Post on 21-Jan-2016
MAKALAH PSIKOLOGI KESEHATAN
KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
Disusun oleh :
Dewi Permata Sari (NPM. 135190108)
Nur Alifah (NPM. 135190126)
Kelas : B-2
Jurusan Kesehatan Masyarakat
Fakultas Ilmu Kesehatan
Universitas Respati Indonesia
2013
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa Karena
atas berkat dan rahmatnya maka penulis dapat menyelesaikan tugas ini tepat
pada waktunya.
Tak lupa penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar - besarnya
kepada Bapak Dr. yongky, selaku dosen mata kuliah Psikologi Kesehatan yang
secara tidak langsung telah melatih penulis dalam membuat makalah.
Terima kasih juga kepada semua pihak yang telah mendukung penulis demi
terselesaikannya makalah ini baik dari segi moril maupun materil.
Penulis menyadari bahwa masih sangat banyak kekurangan yang terdapat
dalam makalah ini. Oleh karena itu, saran dan kritik demi kesempurnaan
makalah ini sangat penulis harapkan.
Jakarta, 8 November 2013
Tim Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Tindak kekerasan di dalam rumah tangga (domestic violence) merupakan
jenis kejahatan yang kurang mendapatkan perhatian dan jangkauan hukum.
Tindak kekerasan di dalam rumah tangga pada umumnya melibatkan pelaku
dan korban diantara anggota keluarga di dalam rumah tangga, sedangkan
bentuk tindak kekerasan bisa berupa kekerasan fisik dan kekerasan verbal
(ancaman kekerasan). Pelaku dan korban tindak kekerasan didalam rumah
tangga bisa menimpa siapa saja, tidak dibatasi oleh strata, status sosial, tingkat
pendidikan, dan suku bangsa.
Bagi masyarakat Indonesia sendiri, kekerasan dalam rumah tangga
(KDRT) bukanlah fenomena yang baru. Kenyataan ini diperkuat dengan
pernyataan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan yang mengatakan
bahwa 11,4 % dari 217 juta penduduk Indonesia atau 24 juta terutama di
pedesaan pernah mengalami kekerasan dan terbesar adalah kekerasan dalam
rumah tangga (Soedjendro, 2005). Menurut catatan Mitra Perempuan, hanya
15,2 % perempuan yang mengalami KDRT menempuh jalur hukum, dan
mayoritas (45,2 %) memutuskan pindah rumah dan 10,9 % memilih diam.
Berdasarkan studi kasus persoalan Kekerasan Terhadap Istri (KTI) yang masuk
di Rifka Annisa Women’s Crisis Center pada tahun 1998, dari 125 kasus KTI, 11
% diantaranya mengakhiri perkawinannya dengan perceraian, 13 % mengambil
jalan keluar dengan cara melaporkan suami ke polisi, ke atasan suami, atau
mengajak berkonseling, dan mayoritas korban (76 %) mengambil keputusan
kembali kepada suami dan menjalani perkawinannya yang penuh dengan
kekerasan (Hayati, 2000). Statistik Mitra Perempuan Women’s Crisis Centre
tahun 2009 (hingga 14 Desember) mencatat jumlah layanan pengaduan dan
bantuan diberikan kepada 204 orang perempuan dan anak-anak yang
mengalami kasus kekerasan terutama KDRT (91,67%) di wilayah Jakarta,
Tangerang, Bekasi, Depok, Bogor dan sekitarnya.
Meskipun jumlah perempuan yang baru dibantu layanan Hotline &
konseling di 3 tempat layanan Mitra Perempuan (Jakarta, Tangerang & Bogor)
di tahun ini menurun 26,88% dibandingkan tahun sebelumnya (2008: 279 orang,
2007: 283 orang), tetapi jenis kasus dan dampak kekerasan yang dialami oleh
korban cukup serius dan terjadi peningkatan jumlah perempuan yang
menempuh upaya hukum sebagai implementasi Undang-Undang No. 23 tahun
2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Data diatas membuktikan bahwa angka korban KDRT di Indonesia
cukup besar, dan hanya sedikit korban yang menempuh jalur hukum.
Sedangkan sebagian besar korban lebih memilih kembali pada suami dan
melanjutkan hidup dengan kekerasan.
