Laporan Nusantara Agustus 2016.pdf (11,77 MB)

99

Transcript of Laporan Nusantara Agustus 2016.pdf (11,77 MB)

Page 1: Laporan Nusantara Agustus 2016.pdf (11,77 MB)
Page 2: Laporan Nusantara Agustus 2016.pdf (11,77 MB)
Page 3: Laporan Nusantara Agustus 2016.pdf (11,77 MB)
Page 4: Laporan Nusantara Agustus 2016.pdf (11,77 MB)

IV

Page 5: Laporan Nusantara Agustus 2016.pdf (11,77 MB)

V

Daftar isi v

Kata Pengantar vii

Bagian I 1 Ringkasan Perkembangan Terkini dan Prospek Ekonomi Daerah

Bagian II 9 Perekonomian Sumatera

Boks 1 20 Mendorong Pengembangan Ekonomi Batam dan Daerah Sekitarnya

Bagian III 23 Perekonomian Jawa

Boks 2 37 Implementasi Paket Kebijakan Pemerintah di Daerah (Hasil Survei Terhadap

Pelaku Usaha di Jawa)

Bagian IV 39

Perekonomian Kalimantan

Boks 3 52

Menuju Transformasi Ekonomi Kalimantan

Bagian V 55 Perekonomian Kawasan Timur Indonesia

Boks 4 69

Potensi Industri Perikanan KTI

Bagian VI 71 Isu Strategis :

Mempercepat Pembangunan Infrastruktur Maritim untuk Mendukung

Pertumbuhan Ekonomi yang Berkelanjutan dan Mendorong Peningkatan

Kepariwisataan

Lampiran 83

Page 6: Laporan Nusantara Agustus 2016.pdf (11,77 MB)
Page 7: Laporan Nusantara Agustus 2016.pdf (11,77 MB)

alam proses perumusan kebijakan, selain asesmen menyeluruh

perekonomian global dan nasional, Bank Indonesia selalu

mempertimbangkan berbagai dinamika perekonomian dan isu terkini

dalam perspektif kewilayahan. Secara periodik, pembahasan menyeluruh

terkait perkembangan perekonomian terkini dan berbagai isu strategis

yang mengemuka di daerah dilakukan antara Dewan Gubernur dengan

Kepala Departemen Regional yang mewakili 4 (empat) wilayah di seluruh

Indonesia1. Pembahasan tersebut memberikan pemahaman mendalam terkait kondisi

makroekonomi disertai berbagai aspek risiko spasial yang berkembang dan menjadi bagian

penting dalam proses perumusan kebijakan.

Pada triwulan II 2016, pertumbuhan ekonomi secara nasional tercatat sebesar 5,18%, lebih

tinggi dibandingkan triwulan sebelumnya yang tumbuh sebesar 4,91%. Akselerasi

pertumbuhan ekonomi pada triwulan ini terutama didorong oleh meningkatnya ekonomi

Sumatera dan Jawa. Hampir seluruh provinsi di dua wilayah tersebut tumbuh meningkat,

kecuali Aceh. Di sisi lain, perekonomian Kalimantan dan KTI tumbuh melambat bersumber

dari melambatnya laju ekonomi beberapa provinsi seperti Kalimantan Barat, Gorontalo,

Sulawesi Barat, Nusa Tenggara Barat, dan Papua Barat; serta kontraksi cukup dalam yang

terjadi di Kalimantan Timur dan Papua. Pertumbuhan ekonomi di berbagai wilayah pada

triwulan ini terutama ditopang oleh konsumsi rumah tangga, yang tumbuh meningkat

seiring pergeseran masa Ramadhan yang menjadi lebih banyak berada pada triwulan II,

serta didukung membaiknya daya beli masyarakat karena Tunjangan Hari Raya (THR). Selain

itu, perbaikan ekspor dan konsumsi pemerintah juga menopang pertumbuhan pada triwulan

II 2016. Namun, masih terkontraksinya pertambangan dan melambatnya industri

pengolahan menahan pertumbuhan, terutama untuk wilayah di luar Jawa.

Perkembangan terkini indikator perekonomian di berbagai daerah secara agregat

mengindikasikan potensi berlanjutnya peningkatan perekonomian di triwulan III 2016.

Perbaikan tersebut ditopang oleh akselerasi investasi, baik investasi bangunan maupun non-

bangunan, membaiknya ekspor, serta masih kuatnya konsumsi rumah tangga. Membaiknya

kinerja investasi didorong oleh berlanjutnya realisasi berbagai proyek infrastruktur

pemerintah berskala besar. Investasi swasta juga membaik seiring dengan intensifnya

kebijakan yang ditempuh oleh Pemerintah untuk mendorong peningkatan iklim usaha di

daerah. Sementara itu, perbaikan ekspor dapat mendorong kembali peningkatan kinerja

perekonomian di berbagai daerah, terutama ditopang oleh ekspor antar daerah.

Perkembangan inflasi di berbagai daerah pada triwulan II 2016 (Juni 2016) secara agregat

berada pada level yang terjaga, yakni sebesar 3,45%. Realisasi inflasi pada periode

Ramadhan ini bahkan cenderung lebih rendah dibandingkan rata-rata historisnya dalam lima

tahun terakhir. Realisasi inflasi yang terendah pada akhir triwulan II 2016 terjadi di wilayah

Jawa (3,14%), diikuti Sumatera (3,71%), Kawasan Timur Indonesia (3,94%), dan Kalimantan

(4,87%). Terjaganya inflasi di sepanjang triwulan II 2016 dipengaruhi oleh masa panen padi

yang berlangsung di sejumlah daerah sentra produksi serta minimalnya kendala distribusi di

tengah mulai meningkatnya permintaan memasuki periode Ramadhan.

1 Terhitung sejak 2015, bahasan ekonomi dan keuangan daerah dibagi menjadi 4 (empat) wilayah yaitu Sumatera,

Jawa, Kalimantan dan Kawasan Timur Indonesia (KTI-mencakup Sulawesi, Maluku, Papua, Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur).

D

Page 8: Laporan Nusantara Agustus 2016.pdf (11,77 MB)

Prospek pertumbuhan ekonomi daerah pada tahun 2016 mengindikasikan secara agregat

perekonomian akan tumbuh lebih tinggi dibanding 2015, yakni di kisaran 4,9-5,3%; sedikit

lebih rendah dari prakiraan sebelumnya yang sebesar 5,0-5,4%. Perbaikan perekonomian

diprakirakan akan ditopang oleh pertumbuhan ekonomi Jawa dan Sumatera yang didorong

oleh realisasi berbagai proyek infrastruktur berskala besar di daerah. Sementara itu, prospek

perkembangan inflasi di berbagai daerah untuk keseluruhan tahun 2016 tetap terkendali

dalam kisaran sasaran inflasi sebesar 4%±1%. Perkiraan masih terbatasnya perbaikan harga

komoditas global serta harga minyak dunia berdampak pada rendahnya tekanan inflasi.

Demikian halnya dengan tekanan permintaan domestik yang diperkirakan masih tumbuh

terbatas sejalan dengan belum kuatnya ekspektasi perbaikan ekonomi dari pelaku ekonomi

domestik.

Pada edisi kali ini, Laporan Nusantara mengangkat isu khusus mengenai “Mempercepat

Pembangunan Infrastruktur Maritim untuk Mendukung Pertumbuhan Ekonomi yang

Berkelanjutan dan Mendorong Peningkatan Kepariwisataan”. Isu tersebut diangkat dengan

latar belakang fakta output kegiatan ekonomi di sektor maritim yang masih sangat jauh dari

potensi yang dimiliki yang bahkan mengakibatkan terjadinya defisit neraca jasa di industri

pelayaran dan perkapalan akibat sejumlah kendala seperti lemahnya industri galangan kapal

dan komponen kapal, dominasi asing dalam jasa pelayaran, serta terbatasnya SDM maritim

yang berkualitas. Walaupun Indonesia sesungguhnya memiliki potensi yang besar juga

dalam sektor perikanan dan pariwisata bahari, namun kedua sektor tersebut masih relatif

tertinggal dibandingkan dengan negara-negara tetangga. Oleh karena itu, strategi kebijakan

maritim yang terintegrasi perlu dirumuskan untuk mengatasi persoalan struktural di sektor

maritim, sejalan dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) serta

sesuai dengan prioritas Pemerintah untuk mengembangkan industri maritim.

Penyusunan buku Laporan Nusantara ini dilakukan secara bersama antara Departemen

Kebijakan Ekonomi dan Moneter (DKEM) dan Departemen Regional I-IV yang masing-masing

membawahi regional Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Kawasan Timur Indonesia. Akhir

kata, kami berharap buku Laporan Nusantara ini dapat bermanfaat dan menjadi acuan bagi

para pemangku kepentingan dan pemerhati ekonomi daerah, serta menjadi salah satu

kontribusi Bank Indonesia dalam pembangunan ekonomi daerah.

Jakarta, 25 Agustus 2016

Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter

Juda Agung

Direktur Eksekutif

Page 9: Laporan Nusantara Agustus 2016.pdf (11,77 MB)

1

Perkembangan Terkini Perekonomian Daerah

Perekonomian nasional pada triwulan II 2016

tumbuh meningkat dibanding triwulan

sebelumnya. Pertumbuhan ekonomi pada

triwulan laporan tercatat sebesar 5,18%, lebih

tinggi dibanding triwulan sebelumnya yang

tumbuh 4,91%2

. Akselerasi pertumbuhan

ekonomi pada triwulan II 2016 terutama

didorong oleh meningkatnya ekonomi Sumatera

dan Jawa. Hampir seluruh provinsi di dua wilayah

tersebut tumbuh meningkat, kecuali Aceh.

Sementara itu, perekonomian Kalimantan dan KTI

tumbuh melambat bersumber dari melambatnya

laju ekonomi beberapa provinsi seperti

Kalimantan Barat, Gorontalo, Sulawesi Barat,

Nusa Tenggara Barat, dan Papua Barat, serta

kontraksi cukup dalam yang terjadi di Kalimantan

Timur dan Papua.

Meningkatnya perekonomian Jawa dari 5,31%

menjadi 5,73% pada triwulan II 2016 terutama

bersumber dari konsumsi. Meningkatnya

konsumsi terjadi baik pada konsumsi rumah

tangga maupun konsumsi pemerintah.

Pergeseran masa Ramadhan yang menjadi lebih

banyak berada pada triwulan II, didukung

membaiknya daya beli masyarakat karena

Tunjangan Hari Raya (THR) mendorong kenaikan

konsumsi rumah tangga. Sementara konsumsi

pemerintah juga menunjukkan kenaikan seiring

meningkatnya realisasi belanja pemerintah

terutama terkait penyaluran gaji ke-13 dan ke-14.

Masuknya masa panen tanaman bahan makanan

di sejumlah daerah sentra produksi juga turut

menjadi sumber meningkatnya pertumbuhan

ekonomi Jawa. Di samping itu, perbaikan ekspor

di Jawa Timur dan Jawa Barat turut mendorong

2 Berdasarkan angka rilis BPS pada 5 Agustus 2016

kenaikan pertumbuhan ekonomi Jawa secara

keseluruhan.

Pertumbuhan ekonomi Sumatera juga

meningkat terutama didorong oleh konsumsi

rumah tangga, konsumsi pemerintah dan

investasi. Realisasi pertumbuhan ekonomi

Sumatera meningkat dari 4,18% menjadi 4,49%

pada triwulan II 2016. Seperti halnya di kawasan

Jawa, pola musiman di bulan Ramadhan yang

disertai dengan perbaikan daya beli akibat gaji

ke-13 dan ke-14 memberikan tambahan daya

dorong bagi pertumbuhan ekonomi Sumatera. Di

sisi lain, kenaikan investasi di Sumatera lebih

dipengaruhi oleh investasi swasta, terutama

terkait replanting CPO dan industri karet, serta

berlanjutnya proyek infrastruktur pemerintah

berskala besar seperti di Sumatera Selatan.

Kenaikan pertumbuhan ekonomi Sumatera juga

bersumber dari meningkatnya kinerja pertanian

seiring kenaikan produksi sawit yang didukung

membaiknya permintaan dan harga yang

mendorong ekspor, serta masa panen tanaman

bahan makanan di beberapa daerah sentra

produksi. Meski demikian, meningkatnya kinerja

Sumatera tertahan oleh masih berlanjutnya

kontraksi lifting migas di Riau dan produksi gas

alam cair (LNG) di Aceh, serta terbatasnya

produksi timah di Bangka Belitung.

Sementara itu, perekonomian Kawasan Timur

Indonesia (KTI) justru tumbuh melambat. Pada

triwulan II 2016, pertumbuhan ekonomi berbagai

daerah di KTI secara agregat tumbuh 5,91% atau

lebih rendah dibanding periode sebelumnya yang

tumbuh 6,27%. Beberapa daerah di KTI yang

tercatat tumbuh melambat antara lain Gorontalo,

Sulawesi Barat, dan Nusa Tenggara Barat.

Provinsi Papua bahkan tercatat mengalami

kontraksi pertumbuhan ekonomi yang cukup

dalam hingga -5,91%. Secara umum,

Page 10: Laporan Nusantara Agustus 2016.pdf (11,77 MB)

2

melambatnya kinerja ekonomi KTI disebabkan

oleh turunnya kinerja tambang dan industri LNG,

khususnya di Papua dan Papua Barat, yang diikuti

menurunnya kinerja ekspor luar negeri dan

terbatasnya kinerja investasi swasta. Namun,

berlanjutnya proyek infrastruktur pemerintah

berskala besar di sejumlah daerah, meningkatnya

aktivitas perdagangan di masa Ramadhan-

Lebaran, serta panen tanaman bahan makanan di

beberapa daerah sentra produksi dapat menahan

perlambatan ekonomi KTI lebih lanjut.

Perekonomian Kalimantan pada triwulan II 2016

tercatat berada pada tingkat yang cukup rendah

yakni sebesar 1,13%; melambat dibanding

triwulan lalu yang sebesar 1,44%. Melambatnya

ekonomi Kalimantan terutama karena

perekonomian Kalimantan Timur yang

terkontraksi lebih dalam dibanding triwulan

sebelumnya. Kondisi ini terutama dipengaruhi

melambatnya kinerja industri LNG, masih

berlanjutnya pertumbuhan negatif di sektor

tambang, serta terbatasnya produksi sawit.

Perkembangan kinerja lapangan usaha utama di

Kalimantan yang kurang menguntungkan

tersebut juga diikuti terbatasnya investasi swasta

dan lebih mengandalkan investasi dari proyek

infrastruktur pemerintah. Selain itu, penyerapan

belanja pemerintah cenderung terbatas seiring

rasionalisasi belanja karena menurunnya Dana

Bagi Hasil (DBH).

Gambar I.1. Peta Pertumbuhan Ekonomi Daerah Triwulan II 2016

Perkembangan terkini indikator perekonomian

di berbagai daerah mengindikasikan potensi

berlanjutnya perbaikan perekonomian secara

agregat pada triwulan III 2016. Perbaikan

tersebut ditopang oleh akselerasi investasi, baik

investasi bangunan maupun non-bangunan,

membaiknya ekspor, serta masih kuatnya

konsumsi rumah tangga. Membaiknya kinerja

investasi didorong oleh berlanjutnya realisasi

berbagai proyek infrastruktur pemerintah

berskala besar. Investasi swasta juga membak

seiring kondusifnya perekonomian seiring

intensifnya kebijakan yang ditempuh oleh

pemerintah untuk mendorong peningkatan iklim

usaha di daerah. Sementara itu, perbaikan ekspor

dapat mendorong kembali peningkatan kinerja

perekonomian di berbagai daerah, terutama

ditopang oleh ekspor antar daerah. Di Sumatera,

perbaikan ekspor antar daerah terutama untuk

pemenuhan sawit domestik di tengah masih

terbatasnya permintaan ekspor luar negeri. Di

Jawa, peningkatan ekspor lebih didorong ekspor

antar daerah terutama untuk komoditas

pertanian, produk makanan-minuman, dan tekstil

seiring dengan masih kuatnya permintaan

domestik. Di Kalimantan, ekspor alumina dan

batubara ke negara mitra dagang diperkirakan

membaik. Di KTI, perbaikan ekspor ke luar negeri

Page 11: Laporan Nusantara Agustus 2016.pdf (11,77 MB)

3

didukung oleh selesainya masa perbaikan mesin

tambang mineral di Papua, membaiknya produksi

perikanan di Maluku, serta masih tingginya

permintaan mitra dagang terhadap produk

industri.

Tabel I.1. Tendensi Arah Perekonomian Daerah Triwulan III 2016*

* Tendensi arah kondisi ekonomi secara tahunan (year-on-year)

Keterangan : merah (berkontribusi negatif terhadap PDRB), hijau (berkontribusi positif terhadap PDRB)

Stabilitas Keuangan Daerah

Kinerja keuangan sektor korporasi pada triwulan

II 2016 menunjukkan adanya perbaikan meski

masih terbatas karena belum cukup kuatnya

aktivitas di sektor swasta. Hal ini tercermin dari

penyaluran kredit ke sektor korporasi yang

tumbuh sebesar 17,39% (yoy), meningkat

dibanding triwulan lalu 15,38% (yoy).

Peningkatan penyaluran kredit korporasi tertinggi

terjadi di Jawa, yakni dari 16,0% di triwulan I

2016 menjadi 18,2% pada akhir triwulan II 2016,

terutama didorong kenaikan penyaluran kredit ke

sektor perdagangan dan konstruksi. Di sisi lain,

pertumbuhan penyaluran kredit korporasi di

Kalimantan masih sangat rendah, yakni sebesar

5,04%. Meski demikian, kenaikan penyaluran

kredit tersebut juga diikuti meningkatnya risiko

non performing loans (NPL) di hampir seluruh

lapangan usaha utama di berbagai wilayah.

Di sisi lain, kinerja keuangan sektor rumah

tangga masih relatif stabil. Hal ini tercermin dari

penyaluran kredit ke sektor rumah tangga yang

tumbuh stabil di angka 8,3% sejak triwulan lalu.

Masih stabilnya kinerja sektor rumah tangga

didorong akselerasi pertumbuhan kredit di luar

Jawa, namun diimbangi oleh perlambatan

pertumbuhan kredit di Jawa. Kondisi tersebut

terutama dipengaruhi kredit multiguna, yang

tumbuh akseleratif di luar Jawa, namun

sebaliknya di Jawa. Stabilnya kinerja keuangan

juga didukung dengan masih terjaganya risiko

NPL yang mencapai 3,7% sejak triwulan lalu.

Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah

Aktivitas transaksi keuangan selama periode

triwulan II 2016 terindikasi meningkat terutama

terkait masuknya periode Ramadhan. Nilai

transaksi keuangan melalui sistem Real Time

Tendensi Asesmen Tendensi Asesmen Tendensi Asesmen Tendensi Asesmen

Pertumbuhan

Ekonomi

Didorong akselerasi

investasi & perbaikan

ekspor. Scr sektoral,

didorong peningkatan

sektor utama, kecuali

Perdagangan.

Didorong akselerasi

konsumsi dan investasi.

Sektor utama diperkirakan

meningkat.

Tumbuh terbatas didorong

akselerasi konsumsi

Pemerintah dan investasi,

meski tertahan

melambatnya konsumsi RT &

Industri pengolahan.

Didorong stabilnya

konsumsi RT serta

akselerasi investasi dan

sektor-sektor utama.

Konsumsi RT

Menurun pasca mencapai

puncaknya di triwulan

sebelumnya.

Kenaikan optimisme

konsumen sebagaimana

tercermin pada Survei

Pedagang Eceran (SPE) dan

Survei Konsumen (SK).

Kembali normalnya

konsumsi makanan pasca

Ramadhan.

Tingkat pendapatan

terjaga.

Penyelenggaraan MICE

masih marak. Tertahan

oleh penjualan barang

tahan lama yang melambat.

Konsumsi

Pemerintah

Belum optimalnya realisasi

belanja Pemda, yang

dibayangi pemotongan

Transfer ke daerah.

Simpanan APBD di Bank

sebagai alternatif sumber

pembiayaan di tengah

kebijakan pemotongan

transfer ke daerah.

Lebih optimalnya realisasi

belanja Pemda, meski

dibayangi pemotongan

Transfer ke daerah.

Pencairan dana desa

diperkirakan masih

terkendala.

Investasi

(PMTB)

Terindikasi dari

meningkatnya impor barang

modal.

Meningkat seiring realisasi

proyek infrastruktur

pemerintah. Di sisi swasta,

pelonggaran kebijakan

LTV/FTV turut mendorong

pembangunan properti.

Pasca selesainya proses

lelang di Tw II 2016, realisasi

proyek infrastruktur

pemerintah dilakukan di Tw

III 2016.

Akselerasi pembangunan

infrastruktur. Turunnya

suku bunga mendukung

optimisme pelaku usaha

dalam melakukan investasi.

Ekspor

Membaiknya permintaan

CPO Domestik di tengah

tertahannya ekspor LN

Lebih didorong Ekspor Antar

Daerah seiring masih

tingginya permintaan

domestik.

Level kontraksi batubara

menurun, ekspor alumina

Kalbar dan CPO meningkat.

Di sisi lain, produksi LNG

turun.

Tambang di Papua

membaik. Permintaan mitra

dagang untuk produk

industri masih tinggi.

Produksi perikanan

meningkat.

Impor Meningkatnya impor bahan

baku & barang modal.

Sejalan dengan kinerja

industri manufaktur, impor

mengalami peningkatan

terutama impor bahan baku

dan barang modal.

Peningkatan impor barang

modal d.r. percepatan

infrastruktur. Naiknya impor

bahan makanan menjelang

Idul Adha.

Impor barang antara turun,

karena perusahaan

tambang & manufaktur

sudah melakukan stok pada

Tw II 2016.

KAWASAN TIMUR INDONESIAPDRB NASIONAL

SUMATERA JAWA KALIMANTAN

Page 12: Laporan Nusantara Agustus 2016.pdf (11,77 MB)

4

Gross Settlement (RTGS) sepanjang triwulan II

2016 tumbuh negatif 3,46% (yoy) atau senilai

Rp27.117 triliun, sedikit membaik dibanding

periode triwulan sebelumnya yang tumbuh

negatif 7,41%. Demikian halnya dari sisi volume

yang menunjukkan perbaikan transaksi pada

sistem RTGS, yakni tumbuh dari -48,98% menjadi

-47,77% atau sekitar 1,52 juta transaksi.

Gambar I.2. Peta Inflasi Daerah, Juli 2016 (yoy)

Peningkatan aktivitas transaksi keuangan juga

terlihat pada kliring. Perputaran kliring melalui

Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI)

pada triwulan II 2016 secara nominal tumbuh

56,22% atau senilai Rp1.160 triliun, meningkat

dibanding triwulan lalu yang tumbuh 51,58%.

Secara volume, transaksi perputaran kliring juga

tumbuh meningkat dari 48,55% menjadi 50,75%.

Sejalan dengan hal tersebut, peredaran uang

kartal menunjukkan peningkatan seiring

akselerasi pertumbuhan konsumsi rumah

tangga. Hal tersebut tercermin dari peningkatan

outflow uang kartal dari Bank Indonesia

sepanjang triwulan II 2016 yaitu 62,2% (yoy), jauh

lebih tinggi dibandingkan triwulan sebelumnya

yang tumbuh 12,1% (yoy). Peningkatan yang

signifikan tersebut didorong pergeseran bulan

Ramadhan yang lebih banyak terjadi di triwulan II

terkait peningkatan aktivitas penukaran uang

menjelang Lebaran.

Perkembangan Inflasi

Perkembangan inflasi di berbagai daerah

sepanjang triwulan II 2016 terjaga dalam level

yang cukup rendah. Realisasi inflasi pada akhir

triwulan II 2016 (Juni 2016), yang merupakan

periode Ramadhan, secara agregat tercatat

sebesar 3,45% (yoy). Realisasi inflasi pada periode

Ramadhan ini bahkan cenderung lebih rendah

dibandingkan rata-rata historisnya dalam 5 tahun

terakhir. Secara umum, terkendalinya inflasi di

sepanjang periode triwulan II 2016 dipengaruhi

oleh masa panen padi yang berlangsung di

sejumlah daerah sentra produksi dengan capaian

yang lebih baik dibanding periode panen tahun

sebelumnya. Hal tersebut didukung minimalnya

kendala distribusi di tengah mulai meningkatnya

permintaan memasuki periode Ramadhan.

Realisasi inflasi (yoy) yang terendah pada akhir

triwulan II 2016 terjadi di wilayah Jawa (3,14%),

diikuti Sumatera (3,71%), Kawasan Timur

Indonesia (3,94%), dan Kalimantan (4,87%).

Memasuki awal triwulan III 2016, tren

penurunan inflasi masih terus berlanjut di

tengah masuknya periode lebaran. Inflasi Jawa

secara agregat bahkan tercatat berada di bawah

3% atau sebesar 2,96%, diikuti inflasi di Sumatera

(3,50%), Kawasan Timur Indonesia (3,61%), dan

Kalimantan (3,92%). Tren menurunnya inflasi di

berbagai daerah terutama karena relatif

minimalnya tekanan kenaikan harga pangan

seiring dengan pasokan yang cukup memadai

serta intensifnya upaya pemerintah untuk

mengendalikan harga-harga. Tekanan inflasi

triwulan III 2016 secara bulanan (month-to-

Page 13: Laporan Nusantara Agustus 2016.pdf (11,77 MB)

5

month) lebih bersumber dari kenaikan harga

daging ayam ras, ikan segar, cabai merah, dan

daging sapi. Kondisi terkendalinya inflasi

diperkirakan akan terus berlanjut, meskipun tarif

angkutan udara dan angkutan antar kota sempat

mencatatkan inflasi yang cukup tinggi pada Juli

2016 yaitu pada periode peak season Lebaran,

sebagaimana pola historisnya. Hingga akhir

triwulan III 2016, inflasi berbagai daerah di Jawa,

Sumatera, dan KTI secara agregat masing-masing

masih akan berada di bawah 4%. Sementara itu,

inflasi di Kalimantan diperkirakan berada sedikit

di atas 4% dengan kecenderungan lebih rendah

dibanding realisasi akhir triwulan II 2016.

Terkendalinya inflasi tidak terlepas dari

berbagai kebijakan pemerintah untuk

memperkuat pasokan pangan. Upaya

menambah pasokan secara serentak di seluruh

daerah dapat mengatasi kenaikan permintaan

yang terjadi di seluruh daerah pada masa

Ramadhan 2016. Upaya Pemerintah untuk

memperkuat pasokan ditempuh antara lain

melalui intensifnya upaya peningkatan produksi

pangan, pemenuhan pasokan dari berbagai

sumber, termasuk impor, didukung berlanjutnya

program gerai maritim dan tol laut, serta

pelaksanaan operasi pasar beras yang diikuti

koordinasi kuat dalam forum Tim Pengendalian

Inflasi, baik di tingkat pusat maupun daerah.

Selain itu, berbeda dengan tahun-tahun

sebelumnya, kegiatan pasar murah di bulan

Ramadhan tahun ini tidak hanya dilakukan untuk

komoditas beras, minyak goreng, dan gula pasir,

namun juga komoditas penyumbang inflasi

lainnya, seperti pasar murah telur ayam di

Padang, pasar murah cabai merah di Banten, dan

operasi pasar daging sapi oleh Bulog yang

dilakukan secara serentak di seluruh daerah.

Prospek dan Tantangan Ekonomi Daerah

Prospek Ekonomi Daerah

Perkembangan terkini berbagai indikator

perekonomian di daerah mengindikasikan

prospek perekonomian pada 2016 tumbuh lebih

baik dibandingkan realisasi pertumbuhan

ekonomi di 2015, meski sedikit lebih rendah dari

prakiraan sebelumnya. Perbaikan perekonomian

terutama ditopang oleh meningkatnya kinerja

pertumbuhan ekonomi Jawa dan Sumatera.

Meski demikian, perbaikan perekonomian masih

dibayangi risiko belum optimalnya penyerapan

belanja daerah di tengah upaya penghematan

belanja pemerintah yang antara lain berupa

pemotongan dana transfer ke daerah. Selain itu,

masih tingginya ketidakpastian ekonomi global

yang berimbas pada ekspor daerah diperkirakan

turut membatasi kinerja perekonomian daerah

secara keseluruhan. Melihat berbagai

perkembangan tersebut, pertumbuhan ekonomi

keseluruhan tahun 2016 diperkirakan berada di

kisaran 4,9 – 5,3% (yoy), sedikit lebih rendah dari

kisaran sebelumnya, yaitu 5,0 – 5,4% (yoy).

Pertumbuhan ekonomi Jawa diprakirakan

ditopang oleh menguatnya konsumsi rumah

tangga disertai peningkatan kinerja

perdagangan antar daerah. Hal tersebut

tercermin dari indeks keyakinan konsumen yang

membaik secara gradual sejak pertengahan

tahun. Selain itu, berlanjutnya pembangunan

infrastruktur berskala besar di berbagai daerah di

Jawa turut mendorong perbaikan ekonomi Jawa

secara keseluruhan. Pemulihan ekonomi negara

tujuan ekspor utama juga diprakirakan turut

mendorong perbaikan kinerja ekspor luar negeri

yang diikuti oleh kinerja industri pengolahan.

Pertumbuhan ekonomi Sumatera diprakirakan

bersumber dari meningkatnya realisasi proyek

infrastruktur pemerintah disertai masih kuatnya

konsumsi rumah tangga. Pembangunan

beberapa proyek infrastruktur berskala besar di

Sumatera seperti pembangunan jalan trans

Sumatera, pembangkit listrik, dan sarana

penunjang kegiatan Asian Games 2018

diperkirakan dapat mendorong investasi dan

kinerja perekonomian secara keseluruhan. Selain

itu, perkiraan membaiknya ekspor seiring

membaiknya harga komoditas di pasar global

serta rendahnya inflasi akan berdampak positif

pada penguatan konsumsi rumah tangga.

Page 14: Laporan Nusantara Agustus 2016.pdf (11,77 MB)

6

Sementara itu, sedikit optimis dibanding

prakiraan sebelumnya, perekonomian

Kalimantan akan membaik terbatas dan dapat

tumbuh positif walaupun masih relatif rendah.

Perkiraan membaiknya produksi sawit dan

beroperasinya smelter alumina diprakirakan akan

menopang pertumbuhan ekonomi Kalimantan

hingga akhir 2016. Namun, kontraksi kinerja

pertambangan masih akan menjadi penghambat

kinerja perekonomian Kalimantan secara

keseluruhan seiring masih rendahnya harga

komoditas, meski mulai membaik sejak tengah

tahun 2016.

Sementara itu, hanya perekonomian KTI yang

diprakirakan tumbuh lebih lambat, walaupun

masih relatif lebih tinggi daripada wilayah

lainnya. Prakiraan melambatnya ekonomi KTI

dipengaruhi oleh perkembangan kinerja ekspor,

khususnya pertambangan, yang masih belum

menunjukkan adanya perbaikan berarti serta

lebih rendahnya capaian investasi untuk hilirisasi

pasca beroperasinya beberapa smelter di KTI.

Meski demikian, pertumbuhan ekonomi KTI

masih akan berada di level yang cukup tinggi

karena ditopang oleh konsumsi yang masih kuat

seiring prospek peningkatan pendapatan pada

usaha jasa dan perdagangan.

Di sisi inflasi, perkembangan terkini di berbagai

daerah mengindikasikan, hingga akhir tahun

2016, inflasi diperkirakan tetap terkendali dan

secara agregat berada dalam kisaran sasaran

inflasi nasional 4%±1%. Masih terbatasnya

kenaikan harga komoditas global serta masih

rendahnya harga minyak dunia berdampak pada

rendahnya tekanan inflasi dari faktor eksternal.

Demikian halnya dengan tekanan permintaan

domestik yang diperkirakan masih belum kuat

sejalan dengan ekspektasi perbaikan ekonomi

yang masih terbatas dari pelaku ekonomi

domestik. Selain itu, kebijakan pemerintah yang

membatalkan kenaikan tarif listrik non-subsidi

untuk daya 900VA juga turut mendukung

prakiraan rendahnya inflasi di akhir 2016.

Meski demikian, risiko inflasi dari kenaikan

harga bahan pangan tetap perlu diwaspadai.

Beberapa komoditas pangan seperti cabai merah,

bawang merah, dan ikan diperkirakan

menghadapi masalah gangguan produksi akibat

menguatnya potensi La Nina yang ditandai

tingginya curah hujan di paruh kedua 2016.

Wilayah yang paling rentan terdampak fenomena

La Nina ini antara lain Kalimantan bagian selatan,

Sulawesi, Sumatera bagian utara dan barat, serta

Indonesia bagian timur. Di samping itu, risiko

inflasi yang bersumber dari potensi terjadinya

kendala distribusi karena persoalan struktural

terkait infrastruktur dan tata niaga juga tetap

perlu dicermati.

Semakin intensifnya koordinasi antara Bank

Indonesia dan Pemerintah di tingkat pusat dan

daerah akan dapat mendukung upaya

pengendalian inflasi. Kebijakan pengendalian

inflasi difokuskan pada upaya menjaga

ketersediaan dan keterjangkauan pasokan

pangan, meningkatkan kelancaran distribusi,

serta mengelola ekspektasi masyarakat melalui

komunikasi yang intensif. Langkah pemerintah

untuk meningkatkan kapasitas produksi pangan

domestik ditempuh melalui pembukaan lahan

pertanian baru serta pembangunan berbagai

infrastruktur pendukung produksi pertanian dan

konektivitas. Berlanjutnya program Gerai Maritim

yang dipadu dengan Tol Laut diperkirakan

berdampak positif bagi stabilitas harga pangan ke

depan. Di tingkat daerah, koordinasi dalam

wadah Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID)

akan terus diperkuat dengan implementasi

program yang mulai mengarah pada pengentasan

persoalan struktural. Implementasi tersebut

antara lain dilakukan melalui penguatan pasar

lelang pangan daerah, kerjasama antar daerah

untuk pemenuhan pasokan pangan, serta inisiatif

penghapusan Peraturan Daerah yang kurang

mendukung dari sisi keterjangkauan harga.

Tantangan Ke Depan

Pemulihan ekonomi di 2016 masih dibayangi

tantangan yang cukup berat karena tingginya

Page 15: Laporan Nusantara Agustus 2016.pdf (11,77 MB)

7

ketidakpastian global, kinerja fiskal yang

terbatas, serta masih terbatasnya optimisme

sektor swasta terhadap prospek pemulihan

perekonomian. Hasil referendum di Inggris yang

memutuskan untuk keluar dari Uni Eropa serta

masih lemahnya ekonomi Tiongkok yang diikuti

terbatasnya perbaikan harga komoditas global

menambah tingginya ketidakpastian ekonomi

dunia. Kondisi tersebut berimbas pada

terbatasnya perbaikan ekonomi daerah,

terutama daerah yang mengandalkan ekspor

komoditas primer (SDA). Di sisi lain, hal itu juga

berdampak pada turunnya pendapatan fiskal

daerah serta terbatasnya peningkatan kinerja

korporasi karena turunnya pendapatan usaha.

Selain itu, percepatan penyerapan belanja

daerah untuk menstimulasi pertumbuhan

ekonomi daerah perlu menjadi perhatian.

Sampai dengan akhir triwulan II 2016, saldo dana

milik Pemda di perbankan di berbagai daerah

masih cukup besar, yang secara agregat

mencapai Rp219,5 triliun. Efisiensi anggaran

pemerintah guna menjaga kesinambungan fiskal

yang ditempuh melalui kebijakan pemotongan

anggaran belanja APBN sebesar Rp133,8 triliun,

akan turut mempengaruhi stimulus fiskal daerah.

Pemotongan itu terdiri dari pengurangan belanja

Kementerian/Lembaga sebesar Rp65 triliun dan

dana transfer ke daerah sebesar Rp68,8 triliun.

Walaupun demikian, masih cukup besarnya

cadangan SiLPA yang dimiliki Pemda di berbagai

daerah diperkirakan masih mampu meredam

dampak dari upaya efisiensi belanja tersebut.

Sementara itu, langkah pengendalian inflasi

masih dihadapkan pada berbagai risiko dan

tantangan struktural. Masih terbatasnya

kapasitas produksi pangan, struktur pasar yang

belum efisien, dan infrastruktur logistik yang

belum memadai merupakan tantangan terbesar

bagi stabilitas harga pangan dalam jangka

panjang. Kondisi ini menyebabkan tingginya

ketergantungan produksi pangan terhadap faktor

iklim dan cuaca, serta besarnya disparitas harga

antara produsen-konsumen maupun antar-

wilayah. Di samping itu, masih terbatasnya

kapasitas dan akses transportasi di beberapa

daerah juga kerap mendorong kenaikan inflasi

yang bersumber dari angkutan, terutama pada

periode peak seasons.

Untuk mengatasi berbagai risiko tersebut,

strategi kebijakan yang terintegrasi dan

koordinasi yang intensif antara pusat-daerah

perlu secara konsisten dilakukan dan diperkuat.

Langkah koordinasi diarahkan pada upaya untuk

mempercepat implementasi pembangunan

berbagai infrastruktur utama yang mampu

menjadi akselerator bagi kinerja perekonomian

daerah di tahun 2016. Di sektor maritim, sejalan

dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang

Nasional (RPJPN) serta sesuai dengan prioritas

Pemerintah, perlu dirumuskan kebijakan

integratif yang mampu mendorong

berkembangnya industri maritim domestik.

Strategi kebijakan maritim yang terintegrasi

tersebut ditujukan untuk meningkatkan kinerja

sektor maritim dan juga pariwisata. Output

sektor maritim saat ini masih jauh di bawah

potensi yang dimiliki. Kendala seperti lemahnya

industri perkapalan dan pendukungnya, dominasi

asing dalam jasa pelayaran, serta terbatasnya

kualitas SDM maritim, telah mengakibatkan

defisit neraca jasa terutama di industri pelayaran,

asuransi, jasa galangan kapal. Lebih jauh,

walaupun Indonesia memiliki potensi yang besar

juga dalam sektor perikanan dan pariwisata

bahari, namun pada kedua sektor tersebut,

Indonesia masih relatif tertinggal dibandingkan

dengan negara-negara tetangga. Hanya strategi

kebijakan maritim yang terintegratif yang mampu

mengatasi persoalan struktural lintas sektoral

yang dihadapi, yang mencakup tidak saja

perbaikan infrastruktur terkait kemaritiman

namun juga dukungan kuat pemerintah terkait

regulasi dan insentif pengembangannya. (Lihat

Isu Khusus “Mempercepat Pembangunan

Infrastruktur Maritim untuk Mendukung

Pertumbuhan Ekonomi yang Berkelanjutan dan

Mendorong Peningkatan Kepariwisataan”).

Page 16: Laporan Nusantara Agustus 2016.pdf (11,77 MB)

8

“halaman ini sengaja dikosongkan”

Page 17: Laporan Nusantara Agustus 2016.pdf (11,77 MB)

9

Perekonomian Sumatera pada triwulan II 2016 tumbuh lebih tinggi dibandingkan triwulan

sebelumnya; dari 4,18% (yoy) menjadi 4,49% (yoy). Peningkatan tersebut didorong oleh

pertumbuhan konsumsi rumah tangga, konsumsi pemerintah, dan investasi swasta. Dari sisi

sektoral, di tengah masih terbatasnya kinerja pertambangan, pertumbuhan ekoomi ditopang oleh

perbaikan kinerja lapangan usaha pertanian dan lapangan usaha perdagangan besar dan eceran.

