehamilan ektopik lebih besar
dua lipat. Hal ini disebabkan progesterone menghambat kontraksi tuba. Walaupun pada
banyak laporan yang mengatakan bahwa riwayat aborsi yang diinduksi meningkatkan resiko
terjadinya kehamilan ektopik, Levin dkk. menunjukkan metode statistik yang digunakan
untuk mengontrol efek dari faktor-faktor resiko, riwayat dari satu aborsi yang diinduksi tidak
meningkatkan secara bermakna kemungkinan terjadi kehamilan ektopik. Efek itu baru akan
nyata bila sudah dua atau lebih aborsi.
D. Patofisiologi
Kebanyakan dari kehamilan ektopik berlokasi di tuba fallopii. Tempat yang paling
umum terjadi adalah pada pars ampullaris, sekitar 80 %. Kemudian berturut-turut adalah
isthmus (12%), fimbriae (5%), dan bagian kornu dan daerah intersisial tuba (2%), dan seperti
yang disebut pada bagian diatas, kehamilan ektopik non tuba sangat jarang.Kehamilan pada
daerah intersisial sering berhubungan dengan kesakitan yang berat, karena baru
mengeluarkan gejala yang muncul lebih lama dari tipe yang lain, dan sulit di diagnosis, dan
biasanya menghasilkan perdarahan yang sangat banyak bila terjadi rupture.Pada proses awal
kehamilan apabila endometrium tidak mencapai endometrium untuk proses nidasi, maka
embrio dapat tumbuh disaluran tuba dan kemudian akan mengalami beberapa proses seperti
pada kehamilan pada umumnya. karena tuba bukan merupakan suatu media yang baik untuk
pertumbuhan embrio atau mudigah, maka pertumbuhan dapat mengalami beberapa perubahan
dalam bentuk berikut ini.
Proses implantasi ovum yang dibuahi, yang terjadi di tuba pada dasarnya sama
dengan halnya di kavum uteri. Telur di tuba bernidasi secara kolumner atau interkolumner.
Pada yang pertama telur berimplantasi pada ujung atau sisi jonjot endosalping.
Perkembangan telur selanjutnya dibatasi oleh kurangnya vaskularisasi dan biasanya telur mati
secara dini dan diresorbsi. Pada nidasi secara interkolumner telur bernidasi antara 2 jonjot
endosalping. Setelah tempat nidasi tertutup, maka telur dipisahkan dari lumen tuba oleh
lapisan jaringan yang menyerupai desidua dan dinamakan pseudokapsularis. Karena
pembentukan desidua di tuba tidak sempurna malahan kadang-kadang tidak tampak, dengan
mudah villi korialis menembus endosalping dan masuk dalam lapisan otot-otot tuba dengan
merusak jaringan dan pembuluh darah. Perkembangan janin selanjutnya bergantung pada
beberapa faktor, seperti tempat implantasi, tebalnya dinding tuba, dan banyaknya perdarahan
yang terjadi oleh invasi trofoblas. Dibawah pengaruh hormon estrogen dan progesteron dari
korpus luteum gravidatis dan trofoblas, uterus menjadi besar dan lembek, dan endometrium
dapat pula berubah menjadi desidua. Dapat ditemukan pula perubahan-perubahan pada
endometrium yang disebut fenomena Arias-Stella. Sel epitel membesar dengan intinya
hipertrofik, hiperkromatik, lobuler, dan berbentuk tidak teratur. Sitoplasma sel dapat
berlubang-lubang atau berbusa, dan kadang-kadang ditemukan mitosis. Perubahan ini hanya
terjadi pada sebagian kehamilan ektopik.
Terdapat beberapa kemungkinan yang dapat terjadi pada kehamilan ektopik dalam
tuba. Karena tuba bukan merupakan tempat yang baik untuk pertumbuhan hasil konsepsi,
tidak mungkin janin dapat tumbuh secara utuh seperti di uterus. Sebagian besar kehamilan
tuba terganggu pada umur kehamilan antara 6 minggu sampai 10 minggu. Kemungkinan itu
antara lain :
1. Hasil konsepsi mati dini dan diresorbsi
Pada implantasi secara kolumner, ovum yang dibuahi cepat mati karena vaskularisasi
kurang, dan dengan mudah terjadi resorbsi total. Dalam keadaan ini penderita tidak
mengeluh apa-apa, hanya haidnya saja yang terlambat untuk beberapa hari.
2. Abortus tuba
Perdarahan yang terjadi karena pembukaan pembuluh-pembuluh darah oleh villi
koriales pada dinding tuba di tempat implantasi dapat melepaskan mudigah dari
koriales pada dinding tersebut bersama-sama dengan robeknya
pseudokapsularis.Pelepasan ini dapat terjadi sebagian atau seluruhnya, tergantung dari
derajat perdarahan yang timbul. Bila pelepasan menyeluruh, mudigah dengan
selaputnya dikeluarkan dalam lumen tuba dan kemudian didorong oleh darah kearah
ostium tuba abdominale. Frekuensi abortus dalam tuba tergantung pada implantasi
telur yang dibuahi.
