Post on 25-Jan-2016
description
TINJAUAN PUSTAKA
1. ANATOMI
Vesica Fellea
Kandung empedu (Vesica fellea) adalah kantong berbentuk buah advokat yang
terletak pada permukaan visceral hepar dengan panjang sekitar 4-6 cm dan berisi 30-60 ml
empedu. Kandung empedu tertutup seluruhnya oleh peritoneum visceral, tetapi
infundibulum kandung empedu tidak terfiksasi ke permukaan hati oleh lapisan
peritoneum. Apabila kandung empedu mengalami distensi akibat bendungan oleh batu,
bagian infundibulum menonjol seperti kantong yang disebut kantong Hartmann.
(Sjamsuhidayat, 2011).
Vesica fellea dibagi menjadi fundus, corpus dan collum. Fundus berbentuk bulat
dan biasanya menonjol dibawah pinggir inferior hepar, dimana fundus berhubungan
dengan dinding anterior abdomen setinggi ujung rawan costa IX kanan. Corpus
bersentuhan dengan permukaan visceral hati dan arahnya keatas, belakang dan kiri.
Collum dilanjutkan sebagai duktus sistikus yang berjalan dalam omentum minus untuk
bersatu dengan sisi kanan duktus hepatikus komunis membentuk duktus koledokus. (Snell,
2006).
Duktus
Duktus sistikus panjangnya 1-2 cm dengan diameter 2-3 mm. Dinding lumennya
mengandung katup berbentuk spiral disebut katup spiral Heister, yang memudahkan cairan
empedu masuk kedalam kandung empedu, tetapi menahan aliran keluarnya. Saluran
empedu ekstrahepatik terletak didalam ligamentum hepatoduodenale yang batas atasnya
porta hepatis, sedangkan batas bawahnya distal papilla Vater. Bagian hulu saluran empedu
intrahepatik berpangkal dari saluran paling kecil yang disebut kanalikulus empedu yang
meneruskan curahan sekresi empedu melalui duktus interlobaris ke duktus lobaris dan
selanjutnya ke duktus hepatikus di hilus. (Sjamsuhidayat, 2011).
Panjang duktus hepatikus kanan dan kiri masing-masing antara 1-4 cm. Panjang
duktus hepatikus komunis sangat bervariasi, bergantung pada letak muara duktus sistikus.
1
Duktus koledokus berjalan di belakang duodenum menembus jaringan pankreas dan
dinding duodenum membentuk papilla Vater yang terletak di sebelah medial dinding
duodenum. Ujung distalnya dikelilingi oleh otot sfingter Oddi, yang mengatur aliran
empedu ke dalam duodenum. Duktus pankreatikus umumnya bermuara ditempat yang
sama oleh duktus koledokus di dalam papilla Vater, tetapi dapat juga terpisah.
(Sjamsuhidayat, 2011).
Pendarahan
Pembuluh arteri kandung empedu adalah a.cystica, cabang a.hepatica kanan. V.
cystica mengalirkan darah langsung ke dalam vena porta. Sejumlah arteri yang sangat
kecil dan vena – vena juga berjalan antara hati dan kandung empedu. (Snell, 2006).
Pembuluh limfe dan persarafan
Pembuluh limfe berjalan menuju ke nodi lymphatici cysticae yang terletak dekat
collum vesica fellea. Dari sini, pembuluh limfe berjalan melalui nodi lymphatici
hepaticum sepanjang perjalanan a. hepatica menuju ke nodi lymphatici coeliacus. Saraf
yang menuju ke kandung empedu berasal dari plexus coeliacus. (Snell, 2006).
Gambar 1. Gambaran anatomi kandung empedu
2
2. FISIOLOGI
Sekresi Empedu
Empedu dibentuk oleh sel-sel hati ditampung di dalam kanalikuli. Kemudian
disalurkan ke duktus biliaris terminalis yang terletak di dalam septum interlobaris. Saluran
ini kemudian keluar dari hati sebagai duktus hepatikus kanan dan kiri. Kemudian
keduanya membentuk duktus biliaris komunis. Pada saluran ini sebelum mencapai
doudenum terdapat cabang ke kandung empedu yaitu duktus sistikus yang berfungsi
sebagai tempat penyimpanan empedu sebelum disalurkan ke duodenum. (Snell, 2006).
Empedu melakukan dua fungsi penting yaitu :
a. Empedu memainkan peranan penting dalam pencernaan dan absorpsi lemak karena
asam empedu yang melakukan dua hal antara lain: asam empedu membantu
mengemulsikan partikel-partikel lemak yang besar menjadi partikel yang lebih kecil
dengan bantuan enzim lipase yang disekresikan dalam getah pancreas. Asam empedu
membantu transpor dan absorpsi produk akhir lemak yang dicerna menuju dan melalui
membran mukosa intestinal.
b. Empedu bekerja sebagai suatu alat untuk mengeluarkan beberapa produk buangan
yang penting dari darah, antara lain bilirubin, suatu produk akhir dari penghancuran
hemoglobin, dan kelebihan kolesterol yang di bentuk oleh sel- sel hati. (Guyton and
Hall, 2007).
Penyimpanan dan Pemekatan Empedu
Empedu diproduksi oleh sel hepatosit sebanyak 500-1500 ml per hari. Empedu
yang disekresikan secara terus-menerus oleh sel-sel hati disimpan dalam kandung empedu
sampai diperlukan di duodenum. Volume maksimal kandung empedu hanya 30-60 ml.
Meskipun demikian, sekresi empedu selama 12 jam (biasanya sekitar 450 ml) dapat
disimpan dalam kandung empedu karena air, natrium, klorida, dan kebanyakan elektrolit
kecil lainnya secara terus menerus diabsorbsi oleh mukosa kandung empedu, memekatkan
zat-zat empedu lainnya, termasuk garam empedu, kolesterol, lesitin, dan bilirubin.
