Post on 31-Jan-2016
description
Universitas Sumatera Utara
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 LANSIA
2.1.1 Definisi lansia
Undang-undang No. 13 tahun 1998 tentang kesejahteraan lansia
menyatakan bahwa lansia adalah seseorang yang mencapai usia 60 tahun ke atas.
Dalam mendefinisikan batasan penduduk lanjut usia, ada tiga aspek yang perlu
dipertimbangkan yaitu aspek biologi, aspek ekonomi dan aspek sosial
(BKKBN
1998). Secara biologis penduduk lanjut usia adalah penduduk yang mengalami
proses penuaan secara terus menerus, yang ditandai dengan menurunnya daya
tahan fisik yaitu semakin rentannya terhadap serangan penyakit yang dapat
menyebabkan kematian. Hal ini disebabkan terjadinya perubahan dalam struktur
dan fungsi sel, jaringan, serta sistem organ.
Secara ekonomi, penduduk lanjut usia lebih dipandang sebagai beban dari
pada sebagai sumber daya. Banyak orang beranggapan bahwa kehidupan masa
tua tidak lagi memberikan banyak manfaat, bahkan ada yang sampai
beranggapan bahwa kehidupan masa tua, seringkali dipersepsikan secara negatif
sebagai beban keluarga dan masyarakat
Dari aspek sosial, penduduk lanjut usia merupakan satu kelompok sosial
sendiri. Di negara Barat, penduduk lanjut usia menduduki strata sosial di bawah
kaum muda. Hal ini dilihat dari keterlibatan mereka terhadap sumber daya
ekonomi, pengaruh terhadap pengambilan keputuan serta luasnya hubungan
sosial yang semakin menurun. Akan tetapi di Indonesia penduduk lanjut usia
menduduki kelas sosial yang tinggi yang harus dihormati oleh warga muda
2.1.2 Klasifikasi lansia
WHO dalam menkes RI mempunyai batasan usia lanjut sebagai
berikut:middle / young elderly usia antara 45-59 tahun, elderly usia antara 60-
74 tahun, old usia antara 75-90 tahun dan dikatakan very old berusia di atas 90
tahun.
Universitas Sumatera Utara
Pada saat ini, ilmuwan sosial yang mengkhususkan diri mempelajari
penuaan merujuk kepada kelompok lansia : “lansia muda” (young old), “lansia
tua” (old old). Dan “lansia tertua” (oldest old). Secara kronologis, young old
secara umum dinisbahkan kepada usia antara 65 sampai 74 tahun, yang biasanya
aktif, vital dan bugar. Old-old berusia antara 75 sampai 84 tahun, dan oldest old
berusia 85 tahun ke atas (Papalia, Olds & Feldman, 2005).
2.1.3 Konsep Menua
Menua adalah proses yang mengubah seorang dewasa sehat menjadi
seorang yang frail dengan berkurangnya sebagian besar cadangan
sistem fisiologis dan meningkatnya kerentanan terhadap berbagai penyakit dan
kematian (Setiati, Harimurti & Roosheroe, 2006).
Terdapat dua jenis penuaan, antara lain penuaan primer, merupakan
proses kemunduran tubuh gradual tak terhindarkan yang dimulai pada masa awal
kehidupan dan terus berlangsung selama bertahun-tahun, terlepas dari apa yang
orang-orang lakukan untuk menundanya. Sedangkan penuaan sekunder
merupakan hasil penyakit, kesalahan dan penyalahgunaan faktor-faktor yang
sebenarnya dapat dihindari dan berada dalam kontrol seseorang (Busse,1987; J.C
Horn & Meer,1987 dalam Papalia, Olds & Feldman, 2005). Banyak perubahan
yang dikaitkan dengan proses menua merupakan akibat dari kehilangan
yang bersifat bertahap (gradual loss). Watson (2003) mengungkapkan bahwa
lansia mengalami perubahan-perubahan fisik diantaranya perubahan sel, sistem
persarafan, sistem pendengaran, sistem penglihatan, sistem kardiovaskuler,
sistem pengaturan suhu tubuh, sistem respirasi, sistem gastrointestinal, sistem
genitourinari, sistem endokrin, sistem muskuloskeletal, disertai juga dengan
perubahan-perubahan mental menyangkut perubahan ingatan (memori).