Abortus tuba lebih umum terjadi pada kehamilan tuba pars ampullaris,
sedangkan penembusan dinding tuba oleh villi koriales kea rah peritoneum biasanya
terjadi pada kehamilan pars isthmika. Perbedaan ini disebabkan karena lumen pars
amoullaris lebih luas, sehingga dapat mengikuti lebih mudah pertumbuhan hasil
konsepsi dibandingkan dengan bagian isthmus dengan lumen sempit.Pada pelepasan
hasil konsepsi yang tidak sempurna pada abortus, perdarahan akan terus berlangsung,
dari sedikit-sedikit oleh darah, sampai berubah menjadi mola kruenta. Perdarahan
akan keluar melalui fimbriae dan masuk rongga abdomen dan terkumpul secara khas
di kavum Douglas dan akan membentuk hematokel retrouterina. Bila fimbriae
tertutup, tuba fallopii dapat membesar karena darah dan membentuk hematosalping.
3. Ruptur tuba
Penyusupan, dan perluasan hasil konsepsi dapat mengakibatkan rupture pada saluran
lahir pada beberapa tempat. Sebelum metode pengukuran kadar korionik
gonadotropin tersedia, banyak kasus kehamilan tuba berakhir pada trimester pertama
oleh rupture intraperitoneal. Pada kejadian ini lebih sering terjadi bila ovum
berimplantasi pada isthmus dan biasanya muncul pada kehamilan muda, sedangkan
bila berimplantasi di pars intersisialis, maka muncul pada kehamilan yang lebih
lanjut. Ruptur dapat terjadi secara spontan, atau karena trauma ringan seperti koitus
atau pemeriksaan vagina.
Gambar 3 : Ruptur tuba
Ruptur sekunder dapat terjadi bila terjadi abortus dalam tuba dan ostium tuba
tertutup. Dalam hal ini dinding tuba yang sudah menipis karena invasi dari trofoblas,
akan pecah karena tekanan darah dalam tuba. Kadang-kadang ruptur terjadi diarah
ligamentum latum dan terbentuk hematoma intraligamenter. Jika janin hidup terus,
terdapat kehamilan intraligamenter. Pada ruptur ke rongga perut, seluruh janin dapat
keluar dari tuba, tetapi bila robekan kecil, perdarahan terjadi tanpa hasil konsepsi
dikeluarkan dari tuba. Bila pasien tidak mati dan meninggal karena perdarahan, nasib
janin bergantung pada kerusakan yang diderita dan tuanya kehamilan. Bila janin mati
dan masih kecil, dapat diresorbsi kembali, namun bila besar, kelak dapat diubah
menjadi litopedion. Bila janin yang dikeluarkan tidak mati dengan masih diselubungi
oleh kantong amnion dan dengan plasenta yang utuh, kemungkinan tumbuh terus
dalam rongga abdomen sehingga terjadi kehamilan abdominal sekunder.
E. Gambaran Klinik
Pada wanita dengan faktor resiko untuk kehamilan ektopik, dengan penggunaan tes
hormonal awal dan sonografi vagina, sekarang dimungkinkan untuk menegakkan diagnosis
dari kehamilan ektopik sebelum keluar gejala. Namun, bila umur gestasi sudah meningkat
dan perdarahan intraperitoneal muncul karena keluarnya dari fimbriae atau ruptur, maka
dapat timbul gejala. Bila memang terjadi kehamilan ektopik namun belum muncul gejala,
maka kita sebut kehamilan ektopik belum terganggu.
Gambaran klinik klasik untuk kehamilan ektopik adalah trias nyeri abdomen,
amenore, dan perdarahan pervaginam. Gambaran tersebut menjadi sangat penting dalam
memikirkan diagnosis pada pasien yang datang dengan kehamilan di trimester pertama.
Namun sayangnya, hanya 50% pasien dengan kehamilan ektopik ini yang menampilkan
gejala-gejala tersebut secara khas. Pasien yang lain mungkin muncul gejala-gejala yang
umumnya terjadi pada masa kehamilan awal termasuk mual, lelah, nyeri abdomen ringan,
nyeri bahu, dan riwayat disparenu baru-baru ini. Sedangkan gejala dan tanda kehamilan
ektopik terganggu, seperti tersebut diatas, dapat berbeda-beda, dari yang khas sampai tidak
khas sehingga sukar untuk mendiagnosisnya.Pada pemeriksaan fisik harus difokuskan pada
tanda vital dan pemeriksaan abdomen dan pelvik. Hipotensi dan takikardi yang dapat terjadi
akibat perdarahan banyak akibat ruptur tuba tidak dapat memperkirakan adanya kehamilan
ektopik walau tanda itu menunjukkan perlunya resusitasi segera, bahkan faktanya kedua hal
tersebut lebih khas pada komplikasi kehamilan intrauterin. Lebih jauh lagi, tanda vital yang
normal tidak dapat menyingkirkan adanya kehamilan ektopik. Pada pemeriksaan dalam,
dapat teraba kavum douglas yang menonjol dan terdapat nyeri gerakan serviks. Adanya
tanda-tanda peritoneal, nyeri gerakan serviks, dan nyeri lateral atau bilateral abdomen atau
nyeri pelvik meningkatkan kecurigaan akan kehamilan ektopik dan merupakan temuan yang
bermakna. Disisi yang lain, ketidakadaan tanda dan gejala ini tidak menyingkirkan kehamilan
ektopik. Terabanya massa adneksa juga tidak dapat memperkirakan kehamilan ektopik secara
tepat. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Dart dkk., massa adneksa hanya muncul kurang
dari 10% pada pasien yang di diagnosis dengan kehamilan ektopik. Satu yang harus diingat
juga adalah pemeriksaan pelvik benar-benar normal pada kira-kira 10% pasien dengan
kehamilan ektopik.