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dapat di telaah melalui
beberapa sudut pandang, bisa melalui telaah pendekatan psikologi, perspektif
hukum dan kriminologi, dan hak asasi manusia. Dari masing-masing sudut
pandang akan melengkapi arti daripada kekerasan dalam rumah tangga itu
sendiri, dari dampak yang diakibatkan sampai penaggulangan serta jalur hukum
bagi pelaku tindak kekerasan. Kekerasan dalam rumah tangga dapat terjadi di
setiap keluarga dan biasanya menimpa kaum ibu, Hal ini dapat dilihat dari
laporan yang masuk ke kepolisian dari semua kasus semua menimpa kaum ibu.
Sebagaimana diketahui kekerasan dalam rumah tangga hampir terjadi didalam
lapisan kehidupan yang bisa berdampak pada perkembangan perempuan
sebagai korban kekerasan.
1.2 Tujuan
1. Memahami pengertian dan jenis kekerasan dalam rumah tangga.
2. Mengetahui penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga.
3. Mengetahui kekerasan dalam rumah tangga yang ditinjau dari
psikologi kesehatan.
4. Mengetahui dampak psikologis pada korban kekerasan dalam rumah
tangga.
5. Mengetahui pencegahan dan penanganan kekerasan dalam rumah
tangga.
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian dan Jenis Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Mave Cormack dan Stathern (1990) menjelaskan terbentuknya dominasi
laki-laki atas perempuan ditinjau dari teori nature and culture. Dalam proses
transformasi dari nature ke culture sering terjadi penaklukan. Laki-laki sebagai
culture mempunyai wewenang menaklukan dan memaksakan kehendak kepada
perempuan (nature). Secara kultural laki-laki ditempatkan pada posisi lebih
tinggi dari perempuan, karena itu memiliki legitimasi untuk menaklukan dan
memaksa perempuan. Dari dua teori ini menunjukkan gambaran aspek
sosiokultural telah membentuk social structure yang kondusif bagi dominasi laki-
laki atas perempuan, sehingga mempengaruhi prilaku individu dalam kehidupan
berkeluarga.
Menurut La Pona dkk (Sugihastuti, 2007:172) kekerasan terhadap
perempuan adalah tindakan seorang laki-laki atau sejumlah laki-laki dengan
mengerahkan kekuatan tertentu sehingga menimbulkan kerugian dan
penderitaan secara fisik, seksual, atau psikologis pada seorang perempuan atau
sekelompok perempuan, termasuk tindakan yang bersifat memaksa,
mengancam, dan/atau berbuat sewenang-wenang, baik terjadi dalam
kehidupan bermasyarakat maupun dalam kehidupan pribadi di ruang domestik
dan publik.
Berdasarkan Undang-Undang No 23 tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga pada pasal 1 butir 1 menyebutkan bahwa
Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang
terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan
secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk
ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan
kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Kekerasan
dalam rumah tangga juga juga berarti segala bentuk tindak kekerasan yang
dilakukan oleh suami terhadap istri yang berakibat menyakiti secara fisik, psikis,
seksual dan ekonomi, termasuk ancaman, perampasan kebebasan yang terjadi
dalam rumah tangga atau keluarga. Selain itu, hubungan antara suami dan istri
diwarnai dengan penyiksaan secara verbal, tidak adanya kehangatan
emosional, ketidaksetiaan dan menggunakan kekuasaan untuk mengendalikan
istri.
Setelah membaca pengertian kekerasan dalam rumah tangga kita
mengerti bahwa kekerasan tidak hanya dalam bentuk fisik saja, tetapi juga
dalam bentuk psikis, seksual, dan ekonomi. Bentuk-bentuk kekerasan dalam
rumah tangga yaitu antara lain :
a. Kekaerasan Fisik
Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh
sakit atau luka berat (Pasal 6). Adapun kekerasan fisik dapat diwujudkan
dengan perilaku di antaranya: menampar, menggigit, memutar tangan,
menikam, mencekek, membakar, menendang, mengancam dengan
suatu benda atau senjata, dan membunuh. Perilaku ini sungguh
membuat anak-anak menjadi trauma dsalam hidupnya, sehingga mereka
tidak merasa nyaman dan aman.