Berdasarkan perbandingan yang diamati secara potong lintang antar
kelompok usia yang berbeda, sebagian besar organ tampaknya mengalami
kehilangan fungsi sekitar 1 persen per tahun, dimulai pada usia sekitar 30 tahun
(Setiati, Harimurti
& Roosheroe, 2006).
Universitas Sumatera Utara
2.1.4 Aspek Biologis Proses Penuaan
Teori ‘radikal bebas’ merupakan salah satu dari beberapa teori mengenai
proses penuaan. Teori ‘radikal bebas’ diperkenalkan pertama kali oleh Denham
Harman pada tahun 1956. Harman menyebutkan bahwa produk hasil
metabolisme oksidatif yang sangat reaktif (radikal bebas) dapat bereaksi dengan
berbagai komponen penting selullar, termasuk protein, DNA dan lipid, dan
menjadi molekul-molekul yang tidak berfungsi namun bertahan lama dan
mengganggu fungsi sel lainnya. Teori radikal bebas menyatakan bahwa
terdapat akumulasi radikal bebas secara bertahap di dalam sel sejalan
dengan waktu, dan bila kadarnya melebihi konsentrasi ambang maka mereka
mungkin berkontribusi pada perubahan-perubahan yang seringka li dikaitkan
dengan penuaan (Setiati, Harimurti & Roosheroe, 2006).
2.2 KOGNITIF
2.2.1 Definisi Kognitif
Kognitif merupakan suatu proses pekerjaan pikiran yang dengannya kita
menjadi waspada akan objek pikiran atau persepsi, mencakup semua aspek
pengamatan, pemikiran dan ingatan (Dorland, 2002).
2.2.2 Aspek-Aspek Kognitif
Fungsi kognitif seseorang meliputi berbagai fungsi berikut, antara lain :
1. Orientasi
Orientasi dinilai dengan pengacuan pada personal, tempat dan waktu.
Orientasi terhadap personal (kemampuan menyebutkan namanya sendiri
ketika ditanya) menunjukkan informasi yang ”overlearned”. Kegagalan
dalam menyebutkan namanya sendiri sering merefleksikan negatifism,
distraksi, gangguan pendengaran atau gangguan penerimaan bahasa.
Orientasi tempat dinilai dengan menanyakan negara, provinsi, kota,
gedung dan lokasi dalam gedung. Sedangkan orientasi waktu dinilai dengan
menanyakan tahun, musim, bulan, hari dan tanggal. Karena perubahan
waktu
Universitas Sumatera Utara
lebih sering daripada tempat, maka waktu dijadikan indeks yang
paling sensitif untuk disorientasi.
2. Bahasa
Fungsi bahasa merupaka kemampuan yang meliputi 4 parameter,
yaitu kelancaran, pemahaman, pengulangan dan naming.
1. Kelancaran
Kelancaran merujuk pada kemampuan untuk menghasilkan
kalimat dengan panjang, ritme dan melodi yang normal. Suatu metode
yang dapat membantu menilai kelancaran pasien adalah dengan meminta
pasien menulis atau berbicara secara spontan.
2. Pemahaman
Pemahaman merujuk pada kemampuan untuk memahami suatu perkataan
atau perintah, dibuktikan dengan mampunya seseorang untuk melakukan
perintah tersebut.
3. Pengulangan
Kemampuan seseorang untuk mengulangi suatu pernyataan atau kalimat
yang diucapkan seseorang.
4. Naming
Naming merujuk pada kemampuan seseorang untuk menamai suatu objek
beserta bagian-bagiannya.
3. Atensi
Atensi merujuk pada kemampuan seseorang untuk merespon stimulus
spesifik dengan mengabaikan stimulus yang lain di luar lingkungannya.