Kesimpulannya, beberapa riwayat dan penemuan pemeriksaan fisik meningkatkan
kecurigaan terhadap kehamilan ektopik. Untuk itu, bagaimanapun juga, tidak ada kombinasi
penemuan yang boleh dianggap oleh seorang dokter di ruang gawat darurat yang
menyimpulkan adanya kehamilan ektopik berdasarkan penemuan klinik saja.
F. Diagnosis Diferensial
Yang perlu dipikirkan sebagai diagnosis diferensial ialah:
1) Infeksi pelvik,
2) abortus iminens atau abortus inkompletus, dan
3)Torsi kista ovarium,
4)Appendisitis
Biasanya anamnesis, gambaran klinik, dan beberapa metode pemeriksaan dapat
menegakkan diagnosis kehamilan ektopik.
Ruptura korpus luteum dapat menimbulkan gejala yang menyerupai kehamilan
ektopik terganggu.Anamesis yang cermat mengenai siklus haid penderita dapat menduga
ruptura korpus luteum. Jika keadaan mengizinkan dengan laparoskopi dapat diperoleh
kepastian apa yang menyebabkan perdarahan intraperitoneal.
G. Diagnosis
Kesukaran membuat diagnosis yang pasti pada kehamilan ektopik yang belum
terganggu sangat besar, sehingga pasien harus mengalami rupture atau abortus dahulu
sehingga menimbulkan gejala. Gejala-gejala yang perlu diperhatikan adalah:
a. Nyeri perutmerupakan keluhan utama pada kehamilan ektopik.terganggu Pada
kehamilan ektopik yang terganggu rasa nyeri perut bawah bertambah sering dan
keras. Rasa nyeri mungkin unilateral atau bilateral pada abdomen bagian bawah
atau pada seluruh abdomen, atau malahan di abdomen bagian atas. Dengan
adanya hemiperitoneum , rasa nyeri akibat iritasi diafragma bisa dialami pasien.
Diperkirakan bahwa serangan nyeri hebat pada ruptura kehamilan ektopik, ini
disebabkan oleh darah yang mengalir ke kavum peritonei.(6)
b. Perdarahan :Gangguan kehamilan sedikit saja sudah dapat menimbulkan
perdarahan yang berasal dari uterus. Perdarahan dapat berlangsung kontinu dan
biasanya berwarna hitam. Selama fungsi endokrin plasenta masih bertahan,
perdarahan uterus biasanya tidak ditemukan, namun bila dukungan endokrin dari
endometrium sudah tidak memadai lagi, mukosa uterus akan mengalami
perdarahan. Perdarahan tersebut biasanya sedikit-sedikit, berwarna coklat gelap
dan dapat terputus-putus atau terus menerus. Meskipun perdarahan vaginal yang
masif lebih menunjukkan kemungkinan abortus inkompletus intrauteri daripada
kehamilan ektopik, namun perdarahan semacam ini bisa terjadi pada kehamilan
tuba.
c. Adanya Amenorea: amenorea sering ditemukan walau hanya pendek saja
sebelum diikuti perdarahan, malah kadang-kadang tidak amenorea. Tidak ada
riwayat haid yang terlambat bukan berarti kemungkinankemungkinan kehamilan
tuba dapat disingkirkan. Salah satu sebabnya adalah karena pasien menganggap
perdarahan pervaginam sebagai periode menstruasi yang normal, dengan
demikian memberikan tanggal haid yang keliru.
d. Keadaan Umum : tergantung dari banyaknya darah yang keluar dari tuba,
keadaan umum ialah kurang lebih normal sampai gawat dengan syok berat dan
anemi. Hb dan hematokrit perlu diperiksa pada dugaan kehamilan ektopik
terganggu.(1)
e. Perut: pada abortus tuba terdapat nyeri tekan di perut bagian bawah di sisi uterus.
Hematokel retrouterina dapat ditemukan. Pada ruptur tuba perut menegang dan
nyeri tekan, dan dapat ditemukan cairan bebas dalam rongga peritoneum. Tanda
Cullen dapat terlihat di sekitar pusat atau linea alba terlihat biru hitam dan lebam.
Pada pemeriksaan dalam didapatkan kavum Douglas menonjol karena darah yang
terkumpul di tempat tersebut. Baik pada abortus tuba maupun pada ruptur bila serviks
digerakan akan terasa nyeri sekali (slinger pain). Douglas crise : nyeri pada penekanan kavum
Douglas. Dalam menegakkan diagnosis, dengan anamnesis yang teliti dapat dipikirkan
kemungkinan adanya kehamilan ektopik, namun untuk menegakkan diagnosis pasti harus
dibantu dengan pemeriksaan fisik yang cermat dan dibantu dengan alat bantu diagnostik.
