Post on 01-Feb-2016
description
Anemia Defisiensi Besi pada Wanita X Usia 30 Tahun
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Kampus II, Jl. Terusan Arjuna Utara No. 6, Jakarta Barat 11510
Pendahuluan
Anemia diartikan sebagai penurunan dari sel darah merah. Fungsi dari sel darah
merah adalah untuk membawa oksigen dari paru-paru ke jaringan dan karbon dioksida dari
jaringan ke paru-paru. Hal ini dicapai dengan menggunakan hemoglobin ( Hb ), yang berupa
sebuah protein tetramer terdiri dari heme dan globin. Anemia merusak kemampuan tubuh
dalam pertukaran gas dengan mengurangi jumlah sel darah merah yang mengangkut oksigen
dan karbon dioksida.
Defisiensi zat besi didefinisakan sebagai penurunan jumlah besi zat besi didalam
tubuh. Defisiensi zat besi terjadi ketika defisiensi zat besi yang cukup berat sehingga dapat
menghambat proses eritropoiesis dan dapat menyebabkan anemia. Anemia adalah kelainan
sel darah merah yang paling umum terjadi.
Skenario: Ny. A 30 tahun datang ke poliklinik FK UKRIDA dengan keluhan lemas sejak 1
bulan yang lalu. Keluhan ini dirasa memberat terutama jika sedang beraktivitas. Pasien
mengatakan tidak adanya riwayat demam, paparan radioaktif dan kencing bewarna seperti
teh. Dikeluarga pasien tidak ada yang sakit seperti ini. Riwayat obsetri pasien G0P0A0,
dengan riwayat haid teratur.
Isi
Anamnesis
Dilihat dari gejalanya, pasien kemungkinan menderita anemia, oleh karena itu perlu
ditanyakan pertanyaan yang lebih rinci untuk mengetahui anemia jenis apakah itu.1
1. Gejala apa yang dirasakan oleh pasien? Lelah, malaise, sesak napas, nyeri dada, mata
berkunang-kunang, atau tanpa gejala? Bila terdapat gejala tersebut, itu merupakan
suatu sindrom anemia yang biasanya dijumpai apabila kadar hemoglobin turun di
bawah 7-8 g/dL.
1
2. Apakah gejala tersebut muncul mendadak atau bertahap? Pada anemia defisiensi besi
gejala yang muncul mungkin dapat perlahan karena ada mekanisme kompensasi
tubuh.
3. Adakah petunjuk mengenai penyebab anemia? Misal pada anemia defisiensi besi bisa
karena perdarahan interna, infeksi cacing, diet yang tidak seimbang, atau riwayat
pernah menderita penyakit yang kronis.
4. Tanyakan kecukupan makanan dan kandungan Fe. Adakah gejala yang konsisten
dengan malabsorpsi dan tanda kehilangan darah dari saluran cerna berupa tinja gelap,
pendarahan rektal, muntah “butiran kopi”.
5. Jika pasien seorang wanita tanyakan adakah kehilangan darah menstruasi berlebihan.
Tanyakan frekuensi dan durasi menstruasi, dan penggunaan tampon serta pembalut.
6. Tanyakan juga sumber perdarahan lain.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada pasien yang kita lakukan adalah:2,3
1. Tanda-tanda vital
Tanda-tanda vital meliputi tekanan darah, nadi, frekuensi nafas, dan suhu. Tekanan
darah normal, nadi meningkat, frekuensi nafas normal atau sedikit meningkat, suhu
normal.
2. Inspeksi
Pada inspeksi akan ditemukan kulit pucat (muka, telapak tangan, konjungtiva, daun
telinga, telapak kaki);
- kuku menjadi rapuh, bergaris-garis vertikal dan menjadi cekung sehingga
berbentuk seperti sendok (koilonikia);
- atrofi papil lidah dimana permukaan lidah menjadi licin dan mengkilap karena
papil lidah menghilang;
- stomatitis angularis (keilosis) peradangan pada sudut mulut berwarna pucat
keputihan.