Kebanyakan absorpsi ini disebabkan oleh transpor aktif natrium melalui epitel kandung
empedu, dan keadaan ini diikuti oleh absorpsi sekunder ion klorida, air, dan kebanyakan
3
zat-zat terlarut lainnya. Empedu secara normal dipekatkan sebanyak 5 kali lipat dengan
cara ini, sampai maksimal 20 kali lipat. (Guyton and Hall, 2007).
Pengosongan Kandung Empedu
Pengaliran cairan empedu diatur oleh tiga faktor, yaitu sekresi empedu oleh hati,
kontraksi kandung empedu, dan tahanan sfingter koledokus. Empedu dialirkan sebagai
akibat kontraksi dan pengosongan parsial kandung empedu. Mekanisme ini diawali
dengan masuknya makanan berlemak ke dalam duodenum. Lemak menyebabkan
pengeluaran hormon kolesistokinin dari mukosa duodenum, kemudian masuk kedalam
darah dan menyebabkan kandung empedu berkontraksi. Pada saat yang sama, otot polos
yang terletak pada ujung distal duktus koledokus dan sfingter Oddi mengalami relaksasi,
sehingga memungkinkan masuknya empedu yang kental ke dalam duodenum. (Guyton
and Hall, 2007).
Proses koordinasi aktifitas ini disebabkan oleh dua hal yaitu :
1) Hormonal :
Zat lemak yang terdapat pada makanan setelah sampai duodenum akan merangsang
mukosa sehingga hormon kolesistokinin akan terlepas. Hormon ini yang paling besar
peranannya dalam kontraksi kandung empedu.
2) Neurogen :
Stimulasi vagal yang berhubungan dengan fase cephalik dari sekresi cairan
lambung atau dengan refleks intestino-intestinal akan menyebabkan kontraksi dari
kandung empedu.
Rangsangan langsung dari makanan yang masuk sampai ke duodenum dan
mengenai sfingter Oddi. Sehingga pada keadaan dimana kandung empedu
lumpuh, cairan empedu akan tetap keluar walaupun sedikit.
Secara normal pengosongan kandung empedu secara menyeluruh berlangsung
selama sekitar 1 jam. Pengosongan empedu yang lambat akibat gangguan neurologis
maupun hormonal memegang peran penting dalam perkembangan inti batu. (Guyton and
Hall, 2007) .
4
Gambar 2a. Kontraksi sfingter Oddi dan pengisian empedu ke kandung empedu. 2b. Relaksasi sfingter Oddi dan pengosongan kandung empedu.
Komposisi Cairan Empedu
KomponenEmpedu
Hati
Empedu
Kandung Empedu
Air 97,5 gr/dl 92 gr/dl
Garam Empedu 1,1 gr/dl 6 gr/dl
Bilirubin 0,04 gr/dl 0,3 gr/dl
Kolesterol 0,1 gr/dl 0,3 – 0,9 gr/dl
Asam Lemak 0,12 gr/dl 0,3 – 1,2 gr/dl
Lecithin 0,04 gr/dl 0,3 gr/dl
Na+ 145 mEq/L 130 mEq/L
K+ 5 mEq/L 12 mEq/L
Ca+ 5 mEq/L 23 mEq/L
Cl- 100 mEq/L 25 mEq/L
HCO3- 28 mEq/L 10 mEq/L
Garam empedu, lesitin, dan kolesterol merupakan komponen terbesar (90%) cairan
empedu. Sisanya adalah bilirubin, asam lemak, dan garam anorganik. (Sjamsuhidayat,
2011).
5
Garam Empedu
Fungsi garam empedu adalah :
Menurunkan tegangan permukaan dari partikel lemak yang terdapat dalam makanan,
sehingga partikel lemak yang besar dapat dipecah menjadi partikel-partikel kecil
untuk dapat dicerna lebih lanjut.
Membantu absorbsi asam lemak, monoglycerid, kolesterol dan vitamin yang larut
dalam lemak. (Guyton and Hall, 2007).
Prekursor dari garam empedu adalah kolesterol. Garam empedu yang masuk ke
dalam lumen usus oleh kerja kuman-kuman usus dirubah menjadi deoxycholat dan
lithocholat. Sebagian besar (90%) garam empedu dalam lumen usus akan diabsorbsi
kembali oleh mukosa usus sedangkan sisanya akan dikeluarkan bersama feses dalam
bentuk lithocholat. Absorbsi garam empedu tersebut terjadi disegmen distal dari ilium.
Sehingga bila ada gangguan pada daerah tersebut misalnya oleh karena radang atau
reseksi maka absorbsi garam empedu akan terganggu. (Guyton and Hall, 2007).
Bilirubin
Hemoglobin yang terlepas dari eritrosit akan pecah menjadi heme dan globin.
Heme bersatu membentuk rantai dengan empat inti pyrole menjadi biliverdin yang segera
berubah menjadi bilirubin bebas. Zat ini di dalam plasma terikat erat oleh albumin.
Sebagian bilirubin bebas diikat oleh zat lain (konjugasi) yaitu 80 % oleh glukuronide.
Bila terjadi pemecahan sel darah merah berlebihan misalnya pada malaria maka bilirubin
yang terbentuk sangat banyak. (Guyton and Hall, 2007).
3. DEFINISI
Sinonimnya adalah batu empedu, gallstones, biliary calculus. Batu empedu
merupakan gabungan dari beberapa unsur yang membentuk suatu material mirip batu yang
dapat ditemukan dalam kandung empedu (kolelitiasis) atau di dalam saluran empedu
(koledokolitiasis) atau pada kedua-duanya. (Doherty, 2010).