b. Kekerasan Psikis
Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan,
hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa
tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang (pasal
7). Adapun tindakan kekerasan psikis dapat ditunjukkan dengan perilaku
yang mengintimidasi dan menyiksa, memberikan ancaman kekerasan,
mengurung di rumah, penjagaan yang berlebihan, ancaman untuk
melepaskan penjagaan anaknya, pemisahan, mencaci maki, dan
penghinaan secara terus menerus. Kekerasan psikis ini, apabila sering
terjadi maka dapat mengakibatkan istri semakin tergantung pada suami
meskipun suaminya telah membuatnya menderita. Di sisi lain, kekerasan
psikis juga dapat memicu dendam dihati istri.
c. Kekerasan Seksual
Kekerasan seksual adalah setiap perbuatan yang berupa pemaksaan
hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak
wajar dan/atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan
orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu. Kekerasan
seksual meliputi (pasal 8): (a) Pemaksaan hubungan seksual yang
dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga
tersebut; (b) Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang
dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan
komersial dan/atau tujuan tertentu.
d. Penelataran Rumah Tangga
Penelantaran rumah tangga adalah seseorang yang menelantarkan
orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang
berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib
memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang
tersebut. Selain itu, penelantaran juga berlaku bagi setiap orang yang
mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi
dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah
sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut (pasal 9).
Penelantaran rumah tangga dapat dikatakan dengan kekerasan
ekonomik yang dapat diindikasikan dengan perilaku di antaranya seperti :
penolakan untuk memperoleh keuangan, penolakan untuk memberikan
bantuan yang bersifat finansial, penolakan terhadap pemberian makan
dan kebutuhan dasar, dan mengontrol pemerolehan layanan kesehatan,
pekerjaan, dan sebagainya.
2.2 Penyebab Terjadinya Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Di Indonesia, kekerasan dalam rumah tangga sudah banyak dilakukan
oleh suami kepada istri. masyarakat sendiri tidak sadar bahwa kekerasan dalam
rumah tangga sudah membudaya di Indonesia. Ada beberapa penyebab
terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Disini akan dibahas penyebab
kekerasan dalam rumah tangga dilihat dari tiga aspek, yaitu aspek ekonomi,
aspek sosial-budaya, dan aspek politik.
1. Aspek Ekonomi
Dilihat dari aspek ekonomi, kekerasan dalam rumah tangga bisa disebabkan
karena :
a. Kemiskinan
b. Pendapatan istri lebih besar daripada suami
Jika pendapatan istri lebih besar daripada suami, dapat terjadi
kecemburuan antara suami dan istri. Sehingga suami merasa
disepelekan dan melakukan kekerasan. ini juga dipengaruhi oleh
psikologi suami.
c. Istri terlalu bergantung pada suami dalam hal ekonomi
Istri yang terlalu bergantung akan membuat suami semena-mena
terhadap istrinya. Karena dia merasa bahwa istrinya tidak bisa berbuat
apa-apa tanpa dia. Sehingga suami bisa berbuat kekerasan kepada
istrinya.
d. Suami pengangguran dan tidak mau bekerja
Suami hanya menunggu hasil kerja dari istri dan merelakan istrinya di
eksploitasi demi uang.
2. Aspek Sosial-budaya
Dilihat dari aspek sosial-budaya, kekerasan dalam rumah tangga bisa terjadi
karena :
a. Persepsi pada masyarakat bahwa kekerasan dalam rumah tangga harus
ditutupi. Ketika masyarakat memiliki persepsi seperti itu, korban
kekerasan dalam rumah tangga akan menjadi rahasia keluarga sehingga
mereka tidak mau melaporkan kepada pihak yang berwenang dan
akhirnya kekerasan tersebut terus berlanjut.
b. Laki-laki dan perempuan tidak diposisikan setara dalam masyarakat.
c. Kebiasaan masyarakat mendidik anak laki-laki dengan menumbuhkan
keyakinan bahwa anak laki-laki harus kuat, berani, dan tidak toleran.
d. Budaya bahwa laki-laki dianggap superior dan perempuan inferior.
e. Adanya budaya patriarki
Perempuan telah ditanamkan kepatuhan dan pelayanan terhadap suami.
