Post on 08-Feb-2016
LAPORAN PENDAHULUAN
PRAKTIKUM TEKNIK BIOPROSES
IDENTITAS PRAKTIKAN
Nama : Chega Putri Pratiwi
NIM : 03111003007
Kelompok : VII / Selasa Siang
I. JUDUL PERCOBAAN : Pembuatan Chitosan
II. TUJUAN PERCOBAAN :
1. Membuat Chitosan dari kulit udang sebagai bahan pengawet.
2. Memanfaatkan limbah kulit udang agar menjadi bahan yang bernilai
ekonomis.
3. Mengetahui proses pembuatan Chitosan dari limbah kulit udang.
III. DASAR TEORI
Potensi perairan di Indonesia kaya dengan berbagai jenis invertebrata
misalnya udang. Udang merupakan bahan makanan yang mengandung protein
(21%), lemak (0,2%), vitamin A dan B1, dan mengandung mineral seperti zat
kapur dan fosfor. Udang dapat diolah dengan beberapa cara seperti udang beku,
udang kering, udang kaleng, dan lain-lain (Goligo, 2009).
Sebagai penghasil udang dengan nilai ekspor yang tinggi Jawa Timur
memproduksi udang beku sebesar 47.807,788 ton atau setara dengan US$
368.644.445,41 pada tahun 2005 (Dinas Kelautan dan Perikanan Jawa Timur,
2005). Dari proses pembekuan, 40% dari berat udang menjadi limbah (bagian
kulit dan kepala). Di Indonesia udang mengalami proses cold storage yaitu bagian
kepala, ekor, dan kulit dibuang sebagai limbah. Limbah udang ini dapat
mencemari lingkungan di sekitar pabrik sehingga perlu dimanfaatkan.
Selama ini kulit udang hanya dimanfaatkan sebagai bahan pembuatan
kerupuk, terasi, dan suplemen bahan makanan ternak. Padahal 20-30% limbah
tersebut mengandung senyawa chittin yang dapat diubah menjadi chitosan.
Chitosan berasal dari limbah udang atau cangkang udang yang biasanya
digunakan sebagai pakan ternak. Dahulu bahkan hingga saat ini masih ada yang
9
memanfaatkan limbah udang ini menjadi pakan ternak. Karena limbah ini jika
dibuang begitu saja dapat menimbulkan bau yang amat sangat tidak enak. Oleh
karena itu, biasanya limbah udang diolah menjadi pakan.
Walaupun chitin tersebar di alam, tetapi sumber utama yang digunakan
untuk pengembangan lebih lanjut adalah jenis udang-udangan (crustaceae) yang
dipanen secara komersial. Limbah udang sebenarnya bukan merupakan sumber
yang kaya akan chitin, namun limbah ini mudah didapat dan tersedia dalam
jumlah besar sebagai limbah hasil dari pembuatan udang. Limbah kulit udang
dapat diolah untuk pembuatan chitin yang dapat diproses lebih lanjut
menghasilkan chitosan yang memiliki banyak manfaat dalam bidang industri,
antara lain adalah sebagai pengawet makanan yang tidak berbahaya (non-toxic)
pengganti formalin.
Chitosan adalah bahan alami yang direkomendasikan untuk digunakan
sebagai pengawet makanan karena tidak beracun dan aman bagi kesehatan.
Aplikasi chitosan sudah dilakukan di berbagai bidang, mulai dari manajemen
limbah, pembuatan makanan, obat-obatan dan bioteknologi. Dan chitosan juga
dapat diaplikasikan pada industri farmasi dan kosmetika karena sifat
biodegradability dan biocompability serta kemampuan toksik atau racun rendah.
