Post on 08-Jun-2015
Silahkan download e-book ini di halaman download pada situs
www.tinyurl.com/syariah
INVESTASI WAKAF
Sesuatu yang sangat urgen dan menjadi asas, agar peran wakaf menjadi lebih
optimal terhadap masyarakat, yaitu memberikan modal terhadap harta-harta wakaf,
yang mana mayoritas harta wakaf adalah benda-benda yang tidak bergerak
(permanen) misalnya tanah, sehingga untuk mencapai tujuannya yaitu memenuhi
kebutuhan masyarakat harta wakaf membutuhkan modal, sehingga hasilnya dapat
dirasakan manfaatnya. Begitu juga halnya ketika menginvestasikan harta wakaf
ataupun perusahaan yang mampu memperoleh output (pendapatan), tidak terlepas dari
berbagai faktor-faktor produksi (input) yaitu tenaga, modal, dan beberapa materi lain
yang di butuhkannya.1
Beberapa langkah dasar untuk menginvestasikan harta wakaf, diantaranya:
- Penelitian keuntungan yang sesuai dengan standar pasar, serta mengutamakan
perkembangan bagi perusahaan.
- Memberikan prioritas terhadap perusahaan mana yang akan mendatangkan
penghasilan yang bergantian, begitu juga terhadap pihak penanam modal.2
Adapun langkah-langkah kontemporer untuk pendanaan dan investasi usaha wakaf:
A. Dari sektor karakteristik terpenting dalam hal wakaf, serta manajemen wakaf
yang sesuai dengan perusahaan, perekonomian dan sosial.
- Wakaf mempunyai karakteristik penting yang tidak bisa ditinggalkan dalam
investasi harta wakaf untuk memperoleh hasil yang maksimal. Dan
karakteristik yang pertama, bahwasannya harta wakaf mempunyai sifat ta'bîd
(keabadian), dengan begitu operasional untuk memperoleh penghasilan wakaf
adalah pengeluaran untuk pembangunan serta penjagaannya sehingga bisa
1 Prof. Dr. Na’mat Abdul Lathîf Masyhûr, Atsâr al-Waqfi fi tanmiyati al-Mujtama’, Jâmi’ah al-Azhar, 1997, hal. 1482 Prof. Dr. yûnûs al-Mshry, al-auqaf fiqhan wa iqtishodan, Dar al-maktabi, Damaskus, 1999, cet. I, hal. 136
11
dilangsungkannya dalam pelayanan masyarakat, serta perolehan hasil untuk
masa selanjutnya.
- Karakteristik dari sektor ekonomi, bahwasannya kebanyakan harta wakaf
selalu diibaratkan dengan harta-harta tidak bergerak (permanen), sedangkan
kalau dilihat dalam investasi suatu perusahaan yang berkembang, kita melihat
bahwasannya perusahaan tersebut membutuhkan cabang dari faktor-faktor
produksi mulai dari modal, tenaga (profesionalisme), materi-materi yang
dibutuhkan, dan biaya operasional. Disini umumnya, harta wakaf dari unsur
tertentu, yaitu harta tidak bergerak (permanen) dan menpunyai sedikit faktor-
faktor produksi yang lain, seperti uang begitu juga tenaga.
- Dari segi sosial bahwsannya asal harta wakaf ditujukan untuk pelayanan
masyarakat umum, sebagaimana dengan tempat-tempat khusus ibadah –
misalnya- masjid, dan pelayanan pendidikan.3
B. Bagian dari standar utama perekonomian dan standar Islam dalam memilih
usaha-usaha untuk wakaf.
