Post on 02-Jul-2015
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hadits yang dipahami sebagai pernyataan, perbuatan, persetujuan dan hal yang
berhubungan dengan Nabi Muhammad saw. Dalam tradisi Islam, hadits diyakini sebagai
sumber ajaran agama kedua setelah al-Quran. Disamping itu hadits juga memiliki fungsi sebagai
penjelas terhadap ayat-ayat al-Qur’an sebagaimana dijelaskan dalam QS: an-Nahl ayat 44.
Hadits tersebut merupakan teks kedua, sabda-sabda nabi dalam perannya sebagai pembimbing
bagi masyarakat yang beriman. Akan tetapi, pengambilan hadits sebagai dasar bukanlah hal
yang mudah. Mengingat banyaknya persoalan yang terdapat dalam hadits itu sendiri. Sehingga
dalam berhujjah dengan hadits tidaklah serta merta asal comot suatu hadits sebagai sumber
ajaran.
Adanya rentang waktu yang panjang antara Nabi dengan masa pembukuan hadits adalah
salah satu problem. Perjalanan yang panjang dapat memberikan peluang adanya penambahan
atau pengurangan terhadap materi hadits. Selain itu, rantai perawi yang banyak juga turut
memberikan kontribusi permasalahan dalam meneliti hadits sebelum akhirnya digunakan
sebagai sumber ajaran agama.
Mengingat banyaknya permasalahan, maka kajian-kajian hadits semakin meningkat,
sehingga upaya terhadap penjagaan hadits itu sendiri secara historis telah dimulai sejak masa
sahabat yang dilakukan secara selektif.
Para muhaddisin, dalam menentukan dapat diterimanya suatu hadits tidak mencukupkan
diri hanya pada terpenuhinya syarat-syarat diterimanya rawi yang bersangkutan. Hal ini
disebabkan karena mata rantai rawi yang teruntai dalam sanad-sanadnya sangatlah panjang.
Oleh karena itu, haruslah terpenuhinya syarat-syarat lain yang memastikan kebenaran
perpindahan hadits di sela-sela mata rantai sanad tersebut.
Makalah ini mencoba mengelompokkan dan menguraikan secara ringkas pembagian-
pembagian hadits ditinjau dari berbagai aspek.
1.2 Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini, diantaranya
1) Memenuhi salah satu tugas yang diberikan oleh dosen Ulumul Hadits
2) Memberikan wawasan tentang pembagian hadits
3) Mempermudah pembaca dalam memahami ilmu hadits, khususnya dalam pembagiannya
4) Menyampaikan informasi yang terkandung dalam pembagian hadits, baik secara kuantitas,
kulitas, penisbahan matan, dan keadaan sanad.
1
1.3 Rumusan Masalah
Dari pembuatan makalh ini menimbulkan berbagai permasalahan. Diantara permasalahan
itu adalah
1) Bagaimana pembagian hadits secara kuantitas, kualitas, penisbahan matan, dan keadaan
sanad?
2) Apa pengertian dah yadan faedah dari hadits mutwatir dan hadits ahad
3) Bagaimana batasan hadits sahih yang diberikan oleh para ulama?
4) Apa saja syarat-syarat dari hadits sahih dan hadits hasan?
5) Apa maksud dari hadits muttasil dan hadits munfasil?
1.4 Sistematika
Makalah ini disusun berdasarkan sistematika yang terstruktur. Mulai dari pendahuluan,
pembahasan, dan penutup.
Pada pendahuluan kami menuliskan empat subbab, yaitu latar belakang, tujuan,
permasalahan, dan sisteatika.
Pada pembahasan kami menuliskan empat subbab, yaitu pembagian hadits secara
kuantitas, kualitas, penisbahan matan, dan keadaan sanad. Pembagian hadi secara kuantitas ini
dibedakan ke dalam dua bagian, yaitu hadits mutawatir dan hadits ahad. Dalam bagian-bagian
tersebut juga mengandung apengertian dan faedah-faedahnya. Pembagian hadits secara kualitas
dibedakan ke dalam tiga bagian, yaitu hadits sahih, hadits hasan, dan hadits daif
Pada bagian penutup, kami menuliskan dua subbab, yaitu kesimpulan dan saran.
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pembagian Hadits Berdasarkan Kuantitas
Pembagian hadits berdasarkan kuantitas terdiri dari dua macam yaitu hadits Mutawatir
dan Hadits Ahad
2.1.1 Hadist Mutawatir
a. Pengertian Hadits Mutawatir
Kata mutawatir Menurut lughat ialah mutatabi yang berarti beriring-iringan atau
berturut-turut antara satu dengan yang lain.
