Hadist Sahih Dan Hadist Dhaif
-
Upload
ahmad-mudzakkir-effendi -
Category
Documents
-
view
84 -
download
12
Embed Size (px)
Transcript of Hadist Sahih Dan Hadist Dhaif

Hadist Sahih dan Hadist Dho’if
Disusun Oleh:
Abdul Baasith E 1500012231
Ahmad Adhi S.N. 1500012221
Nurhuda Lutfi A 1500012223
Riski Andreas S 1500012234
AKUNTANSI
EKONOMI
UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN
2015

DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN...............................................................................................................1
A. Latar Belakang........................................................................................................................1
B. Perumusan Masalah.................................................................................................................1
C. Manfaat Penulisan...................................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................................................2
Hadits Shahih...............................................................................................................................2
a) Pengertian Hadits Shahih................................................................................................2
b) Syarat-syarat Hadits Shahih............................................................................................2
Macam-Macam hadis Shahih.......................................................................................................4
a. Shahih lidzatih......................................................................................................................4
b. Shahih lighairih....................................................................................................................5
Hadits Dhoif.................................................................................................................................5
a) Pengertian Hadits Dhoif..................................................................................................5
Macam-macam Hadits Dho’if......................................................................................................7
a. Hadits dhaif karena gugurnya rawi.......................................................................................7
b. Hadits dhaif karena cacat pada matan atau rawi................................................................10
BAB III PENUTUP.......................................................................................................................14
A. Kesimpulan...........................................................................................................................14

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hadits, oleh umat islam diyakini sebagai sumber pokok ajaran islam sesudah Al-Qur’an.
Dalam tataran aplikasinya, hadits dapat dijadikan hujjah keagamaan dalam kehidupan dan
menempati posisi yang sangat penting dalam kajian keislaman. Secara struktural hadits
merupakan sumber ajaran islam setelah Al-Qur’an yang bersifat global. Artinya, jika kita tidak
menemukan penjelasan tentang berbagai problematika kehidupan di dalam Al-Qur’an, maka kita
harus dan wajib merujuk pada hadits. Oleh karena itu, hadits merupakan hal terpenting dan
memiliki kewenangan dalam menetapkan suatu hukum yang tidak termaktub dalam Al-Qur’an.
Ditinjau dari segi kualitasnya, hadits terbagi menjadi dua yaitu, hadits Maqbul (hadits
yang dapat diterima sebagai dalil) dan haditst Mardud (hadits yang tertolak sebagai dalil). Hadits
Maqbul terbagi menjadi dua yaitu hadits Shahih dan Hasan, sedangkan yang termasuk dalam
hadits Mardud salah satunya adalah hadits Dha’if. Semuanya memiliki ciri dan kriteria yang
berbeda.
B. Perumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penulisan ini adalah sebagai berikut;
1. Apa pengertian hadits Shahih dan Dhoif?
2. Apa syarat-syarat hadits Shahih dan Dhoif?
3. Macam-macam hadits Shahih dan Dhoif
C. Manfaat Penulisan
Manfaat dari penulisan makalah ini yaitu sebagai sarana untuk menambah ilmu
pengetahuan yang telah kita miliki terutama tentang ilmu hadits mengenai Hadits Shahih, dan
Dhoif.
1

BAB II
PEMBAHASAN
Hadits Shahih
a) Pengertian Hadits Shahih
Shahih merupakan kalimat musytaq dari kalimat shahha – yashihhu – suhhan wa
sihhatan artiya sembuh, sehat, selamat dari cacat, benar. Sedangkan secara istilah yaitu :
ة عل وال شذوذ غير من منتهاه إلى مثله عن الضابط العدل بنقل سنده صل ات .ما
" Apa yang sanadnya bersambung dengan periwayatan yang adil, dhobit ( memiliki
hafalan yang kuat) dari awal sampai akhir sanad dengan tanpa syadz dan tidak pula
cacat"
Definisi hadits shahih secara konkrit baru muncul setelah Imam Syafi’i
memberikan penjelasan tentang riwayat yang dapat dijadikan hujah, yaitu:
Pertama, apabila diriwayatkan oleh para perowi yang dapat dipercaya pengamalan
agamanya, dikenal sebagai orang yang jujur mermahami hadits yang diriwayatkan
dengan baik, mengetahui perubahan arti hadits bila terjadi perubahan lafadnya; mampu
meriwayatkan hadits secara lafad, terpelihara hafalannya bila meriwayatkan hadits secara
lafad, bunyi hadits yang Dia riwayatkan sama dengan hadits yang diriwayatkan orang lain
dan terlepas dari tadlis (penyembuyian cacat),
Kedua, rangkaian riwayatnya bersambung sampai kepada Nabi SAW. atau dapat
juga tidak sampai kepada Nabi.
b) Syarat-syarat Hadits Shahih
1. Sanadnya Bersambung
setiap perawi dalam sanad hadits menerima riwayat hadits dari perawi
terdekat sebelumnya. Keadaan itu berlangsung demikian sampai akhir sanad dari
suatu hadits.
2