Dalam berinvestasi, para ahli ekonomi selalu memilih unit-unit perusahaan
yang menghasilkan provit lebih besar bagi investor. Kemudian timbul
pertanyaan, apakah standar umum ini sesuai dengan pandangan Islam untuk
memilih usaha-usaha wakaf ?, menurut pandangan Dr. Anas al-Zarqa,
bahwasannya dalam menginvestasikan harta wakaf haruslah memilih unit
usaha yang memberikan profit tertinggi, selama usaha tersebut dalam koridor
halal.4
C. Studi kelayakan opersional dalam usaha.
Secara umum studi kelayakan tersebut, merupakan sebuah penelitian untuk
menjawab beberapa soal berikut: apakah tujuan yang lebih utama bagi kita
untuk mendirikan usaha atau tidak ? , kalau iya, bentuk usaha apakah yang
lebih baik untuk dijalankan ?. Dari sini akan nampak, bahwa jumlah
pengeluaran untuk usaha dapat diketahui secara pasti, akan tetapi pemasukan
(profit) adalah dhan (perkiraan), secara umum kita bisa berpendapat,
bahwasannya semua usaha ekonomi diibaratkan rugi apabila belum ada 3 Dr. Hasan Abdulllâh al-Amîn, Dr. Anas al- Zarqa, idârah wa tatsmîr mumtalikât al-auqâf, Bank Islami, Jeddah,1989, cet I, hal. 183-1864 Ibid. hal. 187
12
penelitian yang memastikan usaha tersebut akan mengalami untung, kaidah
dalam perekonomian "segala usaha ekonomi harus diibaratkan rugi, sehingga
dipastikan oleh risetbahwa usaha tersebut untung".
Ada dua fase pokok dalam riset:
1. Penelitian tingkatan prioritas, yaitu mempelajari suatu usaha mana yang
lebih sedikit biaya operasional, lebih sedikit resiko, dan lebih mudah untuk
dijalankan. akan tetapi jika hasilnya positif maka harus dikembangkan
secara lebih terperinci. perlu diketahui, bahwasannya penelitian tersebut
berhubungan erat dengan waktu, sehingga terkadang hasil penelitian pada
tahun tertentu –misalnya- hasilnya positif, akan tetapi tidak sesuai pada
dua sampai tiga tahun setelahnya.
2. Metode pelaksanaan dan pengawasan. Ada beberapa metode pelaksanaan
langsung, yang mana pengelola turun secara langsung untuk melakukan
investasi. Biasanya mengadakan perjanjian kepada pihak tertentu untuk
melaksanakan pembangunan sesuai dengan sifat-sifat yang ditentukan.5
D. Mengetahui macam-macam jasa tamwil (pendanaan) dan investasi Islam,
dengan menekankan pada salah satu jasa yang paling cocok dengan usaha
wakaf. Sebelum terjun dalam jasa investasi, harus didahului dengan penelitian,
bahwa bentuk jasa yang ditawarkan tersebut sesuai dengan prinsip Islam.6
Bentuk-bentuk klasik dalam investasi wakaf:
A. Istibdâl (penggantian) harta wakaf. Secara terminologi menurut
para fuqaha adalah mengeluarkan barang wakaf dari perwakafan
dengan menjualnya, kemudian membeli barang lain (yang sama
macam dan penggunaannya) untuk dijadikan wakaf sebagai
pengganti barang yang dijual. Ada perbedaan pendapat para ulama,
boleh tidaknya dalam masalah ini. Menurut Syâfi'iyyah (pengikut
madzhab syafi'i) tidak memperbolehkan untuk menjualnya, sama
saja dalam harta wakaf permanent maupun non permanent.
5 Ibid. hal. 188-1916 Ibid. hal. 192
13
Menurut Hanafiyah (pengikut madzhab Hanafi) membolehkannya,
sama saja dalam harta wakaf permanent maupun non permanent.
Menurut Mâlikiyyah (pengikut madzhab Maliki) membolehkannya
dalam harta wakaf non permanent, karena kalu tidak boleh, bisa
merusaknya dengan sia-sia (tabdzir), akan tetapi dalam harta wakaf
permanent tidak membolehkannya, kecuali pada satu keadaan saja,
yaitu apabila dengan menjualnya akan terpenuhi kemaslahatan
umum. Sedangkan menurut Hambaliyyah (pengikut madzhab
Hambali) sama dengan madzhab Hanafiyyah, akan tetapi
perbedaanya, hukum asalnya haram, adapun dibolehkannya ketika
dlorûrah (terpaksa). Dan pendapat yang paling rajih adalah
pendapat yang membolehkannya.
- Syarat-syarat istibdâl (penggantian) harta wakaf:
1. Tidak berbuat dholim dalam penjualan, begitu juga tidak boleh memberikan
atau menyumbangkan bagian dari harta wakaf.
