Post on 10-Dec-2016
V
Daftar isi
Kata Pengantar
Bagian I
Ringkasan Perkembangan Terkini dan Prospek Ekonomi Daerah
Bagian II
Perekonomian Sumatera
Boks 1
Konektivitas Dalam Mendukung Daya Saing Sumatera
Bagian III
Perekonomian Jawa
Boks 2
Pemanfaatan Kereta Api Memperlancar Logistik Pangan di Jawa
Bagian IV
Perekonomian Kalimantan
Boks 3
Perbaikan Konektivitas untuk Mendukung Kestabilan Harga dan
Penurunan Inflasi Pangan di Kalimantan
Bagian V
Perekonomian Kawasan Timur Indonesia
Boks 4
Kendala Sistem Logistik Laut KTI
Bagian VI
Isu Khusus Daerah
Isu Khusus 1
Penguatan Infrastruktur Logistik dan Penunjang Produksi Pangan
Isu Khusus 2
Dampak Perlambatan Ekonomi Terhadap Ketahanan Korporasi
Lampiran
alam proses perumusan kebijakan, selain asesmen menyeluruh
perekonomian global dan nasional, Bank Indonesia selalu
mempertimbangkan berbagai dinamika perekonomian dan isu
terkini dalam perspektif kewilayahan. Secara periodik, pembahasan
menyeluruh terkait perkembangan perekonomian terkini dan
berbagai isu strategis yang mengemuka di daerah dilakukan antara
Dewan Gubernur dengan Kepala Departemen Regional yang
mewakili 4 (empat) wilayah di seluruh Indonesia1
. Pembahasan tersebut
memberikan pemahaman mendalam terkait kondisi makroekonomi disertai
berbagai aspek risiko spasial yang berkembang dan menjadi bagian penting dalam
proses perumusan kebijakan.
Pada triwulan IV 2015, realisasi pertumbuhan ekonomi secara nasional tercatat
sebesar 5,04%, jauh lebih tinggi meningkat dibandingkan pertumbuhan pada
triwulan sebelumnya yang sebesar 4,74%. Perbaikan ekonomi terutama didorong
oleh meningkatnya pertumbuhan ekonomi di wilayah Sumatera dan Jawa,
sementara perekonomian Kalimantan masih tumbuh terbatas dan KTI mengalami
perlambatan. Di tengah permintaan eksternal yang terbatas, pertumbuhan
ekonomi lebih bertumpu pada permintaan domestik terutama terkait proyek
infrastruktur dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak. Di sisi lain, masih
rendahnya harga komoditas di pasar ekspor berimbas pada kinerja perekonomian
beberapa daerah yang mengandalkan pada ekspor sumber daya alam (SDA) seperti
sebagian daerah Kalimantan, Sumatera, dan Kawasan Timur Indonesia (KTI).
Secara keseluruhan tahun 2015, perekonomian nasional tumbuh melambat
dibandingkan tahun sebelumnya. Perekonomian nasional tumbuh sebesar 4,79%,
lebih rendah dari pertumbuhan di tahun 2014 yang mencapai 5,02%. Seluruh
wilayah mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi pada 2015 terkecuali KTI
yang mencatatkan peningkatan pertumbuhan signifikan dengan adanya
perpanjangan ijin ekspor. Beberapa daerah yang menunjukkan perlambatan
ekonomi cukup dalam yaitu Aceh, Riau, dan Jambi. Sementara, perlambatan
perekonomian terdalam terjadi di Kalimantan Timur yang memiliki ketergantungan
tertinggi terhadap kinerja komoditas SDA batubara dan migas.
Berbagai indikator ekonomi terkini pada triwulan I 2016 secara agregat
mengindikasikan perbaikan ekonomi yang terjadi masih cenderung terbatas.
Kondisi ini terutama dipengaruhi oleh perkiraan kinerja ekspor di berbagai daerah
yang masih akan dibayangi oleh rendahnya harga komoditas. Selain itu, pergeseran
masa panen bahan pangan ke triwulan II 2016 diperkirakan turut memengaruhi
kinerja ekonomi beberapa daerah sentra produksi seperti di Jawa dan bagian
selatan Sumatera. Meski demikian, upaya pemerintah untuk mempercepat
pembangunan infrastruktur sejak awal tahun diperkirakan dapat menopang kinerja
perekonomian di berbagai daerah.
1 Terhitung sejak 2015, bahasan ekonomi dan keuangan daerah dibagi menjadi 4 (empat) wilayah yaitu
Sumatera, Jawa, Kalimantan dan Kawasan Timur Indonesia (KTI-mencakup Sulawesi, Maluku, Papua, Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur).
D
Inflasi di berbagai daerah pada akhir 2015 secara agregat mendukung pada
tercapainya sasaran inflasi nasional sebesar 4% ± 1%. Inflasi pada akhir 2015
tercatat sebesar 3,35% dengan realisasi inflasi terendah terjadi di wilayah
Sumatera yakni sebesar 3,05%, diikuti Jawa sebesar 3,12%, KTI sebesar 4,06%, dan
Kalimantan 5,12%. Rendahnya realisasi inflasi terutama dipengaruhi oleh
terjaganya pasokan pangan ditengah menguatnya gangguan iklim akibat El Nino,
serta minimalnya kendala distribusi. Secara keseluruhan, terkendalinya inflasi di
berbagai daerah tidak terlepas dari dukungan kebijakan pemerintah untuk menjaga
stabilitas harga, seperti Program Upaya Peningkatan Khusus (Upsus) produksi padi,
jagung, kedelai; program Tol Laut; upaya perluasan jaringan distribusi melalui Toko
Tani oleh Kementerian Pertanian; dan impor beras. Selain itu, koordinasi kebijakan
yang semakin kuat melalui forum TPID turut memberikan dampak yang positif bagi
terkendalinya inflasi di daerah.
Prospek pertumbuhan ekonomi daerah pada tahun 2016 mengindikasikan secara
agregat perekonomian tumbuh kisaran 5,2-5,6%. Perbaikan ekonomi terutama
didorong oleh realisasi berbagai proyek infrastruktur berskala besar di daerah. Di
sisi inflasi, prospek perkembangan inflasi di berbagai daerah untuk keseluruhan
tahun 2016 tetap terjaga dan sejalan dengan kisaran sasaran inflasi nasional
sebesar 4%±1%. Terkendalinya inflasi dipengaruhi oleh perkiraan masih terbatanya
kenaikan harga komoditas seiring dengan pemulihan ekonomi global yang
cenderung berjalan lambat. Harga minyak dunia yang diperkirakan terus berada
dalam tren menurun akan diikuti oleh penyesuaian tarif dan harga jual energi
domestik sehingga berdampak cukup besar pada minimalnya tekanan kenaikan
inflasi.
Buku Laporan Nusantara ini menguraikan secara lengkap mengenai dinamika
terkini dan prospek ekonomi. Pada edisi kali ini, Laporan Nusantara mengangkat isu
khusus mengenai penguatan infrastruktur logistik dan penunjang produksi pangan
dan isu mengenai dampak perlambatan ekonomi terhadap ketahanan korporasi.
Penyusunan buku Laporan Nusantara ini dilakukan secara bersama antara
Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter (DKEM) dan Departemen Regional I–
IV yang masing-masing membawahi regional Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan
Kawasan Timur Indonesia, serta Departemen Kebijakan Makroprudensial (DKMP).
Akhir kata, kami berharap buku Laporan Nusantara ini dapat bermanfaat dan
menjadi acuan bagi para pemangku kepentingan dan pemerhati ekonomi daerah,
serta menjadi salah satu kontribusi Bank Indonesia dalam pembangunan ekonomi
daerah.
Jakarta, 22 Februari 2016
Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter
Juda Agung
Direktur Eksekutif
1
Bagian I
Ringkasan Perkembangan Terkini dan Prospek
Ekonomi Daerah
Perkembangan Terkini Ekonomi Daerah
Perekonomian nasional mengalami perbaikan
pada triwulan IV 2015. Realisasi pertumbuhan
ekonomi pada triwulan laporan tercatat sebesar
5,04%, meningkat dibandingkan pertumbuhan
pada triwulan sebelumnya yang sebesar 4,74%1.
Perbaikan ekonomi banyak ditopang oleh
realisasi berbagai proyek infrastruktur dan
pengeluaran terkait Pemilihan Kepala Daerah
(Pilkada) serentak. Sementara perbaikan
konsumsi rumah tangga relatif masih terbatas.
Masih rendahnya harga komoditas di pasar
ekspor berimbas pada kinerja perekonomian
beberapa daerah yang mengandalkan pada
ekspor sumber daya alam (SDA) seperti sebagian
1 Berdasarkan angka rilis BPS pada 5 Februari 2016
daerah Kalimantan, Sumatera, dan Kawasan
Timur Indonesia (KTI). Perekonomian Kalimantan
Timur, yang memiliki karakteristik ekonomi SDA
sebagai sumber utama pertumbuhan ekonomi,
bahkan kembali mengalami kontraksi
pertumbuhan meskipun tidak sedalam triwulan
sebelumnya. Sebaliknya, beberapa daerah antara
lain NTB, Sulawesi Tengah, dan Papua mulai
menunjukkan perkembangan ekspor luar negeri
yang positif, antara lain didorong beroperasinya
beberapa smelter hasil dari program hilirisasi
tambang dan kembali dapat dilakukannya ekspor
mineral secara terbatas.
* Ket : BPS melakukan revisi nominal PDRB 2013 hingga Triwulan III 2015, pertumbuhan tercantum pada chart merupakan hasil revisi terkini BPS
Gambar I.1. Peta Pertumbuhan Ekonomi Daerah Triwulan IV 2015
2
Membaiknya perekonomian secara nasional
terutama didorong oleh meningkatnya
pertumbuhan ekonomi Jawa dan Sumatera.
Perekonomian Jawa secara agregat tumbuh
sebesar 5,87%, lebih tinggi dibanding triwulan
sebelumnya yang sebesar 5,51%. Meningkatnya
pertumbuhan ekonomi Jawa terutama didorong
oleh percepatan realisasi berbagai proyek
infrastruktur pemerintah. Demikian halnya
dengan perbaikan ekonomi Sumatera dari 3,13%
pada triwulan sebelumnya menjadi 4,56% pada
triwulan IV 2015 banyak ditopang oleh
pembangunan infrastruktur berskala besar
seperti pembangunan trans Sumatera,
pembangkita tenaga listrik dan pembangunan
dalam rangka persiapan Asian Games 2008.
Selain itu, membaiknya kinerja perkebunan,
khususnya sawit, di beberapa daerah penghasil
utama di Sumatera juga turut memberi dampak
positif pada perbaikan ekonomi Sumatera.
Sementara itu, perekonomian Kalimantan pada
triwulan IV 2015 juga tumbuh membaik meski
masih terbatas, sedangkan Kawasan Timur
Indonesia (KTI) justru tumbuh melambat.
Perbaikan ekonomi Kalimantan lebih banyak
ditopang oleh meningkatnya pengeluaran terkait
belanja Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada)
serentak dan beroperasinya beberapa smelter di
Kalimantan Tengah. Namun, masih rendahnya
harga komoditas di pasar ekspor menyebabkan
terbatasnya perbaikan ekonomi di Kalimantan
yang selama ini mengandalkan ekspor SDA,
terutama hasil tambang. Kondisi lapangan usaha
pertambangan yang masih cenderung lemah
menyebabkan ekonomi Kalimantan Timur masih
mengalami kontraksi pertumbuhan, meskipun
tidak sedalam periode sebelumnya. Di sisi lain,
perekonomian KTI tumbuh sedikit melambat
walaupun masih berada pada level yang cukup
tinggi yakni sebesar 8,6%. Melambatnya ekonomi
KTI dipengaruhi oleh terbatasnya kinerja ekspor,
khususnya barang tambang karena faktor
rendahnya harga komoditas.
Secara keseluruhan tahun, perekonomian di
berbagai daerah pada tahun 2015 tumbuh
melambat dibandingkan tahun sebelumnya.
Perekonomian nasional tumbuh sebesar 4,79%,
lebih rendah dari tahun 2014 yang tumbuh
5,02%. Kondisi ini tidak terlepas dari berbagai
tantangan yang dihadapi sepanjang tahun 2015,
terutama terkait dengan pelemahan
perekonomian global yang diikuti oleh
penurunan harga komoditas dunia. Beberapa
daerah yang menunjukkan perlambatan ekonomi
cukup dalam yaitu Aceh, Riau, Jambi, dan bahkan
Kalimantan Timur mencatat pertumbuhan
ekonomi yang negatif. Perekonomian berbagai
daerah di Jawa juga mengalami perlambatan
karena melambatnya kinerja manufaktur. Di sisi
lain, kinerja perekonomian KTI secara
keseluruhan dapat tumbuh lebih tinggi dibanding
tahun sebelumnya. Hal ini ditopang oleh mulai
beroperasinya beberapa smelter di Sulawesi dan
juga pengaruh base effect terkait kembali dapat
dilakukannya ekspor mineral secara terbatas.
Memasuki Triwulan I 2016, perkembangan
berbagai indikator ekonomi di daerah secara
agregat mengindikasikan perbaikan ekonomi
yang terjadi masih cenderung terbatas. Kondisi
ini terutama dipengaruhi oleh perkiraan kinerja
ekspor di berbagai daerah yang masih akan
dibayangi oleh rendahnya harga komoditas.
Selain itu, pergeseran masa panen bahan pangan
ke triwulan II 2016 diperkirakan turut
memengaruhi kinerja ekonomi beberapa daerah
sentra produksi seperti di Jawa dan bagian
selatan Sumatera. Meski demikian, upaya
pemerintah mempercepat pembangunan
infrastruktur sejak awal tahun diperkirakan dapat
menopang kinerja perekonomian di berbagai
daerah.
3
Tabel I.1. Tendensi Arah Perekonomian Daerah Triwulan I 2016*
* Tendensi arah kondisi ekonomi secara tahunan (year-on-year)
Stabilitas Keuangan Daerah
Kinerja sektor rumah tangga dan korporasi yang
masih menunjukkan perlambatan pada triwulan
IV 2015 ditunjukkan oleh penyaluran kredit yang
melambat di seluruh wilayah. Perlambatan
penyaluran kredit terdalam terjadi di Kalimantan
yakni menjadi hanya 3,16% pada akhir triwulan IV
2015 dibandingkan 7,74% di akhir triwulan III
2015. Perlambatan terjadi sebagai dampak dari
melambatnya pertumbuhan ekonomi domestik
dan melemahnya daya beli sehingga
menyebabkan tingkat konsumsi rumah tangga
cenderung melambat. Namun, tingkat risiko
kredit Rumah Tangga di perbankan masih cukup
terjaga dengan NPL gross masih relatif rendah
meskipun sedikit mengalami peningkatan
dibanding semester sebelumnya.
Sementara itu, gejala penurunan kinerja sektor
korporasi masih berlanjut. Kondisi ini dipicu tidak
hanya oleh perlambatan ekonomi domestik,
namun didorong juga oleh faktor eksternal
khususnya pelemahan ekonomi dunia,
penurunan harga beberapa komoditi seperti
batubara, kelapa sawit, karet, produk logam,
serta minyak dan gas. Dalam kondisi yang
demikian, korporasi masih menghadapi potensi
risiko yang memengaruhi kinerja kreditnya.
Meskipun risiko kredit meningkat, namun masih
dalam level yang aman. Ke depan, potensi risiko
dari sektor korporasi tetap perlu diwaspadai
terutama terkait indikasi peningkatan utang
dalam bentuk valas di sektor korporasi.
Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Rupiah
Perlambatan kegiatan ekonomi juga tercermin
dari aktivitas transaksi keuangan dengan sistem
pembayaran melalui RTGS dan kliring secara total
yang masih cenderung tumbuh melambat pada
triwulan IV 2015. Nilai transaksi yang dilakukan
melalui sistem real-time gross settlement (RTGS)
pada triwulan IV turun lebih dalam dibandingkan
triwulan sebelumnya yaitu sebesar 16,06%
setelah pada triwulan sebelumnya turun sebesar
6,19%2. Sementara itu, nilai transaksi melalui
sistem kliring tumbuh meningkat pada triwulan
laporan menjadi 33,79%. dari 3,22% di triwulan
sebelumnya. Namun demikian, peningkatan nilai
2 Melambatnya volume transaksi melalui sistem BI RTGS juga
turut dipengaruhi oleh pembatasan transaksi melalui sistem RTGS minimal Rp100 juta sebagaimana Surat Edaran Bank Indonesia No.16/18/DPSP Tanggal 28 November 2014 perihal Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 12/1/DASP tanggal 21 Januari
4
transaksi kliring belum mampu mendorong
perbaikan transaksi non tunai secara
keseluruhan. Sepanjang 2015, transaksi RTGS
hanya tumbuh sebesar 1,66%, lebih rendah
dibandingkan 2014 yang tumbuh 21,90%.
Sementara, transaksi kliring 2015 tumbuh
13,65%, relatif stabil dibandingkan 2014 yang
tumbuh 13,87%.
Peredaran uang kartal menunjukkan
peningkatan di seluruh daerah. Kondisi ini
mengindikasikan adanya peningkatan kebutuhan
uang kartal di masyarakat pada periode tersebut,
antara lain terkait dengan pelaksanaan Pilkada
serentak. Perkembangan peredaran uang kartal
menunjukkan peningkatan outflow dari Bank
Indonesia pada triwulan IV 2015 yaitu 8,74%
(yoy), lebih tinggi dibandingkan triwulan
sebelumnya yang tumbuh 6,27% (yoy). Selain itu,
outflow yang berasal dari Bank Persero dan BPD
di seluruh wilayah juga menunjukkan
kecenderungan peningkatan pada semester
kedua 2015. Peningkatan outflow terutama
terjadi di wilayah Jawa.
Gambar I.2. Peta Inflasi Daerah, Januari 2016
Perkembangan Inflasi
Inflasi di berbagai daerah pada akhir 2015 secara
agregat mendukung pada tercapainya sasaran
inflasi nasional sebesar 4%1%. Secara nasional,
inflasi pada akhir 2015 tercatat sebesar 3,35%.
Realisasi inflasi di wilayah Sumatera merupakan
yang terendah yakni sebesar 3,05%, diikuti Jawa
sebesar 3,12%, KTI sebesar 4,06%, dan
Kalimantan 5,12%. Rendahnya realisasi inflasi
terutama dipengaruhi oleh terjaganya pasokan
pangan ditengah menguatnya gangguan iklim
akibat El Nino, serta minimalnya kendala
distribusi. Potensi laju inflasi yang lebih rendah di
akhir 2015 tertahan oleh kenaikan harga cabai
merah dan bawang merah dipicu oleh penurunan
produksi di sejumlah sentra seiring berakhirnya
puncak panen di November 2015.
Secara keseluruhan, terkendalinya inflasi di
berbagai daerah tidak terlepas dari peran BI
dalam menjaga stabilitas moneter dan inflasi inti,
serta dukungan kebijakan pemerintah untuk
stabilisasi harga pangan, seperti Program Upaya
Peningkatan Khusus (Upsus) produksi padi,
jagung, kedelai, daging sapi, dan gula pasir;
program Tol Laut; upaya perluasan jaringan
distribusi melalui Toko Tani oleh Kementerian
Pertanian; dan impor beras. Selain itu, koordinasi
kebijakan yang semakin kuat melalui forum TPI
dan TPID turut memberikan dampak yang positif
dalam mendukung upaya stabilisasi harga di
daerah. Meski demikian, beberapa daerah
dengan realisasi inflasi yang lebih tinggi di akhir
2015 dibandingkan daerah lainnya, seperti
Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi
5
Barat, Sulawesi Utara, Maluku, dan Papua Barat,
perlu mendapat perhatian karena ke depan
target inflasi diarahkan terus menurun. Lebih
tingginya inflasi di beberapa daerah tersebut
bersumber dari kenaikan tarif angkutan udara
dan beberapa lonjakan kenaikan harga pangan.
Memasuki awal triwulan I 2016, tekanan inflasi di
berbagai daerah masih relatif minimal. Realisasi
inflasi di hampir seluruh daerah pada Januari
2016 secara bulanan (month-to-month) tercatat
lebih rendah dibanding bulan sebelumnya.
Sebagian besar daerah di Sulawesi bahkan
tercatat mengalami deflasi walaupun secara
agregat wilayah KTI justru mencatat inflasi yang
lebih tinggi dibanding wilayah lainnya karena
tingginya inflasi di Sulawesi Selatan, Sulawesi
Tenggara, dan NTB.
Masih minimalnya tekanan inflasi di awal tahun
lebih banyak dipengaruhi oleh rendahnya inflasi
administered prices karena penurunan harga
BBM, tarif angkutan udara, dan harga LPG 12 Kg
pada awal Januari 2016. Selain itu, inflasi pangan
juga masih relatif terkendali ditengah masih
berlanjutnya fenomena El Nino. Harga beras
masih tercatat cukup terjaga di berbagai daerah.
Tekanan inflasi lebih bersumber dari kenaikan
harga daging ayam ras, bawang merah, dan
bawang putih.
Meski demikian, dampak dari mundurnya masa
panen di berbagai daerah sentra produksi
sebagai dampak dari El Nino masih perlu
diwaspadai. Fenomena El Nino yang ditandai
kemarau berkepanjangan menyebabkan masa
tanam yang seharusnya dilakukan pada periode
Oktober tahun sebelumnya, justru baru dapat
dilakukan pada Desember 2015. Hal ini berimbas
pada prakiraan masa panen yang baru akan mulai
berlangsung pada Maret-April 2016 sehingga
menjadi risiko bagi naiknya inflasi pangan
terutama pada periode triwulan pertama tahun
2016 ini.
Prospek dan Tantangan Ekonomi Daerah
Prospek Ekonomi Daerah
Pertumbuhan ekonomi pada tahun 2016
diprakirakan membaik di sebagian besar daerah,
terutama Jawa, Sumatera, dan Kalimantan.
Prospek perekonomian daerah tahun 2016,
secara agregat mengindikasikan perekonomian
nasional dapat tumbuh pada kisaran 5,2-5,6%.
Prakiraan meningkatnya pertumbuhan ekonomi
Jawa didorong oleh optimisme terhadap investasi
terutama yang berasal dari pembangunan
berbagai infrastruktur. Perbaikan konsumsi dan
ekspor manufaktur turut menopang peningkatan
ekonomi Jawa seiring prakiraan membaiknya
ekpektasi pendapatan masyarakat dan
membaiknya permintaan negara tujuan ekspor
utama.
Pertumbuhan ekonomi Sumatera diprakirakan
akan didukung oleh meningkatnya realisasi
proyek infrastruktur. Beberapa proyek
infrastruktur berskala besar di Sumatera seperti
pembangunan jalan tol, pembangkit listrik, dan
sarana penunjang kegiatan Asian Games 2018
diperkirakan dapat mendorong perbaikan kinerja
pertumbuhan ekonomi Sumatera. Selain itu,
ekspor diprakirakan mengalami perbaikan
meskipun masih dibayangi risiko tekanan harga
komoditas.
Perekonomian Kalimantan diprakirakan tumbuh
lebih baik dibandingkan tahun 2015 ditopang
oleh kinerja pertanian, pertambangan, dan
industri pengolahan (a.l smelter dan CPO). Kinerja
pertambangan, khususnya batubara, akan lebih
ditopang oleh permintaan ekspor antar provinsi
dan kebutuhan batubara beberapa negara di
Asia. Namun, perbaikan ekonomi Kalimantan
diprakirakan tertahan oleh prospek harga
komoditas pertambangan (migas) yang masih
rendah. Di sisi lain, perekonomian KTI pada 2016
diperkirakan tumbuh lebih lambat yang
disebabkan oleh terbatasnya kinerja ekspor
pertambangan dan terbatasnya investasi swasta.
6
Di sisi harga, prospek inflasi di berbagai daerah
untuk keseluruhan tahun 2016 tetap terkendali
dalam kisaran sasaran inflasi nasional sebesar
4%±1%. Terkendalinya inflasi dipengaruhi oleh
perkiraan masih rendahnya harga komoditas
global seiring dengan pemulihan ekonomi dunia
yang cenderung berjalan lambat. Harga minyak
dunia yang diperkirakan masih dalam tren
menurun akan diikuti oleh penyesuaian tarif
listrik dan harga jual energi domestik (BBM dan
LPG) sehingga berdampak cukup besar pada
minimalnya tekanan kenaikan inflasi. Di samping
itu, terjaganya inflasi dipengaruhi oleh
permintaan domestik yang diperkirakan tumbuh
moderat disertai ekspektasi inflasi yang tetap
terjaga.
Perkiraan terkendalinya inflasi pada 2016
didukung oleh kondisi stabilitas makro yang
terjaga dan menguatnya koordinasi
pengendalian inflasi yang ditempuh Bank
Indonesia bersama dengan Pemerintah di
tingkat pusat dan daerah. Langkah koordinasi
pengendalian inflasi diarahkan pada upaya
menjaga ketersediaan dan keterjangkauan
pasokan pangan, kelancaran distribusi, dan
pengelolaan ekspektasi masyarakat melalui
komunikasi yang efektif. Selain itu, upaya untuk
pembenahan struktural terus dilakukan melalui
implementasi roadmap pengendalian inflasi.
Berbagai kebijakan dan upaya khusus yang akan
terus dilanjutkan oleh pemerintah untuk
memperkuat kapasitas produksi dan pengelolaan
pasokan pangan domestik disertai upaya
pembenahan distribusi barang yang dilakukan
antara lain melalui implementasi tol laut,
pengembangan kapal ternak dan pelayaran
perintis yang konsisten keberlanjutannya
diharapkan akan memberikan kepastian dan
optimisme bagi pengembangan dan perdagangan
ekonomi antar daerah sehingga memperkuat
pencapaian stabilitas harga.
Namun, risiko kenaikan inflasi di daerah pada
2016 diperkirakan masih cukup besar dan perlu
diantisipasi lebih awal. Perkembangan terkini
mengindikasikan risiko inflasi terutama
bersumber dari dampak faktor perubahan iklim
yang mempengaruhi produksi pangan. Fenomena
El Nino yang berlangsung sejak tahun 2015
diperkirakan berdampak pada pasokan pangan di
periode paruh pertama 2016 karena adanya
pergeseran masa panen. Kemungkinan terjadinya
fenomena La Nina pada pertengahan tahun 2016
yang ditandai dengan meningkatnya curah hujan
secara signifikan diperkirakan menjadi kendala
bagi produksi pangan terutama tanaman
hortikultura. Di sisi lain, kemajuan upaya
pemerintah dalam mempercepat pembangunan
infrastruktur penunjang produksi pangan seperti
bendungan, waduk, dan irigasi. Dalam jangka
pendek diperkirakan belum akan berdampak
besar pada kenaikan produksi pangan.
Sementara itu, beberapa risiko lain yang dapat
memengaruhi inflasi antara lain bersumber dari
rencana pemerintah terkait kebijakan pengalihan
pelanggan listrik dengan daya 900VA ke 1300VA.
Selain itu, kemungkinan pelaku usaha
merealiasikan penyesuaian terhadap harga jual
komoditas sebagai dampak dari perubahan nilai
tukar rupiah tahun 2015 ke harga jual barang di
dalam negeri (dampak pass-through nilai tukar)
yang belum dilakukan tahun lalu.
Tantangan Ke Depan
Prospek pemulihan ekonomi di 2016 masih akan
menghadapi tantangan yang berat terutama
dalam meminimalkan dampak dari lambatnya
pemulihan ekonomi global, yang diikuti
penurunan harga komoditas, terhadap kinerja
ekspor daerah. Gambaran kinerja daerah
sepanjang tahun 2015 menunjukkan bahwa
menurunnya harga komoditas global terutama
berdampak pada lebih terbatasnya kinerja
ekonomi daerah-daerah yang banyak
mengandalkan pada ekspor komoditas primer
(SDA) seperti beberapa daerah di Kalimantan,
Sumatera, dan sebagian KTI. Hal ini selanjutnya
berdampak pada melemahnya kinerja korporasi
di daerah-daerah tersebut karena turunnya
pendapatan usaha, khususnya yang bersumber
dari ekspor (Lihat Isu Khusus Dampak
7
Melemahnya Ekonomi Global terhadap Kinerja
Korporasi di Daerah). Pada gilirannya kondisi ini
berimbas pada melemahnya daya beli
masyarakat dan turunnya pendapatan fiskal
daerah.
Di sisi lain, meningkatnya transfer ke daerah
secara signifikan pada 2016 memberikan peluang
sekaligus juga merupakan tantangan bagi daerah.
Alokasi dana transfer daerah, termasuk dana
desa, pada APBN 2016 mencapai Rp770,2 triliun
atau meningkat 15,9% dari APBN-P 2015
sehingga memberikan peluang bagi daerah untuk
turut berperan lebih besar dalam mendorong
percepatan pembangunan ekonomi. Namun,
untuk efektivitas dan optimalisasi penyerapan
alokasi anggaran ini perlu didukung peningkatan
kapasitas pengelolaan keuangan daerah,
termasuk hingga di tingkat desa.
Sementara itu, tantangan dalam pengendalian
inflasi terutama terkait dengan masih besarnya
persoalan struktural. Beberapa persoalan
struktural tersebut antara lain terbatasnya
kapasitas produksi pangan, struktur pasar yang
belum efisien, dan infrastruktur logistik yang
belum memadai. Adanya persoalan struktural ini
menyebabkan tingginya ketergantungan produksi
pangan terhadap faktor iklim dan cuaca, tidak
efisiennya harga yang terbentuk di pasar
(perbedaan yang lebar antara harga produsen
dan konsumen), serta disparitas harga yang besar
antar daerah yang disebabkan antara lain oleh
tingginya biaya distribusi.
Untuk mengatasi berbagai risiko tersebut,
strategi kebijakan yang terintegrasi dan
koordinasi yang intensif, antar pusat-daerah
perlu secara konsisten dilakukan dan terus
diperkuat. Langkah koordinasi diarahkan pada
upaya untuk mempercepat implementasi
pembangunan infrastruktur yang merupakan
kunci bagi kinerja perekonomian daerah di tahun
2016. Urgensi terhadap pentingnya
pembangunan infrastruktur yang komprehensif
ditegaskan dalam Rencana Kerja Pemerintah
(RKP) 2016 yang mengambil tema besar
percepatan pembangunan infrastruktur.
Pembangunan infrastruktur khususnya yang
terkait dengan konektivitas menjadi tulang
punggung utama bagi efisiensi logistik yang pada
akhirnya dapat memacu kegiatan ekonomi antar
daerah, sekaligus merupakan quick wins untuk
memacu daya saing Indonesia. Selain dari aspek
infrastruktur, urgensi pembenahan logistik juga
memerlukan dukungan aspek kelembagaan yang
kuat dalam mengimplementasikan strategi sistem
logistik nasional (Lihat Isu Khusus Logistik
Pangan).
8
Bagian II
Perekonomian Sumatera Aktivitas ekonomi Sumatera triwulan IV 2015 terus menunjukkan perbaikan dengan tumbuh 4,56%
(yoy), lebih tinggi dari triwulan sebelumnya, yang ditopang oleh peningkatan konsumsi pemerintah
dan investasi serta perbaikan kinerja dihampir semua sektor. Lebih tingginya PDRB Sumatera
disertai dengan inflasi yang rendah (3,05%, yoy) akibat base effect kenaikan harga BBM pada akhir
tahun 2014 serta berkurangnya tekanan inflasi volatile food. Secara keseluruhan 2015,
perekonomian Sumatera tumbuh lebih lambat dibanding tahun 2014 yaitu sebesar 3,5%, akibat
kinerja sektor pertanian dan pertambangan yang menurun serta terbatasnya konsumsi rumah
tangga.
Pada triwulan I 2016, perekonomian Sumatera diprakirakan melambat seiring dengan terbatasnya
pengeluaran pemerintah serta perlambatan kinerja pertanian dan industri pengolahan. Meskipun
demikian, sektor utama ekonomi Sumatera akan kembali membaik sehingga PDRB Sumatera secara
keseluruhan tahun 2016 diperkirakan akan lebih tinggi dari 2015. Di sisi lain, tekanan inflasi di
triwulan I 2016 diperkirakan meningkat seiring dengan perbaikan konsumsi dan penurunan pasokan
pangan akibat mundurnya musim tanam. Tekanan volatile food dan administered prices juga akan
mempengaruhi inflasi keseluruhan tahun 2016 sehingga akan lebih tinggi dari 2015 dengan kisaran
4,29–4,79% (masih dalam target inflasi BI sebesar 4±1%). Namun, jika mempertimbangkan
kecenderungan harga minyak dunia yang cenderung turun, maka proyeksi inflasi tersebut terdapat
risiko bias ke bawah.
Pertumbuhan Ekonomi
Tren membaiknya perekonomian Sumatera terus
berlanjut di triwulan IV 2015. Capaian pada
perekonomian Sumatera ini lebih tinggi
dibandingkan perkiraan sebelumnya, sebesar
4,1% (yoy). Perbaikan tersebut tercermin dari
perekonomian yang tumbuh dari 3,1% (yoy) di
triwulan III 2016 menjadi 4,6% (yoy) pada
triwulan IV 2015. peningkatan pertumbuhan
ekonomi terjadi di hampir semua wilayah, meski
di sebagian provinsi lainnya yaitu Kepuluan Riau,
Sumatera Selatan, Jambi, dan Bengkulu terjadi
perlambatan ekonomi yang menahan laju
ekonomi Sumatera secara keseluruhan.
Penopang pertumbuhan ekonomi selama
triwulan IV 2015 adalah konsumsi pemerintah
dan investasi. Pada triwulan IV 2015, konsumsi
pemerintah tumbuh 7,4% (yoy) lebih tinggi secara
signifikan dibanding dengan capaian pada
triwulan sebelumnya yang sebesar 5,5% (yoy).
Akselerasi pertumbuhan juga terjadi pada
investasi triwulan IV 2015 yang tumbuh sebesar
5,7% (yoy) dari 3,1% (yoy) pada triwulan
sebelumnya. Investasi ditopang oleh realisasi
beberapa proyek infrastruktur Pemerintah antara
lain tol trans Sumatera, pembangunan
pembangkit listrik dan pengerjaan proyek
persiapan Asian Games 2018 .
Pertumbuhan lebih tinggi di triwulan IV 2015
tertahan oleh perlambatan ekspor. Perlambatan
terjadi untuk komoditas-komoditas utama seperti
karet, kelapa sawit, dan timah. Di triwulan IV,
ekspor Sumatera terkontraksi 6,6% dari
sebelumnya 7,2%, sementara impor kendati
tumbuh negatif namun menunjukan peningkatan
terutama didorong oleh peningkatan impor
bahan baku dan barang modal.
Komponen konsumsi rumah tangga pada periode
laporan tercatat tumbuh sebesar 4,5% (yoy),
tidak sebaik kinerja pada triwulan sebelumnya.
Perlambatan ekonomi yang mempengaruhi
kinerja perusahaan dan pendapatan rumah
9
tangga ditengarai menjadi salah satu faktor
penyebab lebih terbatasnya konsumsi rumah
tangga. Sementara itu, konsumsi Lembaga Non
Profit Rumah Tangga (LNPRT) mengalami
pertumbuhan yang lebih tinggi dari periode
sebelumnya yaitu dari 6,0% (yoy) pada triwulan
III 2015, menjadi 8,8% (yoy). Kondisi ini pengaruhi
oleh pelaksanaan Pilkada serentak di 4 provinsi
dan 60 kabupaten kota pada tanggal 9 Desember
2015.
Tabel II.1. Pertumbuhan Ekonomi Daerah di Sumatera % year-on-year
Indikator
Makroekono
mi Daerah
201
4
2015
2015 I II III IV
PDRB (% YoY) 4,58 3,47 2,98 3,13 4,56 3,54
Provinsi Aceh 1,55 (1,93) (2,09) (0,29) 1,42 (0,72)
Provinsi
Sumut
5,23 4,84 5,13 5,09 5,32 5,08
Provinsi
Sumbar
5,86 5,50 5,48 4,93 5,74 5,41
Provinsi Riau 2,70 (0,01) (2,13) (1,38) 4,45 0,22
Provinsi
Jambi
7,35 5,00 4,33 4,38 3,18 4,21
Provinsi Kep.
Riau
6,62 6,83 6,70 5,40 5,20 6,02
Provinsi
Sumsel
4,68 4,58 4,71 4,75 3,94 4,44
Provinsi
Bengkulu
5,47 5,29 5,24 5,18 4,86 5,14
Provinsi
Lampung
5,08 4,91 5,06 5,22 5,33 5,13
Provinsi Kep.
Babel
4,68 4,10 3,97 3,97 4,28 4,05
Sumber: BPS
Ekonomi Sumatera secara keseluruhan 2015
tumbuh lebih rendah dibandingkan 2014.
Perlambatan ekonomi yang cukup dalam pada
paruh pertama 2015 mengakibatkan Sumatera
hanya tumbuh 3,54% pada keseluruhan 2015,
lebih rendah dibanding tahun 2014 yang tumbuh
sebesar 4,6%. Perlambatan terutama di
kontribusi oleh kinerja sektor pertanian dan
pertambangan seiring dengan melemahnya
permintaan global dan penurunan harga
komoditas.
Pada triwulan I 2016, ekonomi Sumatera
diperkirakan akan tumbuh moderat sebesar 4,3%
(yoy). Pertumbuhan yang lebih rendah dari
capaian triwulan IV 2015 dipengaruhi oleh
penurunan konsumsi pemerintah akibat belum
optimalnya realisasi APBD pada triwulan I 2016.