Dari sisi harga, perkembangan inflasi selama triwulan II 2016 dapat terkendali pada tingkat yang

rendah di tengah periode Ramadhan – Lebaran di bulan Juni 2016. Pada akhir triwulan II 2016,

inflasi berbagai daerah di Sumatera secara agregat tercatat sebesar 3,71% (yoy), lebih rendah

dibanding periode akhir triwulan sebelumnya sebesar 5,71% (yoy). Penurunan laju inflasi bersumber

dari terkendalinya harga pangan seiring dengan terjaganya pasokan pangan dan koreksi harga

pada administered prices. Di samping itu, terjaganya inflasi juga ditopang oleh semakin intensifnya

upaya koordinasi pengendalian harga yang ditempuh oleh Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID).

Sejalan dengan perbaikan perekonomian, stabilitas keuangan Sumatera juga relatif terjaga, di

tengah masih terbatasnya pertumbuhan kredit yang disertai dengan peningkatan risiko kredit.

Hingga akhir tahun 2016, perbaikan ekonomi di Sumatera diperkirakan terus berlanjut terutama

didukung peningkatan konsumsi rumah tangga seiring dengan perbaikan daya beli, peningkatan

konsumsi pemerintah, dan investasi. Dengan kondisi tersebut, perekonomian Sumatera hingga akhir

2016 diperkirakan tumbuh di kisaran 4,2–4,7% (yoy), lebih baik dari capaian tahun 2015 sebesar

3,54% (yoy). Sementara itu, belum optimalnya penyerapan belanja pemerintah daerah disertai

kemungkinan pemotongan alokasi transfer daerah menjadi risiko yang dapat menahan laju

pertumbuhan ekonomi Sumatera. Dari sisi harga, inflasi triwulan III 2016 diperkirakan sedikit

meningkat terutama didorong oleh peningkatan biaya pendidikan dan kenaikan harga pangan

seiring momentum Idul Adha dan potensi gangguan produksi pangan akibat dampak menguatnya

La Nina yang diperkirakan terjadi hingga akhir tahun. Namun demikian, inflasi berbagai daerah di

Sumatera pada akhir tahun 2016 diperkirakan akan berada pada kisaran 4,3-4,8% sejalan dengan

prospek terjaganya pasokan pangan dan minimalnya kebijakan pemerintah terkait tarif.

Pertumbuhan Ekonomi

Perekonomian Sumatera pada triwulan II 2016

tumbuh lebih tinggi dibandingkan triwulan

sebelumnya, terutama didorong konsumsi

rumah tangga dan investasi. Pada triwulan II

2016, pertumbuhan ekonomi Sumatera tumbuh

4,49% (yoy), lebih tinggi dari pertumbuhan

triwulan sebelumnya sebesar 4,18% (yoy).

Peningkatan laju pertumbuhan terjadi pada

seluruh provinsi di Sumatera, kecuali Aceh (Tabel

II.1). Konsumsi rumah tangga, konsumsi

pemerintah, dan investasi menjadi penopang

utama semakin cepatnya aktivitas ekonomi di

hampir seluruh provinsi di Sumatera. Di samping

itu, periode musim panen serta perbaikan harga

komoditas turut mendorong kinerja pertanian

dan perkebunan. Laju pertumbuhan ekonomi

Aceh pada triwulan II 2016 yang lebih lambat dari

triwulan sebelumnya terutama disebabkan oleh

penurunan kinerja lapangan usaha pertambangan

dan industri pengolahan.

Sering dengan periode Ramadhan – Lebaran,

kinerja konsumsi rumah tangga di Sumatera

pada triwulan II 2016 mengalami peningkatan.

Pada triwulan II 2016, konsumsi rumah tangga

tercatat tumbuh 5,51% (yoy), lebih tinggi

dibandingkan pertumbuhan triwulan I 2016

sebesar 5,24% (yoy). Peningkatan konsumsi

Page 18: Laporan Nusantara Agustus 2016.pdf (11,77 MB)

10

rumah tangga selain didukung oleh terjaganya

daya beli akibat inflasi yang relatif rendah, juga

ditopang oleh pencairan gaji ke-13/14 yang

dilakukan menjelang perayaan Idul Fitri.

Peningkatan laju pertumbuhan konsumsi rumah

tangga tersebut searah dengan peningkatan

Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) dari 117,15

pada triwulan I 2016 menjadi 118,37 pada

triwulan II 2016. (Grafik II.1).

Tabel II. 1 Pertumbuhan Ekonomi Daerah di Sumatera Indikator

Makroekonomi Daerah

2015 2015 2016

II III IV I II

PDRB (% YoY) 2.98 3.13 4.56 3.52 4.18 4.49

Aceh (2.09) (0.29) 1.42 (0.72) 3.66 3.54

Sumut 5.13 5.09 5.32 5.08 5.02 5.67

Sumbar 5.48 4.93 5.74 5.41 5.48 5.78

Riau (2.13) (1.38) 4.45 0.22 2.34 2.40

Jambi 4.33 4.38 3.18 4.21 3.42 3.57

Kep. Riau 6.70 5.40 5.20 6.02 4.58 5.40

Sumsel 4.71 4.75 3.94 4.44 4.94 5.13

Bengkulu 5.24 5.18 4.86 5.14 4.99 5.41

Lampung 5.06 5.22 5.33 5.13 5.05 5.21

Kep. Babel 3.97 3.97 4.28 4.05 3.30 3.67

Sumber: BPS

Grafik II.1. Perkembangan Indeks Keyakinan Konsumen

(IKK)

Pertumbuhan konsumsi pemerintah di berbagai

daerah di Sumatera juga relatif tinggi. Pada

triwulan laporan, konsumsi pemerintah tumbuh

7,45% (yoy) jauh lebih tinggi dibanding realisasi

triwulan sebelumnya yang hanya sebesar 1,67%

(yoy). Peningkatan realisasi konsumsi pemerintah

itu tercermin dari kontraksi simpanan Pemda di

perbankan sebesar 30,6% (yoy) (Grafik II.2).

Peningkatan konsumsi pemerintah terutama

dipengaruhi oleh pencairan gaji ke-13 dan ke-14,

dan peningkatan belanja rutin.

Grafik II.2. Pertumbuhan Simpanan Pemda di Perbankan

Realisasi investasi pada triwulan II 2016 tumbuh

5,66% (yoy), lebih tinggi daripada triwulan

sebelumnya sebesar 4,91% (yoy). Meningkatnya

investasi tersebut terutama didorong oleh

realisasi pembangunan infrastruktur pemerintah

berskala besar serta investasi swasta non-

konstruksi, seperti replanting yang dilakukan oleh

perusahaan-perusahaan perkebunan dan

penambahan kapasitas produksi. Peningkatan

kapasitas produksi itu sejalan dengan hasil liaison

Bank Indonesia mengenai kapasitas produksid

dan investasi pada beberapa pelaku usaha utama

di berbagai daerah di Sumatera. (Grafik II.3).

Grafik II.3. Perkembangan Likert Scale Kapasitas Produksi

dan Investasi

Perbaikan perekonomian Sumatera diperkirakan

terus berlanjut di triwulan III 2016 dan dapat

tumbuh sebesar 4,6% (yoy). Pertumbuhan yang

melebihi angka pada tahun 2015 diperkirakan

akan ditopang oleh peningkatan konsumsi rumah

tangga, investasi, dan alokasi belanja modal

pemerintah seiring dengan realisasi proyek-

proyek infrastruktur yang berdampak kepada

perbaikan kinerja investasi dan sektor konstruksi.

Indikasi terkait proyek-proyek infrastruktur

Page 19: Laporan Nusantara Agustus 2016.pdf (11,77 MB)

11

tercermin dari tendensi meningkatnya impor besi

dan baja Sumatera (Grafik II.4). Sementara itu,

prospek membaiknya harga komoditas akan

menopang perbaikan kinerja ekspor serta

peningkatan produksi perkebunan dan kinerja

industri pengolahan. Sejalan dengan hal tersebut,

kinerja sektor pertambangan, khususnya

batubara, membaik seiring dengan beroperasinya

PLTU dan infrastruktur pendukung.

Grafik II.4. Perkembangan Impor Besi dan Baja

Kinerja Lapangan Usaha

Pertanian

Peningkatan kinerja sektor pertanian di

Sumatera pada triwulan II 2016 terutama

ditopang oleh Panen perkebunan dan tanaman

bahan makanan. Pada triwulan II 2016, kinerja

pertanian di Sumatera tumbuh 4,17% (yoy), lebih

tinggi dibandingkan triwulan sebelumnya

sebesar 3,67% (yoy). Peningkatan tersebut

terutama bersumber dari perbaikan produksi

perkebunan, terutama sawit, di sejumlah daerah

yang disertai dengan membaiknya harga. Khusus

untuk perkebunan kelapa sawit, penerapan

kebijakan B203 ternyata relatif efektif menjaga

permintaan dan harga tanaman sawit (Grafik

II.5). Selain itu, panen raya di sejumlah sentra

pertanian, seperti di Lampung, Sumatera Selatan,

Sumatera Utara, dan Sumatera Barat turut

mendorong peningkatan produksi pertanian

Sumatera.

3 kewajiban pencampuran bahan bakar nabati (BBN) dalam

solar sebesar 20 persen

Sumber: Bloomberg

Grafik II.5. Perkembangan Harga CPO dan Karet

Grafik II.6. Pertumbuhan Kredit Pertanian

Membaiknya kinerja pertumbuhan lapangan

usaha pertanian diperkirakan akan berlanjut di

triwulan III 2016. Walaupun terbatas, perbaikan

harga komoditas perkebunan mampu mendorong

optimisme perbaikan kinerja lapangan usaha

pertanian. Optimisme ini tercermin dari relatif

tingginya kredit sektor pertanian. Hingga akhir

triwulan II 2016, kredit pertanian tumbuh hingga

21,40% (yoy), jauh meningkat dibandingkan rata-

rata penyaluran kredit pertanian di Sumatera

selama 3 tahun terakhir yang sebesar 12,39%

(yoy) (Grafik II.6).

Pertambangan

Kinerja lapangan usaha pertambangan pada

triwulan II 2016 masih terkontraksi. Lapangan

usaha pertambangan mengalami kontraksi yang

lebih dalam dibandingkan periode triwulan

sebelumnya, yakni dari negatif 0,77% menjadi

negatif 1,86% (yoy). Terkontraksinya lapangan

usaha pertambangan dipengaruhi oleh terus

menurunnya produksi minyak di Riau dan masih

belum optimalnya perbaikan harga komoditas

pertambangan, khususnya batu bara, dalam

Page 20: Laporan Nusantara Agustus 2016.pdf (11,77 MB)

12

memberi insentif produksi yang lebih tinggi.

Kondisi ini diperkirakan masih akan berlanjut di

triwulan III 2016 meski sedikit membaik seiring

dengan potensi meningkatnya kebutuhan

batubara domestik untuk kebutuhan energi.

Industri Pengolahan

Lapangan usaha industri pengolahan tumbuh

melambat, sejalan dengan masih terbatasnya

permintaan ekspor luar negeri. Industri

pengolahan pada triwulan II 2016 tumbuh lebih

rendah menjadi 3,73% (yoy) dari sebelumnya

sebesar 4,67% (yoy) pada triwulan I 2016.

Perlambatan kinerja industri pengolahan juga

tercermin dari survei liaison, yang menunjukkan

tren pertumbuhan penjualan domestik dan

ekspor yang masih berada di bawah rata-rata

normalnya (Grafik II.7).

Pada triwulan III 2016, kinerja lapangan usaha

industri pengolahan diperkirakan mulai

mengalami perbaikan, terutama ditopang oleh

membaiknya permintaan CPO. Hasil liason juga

mengkonfirmasi optimisme pengusaha terhadap

prospek peningkatan sektor industri pengolahan

di triwulan III 2016 yang menunjukan adanya

prospek perbaikan penjualan hasil industri yang

tercermin dari peningkatan likert scale dari 0,38

menjadi 0,65.

Grafik II.7. Likert Scale Penjualan Domestik dan Ekspor

Perdagangan

Perbaikan kinerja lapangan usaha perdagangan

pada triwulan II 2016 sejalan dengan

peningkatan konsumsi rumah tangga. Sektor

perdagangan tumbuh dari 5,05% (yoy) menjadi

sebesar 6,16% (yoy) pada akhir triwulan II 2016.

Peningkatan tersebut terutama didorong oleh

perbaikan daya beli masyarakat seiring dengan

momentum bulan Ramadhan yang jatuh di

triwulan II dan Idul Fitri di awal bulan Juli 2016,

pencairan gaji ke-13 dan ke-14 serta

terkendalinya inflasi dan nilai tukar. Peningkatan

aktivitas perdagangan pada triwulan II 2016 itu

terindikasi dari perkembangan aktivitas kliring

yang yang menunjukkan peningkatan 30% (yoy)

rata-rata volume transaksi kliring, jauh lebih

tinggi dibandingkan triwulan sebelumnya yang

hanya sekitar 20% (yoy) (Grafik II.8).

Grafik II.8. Perkembangan Kliring

Pada triwulan III 2016, lapangan usaha

perdagangan diperkirakan tumbuh lebih lambat.

Telah selesainya perayaan lebaran dan Idul Fitri

serta pemangkasan anggaran Pemerintah,

khususnya terkait dengan kegiatan perjalanan

dinas dan rapat, diperkirakan akan menahan

pertumbuhan lapangan usaha perdagangan.

Selain itu, pelaku hasil Survei Kegiatan Dunia

Usaha (SKDU) juga memproyeksikan terjadinya

penurunan kegiatan usaha perdagangan di

triwulan III 2016. (Grafik II.9).

Sumber: Survei Kegiatan Dunia Usaha

Grafik II.9. Perkiraan Volume Perdagangan

Page 21: Laporan Nusantara Agustus 2016.pdf (11,77 MB)

13

Konstruksi

Peningkatan aktivitas lapangan usaha konstruksi

pada triwulan II 2016, sejalan dengan realisasi

proyek-proyek infrastruktur pemerintah. Pada

triwulan laporan, lapangan usaha konstruksi

tercatat tumbuh 6,40% (yoy), lebih tinggi dari

triwulan I 2016 sebesar 5,77% (yoy). Hasil SKDU

mengkonfirmasi adanya peningkatan realisasi

kegiatan usaha sektor bangunan selama triwulan

laporan (Grafik II. 10).

Sumber: Survei Kegiatan Dunia Usaha

Grafik II.10. Realisasi Kegiatan Usaha Bangunan

Ke depan, lapangan usaha konstruksi

diperkirakan terus tumbuh sejalan dengan

realisasi belanja infrastruktur pemerintah serta

realisasi pembangunan proyek-proyek

multiyears. Pertumbuhan lapangan usaha

konstruksi juga tercermin dari hasil survei SKDU

yang mengindikasikan terjadinya peningkatan.

Secara keseluruhan, berlanjutnya pembangunan

proyek infrastruktur terutama yang berskala

besar di berbagai daerah di Sumatera menopang

perbaikan kinerja lapangan usaha konstruksi.

Fiskal Daerah

Serapan belanja Sumatera hingga Juni 2016

menunjukkan perbaikan terutama pada serapan

belanja rutin. Perbaikan penyerapan belanja

daerah terutama didorong oleh realisasi

pembayaran gaji ke-13/14. Sementara realisasi

belanja fisik sampai dengan akhir triwulan II

2016, baru mencapai 21,21%. (Grafik 11.11).

Seiring dengan peningkatan realisasi belanja

APBD, simpanan pemerintah pada perbankan di

Sumatera mengalami penurunan. Pada juni 2016,

simpanan giro dan deposito Pemda di perbankan

Sumatera mengalami penurunan masing-masing

sebesar 22,45% (yoy) dan 32,89% (yoy).

Sumber: TEPRA, 2016

Grafik II.11. Persentase Belanja Fisik Pemerintah Prov dan Kota/Kab hingga Juni 2016

Penyerapan belanja fisik paling tinggi terjadi di

Sumatera Barat, sementara yang terendah terjadi

di Sumatera Utara. Rendahnya serapan belanja

fisik di Sumatera Utara terutama dipengaruhi

oleh masih rendahnya realisasi belanja fisik

Pemerintahan Kabupaten/Kota, yang mencapai

hanya sebesar 17%.

Sumber: TEPRA, 2016

Grafik II.12. Indeks Kapasitas Fiskal Sumatera

Beberapa hal yang menjadi kendala serapan

belanja fisik di daerah antara lain sulitnya

pembebasan dan/atau pengadaan lahan, belum

disahkannya RTRW, dan terbatasnya sumber

pembiayaan APBD. Terkait dengan pembiayaan

APBD, Aceh, Riau, Kepulauan Riau, dan

Kepulauan Bangka Belitung memiliki indeks

kapasitas fiskal yang relatif tinggi, yang artinya

mimiliki potensi peningkatan peran APBD.

Sementara Provinsi Bengkulu, Lampung, dan

Page 22: Laporan Nusantara Agustus 2016.pdf (11,77 MB)

14

Sumatera Utara memiliki indeks kapasitas fiskal

yang lebih rendah.

Perkembangan Inflasi

Inflasi wilayah Sumatera pada triwulan II 2016

tercatat lebih rendah. Pada triwulan II 2016,

inflasi wilayah Sumatera tercatat sebesar 3,71%

(yoy) menurun dari triwulan sebelumnya yang

sebesar 5,71% (yoy). Penurunan laju inflasi

tersebut terutama dipengaruh oleh terkendalinya

harga pangan seiring panen tanaman bahan

makanan di sejumlah daerah sentra produksi.

Terkendalinya inflasi juga tidak terlepas dari

intensifnya upaya pemerintah untuk menjaga

kecukupan pasokan pangan di seluruh daerah

serta minimalnya kendala distribusi sepanjang

triwulan II 2016 (Grafik II.13).

Menurunnya laju inflasi terjadi di hampir seluruh

provinsi; dengan inflasi terendah terjadi di Riau

(1,92%) dan Aceh (2,34%). Satu-satunya provinsi

yang mengalami kenaikan inflasi adalah Provinsi

Kepulauan Bangka Belitung, yang mencapai

6,21% pada akhir triwulan II 2016. Lebih tingginya

inflasi di provinsi tersebut terutama dipengaruhi

oleh kenaikan harga cabai merah, bawang merah,

daging ayam ras, dan daging sapi. Kenaikan harga

beberapa komoditas tersebut merupakan

dampak tingginya ketergantungan provinsi ini

terhadap pasokan dari provinsi lain. Secara

umum, tekanan inflasi di Sumatera lebih

dipengaruhi oleh kenaikan harga komoditas

daging ayam dan beberapa aneka sayuran.

Beberapa komoditas lainnya yang turut

menyumbang tekanan inflasi adalah angkutan

udara, rokok kretek, dan tarif listrik.

Pada akhir triwulan III 2016, perkembangan

inflasi di Sumatera diperkirakan tetap terkendali

di level yang rendah, yakni sebesar 3,89% (yoy).

Tingkat inflasi pada Juli 2016 masih relatif

terbatas, yakni sebesar 0,89% (mtm). Terjaganya

pasokan pangan yang disertai berbagai langkah

kebijakan untuk menjaga kecukupan pasokan

pangan menjadi faktor positif bagi terkendalinya

inflasi.

Grafik II.13. Perkembangan Inflasi

Stabilitas Keuangan Daerah

Ketahanan Sektor Korporasi

Kinerja Korporasi dan Penilaian Risiko

Secara umum, kondisi keuangan korporasi di

Sumatera masih relatif stabil. Hal ini sejalan

dengan hasil liaison Bank Indonesia yang

mengindikasikan bahwa perusahaan mulai

mengalami perbaikan tingkat penjualan pada

triwulan II 2016. Likert scale penjualan domestik

mulai membaik dari semula negatif 0,19 menjadi

positif 0,38, sementara likert scale penjualan

ekspor walaupun masih negatif membaik dari

negatif 0,98 menjadi negatif 0,61 (Grafik II.7). Hal

yang sama juga ditunjukan oleh hasil Survei

Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) yang mulai

mengalami perbaikan dari negatif 0,05 pada

triwulan I menjadi positif 16,82 pada triwulan II

2016. (Grafik II. 14). Pada triwulan II 2016,

profitabilitas perusahaan mulai kembali

mencatatkan perbaikan setelah sebelumnya

sempat lebih rendah akibat penurunan harga

komoditas utama (Grafik II.15).

Perbaikan yang terbatas pada sektor korporasi,

tercermin pula dari beberapa indikator keuangan

jangka panjang (solvabilitas) maupun jangka

pendek (likuditas). Indikator solvabilitas

keuangan beberapa perusahaan, meskipun masih

terbatas, mulai menunjukkan perbaikan (Grafik

II.16).

Membaiknya kondisi keuangan korporasi di

Sumatera meningkatkan kemampuan korporasi

dalam membayar utang. Rasio kemampuan

membayar utang korporasi (debt service ratio)

Page 23: Laporan Nusantara Agustus 2016.pdf (11,77 MB)

15

menunjukkan penurunan, dari 24,64% menjadi

22,03%. Hal ini sejalan dengan membaiknya

sektor perkebunan, perbaikan ditunjukkan oleh

perusahaan yang bergerak di bidang agroindustri.

Grafik II.14. Realisasi Kegiatan Usaha

Sumber: Bloomberg & Laporan Keuangan BEI, diolah

Grafik II.15. Indikator Profitabilitas Korporasi

Grafik II.16. Indikator Solvabilitas Korporasi

Eksposur Perbankan pada Sektor Korporasi

Penurunan suku bunga kredit belum diikuti

peningkatan penyaluran kredit korporasi. Suku

bunga kredit tercatat menurun dari 10,02% di

triwulan I menjadi 9,76%. Penurunan suku bunga

ini terjadi baik pada semua jenis penggunaan.

Sumber: Bank Indonesia

Grafik II.17. Perkembangan Kredit Korporasi

Penyaluran kredit perbankan kepada sektor

korporasi melambat dari 11,23% (yoy) pada

triwulan I 2016 menjadi 10,64% (yoy) pada

triwulan laporan. Perlambatan terutama terjadi

pada penyaluran kredit industri pengolahan,

sementara kredit untuk sektor perdagangan

justru mengalami peningkatan. Laju

pertumbuhan kredit sektor industri pengolahan

turun dari 7,38% di triwulan I 2016 menjadi

6,98% pada triwulan II 2016. Sebaliknya,

pertumbuhan kredit sektor perdagangan

mengalami peningkatan menjadi 2,86% dari

triwulan setelah sebelumnya sempat terkontraksi

1,94%. Lebih lanjut, pertumbuhan kredit sektor

pertanian masih relatif tinggi, yakni sebesar

34,79%; walaupun sedikit melambat dibanding

triwulan sebelumnya yang tumbuh 35,59%

(Grafik II. 17).

Grafik II.18. Perkembangan DPK Korporasi

Di tengah perlambatan kredit korporasi,

peningkatan rasio nonperforming loans (NPL)

sektor korporasi masih terjaga dalam batas

aman. NPL pada triwulan II 2016 mengalami

Page 24: Laporan Nusantara Agustus 2016.pdf (11,77 MB)

16

peningkatan menjadi 2,49% dari 2,43% pada

triwulan I 2016. Secara sektoral, peningkatan NPL

ini terjadi pada sektor-sektor utama seperti

pertanian, industri pengolahan, pertambangan,

dan perdagangan. Namun demikian, keseluruhan

rasio NPL masih terjaga di bawah 5%.

Ketahanan Sektor Rumah Tangga

Pertumbuhan DPK perseorangan Sumatera pada

triwulan II 2016 mencatatkan laju pertumbuhan

yang cukup tinggi dari 7,61% (yoy) di triwulan I

2016 menjadi sebesar 14,10% (yoy) pada akhir

triwulan II 2016. Peningkatan laju pertumbuhan

terjadi pada semua jenis simpanan, dengan

kenaikan tertinggi terjadi pada tabungan.

Peningkatan ini diperkirakan sebagai akibat dari

pembayaran gaji ke-13/14 PNS serta pencairan

Tunjangan Hari Raya (Grafik II.19).

Sumber: Bank Indonesia

Grafik II.19. Perkembangan DPK Perseorangan

Penurunan suku bunga dan membaiknya sektor

rumah tangga mendorong peningkatan

pertumbuhan kredit rumah tangga, khususnya

untuk jenis kredit KPR dan multiguna. Kredit

sektor rumah tangga (RT) di triwulan II 2016

tumbuh (yoy) 6,40%, lebih tinggi daripada

triwulan sebelumnya sebesar 6,33%. Kredit

Pemilikan Rumah (KPR) juga tumbuh meningkat,

dari semula 5,32% menjadi 5,69%. Hal ini sejalan

dengan hasil Survei Harga Properti Residensial

(SHPR) yang mengindikasikan terjadinya

peningkatan permintaan KPR/KPA di semua tipe

rumah residensial. Peningkatan permintaan

kredit kepemilikan rumah belum diikuti oleh

kredit kepemilikan kredit bermotor (KKB) yang

masih terkontraksi lebih dalam dari negatif 9,21%

menjadi negatif 12,79% (Grafik II. 20). Penurunan

penyaluran kredit tersebut terjadi pada seluruh

jenis kendaraan, terutama sepeda motor.

Sumber: Bank Indonesia

Grafik II.20. Perkembangan DPK Perbankan

Peningkatan pertumbuhan kredit rumah tangga

relatif tidak meningkatkan risiko kemampuan

rumah tangga dalam melakukan pembayaran

cicilan. Hasil Survei Konsumen mengindikasikan

porsi cicilan pinjaman masih relatif terjaga dalam

batas aman (Tabel II. 2). Walaupun masih dalam

batas aman, kenaikan risiko NPL seiring

peningkatan pertumbuhan kredit sektor rumah

tangga perlu diwaspadai. Pada posisi triwulan II

2016, rasio NPL sektor rumah tangga tercatat

sebesar 3,66%; meningkat sedikit dibanding

triwulan sebelumnya sebesar 3,61% (Grafik II.21).

Tabel II.2. Komposisi Pengeluaran Masyarakat

Sumber : Bank Indonesia

Grafik II.21. Perkembangan NPL

Page 25: Laporan Nusantara Agustus 2016.pdf (11,77 MB)

17

Pembiayaan Sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM)

Tabel II.3. Perkembangan Kredit UMKM

Pada triwulan II 2016, walaupun masih di bawah

angka pertumbuhan nasional, laju pertumbuhan

kredit UMKM di Sumatera menunjukkan

peningkatan. Secara tahunan, penyaluran kredit

UMKM pada triwulan II 2016 mengalami

peningkatan 6,40%, lebih tinggi dibandingkan

triwulan sebelumnya yang hanya 5,42%.

Peningkatan tersebut didorong peningkatan

kredit ke perdagangan, yang memiliki porsi

terbesar dari total kredit UMKM (54%), yang

tumbuh meningkat dari 10,76% ke 11,77%.

Sementara kredit UMKM ke pertanian yang

memiliki porsi 20%, justru tumbuh lebih lambat

yaitu 5,47%; menurun dibanding triwulan

sebelummya 8,07%. Seiring dengan peningkatan

penyaluran kredit, walaupun masih aman,

peningkatan rasio NPL kredit UMKM tetap perlu

diwaspadai. Secara spasial peningkatan rasio NPL

kredit UMKM terjadi di Kepulauan Riau, Riau,

Sumatera Selatan, Lampung, dan Sumatera Utara

(Tabel II.3).

Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah

Sistem Pembayaran Non Tunai

Sejalan dengan meningkatnya aktivitas sektor

perdagangan, transaksi kliring di kawasan

Sumatera pada triwulan II 2016 menunjukkan

peningkatan. Secara nominal, pertumbuhan

transaksi kliring meningkat dari 59,29% (yoy)

pada triwulan I menjadi 71,85% (yoy) (Grafik

II.22). Hal ini sejalan dengan pertumbuhan

volume warkat kliring, yang tumbuh meningkat

dari 20,82% (yoy) pada triwulan I 2016 menjadi

30,05% pada triwulan II 2016.

Berdasarkan pangsanya, Sumatera Utara memiliki

porsi transaksi kliring terbesar, yakni 43,23% dari

keseluruhan transaksi di Sumatera. Sementara

Bengkulu dan Aceh memiliki porsi transaksi

kliring yang terendah dengan total keduanya

mencapai kurang dari 5% dari keseluruhan

transaksi di Sumatera.

Pengelolaan Uang Rupiah

Peningkatan arus uang kartal keluar (outflow)

dari Bank Indonesia terutama didorong oleh

momen liburan sekolah, puasa, dan perayaan

menjelang Idul Fitri seiring dengan terjadinya

peningkatan konsumsi. Arus keluar (Outflow)

pada triwulan II 2016 tercatat sebesar Rp48,32

triliun, lebih tinggi dibandingkan arus keluar pada

triwulan sebelumnya yang hanya Rp14,70 triliun,

dan lebih tinggi dari triwulan yang sama tahun

sebelumnya yang mencapai Rp30,07 triliun. Di

sisi lain, terjadi arus masuk (inflow) pada periode

laporan sebesar Rp17,08 triliun, lebih rendah

dibandingkan triwulan sebelumnya Rp27,77

triliun, dan sedikit lebih tinggi dibanding triwulan

yang sama tahun sebelumnya yang mencapai

Rp16,25 triliun. Pertumbuhan net outflow terjadi

di seluruh provinsi di Sumatera, dengan level net

outflow terbesar di Provinsi Sumatera Utara,

Bengkulu, Riau, dan Kep. Riau dan yang terendah

terjadi di Provinsi Sumatera Barat, Kepulauan

Bangka Belitung, dan Sumatera Selatan (Grafik

II.22).

Sementara itu, temuan uang palsu (UPAL) di

wilayah Sumatera terus mengalami penurunan.

Temuan uang palsu pada triwulan II 2016

berjumlah 2.418 lembar atau menurun 28,14%

dibandingkan periode yang sama tahun

sebelumnya. Berdasarkan porsinya, uang palsu

paling banyak ditemukan di Lampung (52,07%),

Sumatera Selatan (13,44%), dan Riau (12,99%)

(Grafik II.23).

I-16 II-16 I-16 II-16 I-16 II-16

Aceh 10.22 14.42 10.00 9.44 13.78 13.41

Sumut 5.59 5.09 6.51 6.57 13.47 12.88

Sumbar 3.20 3.53 7.20 7.17 13.72 13.3

Jambi 8.28 8.94 5.35 5.23 14.34 13.93

Kepri 5.20 7.67 3.59 3.63 12.16 11.96

Riau (2.77) (1.59) 7.15 7.44 14.12 13.71

Sumsel 4.42 5.78 5.68 5.77 14.42 14.01

Lampung 11.20 17.20 4.06 4.17 14.66 14.35

Babel 15.47 15.05 5.94 4.99 14.21 13.81

Bengkulu 14.65 10.04 4.76 4.53 15.26 14.75

Prov

gKredit

UMKM

NPL

UMKM

Suku Bunga

UMKM

Page 26: Laporan Nusantara Agustus 2016.pdf (11,77 MB)

18

Sumber: Bank Indonesia

Grafik II.22. Aliran Uang Kartal

Sumber : Bank Indonesia

Grafik II. 23. Temuan Uang Palsu (UPAL)

Pengembangan Layanan Keuangan Digital

Ketersediaan layanan keuangan digital (LKD)

bagi penduduk Sumatera menunjukkan

peningkatan signifikan. Pada triwulan I 2016,

terdapat 8.664 agen LKD di wilayah Sumatera

atau sebesar 11,1% dari jumlah agen LKD secara

nasional. Pada posisi triwulan II 2016, jumlah LKD

di Sumatera telah meningkat mencapai 20.438

LKD. Provinsi dengan jumlah agen LKD terbesar

adalah Sumatera Utara, Sumatera Selatan, dan

Riau. Secara spasial, kebutuhan LKD optimal telah

terlampaui di seluruh provinsi, kecuali di wilayah

Bengkulu.

Prospek Perekonomian

Prospek Pertumbuhan Ekonomi

Perekonomian Sumatera 2016 diperkirakan

tumbuh sejalan dengan perkiraan sebelumnya.

Secara keseluruhan tahun 2016, perekonomian

Sumatera diperkirakan akan tumbuh pada kisaran

4,2%-4,7% (yoy), lebih tinggi dibandingkan

pertumbuhan tahun 2015 yang hanya sebesar

3,52%. Konsumsi rumah tangga dan investasi

diperkirakan menjadi penopang pertumbuhan

ekonomi tahun 2016. Sementara risiko

melambatnya konsumsi pemerintah akibat

pemotongan anggaran pemerintah serta masih

terbatasnya pertumbuhan ekspor seiring belum

kuatnya pertambangan, diperkirakan akan

menahan pertumbuhan Sumatera lebih tinggi.

Dari sisi penawaran, lapangan usaha pertanian,

industri pengolahan dan perdagangan

diperkirakan akan tetap menjadi kontributor

utama pertumbuhan. Lapangan usaha pertanian

diperkirakan meningkat seiring dengan berbagai

upaya pemerintah meningkatkan produksi

Tabama melalui perbaikan infrastruktur

pertanian. Selain itu, semakin besarnya prospek

peningkatan harga CPO dan karet yang sejalan

dengan menguatnya permintaan domestik

diperkirakan mendukung proyeksi kenaikan laju

pertumbuhan sektor pertanian, industri

pengolahan dan perdagangan. Sementara itu,

lapangan usaha konstruksi diprediksi tetap

tumbuh stabil sejalan dengan realisasi proyek-

proyek infrastruktur pemerintah.

Tabel II.4. Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi di Sumatera

Perbaikan ekonomi Sumatera tahun 2016

diperkirakan terjadi di hampir seluruh provinsi,

kecuali Kepulauan Riau dan Kepulauan Bangka

Belitung. Prakiraan perlambatan ekonomi

Kepulauan Riau dan Kepulauan Bangka Belitung

terutama disebabkan oleh risiko lemahnya

kinerja industri manufaktur akibat belum

I II III*

PDRB (% YoY) 3.52 4.18 4.44 4.62 4,22-4,72

Aceh (0.72) 3.66 3.54 3.52 2,90-3,40

Sumut 5.08 5.02 5.67 5.32 5,09-5,59

Sumbar 5.41 5.48 5.78 5.84 5,31-5,81

Riau 0.22 2.34 2.40 2.70 1,41-1,91

Jambi 4.21 3.42 3.57 4.11 4,83-5,33

Kep. Riau 6.02 4.58 5.40 5.84 6,08-6,58

Sumsel 4.44 4.94 5.13 5.50 5,17-5,67

Bengkulu 5.14 4.99 5.41 5.22 5,01-5,51

Lampung 5.13 5.05 5.21 5.43 5,46-5,96

Kep. Babel 4.05 3.30 3.67 3.96 4,07-4,57

Indikator

Makroekonomi

Daerah

20152016

2016f

Page 27: Laporan Nusantara Agustus 2016.pdf (11,77 MB)

19

pulihnya permintaan perekonomian global dan

relatif masih terbatasnya peningkatan harga

komoditas timah, yang merupakan salah satu

motor penggerak perekonomian Kepulauan

Bangka Belitung (Tabel II.4).

Prospek Inflasi

Inflasi Sumatera pada tahun 2016 diprakirakan

tetap terkendali dan berada dalam rentang

target inflasi nasional 4±1%. Beberapa faktor

menjadi pendukung terkendalinya inflasi di

Sumatera diantaranya realisasi program-program

pembangunan infrastruktur pangan, perbaikan

distribusi pangan serta berbagai upaya

pemerintah dalam mendorong ketahanan pangan

seperti perluasan lahan pertanian dan perbaikan

distribusi sarana parasarana pertanian, serta

terjaganya pasokan pangan. Berbagai faktor

positif tersebut akan membawa inflasi Sumatera

di akhir tahun berada di kisaran 4,3–4,8% (yoy),

sedikit di bawah perkiraan triwulan lalu.

Meski demikian, faktor-faktor risiko

peningkatan inflasi tetap perlu diwaspadai.

Beberapa risiko tersebut antara lain adalah

gangguan produksi akibat pergeseran musim

tanam dan musim panen sebagai dampak dari La

Nina, gangguan distribusi, serta gangguan

produksi lainnya. Berkaitan dengan hal ini,

perkembangan beberapa harga komoditas utama

yang berpotensi mengalami inflasi akibat dampak

La Nina seperti bawang merah, cabai merah,

beras, perlu diwaspadai.

Page 28: Laporan Nusantara Agustus 2016.pdf (11,77 MB)

20

Pengantar

Wilayah Provinsi Kepulauan Riau (Kepri), yang

antara lain mencakup pulau Batam, Bintan, dan

Karimun (BBK) merupakan salah satu wilayah

yang memiliki peran strategis secara geografis

maupun ekonomi terhadap perekonomian

nasional. Secara geografis, Kepri berbatasan

langsung dengan beberapa negara yaitu Vietnam

dan Kamboja di sebelah utara, Malaysia dan

Singapura di sebelah barat, serta Malaysia dan

Brunei di sebelah timur.

Provinsi Kepri dibentuk pada tahun 2002,

meliputi Kota Tanjungpinang, Kota Batam,

Kabupaten Bintan, Kabupaten Karimun,

Kabupaten Natuna, Kabupaten Lingga, dan

Kabupaten Anambas; yang di dalamnya terdapat

2.408 pulau, dengan 19 di antaranya berada di

wilayah terluar. Dari total wilayahnya, 95%

merupakan wilayah laut yang membentang dari

Laut China Selatan, Selat Malaka, dan Selat

Karimata dan memiliki garis pantai sepanjang

2.368 Km. Dengan dukungan Batam, yang

menyumbang 60% dari PDRB Kepri, provinsi ini

mampu tumbuh lebih tinggi jika dibandingkan

dengan tingkat pertumbuhan ekonomi wilayah

lain baik di Sumatera maupun Nasional.

Sumber: BPS

Grafik II.24. Pertumbuhan Ekonomi

Sebagai basis logistik dan operasi industri migas,

pengembangan wilayah Batam telah dimulai

sejak tahun 1970-an. Pada tahun 1973,

dibentuklah Lembaga Otorita Pengembangan

Industri Pulau Batam untuk secara khusus

mengelola pengembangan Batam. Selanjutnya,

dalam perkembangannya, dibentuklah

pemerintahan kota administratif untuk

mendukung pengembangan Batam yang

kemudian sejak 1999 telah diperluas

kewenangannya sebagaimana pemerintahan kota

lainnya. Ketidakjelasan kewenangan

pengembangan Industri di Batam kemudian

menjadi salah satu hambatan pengembangan

Batam. Setelah beberapa kali mengalami

perubahan, pada tahun 2016 melalui Keputusan

Presiden Nomor 8 Tahun 2016, dibentuklah

Dewan Kawasan Perdagangan Bebas dan

Pelabuhan Bebas (PBPB) Batam yang diketuai

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian

dengan anggota dari kementerian terkait,

Gubernur Kepulauan Riau, Walikota Batam, dan

Ketua DPRD Provinsi Kepulauan Riau.

Potensi Ekonomi Batam dan Sekitarnya

Sebagai Kawasan PBPB, dibandingkan provinsi

lainnya, Batam memiliki beragam keunggulan

yang tercermin dari keberadaan infrastruktur

dasar yang relatif lebih baik, seperti pelabuhan

laut, bandara, tenaga listrik, kawasan industri,

jalan, serta perumahan bagi pekerja.

Walaupun memiliki Batu Ampar sebagai

pelabuhan laut utama yang dapat dimanfaatkan

untuk kegiatan ekspor-impor, namun

kapasitasnya yang hanya sekitar 800.000 TEUs,

masih jauh tertinggal dibandingkan dengan

kapasitas Port of Singapore (32 juta TEUs), Port

Klang Malaysia (9 juta TEUs), ataupun Tanjung

Pelepas Johor Baru Malaysia (10 juta TEUs).