1. Mengingat segera
Aspek ini merujuk pada kemampuan seseorang untuk mengingat sejumlah
kecil informasi selama <30 detik dan mampu untuk mengeluarkannya
kembali
2. Konsentrasi
Aspek ini merujuk pada sejauh mana kemampuan seseorang untuk
memusatkan perhatiannnya pada satu hal. Fungsi ini dapat dinilai dengan
meminta orang tersebut untuk mengurangkan 7 secara berturut-
turut
Universitas Sumatera Utara
dimulai dari angka 100 atau dengan memintanya mengeja kata
secara terbalik.
4. Memori
1. Memori verbal, yaitu kemampuan seseorang untuk mengingat
kembali informasi yang diperolehnya.
a. Memori baru
Kemampuan seseorang untuk mengingat kembali informasi
yang diperolehnya pada beberapa menit atau hari yang lalu.
b. Memori lama
Kemampuan untuk mengingat informasi yang diperolehnya
pada beberapa minggu atau bertahun-tahun lalu.
2. Memori visual, yaitu kemampuan seseorang untuk mengingat
kembali informasi berupa gambar.
5. Fungsi konstruksi, mengacu pada kemampuan seseorang untuk
membangun dengan sempurna. Fungsi ini dapat dinilai dengan meminta
orang tersebut untuk menyalin gambar, memanipulasi balok atau membangun
kembali suatu bangunan balok yang telah dirusak sebelumnya.
6. Kalkulasi, yaitu kemampuan seseorang untuk menghitung angka.
7. Penalaran, yaitu kemampuan seseorang untuk membedakan baik
buruknya suatu hal, serta berpikir abstrak (Goldman, 2000).
2.2.3 Neurosains kognitif
Lobus frontalis
Korteks frontalis, khususnya area prafrontalis, membesar
secara khusus pada manusia, dibandingkan dengan spesies lain. Secara
anatomis, girus frontalis superior, medial dan inferior membentuk aspek
lateral dari lobus frontalis. Secara fungsional, korteks motorik, korteks
pramotorik dan korteks asosiasi prafrontalis adalah bagian yang utama.
Korteks motorik terlibat dalam pergerakan otot spesifik; korteks
pramotorik terlibat dalam gerakan terkoordinasi berbagai otot; dan
korteks asosiasi terlibat
Universitas Sumatera Utara
dalam integrasi informasi sensoris yang diproses oleh korteks sensorik
primer.
Jalur dari dan ke lobus frontalis adalah banyak dan
kompleks, tetapi satu kelompok jalur yang menghubungkan area
prafrontalis dan nukleus mediodorsal dari talamus mempunyai kaitan
dengan gangguan psikiatrik. Daerah magnoselular dari nukleus talamik
menonjol keluar ke aspek orbital dan medial dari area prafrontalis; daerah
parviselular menonjol keluar ke arah dorsolateral. Lesi yang mengenai
jalur magnoselular menyebabkan hiperkinesis, euforia dan perilaku yang
tidak sesuai, kadang-kadang disebut sebagai sindrom pseudopsikotik.
Lesi yang mengenai jalur parviselular menyebabkan hipokinesis, apati
dan gangguan kognisi, kadang-kadang disebut sindrom pseudodepresi.
Gejala tambahan dapat berupa dandanan yang buruk, retardasi
psikomotor, penurunan perhatian, kekerasan motorik, kesulitan perubahan
mental dan kemampuan abstrak yang buruk.
Fungsi utama korteks frontalis adalah aktivasi motorik,
intelektual, perencanaan konseptual, aspek kepribadian dan aspek
produksi bahasa (Kaplan, Sadock & Grebb, 1997).
Lobus temporal
Lobus temporalis, terletak di setiap sisi kepala berperan
dalam fungsi memori, terutama bagian medial dimana terdapat dua
struktur penting, yaitu hipokampus dan amigdala.