3
2. Perawinya Adil
Seseorang dikatakan adil apabila ada padanya sifat-sifat yang dapat
mendorong terpeliharanya ketaqwaan, yaitu senantiasa melaksanakan perintah
dan meninggalkan larangan, dan terjaganya sifat Muru’ah, yaitu senantiasa
berakhlak baik dalam segala tingkah laku dan hal-hal lain yang dapt merusak
harga dirinya.
3. Perwainya Dhabith
Seorang perwai dikatakan dhabit apabila perawi tersebut mempunyai daya
ingat yang sempurna terhadap hadits yang diriwayatkannya. Ibnu Hajar al-
Asqalani, perawi yang dhabit adalah mereka yang kuat hafalannya terhadap apa
yang pernah didengarnya, kemudian mampu menyampaikan hafalan tersebut
kapan saja manakala diperlukan. Ini artinya, bahwa orang yang disebut dhabit
harus mendengar secara utuh apa yang diterima atau didengarnya, kemudian
mampu menyampaikannya kepada orang lain atau meriwayatkannya sebagaimana
aslinya.
4. Tidak Syadz
Syadz (janggal/rancu) atau syudzuz adalah hadits yang bertentangan
dengan hadits lain yang lebih kuat atau lebih tsiqqah perawinya. Maksudnya,
suatu kondisi di mana seorang perawi berbeda dengan rawi lain yang lebih kuat
posisinya.
5. Tidak Ber’illat
Hadits ber’illat adalah hadits-hadits yang cacat atau terdapat penyakit
karena tersembunyi atau samar-samar, yang dapat merusak keshahihan hadits.
Dikatakan samar-samar, karena jika dilihat dari segi zahirnya, hadits tersebut
terlihat shahih. Adanya kesamaran pada hadits tersebut, mengakibatkan nilai
kualitasnya menjadi tidak shahih. Adapun contoh hadits yang shahih adalah
sebagai berikut;
بن جبير بن محمد عن شهاب ابن عن مالك أخبرنا قال يوسف بن عبدالله حدثنا
)" . رواه بالطور المغرب في قرأ صم الله رسول سمعت قال أبيه عن مطعمالبخاري)

4
" Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin yusuf ia berkata: telah
mengkhabarkan kepada kami malik dari ibnu syihab dari Muhammad bin jubair
bin math'ami dari ayahnya ia berkata: aku pernah mendengar rasulullah saw
membaca dalam shalat maghrib surat at-thur" (HR. Bukhari, Kitab Adzan).
Kitab-kitab hadits yang menghimpun hadits shahih secara berurutan
sebagai berikut:
1) Shahih Al-Bukhari (w.250 H).
2) Shahih Muslim (w. 261 H).
3) Shahih Ibnu Khuzaimah (w. 311 H).
4) Shahih Ibnu Hiban (w. 354 H).
5) Mustadrok Al-hakim (w. 405).
6) Shahih Ibn As-Sakan.
7) Shahih Al-Abani.
Macam-Macam hadis Shahih
a. Shahih lidzatih
Secara bahasa artinya “yang sah karena dzatnya”, sedangkan hadis shahih lidzatih
yang dimaksud adalah hadis yang memenuhi seluruh persyaratan keshahihan hadis secara
lengkap. Contohnya sebagai berikut:
Artinya: “Bukhari berkata: Telah menceritakan kepada kami “Abdullah bin Yusuf, (ia
berkata) telah mengabarkan kepada kami, Malik, dari Nafi’, dari Abdullah bahwa
Rasulullah Saw. Bersabda: “Apabila mereka bertiga, janganlah dua orang berbisik tanpa
ikut serta orang yang ketiga”.
Hadis diatas apabila disusun dengan tertib akan jadi seperti berikut:

5
Bukhari, Abdullah bin Yusuf, Malik, Nafi’, Abdullah (Ibnu Umar), Rasulullah Dari
perawi yang pertama tersebut menerima hadis dari perawi yang ke-dua, perawi yang ke-
dua menerima dari yang ke-tiga dan seterusnya dan sampai kepada Abdullah. Dan
Abdullah itulah sahabat Nabi yang mendengar Nabi bersabda seperti yang tercantum
diatas. Rawi-rawi tersebut dari yang pertama sampai yang kelima, semua bersifat adil,
dapat dipercaya, dhabit dan benar-benar bersambung. Dari hadis tersebut tidak ditemukan
cacat baik pada sanad maupun pada matan, sehingga dapat di-identifikasikan sebagai
hadis shahih lidzatih.
b. Shahih lighairih
Secara bahasa artinya “benar karena yang lainnya”. Secara istilah dapat dipahami
bahwa shahih lighairih di sini lebih mengacu pada hadis shahih yang bisa menjadi shahih
karena sesuatu yang lain, atas topangan hadis lain, atau karena di dalamnya terdapat satu
syarat yang kurang dipenuhi.
Contoh:
Artinya: “Dari Abu Hurairah ra., bahwa Rasulullah bersabda: “Sekiranya aku
tidak menyusahkan umatku, tentu aku menyuruh mereka bersiwak (menggosok gigi)
setiap shalat”
Apabila suatu hadis diriwayatkan oleh lima buah sanad, maka hadis itu dihitung
bukan sebagai satu hadis, tetapi lima hadis. Hadis yang diriwayatkan oleh empat buah
sanad, dihitung sebagai empat buah hadis, jadi hadis tersebut di atas, yang diriwayatkan
oleh Bukhari dengan sanad tersendiri dan Tirmidzi dengan sanad tersendiri pula, dihitung
sebagai dua hadis. Pertama adalah hadis Bukhari, yang dinilai sebagai hadis lidzatih, dan
kedua hadis Tirmidzi. Karena diperkuat oleh hadis Bukhari, hadis Tirmidzi naik
tingkatannya menjadi hadis shahih lighairih.

6
Hadits Dhoif
a) Pengertian Hadits Dhoif
Dhoif secara bahasa adalah kebalikan dari kuat yaitu lemah, sedangkan secara
istilah yaitu;
شروطه من شرط بفقد الحسن، صفة يجمع لم ما
“ Apa yang sifat dari hadits hasan tidak tercangkup (terpenuhi) dengan cara hilangnya
satu syarat dari syarat-syarat hadits hasan”
Dengan demikian, jika hilang salah satu kriteria saja, maka hadits itu menjadi
tidak shahih atau tidak hasan. Lebih-lebih jika yang hilang itu sampai dua atau tiga syarat
maka hadits tersebut dapat dinyatakan sebagai hadits dhai’if yang sangat lemah. Karena
kualitasnya dha’if, maka sebagian ulama tidak menjadikannya sebagai dasar hukum.
Contoh hadits dhoif adalah sebagai berikut ;
" عن " هريرة أبي عن الهجيمي تميمة أبي عن األثرم حكيم طريق من رميذي الت ماأخرجهمحمد : " على أنزل بما كفر فقد كاهنا أو دبرها في امرأة أو حائضا أتي من قال صم بي " الن
Apa yang diriwayatkan oleh tirmidzi dari jalur hakim al-atsrami “dari abi tamimah al-
Hujaimi dari abi hurairah dari nabi saw ia berkata : barang siapa yang menggauli wanita
haid atau seorang perempuan pada duburnya atau seperti ini maka sungguh ia telah
mengingkari dari apa yang telah diturunkan kepada nabi Muhammad saw”
Berkata Imam Tirmidzi setelah mengeluarkan (takhrij) hadits ini : “ kami tidak
mengetahui hadits ini kecuali hadits dari jalur hakim al-atsrami, kemudian hadits ini
didhoifkan oleh Muhammad dari segi sanad karena didalam sanadnya terdapat hakim al-
atsrami sebab didhaifkan pula oleh para ulama hadits”
Khusus hadits dhaif, maka para ulama hadits kelas berat semacam Al-Hafidzh
Ibnu Hajar Al-Asqalani menyebutkan bahwa hadits dhaif boleh digunakan, dengan
beberapa syarat:

7
1) Level Kedhaifannya Tidak Parah
Ternyata yang namanya hadits dhaif itu sangat banyak jenisnya dan banyak
jenjangnya. Dari yang paling parah sampai yang mendekati shahih atau hasan.
2) Berada di bawah Nash Lain yang Shahih
Maksudnya hadits yang dhaif itu kalau mau dijadikan sebagai dasar dalam
fadhailul a’mal, harus didampingi dengan hadits lainnya. Bahkan hadits lainnya
itu harus shahih. Maka t idak boleh hadits dha’if jadi pokok, tetapi dia harus
berada di bawah nash yang sudah shahih.
3) Ketika Mengamalkannya, Tidak Boleh Meyakini Ke-Tsabit-annya
Maksudnya, ketika kita mengamalkan hadits dhaif itu, kita tidak boleh
meyakini 100% bahwa ini merupakan sabda Rasululah SAW atau perbuatan
beliau. Tetapi yang kita lakukan adalah bahwa kita masih menduga atas kepastian
datangnya informasi ini dari Rasulullah SAW.
Macam-macam Hadits Dho’if
Hadist Dhaif dapat dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu: Hadits Dhaif karena
gugurnya rawi dalam sanadnya, dan hadits dhaif karena adanya cacat pada rawi atau matan.
a. Hadits dhaif karena gugurnya rawi
Yang dimaksud dengan gugurnya rawi adalah tidak adanya satu atau beberapa
rawi, yang seharusnya ada dalam suatu sanad, baik pada permulaan sanad, maupun pada
pertengahan atau akhirnya. Ada beberapa nama bagi hadits dhaif yang disebabkan karena
gugurnya rawi, antara lain yaitu:
1. Hadits Mursal
Hadits mursal menurut bahasa, berarti hadits yang terlepas. Para ulama
memberikan batasan bahwa hadits mursal adalah hadits yang gugur rawinya di
akhir sanad. Yang dimaksud dengan rawi di akhir sanad ialah rawi pada tingkatan
sahabat yang merupakan orang pertama yang meriwayatkan hadits dari Rasulullah
SAW. (penentuan awal dan akhir sanad adalah dengan melihat dari rawi yang

8
terdekat dengan imam yang membukukan hadits, seperti Bukhari, sampai kepada
rawi yang terdekat dengan Rasulullah). Jadi, hadits mursal adalah hadits yang
dalam sanadnya tidak menyebutkan sahabat Nabi, sebagai rawi yang seharusnya
menerima langsung dari Rasulullah.
Contoh hadits mursal:
Artinya:Rasulullah bersabda, “ Antara kita dan kaum munafik munafik (ada
batas), yaitu menghadiri jama’ah isya dan subuh; mereka tidak sanggup
menghadirinya”.
Hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam Malik, dari Abdurrahman, dari
Harmalah, dan selanjutnya dari Sa’id bin Mustayyab. Siapa sahabat Nabi yang
meriwayatkan hadits itu kepada Sa’id bin Mustayyab, tidaklah disebutkan dalam
sanad hadits di atas.
Kebanyakan Ulama memandang hadits mursal ini sebagai hadits dhaif,
karena itu tidak bisa diterima sebagai hujjah atau landasan dalam beramal.
Namun, sebagian kecil ulama termasuk Abu Hanifah, Malik bin Anas, dan
Ahmad bin Hanbal, dapat menerima hadits mursal menjadi hujjah asalkan para
rawi bersifat adil.
2. Hadits Munqathi’
Hadits munqathi’ menurut etimologi ialah hadits yang terputus. Para
ulama memberi batasan bahwa hadits munqathi’ adalah hadits yang gugur satu
atau dua orang rawi tanpa beriringan menjelang akhir sanadnya. Bila rawi di akhir
sanad adalah sahabat Nabi, maka rawi menjelang akhir sanad adalah tabi’in. Jadi,
pada hadits munqathi’ bukanlah rawi di tingkat sahabat yang gugur, tetapi
minimal gugur seorang tabi’in. Bila dua rawi yang gugur, maka kedua rawi
tersebut tidak beriringan, dan salah satu dari dua rawi yang gugur itu adalah
tabi’in.
Contoh hadits munqathi’:

9
Artinya: Rasulullah SAW. bila masuk ke dalam mesjid, membaca “dengan nama
Allah, dan sejahtera atas Rasulullah; Ya Allah, ampunilah dosaku dan bukakanlah
bagiku segala pintu rahmatMu”.
Hadits di atas diriwayatkan oleh Ibnu Majah, dari Abu Bakar bin Ali Syaibah, dari
Ismail bin Ibrahim, dari Laits, dari Abdullah bin Hasan, dari Fatimah binti Al-
Husain, dan selanjutnya dari Fathimah Az-Zahra. Menurut Ibnu Majah, hadits di
atas adalah hadits munqathi’, karena Fathimah Az-Zahra (putri Rasul) tidak
berjumpa dengan Fathimah binti Al-Husain. Jadi ada rawi yang gugur (tidak
disebutkan) pada tingkatan tabi’in.
3. Hadits Mu’dhal
Menurut bahasa, hadits mu’dhal adalah hadits yang sulit dipahami.
Batasan yang diberikan para ulama bahwa hadits mu’dhal adalah hadits yang
gugur dua orang rawinya, atau lebih, secara beriringan dalam sanadnya.
Contohnya adalah hadits Imam Malik mengenai hak hamba, dalam kitabnya “Al-
Muwatha” yang berbunyi: Imam Malik berkata: Telah sampai kepadaku, dari Abu
Hurairah, bahwa Rasulullah SAW bersabda:
Artinya:Budak itu harus diberi makanan dan pakaian dengan baik.
Di dalam kitab Imam Malik tersebut, tidak memaparkan dua orang rawi
yang beriringan antara dia dengan Abu Hurairah. Kedua rawi yang gugur itu dapat
diketahui melalui riwayat Imam Malik di luar kitab Al-Muwatha. Imam Malik
meriwayatkan hadits yang sama : Dari Muhammad bin Ajlan , dari ayahnya, dari
Abu Hurairah, dari Rasulullah. Dua rawi yang gugur adalah Muhammad bin Ajlan
dan ayahnya.
4. Hadits mu’allaq
Menurut bahasa, hadits mu’allaq berarti hadits yang tergantung. Batasan
para ulama tentang hadits ini ialah hadits yang gugur satu rawi atau lebih di awal
sanad atau bias juga bila semua rawinya digugurkan (tidak disebutkan).

10
Contoh: Bukhari berkata: Kata Malik, dari Zuhri, dan Abu Salamah dari Abu
Huraira,
bahwa Rasulullah SAW bersabda:
Artinya:Janganlah kamu melebihkan sebagian nabi dengan sebagian yang lain.
Berdasarkan riwayat Bukhari, ia sebenarnya tidak pernah bertemu dengan
Malik. Dengan demikian, Bukhari telah menggugurkan satu rawi di awal sanad
tersebut. Pada umumnya, yang termasuk dalam kategori hadits mu’allaq
tingkatannya adalah dhaif, kecuali 1341 buah hadits muallaq yang terdapat dalam
kitab Shahih Bukhari. 1341 hadits tersebut tetap dipandang shahih, karena
Bukhari bukanlah seorang mudallis (yang menyembunyikan cacat hadits). Dan
sebagian besar dari hadits mu’allaqnya itu disebutkan seluruh rawinya secara
lengkap pada tempat lain dalam kiab itu juga.
b. Hadits dhaif karena cacat pada matan atau rawi
Banyak macam cacat yang dapat menimpa rawi ataupun matan. Seperti pendusta,
fasiq, tidak dikenal, dan berbuat bid’ah yang masing-masing dapat menghilangkan sifat
adil pada rawi. Sering keliru, banyak waham, hafalan yang buruk, atau lalai dalam
mengusahakan hafalannya, dan menyalahi rawi-rawi yang dipercaya. Ini dapat
menghilangkan sifat dhabith pada perawi. Adapun cacat pada matan, misalkan terdapat
sisipan di tengah-tengah lafadz hadits atau diputarbalikkan sehingga memberi pengertian
yang berbeda dari maksud lafadz yang sebenarnya.
Contoh-contoh hadits dhaif karena cacat pada matan atau rawi:
1. Hadits Maudhu’
Menurut bahasa, hadits ini memiliki pengertian hadits palsu atau dibuat-
buat. Para ulama memberikan batasan bahwa hadis maudhu’ ialah hadits yang
bukan berasal dari Rasulullah SAW. Akan tetapi disandarkan kepada dirinya.
Golongan-golongan pembuat hadits palsu yakni musuh-musuh Islam dan tersebar
pada abad-abad permulaan sejarah umat Islam, yakni kaum yahudi dan nashrani,
orang-orang munafik, zindiq, atau sangat fanatic terhadap golongan politiknya,
mazhabnya, atau kebangsaannya.

11
Hadits maudhu’ merupakan seburuk-buruk hadits dhaif. Peringatan
Rasulullah SAW terhadap orang yang berdusta dengan hadits dhaif serta
menjadikan Rasul SAW sebagai sandarannya.
“Barangsiapa yang sengaja berdusta terhadap diriku, maka hendaklah ia
menduduki tempat duduknya dalam neraka”.
Berikut dipaparkan beberapa contoh hadits maudhu’:
a. Hadits yang dikarang oleh Abdur Rahman bin Zaid bin Aslam; ia
katakana bahwa hadits itu diterima dari ayahnya, dari kakeknya, dan
selanjutnya dari Rasulullah SAW. berbunyi : “Sesungguhnya bahtera Nuh
bertawaf mengelilingi ka’bah, tujuh kali dan shalat di maqam Ibrahim dua
rakaat” Makna hadits tersebut tidak masuk akal.
b. Adapun hadits lainnya : “anak zina itu tidak masuk surga tujuh
turunan”. Hadits tersebut bertentangan dengan Al-Qur’an. ” Pemikul dosa
itu tidaklah memikul dosa yang lain”. ( Al-An’am : 164 )
c. “Siapa yang memperoleh anak dan dinamakannya Muhammad, maka ia
dan anaknya itu masuk surga”. “orang yang dapat dipercaya itu hanya tiga,
yaitu: aku ( Muhammad ), Jibril, dan Muawiyah”.
2. Hadits matruk atau hadits mathruh
Hadits ini, menurut bahasa berarti hadits yang ditinggalkan / dibuang. Para
ulama memberikan batasan bahwa hadits matruk adalah hadits yang diriwayatkan
oleh orang-orang yang pernah dituduh berdusta ( baik berkenaan dengan hadits
ataupun mengenai urusan lain ), atau pernah melakukan maksiat, lalai, atau
banyak wahamnya.
Contoh hadits matruk : “Rasulullah Saw bersabda, sekiranya tidak ada wanita,
tentu Allah dita’ati dengan sungguh-sungguh”.
Hadits tersebut diriwayatkan oleh Ya’qub bin Sufyan bin ‘Ashim dengan
sanad yang terdiri dari serentetan rawi-rawi, seperti : Muhammad bin ‘Imran, ‘Isa

12
bin Ziyad, ‘Abdur Rahim bin Zaid dan ayahnya, Said bin mutstayyab, dan Umar
bin Khaththab. Diantara nama-nama dalam sanad tersebut, ternyata Abdur Rahim
dan ayahnya pernah tertuduh berdusta. Oleh karena itu, hadits tersebut
ditinggalkan / dibuang.
3. Hadits Munkar
Hadist munkar, secara bahasa berarti hadits yang diingkari atau tidak
dikenal. Batasan yang diberikan para ‘ulama bahwa hadits munkar ialah hadits
yang diriwayatkan oleh rawi yang lemah dan menyalahi perawi yang kuat,
contoh :
Artinya:“Barangsiapa yang mendirikan shalat, membayarkan zakat, mengerjakan
haji, dan menghormati tamu, niscaya masuk surga. ( H.R Riwayat Abu Hatim )”
Hadits di atas memiliki rawi-rawi yang lemah dan matannya pun berlainan
dengan matan-matan hadits yang lebih kuat.
4. Hadits Mu’allal
Menurut bahasa, hadits mu’allal berarti hadits yang terkena illat . Para
ulama memberi batasan bahwa hadits ini adalah hadits yang mengandung sebab-
sebab tersembunyi , dan illat yang menjatuhkan itu bisa terdapat pada sanad,
matan, ataupun keduanya.
Contoh :Rasulullah bersabda, “penjual dan pembeli boleh berkhiyar, selama
mereka belum berpisah”.
Hadits di atas diriwayatkan oleh Ya’la bin Ubaid dengan bersanad pada
Sufyan Ats-Tsauri, dari ‘Amru bin Dinar, dan selanjutnya dari Ibnu umar. Matan
hadits ini sebenarnya shahih, namun setelah diteliti dengan seksama, sanadnya
memiliki illat. Yang seharusnya dari Abdullah bin Dinar menjadi ‘Amru bin
Dinar.

13
5. Hadits mudraj
Hadist ini memiliki pengertian hadits yang dimasuki sisipan, yang
sebenarnya bukan bagian dari hadits itu. Contoh:
Rasulullah bersabda: “Saya adalah za’im (dan za’im itu adah penanggung jawab)
bagi orang yang beriman kepadaku, dan berhijrah; dengan tempat tinggal di taman
surga”.
Kalimat akhir dari hadits tersebut adalah sisipan (dengan tempat tinggal di
taman surga), karena tidak termasuk sabda Rasulullah SAW.
6. Hadits Maqlub
Menurut bahasa, berarti hadits yang diputarbalikkan. Para ulama
menerangkan bahwa terjadi pemutarbalikkan pada matannya atau pada nama rawi
dalam sanadnya atau penukaran suatu sanad untuk matan yang lain.
Contoh:Rasulullah SAW bersabda : Apabila aku menyuruh kamu mengerjakan
sesuatu, maka kerjakanlah dia; apabila aku melarang kamu dari sesuatu, maka
jauhilah ia sesuai kesanggupan kamu. (Riwayat Ath-Tabrani)
Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim,
semestinya hadits tersebut berbunyi: Rasulullah SAW bersabda : “Apa yang aku
larag kamu darinya, maka jauhilah ia, dan apa yang aku suruh kamu
mengerjakannya, maka kerjakanlah ia sesuai dengan kesanggupan kamu”.
7. Hadits Syadz
Secara bahasa, hadits ini berarti hadits ayng ganjil. Batasan yang diberikan
para ulama, hadits syadz adalah hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang
dipercaya, tapi hadits itu berlainan dengan hadits-hadits yang diriwayatkan oleh
sejumlah rawi yang juga dipercaya. Haditsnya mengandung keganjilan
dibandingkan dengan hadits-hadits lain yang kuat. Keganjilan itu bisa pada sanad,
pada matan, ataupun keduanya.

14
Contoh :“Rasulullah bersabda: “Hari arafah dan hari-hari tasyriq adalah hari-hari
makan dan minum.”
Hadits di atas diriwayatkan oleh Musa bin Ali bin Rabah dengan sanad
yang terdiri dari serentetan rawi-rawi yang dipercaya, namun matan hadits
tersebut ternyata ganjil, jika dibandingkan dengan hadits-hadits lain yang
diriwayatkan oleh rawi-rawi yang juga dipercaya. Pada hadits-hadits lain tidak
dijumpai ungkapan . Keganjilan hadits di atas terletak pada adanya ungkapan
tersebut, dan merupakan salah satu contoh hadits syadz pada matannya. Lawan
dari hadits ini adalah hadits mahfuzh.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Derajat suatu hadits itu memiliki beberapa kemungkinan, bisa saja kita katakan shahih,
hasan, ataupun dhaif itu tergantung kepada 2 hal yaitu keadaan sanadnya dan keadaan
perawinya. Akan tetapi oleh para ulama telah diberikan kemudahan bagi para peneliti hadits
untuk mengetahui derajat hadits tersebut dalam kitab-kitab hadits seperti yang paling terkenal
adalah kitab “tahzibul kamal fi asmaail rijal” yang menerangkan tentang keadaan perawinya,
apakah dia itu pendusta, bid’ah, fasiq dan yang lainnya. Akan tetapi semua ulama telah sepakat
tentang keshahihan hadits yang dikeluarkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim sehingga kita
tidak perlu lagi untuk meneliti atas kedaan sanad dan perawinya akan tetapi yang mesti ingat
hadits-hadits selain dari imam bukhari dan imam muslim mesti kita telaah kembali akan
keshahihannya.
15