Chitosan sangat berpotensi untuk dijadikan sebagai bahan pengawet
makanan, karena chitosan memiliki polikation bermuatan positif sehingga dapat
menghambat pertumbuhan mikroba dan mampu berikatan dengan senyawa-
senyawa yang bermuatan negatif seperti protein, polisakarida, asam nukleat,
logam berat dan lain-lain. Selain itu, molekul chitosan memiliki gugus N yang
mampu membentuk senyawa amino yang merupakan komponen pembentukan
protein dan memiliki atom H pada gugus amina yang memudahkan chitosan
berinteraksi dengan air melalui ikatan hidrogen.
Kulit udang terdiri atas empat lapisan, yaitu: epikutikula, eksokutikula,
endokutikula dan epidermis. Tebal tipisnya kutikula bervariasi, bergantung pada
lokasinya, di daerah kepala tebalnya 75 mikron dan daerah lunak di bagian
pangkal kaki hanya 5 mikron. Kutikula terdiri dari 38,7% zat anorganik yang
mengandung 98,5% kalsium. Pada waktu moulting chitin dan protein dari kulit
9
yang lama lebih dulu diserap dan bahan anorganiknya tidak diserap. Sebelum
moulting epikutikula dan eksokutikula terbentuk dan terpisah dengan kutikula
yang lama, kemudian segera setelah terjadi moulting kalsium perlahan-lahan
tertimbun ke dalam eksokutikula dan dalam waktu 5 jam penimbunan tersebut
menjadi sempurna. Pertukaran kalsium antara cairan tubuh dengan air laut
berjalan melalui insang, kira-kira 90% Ca diserap dan 79%.
Secara umum, cangkang kulit udang yang keras mengandung 34,9%
protein, 27,6% mineral kalsium karbonat (CaCO3), 18,1% chitin dan 19,4%
komponen lain seperti zat terlarut, lemak dan protein. Kulit udang juga
mengandung karoten astaksantin 0,02%.
Departemen THP FPIK-IPB secara intensif telah melakukan riset bahan
aktif untuk aplikasi produk-produk perairan guna menggantikan bahan-bahan
kimia seperti formalin, klorin dan sianida. Salah satu produk tersebut adalah
chitosan. Chitosan merupakan produk turunan dari polimer chitin yaitu produk
samping (limbah) dari pengolahan industri perikanan, khususnya udang dan
rajungan. Limbah kepala udang mencapai 35-50% dari total berat udang. Kadar
chitin dalam berat udang berkisar antara 60-70% dan bila diproses menjadi
chitosan menghasilkan yield 15-20%.
Chitosan merupakan produk alamiah yang merupakan turunan dari
polisakarida chitin. Chitosan mempunyai nama kimia Poly D-glucosamine ( beta
(1-4) 2-amino-2-deoxy-D-glucose), bentuk chitosan padatan amorf bewarna putih
dengan struktur kristal tetap dari bentuk awal chitin murni. Chitosan mempunyai
rantai yang lebih pendek daripada rantai chitin. Kelarutan chitosan dalam larutan
asam serta viskositas larutannya tergantung dari derajat deasetilasi dan derajat
degradasi polimer. Chitosan kering tidak mempunyai titik lebur. Bila chitosan
disimpan dalam jangka waktu yang relatif lama pada suhu sekitar 100oF maka
sifat kelarutannya dan viskositasnya akan berubah. Bila chitosan disimpan lama
dalam keadaan terbuka (terjadi kontak dengan udara) maka akan terjadi
dekomposisi, warnanya menjadi kekuningan dan viskositas larutan menjadi
berkurang. Hal ini dapat digambarkan seperti kapas atau kertas yang tidak stabil
terhadap udara, panas dan sebagainya.
9
Chitosan dapat dimanfaatkan di berbagai bidang biokimia, obat-obatan atau
farmakologi, pangan dan gizi, pertanian, mikrobiologi, penanganan air limbah,
industri-industri kertas, tekstil membran atau film, kosmetik dan lain sebagainya.
