kolelitiasis NEPONG

35
TINJAUAN PUSTAKA 1. ANATOMI Vesica Fellea Kandung empedu (Vesica fellea) adalah kantong berbentuk buah advokat yang terletak pada permukaan visceral hepar dengan panjang sekitar 4-6 cm dan berisi 30-60 ml empedu. Kandung empedu tertutup seluruhnya oleh peritoneum visceral, tetapi infundibulum kandung empedu tidak terfiksasi ke permukaan hati oleh lapisan peritoneum. Apabila kandung empedu mengalami distensi akibat bendungan oleh batu, bagian infundibulum menonjol seperti kantong yang disebut kantong Hartmann. (Sjamsuhidayat, 2011). Vesica fellea dibagi menjadi fundus, corpus dan collum. Fundus berbentuk bulat dan biasanya menonjol dibawah pinggir inferior hepar, dimana fundus berhubungan dengan dinding anterior abdomen setinggi ujung rawan costa IX kanan. Corpus bersentuhan dengan permukaan visceral hati dan arahnya keatas, belakang dan kiri. Collum dilanjutkan sebagai duktus sistikus yang berjalan dalam omentum minus untuk bersatu dengan sisi kanan duktus hepatikus komunis membentuk duktus koledokus. (Snell, 2006). Duktus 1

description

hlk

Transcript of kolelitiasis NEPONG

Page 1: kolelitiasis NEPONG

TINJAUAN PUSTAKA

1. ANATOMI

Vesica Fellea

Kandung empedu (Vesica fellea) adalah kantong berbentuk buah advokat yang

terletak pada permukaan visceral hepar dengan panjang sekitar 4-6 cm dan berisi 30-60 ml

empedu. Kandung empedu tertutup seluruhnya oleh peritoneum visceral, tetapi

infundibulum kandung empedu tidak terfiksasi ke permukaan hati oleh lapisan

peritoneum. Apabila kandung empedu mengalami distensi akibat bendungan oleh batu,

bagian infundibulum menonjol seperti kantong yang disebut kantong Hartmann.

(Sjamsuhidayat, 2011).

Vesica fellea dibagi menjadi fundus, corpus dan collum. Fundus berbentuk bulat

dan biasanya menonjol dibawah pinggir inferior hepar, dimana fundus berhubungan

dengan dinding anterior abdomen setinggi ujung rawan costa IX kanan. Corpus

bersentuhan dengan permukaan visceral hati dan arahnya keatas, belakang dan kiri.

Collum dilanjutkan sebagai duktus sistikus yang berjalan dalam omentum minus untuk

bersatu dengan sisi kanan duktus hepatikus komunis membentuk duktus koledokus. (Snell,

2006).

Duktus

Duktus sistikus panjangnya 1-2 cm dengan diameter 2-3 mm. Dinding lumennya

mengandung katup berbentuk spiral disebut katup spiral Heister, yang memudahkan cairan

empedu masuk kedalam kandung empedu, tetapi menahan aliran keluarnya. Saluran

empedu ekstrahepatik terletak didalam ligamentum hepatoduodenale yang batas atasnya

porta hepatis, sedangkan batas bawahnya distal papilla Vater. Bagian hulu saluran empedu

intrahepatik berpangkal dari saluran paling kecil yang disebut kanalikulus empedu yang

meneruskan curahan sekresi empedu melalui duktus interlobaris ke duktus lobaris dan

selanjutnya ke duktus hepatikus di hilus. (Sjamsuhidayat, 2011).

Panjang duktus hepatikus kanan dan kiri masing-masing antara 1-4 cm. Panjang

duktus hepatikus komunis sangat bervariasi, bergantung pada letak muara duktus sistikus.

1

Page 2: kolelitiasis NEPONG

Duktus koledokus berjalan di belakang duodenum menembus jaringan pankreas dan

dinding duodenum membentuk papilla Vater yang terletak di sebelah medial dinding

duodenum. Ujung distalnya dikelilingi oleh otot sfingter Oddi, yang mengatur aliran

empedu ke dalam duodenum. Duktus pankreatikus umumnya bermuara ditempat yang

sama oleh duktus koledokus di dalam papilla Vater, tetapi dapat juga terpisah.