Suami menenkankan hal ini kepada istri sebagai pembenaran atas
kekerasan yang telah dilakukan. Suami memaksa istri untuk melakukan
hal-hal yang tidak disukai atau bahkan menyakiti hati istri. Namun,
banyak istri yang beranggapan bahwa ini adalah bentuk kepatuhan istri
kepada suami sehingga istri tidak menyadari bahwa ini adalah bentuk
kekerasan psikologis terhadap dirinya.
3. Aspek Politik
Dilihat dari aspek sosial-budaya, kekerasan dalam rumah tangga bisa terjadi
karena :
a. Pengambilan keputusan dalam keluarga yang didominasi oleh salah satu
pihak.
b. Tidak adanya demokrasi dalam keluarga.
c. Adanya budaya feodal.
Ada juga penyebab-penyebab lain yang dapat menimbulkan kekerasan
dalam rumah tangga (KDRT), yaitu :
a. Pemahaman yang keliru terhadap ajaran agama mengenai cara mendidik
istri, kepatuhan istri terhadap suami, penghormatan posisi suami sebagai
kepala keluarga, sehingga muncul persepsi bahwa suami boleh menguasai
istri dan berakibat suami semena-mena kepada istrinya.
b. Kepribadian dan kondisi psikologi suami yang tidak stabil.
c. Tidak dapat mengendalikan emosi.
d. Melakukan imitasi
Hal ini lebih sering terjadi pada anak laki-laki yang hidup dalam keluarga
yang tidak harmonis dan sering melihat ataupun mengalami kekerasan
dalam keluarga yang dilakukan oleh ayahnya sehingga anak tersebut meniru
kebiasaan ayahnya.
e. Ketidakmampuan mencari solusi masalah yang terjadi dalam rumah tangga
karena kurangnya komunikasi antar anggota keluarga, antara suami dan
istri.
f. Beban pengasuhan anak
Istri yang tidak bekerja, menjadikannya menanggung beban sebagai
pengasuh anak. Ketika terjadi hal yang tidak diharapkan terhadap anak,
maka suami akan menyalah-kan istri sehingga tejadi kekerasan dalam
rumah tangga.
Penyebab diatas bisa memicu terjadinya kekerasan dalam rumah tangga
yang sebagian besar korbannya adalah istri. Untuk itu, istri harus tahu penyebab
kekerasan dalam rumah tangga. Begitu juga denggan suami. Pelaku kekerasan
dalam rumah tangga sebagian besar dilakukan oleh suami. Sehingga suami
harus tahu bahwa kekerasan dalam rumah tangga merupakan kesalahan
karena telah melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) dan telah melanggar hukum
2.3 Kekerasan Dalam Rumah Tangga Ditinjau dari Psikologi Kesehatan
Perempuan terus mengalami KDRT akibat peran yang disandang, yang
menjadikan perempuan berada pada posisi yang lebih “rendah”. Kesadaran dan
keinginan para korban untuk berkonsultasi masih kurang, kalaupun konsultasi
justru pada pihak yang netral / tidak berkompeten. Dari sekian banyaknya kasus
kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) hanya beberapa yang melaporkan
kejadian tersebut, dan masih banyak yang tidak melaporkan kekerasan yang
diterima dengan alasan :
1. Mereka malu karena memiliki pasangan yang abusive
2. Kehilangan kepercayaan diri akibat kebebasan diri mereka dikekang atau
dipasung pasangannya.
3. Takut dipersalahkan sebagai istri yang tidak sabar, kurang pengertian,
kurang tabah, tidak becus mengurus suami/keluarga.
4. Perempuan sering berada didalam posisi ketergantungan pada
pasangannya, baik secara emisional maupun ekonomi.
5. Takut sudah melapor, justru disuruh berdamai (menyelesaikan secara
kekeluargaan, karena dianggap selisih paham antara suami istri sudah
merupakan hal biasa.