Dalam cangkang udang, chitin terdapat sebagai mukopoli sakarida yang berikatan
dengan garam-garam anorganik, terutama kalsium karbonat (CaCO3), protein dan
lipida termasuk pigmen-pigmen. Oleh karena itu untuk memperoleh chitin dari
cangkang udang melibatkan proses-proses pemisahan protein (deproteinasi) dan
pemisahan mineral (demineralisasi) sedangkan untuk mendapatkan chitosan
dilanjutkan dengan proses deasetilasi.
Reaksi pembentukan chitosan dari chitin merupakan reaksi hidrolisa suatu
amida oleh suatu basa. Chitin bertindak sebagai amida dan NaOH sebagai
basanya. Mula-mula terjadi reaksi adisi, dimana gugus OH- masuk ke dalam
gugus NHCOCH3 kemudian terjadi eliminasi gugus CH3COO- sehingga
dihasilkan suatu amida yaitu chitosan.
Reaksi Pembentukan Chitosan dari Chitin :
90-100C
+ NaOH +
Chitin Chitosan
Chitosan sangat berpotensi untuk dijadikan sebagai bahan antimikroba,
karena mengandung enzim lysosim dan gugus aminopolysacharida yang dapat
menghambat pertumbuhan mikroba dan efisiensi daya hambat khitosan terhadap
bakteri tergantung dari konsentrasi pelarutan chitosan. Kemampuan dalam
menekan pertumbuhan bakteri disebabkan chitosan memiliki polikation
bermuatan positif yang mampu menghambat pertumbuhan bakteri dan kapang.
Salah satu mekanisme yang mungkin terjadi dalam pengawetan makanan
yaitu molekul chitosan memiliki kemampuan untuk berinteraksi dengan senyawa
pada permukaan sel bakteri kemudian teradsorbi membentuk semacam layer
(lapisan) yang menghambat saluran transportasi sel sehingga sel mengalami
kekurangan substansi untuk berkembang dan mengakibatkan matinya sel. Selain
9
telah memenuhi standard secara mikrobiologi ditinjau dari segi kimiawi juga
aman karena dalam prosesnya chitosan cukup dilarutkan dengan asam asetat encer
(1%) hingga membentuk larutan chitosan homogen yang relatif lebih aman.
3.1. Udang Galah
Populasi udang galah di Indonesia bersifat unik. Berdasarkan distribusi
geografisnya dapat diprediksikan bahwa Indonesia menjadi centre of origin dari
galah karena terdapat 19 spesies dari marga Macrobrachium (udang galah).
Apabila ditinjau dari segi social ekonomi, eksistensi udang galah saat ini
merupakan salah satu komoditas unggulan yang dapat diandalkan sebagai sumber
penghasilan.
Udang galah mempunyai pangsa pasar yang baik. Kecenderungan
masyarakat yang menggemari sea food meningkatkan pangsa pasar udang galah.
Peluang pasar udang galah tidak hanya di dalam negeri bahkan di mancanegara
terbuka luas seperti Singapura, Malaysia, dan negara-negara Eropa. Pangsa pasar
yang besar serta keunggulan komparatif yang dimiliki udang galah
menjadikannya salah satu komoditi andalan dan mampu bersaing dengan produk
dari negara lain. Untuk mencapai sasaran tersebut diadakan upaya pemulihan
udang galah dan pengembangan industri udang beku, merupakan salah satu
alternatif yang diambil.
3.1.1. Taksonomi Udang Galah
Kedudukan udang galah dalam sistematika sebagai berikut :
Filum : Arthropoda
Kelas : Crustacea
Bangsa : Decapoda
Suku : Palaemonidae
Anak suku : Palaemoninae
Marga : Macrobrachium
Jenis : Macrobrachium rosenbergii
3.1.2. Morfologi Udang Galah
9
Badan udang terdiri atas kepala dan dada yang disebut Cephalothorax,
badan (abdomen), serta ekor (uropoda). Udang galah mempunyai ciri khusus
dibandingkan dengan udang jenis lainnya, yakni kedua kakinya tumbuh dominan.
