Laporan Nusantara Februari 2016.pdf (21,16 MB)

99

Transcript of Laporan Nusantara Februari 2016.pdf (21,16 MB)

Page 1: Laporan Nusantara Februari 2016.pdf (21,16 MB)
Page 2: Laporan Nusantara Februari 2016.pdf (21,16 MB)
Page 3: Laporan Nusantara Februari 2016.pdf (21,16 MB)
Page 4: Laporan Nusantara Februari 2016.pdf (21,16 MB)

V

Daftar isi

Kata Pengantar

Bagian I

Ringkasan Perkembangan Terkini dan Prospek Ekonomi Daerah

Bagian II

Perekonomian Sumatera

Boks 1

Konektivitas Dalam Mendukung Daya Saing Sumatera

Bagian III

Perekonomian Jawa

Boks 2

Pemanfaatan Kereta Api Memperlancar Logistik Pangan di Jawa

Bagian IV

Perekonomian Kalimantan

Boks 3

Perbaikan Konektivitas untuk Mendukung Kestabilan Harga dan

Penurunan Inflasi Pangan di Kalimantan

Bagian V

Perekonomian Kawasan Timur Indonesia

Boks 4

Kendala Sistem Logistik Laut KTI

Bagian VI

Isu Khusus Daerah

Isu Khusus 1

Penguatan Infrastruktur Logistik dan Penunjang Produksi Pangan

Isu Khusus 2

Dampak Perlambatan Ekonomi Terhadap Ketahanan Korporasi

Lampiran

Page 5: Laporan Nusantara Februari 2016.pdf (21,16 MB)
Page 6: Laporan Nusantara Februari 2016.pdf (21,16 MB)

alam proses perumusan kebijakan, selain asesmen menyeluruh

perekonomian global dan nasional, Bank Indonesia selalu

mempertimbangkan berbagai dinamika perekonomian dan isu

terkini dalam perspektif kewilayahan. Secara periodik, pembahasan

menyeluruh terkait perkembangan perekonomian terkini dan

berbagai isu strategis yang mengemuka di daerah dilakukan antara

Dewan Gubernur dengan Kepala Departemen Regional yang

mewakili 4 (empat) wilayah di seluruh Indonesia1

. Pembahasan tersebut

memberikan pemahaman mendalam terkait kondisi makroekonomi disertai

berbagai aspek risiko spasial yang berkembang dan menjadi bagian penting dalam

proses perumusan kebijakan.

Pada triwulan IV 2015, realisasi pertumbuhan ekonomi secara nasional tercatat

sebesar 5,04%, jauh lebih tinggi meningkat dibandingkan pertumbuhan pada

triwulan sebelumnya yang sebesar 4,74%. Perbaikan ekonomi terutama didorong

oleh meningkatnya pertumbuhan ekonomi di wilayah Sumatera dan Jawa,

sementara perekonomian Kalimantan masih tumbuh terbatas dan KTI mengalami

perlambatan. Di tengah permintaan eksternal yang terbatas, pertumbuhan

ekonomi lebih bertumpu pada permintaan domestik terutama terkait proyek

infrastruktur dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak. Di sisi lain, masih

rendahnya harga komoditas di pasar ekspor berimbas pada kinerja perekonomian

beberapa daerah yang mengandalkan pada ekspor sumber daya alam (SDA) seperti

sebagian daerah Kalimantan, Sumatera, dan Kawasan Timur Indonesia (KTI).

Secara keseluruhan tahun 2015, perekonomian nasional tumbuh melambat

dibandingkan tahun sebelumnya. Perekonomian nasional tumbuh sebesar 4,79%,

lebih rendah dari pertumbuhan di tahun 2014 yang mencapai 5,02%. Seluruh

wilayah mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi pada 2015 terkecuali KTI

yang mencatatkan peningkatan pertumbuhan signifikan dengan adanya

perpanjangan ijin ekspor. Beberapa daerah yang menunjukkan perlambatan

ekonomi cukup dalam yaitu Aceh, Riau, dan Jambi. Sementara, perlambatan

perekonomian terdalam terjadi di Kalimantan Timur yang memiliki ketergantungan

tertinggi terhadap kinerja komoditas SDA batubara dan migas.

Berbagai indikator ekonomi terkini pada triwulan I 2016 secara agregat

mengindikasikan perbaikan ekonomi yang terjadi masih cenderung terbatas.

Kondisi ini terutama dipengaruhi oleh perkiraan kinerja ekspor di berbagai daerah

yang masih akan dibayangi oleh rendahnya harga komoditas. Selain itu, pergeseran

masa panen bahan pangan ke triwulan II 2016 diperkirakan turut memengaruhi

kinerja ekonomi beberapa daerah sentra produksi seperti di Jawa dan bagian

selatan Sumatera. Meski demikian, upaya pemerintah untuk mempercepat

pembangunan infrastruktur sejak awal tahun diperkirakan dapat menopang kinerja

perekonomian di berbagai daerah.

1 Terhitung sejak 2015, bahasan ekonomi dan keuangan daerah dibagi menjadi 4 (empat) wilayah yaitu

Sumatera, Jawa, Kalimantan dan Kawasan Timur Indonesia (KTI-mencakup Sulawesi, Maluku, Papua, Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur).

D

Page 7: Laporan Nusantara Februari 2016.pdf (21,16 MB)

Inflasi di berbagai daerah pada akhir 2015 secara agregat mendukung pada

tercapainya sasaran inflasi nasional sebesar 4% ± 1%. Inflasi pada akhir 2015

tercatat sebesar 3,35% dengan realisasi inflasi terendah terjadi di wilayah

Sumatera yakni sebesar 3,05%, diikuti Jawa sebesar 3,12%, KTI sebesar 4,06%, dan

Kalimantan 5,12%. Rendahnya realisasi inflasi terutama dipengaruhi oleh

terjaganya pasokan pangan ditengah menguatnya gangguan iklim akibat El Nino,

serta minimalnya kendala distribusi. Secara keseluruhan, terkendalinya inflasi di

berbagai daerah tidak terlepas dari dukungan kebijakan pemerintah untuk menjaga

stabilitas harga, seperti Program Upaya Peningkatan Khusus (Upsus) produksi padi,

jagung, kedelai; program Tol Laut; upaya perluasan jaringan distribusi melalui Toko

Tani oleh Kementerian Pertanian; dan impor beras. Selain itu, koordinasi kebijakan

yang semakin kuat melalui forum TPID turut memberikan dampak yang positif bagi

terkendalinya inflasi di daerah.

Prospek pertumbuhan ekonomi daerah pada tahun 2016 mengindikasikan secara

agregat perekonomian tumbuh kisaran 5,2-5,6%. Perbaikan ekonomi terutama

didorong oleh realisasi berbagai proyek infrastruktur berskala besar di daerah. Di

sisi inflasi, prospek perkembangan inflasi di berbagai daerah untuk keseluruhan

tahun 2016 tetap terjaga dan sejalan dengan kisaran sasaran inflasi nasional

sebesar 4%±1%. Terkendalinya inflasi dipengaruhi oleh perkiraan masih terbatanya

kenaikan harga komoditas seiring dengan pemulihan ekonomi global yang

cenderung berjalan lambat. Harga minyak dunia yang diperkirakan terus berada

dalam tren menurun akan diikuti oleh penyesuaian tarif dan harga jual energi

domestik sehingga berdampak cukup besar pada minimalnya tekanan kenaikan

inflasi.

Buku Laporan Nusantara ini menguraikan secara lengkap mengenai dinamika

terkini dan prospek ekonomi. Pada edisi kali ini, Laporan Nusantara mengangkat isu

khusus mengenai penguatan infrastruktur logistik dan penunjang produksi pangan

dan isu mengenai dampak perlambatan ekonomi terhadap ketahanan korporasi.

Penyusunan buku Laporan Nusantara ini dilakukan secara bersama antara

Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter (DKEM) dan Departemen Regional I–

IV yang masing-masing membawahi regional Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan

Kawasan Timur Indonesia, serta Departemen Kebijakan Makroprudensial (DKMP).

Akhir kata, kami berharap buku Laporan Nusantara ini dapat bermanfaat dan

menjadi acuan bagi para pemangku kepentingan dan pemerhati ekonomi daerah,

serta menjadi salah satu kontribusi Bank Indonesia dalam pembangunan ekonomi

daerah.

Jakarta, 22 Februari 2016

Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter

Juda Agung

Direktur Eksekutif

Page 8: Laporan Nusantara Februari 2016.pdf (21,16 MB)

1

Bagian I

Ringkasan Perkembangan Terkini dan Prospek

Ekonomi Daerah

Perkembangan Terkini Ekonomi Daerah

Perekonomian nasional mengalami perbaikan

pada triwulan IV 2015. Realisasi pertumbuhan

ekonomi pada triwulan laporan tercatat sebesar

5,04%, meningkat dibandingkan pertumbuhan

pada triwulan sebelumnya yang sebesar 4,74%1.

Perbaikan ekonomi banyak ditopang oleh

realisasi berbagai proyek infrastruktur dan

pengeluaran terkait Pemilihan Kepala Daerah

(Pilkada) serentak. Sementara perbaikan

konsumsi rumah tangga relatif masih terbatas.

Masih rendahnya harga komoditas di pasar

ekspor berimbas pada kinerja perekonomian

beberapa daerah yang mengandalkan pada

ekspor sumber daya alam (SDA) seperti sebagian

1 Berdasarkan angka rilis BPS pada 5 Februari 2016

daerah Kalimantan, Sumatera, dan Kawasan

Timur Indonesia (KTI). Perekonomian Kalimantan

Timur, yang memiliki karakteristik ekonomi SDA

sebagai sumber utama pertumbuhan ekonomi,

bahkan kembali mengalami kontraksi

pertumbuhan meskipun tidak sedalam triwulan

sebelumnya. Sebaliknya, beberapa daerah antara

lain NTB, Sulawesi Tengah, dan Papua mulai

menunjukkan perkembangan ekspor luar negeri

yang positif, antara lain didorong beroperasinya

beberapa smelter hasil dari program hilirisasi

tambang dan kembali dapat dilakukannya ekspor

mineral secara terbatas.

* Ket : BPS melakukan revisi nominal PDRB 2013 hingga Triwulan III 2015, pertumbuhan tercantum pada chart merupakan hasil revisi terkini BPS

Gambar I.1. Peta Pertumbuhan Ekonomi Daerah Triwulan IV 2015

Page 9: Laporan Nusantara Februari 2016.pdf (21,16 MB)

2

Membaiknya perekonomian secara nasional

terutama didorong oleh meningkatnya

pertumbuhan ekonomi Jawa dan Sumatera.

Perekonomian Jawa secara agregat tumbuh

sebesar 5,87%, lebih tinggi dibanding triwulan

sebelumnya yang sebesar 5,51%. Meningkatnya

pertumbuhan ekonomi Jawa terutama didorong

oleh percepatan realisasi berbagai proyek

infrastruktur pemerintah. Demikian halnya

dengan perbaikan ekonomi Sumatera dari 3,13%

pada triwulan sebelumnya menjadi 4,56% pada

triwulan IV 2015 banyak ditopang oleh

pembangunan infrastruktur berskala besar

seperti pembangunan trans Sumatera,

pembangkita tenaga listrik dan pembangunan

dalam rangka persiapan Asian Games 2008.

Selain itu, membaiknya kinerja perkebunan,

khususnya sawit, di beberapa daerah penghasil

utama di Sumatera juga turut memberi dampak

positif pada perbaikan ekonomi Sumatera.

Sementara itu, perekonomian Kalimantan pada

triwulan IV 2015 juga tumbuh membaik meski

masih terbatas, sedangkan Kawasan Timur

Indonesia (KTI) justru tumbuh melambat.

Perbaikan ekonomi Kalimantan lebih banyak

ditopang oleh meningkatnya pengeluaran terkait

belanja Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada)

serentak dan beroperasinya beberapa smelter di

Kalimantan Tengah. Namun, masih rendahnya

harga komoditas di pasar ekspor menyebabkan

terbatasnya perbaikan ekonomi di Kalimantan

yang selama ini mengandalkan ekspor SDA,

terutama hasil tambang. Kondisi lapangan usaha

pertambangan yang masih cenderung lemah

menyebabkan ekonomi Kalimantan Timur masih

mengalami kontraksi pertumbuhan, meskipun

tidak sedalam periode sebelumnya. Di sisi lain,

perekonomian KTI tumbuh sedikit melambat

walaupun masih berada pada level yang cukup

tinggi yakni sebesar 8,6%. Melambatnya ekonomi

KTI dipengaruhi oleh terbatasnya kinerja ekspor,

khususnya barang tambang karena faktor

rendahnya harga komoditas.

Secara keseluruhan tahun, perekonomian di

berbagai daerah pada tahun 2015 tumbuh

melambat dibandingkan tahun sebelumnya.

Perekonomian nasional tumbuh sebesar 4,79%,

lebih rendah dari tahun 2014 yang tumbuh

5,02%. Kondisi ini tidak terlepas dari berbagai

tantangan yang dihadapi sepanjang tahun 2015,

terutama terkait dengan pelemahan

perekonomian global yang diikuti oleh

penurunan harga komoditas dunia. Beberapa

daerah yang menunjukkan perlambatan ekonomi

cukup dalam yaitu Aceh, Riau, Jambi, dan bahkan

Kalimantan Timur mencatat pertumbuhan

ekonomi yang negatif. Perekonomian berbagai

daerah di Jawa juga mengalami perlambatan

karena melambatnya kinerja manufaktur. Di sisi

lain, kinerja perekonomian KTI secara

keseluruhan dapat tumbuh lebih tinggi dibanding

tahun sebelumnya. Hal ini ditopang oleh mulai

beroperasinya beberapa smelter di Sulawesi dan

juga pengaruh base effect terkait kembali dapat

dilakukannya ekspor mineral secara terbatas.

Memasuki Triwulan I 2016, perkembangan

berbagai indikator ekonomi di daerah secara

agregat mengindikasikan perbaikan ekonomi

yang terjadi masih cenderung terbatas. Kondisi

ini terutama dipengaruhi oleh perkiraan kinerja

ekspor di berbagai daerah yang masih akan

dibayangi oleh rendahnya harga komoditas.

Selain itu, pergeseran masa panen bahan pangan

ke triwulan II 2016 diperkirakan turut

memengaruhi kinerja ekonomi beberapa daerah

sentra produksi seperti di Jawa dan bagian

selatan Sumatera. Meski demikian, upaya

pemerintah mempercepat pembangunan

infrastruktur sejak awal tahun diperkirakan dapat

menopang kinerja perekonomian di berbagai

daerah.

Page 10: Laporan Nusantara Februari 2016.pdf (21,16 MB)

3

Tabel I.1. Tendensi Arah Perekonomian Daerah Triwulan I 2016*

* Tendensi arah kondisi ekonomi secara tahunan (year-on-year)

Stabilitas Keuangan Daerah

Kinerja sektor rumah tangga dan korporasi yang

masih menunjukkan perlambatan pada triwulan

IV 2015 ditunjukkan oleh penyaluran kredit yang

melambat di seluruh wilayah. Perlambatan

penyaluran kredit terdalam terjadi di Kalimantan

yakni menjadi hanya 3,16% pada akhir triwulan IV

2015 dibandingkan 7,74% di akhir triwulan III

2015. Perlambatan terjadi sebagai dampak dari

melambatnya pertumbuhan ekonomi domestik

dan melemahnya daya beli sehingga

menyebabkan tingkat konsumsi rumah tangga

cenderung melambat. Namun, tingkat risiko

kredit Rumah Tangga di perbankan masih cukup

terjaga dengan NPL gross masih relatif rendah

meskipun sedikit mengalami peningkatan

dibanding semester sebelumnya.

Sementara itu, gejala penurunan kinerja sektor

korporasi masih berlanjut. Kondisi ini dipicu tidak

hanya oleh perlambatan ekonomi domestik,

namun didorong juga oleh faktor eksternal

khususnya pelemahan ekonomi dunia,

penurunan harga beberapa komoditi seperti

batubara, kelapa sawit, karet, produk logam,

serta minyak dan gas. Dalam kondisi yang

demikian, korporasi masih menghadapi potensi

risiko yang memengaruhi kinerja kreditnya.

Meskipun risiko kredit meningkat, namun masih

dalam level yang aman. Ke depan, potensi risiko

dari sektor korporasi tetap perlu diwaspadai

terutama terkait indikasi peningkatan utang

dalam bentuk valas di sektor korporasi.

Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Rupiah

Perlambatan kegiatan ekonomi juga tercermin

dari aktivitas transaksi keuangan dengan sistem

pembayaran melalui RTGS dan kliring secara total

yang masih cenderung tumbuh melambat pada

triwulan IV 2015. Nilai transaksi yang dilakukan

melalui sistem real-time gross settlement (RTGS)

pada triwulan IV turun lebih dalam dibandingkan

triwulan sebelumnya yaitu sebesar 16,06%

setelah pada triwulan sebelumnya turun sebesar

6,19%2. Sementara itu, nilai transaksi melalui

sistem kliring tumbuh meningkat pada triwulan

laporan menjadi 33,79%. dari 3,22% di triwulan

sebelumnya. Namun demikian, peningkatan nilai

2 Melambatnya volume transaksi melalui sistem BI RTGS juga

turut dipengaruhi oleh pembatasan transaksi melalui sistem RTGS minimal Rp100 juta sebagaimana Surat Edaran Bank Indonesia No.16/18/DPSP Tanggal 28 November 2014 perihal Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 12/1/DASP tanggal 21 Januari

Page 11: Laporan Nusantara Februari 2016.pdf (21,16 MB)

4

transaksi kliring belum mampu mendorong

perbaikan transaksi non tunai secara

keseluruhan. Sepanjang 2015, transaksi RTGS

hanya tumbuh sebesar 1,66%, lebih rendah

dibandingkan 2014 yang tumbuh 21,90%.

Sementara, transaksi kliring 2015 tumbuh

13,65%, relatif stabil dibandingkan 2014 yang

tumbuh 13,87%.

Peredaran uang kartal menunjukkan

peningkatan di seluruh daerah. Kondisi ini

mengindikasikan adanya peningkatan kebutuhan

uang kartal di masyarakat pada periode tersebut,

antara lain terkait dengan pelaksanaan Pilkada

serentak. Perkembangan peredaran uang kartal

menunjukkan peningkatan outflow dari Bank

Indonesia pada triwulan IV 2015 yaitu 8,74%

(yoy), lebih tinggi dibandingkan triwulan

sebelumnya yang tumbuh 6,27% (yoy). Selain itu,

outflow yang berasal dari Bank Persero dan BPD

di seluruh wilayah juga menunjukkan

kecenderungan peningkatan pada semester

kedua 2015. Peningkatan outflow terutama

terjadi di wilayah Jawa.

Gambar I.2. Peta Inflasi Daerah, Januari 2016

Perkembangan Inflasi

Inflasi di berbagai daerah pada akhir 2015 secara

agregat mendukung pada tercapainya sasaran

inflasi nasional sebesar 4%1%. Secara nasional,

inflasi pada akhir 2015 tercatat sebesar 3,35%.

Realisasi inflasi di wilayah Sumatera merupakan

yang terendah yakni sebesar 3,05%, diikuti Jawa

sebesar 3,12%, KTI sebesar 4,06%, dan

Kalimantan 5,12%. Rendahnya realisasi inflasi

terutama dipengaruhi oleh terjaganya pasokan

pangan ditengah menguatnya gangguan iklim

akibat El Nino, serta minimalnya kendala

distribusi. Potensi laju inflasi yang lebih rendah di

akhir 2015 tertahan oleh kenaikan harga cabai

merah dan bawang merah dipicu oleh penurunan

produksi di sejumlah sentra seiring berakhirnya

puncak panen di November 2015.

Secara keseluruhan, terkendalinya inflasi di

berbagai daerah tidak terlepas dari peran BI

dalam menjaga stabilitas moneter dan inflasi inti,

serta dukungan kebijakan pemerintah untuk

stabilisasi harga pangan, seperti Program Upaya

Peningkatan Khusus (Upsus) produksi padi,

jagung, kedelai, daging sapi, dan gula pasir;

program Tol Laut; upaya perluasan jaringan

distribusi melalui Toko Tani oleh Kementerian

Pertanian; dan impor beras. Selain itu, koordinasi

kebijakan yang semakin kuat melalui forum TPI

dan TPID turut memberikan dampak yang positif

dalam mendukung upaya stabilisasi harga di

daerah. Meski demikian, beberapa daerah

dengan realisasi inflasi yang lebih tinggi di akhir

2015 dibandingkan daerah lainnya, seperti

Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi

Page 12: Laporan Nusantara Februari 2016.pdf (21,16 MB)

5

Barat, Sulawesi Utara, Maluku, dan Papua Barat,

perlu mendapat perhatian karena ke depan

target inflasi diarahkan terus menurun. Lebih

tingginya inflasi di beberapa daerah tersebut

bersumber dari kenaikan tarif angkutan udara

dan beberapa lonjakan kenaikan harga pangan.

Memasuki awal triwulan I 2016, tekanan inflasi di

berbagai daerah masih relatif minimal. Realisasi

inflasi di hampir seluruh daerah pada Januari

2016 secara bulanan (month-to-month) tercatat

lebih rendah dibanding bulan sebelumnya.

Sebagian besar daerah di Sulawesi bahkan

tercatat mengalami deflasi walaupun secara

agregat wilayah KTI justru mencatat inflasi yang

lebih tinggi dibanding wilayah lainnya karena

tingginya inflasi di Sulawesi Selatan, Sulawesi

Tenggara, dan NTB.

Masih minimalnya tekanan inflasi di awal tahun

lebih banyak dipengaruhi oleh rendahnya inflasi

administered prices karena penurunan harga

BBM, tarif angkutan udara, dan harga LPG 12 Kg

pada awal Januari 2016. Selain itu, inflasi pangan

juga masih relatif terkendali ditengah masih

berlanjutnya fenomena El Nino. Harga beras

masih tercatat cukup terjaga di berbagai daerah.

Tekanan inflasi lebih bersumber dari kenaikan

harga daging ayam ras, bawang merah, dan

bawang putih.

Meski demikian, dampak dari mundurnya masa

panen di berbagai daerah sentra produksi

sebagai dampak dari El Nino masih perlu

diwaspadai. Fenomena El Nino yang ditandai

kemarau berkepanjangan menyebabkan masa

tanam yang seharusnya dilakukan pada periode

Oktober tahun sebelumnya, justru baru dapat

dilakukan pada Desember 2015. Hal ini berimbas

pada prakiraan masa panen yang baru akan mulai

berlangsung pada Maret-April 2016 sehingga

menjadi risiko bagi naiknya inflasi pangan

terutama pada periode triwulan pertama tahun

2016 ini.

Prospek dan Tantangan Ekonomi Daerah

Prospek Ekonomi Daerah

Pertumbuhan ekonomi pada tahun 2016

diprakirakan membaik di sebagian besar daerah,

terutama Jawa, Sumatera, dan Kalimantan.

Prospek perekonomian daerah tahun 2016,

secara agregat mengindikasikan perekonomian

nasional dapat tumbuh pada kisaran 5,2-5,6%.

Prakiraan meningkatnya pertumbuhan ekonomi

Jawa didorong oleh optimisme terhadap investasi

terutama yang berasal dari pembangunan

berbagai infrastruktur. Perbaikan konsumsi dan

ekspor manufaktur turut menopang peningkatan

ekonomi Jawa seiring prakiraan membaiknya

ekpektasi pendapatan masyarakat dan

membaiknya permintaan negara tujuan ekspor

utama.

Pertumbuhan ekonomi Sumatera diprakirakan

akan didukung oleh meningkatnya realisasi

proyek infrastruktur. Beberapa proyek

infrastruktur berskala besar di Sumatera seperti

pembangunan jalan tol, pembangkit listrik, dan

sarana penunjang kegiatan Asian Games 2018

diperkirakan dapat mendorong perbaikan kinerja

pertumbuhan ekonomi Sumatera. Selain itu,

ekspor diprakirakan mengalami perbaikan

meskipun masih dibayangi risiko tekanan harga

komoditas.

Perekonomian Kalimantan diprakirakan tumbuh

lebih baik dibandingkan tahun 2015 ditopang

oleh kinerja pertanian, pertambangan, dan

industri pengolahan (a.l smelter dan CPO). Kinerja

pertambangan, khususnya batubara, akan lebih

ditopang oleh permintaan ekspor antar provinsi

dan kebutuhan batubara beberapa negara di

Asia. Namun, perbaikan ekonomi Kalimantan

diprakirakan tertahan oleh prospek harga

komoditas pertambangan (migas) yang masih

rendah. Di sisi lain, perekonomian KTI pada 2016

diperkirakan tumbuh lebih lambat yang

disebabkan oleh terbatasnya kinerja ekspor

pertambangan dan terbatasnya investasi swasta.

Page 13: Laporan Nusantara Februari 2016.pdf (21,16 MB)

6

Di sisi harga, prospek inflasi di berbagai daerah

untuk keseluruhan tahun 2016 tetap terkendali

dalam kisaran sasaran inflasi nasional sebesar

4%±1%. Terkendalinya inflasi dipengaruhi oleh

perkiraan masih rendahnya harga komoditas

global seiring dengan pemulihan ekonomi dunia

yang cenderung berjalan lambat. Harga minyak

dunia yang diperkirakan masih dalam tren

menurun akan diikuti oleh penyesuaian tarif

listrik dan harga jual energi domestik (BBM dan

LPG) sehingga berdampak cukup besar pada

minimalnya tekanan kenaikan inflasi. Di samping

itu, terjaganya inflasi dipengaruhi oleh

permintaan domestik yang diperkirakan tumbuh

moderat disertai ekspektasi inflasi yang tetap

terjaga.

Perkiraan terkendalinya inflasi pada 2016

didukung oleh kondisi stabilitas makro yang

terjaga dan menguatnya koordinasi

pengendalian inflasi yang ditempuh Bank

Indonesia bersama dengan Pemerintah di

tingkat pusat dan daerah. Langkah koordinasi

pengendalian inflasi diarahkan pada upaya

menjaga ketersediaan dan keterjangkauan

pasokan pangan, kelancaran distribusi, dan

pengelolaan ekspektasi masyarakat melalui

komunikasi yang efektif. Selain itu, upaya untuk

pembenahan struktural terus dilakukan melalui

implementasi roadmap pengendalian inflasi.

Berbagai kebijakan dan upaya khusus yang akan

terus dilanjutkan oleh pemerintah untuk

memperkuat kapasitas produksi dan pengelolaan

pasokan pangan domestik disertai upaya

pembenahan distribusi barang yang dilakukan

antara lain melalui implementasi tol laut,

pengembangan kapal ternak dan pelayaran

perintis yang konsisten keberlanjutannya

diharapkan akan memberikan kepastian dan

optimisme bagi pengembangan dan perdagangan

ekonomi antar daerah sehingga memperkuat

pencapaian stabilitas harga.

Namun, risiko kenaikan inflasi di daerah pada

2016 diperkirakan masih cukup besar dan perlu

diantisipasi lebih awal. Perkembangan terkini

mengindikasikan risiko inflasi terutama

bersumber dari dampak faktor perubahan iklim

yang mempengaruhi produksi pangan. Fenomena

El Nino yang berlangsung sejak tahun 2015

diperkirakan berdampak pada pasokan pangan di

periode paruh pertama 2016 karena adanya

pergeseran masa panen. Kemungkinan terjadinya

fenomena La Nina pada pertengahan tahun 2016

yang ditandai dengan meningkatnya curah hujan

secara signifikan diperkirakan menjadi kendala

bagi produksi pangan terutama tanaman

hortikultura. Di sisi lain, kemajuan upaya

pemerintah dalam mempercepat pembangunan

infrastruktur penunjang produksi pangan seperti

bendungan, waduk, dan irigasi. Dalam jangka

pendek diperkirakan belum akan berdampak

besar pada kenaikan produksi pangan.

Sementara itu, beberapa risiko lain yang dapat

memengaruhi inflasi antara lain bersumber dari

rencana pemerintah terkait kebijakan pengalihan

pelanggan listrik dengan daya 900VA ke 1300VA.

Selain itu, kemungkinan pelaku usaha

merealiasikan penyesuaian terhadap harga jual

komoditas sebagai dampak dari perubahan nilai

tukar rupiah tahun 2015 ke harga jual barang di

dalam negeri (dampak pass-through nilai tukar)

yang belum dilakukan tahun lalu.

Tantangan Ke Depan

Prospek pemulihan ekonomi di 2016 masih akan

menghadapi tantangan yang berat terutama

dalam meminimalkan dampak dari lambatnya

pemulihan ekonomi global, yang diikuti

penurunan harga komoditas, terhadap kinerja

ekspor daerah. Gambaran kinerja daerah

sepanjang tahun 2015 menunjukkan bahwa

menurunnya harga komoditas global terutama

berdampak pada lebih terbatasnya kinerja

ekonomi daerah-daerah yang banyak

mengandalkan pada ekspor komoditas primer

(SDA) seperti beberapa daerah di Kalimantan,

Sumatera, dan sebagian KTI. Hal ini selanjutnya

berdampak pada melemahnya kinerja korporasi

di daerah-daerah tersebut karena turunnya

pendapatan usaha, khususnya yang bersumber

dari ekspor (Lihat Isu Khusus Dampak

Page 14: Laporan Nusantara Februari 2016.pdf (21,16 MB)

7

Melemahnya Ekonomi Global terhadap Kinerja

Korporasi di Daerah). Pada gilirannya kondisi ini

berimbas pada melemahnya daya beli

masyarakat dan turunnya pendapatan fiskal

daerah.

Di sisi lain, meningkatnya transfer ke daerah

secara signifikan pada 2016 memberikan peluang

sekaligus juga merupakan tantangan bagi daerah.

Alokasi dana transfer daerah, termasuk dana

desa, pada APBN 2016 mencapai Rp770,2 triliun

atau meningkat 15,9% dari APBN-P 2015

sehingga memberikan peluang bagi daerah untuk

turut berperan lebih besar dalam mendorong

percepatan pembangunan ekonomi. Namun,

untuk efektivitas dan optimalisasi penyerapan

alokasi anggaran ini perlu didukung peningkatan

kapasitas pengelolaan keuangan daerah,

termasuk hingga di tingkat desa.

Sementara itu, tantangan dalam pengendalian

inflasi terutama terkait dengan masih besarnya

persoalan struktural. Beberapa persoalan

struktural tersebut antara lain terbatasnya

kapasitas produksi pangan, struktur pasar yang

belum efisien, dan infrastruktur logistik yang

belum memadai. Adanya persoalan struktural ini

menyebabkan tingginya ketergantungan produksi

pangan terhadap faktor iklim dan cuaca, tidak

efisiennya harga yang terbentuk di pasar

(perbedaan yang lebar antara harga produsen

dan konsumen), serta disparitas harga yang besar

antar daerah yang disebabkan antara lain oleh

tingginya biaya distribusi.

Untuk mengatasi berbagai risiko tersebut,

strategi kebijakan yang terintegrasi dan

koordinasi yang intensif, antar pusat-daerah

perlu secara konsisten dilakukan dan terus

diperkuat. Langkah koordinasi diarahkan pada

upaya untuk mempercepat implementasi

pembangunan infrastruktur yang merupakan

kunci bagi kinerja perekonomian daerah di tahun

2016. Urgensi terhadap pentingnya

pembangunan infrastruktur yang komprehensif

ditegaskan dalam Rencana Kerja Pemerintah

(RKP) 2016 yang mengambil tema besar

percepatan pembangunan infrastruktur.

Pembangunan infrastruktur khususnya yang

terkait dengan konektivitas menjadi tulang

punggung utama bagi efisiensi logistik yang pada

akhirnya dapat memacu kegiatan ekonomi antar

daerah, sekaligus merupakan quick wins untuk

memacu daya saing Indonesia. Selain dari aspek

infrastruktur, urgensi pembenahan logistik juga

memerlukan dukungan aspek kelembagaan yang

kuat dalam mengimplementasikan strategi sistem

logistik nasional (Lihat Isu Khusus Logistik

Pangan).

Page 15: Laporan Nusantara Februari 2016.pdf (21,16 MB)

8

Bagian II

Perekonomian Sumatera Aktivitas ekonomi Sumatera triwulan IV 2015 terus menunjukkan perbaikan dengan tumbuh 4,56%

(yoy), lebih tinggi dari triwulan sebelumnya, yang ditopang oleh peningkatan konsumsi pemerintah

dan investasi serta perbaikan kinerja dihampir semua sektor. Lebih tingginya PDRB Sumatera

disertai dengan inflasi yang rendah (3,05%, yoy) akibat base effect kenaikan harga BBM pada akhir

tahun 2014 serta berkurangnya tekanan inflasi volatile food. Secara keseluruhan 2015,

perekonomian Sumatera tumbuh lebih lambat dibanding tahun 2014 yaitu sebesar 3,5%, akibat

kinerja sektor pertanian dan pertambangan yang menurun serta terbatasnya konsumsi rumah

tangga.

Pada triwulan I 2016, perekonomian Sumatera diprakirakan melambat seiring dengan terbatasnya

pengeluaran pemerintah serta perlambatan kinerja pertanian dan industri pengolahan. Meskipun

demikian, sektor utama ekonomi Sumatera akan kembali membaik sehingga PDRB Sumatera secara

keseluruhan tahun 2016 diperkirakan akan lebih tinggi dari 2015. Di sisi lain, tekanan inflasi di

triwulan I 2016 diperkirakan meningkat seiring dengan perbaikan konsumsi dan penurunan pasokan

pangan akibat mundurnya musim tanam. Tekanan volatile food dan administered prices juga akan

mempengaruhi inflasi keseluruhan tahun 2016 sehingga akan lebih tinggi dari 2015 dengan kisaran

4,29–4,79% (masih dalam target inflasi BI sebesar 4±1%). Namun, jika mempertimbangkan

kecenderungan harga minyak dunia yang cenderung turun, maka proyeksi inflasi tersebut terdapat

risiko bias ke bawah.

Pertumbuhan Ekonomi

Tren membaiknya perekonomian Sumatera terus

berlanjut di triwulan IV 2015. Capaian pada

perekonomian Sumatera ini lebih tinggi

dibandingkan perkiraan sebelumnya, sebesar

4,1% (yoy). Perbaikan tersebut tercermin dari

perekonomian yang tumbuh dari 3,1% (yoy) di

triwulan III 2016 menjadi 4,6% (yoy) pada

triwulan IV 2015. peningkatan pertumbuhan

ekonomi terjadi di hampir semua wilayah, meski

di sebagian provinsi lainnya yaitu Kepuluan Riau,

Sumatera Selatan, Jambi, dan Bengkulu terjadi

perlambatan ekonomi yang menahan laju

ekonomi Sumatera secara keseluruhan.

Penopang pertumbuhan ekonomi selama

triwulan IV 2015 adalah konsumsi pemerintah

dan investasi. Pada triwulan IV 2015, konsumsi

pemerintah tumbuh 7,4% (yoy) lebih tinggi secara

signifikan dibanding dengan capaian pada

triwulan sebelumnya yang sebesar 5,5% (yoy).

Akselerasi pertumbuhan juga terjadi pada

investasi triwulan IV 2015 yang tumbuh sebesar

5,7% (yoy) dari 3,1% (yoy) pada triwulan

sebelumnya. Investasi ditopang oleh realisasi

beberapa proyek infrastruktur Pemerintah antara

lain tol trans Sumatera, pembangunan

pembangkit listrik dan pengerjaan proyek

persiapan Asian Games 2018 .

Pertumbuhan lebih tinggi di triwulan IV 2015

tertahan oleh perlambatan ekspor. Perlambatan

terjadi untuk komoditas-komoditas utama seperti

karet, kelapa sawit, dan timah. Di triwulan IV,

ekspor Sumatera terkontraksi 6,6% dari

sebelumnya 7,2%, sementara impor kendati

tumbuh negatif namun menunjukan peningkatan

terutama didorong oleh peningkatan impor

bahan baku dan barang modal.

Komponen konsumsi rumah tangga pada periode

laporan tercatat tumbuh sebesar 4,5% (yoy),

tidak sebaik kinerja pada triwulan sebelumnya.

Perlambatan ekonomi yang mempengaruhi

kinerja perusahaan dan pendapatan rumah

Page 16: Laporan Nusantara Februari 2016.pdf (21,16 MB)

9

tangga ditengarai menjadi salah satu faktor

penyebab lebih terbatasnya konsumsi rumah

tangga. Sementara itu, konsumsi Lembaga Non

Profit Rumah Tangga (LNPRT) mengalami

pertumbuhan yang lebih tinggi dari periode

sebelumnya yaitu dari 6,0% (yoy) pada triwulan

III 2015, menjadi 8,8% (yoy). Kondisi ini pengaruhi

oleh pelaksanaan Pilkada serentak di 4 provinsi

dan 60 kabupaten kota pada tanggal 9 Desember

2015.

Tabel II.1. Pertumbuhan Ekonomi Daerah di Sumatera % year-on-year

Indikator

Makroekono

mi Daerah

201

4

2015

2015 I II III IV

PDRB (% YoY) 4,58 3,47 2,98 3,13 4,56 3,54

Provinsi Aceh 1,55 (1,93) (2,09) (0,29) 1,42 (0,72)

Provinsi

Sumut

5,23 4,84 5,13 5,09 5,32 5,08

Provinsi

Sumbar

5,86 5,50 5,48 4,93 5,74 5,41

Provinsi Riau 2,70 (0,01) (2,13) (1,38) 4,45 0,22

Provinsi

Jambi

7,35 5,00 4,33 4,38 3,18 4,21

Provinsi Kep.

Riau

6,62 6,83 6,70 5,40 5,20 6,02

Provinsi

Sumsel

4,68 4,58 4,71 4,75 3,94 4,44

Provinsi

Bengkulu

5,47 5,29 5,24 5,18 4,86 5,14

Provinsi

Lampung

5,08 4,91 5,06 5,22 5,33 5,13

Provinsi Kep.

Babel

4,68 4,10 3,97 3,97 4,28 4,05

Sumber: BPS

Ekonomi Sumatera secara keseluruhan 2015

tumbuh lebih rendah dibandingkan 2014.

Perlambatan ekonomi yang cukup dalam pada

paruh pertama 2015 mengakibatkan Sumatera

hanya tumbuh 3,54% pada keseluruhan 2015,

lebih rendah dibanding tahun 2014 yang tumbuh

sebesar 4,6%. Perlambatan terutama di

kontribusi oleh kinerja sektor pertanian dan

pertambangan seiring dengan melemahnya

permintaan global dan penurunan harga

komoditas.