Hipokampus
Hipokampus berperan sebagai gerbang memori yang harus
dilewati ketika memori baru menuju penyimpanan permanen
(korteks). Hipokampus tidak menerima langsung input dari neokorteks.
Data yang diterimanya berasal dari area asosiasi yang ditransmisikan
terlebih dahulu ke korteks entorinal atau amigdala sebelum ke
hipokampus. Kerusakan pada hipokampus dapat berakibat amnesia
anterograde, dimana pasien tidak mampu membentuk memori baru,
sedangkan memori lamanya masih tersimpan dengan baik.
Universitas Sumatera Utara
Amigdala
Amigdala, terletak di samping hipokampus dalam lobus
temporalis medial, merupakan struktur penting dalam memori emosional.
Seseorang dengan kerusakan pada amigdala mungkin dapat mengingat
kejadian yang pernah dialaminya, tetapi tidak bisa mengingat kandungan
emosi di dalamnya.
Selain penting dalam fungsi memori, lobus temporalis juga
penting dalam fungsi bahasa, dimana terdapat struktur penting,
yaitu area Wernicke, yang terletak di sekeliling girus Heschl di bidang
superior temporal. Serat-serat auditorik berjalan dari badan genikulatus
medial dari talamus ke girus Heschl pada bidang superior temporal. Di
sekeliling girus Heschl adalah korteks auditorik yang dikenal sebagai
area Wernicke. Serat-serat dari area Wernicke diproyeksikan ke area
Broca di lobus frontal inferior melalui fasikulus arkuatus dan
mungkin jalur substansia alba lainnya. Area Broca dapat dianggap
sebagai korteks motorik. Sebagai perluasan dari korteks premotorik, area
Broca dapat membuat kode yang menghasilkan program artikulasi
untuk area korteks motorik yang melayani pergerakan mulut, lidah
dan laring (Goldman, 2000).
Lobus Parietalis
Lobul parietalis superior dan lobul parietalis inferior
membentuk lobus parietal. Lobul parietalis inferior termasuk girus
supramarginalis dan girus angularis. Korteks asosiasi untuk input visual,
taktil dan auditoris terkandung dalam lobus parietalis. Lobus parietalis
kiri mempunyai peranan istimewa dalam proses verbal; lobus parietalis
kanan mempunyai peranan yang lebih besar dala proses visual-spasial
(Kaplan, Sadock & Grebb, 1997).
2.3 Kognitif pada Lansia
Setiati, Harimurti & Roosheroe (2006) menyebutkan adanya perubahan
kognitif yang terjadi pada lansia, meliputi berkurangnya kemampuan
meningkatkan fungsi intelektual, berkurangnya efisiensi tranmisi saraf di
otak
Universitas Sumatera Utara
(menyebabkan proses informasi melambat dan banyak informasi hilang selama
transmisi), berkurangnya kemampuan mengakumulasi informasi baru dan
mengambil informasi dari memori, serta kemampuan mengingat kejadian
masa lalu lebih baik dibandingkan kemampuan mengingat kejadian yang
baru saja
terjadi.
Penurunan menyeluruh pada fungsi sistem saraf pusat dipercaya sebagai
kontributor utama perubahan dalam kemampuan kognitif dan efisiensi dalam
pemrosesan informasi (Papalia, Olds & Feldman, 2008). Penurunan terkait
penuaan ditunjukkan dalam kecepatan, memori jangka pendek, memori kerja dan
memori jangka panjang. Perubahan ini telah dihubungkan dengan perubahan
pada struktur dan fungsi otak. Raz dan Rodrigue (dalam Myers, 2008)
menyebutkan garis besar dari berbagai perubahan post mortem pada otak lanjut
usia, meliputi volume dan berat otak yang berkurang, pembesaran ventrikel
dan pelebaran sulkus, hilangnya sel-sel saraf di neokorteks, hipokampus dan
serebelum, penciutan saraf dan dismorfologi, pengurangan densitas sinaps,
kerusakan mitokondria dan penurunan kemampuan perbaikan DNA. Raz dan
Rodrigue(2006) juga menambahkan terjadinya hiperintensitas substansia
alba, yang bukan hanya di lobus frontalis, tapi juga dapat menyebar hingga
daerah posterior, akibat perfusi serebral yang berkurang (Myers, 2008) Buruknya
lobus frontalis seiring dengan penuaan telah memunculkan hipotesis lobus
frontalis, dengan asumsi penurunan fungsi kognitif lansia adalah sama
dibandingkan dengan pasien dengan lesi lobus frontalis. Kedua populasi
tersebut memperlihatkan gangguan pada memori kerja, atensi dan fungsi
eksekutif (Rodriguez-Aranda & Sundet dalam Myers, 2008).
