Post on 20-Jul-2016
description
KATA PENGANTAR
Penyusun mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada dosen pembimbing
yang telah membimbing tutorial pertama di blok 23 ini sehingga proses tutorial dapat
berlangsung dengan sangat baik.
Tidak lupa penyusun mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada kedua orang
tua, yang telah memberi dukungan baik berupa materil dan moril yang tidak terhitung
jumlahnya sehingga penyusun dapat menyelesaikan laporan tutorial Skenario A di blok 23 ini
hingga selesai.
Ucapan terima kasih juga kepada para teman-teman sejawat di Fakultas Kedokteran
Universitas Sriwijaya atas semua semangat dan dukungannya sehingga perjalanan blok per
blok yang seharusnya sulit dapat dilewati dengan mudah.
Penyusun menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari kata mendekati sempurna.Oleh
karena itu penyusun mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk perbaikan
di penyusunan laporan berikutnya. Mudah-mudahan laporan ini dapat memberikan sumbangan
pengetahuan yang bermanfaat bagi kita semua.
Palembang, 18 Agustus 2014
Penyusun
Kelompok B1
1
DAFTAR ISI
Kata Pengantar......................................................................................1
Daftar Isi...............................................................................................2
BAB I : Pendahuluan
1.1.................................................................... Latar Belakang 3
BAB II : Pembahasan
2.1. Data Tutorial.....................................................................4
2.2. Skenario Kasus..................................................................5
2.3. Paparan
I. Klarifikasi Istilah.............................................................6
II. Identifikasi Masalah........................................................7
III. Analisis Masalah............................................................8
IV. Learning Issue..............................................................30
V. Kerangka Konsep.........................................................40
BAB III : Penutup
3.1. Kesimpulan.....................................................................41
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................42
2
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada laporan tutorial kali ini, laporan membahas blok Sistem Reproduksi dan
Perinatologi yang berada dalam blok 26 pada semester 7 dari Kurikulum Berbasis Kompetensi
(KBK) Pendidikan Dokter Umum Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Palembang.
Pada kesempatan ini, dilakukan tutorial studi kasus sebagai bahan pembelajaran untuk
menghadapi tutorial yang sebenarnya pada waktu yang akan datang.
Adapun maksud dan tujuan dari materi tutorial ini, yaitu:
1. Sebagai laporan tugas kelompok tutorial yang merupakan bagian dari sistem KBK di
Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Palembang.
2. Dapat menyelesaikan kasus yang diberikan pada skenario dengan metode analisis dan
pembelajaran diskusi kelompok.
3. Tercapainya tujuan dari metode pembelajaran tutorial dan memahami konsep dari
skenario ini.
3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Data Tutorial
Tutor : dr. Ariesti Karmila
Moderator : Ali Zainal
Sekretaris : M Faza Naufal
Hari, Tanggal : Senin, 18 Agustus 2014
Rabu, 20 Agustus 2014
Peraturan : 1. Alat komunikasi di nonaktifkan.
2. Dilarang makan dan minum.
4
2.2. Skenario Kasus
Budi, seorang anak laki – laki berusia 3 tahun, dibawa oleh ibunya berobat karena kaki dan
tangannya terasa dingin seperti es. Empat hari yang lalu, Budi demam tinggi terus
menerus, tidak menggigil disertai sakit kepala, pegal – pegal dan sakit perut. Tidak ada
batuk pilek, buang air besar dan buang air kecil seperti biasa. Budi sudah diberi obat
penurun panas, namun panas turun sebentar dan kemudian naik lagi. Satu hari yang lalu,
panas mulai turun disertai mimisan. Sejak 6 jam yang lalu, pasien tidak buang air kecil
disertai tangan dan kaki teraba dingin seperti es. Riwayat mimisan sebelumnya disangkal.
Pemeriksaan fisik:
Keadaan umum: gelisah/delirium, TD 70/50 mmHg, nadi: filiformis, temperatur: 36,2oC,
BB: 15 kg, TB: 98 cm, Rumple leede test (+)
Keadaan spesifik:
Kepala: Konjungtiva tidak pucat, nafas cuping hidung negatif.
Thoraks: simetris, dyspnea (-). Jantung: bunyi jantung I-II normal, bising jantung (-), irama
derap (-). Paru: suara nafas vesikuler, kiri = kanan, wheezing (-).
Abdomen: datar, lemas, hati teraba 2 cm dibawah arcus costae, lien tidak teraba, BU (+)
normal.
Ekstremitas: akral dingin, capillary refill time 4”
Pemeriksaan penunjang:
HB: 12 gr/dl, Ht: 45 vol%, Leukosit: 2800 mm3, trombosit: 45.000/mm3
5
2.3. Paparan
I. Klarifikasi istilah
1. Menggigil : Usaha tubuh untuk meningkatkan suhu tubuh melalui pergerakan
involunter.
2. Demam : Meningkatnya suhu tubuh di atas 37,2oC.
3. Mimisan : Suatu keadaan pendarahan dari hidung yang keluar dari lubang
hidung.
4. Nadi filiformis : Nadi cepat,kecil dan sulit diraba.
5. Rumple leede test : Pemeriksaan peningkatan permeabilitas pembuluh darah yang
ditandai dengan munculnya ptekiae.
6. Capillary refill time : Tes yang dilakukan pada daerah dasar kuku untuk memonitor
dehidrasi dan jumlah aliran darah ke jaringan.
7. Gelisah : Gangguan mental yang berlangsung singkat yang ditandai oleh
delusi, halusinasi, gangguan memori dan inkoherensi.
8. Akral dingin : Keadaan dingin pada ujung- ujung ekstremitas.
9. Wheezing : Suara pernafasan frekuensi tinggi dan nyaring yang terdengar di
akhir respirasi.
6
II. Identifikasi Masalah
1. Budi seorang anak laki-laki berusia 3 tahun, dibawa ibunya berobat karena kaki dan tangannya terasa dingin dan seperti es. Sejak 6 jam yang lalu pasien tidak buang ar kecil disertai tangan dan kaki teraba dingin seperti es.
2. Empat hari yang lalu Budi demam tinggi terus menerus, tidak menggigil disertai sakit kepala, pegal-pegal, dan sakit perut. Tidak ada batuk pilek, buang air besar dan buang air kecil seperti biasa.
3. Budi sudah diberi obat penurun panas, namun panas turun sebentar, dan kemudian naik lagi.
4. Satu hari yang lalu panas mulai turun disertai mimisan. Riawayt mimisan sebelumnya disangkal
5. Pemeriksaan fisika. Keadaan umum: gelisah/delirium, TD 70/50 mmHg. Nadi: filiformis, RR
36x/menit, BB 15 kg, TB: 98cm. rumple leede test (+)b. Hati teraba 2 jari dibawah arcus costaec. Extremitas: akral dingin, capillary refill time 4”
6. Pemeriksaan penunjanga. Ht:45 vol % leukosit : 2800/mm3, trombosit: 45.000/mm3
7
III. Analisis Masalah
1. Budi seorang anak laki-laki berusia 3 tahun, dibawa ibunya berobat karena kaki dan tangannya terasa dingin dan seperti es dan sejak 6 jam yang lalu pasien tidak buang ar kecil
1. Apa etiologi dan mekanisme terjadinya akral dingin pada kasus ini?
Pada syok hipovolemia, penurunan curah jantung akan menurunkan pengiriman
oksigen dan zat nutrisi lain ke jaringan. Keadaan ini kemudian akan menurunkan
metabolism pada seluruh sel tubuh. Akibat depresi metabolism pada syok, jumlah
panas yang dibebaskan dalam tubuh berkurang dan akibatnya suhu tubuh akan
sangat menurun yang bermanifestasi dengan keluhan kaki dan tangan teraba
dingin
2. Apa etiologi dan mekanisme pasien tidak BAK ?
Anuria adalah salah satu pertanda terjadinya syok. Pada keadaan syok, perfusi ke
ginjal akan menurun. Akibatnya, jumlah darah yang difiltrasi juga menurun
sehingga produksi urin menurun.
