Post on 28-Jan-2016
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1. Latar BelakangDewasa ini pertanian dihadapkan pada maslah yang cukup serius. SDA yang saat ini
sudah sangat terbatas harus digunakan seoptimalkan mungkin untuk pemenuhan kebutuhan
manusia. Hasilnya adalah eksploitasi secara besar-besaran dan terjadi perebutan dalam
penggunaan fungsi lahan yang seharusnya untuk pangan namun digunakan juga untuk papan
dan sandang. Ini menunjukkan bahwa pertumbuhan laju penduduk yang semakin meningkat
tidak diimbangi dengan ketersediaan SDA yang cukup.
Pertanian berkelanjutan merupakan upaya dalam proses produksi pertanian dengan
menekan dampak negatif terhadap lingkungan seminimal mungkin. Keberlanjutan yang
dimaksud meliputi : penggunaan sumberdaya, kualitas dan kuantitas produksi, serta kualitas
lingkungannya. Proses produksi pertanian yang berkelanjutan akan lebih mengarah pada
pembentukan lingkungan yang mampu menyediakan daya dukung dalam jangka waktu yang
panjang. Dan mengoptimalkan peran lingkungan secara optimal dalam mendukung tumbuh
kembang makhluk hidup di dalamnya.
Jadi secara umum, sistem pertanian berlanjut merupakan sistem pertanian yang layak
secara ekonomi, ekologi, sosial dan budaya. Dalam pengupayaan pertanian yang
berkelanjutan dapat dilakukan di lahan pertanian skala bentang lahan, hal ini dikarenakan
antar wilayah yang berkaitan saling mempengaruhi. Sehingga tidak hanya bisa dipisahkan
melalui beberapa luasan saja. Pada tingkat bentang lahan upaya pengelolaannya diarahkan
pada upaya menjaga kondisi biofisik yang bagus yaitu dengan pemanfaatan biodiversitas
tanaman pertanian untuk mempertahankan keberadaan pollinator, untuk pengendalian gulma,
pengendalian hama dan penyakit dan mengupayakan kondisi hidrologi (kuantitas dan kualitas
air) menjadi baik serta mengurangi emisi karbon.
Dalam pengamatan skala bentang yang dilakukan di desa Kekep merupakan salah
satu contoh bentang lahan dengan variasi penggunaan lahan. Diataranya adalah agroforestry
dan pertanian intensif dengan komoditas hortikultura. Hal ini sangat berpengaruh antara
kegiatan hulu dan hilir sehingga perlu dilakukan pengambilan kebijakan yang tidak
merugikan masyarakat dan lingkungan. Selain itu, dilakukan pengamatan apakah di wilayah
ini telah menuju ke pertanian yang berkelanjutan atau tidak.
1.2. Maksud dan Tujuan1. Memperoleh segala informasi yang berkaitan dengan pertanian berlanjut dari aspek
ekologi, ekonomi, dan sosial.
2. Untuk memahami macam-macam tutupan lahan, sebaran tutupan lahan dan interaksi
antar tutupan lahan pertanian yang ada di suatu bentang lahan dilihat dari indikator
berlanjut.
1.2. Manfaat Dengan dilaksanakannya fieldtrip, manfaat yang diperoleh antara lain dapat
menentukan apakah suatu lansekap yang diamati termasuk dalam kategori pertanian berlanjut
atau tidak dengan berbagai indikator ekologi, ekonomi, sosial dan budaya.
1.3. ManfaatDengan dilaksanakannya fieldtrip,I manfaat yang diperoleh antara lain dapat
menentukan apakah suatu lansekap yang diamati termasuk dalam kategori pertanian berlanjut
atau tidak dilihat dari indikator keberlanjutannya meliputi ekologi, ekonomi, sosial dan
budaya.
BAB 2 METODOLOGI
2.1. Tempat dan Waktu Pelaksanaana. Pelaksanaan fieldtrip mata kuliah Pertanian Berlanjut diadakan di Dusun Kekep, Desa
Tulungrejo, Kecamatan Bumiaji, Kota Batu.
b. Waktu pelaksanaan fieldtrip mata kuliah Pertanian berlanjut yaitu pada hari Sabtu, 27
November 2013
2.2. Metode Pelaksanaan
2.2.1. Pemahaman Karakteristik Lansekap
Menentukan lokasi yang representatif untuk dapat melihat
lansekap secara keseluruhan.
Melakukan pengamatan secara menyeluruh terhadap berbagai bentuk penggunaan lahan yang ada.
Isikan pada kolom penggunaan lahan, dokumentasi dengan
foto kamera.
Identifikasi jenis vegetasi yang ada, isi hasil identifikasi ke
dalam kolom tutupan lahan.
Mengisi hasil pengamatan pada form
2.2.2. Pengukuran Kualitas Air
a. Pendugaan kualitas air secara fisik (kekeruhan) dilakukan dalam beberapa
langkah:
- .
- Aduk air secara merata.
b. Pengamatan suhu air dilakukan dalam beberapa langkah:
Tuangkan contoh air dalam tabung / botol air mineral sampai ketinggian 45 cm.tabung dapat dibuat dari tiga buah botol air kemasan ukuran 600 ml yang disatukan
Masukkan secchi disc ke dalam tabung yang berisi air secara perlahan-lahan dan amati secara tegak lurus sampai warna hitam-putih pada secchi disc tidak dapat dibedakan
Baca berapa sentimeter kedalaman “secchi disc‟ tersebut.
Masukkan data kedalaman yang diperoleh ke dalam persamaan
berikut:
Konsentrasi sedimen (mg/l) = 9,7611e-0,136D
Dimana “D‟ adalah kedalaman “secchi disc‟ dalam cm.
Catat udara sebelum mengukur suhu dalam air.
Masukkan termometer ke dalam air selama 1-2 menit
Baca suhu saat termometer masih dalam air, atau
secepatnya setelah dikeluarkan dari dalam air.
Catat pada form pengamatan.
2.2.3. Pengukuran Biodiversitas
2.2.3.1. Aspek Agronomia. Indikator yang digunakan dalam mengukur biodiversitas dari aspek
agronomi adalah populasi dan jenis gulma pada lahan. Metode yang
digunakan adalah:
b. Metode yang digunakan untuk mengukur biodiversitas tanaman pangan &
tahunan adalah sebagai berikut:
Membuat sebuah kerangka persegi berukuran 1m x
1m dari bahan bambu.
Kerangka persegi dilempar secara acak ke tempat
yang diduga memiliki populasi gulma yang dapat
mewakili keseluruhan lahan.
Catat jumlah dan jenis gulma yang ditemukan dalam
kerangka persegi tersebut. Untuk mengetahui jenis
gulma dapat menggunakan buku Flora.
Olah semua data yang telah diperoleh dengan
bantuan modul fieldtrip mata kuliah Pertanian
Berlanjut.
Buatlah jalur transek pada hamparan yang akan
dianalisis
Tentukan titik pada jalur (transek) yang mewakili
masing-masig tutupan lahan dalam hamparan
lanskap
Catat karakteristik tanaman budidaya di setiap
tutupan lahan yang telah ditentukan
Hasil pengamatan disajikan dalam bentuk tabel.
2.2.3.2. Aspek Hama Penyakit
Membuat jalur transek pada hamparan yang akan
dianalisis
Menentukan titik-titik pengambilan sampel pada jalur
(transek) yang mewakili agroekosistem dalam hamparan
Tangkap serangga ndengan menggunakan sweep net
dengan metode yang benar pada agroekosistem yang
telah ditentukan
Kumpulkan semua serangga yang tertangkap sweep net
dan masukkan kedalam kantong plastik yang telah
diberi secarik kertas tissue
Serangga yang telah terkumpu dibunuh dengan
memberikan etil asetat.
Semua kantong plastik berisi serangga (sudah mati)
dibawa ke Laboratorium Hama. Apabila belum segera
diamati hendaknya semua serangga tersebut disimpan
dilemari pendingin.
Hasil pengamatan disajikan dalam bentuk tabel.