2.3.1 Karakteristik Demografi Penurunan Kognitif pada Lansia
Status Kesehatan
Salah satu faktor penyakit penting yang mempengaruhi penurunan
kognitif lansia adalah hipertensi. Peningkatan tekanan darah
kronis dapat meningkatkan efek penuaan pada struktur otak, meliputi
reduksi substansia putih dan abu-abu di lobus prefrontal,
penurunan
Universitas Sumatera Utara
hipokampus, meningkatkan hiperintensitas substansia putih di lobus
frontalis. Angina pektoris, infark miokardium, penyakit
jantung koroner dan penyakit vaskular lainnya juga dikaitkan dengan
memburuknya fungsi kognitif (Briton & Marmot, 2003 dalam
Myers,
2008)
Faktor usia
Suatu penelitian yang mengukur kognitif pada lansia
menunjukkan skor di bawah cut off skrining adalah sebesar 16%
pada kelompok umur 65-69, 21% pada 70-74, 30% pada 75-79, dan
44% pada 80+. Hasil penelitian tersebut menunjukkan adanya
hubungan positif antara usia dan penurunan fungsi kognitif (Scanlan
et al, 2007).
Status Pendidikan
Kelompok dengan pendidikan rendah tidak pernah lebih baik
dibandingkan kelompok dengan pendidikan lebih tinggi
(Scanlan,
2007).
Jenis Kelamin
Wanita tampaknya lebih beresiko mengalami penurunan kognitif.
Hal ini disebabkan adanya peranan level hormon seks endogen dalam
perubahan fungsi kognitif. Reseptor estrogen telah ditemukan dalam
area otak yang berperan dalam fungsi belajar dan memori, seperti
hipokampus. Rendahnya level estradiol dalam tubuh telah dikaitkan
dengan penurunan fungsi kognitif umum dan memori verbal.
Estradiol diperkirakan bersifat neuroprotektif dan dapat membatasi
kerusakan akibat stress oksidatif serta terlihat sebagai protektor sel
saraf dari toksisitas amiloid pada pasien Alzheimer (Yaffe dkk, 2007
dalam Myers, 2008).
2.4 MMSE (Mini Mental Status Examination)
2.4.1. Tujuan
MMSE awalnya dirancang sebagai media pemeriksaan status
Universitas Sumatera Utara
mental singkat serta terstandardisasi yang memungkinkan untuk
membedakan antara
Universitas Sumatera Utara
gangguan organik dan fungsional pada pasien psikiatri. Sejalan dengan
banyaknya penggunaan tes ini selama bertahun-tahun, kegunaan utama MMSE
berubah menjadi suatu media untuk mendeteksi dan mengikuti perkembangan
gangguan kognitif yang berkaitan dengan kelainan neurodegeneratif, misalnya
penyakit Alzheimer.