Pada kasus syok yang berat dan tidak segera diatasi, anuria dapat menandakan
terjadinya gagal ginjal akut. Diagnosis gagal ginjal akut dapat ditegakkan bila
salah 1 dari 3 kriteria berikut terpenuhi:
- Penurunan fungsi ginjal dalam 48 jam ditandai dengan peningkatan serum
kreatinin >0,3 mg/dl
- Peningkatan serum kreatinin ≥50%
- Urin <0,5ml/kg/jam selama >6 jam
Pada kasus ini, pasien mengalami anuria selama 6 jam berturut. Hal ini terjadi
karena syok hipovolemik yang dialami pasien. Berdasarkan kriteria RIFLE, pasien
termasuk kategori beresiko untuk mengalami gagal ginjal akut.
3. Bagaimana hubungan tidak BAK dan akral dingin ?
Secondary heterologous dengue infection virus dengue produksi
nonneutralizing antibodies kompleks antigen – antibodi aktivasi sistem
komplemen sekresi protein anafilatoksin (C3a dan C5a) degranulasi pada
sel endotel dan mastosit sitokin pro inflamasi permeabilitas kapiler
meningkat plasma leakage syok hipovolemia vasokontriksi perifer
suplai darah ke perifer berkurang akral dingin.
Syok hipovolemia perfusi ginjal ↓ produksi urine ↓ tidak BAK sejak 6
jam yang lalu resiko gagl ginjal akut ↑.
8
2. Empat hari yang lalu Budi demam tinggi terus menerus, tidak menggigil disertai sakit kepala, pegal-pegal, dan sakit perut. Tidak ada batuk pilek, buang air besar dan buang air kecil seperti biasa.4. Bagaimana hubungan demam terus menerus dengan gejala klinis sekarang ?
Pada demam berdarah dengue, terdapat perjalanan penyakit yang khas. Demam
yang terjadi pada kasus DBD merupakan demam bifasik. Onset demam biasanya
muncul setelah 1 minggu masa inkubasi sejak virus menginfeksi pasien. Demam
dapat mencapai suhu 40oC. Pada hari ke 3 - 5, demam dapat turun mencapai suhu
normal bahkan lebih rendah. Fase ini adalah fase kritis karena pada fase ini dapat
terjadi plasma leakage yang akan menyebabkan syok hipovolemik bila tidak
diatasi dengan segera. Manifestasi dari syok dapat kita lihat pada Budi saat ini,
yaitu anuria, akral dingin, peningkatan capillary refill time, penurunan kesadaran,
nadi filiformis dan hipotensi.
5. Apa makna klinis sakit kepala, pegal-pegal, dan sakit perut?
Sakit kepala disertai pegal – pegal merupakan tanda nonspesifik dari adanya suatu
infeksi virus. Ada 4 gejala non spesifik yang dapat menunjukkan terjadinya
infeksi oleh virus yaitu sakit kepala, nyeri retro orbita, myalgia dan arthralgia.
Berdasarkan Comprehensive Guidelines for Prevention and Control of Dengue
and Dengue Haemorrhagic Fever, rasa tidak nyaman pada epigastrium dan nyeri
abdomen yang sifatnya generalisata merupakan salah satu manifestasi klinis yang
dapat ditemui pada demam berdarah dengue. Nyeri pada perut dapat pula
berkaitan dengan adanya pendarahan pada traktus gastrointestinal akibat adanya
trombositopenia pada kasus DBD, terutama bila ditemukan adanya melena atau
hematemesis.
6. Apa makna klinis tidak ada batuk pilek, BAB dan BAK normal ?
3. Budi sudah diberi obat penurun panas, namun panas turun sebentar, dan kemudian naik lagi.7. Mengapa panas naik lagi walaupun telah diberi obat penurun panas ?
Sebagian besar obat penurun panas bekerja dengan menghambat kerja enzim
cyclooxygenase. Dengan dihambatnya enzim tersebut, maka pembentukan
prostaglandin dihambat dan demam akan turun. Akan tetapi, pemberian obat
penurun panas tidak akan menghilangkan kausa (penyebab) dari demam itu
sendiri, yang dalam kasus ini adalah virus dengue, sehingga sitokin proinflamasi
akan kembali memicu peningkatan produksi prostaglandin setelah efek obat
menghilang. Karena itulah, panas akan naik kembali meskipun telah diberikan
obat penurun panas.
9
4. Satu hari yang lalu panas mulai turun disertai mimisan. Riawayat mimisan sebelumnya disangkal.8. Apa hubungan panas menurun dengan mimisan ?
Pada kasus ini Budi telah memasuki fase kritis, dimana terjadi fase demam turun
drastis dan sering mengecoh seolah terjadi kesembuhan. Namun inilah fase kritis
kemungkinan terjadinya “Dengue Shock Syndrome”. Demam menurun
menunjukkan memasuki fase afebris sebagai periode kritis pada hari ke 3 sampai
hari ke 5, dimana terjadi perembesan plasma dan merupakan fase awal kegagalan
sirkulasi yang dapat menyebabkan syok, anoksia dan kematian. Perdarahan
spontan pada fase ini terjadi akibat infeksi sistemik sehingga perembesan plasma
ini salah satunya dapat ditemukan salah satu manifestasinya berupa epistaksis.
9. Bagaiamana mekanisme mimisan pada kasus?- Aktivasi komplemen menghasilkan histamin permeabilitas kapiler
meningkat plasma leakage spots pembuluh kapiler mukosa
mengeluarkan darah perdarahan pada hidung (epistaksis)
- Aktivasi komplemen menghasilkan histamin permeabilitas kapiler
meningkat agregasi trombosit trombositopenia perdarahan
- Aktivasi komplemen menghasilkan histamin permeabilitas kapiler
meningkat kerusakan endotel pembuluh darah merangsang dan
mengaktivasi faktor pembekuan DIC perdarahan
5. Pemeriksaan fisikKeadaan umum: gelisah/delirium, TD 70/50 mmHg. Nadi: filiformis, RR 36x/menit, BB 15 kg, TB: 98cm. rumple leede test (+), akral dingin, capillary refill time 4”Hati teraba 2 jari dibawah arcus costae.
10. Bagaimana interpetasi dan mekanisme abnormal pemeriksaan fisik pada kasus ?- Gelisah/delirium: syok hipovolemik ketidakcukupan asupan darah ke otak
yang menyebabkan terjadinya hipoksia otak
- TD 50/70mmHg:
- Nadi filiformis: syok hipovolemik kompensasi pada tubuh dengan
dilakukannya vasokonstriksi perifer sehingga terjadi penurunan kekuatan nadi
dan isi pada perifer.
- RR 36x/menit:. syok hipovolemik kompensasi dengan usaha memperoleh
O2 lebih banyak untuk memenuhi kebutuhan O2 di organ vital (otak, jantung)
- Rumple leede test (+):
- Akral dingin: penurunan aliran darah perifer untuk meningkatkan kebutuhan
organ vital berupa otak dan jantung
- Capillary refill time: penurunan perfusi/aliran darah ke perifer, tanda
dehidrasi berat, akan menyebabkan defisit cairan intravascular (normal < 2
detik)
11. Bagaimana cara melakukan pemeriksaan rumple leede test ?
10
Buatlah lingkaran (pakai spidol), pada lengan volar lengan bawah. Radius 3
cm Titik pusat terletak 2 cm di bawah garis lipatan siku.
Pasang manset tensimeter pada lengan atas. Carilah Tekanan Sistole (TS) dan
Tekanan Diastole (TD) padan lengan volar lengan bawah.Pompa
sfigmomanometer sampai tekanan antara sistolik dan diastolik (100 mmHg)
yaitu di atas tekanan vena tapi kurang dari tekanan arteri sehingga darah dari
jantung ke perifer tetap jalan. Pertahankan selama 10 menit (jika test ini
dilakukan sebagai lanjutan dari test IVY, 5 menit sudah mencukupi).Jika
tekanan Sistolik < 100 mmHg, buatlah tekanan sebesar ½ (TS+TD)
pertahankan tekanan ini selama 5 menit.(3-5-10 menit).
Lepaskan ikatan sfigmomanometer dan tunggu sampai tanda stasis darah
lenyap. Stasis darah telah berhenti jika warna kulit pada lengan yang
dibendung sama dengan warna kulit lengan yang disebelahnya. Perhatikan
timbulnya peteki(bintik-bintik merah) pada lengan bawah di daerah kulit
lipatan siku di bawah bebatan.(pada lengan bawah sepertiga bagian proksimal
medial)
Setelah tes, buka-tutup tangan beberapa saat sampai sirkulasi lengan kembali
normal.
Peteki: ialah manifestasi perdarahan yang sering ditemukan, biasanya muncul
pada hari pertama demam dan berlangsung selama 3-6 hari.
Nilai Rujuk :
• < 10 peteki dinyatakan negative atau normal
• 20 dinyatakan abnormal
• 10-20 dinyatakan dubia
Atau :
Scale for reporting number of petechiae:
0 to 10 = 1+
10 to 20 = 2+
20 to 50 = 3+
50 or more = 4+
11
Tes ini cara awal paling sederhana bila suatu demam dicurigai sebagai infeksi
dengue.Dikenal sebagai cara Tes Rumpel Leed.
12. Bagaimana cara pemeriksaan capillary refill time ?
Jaringan membutuhkan oksigen untuk hidup, oksigen dibawa kebagian tubuh oleh
system vaskuler darah. Tes CRT dilakukan dengan memegang tangan pasien lebih
tinggi dari jantung (mencegah refluks vena ), lalu tekan lembut kuku jari tangan
atau jari kaki sampai putih, kemudian dilepaskan. Catatlah waktu yang
dibutuhkan untuk warna kuku kembali normal (memerah) setelah tekanan
dilepaskan. Pada bayi yang baru lahir, pengisian kapiler dapat diukur dengan
menekan pada tulang dada selama lima detik dengan jari telunjuk atau ibu jari,
dan catat waktu yang dibutuhkan untuk warna kulit kembali normal setelah
tekanan dilepaskan. Jika aliran darah baik ke daerah kuku, warna kuku kembali
normal kurang dari 2 detik. Pada bayi baru lahir batas normal pengisian kapiler
adalah 3 detik. CRT memanjang (> 2 detik) pada :
• Dehidrasi (hipovolumia) • Syok
• Peripheral vascular disease • hipotermia CRT memanjang utama ditemukan pada pasien yang mengalami keadaan
hipovolumia (dehidrasi,syok), dan bisa terjadi pada pasien yang hipervolumia
yang perjalanan selanjutnya mengalami ekstravasasi cairan dan penurunan cardiac
output dan jatuh pada keadaan syok
6. Pemeriksaan penunjangHt:45 vol % leukosit : 2800/mm3, trombosit: 45.000/mm3
13. Bagaiamana interpretasi dan mechanism abnormal pada pemeriksaan penunjang ?Mekanisme: peningkatan akut permeabilitas vaskuler yang mengarah pada
kebocoran plasma ke dalam ruang ekstra vaskuler, sehingga akan menimbulkan
hemokonsentrasi dan penurunan tekanan darah. Volume plasma menurun
mencapai 20% pada kasus berat yang diikuti efusi pleura, hemokonsentrasi dan
hipoproteinemia. Jika penderita sudah stabil dan mulai sembuh, cairan
ekstravasasi diabsorbsi dengan cepat dan menimbulkan penurunan hematocrit.
Leukosit 2800/mm3 : leukopenia
Mekanisme: perubahan imunologi seluler karena adanya virus yang selalu
bereplikasi terkhususnya virus dengue. Hal ini memberikan respon terhadap
sistem imun seluler untuk melawan virus yang lama kelamaan akan
mengakibatkan leukopenia.
12
Trombosit 45.000/mm3 : trombositopenia
Mekanisme: virus yang masuk ke dalam tubuh manusia akan mengalami agregrasi
yaitu proses menempelnya virus dengue terhadap trombosit. Proses ini secara
bersamaan akan mengakibatan fagositosis oleh monosit ataupun makrofag yang di
mana keadaan yang akut maupun kronik dapat menimbulkan trombositopenia dan
memudahkan terjadinya perdarahan.
14. Apa saja diagnosis banding pada kasus ini?
Diagnosis banding perlu dipertimbangkan bilamana terdapat kesesuaian klinis
dengan demam tifoid, campak, influenza, chikungunya dan leptospirosis.
Sindrom Syok Dengue (SSD) . Seluruh criteria di atas untuk DBD disertai
kegagalan sirkulasi dengan manifestasi nadi yang cepat dan lemah, tekanan darah
turun (≤ 20 mmHg), hipotensi dibandingkan standar sesuai umur, kulit dingin dan
lembab serta gelisah.
Awal perjalanan penyakit : demam tifoid, campak, influenza, hepatitis, demam
chikungunya, leptospirosis, dan malaria
Demam chikungunya (DC)
Serangan demam mendadak, masa demam lebih pendek, suhu lebih tinggi, hampir
selalu disertai ruam makulopapular, injeksi konjungtiva, lebih sering dijumpai
nyeri sendi, biasanya menyerang seluruh anggota keluarga dan penularannya
mirip influenza. Tidak ditemukan adanya perdarahan gastrointestinal dan syok.
Perdarahan juga terjadi pada penyakit infeksi seperti sepsis dan meningitis
meningokokus.
Pada sepsis pasien tampak sakit berat dari semula, demam naik turun, ditemukan
tanda-tanda infeksi, leukositosis disertai dominasi sel polimormonuklear. Pada
meningitis meningokokus jelas terdapat gejala rangsang meningeal dan kelainan
pada pemeriksaan cairan serebrospinalis.
ITP dengan DBD derajat II
Pada ITP demam cepat menghilang (atau bisa tanpa demam), tidak ada
leucopenia, tidak ada hemokonsentrasi, tidak dijumpai pergeseran ke kanan pada
hitung jenis. Pada fase konvalesen DBD jumlah trombosit lebih cepat kembali ke
normal daripada ITP.
Perdarahan dapat juga terjadi pada leukemia atau anemia aplastik.
Pada leukemia demam tidak teratur, kelenjar limfe dapat teraba, anak sangat
anemis, dan apus darah tepi/sumsum tulang menujukkan peningkatan sel blast.
Pada anemia aplastik anak sangat anemic, demam timbul karena infeksi sekunder,
dan pansitopenia.
15. Bagaimana cara menegakkan diagnosis pada kasus ini? (pemeriksaan tambahan)
Anamnesis dan pemeriksaan fisik:
13
- Gejala infeksi virus non spesifik: nyeri retro orbita, sakit kepala, myalgia,
arthralgia, malaise, anorexia.
- Demam yang tinggi, bisa mencapai 40oC, bifasik, berlangsung terus menerus 2
-7 hari
- Manifestasi pendarahan: uji rumple leede (+), ptekiae, mimisan spontan,
pendarahan pada gusi, pendarahan gastrointestinal yang ditandai dengan
melena atau hematemesis dapat terjadi meski jarang. Ruam kulit yang muncul
pada 2 – 3 hari pertama demam pada wajah, leher atau dada dan berubah
menjadi lesi makulopapuler pada hari ke atau 4. Pada fase penyembuhan, ruam
hilang dan mungkin tampak ptekiae yang terlokalisir
- Tanda – tanda syok: akral dingin, capillary refill time memanjang, hipotensi,
hipotermi, takikardi, bahkan sampai oliguria/anuria dan penurunan kesadaran.
- Adanya pembesaran hepar.
- Riwayat berpergian ke daerah endemis DBD atau tinggal di daerah endemis
DBD dapat membantu kita memikirikan kemungkinan DBD.
Pemeriksaan Lab:
- Trombositopenia (<100.000 ml)
- Hematokrit meningkat
- Leukositosis pada fase awal, namun biasanya leukopenia pada fase kritis
- AST dapat meningkat
- Acidosis pada syok yang tidak teratasi
Pemeriksaan penunjang lainnya:
- Pemeriksaan serologi (IgG dan IgM)
- Kultur virus dari hasil isolasi virus dari serum, plasma, atau buffy coat pada 6
hari pertama sakit
- RT-PCR untuk mendeteksi virus
- ELISA untuk mendeteksi protein E dan NS1 (non structural protein)
Kriteria Diagnosis WHO: 2 dari manifestasi klinik dibawah ini ditambah
trombositopenia dan hemokonsentrasi.
14
Manifestasi klinik:
1. Demam akut, tinggi dan terus menerus 2-7 hari
2. Manifestasi pendarahan seperti uji turniket positif,ptekiae, purpura, ekimosis,
mimisan, pendarahan gusi, hematemesis, atau melena
3. Hepatomegali
4. Syok ditandai dengan takikardi, perfusi jaringan jelek, nadi lemah, tekanan
nadi menyempit ≤20 mmhg atau hipotensi disertai akral pucat dan dingin serta
gelisah.
Pemeriksaan lab:
1. Trombositopenia (<100.000/mm3)
2. Hemokonsentrasi(Ht naik ≥20% baseline berdasarkan usia pasien)
Grading Dengue menurut WHO:
Gejala DBD WHO 1997:
Derajat I : Demam disertai gejala-gejala umum yang tidak khas dan manifestasi
perdarahan spontan satu-satunya adalah uji tourniquet positif.
Derajat II : Gejala –gejala derajat I, disertai gejala-gejala perdarahan kulit spontan
15
atau manifestasi perdarahan yang lebih berat.
Derajat III: Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah, hipotensi,
sianosis disekitar mulut, kulitdingin dan lembab, gelisah,
Derajat IV: Shock berat, nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah tidak terukur
16. Apa diagnosis kerja pada kaus ini ?Seorang anak laki-laki busia 3 tahun, diduga menderita demam berdarah dengue grade III dan shock syndrome.
17. Bagaiamana epidemiologi pada kasus ?
Infeksi virus Dengue di Indonesia sejak abad ke- 18. Seluruh wilayah Indonesia
mempunyai risiko untuk terjangkit penyakit DBD karena virus penyebab dan
nyamuk penularnya tersebar luas baik di rumah maupun tempat- tempat umum,
kecuali yang ketinggiannya lebih dari 1000 meter diatas permukaan laut. Pada
saat ini seluruh propinsi di Indonesia sudah terjangkit penyakit ini baik di kota
maupun desa terutama yang padat penduduknya.
Angka kesakitan Demam Berdarah Dengue (DBD) di Indonesia cenderung
meningkat, mulai 0,05 insiden per 100.000 penduduk di tahun 1968 menjadi
35,19 insiden per 100.000 penduduk di tahun 1998, dan pada saat ini DBD di
banyak negara kawasan Asia Tenggara merupakan penyebab utama perawatan
anak di rumah sakit. Walaupun saat ini DBD lebih banyak pada anak-anak,
dalam dekade terakhir ini terlihat kecenderungan kenaikan proporsi pada
kelompok dewasa, karena pada kelompok umur ini mempunyai mobilitas yang
tinggi dan sejalan dengan perkembangan transportasi yang lancar, sehingga
memungkinkan untuk tertularnya virus dengue lebih besar, dan juga karena
adanya infeksi virus dengue jenis baru yaitu DEN 1, DEN 2, DEN 3 dan DEN 4
yang sebelumya belum pernah ada pada suatu daerah.
18. Bagaimana patofisiologi pada kasus ini ?
Patogenesis Demam Berdarah Dengue sampai saat ini masih kontrovesial dan
belum dapat diketahui secara jelas. Terdapat dua teori yang dikemukakan dan
paling sering dianut adalah : Virulensi virus dan Imunopatologi yaitu Hipotesis
Infeksi Sekunder Heterolog (The Secondary Heterologous Infection). Teori
lainnya adalah teori endotel, endotoksin, mediator, dan apoptosis.
1. Virulensi Virus
Virus Dengue merupakan keluarga flaviviridae dengan empat serotip (DEN 1, 2,
3, 4). Terdiri dari genom RNA stranded yang dikelilingi oleh nukleokapsid. Virus
Dengue memerlukan asam nukleat untuk bereplikasi, sehingga mengganggu
16
sintesis protein sel pejamu. Kapasitas virus untuk mengakibatkan penyakit pada
pejamu disebut virulensi. Virulensi virus berperan melalui kemampuan virus
untuk :
a.Menginfeksi lebih banyak sel,
b.Membentuk virus progenik,
c.Menyebabkan reaksi inflamasi hebat,
d.Menghindari respon imun mekanisme efektor.
Penelitian terakhir memperkirakan bahwa terdapat perbedaan tingkatan virulensi
virus dalam hal kemampuan mengikat dan menginfeksi sel target. Perbedaan
manifestasi klinis demam dengue, DBD dan Dengue Syok syndrome mungkin
disebabkan oleh varian-varian virus dengue dengan derajat virulensi yang
berbeda-beda.
2. Teori Imunopatologi
Hipotesis infeksi sekunder oleh virus yang heterologous (secondary heterologous
infection) menyatakan bahwa pasien yang mengalami infeksi kedua kalinya
dengan serotype virus dengue yang heterolog akan mempunyai risiko yang lebih
besar untuk menderita Demam Berdarah Dengue dan Sindrom Syok Dengue.
Antibodi heterolog yang telah ada sebelumnya akan mengenali virus lain yang
telah menginfeksi dan kemudian membentuk kompleks antigen antibodi yang
kemudian berikatan dengan reseptor dari membrane sel leukosit, terutama
makrofag. Antibodi yang heterolog menyebabkan virus tidak dinetralisasi oleh
tubuh sehingga akan bebas melakukan replikasi dalam sel makrofag.
Dihipotesiskan juga mengenai antibody dependent enhancement(ADE), yaitu
suatu proses yang akan meningkatkan infeksi sekunder pada replikasi virus
dengue di dalam sel mononuklear yaitu terbentuknya komplek imun dengan virus
yang berkadar antibodi rendah dan bersifat subnetral dari infeksi primer.
Komplek imun melekat pada reseptor sel mononukleus fagosit (terutama
makrofag) untuk mempermudah virus masuk ke sel dan meningkatkan
multiplikasi. Kejadian ini menimbulkan viremia yang lebih hebat dan semakin
banyak sel makrofag yang terkena. Sedangkan respon pada infeksi tersebut terjadi
sekresi mediator vasoaktif yang mengakibatkan terjadinya keadaan hipovolemia
dan syok.
3. Teori Endotoksin
Syok pada DBD menyebabkan iskemia usus, yang kemudian menyebabkan
translokasi bakteri dari lumen usus ke dalam sirkulasi. Endotoksin sebagai
komponen kapsul luar bakteri gram negative akan mudah masuk ke dalam
sirkulasi pada keadaan iskemia berat. Telah dibuktikan oleh peneliti sebelumnya
bahwa endotoksin berhubungan erat dengan kejadian syok pada Demam Berdarah
17
Dengue. Endotoksinemia terjadi pada 75% Sindrom Syok Dengue dan 50%
Demam Berdarah Dengue tanpa syok.
4. Teori Mediator
Makrofag yang terinfeksi virus Dengue mengeluarkan sitokinyang disebut
monokin dan mediator lain yang memacu terjadinya peningkatan permeabilitas
vaskuler dan aktivasi koagulasi dan fibrinolisis sehingga terjadi kebocoran
vaskuler dan perdarahan.
5. Teori Apoptosis
Apoptosis adalah proses kematian sel secara fisiologis yang merupakan reaksi
terhadap beberapa stimuli. Akibat dari apoptosis adalah fragmentasi DNA inti sel,
vakuolisasi sitoplasma, peningkatan granulasi membran plasma menjadi DNA
subseluler yang berisi badan apoptotik.
6. Teori Endotel
Virus Dengue dapat menginfeksi sel endotel secara in vitro dan menyebabkan
pengeluaran sitokin dan kemokin.Sel endotel yang telah terinfeksi virus Dengue
dapat menyebabkan aktivasi komplemen dan selanjutnya menyebabkan
peningkatan permeabilitas vaskuler dan dilepaskannya trombomodulin yang
merupakan pertanda kerusakan sel endotel. Bukti yang mendukung adalah
kebocoran plasma yang berlangsung cepat dan meningkatnya hematokrit dengan
mendadak.
Ada dua perubahan patofisiologi utama terjadi pada kasus DBD.Pertama
adalah peningkatan permeabilitas vaskuler yang meningkatkan kehilangan plasma
dari kompartemen vascular.Keadaan ini mengakibatkan hemokonsentrasi ,tekanan
nadi rendah ,dan tanda syoklain .bila kehilangan plasma sangat
membahayakan .Perubahan kedua adalah gangguan pada hemostasis yang
mencakup perubahan vascular,trombositopenia dan koagulopati.
Temuan konstan pada kasus DBD adalah aktivasi system komplemen
dengan depresi besar kadar c3 dan c5 .Mediator yang meningkatkan permeabilitas
vaskuler dan mekanisme pasti fenomena pendarahan yang timbul pada infeksi
dengue belum teridentifikasi sehingga diperlukan study lebih lanjut .
Defek trombosit terjadi baik kualitatif maupun kuantitatif. Beberapa trombosit
yang bersirkulasi selama fase akut DBD mungkin kelelahan (tidak dapat berfungsi
dengan normal).Oleh karena itu,meskipun pasien dengan jumlah trombosit lebih
besar dari 100.000/mm3 mungkin masih mengalami masa pendarahan yang
panjang.
Mekanisme yang dapat menunjang terjadinya DBD adalah peningkatan
replikasi virus dalam makrofag oleh anti-bosi heterotipik. Pada infeksi sekunder
dengan virus dari serotype yang berbeda dari yang menyebabkan infeksi primer,
anti-bodi reaktif-silang yang gagal untuk menetralkan virus dapat meningkatkkan
18
jumlah monosit terinfeksi saat kompleks antibody virus dengue masuk ke dalam
sel ini .Hal ini selanjutnya dapat mengakibatkan aktifasi reaksi silang CD4 + dan
CD8+ limfosit sitotoksik. Pelepasan cepat sitokin yang disebabkan oleh aktivasi
sel T dan oleh lisis monosit terinfeksi dimedia oleh limfosit sitotoksik yang dapat
mengakibatkan rembesan plasma dan pendarahan yang terjadi pada kasus DBD.
19. BagaimanA tatalaksana pada kasus ini (farmakologi dan nonfarmakologi) ?
Tatalaksana Demam Berdarah Dengue dengan Syok
Perlakukan hal ini sebagai gawat darurat. Berikan oksigen 2-4 L/menit
secarra nasal.
19
Berikan 20 ml/kg larutan kristaloid seperti Ringer laktat/asetat
secepatnya.
Jika tidak menunjukkan perbaikan klinis, ulangi pemberian kristaloid 20
ml/kgBB secepatnya (maksimal 30 menit) atau pertimbangkan pemberian
koloid 10-20ml/kgBB/jam maksimal 30 ml/kgBB/24 jam.
Jika tidak ada perbaikan klinis tetapi hematokrit dan hemoglobin
menurun pertimbangkan terjadinya perdarahan tersembunyi; berikan
transfusi darah/komponen.
Jika terdapat perbaikan klinis (pengisian kapiler dan perfusi perifer
mulai membaik, tekanan nadi melebar), jumlah cairan dikurangi hingga
10 ml/kgBB/jam dalam 2-4 jam dan secara bertahap diturunkan tiap 4-6
jam sesuai kondisi klinis dan laboratorium.
Dalam banyak kasus, cairan intravena dapat dihentikan setelah 36-48 jam.
Ingatlah banyak kematian terjadi karena pemberian cairan yang terlalu
banyak daripada pemberian yang terlalu sedikit.
Tatalaksana komplikasi perdarahan
Jika terjadi perdarahan berat segera beri darah bila mungkin. Bila tidak,
beri koloid dan segera rujuk.
Pemantauan untuk anak dengan syok
Petugas medik memeriksa tanda vital anak setiap jam (terutama tekanan
nadi) hingga pasien stabil, dan periksa nilai hematokrit setiap 6 jam. Dokter
harus mengkaji ulang pasien sedikitnya 6 jam.
20. Apa saja komplikasi yang dapat terjadi pada kasus ?
Syok yang berkepanjangan dan tidak teratasi pada kasus DBD dapat
mengakibatkan terjadinya gagal multi organ seperti gagal ginjal akut, gagal hati
akut, gagal jantung akibat kardiomiopati, ensefalopati dan akhirnya
mengakibatkan kematian. Adanya pendarahan masif dapat memperberat syok.
Infeksi sekunder yang mengakibatkan sepsis , pneumonia, atau flebitis dapat pula
mempersulit. Terapi pemberian cairan yang berlebihan dapat mengakibatkan
asites dan edema paru.
21. Bagasimana langkah preventif pada kasus ini ?i. Memanfaatkan perubahan keadaan nyamuk akibat pengaruh alamiah dengan
melaksanakan pemberantasan vektor pada saat sedikit terdapatnya kasus
DHF/DSS.
ii. Memutuskan lingkaran penularan dengan menahan kepadatan vektor pada
tingkat sangat rendah untuk memberikan kesempatan penderita viremia
sembuh secara spontan.
iii. Mengusahakan pemberantasan vektor di pusat daerah penyebaran, yaitu di
sekolah dan rumah sakit termasuk pula daerah penyangga di sekitarnya.
20
iv. Mengusahakan pemberantasan vektor di semua daerah berpotensi penularan
tinggi. (IKA UI jilid 2)
22. Bagaimana prognosis kasus ini?
Kematian telah terjadi pada 40-50% penderita dengan syok, tetapi dengan
perawatan intensif yang cukup, kematian akan kurang dari 2%. Ketahanan hidup
secara langsung terkait dengan manajemen awal dan intensif. (IKA Nelson Vol.2)
23. Apa SKDI kasus ini ? Dengue Fever, DHF
Tingkat kemampuan 4A: mendiagnosis, melakukan penatalaksanaan secara
mandiri dan tuntas.
Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan melakukan penatalaksanaan
penyakit tersebut secara mandiri dan tuntas. Kompetensi yang dicapai pada saat
lulus dokter.
Dengue Shock Syndrome
Tingkat kemampuan 3B: mendiagnosis, melakukan penatalaksanaan awal, dan
merujuk (gawat darurat)
Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan memberikan terapi
pendahuluan pada keadaan yang gawat darurat. Lulusan dokter mampu
menentukan rujukan yang paling tepat bagi penanganan pasien selanjutnya.
Lulusan dokter juga mampu menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan.
IV. Learning Issues
1. Demam Dengue
Definisi
a. Demam berdarah merupakan manifestasi klinis yang berat dari penyakit
arbovirus. (Soedarmo Sumarno, 2005).
b. Dengue ialah infeksi arbovirus (arthropod-borne virus) akut ditularkan oleh
nyamuk spesies Aedes. (Hasan Rusepno, 2007).
c. Demam Berdarah Dengue merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus
dengue yang termasuk golongan arbovirus melalui gigitan nyamuk Aedes
Aegypti betina. (Hidayat A. Aziz Alimul, 2008).
Etiologi
Penyebab penyakit Demam Berdarah Dengue adalah virus Dengue. Di
Indonesia, virus tersebut sampai saat ini telah diisolasi menjadi 4 serotipe
virus Dengue yang termasuk dalam grup B arthropediborne viruses
(arboviruses), yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4.(Nursalam
Susilaningrum, 2005).
21
Penyakit ini disebabkan oleh virus Dengue dan ditularkan oleh nyamuk
Aedes. Di Indonesia dikenal dua jenis nyamuk Aedes yaitu:
a. Aedes Aegypti
1) Paling sering ditemukan
2) Adalah nyamuk yang hidup di daerah tropis, terutama hidup dan berkembang
biak di dalam rumah, yaitu di tempat penampungan air jernih atau tempat
penampungan air di sekitar rumah.
3) Nyamuk ini sepintas lalu tampak berlurik, berbintik bintik putih.
4) Biasanya menggigit pada siang hari, terutama pada pagi dan sore hari.
5) Jarak terbang 100 meter
b. Aedes Albopictus
1) Tempat habitatnya di tempat air bersih. Biasanya di sekitar rumah atau
pohon-pohon, seperti pohon pisang, pandan kaleng bekas.
2) Menggigit pada waktu siang hari
3) Jarak terbang 50 meter.
(Rampengan T H, 2007)
Klasifikasi
1. Derajat I : Demam disertai gejala klinis lain atau perdarahan spontan,
uji turniket positif, trombositopenia, dan hemokosentrasi.
2. Derajat II : Derajat I disertai perdarahan spontan dikulit atau
perdarahan lain
3. Derajat III : Kegagalan sirkulasi : nadi cepat dan lemah, hipotensi, kulit
dingin lembab, gelisah.
4. Derajat IV : Renjatan berat, denyut nadi, dan tekanan darah tidak dapat
diukur. Yang disertai dengan Dengue Shock Sindrom. (Suriadi dan Rita
Yuliani, 2006).
Manifestasi klinis
a. Demam tinggi selam 5-7 hari
b. Perdarahan terutama perdarahan bawah kulit : petechie, ekimosis, hematoma.
c. Epistaksis, hematemesis, melena, hematuria.
d. Mual, muntah, tidak ada napsu makan, diare, konstipasi
e. Nyeri otot, tulang sendi, abdomen, dan uluh hati
f. Sakit kepala
g. Pembengkakan sekitar mata
h. Pembesaran hati, limpa, dan kelenjar getah bening
i. Tanda dan renjatan (sianosis, kulit lembab dan dingin, tekanan darah
menurun, gelisah, nadi cepat dan lemah). (Suriadi dan Rita Yuliani, 2006).
Patofisiologi
a. Virus Dengue akan masuk kedalam tubuh melalui gigitan nyamuk Aedes
Aegepty dan kemudian akan bereaksi dengan antibody dan terbentuklah
kompleks virus antibodi, dalam sirkulasi akan mengaktifasi sistem
komplemen. Akibat aktifasi C3 danC5 akan dilepas C3a dan C5a, 2 peptida
22
berdaya untuk melepaskan histamin dan merupakan mediator kuat sebagai
faktor meningginya permeabilitas dinding pembuluh darah dan
menghilangkan plasma melalui endotel dinding itu.
b. Terjadinya trombositopenia, menurunnya fungsi trombosit dan menurunnya
faktor koagulasi (protrobin, faktor V, VII, IX, X dan fibrinogen ) merupakan
faktor penyebab terjadinya perdarahan hebat, terutama perdarahan saluran
gastrointestinal pada DHF.
c. Yang menentukan beratnya penyakit adalah permeabilitas dinding pembuluh
darah, menurunnya volume plasma, terjadinya hipotensi, trombositopenia dan
diatesis hemoragik, Renjatan terjadi secara akut.
d. Nilai hematokrit meningkat bersamaan dengan hilangnya plasma melalui
endotel dinding pembuluh darah. dan dengan hilangnya plasma klien
mengalami hipovolemik. Apabila tidak diatasi bisa terjadi anoksia jaringan,
asidosis metabolik dan kematian. (Suriadi dan Rita Yuliani, 2006).
Diagnostik test
a. Darah lengkap : hemokosentrasi (hematokrit meningkat 20 % atau lebih),
trombositopenia (100.000/mm3 atau kurang)
b. Serologi uji HI (hemoglutination inhibition test)
c. Rontgen toraks : efusi pleura. (Suriadi dan Rita Yuliani, 2006).
Komplikasi
a. Ensefalopati dengue
b. Kelainan ginjal
c. Udem paru. (Hadinegoro H Sri Rezeki, 2005).
Pengobatan dan Pencegahan
a. Pengobatan
Penatalaksanaan untuk klien Demam Berdarah Dengue adalah
penanganan pada derajat I hingga derajat IV.
Derajat I dan II
1) Pemberian cairan yang cukup dengan infus RL dengan dosis 75 ml/kg
BB/hari untuk anak dengan berat badan kurang dari 10kg atau bersama
diberikan oralit, air buah atau susu secukupnya, atau pemberian cairan dalam
waktu 24 jam antara lain sebagai berikut :
a) 100 ml/kg BB/24 jam untuk anak dengan BB < 25 kg
b) 75 ml/kg BB/24 jam untuk anak dengan BB 26-30 kg
c) 60 ml/kg BB/24 jam untuk anak dengan BB 31-40 kg
d) 50 ml/kg BB/24 jam untuk anak dengan BB 41-50 kg
2) Pemberian obat antibiotik apabila adanya infeksi sekunder
3) Pemberian antipieritika untuk menurunkan panas.
4) Apabila ada perdarahan hebat maka berikan darah 15 cc/kg BB/hari.
Derajat III
1) Pemberian cairan yang cukup dengan infus RL dengan dosis 20 ml/kg
BB/jam, apabila ada perbaikan lanjutkan peberian RL 10 m/kg BB/jam, jika
23
nadi dan tensi tidak stabil lanjutkan jumlah cairan berdasarkan kebutuhan
dalam waktu 24 jam dikurangi cairan yang sudah masuk.
2) Pemberian plasma atau plasma ekspander (dekstran L ) sebanyak 10 ml/kg
BB/jam dan dapat diulang maksimal 30 ml/ kg BB dalam 24 jam, apabila
setelah 1 jam pemakaian RL 20 ml/kg BB/jam keadaan tekanan darah kurang
dari 80 mmHg dan nadi lemah, maka berikan cairan yang cukup berupa infus
RL dengan dosis 20 ml/kg BB/jam jika baik lanjutkan RL sebagaimana
perhitungan selanjutnya.
3) Apabila 1 jam pemberian 10 ml/kg BB/jam keadaan tensi masih menurun dan
dibawah 80 mmHg maka penderita harus mendapatkan plasma ekspander
sebanyak 10 ml/kgBB/jam diulang maksimal 30 mg /kg BB/24 jam bila baik
lanjutkan RL sebagaimana perhitungan diatas
Derajat IV
1) Pemberian cairan yang cukup dengan infus RL dengan dosis 30
ml/kgBB/jam, apabila keadaan tekanan darah baik, lanjutkann RL sebanyak
10 ml/kgBB/jam.
2) Apabila keadaan tensi memburuk maka harus dipasang. 2 saluran infuse
dengan tujuan satu untuk RL 10 ml/kgbb/1jam dan satunya pemberian
palasma ekspander atau dextran L sebanyak 20 ml/kgBB/jam selam 1 jam,
3) Apabila keadaan masih juga buruk, maka berikan plasma ekspander 20
ml/kgBB/jam,
4) Apabila masih tetap memburuk maka berikan plasma ekspander 10
ml/kgBB/jam diulangi maksimun 30 ml/kgBB/24jam.
5) Jika setelah 2 jam pemberian plasma dan RL tidak menunjukan perbaikan
maka konsultasikan kebagian anastesi untuk perlu tidaknya dipasang central
vaskuler pressure atau CVP. (Hidayat A Aziz Alimul, 2008).
b. Pencegahan
1) Ada 3 cara pemberantasan vector
a) Fogging focus
Dalam keadaan krisis ekonomi sekarang ini, dana terbatas maka
kegiatan fogging hanya dilakukan bila hasil penyelidikan epidemologis butul-
butul memenuhi kriteria
b) Abatisasi
Dilaksanakan di desa/ kelurahan endemis terutama di sekolah dan
tempat-tempat umum.
c) Tanpa inteksida
Membasmi jentik nyamuk penular demam berdarah dengan cara 3M:
- Menguras secara teratur seminggu sekali atau menaburkan abate/altosit
ketempat penampungan air bersih.
- Menutupnya rapat-rapat tempat penampungan air.
24
- Mengubur atau menyingkirkan kaleng-kaleng bekas, plastik dan barang
bekas, lainnya yang dapat menampung air hujan, sehingga tidak menjadi
sarang nyamuk Aedes Aegypti.
2) Penyuluhan (Health Education)
Perawat dapat melakukan penyuluhan atau Health Education tentang
cara pencegahan vektor efektif. Penyuluhan dapat dilakukan pada orang tua
murid di sekolah-sekolah, di posyandu, yaitu di dalam rumah hendaknya
selalu terang, tidak menggantungkan pakaian yang bekas dipakai terutama di
kamar tidur karena nyamuk akan senang hinggap pada pakaian yang bekas
dipakai yang sudah bau keringat. BAK kamar mandi atau jambangan bunga
yang ada di dalam bunga agar sering dibersihkan dan diganti airnya setiap 2
hari sekali membenahi atau menata halaman supaya tidak ada tempat yang
terisi air, seperti pecahan botol, tempurung kelapa, kaleng bekas atau benda-
benda yang dapat menampung air. Dedaunan kering yang sudah menumpuk
hendaknya disapu bersih. Selain itu juga air tidak tertampung, mengelola
sampah sesuai situasi dan kondisi setempat, apakah dibakar atau diangkat
oleh mobil sampah untuk dibuang ke TPA sehingga nyamuk tidak
berkembang biak. (Hadinegoro H Sri Rezeki, 2005).
Prognosis
Bila tidak terjadi renjatan dalam 24-36 jam biasanya prognosis akan
menjadi baik kalau lebih dari 36 jam belum ada tanda-tanda perbaikan,
kemungkinan sembuh kecil dan prognosis menjadi buruk. (Rampengan T.H,
2007).
2. Syok Hipovolemik
Tanda-tanda Syok :
Sistem Kardiovaskuler
- Gangguan sirkulasi perifer - pucat, ekstremitas dingin. Kurangnya pengisian
vena perifer lebih bermakna dibandingkan penurunan tekanan darah.
- Nadi cepat dan halus (nadi filiform >112 x/menit).
- Tekanan darah rendah. Hal ini kurang bisa menjadi pegangan, karena adanya
mekanisme kompensasi sampai terjadi kehilangan 1/3 dari volume sirkulasi
darah (diastolik <60 mmHg).
- Vena perifer kolaps. Vena leher merupakan penilaian yang paling baik.
- CVP rendah.
Sistem Respirasi
- Pernapasan cepat dan dangkal (respirasi > 32x/menit).
Sistem saraf pusat
- Perubahan mental pasien syok sangat bervariasi. Bila tekanan darah rendah
sampai menyebabkan hipoksia otak, pasien menjadi gelisah sampai tidak
sadar. Obat sedatif dan analgetika jangan diberikan sampai yakin bahwa
gelisahnya pasien memang karena kesakitan.
25
Sistem Saluran Cerna
- Bisa terjadi mual dan muntah
Sistem Saluran Kencing
- Produksi urin berkurang. Normal rata-rata produksi urin pasien anak 1-2
cc/kgBB/jam
Adapun macam-macam penyebab terjadinya syok :
Jenis Syok Penyebab
Hipovolemi
k
1. Perdarahan
2. Kehilangan plasma (misal
pada luka bakar)
3. Dehidrasi, misal karena
puasa lama, diare, muntah,
obstruksi usus dan lain-lain
Kardiogenik 1. Aritmia
Bradikardi / takikardi
2. Gangguan fungsi miokard
Infark miokard akut,
terutama infark ventrikel
kanan
Penyakit jantung
arteriosklerotik
Miokardiopati
3. Gangguan mekanis
Regurgitasi mitral/aorta
Rupture septum
interventricular
Aneurisma ventrikel massif
Obstruksi:
Out flow : stenosis
atrium
Inflow : stenosis
mitral, miksoma atrium
kiri/thrombus
Obstruktif Tension Pneumothorax
Tamponade jantung
Emboli Paru
Septik 1. Infeksi bakteri gram
negative, misalnya:
eschericia colli, klibselia
pneumonia, enterobacter,
26
serratia, proteus,dan
providential.
2. Kokus gram positif, misal:
stafilokokus, enterokokus,
dan streptokokus
Neurogenik Disfungsi saraf simpatis,
disebabkan oleh trauma
tulang belakang dan spinal
syok (trauma medulla
spinalis dengan quadriflegia
atau para flegia)
Rangsangan hebat yang tidak
menyenangkan, misal nyeri
hebat
Rangsangan pada medulla
spinalis, misalnya
penggunaan obat anestesi
Rangsangan parasimpatis
pada jantung yang
menyebabkan bradikardi
jantung mendadak. Hal ini
terjadi pada orang yang
pingan mendadak
akibat gangguan emosional
Anafilaksis Antibiotic
Penisilin, sofalosporin,
kloramfenikol, polimixin,
ampoterisin B
Biologis
Serum, antitoksin, peptide,
toksoid tetanus, dan gamma
globulin
Makanan
Telur, susu, dan
udang/kepiting
Lain-lain
Gigitan binatang, anestesi
local
Stadium Syok :
1. Stadium Kompensasi
27
Stadium ini merupakan stadium kompensasi yang bersifat
temporer. Kondisi ini terjadi akibat stimulus rangsangan simpatis yang
meningkat dan systemic vascular resistance juga meningkat untuk
mempertahankan keadaan tubuh. Lalu, pada stadium ini juga terjadi distribusi
aliran darah yang bersifat selektif dan peningkatan retensi Na dan air.
Pada fase ini fungsi-fungsi organ vital masih dapat dipertahankan
melalui mekanisme kompensasi tubuh dengan meningkatkan reflek simpatis,
yaitu meningkatnya resistensi sistemik dimana terjadi distribusi selektif aliran
darah dari organ perifer non vital ke organ vital seperti jantung, paru dan
otak. Tekanan darah sistolik tetap normal sedangkan tekanan darah sistolik
meningkat akibat peninggian resistensi arteriol sistemik (tekanan nadi
menyempit).
Untuk mencukupi curah jantung maka jantung mengkompensasi secara
temporer dengan meningkatkan frekuensi jantung. Disamping itu terdapat
peningkatan sekresi vasopressin dan renin – angiotensin – aldosteron yang
akan mempengaruhi ginjal untuk menahan natrium dan air dalam sirkulasi.
Manifestasi klinis yang tampak berupa takikardia, gaduh gelisah, kulit
pucat dan dingin dengan pengisian kapiler (capillary refilling) yang melambat
> 2 detik.
2. Stadium Dekompensasi
Pada stadium ini, kompensasi yang terjadi mulai gagal
mempertahankan curah jantung yang adekuat dan sistem sirkulasi menjadi
tidak efisien lagi.
Jaringan dengan perfusi yang buruk tidak lagi mendapat oksigen yang
cukup, sehingga metabolisme berlangsung secara anaerobic yang tidak
efisien. Hipoperfusi yang terjadi mengakibatkan hipoksia jaringan yang
menstimulus metabolism anaerobic dan berakibat pada gangguan metabolism
seluler. Pelepasan mediator yang terjadi juga memberikan efek, berupa
vasodilatasi, permeabilitas meningkat, depresi miokard meningkat, dan
gangguan koagulasi yang meningkat.
Alur anaerobic menimbulkan penumpukan asam laktat dan asam-asam
lainnya yang berakhir dengan asidosis. Asidosis akan bertambah berat dengan
terbentuknya asam karbonat intra selular akibat ketidak mampuan sirkulasi
membuang CO2.
Asidemia akan menghambat kontraktilitas otot jantung dan respons
terhadap katekolamin. Akibat lanjut asidosis akan menyebabkan
terganggunya mekanisme energy dependent NaK-pump ditingkat selular,
akibatnya integritas membran sel terganggu, fungsi lisosom dan mitokondria
akan memburuk yang dapast berakhir dengan kerusakan sel. Lambatnya
aliran darah dan kerusakan reaksi rantai kinin serta system koagulasi dapat
28
memperburuk keadaan syok dengan timbulnya agregasi tombosit dan
pembentukan trombos disertai tendensi perdarahan.
Pada syok juga terjadi pelepasan mediator-vaskular antara lain
histamin, serotonin, sitokin (terutama TNF = Tumor Necrosis Factor dan
Interleukin 1), xanthin, oxydase yang dapat membentuk oksigen radikal serta
PAF (platelets agregatin factor). Pelepasan mediator oleh makrofag
merupakan adaptasi normal pada awal keadaan stress atau injury, pada
keadan syok yang berlanjut justru dapat memperburuk keadaan karena terjadi
vasodilatasi arteriol dan peningkatan permeabilitas kapiler dengan akibat
volume intravaskular yang kembali ke jantung (venous return) semakin
berkuarang diserai timbulnya depresi miokard.
Manifestasi klinis yang dijumpai berupa takikardia yang bertambah,
tekanan darah mulai turun, perfusi perifer memburuk (kulit dingin dan
mottled, capillary refilling bertambah lama), oliguria dan asidosis (laju nafas
bertambah cepat dan dalam) dengan depresi susunan syaraf pusat (penurunan
kesadaran).
3. Stadium Ireversibel (Preterminal)
Pada stadium preterminal ini, kompensasi yang terjadi gagal.
Cadangan energi tubuh mulai menurun dan berdampak pada kerusakan atau
kematian sel yang berakibat disfungsi organ multiple.
Kegagalan mekanisme kompensasi tubuh menyebabkan syok terus
berlanjut, sehingga terjadi kerusakan/kematian sel dan disfungsi sistem multi
organ lainnya. Cadangan fosfat berenergi tinggi (ATP) akan habis terutama di
jantung dan hepar, sintesa ATP yang baru hanya 2% / jam dengan demikian
tubuh akan kehabisan energi. Kematian akan terjadi walaupun system
sirkulasi dapat dipulihkan kembali.
Manifestasi klinis berupa tekanan darah tidak terukur, nadi tak teraba,
penurunan kesadaran semakin dalam (sopor-koma), anuria dan tanda-tanda
kegagalan system organ lain.
Jadi pada kasus anak ini sudah terjadi syok hipovolemik dekompensata,
karena sudah ada tanda-tanda takikardi, takipnea, perfusi perifer menurun,
asidosis (+), dan penurunan tingkat kesadaran.
V. Kerangka Konsep
29
BAB III
3.1 . Kesimpulan
Budi, seorang anak laki-laki busia 3 tahun, diduga menderita demam berdarah dengue dan shock syndrome
30
Daftar Pustaka
Dugdale, D. C. 2009. Capillary Nail Test, (Online), diakses dari:
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/003394.htm pada 18 Agustus 2014.
Hsieh, S. C. dkk. 2014. Characterization of the Ectodomain of the Envelope Protein of Dengue
Virus Type 4: Expression, Membrane Association, Secretion and Particle Formation in the
31
Absence of Precursor Membrane Protein, (Online), diakses dari:
http://www.plosone.org/article/info%3Adoi%2F10.1371%2Fjournal.pone.0100641#references
pada 18 Agustus 2014.
Martina, B. E. E. dkk. 2009. Dengue Virus Pathogenesis: an Integrated View, (Online), diakses
dari: http://cmr.asm.org/content/22/4/564.full pada 18 Agustus 2014.
Seneviratne, S. L., Malavige, G. N., dan Silva, H. J. 2006. Pathogenesis of liver involvement
during dengue viral infections. Transactions of the Royal Society of Tropical Medicine and
Hygiene 100: 608—614.
Stepherd, S. M. 2014. Dengue, (Online), diakses dari: http://emedicine.medscape.com/
article/215840-overview#aw2aab6b2b6 pada 18 Agustus 2014.
Tsai, J. J., dkk. 2012. Role of Neutrophils in Dengue Patients: Clearance of Dengue Virus,
(Online), diakses dari: http://www.jst.go.jp/crest/immunesystem/sympo_inter/pdf/a/A-20.pdf
pada 18 Agustus 2014.
WHO. 2011. Comprehensive Guidelines for Prevention and Control of Dengue and Dengue
Haemorrhagic Fever. India: SEARO technical Publication.
Wormlad, P. J. 2006. Epistaxis, (Online), diakses dari: http://mmspf.msdonline.com.br/
ebooks/HeadNeckSurgeryOtolaryngology/sid353459.html pada 18 Agustus 2014.
32