2.2.4. Pendugaan Cadangan Karbon
2.2.5. Identifikasi keberlanjutan lahan dari Aspek Sosial EkonomiDalam mengevaluasi keberlanjutan dari aspek sosial ekonomi menggunakan
indikator-indikator sebagai berikut (dengan melakukan wawancara terhadap petani):
1. Macam/jenis komoditas yang ditanam
2. Akses terhadap sumber daya pertanian
3. Penguasaan lahan
4. Saprodi
5. Apakah petani mengetahui usahatani yang dilakukan ramah terhadap lingkungan
atau tidak
6. Diversifikasi sumber pendapatan
7. Kepemilikan hewan ternak
8. Pengelolaan produk sampingan.
BAB 3 HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Hasil
3.1.1. Kondisi Umum WilayahTabel 1, Kondisi Wilayah Tiap Plot
PLO
T
Penggu-
naan lahan
Tutupan lahan Manfaat Posisi
lereng
Tingkat tutupan Kera
patan
C-stock
Kanopi Seresah
1. Hutan
Alami-
Tanaman
Tahunan
-Nangka
-Kesemek
-Rumput
Gajah
-Alang-alang
Buah
Buah
Daun
-
Bawah Sedang Tinggi T Sangat
Baik
2. Tanaman
Agroforestri
sederhana
-Jagung
-Singkong
-Talas
-Pisang
-Nangka
-Alpukat
-Pinus
Tongkol
Umbi
Umbi
Buah
Buah
Buah
Kayu-
Bunga
Bawah Sedang Tinggi T
S
S
T
R
R
R
Cukup
Baik
3. Tanaman
Semusim
-Kubis
-Cabai
-Tanaman
Mawar
Daun
Buah
Bunga
Bawah-
Tengah
Tidak
Ada
Rendah T
T
T
Kurang
Baik
4. Tanaman
Semusim +
Pemukiman
-Wortel Umbi Bawah Tidak
Ada
Rendah T Kurang
Baik
Kondisi wilayah Dusun Kekep Desa Tulungrejo Kecamatan Bumiaji Kota Batu secara
umum berupa lereng-lereng. Dalam pelaksanaan fieldtrip Pertanian Berlanjut dibagi dalam
beberapa plot yaitu plot 1,2,3, dan plot 4. Pada plot 1, penggunaan lahannya (land use) yaitu
hutan alami, sedangkan untuk tutupan lahannya (land cover) berupa pohon nangka, pohon
kesemek, alang-alang dan rumput gajah. Untuk posisi lerengnya sendiri yaitu di bawah. Dan
tingkat kerapatannya juga beragam, tetapi bisa dikatakan relatif tinggi. Hal ini juga
menunjukkan keragaman spesies di plot 1 ini juga banyak. Pada plot ini terdapat pohon yang
memiliki sebaran rapat, sehingga penyimpanan dan penyerapan karbon tinggi dan jadi untuk
C-stocknya dapat dikatakan kedalam kategori sangat baik.
Pada plot 2, penggunaan lahannya berupa agroforestri sederhana dan tutupan
lahannya berupa jagung, singkong, talas, pisang, pohon nangka, pohon alpukat, dan pohon
pinus. Untuk posisi lerengnya sebagian besar berada di bawah. Penggunaan lahan dengan
tanaman agroforestri sederhana yaitu jagung yang memiliki tingkat sebaran rapat, singkong
dan talas yang memiliki tingkat sebaran yang sedang, tanaman pisang yang memiliki tingkat
sebaran yang rapat serta tanaman tahunan yang memiliki tingkat sebaran yang jarang seperti
tanaman nangka, alpukat dan pinus. Sehingga dapat dikatakan memiliki cadangan karbon
yang termasuk kategori cukup. Hal ini dikarenakan penyerapan karbon tertinggi adalah pada
hutan atau tanaman tahunan, karena pada plot 2 hanya memiliki tanaman tahunan yang
sedikit atau dalam kategori sebarannya jarang.
Pada plot 3, penggunaan lahannya hanya tanaman semusim saja, untuk penutup
lahannya yaitu kubis, cabai dan tanaman mawar. Untuk posisi lerengnya berada di bawah
agak ke tengah. Tingkat kerapatan vegetasinya yaitu tinggi. Tanaman kubis , cabai, dan
mawar memiliki tingkat sebaran rapat, sehingga memiliki cadangan karbon kurang.
Pada plot 4, penggunaan lahannya yaitu berupa tanaman semusim dan pemukiman,
penutup lahannya tanaman wortel saja. Untuk lerengnya sendiri berada di bawah pemukiman.
Kerapatan vegetasinya juga tergolong tinggi. Untuk bahaya erosi di plot ini cukup tinggi,
karena kurangnya tanaman tahunan dan pepohonan di plot ini yang mampu menahan erosi
dan kanopi juga tidak ada. Karena sebaran kerapatan vegetasinya tinggi maka plot ini
memiliki cadangan karbon kurang. Hal ini seperti halnya pada plot ke 3 yang memiliki
cadangan karbon kurang.
3.1.2. Indikator Pertanian Berlanjut dari Aspek Biofisik
3.1.2.1. Kualitas AirTabel 2. Tabel Pengamatan Kualitas Air secara Fisik dan Kimia Plot 1 dan 2
Parameter SatuanLokasi pengambilan air sampel Kelas (PP no.
82 tahun 2001)
Plot 1 Plot 2U1 U2 U3 U1 U2 U3
Kekeruhan Cm 45 33 37 >45 >45 >45
Suhu ℃ 22 22 22 26,71
26,7 26,7
pH 7,09 6,63
DO 1,25 1,58
Tabel 3. Tabel Pengamatn Kualitas Air secara Fisik dan Kimia Plot 3 dan 4
Parameter SatuanLokasi pengambilan air sampel Kelas (PP no.
82 tahun 2001)Plot 3 Plot 4U1 U2 U3 U1 U2 U3
Kekeruhan Cm >45 >45 >45 >38 >38 >38
Suhu ℃ 20 20 20 19 19 19
pH 7,51 7,28
DO 1,32 1,46
Pada fieldtrip pertanian berlanjut aspek tanah mengamati sungai dengan indikator
pengamatan fisik (kekeruhan dan suhu) dan kimia (pH dan oksigen terlarut). Pengamatan
ke empat indikator yang dilakukan pada saat fieldtrip menunjukan bahwa antara plot-
plot pengamatan tidak mempunyai perbedaan yang nyata.
Plot 1: Pada pengamatan kekeruhan menunjukan bahwa terdapat perbedaan antara
masing masing ulangan, hal tersebut dikarenakan pada masing-masing ulangan mewakili
homogenitas suatu plot saliran air. Pada pengamatan suhu tidak terjadi keragaman suhu,
suhu masing-masing ulangan pada plot 1 adalah 22℃. pH 7,09 dan DO 1,25. Dari data
yang di dapat dapat disimpulkan bahawa plot 1 merupakan aliran air dengan kelas mutu
kelas 4 dengan pembatas DO.
Plot 2: Pada pengamatan plot 2 tidak terjadi keragaman sama sekali baik dalam
pengamatan suhu maupun kekeruhan. Pada pengamatan suhu didapat hasil sebesar
>45cm dengan suhu 27℃. pH 6,63 dan DO 1,58. Dari data yang di dapat dapat
disimpulkan bahawa plot 2 merupakan aliran air dengan kelas mutu kelas 4 dengan
pembatas DO.
Plot 3: Pada pengamatan plot 2 tidak terjadi keragaman sama sekali baik dalam
pengamatan suhu maupun kekeruhan. Pada pengamatan suhu didapat hasil sebesar
>45cm dengan suhu 20℃. pH 7,51 dan DO 1,32. Dari data yang di dapat dapat
disimpulkan bahawa plot 3 merupakan aliran air dengan kelas mutu kelas 4 dengan
pembatas DO.
Plot 4: Pada pengamatan plot 2 tidak terjadi keragaman sama sekali baik dalam
pengamatan suhu maupun kekeruhan. Pada pengamatan suhu didapat hasil sebesar
>38cm dengan suhu 19℃. pH 7,28 dan DO 1,46. Dari data yang di dapat dapat
disimpulkan bahawa plot 4 merupakan aliran air dengan kelas mutu kelas 4 dengan
pembatas DO.
Dalam peraturan pemerintah (Anonymous, 2013) memaparkan bahwa Klasifikasi
mutu air ditetapkan menjadi 4 (empat) kelas :
a) Kelas satu, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk air baku air minum, dan
atau peruntukan lain yang memper-syaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan
tersebut;
b) Kelas dua, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk prasarana/sarana rekreasi
air, pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan
atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan
tersebut;
c) Kelas tiga, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk pembudidayaan ikan air
tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan atau peruntukan lain yang
mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut;
d) Kelas empat, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk mengairi pertanaman
dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan
kegunaan tersebut.
Dari data yang telah ada dan dari pembahasan yang ada maka dapat ditetapkan
bahwa pada aliran sungai disana mempunyai mutu air kelas 4 dengan faktor pembatas
DO. Ciri-ciri mutu air kelas 4 adalah pH= 5-9 dan DO= 0. Sedangkan mutu air kelas 4
adalah air yang peruntukannya dapat digunakan untuk mengairi pertanaman dan atau
peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut.