Sekarang ini, peran alat bantu diagnostik sangatlah penting, dan sudah merupakan sesuatu
yang harus dilakukan,apabila memang tersedia, untuk menentukan diagnosis.
Anamnesis.Mencari tanda-tanda yang menyokong kearah diagnosis, Misalnya Trias
dari KET. Pada anamnesis biasanya didapatkan keluhan terlambat haid untuk
beberapa waktu dan kadang-kadang terdapat gejala subjektif kehamilan muda.
Terdapat nyeri perut bagian bawah, nyeri bahu, dan kadang-kadang tenesmus.
Perdarahan pervaginam dapat terjadi, dan biasanya terjadi setelah muncul keluhan
nyeri perut bagian bawah, berapa jumlah perdarahannya, warna dari darahnya, apakah
mengalir seperti air atau hanya seperti tetesan saja, dan apakah keluar gumpalan-
gumpalan. Ditanyakan juga riwayat kehamilan sebelumnya, bila sudah pernah hamil,
riwayat menstruasinya.
Pemeriksaan umum: Pada pemeriksaan umum, penderita dapat tampak pucat dan
kesakitan. Pada perdarahan dalam rongga perut aktif dapat ditemukan tanda-tanda
syok dan pasien merasakan nyeri perut yang mendadak. Pada jenis yang tidak
mendadak, mungkin hanya terlihat perut bagian bawah yang sedikit menggembung
dan nyeri tekan.2
Pemeriksaan ginekologi :Pada pemeriksaan dalam mungkin ditemukan tanda-tanda
kehamilan muda. Perabaan serviks dan gerakkannya menyebabkan nyeri. Bila uterus
dapat diraba, maka akan teraba sedikit membesar dan kadang-kadang teraba tumor
disamping uterus dengan batas yang sukar ditentukan. Kavum Douglas juga teraba
menonjol dan nyeri raba yang menunjukkan adanya hematokel retrouterina. Kadang
terdapat suhu yang naik, sehingga menyulitkan perbedaan dengan infeksi pelvik.
Pemeriksaan laboratorium : Para dokter di ruang gawat darurat biasanya
menggunakan beta-human chorionic gonadotropin (β-hCG) untuk mendiagnosis
kehamilan, dan untuk membantu menentukan potensi pasien mengalami kehamilan
ektopik. β-hCG diproduksi oleh trofoblas dan dapat dideteksi dalam serum pada kira-
kira 1 minggu sebelum haid berikutnya. Jika serum β-hCG negative, kemungkinan
besar tidak terjadi kehamilan. Hanya ada sedikit sekali kasus yang dilaporkan pasien
dengan tes serum β-hCG negative dengan kehamilan ektopik. Dinamika normal
kenaikan kadar β-hCG dua kali lipat kira-kira setiap 1,4 sampai 2,1 hari sampai
mencapai puncaknya 100.000 mIU/ml. kenaikan ini akan melambat bila sudah
mencapai nilai puncaknya, dan pada saat itu sudah harus dilakukan diagnosis dengan
USG. Pemeriksaan tunggal tes β-hCG kuantitatif ini berguna untuk mendiagnosis
kehamilan, namun tidak dapat membedakan antara kehamilan ektopik atau kehamilan
intrauterine. Pemeriksaan laboratorium umum lainnya adalah pemeriksaan darah rutin
untuk mengetahui kadar hemoglobin yang dapat rendah bila terjadi perdarahan yang
sudah lama. Juga dinilai kadar leukosit untuk membedakan apakah terjadi infeksi
yang bisa disebabkan oleh kehamilan ektopik ini atau dugaan adanya infeksi pelvik.
Pada infeksi pelvik biasanya lebih tinggi hingga dapat lebih dari 20.000.
H. Penatalaksanaan
Ada banyak opsi yang dapat dipilih dalam menangani kehamilan ektopik, yaitu terapi
bedah dan terapi obat. Ada juga pilihan tanpa terapi, namun hanya bisa dilakukan pada
pasien yang tidak menunjukkan gejala dan tidak ada bukti adanya rupture atau
ketidakstabilan hemodinamik. Namun pada pilihan ini pasien harus bersedian diawasi secara
lebih ketat dan sering dan harus menunjukkan perkembangan yang baik. Pasien juga harus
menerima segala resiko apabila terjadi rupture harus dioperasi.
I. Terapi Bedah
Sebagian besar wanita dengan kehamilan ektopik akan membutuhkan tindakan bedah.
Tindakan bedah ini dapat radikal (salpingektomi) atau konservatif ( biasanya salpingotomi )
dan tindakan itu dilakukan dengan jalan laparaskopi atau laparatomi. Laparatomi merupakan
teknik yang lebih dipilih bila pasien secara hemodinamik tidak stabil, operator yang tidak
terlatih dengan laparaskopi, fasilitas dan persediaan untuk melakukan laparaskopi kurang,
atau ada hambatan teknik untuk melakukan laparaskopi. Pada banyak kasus, pasien-pasien ini
membutuhkan salpingektomi karena kerusakan tuba yang banyak, hanya beberapa kasus saja
salpingotomi dapat dilakukan. Pada pasien kehamilan ektopik yang hemodinamiknya stabil
dan dikerjakan salpingotomi dapat dilakukan dengan teknik laparaskopi. Salpingotomi
laparaskopik diindikasikan pada pasien hamil ektopik yang belum rupture dan besarnya tidak
lebih dari 5 cm pada diameter transversa yang terlihat komplit melalui laparaskop.
Dalam melakukan laparotomy ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan, yaitu:
a. Kondisi Pasien saat itu
b. Kondisi anatomik organ pelvis
c. Keinginan penderita akan organ reproduksinya
d. Lokasi kehamilan ektopik
e. Kemampuan teknik pembedahan mikro dokter operator
f. Kemampuan teknologi fertilisasi in vitro setempat (2,3)
Hasil pertimbangan tersebut menentukan apakah perlu dilakukan salpingektomi pada
kehamilan tuba, atau dapat dilakukan pembedahan konservatif dalam arti hanya dilakukan
salpingostomi atau reanostomosis tuba. Apabila kondisi pasien buruk , misalnya syok lebih
baik dilakukan salpingektomi.
Gambar 6 : Terapi bedah menggunakan tehnik laparatomi pada kehamilan ektopik
Linier salpingektomi pada laparaskopi atau laparatomi dikerjakan pada pasien hamil
ektopik yang belum rupture dengan menginsisi permukaan antimesenterik dari tuba dengan
kauter kecil, gunting, atau laser. Kemudian diinjeksikan pitressin dilute untuk memperbaiki
hemostasis. Gestasi ektopik dikeluarkan secara perlahan melalui insisi dan tempat yang
berdarah di kauter. Pengkauteran yang banyak didalaam lumen tuba dapat mengakibatkan
terjadinya sumbatan, dan untuk itu dihindari. Penyembuhan secara sekunder atau dengan
menggunakan benang menghasilkan hasil yang sama. Tindakan ini baik untuk pasien dengan
tempat implantasi di ampulla tuba. Kehamilan ektopik ini mempunyai kemungkinan invasi
trofoblastik kedalam muskularis tuba yang lebih kecil dibandingkan dengan implantasi pada
isthmus.
Gambar 7 : Linear salpingektomi di permukaan antimesenterik tuba pada kehamilan
ektopik di pars ampullaris.
Pasien dengan implantasi pada isthmus akan mendapatkan hasil yang lebih baik dari
reseksi segmental dan anastomosis lanjut. Bagaimanapun juga, jika diagnosis ditegakkan
lebih awal, maka pada tempat idthmus dapat dilakukan salpingotomi. Pada kehamilan ektopik
yang berlokasi pada ujung fimbriae, dapat dilakukan gerakan seeperti memeras (milking)
untuk mengeluarkan jaringan trofoblastik melalui fimbriae.
Gambar 8 : Kehamilan ektopik tuba kanan yang terlihat pada laparaskopi.
Tuba kanan yang membesar karena terdapat kehamilan ektopik ada disebelah kanan
di E.
Tuba kiri yang tersumbat terlihat pada L- wanita ini pernah dilakukan ligasi tuba
Secara umum, perawatan pada laparaskopi lebih cepat dan lebih sedikit waktu yang
hilang dalam penanganannya dibandingkan laparatomi. Parsial atau total salpingektomi
laparaskopik mungkin dilakukan pada pasien dengan riwayat penyakit tuba yang masih ada
dan diketahui mempunyai faktor resiko untuk kehamilan ektopik. Komplikasi bedah yang
paling sering adalah kehamilan ektopik berulang (5-20 %) dan pengangkatan jaringan
trofoblastik yang tidak komplit. Disarankan pemberian dosis tunggal methotrexate post
operasi sebagai profilaksis para pasien resiko tinggi.
J. Terapi FarmaKologi
Diagnosis dini yang telah dapat ditegakkan membuat pilihan pengobatan dengan obat-
obatan memungkinkan. Keuntungannya adalah dapat menghindari tindakan bedah beserta
segala resiko yang mengikutinya, mempertahankan patensi dan fungsi tuba, dan biaya yang
lebih murah. Zat-zat kimia yang telah diteliti termasuk glukosa hiperosmolar, urea, zat
sitotoksik ( misl: methotrexate dan actinomycin ), prostaglandin, dan mifeproston (RU486).
Disini akan dibahas lebih jauh mengenai pemakaian methotrexate sebagai pilihan untuk
terapi obat.
K. Methotrexate
Penggunaan methotrexate pertama kali direkomendasikan oleh Tanaka dkk. untuk
kehamilan pada intersisial. Kemudian diikuti oleh Miyazaki (1983) dan Ory dkk. yang
menggunakannya sebagai terapi garis pertama pada kehamilan ektopik. Sejak itu banyak
dilaporkan pemakaian methotrexate pada berbagai jenis kehamilan ektopik yang berhasil.