Pada triwulan I 2016, ekonomi Sumatera

diperkirakan akan tumbuh moderat sebesar 4,3%

(yoy). Pertumbuhan yang lebih rendah dari

capaian triwulan IV 2015 dipengaruhi oleh

penurunan konsumsi pemerintah akibat belum

optimalnya realisasi APBD pada triwulan I 2016.

Faktor yang mempengaruhi realisasi APBD antara

lain terkait proses pelantikan kepala daerah hasil

Pilkada yang baru akan dilaksanakan pada awal

Februari 2016 dan pada bulan Maret/April serta

bulan Juni 2016 (khusus untuk keputusan

sengketa di Mahkamah Konstitusi yang belum

selesai). Selain itu, dengan hal tersebut, investasi

juga diperkirakan akan melambat akibat investasi

pemerintah yang diperkirakan masih terbatas di

awal tahun dan invetasi swasta yang masih

minim.

Moderasi perekonomian Sumatera di triwulan I

2016 diperkirakan akan tertahan oleh mulai

membaiknya konsumsi rumah tangga. Penurunan

suku bunga oleh Bank Indonesia dan

terkendalinya inflasi diperkirakan memberikan

dampak positif bagi peningkatan daya beli

masyarakat. Indikasi peningkatan konsumsi pada

triwulan I 2016 terkonfirmasi oleh indeks

keyakinan konsumen dan penjualan eceran yang

menunjukkan potensi perbaikan konsumsi rumah

tangga (Grafik II.1 dan II.2).

Grafik II.1. Survei Konsumen

Grafik II.2. Survei Penjualan Eceran

80.00

90.00

100.00

110.00

120.00

130.00

140.00

4.00

4.50

5.00

5.50

6.00

6.50

I II III IV I II III IV I II III IV I*

2013 2014 2015 2016

IKK, indeksgKonsumsi RT, %yoy

gKonsumsi RT (LHS) IKK (RHS)

-15

-10

-5

0

5

10

15

20

25

160.00

170.00

180.00

190.00

200.00

210.00

I II III IV I II III IV I II III IV I*

2013 2014 2015 2016

%yoy

Ind

eks IPE gIPE (Skala Kanan)

Page 17: Laporan Nusantara Februari 2016.pdf (21,16 MB)

10

Kinerja Lapangan Usaha

Pertanian

Sektor pertanian menjadi sumber utama

pertumbuhan ekonomi Sumatera pada triwulan

IV 2015. Sektor pertanian yang memiliki

kontribusi sekitar 22% dari total PDRB tumbuh

sebesar 6,2% (yoy), lebih tinggi dibandingkan

triwulan sebelumnya yang tercatat sebesar 0,7%

(yoy). Peningkatan kinerja ini terjadi di hampir

seluruh provinsi, dengan sumbangan utama

berasal dari Riau dan Sumatera Utara yang

masing-masing tumbuh 8,2% (yoy) dan 7,0%

(yoy). Peningkatan sektor pertanian tersebut

didukung oleh meningkatnya kinerja perkebunan,

khususnya produksi kelapa sawit dan Tabama.

Meski demikian, pertumbuhan lebih tinggi

tertahan oleh adanya kabut asap pada triwulan III

2015 yang berdampak pada berkurangnya

aktivitas petani di perkebunan akibat

keterbatasan jarak pandang.

Sektor pertanian diperkirakan melambat pada

triwulan I 2016. Pertanian Sumatera diprakirakan

tumbuh sebesar 5,3% (yoy). Perlambatan

terutama didorong oleh berakhirnya musim

panen kelapa sawit serta pergesaran musim

tanaman padi. Hal ini tercermin dari likert scale

penjualan domestik sektor pertanian yang pada

triwulan I 2016 lebih rendah dari 0,14 ke 0,22.

Indeks kegiatan usaha sektor pertanian dalam

SKDU juga turut mengkonfirmasi perlambatan

kinerja sektor pertanian pada triwulan I 2016.

(Grafik II.3 dan II.4)

Grafik II.3. Likert Scale Pertanian

Grafik II.4. SKDU Pertanian

Pertambangan

Penurunan lifting minyak yang disertai dengan

harga minyak yang rendah menyebabkan

lapangan usaha pertambangan di Sumatera

masih terus mengalami perlambatan.

Pertambangan pada triwulan IV 2015

terkontraksi sebesar 3,8% (yoy), lebih dalam dari

triwulan sebelumnya yang terkontraksi sebesar

1,4% (yoy). Kontraksi migas terutama disebabkan

oleh penurunan lifting minyak bumi di Riau. Di

samping itu, penurunan kinerja migas juga diikuti

oleh penurunan produksi di Provinsi Kepulauan

Riau dan Sumatera Selatan. Sementara untuk

produksi timah dan batu-bara diperkirakan masih

akan melanjutkan trend perlambatan seiring

dengan trend penurunan harga. (Grafik II.5 dan

II.6).

Pada triwulan I 2016, kontraksi lapangan usaha

pertambangan diperkirakan tidak sedalam

periode sebelumnya. Kinerja pertambangan di

Sumatera diperkirakan akan berkisar -1,8% (yoy).

Perbaikan kinerja pertambangan didorong oleh

regasifikasi PT Arun dan membaiknya produksi

migas di Kepulauan Riau. Namun demikian, lifting

migas di Riau diprediksi masih menunjukkan

volume yang terus menurun (Grafik II.7).

Selain itu, produksi pertambangan non migas,

baik batubara di Sumatera Selatan maupun timah

di Kepulauan Bangka Belitung diperkirakan belum

menunjukkan perkembangan yang berarti (Grafik

II.8 dan II.9). Kondisi ini dipicu oleh harga

internasional kedua komoditas ini yang masih

rendah dan dalam tren menurun. Pemanfaatan

batubara dalam negeri juga masih belum dapat

diandalkan sebagai stimulus bagi usaha

-1.5

-1.0

-0.5

0.0

0.5

1.0

1.5

2.0

I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I

2012 2013 2014 2015 2016

Penjualan Domestik

Penjualan Ekspor

-15

-10

-5

0

5

10

15

20

I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV IP

2012 2013 2014 2015 2016

Page 18: Laporan Nusantara Februari 2016.pdf (21,16 MB)

11

pertambangan batu bara, mengingat pembangkit

listrik berbasis bahan bakar batubara di Sumatera

masih dalam tahap pembangunan.

Grafik II.5. Harga Timah

Grafik II.6. Harga Batu Bara

Grafik II.7. Lifting Minyak

Industri Pengolahan

Sektor industri pengolahan pada triwulan IV 2015

mengalami pertumbuhan lebih tinggi yang

didukung oleh peningkatan kinerja sektor

pertanian. Kinerja industri pengolahan tercatat

tumbuh sebesar 5,8% (yoy), lebih tinggi dari

triwulan sebelumnya sebesar 4,3% (yoy).

Pertumbuhan ini didukung oleh meningkatnya

produksi sektor pertanian berbasis komoditas

perkebunan, terutama di Riau dan Sumatera

Utara, sehingga mendorong perbaikan utilitas

kapasitas usaha.

Grafik II.8. Likert Scale Industri Pengolahan

Pada triwulan I 2016 mendatang, kinerja industri

pengolahan diperkirakan mengalami

perlambatan sejalan dengan terbatasnya

produksi bahan baku komoditas perkebunan.

Terbatasnya produksi kelapa sawit di awal tahun

yang mengakibatkan diikuti dengan menurunnya

produksi industri CPO dan turunannya

berkontribusi terhadap menurunnya kinerja

sektor industri. Indikasi perlambatan ditunjukkan

oleh anjloknya likert scale proyeksi indikator

penjualan ekspor industri pengolahan disaat

likert scale permintaan domestik yang

magnitude-nya lebih kecil. (Grafik II.8)

Perdagangan

Pada triwulan IV 2015, sektor perdagangan

tumbuh meningkat dibandingkan triwulan

sebelumnya. Sektor perdagangan tumbuh

sebesar 4,9% (yoy), lebih tinggi dibandingkan

triwulan sebelumnya yang sebesar 3,2% (yoy).

Peningkatan kinerja sektor perdagangan terjadi di

hampir seluruh provinsi, dengan peningkatan

tertinggi di Riau, Sumatera Barat, dan Sumatera

Selatan. Peningkatan kinerja perdagangan mulai

berlangsung pasca bencana asap yang melanda

Sumatera di triwulan III 2015. Kinerja sektor

perdagangan juga didukung dengan

penyelenggaraan Pilkada serentak.

Pada triwulan I 2016, sektor perdagangan

diperkirakan masih tumbuh meningkat seiring

perbaikan konsumsi rumah tangga. Sektor

(25.0)

(20.0)

(15.0)

(10.0)

(5.0)

-

5.0

10.0

15.0

20.0

-

50

100

150

200

250

300

350

400

I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I*

2011 2012 2013 2014 2015 2016

%yoyribu barel/hari

Lifting gLifting (RHS)

-1.5

-1.0

-0.5

0.0

0.5

1.0

1.5

2.0

2.5

3.0

IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I

2011 2012 2013 2014 2015 2016

Penjualan Domestik

Penjualan Ekspor

Page 19: Laporan Nusantara Februari 2016.pdf (21,16 MB)

12

perdagangan diperkirakan tumbuh menjadi 5,5%

(yoy). Peningkatan konsumsi rumah tangga pada

triwulan mendatang seiring dengan adanya

indikasi perbaikan pendapatan sebagaimana

ditunjukan oleh Indeks Keyakinan Konsumen

(IKK), mendorong membaiknya kinerja sektor

perdagangan. Perbaikan kinerja perdagangan

ditunjukkan oleh hasil survei SKDU menyatakan

bahwa proyeksi perdagangan triwulan I 2016

yang lebih baik dari triwulan IV 2015. (Grafik II.9).

Grafik II.9. SKDU Perdagangan

Konstruksi

Sektor konstruksi mengalami pertumbuhan pada

triwulan IV 2015 seiring dengan realisasi proyek

infrastruktur. Sektor konstruksi tercatat tumbuh

sebesar 5,6% (yoy), lebih tinggi dibandingkan

triwulan sebelumnya yang tercatat sebesar 4,8%

(yoy). Di triwulan laporan, akselerasi realisasi

anggaran pembangunan fisik pada triwulan

laporan di beberapa provinsi mencapai 40-50%.

Peningkatan ini terkonfirmasi dari pertumbuhan

penjualan semen triwulan IV 2015 yang sebesar

15,09% (yoy). (Grafik II.10). Beberapa proyek

infrastruktur seperti pembangunan jalan trans-

Sumatera, persiapan Asian Games, dan

pembangkit listrik menjadi pendorong lapangan

usaha konstruksi.

Grafik II.10. Penjualan Semen Sumatera

Grafik II.11. SKDU Konstruksi

Pada triwulan I 2016, sektor konstruksi

diperkirakan tumbuh sedikit melambat. Kondisi

ini terjadi seiring melambatnya realisasi belanja

pemerintah dan masih terbatasnya investasi

swasta. Hasil survei SKDU mengkonfirmasi bahwa

proyeksi konstruksi triwulan I 2016 akan tumbuh

lebih rendah dibanding triwulan IV 2015. (Grafik

II.11). Konstruksi diperkirakan hanya mampu

tumbuh sebesar 5,5% (yoy).

Fiskal Daerah

Realisasi fiskal daerah pada triwulan IV 2015 di

Sumatera secara rata-rata lebih tinggi

dibandingkan triwulan sebelumnya. Akselerasi

realisasi ini ditopang oleh realisasi belanja fisik

yang meningkat pesat disebagian besar daerah

(Grafik II.12). Secara keseluruhan tahun 2015,

sebagian besar daerah mencatatkan realisasi

APBD yang lebih rendah dibandingkan targetnya,

hanya Aceh, Sumatera Barat, dan Bengkulu yang

berhasil melebihi target realisasi. Realisasi APBD

Provinsi Riau, Sumatera Selatan dan Kepulauan

Bangka Belitung merupakan yang terendah di

-15

-10

-5

0

5

10

15

20

I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV IP

2012 2013 2014 2015 2016

(10.00)

(5.00)

-

5.00

10.00

15.00

20.00

25.00

-

0.5

1.0

1.5

2.0

2.5

3.0

3.5

4.0

4.5

I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV

2012 2013 2014 2015

%yoyJuta Ton Konsumsi Semen

gKonsumsi Semen (Skala Kanan)

-25

-20

-15

-10

-5

0

5

10

15

20

25

I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV IP

2012 2013 2014 2015 2016

Page 20: Laporan Nusantara Februari 2016.pdf (21,16 MB)

13

wilayah dan berada dibawah target yang

ditetapkan. Secara umum, pencapaian realisasi

APBD Sumatera rata-rata sebesar 88%, lebih

rendah dibandingan dengan realisasi pada tahun

2014 yang mencapai 94%.

Grafik II.12. Realisasi Belanja Fisik 2015

Dukungan APBD untuk menopang pertumbuhan

relatif kurang optimal. Kondisi ini disebabkan

oleh beberapa hal yaitu (i) postur fiskal daerah

tahun 2015 masih didominasi belanja non-modal,

yakni sekitar 70%; (ii) realisasi APBD masih

terkonsentrasi pada akhir tahun sehingga belum

mampu menopang kondisi pelemahan ekonomi

yang terjadi pada awal tahun 2015; (iii) berbagai

kendala administratif maupun non administratif

menghambat realisasi belanja fisik, sehingga

tercatat hanya 4 (empat) provinsi yang

merealisasikan belanja fisik sesuai target (Aceh,

Sumatera Barat, Riau, dan Bengkulu).

Grafik II.13. Realisasi Belanja Fisik 2015

Perkembangan Inflasi

Penurunan inflasi di Sumatera sejak paruh kedua

2015 terus berlanjut di triwulan IV 2015.

Penurunan ini sejalan dengan proses normalisasi

efek kenaikan harga BBM tahun 2014 serta

berkurangnya tekanan inflasi volatile food,

terutama untuk sub komoditas bumbu-bumbuan

seiring dengan terjaganya pasokan pangan.

Peningkatan tekanan volatile food spesifik terjadi

di bulan Desember didorong oleh peningkatan

permintaan di akhir tahun serta berakhirnya

masa panen beberapa komoditas pangan, antara

lain padi dan bawang merah.

Di triwulan IV 2015 inflasi Sumatera tercatat

sebesar 3,05% (yoy), lebih rendah dibandingkan

triwulan III 2015 sebesar 6,79% (yoy). Bila

dibandingkan dengan inflasi nasional (3,35%,

yoy), inflasi di regional Sumatera tercatat lebih

rendah. Inflasi tertinggi terjadi di Kepulauan Riau

dan Lampung masing-masing sebesar 4,40% (yoy)

dan 4,34% (yoy). Sementara itu, inflasi terendah

terjadi di Sumatera Barat dan Jambi masing-

masing sebesar 1,08% (yoy) dan 1,37% (yoy).

Berdasarkan disagregrasi inflasi, penurunan

inflasi terjadi pada seluruh kelompok komoditas.

Penurunan inflasi administered prices disebabkan

kembalinya harga bahan bakar minyak ke pola

normalnya sehingga tekanan administered prices

menurun dari 11,21% (yoy) pada triwulan III 2015

menjadi 0,56% (yoy) pada akhir tahun 2015. Pada

kelompok volatile food, komoditas cabai merah

menjadi penyumbang deflasi utama pada

triwulan IV 2015 ini, terutama didukung oleh

terjaganya pasokan cabai merah. (Grafik II.14)

Grafik II.14. Disagregasi Inflasi Sumatera

Pada bulan Januari 2016 menunjukkan adanya

indikasi peningkatan tekanan pada triwulan I.

Inflasi Sumatera pada Januari 2016 tercatat

sebesar 4,22%, dengan inflasi tertinggi berada di

Provinsi Kepulauan Riau dan Lampung.

Peningkatan tekanan inflasi berasal dari

3.40%

4.07%

20.80%

11.96%

18.50%

10.30%

12.55%

12.67%

12.67%

21.60%

18.10%

26.73%

25.79%

29.47%

15.76%

22.81%

22.17%

15.38%

22.00%

29.91%

24.00%

20.45%

21.63%

23.94%

26.59%

24.39%

30.02%

53.00%

44.06%

27.65%

39.51%

22.96%

48.00%

33.68%

30.64%

38.42%

Aceh

Sumut

Sumbar

Riau

Kepri

Sumsel

Bengkulu

Babel

Lampung

I II III IV

Aceh Sumut Sumbar Riau Kepri Jambi Sumsel Bengkulu Babel Lampung

Target 93,00% 100,00% 94,25% 78,43% 92,05% 92,00% 100,00% 90,00% 87,00% 100,00%

Realisasi 96,00% 93,82% 94,71% 67,84% 87,05% 90,97% 79,91% 93,55% 85,17% 92,27%

0%

10%

20%

30%

40%

50%

60%

70%

80%

90%

100%

3.053.92

3.93

0.56

-5

0

5

10

15

20

1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112

2012 2013 2014 2015

Umum Core

Volatile Foods Adm. Prices

%,yoy%,yoy

Page 21: Laporan Nusantara Februari 2016.pdf (21,16 MB)

14

komoditas bawang merah, daging ayam ras, dan

bawang putih. Penurunan pasokan terjadi pada

komoditas bawang merah dan bawang putih.

Sedangkan kenaikan harga pakan ternak terjadi

sebagai dampak dihentikannya impor jagung

beberapa waktu lalu menjadi pendorong

kenaikan harga daging ayam ras. Selain itu,

kenaikan tarif listrik pada Desember 2015

memberi andil kenaikan inflasi administered price

pada Januari 2016. Sementara tekanan inflasi inti

relatif stabil.

Inflasi triwulan I 2016 diperkirakan akan berada

pada kisaran 5,17% (yoy). Tekanan inflasi akan

berasal dari kelompok volatile food sebagai

dampak pergeseran musim panen dan gangguan

produksi maupun distribusi akibat peningkatan

curah hujan, meningkatnya permintaan, dan

kenaikan ongkos produksi seiring dengan

kenaikan UMP (Grafik II.15).

Grafik II.15. Proyeksi Inflasi 2016

Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) di

Sumatera diarahkan untuk meningkatkan

kesiapan daerah dalam mengantisipasi lonjakan

permintaan, memfasilitasi kerjasama antar

daerah, serta mendorong produksi pangan

melalui perbaikan sarana prasarana produksi

pertanian. Beberapa kegiatan-kegiatan unggulan

daerah, diantaranya:

a. Peresmian Gedung Pengendalian Inflasi di

Sumatera Barat yang berfungsi sebagai

terminal agrobisnis dalam rangka

menyeimbangkan permintaan-penawaran

dan stabilisasi harga komoditas pangan.

b. Diversifikasi pangan dan konsumsi produk

lokal di provinsi Bengkulu. Salah satu program

diversifikasi pangan berupa himbauan

sarapan dengan pisang sebagai komoditas

utama Bengkulu.

c. Program sentuh air dan tanah, serta

pembentukan klaster perikanan di Kepulauan

Riau.

d. Pembentukan klaster bahan makanan a.l di

Provinsi Bangka Belitung (cabai) dan Jambi

(cabai dan padi)

Selain kegiatan tersebut, beberapa provinsi telah

mengadakan kerjasama antar daerah dalam

rangka menjaga pasokan serta menstabilkan

harga. Adapun bentuk-bentuk kerjasama antara

daerah yang ada di Sumatera, antara lain:

a. Kerjasama dalam pengendalian pasokan

cabai merah di Kabupaten Batubara dan

Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara;

b. Kerja sama antar daerah di Kota Padang dan

Kota Solok, Sumatera Barat;

c. Rapat koordinasi pertukaran informasi bahan

pangan di Pulau Bintan dan Kota Tanjung

Pinang, Kepulauan Riau;

d. Pengadaan kegiatan temu usaha pengusaha

cabai merah di Palembang dan Kabupaten

Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan;

e. Kerjasama penyediaan bahan pangan antara

Provinsi Lampung dengan DKI Jakarta.

Stabilitas Keuangan Daerah

Ketahanan Sektor Korporasi

Pada triwulan IV 2015, total kredit perbankan

tumbuh sebesar 9,67% (yoy), sedikit menurun

dibanding capaian triwulan sebelumnya 10,86%

(yoy). Perlambatan pertumbuhan kredit masih

tertahan oleh berlanjutnya tren peningkatan

kredit investasi. (Grafik II.16)

Grafik II.16. Penyaluran Kredit Sumatera

6.12

7.746.79

3.05

5.17*4.46*

I II III IV I II III IV

2011-2012 2013-2014 2015-2016

Page 22: Laporan Nusantara Februari 2016.pdf (21,16 MB)

15

Peningkatan kredit investasi ini juga sejalan

dengan peningkatan kredit untuk sektor

korporasi. Pada triwulan IV 2015, total kredit

yang disalurkan kepada korporasi yang memiliki

pangsa 42% tumbuh 17,12% (yoy), lebih tinggi

dibandingkan triwulan sebelumnya sebesar

16,27% (yoy). Secara sektoral, penyaluran kredit

didorong oleh peningkatan penyaluran kredit di

sektor pertanian sejalan dengan meningkatnya

kontribusi sektor pertanian di triwulan IV 2015.

(Grafik II.17)

Grafik II.17. Penyaluran Kredit Korporasi Sektoral

Tumbuhnya penyaluran kredit korporasi, diiringi

dengan terjaganya ketahanan keuangan sektor

korporasi. Hal ini tercermin dari kualitas kredit

korporasi yang masih berada dalam batas aman

dengan tren menurun sejak Oktober 2015. NPL

kredit korporasi pada triwulan IV 2015 tercatat

sebesar 2,28%, lebih rendah dibandingkan

triwulan III 2015 sebesar 3,19%. Penurunan NPL

terutama terjadi pada debitur sektor

perdagangan, konstruksi, dan industri. (Grafik

II.18)

Grafik II.18. NPL Kredit Korporasi

Sementara itu, penghimpunan dana korporasi

mengalami penurunan signifikan dari 16,10%

(yoy) pada triwulan III 2015 menjadi 1,24% (yoy).

Penurunan terutama terjadi pada komponen giro

dan deposito. Komponen giro tumbuh menurun

dari 24,62% (yoy) pada triwulan III 2015 menjadi

5,86% (yoy). (Grafik II.19)

Grafik II.19. Penghimpunan Dana Korporasi

Ketahanan Sektor Rumah Tangga

Kredit konsumsi yang disalurkan Bank Umum

kepada sektor rumah tangga di Sumatera sedikit

melambat dibandingkan triwulan sebelumnya.

Kredit rumah tangga melambat dari 14,53% (yoy)

pada triwulan III 2015 menjadi 6,45% (yoy) pada

akhir triwulan IV 2015. Perlambatan terutama

dipicu oleh penurunan penyaluran Kredit

Kendaraan Bermotor (KKB) dan kredit multiguna.

KKB bahkan mengalami pertumbuhan negatif

sebesar 6.14% (yoy), jauh lebih rendah

dibandingkan pertumbuhan triwulan sebelumnya

yang sebesar 8,50% (yoy). Perlambatan ini sejalan

dengan konsumsi rumah tangga Sumatera yang

masih mengalami perlambatan pada triwulan IV

2015. (Grafik II.20)

Grafik II.20. Penyaluran Kredit Rumah Tangga

Risiko kredit rumah tangga cenderung mengalami

perbaikan. NPL kredit rumah tangga tercatat

menjadi 3,26% lebih rendah dari pada triwulan

sebelumnya yang sebesar 3,63%. Penurunan NPL

terutama terjadi pada penyaluran kredit properti

dan kredit multiguna. (Grafik II.21)

Page 23: Laporan Nusantara Februari 2016.pdf (21,16 MB)

16

Grafik II.21. NPL Kredit Rumah Tangga

Sejalan dengan belum membaiknya pendapatan

rumah tangga, pada triwulan IV 2015

penghimpunan dana sektor rumah tangga masih

mengalami perlambatan. Penghimpunan dana

tumbuh sebesar 7,56% (yoy), lebih rendah

dibandingkan triwulan III 2015 sebesar 8,10%.

Perlambatan terutama terjadi pada komponen

deposito. Perkembangan ini mengonfirmasi

terbatasnya perbaikan pendapatan masyarakat di

triwulan IV yang kemudian berdampak kepada

penggunaan simpanan untuk pemenuhan

konsumsi. (Grafik II.22)

Grafik II.22. Penghimpunan DPK Rumah Tangga

Pembiayaan Sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM)

Perbaikan kinerja kredit UMKM di Sumatera sejak

triwulan II 2015 masih berlanjut di triwulan IV

2015, disertai dengan perbaikan kualitas kredit

UMKM. Penyaluran kredit UMKM pada triwulan

IV 2015 tercatat tumbuh sebesar 5,83% (yoy),

meningkat dibandingkan triwulan III 2015 sebesar

4,43% (yoy). Pertumbuhan ini terutama terjadi

pada UMKM sektor perdagangan. Perkembangan

jumlah penyaluran kredit juga diiringi dengan

perkembangan jumlah rekening kredit UMKM

yang mengalami peningkatan dari 9,84% (yoy) di

triwulan III 2015 menjadi 11,33% (yoy). (Grafik

II.23)

Grafik II.23. Penyaluran Kredit UMKM

Pertumbuhan kredit UMKM diikuti oleh

perbaikan NPL dari 6,38% menjadi 5,46%. Tidak

jauh berbeda dari kondisi historisnya, penyaluran

kredit UMKM Sumatera pada triwulan IV 2015

masih didominasi oleh sektor Perdagangan,

Hotel, dan Restoran (PHR), dan sektor Pertanian,

masing-masing tercatat sebesar 53,74% dan

20,83%.

Pengelolaan Uang Rupiah

Transaksi keuangan tunai di Triwulan IV 2015

tercatat mengalami net outflow yang cenderung

meningkat dibanding triwulan sebelumnya.

Peningkatan ini sejalan dengan perbaikan

aktivitas ekonomi di triwulan IV 2015. Kondisi net

outflow terjadi dihampir seluruh kecuali di

Lampung dan Sumatera Barat. Secara total, net

outflow Sumatera di triwulan IV 2015 mencapai

Rp13,8 triliun meningkat 8,40 % (yoy).

Berdasarkan provinsinya, aliran uang keluar

(outflow) terbesar terjadi di Riau, Sumatera

Utara, dan Aceh. Sementara itu, temuan uang

palsu pada triwulan IV 2015 adalah sebesar 4.574

lembar menurun dibanding triwulan III 2015 yang

sebesar 4.623 namun lebih besar dibandingkan

periode yang sama tahun lalu sebesar 2.374

lembar. Temuan uang palsu terbanyak masih

berada di Lampung dan Sumatera Utara. (Grafik

II.24)

Page 24: Laporan Nusantara Februari 2016.pdf (21,16 MB)

17

Grafik II.24. Pembayaran Tunai

Berkenaan dengan upaya-upaya perluasan

pemenuhan layanan kebutuhan uang tunai,

selain melalui pelaksanaan kas keliling, Bank

Indonesia juga mengembangkan Depo Kas yang

menjadi hub pemenuhan kebutuhan uang tunai

di Sumatera. Selain itu, Bank Indonesia juga

melakukan kerjasama dengan bank-bank

komersial untuk pemenuhan kebutuhan uang

tunai di wilayah-wilayah tertentu. Selanjutnya,

upaya menekan peredaran uang palsu di wilayah

Sumatera terus dilakukan melalui berbagai

sosialisasi dan kerjasama dengan pihak-pihak

terkait.

Prospek Perekonomian

Prospek Pertumbuhan Ekonomi

Perekonomian 2016 diperkirakan tumbuh lebih

baik. Optimisme akan pertumbuhan ekonomi

berlangsung di seluruh provinsi. Pertumbuhan

ekonomi diperkirakan berada pada kisaran 4,2%-

4,7%, lebih tinggi dibandingkan tahun 2015 yang

tumbuh sebesar 3,54%. Konsumsi rumah tangga

dan investasi diperkirakan menjadi motor

penggerakan ekonomi pada 2016. Di sisi lain,

lapangan usaha utama di wilayah Sumatera juga

mendukung perbaikan tersebut, termasuk

lapangan usaha pertambangan yang mengalami

perlambatan dengan magnitude yang mengecil.

Dari sisi permintaan, perbaikan pertumbuhan

ditopang oleh konsumsi dan investasi. Perbaikan

konsumsi didukung oleh ekspektasi terhadap

peningkatan pendapatan dan terkendalinya

inflasi. Sementara itu, peningkatan kontribusi

investasi diprakirakan berlanjut di 2016 seiring

dengan percepatan proyek infrastruktur di

wilayah Sumatera.

Tabel II.2. Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Daerah di Sumatera (% year-on-year)

Indikator Makroekonomi

Daerah 2015

2016 2016

p

Ip

PDRB (% YoY) 3,54 4,04-4,54 4,22-4,72

Provinsi Aceh (0,72) 2,93– 3,43 2,90-3,40

Provinsi Sumut 5,08 5,15-5,65 5,09-5,59

Provinsi Sumbar 5,41 5,16-5,56 5,31-5,81

Provinsi Riau 0,22 1,51-2,01 1,41-1,91

Provinsi Jambi 4,21 3,65-4,15 4,83-5,33

Provinsi Kep. Riau 6,02 5,59-6,09 6,08-6,58

Provinsi Sumsel 4,44 4,68-5,18 5,17-5,67

Provinsi Bengkulu 5,14 4,82-5,32 5,01-5,51

Provinsi Lampung 5,13 5,15-5,65 5,46-5,96

Provinsi Kep. Bangka

Belitung

4,05 3,94-4,44 4,07-4,57

Kapasitas fiskal yang menurun diperkirakan akan

mempengaruhi realisasi konsumsi pemerintah

pada 2016. Ruang fiskal daerah menyusut akibat

koreksi harga komoditas migas yang pada

gilirannya akan mempengaruhi pendapatan

daerah dari sisi pajak dan alokasi Dana Bagi Hasil

(DBH).

Perbaikan ekspor tahun 2016, khususnya

perbaikan ekspor komoditas pertambangan dan

pertanian masih akan relatif terbatas. Kondisi ini

sejalan dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi

global yang akan lebih rendah dari perkiraan

serta perlambatan ekonomi Tiongkok. Sementara

impor masih akan tumbuh seiring dengan

proyeksi peningkatan konsumsi swasta dan

investasi. Ke depan, peningkatan daya saing

melalui perbaikan infrastruktur logistik serta

upaya hilirisasi akan berperan dalam menopang

pertumbuhan ekonomi Sumatera yang lebih kuat

(resilient).

Dari sisi penawaran, pertumbuhan ekonomi

berasal dari meningkatnya kinerja sektor utama.

Sektor pertanian, industri pengolahan,

perdagangan dan konstruksi diprakirakan akan

Page 25: Laporan Nusantara Februari 2016.pdf (21,16 MB)

18

tumbuh positif. Sementara kontraksi

pertambangan diprakirakan tidak sedalam

sebelumnya. Upaya pemerintah dalam

pengembangan produksi pertanian ikut

mendorong tumbuhnya sektor pertanian,

terutama di provinsi Lampung dan Sumatera

Selatan. Prospek positif pertumbuhan sektor

pertanian diperkirakan terjadi di tahun 2016.

Indikasi tersebut nampak dari meningkatnya

pertumbuhan kredit sektor pertanian seiring

dengan meningkatnya pertumbuhan harga CPO.

Sementara itu, peningkatan produksi tanaman

pangan sejalan dengan upaya khusus

peningkatan produksi yang dilakukan oleh

pemerintah.

Di sisi lain, produksi perkebunan juga

diperkirakan tumbuh sehingga mendorong

kinerja industri pengolahan yang juga didukung

oleh perbaikan permintaan. Adanya permintaan

dalam negeri untuk biodiesel mendorong

tumbuhnya sektor ini terutama di Sumatera

Utara dan Riau. Selanjutnya, sektor konstruksi

tumbuh sejalan dengan pengembangan proyek-

proyek infrastruktur pemerintah.

Prospek Inflasi

Inflasi Sumatera pada 2016 diprakirakan

meningkat dibandingkan 2015. Inflasi Sumatera

diperkirakan mencapai 4,29% hingga 4,79% (yoy),

lebih tinggi dari inflasi 2015 sebesar 3,05% (yoy).

Level inflasi pada 2016 masih berada dalam

kisaran target inflasi Bank Indonesia, yaitu 4% ±

1%.

Peningkatan inflasi 2016 diperkirakan terutama

bersumber dari peningkatan harga komoditas-

komoditas volatile food. Mundurnya musim

tanam akibat El Nino disertai dengan relatif

minimnya dukungan infrastruktur pendukung

produksi pangan ditengarai menjadi penyebab

tekanan pada inflasi pangan. Di sisi lain, terdapat

downside risk inflasi dari kecenderungan

penurunan harga minyak. Hal ini akan diikuti oleh

penyesuaian ke bawah harga BBM domestik yang

selanjutnya disertai dengan penurunan tarif

angkutan.

Page 26: Laporan Nusantara Februari 2016.pdf (21,16 MB)

Konektivitas Dalam Mendukung Daya Saing

Sumatera Letak Sumatera yang berada pada jalur

perdagangan Samudera Pasifik dan Samudera

Hindia, sekaligus sebagai jalur yang

menghubungkan India dan Tiongkok, merupakan

sebuah nilai tambah yang seharusnya mampu

mendorong pertumbuhan sektor industri

pengolahan dan jasa. Ditambah dengan kondisi

budaya yang serumpun berpotensi menambah

keunggulan produk asal Indonesia.

Dalam persaingan diantara negara di kawasan

ASEAN, komoditas ekspor asal Sumatera yang

mayoritas dalam bentuk Sumber Daya Alam

(SDA) masih berada pada peringkat yang tinggi.

Komoditas minyak nabati, karet, dan timah asal

Sumatera memiliki daya saing jauh di atas posisi

Malaysia, Filipina, Thailand, dan Singapura yang

merupakan saingan terdekat (Tabel II.3). Hanya

minyak nabati dan karet, masing-masing dengan

skor Revealed Comparative Advantage (RCA)

sebesar 75,9 dan 55,9 yang memiliki pesaing

cukup berat, yaitu dengan Malaysia (24,5) dan

Thailand (31,6).

Tabel II.3. Indeks Perbandingan Daya Saing Komoditas Ekspor Utama Sumatera

Dengan melihat potensi yang besar tersebut,

Sumatera masih dihadapkan pada salah satu

tantangan yang cukup berat yaitu yang terkait

dengan dukungan logistik. Berdasarkan Logistic

Performance Index (LPI)1 yang dirilis oleh Bank

Dunia tahun 2014, Indonesia berada pada

peringkat kedua terbawah diantara 5 negara

ASEAN setelah Singapura (4,00), Malaysia (3,59),

Thailand (3,43), dan Vietnam (3,15). Peringkat

Indonesia hanya lebih baik dari Filipina. Namun

demikian, penilaian segi kinerja pengiriman

1

Penilaian Logistic Performance Index (LPI) merupakan

agregasi dari perhitungan dari kepabeanan, infrastruktur, pengiriman internasional, kualitas dan kompetensi logistik, tracking dan tracing, dan ketepatan waktu.

internasional serta kualitas dan kompetensi

logistik Indonesia masih lebih tinggi dari angka

agregat LPI (Grafik II.25).

Sumatera Malaysia Filipina Singapura Thailand

1 Minyak Nabati 422 75,91 24,49 11,94 0,22 0,75

2 Karet Alam 231 55,90 7,36 1,90 0,88 31,64

3 Timah 687 52,85 9,68 1,58 14,00 3,70

4 Bubur Kertas 251 7,63 0,07 0,66 0,86 0,28

5 Kopi & substitusinya 71 5,17 0,92 0,03 0,37 0,49

Komoditas Pangan

1 Buah-buahan 57 0,99 0,12 6,68 0,19 1,06

2 Beras 42 0,00 0,06 0,05 0,32 18,30

3 Sayuran 54 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00

Sumber: UN Comtrade (diolah)

Revealed Comparative Advantage (RCA)No Komoditas SITC

Boks 1

Page 27: Laporan Nusantara Februari 2016.pdf (21,16 MB)

Grafik II.25. Logistic Performance Index, World Bank

Bila dikaitkan antara LPI Indonesia tersebut

dengan perkembangan spasial di Sumatera,

dapat terlihat bahwa performa infrastruktur

logistik yang kurang baik di Indonesia berdampak

pada kurang optimalnya kinerja ekspor di

Sumatera. Akibatnya, meski memiliki keunggulan

komparatif pada komoditas minyak nabati, karet,

dan timah, ekspor ketiga jenis komoditas

tersebut sebagian masih perlu dilakukan melalui

proses transhipment di Singapura. Sebagai

contoh, dari total nilai ekspor Sumatera ke India

senilai US$4,2 miliar ternyata hanya 18,7%

dilakukan langsung dari pelabuhan di Sumatera

dan sebagian besar (81,3%) harus melalui

pelabuhan di Singapura. Hal yang sama juga

terjadi untuk ekspor tujuan Tiongkok yang senilai

US$4,4 miliar, sebesar 57,0% ekspornya

dilakukan melalui Singapura (Grafik II.26 dan

Grafik II.27).

Indikasi transhipment tercermin dari beberapa

negara tetangga di kawasan ASEAN yang

mencatatkan ekspor cukup besar untuk

komoditas yang sejenis dengan komoditas ekspor

utama Sumatera, seperti minyak nabati &

turunannya, karet alam, dan timah. Padahal,

negara-negara tersebut tidak tercatat sebagai

produsen berskala besar. Sebagai contoh, adanya

ekspor minyak nabati dan turunannya yang

dilakukan oleh Singapura (US$1,2 miliar) dan

Malaysia (US$3,9 miliar), 30%-nya merupakan

hasil ekspor dari Indonesia. Hal yang sama juga

terjadi pada komoditas timah yang setelah

melakukan impor dari Indonesia senilai US$1,2

miliar, kemudian sebesar US$0,3 miliar diekspor

kembali.