Jumlah pelabuhan yang dimiliki relatif lebih

banyak dibandingkan wilayah lain. Selain Batu

Ampar, beberapa pelabuhan lainnya antara lain

adalah Sekupang, Teluk Senimba, Harbor Bay,

Kabil, dan Telaga Punggur. Selain pelabuhan,

Boks 1

Page 29: Laporan Nusantara Agustus 2016.pdf (11,77 MB)

21

Batam juga memiliki salah satu bandar udara

tersibuk di Indonesia, yaitu Bandar Udara Hang

Nadim, yang mampu mengakomodasi sekitar 5

juta penumpang setiap tahunnya.

Ketersediaan Infrastruktur kelistrikan dan air

bersih di Batam juga relatif baik. Pasokan listrik

tercatat mengalami surplus. PLN Batam mampu

memasok listrik 412,3 MW sementara

kebutuhan listrik pada saat puncak sebesar 362,7

MW. Begitu pula kebutuhan air bersih mampu

dipasok dari sejumlah waduk.

Walaupun saat ini, Batam telah memiliki 22

klaster kawasan industri yang bahkan beberapa

di antaranya juga telah dilengkapi dengan

perumahan pekerja, pemanfaatan optimal

kawasan industri dimaksud masih belum

tercapai. Tumpang tindih kewenangan perizinan,

hambatan pembebasan lahan dan ketidakjelasan

peruntukannya telah menjadi salah satu

hambatan utama pengembangan Batam,

terutama terkait dengan potensi besar yang

dimiliki untuk pengembangan industri

kemaritiman dan pariwisata. Batam memiliki

potensi untuk menjadi pelabuhan transhipment

internasional, area perikanan, destinasi

pariwisata, serta pusat industri penunjang sektor

kemaritiman seperti industri galangan kapal. Saat

ini, pangsa ekspor kapal nasional Kepulauan Riau

yang mencapai 90% pangsa nasional.

Saat ini sekitar 47% ekspor komoditas utama

Sumatera harus dilakukan melalui pelabuhan di

Singapura. Pengembangan Batam sebagai

pelabuhan transhipment internasional akan

dapat mengurangi defisit neraca jasa Indonesia

selain meningkatkan ekonomi regional sebagai

dampak lanjutan peningkatan perdagangan dan

aktivitas ekonomi kawasan Batam. Upaya

menjadikan Batam sebagai pelabuhan berdaya

saing tidak saja membutuhkan pelabuhan yang

memenuhi kriteria, namun juga membutuhkan

keberadaan infrastruktur galangan kapal,

dukungan industri perkapalan dan komponennya

serta industri pelayaran serta pembiayaannya.

Luas lautan yang membentang luas dari Laut

China Selatan, Selat Malaka, dan Selat Karimata

merupakan potensi besar bagi pengembangan

sektor perikanan di Batam dan Kepulauan Riau.

Potensi usaha kelautan dan perikanan tersebut

ditaksir mencapai Rp150 triliun per tahun.

Namun demikian, pemanfaatannya baru saat ini

masih berada jauh di bawah potensinya.

Dalam sektor kepariwisataan, Kep. Riau memiliki

bentang laut dan pantai yang luas serta

keindahan alam yang sulit ditandingi. Kepulauan

Anambas telah dinobatkan sebagai pulau tropis

terindah se-Asia (CNN, 2012). Lokasi Batam yang

berbatasan langsung dengan beberapa negara

seperti Singapura, Malaysia, Brunei, Vietnam, dan

Kamboja menjadikan Kepulauan Riau sebagai

wilayah yang memiliki daya saing pariwisata

tertinggi di Sumatera4.

Tantangan Pengembangan Ekonomi Batam dan Sekitarnya

1. Terbatasnya kapasitas Pelabuhan Batu

Ampar untuk mendukung perekonomian

Batam dan Nasional. Selain skala ekonomi

pelabuhan yang masih rendah dan fasilitas

yang kurang kompetitif permasalahan empty

backhaul turut menjadi kendala

perkembangannya.

2. Terbatasnya infrastruktur Perikanan maupun

pariwisata di Batam dan sekitarnya.

Keterbatasan infrastruktur perikanan itu

meliputi pelabuhan pendaratan ikan,

ketersediaan dan kapasitas kapal-kapal,

peralatan tangkap, penyimpanan dan

pengolahan hasil perikanan. Sebagai ilustrasi,

selain cold storage yang tersedia hanya dapat

memenuhi 1,19% kebutuhan, sementara

kapasitas utilisasi pengolahan ikan (UPI) di

Kepulauan Riau juga masih relatif rendah.

Keterbatasan infrastruktur pariwisata antara

lain terlihat dari sulitnya akses dan lamanya

waktu temputh menuju tempat wisata.

Sebagai contoh, akses dan waktu tempuh ke

4 Hasil analisis Bank Indonesia

Page 30: Laporan Nusantara Agustus 2016.pdf (11,77 MB)

22

Kepulauan Anambas dan Natuna serta

pengelolaan resort di Kepulauan Bintan yang

masih belum memadai.

3. Tantangan pengembangan industri Batam.

Saat ini, perkembangan industri di Batam

lebih banyak merupakan kepanjangan tangan

dari perusahaan-perusahaan yang berlokasi di

Singapura dan Malaysia. Seluruh transaksi

keuangan terjadi di luar wilayah Indonesia,

sementara Batam hanya menjadi tempat

lokasi industri dan pergudangan sebagai

feeder pelabuhan di Singapura dan Malaysia.

Strategi Pengembangan Perekonomian Batam dan Sekitarnya

1. Potensi perdagangan internasional Indonesia

melalui Selat Malaka yang mencapai 8 juta

TEUs menciptakan peluang untuk menjadikan

Batam sebagai salah satu Pelabuhan Ekspor

Utama Indonesia berkapasitas internasional

yang mampu menampung kapal-kapal

berukuran besar. Untuk itu, diperlukan

pembangunan pelabuhan ekspor dengan

kapasitas yang lebih baik. Salah satunya

adalah dengan mempercepat realisasi

pembangunan pelabuhan Tanjung Sauh sesuai

standar internasional, di samping perbaikan

dwelling time. Selain itu, upaya memperdalam

pelabuhan Batu Ampar dari 8 meter menjadi

15 meter perlu dilakukan agar bisa

menampung kapal ukuran besar kemudian

secara bertahap ekspor dapat dialihkan

melalui pelabuhan Batu Ampar.

2. Peningkatan utilisasi pulau-pulau terluar di

Kepulauan Riau yang tedapat di Selat

Karimata, Laut Natuna, maupun Laut China

Selatan sebagai daerah Perikanan Regional.

Optimalisasi pemanfaataan area tersebut

membutuhkan armada kapal ikan modern

berkapasitas besar serta pembangunan

pelabuhan perikanan di Natuna atau Anambas

sebagai kawasan perikanan terpadu, di mana

di dalamnya terdapat fasilitas penyimpanan

ikan (cold storage), galangan kapal ikan,

ketersediaan energi, dan unit pengolahan ikan

hasil tangkapan dan budidaya perikanan.

3. Pemanfaatan jaringan turis global dan

dukungan sistem informasi dan pembayaran

yang handal serta manajemen yang baik

untuk pengelolaan kepariwisataan di Batam

selain pemenuhan kebutuhan

infrastrukturnya.

4. Pengembangan industri pelayaran dan

galangan kapal perlu didukung dengan

insentif perpajakan dan pembiayaan

perbankan untuk meningkatkan daya saing

industri nasional. Selain itu, diperlukan

pengembangan industri penunjang serta

kemudahan impor komponen.

5. Pemenuhan kebutuhan infrastruktur dasar

baik pelabuhan, bandara, jalan sebagai bagian

infrastruktur konektivitas, ketersediaan SDM

yang memadai maupun ketersediaan energi

yang mendukung daya saing industri.

6. Pengembangan Batam ke depan

membutuhkan adanya sinkronisasi peraturan,

perijinan, dan kewenangan antara otoritas

pemangku kebijakan pengelolaan Batam.

Pembentukan Dewan Kawasan PBPB Batam,

diharapkan mampu mengatasi tumpang tindih

kewenangan pengolaan Batam terkait dengan

perijinan, perdagangan, dan investasi.

Pengembangan kawasan Batam dan sekitarnya

membutuhkan dukungan dan sinergitas para

pihak termasuk Bank Indonesia. Upaya-upaya

dimaksud meliputi peningkatan akses keuangan

bagi masyarakat, mendorong kelancaran efisiensi

sistem pembayaran dengan mewujudkan less

cash society, menjamin ketersediaan uang

Rupiah hingga daerah perbatasan, serta program-

program pengendalian inflasi dan pengembangan

perekonomian lokal agar stabilitas perekonomian

dan keuangan tetap terjaga sehingga mendukung

ekonomi yang berkelanjutan.

Page 31: Laporan Nusantara Agustus 2016.pdf (11,77 MB)

23

Ekonomi berbagai daerah di Jawa pada triwulan II 2016 secara agregat tumbuh 5,73% (yoy), lebih

tinggi dibandingkan triwulan I 2016 (5,31%). Meningkatnya pertumbuhan ekonomi Jawa terutama

didorong oleh peningkatan konsumsi rumah tangga dan konsumsi pemerintah, serta membaiknya

aktivitas perdagangan antar daerah seiring dengan momen Ramadhan. Hal tersebut berdampak

positif pada kinerja lapangan usaha perdagangan dan industri pengolahan Jawa. Pada triwulan III

2016, perbaikan ekonomi Jawa diperkirakan masih berlanjut ditopang oleh menguatnya konsumsi

rumah tangga dan membaiknya ekspor luar negeri serta meningkatnya belanja modal pemerintah

dan pembelian impor barang modal sektor usaha. Lapangan usaha perdagangan, industri

pengolahan dan konstruksi juga diperkirakan tumbuh lebih tinggi sebagai respons atas

meningkatnya belanja rumah tangga dan pemerintah. Sementara itu, perbaikan kinerja pertanian

lebih didorong oleh faktor pergeseran musim panen. Secara keseluruhan tahun, perekonomian Jawa

pada 2016 diprakirakan tumbuh pada kisaran 5,6-6,0%.

Di sisi inflasi, pada triwulan II 2016, tekanan inflasi berbagai daerah di Jawa relatif terjaga pada

tingkat yang rendah. Realisasi inflasi Jawa di akhir periode triwulan II 2016 tercatat sebesar 3,14%

(yoy) atau 0,96% (ytd), lebih rendah dibandingkan triwulan sebelumnya 3,93% (yoy). Rendahnya

tingkat inflasi pada triwulan laporan dipengaruhi koreksi harga energi (BBM dan TTL), serta

terkendalinya inflasi pangan di tengah meningkatnya permintaan di masa Ramadhan. Pada

triwulan III 2016, inflasi diperkirakan terus terjaga pada kisaran yang rendah meski sedikit

mengalami kenaikan seiring adanya perayaan Idul Fitri dan tahun ajaran baru pada bulan Juli.

Namun, menguatnya nilai rupiah serta intensifnya upaya pemerintah untuk menjaga kecukupan

pasokan pangan diharapkan mampu meredam tekanan inflasi. Secara keseluruhan, inflasi tahunan

Jawa pada 2016 diperkirakan berada di kisaran 3,35%-3,75% (yoy).

Pertumbuhan Ekonomi

Pada triwulan II 2016, perekonomian Jawa

tumbuh sebesar 5,73% (yoy) atau meningkat

dibanding triwulan sebelumnya. Peningkatan

pertumbuhan ekonomi terjadi di seluruh provinsi

di Jawa dengan kenaikan tertinggi terjadi di Jawa

Barat (5,88%), diikuti Jakarta (5,86%), dan Jawa

Tengah (5,75%).

Tabel III.1. Pertumbuhan Ekonomi Daerah di Jawa

Sumber: BPS dan Perkiraan Bank Indonesia

Sumber: BPS

Grafik III.1. Pertumbuhan Ekonomi Menurut Penggunaan

Peningkatan ekonomi berbagai daerah di Jawa

pada triwulan II 2016 ditopang oleh konsumsi

rumah tangga dan konsumsi pemerintah.

Peningkatan ekonomi yang lebih tinggi juga

didorong oleh meningkatnya ekspor terutama

I II III IV I II IIIp

Banten 5.47 5.51 5.21 5.90 4.87 5.37 5.10 5.16 5.34

DKI Jakarta 5.87 5.54 5.33 6.12 6.48 5.88 5.63 5.86 6.06

Jawa Barat 5.09 4.91 4.94 5.02 5.23 5.03 5.13 5.88 5.72

Jawa Tengah 5.24 5.64 5.06 5.00 6.08 5.44 4.98 5.75 5.76

D.I. Yogyakarta 5.16 4.26 4.63 5.33 5.50 4.94 4.84 5.57 5.65

Jawa Timur 5.86 5.09 5.23 5.53 5.94 5.44 5.47 5.62 5.76

Jawa 5.57 5.20 5.15 5.51 5.87 5.45 5.32 5.73 5.80

Provinsi 20142015

20152016

Page 32: Laporan Nusantara Agustus 2016.pdf (11,77 MB)

24

perdagangan antar daerah seiring meningkatnya

permintaan terkait Ramadhan.

Momentum Ramadhan yang terjadi pada

triwulan II 2016 menjadi pendorong utama

peningkatan konsumsi rumah tangga. Hal ini

sejalan dengan peningkatan Indeks Perdagangan

Ritel (IPR) yang menunjukkan peningkatan

transaksi perdagangan retail (Grafik III.2).

Peningkatan konsumsi RT juga tercermin dari

meningkatnya pertumbuhan Kredit Kepemilikan

Rumah (KPR). Disamping itu, tingkat inflasi yang

terjaga pada level yang rendah dan stabil serta

peningkatan optimisme konsumen yang

tercermin dari Indeks Keyakinan Konsumsi (IKK)

turut menopang akselerasi pertumbuhan

konsumsi rumah tangga pada triwulan laporan.

Grafik III.2. Perkembangan KPR, KKB dan

Indeks Keyakinan Konsumen (IKK)

Sumber: TEPRA, 2016

Grafik III.3. Perkembangan Realisasi Belanja Pemerintah

Konsumsi pemerintah juga mengalami kenaikan

pertumbuhan pada triwulan II 2016. Hal ini

bersumber terutama dari percepatan realisasi

belanja pegawai pemerintah baik di tingkat

Kab/Kota maupun Provinsi seiring dengan

pencairan gaji ke-13 dan ke-14. Sementara itu,

kinerja investasi pemerintah dan swasta pada

triwulan II 2016 cenderung stabil. Hal ini sejalan

dengan angka likert scale5 (LS) hasil liason di

beberapa daerah industri di Jawa yang

mengindikasikan peningkatan investasi swasta.

Grafik III.4. Perkembangan Investasi – Liaison

Sumber: Bea Cukai

Grafik III.5. Perkembangan Ekspor Luar Negeri

Kinerja ekspor wilayah Jawa tumbuh meningkat

di triwulan II 2016 menjadi 7,23% (yoy), terutama

didorong oleh perdagangan antar daerah.

Meningkatnya permintaan domestik dari

berbagai daerah di luar Jawa terutama untuk

produk tekstil dan makanan-minuman.

Perdagangan luar negeri meskipun masih

terkontraksi tetapi telah relatif membaik.

Perbaikan ekspor luar negeri ditopang oleh

peningkatan ekspor manufaktur, khususnya

komoditas alat angkut dan makanan-minuman

dari Jawa Barat dan Jawa Timur. Di sisi lain, impor

5 Likert scale (LS) merupakan salah satu tools dalam statistic

yang digunakan untuk menilai beberapa variabel/indikator. Skala LS adalah -5 untuk penurunan signifikan dan 5 untuk peningkatan signifikan.

Page 33: Laporan Nusantara Agustus 2016.pdf (11,77 MB)

25

tumbuh lebih tinggi akibat meningkatnya

permintaan impor bahan baku tekstil dan baja.

Dari berbagai indikator perekonomian, kinerja

ekonomi Jawa di triwulan III 2016 diperkirakan

dapat tumbuh sebesar 5,8% (yoy). Pada triwulan

III, hampir seluruh provinsi di Jawa, kecuali Jawa

Barat, akan sedikit mengalami pertumbuhan

ekonomi. Masih kuatnya konsumsi rumah tangga,

disertai penyerapan realisasi belanja investasi

pemerintah, serta dampak dari pelonggaran

kebijakan LTV/FTV dan ekpektasi positif pelaku

usaha dalam merespon insentif pemerintah di

bidang investasi, diperkirakan akan menopang

pertumbuhan ekonomi Jawa di triwulan III 2016.

Kinerja Lapangan Usaha

Di sisi lapangan usaha, meningkatnya

perekonomian Jawa pada triwulan II 2016

ditopang oleh lapangan usaha perdagangan dan

konstruksi. Masuknya bulan Ramadhan

mendorong konsumsi domestik tumbuh lebih

kuat sehingga berdampak positif pada kinerja

lapangan usaha perdagangan. Selain itu, realisasi

proyek infrastruktur pemerintah dan

membaiknya investasi swasta mendorong

lapangan usaha konstruksi tumbuh lebih tinggi.

Lapangan usaha industri pengolahan yang

merupakan sumber utama pertumbuhan

ekonomi Jawa juga tumbuh relatif stabil ditopang

oleh membaiknya permintaan ekspor luar negeri

dan perdagangan antar daerah.

Sumber: BPS

Grafik III.6. Pertumbuhan Lapangan Usaha Utama

Industri Pengolahan

Kinerja industri pengolahan pada triwulan II 2016

tumbuh relatif stabil sehingga masih menopang

tumbuhnya perekonomian Jawa. Pada triwulan II

2016, industri pengolahan tercatat tumbuh 4,56%

(yoy), atau stabil dibandingkan kinerja triwulan I

2016 yang juga tumbuh 4,56% (yoy). Berdasarkan

hasil liaison, permintaan domestik menunjukkan

peningkatan di tengah masih rendahnya

permintaan ekspor luar negeri. Kondisi tersebut

mampu menjaga tumbuhnya kinerja industri

pengolahan pada triwulan II 2016.

Grafik III.7. Perkembangan Penjualan Pelaku Usaha

(Likert Scale)

Kinerja industri pengolahan yang meningkat

terutama terjadi di Jabar dan DKI Jakarta. Adapun

sub-lapangan usaha yang mengalami peningkatan

diantaranya industri alat angkut (mobil),

makanan minuman dan tekstil. Perbaikan angka

penjualan mobil baik domestik (7,6%;yoy)

maupun ekspor (1,9%;yoy) turut memberikan

dampak positif. Sementara itu, membaiknya

kinerja industri makanan-minuman dan tekstil

lebih didorong oleh kenaikan permintaan

perdagangan antar daerah. Di sisi lain,

permintaan ekspor luar negeri masih tumbuh

terbatas seiring meningkatnya risiko pelemahan

ekonomi global pasca referendum keluarnya

Inggris dari Uni Eropa (Brexit).

Pada triwulan III 2016, di tengah permintaan

ekspor luar negeri yang diperkirakan masih

tumbuh terbatas akibat masih tingginya

ketidakpastian global dan berlanjutnya risiko

pelemahan ekonomi global, kinerja industri

Page 34: Laporan Nusantara Agustus 2016.pdf (11,77 MB)

26

pengolahan diperkirakan tumbuh lebih tinggi,

khususnya industri baja dan kendaraan bermotor.

Hal ini didorong oleh ekspektasi membaiknya

permintaan domestik dan kenaikan permintaan

besi baja hasil produksi dalam negeri pada proyek

infrastruktur pemerintah.

Konstruksi

Lapangan usaha konstruksi tumbuh membaik

pada triwulan II 2016 sebesar 4,18% (yoy).

Perbaikan ini telah turut mendorong peningkatan

kinerja industri baja. Tracking realisasi proyek

infrastruktur pemerintah terus menunjukkan

peningkatan, khususnya pembangunan jalan tol,

pelabuhan dan bandara. Di sisi lain,

pembangunan pabrik baru terindikasi meningkat,

khususnya Provinsi Jawa Tengah.

Pada triwulan III 2016, realisasi pembangunan

infrastruktur pemerintah diprakirakan

mendorong kinerja konstruksi tumbuh lebih

tinggi. Selain itu, respons positif terhadap

pelonggaran kebijakan LTV/FTV serta ekspansi

beberapa pabrik (Jateng) berpotensi turut

mendorong kinerja konstruksi.

Sumber: Asosiasi Semen Indonesia

Grafik III.8. Konsumsi Semen

Pertanian

Pada triwulan II 2016, kinerja lapangan usaha

pertanian menunjukkan kenaikan yang cukup

tinggi dari sebelumnya tumbuh negatif sebesar -

0,73% (yoy) menjadi tumbuh positif sebesar

2,63% (yoy). Kenaikan laju pertumbuhan ini

terutama didorong oleh meningkatnya produksi

tanaman bahan makanan (tabama) seiring

berlangsungnya masa panen raya padi dengan

puncaknya pada April 2016. Kenaikan pertanian

juga dipengaruhi oleh pergeseran panen ke

triwulan II 2016 akibat dampak El Nino yang

terjadi di akhir tahun 2015. Perbaikan kinerja

lapangan usaha pertanian terkonfirmasi dari

ekspektasi pertanian SKDU dan peningkatan

pasokan padi sehingga berdampak pada deflasi

komoditas beras di Jawa. Meskipun curah hujan

di beberapa daerah relatif tinggi, namun hasil

produksi masih dapat terjaga seiring

meningkatnya luas areal tanam di sentra

produksi.

Grafik. III.9. Perkembangan Lapangan Usaha Pertanian

– Liaison dan SKDU

Pada triwulan III 2016, seiring dengan datangnya

panen kelompok hortikultura, perkembangan

kinerja lapangan usaha pertanian diperkirakan

sedikit meningkat. Hal ini tercermin dari hasil

Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) yang

menunjukkan potensi kenaikan tipis angka

produksi dibandingkan triwulan II 2016. Namun

demikian, risiko La Nina yang akan mencapai

puncaknya pada Agustus-September tetap perlu

diwaspadai untuk meminimalkan dampak

kerusakan hasil panen.

Perdagangan

Kinerja lapangan usaha perdagangan pada

triwulan II 2016 menunjukkan peningkatan. Hal

ini dipengaruhi oleh masuknya periode

Ramadhan yang bergeser ke akhir triwulan II

2016 serta dampak dari libur sekolah.

Peningkatan kinerja lapangan usaha perdagangan

tercatat meningkat di hampir seluruh daerah di

Jawa, kecuali Jawa Tengah dan DKI Jakarta.

Page 35: Laporan Nusantara Agustus 2016.pdf (11,77 MB)

27

Hasil Survei Perdagangan Eceran (SPE)

menunjukkan pertumbuhan Indeks Penjualan

Ritel (IPR) yang meningkat dari sebelumnya

tercatat 6,46% menjadi 12,61% pada

triwulan II 2016. Selain penjualan domestik,

meningkatnya permintaan ekspor luar negeri di

DKI Jakarta, Jatim dan Jabar turut menopang

kinerja perdagangan. Penjualan Komoditas alat

angkut dan perhiasan tumbuh meningkat pada

triwulan ini. Kenaikan ekspor juga didorong oleh

peningkatan permintaan ekspor ke Eropa

khususnya komoditas perhiasan dan tekstil.

Peningkatan penjualan ini tercermin dari hasil

liaison yang tercatat membaik.

Grafik III.10. Pertumbuhan Indeks Penjualan Riil

Grafik III.11. Penjualan Domestik dan Ekspor (LS)-Liaison

Pada triwulan III 2016, kinerja lapangan usaha

perdagangan diperkirakan terus meningkat. Hal

ini terutama ditopang oleh terjaganya daya beli

masyarakat di tengah tingkat inflasi yang relatif

rendah. Hasil SKDU menunjukkan peningkatan

ekspektasi kinerja perdagangan dari 3,90 SBT

menjadi 7,20 SBT di triwulan III 2016.

Jasa Keuangan

Lapangan usaha jasa keuangan tumbuh

meningkat pada triwulan laporan. Jasa keuangan

tumbuh sebesar 14,02% (yoy), jauh lebih tinggi

dibanding triwulan sebelumnya yang mencapai

10,28% (yoy). Kenaikan pertumbuhan jasa

keuangan terjadi di seluruh daerah di Jawa,

kecuali Yogyakarta. Perbaikan kinerja lapangan

usaha jasa keuangan terutama ditopang oleh

perbaikan sub lapangan usaha perbankan, yang

memegang pangsa output terbesar jasa

keuangan. Hal ini sejalan dengan perbaikan

kinerja korporasi regional Jawa ini seiring dengan

meningkatnya penyaluran kredit oleh perbankan

dan terjaganya rasio NPL di bawah level 5% serta

rasio LDR (likuiditas perbankan) yang stabil.

Pendapatan hasil intermediasi perbankan pada

triwulan II 2016 yang dihitung dengan metode

FISIM (Financial Intermediation Services Indirectly

Measured) tercatat meningkat dibandingkan

triwulan sebelumnya. Pertumbuhan provisi atau

komisi perbankan juga meningkat seiring sedikit

membaiknya pertumbuhan kredit.

Grafik III.12. Perkembangan FISIM

Kinerja lapangan usaha jasa keuangan

diperkirakan tumbuh melambat pada triwulan

III 2016. Hal ini disebabkan oleh perkiraan masih

terbatasnya pertumbuhan kredit di seluruh

provinsi Jawa. Akibatnya, pendapatan perbankan

dari jasa bunga, provisi dan komisi diperkirakan

tumbuh lebih rendah dibandingkan triwulan II

2016.

Page 36: Laporan Nusantara Agustus 2016.pdf (11,77 MB)

28

Fiskal Daerah

Realisasi belanja pemerintah daerah di Jawa

pada triwulan II 2016 (29,61%) lebih tinggi

dibandingkan triwulan I 2016 (10,04%) maupun

triwulan II 2015 (22,18%). Peningkatan realisasi

berasal dari belanja provinsi (33,40%) senilai Rp

49,11 triliun dan belanja kota/kabupaten

(27,52%) senilai Rp73,37 triliun. Walaupun

realisasi wilayah Jawa (29,61%) mengalami

peningkatan, namun masih di bawah targetnya

(45,33%).

Tabel III.2. Target dan Realisasi Belanja

Provinsi Tw II 20151

Tw II 20162

(target) (realisasi)

Banten 22,68 52,71 30,94

DKI 9,17 5,35 29,18

Jawa Barat 25,21 51,46 29,48

Jawa Tengah 19,34 48,53 24,86

DIY 31,22 51,73 35,19

Jawa Timur 25,23 55,77 32,94

Jawa 21,02 45,33 29,61

Sumber: TEPRA (diolah) 1 Data 6 provinsi dan 98 kota/kabupaten 2 Data 6 provinsi dan 104 kota/kabupaten

Grafik III.13. Persentase DPK Pemda di BPD

Sumber: TEPRA (diolah)

Grafik III.14. Realisasi Pendapatan Provinsi

Berdasarkan disagregasi wilayah, realisasi belanja

APBD terbesar pada Daerah Istimewa Yogyakarta

(35,19%) senilai Rp4,94 triliun. Kenaikan belanja

ini didorong realisasi belanja tidak langsung

terutama belanja pegawai dan belanja hibah.

Sedangkan realisasi belanja paling kecil pada

Provinsi Jawa Tengah (24,86%) disebabkan

realisasi belanja modal yang belum optimal

seiring masih rendahnya angka pembebasan

lahan proyek, khususnya Jalan Tol dan Bandara.

Kenaikan realisasi belanja Pemda sejalan dengan

penurunan persentase simpanan Pemda di BPD,

dari 60,72% (Rp124,79 triliun) pada triwulan II

2015 menjadi 52,89% (Rp 101,68 triliun) pada

triwulan II 2016. Penurunan persentase terutama

berasal dari giro, dari 51,05% (Rp177,97 triliun)

menjadi 20,60% (Rp35,32 triliun).

Sementara itu, realisasi pendapatan provinsi

wilayah Jawa pada triwulan II 2016 (36,22%)

meningkat dibandingkan triwulan I 2016

(18,81%). Penurunan pendapatan (yoy) terbesar

dialami DKI Jakarta (-26,89%) disebabkan masih

rendahnya pajak daerah, khususnya retribusi jasa

akomodasi.

Perkembangan Inflasi

Tekanan inflasi Jawa pada triwulan laporan

relatif terjaga seiring terkendalinya harga

pangan di tengah menguatnya permintaan di

periode Ramadhan. Kondisi ini tercermin dari

tingkat inflasi (yoy) sebesar 3,14%, lebih rendah

dibandingkan realisasi triwulan sebelumnya

sebesar 3,93%. Pencapaian inflasi tersebut juga

lebih rendah dibandingkan tingkat inflasi nasional

sebesar 3,45%. Laju inflasi kalendar (ytd) wilayah

Jawa tercatat sebesar 0,96%, jauh di bawah

angka historis lima tahun terakhir sebesar 1,71%.

Rendahnya laju inflasi periode ini disebabkan

oleh koreksi harga pada beberapa komoditas

administered prices seiring penyesuaian harga

energi ke bawah serta relatif terkendalinya

harga pangan. Koreksi ke bawah harga energi

(BBM dan TTL) pada awal periode triwulan II 2016

adalah sejalan dengan masih berlangsungnya

tren penurunan harga minyak dunia. Dampak

lanjutan dari penurunan harga BBM ini

menyebabkan koreksi pada tarif angkutan dalam

kota dan angkutan laut. Di sisi lain, tekanan

Page 37: Laporan Nusantara Agustus 2016.pdf (11,77 MB)

29

inflasi yang terjadi pada kelompok administered

prices lebih bersumber dari penyesuaian tarif

listrik untuk kelompok 3.500 VA.

Sumber: BPS (diolah)

Grafik III.15. Perkembangan Inflasi Jawa dan Nasional

Sumber: BPS (diolah)

Grafik III.16. Disagregasi Kelompok Inflasi

Sementara itu, inflasi pangan relatif terkendali

di tengah menguatnya permintaan di masa

Ramadhan. Masuknya masa panen raya beras

dan hortikultura (cabe merah dan bawang

merah) pada awal triwulan laporan mampu

menahan tekanan inflasi selama triwulan II 2016.

Selain itu, kebijakan impor bawang merah,

bawang putih dan daging sapi beku turut

menjaga ekspektasi masyarakat di beberapa

daerah. Komoditas bawang merah dan cabai

merah tercatat deflasi di bulan Mei dan Juni

2016. Selain itu, pelaksanaan operasi pasar

murah untuk beberapa komoditas utama

meliputi beras, daging sapi dan gula pasir juga

turut menjaga terkendalinya harga.

Tekanan inflasi pada beberapa komoditas yang

masuk dalam kelompok inti relatif terjaga

dibandingkan periode sebelumnya. Penguatan

nilai tukar Rupiah mampu meredam gejolak

kenaikan harga komoditas lainnya seperti emas

perhiasan seiring kenaikan harga emas dunia

serta gula pasir karena rendahnya hasil

rendemen tebu yang menyebabkan

berkurangnya hasil produksi.

Tabel III.3. Komoditas Penyumbang Inflasi dan Deflasi

Sumber: BPS (diolah)

Tabel III.4. Perkembangan Inflasi Spasial

Sumber: BPS (diolah)

Memasuki triwulan III 2016, tekanan inflasi

masih terkendali pada tingkat yang rendah.

Meningkatnya permintaan pada periode lebaran

relatif dapat diimbangi oleh terjaganya pasokan

pangan seiring intensifnya upaya pemerintah

dalam menjaga kecukupan pasokan pangan.

Tekanan inflasi di awal triwulan III 2016

bersumber dari kenaikan tarif transportasi umum

dan beberapa komoditas bahan makanan. Hal ini

sebagai dampak dari meningkatnya pola

konsumsi masyarakat seiring berlangsungnya

libur sekolah yang bersamaan dengan Idul Fitri.

Selain itu, momentum tahun ajaran baru

diperkirakan turut memberikan tekanan pada

inflasi inti akibat adanya penyesuaian tarif biaya

pendidikan.

Dalam rangka upaya pengendalian inflasi di

daerah, Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID)

melakukan berbagai kegiatan di masing-masing

provinsi. Sebagai contoh, upaya TPID dalam

qtq andil qtq qtq andil qtq

1 Daging Ayam Ras 10.93 0.10 1 Cabai Merah (38.18) (0.10)

2 Telur Ayam Ras 8.22 0.04 2 Beras (0.69) (0.02)

3 Wortel 62.84 0.03 3 Cabai Rawit (29.24) (0.02)

1 Angkutan Udara 16.22 6.62 1 Solar (8.85) (6.16)

2 Angkutan Antar Kota 1.82 1.89 2 Bensin (6.84) (5.57)

3 Tarif Kereta Api 0.17 0.09 3 Tarif Taksi (2.94) (1.51)

1 Emas Perhiasan 3.59 0.04 1 Busi (0.12) (0.04)

2 Gula Pasir 12.60 0.04 2 Ban Luar Sepeda (0.59) (0.02)

3 Kontrak Rumah 0.53 0.02 3 Semen (1.05) (0.01)

Volatile Food

Administered Prices

Core Inflation

Volatile Food

Administered Prices

Core Inflation

Komoditas Inflasi Komoditas Deflasi

2014

IV I II III IV I II

Jawa Barat 7.60 5.46 6.51 6.11 2.73 3.78 3.22

Banten 10.20 7.46 8.91 8.14 4.29 5.70 3.78

Jawa Tengah 8.21 5.68 6.15 5.78 2.73 4.21 2.96

D.I. Yogyakarta 6.59 5.13 5.68 5.23 3.09 3.69 2.94

Jawa Timur 7.77 6.08 6.77 6.69 3.08 3.71 2.93

DKI Jakarta 8.95 7.10 7.59 7.24 3.30 3.62 3.08

Jawa 8.35 6.28 7.07 6.71 3.12 3.93 3.14

Nasional 8.36 6.38 7.26 6.83 3.35 4.45 3.45

Provinsi2015 2016

Page 38: Laporan Nusantara Agustus 2016.pdf (11,77 MB)

30

menjaga kestabilan harga menjelang Lebaran

2016, secara umum dilakukan melalui kegiatan

penyelenggaran Pasar Murah. Komoditas utama

yang menjadi target operasi di seluruh provinsi

antara lain beras, daging sapi dan gula pasir.

Selain itu, komoditas daging ayam ras, telur ayam

ras dan minyak goreng turut menjadi target

operasi murah di beberapa provinsi di Jawa. TPID

se-Jawa juga telah menindaklanjuti arahan

presiden pada Rakornas TPID 2015 untuk

menjaga kestabilan harga di tingkat daerah.

Sumber: BPS (diolah) dan Bank Indonesia

Grafik III.17. Inflasi dengan Perkiraan Harga 3 bulan Survei Konsumen

Untuk mendukung upaya pengendalian inflasi,

diperlukan perbaikan infrastruktur dan tata

niaga. Pembenahan kelembagaan basis produksi,

distribusi dan penjualan saat ini dirasakan masih

kurang memadai. Selain itu, rantai tata niaga

beberapa komoditas pangan pun masih belum

efektif. Namun demikian, upaya pemberian

subsidi pertanian melalui kartu tani, kebijakan

dan dukungan penyediaan lahan oleh pemerintah

serta penyediaan infrastruktur penunjang

produksi seperti cold storage dan saluran irigasi

dinilai mampu mendorong perbaikan dari sisi

produksi. Sementara itu, perluasan kerjasama

antar daerah, penguatan peran Bulog dan BUMD

serta pendirian Pusat Distribusi Agribisnis turut

memberikan dampak positif terhadap efektifitas

distribusi. Kondisi ini semakin diperkuat dengan

dibangunnya Pusat Informasi Harga Pangan

Strategis (PIHPS) dengan berbagai fitur

pendukung. Hal ini dinilai dapat memberikan

percepatan akses mitigasi risiko inflasi bagi

Pemerintah Daerah.

Stabilitas Keuangan Daerah

Ketahanan Sektor Korporasi

Kinerja korporasi di Jawa pada triwulan I 2016

menunjukkan adanya perbaikan. Hal tersebut

tercermin dari rasio rentabilitas korporasi yang

mengalami peningkatan pada triwulan laporan,

setelah pada triwulan sebelumnya mengalami

perlambatan.

Rasio rentabilitas korporasi yang mengalami

peningkatan pada triwulan I 2016 turut

mendorong peningkatan kinerja solvabilitas dan

repayment capacity korporasi Jawa. Peningkatan

rentabilitas korporasi Jawa tercermin dari

peningkatan Return on Assets (ROA) dari 5,38

pada triwulan IV 2016 menjadi 5,43 pada

triwulan I 2016.

Sejalan dengan tingkat solvabilitas yang

mengalami peningkatan pada triwulan I 2016,

kemampuan korporasi dalam membayar pokok

utang maupun beban bunga juga membaik.

Kemampuan membayar bunga atau rasio Interest

Coverage Ratio (ICR) korporasi Jawa pada

triwulan I 2016 tercatat sebesar 4,31 atau

meningkat dari triwulan IV 2016 yang tercatat

sebesar 3,77. Peningkatan rasio ICR menunjukkan

resiliensi korporasi Jawa di tengah tren

ketidakpastian perekonomian global saat ini.

Secara sektoral, peningkatan ICR koporasi Jawa

tersebut terutama didorong oleh peningkatan ICR

sektor industri kimia yang mengalami

peningkatan ICR dari 1,97 pada triwulan IV 2015

menjadi sebesar 7,75 pada triwulan I 2016.

Sumber: Bloomberg

Grafik III.18. Perkembangan ROA dan ROE Korporasi

Page 39: Laporan Nusantara Agustus 2016.pdf (11,77 MB)

31

Sumber: Bloomberg

Grafik III.19. Perkembangan DER dan Solvability Ratio Korporasi

Sumber: Bloomberg

Grafik III.20. Perkembangan ICR dan Current Ratio Korporasi

Tabel III.5. Indikator Kinerja Korporasi

Sumber: Bloomberg (diolah dari 38 korporasi manufaktur Tbk

di Jawa)

Sementara itu, rasio likuiditas (current ratio)

juga mengalami peningkatan sejalan dengan

peningkatan rentabilitas korporasi. Rasio

likuiditas korporasi Jawa pada triwulan I 2016

tercatat sebesar 1,59 atau meningkat

dibandingkan triwulan IV 2016 yang sebesar 1,54.

Namun demikian, peningkatan likuiditas

korporasi dapat memberikan sinyal adanya sikap

wait and see terhadap perkembangan ekonomi

tahun 2016 sehingga korporasi menunda realisasi

investasi.

Eksposur Perbankan pada Sektor Korporasi

Sejalan dengan pertumbuhan ekonomi Jawa,

penyaluran kredit berdasarkan lokasi proyek

turut mengalami peningkatan. Kredit di Jawa

secara keseluruhan tumbuh (yoy) sebesar 8,52%,

lebih tinggi dibandingkan triwulan I 2016 sebesar

8,21%; meski masih lebih rendah jika

dibandingkan pertumbuhan kredit nasional

(8,78%). Sektor korporasi menjadi pendorong

utama peningkatan pertumbuhan kredit di

tengah melambatnya pertumbuhan kredit sektor

perseorangan.

Grafik III.21. Pangsa Kredit Sektor Korporasi

Kredit korporasi triwulan II 2016 tumbuh (yoy)

sebesar 10,91%, meningkat dibanding triwulan

sebelumnya yang sebesar 9,58%. Peningkatan

penyaluran kredit terjadi pada kredit modal kerja

dan investasi, masing-masing sebesar 9,59% dan

14,36%; di atas pencapaian periode sebelumnya.

Peningkatan kredit ini terutama didorong oleh

sektor konstruksi, sejalan dengan percepatan

pembangunan infrastruktur oleh pemerintah.