3. Palpasi
Palpasi abdomen tidak ditemukan adanya perbesaran organ.
4. Auskultasi
Terdengar peningkatan denyut jantung (takikardi) yang merupakan kompensasi.
2
Pemeriksaan Penunjang
1. Kadar hemoglobin dan indeks eritrosit : didapatkan anemia hipokrom mikrositer
dengan penurunan kadar hemoglobin mulai dari ringan sampai berat. MCV, MCHC
dan MCH menurun. MCH < 70 fl hanya didapatkan pada anemia difisiensi besi dan
thalassemia mayor. RDW (red cell distribution width) meningkat yang menandakan
adanya anisositosis. Indeks eritrosit sudah dapa mengalami perubahan sebelum kadar
hemoglobin menurun. Kadar hemoglobin sering turun sangat rendah, tanpa
menimbulkan gejala anemia yang mencolok karena anemia timbul perlahan-perlahan.
Apusan darah menunjukkan anemia hipokromik mikrositer, anisositosis,
poikilositosis, anulosit, sel pensil, kadang-kadang sel target. Derajat hipokromia dan
mikrositosis berbanding lurus dengan derajat anemia, berbeda dengan thalassemia.
Leukosit dan trombosit normal. Retikulosit rendah dibandingkan derajat anemia. Pada
kasus ankilostomiasis sering dijumpai eosinofilia.
2. Apus sumsum tulang : Hiperplasia eritropoesis, dengan kelompok-kelompok normo-
blast basofil. Bentuk pronormoblast-normoblast kecil-kecil, sideroblast.
3. Kadar besi serum menurun <50 mg/dl, total iron binding capacity (TIBC) meningkat
>350 mg/dl, dan saturasi transferin < 15%.
4. Feritin serum. Sebagian kecil feritin tubuh bersirkulasi dalam serum, konsentrasinya
sebanding dengan cadangan besi jaringan, khususnya retikuloendotel. Pada anemia
defisensi besi, kadar feritin serum sangat rendah, sedangkan feritin serum yang
meningkat menunjukkan adanya kelebihan besi atau pelepasan feritin berlebihan dari
jaringan yang rusak atau suatu respons fase akut, misalnya pada inflamasi. Kadar
feritin serum normal atau meningkat pada anemia penyakit kronik.
5. TIBC (Total Iron Banding Capacity) meningkat.
6. Feses : Telur cacing Ankilostoma duodenale / Necator americanus.
7. Pemeriksaan lain : endoskopi, kolonoskopi, gastroduodenografi, colon in loop,
pemeriksaan ginekologi
Diagnosis Kerja
Diagnosis kerja pada kasus ini adalah anemia defisiensi besi. ADB adalah anemia
yang terjadi akibat kekurangan zat besi. Keadaan ini disebabkan oleh pemasukan zat besi
yang tidak mencukupi kebutuhan, peningkatan ekskresi, gangguan absorbsi atau kebutuhan
tubuh akan zat besi meningkat. Peningkatan ekskresi dapat dijumpai pada perdarahan saluran
3
cerna, keganasan, ankilostomiasis, meno-methoragi, hemoglobinuria, hemosiderinuria dan
gangguan hemostasis. Gangguan absorbsi dapat terjadi pada aklorhidria, pasca gastrektomi,
malabsorbsi usus. Peningkatan kebutuhan akan zat besi terjadi pada masa pertumbuhan,
hamil dan menyusui.4
Banyak faktor yang dapat mempengaruhi absorbsi zat besi dalam tubuh. Berbagai
keadaan yang meningkatkan absorbsi besi adalah besi dalam bentuk Fe2+ anorganik, suasana
asam (misalnya HCl, vit C), adanya bahan-bahan yang membantu kelarutan besi (misalnya
gula, asam amino), keadaan defisiensi besi adalah besi dalam bentuk Fe3+ organik, suasana
alkali (misalnya antasida, sekresi pankreas), adanya bahan yang menolong pengendapan Fe
(misalnya fosfat, fitat), kelebihan Fe dalam tubuh, infeksi dan aktivitas eritropoiesis yang
menurun.4
Patofisiologi
Pembentukan Heme. Sel darah merah manusia dibuat dalam sumsum tulang. Dalam
keadaan biasa (tidak ada anemi, tak ada infeksi, tak ada penyakit sumsum tulang), sumsum
tulang memproduksi 500 x109 sel dalam 24 jam. Hb merupakan unsur terpenting dalam
plasma eritrosit. Molekul Hb terdiri dari : globin, protoporfirin, dan besi (Fe).