2.4.2. Gambaran
MMSE merupakan suatu skala terstruktur yang terdiri dari 30 poin yang
dikelompokkan menjadi 7 kategori : orientasi terhadap tempat (negara, provinsi,
kota, gedung dan lantai), orientasi terhadap waktu (tahun, musim, bulan, hari
dan tanggal), registrasi (mengulang dengan cepat 3 kata), atensi dan
konsentrasi (secara berurutan mengurangi 7, dimulai dari angka 100, atau
mengeja kata WAHYU secara terbalik), mengingat kembali (mengingat kembali
3 kata yang telah diulang sebelumnya), bahasa (memberi nama 2 benda,
mengulang kalimat, membaca dengan keras dan memahami suatu kalimat,
menulis kalimat dan mengikuti perintah 3 langkah), dan kontruksi visual
(menyalin gambar).
Skor MMSE diberikan berdasarkan jumlah item yang benar
sempurna; skor yang makin rendah mengindikasikan performance yang buruk
dan gangguan kognitif yang makin parah. Skor total berkisar antara 0-30
(performance sempurna). Skor ambang MMSE yang pertama kali
direkomendasikan adalah 23 atau 24, memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang
baik untuk mendeteksi demensia; bagaimanapun, beberapa studi sekarang ini
menyatakan bahwa skor ini terlalu rendah, terutama terhadap seseorang
dengan status pendidikan tinggi. Studi-studi ini menunjukkan bahwa
demensia dapat didiagnosis dengan keakuratan baik pada beberapa orang
dengan skor MMSE antara 24-27. Gambaran ini terfokus pada keakuratan
dalam populasi. Untuk tujuan klinis, bahkan skor 27 tidak sensitif untuk
mendeteksi demensia pada orang dengan status pendidikan tinggi, dimana skor
ambang 24 tidak spesifik pada orang dengan status pendidikan rendah.
Universitas Sumatera Utara
2.4.3. Pelaksanaan
MMSE dapat dilaksanakan selama kurang lebih 5-10 menit. Tes ini
dirancang agar dapat dilaksanakan dengan mudah oleh semua profesi kesehatan
atau tenaga terlatih manapun yang telah menerima instruksi untuk
penggunaannya.
2.4.4 Validitas
Performance pada MMSE menunjukkan kesesuaian dengan berbagai tes
lain yang menilai kecerdasan, memori dan aspek-aspek lain fungsi kognitif pada
berbagai populasi. Contohnya, skor MMSE sesuai dengan keseluruhan,
kecerdasan performance ataupun verbal dari Wechsler Adult Intellligence Scale
(WAIS) (Wechsler 1958) atau revisinya (WAIS-R) (Wechsler 1981) pada pasien
demensia, stroke, skizofrenia atau depresi, dan lansia-lansia sehat. Skor MMSE
juga memiliki kesesuaian dengan skor pada tes Clock Drawing pada pasien
geriatri dan pasien dengan penyakit Alzheimer, dengan skor pada
Alzheimer’s Disease Assessment Scale-Cognitive (ADAS-COG) dan juga pada
tes-tes lain seperti Information-Memory-Concentration (IMC), Wechsler Memory
Scale (Wechsler 1945), tes composite neuropsychological dan Brief Cognitive
Rating Scale ( BCRS).
Lima studi melaporkan bahwa MMSE sensitif untuk mendeteksi
demensia. Pada satu studi diantaranya, skor MMSE pasien dengan
demensia (N=29) lebih rendah daripada pasien dengan depresi dengan gangguan
kognitif (N=10), depresi tanpa gangguan kognitif (N=30) dan subjek kontrol
psikiatri normal (N=63). Pada studi lain, skor pasien demensia (N=44) lebih
rendah daripada pasien dengan diagnosis penyakit psikiatri lain (N=33), atau
diagnosis neurologis (N=33), atau subjek kontrol (N=23). Suatu studi yang
terfokus pada lansia di panti jompo (N=201) menemukan bahwa lansia
dengan demensia memilki skor MMSE lebih rendah daripada lansia tanpa
demensia atau curiga demensia.
Skor 23 pada MMSE pertama kali diajukan sebagai ambang skor
yang mengindikasikan disfungsi kognitif. Dalam 13 studi berurutan yang
menilai
Universitas Sumatera Utara
keefektifan ambang skor MMSE < 23 untuk mendeteksi demensia,
sensitivitas berkisar antara 63%-100% dan spesifisitas berkisar antara 52%-
99% (N=23-74
orang dengan demensia dan 24-2,663 orang tanpa demensia).