3.1.2.2. Biodiversitas TanamanBerdasarkan hasil survei yang telah dilakukan, pada pengukuran biodiversitas
dari aspek agronomi sebagai indikator pertanian berlanjut adalah sebagai berikut :
Pada plot 1 merupakan jenis tanaman tahunan dengan tutupan lahan adalah hutan.
Jenis tanaman yang ditemukan antara lain nangka yang memiliki sebaran rapat, kesemek
yang memiliki sebaran rapat, pada plot 1 memiliki luas lahan ½ hektar. Selain itu juga
ditemukan beberapa jenis gulma antara lain rumpu teki dan rumput gajah yang memiliki
tingkat kelebatan 60% selain itu juga ditemukan rumput teki, Goletrak beuti, Rumput
mutiara dengan tingkat kelebatan 80%. pada plot ini memiliki tingkat kelerengan yang
cukup curam sehingga plot ini, jenis tutupan lahan yang sesuai adalah adanya tanaman-
tanaman tahunan. Dapat ditarik kesimpulan bahwa pada plot ini ditinjau dari aspek
agronomi sudah memenuhi indikator pertanian perlanjut, karena memiliki beberapa jenis
tanaman tahunan dengan sebaran yang rapat.
Pada plot 2 merupakan plot agroforestri sederhana. Pada plot ini terdapat tanaman
tahunan dan tanaman musiman.diantaranya adalah Jagung, singkong, talas, pisang
nangka, alpukat, pinus. Untuk tanaman singkong dan talas memiliki sebaran yang
sedang. tanaman jagung dan pisang rapat. Tanaman pinus, alpukan dan nangka memiliki
sebaran yang jarang. Selain itu juga terdapat gulma antara lain krokot, rumput gajah dan
rumpu teki yang memiliki tingkat kelebatan antara 26 %-65%. Pada plot agroforesti ini
dapat dikatakan memiliki tingkat biodiversitas yang cukup baik karena memiliki jumlah
tanaman tahunan dan musiman yang memiliki tingkat sebaran mulai dari j arang pada
tanaman tahunan dan rapat pada tanaman musiman. Sebenarnya untuk memenuhi
indikator pertanian berlanjut pada plot agroforesti ini harus menambah tanaman –
tanaman tahunan yang juga menghasilkan produksi dengan begitu plot tersebut akan
memiliki tutupan lahan yang lebih baik. Misalnya dengan menambah populasi tanaman
alpukat, kesemek, dan menambah tanaman kelapa.
Pada plot 3 merupakan plot tanaman semusim. Tanaman yang terdapat di plot
tersebut adalah tanaman kobis dengan tingkat kerapatan yang rapat yaitu Pada lahan
seluas 2,5 hektar ini dengan jarak tanam 30 x 40cm memiliki populasi 2083. Selain itu
juga ditemukan beberapa macam gulma antara lain teki dengan kelebatan 40 % dan
krokot dengan kelebatan 30%. Pada plot ini dapat dikantakan memiliki biodiversitas
yang rendah karena hanya ada 1 jenis tanaman musiman yaitu tanaman kobis yang
monokultur dan dua jenis gulma. Untuk memenuhi indikator pertanian berlanjut maka
harus mengubah sistem tanam monokultur menjadi polikultur. Yaitu dengan menanam
beberapa jenis tanaman sehingga biodivesitas pada plot tersebut semakin tinggi sehingga
keseimbangan agroekosistem bisa terjaga dengan baik.
Pada plot 4 merupakan plot tanaman semusim dan pemukiman. Tanaman yang
terdapat pada plot adalah tanaman wortel yang ditanamn secara monokultur. Plot ini
memiliki luas lahan 870,75 m2. Tanaman wortel ini ditanaman dengan jarak tanam 10 x
10 cm. Dengan populasi pada plot tersebut adalah 12500 tanaman. Dapat dikatakan
bahwa kerapatan populasi wortel pada plot tersebut adalah rapat. Selain tanaman wortel
juga ditemukan rumput gajah dengan tingkat kelebatan 30%. Plot ini memiliki tingkat
biodiversitas yang rendah karena hanya ditemukan wortel dan rumput gajah pada plot
tersebut. Dengan begitu, pada plot ini belum memenuhi indikator pertanian berlanjut jika
dilihat dari segi biodiversitas tanaman. Untuk memenuhi indikator pertanian berlanjut
maka plot tersebut harus mengubah dari sistem monokultur menjadi polikultur ataupun
agroforestri, sehingga tutupan lahan plot tersebut akan lebih baik dan memiliki
biodiversitas yang tinggi yang mampu memenuhi indikator pertanian berlanjut dari aspek
agronomi.
3.1.2.3. Biodiversitas Hama Penyakit
3.1.2.4. Cadangan KarbonTabel 4. Plot 3 Tanaman Semusim
NoPenggunaan
LahanTutupan
lahanManfaat
Posisi lereng
Tingkat tutupan Jumlah spesies
KerapatanC-
StokKanopi Seresah
1 PertanianKubis D T R R 1 R 1Jagung B T R R 1 R 1Telo B T R R 1 R 1
2Padang rumput
Rumput Gajah
D T R R 1 R 19,4
Alang-alang
D T R R 1 R 19,4
3 Agroforestri
Kopi B T S S 1 S 50Kelapa D,B,K T T S 1 R 20
Cengkeh B T S S 1 S 50Bambu K T S S 2 S 50
Tabel 5. Tabel Penggunaan Lahan
No Penggunaan LahanKerapatan
PohonAboveground C-
stock (ton/ha)
1 HutanTinggi 250Sedang 150Rendah 100
2 AgroforestriTinggi 80Sedang 50Rendah 20
3 Tanaman Semusim - 1Sumber data : Hutan Tahura R Soerjo (Hairiah et al., 2010),
Agroforestri DAS kali Konto (Hairiah et al., 2009)
Pengunaan lahan pada plot 1 adalah hutan alami. Tutupan lahan yang
digunakan antara lain tanaman tahunan yaitu tanaman nangka dan kesemek serta ada
pula rumput gajah dan alang-alang dimana tingkat sebarannya rapat. Berdasarkan
kondisi tersebut dapat disimpulkan bahwa kapasitas penyimpanan karbonnya tinggi,
hal ini dikarenakan pada plot ini terdapat pohon yang memiliki sebaran rapat,
sehingga penyimpanan dan penyerapan karbon tinggi dan dapat dikatakan kedalam
kategori sangat baik. Pada plot 2, penggunaan lahan dengan tanaman agroforestri
sederhana yaitu jagung yang memiliki tingkat sebaran rapat, singkong dan talas yang
memiliki tingkat sebaran yang sedang, tanaman pisang yang memiliki tingkat sebaran
yang rapat serta tanaman tahunan yang memiliki tingkat sebaran yang jarang seperti
tanaman nangka, alpukat dan pinus. Sehingga dapat dikatakan memiliki cadangan
karbon yang termasuk kategori cukup. Hal ini dikarenakan penyerapan karbon
tertinggi adalah pada hutan atau tanaman tahunan, karena pada plot 2 hanya memiliki
tanaman tahunan yang sedikit atau dalam kategori sebarannya jarang.
Penggunaan lahan pada plot 3 adalah tanaman semusim yaitu kubis, cabai
bunga mawar yang memiliki tingkat sebaran rapat, sehingga memiliki cadangan
karbon kurang. Pada penggunaan lahan pada plot 4 adalah tanaman semusim yaitu
wortel dan pemukiman penduduk, tanaman yang ada tingkat sebarannya yang rapat,
maka memiliki cadangan karbon kurang. Hal ini seperti halnya pada plot ke 3 yang
memiliki cadangan karbon kurang.
Dari pernyataan (Hairiah, 2011) Salah satu cara untuk mengendalikan
perubahan iklim adalah dengan mengurangi emisi gas rumah kaca (CO , CH , N O)
yaitu dengan mempertahankan keutuhan hutan alami dan meningkatkan kerapatan
populasi pepohonan di luar hutan. Tumbuhan baik di dalam maupun di luar kawasan
hutan menyerap gas asam arang (CO ) dari udara melalui proses fotosintesis, yang
selanjutnya diubah menjadi karbohidrat, kemudian disebarkan ke seluruh tubuh
tanaman dan akhirnya ditimbun dalam tubuh tanaman. Proses penimbunan karbon (C)
dalam tubuh tanaman hidup dinamakan proses sequestrsi (C- Sequestration ). Dengan
demikian mengukur jumlah yang disimpan dalam tubuh tanaman hidup (biomasa)
pada suatu lahan dapat menggambarkan banyaknya CO2 di atmosfer yang diserap oleh
tanaman. Sedangkan pengukuran cadangan yang masih tersimpan dalam bagian
tumbuhan yang telah mati (nekromasa) secara tidak langsung menggambarkan CO2
yang tidak dilepaskan ke udara lewat pembakaran.