2. Tidak menjual kepada yang syahadahnya (persaksiannya) tidak diterima,
begitu juga tidak boleh kepada orang-orang yang berhutang.
3. Barang yang dibelinya -sebagai pengganti barang yang dijual- harus lebih baik
dan lebih bermanfaat dari pada barang sebelunya.
4. Harus memenuhi tujuan dari istibdâl (penggantian), diantaranya barang yang
dijual dan yang dibeli sama dalam pemanfaatannya.
- Cara-cara istibdâl (penggantian) antara lain:
1. Menjual sebagian wakaf untuk membangun sebagian yang lain dari wakaf itu
sendiri.
2. menjual harta wakaf untuk membangun harta wakaf lain, yang serupa dalam
pemanfaatannya.
3. Menjual beberapa harta milik wakaf, dan membeli barang baru yang lebih
produktif, dan hasilnya untuk pembelanjaan harta wakaf yang terjual.7
7 Dr. Ahmad Muhammad Sa'ad & Muhammad Ali al- Umri, al-ittijâhât al-mu'âshirah fi tathwîri al-istitsmâr al-waqf, Kuwait, 2000, cet. I, hal. 52-59
14
B. Penyewaan wakaf.
Hukum fikih yang berlaku pada penyewaan wakaf, tidak berbeda dengan
hukum yang berlaku pada penyewaan biasa –sewa kepemilikan – yang mana
disyaratkan dalam kesempurnaannya, sahnya, pelaksanaan dari dua fihak yang
bertransaksi, dan barang yang menjadi obyek transaksi, begitu juga shighah (lafadz
ijab dan qabul).
Sesuai dengan realita akan dibolehkannya penyewaan harta wakaf menurut
fikih Islam, ketika dalam keadaan yang terpaksa, ataupun kebutuhan yang sangat
mendesak.
Disini terbagi dalam dua topik :
1. Hukum-hukum khusus yang berlaku pada penyewaan harta wakaf ada lima
cabang:
a. Orang yang memiliki akad wakaf. Adapun orang yang memiliki akad
dalam menginvestasikan harta wakaf dengan ijârah (penyewaan) atau
dengan lainnya adalah nâdzir (pengelola), tanpa yang lain . dengan
begitu seorang hakim tidak boleh menyewakan harta wakaf dengan
adanya nâdzir (pengelola), karena pengelola memiliki kekuasaan
khusus pada harta wakaf, akan tetapi diperbolehkan bagi hakim (qadli)
ketika tidak adanya nâdhir (pengelola).
b. Kepada siapa harta wakaf disewakan. Tidak diperbolehkan bagi
pengelola untuk menjadi penyewa harta wakaf, atau kepada orang
dibawah perwaliannya –misalnya- anaknya sendiri yang masih kecil ,
karena sama saja bahwa penyewa dan yang menyewakan adalah orang
itu sendiri, begitu juga tidak boleh bagi pengelola untuk menyewakan
kepada orang yang tidak diterima syahadahnya (persaksiannya).
c. Standar ukuran biaya (tarip) harta wakaf. Tidak diperbolehkan bagi
pengelola untuk menyewakan harta wakaf dengan mengecilkan
(mengurangi) dari biaya mitsli.
d. Lama penyewaan harta wakaf. Yang ditentukan dalam fikih Islam,
tidak diperbolehkan bagi pengelola untuk menyewakan harta wakaf
secara mutlak, tanpa batas waktu tertentu dalam menyewakannya.
Apabila dalam akad tersebut belum ditentukan batasnya, maka sesuai
15
dengan pendapat yang râjih dari fuqaha, untuk harta non permanent
dan hewan selama satu tahun, sedangkan untuk harta permanent
selama tiga tahun.
e. Selesai masa penyewaan wakaf. Habisnya masa penyewaan wakaf
sesuai dengan habisnya waktu yang telah disepakati dalam transaksi,
setelah itu wajib bagi penyewa untuk menyerahkan kembali kepada
pengelola.8
2. Hukum-hukum khusus hakr (pemanfaatan tanah).
Al-hakr berasal dari bahasa arab, secara etimologi berarti al-man'u (larangan),
sehingga orang yang mempunyai hak hakr, berhak untuk melarang yang lain
untuk memanfaatkannya. Sedangkan secara terminologi yaitu, akad sewa
dengan tujuan pemanfaatan tanah ditentukan untuk dibangun sebuah
bangunan, ataupun untuk ditanami.