Cephalothorax dibungkus oleh kulit yang keras disebut carapace. Pada bagian
kepala terdapat penonjolan carapace yang bergerigi dan disebut rostrum. Gigi
terdapat pada rostrum dengan jumlah gigi pada rostrum atas 11-13 dan jumlah
gigi pada rostrum bagian bawah 8-14. Udang galah mempunyai sepasang mata
yang bertangkai yang terletak pada pangkal rostrum, jenis matanya temasuk jenis
mata majemuk (facet).
Udang galah jantan dan betina mempunyai perbedaan yang mencolok
sehingga mudah untuk diketahui. Udang galah jantan mempunyai ciri-ciri sebagai
berikut :
1. Dapat mencapai ukuran yang lebih besar dibandingkan udang galah betina.
2. Pasangan kaki jalan udang jantan yang kedua tumbuh sangat besar dan kuat.
3. Bagian perut lebih ramping.
4. Alat kelamin terletak pada baris pasanagan kaki jalan kelima, pada pasang
kaki ini terlihat lebih rapat dan lunak.
5. Apendix masculina (petanda jantan) terletak pada pasangan kaki renang kedua
yang merupakan cabang ketiga dari kaki renang tersebut.
Adapun udang galah betina mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :
1. Ukuran badan lebih kecil dar udang galah jantan
2. Pasangan kaki jalan kedua tetap tumbuh besar, tetapi ukurannya tidak sebesar
kaki udang jantan.
3. Bagian perut tumbuh melebar bersama-sama dengan kaki renang. Ruangan ini
merupakan tempat pengereaman telur (brood chamber) sehngga tampak
bentuk tubuhnya membesar pada bagaian perut.
4. Alat kelamin betina terletak pada pangkal pasangan kaki jalan ketiga yang
merupakan lubang thelicum.
5. Jarak antara pasang kaki jalan kiri dan kanan setiap pasangan terlihat lebih
besar yang memungkinkan terlur dapat berjalan ke kantong telur.
3.1.3. Habitat dan Penyebaran Udang Galah
9
Apabila diperhatikan tingkah laku dan kebiasaan hidupnya, fase dewasa
udang galah sebagian besar dijalani didasar perairan air tawar dan fase larva
bersifat planktonik yang sangat memerlukan air payau. Udang galah mempunyai
habitat diperairan umum, misalnya rawa, danau, dan muara sungai yang langsung
berhubungan dengan laut. Sebagai hewan yang bersifat euryhaline mempunyai
toleransi tinggi terhadap salinitas air, yaitu antara 0-20 per mil. Hal ini
berhubungan erat dengan siklus hidupnya.
Di alam, udang galah dewasa dapat memijah dan bertelur di daerah air
tawar pada jarak maksimal 100 km dari muara. Sejak telur dibuahi hingga
menetas diperlukan waktu 16-20 hari. Larva baru dapat menetas memerlukan air
payau, lalu larvanya terbawa aliran sungai hingga ke laut. Larva yang menetas
dari telur paling lambat 3-5 hari harus mendapat air payau. Larva berkembang dan
memerlukan metamorfosis hingga mencapai pasca larva diperairan payau denan
kadar garam berkisar antar 5-20%, setelah 45 hari udang dapat hidup diperairan
tawar, secara alami udang akan berupaya ke perairan tawar.
Daerah penyebaran udang galah adalah daerah Indo-Pasifik, yaitu dari
bagian timur Benua Afrika sampai Semenanjung Malaka, termasuk Indonesia. Di
Indonesia, udang galah terdapaat di Sumatera, Kalimantan, Jawa, Bali, Nusa
Tenggara, dan Irian.
3.2. Chitin
Chitin merupakan polisakarida struktural yang patut mendapatkan
perhatian karena berlimpah ruah di alam. Chitin sama dengan selulosa. Chitin
merupakan polisakarida hewan berkaki banyak. Diperkirakan 109 ton chitin
dibiosintesis tiap tahun. Chitin tidak larut dalam air, asam encer, alkali
encer/pekat dan pelarut organik lain, tetapi larut dalam larutan pekat asam sulfat,
asam klorida, asam fosfat. Selain itu tahan terhadap hidrolisa menjadi komponen
sakaridanya.