Jumlah antar lahan berbeda-beda, tergantung pada keanekaragaman dan
kerapatan tumbuhan yang ada, jenis tanahnya serta cara pengelolaannya.
Penyimpanan karbon pada suatu lahan menjadi lebih besar bila kondisi kesuburan
tanahnya baik, karena biomasa pohon meningkat, atau dengan kata lain di atas tanah
(biomasa tanaman) ditentukan oleh besarnya di dalam tanah (bahan organik tanah).
Untuk itu pengukuran banyaknya karbon yang disimpan dalam setiap lahan perlu
dilakukan.
Berkenaan dengan adanya konsep pengendalian perubahan iklim internasional
melalui skema “REDD+” yaitu Reduksi Emisi akibat Deforestasi dan Degradasi
Hutan plus, maka upaya konservasi dan pengelolaan kelestarian hutan serta
peningkatan cadangan karbon hutan di negara berkembang perlu dilakukan. Untuk
mengetahui besarnya perubahan (penurunan emisi karbon) akibat konservasi hutan
dan penggunaan lahan lainnya diperlukan sistem untuk mendokumentasikan,
melaporkan, dan memverifikasikan perubahan cadangan karbon secara transparan,
konsisten dan dapat dibandingkan, lengkap dan akurat. Sistem tersebut dinamakan
sistem MRV.
Berdasarkan keberadaannya di alam, ketiga komponen karbon tersebut dapat
dibedakan menjadi 2 kelompok yaitu:
a. Karbon di atas permukaan tanah, meliputi:
Biomasa Pohon. Proporsi terbesar cadangan karbon di daratan umumnya terdapat
pada komponen pepohonan. Untuk mengurangi tindakan perusakan selama
pengukuran, biomasa pohon dapat diestimasi dengan menggunakan persamaan
allometrik yang didasarkan pada pengukuran diameter batang (dan tinggi pohon, jika
ada).
Biomassa Tumbuhan Bawah.Tumbuhan bawah meliputi semak belukar yang
berdiameter batang < 5 cm, tumbuhan menjalar, rumput-rumputan atau gulma.
Estimasi biomasa tumbuhan bawah dilakukan dengan mengambil bagian tanaman
(melibatkan perusakan).
Nekromassa. yang merupakan komponen penting dari C dan harus diukur pula agar
diperoleh estimasi cadangan karbon yang akurat.
Seresah.Seresah meliputi bagian tanaman yang telah gugur berupa daun dan ranting-
ranting yang terletak di permukaan tanah.
b. Karbon di dalam tanah, meliputi:
Biomassa Akar. Akar mentransfer karbon dalam jumlah besar langsung ke dalam
tanah, dan keberadaannya dalam tanah bisa cukup lama. Pada tanah hutan biomasa
akar lebih didominasi oleh akar-akar besar (diameter > 2 mm), sedangkan pada tanah
pertanian lebih didominasi oleh akar-akar halus yang lebih pendek daur hidupnya.
Biomasa akar dapat pula diestimasi berdasarkan diameter akar (akar utama), sama
dengan cara untuk mengestimasi biomasa pohon yang didasarkan pada diameter
batang.
Sisa tanaman, hewan dan manusia yang ada di permukaan dan di dalam tanah,
sebagian atau seluruhnya dirombak oleh organisme tanah sehingga melapuk dan
menyatu dengan tanah, dinamakan bahan organik tanah.
Pengukuran cadangan carbon pada tingkat lahan:
Mengukur cadangan karbon di hutan dan lahan pertanian cukup mudah dan dapat
dilakukan sendiri, kapan saja dibutuhkan dan peralatan yang digunakan juga
sederhana. Ada 4 tahap pengukuran yaitu:
1. Mengenal nama jenis pohon untuk mencari nilai berat jenis (BJ) pohon pada daftar BJ
kayu pohon yang telah ada
2. Mengukur volume dan biomasa semua tanaman dan kayu mati yang ada pada suatu
luasan lahan
3. Mengukur kadar total karbon tanaman di laboratorium
4. Menaksir kandungan karbon tersimpan pada lahan yang bersangkutan berdasarkan
tahap 1 -3
Pengukuran biomasa tanaman dapat dilakukan dengan cara:
1. TANPA MELAKUKAN PERUSAKAN (metode ), jika jenis tanaman yang diukur
sudah diketahui rumus allometriknya.
2. MELAKUKAN PERUSAKAN (metode ). Metode ini dilakukan oleh peneliti untuk
tujuan pengembangan rumus allometrik, terutama pada jenis-jenis pohon yang
mempunyai pola percabangan spesifik yang belum diketahui persamaan allometriknya
secara umum. Pengembangan allometrik dilakukan dengan menebang pohon dan
mengukur diameter, panjang dan berat masanya. Metode juga dilakukan pada
tumbuhan bawah, tanaman semusim dan perdu. Alat-alat yang diperlukan untuk
pengukuran dapat dilihat dalam Box 1.
Tentukan dan catat jenis penggunaan lahan yang akan diukur. Jenis penggunaan lahan
bisa dibedakan berdasarkan kerapatan tutupan lahannya, mulai dari yang memiliki
tutupan rapat (hutan alami), sedang (kebun campuran atau agroforestri) dan terbuka
(lahan pertanian semusim).
Sehingga secara umum cadangan karbon didusun kekep termasuk kedalam
kategori sedang. Hal ini dikarenakan sebagian besar di DAS didominasi oleh tanaman
semusim atau pun campuran. Memang terdapat hutan yang memiliki cadangan karbon
yang tinggi, akan tetapi tidak seluas lahan yang dibudidayakan untuk tanaman
semusim. hal ini juga diperkuat dengan pernyataan Hairiah et al. (1997) bahwa hutan
alami merupakan gudang (cadangan) C tertinggi bila dibandingkan dengan lahan
pertanian. Konversi hutan alami di Jambi menjadi hutan sekunder menyebabkan
kehilangan C sekitar 200 Mg ha-1, dimana kehilangan terbesar terjadi di atas
permukaan tanah karena banyak pohon yang dibakar. Sedang di dalam tanah
kehilangan C hanya terjadi dalam jumlah yang relatif kecil. Bila hutan sekunder
dikonversi menjadi lahan pertanian intensif (tanaman semusim monokultur), maka
kehilangan C di atas permukaan tanah bertambah lagi menjadi sekitar 400 Mg C ha -1
dan di dalam tanah kehilangan sekitar 25 Mg C ha -1. Dalam jangka waktu sekitar 25
tahun, jumlah C yang diserap dan diakumulasikan dalam biomasa pohon dan tanaman
lainnya hanya sekitar 5-60 Mg C ha-1 (Tomich et al, 1998).
Dalam hal ini dapat diindikasikan bahwa ditinaju 3 aspek sistem agroforestry
akan memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan penggunaan yang lain:
Aspek Tanah
Dari pernyataan (Hairiah, 2011) dapat diambil kesimpulan bawasannya dalam setiap
kegiatan manusia dalam pemenuhan kebutuhan masusia akan selalu menghasilakn
emisi carbon yang akhirnya akan dilepas keudara bebas yang hanya dapat
dimanfaatkan oleh tanaman. Dalam peritungan carbon stok indicator suatu ekosistem
dianggap stabil apabila terdapat pada hutan alami, sehingga jika dihubungkan dengan
praktek pertanian maka pertanian harus didasarkan oleh konsep hutan alami, sehingga
suatu pertanian akan menghasilkan keuntungan secara ekonomi, dan berwawasan
lingkungan, dan tak lupa juga berperan dalam kelangsungan hidup manusia. Sehingga
dalam prakteknya suatu agroforestry akan berperan dalam penimbunan karbon (C-
sequestration) dan mampu menghasilkan produk yang mempunyainilai ekonomi
tinggi.