Kekerasan dalam rumah tangga psikologis/mental merupakan taraf
kekerasan yang akibatnya tidak terlihat jelas, kekerasan ini dilakukan dalam
bentuk kekerasan psikologis atau mental. Kekerasan psikologis ini merupakan
kekerasan yang dapat dilakukan dengan berkata kasar dengan intonasi yang
tinggi, dapat berupa tingkah laku yang posesive berlebihan, mengurung korban
dirumah dan tidak memberikan nafkah atau sumber kehidupan, “meracuni”
konsep diri dan harga diri dengan sikap dan kata-kata yang selalu negatif.
Dari kekerasan yang diterima istri secara terus menerus akan dapat
berakibat pada perkembangan perilaku istri, istri akan kehilangan rasa
kepercayaan diri secara menetap dan perasaan takut terus menerus karena
jiwanya merasa terancam. Selain itu juga yang pasti kekerasan yang diterima
akan berdampak secara fisik saja melainkan juga secara psikologis, seksual,
sosial dan ekonomi. Secara psikis akibat yang dirasakan oleh istri adalah
perasaan hampa, merasa gersang dan tidak memiliki gaya hidup, merasa hidup
tidak berarti, jenuh, dan apatis.
2.4 Dampak Psikologis Pada Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Berdasarkan penelitian Kristi Poerwandari, Ketua Program Studi Kajian
Wanita UI bersama Ester Lianawati mengenai Kekerasan Dalam Rumah
Tangga, penjabaran perilaku konkret yang umumnya ditampilkan korban
sebagai perwujudan dampak psikis dari kekerasan yang dialami. Ketakutan,
hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak
berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat dapat tampil dalam perilaku-perilaku
berikut ini :
1. Kehilangan minat untuk merawat diri, yang tampil dalam perilaku menolak
atau enggan makan/minum, makan tidak teratur, malas mandi atau
berdandan, tampil berantakan seperti rambut kusut, pakaian awut-awutan.
2. Kehilangan minat untuk berinteraksi dengan orang lain, yang tampil dalam
perilaku mengurung diri di kamar, tidak mau berhubungan dengan orang
lain, cenderung diam, dan enggan bercakap-cakap.
3. Perilaku depresif, tampil dalam bentuk pandangan mata kosong seperti
menatap jauh ke depan, murung, banyak melamun, mudah menangis, sulit
tidur atau sebaliknya terlalu banyak tidur, dan berpikir tentang kematian.
4. Terganggunya aktivitas atau pekerjaan sehari-hari, seperti sering
menjatuhkan barang tanpa sengaja, kurang teliti dalam bekerja yang
ditunjukkan dengan banyaknya kesalahan yang tidak perlu, sering datang
terlambat atau tidak masuk bekerja, tugas-tugas terlambat tidak sesuai
tenggat waktu, tidak menyediakan makanan untuk anak padahal
sebelumnya hal-hal ini dilakukannya secara rutin.
5. Ketidakmampuan melihat kelebihan diri, tidak yakin dengan kemampuan diri,
dan kecenderungan membandingkan diri dengan orang lain yang
dianggapnya lebih baik. Contohnya menganggap diri tidak memiliki
kelebihan meski fakta yang ada menunjukkan hal sebaliknya, atau sering
bertanya apakah yang ia lakukan sudah benar atau belum.
6. Kehilangan keberanian untuk melakukan tindakan yang ditunjukkan dengan
tidak berani mengungkapkan pendapat atau tidak berani mengingatkan
pelaku jika bertindak salah.
7. Stres pascatrauma, yang tampil dalam bentuk mudah terkejut, selalu
waspada; sangat takut bila melihat pelaku, orang yang mirip pelaku, benda-
benda atau situasi yang mengingatkan akan kekerasan, gangguan kilas
balik (flash back) seperti tiba-tiba disergap bayangan kejadian yang telah
dialami, mimpi-mimpi buruk dan atau gangguan tidur.
8. Kebingungan-kebingungan dan hilangnya orientasi, yang tampil dalam
bentuk merasa sangat bingung, tidak tahu hendak melakukan apa atau
harus bagaimana melakukannya, seperti orang linglung, bengong, mudah
lupa akan banyak hal, terlihat tidak peduli pada keadaan sekitar, tidak
konsentrasi bila diajak berbicara.