Chitin pada umumnya sangat tahan terhadap hidrolisa, walau enzim
kitinase dapat melakukannya dengan mudah. Chitin membentuk zat dasar yang
tahan lama dari kulit spora lumut dan eksokerangka dari serangga, udang, dan
kerang-kerangan. Chitin adalah polisakarida linier yang mengandung N-Asetil D-
9
Glukosamina terikat β pada hidrolisa, chitin menghasilkan 2-Amino 2-Deoksin D-
Glukosa. Dalam alam chitin terikat pada protein dan lemak.
Chitin dapat dibentuk menjadi suatu bubuk (powder) apabila sudah
dipisahkan dari zat yang tercampur dengannya. Akan tetapi tidak dapat larut
dalam air. Reaksinya dalam asam-asam mineral dan alkali akan menghasilkan
suatu zat yang menyerupai selulosa. Pelarutan chitin tergantung dari konsentrasi
asam mineral dan temperatur.
Di negara Jepang, chitin sudah lama dikomersialkan dengan cara
memintalnya menjadi benang yang berfungsi sebagai penutup luka sehabis
operasi, karena didukung oleh sifatnya yang non alergi dan juga menunjukkan
aktivitas penyembuhan luka.
Chittin pertama kali ditemukan oleh Odier pada tahun 1823 dan kemudian
dikembangkan oleh PR Austin pada tahun 1981. Akan tetapi perkembangan
chittin bergerak lamban dan kurang dimanfaatkan. Salah satu turunan chittin yang
luas pemakaiannya adalah chitosan. Senyawa ini mudah didapat dari kitin dengan
menambahkan NaOH dan pemanasan sekitar 120oC. Proses ini menyebabkan
lepasnya gugus asetil yang melekat pada gugus amino dari molekul kitin dan
selanjutnya akan membentuk chitosan.
Kelebihan lain dari chitosan yaitu padatan yang dikoagulasinya dapat
dimanfaatkan. Kekhawatiran terhadap kemungkinan chitosan mempuntai efek
beracun terhadap manusia telah dimentahkan oleh beberapa peneliti dengan
sejumlah bukti ilmiah.
3.3. Keuntungan Chitosan
Apa saja keunggulan chitosan dibandingkan dengan formalin? chitosan
memiliki fungsi ganda, yaitu tidak seperti formalin yang apabila digunakan akan
bereaksi dengan produk, chitosan lebih pada fungsi melapisi, sehingga transfer
rasa dan aroma dari produk dihalangi oleh lapisan tersebut, bahkan pengaruh dari
luarpun dapat dihambat. Hal ini membuat rasa dan penampilan roduk yang
menggunakan chitosan menjadi lebih baik, dibandingkan dengan produk yang
menggunakan formalin, atau produk kontrol (tanpa formalin atau chitosan). Selain
itu, chitosan memiliki gugus fungsi yang bermuatan, sehingga nantinya akan
9
berikatan dengan mikroba perusak, hingga mikroba tersebut mati. Jadi, chitosan
juga dapat berfungsi sebagai antibiotik.
Daya simpan chitosan tidak kalah dengan formalin. Ikan asin yang diberi
chitosan dapat bertahan selama tiga bulan, hampir sama dengan yang
menggunakan formalin. Dari segi harga, ternyata chitosan lebih ekonomis
dibandingkan dengan formalin, apabila menggunakan formalin, untuk 100 Kg
ikan diperlukan Rp 16.000, sedangkan dengan chitosan hanya perlu Rp 12.000,
hal ini dapat menambah keuntungan nelayan dan pengusaha kecil ikan asin. Maka,
kalau sudah ada yang ekonomis dan aman, kenapa harus memakai yang
membahayakan?