Sedangkan menurut istilah ialah Suatu hasil hadits tanggapan pancaindera, yang
diriwayatkan oleh sejumlah besar rawi, yang menurut kebiasaan mustahil mereka berkumpul
dan bersepakat untuk dusta.
Artinya: “Hadits mutawatir ialah suatu (hadits) yang diriwayatkan sejumlah rawi yang
menurut adat mustahil mereka bersepakat berbuat dusta, hal tersebut seimbang dari permulaan
sanad hingga akhirnya, tidak terdapat kejanggalan jumlah pada setiap tingkatan.”
Tidak dapat dikategorikan dalam hadits mutawatir, yaitu segala berita yang
diriwayatkan dengan tidak bersandar pada pancaindera, seperti meriwayatkan tentang sifat-sifat
manusia, baik yang terpuji maupun yang tercela, juga segala berita yang diriwayatkan oleh
orang banyak, tetapi mereka berkumpul untuk bersepakat mengadakan berita-berita secara
dusta.
Hadits yang dapat dijadikan pegangan dasar hukum suatu perbuatan haruslah diyakini
kebenarannya. Karena kita tidak mendengar hadits itu langsung dari Nabi Muhammad SAW,
maka jalan penyampaian hadits itu atau orang-orang yang menyampaikan hadits itu harus dapat
memberikan keyakinan tentang kebenaran hadits tersebut. Dalam sejarah para perawi diketahui
bagaimana cara perawi menerima dan menyampaikan hadits. Ada yang melihat atau mendengar,
ada pula yang dengan tidak melalui perantaraan pancaindera, misalnya dengan lafaz diberitakan
dan sebagainya. Disamping itu, dapat diketahui pula banyak atau sedikitnya orang yang
meriwayatkan hadits itu.
Apabila jumlah yang meriwayatkan demikian banyak yang secara mudah dapat
diketahui bahwa sekian banyak perawi itu tidak mungkin bersepakat untuk berdusta, maka
penyampaian itu adalah secara mutawatir.
b. Syarat-syarat Hadits Mutawatir
Suatu hadits dapat dikatakan mutawatir apabila telah memenuhi persyaratan sebagai
berikut :
3
Hadits (khabar) yang diberitakan oleh rawi-rawi tersebut harus berdasarkan tanggapan
(daya tangkap) pancaindera. Artinya bahwa berita yang disampaikan itu benar-benar merupakan
hasil pemikiran semata atau rangkuman dari peristiwa-peristiwa yang lain dan yang
semacamnya, dalam arti tidak merupakan hasil tanggapan pancaindera (tidak didengar atau
dilihat) sendiri oleh pemberitanya, maka tidak dapat disebut hadits mutawatir walaupun rawi
yang memberikan itu mencapai jumlah yang banyak.
Bilangan para perawi mencapai suatu jumlah yang menurut adat mustahil mereka untuk
berdusta. Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat tentang batasan jumlah untuk tidak
memungkinkan bersepakat dusta.
Abu Thayib menentukan sekurang-kurangnya 4 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan
jumlah saksi yang diperlukan oleh hakim.
Ashabus Syafi’i menentukan minimal 5 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan jumlah
para Nabi yang mendapatkan gelar Ulul Azmi.
Sebagian ulama menetapkan sekurang-kurangnya 20 orang. Hal tersebut berdasarkan
ketentuan yang telah difirmankan Allah tentang orang-orang mukmin yang tahan uji, yang dapat
mengalahkan orang-orang kafir sejumlah 200 orang (lihat surat Al-Anfal ayat 65).
Ulama yang lain menetapkan jumlah tersebut sekurang-kurangnya 40 orang. Hal
tersebut diqiyaskan dengan firman Allah:
“Wahai nabi cukuplah Allah dan orang-orang yang mengikutimu (menjadi
penolongmu).” (QS. Al-Anfal: 64).
Seimbang jumlah para perawi, sejak dalam thabaqat (lapisan/tingkatan) pertama
maupun thabaqat berikutnya. Hadits mutawatir yang memenuhi syarat-syarat seperti ini tidak
banyak jumlahnya, bahkan Ibnu Hibban dan Al-Hazimi menyatakan bahwa hadits mutawatir
tidak mungkin terdapat karena persyaratan yang demikian ketatnya. Sedangkan Ibnu Salah
berpendapat bahwa mutawatir itu memang ada, tetapi jumlahnya hanya sedikit.