6
Gambar 3. Batu dalam kandung empedu
4. EPIDEMIOLOGI
Insiden kolelitiasis di negara barat adalah 20% sedangkan angka kejadian di
Indonesia tidak berbeda jauh dengan negara lain di Asia Tenggara. Peningkatan insiden batu
empedu dapat dilihat dalam kelompok resiko tinggi yang disebut ”4 F” : female (wanita),
fertile (subur), khususnya selama kehamilan, fat (gemuk), dan forty (empat puluh tahun).
(Sjamsuhidayat, 2011).
Kolelitiasis dapat terjadi dengan atau tanpa faktor resiko dibawah ini. Namun,
semakin banyak faktor resiko yang dimiliki seseorang, semakin besar kemungkinan untuk
terjadinya kolelitiasis. Faktor resiko tersebut antara lain :
1. Jenis Kelamin.
Wanita mempunyai resiko 3 kali lipat untuk terkena kolelitiasis dibandingkan dengan
pria. Ini dikarenakan oleh hormon esterogen berpengaruh terhadap peningkatan ekskresi
kolesterol oleh kandung empedu. Kehamilan, yang menigkatkan kadar esterogen juga
meningkatkan resiko terkena kolelitiasis. Penggunaan pil kontrasepsi dan terapi hormon
(esterogen) dapat meningkatkan kolesterol dalam kandung empedu dan penurunan
aktivitas pengosongan kandung empedu.
2. Usia.
7
Resiko untuk terkena kolelitiasis meningkat sejalan dengan bertambahnya usia. Orang
dengan usia > 60 tahun lebih cenderung untuk terkena kolelitiasis dibandingkan dengan
orang degan usia yang lebih muda.
3. Berat badan (BMI).
Orang dengan Body Mass Index (BMI) tinggi, mempunyai resiko lebih tinggi untuk
terjadi kolelitiasis. Ini karenakan dengan tingginya BMI maka kadar kolesterol dalam
kandung empedu pun tinggi, dan juga mengurangi garam empedu serta mengurangi
kontraksi/ pengosongan kandung empedu.
4. Makanan.
Intake rendah klorida, kehilangan berat badan yang cepat (seperti setelah operasi
gatrointestinal) mengakibatkan gangguan terhadap unsur kimia dari empedu dan dapat
menyebabkan penurunan kontraksi kandung empedu.
5. Riwayat keluarga.
Orang dengan riwayat keluarga kolelitiasis mempunyai resiko lebih besar dibanding
dengan tanpa riwayat keluarga.
6. Aktifitas fisik.
Kurangnya aktifitas fisik berhungan dengan peningkatan resiko terjadinya kolelitiasis.
Ini mungkin disebabkan oleh kandung empedu lebih sedikit berkontraksi.
7. Penyakit usus halus.
Penyakit yang dilaporkan berhubungan dengan kolelitiasis adalah crohn disease, trauma,
dan ileus paralitik.
8. Nutrisi intravena jangka lama.
Nutrisi intravena jangka lama mengakibatkan kandung empedu tidak terstimulasi untuk
berkontraksi, karena tidak ada makanan / nutrisi yang melewati intestinal. Sehingga
resiko untuk terbentuknya batu menjadi meningkat dalam kandung empedu.
(Sjamsuhidayat, 2011).
5. ETIOLOGI
Etiologi batu empedu dan saluran empedu masih belum diketahui dengan sempurna,
akan tetapi faktor predisposisi yang paling penting tampaknya adalah gangguan metabolisme
8
yang disebabkan oleh perubahan susunan empedu, stasis empedu dan infeksi kandung
empedu. (Price and Wilson, 2006).
a. Perubahan komposisi empedu kemungkinan merupakan faktor terpenting dalam
pembentukan batu empedu karena hati penderita batu empedu kolesterol, mengekresi
empedu yang sangat jenuh dengan kolesterol. Kolesterol yang berlebihan ini mengendap
dalam kandung empedu (dengan cara yang belum diketahui sepenuhnya) untuk
membentuk batu empedu. (Price and Wilson, 2006). Sedangkan perubahan komposisi
lainnya yaitu yang menyebabkan batu pigmen adalah terjadi pada penderita dengan high
heme turnover. Penyakit hemolisis yang berkaitan dengan batu pigmen adalah sickle cell
anemia, hereditary spherocytosis, dan beta-thalasemia. (Sjamsuhidayat, 2011). Selain itu
terdapat juga batu campuran, batu ini merupakan campuran dari kolesterol dan kalsium
bilirubinat. Batu ini sering ditemukan hampir sekitar 90% pada penderita kolelitiasis.
(Townsend, Beauchamp, 2004).
b. Stasis empedu dalam kandung empedu dapat mengakibatkan supersaturasi progresif,
perubahan komposisi kimia, dan pengendapan unsur-unsur tersebut. Gangguan kontraksi
kandung empedu atau spasme spingter Oddi, atau keduanya dapat menyebabkan stasis.
Faktor hormonal (hormon kolesistokinin dan sekretin) dapat dikaitkan dengan
keterlambatan pengosongan kandung empedu. (Price and Wilson, 2006).
c. Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat berperan dalam pembentukan batu. Mukus
meningkatakn viskositas empedu dan unsur sel atau bakteri dapat berperan sebagai pusat
presipitasi/pengendapan. Infeksi lebih timbul akibat dari terbentuknya batu dibanding
panyebab terbentuknya batu. (Price and Wilson, 2006).