- syarat sahnya hakr :
a. Diharuskannya dalam akad sewa memenuhi akad yang sah, yaitu
diketahuinya masa dan upah (tarip), yang tidak dari upah mitsli.
b. Sempurnanya akad hakr ketika sangat terdesak dan terpenuhinya
maslahat bagi harta wakaf.
c. Harus seizin mahkamah khusus, dan harus didaftarkannya.
- Hak-hak bagi muhtakir (pemakai tanah):
a.Berhak untuk memanfaatkan tanah wakaf untuk mendirikan gedung,
ataupun untuk bercocok tanam, yaitu sesuai dengan akad.
b. Mempunyai hak milik, sehingga boleh menjualnya, menggadaikannya,
mewakafkannya, memberikannya, mewasiatkannya, dan
mewariskannya.
c.Mempunyai hak untuk menentukan sesuatu atas tanah, mendirikan asas
(pondasi), menanam pohon, atau yang lainnya. Dan tidak boleh diambil
setelah habisnya waktu, selama kewajibannya untuk membayar sewa
(ujrah mitsli) dipenuhinya.
- Hak-hak yang harus ilakukan muhtakir (pemakai tanah):
a. membayar uang sewa (ujroh mitsli).
8 Ibid. hal. 60-63
16
b. Bagi penyewa harus memperhatikan faktor-faktor untuk menjaga tanah agar
tetap produktif, sesuai dengan syarat-syarat yang disepakati.9
Bentuk-bentuk kontemporer dalam investasi wakaf.
I. Mudharabah (spekulasi) dan syirkah (persekutuan).
Merupakan sebuah kesepakatan dari dua modalitas (pihak) untuk mengadakan
persekutuan diantara keduanya, yang mana pihak yang pertama (syarîk) memberikan
uang yang dibutuhkan, sedangkan pihak yang kedua mengeluarkan factor produksi
lain yang di butuhkan, dan keuntungan dibagi sesuai dengan prosentase bagiannya,
yang telah disepakati dalam akad.
A. Promes / surat pengakuan atas hutang (sanadât muqâradlah).
- tujuannya adalah, sebagai sarana bagi bank tamwîl (pendanaan) untuk
memberikan saham dalam unit perusahaan. Begitu juga sebagai pengganti
Islami dari pinjaman yang mengandung ribawi, yang berdasarkan bunga.
Sanadât jmak dari kata sanad, secara bahasa berarti peyangga dan penopang,
ada yang mengatakan surat / kartu obligasi. Adapun muqâradlah adalah
mudlârabah, diambil dari kata al-qardl yang berarti al-qath'u (memotong),
karena orang penanam saham (pemodal) memotong sebagian hartanya untuk
biaya operasional dan mendapat bagian dari keuntungan.
- Beberapa dampak positif dalam memenuhi perkembangan ekonomi.
1. sanadât muqâradlah (saham) merupakan salah satu sarana untuk mendanai
dengan jumlah yang cukup besar dalam waktu relative lama, yang berbentuk
faktor-faktor produksi, yaitu modal dan tenaga (profesionalisme), dengan cara
kerja sama antara pihak yang mempunyai modal dengan pihak yang
mempunyai profesionalisme dalam mengatur perusahaan.
2. Bentuk ini meukapan solusi yang Islami, dari bentuk pinjaman yang diberikan
oleh bank konvensional dalam system bunga. Dengan begitu terhindarlah
masyarakat sosial dari riba.
3. Beroperasi dengan berbagai tempat yang ada untuk menjadikan harta-harta
yang tidak produktif menjadi produktif, yaitu dengan adanya investasi.
9 Ibid. hal. 64-67
17
4. bentuk ini bisa diibaratkan sebagai inti titik permulaan pengendalian modal
Islami, yang mana modal tersebut bisa dipindah kan dan diputar di masyarakat
Islami, dan memberikan investasi untuk menumbuhkan kesejahteraan
masyarakat sosial.