Kredit ke lapangan usaha konstruksi, yang

memiliki pangsa 7,4% dari total kredit korporasi,

tumbuh meningkat pesat mencapai 24,93%.

Sementara itu, kredit utama Jawa yaitu pada

lapangan usaha industri pengolahan serta

perdagangan besar dan eceran masih mengalami

perlambatan. Masing-masing lapangan usaha

TwIV

2015

TwI

2016

TwIV

2015

TwI

2016

TwIV

2015

TwI

2016

1 Automotive & Components 4.99 4.93 9.93 9.74 0.97 0.91

2 Food & Beverage 6.02 6.31 12.36 12.83 1.00 0.96

3 Pulp& Paper 1.99 1.93 5.42 5.24 1.72 1.67

4 Tobacco Manufacturers 14.63 14.50 29.78 28.06 0.71 0.72

5 Cement 11.19 10.62 15.55 14.97 0.39 0.43

6 Metal & Allied Products -8.23 -8.31 -19.45 -18.11 1.05 1.06

7 Chemicals 1.19 2.98 2.42 6.10 1.03 1.11

8 Pharmaceuticals 15.29 15.21 18.68 18.61 0.22 0.22

9 Textile, Garment 0.98 1.16 6.59 7.63 5.47 5.51

10 Ceramics, Glass, Porcelain 1.65 1.90 4.17 4.35 1.53 0.26

11 Plastics & Packaging 0.98 1.39 2.03 2.86 1.05 1.00

5.38 5.43 11.22 11.16 1.01 0.96Agregat

No Subsektor

ROA ROE DER

TwIV

2015

TwI

2016

TwIV

2015

TwI

2016

TwIV

2015

TwI

2016

1 Automotive & Components 1.40 1.40 2.26 2.25 0.18 0.17

2 Food & Beverage 1.84 1.97 2.22 2.32 0.22 0.23

3 Pulp& Paper 1.39 1.49 0.89 0.93 0.10 0.11

4 Tobacco Manufacturers 2.50 2.45 0.76 0.72 0.42 0.36

5 Cement 1.98 1.86 3.44 2.34 0.19 0.14

6 Metal & Allied Products 0.72 0.73 0.64 0.72 0.09 0.10

7 Chemicals 1.30 1.09 1.11 2.54 0.14 0.22

8 Pharmaceuticals 4.10 4.08 1.63 1.49 0.32 0.30

9 Textile, Garment 0.81 0.80 1.27 1.29 0.21 0.20

10 Ceramics, Glass, Porcelain 1.68 4.20 1.41 2.95 0.22 0.55

11 Plastics & Packaging 0.99 1.01 1.74 1.86 0.26 0.26

1.54 1.59 1.30 1.30 0.20 0.20Agregat

No Subsektor

Current Ratio Inventory TO Asset TO

Page 40: Laporan Nusantara Agustus 2016.pdf (11,77 MB)

32

tersebut tercatat hanya tumbuh 6,81% dan

10,72% pada triwulan II 2016.

Grafik III.22. Penyaluran Kredit Sektoral Korporasi

Grafik III.23. Rasio NPL Kredit Sektoral Korporasi

Melambatnya penyaluran kredit korporasi

industri pengolahan juga tercermin dari

menurunnya rasio DER. Tingkat utang terhadap

ekuitas pada akhir triwulan I 2016 mengalami

penurunan menjadi 1,08; lebih rendah

dibandingkan kuartal sebelumnya sebesar 1,13.

Ketidakpastian kontinuitas pertumbuhan

permintaan ekonomi global ditengarai menjadi

penyebab penurunan preferensi korporasi dalam

menerima pinjaman di tengah perbaikan kinerja

korporasi.

Peningkatan penyaluran kredit korporasi diikuti

pula dengan peningkatan risiko kredit, meski

masih berada dalam kategori aman. Pada

triwulan II 2016 ini, risiko kredit korporasi (NPL)

meningkat menjadi 3,16%, lebih tinggi dari rasio

NPL secara keseluruhan yang sebesar 2,89%.

Menurunnya kualitas kredit korporasi terutama

terjadi baik untuk kredit modal kerja maupun

kredit investasi. Secara sektoral, peningkatan

risiko kredit (NPL) terutama terjadi pada industri

pengolahan yang mencapai 3,88%, jauh lebih

tinggi dibandingkan triwulan sebelumnya

(2,87%).

Ketahanan Sektor Rumah Tangga

Dana Pihak Ketiga Perseorangan di Perbankan

Dana Pihak Ketiga (DPK) perseorangan tercatat

mengalami peningkatan yang disumbang oleh

peningkatan tabungan. Dengan pangsa mencapai

49% dari total DPK, tabungan yang pada triwulan

II 2016 tumbuh 16,0% (yoy) mendorong

pertumbuhan DPK secara keseluruhan.

Sementara itu, deposito tumbuh negatif 2,1%

(yoy). Hal ini mengindikasikan adanya shifting

dari deposito ke tabungan yang mengindikasikan

peningkatan preferensi masyarakat terhadap

dana likuid.

Grafik III.24. Pertumbuhan DPK Perseorangan

Kredit Perseorangan di Perbankan

Kredit rumah tangga tumbuh (yoy) melambat

dari 7,95% pada triwulan I 2016 menjadi 6,83%

pada triwulan II 2016. Perlambatan penyaluran

kredit rumah tangga utamanya disumbang oleh

kredit multiguna yang tumbuh melambat dari

17,18% ke 16,15% serta kredit kendaraan

bermotor (KKB) yang tumbuh juga tumbuh

melambat, dari 2,17% menjadi 0,82%.

Perlambatan KKB utamanya disumbang oleh

adanya kontraksi kredit kepemilikan truk dan

kendaraan bermotor beroda enam atau lebih,

yang mencapai negatif 55,37%. Meskipun

demikian, kredit penjualan mobil roda empat

pada triwulan II 2016 tumbuh membaik menjadi

Page 41: Laporan Nusantara Agustus 2016.pdf (11,77 MB)

33

4,97%, dari kuartal sebelumnya yang sebesar

4,44%.

Penyaluran KPR mengalami peningkatan

terutama didorong kenaikan permintaan KPR

untuk perumahan tipe 22 s.d. 70. Kredit

perumahan tipe 22 s.d.70 mencata pertumbuhan

hingga 15,06%. Peningkatan permintaan kredit

terkait properti itu sejalan dengan hasil Survei

Harga Properti Residensial (SHPR) yang

menunjukkan adanya peningkatan indeks harga

properti di kota-kota besar di Jawa yang ditopang

oleh kenaikan optimisme masyarakat untuk

pembelian barang tahan lama, yang ditunjukkan

oleh hasil Survei Konsumen (SK).

Grafik III.25. Pertumbuhan Kredit Rumah Tangga

Grafik III.26. Perkembangan KPR

Risiko kredit rumah tangga mengalami sedikit

peningkatan. Rasio NPL untuk kredit rumah

tangga tercatat meningkat ke level 2,55%; sedikit

lebih tinggi dari triwulan sebelumnya (2,51%).

Kenaikan risiko kredit terjadi di semua jenis kredit

rumah tangga, dengan kenaikan terbesar pada

KKB dan KPR. Kenaikan risiko KKB didorong oleh

peningkatan risiko kredit kepemilikan sepeda

bermotor, sementara kenaikan risiko KPR terjadi

di seluruh tipe KPR, terutama pada tipe di atas

70.

Grafik III.27. Rasio NPL Kredit Rumah Tangga

Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah

Sistem Pembayaran Non Tunai

Jumlah transaksi kliring melalui Sistem Kliring

Nasional Bank Indonesia (SKNBI) pada triwulan

II 2016 mengalami peningkatan dibandingkan

triwulan sebelumnya. Volume transaksi SKNBI

tercatat meningkat dari 24,3 juta transaksi

menjadi 26,8 juta transaksi. Sementara

berdasarkan nominalnya, transaksi SKNBI

mengalami peningkatan 58,4% (yoy) menjadi Rp

961 triliun. Dari jumlah itu, lebih dari Rp 685

triliunnya bersumber dari DKI Jakarta, yang

memiliki pangsa terbesar (68,5%) di Jawa.

Peningkatan nominal SKNBI terjadi di seluruh

wilayah Jawa, dengan pertumbuhan terbesar

terjadi di Jawa Tengah (113,4%; yoy). Kenaikan

yang besar terjadi tidak saja karena pola seasonal

Ramadhan, melainkan juga disebabkan

pembukaan caping atas SKNBI yang berlangsung

sejak November 2015.

Grafik III.28. Volume Transaksi SKNBI

Page 42: Laporan Nusantara Agustus 2016.pdf (11,77 MB)

34

Grafik III.29. Nominal Transaksi SKNBI

Pengelolaan Uang Rupiah

Pada triwulan II 2016, wilayah Jawa mengalami

net-outflow sebesar Rp76,6 triliun, berbeda

dengan triwulan sebelumnya yang mengalami

net-inflow. Nominal outflow mengalami

peningkatan pertumbuhan (yoy) yang tinggi, dari

21,03% pada triwulan I 2016 menjadi 77,86% di

triwulan II 2016. Sebaliknya, pertumbuhan inflow

melambat cukup dalam menjadi 1,00% (yoy),

setelah sebelumnya dapat tumbuh hingga

16,75% (yoy). Sesuai dengan pola historis net-

outflow pada periode Ramadhan – Lebaran, maka

net outflow yang terjadi ini dialami oleh seluruh

provinsi di Jawa.

Jumlah uang palsu (atau yang diragukan

keasliannya) yang dilaporkan kepada Bank

Indonesia pada triwulan kedua tahun 2016

tercatat sebanyak 25.410 lembar, turun

dibandingkan triwulan sebelumnya yang

mencapai 43.402 lembar. Upaya mengantisipasi

peningkatan uang palsu dan edukasi kepada

masyarakat terkait ciri-ciri keaslian uang rupiah

akan senantiasa ditingkatkan guna menekan

peredaran uang palsu. Hal tersebut juga akan

didukung oleh penguatan koordinasi dengan

perbankan dan pihak berwajib mengenai

penanganan laporan masyarakat terkait uang

yang diragukan keasliannya.

Grafik III.30. Perkembangan Inflow dan Outflow

Grafik III.31. Perkembangan Temuan Uang Palsu

Grafik III.32. Perkembangan Pemusnahan UTLE

Prospek Perekonomian

Prospek Pertumbuhan Ekonomi

Perekonomian berbagai daerah di Jawa secara

agregat diperkirakan tumbuh di kisaran 5,6%-

6,0% (yoy) pada tahun 2016; lebih tinggi

dibandingkan realisasi pertumbuhan tahun

2015. Komitmen pemerintah untuk terus

merealisasikan proyek infrastruktur strategis

dalam bentuk konsumsi dan investasi

pemerintah, menjadi pendorong utama

pertumbuhan. Di sisi lain, sejalan dengan

perbaikan indeks keyakinan konsumen,

Page 43: Laporan Nusantara Agustus 2016.pdf (11,77 MB)

35

pertumbuhan konsumsi swasta, walaupun masih

relatif terbatas, akan juga mendorong

pertumbuhan ekonomi wilayah Jawa.

Ekspektasi membaiknya kinerja jasa konstruksi,

industri pengolahan dan perdagangan di

Provinsi Jawa Barat dan Jawa Timur diharapkan

menjadi pendorong utama perbaikan ekonomi

Jawa. Tidak hanya itu, perbaikan ekonomi DKI

Jakarta, khususnya yang terjadi pada sektor

konstruksi dan industri pengolahan turut menjadi

sumber pertumbuhan ekonomi Jawa tahun 2016.

Secara keseluruhan, membaiknya ekspektasi

masyarakat dan pelaku usaha terhadap

perekonomian domestik baik Jawa maupun non

Jawa, diperkirakan mendorong perbaikan

ekonomi melalui belanja masyarakat dan

investasi, baik belanja infrastruktur pemerintah

maupun upaya ekspansi sektor riil.

Dari sisi permintaan, pertumbuhan diperkirakan

didorong oleh peningkatan permintaan

domestik. Meningkatnya kinerja konsumsi rumah

tangga diperkirakan didorong oleh meningkatnya

persepsi masyarakat terhadap kondisi

perekonomian nasional yang mengalami

perbaikan secara gradual pada tahun ini.

Apresiasi nilai tukar, terjaganya inflasi pada

tingkat yang rendah dan stabil, serta pelonggaran

kebijakan moneter dan makroprudensial yang

dilakukan oleh Bank Indonesia diperkirakan turut

mendukung peningkatan kinerja konsumsi.

Pengeluaran Investasi diprakirakan juga tumbuh

meningkat didorong terutama oleh realisasi

infrastruktur pemerintah, antara lain

pembangunan tol Trans Jawa, bendungan,

infrastruktur transmisi kelistrikan, serta berbagai

proyek lainnya. Selain itu, kebijakan tax amnesty

dan Paket Kebijakan Ekonomi pemerintah juga

diperkirakan memberikan dorongan pada sektor

properti swasta dan investasi sektor riil meski

baru berdampak pada akhir tahun 2016.

Dari sisi penawaran, akselerasi kinerja industri

pengolahan dan perdagangan menjadi

pendorong utama peningkatan pertumbuhan. Di

semester I 2016, secara umum kinerja industri

pengolahan secara umum menunjukkan

peningkatan menjadi lebih baik daripada periode

yang sama tahun sebelumnya. Kinerja beberapa

subsektor, seperti industri otomotif, logam, dan

tekstil diperkirakan akan terus membaik.

Subsektor industri makanan-minuman juga

diperkirakan terakselerasi seiring dengan

peningkatan kinerja konsumsi rumah tangga.

Meningkatnya kapasitas produksi industri

pengolahan yang terjadi seiring dengan

meningkatnya produksi, juga didukung oleh

implementasi paket kebijakan ekonomi yang

memberikan kemudahan bagi investor untuk

menanamkan modalnya di Indonesia. Sementara

itu, meningkatnya permintaan domestik juga

mendorong peningkatan pertumbuhan lapangan

usaha perdagangan. Tren penurunan suku bunga

kebijakan moneter, yang kemudian akan

ditransmisikan melalui suku bunga kredit

perbankan, akan mendorong kinerja

perdagangan retail domestik serta penjualan

kendaraan bermotor. Sektor konstruksi

diperkirakan tetap tumbuh stabil, ditopang

terutama oleh realisasi proyek infrastruktur

pemerintah. Walaupun demikian, potensi

perlambatan dapat terjadi pada sektor pertanian

karena terganggunya produksi akibat

ketidakmenentuan kondisi cuaca hingga akhir

tahun 2016, sebagai dampak La Nina.

Di balik optimisme pertumbuhan ekonomi

tersebut, masih terdapat risiko terhadap kinerja

perekonomian Jawa di tahun 2016 ini. Walaupun

upaya otoritas perekonomian negara-negara

mitra dagang utama Jawa terus diarahkan untuk

memulihkan kondisi ekonomi, nyatanya

perbaikan perekonomian Jepang, Tiongkok,

Amerika Serikat, dan Eropa relatif berjalan

lambat. Pemulihan yang berjalan lambat tersebut

berpotensi terus menekan kinerja ekspor luar

negeri Jawa. Harga komoditas internasional yang

masih rendah juga menekan kinerja

perekonomian mitra Jawa dalam perdagangan

antar daerah, yang sebagian besar berbasis

sumber daya alam. Selain itu, risiko lebih

rendahnya pendapatan pemerintah daripada

Page 44: Laporan Nusantara Agustus 2016.pdf (11,77 MB)

36

yang diharapkan, berpotensi terhadap realisasi

pembiayaan proyek-proyek infrastruktur yang

telah dicanangkan.

Prospek Inflasi

Inflasi tahunan Jawa di penghujung tahun 2016

diperkirakan berada dalam rentang target inflasi

4±1%. Tingkat inflasi tersebut berada di kisaran

3,35%-3,75% (yoy), sedikit lebih tinggi

dibandingkan dengan tingkat inflasi di tahun

2015 yang hanya mencapai 3,12% (yoy).

Tekanan inflasi terutama bersumber dari

kelompok komoditas volatile foods terutama

sebagai akibat potensi gangguan produksi akibat

fenomena La Nina yang diperkirakan akan terjadi

hingga penghujung tahun 2016. Selain itu, harga

pakan ternak, terutama jagung dan kedelai,

berpotensi meningkat yang berdampak lanjutan

kepada harga daging dan telur. Tekanan pada

inflasi administered prices berpotensi meningkat

jika rencana kenaikan tarif listrik pelanggan 900

VA dilaksanakan pada bulan Agustus, Oktober,

dan Desember. Di sisi permintaan, peningkatan

konsumsi masyarakat, terutama di akhir tahun,

seiring dengan potensi perbaikan kondisi

perekonomian Jawa akan mendorong demand

pull inflation pada kelompok inflasi inti.

Di sisi lain, potensi downside risk inflasi

diperkirakan akan bersumber dari kelompok

administered prices dan inflasi inti. Harga bahan

bakar minyak yang terkoreksi di awal tahun serta

masih rendahnya harga minyak internasional

diperkirakan mendorong pemerintah untuk

menurunkan tarif transportasi umum dan LPG.

Selain itu, kebijakan tax amnesty yang

dicanangkan oleh pemerintah pusat berpotensi

mendorong capital inflow yang besar di semester

II 2016, baik yang merupakan dana repatriasi

maupun dana asing yang terdorong masuk akibat

sentimen positif terhadap kebijakan pemerintah.

Capital inflow tersebut berpotensi mendorong

penguatan nilai tukar rupiah yang tertransmisi

pada terjaganya tekanan kelompok inflasi inti.

Page 45: Laporan Nusantara Agustus 2016.pdf (11,77 MB)

37

Untuk mempertahankan dan mendorong daya

saing ekonomi domestik di tengah pemulihan

ekonomi global yang belum kuat, Pemerintah

secara konsisten telah mengeluarkan Paket

Kebijakan Ekonomi Jilid I-XII. Dari rangkaian Paket

Kebijakan transformasi struktural tersebut,

diharapkan sektor riil dapat memperoleh insentif

suku bunga, kemudahan berinvestasi,

peningkatan daya saing serta perbaikan

infrastruktur logistik dan listrik (Gambar III.33).

Gambar III.33. Paket Kebijakan Jilid I-XII

Berbagai kebijakan insentif yang telah diterbitkan

Pemerintah, dalam implementasinya di daerah

ternyata masih menghadapi beberapa kendala.

Status daerah sebagai Daerah Otonomi

menyebabkan beberapa kebijakan pemerintah

pusat perlu, dalam implementasinya perlu

dirumuskan kembali dalam bentuk Peraturan

Daerah (Perda). Untuk mengetahui sejauh mana

para pelaku usaha memahami dan merespons

Paket Kebijakan Pemerintah tersebut, Bank

Indonesia telah melakukan survei langsung

kepada para pelaku usaha di seluruh daerah di

Jawa. Survei dilakukan pada bulan Juli dan

melibatkan 150 responden.

Temuan Hasil Survei

a. Tingkat Pemahaman

Paket Kebijakan yang dilengkapi dengan petunjuk

teknis (juknis) memiliki tingkat efektifitas

implementasi yang lebih baik dibandingkan

dengan yang belum dilengkapi dengan Juknis.

Dari Paket Kebijakan Jilid I (Mendorong Daya

Saing Industri) dan Paket Kebijakan IV (Jaminan

Sistem Pengupahan dan Pengamanan PHK) yang

sudah dilengkapi dengan Juknis adalah perizinan

tanah, pendirian usaha dan penghitungan tarif

Upah Minimum Regional (UMR). Sebaliknya,

paket kebijakan industri farmasi dan Alkes (Paket

Kebijakan XI), masih kurang dipahami dan

dimanfaatkan dunia usaha. Para pelaku usaha

pada prinsipnya sangat mendukung setiap upaya

pemerintah dalam mendorong pertumbuhan

ekonomi nasional dan daerah/pedesaan.

Sumber: Survei Bank Indonesia (diolah)

Grafik III.34. Tingkat Pemahaman Isi Paket Kebijakan Jilid I-XII

b. Tingkat Pemanfaatan Pelaku Usaha

Tabel III.6. Tingkat Pemahaman Isi Paket Kebijakan Jilid I-XII

Sumber: Survei Bank Indonesia, 2016 (diolah)

Paket Kebijakan IV, VI dan VIII, yaitu penetapan

Upah Minimum Regional (UMR), Kawasan

Ekonomi Khusus (KEK) Tanjung Lesung dan

insentif investasi pada industri petrokimia

tampaknya sudah lama ditunggu para pelaku

usaha, tercermin dari tingkat pemanfaatan yang

paling tinggi sebesar 100%. Industri pengolahan

No Kebijakan Ya Tidak No Kebijakan Ya Tidak

IInland Free Trade Arrangement

(IFTA)88% 12% VII

Insentif PPh 21 Industri

Padat Karya11% 89%

II Layanan 3 Jam 54% 46% VIIIKepastian Usaha dan Investasi

Industri Petrokimia100% 0%

Kredit Usaha Rakyat (KUR) 50% 50% IX

Penggunaan Fasilitas

Indonesia National Single

Window (INSW)

41% 59%

Percepatan Perizinan Tanah 14% 86% X Keterbukaan Investasi Asing 25% 75%

UMR 100% 0% KUR Pelaku Ekspor (KURBE) 50% 50%

Lembaga Pembiayaan Ekspor

Indonesia (LPEI)6% 94%

Dana Investasi Real Estate

(DIRE)4% 96%

Revaluasi Aset 37% 63% Integrasi Jasa Pelabuhan 25% 75%

Pemb. Syari'ah 7% 93%Ketersediaan bahan baku

industri farmasi & alkes7% 93%

KEK Tanjung Lesung 100% 0% Produksi Farmasi DN 4% 96%

Izin Impor Bahan Baku Farmasi 5% 95% XII Kemudahan berusaha 26% 74%

III

IV

XI

V

VI

Boks 2

Page 46: Laporan Nusantara Agustus 2016.pdf (11,77 MB)

38

sangat antusias dalam memanfaatkan

fasilitas/insentif yang diberikan. Hingga akhir

Agustus 2016, sebanyak 70% dari 38% responden

survei yang memanfaatkan fasilitas/insentif

pemerintah berasal dari Industri Pengolahan,

sedangkan sisanya dari perdagangan dan jasa.

Sumber: Survei Bank Indonesia (diolah)

Grafik III.35. Pemanfaatan Paket Kebijakan oleh Pelaku Usaha

Kebijakan pemberian insentif pada Kawasan

Inland Free Trade Arrangement (IFTA) direspons

sangat baik terutama oleh industri tekstil dan

kendaraan bermotor, karena efektif dalam

meningkatkan daya saing produk ekspornya.

Sementara kebijakan insentif penurunan tarif bea

masuk bahan baku industri (Paket VI), jaminan

ketersediaan bahan baku dalam negeri serta

insentif biaya investasi industri farmasi (Paket XI),

kurang diminati oleh kalangan Industri.

c. Penyelarasan Ketentuan Investasi Daerah

Efektifitas pelaksanaan kebijakan pemerintah

untuk mempermudah proses investasi di daerah

sangat dipengaruhi oleh Perda yang selaras.

Peraturan Kepala (Perka) BKPM No.14,15,16,17

Tahun 2015 yang terkait kemudahan ijin investasi

daerah pada umumnya telah direspons dengan

baik oleh BKPMPT/BKPM Daerah. Penyesuaian

Perda yang selaras dengan cepat diselesaikan

oleh 80% lebih responden (BKPMPT/BKPM

Daerah). Perka diatas umumnya sudah dilengkapi

dengan Juknis, kecuali Perka BKPM No.16.

Respons tertinggi tindak lanjut BKPM Daerah

terutama ada pada pengaturan perizinan dan non

perizinan investasi daerah, khususnya di kawasan

industri (Perka BKPM No. 15), seiring

ditetapkannya target realisasi investasi daerah

oleh BKPM Pusat.

Selain itu, BKPM Daerah mengutarakan beberapa

hal yang menjadi kendala dalam pelaksanaan

kebijakan insentif investasi di daerah, yaitu:

1. Kewenangan Kab/Kota terbatas;

2. Belum ada sosialisasi BKPM Pusat ke daerah;

3. Pelaku usaha belum paham Juknis;

4. Pengusaha tidak menyampaikan Laporan

Kegiatan Penanaman Modal (LKPM); serta

5. Keterbatasan jumlah SDM.

Sumber: Survei Bank Indonesia (diolah)

Grafik III.36. Tindak Lanjut BKPM Daerah

Kesimpulan

Secara umum, hasil survei mengindikasikan

bahwa pelaku usaha, terutama sektor industri,

memiliki ekspektasi positif pada insentif yang

diberikan pemerintah melalui Paket Kebijakan

Pemerintah Jilid I-XII. Berbagai kemudahan

berinvestasi melalui layanan 3 jam, insentif

investasi di bidang farmasi petrokimia, serta

keterbukaan investasi asing telah dimanfaatkan

sektor industri. Di sisi lain, kebijakan jaminan

sistem pengupahan tenaga kerja, insentif PPh 21,

perbaikan infrastruktur logistik, serta fasilitas

bebas biaya impor bahan baku dan pajak di

Kawasan Inland Free Trade Arrangement (IFTA)

turut mendorong daya saing produk industri,

khususnya tujuan ekspor.

Ke depan, dibutuhkan sinergi antara Pemerintah

Pusat dan Daerah guna mendorong efektivitas

pelaksanaan Paket Kebijakan, khususnya di

tingkat Kab/Kota. Perumusan juknis hinigga di

level teknis semakin dibutuhkan, terutama sejak

terdapatnya kecenderungan aliran investasi

sektor industri ke beberapa Kabupaten.

Page 47: Laporan Nusantara Agustus 2016.pdf (11,77 MB)

39

Pertumbuhan ekonomi Kalimantan pada triwulan II 2016 melambat dibandingkan dengan triwulan I

2016. Perlambatan pertumbuhan ekonomi disebabkan rendahnya kinerja sektor pertanian dan

industri pengolahan terutama akibat produksi produksi CPO dan LNG. Sementara itu, meskipun

masih terkontraksi, kinerja sektor pertambangan mulai menunjukkan perbaikan. Perlambatan

kinerja sektor ekonomi utama berdampak pada minimnya realisasi investasi selama periode

laporan. Pada triwulan III 2016, pertumbuhan ekonomi Kalimantan diprakirakan mulai membaik,

terutama didorong oleh realisasi belanja pemerintah dan meningkatnya kinerja ekspor.

Sejalan dengan masih lesunya perekonomian, pada triwulan II 2016 tekanan inflasi Kalimantan

menurun menjadi sebesar 4,87%, terutama bersumber dari turunnya tekanan inflasi volatile foods

dan administered prices. Tekanan inflasi pada triwulan III 2016 diprakirakan kembali menurun

dibandingkan triwulan II 2016 seiring dengan masih lesunya perekonomian Kalimantan. Sepanjang

tahun 2016, inflasi Kalimantan diperkirakan lebih rendah dibanding tahun 2015, terutama ditopang

oleh terkendalinya tekanan inflasi volatile foods dan inflasi inti. Namun demikian, risiko inflasi yang

berasal dari kenaikan harga emas, tarif angkutan udara, dan kendala distribusi perlu diwaspadai.

Pertumbuhan Ekonomi

Pertumbuhan ekonomi Kalimantan pada

triwulan II 2016 melambat dibandingkan

triwulan I 2016. Perekonomian Kalimantan pada

triwulan II 2016 tumbuh 1,1% (yoy), atau lebih

rendah dibandingkan triwulan sebelumnya yang

mencapai 1,4% (yoy). Perlambatan pertumbuhan

ekonomi Kalimantan dipengaruhi oleh

menurunnya pertumbuhan konsumsi pemerintah

dan investasi. Di sisi lain, membaiknya konsumsi

rumah tangga dan ekspor mampu menahan

perlambatan ekonomi yang lebih dalam. Secara

spasial, provinsi Kalimantan Barat dan Kalimantan

Selatan mengalami perlambatan pertumbuhan

ekonomi, sementara Kalimantan Timur masih

terkontraksi lebih dalam, dan hanya Kalimantan

Tengah yang mengalami akselerasi pertumbuhan.

Tabel IV.1. Pertumbuhan Ekonomi Daerah di Kalimantan

Pertumbuhan konsumsi pemerintah pada

triwulan II melambat menjadi 2,5% (yoy) lebih

rendah daripada triwulan sebelumnya 4,4% (yoy).

Hal ini tercermin pada realisasi belanja

operasional pemerintah daerah yang menurun

serta melambatnya pertumbuhan realisasi

belanja Kementerian dan Lembaga di Kalimantan

dari 57,8% (yoy) pada triwulan I 2016 menjadi

menjadi 54,9% (yoy).

Kinerja investasi pada triwulan II 2016

mengalami kontraksi lebih dalam menjadi

negatif 5,8% lebih rendah daripada triwulan

sebelumnya negatif 2,1%. Kinerja sektor

pertambangan yang belum pulih mengakibatkan

penurunan investasi nonbangunan yang

dilakukan oleh korporasi sektor pertambangan.

Hal ini dikonfirmasi oleh indikator investasi pada

Likert Scale (LS) liaison dan Survei Kegiatan Dunia

Usaha (SKDU) yang berada pada level rendah,

khususnya untuk sektor pertambangan dan

pertanian, indikator impor barang modal, serta

kredit investasi yang tumbuh terbatas pada level

5,11% (yoy).

Namun demikian, berlanjutnya proyek

pembangunan pabrik pengolahan mineral

alumina tahap II senilai Rp5,47 triliun dan

kenaikan investasi bangunan pemerintah

menahan perlambatan investasi lebih dalam pada

I II III IV Total I II*Kalimantan Barat 6.3 4.1 4.6 4.3 4.8 5.9 5.3

Kalimantan Tengah 7.6 7.1 6.9 6.6 7.0 5.2 6.8

Kalimantan Selatan 4.0 3.3 3.9 4.1 3.8 4.0 3.8

Kalimantan Timur -0.2 -0.4 -2.2 -0.5 -0.9 -1.3 -1.0

Kalimantan 2.0 1.4 0.4 1.4 1.3 1.1 1.3

2015 2016Provinsi

Page 48: Laporan Nusantara Agustus 2016.pdf (11,77 MB)

40

triwulan laporan. Kenaikan investasi bangunan

yang dilakukan oleh pemerintah terindikasi dari

meningkatnya pertumbuhan belanja modal

pemerintah dari 24,5% (yoy) pada triwulan I 2016

menjadi 26,4% (yoy) pada triwulan II 2016. Hal itu

sejalan dengan peningkatan konsumsi semen di

Kalimantan.

Di sisi lain, meski masih terkontraksi, kinerja

ekspor Kalimantan juga cenderung membaik.

Ekspor Kalimantan pada triwulan II 2016

terkontraksi lebih kecil yaitu hanya negatif 0,5%

(yoy), tidak sedalam triwulan sebelumnya yang

mencapai negatif 1,4% (yoy). Membaiknya

kinerja ekspor disebabkan baik oleh kenaikan

harga beberapa komoditas ekspor utama

Kalimantan, antara lain minyak mentah, CPO dan

karet, serta batubara, maupun kenaikan

permintaan komoditas ekspor Kalimantan di

negara tujuan ekspor seperti Tiongkok dan India.

Kenaikan harga CPO didorong oleh penurunan

stok minyak nabati dunia pasca fenomena El

Nino, sementara perbaikan harga batubara

didorong oleh peningkatan permintaan Tiongkok

akibat menurunnya produksi domestik pasca

adanya aturan pemotongan jumlah hari kerja.

Sementara peningkatan permintaan di negara

tujuan ekspor terindikasi dari perbaikan

Purchasing Manufacturing Index (PMI) di kedua

negara tersebut.

Grafik IV.1. Ekspor Batubara Kalimantan Berdasarkan

Negara Tujuan

Konsumsi rumah tangga Kalimantan

menunjukkan peningkatan pertumbuhan yaitu

dari 4,2% (yoy) menjadi 4,6% (yoy). Peningkatan

ini didorong meningkatnya konsumsi pada

Ramadhan terutama terkait makanan dan

layanan transportasi udara. Hal ini dikonfirmasi

juga oleh tren peningkatan likert scale hasil

liaison dan saldo bersih tertimbang (SBT) SKDU

untuk sektor perdagangan pada triwulan II 2016.

Kenaikan konsumsi rumah tangga juga terindikasi

dari meningkatnya Indeks Tendensi Konsumen

(ITK) di seluruh provinsi di Kalimantan dari 102,09

menjadi 106,83 serta perbaikan NTP dari 96,89 di

TW I 2016 menjadi 97,36 di TW II 2016 yang

berpotensi meningkatkan daya beli rumah tangga

petani.

Grafik IV.2. LS dan SBT Perdagangan

Memasuki triwulan III 2016, pertumbuhan

ekonomi Kalimantan diperkirakan membaik

didukung oleh peningkatan konsumsi

pemerintah, investasi dan ekspor. Pertumbuhan

ekonomi triwulan III 2016 diproyeksikan sebesar

1,4% (yoy). Semua provinsi di Kalimantan

diperkirakan akan mengalami peningkatan

pertumbuhan ekonomi, termasuk Kalimantan

Timur yang akan mulai tumbuh positif meskipun

masih pada tingkat yang rendah.

Pertumbuhan ekonomi triwulan III 2016 akan

ditopang oleh konsumsi pemerintah yang

diproyeksikan tumbuh sebesar 3,1% (yoy), lebih

tinggi dibanding triwulan sebelumnya sebesar

2,5% (yoy). Hal ini sejalan dengan prakiraan akan

lebih optimalnya realisasi anggaran pada triwulan

III 2016.

Investasi diproyeksikan membaik meski masih

mengalami kontraksi. Pada triwulan III 2016,

kinerja investasi diproyeksikan tumbuh negatif

3,1% (yoy), membaik dibanding triwulan II 2016

Page 49: Laporan Nusantara Agustus 2016.pdf (11,77 MB)

41

yang tercatat negatif 5,8% (yoy). Perbaikan

investasi tersebut didorong oleh realisasi proyek

infrastruktur pemerintah pusat. Selain itu, upaya

deregulasi birokrasi pemerintah melalui paket

kebijakan dan tax amnesty juga diperkirakan

akan mendorong laju investasi di wilayah

Kalimantan. Kenaikan investasi juga bersumber

dari pelunasan pembayaran kepada kontraktor

pelaksana oleh pemerintah daerah atas

pembangunan beberapa proyek infrastruktur

pasca selesainya lelang proyek pada triwulan II

2016. Kegiatan investasi untuk pembangunan

smelter alumina di Provinsi Kalimantan Barat dan

smelter besi Provinsi Kalimantan Selatan

diprakirakan masih akan terus berjalan. Namun

demikian, investasi korporasi di sektor

pertambangan diprakirakan masih belum pulih

seiring masih terbatasnya permintaan komoditas

global.

Grafik IV.3. Likert Scale Ekspor

Grafik IV.4. ITK dan Likert Scale Perdagangan

Ekspor Kalimantan triwulan III 2016

diproyeksikan mulai tumbuh positif setelah

sempat terkontraksi pada triwulan II 2016. Ekspor

diprakirakan tumbuh 0,1% (yoy) terutama

didorong oleh ekspor batubara dan ekspor

komoditas lain seperti CPO seiring peningkatan

produksi tandan buah segar (TBS). Beroperasinya

smelter alumina di Kalimantan Barat juga menjadi

pendorong ekspor Kalimantan. Sementara itu,

risiko penurunan ekspor LNG akibat terbatasnya

feed gas diperkirakan berpotensi menahan laju

pertumbuhan ekspor pada triwulan III 2016.

Sementara itu, pertumbuhan konsumsi RT pada

triwulan III diproyeksikan melambat menjadi

3,4% (yoy) dari 4,6% (yoy) di triwulan II. Hal ini

terindikasi dari melambatnya Indeks Ekspektasi

Konsumen, konsumsi makanan yang menurun

pasca ramadhan, serta menurunnya konsumsi

durable goods, seperti perumahan dan

kendaraan bermotor. Sejalan dengan itu,

penyaluran kredit untuk barang-barang tersebut

diprakirakan mengalami perlambatan sesuai pola

musimannya pasca periode Ramadhan – Lebaran.

Kinerja Lapangan Usaha

Pertambangan

Lapangan usaha pertambangan yang didominasi

pertambangan batubara dan migas, masih

terkontraksi tumbuh negatif 4,2% (yoy) pada

triwulan II, tidak sedalam kontraksi pada triwulan

sebelumnya yang tumbuh negatif 5,0% (yoy).

Perbaikan kinerja batubara didorong oleh

kenaikan permintaan Tiongkok seiring

menurunnya produksi batubara disana karena

aturan penurunan jumlah hari kerja buruh. Hasil

liaison dan SKDU sektor pertambangan juga

mengkonfirmasi perbaikan di sektor tersebut.

Sementara produksi minyak dan gas masih

tertekan seiring penurunan lifting.

Memasuki triwulan III, kinerja sektor

pertambangan diproyeksikan sedikit membaik

meskipun masih terkontraksi sebesar negatif

4,1% (yoy). Hal ini didorong oleh peningkatan

target produksi batubara sebesar 10,7% (yoy)

karena adanya diversifikasi pasar dan

peningkatan target Domestic Market Obligation

(DMO) sebesar 30%, seiring mulai beroperasinya

smelter Galena secara optimal di Provinsi

Kalimantan Tengah, dan smelter alumina dengan

Page 50: Laporan Nusantara Agustus 2016.pdf (11,77 MB)

42

target produksi 600.000 WMT di Provinsi

Kalimantan Barat pada triwulan III 2016. Selain

itu, perbaikan kinerja pertambangan juga akan

didukung oleh kenaikan harga komoditas

tambang yang diprakirakan mulai terjadi pada

triwulan III 2016. Hal ini juga terkonfirmasi dari

hasil SKDU dan LS liaison.

Grafik IV.5. Lifting Migas Kalimantan

Industri

Pada triwulan II 2016, industri pengolahan

mengalami perlambatan. Sektor industri

melambat menjadi 5,0% (yoy) dari 7,8% (yoy)

pada triwulan sebelumnya. Perlambatan sektor

industri terjadi di semua provinsi di Kalimantan.

Hal ini disebabkan oleh perlambatan aktivitas

industri CPO, LNG, karet, kayu dan kimia.

Penurunan produksi LNG disebabkan oleh

turunnya suplai gas alam. Salah satu korporasi

gas utama di Kalimantan mencatatkan penurunan

lifting gas sebesar 1,8% (yoy). Bahkan penurunan

suplai gas tersebut juga berdampak pada

penurunan produksi urea dan amoniak.

Sementara perlambatan industri CPO disebabkan

oleh penurunan berat buah sawit akibat el-nino.

Hal ini terkonfirmasi dari penurunan produksi

TBS, CPO dan kernel dari korporasi perkebunan

utama di Kalimantan. Penurunan produksi

industri karet disebabkan oleh mulai berlakunya

kesepakatan antara Indonesia, Thailand dan

Malaysia untuk melakukan pembatasan ekspor

per 1 Maret 2016 sebagaimana tertuang dalam

Agreed Export Tonage Scheme (AETS).

Sementara itu, peningkatan kapasitas produksi

smelter alumina di Provinsi Kalimantan Barat,

kenaikan aktivitas industri BBM, yang terindikasi

dari kenaikan impor bahan baku minyak mentah

di Provinsi Kalimantan Timur, serta selesainya

pembangunan fase kedua pabrik semen di

Kalimantan Selatan dengan kapasitas 3200

ton/hari, menjadi penahan perlambatan kinerja

sektor industri.