2.4.5 Reliabilitas
Dua studi yang menilai konsistensi internal MMSE mendapatkan nilai
alfa Cronbach sebesar 0,82 dan 0,84 pada pasien lansia yang dirawat di layanan
medis (N=372) dan lansia di panti jompo (N=34).
Reliabilitas MMSE lain telah ditemukan sebesar 0,827 dalam suatu studi pada
pasien demensia (N=19), 0,95 dalam studi pada pasien dengan berbagai
gangguan neurologis (N=15), dan 0,84-0,99 dalam dua studi pada lansia di panti
jompo (N=35 dan 70). Koefisien korelasi intrakelas berkisar antara 0,69-0,78
didapatkan dalam studi di panti jompo lainnya (N=48). Rata-rata nilai kappa
sebesar 0,97 didapatkan dari 5 peneliti skor performance MMSE secara
terpisah pada 10 pasien neurologis.
2.4.6. Penggunaan Klinis
MMSE merupakan pemeriksaan status mental singkat dan mudah
diaplikasikan yang telah dibuktikan sebagai instrumen yang dapat dipercaya
serta valid untuk mendeteksi dan mengikuti perkembangan gangguan kognitif
yang berkaitan dengan penyakit neurodegeneratif. Hasilnya, MMSE menjadi
suatu metode pemeriksaan status mental yang digunakan paling banyak di dunia.
Tes ini telah diterjemahkan ke beberapa bahasa dan telah digunakan sebagai
instrumen skrining kognitif primer pada beberapa studi epidemiologi skala besar
demensia. Tes ini juga digunakan secara luas pada praktik klinis dan
kecermelangannya sebagai instrumen skrining kognitif telah dibukt ikan dengan
pencatuman bersama dengan Diagnostic Interview Schedule (DIS), dalam studi
National Institute of Mental Health ECA dan oleh daftarnya yang menyebutkan
MMSE sebagai penilai fungsi kognitif yang direkomendasikan untuk kriteria
diagnosis penyakit Alzheimer dikembangkan oleh konsorsium National Institute
of Neurological and
Universitas Sumatera Utara
Communication Disorders and Stroke and the Alzheimer’s Disease and Related
Disorders Association (McKhann dkk, 1984).
Data psikometri luas MMSE menunjukkkan bahwa tes ini memiliki tes
retest dan reliabilitas serta validitas sangat baik berdasarkan diagnosis klinis
independen demensia dan penyakit Alzheimer. Karena performance pada MMSE
dapat dibiaskan oleh pengaruh status pendidikan rendah pada pasien yang sehat,
beberapa pemeriksa merekomendasikan untuk menggunakan ambang skor
berdasarkan umur dan status pendidikan untuk mendeteksi demensia.
Kelemahan terbesar MMSE yang banyak disebutkan ialah batasannya
atau ketidakmampuannya untuk menilai beberapa kemampuan kognitif yang
terganggu di awal penyakit Alzheimer atau gangguan demensia lain (misalnya
terbatasnya item verbal dan memori dan tidak adanya penyelesaian masalah atau
judgment), MMSE juga relatif tak sensitif terhadap penurunan kognitif yang
sangat ringan (terutama pada individual dengan status pendidikan tinggi).
Walaupun batasan- batasan ini mengurangi manfaat MMSE, tes ini tetap menjadi
instrumen yang sangat berharga untuk penilaian penurunan kognitif (Rush, 2000).
2.4.7 Interpretasi MMSE
Interpretasi MMSE didasarkan pada skor yang diperoleh pada saat
pemeriksaan :
1. Skor 24-30 diinterpretasikan sebagai fungsi kognitif normal
2. Skor 17-23 berarti probable gangguan kognitif
3. Skor 0-16 berarti definite gangguan kognitif