Aspek HPT
Dengan konsep agroforestry yang diterapkan pada lahan pertanian yang mempunyai
lahan yang miring, dan sentra horticultura maka secara tidak langsung aka
mendukung kehidupan biotayag terdapatpat daerah tersebut, karena pada daerah
tersebut akan menghasilakn sereah dan seresah tersebut merupakan habitat alami
banyak organisme tanah baik makro mauun mikro fauna, selain itu dengan konsep
agroforestry tentunnya akan terjadi daerah yang memberikan toleransi habitat bagi
organisme huta alami, karena hutan dan agroforestry tidak begitu fluktuatif suasana
yang terbentuk sehingga agroforestry dapat dikatakan daearah koridor biologis.
Aspek BP
Pada aspek BP yang yang diamati adalah bodiversitas dan keragaman tanaman, dari 2
aspek tersebut dapat dikatakan lahan yang memiliki konsep agroforestry tentunya
akan mempunyai bidiversitasbiota dan tanaman serta keragaman yang tinggi sehingga
dilihat dari aspek BP lahan agroforestry tentunya akan lebih stabil kondisi
agroforestry dibandigka dengan kondisi yang lainnya.
Cadangan carbon pada tiap penggunaan lahan berbeda namun, lahan yang telah memiliki
konsep agroekosistem akan memiliki jumlah cadangan carbon yang lebih banyak,
dibandingkan dengan penggunaan yang lainnya. Cadangan carbon kan berbanding lurus
dengan jumlah pohon, namun bukan berarti bahwa tanaman semusim tidak menyerap
carbon. Tanaman semusim akan memiliki jumlah cadangan carbon yang lebih rendah
dibandingkan dengan jumlah cadangan carbon pada lahan yang didominasi dengan
tanaman pohon.
3.1.3. Indikator Pertanian Berlanjut dari Sosial Ekonomi
3.1.3.1. Economically viable (keberlangsungan secara ekonomi)Pada pengamatan Plot 1 dimana berupa lahan hutan milik perhutani yang diolah masyarakat.
Terdapat hubungan kerjasama antara masyarakat sekitar dengan pihak perhutani.
Dimana masyarakat diberi kebebasan untuk mengelola lahan milik perhutani dan
sebaliknya masyarakat memiliki kewajiban untuk menjaga hutan dan membayar
pajak/sewa. Masyarakat diharuskan menbayar biaya sewa lahan pada perhutani
sebesar Rp 200.000,- setiap tahunnya. Tentunya biaya pajak ini tidak seberapa
besar dari keseluruan pendapatan yang diperoleh masyarakat sekitar 10-15 juta
setiap musim tanamnya. Kesadaran dan kerjasama masyarakat sekitar untuk saling
bekerjasama mengarifkan kehidupan mayarakat sekitar. Kehidupan masyarakatpun
terus membaik dan sejahtera, hal ini terlihat dari rumah mereka yang berdinding
bata dan sarana-prasarana yang mendukung. Jalan desa sudah diaspal sehingga
akses masyarakat sekitar mudah. Selain dari sektor pertanian, mereka memiliki
hewan ternak. Secara keseluruhan usaha pertanian yang dilakukan masyarakat desa
berlanjut karena mememiliki penghasilan yang mencukupi untuk kehidupan
mereka saat ini dan beberapa waktu kedepan.
Dari hasil survei yang telah dilakukan pada plot 2 dari narasumber yaitu Bapak
Ali, beliau adalah pemilik lahan. Lahan yang dimiliki beliau seluas 2500 m2.
Komoditas yang ditanam pada lahan beliau adalah wortel. Jumlah produksi selama
satu kali musim tanam adalah 3000-5000 kg. Dan untuk keuntungan selama satu
kali musim tanam beliau bisa mendapatkan Rp. 7.000.000,- hingga Rp 8.000.000,-.
Sehingga untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dapat dikatakan cukup. Meskipun
beliau tidak memiliki ternak atau penghasilan tambahan, keuntungan dari panen
wortel tersebut mampu mencukupi kebutuhan hidup beliau bersama keluarga.
Pada plot 3, petani responden memiliki lahan seluas 0,6 ha dengan perincian
0,2 ha digunakan untuk budidaya kubis, 0,2 ha lagi digunakan untuk budidaya
tanaman brokoli dan sisanya digunakan untuk budidaya tanaman wortel. Bibit yang
digunakan untuk bercocok tanam diperoleh dengan membuat sendiri atau sisa dari
hasil panen yang selanjutnya digunakan untuk bibit, baik itu bibit untuk tanaman
kubis, brokoli dan wortel. Sedangkan untuk pupuk organik petani memanfaatkan
dari kotoran ternak yang beliau miliki. Sebagai petani, responden juga sebagai
peternak. Dimana beliau memiliki sapi dan kelinci yang mana dari kotoran ternak
sapi tersebut digunakan sebagai pupuk. Dengan mencampur kotoran sapi dengan
tetes gula merah kemudian dibiarkan selama 1 sampai 2 minggu dan diletakkan di
bak tertutup sehingga hasil dari dekomposisi dapat dijadikan pupuk kompos.
Sedangkan untuk pupuk anorganik petani responden memilih untuk membeli.
Pupuk anorganik yang digunakan adalah Urea sebanyak 100kg yang diaplikasikan
sebanyak 3 kali. Selain itu juga menggunakan pupuk SP36 sebanyak 1 kw yang
diaplikasikan sebanyak 2 kali. Modal dihasilkan sendiri dari usahanya bercocok
tanam dan berternak. Untuk modal tanah adalah warisan dari kedua orangtuanya
yang telah meninggal. Rata-rata hasil produksi pertanian yang dihasilkan dijual
(komersial) dan ada pula sebagian yang dikonsumsi sendiri (subsisten). Sistem
pemasaran yang dilakukan oleh petani responden adalah langsung dijual ke
tengkulak. Untuk tanaman brokoli pada saat itu tersedia dengan harga wajar.
Sedangkan untuk kubis pada saat itu tersedia dengan harga dibawah standart.
Begitu pula untuk wortel harga juga dibawah standart. Menurut informasi yang
terakhir kali didapat bahwa harga untuk komoditas kubis per kg seharga Rp 200,-
dengan jumlah produksi 7-8 ton, sedangkan untuk brokoli produksinya mencapai 1
½ ton dengan harga per kg Rp 10.000,-. Dan untuk komoditas wortel harga per kg
adalah Rp 1.000,- dengan jumlah produksi 4-9 ton.
Pengamatan pada plot 4, lahan yang digarap oleh petani adalah lahan hutan
milik perhutani yang mana terdapat kerjasama antara masyarakat sekitar dengan
pihak perhutani. Para petani diberikan kebebasan untuk mengelola lahan milik
perhutani tersebut namun mereka juga memiliki kewajiban untuk menjaga
kelestarian hutan dengan tidak melakukan penebangan pohon di hutan seperti yang
telah ditetapkan dalam perjanjian. Mereka hanya boleh memanfaatkan kayu dari
hutan dengan syarat kayu tersebut memang sudah roboh dengan sendirinya. Jika
ada yang melanggar peraturan yang di tetapkan maka petani akan mendapatkan
sanksi berupa denda. Kemudian petani juga harus membayar biaya sewa lahan
kepada pihak perhutani sebesar RP 200.000,- setiap tahunnya. Menurut petani
responden yang kami wawancarai biaya sewa lahan tesebut dirasa sangat murah
jika di bandingkan dengan harga sewa lahan di tempat lain.
Selain bergelut pada sektor pertanian, masyarakat di daerah tersebut juga
memiliki hewan ternak yang mana hasil ternaknya juga bisa di gunakan untuk
menambah pendapatannya, bahkan kotoran ternaknya jika lebih dapat dijual
kepada para tetangganya yang membutuhkan untuk dijadikan pupuk di lahannya
seharga 130rb/ 10 karung. Dan untuk tenaga kerja biasanya mereka di bantu oleh
para tetangganya dengan biaya untuk pengolahan sebesar Rp. 30.000,- / hari.
Penyiangan Rp. 20.000,-/ hari. Penyemprotan Rp. 30.000,- / setengah hari.
Menurut petani responden yang kami wawancarai, beliau rata-rata mengeluarkan
biaya sebesar Rp. 7.000.000,- untuk modal awal menanam komoditas wortel
dengan luas lahan ¼ Ha. Jika tidak ada kendala dan hasil budidayanya baik beliau
bisa mendapatkan hasil sebesar RP.15.000.000, namun jika sangat buruk hanya
mendapatkan hasil sebanyak 3 ton dengan keuntungan Rp. 4.500.000,-.
Jika melihat data dari hasil survei pada keempat plot dapat diambil kesimpulan
bahwa usahatani dari keempat responden tersebut layak karena semua usahatani
memberikan keuntungan yang dapat mencukupi kebutuhan sehari – hari keluarga
petani. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa usahatani pada Dusun Kekep
dapat memberikan kelayakan ekonomi untuk setiap pemilik usahatani.