6. PATOFISIOLOGI
Batu empedu hampir selalu dibentuk dalam kandung empedu dan jarang pada saluran
empedu lainnya dan diklasifikasikan berdasarkan bahan pembentuknya. Etiologi batu
empedu masih belum diketahui dengan sempurna, akan tetapi, faktor predisposisi yang
paling penting tampaknya adalah gangguan metabolisme yang disebabkan oleh perubahan
susunan empedu, stasis empedu dan infeksi kandung empedu. Perubahan susunan empedu
mungkin merupakan yang paling penting pada pembentukan batu empedu, karena terjadi
pengendapan kolesterol dalam kandung empedu. Stasis empedu dalam kandung empedu
9
dapat meningkatkan supersaturasi progesif, perubahan susunan kimia, dan pengendapan
unsur tersebut. Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat berperan sebagian dalam
pembentukan batu, melalui peningkatan dan deskuamasi sel dan pembentukan mukus.
(Townsend, Beauchamp, 2004).
Sekresi kolesterol berhubungan dengan pembentukan batu empedu. Pada kondisi
yang abnormal, kolesterol dapat mengendap, menyebabkan pembentukan batu empedu.
Berbagai kondisi yang dapat menyebabkan pengendapan kolesterol adalah : terlalu banyak
absorbsi air dari empedu, terlalu banyak absorbsi garam-garam empedu dan lesitin dari
empedu, terlalu banyak sekresi kolesterol dalam empedu. Jumlah kolesterol dalam empedu
sebagian ditentukan oleh jumlah lemak yang dimakan karena sel-sel hepatik mensintesis
kolesterol sebagai salah satu produk metabolisme lemak dalam tubuh. Untuk alasan inilah,
orang yang mendapat diet tinggi lemak dalam waktu beberapa tahun, akan mudah mengalami
perkembangan batu empedu. (Townsend, Beauchamp, 2004).
Batu kandung empedu dapat berpindah kedalam duktus koledokus melalui duktus
sistikus. Didalam perjalanannya melalui duktus sistikus, batu tersebut dapat menimbulkan
sumbatan aliran empedu secara parsial atau komplet sehingga menimbulkan gejalah kolik
empedu. Kalau batu terhenti di dalam duktus sistikus karena diameternya terlalu besar atau
tertahan oleh striktur, batu akan tetap berada disana sebagai batu duktus sistikus. (Townsend,
Beauchamp, 2004).
7. MANIFESTASI KLINIS
7.1 Asimtomatik
Batu yang terdapat dalam kandung empedu sering tidak memberikan gejala
(asimtomatik). Dapat memberikan gejala nyeri akut akibat kolesistitis, nyeri bilier, nyeri
abdomen kronik berulang ataupun dispepsia, mual. Studi perjalanan penyakit sampai 50 %
dari semua pasien dengan batu kandung empedu, tanpa mempertimbangkan jenisnya,
adalah asimtomatik. Kurang dari 25 % dari pasien yang benar-benar mempunyai batu
empedu asimtomatik akan merasakan gejalanya yang membutuhkan intervensi setelah
periode waktu 5 tahun. Tidak ada data yang merekomendasikan kolesistektomi rutin
dalam semua pasien dengan batu empedu asimtomatik. (Silbernagl, Lang, 2000).
10
7.2 Simtomatik
Keluhan utamanya berupa nyeri di daerah epigastrium, kuadran kanan atas. Rasa
nyeri lainnya adalah kolik bilier yang berlangsung lebih dari 15 menit, dan kadang baru
menghilang beberapa jam kemudian. Kolik biliaris, nyeri pascaprandial kuadran kanan
atas, biasanya dipresipitasi oleh makanan berlemak, terjadi 30-60 menit setelah makan,
berakhir setelah beberapa jam dan kemudian pulih, disebabkan oleh batu empedu, dirujuk
sebagai kolik biliaris. Mual dan muntah sering kali berkaitan dengan serangan kolik
biliaris. (Sjamsuhidayat, 2011).
8. DIAGNOSIS
8.1 Anamnesis
Setengah sampai duapertiga penderita kolelitiasis adalah asimtomatis. Keluhan
yang mungkin timbul adalah dispepsia yang kadang disertai intoleran terhadap makanan
berlemak. Pada yang simtomatis, keluhan utama berupa nyeri di daerah epigastrium,
kuadran kanan atas atau perikomdrium. Rasa nyeri lainnya adalah kolik bilier yang
mungkin berlangsung lebih dari 15 menit, dan kadang baru menghilang beberapa jam
kemudian. Timbulnya nyeri kebanyakan perlahan-lahan tetapi pada 30% kasus timbul
tiba-tiba.
Penyebaran nyeri pada punggung bagian tengah, skapula, atau ke puncak bahu,
disertai mual dan muntah. Lebih kurang seperempat penderita melaporkan bahwa nyeri
berkurang setelah menggunakan antasida. Kalau terjadi kolelitiasis, keluhan nyeri menetap
dan bertambah pada waktu menarik nafas dalam. (Heuman, 2011).
8.2 Pemeriksaan Fisik
Batu kandung empedu
Apabila ditemukan kelainan, biasanya berhubungan dengan komplikasi, seperti
kolesistitis akut dengan peritonitis lokal atau umum, hidrop kandung empedu, empiema
kandung empedu, atau pankretitis. Pada pemeriksaan ditemukan nyeri tekan dengan
punktum maksimum didaerah letak anatomis kandung empedu. Tanda Murphy positif
apabila nyeri tekan bertambah sewaktu penderita menarik nafas panjang karena kandung
11
empedu yang meradang tersentuh ujung jari tangan pemeriksa dan pasien berhenti
menarik nafas. (Heuman, 2011).
Batu saluran empedu
Batu saluran empedu tidak menimbulkan gejala dalam fase tenang. Kadang teraba
hati dan sklera ikterik. Perlu diktahui bahwa bila kadar bilirubin darah kurang dari 3
mg/dl, gejal ikterik tidak jelas. Apabila sumbatan saluran empedu bertambah berat, akan
timbul ikterus klinis. (Heuman, 2011).