Ibnu Hajar Al-Asqalani berpendapat bahwa pendapat tersebut di atas tidak benar. Ibnu
Hajar mengemukakan bahwa mereka kurang menelaah jalan-jalan hadits, kelakuan dan sifat-
sifat perawi yang dapat memustahilkan hadits mutawatir itu banyak jumlahnya sebagaimana
dikemukakan dalam kitab-kitab yang masyhur bahkan ada beberapa kitab yang khusus
menghimpun hadits-hadits mutawatir, seperti Al-Azharu al-Mutanatsirah fi al-Akhabri al-
Mutawatirah, susunan Imam As-Suyuti(911 H), Nadmu al-Mutasir Mina al-Haditsi al-
Mutawatir, susunan Muhammad Abdullah bin Jafar Al-Khattani (1345 H).
c. Faedah Hadits Mutawatir
Hadits mutawatir memberikan faedah ilmu daruri, yakni keharusan untuk
menerimanya secara bulat sesuatu yang diberitahukan mutawatir karena ia membawa
keyakinan yang qath’i (pasti), dengan seyakin-yakinnya bahwa Nabi Muhammad SAW
4
benar-benar menyabdakan atau mengerjakan sesuatu seperti yang diriwayatkan oleh
rawi-rawi mutawatir.
Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa penelitian terhadap rawi-rawi
hadits mutawatir tentang keadilan dan kedlabitannya tidak diperlukan lagi, karena
kuantitas/jumlah rawi-rawinya mencapai ketentuan yang dapat menjamin untuk tidak
bersepakat dusta. Oleh karenanya wajiblah bagi setiap muslim menerima dan
mengamalkan semua hadits mutawatir. Umat Islam telah sepakat tentang faedah hadits
mutawatir seperti tersebut di atas dan bahkan orang yang mengingkari hasil ilmu daruri
dari hadits mutawatir sama halnya dengan mengingkari hasil ilmu daruri yang
berdasarkan musyahailat (penglibatan pancaindera).
2.1.2 Hadist Ahad
a. Pengertian Hadits Ahad
Menurut Istilah ahli hadits, tarif hadits ahad antara lain adalah:
Artinya: “Suatu hadits (khabar) yang jumlah pemberitaannya tidak mencapai jumlah
pemberita hadits mutawatir; baik pemberita itu seorang. dua orang, tiga orang, empat
orang, lima orang dan seterusnya, tetapi jumlah tersebut tidak memberi pengertian
bahwa hadits tersebut masuk ke dalam hadits mutawatir: ”
Ada juga yang memberikan tarif sebagai berikut:
Artinya: “Suatu hadits yang padanya tidak terkumpul syara-syarat mutawatir.”
b. Faedah Hadits Ahad
Para ulama sependapat bahwa hadits ahad tidak Qat’i, sebagaimana hadits
mutawatir. Hadits ahad hanya memfaedahkan zan, oleh karena itu masih perlu diadakan
penyelidikan sehingga dapat diketahui maqbul dan mardudnya. Dan kalau temyata telah
diketahui bahwa, hadits tersebut tidak tertolak, dalam arti maqbul, maka mereka sepakat
bahwa hadits tersebut wajib untuk diamalkan sebagaimana hadits mutawatir. Bahwa
neraca yang harus kita pergunakan dalam berhujjah dengan suatu hadits, ialah
memeriksa “Apakah hadits tersebut maqbul atau mardud”. Kalau maqbul, boleh kita
berhujjah dengannya. Kalau mardud, kita tidak dapat iktiqatkan dan tidak dapat pula
kita mengamalkannya.
Kemudian apabila telah nyata bahwa hadits itu (sahih, atau hasan), hendaklah
kita periksa apakah ada muaridnya yang berlawanan dengan maknanya. Jika terlepas
dari perlawanan maka hadits itu kita sebut muhkam. Jika ada, kita kumpulkan antara
5
keduanya, atau kita takwilkan salah satunya supaya tidak bertentangan lagi maknanya.
Kalau tak mungkin dikumpulkan, tapi diketahui mana yang terkemudian, maka yang
terdahulu kita tinggalkan, kita pandang mansukh, yang terkemudian kita ambil, kita
pandang nasikh.
Jika kita tidak mengetahui sejarahnya, kita usahakan menarjihkan salah satunya.
Kita ambil yang rajih, kita tinggalkan yang marjuh. Jika tak dapat ditarjihkan salah
satunya, bertawaqquflah kita dahulu.