3.1.3.2. Ecologically sound (ramah lingkungan)Pada saat ini sebagian besar pertanian di Indonesia tidak terlepas dari
penggunaan pupuk dan pestisida anorganik. Dimana penggunaannya melebihi
dosis yang dianjurkan sehingga dapat merusak lingkungan. Sama halnya dengan
pertanian di Dususn Kekep, Desa Tulungrejo, Kecamatan Bumiaji, kota Batu
tersebut. Pada plot 1, berupa lahan hutan dapat dikatakan agroekosistem seimbang.
Masyarakat telah melakukan upaya-upaya untuk menjaga keseimbangan
lingkungan antara lain penggunaan pupuk kandang, larangan menebang pohon
hutan, larangan pembukaan hutan dan penerapan teras bangku. Interaksi antara
komponen pada area ini menjadikan fungsi masing-masing komponen bisa berjalan
dengan baik dan fungsi layanan lingkungan bisa tersedia secara alami. Bentuk
lahan yang berupa perbukitan, menjadi ancaman terjadinya bahasa erosi. Untuk
meminimalisir hal tersebut masyarakat sudah mampu melakukan upaya konservasi
yaitu membuat teras bangku sesuai dengan kelerengan yang ada dan aplikasi teras
bangku yang mampu menahan erosi yang terjadi.
Dari hasil wawancara yang telah dilakukan pada plot 2, narasumber (Bp. Ali)
mengatakan bahwa beliau menggunakan pupuk anorganik dan pestisida kimia.
Selama satu kali musim tanam beliau bisa menghabiskan pupuk Urea, ZA dan
Rustika sebanyak 1 ½ kw untuk masing – masing jenis pupuk. Dari penuturan
beliau, mengatakan bahwa pemupukan tidak dilakukan sesuai dengan dosis yang
telah dianjurkan pada kemasan, karena apabila disesuaikan dengan dosis yang telah
dianjurkan beliau beranggapan kurang memuaskan, sehingga dilebihkan. Begitu
pula dengan pestisida dimana penggunaannya juga melebihi dosis yang telah
dianjurkan. Penggunaan pupuk dan pestisida kimia yang berlebihan akan
menimbulkan dampak buruk bagi lingkungan sekitar, sehingga dapat dikatakan
teknik budidaya pada plot 2 tidak ramah lingkungan karena pengaplikasian pupuk
dan pestisida kimia yang berlebihan.
Dalam melakukan usahataninya narasumber pada plot 3 mengunakan pupuk
kimia, seperti Urea dan SP36. Dan selalu melakukan penyemprotan pestisida
kimia, mulai dari pembibitan hingga panen. Penyemprotan pestisida kimia tersebut
dilakukan selama satu kali dalam seminggu tanpa melihat ada hama yang
menyerang. Petani sebenarnya juga menyadari bahwa tindakan yang dilakukan
dapat mencemari lingkungan dan ekosistem yang ada. Namun menurut mereka
tidak ada jalan lain lagi ketika organisme pengganggu tanaman mulai menyerang
maka petani langsung menyemprotnya. Mereka tidak mau mendapat rugi ataupun
produktivitasnya menurun hanya karena serangan dari OPT. Lahan pertanian di
daerah tersebut sudah dibuka kira-kira sejak tahun 1820. Petani setempat berencana
akan menggunakan lahan sebagai lahan pertanian selamanya, kecuali jika ada
rencana lain dari pemerintah. Penggunaan pestisida yang terjadwal dapat
mengakibatkan hama menjadi resisten dan resurjensi terhadap pestisida.
Pada plot 4, di sampingnya berupa lahan hutan dan dapat dikatakan
agroekosistem seimbang. Masyarakat telah melakukan upaya-upaya untuk menjaga
keseimbangan lingkungan antara lain penggunaan pupuk kandang, larangan
menebang pohon hutan, larangan pembukaan hutan dan penerapan teras bangku.
Interaksi antara komponen pada area ini menjadikan fungsi masing-masing
komponen bisa berjalan dengan baik dan fungsi layanan lingkungan bisa tersedia
secara alami.
Untuk mencapai pertanian yang berkelanjutan kita harus memperhatikan
tanaman dan lingkungan sekitar agar tidak tercemar. Bukan berarti pestisida sangat
tidak diperbolehkan dalam berbudidaya tanaman. Pestisida boleh diaplikasikan
namun tetap harus memperhatikan kapan waktu yang tepat untuk pengaplikasian,
berapa dosis yang dibutuhkan, dan sasarannya juga harus tepat. Selain itu
pengaplikasiannya harus memperhatikan ketika populasi tersebut telah melampaui
ambang batas ekonomi. Jika melihat dari hasil survei pada plot 1 dan plot 2 dapat
menunjukkan bahwa agroekosistem seimbang, namun pada plot 2 dan 3 dari
banyaknya penggunaan pupuk dan pestisida kimia tidak dibenarkan apabila masuk
dalam kategori ramah lingkungan, dikarenakan penggunaan pupuk dan pestisida
yang melebihi dosis yang dianjurkan.
3.1.3.3. Socially just (berkeadilan = menganut azas keadilan) Dusun Kekep merupakan dusun yang sebagian besar penduduknya berprofesi
sebagai petani tanaman hortikultura. Dahulu, dusun ini hanya dihuni oleh beberapa
rumah warga saja. Namun saat ini Dusun Kekep telah banyak dihuni oleh
masyarakat. Masyarakat yang kini tinggal di Dusun Kekep adalah warga pendatang
dari desa lain yang akhirnya menetap di Dusun Kekep dan mengolah lahan
disekitar dusun sebagai lahan pertanian hortikultura. Pada plot 1, terdapat
kerjasama anatara masyarakat sebagai pengelola lahan dan perhutani sebagai
pemiliki lahan hutan. Masing-masing kepala keluarga diberi jatah ¼ ha pada lahan
milik perhutani. Dalam prakteknya masyarakat diberi kebebasan untuk mengelola
lahannya dan dari perhutani memiliki aturan-aturan yang harus dipatuhi
masyarakat. Selain itu masyarakat diwajibkan untuk membayar biaya pajak sebesar
Rp 200.000 setiap tahunnya. Adanya aturan itu ditaati oleh masyarakat, karena dari
segi hak mereka sebagai pengelola lahan terpenuhi dan kesadaran masyarakat
untuk menjaga dan mengelola hutan semakin baik.
Menurut informasi yang didapatkan dari plot 2, yaitu Bapak Ali saat ini tidak
ada rencana untuk mengalih fungsikan lahan pertanian di desa ini. Karena
penggunaan lahan di daerah ini telah diatur baik oleh warga sekitar dan
PERHUTANI. Warga tidak melakukan alih fungsi lahan karena untuk menjaga
lingkungan sekitar dari kerusakan – kerusakan alam yang dapat merusak lahan
pertanian mereka, yang merupakan sumber pendapatan. Dalam kurun waktu 2
tahun terakhir ini telah terjadi pengalih fungsi lahan hutan menjadi lahan pertanian,
hal ini tidak begitu saja dilakukan oleh warga namun juga telah melalui perizinan
dari PERHUTANI. Hal tersebut diatas menyebabkan terjadi perubahan luas lahan
hutan yang dikelola oleh PERHUTANI yaitu semakin berkurang walaupun tidak
banyak, perubahan fungsi lahan hutan ini digunakan oleh warga sekitar sebagai
lahan pertanian. Bapak Ali menyatakan bahwa tidak ada peraturan di wilayah
tersebut tentang pemanfaatan lahan, namun pengalih fungsian lahan harus
memperhatikan aspek ekologis dan lingkungan. Secara tidak tertulis masyarakat
Dusun Kekep melindungi dan menjaga hutan untuk tidak di eksploitasi, namun
tidak terdapat tempat tertentu yang secara adat atau kesepakatan masyarakat
dilindungi. Hutan tersebut dilindungi dan dijaga agar tetap terjaga keseimbangan
ekosistem lingkungan.
Wawancara yang telah dilakukan dengan petani pada plot 3, beliau
mengatakan bahwa pernah mengikuti kelompok tani yang ada di desanya akan
tetapi pada akhirnya kelompok tani tersebut dibubarkan karena terjadi kegagalan.
Hal ini disebabkan oleh beberapa hal yaitu kurangnya kerukunan antar anggota
kelompok tani tersebut, kemudian kurangnya pengisi ataupun bisa disebut sebagai
penyuluh yang datang untuk melakukan pengaraham tentang sistem pertanian di
dusun Kekep ini.