Sumber: UN Comtrade

Sumber: UN Comtrade

Grafik II.26. Arus Perdagangan Minyak Nabati

Grafik II.27. Arus Perdagangan Turunan Minyak Nabati

0

1

2

3

4

5LPI Score

Customs

Infrastructure

Internationalshipments

Logistics competence

Tracking & tracing

Timeliness

Singapore Malaysia Thailand

Vietnam Indonesia Philippines

Sumber: World Bank

Page 28: Laporan Nusantara Februari 2016.pdf (21,16 MB)

Dengan modal dari letak Sumatera yang

sangat strategis diantara jalur perdagangan

yang menghubungkan dua negara

berpenduduk terbesar serta adanya

keunggulan komparatif untuk komoditas

ekspornya, perekonomian Sumatera

diperkirakan akan bertumbuh lebih tinggi

dan berkualitas apabila ditopang oleh

perbaikan infrastruktur logistik. Pengadaan

dan perbaikan akses jalan darat, jalur kereta

api khusus logistik dan penumpang, akses

pelayaran, dan pelabuhan udara sangat

diperlukan dalam peningkatan Indeks

Kinerja Logistik Indonesia. Tentunya hal

tersebut harus pula dilakukan paralel

dengan perbaikan sistem IT, peningkatan

kemampuan SDM di sisi operator pelabuhan

dan penunjangnya, dan deregulasi

peraturan. Dengan perbaikan ini, diharapkan

daya saing Sumatera dan Indonesia pada

umumnya akan lebih baik dan mampu

berkompetisi dalam menunjang

perdagangan internasional. Perkembangan

proyek-proyek infrastruktur dan deregulasi

ketentuan perdagangan internasional yang

telah dijalankan pemerintah merupakan

langkah awal yang tepat agar ketertinggalan

dibanding negara di kawasan ASEAN dapat

teratasi.

Mata rantai komoditas unggulan di

Sumatera yang relatif rendah2

mengindikasikan bahwa ekspor Sumatera

memiliki hubungan yang sangat rendah

dengan kebutuhan impor atau dapat

disimpulkan bahwa komoditas yang di

ekspor masih merupakan bahan baku yang

berasal dari SDA. Dengan langkah perbaikan

berbagai infrastruktur pendukung

diperkirakan akan menunjang upaya

hilirisasi industri di Sumatera, yang pada

gilirannya akan akan memberikan nilai

tambah bagi perekonomian dan mampu

meningkatkan penyerapan tenaga kerja.

Disisi lain, keunikan daerah wisata dan

2 Berdasarkan perhitungan Intra Industry Trade (ITT), komoditas

unggulan Sumatera (minyak nabati, karet, dan timah) memiliki level yang mendekati 0. Nilai mendekati 1 memiliki arti bahwa terdapat mata rantai yang kuat antara ekspor dengan impor dan

budaya di Sumatera, diharapkan dapat

semakin berkembang sejalan dengan

perbaikan kualitas dan efisiensi konektivitas.

Pada akhirnya, perekonomian Sumatera

akan tumbuh berkualitas dengan sumber-

sumber pertumbuhan yang baru.

mendekati 0 menjelaskan bahwa minimnya mata rantai ekspor terhadap impor.

Page 29: Laporan Nusantara Februari 2016.pdf (21,16 MB)

22

Bagian III

Perekonomian Jawa Perekonomian berbagai daerah di Jawa pada triwulan IV 2015 tumbuh meningkat dibanding periode

triwulan sebelumnya, terutama ditopang oleh realisasi berbagai proyek infrastruktur pemerintah

dan membaiknya konsumsi rumah tangga. Pada triwulan akhir 2015 pertumbuhan ekonomi Jawa

secara agregat tercatat sebesar 5,9% (yoy), lebih tinggi daripada triwulan III 2015 yang sebesar 5,5%

(yoy). Berbagai proyek infrastruktur pemerintah berskala besar di Jawa seperti pembangunan jalan

tol, pelabuhan, transportasi massal dan pembangkit listrik menopang kinerja perekonomian Jawa

tumbuh meningkat. Secara keseluruhan tahun 2015, perekonomian Jawa tumbuh melambat

terutama karena pengaruh kinerja ekspor yang terbatas seiring dengan masih lemahnya permintaan

global maupun domestik. Memasuki awal tahun 2016, perekonomian Jawa terindikasi melambat

terkait dengan masih terbatasnya belanja pemerintah. Ke depan, pembangunan infrastruktur dan

perbaikan ekspor manufaktur menjadi kunci yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi Jawa

tumbuh meningkat di keseluruhan tahun 2016.

Inflasi Jawa pada akhir 2015 terjaga pada level yang rendah sebesar 3,12% (yoy), lebih rendah dari

triwulan sebelumnya yang mencapai 6,71% (yoy). Tekanan inflasi pada triwulan IV 2015 di Jawa

relatif terkendali, meski pada akhir tahun terdapat lonjakan harga pada komoditas aneka cabai,

bawang merah dan angkutan udara. Hal ini turutmendukung pencapaian target sasaran inflasi

nasional pada 2015. Tingkat inflasi terendah pada 2015 tercatat di Provinsi Jawa Tengah dan Jawa

Barat sebesar 2,73% (yoy), sedangkan yang tertinggi terjadi di Provinsi Banten pada level 4,29%

(yoy). Rendahnya tekanan inflasi sepanjang 2015 tidak terlepas dari relatif stabilnya inflasi inti. Laju

inflasi tahunan 2016 diperkirakan akan lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya yang

disebabkan oleh adanya risiko peningkatan inflasi pangan sebagai dampak dari anomali iklim El

Nino dan La Nina. Namun demikian, terdapat potensi bias ke bawah jika tren penurunan harga

minyak dunia terus berlanjut yang akan mempengaruhi harga BBM di dalam negeri dan

penyesuaian tarif listrik. Penurunan inflasi dapat lebih besar jika pemerintah menurunkan tarif

angkutan.

Pertumbuhan Ekonomi

Pada triwulan IV 2015, perekonomian Jawa

tumbuh meningkat. Pertumbuhan ekonomi Jawa

pada triwulan akhir 2015 tercatat sebesar 5,9%

(yoy), lebih tinggi dibandingkan triwulan

sebelumnya sebesar 5,5% (yoy). Membaiknya

pertumbuhan ekonomi Jawa didorong oleh

meningkatnya kinerja pertumbuhan ekonomi DKI

Jakarta, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Hanya

perekonomian Banten yang justru tercatat

mengalami pertumbuhan yang lebih lambat,

ditahan oleh perlambatan dari lapangan usaha

industri pengolahan terutama pada subkategori

kimia. Melambatnya perekonomian Banten juga

bersumber dari pertumbuhan negatif lapangan

usaha pertanian yang disebabkan oleh

penurunan produksi di triwulan akhir 2015.

Tabel III.1. Pertumbuhan Ekonomi Kawasan Jawa

Sumber: BPS dan Perkiraan Bank Indonesia

Page 30: Laporan Nusantara Februari 2016.pdf (21,16 MB)

23

Selain dukungan dari realisasi pembangunan

proyek infrastruktur skala besar, perbaikan

pertumbuhan konsumsi juga turut mendukung

perekonomian Jawa pada triwulan IV 2015.

Pertumbuhan konsumsi didukung oleh pemulihan

kinerja konsumsi rumah tangga dan belanja

Pilkada serentak . Hal ini terjadi di tengah masih

terbatasnya ekonomi negara mitra dagang yang

memengaruhi perlambatan kinerja perdagangan

luar negeri, khususnya penjualan ekspor pakaian

jadi, tekstil dan kendaraan bermotor yang

menjadi produk ekspor andalan Jawa. Kinerja

impor pun masih tumbuh rendah ada triwulan

laporan, terutama pada impor barang modal. Hal

ini sejalan dengan masih belum pulihnya belanja

investasi swasta.

Grafik III.1. Kinerja Ekspor Jawa

Perekonomian Jawa secara keseluruhan 2015

tercatat tumbuh melambat. Pertumbuhan

ekonomi Jawa pada 2015 tercatat menurun dari

5,6% (yoy) menjadi 5,4% (yoy) yang terutama

disebabkan melemahnya ekspor luar negeri dan

investasi sejak 2014. Kondisi ini pada akhirnya

menyebabkan melemahnya daya beli

masyarakat, sebagaimana tercermin dari

penurunan indeks penghasilan pada Survei

Konsumen. Di sisi lain, upaya pemerintah

mempercepat investasi infrastruktur di semester

II 2015 menjadi faktor penahan perlambatan

lebih dalam dari kinerja investasi di Jawa, di

tengah belum pulihnya belanja investasi swasta.

Belanja infrastruktur pemerintah tumbuh 30%

(yoy) pada 2015, lebih tinggi dibandingkan tahun

sebelumnya yang hanya tumbuh 18% (yoy).

Pelemahan kinerja belanja rumah tangga dan

perdagangan luar negeri di 2015 berdampak pada

penurunan kinerja lapangan usaha perdagangan

dan industri pengolahan. Sementara itu,

lemahnya realisasi belanja investasi swasta

berpengaruh pada pertumbuhan lapangan usaha

konstruksi yang belum membaik, meskipun telah

dilakukan upaya percepatan belanja infrastruktur

pemerintah sejak semester II 2015. Lapangan

usaha pertanian menjadi penahan perlambatan

ekonomi lebih dalam di Jawa, di tengah adanya

anomali iklim El Nino.

Perkembangan indikator ekonomi hingga

Februari 2016 mengindikasikan potensi

perlambatan di kawasan ASEAN. Di sisi lain,

inisiatif lelang dini sejak awal tahun mendorong

kinerja belanja infrastruktur pemerintah lebih

baik dibandingkan tahun lalu, meskipun masih

lebih rendah dibandingkan triwulan IV 2015.

Secara spasial, perlambatan ekonomi terjadi pada

Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah dan D.I.

Yogyakarta.

Grafik III.2. Survei Penjualan Eceran Jawa

Di sisi lain, optimisme perbaikan ekspor LN dan

membaiknya belanja rumah tangga berpotensi

menahan laju perlambatan ekonomi lebih dalam

pada triwulan I 2016. Permintaan masyarakat

diperkirakan membaik seiring perbaikan persepsi

konsumen pada triwulan akhir 2015 (indeks

kembali berada di atas 100 yang menandakan

optimisme masyarakat). Kondisi ini juga

terkonfirmasi dari indeks penjualan riil yang

tumbuh sebesar 4,30% (yoy), jauh lebih tinggi

dari triwulan sebelumnya yang tumbuh negatif

0,23% (yoy). Namun, perbaikan kinerja ekspor

Page 31: Laporan Nusantara Februari 2016.pdf (21,16 MB)

24

luar negeri diperkirakan masih terbatas di tengah

isu pelemahan ekonomi Tiongkok. Optimisme

perbaikan ekspor diperkirakan mendorong

pertumbuhan impor bahan baku industri, di

tengah masih lemahnya permintaan swasta pada

barang modal impor. Adapun salah satu yang

menjadi faktor adalah belum pulihnya kinerja

lapangan usaha pertambangan serta terbatasnya

realisasi investasi smelter yang membutuhkan

barang modal impor.

Kinerja Lapangan Usaha

Pertanian

Lapangan usaha pertanian, kehutanan, dan

perikanan tumbuh meningkat pada triwulan IV

2015. Pertumbuhan pada lapangan usaha ini

sebesar 2,4% (yoy), jauh lebih tinggi

dibandingkan triwulan sebelumnya yang hanya

sebesar 1,8% (yoy). Peningkatan pada lapangan

usaha pertanian memberikab dukungan pada

pertumbuhan kredit di lapangan usaha tersebut.

Pada triwulan IV 2015, kredit sektor pertanian

tumbuh meningkat dari 22,8% (yoy) menjadi

25,5% (yoy). Kinerja kualitas kredit pertanian

juga membaik pada triwulan IV 2015 yakni

menjadi 2,3%.

Pada triwulan I 2016, kinerja pertanian

diperkirakan masih akan mengalami

peningkatan. Dinas Pertanian Jawa Timur dan

Jawa Tengah mengkonfirmasi angka kenaikan

produksi tabama di wilayah kerjanya, sebagai

keberhasilan Unit Pengendalian Khusus (UPSUS)

dalam hal pencetakan lahan sawah baru dan

perbaikan saluran irigasi swadaya. Sementara itu,

produksi tanaman pangan di Provinsi Jawa Barat

diperkirakan akan meningkat dengan adanya

program intensifikasi dari Pemerintah Daerah

setempat yang bertujuan untuk meningkatkan

Intensitas Pertanaman (IP) dan juga produktivitas

padi.

Industri Pengolahan

Kinerja industri pengolahan di triwulan IV 2015

tumbuh stabil. Pertumbuhan lapangan usaha

industri pengolah sebesar 4,8% (yoy), ditopang

oleh permintaan akhir tahun dan pemulihan

permintaan domestik. Adapun subkategori usaha

yang meningkat di triwulan IV 2015 adalah

makanan minuman dan tembakau, tekstil, barang

dari kayu dan hasil hutan lainnya, serta

kendaraan bermotor. Secara spasial, terjaganya

kinerja sektor industri pada periode ini didorong

oleh perbaikan penjualan usaha di Provinsi Jawa

Barat, Jawa Tengah dan D.I. Yogyakarta.

Grafik III.3. Likert Scale Penjualan Saat Ini dan Perkiraan

Penjualan

Kondisi negara mitra dagang yang masih

tumbuh terbatas, diperkirakan menahan kinerja

ekspor pada lapangan usaha industri

pengolahan di triwulan I 2016. Lapangan usaha

industri pengolahan diprakirakan akan tumbuh

stabil dengan triwulan sebelumnya. Subkategori

tekstil dan otomotif diperkirakan masih akan jadi

penahan dari laju pertumbuhan industri

pengolahan. Permintaan akan kendaraan

bermotor roda 4 maupun roda 2 belum

menunjukkan adanya perbaikan hingga posisi

Januari 2016. Meskipun demikian, optimisme

terhadap kinerja industri pengolahan di triwulan I

2016 terlihat mulai membaik, hal ini tercermin

dari membaiknya indikator perkiraan kegiatan

industri pengolahan pada SKDU yang naik dari

1,08% (SBT)1 menjadi 3,33% pada triwulan I 2016.

Potensi membaiknya industri pengolahan di

triwulan I 2016 juga terlihat dari hasil liaison yang

menunjukkan adanya peningkatan penjualan

1

SBT atau saldo bersih tertimbang merupakan metode

perhitungan dengan menghitung selisih antara persentase jumlah responden yang menjawab meningkat dengan persentase jumlah responden yang menjawab menurun.

Page 32: Laporan Nusantara Februari 2016.pdf (21,16 MB)

25

semenjak akhir tahun dan potensi berlanjutnya

hal tersebut khususnya pada komoditas makanan

minuman dan tembakau.

Subkategori industri makanan, minuman dan

tembakau tumbuh stabil ditengah perlambatan

yang dialami sub kategori lainnya. Kondisi ini

akan terus berlanjut dan bahkan diperkirakan

akan meningkat seiring dengan membaiknya

konsumsi di triwulan I 2016. Di wilayah Jawa,

subkategori ini menyumbang komposisi terbesar,

yaitu sebesar 18% terhadap total lapangan usaha

industri pengolahan.

Subkategori industri lainnya, seperti barang

logam juga diperkirakan meningkat, sejalan

dengan akan dimulainya proyek-proyek

infrastruktur pemerintah. Komitmen pemerintah

dalam menggunakan baja dalam negeri sebagai

bahan baku infrastruktur yang akan dibangun

diperkirakan mendorong kenaikan penjualan

subsektor logam dasar. Mulai beroperasinya

pabrik hulu terbesar kimia di Banten pada

triwulan I 2016 yang sempat melakukan

shutdown sementara dalam rangka maintenance

juga diperkirakan akan mendorong kinerja

industri pengolahan pada triwulan I 2016. Pabrik

tersebut ditargetkan dapat meningkatkan

kapasitas produksinya hingga 43% pada 2016

dengan pangsa pasar domestik yang mencapai

60%.

Perdagangan

Kinerja perdagangan di triwulan IV 2015 tercatat

mengalami perlambatan terutama disebabkan

masih lemahnya permintaan luar negeri. Adapun

daerah yang mengalami perlambatan cukup

dalam yaitu Provinsi Jawa Barat. Kondisi tersebut

merupakan dampak dari melemahnya kinerja

industri tekstil dan kendaraan bermotor yang

dominan di Jawa Barat selain subkategori

makanan minuman. Sementara permintaan

domestik justru mengalami perbaikan yang

didorong oleh meningkatnya konsumsi rumah

tangga. Tingginya permintaan domestik pada

triwulan IV 2015 juga sebagai dampak dari

momen perayaan Natal dan Tahun Baru.

Grafik III.4. Perkembangan Ekspor Subkategori Utama

Kinerja lapangan usaha perdagangan di triwulan

I 2016 diperkirakan meningkat seiring dengan

perbaikan konsumsi masyarakat yang didorong

oleh kenaikan upah pada awal 2016. Hal

tersebut tercermin pula dari perkiraan

pengeluaran konsumen tiga bulan mendatang

pada Survei Konsumen. Perdagangan luar negeri

juga diperkirakan tumbuh lebih baik didorong

optimisme kinerja ekspor ke negara-negara

ASEAN, Eropa, Amerika Serikat dan Jepang

meskipun masih relatif terbatas. Membaiknya

kinerja ekspor pada awal 2016 juga terkonfirmasi

melalui hasil liaison, khususnya pada subkategori

makanan & minuman, tekstil serta furniture yang

mayoritas ditujukan ke negara-negara tersebut.

Sementara impor khususnya bahan baku

diperkirakan meningkat sejalan dengan pulihnya

kinerja industri pengolahan di triwulan I 2016.

Konstruksi

Lapangan usaha konstruksi tumbuh lebih tinggi

di triwulan IV 2015. Pertumbuhan di lapangan

usaha ini meningkat ke 5,6% (yoy) dari 5,0% (yoy)

di triwulan III 2015. Kondisi tersebut ditopang

oleh realisasi pembangunan proyek infrastruktur

pemerintah di berbagai daerah, utamanya DKI

Jakarta.2 Pola seasonal dari optimalisasi belanja

pemerintah di akhir tahun turut mendorong

pertumbuhan lapangan usaha konstruksi.

2 Berbagai proyek infrastruktur pemerintah dengan anggaran

besar di Jawa adalah pembangunan waduk dan irigasi, infrastruktur jalan, reaktivasi dan pembangunan jalur rel kereta api, perbaikan pelabuhan dan bandara serta pembangkit listrik.

Page 33: Laporan Nusantara Februari 2016.pdf (21,16 MB)

26

Sementara konstruksi swasta mengalami

perlambatan sejalan dengan masih lemahnya

pasar properti komersial dan kondisi

ketidakpastian ekonomi global yang mendorong

pelaku usaha untuk menahan investasinya pada

2015.

Pada triwulan I 2016, sektor konstruksi

diperkirakan tumbuh lebih rendah sejalan

dengan pola seasonal dimana investasi

pemerintah baru memasuki tahap pengadaan.

Implementasi lelang dini diperkirakan baru akan

berdampak pada kinerja sektor konstruksi di

triwulan II 2016. Optimisme pelaku usaha yang

belum sepenuhnya membaik, diperkirakan

berdampak pada terbatasnya realisasi investasi di

2016. Pada triwulan I 2016, investasi swasta

terindikasi lebih banyak didominasi oleh

kelanjutan investasi proyek multi-year

dibandingkan dengan investasi baru.

Jasa Keuangan

Pertumbuhan jasa keuangan meningkat tinggi

terutama pada subkategori perbankan pada

triwulan IV 2015. Terus membaiknya kinerja

perbankan terlihat dari pendapatan Financial

Intermediation Services Indirectly Measured

(FISIM) atau pendapatan dari hasil intermediasi

perbankan yang masih mengalami peningkatan

pertumbuhan. Adapun porsi pendapatan

perbankan dari FISIM merupakan yang terbesar

(73% dari total pendapatan perbankan).

Meningkatnya nilai tambah bruto perbankan juga

didorong oleh pendapatan sekunder, atau

pendapatan operasional diluar bunga yang

meningkat signifikan hingga mencapai 131,28%

(yoy), jauh lebih tinggi dari pertumbuhan triwulan

sebelumnya yang hanya mencapai 66,81% (yoy).

Secara spasial, DKI Jakarta menyumbang nilai

tambah bruto terbesar bagi lapangan usaha jasa

keuangan di Jawa dimana mayoritas perbankan di

Indonesia berkantor pusat di DKI Jakarta.

Lapangan usaha jasa keuangan diperkirakan

akan mengalami perlambatan pada triwulan I

2016 yang disebabkan masih terbatasnya

pertumbuhan kredit di seluruh provinsi di Jawa.

Sejalan dengan masih terbatasnya pertumbuhan

kredit, maka pendapatan sekunder atau

pendapatan non bunga diperkirakan tidak akan

tumbuh setinggi triwulan sebelumnya.

Grafik III.5. Perkembangan Kinerja Perbankan (NTB)

Fiskal Daerah

Penyerapan belanja fiskal Pemerintah Daerah di

Jawa pada 2015 secara agregasi terpantau

mengalami peningkatan. Dalam kondisi yang

masih diliputi perlambatan ekonomi, realisasi

belanja APBD memiliki peran penting sebagai

salah satu sumber pertumbuhan ekonomi di

Jawa. Realisasi APBD Jawa pada 2015 meningkat

menjadi 88% dibanding periode yang sama pada

2014 sebesar 84%. Secara spasial, hanya provinsi

Jawa Tengah dan Jawa Timur yang mengalami

penurunan penyerapan APBD. Realisasi belanja

yang belum optimal disebabkan oleh tata aturan

pembangunan dan penggunaan lahan yang dirasa

masih tumpang tindih, serta belum

disederhanakannya proses pengajuan izin dan

lelang untuk pembangunan infrastruktur strategis

daerah.

Sejalan dengan optimisme pertumbuhan

ekonomi Jawa pada 2016, prognosa APBD

provinsi di Jawa menunjukkan adanya

peningkatan dibandingkan dengan pagu tahun

sebelumnya. Secara agregat prognosa

pertumbuhan belanja APBD di Jawa diperkirakan

akan meningkat sejumlah 2% pada 2016.

Meningkatnya pagu APBD pada 2016 didorong

oleh adanya penambahan alokasi dana untuk

pembangunan proyek vital dalam rangka

Page 34: Laporan Nusantara Februari 2016.pdf (21,16 MB)

27

mendorong percepatan realisasi infrastruktur

strategis.

Perkembangan Inflasi

Tekanan inflasi Jawa pada triwulan akhir 2015

masih terjaga pada level yang rendah. Laju inflasi

tahunan Jawa pada akhir triwulan IV 2015

tercatat sebesar 3,12% (yoy), lebih rendah

dibandingkan triwulan sebelumnya yaitu sebesar

6,71% (yoy) maupun bila dibandingkan dengan

2014 yang mencapai 8,35% (yoy). Menurunnya

laju inflasi 2015 disebabkan oleh menurunnya

tekanan pada kelompok volatile food dan

administered prices serta masih terjaganya

pergerakan inflasi inti. Tekanan inflasi yang

mereda disumbang oleh harga BBM serta LPG

yang mengalami penurunan serta terjaganya

pasokan bahan pangan. Secara spasial, inflasi di

seluruh provinsi berada dalam target sasaran

inflasi nasional pada 2015 sebesar 4±1%. Laju

inflasi tahunan terendah, tercatat di Provinsi

Jawa Tengah serta Jawa Barat sebesar 2,73%

(yoy), sementara yang tertinggi berada di Provinsi

Banten yang mencapai 4,29% (yoy).

Sumber : BPS (diolah)

Grafik III.6. Perkembangan Inflasi Jawa dan Nasional

Laju inflasi bulanan kelompok volatile food

relatif stabil pada triwulan terakhir 2015 meski

mengalami peningkatan yang cukup tajam pada

Desember 2015. Peningkatan tersebut

disebabkan oleh adanya lonjakan harga cabai

merah dan bawang merah yang cukup tinggi pada

akhir tahun dengan berakhirnya masa panen.

Secara umum harga bahan pangan cenderung

stabil pada triwulan IV 2015 seiring tercukupinya

pasokan beras setelah masuknya beras impor

sebagai antisipasi penurunan produksi beras

akibat El Nino. Pasokan daging ayam ras juga

relatif terjaga setelah kembali normalnya

pasokan DOC di tengah masih mahalnya harga

pakan ternak. Pasokan cabai merah dan bawang

merah yang berlimpah dengan masuknya masa

panen pada awal triwulan IV 2015 turut

menahan peningkatan inflasi pada kelompok

volatile food.

Sumber : BPS (diolah)

Grafik III.7. Disagregasi Kelompok Inflasi

Laju inflasi bulanan administered prices yang

relatif stabil pada triwulan IV 2015 turut

menjaga rendahnya tingkat inflasi secara umum.

Harga BBM (termasuk solar) dan LPG yang masih

dalam tren menurun mengikuti harga minyak

dunia, menjadi penahan tekanan inflasi dari

kelompok administered prices. Pada Desember

2015, tekanan inflasi bersumber dari penyesuaian

tarif angkutan udara menjelang libur akhir tahun

dan adanya penyesuaian tarif listrik untuk

beberapa golongan.

Dari sisi kelompok inti atau core inflation, laju

inflasi cenderung melandai pada triwulan

terakhir 2015. Tekanan inflasi pada kelompok inti

masih berasal dari komoditas-komoditas utama,

yaitu kontrak rumah, sewa rumah dan nasi

dengan lauk. Sementara itu, tren penurunan

harga emas dunia turut menahan laju inflasi inti

khususnya dalam dua bulan terakhir pada 2015.

Tingkat inflasi tahunan Jawa pada 2015 jauh

lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya,

sehingga turut mendukung pencapaian target

sasaran inflasi nasional. Melambatnya laju inflasi

tahunan Jawa terutama didorong oleh penurunan

Page 35: Laporan Nusantara Februari 2016.pdf (21,16 MB)

28

inflasi kelompok administered prices dan volatile

food, di tengah inflasi kelompok inti yang terjaga

stabil. Sepanjang 2015, sumbangan inflasi

terbesar berasal dari komoditas beras, daging

ayam ras dan sewa rumah. Tekanan inflasi pada

2015 juga bersumber dari kelangkaan day old

chick (DOC) dan naiknya harga pakan ternak yang

sebagian besar merupakan barang impor. Hal ini

mengakibatkan kenaikan harga daging ayam ras

di seluruh provinsi. Meski demikian, penurunan

harga bensin, aneka cabai dan angkutan dalam

kota menjadi penyumbang deflasi terbesar pada

2015.

Tabel III.2. Perkembangan Inflasi Spasial

Sumber : BPS (diolah)

Seluruh spasial, seluruh provinsi di regional

Jawa mencapai tingkat inflasi yang lebih rendah

di 2015. Laju inflasi tahunan terendah dicatatkan

oleh Provinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah

sebagai pengaruh dari terjaganya inflasi

kelompok volatile food dan kelompok inti.

Sementara itu, laju inflasi tahunan di Provinsi

Banten merupakan yang tertinggi di Jawa, sejalan

dengan tingkat inflasi inti yang masih relatif tinggi

dibandingkan dengan provinsi lainnya.

Tekanan inflasi Jawa pada triwulan I 2016

terindikasi dari tingginya inflasi Januari 2016.

Inflasi Jawa pada Januari 2016 mencapai 3,92%

(yoy). Tekanan terbesar pada Januari 2016

berasal dari meningkatnya harga daging ayam ras

dan telur ayam ras karena berkurangnya pasokan

DOC dan masih mahalnya harga pakan ternak.

Berlanjutnya kenaikan harga bawang merah dan

cabai merah juga turut menyumbang inflasi

karena masih terbatasnya pasokan serta kualitas

komoditas yang memburuk pada saat musim

hujan. Dari inflasi kelompok inti, penetapan cukai

rokok 2016 menambah tekanan untuk komoditas

rokok kretek dan rokok kretek filter. Namun

demikian, laju inflasi bulanan yang lebih tinggi

tertahan oleh penurunan harga dari kelompok

administered prices yaitu harga bensin, bahan

bakar rumah tangga, dan tarif angkutan udara.

Sumber : BPS (diolah) dan Bank Indonesia

Grafik III.8. Inflasi dengan Perkiraan Harga 3 bulan Survei Konsumen

Faktor risiko utama dari prospek inflasi Jawa

pada triwulan I 2016 bersumber dari kelompok

volatile food. Kemarau panjang akibat EL Nino

yang terjadi hingga akhir 2015 berdampak

kepada mundurnya masa tanam di akhir tahun.

Hal ini selanjutnya berdampak pada mundurnya

masa panen raya ke triwulan II 2015. Selain itu

risiko kenaikan harga pada komoditas daging dan

telur ayam ras diperkirakan masih akan berlanjut.

Dampak peningkatan inflasi harga bahan pangan

terhadap makanan jadi diperkirakan juga

menambah tekanan inflasi pada triwulan awal

2016. Meski demikian, penyesuaian harga di

kelompok administered prices yakni harga BBM,

LPG 12 Kg, tarif listrik, dan tarif angkutan

diperkirakan dapat menahan peningkatan inflasi

Jawa pada triwulan I 2016.

Menghadapi faktor risiko inflasi pada 2016,

TPID di Jawa akan memfokuskan upaya

pengendalian inflasi dalam menjaga

ketersediaan pasokan dan pembentukan harga

yang terjangkau, serta upaya penerapan

protokol manajemen lonjakan harga. Upaya

TPID dalam pengendalian inflasi tersebut terbagi

atas program jangka pendek maupun jangka

menengah – panjang.

2014

IV I II III IV

Jawa Barat 7.60 5.46 6.51 6.11 2.73

Banten 10.20 7.46 8.91 8.14 4.29

Jawa Tengah 8.21 5.68 6.15 5.78 2.73

D.I. Yogyakarta 6.59 5.13 5.68 5.23 3.09

Jawa Timur 7.77 6.08 6.77 6.69 3.08

DKI Jakarta 8.95 7.10 7.59 7.24 3.30

Jawa 8.35 6.28 7.07 6.71 3.12

Nasional 8.36 6.38 7.26 6.83 3.35

2015Provinsi

Page 36: Laporan Nusantara Februari 2016.pdf (21,16 MB)

29

1. Jangka Pendek

a. Refocusing anggaran dalam bentuk

bantuan benih kepada petani untuk

mengamankan pasokan panen, terutama

pada triwulan I 2016.

b. Integrasi PHIPS dengan papan informasi

harga pangan strategis yang dimiliki

Pemda.

c. Peningkatan peran Divre Bulog untuk

stabilisasi dan pengendalian stok barang

selain beras.

2. Jangka Menengah - Panjang

a. Pengaturan pola tanam komoditas sesuai

dengan pemetaan defisit.

b. Penguatan kelembagaan dan peningkatan

kapasitas SDM petani.

c. Pengembangan protokol manajemen

lonjakan harga dengan fitur early warning

system (EWS) dan call for meeting

d. Penguatan dan Perluasan Kerjasama antar

daerah, baik secara G to G maupun B to B.

e. Optimalisasi keberadaan Toko Tani

Indonesia sebagai bentuk operasi pasar

permanen.

f. Optimalisasi penggunaan moda kereta api

sebagai sarana distribusi pangan (lihat

boks terkait pemanfaatan kereta api

memperlancar logistik pangan di Jawa)

Stabilitas Keuangan Daerah

Stabilitas keuangan daerah Jawa masih terjaga,

meskipun secara umum indikator pertumbuhan

kredit, aset dan DPK menunjukkan adanya

perlambatan pertumbuhan. Kualitas kredit yang

tercermin dari rasio Non Performing Loan (NPL)

berada pada level 2,25%, lebih baik dari realisasi

periode sebelumnya sebesar 2,41%. Membaiknya

kualitas kredit tersebut selain didorong oleh

masih kuatnya kemampuan bayar debitur, juga

didorong oleh adanya restrukturisasi kredit.

Grafik III.9. Perkembangan Kredit, DPK dan Rasio NPL

Penyaluran kredit oleh sektor perbankan di

Jawa pada triwulan IV 2015 (berdasarkan lokasi

proyek) tumbuh melambat bila dibandingkan

triwulan sebelumnya. Total penyaluran kredit

mencapai Rp2.827 triliun atau memiliki porsi

sebesar 69% terhadap total kredit nasional. Pada

triwulan terakhir 2015, kredit tumbuh melambat

10,71% (yoy), dibandingkan periode sebelumnya

yang sebesar 11,13% (yoy). Perlambatan tersebut

didorong oleh perlambatan pada kredit konsumsi

dan kredit modal kerja, sedangkan kredit

investasi justru mampu mengalami peningkatan

pertumbuhan. Sejalan dengan perlambatan

pertumbuhan kredit, DPK turut mengalami

perlambatan dan hanya tumbuh 7,28% (yoy),

lebih rendah dibandingkan triwulan sebelumnya

yang tumbuh sebesar 12,24% (yoy). Jumlah DPK

yang dihimpun di Jawa per Desember 2015

mencapai Rp3.403 triliun atau setara dengan 77%

dari total DPK di Indonesia.

Grafik III.10. Perkembangan Realisasi Kredit Baru

Pertumbuhan kredit yang melebihi

pertumbuhan DPK membuat Loan to Deposit

Ratio (LDR) mengalami peningkatan. Rasio LDR

sedikit meningkat ke level 83,05% atau lebih

Page 37: Laporan Nusantara Februari 2016.pdf (21,16 MB)

30

tinggi dibandingkan triwulan sebelumnya yang

berada pada level 80,70%. Meningkatnya LDR

juga disebabkan oleh adanya realisasi kredit baru

sebesar Rp341 triliun, atau meningkat dengan

pencairan kredit baru pada triwulan III sebesar

Rp287 triliun.

Ketahanan Sektor Korporasi

Pertumbuhan penyaluran kredit korporasi

tercatat mengalami peningkatan yang sejalan

dengan membaiknya pertumbuhan ekonomi

Jawa. Pertumbuhan penyaluran kredit kepada

sektor korporasi berada pada level 13,38% (yoy),

lebih tinggi dibandingkan triwulan sebelumnya

sebesar 11,56% (yoy). Perbaikan tersebut

didukung oleh meningkatnya kredit investasi

maupun kredit modal kerja. Pertumbuhan kredit

korporasi turut didukung dengan membaiknya

kualitas kredit yang terlihat dari rasio NPL yang

masih terjaga pada level 2,25%.

Sektor utama pada kredit korporasi yaitu sektor

perdagangan dan sektor transportasi &

komunikasi dapat mengalami peningkatan

pertumbuhan, sementara sektor industri

pengolahan melambat. Penyaluran kredit untuk

sektor perdagangan meningkat cukup tinggi dari

11,85% menjadi 15,39% disertai dengan

membaiknya kualitas kredit. Membaiknya

pertumbuhan kredit sektor perdagangan diikuti

oleh sektor transportasi & komunikasi yang

mampu tumbuh positif menjadi 6,01% setelah

sebelumnya tumbuh negative sebesar 2,94%.

Kualitas kredit untuk sektor transportasi &

komunikasi juga membaik terlihat dari rasio NPL

berada pada level 2,98%. Sementara itu, sektor

industri pengolahan yang memiliki porsi terbesar

(share sebesar 34% dari total kredit)

menunjukkan pertumbuhan yang sedikit

melambat dari 17,27% menjadi 16,35% pada

triwulan IV 2015 dan diikuti dengan menurunnya

rasio NPL pada sektor dimaksud.

Grafik III.11. Kredit Korporasi Sektor Utama

Secara spasial, peningkatan kredit korporasi dari

Provinsi Jawa Tengah dan DKI Jakarta

mendorong pertumbuhan kredit korporasi

secara keseluruhan. Meningkatnya kredit

korporasi di Jawa terutama didorong oleh

peningkatan penyaluran kredit di DKI Jakarta,

yang mempunyai porsi 59% dari total kredit

korporasi, dapat tumbuh meningkat dari 10,16%

(yoy) menjadi 13,52% (yoy) pada triwulan IV

2015. Sementara itu, perlambatan penyaluran

kredit korporasi di Provinsi Jawa Barat dan

Provinsi Jawa Timur yang memiliki total share

sebesar 26% menahan pertumbuhan lebih lanjut

pada kredit korporasi.

Grafik III.12. Pertumbuhan Kredit Korporasi Spasial

Penghimpunan DPK korporasi tercatat

melambat, terutama didorong oleh

melambatnya giro dan deposito. Pertumbuhan

DPK korporasi mengalami perlambatan dari

triwulan sebelumnya sebesar 18,07% (yoy)

menjadi 11,69% (yoy) pada triwulan laporan.

Perlambatan pertumbuhan kredit disebabkan

perlambatan pertumbuhan pada seluruh

komponen pembentuknya. Perlambatan

terdalam terjadi pada giro yang saat ini tumbuh

Page 38: Laporan Nusantara Februari 2016.pdf (21,16 MB)

31

17,41% (yoy), lebih rendah dari triwulan

sebelumnya yang sebesar 25,32% (yoy).

Grafik III.13. Pertumbuhan DPK Sektor Korporasi

Ketahanan Sektor Rumah Tangga

Pemberian kredit rumah tangga mengalami

perlambatan seiring masih terbatasnya

permintaan masyarakat akan KPR maupun KKB.

Penyaluran kredit bagi sektor rumah tangga

mengalami perlambatan dari 10,52% (yoy)

menjadi 9,46% (yoy) pada triwulan laporan.

Namun demikian kualitas kredit rumah tangga

tercatat mengalami peningkatan dimana pada

akhir tahun 2015 berada pada level 1,44%

terutama didorong penurunan NPL pada KPR dan

kredit multiguna. Melambatnya kredit rumah

tangga terutama disebabkan oleh perlambatan

penyaluran kredit kepemilikan kendaraan

bermotor (KKB) dari 6,95% (yoy) pada triwulan III

2015 menjadi 2,0% pada triwulan laporan.

Melambatnya penyaluran KKB terkonfirmasi oleh

data GAIKINDO yang menyatakan penjualan

kendaraan roda empat turun 22,11% (yoy)

setelah mengalami pertumbuhan 5,53% (yoy)

pada tahun 2014. Selain itu hasil Survei

Konsumen juga mengindikasikan adanya

perlambatan konsumsi barang tahan lama. Di sisi

lain kredit kepemilikan rumah (KPR) serta

kepemilikan apartemen/ruko (KPA) juga tercatat

mengalami perlambatan menjadi 7,29% (yoy)

dibandingkan triwulan sebelumnya yang sebesar

8,08% (yoy). Menurunnya permintaan akan KPR

maupun KPA juga terlihat pada Survei Harga

Properti Residensial (SHPR) yang menunjukkan

adanya stagnasi harga pada triwulan IV 2015.

Berbeda dengan KKB dan KPR yang meningkat,

kredit multiguna justru mengalami peningkatan

pertumbuhan yaitu dari 14,17% (yoy) menjadi

15,16% (yoy).

Grafik III.14. Penyaluran Kredit Sektor Rumah Tangga

Grafik III.15. Kualitas Kredit Sektor Rumah Tangga

Pertumbuhan DPK milik rumah tangga di Jawa

mengalami peningkatan yang didorong oleh

meningkatnya giro dan tabungan rumah tangga.