Kemampuan dalam menekan pertumbuhan bakteri disebabkan chitosan
memiliki polikation bermuatan positif yang mampu menghambat pertumbuhan
bakteri dan kapang," katanya merujuk riset (Allan dan Hadwiger, 1979 dalam El
Grauth et al., 1991).
3.4. Kerugian Chitosan
Namun, sebaik-baiknya produk buatan manusia, pasti masih ada
kekurangannya. Menurut ibu Dr. Endang Sri Heruwati yang juga seorang peneliti
dari FPIK-IPB, chitosan kurang efektif untuk mengawetkan ikan segar. Selain itu,
chitosan tidak memiliki fungsi mengenyalkan, seperti yang dimiliki oleh formalin.
Tapi tidak perlu berpikir untuk kembali pada formalin, karena masalah ini juga
ada jalan keluar yang lebih aman dan ekonomis. Untuk mengawetkan ikan segar,
sebaiknya digunakan buah picung. Dari hasil penelitian, buah picung dapat
mengawetkan ikan segar selama enam hari tanpa mengurangi mutunya.
Sedangkan untuk mengenyalkan, ada lagi produk bernama karagenan yang terbuat
dari rumput laut, yang banyak dibudidayakan di Indonesia.
Maka, dapat disimpulkan bahwa chitosan merupakan bahan pengawet
alami penolong bagi kelangsungan industri kecil di Indonesia, sekaligus
bermanfaat untuk keamanan pangan Indonesia. Munculnya fenomena penggunaan
pengawet mayat ini seharusnya membuat kita sama-sama sadar, inilah dampak
dari kebobrokan ekonomi dan mental bangsa kita. Sekarang baru penggunaan
formalin yang terkuak, padahal masih banyak penggunaan bahan berbahaya
9
lainnya dalam makanan yang belum terungkap, seperti penggunaan pewarna,
perasa, dan lain-lain.
IV. ALAT DAN BAHAN
Alat
1. Water bath
2. Neraca analitis
3. Corong dan kertas saring
4. Beker gelas
5. pH meter
6. Pipet tetes
7. Oven
8. Spatula
Bahan
1. Kulit udang
2. HCl
3. NaOH
4. Aquadest
V. PROSEDUR PERCOBAAN
1. Pisahkan udang dan kulitnya kemudian cuci bersih dan keringkan.
2. Gerus sampai halus kulit udang yang telah dikeringkan tadi hingga menjadi
bubuk atau powder.
3. Timbang bubuk kulit udang sebanyak 5 gr, dicampur dengan 300 ml aquadest.
4. Kemudian masukkan HCl sebanyak 3 tetes, selanjutnya larutan kulit udang tadi
dipanaskan selama 2 menit, diamkan sebentar.
5. Larutan tadi disaring dengan kertas saring, slurry kulit udang dimasukkan
dalam beker gelas kemudian dicuci serta disaring kembali.
6. Hasil saringan ini dicampur kembali dengan 300 aquadest, direbus selama 2
menit, kemudian saring kembali.
9
7. Hasil saringan ditetesi NaOH sebanyak 3 tetes, selanjutnya diukur pH dengan
menggunakan pH meter.
8. Langkah terakhir larutan disaring kembali dan dikeringkan.
VI. HASIL PENGAMATAN
Pada percobaan pembuatan chitosan ini, digunakan bahan baku berupa
kulit udang yang berbentuk serbuk dan warnanya agak merah muda. Jumlah kulit
udang halus yang digunakan sebanyak 5 gram lalu ditambah aquadest hingga
jumlah totalnya 300 ml. Campuran ini dipanaskan, ditambahkan zat kimia seperti
HCl dan NaOH untuk mengatur pH, lalu disaring yang dilakukan beberapa kali.
Produk dari penyaringan terakhir dikeringkan dalam oven dan ditimbang berat
keringnya. Berat chitosan yang diperoleh pada percobaan kali ini adalah sebanyak
2,837 gram.