Selain itu beliau juga mengatakan bahwa kelompok tani yang sempat
terbentuk tersebut anggotanya sangat kurang, hal ini menunjukkan bahwa
masyarakat petani yang ada di dukuh Kekep tersebut masih belum menyadari akan
pentingnya suatu kelembagaan untuk mendukung praktek budidaya yang mereka
lakukan tersebut. Sehingga dapat disimpulkan bahwa para petani yang ada di
Dukuh Kekep tersebut masih mementingkan kepentingan pribadi apabila
dibandingkan dengan kerja sama yang seharusnya perlu dilakukan antar petani.
Selain itu, dapat dilihat juga bahwa usaha tani yang telah dilakukan para petani di
dukuh Kekep ini dikerjakan individu tanpa ada kerja sama dengan petani-petani
lain.
Padahal seperti yang kita tahu bahwa dengan adanya kelompok tani di suatu
desa dengan masyarakat petani sebagai pelaku utamanya, dapat sangat membantu
dan mendukung keberlanjutan usaha tani yang sedang dilakukan oleh para petani di
Dukuh Kekep ini. Hal-hal yang dapat mendukung kegiatan usahatani dan kaitannya
dengan kelompok tani yaitu menyediakan saprodi seperti benih, pupuk, dll.
Kemudian kelompok tani bisa membantu menyediakan akses informasi, pasar dan
usaha tani lain yang terkait dengan sumberdaya, khususnya lahan. Dengan begitu
maka para petani cukup terbantu, karena selama ini para petani di dukuh Kekep
langsung menjual produksi taninya kepada tengkulak.
Menurut petani responden yang diwawancarai pada plot 4 , terdapat adanya
kerjasama anatara masyarakat petani di daerah tersebut sebagai pengelola lahan
dengan pihak perhutani sebagai pemilik lahan hutan yang diolah oleh petani.
Masing-masing kepala keluarga diberi jatah ¼ ha pada lahan miliki perhutani. Oleh
pihak perhutani masyarakat diberi kebebasan untuk mengelola lahan tersebut,
namun dari perhutani memiliki aturan-aturan yang harus dipatuhi seperti larangan
menebang pohon dan perluasan areal lahan secara sepihak. Selain itu masyarakat
diwajibkan untuk membayar biaya sewa lahan sebesar Rp 200.000,- setiap
tahunnya pada pihak perhutani. Adanya aturan itu ditaati oleh masyarakat, karena
dari segi hak mereka sebagai pengelola lahan terpenuhi dan kesadaran masyarakat
untuk menjaga dan mengelola hutan semakin baik, kemudian dengan harga sewa
sebesar itu dirasa sangat murah bagi para petani jika di bandingkan dengan sewa
lahan ditempat lain. Kemudian jika ada pelanggaran yang terjadi pada lahan
pehutani tersebut maka yang bersangkutan akan dikenakan sanksi berupa denda.
Melihat pernyataan dari keempat responden dapat disimpulkan bahwa ada
keadilan dalam usahatani mereka. Terjalinnya kerjasama antara masyarakat petani
dan Perhutani terjaga dengan baik. Masyarakat mendapatkan hak yang sesuai
dengan kewajiban yang telah dilaksanakan.
3.1.3.4. Culturally acceptable (berakar pd budaya setempat) Pada plot 1, masyarakat melakukan budidaya tumpangsari antara tanaman
tahunan Alpukat, Nangka dan Pisang dengan tanaman Hortikultura berupa Wortel
dan Kubis. Budidaya tersebut merupakan aturan dari Perhutani karena di lahan
tersebut sebagai upaya untuk menjaga ekosistem dan konservasi lingkungan.
Masyarakat diizinkan untuk mengelola lahan tersebut namun dilarang untuk
membuka lahan baru dan menebang pohon.
Adanya budaya dan aturan ini sangat dipatuhi masyarakat karena mereka sadar
akan pentingnya melestarikan lingkungan. Kebutuhan masyarakat sekitar tetap
tercukupi meskipun mereka tidak diperkenankan membuka lahan di plot 1 yang
dekat dengan bendungan.
Untuk plot 2 dilihat dari segi kearifan lokal, menurut beliau petani didesa
tersebut tidak menganut sistem kepercayaan atau adat istiadat. Sehingga dalam
menentukan masa tanam petani tidak menggunakan pranoto mongso (tanda – tanda
alam dalam melakukan aktifitas pertanian). Melainkan petani sekitar melakukan
budidaya menurut sistem tanam yang sering atau umum digunakan oleh petani
sekitar. Saat ini, kegiatan-kegiatan pertanian yang dilakukan di desa tersebut sudah
tidak menggunakan sistem budaya gotong royong atau tolong menolong antar
sesama petani. Berbeda dengan zaman dahulu yang masih memiliki rasa saling
tolong menolong dan bergotong royong dalam melakukan kegiatan- kegiatan
pertanian. Hal tersebut bisa terjadi karena munculnya sifat individualis diantara
petani karena mereka hanya berorientasi kepada profit dan tidak menghiraukan
aspek sosial diantara petani. Menurut beliau, tidak ada tokoh panutan dalam
pengelolan usahataninya.
Sesuai dengan wawancara yang telah dilakukan kepada salah satu petani di
plot 3, beliau mengatakan bahwa ada salah satu kepercayaan yang sering dilakukan
di daerah tersebut yaitu melakukan selametan yang biasanya masyarakat sekitar
desa tersebut menyebutnya dengan sebutan metri. Tradisi metri ini dilakukan saat
panen tiba terutama untuk komoditas padi dengan tujuan syukuran ataupun
berterima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa atas apa yang telah diberikan.
Kemudian tradisi lain yang biasanya dilakukan saat panen yaitu hanya selametan
yang hanya dilakukan di rumah. Selametan ini biasanya dilakukan oleh petani
komoditas sayuran.
Hal ini menunjukkan bahwa kepercayaan adat istiadat yang ada di Dukuh
Kekep tersebut masih sangat kuat terutama yang terkait dengan usahatani yang
sedang dilakukan. Kemudian hal lain yang berkaitan dengan pengetahuan teknis
tradisional dalam pembangunan sistem pertanian, salah satunya yaitu pembuatan
pupuk organik dengan cara tradisional. Para petani di Dukuh Kekep tersebut salah
satunya petani yang kami wawancarai tidak pernah membuat pupuk organik dari
kotoran hewan ternak ataupun yang lain karena semua petani tersebut
menggunakan aplikasi dari pupuk kimia.
Menurut petani responden yang diwawancarai pada plot 4 masih ada budaya
yang kental di daerah ini, seperti penentuan pranoto mongso yang mana para petani
melakukan musyawarah dengan sesama petani untuk menentukan komoditas apa
yang akan ditanam sampai dengan standar harga jual hasil budidaya mereka. Selain
itu sejak awal pembukaan lahan pihak perhutani memberikan aturan bagi para
petani yang mana hanya dibolehkan menanam komoditas dengan tumpangsari
antara tanaman tahunan Alpukat, Nangka dan Pisang dengan tanaman Hortikultura
berupa Wortel dan Kubis. Budidaya tersebut merupakan aturan dari Perhutani
karena di lahan tersebut sebagai upaya untuk menjaga ekosistem dan konservasi
lingkungan. Namun aturan tersebut menjadi turun temurun dari dulu dan
membudaya. Meskipun sudah adanya aturan-aturan penanaman macam komoditas
seperti di atas para petani sekitar masih percaya dengan orang yang dianggap
mempunyai kemampuan lebih seperti sesepuh dari desa untuk bertanya komoditas
apa yang harus mereka tanam agar bisa mendapat keuntungan yang maksimal dan
tak ada halangan saat proses budidaya.
Budaya dan aturan yang ada di wilayah tersebut sangat dipatuhi oleh
masyarakat sekitar. Seperti halnya penentuan pranoto mongso yang mana para
petani melakukan musyawarah dengan sesama petani untuk menentukan komoditas
apa yang akan ditanam sampai dengan standar harga jual hasil budidaya mereka.
Budaya pada daerah tersebut masih terjaga, aturan pun juga sangat dipatuhi oleh
masyarakatnya.