Pada akhir triwulan IV 2015, DPK rumah tangga

tercatat tumbuh 5,32%, (yoy) lebih tinggi

dibandingkan periode sebelumnya yang hanya

tumbuh 4,70% (yoy). Pertumbuhan tersebut

disumbang oleh jenis simpanan giro dan

tabungan, sedangkan deposito justru mengalami

perlambatan. Pada semester II 2015 ini, terdapat

indikasi perubahan perilaku rumah tangga yang

cenderung mencairkan depositonya untuk

memperoleh likuiditas seiring perekonomian

yang relatif membaik.

Page 39: Laporan Nusantara Februari 2016.pdf (21,16 MB)

32

Grafik III.16. Pertumbuhan DPK Sektor Rumah Tangga

Pembiayaan Sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM)

Pertumbuhan kredit kepada sektor UMKM

kembali melambat pada akhir tahun 2015,

namun dengan kualitas kredit yang mengalami

perbaikan. Penyaluran kredit UMKM mengalami

pertumbuhan sebesar 8,20% (yoy) melambat

dibandingkan triwulan sebelumnya yang sebesar

8,66% (yoy). Perlambatan kredit UMKM tersebut

terutama terjadi pada penyaluran kredit sektor

jasa perorangan, sektor perantara keuangan dan

sektor listrik, gas dan air. Sementara itu, porsi

kredit UMKM di bandingkan dengan total kredit

yang disalurkan tidak banyak mengalami

perubahan. Hingga akhir tahun 2015, porsi kredit

UMKM hanya sebesar 16,15% dengan porsi kredit

UMKM terbesar berada di D.I. Yogyakarta dan

Provinsi Jawa Tengah. Meski demikian, kualitas

kredit UMKM pada triwulan laporan relatif

terjaga yang tercermin dari rasio NPL kredit

UMKM yang relatif membaik pada triwulan

laporan. NPL kredit UMKM berada di level

3,64%, menurun dibandingkan dengan periode

sebelumnya yang sebesar 4,15%.

Grafik III.17. Pertumbuhan & NPL Kredit UMKM

Sumber perlambatan kredit UMKM berasal dari

provinsi Jawa Barat dan DKI Jakarta. Kredit

UMKM dari Provinsi Jawa Barat yang memiliki

porsi 22% dari total kredit UMKM Jawa dan DKI

Jakarta yang mempunyai porsi 27% mengalami

mengalami perlambatan sehingga menahan

pertumbuhan Jawa secara keseluruhan. Provinsi

Jawa Barat tercatat mengalami perlambatan dari

6,41% (yoy) menjadi 3,66% (yoy) pada triwulan

laporan dan merupakan yang terendah dalam 5

tahun terakhir. Sementara itu, Provinsi DKI

Jakarta juga tercatat tumbuh melambat dari

7,78% pada triwulan III menjadi 5,44% pada

triwulan IV. Pertumbuhan kredit UMKM dari

provinsi lainnya di wilayah Jawa belum mampu

menahan perlambatan pertumbuhan. Meskipun

mengalami perlambatan pertumbuhan, namun

seluruh provinsi dapat mencatatkan perbaikan

kualitas kredit yang terlihat dari penurunan rasio

NPL di seluruh provinsi.

Grafik III.18. Penyaluran Kredit UMKM Spasial

Pengelolaan uang Rupiah

Sesuai dengan pola historisnya, wilayah Jawa

mengalami net outflow (termasuk DKI Jakarta)

Page 40: Laporan Nusantara Februari 2016.pdf (21,16 MB)

33

pada triwulan akhir 2015. Pada triwulan IV 2015,

wilayah Jawa mengalami net outflow sebesar

Rp27,19 triliun yang lebih tinggi dibandingkan net

outflow pada periode yang sama pada tahun

sebelumnya (Rp17,11 T). Uang yang masuk ke

dalam wilayah Jawa tumbuh 1,16% (yoy), jauh

melambat dibandingkan triwulan sebelumnya

yang tumbuh 6,81%. Sementara itu, cash outflow

mengalami pertumbuhan sebesar 13,17%,

meningkat tinggi dibandingkan periode

sebelumnya sebagai respon atas peningkatan

kebutuhan uang kartal masyarakat untuk

memenuhi peningkatan konsumsi pada akhir

tahun serta beberapa kegiatan besar seperti

pelaksanaan Pilkada serentak. Secara spasial,

tercatat 3 provinsi yang mengalami net outflow

yaitu Daerah Istimewa Yogyakarta, DKI Jakarta,

dan Jawa Timur.

Pengelolaan uang rupiah di wilayah Jawa,

apabila tidak termasuk dengan DKI Jakarta,

masih mengalami net inflow. Sesuai dengan

karakteristik wilayah Jawa sebagai basis

manufaktur dan penghasil bahan pangan, maka

wilayah Jawa terkecuali DKI Jakarta mengalami

net inflow. Pada triwulan akhir 2015, net inflow

Jawa minus DKI Jakarta mengalami perlambatan.

Grafik III.19. Perkembangan Netflow

Penemuan uang palsu yang dilaporan kepada

Bank Indonesia pada akhir tahun 2015

mengalami penurunan. Jumlah uang palsu yang

telah dilaporkan pada triwulan IV 2015 sebanyak

39.169 lembar, menurun dibandingkan triwulan

sebelumnya yang tercatat sebanyak 47.165

lembar. Menurunnya pelaporan uang palsu

tersebut mengindikasikan meningkatnya

pemahaman masyarakat mengenai ciri-ciri

keaslian uang Rupiah. Selain itu, hal tersebut

turut didukung oleh upaya edukasi kepada

masyarakat terkait ciri-ciri keaslian uang Rupiah.

Sejumlah langkah penguatan koordinasi dengan

perbankan dan pihak berwajib mengenai

penanganan laporan masyarakat tentang uang

yang diragukan keasliannya, juga cukup efektif.

Grafik III.20. Perkembangan Penemuan Uang Palsu

Ketersediaan uang layak edar bagi masyarakat

dilakukan baik melalui kerjasama dengan

perbankan maupun penyelenggaraan layanan

kas keliling. Pada triwulan terkahir tahun 2015,

jumlah pemusnahan UTLE menglami peningkatan

dari 26,29 juta triliun, menjadi 29,59 juta triliun.

Grafik III.21. Perkembangan Pemusnahan UTLE

Prospek Perekonomian

Prospek Pertumbuhan Ekonomi

Perekonomian Kawasan Jawa pada 2016

diprakirakan tumbuh lebih baik. Pertumbuhan

ekonomi Jawa diproyeksikan berada pada kisaran

5,6%-6,0% (yoy), sedikit lebih tinggi dibandingkan

proyeksi sebelumnya. Optimisme perbaikan

ekonomi terutama berasal dari potensi

menguatnya permintaan negara mitra dagang,

Page 41: Laporan Nusantara Februari 2016.pdf (21,16 MB)

34

yaitu Amerika Serikat, Jepang, ASEAN dan Eropa.

Selain itu, komitmen pemerintah untuk

mempercepat belanja infrastruktur pada 2016

juga turut mendukung pemulihan ekonomi Jawa.

Dari sisi permintaan, perbaikan ekonomi juga

bersumber dari optimisme peningkatan

konsumsi baik rumah tangga maupun

pemerintah serta pemulihan minat investasi

swasta. Hampir seluruh lapangan usaha utama di

Jawa berpotensi mengalami peningkatan kinerja,

khususnya pada lapangan usaha konstruksi,

perdagangan dan pertanian. Berbagai indikator

ekonomi baik dari sumber liaison maupun survei

mengindikasikan perbaikan persepsi dan

ekspektasi terhadap kondisi perekonomian,

peningkatan pendapatan dan rencana investasi

pada 2016.

Di sisi lain, masih terdapat risiko dari penurunan

harga komoditas dan implementasi lelang dini

yang tidak optimal serta berlanjutnya

pelemahan ekonomi Tiongkok. Tertundanya

belanja fiskal Pemda akibat penyesuaian pejabat

daerah paska Pilkada serentak pada akhir tahun

2015 dapat menunda keberlanjutan

pembangunan di daerah. Selain itu, belum

pulihnya harga komoditas tambang dan

perkebunan dikhawatirkan juga turut

mempengaruhi kinerja ekonomi wilayah luar

Jawa yang berbasis SDA. Hal ini berpotensi

mengganggu kinerja perdagangan antar daerah

dengan wilayah Jawa. Risiko anomali cuaca La

Nina yang berpotensi mengakibatkan banjir

dapat mengganggu capaian produksi pertanian

yang utama pada perekonomian di Jawa.

Prospek Inflasi

Laju inflasi tahunan Jawa pada 2016

diperkirakan lebih tinggi dari 2015 namun masih

akan berada dalam rentang target inflasi

sebesar 4±1%. Tingkat inflasi pada 2016

diprakirakan berada pada kisaran 3,90–4,30%

(yoy).

Risiko tekanan inflasi pada 2016 terutama bersumber dari kelompok volatile food akibat pergeseran musim tanam. Kemarau

berkepanjangan atau El Nino pada semester II 2015 berdampak kepada bergesernya masa tanam tanaman pangan. Mundurnya masa panen raya padi berisiko menurunkan produksi beras Jawa dari 16,9 juta ton menjadi sekitar 15–15,5 juta ton pada tahun 2016. Meningkatnya curah hujan pada tahun 2016 akibat anomali cuaca La Nina juga dikhawatirkan dapat menimbulkan banjir yang berisiko menurunkan pasokan serta menghambat proses distribusi bahan makanan.

Di sisi lain terdapat potensi downside risk yang

bersumber dari tren penurunan harga minyak

dunia. Inflasi berpotensi lebih rendah dari

prakiraan bilamana penurunan harga minyak

dunia terus berlanjut dan lebih dalam sehingga

menyebabkan adanya penyesuaian harga BBM

di dalam negeri dan tarif listrik. Selain itu, efek

lanjutan berupa penurunan tarif angkutan akan

menahan tekanan inflasi lebih dalam. Tekanan

dari kelompok inti diperkirakan tidak terlalu

besar, walaupun terdapat risiko yang

bersumber dari kenaikan harga barang impor

sebagai dampak dari penguatan nilai tukar USD.

Page 42: Laporan Nusantara Februari 2016.pdf (21,16 MB)

Pemanfaatan Kereta Api Memperlancar

Logistik Pangan di Jawa Sepanjang tahun 2015, tekanan inflasi terbesar di

wilayah Jawa berasal dari kelompok volatile food

khususnya pada komoditas beras, cabe merah

dan daging sapi. Tekanan yang besar dari

komoditas tersebut perlu mendapat perhatian

lebih lanjut, mengingat Jawa merupakan

lumbung pangan nasional. Disparitas harga yang

masih terjadi antara wilayah sentra produksi

dengan wilayah konsumsi, salah satunya

disebabkan oleh permasalahan pada proses

distribusi.

Permasalahan pada proses distribusi pangan di

Jawa antara lain tercermin dari masih panjangnya

rantai pasok pangan dengan level margin yang

bervariasi pada setiap level pedagang, inefisiensi

moda transportasi yang digunakan pada proses

distribusi serta masih kurang optimalnya

pemanfaatan gudang dan cold chain pada proses

pasca panen. Hipotesis ini didukung oleh hasil

riset Perdagangan Antar Wilayah (2015) yang

dilakukan Bank Indonesia yang menyatakan

bahwa biaya transportasi mendominasi

komponen biaya pembelian dan penjualan

komoditas tersebut pada level pedagang.

Berdasarkan hasil analisis pola perdagangan dan

transportasi yang digunakan pada proses

distribusi pangan di Jawa, diketahui bahwa untuk

ketiga komoditas di atas, hampir seluruh provinsi

di Jawa melakukan pembelian dan penjualan

dalam lingkup wilayah Jawa kecuali Jawa Timur

yang banyak melakukan penjualan ke Kawasan

Timur Indonesia (KTI).

Grafik III.22. Komponen Biaya Penjualan

Moda transportasi yang digunakan pada proses

distribusi di wilayah Jawa didominasi penggunaan

truk. Distribusi multi moda dengan kapal laut

digunakan untuk pengiriman keluar Jawa

sedangkan distribusi multi moda dengan pesawat

digunakan untuk pengiriman perishable goods

seperti pada komoditas aneka cabai dan daging

sapi. Distribusi dengan menggunakan kereta api

masih kurang diminati karena tarif yang dianggap

tinggi serta pengiriman barang yang harus dalam

jumlah besar.

Gambar III.1. Distribusi Pangan Komoditas Beras

Boks 2

Page 43: Laporan Nusantara Februari 2016.pdf (21,16 MB)

Potensi penggunaan kereta api untuk distribusi

barang di Jawa sangat besar. Hal ini didukung

dengan kondisi infrastruktur yang memadai

khususnya rel ganda di Jalur Pantai Utara Jawa

dari Jakarta ke Surabaya sejak September 2014.

Untuk pengembangan Jalur selatan Jawa, saat ini

sedang dilaksanakan pembangunan rel ganda

dari Cirebon ke Surabaya melewati beberapa

kota antara lain Purwokerto, Kroya, Kutoarjo,

Madiun, dan Jombang sampai Surabaya dimana

daerah-daerah tersebut merupakan sentra

produksi pangan khususnya beras. Pembangunan

Rel Ganda Selatan tersebut di perkirakan selesai

di tahun 2019.

Sumber : Ditjen Perkeretaapian – Kementerian Perhubungan Gambar III.2. Perkembangan Jalur Kereta Api Pantura

Sumber : Ditjen Perkeretaapian – Kementerian Perhubungan

Gambar III.3. Perkembangan Kereta Api Jalur Selatan

Page 44: Laporan Nusantara Februari 2016.pdf (21,16 MB)

Beberapa hal yang menjadi kendala pada

distribusi dengan menggunakan moda kereta api

diantaranya handling cost yang masih tinggi,

biaya penggunaan truk dari dan menuju stasiun

terdekat yang relatif mahal, fasilitas bongkar

muat yang minim di stasiun tujuan serta tingginya

Track Access Charge (TAC). Beban dengan moda

kereta api juga ditambah dengan PPN 10% yang

dibebankan pada PT. KAI, sehingga memengaruhi

tingginya tarif angkutan menggunakan moda

kereta api. Pada tabel III.3 disajikan perbandingan

penggunanaan moda transportasi dalam kegiatan

pengangkutan barang.

Berdasarkan hasil simulasi pengiriman barang

dari salah satu dry port yang berada di Jawa Barat

ke Surabaya menggunakan kereta dan truk,

diketahui bahwa total biaya menggunakan kereta

api masih jauh lebih tinggi. Biaya dengan kereta

api mencapai Rp237.037 sementara total biaya

dengan menggunakan truk sebesar Rp177.777

atau sekitar 75% lebih murah dari biaya kereta

api. Meski demikian, waktu tempuh dengan

menggunakan kereta api pada aktualnya lebih

cepat (sekitar 19 jam) dibanding dengan

menggunakan truk (sekitar 30 jam). Waktu

tempuh dengan menggunakan truk juga bisa

lebih lama karena dapat terhambat faktor

kemacetan dan jalan rusak. Kelebihan lain yang

dimiliki moda transportasi kereta api diantaranya

hemat penggunaan BBM, bebas pungutan liar

serta memiliki waktu yang terjadwal.

Tabel III.3. Perbandingan Antar Moda Transportasi

Truk Kapal Kereta Api

Kapasitas (TEUs)

1 500 60

Konsumsi BBM (L/TEUs)

210 103 53

Biaya (Rp/TEUs)

± 6 Juta ± 4 Juta ± 15 Juta

Waktu Perjalanan (Hari)

3 hari 1,5 hari 0,5 hari

Untuk mendorong pemanfaatan moda

transportasi kereta api, beberapa hal perlu

segera dibenahi. Langkah strategis yang dapat

diambil antara lain merevitalisasi jalur kereta api,

menarik investor untuk berinvestasi pada

peralatan bongkar muat, pemberian insentif

kepada pedagang berupa TAC yang lebih rendah

untuk komoditas strategis tertentu, peningkatan

jumlah stasiun barang serta mendukung

pembangunan infrastruktur yang terintegrasi

dengan pelabuhan dan kawasan industri. Upaya-

upaya dalam mendorong pemanfaatan kereta api

di atas membutuhkan kerjasama dari seluruh

pihak terkait agar moda kereta api dapat menjadi

sarana transportasi yang dipilih oleh para pelaku

usaha.

Selain optimalisasi penggunaan moda kereta api,

integrasi moda transportasi juga perlu menjadi

prioritas pembangunan ke depan. Akselerasi

pembangunan akses kereta api ke pelabuhan dan

bandara masih perlu dilakukan. Selain itu,

revitalisasi jalur kereta api dari dan menuju

sentra produksi serta revitalisasi pasar induk

perlu menjadi prioritas utama. Penyediaan sistem

logistik dengan menggunakan pendingin juga

perlu dilakukan untuk mengurangi kerugian

selama proses distribusi khususnya pada

pendistribusian bahan pangan yang mudah rusak

(perishable goods). Sistem logistik pendingin

perlu dilengkapi dengan cold storage, cold truck,

reefer shipping, airfreight serta cold distribution

center.

Page 45: Laporan Nusantara Februari 2016.pdf (21,16 MB)

38

Bagian IV

Perekonomian Kalimantan Perbaikan ekonomi Kalimantan pada triwulan IV 2015 belum mampu mendongkrak perlambatan

yang terjadi pada triwulan sebelumnya sehingga pertumbuhan ekonomi tahun 2015 lebih rendah

dibandingkan tahun sebelumnya. Perlambatan sektor pertambangan dan konsumsi masih menjadi

faktor penyebab utama. Namun, ekspektasi membaiknya sektor utama ini diprakirakan dapat

mendorong perbaikan kinerja ekonomi Kalimantan di triwulan I 2016. Sementara itu, masih

terbatasnya konsumsi rumah tangga juga menyebabkan berkurangnya tekanan inflasi Kalimantan

pada triwulan IV 2015 dibandingkan triwulan sebelumnya. Relatif terjaganya ekspektasi konsumen

dan pedagang sepanjang tahun 2015 dan tren penurunan administered prices, khususnya terait

kebijakan penyesuaian tarif batas atas dan bawah angkutan udara pada awal 2016 diprakirakan

semakin menjaga terkendalinya inflasi Kalimantan di tahun 2016. Selain itu, downside risk inflasi

dimungkinkan jika tren penurunan harga minyak dunia terus berlanjut dan diikuti penyesuaian

harga BBM, tarif adjustment listrik dan tarif angkutan.

Pertumbuhan Ekonomi

Perekonomian Kalimantan pada triwulan IV

2015 mengalami perbaikan dibandingkan

periode triwulan sebelumnya meski masih

terbatas. Perekonomian Kalimantan tumbuh

sebesar 1,4% (yoy) dari 0,4% (yoy) pada triwulan

sebelumnya. Perbaikan ini lebih banyak

dipengaruhi oleh konsumsi Lembaga Non-Profit

Melayani Rumah Tangga (LNPRT). Selain itu,

ekspor antardaerah turut memengaruhi

perbaikan ekonomi Kalimantan pada triwulan IV

2015.

Konsumsi LNPRT tumbuh sebesar 15,2% (yoy)

atau lebih tinggi dibandingkan triwulan

sebelumnya (11,1% yoy). Pertumbuhan ini

terutama didorong oleh aktivitas perayaan hari

besar keagamaan dan libur akhir tahun serta

pelaksanaan Pilkada serentak di Kalimantan

Selatan, kalimantan Tengah, Kalimantan Utara

dan 29 Kabupaten/Kota di wilayah Kalimantan.

Selain itu, ekspor antardaerah tercatat tumbuh

sebesar 27,7% (yoy) atau lebih baik dibandingkan

triwulan sebelumnya (15,5% yoy) sehingga

mampu menahan perlambatan ekspor secara

keseluruhan selama triwulan IV 2015 dari -1,9%

(yoy) pada triwulan III 2015 menjadi -1,4% (yoy).

Perbaikan pertumbuhan ekspor antardaerah

disebabkan karena dampak kebijakan ekspor

Pabrik Pupuk di Kalimantan yang ditujukan untuk

didistribusikan di wilayah Kalimantan kecuali

Kalimantan Barat, Jawa Timur, Bali dan Nusa

Tenggara, Sulawesi dan Papua, sebagai bagian

dari penugasan pemerintah mengenai

pemenuhan pasokan pupuk urea bersubsidi. Hal

ini terkonfirmasi oleh kenaikan pertumbuhan

volume data bongkar muat pupuk dari 2,8% (yoy)

pada triwulan III 2015 menjadi 9,2% (yoy) pada

triwulan IV 2015.

Membaiknya perekonomian Kalimantan

terutama ditopang oleh meningkatnya

pertumbuhan ekonomi Kalimantan Selatan yang

dipengaruhi oleh kenaikan konsumsi swasta.

Selain itu, kontraksi ekonomi Kalimantan Timur

yang tidak sedalam triwulan sebelumnya turut

mendorong perbaikan ekonomi Kalimantan

secara keseluruhan. Perbaikan ekonomi di

Kalimantan Timur bersumber dari kinerja ekspor

antardaerah di tengah masih terbatasnya

permintaan global. Di sisi lain, pertumbuhan

ekonomi Kalimantan Barat dan Kalimantan

Tengah masih mengalami perlambatan kendati

masih berada pada level yang lebih tinggi

dibanding daerah lainnya di Kalimantan.

Secara keseluruhan tahun 2015, perekonomian

Kalimantan tumbuh dalam tren melambat jika

Page 46: Laporan Nusantara Februari 2016.pdf (21,16 MB)

39

dibandingkan dengan tahun 2014.

Perekonomian Kalimantan tumbuh 1,3% (yoy)

pada 2015 atau lebih rendah dibandingkan tahun

sebelumnya yang tumbuh 3,3% (yoy).

Perlambatan ini tidak terlepas dari melambatnya

semua indikator sisi permintaan PDRB kecuali

konsumsi LNPRT yang tumbuh meningkat sebesar

6,6% (yoy) dari 2,7% (yoy) pada tahun

sebelumnya. Perlambatan ekonomi terjadi di

hampir semua provinsi di Kalimantan, kecuali

Kalimantan Tengah. Melambatnya ekonomi

Kalimantan Timur yang memiliki kontribusi

terbesar terhadap PDRB Kalimantan (mencapai

62%) memengaruhi perekonomian Kalimantan

secara keseluruhan. Sementara itu, Kalimantan

Tengah dengan kontribusi sebesar 10% terhadap

PDRB Kalimantan, merupakan satu-satunya

provinsi di Kalimantan yang tumbuh lebih tinggi

pada tahun 2015 dibanding tahun sebelumnya

antara lain disebabkan karena telah

beroperasinya beberapa smelter mineral di

Kalimantan Tengah.

Perlambatan pada komponen sisi permintaan

PDRB Kalimantan sejalan dengan kontraksi yang

terjadi pada sektor pertambangan dan sektor

pertanian, yang secara agregat berkontribusi

sebesar 48% terhadap PDRB Kalimantan. Sektor

pertambangan terkontraksi hingga mencapai

3,9% (yoy), sejalan dengan lesunya permintaan

ekspor batubara dari Tiongkok dan ditambah lagi

dengan ketatnya persaingan pasar batubara

dengan masuknya Afrika Selatan sebagai salah

satu produsen batubara. Sementara perlambatan

sektor pertanian dari 5,1% (yoy) pada tahun

sebelumnya menjadi 4,1% (yoy) terjadi karena

adanya perlambatan luas tanaman sawit

produktif karena moratorium 2011 dan koreksi

harga karet.

Memasuki periode triwulan I 2016,

perekonomian Kalimantan diprakirakan tumbuh

sebesar 2,4% atau membaik dibanding triwulan

IV 2015 (1,4% yoy). Perbaikan ini didukung oleh

kenaikan konsumsi RT yang ditopang oleh masih

terjaganya optimisme konsumen serta kenaikan

investasi seiring dengan percepatan berbagai

proyek infrastruktur di Kalimantan.

Pada sisi permintaan, potensi membaiknya

konsumsi RT terindikasi dari optimisme

konsumen yang ditandai dengan meningkatnya

Indeks Tendensi Konsumen (ITK) sejalan dengan

perbaikan kinerja sektor utama yaitu

membaiknya permintaan CPO, melandainya

kontraksi ekspor batubara dan meningkatnya

ekspor alumina pasca beroperasinya smelter

baru. Berbeda halnya dengan konsumsi RT,

konsumsi LNPRT diprakirakan akan mengalami

perlambatan seiring berlalunya Pilkada serentak

di Kalimantan.

Tabel IV.1. Pertumbuhan Ekonomi Daerah di Kalimantan, % year-on-year

Sumber: BPS dan Perkiraan Bank Indonesia

Kenaikan Investasi PMTB juga diprakirakan

meningkat sejalan dengan percepatan

pengerjaan berbagai proyek infrastruktur seperti

telah selesainya Jembatan Tayan yang

menghubungkan Kalimantan Barat dengan

Kalimantan Tengah, pembangunan jalan

perbatasan dan pembangunan jalan tol

Balikpapan-Samarinda.

Indikasi pertumbuhan ekonomi ini terjadi di

hampir semua provinsi di Kalimantan kecuali

Kalimantan Tengah yang diprakirakan masih akan

tumbuh melambat sebesar 5,9% (yoy)

dibandingkan triwulan sebelumnya 6,6% (yoy)

terkait perlambatan sektor konstruksi serta

transportasi dan pergudangan sesuai dengan pola

historis realisasi kegiatan usaha dan realisasi

investasi di kedua sektor tersebut.

Kinerja Lapangan Usaha

Pertanian

Kinerja pertanian di Kalimantan tumbuh

melambat pada triwulan IV 2015 dibandingkan

2016

I II III IV Ip

Kalbar 5.0 6.3 4.1 4.6 4.3 4.8 4.8 5.2

Kalteng 6.2 7.6 7.1 6.9 6.6 7.0 5.9 6.5

Kalsel 4.9 4.0 3.3 3.9 4.1 3.8 4.2 4.1

Kaltimra 2.2 -0.2 -0.4 -2.2 -0.5 -0.9 1.0 0.5

20142015

2015 2016pProvinsi

Page 47: Laporan Nusantara Februari 2016.pdf (21,16 MB)

40

triwulan sebelumnya. Lapangan usaha pertanian

di Kalimantan tercatat hanya tumbuh sebesar

1,5% (yoy), lebih rendah dibandingkan

pertumbuhan triwulan sebelumnya (3,8% yoy).

Hal ini terjadi akibat penurunan produksi tabama

serta pergeseran masa puncak produksi produksi

padi sawah rawa lebak menjadi triwulan III 2015

sebagai akibat dampak dari fenomena El-Nino.

Melambatnya kinerja pertanian terjadi di seluruh

wilayah Kalimantan. Bahkan di Kalimantan

Selatan tercatat tumbuh negatif sebesar -0,9%

(yoy), setelah pada triwulan sebelumnya masih

tumbuh sebesar 3,1% (yoy).

Grafik IV.1. Luas Tanam & Panen Padi di Kalimantan

Pada periode triwulan I 2016, kinerja sektor

pertanian, kehutanan dan perikanan

diprakirakan mengalami perbaikan. Lapangan

usaha ini diprakirakan tumbuh 3,1% (yoy) pada

triwulan I 2016 seiring dengan peningkatan

produksi padi dan Tandan Buah Segar (TBS)

Sawit. Peningkatan produksi padi terjadi sebagai

akibat perluasan tanam padi sebesar 7,3%

dibandingkan dengan triwulan sebelumnya,

peningkatan produktivitas pertanian dengan

berlanjutnya program upaya khusus (upsus)

pertanian pada 2016 serta bergesernya masa

panen padi yang semula Desember 2015 menjadi

triwulan I 2016 karena bergesernya masa tanam

padi musim “rendeng” sebagai dampak El Nino.

Selain itu, perkiraan peningkatan produksi TBS

terjadi karena peningkatan luas kebun produktif,

berakhirnya masa trek dan dimulainya siklus

puncak produksi serta kembali lancarnya pasokan

TBS dengan berkurangnya dampak pendangkalan

sungai.

Membaiknya kinerja lapangan usaha pertanian,

diprakirakan terjadi di semua provinsi di

Kalimantan dengan peningkatan pertumbuhan

tertinggi di Kalimantan Selatan. Hal ini terindikasi

dari kenaikan target produksi tahun 2016 karena

adanya prospek kenaikan permintaan kelapa

sawit sebagai bahan baku pengolahan biodiesel

dan solvent. Sementara peningkatan

pertumbuhan terendah terjadi di Kalimantan

Tengah.

Pertambangan

Kinerja lapangan usaha pertambangan di

Kalimantan masih cenderung turun meski tidak

sedalam triwulan sebelumnya. Pada triwulan IV

2015, lapangan usaha pertambangan mencatat

kontraksi pertumbuhan 5,7% (yoy), sedikit lebih

baik dibanding kontraksi pada periode

sebelumnya yang sebesar -5,9% (yoy). Perbaikan

ini ditopang oleh adanya kenaikan produksi gas

alam sebagai bahan baku produksi pupuk, serta

didukung beroperasinya smelter alumina untuk

memenuhi permintaan ekspor Jepang, Tiongkok,

Korsel dan Taiwan, dan pemenuhan kebutuhan

batubara untuk beroperasinya beberapa PLTU

baru di Asia.

Selain itu, perbaikan ini juga terbantu oleh tidak

terlalu dalamnya koreksi harga batubara

(proyeksi IMF) serta penurunan harga solar yang

memiliki pangsa 30-50% terhadap biaya produksi.

Perbaikan kinerja lapangan usaha pertambangan

di Kalimantan Timur menjadi penopang

perbaikan kinerja sektor tambang Kalimantan

selama periode triwulan IV 2015.

Memburuknya kinerja migas sepanjang tahun

2015 turut memperburuk kinerja lapangan

usaha pertambangan di Kalimantan. Hal ini

disebabkan oleh penurunan produksi maupun

ekspor batubara yang merupakan komoditas

tambang utama di Kalimantan. Selain itu, juga

terjadi penurunan investasi pertambangan bila

dibandingkan dengan tahun 2014.

Page 48: Laporan Nusantara Februari 2016.pdf (21,16 MB)

41

Grafik IV.2. Pertumbuhan Sektor Pertambangan

Kalimantan

Pelemahan kinerja sektor pertambangan

terutama terjadi di Kalimantan Timur Utara dan

Kalimantan Selatan, dengan pelemahan terdalam

di Kalimantan Timur Utara dari 0% (yoy) pada

tahun sebelumnya menjadi -4,7% (yoy) pada

tahun 2015.

Penurunan kinerja sektor ini terutama

disebabkan oleh empat hal utama yaitu

perlambatan ekonomi negara tujuan ekspor

seperti Tiongkok, kebijakan di negara pengimpor

seperti pengurangan emisi di Tiongkok dan

penggunaan produksi lokal di India, harga yang

kalah bersaing, contohnya batubara Afrika

Selatan yang lebih murah, serta kurangnya

serapan domestik yang saat ini diproyeksi hanya

tumbuh 2%, di bawah target sebesar 8%.

Meski masih tumbuh negatif, kinerja tambang di

triwulan I 2016 diprakirakan akan tumbuh lebih

baik daripada triwulan sebelumnya. Sektor ini

diprakirakan akan tumbuh sebesar -3,2% (yoy),

lebih baik dibandingkan triwulan IV 2015 (-5,7%

yoy) seiring dengan beroperasinya smelter

alumina dan besi, kenaikan permintaan domestik,

dan rebound terbatas harga batubara.

Perbaikan kinerja sektor pertambangan

diprakirakan akan berlangsung di semua provinsi

di Kalimantan pada triwulan I 2016.

Sepanjang tahun 2016, sektor pertambangan

Kalimantan diprakirakan masih terkontraksi (-

2,5% yoy) dengan kecenderungan membaik. Hal

tersebut sangat dipengaruhi oleh pertambangan

di Kalimantan Timur Utara dan Kalimantan

Selatan. Perbaikan tersebut antara lain

disebabkan karena sudah berhenti

berproduksinya Izin Usaha Pertambangan (IUP)

yang tidak efisien pada tahun 2015,

kecenderungan kenaikan target produksi

perusahaan tambang besar di Kalimantan pada

tahun 2016, potensi kenaikan permintaan di

kawasan Asia yang pada 2016 akan

mengoperasikan PLTU dengan total konsumsi

batubara 79 juta ton/tahun, telah berproduksinya

smelter alumina di Kalimantan Barat pada

triwulan IV 2015 serta perkiraan produksi

smelter besi triwulan IV 2016.

Meski demikian, proyeksi membaiknya kinerja

sektor tambang Kalimantan pada tahun 2016

masih dibayangi oleh risiko terkoreksinya

permintaan batubara oleh Tiongkok dan India,

serta tertahannya produksi migas seiring dengan

tertahannya investasi di blok Mahakam pasca

kepastian pengalihan operator.

Industri

Sektor industri Kalimantan pada triwulan IV

2015 memperlihatkan kinerja yang

mengagumkan. Sektor ini tumbuh sebesar 10,3%

(yoy) pada triwulan IV 2015, atau jauh lebih baik

dibandingkan triwulan sebelumnya (2,5% yoy).

Perbaikan kinerja sektor ini terutama didorong

oleh meningkatnya kinerja ekspor antardaerah,

khususnya komoditas pupuk sejalan dengan

beroperasinya pabrik baru serta produksi smelter

alumina, smelter besi dan smelter zircon.

Perbaikan kinerja sektor industri terjadi di hampir

semua provinsi di Kalimantan dengan

pertumbuhan tertinggi terjadi di Kalimantan

Timur Utara sebesar 13,3% (yoy) atau jauh lebih

tinggi dibanding triwulan sebelumnya (2,1% yoy).

Namun perbaikan kinerja sektor pertambangan

pada triwulan ini belum mampu mengakselerasi

pertumbuhan sektor tersebut pada tahun 2015.

Hal ini terutama disebabkan oleh melambatnya

produksi CPO sebagai dampak dari moratorium

lahan, penurunan produksi kilang BBM, turunnya

permintaan negara importir seperti ASEAN dan

Page 49: Laporan Nusantara Februari 2016.pdf (21,16 MB)

42

kenaikan bea impor CPO di India dari 7,5%

menjadi 12,5% sebagai bentuk proteksi industri

minyak nabati domestik.

Sektor industri pengolahan di Kalimantan pada

triwulan I 2016 diprakirakan kembali tumbuh

positif dengan tendensi melambat di awal tahun.

Sektor ini diprakirakan akan tumbuh sebesar

7,7% (yoy), melambat dibandingkan triwulan

sebelumnya (10,3% yoy).

Petumbuhan sektor ini didukung oleh

pertumbuhan industri CPO di seluruh provinsi di

Kalimantan, sejalan dengan lebih landainya

koreksi harga CPO dan proyeksi peningkatan

permintaan dari India. Hal ini sejalan dengan

potensi peningkatan pertumbuhan pada triwulan

2015 dari 7,5% (yoy) menjadi 7,6% (yoy) pada

triwulan I 2016 yang terindikasi pada perbaikan

likert scale investasi yang cenderung lebih baik

dibandingkan triwulan sebelumnya.

Meski demikian, faktor penahan perlambatan

pertumbuhan sektor industri pada triwulan ini

adalah pertumbuhan LNG yang kembali ke level

normalnya serta penurunan produksi kilang

minyak terkait jadwal maintenance rutin dua

tahunan.

Secara umum, sektor industri pengolahan

diprakirakan tumbuh terbatas pada tahun 2016.

Sektor ini diproyeksikan akan tumbuh sebesar

3,2% (yoy) atau tumbuh terbatas dibandingkan

tahun 2015 (3,0% yoy). Hal ini didukung oleh

masuknya 4 proyek kawasan industri di

Kalimantan di dalam “14 Kawasan Industri

Prioritas” Kementerian Perindustrian,

beroperasinya smelter alumina di Kalimantan

Barat dan peningkatan produksi CPO yang sejalan

dengan penurunan harga yang semakin terbatas.

Fiskal Daerah

Pelemahan kinerja sektor pertambangan

berdampak pada kinerja fiskal Kalimantan.

Penurunan harga migas secara langsung

berdampak pada penurunan kontribusi Dana Bagi

Hasil (DBH) migas dan DBH Pajak sebagai sumber

pembiayaan pembangunan daerah. Pada tahun

2015, penerimaan DBH migas Kalimantan

tercatat turun hampir separuh dari penerimaan

DBH migas Kalimantan pada tahun 2014 yaitu

dari Rp9,34 triliun menjadi Rp4,94 triliun. Begitu

juga halnya dengan penerimaan daerah yang

bersumber dari DBH Pajak. DBH Pajak turun 3,5%

dari Rp4,87 triliun menjadi Rp4,7 triliun. Selain

itu, pelemahan kinerja sektor migas ini juga

berdampak pada menurunnya PAD pemerintah

daerah yang bersumber dari pajak daerah dan

retribusi dari sektor perdagangan dan pariwisata.

Di sisi realisasi, pemerintah provinsi di

Kalimantan pada 2015 merealisasikan belanja

sebesar 90,63% atau meningkat bila

dibandingkan realisasi pada tahun sebelumnya

(85,21%). Hal ini berbeda untuk tingkat

kabupaten atau kota dimana realisasi anggaran

belanja hanya sebesar 80,04%. Kalimantan Barat

adalah provinsi dengan realisasi anggaran belanja

terbesar yaitu 82%, diikuti oleh Kalimantan

Selatan (75,4%), Kalimantan Tengah (73,3%),

Kalimantan Timur (72,4%) dan Kalimantan Utara

(61,6%).

Untuk tahun 2016, pemerintah daerah di

Kalimantan menargetkan kenaikan anggaran

pendapatan daerah sebesar 18,6% (yoy)

dibandingkan anggaran 2015 sedangkan

anggaran belanja daerah ditargetkan meningkat

sebesar 0,6% (yoy). Porsi kenaikan anggaran

pendapatan terbesar diharapkan disumbangkan

oleh dana perimbangan yang antara lain

bersumber dari kenaikan royalti batubara yang

diterima pemerintah daerah. Sementara porsi

belanja pegawai diharapkan meningkat sebesar

4,7% dibandingkan tahun sebelumnya.

Meski demikian, prospek kinerja tambang

khususnya batubara yang masih belum positif

berpotensi untuk meningkatkan penerimaan

pajak serta retribusi sehingga pecapaian target

kenaikan pendapatan daerah dapat terbantu.