Memasuki triwulan III 2016, industri pengolahan

Kalimantan diprakirakan masih tumbuh

melambat menjadi 4,4% (yoy). Hal ini terindikasi

dari masih berlanjutnya penurunan output

industri LNG di Provinsi Kalimantan Timur dan

hasil olahan karet di Provinsi Kalimantan Selatan,

serta masih lemahnya investasi di sektor industri

sebagaimana terkonfirmasi dari hasil LS liaison

pada indikator investasi yang cenderung

melambat. Sementara itu, pertumbuhan industri

CPO dan smelter alumina belum mampu

mendorong pertumbuhan industri pengolahan

secara keseluruhan.

Grafik IV.6. Likert Scale Proyeksi Investasi

Pertanian

Pada triwulan II 2016, lapangan usaha

pertanian, kehutanan dan perikanan tumbuh

melambat menjadi 1,2% (yoy), dari 2,0% (yoy)

pada triwulan sebelumnya. Hal ini dipengaruhi

oleh penurunan produksi TBS pasca fenomena el-

nino 2015 dan masih rendahnya harga komoditas

karet internasional. Namun, perlambatan lebih

dalam tertahan oleh meningkatnya kinerja

tanaman bahan makanan sejalan dengan

penambahan luas tanam padi di Provinsi

Kalimantan Barat melalui program cetak sawah

yang dicanangkan oleh pemerintah. Selain itu,

pergeseran musim panen dari triwulan I ke

triwulan II 2016 akibat pengaruh el-nino juga

Page 51: Laporan Nusantara Agustus 2016.pdf (11,77 MB)

43

menjadi faktor pendorong kinerja tanaman

bahan makanan.

Pertumbuhan kinerja lapangan usaha pertanian,

kehutanan dan perikanan pada triwulan III 2016

diproyeksikan membaik menjadi 2,6% (yoy).

Perbaikan didorong oleh kinerja subsektor

perkebunan, khususnya peningkatan produksi

TBS sejalan dengan kenaikan harga CPO

internasional. Perbaikan ini juga terkonfirmasi

dari LS liaison untuk indikator proyeksi penjualan

di sektor pertanian. Namun demikian,

meningkatnya pertumbuhan sektor pertanian

diperkirakan akan tertahan oleh menurunnya

produksi tabama dan karet di Provinsi Kalimantan

Selatan. Penurunan produksi karet masih akan

terjadi tidak saja akibat implementasi

kesepakatan AETS untuk membatasi ekspor hasil

olahan karet, namun juga akibat harga karet

dunia yang belum menunjukkan peningkatan

yang menjadi disinsentif peningkatan produksi

bagi petani karet.

Grafik IV.7. Nilai Tukar Petani

Fiskal Daerah

Konsumsi pemerintah pusat di daerah juga

tumbuh melambat. Pertumbuhan realisasi dana

K/L di Kalimantan pada triwulan II melambat dari

57,8% (yoy) menjadi 54,9% (yoy), meskipun

secara persentase realisasi anggaran Tw II 2016

lebih tinggi dibandingkan Tw II 2015 akibat

penurunan pagu anggaran dari Rp35,6 triliun

pada 2015 menjadi Rp32,4 triliun pada tahun

2016.

Pada triwulan II 2016, pertumbuhan konsumsi

pemerintah mengalami perlambatan hampir di

semua provinsi. Hal ini tercermin dari belanja

operasional Kalimantan pada triwulan II 2016

yang terkontraksi cukup dalam di seluruh

provinsi. Kontraksi terdalam terjadi di Kaltimra

akibat adanya rasionalisasi belanja daerah di

tengah pendapatan DBH yang menurun.

Tabel IV.2. Pertumbuhan Belanja Operasional APBD

Di sisi lain, progres fisik pembangunan di

Kalimantan membaik, dimana progres fisik

pembangunan meningkat menjadi 33,0% atau

lebih tinggi dibandingkan periode yang sama

tahun sebelumnya. Peningkatan terjadi di semua

provinsi di Kalimantan, kecuali Kalteng.

Peningkatan terutama didorong oleh lebih

cepatnya realisasi belanja modal oleh Pemprov di

Kalimantan. Realisasi belanja modal pada Tw II

2016 tercatat 26,4%, lebih tinggi dibandingkan

triwulan lalu yang mencapai 24,6%.

Grafik IV.8. Perkembangan Realisasi Fisik-APBD (%)

Dari sisi pendanaan, pendapatan fiskal

cenderung stabil. Secara spasial, penurunan

realisasi pendapatan di Kalteng dan Kaltimra

terkompensasi dengan kenaikan realisasi

pendapatan di Kalbar dan Kalsel. Berdasarkan

sumbernya, penurunan realisasi pendapatan

bersumber dari turunnya PAD yang

Q1 '16 Q2 '16 Arah

Kalbar 29.01 -14.52 ↓

Kalteng -23.70 -4.85 ↑

Kalsel -16.50 -21.10 ↓

Kaltimra 67.75 -4.38 ↓

Kalimantan 11.63 -10.31 ↓

g. Belanja Operasional (% yoy)

Page 52: Laporan Nusantara Agustus 2016.pdf (11,77 MB)

44

mengindikasikan dampak perlambatan ekonomi

daerah.

Grafik IV.9. Pendapatan Daerah-APBD (%)

Perkembangan Inflasi

Melanjutkan trend penurunan sejak awal 2015,

Inflasi Kalimantan pada triwulan II 2016 tercatat

sebesar 4,87% (yoy), atau lebih rendah daripada

triwulan sebelumnya sebesar 5,07% (yoy). Secara

spasial, inflasi (yoy) provinsi di Kalimantan berada

di atas nasional (3,45%) kecuali Kalteng (3,13%).

Inflasi tertinggi terjadi di Kalsel (5,88%), diikuti

oleh Kalbar (5,25%), dan terakhir Kaltimra

(4,61%). Apabila dibandingkan dengan pola

historisnya, capaian inflasi provinsi di wilayah

Kalimantan berada di bawah rata-rata 3 tahun

terakhir, kecuali di Kalsel.

Grafik IV.10. Perkembangan Inflasi

Penurunan tekanan inflasi pada triwulan II 2016

terutama didorong oleh meredanya inflasi

kelompok volatile foods (VF) dan inflasi kelompok

administered prices. Secara umum, capaian inflasi

VF Kalimantan berada di bawah level nasional

(9,6% yoy) kecuali Kalbar. Pada triwulan II 2016,

Inflasi VF turun menjadi 6,60% (yoy) dari 7,20%

(yoy) pada triwulan sebelumnya, terutama

didorong penurunan harga daging ayam ras

seiring kembali normalnya harga DOC dan pakan

ayam.

Inflasi administered prices mengalami penurunan

dari 4,4% (yoy) pada triwulan I menjadi 3,9%

(yoy) pada triwulan II. Penurunan tersebut dipicu

selain oleh koreksi harga bensin dan solar pada 1

April 2016, juga oleh penurunan secara rata-rata,

Tarif Tenaga Listrik (TTL) pada triwulan II. Namun,

penurunan inflasi administered prices tertahan

oleh kenaikan tarif angkutan udara akibat

tingginya permintaan layanan angkutan udara

dalam rangka umroh di Kalsel dan perayaan imlek

& sembahyang kubur di Kalbar, serta kenaikan

harga rokok akibat kenaikan cukai rokok.

Di sisi lain, pada triwulan II 2016, inflasi kelompok

inti mengalami peningkatan menjadi 4,51% (yoy)

dari semula 4,48% (yoy) pada triwulan

sebelumnya. Capaian inflasi kelompok inti

tertinggi terjadi di Kalsel sebesar 4,01% (yoy).

Peningkatan inflasi inti didorong oleh kenaikan

harga sewa rumah di Kalbar dan Kalsel akibat

tingginya permintaan perusahaan sektor

pertambangan yang memberikan fasilitas sewa

rumah kepada pegawai serta pengenaan pajak

sewa rumah kos dalam rangka optimalisasi PAD

di Kalsel. Khusus di Kalsel, kenaikan inflasi inti

juga disebabkan peningkatan harga kelompok

komoditas makanan jadi, terutama nasi dengan

lauk.

Grafik IV.11. Disagregasi Kelompok Inflasi

Memasuki awal triwulan III 2016, inflasi

Kalimantan pada bulan Juli 2016 turun menjadi

3,92% (yoy). Pada akhir triwulan III 2016, inflasi

di Kalimantan diperkirakan kembali menurun

menjadi 4,50% (yoy). Penurunan tersebut, secara

Page 53: Laporan Nusantara Agustus 2016.pdf (11,77 MB)

45

spasial bersumber dari penurunan inflasi di

provinsi Kalbar, Kalteng, dan Kalsel, masing-

masing sebesar 4,46%, 2,94% dan 4,93% (yoy).

Khusus Kaltim, inflasi diproyeksikan meningkat

menjadi 4,68% (yoy). Penurunan inflasi triwulan

III dipengaruhi oleh penurunan tekanan inflasi

kelompok volatile foods dan stabilnya tekanan

inflasi kelompok inti. Tekanan inflasi volatile

foods diprakirakan akan berkurang pasca

perluasan area peti kemas dan perbaikan

distribusi logistik akibat rekayasa lalu lintas dari

pelabuhan ke gudang, sebagaimana dilakukan di

Kaltim, serta membaiknya distribusi barang

melalui kapal seiring dengan penurunan

gelombang laut. Sedangkan stabilnya tekanan

inflasi inti sejalan dengan permintaan masyarakat

terhadap durable goods dan pertumbuhan

ekonomi yang tumbuh terbatas, di tengah

terkendalinya nilai tukar Rupiah.

Risiko inflasi Kalimantan terutama bersumber

dari kelompok administered prices yaitu tarif

listrik rumah tangga dan tarif angkutan udara.

Tarif listrik rumah tangga pada bulan Juli dan

Agustus tercatat lebih tinggi dibandingkan rata-

rata triwulan II 2016. Sementara, risiko

peningkatan tarif transportasi udara diperkirakan

bersumber dari kenaikan permintaan angkutan

udara pada masa Idul Adha.

Secara keseluruhan, inflasi kalimantan di tahun

2016 diprakirakan lebih rendah dibandingkan

2015 yaitu 4,08% (yoy), masih dalam kisaran

sasaran inflasi nasional 4+1%. Secara spasial,

penurunan inflasi (yoy) provinsi di Kalimantan di

tahun 2016 diprakirakan bersumber dari Kalsel,

Kalbar, Kaltim dan Kalteng masing-masing

sebesar 4,82%, 4,61%, 3,73%, dan 3,00%.

Penurunan tekanan inflasi 2016 diperkirakan

bersumber dari koreksi harga BBM sebagai

dampak dari penurunan harga minyak dunia,

membaiknya produksi pangan sejalan dengan

pembangunan dan revitalisasi irigasi untuk

mendukung produksi pangan, serta koordinasi

yang semakin kuat dalam TPID untuk

merumuskan langkah-langkah strategi

pengendalian inflasi sebagaimana tertuang dalam

Roadmad Pengendalian Inflasi. Namun, masih

terdapat beberapa risiko inflasi di 2016, yang

bersumber dari permasalahan infrastruktur

logistik pangan, seperti gudang dan pelabuhan

laut dalam, serta kenaikan tarif angkutan udara

pada masa Idul Adha dan akhir tahun. Dari sisi

eksternal, peningkatan harga emas internasional

juga diperkirakan akan memberikan potensi

tekanan terhadap inflasi inti di triwulan III 2016.

Koordinasi Pengendalian Inflasi

Inflasi Ramadhan di Kalimantan lebih rendah

dibandingkan rata-rata historis dalam lima tahun

terakhir. Rendahnya inflasi Ramadhan tidak lepas

dari berbagai upaya yang dilakukan TPID di

masing-masing provinsi, antara lain:

1. TPID Kalbar: (i) Operasi pasar daging sapi

bersama Bulog di pasar-pasar tradisional, (ii)

Operasi pasar dan pasar murah di 7

kabupaten/kota, (iii) Pelaksanaan pasar

pendamping di kantor SKPD, (iv) Perbaikan

ruas jalan Sosok-Tayan untuk mempercepat

akses distribusi pangan wilayah barat & timur

Kalbar, (v) Pengelolaan ekspektasi dengan

program komunikasi publik melalui media

cetak dan media elektronik, serta (vi)

Pelaksanaan sidak di gudang distributor

utama untuk memastikan tidak ada

penimbunan stok.

2. TPID Kalteng: (i) Penyelenggaraan pasar

penyeimbang selama bulan ramadhan di

dekat pasar utama, (ii) Operasi pasar daging

sapi bersama Bulog di 14 kabupaten/kota, (iii)

Penyaluran Raskin bersama Bulog di 14

kabupaten/kota, (iv) Pengaturan pasokan dari

kandang dan kolam penyangga untuk

memenuhi kebutuhan menjelang dan saat

lebaran, (v) Pengelolaan ekspektasi dengan

memanfaatkan media cetak dan talkshow di

media elektronik, serta (vi) Pelaksanaan sidak

di pasar utama Palangka Raya.

3. TPID Kalsel: (i) Operasi pasar dan pasar murah

untuk komoditas beras, bawang merah, dan

Page 54: Laporan Nusantara Agustus 2016.pdf (11,77 MB)

46

daging sapi, (ii) Operasi pasar daging sapi

bersama Bulog, (iii) Pengembangan klaster

sapi potong untuk mengurangi pasokan

daging sapi dari luar Kalsel, (iv) Pengelolaan

ekspektasi melalui komunikasi intensif di

media cetak dan media elektronik, serta (v)

Pelaksanaan sidak gudang distributor utama

untuk memastikan tidak ada penimbunan

stok.

4. TPID Kaltara: (i) Penyelenggaraan pasar

murah selama bulan Ramadhan di 15

kabupaten/kota; (ii) Penyaluran raskin

bersama Bulog di 6 kabupaten/kota dengan

jumlah penduduk kurang sejahtera terbanyak;

(iii) Penambahan area peti kemas (2 ha) untuk

menampung pasokan pangan dari Jawa; (iv)

Pelaksanaan rekayasa lalu lintas untuk

distribusi pangan dari pelabuhan ke area

pergudangan, (v) Penguatan komunikasi

publik di media cetak dan media elektronik,

serta (vi) Pelaksanaan sidak di pasar utama

Kota Samarinda.

Stabilitas Keuangan Daerah

Ketahanan Sektor Korporasi

Kinerja Korporasi dan Penilaian Risiko

Perlambatan ekonomi Kalimantan pada triwulan

II 2016 turut berdampak pada kinerja korporasi

di Kalimantan. Penurunan kegiatan usaha,

tercermin pada indikator rata-rata utilisasi

kapasitas produksi hasil SKDU triwulan II 2016

yang turun menjadi 74,78% dari triwulan

sebelumnya sebesar 86,04%. Penurunan

kapasitas produksi terjadi pada sektor pertanian,

pertambangan dan industri pengolahan yang

secara rata-rata mengalami penurunan dari

83,6% menjadi 66,37%.

Namun beberapa korporasi sektor utama di

Kalimantan masih mampu menunjukan kinerja

keuangan yang stabil sebagaimana terlihat dari

beberapa indikator kinerja keuangan seperti

produktivitas, profitabilitas, solvabilitas,

likuiditas, dan repayment capacity yang mulai

menunjukan gejala rebound meski terbatas.

Bahkan korporasi di sektor pertambangan

batubara mampu bertahan di tengah rendahnya

harga komoditas akibat lesunya permintaan

global. Indikator asset turnover korporasi

batubara terlihat mengalami rebound meskipun

masih terbatas, sementara subsektor perkebunan

kelapa sawit dan CPO cenderung stabil.

Grafik IV.12. Asset Turnover

Grafik IV.13. Current Ratio Korporasi Batubara

Grafik IV.14. Solvability Ratio Korporasi Batubara

Ketahanan korporasi batubara lebih baik dalam

jangka panjang maupun jangka pendek,

sementara korporasi di subsektor perkebunan

kelapa sawit dan CPO sekalipun memperlihatkan

gejala kerentanan dalam jangka pendek, namun

akan tetap mampu bertahan dalam jangka

panjang. Hal ini terlihat dari indikator likuiditas

Page 55: Laporan Nusantara Agustus 2016.pdf (11,77 MB)

47

dan solvabilitas korporasi batubara yang

semuanya di atas 1 (Tw I 2016=2,0), sementara

korporasi CPO berada pada kisaran 1 untuk

current ratio-nya.

Grafik IV.15. Current Ratio Korporasi CPO

Selain itu, dilihat dari kemampuan korporasi

dalam membayar hutangnya (repayment

capacity), korporasi batubara cenderung lebih

baik dibandingkan korporasi yang bergerak di

bidang perkebunan kelapa sawit dan CPO.

Indikator repayment capacity menunjukkan

tendensi yang lebih baik, dimana Debt Service

Ratio (DSR) semakin rendah dan Interest

Coverage Ratio (ICR) meningkat.

Grafik IV.16. Solvability Ratio Korporasi CPO

Grafik IV.17. DSR & ICR Korporasi Batubara

Sedangkan indikator repayment capacity

korporasi yang bergerak di perkebunan kelapa

sawit dan CPO perlu diwaspadai mengingat relatif

lebih tingginya rasio DSR dan masih rendahnya

rasio ICR.

Terkait dengan risiko mismatch, beberapa

korporasi utama yang bergerak di pertambangan

batubara saat ini tidak memiliki risiko mismatch

khususnya currency mismatch karena utang luar

negeri dan impor mampu diminimalisasi dengan

adanya natural hedging yang bersumber dari

pendapatan ekspor. Selain itu, jumlah utang luar

negeri yang jatuh tempo di tahun 2016 tercatat

relatif kecil (di bawah USD 1,5 juta). Sementara

itu, korporasi utama di bidang perkebunan kelapa

sawit dan CPO memiliki risiko currency mismatch

yang lebih tinggi dan masih perlu diwaspadai.

Grafik IV.18. DSR & ICR Korporasi Perkebunan CPO

Eksposur Perbankan pada Sektor Korporasi

Secara keseluruhan, penyaluran kredit korporasi

menunjukkan perbaikan yang tercermin dari

pertumbuhan kredit yang kembali positif

menjadi 0,2% (yoy). Sejalan dengan belum

kuatnya prospek permintaan global komoditas

pertambangan, pertumbuhan penyaluran kredit

pada korporasi sektor pertambangan, masih

mengalami kontraksi 12,5% (yoy), meski tidak

sedalam triwulan sebelumnya. Sementara

penyaluran kredit pada sektor utama lainnya

tercatat tumbuh positif dengan kecenderungan

yang meningkat seperti penyaluran kredit (yoy)

pada sektor industri pengolahan dan

perdagangan yang pada triwulan II 2016 masing-

masing kembali terakselerasi sebesar 11,9% dan

Page 56: Laporan Nusantara Agustus 2016.pdf (11,77 MB)

48

0,5%, setelah sempat melambat pada triwulan

yang lalu.

Meskipun penyaluran kredit membaik, namun

risiko penyaluran kredit korporasi di Kalimantan

meningkat. Hal ini tercermin dari rasio

nonperforming loans (NPL) yang naik, dari 5,3%

menjadi 7,0% (Tabel IV.3). Kenaikan NPL terjadi di

semua sektor utama di Kalimantan, kecuali

perdagangan yang cenderung stabil. Secara

spasial, NPL korporasi di Kalbar dan Kaltim yang

banyak bergantung pada kinerja sektor

pertambangan yang sedang mengalami kontraksi,

menunjukkan peningkatan dan berada sedikit

diatas threshold 5%. Secara agregat, terjadi

peningkatan risiko terhadap stabilitas sistem

keuangan yang bersumber dari korporasi di

Kalimantan.

Grafik IV.19. Perkembangan Kredit Korporasi

Tabel IV.3. Perkembangan NPL

Ketahanan Sektor Rumah Tangga

Sumber Kerentanan dan Kondisi Sektor Rumah

Tangga

Di tengah perlambatan perekonomian

Kalimantan hingga triwulan II 2016, sektor rumah

tangga masih dapat meningkatkan konsumsinya

menjadi 4.6% (yoy) yang didorong kebutuhan

konsumsi selama ramadhan dan Hari Raya Idul

Fitri. Hal ini sejalan dengan hasil survei konsumen

yang menunjukan peningkatan Indeks Keyakinan

Kosumen (IKK) dan Indeks Kondisi Ekonomi (IKE)

dibanding dengan triwulan sebelumnya.

DPK Perseorangan di Perbankan

DPK rumah tangga di Kalimantan pada triwulan II

2016 menunjukkan peningkatan yang didorong

oleh peningkatan pertumbuhan giro dan

tabungan. Sementara jenis DPK deposito masih

terus mengalami perlambatan. Ditengarai,

Rumah Tangga di Kalimantan melakukan liquidity

profiling sebagai strategi berjaga-jaga dan

pemenuhan keperluan likuidas dalam jangka

pendek.

Grafik IV.20. Pertumbuhan DPK RT

Kredit Perseorangan di Perbankan

Pertumbuhan kredit sektor rumah tangga pada

triwulan II 2016 cenderung stabil pada level yang

rendah. Pertumbuhan paling tinggi terjadi pada

kredit pemilikan rumah (KPR) sebesar 11% (yoy)

terutama dipengaruhi oleh penyaluran kredit

untuk pemilikan rumah tipe 21 s.d 70 yang

merupakan bagian dari program subsidi

pemerintah kepada pengembang perumahan

sederhana atau dikenal sebagai program “sejuta

rumah”. Sementara kredit pemilikan kendaraan

mengalami kontraksi 21% (yoy), sebagai akibat

dari penurunan daya beli seiring melambatnya

perekonomian Kalimantan. Berdasarkan

komposisi kredit, porsi kredit rumah tangga saat

ini masih didominasi oleh kredit multiguna

sebesar 58%, disusul kredit perumahan, kredit

kendaraan dan kredit ruko masing-masing

sebesar 29%, 10% dan 3%.

'16-I '16-II '16-I '16-II '16-I '16-II '16-I '16-II '16-I '16-II '16-I '16-II '16-I '16-II '16-I '16-II

Kalsel 3.5 4.11 0.5 0.61 1.7 2.22 0.7 0.49 4.2 4.41 12.3 10.88 7.9 6.83 8.1 8.73

Kalbar 5.6 7.90 0.1 0.01 0.1 0.10 29.2 43.22 1.3 1.25 0.0 0.83 1.6 1.81 5.8 4.45

Kaltim 6.4 8.53 0.2 0.19 12.1 20.01 0.3 0.28 6.2 6.13 15.4 19.61 31.6 38.61 14.3 16.17

Kalteng 3.4 3.43 0.0 0.01 43.5 39.93 0.2 0.22 2.3 1.73 0.4 0.15 5.7 4.12 15.3 15.64

Kalimantan 5.3 7.00 0.1 0.12 10.4 16.28 6.9 10.67 4.6 4.58 11.9 13.88 23.2 26.13 12.2 13.32

Dagang Transkom Jasa KonstruksiKorporasi Tani Tambang Industri

Page 57: Laporan Nusantara Agustus 2016.pdf (11,77 MB)

49

Grafik IV.21. Nonperforming loans (NPL) RT

Dari sisi kualitas kredit, kredit rumah tangga

masih terjaga dengan NPL yang rendah (2%) serta

rasio debt to service yang sehat yaitu 11,7%; jauh

dibawah threshold DSR yang sehat sebesar 30%

berdasarkan hasil Survei Konsumen. Secara

spasial, DSR tertinggi ada di provinsi Kalteng dan

Kalsel masing-masing sebesar 17,6% dan 13,3%.

Grafik IV.22. DSR- Survei Konsumen

Lebih jauh, hasil Survei Konsumen yang dilakukan

oleh Bank Indonesia di Kalimantan

mengindikasikan penurunan pengeluaran

konsumen untuk setiap kelompok komoditas.

Konsumen juga memperkirakan bahwa

pengeluaran tiga bulan yang akan datang sejak

periode survei di triwulan II lebih rendah

dibandingkan hasil survei pada triwulan

sebelumnya.

Pengelolaan Uang Rupiah

Pengedaran uang kartal di Kalimantan selama

periode triwulan II 2016 meningkat seiring

dengan perayaan Idul Fitri. Kondisi ini terjadi di

seluruh provinsi di Kalimantan. Jumlah uang yang

diedarkan Bank Indonesia (outflow) di wilayah

Kalimantan meningkat sebesar 46,80% (yoy),

sementara jumlah uang yang masuk ke Bank

Indonesia (inflow) turun 1,56% (yoy). Tren

peningkatan outflow di Kalimantan ini sejalan

dengan tren peningkatan pertumbuhan konsumsi

rumah tangga.

Dalam memastikan ketersediaan uang layak

edar di Kalimantan, Bank Indonesia memperluas

jaringan distribusi dalam layanan kas antara lain

melalui pengembangan Centralized Cash

Network Planning (CCNP). Hingga triwulan II

2016, Bank Indonesia telah membuka 3 kas

titipan baru di wilayah Kalimantan yaitu kas

titipan Batulicin di Kalsel, kas titipan Tanjung

Selor di Kaltara dan kas titipan Tanjung Redeb di

Kaltim. Untuk jangka panjang (2015-2019), Bank

Indonesia juga akan membuka kas titipan di

beberapa titik seperti Kalbar (Putussibau),

Kalteng (Purukcahu, Nangabulik, Buntok dan

Kuala Kapuas), Kalsel (Batulicin, Tanjung,

Barabai), Kaltim (Tanjung Redeb, Melak) serta

Kaltara (Tanjung Selor, Tarakan, Malinau).

Grafik IV.23. Perkembangan Outflow dan Inflow

Rasio Uang Tidak Layak Edar (UTLE) terhadap

inflow tercatat mengalami peningkatan dari

32,5% pada triwulan I 2016 menjadi 41,41% pada

triwulan II 2016. Hal ini mengindikasikan bahwa

mayoritas uang yang masuk kembali ke sistem

perbankan sesuai pola siklikalnya adalah uang

layak edar.

Sementara itu, temuan uang palsu pada

triwulan II 2016 turun dibandingkan triwulan

sebelumnya. Total bilyet temuan uang palsu di

Kalimantan tercatat sebanyak 673 bilyet atau

2,2% dari temuan uang palsu nasional.

Penurunan temuan uang palsu tersebut terjadi di

hampir semua provinsi di Kalimantan. Penurunan

signifikan terjadi di Kalimantan Barat dari 1.036

Page 58: Laporan Nusantara Agustus 2016.pdf (11,77 MB)

50

bilyet pada triwulan I 2016 menjadi 233 bilyet

pada triwulan II 2016. Berbagai upaya terus

dilakukan Kantor Perwakilan Bank Indonesia di

daerah dalam mencegah dan mengurangi

peredaran uang palsu antara lain melalui

kegiatan edukasi/sosialisasi tentang ciri-ciri

keaslian uang Rupiah (Cikur), upaya mendorong

pelaporan uang palsu oleh perbankan dan

masyarakat serta kerjasama dengan pihak yang

berwenang untuk mendorong Gerakan Nasional

Non Tunai (GNNT) melalui program

elektronifikasi dan keuangan inklusif.

Grafik IV.24. Perkembangan Pemusnahan UTLE

Grafik IV.25. Penemuan Uang Palsu

Prospek Perekonomian

Prospek Pertumbuhan Ekonomi

Perekonomian Kalimantan pada tahun 2016

diprakirakan tumbuh terbatas pada kisaran 1,0%-

1,5% (yoy). Rendahnya pertumbuhan Kalimantan

terutama disebabkan masih terbatasnya

pertumbuhan pertambangan akibat lemahnya

permintaan dari eksternal. Produksi batubara

diprakirakan belum akan meningkat sejalan

dengan masih rendahnya kebutuhan batubara

Tiongkok dan India. Selain itu, persaingan dengan

eksportir negara lain seperti Australia juga

diperkirakan akan semakin ketat.

Di sisi lain, sektor industri diperkirakan meningkat

didorong oleh peningkatan produksi industri CPO

pada semester kedua, sejalan dengan naiknya

produksi sawit pasca El Nino. Industri LNG juga

berpotensi membaik, meski masih dibayangi

penurunan lifting gas. Perbaikan kinerja sektor

industri juga akan ditopang oleh peningkatan

produksi semen, pasca beroperasinya pabrik

semen di Kalsel.

Dari sisi permintaan eksternal, pertumbuhan

ekspor secara agregat masih akan tertahan pada

level negatif. Di sisi permintaan domestik,

investasi masih akan mengalami tekanan seiring

aktivitas sektor pertambangan yang belum

sepenuhnya membaik sehingga pelaku usaha

masih menahan diri untuk berinvestasi. Oleh

karena itu, pertumbuhan investasi akan sangat

bergantung pada realisasi proyek infrastruktur

Pemerintah. Di sisi lain, konsumsi rumah tangga

dan konsumsi pemerintah diprediksi akan

mengalami peningkatan. Hal ini antara lain

didorong oleh optimisme masyarakat terhadap

kondisi perekonomian yang semakin membaik.

Prospek Inflasi

Inflasi Kalimantan pada tahun 2016 diprakirakan

lebih rendah dari 2015. Inflasi Kalimantan 2016

diprakirakan berada pada kisaran 3,8%-4,2%.

Kisaran prakiraan ini lebih rendah dari prakiraan

pada periode sebelumnya. Secara spasial,

penurunan inflasi dibandingkan tahun 2015

diproyeksi terjadi pada semua provinsi di

Kalimantan.

Penurunan inflasi terutama diprakirakan berasal

dari kelompok volatile foods. Hal ini terkait

optimisme terhadap pencapaian peningkatan

produksi tanaman pangan, realisasi

pembangunan dan revitalisasi irigasi pertanian

serta penguatan koordinasi dan langkah strategis

yang semakin baik dalam pengendalian inflasi

pangan yang dilakukan oleh dinas teknis, sebagai

bagian dari pelaksanaan roadmap pengendalian

Page 59: Laporan Nusantara Agustus 2016.pdf (11,77 MB)

51

inflasi daerah. Berbagai program tersebut juga

akan diperkuat dengan komunikasi yang intensif

agar ekspektasi inflasi masyarakat tetap

terkendali.

Di sisi lain, inflasi kelompok administered prices

diperkirakan meningkat. Peningkatan tekanan

diperkirakan berasal dari tarif angkutan udara

yang akan meningkat pada periode perayaan Idul

Adha dan akhir tahun. Namun, koreksi harga

BBM sepanjang tahun 2016 sebagai dampak dari

penurunan harga minyak dunia diharapkan

mampu menahan kenaikan inflasi administered

prices lebih lanjut. Selanjutnya, perlu diwaspadai

risiko tekanan inflasi 2016 yang bersumber dari

tren peningkatan harga emas sejak bulan Mei

2016 serta kendala infrastruktur logistik yang

berpotensi mengganggu kelancaran distribusi

pangan dan mendorong proyeksi inflasi volatile

foods menjadi lebih bias ke atas.

Dengan adanya berbagai risiko tersebut,

berbagai langkah konkrit harus ditempuh

bersama dan terkoordinasi untuk

mengendalikan inflasi di daerah. Hal ini sejalan

dengan arahan Presiden dalam Rapat Koordinasi

Nasional VII TPID, tanggal 4 Agustus 2016, terkait

dengan hal-hal yang perlu dilakukan dalam

pengendalian inflasi.

Page 60: Laporan Nusantara Agustus 2016.pdf (11,77 MB)

52

Pengantar

Kondisi perekonomian Kalimantan masih belum

mampu untuk bangkit kembali. Pada triwulan II

2016, ekonomi tumbuh 1,1 % (yoy) atau lebih

rendah jika dibandingkan pertumbuhan periode

yang sama tahun lalu yakni 1,4%. Melemahnya

harga komoditas dan permintaan eksternal

secara signifikan terus menekan ekspor

Kalimantan yang sangat bergantung pada

komoditas. Lebih dari 75% ekspor komoditas

yang merupakan sumber utama pendapatan

Kalimantan adalah batubara.

Tidak dapat dielakkan, kondisi tersebut mulai

berdampak kepada ketahanan pelaku ekonomi,

baik korporasi maupun rumah tangga. Penurunan

mulai terjadi pada berbagai indikator kinerja

korporasi seperti profitabilitas, tingkat

pengembalian, leverage dan risiko kredit. Sebagai

akibatnya, berbagai indikator sosial memburuk

seperti tingkat pengangguran terbuka dan

kemiskinan yang mulai meningkat.

Sektor pertambangan batubara di Kalimantan

menjadi lapangan usaha terakhir bagi 22,7%

pekerja yang tidak diperpanjang masa kontrak

dan 16,88% bagi pekerja yang terkena PHK.

Mayoritas latar belakang pendidikan tenaga kerja

di Kalimantan yang didominasi oleh SD (45,5%)

tidak memungkinkan mereka untuk berpindah ke

sektor lain karena kurangnya keahlian yang

dimiliki. Lesunya sektor pertambangan langsung

direspons dengan peningkatan kemiskinan di

semua provinsi di Kalimantan yang tercermin dari

peningkatan indeks kedalaman kemiskinan6 dan

indeks keparahan kemiskinan7.

Hilirisasi sektor pertambangan dipandang

menjadi salah satu solusi untuk mengatasi

tekanan ini. Berbagai upaya telah dilakukan

6 Ukuran rata-rata kesenjangan pengeluaran penduduk miskin

terhadap garis kemiskinan 7Ukuran ketimpangan pengeluaran antar penduduk miskin

pemerintah untuk mendorong hilirisasi seperti

kebijakan pelarangan ekspor mineral dalam

bentuk mentah serta pengembangan kawasan

industri dan kawasan ekonomi khusus di

Kalimantan. RPJMN 2015-2019 menetapkan 4

kawasan industri prioritas di Kalimantan Selatan

(Batu Licin dan Jorong), dua Kawasan di

Kalimantan Barat (Ketapang dan Landak) dan

rencana pendirian KEK Maloy serta satu kilang

minyak di Kalimantan Timur. Namun, desain

program hilirisasi sebaiknya juga mengarah pada

diversifikasi struktur ekonomi di Kalimantan,

sehingga akan mendorong terjadinya pola

perdagangan antar daerah.

Perkembangan penyelesaian berbagai kendala struktural hilirisasi industri

Sampai saat ini, program hilirisasi belum berjalan

sebagaimana yang direncanakan. Terdapat

beberapa kendala struktural antar lain minimnya

infrastruktur pendukung, permasalahan lahan

dan tumpang tindih perizinan lahan, rendahnya

kualitas sumber daya manusia, inkonsistensi

peraturan, serta ketidaksinambungan

ketersediaan energi.

Pembenahan infrastruktur dan penyediaan

energi di Kalimantan tengah diupayakan

pemerintah. Saat ini, pemerintah sedang

melakukan pembangunan empat pembangkit dan

empat jalur transmisi guna mengatasi defisit

energi listrik sebesar 442 MW. Keempat

pembangkit tersebut adalah (i) PLTU Kaltim Teluk

Balikpapan berkapasitas 2x110 MW dengan

progresnya mencapai 95% atau dalam tahapan

uji coba operasional, (ii) PLTMG Bengkanai

berkapasitas 155 MW dengan progres

penyelesaian 80%, (iii) PLTU Adaro-Kalsel

berkapasitas 2x100 MW yang progressnya baru

mencapai 10%, dan (iv) PLTU Parit Baru Baru–

Kalbar berkapasitas 2x55 MW dengan tingkat

penyelesaian sudah 70%. Selain itu terdapat

empat proyek transmisi lainnya yang sedang

Boks 3

Page 61: Laporan Nusantara Agustus 2016.pdf (11,77 MB)

53

dalam tahap konstruktsi dengan progress

penyelesaiannya antara 33% s.d. 88% yaitu

Saluran Udara Tegangan Tinggi (SUTT) 180 km

Bangkanai Melak, SUTT 344 km Sampit-Pangkalan

Bun, SUTT 160 km Tanjung-Buntok dan SUTT 275

km Bengkayang-Ngabang-Tayan. Semua proyek

infrastruktur tersebut pada umumnya

menghadapi kendala pembebasan tanah,

keterlambatan kontraktor dan belum terbitnya

ijin DPA multiyears.

Kendala pembebasan lahan juga menyebabkan

rendahnya progres beberap proyek Infrastruktur

konektivitas seperti jalan tol Balikpapan-

Samarinda sepanjang 99,02 km dengan nilai Rp16

triliun yang masih baru dalam tahap pembebasan

lahan 81,5% dan pembangunan 7,7%, Bandara

Samarinda yang baru dalam tahap penyelesaian

pekerjaan darat sementara pekerjaan sisi udara

masih tertunda akibat kondisi lahan yang labil,

Pelabuhan KEK Maloy, Kijing dan Batanjung yang

progressnya masing-masing sebesar 75%, 0% dan

35%. Selain pembebasan lahan, pemenuhan

AMDAL dan pemotongan anggaran APBD

disinyalir turut menjadi kendala. Sementara

proyek infrastruktur lainnya seperti Bendungan

Tritip, Bendungan Tapin, Pos Lintas Batas Negara

(PLBN) Entikong, PLBN Aruk dan PLBN Nanga

Badau masing-masing baru menyelesaikan 48,6%,

4,13%, 64%, 18% dan 21% akibat sulitnya

pembebasan dan perubahan peruntukan lahan.

Munculnya kendala pembebasan lahan sebagai

faktor penghambat utama hilirisasi dan

pembangunan infrastruktur di Kalimantan akibat

selain belum dimilikinya RTRW juga karena

ketidaksinkronan RTRW yang dimiliki antara

provinsi, kabupaten dan kota.

Keberlangsungan Permintaan SDA dan Diversifikasi Kunci Kekuatan Struktur Ekonomi Daerah

Efek penurunan harga komoditas dialami oleh

seluruh provinsi yang mengadalkan SDA. Namun

demikian, dampak yang dirasakan berbeda di

setiap provinsi. Sebagai ddaerah yang kaya SDA,

dampak penurunan harga komoditas di Sumatera

Selatan relatif tidak sedalam di Kalimantan Timur

dan daerah lain di Kalimantan. Keberhasilan

menciptakan kestabilan permintaan batubara

dengan melakukan hilirisasi melalui pendirian

PLTU Mulut Tambang telah mampu menjaga

output sektor pertambangan. Selain itu, Provinsi

Sumatera Selatan juga secara bertahap

mendiversifikasi struktur ekonominya dengan

mengembangkan sektor tersier yang tercermin

dari menurunnya pangsa sektor primer

(pertanian dan pertambangan) dan

meningkatnya pangsa sektor tersier dalam enam

tahun terakhir. Akselerasi pembangunan

infrastruktur yang lebih dari 50% pembiayaannya

bersumber dari APBN dengan menjadi tuan

rumah penyelenggaraan event berskala nasional

maupun internasional turut memitigasi dampak

penurunan harga komoditas.

Things to do

Oleh karena itu, penyusunan roadmap

transformasi ekonomi Kalimantan yang

terintegrasi dan tidak parsial kedaerahan

menjadi hal yang mendesak dilakukan.

Kalimantan harus dilihat sebagai satu wilayah

Pulau yang terdiri dari beberapa provinsi yang

saling bergantung yang secara keseluruhan perlu

dihubungkan secara efisien dengan pusat-pusat

pertumbuhan ekonomi di wilayah lainnya seperti

Sumatera, Jawa dan KTI. Roadmap diharapkan

juga memberikan tahapan implementasi

pengembangan ekonomi yang dibutuhkan

Kalimantan agar transisi dari kondisi saat ini yang

berbasis sumber daya alam (resource based

development) menuju ekonomi dengan konsep

sustainable development dapat dicapai.