9. Menyakiti diri sendiri atau melakukan percobaan bunuh diri.
10.Perilaku berlebihan dan tidak lazim seperti tertawa sendiri, bercakap-cakap
sendiri, terus berbicara dan sulit dihentikan, pembicaraan kacau; melantur,
berteriak-teriak, terlihat kacau tak mampu mengendalikan diri, berulang-
ulang menyebut nama tertentu, misalnya nama pelaku tanpa sadar.
11.Perilaku agresif, seperti menjadi kasar atau mudah marah terhadap
anak/pekerja rumah tangga/staf atau rekan kerja, membalas kekasaran
pelaku seperti mengucapkan kata-kata kasar, banyak mengeluhkan
kekecewaan terhadap pelaku.
12.Sakit tanpa ada penyebab medis (psikosomatis), seperti infeksi lambung,
gangguan pencernaan, sakit kepala, namun dokter tidak menemukan
penyebab medis, mudah merasa lelah, seperti tidak bertenaga, dan
pegal/sakit/ngilu, tubuh sering gemetar.
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) juga berakibat ke anak karena
secara tidak langsung si anak akan melihat kekerasan yang dilakukan oleh
ayahnya kepada ibunya atau pun sebaliknya. Hal ini diiyakan oleh Dra. Henny
E. Wirawan, M.Hum., Psi, QIA., psikolog dan dosen Fakultas Psikologi
Universitas Tarumanagara, “Anak yang melihat langsung ibu atau ayahnya
dipukul bisa mengalami shock dan ketakutan, terutama pada anak balita,”
jelasnya.
Kalau kekerasan ini disaksikan setiap hari besar kemungkinan dia
menjadi traumatis, cenderung pendiam, sering marah hingga menangis. Dan
lama kelamaan sifatnya menjadi general, artinya bukan hanya melihat teriakan
atau pukulan orangtuanya saja, tetapi juga saat ia melihat hal itu dilakukan
orang lain. Bahkan bukan tidak mungkin ia akan marah dengan orang lain yang
belum tentu ada hubungannya dengan dia. Selain si anak menjadi traumatis
kemungkinan besar juga si anak akan meniru perilaku orangtuanya untuk
menyelaesaikan suatu masalah bila dia si anak itu sudah berkeluarga. Hal ini
terjadi karena anak memperoleh model dalam cara menyelesaikan masalah.
Misalnya ia melihat orang tuanya bertengkar dan kemudian melihat salah satu
orang tuanya menggunakan kekerasan, pengalaman tersebut akan selalu
membekas dalam dirinya, dan menjadi salah satu referensinya saat
menyelesaikan masalah. Berdasarkan situasi tersebut fenomena KDRT dapat
“menular” kepada orang lain sehingga KDRT tidak akan pernah menghilang
dilingkungan keluarga atau akan selalu mengancam tiap-tiap keluarga.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat dilihat akibat dari tindak kekerasan
dalam rumah tangga dalam segi si anak, antara lain :
a. Anak akan mencontoh apa yang telah disaksikan selama bertahun-tahun
bersama dengan orang tuanya. Pada tingkat ekstrim akan mengubah
kepribadian anak.
b. Efek psikologis dapat berlangsung seumur hidup dan mencakup perasaan
rendah diri, ketidakmampuan untuk berhubungan dengan kawan sebaya,
konsentrasi berkurang, dan kemunduran prestasi dalam belajar.
c. Penyakit psikis, seperti depresi, sangat gelisah, atau kekacauan identitas,
selain meningkatkan risiko bunuh diri. Masalah-masalah perilaku sering
muncul setelah tindak kekerasan, termasuk tindakan pelanggaran dan
kriminalitas pada anak-anak muda.
2.5 Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Dalam menghadapi masalah kekerasan dalam rumah tangga, harus
diselesaikan secara preventif dan kuratif. Preventif bertujuan untuk mengurangi
KDRT di masyarakat, sedangkan kuratif bertujuan untuk mengurangi dan
menyembuhkan trauma pada korban KDRT.