3.2. Pembahasan Umum
3.2.1. Keberlanjutan Sistem Pertanian di Lokasi PengamatanIndikator Keberhasilan Plot 1 Plot 2 Plot 3 Plot 4
Produksi vv vvv vvvv vvvvAir v v v vKarbon vvvv vvv v vHama vv vv vvv vvGulma vvvv vv v v
3,25 2,75 2,5 2,25
Catatan: V=Kurang, VV= sedang, VVV= Baik, VVVV= Sangat Baik
Tabel diatas merupakan tabulasi data dari ketiga lokasi pengamatan, yaitu dusun
Kekep, Desa Tulungrejo, Kec. Bumiaji, Kota Batu, Jawa Timur. Dalam data tersebut
ada indikator yang digunakan untuk menilai kondisi biofisik di wilayah praktikum.
Indikator tersebut meliputi produksi, kondisi kualitas air, karbon, hama dan gulma.
Pada Plot 1 secara aktual merupakan lahan hutan produksi yang ddalamnya
didapati banyak tanaman baik tanaman musiman (gulma) maupun tanaman tahunan
yang asli ditanam didaerah tersebut, jika dilakukan penilaian tingkat plot didapatkan
hasil bahwa keberlanjutan tingkat plot untuk plot yang pertama dapat dindikasikan
bahwa telah menuju pertanian berlanjut. Hal tersebut didasarkan dari hasil pengamatan
terhadap ke 5 aspek (Produksi, air, karbon, hama dan gulma) dilihat dari segi sosial
ekonomi plot 1 memiliki penghasilan sedang, dengan kualitas air yang kurag namun
memiliki tingkan cadaga carbo yang sangat baik. Selain itu pada plot 1dominasi satu
individu hama sedang serta gulma memiliki peran sangat baik pada plot satu
dikarenakan lahan tersebut hutan, sehingga biodiversitas sangat dperhatikan. Jika
dilihat dari aspek ekonomi sedang dkarenakan hutan alami tersebut belum secara
keseluruha dimanfaatkan (Dipanen) hanya sebagian tanaman yang dipanen sehingga
hasilnya masih sedang. Untuk kualitas air sendiri daerah plot satu merupakan daerah
aliran sungai yang berada didaerah hulu, yangdiindikasikan bahwa daerah hulu yang
lebih dekat dengan sumber air telah mengalami degradasi lahan, hal tersebut diambil
kesimplan dari kejadian alam yang setiap terjadi hujan maka air sungai akan berubah
jadi keruh dan berlumpur.
Pada Plot 2 secara aktual merupakan lahan agroforestry sederhana yang
didalamnya didapati banyak tanaman baik tanaman musiman maupun tanaman tahunan
yang asli ditanam didaerah tersebut, jika dilakukan penilaian tingkat plot didapatkan
hasil bahwa keberlanjutan tingkat plot untuk plot ke-2 dapat dindikasikan bahwa telah
menuju pertanian berlanjut. Hal tersebut didasarkan dari hasil pengamatan terhadap ke
5 aspek (Produksi, air, karbon, hama dan gulma) dilihat dari segi sosial ekonomi plot
ke- 2 memiliki penghasilan baik, dengan kualitas air yang kurang namun memiliki
tingkan cadagan carbon yang baik. Selain itu pada plot ke 2 dominasi satu individu
hama terhadap agroekosistem sedang serta gulma memiliki peran baik pada plot ke-2
dikarenakan lahan tersebut tersebut merupakan lahan agroforestry yang sebian lahan
merupaka tanaman tahunan dan sebagian lagi tanaman musiman, gulma berperan
sangat baik ketika pada tanaman tahunan yaitu berperan sebagai tanaman penutup tanah
dan berperan kurang baik ketika berada ditanaman musiman menyebabkan persaingan
unsurhara, air dan cahaya namun biodiversitas sangat dperhatikan. Jika dilihat dari
aspek ekonomi sedang dkarenakan agroforestry tersebut belum secara keseluruhan
dimanfaatkan (Dipanen) hanya sebagian tanaman yang dipanen (Tanaman musiman)
sehingga hasilnya masih sedang. Untuk kualitas air sendiri daerah plot satu merupakan
daerah aliran sungai yang berada didaerah hulu, yang diindikasikan bahwa daerah hulu
yang lebih dekat dengan sumber air telah mengalami degradasi lahan, hal tersebut
diambil kesimplan dari kejadian alam yang setiap terjadi hujan maka air sungai akan
berubah jadi keruh dan berlumpur. Untuk cadangan carbon sendiri plot 2 lebih rendah
dibandingkan denga plot ke1 hal tersebut karena jumlah pohon pada plot 2 lebih sedikit
dibandingkan dengan plot ke 1, dan hal itu selaras dengan pernyatan (Hairiah, 2011)
bawasanya bank carbon terdapat padahutan yang memiliki banyak tanaman alami hutan
tersebut (Tanaman tahunan).
Lahan plot 3 jika dilakukan penilaian tingkat plot didapatkan hasil bahwa
keberlanjutan tingkat plot untuk plot ke-2 dapat dindikasikan bahwa belum menuju
pertanian berlanjut. Hal tersebut didasarkan dari hasil pengamatan terhadap ke 5 aspek
(Produksi, air, karbon, hama dan gulma) dilihat dari segi sosial ekonomi plot ke 3
memiliki penghasilan sangat baik, Namun berbeda halnya dengan kualitas air yang
kurang serta memiliki tingkat cadangan carbon yang kurang. Selain itu pada plot ke 3
dominasi satu individu tidak terjadi di plot 3 hal tersebut terjadi karena praktek
pertanian yang sangat intensif, selaian itu gulma memiliki peran yang kurang baik pada
plot ke-2 dikarenakan lahan tersebut tersebut merupakan lahan tanaman musiman yang
jika terdapat gulma maka akan terjad persainga unsurhara, air dan cahaya. Pada lahan
tersebut tanaman semusim yaitu kubis, cabai bunga mawar yang memiliki tingkat
sebaran rapat, sehingga memiliki cadangan karbon kurang selain itu praktek pertanian
monokultur merupakan praktek pertanian yang dititikberatkan pada nilai ekonomi tanpa
memperhatikan asek yang lainnya.
Pada lahan plot 4 adalah tanaman semusim yaitu wortel dan pemukiman
penduduk, tanaman yang ada tingkat sebarannya yang rapat, maka memiliki cadangan
karbon kurang. Hal ini seperti halnya pada plot ke 3 yang memiliki cadangan karbon
kurang. Selain itu kualitas air juga kurang, gulma dan hama sangat mempengaruhi
hasil tanaman selain itu juga sangat mempengaruhi tindakan budidaya yang dilakukan
petani. Pada plot 4 tanaman yang ditemui adalah tanaman wortel yang dan sebagian
wilyah pemukiman. Dari plot 4 yang diamati yang paling menonjol dari beberapa aspek
yang diamati adalah malah produksi yang tinggi, namun 4 aspek lain yang kurang
sesuai dengan konsep pertaian berlanjut. Hal ini dapat diambil kesimpulan bawasannya
plot 1 belum menuju praktek pertanian yang berkelanjutan, namun malah terkesan
praktek pertanian intensif dengan tanaman monokultur dengan input extra, hal tersebut
dilihat dari dekatnya dengan pemukiman dan banyaknya wadah bahan kimia (pestisida
yang ditemui.
Penilaian Skala lanskap, sehingga secara umum cadangan karbon didusun
kekep termasuk kedalam kategori sedang. Hal ini dikarenakan sebagian besar di DAS
didominasi oleh tanaman semusim atau pun campuran. Memang terdapat hutan yang
memiliki cadangan karbon yang tinggi, akan tetapi tidak seluas lahan yang
dibudidayakan untuk tanaman semusim. hal ini juga diperkuat dengan pernyataan
Hairiah et al. (1997) bahwa hutan alami merupakan gudang (cadangan) C tertinggi bila
dibandingkan dengan lahan pertanian. Sehingga diindikasikan bahwa penilaian secara
lanskap (Plot 1- plot 4) belum menuju konsep pertanian berkelanjutan. Hal tersebut
dilihat dari masih banyaknya praktek pertaian monokultur serta dilihat dari 5 faktor
seperti cadangan carbon, air, gulma, hama serta produksi, dari ke lima aspek hailnya
sangat fluktuatif, tergantung dari jenis penggunaan lahan pertanian, banyak lahan yang
digunakan untuk satu jenis tanaman sehingga banyak aspek seperti gulma, hama dan
cadangan carbon yang sangat tergantung penggunaan lahan jadi disimpulkan bahwa
penggunaan lahan pada skala lanskap belum menuju pertanian berlanjut.
BAB 4. PENUTUP
4.1 Kesimpulan
4.2 Saran
LAMPIRANSketsa Penggunaan Lahan di Lokasi Pengamatan
Sketsa Transek
Data lapang
Hasil interview
Gambar 2. Transek Plot 1