5. Formula ini –salah satu mode investasi wakaf- akan memberikan tambahan
modal bagi wakaf Islam, dengan menanamkan modal kepada perusahaan-
perusahaan perekonomian yang mana –secara umum—suatu usaha yang
memberikan manfaat kepada masyarakat Islami. Secara tidak langsung peran
wakaf untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan terealisasi.
6. yang berhubungan dengan harta waka, mode ini membolehkan bagi penanam
modal untuk menarik modalnya secara berangsur dari suatu unit usaha, dengan
masa yang terketahui, yaitu setelah kembalinya modal yang diberikan untuk
memenuhi segala kebutuhan untuk pembentukannya.
- Syarat-syarat dari pandangan fiqih:
1. Bentuk-bentuk promes (surat pengakuan atas hutang) yang diterima syar'I adalah
umum, harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. Surat (promes) merupakan pemilikan dari bagian bersama suatu unit usaha
dari pihak yang mengeluarkannya untuk pengembangannya (pendanaannya).
Berlangsungnya kepemilikan ini dimulai dari permulaan berdirinya suatu
usaha sampai berakhirnya suatu usaha. Sehingga mempunyai hak untuk
menjual, memberikan, mengadaikan, dan mewariskan akta (promes) tersebut.
b. Akad harus berdiri pada asas, bahwa syarat-syarat akad harus membatasi
prosentasenya, dan melaporkan pengeluarannya. Sedangkan ijab dengan
menyetorkan uang dengan akta (promes).qobul diibaratkan dengan adanya
kesepakatan dari pihak yang mengeluarkan modal untuk memperoleh akta
(promes). Laporan yang dikeluarkan harus mencakup seluruh keterangan
yang ada dalam akad, sebagaimana keterangan tentang modal, kontribusi
keuntungan dan syarat-syarat khusus pengeluaran sesuai dengan hukum syar'i.
c. Akta (promes) harus bisa untuk diedarkan ( ditukar) setelah habisnya masa
untuk membayar iuran (selesai menyetor yang menjadi tanggungannya).
18
d. Bahwasannya pihak yang menerima setoran dari akta (promes) untuk investasi
dan mendirikan perusahaan adalah mudhârib (orang yang berbisnis) dan tidak
memiliki perusahaan secara penuh, kecuali sebatas ukuran saham yang
dikeluarkannya.
2. Diperbolehkannya akta (promes) dalam perputaran pasar modal (sûk aurâk
mâliyah) dan tetap tunduk dengan akad yang semula.
3. laporan pengeluaran akta (promes) tidak boleh mencakup pada ketetapan jaminan
'âmil mudlâribah (pelaku bisnis) dengan modal.atau jaminan keuntungan pasti
yang dihubungkan dengan modal, jika terjadi ketetapan secara terang atauoun
bagian dalamnya, maka syarat jaminan tersebut batal.
4. tidak diperbolehkan dalam mengeluarkan brosur , begitu juga akta (promes)
dilandasi ketetapan diharuskannya untuk mjenjual.
5. tidak diperbolehkan dalam brosur yang dikeluarkan, suatu ketetapan yang
menyebabkan kemungkinan terputusnya perusahaan dari keuntungan.
6. memperoleh keuntungan dengan jelas, dan memiliki dengan tunai atau penaksiran
harga. Sesuai dengan prosentase untuk perusahaan yang dihasilkan.
7. tidak adanya larangan secara syar'i untuk menetapkan prosentase tertentu di akhir
periode (fase).
8. tidak adanya larangan syar'i , untuk menetapkan pengeluaran brosur atau
muqâridhah (pinjaman) untuk mengadakan dengan pihak ketiga.10
B. Mudlârabah (spekulasi) dan perusahaan (perusahaan).
Bagi pengelola harta wakaf sangat memungkinkan untuk bekerja sama dengan
perusahaan dan spekulan (orang berbisnis). Untuk memenuhi pendanaan yang
sudah menjadi keharusan dalam berinvestasi, yang tidak memerlukan
dikeluarkannya promes (akta), yaitu dengan adanya kesepakatan dari
pengelola wakap dengan pihak penanam modal untuk membangun
perusahaan. Dengan begitu pihak wakaf memperoleh bagian dari harga barang
wakaf yang dieksploitasi untuk usaha, dan pihak penanam modal mendapat
bagian sebagaimana yang dikeluarkannya untuk membangun perusahaan.