Kita dapat melakukan pencegahan (pendekatan preventif) KDRT dengan cara:
a. Menyelenggarakan pendidikan orangtua untuk dapat menerapkan cara
mendidik dan memperlakukan anak-anaknya secara humanis.
b. Mendidik anggota keluarga agar bisa menjaga diri dan terhindar dari KDRT.
c. Memberikan pendidikan tentang HAM dan pemberdayaan perempuan.
d. Membiasakan diri menolak kekerasan sebagai jalan menyelesaikan
masalah.
e. Mengadakan penyuluhan untuk mencegah kekerasan.
f. Memberikan pembekalan bagi suami, istri, calon suami, dan calon istri
bagaimana membina hubungan yang baik dan harmonis.
g. Mendorong dan menfasilitasi pengembangan masyarakat untuk lebih peduli
dan responsif terhadap kasus-kasus KDRT yang ada di lingkungannya.
Sedangkan untuk korban KDRT itu sendiri, diatasi dengan menggunakan
pendekatan kuratif, yaitu:
a. Memberikan sanksi edukatif kepada pelaku KDRT
b. Membawa korban KDRT ke dokter
c. Memberikan perlindungan bagi korban KDRT
d. Melaporkan kepada yang berwenang
e. Melakukan konsultasi dengan psikologi
f. Memberikan pendampingan bagi korban KDRT
g. Peduli pada korban KDRT dan tidak menyalahkan.
BAB 3
PENUTUP
2.5 Kesimpulan
1. Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap
seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya
kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis,
dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk
melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan
secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
2. Penyebab kekerasan dalam rumah tangga dapat dilihat dari tiga
aspek, yaitu aspek ekonomi, aspek sosial-budaya, dan aspek politik.
Selain itu, ada juga penyebab-penyebab lainnya yang dapat memicu
terjadinya kekerasan dalam rumah tangga.
3. Kekerasan yg dilakukan dalam bentuk kekerasan psikologis atau
mental merupakan kekerasan yang dapat dilakukan dengan berkata
kasar dengan intonasi yang tinggi, dapat berupa tingkah laku yang
posesive berlebihan, mengurung korban dirumah dan tidak
memberikan nafkah atau sumber kehidupan, “meracuni” konsep diri
dan harga diri dengan sikap dan kata-kata yang selalu negatif.
4. kekerasan dalam rumah tangga akan berdampak secara fisik,
psikologis, seksual, sosial dan ekonomi. Dampak psikis dari
kekerasan yang dialami akan menimbulkan ketakutan, hilangnya rasa
percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak
berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat. Kekerasan dalam rumah
tangga (KDRT) juga dapat berakibat ke anak karena secara tidak
langsung si anak akan melihat kekerasan yang dilakukan oleh
ayahnya kepada ibunya atau pun sebaliknya
5. Implikasi keperawatan yang harus dilakukan adalah sesuai dengan
peran perawat antara lain mesupport secara psikologis korban,
melakukan pendamping-an, melakukan perawatan fisik korban dan
merekomendasikan crisis women centre.
3.2 Saran
Dengan disahkan undang-undang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga, pemerintah dan masyarakat lebih berupaya menyadarkan dan
membuka mata serta hati untuk tidak berdiam diri bila ada kasus kekerasan
dalam rumah tangga lebih ditingkatkan pengawasannya.
Meningkatkan peran perawat untuk ikut serta menangani kasus
kekerasan dalam rumah tangga dan menekan dampak yang terjadi dengan
memfasilitasi setiap Rumah Sakit memiliki ruang perlindungan korban
kekerasan dalam rumah tangga, mendampingi dan memulihkan kondisi
psikisnya.
DAFTAR PUSTAKA
Undang-Undang No 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga
http://atyckdhina.blogspot.com/2012/05/kekerasan-dalam-rumah-tangga-
kdrt.html (diakses tanggal 4 November 2013)
http://esterlianawati.wordpress.com/2011/06/25/dampak-psikis-kekerasan-
dalam-rumah-tangga/ (diakses tanggal 4 November 2013)
http://psikologi.or.id/psikologi-klinis/sudut-pandang-kdrt-dalam-psikologi-
klinis.htm (diakses tanggal 4 November 2013)
http://staff.uny.ac.id Kekerasan Dalam Rumah Tangga: Perspektif Psikologis
dan Edukatif Rochmat Wahab (diakses tanggal 4 November 2013)