Alhasil, barulah kita dapat berhujjah dengan suatu hadits, sesudah nyata sahih
atau hasannya, baik ia muhkam, atau mukhtakif adalah jika dia tidak marjuh dan tidak
mansukh.
2.2 Pembagian Hadits Berdasarkan Kualitas
Berdasarkan kualitas, hadist dibagi ke dalam tiga bagian, yaitu hadist sahih, hadist hasan,
dan hadist daif
2.2.1 Hadits Sahih
Hadits sahih menurut bahasa berarti hadits yng bersih dari cacat, hadits yng benar
berasal dari Rasulullah SAW. Batasan hadits sahih, yang diberikan oleh ulama, antara
lain :
Artinya : “Hadits sahih adalah hadits yng susunan lafadnya tidak cacat dan maknanya
tidak menyalahi ayat (al-Quran), hdis mutawatir, atau ijimak serta para rawinya adil dan
dabit.”
Syarat hadits Sahih adalah :
a. Diriwayatkan oleh perawi yang adil.
b. Kedhabitan perawinya sempurna.
c. Sanadnya bersambung.
d. Tidak ada cacat atau illat.
e. Matannya tidak syaz atau janggal.
2.2.2 Hadits Hasan
Menurut bahasa, hasan berarti bagus atau baik. Menurut Imam Turmuzi hasis
hasan adalah :
Artinya : “yang kami sebut hadits hasan dalam kitab kami adalah hadits yng
sannadnya baik menurut kami, yaitu setiap hadits yang diriwayatkan melalui sanad di
6
dalamnya tidak terdapat rawi yang dicurigai berdusta, matan haditsnya, tidak janggal
diriwayatkan melalui sanad yang lain pula yang sederajat. Hadits yang demikian kami
sebut hadits hasan.”
Syarat hadits hasan adalah:
a. Para perawinya adil.
b. Kedhabitan perawinya dibawah perawi hadits sahih.
c. Sanadnya bersambung.
d. Tidak mengandung kejanggalan pada matannya.
e. Tidak ada cacat atau illat.
2.2.3 Hadits Daif
Hadits daif menurut bahasa berarti hadits yang lemah, yakni para ulama memiliki
dugaan yang lemah (keci atau rendah) tentang benarnya hadits itu berasal dari
Rasulullah SAW.
Para ulama memberi batasan bagi hadits daif :
Artinya :
“Hadits daif adalah hadits yang tidak menghimpun sifat-sifat hadits sahih, dan
juga tidak menghimpun sifat-sifat hadits hasan.”
Jadi hadits daif itu bukan saja tidak memenuhi syarat-syarat hadits sahih,
melainkan juga tidak memenuhi syarat-syarat hadits hasan. Pada hadits daif itu terdapat
hal-hal yang menyebabkan lebih besarnya dugaan untuk menetapkan hadits tersebut
bukan berasal dari Rasulullah SAW.
2.3 Pembagian Hadits Berdasarkan Bentuk dan Penisbahan Matan
Berdasarkan bentuk dan penisbahannya, hadits dibagi dalam dua kategori, yaitu :
a. Dari segi bentuk atau wujud matannya, hadits dapat dibagi lima macam;
1. Qauli : Hadits yang matannya berupa perkataan yang pernah diucapkan
2. Fi’li : Hadits yang matannya berupa perbuatan sebagai penjelasan praktis
terhadap peraturan syariat
3. Taqriri : Hadits yang matannya berupa tarir, sikap atau keadaan mendiamkan,
tidak mengadakan tanggapan atau menyetujui apa yang telah dilakukan
4. Qawni :Hadits yang matannya berupa keadaan hal ihlwal dan sifat tertentu
5. Hammi :Hadits yang matannya berupa rencana atau cita-cita yang belum
dikerjakan, sebetulnya berupa ucapan
7
b. Dari penyandaran terhadap matan, hadits dapat dibagi pada;
1. Marfu’: Hadits yang matannya dinisbahkan pada Nabi Muhammad, baik berupa
perkataan, perbuatan, atau taqrir Nabi Muhammad
2. Mauquf:Hadits yang matannya dinisbahkan pada sahabat, baik berupa
perkataan, perbuatan, atau taqrir
3. Maqtu’:Hadits yang matannya dinisbahkan kepada tabiin, baik berupa
perkataan, perbuatan atau taqrir
4. Qudsi: Hadits yang matannya dinisbahkan pada nabi Muhammad dalam lafad
pada Allah dalam makna
5. Maudu’i:Hadits yang matannya dinisbahkan pada selain Allah, Nabi
Muhammad, sahabat dan tabiin. Ini bisa disebut fatwa.