8.3 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium
Batu kandung empedu yang asimtomatik umumnya tidak menunjukkan kelainan
pada pemeriksaan laboratorium. Apabila terjadi peradangan akut, dapat terjadi
leukositosis. Apabila terjadi sindroma mirizzi yaitu apabila terdapatnya batu pada duktus
sistikus menyebabkan inflamasi dan fibrosis disekitar duktus koledokus sehingga menekan
duktus koledokus akan ditemukan kenaikan ringan bilirubin serum. (Beltran, 2012). Kadar
bilirubin serum yang tinggi mungkin disebabkan oleh batu di dalam duktus koledukus.
Kadar fosfatase alkali serum dan mungkin juga kadar amilase serum biasanya meningkat
sedang setiap setiap kali terjadi serangan akut. (Doherty, 2010).
Alanin aminotransferase ( SGOT = Serum Glutamat – Oksalat Transaminase ) dan
aspartat aminotransferase ( SGPT = Serum Glutamat – Piruvat Transaminase ) merupakan
enzym yang disintesis dalam konsentrasi tinggi di dalam hepatosit. Peningkatan serum
sering menunjukkan kelainan sel hati, tapi bisa timbul bersamaan dengan penyakit saluran
empedu terutama obstruksi saluran empedu. (Doherty, 2010).
Fosfatase alkali disintesis dalam sel epitel saluran empedu. Kadar yang sangat
tinggi, sangat menggambarkan obstruksi saluran empedu karena sel ductus meningkatkan
sintesis enzym ini.
Pemeriksaan fungsi hepar menunjukkan tanda-tanda obstruksi. Ikterik dan alkali
fosfatase pada umumnya meningkat dan bertahan lebih lama dibandingkan dengan
peningkatan kadar bilirubin.
12
Waktu protombin biasanya akan memanjang karena absorbsi vitamin K tergantung
dari cairan empedu yang masuk ke usus halus, akan tetapi hal ini dapat diatasi dengan
pemberian vitamin K secara parenteral. (Doherty, 2010).
Pemeriksaan radiologis
o Foto polos Abdomen
Foto polos abdomen biasanya tidak memberikan gambaran yang khas karena hanya
sekitar 10-15% batu kandung empedu yang bersifat radioopak. Kadang kandung empedu
yang mengandung cairan empedu berkadar kalsium tinggi dapat dilihat dengan foto polos.
Pada peradangan akut dengan kandung empedu yang membesar atau hidrops, kandung
empedu kadang terlihat sebagai massa jaringan lunak di kuadran kanan atas yang menekan
gambaran udara dalam usus besar, di fleksura hepatica. (Heuman, 2011).
gambar 4. Foto rongent pada kolelitiasis.
o Ultrasonografi (USG)
Ultrasonografi mempunyai derajat spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi untuk
mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran saluran empedu intrahepatik maupun
ekstrahepatik. Dengan USG juga dapat dilihat dinding kandung empedu yang menebal
karena fibrosis atau udem yang diakibatkan oleh peradangan maupun sebab lain. Batu
yang terdapat pada duktus koledokus distal kadang sulit dideteksi karena terhalang oleh
udara di dalam usus. Dengan USG punktum maksimum rasa nyeri pada batu kandung
empedu yang ganggren lebih jelas daripada dengan palpasi biasa. (Heuman, 2011).
13
Gambar 5. Kolelitiasis
pada USG
o Kolesistografi
Untuk penderita tertentu, kolesistografi dengan kontras cukup baik karena relatif
murah, sederhana, dan cukup akurat untuk melihat batu radiolusen sehingga dapat
dihitung jumlah dan ukuran batu. Kolesistografi oral akan gagal pada keadaan ileus
paralitik, muntah, kadar bilirubun serum diatas 2 mg/dl, okstruksi pilorus, dan hepatitis
karena pada keadaan-keadaan tersebut kontras tidak dapat mencapai hati. Pemeriksaan
kolesitografi oral lebih bermakna pada penilaian fungsi kandung empedu. (Heuman,
2011).
o Kolangiografi transhepatik perkutan
Merupakan cara yang baik untuk mengetahui adanya obstruksi dibagian atas kalau
salurannya melebar, meskipun saluran yang ukurannya normal dapat dimasuki oleh jarum
baru yang "kecil sekali". Gangguan pembekuan, asites dan kolangitis merupakan
kontraindikasi. (Heuman, 2011).
o Kolangiopankreatografi endoskopi retrograde (ERCP = Endoscopic retrograde
kolangiopankreatograft)
Kanulasi duktus koledokus dan/atau duktus pankreatikus melalui ampula Vater dapat
diselesaikan secara endoskopis. Lesi obstruksi bagian bawah dapat diperagakan. Pada
beberapa kasus tertentu dapat diperoleh informasi tambahan yang berharga, misalnya
tumor ampula, erosis batu melalu ampula, karsinoma yang menembus duodenum dan
14
sebagainya) Tehnik ini lebih sulit dan lebih mahal dibandingkan kolangiografi
transhepatik. Kolangitis dan pankreatitis merupakan komplikasi yang mungkin terjadi.
Pasien yang salurannya tak melebar atau mempunyai kontraindikasi sebaiknya dilakukan
kolangiografi transhepatik, ERCP semakin menarik karena adanya potensi yang baik
untuk mengobati penyebab penyumbatan tersebut (misalnya: sfingterotomi untuk jenis
batu duktus koledokus yang tertinggal). (Heuman, 2011).
o CT scan
CT scan dapat memperlihatkan saluran empedu yang melebar, massa hepatik dan
massa retroperitoneal (misalnya, massa pankreatik). Bila hasil ultrasound masih
meragukan, maka biasanya dilakukan CT scan. (Heuman, 2011).
9. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan dari batu empedu tergantung dari stadium penyakit. Saat batu
tersebut menjadi simptomatik maka intervensi operatif diperlukan. Biasanya yang dipakai
ialah kolesistektomi. Akan tetapi, pengobatan batu dapat dimulai dari obat-obatan yang
digunakan tunggal atau kombinasi yaitu terapi oral garam empedu (asam ursodeoksikolat),
dilusi kontak dan ESWL. Terapi tersebut akan berprognosis baik apabila batu kecil < 1 cm
dengan tinggi kandungan kolesterol.
9.1 Konservatif
Penanganan operasi pada batu empedu asimptomatik tanpa komplikasi tidak
dianjurkan. Indikasi kolesistektomi pada batu empedu asimptomatik ialah
- Pasien dengan batu empedu > 2cm
- Pasien dengan kandung empedu yang kalsifikasi yang resikko tinggi
keganasan
- Pasien dengan cedera medula spinalis yang berefek ke perut. (Heuman,
2011).
Disolusi batu empedu
15
Agen disolusi yang digunakan ialah asam ursodioksikolat. Pada manusia,
penggunaan jangka panjang dari agen ini akan mengurangi saturasi kolesterol pada
empedu yaitu dengan mengurangi sekresi kolesterol dan efek deterjen dari asam empedu
pada kandung empedu. Desaturasi dari empedu mencegah kristalisasi.
Dosis lazim yang digunakan ialah 8-10 mg/kgBB terbagi dalam 2-3 dosis harian
akan mempercepat disolusi. Intervensi ini membutuhkan waktu 6-18 bulan dan berhasil
bila batu yang terdapat ialah kecil dan murni batu kolesterol. (Klingensmith, Chen, 2008).
Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy (ESWL)
Litotripsi gelombang elektrosyok meskipun sangat populer beberapa tahun yang
lalu, analisis biaya-manfaat pada saat ini hanya terbatas untuk pasien yang benar-benar
telah dipertimbangkan untuk menjalani terapi ini. Efektifitas ESWL memerlukan terapi
adjuvant asam ursodeoksilat. (Klingensmith, Chen, 2008).
9.2 Operatif
Open kolesistektomi
Operasi ini merupakan standar untuk penanganan pasien dengan batu empedu
simtomatik. Indikasi yang paling umum untuk kolesistektomi adalah kolik biliaris rekuren,
diikuti oleh kolesistitis akut. Komplikasi yang berat jarang terjadi, meliputi trauma duktus
empedu, perdarahan, dan infeksi. Data baru-baru ini menunjukkan mortalitas pada pasien
yang menjalani kolesistektomi terbuka pada tahun 1989, angka kematian secara
keseluruhan 0,17 %, pada pasien kurang dari 65 tahun angka kematian 0,03 % sedangkan
pada penderita diatas 65 tahun angka kematian mencapai 0,5 %. (Doherty, 2010).
Kolesistektomi laparoskopik
Kelebihan tindakan ini meliputi nyeri pasca operasi lebih minimal, pemulihan
lebih cepat, hasil kosmetik lebih baik, menyingkatkan perawatan di rumah sakit dan biaya
yang lebih murah. Indikasi pembedahan batu kandung empedu adalah bila simptomatik,
adanya keluhan bilier yang mengganggu atau semakin sering atau berat. Indikasi lain
adalah yang menandakan stadium lanjut, atau kandung empedu dengan batu besar,
berdiameter lebih dari 2 cm, sebab lebih sering menimbulkan kolesistitis akut dibanding
16
dengan batu yang lebih kecil. Kontra indikasi absolut serupa dengan tindakan terbuka
yaitu tidak dapat mentoleransi tindakan anestesi umum dan koagulopati yang tidak dapat
dikoreksi. Komplikasi yang terjadi berupa perdarahan, pankreatitis, bocor stump duktus
sistikus dan trauma duktus biliaris. Resiko trauma duktus biliaris sering dibicarakan,
namun umumnya berkisar antara 0,5–1%. Dengan menggunakan teknik laparoskopi
kualitas pemulihan lebih baik, tidak terdapat nyeri, kembali menjalankan aktifitas normal
dalam 10 hari, cepat bekerja kembali, dan semua otot abdomen utuh sehingga dapat
digunakan untuk aktifitas olahraga. (Hunter, 2007).
Beberapa pasien dapat mengalami gejala sindrom pasca kolesistektomi seperti
dispepsia, diare yang kemungkinan disebabkan oleh sekresi berlebihan dari garam
empedu, nyeri bilier yang disebabkan oleh spasme sfingter oddi. (Engram, 2009).
9.3 Dietik
Prinsip perawatan dietetik pada penderita batu kandung empedu adalah memberi
istirahat pada kandung empedu dan mengurangi rasa sakit, juga untuk memperkecil
kemungkinan batu memasuki duktus sistikus. Di samping itu untuk memberi makanan
secukupnya untuk memelihara berat badan dan keseimbangan cairan tubuh.
Pembatasan kalori juga perlu dilakukan karena pada umumnya batu kandung
empedu tergolong juga ke dalam penderita obesitas. Bahan makanan yang dapat
menyebabkan gangguan pencernaan makanan juga harus dihindarkan. (Lesmana, 2009).
Kadang-kadang penderita batu kandung empedu sering menderita konstipasi, maka
diet dengan menggunakan buah-buahan dan sayuran yang tidak mengeluarkan gas akan
sangat membantu.
Syarat-syarat diet pada penyakit kandung empedu yaitu :
- Rendah lemak dan lemak diberikan dalam bentuk yang mudah dicerna.
- Cukup kalori, protein dan hidrat arang. Bila terlalu gemuk jumlah kalori dikurangi.
- Cukup mineral dan vitamin, terutama vitamin yang larut dalam lemak.
- Tinggi cairan untuk mencegah dehidrasi. (Lesmana, 2009).