Berat awal sampel = 5 gram kulit udang serbuk
Berat kertas saring = 1,88 gram
Berat akhir produk = (berat chitosan + berat kertas saring) – (berat kertas
saring)
= 4,717 gram – 1,88 gram
= 2,837 gram
Warna produk = orange pucat
Bau produk = aroma udang masih terasa
pH awal = 8 (bersifat basa)
pH demineralisasi = 5 (bersifat asam)
pH deproteinasi = 10 (bersifat basa)
9
VII. PEMBAHASAN
Percobaan ini menggunakan bahan baku utama kulit udang. Dipilih bagian
kulit karena pada kulit udang ini terkandung chitin lebih banyak dibandingkan
bagian tubuh lainnya. Sedangkan chitosan sendiri adalah salah satu turunan chitin.
Kulit ini dipisahkan dari udangnya, lalu dicuci bersih, dan dikeringkan. Lalu kulit
udang ini dihancurkan hingga menjadi lebih halus. Tujuannya agar chitin yang
terkandung dalam kulit udang dapat cepat bereaksi dengan zat kimia (HCl dan
NaOH) dan lepas dari kandungan chitin tersebut.
Kulit udang sebanyak 5 gram ditambahkan aquadest hingga jumlah
totalnya menjadi 300 ml. Meskipun dicampurkan, kedua bahan ini tidak saling
melarut. Pelarutan chitin sebenarnya tergantung dari konsentrasi asam mineral dan
temperatur. Karena itulah, pada saat proses pemanasan temperaturnya tidak terlalu
tinggi dan campuran tidak boleh diaduk terlalu sering karena dikhawatirkan akan
membuat kandungan chitin terlarut dalam aquadest. Pemanasan pun hanya
dilakukan selama 5 menit.
Setelah dipanaskan, larutan ini disaring. Slurry kulit udang kemudian
diukur pH-nya. Dari pengukuran pH slurry didapatlah pH sebesar 7. Slurry ini
ditambah aqudest, dipanaskan lagi, dan disaring. Kemudian slurry kulit udang
diukur pH-nya agar menjadi basa dengan ditambah NaOH hingga pH-nya menjadi
10. Lalu perlakuan selanjutnya sama dengan perlakuan sebelumnya. Terakhir,
setelah disaring chitosan yang diperoleh dikeringkan dalam oven.
Chitosan dalam bentuk powder telah diperoleh, namun apakah bubuk
kering itu murni chitosan atau masih terkandung zat lainnya selain chitosan, hal
itu masih diragukan. Karena dalam percobaan pembuatan chitosan ini tidak
diketahui parameter kimia zat chitosan. Chitosan kering yang kami peroleh yaitu
sebanyak 2,837 gram. Padahal bahan baku yang kami gunakan sebanyak 5 gram.
Artinya, terdapat sebanyak 2,163 gram sampel awal yang telah hilang atau
terbuang. Hal ini kemungkinan besar disebabkan oleh beberapa faktor seperti:
adanya kulit udang yang larut dalam aquadest dan proses pencucian yang tidak
bersih. Bisa juga dikarenakan banyak serbuk powder kulit udang yang terbawa
pada saat pencucian maupun penyaringan menggunakan kertas saring. Hal ini bisa
9
dilihat pada kertas saring dimana masih begitu banyak slurry udang yang tak bisa
diambil dan masih tertinggal.
Sebagaimana kita ketahui, ada tiga rangkaian proses dalam pembuatan
Chitosa dari Chitin. Yaitu de-mineralisasi, de-proteinasi dan terakhir adalah de-
asetilasi. Pembuatan Chitosan sendiri memerlukan bahan baku dari limbah
industri pengolahan udang dan rajungan. yang diambil dapat berupa kulit, kepala,
dan ekor yang tidak terpakai.