Faktor yang mempengaruhi realisasi APBD antara
lain terkait proses pelantikan kepala daerah hasil
Pilkada yang baru akan dilaksanakan pada awal
Februari 2016 dan pada bulan Maret/April serta
bulan Juni 2016 (khusus untuk keputusan
sengketa di Mahkamah Konstitusi yang belum
selesai). Selain itu, dengan hal tersebut, investasi
juga diperkirakan akan melambat akibat investasi
pemerintah yang diperkirakan masih terbatas di
awal tahun dan invetasi swasta yang masih
minim.
Moderasi perekonomian Sumatera di triwulan I
2016 diperkirakan akan tertahan oleh mulai
membaiknya konsumsi rumah tangga. Penurunan
suku bunga oleh Bank Indonesia dan
terkendalinya inflasi diperkirakan memberikan
dampak positif bagi peningkatan daya beli
masyarakat. Indikasi peningkatan konsumsi pada
triwulan I 2016 terkonfirmasi oleh indeks
keyakinan konsumen dan penjualan eceran yang
menunjukkan potensi perbaikan konsumsi rumah
tangga (Grafik II.1 dan II.2).
Grafik II.1. Survei Konsumen
Grafik II.2. Survei Penjualan Eceran
80.00
90.00
100.00
110.00
120.00
130.00
140.00
4.00
4.50
5.00
5.50
6.00
6.50
I II III IV I II III IV I II III IV I*
2013 2014 2015 2016
IKK, indeksgKonsumsi RT, %yoy
gKonsumsi RT (LHS) IKK (RHS)
-15
-10
-5
0
5
10
15
20
25
160.00
170.00
180.00
190.00
200.00
210.00
I II III IV I II III IV I II III IV I*
2013 2014 2015 2016
%yoy
Ind
eks IPE gIPE (Skala Kanan)
10
Kinerja Lapangan Usaha
Pertanian
Sektor pertanian menjadi sumber utama
pertumbuhan ekonomi Sumatera pada triwulan
IV 2015. Sektor pertanian yang memiliki
kontribusi sekitar 22% dari total PDRB tumbuh
sebesar 6,2% (yoy), lebih tinggi dibandingkan
triwulan sebelumnya yang tercatat sebesar 0,7%
(yoy). Peningkatan kinerja ini terjadi di hampir
seluruh provinsi, dengan sumbangan utama
berasal dari Riau dan Sumatera Utara yang
masing-masing tumbuh 8,2% (yoy) dan 7,0%
(yoy). Peningkatan sektor pertanian tersebut
didukung oleh meningkatnya kinerja perkebunan,
khususnya produksi kelapa sawit dan Tabama.
Meski demikian, pertumbuhan lebih tinggi
tertahan oleh adanya kabut asap pada triwulan III
2015 yang berdampak pada berkurangnya
aktivitas petani di perkebunan akibat
keterbatasan jarak pandang.
Sektor pertanian diperkirakan melambat pada
triwulan I 2016. Pertanian Sumatera diprakirakan
tumbuh sebesar 5,3% (yoy). Perlambatan
terutama didorong oleh berakhirnya musim
panen kelapa sawit serta pergesaran musim
tanaman padi. Hal ini tercermin dari likert scale
penjualan domestik sektor pertanian yang pada
triwulan I 2016 lebih rendah dari 0,14 ke 0,22.
Indeks kegiatan usaha sektor pertanian dalam
SKDU juga turut mengkonfirmasi perlambatan
kinerja sektor pertanian pada triwulan I 2016.
(Grafik II.3 dan II.4)
Grafik II.3. Likert Scale Pertanian
Grafik II.4. SKDU Pertanian
Pertambangan
Penurunan lifting minyak yang disertai dengan
harga minyak yang rendah menyebabkan
lapangan usaha pertambangan di Sumatera
masih terus mengalami perlambatan.
Pertambangan pada triwulan IV 2015
terkontraksi sebesar 3,8% (yoy), lebih dalam dari
triwulan sebelumnya yang terkontraksi sebesar
1,4% (yoy). Kontraksi migas terutama disebabkan
oleh penurunan lifting minyak bumi di Riau. Di
samping itu, penurunan kinerja migas juga diikuti
oleh penurunan produksi di Provinsi Kepulauan
Riau dan Sumatera Selatan. Sementara untuk
produksi timah dan batu-bara diperkirakan masih
akan melanjutkan trend perlambatan seiring
dengan trend penurunan harga. (Grafik II.5 dan
II.6).
Pada triwulan I 2016, kontraksi lapangan usaha
pertambangan diperkirakan tidak sedalam
periode sebelumnya. Kinerja pertambangan di
Sumatera diperkirakan akan berkisar -1,8% (yoy).
Perbaikan kinerja pertambangan didorong oleh
regasifikasi PT Arun dan membaiknya produksi
migas di Kepulauan Riau. Namun demikian, lifting
migas di Riau diprediksi masih menunjukkan
volume yang terus menurun (Grafik II.7).
Selain itu, produksi pertambangan non migas,
baik batubara di Sumatera Selatan maupun timah
di Kepulauan Bangka Belitung diperkirakan belum
menunjukkan perkembangan yang berarti (Grafik
II.8 dan II.9). Kondisi ini dipicu oleh harga
internasional kedua komoditas ini yang masih
rendah dan dalam tren menurun. Pemanfaatan
batubara dalam negeri juga masih belum dapat
diandalkan sebagai stimulus bagi usaha
-1.5
-1.0
-0.5
0.0
0.5
1.0
1.5
2.0
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I
2012 2013 2014 2015 2016
Penjualan Domestik
Penjualan Ekspor
-15
-10
-5
0
5
10
15
20
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV IP
2012 2013 2014 2015 2016
11
pertambangan batu bara, mengingat pembangkit
listrik berbasis bahan bakar batubara di Sumatera
masih dalam tahap pembangunan.
Grafik II.5. Harga Timah
Grafik II.6. Harga Batu Bara
Grafik II.7. Lifting Minyak
Industri Pengolahan
Sektor industri pengolahan pada triwulan IV 2015
mengalami pertumbuhan lebih tinggi yang
didukung oleh peningkatan kinerja sektor
pertanian. Kinerja industri pengolahan tercatat
tumbuh sebesar 5,8% (yoy), lebih tinggi dari
triwulan sebelumnya sebesar 4,3% (yoy).
Pertumbuhan ini didukung oleh meningkatnya
produksi sektor pertanian berbasis komoditas
perkebunan, terutama di Riau dan Sumatera
Utara, sehingga mendorong perbaikan utilitas
kapasitas usaha.
Grafik II.8. Likert Scale Industri Pengolahan
Pada triwulan I 2016 mendatang, kinerja industri
pengolahan diperkirakan mengalami
perlambatan sejalan dengan terbatasnya
produksi bahan baku komoditas perkebunan.
Terbatasnya produksi kelapa sawit di awal tahun
yang mengakibatkan diikuti dengan menurunnya
produksi industri CPO dan turunannya
berkontribusi terhadap menurunnya kinerja
sektor industri. Indikasi perlambatan ditunjukkan
oleh anjloknya likert scale proyeksi indikator
penjualan ekspor industri pengolahan disaat
likert scale permintaan domestik yang
magnitude-nya lebih kecil. (Grafik II.8)
Perdagangan
Pada triwulan IV 2015, sektor perdagangan
tumbuh meningkat dibandingkan triwulan
sebelumnya. Sektor perdagangan tumbuh
sebesar 4,9% (yoy), lebih tinggi dibandingkan
triwulan sebelumnya yang sebesar 3,2% (yoy).
Peningkatan kinerja sektor perdagangan terjadi di
hampir seluruh provinsi, dengan peningkatan
tertinggi di Riau, Sumatera Barat, dan Sumatera
Selatan. Peningkatan kinerja perdagangan mulai
berlangsung pasca bencana asap yang melanda
Sumatera di triwulan III 2015. Kinerja sektor
perdagangan juga didukung dengan
penyelenggaraan Pilkada serentak.
Pada triwulan I 2016, sektor perdagangan
diperkirakan masih tumbuh meningkat seiring
perbaikan konsumsi rumah tangga. Sektor
(25.0)
(20.0)
(15.0)
(10.0)
(5.0)
-
5.0
10.0
15.0
20.0
-
50
100
150
200
250
300
350
400
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I*
2011 2012 2013 2014 2015 2016
%yoyribu barel/hari
Lifting gLifting (RHS)
-1.5
-1.0
-0.5
0.0
0.5
1.0
1.5
2.0
2.5
3.0
IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I
2011 2012 2013 2014 2015 2016
Penjualan Domestik
Penjualan Ekspor
12
perdagangan diperkirakan tumbuh menjadi 5,5%
(yoy). Peningkatan konsumsi rumah tangga pada
triwulan mendatang seiring dengan adanya
indikasi perbaikan pendapatan sebagaimana
ditunjukan oleh Indeks Keyakinan Konsumen
(IKK), mendorong membaiknya kinerja sektor
perdagangan. Perbaikan kinerja perdagangan
ditunjukkan oleh hasil survei SKDU menyatakan
bahwa proyeksi perdagangan triwulan I 2016
yang lebih baik dari triwulan IV 2015. (Grafik II.9).
Grafik II.9. SKDU Perdagangan
Konstruksi
Sektor konstruksi mengalami pertumbuhan pada
triwulan IV 2015 seiring dengan realisasi proyek
infrastruktur. Sektor konstruksi tercatat tumbuh
sebesar 5,6% (yoy), lebih tinggi dibandingkan
triwulan sebelumnya yang tercatat sebesar 4,8%
(yoy). Di triwulan laporan, akselerasi realisasi
anggaran pembangunan fisik pada triwulan
laporan di beberapa provinsi mencapai 40-50%.
Peningkatan ini terkonfirmasi dari pertumbuhan
penjualan semen triwulan IV 2015 yang sebesar
15,09% (yoy). (Grafik II.10). Beberapa proyek
infrastruktur seperti pembangunan jalan trans-
Sumatera, persiapan Asian Games, dan
pembangkit listrik menjadi pendorong lapangan
usaha konstruksi.
Grafik II.10. Penjualan Semen Sumatera
Grafik II.11. SKDU Konstruksi
Pada triwulan I 2016, sektor konstruksi
diperkirakan tumbuh sedikit melambat. Kondisi
ini terjadi seiring melambatnya realisasi belanja
pemerintah dan masih terbatasnya investasi
swasta. Hasil survei SKDU mengkonfirmasi bahwa
proyeksi konstruksi triwulan I 2016 akan tumbuh
lebih rendah dibanding triwulan IV 2015. (Grafik
II.11). Konstruksi diperkirakan hanya mampu
tumbuh sebesar 5,5% (yoy).
Fiskal Daerah
Realisasi fiskal daerah pada triwulan IV 2015 di
Sumatera secara rata-rata lebih tinggi
dibandingkan triwulan sebelumnya. Akselerasi
realisasi ini ditopang oleh realisasi belanja fisik
yang meningkat pesat disebagian besar daerah
(Grafik II.12). Secara keseluruhan tahun 2015,
sebagian besar daerah mencatatkan realisasi
APBD yang lebih rendah dibandingkan targetnya,
hanya Aceh, Sumatera Barat, dan Bengkulu yang
berhasil melebihi target realisasi. Realisasi APBD
Provinsi Riau, Sumatera Selatan dan Kepulauan
Bangka Belitung merupakan yang terendah di
-15
-10
-5
0
5
10
15
20
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV IP
2012 2013 2014 2015 2016
(10.00)
(5.00)
-
5.00
10.00
15.00
20.00
25.00
-
0.5
1.0
1.5
2.0
2.5
3.0
3.5
4.0
4.5
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV
2012 2013 2014 2015
%yoyJuta Ton Konsumsi Semen
gKonsumsi Semen (Skala Kanan)
-25
-20
-15
-10
-5
0
5
10
15
20
25
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV IP
2012 2013 2014 2015 2016
13
wilayah dan berada dibawah target yang
ditetapkan. Secara umum, pencapaian realisasi
APBD Sumatera rata-rata sebesar 88%, lebih
rendah dibandingan dengan realisasi pada tahun
2014 yang mencapai 94%.
Grafik II.12. Realisasi Belanja Fisik 2015
Dukungan APBD untuk menopang pertumbuhan
relatif kurang optimal. Kondisi ini disebabkan
oleh beberapa hal yaitu (i) postur fiskal daerah
tahun 2015 masih didominasi belanja non-modal,
yakni sekitar 70%; (ii) realisasi APBD masih
terkonsentrasi pada akhir tahun sehingga belum
mampu menopang kondisi pelemahan ekonomi
yang terjadi pada awal tahun 2015; (iii) berbagai
kendala administratif maupun non administratif
menghambat realisasi belanja fisik, sehingga
tercatat hanya 4 (empat) provinsi yang
merealisasikan belanja fisik sesuai target (Aceh,
Sumatera Barat, Riau, dan Bengkulu).
Grafik II.13. Realisasi Belanja Fisik 2015
Perkembangan Inflasi
Penurunan inflasi di Sumatera sejak paruh kedua
2015 terus berlanjut di triwulan IV 2015.
Penurunan ini sejalan dengan proses normalisasi
efek kenaikan harga BBM tahun 2014 serta
berkurangnya tekanan inflasi volatile food,
terutama untuk sub komoditas bumbu-bumbuan
seiring dengan terjaganya pasokan pangan.
Peningkatan tekanan volatile food spesifik terjadi
di bulan Desember didorong oleh peningkatan
permintaan di akhir tahun serta berakhirnya
masa panen beberapa komoditas pangan, antara
lain padi dan bawang merah.
Di triwulan IV 2015 inflasi Sumatera tercatat
sebesar 3,05% (yoy), lebih rendah dibandingkan
triwulan III 2015 sebesar 6,79% (yoy). Bila
dibandingkan dengan inflasi nasional (3,35%,
yoy), inflasi di regional Sumatera tercatat lebih
rendah. Inflasi tertinggi terjadi di Kepulauan Riau
dan Lampung masing-masing sebesar 4,40% (yoy)
dan 4,34% (yoy). Sementara itu, inflasi terendah
terjadi di Sumatera Barat dan Jambi masing-
masing sebesar 1,08% (yoy) dan 1,37% (yoy).
Berdasarkan disagregrasi inflasi, penurunan
inflasi terjadi pada seluruh kelompok komoditas.
Penurunan inflasi administered prices disebabkan
kembalinya harga bahan bakar minyak ke pola
normalnya sehingga tekanan administered prices
menurun dari 11,21% (yoy) pada triwulan III 2015
menjadi 0,56% (yoy) pada akhir tahun 2015. Pada
kelompok volatile food, komoditas cabai merah
menjadi penyumbang deflasi utama pada
triwulan IV 2015 ini, terutama didukung oleh
terjaganya pasokan cabai merah. (Grafik II.14)
Grafik II.14. Disagregasi Inflasi Sumatera
Pada bulan Januari 2016 menunjukkan adanya
indikasi peningkatan tekanan pada triwulan I.
Inflasi Sumatera pada Januari 2016 tercatat
sebesar 4,22%, dengan inflasi tertinggi berada di
Provinsi Kepulauan Riau dan Lampung.
Peningkatan tekanan inflasi berasal dari
3.40%
4.07%
20.80%
11.96%
18.50%
10.30%
12.55%
12.67%
12.67%
21.60%
18.10%
26.73%
25.79%
29.47%
15.76%
22.81%
22.17%
15.38%
22.00%
29.91%
24.00%
20.45%
21.63%
23.94%
26.59%
24.39%
30.02%
53.00%
44.06%
27.65%
39.51%
22.96%
48.00%
33.68%
30.64%
38.42%
Aceh
Sumut
Sumbar
Riau
Kepri
Sumsel
Bengkulu
Babel
Lampung
I II III IV
Aceh Sumut Sumbar Riau Kepri Jambi Sumsel Bengkulu Babel Lampung
Target 93,00% 100,00% 94,25% 78,43% 92,05% 92,00% 100,00% 90,00% 87,00% 100,00%
Realisasi 96,00% 93,82% 94,71% 67,84% 87,05% 90,97% 79,91% 93,55% 85,17% 92,27%
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
90%
100%
3.053.92
3.93
0.56
-5
0
5
10
15
20
1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112
2012 2013 2014 2015
Umum Core
Volatile Foods Adm. Prices
%,yoy%,yoy
14
komoditas bawang merah, daging ayam ras, dan
bawang putih. Penurunan pasokan terjadi pada
komoditas bawang merah dan bawang putih.
Sedangkan kenaikan harga pakan ternak terjadi
sebagai dampak dihentikannya impor jagung
beberapa waktu lalu menjadi pendorong
kenaikan harga daging ayam ras. Selain itu,
kenaikan tarif listrik pada Desember 2015
memberi andil kenaikan inflasi administered price
pada Januari 2016. Sementara tekanan inflasi inti
relatif stabil.
Inflasi triwulan I 2016 diperkirakan akan berada
pada kisaran 5,17% (yoy). Tekanan inflasi akan
berasal dari kelompok volatile food sebagai
dampak pergeseran musim panen dan gangguan
produksi maupun distribusi akibat peningkatan
curah hujan, meningkatnya permintaan, dan
kenaikan ongkos produksi seiring dengan
kenaikan UMP (Grafik II.15).
Grafik II.15. Proyeksi Inflasi 2016
Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) di
Sumatera diarahkan untuk meningkatkan
kesiapan daerah dalam mengantisipasi lonjakan
permintaan, memfasilitasi kerjasama antar
daerah, serta mendorong produksi pangan
melalui perbaikan sarana prasarana produksi
pertanian. Beberapa kegiatan-kegiatan unggulan
daerah, diantaranya:
a. Peresmian Gedung Pengendalian Inflasi di
Sumatera Barat yang berfungsi sebagai
terminal agrobisnis dalam rangka
menyeimbangkan permintaan-penawaran
dan stabilisasi harga komoditas pangan.
b. Diversifikasi pangan dan konsumsi produk
lokal di provinsi Bengkulu. Salah satu program
diversifikasi pangan berupa himbauan
sarapan dengan pisang sebagai komoditas
utama Bengkulu.
c. Program sentuh air dan tanah, serta
pembentukan klaster perikanan di Kepulauan
Riau.
d. Pembentukan klaster bahan makanan a.l di
Provinsi Bangka Belitung (cabai) dan Jambi
(cabai dan padi)
Selain kegiatan tersebut, beberapa provinsi telah
mengadakan kerjasama antar daerah dalam
rangka menjaga pasokan serta menstabilkan
harga. Adapun bentuk-bentuk kerjasama antara
daerah yang ada di Sumatera, antara lain:
a. Kerjasama dalam pengendalian pasokan
cabai merah di Kabupaten Batubara dan
Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara;
b. Kerja sama antar daerah di Kota Padang dan
Kota Solok, Sumatera Barat;
c. Rapat koordinasi pertukaran informasi bahan
pangan di Pulau Bintan dan Kota Tanjung
Pinang, Kepulauan Riau;
d. Pengadaan kegiatan temu usaha pengusaha
cabai merah di Palembang dan Kabupaten
Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan;
e. Kerjasama penyediaan bahan pangan antara
Provinsi Lampung dengan DKI Jakarta.
Stabilitas Keuangan Daerah
Ketahanan Sektor Korporasi
Pada triwulan IV 2015, total kredit perbankan
tumbuh sebesar 9,67% (yoy), sedikit menurun
dibanding capaian triwulan sebelumnya 10,86%
(yoy). Perlambatan pertumbuhan kredit masih
tertahan oleh berlanjutnya tren peningkatan
kredit investasi. (Grafik II.16)
Grafik II.16. Penyaluran Kredit Sumatera
6.12
7.746.79
3.05
5.17*4.46*
I II III IV I II III IV
2011-2012 2013-2014 2015-2016
15
Peningkatan kredit investasi ini juga sejalan
dengan peningkatan kredit untuk sektor
korporasi. Pada triwulan IV 2015, total kredit
yang disalurkan kepada korporasi yang memiliki
pangsa 42% tumbuh 17,12% (yoy), lebih tinggi
dibandingkan triwulan sebelumnya sebesar
16,27% (yoy). Secara sektoral, penyaluran kredit
didorong oleh peningkatan penyaluran kredit di
sektor pertanian sejalan dengan meningkatnya
kontribusi sektor pertanian di triwulan IV 2015.
(Grafik II.17)
Grafik II.17. Penyaluran Kredit Korporasi Sektoral
Tumbuhnya penyaluran kredit korporasi, diiringi
dengan terjaganya ketahanan keuangan sektor
korporasi. Hal ini tercermin dari kualitas kredit
korporasi yang masih berada dalam batas aman
dengan tren menurun sejak Oktober 2015. NPL
kredit korporasi pada triwulan IV 2015 tercatat
sebesar 2,28%, lebih rendah dibandingkan
triwulan III 2015 sebesar 3,19%. Penurunan NPL
terutama terjadi pada debitur sektor
perdagangan, konstruksi, dan industri. (Grafik
II.18)
Grafik II.18. NPL Kredit Korporasi
Sementara itu, penghimpunan dana korporasi
mengalami penurunan signifikan dari 16,10%
(yoy) pada triwulan III 2015 menjadi 1,24% (yoy).
Penurunan terutama terjadi pada komponen giro
dan deposito. Komponen giro tumbuh menurun
dari 24,62% (yoy) pada triwulan III 2015 menjadi
5,86% (yoy). (Grafik II.19)
Grafik II.19. Penghimpunan Dana Korporasi
Ketahanan Sektor Rumah Tangga
Kredit konsumsi yang disalurkan Bank Umum
kepada sektor rumah tangga di Sumatera sedikit
melambat dibandingkan triwulan sebelumnya.
Kredit rumah tangga melambat dari 14,53% (yoy)
pada triwulan III 2015 menjadi 6,45% (yoy) pada
akhir triwulan IV 2015. Perlambatan terutama
dipicu oleh penurunan penyaluran Kredit
Kendaraan Bermotor (KKB) dan kredit multiguna.
KKB bahkan mengalami pertumbuhan negatif
sebesar 6.14% (yoy), jauh lebih rendah
dibandingkan pertumbuhan triwulan sebelumnya
yang sebesar 8,50% (yoy). Perlambatan ini sejalan
dengan konsumsi rumah tangga Sumatera yang
masih mengalami perlambatan pada triwulan IV
2015. (Grafik II.20)
Grafik II.20. Penyaluran Kredit Rumah Tangga
Risiko kredit rumah tangga cenderung mengalami
perbaikan. NPL kredit rumah tangga tercatat
menjadi 3,26% lebih rendah dari pada triwulan
sebelumnya yang sebesar 3,63%. Penurunan NPL
terutama terjadi pada penyaluran kredit properti
dan kredit multiguna. (Grafik II.21)
16
Grafik II.21. NPL Kredit Rumah Tangga
Sejalan dengan belum membaiknya pendapatan
rumah tangga, pada triwulan IV 2015
penghimpunan dana sektor rumah tangga masih
mengalami perlambatan. Penghimpunan dana
tumbuh sebesar 7,56% (yoy), lebih rendah
dibandingkan triwulan III 2015 sebesar 8,10%.
Perlambatan terutama terjadi pada komponen
deposito. Perkembangan ini mengonfirmasi
terbatasnya perbaikan pendapatan masyarakat di
triwulan IV yang kemudian berdampak kepada
penggunaan simpanan untuk pemenuhan
konsumsi. (Grafik II.22)
Grafik II.22. Penghimpunan DPK Rumah Tangga
Pembiayaan Sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM)
Perbaikan kinerja kredit UMKM di Sumatera sejak
triwulan II 2015 masih berlanjut di triwulan IV
2015, disertai dengan perbaikan kualitas kredit
UMKM. Penyaluran kredit UMKM pada triwulan
IV 2015 tercatat tumbuh sebesar 5,83% (yoy),
meningkat dibandingkan triwulan III 2015 sebesar
4,43% (yoy). Pertumbuhan ini terutama terjadi
pada UMKM sektor perdagangan. Perkembangan
jumlah penyaluran kredit juga diiringi dengan
perkembangan jumlah rekening kredit UMKM
yang mengalami peningkatan dari 9,84% (yoy) di
triwulan III 2015 menjadi 11,33% (yoy). (Grafik
II.23)
Grafik II.23. Penyaluran Kredit UMKM
Pertumbuhan kredit UMKM diikuti oleh
perbaikan NPL dari 6,38% menjadi 5,46%. Tidak
jauh berbeda dari kondisi historisnya, penyaluran
kredit UMKM Sumatera pada triwulan IV 2015
masih didominasi oleh sektor Perdagangan,
Hotel, dan Restoran (PHR), dan sektor Pertanian,
masing-masing tercatat sebesar 53,74% dan
20,83%.
Pengelolaan Uang Rupiah
Transaksi keuangan tunai di Triwulan IV 2015
tercatat mengalami net outflow yang cenderung
meningkat dibanding triwulan sebelumnya.
Peningkatan ini sejalan dengan perbaikan
aktivitas ekonomi di triwulan IV 2015. Kondisi net
outflow terjadi dihampir seluruh kecuali di
Lampung dan Sumatera Barat. Secara total, net
outflow Sumatera di triwulan IV 2015 mencapai
Rp13,8 triliun meningkat 8,40 % (yoy).
Berdasarkan provinsinya, aliran uang keluar
(outflow) terbesar terjadi di Riau, Sumatera
Utara, dan Aceh. Sementara itu, temuan uang
palsu pada triwulan IV 2015 adalah sebesar 4.574
lembar menurun dibanding triwulan III 2015 yang
sebesar 4.623 namun lebih besar dibandingkan
periode yang sama tahun lalu sebesar 2.374
lembar. Temuan uang palsu terbanyak masih
berada di Lampung dan Sumatera Utara. (Grafik
II.24)
17
Grafik II.24. Pembayaran Tunai
Berkenaan dengan upaya-upaya perluasan
pemenuhan layanan kebutuhan uang tunai,
selain melalui pelaksanaan kas keliling, Bank
Indonesia juga mengembangkan Depo Kas yang
menjadi hub pemenuhan kebutuhan uang tunai
di Sumatera. Selain itu, Bank Indonesia juga
melakukan kerjasama dengan bank-bank
komersial untuk pemenuhan kebutuhan uang
tunai di wilayah-wilayah tertentu. Selanjutnya,
upaya menekan peredaran uang palsu di wilayah
Sumatera terus dilakukan melalui berbagai
sosialisasi dan kerjasama dengan pihak-pihak
terkait.
Prospek Perekonomian
Prospek Pertumbuhan Ekonomi
Perekonomian 2016 diperkirakan tumbuh lebih
baik. Optimisme akan pertumbuhan ekonomi
berlangsung di seluruh provinsi. Pertumbuhan
ekonomi diperkirakan berada pada kisaran 4,2%-
4,7%, lebih tinggi dibandingkan tahun 2015 yang
tumbuh sebesar 3,54%. Konsumsi rumah tangga
dan investasi diperkirakan menjadi motor
penggerakan ekonomi pada 2016. Di sisi lain,
lapangan usaha utama di wilayah Sumatera juga
mendukung perbaikan tersebut, termasuk
lapangan usaha pertambangan yang mengalami
perlambatan dengan magnitude yang mengecil.
Dari sisi permintaan, perbaikan pertumbuhan
ditopang oleh konsumsi dan investasi. Perbaikan
konsumsi didukung oleh ekspektasi terhadap
peningkatan pendapatan dan terkendalinya
inflasi. Sementara itu, peningkatan kontribusi
investasi diprakirakan berlanjut di 2016 seiring
dengan percepatan proyek infrastruktur di
wilayah Sumatera.
Tabel II.2. Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Daerah di Sumatera (% year-on-year)
Indikator Makroekonomi
Daerah 2015
2016 2016
p
Ip
PDRB (% YoY) 3,54 4,04-4,54 4,22-4,72
Provinsi Aceh (0,72) 2,93– 3,43 2,90-3,40
Provinsi Sumut 5,08 5,15-5,65 5,09-5,59
Provinsi Sumbar 5,41 5,16-5,56 5,31-5,81
Provinsi Riau 0,22 1,51-2,01 1,41-1,91
Provinsi Jambi 4,21 3,65-4,15 4,83-5,33
Provinsi Kep. Riau 6,02 5,59-6,09 6,08-6,58
Provinsi Sumsel 4,44 4,68-5,18 5,17-5,67
Provinsi Bengkulu 5,14 4,82-5,32 5,01-5,51
Provinsi Lampung 5,13 5,15-5,65 5,46-5,96
Provinsi Kep. Bangka
Belitung
4,05 3,94-4,44 4,07-4,57
Kapasitas fiskal yang menurun diperkirakan akan
mempengaruhi realisasi konsumsi pemerintah
pada 2016. Ruang fiskal daerah menyusut akibat
koreksi harga komoditas migas yang pada
gilirannya akan mempengaruhi pendapatan
daerah dari sisi pajak dan alokasi Dana Bagi Hasil
(DBH).
Perbaikan ekspor tahun 2016, khususnya
perbaikan ekspor komoditas pertambangan dan
pertanian masih akan relatif terbatas. Kondisi ini
sejalan dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi
global yang akan lebih rendah dari perkiraan
serta perlambatan ekonomi Tiongkok. Sementara
impor masih akan tumbuh seiring dengan
proyeksi peningkatan konsumsi swasta dan
investasi. Ke depan, peningkatan daya saing
melalui perbaikan infrastruktur logistik serta
upaya hilirisasi akan berperan dalam menopang
pertumbuhan ekonomi Sumatera yang lebih kuat
(resilient).
Dari sisi penawaran, pertumbuhan ekonomi
berasal dari meningkatnya kinerja sektor utama.
Sektor pertanian, industri pengolahan,
perdagangan dan konstruksi diprakirakan akan
18
tumbuh positif. Sementara kontraksi
pertambangan diprakirakan tidak sedalam
sebelumnya. Upaya pemerintah dalam
pengembangan produksi pertanian ikut
mendorong tumbuhnya sektor pertanian,
terutama di provinsi Lampung dan Sumatera
Selatan. Prospek positif pertumbuhan sektor
pertanian diperkirakan terjadi di tahun 2016.
Indikasi tersebut nampak dari meningkatnya
pertumbuhan kredit sektor pertanian seiring
dengan meningkatnya pertumbuhan harga CPO.
Sementara itu, peningkatan produksi tanaman
pangan sejalan dengan upaya khusus
peningkatan produksi yang dilakukan oleh
pemerintah.
Di sisi lain, produksi perkebunan juga
diperkirakan tumbuh sehingga mendorong
kinerja industri pengolahan yang juga didukung
oleh perbaikan permintaan. Adanya permintaan
dalam negeri untuk biodiesel mendorong
tumbuhnya sektor ini terutama di Sumatera
Utara dan Riau. Selanjutnya, sektor konstruksi
tumbuh sejalan dengan pengembangan proyek-
proyek infrastruktur pemerintah.
Prospek Inflasi
Inflasi Sumatera pada 2016 diprakirakan
meningkat dibandingkan 2015. Inflasi Sumatera
diperkirakan mencapai 4,29% hingga 4,79% (yoy),
lebih tinggi dari inflasi 2015 sebesar 3,05% (yoy).
Level inflasi pada 2016 masih berada dalam
kisaran target inflasi Bank Indonesia, yaitu 4% ±
1%.
Peningkatan inflasi 2016 diperkirakan terutama
bersumber dari peningkatan harga komoditas-
komoditas volatile food. Mundurnya musim
tanam akibat El Nino disertai dengan relatif
minimnya dukungan infrastruktur pendukung
produksi pangan ditengarai menjadi penyebab
tekanan pada inflasi pangan. Di sisi lain, terdapat
downside risk inflasi dari kecenderungan
penurunan harga minyak. Hal ini akan diikuti oleh
penyesuaian ke bawah harga BBM domestik yang
selanjutnya disertai dengan penurunan tarif
angkutan.
Konektivitas Dalam Mendukung Daya Saing
Sumatera Letak Sumatera yang berada pada jalur
perdagangan Samudera Pasifik dan Samudera
Hindia, sekaligus sebagai jalur yang
menghubungkan India dan Tiongkok, merupakan
sebuah nilai tambah yang seharusnya mampu
mendorong pertumbuhan sektor industri
pengolahan dan jasa. Ditambah dengan kondisi
budaya yang serumpun berpotensi menambah
keunggulan produk asal Indonesia.
Dalam persaingan diantara negara di kawasan
ASEAN, komoditas ekspor asal Sumatera yang
mayoritas dalam bentuk Sumber Daya Alam
(SDA) masih berada pada peringkat yang tinggi.
Komoditas minyak nabati, karet, dan timah asal
Sumatera memiliki daya saing jauh di atas posisi
Malaysia, Filipina, Thailand, dan Singapura yang
merupakan saingan terdekat (Tabel II.3). Hanya
minyak nabati dan karet, masing-masing dengan
skor Revealed Comparative Advantage (RCA)
sebesar 75,9 dan 55,9 yang memiliki pesaing
cukup berat, yaitu dengan Malaysia (24,5) dan
Thailand (31,6).
Tabel II.3. Indeks Perbandingan Daya Saing Komoditas Ekspor Utama Sumatera
Dengan melihat potensi yang besar tersebut,
Sumatera masih dihadapkan pada salah satu
tantangan yang cukup berat yaitu yang terkait
dengan dukungan logistik. Berdasarkan Logistic
Performance Index (LPI)1 yang dirilis oleh Bank
Dunia tahun 2014, Indonesia berada pada
peringkat kedua terbawah diantara 5 negara
ASEAN setelah Singapura (4,00), Malaysia (3,59),
Thailand (3,43), dan Vietnam (3,15). Peringkat
Indonesia hanya lebih baik dari Filipina. Namun
demikian, penilaian segi kinerja pengiriman
1
Penilaian Logistic Performance Index (LPI) merupakan
agregasi dari perhitungan dari kepabeanan, infrastruktur, pengiriman internasional, kualitas dan kompetensi logistik, tracking dan tracing, dan ketepatan waktu.
internasional serta kualitas dan kompetensi
logistik Indonesia masih lebih tinggi dari angka
agregat LPI (Grafik II.25).
Sumatera Malaysia Filipina Singapura Thailand
1 Minyak Nabati 422 75,91 24,49 11,94 0,22 0,75
2 Karet Alam 231 55,90 7,36 1,90 0,88 31,64
3 Timah 687 52,85 9,68 1,58 14,00 3,70
4 Bubur Kertas 251 7,63 0,07 0,66 0,86 0,28
5 Kopi & substitusinya 71 5,17 0,92 0,03 0,37 0,49
Komoditas Pangan
1 Buah-buahan 57 0,99 0,12 6,68 0,19 1,06
2 Beras 42 0,00 0,06 0,05 0,32 18,30
3 Sayuran 54 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
Sumber: UN Comtrade (diolah)
Revealed Comparative Advantage (RCA)No Komoditas SITC
Boks 1
Grafik II.25. Logistic Performance Index, World Bank
Bila dikaitkan antara LPI Indonesia tersebut
dengan perkembangan spasial di Sumatera,
dapat terlihat bahwa performa infrastruktur
logistik yang kurang baik di Indonesia berdampak
pada kurang optimalnya kinerja ekspor di
Sumatera. Akibatnya, meski memiliki keunggulan
komparatif pada komoditas minyak nabati, karet,
dan timah, ekspor ketiga jenis komoditas
tersebut sebagian masih perlu dilakukan melalui
proses transhipment di Singapura. Sebagai
contoh, dari total nilai ekspor Sumatera ke India
senilai US$4,2 miliar ternyata hanya 18,7%
dilakukan langsung dari pelabuhan di Sumatera
dan sebagian besar (81,3%) harus melalui
pelabuhan di Singapura. Hal yang sama juga
terjadi untuk ekspor tujuan Tiongkok yang senilai
US$4,4 miliar, sebesar 57,0% ekspornya
dilakukan melalui Singapura (Grafik II.26 dan
Grafik II.27).
Indikasi transhipment tercermin dari beberapa
negara tetangga di kawasan ASEAN yang
mencatatkan ekspor cukup besar untuk
komoditas yang sejenis dengan komoditas ekspor
utama Sumatera, seperti minyak nabati &
turunannya, karet alam, dan timah. Padahal,
negara-negara tersebut tidak tercatat sebagai
produsen berskala besar. Sebagai contoh, adanya
ekspor minyak nabati dan turunannya yang
dilakukan oleh Singapura (US$1,2 miliar) dan
Malaysia (US$3,9 miliar), 30%-nya merupakan
hasil ekspor dari Indonesia. Hal yang sama juga
terjadi pada komoditas timah yang setelah
melakukan impor dari Indonesia senilai US$1,2
miliar, kemudian sebesar US$0,3 miliar diekspor
kembali.
Sumber: UN Comtrade
Sumber: UN Comtrade
Grafik II.26. Arus Perdagangan Minyak Nabati
Grafik II.27. Arus Perdagangan Turunan Minyak Nabati
0
1
2
3
4
5LPI Score
Customs
Infrastructure
Internationalshipments
Logistics competence
Tracking & tracing
Timeliness
Singapore Malaysia Thailand
Vietnam Indonesia Philippines
Sumber: World Bank
Dengan modal dari letak Sumatera yang
sangat strategis diantara jalur perdagangan
yang menghubungkan dua negara
berpenduduk terbesar serta adanya
keunggulan komparatif untuk komoditas
ekspornya, perekonomian Sumatera
diperkirakan akan bertumbuh lebih tinggi
dan berkualitas apabila ditopang oleh
perbaikan infrastruktur logistik. Pengadaan
dan perbaikan akses jalan darat, jalur kereta
api khusus logistik dan penumpang, akses
pelayaran, dan pelabuhan udara sangat
diperlukan dalam peningkatan Indeks
Kinerja Logistik Indonesia. Tentunya hal
tersebut harus pula dilakukan paralel
dengan perbaikan sistem IT, peningkatan
kemampuan SDM di sisi operator pelabuhan
dan penunjangnya, dan deregulasi
peraturan. Dengan perbaikan ini, diharapkan
daya saing Sumatera dan Indonesia pada
umumnya akan lebih baik dan mampu
berkompetisi dalam menunjang
perdagangan internasional. Perkembangan
proyek-proyek infrastruktur dan deregulasi
ketentuan perdagangan internasional yang
telah dijalankan pemerintah merupakan
langkah awal yang tepat agar ketertinggalan
dibanding negara di kawasan ASEAN dapat
teratasi.