Sehingga keuntungan dari keduanya sesuai dengan bagian (saham ) yang
10 Ibid. hal. 80-90
19
dikeluarkannya, dan juga memperhatikan usaha (energi) yang telah dilakukan
untuk peengembangan perusahaan.
Dari sini nampak nempak beberapa point diantaranya:
1. memungkinkan bagi penanam modal untuk ikut berinvestasi dengan
modal yang lebih sedikit, dibanding kalau berinvestasi sendiri,
sehingga memudahkan baginya untuk memenuhi kebutuhan lain, tau
untuk diinvestasikan dilain perusahaan.
2. Harta wakaf berperan dalam membantu pelaksanaan perusahaan,
sehingga mendorong bagi penanam modal untuk berinvestasi.
3. Diperbolehkan bagi penanam modal untuk menarik secara berangsur –
dari masa yang diketahui- setelah kembalinya modal yang dikeluarkan
dalam pembangunan perusahaan, dengan tambahan bagian dari
keuntungan.11
II. al-Istishnâ' (minta pesanan).
- Kata istishnâ' secara etimologi berarti minta dibuatkan. Adapun secara
terminology terdapat perbedaan dari para fuqaha.
Yang pertama: Menjual barang yang disifati dalam tanggungan, bukan
menjual pekerjaan (perbuatan).
Yang kedua : Akad atas penjualan barang dalam tanggungan sebagai syarat
adanya pekerjaan (perbuatan).
Dari dua pendapat ini ada perbedaan tentang pensyaratan amal (perbuatan)
dari pembuat atau dengan tidak adanya pensyaratan.
- Syarat-syarat dibolehkannya istishna' :
1. Keterangan jenis, macam, ukuran, dan sifat suatu barang yang dibuatnya dengan
jelas dan sempurna, sehingga terhindar dari ketidaktahuan (gharar) yang bisa
mengakibatkan perselidihan.
2. Disyaratkannya tempo dalam istishna'.
3. Akad istishna' harus sesuai dengan mu'amalah yang berlaku.
A. Luzumnya (ketetapan) akad ishtishna'.
11 Ibid. hal. 91
20
Untuk mengetahui luzum dan tidaknya akad istishna'kita harus mengetahui fase-
fase dalam penyempurnaan akad.
Fase pertama: fase sebelum pembuatan.
Fase Kedua : fase setelah pembuatan, dan setelah melihat barang hasil
pembuatan setelah permintaan.
Fase ketiga : Fase setelah pembuatan, dan setelah melihat barang hasil
pembuatan, setelah permintaan.
Dari beberapa fase ini ada 2 hal (keadaan):
Hal pertama: Tidak adanya kecocokan barang terhadap yang disyaratkan, serta
sifat-sifat yang diminta.
Hal kedua : adanya kecocokan barang terhadap yang disyaratkan,serta sifat-sifat
yang diminta.
Sesuai denga realita, bahwa akad istishna' tidak lazim pada fase pertama dan
kedua bagi dua pihak, begitu juga tidak lazim pada hal (keadaan) pertama dari fase
yang ketiga. Disini tidak ada perbedaan dari para fuqaha madzhab.
Adapun pada pada hal (keadaan) kedua dari fase ketiga yaitu: ketika seorang
pembuat membawa barang yang dibuat sesuai dengan sifat-sifat serta ukuran yang
diminta, maka dalam luzumnya bagi pemesan barang terjadi perbedaan pendapat,
ada yang berpendapat khiyar, yaitu jika berkehendak boleh mengambilnya dan
juga boleh meninggalkannya, ini pendapat Imam Abu Hanifah dan Muhammad
Ibnu Hasan. Sedangkan menurut pendapat Abu yusuf yaitu: lazim bagi pemesan
pada keadaan seperti ini.
Dan pendapat yang dirajihkan oleh Dr. yasin Diradakah merajihkan pendapat
Abu Yusuf, dengan alas an: karena apabila seorang pembuat barang dating dengan
barang sebagaimana yang disifatinya, kemudian pemesantidak menerimanya
(tidak mau mengambilnya) maka akan mengakibatkan bahaya, yaitu bisa terjadi
pertikaian, dan ini merupakan bahaya yang nyata.