Perkembangan Inflasi

Tekanan inflasi Kalimantan sepanjang triwulan

IV 2015 menurun dibandingkan triwulan

Page 50: Laporan Nusantara Februari 2016.pdf (21,16 MB)

43

sebelumnya. Pada akhir triwulan IV 2015, inflasi

berbagai daerah di Kalimantan secara agregat

tercatat 5,12% (yoy), lebih rendah dibanding

realisasi pada akhir triwulan sebelumnya yang

tercatat 7,40% (yoy).

Turunnya tekanan inflasi di Kalimantan terjadi di

seluruh provinsi (Grafik IV.3), dengan capaian

inflasi terendah di Kalimantan Tengah, sedangkan

inflasi tertinggi terjadi di Kalimantan Barat.

Grafik IV.3. Perkembangan Inflasi Nasional dan

Kalimantan

Turunnya tekanan inflasi di Kalimantan terutama

dipengaruhi oleh turunnya inflasi kelompok

administered prices sehubungan dengan

kebijakan penurunan tarif dasar listrik (TDL) serta

harga bahan bakar minyak. Tekanan kelompok

inti juga mengalami penurunan, sejalan dengan

masih melambatnya konsumsi rumah tangga

pada triwulan IV 2015.

Grafik IV.4. Disagregasi Inflasi Kalimantan

Pada Januari 2016, tekanan inflasi Kalimantan

menurun dibandingkan Desember 2015 yaitu

dari 5,12% (yoy) menjadi 4,63% (yoy).

Penurunan tekanan inflasi tersebut terutama

disebabkan oleh berkurangnya permintaan bahan

makanan pasca perayaan hari besar serta

perayaan akhir tahun. Khusus pada administered

prices, penurunan tekanan inflasi terutama

disebabkan oleh koreksi harga tiket angkutan

udara pasca berakhirnya perayaan hari besar

keagamaan dan libur akhir tahun. Selain itu,

koreksi harga pada tarif angkutan darat akibat

penurunan harga BBM juga memberikan

pengaruh positif pada rendahnya laju inflasi pada

periode dimaksud.

Sedikit berbeda dengan wilayah lainnya,

tekanan inflasi di Kalimantan pada triwulan I

2016 diprakirakan akan lebih rendah

dibandingkan dengan triwulan sebelumnya.

Inflasi Kalimantan diprakirakan tercatat sebesar

4,99% (yoy). Turunnya tekanan inflasi terutama

didukung oleh koreksi kelompok administered

prices. Penyesuaian tarif angkutan udara

memainkan peranan penting bagi terjaganya

inflasi, terutama di Kalimantan Barat, karena

tingginya permintaan transportasi udara,

khususnya pada periode perayaan Imlek.

Sehubungan dengan hal tersebut, tarif angkutan

udara sampai dengan akhir triwulan I 2016

diprakirakan terkoreksi, pasca diberlakukannya

Peraturan Menteri Perhubungan Nomor Nomor

14 tanggal 21 Januari 2016 tentang Mekanisme

Formulasi Perhitungan dan Penetapan Tarif Batas

Atas dan Batas Bawah Penumpang Pelayanan

Ekonomi Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam

Negeri. Peraturan tersebut, mengatur

penurunan tarif batas atas dan bawah untuk

pengguna jasa penerbangan pesawat kelas

ekonomi sebesar lima persen.

Meski dalam tren menurun, namun masih

terdapat berbagai risiko inflasi yang perlu

diwaspadai. Risiko inflasi utamanya berasal dari

inflasi kelompok volatile food, sehubungan

dengan turunnya suplai pasca panen raya di akhir

tahun. Selain itu, aspek perubahan cuaca seperti

mulai masuknya musim penghujan, tingginya

gelombang laut akan meningkatkan risiko

tekanan harga di Kalimantan karena sebagian

besar barang konsumsi masih di datangkan dari

Page 51: Laporan Nusantara Februari 2016.pdf (21,16 MB)

44

wilayah lain, seperti Jawa dan Sulawesi. Faktor

lain yang menjadi penyumbang naiknya risiko

inflasi adalah potensi penyesuaian harga durable

goods pada awal tahun juga menjadi risiko inflasi.

Koordinasi Pegendalian Inflasi

Menghadapi berbagai risiko inflasi, fokus

pengendalian inflasi melalui Tim Pengendali

Inflasi Daerah (TPID) diarahkan pada

pelaksanaan roadmap inflasi.

Pengendalian inflasi 2016 difokuskan pada

komoditas-komoditas yang memiliki sumbangan

cukup besar terhadap inflasi dan/atau komoditas

yang cukup sering menjadi pendorong inflasi.

Beberapa komoditas dimaksud antara lain beras,

daging ayam ras, bawang merah dan ikan air

tawar.

Fokus program yang tertuang dalam roadmap

inflasi terutama ditujukan untuk peningkatan

produksi, perbaikan struktur pasar, serta

pengendalian ekspektasi konsumen. Peningkatan

pasokan pangan dilakukan melalui

pengembangan klaster ketahanan pangan serta

kerjasama antar daerah. Beberapa program yang

berjalan di triwulan I 2016 antara lain

penanaman padi dengan metode Hazton dan

kerjasama perdagangan bawang merah antara

Pemkab Probolinggo dengan Pemkot Pontianak

serta dilakukan kerjasama penggemukan dan

perdagangan sapi antar kabupaten di Kalimantan

Selatan. Dari sisi ekspektasi, optimalisasi fungsi

pasar penyeimbang dan kandang penyangga

serta memaksimalkan fungsi PIHPS menjadi

program utama pengendalian inflasi.

Stabilitas Keuangan Daerah

Ketahanan Sektor Korporasi

Kredit sektor korporasi pada triwulan IV 2015

menurun tajam. Pertumbuhan kredit sektor

korporasi turun tajam dibandingkan triwulan

sebelumnya yaitu dari 6,83% (yoy) menjadi -

0,60% (yoy).

Penurunan penyaluran kredit utamanya terjadi

pada sektor pertambangan. Penurunan ini sejalan

dengan lesunya aktivitas pertambangan batubara

sejalan dengan terbatasnya permintaan ekspor

sehingga pembiayaan untuk ekspansi relatif

minim. Kredit sektor utama lainnya, yakni

pertanian di Kalimantan juga melambat, seiring

dengan tertahannya investasi pada subkategori

perkebunan kelapa sawit akibat masih rendahnya

harga CPO internasional.

Perlambatan kredit korporasi terutama

disebabkan adanya penurunan penyaluran kredit

di Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah.

Penyaluran kredit di Kalimantan Timur

mengalami perlambatan dari 3,3% (yoy) menjadi

-6,7% (yoy), sementara di Kalimantan Tengah

menurun dari 9,5% (yoy) menjadi sebesar -

2,0% (yoy). Penurunan penyaluran kredit di

kedua provinsi tersebut terutama didorong oleh

rendahnya permintaan komoditas batubara dan

CPO, yang merupakan komoditas unggulan

ekspor Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah.

Grafik IV.5. Pertumbuhan Kredit Korporasi Kalimantan

Penurunan penyaluran kredit di Kalimantan

dibarengi dengan kenaikan risiko kredit di

wilayah tersebut. NPL kredit korporasi

meningkat dari 4,91% (yoy) pada triwulan

sebelumnya menjadi 5,33% (yoy) pada triwulan

IV 2015. Hal ini sejalan dengan lesunya

perekonomian di Kalimantan. Peningkatan NPL

terutama didorong oleh lesunya sektor

pertambangan. Lesunya sektor pertambangan

tidak hanya berdampak pada NPL sektor

tersebut, namun juga berdampak pada sektor

turunannya seperti transportasi dan komunikasi.

Page 52: Laporan Nusantara Februari 2016.pdf (21,16 MB)

45

Tingkat NPL tertinggi berada di Kalimantan Timur

yang tercatat sebesar 6,86% (yoy). Tingginya NPL

di Kalimantan Timur disebabkan oleh struktur

perekonomian Kalimantan Timur yang masih

sangat bergantung kepada sektor tambang dan

turunannya dimana saat ini, kinerja sektor

dimaksud sedang dalam fase kontraksi.

Grafik IV.6. NPL Kredit Korporasi Kalimantan

Lesunya perekonomian Kalimantan juga

berdampak pada rendahnya pertumbuhan DPK.

DPK korporasi di Kalimantan pada triwulan IV

2015 masih tumbuh rendah, yakni 5,6% (yoy),

sementara pada triwulan sebelumnya sempat

mengalami kontraksi -3,27% (yoy). Rendahnya

pertumbuhan DPK terutama pada jenis deposito

yang bahkan mengalami penurunan -2,63%

(yoy). Sama seperti kredit, rendahnya

pertumbuhan DPK terjadi di Kalimantan Timur

yang perekonomiannya mengalami penurunan

selama setahun terakhir. Meski demikian,

rendahnya kinerja pertumbuhan DPK Korporasi di

Kalimantan Timur masih terimbangi dengan

kenaikan pertumbuhan DPK di Kalimantan

Tengah dan Kalimantan Barat yang masih cukup

tinggi sehingga mampu menahan laju

pertumbuhan DPK Kalimantan untuk tetap

tumbuh positif.

Grafik IV.7. DPK Korporasi Kalimantan

Ketahanan Sektor Rumah Tangga

Kredit sektor rumah tangga pada triwulan IV

2015 mengalami perlambatan. Kredit sektor

rumah tangga melambat dari 15,33% (yoy)

menjadi 6,47% (yoy). Secara historis, tingkat

pertumbuhan tersebut jauh di bawah rerata

historisnya yang selalu mampu tumbuh di atas

10% (yoy). Perlambatan yang cukup dalam pada

triwulan laporan disebabkan oleh kontraksi

pinjaman multiguna dari 24,99% (yoy) menjadi

9,16% (yoy). Berdasarkan hasil survei konsumen

yang dilakukan oleh Bank Indonesia, perlambatan

tersebut sejalan dengan turunnya optimisme

konsumen untuk membeli barang tahan lama.

Senada dengan sektor korporasi, pertumbuhan

kredit terendah berada di Kalimantan Timur yang

hanya tumbuh 3,26% (yoy).

Grafik IV.8. Pertumbuhan Kredit Rumah Tangga

Kalimantan

Berbeda dengan tingkat risiko pada korporasi

yang cenderung meningkat, risiko kredit rumah

tangga masih tetap terjaga di level yang rendah.

Tingkat NPL pada triwulan IV tercatat 1,78%

(yoy), cenderung menurun dibandingkan triwulan

Page 53: Laporan Nusantara Februari 2016.pdf (21,16 MB)

46

sebelumnya yang tercatat 1,99% (yoy). Kredit

pada setiap jenis penggunaan juga tercatat pada

level yang rendah di bawah 5%. Demikian pula

NPL di setiap provinsi masih terjaga di bawah 5%.

Grafik IV.9. NPL Kredit Rumah Tangga Kalimantan

Kemampuan rumah tangga dalam membayar

cicilan pinjaman masih baik. Masih baiknya

kemampuan masyarakat dalam membayar cicilan

hutang tercermin dari level DSR yang di bawah

30% di seluruh provinsi.

Grafik IV.10. DSR Rumah Tangga Kalimantan

DPK rumah tangga tumbuh stabil dengan

indikasi yang menurun dibandingkan pola

historisnya. Pada triwulan IV 2015, DPK rumah

tangga tercatat tumbuh sebesar 7,27% (yoy).

Secara historis, pertumbuhan tersebut tergolong

rendah karena pada tahun-tahun sebelumnya

DPK selalu tumbuh di atas 10% (yoy). Rendahnya

pertumbuhan DPK sejalan dengan menurunnya

optimisme pendapatan masyarakat berdasarkan

survei konsumen. Perlambatan terdalam terjadi

di Kalimantan Timur dimana pada triwulan IV

2015 penghimpunan DPK melambat menjadi

hanya tumbuh 4,67% (yoy).

Grafik IV.11. Perkembangan DPK Rumah Tangga

Kalimantan

Pengelolaan Uang Rupiah

Pengedaran uang kartal di Kalimantan

meningkat. Outflow tercatat naik 4,27% (yoy)

selama triwulan IV 2015 dari 2,31% (yoy) pada

triwulan sebelumnya. Kondisi tersebut

dipengaruhi oleh peningkatan kebutuhan uang

kartal masyarakat di bulan Desember 2015

karena terdapat beberapa event liburan antara

lain libur sekolah, libur hari raya Natal dan libur

tahun baru. Di samping itu, peningkatan tersebut

dipengaruhi pula oleh realisasi proyek

pemerintah untuk pembayaran termin proyek di

akhir tahun.

Grafik IV.12. Perkembangan Outflow dan Inflow

Bank Indonesia secara konsisten memastikan

ketersediaan uang layak edar bagi masyarakat.

Sepanjang triwulan IV 2015, terjadi peningkatan

baik dari frekuensi maupun nilai nominal terkait

dengan kegiatan kas keliling ke daerah terpencil

dan perbatasan di wilayah Kalimantan. Di

Kalimantan Utara, pada bulan Desember 2015

telah dibuka Kas Titipan Bank Indonesia di

Kalsel 10,1%Kalbar 12,0%

Kaltimra 15,7%

Kalteng 17%

Kalimantan13,4%

Page 54: Laporan Nusantara Februari 2016.pdf (21,16 MB)

47

Tanjung Selor (Ibukota Kalimantan Utara)

bekerjasama dengan BPD Kalimantan Timur

sebagai bank pengelola dengan plafon modal

kerja sebesar Rp100 miliar. Pengiriman modal

kerja Kas Titipan Bank Indonesia di Tanjung Selor

dilakukan oleh KPwBI Provinsi Kalimantan Timur

melalui jalan darat dengan waktu tempuh sekitar

17 jam.

Sebagai implikasi kebijakan menjaga kelayakan

uang yang beredar, rasio uang tidak layak edar

terhadap inflow meningkat. Pada triwulan IV

2015 uang tidak layak edar yang dimusnahkan

mencapai Rp1,9 triliun, meningkat dibandingkan

dengan triwulan sebelumnya senilai Rp1,3 triliun.

Peningkatan juga terjadi pada rasio uang tidak

layak edar terhadap inflow dari 14,25% pada

triwulan III 2015 menjadi 37,88% pada triwulan IV

2015. Peningkatan nominal dan rasio tersebut

merupakan implikasi dari kebijakan Bank

Indonesia untuk menjaga kualitas uang yang

beredar di masyarakat.

Grafik IV.13. Perkembangan Pemusnahan UTLE

Sementara itu, temuan uang palsu pada

triwulan IV 2015 meningkat dibanding triwulan

sebelumnya. Peningkatan temuan uang palsu

terjadi di Kalimantan Selatan dan Kalimantan

Timur masing-masing 409 bilyet dan

557 bilyet dari sebelumnya 233 bilyet dan 255

bilyet. Upaya penanggulangan peredaran uang

palsu yang dilakukan Bank Indonesia di daerah

antara lain melalui kegiatan edukasi/sosialisasi

tentang ciri-ciri keaslian uang rupiah dan cara

memperlakukan uang rupiah yang baik, serta

mendorong pelaporan uang palsu oleh

perbankan dan masyarakat.

Grafik IV.14. Temuan Uang Palsu

PROSPEK PEREKONOMIAN

Prospek Pertumbuhan Ekonomi

Perekonomian Kalimantan pada tahun 2016

diprakirakan membaik. Pertumbuhan ekonomi

Kalimantan diprakirakan tumbuh pada level 2,1%-

2,5% atau membaik dibandingkan tahun

sebelumnya (1,3%).

Pertumbuhan ini bersumber dari kenaikan

konsumsi masyarakat, konsumsi pemerintah, dan

investasi PMTB. Hal ini sejalan dengan

peningkatan kinerja sektor utama, penyelesaian

berbagai proyek pembangunan infrastruktur

utama Kalimantan pada tahun 2016 seperti

pembangunan sisi udara Bandara Samarinda Baru

(BSB) di Kalimantan Timur, berbagai proyek

pembangunan dan perbaikan jalan,

pembangunan pembangkit listrik program 35.000

MW serta pembangunan smelter.

Sektor pertanian, sektor pertambangan dan

sektor industri diprakirakan akan

memperlihatkan kinerja perbaikan pada tahun

2016. Hal ini didorong oleh peningkatan produksi

tabama dan kelapa sawit, peningkatan

permintaan batubara dari Asia dan beroperasinya

smelter bauksit baru serta peningkatan produksi

CPO akibat landainya proyeksi koreksi harga.

Namun demikian, prospek perekonomian

Kalimantan tersebut masih menghadapi sejumlah

kendala sehubungan dengan keterbatasan

diversifikasi komoditas ekspor Kalimantan serta

masih terbatasnya investasi di sektor primer yang

berbasis komoditas.

Page 55: Laporan Nusantara Februari 2016.pdf (21,16 MB)

48

Prospek Inflasi

Inflasi Kalimantan pada tahun 2016 diprakirakan

menurun. Inflasi Kalimantan 2016 diprakirakan

berada pada kisaran 4,09%-4,49%. Penurunan

inflasi diproyeksi terjadi pada semua provinsi di

Kalimantan.

Semua kelompok inflasi diprakirakan menurun.

Penurunan terbesar diprakirakan berasal dari

volatile foods. Optimisme peningkatan produksi

tanaman pangan di Kalimantan akan menjadi

penahan laju kenaikan inflasi volatile foods.

Pembangunan dan revitalisasi irigasi guna

mendukung produksi pertanian juga memberikan

sentimen positif dalam mendukung pencapaian

target 2016. Selain itu, dengan diterapkannya

metode tanam Hazton di berbagai provinsi di

Kalimantan, diprakirakan juga mendorong

kenaikan kapasitas produksi sehingga dapat

menjaga tingkat ketersediaan pasokan pangan.

Laju iInflasi inti juga diprakirakan relatif terjaga

sejalan dengan penurunan infasi volatile foods.

Selain itu penguatan program TPID, khususnya

yang ditujukan untuk mengendalikan ekspektasi

masyarakat, diharapkan dapat mendukung

terjaganya inflasi inti.

Selain itu, terkendalinya inflasi terutama

dipengaruhi oleh stabilnya pergerakan harga

pada kelompok administered prices. Potensi

koreksi harga minyak dunia yang masih berada

pada tren yang menurun akan ditransmisikan

pada minimnya tekanan harga bahan bakar

domestik. Lebih lanjut lagi, terjaganya inflasi juga

didukung dengan koordinasi langkah-langkah

pengendalian inflasi daerah oleh pihak-pihak

terkait yang mengacu pada roadmap inflasi.

Adapun risiko tekanan inflasi 2016, diprakirakan

bersumber dari kelompok inti dan volatile foods.

Peningkatan konsumsi masyarakat sejalan

dengan lebih optimisnya pertumbuhan ekonomi

pada 2016 menjadi faktor risiko kenaikan inflasi

kelompok inti. Selain itu, kendala infrastruktur

logistik khususnya impor pangan dari daerah lain,

berpotensi membuat tekanan inflasi volatile

foods pada tahun 2016 menjadi bias ke atas.

Page 56: Laporan Nusantara Februari 2016.pdf (21,16 MB)

Perbaikan Konektivitas untuk Mendukung Kestabilan

Harga dan Penurunan Inflasi Pangan di Kalimantan Fenomena inflasi Kalimantan dalam beberapa

tahun terakhir tidak terlepas dari adanya

permasalahan struktural yang harus segera

diselesaikan. Di tengah tren perlambatan

ekonomi yang paling dalam, inflasi Kalimantan

kerap lebih tinggi dibandingkan wilayah lain. Hal

tersebut terutama disebabkan oleh tingginya

inflasi bahan pangan dibandingkan wilayah lain,

khususnya pada 2 tahun terakhir. Pada 2015,

inflasi bahan pangan di Kalimantan mencapai

8,1% (yoy). Hal ini memberikan dampak pada

kesejahteraan masyarakat dengan terbatasnya

daya beli.1

Sumber : BPS, diolah

Grafik IV.15. Perbandingan Inflasi Bahan Pangan

Selain tingkat inflasi yang tinggi, volatilitas inflasi

bahan pangan juga menjadi masalah di

Kalimantan. Hal ini terkait dengan ketersediaan

pasokan pangan yang sebagian besar masih

bergantung pada daerah lain. Berdasarkan hasil

pemetaan sumber pasokan beras, diketahui

bahwa walaupun terdapat sejumlah wilayah

surplus produksi beras di Kalimantan, namun

pasokan beras dari luar wilayah Kalimantan

masih relatif besar dengan sumber pasokan

utama berasal dari Sulawesi Selatan, Jawa Timur

dan Jawa Tengah.

1

Berdasarkan data BPS, sekitar 65% porsi konsumsi

masyarakat miskin di Kalimantan adalah untuk bahan makanan.

Sebagai perbandingan, harga beras yang

merupakan salah satu komoditas pangan

strategis relatif lebih tinggi di Kalimantan

dibandingkan wilayah lain di Indonesia.

Pembentukan harga beras selain didasarkan atas

biaya input, juga dipengaruhi oleh biaya distribusi

yang sangat terkait dengan konektivitas dan

kualitas infrastruktur. Rasio biaya transportasi

beras di Kalimantan masih merupakan yang

tertinggi secara nasional.

Sumber : BPS, diolah

Grafik IV.16. Harga Beras antar Wilayah

Sumber : BPS, diolah

Grafik IV.17. Rasio Biaya Transportasi Beras

Kondisi ini menunjukkan pentingnya bagi

Kalimantan untuk mengatasi kendala yang

menghambat kelancaran dan efisiensi distribusi

pangan. Tantangan saat ini utamanya berasal dari

terbatasnya konektivitas antar daerah di

Kalimantan yang menghambat distribusi bahan

pangan baik intra Kalimantan maupun dengan

wilayah lain.

9,16 8,18

0

2

4

6

8

10

12

14

2012 2013 2014 2015

%, yoy

Sumatera Kalimantan KTI Jawa

Boks 3

Page 57: Laporan Nusantara Februari 2016.pdf (21,16 MB)

Berdasarkan komponen pembentuknya, masih

terbatasnya konektivitas wilayah Kalimantan

terutama pada aspek ketersediaan infrastruktur

transportasi serta kondisi infrastruktur logistik.

Hal ini terindikasi dari rasio panjang jalan per luas

wilayah serta kualitas jalan yang rendah terutama

pada jalan kabupaten/kota.

Terkait upaya perbaikan konektivitas darat di

Kalimantan, saat ini fokus pembangunan jaringan

jalan nasional di Kalimantan masih pada jaringan

penghubung antar kota utama. Sebagian besar

kabupaten/kota yang terletak di bagian tengah

dan utara Kalimantan belum terhubung oleh jalan

nasional.

Sumber : Kementerian PUPERA

Gambar IV.1. Akses Jalan dan Produksi Padi

Untuk memperbaiki konektivitas di Kalimantan,

pemerintah pada periode 2015-2019

memprioritaskan pembangunan infrastruktur

pada empat simpul pembangunan ekonomi

Kalimantan. Keempat simpul pembangunan

ekonomi dimaksud adalah (i) kawasan

perbatasan; (ii) Kawasan Ketapang-Pontianak-

Singkawang-Sambas; (iii) kawasan Balikpapan,

Samarinda, Maloy; dan (iv) Kawasan

Banjarmasin-Batulicin-Palangkaraya.

Namun, terdapat beberapa kendala dalam

implementasi pembangunan yang telah

direncanakan. Adapun kendala yang ditemui

diantaranya terkait dengan status jalan yang

melewati hutan lindung dan Hutan Tanaman

Industri (HTI) serta masalah perizinan. Selain itu,

juga ditemui kendala pada akses ke lokasi

pembangunan yang sulit sehingga mempersulit

penyediaan material pembangunan yang

dibutuhkan. Kendala ini utamanya dalam

pembangunan infrastruktur di daerah

perbatasan.

Untuk memperlancar konektivitas darat di

Kalimantan, diharapkan percepatan

pembangunan infrastruktur jalan dapat segera

dilaksanakan. Prasayarat utama adalah

penyelesaian kendala lahan di Kalimantan, yaitu

melalui penetapan Rencana Tata Ruang Wilayah

(RTRW) serta kemudahan dan kejelasan

perizinan. Pengembangan konektivitas juga harus

dapat menjangkau daerah di bagian tengah dan

utara Kalimantan.

Implikasi dari buruknya konektivitas Kalimantan

juga berdampak pada tingginya biaya

transportasi laut di Kalimantan yang disebabkan

oleh kurang efisiennya pengangkutan melalui

laut. Terdapat indikasi lebih banyaknya kapal

berukuran kecil yang beroperasi di Kalimantan

untuk mengurangi risiko kosongnya muatan

barang.2 Hal ini berdampak pada biaya transport

yang lebih tinggi. Selain itu, rata-rata frekuensi

kedatangan kapal di Kalimantan juga lebih

rendah. Hal tersebut tercermin dari sea transport

connectivity index Kalimantan yang lebih rendah

dibandingkan dengan Jawa.

Sumber : Bappenas

Gambar IV.2. Sea Transport Connectivity Index3

2 Fenomena empty backhaul sebagai pengaruh dari minimnya

skala ekonomi pelayaran ke sejumlah daerah di Kalimantan. 3 Sea Transport Connectivity Index dibangun oleh Bappenas.

Indeks diukur dengan faktor kapal terdaftar, kapasitas

Page 58: Laporan Nusantara Februari 2016.pdf (21,16 MB)

Permasalahan utama dalam pengembangan

infrastruktur pelabuhan di Kalimantan terkait

dengan pengadaan lahan. Masalah ini terutama

pada pelabuhan yang berlokasi pada sentra

aktivitas perekonomian (kota). Selain itu, adanya

pendangkalan alur sungai juga menjadi salah satu

kendala pengembangan pelabuhan di Kalimantan

yang sebagian merupakan jenis pelabuhan

sungai. Dengan perbaikan konektivitas,

diharapkan stabilitas harga dan penurunan inflasi

pangan di Kalimantan dapat tercapai.

Langkah pemerintah yang memprioritaskan

pembangunan infrastruktur, khususnya yang

mendukung konektivitas memberikan optimisme

pada membaiknya daya dukung logistik ke depan.

Untuk mengoptimalkan upaya tersebut, maka

koordinasi yang intensif dengan pemerintah

daerah dan pelaku logistik perlu terus dilakukan.

Hal ini guna memastikan efektivitas dari

implementasi pembenahan daya dukung logistik

di Kalimantan.

kontainer pembawa, ukuran max.vessels, jumlah kunjungan kapal, dan pengiriman perusahaan terdaftar.

Page 59: Laporan Nusantara Februari 2016.pdf (21,16 MB)

51

Bagian V

Perekonomian Kawasan Timur Indonesia Pada triwulan IV 2015, ekonomi Kawasan Timur Indonesia (KTI) tumbuh melambat, dari 8,9% (yoy)

pada triwulan III 2015 menjadi 8,6% (yoy). Perlambatan pertumbuhan ekonomi terutama

disebabkan oleh kontraksi ekspor dan perlambatan investasi serta konsumsi. Meski melambat,

untuk keseluruhan tahun 2015, ekonomi KTI tumbuh lebih tinggi dibanding tahun 2014 yaitu dari

6,1% (yoy) menjadi 8,4% (yoy) yang didorong oleh perbaikan ekspor mineral dan hasil olahannya

serta peningkatan kinerja konsumsi pemerintah. Memasuki triwulan I 2016, ekonomi KTI

diperkirakan cenderung melambat yang dipengaruhi oleh kinerja konsumsi pemerintah yang belum

optimal di awal tahun dan menurunnya investasi bangunan. Sementara itu, perlambatan investasi

bangunan dan ekspor hasil tambang diprakirakan akan memengaruhi perkembangan ekonomi KTI

hingga keseluruhan tahun 2016 yang diproyeksikan tumbuh melambat di kisaran 7,1-7,5% (yoy).

Inflasi KTI pada triwulan IV 2015 tercatat sebesar 4,06% (yoy), lebih rendah dari triwulan

sebelumnya (7,25%, yoy) maupun akhir tahun 2014 (8,31%, yoy). Penurunan laju inflasi terjadi pada

seluruh komponen disagregasi khususnya administered prices (kelompok transpor) seiring dengan

terjaganya pergerakan harga BBM. Tekanan inflasi menunjukkan peningkatan pada awal triwulan I

2016 dengan inflasi sebesar 0,73% (mtm) di bulan Januari 2016. Inflasi disebabkan oleh tekanan

harga komoditas pangan yang akan mendorong meningkatnya inflasi hingga akhir triwulan I 2016.

Untuk keseluruhan tahun 2016, beberapa faktor seperti pergeseran musim tanam serta tekanan dari

sisi permintaan diperkirakan mendorong laju inflasi KTI pada kisaran 4,7-5,1% (yoy). Jika tren

pergerakan harga minyak dunia yang menurun terus berlangsung, maka inflasi KTI di akhir tahun

2016 dimungkinkan bias ke bawah dari perkiraan. Penurunan harga minyak tersebut dapat

ditransmisikan melalui penurunan harga BBM, penyesuaian tarif tistrik, serta penurunan tarif

angkutan.

Pertumbuhan Ekonomi

Perekonomian Kawasan Timur Indonesia (KTI)

tumbuh melambat pada triwulan IV 2015

dibandingkan dengan periode triwulan

sebelumnya. Pertumbuhan ekonomi KTI secara

agregat tercatat sebesar 8,6% (yoy) pada triwulan

IV 2015, atau lebih rendah dari triwulan III 2015

yang sebesar 8,9% (yoy). Deselerasi pertumbuhan

ekonomi KTI terutama bersumber dari

melambatnya perekonomian Sulawesi Selatan,

Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Maluku Utara,

Papua Barat, Bali, dan NTB (Tabel V.1). Secara

umum, melambatnya perekonomian berbagai

daerah di KTI dipengaruhi oleh kontraksi ekspor

mineral dan hasil pertanian, perlambatan

investasi seiring selesainya konstruksi tahap awal

beberapa pabrik pengolahan, serta perlambatan

konsumsi rumah tangga karena pelemahan

kinerja lapangan usaha primer. Perlambatan yang

terjadi turut dikonfirmasi oleh hasil survei dan

liaison yang dilakukan oleh Bank Indonesia

(Grafik V.1).

Grafik V.1. Realisasi Kegiatan Usaha Pertambangan dan

Likert Scale Ekspor, Survei Kegiatan Dunia Usaha dan Liaison Bank Indonesia

Meski melambat pada triwulan IV 2015, kinerja

perekonomian KTI untuk keseluruhan tahun

Page 60: Laporan Nusantara Februari 2016.pdf (21,16 MB)

52

2015 mengalami akselerasi. Ekonomi KTI mampu

tumbuh sebesar 8,4% (yoy) pada tahun 2015

setelah tumbuh sebesar 6,1% (yoy) pada tahun

sebelumnya. Peningkatan laju pertumbuhan

ekonomi KTI pada tahun 2015 terutama sebagai

dampak dari dikeluarkannya kembali izin ekspor

oleh pemerintah kepada produsen mineral

tembaga di Papua dan NTB sebagai bagian dari

komitmen mereka untuk membangun fasilitas

hilirisasi di Indonesia. Di samping itu,

beroperasinya dua smelter nikel baru, masing-

masing di Sulawesi Tenggara dan Sulawesi

Tengah, serta satu pabrik pengolahan gas alam

(LNG) di Sulawesi Tengah, turut mendorong

akselerasi perekonomian KTI.

Tabel V.1. Pertumbuhan Ekonomi Daerah di KTI, % year-on-year

Sumber: BPS dan Perkiraan Bank Indonesia (2016)

Perkembangan berbagai indikator perekonomian

di awal triwulan I 2016, mengindikasikan masih

cenderung lambatnya pertumbuhan ekonomi KTI.

Pertumbuhan ekonomi pada triwulan I 2016

diprakirakan berada pada kisaran 7,6% (yoy).

Sumber perlambatan ekonomi datang dari

beberapa daerah yaitu Sulawesi Tenggara,

Sulawesi Tengah, Gorontalo, Papua Barat, Papua,

NTB, dan NTT. Hal ini terutama dipengaruhi oleh

perkembangan konsumsi pemerintah yang belum

optimal pada periode awal tahun serta investasi

swasta yang cenderung menurun dan tidak

tumbuh lebih tinggi dari capaian triwulan

sebelumnya.

Kinerja konsumsi mengalami perlambatan seiring

deselerasi konsumsi pemerintah namun ditopang

oleh konsumsi rumah tangga yang masih tumbuh

cukup kuat. Perlambatan pertumbuhan konsumsi

pemerintah dipengaruhi oleh pola siklikal

penyerapan anggaran yang dioptimalkan pada

triwulan IV 2015 sehingga laju pertumbuhan

konsumsi pemerintah pada awal tahun tidak

tercatat lebih tinggi. Di samping itu, masih

terdapat beberapa permasalahan administrasi

yang juga menjadi kendala realisasi belanja APBD.

Di sisi lain, konsumsi rumah tangga diperkirakan

dapat menopang sumber pertumbuhan yang

berasal dari konsumsi, sehingga menahan

perlambatan lebih dalam. Hal ini seiring dengan

membaiknya tingkat pendapatan dengan adanya

kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) di tahun

2016 yang secara rata-rata tercatat di atas 10% di

berbagai daerah di KTI. Di samping itu, tingkat

pendapatan pada beberapa lapangan usaha non

tambang juga menunjukkan perbaikan sehingga

turut mendukung arah penguatan kinerja

konsumsi rumah tangga. Indikator Indeks

Keyakinan Konsumen di beberapa kota juga

menunjukkan adanya optimisme di awal triwulan

I 2016 (Grafik V.2).

Grafik V.2. Indeks Keyakinan Konsumen,

Survei Konsumen Bank Indonesia

Ekspor diperkirakan tumbuh lebih tinggi pada

triwulan I 2016 dan menopang kinerja ekonomi

KTI. Kinerja ekspor terutama ditopang oleh

kegiatan perdagangan luar negeri, khususnya

ekspor hasil olahan nikel dan gas alam yang

dihasilkan pabrik baru di Sulawesi. Di samping itu,

kinerja hasil pertanian yang membaik turut

mendukung akselerasi ekspor pada triwulan I

2016

I II III IV I

Sulawesi Selatan 7.5 5.7 8.0 7.6 7.2 7.1 7.4

Sulawesi Barat 8.9 5.6 8.7 6.3 8.7 7.4 11.8

Sulawesi Tenggara 6.3 5.7 7.2 7.0 7.5 6.9 6.8

Sulawesi Tengah 5.1 16.5 15.1 15.6 15.1 15.6 13.9

Gorontalo 7.3 4.8 6.7 5.9 7.7 6.2 5.6

Sulawesi Utara 6.3 6.4 6.3 6.3 5.6 6.1 6.2

Maluku Utara 5.5 5.0 6.5 6.8 6.0 6.1 6.1

Maluku 6.6 4.1 5.5 5.6 6.5 5.4 6.7

Papua Barat 5.4 (2.0) 7.0 6.6 5.2 4.1 5.0

Papua 3.8 1.6 13.8 2.5 14.1 8.0 13.6

Bali 6.7 6.0 5.9 6.3 6.0 6.0 6.2

NTB 5.1 19.4 20.1 34.2 12.0 21.2 0.7

NTT 5.1 4.6 5.1 5.1 5.1 5.0 4.8

KTI 6.1 6.5 9.4 8.9 8.6 8.4 7.6

Provinsi 20142015

2015

Page 61: Laporan Nusantara Februari 2016.pdf (21,16 MB)

53

2016. Perbaikan khususnya disumbangkan dari

subkategori perikanan di Maluku, tanaman bahan

makanan (tabama) di Gorontalo, dan perkebunan

di beberapa provinsi di Sulawesi, seiring dengan

cuaca yang kondusif serta datangnya musim

panen. Walaupun produksi tambang tidak

terakselerasi, kinerja ekspor luar negeri

komoditas tambang masih menunjukkan arah

peningkatan karena pengiriman stok yang

dilakukan oleh para pelaku usaha.

Investasi (PMTB) menjadi salah satu sumber

perlambatan ekonomi KTI pada triwulan I 2016.

Perlambatan kinerja investasi bangunan maupun

non-bangunan terutama terkait dengan

selesainya beberapa proyek pembangunan

smelter di Sulawesi dan Maluku Utara sejak

pertengahan 2015 hingga awal 2016. Hal ini akan

menurunkan permintaan barang modal maupun

kegiatan konstruksi di daerah tersebut. Di

samping itu, pesimisme dari para investor dan

pelaku usaha diperkirakan masih akan berlanjut

pada triwulan I 2016. Pesimisme pelaku usaha,

khususnya di lapangan usaha nontambang,

disebabkan oleh perlambatan ekonomi nasional

di tahun 2015. Ketidapastian dari sisi ekonomi

global juga turut memengaruhi rencana investasi

di tahun 2016 sehingga tidak setinggi tahun 2015.

Kinerja Lapangan Usaha

Pertanian

Pertumbuhan lapangan usaha pertanian,

kehutanan, dan perikanan mengalami sedikit

perlambatan pada triwulan IV 2015.

Perlambatan tercatat dari 3,6% (yoy) menjadi

3,5% (yoy). Melambatnya usaha pertanian

terutama terjadi di Provinsi Sulawesi Selatan,

Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Maluku Utara,

dan NTB. Sementara kontraksi usaa pertanian

terjadi di Provinsi Maluku dan Papua Barat. Hal

ini dipengaruhi oleh melambatnya produksi

tabama, terutama komoditas padi dan jagung,

seiring dengan fenomena El Nino yang melanda

beberapa daerah sentra. Di samping itu,

subkategori perkebunan juga terkena dampak

kekeringan. Volume ekspor biji kakao bahkan

mengalami kontraksi cukup dalam pada awal

triwulan IV 2015. Komoditas hasil perikanan dan

kelautan, yaitu udang dan rumput laut, juga turut

mencatat kontraksi pada akhir tahun 2015 (Grafik

V.3).

Sumber: Bea Cukai, diolah

Grafik V.3. Volume Ekspor Rumput Laut

Untuk keseluruhan 2015, pertumbuhan

lapangan usaha pertanian, kehutanan, dan

perikanan juga mengalami perlambatan. Angka

pertumbuhan pada tahun 2015 tercatat sebesar

4,3% (yoy), lebih rendah dari tahun 2014 sebesar

6,6% (yoy). Perlambatan terjadi di hampir seluruh

provinsi, kecuali Sulawesi Barat, Papua, dan NTB.

Penyebab utama perlambatan adalah fenomena

kekeringan (El Nino) yang melanda daerah sentra

padi dan jagung (Grafik V.4), khususnya di

Sulawesi. Di samping itu, pertumbuhan produksi

perikanan di Maluku dan Papua Barat juga tidak

sebaik pencapaian tahun sebelumnya sebagai

dampak jangka pendek dari upaya pemerintah

dalam memberantas illegal fishing. Hal ini

terkonfirmasi dari hasil liaison baik kepada

kelompok petani/nelayan maupun perusahaan

perikanan di beberapa daerah di KTI yang

menyampaikan adanya penurunan produksi

selama periode tahun 2015.