Mata rantai komoditas unggulan di
Sumatera yang relatif rendah2
mengindikasikan bahwa ekspor Sumatera
memiliki hubungan yang sangat rendah
dengan kebutuhan impor atau dapat
disimpulkan bahwa komoditas yang di
ekspor masih merupakan bahan baku yang
berasal dari SDA. Dengan langkah perbaikan
berbagai infrastruktur pendukung
diperkirakan akan menunjang upaya
hilirisasi industri di Sumatera, yang pada
gilirannya akan akan memberikan nilai
tambah bagi perekonomian dan mampu
meningkatkan penyerapan tenaga kerja.
Disisi lain, keunikan daerah wisata dan
2 Berdasarkan perhitungan Intra Industry Trade (ITT), komoditas
unggulan Sumatera (minyak nabati, karet, dan timah) memiliki level yang mendekati 0. Nilai mendekati 1 memiliki arti bahwa terdapat mata rantai yang kuat antara ekspor dengan impor dan
budaya di Sumatera, diharapkan dapat
semakin berkembang sejalan dengan
perbaikan kualitas dan efisiensi konektivitas.
Pada akhirnya, perekonomian Sumatera
akan tumbuh berkualitas dengan sumber-
sumber pertumbuhan yang baru.
mendekati 0 menjelaskan bahwa minimnya mata rantai ekspor terhadap impor.
22
Bagian III
Perekonomian Jawa Perekonomian berbagai daerah di Jawa pada triwulan IV 2015 tumbuh meningkat dibanding periode
triwulan sebelumnya, terutama ditopang oleh realisasi berbagai proyek infrastruktur pemerintah
dan membaiknya konsumsi rumah tangga. Pada triwulan akhir 2015 pertumbuhan ekonomi Jawa
secara agregat tercatat sebesar 5,9% (yoy), lebih tinggi daripada triwulan III 2015 yang sebesar 5,5%
(yoy). Berbagai proyek infrastruktur pemerintah berskala besar di Jawa seperti pembangunan jalan
tol, pelabuhan, transportasi massal dan pembangkit listrik menopang kinerja perekonomian Jawa
tumbuh meningkat. Secara keseluruhan tahun 2015, perekonomian Jawa tumbuh melambat
terutama karena pengaruh kinerja ekspor yang terbatas seiring dengan masih lemahnya permintaan
global maupun domestik. Memasuki awal tahun 2016, perekonomian Jawa terindikasi melambat
terkait dengan masih terbatasnya belanja pemerintah. Ke depan, pembangunan infrastruktur dan
perbaikan ekspor manufaktur menjadi kunci yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi Jawa
tumbuh meningkat di keseluruhan tahun 2016.
Inflasi Jawa pada akhir 2015 terjaga pada level yang rendah sebesar 3,12% (yoy), lebih rendah dari
triwulan sebelumnya yang mencapai 6,71% (yoy). Tekanan inflasi pada triwulan IV 2015 di Jawa
relatif terkendali, meski pada akhir tahun terdapat lonjakan harga pada komoditas aneka cabai,
bawang merah dan angkutan udara. Hal ini turutmendukung pencapaian target sasaran inflasi
nasional pada 2015. Tingkat inflasi terendah pada 2015 tercatat di Provinsi Jawa Tengah dan Jawa
Barat sebesar 2,73% (yoy), sedangkan yang tertinggi terjadi di Provinsi Banten pada level 4,29%
(yoy). Rendahnya tekanan inflasi sepanjang 2015 tidak terlepas dari relatif stabilnya inflasi inti. Laju
inflasi tahunan 2016 diperkirakan akan lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya yang
disebabkan oleh adanya risiko peningkatan inflasi pangan sebagai dampak dari anomali iklim El
Nino dan La Nina. Namun demikian, terdapat potensi bias ke bawah jika tren penurunan harga
minyak dunia terus berlanjut yang akan mempengaruhi harga BBM di dalam negeri dan
penyesuaian tarif listrik. Penurunan inflasi dapat lebih besar jika pemerintah menurunkan tarif
angkutan.
Pertumbuhan Ekonomi
Pada triwulan IV 2015, perekonomian Jawa
tumbuh meningkat. Pertumbuhan ekonomi Jawa
pada triwulan akhir 2015 tercatat sebesar 5,9%
(yoy), lebih tinggi dibandingkan triwulan
sebelumnya sebesar 5,5% (yoy). Membaiknya
pertumbuhan ekonomi Jawa didorong oleh
meningkatnya kinerja pertumbuhan ekonomi DKI
Jakarta, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Hanya
perekonomian Banten yang justru tercatat
mengalami pertumbuhan yang lebih lambat,
ditahan oleh perlambatan dari lapangan usaha
industri pengolahan terutama pada subkategori
kimia. Melambatnya perekonomian Banten juga
bersumber dari pertumbuhan negatif lapangan
usaha pertanian yang disebabkan oleh
penurunan produksi di triwulan akhir 2015.
Tabel III.1. Pertumbuhan Ekonomi Kawasan Jawa
Sumber: BPS dan Perkiraan Bank Indonesia
23
Selain dukungan dari realisasi pembangunan
proyek infrastruktur skala besar, perbaikan
pertumbuhan konsumsi juga turut mendukung
perekonomian Jawa pada triwulan IV 2015.
Pertumbuhan konsumsi didukung oleh pemulihan
kinerja konsumsi rumah tangga dan belanja
Pilkada serentak . Hal ini terjadi di tengah masih
terbatasnya ekonomi negara mitra dagang yang
memengaruhi perlambatan kinerja perdagangan
luar negeri, khususnya penjualan ekspor pakaian
jadi, tekstil dan kendaraan bermotor yang
menjadi produk ekspor andalan Jawa. Kinerja
impor pun masih tumbuh rendah ada triwulan
laporan, terutama pada impor barang modal. Hal
ini sejalan dengan masih belum pulihnya belanja
investasi swasta.
Grafik III.1. Kinerja Ekspor Jawa
Perekonomian Jawa secara keseluruhan 2015
tercatat tumbuh melambat. Pertumbuhan
ekonomi Jawa pada 2015 tercatat menurun dari
5,6% (yoy) menjadi 5,4% (yoy) yang terutama
disebabkan melemahnya ekspor luar negeri dan
investasi sejak 2014. Kondisi ini pada akhirnya
menyebabkan melemahnya daya beli
masyarakat, sebagaimana tercermin dari
penurunan indeks penghasilan pada Survei
Konsumen. Di sisi lain, upaya pemerintah
mempercepat investasi infrastruktur di semester
II 2015 menjadi faktor penahan perlambatan
lebih dalam dari kinerja investasi di Jawa, di
tengah belum pulihnya belanja investasi swasta.
Belanja infrastruktur pemerintah tumbuh 30%
(yoy) pada 2015, lebih tinggi dibandingkan tahun
sebelumnya yang hanya tumbuh 18% (yoy).
Pelemahan kinerja belanja rumah tangga dan
perdagangan luar negeri di 2015 berdampak pada
penurunan kinerja lapangan usaha perdagangan
dan industri pengolahan. Sementara itu,
lemahnya realisasi belanja investasi swasta
berpengaruh pada pertumbuhan lapangan usaha
konstruksi yang belum membaik, meskipun telah
dilakukan upaya percepatan belanja infrastruktur
pemerintah sejak semester II 2015. Lapangan
usaha pertanian menjadi penahan perlambatan
ekonomi lebih dalam di Jawa, di tengah adanya
anomali iklim El Nino.
Perkembangan indikator ekonomi hingga
Februari 2016 mengindikasikan potensi
perlambatan di kawasan ASEAN. Di sisi lain,
inisiatif lelang dini sejak awal tahun mendorong
kinerja belanja infrastruktur pemerintah lebih
baik dibandingkan tahun lalu, meskipun masih
lebih rendah dibandingkan triwulan IV 2015.
Secara spasial, perlambatan ekonomi terjadi pada
Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah dan D.I.
Yogyakarta.
Grafik III.2. Survei Penjualan Eceran Jawa
Di sisi lain, optimisme perbaikan ekspor LN dan
membaiknya belanja rumah tangga berpotensi
menahan laju perlambatan ekonomi lebih dalam
pada triwulan I 2016. Permintaan masyarakat
diperkirakan membaik seiring perbaikan persepsi
konsumen pada triwulan akhir 2015 (indeks
kembali berada di atas 100 yang menandakan
optimisme masyarakat). Kondisi ini juga
terkonfirmasi dari indeks penjualan riil yang
tumbuh sebesar 4,30% (yoy), jauh lebih tinggi
dari triwulan sebelumnya yang tumbuh negatif
0,23% (yoy). Namun, perbaikan kinerja ekspor
24
luar negeri diperkirakan masih terbatas di tengah
isu pelemahan ekonomi Tiongkok. Optimisme
perbaikan ekspor diperkirakan mendorong
pertumbuhan impor bahan baku industri, di
tengah masih lemahnya permintaan swasta pada
barang modal impor. Adapun salah satu yang
menjadi faktor adalah belum pulihnya kinerja
lapangan usaha pertambangan serta terbatasnya
realisasi investasi smelter yang membutuhkan
barang modal impor.
Kinerja Lapangan Usaha
Pertanian
Lapangan usaha pertanian, kehutanan, dan
perikanan tumbuh meningkat pada triwulan IV
2015. Pertumbuhan pada lapangan usaha ini
sebesar 2,4% (yoy), jauh lebih tinggi
dibandingkan triwulan sebelumnya yang hanya
sebesar 1,8% (yoy). Peningkatan pada lapangan
usaha pertanian memberikab dukungan pada
pertumbuhan kredit di lapangan usaha tersebut.
Pada triwulan IV 2015, kredit sektor pertanian
tumbuh meningkat dari 22,8% (yoy) menjadi
25,5% (yoy). Kinerja kualitas kredit pertanian
juga membaik pada triwulan IV 2015 yakni
menjadi 2,3%.
Pada triwulan I 2016, kinerja pertanian
diperkirakan masih akan mengalami
peningkatan. Dinas Pertanian Jawa Timur dan
Jawa Tengah mengkonfirmasi angka kenaikan
produksi tabama di wilayah kerjanya, sebagai
keberhasilan Unit Pengendalian Khusus (UPSUS)
dalam hal pencetakan lahan sawah baru dan
perbaikan saluran irigasi swadaya. Sementara itu,
produksi tanaman pangan di Provinsi Jawa Barat
diperkirakan akan meningkat dengan adanya
program intensifikasi dari Pemerintah Daerah
setempat yang bertujuan untuk meningkatkan
Intensitas Pertanaman (IP) dan juga produktivitas
padi.
Industri Pengolahan
Kinerja industri pengolahan di triwulan IV 2015
tumbuh stabil. Pertumbuhan lapangan usaha
industri pengolah sebesar 4,8% (yoy), ditopang
oleh permintaan akhir tahun dan pemulihan
permintaan domestik. Adapun subkategori usaha
yang meningkat di triwulan IV 2015 adalah
makanan minuman dan tembakau, tekstil, barang
dari kayu dan hasil hutan lainnya, serta
kendaraan bermotor. Secara spasial, terjaganya
kinerja sektor industri pada periode ini didorong
oleh perbaikan penjualan usaha di Provinsi Jawa
Barat, Jawa Tengah dan D.I. Yogyakarta.
Grafik III.3. Likert Scale Penjualan Saat Ini dan Perkiraan
Penjualan
Kondisi negara mitra dagang yang masih
tumbuh terbatas, diperkirakan menahan kinerja
ekspor pada lapangan usaha industri
pengolahan di triwulan I 2016. Lapangan usaha
industri pengolahan diprakirakan akan tumbuh
stabil dengan triwulan sebelumnya. Subkategori
tekstil dan otomotif diperkirakan masih akan jadi
penahan dari laju pertumbuhan industri
pengolahan. Permintaan akan kendaraan
bermotor roda 4 maupun roda 2 belum
menunjukkan adanya perbaikan hingga posisi
Januari 2016. Meskipun demikian, optimisme
terhadap kinerja industri pengolahan di triwulan I
2016 terlihat mulai membaik, hal ini tercermin
dari membaiknya indikator perkiraan kegiatan
industri pengolahan pada SKDU yang naik dari
1,08% (SBT)1 menjadi 3,33% pada triwulan I 2016.
Potensi membaiknya industri pengolahan di
triwulan I 2016 juga terlihat dari hasil liaison yang
menunjukkan adanya peningkatan penjualan
1
SBT atau saldo bersih tertimbang merupakan metode
perhitungan dengan menghitung selisih antara persentase jumlah responden yang menjawab meningkat dengan persentase jumlah responden yang menjawab menurun.
25
semenjak akhir tahun dan potensi berlanjutnya
hal tersebut khususnya pada komoditas makanan
minuman dan tembakau.
Subkategori industri makanan, minuman dan
tembakau tumbuh stabil ditengah perlambatan
yang dialami sub kategori lainnya. Kondisi ini
akan terus berlanjut dan bahkan diperkirakan
akan meningkat seiring dengan membaiknya
konsumsi di triwulan I 2016. Di wilayah Jawa,
subkategori ini menyumbang komposisi terbesar,
yaitu sebesar 18% terhadap total lapangan usaha
industri pengolahan.
Subkategori industri lainnya, seperti barang
logam juga diperkirakan meningkat, sejalan
dengan akan dimulainya proyek-proyek
infrastruktur pemerintah. Komitmen pemerintah
dalam menggunakan baja dalam negeri sebagai
bahan baku infrastruktur yang akan dibangun
diperkirakan mendorong kenaikan penjualan
subsektor logam dasar. Mulai beroperasinya
pabrik hulu terbesar kimia di Banten pada
triwulan I 2016 yang sempat melakukan
shutdown sementara dalam rangka maintenance
juga diperkirakan akan mendorong kinerja
industri pengolahan pada triwulan I 2016. Pabrik
tersebut ditargetkan dapat meningkatkan
kapasitas produksinya hingga 43% pada 2016
dengan pangsa pasar domestik yang mencapai
60%.
Perdagangan
Kinerja perdagangan di triwulan IV 2015 tercatat
mengalami perlambatan terutama disebabkan
masih lemahnya permintaan luar negeri. Adapun
daerah yang mengalami perlambatan cukup
dalam yaitu Provinsi Jawa Barat. Kondisi tersebut
merupakan dampak dari melemahnya kinerja
industri tekstil dan kendaraan bermotor yang
dominan di Jawa Barat selain subkategori
makanan minuman. Sementara permintaan
domestik justru mengalami perbaikan yang
didorong oleh meningkatnya konsumsi rumah
tangga. Tingginya permintaan domestik pada
triwulan IV 2015 juga sebagai dampak dari
momen perayaan Natal dan Tahun Baru.
Grafik III.4. Perkembangan Ekspor Subkategori Utama
Kinerja lapangan usaha perdagangan di triwulan
I 2016 diperkirakan meningkat seiring dengan
perbaikan konsumsi masyarakat yang didorong
oleh kenaikan upah pada awal 2016. Hal
tersebut tercermin pula dari perkiraan
pengeluaran konsumen tiga bulan mendatang
pada Survei Konsumen. Perdagangan luar negeri
juga diperkirakan tumbuh lebih baik didorong
optimisme kinerja ekspor ke negara-negara
ASEAN, Eropa, Amerika Serikat dan Jepang
meskipun masih relatif terbatas. Membaiknya
kinerja ekspor pada awal 2016 juga terkonfirmasi
melalui hasil liaison, khususnya pada subkategori
makanan & minuman, tekstil serta furniture yang
mayoritas ditujukan ke negara-negara tersebut.
Sementara impor khususnya bahan baku
diperkirakan meningkat sejalan dengan pulihnya
kinerja industri pengolahan di triwulan I 2016.
Konstruksi
Lapangan usaha konstruksi tumbuh lebih tinggi
di triwulan IV 2015. Pertumbuhan di lapangan
usaha ini meningkat ke 5,6% (yoy) dari 5,0% (yoy)
di triwulan III 2015. Kondisi tersebut ditopang
oleh realisasi pembangunan proyek infrastruktur
pemerintah di berbagai daerah, utamanya DKI
Jakarta.2 Pola seasonal dari optimalisasi belanja
pemerintah di akhir tahun turut mendorong
pertumbuhan lapangan usaha konstruksi.
2 Berbagai proyek infrastruktur pemerintah dengan anggaran
besar di Jawa adalah pembangunan waduk dan irigasi, infrastruktur jalan, reaktivasi dan pembangunan jalur rel kereta api, perbaikan pelabuhan dan bandara serta pembangkit listrik.
26
Sementara konstruksi swasta mengalami
perlambatan sejalan dengan masih lemahnya
pasar properti komersial dan kondisi
ketidakpastian ekonomi global yang mendorong
pelaku usaha untuk menahan investasinya pada
2015.
Pada triwulan I 2016, sektor konstruksi
diperkirakan tumbuh lebih rendah sejalan
dengan pola seasonal dimana investasi
pemerintah baru memasuki tahap pengadaan.
Implementasi lelang dini diperkirakan baru akan
berdampak pada kinerja sektor konstruksi di
triwulan II 2016. Optimisme pelaku usaha yang
belum sepenuhnya membaik, diperkirakan
berdampak pada terbatasnya realisasi investasi di
2016. Pada triwulan I 2016, investasi swasta
terindikasi lebih banyak didominasi oleh
kelanjutan investasi proyek multi-year
dibandingkan dengan investasi baru.
Jasa Keuangan
Pertumbuhan jasa keuangan meningkat tinggi
terutama pada subkategori perbankan pada
triwulan IV 2015. Terus membaiknya kinerja
perbankan terlihat dari pendapatan Financial
Intermediation Services Indirectly Measured
(FISIM) atau pendapatan dari hasil intermediasi
perbankan yang masih mengalami peningkatan
pertumbuhan. Adapun porsi pendapatan
perbankan dari FISIM merupakan yang terbesar
(73% dari total pendapatan perbankan).
Meningkatnya nilai tambah bruto perbankan juga
didorong oleh pendapatan sekunder, atau
pendapatan operasional diluar bunga yang
meningkat signifikan hingga mencapai 131,28%
(yoy), jauh lebih tinggi dari pertumbuhan triwulan
sebelumnya yang hanya mencapai 66,81% (yoy).
Secara spasial, DKI Jakarta menyumbang nilai
tambah bruto terbesar bagi lapangan usaha jasa
keuangan di Jawa dimana mayoritas perbankan di
Indonesia berkantor pusat di DKI Jakarta.
Lapangan usaha jasa keuangan diperkirakan
akan mengalami perlambatan pada triwulan I
2016 yang disebabkan masih terbatasnya
pertumbuhan kredit di seluruh provinsi di Jawa.
Sejalan dengan masih terbatasnya pertumbuhan
kredit, maka pendapatan sekunder atau
pendapatan non bunga diperkirakan tidak akan
tumbuh setinggi triwulan sebelumnya.
Grafik III.5. Perkembangan Kinerja Perbankan (NTB)
Fiskal Daerah
Penyerapan belanja fiskal Pemerintah Daerah di
Jawa pada 2015 secara agregasi terpantau
mengalami peningkatan. Dalam kondisi yang
masih diliputi perlambatan ekonomi, realisasi
belanja APBD memiliki peran penting sebagai
salah satu sumber pertumbuhan ekonomi di
Jawa. Realisasi APBD Jawa pada 2015 meningkat
menjadi 88% dibanding periode yang sama pada
2014 sebesar 84%. Secara spasial, hanya provinsi
Jawa Tengah dan Jawa Timur yang mengalami
penurunan penyerapan APBD. Realisasi belanja
yang belum optimal disebabkan oleh tata aturan
pembangunan dan penggunaan lahan yang dirasa
masih tumpang tindih, serta belum
disederhanakannya proses pengajuan izin dan
lelang untuk pembangunan infrastruktur strategis
daerah.
Sejalan dengan optimisme pertumbuhan
ekonomi Jawa pada 2016, prognosa APBD
provinsi di Jawa menunjukkan adanya
peningkatan dibandingkan dengan pagu tahun
sebelumnya. Secara agregat prognosa
pertumbuhan belanja APBD di Jawa diperkirakan
akan meningkat sejumlah 2% pada 2016.
Meningkatnya pagu APBD pada 2016 didorong
oleh adanya penambahan alokasi dana untuk
pembangunan proyek vital dalam rangka
27
mendorong percepatan realisasi infrastruktur
strategis.
Perkembangan Inflasi
Tekanan inflasi Jawa pada triwulan akhir 2015
masih terjaga pada level yang rendah. Laju inflasi
tahunan Jawa pada akhir triwulan IV 2015
tercatat sebesar 3,12% (yoy), lebih rendah
dibandingkan triwulan sebelumnya yaitu sebesar
6,71% (yoy) maupun bila dibandingkan dengan
2014 yang mencapai 8,35% (yoy). Menurunnya
laju inflasi 2015 disebabkan oleh menurunnya
tekanan pada kelompok volatile food dan
administered prices serta masih terjaganya
pergerakan inflasi inti. Tekanan inflasi yang
mereda disumbang oleh harga BBM serta LPG
yang mengalami penurunan serta terjaganya
pasokan bahan pangan. Secara spasial, inflasi di
seluruh provinsi berada dalam target sasaran
inflasi nasional pada 2015 sebesar 4±1%. Laju
inflasi tahunan terendah, tercatat di Provinsi
Jawa Tengah serta Jawa Barat sebesar 2,73%
(yoy), sementara yang tertinggi berada di Provinsi
Banten yang mencapai 4,29% (yoy).
Sumber : BPS (diolah)
Grafik III.6. Perkembangan Inflasi Jawa dan Nasional
Laju inflasi bulanan kelompok volatile food
relatif stabil pada triwulan terakhir 2015 meski
mengalami peningkatan yang cukup tajam pada
Desember 2015. Peningkatan tersebut
disebabkan oleh adanya lonjakan harga cabai
merah dan bawang merah yang cukup tinggi pada
akhir tahun dengan berakhirnya masa panen.
Secara umum harga bahan pangan cenderung
stabil pada triwulan IV 2015 seiring tercukupinya
pasokan beras setelah masuknya beras impor
sebagai antisipasi penurunan produksi beras
akibat El Nino. Pasokan daging ayam ras juga
relatif terjaga setelah kembali normalnya
pasokan DOC di tengah masih mahalnya harga
pakan ternak. Pasokan cabai merah dan bawang
merah yang berlimpah dengan masuknya masa
panen pada awal triwulan IV 2015 turut
menahan peningkatan inflasi pada kelompok
volatile food.
Sumber : BPS (diolah)
Grafik III.7. Disagregasi Kelompok Inflasi
Laju inflasi bulanan administered prices yang
relatif stabil pada triwulan IV 2015 turut
menjaga rendahnya tingkat inflasi secara umum.
Harga BBM (termasuk solar) dan LPG yang masih
dalam tren menurun mengikuti harga minyak
dunia, menjadi penahan tekanan inflasi dari
kelompok administered prices. Pada Desember
2015, tekanan inflasi bersumber dari penyesuaian
tarif angkutan udara menjelang libur akhir tahun
dan adanya penyesuaian tarif listrik untuk
beberapa golongan.
Dari sisi kelompok inti atau core inflation, laju
inflasi cenderung melandai pada triwulan
terakhir 2015. Tekanan inflasi pada kelompok inti
masih berasal dari komoditas-komoditas utama,
yaitu kontrak rumah, sewa rumah dan nasi
dengan lauk. Sementara itu, tren penurunan
harga emas dunia turut menahan laju inflasi inti
khususnya dalam dua bulan terakhir pada 2015.
Tingkat inflasi tahunan Jawa pada 2015 jauh
lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya,
sehingga turut mendukung pencapaian target
sasaran inflasi nasional. Melambatnya laju inflasi
tahunan Jawa terutama didorong oleh penurunan
28
inflasi kelompok administered prices dan volatile
food, di tengah inflasi kelompok inti yang terjaga
stabil. Sepanjang 2015, sumbangan inflasi
terbesar berasal dari komoditas beras, daging
ayam ras dan sewa rumah. Tekanan inflasi pada
2015 juga bersumber dari kelangkaan day old
chick (DOC) dan naiknya harga pakan ternak yang
sebagian besar merupakan barang impor. Hal ini
mengakibatkan kenaikan harga daging ayam ras
di seluruh provinsi. Meski demikian, penurunan
harga bensin, aneka cabai dan angkutan dalam
kota menjadi penyumbang deflasi terbesar pada
2015.
Tabel III.2. Perkembangan Inflasi Spasial
Sumber : BPS (diolah)
Seluruh spasial, seluruh provinsi di regional
Jawa mencapai tingkat inflasi yang lebih rendah
di 2015. Laju inflasi tahunan terendah dicatatkan
oleh Provinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah
sebagai pengaruh dari terjaganya inflasi
kelompok volatile food dan kelompok inti.
Sementara itu, laju inflasi tahunan di Provinsi
Banten merupakan yang tertinggi di Jawa, sejalan
dengan tingkat inflasi inti yang masih relatif tinggi
dibandingkan dengan provinsi lainnya.
Tekanan inflasi Jawa pada triwulan I 2016
terindikasi dari tingginya inflasi Januari 2016.
Inflasi Jawa pada Januari 2016 mencapai 3,92%
(yoy). Tekanan terbesar pada Januari 2016
berasal dari meningkatnya harga daging ayam ras
dan telur ayam ras karena berkurangnya pasokan
DOC dan masih mahalnya harga pakan ternak.
Berlanjutnya kenaikan harga bawang merah dan
cabai merah juga turut menyumbang inflasi
karena masih terbatasnya pasokan serta kualitas
komoditas yang memburuk pada saat musim
hujan. Dari inflasi kelompok inti, penetapan cukai
rokok 2016 menambah tekanan untuk komoditas
rokok kretek dan rokok kretek filter. Namun
demikian, laju inflasi bulanan yang lebih tinggi
tertahan oleh penurunan harga dari kelompok
administered prices yaitu harga bensin, bahan
bakar rumah tangga, dan tarif angkutan udara.
Sumber : BPS (diolah) dan Bank Indonesia
Grafik III.8. Inflasi dengan Perkiraan Harga 3 bulan Survei Konsumen
Faktor risiko utama dari prospek inflasi Jawa
pada triwulan I 2016 bersumber dari kelompok
volatile food. Kemarau panjang akibat EL Nino
yang terjadi hingga akhir 2015 berdampak
kepada mundurnya masa tanam di akhir tahun.
Hal ini selanjutnya berdampak pada mundurnya
masa panen raya ke triwulan II 2015. Selain itu
risiko kenaikan harga pada komoditas daging dan
telur ayam ras diperkirakan masih akan berlanjut.
Dampak peningkatan inflasi harga bahan pangan
terhadap makanan jadi diperkirakan juga
menambah tekanan inflasi pada triwulan awal
2016. Meski demikian, penyesuaian harga di
kelompok administered prices yakni harga BBM,
LPG 12 Kg, tarif listrik, dan tarif angkutan
diperkirakan dapat menahan peningkatan inflasi
Jawa pada triwulan I 2016.
Menghadapi faktor risiko inflasi pada 2016,
TPID di Jawa akan memfokuskan upaya
pengendalian inflasi dalam menjaga
ketersediaan pasokan dan pembentukan harga
yang terjangkau, serta upaya penerapan
protokol manajemen lonjakan harga. Upaya
TPID dalam pengendalian inflasi tersebut terbagi
atas program jangka pendek maupun jangka
menengah – panjang.
2014
IV I II III IV
Jawa Barat 7.60 5.46 6.51 6.11 2.73
Banten 10.20 7.46 8.91 8.14 4.29
Jawa Tengah 8.21 5.68 6.15 5.78 2.73
D.I. Yogyakarta 6.59 5.13 5.68 5.23 3.09
Jawa Timur 7.77 6.08 6.77 6.69 3.08
DKI Jakarta 8.95 7.10 7.59 7.24 3.30
Jawa 8.35 6.28 7.07 6.71 3.12
Nasional 8.36 6.38 7.26 6.83 3.35
2015Provinsi
29
1. Jangka Pendek
a. Refocusing anggaran dalam bentuk
bantuan benih kepada petani untuk
mengamankan pasokan panen, terutama
pada triwulan I 2016.
b. Integrasi PHIPS dengan papan informasi
harga pangan strategis yang dimiliki
Pemda.
c. Peningkatan peran Divre Bulog untuk
stabilisasi dan pengendalian stok barang
selain beras.
2. Jangka Menengah - Panjang
a. Pengaturan pola tanam komoditas sesuai
dengan pemetaan defisit.
b. Penguatan kelembagaan dan peningkatan
kapasitas SDM petani.
c. Pengembangan protokol manajemen
lonjakan harga dengan fitur early warning
system (EWS) dan call for meeting
d. Penguatan dan Perluasan Kerjasama antar
daerah, baik secara G to G maupun B to B.
e. Optimalisasi keberadaan Toko Tani
Indonesia sebagai bentuk operasi pasar
permanen.
f. Optimalisasi penggunaan moda kereta api
sebagai sarana distribusi pangan (lihat
boks terkait pemanfaatan kereta api
memperlancar logistik pangan di Jawa)
Stabilitas Keuangan Daerah
Stabilitas keuangan daerah Jawa masih terjaga,
meskipun secara umum indikator pertumbuhan
kredit, aset dan DPK menunjukkan adanya
perlambatan pertumbuhan. Kualitas kredit yang
tercermin dari rasio Non Performing Loan (NPL)
berada pada level 2,25%, lebih baik dari realisasi
periode sebelumnya sebesar 2,41%. Membaiknya
kualitas kredit tersebut selain didorong oleh
masih kuatnya kemampuan bayar debitur, juga
didorong oleh adanya restrukturisasi kredit.
Grafik III.9. Perkembangan Kredit, DPK dan Rasio NPL
Penyaluran kredit oleh sektor perbankan di
Jawa pada triwulan IV 2015 (berdasarkan lokasi
proyek) tumbuh melambat bila dibandingkan
triwulan sebelumnya. Total penyaluran kredit
mencapai Rp2.827 triliun atau memiliki porsi
sebesar 69% terhadap total kredit nasional. Pada
triwulan terakhir 2015, kredit tumbuh melambat
10,71% (yoy), dibandingkan periode sebelumnya
yang sebesar 11,13% (yoy). Perlambatan tersebut
didorong oleh perlambatan pada kredit konsumsi
dan kredit modal kerja, sedangkan kredit
investasi justru mampu mengalami peningkatan
pertumbuhan. Sejalan dengan perlambatan
pertumbuhan kredit, DPK turut mengalami
perlambatan dan hanya tumbuh 7,28% (yoy),
lebih rendah dibandingkan triwulan sebelumnya
yang tumbuh sebesar 12,24% (yoy). Jumlah DPK
yang dihimpun di Jawa per Desember 2015
mencapai Rp3.403 triliun atau setara dengan 77%
dari total DPK di Indonesia.
Grafik III.10. Perkembangan Realisasi Kredit Baru
Pertumbuhan kredit yang melebihi
pertumbuhan DPK membuat Loan to Deposit
Ratio (LDR) mengalami peningkatan. Rasio LDR
sedikit meningkat ke level 83,05% atau lebih
30
tinggi dibandingkan triwulan sebelumnya yang
berada pada level 80,70%. Meningkatnya LDR
juga disebabkan oleh adanya realisasi kredit baru
sebesar Rp341 triliun, atau meningkat dengan
pencairan kredit baru pada triwulan III sebesar
Rp287 triliun.
Ketahanan Sektor Korporasi
Pertumbuhan penyaluran kredit korporasi
tercatat mengalami peningkatan yang sejalan
dengan membaiknya pertumbuhan ekonomi
Jawa. Pertumbuhan penyaluran kredit kepada
sektor korporasi berada pada level 13,38% (yoy),
lebih tinggi dibandingkan triwulan sebelumnya
sebesar 11,56% (yoy). Perbaikan tersebut
didukung oleh meningkatnya kredit investasi
maupun kredit modal kerja. Pertumbuhan kredit
korporasi turut didukung dengan membaiknya
kualitas kredit yang terlihat dari rasio NPL yang
masih terjaga pada level 2,25%.
Sektor utama pada kredit korporasi yaitu sektor
perdagangan dan sektor transportasi &
komunikasi dapat mengalami peningkatan
pertumbuhan, sementara sektor industri
pengolahan melambat. Penyaluran kredit untuk
sektor perdagangan meningkat cukup tinggi dari
11,85% menjadi 15,39% disertai dengan
membaiknya kualitas kredit. Membaiknya
pertumbuhan kredit sektor perdagangan diikuti
oleh sektor transportasi & komunikasi yang
mampu tumbuh positif menjadi 6,01% setelah
sebelumnya tumbuh negative sebesar 2,94%.
Kualitas kredit untuk sektor transportasi &
komunikasi juga membaik terlihat dari rasio NPL
berada pada level 2,98%. Sementara itu, sektor
industri pengolahan yang memiliki porsi terbesar
(share sebesar 34% dari total kredit)
menunjukkan pertumbuhan yang sedikit
melambat dari 17,27% menjadi 16,35% pada
triwulan IV 2015 dan diikuti dengan menurunnya
rasio NPL pada sektor dimaksud.
Grafik III.11. Kredit Korporasi Sektor Utama
Secara spasial, peningkatan kredit korporasi dari
Provinsi Jawa Tengah dan DKI Jakarta
mendorong pertumbuhan kredit korporasi
secara keseluruhan. Meningkatnya kredit
korporasi di Jawa terutama didorong oleh
peningkatan penyaluran kredit di DKI Jakarta,
yang mempunyai porsi 59% dari total kredit
korporasi, dapat tumbuh meningkat dari 10,16%
(yoy) menjadi 13,52% (yoy) pada triwulan IV
2015. Sementara itu, perlambatan penyaluran
kredit korporasi di Provinsi Jawa Barat dan
Provinsi Jawa Timur yang memiliki total share
sebesar 26% menahan pertumbuhan lebih lanjut
pada kredit korporasi.
Grafik III.12. Pertumbuhan Kredit Korporasi Spasial
Penghimpunan DPK korporasi tercatat
melambat, terutama didorong oleh
melambatnya giro dan deposito. Pertumbuhan
DPK korporasi mengalami perlambatan dari
triwulan sebelumnya sebesar 18,07% (yoy)
menjadi 11,69% (yoy) pada triwulan laporan.
Perlambatan pertumbuhan kredit disebabkan
perlambatan pertumbuhan pada seluruh
komponen pembentuknya. Perlambatan
terdalam terjadi pada giro yang saat ini tumbuh
31
17,41% (yoy), lebih rendah dari triwulan
sebelumnya yang sebesar 25,32% (yoy).
Grafik III.13. Pertumbuhan DPK Sektor Korporasi
Ketahanan Sektor Rumah Tangga
Pemberian kredit rumah tangga mengalami
perlambatan seiring masih terbatasnya
permintaan masyarakat akan KPR maupun KKB.
Penyaluran kredit bagi sektor rumah tangga
mengalami perlambatan dari 10,52% (yoy)
menjadi 9,46% (yoy) pada triwulan laporan.
Namun demikian kualitas kredit rumah tangga
tercatat mengalami peningkatan dimana pada
akhir tahun 2015 berada pada level 1,44%
terutama didorong penurunan NPL pada KPR dan
kredit multiguna. Melambatnya kredit rumah
tangga terutama disebabkan oleh perlambatan
penyaluran kredit kepemilikan kendaraan
bermotor (KKB) dari 6,95% (yoy) pada triwulan III
2015 menjadi 2,0% pada triwulan laporan.
Melambatnya penyaluran KKB terkonfirmasi oleh
data GAIKINDO yang menyatakan penjualan
kendaraan roda empat turun 22,11% (yoy)
setelah mengalami pertumbuhan 5,53% (yoy)
pada tahun 2014. Selain itu hasil Survei
Konsumen juga mengindikasikan adanya
perlambatan konsumsi barang tahan lama. Di sisi
lain kredit kepemilikan rumah (KPR) serta
kepemilikan apartemen/ruko (KPA) juga tercatat
mengalami perlambatan menjadi 7,29% (yoy)
dibandingkan triwulan sebelumnya yang sebesar
8,08% (yoy). Menurunnya permintaan akan KPR
maupun KPA juga terlihat pada Survei Harga
Properti Residensial (SHPR) yang menunjukkan
adanya stagnasi harga pada triwulan IV 2015.
Berbeda dengan KKB dan KPR yang meningkat,
kredit multiguna justru mengalami peningkatan
pertumbuhan yaitu dari 14,17% (yoy) menjadi
15,16% (yoy).
Grafik III.14. Penyaluran Kredit Sektor Rumah Tangga
Grafik III.15. Kualitas Kredit Sektor Rumah Tangga
Pertumbuhan DPK milik rumah tangga di Jawa
mengalami peningkatan yang didorong oleh
meningkatnya giro dan tabungan rumah tangga.