Penerapan kontemporer untuk akad istihsna' dalam bidang wakaf.
21
Problematika yang dihadapi oleh harta wakaf, yaitu dengan tidak adanya harta
non permanent (uang) bisa dicarikan solusi denganbersandar dengan badan tamwil
(pendanaan) yang bermacam-macam –misalnya bank Islam-, untuk mendanai biaya
operasional (menginvestasikan modalnya) pada tanah wakaf dengan akad istishna',
yaitu adanya kesepakatan dari pihak wakaf dengan salah satu pihak tamwil (pemodal),
yang mana cara mengerjakannya dengan memilih seorang wakil, yaitu orang yang
profesionaluntuk mengerjakannya.
Setelah sempurnanya usaha, pihak wakaf menerimanya sesuai dengan sifat-
sifat, ukuran, dan syarat yang diminta, kemudian membayar harga dari usaha, kepada
badan tamwil (pendanaan) dengan bentuk kredit, dan dibatasinya (ditentukan) harga
serta waktunya, bersandar pada penghasilan yang diperoleh dalam usaha itu. Sehingga
pihak wakaf akan mampu memenuhi kredit pada waktu yang telah dibatasi.
Dan lebih pantas seandainya ada pihak ketiga –misalnya- Negara yang
menanggung harga kredit secara penuh, dan menutupinya pada waktu yang telah
ditentukan, bisa dalam bentuk pemberian maupun pinjaman. Dengan akad seperti ini,
serta jaminan yang diberikan Negara, akan memberi motivasi kepada investor untuk
memutar uangnya dalam bidang investasi wakaf.12
B. Musyârakah dengan berangsur yang berakhir dengan kepemilikan.
Mode ini merupakan macam-macam dari bentuk musyârakah yang
memberikan pendorong bagi penanaman modal dalam bersekutu (bekerja sama).
Serta adanya hak untuk tetap pada posisinya, yaitu memiliki perusahaan, ataupun
menarik modal secara berangsur ataupun langsung, sesuai dengan syarat yang
menjadi kesepakatan.
Disini pihak wakaf memungkinkan untuk berinvestasi sesuai dengan mode
bentuk ini, yaitu mendirikan perusahaan dengan badan tamwil (pendanaan) yang
mana, pihak wakaf memperoleh bagian seharga barang wakaf, yang
dieksploitasinya untuk didirikan sebuah perusahaan, adapun bagian dari pihak
tamwil (pemodal) memperoleh bagian dari harta yang dikeluarkannya untuk
perusahaan dan pembagian profit (keuntungan) sesuai dengan prosentase bagian
yang telah disepakati. Akan tetapi keuntungan pihak wakaf dibagi menjadi dua,
12 Ibid. hal. 92-96
22
yang setengahnya digunakanuntuk biaya operasional dan setengahnya lagi untuk
menutupi apa yang telah diberikan pihak tamwil dalam perusahaan.13
C. Muzâra'ah (pertanian), musâqah (pengairan) dan mughârasah
( perkebunan).
-Muzâra'ah, yaitu pihak yang memiliki tanah pertanian (tanpa ada tanaman) –disini
pihak pengelola wakaf-, menyerahkan kepada pihak kedua untuk berinvestasi, dengan
cara menanaminya. Dan keuntungan dibagi sesuai dengan prosentase yang disepakati.
-Mode dari Musâqah (pengairan), yang dilakukan oleh pihak pemilik tanah pertanian
ataupun perkebunan yang ada tanamannya (pohonnya) –disini pihak pengelola
wakaf-, kemudian menyerahkannya kepada pihak kedua untuk berinvestasi, yaitu
dengan cara memelihara dan menjaganya yaitu mengairinya sampai berbuah, dan
hasilnya dibagi sesuai dengan kesepakatan.
-Bentuk dari mughârasah (perkebunan), yang dilakukan oleh pemilik tanah
perkebunan –kosong tanpa ada tanaman- (pihak pengelola wakaf) menyerahkannya
kepada pihak kedua untuk berinvestasi, dengan cara menanam pohon, menjaga serta
memeliharanya, dan hasulnya dibagi sesuai dengan kesepakatan.14
13 Ibid. hal 97-9814 Ibid. hal. 100
23