Sumber: BPS, diolah

Grafik V.4. Produksi Jagung di KTI

Page 62: Laporan Nusantara Februari 2016.pdf (21,16 MB)

54

Memasuki periode triwulan I 2016, kinerja

lapangan usaha pertanian diperkirakan akan

tumbuh meningkat yang didukung oleh perbaikan

pada beberapa subkategori. Dari subkategori

tabama dan hortikultura, percepatan

pertumbuhan akan didukung oleh panen jagung

di Gorontalo dan aneka bumbu di Maluku Utara

pada periode akhir triwulan. Panen padi juga

diperkirakan terjadi di Sulawesi Selatan pada

periode Februari hingga April 2016. Dari

subkategori perikanan, perbaikan terjadi

khususnya di daerah sentra utama di Maluku

karena cuaca yang kondusif bagi nelayan. Musim

hujan juga akan mendukung kinerja komoditas

hasil perkebunan, khususnya kakao dan kelapa

seiring dengan ketersediaan air yang memadai.

Hal ini masih diperkuat dengan berbagai upaya

perbaikan infrastruktur pertanian yang secara

merata akan terus dilakukan oleh Pemerintah

Daerah di KTI.

Kinerja ekspor dari usaha pertanian diperkirakan

turut membaik dan menahan perlambatan

ekonomi KTI lebih lanjut pada triwulan I 2016.

Membaiknya perkembangan dari sisi produksi

untuk beberapa komoditas utama di KTI akan

menopang kinerja ekspor pertanian. Memasuki

awal 2016, harga komoditas perikanan di pasar

global dinilai masih meneruskan tren yang

meningkat sehingga dapat menjadi faktor insentif

dalam mendukung kinerja ekspor lapangan usaha

pertanian. Dengan pangsa yang cukup besar

dalam struktur ekonomi, perbaikan lapangan

usaha pertanian juga akan menopang kinerja

konsumsi rumah tangga seiring dengan

membaiknya pendapatan ekspor bagi para

petani/nelayan maupun pelaku usaha.

Beberapa indikator lainnya juga mengindikasikan

adanya peningkatan kinerja lapangan usaha

pertanian. Nilai Tukar Petani (NTP) di beberapa

provinsi cenderung membaik pada Januari 2016

(Grafik V.5). Di samping itu, pelaku usaha juga

memperkirakan meningkatnya kegiatan dunia

usaha pertanian pada triwulan I 2016

dibandingkan dengan triwulan IV 2015.

Sumber: BPS

Grafik V.5. Nilai Tukar Petani

Pertambangan

Lapangan usaha pertambangan di KTI secara

agregat tumbuh cukup tinggi pada triwulan IV

2015 namun melambat dibanding triwulan

sebelumnya. Perlambatan tercatat dari tumbuh

22,1% (yoy) pada triwulan III 2015 menjadi 19,2%

(yoy). Perlambatan disebabkan oleh kontraksi

produksi hasil tambang di NTB dan melemahnya

kinerja daerah lain penghasil komoditas tambang

seperti Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara.

Berdasarkan hasil liaison dan komunikasi dengan

produsen utama mineral di NTB, izin ekspor

konsentrat baru diperoleh sejak akhir November

2015 sehingga produksi dan penjualan konsentrat

di awal triwulan IV 2015 hanya diarahkan untuk

memenuhi kebutuhan smelter dalam negeri

(Grafik V.6). Adapun perlambatan kinerja ekspor

nikel di Sulawesi lebih disebabkan oleh faktor

permintaan dan harga yang tidak mendukung.

Sumber: Produsen, diolah

Grafik V.6. Penjualan Konsentrat Mineral NTB

Untuk keseluruhan tahun 2015, kinerja lapangan

usaha pertambangan di KTI mengalami

akselerasi yang signifikan dibanding tahun 2014.

Page 63: Laporan Nusantara Februari 2016.pdf (21,16 MB)

55

Pertumbuhan tercatat meningkat dari kontraksi -

2,3% (yoy) menjadi tumbuh 18,1% (yoy).

Akselerasi yang terjadi lebih dipengaruhi oleh

faktor base effect kinerja ekspor dari produsen

mineral di Papua (Grafik V.7) dan NTB pada tahun

2015 setelah tercatat rendah pasca implementasi

pembatasan ekspor mineral mentah pada tahun

2014. Adapun izin ekspor mineral dapat

diperoleh kembali setelah adanya komitmen dari

produsen untuk memajukan hilirisasi di dalam

negeri melalui pembangunan smelter secara

bertahap.

Sumber: Produsen, diolah

Grafik V.7. Produksi Mineral Papua

Pada triwulan I 2016, kinerja pertambangan

diperkirakan cenderung melambat. Perlambatan

usaha pertambangan terutama dipengaruhi oleh

hilangnya dampak positif dari base effect

produksi mineral, khususnya dari produsen di

Papua dan NTB. Selain itu, produksi nikel mentah

di Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara untuk

memenuhi kebutuhan smelter dalam negeri

diperkirakan tidak tumbuh setinggi triwulan IV

2015 karena masih tersedianya stok hasil

produksi pada akhir tahun 2015 dan antisipasi

terhadap faktor permintaan dari negara mitra

dagang yang belum menunjukkan perbaikan yang

signifikan.

Kinerja produksi pertambangan yang melambat

pada triwulan I 2016 juga dipengaruhi oleh

disinsentif dari sisi harga. Masih menurunnya

tren harga beberapa komoditas hasil tambang

utama di KTI (Grafik V.8) menyebabkan dorongan

dari sisi produksi tidak optimal, khususnya untuk

industri berbasis nikel yang selanjutnya

memengaruhi kinerja produksi nikel mentah. Hal

ini juga memengaruhi investasi usaha

pertambangan yang diperkirakan relatif terbatas

pada triwulan I 2016 karena perkembangan

global yang diwarnai ketidakpastian. Di sisi lain,

ekspor mineral tembaga diperkirakan masih

dapat mendukung akselerasi yang terjadi pada

ekspor secara total dan menahan perlambatan

ekspor pertambangan. Hal ini dilakukan pelaku

usaha sebagai upaya pengurangan stok hasil

produksi di akhir tahun 2015.

Sumber: World Bank

Grafik V.8. Harga Komoditas Tambang

Industri

Kinerja lapangan usaha industri pengolahan

mengalami percepatan pada triwulan IV 2015.

Setelah tumbuh hingga 9,4% (yoy) pada triwulan

sebelumnya, laju pertumbuhan industri

pengolahan tercatat mencapai 11,0% (yoy) pada

triwulan IV 2015. Akselerasi industri pengolahan

terutama didorong oleh perkembangan hilirisasi

yang berdampak positif di Sulawesi. Sepanjang

tahun 2015, terdapat dua smelter nikel baru yang

telah beroperasi, yaitu di Sulawesi Tengah dan

Sulawesi Tenggara. Selain itu, satu pabrik

pengolahan LNG di Sulawesi Tengah juga turut

memulai kegiatan operasionalnya. Seiring dengan

aktivitas pembangunan yang menguat, industri

semen di KTI juga turut mengalami akselerasi.

Sementara itu, industri makanan olahan (tepung

terigu) di Sulawesi Selatan mengalami perbaikan

setelah terkontraksi pada triwulan sebelumnya

(Grafik V.9). Perbaikan kinerja industri makanan

olahan terutama karena kebutuhan bahan baku

yang meningkat baik dari rumah tangga maupun

Page 64: Laporan Nusantara Februari 2016.pdf (21,16 MB)

56

produsen makanan olahan dalam rangka

menyambut musim libur akhir tahun.

Sumber: Produsen, diolah

Grafik V.9. Produksi Industri Tepung Sulawesi Selatan

Dibandingkan dengan tahun 2014, kinerja

keseluruhan tahun 2015 dari lapangan usaha

industri pengolahan juga mengalami akselerasi.

Peningkatan pertumbuhan yang terjadi tercatat

dari 7,7% (yoy) menjadi 9,5% (yoy). Pendorong

utama meningkatnya pertumbuhan kategori ini

adalah beroperasinya dua smelter nikel baru dan

satu pabrik pengolahan gas alam baru di

Sulawesi. Produksi dari industri semen juga turut

mengalami peningkatan pertumbuhan sebagai

dampak dari kegiatan pembangunan oleh Pemda

maupun swasta yang cukup baik sepanjang tahun

2015.

Memasuki periode triwulan I 2016, kinerja

industri diperkirakan masih dalam tren

akselerasi. Akselerasi tersebut masih bersumber

dari industri berbasis pertambangan dan migas di

Sulawesi karena mulai beroperasinya pabrik baru.

Selain itu, kapasitas produksi industri pengolahan

nikel juga diperkirakan meningkat pada awal

tahun seiring dengan dimulainya tahap

operasional pabrik baru di Maluku Utara. Kinerja

beberapa industri utama lainnya seperti industri

makanan olahan dan kayu olahan juga

diperkirakan membaik karena terjaganya pasokan

bahan baku dari sektor pertanian sehingga

produksi dapat didorong pada tingkat yang

optimal. Hasil SKDU juga memperkirakan adanya

peningkatan realisasi kegiatan usaha industri

pengolahan (Grafik V.10).

Kinerja ekspor berbasis industri juga

diperkirakan akan meningkat sejalan dengan

akselerasi produksinya. Di tengah kondisi

ekonomi dunia yang belum pulih, permintaan

beberapa komoditas ekspor berbasis industri dari

KTI diperkirakan masih tetap positif, khususnya

untuk industri olahan komoditas pertanian. Hal

ini juga sejalan dengan hasil liaison kepada

beberapa pelaku usaha industri di KTI yang

memberikan indikasi adanya peningkatan

pendapatan ekspor dengan tujuan ke Korea

Selatan, Jepang, dan Amerika. Perbaikan di sisi

ekspor ini turut mendorong investasi industri

terkait yang turut dikonfirmasi oleh hasil SKDU

Bank Indonesia.

Grafik V.10. Perkembangan Kegiatan Usaha dan Investasi Industri Pengolahan, Survei Kegiatan Dunia Usaha Bank

Indonesia

Konstruksi

Pada triwulan IV 2015, lapangan usaha

konstruksi sedikit mengalami perlambatan

dibandingkan dengan triwulan sebelumnya.

Pertumbuhan pada triwulan IV 2015 tercatat

sebesar 9,8% (yoy), lebih rendah dari triwulan

sebelumnya yang sebesar 9,9% (yoy). Sumber

perlambatan yang utama adalah kontraksi yang

terjadi pada aktivitas usaha konstruksi di

Sulawesi Tengah. Berakhirnya pembangunan

tahap awal smelter nikel dan pabrik pengolahan

LNG yang telah beroperasi di semester I 2015

menurunkan aktivitas kategori ini pada triwulan

IV 2015. Sementara itu, meski masih dapat

bertumbuh positif, kinerja lapangan usaha

konstruksi di provinsi lain belum dapat

mendorong terjadinya akselerasi. Hasil liaison

turut mengkonfirmasi hal tersebut karena para

Page 65: Laporan Nusantara Februari 2016.pdf (21,16 MB)

57

pelaku usaha menyampaikan adanya keengganan

untuk melakukan investasi bangunan dalam skala

besar di tengah kondisi ekonomi nasional yang

cenderung melambat dibandingkan dengan

tahun sebelumnya.

Dibandingkan dengan tahun 2014, usaha

konstruksi tercatat tumbuh meningkat pada

tahun 2015. Angka pertumbuhan tercatat

meningkat dari 8,3% (yoy) menjadi 9,6% (yoy).

Peningkatan ini terjadi di sebagian besar provinsi.

Selain didorong oleh pembangunan berbagai

infrastruktur daerah yang bersumber dari APBD

dan APBN, aktivitas konstruksi pada tahun 2015

turut didukung oleh cukup kuatnya

pembangunan oleh pihak swasta. Proyek-proyek

pemerintah terutama terkait dengan penguatan

infrastruktur konektivitas dan pendukung

kegiatan ekonomi seperti waduk dan pembangkit

listrik. Adapun proyek-proyek swasta masih

diwarnai pembangunan pabrik (khususnya

hilirisasi), hotel, dan pusat perbelanjaan.

Indikator realisasi pengadaan semen di KTI

mengkonfirmasi akselerasi yang terjadi (Grafik

V.11).

Sumber: ASI, diolah

Grafik V.11. Realisasi Pengadaan Semen

Memasuki triwulan I 2016, kinerja konstruksi

diperkirakan kembali mengalami perlambatan.

Selesainya beberapa proyek swasta berskala

besar berupa pembangunan pabrik hilirisasi

komoditas tambang dan properti menjadi

penyebab perlambatan tersebut. Di sisi lain,

indikator harga jual komoditas tambang dinilai

akan menurun oleh pelaku usaha, sehingga

menambah pesimisme pada lapangan usaha

konstruksi (Grafik V.12). Perlambatan yang lebih

dalam akan tertahan karena masih terus

berlanjutnya kegiatan pembangunan yang

bersumber dari APBN dan APBD. Meski belum

optimal di awal tahun sebagaimana pola

siklikalnya, penyerapan anggaran belanja untuk

pembangunan diharapkan dapat diprioritaskan

pada proyek-proyek strategis, seperti

pembangunan pelabuhan, bandara, jalan,

jembatan, dan jalur kereta api. Selain itu,

berbagai proyek pengembangan kawasan

ekonomi terpadu juga terus berlanjut di

beberapa daerah seperti Sulawesi Utara,

Sulawesi Tengah, Maluku Utara, serta NTB.

Grafik V.12. Perkembangan Harga Jual dan Investasi

Konstruksi, Survei Kegiatan Dunia Usaha Bank Indonesia

Dari dinamika sisi permintaan, perkembangan

usaha konstruksi yang melambat sejalan dengan

perlambatan komponen investasi. Pesimisme

para investor dan pelaku usaha memengaruhi

rencana investasi bangunan pada tahun 2016.

Terkait smelter, beberapa investor di Sulawesi

bahkan saat ini menahan kegiatan konstruksi

seiring perkembangan ekonomi global yang

masih diwarnai ketidakpastian. Hal tersebut akan

berdampak pada melambatnya pertumbuhan

impor barang modal, khususnya yang

didatangkan dari luar negeri. Pesimisme ini juga

tercermin dari perkiraan pelaku usaha terhadap

kegiatan investasi di lapangan usaha konstruksi

yang relatif tidak meningkat jika dibandingkan

dengan triwulan yang sebelumnya.

Perdagangan

Pada triwulan IV 2015, lapangan usaha

perdagangan di KTI mengalami peningkatan laju

Page 66: Laporan Nusantara Februari 2016.pdf (21,16 MB)

58

pertumbuhan. Kategori usaha ini tercatat

tumbuh dari 7,2% (yoy) pada triwulan

sebelumnya menjadi 8,1% (yoy) pada triwulan IV

2015. Percepatan pertumbuhan terutama terjadi

di beberapa provinsi berpangsa besar dalam

struktur ekonomi KTI, seperti Sulawesi Selatan,

Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Papua, NTB,

dan NTT. Selain ditopang oleh datangnya musim

akhir tahun yang ditandai dengan perayaan

Natal, Tahun Baru, serta liburan sekolah, kinerja

perdagangan terutama didorong oleh akselerasi

konsumsi pemerintah dan LNPRT. Hal ini seiring

dengan upaya Pemda untuk mengoptimalkan

penyerapan anggaran serta adanya Pilkada

serentak. Hasil liaison kepada beberapa pusat

perbelanjaan, pertokoan, dan pasar swalayan

juga mengindikasikan adanya peningkatan

penjualan pada akhir tahun.

Sumber: Kantor Administrasi Pelabuhan, diolah Grafik V.13. Volume Bongkar Muat Pelabuhan Makassar

Secara akumulatif tahun 2015, pertumbuhan

lapangan usaha perdagangan tercatat

melambat. Perlambatan terjadi dari angka 7,6%

(yoy) pada tahun 2014 menjadi 7,1% (yoy).

Melambatnya kegiatan perdagangan pada tahun

2015 sejalan dengan perlambatan konsumsi

rumah tangga. Melemahnya perekonomian

nasional secara umum menyebabkan dorongan

permintaan tidak cukup kuat untuk

mengakselerasi aktivitas di lapangan usaha ini.

Hal tersebut tercermin pada pergerakan Indeks

Pembelian Barang Tahan Lama berdasarkan hasil

Survei Konsumen Bank Indonesia di KTI yang

cenderung melemah. Indikator volume barang

yang dibongkar dan dimuat di pelabuhan hub

utama di KTI yaitu di Makassar, Sulawesi Selatan,

juga menunjukkan adanya kontraksi yang lebih

dalam pada tahun 2015 (Grafik V.13).

Memasuki periode triwulan I 2016, kinerja

perdagangan diperkirakan masih akan mencatat

perlambatan. Menurunnya permintaan

khususnya akibat penurunan laju konsumsi

pemerintah di awal tahun akan menahan kinerja

lapangan usaha perdagangan. Hal tersebut

terutama akan menekan kinerja perdagangan

besar di tengah kinerja penjualan eceran yang

akan menopang pertumbuhan kegiatan

perdagangan. Perkembangan usaha perdagangan

yang melambat juga dikonfirmasi dari hasil SKDU

Bank Indonesia yang menunjukkan adanya

pesimisme pelaku usaha terhadap kegiatan usaha

dan harga jual pada triwulan I 2016 (Grafik V.14).

Grafik V.14. Perkembangan Kegiatan Usaha dan Harga Jual Perdagangan, Survei Kegiatan Dunia Usaha Bank

Indonesia

Perlambatan yang terjadi diperkirakan terutama

datang dari perdagangan antardaerah yang

cenderung melambat pada awal tahun pasca

musim liburan akhir tahun. Melambatnya

kegiatan perdagangan antardaerah akan

memengaruhi kinerja net ekspor antardaerah di

KTI yang diperkirakan tidak sebaik triwulan

sebelumnya. Meski demikian, kinerja penjualan

eceran yang masih cukup baik menjadi indikasi

masih cukup kuatnya kegiatan konsumsi rumah

tangga sehingga dapat menopang pertumbuhan

ekonomi.

Akomodasi

Kinerja usaha penyediaan akomodasi tercatat

stabil pada triwulan IV 2015. Pertumbuhan pada

triwulan sebelumnya dan triwulan IV 2015

Page 67: Laporan Nusantara Februari 2016.pdf (21,16 MB)

59

tercatat sebesar 5,9% (yoy). Beberapa daerah

menjadi penopang pertumbuhan seperti Sulawesi

Selatan dan Sulawesi Utara di tengah

perlambatan kinerja yang terjadi di Bali dan NTB.

Masih cukup maraknya perkembangan kegiatan

MICE di Sulawesi Selatan menjadi penopang

kinerja aktivitas penyediaan akomodasi. Di

samping itu, datangnya musim akhir tahun turut

mendorong peningkatan kinerja hotel dan

restoran di Sulawesi Utara. Sementara

perlambatan di Bali dan NTB tercermin dari

tingkat hunian kamar hotel yang tidak sebaik

triwulan sebelumnya.

Untuk tahun 2015, kinerja usaha akomodasi

tercatat lebih rendah dari tahun 2014. Pada

tahun sebelumnya, lapangan usaha ini tumbuh

hingga 7,2% (yoy) sementara pada tahun 2015

hanya mampu tumbuh 5,9% (yoy). Sumber utama

perlambatan adalah jumlah kunjungan wisatawan

mancanegara (wisman) yang tumbuh melambat

selama tahun 2015, khususnya akumulasi jumlah

wisman yang masuk melalui Bali, Sulawesi

Selatan, Sulawesi Utara, dan NTB (Grafik V.15).

Adanya persaingan dengan beberapa negara

tujuan wisata lainnya serta isu keamanan

menjadi beberapa faktor utama yang

memengaruhi perlambatan kunjungan wisman.

Di sisi lain, perlambatan ekonomi nasional turut

menekan kinerja pariwisata karena berkurangnya

pengeluaran masyarakat untuk melakukan

aktivitas liburan dibandingkan tahun sebelumnya.

Sumber: BPS, diolah

Grafik V.15. Kunjungan Wisatawan Mancanegara

Pertumbuhan lapangan usaha penyediaan

akomodasi diperkirakan mulai membaik

memasuki triwulan I 2016. Faktor musiman

lanjutan kegiatan libur akhir tahun serta

perayaan Imlek diperkirakan masih dapat

mendorong kinerja pariwisata di KTI. Optimisme

di awal tahun tersebut datang baik dari sisi

kunjungan wisman maupun wisatawan nusantara

(wisnus). Berdasarkan hasil komunikasi dan

liaison kepada pelaku usaha perhotelan,

menjelang Imlek kunjungan wisatawan,

khususnya dari Tiongkok ke Bali, mengalami

peningkatan hingga 10% dibandingkan dengan

periode normalnya.

Optimisme usaha akomodasi diperkirakan turut

berkontribusi pada kinerja konsumsi rumah

tangga dan ekspor. Masih cukup baiknya

perkembangan kunjungan wisnus akan

menopang akselerasi yang terjadi pada konsumsi

rumah tangga. Sementara itu, adanya

peningkatan jumlah kunjungan wisman dari

Tiongkok, diperkirakan dapat mendorong kinerja

ekspor jasa di daerah destinasi wisata KTI. Hal ini

juga diperkuat oleh prospek kunjungan wisman

dari beberapa negara lain seperti Australia,

Jepang, dan Korea Selatan yang masih cukup

baik.

Fiskal Daerah

Sesuai dengan pola historisnya, penyerapan

belanja daerah di berbagai daerah di KTI

menunjukkan peningkatan pada triwulan

terakhir tahun 2015. Meningkatnya pengeluaran

pemerintah dipengaruhi terutama oleh

pengeluaran untuk belanja pembangunan

beberapa proyek infrastruktur berskala besar,

khususnya proyek-proyek yang mendukung

pembangunan tol laut. Penyerapan anggaran

yang cukup optimal di triwulan IV 2015 membuat

serapan anggaran belanja secara agregat di KTI1

pada tahun 2015 tercatat sebesar 93,6%.

Persentase realisasi tersebut lebih tinggi

dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang

tercatat sebesar 89,8% (Tabel V.2).

1 Berdasarkan data sementara realisasi APBD Provinsi (belum

termasuk Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, dan Papua Barat)

Page 68: Laporan Nusantara Februari 2016.pdf (21,16 MB)

60

Realisasi agregat belanja daerah di beberapa

wilayah di KTI seluruhnya menunjukkan

peningkatan. Realisasi belanja agregat APBD

Provinsi di Sulawesi tercatat meningkat dari

90,8% di tahun 2014 menjadi 95,5% di tahun

2015. Hal ini terutama didukung oleh proyek

perbaikan jalan, bandara, dan irigasi. Penyerapan

anggaran belanja di Bali dan Nusa Tenggara

tercatat meningkat dari 86,5% menjadi 93,7%

pada tahun 2015. Hal ini didukung oleh

pengesahan DIPA yang lebih cepat di Bali serta

realisasi proyek terkait pembangunan jalan di

Nusa Tenggara. Adapun penyerapan belanja

ABPD secara agregat di Maluku dan Papua

tercatat sebesar 92,7% pada tahun 2015, lebih

tinggi dari tahun 2014 (91,8%). Peningkatan

tersebut didorong oleh belanja modal untuk

bantuan sarana pertanian dan pembangunan

jalan. Secara keseluruhan, peningkatan

penyerapan di tahun 2015 juga didorong oleh

penyelenggaraan Pilkada serentak pada

Desember 2015.

Tabel V.2. Realisasi Penyerapan Agregat APBD Provinsi

Sumber: SKPD masing-masing provinsi

Meski demikian, beberapa daerah yang turut

mengandalkan pendapatan dari aktivitas

ekonomi berbasis sumber daya alam mengalami

realisasi pendapatan yang kurang optimal.

Pengaruh faktor regulasi dan penurunan harga

komoditas di pasar global untuk komoditas

mineral dan migas berimbas pada pendapatan

beberapa daerah seperti Papua Barat, Papua, dan

NTB. Surplus APBD di ketiga daerah tersebut

tidak setinggi tahun sebelumnya seiring dengan

Dana Bagi Hasil (DBH) yang lebih rendah

dibandingkan dengan alokasi di tahun

sebelumnya.

Perkembangan Inflasi

Laju inflasi KTI sepanjang triwulan IV 2015

melambat terutama karena deflasi tahunan

pada kelompok transpor. Seluruh provinsi

mengalami penurunan laju inflasi dan secara

agregat inflasi KTI tercatat sebesar 4,06% (yoy),

lebih rendah dari triwulan sebelumnya sebesar

7,25% (yoy). Di samping deflasi yang terjadi pada

kelompok transpor, melambatnya inflasi KTI

didukung oleh berkurangnya tekanan inflasi

pangan dan tarif listrik. Harga komoditas pangan

yang lebih terkendali didukung oleh deflasi bahan

makanan yang terjadi di awal triwulan, antara

lain di Gorontalo, Sulawesi Selatan, Sulawesi

Tenggara, Papua Barat, Papua, Bali, dan NTB. Hal

ini terjadi seiring dengan turunnya harga aneka

cabai, ikan segar, serta daging ayam ras karena

pasokan yang cukup baik. Sementara itu,

turunnya tarif listrik sesuai dengan kebijakan

tariff adjustment yang dipengaruhi oleh masih

rendahnya harga minyak dunia.

Dibandingkan dengan tahun 2014, inflasi tahun

2015 juga tercatat lebih rendah karena

melambatnya laju inflasi hampir seluruh

kelompok barang konsumsi. Inflasi KTI secara

agregat tercatat sebesar 4,06% (yoy), melambat

cukup dalam dibandingkan dengan tahun 2014

yang tercatat sebesar 8,31% (yoy). Seluruh

provinsi di KTI tercatat mengalami perlambatan

laju inflasi dengan perlambatan terbesar terjadi

di Sulawesi Tenggara, Bali, dan Sulawesi Selatan.

Inflasi yang berada dalam rentang sasaran inflasi

nasional tahun 2015 ini, didukung oleh

terkendalinya harga BBM sepanjang tahun. Di

samping itu, koordinasi TPID dalam upaya

mengendalikan harga di daerah, khususnya

terkait pangan dan pengelolaan ekspektasi, juga

turut berkontribusi dalam menjaga tingkat inflasi

di KTI.

Memasuki awal triwulan I 2016, diperkirakan

terjadi inflasi yang cukup tinggi seiring dengan

kenaikan harga beberapa komoditas pangan

2014 2015

Pendapatan APBD Provinsi 101.9 98.8

Pendapatan Asli Daerah 103.9 100.0

Dana Perimbangan 110.1 99.6

Lain-lain Pendapatan yang Sah 89.5 96.7

Belanja APBD Provinsi 89.8 93.6

Belanja Operasi + Transfer 91.7 91.7

Belanja Modal 83.8 94.2

Belanja Tidak Terduga 27.6 36.3

Komponen APBDRealisasi (%)

Page 69: Laporan Nusantara Februari 2016.pdf (21,16 MB)

61

strategis. Pada bulan Januari 2016, inflasi

tercatat sebesar 0,73% (mtm) atau sebesar 4,82%

(yoy). Beberapa provinsi mencatat inflasi yang

cukup tinggi antara lain Sulawesi Tenggara

(1,41%, mtm), Sulawesi Selatan (1,22%, mtm),

serta NTB (1,15%, mtm), namun tertahan oleh

deflasi yang terjadi antara lain di Gorontalo,

Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, dan Sulawesi

Barat. Komoditas pangan strategis yang menjadi

penyumbang utama inflasi antara lain adalah

bawang merah, tomat sayur, beras, daging ayam

ras, dan telur ayam ras. Naiknya harga

dipengaruhi oleh terbatasnya pasokan karena

daerah sentra masih berada dalam musim tanam

serta adanya pembatasan impor bahan baku

pakan ternak (jagung).

Grafik V.16. Perkembangan Harga Komoditas Pangan, Survei Pemantauan Harga Bank Indonesia

Dengan perkembangan tersebut, inflasi pada

triwulan I 2016 diperkirakan cenderung

meningkat dibandingkan dengan triwulan

sebelumnya. Sumber peningkatan inflasi akan

didorong oleh permintaan yang menguat pada

saat Imlek. Meningkatnya curah hujan

diperkirakan menjadi risiko yang perlu

diwaspadai karena selain dapat mengganggu

produksi dapat juga menghambat kegiatan

distribusi. Selain itu, belum datangnya puncak

musim panen akan mendorong kenaikan harga

beras dan komoditas hortikultura. Hasil Survei

Pemantauan Harga (SPH) dari Bank Indonesia

menunjukkan masih terjadinya kenaikan harga

beras, cabai merah, dan bawang putih hingga

awal Februari 2016 (Grafik V.16).

Menghadapi beberapa risiko inflasi yang ada,

fokus pengendalian inflasi melalui TPID

diarahkan pada empat hal utama. Pertama,

peningkatan pasokan pangan melalui perluasan

lahan pertanian. Kedua, melakukan inspeksi

langsung untuk memastikan tidak adanya pihak-

pihak yang mencari keuntungan sendiri terkait

fluktuasi harga komoditas administered prices

(LPG, BBM, tarif angkutan darat). Ketiga,

mendorong perbaikan infrastruktur konektivitas

agar dapat meningkatkan kelancaran distribusi.

Keempat, menjaga ekspektasi melalui sosialisasi

dan komunikasi dengan masyarakat baik melalui

media cetak maupun elektronik di tengah masih

cenderung tingginya ekspektasi harga konsumen

(Grafik V.17).

Grafik V.17. Ekspektasi Harga Konsumen,

Survei Konsumen Bank Indonesia

Stabilitas Keuangan Daerah

Ketahanan Sektor Korporasi

Pada triwulan IV 2015, kredit perbankan yang

disalurkan kepada korporasi tumbuh cukup

tinggi meskipun tidak sebaik pertumbuhan

triwulan sebelumnya. Pertumbuhan kredit

korporasi tercatat sebesar 20,63% (yoy), lebih

tinggi dari triwulan sebelumnya sebesar 21,43%

(yoy). Perlambatan yang terjadi dipengaruhi

terutama oleh melambatnya penyaluran kredit

kepada usaha pertambangan, konstruksi, dan

perdagangan. Hal ini sejalan dengan melemahnya

kinerja pertambangan di akhir tahun akibat

perkembangan harga yang tidak memberi insentif

produksi. Sementara itu, penyaluran kredit

konstruksi yang tumbuh lebih lambat dipengaruhi

adanya pesimisme di kalangan pelaku usaha

sehingga terjadi penundaan investasi swasta,

Page 70: Laporan Nusantara Februari 2016.pdf (21,16 MB)

62

yang diperkirakan akan terus berlanjut hingga

2016. Meski melambat, pertumbuhan kredit

korporasi yang tinggi masih ditopang oleh

menguatnya pertumbuhan kredit kepada usaha

industri pengolahan dan pertanian.

Grafik V.18. Pertumbuhan Kredit Korporasi

Pertumbuhan kredit yang melambat pada sektor

korporasi disertai oleh perbaikan kualitas kredit.

Indikator kualitas kredit yaitu rasio Non

Performing Loans (NPL) tercatat mengalami

perbaikan dari 4,78% menjadi 4,49%. Turunnya

NPL korporasi terjadi pada lapangan usaha

pertambangan, industri pengolahan, konstruksi,

dan perdagangan. Upaya perbankan untuk

menjaga penyaluran kredit kepada usaha

pertambangan dan konstruksi memengaruhi

perbaikan NPL yang terjadi. Sementara itu, NPL di

usaha pertanian tercatat meningkat cukup tinggi.

Peningkatan NPL pada sektor pertanian

ditengarai disebabkan oleh kekeringan yang

merugikan para petani maupun kelompok usaha

pertanian di daerah.

Grafik V.19. NPL Kredit Korporasi

Di sisi penghimpunan dana pihak ketiga (DPK),

terjadi percepatan pertumbuhan pada triwulan

IV 2015. Pertumbuhan DPK yang bersumber dari

sektor korporasi secara agregat tercatat sebesar

40,18% (yoy), lebih tinggi dari triwulan

sebelumnya sebesar 21,20% (yoy). Peningkatan

pertumbuhan DPK didorong oleh akselerasi

simpanan giro dan tabungan. Hal tersebut

dipengaruhi oleh akselerasi penyelesaian dan

pembayaran proyek pemerintah kepada sektor

swasta di akhir tahun. Peningkatan pertumbuhan

DPK sektor korporasi didorong oleh menguatnya

pertumbuhan DPK dari provinsi-provinsi di

Sulawesi dan Nusa Tenggara.

Grafik V.20. Pertumbuhan DPK Korporasi

Ketahanan Sektor Rumah Tangga

Kredit perbankan yang disalurkan kepada sektor

rumah tangga hingga akhir triwulan IV 2015

cenderung melambat. Pada akhir 2015, kredit

perbankan kepada sektor rumah tangga tercatat

sebesar 10,48% (yoy), lebih rendah dibandingkan

dengan periode akhir triwulan III 2015 (12,26%).

Perlambatan kredit di sektor rumah tangga ini

terutama terjadi pada kredit kendaraan bermotor

(KKB) yang mengalami kontraksi, kredit

mulitguna, dan kredit pemilikan rumah (KPR).

Namun, perlambatan kredit KKB, Kredit

Multiguna dan KPR tersebut masih disertai

terjaganya risiko kredit sebagaimana tercermin

dari NPL yang masih cukup rendah.

Perkembangan ekonomi beberapa lapangan

usaha utama di KTI yang relatif melambat dinilai

memengaruhi perlambatan yang terjadi. Hal ini

terlihat dari hasil Survei Konsumen di beberapa

kota besar di KTI yang masih mengindikasikan

penurunan optimisme masyarakat terhadap

tingkat pendapatan yang diterima. Melemahnya

Page 71: Laporan Nusantara Februari 2016.pdf (21,16 MB)

63

optimisme masyarakat menyebabkan permintaan

kredit dari sektor rumah tangga menjadi tertahan

dan tidak dapat tumbuh lebih tinggi dari

pencapaian di triwulan sebelumnya.

Grafik V.21. Pertumbuhan Kredit Rumah Tangga

Sementara itu, kualitas kredit yang disalurkan

kepada rumah tangga di triwulan IV 2015

mengalami perbaikan. Indikator NPL tercatat

turun dari 1,54% pada triwulan sebelumnya

menjadi 1,37%. Hal ini didukung oleh turunnya

NPL pada kredit multiguna dan kredit pemilikan

rumah. Perlambatan kredit yang disertai

perbaikan kualitas tersebut mengindikasikan

bahwa perbankan di KTI meningkatkan kehati-

hatiannya dalam menyalurkan kredit kepada

sektor rumah tangga.

Grafik V.22. NPL Kredit Rumah Tangga

Berbeda dengan penyaluran kredit, Dana Pihak

Ketiga (DPK) yang dihimpun dari sektor rumah

tangga mengalami akselerasi pertumbuhan pada

triwulan IV 2015. Pertumbuhan DPK tercatat

sebesar 11,60% (yoy) setelah tercatat sebesar

8,64% (yoy) pada triwulan III 2015.

Perkembangan DPK yang mengalami akselerasi

terjadi pada jenis simpanan giro dan tabungan.

Perkembangan DPK yang tumbuh menguat

terjadi hampir di seluruh provinsi di KTI, kecuali di

Sulawesi Selatan, Gorontalo, dan Sulawesi Barat.

Grafik V.23. Pertumbuhan DPK Rumah Tangga

Pembiayaan Sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM)

Pada triwulan IV 2015, pertumbuhan kredit ke

sektor UMKM cenderung meningkat. Kredit

UMKM pada akhir triwulan IV 2015 tercatat

tumbuh 10,46% (yoy), atau lebih tinggi dari

triwulan sebelumnya yang tercatat sebesar 6,70%

(yoy). Peningkatan tersebut terutama terjadi

pada penyaluran kredit kepada UMKM yang

bergerak di usaha pertanian, perikanan, dan

konstruksi. Peningkatan yang terjadi dipengaruhi

oleh paket kebijakan ekonomi dari Pemerintah

Pusat pada September 2015 yang memberikan

fasilitas subsidi bunga dalam pembiayaan ekspor

melalui LPEI dan penurunan suku bunga Kredit

Usaha Rakyat (KUR).

Grafik V.24. Pertumbuhan Kredit UMKM

Dari aspek kualitas kredit, indikator NPL kredit

UMKM hingga triwulan IV 2015 relatif terjaga.

NPL kredit UMKM berada di level 4,19% setelah

tercatat sebesar 4,35% pada triwulan

Page 72: Laporan Nusantara Februari 2016.pdf (21,16 MB)

64

sebelumnya. Perbaikan kualitas kredit didorong

oleh membaiknya kualitas kredit di seluruh

lapangan usaha UMKM. Penurunan suku bunga

untuk kredit UMKM juga dinilai sebagai salah

satu faktor yang mendukung arah perbaikan

kualitas kredit UMKM.

Grafik V.25. NPL Kredit UMKM

Pengelolaan Uang Tunai Rupiah

Peredaran uang kartal (uang kertas dan uang

logam) di masyarakat wilayah KTI sepanjang

triwulan IV 2015 menunjukkan tren peningkatan

yang tercermin dari peningkatan outflow uang

kartal. Fenomena tersebut mengindikasikan

tingginya kebutuhan masyarakat akan uang tunai

seiring dengan masuknya musim liburan Natal

dan Tahun Baru. Di samping itu, berbagai realisasi

proyek-proyek pemerintah dan swasta di akhir

tahun juga turut mendorong aktivitas

perekonomian di daerah yang meningkatkan

kebutuhan akan uang tunai.

Grafik V.26. Perkembangan Aliran Uang

Untuk menyediakan uang layak edar, Bank

Indonesia secara konsisten memastikan

ketersediaan uang layak edar bagi masyarakat.

Sepanjang triwulan IV 2015, distribusi uang

difokuskan pada daerah-daerah perbatasan dan

sentra aktivitas perdagangan masyarakat. Di

Sulawesi Utara, kegiatan layanan penukaran uang

di pulau terluar, seperti Pulau Miangas, telah

dilakukan sebanyak tiga kali sepanjang triwulan

IV 2015 yang bekerja sama dengan TNI AL dan

Pemda.