Pada akhir triwulan IV 2015, DPK rumah tangga
tercatat tumbuh 5,32%, (yoy) lebih tinggi
dibandingkan periode sebelumnya yang hanya
tumbuh 4,70% (yoy). Pertumbuhan tersebut
disumbang oleh jenis simpanan giro dan
tabungan, sedangkan deposito justru mengalami
perlambatan. Pada semester II 2015 ini, terdapat
indikasi perubahan perilaku rumah tangga yang
cenderung mencairkan depositonya untuk
memperoleh likuiditas seiring perekonomian
yang relatif membaik.
32
Grafik III.16. Pertumbuhan DPK Sektor Rumah Tangga
Pembiayaan Sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM)
Pertumbuhan kredit kepada sektor UMKM
kembali melambat pada akhir tahun 2015,
namun dengan kualitas kredit yang mengalami
perbaikan. Penyaluran kredit UMKM mengalami
pertumbuhan sebesar 8,20% (yoy) melambat
dibandingkan triwulan sebelumnya yang sebesar
8,66% (yoy). Perlambatan kredit UMKM tersebut
terutama terjadi pada penyaluran kredit sektor
jasa perorangan, sektor perantara keuangan dan
sektor listrik, gas dan air. Sementara itu, porsi
kredit UMKM di bandingkan dengan total kredit
yang disalurkan tidak banyak mengalami
perubahan. Hingga akhir tahun 2015, porsi kredit
UMKM hanya sebesar 16,15% dengan porsi kredit
UMKM terbesar berada di D.I. Yogyakarta dan
Provinsi Jawa Tengah. Meski demikian, kualitas
kredit UMKM pada triwulan laporan relatif
terjaga yang tercermin dari rasio NPL kredit
UMKM yang relatif membaik pada triwulan
laporan. NPL kredit UMKM berada di level
3,64%, menurun dibandingkan dengan periode
sebelumnya yang sebesar 4,15%.
Grafik III.17. Pertumbuhan & NPL Kredit UMKM
Sumber perlambatan kredit UMKM berasal dari
provinsi Jawa Barat dan DKI Jakarta. Kredit
UMKM dari Provinsi Jawa Barat yang memiliki
porsi 22% dari total kredit UMKM Jawa dan DKI
Jakarta yang mempunyai porsi 27% mengalami
mengalami perlambatan sehingga menahan
pertumbuhan Jawa secara keseluruhan. Provinsi
Jawa Barat tercatat mengalami perlambatan dari
6,41% (yoy) menjadi 3,66% (yoy) pada triwulan
laporan dan merupakan yang terendah dalam 5
tahun terakhir. Sementara itu, Provinsi DKI
Jakarta juga tercatat tumbuh melambat dari
7,78% pada triwulan III menjadi 5,44% pada
triwulan IV. Pertumbuhan kredit UMKM dari
provinsi lainnya di wilayah Jawa belum mampu
menahan perlambatan pertumbuhan. Meskipun
mengalami perlambatan pertumbuhan, namun
seluruh provinsi dapat mencatatkan perbaikan
kualitas kredit yang terlihat dari penurunan rasio
NPL di seluruh provinsi.
Grafik III.18. Penyaluran Kredit UMKM Spasial
Pengelolaan uang Rupiah
Sesuai dengan pola historisnya, wilayah Jawa
mengalami net outflow (termasuk DKI Jakarta)
33
pada triwulan akhir 2015. Pada triwulan IV 2015,
wilayah Jawa mengalami net outflow sebesar
Rp27,19 triliun yang lebih tinggi dibandingkan net
outflow pada periode yang sama pada tahun
sebelumnya (Rp17,11 T). Uang yang masuk ke
dalam wilayah Jawa tumbuh 1,16% (yoy), jauh
melambat dibandingkan triwulan sebelumnya
yang tumbuh 6,81%. Sementara itu, cash outflow
mengalami pertumbuhan sebesar 13,17%,
meningkat tinggi dibandingkan periode
sebelumnya sebagai respon atas peningkatan
kebutuhan uang kartal masyarakat untuk
memenuhi peningkatan konsumsi pada akhir
tahun serta beberapa kegiatan besar seperti
pelaksanaan Pilkada serentak. Secara spasial,
tercatat 3 provinsi yang mengalami net outflow
yaitu Daerah Istimewa Yogyakarta, DKI Jakarta,
dan Jawa Timur.
Pengelolaan uang rupiah di wilayah Jawa,
apabila tidak termasuk dengan DKI Jakarta,
masih mengalami net inflow. Sesuai dengan
karakteristik wilayah Jawa sebagai basis
manufaktur dan penghasil bahan pangan, maka
wilayah Jawa terkecuali DKI Jakarta mengalami
net inflow. Pada triwulan akhir 2015, net inflow
Jawa minus DKI Jakarta mengalami perlambatan.
Grafik III.19. Perkembangan Netflow
Penemuan uang palsu yang dilaporan kepada
Bank Indonesia pada akhir tahun 2015
mengalami penurunan. Jumlah uang palsu yang
telah dilaporkan pada triwulan IV 2015 sebanyak
39.169 lembar, menurun dibandingkan triwulan
sebelumnya yang tercatat sebanyak 47.165
lembar. Menurunnya pelaporan uang palsu
tersebut mengindikasikan meningkatnya
pemahaman masyarakat mengenai ciri-ciri
keaslian uang Rupiah. Selain itu, hal tersebut
turut didukung oleh upaya edukasi kepada
masyarakat terkait ciri-ciri keaslian uang Rupiah.
Sejumlah langkah penguatan koordinasi dengan
perbankan dan pihak berwajib mengenai
penanganan laporan masyarakat tentang uang
yang diragukan keasliannya, juga cukup efektif.
Grafik III.20. Perkembangan Penemuan Uang Palsu
Ketersediaan uang layak edar bagi masyarakat
dilakukan baik melalui kerjasama dengan
perbankan maupun penyelenggaraan layanan
kas keliling. Pada triwulan terkahir tahun 2015,
jumlah pemusnahan UTLE menglami peningkatan
dari 26,29 juta triliun, menjadi 29,59 juta triliun.
Grafik III.21. Perkembangan Pemusnahan UTLE
Prospek Perekonomian
Prospek Pertumbuhan Ekonomi
Perekonomian Kawasan Jawa pada 2016
diprakirakan tumbuh lebih baik. Pertumbuhan
ekonomi Jawa diproyeksikan berada pada kisaran
5,6%-6,0% (yoy), sedikit lebih tinggi dibandingkan
proyeksi sebelumnya. Optimisme perbaikan
ekonomi terutama berasal dari potensi
menguatnya permintaan negara mitra dagang,
34
yaitu Amerika Serikat, Jepang, ASEAN dan Eropa.
Selain itu, komitmen pemerintah untuk
mempercepat belanja infrastruktur pada 2016
juga turut mendukung pemulihan ekonomi Jawa.
Dari sisi permintaan, perbaikan ekonomi juga
bersumber dari optimisme peningkatan
konsumsi baik rumah tangga maupun
pemerintah serta pemulihan minat investasi
swasta. Hampir seluruh lapangan usaha utama di
Jawa berpotensi mengalami peningkatan kinerja,
khususnya pada lapangan usaha konstruksi,
perdagangan dan pertanian. Berbagai indikator
ekonomi baik dari sumber liaison maupun survei
mengindikasikan perbaikan persepsi dan
ekspektasi terhadap kondisi perekonomian,
peningkatan pendapatan dan rencana investasi
pada 2016.
Di sisi lain, masih terdapat risiko dari penurunan
harga komoditas dan implementasi lelang dini
yang tidak optimal serta berlanjutnya
pelemahan ekonomi Tiongkok. Tertundanya
belanja fiskal Pemda akibat penyesuaian pejabat
daerah paska Pilkada serentak pada akhir tahun
2015 dapat menunda keberlanjutan
pembangunan di daerah. Selain itu, belum
pulihnya harga komoditas tambang dan
perkebunan dikhawatirkan juga turut
mempengaruhi kinerja ekonomi wilayah luar
Jawa yang berbasis SDA. Hal ini berpotensi
mengganggu kinerja perdagangan antar daerah
dengan wilayah Jawa. Risiko anomali cuaca La
Nina yang berpotensi mengakibatkan banjir
dapat mengganggu capaian produksi pertanian
yang utama pada perekonomian di Jawa.
Prospek Inflasi
Laju inflasi tahunan Jawa pada 2016
diperkirakan lebih tinggi dari 2015 namun masih
akan berada dalam rentang target inflasi
sebesar 4±1%. Tingkat inflasi pada 2016
diprakirakan berada pada kisaran 3,90–4,30%
(yoy).
Risiko tekanan inflasi pada 2016 terutama bersumber dari kelompok volatile food akibat pergeseran musim tanam. Kemarau
berkepanjangan atau El Nino pada semester II 2015 berdampak kepada bergesernya masa tanam tanaman pangan. Mundurnya masa panen raya padi berisiko menurunkan produksi beras Jawa dari 16,9 juta ton menjadi sekitar 15–15,5 juta ton pada tahun 2016. Meningkatnya curah hujan pada tahun 2016 akibat anomali cuaca La Nina juga dikhawatirkan dapat menimbulkan banjir yang berisiko menurunkan pasokan serta menghambat proses distribusi bahan makanan.
Di sisi lain terdapat potensi downside risk yang
bersumber dari tren penurunan harga minyak
dunia. Inflasi berpotensi lebih rendah dari
prakiraan bilamana penurunan harga minyak
dunia terus berlanjut dan lebih dalam sehingga
menyebabkan adanya penyesuaian harga BBM
di dalam negeri dan tarif listrik. Selain itu, efek
lanjutan berupa penurunan tarif angkutan akan
menahan tekanan inflasi lebih dalam. Tekanan
dari kelompok inti diperkirakan tidak terlalu
besar, walaupun terdapat risiko yang
bersumber dari kenaikan harga barang impor
sebagai dampak dari penguatan nilai tukar USD.
Pemanfaatan Kereta Api Memperlancar
Logistik Pangan di Jawa Sepanjang tahun 2015, tekanan inflasi terbesar di
wilayah Jawa berasal dari kelompok volatile food
khususnya pada komoditas beras, cabe merah
dan daging sapi. Tekanan yang besar dari
komoditas tersebut perlu mendapat perhatian
lebih lanjut, mengingat Jawa merupakan
lumbung pangan nasional. Disparitas harga yang
masih terjadi antara wilayah sentra produksi
dengan wilayah konsumsi, salah satunya
disebabkan oleh permasalahan pada proses
distribusi.
Permasalahan pada proses distribusi pangan di
Jawa antara lain tercermin dari masih panjangnya
rantai pasok pangan dengan level margin yang
bervariasi pada setiap level pedagang, inefisiensi
moda transportasi yang digunakan pada proses
distribusi serta masih kurang optimalnya
pemanfaatan gudang dan cold chain pada proses
pasca panen. Hipotesis ini didukung oleh hasil
riset Perdagangan Antar Wilayah (2015) yang
dilakukan Bank Indonesia yang menyatakan
bahwa biaya transportasi mendominasi
komponen biaya pembelian dan penjualan
komoditas tersebut pada level pedagang.
Berdasarkan hasil analisis pola perdagangan dan
transportasi yang digunakan pada proses
distribusi pangan di Jawa, diketahui bahwa untuk
ketiga komoditas di atas, hampir seluruh provinsi
di Jawa melakukan pembelian dan penjualan
dalam lingkup wilayah Jawa kecuali Jawa Timur
yang banyak melakukan penjualan ke Kawasan
Timur Indonesia (KTI).
Grafik III.22. Komponen Biaya Penjualan
Moda transportasi yang digunakan pada proses
distribusi di wilayah Jawa didominasi penggunaan
truk. Distribusi multi moda dengan kapal laut
digunakan untuk pengiriman keluar Jawa
sedangkan distribusi multi moda dengan pesawat
digunakan untuk pengiriman perishable goods
seperti pada komoditas aneka cabai dan daging
sapi. Distribusi dengan menggunakan kereta api
masih kurang diminati karena tarif yang dianggap
tinggi serta pengiriman barang yang harus dalam
jumlah besar.
Gambar III.1. Distribusi Pangan Komoditas Beras
Boks 2
Potensi penggunaan kereta api untuk distribusi
barang di Jawa sangat besar. Hal ini didukung
dengan kondisi infrastruktur yang memadai
khususnya rel ganda di Jalur Pantai Utara Jawa
dari Jakarta ke Surabaya sejak September 2014.
Untuk pengembangan Jalur selatan Jawa, saat ini
sedang dilaksanakan pembangunan rel ganda
dari Cirebon ke Surabaya melewati beberapa
kota antara lain Purwokerto, Kroya, Kutoarjo,
Madiun, dan Jombang sampai Surabaya dimana
daerah-daerah tersebut merupakan sentra
produksi pangan khususnya beras. Pembangunan
Rel Ganda Selatan tersebut di perkirakan selesai
di tahun 2019.
Sumber : Ditjen Perkeretaapian – Kementerian Perhubungan Gambar III.2. Perkembangan Jalur Kereta Api Pantura
Sumber : Ditjen Perkeretaapian – Kementerian Perhubungan
Gambar III.3. Perkembangan Kereta Api Jalur Selatan
Beberapa hal yang menjadi kendala pada
distribusi dengan menggunakan moda kereta api
diantaranya handling cost yang masih tinggi,
biaya penggunaan truk dari dan menuju stasiun
terdekat yang relatif mahal, fasilitas bongkar
muat yang minim di stasiun tujuan serta tingginya
Track Access Charge (TAC). Beban dengan moda
kereta api juga ditambah dengan PPN 10% yang
dibebankan pada PT. KAI, sehingga memengaruhi
tingginya tarif angkutan menggunakan moda
kereta api. Pada tabel III.3 disajikan perbandingan
penggunanaan moda transportasi dalam kegiatan
pengangkutan barang.
Berdasarkan hasil simulasi pengiriman barang
dari salah satu dry port yang berada di Jawa Barat
ke Surabaya menggunakan kereta dan truk,
diketahui bahwa total biaya menggunakan kereta
api masih jauh lebih tinggi. Biaya dengan kereta
api mencapai Rp237.037 sementara total biaya
dengan menggunakan truk sebesar Rp177.777
atau sekitar 75% lebih murah dari biaya kereta
api. Meski demikian, waktu tempuh dengan
menggunakan kereta api pada aktualnya lebih
cepat (sekitar 19 jam) dibanding dengan
menggunakan truk (sekitar 30 jam). Waktu
tempuh dengan menggunakan truk juga bisa
lebih lama karena dapat terhambat faktor
kemacetan dan jalan rusak. Kelebihan lain yang
dimiliki moda transportasi kereta api diantaranya
hemat penggunaan BBM, bebas pungutan liar
serta memiliki waktu yang terjadwal.
Tabel III.3. Perbandingan Antar Moda Transportasi
Truk Kapal Kereta Api
Kapasitas (TEUs)
1 500 60
Konsumsi BBM (L/TEUs)
210 103 53
Biaya (Rp/TEUs)
± 6 Juta ± 4 Juta ± 15 Juta
Waktu Perjalanan (Hari)
3 hari 1,5 hari 0,5 hari
Untuk mendorong pemanfaatan moda
transportasi kereta api, beberapa hal perlu
segera dibenahi. Langkah strategis yang dapat
diambil antara lain merevitalisasi jalur kereta api,
menarik investor untuk berinvestasi pada
peralatan bongkar muat, pemberian insentif
kepada pedagang berupa TAC yang lebih rendah
untuk komoditas strategis tertentu, peningkatan
jumlah stasiun barang serta mendukung
pembangunan infrastruktur yang terintegrasi
dengan pelabuhan dan kawasan industri. Upaya-
upaya dalam mendorong pemanfaatan kereta api
di atas membutuhkan kerjasama dari seluruh
pihak terkait agar moda kereta api dapat menjadi
sarana transportasi yang dipilih oleh para pelaku
usaha.
Selain optimalisasi penggunaan moda kereta api,
integrasi moda transportasi juga perlu menjadi
prioritas pembangunan ke depan. Akselerasi
pembangunan akses kereta api ke pelabuhan dan
bandara masih perlu dilakukan. Selain itu,
revitalisasi jalur kereta api dari dan menuju
sentra produksi serta revitalisasi pasar induk
perlu menjadi prioritas utama. Penyediaan sistem
logistik dengan menggunakan pendingin juga
perlu dilakukan untuk mengurangi kerugian
selama proses distribusi khususnya pada
pendistribusian bahan pangan yang mudah rusak
(perishable goods). Sistem logistik pendingin
perlu dilengkapi dengan cold storage, cold truck,
reefer shipping, airfreight serta cold distribution
center.
38
Bagian IV
Perekonomian Kalimantan Perbaikan ekonomi Kalimantan pada triwulan IV 2015 belum mampu mendongkrak perlambatan
yang terjadi pada triwulan sebelumnya sehingga pertumbuhan ekonomi tahun 2015 lebih rendah
dibandingkan tahun sebelumnya. Perlambatan sektor pertambangan dan konsumsi masih menjadi
faktor penyebab utama. Namun, ekspektasi membaiknya sektor utama ini diprakirakan dapat
mendorong perbaikan kinerja ekonomi Kalimantan di triwulan I 2016. Sementara itu, masih
terbatasnya konsumsi rumah tangga juga menyebabkan berkurangnya tekanan inflasi Kalimantan
pada triwulan IV 2015 dibandingkan triwulan sebelumnya. Relatif terjaganya ekspektasi konsumen
dan pedagang sepanjang tahun 2015 dan tren penurunan administered prices, khususnya terait
kebijakan penyesuaian tarif batas atas dan bawah angkutan udara pada awal 2016 diprakirakan
semakin menjaga terkendalinya inflasi Kalimantan di tahun 2016. Selain itu, downside risk inflasi
dimungkinkan jika tren penurunan harga minyak dunia terus berlanjut dan diikuti penyesuaian
harga BBM, tarif adjustment listrik dan tarif angkutan.
Pertumbuhan Ekonomi
Perekonomian Kalimantan pada triwulan IV
2015 mengalami perbaikan dibandingkan
periode triwulan sebelumnya meski masih
terbatas. Perekonomian Kalimantan tumbuh
sebesar 1,4% (yoy) dari 0,4% (yoy) pada triwulan
sebelumnya. Perbaikan ini lebih banyak
dipengaruhi oleh konsumsi Lembaga Non-Profit
Melayani Rumah Tangga (LNPRT). Selain itu,
ekspor antardaerah turut memengaruhi
perbaikan ekonomi Kalimantan pada triwulan IV
2015.
Konsumsi LNPRT tumbuh sebesar 15,2% (yoy)
atau lebih tinggi dibandingkan triwulan
sebelumnya (11,1% yoy). Pertumbuhan ini
terutama didorong oleh aktivitas perayaan hari
besar keagamaan dan libur akhir tahun serta
pelaksanaan Pilkada serentak di Kalimantan
Selatan, kalimantan Tengah, Kalimantan Utara
dan 29 Kabupaten/Kota di wilayah Kalimantan.
Selain itu, ekspor antardaerah tercatat tumbuh
sebesar 27,7% (yoy) atau lebih baik dibandingkan
triwulan sebelumnya (15,5% yoy) sehingga
mampu menahan perlambatan ekspor secara
keseluruhan selama triwulan IV 2015 dari -1,9%
(yoy) pada triwulan III 2015 menjadi -1,4% (yoy).
Perbaikan pertumbuhan ekspor antardaerah
disebabkan karena dampak kebijakan ekspor
Pabrik Pupuk di Kalimantan yang ditujukan untuk
didistribusikan di wilayah Kalimantan kecuali
Kalimantan Barat, Jawa Timur, Bali dan Nusa
Tenggara, Sulawesi dan Papua, sebagai bagian
dari penugasan pemerintah mengenai
pemenuhan pasokan pupuk urea bersubsidi. Hal
ini terkonfirmasi oleh kenaikan pertumbuhan
volume data bongkar muat pupuk dari 2,8% (yoy)
pada triwulan III 2015 menjadi 9,2% (yoy) pada
triwulan IV 2015.
Membaiknya perekonomian Kalimantan
terutama ditopang oleh meningkatnya
pertumbuhan ekonomi Kalimantan Selatan yang
dipengaruhi oleh kenaikan konsumsi swasta.
Selain itu, kontraksi ekonomi Kalimantan Timur
yang tidak sedalam triwulan sebelumnya turut
mendorong perbaikan ekonomi Kalimantan
secara keseluruhan. Perbaikan ekonomi di
Kalimantan Timur bersumber dari kinerja ekspor
antardaerah di tengah masih terbatasnya
permintaan global. Di sisi lain, pertumbuhan
ekonomi Kalimantan Barat dan Kalimantan
Tengah masih mengalami perlambatan kendati
masih berada pada level yang lebih tinggi
dibanding daerah lainnya di Kalimantan.
Secara keseluruhan tahun 2015, perekonomian
Kalimantan tumbuh dalam tren melambat jika
39
dibandingkan dengan tahun 2014.
Perekonomian Kalimantan tumbuh 1,3% (yoy)
pada 2015 atau lebih rendah dibandingkan tahun
sebelumnya yang tumbuh 3,3% (yoy).
Perlambatan ini tidak terlepas dari melambatnya
semua indikator sisi permintaan PDRB kecuali
konsumsi LNPRT yang tumbuh meningkat sebesar
6,6% (yoy) dari 2,7% (yoy) pada tahun
sebelumnya. Perlambatan ekonomi terjadi di
hampir semua provinsi di Kalimantan, kecuali
Kalimantan Tengah. Melambatnya ekonomi
Kalimantan Timur yang memiliki kontribusi
terbesar terhadap PDRB Kalimantan (mencapai
62%) memengaruhi perekonomian Kalimantan
secara keseluruhan. Sementara itu, Kalimantan
Tengah dengan kontribusi sebesar 10% terhadap
PDRB Kalimantan, merupakan satu-satunya
provinsi di Kalimantan yang tumbuh lebih tinggi
pada tahun 2015 dibanding tahun sebelumnya
antara lain disebabkan karena telah
beroperasinya beberapa smelter mineral di
Kalimantan Tengah.
Perlambatan pada komponen sisi permintaan
PDRB Kalimantan sejalan dengan kontraksi yang
terjadi pada sektor pertambangan dan sektor
pertanian, yang secara agregat berkontribusi
sebesar 48% terhadap PDRB Kalimantan. Sektor
pertambangan terkontraksi hingga mencapai
3,9% (yoy), sejalan dengan lesunya permintaan
ekspor batubara dari Tiongkok dan ditambah lagi
dengan ketatnya persaingan pasar batubara
dengan masuknya Afrika Selatan sebagai salah
satu produsen batubara. Sementara perlambatan
sektor pertanian dari 5,1% (yoy) pada tahun
sebelumnya menjadi 4,1% (yoy) terjadi karena
adanya perlambatan luas tanaman sawit
produktif karena moratorium 2011 dan koreksi
harga karet.
Memasuki periode triwulan I 2016,
perekonomian Kalimantan diprakirakan tumbuh
sebesar 2,4% atau membaik dibanding triwulan
IV 2015 (1,4% yoy). Perbaikan ini didukung oleh
kenaikan konsumsi RT yang ditopang oleh masih
terjaganya optimisme konsumen serta kenaikan
investasi seiring dengan percepatan berbagai
proyek infrastruktur di Kalimantan.
Pada sisi permintaan, potensi membaiknya
konsumsi RT terindikasi dari optimisme
konsumen yang ditandai dengan meningkatnya
Indeks Tendensi Konsumen (ITK) sejalan dengan
perbaikan kinerja sektor utama yaitu
membaiknya permintaan CPO, melandainya
kontraksi ekspor batubara dan meningkatnya
ekspor alumina pasca beroperasinya smelter
baru. Berbeda halnya dengan konsumsi RT,
konsumsi LNPRT diprakirakan akan mengalami
perlambatan seiring berlalunya Pilkada serentak
di Kalimantan.
Tabel IV.1. Pertumbuhan Ekonomi Daerah di Kalimantan, % year-on-year
Sumber: BPS dan Perkiraan Bank Indonesia
Kenaikan Investasi PMTB juga diprakirakan
meningkat sejalan dengan percepatan
pengerjaan berbagai proyek infrastruktur seperti
telah selesainya Jembatan Tayan yang
menghubungkan Kalimantan Barat dengan
Kalimantan Tengah, pembangunan jalan
perbatasan dan pembangunan jalan tol
Balikpapan-Samarinda.
Indikasi pertumbuhan ekonomi ini terjadi di
hampir semua provinsi di Kalimantan kecuali
Kalimantan Tengah yang diprakirakan masih akan
tumbuh melambat sebesar 5,9% (yoy)
dibandingkan triwulan sebelumnya 6,6% (yoy)
terkait perlambatan sektor konstruksi serta
transportasi dan pergudangan sesuai dengan pola
historis realisasi kegiatan usaha dan realisasi
investasi di kedua sektor tersebut.
Kinerja Lapangan Usaha
Pertanian
Kinerja pertanian di Kalimantan tumbuh
melambat pada triwulan IV 2015 dibandingkan
2016
I II III IV Ip
Kalbar 5.0 6.3 4.1 4.6 4.3 4.8 4.8 5.2
Kalteng 6.2 7.6 7.1 6.9 6.6 7.0 5.9 6.5
Kalsel 4.9 4.0 3.3 3.9 4.1 3.8 4.2 4.1
Kaltimra 2.2 -0.2 -0.4 -2.2 -0.5 -0.9 1.0 0.5
20142015
2015 2016pProvinsi
40
triwulan sebelumnya. Lapangan usaha pertanian
di Kalimantan tercatat hanya tumbuh sebesar
1,5% (yoy), lebih rendah dibandingkan
pertumbuhan triwulan sebelumnya (3,8% yoy).
Hal ini terjadi akibat penurunan produksi tabama
serta pergeseran masa puncak produksi produksi
padi sawah rawa lebak menjadi triwulan III 2015
sebagai akibat dampak dari fenomena El-Nino.
Melambatnya kinerja pertanian terjadi di seluruh
wilayah Kalimantan. Bahkan di Kalimantan
Selatan tercatat tumbuh negatif sebesar -0,9%
(yoy), setelah pada triwulan sebelumnya masih
tumbuh sebesar 3,1% (yoy).
Grafik IV.1. Luas Tanam & Panen Padi di Kalimantan
Pada periode triwulan I 2016, kinerja sektor
pertanian, kehutanan dan perikanan
diprakirakan mengalami perbaikan. Lapangan
usaha ini diprakirakan tumbuh 3,1% (yoy) pada
triwulan I 2016 seiring dengan peningkatan
produksi padi dan Tandan Buah Segar (TBS)
Sawit. Peningkatan produksi padi terjadi sebagai
akibat perluasan tanam padi sebesar 7,3%
dibandingkan dengan triwulan sebelumnya,
peningkatan produktivitas pertanian dengan
berlanjutnya program upaya khusus (upsus)
pertanian pada 2016 serta bergesernya masa
panen padi yang semula Desember 2015 menjadi
triwulan I 2016 karena bergesernya masa tanam
padi musim “rendeng” sebagai dampak El Nino.
Selain itu, perkiraan peningkatan produksi TBS
terjadi karena peningkatan luas kebun produktif,
berakhirnya masa trek dan dimulainya siklus
puncak produksi serta kembali lancarnya pasokan
TBS dengan berkurangnya dampak pendangkalan
sungai.
Membaiknya kinerja lapangan usaha pertanian,
diprakirakan terjadi di semua provinsi di
Kalimantan dengan peningkatan pertumbuhan
tertinggi di Kalimantan Selatan. Hal ini terindikasi
dari kenaikan target produksi tahun 2016 karena
adanya prospek kenaikan permintaan kelapa
sawit sebagai bahan baku pengolahan biodiesel
dan solvent. Sementara peningkatan
pertumbuhan terendah terjadi di Kalimantan
Tengah.
Pertambangan
Kinerja lapangan usaha pertambangan di
Kalimantan masih cenderung turun meski tidak
sedalam triwulan sebelumnya. Pada triwulan IV
2015, lapangan usaha pertambangan mencatat
kontraksi pertumbuhan 5,7% (yoy), sedikit lebih
baik dibanding kontraksi pada periode
sebelumnya yang sebesar -5,9% (yoy). Perbaikan
ini ditopang oleh adanya kenaikan produksi gas
alam sebagai bahan baku produksi pupuk, serta
didukung beroperasinya smelter alumina untuk
memenuhi permintaan ekspor Jepang, Tiongkok,
Korsel dan Taiwan, dan pemenuhan kebutuhan
batubara untuk beroperasinya beberapa PLTU
baru di Asia.
Selain itu, perbaikan ini juga terbantu oleh tidak
terlalu dalamnya koreksi harga batubara
(proyeksi IMF) serta penurunan harga solar yang
memiliki pangsa 30-50% terhadap biaya produksi.
Perbaikan kinerja lapangan usaha pertambangan
di Kalimantan Timur menjadi penopang
perbaikan kinerja sektor tambang Kalimantan
selama periode triwulan IV 2015.
Memburuknya kinerja migas sepanjang tahun
2015 turut memperburuk kinerja lapangan
usaha pertambangan di Kalimantan. Hal ini
disebabkan oleh penurunan produksi maupun
ekspor batubara yang merupakan komoditas
tambang utama di Kalimantan. Selain itu, juga
terjadi penurunan investasi pertambangan bila
dibandingkan dengan tahun 2014.
41
Grafik IV.2. Pertumbuhan Sektor Pertambangan
Kalimantan
Pelemahan kinerja sektor pertambangan
terutama terjadi di Kalimantan Timur Utara dan
Kalimantan Selatan, dengan pelemahan terdalam
di Kalimantan Timur Utara dari 0% (yoy) pada
tahun sebelumnya menjadi -4,7% (yoy) pada
tahun 2015.
Penurunan kinerja sektor ini terutama
disebabkan oleh empat hal utama yaitu
perlambatan ekonomi negara tujuan ekspor
seperti Tiongkok, kebijakan di negara pengimpor
seperti pengurangan emisi di Tiongkok dan
penggunaan produksi lokal di India, harga yang
kalah bersaing, contohnya batubara Afrika
Selatan yang lebih murah, serta kurangnya
serapan domestik yang saat ini diproyeksi hanya
tumbuh 2%, di bawah target sebesar 8%.
Meski masih tumbuh negatif, kinerja tambang di
triwulan I 2016 diprakirakan akan tumbuh lebih
baik daripada triwulan sebelumnya. Sektor ini
diprakirakan akan tumbuh sebesar -3,2% (yoy),
lebih baik dibandingkan triwulan IV 2015 (-5,7%
yoy) seiring dengan beroperasinya smelter
alumina dan besi, kenaikan permintaan domestik,
dan rebound terbatas harga batubara.
Perbaikan kinerja sektor pertambangan
diprakirakan akan berlangsung di semua provinsi
di Kalimantan pada triwulan I 2016.
Sepanjang tahun 2016, sektor pertambangan
Kalimantan diprakirakan masih terkontraksi (-
2,5% yoy) dengan kecenderungan membaik. Hal
tersebut sangat dipengaruhi oleh pertambangan
di Kalimantan Timur Utara dan Kalimantan
Selatan. Perbaikan tersebut antara lain
disebabkan karena sudah berhenti
berproduksinya Izin Usaha Pertambangan (IUP)
yang tidak efisien pada tahun 2015,
kecenderungan kenaikan target produksi
perusahaan tambang besar di Kalimantan pada
tahun 2016, potensi kenaikan permintaan di
kawasan Asia yang pada 2016 akan
mengoperasikan PLTU dengan total konsumsi
batubara 79 juta ton/tahun, telah berproduksinya
smelter alumina di Kalimantan Barat pada
triwulan IV 2015 serta perkiraan produksi
smelter besi triwulan IV 2016.
Meski demikian, proyeksi membaiknya kinerja
sektor tambang Kalimantan pada tahun 2016
masih dibayangi oleh risiko terkoreksinya
permintaan batubara oleh Tiongkok dan India,
serta tertahannya produksi migas seiring dengan
tertahannya investasi di blok Mahakam pasca
kepastian pengalihan operator.
Industri
Sektor industri Kalimantan pada triwulan IV
2015 memperlihatkan kinerja yang
mengagumkan. Sektor ini tumbuh sebesar 10,3%
(yoy) pada triwulan IV 2015, atau jauh lebih baik
dibandingkan triwulan sebelumnya (2,5% yoy).
Perbaikan kinerja sektor ini terutama didorong
oleh meningkatnya kinerja ekspor antardaerah,
khususnya komoditas pupuk sejalan dengan
beroperasinya pabrik baru serta produksi smelter
alumina, smelter besi dan smelter zircon.
Perbaikan kinerja sektor industri terjadi di hampir
semua provinsi di Kalimantan dengan
pertumbuhan tertinggi terjadi di Kalimantan
Timur Utara sebesar 13,3% (yoy) atau jauh lebih
tinggi dibanding triwulan sebelumnya (2,1% yoy).
Namun perbaikan kinerja sektor pertambangan
pada triwulan ini belum mampu mengakselerasi
pertumbuhan sektor tersebut pada tahun 2015.
Hal ini terutama disebabkan oleh melambatnya
produksi CPO sebagai dampak dari moratorium
lahan, penurunan produksi kilang BBM, turunnya
permintaan negara importir seperti ASEAN dan
42
kenaikan bea impor CPO di India dari 7,5%
menjadi 12,5% sebagai bentuk proteksi industri
minyak nabati domestik.
Sektor industri pengolahan di Kalimantan pada
triwulan I 2016 diprakirakan kembali tumbuh
positif dengan tendensi melambat di awal tahun.
Sektor ini diprakirakan akan tumbuh sebesar
7,7% (yoy), melambat dibandingkan triwulan
sebelumnya (10,3% yoy).
Petumbuhan sektor ini didukung oleh
pertumbuhan industri CPO di seluruh provinsi di
Kalimantan, sejalan dengan lebih landainya
koreksi harga CPO dan proyeksi peningkatan
permintaan dari India. Hal ini sejalan dengan
potensi peningkatan pertumbuhan pada triwulan
2015 dari 7,5% (yoy) menjadi 7,6% (yoy) pada
triwulan I 2016 yang terindikasi pada perbaikan
likert scale investasi yang cenderung lebih baik
dibandingkan triwulan sebelumnya.
Meski demikian, faktor penahan perlambatan
pertumbuhan sektor industri pada triwulan ini
adalah pertumbuhan LNG yang kembali ke level
normalnya serta penurunan produksi kilang
minyak terkait jadwal maintenance rutin dua
tahunan.
Secara umum, sektor industri pengolahan
diprakirakan tumbuh terbatas pada tahun 2016.
Sektor ini diproyeksikan akan tumbuh sebesar
3,2% (yoy) atau tumbuh terbatas dibandingkan
tahun 2015 (3,0% yoy). Hal ini didukung oleh
masuknya 4 proyek kawasan industri di
Kalimantan di dalam “14 Kawasan Industri
Prioritas” Kementerian Perindustrian,
beroperasinya smelter alumina di Kalimantan
Barat dan peningkatan produksi CPO yang sejalan
dengan penurunan harga yang semakin terbatas.
Fiskal Daerah
Pelemahan kinerja sektor pertambangan
berdampak pada kinerja fiskal Kalimantan.
Penurunan harga migas secara langsung
berdampak pada penurunan kontribusi Dana Bagi
Hasil (DBH) migas dan DBH Pajak sebagai sumber
pembiayaan pembangunan daerah. Pada tahun
2015, penerimaan DBH migas Kalimantan
tercatat turun hampir separuh dari penerimaan
DBH migas Kalimantan pada tahun 2014 yaitu
dari Rp9,34 triliun menjadi Rp4,94 triliun. Begitu
juga halnya dengan penerimaan daerah yang
bersumber dari DBH Pajak. DBH Pajak turun 3,5%
dari Rp4,87 triliun menjadi Rp4,7 triliun. Selain
itu, pelemahan kinerja sektor migas ini juga
berdampak pada menurunnya PAD pemerintah
daerah yang bersumber dari pajak daerah dan
retribusi dari sektor perdagangan dan pariwisata.
Di sisi realisasi, pemerintah provinsi di
Kalimantan pada 2015 merealisasikan belanja
sebesar 90,63% atau meningkat bila
dibandingkan realisasi pada tahun sebelumnya
(85,21%). Hal ini berbeda untuk tingkat
kabupaten atau kota dimana realisasi anggaran
belanja hanya sebesar 80,04%. Kalimantan Barat
adalah provinsi dengan realisasi anggaran belanja
terbesar yaitu 82%, diikuti oleh Kalimantan
Selatan (75,4%), Kalimantan Tengah (73,3%),
Kalimantan Timur (72,4%) dan Kalimantan Utara
(61,6%).
Untuk tahun 2016, pemerintah daerah di
Kalimantan menargetkan kenaikan anggaran
pendapatan daerah sebesar 18,6% (yoy)
dibandingkan anggaran 2015 sedangkan
anggaran belanja daerah ditargetkan meningkat
sebesar 0,6% (yoy). Porsi kenaikan anggaran
pendapatan terbesar diharapkan disumbangkan
oleh dana perimbangan yang antara lain
bersumber dari kenaikan royalti batubara yang
diterima pemerintah daerah. Sementara porsi
belanja pegawai diharapkan meningkat sebesar
4,7% dibandingkan tahun sebelumnya.
Meski demikian, prospek kinerja tambang
khususnya batubara yang masih belum positif
berpotensi untuk meningkatkan penerimaan
pajak serta retribusi sehingga pecapaian target
kenaikan pendapatan daerah dapat terbantu.
Perkembangan Inflasi
Tekanan inflasi Kalimantan sepanjang triwulan
IV 2015 menurun dibandingkan triwulan
43
sebelumnya. Pada akhir triwulan IV 2015, inflasi
berbagai daerah di Kalimantan secara agregat
tercatat 5,12% (yoy), lebih rendah dibanding
realisasi pada akhir triwulan sebelumnya yang
tercatat 7,40% (yoy).
Turunnya tekanan inflasi di Kalimantan terjadi di
seluruh provinsi (Grafik IV.3), dengan capaian
inflasi terendah di Kalimantan Tengah, sedangkan
inflasi tertinggi terjadi di Kalimantan Barat.
Grafik IV.3. Perkembangan Inflasi Nasional dan
Kalimantan
Turunnya tekanan inflasi di Kalimantan terutama
dipengaruhi oleh turunnya inflasi kelompok
administered prices sehubungan dengan
kebijakan penurunan tarif dasar listrik (TDL) serta
harga bahan bakar minyak. Tekanan kelompok
inti juga mengalami penurunan, sejalan dengan
masih melambatnya konsumsi rumah tangga
pada triwulan IV 2015.
Grafik IV.4. Disagregasi Inflasi Kalimantan
Pada Januari 2016, tekanan inflasi Kalimantan
menurun dibandingkan Desember 2015 yaitu
dari 5,12% (yoy) menjadi 4,63% (yoy).
Penurunan tekanan inflasi tersebut terutama
disebabkan oleh berkurangnya permintaan bahan
makanan pasca perayaan hari besar serta
perayaan akhir tahun. Khusus pada administered
prices, penurunan tekanan inflasi terutama
disebabkan oleh koreksi harga tiket angkutan
udara pasca berakhirnya perayaan hari besar
keagamaan dan libur akhir tahun. Selain itu,
koreksi harga pada tarif angkutan darat akibat
penurunan harga BBM juga memberikan
pengaruh positif pada rendahnya laju inflasi pada
periode dimaksud.
Sedikit berbeda dengan wilayah lainnya,
tekanan inflasi di Kalimantan pada triwulan I
2016 diprakirakan akan lebih rendah
dibandingkan dengan triwulan sebelumnya.
Inflasi Kalimantan diprakirakan tercatat sebesar
4,99% (yoy). Turunnya tekanan inflasi terutama
didukung oleh koreksi kelompok administered
prices. Penyesuaian tarif angkutan udara
memainkan peranan penting bagi terjaganya
inflasi, terutama di Kalimantan Barat, karena
tingginya permintaan transportasi udara,
khususnya pada periode perayaan Imlek.
Sehubungan dengan hal tersebut, tarif angkutan
udara sampai dengan akhir triwulan I 2016
diprakirakan terkoreksi, pasca diberlakukannya
Peraturan Menteri Perhubungan Nomor Nomor
14 tanggal 21 Januari 2016 tentang Mekanisme
Formulasi Perhitungan dan Penetapan Tarif Batas
Atas dan Batas Bawah Penumpang Pelayanan
Ekonomi Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam
Negeri. Peraturan tersebut, mengatur
penurunan tarif batas atas dan bawah untuk
pengguna jasa penerbangan pesawat kelas
ekonomi sebesar lima persen.
Meski dalam tren menurun, namun masih
terdapat berbagai risiko inflasi yang perlu
diwaspadai. Risiko inflasi utamanya berasal dari
inflasi kelompok volatile food, sehubungan
dengan turunnya suplai pasca panen raya di akhir
tahun. Selain itu, aspek perubahan cuaca seperti
mulai masuknya musim penghujan, tingginya
gelombang laut akan meningkatkan risiko
tekanan harga di Kalimantan karena sebagian
besar barang konsumsi masih di datangkan dari
44
wilayah lain, seperti Jawa dan Sulawesi. Faktor
lain yang menjadi penyumbang naiknya risiko
inflasi adalah potensi penyesuaian harga durable
goods pada awal tahun juga menjadi risiko inflasi.
Koordinasi Pegendalian Inflasi
Menghadapi berbagai risiko inflasi, fokus
pengendalian inflasi melalui Tim Pengendali
Inflasi Daerah (TPID) diarahkan pada
pelaksanaan roadmap inflasi.
Pengendalian inflasi 2016 difokuskan pada
komoditas-komoditas yang memiliki sumbangan
cukup besar terhadap inflasi dan/atau komoditas
yang cukup sering menjadi pendorong inflasi.
Beberapa komoditas dimaksud antara lain beras,
daging ayam ras, bawang merah dan ikan air
tawar.
Fokus program yang tertuang dalam roadmap
inflasi terutama ditujukan untuk peningkatan
produksi, perbaikan struktur pasar, serta
pengendalian ekspektasi konsumen. Peningkatan
pasokan pangan dilakukan melalui
pengembangan klaster ketahanan pangan serta
kerjasama antar daerah. Beberapa program yang
berjalan di triwulan I 2016 antara lain
penanaman padi dengan metode Hazton dan
kerjasama perdagangan bawang merah antara
Pemkab Probolinggo dengan Pemkot Pontianak
serta dilakukan kerjasama penggemukan dan
perdagangan sapi antar kabupaten di Kalimantan
Selatan. Dari sisi ekspektasi, optimalisasi fungsi
pasar penyeimbang dan kandang penyangga
serta memaksimalkan fungsi PIHPS menjadi
program utama pengendalian inflasi.
Stabilitas Keuangan Daerah
Ketahanan Sektor Korporasi
Kredit sektor korporasi pada triwulan IV 2015
menurun tajam. Pertumbuhan kredit sektor
korporasi turun tajam dibandingkan triwulan
sebelumnya yaitu dari 6,83% (yoy) menjadi -
0,60% (yoy).
Penurunan penyaluran kredit utamanya terjadi
pada sektor pertambangan. Penurunan ini sejalan
dengan lesunya aktivitas pertambangan batubara
sejalan dengan terbatasnya permintaan ekspor
sehingga pembiayaan untuk ekspansi relatif
minim. Kredit sektor utama lainnya, yakni
pertanian di Kalimantan juga melambat, seiring
dengan tertahannya investasi pada subkategori
perkebunan kelapa sawit akibat masih rendahnya
harga CPO internasional.
Perlambatan kredit korporasi terutama
disebabkan adanya penurunan penyaluran kredit
di Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah.
Penyaluran kredit di Kalimantan Timur
mengalami perlambatan dari 3,3% (yoy) menjadi
-6,7% (yoy), sementara di Kalimantan Tengah
menurun dari 9,5% (yoy) menjadi sebesar -
2,0% (yoy). Penurunan penyaluran kredit di
kedua provinsi tersebut terutama didorong oleh
rendahnya permintaan komoditas batubara dan
CPO, yang merupakan komoditas unggulan
ekspor Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah.
Grafik IV.5. Pertumbuhan Kredit Korporasi Kalimantan
Penurunan penyaluran kredit di Kalimantan
dibarengi dengan kenaikan risiko kredit di
wilayah tersebut. NPL kredit korporasi
meningkat dari 4,91% (yoy) pada triwulan
sebelumnya menjadi 5,33% (yoy) pada triwulan
IV 2015. Hal ini sejalan dengan lesunya
perekonomian di Kalimantan. Peningkatan NPL
terutama didorong oleh lesunya sektor
pertambangan. Lesunya sektor pertambangan
tidak hanya berdampak pada NPL sektor
tersebut, namun juga berdampak pada sektor
turunannya seperti transportasi dan komunikasi.
45
Tingkat NPL tertinggi berada di Kalimantan Timur
yang tercatat sebesar 6,86% (yoy). Tingginya NPL
di Kalimantan Timur disebabkan oleh struktur
perekonomian Kalimantan Timur yang masih
sangat bergantung kepada sektor tambang dan
turunannya dimana saat ini, kinerja sektor
dimaksud sedang dalam fase kontraksi.
Grafik IV.6. NPL Kredit Korporasi Kalimantan
Lesunya perekonomian Kalimantan juga
berdampak pada rendahnya pertumbuhan DPK.
DPK korporasi di Kalimantan pada triwulan IV
2015 masih tumbuh rendah, yakni 5,6% (yoy),
sementara pada triwulan sebelumnya sempat
mengalami kontraksi -3,27% (yoy). Rendahnya
pertumbuhan DPK terutama pada jenis deposito
yang bahkan mengalami penurunan -2,63%
(yoy). Sama seperti kredit, rendahnya
pertumbuhan DPK terjadi di Kalimantan Timur
yang perekonomiannya mengalami penurunan
selama setahun terakhir. Meski demikian,
rendahnya kinerja pertumbuhan DPK Korporasi di
Kalimantan Timur masih terimbangi dengan
kenaikan pertumbuhan DPK di Kalimantan
Tengah dan Kalimantan Barat yang masih cukup
tinggi sehingga mampu menahan laju
pertumbuhan DPK Kalimantan untuk tetap
tumbuh positif.
Grafik IV.7. DPK Korporasi Kalimantan
Ketahanan Sektor Rumah Tangga
Kredit sektor rumah tangga pada triwulan IV
2015 mengalami perlambatan. Kredit sektor
rumah tangga melambat dari 15,33% (yoy)
menjadi 6,47% (yoy). Secara historis, tingkat
pertumbuhan tersebut jauh di bawah rerata
historisnya yang selalu mampu tumbuh di atas
10% (yoy). Perlambatan yang cukup dalam pada
triwulan laporan disebabkan oleh kontraksi
pinjaman multiguna dari 24,99% (yoy) menjadi
9,16% (yoy). Berdasarkan hasil survei konsumen
yang dilakukan oleh Bank Indonesia, perlambatan
tersebut sejalan dengan turunnya optimisme
konsumen untuk membeli barang tahan lama.
Senada dengan sektor korporasi, pertumbuhan
kredit terendah berada di Kalimantan Timur yang
hanya tumbuh 3,26% (yoy).
Grafik IV.8. Pertumbuhan Kredit Rumah Tangga
Kalimantan
Berbeda dengan tingkat risiko pada korporasi
yang cenderung meningkat, risiko kredit rumah
tangga masih tetap terjaga di level yang rendah.
Tingkat NPL pada triwulan IV tercatat 1,78%
(yoy), cenderung menurun dibandingkan triwulan
46
sebelumnya yang tercatat 1,99% (yoy). Kredit
pada setiap jenis penggunaan juga tercatat pada
level yang rendah di bawah 5%. Demikian pula
NPL di setiap provinsi masih terjaga di bawah 5%.
Grafik IV.9. NPL Kredit Rumah Tangga Kalimantan
Kemampuan rumah tangga dalam membayar
cicilan pinjaman masih baik. Masih baiknya
kemampuan masyarakat dalam membayar cicilan
hutang tercermin dari level DSR yang di bawah
30% di seluruh provinsi.
Grafik IV.10. DSR Rumah Tangga Kalimantan
DPK rumah tangga tumbuh stabil dengan
indikasi yang menurun dibandingkan pola
historisnya. Pada triwulan IV 2015, DPK rumah
tangga tercatat tumbuh sebesar 7,27% (yoy).
Secara historis, pertumbuhan tersebut tergolong
rendah karena pada tahun-tahun sebelumnya
DPK selalu tumbuh di atas 10% (yoy). Rendahnya
pertumbuhan DPK sejalan dengan menurunnya
optimisme pendapatan masyarakat berdasarkan
survei konsumen. Perlambatan terdalam terjadi
di Kalimantan Timur dimana pada triwulan IV
2015 penghimpunan DPK melambat menjadi
hanya tumbuh 4,67% (yoy).
Grafik IV.11. Perkembangan DPK Rumah Tangga
Kalimantan
Pengelolaan Uang Rupiah
Pengedaran uang kartal di Kalimantan
meningkat. Outflow tercatat naik 4,27% (yoy)
selama triwulan IV 2015 dari 2,31% (yoy) pada
triwulan sebelumnya. Kondisi tersebut
dipengaruhi oleh peningkatan kebutuhan uang
kartal masyarakat di bulan Desember 2015
karena terdapat beberapa event liburan antara
lain libur sekolah, libur hari raya Natal dan libur
tahun baru. Di samping itu, peningkatan tersebut
dipengaruhi pula oleh realisasi proyek
pemerintah untuk pembayaran termin proyek di
akhir tahun.
Grafik IV.12. Perkembangan Outflow dan Inflow
Bank Indonesia secara konsisten memastikan
ketersediaan uang layak edar bagi masyarakat.
Sepanjang triwulan IV 2015, terjadi peningkatan
baik dari frekuensi maupun nilai nominal terkait
dengan kegiatan kas keliling ke daerah terpencil
dan perbatasan di wilayah Kalimantan. Di
Kalimantan Utara, pada bulan Desember 2015
telah dibuka Kas Titipan Bank Indonesia di
Kalsel 10,1%Kalbar 12,0%
Kaltimra 15,7%
Kalteng 17%
Kalimantan13,4%
47
Tanjung Selor (Ibukota Kalimantan Utara)
bekerjasama dengan BPD Kalimantan Timur
sebagai bank pengelola dengan plafon modal
kerja sebesar Rp100 miliar. Pengiriman modal
kerja Kas Titipan Bank Indonesia di Tanjung Selor
dilakukan oleh KPwBI Provinsi Kalimantan Timur
melalui jalan darat dengan waktu tempuh sekitar
17 jam.
Sebagai implikasi kebijakan menjaga kelayakan
uang yang beredar, rasio uang tidak layak edar
terhadap inflow meningkat. Pada triwulan IV
2015 uang tidak layak edar yang dimusnahkan
mencapai Rp1,9 triliun, meningkat dibandingkan
dengan triwulan sebelumnya senilai Rp1,3 triliun.
Peningkatan juga terjadi pada rasio uang tidak
layak edar terhadap inflow dari 14,25% pada
triwulan III 2015 menjadi 37,88% pada triwulan IV
2015. Peningkatan nominal dan rasio tersebut
merupakan implikasi dari kebijakan Bank
Indonesia untuk menjaga kualitas uang yang
beredar di masyarakat.
Grafik IV.13. Perkembangan Pemusnahan UTLE
Sementara itu, temuan uang palsu pada
triwulan IV 2015 meningkat dibanding triwulan
sebelumnya. Peningkatan temuan uang palsu
terjadi di Kalimantan Selatan dan Kalimantan
Timur masing-masing 409 bilyet dan
557 bilyet dari sebelumnya 233 bilyet dan 255
bilyet. Upaya penanggulangan peredaran uang
palsu yang dilakukan Bank Indonesia di daerah
antara lain melalui kegiatan edukasi/sosialisasi
tentang ciri-ciri keaslian uang rupiah dan cara
memperlakukan uang rupiah yang baik, serta
mendorong pelaporan uang palsu oleh
perbankan dan masyarakat.
Grafik IV.14. Temuan Uang Palsu
PROSPEK PEREKONOMIAN
Prospek Pertumbuhan Ekonomi
Perekonomian Kalimantan pada tahun 2016
diprakirakan membaik. Pertumbuhan ekonomi
Kalimantan diprakirakan tumbuh pada level 2,1%-
2,5% atau membaik dibandingkan tahun
sebelumnya (1,3%).
Pertumbuhan ini bersumber dari kenaikan
konsumsi masyarakat, konsumsi pemerintah, dan
investasi PMTB. Hal ini sejalan dengan
peningkatan kinerja sektor utama, penyelesaian
berbagai proyek pembangunan infrastruktur
utama Kalimantan pada tahun 2016 seperti
pembangunan sisi udara Bandara Samarinda Baru
(BSB) di Kalimantan Timur, berbagai proyek
pembangunan dan perbaikan jalan,
pembangunan pembangkit listrik program 35.000
MW serta pembangunan smelter.
Sektor pertanian, sektor pertambangan dan
sektor industri diprakirakan akan
memperlihatkan kinerja perbaikan pada tahun
2016. Hal ini didorong oleh peningkatan produksi
tabama dan kelapa sawit, peningkatan
permintaan batubara dari Asia dan beroperasinya
smelter bauksit baru serta peningkatan produksi
CPO akibat landainya proyeksi koreksi harga.
Namun demikian, prospek perekonomian
Kalimantan tersebut masih menghadapi sejumlah
kendala sehubungan dengan keterbatasan
diversifikasi komoditas ekspor Kalimantan serta
masih terbatasnya investasi di sektor primer yang
berbasis komoditas.
48
Prospek Inflasi
Inflasi Kalimantan pada tahun 2016 diprakirakan
menurun. Inflasi Kalimantan 2016 diprakirakan
berada pada kisaran 4,09%-4,49%. Penurunan
inflasi diproyeksi terjadi pada semua provinsi di
Kalimantan.
Semua kelompok inflasi diprakirakan menurun.
Penurunan terbesar diprakirakan berasal dari
volatile foods. Optimisme peningkatan produksi
tanaman pangan di Kalimantan akan menjadi
penahan laju kenaikan inflasi volatile foods.
Pembangunan dan revitalisasi irigasi guna
mendukung produksi pertanian juga memberikan
sentimen positif dalam mendukung pencapaian
target 2016. Selain itu, dengan diterapkannya
metode tanam Hazton di berbagai provinsi di
Kalimantan, diprakirakan juga mendorong
kenaikan kapasitas produksi sehingga dapat
menjaga tingkat ketersediaan pasokan pangan.
Laju iInflasi inti juga diprakirakan relatif terjaga
sejalan dengan penurunan infasi volatile foods.
Selain itu penguatan program TPID, khususnya
yang ditujukan untuk mengendalikan ekspektasi
masyarakat, diharapkan dapat mendukung
terjaganya inflasi inti.
Selain itu, terkendalinya inflasi terutama
dipengaruhi oleh stabilnya pergerakan harga
pada kelompok administered prices. Potensi
koreksi harga minyak dunia yang masih berada
pada tren yang menurun akan ditransmisikan
pada minimnya tekanan harga bahan bakar
domestik. Lebih lanjut lagi, terjaganya inflasi juga
didukung dengan koordinasi langkah-langkah
pengendalian inflasi daerah oleh pihak-pihak
terkait yang mengacu pada roadmap inflasi.
Adapun risiko tekanan inflasi 2016, diprakirakan
bersumber dari kelompok inti dan volatile foods.
Peningkatan konsumsi masyarakat sejalan
dengan lebih optimisnya pertumbuhan ekonomi
pada 2016 menjadi faktor risiko kenaikan inflasi
kelompok inti. Selain itu, kendala infrastruktur
logistik khususnya impor pangan dari daerah lain,
berpotensi membuat tekanan inflasi volatile
foods pada tahun 2016 menjadi bias ke atas.
Perbaikan Konektivitas untuk Mendukung Kestabilan
Harga dan Penurunan Inflasi Pangan di Kalimantan Fenomena inflasi Kalimantan dalam beberapa
tahun terakhir tidak terlepas dari adanya
permasalahan struktural yang harus segera
diselesaikan. Di tengah tren perlambatan
ekonomi yang paling dalam, inflasi Kalimantan
kerap lebih tinggi dibandingkan wilayah lain. Hal
tersebut terutama disebabkan oleh tingginya
inflasi bahan pangan dibandingkan wilayah lain,
khususnya pada 2 tahun terakhir. Pada 2015,
inflasi bahan pangan di Kalimantan mencapai
8,1% (yoy). Hal ini memberikan dampak pada
kesejahteraan masyarakat dengan terbatasnya
daya beli.1
Sumber : BPS, diolah
Grafik IV.15. Perbandingan Inflasi Bahan Pangan
Selain tingkat inflasi yang tinggi, volatilitas inflasi
bahan pangan juga menjadi masalah di
Kalimantan. Hal ini terkait dengan ketersediaan
pasokan pangan yang sebagian besar masih
bergantung pada daerah lain. Berdasarkan hasil
pemetaan sumber pasokan beras, diketahui
bahwa walaupun terdapat sejumlah wilayah
surplus produksi beras di Kalimantan, namun
pasokan beras dari luar wilayah Kalimantan
masih relatif besar dengan sumber pasokan
utama berasal dari Sulawesi Selatan, Jawa Timur
dan Jawa Tengah.
1
Berdasarkan data BPS, sekitar 65% porsi konsumsi
masyarakat miskin di Kalimantan adalah untuk bahan makanan.
Sebagai perbandingan, harga beras yang
merupakan salah satu komoditas pangan
strategis relatif lebih tinggi di Kalimantan
dibandingkan wilayah lain di Indonesia.
Pembentukan harga beras selain didasarkan atas
biaya input, juga dipengaruhi oleh biaya distribusi
yang sangat terkait dengan konektivitas dan
kualitas infrastruktur. Rasio biaya transportasi
beras di Kalimantan masih merupakan yang
tertinggi secara nasional.
Sumber : BPS, diolah
Grafik IV.16. Harga Beras antar Wilayah
Sumber : BPS, diolah
Grafik IV.17. Rasio Biaya Transportasi Beras
Kondisi ini menunjukkan pentingnya bagi
Kalimantan untuk mengatasi kendala yang
menghambat kelancaran dan efisiensi distribusi
pangan. Tantangan saat ini utamanya berasal dari
terbatasnya konektivitas antar daerah di
Kalimantan yang menghambat distribusi bahan
pangan baik intra Kalimantan maupun dengan
wilayah lain.
9,16 8,18
0
2
4
6
8
10
12
14
2012 2013 2014 2015
%, yoy
Sumatera Kalimantan KTI Jawa
Boks 3
Berdasarkan komponen pembentuknya, masih
terbatasnya konektivitas wilayah Kalimantan
terutama pada aspek ketersediaan infrastruktur
transportasi serta kondisi infrastruktur logistik.
Hal ini terindikasi dari rasio panjang jalan per luas
wilayah serta kualitas jalan yang rendah terutama
pada jalan kabupaten/kota.
Terkait upaya perbaikan konektivitas darat di
Kalimantan, saat ini fokus pembangunan jaringan
jalan nasional di Kalimantan masih pada jaringan
penghubung antar kota utama. Sebagian besar
kabupaten/kota yang terletak di bagian tengah
dan utara Kalimantan belum terhubung oleh jalan
nasional.
Sumber : Kementerian PUPERA
Gambar IV.1. Akses Jalan dan Produksi Padi
Untuk memperbaiki konektivitas di Kalimantan,
pemerintah pada periode 2015-2019
memprioritaskan pembangunan infrastruktur
pada empat simpul pembangunan ekonomi
Kalimantan. Keempat simpul pembangunan
ekonomi dimaksud adalah (i) kawasan
perbatasan; (ii) Kawasan Ketapang-Pontianak-
Singkawang-Sambas; (iii) kawasan Balikpapan,
Samarinda, Maloy; dan (iv) Kawasan
Banjarmasin-Batulicin-Palangkaraya.
Namun, terdapat beberapa kendala dalam
implementasi pembangunan yang telah
direncanakan. Adapun kendala yang ditemui
diantaranya terkait dengan status jalan yang
melewati hutan lindung dan Hutan Tanaman
Industri (HTI) serta masalah perizinan. Selain itu,
juga ditemui kendala pada akses ke lokasi
pembangunan yang sulit sehingga mempersulit
penyediaan material pembangunan yang
dibutuhkan. Kendala ini utamanya dalam
pembangunan infrastruktur di daerah
perbatasan.
Untuk memperlancar konektivitas darat di
Kalimantan, diharapkan percepatan
pembangunan infrastruktur jalan dapat segera
dilaksanakan. Prasayarat utama adalah
penyelesaian kendala lahan di Kalimantan, yaitu
melalui penetapan Rencana Tata Ruang Wilayah
(RTRW) serta kemudahan dan kejelasan
perizinan. Pengembangan konektivitas juga harus
dapat menjangkau daerah di bagian tengah dan
utara Kalimantan.
Implikasi dari buruknya konektivitas Kalimantan
juga berdampak pada tingginya biaya
transportasi laut di Kalimantan yang disebabkan
oleh kurang efisiennya pengangkutan melalui
laut. Terdapat indikasi lebih banyaknya kapal
berukuran kecil yang beroperasi di Kalimantan
untuk mengurangi risiko kosongnya muatan
barang.2 Hal ini berdampak pada biaya transport
yang lebih tinggi. Selain itu, rata-rata frekuensi
kedatangan kapal di Kalimantan juga lebih
rendah. Hal tersebut tercermin dari sea transport
connectivity index Kalimantan yang lebih rendah
dibandingkan dengan Jawa.
Sumber : Bappenas
Gambar IV.2. Sea Transport Connectivity Index3
2 Fenomena empty backhaul sebagai pengaruh dari minimnya
skala ekonomi pelayaran ke sejumlah daerah di Kalimantan. 3 Sea Transport Connectivity Index dibangun oleh Bappenas.
Indeks diukur dengan faktor kapal terdaftar, kapasitas
Permasalahan utama dalam pengembangan
infrastruktur pelabuhan di Kalimantan terkait
dengan pengadaan lahan. Masalah ini terutama
pada pelabuhan yang berlokasi pada sentra
aktivitas perekonomian (kota). Selain itu, adanya
pendangkalan alur sungai juga menjadi salah satu
kendala pengembangan pelabuhan di Kalimantan
yang sebagian merupakan jenis pelabuhan
sungai. Dengan perbaikan konektivitas,
diharapkan stabilitas harga dan penurunan inflasi
pangan di Kalimantan dapat tercapai.
Langkah pemerintah yang memprioritaskan
pembangunan infrastruktur, khususnya yang
mendukung konektivitas memberikan optimisme
pada membaiknya daya dukung logistik ke depan.
Untuk mengoptimalkan upaya tersebut, maka
koordinasi yang intensif dengan pemerintah
daerah dan pelaku logistik perlu terus dilakukan.
Hal ini guna memastikan efektivitas dari
implementasi pembenahan daya dukung logistik
di Kalimantan.
kontainer pembawa, ukuran max.vessels, jumlah kunjungan kapal, dan pengiriman perusahaan terdaftar.
51
Bagian V
Perekonomian Kawasan Timur Indonesia Pada triwulan IV 2015, ekonomi Kawasan Timur Indonesia (KTI) tumbuh melambat, dari 8,9% (yoy)
pada triwulan III 2015 menjadi 8,6% (yoy). Perlambatan pertumbuhan ekonomi terutama
disebabkan oleh kontraksi ekspor dan perlambatan investasi serta konsumsi. Meski melambat,
untuk keseluruhan tahun 2015, ekonomi KTI tumbuh lebih tinggi dibanding tahun 2014 yaitu dari
6,1% (yoy) menjadi 8,4% (yoy) yang didorong oleh perbaikan ekspor mineral dan hasil olahannya
serta peningkatan kinerja konsumsi pemerintah. Memasuki triwulan I 2016, ekonomi KTI
diperkirakan cenderung melambat yang dipengaruhi oleh kinerja konsumsi pemerintah yang belum
optimal di awal tahun dan menurunnya investasi bangunan. Sementara itu, perlambatan investasi
bangunan dan ekspor hasil tambang diprakirakan akan memengaruhi perkembangan ekonomi KTI
hingga keseluruhan tahun 2016 yang diproyeksikan tumbuh melambat di kisaran 7,1-7,5% (yoy).
Inflasi KTI pada triwulan IV 2015 tercatat sebesar 4,06% (yoy), lebih rendah dari triwulan
sebelumnya (7,25%, yoy) maupun akhir tahun 2014 (8,31%, yoy). Penurunan laju inflasi terjadi pada
seluruh komponen disagregasi khususnya administered prices (kelompok transpor) seiring dengan
terjaganya pergerakan harga BBM. Tekanan inflasi menunjukkan peningkatan pada awal triwulan I
2016 dengan inflasi sebesar 0,73% (mtm) di bulan Januari 2016. Inflasi disebabkan oleh tekanan
harga komoditas pangan yang akan mendorong meningkatnya inflasi hingga akhir triwulan I 2016.
Untuk keseluruhan tahun 2016, beberapa faktor seperti pergeseran musim tanam serta tekanan dari
sisi permintaan diperkirakan mendorong laju inflasi KTI pada kisaran 4,7-5,1% (yoy). Jika tren
pergerakan harga minyak dunia yang menurun terus berlangsung, maka inflasi KTI di akhir tahun
2016 dimungkinkan bias ke bawah dari perkiraan. Penurunan harga minyak tersebut dapat
ditransmisikan melalui penurunan harga BBM, penyesuaian tarif tistrik, serta penurunan tarif
angkutan.
Pertumbuhan Ekonomi
Perekonomian Kawasan Timur Indonesia (KTI)
tumbuh melambat pada triwulan IV 2015
dibandingkan dengan periode triwulan
sebelumnya. Pertumbuhan ekonomi KTI secara
agregat tercatat sebesar 8,6% (yoy) pada triwulan
IV 2015, atau lebih rendah dari triwulan III 2015
yang sebesar 8,9% (yoy). Deselerasi pertumbuhan
ekonomi KTI terutama bersumber dari
melambatnya perekonomian Sulawesi Selatan,
Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Maluku Utara,
Papua Barat, Bali, dan NTB (Tabel V.1). Secara
umum, melambatnya perekonomian berbagai
daerah di KTI dipengaruhi oleh kontraksi ekspor
mineral dan hasil pertanian, perlambatan
investasi seiring selesainya konstruksi tahap awal
beberapa pabrik pengolahan, serta perlambatan
konsumsi rumah tangga karena pelemahan
kinerja lapangan usaha primer. Perlambatan yang
terjadi turut dikonfirmasi oleh hasil survei dan
liaison yang dilakukan oleh Bank Indonesia
(Grafik V.1).
Grafik V.1. Realisasi Kegiatan Usaha Pertambangan dan
Likert Scale Ekspor, Survei Kegiatan Dunia Usaha dan Liaison Bank Indonesia
Meski melambat pada triwulan IV 2015, kinerja
perekonomian KTI untuk keseluruhan tahun
52
2015 mengalami akselerasi. Ekonomi KTI mampu
tumbuh sebesar 8,4% (yoy) pada tahun 2015
setelah tumbuh sebesar 6,1% (yoy) pada tahun
sebelumnya. Peningkatan laju pertumbuhan
ekonomi KTI pada tahun 2015 terutama sebagai
dampak dari dikeluarkannya kembali izin ekspor
oleh pemerintah kepada produsen mineral
tembaga di Papua dan NTB sebagai bagian dari
komitmen mereka untuk membangun fasilitas
hilirisasi di Indonesia. Di samping itu,
beroperasinya dua smelter nikel baru, masing-
masing di Sulawesi Tenggara dan Sulawesi
Tengah, serta satu pabrik pengolahan gas alam
(LNG) di Sulawesi Tengah, turut mendorong
akselerasi perekonomian KTI.
Tabel V.1. Pertumbuhan Ekonomi Daerah di KTI, % year-on-year
Sumber: BPS dan Perkiraan Bank Indonesia (2016)
Perkembangan berbagai indikator perekonomian
di awal triwulan I 2016, mengindikasikan masih
cenderung lambatnya pertumbuhan ekonomi KTI.
Pertumbuhan ekonomi pada triwulan I 2016
diprakirakan berada pada kisaran 7,6% (yoy).
Sumber perlambatan ekonomi datang dari
beberapa daerah yaitu Sulawesi Tenggara,
Sulawesi Tengah, Gorontalo, Papua Barat, Papua,
NTB, dan NTT. Hal ini terutama dipengaruhi oleh
perkembangan konsumsi pemerintah yang belum
optimal pada periode awal tahun serta investasi
swasta yang cenderung menurun dan tidak
tumbuh lebih tinggi dari capaian triwulan
sebelumnya.
Kinerja konsumsi mengalami perlambatan seiring
deselerasi konsumsi pemerintah namun ditopang
oleh konsumsi rumah tangga yang masih tumbuh
cukup kuat. Perlambatan pertumbuhan konsumsi
pemerintah dipengaruhi oleh pola siklikal
penyerapan anggaran yang dioptimalkan pada
triwulan IV 2015 sehingga laju pertumbuhan
konsumsi pemerintah pada awal tahun tidak
tercatat lebih tinggi. Di samping itu, masih
terdapat beberapa permasalahan administrasi
yang juga menjadi kendala realisasi belanja APBD.
Di sisi lain, konsumsi rumah tangga diperkirakan
dapat menopang sumber pertumbuhan yang
berasal dari konsumsi, sehingga menahan
perlambatan lebih dalam. Hal ini seiring dengan
membaiknya tingkat pendapatan dengan adanya
kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) di tahun
2016 yang secara rata-rata tercatat di atas 10% di
berbagai daerah di KTI. Di samping itu, tingkat
pendapatan pada beberapa lapangan usaha non
tambang juga menunjukkan perbaikan sehingga
turut mendukung arah penguatan kinerja
konsumsi rumah tangga. Indikator Indeks
Keyakinan Konsumen di beberapa kota juga
menunjukkan adanya optimisme di awal triwulan
I 2016 (Grafik V.2).
Grafik V.2. Indeks Keyakinan Konsumen,
Survei Konsumen Bank Indonesia
Ekspor diperkirakan tumbuh lebih tinggi pada
triwulan I 2016 dan menopang kinerja ekonomi
KTI. Kinerja ekspor terutama ditopang oleh
kegiatan perdagangan luar negeri, khususnya
ekspor hasil olahan nikel dan gas alam yang
dihasilkan pabrik baru di Sulawesi. Di samping itu,
kinerja hasil pertanian yang membaik turut
mendukung akselerasi ekspor pada triwulan I
2016
I II III IV I
Sulawesi Selatan 7.5 5.7 8.0 7.6 7.2 7.1 7.4
Sulawesi Barat 8.9 5.6 8.7 6.3 8.7 7.4 11.8
Sulawesi Tenggara 6.3 5.7 7.2 7.0 7.5 6.9 6.8
Sulawesi Tengah 5.1 16.5 15.1 15.6 15.1 15.6 13.9
Gorontalo 7.3 4.8 6.7 5.9 7.7 6.2 5.6
Sulawesi Utara 6.3 6.4 6.3 6.3 5.6 6.1 6.2
Maluku Utara 5.5 5.0 6.5 6.8 6.0 6.1 6.1
Maluku 6.6 4.1 5.5 5.6 6.5 5.4 6.7
Papua Barat 5.4 (2.0) 7.0 6.6 5.2 4.1 5.0
Papua 3.8 1.6 13.8 2.5 14.1 8.0 13.6
Bali 6.7 6.0 5.9 6.3 6.0 6.0 6.2
NTB 5.1 19.4 20.1 34.2 12.0 21.2 0.7
NTT 5.1 4.6 5.1 5.1 5.1 5.0 4.8
KTI 6.1 6.5 9.4 8.9 8.6 8.4 7.6
Provinsi 20142015
2015
53
2016. Perbaikan khususnya disumbangkan dari
subkategori perikanan di Maluku, tanaman bahan
makanan (tabama) di Gorontalo, dan perkebunan
di beberapa provinsi di Sulawesi, seiring dengan
cuaca yang kondusif serta datangnya musim
panen. Walaupun produksi tambang tidak
terakselerasi, kinerja ekspor luar negeri
komoditas tambang masih menunjukkan arah
peningkatan karena pengiriman stok yang
dilakukan oleh para pelaku usaha.
Investasi (PMTB) menjadi salah satu sumber
perlambatan ekonomi KTI pada triwulan I 2016.
Perlambatan kinerja investasi bangunan maupun
non-bangunan terutama terkait dengan
selesainya beberapa proyek pembangunan
smelter di Sulawesi dan Maluku Utara sejak
pertengahan 2015 hingga awal 2016. Hal ini akan
menurunkan permintaan barang modal maupun
kegiatan konstruksi di daerah tersebut. Di
samping itu, pesimisme dari para investor dan
pelaku usaha diperkirakan masih akan berlanjut
pada triwulan I 2016. Pesimisme pelaku usaha,
khususnya di lapangan usaha nontambang,
disebabkan oleh perlambatan ekonomi nasional
di tahun 2015. Ketidapastian dari sisi ekonomi
global juga turut memengaruhi rencana investasi
di tahun 2016 sehingga tidak setinggi tahun 2015.
Kinerja Lapangan Usaha
Pertanian
Pertumbuhan lapangan usaha pertanian,
kehutanan, dan perikanan mengalami sedikit
perlambatan pada triwulan IV 2015.
Perlambatan tercatat dari 3,6% (yoy) menjadi
3,5% (yoy). Melambatnya usaha pertanian
terutama terjadi di Provinsi Sulawesi Selatan,
Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Maluku Utara,
dan NTB. Sementara kontraksi usaa pertanian
terjadi di Provinsi Maluku dan Papua Barat. Hal
ini dipengaruhi oleh melambatnya produksi
tabama, terutama komoditas padi dan jagung,
seiring dengan fenomena El Nino yang melanda
beberapa daerah sentra. Di samping itu,
subkategori perkebunan juga terkena dampak
kekeringan. Volume ekspor biji kakao bahkan
mengalami kontraksi cukup dalam pada awal
triwulan IV 2015. Komoditas hasil perikanan dan
kelautan, yaitu udang dan rumput laut, juga turut
mencatat kontraksi pada akhir tahun 2015 (Grafik
V.3).
Sumber: Bea Cukai, diolah
Grafik V.3. Volume Ekspor Rumput Laut
Untuk keseluruhan 2015, pertumbuhan
lapangan usaha pertanian, kehutanan, dan
perikanan juga mengalami perlambatan. Angka
pertumbuhan pada tahun 2015 tercatat sebesar
4,3% (yoy), lebih rendah dari tahun 2014 sebesar
6,6% (yoy). Perlambatan terjadi di hampir seluruh
provinsi, kecuali Sulawesi Barat, Papua, dan NTB.
Penyebab utama perlambatan adalah fenomena
kekeringan (El Nino) yang melanda daerah sentra
padi dan jagung (Grafik V.4), khususnya di
Sulawesi. Di samping itu, pertumbuhan produksi
perikanan di Maluku dan Papua Barat juga tidak
sebaik pencapaian tahun sebelumnya sebagai
dampak jangka pendek dari upaya pemerintah
dalam memberantas illegal fishing. Hal ini
terkonfirmasi dari hasil liaison baik kepada
kelompok petani/nelayan maupun perusahaan
perikanan di beberapa daerah di KTI yang
menyampaikan adanya penurunan produksi
selama periode tahun 2015.
Sumber: BPS, diolah
Grafik V.4. Produksi Jagung di KTI
54
Memasuki periode triwulan I 2016, kinerja
lapangan usaha pertanian diperkirakan akan
tumbuh meningkat yang didukung oleh perbaikan
pada beberapa subkategori. Dari subkategori
tabama dan hortikultura, percepatan
pertumbuhan akan didukung oleh panen jagung
di Gorontalo dan aneka bumbu di Maluku Utara
pada periode akhir triwulan. Panen padi juga
diperkirakan terjadi di Sulawesi Selatan pada
periode Februari hingga April 2016. Dari
subkategori perikanan, perbaikan terjadi
khususnya di daerah sentra utama di Maluku
karena cuaca yang kondusif bagi nelayan. Musim
hujan juga akan mendukung kinerja komoditas
hasil perkebunan, khususnya kakao dan kelapa
seiring dengan ketersediaan air yang memadai.
Hal ini masih diperkuat dengan berbagai upaya
perbaikan infrastruktur pertanian yang secara
merata akan terus dilakukan oleh Pemerintah
Daerah di KTI.
Kinerja ekspor dari usaha pertanian diperkirakan
turut membaik dan menahan perlambatan
ekonomi KTI lebih lanjut pada triwulan I 2016.
Membaiknya perkembangan dari sisi produksi
untuk beberapa komoditas utama di KTI akan
menopang kinerja ekspor pertanian. Memasuki
awal 2016, harga komoditas perikanan di pasar
global dinilai masih meneruskan tren yang
meningkat sehingga dapat menjadi faktor insentif
dalam mendukung kinerja ekspor lapangan usaha
pertanian. Dengan pangsa yang cukup besar
dalam struktur ekonomi, perbaikan lapangan
usaha pertanian juga akan menopang kinerja
konsumsi rumah tangga seiring dengan
membaiknya pendapatan ekspor bagi para
petani/nelayan maupun pelaku usaha.
Beberapa indikator lainnya juga mengindikasikan
adanya peningkatan kinerja lapangan usaha
pertanian. Nilai Tukar Petani (NTP) di beberapa
provinsi cenderung membaik pada Januari 2016
(Grafik V.5). Di samping itu, pelaku usaha juga
memperkirakan meningkatnya kegiatan dunia
usaha pertanian pada triwulan I 2016
dibandingkan dengan triwulan IV 2015.
Sumber: BPS
Grafik V.5. Nilai Tukar Petani
Pertambangan
Lapangan usaha pertambangan di KTI secara
agregat tumbuh cukup tinggi pada triwulan IV
2015 namun melambat dibanding triwulan
sebelumnya. Perlambatan tercatat dari tumbuh
22,1% (yoy) pada triwulan III 2015 menjadi 19,2%
(yoy). Perlambatan disebabkan oleh kontraksi
produksi hasil tambang di NTB dan melemahnya
kinerja daerah lain penghasil komoditas tambang
seperti Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara.
Berdasarkan hasil liaison dan komunikasi dengan
produsen utama mineral di NTB, izin ekspor
konsentrat baru diperoleh sejak akhir November
2015 sehingga produksi dan penjualan konsentrat
di awal triwulan IV 2015 hanya diarahkan untuk
memenuhi kebutuhan smelter dalam negeri
(Grafik V.6). Adapun perlambatan kinerja ekspor
nikel di Sulawesi lebih disebabkan oleh faktor
permintaan dan harga yang tidak mendukung.
Sumber: Produsen, diolah
Grafik V.6. Penjualan Konsentrat Mineral NTB
Untuk keseluruhan tahun 2015, kinerja lapangan
usaha pertambangan di KTI mengalami
akselerasi yang signifikan dibanding tahun 2014.
55
Pertumbuhan tercatat meningkat dari kontraksi -
2,3% (yoy) menjadi tumbuh 18,1% (yoy).
Akselerasi yang terjadi lebih dipengaruhi oleh
faktor base effect kinerja ekspor dari produsen
mineral di Papua (Grafik V.7) dan NTB pada tahun
2015 setelah tercatat rendah pasca implementasi
pembatasan ekspor mineral mentah pada tahun
2014. Adapun izin ekspor mineral dapat
diperoleh kembali setelah adanya komitmen dari
produsen untuk memajukan hilirisasi di dalam
negeri melalui pembangunan smelter secara
bertahap.
Sumber: Produsen, diolah
Grafik V.7. Produksi Mineral Papua
Pada triwulan I 2016, kinerja pertambangan
diperkirakan cenderung melambat. Perlambatan
usaha pertambangan terutama dipengaruhi oleh
hilangnya dampak positif dari base effect
produksi mineral, khususnya dari produsen di
Papua dan NTB. Selain itu, produksi nikel mentah
di Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara untuk
memenuhi kebutuhan smelter dalam negeri
diperkirakan tidak tumbuh setinggi triwulan IV
2015 karena masih tersedianya stok hasil
produksi pada akhir tahun 2015 dan antisipasi
terhadap faktor permintaan dari negara mitra
dagang yang belum menunjukkan perbaikan yang
signifikan.
Kinerja produksi pertambangan yang melambat
pada triwulan I 2016 juga dipengaruhi oleh
disinsentif dari sisi harga. Masih menurunnya
tren harga beberapa komoditas hasil tambang
utama di KTI (Grafik V.8) menyebabkan dorongan
dari sisi produksi tidak optimal, khususnya untuk
industri berbasis nikel yang selanjutnya
memengaruhi kinerja produksi nikel mentah. Hal
ini juga memengaruhi investasi usaha
pertambangan yang diperkirakan relatif terbatas
pada triwulan I 2016 karena perkembangan
global yang diwarnai ketidakpastian. Di sisi lain,
ekspor mineral tembaga diperkirakan masih
dapat mendukung akselerasi yang terjadi pada
ekspor secara total dan menahan perlambatan
ekspor pertambangan. Hal ini dilakukan pelaku
usaha sebagai upaya pengurangan stok hasil
produksi di akhir tahun 2015.
Sumber: World Bank
Grafik V.8. Harga Komoditas Tambang
Industri
Kinerja lapangan usaha industri pengolahan
mengalami percepatan pada triwulan IV 2015.
Setelah tumbuh hingga 9,4% (yoy) pada triwulan
sebelumnya, laju pertumbuhan industri
pengolahan tercatat mencapai 11,0% (yoy) pada
triwulan IV 2015. Akselerasi industri pengolahan
terutama didorong oleh perkembangan hilirisasi
yang berdampak positif di Sulawesi. Sepanjang
tahun 2015, terdapat dua smelter nikel baru yang
telah beroperasi, yaitu di Sulawesi Tengah dan
Sulawesi Tenggara. Selain itu, satu pabrik
pengolahan LNG di Sulawesi Tengah juga turut
memulai kegiatan operasionalnya. Seiring dengan
aktivitas pembangunan yang menguat, industri
semen di KTI juga turut mengalami akselerasi.
Sementara itu, industri makanan olahan (tepung
terigu) di Sulawesi Selatan mengalami perbaikan
setelah terkontraksi pada triwulan sebelumnya
(Grafik V.9). Perbaikan kinerja industri makanan
olahan terutama karena kebutuhan bahan baku
yang meningkat baik dari rumah tangga maupun
56
produsen makanan olahan dalam rangka
menyambut musim libur akhir tahun.
Sumber: Produsen, diolah
Grafik V.9. Produksi Industri Tepung Sulawesi Selatan
Dibandingkan dengan tahun 2014, kinerja
keseluruhan tahun 2015 dari lapangan usaha
industri pengolahan juga mengalami akselerasi.
Peningkatan pertumbuhan yang terjadi tercatat
dari 7,7% (yoy) menjadi 9,5% (yoy). Pendorong
utama meningkatnya pertumbuhan kategori ini
adalah beroperasinya dua smelter nikel baru dan
satu pabrik pengolahan gas alam baru di
Sulawesi. Produksi dari industri semen juga turut
mengalami peningkatan pertumbuhan sebagai
dampak dari kegiatan pembangunan oleh Pemda
maupun swasta yang cukup baik sepanjang tahun
2015.
Memasuki periode triwulan I 2016, kinerja
industri diperkirakan masih dalam tren
akselerasi. Akselerasi tersebut masih bersumber
dari industri berbasis pertambangan dan migas di
Sulawesi karena mulai beroperasinya pabrik baru.
Selain itu, kapasitas produksi industri pengolahan
nikel juga diperkirakan meningkat pada awal
tahun seiring dengan dimulainya tahap
operasional pabrik baru di Maluku Utara. Kinerja
beberapa industri utama lainnya seperti industri
makanan olahan dan kayu olahan juga
diperkirakan membaik karena terjaganya pasokan
bahan baku dari sektor pertanian sehingga
produksi dapat didorong pada tingkat yang
optimal. Hasil SKDU juga memperkirakan adanya
peningkatan realisasi kegiatan usaha industri
pengolahan (Grafik V.10).
Kinerja ekspor berbasis industri juga
diperkirakan akan meningkat sejalan dengan
akselerasi produksinya. Di tengah kondisi
ekonomi dunia yang belum pulih, permintaan
beberapa komoditas ekspor berbasis industri dari
KTI diperkirakan masih tetap positif, khususnya
untuk industri olahan komoditas pertanian. Hal
ini juga sejalan dengan hasil liaison kepada
beberapa pelaku usaha industri di KTI yang
memberikan indikasi adanya peningkatan
pendapatan ekspor dengan tujuan ke Korea
Selatan, Jepang, dan Amerika. Perbaikan di sisi
ekspor ini turut mendorong investasi industri
terkait yang turut dikonfirmasi oleh hasil SKDU
Bank Indonesia.
Grafik V.10. Perkembangan Kegiatan Usaha dan Investasi Industri Pengolahan, Survei Kegiatan Dunia Usaha Bank
Indonesia
Konstruksi
Pada triwulan IV 2015, lapangan usaha
konstruksi sedikit mengalami perlambatan
dibandingkan dengan triwulan sebelumnya.
Pertumbuhan pada triwulan IV 2015 tercatat
sebesar 9,8% (yoy), lebih rendah dari triwulan
sebelumnya yang sebesar 9,9% (yoy). Sumber
perlambatan yang utama adalah kontraksi yang
terjadi pada aktivitas usaha konstruksi di
Sulawesi Tengah. Berakhirnya pembangunan
tahap awal smelter nikel dan pabrik pengolahan
LNG yang telah beroperasi di semester I 2015
menurunkan aktivitas kategori ini pada triwulan
IV 2015. Sementara itu, meski masih dapat
bertumbuh positif, kinerja lapangan usaha
konstruksi di provinsi lain belum dapat
mendorong terjadinya akselerasi. Hasil liaison
turut mengkonfirmasi hal tersebut karena para
57
pelaku usaha menyampaikan adanya keengganan
untuk melakukan investasi bangunan dalam skala
besar di tengah kondisi ekonomi nasional yang
cenderung melambat dibandingkan dengan
tahun sebelumnya.
Dibandingkan dengan tahun 2014, usaha
konstruksi tercatat tumbuh meningkat pada
tahun 2015. Angka pertumbuhan tercatat
meningkat dari 8,3% (yoy) menjadi 9,6% (yoy).
Peningkatan ini terjadi di sebagian besar provinsi.
Selain didorong oleh pembangunan berbagai
infrastruktur daerah yang bersumber dari APBD
dan APBN, aktivitas konstruksi pada tahun 2015
turut didukung oleh cukup kuatnya
pembangunan oleh pihak swasta. Proyek-proyek
pemerintah terutama terkait dengan penguatan
infrastruktur konektivitas dan pendukung
kegiatan ekonomi seperti waduk dan pembangkit
listrik. Adapun proyek-proyek swasta masih
diwarnai pembangunan pabrik (khususnya
hilirisasi), hotel, dan pusat perbelanjaan.
Indikator realisasi pengadaan semen di KTI
mengkonfirmasi akselerasi yang terjadi (Grafik
V.11).
Sumber: ASI, diolah
Grafik V.11. Realisasi Pengadaan Semen
Memasuki triwulan I 2016, kinerja konstruksi
diperkirakan kembali mengalami perlambatan.
Selesainya beberapa proyek swasta berskala
besar berupa pembangunan pabrik hilirisasi
komoditas tambang dan properti menjadi
penyebab perlambatan tersebut. Di sisi lain,
indikator harga jual komoditas tambang dinilai
akan menurun oleh pelaku usaha, sehingga
menambah pesimisme pada lapangan usaha
konstruksi (Grafik V.12). Perlambatan yang lebih
dalam akan tertahan karena masih terus
berlanjutnya kegiatan pembangunan yang
bersumber dari APBN dan APBD. Meski belum
optimal di awal tahun sebagaimana pola
siklikalnya, penyerapan anggaran belanja untuk
pembangunan diharapkan dapat diprioritaskan
pada proyek-proyek strategis, seperti
pembangunan pelabuhan, bandara, jalan,
jembatan, dan jalur kereta api. Selain itu,
berbagai proyek pengembangan kawasan
ekonomi terpadu juga terus berlanjut di
beberapa daerah seperti Sulawesi Utara,
Sulawesi Tengah, Maluku Utara, serta NTB.
Grafik V.12. Perkembangan Harga Jual dan Investasi
Konstruksi, Survei Kegiatan Dunia Usaha Bank Indonesia
Dari dinamika sisi permintaan, perkembangan
usaha konstruksi yang melambat sejalan dengan
perlambatan komponen investasi. Pesimisme
para investor dan pelaku usaha memengaruhi
rencana investasi bangunan pada tahun 2016.
Terkait smelter, beberapa investor di Sulawesi
bahkan saat ini menahan kegiatan konstruksi
seiring perkembangan ekonomi global yang
masih diwarnai ketidakpastian. Hal tersebut akan
berdampak pada melambatnya pertumbuhan
impor barang modal, khususnya yang
didatangkan dari luar negeri. Pesimisme ini juga
tercermin dari perkiraan pelaku usaha terhadap
kegiatan investasi di lapangan usaha konstruksi
yang relatif tidak meningkat jika dibandingkan
dengan triwulan yang sebelumnya.
Perdagangan
Pada triwulan IV 2015, lapangan usaha
perdagangan di KTI mengalami peningkatan laju
58
pertumbuhan. Kategori usaha ini tercatat
tumbuh dari 7,2% (yoy) pada triwulan
sebelumnya menjadi 8,1% (yoy) pada triwulan IV
2015. Percepatan pertumbuhan terutama terjadi
di beberapa provinsi berpangsa besar dalam
struktur ekonomi KTI, seperti Sulawesi Selatan,
Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Papua, NTB,
dan NTT. Selain ditopang oleh datangnya musim
akhir tahun yang ditandai dengan perayaan
Natal, Tahun Baru, serta liburan sekolah, kinerja
perdagangan terutama didorong oleh akselerasi
konsumsi pemerintah dan LNPRT. Hal ini seiring
dengan upaya Pemda untuk mengoptimalkan
penyerapan anggaran serta adanya Pilkada
serentak. Hasil liaison kepada beberapa pusat
perbelanjaan, pertokoan, dan pasar swalayan
juga mengindikasikan adanya peningkatan
penjualan pada akhir tahun.
Sumber: Kantor Administrasi Pelabuhan, diolah Grafik V.13. Volume Bongkar Muat Pelabuhan Makassar
Secara akumulatif tahun 2015, pertumbuhan
lapangan usaha perdagangan tercatat
melambat. Perlambatan terjadi dari angka 7,6%
(yoy) pada tahun 2014 menjadi 7,1% (yoy).
Melambatnya kegiatan perdagangan pada tahun
2015 sejalan dengan perlambatan konsumsi
rumah tangga. Melemahnya perekonomian
nasional secara umum menyebabkan dorongan
permintaan tidak cukup kuat untuk
mengakselerasi aktivitas di lapangan usaha ini.
Hal tersebut tercermin pada pergerakan Indeks
Pembelian Barang Tahan Lama berdasarkan hasil
Survei Konsumen Bank Indonesia di KTI yang
cenderung melemah. Indikator volume barang
yang dibongkar dan dimuat di pelabuhan hub
utama di KTI yaitu di Makassar, Sulawesi Selatan,
juga menunjukkan adanya kontraksi yang lebih
dalam pada tahun 2015 (Grafik V.13).
Memasuki periode triwulan I 2016, kinerja
perdagangan diperkirakan masih akan mencatat
perlambatan. Menurunnya permintaan
khususnya akibat penurunan laju konsumsi
pemerintah di awal tahun akan menahan kinerja
lapangan usaha perdagangan. Hal tersebut
terutama akan menekan kinerja perdagangan
besar di tengah kinerja penjualan eceran yang
akan menopang pertumbuhan kegiatan
perdagangan. Perkembangan usaha perdagangan
yang melambat juga dikonfirmasi dari hasil SKDU
Bank Indonesia yang menunjukkan adanya
pesimisme pelaku usaha terhadap kegiatan usaha
dan harga jual pada triwulan I 2016 (Grafik V.14).
Grafik V.14. Perkembangan Kegiatan Usaha dan Harga Jual Perdagangan, Survei Kegiatan Dunia Usaha Bank
Indonesia
Perlambatan yang terjadi diperkirakan terutama
datang dari perdagangan antardaerah yang
cenderung melambat pada awal tahun pasca
musim liburan akhir tahun. Melambatnya
kegiatan perdagangan antardaerah akan
memengaruhi kinerja net ekspor antardaerah di
KTI yang diperkirakan tidak sebaik triwulan
sebelumnya. Meski demikian, kinerja penjualan
eceran yang masih cukup baik menjadi indikasi
masih cukup kuatnya kegiatan konsumsi rumah
tangga sehingga dapat menopang pertumbuhan
ekonomi.
Akomodasi
Kinerja usaha penyediaan akomodasi tercatat
stabil pada triwulan IV 2015. Pertumbuhan pada
triwulan sebelumnya dan triwulan IV 2015
59
tercatat sebesar 5,9% (yoy). Beberapa daerah
menjadi penopang pertumbuhan seperti Sulawesi
Selatan dan Sulawesi Utara di tengah
perlambatan kinerja yang terjadi di Bali dan NTB.
Masih cukup maraknya perkembangan kegiatan
MICE di Sulawesi Selatan menjadi penopang
kinerja aktivitas penyediaan akomodasi. Di
samping itu, datangnya musim akhir tahun turut
mendorong peningkatan kinerja hotel dan
restoran di Sulawesi Utara. Sementara
perlambatan di Bali dan NTB tercermin dari
tingkat hunian kamar hotel yang tidak sebaik
triwulan sebelumnya.
Untuk tahun 2015, kinerja usaha akomodasi
tercatat lebih rendah dari tahun 2014. Pada
tahun sebelumnya, lapangan usaha ini tumbuh
hingga 7,2% (yoy) sementara pada tahun 2015
hanya mampu tumbuh 5,9% (yoy). Sumber utama
perlambatan adalah jumlah kunjungan wisatawan
mancanegara (wisman) yang tumbuh melambat
selama tahun 2015, khususnya akumulasi jumlah
wisman yang masuk melalui Bali, Sulawesi
Selatan, Sulawesi Utara, dan NTB (Grafik V.15).
Adanya persaingan dengan beberapa negara
tujuan wisata lainnya serta isu keamanan
menjadi beberapa faktor utama yang
memengaruhi perlambatan kunjungan wisman.
Di sisi lain, perlambatan ekonomi nasional turut
menekan kinerja pariwisata karena berkurangnya
pengeluaran masyarakat untuk melakukan
aktivitas liburan dibandingkan tahun sebelumnya.
Sumber: BPS, diolah
Grafik V.15. Kunjungan Wisatawan Mancanegara
Pertumbuhan lapangan usaha penyediaan
akomodasi diperkirakan mulai membaik
memasuki triwulan I 2016. Faktor musiman
lanjutan kegiatan libur akhir tahun serta
perayaan Imlek diperkirakan masih dapat
mendorong kinerja pariwisata di KTI. Optimisme
di awal tahun tersebut datang baik dari sisi
kunjungan wisman maupun wisatawan nusantara
(wisnus). Berdasarkan hasil komunikasi dan
liaison kepada pelaku usaha perhotelan,
menjelang Imlek kunjungan wisatawan,
khususnya dari Tiongkok ke Bali, mengalami
peningkatan hingga 10% dibandingkan dengan
periode normalnya.
Optimisme usaha akomodasi diperkirakan turut
berkontribusi pada kinerja konsumsi rumah
tangga dan ekspor. Masih cukup baiknya
perkembangan kunjungan wisnus akan
menopang akselerasi yang terjadi pada konsumsi
rumah tangga. Sementara itu, adanya
peningkatan jumlah kunjungan wisman dari
Tiongkok, diperkirakan dapat mendorong kinerja
ekspor jasa di daerah destinasi wisata KTI. Hal ini
juga diperkuat oleh prospek kunjungan wisman
dari beberapa negara lain seperti Australia,
Jepang, dan Korea Selatan yang masih cukup
baik.
Fiskal Daerah
Sesuai dengan pola historisnya, penyerapan
belanja daerah di berbagai daerah di KTI
menunjukkan peningkatan pada triwulan
terakhir tahun 2015. Meningkatnya pengeluaran
pemerintah dipengaruhi terutama oleh
pengeluaran untuk belanja pembangunan
beberapa proyek infrastruktur berskala besar,
khususnya proyek-proyek yang mendukung
pembangunan tol laut. Penyerapan anggaran
yang cukup optimal di triwulan IV 2015 membuat
serapan anggaran belanja secara agregat di KTI1
pada tahun 2015 tercatat sebesar 93,6%.
Persentase realisasi tersebut lebih tinggi
dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang
tercatat sebesar 89,8% (Tabel V.2).
1 Berdasarkan data sementara realisasi APBD Provinsi (belum
termasuk Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, dan Papua Barat)
60
Realisasi agregat belanja daerah di beberapa
wilayah di KTI seluruhnya menunjukkan
peningkatan. Realisasi belanja agregat APBD
Provinsi di Sulawesi tercatat meningkat dari
90,8% di tahun 2014 menjadi 95,5% di tahun
2015. Hal ini terutama didukung oleh proyek
perbaikan jalan, bandara, dan irigasi. Penyerapan
anggaran belanja di Bali dan Nusa Tenggara
tercatat meningkat dari 86,5% menjadi 93,7%
pada tahun 2015. Hal ini didukung oleh
pengesahan DIPA yang lebih cepat di Bali serta
realisasi proyek terkait pembangunan jalan di
Nusa Tenggara. Adapun penyerapan belanja
ABPD secara agregat di Maluku dan Papua
tercatat sebesar 92,7% pada tahun 2015, lebih
tinggi dari tahun 2014 (91,8%). Peningkatan
tersebut didorong oleh belanja modal untuk
bantuan sarana pertanian dan pembangunan
jalan. Secara keseluruhan, peningkatan
penyerapan di tahun 2015 juga didorong oleh
penyelenggaraan Pilkada serentak pada
Desember 2015.
Tabel V.2. Realisasi Penyerapan Agregat APBD Provinsi
Sumber: SKPD masing-masing provinsi
Meski demikian, beberapa daerah yang turut
mengandalkan pendapatan dari aktivitas
ekonomi berbasis sumber daya alam mengalami
realisasi pendapatan yang kurang optimal.
Pengaruh faktor regulasi dan penurunan harga
komoditas di pasar global untuk komoditas
mineral dan migas berimbas pada pendapatan
beberapa daerah seperti Papua Barat, Papua, dan
NTB. Surplus APBD di ketiga daerah tersebut
tidak setinggi tahun sebelumnya seiring dengan
Dana Bagi Hasil (DBH) yang lebih rendah
dibandingkan dengan alokasi di tahun
sebelumnya.
Perkembangan Inflasi
Laju inflasi KTI sepanjang triwulan IV 2015
melambat terutama karena deflasi tahunan
pada kelompok transpor. Seluruh provinsi
mengalami penurunan laju inflasi dan secara
agregat inflasi KTI tercatat sebesar 4,06% (yoy),
lebih rendah dari triwulan sebelumnya sebesar
7,25% (yoy). Di samping deflasi yang terjadi pada
kelompok transpor, melambatnya inflasi KTI
didukung oleh berkurangnya tekanan inflasi
pangan dan tarif listrik. Harga komoditas pangan
yang lebih terkendali didukung oleh deflasi bahan
makanan yang terjadi di awal triwulan, antara
lain di Gorontalo, Sulawesi Selatan, Sulawesi
Tenggara, Papua Barat, Papua, Bali, dan NTB. Hal
ini terjadi seiring dengan turunnya harga aneka
cabai, ikan segar, serta daging ayam ras karena
pasokan yang cukup baik. Sementara itu,
turunnya tarif listrik sesuai dengan kebijakan
tariff adjustment yang dipengaruhi oleh masih
rendahnya harga minyak dunia.
Dibandingkan dengan tahun 2014, inflasi tahun
2015 juga tercatat lebih rendah karena
melambatnya laju inflasi hampir seluruh
kelompok barang konsumsi. Inflasi KTI secara
agregat tercatat sebesar 4,06% (yoy), melambat
cukup dalam dibandingkan dengan tahun 2014
yang tercatat sebesar 8,31% (yoy). Seluruh
provinsi di KTI tercatat mengalami perlambatan
laju inflasi dengan perlambatan terbesar terjadi
di Sulawesi Tenggara, Bali, dan Sulawesi Selatan.
Inflasi yang berada dalam rentang sasaran inflasi
nasional tahun 2015 ini, didukung oleh
terkendalinya harga BBM sepanjang tahun. Di
samping itu, koordinasi TPID dalam upaya
mengendalikan harga di daerah, khususnya
terkait pangan dan pengelolaan ekspektasi, juga
turut berkontribusi dalam menjaga tingkat inflasi
di KTI.
Memasuki awal triwulan I 2016, diperkirakan
terjadi inflasi yang cukup tinggi seiring dengan
kenaikan harga beberapa komoditas pangan
2014 2015
Pendapatan APBD Provinsi 101.9 98.8
Pendapatan Asli Daerah 103.9 100.0
Dana Perimbangan 110.1 99.6
Lain-lain Pendapatan yang Sah 89.5 96.7
Belanja APBD Provinsi 89.8 93.6
Belanja Operasi + Transfer 91.7 91.7
Belanja Modal 83.8 94.2
Belanja Tidak Terduga 27.6 36.3
Komponen APBDRealisasi (%)
61
strategis. Pada bulan Januari 2016, inflasi
tercatat sebesar 0,73% (mtm) atau sebesar 4,82%
(yoy). Beberapa provinsi mencatat inflasi yang
cukup tinggi antara lain Sulawesi Tenggara
(1,41%, mtm), Sulawesi Selatan (1,22%, mtm),
serta NTB (1,15%, mtm), namun tertahan oleh
deflasi yang terjadi antara lain di Gorontalo,
Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, dan Sulawesi
Barat. Komoditas pangan strategis yang menjadi
penyumbang utama inflasi antara lain adalah
bawang merah, tomat sayur, beras, daging ayam
ras, dan telur ayam ras. Naiknya harga
dipengaruhi oleh terbatasnya pasokan karena
daerah sentra masih berada dalam musim tanam
serta adanya pembatasan impor bahan baku
pakan ternak (jagung).
Grafik V.16. Perkembangan Harga Komoditas Pangan, Survei Pemantauan Harga Bank Indonesia
Dengan perkembangan tersebut, inflasi pada
triwulan I 2016 diperkirakan cenderung
meningkat dibandingkan dengan triwulan
sebelumnya. Sumber peningkatan inflasi akan
didorong oleh permintaan yang menguat pada
saat Imlek. Meningkatnya curah hujan
diperkirakan menjadi risiko yang perlu
diwaspadai karena selain dapat mengganggu
produksi dapat juga menghambat kegiatan
distribusi. Selain itu, belum datangnya puncak
musim panen akan mendorong kenaikan harga
beras dan komoditas hortikultura. Hasil Survei
Pemantauan Harga (SPH) dari Bank Indonesia
menunjukkan masih terjadinya kenaikan harga
beras, cabai merah, dan bawang putih hingga
awal Februari 2016 (Grafik V.16).
Menghadapi beberapa risiko inflasi yang ada,
fokus pengendalian inflasi melalui TPID
diarahkan pada empat hal utama. Pertama,
peningkatan pasokan pangan melalui perluasan
lahan pertanian. Kedua, melakukan inspeksi
langsung untuk memastikan tidak adanya pihak-
pihak yang mencari keuntungan sendiri terkait
fluktuasi harga komoditas administered prices
(LPG, BBM, tarif angkutan darat). Ketiga,
mendorong perbaikan infrastruktur konektivitas
agar dapat meningkatkan kelancaran distribusi.
Keempat, menjaga ekspektasi melalui sosialisasi
dan komunikasi dengan masyarakat baik melalui
media cetak maupun elektronik di tengah masih
cenderung tingginya ekspektasi harga konsumen
(Grafik V.17).
Grafik V.17. Ekspektasi Harga Konsumen,
Survei Konsumen Bank Indonesia
Stabilitas Keuangan Daerah
Ketahanan Sektor Korporasi
Pada triwulan IV 2015, kredit perbankan yang
disalurkan kepada korporasi tumbuh cukup
tinggi meskipun tidak sebaik pertumbuhan
triwulan sebelumnya. Pertumbuhan kredit
korporasi tercatat sebesar 20,63% (yoy), lebih
tinggi dari triwulan sebelumnya sebesar 21,43%
(yoy). Perlambatan yang terjadi dipengaruhi
terutama oleh melambatnya penyaluran kredit
kepada usaha pertambangan, konstruksi, dan
perdagangan. Hal ini sejalan dengan melemahnya
kinerja pertambangan di akhir tahun akibat
perkembangan harga yang tidak memberi insentif
produksi. Sementara itu, penyaluran kredit
konstruksi yang tumbuh lebih lambat dipengaruhi
adanya pesimisme di kalangan pelaku usaha
sehingga terjadi penundaan investasi swasta,
62
yang diperkirakan akan terus berlanjut hingga
2016. Meski melambat, pertumbuhan kredit
korporasi yang tinggi masih ditopang oleh
menguatnya pertumbuhan kredit kepada usaha
industri pengolahan dan pertanian.
Grafik V.18. Pertumbuhan Kredit Korporasi
Pertumbuhan kredit yang melambat pada sektor
korporasi disertai oleh perbaikan kualitas kredit.
Indikator kualitas kredit yaitu rasio Non
Performing Loans (NPL) tercatat mengalami
perbaikan dari 4,78% menjadi 4,49%. Turunnya
NPL korporasi terjadi pada lapangan usaha
pertambangan, industri pengolahan, konstruksi,
dan perdagangan. Upaya perbankan untuk
menjaga penyaluran kredit kepada usaha
pertambangan dan konstruksi memengaruhi
perbaikan NPL yang terjadi. Sementara itu, NPL di
usaha pertanian tercatat meningkat cukup tinggi.
Peningkatan NPL pada sektor pertanian
ditengarai disebabkan oleh kekeringan yang
merugikan para petani maupun kelompok usaha
pertanian di daerah.
Grafik V.19. NPL Kredit Korporasi
Di sisi penghimpunan dana pihak ketiga (DPK),
terjadi percepatan pertumbuhan pada triwulan
IV 2015. Pertumbuhan DPK yang bersumber dari
sektor korporasi secara agregat tercatat sebesar
40,18% (yoy), lebih tinggi dari triwulan
sebelumnya sebesar 21,20% (yoy). Peningkatan
pertumbuhan DPK didorong oleh akselerasi
simpanan giro dan tabungan. Hal tersebut
dipengaruhi oleh akselerasi penyelesaian dan
pembayaran proyek pemerintah kepada sektor
swasta di akhir tahun. Peningkatan pertumbuhan
DPK sektor korporasi didorong oleh menguatnya
pertumbuhan DPK dari provinsi-provinsi di
Sulawesi dan Nusa Tenggara.
Grafik V.20. Pertumbuhan DPK Korporasi
Ketahanan Sektor Rumah Tangga
Kredit perbankan yang disalurkan kepada sektor
rumah tangga hingga akhir triwulan IV 2015
cenderung melambat. Pada akhir 2015, kredit
perbankan kepada sektor rumah tangga tercatat
sebesar 10,48% (yoy), lebih rendah dibandingkan
dengan periode akhir triwulan III 2015 (12,26%).
Perlambatan kredit di sektor rumah tangga ini
terutama terjadi pada kredit kendaraan bermotor
(KKB) yang mengalami kontraksi, kredit
mulitguna, dan kredit pemilikan rumah (KPR).
Namun, perlambatan kredit KKB, Kredit
Multiguna dan KPR tersebut masih disertai
terjaganya risiko kredit sebagaimana tercermin
dari NPL yang masih cukup rendah.
Perkembangan ekonomi beberapa lapangan
usaha utama di KTI yang relatif melambat dinilai
memengaruhi perlambatan yang terjadi. Hal ini
terlihat dari hasil Survei Konsumen di beberapa
kota besar di KTI yang masih mengindikasikan
penurunan optimisme masyarakat terhadap
tingkat pendapatan yang diterima. Melemahnya
63
optimisme masyarakat menyebabkan permintaan
kredit dari sektor rumah tangga menjadi tertahan
dan tidak dapat tumbuh lebih tinggi dari
pencapaian di triwulan sebelumnya.
Grafik V.21. Pertumbuhan Kredit Rumah Tangga
Sementara itu, kualitas kredit yang disalurkan
kepada rumah tangga di triwulan IV 2015
mengalami perbaikan. Indikator NPL tercatat
turun dari 1,54% pada triwulan sebelumnya
menjadi 1,37%. Hal ini didukung oleh turunnya
NPL pada kredit multiguna dan kredit pemilikan
rumah. Perlambatan kredit yang disertai
perbaikan kualitas tersebut mengindikasikan
bahwa perbankan di KTI meningkatkan kehati-
hatiannya dalam menyalurkan kredit kepada
sektor rumah tangga.
Grafik V.22. NPL Kredit Rumah Tangga
Berbeda dengan penyaluran kredit, Dana Pihak
Ketiga (DPK) yang dihimpun dari sektor rumah
tangga mengalami akselerasi pertumbuhan pada
triwulan IV 2015. Pertumbuhan DPK tercatat
sebesar 11,60% (yoy) setelah tercatat sebesar
8,64% (yoy) pada triwulan III 2015.
Perkembangan DPK yang mengalami akselerasi
terjadi pada jenis simpanan giro dan tabungan.
Perkembangan DPK yang tumbuh menguat
terjadi hampir di seluruh provinsi di KTI, kecuali di
Sulawesi Selatan, Gorontalo, dan Sulawesi Barat.
Grafik V.23. Pertumbuhan DPK Rumah Tangga
Pembiayaan Sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM)
Pada triwulan IV 2015, pertumbuhan kredit ke
sektor UMKM cenderung meningkat. Kredit
UMKM pada akhir triwulan IV 2015 tercatat
tumbuh 10,46% (yoy), atau lebih tinggi dari
triwulan sebelumnya yang tercatat sebesar 6,70%
(yoy). Peningkatan tersebut terutama terjadi
pada penyaluran kredit kepada UMKM yang
bergerak di usaha pertanian, perikanan, dan
konstruksi. Peningkatan yang terjadi dipengaruhi
oleh paket kebijakan ekonomi dari Pemerintah
Pusat pada September 2015 yang memberikan
fasilitas subsidi bunga dalam pembiayaan ekspor
melalui LPEI dan penurunan suku bunga Kredit
Usaha Rakyat (KUR).
Grafik V.24. Pertumbuhan Kredit UMKM
Dari aspek kualitas kredit, indikator NPL kredit
UMKM hingga triwulan IV 2015 relatif terjaga.
NPL kredit UMKM berada di level 4,19% setelah
tercatat sebesar 4,35% pada triwulan
64
sebelumnya. Perbaikan kualitas kredit didorong
oleh membaiknya kualitas kredit di seluruh
lapangan usaha UMKM. Penurunan suku bunga
untuk kredit UMKM juga dinilai sebagai salah
satu faktor yang mendukung arah perbaikan
kualitas kredit UMKM.
Grafik V.25. NPL Kredit UMKM
Pengelolaan Uang Tunai Rupiah
Peredaran uang kartal (uang kertas dan uang
logam) di masyarakat wilayah KTI sepanjang
triwulan IV 2015 menunjukkan tren peningkatan
yang tercermin dari peningkatan outflow uang
kartal. Fenomena tersebut mengindikasikan
tingginya kebutuhan masyarakat akan uang tunai
seiring dengan masuknya musim liburan Natal
dan Tahun Baru. Di samping itu, berbagai realisasi
proyek-proyek pemerintah dan swasta di akhir
tahun juga turut mendorong aktivitas
perekonomian di daerah yang meningkatkan
kebutuhan akan uang tunai.
Grafik V.26. Perkembangan Aliran Uang
Untuk menyediakan uang layak edar, Bank
Indonesia secara konsisten memastikan
ketersediaan uang layak edar bagi masyarakat.
Sepanjang triwulan IV 2015, distribusi uang
difokuskan pada daerah-daerah perbatasan dan
sentra aktivitas perdagangan masyarakat. Di
Sulawesi Utara, kegiatan layanan penukaran uang
di pulau terluar, seperti Pulau Miangas, telah
dilakukan sebanyak tiga kali sepanjang triwulan
IV 2015 yang bekerja sama dengan TNI AL dan
Pemda.
Selain itu, dalam menjamin terjaganya kualitas
uang di masyarakat, Bank Indonesia secara
konsisten melakukan penyortiran dan
pemusnahan uang tidak layak edar (UTLE). Pada
tahun 2015, total pemusnahan UTLE di KTI
mencapai Rp15,59 Milyar, meningkat
dibandingkan dengan tahun 2014 yang sebesar
Rp10,50 Milyar. Jika dibandingkan terhadap
inflow uang kartal, secara total tahun 2015 rasio
UTLE terhadap inflow meningkat dari 16,97% di
tahun 2014 menjadi 24,63%. Peningkatan
tersebut mencerminkan waktu sirkulasi uang
yang semakin pendek di masyarakat.
Grafik V.27. Perkembangan Rasio UTLE
Sementara itu, temuan uang palsu di KTI
sepanjang tahun 2015 tercatat mengalami
peningkatan. Temuan uang palsu pada tahun
2015 tercatat sebanyak 9.652 lembar, lebih tinggi
dari tahun 2014 yang sebanyak 6.897 lembar.
Temuan uang palsu tertinggi di KTI berada di
Provinsi Bali, NTT, dan NTB, yang merupakan
daerah tujuan wisata dengan kunjungan wisman
dan wisnus yang tinggi. Adapun berbagai upaya
untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terus
dilakukan oleh Bank Indonesia di KTI melalui
sosialisasi dan edukasi ciri-ciri keaslian Uang
Rupiah. Selain itu, koordinasi yang kuat dengan
65
Kepolisian Daerah senantiasa dilakukan dalam
upaya memberantas pengedaran uang palsu.
Grafik V.28. Pangsa Temuan Palsu di KTI Tahun 2015
Prospek Perekonomian
Prospek Pertumbuhan Ekonomi
Perekonomian KTI pada tahun 2016
diprakirakan tumbuh melambat dibandingkan
dengan tahun 2015. Pertumbuhan ekonomi KTI
diprakirakan berada di kisaran 7,1%-7,5% (yoy).
Melambatnya pertumbuhan ekonomi terutama
terkait dengan perlambatan di sisi ekspor luar
negeri dan investasi bangunan. Pelemahan
kinerja ekspor terkait dengan hilangnya dampak
positif base effect yang mengakselerasi
pertumbuhan ekspor tambang pada tahun
sebelumnya. Sementara itu, perlambatan
investasi bangunan seiring dengan berakhirnya
beberapa proyek pembangunan smelter nikel di
Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Maluku
Utara sejak pertengahan 2015 hingga awal 2016.
Hal tersebut akan berdampak pada menurunnya
tingkat investasi swasta pada paruh kedua tahun
2016 sehingga akan turut memengaruhi kinerja
lapangan usaha konstruksi.
Di tengah proyeksi perlambatan tersebut,
beberapa faktor risiko baik dari sisi eksternal
maupun internal masih perlu diwaspadai karena
dapat menekan pertumbuhan menjadi lebih
rendah dari perkiraan. Dari sisi eksternal, risiko
tersebut antara lain adalah tren harga komoditas
yang masih menurun serta belum pulihnya
perekonomian negara berkembang khususnya
Tiongkok. Hal ini akan memengaruhi kinerja
ekspor dari KTI, khususnya pada komoditas hasil
pertanian dan olahan tambang yang sangat
dipengaruhi oleh permintaan negara mitra
dagang dan pergerakan harga komoditas.
Sementara itu, dari sisi internal, terdapat dua
faktor risiko utama yang dapat menekan
proyeksi pertumbuhan ekonomi di bawah
perkiraan. Risiko dimaksud adalah komitmen
eksportir mineral dalam membangun smelter
serta pencapaian target produksi pangan.
Perkembangan hilirisasi yang positif pada tahun
2016 ditandai dengan akan beroperasinya
beberapa smelter baru. Namun demikian, hal ini
akan sangat bergantung pada komitmen dari
investor. Selain itu, komitmen produsen tembaga
terbesar di KTI dalam membangun smelter juga
menjadi salah satu risiko yang dapat
memengaruhi pertumbuhan ekonomi. Apabila
komtimen tidak dapat dijaga maka angka
pertumbuhan ekonomi KTI dapat tercatat di
bawah perkiraan. Dari aspek produksi pangan,
apabila berbagai upaya pemerintah dalam
peningkatan target produksi serta penguatan
infrastruktur pangan mengalami hambatan di
tengah pergeseran musim tanam maka capaian
pertumbuhan ekonomi dinilai tidak akan setinggi
perkiraan.
Prospek Inflasi
Tekanan inflasi KTI di tahun 2016 diperkirakan
akan mengalami peningkatan dibandingkan
dengan tahun 2015. Proyeksi laju inflasi tahunan
KTI untuk tahun 2016 berada pada kisaran 4,7%-
5,1% (yoy). Tren peningkatan terutama
disebabkan oleh inflasi volatile food dan inflasi
inti. Terkait inflasi volatile food, lanjutan El Nino
tahun 2015 yang berakibat pada mundurnya
musim tanam dan fenomena La Nina yang
berpengaruh pada produksi perkebunan dan
perikanan dapat menjadi sumber utama
peningkatan inflasi. Sementara itu, inflasi inti,
khususnya pada kelompok makanan jadi,
sandang, dan perumahan, diperkirakan akan
meningkat akibat peningkatan permintaan seiring
perbaikan kinerja konsumsi rumah tangga.
SULUT
2.8%
GTO
0.0%SULTENG
2.4%SULBAR
0.0%
SULSEL
9.6%
MALUT
0.6%
MALUKU
0.2%BALI
44.3% NTB
16.7%
NTT
21.0%SULTRA
2.1%
PAPUA
0.2%
PABAR
0.1%
66
Adanya perayaan Galungan sebanyak dua kali di
Bali juga menambah tekanan dari sisi
permintaan. Adapun inflasi administered prices
lebih dipengaruhi oleh faktor musiman kenaikan
tarif angkutan udara pada musim peak season
Di sisi lain, terdapat potensi inflasi KTI yang lebih
rendah dari prakiraan yang bersumber dari tren
penurunan harga minyak dunia. Penurunan
tersebut terutama akan ditransmisikan melalui
turunnya harga BBM dan penyesuaian tarif listrik,
serta potensi penurunan tarif angkutan.
Tantangan pengendalian inflasi pada tahun 2016
masih disertai beberapa risiko yang dapat
memengaruhi pergerakan harga secara umum.
Risiko tersebut salah satunya terkait dengan
terhambatnya berbagai upaya peningkatan
produksi dan kelancaran distribusi pangan yang
dapat berimbas pada semakin tingginya
peningkatan inflasi volatile food. Hal ini perlu
dikawal dengan baik dan akan menjadi fokus
dalam roadmap pengendalian inflasi dengan
program prioritas yang diarahkan pada
pengembangan kerjasama antardaerah,
perbaikan infrastruktur, dan penguatan
kelembagaan.
Kendala Sistem Logistik Laut KTI Kawasan Timur Indonesia (KTI) secara umum
memiliki ketergantungan tinggi terhadap suplai
pasokan dari kawasan lain. Meski beberapa
daerah di KTI merupakan sentra produksi pangan,
namun secara keseluruhan produksi pangan KTI
hanya mampu memenuhi 35% kebutuhan
konsumsi pangan total1. Suplai pasokan bahan
makanan dan makanan jadi terutama
didatangkan dari Jawa dengan pintu keluar
melalui Surabaya. Distribusi pasokan pangan
tersebut dilakukan dengan menggunakan
transportasi laut dengan rantai distribusi yang
cukup panjang.
Ketergantungan pasokan dari luar yang tidak
ditopang oleh sistem logistik yang belum
memadai berimplikasi pada tetap tingginya
disparitas harga di KTI. Disparitas harga antar
provinsi berkisar antara 10% hingga 68% lebih
tinggi dan bervariasi berdasarkan daya dukung
logistik di masing-masing daerah (Gambar V.1).
Jika dilihat pada beberapa komoditas seperti
bawang putih, minyak goreng dan tepung terigu,
disparitas harga terendah terdapat pada daerah
yang dijadikan penghubung (hub) distribusi yaitu
Bali dan Sulawesi Selatan. Akan tetapi,
peningkatan harga di provinsi lainnya tidak selalu
searah dengan jarak distribusi, yang
mencerminkan adanya dinamika faktor logistik
yang memengaruhi pergerakan harga. Disparitas
harga tersebut di kawasan Balinusra memiliki
pola yang berbeda dibandingkan dengan
Sulawesi-Maluku-Papua. Jarak menjadi faktor
utama kenaikan disparitas harga di Balinusra,
namun di Sulawesi-Maluku-Papua faktor logistik
menyebabkan tingkat harga disebagian daerah
lebih rendah meski jaraknya lebih jauh dari pusat
distribusi utama.
1 Data IRIO 2015 menunjukkan bahwa ±65% pasokan pangan
di KTI didatangkan dari Pulau Jawa.
Sumber : PIHPS
Gambar V.1. Disparitas Harga Komoditas Antar Daerah
Faktor biaya transportasi memengaruhi
pergerakan harga pangan di KTI. Hal ini terutama
tercermin dari biaya kapal laut yang cukup tinggi.
Rata-rata biaya pengiriman kontainer ukuran 20
GT ke wilayah Bali-Nusa Tenggara mencapai Rp9
Juta, ke Sulawesi mencapai Rp 12 Juta, kemudian
ke Maluku-Papua mencapai Rp20 Juta. Biaya
kapal laut tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan
biaya pengiriman jenis kontainer yang sama ke
Tiongkok sebesar Rp14 Juta, dengan jarak yang
lebih jauh (Grafik V.1.).
Boks 4
Sumber : Liaison, 2014
2
Grafik V.29. Biaya Angkut Kapal Dari Surabaya
Adanya disparitas biaya pengiriman melalui kapal
laut disebabkan oleh permasalahan fundamental
pada sistem transportasi laut di KTI.
Permasalahan tersebut dapat dibagi pada empat
bagian yaitu (1) biaya operasional kapal yang
cukup tinggi; (2) jenis kapal, dan frekuensi yang
masuk; (3) perbandingan volume bongkar muat;
dan (4) inefisiensi bongkar muat.
Biaya operasional kapal laut merupakan
komponen terbesar dalam biaya pengiriman
barang dan berbanding lurus dengan jarak tujuan
pengiriman. Biaya operasional kapal laut terdiri
dari biaya tetap dan Anak Buah Kapal (ABK),
biaya Bahan Bakar Minyak (BBM), pemeliharaan
dan biaya lain-lain, dengan pangsa terbesar
adalah biaya BBM yang mencapai 43% dari total
biaya. Namun, biaya operasional tersebut
berbeda di tiap wilayah yang disesuaikan dengan
kondisi geografis laut. Hal ini ditunjukkan pada
Grafik V.29. yang menggambarkan pangsa biaya
operasional kapal laut untuk pengiriman 1
kontainer dengan kapasitas 20 TEUs dari
Surabaya ke KTI yaitu sebesar 81,2%, lebih tinggi
dibandingkan ke wilayah Sumatera dan
Kalimantan, masing-masing sebesar 81% dan
75%3.
2
Data berdasarkan aktivitas pengiriman kontainer oleh
contact Liaison, dari Surabaya ke berbagai provinsi. 3 Pangsa biaya operasional kapal laut yang lebih tinggi di KTI
disebabkan oleh kondisi cuaca yang lebih ekstrim dibandingkan dengan pengiriman ke wilayah lainnya.
Rendahnya frekuensi kunjungan kapal serta
lamanya waktu perjalanan menuju daerah tujuan
turut menjadi faktor yang memengaruhi
tingginya biaya pengiriman. Kondisi ini terutama
terjadi di Kepulauan Maluku dan Papua, dengan
frekuensi kunjungan kapal hanya maksimal 4 kali
dalam sebulan dengan waktu perjalanan yang
cukup lama mencapai 13 hari. Lamanya waktu
perjalanan tersebut merupakan kondisi normal.
Dalam situasi cuaca ekstrim maka lama
perjalanan dapat bertambah hingga 5 hari. Hal
ini berpengaruh signifikan terhadap penurunan
kualitas bahan makanan yang menggunakan
transportasi laut. Kondisi ini sekaligus
mengkonfirmasi tingginya tingkat harga di
Maluku dan Papua dibandingkan daerah asal.
Biaya pengiriman yang relatif tinggi juga
dipengaruhi oleh ukuran kapal yang digunakan.
Pada Grafik V.30 menunjukkan kapasitas kapal
pengiriman barang ke KTI relatif kecil rata-rata
berukuran di bawah 1.000 GT. Ukuran kapal kecil
berarti kapasitas muat kapal juga lebih kecil yang
berdampak pada biaya pengiriman yang tinggi.
Ukuran kapal yang paling kecil terutama terdapat
di Balinusra yang sejalan dengan tingginya biaya
pengiriman kontainer. Pelabuhan yang kurang
memadai untuk sandar kapal besar menyebabkan
keterbatasan ukuran kapal yang dapat berlabuh
di Balinusra.
Tingginya biaya logistik juga disebabkan oleh
pelaksanaan aktivitas bongkar muat yang tidak
efektif di pelabuhan. Berdasarkan perbandingan
effective time dengan berth time, kegiatan
bongkar muat di pelabuhan KTI masih belum
efektif. Rasio effective time dengan berth time
KTI mencapai 64% yang mencerminkan waktu
efektif yang digunakan untuk bongkar muat
hanya 64% dari total waktu sandar kapal di
pelabuhan. Waktu idle yang cukup tinggi tersebut
terutama disebabkan oleh produktivitas bongkar
muat pelabuhan yang cukup rendah. Beberapa
pelabuhan di KTI bahkan belum menerapkan
sistem kerja bongkar muat dalam 2 shift (siang
dan malam). Selain itu, biaya bongkar muat
pelabuhan juga cukup tinggi, sebagai contoh di
Ambon biaya bongkar muat mencapai Rp1
Juta/20GT container, jauh lebih tinggi
dibandingkan di Manado yang sebesar Rp300
Rb/20GT kontainer4.
Infrastruktur pelabuhan yang terbatas turut
menimbulkan additional cost karena waktu
tunggu kapal untuk bongkar muat menjadi lebih
lama. Luas area sandar kapal yang terbatas di
beberapa pelabuhan menyebabkan dibutuhkan
waktu yang lebih lama untuk kapal dapat
berputar dan keluar pelabuhan (turn around
time). Selain itu, karena kapasitas yang terbatas,
kapal seringkali harus mengantri untuk
disandarkan menunggu selesainya aktivitas
bongkar muat kapal lain. Kondisi ekstrim terjadi
di Sulawesi Tenggara, dengan keterbatasan
pelabuhan, menyebabkan prioritas kapal sandar
untuk kapal yang mengangkut bahan makanan,
sehingga beberapa kali menyebabkan terjadi
kelangkaan komoditas non pangan seperti semen
dan bahan bangunan lainnya.
Minimnya volume bongkar muat menyebabkan
penetapan harga pengiriman yang lebih tinggi.
Perbandingan rasio volume bongkar muat kapal
di pelabuhan menunjukkan bahwa sebagian
besar kapal dari KTI masih kembali dalam
keadaan kosong meski ukuran kapal relatif kecil
(Grafik 3). Kondisi yang cukup ekstrim terjadi di
pelabuhan Balinusra dengan rasio bongkar muat
>1.5 dan ukuran kapal yang relatif kecil, yang
sejalan dengan biaya pengiriman tinggi. Aktivitas
ekonomi yang belum berkembang optimal
menyebabkan minimnya produksi barang lokal
yang dapat dibawa. Kedepan pengembangan
ekonomi diharapkan dapat diarahkan pada
peningkatan produksi lokal yang berorientasi
ekspor. Hal ini sekaligus meningkatkan efisiensi
logistik dengan peningkatan barang muat.
4
Informasi berdasarkan hasil FGD dengan Pelindo,
Perusahaan Jasa Kontainer, dan Pelaku Usaha Perdagangan di Maluku, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Maluku Utara dan NTB.
Sumber: Statistika Transportasi Laut Tahun 2014, diolah
Grafik V.30. Kapasitas Kapal dan Rasio Bongkar Muat
Sumber: Liaison, 2014
Grafik V.31. Kapasitas Kapal dan Efisiensi Pengiriman
Barang5
Untuk mengatasi permasalahan logistik KTI
khususnya yang menggunakan transportasi laut
beberapa rekomendasi jangka pendek dan jangka
panjang antara lain (1) Membuat jalur logistik
yang efisien dengan menerapkan multiport
window system yaitu penjadwalan
keberangkatan; (2) Menggiatkan kerjasama antar
daerah; (3) Pengembangan pelabuhan kecil
(seperti di Papua) dalam memperbaiki fasilitas di
luar produksi; (4) Mendukung dan mempercepat
realisasi tol laut dalam efisiensi biaya; (5)
Melibatkan perusahaan kapal swasta dalam
meningkatkan jumlah kapal; (6) Mendorong
5 Data dihitung dari pelabuhan diusahakan: pelabuhan laut
yang diselenggarakan oleh PT (Persero) Pelabuhan Indonesia, untuk memberikan fasilitas-fasilitas yang diperlukan bagi kapal yang memasuki pelabuhan untuk melakukan kegiatan bongkar muat barang dan lain-lain
spesialisasi produk di suatu daerah dalam
meningkatkan volume muat kapal; (7) Aturan
dalam mendukung kegiatan bongkar di
pelabuhan yang khususnya tenaga kerja bongkar
muat yang lebih produktif dengan biaya
terstandar; (8) Percepatan anggaran
pembangunan.
71
Bagian VI
Isu Strategis 1: Penguatan Infrastruktur
Logistik dan Penunjang Produksi Pangan Upaya menurunkan inflasi ke level yang lebih rendah dan stabil dalam mendukung stabilitas
makroekonomi dan peningkatan daya saing, membutuhkan langkah-langkah kongkrit dan
terintegrasi dalam memperbaiki kapasitas serta kualitas infrastruktur logistik pangan maupun
penunjang produksi pangan. Kondisi logistik yang belum memadai dan efisien menjadi faktor
penyebab relatif tingginya biaya logistik di Indonesia, bahkan jika dibandingkan dengan negara
peers. Kualitas infrastruktur logistik yang juga belum merata di setiap daerah tercermin langsung
pada tingginya biaya transportasi yang merupakan salah satu komponen terbesar dalam biaya
logistik. Selain persoalan logistik, stabilisasi harga di daerah juga dihadapkan pada masih belum
memadainya daya dukung kapasitas produksi pangan yang menyebabkan tingginya
ketergantungan produksi pangan pada faktor iklim dan cuaca, serta tidak meratanya kemampuan
produksi pangan antar daerah. Penguatan infrastruktur logistik dan penunjang produksi pangan ini
perlu diutamakan guna mengatasi masalah disparitas harga antar daerah yang masih cukup tinggi.
Sementara itu, pembangunan maupun perbaikan infrastruktur penunjang produksi pangan sangat
diperlukan untuk mencapai ketahanan pangan, yang diprioritaskan berasal dari hasil pertanian
domestik.
Penguatan Logistik Pangan
Kondisi infrastruktur logistik pangan yang belum
memadai menjadi sumber inefisiensi utama
pada tingginya biaya logistik. Biaya transportasi
antar daerah memiliki porsi terbesar dalam biaya
logistik, yang selain dipengaruhi oleh komponen
atau faktor jarak dan skala ekonomi, juga
dipengaruhi oleh kelancaran distribusi khususnya
melalui jalur darat dan laut. Sejumlah kendala
dalam distribusi terkait dengan terbatasnya
kapasitas serta kualitas infrastruktur transportasi
yaitu kapasitas jalan dan pelabuhan, interkoneksi
antar jaringan jalan dan jalur pelayaran, serta jasa
pelayanan bongkar muat di pelabuhan.
Terbatasnya infrastruktur untuk moda
transportasi kereta api turut menjadi faktor
belum optimalnya penguatan infrastruktur
logistik baik secara umum maupun spesifik
khususnya terkait dengan masalah distribusi
pangan.
Kondisi infrastruktur logistik nasional secara
umum masih tertinggal dari negara peers. Meski
menunjukkan perbaikan pada Logistic
Performance Index (LPI) dalam 5 tahun terakhir,
namun kualitas jalan dan pelabuhan di Indonesia
di bawah sebagian besar negara peers di ASEAN
(Global Competitiveness Report 2014, World
Economic Forum). Pembangunan infrastruktur
pelabuhan dan bandara yang menjadi faktor
perbaikan peringkat LPI dari Indonesia, belum
didukung dengan perbaikan kualitas jalan
maupun pelabuhan. Malaysia, Thailand, dan
Vietnam juga mengalami perbaikan peringkat LPI
yang didukung oleh implementasi kebijakan
terkait logistik secara konsisten dalam jangka
panjang. Selain pembangunan infrastruktur yang
menjadi syarat mutlak, perbaikan juga difokuskan
pada aspek trade facilitation, khususnya proses
bea cukai dan pemeriksaan dokumen dengan
mengoptimalkan penggunaan ICT.1
1 National single window telah diimplementasikan sejak 2009
di Malaysia. Dalam menghadapi persaingan MEA, Malaysia juga mengoptimalkan teknologi dalam supply chain management.
72
Grafik VI.1. Perbandingan Kualitas Jalan
Grafik VI.2. Perbandingan Kualitas Pelabuhan
Perbedaan daya dukung logistik berimplikasi
pada perbedaan efisiensi sistem logistik di tiap
daerah, sehingga menyebabkan disparitas harga
antar daerah. Hal ini tercermin dari perbedaan
biaya transportasi yang menjadi komponen
terbesar dalam biaya logistik. Dalam kurun waktu
12 tahun terakhir, disparitas harga (tercermin
dari inflasi) antar daerah relatif masih relatif
tinggi. Inflasi pada provinsi di KTI (Papua, NTT,
Maluku, Sulawesi) rata-rata mencapai 8-10%,
sementara di wilayah Jawa hanya mencapai 6-
8%. Daerah di luar Jawa juga cenderung memiliki
inflasi dan volatilitas harga persisten tinggi (twin
peaks) yang salah satu faktornya adalah tingginya
biaya transportasi.2
Perbedaan harga selain
disebabkan oleh inefisiensi sistem logistik, juga
terkait dengan belum terpenuhinya skala
ekonomi. Fenomena empty backhaul yang terjadi
saat ini sebagai dampak dari kosongnya
pengiriman barang balik dari sebagian wilayah
luar Jawa, khususnya dari wilayah Timur.
2 Hasil riset perdagangan antar wilayah, Studi Sektor Riil dan
Regional, Grup Riset Ekonomi, 2015.
Sumber: Kementerian Perdagangan, 2013 (berdasarkan pengiriman kontainer ukuran 20 ft)
Grafik VI.4. Perbedaan Biaya Transportasi Laut dan Darat
Terkait dengan efisiensi logistik melalui jalur
laut, kinerja jasa pelayanan bongkar muat di
pelabuhan turt berperan penting. Kendala yang
ditemui di sejumlah pelabuhan khususnya yang
menjadi pintu ekspor-impor barang bersumber
mulai dari keterlambatan waktu sandar, waktu
verifikasi dokumen dan bongkar muat hingga
waktu tunggu pengeluaran barang dari
pelabuhan.3 Semakin lama kontainer berada di
pelabuhan, maka biaya sewa kontainer dan lahan
atau gudang juga akan semakin tinggi. Lamanya
kontainer berada di pelabuhan juga dapat
disebabkan oleh terbatasnya jumlah pelayaran
kapal di suatu daerah, terbatasnya jam
operasional pelayanan bongkar muat maupun
3 Survei yang dilakukan Bank Dunia bersama Kementerian
Perhubungan pada 2013, Pelabuhan Sorong dan Medan (Belawan) memiliki waktu tunggu dan bongkar muat barang tertinggi. Sementara pelabuhan Makasar dan Surabaya tercatat paling efisien.
73
ketersediaan peralatan (crane,RTG) dan lahan
atau gudang penyimpanan sementara.
Untuk menjawab sejumlah tantangan di atas,
Pemerintah telah melakukan sejumlah langkah
strategis melalui pembangunan infrastruktur.
Dalam jangka panjang, perbaikan sistem logistik
melalui pembangunan infrastruktur telah
diamanatkan di dalam RPJMN 2015-2019, sesuai
dengan visi Pemerintahan Jokowi-JK. Secara
konkrit pada Rencana Kerja Pembangunan (RKP)
2016, pemerintah menargetkan pembangunan
sejumlah proyek strategis infrastruktur untuk
mendukung perbaikan jaringan transportasi dan
sistem logistik nasional.4
Gambar VI.1. Proyek Infrastruktur dalam RKP 2016
Dalam memperkuat sistem logistik diperlukan
perencanaan dan implementasi program yang
kongkrit dan terintegrasi. Pembangunan
infrastruktur yang telah berjalan hanya salah satu
bagian dari kerangka cetak biru sistem logistik
nasional (Sislognas). Sislognas diarahkan untuk
mengintegrasikan strategi kebijakan
pengembangan dan pengelolaan sistem logistik
yang bersifat multisektoral. Selain komitmen dan
penyelarasan skala prioritas kebijakan antar
instansi terkait, dalam menjalankan rencana aksi
4
Hasil simulasi dampak pembangunan infrastruktur
transportasi apabila sejumlah target pembangunan pada 2016 terealisasi, menunjukkan peningkatan rasio panjang jalan mantap per 100 m2 luas wilayah dari 26,17 menjadi 26,21 (0,2%).
Sislognas juga diperlukan harmonisasi dalam
program yang mendukung manajemen logistik.
Sebagai perbandingan, harmonisasi kebijakan
maupun program terkait logistik di beberapa
negara lain menjadi tanggung jawab dewan
khusus.
Komitmen dukungan terhadap perbaikan
logistik juga sangat diharapkan dari Pemerintah
Daerah. Sejumlah hal krusial yang menjadi
koordinasi di tingkat daerah adalah perencanaan
tata ruang dan wilayah (RTRW), kebijakan
perijinan yang mendukung pembangunan
infrastruktur maupun pengembangan jalur
transportasi, serta konektivitasnya. Pembiayaan
APBD juga turut berperan dalam perbaikan
infrastruktur maupun pengembangan moda
transportasi yang menjadi kewenangan daerah.
Koordinasi dan sinergi antar Pemerintah Daerah
juga dibutuhkan untuk mendukung harmonisasi
kebijakan maupun program terkait efisiensi
sistem logistik di daerah, misalnya koordinasi
pengaturan waktu operasional truk yang
melewati antar daerah, waktu operasional
gudang dalam kota dan pelabuhan.
Khusus terkait logistik pangan, salah satu sinergi
konkrit yang dapat dilakukan Pemerintah Pusat
dan Daerah adalah dalam pengembangan sistem
manajemen supply chain yang terintegrasi.
Belajar dari efisiensi sistem manajemen ritel
modern5 , sistem manajemen logistik pangan dari
hulu hingga hilir perlu diintegrasikan melalui
optimalisasi dari pusat distribusi terpadu yang
telah menjadi rencana pemerintah. Adapun kunci
keberhasilan pusat distribusi terpadu ini terletak
pada sinergi pengelolaan yang melibatkan
instansi terkait di pusat maupun daerah.
5 Terdapat korelasi antara pengembangan outlet ritel modern
yang pesat dalam kurun waktu 12 tahun terakhir dengan tren penurunan inflasi makanan jadi, dengan memperhitungkan kenaikan bahan pangan (bahan baku makanan jadi) dan biaya distribusi.
74
Gambar VI.2. Kerangka Pengembangan Pusat Distribusi
Terpadu
Pembangunan Infrastruktur Penunjang Produksi Pangan
Penurunan inflasi ke level yang lebih rendah dan
stabil dalam mendukung stabilitas
makroekonomi dan peningkatan daya saing,
membutuhkan upaya menjaga stabilitas harga
pangan strategis. Dalam kaitan tersebut,
pembangunan infrastruktur penunjang produksi
perlu terus dilakukan dalam rangka peningkatan
kapasitas dan kesinambungan produksi pangan.
Hal ini untuk mengimbangi semakin
meningkatnya konversi lahan pertanian sebagai
dampak pembangunan, disamping laju
pertumbuhan penduduk. Dalam kurun waktu 3
tahun terakhir, indeks keamanan (ketahanan)
pangan Indonesia belum menunjukkan
perbaikan.
Tabel VI.1. Global Food Security Index
Sumber: The Economist EIU, DuPont
Keterbatasan kapasitas dan kualitas infrastruktur
penunjang produksi pangan menjadi salah satu
penyebab belum optimalnya produktivitas
pangan. Masih rendahnya kapasitas infrastruktur
pertanian tercermin dari luas lahan irigasi teknis
yang masih relatif minim dibandingkan total
lahan pertanian. Dari sisi kualitas infrastruktur
pertanian juga rendah yang tercermin dari
persentase kerusakan sistem irigasi nasional yang
tinggi (46% dari total jaringan irigasi pertanian
pada 20146).
Grafik VI.5. Kondisi Infrastruktur Irigasi per Wilayah
Seperti halnya dengan penguatan sistem logistik
pangan, Pemerintah juga telah menginisiasi
program pembangunan dan revitalisasi
infrastruktur penunjang produksi pangan.
Program pembangunan 65 waduk baru pada
periode 2015-2019 difokuskan untuk mendukung
pertanian diluar Jawa, sementara di Jawa,
perbaikan irigasi di sentra produksi menjadi
fokus. Pembangunan 1 juta Ha jaringan irigasi
serta rehabilitasi 3 juta Ha jaringan irigasi yang
telah dimulai semenjak 2015, difokuskan pada 13
provinsi lumbung pangan.
6 Sumber : Ditjen Sumber Daya Air, Kementerian Pekerjaan
Umum dan Perumahan Rakyat.
75
Gambar VI.3. Rencana Pembangunan dan Rehabilitasi
Jaringan Irigasi
Pembangunan bendungan maupun jaringan
irigasi (primer dan sekunder) menunjukkan
progress yang positif, meskipun dampak
terhadap peningkatan produksi pangan dalam
jangka pendek. Namun adanya perbaikan
kualitas infrastruktur pengairan diyakini turut
memberikan dukungan positif pada peningkatan
produksi padi di 2015, ditengah kondisi iklim yang
semakin sulit diprediksi.
Grafik VI.6. Realisasi Pembangunan Irigasi Baru
Grafik VI.7. Realisasi Rehabilitasi Irigasi
(Primer&Sekunder)
Keberlanjutan program pemerintah dalam
pembangunan infrastruktur penunjang produksi
pangan, memberikan optimisme pencapaian
target ketahanan pangan. RKP 2016
menargetkan sejumlah agenda program yang
mendukung pembangunan infrastruktur
penunjang produksi pangan (perbaikan jaringan
irigasi, pembangunan embung, pompa, perluasan
lahan). Realisasi dari program dimaksud
diharapkan mampu memitigasi potensi resiko
iklim terhadap produksi pangan di 2016.
Tabel V.2. Target Program Infrastruktur Penunjang Pangan di RKP 2016
Terkait dengan program pembangunan
dimaksud, dukungan dari pusat maupun daerah
sangat diperlukan. Salah satu bentuk dukungan
yang dapat dilakukan adalah penggunaan dana
desa yang mekanisme penyalurannya telah
semakin lancar. Hasil quick survey di wilayah
Jawa menunjukkan bahwa sebagian besar dana
desa (94% dari total alokasi), digunakan untuk
pembangunan desa.7
Belanja pembangunan
terutama digunakan untuk pembangunan dan
pemeliharaan sarana serta prasarana desa,
diantaranya jalan dan embung desa (75%).
Pemanfatan belanja pembangunan dana desa
juga untuk pembangunan jalan usaha tani dan
irigasi tersier (16%), air bersih dan sanitasi (1%),
serta saluran budidaya perikanan (3%).
7
Dana desa juga dipergunakan untuk pemberdayaan
masyarakat desa. Dana desa yang dialokasikan sebesar Rp6,51 triliun di Jawa telah tersalurkan kepada 22.481 desa dengan rata-rata alokasi sebesar Rp289,7 juta per desa. Secara indikatif, realisasi dana desa yang telah disalurkan di Jawa tersebut mencapai 98,46%.
76
Ke depan, upaya mengawal penguatan
infrastruktur logistik dan penunjang produksi
pangan perlu terus menjadi perhatian. Risiko
inflasi dari kelompok bahan pangan yang masih
berpotensi terjadi perlu diantisipasi dengan baik.
Langkah pemerintah dalam melakukan
pembangunan infrastruktur logistik pangan dan
penunjang produksi pangan masih membutuhkan
waktu hingga terdapat dampak yang struktural.
Persistensi inflasi dan volatilitas serta disparitas
harga dalam jangka pendek masih membutuhkan
penanganan dari aspek pengendalian inflasi.
Roadmap pengendalian inflasi yang lebih terukur
dan strategis perlu menjadi acuan di daerah yang
menjadi garda depan dalam mengendalikan
inflasi.
Komitmen dan sinergi Pemerintah Pusat dan
Daerah bersama dengan Bank Indonesia dalam
pengendalian inflasi terus diperkuat. Dari sisi
Pemerintah Pusat, mulai di 2016 akan dinaikkan
alokasi dana insentif daerah secara signifikan
dalam rangka meningkatkan kinerja Pemerintah
Daerah. Adapun salah satu komponen penilaian
kinerja adalah pada aspek pengendalian inflasi.
Dari sisi Bank Indonesia, selain menjaga stabilitas
makroekonomi dan sistem keuangan, juga
terdapat upaya kongkrit untuk menjaga stabilitas
harga pangan strategis khususnya yang termasuk
dalam kelompok volatile food. Hal ini dilakukan
melalui pengembangan klaster pangan dengan
fokus spesifik di masing-masing wilayah. Klaster
pangan dimaksud dapat menjadi proyek
percontohan yang dapat direplikasi dan
dikembangkan menjadi integrated farming yang
lebih memberikan dampak terhadap
pengendalian inflasi.
Gambar VI.4. Langkah Pengendalian Inflasi Daerah
77
Bagian VI
Isu Strategis 2: Dampak Perlambatan Ekonomi
Terhadap Ketahanan Korporasi Kinerja sektor Rumah Tangga dan korporasi secara umum masih menunjukkan perlambatan pada
triwulan IV 2015. Perlambatan terjadi sebagai dampak dari melambatnya pertumbuhan ekonomi
domestik serta kenaikan harga sebagai akibat dari pelemahan nilai tukar yang menyebabkan
tingkat konsumsi Rumah Tangga terus tertekan. Namun demikian, Rumah Tangga masih memiliki
optimisme terhadap kondisi perekonomian ke depan, yang tercermin dari peningkatan Indeks
Penjualan Riil (IPR) dan Indeks Keyakinan Konsumen (IKK). Perbaikan ini utamanya didorong oleh
pertumbuhan penjualan bahan bakar kendaraan bermotor dan perlengkapan rumah tangga lainnya
pada akhir tahun 2015. Tingkat risiko kredit Rumah Tangga di perbankan masih cukup terjaga
dengan NPL gross terindikasi masih relatif rendah meskipun sedikit mengalami peningkatan
dibanding semester sebelumnya.
Di sektor korporasi pun menunjukan gejala penurunan kinerja yang sama dengan Rumah Tangga.
Penurunan kinerja ini dipicu tidak hanya oleh perlambatan ekonomi domestik, namun didorong juga
oleh faktor eksternal khususnya pelemahan ekonomi dunia, penurunan harga beberapa komoditi
seperti batubara, kelapa sawit, karet, produk logam, serta minyak dan gas. Dengan kondisi tersebut,
korporasi masih menghadapi potensi risiko, yang mempengaruhi kinerja kreditnya. Meskipun risiko
kredit meningkat, namun masih dalam level yang aman. Ke depan potensi risiko dari sektor
korporasi masih tetap perlu diwaspadai di tengah utang dalam bentuk mata uang asing sektor
korporasi yang meningkat. Masih melambatnya pertumbuhan ekonomi
global dan berlanjutnya penurunan harga
komoditas masih menjadi perhatian bagi
korporasi Indonesia, terutama korporasi yang
bergerak pada lima sektor komoditas utama
seperti kelapa sawit, karet, batubara, produk
logam, serta minyak dan gas. Secara umum
kinerja keuangan korporasi yang bergerak pada
sektor komoditas cenderung melambat
dibandingkan dengan korporasi yang bergerak di
luar komoditas. Hal tersebut tercermin dari tren
kinerja keuangan yang menurun sejak akhir tahun
2011 hingga posisi terakhir pada September 2015
(Grafik VI.8).
Penurunan harga komoditas global berdampak
langsung terhadap turunnya tingkat profitabilitas
korporasi. Dari ke lima komoditas utama tersebut
yang masih mencatatkan keuntungan positif
adalah sektor kelapa sawit, meskipun nilainya
jauh menurun dibanding posisi September 2014.
Tingkat kerentanan korporasi juga meningkat,
dilihat dari indikator solvabilitas yang melemah
dan nilai debt to equity ratio (DER)1
yang
meningkat kecuali sektor batubara dan logam.
Peningkatan DER tersebut perlu diwaspadai di
tengah penurunan profitabilitas korporasi, yang
akan berdampak pada penurunan kinerja kredit
korporasi. Hal tersebut tercermin dari
kemampuan korporasi untuk membayar
utangnya yang menurun (lihat DSR dan ICR)2
(Tabel VI.3).