(Sjamsuhidayat, 2011).

Pendarahan

Pembuluh arteri kandung empedu adalah a.cystica, cabang a.hepatica kanan. V.

cystica mengalirkan darah langsung ke dalam vena porta. Sejumlah arteri yang sangat

kecil dan vena – vena juga berjalan antara hati dan kandung empedu. (Snell, 2006).

Pembuluh limfe dan persarafan

Pembuluh limfe berjalan menuju ke nodi lymphatici cysticae yang terletak dekat

collum vesica fellea. Dari sini, pembuluh limfe berjalan melalui nodi lymphatici

hepaticum sepanjang perjalanan a. hepatica menuju ke nodi lymphatici coeliacus. Saraf

yang menuju ke kandung empedu berasal dari plexus coeliacus. (Snell, 2006).

Gambar 1. Gambaran anatomi kandung empedu

2

Page 3: kolelitiasis NEPONG

2. FISIOLOGI

Sekresi Empedu

Empedu dibentuk oleh sel-sel hati ditampung di dalam kanalikuli. Kemudian

disalurkan ke duktus biliaris terminalis yang terletak di dalam septum interlobaris. Saluran

ini kemudian keluar dari hati sebagai duktus hepatikus kanan dan kiri. Kemudian

keduanya membentuk duktus biliaris komunis. Pada saluran ini sebelum mencapai

doudenum terdapat cabang ke kandung empedu yaitu duktus sistikus yang berfungsi

sebagai tempat penyimpanan empedu sebelum disalurkan ke duodenum. (Snell, 2006).

Empedu melakukan dua fungsi penting yaitu :

a. Empedu memainkan peranan penting dalam pencernaan dan absorpsi lemak karena

asam empedu yang melakukan dua hal antara lain: asam empedu membantu

mengemulsikan partikel-partikel lemak yang besar menjadi partikel yang lebih kecil

dengan bantuan enzim lipase yang disekresikan dalam getah pancreas. Asam empedu

membantu transpor dan absorpsi produk akhir lemak yang dicerna menuju dan melalui

membran mukosa intestinal.

b. Empedu bekerja sebagai suatu alat untuk mengeluarkan beberapa produk buangan

yang penting dari darah, antara lain bilirubin, suatu produk akhir dari penghancuran

hemoglobin, dan kelebihan kolesterol yang di bentuk oleh sel- sel hati. (Guyton and

Hall, 2007).

Penyimpanan dan Pemekatan Empedu

Empedu diproduksi oleh sel hepatosit sebanyak 500-1500 ml per hari. Empedu

yang disekresikan secara terus-menerus oleh sel-sel hati disimpan dalam kandung empedu

sampai diperlukan di duodenum. Volume maksimal kandung empedu hanya 30-60 ml.

Meskipun demikian, sekresi empedu selama 12 jam (biasanya sekitar 450 ml) dapat

disimpan dalam kandung empedu karena air, natrium, klorida, dan kebanyakan elektrolit

kecil lainnya secara terus menerus diabsorbsi oleh mukosa kandung empedu, memekatkan

zat-zat empedu lainnya, termasuk garam empedu, kolesterol, lesitin, dan bilirubin.

Kebanyakan absorpsi ini disebabkan oleh transpor aktif natrium melalui epitel kandung

empedu, dan keadaan ini diikuti oleh absorpsi sekunder ion klorida, air, dan kebanyakan

3

Page 4: kolelitiasis NEPONG

zat-zat terlarut lainnya. Empedu secara normal dipekatkan sebanyak 5 kali lipat dengan

cara ini, sampai maksimal 20 kali lipat. (Guyton and Hall, 2007).

Pengosongan Kandung Empedu

Pengaliran cairan empedu diatur oleh tiga faktor, yaitu sekresi empedu oleh hati,

kontraksi kandung empedu, dan tahanan sfingter koledokus. Empedu dialirkan sebagai

akibat kontraksi dan pengosongan parsial kandung empedu. