Post on 19-Mar-2019
PREFERENSI POLITIK ANGGOTA KELEMBAGAAN
DI DESA SUMBEREJO, LUMAJANG, JAWA TIMUR
PUTRI NADIYATUL FIRDAUSI
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Preferensi Politik
Anggota Kelembagaan di Desa Sumberejo, Lumajang, Jawa Timur adalah benar
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juni 2014
Putri Nadiyatul Firdausi
NIM I34100017
ABSTRAK
PUTRI NADIYATUL FIRDAUSI. Preferensi Politik Anggota Kelembagaan di Desa Sumberejo, Lumajang, Jawa Timur. Dibimbing oleh SOFYAN SJAF.
Keberadaan kelembagaan khususnya dalam masyarakat pedesaan,
memberikan pengaruh (baik pengaruh struktural maupun konstruktif) yang penting terkait dengan preferensi politiknya saat pemilihan Kepala Desa. Besarnya pengaruh kelembagaan, baik secara struktural maupun kosntruktif dihubungkan dengan tipe perilaku pemilih anggota (sosiologis, psikologis, dan ekonomi) pada akhirnya akan memunculkan preferensi politik anggota dalam pemilihan Kepala Desa. Penelitian ini menganalisis bentuk-bentuk pengaruh pada kelembagaan formal pemerintah desa dan kelembagaan informal pengajian muslimat terhadap preferensi politik anggota. Analisis didasarkan pada data kuantitatif (analisis regresi) yang didukung dengan data kualitatif deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum kelembagaan di pedesaan berpengaruh terhadap preferensi politik anggota. Kelembagaan formal terbukti memberi pengaruh struktural terhadap preferensi politik pada tipe perilaku sosiologi, sementara pada kelembagaan informal pengajian muslimat tidak ditemukan satu pun bentuk pengaruh kelembagaan terhadap preferensi politik. Penemuan ini diharapkan dapat menjadi salah satu referensi utamanya bagi pemerintah untuk mengevaluasi aparatur yang memanfaatkan pengaruhnya secara struktural untuk kepentingan-kepentingan politik tertentu. Kata Kunci: kelembagaan, preferensi politik, pemilihan Kepala Desa.
ABSTRACT
PUTRI NADIYATUL FIRDAUSI. Political Preferences of Institution‟s Member in Desa Sumberejo, Lumajang. Supervised by SOFYAN SJAF.
Institutions (particularly in rural communities) has big influences (both
structural and constructive) to the political preferences of the current county chief elections. The amount of institutional influence, both structural and constructive associated with the behavioral type of the voters (sociological, psychological, and economic) will eventually bring political preferences of citizens in the selection of the chief. The objectives of this research is to analyze the influences of the formal and informal institutions performances of members. The analysis is based on regression as quantitative and descriptive qualitative. The result of this research is showed that both institutions has influences to preferences of members. Thus in the formal influences is proven by structural influences such as sociological type. But there is not necesserily influences by informal on political preferences of the citizens. This invention could be one of reference for government to evaluate instituitions which exploit thier influences to consolidate their politics need. Keywords: institutions, political preferences, County Chief Election.
PREFERENSI POLITIK ANGGOTA KELEMBAGAAN
DI DESA SUMBEREJO, LUMAJANG, JAWA TIMUR
PUTRI NADIYATUL FIRDAUSI
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
pada
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
Judul Skripsi : Preferensi Politik Anggota Kelembagaan di Desa Sumberejo,
Lumajang, Jawa Timur
Nama : Putri Nadiyatul Firdausi
NIM : I34100017
Disetujui oleh
Dr Sofyan Sjaf, SPt MSi
Pembimbing
Diketahui oleh
Dr Ir Siti Amanah, MSc
Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah Subhanahu wata‟ala atas
karunia-Nya sehingga skripsi yang berjudul “Preferensi Politik Anggota
Kelembagaan di Desa Sumberejo, Lumajang, Jawa Timur” ini dapat diselesaikan
dengan baik. Peneliti menyadari penulisan skripsi ini dapat diselesaikan karena
dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu, penulis mengucapkan
terima kasih tak terhingga kepada:
1. Dr. Sofyan Sjaf, dosen pembimbing skripsi yang telah dengan penuh
kesabaran mengarahkan dan memberi pencerahan kepada penulis sehingga
penulis mampu menyelesaikan skripsi dengan baik.
2. Abi As‟at Malik dan Umma Tutuk Fajriatul Mustofiah, Mba Elda, Mas
Taqim, Mas Kamal, Farah, Abdil, Indy, Naya, Alm Mbah Dollah, Mbah Ibuk,
Mbah Yai, Mbah Nyai, dan segenap keluarga besar penulis yang merupakan
sinar penyemangat hidup bagi penulis.
3. Ibu Anna Fatchiya, dosen pembimbing akademik yang selalu memberi
motivasi kepada penulis untuk menjalani dan menyelesaikan kuliah dengan
baik.
4. Keluarga besar Desa Sumberejo yang telah dengan murah hati dan terbuka
menerima penulis menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari selama
penelitian berlangsung.
5. Muhammad Faqih Wiratama yang senantiasa mencurahkan perhatian,
dukungan, dan doa sehingga penulis tidak pernah kehilangan semangat untuk
menyelesaikan skripsi.
6. Keluarga Dwi Regina tercinta, Lorensa, Novalina, Yane, Wulan, Iir, Iin,
Ichan, Yolan, Maya, Putri, Juju, Helen, Maria, Ka Jane, Claudia, Sabet, Elsy,
Yose, Iga, Haning, Teh Maya, Bapak Edi, Teh Yanti, Teh Yuyun, yang
senantiasa mencerahkan hari-hari penulis.
7. Teman-teman seperjuangan, Saefihim, Achmad Fauzi, Anggi, Gebyar, Indah,
Izmi, Citra, Ulfi, Luhur, Ka Fani, dan lain-lain yang senantiasa saling
menguatkan dalam menjalani hari-hari kuliah.
8. Teman-teman bimbingan, Sofi, Habibi, Ka Resa, Ningsih, Annisa, Mimi, dan
Tri, yang selalu kompak untuk bersama-sama menyelesaikan tanggungjawab.
9. Rekan asisten Mata Kuliah Sosiologi Pedesaan, Sylsilia, Bram, Ka Turasih,
Ka Zessy, Ka Rajib, Ka Lukman, dan Ka Anom, yang sering mengingatkan
penulis untuk selalu maksimal dalam menyelesaikan skripsi.
10. Pak Abo dan teteh yang menjadi langganan penulis untuk mencetak tugas-
tugas akhir dan skripsi, yang senantiasa menyambut penulis dengan semangat
dan senyum ramahnya.
11. Semua pihak yang telah banyak mencurahkan dukungan dan bantuan kepada
penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.
Semoga skripsi ini bermanfaat bagi banyak pihak.
Bogor, Juni 2014
Putri Nadiyatul Firdausi
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL xiii
DAFTAR GAMBAR xv
DAFTAR LAMPIRAN xvii
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 3
Tujuan Penelitian 4
Manfaat Penelitian 5
PENDEKATAN TEORITIS 7
Tinjauan Pustaka 7
Kerangka Pemikiran 13
Definisi Konseptual 15
Definisi Operasional 16
PENDEKATAN LAPANGAN 25
Metode Penelitian 25
Lokasi dan Waktu Penelitian 25
Teknik Sampling 25
Pengumpulan Data 26
Pengolahan dan Analisis Data 27
GAMBARAN LOKASI PENELITIAN 29
Kondisi Sosial dan Geografis 29
Karakteristik Responden 32
Ikhtisar 36
PROFIL KANDIDAT DAN DINAMIKA KONDISI SOSIAL POLITIK
PEMILIHAN KEPALA DESA SUMBEREJO 36
Gambaran Umum Pemerintahan Desa Sebelum Pemilihan Kepala Desa 2013 37
Pemilihan Kepala Desa 39
Latar Belakang Sosial Ekonomi Dua Kandidat Kepala Desa 40
Strategi Kandidat 42
Peta Kekuatan Kandidat 44
Ikhtisar 45
ANALISIS PENGARUH KELEMBAGAAN TERHADAP PREFERENSI
POLITIK ANGGOTA 47
Pengaruh kelembagaan pedesaan dalam penentuan tindakan anggota 47
Preferensi politik anggota 53
Pengaruh kelembagaan terhadap preferensi politik anggota 58
Ikhtisar 61
ANALISIS PENGARUH KELEMBAGAAN FORMAL DAN INFORMAL
TERHADAP PREFERENSI POLITIK ANGGOTA 63
Analisis Pengaruh Kelembagaan Formal terhadap Preferensi Politik Anggota 63
Analisis Pengaruh Kelembagaan Informal terhadap Preferensi Politik Anggota
76
Analisis Perbandingan Pengaruh Kelembagaan Formal dan Informal terhadap
Preferensi Politik Anggota 85
Ikhtisar 89
SIMPULAN DAN SARAN 91
Simpulan 91
Saran 92
DAFTAR PUSTAKA 93
LAMPIRAN 94
RIWAYAT HIDUP 103
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
Tabel 1 Uji statistik reliabilitas 26
Tabel 2 Jumlah dan persentase penduduk Desa Sumberejo
berdasarkan agama yang dianut
29
Tabel 3 Jumlah dan persentase penduduk Desa Sumberejo
berdasarkan lulusan pendidikan
30
Tabel 4 Jumlah institusi pendidikan di Desa Sumberejo 30
Tabel 5 Sumber pemasukan desa 31
Tabel 6 Preferensi politik warga Desa Sumberejo pada Pemilihan
Legislatif 2009
31
Tabel 7 Daftar nama pegawai pemerintah Desa Sumberejo 33
Tabel 8 Pengurus pengajian muslimat Desa Sumberejo 35
Tabel 9 Daftar nama Kepala Desa Sumberejo 37
Tabel 10 Profil kandidat Kepala Desa 39
Tabel 11 Rekapitulasi suara Pemilihan Kepala Desa Sumberejo
2013
40
Tabel 12 Perbandingan karakter kedua kandidat Kepala Desa 45
Tabel 13 Frekuensi dan persentase pengaruh kelembagaan dalam
penentuan tindakan anggota pada kelembagaan pedesaan
48
Tabel 14 Frekuensi dan persentase pengaruh berdasarkan posisi
sosial dalam hierarki kelembagaan pada kelembagaan
pedesaan
49
Tabel 15 Frekuensi dan persentase pengaruh berdasarkan lamanya
menjadi anggota pada kelembagaan pedesaan
50
Tabel 16 Frekuensi dan persentase pengaruh struktural dalam
penentuan tindakan anggota pada kelembagaan pedesaan
51
Tabel 17 Frekuensi dan persentase pengaruh konstruktif dalam
penentuan tindakan pada kelembagaan pedesaan
52
Tabel 18 Frekuensi dan persentase tipe perilaku psikologi pada
kelembagaan pedesaan
53
Tabel 19 Frekuensi dan persentase tipe perilaku sosiologi pada
kelembagaan pedesaan
54
Tabel 20 Frekuensi dan persentase tipe perilaku ekonomi pada
kelembagaan pedesaan
54
Tabel 21 Frekuensi dan persentase tipe perilaku pemilih psikologi
pada anggota lama dan baru kelembagaan pedesaan
55
Tabel 22 Frekuensi dan persentase tipe perilaku pemilih sosiologi
pada anggota lama dan baru kelembagaan pedesaan
56
Tabel 23 Frekuensi dan persentase tipe perilaku pemilih ekonomi
pada anggota lama dan baru kelembagaan pedesaan
56
Tabel 24 Frekuensi dan persentase tipe perilaku psikologi
berdasarkan posisi sosial dalam hierarki kelembagaan
pada kelembagaan pedesaan
57
Tabel 25 Frekuensi dan persentase tipe perilaku sosiologi
berdasarkan posisi sosial dalam hierarki kelembagaan
57
pada kelembagaan pedesaan
Tabel 26 Frekuensi dan persentase tipe perilaku ekonomi
berdasarkan posisi sosial dalam hierarki kelembagaan
pada kelembagaan pedesaan
58
Tabel 27 Pengaruh kelembagaan terhadap preferensi politik pada
kelembagaan pedesaan
59
Tabel 28 Frekuensi dan persentase pengaruh kelembagaan dalam
penentuan tindakan individu pada kelembagaan formal
64
Tabel 29 Frekuensi dan persentase pengaruh kelembagaan dilihat
dari lamanya menjadi anggota pada kelembagaan formal
65
Tabel 30 Frekuensi dan persentase pengaruh berdasarkan posisi
sosial dalam hierarki kelembagaan pada kelembagaan
formal
66
Tabel 31 Frekuensi dan persentase pengaruh struktural dalam
penentuan tindakan anggota pada kelembagaan formal
67
Tabel 32 Frekuensi dan persentase pengaruh konstruktif dalam
penentuan tindakan anggota pada kelembagaan formal
67
Tabel 33 Frekuensi dan persentase tipe perilaku psikologi pada
kelembagaan formal
68
Tabel 34 Frekuensi dan persentase tipe perilaku sosiologi pada
kelembagaan formal
69
Tabel 35 Frekuensi dan persentase tipe perilaku ekonomi pada
kelembagaan formal
69
Tabel 36 Frekuensi dan persentase tipe perilaku pemilih psikologi
berdasarkan lamanya menjadi anggota pada kelembagaan
formal
70
Tabel 37 Frekuensi dan persentase tipe perilaku pemilih sosiologi
berdasarkan lamanya menjadi anggota pada kelembagaan
formal
71
Tabel 38 Frekuensi dan persentase tipe perilaku pemilih ekonomi
berdasarkan lamanya menjadi anggota pada kelembagaan
formal
71
Tabel 39 Frekuensi dan persentase tipe perilaku psikologi
berdasarkan posisi sosial dalam hierarki kelembagaan
pada kelembagaan formal
72
Tabel 40 Frekuensi dan persentase tipe perilaku sosiologi
berdasarkan posisi sosial dalam hierarki kelembagaan
pada kelembagaan formal
72
Tabel 41 Frekuensi dan persentase tipe perilaku ekonomi
berdasarkan posisi sosial dalam hierarki kelembagaan
pada kelembagaan formal
73
Tabel 42 Pengaruh kelembagaan terhadap preferensi politik pada
kelembagaan formal
74
Tabel 43 Frekuensi dan persentase preferensi politik berdasarkan
lamanya menjadi anggota pada kelembagaan formal
75
Tabel 44 Frekuensi dan persentase pengaruh kelembagaan dalam
penentuan tindakan individu pada kelembagaan informal
77
Tabel 45 Frekuensi dan persentase pengaruh kelembagaan 78
berdasarkan posisi sosial dalam hierarki kelembagaan
pada kelembagaan informal
Tabel 46 Frekuensi dan persentase pengaruh kelembagaan
berdasarkan lamanya menjadi anggota
79
Tabel 47 Frekuensi dan peresntase pengaruh struktural dalam
penentuan tindakan anggota pada kelembagaan informal
79
Tabel 48 Frekuensi dan persentase pengaruh konstruktif dalam
penentuan tindakan anggota pada kelembagaan informal
79
Tabel 49 Frekuensi dan persentase tipe perilaku psikologi pada
kelembagaan informal
81
Tabel 50 Frekuensi dan persentase tipe perilaku sosiologi pada
kelembagaan informal
81
Tabel 51 Frekuensi dan persentase tipe perilaku ekonomi pada
kelembagaan informal
82
Tabel 52 Pengaruh kelembagaan terhadap preferensi politik pada
kelembagaan informal
84
Tabel 53 Perbandingan pengaruh pada kelembagaan formal dan
informal
85
Tabel 54 Perbandingan pengaruh struktural pada kelembagaan
formal dan informal
86
Tabel 55 Perbandingan pengaruh konstruktif pada kelembagaan
formal dan informal
87
Tabel 56 Perbandingan preferensi politik pada kelembagaan
formal dan informal
87
Tabel 57 Perbandingan pengaruh kelembagaan terhadap preferensi
politik pada kelembagaan formal dan informal
88
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
Gambar 1 Kerangka pemikiran 14
Gambar 2 Bagan mekanisme pengambilan sampel 26
Gambar 3 Karakteristik responden berdasarkan tingkat pendidikan
pada kelembagaan formal
33
Gambar 4 Karakteristik responden berdasarkan jenis pekerjaan pada
kelembagaan formal
34
Gambar 5 Karakteristik responden berdasarkan tingkat pendidikan
pada kelembagaan informal
35
Gambar 6 Karakteristik responden berdasarkan jenis pekerjaan pada
kelembagaan informal
35
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
Lampiran 1 Jadwal penelitian skripsi 95
Lampiran 2 Peta Desa Sumberejo 96
Lampiran 3 Daftar Panitia Pemilihan Kepala Desa Sumberejo tahun
2013
97
Lampiran 4 Kerangka sampling kelembagaan formal 99
Lampiran 5 Daftar responden kelembagaan informal 101
Lampiran 6 Dokumentasi 103
1
PENDAHULUAN
Bab ini memuat latar belakang, masalah penelitian, tujuan penelitian, dan
kegunaan penelitian. Latar belakang penelitian menguraikan hal-hal yang
melatarbelakangi penelitian dan memunculkan permasalahan penelitian secara
umum (General Research Question). Permasalahan penelitian tersebut kemudian
diuraikan secara lebih detil menjadi permasalahan yang spesifik (Spesific
Research Question) pada bab masalah penelitian. Poin selanjutnya yaitu tujuan
penelitian menjelaskan tujuan dari penelitian yang dilaksanakan berdasarkan
permasalahan yang telah diuraikan. Poin terakhir dari bab ini yaitu penjabaran
tentang kegunaan penelitian baik bagi akademisi, pemerintah, dan masyarakat.
Latar Belakang
Demokrasi secara harfiah berasal dari kata demos (rakyat) dan kratos
(pemerintahan) yang secara sederhana diartikan sebagai pemerintahan dari, oleh,
dan untuk rakyat (Valentina 2009). Sistem pemerintahan ini menempatkan rakyat
pada posisi tertinggi sebagai pemegang kedaulatan. Sebagai bentuk pemerintahan
yang dianggap paling ideal, demokrasi dengan berbagai variannya banyak
diterapkan oleh negara-negara di dunia, termasuk Indonesia. Disesuaikan dengan
karakter dan budaya bangsa, Indonesia melakukan kombinasi prinsip demokrasi
dengan asas negara Indonesia (Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945)
sehingga dicetuslah bentuk pemerintahan Demokrasi Pancasila. Demokrasi
Pancasila memberikan porsi yang besar terhadap sistem pengambilan keputusan
dengan jalan musyawarah, sebagaimana yang disebutkan dalam Pancasila sila ke-
4, “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan”.
Demokrasi Pancasila dengan musyawarah sebagai psinsip utamanya ini
didasarkan pada kehidupan demokrasi di pedesaan. Moh. Hatta dalam Gayatri
(2007) mengatakan bahwa struktur demokrasi yang hidup dalam diri bangsa
Indonesia harus berdasarkan pada demokrasi asli yang berlaku di desa. Perkataan
Moh. Hatta yang dikutip Gayatri (2007) tersebut secara tidak langsung
menjelaskan bahwa desa merupakan inti dari tatanan politik di Indonesia. Adapun
demokrasi di pedesaan Indonesia merupakan demokrasi asli yang lebih dahulu
terbentuk sebelum negara Indonesia merdeka bahkan pada masa kerajaan sebelum
era kolonial, dengan mekanisme pertemuan antar warga desa dalam bentuk-
bentuk pertemuan publik seperti musyawarah/rapat sebagai ciri utamanya (Gayatri
2007). Peristiwa Indonesia merdeka dengan penetapan sistem pemerintahan yang
penuh dinamika kemudian membawa kehidupan demokrasi pedesaan pada kondisi
yang berubah-ubah dan tidak menentu. Seperti diketahui bahwa demokrasi
Pancasila dicetuskan pada akhir kepemimpinan Presiden Sukarno dan dilanjutkan
pada masa kepemimpinan Presiden Suharto, dan hingga pasca reformasi,
Indonesia masih mengklaim bahwa sistem pemerintahan yang dianut adalah
Demokrasi Pancasila. Desa yang sudah mempraktikkan kehidupan demokrasi
dengan karakternya sendiri sempat mengalami penyeragaman pada masa Orde
2
Baru, dimana desa menjadi lebih seperti perpanjangan tangan pemerintah pusat
dan kehilangan karakternya.
Hal ini terus terjadi hingga kemudian reformasi bergulir dan demokrasi
berperspektif otonomi didengungkan. Otonomi desa mulai mendapatkan kembali
karakternya, terlebih dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah Nomor 72
Tahun 2005 tentang desa untuk mewujudkan otonomi desa yang memberi
kesempatan kepada masyarakat desa mengurus rumah tangganya sendiri termasuk
dalam bidang politik dan pemerintahan (Uang 2012). Selain Peraturan Pemerintah
tersebut, UU No. 22 Tahun 1999 tentang kerangka desentraslisasi politik juga
ditetapkan pemerintah. Undang-undang ini memberi batasan kekuasaan pusat dan
memberikan otoritas yang lebih luas kepada pemerintah daerah. UU No. 22/1999
menjadi prinsip utama untuk menghidupkan kembali parlemen desa dengan
keberadaan Badan Permusyawaratan Desa (BPD), serta adanya
pemberdayaan peran dan fungsi parlemen daerah untuk tujuan meningkatkan
demokratisasi lokal melalui perluasan ruang partisipasi politik rakyat (Gayatri
2007).
Salah satu kegiatan dalam rangka perluasan partisipasi politik rakyat di desa
adalah agenda pemilihan Kepala Desa. Desa pada dasarnya telah melakukan
pemilihan Kepala Desa sejak sebelum Indonesia merdeka. Pemerintah Hindia
Belanda pada masa politik kolonial, melalui penerbitan Indlandsche Gemeente
Ordonanntie (IGO) Stbl. 1906 No. 83 memberikan ruang bagi desa untuk
menjalankan pemerintahan sendiri dalam bentuk pengakuan hak-hak budaya desa,
sistem pemilihan kepala desa, desentralisasi pemerintahan pada tingkat desa,
parlemen desa, dan sebagainya. Penduduk „pribumi‟ diperintah secara langsung
oleh penguasa pribumi, dan secara tidak langsung oleh penguasa Belanda. Adapun
dalam prosesnya, pemilihan Kepala Desa dengan kelembagaan dan jaringan
tradisional yang masih lekat di dalamnya selalu memberi warna dan pengaruh.
Masih tingginya aktivitas dan keterikatan masyarakat dalam kelembagaan di
pedesaan menyebabkan studi tentang pengaruh kelembagaan terhadap
kecenderungan memilih (preferensi politik) anggotanya dalam pemilihan Kepala
Desa menjadi penting untuk dilakukan.
Beberapa penelitian menunjukkan hasil yang menarik terkait hal-hal yang
mempengaruhi proses pemilihan Kepala Desa. Hidayat (2000) mengungkapkan
bahwa terpilihnya seorang Kepala Desa di daerah penelitiannya (Desa Tanjung
Anom, Kecamatan Mauk, Kabupaten Tangerang) adalah tergantung dari jejaring
yang dimiliki oleh calon tersebut. Saat calon dapat merangkul kelompok-
kelompok tertentu di desa maka saat itu pula peluang untuk menggiring suara juga
besar. Artinya, preferensi politik masyarakat pedesaan masih sangat tergantung
pada kelompok-kelompok yang ada di desa. Kelompok-kelompok (kelembagaan)
yang ada di desa, senantiasa memberi pengaruh (baik pengaruh struktural maupun
konstruktif) terhadap berbagai bidang kehidupan masyarakat termasuk dalam hal
preferensi politik. Penelitian lain dilakukan Fadhilah (2005) menunjukkan bahwa
peran ketokohan kyai dalam lembaga pengajian desa memberi pengaruh besar
terhadap preferensi politik masyarakat desa. Seringkali kyai di suatu desa
berafiliasi dengan orang-orang lain yang berkepentingan (calon Kepala Desa,
misalnya) sehingga suara jamaah dapat dengan mudah digiring oleh calon. Hal ini
disebabkan oleh kepatuhan dan konformitas yang masih tinggi di daerah
pedesaan.
3
Besarnya pengaruh kelembagaan terhadap preferensi politik seperti yang
telah banyak diteliti tersebut, berhubungan erat dengan tipe perilaku pemilih.
Anggota dalam kelembagaan melakukan konformitas dalam berbagai hal,
termasuk keputusan politik, dengan ditentukan oleh tipe perilaku pemilihnya.
Kristiadi dalam Valentina (2009) mengungkapkan bahwa terdapat tiga tipe
perilaku pemilih yaitu tipe perilaku pemilih dengan pendekatan sosiologis,
psikologis, dan ekonomi1. Keberadaan kelembagaan yang masih besar perannya di
pedesaan dengan tipe perilaku pemilih seperti yang telah dijelaskan tersebut pada
akhirnya akan menentukan preferensi politik anggota dalam pemilihan Kepala
Desa.
Pengaruh kelembagaan yang begitu besar dalam proses pemilihan Kepala
Desa banyak ditemui di desa-desa di Jawa Timur. Kelembagaan utamanya
kelembagaan agama masih besar peran dan pengaruhnya terhadap pilihan
masyarakat sehingga seringkali kelembagaan kemudian dijadikan alat untuk
memobilisasi suara masyarakat. Masih besarnya pengaruh kelembagaan dalam
kehidupan masyarakat utamanya dalam pemilihan pemimpin di daerah Jawa
Timur ini kemudian menjadi alasan bagi peneliti untuk melakukan penelitian di
desa di daerah Jawa Timur. Lebih spesifik peneliti menetapkan Desa Sumberejo,
Kecamatan Sukodono, Kabupaten Lumajang sebagai tempat penelitian. Diketahui
desa ini merupakan desa dengan sejumlah kelembagaan (baik formal maupun
informal) yang beragam. Kelembagaan-kelembagaan di desa ini sedikit banyak
memberi warna dalam pemilihan Kepala Desa. Terlebih diketahui bahwa kandidat
yang memenangkan pertarungan politik ini adalah tokoh dari lembaga informal di
desa setempat. Demikian pula dengan kandidat lawan yang kalah tipis dengan
persentase 43,15 persen-56,11 persen (berdasarkan Data Rekapitulasi Kepala
Desa di Lumajang 2013) diketahui merupakan orang dekat dari tokoh yang
memiliki pengaruh yang cukup besar di desa setempat. Alasan ini yang kemudian
melatarbelakangi peneliti untuk melakukan penelitian di Desa Sumberejo,
Kecamatan Sukodono, Kabupaten Lumajang.
Perumusan Masalah
Pemilihan Kepala Desa merupakan agenda politik masyarakat pedesaan
yang dilakukan rutin setiap periode tertentu. Terpilihnya Kepala Desa dalam
Pemilihan Kepala Desa khususnya di daerah Jawa Timur seringkali dipengaruhi
oleh kelembagaan-kelembagaan yang ada di sekitarnya. Oleh karena itu
permasalahan umum yang menjadi fokus penelitian adalah bagaimana pengaruh
kelembagaan terhadap preferensi politik anggota dalam Pemilihan Kepala Desa?
Seperti diketahui, kelembagaan di pedesaan membawa pengaruh yang
cukup besar dalam hal penentuan preferensi politik anggotanya. Adapun
preferensi politik dapat dilihat dengan menganalisis tipe perilaku pemilih.
Pengaruh kelembagaan (struktural dan konstruktif) dengan demikian secara
1Tipe perilaku pemilh dengan pendekatan sosiologis yaitu tipe dimana lingkungan memberi pengaruh besar
terhadap kecenderungan seseorang memilih pemimpin. Tipe kedua, yaitu tipe dengan pendekatan psikologis,
menekankan beberapa aspek yang mempengaruhi perilaku memilih seperti ketertarikan seseorang terhadap
partai politik, orientasi seseorang terhadap calon pemimpin, dan orientasi seseorang terhadap isu-isu politik.
Adapun pendekatan ekonomi menekankan faktor situasional berdasarkan pemikiran untung rugi dan
penghindaran resiko dalam menentukan perilaku pemilih.
4
langsung maupun tidak berhubungan dengan perilaku pemilih anggota (sosiologi,
psikologi, ekonomi). Oleh sebab itu, perlu untuk dianalisis sejauh mana pengaruh
kelembagaan terhadap tipe perilaku pemilih?
Seperti dijelaskan pada latar belakang, Desa Sumberejo merupakan desa
dengan sejumlah kelembagaan (baik formal maupun informal) yang beragam.
Kelembagaan-kelembagaan yang ada tersebut akan senantiasa memberi pengaruh
(baik secara langsung maupun tidak) dalam menentukan preferensi politik
anggotanya. Adapun derajat pengaruh dari masing-masing kelembagaan dapat
dimungkinkan berbeda satu sama lain. Oleh karena itu perlu diketahui
kelembagaan manakah yang lebih besar pengaruhnya dalam penentuan
preferensi politik anggota? Secara lebih spesifik, apakah kelembagaan formal
memiliki pengaruh lebih besar daripada kelembagaan informal? Atau
sebaliknya?
Kelembagaan-kelembagaan yang ada di pedesaan mempengaruhi pilihan-
pilihan politik mayarakat dengan bentuk yang beragam. Beberapa kelembagaan
dapat memberi pengaruh struktural, dan beberapa kelembagaan lain mungkin
memberi pengaruh konstruktif. Kedua bentuk pengaruh tersebut akan menentukan
bagaimana budaya penentuan preferensi politik masyarakat pedesaan. Oleh karena
itu penting untuk mengetahui pengaruh apakah yang lebih dominan pada
kelembagaan dalam penentuan preferensi politik anggota? Apakah pengaruh
struktural atau konstruktif?
Melihat pengaruh kelembagaan yang terdiri dari dua jenis yaitu pengaruh
struktural dan konstruktif, juga dengan melihat tipe perilaku pemilih yaitu
psikologi, sosiologi, dan ekonomi, memungkinkan pula untuk dianalisis hubungan
pengaruh antara kedua konsep tersebut sehingga ditemui kecenderungan-
kecenderungan tertentu. Maka muncul pertanyaan apakah pengaruh kelembagaan
tertentu akan cenderung mengarah kepada tipe perilaku pemilih tertentu pula?
Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan di atas, dapat dirumuskan tujuan penelitian
umum pada penelitian ini yaitu untuk menganalisis pengaruh kelembagaan
terhadap preferensi politik anggota dalam pemilihan Kepala Desa. Adapun tujuan-
tujuan khusus pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Menganalisis pengaruh kelembagaan terhadap tipe perilaku pemilih sehingga
memunculkan preferensi politik tertentu.
2. Menganalisis kelembagaan yang memiliki pengaruh lebih besar dalam
penentuan preferensi politik anggota.
3. Menganalisis bentuk pengaruh kelembagaan dalam penentuan preferensi
politik anggota.
4. Menganalisis kecenderungan pengaruh kelembagaan tertentu terhadap tipe
perilaku tertentu sehingga memunculkan preferensi politik tertentu.
5
Kegunaan Penelitian
Penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberikan kegunaan bagi berbagai
pihak, yaitu:
1. Bagi kalangan akademisi, penelitian ini diharapkan dapat memperluas
pengetahuan mengenai pengaruh kelembagaan-kelembagaan yang ada di
pedesaan dalam penentuan preferensi politik anggotanya. Penting untuk
dipahami bahwa masyarakat desa merupakan masyarakat yang memiliki
ikatan sosial yang kuat sehingga tidak jarang kelembagaan (formal maupun
informal) senantiasa memberi warna dalam berbagai kehidupan masyarakat,
termasuk dalam penentuan preferensi politik. Hal ini menunjukkan bahwa
penelitian ini sangat penting untuk dilakukan dan didalami. Diharapkan
penelitian ini dapat digunakan sebagai literatur dan acuan untuk penelitian
lebih dalam tentang pengaruh kelembagaan.
2. Bagi pembuat kebijakan (pemerintah), penelitian ini diharapkan dapat
menambah wawasan tentang ragam kondisi politik di pedesaan sehingga
dapat menetapkan kebijakan tentang Pemilihan Kepala Desa dengan lebih
sesuai degan kondisi politik yang sebenarnya di pedesaan.
3. Bagi masyarakat, penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan
mengenai pengaruh kelembagaan terhadap preferensi politik anggota dalam
Pemilihan Kepala Desa.
6
7
PENDEKATAN TEORITIS
Bab ini memuat tinjauan pustaka penelitian, kerangka pemikiran, hipotesis,
dan definisi operasional dari variabel yang disebutkan pada kerangka pemikiran.
Tinjauan pustaka berisi beberapa teori dan konsep terkait penelitian yang
dilakukan. Teori dan konsep yang diuraikan pada tinjauan pustaka selanjutnya
diturunkan menjadi variabel pengaruh dan terpengaruh yang digambarkan
hubungannya pada kerangka pemikiran. Adapun hubungan dugaan antar variabel
pada kerangka pemikiran diuraikan pada hipotesis penelitian. Variabel-variabel
beserta hubungannya tersebut dijelaskan pengertian dan pengukurannya pada
definisi operasional.
Tinjauan Pustaka
Kelembagaan dan Organisasi
Kelembagaan merupakan sebuah istilah yang dalam penggunaannya
memiliki setidaknya dua perspektif. Secara harfiah, kelembagaan dapat diartikan
dari terjemahan langsung istilah institution. Kelembagaan dalam perspektif ini
merujuk kepada suatu badan seperti organisasi, asosiasi, dan sebagainya. Ogburn
dan Nimkof dalam Nasdian (2003) misalnya, berpendapat bahwa kelembagaan
dan asosiasi pada prinsipnya sama, hanya kelembagaan lebih penting dan umum,
sedangkan asosiasi kurang penting dan bertujuan spesifik. Kelembagaan maupun
asosiasi dipandang sebagai organisasi sosial, yakni sebagai kelompok. Adapun
Bertrand dalam Nasdian (2003) mendefinisikan berbeda dengan perspektif
pertama. Kelembagaan diartikan sebagai himpunan norma-norma segala tingkatan
yang berkisar pada suatu kebutuhan pokok di dalam kehidupan masyarakat. Ia
merupakan tata abstraksi yang lebih tinggi dari grup, organisasi, dan sistem sosial
lainnya. Perspektif ini memandang kelembagaan sebagai kompleks peraturan dan
peranan sosial secara abstrak.
Penelitian ini menempatkan kelembagaan pada perspektif pertama, yaitu
kelembagaan yang secara harfiah merujuk pada istilah institutution, yaitu sebagai
kelompok dan merujuk pada suatu badan, dalam hal ini dikhususkan yaitu
organisasi. Organisasi adalah unit sosial (atau pengelompokan manusia) yang
sengaja dibentuk dan dibentuk kembali dengan penuh pertimbangan dalam rangka
mencapai tujuan-tujuan tertentu (Parsons dalam Etzioni 1985).
Umumnya, organisasi ditandai oleh ciri-ciri sebagai berikut:
1. Adanya pembagian dalam pekerjaan, kekuasaan, dan tanggung jawab
2. Adanya satu atau beberapa pusat kekuasaan yang berfungsi mengawasi dan
mengarahkan organisasi
3. Penggantian tenaga
Organisasi dibentuk dan dikembangkan dengan tujuan yang mencakup
beberapa fungsi, di antaranya yaitu memberikan pengarahan dengan cara
menggambarkan keadaan masa yang akan datang yang senantiasa berusaha
8
dikejar dan diwujudkan oleh organisasi. Tujuan tersebut secara otomatis
menciptakan sejumlah pedoman bagi landasan kegiatan organisasi, menjadi
sumber legitimasi yang membenarkan setiap kegiatan organisasi, menjadi pAtan
yang dapat digunakan baik oleh anggota organisasi maupun kalangan luar untuk
menilai keberhasilan organisasi, serta menjadi tolok ukur bagi ilmuwan di bidang
organisasi guna mengetahui seberapa jauh suatu organisasi berjalan dengan baik.
Organisasi dalam studinya mengalami banyak perkembangan. Setidaknya
terdapat beberapa pendekatan dalam memahami organisasi dan perkembangannya
(Etzioni 1985):
1. Aliran Manajemen Ilmiah. Pendekatan ini memandang bahwa motivasi
anggota tumbuh karena perangsang ekonomis. Organisasi ditandai dengan
pembagian kerja yang tegas dengan tenaga-tenaga yang memiliki
keterampilan khusus dan juga oleh hierarki wewenang yang khas. Pandangan
ini merupakan cikal bakal dari timbulnya organisasi formal.
2. Aliran Hubungan Manusia. Pendekatan ini menekankan kepada elemen
emosional, tidak terencana, dan non-rasional di dalam perilaku organisasi.
Rasa persahabatan dan pengelompokan sosial anggota bagi kemajuan
organisasi merupakan hal penting dalam pendekatan ini. Diuraikan pula
tentang manfaat kepemimpinan organisasi dan komunikasi emosional maupun
partisipasi. Dari perspektif ini kemudian dikembangkan konsep organisasi
informal. Ciri informal tersebut kadang dipandang sebagai apa yang tersirat di
balik struktur organisasi formal.
3. Pendekatan strukturalis, merupakan titik temu teori organisasi yang
menggabungkan konsep organisasi formal dan informal serta sekaligus
memberikan gambaran tentang organisasi yang lebih lengkap dan terpadu.
Jika Etzioni (1985) mengungkapkan ada tiga jenis organisasi dalam
perkembangannya (formal, informal, dan gabungan keduanya), peneliti
menetapkan untuk mengambil dua jenis kelembagaan dari pengelompokan
tersebut, yaitu kelembagaan formal dan informal. Hal ini mengingat masih
terdiferensiasi dengan jelasnya kelembagaan formal dan informal di pedesaan
sehingga dapat diperbandingkan secara lebih kuat dan seimbang pengaruh dari
kedua kelembagaan tersebut.
Pengaruh Kelompok terhadap Tindakan Politik Aktor
Studi tentang pengaruh kelompok terhadap tindakan politis anggotanya
berkaitan erat dengan konsep politik identitas. Politik identitas didefiniskan
sebagai tindakan politis yang mengedepankan kepentingan kelompok karena
memiliki kesamaan identitas atau karakteristik, baik berbasiskan etnik, gender,
keagamaan, dan sejenisnya (Sjaf 2013). Tindakan politis tersebut tercermin dari
aktivitas aktor dalam arena ekonomi, politik, sosial, ekonomi, dan lain-lain.
Beberapa pemahaman terkait politik identitas didefinisikan dan dijabarkan
berdasarkan berbagai penelitian. Berikut beberapa pemahaman terkait politik
identitas (Hardiman dalam Sjaf 2013):
1. Individualisme
Paham ini menekankan pada kebebasan individu dalam bertindak dan memilih
identitasnya. Dikatakan bahwa individu konkret tidak terkait dengan konteks
9
kultural konkretnya. Adapun subyek atau kedirian individu itu sendiri terjadi
melalui kemampuan individu untuk memilih tujuan-tujuan menurut preferensi-
preferensi individualnya.
2. Komunitarianisme
Individu dalam pemahaman ini dikaitkan pada komunitas asalnya. Dikatakan
bahwa individu konkret berasal dari latar belakang etnis, geder, atau religius
tertentu. Subyek atau kedirian terjadi keanggotaannya dalam sebuah komunitas
yang terbentuk melalui tradisi-tradisi dan nilai-nilai kultural.
3. Kritisisme
Mengkritisi dua pemahaman di atas, menurut pemahaman ini, individu
dilahirkan dari proses komunikasi. Identitas kolektif dan individual berada
dalam sebuah proses formatif yang dinamis. Adapun identitasnya dibentuk
melalui komunikasi sehingga terbentuk kesepahaman atau kesepakatan
identitas bersama.
Pemahaman mengenai politik identitas di atas menunjukkan bahwa dalam
melakukan tindakan-tindakannya, individu tidak dapat terlepas dari kelompok,
namun di sisi lain, individu juga dapat memutuskan tindakan-tindakannya,
termasuk dalam tindakan politik sesuai dengan tujuan individual dan
kepentingannya. Gambaran tentang politik identitas terutama terkait dengan
aktornya (individu atau kelompok) digambarkan lebih detil oleh Sjaf (2013)
dalam tipologi pelaku politik identitas berikut:
a. Tipologi pelaku politik pendekatan Konstruktifis
1. Tipologi aktor-struktur-komunikatif
Tipologi ini menekankan peranan penting aktor dalam politik
identitas. Dikatakan bahwa aktor merupakan individu yang memunyai
identitas terbentuk dari komunikasi yang dibangun dengan struktur yang
menyertainya (Habermas dalam Hardiman dalam Sjaf 2013). Lebih lanjut
dijelaskan dalam tipologi ini bahwa identitas individu selain dibentuk
dengan struktur yang menyertai, juga dibentuk dari komunikasi dengan
struktur di luarnya yang kemudian memunculkan kesepakatan atau
kesepahaman tentang identitas bersama. Konstruksi identitas bersama
merupakan resultan yang diperoleh individu-kelompok dalam tindakan
komunikatif.
2. Tipologi aktor-individu
Tipologi ini menyatakan bahwa politik identitas sarat dengan
tindakan individu yang terkait dengan perannya. Individu senantiasa
mengkonstruksi identitasnya sesuai dengan konteks peran yang dimainkan
karena memiliki peran yang beragam dalam beragam arena kehidupan.
Berdasarkan dua tipologi pelaku politik tersebut, dapat diambil variabel-
variabel untuk menganalisis pengaruh kelembagaan dengan pendekatan
konstruktif secara umum yaitu, jalinan komunikasi dengan lingkungan
sekitar, luas jaringan sosial, pembentukan kesepakatan bersama, jumlah
variasi peran individu dalam berbagai situasi, dan kemampuan
mengkonstruksi peran.
b. Tipologi pelaku politik pendekatan Strukturisme, terdiri dari:
1. Tipologi aktor-kelompok
10
Politik identitas dalam tipologi ini ditentukan kelompok dari
individu-individu masyarakat. Identitas individu tidak dapat dilepaskan
dari konteks kelompoknya, baik etnik, ras, agama, maupun gender.
2. Tiplogi struktur-individu
Tipologi struktur-individu melihat aktor tidak memunyai kekuatan
untuk menentukan ciri dan karakteristiknya. Hal ini disebabkan besarnya
hegemoni struktur di dalamnya.
3. Tipologi struktur-kelompok
Tipologi struktur-kelompok menunjukkan kekuatan konstruksi
sejarah yang menempatkan kelompok-kelompok identitas dalam
“dikotomi binary” yang berada pada masing-masing kutub yang berlainan.
Kehadiran kelompok-kelompok identitas dinilai sebagai suatu realitas
alamiah yang senantiasa dipertentangkan antara satu dengan lainnya.
Ketiga tipologi di atas dapat dijadikan dasar untuk menentukan variabel
pengaruh kelembagaan dengan pendekatan struktural. Variabel-variabel tersebut
yaitu, keanggotaan dalam kelompok, keterikatan dengan kelompok, posisi sosial
individu, kemampuan menentukan tindakan, dan pengaruh struktur sosial di
atasnya.
Perilaku Pemilih dan Preferensi Politik
Perilaku pemilih secara sederhana didefinisikan sebagai suatu studi yang
memusatkan diri pada bidang yang menggeluti kebiasaan atau kecenderungan
pilihan rakyat dalam pemilihan umum serta latar belakang mengapa mereka
melakukan pilihan itu (Plano, Ringgs, & Robin 1985). Perilaku pemilih dapat
dikaji dengan menggunakan tiga pendekatan (Jack dalam Rochimah 2009):
1. Pendekatan sosiologi
Pendekatan sosiologi memfokuskan pada hubungan antara geografi dan
demografi dengan perilaku memilih. Keadaan dan kategori sosial seseorang,
keanggotaannya dalam sebuah kelompok, banyak mempengaruhi tindakan-
tindakan politiknya. Menurut ahli-ahli sosiologi, dalam sebuah masyarakat
yang terdiri dari tingkat keagamaan yang kuat, kelas, pembagian wilayah, ras,
kelompok etnis, mengasumsikan bahwa keanggotaannya akan berpengaruh
kuat dalam pemilihan. Konteks sosial individu akan mempengaruhi bagaimana
pilihan individu. Kampanye bukan merupakan hal yang terlalu banyak
memberi pengaruh menurut pendekatan ini. Komunikasi antar pribadi antara
anggota akan menjadi jauh lebih efektif daripada kampanye. Beberapa tipe
pendekatan sosiologis, yaitu:
a. Kelompok kategorial, yaitu kelompok yang memiliki satu atau beberapa
karakter khas namun tidak terdapat kesadaran bersama. Contoh kelompok
tipe ini yaitu usia, jenis kelamin, dan lain sebagainya.
b. Kelompok sekunder, yaitu kelompok yang memiliki ciri yang sama dan
menyadari tujuan dan identifikasi kelompoknya, misalnya, agama atau
etnis.
c. Kelompok primer, yaitu kelompok yang sering dan secara teratur
melakukan interaksi, misalnya keluarga atau peer groups.
11
2. Pendekatan ekonomi
Pendekatan ini menyatakan bahwa ternyata pemilih dapat mengubah
pilihannya sewaktu-waktu, terutama berkaitan dengan perkembangan tigkat
pendidikan dan semakin banyaknya pilihan yang lebih memberikan dan
menjanjikan masa depan. Diasumsikan pada pendekatan ini bahwa pemilih
merupakan orang-orang yang rasional. Mereka akan berhitung saat
menetapkan pilihan. Mereka cenderung lebih individual dan independen
dibandingkan kelompok pada pendekatan sosiologis dan psikologi sosial.
Adapun faktor yang dianggap mempengaruhi pilihan seseorang dalam
pendekatan ini yaitu adalnya peristiwa tertentu, strategi komunikasi, dan
adanya kebutuhan konkret tertentu yang dapat dipenuhi oleh kandidat.
3. Pendekatan psikologi sosial
Pendekatan ini mempertimbangkan unsur loyalitas pemilih terhadap
kandidat. Pemilih cenderung memiliki identifikasi terhadap kelompok, partai
politik, atau kandidat tertentu. Mereka cenderung menetap dan jarang
berpindah dari satu kandidat atau partai satu ke partai lain. Kelompok pemilih
dengan karakteristik ini lebih sulit menerima stimuli kampanye dibandingkan
kelompok pada pendekatan sosiologis. Hal ini disebabkan karena sikap
loyalnya terhadap kelompok atau kandidat yang akan dipilih. Mereka adalah
pemilih yang memiliki sikap terhadap apa yang dipilihnya. Sikap pemilih ini
merupakan hasil dari proses yang panjang.
Setidaknya terdapat tiga tahap mebentukan sikap pada pemilih dengan tipe
psikologis, yaitu:
a. Tahap pertama, yaitu pemberian informasi dan sosialisasi tentang isu
politik tertentu oleh keluarga dan lingkungan sejak anak-anak
b. Tahap kedua, yaitu internalisasi hasil sosialisasi tentang isu politik
yang didapat dari keluarga yang kemudian membentuk sikap politik
saat berada pada situasi di luar keluarga
c. Tahap ketiga, yaitu bagaimana sikap politik dibentuk oleh kelompok-
kelompok acuan.
Bagaimana masyarakat memilih dengan tipe perilaku yang melatarbelakangi
pada akhirnya akan memunculkan preferensi politik. Preferensi politik seringkali
dikaitkan dengan perubahan perilaku pemilih dalam menentukan pilihan
politiknya dalam pemilihan umum. Preferensi politik didefinisikan sebagai
penentuan pilihan dengan berbagai macam pertimbangan sesuai dengan nilai yang
dibangunnya dalam menentukan standar penilaian terhadap seorang calon maupun
partai politik. Perilaku pemilih dengan tipenya masing-masing ini yang kemudian
akan menentukan preferensi politik seseorang.
Pemilihan Kepala Desa
Desa menurut Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 yaitu desa dan desa
adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah
kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk
mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat
berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang
diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik
12
Indonesia. Lebih lanjut Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tersebut
mendefinisikan pemerintahan desa sebagai penyelenggaraan urusan pemerintahan
dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem pemerintahan Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Kepala Desa secara langsung oleh warga desa setempat. Berbeda dengan
Lurah yang merupakan Pegawai Negeri Sipil, Kepala Desa merupakan jabatan
yang dapat diduduki oleh warga biasa. Aturan tentang Pemilihan Kepala Desa
dicantumkan dalam Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014. Mekanisme pemilihan
Kepala Desa baru dimulai sejak BPD memberitahukan kepada Kepala Desa
mengenai akan berakhirnya masa jabatan Kepala Desa secara tertulis enam bulan
sebelum berakhir masa jabatan. Selanjutnya BPD memproses pemilihan Kepala
Desa, paling lama empat bulan sebelum berakhirnya masa jabatan Kepala Desa.
Adapun pemilih dalam pemilihan Kepala Desa adalah penduduk desa Warga
Negara Republik Indonesia yang pada hari pemungutan suara pemilihan kepala
desa sudah berumur 17 (tujuh belas) tahun atau sudah/pernah kawin mempunyai
hak memilih. Kepala Desa dipilih langsung oleh penduduk desa dari calon yang
memenuhi syarat.
Pemilihan Kepala Desa dilaksanakan melalui tahap pencalonan dan tahap
pemilihan. Berikut tahapan pencalonan Kepala Desa:
1. BPD membentuk Panitia Pemilihan yang terdiri dari unsur perangkat desa,
pengurus lembaga kemasyarakatan, dan tokoh masyarakat.
2. Panitia pemilihan melakukan pemeriksaan identitas bakal calon berdasarkan
persyaratan yang ditentukan, melaksanakan pemungutan suara, dan
melaporkan pelaksanaan pemilihan Kepala Desa kepada BPD.
3. Panitia pemilihan melaksanakan penjaringan dan penyaringan Bakal Calon
Kepala Desa sesuai persyaratan.
4. Bakal Calon Kepala Desa yang telah memenuhi persyaratan ditetapkan
sebagai Calon Kepala Desa oleh Panitia Pemilihan.
5. Calon Kepala Desa yang berhak dipilih diumumkan kepada masyarakat
ditempat-tempat yang terbuka sesuai dengan kondisi sosial budaya
masyarakat setempat.
6. Calon Kepala Desa dapat melakukan kampanye sesuai dengan kondisi sosial
budaya masyarakat setempat.
7. Calon Kepala Desa yang dinyatakan terpilih adalah calon yang
mendapatkan dukungan suara terbanyak.
8. Panitia Pemilihan Kepala Desa melaporkan hasil pemilihan Kepala Desa
kepada BPD.
9. Calon Kepala Desa terpilih ditetapkan dengan Keputusan BPD berdasarkan
Laporan dan Berita Acara Pemilihan dari Panitia Pemilihan.
10. Calon Kepala Desa Terpilih disampaikan oleh BPD kepada Bupati/Walikota
melalui Camat untuk disahkan menjadi Kepala Desa Terpilih.
11. Bupati/Walikota menerbitkan Keputusan Bupati/ Walikota tentang
Pengesahan Pengangkatan Kepala Desa Terpilih paling lama 15 (lima belas)
hari terhitung tanggal diterimanya penyampaian hasil pemilihan dari BPD.
12. Kepala Desa Terpilih dilantik oleh Bupati/Walikota paling lama (lima belas)
hari terhitung tanggal penerbitan keputusan.
Selain mekanisme secara umum seperti yang dijelaskan di atas, Undang-
Undang Nomor 6 tahun 2014 juga mengatur tentang pemilihan Kepala Desa
13
dalam kesatuan masyarakat adat. Dijelaskan bahwa pemilihan Kepala Desa dan
masa jabatan kepala desa dalam kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan yang diakui keberadaannya berlaku
ketentuan hukum adat setempat. Ketentuan lebih detil tentang pemilihan di daerah
masyarakat adat diserahkan sepenuhnya kepada Pemerintah Daerah dengan
peringatan untuk wajib memperhatikan nilai-nilai sosial budaya dan adat istiadat
kesatuan masyarakat hukum adat setempat.
Kerangka Pemikiran
Masyarakat pedesaan merupakan masyarakat yang identik (lekat) dengan
kelembagaan (baik formal maupun informal) dalam berbagai aktivitas
kehidupannya, termasuk dalam penetapan preferensi politik saat pemilihan Kepala
Desa berlangsung. Kelembagaan-kelembagaan yang ada di pedesaan secara
langsung maupun tidak akan senantiasa memberi warna dalam hal pengaruhnya
terhadap preferensi politik anggota. Sjaf (2013) menyatakan ada dua bentuk
pengaruh komunitas dalam berbagai bidang kehidupan (sosial, ekonomi, politik)
masyarakat, yaitu pengaruh secara struktural dan pengaruh konstruktif. Pengaruh
struktural menggambarkan bagaimana struktur, status, dan posisi sosial seseorang
akan mempengaruhi tindakan sosialnya. Sebaliknya, pengaruh konstruktif
menyatakan bahwa tindakan sosial individu merupakan hasil konstruksi dari
komunikasi yang menghasilkan kesepahaman antar individu dalam kelompok.
Konsep yang disampaikan Sjaf (2013) ini sangat relevan untuk menganalisis
pengaruh kelembagaan yang diteliti dengan melihat kondisi lapang penelitian
yaitu pedesaan Jawa. Diketahui bahwa pedesaan Jawa masih kental dengan tradisi
“sendiko dawuh”, yaitu kepatuhan kepada orang yang memiliki status lebih
tinggi. Konsep pengaruh struktural dan konstruktif dapat menjadi pisau analisis
yang tajam sesuai dengan kondisi lapang penelitian.
Analisis terhadap pengaruh kelembagaan (struktural dan konstruktif)
tentunya belum dapat menjawab penelitian tentang preferensi politik sehingga
peneliti menggunakan konsep perilaku pemilih untuk mengetahui sikap politik
anggota dalam Pemilihan Kepala Desa. Perilaku pemilih yaitu suatu studi yang
memusatkan diri pada bidang yang menggeluti kebiasaan atau kecenderungan
pilihan rakyat dalam pilihan umum serta latar belakang mengapa mereka
melakukan pilihan itu (Plano, Ringgs, & Robin 1985). Terdapat 3 tipe perilaku
pemilih masyarakat desa berdasarkan pendekatannya yang nantinya
mempengaruhi preferensi politik yaitu pendekatan sosiologis, psikologis, dan
ekonomi. Masyarakat dengan tipe perilaku sosiologis akan menentukan pilihannya
dengan pertimbangan arahan dari kelompoknya, sedangkan masyarakat dengan
tipe pendekatan psikologis akan memutuskan pilihannya berdasarkan loyalitasnya,
dan terakhir, masyarakat dengan tipe ekonomi, akan mendasarkan pilihannya
berdasarkan pertimbangan-pertimbangan rasional dan logis.
Penelitian yang dilakukan memperlihatkan bagaimana pengaruh
kelembagaan (struktural dan konstruktif) terhadap tipe perilaku pemilih
(sosiologis, psikologis, ekonomi) sehingga pada akhirnya memunculkan
preferensi politik, yaitu penentuan pilihan dengan berbagai macam pertimbangan
sesuai dengan nilai yang dibangunnya dalam menentukan standar penilaian
14
terhadap seorang calon maupun partai politik. Adapun kelembagaan yang akan
diteliti disesuaikan dengan kelembagaan yang umum ada di pedesaan. Peneliti
menetapkan dua tipe kelembagaan yang akan dijadikan subyek penelitian yaitu
kelembagaan formal yaitu pemerintah desa serta kelembagaan informal yaitu
majelis taklim. Untuk lebih jelasnya, kerangka pemikiran yang digunakan peneliti
pada penelitian ini dapat dilihat pada gambar di bawah ini:
Keterangan:
: Unit Analisis
: Mempengaruhi
: Merepresentasikan
Gambar 1 Kerangka pemikiran
Perilaku pemilih
Psikologis
- Loyalitas terhadap
kandidat
- Pembentukan sikap
politik
- Keterdedahan
terhadap pendidikan politik
Ekonomi
- Kebutuhan konkret
pemilih
- Tujuan pemilih
- Orientasi pemilih
Sosiologis
- Kohesi sosial
- Pengelompokan sosial
- Informasi politik
Pengaruh Kelembagaan
Konstruktif:
Jalinan komunikasi dengan
lingkungan sekitar
Luas jaringan sosial
Pembentukan kesepakatan bersama
Jumlah variasi peran individu dalam
berbagai situasi
Kemampuan mengkonstruksi peran
Struktural
Keanggotaan
Keterikatan dengan kelembagaan
Posisi sosial individu
Kemampuan menentukan tindakan
Pengaruh struktur sosial di atasnya
Preferensi Politik Anggota
Anggota Kelembagaan
Formal:
Pemerintah Desa
Informal:
Majelis Taklim
15
Hipotesis
Hipotesis penelitian ini disajikan sebagai berikut:
1. Kelembagaan mempengaruhi tipe perilaku pemilih sehingga memunculkan
preferensi politik tertentu.
2. Kelembagaan informal memiliki pengaruh lebih besar dalam penentuan
preferensi politik anggota dibandingkan kelembagaan formal.
3. Kelembagaan formal memberi pengaruh struktural dan sebaliknya
kelembagaan informal memberi pengaruh konstruktif dalam hal penentuan
preferensi politik.
4. Pengaruh kelembagaan tertentu akan mengarahkan pada tipe perilaku pemilih
tertentu pula.
Definisi Konseptual
Kelembagaan
Kelembagaan merupakan terjemahan dari istilah institution yaitu suatu
kelompok yang merujuk pada suatu badan. Peneliti dalam hal ini menempatkan
kelembagaan sebagai suatu badan dimana di dalamnya terdapat anggota dan
aktivitas dengan tujuan-tujuan yang sama. Kelembagaan menurut jenisnya dibagi
menjadi dua, yaitu:
1. Kelembagaan formal, yaitu kelembagaan resmi yang memiliki hierarki
wewenang yang khas dan pembagian kerja tegas dengan tenaga-tenaga yang
memiliki keterampilan khusus. Adapun kelembagaan formal yang dijadikan
responden dan informan adalah Pemerintah Desa, yaitu Kepala Desa dan
Perangkat Desa sebagai unsur penyelenggara pemerintahan desa (PP No.
72/2005).
2. Kelembagaan informal, yaitu kelembagaan tidak resmi yang didirikan dengan
asas kekeluargaan, persahabatan, dan pengelompokan sosial. Adapun
kelembagaan informal yang anggotanya dijadikan responden dan informan
adalah adalah majelis taklim. Secara literal Anitasari (2010) mendefiniskan
majelis taklim sebagai tempat pembelajaran yang merupakan wadah di mana
suatu kelompok masyarakat (laki-laki ataupun perempuan) bertemu untuk
belajar dan mendalami ajaran agama. Majelis ta‟lim juga didefinisikan sebagai
lembaga atau organisasi sebagai wadah pengajian atau tempat pengajian
(KBBI 2014).
Preferensi Politik
Preferensi politik didefinisikan sebagai penentuan pilihan dengan berbagai
macam pertimbangan sesuai dengan nilai yang dibangunnya dalam menentukan
standar penilaian terhadap seorang calon maupun partai politik. Perilaku pemilih
dengan tipenya masing-masing (tipe psikologi, sosiologi, akonomi) adalah
penentu preferensi politik seseorang. Dalam penelitian ini, preferensi politik yang
dimaksud adalah penentuan pilihan anggota terhadap kandidat Kepala Desa.
Preferensi politik diukur dan dianalisis berdasarkan tipe perilaku pemilih.
16
Definisi Operasional
Penelitian ini menggunakan beberapa variabel yang dioperasionalkan sebagai
berikut:
Pengaruh kelembagaan
Pengaruh didefiniskan sebagai daya yang ada atau timbul dari sesuatu
(orang, benda) yang ikut membentuk watak, kepercayaan, atau perbuatan
seseorang (KBBI 2014). Pengaruh kelembagaan dalam penelitian ini diartikan
sebagai daya (energi) kelembagaan yang turut membentuk dan menentukan
preferensi politik anggotanya. Merujuk pada disertasi Sjaf (2013) tentang tipologi
pelaku politik identitas, peneliti menetapkan dua bentuk pengaruh kelembagaan
terhadap preferensi politik, yaitu pengaruh struktural dan konstruktif.
1. Pengaruh struktural yaitu bentuk pengaruh kelembagaan dalam menentukan
preferensi politik dengan melihat posisi sosial, hierarki kelembagaan, dan hal-
hal lain yang berkenaan dengan struktur. Berikut adalah variabel-variabel
yang akan digunakan dalam pengaruh struktural:
a. Keanggotaan yaitu status individu dalam kelembagaan yang dilihat dari
tingkat keaktifannya. Tingkat keaktifan anggota akan mempengaruhi
tingkat pengaruh kelembagaan terhadap tindakan dari anggota itu sendiri.
Semakin aktif anggota dalam suatu kelembagaan maka semakin terikat
anggota tersebut terhadap kelembagaan sehingga semakin tinggi pula
tingkat pengaruh kelembagaan terhadap preferensi politik anggotanya.
Pengukuran:
Anggota sangat aktif (skor 4)
Anggota aktif (skor 3)
Kurang aktif (skor 2)
Anggota pasif (skor 1)
Indikator untuk mengukur keanggotaan adalah:
Frekuensi kehadiran dalam kegiatan-kegiatan kelembagaan;
Frekuensi keterlibatan anggota sebagai panitia dalam kegiatan-kegiatan
kelelembagaan;
Frekuensi keterlibatan dalam pemecahan masalah dalam kelembagaan.
b. Keterikatan dengan kelembagaan yaitu ketergantungan individu terhadap
kelembagaan. Keterikatan dengan kelembagaan yang mendalam akan
memperbesar peran kelembagaan dalam penentuan tindakan anggotanya,
termasuk dalam hal penentuan preferensi politik. Semakin tinggi tingkat
keterikatan anggota terhadap kelembagaan, semakin besar pengaruh
kelembagaan terhadap preferensi politik anggotanya. Pengukuran:
Sangat terikat (skor 4)
Terikat (skor 3)
Kurang terikat (skor 2)
Tidak terikat (skor 1)
Indikator untuk mengukur keterikatan dengan kelembagaan adalah:
Keaktifan dalam setiap kegiatan dalam kelompok;
Peran dalam aktivitas di kelompok;
17
Internalisasi nilai-nilai kelompok dalam diri individu.
c. Posisi sosial individu yaitu status individu dalam hierarki kelembagaan.
Individu dengan posisi sosial yang rendah dalam hierarki kelembagaan
akan mengalami tekanan struktur yang besar sehingga pengaruh
(intervensi) kelembagaan terhadap penentuan preferensi politik menjadi
besar. Sebaliknya individu yang berada pada posisi yang tinggi dalam
kelembagaan tidak mengalami tekanan struktur sehingga ia memperoleh
kebebasan menentukan preferensi politiknya. Pengukuran:
Anggota (skor 4)
Staf (skor 3)
Pengurus harian (skor 2)
Pengurus inti (skor 1)
d. Kemampuan menentukan tindakan yaitu tingkat keleluasaan individu
dalam menentukan sendiri tindakannya. Semakin mampu individu
menentukan tindakan sendiri, semakin kecil kemungkinan kelembagaan
mengintervensi anggotanya dalam penentuan preferensi politik.
Pengukuran:
Tidak mampu (skor 4)
Kurang mampu (skor 3)
Mampu (skor 2)
Sangat mampu (skor 1)
Indikator untuk mengukur kemampuan menentukan tindakan adalah:
Peran dalam kegiatan pengambilan keputusan kelembagaan;
Melakukan tindakan berdasarkan kemauan sendiri tanpa pengaruh
kelembagaan;
Pilihan individu terhadap kandidat Kepala Desa bukan didasarkan pada
arahan dari kelembagaan.
e. Pengaruh struktur sosial di atasnya yaitu daya (energi) dari struktur
kelembagaan di atasnya dalam menentukan tindakan individu. Struktur
sosial yang lebih atas umumnya akan menekan struktur yang ada di
bawahnya. Pengukuran:
Sangat berpengaruh (skor 4)
Berpengaruh (skor 3)
Kurang berpengaruh (skor 2)
Tidak berpengaruh (skor 1)
Indikator untuk mengukur pengaruh struktur sosial di atasnya adalah:
Intervensi kelembagaan yang lebih atas dalam penentuan keputusan
kelembagaan;
Ketergantungan terhadap kebijakan struktur di atasnya;
Intervensi kelembagaan yang lebih atas dalam penentuan preferensi
politik anggota.
18
Jika diklasifikasikan secara umum berdasarkan 20 pertanyaan tentang
tingkat pengaruh kelembagaan secara struktural dalam kuesioner, maka
hasilnya dapat dibagi menjadi tiga kategori, yaitu:
Tinggi : skor 60 < x ≤ 80
Sedang : skor 40 ≤ x ≤ 60
Rendah : skor 20 ≤ x < 40
2. Pengaruh konstruktif yaitu bentuk pengaruh kelembagaan dalam menentukan
preferensi politik yang dicirikan dengan penjalinan komunikasi untuk
mencapai kesepakatan bersama. Berikut adalah variabel-variabel yang akan
digunakan dalam pengaruh konstruktif:
a. Jalinan komunikasi dengan lingkungan sekitar yaitu hubungan antar
individu dengan lingkungan dalam kelembagaan. Jalinan komunikasi yang
baik dengan lingkungan sekitar dalam kelembagaan akan memperbesar
kemungkinan terjadinya saling berbagi dan bersepakat bersama.
Pengkuran:
Sangat baik (skor 4)
Baik (skor 3)
Kurang baik (skor 2)
Tidak baik (skor 1)
Indikator untuk mengukur jalinan komunikasi dengan lingkungan sekitar
adalah:
Frekuensi berkomunikasi dengan lingkungan sekitar dalam
kelembagaan;
Frekuensi melakukan kegiatan bersama dengan anggota-anggota lain
dalam kelembagaan;
Frekuensi memperbincangkan suatu topik atau bahasan tertentu.
b. Luas jaringan sosial yaitu banyaknya hubungan-hubungan sosial yang
dijangkau oleh individu anggota kelembagaan. Luas jaringan sosial
individu dalam kelembagaan akan menentukan banyaknya referensi yang
digunakan individu dalam menentukan preferensi politiknya. Semakin luas
jaringan sosial, semakin sering bertukar pikiran sehingga semakin besar
kemungkinan munculnya preferensi politik anggota secara konstruktif.
Pengukuran:
Sangat luas (skor 4)
Luas (skor 3)
Kurang luas (skor 2)
Tidak luas (skor 1)
Indikator untuk mengukur luas jaringan sosial adalah:
Jumlah jaringan sosial yang dijangkau individu anggota kelembagaan;
Frekuensi komunikasi dengan jaringan-jaringan sosial yang dibentuk;
Frekuensi diskusi dengan jaringan-jaringan sosial yang dibentuk.
c. Frekuensi pembentukan kesepakatan bersama yaitu tingkat kekerapan
(intensitas) individu dalam berdisuksi untuk kemudian menyepakati
keputusan bersama. Semakin tinggi frekuensi pembentukan kesepakatan
19
bersama, semakin tinggi tingkat pengaruh konstruktif kelembagaan
terhadap preferensi politik anggota. Pengkuran:
Sangat sering (skor 4)
Sering (skor 3)
Jarang (skor 2)
Tidak pernah (skor 1)
d. Jumlah variasi peran individu dalam berbagai situasi yaitu banyaknya
ragam peran yang dijalankan oleh indvidu dalam kondisi dan situasi yang
berbeda-beda. Banyaknya variasi peran yang dijalankan individu
memperlihatkan bahwa kelembagaan dibangun dan dikelola secara
konstruktif dengan memberi kesempatan yang seluas-luasnya kepada
anggota. Pengukuran:
Sangat banyak (skor 4)
Banyak (skor 3)
Kurang banyak (skor 2)
Tidak banyak (skor 1)
Indikator untuk mengukur jumlah variasi peran individu dalam berbagai
situasi adalah:
Jumlah peran yang pernah dilakukan individu dalam berbagai situasi
(kegiatan);
Individu dapat menjalankan peran yang berbeda-beda dalam berbagai
situasi.
e. Kemampuan mengkonstruksi peran yaitu tingkat keleluasaan individu
dalam membentuk perannya dalam suatu situasi tertentu. Tingkat
kemampuan individu untuk mengkonstruksi sendiri preferensi politiknya
tanpa tekanan dari kelembagaan menunjukkan bahwa lembaga
membangun dan mengelola kelembagaannya secara konstruktif.
Pengukuran:
Sangat mampu (skor 4)
Mampu (skor 3)
Kurang mampu (skor 2)
Tidak mampu (skor 1)
Indikator untuk mengukur kemampuan mengkonstruksi peran adalah:
Individu dapat memilih perannya sendiri dalam suatu situasi;
Individu memiliki jumlah variasi peran yang banyak dalam berbagai
situasi dan kegiatan dalam kelembagaan;
Individu dapat memilihkan peran untuk orang lain dalam suatu kondisi
sesuai dengan kemampuan orang lain tersebut.
Jika diklasifikasikan secara umum berdasarkan 14 pertanyaan
tentang tingkat pengaruh kelembagaan secara konstruktif dalam kuesioner,
maka hasilnya dapat dibagi menjadi tiga kategori, yaitu:
Tinggi : skor 42 < x ≤ 56
Sedang : skor 28 ≤ x ≤ 42
Rendah : skor 14 ≤ x < 28
20
Adapun pengaruh kelembagaan secara keseluruhan (34 pertanyaan)
jika diklasifikasikan hasilnya adalah sebagai berikut:
Tinggi : skor 4 < x ≤ 6
Sedang : skor 3 ≤ x ≤ 4
Rendah : skor 2 ≤ x < 3
Tipe Perilaku Pemilih
Perilaku pemilih yaitu kecenderungan pilihan rakyat dalam pemilihan umum
serta latar belakang mengapa mereka melakukan pilihan itu (Plano, Ringgs, &
Robin 1985). Merujuk dari jurnal Rochimah (2009) yang mengutip teori Plano
(1985) peneliti menetapkan tiga tipe perilaku pemilih, yaitu tipe psikologi,
sosiologi, dan ekonomi.
1. Tipe psikologi yaitu tipe perilaku pemilih dimana penentuan preferensi
politik pemilih didasarkan pada loyalitas, sikap politik, dan keterdedahan
terhadap pendidikan politik. Variabel-variabel yang akan digunakan dalam
pengaruh tipe psikologi adalah:
a. Loyalitas terhadap kandidat yaitu tingkat kepatuhan dan kesetiaan
individu terhadap kandidat tertentu. Loyalitas yang tinggi menunjukkan
bahwa pemilih memiliki sikap dan prinsip tertentu yang dipegang
sehingga dalam menentukan pilihan, pemilih cenderung mempertahankan
pilihan yang mneurutnya sesuai dengan prinsipnya. Pemilih dengan tipe
ini umumnya tidak mudah berpindah pilihan. Pengukuran:
Sangat loyal (skor 4)
Loyal (skor 3)
Kurang loyal (skor 2)
Tidak loyal (skor 1)
Indikator untuk mengukur loyalitas terhadap kandidat adalah:
Pemilih memilih kandidat yang merupakan pilihannya pada pemilihan
sebelumnya, atau memilih kandidat yang memiliki hubungan dengan
pilihan kandidat yang diikuti;
Pemilih memiliki ketertarikan yang bersifat prinsipil terhadap
kandidat;
Pemilih mengenal baik karakter kandidat yang dipilih;
Pemilih tidak menghiraukan dan tidak terpengaruh dengan kampanye
kandidat lain yang tidak dikenalnya dengan baik.
b. Pembentukan sikap politik yaitu proses seseorang mendapatkan
pengetahuan mengenai isu-isu politik sehingga terinternalisasi dalam
dirinya dan membentuk perilaku serta preferensi politik tertentu.
Pembentukan sikap politik dilakukan melalui proses mental yang sangat
terkait dengan psikologi (pribadi) seseorang. Pengukuran:
Sangat terbentuk (skor 4)
Terbentuk (skor 3)
Kurang terbentuk (skor 2)
Tidak terbentuk (skor 1)
Indikator untuk mengukur pembentukan sikap politik adalah:
21
Sosialisasi dan pembentukan sikap terhadap isu politik didapatkan
individu saat masih anak-anak (tahap pertama pembentukan sikap);
Sikap politik dibentuk pada saat dewasa ketika menghadapi situasi
diluar keluarga (tahap kedua pembentukan sikap);
Sikap politik dibentuk dengan mengacu pada kelompok-kelompok
tertentu seperti pekerjaan, gereja, partai politik, dan asosiasi lain
(tahap ketiga pembentukan sikap).
c. Keterdedahan terhadap pendidikan politik yaitu tingkat pengetahuan
individu terhadap isu-isu dan aturan main politik. Terdedahnya individu
terhadap pendidikan politik mengakibatkan individu akan memiliki sikap
terhadap isu dan berita politik, termasuk sikap dalam menentukan
preferensi politik. Semakin terdedah seseorang terhadap pendidikan
politik, semakin terinternalisasi pendidikan politik tersebut dalam diri
sehingga semakin tercipta sikap politiknya. Pengukuran:
Sangat terdedah (skor 4)
Terdedah (skor 3)
Kurang terdedah (skor 2)
Tidak terdedah (skor 1)
Indikator untuk mengukur keterdedahan terhadap pendidikan politik
adalah:
Individu memahami aturan main dalam dunia politik secara umum;
Individu menyadari pentingnya partisipasi dalam perhelatan politik
seperti Pemilihan Kepala Desa;
Individu dapat menganalisis dan menyimpulkan kondisi politik yang
terjadi di desanya.
Jika diklasifikasikan secara umum berdasarkan 15 pertanyaan
tentang tipe perilaku psikologi dalam kuesioner, maka hasilnya dapat
dibagi menjadi tiga kategori, yaitu:
Tinggi : skor 45 < x ≤ 60
Sedang : skor 30 ≤ x ≤ 45
Rendah : skor 15 ≤ x < 30
2. Tipe sosiologi, yaitu tipe perilaku dimana individu akan menentukan
pilihannya dengan pertimbangan dan arahan dari kelompoknya. Variabel-
variabel yang akan digunakan dalam pengaruh tipe sosiologi adalah:
a. Kohesi sosial yaitu satu keadaan dimana sekelompok orang (dalam suatu
wilayah geografis) menunjukkan kemampuan untuk berkolaborasi dan
menghasilkan iklim untuk perubahan. Pengukuran:
Sangat tinggi (skor 4)
Tinggi (skor 3)
Kurang tinggi (skor 2)
Rendah (skor 1)
Indikator untuk mengukur kohesi sosial:
komitmen individu untuk norma dan nilai umum;
solidaritas;
22
individu yng mengidentifikasi dirinya dengan grup tertentu.
b. Pengelompokan sosial, dimana individu tergabung dalam kelompok
tertentu berdasarkan kesamaan ciri dan tujuan seperti agama, gender, atau
ideologi. Tipe perilaku pemilih sosiologi disebut dominan dalam
pengukuran variabel ini jika pengelompokan sosial tinggi. Pengukuran:
Sangat tinggi (skor 4)
Tinggi (skor 3)
Kurang tinggi (skor 2)
Rendah (skor 1)
Indikator untuk mengukur pengelompokan sosial adalah:
Individu merasakan adanya pengelompokan sosial di desanya;
Individu tergabung dalam kelompok-kelompok sosial tertentu;
Individu mengidentikkan preferensi politiknya dengan preferensi
politik pada kelompok-kelompok sosialnya.
c. Informasi politik, yaitu tingkat pengetahuan individu terhadap isu-isu
politik di lingkungannya. Banyaknya informasi politik yang diterima
individu mencerminkan banyaknya komunikasi dan jalinan sosial yang
terbentuk. Hal ini merupakan ciri dari tipe perilaku sosiologi.
Pengukuran:
Sangat banyak (skor 4)
Banyak (skor 3)
Kurang banyak (skor 2)
Tidak banyak (skor 1)
Indikator untuk mengukur besarnya informasi politik yang diterima
individu dalam kelembagaan adalah:
Individu memahami permainan politik di desanya;
Individu mengetahui informasi terkini seputar isu politik di desa
maupun isu politik secara umum;
Individu dapat menganalisis dan menyimpulkan kondisi politik yang
terjadi di desanya.
Jika diklasifikasikan secara umum berdasarkan 9 pertanyaan tentang
tipe perilaku sosiologi dalam kuesioner, maka hasilnya dapat dibagi
menjadi tiga kategori, yaitu:
Tinggi : skor 27 < x ≤ 36
Sedang : skor 18 ≤ x ≤ 27
Rendah : skor 9 ≤ x < 18
3. Tipe Ekonomi yaitu tipe perilaku pemilih dimana pertimbangan-
pertimbangan rasional dan logis menjadi hal utama dalam penentuan
preferensi politik. Variabel-variabel yang akan digunakan dalam pengaruh
ekonomi adalah:
a. Kebutuhan konkret pemilih yaitu sesuatu yang harus dipenuhi oleh
pemilih untuk kehidupan yang lebih baik yang diharapkan akan
23
didapatkan dari kandidat. Kebutuhan konkret yang dimaksud dalam hal
ini adalah kebutuhan ekonomi pemilih. Pengukuran:
Hanya untuk memenuhi kebutuhan ekonomi (skor 4)
Untuk memenuhi kebutuhan ekonomi sebagai alasan utama dan untuk
memenuhi kebutuhan lain (skor 3)
Untuk memenuhi berbagai kebutuhan (ekonomi dan non ekonomi)
yang dirasa dapat diperoleh dari kandidat tertentu (skor 2)
Bukan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi (skor 1)
Indikator untuk mengukur kebutuhan konkret pemilih adalah:
Individu memilih kandidat tertentu karena keuntungan ekonomi yang
diperoleh;
Individu tidak memberi perhatian lebih terhadap visi misa dan
kepribadian kandidat;
Individu tidak mengenal kandidat secara mendalam.
b. Tujuan pemilih, yaitu maksud tertentu yang menjadi alasan pemilih
memilih kandidat tertentu dalam Pemilihan Kepala Desa. Dalam tipe
perilaku pemilih, tipe perilaku ekonomi umumnya menjadikan tujuan-
tujuan ekonomi sebagai dasar seseorang menjatuhkan preferensi
politiknya pada kandidat tertentu. Pengukuran:
Hanya untuk kepentingan ekonomi (skor 4)
Untuk kepentingan ekonomi sebagai kepentingan utama dan
kepentingan tambahan lain (skor 3)
Untuk berbagai macam kepentingan (skor 2)
Bukan untuk kepentingan ekonomi (skor 1)
Indikator untuk mengukur tujuan pemilih adalah:
Individu merasa memiliki hubungan mutualisme secara ekonomi
dengan kandidat;
Individu memilih agar mendapatkan keuntungan secara ekonomi dari
kandidat;
Individu tidak memperhatikan visi dan misi kandidat secara
mendalam (detil).
c. Orientasi pemilih yaitu pandangan yang mendasari pemilih dalam
memilih kandidat Pemilihan Kepala Desa. Orientasi ekonomi sebagai
dasar untuk memilih kandidat merupakan ciri utama dari tipe perilaku
pemilih ekonomi. Pengukuran:
Hanya berorientasi ekonomi
Berorientasi ekonomi
Banyak orientasi
Bukan berorientasi ekonomi
Indikator untuk mengukur orientasi pemilih adalah:
Individu memilih karena kandidat peduli terhadap masalah
kemiskinan;
Individu memilih karena kandidat sering membantu masyarakat yang
kekurangan;
24
Individu memilih karena kandidat sering menyumbangkan hartanya
untuk beberapa kegiatan;
Individu memilih karena kandidat tidak memanfaatkan kedudukannya
untuk memperkaya diri.
Jika diklasifikasikan secara umum berdasarkan 11 pertanyaan
tentang tipe perilaku ekonomi dalam kuesioner, maka hasilnya dapat
dibagi menjadi tiga kategori, yaitu:
Tinggi : skor 33 < x ≤ 44
Sedang : skor 22 ≤ x ≤ 33
Rendah : skor 11 ≤ x < 22
Adapun tipe perilaku pemilih secara keseluruhan (35 pertanyaan)
jika diklasifikasikan hasilnya adalah sebagai berikut:
Tinggi : skor 4 < x ≤ 6
Sedang : skor 3 ≤ x ≤ 4
Rendah : skor 2 ≤ x < 3
25
PENDEKATAN LAPANGAN
Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan menggunakan metode kuantitatif dengan
pendekatan penelitian survei dan didukung oleh metode kualitatif. Penelitian
survei yaitu penelitian yang datanya dikumpulkan dari sampel atas populasi untuk
mewakili seluruh populasi. Informasi yang dikumpulkan dalam penelitian survei
adalah informasi dari responden dengan menggunakan kuesioner. Unit analisis
yang digunakan pada penelitian adalah anggota kelembagaan formal dan informal
pedesaan. Penelitian survei yang digunakan pada penelitian ini digunakan untuk
maksud penjelasan (explanatory). Pada penelitian explanatory, dijelaskan
hubungan kausal antara variabel-variabel melalui pengujian hipotesa
(Singarimbun dan Effendi 1989). Adapun penelitian kualitatif dilakukan dengan
teknik penelitian wawancara tidak terstruktur, wawancara mendalam, observasi,
dan analisa data sekunder yang terkait dengan topik penelitian. Penelitian
kualitatif yang dilakukan berguna untuk melengkapi data terkait pengaruh
kelembagaan (struktural dan konstruktif) dan tipe perilaku pemilih anggota
sehingga menghasilkan preferensi politik tertentu.
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Desa Sumberejo, Kecamatan Sukodono,
Kabupaten Lumajang, Jawa Timur. Proses penelitian dimulai dari pembuatan
proposal penelitian pada bulan Januari 2014. Penelitian di lapangan dilakukan
selama 5 minggu, yaitu pada bulan April 2014. Adapun kegiatan penelitian yang
dilakukan dapat dilihat pada tabel jadwal kegiatan (Lampiran 1).
Teknik Sampling
Populasi pada penelitian ini adalah seluruh kelembagaan pedesaan yang ada
di Desa Sumberejo, Kecamatan Sukodono, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur.
Adapun unit penelitiannya yaitu anggota dalam struktur kelembagaan.
Kelembagaan pedesaan yang ada dikelompokkan menjadi dua macam yaitu
kelembagaan formal dan informal. Peneliti menetapkan secara purposive masing-
masing 1 kelembagaan formal (pemerintah desa) dan 1 kelembagaan informal
(majelis taklim). Adapun dalam menentapkan responden dalam kelembagaan,
peneliti menggunakan metode random sampling (acak) pada kelembagaan formal
dan metode sensus pada kelembagaan informal.
Berikut mekanisme pengambilan sampel:
26
Gambar 2 Bagan mekanisme pengambilan sampel
Gambar 2 di atas menjelaskan mekanisme pengambilan sampel dalam
penelitian. Desa Sumberejo merupakan desa desa dengan jumlah kelembagaan
yang sangat banyak dan beragam. Peneliti mengambil dua kelembagaan secara
purposive dari formla yaitu pemerintah desa dan dari informal yaitu pengajian
muslimat. Masing-masing kemudian diambil sejumlah 30 responden (sensus pada
kelembagaan informal dan acak dari sejumlah 64 anggota pada kelembagaan
formal).
Teknik Pengumpulan Data
Data yang digunakan pada penelitian ini berupa data primer dan data
sekunder. Data primer yaitu data yang didapatkan melalui observasi, kuesioner,
dan wawancara kepada responden dan informan di lokasi penelitian. Kuesioner
sebelumnya telah diuji coba untuk mengetahui realibitas dan validitas dari
kuesioner tersebut. Maka diporeloh alpha sebagai berikut:
Tabel 1 Uji statistik reliabilitas
Cronbach's Alpha N of Items
0.814 69
Populasi
(Kelembagaa
n pedesaan)
Majelis Taklim
(kelembagaan
Informal)
Pemerintah
Desa
(kelembagaan
formal)
30
responden
30
responden
Purposive
Sensus
mpling
Acakmpling
27
Aturan dalam penentuan nilai alpha yaitu jika nilai alpa > 0.90 maka
realibilitas sempurna, jika nilai alpha 0.70 < alpha < 0.90 maka reliabilitas tinggi,
jika nilai alpha 0.70 < alpha < 0.5 maka reliabilitas moderat, dan jika nilai alpha
<0.5 maka reliabilitas rendah. Tabel hasil uji reliabililitas pada kuesioner
penelitian ini menunjukkan angka 0.814 artinya kuesioner memiliki reliabilitas
tinggi.
Adapun data sekunder diperoleh peneliti melalui studi literatur yang
berkaitan dengan penelitian ini. Data sekunder juga diperoleh dari pihak-pihak
yang berkaitan dengan penelitian ini, seperti panitia Pemilihan Kepala Desa,
Pemerintah Desa, dan pengurus kelembagaan pedesaan yang dijadikan unit
analisa. Data sekunder yang diambil dari lembaga-lembaga tersebut adalah data
yang berkaitan dengan tujuan penelitian, seperti profil Desa Sumberejo, nama dan
jumlah anggota kelembagaan pedesaan yang dijadikan unit analisis, daftar pemilih
Pemilihan Kepala Desa di Desa Sumberejo tahun 2013, hasil Pemilihan Kepala
Desa di Desa Sumberejo tahun 2013, dan data-data terkait lainnya.
Pengolahan dan Analisis Data
Data pada penelitian ini diolah dengan menggunakan software SPSS 20.0
dan Microsoft Excel 2010. Adapun analisis data yang digunakan pada SPSS yaitu
uji regresi. Uji regresi merupakan uji statsistik yang digunakan untuk mengukur
besarnya pengaruh variabel bebas terhadap variabel tergantung dan memprediksi
variabel tergantung dengan menggunakan variabel bebas. Uji regresi dalam
penelitian ini digunakan untuk melihat pengaruh kelembagaan (formal dan
informal) terhadap preferensi politik anggota dalam Pemilihan Kepala Desa.
28
29
GAMBARAN LOKASI PENELITIAN
Bab ini memuat profil lengkap Desa Sumberejo sebagai lokasi penelitian
dengan dibagi ke dalam 2 sub bab yaitu kondisi sosial dan geografis serta
karakteristik responden yang terdiri dari anggota kelembagaan pemerintah desa
dan majelis taklim.
Kondisi Sosial dan Geografis
Desa Sumberejo merupakan salah satu desa di wilayah Kecamatan
Sukodono Kabupaten Lumajang dengan luas 346 090 Ha. Berikut adalah batas
Desa Sumberejo:
Utara : Desa Selok Gondang
Timur : Desa Uranggantung
Selatan : Sungai Asem
Barat : Kelurahan Tompokersan
Penduduk Desa Sumberejo berjumlah 6 755 orang yang tersebar di 10 Rukun
Warga (RW) yang terdiri dari 5 dusun yaitu Dusun Sekarputih, Dusun Blimbing,
Dusun Klingsi, Dusun Bubur, dan Dusun Rejosari. Adapun dari total 6 755 orang
penduduk, 3 353 orang berjenis kelamin laki-laki dan 3 402 lainnya berjenis
kelamin perempuan.
Tabel 2 Jumlah dan persentase penduduk Desa Sumberejo berdasarkan agama
yang dianut
No Kategori Jumlah Persentase
(%)
1 Islam 6 444 99.02
2 Kristen 21 0.32
3 Katholik 42 0.64
4 Hindu 1 0.01
5 Budha 0 0
Total 6 508 100.00 Sumber: Data monografi Desa Sumberejo 2014 (diolah)
Penduduk Desa Sumberejo adalah penduduk dengan mayoritas pemeluk
agama Islam. Persentase jumlah penduduk Desa Sumberejo penganut agama
Islam sangat tinggi yaitu mencapai 99.02 persen. Penduduk lainnya yaitu sebesar
21 persen beragama Kristen, 4 persen beragama Katholik, dan 0.01 persen
beragama Hindu. Tidak ada satu pun penduduk beragama Budha di Desa
Sumberejo. Tingginya angka pemeluk agama Islam di Desa Sumberejo dapat
disebabkan oleh banyaknya penduduk „Madura‟ di desa ini. Seperti diketahui,
Kabupaten Lumajang, termasuk Desa Sumberejo, merupakan daerah-daerah yang
banyak dihuni oleh keturunan Madura. Suku Madura diketahui sangat kental
dengan ajaran agama Islam. Hal ini pula yang kemudian menyebabkan banyaknya
institusi pendidikan berbasis Islam di Desa Sumberejo (dijelaskan berikutnya).
30
Tabel 3 Jumlah dan persentase penduduk Desa Sumberejo berdasarkan lulusan
pendidikan
No Kategori Jumlah Persentase (%)
1 TK 85 1.92
2 SD/MI 911 20.67
3 SMP/MTs 1 592 36.12
4 SMA/MA 1 747 39.63
5 Akademi/D1-D3 11 0.25
6 Sarjana (S1-S3) 62 1.41
Total 4 408 100.00 Sumber: Data monografi Desa Sumberejo 2014 (diolah)
Seperti terlihat pada tabel 3, penduduk Desa Sumberejo adalah penduduk
dengan lulusan pendidikan mayoritas SMA/MA, dan SMP/Mts dengan persentase
sebesar 39.63 persen pada lulusan SMA/MA dan 36.12 persen pada lulusan
SMP/MTs. Data monografi yang ada memperlihatkan bahwa penduduk Desa
Sumberejo sebagian besar sudah memiliki tingkat pendidikan yang baik. Terlebih
angka sarjana sudah mencapai lebih dari 50 orang. Hal ini merupakan dampak
positif dari banyaknya institusi pendidikan yang dibangun di Desa Sumberejo
mulai dari TK hingga perguruan tinggi. Namun demikian, penduduk Desa
Sumberejo masih memiliki perjalanan yang panjang dalam hal memperbaiki
kualitas pendidikan penduduknya dengan melihat masih tingginya angka lulusan
SD/MI (20.67 persen).
Desa Sumberejo secara geografis terletak tidak jauh dari pusat kota. Tercatat
dalam data monografi desa, orbitasi dengan ibukota kabupaten sejauh kurang
lebih 5 km. Dekatnya orbitasi dengan ibukota kabupaten membuat Desa
Sumberejo menjadi salah satu desa yang sebagian daerahnya memiliki
karakteristik mirip dengan kehidupan di perkotaan. Banyak dijumpai bangunan-
bangunan sekretariat dari berbagai institusi baik institusi pendidikan (dari TK
hingga Perguruan Tinggi), pemerintahan, dan lainnya. Berikut data jumlah
institusi pendidikan di Desa Sumberejo:
Tabel 4 Jumlah institusi pendidikan di Desa Sumberejo
No Jenis Negeri Swasta
1 PAUD 1 -
2 TK 4 -
3 SD/MI 2 2
4 SMP/MTs - 2
5 SMA/MA - 1
6 Perguruan Tinggi - 1
7 Pondok pesantren - 1
8 Madrasah - 4
Total 7 11
Sumber: Data monografi Desa Sumberejo 2014 (diolah)
Selain memiliki banyak institusi pendidikan, desa ini juga tercatat memiliki
2 kompleks perumahan, yaitu perumahan Bumi Rejo (191 Kepala Keluarga) dan
31
Perumahan Taman (47 Kepala Keluarga). Perumahan ini banyak ditempati oleh
pendatang yang bekerja baik sebagai tenaga pendidik di desa setempat, pegawai
pemerintah kabupaten, dan tenaga kerja lainnya di Kabupaten Lumajang.
Adapun dalam hal pengelolaan dan sumber pendapatan desa, Desa
Sumberejo tiap tahunnya memiliki dana kurang lebih Rp 220 286 000,00 yang
digunakan untuk kepentingan desa. Dana tersebut bersumber dari Pendapatan Asli
Desa (PAD) dan bantuan pemerintah kabupaten. Berikut adalah tabel sumber
pendapatan Desa Sumberejo:
Tabel 5 Sumber pemasukan desa
No Pemasukan Desa Jumlah
1 Sumber pendapatan asli desa:
- Hasil kekayaan desa Rp 57 000 000,00
- Hasil swadaya dan partisipasi Rp 21 453 000,00
- Hasil gotong royong Rp 8 998 000,00
- Lain-lain Rp 2 135 000,00
2 Penerimaan bantuan pemerintah kabupaten Rp 130 700 000,00
Total Rp 220 286 000,00 Sumber: Data monografi Desa Sumberejo 2014 (diolah)
Tabel 5 menunjukkan sumber-sumber pendapatan Desa Sumberejo. Dana
yang ada tersebut dikelola dan dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat di
Desa Sumberejo, di antaranya untuk pembangunan infrastruktur desa, biaya
operasional pelayanan, dan lain-lain.
Penduduk Desa Sumberejo tergolong memiliki afiliasi politik yang unik.
Seperti yang digambarkan dan diidentikkan pada desa-desa pedesaan Jawa yang
kuat dengan afiliasi Nahdhatul Ulama (NU), penduduk Desa Sumberejo mayoritas
berpreferensi politik Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dalam pemilihan umum
tahun 2009. Berikut uraian detil preferensi politiknya:
Tabel 6 Preferensi politik warga Desa Sumberejo pada Pemilihan Legislatif 2009
No Partai Politik Jumlah
Pemilih
Persentase
(%)
1 Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB) 65 1.97
2 Partai Buruh Nasional (PBN) 64 1.94
3 Partai Keadilan Sejahtera (PKS) 76 2.30
4 Partai Amanat Nasional (PAN) 55 1.67
5 Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) 1958 59.31
6 Partai Golongan Karya (GOLKAR) 55 1.67
7 Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) 114 3.45
8 Partai Demokrat (PD) 176 5.33
9 Partai Indonesia Sejahtera (PIS) 51 1.54
10 Partai Kebangkitan Nasiona Ulama (PKNU) 687 20.82
Total 3301 100.00 Sumber: Data monografi Desa Sumberejo 2014 (diolah)
Desa Sumberejo bila merunut letak geografisnya, terbagi menjadi dua
daerah (blok) terpisah karena adanya Jalur Lintas Timur (JLT) Lumajang. Pusat
32
pemerintahan dan keramaian (termasuk perumahan dan institusi pendidikan)
berada pada daerah sebelah barat JLT. Penduduk di daerah ini kebanyakan
berbicara dengan Bahasa Jawa dan sebagian kecil lainnya berbahasa Madura.
Sebaliknya, daerah sebelah timur JLT kebanyakan merupakan penduduk dengan
Bahasa Madura sebagai bahasa sehari-hari. Penduduk di daerah ini terkenal kental
dengan nilai-nilai agama. Penduduk usia muda di daerah ini kebanyakan
disekolahkan di madrasah atau pondok pesantren. Hal ini terbilang cukup berbeda
dengan masyarakat di daerah sebelah barat JLT. Penduduk di sebelah barat JLT
lebih terlihat sebagai daerah dengan gaya hidup yang lebih modern. Segregasi ini
banyak disinggung mengingat cukup bedanya karakteristik penduduk dan cara
hidupnya hingga muncul istilah “orang timur dam (JLT)” dan orang barat dam
(JLT)”.
Karakteristik Responden
Responden dalam penelitian ini dibagi menjadi dua golongan yaitu
responden dari kelembagaan formal (pemerintah desa) dan kelembagaan informal
(majelis taklim). Berikut penjelasan tentang profil masing-masing kelembagaan
beserta karakteristik anggotanya:
Pemerintah Desa
Pemerintah Desa Sumberejo tahun 2014 merupakan personil baru yang
dilantik pada Januari 2014 setelah dilaksanakan Pemilihan Kepala Desa pada 18
Desember 2013. Anggota dari kelembagaan ini yaitu Kepala Desa dan
perangkatnya serta ketua Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW) dengan
jumlah total 64 orang. Sekretariat pemerintah Desa Sumberejo terletak di Jalan
Musi No.75 Desa Sumberejo (Dusun Sekarputih). Seperti pegawai negeri sipil
pada umumnya, sekretariat Desa Sumberejo membuka pelayanan untuk
masyarakat pada pukul 07.00-15.00 WIB setiap hari Senin hingga Jumat. Menurut
informasi yang didapatkan dari keterangan perangkat desa, anggota pemerintah
desa terdiri dari kurang lebih 75 persen personil baru dan 25 persen personil lama.
Seperti yang diungkapkan salah satu responden:
“...Disini baru semua orangnya. Ada sekitar 75 persen itu baru.
Sisanya masih lama. Terutama RT-RW yang baru. Kalau perangkat
masih yang lama...” (Suh, anggota kelembagaan formal)
Hal ini wajar mengingat Kepala Desa sebelumnya menjabat selama 2 periode (14
tahun) sehingga pada pemerintahan baru banyak dilakukan pergantian. Adapun
dalam penelitian ini, responden yang diambil memiliki komposisi 50 persen
anggota lama dan 50 persen anggota baru. Berikut struktur kepengurusan inti
pemerintah Desa Sumberejo:
33
Tabel 7 Daftar nama pegawai pemerintah Desa Sumberejo
No Nama Jabatan
1 At Kepala Desa
2 Mochtar Kaur Keuangan
3 Suhartatik Kaur Umum
4 Sholihin Kaur Kesra
5 Ponidi Kepala Dusun Sekarputih
6 Guntoro Kepala Dusun Blimbing
7 Hari Siswanto Kepala Dusun Rejosari
8 Umar Hasim Kepala Dusun Bubur
9 Moh. Jalal Kepala Dusun Klingsi
10 Bambang Pinayungan Ketua Paguyuban RT-RW
11 Dihan Pro Fita Pendamping Desa Sumber: Data monografi Desa Sumberejo 2014 (diolah)
Anggota pemerintah desa di Desa Sumberejo memiliki riwayat pendidikan
yang kebanyakan adalah lulusan SD. Dari 30 responden yang dipilih, terdapat 3.3
persen (1 orang) tidak tamat SD, 50 persen (15 orang) tamat SD/MI, 36 persen (11
orang) tamat SMP/MTs, 6.7 persen (2 orang) lulus SMA/MA, dan 3.3 persen (1
orang) lulus perguruan tinggi. Adapun 1 orang yang mengenyam pendidikan
hingga perguruan tinggi (D3) adalah ketua paguyuban RW yang merupakan
penduduk pendatang berprofesi sebagai guru SD di Desa Sumberejo. Tingginya
angka lulusan SD/MI pada anggota pemerintah desa terutama pada anggota RT-
RW disebabkan karena di pedesaan umumnya tidak menimbang pendidikan
sebagai salah satu syarat untuk menjadi anggota dari pemerintah desa. Anggota
pemerintah desa dipilih lebih karena pengabdian, ketokohan, atau keaktifan
individu dalam kehidupan di pedesaan. Berikut diagram persentase pendidikan
responden dari pemerintah desa:
Gambar 3 Karakteristik responden berdasarkan tingkat pendidikan pada
kelembagaan formal
Anggota kelembagaan pemerintah desa umumnya memiliki aktivitas lain di
samping profesinya sebagai pelayan masyarakat. Berikut adalah diagram
frekuensi jenis pekerjaan yang ditekuni anggota kelembagaan pemerintah desa:
0
10
20
30
40
50
60
Pemerintah Desa
Per
sen
tase
res
po
nd
en Tidak Tamat SD/MI
Tamat SD/MI
Tamat SMP/MTs
Tamat SMA/MA
Perguruan Tinggi
34
Gambar 4 Karakteristik responden berdasarkan jenis pekerjaan pada kelembagaan
formal
Anggota kelembagaan formal pemerintah desa paling banyak berprofesi
sebagai petani (26.7 persen). Adapun sebanyak 23.3 persen anggota berprofesi
sebagai buruh bangunan dan pada angka yang sama juga berprofesi sebagai
pedagang. Adapun sebanyak 6.7 persen tidak memiliki pekerjaan selain sebagai
pegawai di pemerintah desa. Sisanya sebanyak 20 persen berprofesi lain-lain
seperti tukang becak, pekerja serabutan, dan lain-lain. Sebanyak 6.7 persen
responden yang tidak memiliki profesi lain selain di kepegawaian pemerintah desa
adalah responden yang memiliki kesibukan dan tuntutan untuk datang setiap hari
ke kantor desa. Responden tersebut meliputi perangkat desa yang terdiri dari
Kepala Urusan dan Kepala Dusun. Mereka dituntut untuk ada di kantor desa
setiap hari pada jam kerja.
Majelis Taklim
Majelis Taklim “Pengajian Muslimat” merupakan majelis taklim khusus
perempuan yang sudah sangat lama berdiri di Desa Sumberejo. Tidak diketahui
pasti kapan pengajian ini berdiri namun salah satu responden berusia 70 tahun
menuturkan pengajian ini sudah ada sejak beliau berusia remaja. Dalam
perjalanannya, pengajian ini megalami pasang surut jumlah anggota. Masih
menurut keterangan salah satu responden penelitian, pengajian muslimat tahun ini
merupakan pengajian dengan jumlah anggota paling sedikit bila dibandingkan
dengan jumlah sebelumnya. Tercatat terdapat 36 peserta pengajian muslimat,
namun setelah ditelusuri, dari 36 nama yang tercatat di buku arisan pengajian,
dijumpai sebanyak 6 nama yang ternyata merujuk pada orang-orang yang sudah
terdaftar namanya di arisan. Artinya, terdapat 6 orang yang mendaftarkan 2
hingga 3 nama dalam arisannya, sehingga total jumlah anggota pengajian
muslimat ini adalah 30 orang.
Pengajian ini memiliki kegiatan rutin mengaji tahlil dan diba‟ setiap hari
Minggu pukul 13.00-15.00 WIB dengan tempat yang berpindah-pindah di rumah
anggota yang mendapatkan arisan pengajian. Dua periode sebelumnya, pengajian
ini selalu diisi dengan ceramah oleh seorang ustadz, namun karena satu dan lain
0
5
10
15
20
25
30
Pekerjaan
Petani
Buruh bangunan
Pedagang
Pegawai
Lainnya
35
hal, pengajian ini tidak lagi diselingi dengan ceramah agama oleh ustadz desa.
Kegiatan pengajian hanya sekedar membaca tahlil dan diba‟. Selain pengajian
rutin, pengajian muslimat juga mengadakan kegiatan tahunan yaitu ziarah ke
makam wali. Kegiatan ini merupakan kegiatan yang paling ditunggu oleh jamaah
pegajian muslimat.
Tabel 8 Pengurus pengajian muslimat Desa Sumberejo
No Nama Jabatan
1 Nur Hasanah Ketua
2 Sahla Pengurus
3 Suhartatik Pengurus Sumber: Pengurus pengajian muslimat (diolah)
Secara struktur, pengajian muslimat Desa Sumberejo tidak memiliki hierarki
yang jelas. Hal ini wajar karena kegiatan anggotanya hanya terbatas pada kegiatan
pengajian rutin setiap minggu. Namun demikian, terdapat beberapa nama yang
dianggap oleh anggota lainnya sebagai pengurus pengajian,. Seperti disajikan
pada tabel 8 di atas terdapat setidaknya 3 pengurus inti yang dianggap
bertanggungjawab terhadap pelaksanaan pengajian msulimat.
Gambar 5 Karakteristik responden berdasarkan tingkat pendidikan pada
kelembagaan informal
Gambar 5 memperlihatkan tingkat pendidikan responden dari kelembagaan
informal majelis taklim. Anggota pengajian muslimat kebanyakan merupakan
masyarakat dengan pendidikan terakhir SD/MI. Diketahui persentase pendidikan
terakhir dari anggota pengajian ini yaitu 10 persen (3 orang) tidak tamat SD/MI,
56.7 persen (17 orang) tamat SD/MI, 30 persen (9 orang) lulus SMP/MTs, 3.3
persen (1 orang) tamat SMA/MA, dan tidak ada satu pun anggota pengajian yang
mengenyam pendidikan di bangku perguruan tinggi. Jika dibandingkan dengan
kelembagaan formal, tingkat pendidikan pada kelembagaan infromal relatif lebih
rendah. Hal ini dimungkinkan terjadi karena sebagian besar anggota kelembagaan
informal tidak dituntut untuk memiliki pendidikan tinggi dalam hidupnya. Fakta
ini dapat terlihat dari mayoritas pekerjaan responden yang meliputi petani,
pedagang, dan buruh kerupuk.
0
10
20
30
40
50
60
Pendidikan
Tidak Tamat SD/MI
Tamat SD/MI
Tamat SMP/MTs
Tamat SMA/MA
Perguruan Tinggi
36
Gambar 6 Karakteristik responden berdasarkan jenis pekerjaan pada kelembagaan
informal
Grafik 6 menunjukkan bahwa sebagian besar responden pengajian
muslimat berprofesi sebagai pegawai industri rumahan produksi kerupuk. Profesi
sebagai pegawai kerupuk di Desa Sumberejo memang merupakan profesi yang
populer di kalangan perempuan sejak beberapa tahun silam. Profesi ini memberi
warna tersendiri bagi perempuan-perempuan Desa Sumberejo. Sebelum ada
industri rumahan produksi kerupuk, perempuan-perempuan di Desa Sumberejo
kebanyakan menganggur dan mengerjakan pekerjaan dapur. Sejak industri
rumahan produksi kerupuk muncul, perempuan-perempuan di Desa Sumberejo
kemudian disibukkan dengan pekerjaan ini. Hal ini pula yang menurut keterangan
beberapa responden menjadi pemicu mulai berkurangnya jamaah pengajian
muslimat.
Ikhtisar
Desa Sumberejo merupakan salah satu desa di wilayah Kecamatan
Sukodono Kabupaten Lumajang dengan luas 346 090 Ha. Penduduk Desa
Sumberejo berjumlah 6 755 orang yang tersebar di 10 RW di 5 Dusunnya yaitu
Dusun Sekarputih, Dusun Blimbing, Dusun Klingsi, Dusun Bubur, dan Dusun
Rejosari. Desa Sumberejo secara geografis terletak tidak jauh dari pusat kota. Hal
ini membuat Desa Sumberejo menjadi salah satu desa yang sebagian daerahnya
memiliki karakteristik yang mendekati kehidupan di perkotaan. Banyak dijumpai
bangunan-bangunan sekretariat dari berbagai institusi baik itu institusi pendidikan
(dari TK hingga Perguruan Tinggi), pemerintahan, dan lainnya.
Adapun dua kelembagaan yang menjadi unit analisis yaitu pemerintah desa
dan pengajian muslimat memiliki karakteristik yang berbeda satu sama lain.
Pemerintah desa merupakan orang-orang yang setiap harinya bekerja
mendedikasikan diri untuk pelayanan masyarakat dan pemerintahan. Pemerintah
desa memiliki hierarki dan pembagian kerja yang jelas sesuai tugas pokok dan
fungsi (tupoksi) yang telah ditetapkan. Sebaliknya pengajian muslimat merupakan
organisasi yang relatif lebih luwes. Tidak ada pembagian wewenang dan kerja
yang jelas dalam pengajian muslimat. Secara umum, anggota kedua kelembagaan
yang diteliti (pemerintah desa dan pengajian muslimat) memiliki riwayat
pendidikan yang sama yaitu lulus SD.
0
10
20
30
40
50
Pekerjaan
Petani
Pedagang
Pegawai
Lainnya
37
PROFIL KANDIDAT DAN DINAMIKA KONDISI SOSIAL POLITIK
PEMILIHAN KEPALA DESA SUMBEREJO
Bab ini menguraikan tentang profil kandidat dan gambaran dinamika
kondisi sosial-politik di Desa Sumberejo pada pamilihan Kepala Desa 2013.
Uraian dibagi menjadi beberapa sub bab yaitu gambaran umum pemerintahan
desa sebelum Pemilihan Kepala Desa 2013, Pemilihan Kepala Desa, latar
belakang sosial-ekonomi kandidat Kepala Desa, dan analisis peta kekuatan
kandidat Kepala Desa.
Gambaran Umum Pemerintahan Desa Sebelum Pemilihan Kepala Desa 2013
Desa Sumberejo merupakan desa yang sudah sejak lama ada dan menjadi
bagian dari Kabupaten Lumajang. Tidak diketahui dengan pasti pada tahun berapa
desa ini dikukuhkan (didirikan) namun menurut keterangan perangkat desa, desa
ini sudah memiliki Kepala Desa sejak sebelum tahun 1958. Berikut adalah nama-
nama Kepala Desa yang pernah menjabat di Desa Sumberejo sebelum Kepala
Desa terakhir yang dilantik Januari 2014 lalu:
Tabel 9 Daftar nama Kepala Desa Sumberejo
No Nama Masa Jabatan
1 Warniti Tidak diketahui-1958
2 Nur Ali Dharmo 1958-1966;
1966-1974
3 Suprapto 1974-1982
4 Akhya 1982-1990;
1990-1998
5 Syamsul Hadi 1998-2006;
2006-2013 Sumber: Data monografi Desa Sumberejo 2014 (diolah)
Kepala Desa pertama Desa Sumberejo bernama Warniti. Warniti merupakan
orang dengan latar belakang keluarga yang berprofesi sebagai petani. Jika
diistilahkan menurut masyarakat Desa Sumberejo tentang segregasi golongan
“wong alim” dan “wong umum”, Warniti merupakan golongan “wong umum”.
“Wong alim” merupakan sebutan bagi masyarakat Desa Sumberejo untuk
masyarakat yang dianggap memiliki ketaatan yang baik terhadap agama.
Masyarakat yang termasuk dalam tipe ini adalah orang-orang yang nyantri dan
menjadi ustadz di sekolah. Adapun “wong umum” merupakan sebutan bagi
masyarakat yang kehidupannya tidak memiliki pengalaman nyantri atau tidak
memiliki hubungan keluarga dengan alim ulama. Tidak diketahui pasti berapa
lama masa pemerintahan dan bagaimana keadaan serta kemajuan desa pada
pemerintahan Warniti. Beberapa narasumber menyampaikan bahwa Warniti
memerintah desa Sumberejo cukup lama sebelum kemudian diserahkan tampuk
kekuasaannya kepada putra kandungnya, Nur Ali Dharmo.
38
Pemberian kekuasaan secara turun temurun seperti ini banyak ditemui dan
merupakan hal yang wajar di daerah pedesaan Jawa, termasuk di Desa Sumberejo.
Nur Ali Dharmo memerintah Desa Sumberejo selama 2 periode yaitu tahun 1958-
1966 (periode pertama) dan tahun 1966-1974 (periode kedua). Seperti Kepala
Desa pertama, Nur Ali Dharmo juga dipilih dengan jalan pemilihan secara
langsung dengan sistem one man one vote seperti pemilihan Kepala Desa pada
umumnya. Tidak diketahui secara pasti tingkat kepuasan masyarakat terhadap
pemerintahan Warniti maupun Nur Ali Dharmo, namun masyarakat memandang
baik pada kedua kepala desa tersebut. Keluarga Warniti dianggap dapat
memimpin Desa Sumberejo dengan baik.
Sedikit berbeda dengan dua kepala desa sebelumnya, kepala desa ketiga
yaitu Suprapto, menduduki jabatan sebagai Kepala Desa tanpa pemilihan
langsung dari masyarakat. Suprapto dengan latar belakang karir di kepolisian
ditunjuk oleh Bupati pada masanya untuk menduduki jabatan Kepala Desa di
Desa Sumberejo pada tahun 1974-1982. Pemerintahan oleh Suprapto berjalan
selama satu periode (8 tahun). Tidak ada hal khusus yang peneliti temukan dalam
penggalian informasi tentang Kepala Desa Suprapto, mengingat masyarakat juga
tidak terlampau mengenal Kepala Desa tunjukan pemerintah kabupaten tersebut.
Setelah kekuasaan sempat berpindah dari keluarga besar Warniti pada masa
pemerintahan desa ke tiga, tampuk kekuasaan kembali kepada keluarga besar
Warniti. Setelah Suprapto habis masa jabatannya, Akhya, putra dari Kepala Desa
Nur Ali Dharmo (Kepala Desa ke dua) naik menjadi Kepala Desa di Desa
Sumberejo. Berbekal nama baik yang dibawa kakek dan ayahnya, Akhya
dipercaya untuk menduduki kursi pemerintah desa selama dua periode yaitu tahun
1982-1990 (periode 1) dan tahun 1990-1998 (periode 2). Sama dengan kepala
desa-kepala desa sebelumnya, Kepala Desa Akhya merupakan orang dari
kalangan “wong umum”.
Kepala Desa terakhir sebelum muncul kepala desa baru yang dilantik
Januari 2014 lalu adalah Syamsul Hadi. Kepala Desa yang menduduki jabatan
selama dua periode ini merupakan kepala desa yang namanya cukup sering
disinggung dan diperbincangkan oleh masyarakat. Syamsul Hadi merupakan
pengusaha yang terkenal sangat kaya hingga mendapat julukan “bapaknya duit”
(raja uang). Pengusaha tanah, tebu, dan bisnis cuci mobil tersebut juga memiliki
kiprah politik yang cukup fenomenal. Berbekal kesuksesan sebagai pengusaha dan
nama besar ayahnya yang memiliki jaringan free man yang luas dan besar (hingga
level provinsi), Syamsul Hadi menjadi orang yang sadar akan kekuatan politiknya.
Syamsu Hadi kemudian memberanikan diri untuk mencalonkan diri di beberapa
posisi penting di pemerintahan. Ia memulai karirnya sebagai Kepala Desa
Sumberejo pada tahun 1998 setelah periode Kepala Desa Akhya berakhir. Setelah
dua periode menjabat sebagai kepala desa di Desa Sumberejo, Syamsul Hadi maju
bersama pasangannya di kancah pemilihan Bupati Lumajang. Kalah tipis dari
incumbent, Syamsul kemudian memutuskan untuk mendaftarkan diri sebagai
calon DPRD kabupaten dari Partai Kebangkitan Bangsa, partai yang juga
mengusungnya pada pemilihan Bupati Lumajang 2013. Pada dua pencalonan
tersebut, Syamsul Hadi mengalami kegagalan.
Adapun dalam memerintah Desa Sumberejo, Syamsul Hadi memiliki cara
yang sedikit ditakuti masyarakat. Kepala Desa Syamsul Hadi menerapkan cara
pemerintahan yang terkesan otoriter. Kepala Desa ini banyak memberlakukan
39
sistem denda terhadap beberapa perkara yang dianggap melanggar peraturan.
Hampir semua responden yang diwawancarai sangat menyayangkan tindakan
Kepala Desa Syamsul Hadi yang sering memberlakukan denda terhadap
masyarakat yang dianggap mengganggu dan melanggar ketertiban desa.
“...Seniyen sekedhik-sekedhik didendo mbayar. Tiyang tukaran
didendo, tiyang mbeleh sapi selametan, didendo, tiyang masang salon
didendo. Nopo-nopo didendo, mbak...” (Dulu, sedikit-sedikit denda
bayar. Orang bertengkar kena denda, orang menyembelih sapi untuk
selamatan didenda, orang pasang sound system pun didenda. Apa-apa
didenda, mbak)
(Sah, anggota kelembagaan informal)
Selain pemberian sanksi „tegas‟ berupa denda tersebut, kekuatan jaringan free
man yang dimiliki Syamsul Hadi memberi kekuatan lain untuk membuat keadaan
Desa Sumberejo lebih „kondusif‟. Berbekal aliansi free man yang dioptimalkan
sebagai kekuatan utama, Syamsul Hadi berhasil mempertahankan kekuasaannya
selama dua periode di Desa Sumberejo.
Pemilihan Kepala Desa
Pemilihan kepala desa di Desa Sumberejo dilaksanakan pada tanggal 18
Desember 2013 di Balai Desa Sumberejo dengan diketuai oleh Bambang Santoso,
tokoh masyarakat setempat dengan mengusung dua kandidat berikut:
Tabel 10 Profil kandidat Kepala Desa
Kategori Kandidat Kepala Desa
Ak At Usia 51 tahun 40 tahun Pekerjaan Wiraswasta Pedagang Riwayat pendidikan
- SD Sumberejo 1 - SMP Negeri 1 Lumajang - Sekolah Menengah
Ekonomi Lumajang
- SD Sumberejo 1 - SMP Sukorejo (Pesantren) - SMA Sukorejo (Pesantren) - Institut Agama Islam Ibrahimi
Situbondo Riwayat karir
- Karyawan Commanditaire Vennootschap (CV) 45 (<1982)
- Petugas ketik Balai Desa Sumberejo (1982)
- Kepala Urusan Pemerintahan Desa Sumberejo (1983-2013)
- Guru MI(1998-2003) - Kepala Sekolah MTs Sumberejo
(2003) - Ketua Badan Permusyawaratan
Desa (1999-2007) - Ketua PAC PKNU Sukodono
(2007) - Bendahara Umum DPC PKNU
(2009) - Tim Ahli Dewan PKNU (2012) - Ketua PKNU (2013-sekarang) - Ketua Ranting NU Sumberejo
(2010-sekarang) Sumber: Wawancara mendalam (diolah)
40
Pemilihan kepala desa yang dilaksanakan di Desa Sumberejo dimenangkan
oleh kandidat 2, yaitu saudara At dengan perolehan suara sebagai berikut:
Tabel 11 Rekapitulasi suara Pemilihan Kepala Desa Sumberejo 2013
Suara Pemilih Jumlah suara Persentase (%)
Perolehan Ak 1 818 36.51
Perolehan At 2 364 47.47
Jumlah suara tidak sah 26 0.52
Jumlah pemilih yang tidak
menggunakan hak pilih
772 15.50
Jumlah total hak pilih 4 980 100.00
Sumber: Laporan pertanggungjawaban Pemilihan Kepala Desa Sumberejo 2013 (diolah)
Sesuai tabel yang disajikan di atas, dapat diketahui tingkat partisipasi politik
warga Desa Sumberejo pada Pemilihan Kepala Desa tahun 2013. Total jumah hak
pilih adalah sejumlah 4 980 suara, sementara pengguna hak milik adalah sejumlah
4 208 suara. Artinya, ada sebanyak 772 (15.50 persen) orang yang tidak
menggunakan suaranya. Tingkat partisipasi masyarakat dalam pemilihan Kepala
Desa dapat diketahui yaitu sebesar 84.5 persen. Tingkat partisipasi masyarakat
dalam Pemilihan Kepala Desa Sumberejo tahun 2013 dapat disimpulkan tergolong
pada taraf partisipasi tinggi. Seperti pada umumnya di pedesaan yang masih
memiliki nilai-nilai kebersamaan yang tinggi, ajang pemilihan Kepala Desa masih
menjadi perhelatan politik yang diminati oleh masyarakat desa. Pemilihan Kepala
Desa menjadi ajang penentuan masa depan desa dan masyarakat itu sendiri. Hal
ini yang kemudian menjadi salah satu faktor tingginya tingkat partisipasi
masyarakat dalam Pemilihan Kepala Desa.
Latar Belakang Sosial Ekonomi Dua Kandidat Kepala Desa
Seperti yang telah diuraikan pada bab Pemilihan Kepala Desa, pemilihan
kepala desa di Sumberejo diikuti oleh dua kandidat, yaitu kandidat nomor urut
1(Ak) dan kandidat nomor urut 2 (At). Berikut pemaparan detil tentang latar
belakang sosial ekonomi kedua kandidat:
Kandidat Nomor Urut 1 (Ak)
Kandidat Ak merupakan warga asli Desa Sumberejo berusia 51 tahun yang
sebelumnya aktif bekerja sebagai kepala urusan pemerintahan Desa Sumberejo.
Ak merupakan anak pertama dari Nur Ali Dharmo, Kepala Desa Sumberejo ke
dua setelah ayahnya, Warniti. Ak juga merupakan saudara dari Akhya, Kepala
Desa ke empat di Desa Sumberejo. Ak sebagai seorang yang berasal dari keluarga
petani, memiliki aktivitas yang cukup beragam. Tentu saja, bertani dan beternak
merupakan hal yang tidak dilewatkannya. Jika merunut dari karir kerjanya, Ak
memiliki aktivitas yang tergolong tidak banyak di luar aktivitas bertani dan
beternaknya. Berbekal ijazah terakhir SMK, tahun 1982 Ak mencoba peruntungan
kerja di sebuah CV di Lumajang yang ternyata hanya bertahan untuk ditekuninya
selama 2 bulan. Ak kemudian mencoba peruntungan di CV serupa di Lumajang.
41
Ak juga pernah bekerja selama beberapa waktu di koperasi yang berlokasi di
Kecamatan Labruk Kabupaten Lumajang. Setelah beberapa kali berpindah tempat
bekerja, Ak kemudian direkrut untuk menjadi petugas ketik di kantor desa pada
masa pemerintahan saudaranya, Akhya. Tahun berikutnya yaitu tahun 1983, Ak
mengikuti ujian perangkat desa untuk menaikkan karirnya di pemerintahan desa.
Ujian perangkat desa tersebut kemudian mengantarnya pada posisi Kepala Urusan
Pemerintahan pada tahun yang sama, yaitu tahun 1983.
Profesi Ak sebagai Kepala Urusan Pemerintahan bertahan dari tahun 1983
higga akhir tahun 2013 (30 tahun). Ak kemudian mendaftarkan diri sebagai
Kepala Desa pada Desember 2013 untuk melanjutkan estafet kekuasaan
keluarganya yang sempat terputus. Sebagai salah seorang keturunan dari keluarga
mantan Kepala Desa yang sempat memegang kekuasaan cukup lama, Ak memiliki
riwayat nama baik yang cukup terjaga. Sebagian masyarakat masih mempercayai
dan menghormati keluarga Warniti dan keturunannya (termasuk Ak) untuk
memimpin Desa Sumberejo. Sebagai orang yang berasal dari kalangan “wong
umum”, Ak dan keluarga terhitung memiliki nama yang baik dengan berkaca pada
pemerintahan yang dijalankan saudara, ayah, dan kakeknya. Hal ini yang
kemudian menjadi alasan dan kekuatan utama Ak untuk percaya diri maju sebagai
calon Kepala Desa. Ak sendiri mendapatkan nomor urut kandidat ke 1 dalam
pemilihan Kepala Desa.
Kandidat Nomor Urut 2 (At)
Kandidat bernomor urut dua (Ak) adalah seorang dengan latar belakang
agama yang terbilang cukup kental. At sendiri merupakan lulusan sarjana agama
di universitas tempatnya menimba ilmu agama (nyantri). Merunut dari riwayat
orang tuanya, At merupakan keluarga yang aktif di organisasi keagamaan
Nahdhatul Ulama (NU). Nyai Romlah, ibu dari At merupakan aktivis muslimat
yang sangat aktif di masanya. Begitu pula dengan ayahnya, aktif mengikuti dan
memimpin pengajian di desanya. Pengajian rukun kematian di Desa Sumberejo
merupakan salah satu pengajian warisan dari bapak At. At sendiri mulai nyantri
pada usia 13 tahun dan menimba pendidikan formal di SMP hingga perguruan
tinggi di institusi yang sama di pondok pesantrennya.
At lulus dari jurusan Muamalat/Syariah Institut Agama Islam Ibrahimy
Situbondo pada tahun 1997. At kemudian pulang dan mulai mengajar di sekolah
Madrasah Ibtidaiyah (MI) di Desa Sumberejo di tahun yang sama. Sejak itu At
mulai meniti karir di institusi pendidikan Islam. Setelah selama lima tahun
mengajar di MI, At diangkat menjadi Kepala Sekolah Madrasah Tsanawiyah
pada tahun 2003 hingga sekarang. Tidak hanya di institusi formal, At juga
mengembangkan karirnya di organisasi keislaman yang dianut dirinya dan
keluarganya (NU). At mulai mengikuti kegiatan-kegiatan ke-NU-an baik di Desa
Sumberejo maupun di tingkat kecamatan. Sebagai kaum Nahdliyin yang waktu itu
mendirikan PKNU, At turut masuk dan berperan di dalamnya. Menjadi ketua PAC
kecamatan, Bendahara Umum DPC, Tim Ahli Dewan, hingga menjadi ketua
PKNU merupakan beberapa aktivitas yang pernah dijalaninya sebagai aktivis NU.
Selain aktif di organisasi ke-Islam-an, At juga mencoba peruntungan
karirnya di dunia pemerintahan. Saat usianya masih 26 tahun (dua tahun setelah
pulang dari pondok pesantren) yaitu pada tahun 1999, At mencalonkan diri
42
sebagai Ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Sesuai prediksi, At
memenangkan pertarungan pemilihan BPD dan menjadi ketua BPD hingga tahun
2007. Mencalonkan diri sebagai Kepala Desa juga pernah dilakukannya di usianya
yang masih 34 tahun saat itu (tahun 2007) melawan incumbent, SH. Pencalonan
pertamanya mengalami kegagalan karena kekuatan incumbent yang terlampau
sulit untuk dibendung. At kemudian mencoba lagi peruntungannya di ajang
Pemilihan Kepala Desa tahun 2013. Sebagai warga Desa yang terbilang masih
relatif muda, At dianggap sangat berani mengawali karir di dunia politik. Latar
belakang agama, jenjang pendidikan, karakter ustadz yang baik, dan tentu saja
track record At sebagai aktivis menjadi kekuatan utamanya mencalonkan diri
sebagai Kepala Desa.
Strategi Kandidat
Perhelatan politik di Desa Sumberejo untuk mencari pemimpin desa
berlangsung sangat menarik. Hal ini disebabkan kedua kandidat merupakan
orang-orang baru yang sedang mencoba menguji kekuatan kekuasaannya setelah
tampuk kekuasaan Kepala Desa SH berakhir. Masyarakat pun sangat menanti
perhelatan dengan calon-calon baru tersebut untuk membawa Desa Sumberejo
pada suasana yang sama sekali baru. Taktik dan strategi kemudian disusun para
kandidat dan tim sukses masing-masing calon demi meraih suara terbanyak.
Berikut diuraikan strategi masing-masing calon:
Strategi Kandidat Nomor Urut 1 (Ak)
Sebagai seorang kandidat Kepala Desa, Ak memiliki kekuatan yang dapat
diperhitungkan. Secara garis keturunan, peluang Ak untuk melanjutkan estafet
kekuasaan di Desa Sumberejo cukup besar. Terlebih Warniti sebagai kakek dari
Ak sekaligus Kepala Desa pertama Desa Sumberejo memiliki citra yang cukup
baik di masyarakat. Latar belakang keluarga yang sangat mendukung ini menjadi
kekuatan utama yang diandalkan Ak untuk mencalonkan diri sebagai Kepala
Desa. Sebagian masyarakat juga masih banyak yang memandang baik dan
mempercayakan kepemimpinan Desa Sumberejo pada keturunan Warniti. Jika
berkaca pada sejarah, dua keturunan Warniti, yaitu Nur Ali (ayah Ak) dan Akhya
(saudara Ak) dapat memegang estafet kekuasaan dengan tidak terlampau sulit. Hal
ini menambah kepercayaan diri Ak untuk maju sebagai Kepala Desa meneruskan
warisan kepemimpinan saudara, orang tua, dan kakeknya.
Selain bekal latar belakang keluarga, pengalaman Ak yang sudah mengabdi
di Desa Sumberejo sebagai perangkat selama kurang lebih 30 tahun menjadi
keunggulan lain. Ak dianggap oleh sebagian masyarakat sebagai seorang yang
sangat memahami Desa Sumberejo dengan pengalaman kerjanya yang sangat
lama tersebut. Pengalaman yang lama tersebut dianggap merepresentasikan
tingkat pemahaman terhadap apa yang harus dilakukan seorang pemimpin demi
Desa Sumberejo yang lebih baik. Dua kekuatan tersebut menjadi andalan utama
Ak untuk mencalonkan diri di ajang pemilihan Kepala Desa.
Dukungan dari banyak pihak juga mengalir kepada Ak termasuk dari
mantan kepala desa SH. SH mendeklarasikan kepada masyarakat bahwa ia dan
keluarga mendukung Ak sebagai penggantinya memimpin Desa Sumberejo.
43
Dukungan (moril dan materiil) dari mantan Kepala Desa SH ini kemudian
dianggap sebagai kekuatan tambahan yang akan mempermudah langkah Ak untuk
mendapatkan kursi Kepala Desa. Hal ini cukup beralasan mengingat mantan
Kepala Desa SH memiliki kekuatan yang terbukti selama 2 periode
pemerintahannya, berhasil membuat masyarakat Desa Sumberejo tidak berani
melakukan hal-hal yang tidak disukai oleh mantan Kepala Desa SH.
Pemilihan Kepala Desa dewasa ini diketahui dapat dipastikan selalu
memainkan uang di dalamnya. Pun demikian yang terjadi di Desa Sumberejo pada
pemilihan kepala desa 2013. Ak mengaku mengeluarkan biaya dalam jumlah yang
tidak sedikit untuk uang „ketok pintu‟ ini. Setidaknya Ak „menembak‟ 3 500
pemilih dengan uang sejumlah Rp 50 000,- per kepala. Tidak kurang dari senilai
Rp 350 000 000,- dikeluarkan Ak untuk hajatan ini. Diakui Ak bahwa uang dalam
pemilihan Kepala Desa sudah tidak dapat dihindari pada era seperti saat ini
sehingga mau tidak mau Ak harus melakukannya demi aliran dukungan dan suara
yang diharapkan.
Strategi Kandidat Nomor Urut 2 (At)
Sedikit berbeda dengan Ak yang memiliki keunggulan dari segi keturunan
dan dukungan kuat dari mantan kepala desa, At menggunakan gelar sarjana yang
dimilikinya sebagai kekuatannya. Selain itu, track record sebagai aktivis di
organisasi islam membuatnya lebih percaya diri. Terlebih At juga pernah
mendapatkan banyak dukungan dan suara sehingga sempat menduduki kursi
sebagai Ketua BPD. Track record At sebagai aktivis memiliki catatan yang
dianggap baik oleh masyarakat. Hal ini juga didukung dengan karakteristik At
yang terlihat bersahaja dan agamis (karena lulusan pesantren).
Selain track record yang baik dan dinilai elektabel sebagai calon Kepala
Desa, At juga menawarkan visi misi yang cukup fenomenal dan cerdas.
Sebagaimana diketahui, mantan kepala desa lalu dikenal „tegas‟ mengenakan
denda bagi masyarakat yang melakukan perbuatan-perbuatan yang dianggap
melanggar ketertiban desa. At dengan lantang menyebut dirinya akan menjadi
kepala desa yang “ora nargetan” (tidak suka mengenakan sanksi denda). Visi
misi At tersebut membuat masyarakat merasa membutuhkan At demi Desa
Sumberejo yang lebih baik.
Hal yang lebih berani dijanjikan At yaitu akan membebaskan masyarakat
dari tagihan pajak bangunan (rumah dan lahan tidak produktif). Visi ini
diyakinkannya di depan masyarakat dengan menandatangani surat perjanjian
untuk pemenuhan pembayaran pajak bangunan seluruh masyarakat Desa
Sumberejo oleh At secara pribadi. Adapun jumlah nominal biaya pajak bangunan
seluruh Desa Sumberejo digadang-gadang mencapai kurang lebih Rp 49.000.000,-
per tahun. Jika diakumulasikan, maka dapat dipekirakan At harus menyediakan
uang sejumlah kurang lebih Rp 294.000.000,- selama periode pemerintahannya
untuk membayarkan pajak bangunan seluruh masyarakat Desa Sumberejo. Surat
perjanjian bermaterai tersebut ditandatangani At di depan masyarakat dan
beberapa aparat keamanan. Surat tersebut kemudian diperbanyak dan disebarkan
kepada seluruh masyarakat Desa Sumberejo. Tindakan berani At dengan
menandatangani surat perjanjian tersebut menarik banyak dukungan dan
kepercayaan.
44
Senada dengan Ak, At juga membagikan uang „ketok pintu‟ kepada
sejumlah masyarakat Desa Sumberejo namun dengan nominal lebih sedikit, yaitu
Rp 25 000,- per kepala. Diakui At bahwa uang „ketok pintu‟ menjadi syarat
pertama untuk diterimanya calon di masyarakat sehingga mau tidak mau ia harus
juga melakukannya. Lebih kecilnya nominal uang yang diberikan At kepada
masyarakat didasarkan pada alasan bahwa At kuat secara track record dan
popularitas kesahajaannya sehingga uang „ketok pintu‟ tidak menjadi fokus utama
namun tetap menjadi pintu pertama.
Peta Kekuatan Kandidat
Peta kekuatan kedua kandidat dapat diplotkan secara jelas berdasarkan
segregasi wilayah yang dipisahkan oleh Jalur Lintas Timur (JLT) sebagaimana
dibahas pada bab sebelumnya. Segregasi wilayah ini juga merupakan bentuk
segregasi suku dimana daerah barat JLT adalah masyarakat dengan masyoritas
berbahasa Jawa, sebaliknya di daerah timur JLT banyak dihuni oleh masyarakat
keturunan Madura. Perlu diketahui, kandidat nomor urut 1 (Ak) merupakan warga
yang bertempat tinggal di sebelah barat JLT (bersuku dan berbahasa Jawa).
Adapun At bertempat tinggal di sebelah timur JLT (bersuku dan berbahasa
Madura). Sejarah mencatat bahwa jabatan Kepala Desa di Desa Sumberejo selalu
dipegang oleh orang-orang barat JLT yang tentunya beretnik Jawa. At adalah
orang timur JLT kedua yang memberanikan diri maju sebagai kandidat kepala
desa. Jauh sebelum At, satu kandidat dari timur JLT pernah mencalonkan diri
namun gagal. Tampuk kekuasaan selama ini selalu terpusat di daerah barat JLT.
Menurut penuturan beberapa responden, orang barat JLT dinilai lebih superior dan
berkapasitas sebagai pemimpin daripada orang timur JLT.
Munculnya At sebagai calon dari timur JLT memberi warna tersendiri
dalam pencalonan kepala desa di Desa Sumberejo tahun 2013 lalu. Ini pula yang
hendak dibuktikan At, bahwa masyarakat etnik Madura (timur JLT) dapat dan
berhak untuk menduduki kursi Kepala Desa Sumberejo. At mengakui bahwa
masyarakat timur JLT mengalami keminderan dan kepasrahan bahkan menyetujui
istilah “orang timur JLT tidak akan pernah memimpin Sumberejo”. At menjadi
harapan baru bagi masyarakat timur JLT untuk menjadi masyarakat yang lebih
dilihat dan dipertimbangkan keberadaannya.
Sebaliknya Ak, tentu saja kekuatannya berpusat pada daerah tempat
tinggalnya, yaitu daerah barat JLT. Loyalis keluarga besar Warniti merupakan
kekuatan utama Ak. Catatan sejarah yang menunjukkan bahwa kepercayaan
masyarakat terhadap penempatan kursi Kepala Desa selalu pada orang-orang barat
JLT membawa kepercayaan diri tersendiri bagi Ak. Untuk memantapkan kekuatan
di daerah tempat tinggalnya (barat JLT), Ak juga tidak melewatkan kesempatan
untuk bersilaturahmi ke perumahan-perumahan pendatang yang kesemuanya
terletak di sebelah barat JLT. Kekuatan yang dimiliki Ak (sebagai orang barat JLT
dan keturunan Kepala Desa) menjadi kekuatan yang mutlak dirasakan dapat
mengantarkan Ak melanjutkan estafet kekuasaan dari keluarganya. Terlebih Ak
mendapat dukungan dari Kepala Desa lama yang terkenal „disegani‟ oleh
masyarakat Desa Sumberejo. Dukungan Kepala Desa lama diharapkan Ak dapat
memperbesar peluang Ak sebagai Kepala Desa baru.
45
Ikhtisar
Desa Sumberejo merupakan desa yang sudah sejak lama ada dan menjadi
bagian dari Kabupaten Lumajang. Tidak diketahui dengan pasti pada tahun berapa
desa ini dikukuhkan namun menurut keterangan perangkat desa, desa ini sudah
memiliki Kepala Desa sejak sebelum tahun 1958. Dalam perjalanannya, Desa
Sumberejo dipimpin oleh pemimpin-pemimpin yang memiliki beragam karakter.
Sebagaimana di pedesaan Jawa pada umumnya, di Desa Sumberejo, politik trah
memiliki tempat yang luas. Diketahui setidaknya sejumlah 3 orang Kepala Desa
yang pernah menjabat di Desa Sumberejo memiliki hubungan darah yang dekat
(kakek, ayah, anak). Adapun pada tahun terakhir sebelum pemilihan Kepala Desa
pada tahun 2013, Desa Sumberejo dipimpin oleh Kepala Desa yang telah
menjabat selama 2 periode. Kepala Desa terakhir sebelum pemilihan ini terkenal
memiliki kekuasaan yang kuat baik di Desa Sumberejo maupun pada level yang
lebih tinggi yaitu di Kabupaten Lumajang.
Tabel 12 Perbandingan karakter kedua kandidat Kepala Desa Kategori Kandidat nomor urut 1 Kandidat nomor urut 2 Background - Riwayat karir sebagai
perangkat desa selama kurang lebih 30 tahun
- Memiliki hubungan baik dengan kepala desa sebelumnya
- Wong umum - Keturunan Kepala Desa
Sumberejo terdahulu - Suku Jawa
- Riwayat karir sebagai aktivis di organisasi keagamaan Nahdhatul Ulama
- Ketua BPD 1999-2007 - Riwayat karir sebagai guru
dan kepala sekolah - Wong santri - Keturunan tokoh agama
Desa - Suku Madura
Strategi - Membawa nama baik saudara, ayah, dan kakek sebagai mantan kepala desa (menarik loyalis keluarga)
- Membawa nama kepala desa lama (sebelumnya) untuk mewarisi kekuatan kepala desa lama
- „Menembak‟ masyarakat dengan nominal uang Rp 50 000,- per kepala
- Mengandalkan ijazah terakhir sebagai sarjana
- Menempatkan diri sebagai pribadi yang berlawanan dengan kepala desa sebelumnya
- Menandatangani surat perjanjian pembebasan pajak sebagai bukti bahwa kandidat memiliki pribadi yang berlawanan dengan kepala desa sebelumnya
- „Memberi shodaqoh‟ kepada masyarakat dengan nominal Rp 25 000,- per kepala
Peta kekuatan kandidat
Daerah barat JLT Daerah timur JLT
Pemilihan Kepala Desa Sumberejo tahun 2013 merupakan pemilihan Kepala
Desa yang dalam perjalanannya sangat dinamis. Pertarungan antara kandidat
berkekuatan pada sisi trah (keturunan) berlawanan dengan kandidat dengan latar
46
belakang suku yang berbeda didukung dengan riwayat karir yang cemerlang.
Pertarungan ini dianggap sebagai pertarungan identitas dimana kedua kandidat
mewakili masing-masing daerah yang tersegregasi antara timur JLT dan barat
JLT. Orang-orang di daerah barat JLT yaitu orang-orang dengan Bahasa dan
kehidupan Jawa dalam kesehariannya, semantara orang-orang timur JLT adalah
orang-orang turunan suku Madura. Kedua kandidat kemudian bertarung untuk
memastikan kekuatannya masing-masing.
Kedua kandidat Kepala Desa yang mengikuti perhelatan Pemilihan Kepala
Desa tentunya memiliki kekuatan dan strategi masing-masing berdasarkan
kekuatan yang dimiliki. Kandidat pertama yaitu Ak memanfaatkan kekuatan latar
belakang keluarga besarnya yang secara turun temurun memegang estafet
kekuasaan Kepala Desa di Desa Sumberejo. Adapun At memanfaatkan track
recordnya sebagai aktivis yang bersahaja dan visi misi yang fenomenal serta
berani untuk mendulang dukungan dan suara.
47
ANALISIS PENGARUH KELEMBAGAAN TERHADAP PREFERENSI
POLITIK ANGGOTA
Bab ini menguraikan tentang analisis pengaruh kelembagaan terhadap
preferensi politik anggota secara keseluruhan. Analisis yang dijabarkan
didasarkan pada teori politik identitas yang dikemukakan oleh Hardiman dalam
Sjaf (2013) dimana tindakan politis individu dilakukan dengan dua alasan utama,
yaitu karena kemauan diri (paham individualisme) atau pengaruh dari latar
belakang kelompoknya (paham komunitarianisme). Peneliti menduga bahwa
kelembagaan-kelembagaan yang ada sedikit banyak akan memengaruhi preferensi
politik anggota di pedesaan (paham komunitarianisme). Dugaan ini dirumuskan
dengan melihat karakter masyarakat pedesaan Jawa yang identik dengan
guyubnya. Penelitian yang dilakukan Hidayat (2000) di Desa Tanjung Anom,
Jawa Barat menunjukkan bahwa jabatan Kepala Desa dapat diperoleh dan
dipertahankan dengan membentuk dan mengembangkan jaringan sosial dengan
kelompok-kelompok strategis. Kelompok-kelompok strategis tersebut meliputi
kelompok kekerabatan, kelompok ketetanggaan, kelompok ekonomi, dan
kelompok elit desa. Penelitian yang dilakukan mencatat bahwa sejumlah 83.33
persen anggota memilih kandidat nomor urut 2 (pemenang) dan sisanya 16.67
persen memilih kandidat nomor urut 1.
Penjelasan analisis didasarkan pada data kuantitatif yang didapatkan dengan
menggunakan tabulasi silang, tabel frekuensi, dan analisis regresi linear (alpha 10
persen) untuk membuktikan dugaan peneliti, didukung dengan penjelasan
kualititatif deskriptif. Untuk melihat ada tidaknya pengaruh antara pengaruh
kelembagaan (X) dengan preferensi politik (Y) menggunakan analisis regresi
linear, terdapat beberapa nilai yang perlu diperhatikan.2
Pengaruh Kelembagaan Pedesaan dalam Penentuan Tindakan Anggota
Politik identitas didefiniskan sebagai tindakan politis yang mengedepankan
kepentingan kelompok karena memiliki kesamaan identitas atau karakteristik,
baik berbasiskan etnik, gender, keagamaan, dan sejenisnya (Sjaf 2013). Tindakan
politis tersebut tercermin dari aktivitas aktor dalam arena ekonomi, politik, sosial,
ekonomi, dan lain-lain. Hardiman dalam Sjaf (2013) memberi garis penegas pada
2 Nilai penentu hasil analisis regresi:
1. Nilai signifikan
Nilai signifikan disesuaikan dengan alpha yang digunakan. Penelitian ini menetapkan alpha sebesar 10
persen (0.10) . Variabel X dinyatakan berpengaruh terhadap Y apabila nilai signifikansi (sig) kurang dari
0.1.
2. Nilai T hitung dibandingkan dengan T tabel
Variabel X dinyatakan berpengaruh terhadap Y apabila nilai T hitung lebih besar dari T tabel. Adapun T
tabel pada masing-masing bentuk regresi berbeda-beda tergantung jumlah variabel yang diuji. Penelitian
ini menetapkan dua T tabel yang digunakan. T tabel pertama yaitu untuk mengukur pengaruh
kelembagaan terhadap tipe secara keseluruhan sebesar 6.313752. T tabel kedua yaitu untuk mengukur
masing-masing pengaruh (struktural dan konstruktif) terhadap masing-masing tipe perilaku pemilih
(psikologi, sosiologi, ekonomi) sebesar 2.131847.
3. Nilai R square
Nilai R square digunakan untuk mengetahui derajat representasi variabel yang digunakan dalam
penelitian untuk menjelaskan permasalahan yang diangkat.
48
latar belakang individu menentukan tindakan politisnya. Paham pertama yaitu
paham individualisme menekankan pada kebebasan individu dalam bertindak.
Sebaliknya paham kedua yaitu paham komunitarianisme menekankan pada
adanya pengaruh kelompok-kelompok dalam penentuan tindakan individu.
Terakhir, paham kritisisme mengkritisi dua paham sebelumnya. Paham ini
menekankan peran komunikasi sebagai pembentuk kesepakatan dan tindakan
bersama.
Penelitian ini menempatkan kelembagaan (kelompok) sebagai pemberi
pengaruh terhadap tindakan-tindakan individu anggotanya. Adapun bentuk
pengaruh kelembagaan dalam menentukan tindakan anggotanya mengacu teori
Sjaf (2013) yaitu bentuk pengaruh struktural dan konstruktif. Pengaruh struktural
yaitu pengaruh-pengaruh yang bersifat hierarkis dan kepatuhan sesuai posisi
dalam kelompok. Sebaliknya pengaruh konstruktif menekankan pada pengaruh-
pengaruh yang dibangun dan disepakati bersama. Sehubungan dengan hal
tersebut, kelembagaan di pedesaan akan membawa pengaruh-pengaruh dalam
penentuan preferensi politik anggota. Hal ini dilatarbelakangi oleh beberapa
penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa tindakan seseorang (termasuk
preferensi politiknya) boleh jadi dipengaruhi dan dibentuk baik secara sadar
maupun tidak, oleh kelembagaan tempat seseorang tersebut bernaung.
Penelitian yang dilakukan Fatamorgana (2012) tentang mobilisasi suara
yang dilakukan calon Gubernur Jawa Timur 2013 (Khofifah Indar Parawansa)
terhadap anggota pengajian muslimat dan fatayat mendukung dugaan ini. Bahwa
kelembagaan-kelembagaan tertentu dapat membawa pengaruh yang besar bagi
penentuan tindakan anggotanya, termasuk dalam hal penentuan preferensi politik.
Penelitian lain yang dilakukan Hidayat (2000) menunjukkan bahwa didapatkan
dan dipertahankannya jabatan sebagai Kepala Desa yaitu dengan merangkul dan
memberi pengaruh-pengaruh kepada kelembagaan-kelembagaan desa yang
dimungkinkan dipengaruhi. Dibuktikan dalam penelitian Hidayat (2000) bahwa
membangun jejaring dengan kelompok-kelompok di pedesaan menjadi modal
utama untuk dipilih sebagai pemimpin.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelembagaan secara keseluruhan
(formal dan informal) berpengaruh pada taraf sedang dengan persentase 55 persen
(tabel 13) dalam penetapan keputusan dan tindakan-tindakan yang dilakukan
anggotanya. Sejumlah 23.3 persen responden merasakan adanya pengaruh yang
tinggi pada kelembagaan yang dinaungi dalam penentuan tindakannya. Adapun
21.7 persen responden lainnya hanya sedikit merasakan adanya pengaruh
kelembagaan dalam kaitannya penentuan tindakan individu
Tabel 13 Tingkat pengaruh kelembagaan dalam penentuan tindakan anggota pada
kelembagaan pedesaan
Kategori Jumlah responden Persentase ( %)
Tinggi 14 23.30
Sedang 33 55.00
Rendah 13 21.70
Total 60 100.00
Pengaruh pada taraf tinggi menunjukkan bahwa kelembagaan menjadi acuan
utama bagi individu anggota dalam menentukan tindakan-tindakannya. Adapun
49
pengaruh pada taraf sedang menunjukkan bahwa responden mempertimbangkan
faktor kelembagaan pada penentuan tindakan tertentu, namun tetap
mempertimbangkan hal-hal lain pada tindakan tertentu lain. Kelembagaan tidak
mutlak menjadi satu-satunya acuan tindakan responden. Paham komunitarianisme
Hardiman dalam Sjaf (2013) dengan demikian bukan menjadi hal mutlak sebagai
alasan atau sumber penentuan tindakan anggota kelembagaan. Terakhir, pengaruh
pada taraf rendah menunjukkan bahwa dalam menentukan tindakan tertentu,
anggota tidak banyak menjadikan kelembagaan dengan aturan-aturannya sebagai
acuan utama.
Penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa secara umum kelembagaan-
kelembagaan di Desa Sumberejo berpengaruh terhadap penentuan tindakan
anggotanya. Pengaruh ini dapat muncul disebabkan oleh berbagai macam faktor
seperti yang dijelaskan pada kerangka pemikiran. Faktor posisi sosial, keterikatan
dengan kelembagaan, kemampuan menentukan tindakan, jaringan sosial, dan lain-
lain menjadi beberapa di antara banyak faktor yang menyebabkan kelembagaan
dapat memberikan pengaruhnya kepada anggota. Faktor posisi sosial, misalnya,
sedikit banyak memberikan pengaruh terhadap penentuan tindakan anggotanya.
Dua hal yang menarik terkait faktor-faktor berkemungkinan menjadi penentu
tingkat pengaruh kelembagaan dalam penentuan tindakan anggotanya, yaitu posisi
sosial dan lama menjadi anggota. Dua faktor ini secara kuantitatif tidak
menunjukkan hasil yang signifikan. Dapat dilihat pada tabel 14 berikut:
Tabel 14 Tingkat pengaruh berdasarkan posisi sosial dalam hierarki kelembagaan
pada kelembagaan pedesaan
Posisi
sosial
Pengaruh Total
Rendah Sedang Tinggi
n % n % n % N %
Pengurus
inti 0 0 3 5 4 6.67 7 11.67
Pengurus
harian 3 5 4 6.67 1 1.67 8 13.34
Staf 3 5 4 6.67 0 0 7 11.67
Anggota 7 11.67 22 36.66 9 14.99 38 63.33
Total 13 21.67 33 55.00 14 23.33 60 100.00
Posisi sosial didefinisikan sebagai status individu dalam hierarki
kelembagaan. Tabel 14 menunjukkan bahwa pengaruh kelembagaan muncul
dengan nilai tinggi pada anggota yang posisi sosialnya paling tinggi (4 dari 7
responden dalam pengurus inti). Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh lebih
banyak dirasakan oleh anggota-anggota yang memiliki posisi tinggi dalam
kelembagaan.
Fakta ini berkaitan dengan keterikatan anggota tersebut dalam kelembagaan.
Pengaruh menjadi tinggi nilainya pada pengurus inti karena intensitas komunikasi
yang tinggi dalam kelembagaan sehingga keterikatan dengan kelembagaan tinggi.
Sebaliknya, sebanyak 22 dari 38 anggota (posisi sosial paling rendah) merasakan
pengaruh pada taraf sedang dalam penentuan tindakan. Dalam hal ini, pengaruh
50
yang ada di tingkat anggota (posisi paling rendah) disebabkan oleh tekanan
struktur yang ada. Hal ini banyak terjadi pada anggota yang berposisi sebagai
ketua RT-RW. Perintah dari atasan langsung dieksekusi dan menjadi satu-satunya
sumber pengambilan tindakan oleh ketua RT-RW.
“...Saya melakukan sesuai dengan apa yang diperintahkan pak inggi
(Kepala Desa). Kan saya bawahan. Sana yang memutuskan. Saya yang
menjalankan sesuai yang diperintahkan...” (Sam, anggota kelembagaan
formal pemerintah desa)
Sebaliknya individu dengan posisi tinggi lebih mandiri dalam bertindak.
“...Tentunya sesuai aturan, namun dalam perjalanannya tentu ada yang
harus kita tentukan sendiri dengan kebijakan kita dengan pengalaman
kita. Sebaiknya bagaimana. Asal paham sekali sebatas mana yang boleh
dan tidak...” (Pon, Kepala Dusun Sekarputih kelembagaan formal
pemerintah desa)
Faktor kedua yang dapat dimungkinkan menjadi faktor yang memunculkan
pengaruh kelembagaan dalam penentuan preferensi anggotanya yaitu lama
menjadi anggota. Seberapa lama anggota bernaung dalam kelembagaan berkaitan
dengan keterikatan anggota tersebut dalam kelembagaan. Anggota yang telah
lama bernaung dalam kelembagaan akan memiliki ikatan komunikasi yang lebih
kuat dibandingkan dengan anggota baru. Nilai-nilai budaya kelembagaan juga
lebih banyak terintenalisasi pada anggota lama dibandingkan anggota baru. Hal ini
kemudian menentukan tinggi-rendahnya pengaruh kelembagaan itu sendiri
terhadap penentuan tindakan anggotanya. Anggota yang telah lama bernaung
dalam kelembagaan akan lebih dipengaruhi tindakannya oleh kelembagaannya.
Sebaliknya pada anggota baru, pengaruh-pengaruh kelembagaan belum begitu
kuat. Dalam hal ini, data kuantitatif menunjukkan adanya perbedaan nilai
pengaruh pada anggota lama dan anggota baru. Tabel berikut menunjukkan
rincian detil nilai pengaruh pada taraf masing-masing:
Tabel 15 Frekuensi dan persentase pengaruh kelembagaan berdasarkan lamanya
menjadi anggota pada kelembagaan pedesaan
Lama
menjadi
anggota
Pengaruh Total
Rendah Sedang Tinggi
n % n % N % N %
Anggota
lama
10 16.66 21 34.99 10 16.66 41 68.33
Anggota
baru
3 5 12 20 4 6.67 19 31.67
Total 13 21.66 33 54.99 14 23.33 60 100.00
Tabel 15 menunjukkan tidak ada signifikansi nilai pada kedua golongan
(anggota lama dan baru). Hal ini dapat terjadi disebabkan oleh rendahnya nilai
pada variabel lain (selain keterikatan) pengukur tingkat pengaruh sehingga
51
kesimpulan akhir tingkat pengaruhnya tidak searah dengan lama keanggotaan.
Namun demikian, secara umum lama menjadi anggota terbukti menjadi salah satu
faktor tinggi-rendahnya pengaruh kelembagaan dalam penentuan tindakan
anggotanya. Tinggi-rendahnya pengaruh tersebut terlihat dari seberapa terikatnya
perasaan individu tersebut terhadap kelembagaan yang dinaungi. Anggota yang
sudah lama merasa memiliki keterikatan yang mendalam dengan kelembagaan.
“...Sudah seperti keluarga sendiri disini itu mbak. Saya sudah lama
sih soalnya disini...”(Gun, anggota lama kelembagaan pemerintah
desa)
Sebaliknya, anggota baru dalam kelembagaan belum memiliki keterikatan yang
mendalam dengan kelembagaan sehingga kemudian kelembagaan belum dapat
„membentuk‟ tindakan-tindakan anggotanya.
“...Ya kalau ada kegiatan saya ke balai. Kalau ndak ya ndak ke balai.
Saya kurang paham mbak informasi-informasi baru di sana. Saya
jarang ke balai. Ndak ada pemberitahuan juga...”(Afa, anggota baru
pemerintah desa)
Pengaruh kelembagaan dalam menentukan tindakan anggotanya dalam
penelitian ini terbagi dalam dua bentuk (merujuk Sjaf 2013), yaitu pengaruh
struktural dan pengaruh konstruktif. Bentuk pengaruh struktural yaitu pengaruh-
pengaruh yang mempertimbangkan posisi, kemampuan menentukan tindakan, dan
keterikatan dalam kelembagaan. Sebaliknya pengaruh konstruktif yaitu pengaruh-
pengaruh yang mempertimbangkan jalinan komunikasi, jaringan sosial,
kemampuan melakukan peran yang variatif, dan lain-lain. Hasil penelitian yang
dilakukan ditunjukkan oleh tabel berikut.
Tabel 16 Frekuensi dan persentase pengaruh struktural dalam penentuan tindakan
anggota pada kelembagaan pedesaan
Kategori Jumlah responden Persentase ( %)
Tinggi 9 15
Sedang 34 56.70 Rendah 17 28.30
Total 60 100.00
Bentuk pengaruh struktural dalam kasus ini ditunjukkan oleh tegasnya
hierarki dan pembagian tugas berdasarkan hierarki tersebut. Responden-responden
yang merasakan pengaruh struktural lebih besar umumnya menuturkan
pelaksanaan tugas-tugas sesuai dengan kehendak atasan (individu yang posisi
sosialnya lebih tinggi). Posisi sosial, keanggotaan (keaktifan), keterikatan dengan
kelembagaan, kemampuan menentukan tindakan, merupakan ukuran-ukuran yang
digunakan untuk melihat tingkat pengaruh struktural.
52
“...Saya tugasnya kan ya melayani masyarakat RT 8 sesuai dengan
perintah dari pak Inggi. Kata pak inggi begini ya berarti saya harus
begini. Diarahkan, begitu...”(Sat, anggota kelembagaan formal
pemerintah desa)
Pernyataan di atas merupakan bukti bahwa posisi sosial juga menjadi faktor yang
menentukan tindakan anggota sehingga kemudian pengaruh-pengaruh struktural
bermain di dalamnya.
Tabel 17 Frekuensi dan persentase pengaruh konstruktif dalam penentuan
tindakan anggota pada kelembagaan pedesaan
Kategori Jumlah responden Persentase ( %)
Tinggi 16 26.67
Sedang 37 61.67
Rendah 7 11.67
Total 60 100.00
Sebaliknya, pada pengaruh konstruktif yang dalam hal ini sedikit lebih
tinggi nilainya dibandingkan pengaruh struktural menunjukkan bahwa
kelembagaan-kelembagaan yang ada di Desa Sumberejo mulai berdinamika dan
bergerak menuju ke arah kelembagaan demokratis yang lebih baik. Pengaruh-
pengaruh konstruktif kebanyakan dirasakan oleh orang-orang yang memiliki
jaringan lebih luas, komunikasi lebih baik, dan memiliki kemampuan
mengkonstruksi peran baik dalam masyarakat. Dalam hal ini, responden yang
memiliki nilai pengaruh konstruktif tinggi sebagian besar berasal dari
kelembagaan informal. Hal ini disebabkan karena pada kelembagaan informal,
hierarki dan pembagian kerja lebih luwes sehingga kesepakatan-kesepakatan dan
pembuatan keputusan dapat dilakukan dandisepakati oleh siapa saja dalam
kelembagaan itu. Sementara pada kelembagaan formal, pengaruh konstruktif
dirasakan oleh anggota-anggota yang posisi sosialnya tinggi (seperti yang
dijelaskan sebelumnya) dengan melihat kemampuannya memutuskan secara
mandiri tindakan-tindakannya.
“...Tentunya sesuai aturan, namun dalam perjalanannya tentu ada
yang harus kita tentukan sendiri dengan kebijakan kita dengan
pengalaman kita. Sebaiknya bagaimana. Asal paham sekali sebatas
mana yang boleh dan tidak...” (Pon, Kepala Dusun Sekarputih
kelembagaan formal pemerintah desa)
Pada kedua bentuk pengaruh (struktural dan konstruktif) di taraf sedang,
nilai yang ditunjukkan tidak jauh berbeda, yaitu 56.7 persen pada bentuk pengaruh
struktural dan 61.7 persen pada bentuk pengaruh konstruktif. Dalam hal ini bentuk
pengaruh konstruktif memiliki nilai yang sedikit lebih tinggi dibandingkan bentuk
pengaruh struktural. Hal ini menunjukkan bahwa pada taraf sedang, bentuk
pengaruh konstruktif lebih dirasakan. Begitu pula pada taraf tinggi, bentuk
pengaruh konstruktif menunjukkan nilai yang lebih tinggi (26.7 persen)
dibandingkan pengaruh struktural (15 persen). Terakhir, pada taraf rendah, bentuk
pengaruh struktural memiliki nilai yang lebih tinggi (28.3 persen) dibandingkan
53
bentuk pengaruh konstruktif. Ketiga perbandingan data pada ketiga taraf bentuk
pengaruh yang ditunjukkan di atas menunjukkan bahwa masyarakat Desa
Sumberejo secara umum lebih merasakan bahwa bentuk pengaruh dari
kelembagaan-kelembagaan yang ada adalah berupa pengaruh konstruktif.
Preferensi Politik Anggota
Perilaku pemilih secara sederhana didefinisikan sebagai suatu studi yang
memusatkan diri pada bidang yang menggeluti kebiasaan atau kecenderungan
pilihan rakyat dalam pemilihan umum serta latar belakang mengapa mereka
melakukan pilihan itu (Plano, Ringgs, & Robin 1985). Dalam penelitian ini,
preferensi politik direpresentasikan oleh tipe perilaku pemilih yang meliputi tipe
psikologi, sosiologi, ekonomi. Tipe perilaku psikologi mempertimbangkan unsur
loyalitas pemilih terhadap kandidat, pembentukan sikap politik, dan keterdedahan
terhadap pendidikan politik. Adapun tipe perilaku sosiologi menekankan pada
aspek-aspek sosial seperi kohesi sosial, pengelompokan sosial, dan informasi
sosial. Terakhir, tipe perilaku ekonomi, menekankan pada aspek-aspek kebutuhan
konkret pemilih, tujuan pemilih, dan orientasi pemilih. Barikut adalah penjelasan
hasil penelitian tentang preferensi politik anggota di kelembagaan-kelembagaan
Desa Sumberejo.
Tabel 18 Frekuensi dan persentase tipe perilaku psikologi pada kelembagaan
pedesaan
Kategori Jumlah responden Persentase (%)
Tinggi 14 23.33
Sedang 41 68.33 Rendah 5 8.33
Total 60 100.00
Preferensi politik yang dalam hal ini direpresentasikan tipe perilaku
psikologi menempati nilai pada taraf sedang dengan angka 68.3 persen. Artinya,
secara umum anggota kelembagaan menentukan preferensi politiknya dengan
pertimbangan-pertimbangan psikologis sebagai salah satu pertimbangan untuk
menetapkan preferensi politiknya. Adapun pertimbangan-pertimbangan psikologis
yaitu pertimbangan yang menitikberatkan pada sikap loyalitas, terbentuknya sikap
politik, dan keterdedahan terhadap pendidikan politik. Kasus di Desa Sumberejo
sendiri menunjukkan penitikberatan yang tinggi pada aspek loyalitas. Kebanyakan
anggota memberi dukungan dan suara sebagai bentuk loyalitasnya kepada
kandidat.
Tabel 19 Frekuensi dan persentase tipe perilaku sosiologi pada kelembagaan
pedesaan
Kategori Jumlah responden Persentase (%)
Tinggi 28 46.70 Sedang 26 43.30
Rendah 6 10.00
Total 60 100.00
54
Sedikit berbeda dengan hasil yang ditunjukkan pada tabel tipe perilaku
psikologi, hasil penelitian menunjukkan bahwa pada tipe perilaku sosiologi, 46.7
persen anggota kelembagaan secara umum menempati nilai pada taraf tinggi
dalam tipe perilaku sosiologi. Hal ini berarti bahwa dalam menetapkan preferensi
politik, anggota kelembagaan banyak mendapatkan pengaruh dari lingkugan atas
nama kohesi sosial, pengelompokan sosial, dan informasi politik yang menyebar.
Pada kasus di Desa Sumberejo, kohesi sosial dan pengelompokan sosial banyak
ditemui menjadi alasan-alasan yang dominan dalam menentukan preferensi politik
pada Pemilihan Kepala Desa 2013 lalu.
Tabel 20 Frekuensi dan persentase tipe perilaku ekonomi pada kelembagaan
pedesaan
Kategori Jumlah responden Persentase (%)
Tinggi 2 3.30
Sedang 48 80 Rendah 10 16.70
Total 60 100.00
Dilihat dari preferensi politik yang direpresentasikan pada tipe perilaku
ekonomi, didapatkan hasil bahwa 80 persen responden menyatakan pengaruh pada
taraf sedang. hal ini menunjukkan bahwa mayoritas responden menetapkan
preferensi politiknya dengan pertimbangan-pertimbangan ekonomi. Namun
demikian, pertimbangan ekonomi ini tidak memiliki tempat yang utama dalam
masyarakat. Hal ini terlihat dari sangat rendahnya persentase tipe perilaku
ekonomi pada taraf tinggi (3.30 persen). Angka persentase yang sangat rendah
tersebut memberi bukti bahwa pertimbangan ekonomi merupakan hal yang
penting namun tidak menjadi pertimbangan utama.
Bila dirangkum secara umum, maka didapati hasil penelitian menunjukkan
bahwa tipe perilaku pemilih berada pada taraf sedang di tipe psikologi (68.3
persen) dan ekonomi (80 persen), serta berada pada taraf yang tinggi di tipe
sosiologi. Hasil yang ada menunjukkan bahwa tipe perilaku pemilih soseorang
tidak dapat mutlak mengacu pada satu tipe saja. Sebagai contoh, seorang dengan
tipe psikologi (skor tipe psikologi tinggi), ternyata juga memiliki ciri-ciri memilih
bertipe sosiologi (skor sosiologi sedang). Hal ini menunjukkan bahwa dalam
menentukan pilihan kandidat kepala desa, para anggota kelembagaan memiliki
pertimbangan-pertimbangan yang kompleks. Satu orang boleh jadi memilih
karena loyalitasnya namun sekaligus karena alasan-alasan ekonomi tertentu.
Preferensi politik berdasarkan tipe perilaku tersebut di atas dapat muncul
karena beberapa faktor. Seperti pada pembahasan tentang pengaruh kelembagaan
dalam penentuan preferensi politik, peneliti dalam hal ini menelisik latar belakang
pemilih (anggota kelembagaan) memutuskan preferensi politiknya pada satu
kandidat. Dalam hal ini peneliti menganalisis dua faktor yaitu posisi sosial dan
lamanya menjadi anggota. Dengan dua hal tersebut dapat dengan jelas ditarik
benang merah tentang alasan-alasan seseorang memilih. Posisi sosial
menunjukkan dengan siapa individu dalam kelembagaan bergaul untuk kemudian
saling memberi pengaruh. Hal ini berkaitan erat juga dengan lamanya individu
menjadi anggota dalam kelembagaan. Hal ini menjadi catatan penting khususnya
pada kelembagaan formal mengingat sebanyak 75 persen anggota kelembagaan
55
formal yang ada sekarang merupakan personil baru. Berikut adalah data hasil
penelitian yang menghubungkan antara lamanya menjadi anggota dengan tipe
perilaku pemilihnya:
Tabel 21 Frekuensi dan persentase tipe perilaku pemilih psikologi pada anggota
lama dan baru kelembagaan pedesaan
Lama
menjadi
anggota
Tipe perilaku psikologi Total
Rendah Sedang Tinggi
N % n % n % N %
Anggota
lama
4 6.67 29 48.33 8 13.33 41 68.33
Anggota
baru
1 1.67 12 20 6 10 19 31.67
Total 5 8.3 41 68.33 14 23.33 60 100.00
Seperti dipaparkan pada tabel preferensi politik yang direpresentasikan tipe
psikologi, diketahui bahwa secara keseluruhan nilai tipe perilaku psikologi berada
pada taraf sedang. Namun demikian jika dianalisis lebih dalam berdasarkan
lamanya menjadi anggota, dapat dilihat perbedaan tingkat penempatan
pertimbangan-pertimbangan psikologis dalam penentuan preferensi politik. Hasil
pada tabel menunjukkan bahwa pada anggota lama, sebanyak 29 dari 41 anggota
lama (70.73 persen) menempati nilai pada taraf sedang. Selanjutnya sebanyak 8
dari 41 anggota (19.51 persen) menempati niai pada taraf tinggi. Hal ini sedikit
berbeda dengan angka pada anggota baru dimana pada anggota baru sebanyak 6
dari 19 anggota (31.58 persen) menempati nilai pada taraf tinggi. Artinya, dalam
penetapan preferensi politik yang dalam hal ini direpresentasikan tipe perilaku
psikologi, anggota baru lebih memiliki nilai tinggi. Pemilih anggota baru
merupakan orang-orang yang lebih mandiri dalam memilih karena belum terikat
dengan kelembagaan yang dinaungi. Mereka kemudian memilih dengan alasan-
alasan pribadi yang psikologis, misalnya memilih karena saudara, karena
mengenal baik, karena loyal, dan pertimbangan-pertimbangan psikologis lainnya.
“...Pak At ini guru anak-anak saya. Bapak ibunya Pak At itu guru
saya. Saya pilih Pak At sebagai bentuk tho‟at guru, mbak. yang sudah
banyak berjasa kepada saya dan keluarga...”(Ria, anggota pengajian
muslimat)
Tabel 22 Frekuensi dan persentase tipe perilaku pemilih sosiologi pada anggota
lama dan baru kelembagaan pedesaan
Lama
menjadi
anggota
Tipe perilaku sosiologi Total
Rendah Sedang Tinggi
n % n % n % N %
Anggota
lama
4 6.67 16 26.66 21 34.99 41 68.33
Anggota
baru
2 3.33 10 16.67 7 11.67 19 31.67
Total 6 10 26 43.33 28 46.66 60 100.00
56
Tabel 22 menunjukkan bahwa anggota lama condong untuk menetapkan
preferensi politiknya berdasarkan pertimbangan-pertimbangan sosiologis. Hal ini
terlihat dari tingginya persentase pada anggota lama yaitu 21 dari 41 orang
anggota lama (51.22 persen) berada pada taraf tinggi. Hal ini dapat dimungkinkan
terjadi. Anggota lama seperti dijelaskan sebelumnya, memiliki keterikatan yang
mendalam kepada kelembagaan sehingga kemudian terjadi obrolan-obrolan yang
secara sadar maupun tidak mengarahkan pada kesepakatan pilihan yang sama.
“...Ya milih temen sendiri mbak. Sesama pegawai di desa. Teman-
teman dan pak Kepala Desa juga milih dia kompak. Tapi ada
beberapa juga orang lama yang ndak milih pak Ak...” (Suh, anggota
kelembagaan formal pemerintah desa)
Tabel 23 Frekuensi dan persentase tipe perilaku pemilih ekonomi pada anggota
lama dan baru kelembagaan pedesaan
Lama
menjadi
anggota
Tipe perilaku ekonomi Total
Rendah Sedang Tinggi
n % N % n % N %
Anggota
lama
7 11.67 32 53.33 2 3.33 41 68.33
Anggota
baru
3 5 16 26.67 0 0 19 31.67
Total 10 16.67 48 80 2 3.33 60 100.00
Adapun pada tipe perilaku ekonomi, baik anggota lama maupun anggota
baru memiliki angka persentase yang tinggi pada taraf sedang. Hal ini
menunjukkan bahwa ternyata pertimbangan ekonomi juga merupakan hal yang
penting bagi pemilih, meskipun tidak menjadi pertimbangan utama. Dalam kasus
di Desa Sumberejo ini, pertimbangan-pertimbangan ekonomi muncul karena
adanya visi-misi salah satu kandidat yang memberi perhatian khusus kepada
permasalahan ekonomi sehingga masyarakat kemudian tertarik dan
menjadikannya salah satu alasan memilih kandidat tertentu.
“...Orangnya memang sae (bagus), mbak. Agamis, jujur. Nah denger-
denger visi misinya mau gratiskan pajak dan nikah murah. Saya ndak
(tidak) terima surat perjanjian pembayaran pajak itu tapi katanya
sudah disebar ke banyak orang. Jadi yakin. Kalau calon sana katanya
disetir. Takut saya. Lagipula saya ndak (tidak) kenal sama sekali
dengan calon yang sana...” (Nur, anggota pengajian muslimat)
Selanjutnya faktor kedua yang dimungkinkan menjadi penentu tipe perilaku
pemilih adalah posisi sosial anggota dalam hierarki kelembagaan. Hasil penelitian
menunjukkan data sebagai berikut:
57
Tabel 24 Frekuensi dan persentase tipe perilaku psikologi berdasarkan posisi
sosial dalam hierarki kelembagaan pada kelembagaan pedesaan
Posisi
sosil
Tipe perilaku psikologi Total
Rendah Sedang Tinggi
N % n % n % N %
Pengurus
inti
2 3.33 1 1.67 4 6.67 7 11.67
Pengurus
harian
1 1.67 5 8.33 2 3.33 8 13.33
Staf 0 0 5 8.33 2 3.33 7 11.67
Anggota 2 3.33 30 49.99 6 9.99 38 63.33
Total 5 8.33 41 68.33 14 23.33 60 100.00
Hasil yang ditunjukkan tabel 24 memperlihatkan bahwa pada tipe perilaku
psikologi, baik pada anggota, staf, maupun pengurus harian, menempati nilai pada
taraf sedang. Adapun pada pengurus inti, tipe perilaku psikologi sebanyak 4 dari
total 7 pengurus inti (57.14 persen) berada pada taraf tinggi. Hal ini menunjukkan
secara umum pertimbangan psikologis menjadi hal yang dititikberatkan (baik pada
taraf sedang maupun tinggi) dalam penentuan preferensi politik.
Tabel 25 Frekuensi dan persentase tipe perilaku sosiologi berdasarkan posisi
sosial dalam hierarki kelembagaan pada kelembagaan pedesaan
Posisi
sosial
Tipe perilaku sosiologi Total
Rendah Sedang Tinggi
N % n % n % N %
Pengurus
inti
1 1.67 2 3.33 4 6.67 7 11.67
Pengurus
harian
2 3.33 3 4.99 3 4.99 8 13.33
Staf 0 0 3 5 4 6.67 7 11.67
Anggota 3 4.99 18 29.99 17 28.33 38 63.33
Total 6 10 26 43.3 28 46.7 60 100.00
Tidak terlampau berbeda dengan hasil yang diperoleh pada tabel tipe
perilaku psikologi, tidak ditemukan perbedaan yang signifikan pada tipe perilaku
sosiologi. Tidak ditemukan perbedaan yang berarti dalam hal penentuan
preferensi politik dilihat dari tipe perilaku sosiologi. Hal ini menunjukkan bahwa
pertimbangan sosiologis dapat menjadi pertimbangan utama bagis satu anggota
atau pertimbangan lain bagi anggota yang lain pula.
58
Tabel 26 Frekuensi dan persentase tipe perilaku ekonomi berdasarkan posisi sosial
dalam hierarki kelembagaan pada kelembagaan pedesaan
Posisi
sosial
Tipe perilaku ekonomi Total
Rendah Sedang Tinggi
n % N % n % N %
Pengurus
inti
2 3.33 5 8.33 0 0 7 11.67
Pengurus
harian
2 3.33 6 9.99 0 0 8 13.33
Staf 1 1.67 5 8.33 1 1.67 7 11.67
Anggota 5 8.33 32 53.33 1 1.67 38 63.33
Total 10 16.76 48 80.00 2 3.3 60 100.00
Adapun dalam penetapan preferensi politik dilihat dari tipe perilaku
ekonomi, seperti yang telah banyak dibahas, konsisten pada taraf sedang. Artinya
bahwa memang pertimbangan ekonomi menjadi perhatian namun tidak menjadi
pertimbangan utama kelembagaan dalam menetapkan preferensi politiknya.
Ketiga tabel di atas (tabel 24, 25, dan 26) menjelaskan secara detil tipe
perilaku pemilih dibedakan berdasarkan posisi sosial. Adapun jumlah total
anggota berdasarkan golongan posisi yaitu anggota 38 orang, staf 7 orang,
pengurus harian 8 orang, dan pengurus inti sebanyak 7 orang. Sedikit berbeda
dengan hasil yang didapatkan pada sub bab sebelumnya (pengaruh kelembagaan
dalam menentukan tindakan anggota), dalam hal penentuan preferensi politik,
posisi sosial tidak dapat ditarik garis yang jelas (dominan) dengan kecondongan
preferensinya. Pada golongan anggota, misalnya, tidak ada tipe perilaku yang
angkanya mendominasi secara signifikan. Anggota memilih dengan pertimbangan
yang beragam. Adapun pada golongan staf, tipe perilaku sosiologi menempati
nilai pada taraf tinggi. Hal ini menunjukkan mulai adanya pengaruh-pengaruh
sosiologis kelembagaan pada hierarki yang lebih tinggi.
Selanjutnya pada golongan pengurus harian, tipe perilaku sosiologi masih
menjadi dominan dengan angka yang sama pada taraf sedang. Terakhir, pada
golongan pengurus inti, didapatkan nilai pada taraf tinggi baik di tipe perilaku
sosiologi maupun di tipe perilaku psikologi dengan angka yang sama, yaitu 57.14
persen. Hal ini menunjukkan bahwa pada posisi paling tinggi, pertimbangan-
pertimbangan psikologis dan sosiologis dapat menjadi dua pertimbangan kuat
sekaligus. Adapun pada tipe perilaku ekonomi, pada semua golongan ditemukan
pada taraf sedang dengan angka-angka yang tinggi. Seperti yang telah dijelaskan
pada sub bab sebelumnya bahwa pertimbangan-pertimbangan ekonomi selalu
mewarnai penentuan preferensi politik namun tetap bukan menjadi pertimbangan
utama.
Pengaruh Kelembagaan terhadap Preferensi Politik Anggota
Pengaruh kelembagaan terhadap preferensi politik anggota diduga peneliti
dengan berdasarkan teori paham komunitarianisme yang dikemukakan oleh
Hardiman dalam Sjaf (2013) dimana kelompok memberikan pengaruh-pengaruh
dalam penentuan tindakan anggotanya. Dalam hal ini, tindakan anggota yang akan
dikaji adalah preferensi politik. Hendak dibuktikan apakah pengaruh-perngauh
59
kelompok yang dalam hal ini mengacu pada paham komunitarianisme, berlaku
juga untuk penentuan preferensi politik. Adapun analisis pengaruh dilakukan
dengan menggunakan aplikasis statistik regresi linear dengan alpha 10 persen.
Tabel 27 Pengaruh kelembagaan terhadap preferensi politik pada kelembagaan
pedesaan
PengaruhX
(Pengaruh
kelembagaan)-Y
(Preferensi politik)
Nilai R
sq
Nilai
sig T hitung Kesimpulan
Pengaruh-tipe 0.000 0.990 0.013 Tidak berpengaruh
Struktural-psikologi 0.000 0.942 0.073 Tidak berpengaruh
Struktural-sosiologi 0.002 0.750 -0.320 Tidak berpengaruh
Struktural-ekonomi 0.034 0.155 -1.440 Tidak berpengaruh
Konstruktif-
psikologi
0.014 0.360 -0.922 Tidak berpengaruh
Konstruktif-
sosiologi
0.024 0.233 1.204 Tidak berpengaruh
Konstruktif-ekonomi 0.114 0.008 2.735 Berpengaruh
Tabel 27 di atas menunjukkan bahwa satu-satunya hubungan pengaruh yang
ditemukan yaitu pengaruh secara konstruktif terhadap tipe perilaku pemilih
ekonomi dengan nilai signifikan 0.008. Adapun model pengaruh tersebut
menjelaskan 11.4 persen pengaruh konstruktif terhadap variabel tipe perilaku
pemilih ekonomi, sisanya (88.6 persen) dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak
diteliti. Seperti yang dijelaskan pada tabel 20, dari sejumlah 60 responden dari dua
kelembagaan yang diteliti tarafnya pada tipe perilaku ekonomi, 80 persen
responden tercatat berada pada taraf sedang. Artinya, pemilih mempertimbangkan
alasan-alasan ekonomi dalam menetapkan preferensi politiknya.
Tingginya angka tipe perilaku pemilih ekonomi pada taraf sedang
menunjukkan berhasilnya konstruksi isu yang diciptakan oleh kandidat kepala
desa nomor urut dua (pemenang). Sejarah mencatat bahwa pemerintahan
sebelumnya dinilai merupakan pemerintahan yang penuh dengan penarikan-
penarikan tarif biaya pelayanan yang jauh dari harga seharusnya, dan juga
penarikan denda dengan alasan-alasan yang kurang dapat diterima. Hampir
seluruh responden mengatakan hal senada ketika diwawancarai tentang kesan
pemerintahan kepala desa sebelumnya. Kandidat nomor urut 2 kemudian muncul
dengan tagline andalannya „ora nargetan‟ (tidak berkenan mengenakan denda)
dan salah satu visi fenomenalnya yaitu menggratiskan pajak bangunan seluruh
masyarakat Desa Sumberejo. Visi khusus tersebut dikukuhkan oleh kandidat
nomor urut 2 dengan menandatangani surat perjanjian bermaterai disaksikan
warga dan aparat kepolisian. Surat perjanjian ini kemudian diperbanyak dan
disebarkan kepada seluruh masyarakat Desa Sumberejo. Sikap berani kandidat
nomor urut 2 tersebut dianggap masyarakat sebagai antitesis dari pemerintahan
sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa visi dan keberanian yang ditunjukkan
kandidat nomor urut 2 berhasil mengkonstruksi pandangan dan pertimbangan
masyarakata dalam memilih sehingga alasan-alasan ekonomi kemudian
60
dimasukkan sebagai pertimbangan dalam memilih kandidat kepala desa dan
kandidat nomor urut 2 kemudian keluar sebagai pemenang.
Adapun dalam hubungan antara variabel X dan Y lainnya, tidak ditemukan
adanya pengaruh. Secara umum, kelembagaan tidak mempengaruhi preferensi
politik anggota. Hal ini ditunjukkan dengan nilai signifikansi pada hubungan
pengaruh ini yaitu sebesar 0,990 (>alpha 0,1) dengan nilai T hitung 0,013
(<6,313752). Artinya, dugaan peneliti yaitu kelembagaan secara umum
mempengaruhi preferensi politik anggota, tidak dapat diterima. Hal ini disebabkan
oleh beberapa hal, pertama, anggota kelembagaan yang diteliti yaitu kelembagaan
formal (pemerintah desa) dan kelembagaan informal (majelis taklim), pada kedua
kelembagaan tersebut tidak banyak ditemukan adanya indikasi-indikasi
munculnya instruksi atau arahan bahkan kesepakatan untuk menetapkan
preferensi politik dalam pemilihan kepala desa.
Terlebih dalam kelembagaan pemerintah desa, sebagian besar (75 persen)
anggotanya merupakan anggota baru yang masuk setelah kandidat nomor urut 2
menjabat Kepala Desa (menurut penuturan perangkat desa). Adapun sebagian
kecil lainnya (anggota lama) mengaku mendapatkan arahan dari Kepala Desa
sebelumnya untuk memilih kandidat nomor urut 1. Seperti diketahui, Kepala Desa
lama merupakan pendukung kandidat nomor urut 1 sehingga kemudian ia
menggunakan kekuatannya untuk memengaruhi anggota lama yang menjadi
bawahannya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kelembagaan memberi
pengaruh terhadap preferensi politik pada kasus-kasus tertentu, seperti yang
terjadi pada anggota lama.
Terakhir yaitu pada kelembagaan majelis taklim, diketahui aktivitas-
aktivitas yang dilakukan tidak padat dan intens. Kegiatan hanya berupa pengajian
yang dilaksanakan 1 kali dalam 1 minggu. Kegiatan lainnya adalah berupa
kegiatan ziarah yang dilakukan rutin setiap tahun (penjelasan tentang pengaruh
kelembagaan secara khusus akan dipaparkan pada bab selanjutnya). Hal ini
menjadikan pengaruh-pengaruh kelembagaan menjadi tidak dominan. Sekalipun
kelembagaan yang berasngkutan memiliki hubungan erat dengan background
salah satu kanddiat. Anggota kelembagaan kemudian menetapkan preferensi
politik dengan pertimbangan-pertimbangan pribadi di luar cakupan kelembagaan
yang dinaungi.
61
Ikhtisar
Kelembagaan di pedesaan secara umum memiliki hubungan pengaruh pada
bentuk pengaruh konstruktif terhadap preferensi politik yang dalam hal ini
direpresentasikan tipe perilaku ekonomi. Hal ini berkaitan dengan isu politik yang
didengungkan kandidat nomor urut 2 yang berhasil mengkonstruksi pandangan
pemilih sehingga terbentuk pandangan bahwa kandidat nomor urut 2 memberi
warna baru dengan pemerintahan bersih tanpa penarikan-penarikan liar yang
menjerat. Dalam kasus tertentu, kelembagaan dapat menunjukkan tingkat
pengaruhnya terhadap penentuan tindakan anggotanya, termasuk dalam hal
penentuan preferensi politik dilihat dari posisi sosial dan lamanya menjadi
anggota. Anggota dengan posisi sosial tinggi lebih mandiri dalam menentukan
tindakannya sendiri, sebaliknya anggota dengan posisi sosial yang rendah kurang
dapat menentukan tindakannya secara mandiri. Pun demikian dengan lamanya
menjadi anggota. Anggota lama cenderung memiliki keterikatan yang mendalam
dengan kelembagaan sehingga pengaruhnya kemudian menjadi besar, dan
sebaliknya pada anggota baru.
Namun demikian, posisi sosial dan lama menjadi anggota ternyata tidak
berkontribusi secara signifikan dalam menentukan tipe perilaku. Adapun secara
khusus, hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaruh kelembagaan secara
konstruktif mempengaruhi preferensi politik anggota pada tipe perilaku ekonomi.
Hal ini menunjukkan berhasilnya kandidat nomor urut 2 membangun pandangan
politik sebagai kepala desa yang dibutuhkan masyarakat untuk keluar dari
permasalahan denda dan beban ekonomi yang dirasakan masyarakat pada
pemerintahan sebelumnya.
62
63
ANALISIS PENGARUH KELEMBAGAAN FORMAL DAN
INFORMAL TERHADAP PREFERENSI POLITIK ANGGOTA
Bab ini menguraikan tentang analisis pegaruh kelembagaan formal,
informal, serta perbandingan pengaruh di antara keduanya. Uraian pada bab ini
ditujukan untuk menjawab beberapa pertanyaan penelitian yaitu (1) Kelembagaan
mana yang lebih besar pengaruhnya dalam penentuan preferensi politik? (2)
Bentuk pengaruh apakah yang lebih dominan pada masing-masing kelembagaan?
(3) Apakah pengaruh kelembagaan tertentu akan cenderung mengarah kepada tipe
perilaku pemilih tertentu pula? Beberapa pertanyaan penelitian tersebut kemudian
memunculkan beberapa rumusan dugaan yaitu (1) Kelembagaan informal
memiliki pengaruh lebih besar dalam penentuan preferensi politik anggota (2)
Kelembagaan formal memberikan pengaruh struktural dan sebaliknya
kelembagaan informal memberi pengaruh konstruktif dalam penentuan preferensi
politik anggota (3) Pengaruh kelembagaan tertentu akan cenderung mengarah
kepada tipe perilaku tertentu pula.
Rumusan dugaan di atas dijawab dan dijelaskan dalam bab ini dengan
didasarkan pada data kuantitatif yang didapatkan dengan menggunakan analisis
regresi linear (alpha 10 persen), didukung dengan penjelasan kualititatif deskriptif.
Untuk melihat ada tidaknya pengaruh antara pengaruh kelembagaan (X) dengan
preferensi politik (Y) menggunakan analisis regresi linear, terdapat beberapa nilai
yang perlu diperhatikan.3
Analisis Pengaruh Kelembagaan Formal terhadap Preferensi Politik Anggota
Kelembagaan formal pemerintah desa dalam kaitannya dengan pemilihan
kepala desa sudah barang tentu memiliki kaitan yang sangat erat. Kelembagaan ini
dapat dipastikan ikut mewarnai dinamika politik pemilihan kepala desa. Penelitian
yang dilakukan Hidayat (2000) di Desa Tanjung Anom, Jawa Barat menunjukkan
bahwa jabatan Kepala Desa dapat diperoleh dan dipertahankan dengan
membentuk dan mengembangkan jaringan sosial dengan kelompok-kelompok
strategis, salah satu di antaranya adalah kelompok elit desa. Sejalan dengan fakta
pada penelitian-penelitian sebelumnya, peneliti menduga bahwa kelembagaan
formal sedikit banyak akan memengaruhi preferensi politik anggota di pedesaan
(paham komunitarianisme) untuk memilih kandidat Kepala Desa. Adapun bentuk
pengaruh kelembagaan pemerintah desa diduga peneliti berupa pengaruh
struktural. Dugaan ini didasarkan pada ciri kelembagaan formal menurut Etzioni
(1985) berupa pembedaan kerja dan hierarki posisi. Jelasnya perbedaan posisi
secara vertikal diduga peneliti memberi pengaruh dalam penentuan tindakan
anggota termasuk dalam hal penentuan preferensi politik. Penelitian yang
dilakukan mencatat bahwa sejumlah 76,67 persen anggota memilih kandidat
nomor urut 2 (pemenang) dan sisanya 23,3 persen memilih kandidat nomor urut 1.
3 Ibid hal 47
64
Pengaruh Kelembagaan Formal dalam Penentuan Tindakan Anggota
Tindakan politis anggota kelembagaan tidak dapat dilepaskan dari pengaruh
kelembagaan itu sendiri. Setiap anggota dapat dipastikan dipengaruhi tindakannya
(sedikit atuau banyak) oleh kelembagaan yang menaunginya. Studi tentang
tindakan-tindakan individu dalam kerangka kelompok (kelembagaan) telah
banyak dilakukan, salah satunya oleh Sjaf (2013). Dalam bukunya, Sjaf
mengistilahkan tindakan-tindakan individu berbasis kelompok ini sebagai politik
identitas. Politik identitas didefinisikan sebagai tindakan politis yang
mengedepankan kepentingan kelompok karena memiliki kesamaan identitas atau
karakteristik, baik berbasiskan etnik, gender, keagamaan, dan sejenisnya. Masih
dalam buku yang sama, Sjaf (2013) mengutip teori Hardiman yang memberi garis
penegas pada latar belakang individu menentukan tindakan politisnya. Paham
pertama yaitu paham individualisme menekankan pada kebebasan individu dalam
bertindak. Sebaliknya paham kedua yaitu paham komunitarianisme menekankan
pada adanya pengaruh kelompok-kelompok dalam penentuan tindakan individu.
Terakhir, paham kritisisme mengkritisi dua paham sebelumnya. Paham ini
menekankan peran komunikasi sebagai pembentuk kesepakatan dan tindakan
bersama.
Penelitian ini memfokuskan pada pengaruh kelembagaan dalam penentuan
tindakan-tindakan individu anggotanya. Peran kelompok sebagai pemberi
pengaruh mengarahkan pada hipotesis bahwa kelembagaan formal pemerintah
desa mempengaruhi preferensi politik anggota. Adapun bentuk pengaruh
kelembagaan dalam menentukan tindakan anggotanya mengacu teori Sjaf (2013)
yaitu bentuk pengaruh struktural dan konstruktif. Pengaruh struktural yaitu
pengaruh-pengaruh yang bersifat hierarkis dan kepatuhan sesuai posisi dalam
kelompok. Sebaliknya pengaruh konstruktif menekankan pada pengaruh-pengaruh
yang dibangun dan disepakati bersama. Pada kelompok kelembagaan formal
pemerintah desa, diduga pengaruh yang lebih dominan adalah pengaruh struktural,
dimana posisi dalam hierarki berkemungkinan besar menentukan tindakan
anggota.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelembagaan formal pemerintah desa
berpengaruh pada taraf sedang dengan persentase 60 persen (tabel 28) dalam
penetapan keputusan dan tindakan-tindakan yang dilakukan anggotanya. Sejumlah
23.3 persen responden merasakan adanya pengaruh yang tinggi pada kelembagaan
formal pemerintah desa dalam penentuan tindakannya. Adapun 16.7 persen
responden lainnya kurang merasakan adanya pengaruh kelembagaan dalam
kaitannya penentuan tindakan individu.
Tabel 28 Frekuensi dan persentase pengaruh kelembagaan dalam penentuan
tindakan anggota pada kelembagaan formal
Kategori Jumlah responden Persentase ( %)
Tinggi 7 23.30
Sedang 18 60
Rendah 5 16.70
Total 30 100.00
65
Pengaruh pada taraf sedang menunjukkan bahwa secara umum tidak ada
pengaruh yang dominan dalam penentuan tindakan anggota. Anggota merasakan
adanya pengaruh-pengaruh dari kelembagaan yang dinaungi namun belum
mencapai pada pengaruh pada taraf tinggi (berpengaruh seenuhnya dalam
berbagai macam hal penentuan tindakan). Hal ini dimungkinkan terjadi mengingat
mayoritas anggota kelembagaan pemerintah desa adalah orang-orang baru. Orang-
orang baru ini masih berada pada tahap penyesuaian dengan aturan dan budaya
dalam kelembagaan pemerintah desa. Adapun orang-orang lama dalam lembaga
ini sudah barang tentu lebih memahami aturan main dan budaya dalam
kelembagaan sehingga pengaruh kelembagaan boleh jadi lebih besar.
Untuk memastikan segregasi tingkat pengaruh berdasarkan lamanya
menjadi anggota, berikut disajikan tabel tingkat pengaruh berdasarkan lamanya
menjadi anggota:
Tabel 29 Frekuensi dan persentase pengaruh kelembagaan berdasarkan lamanya
menjadi anggota pada kelembagaan formal
Lama
menjadi
anggota
Pengaruh Total
Rendah Sedang Tinggi
n % n % n % N %
Anggota
lama
3 10 8 26.67 4 13.33 15 50.00
Anggota
baru
2 6.67 10 33.33 3 10 15 50.00
Total 5 16.7 18 60 7 23.3 30 100.00
Tabel 29 menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan pada
tingkat pengaruh kelembagaan berdasarkan lamanya menjadi anggota. Seperti
yang telah disebutkan pada pengantar bab, jumlah responden yang merupakan
anggota baru berjumlah sama dengan jumlah responden yang merupakan anggota
lama, yaitu sebanyak 15 orang sehingga totalnya berjumlah 30 orang. Pada
pengaruh taraf tinggi, anggota lama menduduki nilai 1 poin lebih tinggi
dibandingkan anggota baru. Artinya, pada anggota kelembagaan lama, sejumlah 4
orang responden merasakan pengaruh kelembagaan yang tinggi. Adapun sebanyak
3 orang anggota baru merasakan juga pengaruh yang tinggi pada kelembagaan
formal. Begitu pula yang terjadi pada taraf sedang. Tidak ada perbedaan angka
(nilai) yang signifikan. Perbandingannya adalah 8 (anggota lama) dan 10 (anggota
baru). Terakhir, yaitu pada taraf rendah, juga tidak ditemukan perbedaan yang
berarti. Berarti dalam hal ini, lamanya menjadi anggota belum tentu menjadi
faktor yang menentukan tingkat pengaruh kelembagaan terhadap penentuan
tindakan anggotanya.
Setelah memastikan angka-angka berdasarkan lamanya menjadi anggota,
secara lebih detil dianalisis tingkat pengaruh berdasarkan posisi sosial dalam
hierarki kelembagaan pemerintah formal.
66
Tabel 30 Frekuensi dan persentase pengaruh berdasarkan posisi sosial dalam
hierarki kelembagaan pada kelembagaan formal
Posisi
sosial
Pengaruh Total
Rendah Sedang Tinggi
n % N % n % N %
Pengurus
inti
0 0 2 6.67 1 3.33 3 10
Pengurus
harian
2 6.67 3 10 1 3.33 6 20
Staf 1 3.33 0 0 0 0 1 3.33
Anggota 2 6.67 13 43.98 5 16.67 20 66.67
Total 5 16.77 18 60 7 23.33 30 100.00
Tabel 30 menunjukkan bahwa pada posisi sosial paling bawah (anggota),
pengaruhnya cenderung lebih besar dibandingkan dengan 2 posisi di atasnya
(pengurus harian dan pengurus inti). Begitu pula pada posisi paling tinggi, tingkat
pengaruh juga cenderung lebih besar. Hal ini sesuai dengan asumsi yang dibangun
pada definisi operasional bahwa individu dengan posisi sosial yang rendah dalam
hierarki kelembagaan akan mengalami tekanan struktur yang besar sehingga
pengaruh (intervensi) kelembagaan menjadi besar. Sebaliknya individu yang
berada pada posisi yang tinggi dalam kelembagaan tidak mengalami tekanan
struktur. Pengaruh yang besar pada anggota dengan posisi sosial di atas lebih
disebabkan karena keterikatan anggota tersebut dalam kelembagaan.
“...Tentunya sesuai aturan, namun dalam perjalanannya tentu ada
yang harus kita tentukan sendiri dengan kebijakan kita dengan
pengalaman kita. Sebaiknya bagaimana. Asal paham sekali sebatas
mana yang boleh dan tidak...” (Pon, Kepala Dusun Sekarputih
kelembagaan formal pemerintah desa)
Sebaliknya individu dengan posisi paling rendah akan sepenuhnya bertindak
sesuai dengan perintah individu yang memiliki posisi sosial yang tinggi.
“...Saya melakukan sesuai dengan apa yang diperintahkan pak inggi
(Kepala Desa). Kan saya bawahan. Sana yang memutuskan. Saya
yang menjalankan sesuai yang diperintahkan...” (Sam, anggota
kelembagaan formal pemerintah desa)
Pengaruh kelembagaan dalam menentukan tindakan anggotanya dalam
penelitian ini terbagi dalam dua bentuk (merujuk Sjaf 2013), yaitu pengaruh
struktural dan pengaruh konstruktif. Bentuk pengaruh struktural yaitu pengaruh
yang mempertimbangkan posisi, kemampuan menentukan tindakan, dan
keterikatan dalam kelembagaan. Sebaliknya pengaruh konstruktif yaitu pengaruh
yang mempertimbangkan jalinan komunikasi, jaringan sosial, kemampuan
melakukan peran yang variatif, dan lain-lain. Hasil penelitian yang dilakukan
menunjukkan bahwa bentuk pengaruh yang paling tinggi angkanya pada taraf
sedang.
67
Tabel 31 Frekuensi dan persentase pengaruh struktural dalam penentuan tindakan
anggota pada kelembagaan formal
Kategori Jumlah responden Persentase ( %)
Tinggi 9 30.00
Sedang 21 70.00 Rendah 0 0
Total 30 100.00
Tabel 31 menunjukkan bahwa mayoritas anggota kelembagaan formal (70
persen) merasakan pengaruh struktural pada taraf sedang. Adapun sebanyak 30
persen anggotanya merasakan pengaruh struktural pada taraf tinggi. Dalam hal ini,
tidak ditemukan satu pun responden yang menyatakan bahwa kelembagaan formal
tidak membawa pengaruh struktural sedikit pun. Hal ini menunjukkan tingginya
pengaruh struktudal pada kelembagaan formal pemerintah desa.
Tabel 32 Frekuensi dan persentase pengaruh konstruktif dalam penentuan
tindakan anggota pada kelembagaan formal
Kategori Jumlah responden Persentase ( %)
Tinggi 0 0
Sedang 23 76.70 Rendah 7 23.30
Total 30 100.00
Berkebalikan dengan hasil yang didapat pada pengaruh struktural, dalam
pengaruh konstruktif, tidak ditemui satu pun responden yang merasakan pengaruh
konstruktif pada taraf tinggi. Sebanyak 76.7 persen responden menyatakan
merasakan pengaruh konstruktif pada taraf sedang, dan sisanya sebanyak 23.3
persen menyatakan merasakan pengaruh konstruktif pada taraf rendah.
Hasil yang ditunjukkan pada kedua tabel di atas memperlihatkan bentuk
pengaruh kelembagaan formal pemerintah desa tidak mutlak dominan satu sama
lain. Hal ini terlihat dari persentase terbesar pada kedua bentuk pengaruh tersebut
berada pada taraf sedang, yaitu 70 persen pada pengaruh struktural, dan 76.7
persen pada pengaruh konstruktif. Namun demikian, bila dilihat lebih detil, pada
taraf tinggi, pengaruh struktural memiliki persentase yang lebih tinggi (30 persen)
daripada pengaruh konstruktif (0 persen). Hasil tersebut menunjukkan bahwa
dalam kelembagaan formal pemerintah desa, bentuk pengaruh struktural lebih
nampak dan dirasakan dibandingkan pengaruh konstruktif.
Preferensi Politik Anggota
Perilaku pemilih secara sederhana didefinisikan sebagai suatu studi yang
memusatkan diri pada bidang yang menggeluti kebiasaan atau kecenderungan
pilihan rakyat dalam pemilihan umum serta latar belakang mengapa mereka
melakukan pilihan itu (Plano, Ringgs, & Robin 1985). Preferensi politik dalam hal
ini direpresentasikan oleh tipe perilaku pemilih yang meliputi tipe psikologi,
sosiologi, ekonomi. Tipe perilaku psikologi mempertimbangkan unsur loyalitas
pemilih terhadap kandidat, pembentukan sikap politik, dan keterdedahan terhadap
68
pendidikan politik. Adapun tipe perilaku sosiologi menekankan pada aspek-aspek
sosial seperti kohesi sosial, pengelompokan sosial, dan informasi sosial. Terakhir,
tipe perilaku ekonomi, menekankan pada aspek-aspek kebutuhan konkret pemilih,
tujuan pemilih, dan orientasi pemilih. Berikut adalah tabel jumlah dan persentase
preferensi politik dilihat dari tipe perilaku pemilihnya.
Tabel 33 Frekuensi dan persentase tipe perilaku psikologi pada kelembagaan
formal
Kategori Jumlah responden Persentase ( %)
Tinggi 10 33.30
Sedang 17 56.70 Rendah 3 10.00
Total 30 100.00
Seperti tertera pada tabel 33, tipe perilaku psikologi mayoritas berada pada
taraf sedang (56.7 persen). Begitu juga pada taraf tinggi, angka persentase yang
cukup tinggi didapat yaitu 33.3 persen. Artinya, dalam menetapkan preferensi
politik, pertimbangan-pertimbangan psikologis banyak berperan dan tidak jarang
menjadi pertimbangan utama. Adapun pertimbangan-pertimbangan psikologis
yang banyak dijumpai pada responden yang diwawancarai adalah loyalitas karena
trah politik yang dimiliki kandidat. Kepemilikan warisan sejarah pemimpin
menjadi kekuatan utama. Seperti diketahui, saudara, ayah, dan kakeknya
merupakan mantan Kepala Desa di Desa Sumberejo. Citra yang baik yang
berhasil dibangun keluarga ini membawa kandidat nomor urut 1 kemudian berani
dan masih mendapat dukungan dari loyalis-loyalis keluarganya.
“...Disini, orang-orang muda itu pendukungnya Pak At, kalau pak
Akh itu yang tua-tua yang dukung, mbak. Soalnya melihat dulu
pemerintahan orang tua dan kakeknya bagus...” (Suh, anggota
kelembagaan formal pemerintah desa)
“...Pilih yang dekat, yang kenal. Akh ini orangnya baik. Bapak dan
kakeknya riwayatnya baik...” (Man, anggota kelembagaan formal
pemerintah desa)
Sedangkan pada kandidat nomor urut 2 (pemenang), ketokohan dan karakter
kandidat yang dinilai baik menjadi kekuatan utama. Seperti diketahui, kandidat
nomor urut 2 (pemenang) merupakan guru agama sekaligus tokoh agama muda di
desanya sehingga para orang tua yang puteranya mengaji padanya lebih
mempercayakan tampuk kepemimpinan kepada kandidat nomor urut 2.
“...Orangnya baik, karakternya baik, ke masyarakat baik, agamanya
baik, NU-nya baik...” (Sul, anggota kelembagaan formal pemerintah
desa)
Kandidat nomor urut 2 pada periode sebelumnya sempat mencalonkan diri
sebagai Kepala Desa namun tidak berhasil memenangkan jumlah suara. Pada
pemilihan kepala desa kali ini, loyalis-loyalis kandidat nomor urut 2 semakin solid
69
dan banyak sehingga berhasil memenangkan perhelatan politik pemilihan kepala
desa di tahun 2014.
Tabel 34 Frekuensi dan persentase tipe perilaku sosiologi pada kelembagaan
formal
Kategori Jumlah responden Persentase ( %)
Tinggi 10 33.33
Sedang 16 53.33 Rendah 4 13.33
Total 30 100.00
Nilai yang sama dengan tipe perilaku psikologi pada taraf tinggi, diperoleh
tipe perilaku sosiologi. Isu yang sempat santer berkembang dan berhasil
memobilisasi suara ke kandidat nomor urut 2 adalah adanya isu bahwa kandidat
nomor urut 1 merupakan perpanjangan tangan dari kepala desa periode
sebelumnya. Terlebih kepala desa sebelumnya secara terang-terangan menyatakan
dukungannya kepada kandidat nomor urut 1. Awalnya, dukungan ini dianggap
sebagai tanda akan diterimanya kemenangan mutlak bagi kandidat nomor urut 1
dengan membawa embel-embel kepala desa lama yang terkenal ditakuti oleh
warga Desa Sumberejo. Fakta yang terjadi adalah sebaliknya, isu ini membawa
kandidat nomor urut 1 kehilangan banyak dukungan. Dukungan justru terpusat
kepada kandidat nomor urut 2 karena isu yang beredar tersebut.
“...Dukungan dari mantannya malah ngerusak suara. Dipikirnya
tadinya akan bikin suaranya jadi banyak eeh ternyata malah jadi
ngurangi...” (Sun, anggota kelembagaan formal pemerintah desa)
Ditambah lagi dengan visi kandidat nomor urut 2 yang berani memberikan
janji untuk menjadi kepala desa yang berkebalikan karakter dengan kepala desa
sebelumnya dengan tagline andalannya „ora nargetan‟. Alasan-alasan sosiologis
akibat isu yang berkembang ini menjadikan suara kemudian berat di kandidat
nomor urut 2.
“...Dulu raskin itu seret turunnya. Sekarang ndak lagi. Pajak juga
dijanjikan gratis. Biaya nikah juga. Duh kalau dulu nikah bayarnya
mahal. Anak saya ini yang nikah saya kena delapan ratus ribu...”(Ket,
anggota kelembagaan formal pemerintah desa)
Tabel 35 Frekuensi dan persentase tipe perilaku ekonomi pada kelembagaan
formal
Kategori Jumlah responden Persentase ( %)
Tinggi 0 0
Sedang 22 73.30 Rendah 8 26.70
Total 30 100.00
Adapun pada tipe perilaku ekonomi, tidak ada satu responden pun yang
memiliki nilai pada taraf tinggi. Seperti pada hasil analisis pengaruh kelembagaan
70
terhadap preferensi politik anggota secara keseluruhan pada bab sebelumnya,
pertimbangan-pertimbangan ekonomi bukan menjadi alasan utama dalam
menentukan preferensi politik, namun pertimbangan ekoomi juga bukan hal yang
dikesampingkan pemilih. Pertimbangan ekonomi menjadi pertimbangan lain di
samping pertimbangan-pertimbangan bersifat psikologis dan sosiologis pada
pemilih.
Hasil yang telah dipaparkan di atas menunjukkan bahwa tipe perilaku
pemilih soseorang tidak dapat mutlak mengacu pada satu tipe saja. Sebagai
contoh, seorang dengan tipe psikologi (skor tipe psikologi tinggi), ternyata juga
memiliki ciri-ciri memilih bertipe sosiologi (skor sosiologi sedang). Hal ini
menunjukkan bahwa dalam menentukan pilihan kandidat kepala desa, para
anggota kelembagaan memiliki pertimbangan-pertimbangan yang kompleks. Satu
orang boleh jadi memilih karena loyalitasnya namun sekaligus karena alasan-
alasan ekonomi tertentu.
Seperti diketahui, kelembagaan formal merupakan kelembagaan dengan
struktur (hierarki) sebagai ciri utamanya. Maka untuk melihat pengaruh
kelembagaan terhadap penentuan tindakan anggota, ciri tersebut dapat digunakan
sebagai dasar. Faktor lain yang juga dapat dilihat yaitu lamanya menjadi anggota.
Faktor ini dimungkinkan ada terkait dengan internalisasi nilai-nilai kelembagaan
dalam diri individu anggota. Anggota lama tentunya lebih dahulu mengenal
kelembagaan yang menanungi daripada anggota baru sehingga aturan dan nilai
yang ada di dalam kelembagaan sangat dimungkinkan lebih diresapi oleh anggota
lama. Posisi sosial dan lamanya menjadi anggota adalah dua hal yang sangat
dimungkinkan menjadi faktor yang melatarbelakangi tingkat pengaruh
kelembagaan. Berikut adalah tabel tingkat pengaruh dilihat dari lamanya menjadi
anggota.
Tabel 36 Frekuensi dan persentase tipe perilaku pemilih psikologi berdasarkan
lamanya menjadi anggota pada kelembagaan formal
Lama
menjadi
anggota
Tipe perilaku psikologi Total
Rendah Sedang Tinggi
n % N % n % N %
Anggota
lama
2 6.67 9 30 4 13.33 15 50.00
Anggota
baru
1 3.33 8 26.67 6 20 15 50.00
Total 3 10 17 56.67 10 33.3 30 100.00
Tabel 36 menunjukkan bahwa pada tipe perilaku psikologi, responden
kelembagaan formal mayoritas menempatkan pertimbangan-pertimbangan
psikologis untuk menetapkan preferensi politik pada taraf sedang (56.7 persen).
Tidak ada perbedaan yang signifikan pada tipe ini baik di anggota lama maupun
anggota baru. Pada taraf sedang terlihat bahwa angka pada anggota lama lebih
tinggi (30 persen) dibanding angka pada anggota baru (26.67 persen). Namun
pada taraf tinggi, anggota baru justru lebih tinggi nilainya (20 persen) dibanding
anggota lama (13.33 persen). Artinya, pada tipe psikologi, anggota lama dan
anggota baru memiliki peluang yang sama untuk menjadikan pertimbangan-
71
pertimbangan psikologis menjadi pertimbangan utama ataupun pertimbangan lain
dalam penentuan preferensi politik.
Tabel 37 Frekuensi dan persentase tipe perilaku pemilih sosiologi berdasarkan
lamanya menjadi anggota pada kelembagaan formal
Lama
menjadi
anggota
Tipe perilaku sosiologi Total
Rendah Sedang Tinggi
N % n % n % N %
Anggota
lama
2 6.67 8 26.67 5 16.67 15 50.00
Anggota
baru
2 6.67 8 26.67 5 16.67 15 50.00
Total 4 13.3 16 53.34 10 33.34 30 100.00
Angka yang menarik ditunjukkan pada tabel 37. Terlihat bahwa tidak ada
sama sekali perbedaan persentase pada anggota lama dan anggota baru. Angka
yang sama persis mengisi pada taraf rendah (6.67 persen), sedang (53.3 persen),
maupun tinggi (33.3 persen). Hal ini menunjukkan bahwa tipe perilaku sosiologi
dapat dimungkinkan menjadi pertimbangan utama dan pertimbangan lain pada
anggota lama maupun anggota baru. Anggota lama seperti dijelaskan sebelumnya,
memiliki keterikatan yang mendalam kepada kelembagaan sehingga kemudian
terjadi obrolan-obrolan yang secara sadar maupun tidak mengarahkan pada
kesepakatan pilihan yang sama.
“...Ya milih temen sendiri mbak. Sesama pegawai di desa. Teman-
teman dan pak Kepala Desa juga milih dia kompak. Tapi ada
beberapa juga orang lama yang ndak milih pak Ak...” (Suh, anggota
kelembagaan formal pemerintah desa)
Adapun pada anggota baru, pertimbangan-pertimbangan sosiologis berasal dari
lingkungan sekitar.
“...Saya ikut orang kebanyakan, mbak. Kok arahnya sepertinya ke
nomor 1, saya ikut. Bagus memang kelihatannya peluangnya...” (Ana,
anggota kelembagaan formal pemerintah desa)
Tabel 38 Frekuensi dan persentase tipe perilaku pemilih ekonomi berdasarkan
lamanya menjadi anggota pada kelembagaan formal
Lama
menjadi
anggota
Tipe perilaku ekonomi Total
Rendah Sedang Tinggi
n % N % n % N %
Anggota
lama
5 16.67 10 33.33 0 0 15 50.00
Anggota
baru
3 10 12 40 0 0 15 50.00
Total 8 26.7 22 73.33 0 0 30 100.00
72
Menarik kemudian melihat angka pada tipe perilaku pemilih ekonomi.
Kedua kelembagaan secara sama tidak menempatkan pertimbangan ekonomi
sebagai pertimbangan yang utama. Hal ini ditunjukkan dengan nilai 0 persen pada
tipe perilaku ekonomi taraf tinggi. Artinya, seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya bahwa pertimbangan ekonomi tidak menjadi pertimbangan utama.
Pertimbangan-pertimbangan ekonomi menjadi pertimbangan lain anggota setelah
pertimbangan psikologis dan sosiologis.
Faktor kedua yang dimungkinkan menjadi penentu tipe perilaku pemilih
adalah posisi sosial anggota dalam hierarki kelembagaan. Hasil penelitian
menunjukkan data sebagai berikut:
Tabel 39 Frekuensi dan persentase tipe perilaku psikologi berdasarkan posisi
sosial dalam hierarki kelembagaan pada kelembagaan formal
Lama
menjadi
anggota
Tipe perilaku psikologi Total
Rendah Sedang Tinggi
n % n % n % N %
Pengurus
inti
1 3.33 0 0 2 6.67 3 10
Pengurus
harian
1 3.33 3 10 2 6.67 6 20
Staf 0 0 0 0 1 3.33 1 3.33
Anggota 1 3.33 14 46.67 5 16.67 20 66.67
Total 3 10 17 56.7 10 33.34 30 100.00
Hasil yang ditunjukkan tabel 39 memperlihatkan beragamnya nilai taraf tipe
perilaku psikologi pada masing-masing posisi sosial. Pada anggota dengan posisi
paling tinggi (pengurus inti), didapat hasil bahwa 2 dari sejumlah 3 pengurus inti,
menempatkan pertimbangan-pertimbangan psikologis pada taraf tinggi. Artinya,
anggota kelembagaan dengan posisi yang tinggi lebih condong ke tipe psikologi.
Adapun pada posisi pengurus harian, angka tertinggi ditunjukkan pada taraf
sedang. Begitu pula pada posisi anggota, menempati posisi sedang. Hal ini
menunjukkan bahwa dalam penetapan preferensi politik, pertimbangan psikologi
tersebar secara merata dan tidak dapat dicondongkan pada satu posisi anggota
dalam kelembagaan.
Tabel 40 Frekuensi dan persentase tipe perilaku sosiologi berdasarkan posisi
sosial dalam hierarki kelembagaan pada kelembagaan formal
Lama
menjadi
anggota
Tipe perilaku sosiologi Total
Rendah Sedang Tinggi
n % N % n % N %
Pengurus
inti
0 0 1 3.33 2 6.67 3 10
Pengurus
harian
2 6.67 2 6.67 2 6.67 6 20
Staf 0 0 1 3.33 0 0 1 3.33
Anggota 2 6.67 12 40 6 20 20 66.67
Total 4 13.3 16 53.3 10 33.3 30 100.00
73
Tidak ditemukan perbedaan yang cukup signifikan pada tipe perilaku
pemilih dilihat dari posisi sosialnya. Namun demikian, bila ditelisik lebih dalam,
dapat dilihat bahwa terdapat angka persentase yang cukup tinggi pada kelompok
posisi sosial paling tinggi (pengurus inti) dan kelompok posisi sosial paling
rendah (anggota). Sebanyak 2 dari 3 pengurus inti (66.67 persen) menempati taraf
tinggi pada tipe perilaku sosiologi. Adapun pada anggota, sebanyak 12 dari 20
anggota (60 persen) menempati taraf sedang, dan sebanyak 6 dari 20 anggota (30
persen) menempati taraf tinggi. Hal ini membuktikan bahwa pada kelompok
posisi sosial tinggi, pertimbangan-pertimbangan memilih dengan alasan sosiologis
adalah tinggi (karena arahan dari Kepala Desa lama dan atas nama kohesi sosial).
Adapun pada kelompok posisi sosial rendah, tingginya angka tipe perilaku
sosiologi dapat disebabkan dari pengaruh lingkungan yang senantiasa mewarnai
dinamika pada Pemilihan Kepala Desa Sumberejo. Isu-isu yang silih berganti
datang mampu mengkonstruksi bangunan pikiran dan pertimbangan pemilih
dalam menetapkan preferensi politiknya.
Tabel 41 Frekuensi dan persentase tipe perilaku ekonomi berdasarkan posisi sosial
dalam hierarki kelembagaan pada kelembagaan formal
Lama
menjadi
anggota
Tipe perilaku ekonomi Total
Rendah Sedang Tinggi
n % N % n % N %
Pengurus
inti
1 3.33 2 6.67 0 0 3 10
Pengurus
harian
2 6.67 4 13.33 0 0 6 20
Staf 1 3.3 0 0 0 0 1 3.33
Anggota 4 13.34 16 53.34 0 0 20 66.67
Total 8 26.64 22 73.3 0 0 30 100.00
Menarik untuk melihat hasil penelitian terkait tipe perilaku ekonomi. Bahwa
benar jika motif-motif ekonomi bukan merupakan pertimbangan utama dalam
penentuan preferensi politik. Terlihat pada tabel bahwa pada kesemua kelompok
posisi sosial, tidak satu pun kelompok yang memiliki nilai pada taraf tinggi pada
tipe perilaku ekonomi. Artinya bahwa memang pertimbangan-pertimbangan
ekonomi tidak menjadi hal utama dalam penentuan preferensi politik.
Ketiga tabel yang telah dijelaskan di atas menjelaskan secara detil tipe
perilaku pemilih dibedakan berdasarkan posisi sosial. Adapun jumlah total
anggota berdasarkan golongan posisi yaitu anggota sebanyak 20 orang, staf 1
orang, pengurus harian 6 orang, dan pengurus inti sebanyak 3 orang. Sedikit
berbeda dengan hasil yang didapatkan pada sub bab sebelumnya (pengaruh
kelembagaan dalam menentukan tindakan anggota), dalam hal penentuan
preferensi politik, posisi sosial tidak dapat ditarik garis yang jelas (dominan)
dengan kecondongan preferensinya. Pada golongan anggota, misalnya, tidak ada
tipe perilaku yang angkanya mendominasi secara signifikan. Anggota memilih
dengan pertimbangan yang beragam. Dan kesemua pertimbangan menempati pada
taraf sedang. Hal ini menunjukkan bahwa pada golongan anggota, ketiga
pertimbangan (psikologi, sosiologi, ekonomi) ditempatkan secara seimbang.
74
Adapun pada golongan staf, tipe perilaku psikologi menempati nilai pada taraf
tinggi, tipe perilaku sosiologi menempati taraf rendah, dan tipe perilaku ekonomi
menempati taraf rendah.
Selanjutnya pada golongan pengurus harian, tipe perilaku psikologi dan
ekonomi menempati pada taraf sedang. Adapun pada tipe perilaku sosiologi,
angka yang sama (33.33 persen) didapatkan baik pada taraf tinggi, sedang,
maupun rendah. Terakhir, pada golongan pengurus inti, didapatkan nilai pada
taraf tinggi baik di tipe perilaku sosiologi maupun di tipe perilaku psikologi
dengan angka yang sama, yaitu 66.67 persen. Hal ini menunjukkan bahwa pada
posisi paling tinggi, pertimbangan-pertimbangan psikologis dan sosiologis dapat
menjadi dua pertimbangan kuat sekaligus. Adapun pada tipe perilaku ekonomi,
pada semua golongan ditemukan pada taraf sedang dengan angka-angka yang
tinggi. Seperti yang telah dijelaskan pada sub bab sebelumnya bahwa
pertimbangan-pertimbangan ekonomi selalu mewarnai penentuan preferensi
politik namun tetap bukan menjadi pertimbangan utama.
Pengaruh Kelembagaan Formal terhadap Preferensi Politik Anggota
Pengaruh kelembagaan terhadap preferensi politik anggota diduga peneliti
dengan berdasarkan teori paham komunitarianisme yang dikemukakan oleh
Hardiman dalam Sjaf (2013). Adapun analisis pengaruh dilakukan dengan
menggunakan aplikasis statistik regresi linear dengan alpha 10 persen.
Tabel 42 Pengaruh kelembagaan terhadap preferensi politik pada kelembagaan
formal
Pengaruh X (Pengaruh
kelembagaan)-Y
(Preferensi politik)
Nilai R
sq
Nilai
sig T hitung Kesimpulan
Pengaruh-tipe 0.047 0.250 1.174 Tidak berpengaruh
Struktural-psikologi 0.062 0.186 -1.356 Tidak berpengaruh
Struktural-sosiologi 0.127 0.053 2.018 Berpengaruh
Struktural-ekonomi 0.053 0.221 1.252 Tidak berpengaruh
Konstruktif-psikologi 0.02 0.805 -0.249 Tidak berpengaruh
Konstruktif-sosiologi 0.02 0.800 0.256 Tidak berpengaruh
Konstruktif-ekonomi 0.041 0.284 1.091 Tidak berpengaruh
Tabel di atas menunjukkan bahwa satu-satunya hubungan pengaruh yang
ditemukan yaitu pengaruh secara struktural terhadap tipe perilaku pemilih
sosiologi dengan nilai signifikan 0.053. Adapun model pengaruh tersebut
menjelaskan 12.7 persen pengaruh struktural terhadap variabel tipe perilaku
pemilih sosiologi, sisanya (87.3 persen) dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak
diteliti. Seperti pada bahasan sebelumnya yang menunjukkan lebih tingginya nilai
pengaruh struktural dibandingkan pengaruh konstruktif pada kelembagaan formal
pemerintah desa menunjukkan bahwa hal-hal terkait dengan struktur seperti posisi
dalam kelembagaan, kemampuan mengkonstruksi peran, keanggotaan, keterikatan
dengan kelembagaan, banyak mempengaruhi anggota kelembagaan formal
pemerintah desa dalam menentukan tindakan-tindakannya, termasuk pula dalam
hal penentuan preferensi politik, khususnya pada tipe perilaku pemilih sosiologi.
75
Pengaruh struktural terhadap tipe perilaku pemilih sosiologi terjadi pada
sejumlah anggota lama dalam pemerintah desa. Anggota-anggota lama berupa
perangkat desa (pejabat tinggi di pemerintah desa) mendapat arahan dari Kepala
Desa lama untuk memilih kandidat tertentu. Kemudian terjadi kesepakatan (secara
sadar atau tidak) pada beberapa anggota lama untuk memilih kandidat sesuai yang
diarahkan Kepala Desa lama. Informan mengatakan mantan kepala desa tidak
melakukan mobilisasi suara. Mantan kepala desa mengarahkan kepada teman-
teman untuk memilih yang dikenal dan diketahui kinerjanya.
“...Milih iku sekarepe samean, tapi wayahe yo milih kancane dewe
lak, yo?...” (Memilih itu terserah pada diri sendiri, tapi seharusnya ya
pilih teman sendiri kan, ya?) (Perkataan Kepala Desa lama dikutip
Suh, anggota kelembagaan formal pemerintah desa)
“...Ya. Pak Sam pilih Pak Ak. Kita semua orang lama milihnya sama
dengan Pak Sam. Teman sudah lama di perangkat...” (Pon, anggota
kelembagaan formal pemerintah desa)
“...Teman sendiri. Sudah sama-sama lama mengabdi. Sudah sangat
ngerti kerjanya. Dari keturunannya juga sudah terbukti...” (Dja,
anggota kelembagaan formal pemerintah desa)
“...Ya milih temen sendiri mbak. Sesama pegawai di desa. Teman-
teman dan pak Kepala Desa juga milih dia kompak. Tapi ada
beberapa juga orang lama yang ndak milih Pak Ak...” (Suh, anggota
kelembagaan formal pemerintan desa)
Hal ini menunjukkan bahwa kelembagaan formal pemerintah desa memiliki
kohesi sosial yang terbilang cukup tinggi. Anggota kelembagaan menetapkan
pilihan politiknya sesuai dengan pilihan-pilihan yang diarahkan oleh pemimpin
dalam kelembagaan.
Namun demikian, tidak semua anggota lama menetapkan preferensi
politiknya kepada kandidat tertentu sesuai arahan Kepala Desa. Kasus ini hanya
berlaku pada anggota lama yang memiliki hubungan yang intens (komunikasi
baik) dengan Kepala Desa lama setiap hari. Mereka adalah anggota kelembagaan
lama yang memiliki jabatan tinggi di pemerintah desa.
Tabel 43 Frekuensi dan persentase preferensi politik berdasarkan lamanya
menjadi anggota pada kelembagaan formal
Lama menjadi
anggota
Preferensi politik Total
Memilih kandidat 1 Memilih kandidat 2
N % n % N %
Anggota lama 6 20 9 30 15 50.00
Anggota baru 1 3.33 14 46.67 15 50.00
Total 7 23.33 15 76.67 30 100.00
76
Tabel 43 menunjukkan bahwa 6 dari 15 orang anggota lama (40 persen)
memilih kandidat nomor 1 sesuai arahan dari Kepala Desa lama. Adapun dari 6
orang yang memilih kandidat nomor urut 1, 3 orang di antaranya adalah anggota
berposisi tinggi di kelembagaan formal. Sisanya sejumlah 3 orang merupakan
anggota RT-RW. Anggota RT-RW yang memilih kandidat nomor urut 1 rata-rata
memilih karena terikat hubungan persaudaraan. Sebaliknya pada anggota baru,
93.33 persen anggotanya memilih kandidat nomor urut 2. Sisanya sebanyak 6.67
persen (1 orang) memilih kandidat nomor urut 1 karena memiliki hubungan
saudara dengan kandidat bersangkutan. Dari hasil data tersebut dapat dikatakan
bahwa posisi sosial dan lamanya menjadi anggota berkontribusi terhadap
pemberian pengaruh kelembagaan terhadap penetapan preferensi politik
anggotanya.
Adapun dalam hubungan antara variabel X dan Y lainnya, tidak ditemukan
adanya pengaruh. Secara umum, kelembagaan formal pemerintah desa tidak
mempengaruhi preferensi politik anggota. Hal ini ditunjukkan dengan nilai
signifikansi pada hubungan pengaruh ini yaitu sebesar 0.250 (>alpha 0.1) dengan
nilai T hitung 1.174 (<6.313752). Artinya, dugaan peneliti yaitu kelembagaan
formal mempengaruhi preferensi politik anggota, tidak dapat diterima. Namun
demikian, secara lebih spesifik dapat dikatakan bahwa kelembagaan formal
memberi pengaruh secara struktural sehingga memunculkan preferensi politik
dengan tipe perilaku pemilih sosiologi.
Analisis Pengaruh Kelembagaan Informal terhadap Preferensi Politik
Anggota
Selain kelembagaan formal, kelembagaan informal juga dimungkinkan
memiliki pengaruh-pengaruh dalam kaitannya penetapan preferensi politik
anggota. Sub bab ini akan memaparkan pengaruh-pengaruh yang ada di
kelembagaan informal pengajian muslimat Desa Sumberejo dalam kaitannya
dengan penentuan preferensi politik anggota. Analisis yang dijabarkan didasarkan
pada teori politik identitas yang dikemukakan oleh Hardiman dalam Sjaf (2013)
dimana tindakan politis individu dilakukan dengan dua alasan utama, yaitu karena
kemauan diri (paham individualisme) atau pengaruh dari latar belakang
kelompoknya (paham komunitarianisme). Peneliti menduga bahwa kelembagaan
informal sedikit banyak akan memengaruhi preferensi politik anggota di pedesaan
(paham komunitarianisme). Terlebih kendidat merupakan tokoh dari organisasi
Islam yang sama dengan majelis taklim yang bersangkutan. Penelitian yang
dilakukan Fatamorgana (2012) di Jawa Timur menunjukkan bahwa organisasi
Islam Nahdhatul Ulama (NU) memiliki massa yang besar dan dalam memilih
pemimpin (dalam hal ini adalah pemilihan gubernur), massa organisasi islam NU
akan condong kepada sesama anggota NU. Hal ini senada dengan yang terjadi di
Desa Sumberejo. Salah satu kandidat merupakan anggota aktif di keorganisasian
NU dan menjadi ketua ranting Desa Sumberejo sejak tahun 2012. Adapun bentuk
pengaruh kelembagaan informal pengajian muslimat diduga peneliti berupa
pengaruh konstruktif. Penelitian yang dilakukan mencatat bahwa sejumlah 90
77
persen anggota memilih kandidat nomor urut 2 (pemenang) dan sisanya 10 persen
memilih kandidat nomor urut 1.
Pengaruh Kelembagaan Informal dalam Penentuan Tindakan Anggota
Politik identitas yaitu tindakan politis yang mengedepankan kepentingan
kelompok karena memiliki kesamaan identitas atau karakteristik, baik berbasiskan
etnik, gender, keagamaan, dan sejenisnya (Sjaf 2013). Tindakan politis tersebut
tercermin dari aktivitas aktor dalam arena ekonomi, politik, sosial, ekonomi, dan
lain-lain. Hardiman dalam Sjaf (2013) menjelaskan ada 3 paham tantang
bagaimana individu menentukan tindakan politisnya. Paham pertama yaitu paham
individualisme menekankan pada kebebasan individu dalam bertindak. Sebaliknya
paham kedua yaitu paham komunitarianisme menekankan pada adanya pengaruh
kelompok-kelompok dalam penentuan tindakan individu. Terakhir, paham
kritisisme mengkritisi dua paham sebelumnya. Paham ini menekankan peran
komunikasi sebagai pembentuk kesepakatan dan tindakan bersama.
Penelitian ini menempatkan kelembagaan (kelompok) sebagai pemberi
pengaruh terhadap tindakan-tindakan individu anggotanya. Peran kelompok
sebagai pemberi pengaruh mengarahkan pada hipotesis bahwa kelembagaan
informal majelis taklim pengajian muslimat mempengaruhi preferensi politik
anggota. Adapun bentuk pengaruh kelembagaan dalam menentukan tindakan
anggotanya mengacu teori Sjaf (2013) yaitu bentuk pengaruh struktural dan
konstruktif. Pengaruh struktural yaitu pengaruh-pengaruh yang bersifat hierarkis
dan kepatuhan sesuai posisi dalam kelompok. Sebaliknya pengaruh konstruktif
menekankan pada pengaruh-pengaruh yang dibangun dan disepakati bersama.
Pada kelompok kelembagaan informal pengajian muslimat, diduga pengaruh yang
lebih dominan adalah pengaruh konstruktif, dimana jalinan komunikasi, jaringan
sosial, dan kemampuan mengkonstruksi peran berkemungkinan besar menentukan
tindakan anggota.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelembagaan informal pengajian
muslimat berpengaruh pada taraf sedang dengan persentase 50 persen (tabel 44)
dalam penetapan keputusan dan tindakan-tindakan yang dilakukan anggotanya.
Sejumlah 23.3 persen responden merasakan adanya pengaruh yang tinggi pada
kelembagaan informal pengajian muslimat dalam penentuan tindakannya. Adapun
26.7 persen responden lainnya kurang merasakan adanya pengaruh kelembagaan
dalam kaitannya penentuan tindakan individu.
Tabel 44 Frekuensi dan persentase pengaruh kelembagaan dalam penentuan
tindakan individu pada kelembagaan informal
Kategori Jumlah responden Persentase (%)
Tinggi 7 23.30
Sedang 15 50
Rendah 8 26.70
Total 30 100.00
Pengaruh pada taraf tinggi menunjukkan bahwa kelembagaan menjadi acuan
utama bagi individu anggota dalam menentukan tindakan-tindakannya. Adapun
78
pengaruh pada taraf sedang menunjukkan bahwa kelembagaan berpengaruh pada
tindakan tertentu dan tidak berpengaruh pada tindakan tertentu lainnya. Penentuan
tindakan dilakukan didasarkan pada arahan kelembagaan pada satu waktu, dan
didasarkan pada keputusan pribadi pada waktu lain. Dalam hal ini, anggota tidak
mutlak tunduk dengan kelembagaan yang menaungi. Paham komunitarianisme
Hardiman dalam Sjaf (2013) dalam hal ini bukan menjadi hal mutlak sebagai
alasan atau sumber penentuan tindakan anggota kelembagaan. Terakhir, pengaruh
pada taraf rendah menunjukkan bahwa dalam menentukan tindakan tertentu,
anggota tidak banyak menjadikan kelembagaan dengan aturan-aturannya sebagai
acuan utama.
Penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa secara umum kelembagaan
informal pengajian muslimat Desa Sumberejo berpengaruh terhadap penentuan
tindakan anggotanya. Seperti yang dipaparkan pada bab-bab sebelumnya,
pengaruh pada kelembagaan dapat juga muncul disebabkan oleh berbagai macam
faktor seperti posisi sosial, keterikatan dengan kelembagaan, kemampuan
menentukan tindakan, jaringan sosial, dan lain-lain. Dua hal terkait faktor-faktor
berkemungkinan menjadi penentu tingkat pengaruh kelembagaan dalam
penentuan tindakan anggotanya, yaitu posisi sosial dan lama menjadi anggota.
Berbeda dengan kelembagaan formal, dalam kelembagaan informal
pengajian muslimat faktor posisi sosial tidak dimungkinkan memberi banyak
pengaruh terhadap penentuan tindakan anggotanya. Hal ini disebabkan karena
tidak jelas dan tidak terstrukturnya hierarki dalam kelembagaan. Tentu, dalam
menentukan tindakannya, anggota kelembagaan informal lebih luwes dan bebas
tidak seperti pada kelembagaan formal. Terlebih dalam aktivitasnya, kelembagaan
informal tidak membutuhkan pemutusan tindakan yang bersifat penting dan
mendesak mengingat perkumpulan tersebut memang bukan perkumpulan profesi.
Tabel 45 Frekuensi dan persentase pengaruh kelembagaan berdasarkan posisi
sosial dalam hierarki kelembagaan pada kelembagaan informal
Posisi
sosial
Pengaruh Total
Rendah Sedang Tinggi
N % n % n % N %
Pengurus
inti
0 0 1 3.33 3 10 4 13.33
Pengurus
harian
1 3.33 1 3.33 0 0 2 6.67
Staf 2 6.67 4 13.33 0 0 6 20
Anggota 5 16.67 9 30 4 13.33 18 60
Total 8 26.7 15 50.00 7 23.33 30 100.00
Tabel 45 menunjukkan hasil yang sama sekali tidak menunjukkan
kecenderungan pengaruh posisi sosial terhadap tingkat pengaruh kelembagaan
terhadap penentuan tindakan anggota. Seperti yang sudah dijelaskan di atas, hal
ini disebabkan oleh tidak jelasnya struktur anggota dan pembagian tugas serta
tingkat kepentingan aktivitas pemutusan tindakan yang tidak mendesak.
Pun demikian dengan faktor lamanya menjadi anggota. Hal ini tidak berlaku
pada kelembagaan informal pengajian muslimat. Tidak ditemukan angka yang
signifikan yang menunjukkan kecenderungan hubungan antara lamanya menjadi
79
anggota dengan tingkat pengaruh kelembagaan terhadap penentuan tindakan
anggota. Hal ini disebabkan karena aktivitas dalam kelembagaan informal
pengajian muslimat tidak banyak dan intens.
Dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 46 Frekuensi dan persentase pengaruh kelembagaan berdasarkan lamanya
menjadi anggota
Lama
menjadi
anggota
Pengaruh Total
Rendah Sedang Tinggi
n % N % n % N %
Anggota
lama 7 23.33 13 43.33 6 20 26 86.67
Anggota
baru 1 3.33 2 6.66 1 3.33 4 13.33
Total 8 26.67 15 50 7 23.33 30 100.00
“...Muslimatan ndak (tidak) ngomong masalah itu, mbak. wong kami
Cuma pengajian saja 2 jam. Itu pun orangnya sudah tua-tua banyakan.
Ya Cuma itu aja. Tahlil sama diba‟. Ziarah kadang setahun sekali...”
(Ind, anggota pengajian muslimat)
Adapun bentuk pengaruh kelembagaan informal majelis taklim pengajian
muslimat menurut hasil penelitian dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 47 Frekuensi dan persentase pengaruh struktural dalam penentuan tindakan
anggota pada kelembagaan informal
Kategori Jumlah responden Persentase ( %)
Tinggi 0 0
Sedang 13 43.30
Rendah 17 56.70
Total 30 100.00
Tabel 47 menunjukkan hasil yang menarik terkait bentuk pengaruh
kelembagaan informal pengajian muslimat dalam penentuan tindakan anggotanya.
Tidak satu pun responden menempati nilai pengaruh struktural pada taraf tinggi (0
persen). Sebaliknya, sebanyak 56.7 persen merasakan pengaruh struktural yang
rendah pada kelembagaan informal pengajian muslimat. Sisanya yaitu sebanyak
43,3 persen menyatakan pengaruh struktural pada taraf sedang.
Tabel 48 Frekuensi dan persentase pengaruh konstruktif dalam penentuan
tindakan anggota pada kelembagaan informal
Kategori Jumlah responden Persentase ( %)
Tinggi 16 53.30 Sedang 14 46.70
Rendah 0 0
Total 30 100.00
80
Berkebalikan dengan hasil yang diperoleh pada tabel frekuensi di
pengaruh struktural, pada pengaruh konstruktif tidak satu pun responden
menempati nilai pada taraf rendah. Sebaliknya sebanyak 53.3 persen anggota
merasakan pengaruh konstruktif yang tinggi. Sisanya yaitu sebanyak 46.7 persen
merasakan pengaruh konstruktif pada taraf sedang.
Hasil yang ditunjukkan pada kedua tabel di atas memperlihatkan bentuk
pengaruh kelembagaan informal majelis taklim pengajian muslimat yang lebih
dominan adalah pengaruh konstruktif. Hal ini terlihat dari perbandingan angka
pada pegaruh struktural dan konstruktif. Nilai 53.3 persen muncul pada pengaruh
konstruktif taraf tinggi, sebaliknya nilai 0 persen didapat pada pengaruh struktural
pada taraf yang sama yaitu taraf tinggi. Begitu pula dengan nilai pada taraf rendah
dimana nilai pada pengaruh konstruktif yaitu 0 persen dan 56.7 persen pada
pengaruh struktural. Artinya, tidak ada satu pun responden yang menganggap atau
merasakan pengaruh-pengaruh struktural pada taraf tinggi, dan tidak ada satu pun
responden juga yang tidak merasakan adanya pengaruh-pengaruh konstruktif
dalam penentuan tindakan dalam kelembagaan informal majelis taklim pengajian
muslimat. Jelas bahwa pengaruh konstruktif dalam penentuan tindakan pada
kelembagaan informal majelis taklim pengajian muslimat lebih dominan daripada
pengaruh struktural.
Pengaruh-pengaruh konstruktif sangat mungkin mendominasi di
kelembagaan informal pengajian muslimat karena nilai keluwesan kelembagaan.
Komunikasi yang terjalin dengan keluwesan ini yaitu komunikasi yang lebih
horizontal. Berbeda dengan kelembagaan formal yang dicirikan oleh komunikasi
vertikalnya. Dalam hal ini pula, kemungkinan-kemungkinan untuk mencapai
kesepakatan bersama lebih besar. Setiap orang dapat dengan leluasa
mengemukakan pendapatnya terkait hal-hal yang berkaitan dengan kelembagaan.
Namun seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, kelembagaan informal tidak
memiliki aktivitas yang terbilang intens dan padat. Kegiatannya sebatas pada
acara tahlil dan diba‟ setiap hari Minggu selama 2 jam. Selebihnya adalah
kegiatan dengan hubungan ketetanggaan dan kekerabatan. Tidak lagi membawa
nama kelembagaan.
Kelembagaan pengajian muslimat di Desa Sumberejo lebih dimaknai
sebagai kegiatan pengajian tanpa ada kegiatan organisasi Islam lain. Seluruh
responden bahkan mengaku tidak pernah mengikuti acara muslimat di tingkatan
yang lebih tinggi (kecamatan atau kabupaten). Perlu diketahui bahwa
kelembagaan pengajian di Desa Sumberejo berjumlah lebih dari 5 pengajian
(tidak diketahui pastinya) dengan anggota yang relatif sama. Oleh sebab itu,
menjadi sulit untuk memahami dan mengerti pengajian mana yang membawa
pengaruh tertentu dalam penentuan preferensi politik anggota. Sangat
dimungkinkan bila satu jamaah tidak merasa dimobilisasi dan membuat
kesepakatan di dalam satu kelompok pengajian, namun dimobilisasi di kelompok
pengajian lain.
Preferensi Politik Anggota
Perilaku pemilih secara sederhana didefinisikan sebagai suatu studi yang
memusatkan diri pada bidang yang menggeluti kebiasaan atau kecenderungan
pilihan rakyat dalam pemilihan umum serta latar belakang mengapa mereka
81
melakukan pilihan itu (Plano, Ringgs, & Robin 1985). Dalam penelitian ini,
preferensi politik direpresentasikan oleh tipe perilaku pemilih yang meliputi tipe
psikologi, sosiologi, ekonomi. Tipe perilaku psikologi mempertimbangkan unsur
loyalitas pemilih terhadap kandidat, pembentukan sikap politik, dan keterdedahan
terhadap pendidikan politik. Adapun tipe perilaku sosiologi menekankan pada
aspek-aspek sosial seperti kohesi sosial, pengelompokan sosial, dan informasi
sosial. Terakhir, tipe perilaku ekonomi, menekankan pada aspek-aspek kebutuhan
konkret pemilih, tujuan pemilih, dan orientasi pemilih.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tipe perilaku pemilih kelembagaan
informal pengajian muslimat berada pada taraf sedang pada tipe psikologi (80
persen) dan ekonomi (86,7 persen). Adapun pada taraf tinggi, tipe perilaku
psikologi memiliki nilai persentase sebesar 13,3 persen, sedangkan tipe sosiologi
dan ekonomi memiliki nilai yang sama yaitu sebesar 6,7 persen.
Tabel 49 Frekuensi dan persentase tipe perilaku psikologi pada kelembagaan
informal
Kategori Jumlah responden Persentase (%)
Tinggi 4 13.30
Sedang 24 80 Rendah 2 6.70
Total 30 100.00
Tabel 49 memperlihatkan bahwa tipe perilaku psikologi dominan pada
anggota kelembagaan informal pengajian muslimat ada pada taraf sedang (80
persen). Adapun ada taraf tinggi, dijumpai angka sebesar 13.3 persen. Artinya
secara umum anggota kelembagaan informal pengajian muslimat menetapkan
preferensi politiknya dengan menggunakan pertimbangan-pertimbangan
psikologis. Dalam hal ini alasan-alasan psikologis yang paling banyak muncul
adalah karena loyalitas sebagai bentuk taat guru (pada kandidat nomor urut
2/pemenang) dan loyalitas terhadap keluarga besar kandidat (pada kandidat nomor
urut 1).
Tabel 50 Frekuensi dan persentase tipe perilaku sosiologi pada kelembagaan
informal
Kategori Jumlah responden Persentase (%)
Tinggi 2 6.70
Sedang 10 33.30
Rendah 18 60
Total 30 100.00
Tabel 50 menunjukkan hasil yang tidak pada umumnya. Sebanyak 60 persen
responden menempatkan pertimbangan-pertimbangan sosiologi pada taraf rendah.
Adapun pada taraf sedang, angka yang muncul adalah sebanyak 33.33 persen.
Sisanya pada taraf tinggi angka yang muncul yaitu 6.7 persen. Hal ini
menunjukkan bahwa pada kelembagaan informal pengajian, tidak banyak menjadi
pertimbangan utama dalam penentuan preferensi politik.
82
Tabel 51 Frekuensi dan persentase tipe perilaku ekonomi pada kelembagaan
informal
Kategori Jumlah responden Persentase (%)
Tinggi 2 6.67
Sedang 26 86.67 Rendah 2 6.67
Total 30 100.00
Terakhir, pada tabel tipe perilaku ekonomi, didapat hasil dimana 86.7
persen responden menyatakan menempatkan pertimbangan-pertimbangan
ekonomi pada taraf sedang. Adapun sebanyak 6.7 persen responden menempatkan
pertimbangan-pertimbangan ekonomi pada taraf tinggi, dan sisanya sebanyak 6.7
persen responden menyatakan bahwa pertimbangan-pertimbangan ekonomi bukan
hal yang penting.
Tingginya nilai persentase pada tipe perilaku psikologi dan tingginya nilai
persentase pada tipe perilaku sosiologi taraf rendah menunjukkan bahwa
kelembagaan informal pengajian mulsimat tidak memberikan pengaruh-perngaruh
secara signifikan dalam penentuan preferensi politiknya. Padahal seperti
diketahui, salah satu kandidat kepala desa merupakan ketua NU Ranting Desa
Sumberejo, dan fakta membuktikan bahwa 90 persen suara anggota pengajian
muslimat berada di pihak kandidat ini.
Beberapa faktor menyebabkan munculnya angka yang tinggi pada tipe
pesikologi dan justru rendah pada tipe sosiologi. Pertama, pengajian muslimat
yang menjadi unit analisis dalam penelitian ini memiliki kegiatan yang cukup
longgar dan tidak intensif. Kegiatannya meliputi pengajian rutin setiap minggu
dan sesekali (rutinnya setahun sekali) menyelenggarakan ziarah ke makam-
makam wali. Tidak ada kegiatan bersama yang lain di luar pengajian yang
diakomodir pengurus pengajian.
“...Ndak ada mbak. Muslimatan juga pengajian saja. Ndak ada yang
acara lain-lain ketemu NU. Ya pengajian begini saja...”(Roc, anggota
pengajian muslimat)
Hal ini mengakibatkan tidak terwadahinya suara-suara yang seharusnya dapat
menyumbangkan suara bulat kepada kandidat yang merupakan ketua NU ranting
Desa Sumberejo. Anggota kemudian memilih dengan pertimbangan-pertimbangan
psikologis dimana pendidikan, ketokohan, track record dan asal kandidat (daerah
timur JLT) menjadi alasan-alasan utama memilih.
“...Orangnya baik, mbak. agamis. Yakin saya milihnya. Biar berubah
Sumberejo ini...”(Ami, anggota pengajian muslimat)
Kedua, pengajian muslimat merupakan pengajian dengan jumlah anggota
paling sedikit di antara banyaknya pengajian-pengajian yang menjamur di Desa
Sumberejo. Meskipun pengajian muslimat merupakan pengajian tertua di Desa
Sumberejo, namun perlahan pengajian ini kehilangan anggotanya yang mulai
disibukkan dengan pekerjaan sebagai buruh kerupuk pada hari Minggu siang.
Anggota-anggota pengajian muslimat yang sibuk bekerja sebagai buruh kerupuk
83
kemudian berpindah institusi pengajian. Anggota pengajian muslimat yang tersisa
kemudian adalah para ibu yang sebagian berusia lanjut (kaum tua). Hal ini pula
yang mengakibatkan tidak teroraginisasinya suara dengan baik, meskipun tanpa
melakukan organisasi, suara tetap banyak di kandidat nomor urut 2 (ketua NU
Ranting Desa Sumberejo).
“...Anggotanya sekarang dikit, mbak. Dulu banyak sekali. Setelah
orang-orang kerja kerupuk itu jadi makin berkurang berkurang terus.
Sekarang tinggal yang tua-tua yang ikut muslimatan Minggu, sama
yang muda beberapa. Yang lain banyak absen ngoli (bekerja) di
kerupuk...” (Nur, anggota pengajian muslimat)
Ketiga, meskipun kandidat nomor urut 2 merupakan ketua NU Ranting Desa
Sumberejo, kandidat tercatat belum pernah menjadi penceramah di pengajian
tersebut sehingga tidak ada keterikatan yang mendalam antara kandidat dan
anggota pegajian.
“...Dulu ada mbak yang ceramah, tapi berhenti orangnya dan
sekarang ndak pernah ada lagi yang ceramah. Ya pengajian biasa
tahlil dan diba‟ saja...” (Nur, anggota pengajian muslimat)
Beberapa faktor di atas menjadi penyebab tidak terwadahinya suara
sehingga suara yang seharusnya bulat dengan alasan-alasan sosiologis tidak
terjadi. Alasan-alasan psikologis seperti loyalitas karena ketokohan dan karakter
kandidat menjadi lebih dominan. Beberapa responden menyatakan alasan memilih
kandidat nomor 2 sebagai bentuk tho‟at ustadz (taat guru). Adapun alasan-alasan
ekonomi seperti yang sudah di bahas pada bab-bab sebelumnya, menjadi alasan-
alasan lain pemilih untuk menetapkan preferensi politiknya. Kekuatan visi misi
dan keberanian menandatangani surat perjanjian pembayaran pajak menjadi daya
tarik tersendiri bagi pemilih sehingga hal ini kemudian menjadi salah satu
pertimbangan.
“...Dulu bertengkar sama tetangga didenda, bayar apa telat didenda,
selametan didenda, raskin juga nyadet (macet). Sekarang pajak malah
gratis. Kata orang-orang Pak At sampai tanda tangan surat materai.
Saya ndak tahu suratnya tapi yakin lah memang orangnya
baik...”(Mar, anggota pengajian muslimat)
Hasil yang telah dipaparkan di atas menunjukkan bahwa tipe perilaku
pemilih soseorang tidak dapat mutlak mengacu pada satu tipe saja. Sebagai
contoh, seorang dengan tipe psikologi (skor tipe psikologi tinggi), ternyata juga
memiliki ciri-ciri memilih bertipe sosiologi (skor sosiologi sedang). Hal ini
menunjukkan bahwa dalam menentukan pilihan kandidat kepala desa, para
anggota kelembagaan memiliki pertimbangan-pertimbangan yang kompleks. Satu
orang boleh jadi memilih karena loyalitasnya namun sekaligus karena alasan-
alasan ekonomi tertentu.
84
Pengaruh Kelembagaan Informal terhadap Preferensi Politik
Pengaruh kelembagaan terhadap preferensi politik anggota diduga peneliti
dengan berdasarkan teori paham komunitarianisme yang dikemukakan oleh
Hardiman dalam Sjaf (2013) dimana kelompok memberikan pengaruh-pengaruh
dalam penentuan tindakan anggotanya. Dalam hal ini, tindakan anggota yang akan
dikaji adalah preferensi politik. Hendak dibuktikan apakah pengaruh-perngauh
kelompok yang dalam hal ini mengacu pada paham komunitarianisme, berlaku
juga untuk penentuan preferensi politik. Adapun analisis pengaruh dilakukan
dengan menggunakan aplikasis statistik regresi linear dengan alpha 10 persen.
Berikut adalah tabel hasil analisis regresi untuk mengetahui pengaruh
kelembagaan informal pengajian muslimat terhadap preferensi politik anggota.
Tabel 52 Pengaruh kelembagaan terhadap preferensi politik pada kelembagaan
informal
Pengaruh X (Pengaruh
kelembagaan)-Y
(Preferensi politik)
Nilai R
sq Nilai sig T hitung Kesimpulan
Pengaruh-tipe 0.052 0.225 -1.240 Tidak berpengaruh
Struktural-psikologi 0.000 0.915 0.107 Tidak berpengaruh
Struktural-sosiologi 0.000 0.970 0.038 Tidak berpengaruh
Struktural-ekonomi 0.034 0.330 -0.992 Tidak berpengaruh
Konstruktif-psikologi 0.000 0.958 -0.053 Tidak berpengaruh
Konstruktif-sosiologi 0.003 0.762 -0.306 Tidak berpengaruh
Konstruktif-ekonomi 0.003 0.333 0.985 Tidak berpengaruh
Tabel 52 menunjukkan bahwa kelembagaan informal tidak berpengaruh
terhadap preferensi politik anggotanya, baik secara keseluruhan, maupun
pengaruh tertentu pada tipe perilaku pemilih tertentu. Hal ini ditunjukkan dengan
nilai signifikansi yaitu sebesar 0.225 (>alpha 0.1) dengan nilai T hitung 1.240
(<6.313752). Hasil ini bertolak belakang dengan dugaan bahwa kelembagaan
informal akan membawa pengaruh terhadap preferensi politik dengan bentuk
pengaruh konstruktif. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, pertama, anggota
kelembagaan yang diteliti tidak banyak ditemukan adanya indikasi-indikasi
munculnya instruksi atau arahan bahkan kesepakatan untuk menetapkan
preferensi politik dalam pemilihan kepala desa. Selain itu, seperti yang telah
dibahas sebelumnya, yaitu tingkat intensitas pertemuan dan kegiatan yang rendah
serta variasi kegiatan yang juga rendah mengakibatkan tidak adanya komunikasi
yang intensif berkaitan dengan kelembagan yang dibawa (organisasi Islam NU).
Kegiatan hanya berupa pengajian yang dilaksanakan 1 kali dalam 1 minggu.
Kegiatan lainnya adalah berupa kegiatan ziarah yang dilakukan rutin setiap tahun.
“...Ndak ada kalau di pengajian. Pengajian dari dulu ya diba‟ sama
tahlil setiap minggu. Kalau milih calon kan seleranya kita, mbak. Jadi
lebih ke urusan sendiri-sendiri...”(Yuy, anggota pengajian muslimat)
85
Analisis Perbandingan Pengaruh Kelembagaan Formal dan Informal
terhadap Preferensi Politik Anggota
Sub bab ini menguraikan tentang analisis perbandingan pengaruh
kelembagaan formal (pemerintah desa) dan informal (pengajian muslimat)
terhadap preferensi politik anggota. Peneliti menduga bahwa kelembagaan
informal memiliki pengaruh lebih besar dalam penentuan preferensi politik
anggota dibandingkan kelembagaan formal. Terlebih salah satu kandidat
merupakan tokoh dari organisasi islam yang sama dengan majelis taklim yang
bersangkutan. Penelitian yang dilakukan Fatamorgana (2012) di Jawa Timur
menunjukkan bahwa organisasi islam Nahdhatul Ulama (NU) memiliki massa
yang besar dan dalam memilih pemimpin (dalam hal ini adalah pemilihan
gubernur), massa organisasi islam NU akan condong kepada sesama anggota NU.
Hal ini senada dengan yang terjadi di Desa Sumberejo. Salah satu kandidat
merupakan anggota aktif di keorganisasian NU dan menjadi ketua ranting Desa
Sumberejo sejak tahun 2012.
Perbandingan Pengaruh Kelembagaan Formal dan Informal
Baik kelembagaan formal maupun informal, memiliki pengaruh-pengaruh
dalam menentukan tindakan anggotanya. Adapun tingkatan pengaruhnya akan
berbeda-beda satu kelembagaan dengan lainnya.
Tabel 53 Perbandingan pengaruh pada kelembagaan formal dan informal
Kelembagaan
Pengaruh Total
Rendah Sedang Tinggi
n % n % n % N %
Formal 5 8.33 18 30 7 11.67 30 50.00
Informal 8 13.33 15 25 7 11.67 30 50.00
Total 13 21.66 33 55 14 23.34 60 100.00
Tabel 53 menunjukkan bahwa kedua kelembagaan (formal dan informal)
memiliki nilai tertinggi pada taraf sedang. Kedua kelembagaan memiliki nilai
persentase yang tidak jauh berbeda pada taraf sedang. Angka yang lebih tinggi
yaitu sebesar 30 persen dimiliki oleh kelembagaan formal dan 25 persen dimiliki
kelembagaan formal. Artinya, dalam taraf sedang, kelembagaan formal lebih
memiliki pengaruh dibandingkan kelembagaan formal dalam hal penentuan
tindakan anggotanya. Adapun dalam taraf tinggi, kedua kelembagaan memiliki
nilai persentase yang sama yaitu sebesar 11,.67 persen. Hal ini berarti kedua
kelembagaan dirasa oleh 11.67 persen respondennya memiliki pengaruh yang
tinggi dalam hal penentuan tindakan anggotanya. Terakhir, pada taraf rendah,
angka persentase pada kelembagaan formal lebih rendah (8.33 persen)
dibandingkan kelembagaan informal (13.33 persen).