1 DER= total debt / equity
2 DSR = Debt Service Ratio (Cicilan pokok + bunga / EBITDA),
ICR = Interest Coverage Ratio (EBIT/biaya bunga)
78
Sumber: Laporan Keuangan Korporasi di Bursa Efek Indonesia, Bloomberg. Diolah Keterangan: Jumlah korporasi komoditas: 70 dan non-komoditas 360
Grafik VI.8. Perkembangan Kinerja Korporasi Sektor Komoditas Secara Agregat
Tabel VI.3. Kinerja Korporasi Per Sektor Komoditas
Sumber: Laporan Keuangan Korporasi di Bursa Efek Indonesia, Bloomberg. Diolah Keterangan: Data 70 korporasi komoditas, posisi triwulan III 2014 dan triwulan III 2015
Menurunnya kinerja keuangan korporasi berbasis
komoditas selain terpengaruh oleh dampak
belum pulihnya perekonomian global yang
menyebabkan berkurangnya permintaan dari
negara-negara pengimpor juga adanya beberapa
hal lain seperti: regulasi pencemaran lingkungan,
pesaing baru, kurangnya investasi, dan
keterbatasan produksi, yang pada gilirannya
menggerus laba korporasi. Hal tersebut tercermin
dari ekspor yang menurun, dimana pada posisi
triwulan III 2015 ekspor komoditas utama
tumbuh negatif sebesar -25,11% (yoy). Tren
penurunan tersebut juga seiring dengan
melambatnya pertumbuhan Produk Domestik
Bruto (PDB) (Grafik VI.9).
Sumber: CEIC dan Bloomberg. Diolah Grafik VI.9. Perbandingan Pertumbuhan Pendapatan,
Ekspor dan Profit Korporasi Sektor Komoditas
Secara spasial, mayoritas wilayah bergantung
pada sektor pertanian, kehutanan, dan
perikanan serta pertambangan. Di beberapa
wilayah (Sumatera, Kalimantan dan KTI) sektor-
sektor tersebut memberikan sumbangan di atas
20% terhadap PDRB (Tabel VI.4).
Tabel VI.4. Sektor Dominan Berdasarkan Sumbangan ke PDRB
Sumber: Bank Indonesia. Diolah
Berdasarkan sebaran korporasi (listed) yang
bergerak pada sektor komoditas per wilayah,
Sumatera Jawa Kalimantan KTI
1. Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan 1 4 3 1
2. Pertambangan dan Penggalian 3 13 1 2
3. Industri Pengolahan 2 1 2 5
4. Pengadaan Listrik dan Gas 16 16 17 17
5. Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah, Limbah 17 17 16 16
6. Konstruksi 5 3 4 4
7. Perdagangan Besar dan Eceran, dan Reparasi 4 2 5 3
8. Transportasi dan Pergudangan 6 8 6 7
9. Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum 12 7 12 10
10. Informasi dan Komunikasi 8 5 10 8
11. Jasa Keuangan dan Asuransi 10 6 9 11
12. Real Estate 9 9 11 12
13. Jasa Perusahaan 15 12 15 15
14. Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan 7 11 7 6
15. Jasa Pendidikan 11 10 8 9
16. Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial 13 15 13 13
17. Jasa lainnya 14 14 14 14
Ranking Sektoral tahun 2014No. Sektor
PDRB
(Rp T)
Pangsa
total
PDRB
PDRB
(Rp T)
Pangsa
total PDRB
per DR (%)Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan 416.8 23.0 439.0 23.16
Industri Pengolahan 372.5 20.6 390.0 20.57
Pertambangan dan Penggalian 271.7 15.0 268.0 14.14
Industri Pengolahan 1,386.4 29.4 1,467.8 29.46
Perdagangan Besar dan Eceran, dan Reparasi 771.5 16.3 805.7 16.17
Konstruksi 486.5 10.3 513.0 10.30
Pertambangan dan Penggalian 293.5 38.8 293.8 37.67
Industri Pengolahan 131.1 17.3 134.0 17.18
Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan 87.3 11.6 91.0 11.67
Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan 193.4 21.6 206.2 21.75
Pertambangan dan Penggalian 119.3 13.3 115.8 12.21
Perdagangan Besar dan Eceran, dan Reparasi 99.3 11.1 106.8 11.26
DR 3
DR 2
DR 1
KTI
2014
SektorRegionalRegional
2013
Sumatera
Kalimantan
Jawa
DR 4
79
Kalimantan memiliki eksposur risiko penurunan
harga komoditas paling besar, tercermin dari
tingkat profitabilitasnya yang menurun paling
dalam serta tingkat utang yang cukup besar. Dari
42 korporasi listed yang berada pada wilayah
Kalimantan, 50% diantaranya bergerak pada
sektor pertambangan Batubara dan 29%
diantaranya bergerak pada sektor perkebunan
Kelapa Sawit. Selanjutnya, dampak penurunan
harga komoditas juga berimplikasi pada wilayah
Jawa terlihat dari kinerja profitabilitas-nya yang
juga menurun cukup signifikan dengan diikuti
kemampuan membayar utang yang menurun.
Korporasi komoditas yang banyak bergerak di
wilayah Jawa adalah produk logam (besi dan
baja).
Grafik VI.10. Perkembangan Kinerja Korporasi Sektor
Komoditas Per Wilayah
Tabel VI.5. Perkembangan Kinerja Korporasi Sektor Komoditas Per Wilayah
Sumber: Laporan Keuangan Korporasi di Bursa Efek Indonesia, Bloomberg. Diolah
Menelaah lebih jauh pada sumber pembiayaan
korporasi komoditas, secara umum pendanaan
korporasi berasal dari pinjaman luar negeri. Di
Sumatera dan Jawa, sumber pembiayaan banyak
berasal dari Utang Luar Negeri (ULN). Hal
tersebut memberikan potensi risiko yang lebih
besar. Selain itu, korporasi komoditas di
Sumatera dan Jawa mayoritas mendapatkan ULN
dari non afiliasi. Sementara utang dalam negeri
(UDN), wilayah Sumatera dan Jawa banyak dalam
denominasi valas dibandingkan rupiah. Oleh
karena itu, korporasi komoditas di Sumatera dan
Jawa perlu diperhatikan karena semakin rentan
terhadap sejumlah risiko, terutama risiko nilai
tukar (currency risk), risiko likuiditas (liquidity
risk), dan risiko beban utang yang berlebihan
(overleverage risk).
Sejalan dengan wilayah lain, sumber pembiayaan
korporasi di Kalimantan dan KTI yang berasal dari
ULN memberikan potensi risiko lebih besar
dibandingkan pembiayaan dari UDN. Korporasi
komoditas di Kalimantan dan KTI mayoritas
mendapatkan ULN dari non afiliasi. Jika dilihat
dari kinerja kreditnya, besaran NPL UDN
korporasi komoditas batubara dan karet di
Kalimantan telah berada di atas batas normal.
Melihat perkembangan PDRB per wilayah,
terjadi perlambatan pertumbuhan PDRB, sejalan
dengan penurunan ekspor komoditas utama di
masing-masing wilayah. Meskipun dalam tren
yang melambat, pertumbuhan di wilayah KTI
mengalami peningkatan di tahun 2015 jika
dibandingkan dengan tahun 2014. Hal ini
ditengarai akibat adanya perubahan kebijakan di
sektor mineral dan energi (Grafik VI.11 dan Tabel
VI.8).
80
Grafik VI.11. Perkembangan PDRB per Wilayah (yoy)
Tabel VI.8. Perkembangan Ekspor Menurut Wilayah Asal
Perlu diwaspadai penurunan kinerja korporasi
yang berbasis komoditas, dapat memicu
perlambatan pertumbuhan kredit. Wilayah
Kalimantan (mayoritas berbasis komoditas
batubara) menunjukkan pertumbuhan kredit
korporasi yang negatif, yaitu sebesar -1,02 (yoy)
dan diikuti dengan peningkatan NPL yaitu sebesar
5,31%. Hal ini mengindikasikan tingginya risiko
konsentrasi di Kalimantan sehingga melambatnya
kinerja sektor batubara di Kalimantan berdampak
singnifikan pada pertumbuhan kredit di wilayah
tersebut. Sementara itu, dari sisi dana pihak
ketiga (DPK), Sumatera memiliki pertumbuhan
DPK korporasi terendah yaitu sebesar 1,55% (yoy)
selanjutnya diikuti oleh Kalimantan dengan
pertumbuhan sebesar 3,17% (yoy) (Grafik VI.12).
Meskipun penurunan harga komoditas telah
meningkatkan risiko kredit perbankan, namun
dampaknya masih relatif terjaga. Hal tersebut
ditunjukkan dengan pangsa kredit korporasi pada
sektor komoditas yang relatif kecil (sekitar 17,9%)
jika dibandingkan dengan total kredit korporasi.
Grafik VI.12. Pertumbuhan Kredit, NPL dan DPK Korporasi Berbasis Komoditas Per Wilayah
Sumber: LBU Desember 2015
Perlambatan ekonomi domestik dan penurunan
harga komoditas juga berdampak kepada kredit
dan DPK perseorangan yang tumbuh melambat.
Sumatera mengalami pertumbuhan kredit
perseorangan paling rendah yaitu sebesar 7,25%
(yoy), dengan tingkat NPL tertinggi yaitu sebesar
3,26% bahkan melebihi NPL perseorangan
81
industri yaitu sebesar 2,47%. Sebaliknya, KTI
mengalami peningkatan kredit perseorangan
yang tertinggi (11,9%, yoy) dengan tingkat NPL
yang paling rendah (2,25%). Berdasarkan pangsa
kredit perseorangan, Jawa memiliki pangsa paling
besar yaitu mencapai 59,89%, diikuti oleh
Sumatera (18,36%) dan KTI (15,66%). Sementara
itu, dari sisi DPK perseorangan, wilayah Jawa
mengalami pertumbuhan terendah dibandingkan
wilayah lainnya yaitu sebesar 5,32% (yoy) pada
Desember 2015. Perlambatan yang terjadi di
Jawa sangat berpengaruh terhadap DPK secara
nasional (pangsa DPK Jawa sebesar 70,20%
terhadap nasional). Sedangkan untuk wilayah lain
yang berbasis komoditas (Sumatera, Kalimantan,
dan KTI) secara umum memiliki tren
pertumbuhan DPK yang melambat, namun
demikian DPK di wilayah KTI mengalami
peningkatan di akhir tahun 2015 (Grafik VI.13).
Grafik VI.13. Pertumbuhan Kredit, NPL dan DPK
Perseorangan Berbasis Komoditas Per Wilayah
Sumber: LBU Desember 2015
Lesunya korporasi berbasis komoditas
berimplikasi pada penurunan indikator tenaga
kerja. Tingkat pengangguran terbuka di
Kalimantan pada Agustus 2015 mengalami
peningkatan menjadi 5,48%, terutama
disebabkan turunnya tenaga kerja sektor
pertambangan sampai dengan -6,06% (yoy) dari
344 ribu orang pada tahun 2014 menjadi 323 ribu
orang pada tahun 2015. Apabila dilihat
berdasarkan keahliannya, pengurangan tenaga
kerja di sektor pertambangan terutama dilakukan
terhadap tenaga kerja kasar dan operator alat
berat.
Sejalan dengan Kalimantan, di wilayah Sumatera
kondisi ketenagakerjaan tahun 2015 di subsektor
perkebunan kelapa sawit mulai menunjukan
penurunan bila dibandingkan dengan tahun 2014.
Hal ini tercermin dari perlambatan pertumbuhan
petani dan tenaga kerja di subsektor perkebunan
kelapa sawit serta kenaikan pengangguran
terbuka, baik di empat provinsi utama penghasil
kelapa sawit yaitu Provinsi Sumatera Utara, Riau,
Jambi dan Sumatera Selatan.
Sedangkan di Jawa, ketenagakerjaan
terkonsentrasi pada sektor manufaktur. Karena
itu, dampak perlambatan ekonomi domestik
sangat mempengaruhi sektor manufaktur yang
pada gilirannya mempengaruhi laba korporasi.
Penurunan laba korporasi tersebut memberi
tekanan korporasi untuk mengurangi
penggunaan tenaga kerja. Hal tersebut
terkonfirmasi melalui survei liaison bahwa
adanya penurunan penggunaan tenaga kerja
sejak triwulan II 2015. Akibatnya, tren
pengangguran di Jawa cenderung tetap pada
82
tahun 2015, yang pada tahun-tahun sebelumnya
menurun.
Berbeda dengan wilayah lainnya, Menurunnya
kinerja korporasi komoditas di KTI tidak secara
langsung berpengaruh terhadap ketenagakerjaan
di wilayah tersebut. Hal ini disebabkan
karakteristik korporasi tambang adalah padat
modal, sehingga lebih berpengaruh terhadap
pertumbuhan ekonomi daerah tersebut.
Sejalan dengan turunnya kinerja keuangan
korporasi, kesejahteraan masyarakat juga
menurun. Di Kalimantan, melambatnya kinerja
sektor pertambangan dan sektor yang terkait
mengakibatkan pendapatan masyarakat juga
mengalami penurunan, tercermin dari tren
indeks penghasilan yang menurun. Namun
demikian, angka kemiskinan di Kalimantan
cenderung konstan, karena kenaikan angka
kemiskinan di kota diimbangi oleh penurunan
angka kemiskinan di desa. Hal tersebut
mengindikasikan kesejahteraan sebagai dampak
majunya sektor pertambangan hanya terbatas
dinikmati oleh penduduk kota. Hasil sektor
pertambangan lebih dinikmati oleh masyarakat
kelas ekonomi menengah ke atas juga tercermin
oleh rasio gini di Kalimantan yang cenderung
menurun.
Di Sumatera, sejalan dengan kinerja korporasi
yang melambat, kinerja sektor rumah tangga di
beberapa provinsi utama penghasil kelapa sawit
dan produk turunannya juga mengalami
penurunan. Hal ini tercermin dari (i) kenaikan
Tingkat pengangguran terbuka (TPT); (ii)
Penurunan Nilai Tukar Petani (NTP); (iii) Tren
penurunan Indeks Kondisi Ekonomi (IKE); (iv)
Perlambatan pertumbuhan tenaga kerja dan
petani kelapa Sawit dan (v) Penurunan daya beli
konsumen yang tercermin dari indeks
penghasilan dan indeks ketepatan konsumsi
durable goods.
Sementara itu, penurunan kinerja korporasi di
Jawa turut berimbas pada kemampuan debitur
rumah tangga dalam melakukan pembayaran
kredit konsumsi. Hal ini tercermin pada
peningkatan rata-rata NPL Kendaraan Bermotor
yang naik menjadi 1,3% dari 0,9% pada tahun
sebelumnya. Sementara NPL KPR masih stabil
pada angka 1,9%. Perlambatan ekonomi juga
cenderung menghambat pengentasan
kemiskinan. Hal ini terindikasi dari perlambatan
penurunan tingkat kemiskinan di Jawa
dibandingkan penurunan yang terjadi di tahun
2011. Pada tahun 2011 terjadi penurunan tingkat
kemiskinan hingga 4,1% dibandingkan tahun
2007 sedangkan pada tahun 2015 tingkat
kemiskinan hanya turun 1,6% jika dibandingkan
tahun 2011.
Di Kawasan Timur Indonesia tingkat
kesejahteraan penduduk lebih terpengaruh dari
melambatnya pertumbuhan ekonomi domestik
yang tercermin dari penurunan indeks
penghasilan dan meningkatnya tingkat
kemiskinan yang masih di atas level nasional.
83
Tabel Indikator Ekonomi Makro Wilayah
Sumatera
2016
I II III IV Ip
PDRB (%,yoy) 4.64 3.55 2.88 3.13 4.56 3.54 4.29 4,22 -4,72
Sisi Permintaan
Konsumsi Rumah Tangga 5.42 5.24 5.16 4.80 4.49 4.95 4.86 5,07-5,57
Konsumsi LNPRT 11.19 (3.10) (3.10) 5.95 8.75 1.98 5.08 1,73-2,23
Konsumsi Pemerintah 3.03 1.94 2.79 5.54 7.39 4.42 2.65 2,54-3,04
Pembentukan Modal Tetap Bruto 3.98 1.34 1.06 3.13 5.68 3.29 3.87 4,06-4,56
Ekspor 3.98 2.53 5.58 7.19 (6.56) (6.70) 4.18 3,96-4,46
Impor 2.03 (10.92) (9.55) (11.17) (3.48) (11.13) 4.68 3,78-4,28
Net Ekspor 4.62 2.09 (0.09) (11.87) (14.93) 26.53 (1.98) 0,02-0,52
Sisi Produksi
Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan 5.45 5.69 2.30 0.71 6.18 3.60 5.28 5,18-5,68
Pertambangan dan Penggalian (1.71) (3.33) (2.17) (1.40) (3.83) (2.85) (1.80) (1.15) - (0,65)
Industri Pengolahan 4.81 1.97 2.86 4.30 5.76 3.76 4.74 4,38-4,88
Pengadaan Listrik dan Gas 5.92 4.70 0.80 2.10 3.39 3.24 (4.29) 1,14-1,64
Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah, Limbah
dan Daur Ulang 4.90 5.38 6.25 4.25 3.92 4.85 (4.38) (5,51)-(5,01)
Konstruksi 7.03 3.45 2.41 4.82 5.62 4.19 5.47 4,96-5,46
Perdagangan Besar dan Eceran, dan Reparasi
Mobil dan Sepeda Motor 5.73 4.87 4.29 3.20 4.86 4.38 5.49 5,24-5,74
Transportasi dan Pergudangan 6.41 7.88 7.15 8.16 5.57 7.16 5.18 5,32-5,82
Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum 7.82 8.06 6.74 7.28 8.90 7.67 7.21 6,78-7,28
Informasi dan Komunikasi 7.59 8.26 9.12 8.89 7.77 8.53 6.64 6,22-6,72
Jasa Keuangan dan Asuransi 3.79 4.67 0.69 5.42 6.07 4.06 5.49 4,93-5,43
Real Estate 6.60 5.59 5.50 5.83 6.32 5.80 4.89 4,55-5,05
Jasa Perusahaan 6.65 6.65 6.15 5.19 5.31 5.81 3.86 4,46-4,96
Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan
Jaminan Sosial Wajib 6.12 5.86 8.15 6.74 8.29 7.25 6.94 6,43-6,93
Jasa Pendidikan 7.86 9.29 7.42 7.17 4.91 6.95 3.12 5,26-5,76
Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial 7.38 6.76 7.52 8.68 6.27 7.46 4.54 5,00-5,50
Jasa lainnya 6.73 7.23 7.62 7.48 7.64 7.54 5.43 4,84-5,34
PDRB (%,yoy)
Provinsi Aceh 1.65 (2.02) (2.21) (0.29) 1.42 (0.72) 3.18 2,90-3,40
Provinsi Sumatera Utara 5.23 4.82 5.13 5.09 5.32 5.08 5.40 5,09-5,59
Provinsi Sumatera Barat 5.85 5.49 5.31 4.93 5.74 5.41 5.41 5,31-5,81
Provinsi Riau 2.62 (0.03) (2.54) (1.38) 4.45 0.22 1.76 1,41-1,91
Provinsi Kepulauan Riau 7.76 5.95 5.17 4.38 3.18 4.21 3.90 3,65-4,15
Provinsi Jambi 7.32 7.16 6.25 5.40 5.20 6.02 5.84 5,59-6,09
Provinsi Sumatera Selatan 4.68 4.62 4.74 4.75 3.94 4.44 4.93 4,68-5,18
Provinsi Bengkulu 5.49 5.38 5.23 5.18 4.86 5.14 5.07 4,82-5,32
Provinsi Lampung 5.08 4.95 5.08 5.22 5.33 5.13 5.40 5,15-5,65
Provinsi Kep. Bangka Belitung 4.68 4.10 3.97 3.97 4.28 4.05 4.19 3,94-4,44
2016pIndikator Makroekonomi Daerah 20142015
2015
Tahun Dasar 2010
84
2016
I II III IV Ip
Inflasi IHK (%,yoy) 8.62 6.12 7.74 6.79 3.05 3.05 5.17 4,29-4,79
Provinsi Aceh 8.08 5.45 6.24 4.19 1.53 1.53 4.03 5,16-5,66
Provinsi Sumatera Utara 8.17 6.14 7.81 6.62 3.24 3.24 5.39 3,75-4,25
Provinsi Sumatera Barat 11.57 6.28 8.17 6.25 1.08 1.08 4.91 5,05-5,55
Provinsi Riau 8.64 6.17 7.39 5.70 2.65 2.65 5.13 4,20-4,70
Provinsi Kepulauan Riau 7.59 5.66 8.21 8.30 4.40 4.40 5.93 4,20-4,70
Provinsi Jambi 8.75 4.88 6.42 5.30 1.37 1.37 5.07 4,67-5,17
Provinsi Sumatera Selatan 8.48 6.26 7.49 6.99 3.10 3.10 4.25 3,63-4,13
Provinsi Bengkulu 10.85 7.65 9.90 8.65 3.25 3.25 6.12 5,07-5,57
Provinsi Lampung 8.09 6.64 8.17 7.70 4.34 4.34 5.22 5,33-5,83
Provinsi Kep. Bangka Belitung 9.04 6.74 6.90 7.33 3.27 3.27 5.79 4,21-4,71
2016pIndikator Makroekonomi Daerah 20142015
2015
Tahun Dasar 2010
85
Tabel Indikator Ekonomi Makro Wilayah Jawa
Tahun Dasar 2010
I II III IV Ip
PDRB (%,yoy) 5.6 5.3 5.2 5.5 5.9 5.5 5.61 5.59 - 5.99
Sisi Permintaan
Konsumsi Rumah Tangga 5.1 4.8 4.8 4.1 4.5 4.5 5.00 4.94 - 5.34
Konsumsi LNPRT 12.7 (11.8) (12.3) 4.5 5.9 (4.0) 6.01 4.94 - 5.34
Konsumsi Pemerintah 2.7 0.3 1.7 7.9 5.2 4.2 5.47 5.81 - 6.21
Pembentukan Modal Tetap Bruto 4.8 5.1 4.3 4.1 3.8 4.3 4.15 5.15 - 5.55
Ekspor 3.0 (1.5) (1.4) 0.6 (4.5) (1.7) 5.77 6.11 - 6.51
Impor 1.2 (5.0) (9.2) (9.0) (12.4) (9.0) (1.57) 0.81 - 1.21
Net Ekspor Antar Daerah (4.1) 1.4 (5.0) (12.5) (30.9) (10.7) (18.71) (8.40) - (8.80)
Sisi Produksi
Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan 1.3 2.6 6.7 1.8 2.4 3.4 3.23 4.00 - 4.40
Pertambangan dan Penggalian 3.1 (0.2) 6.1 5.5 8.9 5.1 3.79 3.41 - 3.81
Industri Pengolahan 5.8 4.8 3.9 5.0 4.8 4.6 5.12 5.23 - 5.63
Pengadaan Listrik dan Gas 4.3 (5.4) (3.9) (3.3) (2.9) (3.9) 2.22 2.45 - 2.85
Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah,
Limbah dan Daur Ulang3.3 4.8 4.5 4.1 3.7 4.2 4.12 3.11 - 3.51
Konstruksi 5.5 4.9 3.8 5.0 5.6 4.8 5.06 5.51 - 5.91
Perdagangan Besar, Eceran, dan Reparasi
Mobil dan Sepeda Motor4.5 4.3 4.3 4.1 4.0 4.2 4.55 4.99 - 5.39
Transportasi dan Pergudangan 8.7 8.7 9.1 8.2 6.6 8.1 6.70 7.94 - 8.34
Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum 7.2 6.5 6.5 6.8 7.8 6.9 5.05 5.61 - 6.01
Informasi dan Komunikasi 11.0 10.0 10.1 9.5 9.5 9.8 8.68 9.21 - 9.61
Jasa Keuangan dan Asuransi 4.5 8.8 2.6 11.3 15.2 9.5 9.74 8.91 - 9.31
Real Estate 6.1 5.9 5.3 5.1 4.6 5.2 5.44 5.43 - 5.83
Jasa Perusahaan 8.8 7.1 7.8 7.9 7.8 7.6 7.97 7.87 - 8.27
Administrasi Pemerintahan, Pertahanan
dan Jaminan Sosial Wajib1.3 2.4 3.6 4.1 4.4 3.7 4.25 3.96 - 4.36
Jasa Pendidikan 7.3 6.5 8.2 7.6 6.9 7.3 7.18 6.68 - 7.08
Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial 8.9 8.7 7.5 8.3 8.2 8.2 8.06 7.68 - 8.08
Jasa lainnya 7.8 7.5 6.3 6.8 7.7 7.1 7.30 (3.74) - (3.34)
PDRB (%,yoy) 5.6 5.3 5.2 5.5 5.9 5.5 5.61 5.59 - 5.99
DKI Jakarta 5.91 5.54 5.33 6.12 6.48 5.88 6.49 6.31 - 6.71
Jawa Barat 5.09 4.91 4.94 5.02 5.23 5.03 5.17 5.17 - 5.57
Banten 5.47 5.51 5.21 5.90 4.87 5.37 5.14 5.23 - 5.63
Jawa Tengah 5.28 5.64 5.06 5.00 6.08 5.44 4.91 4.96 - 5.36
DI Yogyakarta 5.16 4.26 4.63 5.33 5.50 4.94 5.16 5.13 - 5.53
Jawa Timur 5.86 5.05 5.23 5.53 5.94 5.44 5.35 5.46 - 5.86
Inflasi IHK (%,yoy) 8.35 6.28 7.07 6.71 3.12 3.12 4.29 3.9 - 4.3
DKI Jakarta 8.95 7.10 7.59 7.24 3.30 3.30 4.43 4.10 - 4.50
Jawa Barat 7.60 5.46 6.51 6.11 2.73 2.73 4.01 3.14 - 3.54
Banten 10.20 7.46 8.91 8.14 4.29 4.29 6.08 5.20 - 5.60
Jawa Tengah 8.21 5.68 6.15 5.78 2.73 2.73 3.63 3.91 - 4.31
DI Yogyakarta 6.59 5.13 5.68 5.23 3.09 3.09 4.13 4.19 - 4.59
Jawa Timur 7.77 6.08 6.77 6.69 3.08 3.08 4.03 4.18 - 4.58
20162016pIndikator Makroekonomi Daerah 2014
20152015
86
Tabel Indikator Ekonomi Makro Wilayah
Kalimantan
Tahun Dasar 20102016p
I II III IVp I
PDRB (%,yoy) 3.29 1.96 1.43 0.42 1.45 1.31 2.43 2.1 - 2.5
Sisi Permintaan
Konsumsi Rumah Tangga 3.90 3.41 3.72 4.00 3.41 3.64 3.68 4.2 - 4.6
Konsumsi LNPRT 2.74 -4.07 4.64 11.06 15.15 6.60 9.72 5.4 - 5.8
Konsumsi Pemerintah 3.52 6.63 6.99 7.23 -9.08 0.76 2.53 2.3 - 2.7
Pembentukan Modal Tetap Bruto 6.07 2.95 2.03 5.41 -1.41 2.19 0.98 2.4 - 2.8
Ekspor 0.13 -0.37 0.13 -1.94 -1.44 -0.91 2.05 2.5 - 2.9
Impor -0.09 -2.22 1.99 2.12 -6.51 -1.34 1.24 5 - 5.4
Sisi Produksi
Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan 5.12 5.46 5.76 3.81 1.46 4.11 3.15 4.3 - 4.7
Pertambangan dan Penggalian 0.14 -0.86 -3.05 -5.94 -5.71 -3.91 -3.21 (-2.5) - (-2.3)
Industri Pengolahan 2.17 -1.82 1.18 2.51 10.30 3.01 7.70 3 - 3.4
Pengadaan Listrik dan Gas 17.10 38.44 28.05 25.87 -1.19 20.12 17.03 17.6 - 18
Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah, Limbah
dan Daur Ulang 6.65 3.40 5.55 4.02 5.23 4.56 4.28 5 - 5.4
Konstruksi 7.57 4.06 2.05 2.66 2.50 2.80 3.85 4.1 - 4.5
Perdagangan Besar, Eceran, dan Reparasi Mobil
dan Sepeda Motor 5.43 4.29 3.96 3.22 5.59 4.26 5.73 5.4 - 5.8
Transportasi dan Pergudangan 6.29 7.39 7.26 5.50 4.22 6.04 4.42 4.1 - 4.5
Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum 6.07 5.41 6.42 6.18 5.77 5.95 5.38 4.4 - 4.8
Informasi dan Komunikasi 10.65 11.51 8.83 8.45 8.42 9.25 8.24 9.4 - 9.8
Jasa Keuangan dan Asuransi 5.00 4.81 -0.24 6.03 3.76 3.57 6.44 5.7 - 6.1
Real Estate 6.90 7.61 4.52 4.19 2.65 4.68 2.80 4.7 - 5.1
Jasa Perusahaan 7.35 2.96 2.14 2.62 0.47 2.03 1.38 3.4 - 3.8
Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan
Jaminan Sosial Wajib 7.59 7.02 8.61 8.08 9.09 8.24 8.42 6.2 - 6.6
Jasa Pendidikan 9.74 10.21 10.33 9.74 5.04 8.68 8.85 9.6 - 10
Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial 7.93 7.66 9.82 10.03 8.51 9.00 7.58 9.4 - 9.8
Jasa lainnya 7.47 6.67 7.08 6.82 8.48 7.28 7.60 7.7 - 8.1
PDRB (%,yoy) 3.29 1.96 1.43 0.42 1.45 1.31 2.43 2.1 - 2.5
Kalimantan Barat 5.03 6.33 4.06 4.55 4.35 4.81 4.84 5 - 5.4
Kalimantan Tengah 6.21 7.57 7.05 6.87 6.56 7.01 5.86 6.3 - 6.7
Kalimantan Selatan 4.85 3.97 3.32 3.92 4.14 3.84 4.23 3.9 - 4.3
Kalimantan Timur 2.17 -0.21 -0.39 -2.25 -0.55 -0.85 0.95 0.3 - 0.7
Inflasi IHK (%,yoy) 7.87 7.31 7.33 7.40 5.12 5.12 4.99 4.09 - 4.49
Kalimantan Barat 9.43 8.94 9.04 8.84 5.79 5.79 4.89 4.12 - 4.52
Kalimantan Tengah 7.07 5.90 5.85 5.75 4.74 4.74 5.12 2.99 - 3.39
Kalimantan Selatan 7.28 7.00 6.07 7.04 5.15 5.15 5.44 4.36 - 4.76
Kalimantan Timur 7.67 7.08 7.55 7.33 4.89 4.89 4.78 4.21 - 4.61
Indikator Makroekonomi Daerah 20142015
2015p 2016p
87
Tabel Indikator Ekonomi Makro Wilayah
Kawasan Timur Indonesia
I II III IV Ip
PDRB (%,yoy) 6.1 6.5 9.4 8.9 8.6 8.4 7.6 7.1 - 7.5
Sisi Permintaan
Konsumsi Rumah Tangga 5.8 5.7 5.7 5.4 5.2 5.5 6.3 6.6 - 7.0
Konsumsi Lembaga Nonprofit Rumah Tangga 10.0 (4.0) (1.8) 6.5 11.5 3.0 5.6 4.2 - 4.6
Konsumsi Pemerintah 3.8 6.0 4.5 5.3 10.6 6.9 7.0 7.0 - 7.4
Pembentukan Modal Tetap Bruto 8.6 8.7 10.0 9.2 8.5 9.1 7.5 9.4 - 9.8
Ekspor Luar Negeri (9.0) 29.5 51.7 12.8 (4.3) 18.8 18.0 13.8 - 14.2
Impor Luar Negeri 10.1 (16.3) (2.2) 6.1 18.2 1.4 15.3 11.1 - 11.5
Net Ekspor Antardaerah
Sisi Produksi
Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan 6.6 4.0 6.1 3.6 3.5 4.3 4.5 4.8 - 5.2
Pertambangan dan Penggalian (2.3) 7.3 23.6 22.1 19.2 18.1 9.5 4.8 - 5.2
Industri Pengolahan 7.7 5.7 11.8 9.4 11.0 9.5 12.3 13.1 - 13.5
Pengadaan Listrik dan Gas 10.8 6.5 (2.6) (2.2) (0.7) 0.1 7.5 9.2 - 9.6
Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah, Limbah dan
Daur Ulang 5.6 2.6 3.6 1.1 2.9 2.5 5.4 5.2 - 5.6
Konstruksi 8.3 9.6 9.1 9.9 9.8 9.6 7.2 7.3 - 7.7
Perdagangan Besar, Eceran, dan Reparasi Mobil
dan Sepeda Motor 7.6 6.1 6.8 7.2 8.1 7.1 7.8 8.4 - 8.8
Transportasi dan Pergudangan 6.8 6.6 7.1 7.9 5.7 6.8 6.8 7.7 - 8.1
Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum 7.2 6.4 5.7 5.9 5.9 5.9 7.6 6.9 - 7.3
Informasi dan Komunikasi 7.3 7.3 7.3 8.8 9.1 8.2 7.9 7.8 - 8.2
Jasa Keuangan dan Asuransi 6.3 9.1 2.2 10.0 6.1 6.8 7.5 7.8 - 8.2
Real Estate 7.7 6.9 6.5 6.1 5.9 6.4 8.4 7.3 - 7.7
Jasa Perusahaan 7.7 4.0 5.2 6.3 6.5 5.5 8.4 6.6 - 7.0
Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan
Jaminan Sosial Wajib 8.4 6.7 8.5 7.8 9.4 8.1 7.7 7.1 - 7.5
Jasa Pendidikan 7.4 8.9 8.4 7.9 4.4 7.3 8.0 7.4 - 7.8
Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial 8.8 7.6 8.2 9.1 6.9 7.9 6.9 7.2 - 7.6
Jasa lainnya 7.6 7.1 6.9 7.9 7.0 7.2 7.1 6.9 - 7.3
PDRB Menurut Provinsi (%, yoy)
Provinsi Sulawesi Selatan 7.5 5.7 8.0 7.6 7.2 7.1 7.4 7.5 - 7.9
Provinsi Sulawesi Barat 8.9 5.6 8.7 6.3 8.7 7.4 11.8 8.3 - 8.7
Provinsi Sulawesi Tenggara 6.3 5.7 7.2 7.0 7.5 6.9 6.8 6.9 - 7.3
Provinsi Sulawesi Tengah 5.1 16.5 15.1 15.6 15.1 15.6 13.9 14.7 - 15.1
Provinsi Gorontalo 7.3 4.8 6.7 5.9 7.7 6.2 5.6 6.4 - 6.8
Provinsi Sulawesi Utara 6.3 6.4 6.3 6.3 5.6 6.1 6.2 6.1 - 6.5
Provinsi Maluku Utara 5.5 5.0 6.5 6.8 6.0 6.1 6.1 6.0 - 6.4
Provinsi Maluku 6.6 4.1 5.5 5.6 6.5 5.4 6.7 6.3 - 6.7
Provinsi Papua Barat 5.4 (2.0) 7.0 6.6 5.2 4.1 5.0 4.9 - 5.3
Provinsi Papua 3.8 1.6 13.8 2.5 14.1 8.0 13.6 8.9 - 9.3
Provinsi Bali 6.7 6.0 5.9 6.3 6.0 6.0 6.2 6.1 - 6.5
Provinsi Nusa Tenggara Barat 5.1 19.4 20.1 34.2 12.0 21.2 0.7 1.8 - 2.2
Provinsi Nusa Tenggara Timur 5.1 4.6 5.1 5.1 5.1 5.0 4.8 5.1 - 5.5
Tahun Dasar 2010
Indikator Makroekonomi Daerah 2016p20142015
20152016
88
IV I II III IV Jan Ip IVp
Inflasi IHK (%,yoy) 8.31 6.83 7.43 7.25 4.06 4.82 5.40 4.71 - 5.11
Provinsi Sulawesi Selatan 8.61 7.13 8.06 8.36 4.48 5.94 6.05 5.04 - 5.44
Provinsi Sulawesi Barat 7.89 6.68 7.59 6.48 5.07 4.87 6.02 3.43 - 3.83
Provinsi Sulawesi Tenggara 8.45 7.80 7.35 7.25 2.27 4.35 5.19 5.26 - 5.66
Provinsi Sulawesi Tengah 8.84 5.28 6.00 5.36 4.17 3.62 6.91 4.07 - 4.47
Provinsi Gorontalo 6.14 5.28 6.09 7.39 4.30 5.03 5.45 4.22 - 4.62
Provinsi Sulawesi Utara 9.67 7.99 8.73 9.35 5.56 6.12 6.59 4.30 - 4.70
Provinsi Maluku 7.19 9.07 8.85 8.14 6.15 4.10 3.29 5.24 - 5.64
Provinsi Maluku Utara 9.35 7.92 8.22 6.60 4.52 5.65 6.28 5.52 - 5.92
Provinsi Papua 9.11 6.84 8.20 7.06 3.59 4.32 4.10 4.14 - 4.54
Provinsi Papua Barat 6.56 7.00 8.24 6.11 5.34 6.20 5.75 5.03 - 5.43
Provinsi Bali 8.43 6.42 6.97 6.56 2.75 3.52 4.25 4.68 - 5.08
Provinsi Nusa Tenggara Barat 7.22 5.98 6.04 5.41 3.43 4.12 5.37 4.40 - 4.80
Provinsi Nusa Tenggara Timur 7.76 5.39 6.01 6.74 4.92 5.06 6.14 4.35 - 4.75
2016
Tahun Dasar 2010
Indikator Makroekonomi Daerah2014 2015
Penanggung Jawab dan Editor
Koordinator Penyusun
Tim Penulis
Arief Hartawan Noor Yudanto Handri Adiwilaga Darius Tirtosuharto Maximilian T. Tutuarima Neva Andina Puput Kurniati Bayu Adi Gunawan Agung Budilaksono Rifat Pasha Rizki Fitrama
Frida Yunita Sinurat Hayatullah Khumeini Adela Putri Rizkia Bernard Hasiholan Evy Marya Deswita Siburian Andree Breitner Makahinda