Bahan-bahan tadi kemudian dihilangkan mineralnya (de-mineralisasi)
dengan cara dimasak pada pH asam.. Untuk itulah pada praktikum ini kita
tambahkan senyawa asam pekat berupa Asam Klorida (HCl). Karena Organisme
laut itu sangat kaya akan mineral makanya harus dihilangkan terlebih dahulu
kandungan mineralnya.
Proses selanjutnya ialah dihilangkan proteinnya (de-proteinasi) dengan
dimasak pada tempat yang sama pada pH basa (9-10). Untuk itulah pada
praktikum ini kita tambahkan senyawa basa kuat berupa Natrium Hidroksida
(NaOH). Hasilnya, diperoleh bahan yang disebut dengan chitin murni yang nanti
akan dimanfaatkan untuk proses selanjutnya.
Proses berikutnya (terakhir) adalah de-asetilasi. Proses ini diperlukan
karena Di dalam struktur chitin, terdapat gugus asetil. Gugus ini harus dibuang
dan digantikan dengan gugus NH2, juga pada proses basa, tapi jauh lebih kuat dari
basa pada proses penghilangan protein. Setelah de-asetilasi, jadilah chitosan
dalam bentuk bubur. Bubur ini tinggal dicuci dan dikeringkan, tahapan – tahapan
seperti inilah yang bisanya dilakukan dalam proses pengolahan chitosan. Chitosan
sangat berpotensi untuk dijadikan sebagai bahan antimikroba, karena mengandung
enzim lysosim dan gugus aminopolysacharida yang dapat menghambat
pertumbuhan mikroba dan efisiensi daya hambat khitosan terhadap bakteri
tergantung dari konsentrasi pelarutan chitosan.
VIII.KESIMPULAN
9
1. Untuk membuat chitosan, sebaiknya dipilih bahan baku yang banyak
mengandung chitin seperti kulit udang.
2. Ada tiga proses utama pembuatan Chitosan dari Chitin, yaitu demineralisasi,
deproteinasi dan terakhir deasetilasi
3. Selama proses pencampuran kulit udang dengan aquadest, perlu diperhatikan
konsentrasi asam mineral yang digunakan serta temperature pemanasan. Hal
ini penting agar kulit udang tidak larut dalam aquadest.
4. Sebaiknya pada saat pemanasan, larutan chitosan jangan terlalu lama diaduk
Karena dikhawatirkan bisa melarutkan chitosan di dalam air sehingga
mengurangi jumlah produk akhir.
5. Pada produk akhir warnanya sedikit berubah dari sampel awal. Yaitu dari
warna orange agak terang berubah menjadi orange pucat.
6. Bau udang pada sampel awal tidak hilang seratus persen, tetapi hanya sedikit
saja. Hal ini bisa dicium dari aroma udang yang masih tajam pada produk
chitosan.
7. Pembuatan chitosan selanjutnya sebaiknya memperhatikan ukuran sampel
awal (harus dalam bentuk powder), temperature pemanasan yang tidak lebih
dari 100 oC, lama pemanasan yang tidak lebih dari 2 menit, banyaknya HCl
dan NaOH yang ditambahkan, dan ketepatan dalam penyaringan dan
pengeringan produk.
9
IX. DAFTAR PUSTAKA
Dahlan, Hatta.2010.Penuntun Praktikum Teknologi Bioproses.Laboratorium
Teknologi Bioproses Universitas Sriwijaya.
Prentis, Steve.1990.Bioteknologi Suatu Revolusi Industri yang Baru.Erlangga:
Jakarta.
Prawirahartono, S.1991.Pelajaran SMA Biologi.Erlanga:Jakarta
Ratna Djuita.1990.Penuntun parktikum Mikrobiologi.1990.Labolatorium
Mikrobiologi Fakultas Teknik Unsri.
Volk dan Wheeler.1993.Mikrobiologi Dasar I.Erlangga:Jakarta.
9
SPATULAHOT PLATE
X. GAMBAR ALAT
9
PRODUK CHITOSAN
INKUBATOR
ERLENMEYERBEKER GELASGELAS UKUR
NERACA ANALITIK