Globin dibentuk sekitar ribosom sedangkan protoporfirin dibentuk sekitar
mitokondria. Besi didapat dari transferin. Dalam keadaan normal 20% dari sel sumsum tulang
yang berinti adalah sel berinti pembentuk eritrosit. Sel berinti pembentuk eritrosit ini
biasanya tampak berkelompok-kelompok dan biasanya tidak masuk ke dalam sinusoid. Pada
permulaan sel eritrosit berinti terdapat reseptor transferin. Gangguan dalam pengikatan besi
untuk membentuk Hb akan mengakibatkan terbentuknya eritrosit dengan sitoplasma yang
kecil (mikrositer) dan kurang mengandung Hb di dalamnya (hipokrom).
Metabolisme besi. Heme yang kita dapatkan dari luar yaitu berasal dari makanan yang
kita makan, ada dua jenis zat besi dari makanan yaitu yang organik dan anorganik.
Duodenum adalah tempat absorbsi utama. Besi heme dari makanan diserap sel mukosa secara
langsung, sedangkan besi non-heme diangkut kedalam sel oleh musin di lumen dan
mobnilferrin disitosol. Sebagian besar besi yang diserap akan dikirimkan dengan segera ke
transferin plasma. Sisanya terikat pada ferritin plasma dan sebagian hilang bersama dengan
eksofoliasi sel mukosa. Bila tubuh mendapat sejumlah besi lagi, maka sebagian besar besi
yang diserap epitel duodenum akan terikat pada ferritin dan hilang pada eksogoliasi, pada
defisiensi besi, transfer ke transferin plasma ditingkatkan. Karena ferritin serum terutama
4
berasal dari pool penyimpanan besi, maka kadarnya merupakan indikator yang baik untuk
mengetahui kandungan besi dalam tubuh.5
Tahap defisiensi besi, yaitu:
1. Tahap pertama
Tahap ini disebut iron depletion atau storage iron deficiency, ditandai dengan
berkurangnya cadangan besi atau tidak adanya cadangan besi. Hemoglobin dan fungsi
protein besi lainnya masih normal. Pada keadaan ini terjadi peningkatan absorpsi besi
non heme. Feritin serum menurun sedangkan pemeriksaan lain untuk mengetahui adanya
kekurangan besi masih normal.
2. Tahap kedua
Pada tingkat ini yang dikenal dengan istilah iron deficient erythropoietin atau iron
limited erythropoiesis didapatkan suplai besi yang tidak cukup untuk menunjang
eritropoisis. Dari hasil pemeriksaan laboratorium diperoleh nilai besi serum menurun
dan saturasi transferin menurun sedangkan total iron binding capacity (TIBC)
meningkat dan free erythrocyte porphyrin (FEP) meningkat.
3. Tahap ketiga
Tahap inilah yang disebut sebagai iron deficiency anemia. Keadaan ini terjadi bila besi
yang menuju eritroid sumsum tulang tidak cukup sehingga menyebabkan
penurunan kadar Hb. Dari gambaran darah tepi didapatkan mikrositosis dan hipokromik
yang progresif. Pada tahap ini telah terjadi perubahan epitel terutama pada anemia
defisiensi besi yang lebih lanjut.