Keberadaan Roadmap dapat menjadi acuan

sinergi kebijakan berbagai pemangku

kepentingan agar pembangunan infrastruktur

dapat optimal mendukung perekonomian

Kalimantan untuk tumbuh kuat dan

berkelanjutan.

Page 62: Laporan Nusantara Agustus 2016.pdf (11,77 MB)

54

“Halaman ini sengaja dikosongkan”

Page 63: Laporan Nusantara Agustus 2016.pdf (11,77 MB)

55

Pada triwulan II 2016, pertumbuhan ekonomi Kawasan Timur Indonesia (KTI) mengalami

perlambatan dari 6,3% (yoy) pada triwulan I 2016 menjadi 5,9% (yoy). Perlambatan yang terjadi

dipengaruhi oleh turunnya kinerja ekspor luar negeri komoditas pertambangan serta turunnya

realisasi investasi yang bersumber dari penanaman modal dalam negeri. Memasuki triwulan III

2016, laju pertumbuhan ekonomi KTI diperkirakan meningkat, didukung oleh perbaikan kinerja

lapangan usaha utama sehingga konsumsi rumah tangga dapat terjaga di tengah perbaikan kinerja

investasi bangunan. Untuk keseluruhan tahun 2016, ekonomi KTI diproyeksikan tumbuh di kisaran

6,4%-6,8% (yoy).

Di sisi perkembangan harga, laju inflasi KTI pada triwulan II 2016 tercatat sebesar 3,94% (yoy), lebih

rendah dari triwulan sebelumnya (4,72%, yoy). Berkurangnya tekanan terhadap inflasi sejalan

dengan relatif rendahnya tekanan harga bahan makanan jika dibanding pola historisnya di saat

Ramadhan serta adanya koreksi harga BBM di awal triwulan. Tekanan inflasi pada triwulan III 2016

diperkirakan kembali berkurang. Pada Juli 2016, inflasi periode Lebaran tercatat relatif terkendali

sebesar 0,67% (mtm). Sampai dengan akhir tahun 2016, faktor optimisme terhadap capaian

produksi pangan dan masih rendahnya harga minyak dunia menyebabkan tendensi penurunan

inflasi di KTI pada kisaran batas atas 3,6%-4,0% (yoy).

Pertumbuhan Ekonomi

Ekonomi KTI pada triwulan II 2016 tumbuh

melambat dibandingkan dengan triwulan I 2016.

Secara agregat, ekonomi tumbuh sebesar 5,9%

(yoy), lebih rendah dari triwulan I 2016 yang

sebesar 6,3% (yoy). Melambatnya perekonomian

KTI dipengaruhi terutama oleh perlambatan yang

terjadi di beberapa provinsi yaitu Sulawesi Barat,

Gorontalo, Papua Barat, dan NTB. Sementara itu,

Provinsi Papua tercatat kembali mengalami

kontraksi yang lebih dalam dari triwulan

sebelumnya (Tabel V.1). Melambatnya

pertumbuhan ekonomi Sulawesi Barat dan

Gorontalo disebabkan oleh penurunan produksi

komoditas utama pertanian akibat tingginya

curah hujan pada triwulan II 2016. Sementara itu,

kinerja industri pengolahan di Papua Barat

mengalami kontraksi karena penurunan produksi

LNG seiring adanya disinsentif dari sisi harga.

Dalam periode yang sama, perlambatan ekonomi

di NTB dipengaruhi oleh capaian produksi dan

ekspor konsentrat tambang yang tumbuh tidak

setinggi triwulan sebelumnya. Adapun kontraksi

ekonomi di Papua terutama disebabkan oleh

penurunan produksi tambang mineral karena

adanya proses perbaikan mesin produksi.

Tabel V.1. Pertumbuhan Ekonomi Daerah di KTI

Sumber: BPS

r) Revisi rilis sebelumnya p) Prakiraan Bank Indonesia

Di sisi permintaan, melambatnya ekonomi KTI

dipengaruhi oleh kontraksi ekspor luar negeri

dan perlambatan investasi. Kontraksi ekspor luar

negeri terutama disebabkan oleh penurunan

ekspor komoditas pertambangan. Turunnya

ekspor hasil tambang, khususnya mineral dari

Papua, merupakan dampak proses perbaikan

I II III IV Ir II IIIp

Sulawesi Selatan 5.7 8.0 7.6 7.2 7.1 7.4 8.1 7.8

Sulawesi Barat 5.6 8.7 6.3 8.7 7.4 6.3 4.6 6.2

Sulawesi Tenggara 5.7 7.2 7.0 7.5 6.9 5.5 6.8 7.3

Sulawesi Tengah 16.5 15.1 15.6 15.1 15.6 13.2 15.5 13.9

Gorontalo 4.8 6.7 5.9 7.7 6.2 6.7 5.4 6.7

Sulawesi Utara 6.4 6.3 6.3 5.6 6.1 6.0 6.1 6.4

Maluku 4.1 5.5 5.6 6.5 5.4 5.6 6.5 6.7

Maluku Utara 5.0 6.5 6.8 6.0 6.1 5.1 5.6 6.1

Papua 1.6 13.8 2.5 14.1 8.0 (1.2) (5.9) 7.2

Papua Barat (2.0) 7.0 6.6 5.2 4.1 5.5 3.4 4.5

Bali 6.0 5.9 6.3 6.0 6.0 6.1 6.5 6.6

NTB 19.4 20.1 34.2 12.0 21.2 10.0 9.9 0.8

NTT 4.6 5.1 5.1 5.1 5.0 5.1 5.3 5.4

KTI 6.5 9.4 8.9 8.6 8.4 6.3 5.9 6.9

Provinsi2015

20152016

Page 64: Laporan Nusantara Agustus 2016.pdf (11,77 MB)

56

mesin produksi. Hal ini menyebabkan terjadinya

23 hari downtime di tengah penurunan

produktivitas konsentrat mineral yang diperoleh.

Sementara itu, melemahnya kinerja investasi di

KTI terjadi di berbagai daerah dan secara agregat

tercermin dari realisasi Penanaman Modal Dalam

Negeri (PMDN) yang mengalami kontraksi. PMDN

triwulan II 2016 di KTI tercatat sebesar Rp3,8

triliun atau turun sebesar -14,8% (yoy).

Di sisi lain, pengeluaran untuk konsumsi masih

menjadi penopang pertumbuhan ekonomi KTI

pada triwulan II 2016. Dorongan kegiatan

perdagangan selama periode Ramadhan-Lebaran

serta relatif terkendalinya laju inflasi menjadi

faktor pendukung akselerasi konsumsi rumah

tangga. Di samping itu, penguatan konsumsi

rumah tangga juga ditopang oleh tingkat

pendapatan yang terjaga seiring dengan adanya

panen raya pertanian. Hal ini juga dikonfirmasi

oleh hasil liaison yang dilakukan oleh Bank

Indonesia (Grafik V.1). Sementara itu, konsumsi

pemerintah juga mengalami akselerasi yang

didorong oleh percepatan pelaksanaan lelang

proyek, pencairan gaji ke-13 dan tunjangan bagi

PNS, serta adanya evaluasi anggaran secara

berkala untuk memperkuat koordinasi dan

mengatasi kendala antar satuan kerja yang ada di

daerah.

Sumber: Survei Kegiatan Dunia Usaha dan Liaison Bank

Indonesia

Grafik V.1. Realisasi Kegiatan Usaha dan Likert Scale

Perkembangan berbagai indikator dan hasil

liaison mengindikasikan adanya perbaikan

ekonomi KTI pada triwulan III 2016. Pada

periode tersebut, ekonomi KTI diperkirakan

tumbuh 6,9% (yoy). Secara spasial, prakiraan

percepatan pertumbuhan ekonomi terjadi di

hampir seluruh provinsi. Meningkatnya kinerja

perekonomian di berbagai daerah tersebut

didorong oleh masih kuatnya konsumsi rumah

tangga yang disertai oleh perbaikan ekspor luar

negeri dan akselerasi kegiatan investasi. Di sisi

lain, prakiraan melambatnya konsumsi

pemerintah karena pengurangan transfer pusat

ke daerah dapat menjadi faktor penahan

pertumbuhan ekonomi.

Peningkatan konsumsi rumah tangga KTI

ditopang oleh terjaganya tingkat pendapatan

dan dukungan dari peningkatan kinerja

pariwisata. Pada triwulan III 2016, terjaganya

tingkat pendapatan masyarakat di tengah inflasi

yang terkendali didukung oleh prakiraan

peningkatan produksi sektor ekonomi tradable.

Selain itu, kinerja pariwisata, khususnya di Bali,

juga diprakirakan meningkat seiring masuknya

musim liburan di Eropa dan Australia. Optimisme

tersebut tercermin dari keyakinan konsumen

yang masih tinggi dan cenderung meningkat

(Grafik V.2). Sementara itu, konsumsi pemerintah

diprakirakan tumbuh melambat pasca pencairan

gaji tambahan untuk PNS di triwulan II 2016.

Deselerasi pertumbuhan konsumsi pemerintah

antara lain dipengaruhi oleh belum optimalnya

pencairan dana desa serta adanya efisiensi

anggaran akibat pemotongan belanja rutin non-

pembangunan oleh Pemerintah Pusat.

Sumber: Survei Konsumen Bank Indonesia

Grafik V.2. Indeks Keyakinan Konsumen

Investasi diperkirakan tumbuh meningkat pada

triwulan III 2016. Meningkatnya kinerja investasi

yang dihitung dari Pembentukan Modal Tetap

Bruto (PMTB) terutama akan didorong oleh

Page 65: Laporan Nusantara Agustus 2016.pdf (11,77 MB)

57

belanja fisik dari APBD yang diprakirakan semakin

meningkat. Realisasi belanja dimaksud terutama

untuk mendukung pembangunan infrastruktur di

Papua Barat, Sulawesi Tenggara, Bali, NTT,

Maluku, Sulawesi Utara, dan Sulawesi Barat.

Sementara itu, terdapat indikasi peningkatan

investasi swasta seiring dengan turunnya tingkat

suku bunga kredit. Peningkatan investasi oleh

pelaku usaha tersebut terutama terlihat di

lapangan usaha pertanian, pertambangan,

maupun bangunan/konstruksi (Grafik V.3).

Sumber: Survei Kegiatan Dunia Usaha Bank Indonesia

Grafik V.3. Kegiatan Investasi Dunia Usaha

Setelah mengalami kontraksi, ekspor luar negeri

diperkirakan tumbuh positif pada triwulan III

2016. Perbaikan di sisi ekspor antara lain akan

didukung oleh peningkatan ekspor perikanan dari

Maluku dan Bali seiring cuaca yang masih

kondusif bagi kegiatan penangkapan ikan. Ekspor

hasil perkebunan, khususnya dari NTT, Sulawesi

Utara, dan Maluku Utara, juga akan mendukung

akselerasi ekspor seiring dengan terjaganya

produksi perkebunan. Di samping itu, harga

migas dan nikel di pasar global yang

menunjukkan sedikit peningkatan diperkirakan

akan mendorong ekspor LNG (Papua Barat) dan

hasil olahan nikel (Sulawesi). Hal ini diperkuat

dengan membaiknya ekpor mineral tembaga dari

Papua pasca perbaikan mesin produksi.

Kinerja Lapangan Usaha

Pertanian

Pada triwulan II 2016, pertumbuhan lapangan

usaha pertanian, kehutanan, dan perikanan

kembali mengalami akselerasi. Angka

pertumbuhan tercatat menguat dari 2,1% (yoy)

menjadi 2,4% (yoy). Akselerasi kinerja pertanian

terutama terjadi di Provinsi Sulawesi Selatan,

Sulawesi Utara, Maluku, Maluku Utara, Papua,

NTB, dan NTT. Masuknya musim panen raya

subkategori tabama menjadi faktor utama

pendorong pertumbuhan. Berdasarkan hasil

liaison di beberapa daerah sentra, panen raya

juga didukung oleh peningkatan dari aspek

produktivitas lahan. Di samping itu, akselerasi

pertumbuhan usaha pertanian juga didukung

oleh membaiknya produksi ikan tangkap karena

kondisi cuaca yang mendukung kegiatan

penangkapan ikan para nelayan (Grafik V.4).

Sumber: KKP, diolah

Grafik V.4. Produksi Ikan Tangkap Maluku

Memasuki triwulan III 2016, kinerja lapangan

usaha pertanian diprakirakan kembali tumbuh

meningkat karena masih berlangsungnya panen

komoditas tabama. Panen tabama masih

berlanjut di beberapa daerah seperti NTB,

Sulawesi Utara, Papua, Sulawesi Barat, Bali, dan

NTT. Selain itu, pada periode Agustus-Oktober

2016, akan terjadi panen komoditas perkebunan

seperti cengkih, kelapa, aneka buah, serta kakao.

Peningkatan juga diprakirakan akan terjadi pada

produksi ikan tangkap (Maluku) dan hasil

peternakan sapi (NTT) yang didorong oleh faktor

permintaan dari negara importir maupun provinsi

lain. Peningkatan indikator Nilai Tukar Petani

(NTP) beberapa provinsi di KTI mengkonfirmasi

prakiraan akselerasi pertanian di awal triwulan III

2016 (Grafik V.5).

Produksi usaha pertanian yang terjaga akan

mendukung akselerasi kinerja ekspor KTI di

triwulan III 2016. Peningkatan produksi berbagai

jenis komoditas perkebunan dan hortikultura

Page 66: Laporan Nusantara Agustus 2016.pdf (11,77 MB)

58

akan menjaga kinerja ekspor pertanian. Hal

tersebut juga akan menjaga ketersediaan bahan

baku bagi industri makanan olahan sehingga

dapat mendorong ekspor produk industri

pengolahan secara keseluruhan, khususnya

produk industri berbasis aneka buah dan kakao.

Sementara produksi ikan tangkap dan udang

segar yang diprakirakan masih tumbuh

meningkat juga akan menopang ekspor dengan

tujuan utama ke Jepang dan Amerika Serikat.

Sumber: BPS

Grafik V.5. Nilai Tukar Petani

Pertambangan

Lapangan usaha pertambangan mengalami

kontraksi pertumbuhan pada triwulan II 2016.

Penurunan usaha pertambangan di KTI tercatat

sebesar -2,1% (yoy) setelah tumbuh 2,7% (yoy)

pada triwulan sebelumnya. Kontraksi yang terjadi

terutama disebabkan oleh adanya proses

perbaikan mesin produksi pertambangan di

Papua yang mengalami kerusakan sejak triwulan I

2016. Di samping itu, penurunan produktivitas

konsentrat mineral yang dihasilkan turut

mengakibatkan semakin terbatasnya produksi

tembaga dan emas (Grafik V.6). Penurunan

tertahan oleh perbaikan kinerja tambang di

beberapa provinsi di Sulawesi yang masih

tumbuh menguat sehingga kontraksi tidak terjadi

lebih dalam lagi.

Pada triwulan III 2016, kinerja pertambangan

diperkirakan berbalik arah dan tumbuh positif.

Pasca maintenance dan perbaikan mesin

pertambangan pada triwulan II 2016, produksi

hasil tambang di Papua diprakirakan mulai

mengalami akselerasi. Prakiraan peningkatan

produksi pertambangan juga akan ditopang oleh

akselerasi produksi nikel di Sulawesi Selatan,

Sulawesi Tengah, Maluku Utara, dan Sulawesi

Tenggara yang ditujukan untuk memenuhi

permintaan industri olahan nikel setempat.

Faktor peningkatan harga internasional juga

menjadi insentif dalam mendorong kegiatan

produksi nikel (Grafik V.7).

Sumber: Produsen, diolah

Grafik V.6. Produksi Mineral Papua

Sumber: World Bank

Grafik V.7. Harga Komoditas Tambang

Prakiraan akselerasi capaian produksi akan

sejalan dengan peningkatan ekspor hasil

pertambangan yang akan ikut mengalami

percepatan pertumbuhan. Setelah mengalami

kontraksi, penjualan hasil produksi mineral dari

Papua diprakirakan meningkat untuk memenuhi

permintaan dari beberapa mitra dagang di Asia

dan Eropa. Sementara itu, mengikuti pola

historisnya, ekspor nikel matte dari Sulawesi

Selatan ke Jepang juga diprakirakan meningkat

untuk memenuhi kebutuhan industri lanjutan di

sana. Peningkatan ekspor tambang tersebut

secara keseluruhan akan menjadi pendorong

akselerasi ekspor luar negeri dari KTI pada

triwulan III 2016.

Page 67: Laporan Nusantara Agustus 2016.pdf (11,77 MB)

59

Industri

Lapangan usaha industri pengolahan mengalami

perlambatan pertumbuhan pada triwulan II

2016. Setelah tumbuh 12,2% (yoy) pada triwulan

sebelumnya, pertumbuhan usaha industri

tercatat melambat menjadi 9,1% (yoy) pada

triwulan II 2016. Deselerasi lapangan usaha

industri pengolahan hampir terjadi di seluruh

provinsi di KTI. Beberapa daerah bahkan

mencatatkan kontraksi yaitu Sulawesi Barat,

Sulawesi Utara, dan Papua Barat. Kontraksi yang

terjadi di Sulawesi Utara dan Sulawesi Barat

dipengaruhi oleh keterbatasan bahan baku baik

untuk industri pengolahan ikan maupun kelapa

sawit. Sementara di Papua Barat, pengaruh harga

komoditas yang masih rendah menjadi disinsentif

bagi perkembangan produksi LNG. Faktor harga

nikel yang masih rendah juga menyebabkan

perlambatan produksi industri pengolahan

feronikel (Grafik V.8).

Sumber: Produsen, diolah

Grafik V.8. Produksi Feronikel Sulawesi Tenggara

Pada triwulan III 2016, kinerja industri

pengolahan diprakirakan meningkat. Selain

perbaikan produksi industri nikel yang ditopang

peningkatan harga jual, kinerja lapangan usaha

industri pengolahan juga akan didorong

akselerasi industri makanan olahan. Akselerasi

tersebut sejalan dengan upaya produsen

makanan olahan untuk meningkatkan

ketersediaan barang pasca optimalisasi penjualan

di musim hari raya (Grafik V.9). Selain itu, mulai

beroprerasinya pabrik gula baru di NTB serta

pabrik semen baru di Papua Barat juga akan

menjadi faktor pendorong pertumbuhan.

Peningkatan pertumbuhan juga akan

disumbangkan oleh industri pengolahan ikan dan

kayu yang meningkat seiring dengan terjaganya

pasokan bahan baku yang diimbangi oleh kuatnya

permintaan dari negara importir. Perbaikan

kinerja industri pengolahan didukung oleh hasil

Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) yang

mengindikasikan peningkatan volume produksi

manufaktur pada triwulan III 2016. Ekspor

industri pengolahan berbasis komoditas

diprakirakan akan mengalami akselerasi. Masih

kuatnya permintaan untuk komoditas hasil

industri dari KTI menjadi faktor pendukung

akselerasi ekspor. Hal ini tercermin dari

Purchasing Managers’ Index (PMI) di AS,

Tiongkok, dan Eropa yang masih ekspansif hingga

akhir triwulan II 2016. Di samping itu,

peningkatan harga nikel di awal triwulan

diprakirakan mampu menggiring optimisme

produksi dan ekspor hasil tambang nikel serta

produk-produk olahannya seperti feronikel atau

nickel pig iron (NPI).

Sumber: Produsen, diolah

Grafik V.9. Produksi Makanan Olahan Sulawesi Selatan

Konstruksi

Pada triwulan II 2016, lapangan usaha

konstruksi tumbuh meningkat dibandingkan

dengan triwulan I 2016. Angka pertumbuhan

tercatat sebesar 8,2% (yoy), lebih tinggi dari

triwulan sebelumnya yang sebesar 7,1% (yoy).

Hal tersebut sejalan dengan meningkatnya

realisasi belanja modal dari APBD. Lanjutan

berbagai proyek pemerintah seperti proyek

multiyears pembangkit listrik dan pengembangan

kawasan ekonomi terpadu di Sulawesi Utara,

Page 68: Laporan Nusantara Agustus 2016.pdf (11,77 MB)

60

Sulawesi Tengah, Maluku Utara, dan NTB turut

memberi dorongan positif pada perkembangan

lapangan usaha konstruksi. Indikator realisasi

konsumsi semen (Grafik V.10) di KTI pada

triwulan II 2016 juga mengkonfirmasi adanya

akselerasi pertumbuhan.

Memasuki triwulan III 2016, kinerja konstruksi

diprakirakan sedikit meningkat. Perkembangan

yang cukup baik tersebut terutama terjadi di

Sulawesi Utara, Maluku Utara, Bali, Papua,

Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Barat. Kondisi

tersebut ditopang oleh realisasi belanja fisik

Pemerintah Daerah yang semakin intensif. Selain

itu, tren penurunan suku bunga diperkirakan

dapat mendorong perbaikan kegiatan investasi

swasta bangunan di KTI. Perbaikan investasi juga

didukung oleh beberapa proyek multiyears yang

terus berlangsung di KTI seperti peningkatan

kapasitas jalan, jembatan, perbaikan irigasi,

perbaikan jalan akses antara kota ke bandara,

serta pembangunan fasilitas umum seperti

rumah sakit dan rel kereta api.

Sumber: ASI, diolah

Grafik V.10. Realisasi Konsumsi Semen

Akselerasi lapangan usaha konstruksi pada

triwulan III 2016 sejalan dengan perkembangan

kegiatan investasi. Meski investasi tercatat

melambat pada triwulan II 2016, perkembangan

investasi terindikasi akan membaik pada triwulan

III 2016 yang didukung oleh peningkatan kinerja

usaha konstruksi. Hal ini sejalan dengan hasil

survei yang dilakukan baik dari aspek perkiraan

realisasi usaha maupun kegiatan investasi yang

menunjukkan peningkatan dibandingkan triwulan

sebelumnya (Grafik V.11).

Sumber: Survei Kegiatan Dunia Usaha Bank Indonesia

Grafik V.11. Perkembangan Lapangan Usaha Bangunan

Perdagangan

Pada triwulan II 2016, kinerja usaha

perdagangan di KTI tumbuh meningkat. Realisasi

pertumbuhan tercatat tumbuh lebih tinggi, dari

7,4% (yoy) pada triwulan sebelumnya menjadi

8,2% (yoy). Akselerasi pertumbuhan terutama

terjadi di provinsi yang memiliki pangsa cukup

besar dalam struktur ekonomi KTI, seperti

Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi

Utara, Papua, dan Papua Barat. Masih kuatnya

permintaan rumah tangga menjadi penopang

pertumbuhan perdagangan di periode

Ramadhan-Lebaran 2016. Hal ini tercermin dari

aktivitas bongkar di pelabuhan utama di KTI yang

mengalami peningkatan seiring meningkatnya

kebutuhan konsumsi (Grafik V.12).

Sumber: Kantor Administrasi Pelabuhan, diolah

Grafik V.12. Volume Bongkar Pelabuhan Makassar

Pada triwulan III 2016, usaha perdagangan

diprakirakan masih tumbuh cukup baik. Sumber

pertumbuhan terutama adalah dari kegiatan

penjualan eceran (Grafik V.13), khususnya untuk

perlengkapan dan peralatan rumah tangga yang

dinilai masih mengalami peningkatan meski

relatif terbatas. Kondisi ini antara lain didukung

Page 69: Laporan Nusantara Agustus 2016.pdf (11,77 MB)

61

oleh adanya liburan sekolah pada awal triwulan

serta dimulainya tahun ajaran baru pada

pertengahan triwulan. Di samping itu,

penyelenggaraan berbagai jenis event oleh sektor

swasta juga masih cukup marak di Sulawesi

Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Bali,

dan NTT. Arus kegiatan perdagangan juga akan

ditopang oleh peningkatan ekspor luar negeri

dari KTI yang diprakirakan meningkat.

Sumber: Survei Penjualan Eceran Bank Indonesia

Grafik V.13. Indeks Penjualan Eceran Makassar

Akomodasi

Kinerja usaha penyediaan akomodasi tercatat

tumbuh meningkat pada triwulan II 2016.

Pertumbuhan usaha penyediaan akomodasi

tercatat sebesar 7,6% (yoy) pada triwulan II 2016,

lebih tinggi dari triwulan sebelumnya sebesar

7,4% (yoy). Salah satu faktor pendorong

akselerasi adalah perayaan hari besar

keagamaan. Di samping itu, kunjungan

wisatawan mancanegara di daerah pariwisata

utama KTI juga tercatat mengalami akselerasi

pada triwulan II 2016 (Grafik V.14).

Pertumbuhan lapangan usaha penyediaan

akomodasi diperkirakan meningkat pada

triwulan III 2016. Peningkatan tersebut didorong

oleh optimisme pelaku usaha pariwisata, seiring

dengan datangnya musim liburan bagi wisman

asal Eropa dan Australia. Hasil liaison turut

mengkonfirmasi adanya peningkatan wisman asal

Tiongkok ke Bali. Akselerasi kinerja pariwisata

tersebut akan turut menopang kinerja konsumsi

rumah tangga dan ekspor jasa di KTI. Indikator

hasil survei juga menunjukkan peningkatan

realisasi usaha dan harga jual (Grafik V.15).

Sumber: BPS

Grafik V.14. Kunjungan Wisatawan Mancanegara ke Bali

Sumber: Survei Kegiatan Dunia Usaha Bank Indonesia

Grafik V.15. Perkembangan Lapangan Usaha Perdagangan, Hotel, dan Restoran

Fiskal Daerah

Penyerapan belanja APBD di berbagai daerah

mencatat perbaikan pada triwulan II 2016 meski

masih belum dapat mencapai target yang

diharapkan. Masih adanya beberapa kendala

penyerapan terutama terkait dengan administrasi

dan pencairan dana desa menyebabkan realisasi

yang belum optimal. Meski demikian, kinerja

belanja pemerintah daerah menunjukkan

perbaikan seiring dengan adanya percepatan

pelaksanaan lelang proyek, pembayaran gaji ke-

13 dan ke-14 PNS, penerbitan Inpres Nomor 1

Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan

Proyek Strategis Nasional, serta monitoring

pencapaian target realisasi secara berkala.

Penyerapan belanja APBD8 di KTI pada triwulan

II 2016 tercatat lebih baik dari tahun lalu

maupun rata-rata tiga tahun terakhir. Dari total

anggaran belanja sebesar Rp57,43 triliun,

persentase realisasi hingga triwulan II 2016

8 Data realisasi sementara APBD di tingkat provinsi

Page 70: Laporan Nusantara Agustus 2016.pdf (11,77 MB)

62

mencapai 33,96% atau lebih tinggi dari triwulan II

2015 yang hanya sebesar 27,37% (Tabel V.2).

Berdasarkan komponen belanja yang ada, belanja

operasional (termasuk komponen transfer)

mengalami peningkatan realisasi dibandingkan

dengan periode yang sama tahun sebelumnya,

dari 30,61% menjadi 37,16%. Demikian juga

dengan belanja modal yang menunjukkan

peningkatan dari 15,61% menjadi 22,30%.

Peningkatan penyerapan belanja APBD di KTI

didukung oleh peningkatan realisasi

pendapatan, terutama dana perimbangan dari

Pemerintah Pusat. Secara total, realisasi

pendapatan di KTI mencapai 45,73% hingga

triwulan II 2016, sedikit lebih tinggi dari tahun

lalu sebesar 45,02%. Peningkatan realisasi

tersebut didorong oleh persentase peningkatan

realisasi penerimaan dana perimbangan dari

Pemerintah Pusat yaitu dari 50,81% menjadi

51,93%. Sementara itu, realisasi Pendapatan Asli

Daerah (PAD) dan Pendapatan Lain-lain yang Sah

menunjukkan penurunan dibandingkan dengan

periode yang sama tahun sebelumnya. Realisasi

PAD tercatat sebesar 42,89%, lebih rendah dari

tahun lalu sebesar 44,31%, sementara realisasi

Lain-lain Pendapatan yang Sah menurun dari

35,82% menjadi 32,55%.

Tabel V.2. Realisasi Agregat APBD Provinsi di KTI

Sumber: SKPD masing-masing provinsi

Dalam upaya untuk peningkatan kinerja APBD,

beberapa daerah di KTI menerapkan strategi

dalam mendukung efektivitas penyerapan

belanja maupun realisasi pendapatan. Strategi

dimaksud telah dilakukan pada triwulan II 2016

dan akan terus diperkuat di periode mendatang.

Sebagai contoh, Provinsi Bali telah

memanfaatkan e-planning, e-budgeting, dan e-

musrenbang dalam rangka penguatan pelaporan

dan administrasi. Provinsi Sulawesi Selatan ke

depan akan lebih mengoptimalkan Electronic Tax

(e-Tax) atau pajak elektronik untuk penarikan

pajak hotel dan restoran di Makassar yang

selama ini dinilai belum optimal.

Perkembangan Inflasi

Laju inflasi KTI triwulan II 2016 sebesar 3,94%

(yoy), lebih rendah dibandingkan dengan

triwulan I 2016 sebesar 4,72% (yoy).

Menurunnya inflasi dipengaruhi oleh

terkendalinya inflasi volatile foods dan deflasi

pada komoditas administered prices.

Bertambahnya supply komoditas pangan seiring

panen beras dan hortikultura di sejumlah daerah

mampu menahan tekanan inflasi volatile foods di

tengah kenaikan permintaan menjelang Lebaran.

Sementara itu, komponen administered prices

mencatat deflasi karena penurunan harga BBM

pada awal triwulan II 2016. Dalam periode ini,

dibandingkan dengan triwulan sebelumnya,

inflasi inti (core inflation) tercatat relatif stabil.

Secara spasial, inflasi triwulan II 2016 di

mayoritas provinsi di KTI masih tetap terjaga. Di

tengah tingginya lonjakan permintaan menjelang

musim liburan dan hari raya, penurunan tekanan

inflasi terjadi di sebagian besar provinsi, kecuali

di Papua. Dalam periode ini, inflasi tahunan

terendah terjadi di Maluku sebesar 1,82% (yoy),

sedangkan tertinggi di Papua sebesar 5,22%

(yoy). Selain Papua, Provinsi NTT dan Gorontalo

juga masih mencatatkan inflasi tahunan yang

cukup tinggi (sekitar 5%) dibandingkan dengan

provinsi lain. Tingginya inflasi di daerah tersebut

terutama disebabkan oleh tarif angkutan udara

dan naiknya harga kebutuhan pokok seperti

daging ayam ras dan gula pasir. Secara kumulatif,

inflasi di hampir seluruh provinsi di KTI masih

berada di bawah 2% (ytd) sehingga di akhir tahun

diprakirakan berada dalam rentang sasaran

4%±1% (yoy).

Tw II 2015 Tw II 2016

Pendapatan APBD Provinsi 45.02 45.73

Pendapatan Asli Daerah 44.31 42.89

Dana Perimbangan 50.81 51.93

Lain-lain Pendapatan yang Sah 35.81 32.55

Belanja APBD Provinsi 27.37 33.96

Belanja Operasi + Transfer 30.61 37.16

Belanja Modal 15.61 22.30

Belanja Tidak Terduga 0.86 2.71

Komponen APBDRealisasi (%)

Page 71: Laporan Nusantara Agustus 2016.pdf (11,77 MB)

63

Pada awal triwulan III 2016, inflasi Juli 2016

tercatat sebesar 0,67% (mtm). Inflasi pada

periode Lebaran tersebut tercatat di bawah rata-

rata pola historisnya (tahun 2011-2015) sebesar

1,14% (mtm). Penyumbang utama inflasi Juli

2016 adalah tarif angkutan udara, tarif dasar

listrik, dan beberapa komoditas pangan seperti

beras, ikan cakalang, ikan layang, dan tomat

sayur. Peningkatan harga didorong oleh adanya

tekanan dari sisi permintaan.

Perkembangan harga terkini menunjukkan

inflasi relatif terkendali hingga akhir triwulan III

2016. Pada pertengahan triwulan, masih terdapat

tekanan inflasi yang bersumber dari penyesuaian

biaya pendidikan tahun ajaran baru dan pasokan

hortikultura yang tidak setinggi di triwulan

sebelumnya karena dampak La Nina. Di samping

itu, harga emas yang cenderung meningkat turut

menambah tekanan inflasi. Hasil survei di awal

Agustus 2016 juga menunjukkan adanya tendensi

kenaikan harga aneka cabai dan emas perhiasan

(Grafik V.16). Meski demikian, inflasi akan

tertahan oleh penurunan harga berbagai

komoditas pangan yang lain, serta koreksi pada

tarif angkutan udara seiring dengan kembali

normalnya permintaan pasca Lebaran.

Berdasarkan perkembangan tersebut, inflasi KTI

pada triwulan III 2016 diprakirakan sedikit

menurun dan berada pada kisaran 3,88% (yoy).

Sumber: Survei Pemantauan Harga Bank Indonesia

Grafik V.16. Perkembangan Harga Beberapa Komoditas

Capaian inflasi periode Ramadhan-Lebaran yang

lebih rendah dari historisnya tidak terlepas dari

peran Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID).

Bersama dengan beberapa instansi terkait

lainnya seperti aparat penegak hukum dan

asosiasi pedagang, TPID melakukan berbagai

upaya untuk mengantisipasi lonjakan harga.

Upaya pengendalian inflasi tersebut dilakukan di

seluruh daerah di KTI yang berfokus pada

penambahan pasokan pangan, perbaikan

infrastruktur pendukung distribusi barang,

komunikasi publik untuk menjaga ekspektasi

harga masyarakat, serta kerjasama dengan

penegak hukum dalam melakukan inspeksi.

Sumber: Survei Konsumen Bank Indonesia

Grafik V.17. Ekspektasi Harga Konsumen

Stabilitas Keuangan Daerah

Ketahanan Sektor Korporasi

Berbagai sumber risiko terhadap stabilitas

keuangan daerah seperti harga komoditas dan

nilai tukar terpantau masih berada dalam level

yang aman. Meski pemulihan ekonomi dunia

masih lambat, harga komoditas migas dan nikel

mulai menunjukkan sedikit peningkatan pada

akhir triwulan II 2016. Di samping itu, tingkat

suku bunga dan nilai tukar dinilai berada pada

level yang kondusif bagi pelaku usaha sehingga

secara keseluruhan belum memberikan ancaman

instabilitas bagi kinerja keuangan korporasi di

KTI. Hal ini tercermin dari kemampuan korporasi

terbuka (listed company) untuk memenuhi

kewajiban keuangannya yang masih terjaga

cukup baik meski tingkat profitabilitas menurun

dibandingkan dengan akhir 2015. Kemampuan

membayar korporasi yang cukup baik tersebut

terlihat dari Interest Coverage Ratio (ICR) yang

lebih besar dari 1,50. Solvabilitas korporasi

terbuka juga masih menunjukkan peningkatan

Page 72: Laporan Nusantara Agustus 2016.pdf (11,77 MB)

64

hingga awal tahun 2016. Di samping itu, para

pelaku usaha di luar korporasi terbuka juga

menunjukkan optimisme pada kinerja keuangan

mereka hingga triwulan II 2016 (Tabel V.3).

Tabel V.3. Kinerja Keuangan Korporasi KTI

Sumber: Bloomberg (data 13 korporasi di KTI) dan Survei

Kegiatan Dunia Usaha Bank Indonesia, diolah

Grafik V.18. Pertumbuhan Kredit Korporasi

Dengan kemampuan bayar korporasi yang

masih cukup baik, kegiatan intermediasi dan

risiko kredit korporasi dinilai masih dalam

kondisi yang aman. Hal ini tercermin dari

pertumbuhan kredit kepada korporasi yang

masih tumbuh cukup tinggi walaupun sedikit

mengalami perlambatan. Angka pertumbuhan

kredit korporasi tercatat sedikit melambat dari

18,65% (yoy) menjadi 17,61% (yoy).

Melambatnya pertumbuhan kredit pada triwulan

II 2016 terutama disebabkan oleh melambatnya

penyaluran kredit kepada korporasi sektor

pertanian, industri pengolahan, dan penyediaan

akomodasi (Grafik V.18). Sementara itu,

simpanan milik korporasi di perbankan juga

tumbuh melambat pada triwulan II 2016 yaitu

dari 36,16% (yoy) menjadi 34,87% (yoy).

Deselerasi pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK)

tersebut terutama terjadi pada jenis giro dan

deposito.

Kualitas kredit perbankan yang disalurkan ke

korporasi tercatat mengalami perbaikan pada

triwulan II 2016. Hal ini tercermin dari

penurunan rasio NPL dari 4,85% pada triwulan I

2016 menjadi 4,62% (Grafik V.19). Penurunan

NPL kredit korporasi terjadi di hampir seluruh

sektor utama, kecuali korporasi tambang.

Grafik V.19. Perkembangan NPL Kredit Korporasi

Ketahanan Sektor Rumah Tangga

Seiring dengan perkembangan korporasi yang

masih cukup baik, kinerja keuangan rumah

tangga juga terpantau dalam kondisi yang baik.

Hal tersebut juga didukung oleh perkembangan

inflasi yang terkendali meski harga properti

residensial di beberapa kota besar di KTI

menunjukkan peningkatan. Dengan kondisi

tersebut, rumah tangga di KTI masih memiliki

tingkat keyakinan yang tinggi terhadap

peningkatan kondisi pendapatan. Hal ini sesuai

dengan hasil Survei Konsumen Bank Indonesia

yang menunjukkan level Indeks Pendapatan per

Bulan untuk Memenuhi Kebutuhan yang berada

di atas 100. Risiko leverage berlebihan yang

diukur dari Debt Service Ratio (DSR) terjaga di

level 13,49%, turun dari triwulan I 2016 (13,54%).

Terjaganya kemampuan sektor rumah tangga

dalam memenuhi kewajiban keuangannya

mampu mendukung kegiatan intermediasi

perbankan. Kredit yang disalurkan pada triwulan

II 2016 menunjukkan peningkatan meski masih

terbatas yaitu dari 10,02% (yoy) menjadi 11,09%

(yoy) (Grafik V.20). Pertumbuhan kredit tersebut

Kinerja Keuangan

Korporasi Terbuka 2014 2015 Tw I 2016

Profitabilitas (Return on Assets) 3.33% -1.07% -1.32%

Likuiditas (Current Ratio) 1.37 1.79 1.60

Leverage (Debt to Equity Ratio) 0.95 0.91 0.60

Solvability Ratio 2.06 2.10 2.77

Kemampuan Bayar (ICR) 9.41 10.12 9.78

Pelaku Usaha Responden SKDU Tw II 2015 Tw I 2016 Tw II 2016

Profitabilitas (%Baik - %Buruk) 30.80 40.31 45.59

Likuiditas (%Baik - %Buruk) 32.69 42.58 44.65

Periode

Page 73: Laporan Nusantara Agustus 2016.pdf (11,77 MB)

65

didorong oleh kredit multiguna, sedangkan Kredit

Pemilikan Rumah dan Apartemen (KPR dan KPA)

serta Kredit Kendaraan Bermotor (KKB) mencatat

perlambatan pertumbuhan. KKB tercatat

mengalami kontraksi yang disebabkan oleh

perilaku masyarakat yang masih menahan

konsumsi dalam bentuk pembelian kendaraan.

Adapun simpanan perorangan tercatat tumbuh

menguat dari 11,57% (yoy) pada triwulan I 2016

menjadi 14,67% (yoy). Hal ini didorong oleh

akselerasi pada simpanan tabungan.

Di tengah akselerasi penyaluran kredit, kualitas

kredit sektor rumah tangga tetap berada dalam

batas aman. Rasio NPL kredit rumah tangga

tercatat mengalami penurunan dari 1,51% pada

triwulan sebelumnya menjadi 1,48% pada

triwulan II 2016. Penurunan NPL terutama

dipengaruhi oleh membaiknya kualitas kredit

multiguna (Grafik V.21).