Lalu, sengan semakin banyaknya keberhasilan memakai obat, maka mulai diperbandingkan
pemakaian methotrexate dengan terapi utama salpingostomi.
Perdarahan intra-abdominal aktif merupakan kontraindikasi bagi pemakaian
methotrexate. Ukuran dari massa ektopik juga penting dan oleh Pisarska dkk. (1997)
direkomendasikan bahwa methotrexate tidak digunakan pada massa kehamilan itu lebih dari
4 cm. Keberhasilannya baik bila usia gestasi kurang dari 6 minggu, massa tuba kurang dari
3,5 cm diameter, janin sudah mati, dan β-hCG kurang dari 15.00 mIU. Menurut American
College of Obstetricians and Gynaecologist (1998), kontraindikasi lainnya termasuk
menyusui, imunodefisiensi, alkoholisme, penyakit hati atau ginjal, penyakit paru aktif, dan
ulkus peptik.
Methotrexate merupakan suatu obat anti neoplastik yang bekerja sebagai antagonis
asam folat dan poten apoptosis induser pada jaringan trofoblas. Methotrexat bekerja
mempengaruhi sintesis DNA dan multiplikasi sel dengan menginhibisi kerja enzim
dihydrofolate reduktase, maka selanjutnya akan menghentikan proliferasi trofoblas. Pasien
yang akan diberikan methotrexate harus dalam keadaan hemodinamika yang stabil dengan
hasil laboratorium darah yang normal dan tidak ada gangguan fungsi ginjal dan hati.
Methotrexate diberikan dalam dosis tunggal (50 mg/m2 IM) atau dengan menggunakan dosis
variasi 1 mg/kgBB IM pada hari ke 1,3,5,7 ditambah Leukoverin 0,1 mg/kgBB IM pada hari
ke 2,4,6,8. Setelah pemakaian methotrexate yang berhasil, β-hCG biasanya menghilang dari
plasma dalam rata-rata antara 14 dan 21 hari. Kegagalan terapi bila tidak ada penurunan β-
hCG, kemungkinan ada massa ektopik persisten atau ada perdarahan intraperitoneal.10
L. Prognosis
Prognosis tergantung jumlah darah yang keluar, kecepatan menetapkan diagnosis dan
tindakan yang tepat.Kematian karena kehamilan ektopik terganggu cenderung turun dengan
diagnosis dini dan persediaan darah yang cukup.Prognosis juga tergantung dari cepatnya
pertolongan, jika pertolongan terlambat, angka kematian dapat tinggi.
Kematian ibu karena kehamilan ektopik terganggu cenderung menurun dengan
diagnosis dini dan persediaan darah yang cukup. Namun bila pertolongan terlambat, maka
angka kematian akan meningkat. Sedangkan janin pada kehamilan ektopik biasanya akan
mati dan tidak dapat dipertahankan karena tidak berada pada tempat dimana ia seharusnya
tumbuh.
Pada umumnya kelainan yang menyebabkan kehamilan ektopik bersifat bilateral.
Sebagian wanita dapat menjadi steril setelah mengalami kehamilan ektopik atau dapat
mengalami kehamilan ektopik lagi pada tuba yang lain. Angka kehamilan ektopik yang
berulang dilaporkan antara 0-14,6 %. Dengan kemajuan terapi yang ada sekarang,
kemungkinan ibu untuk dapat hamil kembali membesar, namun ini harus didukung
kemampuan untuk menegakkan diagnosis dini sehingga dapat diintervensi secepatnya.
.
BAB III
LAPORAN KASUS
A. Identitas
Nama : Ny. TN
Umur : 38 tahun
Agama : Islam
Pendidikan : Tamat SMA
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Bandungan, Karangtalun, Imogiri, Bantul.
B. Anamnesis
Tanggal : 17 Februari 2015 Pukul : 15.20
1. Keluhan utama
Nyeri perut kanan.
2. Riwayat penyakit sekarang
Pasien rujukan dari PKU bantul dengan keterangan G2P1A0 dengan usia kehamilan 6
minggu merasa lemas sejak kemarin dan terasa perut di bagian bawah terasa sakit dan
terasa mules mules saat berjalan, perdarahan dari jalan lahir (-).
3. Riwayat Obstetri Ginekologi
Riw. Haid : menarche 14 th, lama haid 5 hari, siklus 28 hari, nyeri saat haid(+)
Riw. Menikah : menikah 1x dengan suami sekarang sejak 4 th yll saat berumur 37
tahun
Riw. KB : Suntik 2 tahun
Riwayat Kehamilan : G2P1A0
I : 2 Maret 2011, aterm, partus spontan pervaginam, ditolong oleh bidan, ♂, BB 3200
gr
II : Hamil ini
Hari Pertama Haid Terakhir : 6/01/2015
Hari Perkiraan Lahir : 13/10/2015
Umur Kehamilan : 6 minggu
Riw. ANC : 1 kali oleh bidan, Trimester I : 1 kali di bidan.
Imunisasi TT : (-)
Keluhan selama hamil : (-)
4. Riwayat penyakit dahulu
Riwayat penyakit jantung, hipertensi, DM, asma, dan alergi disangkal.