10. KOMPLIKASI
a. Kolesistitis Akut
17
Kolesistitis akut adalah reaksi inflamasi akut dinding kandung empedu disertai
keluhan nyeri perut kanan atas, nyeri tekan, dan demam. (Lesmana, 2009). Hampir semua
kolesistitis akut terjadi akibat sumbatan duktus sistikus oleh batu yang terjebak dalam
kantong Hartmann. Komplikasi ini terdapat pada lima persen penderita kolesistitis.
Kolesistitis akut tanpa batu empedu disebut kolesistitis akalkulosa, dapat ditemukan pasca
bedah.
Pada kolesistitis akut, faktor trauma mukosa kandung empedu oleh batu dapat
menyebabkan pelepasan fosfolipase yang mengubah lesitin di dalam empedu menjadi
lisolesitin, yaitu senyawa toksik yang memperberat proses peradangan. Pada awal
penyakit, peran bakteria agaknya kecil saja meskipun kemudian dapat terjadi supurasi
(nanah/pernanahan). Komplikasi kolesistitis akut adalah empiema, gangrene, dan
perforasi.
Perjalanan kolesistitis akut bergantung pada apakah obstruksi dapat hilang sendiri
atau tidak, derajat infeksi sekunder, usia penderita, dan penyakit lain yang memperberat
keadaan, seperti diabetes mellitus.
Perubahan patologik di dalam kandung empedu mengikuti pola yang khas. Proses
awal berupa udem subserosa, lalu perdarahan mukosa dan bercak-bercak nekrosis dan
akhirnya fibrosis. Gangren dan perforasi dapat terjadi pada hari ketiga setelah serangan
penyakit, tetapi kebanyakan pada minggu kedua. Pada penderita yang mengalami resolusi
spontan, tanda radang akut baru menghilang setelah empat minggu, tetapi sampai
berbulan-bulan kemudian sisa peradangan dan nanah masih tetap ada. Hampir 90%
kandung empedu yang diangkat dengan kolesistektomi menunjukan jaringan parut lama,
yang berarti pada masa lalu pernah menderita kolesistitis, tetapi umumnya penderita
menyangkal tidak pernah merasa ada keluhan. (Sjamsuhidajat, 2011).
b. Kolesistitis Kronik
Kolesistitis kronik adalah peradangan menahun dari dinding kandung empedu,
yang ditandai dengan serangan berulang dari nyeri perut yang tajam dan hebat. Kolesistitis
kronik merupakan kelainan kandung empedu yang paling umum ditemukan. Penyebabnya
hampir selalu batu empedu. Penentu penting untuk membuat diagnosa adalah kolik bilier,
dispepsia, dan ditemukannya batu empedu pada pemeriksaan ultrasonografi atau
18
kolesistografi oral. Keluhan dispepsia dicetuskan oleh makanan “berat” seperti gorengan,
yang mengandung banyak lemak, tetapi dapat juga timbul setelah makan bermacam jenis
kol. Kolik bilier yang khas dapat juga dicetuskan oleh makanan berlemak dan khas kolik
bilier dirasakan di perut kanan atas. (Sjamsuhidajat, 2011).
c. Kolangitis Akut
Kolangitis akut adalah infeksi bakterial yang akut dari saluran empedu yang
tersumbat baik secara parsial atau total; sumbatan dapat disebabkan oleh penyebab dari
dalam lumen saluran empedu misalnya batu koledokus, askaris yang memasuki duktus
koledokus atau dari luar lumen misalnya karsinoma caput pankreas yang menekan duktus
koledokus, atau dari dinding saluran empedu misalnya kolangio-karsinoma atau striktur
saluran empedu.
Kolangitis akut dapat terjadi pada pasien dengan batu saluran empedu karena
adanya obstruksi dan invasi bakteri empedu. Gambaran klinis kolangitis akut yang klasik
adalah trias charcot yang meliputi nyeri abdomen kuadran kanan atas, ikterus dan demam
yang didapatkan pada 50% kasus. Kolangitis akut supuratif adalah trias charcot yang
disertai hipotensi, oliguria, dan gangguan kesadaran.
Spektrum dari kolangitis akut mulai dari yang ringan, yang akan membaik sendiri,
sampai dengan keadaan yang membahayakan jiwa di mana dibutuhkan drainase darurat.
Penatalaksanaan kolangitis akut ditujukan untuk: a) Memperbaiki keadaan umum pasien
dengan pemberian cairan dan elektrolit serta koreksi gangguan elektrolit, b) Terapi
antibiotic parenteral, dan c) Drainase empedu yang tersumbat. Beberapa studi acak
tersamar memperlihatkan keunggulan drainase endoskopik dengan angka kematian yang
jauh lebih rendah dan bersihan saluran empedu yang lebih baik dibandingkan operasi
terbuka. Studi dengan control memperkuat kesimpulan bahwa angka kematian dengan
ERCP hanya sepertiga dibandingkan dengan operasi terbuka pada pasien dengan
kolangitis yang berat. Oleh karenanya, ERCP merupakan terapi pilihan pertama untuk
dekompresi bilier mendesak pada kolangitis akut yang tidak respon terhadap terapi
konservatif. (Lesmana, 2009).
d. Pankreatitis bilier akut atau pankreatitis batu empedu
Pankreatitis adalah reaksi peradangan pancreas. Pankreatitis bilier akut atau
pancreatitis batu empedu baru akan terjadi bila ada obtruksi transien atau persisten di
19
papilla Vater oleh sebuah batu. Batu empedu yang terjepit dapat menyebabkan sepsis
bilier atau menambah beratnya pankreatitis.