Grafik V.20. Pertumbuhan Kredit Rumah Tangga

Grafik V.21. Perkembangan NPL Kredit Rumah Tangga

Pembiayaan Sektor Usaha Mikro, Kecil dan Menengan (UMKM)

Pertumbuhan kredit untuk sektor UMKM

mengalami peningkatan pada triwulan II 2016.

Kredit UMKM tercatat tumbuh 10,58% (yoy),

lebih tinggi dari triwulan sebelumnya yang

tumbuh sebesar 8,51% (yoy). Akselerasi tersebut

terutama terjadi pada penyaluran kredit kepada

UMKM yang bergerak di lapangan usaha

pertanian, perikanan, konstruksi, perdagangan,

dan akomodasi (Grafik V.22). Kondisi tersebut

sejalan dengan akselerasi pertumbuhan sektor

ekonomi pada triwulan II 2016.

Grafik V.22. Pertumbuhan Kredit UMKM

Grafik V.23. Perkembangan NPL Kredit UMKM

Peningkatan kredit kepada sektor UMKM pada

triwulan II 2016, diiringi dengan perbaikan

kualitas kredit. Hal tersebut tercermin dari NPL

kredit UMKM yang turun dari 4,09% pada

triwulan I 2016 menjadi 3,94% pada triwulan II

2016 (Grafik V.23). Perbaikan didorong oleh

membaiknya kualitas kredit di seluruh lapangan

usaha utama. Tren penurunan suku bunga kredit

kepada sektor UMKM sejak akhir tahun 2015

dinilai turut mendukung perbaikan NPL.

Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah

Sistem Pembayaran

Pada triwulan II 2016, transaksi kliring melalui

Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI)

Page 74: Laporan Nusantara Agustus 2016.pdf (11,77 MB)

66

kembali menunjukkan akselerasi. Peningkatan

ini terlihat baik dari sisi volume maupun nominal

transaksinya (Grafik V.24). Di tengah kondisi

perlambatan ekonomi KTI pada triwulan II 2016,

transaksi nontunai tetap menunjukkan

peningkatan karena adanya perayaan Lebaran. Di

samping itu, perubahan batas bawah nilai

transaksi Real-time Gross Settlement Systems

(RTGS) yang semula Rp100 juta menjadi Rp500

juta pada triwulan IV 2015, turut memengaruhi

peningkatan transaksi kliring dibandingkan tahun

sebelumnya. Pada triwulan II 2016, total nominal

transaksi kliring tercatat sebesar Rp70,50 triliun

atau tumbuh 102,90% (yoy), lebih tinggi dari

pertumbuhan triwulan sebelumnya sebesar

85,17% (yoy).

Grafik V.24. Perkembangan Transaksi Kliring di KTI

Pengelolaan Uang Tunai Rupiah

Kebutuhan masyarakat akan uang kartal selama

periode Ramadhan-Lebaran mengalami

peningkatan cukup tinggi, yang tercermin dari

lebih besarnya aliran uang kartal yang keluar

dari Bank Indonesia (outflow) dibanding uang

kartal yang masuk ke Bank Indonesia (inflow).

Selama triwulan II 2016, secara agregat di seluruh

KTI terjadi net outflow sebesar Rp15,26 triliun

(Grafik V.25). Dalam periode ini, uang kartal yang

masuk ke Bank Indonesia tercatat sebesar

Rp12,83 triliun, sementara aliran uang kartal

yang keluar dari Bank Indonesia sebesar Rp28,09

triliun. Kondisi net outflow menunjukkan adanya

peningkatan kebutuhan uang kartal oleh

nasabah, baik perbankan, masyarakat, maupun

pelaku usaha, khususnya pada saat perayaan hari

besar keagamaan. Untuk mengantisipasi hal

tersebut, Bank Indonesia meningkatkan aktivitas

layanan perkasannya, khususnya melalui kas

keliling dan kas titipan.

Grafik V.25. Perkembangan Aliran Uang di KTI

Grafik V.26. Perkembangan Rasio UTLE di KTI

Seiring dengan kebijakan clean money policy,

kegiatan pemusnahan uang tidak layak edar

(UTLE) terus dilakukan oleh Bank Indonesia.

Pada triwulan II 2016, jumlah UTLE yang

dimusnahkan mencapai Rp5,96 triliun dengan

rasio terhadap inflow sebesar 46,43% (Grafik

V.26). Pemusnahan UTLE dilakukan sejalan

dengan komitmen Bank Indonesia untuk secara

konsisten memastikan ketersediaan uang layak

edar bagi masyarakat.

Selama triwulan II 2016, temuan uang palsu di

wilayah KTI tercatat sebanyak 2.431 lembar.

Secara spasial, uang palsu terbanyak di KTI

ditemukan di Bali, Sulawesi Selatan, Sulawesi

Barat, NTT, dan NTB (Grafik V.27).

Pemberantasan pengedaran uang palsu akan

terus dilakukan Bank Indonesia antara lain

melalui penguatan koordinasi bersama aparat

penegak hukum. Selain itu, untuk meningkatkan

kehati-hatian masyarakat, Bank Indonesia

Page 75: Laporan Nusantara Agustus 2016.pdf (11,77 MB)

67

menggiatkan berbagai kegiatan sosialisasi dan

edukasi sepanjang triwulan II 2016, antara lain

sosialisasi mengenai ciri-ciri keaslian uang rupiah

(CIKUR) kepada masyarakat, pelaku usaha,

nasabah perbankan, dan kasir perbankan. Di

samping itu, Bank Indonesia juga terus

memperkuat strategi komunikasi terkait

kewajiban penggunaan Uang Rupiah dalam

bertransaksi di wilayah NKRI.

Grafik V.27. Pangsa Temuan Uang Palsu KTI

Menurut Provinsi

Prospek Perekonomian

Prospek Pertumbuhan Ekonomi

Perekonomian KTI pada tahun 2016

diprakirakan tumbuh melambat dibandingkan

dengan tahun 2015. Pertumbuhan ekonomi KTI

diprakirakan berada pada kisaran 6,4-6,8% (yoy).

Rentang pertumbuhan tersebut mengalami revisi

ke bawah dibandingkan proyeksi sebelumnya

yang berada pada rentang 7,1%-7,5% (yoy). Hal

tersebut dipengaruhi oleh turunnya kinerja

produksi dan ekspor pertambangan selama

semester I 2016 yang lebih dalam dari perkiraan

sebelumnya. Melambatnya ekonomi KTI pada

tahun 2016 terutama terkait dengan

perlambatan kinerja investasi bangunan dan

ekspor luar negeri. Deselerasi investasi

disebabkan oleh telah selesainya beberapa

proyek pengembangan industri di KTI yang

berskala besar seperti pabrik gula di NTB, pabrik

LNG di Sulawesi Tengah, serta smelter nikel di

Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Maluku

Utara. Sementara itu, pelemahan kinerja ekspor

luar negeri dipengaruhi oleh pertumbuhan

ekspor mineral yang terbatas seiring dengan

kuota ekspor NTB yang lebih rendah dari periode

tahun lalu serta adanya kerusakan mesin

produksi pertambangan di Sulawesi Selatan dan

Papua pada awal tahun 2016. Sebelumnya,

ekspor mineral tercatat tumbuh tinggi pada

tahun 2015 karena capaian yang rendah di tahun

2014 seiring penerapan kebijakan pembatasan

ekspor mineral mentah. Penerapan kebijakan

tersebut merupakan langkah konkrit untuk

mendorong hilirisasi tambang di KTI. Upaya

peningkatan nilai tambah memang menjadi

agenda yang krusial di KTI yang kaya akan SDA.

Adapun selain tambang, SDA yang juga

berpotensi untuk dikembangkan lebih lanjut

adalah perikanan (lihat Boks Potensi Industri

Perikanan KTI).

Di tengah proyeksi perlambatan tersebut,

beberapa faktor risiko baik dari sisi eksternal

maupun internal masih perlu mendapat

perhatian. Dari sisi eksternal, kondisi pemulihan

ekonomi global yang berjalan tidak sesuai

ekspektasi sebelumnya seiring perlambatan

perekonomian Tiongkok dapat memberi

pengaruh negatif pada kinerja ekspor dan

investasi di KTI. Sementara itu, dari sisi internal,

gagal panen dan kekeringan lahan pertanian di

Balinusra pada semester I 2016 memberi risiko

terhadap pencapaian produksi tabama di KTI.

Selain itu, terdapat risiko pelemahan ekspor

akibat kemungkinan terhambatnya izin

konsentrat yang dapat muncul apabila eksportir

mineral KTI tidak dapat memenuhi komitmennya

terkait pembangunan smelter. Pelemahan kinerja

ekspor tersebut pada gilirannya dapat menekan

kinerja ekonomi KTI secara keseluruhan. Di sisi

lain, masih adanya beberapa masalah

administrasi APBD di awal tahun dikhawatirkan

dapat berdampak pada realisasi tingkat

penyerapan anggaran. Upaya akselerasi

penyerapan APBD yang dilakukan diharapkan

dapat meminimalisasi risiko dimaksud dan

meningkatkan realisasi anggaran.

Page 76: Laporan Nusantara Agustus 2016.pdf (11,77 MB)

68

Prospek Inflasi

Tekanan inflasi KTI sampai akhir tahun 2016

diprakirakan berkurang karena menurunnya

inflasi volatile foods dan rendahnya inflasi

administered prices. Sepanjang tahun 2016,

inflasi KTI diproyeksikan pada kisaran batas atas

3,6-4,0% (yoy). Hal tersebut didukung oleh

optimisme peningkatan produksi tabama dan

hortikultura di berbagai daerah sentra.

Pemerintah daerah juga tengah melakukan

berbagai upaya untuk terus memperbaiki proses

produksi. Upaya-upaya tersebut antara lain

adalah penambahan luas lahan, pendampingan

kepada petani, serta pemanfaatan teknologi

pertanian. Di samping itu, pasokan ikan segar

diprakirakan lebih baik pada tahun 2016 karena

cuaca yang relatif lebih kondusif bagi kegiatan

penangkapan ikan. Adapun inflasi administered

prices yang rendah dipengaruhi oleh minimalnya

kebijakan peningkatan harga BBM seiring dengan

harga minyak dan nilai tukar yang relatif terjaga.

Di sisi lain, adanya tekanan permintaan yang

memengaruhi inflasi inti perlu menjadi

perhatian, apalagi dengan adanya berbagai

faktor risiko lainnya. Prakiraan konsumsi rumah

tangga yang masih cukup kuat di KTI akan

memengaruhi tingkat permintaan sehingga

memberi risiko tersendiri terhadap peningkatan

harga barang dalam keranjang inflasi inti. Di

samping itu, harga emas di pasar global berada

dalam tren yang meningkat sehingga dapat

mendorong naiknya harga komoditas emas

perhiasan yang memiliki bobot cukup besar

dalam keranjang inflasi kelompok sandang.

Adapun risiko inflasi juga datang dari aspek

gangguan distribusi pangan dan fenomena La

Nina yang masih perlu diwaspadai.

Dengan adanya berbagai risiko tersebut,

berbagai langkah konkrit harus ditempuh

bersama untuk mengendalikan inflasi di daerah.

Hal ini sejalan dengan arahan Presiden dalam

Rapat Koordinasi Nasional VII TPID, tanggal 4

Agustus 2016, terkait dengan hal-hal yang perlu

dilakukan dalam pengendalian inflasi.

Page 77: Laporan Nusantara Agustus 2016.pdf (11,77 MB)

69

Sumber Daya Perikanan KTI Tertinggi

Sebagai negara maritim utama dunia, Indonesia

memiliki potensi perikanan yang cukup tinggi,

baik untuk perikanan tangkap maupun

budidaya. Produksi perikanan tangkap dan

budidaya Indonesia rata-rata mencapai 20 juta

ton/tahun, atau terbesar kedua setelah China

yang produksinya mencapai 55 juta ton/tahun.

Namun demikian, tingkat produksi nasional

tersebut masih berada jauh di bawah potensinya

yang mencapai 80 juta ton/tahun, yang terdiri

dari 10 juta ton perikanan tangkap dan 70 juta

ton perikanan budidaya.

Sebagai wilayah dengan produksi perikanan

terbesar di Indonesia, KTI masih berada jauh di

bawah potensi perikanannya. Potensi produksi

perikanan KTI yang mencapai 53,5 juta

ton/tahun, tercatat hanya 10% yang dapat

dimanfaatkan. Hal ini terutama bersumber dari

kurang optimalnya produksi perikanan budidaya.

Produksi perikanan di KTI, baik yang budidaya

maupun tangkap, lebih terkonsentrasi pada yang

bernilai rendah (low value fish), seperti demersal

dan rumput laut. Produksi perikanan yang

bernilai tinggi seperti udang dan bluefin tuna

relatif masih rendah. Faktor-faktor yang

memengaruhi rendahnya kinerja dimaksud

adalah proses budidaya yang rentan terhadap

kondisi cuaca, proses penangkapan ikan yang

masih sederhana, infrastruktur pendukung yang

kurang memadai, peralatan penangkapan ikan

yang masih terbatas, serta kualitas dan kapasitas

SDM yang kurang mendukung.

Ekspor pengolahan ikan, yang sempat terganggu pasca kebijakan moratorium kapal asing, mulai menunjukkan peningkatan.

Penetapan regulasi terkait perikanan tangkap

yang terdiri dari moratorium kapal eks asing serta

larangan transhipment sejak tahun 2014, pada

awalnya mengakibatkan penurunan ekspor yang

cukup dalam. Namun, sejak awal tahun 2016,

ekspor hasil olahan ikan mulai menunjukkan

perbaikan. Jumlah ikan yang berhasil ditangkap

para nelayan dilaporkan meningkat. Sehingga

indikator Nilai Tukar Nelayan di beberapa

provinsi wilayah KTI juga memperlihatkan

perbaikan.

Potensi penyediaan bahan baku secara melimpah bagi industri berbasis perikanan (Value Chain Industry) memberikan peluang besar bagi KTI untuk menjadi bagian dari Rantai Nilai Global Perikanan Dunia.

Saat ini peran Indonesia dalam rantai nilai global

perikanan dunia adalah sebagai pemasok/input

bahan baku (raw fish), dengan tujuan utama ke

Thailand, Tiongkok, Jepang dan US. Empat negara

tersebut berperan sebagai processor atau

pengolah inputan raw material tersebut, dengan

pembeli utama adalah negara US, Eropa, Jepang

dan Tiongkok. Sebagai pengolah bahan mentah,

pengolahan pada masing-masing negara tersebut

menghasilkan produk dengan nilai tambah yang

lebih tinggi.

Pengolahan lebih lanjut sebagaimana negara-

negara tersebut dapat menjadi peluang bagi

industri perikanan di Indonesia. Udang yang

sebagian besar disuplai dari Indonesia ke

Thailand dan Jepang, diolah menjadi frozen

breaded shrimps dengan nilai tambah >300%.

Pengolahan tuna segar menjadi tuna fillet,

sebagaimana yang dilakukan US dan Jepang

terhadap ekspor tuna Indonesia, akan

memberikan nilai tambah yang cukup signifikan

yaitu >200%9.

Selain itu, komoditas ekspor rumput laut memiliki

begitu banyak potensi produk turunan. Rumput

laut Indonesia telah menjadi input utama

produksi karagenan di Tiongkok. Nilai tambah

olahan rumput laut ini bisa mencapai >300%,

9 Sumber: Kementerian Kelautan Perikanan

Boks 4

Page 78: Laporan Nusantara Agustus 2016.pdf (11,77 MB)

70

digunakan untuk bahan makanan dan memiliki

demand yang cukup tinggi dari Eropa dan US.

Karakteristik industri olahan ketiga produk

tersebut, yang menggunakan banyak input

tenaga kerja, menghasilkan kesempatan kerja

yang lebih besar dan tingkat kesejahteraan yang

lebih baik.

Pengembangan industri perikanan di Bitung,

Sulawesi Utara, dengan produk utama berupa

ikan kaleng yang kemudian diekspor ke US, Eropa

dan Arab, telah cukup berhasil. Namun demikian,

skala ekonomi industri perikanan di Bitung ini

masih jauh tertinggal dibandingkan negara peers

seperti Thailand, Filipina, dan Tiongkok.

Ironisnya, ketidakpastian pasokan bahan baku

menjadi salah satu kendala industri perikanan

untuk mencapai skala ekonomi yang lebih besar,

termasuk di Bitung.

Peningkatan kapasitas produksi perikanan

segar dan pengembangan industri masih

terkendala secara struktural.

Kendala struktural industri perikanan terutama

disebabkan oleh ketidakpastian bahan baku

sebagai akibat minimnya infrastruktur

pendukung, diantaranya:

1. Keterbatasan dan tidak meratanya pelabuhan

perikanan terutama di wilayah Fishing

Ground.

2. Keterbatasan jumlah dan belum optimalnya

pemanfaatan cold storage akibat terbatasnya

kapasitas listrik.

3. Keterbatasan jumlah Unit Pengolahan Ikan

(UPI) yang bersertifikasi. Dari jumlah 12.022

unit UPI yang ada di KTI, baru 348 unit atau

2.89% UPI yang memiliki Sertifikat Kelayakan

Pengolahan (SKP).

4. Keterbatasan kuantitas dan kualitas sumber

daya manusia sektor perikanan. Hal ini

tercermin dari minimnya jumlah sekolah

perikanan di KTI dan kecilnya pangsa tenaga

kerja di sektor perikanan yang hanya berkisar

3% - 5% , lebih kecil dari pangsa PDRB sektor

perikanan yang berada di kisaran 12,5%.

5. Keterbatasan pembiayaan yang antara lain

karena keengganan perbankan menyalurkan

kredit ke sektor perikanan karena dianggap

lebih berisiko. Faktor permodalan ini

menyebabkan sulitnya UMKM perikanan

dalam melakukan pengembangan usaha.

Upaya Peningkatan Sektor Perikanan KTI

Peningkatan sektor perikanan di KTI perlu diawali

dengan perbaikan infrastruktur dasar sebagai

enabler terutama pasokan energi listrik,

pelabuhan perikanan, serta sarana penyimpanan

berikut manajemen pengelolaannya. Lebih jauh,

adopsi pola budidaya komoditas bernilai tinggi

sebagaimana yang dikembangkan di negara

sentra perikanan seperti Thailand, yang memiliki

budidaya udang berproduktivitas tinggi, akan

mampu meningkatkan produktivitas produksi

udang di Indonesia. Dengan peningkatan

produktivitas, ekspor perikanan KTI diprakirakan

mampu meningkat hingga 228% atau senilai USD

1,82 miliar.

Upaya pengembangan perikanan bernilai tinggi

juga dapat mencontoh negara yang telah berhasil

melakukannya, seperti Norwegia. Norwegia

merupakan negara penghasil Salmon (komoditas

bernilai tinggi) terbesar di dunia. Pada tahap

awal, pemerintah Norwegia secara aktif

memberikan subsidi baik pada industri

perkapalan penangkap ikannya maupun kepada

industri perikanan, terutama untuk menyerap

kemungkinan kelebihan suplai ikan di pasar.

Kebijakan pemerintah tersebut secara bertahap

membantu meningkatkan produksi dan skala

ekonomi para produsen sehingga menambah

kepercayaan perbankan untuk memberikan

bantuan pembiayaan pada sektor perikanan.

Page 79: Laporan Nusantara Agustus 2016.pdf (11,77 MB)

71

Untuk menuju perekonomian Indonesia yang tumbuh berkelanjutan, Bank Indonesia terus berupaya

mendorong dilakukannya reformasi struktural, diantaranya berupa Peningkatan Daya Saing

Industri, Maritim dan Pariwisata. Terkait dengan sektor maritim, Indonesia saat ini masih belum

memperoleh manfaat optimal baik dari bidang Perkapalan, Pelayaran, Perikanan, maupun

Pariwisata khususnya Pariwisata Bahari, dan bidang maritim lainnya. Persistensi defisit Neraca Jasa

Indonesia menjadi indikator utama masih rendahnya daya saing sektor maritim khususnya

pelayaran Indonesia yang juga terkait dengan kinerja industri perkapalan dan bidang maritim

lainnya. Setiap bidang memiliki permasalahan yang umumnya terkait dengan lemahnya

infrastruktur pendukung. Namun, keterkaitan permasalahan antar bidang di sektor Maritim sangat

tinggi sehingga membutuhkan sinergi kebijakan pembangunan infrastruktur maritim yang

integratif, tidak parsial, terencana, lintas sektoral dan kementerian yang mencakup industri

perkapalan, pelayaran, perikanan, pariwisata, kelembagaan pendukung dan kapasitas SDM

maritim. Dari hasil asesmen, upaya pembenahan sektor maritim perlu fokus dan dimulai dari

pembenahan bidang perkapalan, sebagai tulang punggung pengembangan bidang maritim lainnya.

Usulan kebijakan yang utama adalah implementasi kebijakan satu peta, satu disain kapal (one map,

one ship design policy). Kebijakan utama tersebut harus dibarengi dengan pengembangan

konektivitas antar daerah dengan dukungan infrastruktur logistik yang berperan sebagai

pengumpul dan pengumpan, pengembangan industri dan komoditas unggulan daerah yang

mendukung terciptanya volume perdagangan dan pelayaran yang dapat memenuhi skala ekonomi,

serta skema insentif untuk mendukung industri perkapalan domestik dan komponennya. Sementara

untuk mendukung sektor pariwisata diperlukan penguatan implementasi kebijakan kemudahan

kunjungan wisata, pengembangan wilayah terkait pariwisata dan promosi serta paket

kepariwisataan yang terintegrasi dalam jaringan internasional.

Potensi Sektor Maritim Menjadi Penggerak Ekonomi Regional

Mayoritas perdagangan dunia dilakukan melalui

laut dan Asia Pasifik menjadi bagian Penting di

dalamnya. Untuk mencapai perkonomian

Indonesia dapat tumbuh berkelanjutan, kuat, dan

inklusif, maka diperlukan langkah-langkah

kebijakan yang bersifat struktural. Bank Indonesia

memandang perlunya reformasi struktural pada 4

bidang, yaitu (1) Penguatan Ketahanan Pangan,

Energi dan Air; (2) Peningkatan Daya Saing

Industri, Maritim dan Pariwisata; (3) Penguatan

Basis Pembiayaan Pembangunan; dan (4)

Penguatan Ekonomi Inklusif. Khusus terkait

dengan reformasi struktural poin 2, kinerja sektor

maritim Indonesia masih memiliki gap yang lebar

antara potensi dan realisasinya.

Page 80: Laporan Nusantara Agustus 2016.pdf (11,77 MB)

72

Gambar VI.1. Percepatan Infrastruktur Maritim untuk Mendukung Pertumbuhan Ekonomi Berkelanjutan dan

Peningkatan Kepariwisataan

Secara faktual, lebih dari 90% perdagangan

barang dunia ditransportasikan melalui jalur laut.

Demikian halnya perdagangan barang di Asia dan

Pasifik, yang memiliki porsi 70% dari total dunia,

lebih dari 75% dilakukan melalui jalur

transportasi laut (Gambar VI.1). Hampir setengah

(45%) dari transaksi tersebut melalui Alur Laut

Kepulauan Indonesia (ALKI)10

, terutama ALKI 1

(satu), yang berada di wilayah Selat Malaka

(Gambar VI.2). Pergeseran poros dunia dari

Atlantik ke Asia-Pasifik membuat peran ekonomi

maritim di kawasan Asia-Pasifik menjadi semakin

penting.11

Indonesia, yang merupakan negara

kepulauan terbesar di dunia dengan garis pantai

terpanjang kedua di dunia, serta menjadi tempat

pertemuan beberapa lempeng patahan, sangat

berpotensi menjadi negara maritim yang kuat

bukan saja dari aspek perdagangan dunia namun

juga dari aspek sumber daya perikanannya.

Potensi Indonesia menjadi Poros Maritim Dunia

sangat besar. Tekad Pemerintah sekarang untuk

menjadikan Indonesia sebagai “Poros Maritim

Dunia”, memiliki peluang yang kuat, ditilik dari

10

UNCTAD (2012) 11

Dahuri (2016)

posisi strategis geografis Indonesia yang menjadi

bagian dari jalur laut perdagangan dunia. Tekad

tersebut perlu diberi fondasi yang kokoh berupa

infrastruktur maritim (hard dan soft), kebijakan

integratif, serta dukungan pembiayaan.12

Masing-

masing bidang yang termasuk dalam sektor

maritim memiliki potensi dan tantangannya

sendiri.

Sumber: Kementerian Perdagangan

Gambar VI.2. Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI)

Kontribusi sektor Perikanan dalam

perekonomian masih berpotensi besar untuk

ditingkatkan. Kontribusi sektor maritim non-

migas Indonesia hanya sekitar 4%, masih jauh

12

Mempertimbangkan juga hasil Rapat Koordinasi

Pemerintah Pusat-Pemerintah Daerah dan Bank Indonesia, Mei 2015.

Page 81: Laporan Nusantara Agustus 2016.pdf (11,77 MB)

73

lebih rendah dibandingkan negara lain seperti

Tiongkok (45%) dan Belanda (21%) (Grafik VI.1).

Kontribusi sektor perikanan terhadap PDB selama

ini juga masih rendah, yaitu sekitar 2,5%;

meskipun cenderung meningkat dari tahun ke

tahun (Grafik VI.2). Pangsa ekspor perikanan

Indonesia juga relatif rendah, yaitu sekitar 4,5%

terhadap total ekspor non-migas (Grafik VI.3).

Menurut salah satu hasil studi, potensi output

perikanan Indonesia dapat mencapai sekitar

USD140 milyar13

.

Sumber: FAO, diolah

Grafik VI.1. Kontribusi Sektor Maritim Indonesia terhadap PDB

Sumber: BPS, diolah

Grafik VI.2. Kontribusi Sektor Perikanan

13

Berdasarkan informasi dari Kementerian KKP atas dasar

Diposaptono (2016). Bahkan ada yang memperhitungkan potensi perikanan hingga jauh lebih tinggi (Dahuri, 2016).

Kurang optimalnya pemanfaatan sektor

perikanan mengakibatkan kemiskinan nelayan

yang persisten dan lebih parah dibandingkan

kemiskinan petani. Walaupun nilai tukar nelayan

terus menunjukkan peningkatan (Grafik VI.4),

namun pendapatan per kapita nelayan ternyata

lebih rendah daripada pendapatan per kapita

petani (Grafik VI.5). Hal tersebut diakibatkan

antara lain karena kurangnya kemampuan

menangkap ikan, baik dari sisi kapal maupun alat

tangkapnya, akses keuangan nelayan yang relatif

terbatas sehingga sangat rentan terhadap

terjadinya guncangan keuangan, serta kurangnya

pemberdayaan nelayan dan keluarganya untuk

mengolah hasil tangkapan perikanan.

Sumber: BPS, diolah

Grafik VI.3. Porsi Ekspor Perikanan terhadap Ekspor Non-Migas

Sumber: BPS, diolah

Grafik VI.4. Nilai Tukar Petani & Nelayan

Page 82: Laporan Nusantara Agustus 2016.pdf (11,77 MB)

74

Sumber: BPS, diolah

Grafik VI.5. Pendapatan Per Kapita Petani & Nelayan

Sementara itu, sektor Pariwisata Indonesia juga

menyimpan potensi yang begitu besar untuk

dikembangkan. Pemerintah telah menargetkan

jumlah wisatawan mancanegara (wisman)

sebanyak 20 juta orang pada 2019, dan 4 juta

orang diantaranya merupakan wisman pariwisata

bahari. Kenaikan target yang signifikan jika

dibandingkan jumlah kunjungan wisman 2015

sebesar 8,4 juta orang tersebut merupakan

tantangan yang relevan jika dikaitkan dengan

potensinya. Peningkatan pariwisata dapat dilihat

antara lain dari jumlah wisatawan mancanegara

yang terus meningkat signifikan sejak 2012.

Keindahan pantai, laut dan budaya Indonesia

yang begitu beragam merupakan obyek wisata

bahari yang dapat dikembangkan dan diminati

oleh banyak wisatawan mancanegara.

Pengembangan Pariwisata Bahari perlu

diperkuat secara integratif dengan

pengembangan sektor maritim dan

pemberdayaan masyarakat lokal. Tanpa

keikutsertaan dan pemberdayaan masyarakat

setempat, keberhasilan suatu daerah menjadi

tempat destinasi turis tidak akan berdampak

banyak bagi peningkatan kesejahteraan disana.

Salah satu program yang bisa digagas dalam

kerangka ini adalah pengembangan “home stay”

serta pemberdayaan kerajinan lokal. Konsepnya

adalah dengan biaya yang relatif terjangkau, turis

dapat menikmati keindahan alam setempat

dengan memanfaatkan tempat tinggal di

perumahan yang telah diberdayakan sebagai

fasilitas destinasi turis. Contoh keberhasilan

program ini misalnya program “home stay” di

Banyuwangi. Beberapa hambatan struktural

yang harus dibenahi dalam pengembangan

pariwisata bahari diantaranya: (1) Perizinan

terkait pembangunan destinasi turis dan fasilitas

terkait; (2) Pembiayaan untuk pemberdayaan

masyarakat setempat untuk penerimaan turis,

kerajinan lokal dan fasilitas tempat tinggal yang

aman dan nyaman; (3) Pembangunan

konektivitas wilayah destinasi turis; serta (4)

masuknya destinasi turis dimaksud sebagai

bagian dari jaringan pasar wisata internasional

atau paket wisata nasional dan internasional.

Sumber: BPS, diolah

Grafik VI.6. Jumlah Wisatawan Mancanegara

Defisit Neraca Jasa cenderung persisten yang terutama disebabkan defisit Jasa Transportasi Laut

Jasa Pelayaran Indonesia yang meliputi jasa

perkapalan, angkutan laut internasional, dan

asuransi lebih banyak dikuasai pihak asing.

Dalam jasa pelayaran internasional Indonesia,

perusahaan domestik hanya menguasai sekitar

5% sementara sisanya (95%) dikuasai asing.

Akibat banyaknya impor kapal dan penggunaan

galangan kapal asing untuk reparasi, maka

transaksi jasa ke non residen cukup besar. Selain

itu, sekitar 87% pangsa asuransi pelayaran,

terutama asuransi pelayaran internasional untuk

perdagangan internasional Indonesia juga

dikuasai pihak asing.

Walaupun neraca barang masih positif, namun

penguasaan asing atas moda transportasi laut

khususnya pelayaran internasional Indonesia

Page 83: Laporan Nusantara Agustus 2016.pdf (11,77 MB)

75

mengakibatkan defisit neraca jasa yang cukup

besar mencapai USD8,3 milyar pada tahun 2015

(Grafik VI.7 dan Grafik VI.8).

Sumber: NPI, diolah

Grafik VI.7. Neraca Barang Indonesia

Sumber: NPI, diolah

Grafik VI.8. Neraca Jasa Indonesia

Sumber: NPI, diolah

Gambar VI.3. Jalur Ekspor Indonesia

Hampir seluruh ekspor Indonesia diangkut oleh

armada asing ke Singapura atau Malaysia

sementara armada Indonesia berfungsi sebagai

feeder (Gambar VI.3). Sementara itu, impor

Indonesia juga diangkut oleh armada asing

melalui Singapura atau Malaysia (Gambar VI.4).

Sumber: NPI, diolah

Gambar VI.4. Jalur Impor Indonesia

Sumber: NPI, diolah

Gambar VI.5. Sumber Defisit Neraca Jasa Indonesia

Secara lebih spesifik, defisit neraca jasa

Indonesia disebabkan oleh beberapa hal utama,

yaitu Perusahaan Pelayaran yang menggunakan

jasa asing jasa docking kapal di galangan asing,

penggunaan asuransi asing, serta sewa

penggunaan peralatan pelabuhan dari luar negeri

(Gambar VI.5). Jasa asing yang digunakan

perusahaan pelayaran meliputi jasa pelayaran

asing pada kegiatan ekspor-impor Indonesia,

sewa kapal dan kontainer asing pada pelayaran

domestik serta penggunaan tenaga kerja asing.

Penguatan Industri Jasa Pelayaran

Saat ini, industri pelayaran dihadapkan pada

sejumlah permasalahan infrastruktur antara

lain: (1) Kapasitas pelabuhan yang relatif terbatas

baik dari kedalaman, dermaga maupun fasilitas

pendukung yang tersedia; (2) Kapasitas galangan

dan ketersediaan komponen pendukung kapal

Page 84: Laporan Nusantara Agustus 2016.pdf (11,77 MB)

76

baik untuk pembangunan baru maupun untuk

kegiatan reparasi; (3) Rendahnya produktivitas

bongkar muat akibat birokrasi kelembagaan,

ketrampilan buruh bongkar-muat dan dwelling

time yang relatif lama; (4) Ketidaktersediaan

muatan yang berimbang yang mengakibatkan

terjadinya empty backhaul (muatan kosong arah

sebaliknya) dan membuat biaya angkut lebih

mahal; (5) Kurangnya daya saing perusahaan

pelayaran domestik akibat kapal yang relatif tua,

ketentuan internasional yang tidak diratifikasi,

dan pembiayaan maupun asuransi yang lebih

mahal; serta (6) Kurangnya ketersediaan Sumber

Daya Manusia yang handal seperti pelaut,

syahbandar, tenaga ahli forwarder dan

sebagainya.

Sumber: Supply Chain Indonesia (2016) dan Drewry (2012)

Gambar VI.9. Kedalaman Pelabuhan di Indonesia dan Kargo yang Dibawa serta Distribusi Armada Domestik berdasarkan Ukuran

Kapasitas pelabuhan relatif masih kurang

terutama dari sisi kedalamannya. Seiring dengan

perkembangan perdagangan dunia yang

mendorong penggunaan kapal-kapal berukuran

relatif lebih besar, kedalaman pelabuhan (draft)

menjadi syarat utama yang harus dipenuhi

disamping ketersediaan fasilitas bongkar-muat

yang lebih baik dan jumlah dermaga yang

mencukupi. Kurang dalamnya pelabuhan

menyebabkan hanya kapal-kapal berukuran

relatif kecil (< 3000 TEUs) yang dapat bersandar

dan melakukan bongkar-muat di pelabuhan

(Gambar VI.9).14

Dibandingkan dengan negara

lain, kepemilikan kapal-kapal oleh perusahaan

Indonesia lebih terfokus pada kapal-kapal

berukuran kecil sehingga kurang dapat bersaing

secara internasional. China, India bahkan

14

TEUs adalah Twenty Cubics Equivalent Units yang

merupakan ukuran banyaknya Kargo yang dapat dibawa oleh suatu kapal.

Malaysia yang bukan merupakan negara

kepulauan relatif saja memiliki armada kapal

berukuran besar lebih banyak dibandingkan

Indonesia.

Rata-rata kedalaman pelabuhan di Indonesia

hanya berkisar antara 9–10 meter yang

menyebabkan tidak efisiennya biaya transportasi

antar wilayah yang diakibatkan oleh lebih

banyaknya frekuensi angkutan yang diperlukan

untuk melayani kebutuhan suatu wilayah. Kurang

dalamnya pelabuhan-pelabuhan serta fasilitas

terkait bongkar-muat dan parkir kapal terutama

pada lokasi strategis di Indonesia menjadi salah

satu faktor utama yang mengakibatkan kurang

dapat bersaingnya pelabuhan-pelabuhan

tersebut, meski secara lokasi telah sangat

strategis. (Grafik VI.10).

Page 85: Laporan Nusantara Agustus 2016.pdf (11,77 MB)

77

Sumber: Supply Chain Indonesia, diolah

Grafik VI.10. Rata-Rata Kedalaman Pelabuhan di Indonesia dan Ukuran Kapal Maksimum

Hanya kapal berukuran yang relatif kecil yang

dapat berlabuh dan bersandar serta melakukan

kegiatan bongkar-muat secara cukup efisien.

Akibatnya, perusahaan pelayaran domestik juga

melakukan penyesuaian terhadap kemampuan

pelabuhan, sehingga sebagian besar armada

kapal Indonesia saat ini lebih banyak dikuasai

oleh kapal-kapal berukuran kecil (Tabel VI.1).

Tabel VI.1. Besaran Fleet Indonesia

Sumber: Hasil Simulasi RisetNeraca Jasa DKEM, Bank

Indonesia, forthcoming

Terbatasnya kapasitas galangan kapal domestik

dalam memenuhi permintaan pembuatan dan

perbaikan kapal mengakibatkan lebih

diminatinya galangan kapal asing (Grafik VI.11).

Permintaan pembuatan kapal kepada galangan

kapal domestik sering terbentur keterbatasan

industri komponen kapal di tengah tantangan bea

masuk impor komponen kapal. Di sisi reparasi

kapal, hal tersebut membuat waktu tunggu kapal

di galangan domestik mencapai 2-3 bulan.

Keterbatasan galangan kapal domestik bukan saja

dari sisi jumlah namun juga dari kemampuan

besar kapal yang dipenuhi dan ketersediaan

komponen pendukung. Hal ini menyebabkan

industri galangan kurang kompetitif dibanding

industri galangan asing.

Sumber: Maritime Industry of Tomorrow, 2016

Grafik VI.11. Terbatasnya Galangan Kapal Domestik

Di sisi lain, penerapan asas Cabotage

memberikan hasil yang positif. Kebijakan

pemerintah untuk mewajibkan penggunaan kapal

berbendera nasional dalam pelayaran domestik

sejauh ini memberikan hasil yang positif. Armada

pelayaran nasional mengalami peningkatan lebih

dari dua kali lipat dibandingkan tahun 2005

(Tabel VI.2). Jumlah muatan kapal (dalam DWT)

mengalami peningkatan lebih dari tiga kali lipat

yaitu dari hanya 3,66 juta DWT pada 2005

menjadi lebih dari 12 juta DWT pada 2013. Tren

positif dari penerapan asas Cabotage telah

memberikan keyakinan yang besar bagi industri

pelayaran nasional untuk lebih meningkatkan

Page 86: Laporan Nusantara Agustus 2016.pdf (11,77 MB)

78

perannya di jasa pelayaran internasional (beyond

cabotage).

Namun demikian, penerapan azas Cabotage juga

masih menyimpan sejumlah permasalahan,

antara lain: ketidakselarasan antara bendera

kapal dengan nama kapal misalnya kapal dengan

nama Indonesia namun berbendera asing, kapal

dengan nama asing namun berbendera Indonesia

ataupun kapal dengan nama sama namun

berbendera beberapa negara.

Sumber: OJK, International Union of Marine Insurance, CEIC,

diolah

Grafik VI.12. Pangsa Asuransi Nasional

Sementara itu, Undang-Undang No.17 Tahun

2008 tentang pelayaran, yang mewajibkan

pengasuransian muatan kapal, telah berhasil

mendorong aktivitas bisnis asuransi pelayaran.

Namun, beberapa kendala yang dihadapi

perusahaan asuransi domestik mengakibatkan

pasar asuransi muatan pelayaranan saat ini lebih

dikuasai oleh asing. Pendapatan premi asuransi

nasional untuk kelas Marine Cargo dan Marine

Hull mengalami peningkatan sejalan dengan

penerapan azas Cabotage yang meningkatkan

jumlah kapal nasional berikut muatannya.

Pangsa asuransi nasional masih relatif rendah,

yaitu hanya 30,6% pada tahun 2014 (Grafik

VI.12). Hal ini diakibatkan antara lain oleh (i)

pengiriman barang ekspor dalam bentuk FoB

(Free on Board) yang artinya asuransinya

ditentukan oleh Pembeli yang cenderung

menggunakan asuransi asing serta (ii) relatif

tingginya premi asuransi maritim domestik.

Sebagai gambaran, premi asuransi maritim di

Singapura dan Malaysia masing-masing hanya

0,01% dan 0,05%, sementara Indonesia mencapai

0,12%.