5. Riwayat penyakit keluarga
Riwayat penyakit jantung, hipertensi, DM, asma, dan alergi disangkal.
C. Pemeriksaan fisik
1. Status Generalis
KU : baik, compos mentis, anemis
Vital sign : TD : 110/70 mmHg R : 26 x/menit
N : 140 x/menit t : 36,5 ‘C
TB : 156 cm
BB : 40 kg
Kepala : CA (+)/(+), SI (-)/(-), edema palpebra(-)
Leher : pemb. kel. limfonodi(-), pemb. kel. tyroid(-)
Thorax : simetris(+), retraksi(-), SDV(+)/(+), ST(-)
S1 S2 reguler(+), bising jantung(+)
Abdomen : sikatrik(+), besar perut sesuai usia kehamilan(+),
bising usus(+) normal
Ekstremitas : hangat(-)/(-), edema(-)/(-)
2. Status Obstetri
Inspeksi : KU sedang tampak lemas dan pucat, sadar.
Palpasi abd : TFU belum teraba
Px. Dalam : V/U tenang, dinding vagina licin, OUE terbuka, AK(-), STLD(+),
Slinger pain (+).
D. Pemeriksaan penunjang
Laboratorium:
Hematologi
HB : 6,6 gr%
AL : 17,25 ribu/µL
AT : 217 ribu/µL
HMT : 19,1 %
Golongan Darah
Gol. Darah : B
Hemostatis
PPT : 20,7 detik
APTT : 31,6 detik
Control PPT : 13,6 detik
Control APTT : 31,8 detik
Elektrolit
Natrium : 137,0
Kalium : 4,05
Klorida : 102,2
Kimia klinik
Fungsi ginjal
SGOT : 7
SGPT : 10
Protein Total : 5,07
Albumin : 2,55
Globulin :2,52
Fungsi Ginjal
Ureum : 28
Creatinin : 0,58
Diabetes
GDS : 125
Hepatitis
HbsAg : negatif
USG:
Cairan bebas di cavum douglas, GS intrauterine (-)
Kesan : KET
E. Diagnosis
KET pada G2P1A0
Syok Hipovolemik grade II oleh karena perdarahan.
F. Terapi
Laparotomi emergency
G. Laporan Tindakan Operasi
Tanggal 17 Februari 2015 Pukul 17.00
Laporan Tindakan Operasi :
Prosedur operasi rutin,
Setelah anestesi, disinfeksi medan operasi, pasang duk steril.
Dilakukan insisi kulit linea mediana,
Diperdalam lapis demi lapis sampai peritoneum parietale tampak culler sign (+)
Tampak ruptur tuba pars ampularis sinistra KET tuba sinistra
Lakukan salpingektomi sinistra
Kontrol perdarahan
Dilakukan reperitonealisasi parietal
Dinding abdomen dijahit demi lapis, kulit dijahit intrakutan
Operasi selesai
Perdarahan ± 1000 ml
Durante op transfusi 1 PRC
Intruksi Pasca :
Observasi tanda-tanda perdarahan
Observasi KU dan Vital sign
Infus RL 20 tpm
Injeksi cefotaxime 1gr/12 jam
Injeksi ketorolac 30mg/8jam
Balance cairan
Cek HB 6 jam post op
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Diagnosa
Kehamilan Ektopik ialah kehamilan dimana sel telur setelah dibuahi (fertilisasi)
berimplantasi dan tumbuh di luar endometrium kavum uteri. Kehamilan Ektopik Terganggu ialah
kehamilan ektopik yang mengalami abortus atau ruptur apabila masa kehamilan berkembang
melebihi kapasitas ruang implantasi misalnya tuba. Gambaran klinik klasik untuk kehamilan
ektopik adalah trias nyeri abdomen, amenore, dan perdarahan. Pasien TN (29) rujukan dari PKU
Bantul dengan mengeluhkan nyeri pada perut bagian bawah.
Dari anamnesis, diketahui bahwa pasien sedang hamil 6 minggu. Ini adalah kehamilan
kedua pasien. Pasien hamil pertama kali pada tahun 2008, dengan kelahiran normal. Hari
pertama menstruasi terakhir (HMPT) adalah 6 januari 2015, dan hari perkiraan lahir (HPL)
adalah 13 oktober 2015. Pasien mengaku hasil PP testnya positif.
Gejala yang terjadi disini dapat mengacu ke beberapa penyebab seperti abortus iminens,
abortus inkompletus, KET, infeksi pelvic, torsi kista ovarium, appendisitis dan lainnya. Dari
pemeriksaan fisik, pasien nampak sadar penuh, lemas, kedua konjungtiva mata nampak anemis.