Sejumlah studi memperlihatkan pasien dengan pankreatitis bilier akut yang ringan
menyalurkan batunya secara spontan dari saluran empedu ke dalam duodenum pada lebih
dari 80% dan sebagian besar pasien akan sembuh hanya dengan terapi suportif
kolangiografi. Sesudah sembuh pada pasien ini didapatkan insidensi yang rendah kejadian
batu saluran empedu sehingga tidak dibenarkan untuk dilakukan ERCP rutin.
Sebaliknya, sejumlah studi menunjukan bahwa pasien dengan pancreatitis bilier
akut yang berat akan mempunyai resiko yang tinggi untuk mempunyai batu saluran
empedu yang tertinggal bila kolangiografi dilakukan pada tahap dini sesudah serangan.
Beberapa studi terbuka tanpa kontrol memperlihatkan sfingterektomi endoskopik pada
keadan ini tampaknya aman dan disertai penurunan angka kesakitan dan kematian.
(Lesmana, 2009).
11. PROGNOSIS
Prognosis nya adalah tergantung dari besar atau kecilnya ukuran batu empedu,
karena akan menentukan penatalaksanaannya, serta ada atau tidak dan berat atau
ringannya komplikasi. Namun, adanya infeksi dan halangan disebabkan oleh batu yang
berada di dalam saluran biliaris sehingga dapat mengancam jiwa. Walaupun demikian,
dengan diagnosis dan pengobatan yang cepat serta tepat, hasil yang didapatkan biasanya
baik.
20
KESIMPULAN
Kejadian batu empedu di negara - negara industri antara 10 - 15 %. Sedangkan
penelitian di Jakarta pada 51 pasien pasien didapatkan batu pigmen pada 73% pasien dan
batu kolesterol pada 27% pasien. Prevalensi tergantung usia, jenis kelamin, dan etnis.
Kasus batu empedu lebih umum ditemukan pada wanita. Wanita mempunyai resiko 3 kali
lipat untuk terkena kolelitiasis dibandingkan dengan pria.
Etiologi batu empedu dan saluran empedu masih belum diketahui dengan
sempurna, akan tetapi faktor predisposisi yang paling penting tampaknya adalah gangguan
metabolisme yang disebabkan oleh perubahan susunan empedu, stasis empedu dan infeksi
kandung empedu. Dikenal tiga jenis batu empedu yaitu, batu kolesterol, batu pigmen atau
batu bilirubin yang terdiri dari kalsium bilirubinat, serta batu campuran.
Ultrasonografi merupakan modalitas yang terpilih jika terdapat kecurigaan
penyakit kandung empedu dan saluran empedu.
Pengobatan pada kolelitiasis tergantung pada tingkat dari penyakitnya. Jika tidak
ada gejala maka tidak diperlukan kolesistektomi. Tapi jika satu kali saja terjadi gejala,
maka diperlukan kolesistektomi. Selain itu juga dapat dilakukan penanganan non operatif
dengan cara konservatif yaitu melalui obat (ursodioksilat) dan ESWL.
21
DAFTAR PUSTAKA
1. Beltran MA. Mirizzi Syndrome. World J Gastroenterol. 2012; 18: 4639-4648.
2. Bloom A. Cholecystitis Treatment & Management. 2011. Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/171886-treatment#aw2aab6b6b1aa.
3. Brunner & Suddart. Keperawatan Medical Bedah Vol 2. Jakarta: EGC; 2001.
4. Dandan I. Choledocholithiasis. 2007. Available at:
http://www.eglobalmed.com/opt/MedicalStudentdotcom/www.emedicine.com/
med/topic350.htm.
5. Doherty, GM. Biliary Tract. In : Current Diagnosis & Treatment Surgery 13th
edition. US : McGraw-Hill Companies; 2010.
6. Engram Barbara. Cholesistectomy. In: Medical Surgical Nursing Care Plans.
Delmar: A Division of Wadsworth Inc; 2009.
7. Guyton, Arthur C. Hall, John E. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. 11th edition.
Jakarta: EGC; 2007.
8. Heuman DM. Cholelithiasis. 2011. Available at: http://emedicine.medscape.
com/article/175667-overview.
9. Hunter JG. Gallstones Diseases. In : Schwart’s Principles of Surgery. 8th edition.
US : McGraw-Hill Companies; 2007.
10. Klingensmith ME, Chen LE, Glasgow SC, Goers TA, Spencer J. Biliary Surgery. In
: Washington Manual of Surgery. 5th edition. Washington : Lippincott Williams &
Wilkins; 2008.
11. Lesmana, L. Penyakit Batu Empedu. In : Sudoyo B, Alwi I, Simadibrata MK,
Setiati S Editors. Ilmu Penyakit Dalam. 5th edition. Jakarta: Interna Publishing;
2009. p. 721-26.
12. Nurman A. Kolangitis Akut Dipandang dari Sudut Penyakit Dalam. J Kedokter
Trisakti. 1999; 18(3): 123-9.
22
13. Price SA, Wilson LM. Kolelitiasis dan Kolesistisis. Dalam : Patofisiologi. Konsep
Klinis Proses-Proses Penyakit. 6th edition. Jakarta : EGC; 2006.
14. Shirasu T. Case report: Single-incision laparoscopic cholecystectomy for
cholecystolithiasis coinciding with cavernous transformation of the portal vein:
report of a case. 2013. Available at: http://www.biomedcentral.com/1471-
2482/13/10/abstract.
15. Silbernagl S, Lang F. Gallstones Diseases. In : Color Atlas of Pathophysiology.
New York : Thieme; 2000.
16. Sjamsuhidajat R, de Jong W. Kolelitiasis. In: Buku Ajar Ilmu Bedah. 3rd edition.
Jakarta: EGC; 2011.
17. Snell, RS. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. 6 th Edition. Jakarta: EGC;
2006.
18. Vorvick L. Choledocholithiasis. 2013. Available at:
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000274.htm.
23