Selain itu, dalam menjamin terjaganya kualitas

uang di masyarakat, Bank Indonesia secara

konsisten melakukan penyortiran dan

pemusnahan uang tidak layak edar (UTLE). Pada

tahun 2015, total pemusnahan UTLE di KTI

mencapai Rp15,59 Milyar, meningkat

dibandingkan dengan tahun 2014 yang sebesar

Rp10,50 Milyar. Jika dibandingkan terhadap

inflow uang kartal, secara total tahun 2015 rasio

UTLE terhadap inflow meningkat dari 16,97% di

tahun 2014 menjadi 24,63%. Peningkatan

tersebut mencerminkan waktu sirkulasi uang

yang semakin pendek di masyarakat.

Grafik V.27. Perkembangan Rasio UTLE

Sementara itu, temuan uang palsu di KTI

sepanjang tahun 2015 tercatat mengalami

peningkatan. Temuan uang palsu pada tahun

2015 tercatat sebanyak 9.652 lembar, lebih tinggi

dari tahun 2014 yang sebanyak 6.897 lembar.

Temuan uang palsu tertinggi di KTI berada di

Provinsi Bali, NTT, dan NTB, yang merupakan

daerah tujuan wisata dengan kunjungan wisman

dan wisnus yang tinggi. Adapun berbagai upaya

untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terus

dilakukan oleh Bank Indonesia di KTI melalui

sosialisasi dan edukasi ciri-ciri keaslian Uang

Rupiah. Selain itu, koordinasi yang kuat dengan

Page 73: Laporan Nusantara Februari 2016.pdf (21,16 MB)

65

Kepolisian Daerah senantiasa dilakukan dalam

upaya memberantas pengedaran uang palsu.

Grafik V.28. Pangsa Temuan Palsu di KTI Tahun 2015

Prospek Perekonomian

Prospek Pertumbuhan Ekonomi

Perekonomian KTI pada tahun 2016

diprakirakan tumbuh melambat dibandingkan

dengan tahun 2015. Pertumbuhan ekonomi KTI

diprakirakan berada di kisaran 7,1%-7,5% (yoy).

Melambatnya pertumbuhan ekonomi terutama

terkait dengan perlambatan di sisi ekspor luar

negeri dan investasi bangunan. Pelemahan

kinerja ekspor terkait dengan hilangnya dampak

positif base effect yang mengakselerasi

pertumbuhan ekspor tambang pada tahun

sebelumnya. Sementara itu, perlambatan

investasi bangunan seiring dengan berakhirnya

beberapa proyek pembangunan smelter nikel di

Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Maluku

Utara sejak pertengahan 2015 hingga awal 2016.

Hal tersebut akan berdampak pada menurunnya

tingkat investasi swasta pada paruh kedua tahun

2016 sehingga akan turut memengaruhi kinerja

lapangan usaha konstruksi.

Di tengah proyeksi perlambatan tersebut,

beberapa faktor risiko baik dari sisi eksternal

maupun internal masih perlu diwaspadai karena

dapat menekan pertumbuhan menjadi lebih

rendah dari perkiraan. Dari sisi eksternal, risiko

tersebut antara lain adalah tren harga komoditas

yang masih menurun serta belum pulihnya

perekonomian negara berkembang khususnya

Tiongkok. Hal ini akan memengaruhi kinerja

ekspor dari KTI, khususnya pada komoditas hasil

pertanian dan olahan tambang yang sangat

dipengaruhi oleh permintaan negara mitra

dagang dan pergerakan harga komoditas.

Sementara itu, dari sisi internal, terdapat dua

faktor risiko utama yang dapat menekan

proyeksi pertumbuhan ekonomi di bawah

perkiraan. Risiko dimaksud adalah komitmen

eksportir mineral dalam membangun smelter

serta pencapaian target produksi pangan.

Perkembangan hilirisasi yang positif pada tahun

2016 ditandai dengan akan beroperasinya

beberapa smelter baru. Namun demikian, hal ini

akan sangat bergantung pada komitmen dari

investor. Selain itu, komitmen produsen tembaga

terbesar di KTI dalam membangun smelter juga

menjadi salah satu risiko yang dapat

memengaruhi pertumbuhan ekonomi. Apabila

komtimen tidak dapat dijaga maka angka

pertumbuhan ekonomi KTI dapat tercatat di

bawah perkiraan. Dari aspek produksi pangan,

apabila berbagai upaya pemerintah dalam

peningkatan target produksi serta penguatan

infrastruktur pangan mengalami hambatan di

tengah pergeseran musim tanam maka capaian

pertumbuhan ekonomi dinilai tidak akan setinggi

perkiraan.

Prospek Inflasi

Tekanan inflasi KTI di tahun 2016 diperkirakan

akan mengalami peningkatan dibandingkan

dengan tahun 2015. Proyeksi laju inflasi tahunan

KTI untuk tahun 2016 berada pada kisaran 4,7%-

5,1% (yoy). Tren peningkatan terutama

disebabkan oleh inflasi volatile food dan inflasi

inti. Terkait inflasi volatile food, lanjutan El Nino

tahun 2015 yang berakibat pada mundurnya

musim tanam dan fenomena La Nina yang

berpengaruh pada produksi perkebunan dan

perikanan dapat menjadi sumber utama

peningkatan inflasi. Sementara itu, inflasi inti,

khususnya pada kelompok makanan jadi,

sandang, dan perumahan, diperkirakan akan

meningkat akibat peningkatan permintaan seiring

perbaikan kinerja konsumsi rumah tangga.

SULUT

2.8%

GTO

0.0%SULTENG

2.4%SULBAR

0.0%

SULSEL

9.6%

MALUT

0.6%

MALUKU

0.2%BALI

44.3% NTB

16.7%

NTT

21.0%SULTRA

2.1%

PAPUA

0.2%

PABAR

0.1%

Page 74: Laporan Nusantara Februari 2016.pdf (21,16 MB)

66

Adanya perayaan Galungan sebanyak dua kali di

Bali juga menambah tekanan dari sisi

permintaan. Adapun inflasi administered prices

lebih dipengaruhi oleh faktor musiman kenaikan

tarif angkutan udara pada musim peak season

Di sisi lain, terdapat potensi inflasi KTI yang lebih

rendah dari prakiraan yang bersumber dari tren

penurunan harga minyak dunia. Penurunan

tersebut terutama akan ditransmisikan melalui

turunnya harga BBM dan penyesuaian tarif listrik,

serta potensi penurunan tarif angkutan.

Tantangan pengendalian inflasi pada tahun 2016

masih disertai beberapa risiko yang dapat

memengaruhi pergerakan harga secara umum.

Risiko tersebut salah satunya terkait dengan

terhambatnya berbagai upaya peningkatan

produksi dan kelancaran distribusi pangan yang

dapat berimbas pada semakin tingginya

peningkatan inflasi volatile food. Hal ini perlu

dikawal dengan baik dan akan menjadi fokus

dalam roadmap pengendalian inflasi dengan

program prioritas yang diarahkan pada

pengembangan kerjasama antardaerah,

perbaikan infrastruktur, dan penguatan

kelembagaan.

Page 75: Laporan Nusantara Februari 2016.pdf (21,16 MB)

Kendala Sistem Logistik Laut KTI Kawasan Timur Indonesia (KTI) secara umum

memiliki ketergantungan tinggi terhadap suplai

pasokan dari kawasan lain. Meski beberapa

daerah di KTI merupakan sentra produksi pangan,

namun secara keseluruhan produksi pangan KTI

hanya mampu memenuhi 35% kebutuhan

konsumsi pangan total1. Suplai pasokan bahan

makanan dan makanan jadi terutama

didatangkan dari Jawa dengan pintu keluar

melalui Surabaya. Distribusi pasokan pangan

tersebut dilakukan dengan menggunakan

transportasi laut dengan rantai distribusi yang

cukup panjang.

Ketergantungan pasokan dari luar yang tidak

ditopang oleh sistem logistik yang belum

memadai berimplikasi pada tetap tingginya

disparitas harga di KTI. Disparitas harga antar

provinsi berkisar antara 10% hingga 68% lebih

tinggi dan bervariasi berdasarkan daya dukung

logistik di masing-masing daerah (Gambar V.1).

Jika dilihat pada beberapa komoditas seperti

bawang putih, minyak goreng dan tepung terigu,

disparitas harga terendah terdapat pada daerah

yang dijadikan penghubung (hub) distribusi yaitu

Bali dan Sulawesi Selatan. Akan tetapi,

peningkatan harga di provinsi lainnya tidak selalu

searah dengan jarak distribusi, yang

mencerminkan adanya dinamika faktor logistik

yang memengaruhi pergerakan harga. Disparitas

harga tersebut di kawasan Balinusra memiliki

pola yang berbeda dibandingkan dengan

Sulawesi-Maluku-Papua. Jarak menjadi faktor

utama kenaikan disparitas harga di Balinusra,

namun di Sulawesi-Maluku-Papua faktor logistik

menyebabkan tingkat harga disebagian daerah

lebih rendah meski jaraknya lebih jauh dari pusat

distribusi utama.

1 Data IRIO 2015 menunjukkan bahwa ±65% pasokan pangan

di KTI didatangkan dari Pulau Jawa.

Sumber : PIHPS

Gambar V.1. Disparitas Harga Komoditas Antar Daerah

Faktor biaya transportasi memengaruhi

pergerakan harga pangan di KTI. Hal ini terutama

tercermin dari biaya kapal laut yang cukup tinggi.

Rata-rata biaya pengiriman kontainer ukuran 20

GT ke wilayah Bali-Nusa Tenggara mencapai Rp9

Juta, ke Sulawesi mencapai Rp 12 Juta, kemudian

ke Maluku-Papua mencapai Rp20 Juta. Biaya

kapal laut tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan

biaya pengiriman jenis kontainer yang sama ke

Tiongkok sebesar Rp14 Juta, dengan jarak yang

lebih jauh (Grafik V.1.).

Boks 4

Page 76: Laporan Nusantara Februari 2016.pdf (21,16 MB)

Sumber : Liaison, 2014

2

Grafik V.29. Biaya Angkut Kapal Dari Surabaya

Adanya disparitas biaya pengiriman melalui kapal

laut disebabkan oleh permasalahan fundamental

pada sistem transportasi laut di KTI.

Permasalahan tersebut dapat dibagi pada empat

bagian yaitu (1) biaya operasional kapal yang

cukup tinggi; (2) jenis kapal, dan frekuensi yang

masuk; (3) perbandingan volume bongkar muat;

dan (4) inefisiensi bongkar muat.

Biaya operasional kapal laut merupakan

komponen terbesar dalam biaya pengiriman

barang dan berbanding lurus dengan jarak tujuan

pengiriman. Biaya operasional kapal laut terdiri

dari biaya tetap dan Anak Buah Kapal (ABK),

biaya Bahan Bakar Minyak (BBM), pemeliharaan

dan biaya lain-lain, dengan pangsa terbesar

adalah biaya BBM yang mencapai 43% dari total

biaya. Namun, biaya operasional tersebut

berbeda di tiap wilayah yang disesuaikan dengan

kondisi geografis laut. Hal ini ditunjukkan pada

Grafik V.29. yang menggambarkan pangsa biaya

operasional kapal laut untuk pengiriman 1

kontainer dengan kapasitas 20 TEUs dari

Surabaya ke KTI yaitu sebesar 81,2%, lebih tinggi

dibandingkan ke wilayah Sumatera dan

Kalimantan, masing-masing sebesar 81% dan

75%3.

2

Data berdasarkan aktivitas pengiriman kontainer oleh

contact Liaison, dari Surabaya ke berbagai provinsi. 3 Pangsa biaya operasional kapal laut yang lebih tinggi di KTI

disebabkan oleh kondisi cuaca yang lebih ekstrim dibandingkan dengan pengiriman ke wilayah lainnya.

Rendahnya frekuensi kunjungan kapal serta

lamanya waktu perjalanan menuju daerah tujuan

turut menjadi faktor yang memengaruhi

tingginya biaya pengiriman. Kondisi ini terutama

terjadi di Kepulauan Maluku dan Papua, dengan

frekuensi kunjungan kapal hanya maksimal 4 kali

dalam sebulan dengan waktu perjalanan yang

cukup lama mencapai 13 hari. Lamanya waktu

perjalanan tersebut merupakan kondisi normal.

Dalam situasi cuaca ekstrim maka lama

perjalanan dapat bertambah hingga 5 hari. Hal

ini berpengaruh signifikan terhadap penurunan

kualitas bahan makanan yang menggunakan

transportasi laut. Kondisi ini sekaligus

mengkonfirmasi tingginya tingkat harga di

Maluku dan Papua dibandingkan daerah asal.

Biaya pengiriman yang relatif tinggi juga

dipengaruhi oleh ukuran kapal yang digunakan.

Pada Grafik V.30 menunjukkan kapasitas kapal

pengiriman barang ke KTI relatif kecil rata-rata

berukuran di bawah 1.000 GT. Ukuran kapal kecil

berarti kapasitas muat kapal juga lebih kecil yang

berdampak pada biaya pengiriman yang tinggi.

Ukuran kapal yang paling kecil terutama terdapat

di Balinusra yang sejalan dengan tingginya biaya

pengiriman kontainer. Pelabuhan yang kurang

memadai untuk sandar kapal besar menyebabkan

keterbatasan ukuran kapal yang dapat berlabuh

di Balinusra.

Tingginya biaya logistik juga disebabkan oleh

pelaksanaan aktivitas bongkar muat yang tidak

efektif di pelabuhan. Berdasarkan perbandingan

effective time dengan berth time, kegiatan

bongkar muat di pelabuhan KTI masih belum

efektif. Rasio effective time dengan berth time

KTI mencapai 64% yang mencerminkan waktu

efektif yang digunakan untuk bongkar muat

hanya 64% dari total waktu sandar kapal di

pelabuhan. Waktu idle yang cukup tinggi tersebut

terutama disebabkan oleh produktivitas bongkar

muat pelabuhan yang cukup rendah. Beberapa

pelabuhan di KTI bahkan belum menerapkan

sistem kerja bongkar muat dalam 2 shift (siang

dan malam). Selain itu, biaya bongkar muat

pelabuhan juga cukup tinggi, sebagai contoh di

Page 77: Laporan Nusantara Februari 2016.pdf (21,16 MB)

Ambon biaya bongkar muat mencapai Rp1

Juta/20GT container, jauh lebih tinggi

dibandingkan di Manado yang sebesar Rp300

Rb/20GT kontainer4.

Infrastruktur pelabuhan yang terbatas turut

menimbulkan additional cost karena waktu

tunggu kapal untuk bongkar muat menjadi lebih

lama. Luas area sandar kapal yang terbatas di

beberapa pelabuhan menyebabkan dibutuhkan

waktu yang lebih lama untuk kapal dapat

berputar dan keluar pelabuhan (turn around

time). Selain itu, karena kapasitas yang terbatas,

kapal seringkali harus mengantri untuk

disandarkan menunggu selesainya aktivitas

bongkar muat kapal lain. Kondisi ekstrim terjadi

di Sulawesi Tenggara, dengan keterbatasan

pelabuhan, menyebabkan prioritas kapal sandar

untuk kapal yang mengangkut bahan makanan,

sehingga beberapa kali menyebabkan terjadi

kelangkaan komoditas non pangan seperti semen

dan bahan bangunan lainnya.

Minimnya volume bongkar muat menyebabkan

penetapan harga pengiriman yang lebih tinggi.

Perbandingan rasio volume bongkar muat kapal

di pelabuhan menunjukkan bahwa sebagian

besar kapal dari KTI masih kembali dalam

keadaan kosong meski ukuran kapal relatif kecil

(Grafik 3). Kondisi yang cukup ekstrim terjadi di

pelabuhan Balinusra dengan rasio bongkar muat

>1.5 dan ukuran kapal yang relatif kecil, yang

sejalan dengan biaya pengiriman tinggi. Aktivitas

ekonomi yang belum berkembang optimal

menyebabkan minimnya produksi barang lokal

yang dapat dibawa. Kedepan pengembangan

ekonomi diharapkan dapat diarahkan pada

peningkatan produksi lokal yang berorientasi

ekspor. Hal ini sekaligus meningkatkan efisiensi

logistik dengan peningkatan barang muat.

4

Informasi berdasarkan hasil FGD dengan Pelindo,

Perusahaan Jasa Kontainer, dan Pelaku Usaha Perdagangan di Maluku, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Maluku Utara dan NTB.

Sumber: Statistika Transportasi Laut Tahun 2014, diolah

Grafik V.30. Kapasitas Kapal dan Rasio Bongkar Muat

Sumber: Liaison, 2014

Grafik V.31. Kapasitas Kapal dan Efisiensi Pengiriman

Barang5

Untuk mengatasi permasalahan logistik KTI

khususnya yang menggunakan transportasi laut

beberapa rekomendasi jangka pendek dan jangka

panjang antara lain (1) Membuat jalur logistik

yang efisien dengan menerapkan multiport

window system yaitu penjadwalan

keberangkatan; (2) Menggiatkan kerjasama antar

daerah; (3) Pengembangan pelabuhan kecil

(seperti di Papua) dalam memperbaiki fasilitas di

luar produksi; (4) Mendukung dan mempercepat

realisasi tol laut dalam efisiensi biaya; (5)

Melibatkan perusahaan kapal swasta dalam

meningkatkan jumlah kapal; (6) Mendorong

5 Data dihitung dari pelabuhan diusahakan: pelabuhan laut

yang diselenggarakan oleh PT (Persero) Pelabuhan Indonesia, untuk memberikan fasilitas-fasilitas yang diperlukan bagi kapal yang memasuki pelabuhan untuk melakukan kegiatan bongkar muat barang dan lain-lain

Page 78: Laporan Nusantara Februari 2016.pdf (21,16 MB)

spesialisasi produk di suatu daerah dalam

meningkatkan volume muat kapal; (7) Aturan

dalam mendukung kegiatan bongkar di

pelabuhan yang khususnya tenaga kerja bongkar

muat yang lebih produktif dengan biaya

terstandar; (8) Percepatan anggaran

pembangunan.

Page 79: Laporan Nusantara Februari 2016.pdf (21,16 MB)

71

Bagian VI

Isu Strategis 1: Penguatan Infrastruktur

Logistik dan Penunjang Produksi Pangan Upaya menurunkan inflasi ke level yang lebih rendah dan stabil dalam mendukung stabilitas

makroekonomi dan peningkatan daya saing, membutuhkan langkah-langkah kongkrit dan

terintegrasi dalam memperbaiki kapasitas serta kualitas infrastruktur logistik pangan maupun

penunjang produksi pangan. Kondisi logistik yang belum memadai dan efisien menjadi faktor

penyebab relatif tingginya biaya logistik di Indonesia, bahkan jika dibandingkan dengan negara

peers. Kualitas infrastruktur logistik yang juga belum merata di setiap daerah tercermin langsung

pada tingginya biaya transportasi yang merupakan salah satu komponen terbesar dalam biaya

logistik. Selain persoalan logistik, stabilisasi harga di daerah juga dihadapkan pada masih belum

memadainya daya dukung kapasitas produksi pangan yang menyebabkan tingginya

ketergantungan produksi pangan pada faktor iklim dan cuaca, serta tidak meratanya kemampuan

produksi pangan antar daerah. Penguatan infrastruktur logistik dan penunjang produksi pangan ini

perlu diutamakan guna mengatasi masalah disparitas harga antar daerah yang masih cukup tinggi.

Sementara itu, pembangunan maupun perbaikan infrastruktur penunjang produksi pangan sangat

diperlukan untuk mencapai ketahanan pangan, yang diprioritaskan berasal dari hasil pertanian

domestik.

Penguatan Logistik Pangan

Kondisi infrastruktur logistik pangan yang belum

memadai menjadi sumber inefisiensi utama

pada tingginya biaya logistik. Biaya transportasi

antar daerah memiliki porsi terbesar dalam biaya

logistik, yang selain dipengaruhi oleh komponen

atau faktor jarak dan skala ekonomi, juga

dipengaruhi oleh kelancaran distribusi khususnya

melalui jalur darat dan laut. Sejumlah kendala

dalam distribusi terkait dengan terbatasnya

kapasitas serta kualitas infrastruktur transportasi

yaitu kapasitas jalan dan pelabuhan, interkoneksi

antar jaringan jalan dan jalur pelayaran, serta jasa

pelayanan bongkar muat di pelabuhan.

Terbatasnya infrastruktur untuk moda

transportasi kereta api turut menjadi faktor

belum optimalnya penguatan infrastruktur

logistik baik secara umum maupun spesifik

khususnya terkait dengan masalah distribusi

pangan.

Kondisi infrastruktur logistik nasional secara

umum masih tertinggal dari negara peers. Meski

menunjukkan perbaikan pada Logistic

Performance Index (LPI) dalam 5 tahun terakhir,

namun kualitas jalan dan pelabuhan di Indonesia

di bawah sebagian besar negara peers di ASEAN

(Global Competitiveness Report 2014, World

Economic Forum). Pembangunan infrastruktur

pelabuhan dan bandara yang menjadi faktor

perbaikan peringkat LPI dari Indonesia, belum

didukung dengan perbaikan kualitas jalan

maupun pelabuhan. Malaysia, Thailand, dan

Vietnam juga mengalami perbaikan peringkat LPI

yang didukung oleh implementasi kebijakan

terkait logistik secara konsisten dalam jangka

panjang. Selain pembangunan infrastruktur yang

menjadi syarat mutlak, perbaikan juga difokuskan

pada aspek trade facilitation, khususnya proses

bea cukai dan pemeriksaan dokumen dengan

mengoptimalkan penggunaan ICT.1

1 National single window telah diimplementasikan sejak 2009

di Malaysia. Dalam menghadapi persaingan MEA, Malaysia juga mengoptimalkan teknologi dalam supply chain management.

Page 80: Laporan Nusantara Februari 2016.pdf (21,16 MB)

72

Grafik VI.1. Perbandingan Kualitas Jalan

Grafik VI.2. Perbandingan Kualitas Pelabuhan

Perbedaan daya dukung logistik berimplikasi

pada perbedaan efisiensi sistem logistik di tiap

daerah, sehingga menyebabkan disparitas harga

antar daerah. Hal ini tercermin dari perbedaan

biaya transportasi yang menjadi komponen

terbesar dalam biaya logistik. Dalam kurun waktu

12 tahun terakhir, disparitas harga (tercermin

dari inflasi) antar daerah relatif masih relatif

tinggi. Inflasi pada provinsi di KTI (Papua, NTT,

Maluku, Sulawesi) rata-rata mencapai 8-10%,

sementara di wilayah Jawa hanya mencapai 6-

8%. Daerah di luar Jawa juga cenderung memiliki

inflasi dan volatilitas harga persisten tinggi (twin

peaks) yang salah satu faktornya adalah tingginya

biaya transportasi.2

Perbedaan harga selain

disebabkan oleh inefisiensi sistem logistik, juga

terkait dengan belum terpenuhinya skala

ekonomi. Fenomena empty backhaul yang terjadi

saat ini sebagai dampak dari kosongnya

pengiriman barang balik dari sebagian wilayah

luar Jawa, khususnya dari wilayah Timur.

2 Hasil riset perdagangan antar wilayah, Studi Sektor Riil dan

Regional, Grup Riset Ekonomi, 2015.

Sumber: Kementerian Perdagangan, 2013 (berdasarkan pengiriman kontainer ukuran 20 ft)

Grafik VI.4. Perbedaan Biaya Transportasi Laut dan Darat

Terkait dengan efisiensi logistik melalui jalur

laut, kinerja jasa pelayanan bongkar muat di

pelabuhan turt berperan penting. Kendala yang

ditemui di sejumlah pelabuhan khususnya yang

menjadi pintu ekspor-impor barang bersumber

mulai dari keterlambatan waktu sandar, waktu

verifikasi dokumen dan bongkar muat hingga

waktu tunggu pengeluaran barang dari

pelabuhan.3 Semakin lama kontainer berada di

pelabuhan, maka biaya sewa kontainer dan lahan

atau gudang juga akan semakin tinggi. Lamanya

kontainer berada di pelabuhan juga dapat

disebabkan oleh terbatasnya jumlah pelayaran

kapal di suatu daerah, terbatasnya jam

operasional pelayanan bongkar muat maupun

3 Survei yang dilakukan Bank Dunia bersama Kementerian

Perhubungan pada 2013, Pelabuhan Sorong dan Medan (Belawan) memiliki waktu tunggu dan bongkar muat barang tertinggi. Sementara pelabuhan Makasar dan Surabaya tercatat paling efisien.

Page 81: Laporan Nusantara Februari 2016.pdf (21,16 MB)

73

ketersediaan peralatan (crane,RTG) dan lahan

atau gudang penyimpanan sementara.

Untuk menjawab sejumlah tantangan di atas,

Pemerintah telah melakukan sejumlah langkah

strategis melalui pembangunan infrastruktur.

Dalam jangka panjang, perbaikan sistem logistik

melalui pembangunan infrastruktur telah

diamanatkan di dalam RPJMN 2015-2019, sesuai

dengan visi Pemerintahan Jokowi-JK. Secara

konkrit pada Rencana Kerja Pembangunan (RKP)

2016, pemerintah menargetkan pembangunan

sejumlah proyek strategis infrastruktur untuk

mendukung perbaikan jaringan transportasi dan

sistem logistik nasional.4

Gambar VI.1. Proyek Infrastruktur dalam RKP 2016

Dalam memperkuat sistem logistik diperlukan

perencanaan dan implementasi program yang

kongkrit dan terintegrasi. Pembangunan

infrastruktur yang telah berjalan hanya salah satu

bagian dari kerangka cetak biru sistem logistik

nasional (Sislognas). Sislognas diarahkan untuk

mengintegrasikan strategi kebijakan

pengembangan dan pengelolaan sistem logistik

yang bersifat multisektoral. Selain komitmen dan

penyelarasan skala prioritas kebijakan antar

instansi terkait, dalam menjalankan rencana aksi

4

Hasil simulasi dampak pembangunan infrastruktur

transportasi apabila sejumlah target pembangunan pada 2016 terealisasi, menunjukkan peningkatan rasio panjang jalan mantap per 100 m2 luas wilayah dari 26,17 menjadi 26,21 (0,2%).

Sislognas juga diperlukan harmonisasi dalam

program yang mendukung manajemen logistik.

Sebagai perbandingan, harmonisasi kebijakan

maupun program terkait logistik di beberapa

negara lain menjadi tanggung jawab dewan

khusus.

Komitmen dukungan terhadap perbaikan

logistik juga sangat diharapkan dari Pemerintah

Daerah. Sejumlah hal krusial yang menjadi

koordinasi di tingkat daerah adalah perencanaan

tata ruang dan wilayah (RTRW), kebijakan

perijinan yang mendukung pembangunan

infrastruktur maupun pengembangan jalur

transportasi, serta konektivitasnya. Pembiayaan

APBD juga turut berperan dalam perbaikan

infrastruktur maupun pengembangan moda

transportasi yang menjadi kewenangan daerah.

Koordinasi dan sinergi antar Pemerintah Daerah

juga dibutuhkan untuk mendukung harmonisasi

kebijakan maupun program terkait efisiensi

sistem logistik di daerah, misalnya koordinasi

pengaturan waktu operasional truk yang

melewati antar daerah, waktu operasional

gudang dalam kota dan pelabuhan.

Khusus terkait logistik pangan, salah satu sinergi

konkrit yang dapat dilakukan Pemerintah Pusat

dan Daerah adalah dalam pengembangan sistem

manajemen supply chain yang terintegrasi.

Belajar dari efisiensi sistem manajemen ritel

modern5 , sistem manajemen logistik pangan dari

hulu hingga hilir perlu diintegrasikan melalui

optimalisasi dari pusat distribusi terpadu yang

telah menjadi rencana pemerintah. Adapun kunci

keberhasilan pusat distribusi terpadu ini terletak

pada sinergi pengelolaan yang melibatkan

instansi terkait di pusat maupun daerah.

5 Terdapat korelasi antara pengembangan outlet ritel modern

yang pesat dalam kurun waktu 12 tahun terakhir dengan tren penurunan inflasi makanan jadi, dengan memperhitungkan kenaikan bahan pangan (bahan baku makanan jadi) dan biaya distribusi.

Page 82: Laporan Nusantara Februari 2016.pdf (21,16 MB)

74

Gambar VI.2. Kerangka Pengembangan Pusat Distribusi

Terpadu

Pembangunan Infrastruktur Penunjang Produksi Pangan

Penurunan inflasi ke level yang lebih rendah dan

stabil dalam mendukung stabilitas

makroekonomi dan peningkatan daya saing,

membutuhkan upaya menjaga stabilitas harga

pangan strategis. Dalam kaitan tersebut,

pembangunan infrastruktur penunjang produksi

perlu terus dilakukan dalam rangka peningkatan

kapasitas dan kesinambungan produksi pangan.

Hal ini untuk mengimbangi semakin

meningkatnya konversi lahan pertanian sebagai

dampak pembangunan, disamping laju

pertumbuhan penduduk. Dalam kurun waktu 3

tahun terakhir, indeks keamanan (ketahanan)

pangan Indonesia belum menunjukkan

perbaikan.

Tabel VI.1. Global Food Security Index

Sumber: The Economist EIU, DuPont

Keterbatasan kapasitas dan kualitas infrastruktur

penunjang produksi pangan menjadi salah satu

penyebab belum optimalnya produktivitas

pangan. Masih rendahnya kapasitas infrastruktur

pertanian tercermin dari luas lahan irigasi teknis

yang masih relatif minim dibandingkan total

lahan pertanian. Dari sisi kualitas infrastruktur

pertanian juga rendah yang tercermin dari

persentase kerusakan sistem irigasi nasional yang

tinggi (46% dari total jaringan irigasi pertanian

pada 20146).

Grafik VI.5. Kondisi Infrastruktur Irigasi per Wilayah

Seperti halnya dengan penguatan sistem logistik

pangan, Pemerintah juga telah menginisiasi

program pembangunan dan revitalisasi

infrastruktur penunjang produksi pangan.

Program pembangunan 65 waduk baru pada

periode 2015-2019 difokuskan untuk mendukung

pertanian diluar Jawa, sementara di Jawa,

perbaikan irigasi di sentra produksi menjadi

fokus. Pembangunan 1 juta Ha jaringan irigasi

serta rehabilitasi 3 juta Ha jaringan irigasi yang

telah dimulai semenjak 2015, difokuskan pada 13

provinsi lumbung pangan.

6 Sumber : Ditjen Sumber Daya Air, Kementerian Pekerjaan

Umum dan Perumahan Rakyat.

Page 83: Laporan Nusantara Februari 2016.pdf (21,16 MB)

75

Gambar VI.3. Rencana Pembangunan dan Rehabilitasi

Jaringan Irigasi

Pembangunan bendungan maupun jaringan

irigasi (primer dan sekunder) menunjukkan

progress yang positif, meskipun dampak

terhadap peningkatan produksi pangan dalam

jangka pendek. Namun adanya perbaikan

kualitas infrastruktur pengairan diyakini turut

memberikan dukungan positif pada peningkatan

produksi padi di 2015, ditengah kondisi iklim yang

semakin sulit diprediksi.

Grafik VI.6. Realisasi Pembangunan Irigasi Baru

Grafik VI.7. Realisasi Rehabilitasi Irigasi

(Primer&Sekunder)

Keberlanjutan program pemerintah dalam

pembangunan infrastruktur penunjang produksi

pangan, memberikan optimisme pencapaian

target ketahanan pangan. RKP 2016

menargetkan sejumlah agenda program yang

mendukung pembangunan infrastruktur

penunjang produksi pangan (perbaikan jaringan

irigasi, pembangunan embung, pompa, perluasan

lahan). Realisasi dari program dimaksud

diharapkan mampu memitigasi potensi resiko

iklim terhadap produksi pangan di 2016.

Tabel V.2. Target Program Infrastruktur Penunjang Pangan di RKP 2016

Terkait dengan program pembangunan

dimaksud, dukungan dari pusat maupun daerah

sangat diperlukan. Salah satu bentuk dukungan

yang dapat dilakukan adalah penggunaan dana

desa yang mekanisme penyalurannya telah

semakin lancar. Hasil quick survey di wilayah

Jawa menunjukkan bahwa sebagian besar dana

desa (94% dari total alokasi), digunakan untuk

pembangunan desa.7

Belanja pembangunan

terutama digunakan untuk pembangunan dan

pemeliharaan sarana serta prasarana desa,

diantaranya jalan dan embung desa (75%).

Pemanfatan belanja pembangunan dana desa

juga untuk pembangunan jalan usaha tani dan

irigasi tersier (16%), air bersih dan sanitasi (1%),

serta saluran budidaya perikanan (3%).

7

Dana desa juga dipergunakan untuk pemberdayaan

masyarakat desa. Dana desa yang dialokasikan sebesar Rp6,51 triliun di Jawa telah tersalurkan kepada 22.481 desa dengan rata-rata alokasi sebesar Rp289,7 juta per desa. Secara indikatif, realisasi dana desa yang telah disalurkan di Jawa tersebut mencapai 98,46%.

Page 84: Laporan Nusantara Februari 2016.pdf (21,16 MB)

76

Ke depan, upaya mengawal penguatan

infrastruktur logistik dan penunjang produksi

pangan perlu terus menjadi perhatian. Risiko

inflasi dari kelompok bahan pangan yang masih

berpotensi terjadi perlu diantisipasi dengan baik.

Langkah pemerintah dalam melakukan

pembangunan infrastruktur logistik pangan dan

penunjang produksi pangan masih membutuhkan

waktu hingga terdapat dampak yang struktural.

Persistensi inflasi dan volatilitas serta disparitas

harga dalam jangka pendek masih membutuhkan

penanganan dari aspek pengendalian inflasi.

Roadmap pengendalian inflasi yang lebih terukur

dan strategis perlu menjadi acuan di daerah yang

menjadi garda depan dalam mengendalikan

inflasi.

Komitmen dan sinergi Pemerintah Pusat dan

Daerah bersama dengan Bank Indonesia dalam

pengendalian inflasi terus diperkuat. Dari sisi

Pemerintah Pusat, mulai di 2016 akan dinaikkan

alokasi dana insentif daerah secara signifikan

dalam rangka meningkatkan kinerja Pemerintah

Daerah. Adapun salah satu komponen penilaian

kinerja adalah pada aspek pengendalian inflasi.

Dari sisi Bank Indonesia, selain menjaga stabilitas

makroekonomi dan sistem keuangan, juga

terdapat upaya kongkrit untuk menjaga stabilitas

harga pangan strategis khususnya yang termasuk

dalam kelompok volatile food. Hal ini dilakukan

melalui pengembangan klaster pangan dengan

fokus spesifik di masing-masing wilayah. Klaster

pangan dimaksud dapat menjadi proyek

percontohan yang dapat direplikasi dan

dikembangkan menjadi integrated farming yang

lebih memberikan dampak terhadap

pengendalian inflasi.

Gambar VI.4. Langkah Pengendalian Inflasi Daerah

Page 85: Laporan Nusantara Februari 2016.pdf (21,16 MB)

77

Bagian VI

Isu Strategis 2: Dampak Perlambatan Ekonomi

Terhadap Ketahanan Korporasi Kinerja sektor Rumah Tangga dan korporasi secara umum masih menunjukkan perlambatan pada

triwulan IV 2015. Perlambatan terjadi sebagai dampak dari melambatnya pertumbuhan ekonomi

domestik serta kenaikan harga sebagai akibat dari pelemahan nilai tukar yang menyebabkan

tingkat konsumsi Rumah Tangga terus tertekan. Namun demikian, Rumah Tangga masih memiliki

optimisme terhadap kondisi perekonomian ke depan, yang tercermin dari peningkatan Indeks

Penjualan Riil (IPR) dan Indeks Keyakinan Konsumen (IKK). Perbaikan ini utamanya didorong oleh

pertumbuhan penjualan bahan bakar kendaraan bermotor dan perlengkapan rumah tangga lainnya

pada akhir tahun 2015. Tingkat risiko kredit Rumah Tangga di perbankan masih cukup terjaga

dengan NPL gross terindikasi masih relatif rendah meskipun sedikit mengalami peningkatan

dibanding semester sebelumnya.

Di sektor korporasi pun menunjukan gejala penurunan kinerja yang sama dengan Rumah Tangga.

Penurunan kinerja ini dipicu tidak hanya oleh perlambatan ekonomi domestik, namun didorong juga

oleh faktor eksternal khususnya pelemahan ekonomi dunia, penurunan harga beberapa komoditi

seperti batubara, kelapa sawit, karet, produk logam, serta minyak dan gas. Dengan kondisi tersebut,

korporasi masih menghadapi potensi risiko, yang mempengaruhi kinerja kreditnya. Meskipun risiko

kredit meningkat, namun masih dalam level yang aman. Ke depan potensi risiko dari sektor

korporasi masih tetap perlu diwaspadai di tengah utang dalam bentuk mata uang asing sektor

korporasi yang meningkat. Masih melambatnya pertumbuhan ekonomi

global dan berlanjutnya penurunan harga

komoditas masih menjadi perhatian bagi

korporasi Indonesia, terutama korporasi yang

bergerak pada lima sektor komoditas utama

seperti kelapa sawit, karet, batubara, produk

logam, serta minyak dan gas. Secara umum

kinerja keuangan korporasi yang bergerak pada

sektor komoditas cenderung melambat

dibandingkan dengan korporasi yang bergerak di

luar komoditas. Hal tersebut tercermin dari tren

kinerja keuangan yang menurun sejak akhir tahun

2011 hingga posisi terakhir pada September 2015

(Grafik VI.8).

Penurunan harga komoditas global berdampak

langsung terhadap turunnya tingkat profitabilitas

korporasi. Dari ke lima komoditas utama tersebut

yang masih mencatatkan keuntungan positif

adalah sektor kelapa sawit, meskipun nilainya

jauh menurun dibanding posisi September 2014.

Tingkat kerentanan korporasi juga meningkat,

dilihat dari indikator solvabilitas yang melemah

dan nilai debt to equity ratio (DER)1

yang

meningkat kecuali sektor batubara dan logam.

Peningkatan DER tersebut perlu diwaspadai di

tengah penurunan profitabilitas korporasi, yang

akan berdampak pada penurunan kinerja kredit

korporasi. Hal tersebut tercermin dari

kemampuan korporasi untuk membayar

utangnya yang menurun (lihat DSR dan ICR)2

(Tabel VI.3).