Tanda-tanda vital pasien menunjukan kearah syok hipovolemic dengan tekanan 110/70 mmHg
dan nadi 140x/menit. Pada palpasi abdomen didapatkan nyeri ketika ditekanpada kuadran kanan
dan kiri bawah. Pada pemeriksaan dalam, nampak ostium uteri eksterna terbuka, terdistensi,
cavum douglas menonjol, sarung tangan lendir darah (+) dan Slinger pain (+). Pada pemeriksaan
dengan ultrasonografi, tidak nampak adanya gestational sac intrauterine dan Cairan bebas di
cavum douglas. Dari pemeriksaan serial hemoglobin (Hb), menujukkan hasil 6,6 gr/dL dimana
mengindikasikan terjadi perdarahan aktif. Pasien terdiagnosis sebagai Sekundigravida dengan
usia kehamilan 6 minggu dengan kehamilan ektopik terganggu.
Berdasarkan uraian di atas, kehamilan ektopik pada pasien ini adalah jenis akut. Hal ini
dikarenakan pasien mengeluhkan nyeri abdomen akut, dan nyeri goyang pada penekanan
abdomen. Pada proses operasi juga ditemukan produk kehamilan serta ruptura di bagian ampula
tuba, yang berdekatan dengan ovarium.
Manajemen untuk pasien ini yaitu dilakukan salpingektomi sinistra dan pengangkatan
produk kehamilan atas indikasi KET. Kemudian pasien juga diberikan cefotaxime, ketorolac,
kalnex, serta transfusi darah sampai kadar Hb naik di atas 10 gr/dL.
B. Etiologi
Pada pasien ini, riwayat penggunaan KB diduga menjadi penyebab utama terjadinya
kehamilan ektopik. Penggunaan KB bertujuan untuk menjarangkan kehamilan, namun terdapat
kemungkinan penggunaan KB tersebut gagal. Kegagalan fungsi kontrasepsi justru meningkatkan
resiko terjadinya kehamilan ektopik.
C. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan utama pada kasus kehamilan ektopik terganggu adalah berupa tindakan
operatif,. Tindakan operatif dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa faktor, misalnya
usia pasien, keinginan untuk hamil lagi, riwayat kehamilan sebelumnya, kondisi tuba, letak dan
ukuran produk kehamilan, dan adanya komplikasi yang memperberat. Sebelum dilakukan
tindakan operasi, pasien harus stabil secara hemodinamik. Bila terjadi perdarahan yang tak
terkendali akibat rupture, maka tindakan operatif radikal lebih diutamakan daripada konservatif.
Setelah operasi, penting untuk dilakukan kontrol perdarahan dan nyeri. Pada pasien ini,
diberikan obat antibiotik (Cefotaxime, profilaksis), antinyeri (Ketorolac), antifibrinolitik
(Kalnex), dan vitamin B1 & B2 (Alinamin).
D. Prognosis
Prognosis tergantung jumlah darah yang keluar, kecepatan menetapkan diagnosis dan
tindakan yang tepat. Kematian karena kehamilan ektopik terganggu cenderung turun dengan
diagnosis dini dan persediaan darah yang cukup. Prognosis juga tergantung dari cepatnya
pertolongan, jika pertolongan terlambat, angka kematian dapat tinggi.
BAB V
KESIMPULAN
Telah diuraikan di atas kasus seorang wanita 38 tahun yang mengeluhkan nyeri perutnya. Dari hasil anamnesis dan pemeriksaan
klinis, pasien didiagnosis dengan kehamilan ektopik terganggu (KET). Pasien kemudian menjalani rawat inap dan menjalani tindakan
salfingektomi sinistra dan pengangkatan produk kehamilan.
KET terjadi karena terhambatnya saluran dari ovarium menuju lapisan endometrium kavum uteri, yang disebabkan oleh
terjadinya kerusakan maupun gangguan bentuk saluran. Terdapat berbagai faktor resiko yang menyebabkan kehamilan ektopik, salah
satunya adalah riwayat penggunaan kontrasepsi.
Terdapat 2 jenis terapi, yaitu operatif dan medikamentosa. Terapi operatif dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa
kriteria, yang nantinya akan digunakan untuk memutuskan apakah pembedahan yang dilakukan adalah konservatif atau radikal. Terapi
medikamentosa hanya dilakukan jika belum terjadi rupture dan kondisi hemodinamik pasien masih stabil.
DAFTAR PUSTAKA
Wiknjoksastro, Hanifa dkk, Ilmu Kandungan. Ed 2, Cet. 5. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 2007.
B. Achmad. Ilmu Kesehatan Reproduksi Ginekologi.Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran
Siswosudarno, Risanto., Ova Emilia.2008. Obsterti Fisiologi. Yogyakarta: Pustaka Cendikia Press
Cunningham, G. F., Gant, N. F., Leveno, K. J., Gilstrap, L. C., Hauth, J. C Wenstrom, K. D. (2006). Obstetri Williams volume 1 (21th ed).
Jakarta: EGC.
Dhaliwal, Gupta, Gopalan. (2003). Induced Abortion and Subsequent Pregnancy Outcome. The Journal of Family Welfare, 1, 49.
Owen, J., Yost, N., Berghella, V., Thom, E., Swain, M., Miodovnik, M., et al. (2001). Mid-Trimester Endovaginal Sonography in Women
at High Risk for Spontaneous Preterm Birth. The Journal of The American Medical Association, 11, 286.
Sepilian, Vicken P. et al. (2013). Ectopic Pregnancy. Medscape. http://emedicine.medscape.com/article/2041923