Hal ini membuktikan bahwa kelembagaan formal memiliki pengaruh yang
lebih tinggi dibandingkan kelembagaan informal dalam penentuan tindakan
anggotanya. Fakta hasil kuantifikasi penelitian tersebut bertolakbelakang dengan
dugaan peneliti bahwa kelembagaan informal memiliki pengaruh yang lebih besar
dibandingkan kelembagaan formal. Seperti yang telah dijelaskan pada sub bab
86
sebelumnya, kelembagaan informal dirasa oleh sebagian responden kurang
memiliki pengaruh dalam penentuan tindakan-tindakan anggotanya. Hal ini
disebabkan karena kurang intensifnya pertemuan dan kegiatan lain di luar
aktivitas pengajian. Pengaruh-pengaruh kemudian menjadi kurang kuat dan
mengakar di kelembagaan informal.
Perbandingan Bentuk Pengaruh
Bentuk pengaruh kelembagaan dalam menentukan tindakan anggotanya
mengacu teori Sjaf (2013) yaitu bentuk pengaruh struktural dan konstruktif.
Pengaruh struktural yaitu pengaruh-pengaruh yang bersifat hierarkis dan
kepatuhan sesuai posisi dalam kelompok. Sebaliknya pengaruh konstruktif
menekankan pada pengaruh-pengaruh yang dibangun dan disepakati bersama.
Berikut adalah tabel perbandingan bentuk pengaruh baik pengaruh struktural
maupun konstruktif pada kedua kelembagaan.
Tabel 54 Perbandingan pengaruh struktural pada kelembagaan formal dan
informal
Kelembagaan
Pengaruh Total
Rendah Sedang Tinggi
n % n % N % N %
Formal 0 0 21 35 9 15 30 50.00
Informal 17 28.33 13 21.67 0 0 30 50.00
Total 17 28.33 34 56.67 9 15 60 100.00
Tabel 54 memperlihatkan bahwa pada bentuk pengaruh struktural,
kelembagaan formal memiliki persentase paling tinggi pada taraf sedang (35
persen), sedangkan kelembagaan informal memiliki persentase paling tinggi pada
taraf rendah (28.33 persen). Hal ini sesuai dengan dugaan peneliti bahwa
kelembagaan formal akan memiliki persentase yang tinggi pada bentuk pengaruh
struktural dan sebaliknya kelembagaan informal. Jelasnya hierarki dan pembagian
tugas pada kelembagaan formal menjadi faktor utama penentu tindakan anggota
sehingga pengaruh-pengaruh struktural kemudian dominan muncul. Sebaliknya
pada kelembagaan informal dengan ciri keluwesan hierarki, tidak ditemukan
pengaruh-pengaruh struktural pada taraf tinggi.
Hal senada terjadi pada pengaruh konstruktif dimana kelembagaan informal
memiliki persentase yang paling tinggi pada pengaruh konstruktif taraf tinggi
(26.67 persen). Adapun kelembagaan formal memiliki nilai persentase paling
tinggi pada pengaruh konstruktif taraf sedang (38.33 persen). Artinya,
kelembagaan informal lebih memiliki bentuk pengaruh konstruktif dibandingkan
kelembagaan formal. Hal ini dipertegas dengan angka persentase 0 persen pada
bentuk pengaruh konstruktif taraf tinggi kelembagaan formal dan angka
persentase 0 persen pada pengaruh konstruktif taraf rendah kelembagaan informal.
87
Tabel 55 Perbandingan pengaruh konstruktif pada kelembagaan formal dan
informal
Kelembagaan
Pengaruh Total
Rendah Sedang Tinggi
n % n % n % N %
Formal 7 11.67 23 38.33 0 0 30 50.00
Informal 0 0 14 23.33 16 26.67 30 50.00
Total 7 11.67 37 61.66 16 26.67 60 100.00
Kedua tabel yaitu tabel 54 dan tabel 55 menunjukkan hasil yang sama
dengan dugaan peneliti bahwa kelembagaan formal akan membawa pengaruh-
pengaruh struktural sebaliknya kelembagaan informal membawa pengaruh-
pengaruh konstruktif. Namun dalam hal ini, pengaruh-pengaruh kelembagaan
yang dibawa belum tentu berlaku dalam hal penentuan preferensi politik. Terbukti
pada penjelasan-penjelasan sub bab sebelumnya bahwa tidak ditemukan adanya
pengaruh kelembagaan terhadap preferensi politik pada kelembagaan informal.
Adapun dalam kelembagaan formal, ditemukan adanya pengaruh struktural
terhadap preferensi politik yang direpresentasikan oleh tipe perilaku sosiologi.
Perbandingan Preferensi Politik Kelembagaan Formal dan Informal
Preferensi politik didefinisikan sebagai penentuan pilihan dengan berbagai
macam pertimbangan sesuai dengan nilai yang dibangunnya dalam menentukan
standar penilaian terhadap seorang calon maupun partai politik (Plano, Ringgs, &
Robin 1985). Dalam penelitian ini, preferensi politik direpresentasikan oleh tipe
perilaku pemilih yang meliputi tipe psikologi, sosiologi, ekonomi. Tipe perilaku
psikologi mempertimbangkan unsur loyalitas pemilih terhadap kandidat,
pembentukan sikap politik, dan keterdedahan terhadap pendidikan politik. Adapun
tipe perilaku sosiologi menekankan pada aspek-aspek sosial seperti kohesi sosial,
pengelompokan sosial, dan informasi sosial. Terakhir, tipe perilaku ekonomi,
menekankan pada aspek-aspek kebutuhan konkret pemilih, tujuan pemilih, dan
orientasi pemilih.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tipe perilaku pemilih pada
kelembagaan formal, baik tipe psikologi, sosiologi, maupun ekonomi,
kesemuanya paling tinggi nilainya pada taraf sedang. Hal ini menunjukkan bahwa
pada kelembagaan formal, ketiga pertimbangan (psikologi, sosiologi, ekonomi)
ditempatkan secara seimbang. Setiap orang memiliki alasan-alasan yang beragam
dalam memilih. Perlu diingat seperti telah dijelaskan pada sub bab tentang
kelembagaan formal, lamanya menjadi anggota dan posisi sosial dalam hierarki
kelembagaan turut berkontribusi dalam menentukan tipe perilaku pemilih.
Tabel 56 Perbandingan preferensi politik pada kelembagaan formal dan informal
Kelembagaan Preferensi politik
Psikologi Sosiologi Ekonomi
Formal Sedang Sedang Sedang
Informal Sedang Rendah Sedang
88
Adapun pada kelembagaan informal, tipe perilaku pemilih berada pada taraf
sedang pada tipe psikologi dan ekonomi, serta rendah pada tipe perilaku sosiologi.
Hal ini menunjukkan bahwa dalam penentuan preferensi politik, anggota
kelembagaan informal lebih mandiri dan menggunakan pertimbangan-
pertimbangan yang bersifat pribadi dalam menetapkan preferensi politik. Seperti
yang telah dijelaskan pada sub bab sebelumnya, salah satu kandidat merupakan
tokoh dari organisasi Islam pada kelembagaan informal dan 90 persen suara pada
kelembagaan informal tersebut berpihak pada kandidat bersangkutan. Namun
ternyata tingginya angka dukungan pada kelembagaan tersebut bukan disebabkan
posisi kandidat sebagai salah satu tokoh dalam kelembagaan tersebut, namun lebih
kepada alasan-alasan psikologis seperti ketokohan, karakter, dan keseharian.
Perbandingan Pengaruh Kelembagaan Formal dan Informal terhadap
Preferensi Politik
Pengaruh kelembagaan baik formal maupun informal terhadap preferensi
politik masing-masing secara detil telah dijelaskan pada dua sub bab sebelumnya.
Sesuai dengan pertanyaan penelitian kelembagaan mana yang lebih besar
pengaruhnya terhadap preferensi politik, sub bab ini akan membandingkan
pengaruh kedua kelembagaan terhadap preferensi politik anggota. Dugaan peneliti
yaitu pengaruh kelembagaan informal lebih besar dibandingkan pengaruh
kelembagaan formal. Tabel berikut membandingkan secara detil pengaruh
kelembagaan formal dan informal terhadap preferensi politik.
Tabel 57 Perbandingan pengaruh kelembagaan terhadap preferensi politik pada
kelembagaan formal dan informal
Pengaruh X (Pengaruh
kelembagaan)-Y (Preferensi
politik)
Formal Informal
Pengaruh-tipe Tidak berpengaruh Tidak berpengaruh
Struktural-psikologi Tidak berpengaruh Tidak berpengaruh
Struktural-sosiologi Berpengaruh Tidak berpengaruh
Struktural-ekonomi Tidak berpengaruh Tidak berpengaruh
Konstruktif-psikologi Tidak berpengaruh Tidak berpengaruh
Konstruktif-sosiologi Tidak berpengaruh Tidak berpengaruh
Konstruktif-ekonomi Tidak berpengaruh Tidak berpengaruh
Tabel 57 menunjukkan hasil yang berkebalikan dengan dugaan peneliti.
Pengaruh yang muncul justru dari kelembagaan formal, yaitu pengaruh struktural
terhadap tipe perilaku sosiologi. Pengaruh struktural terhadap tipe perilaku
pemilih sosiologi terjadi pada sejumlah anggota lama dalam pemerintah desa.
Anggota-anggota lama berupa perangkat desa (pejabat tinggi di pemerintah desa)
mendapat arahan dari Kepala Desa lama untuk memilih kandidat tertentu.
Kemudian terjadi kesepakatan (secara sadar atau tidak) pada beberapa anggota
lama untuk memilih kandidat sesuai yang diarahkan Kepala Desa lama.
Sebaliknya pada kelembagaan informal tidak ditemukan satu pun hubungan
pengaruh. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, pertama, pada anggota
kelembagaan informal tidak banyak ditemukan adanya indikasi-indikasi
89
munculnya instruksi atau arahan bahkan kesepakatan untuk menetapkan
preferensi politik dalam pemilihan kepala desa. Selain itu, tingkat intensitas
pertemuan dan kegiatan yang rendah serta variasi kegiatan yang juga rendah
mengakibatkan tidak adanya komunikasi yang intensif berkaitan dengan
kelembagan yang dibawa (organisasi Islam NU). Kegiatan hanya berupa
pengajian yang dilaksanakan 1 kali dalam 1 minggu. Kegiatan lainnya adalah
berupa kegiatan ziarah yang dilakukan rutin setiap tahun.
Ikhtisar
Kelembagaan-kelembagaan (formal dan infromal) di Desa Sumberejo
memiliki corak pengaruh yang beragam dalam kaitannya dengan penentuan
preferensi politik. Beragamnya corak pengaruh ini dipengaruhi oleh berbagai
macam faktor.
Kelembagaan formal pemerintah Desa Sumberejo merupakan kelembagaan
dengan pengaruh struktural yang lebih dominan dalam penentuan tindakan
anggotanya dibandingkan pengaruh konstruktifnya. Hubungan vertikal dalam
kelembagaan ini nampak jelas dan lebih dominan mewarnai penentuan tindakan
anggota kelembagaan. Hal ini terasa utamanya pada anggota kelembagaan yang
memiliki posisi sosial rendah dalam hierarki kelembagaan pemerintah desa (ketua
RT-RW). Kondisi yang berbeda terjadi pada anggota-anggota kelembagaan
formal pemerintah desa yang memiliki posisi sosial yang tinggi. Kelompok ini
cenderung lebih bebas dan mandiri dalam memutuskan dan menentukan tindakan-
tindakannya. Senada dengan pengaruh kelembagaan dalam penentuan tindakan,
pengaruh kelembagaan terhadap penentuan preferensi politik juga tidak lepas dari
pengaruh posisi sosial dan faktor lain yaitu lamanya menjadi anggota. Didapatkan
hasil bahwa 40 persen anggota lama memilih kandidat Kepala Desa sesuai arahan
dari Kepala Desa lama. Hal ini menunjukkan bahwa pada anggota lama
kelembagaan formal pemerintah desa, terjadi kesepakatan (disadari atau tidak)
dalam menentukan preferensi politik.
Hasil penelitian mendukung fakta kualitatif yang ditemukan. Data
menunjukkan bahwa dalam kelembagaan formal, pengaruh struktural berpengaruh
terhadap preferensi politik yang dalam hal ini direpresentasikan oleh tipe perilaku
sosiologi. Hal ini lah yang terjadi pada anggota kelembagaan lama. Kohesi sosial
yang kuat pada anggota lama (khususnya anggota lama yang memiliki komunikasi
yang intens dengan Kepala Desa lama) kemudian mengarahkan mereka pada
pilihan yang sama. Terlebih, kandidat yang dipilih sebelumnya bekerja selama
berpuluh-puluh tahun di pemerintah desa. Sementara itu pada tipe perilaku
pemilih lain, kelembagaan formal pemerintah desa cenderung memiliki nilai yang
seimbang (sama rata). Artinya, dalam penentuan preferensi politik, anggota
kelembagaan formal pemerintah desa mempertimbangkan aspek-aspek psikologis,
sosiologis, dan ekonomi secara seimbang.
Berbeda dengan kelembagaan formal, pada kelembagaan informal, bentuk
pengaruh kelembagaan yang dominan adalah pengaruh konstruktif. Artinya,
dalam menentukan tindakan, anggota kelembagaan informal dapat melakukannya
dengan lebih mandiri dan bebas tidak terikat pada posisi sosial dalam hierarki.
Sementara itu dalam hal penentuan preferensi politik, tidak ditemukan hubungan
90
pengaruh kelembagaan dengan tipe perilaku pemilih sebagai representasi
preferensi politik. Hal ini dimungkinkan terjadi karena beberapa hal, pertama,
pada anggota kelembagaan informal tidak banyak ditemukan adanya indikasi-
indikasi munculnya instruksi atau arahan bahkan kesepakatan untuk menetapkan
preferensi politik dalam pemilihan kepala desa. Selain itu, tingkat intensitas
pertemuan dan kegiatan yang rendah serta variasi kegiatan yang juga rendah
mengakibatkan tidak adanya komunikasi yang intensif berkaitan dengan
kelembagan yang dibawa (organisasi Islam NU). Kegiatan hanya berupa
pengajian yang dilaksanakan 1 kali dalam 1 minggu. Kegiatan lainnya adalah
berupa kegiatan ziarah yang dilakukan rutin setiap tahun.
Sementara itu pada preferensi politik kelembagaan informal, tipe perilaku
ekonomi dan psikologi menempati nilai pada taraf sedang, sedangkan tipe
perilaku sosiologi menempati taraf rendah. Artinya, dalam menentukan pilihan-
pilihan politik pada pemilihan Kepala Desa, anggota kelembagaan informal lebih
mengutamakan pertimbangan-pertimbangan pribadi (psikologis). Rendahnya tipe
pemilih sosiologi ini yang kemudian membawa rendahnya tingkat pengaruh
kelembagaan informal terhadap preferensi politik. Artinya bahwa memang dalam
penentuan preferensi politik, kelembagaan informal tidak digunakan sebagai
wadah untuk memobilisasi suara. Pemilihan Kepala Desa lebih dimaknai sebagai
perang figur dan karakter ketimbang perang antar golongan.
91
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Kelembagaan pedesaan baik formal maupun informal memiliki warna dan
budayanya sendiri dalam hal memberikan pengaruh kepada anggotanya, termasuk
dalam hal penentuan preferensi politik. Hasil penelitian yang dilakukan
menunjukkan bahwa secara umum kelembagaan mempengaruhi preferensi politik
anggota. Secara lebih khusus, pengaruh kelembagaan di pedesaan di Desa
Sumberejo yang ditemukan dalam penelitian yaitu pengaruh konstruktif terhadap
preferensi politik yang dalam hal ini direpresentasikan dalam tipe perilaku pemilih
ekonomi. Hal ini menunjukkan berhasilnya konstruksi isu yang diciptakan oleh
kandidat kepala desa nomor urut dua (pemenang) yang berusaha menjawab
kebutuhan masyarakat atas pemimpin yang memiliki kepedulian terhadap
kebutuhan ekonomi masyarakat. Perlu diketahui bahwa Kepala Desa lama
merupakan pemimpin yang dikenal tegas dan intensif mengenakan denda pada
hal-hal yang dianggap sebagai pelanggaran. Visi-misi kandidat nomor urut dua
yang banyak menitikberatkan pada ihwal perekonomian dianggap masyarakat
sebagai antitesis dari pemerintahan sebelumnya.
Kelembagaan-kelembagaan yang ada di Desa Sumberejo memberi pengaruh
yang berbeda-beda dalam penentuan tindakan, termasuk dalam hal penentuan
preferensi politik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelembagaan formal
memberi pengaruh yang lebih besar dalam penentuan preferensi politik
anggotanya. Adapun kelembagaan informal terbukti tidak memiliki pengaruh
terhadap preferensi politik anggotanya. Anggota dari kelembagaan informal
menentukan preferensi politiknya dengan pertimbangan-pertimbangan pribadi
tanpa ada pengaruh-pengaruh berarti dari kelembagaan informal yang
bersangkutan.
Adapun secara lebih spesifik ditemukan bahwa kelembagaan formal terbukti
membawa bentuk pengaruh struktural dalam penentuan tindakan anggota,
termasuk dalam hal penentuan preferensi politik anggota (tipe perilaku sosiologi).
Pengaruh-pengaruh struktural terhadap tipe perilaku sosiologi ini banyak terjadi
pada anggota kelembagaan yang sudah lama bernaung, dimana nilai-nilai dan
aturan serta kohesi sosial sudah terbangun dengan baik. Adapun pada
kelembagaan informal, pengaruh konstruktif lebih mendominasi dalam penentuan
tindakan. Namun demikian, dalam penentuan preferensi politik, tidak ditemukan
satu pun hubungan pengaruh. Hal ini disebabkan oleh kurang intensifnya aktivitas
pengajian dan keorganisasiannya. Maka pada dua kelembagaan yang dijadikan
unit analisis, kelembagaan formal lebih memberikan pengaruh dalam hal
penentuan preferensi politik dibandingkan kelembagaan informal.
Adapun bentuk-bentuk pengaruh kelembagaan (formal dan informal) pada
penelitian dapat ditarik untuk diarahkan pada preferensi-preferensi politik (dalam
hal ini direpresentasikan oleh tiga tipe perilaku pemilih yaitu tipe psikologi,
sosiologi, ekonomi) tertentu. Ketika bentuk pengaruh kelembagaan struktural
tinggi, preferensi politik cenderung ke arah tipe perilaku sosiologi. Orang-orang
memilih dengan pertimbangan pentingnya kohesi sosial dan aspek-aspek
92
sosiologis lain. Dalam hal ini posisi sosial dan lamanya menjadi anggota (sebagai
ukuran keterikatan dengan kelembagaan) memiliki peran penting. Sebaliknya
ketika bentuk pengaruh kelembagaan yang dominan adalah pengaruh konstruktif,
maka pertimbangan-pertimbangan memilih menjadi lebih seimbang. Individu
dalam kelembagaan lebih bebas memasukkan pertimbangan-pertimbangan pribadi
(baik psikologi maupun ekonomi) dalam menentukan preferensi politiknya.
Saran
Tindakan masyarakat, termasuk dalam hal menentukan preferensi
politiknya, selalu tidak lepas dari kelembagaan-kelembagaan atau kelompok-
kelompok yang ada di lingkungannya. Banyak penelitian membuktikan bahwa
pada pemilihan pemimpin pada tataran rendah selevel Pemilihan Kepala Desa,
kelembagaan memberi pengaruh untuk kepentingan mobilisasi suara. Hal ini sah-
sah saja sepanjang masyarakat yang dalam hal ini anggota kelembagaan
dikembalikan haknya untuk secara bebas menentukan preferensi politik.
Penelitian ini khususnya pada kelembagaan formal pemerintah desa menunjukkan
masih kuatnya pengaruh struktural yang kemudian membawa suara anggota untuk
mendukung kandidat tertentu. Seyogyanya hal seperti ini tidak terjadi. Terlebih
kelembagaan formal pemerintah desa harus netral dalam hal-hal politis seperti ini.
Penting bagi pemerintah untuk mempertegas kebijakan terkait dengan perhelatan
politis seperti ini. Penting juga bagi kalangan pemerintah untuk melakukan
pengubahan gaya komunikasi vertikal dalam kelembagaan formal pemerintah
desa. Hal ini merupakan pemicu tingginya pengaruh struktural pada kelembagaan
formal sehingga anggota-anggota yang berada pada posisi rendah dalam hierarki
kelembagaan kurang mampu memutuskan perkara secara mandiri.
Sedikit berbeda dengan kondisi dalam kelembagaan formal, kelembagaan
informal dalam penelitian ini terbukti tidak memberi pengaruh terhadap preferensi
politik anggota. Di satu sisi hal ini bagus, artinya, kelembagaan memberikan
ruang yang bebas kepada anggotanya untuk memilih. Namun di sisi lain, hal ini
menunjukkan tidak solidnya kelembagaan yang bersangkutan. Terlalu
monotonnya kegiatan dan tidak terorganisirnya anggota untuk melakukan
aktivitas bersama menjadi pemicu tidak terbangunya kekompakan dalam
kelembagaan. Untuk itu perlu dilakukan pengorganisasian kegiatan dan
peningkatan variasi kegiatan pada kelembagaan-kelembagaan informal pedesaan.
Hal ini sangat mendesak dilakukan untuk meningkatkan kohesivitas kelompok
selain juga untuk memperluas jaringan.
Hal menarik lain dari penelitian ini adalah bahwa pertimbangan-
pertimbangan ekonomi seperti yang telah banyak dibahas, tidak sama sekali
menjadi pertimbangan utama pemilih dalam menetapkan preferensi politiknya.
Menarik untuk digali lebih dalam tentang persepsi money politics di tataran
masyarakat dan di tataran calon-calon pemimpin. Penelitian ini sangat penting
dilakukan untuk pada akhirnya diharapkan dapat mengubah paradigma
masyarakat tentang money politics pada pemilihan pemimpin di level manapun.
93
DAFTAR PUSTAKA
[KBBI] (Kamus Besar Bahasa Indonesia). 2014. Kamus besar Bahasa Indonesia.
[Internet]. [Diunduh 5 Februari 2014]. Tersedia pada http://kbbi.web.id/.
[PP] Peraturan Pemerintah. 2013. Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 2005
tentang Desa. [Internet]. [Diunduh 9 Desember 2013]. Tersedia pada
https://www.journal.unsil.ac.id
[PP] Peraturan Pemerintah. 2005. Peraturan tentang desa. [Internet]. [Diunduh 2
Januari 014]. Tersedia pada http://www.presidenri.go.id
Anitasari D et al. 2010. Perempuan dan majelis taklim:membicarakan isu privat
melalui ruang publik agama. [Internet]. [Diunduh 14 Oktober 2013]. Tersedia
pada http://www.scn-crest.org
Etzioni A. 1985. Modern Organization (Alih bahasa dari Bahasa Inggris oleh
Jusuf GR). Jakarta (ID): UI Press.
Fadhilah A. 2005. Budaya politik kyai di pedesaan (Studi kasus kyai pesantren di
Kabupaten Pekalongan). [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. 100 hal.
Fatamorgana I. 2012. Nahdlatul Ulama dan pilkada gubernur Jawa Timur. Politik
Indonesia [Internet]. [Diunduh 25 September 2013]. 1(1): 35-44. Tersedia pada
http://journal.unair.ac.id
Gayatri IH. 2007. Demokrasi lokal (di Desa): quo vadis? [Internet]. [Diunduh 8
Desember 2013]. Tersedia pada http://www.interseksi.org
Hidayat W. 2000. Pembentukan jaringan sosial pada proses pemilihan Kepala
Desa (studi kasus pemilihan kepala desa di Desa Tanjung Anom, Kecamatan
Mauk, Kabupaten Tangerang, Propinsi Jawa Barat). [skripsi]. [Internet].
[Diunduh 4 November 2013]. [Institut Pertanian Bogor]. Tersedia pada
http://repository.ipb.ac.id
Nasdian F. 2003. Sosiologi Umum. Bogor (ID): IPB.
Plano JC, Ringgs RE, Robin HS. 1985. Kamus Analisa Politik. Jakarta (ID):
Rajawali Press.
Rochimah THN. 2009. Pentingnya memahami perilaku politik dalam political
marketing. Komunikator [Internet]. [Diunduh 5 November 2013]. 1(1):1-21.
Tersedia pada http://www.umy.ac.id
Singarimbun & Effendi. 1989. Metode Penelitian Survei. Jakarta (ID): LP3ES.
334 hal.
Sjaf S. 2013. Politik Etnik. Jakarta (ID): Yayasan Obor Indonesia.
Uang S. 2012. Implementasi peraturan daerah nomor 04 tahun 2008 tentang tata
cara pencalonan pemilihan, pelantikan dan pemberhentian, kepala desa,
perangkat desa dan kepala dusun di Kabupaten Halmahera Barat ( suatu studi
di Desa Tobaol ). Governance [Internet]. [Diunduh 4 November 2013]. 5:1-12.
Tersedia pada http://ejournal.unsrat.ac.id
Valentina TR. 2009. Peluang demokrasi dan peta perilaku pemilih terhadap partai
politik untuk pemilu 2009 di Yogyakarta. Demokrasi [Internet]. [Diunduh 27
November 2013]. VIII(2): 167-186. Tersedia pada ejournal.unp.ac.id.
95
LAMPIRAN
Lampiran 1 Jadwal penelitian skripsi
Kegiatan Februari Maret April Mei Juni
1
1
2
2
3
3
4
4
1
1
2
2
3
3
4
4
1
1
2
2
3
3
4
4
1
1
2
2
3
3
4
4
1
1
2
2
3
3
4
4
Penyusunan
proposal
skripsi
Uji
Kuesioner
Kolokium
Perbaikan
proposal
skripsi
Pengambilan
data
lapangan
Pengolahan
dan analisis
data
Penyusunan
draft skripsi
Sidang
skripsi
Perbaikan
skripsi
96
Lampiran 2 Peta Desa Sumberejo
97
Lampiran 3 Daftar Panitia Pemilihan Kepala Desa Sumberejo tahun 2013
Keputusan BPD tentang Panitia Pemilihan Kepala Desa Sumberejo, Sukodono,
Lumajang
Nomor : 04/2013
Tanggal : 03 Oktober 2013
NO JABATAN DALAM PANITIA NAMA UNSUR
1 Ketua Bambang Santoso Tokoh Masyarakat
2 Wakil Ketua Sutodadi Tokoh masyarakat
3 Sekretaris Abdul Rohman Guru MI
4 Bendahara Mochtar Perangkat desa
5 Seksi-seksi
Seksi keamanan
1. Koordinator Paino Linmas
2. Anggota Suliyanto Linmas
3. Anggota Sawaun Linmas
4. Anggota Agus Linmas
5. Anggota Satupin Linmas
Seksi perlengkapan
1. Koordinator Ponidi Perangkat desa
2. Anggota Seneri Perangkat desa
3. Anggota Eko Sulistiyono Kepemudaan
Seksi dekorasi dan dokumentasi
1. Koordinator Sholihin (Ky.
Mahin)
Perangkat desa
2. Anggota Ky. Barokah Tokoh masyarakat
3. Anggota Sugianto Tokoh masyarakat
Seksi kesehatan
1. Koordinator Nur Syaidah Bidan Desa
2. Anggota Indah Wati Pendamping bidan
3. Anggota Arma Sofiani Pendamping bidan
Seksi konsumsi
1. Koordinator Suhartatik Perangkat desa
2. Anggota Siti Maimunah PKK
3. Anggota Nur Kitiyah PKK
4. Anggota Diyan Suhesti PKK
5. Anggota Nima Amalia PKK
6. Anggota Hermin Kumasar PKK
Seksi Pantarlih
1. Koordinator Budi Wicaksono Tokoh Pemuda
2. Anggota Hermawan Tokoh Pemuda
3. Anggota Eko Tokoh Pemuda
4. Anggota Abdul Rohim Tokoh Pemuda
5. Anggota Guntoro Perangkat Desa
6. Anggota Masrupi Tokoh Pemuda
7. Anggota Rahmat Tokoh Pemuda
98
8. Anggota Hari Siswanto Perangkat Desa
9. Anggota Nanang Ariyanto Tokoh Pemuda
10. Anggota Kuswanto Tokoh Pemuda
11. Anggota Umar Hasim Perangkat Desa
12. Anggota Suhaeri Tokoh Pemuda
13. Anggota Rokhim Tokoh Pemuda
14. Anggota M. Jalal Perangkat Desa
15. Anggota Sunaryo Tokoh Pemuda
16. Anggota Achmad Yani Tokoh Pemuda
99
Lampiran 4 Kerangka sampling kelembagaan formal
No Nama Jabatan Alamat
1 At Kepala Desa Dusun Bubur
2 - Kepala Urusan Pemerintahan -
3 Suh Kepala Urusan Umum Dusun Bubur
4 - Kepala Urusan Pembangunan -
5 Sho Kepala Urusan Kesejahteraan
Rakyat
Dusun Sekarputih
6 Moch Kepala Urusan Keuangan Dusun Blimbing
7 Pon Kepala Dusun Sekarputih Dusun Sekarputih
8 Anang Khusaini Ketua RW I Dusun Sekar Putih
9 Hari Purnomo Ketua RT 01 Dusun Sekar Putih
10 Imam Khudhori Ketua RT 02 Dusun Sekar Putih
11 Sholikin Ketua RT 04 Dusun Sekar Putih
12 Satori Ketua RT 05 Dusun Sekar Putih
13 Sun Ketua RW II Dusun Sekar Putih
14 Selamet Ketua RT 06 Dusun Sekar Putih
15 Afandi Ketua RT 07 Dusun Sekar Putih
16 Satuki Ketua RT 08 Dusun Sekar Putih
17 Abdul Rokim Ketua RT 09 Dusun Sekar Putih
18 Bambang P Ketua RW I Perum Bumi Rejo Permai
19 Basuki Rahmat Ketua RT 02 Perum Bumi Rejo Permai
20 Tukidi Ketua RT 03 Perum Bumi Rejo Permai
21 Cho Ketua RT 04 Perum Bumi Rejo Permai
22 Suwardi Ketua RT 05 Perum Bumi Rejo Permai
23 Gun Kepala Dusun Blimbing Dusun Blimbing
24 Man Ketua RW III Dusun Blimbing
25 Juari Ketua RT 10 Dusun Blimbing
26 Zainuri Ketua RT 11 Dusun Blimbing
27 Nur Hamdani Ketua RT 12 Dusun Blimbing
28 Ima Ketua RW IV Dusun Blimbing
29 Budi W Ketua RT 13 Dusun Blimbing
30 Tu'in Ketua RT 14 Dusun Blimbing
31 Mistar Ketua RT 15 Dusun Blimbing
32 Sum Ketua RT 16 Dusun Blimbing
33 Har Kapala Dusun Rejosari Dusun Rejosari
34 Sunaryo Ketua RW V Dusun Rejosari
35 Sul Ketua RT 17 Dusun Rejosari
36 Sutihan Ketua RT 18 Dusun Rejosari
37 Sarip Ketua RT 19 Dusun Rejosari
38 Syamsul Ketua RT 20 Dusun Rejosari
39 Tol Ketua RW IV Dusun Rejosari
40 Rasmojo Ketua RT 21 Dusun Rejosari
41 Edi Ketua RT 22 Dusun Rejosari
42 Irw Ketua RT 23 Dusun Rejosari
100
43 Uma Kepala Dusun Bubur Dusun Bubur
44 Samat Ketua RW VII Dusun Bubur
45 Sugiyo Ketua RT 24 Dusun Bubur
46 Sam Ketua RT 25 Dusun Bubur
47 Riy Ketua RT 26 Dusun Bubur
48 Mar Ketua RT 27 Dusun Bubur
49 Toi Ketua RW VIII Dusun Bubur
50 Kad Ketua RT 28 Dusun Bubur
51 Rus Ketua RT 29 Dusun Bubur
52 Ket Ketua RT 30 Dusun Bubur
53 Riy Ketua RT 31 Dusun Bubur
54 Supandi Ketua RT 32 Dusun Bubur
55 Dja Kepala Dusun Klingsi Dusun Klingsi
56 Seneman Ketua RW IX Dusun Klingsi
57 Paidi Ketua RT 33 Dusun Klingsi
58 Selamet Ketua RT 34 Dusun Klingsi
59 Sunan Ketua RT 35 Dusun Klingsi
60 Sabulla Ketua RW X Dusun Klingsi
61 Sya Ketua RT 36 Dusun Klingsi
62 Bebun Ketua RT 37 Dusun Klingsi
63 Zai Ketua RT 38 Dusun Klingsi
64 Asmad Ketua RT 39 Dusun Klingsi
101
Lampiran 5 Daftar responden kelembagaan informal
No Nama Alamat
RT RW
1 Nur 24 7
2 Rof 24 7
3 Ami 24 7
4 Jam 24 7
5 Her 25 7
6 Inu 25 7
7 Hai 25 7
8 Sus 26 7
9 Sal 26 7
10 Khus 26 7
11 Mun 26 7
12 Nur 27 7
13 Ind 27 7
14 Han 27 7
15 Sut 28 7
16 Sup 28 8
17 Yuy 28 8
18 Far 29 8
19 Mas 29 8
20 Iis 29 8
21 Sai 29 8
22 Sa‟i 30 8
23 Di‟a 30 8
24 Roh 30 8
25 Ser 31 8
26 Tia 31 8
27 Iim 31 8
28 Toh 32 8
29 Suc 32 8
30 Dar 32 8
102
Lampiran 6 Dokumentasi
Perangkat Desa Sumberejo bersama peneliti
Anggota pengajian muslimat
Kantor Desa Sumberejo
Wilayah barat dan timur JLT
JLT (Jalur Lintas Timur)
103
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Lumajang, Jawa Timur pada 14 Oktober 1991. Penulis
merupakan anak ketiga dari pasangan Bapak As‟ad Malik dan Ibu Tutuk Fajriatul
Musthofiah. Penulis menempuh pendidikan formal sejak di TK Muslimat Al-
Fatah Lumajang pada tahun 1996. Pada tahun 1998 penulis menempuh
pendidikan formal di SD Negeri 2 Karangsari sampai tahun 2004. Kemudian
penulis melanjutkan sekolah ke SMP Negeri 1 Lumajang selama 3 tahun. Setelah
lulus SMP pada tahun 2007, penulis melanjutkan sekolah ke SMA Negeri 2
Lumajang sampai tahun 2010. Pada bulan Mei-Juni 2010 penulis diterima sebagai
mahasiswa Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat,
Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan
(USMI).
Aktivitas penulis selama di IPB tidak hanya di perkuliahan, tetapi juga di
organisasi. Penulis adalah anggota dari Organisasi Mahasiswa Daerah (OMDA)
Ikatan Keluarga Mahasiswa Lumajang (Ikalulu) dari tahun 2010 hingga 2013.
Penulis juga merupakan editor majalah Komunitas Fakultas Ekologi Manusia dari
tahun 2011 sampai tahun 2013. Dari tahun 2012 hingga 2013, penulis menjabat
sebagai Sekretaris Departemen Komunikasi, Informasi, dan Relasi Badan
Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ekologi Manusia (BEM FEMA) dan penulis juga
merupakan Founder Forum Mahasiswa Bersuara.
Tidak hanya di organisasi, penulis juga aktif di beberapa kepanitiaan. Pada
tahun 2013 penulis pernah menjabat sebagai sekretaris pada kegiatan Pelatihan
Proposal, Lobi, dan Negosiasi BEM FEMA, Pelatihan Jurnalistik BEM FEMA,
dan BEM Launching. Selain itu, penulis juga pernah mengikuti kepanitiaan
kampus pada divisi acara Extra Ordinary Youth majalah Komunitas FEMA, dan
divisi Medis pada Masa Perkenalan Departemen SKPM IPB di tahun 2012.
Sebagai mahasiswa yang harus selalu diasah kemampuan softskillnya,
penulis berpengalaman mengikuti beberapa kegiatan seperti magang dan
pelatihan. Pada tahun 2013, penulis mengikuti Pelatihan Majalah Komunitas
FEMA IPB dan saat ini penulis sedang terlibat dalam penggarapan buku sebagai
output dari pelatihan. Penulis juga pernah mengikuti beberapa pelatihan serupa
dengan pelatihan majalah, di antaranya pelatihan jurnalistik IPB Youth Journalist,
seminar Journalistic Fair, kunjungan jurnalistik ke Metro TV, dan kegiatan
magang selama dua bulan di Dinas Pertanian Lumajang, Jawa Timur, pada tahun
2012.