1 DER= total debt / equity

2 DSR = Debt Service Ratio (Cicilan pokok + bunga / EBITDA),

ICR = Interest Coverage Ratio (EBIT/biaya bunga)

Page 86: Laporan Nusantara Februari 2016.pdf (21,16 MB)

78

Sumber: Laporan Keuangan Korporasi di Bursa Efek Indonesia, Bloomberg. Diolah Keterangan: Jumlah korporasi komoditas: 70 dan non-komoditas 360

Grafik VI.8. Perkembangan Kinerja Korporasi Sektor Komoditas Secara Agregat

Tabel VI.3. Kinerja Korporasi Per Sektor Komoditas

Sumber: Laporan Keuangan Korporasi di Bursa Efek Indonesia, Bloomberg. Diolah Keterangan: Data 70 korporasi komoditas, posisi triwulan III 2014 dan triwulan III 2015

Menurunnya kinerja keuangan korporasi berbasis

komoditas selain terpengaruh oleh dampak

belum pulihnya perekonomian global yang

menyebabkan berkurangnya permintaan dari

negara-negara pengimpor juga adanya beberapa

hal lain seperti: regulasi pencemaran lingkungan,

pesaing baru, kurangnya investasi, dan

keterbatasan produksi, yang pada gilirannya

menggerus laba korporasi. Hal tersebut tercermin

dari ekspor yang menurun, dimana pada posisi

triwulan III 2015 ekspor komoditas utama

tumbuh negatif sebesar -25,11% (yoy). Tren

penurunan tersebut juga seiring dengan

melambatnya pertumbuhan Produk Domestik

Bruto (PDB) (Grafik VI.9).

Sumber: CEIC dan Bloomberg. Diolah Grafik VI.9. Perbandingan Pertumbuhan Pendapatan,

Ekspor dan Profit Korporasi Sektor Komoditas

Secara spasial, mayoritas wilayah bergantung

pada sektor pertanian, kehutanan, dan

perikanan serta pertambangan. Di beberapa

wilayah (Sumatera, Kalimantan dan KTI) sektor-

sektor tersebut memberikan sumbangan di atas

20% terhadap PDRB (Tabel VI.4).

Tabel VI.4. Sektor Dominan Berdasarkan Sumbangan ke PDRB

Sumber: Bank Indonesia. Diolah

Berdasarkan sebaran korporasi (listed) yang

bergerak pada sektor komoditas per wilayah,

Sumatera Jawa Kalimantan KTI

1. Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan 1 4 3 1

2. Pertambangan dan Penggalian 3 13 1 2

3. Industri Pengolahan 2 1 2 5

4. Pengadaan Listrik dan Gas 16 16 17 17

5. Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah, Limbah 17 17 16 16

6. Konstruksi 5 3 4 4

7. Perdagangan Besar dan Eceran, dan Reparasi 4 2 5 3

8. Transportasi dan Pergudangan 6 8 6 7

9. Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum 12 7 12 10

10. Informasi dan Komunikasi 8 5 10 8

11. Jasa Keuangan dan Asuransi 10 6 9 11

12. Real Estate 9 9 11 12

13. Jasa Perusahaan 15 12 15 15

14. Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan 7 11 7 6

15. Jasa Pendidikan 11 10 8 9

16. Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial 13 15 13 13

17. Jasa lainnya 14 14 14 14

Ranking Sektoral tahun 2014No. Sektor

PDRB

(Rp T)

Pangsa

total

PDRB

PDRB

(Rp T)

Pangsa

total PDRB

per DR (%)Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan 416.8 23.0 439.0 23.16

Industri Pengolahan 372.5 20.6 390.0 20.57

Pertambangan dan Penggalian 271.7 15.0 268.0 14.14

Industri Pengolahan 1,386.4 29.4 1,467.8 29.46

Perdagangan Besar dan Eceran, dan Reparasi 771.5 16.3 805.7 16.17

Konstruksi 486.5 10.3 513.0 10.30

Pertambangan dan Penggalian 293.5 38.8 293.8 37.67

Industri Pengolahan 131.1 17.3 134.0 17.18

Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan 87.3 11.6 91.0 11.67

Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan 193.4 21.6 206.2 21.75

Pertambangan dan Penggalian 119.3 13.3 115.8 12.21

Perdagangan Besar dan Eceran, dan Reparasi 99.3 11.1 106.8 11.26

DR 3

DR 2

DR 1

KTI

2014

SektorRegionalRegional

2013

Sumatera

Kalimantan

Jawa

DR 4

Page 87: Laporan Nusantara Februari 2016.pdf (21,16 MB)

79

Kalimantan memiliki eksposur risiko penurunan

harga komoditas paling besar, tercermin dari

tingkat profitabilitasnya yang menurun paling

dalam serta tingkat utang yang cukup besar. Dari

42 korporasi listed yang berada pada wilayah

Kalimantan, 50% diantaranya bergerak pada

sektor pertambangan Batubara dan 29%

diantaranya bergerak pada sektor perkebunan

Kelapa Sawit. Selanjutnya, dampak penurunan

harga komoditas juga berimplikasi pada wilayah

Jawa terlihat dari kinerja profitabilitas-nya yang

juga menurun cukup signifikan dengan diikuti

kemampuan membayar utang yang menurun.

Korporasi komoditas yang banyak bergerak di

wilayah Jawa adalah produk logam (besi dan

baja).

Grafik VI.10. Perkembangan Kinerja Korporasi Sektor

Komoditas Per Wilayah

Tabel VI.5. Perkembangan Kinerja Korporasi Sektor Komoditas Per Wilayah

Sumber: Laporan Keuangan Korporasi di Bursa Efek Indonesia, Bloomberg. Diolah

Menelaah lebih jauh pada sumber pembiayaan

korporasi komoditas, secara umum pendanaan

korporasi berasal dari pinjaman luar negeri. Di

Sumatera dan Jawa, sumber pembiayaan banyak

berasal dari Utang Luar Negeri (ULN). Hal

tersebut memberikan potensi risiko yang lebih

besar. Selain itu, korporasi komoditas di

Sumatera dan Jawa mayoritas mendapatkan ULN

dari non afiliasi. Sementara utang dalam negeri

(UDN), wilayah Sumatera dan Jawa banyak dalam

denominasi valas dibandingkan rupiah. Oleh

karena itu, korporasi komoditas di Sumatera dan

Jawa perlu diperhatikan karena semakin rentan

terhadap sejumlah risiko, terutama risiko nilai

tukar (currency risk), risiko likuiditas (liquidity

risk), dan risiko beban utang yang berlebihan

(overleverage risk).

Sejalan dengan wilayah lain, sumber pembiayaan

korporasi di Kalimantan dan KTI yang berasal dari

ULN memberikan potensi risiko lebih besar

dibandingkan pembiayaan dari UDN. Korporasi

komoditas di Kalimantan dan KTI mayoritas

mendapatkan ULN dari non afiliasi. Jika dilihat

dari kinerja kreditnya, besaran NPL UDN

korporasi komoditas batubara dan karet di

Kalimantan telah berada di atas batas normal.

Melihat perkembangan PDRB per wilayah,

terjadi perlambatan pertumbuhan PDRB, sejalan

dengan penurunan ekspor komoditas utama di

masing-masing wilayah. Meskipun dalam tren

yang melambat, pertumbuhan di wilayah KTI

mengalami peningkatan di tahun 2015 jika

dibandingkan dengan tahun 2014. Hal ini

ditengarai akibat adanya perubahan kebijakan di

sektor mineral dan energi (Grafik VI.11 dan Tabel

VI.8).

Page 88: Laporan Nusantara Februari 2016.pdf (21,16 MB)

80

Grafik VI.11. Perkembangan PDRB per Wilayah (yoy)

Tabel VI.8. Perkembangan Ekspor Menurut Wilayah Asal

Perlu diwaspadai penurunan kinerja korporasi

yang berbasis komoditas, dapat memicu

perlambatan pertumbuhan kredit. Wilayah

Kalimantan (mayoritas berbasis komoditas

batubara) menunjukkan pertumbuhan kredit

korporasi yang negatif, yaitu sebesar -1,02 (yoy)

dan diikuti dengan peningkatan NPL yaitu sebesar

5,31%. Hal ini mengindikasikan tingginya risiko

konsentrasi di Kalimantan sehingga melambatnya

kinerja sektor batubara di Kalimantan berdampak

singnifikan pada pertumbuhan kredit di wilayah

tersebut. Sementara itu, dari sisi dana pihak

ketiga (DPK), Sumatera memiliki pertumbuhan

DPK korporasi terendah yaitu sebesar 1,55% (yoy)

selanjutnya diikuti oleh Kalimantan dengan

pertumbuhan sebesar 3,17% (yoy) (Grafik VI.12).

Meskipun penurunan harga komoditas telah

meningkatkan risiko kredit perbankan, namun

dampaknya masih relatif terjaga. Hal tersebut

ditunjukkan dengan pangsa kredit korporasi pada

sektor komoditas yang relatif kecil (sekitar 17,9%)

jika dibandingkan dengan total kredit korporasi.

Grafik VI.12. Pertumbuhan Kredit, NPL dan DPK Korporasi Berbasis Komoditas Per Wilayah

Sumber: LBU Desember 2015

Perlambatan ekonomi domestik dan penurunan

harga komoditas juga berdampak kepada kredit

dan DPK perseorangan yang tumbuh melambat.

Sumatera mengalami pertumbuhan kredit

perseorangan paling rendah yaitu sebesar 7,25%

(yoy), dengan tingkat NPL tertinggi yaitu sebesar

3,26% bahkan melebihi NPL perseorangan

Page 89: Laporan Nusantara Februari 2016.pdf (21,16 MB)

81

industri yaitu sebesar 2,47%. Sebaliknya, KTI

mengalami peningkatan kredit perseorangan

yang tertinggi (11,9%, yoy) dengan tingkat NPL

yang paling rendah (2,25%). Berdasarkan pangsa

kredit perseorangan, Jawa memiliki pangsa paling

besar yaitu mencapai 59,89%, diikuti oleh

Sumatera (18,36%) dan KTI (15,66%). Sementara

itu, dari sisi DPK perseorangan, wilayah Jawa

mengalami pertumbuhan terendah dibandingkan

wilayah lainnya yaitu sebesar 5,32% (yoy) pada

Desember 2015. Perlambatan yang terjadi di

Jawa sangat berpengaruh terhadap DPK secara

nasional (pangsa DPK Jawa sebesar 70,20%

terhadap nasional). Sedangkan untuk wilayah lain

yang berbasis komoditas (Sumatera, Kalimantan,

dan KTI) secara umum memiliki tren

pertumbuhan DPK yang melambat, namun

demikian DPK di wilayah KTI mengalami

peningkatan di akhir tahun 2015 (Grafik VI.13).

Grafik VI.13. Pertumbuhan Kredit, NPL dan DPK

Perseorangan Berbasis Komoditas Per Wilayah

Sumber: LBU Desember 2015

Lesunya korporasi berbasis komoditas

berimplikasi pada penurunan indikator tenaga

kerja. Tingkat pengangguran terbuka di

Kalimantan pada Agustus 2015 mengalami

peningkatan menjadi 5,48%, terutama

disebabkan turunnya tenaga kerja sektor

pertambangan sampai dengan -6,06% (yoy) dari

344 ribu orang pada tahun 2014 menjadi 323 ribu

orang pada tahun 2015. Apabila dilihat

berdasarkan keahliannya, pengurangan tenaga

kerja di sektor pertambangan terutama dilakukan

terhadap tenaga kerja kasar dan operator alat

berat.

Sejalan dengan Kalimantan, di wilayah Sumatera

kondisi ketenagakerjaan tahun 2015 di subsektor

perkebunan kelapa sawit mulai menunjukan

penurunan bila dibandingkan dengan tahun 2014.

Hal ini tercermin dari perlambatan pertumbuhan

petani dan tenaga kerja di subsektor perkebunan

kelapa sawit serta kenaikan pengangguran

terbuka, baik di empat provinsi utama penghasil

kelapa sawit yaitu Provinsi Sumatera Utara, Riau,

Jambi dan Sumatera Selatan.

Sedangkan di Jawa, ketenagakerjaan

terkonsentrasi pada sektor manufaktur. Karena

itu, dampak perlambatan ekonomi domestik

sangat mempengaruhi sektor manufaktur yang

pada gilirannya mempengaruhi laba korporasi.

Penurunan laba korporasi tersebut memberi

tekanan korporasi untuk mengurangi

penggunaan tenaga kerja. Hal tersebut

terkonfirmasi melalui survei liaison bahwa

adanya penurunan penggunaan tenaga kerja

sejak triwulan II 2015. Akibatnya, tren

pengangguran di Jawa cenderung tetap pada

Page 90: Laporan Nusantara Februari 2016.pdf (21,16 MB)

82

tahun 2015, yang pada tahun-tahun sebelumnya

menurun.

Berbeda dengan wilayah lainnya, Menurunnya

kinerja korporasi komoditas di KTI tidak secara

langsung berpengaruh terhadap ketenagakerjaan

di wilayah tersebut. Hal ini disebabkan

karakteristik korporasi tambang adalah padat

modal, sehingga lebih berpengaruh terhadap

pertumbuhan ekonomi daerah tersebut.

Sejalan dengan turunnya kinerja keuangan

korporasi, kesejahteraan masyarakat juga

menurun. Di Kalimantan, melambatnya kinerja

sektor pertambangan dan sektor yang terkait

mengakibatkan pendapatan masyarakat juga

mengalami penurunan, tercermin dari tren

indeks penghasilan yang menurun. Namun

demikian, angka kemiskinan di Kalimantan

cenderung konstan, karena kenaikan angka

kemiskinan di kota diimbangi oleh penurunan

angka kemiskinan di desa. Hal tersebut

mengindikasikan kesejahteraan sebagai dampak

majunya sektor pertambangan hanya terbatas

dinikmati oleh penduduk kota. Hasil sektor

pertambangan lebih dinikmati oleh masyarakat

kelas ekonomi menengah ke atas juga tercermin

oleh rasio gini di Kalimantan yang cenderung

menurun.

Di Sumatera, sejalan dengan kinerja korporasi

yang melambat, kinerja sektor rumah tangga di

beberapa provinsi utama penghasil kelapa sawit

dan produk turunannya juga mengalami

penurunan. Hal ini tercermin dari (i) kenaikan

Tingkat pengangguran terbuka (TPT); (ii)

Penurunan Nilai Tukar Petani (NTP); (iii) Tren

penurunan Indeks Kondisi Ekonomi (IKE); (iv)

Perlambatan pertumbuhan tenaga kerja dan

petani kelapa Sawit dan (v) Penurunan daya beli

konsumen yang tercermin dari indeks

penghasilan dan indeks ketepatan konsumsi

durable goods.

Sementara itu, penurunan kinerja korporasi di

Jawa turut berimbas pada kemampuan debitur

rumah tangga dalam melakukan pembayaran

kredit konsumsi. Hal ini tercermin pada

peningkatan rata-rata NPL Kendaraan Bermotor

yang naik menjadi 1,3% dari 0,9% pada tahun

sebelumnya. Sementara NPL KPR masih stabil

pada angka 1,9%. Perlambatan ekonomi juga

cenderung menghambat pengentasan

kemiskinan. Hal ini terindikasi dari perlambatan

penurunan tingkat kemiskinan di Jawa

dibandingkan penurunan yang terjadi di tahun

2011. Pada tahun 2011 terjadi penurunan tingkat

kemiskinan hingga 4,1% dibandingkan tahun

2007 sedangkan pada tahun 2015 tingkat

kemiskinan hanya turun 1,6% jika dibandingkan

tahun 2011.

Di Kawasan Timur Indonesia tingkat

kesejahteraan penduduk lebih terpengaruh dari

melambatnya pertumbuhan ekonomi domestik

yang tercermin dari penurunan indeks

penghasilan dan meningkatnya tingkat

kemiskinan yang masih di atas level nasional.

Page 91: Laporan Nusantara Februari 2016.pdf (21,16 MB)

83

Tabel Indikator Ekonomi Makro Wilayah

Sumatera

2016

I II III IV Ip

PDRB (%,yoy) 4.64 3.55 2.88 3.13 4.56 3.54 4.29 4,22 -4,72

Sisi Permintaan

Konsumsi Rumah Tangga 5.42 5.24 5.16 4.80 4.49 4.95 4.86 5,07-5,57

Konsumsi LNPRT 11.19 (3.10) (3.10) 5.95 8.75 1.98 5.08 1,73-2,23

Konsumsi Pemerintah 3.03 1.94 2.79 5.54 7.39 4.42 2.65 2,54-3,04

Pembentukan Modal Tetap Bruto 3.98 1.34 1.06 3.13 5.68 3.29 3.87 4,06-4,56

Ekspor 3.98 2.53 5.58 7.19 (6.56) (6.70) 4.18 3,96-4,46

Impor 2.03 (10.92) (9.55) (11.17) (3.48) (11.13) 4.68 3,78-4,28

Net Ekspor 4.62 2.09 (0.09) (11.87) (14.93) 26.53 (1.98) 0,02-0,52

Sisi Produksi

Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan 5.45 5.69 2.30 0.71 6.18 3.60 5.28 5,18-5,68

Pertambangan dan Penggalian (1.71) (3.33) (2.17) (1.40) (3.83) (2.85) (1.80) (1.15) - (0,65)

Industri Pengolahan 4.81 1.97 2.86 4.30 5.76 3.76 4.74 4,38-4,88

Pengadaan Listrik dan Gas 5.92 4.70 0.80 2.10 3.39 3.24 (4.29) 1,14-1,64

Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah, Limbah

dan Daur Ulang 4.90 5.38 6.25 4.25 3.92 4.85 (4.38) (5,51)-(5,01)

Konstruksi 7.03 3.45 2.41 4.82 5.62 4.19 5.47 4,96-5,46

Perdagangan Besar dan Eceran, dan Reparasi

Mobil dan Sepeda Motor 5.73 4.87 4.29 3.20 4.86 4.38 5.49 5,24-5,74

Transportasi dan Pergudangan 6.41 7.88 7.15 8.16 5.57 7.16 5.18 5,32-5,82

Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum 7.82 8.06 6.74 7.28 8.90 7.67 7.21 6,78-7,28

Informasi dan Komunikasi 7.59 8.26 9.12 8.89 7.77 8.53 6.64 6,22-6,72

Jasa Keuangan dan Asuransi 3.79 4.67 0.69 5.42 6.07 4.06 5.49 4,93-5,43

Real Estate 6.60 5.59 5.50 5.83 6.32 5.80 4.89 4,55-5,05

Jasa Perusahaan 6.65 6.65 6.15 5.19 5.31 5.81 3.86 4,46-4,96

Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan

Jaminan Sosial Wajib 6.12 5.86 8.15 6.74 8.29 7.25 6.94 6,43-6,93

Jasa Pendidikan 7.86 9.29 7.42 7.17 4.91 6.95 3.12 5,26-5,76

Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial 7.38 6.76 7.52 8.68 6.27 7.46 4.54 5,00-5,50

Jasa lainnya 6.73 7.23 7.62 7.48 7.64 7.54 5.43 4,84-5,34

PDRB (%,yoy)

Provinsi Aceh 1.65 (2.02) (2.21) (0.29) 1.42 (0.72) 3.18 2,90-3,40

Provinsi Sumatera Utara 5.23 4.82 5.13 5.09 5.32 5.08 5.40 5,09-5,59

Provinsi Sumatera Barat 5.85 5.49 5.31 4.93 5.74 5.41 5.41 5,31-5,81

Provinsi Riau 2.62 (0.03) (2.54) (1.38) 4.45 0.22 1.76 1,41-1,91

Provinsi Kepulauan Riau 7.76 5.95 5.17 4.38 3.18 4.21 3.90 3,65-4,15

Provinsi Jambi 7.32 7.16 6.25 5.40 5.20 6.02 5.84 5,59-6,09

Provinsi Sumatera Selatan 4.68 4.62 4.74 4.75 3.94 4.44 4.93 4,68-5,18

Provinsi Bengkulu 5.49 5.38 5.23 5.18 4.86 5.14 5.07 4,82-5,32

Provinsi Lampung 5.08 4.95 5.08 5.22 5.33 5.13 5.40 5,15-5,65

Provinsi Kep. Bangka Belitung 4.68 4.10 3.97 3.97 4.28 4.05 4.19 3,94-4,44

2016pIndikator Makroekonomi Daerah 20142015

2015

Tahun Dasar 2010

Page 92: Laporan Nusantara Februari 2016.pdf (21,16 MB)

84

2016

I II III IV Ip

Inflasi IHK (%,yoy) 8.62 6.12 7.74 6.79 3.05 3.05 5.17 4,29-4,79

Provinsi Aceh 8.08 5.45 6.24 4.19 1.53 1.53 4.03 5,16-5,66

Provinsi Sumatera Utara 8.17 6.14 7.81 6.62 3.24 3.24 5.39 3,75-4,25

Provinsi Sumatera Barat 11.57 6.28 8.17 6.25 1.08 1.08 4.91 5,05-5,55

Provinsi Riau 8.64 6.17 7.39 5.70 2.65 2.65 5.13 4,20-4,70

Provinsi Kepulauan Riau 7.59 5.66 8.21 8.30 4.40 4.40 5.93 4,20-4,70

Provinsi Jambi 8.75 4.88 6.42 5.30 1.37 1.37 5.07 4,67-5,17

Provinsi Sumatera Selatan 8.48 6.26 7.49 6.99 3.10 3.10 4.25 3,63-4,13

Provinsi Bengkulu 10.85 7.65 9.90 8.65 3.25 3.25 6.12 5,07-5,57

Provinsi Lampung 8.09 6.64 8.17 7.70 4.34 4.34 5.22 5,33-5,83

Provinsi Kep. Bangka Belitung 9.04 6.74 6.90 7.33 3.27 3.27 5.79 4,21-4,71

2016pIndikator Makroekonomi Daerah 20142015

2015

Tahun Dasar 2010

Page 93: Laporan Nusantara Februari 2016.pdf (21,16 MB)

85

Tabel Indikator Ekonomi Makro Wilayah Jawa

Tahun Dasar 2010

I II III IV Ip

PDRB (%,yoy) 5.6 5.3 5.2 5.5 5.9 5.5 5.61 5.59 - 5.99

Sisi Permintaan

Konsumsi Rumah Tangga 5.1 4.8 4.8 4.1 4.5 4.5 5.00 4.94 - 5.34

Konsumsi LNPRT 12.7 (11.8) (12.3) 4.5 5.9 (4.0) 6.01 4.94 - 5.34

Konsumsi Pemerintah 2.7 0.3 1.7 7.9 5.2 4.2 5.47 5.81 - 6.21

Pembentukan Modal Tetap Bruto 4.8 5.1 4.3 4.1 3.8 4.3 4.15 5.15 - 5.55

Ekspor 3.0 (1.5) (1.4) 0.6 (4.5) (1.7) 5.77 6.11 - 6.51

Impor 1.2 (5.0) (9.2) (9.0) (12.4) (9.0) (1.57) 0.81 - 1.21

Net Ekspor Antar Daerah (4.1) 1.4 (5.0) (12.5) (30.9) (10.7) (18.71) (8.40) - (8.80)

Sisi Produksi

Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan 1.3 2.6 6.7 1.8 2.4 3.4 3.23 4.00 - 4.40

Pertambangan dan Penggalian 3.1 (0.2) 6.1 5.5 8.9 5.1 3.79 3.41 - 3.81

Industri Pengolahan 5.8 4.8 3.9 5.0 4.8 4.6 5.12 5.23 - 5.63

Pengadaan Listrik dan Gas 4.3 (5.4) (3.9) (3.3) (2.9) (3.9) 2.22 2.45 - 2.85

Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah,

Limbah dan Daur Ulang3.3 4.8 4.5 4.1 3.7 4.2 4.12 3.11 - 3.51

Konstruksi 5.5 4.9 3.8 5.0 5.6 4.8 5.06 5.51 - 5.91

Perdagangan Besar, Eceran, dan Reparasi

Mobil dan Sepeda Motor4.5 4.3 4.3 4.1 4.0 4.2 4.55 4.99 - 5.39

Transportasi dan Pergudangan 8.7 8.7 9.1 8.2 6.6 8.1 6.70 7.94 - 8.34

Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum 7.2 6.5 6.5 6.8 7.8 6.9 5.05 5.61 - 6.01

Informasi dan Komunikasi 11.0 10.0 10.1 9.5 9.5 9.8 8.68 9.21 - 9.61

Jasa Keuangan dan Asuransi 4.5 8.8 2.6 11.3 15.2 9.5 9.74 8.91 - 9.31

Real Estate 6.1 5.9 5.3 5.1 4.6 5.2 5.44 5.43 - 5.83

Jasa Perusahaan 8.8 7.1 7.8 7.9 7.8 7.6 7.97 7.87 - 8.27

Administrasi Pemerintahan, Pertahanan

dan Jaminan Sosial Wajib1.3 2.4 3.6 4.1 4.4 3.7 4.25 3.96 - 4.36

Jasa Pendidikan 7.3 6.5 8.2 7.6 6.9 7.3 7.18 6.68 - 7.08

Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial 8.9 8.7 7.5 8.3 8.2 8.2 8.06 7.68 - 8.08

Jasa lainnya 7.8 7.5 6.3 6.8 7.7 7.1 7.30 (3.74) - (3.34)

PDRB (%,yoy) 5.6 5.3 5.2 5.5 5.9 5.5 5.61 5.59 - 5.99

DKI Jakarta 5.91 5.54 5.33 6.12 6.48 5.88 6.49 6.31 - 6.71

Jawa Barat 5.09 4.91 4.94 5.02 5.23 5.03 5.17 5.17 - 5.57

Banten 5.47 5.51 5.21 5.90 4.87 5.37 5.14 5.23 - 5.63

Jawa Tengah 5.28 5.64 5.06 5.00 6.08 5.44 4.91 4.96 - 5.36

DI Yogyakarta 5.16 4.26 4.63 5.33 5.50 4.94 5.16 5.13 - 5.53

Jawa Timur 5.86 5.05 5.23 5.53 5.94 5.44 5.35 5.46 - 5.86

Inflasi IHK (%,yoy) 8.35 6.28 7.07 6.71 3.12 3.12 4.29 3.9 - 4.3

DKI Jakarta 8.95 7.10 7.59 7.24 3.30 3.30 4.43 4.10 - 4.50

Jawa Barat 7.60 5.46 6.51 6.11 2.73 2.73 4.01 3.14 - 3.54

Banten 10.20 7.46 8.91 8.14 4.29 4.29 6.08 5.20 - 5.60

Jawa Tengah 8.21 5.68 6.15 5.78 2.73 2.73 3.63 3.91 - 4.31

DI Yogyakarta 6.59 5.13 5.68 5.23 3.09 3.09 4.13 4.19 - 4.59

Jawa Timur 7.77 6.08 6.77 6.69 3.08 3.08 4.03 4.18 - 4.58

20162016pIndikator Makroekonomi Daerah 2014

20152015

Page 94: Laporan Nusantara Februari 2016.pdf (21,16 MB)

86

Tabel Indikator Ekonomi Makro Wilayah

Kalimantan

Tahun Dasar 20102016p

I II III IVp I

PDRB (%,yoy) 3.29 1.96 1.43 0.42 1.45 1.31 2.43 2.1 - 2.5

Sisi Permintaan

Konsumsi Rumah Tangga 3.90 3.41 3.72 4.00 3.41 3.64 3.68 4.2 - 4.6

Konsumsi LNPRT 2.74 -4.07 4.64 11.06 15.15 6.60 9.72 5.4 - 5.8

Konsumsi Pemerintah 3.52 6.63 6.99 7.23 -9.08 0.76 2.53 2.3 - 2.7

Pembentukan Modal Tetap Bruto 6.07 2.95 2.03 5.41 -1.41 2.19 0.98 2.4 - 2.8

Ekspor 0.13 -0.37 0.13 -1.94 -1.44 -0.91 2.05 2.5 - 2.9

Impor -0.09 -2.22 1.99 2.12 -6.51 -1.34 1.24 5 - 5.4

Sisi Produksi

Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan 5.12 5.46 5.76 3.81 1.46 4.11 3.15 4.3 - 4.7

Pertambangan dan Penggalian 0.14 -0.86 -3.05 -5.94 -5.71 -3.91 -3.21 (-2.5) - (-2.3)

Industri Pengolahan 2.17 -1.82 1.18 2.51 10.30 3.01 7.70 3 - 3.4

Pengadaan Listrik dan Gas 17.10 38.44 28.05 25.87 -1.19 20.12 17.03 17.6 - 18

Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah, Limbah

dan Daur Ulang 6.65 3.40 5.55 4.02 5.23 4.56 4.28 5 - 5.4

Konstruksi 7.57 4.06 2.05 2.66 2.50 2.80 3.85 4.1 - 4.5

Perdagangan Besar, Eceran, dan Reparasi Mobil

dan Sepeda Motor 5.43 4.29 3.96 3.22 5.59 4.26 5.73 5.4 - 5.8

Transportasi dan Pergudangan 6.29 7.39 7.26 5.50 4.22 6.04 4.42 4.1 - 4.5

Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum 6.07 5.41 6.42 6.18 5.77 5.95 5.38 4.4 - 4.8

Informasi dan Komunikasi 10.65 11.51 8.83 8.45 8.42 9.25 8.24 9.4 - 9.8

Jasa Keuangan dan Asuransi 5.00 4.81 -0.24 6.03 3.76 3.57 6.44 5.7 - 6.1

Real Estate 6.90 7.61 4.52 4.19 2.65 4.68 2.80 4.7 - 5.1

Jasa Perusahaan 7.35 2.96 2.14 2.62 0.47 2.03 1.38 3.4 - 3.8

Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan

Jaminan Sosial Wajib 7.59 7.02 8.61 8.08 9.09 8.24 8.42 6.2 - 6.6

Jasa Pendidikan 9.74 10.21 10.33 9.74 5.04 8.68 8.85 9.6 - 10

Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial 7.93 7.66 9.82 10.03 8.51 9.00 7.58 9.4 - 9.8

Jasa lainnya 7.47 6.67 7.08 6.82 8.48 7.28 7.60 7.7 - 8.1

PDRB (%,yoy) 3.29 1.96 1.43 0.42 1.45 1.31 2.43 2.1 - 2.5

Kalimantan Barat 5.03 6.33 4.06 4.55 4.35 4.81 4.84 5 - 5.4

Kalimantan Tengah 6.21 7.57 7.05 6.87 6.56 7.01 5.86 6.3 - 6.7

Kalimantan Selatan 4.85 3.97 3.32 3.92 4.14 3.84 4.23 3.9 - 4.3

Kalimantan Timur 2.17 -0.21 -0.39 -2.25 -0.55 -0.85 0.95 0.3 - 0.7

Inflasi IHK (%,yoy) 7.87 7.31 7.33 7.40 5.12 5.12 4.99 4.09 - 4.49

Kalimantan Barat 9.43 8.94 9.04 8.84 5.79 5.79 4.89 4.12 - 4.52

Kalimantan Tengah 7.07 5.90 5.85 5.75 4.74 4.74 5.12 2.99 - 3.39

Kalimantan Selatan 7.28 7.00 6.07 7.04 5.15 5.15 5.44 4.36 - 4.76

Kalimantan Timur 7.67 7.08 7.55 7.33 4.89 4.89 4.78 4.21 - 4.61

Indikator Makroekonomi Daerah 20142015

2015p 2016p

Page 95: Laporan Nusantara Februari 2016.pdf (21,16 MB)

87

Tabel Indikator Ekonomi Makro Wilayah

Kawasan Timur Indonesia

I II III IV Ip

PDRB (%,yoy) 6.1 6.5 9.4 8.9 8.6 8.4 7.6 7.1 - 7.5

Sisi Permintaan

Konsumsi Rumah Tangga 5.8 5.7 5.7 5.4 5.2 5.5 6.3 6.6 - 7.0

Konsumsi Lembaga Nonprofit Rumah Tangga 10.0 (4.0) (1.8) 6.5 11.5 3.0 5.6 4.2 - 4.6

Konsumsi Pemerintah 3.8 6.0 4.5 5.3 10.6 6.9 7.0 7.0 - 7.4

Pembentukan Modal Tetap Bruto 8.6 8.7 10.0 9.2 8.5 9.1 7.5 9.4 - 9.8

Ekspor Luar Negeri (9.0) 29.5 51.7 12.8 (4.3) 18.8 18.0 13.8 - 14.2

Impor Luar Negeri 10.1 (16.3) (2.2) 6.1 18.2 1.4 15.3 11.1 - 11.5

Net Ekspor Antardaerah

Sisi Produksi

Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan 6.6 4.0 6.1 3.6 3.5 4.3 4.5 4.8 - 5.2

Pertambangan dan Penggalian (2.3) 7.3 23.6 22.1 19.2 18.1 9.5 4.8 - 5.2

Industri Pengolahan 7.7 5.7 11.8 9.4 11.0 9.5 12.3 13.1 - 13.5

Pengadaan Listrik dan Gas 10.8 6.5 (2.6) (2.2) (0.7) 0.1 7.5 9.2 - 9.6

Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah, Limbah dan

Daur Ulang 5.6 2.6 3.6 1.1 2.9 2.5 5.4 5.2 - 5.6

Konstruksi 8.3 9.6 9.1 9.9 9.8 9.6 7.2 7.3 - 7.7

Perdagangan Besar, Eceran, dan Reparasi Mobil

dan Sepeda Motor 7.6 6.1 6.8 7.2 8.1 7.1 7.8 8.4 - 8.8

Transportasi dan Pergudangan 6.8 6.6 7.1 7.9 5.7 6.8 6.8 7.7 - 8.1

Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum 7.2 6.4 5.7 5.9 5.9 5.9 7.6 6.9 - 7.3

Informasi dan Komunikasi 7.3 7.3 7.3 8.8 9.1 8.2 7.9 7.8 - 8.2

Jasa Keuangan dan Asuransi 6.3 9.1 2.2 10.0 6.1 6.8 7.5 7.8 - 8.2

Real Estate 7.7 6.9 6.5 6.1 5.9 6.4 8.4 7.3 - 7.7

Jasa Perusahaan 7.7 4.0 5.2 6.3 6.5 5.5 8.4 6.6 - 7.0

Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan

Jaminan Sosial Wajib 8.4 6.7 8.5 7.8 9.4 8.1 7.7 7.1 - 7.5

Jasa Pendidikan 7.4 8.9 8.4 7.9 4.4 7.3 8.0 7.4 - 7.8

Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial 8.8 7.6 8.2 9.1 6.9 7.9 6.9 7.2 - 7.6

Jasa lainnya 7.6 7.1 6.9 7.9 7.0 7.2 7.1 6.9 - 7.3

PDRB Menurut Provinsi (%, yoy)

Provinsi Sulawesi Selatan 7.5 5.7 8.0 7.6 7.2 7.1 7.4 7.5 - 7.9

Provinsi Sulawesi Barat 8.9 5.6 8.7 6.3 8.7 7.4 11.8 8.3 - 8.7

Provinsi Sulawesi Tenggara 6.3 5.7 7.2 7.0 7.5 6.9 6.8 6.9 - 7.3

Provinsi Sulawesi Tengah 5.1 16.5 15.1 15.6 15.1 15.6 13.9 14.7 - 15.1

Provinsi Gorontalo 7.3 4.8 6.7 5.9 7.7 6.2 5.6 6.4 - 6.8

Provinsi Sulawesi Utara 6.3 6.4 6.3 6.3 5.6 6.1 6.2 6.1 - 6.5

Provinsi Maluku Utara 5.5 5.0 6.5 6.8 6.0 6.1 6.1 6.0 - 6.4

Provinsi Maluku 6.6 4.1 5.5 5.6 6.5 5.4 6.7 6.3 - 6.7

Provinsi Papua Barat 5.4 (2.0) 7.0 6.6 5.2 4.1 5.0 4.9 - 5.3

Provinsi Papua 3.8 1.6 13.8 2.5 14.1 8.0 13.6 8.9 - 9.3

Provinsi Bali 6.7 6.0 5.9 6.3 6.0 6.0 6.2 6.1 - 6.5

Provinsi Nusa Tenggara Barat 5.1 19.4 20.1 34.2 12.0 21.2 0.7 1.8 - 2.2

Provinsi Nusa Tenggara Timur 5.1 4.6 5.1 5.1 5.1 5.0 4.8 5.1 - 5.5

Tahun Dasar 2010

Indikator Makroekonomi Daerah 2016p20142015

20152016

Page 96: Laporan Nusantara Februari 2016.pdf (21,16 MB)

88

IV I II III IV Jan Ip IVp

Inflasi IHK (%,yoy) 8.31 6.83 7.43 7.25 4.06 4.82 5.40 4.71 - 5.11

Provinsi Sulawesi Selatan 8.61 7.13 8.06 8.36 4.48 5.94 6.05 5.04 - 5.44

Provinsi Sulawesi Barat 7.89 6.68 7.59 6.48 5.07 4.87 6.02 3.43 - 3.83

Provinsi Sulawesi Tenggara 8.45 7.80 7.35 7.25 2.27 4.35 5.19 5.26 - 5.66

Provinsi Sulawesi Tengah 8.84 5.28 6.00 5.36 4.17 3.62 6.91 4.07 - 4.47

Provinsi Gorontalo 6.14 5.28 6.09 7.39 4.30 5.03 5.45 4.22 - 4.62

Provinsi Sulawesi Utara 9.67 7.99 8.73 9.35 5.56 6.12 6.59 4.30 - 4.70

Provinsi Maluku 7.19 9.07 8.85 8.14 6.15 4.10 3.29 5.24 - 5.64

Provinsi Maluku Utara 9.35 7.92 8.22 6.60 4.52 5.65 6.28 5.52 - 5.92

Provinsi Papua 9.11 6.84 8.20 7.06 3.59 4.32 4.10 4.14 - 4.54

Provinsi Papua Barat 6.56 7.00 8.24 6.11 5.34 6.20 5.75 5.03 - 5.43

Provinsi Bali 8.43 6.42 6.97 6.56 2.75 3.52 4.25 4.68 - 5.08

Provinsi Nusa Tenggara Barat 7.22 5.98 6.04 5.41 3.43 4.12 5.37 4.40 - 4.80

Provinsi Nusa Tenggara Timur 7.76 5.39 6.01 6.74 4.92 5.06 6.14 4.35 - 4.75

2016

Tahun Dasar 2010

Indikator Makroekonomi Daerah2014 2015

Page 97: Laporan Nusantara Februari 2016.pdf (21,16 MB)

Penanggung Jawab dan Editor

Koordinator Penyusun

Tim Penulis

Arief Hartawan Noor Yudanto Handri Adiwilaga Darius Tirtosuharto Maximilian T. Tutuarima Neva Andina Puput Kurniati Bayu Adi Gunawan Agung Budilaksono Rifat Pasha Rizki Fitrama

Frida Yunita Sinurat Hayatullah Khumeini Adela Putri Rizkia Bernard Hasiholan Evy Marya Deswita Siburian Andree Breitner Makahinda

Page 98: Laporan Nusantara Februari 2016.pdf (21,16 MB)
Page 99: Laporan Nusantara Februari 2016.pdf (21,16 MB)