Tabel 1. Tahapan anemia defisiensi besi.6
Ferritin Saturasi
Transferin
Hemoglobin
Tahap I Menurun Normal Normal
Tahap II Menurun Menurun Normal
Tahap III Menurun Menurun Menurun
Diagnosis Banding
Anemia pada penyakit kronik
5
Anemia pada penyakit kronik dikenal juga dengan nama seperti: sideropenic anemia
with reticulo-endothelial siderosis. Anemia yang terjadi pada penyakit infeksi tidak
saja terjadi pada infeksi kronik tapi juga bisa pada infeksi akut dan neoplasma.
Secara hematologi anemianya berbentuk normokrom normositik dengan kadar
hematokrit antara 30-40% dan timbul kira-kira 1-2 bulan pertama setelah terjadinya
proses inflamasi kronik. Berat rigan anemianya tergantung aktivitas proses inflamasi
yang terjadi. Apabila pemeriksaan disertai dengan penurunan kadar besi dalam serum
atau saturasi transferin, anemia akan berbentuk hipokrom mikrositik,
Sumsum tulang biasanya normal kadang-kadang ditemukan hipoplasia eritropoiesis
dan defek dalam hemoglobinisasi. Karakteristik anmia ini adalah berkurangnya
sederoblas dalam sumsum tulang sedangkan deposit besi dalam sistem
retikuloendotelial (RES) normal atau bertambah.6
Anemia sideroblastik.
Anemia sideroblasitik adalah suatu sindrom yang terdiri dari anemia hipokrom
mikrositer disertai dengan adanya cincin sideroblas dalam sumsum tulang. Cincin
sideroblas adalah eritroblas yang mengandung butir-butir besi yang terletak dalam
mitokondria dan dengan mudah dapat dilihat dalam sediaan tulang dengan pewarnaan
biru Prusia.6
Pemeriksaan laboratorium:
Derajat anemia dapat sedang sampai berat. Gambaran sediaan apus darah tepi
biasanya dimorfik dengan anisositosis dan poikilositosis yang hebat. Sering
ditemukan basophylic stipplin, target cell, serta Pappenheimer’s bodies pada eritrosit
pasien. Leukosit dan trombosit normal.
Pada sediaan apus sumsum tulang terlihat gambaran hiperplasia eritropoiesis dengan
gangguan maturasi > 40% terdiri dari ringed sideroblast. MCV, MCH, MCHC
semuanya dibawah nilai normal. Fe serum, % saturasi dan ferritin meingkat, tetapi
TIBC dapat normal atau menurun.6
Thalasemia
Merupakan kelainan sintesis hemoblobin yang diturunkan akibat pengurangan
produksi satu atau lebih rantai globin. Secara klinis dibagi menjadi 3 grup:
- Talasemia mayor sangat bergantung pada tranfusi
- Talasemia minor/karier tanpa gejala
- Talasemia intermedia
6
Tabel 2. Diagnosis Banding Anemia Mikrositik Hipokrom.7
Anemia
defisiensi besi
Turunan
talasemia trait
Anemia karena
penyakit kronis
Anemia
sideroblastik
Zat besi ↓ N ↓ ↑
TIBC ↑ N ↓ N
Feritin serum ↓ N ↑ ↑
Protoporfirin sel
darah
↑ N ↑ ↑ atau N
HbA2 ↓ ↑ N ↓
Catatan : ↑ = meningkat, ↓ = menurun, N = normal, TIBC = kapasitas ikat besi total
Epidemiologi
Diperkirakan penderita anemia defisiensi besi diseluruh dunia berjumlah kurang lebih
500 juta orang. Anemia defisiensi besi mengenai semua usia dan golongan ekonomi,
walaupun jumlah terbanyak terdapat pada anak dalam masa pertumbuhan, terutama dinegara
berkembang. Di Indonesia, ada perbedaan yang nyata antara desa dan kota. Berdasarkan hasil
penelitian didesa-desa pada provinsi Sumatera Barat; Jawa Tengah; dan Bali, 50% penduduk
yang menderita anemia disebabkan oleh defisiensi besi da 40% anemia defisiensi besi disertai
investasi cacing tambang. Di Amerika Serikat, prevalensi anemia defisiensi besi ditemukan
sebesar 0,2% pada laki-laki, 2,6% pada wanita yang belum menopause, dan 1,9% pada
wanita yang sudah menopause.