Tingginya premi asuransi maritim domestik

disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain (i)

klasifikasi dan umur armada kapal nasional yang

sebagian besar relatif sudah tua, dengan rata-

rata umur di atas 20 tahun, serta (ii) tingkat risiko

negara Indonesia yang masih dipandang cukup

tinggi terutama terkait dengan angkutan laut.

Tingkat risiko yang lebih tinggi terutama terkait

dengan anggapan keamanan di perairan

Indonesia yang rendah, tercermin dari jumlah

kejadian dan percobaan pembajakan kapal di

perairan Indonesia yang jauh lebih tinggi

dibandingkan negara di kawasan (Tabel VI.3).

Tabel VI.2. Perkembangan Armada Kapal (dalam juta DWT)

Sumber: Review of Maritime Transport, UNCTAD (2005 –

2013)

Tabel VI.3. Jumlah Kasus Upaya Pembajakan Kapal

Sumber: 2015 Annual IMB Piracy Report

Strategi Kebijakan Pembangunan Maritim Terintegrasi

Pengembangan sektor Maritim dalam negeri

harus terus diupayakan dan didukung secara

sinergis oleh berbagai kebijakan lintas sektoral.

Di berbagai negara maju, kebijakan di sektor

maritim terutama menyangkut industri

perkapalan dan industri pelayaran domestik

didukung sangat kuat oleh kebijakan Pemerintah

Page 87: Laporan Nusantara Agustus 2016.pdf (11,77 MB)

79

dalam bentuk pemberian insentif dan dukungan

kebijakan yang mewajibkan pemesanan dan

penggunaan kapal produksi dalam negeri.

Industri perkapalan diperlakukan sebagai industri

infrastruktur, sebagai tulang punggung untuk

pengembangan industri maritim lainnya

(pelayaran, perikanan, dan pariwisata).

Sejalan dengan kecenderungan penggunaan

kapal berukuran besar untuk perdagangan dunia,

maka persoalan ketidak-seimbangan muatan

tidak saja dialami oleh negara yang belum maju

industri pelayarannya, namun juga dialami oleh

negara-negara maju. Apabila tidak diatur, maka

ketidakseimbangan muatan akan mendorong

perusahaan pelayaran untuk melakukan

potongan biaya yang begitu besar bahkan lebih

kecil daripada biaya operasinya untuk

mendapatkan muatan pada arah sebaliknya.

Praktik-praktik seperti ini jelas akan sangat

merugikan perusahaan pelayaran domestik yang

menjadi pesaing perusahaan internasional

terkait. Secara skala ekonomi, penggunaan kapal-

kapal besar memang dapat menghemat biaya

transportasi laut per DWT-nya (Gambar VI.6).

Sumber: http://www.eurans.com.ua, diolah

Gambar VI.6. Kecenderungan Pembangunan Kapal Berukuran Besar

Sebagai negara kepulauan dengan alur laut yang

begitu panjang dan besar, Indonesia secara

natural dapat menjadi lahan yang subur bagi

berkembangnya industri pelayaran. Jumlah

penduduk yang besar di samping lokasinya yang

strategis akan menciptakan permintaan yang

besar terhadap jasa pelayaran. Hal ini pada

gilirannya memungkinkan industri pelayaran

untuk hidup dan bahkan mampu menghidupkan

industri perkapalan dan galangan kapal.

Pengembangan industri perkapalan dengan

tingkat kompleksitasnya yang tinggi akan

membawa dampak lanjutan yang besar bagi

perkembangan industri lainnya, mulai dari

industri besi baja yang menyuplai bahan bakunya

sampai dengan industri jasa transportasi laut dan

perikanan serta pariwisata yang memanfaatkan

kapal-kapal dimaksud untuk kegiatan transportasi

penumpang dan barang, penangkapan ikan serta

wisata bahari.

Pengembangan sektor maritim terintegrasi yang

dimulai dari penguatan industri perkapalan dan

pelayaran domestik, serta ditunjang oleh

kemampuan Sumber Daya Manusia yang handal

akan mampu memberikan keunggulan

komparatif bagi Indonesia sejalan dengan potensi

besar yang dimilikinya dalam bidang maritim

(Gambar VI.7). Pemanfaatan kapal-kapal produksi

dalam negeri untuk jasa pelayaran akan dapat

lebih menurunkan defisit neraca jasa dibanding

sebaliknya jika kita membeli atau menyewa

kapal-kapal asing dalam jasa pelayaran Indonesia.

Simulasi menunjukkan penggunaan kapal

produksi dalam negeri akan lebih besar

dampaknya dalam menurunkan defisit neraca

jasa. Setiap 1% penambahan jumlah armada

kapal yang berasal dari produksi domestik, akan

mampu menurunkan defisit neraca jasa sebesar

0,14%. Sementara apabila menggunakan kapal-

kapal impor, hanya mampu menurunkan defisit

neraca jasa sebesar 0,09%.15

15

Hasil Simulasi Model Bank Indonesia, dengan jumlah kapal

saat ini hampir mencapai 1598 kapal maka 1% penambahan itu sekitar 16 kapal.

Page 88: Laporan Nusantara Agustus 2016.pdf (11,77 MB)

80

Gambar VI.7. Pembangunan Maritim Terintegrasi

Pengembangan Industri Perkapalan, Galangan Kapal dan Industri Pelayaran Domestik Menjadi Prioritas

Pengembangan industri perkapalan dan

galangan kapal perlu menjadi prioritas. Sesuai

RPJMN, pengembangan industri perkapalan

diarahkan untuk dapat membangun kapal dengan

bobot 200.000 DWT16

pada 2020 dan 300.000

DWT pada 2025. Namun demikian, hingga saat

ini, pembangunan kapal dengan bobot 50.000

DWT masih terkendala (Gambar VI.8).

Sebagaimana di semua negara yang memiliki

industri perkapalan yang maju, keberhasilan

pembangunan industri perkapalan tidak dapat

berjalan sendiri tanpa dukungan kuat dari

kebijakan pemerintah. Kebijakan pemesanan

kapal produksi domestik, perbaikan kapal di

galangan kapal domestik serta kemudahan

perizinan dan insentif fiskal di industri perkapalan

dan pendukungnya menjadi faktor utama yang

tidak dapat dipisahkan dari keberhasilan industri

perkapalan domestik.

Sebagaimana Malaysia dan Singapura,

pembangunan pelabuhan yang berhasil tidak

saja membutuhkan syarat teknis dan fasilitas

yang memadai, namun juga kawasan industri

untuk menopangnya. Keberhasilan Malaysia dan

Singapura dalam membangun pelabuhan

16

DWT (Dead Weight Tonnage) adalah ukuran besarnya

kargo yang dapat diangkut oleh kapal di luar berat kapal itu sendiri.

berskala internasional yang menjadi alternatif

hub di Selat Malaka bukan saja didorong oleh

pemenuhan syarat teknis dan fasilitas pelabuhan,

namun juga dukungan kawasan industri yang

dinamis di belakangnya yang berfungsi sebagai

pengisi volume perdagangan di pelabuhan

internasional yang dibangun. Bahkan, Singapura

yang sukses membangun pelabuhan hub besar,

memfokuskan diri dalam membangun suatu

ekosistem maritim dan pelayanan pelabuhan

yang memungkinkan terjadinya perdagangan

secara efisien dalam skala ekonomi yang

memadai.

Sumber: Kementerian Perindustrian, diolah

Gambar VI.8. Roadmap Perkapalan Nasional

Page 89: Laporan Nusantara Agustus 2016.pdf (11,77 MB)

81

Sumber: http://www.globalsecurity.org dan sumber lain, diolah

Gambar VI.9. Kedalaman Pelabuhan Indonesia, Malaysia dan Singapura

Secara teoritis, ada tiga hal yang harus dipenuhi

dalam membangun suatu ekosistem pelabuhan

dan maritim, yaitu lokasi yang strategis,

ketersediaan infrastruktur dan volume

perdagangan yang memadai (Gambar VI.10).

Terhadap tiga hal tersebut, Indonesia berpotensi

memiliki semuanya: lokasi, infrastruktur dan

volume. Lokasi strategis terdapat di beberapa

wilayah Indonesia di sebelah Barat dengan Selat

Malaka dan di sebelah Timur di wilayah perairan

Sulawesi dan Maluku. Pembangunan

infrastruktur membutuhkan kesungguhan

Pemerintah dan desain yang baik tidak saja dari

sisi teknis namun juga jaringan pengelola

pelabuhan. Dari sisi volume perdagangan,

sebagai negara yang besar, pemenuhan

kebutuhan ekspor impor antar daerah saja sudah

sangat besar, apalagi jika turut mempertimbangkan

bergabungnya beberapa perusahaan pelayaran

internasional dalam pengelolaan pelabuhan.

Sumber: Jean-Paul Rodrigue dalam The Geography of Transport Systems (2013)

Gambar VI.10. Kedalaman Pelabuhan Indonesia, Malaysia dan Singapura

Kawasan industri sangat diperlukan untuk

memenuhi volume perdagangan yang

dibutuhkan pada pelabuhan internasional.

Selain itu, pemetaan arus perdagangan yang

menyeluruh dan lengkap terhadap setiap wilayah

di Indonesia (one map policy) juga diperlukan

agar dapat dibangun simpul-simpul logistik yang

memungkinkan terjadinya proses pengumpulan

dan transportasi antar wilayah dengan volume

Page 90: Laporan Nusantara Agustus 2016.pdf (11,77 MB)

82

perdagangan yang memadai untuk menghindari

terjadinya empty backhaul. Dalam hal ini, peran

informasi serta sinergi kebijakan antar industri

dan wilayah sangat dibutuhkan untuk

mendukung penguatan pelayaran nasional.

Pembangunan pelabuhan internasional tanpa

dukungan industri pengisi tidak akan dapat

bertahan dan berkelanjutan.

Rekomendasi Sinergi Kebijakan Pengembangan Sektor Maritim bagi Pertumbuhan Ekonomi Berkelanjutan dan Peningkatan Kepariwisataan

Berdasarkan asesmen dan koordinasi dengan

para stakeholder yang telah dilakukan terhadap

isu reformasi struktural di sektor maritim yang

terintegrasi, terdapat tujuh rekomendasi sebagai

berikut:

Pertama, menerapkan kebijakan satu peta dan

satu desain kapal (one map and one ship design

policy) untuk mendukung berkembangnya

industri perkapalan sebagai backbone industri

maritim sehingga dapat memainkan perannya

sebagai fondasi pengembangan industri

perikanan, industri pelayaran, dan industri

pariwisata.

Kedua, mengintegrasikan strategi pengembangan

infrastruktur logistik dengan pengembangan

wilayah untuk mendukung konektivas antar

wilayah industri, permukiman, dan simpul-simpul

transportasi perdagangan ekspor-impor, antara

lain di dalam bentuk buku putih pengembangan

kemaritiman (Grand policy).

Ketiga, memperkuat sinergi dan strategi

kebijakan karena pengembangan maritim bersifat

lintas sektor dan lintas kementerian yang

mencakup perkapalan, pelayaran, perikanan, dan

pariwisata.

Keempat, memperkuat asas cabotage dengan

penerapan program beyond cabotage secara

bertahap, termasuk skema insentif fiskal yang

diperlukan, sebagai bagian dari upaya

mendorong industri pelayaran nasional dan

mengurangi defisit neraca jasa.

Kelima, memperkuat strategi pengembangan

industri dan komoditas unggulan daerah dan

nasional untuk mendukung pengembangan

industri maritim sehingga mampu saling mengisi

dengan mengoptimalkan kapasitas angkut

industri pelayaran.

Keenam, mempercepat peningkatan kualitas

infrastruktur kelembagaan melalui reformasi

birokasi, khususnya melalui implementasi

layanan publik dan sistem pemerintah berbasis

elektronik (e-government, e-budgeting), serta

peningkatan kapasitas Aparatur Sipil Negara

(ASN) di tingkat pusat dan daerah a.l. dengan

memfokuskan pendidikan kedinasan ke

pendidikan yang bersifat vokasional (misal:

pendidikan kemaritiman).

Ketujuh, untuk mendorong percepatan

pengembangan pariwisata, khususnya wisata

bahari, pemerintah berkomitmen akan: (1)

Mengintensifkan promosi pariwisata dan

sosialisasi penerbitan aturan mengenai

kemudahan kunjungan yacht dan cruise; (2)

Mempercepat deregulasi peraturan a.l. terkait

kemudahan kunjungan wisata menggunakan

private jet dan private helicopter; perizinan sea

plane yang beroperasi menghubungkan antar

pulau-pulau kecil; pengaturan pembangunan

Dermaga Marina; dan insentif fiskal untuk impor

yacht seperti kebijakan pengenaan PPN-BM; dan

(3) Mempercepat pengembangan aksesibilitas,

fasilitas, dan atraksi di sepuluh destinasi wisata

prioritas nasional dan tiga puluh destinasi

unggulan wisata bahari bersama dengan

Pemerintah Daerah, a.l. Natuna-Anambas

(Kepulauan Riau), Danau Toba (Sumatera Utara),

Mandeh (Sumatera Barat), dengan disertai

penguatan kebijakan pendukungnya seperti

pengembangan aksesibilitas Danau Toba yang

akan didukung oleh pembangunan Bandara Sibisa

yang dimulai sejak 2017 dan Tol Tebing Tinggi-

Siantar-Parapat.

Page 91: Laporan Nusantara Agustus 2016.pdf (11,77 MB)

83

Page 92: Laporan Nusantara Agustus 2016.pdf (11,77 MB)

84

I II III IV I II IIIp

PDRB (%,yoy) 4.6 3.5 3.0 3.1 4.6 3.5 4.2 4.5 4.6 4.3 - 4.7

Sisi Permintaan

Konsumsi Rumah Tangga 5.4 5.3 5.3 4.8 4.5 5.0 5.2 5.5 5.4 5.3 - 5.7

Konsumsi LNPRT 10.9 (3.5) (2.9) 6.0 8.7 2.0 6.4 5.2 4.4 5.0 - 5.4

Konsumsi Pemerintah 2.2 2.7 2.6 5.5 7.4 4.9 1.7 7.5 4.4 3.6 - 4.0

Pembentukan Modal Tetap Bruto 4.0 1.7 1.9 3.1 5.7 3.1 4.9 5.7 6.7 5.5 - 5.9

Ekspor (1.4) (0.5) (5.3) (6.4) 0.7 (3.0) (16.1) (19.3) (13.1) (15.4) - (15)

Impor (2.1) (4.2) (10.2) (8.5) 0.2 (5.7) (25.4) (31.2) (19.4) (24.0) - (23.6)

Net Ekspor 2.0 8.5 9.5 (2.7) (5.7) 2.7 (0.0) (8.4) (4.7) (4.8) - (4.4)

Sisi Produksi

Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan 5.1 5.4 2.5 0.7 6.2 3.6 3.7 4.2 4.6 4.1 - 4.5

Pertambangan dan Penggalian (1.5) (3.5) (2.4) (1.4) (3.8) (2.8) (0.8) (1.9) (1.3) (1.5) - (1.1)

Industri Pengolahan 4.6 1.8 3.1 4.3 5.8 3.8 4.7 3.7 4.7 4.3 - 4.7

Pengadaan Listrik dan Gas 7.6 6.0 1.7 2.1 3.4 3.3 8.3 11.9 9.2 9.0 - 9.4

Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah,

Limbah dan Daur Ulang5.0 5.2 6.1 4.2 3.9 4.9 3.3 3.3 3.8 3.8 - 4.2

Konstruksi 7.0 3.7 2.5 4.8 5.6 4.2 5.8 6.4 6.4 6.1 - 6.5

Perdagangan Besar dan Eceran, dan

Reparasi Mobil dan Sepeda Motor5.9 5.0 4.6 3.2 4.9 4.4 5.0 6.2 5.7 5.2 - 5.6

Transportasi dan Pergudangan 6.5 7.8 7.2 8.2 5.6 7.2 6.2 7.8 7.1 6.9 - 7.3

Penyediaan Akomodasi dan Makan

Minum7.7 7.9 6.5 7.3 8.9 7.7 7.6 8.2 8.3 7.9 - 8.3

Informasi dan Komunikasi 7.5 8.4 9.1 8.9 7.8 8.5 8.0 8.7 7.0 7.3 - 7.7

Jasa Keuangan dan Asuransi 3.7 4.8 0.9 5.4 6.1 4.3 6.1 9.0 5.0 6.4 - 6.8

Real Estate 6.6 5.5 5.5 5.8 6.3 5.8 4.9 5.5 6.2 5.3 - 5.7

Jasa Perusahaan 6.7 6.7 6.1 5.2 5.3 5.8 5.3 4.9 6.3 5.7 - 6.1

Administrasi Pemerintahan, Pertahanan

dan Jaminan Sosial Wajib6.1 5.9 7.8 6.7 8.3 7.2 5.4 9.5 6.4 6.5 - 6.9

Jasa Pendidikan 8.1 8.9 7.1 7.2 4.9 7.0 6.2 7.6 8.4 6.8 - 7.2

Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial 7.4 7.4 7.6 8.7 6.3 7.5 6.7 6.0 8.4 6.9 - 7.3

Jasa lainnya 6.7 7.2 7.8 7.5 7.6 7.5 6.0 5.7 6.7 6.3 - 6.7

Provinsi Aceh 1.5 (1.9) (2.1) (0.3) 1.4 (0.7) 3.6 3.5 3.5 3.1 - 3.5

Provinsi Sumatera Utara 5.2 4.8 5.1 5.1 5.3 5.1 5.0 5.7 5.3 5.2 - 5.6

Provinsi Sumatera Barat 5.9 5.5 5.5 4.9 5.7 5.4 5.5 5.8 5.8 5.6 - 6.0

Provinsi Riau 2.7 (0.0) (2.1) (1.4) 4.5 0.2 2.3 2.4 2.7 2.2 - 2.6

Provinsi Jambi 7.4 5.0 4.3 4.4 3.2 4.2 3.4 3.6 4.1 3.8 - 4.2

Provinsi Kepulauan Riau 6.6 6.8 6.7 5.4 5.2 6.0 4.5 5.4 5.8 5.3 - 5.7

Provinsi Sumatera Selatan 4.7 4.6 4.7 4.7 3.9 4.5 5.0 5.1 5.5 5.1 - 5.5

Provinsi Bengkulu 5.5 5.3 5.2 5.2 4.9 5.1 5.0 5.4 5.2 5.0 - 5.4

Provinsi Lampung 5.1 4.9 5.1 5.2 5.3 5.1 5.1 5.2 5.4 5.1 - 5.5

Provinsi Kep. Bangka Belitung 4.7 4.1 4.0 4.0 4.3 4.1 3.3 3.7 4.0 3.6 - 4.0

Inflasi IHK (%,yoy) 8.6 6.1 7.7 6.8 3.0 3.0 5.7 3.7 3.9 3.8 - 4.2

Provinsi Aceh 8.1 5.4 6.2 4.2 1.5 1.5 3.6 2.3 3.1 3.3 - 3.7

Provinsi Sumatera Utara 8.2 6.1 7.8 6.6 3.2 3.2 7.2 4.3 4.7 4.2 - 4.6

Provinsi Sumatera Barat 11.6 6.3 8.2 6.2 1.1 1.1 6.6 3.2 3.4 3.8 - 4.2

Provinsi Riau 8.6 6.2 7.4 5.7 2.6 2.6 4.4 1.9 3.1 3.7 - 4.1

Provinsi Kepulauan Riau 7.6 5.7 8.2 8.3 4.4 4.4 5.6 3.8 3.2 3.7 - 4.1

Provinsi Jambi 8.7 4.9 6.4 5.3 1.4 1.4 5.0 3.4 4.2 4.3 - 4.7

Provinsi Sumatera Selatan 8.5 6.3 7.5 7.0 3.1 3.1 5.1 4.4 4.4 3.7 - 4.1

Provinsi Bengkulu 10.9 7.7 9.9 8.6 3.3 3.3 5.9 5.5 3.7 3.9 - 4.3

Provinsi Lampung 8.1 6.6 8.2 7.7 4.3 4.3 5.3 3.2 3.9 3.6 - 4.0

Provinsi Kep. Bangka Belitung 9.0 6.7 6.9 7.3 3.3 3.3 5.5 6.2 3.7 3.8 - 4.2

Indikator Makroekonomi Daerah 20142015

20152016

2016p

Tahun Dasar 2010

Page 93: Laporan Nusantara Agustus 2016.pdf (11,77 MB)

85

I II III IV I II IIIp

PDRB (%,yoy) 5.57 5.26 5.15 5.51 5.87 5.45 5.32 5.73 5.80 5.6 - 6.0

Sisi Permintaan

Konsumsi Rumah Tangga 5.1 4.8 4.8 4.1 4.5 4.5 4.9 5.2 5.38 5.5 - 5.9

Konsumsi LNPRT 12.7 (11.8) (12.3) 4.5 5.9 (4.0) 6.1 6.3 5.36 6.1 - 6.5

Konsumsi Pemerintah 2.7 0.3 1.7 7.9 5.2 4.2 2.2 5.5 5.92 11.8 - 12.2

Pembentukan Modal Tetap Bruto 4.8 5.1 4.3 4.1 3.8 4.3 4.3 4.4 5.29 5.5 - 5.9

Ekspor 3.0 (1.5) (1.4) 0.6 (4.5) (1.7) 0.8 5.1 8.19 9.5 - 9.9

Impor 1.2 (5.0) (9.2) (9.0) (12.4) (9.0) (5.9) (4.6) 3.07 3.1 - 3.5

Net Ekspor Antar Daerah (4.1) 1.4 (5.0) (12.5) (30.9) (10.7) (5.2) (8.4) 12.72 (5.3) - (4.9)

Sisi Produksi

Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan 1.3 2.6 6.7 1.8 2.4 3.4 (0.7) 2.6

Pertambangan dan Penggalian 3.1 (0.2) 6.1 5.5 8.9 5.1 8.1 4.9 2.87 1.7 - 2.1

Industri Pengolahan 5.8 4.8 3.9 5.0 4.8 4.6 4.6 4.6 5.65 5.4 - 5.8

Pengadaan Listrik dan Gas 4.3 (5.4) (3.9) (3.3) (2.9) (3.9) 1.9 (0.4) 5.00 4.7 - 5.1

Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah,

Limbah dan Daur Ulang3.3 4.8 4.5 4.1 3.7 4.2 3.1 4.7 1.41 0.6 - 1.0

Konstruksi 5.5 4.9 3.8 5.0 5.6 4.8 3.9 4.2 5.76 4.7 - 5.1

Perdagangan Besar dan Eceran, dan

Reparasi Mobil dan Sepeda Motor4.5 4.3 4.3 4.1 4.0 4.2 4.9 5.0 5.59 4.6 - 5.0

Transportasi dan Pergudangan 8.7 8.7 9.1 8.2 6.6 8.1 7.9 7.4 5.30 4.9 - 5.3

Penyediaan Akomodasi dan Makan

Minum7.2 6.5 6.5 6.8 7.8 6.9 7.8 6.7 6.44 7.4 - 7.8

Informasi dan Komunikasi 11.0 10.0 10.1 9.5 9.5 9.8 9.9 9.9 4.87 6.2 - 6.6

Jasa Keuangan dan Asuransi 4.5 8.8 2.6 11.3 15.2 9.5 10.3 14.0 9.47 9.7 - 10.1

Real Estate 6.1 5.9 5.3 5.1 4.6 5.2 5.6 5.6 11.70 11.2 - 11.6

Jasa Perusahaan 8.8 7.1 7.8 7.9 7.8 7.6 7.3 7.4 5.56 5.6 - 6.0

Administrasi Pemerintahan, Pertahanan

dan Jaminan Sosial Wajib1.3 2.4 3.6 4.1 4.4 3.7 3.8 6.3 7.71 7.5 - 7.9

Jasa Pendidikan 7.3 6.5 8.2 7.6 6.9 7.3 7.5 7.4 5.05 4.9 - 5.3

Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial 8.9 8.7 7.5 8.3 8.2 8.2 8.0 7.5 7.04 6.7 - 7.1

Jasa lainnya 7.8 7.5 6.3 6.8 7.7 7.1 7.5 7.7 8.14 7.6 - 8.0

DKI Jakarta 5.9 5.5 5.3 6.1 6.5 5.9 5.6 6.2 5.8 5.5 - 5.9

Jawa Barat 5.1 4.9 4.9 5.0 5.2 5.0 5.1 5.9 6.1 5.8 - 6.2

Banten 5.5 5.5 5.2 5.9 4.9 5.4 5.1 5.2 5.7 5.5 - 5.9

Jawa Tengah 5.3 5.6 5.1 5.0 6.1 5.4 5.0 5.7 5.3 5.1 - 5.5

DI Yogyakarta 5.2 4.3 4.6 5.3 5.5 4.9 4.8 5.6 5.8 5.4 - 5.8

Jawa Timur 5.9 5.0 5.2 5.5 5.9 5.4 5.5 5.6 5.7 5.3 - 5.7

Inflasi IHK (%,yoy) 8.4 6.3 7.1 6.7 3.1 3.1 3.9 3.1 3.3 3.2 - 3.6

DKI Jakarta 9.0 7.1 7.6 7.2 3.3 3.3 3.6 3.1 3.6 5.7 - 6.1

Jawa Barat 7.6 5.5 6.5 6.1 2.7 2.7 3.8 3.2 3.8 3.0 - 3.4

Banten 10.2 7.5 8.9 8.1 4.3 4.3 5.7 3.8 5.7 3.6 - 4.0

Jawa Tengah 8.2 5.7 6.2 5.8 2.7 2.7 4.2 3.0 4.2 2.8 - 3.2

DI Yogyakarta 6.6 5.1 5.7 5.2 3.1 3.1 3.7 2.9 3.7 2.7 - 3.1

Jawa Timur 7.8 6.1 6.8 6.7 3.1 3.1 3.7 2.9 3.7 2.7 - 3.1

2016pIndikator Makroekonomi Daerah

Tahun Dasar 2010

20142015

20152016

Page 94: Laporan Nusantara Agustus 2016.pdf (11,77 MB)

86

I II III IV I II IIIp

PDRB (%,yoy) 3.3 2.0 1.4 0.4 1.4 1.3 1.4 1.1 1.4 1.1 - 1.6

Sisi Permintaan

Konsumsi Rumah Tangga 3.9 3.4 3.7 4.0 3.4 3.6 4.1 4.6 3.4 3.8 - 4.3

Konsumsi LNPRT 2.7 (4.1) 4.6 11.1 15.2 6.6 8.3 3.5 4.0 4.6 - 5.1

Konsumsi Pemerintah 3.5 6.6 7.0 7.2 (9.1) 0.8 4.4 2.5 3.1 3.2 - 3.7

Pembentukan Modal Tetap Bruto 6.1 3.0 2.0 5.4 (1.4) 2.2 (2.1) (5.8) (3.1) (2.7) - (2.2)

Ekspor 0.3 (0.4) 0.1 (2.0) (1.3) (0.9) (1.4) (0.5) 0.1 (1.2) - (0.7)

Impor 0.3 (2.2) 1.9 2.0 (6.3) (1.3) (3.1) (5.9) (2.1) (3.6) - (3.1)

Sisi Produksi

Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan 5.1 5.5 5.8 3.8 1.5 4.1 2.0 1.2 2.6 2.0 - 2.5

Pertambangan dan Penggalian 0.1 (0.9) (3.0) (5.9) (5.7) (3.9) (5.0) (4.2) (4.1) (4.5) - (4.0)

Industri Pengolahan 2.2 (1.8) 1.2 2.5 10.3 3.0 7.8 5.0 4.4 4.4 - 4.9

Pengadaan Listrik dan Gas 17.1 38.4 28.1 25.9 (1.2) 20.1 5.5 12.6 11.1 10.3 - 10.8

Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah,

Limbah dan Daur Ulang6.7 3.4 5.5 4.0 5.2 4.6 5.8 6.4 5.6 5.9 - 6.4

Konstruksi 7.6 4.1 2.1 2.7 2.5 2.8 0.4 (1.6) 0.9 0.6 - 1.1

Perdagangan Besar dan Eceran, dan

Reparasi Mobil dan Sepeda Motor5.4 4.3 4.0 3.2 5.6 4.3 5.9 4.7 4.3 4.6 - 5.1

Transportasi dan Pergudangan 6.3 7.4 7.3 5.5 4.2 6.0 6.1 5.4 5.5 5.2 - 5.7

Penyediaan Akomodasi dan Makan

Minum6.1 5.4 6.4 6.2 5.8 5.9 5.3 5.3 4.9 5.1 - 5.6

Informasi dan Komunikasi 10.6 11.5 8.8 8.4 8.4 9.3 9.5 8.9 8.9 8.8 - 9.3

Jasa Keuangan dan Asuransi 5.0 4.8 (0.2) 6.0 3.8 3.6 4.6 8.5 5.9 6.2 - 6.7

Real Estate 6.9 7.6 4.5 4.2 2.6 4.7 3.9 2.7 4.4 3.7 - 4.2

Jasa Perusahaan 7.3 3.0 2.1 2.6 0.5 2.0 2.2 0.2 1.8 1.5 - 2.0

Administrasi Pemerintahan, Pertahanan

dan Jaminan Sosial Wajib7.6 7.0 8.6 8.1 9.1 8.2 8.9 11.6 8.7 9.1 - 9.6

Jasa Pendidikan 9.7 10.2 10.3 9.7 5.0 8.7 7.9 7.3 9.0 7.9 - 8.4

Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial 7.9 7.7 9.8 10.0 8.5 9.0 8.5 8.0 9.1 8.5 - 9.0

Jasa lainnya 7.5 6.7 7.1 6.8 8.5 7.3 9.1 8.6 8.7 8.5 - 9.0

Provinsi Kalimantan Barat 5.0 6.3 4.1 4.6 4.3 4.8 6.0 4.2 5.0 4.9 - 5.4

Provinsi Kalimantan Tengah 6.2 7.6 7.1 6.9 6.6 7.0 5.2 5.7 6.2 5.7 - 6.2

Provinsi Kalimantan Selatan 4.9 4.0 3.3 3.9 4.1 3.8 4.0 4.0 4.1 3.8 - 4.3

Provinsi Kalimantan Timur 2.2 (0.2) (0.4) (2.2) (0.5) (0.9) (0.7) (0.9) (0.8) (1.1) - (0.6)

Inflasi IHK (%,yoy) 7.9 7.3 7.3 7.4 5.1 5.1 5.1 4.9 4.5 3.8 - 4.3

Provinsi Kalimantan Barat 9.4 8.9 9.0 8.8 5.8 5.8 4.6 5.2 4.5 4.4 - 4.9

Provinsi Kalimantan Tengah 7.1 5.9 5.9 5.8 4.7 4.7 4.6 3.1 2.9 2.8 - 3.3

Provinsi Kalimantan Selatan 7.3 7.0 6.1 7.0 5.2 5.2 6.0 5.9 4.9 4.6 - 5.1

Provinsi Kalimantan Timur 7.7 7.1 7.6 7.3 4.9 4.9 4.9 4.6 4.7 3.5 - 4.0

Indikator Makroekonomi Daerah 20142015

20152016

2016p

Tahun Dasar 2010

Page 95: Laporan Nusantara Agustus 2016.pdf (11,77 MB)

87

I II III IV I II IIIp

PDRB (%,yoy) 6.1 6.5 9.4 8.9 8.6 8.4 6.3 5.9 6.9 6.4 - 6.8

Sisi Permintaan

Konsumsi Rumah Tangga 5.8 5.7 5.7 5.4 5.2 5.5 5.6 6.0 6.1 5.8 - 6.2

Konsumsi LNPRT 10.0 (4.0) (1.8) 6.5 11.5 3.0 6.3 6.1 3.6 4.1 - 4.5

Konsumsi Pemerintah 3.8 6.0 4.5 5.3 10.6 6.9 5.3 8.2 7.4 7.4 - 7.8

Pembentukan Modal Tetap Bruto 8.6 8.7 10.0 9.2 8.5 9.1 8.4 7.7 10.1 9.1 - 9.5

Ekspor (9.0) 29.5 51.7 12.8 (4.3) 18.8 6.6 (1.5) 2.0 5.0 - 5.4

Impor 10.1 (16.3) (2.2) 6.1 18.2 1.4 16.6 40.2 29.2 22.0 - 22.4

Sisi Produksi

Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan 6.6 4.0 6.1 3.6 3.5 4.3 2.1 2.4 3.2 2.9 - 3.3

Pertambangan dan Penggalian (2.3) 7.3 23.6 22.1 19.2 18.1 2.7 (2.1) 1.6 1.4 - 1.8

Industri Pengolahan 7.7 5.7 11.8 9.4 11.0 9.5 12.2 9.1 14.4 11.9 - 12.3

Pengadaan Listrik dan Gas 10.8 6.5 (2.6) (2.2) (0.7) 0.1 7.2 15.2 7.8 9.4 - 9.8

Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah,

Limbah dan Daur Ulang5.6 2.6 3.6 1.1 2.9 2.5 6.1 5.3 4.2 5.0 - 5.4

Konstruksi 8.3 9.6 9.1 9.9 9.8 9.6 7.1 8.2 8.3 8.0 - 8.4

Perdagangan Besar dan Eceran, dan

Reparasi Mobil dan Sepeda Motor7.6 6.1 6.8 7.2 8.1 7.1 7.4 8.2 8.7 7.9 - 8.3

Transportasi dan Pergudangan 6.8 6.6 7.1 7.9 5.7 6.8 8.0 8.3 9.7 8.3 - 8.7

Penyediaan Akomodasi dan Makan

Minum7.2 6.4 5.7 5.9 5.9 5.9 7.4 7.6 7.8 7.4 - 7.8

Informasi dan Komunikasi 7.3 7.3 7.3 8.8 9.1 8.2 8.7 8.2 8.1 8.0 - 8.4

Jasa Keuangan dan Asuransi 6.3 9.1 2.2 10.0 6.1 6.8 9.3 15.8 8.4 10.3 - 10.7

Real Estate 7.7 6.9 6.5 6.1 5.9 6.4 6.3 6.0 7.3 6.6 - 7.0

Jasa Perusahaan 7.7 4.0 5.2 6.3 6.5 5.5 7.3 6.2 6.4 6.5 - 6.9

Administrasi Pemerintahan, Pertahanan

dan Jaminan Sosial Wajib8.4 6.7 8.5 7.8 9.4 8.1 8.0 10.6 9.4 9.1 - 9.5

Jasa Pendidikan 7.4 8.9 8.4 7.9 4.4 7.3 8.0 9.0 8.1 7.5 - 7.9

Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial 8.8 7.6 8.2 9.1 6.9 7.9 7.8 8.1 6.1 6.6 - 7.0

Jasa lainnya 7.6 7.1 6.9 7.9 7.0 7.2 7.3 7.4 5.9 6.4 - 6.8

Provinsi Sulawesi Selatan 7.5 5.7 8.0 7.6 7.2 7.1 7.4 8.1 7.8 7.5 - 7.9

Provinsi Sulawesi Barat 8.9 5.6 8.7 6.3 8.7 7.4 6.3 4.6 6.2 6.1 - 6.5

Provinsi Sulawesi Tenggara 6.3 5.7 7.2 7.0 7.5 6.9 5.5 6.8 7.3 6.7 - 7.1

Provinsi Sulawesi Tengah 5.1 16.5 15.1 15.6 15.1 15.6 13.2 15.5 13.9 14.0 - 14.4

Provinsi Gorontalo 7.3 4.8 6.7 5.9 7.7 6.2 6.7 5.4 6.7 6.3 - 6.7

Provinsi Sulawesi Utara 6.3 6.4 6.3 6.3 5.6 6.1 6.0 6.1 6.4 6.1 - 6.5

Provinsi Maluku 6.6 4.1 5.5 5.6 6.5 5.4 5.6 6.5 6.7 6.1 - 6.5

Provinsi Maluku Utara 5.5 5.0 6.5 6.8 6.0 6.1 5.1 5.6 6.1 5.6 - 6.0

Provinsi Papua 3.8 1.6 13.8 2.5 14.1 8.0 (1.2) (5.9) 7.2 1.7 - 2.1

Provinsi Papua Barat 5.4 (2.0) 7.0 6.6 5.2 4.1 5.5 3.4 4.5 4.5 - 4.9

Provinsi Bali 6.7 6.0 5.9 6.3 6.0 6.0 6.1 6.5 6.6 6.3 - 6.7

Provinsi Nusa Tenggara Barat 5.1 19.4 20.1 34.2 12.0 21.2 10.0 9.9 0.8 5.6 - 6.0

Provinsi Nusa Tenggara Timur 5.1 4.6 5.1 5.1 5.1 5.0 5.1 5.3 5.4 5.1 - 5.5

Inflasi IHK (%,yoy) 8.3 6.8 7.2 7.5 4.1 4.1 4.7 3.9 3.6 3.6 - 4.0

Provinsi Sulawesi Selatan 8.6 7.1 7.2 8.2 4.5 4.5 5.7 4.3 4.1 4.3 - 4.7

Provinsi Sulawesi Barat 7.9 6.7 6.3 7.2 5.1 5.1 5.2 4.3 3.9 3.4 - 3.8

Provinsi Sulawesi Tenggara 8.4 7.8 7.7 6.7 2.3 2.3 4.8 4.1 4.2 3.1 - 3.5

Provinsi Sulawesi Tengah 8.8 5.3 5.9 5.3 4.2 4.2 6.0 4.2 3.3 2.9 - 3.3

Provinsi Gorontalo 6.1 5.3 5.8 6.6 4.3 4.3 5.7 4.9 4.2 3.5 - 3.9

Provinsi Sulawesi Utara 9.7 8.0 8.0 9.0 5.6 5.6 4.9 3.7 3.5 4.6 - 5.0

Provinsi Maluku 7.2 9.1 8.7 9.6 6.1 6.1 2.2 1.8 1.4 3.3 - 3.7

Provinsi Maluku Utara 9.3 7.9 8.9 8.0 4.5 4.5 5.5 3.9 4.0 3.6 - 4.0

Provinsi Papua 9.1 6.8 9.1 8.1 3.6 3.6 3.8 5.2 4.1 4.0 - 4.4

Provinsi Papua Barat 6.6 7.0 7.5 7.2 5.3 5.3 5.5 4.0 3.3 3.9 - 4.3

Provinsi Bali 8.4 6.4 7.0 7.0 2.7 2.7 3.6 3.0 2.6 3.2 - 3.6

Provinsi Nusa Tenggara Barat 7.2 6.0 6.7 5.7 3.4 3.4 4.3 4.4 4.8 4.0 - 4.4

Provinsi Nusa Tenggara Timur 7.8 5.4 5.6 6.9 4.9 4.9 5.0 5.0 3.6 3.3 - 3.7

Tahun Dasar 2010

Indikator Makroekonomi Daerah 20142015

20152016

2016p

Page 96: Laporan Nusantara Agustus 2016.pdf (11,77 MB)

88

“Halaman ini sengaja dikosongkan”

Page 97: Laporan Nusantara Agustus 2016.pdf (11,77 MB)

Yoga Affandi Noor Yudanto

Gunawan Wicaksono Handri Adiwilaga Maximilian T. Tutuarima Ragil Misas Fuadi Agung Budilaksono Rif’at Pasha Warsono Komalia Rahmayani Frida Yunita Sinurat Hayatullah Khumeini Erlangga Febrianno Ryan Ariefiansyah Wening Tresnaning Asih Erwin Syafii Evy Marya Deswita Siburian Andree Breitner Makahinda Anggi Adiprasetio

Page 98: Laporan Nusantara Agustus 2016.pdf (11,77 MB)
Page 99: Laporan Nusantara Agustus 2016.pdf (11,77 MB)