2.4 Pembagian Hadits Berdasarkan Persambungan dan Keadaan Sanad
Pembagian hadits berdasarkan sanad, yang ditinjau dari segi persambungan sanad,
dan dari segi sifat-sifat yang ada pada sanad dan secara periwayatannya, dapat
dikemukan di bawah ini. Hadits ditinjau dari segi persambungan sanad terbagi pada
jenis-jenis, yaitu :
a. Hadits Muttasil; Hadits yang sanadnya bersambung sampai kepada Nabi
Muhammad SAW
b. Hadits Munfasil: Bila sanadnya tidak bersambung terdapat inqitaha’ (gugur rawi)
dalam sanad, dan terbagi lagi kepada :
1. Muallaq: Hadits yang gugur rawinya seorang atau lebih dari awal sanad
(mudawin).
2. Mursal: Hadits yang gugur rawi pertama atau ahir sanadnya.
3. Munqathi’:Hadits yang gugur rawi di satu tabaqat atau gugur dua orang pada
dua ttabaqat dalam keadaan tidak berturut-turut.
4. Mu’dhal: Hadits yang gugur rawi-rawinya dua orang atau lebih secara berturut-
turut dalam tabaqat sanad, baik sahabat bersama tabiin, tabiin bersama tabin
tabiin, namun dua orang sebelum sahabat dan tabiin.
5. Mudallas: Hadits yang gugur guru seorang rawi karena untuk menutup noda.
BAB III
8
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Sebagai akhir pembahasan tulisan ini, penulis sajikan kesimpulan umum sebagai
berikut;
1. Dalam perkembangan masa hadits dikelompakkan sesuai kriteria masing-masing.
Secara garis besar hadits dapat dibagi dengan melihat sanad dan matan. Sehingga
dapat dirumuskan, berdasarkan diterima dan ditolaknya, jumlah rawi, bentuk dan
penisbahan matan dan berdasarkan persambungan dan keadaan sanad.
2. Munculnya fenomena penambahan, perbedaan redaksi, penukaran urutan kalimat
terdapat uncur positive dan lebih banyak negatifnya. Positif bila dilihat dari
penambah penjelas dari kalimat yang masih perlu ditafsirkan. Negatifnya membuat
keraguan sang pengkaji, disebabkan berbagai hal, diantaranya kemungkinan sang
perawi memang tidak dabit, dan kemungkinan rawi menafsirkan secara obyektif,
sehingga tidak sesuai makna dan maksud sebenarnya.
Dengan munculnya fenomena diatas memiliki dampak yang sangat bahaya,
lantaran kadang-kadang berakibat menjadikan sesuatu yang bukan hadits sebagai hadits,
maka para ulama sangat keras menyoroti dan mengkajinya dengan serius serta
menanganinya dengan sangat hati-hati. Dan ahirnya para pecinta hadits agar tergugah
untuk lebih berhati-hati dalam menelaah dan mengamalkan isi hadits sehingga dapat
membedakan mana yang termasuk bagian hadits dan yang bukan.
3.2 Saran
Penulis menyararankan supaya pembaca bisa paham atas segala ssuatu yang telah kami
sampaikan dalam makalah ini. Sehingga kita bisa mengetahui pembagian hadist dilihat dari
berbagi faktor. Mudah-mudahan semua yang disampaikan dalam makalah ini bisa diterima oleh
pembaca dan menambah wawasan dalam ilmu keagamaan, khususnya ilmu hadist.
DAFTAR PUSTAKA
9
Endang Soetari AD, Ilmu Hadits, Bandung: Amal Bakti Press 1997
Mahmud Tohan dalam Taisir Mustalah Hadits
Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, terj: Qodirun Nur dan Ahmad Musyafiq, Ushulul Hadits:
Pokok-Pokok Ilmu Hadits, Jakarta: Gaya Media Pratama 1998
————-, Ushul al-Hadits: ‘Ulumuhu wa Musthalahuhu, Beirut: Dar al-‘Ilmu li al-
Malayin 1977
————-, Al-Sunnah Qabl al-Tadwin, Beirut: Dar al-Fikr 1981
Nuruddin Itr ter: Mujiyo, Ulum Hadits, Bandung: Remaja Rosdakarya 1997
————, Manhaj fi Ulum al-Hadits, Damaskus: Dar al-Fikr 1998
Tengku Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Semarang: Pustaka
Rizki Putra 1999
LEMBAR DISKUSI
No Penanya Pertanyaan jawaban
10
11