Etiologi
7
Keseimbangan negatif besi dan anemia yang terjadi kemudian dapat diakibatkan oleh
rendahnya asupan makanan, malabsorbsi, peningkatan kebutuhan, dan kehilangan darah
kronik.5
Asupan makanan yang rendah saja jarang menjadi penyebab defisiensi besi di
Amerika Serikat, karena asupan rata-rata per hari dari makanan sebesar 10-20 mg
melebihi angka kecukupan untuk laki-laki dan cukup adekuat untuk wamita.
Malabsorbsi dapat terjadi pada sprue dan p[enyakit seliak atau setelah gastrektomi
Peningkatan kebutuhan yang tidak tercukupi dari diet normal dapat terjadi pada
kehamilan dan pada bayi
Kehilangan darah secara kronik adalah penyebab utama anemia ini yang terpenting di
Barat; kehilangan darah dapat terjadi melalui traktus gastrointestinal (misalnya, ulkus
peptikum, ca kolon, hemoroid, infeksi cacing tambang) atau dari traktus genitalia
wanita (menoragi, metoragi, ca).
Manfestasi Klinis
Pasien dengan anemia defisiensi besi bisa didapatkan gejala seperti:
Lemah, lesu, cepat lelah, mata kunang-kunang, telinga berdengung (tinitus)
Keram pada kaki saat menaiki tangga
Disfagia untuk makanan padat
Intoleransi dingin
Perburukan gejala komorbit dari penyakit jantung dan paru-paru
Menurunnya resistensi terhadap infeksi
Dalam pemeriksaan fisik dapat juga ditemukan:
Gagal tumbuh pada bayi
Membran mukosa yang pucat (tidak spesifik)
Kuku yang berbentuk seperti sendok (koilonychia)
Lidah yang mengkilap dengan atrofi papil lidah
Fisura di tepi mulut (angular stomatitis)
Splenomegali (pada kasus berat, terus menerus, kasus yang tidak diterapi)
Pseudotumor cerebri (penemuan yang jarang pada kasus berat)
8
Gambar 1. Angular stomatitis . Gambar 2. Koilonychia.
Penatalaksanaan
Terapi besi oral merupakan terapi pilihan pertama oleh karena efektif, murah, dan
aman. Preparat yang tersedia adalah ferrous sulphat (sulfas ferosus) merupakan preparat
pilihan pertama oleh karena paling murah tetapi efektif. Dosis anjuran adalah 3x200 mg.
Setiap 200 mg sulfas ferosus mengandung 66 mg besi elemental. Pemberian sulfas ferosus
3x200 mg mengakibatkan absorbsi besi 50 mg per hari yang dapat meningkatkan eritropoesis
dua sampai tiga kali normal.
Preparat lain: ferrous gluconate, ferrous fumarat, ferrous lactate dan ferrous
succinate. Sediaan ini harganya lebih mahal, tapi efektivitas dan efek samping hampir sama
dengan sulfas ferosus. Terdapat juga sediaan enteric coated yang dianggap memberikan efek
samping yang lebih rendah, tapi dapat mengurangi absorbsi besi. Preparat besi oral
sebaiknya diberikan saat lambung kosong, tapi efek samping lebih sering dibandingkan
dengan pemberian setelah makan. Pada pasien yang mengalami intoleransi, sulfas ferosus
dapat diberikan saat makan atau setelah makan. Efek samping utama besi peroral adalah
gangguan gastrointestinal yang dijumpai pada 15 sampai 20%, yang sangat mengurangi
kepatuhan pasien. Keluhan ini dapat berupa mual, muntah, serta konstipasi. Untuk
mengurangi efek samping, besi diberikan saat makan atau dosis dikurangi menjadi 3x100 mg.
Pengobatan besi diberikan 3 sampai 6 bulan, ada juga yang menganjurkan sampai 12 bulan,
setelah kadar hemoglobin normal untuk mengisi cadangan besi tubuh. Dosis pemeliharaan
yang diberikan adalah 100 sampai 200 mg. jika tidak diberikan dosis pemeliharaan, anemia
sering kambuh kembali. Untuk meningkatkan penyerapan besi dapat diberikan preparat
vitammin C, tapi dapat meningkatkan efek samping terapi. Dianjurkan pemberian diet yang
banyak mengandung besi.2
9
Untuk terapi nonmedika mentosanya kita dapat melakukan pembedahan untuk mengatasi
penyebab internal.
Pencegahan dan Edukasi
Mengingat tingginya pravelensi anemia defisiensi besi dimasyarakat, maka diperlukan suatu
tindakan yang terpadu. Tindakan pencegahan dapat berupa:
1. Pendidikan kesehatan
Kesehatan lingkungan, misalnya tentang pemakaian jamban, perbaikan lingkungan
kerja, misalnya pemakaian alas kaki sehingga dapat mencegah terinfeksi cacing
tambang. Penyuluhan gizi untuk mendorong konsumsi makanan yang membantu
absorbsi besi.
2. Pemberantasan infeksi cacing tambang sebagai sumber perdarahan kronik yang paling
sering dijumpai dinegara tropik. Pengobatan misal dengan pemberian anthelmentik
dan perbaikan sanitasi dapat membantu mengatasi masalah ini.
3. Suplementaasi besi yaitu pemberian besi secara profilaksis pada segmen penduduk
yang rentan seperti ibu hamil dan anak balita.
4. Fortofikasi bahan makanan dengan besi, yaitu mencampurkan besi pada bahan
makanan. Dinegara barat dilakukan dengan mencampur besi dengan tepung roti atau
bubuk susu dengan besi.
Prognosis
Prognosis baik jika penyakit penyebab aneia diketahui atau penyebab perdarahan juga
diketahui dan kemudia dapat diterapi dengan adekuat, gejala anemia dapat membaik dengan
pemberian preparat besi, vitamin C untuk mempermudah penyerapan besi dan nutrisi
makanan yang baik.
Kesimpulan
Hipotesis diterima dimana wanita 30 tahun tersebut menderita anemia defisiensi besi.
Anemia adalah penyakit yang ditandai oleh rendahnya kadar hemoglobin dalam darah.
Sedangkan anemia defisiensi besi (ADB) adalah anemia yang timbul akibat berkurangnya
10
penyediaan besi untuk eritropoiesis, karena cadangan besi kosong yang pada akhirnya
mengakibatkan pembentukan hemoglobin berkurang.
Daftar pustaka
1. Anemia. Dalam: Gleadle, Jonathan.At a Glance Anamnesis dan Pemeriksaan
Fisik.Jakarta:Erlangga; 2003. h. 84-5.
2. Sudoyo,D Arua, dkk. Ilmu Penyakit Dalam. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI, Jakarta. 2006. h.1131
3. Swartz M H. Buku ajar diagnostik fisik. Jakarta: EGC: 1995.h.145, 150
4. Sudiono H, Iskandar I, Edward H, Halim SK, Santoso R. Penuntun patologi klinik:
hematologi. Jakarta: Biro Publikasi Fakultas Kedokteran Ukrida; 2009. hal. 108-38
11
5. Robbins, Cotran, Kumar. Buku saku dasar patologi penyakit. Edisi 5. Jakarta: EGC;
1999. h. 370-1
6. Anemia Sideroblastik dan Anemia Pada Penyakit Kronik. Dalam : Supandiman I.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Edisi III. Jakarta : FK UI ; 2001. h.512-15
7. Anemia pada Penyakit Kronik. Dalam : Isselbacher, Braunwald, dkk. Harrison
Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam volume 4. Edisi 13. Jakarta : EGC ; 2000. h.
1929-31
12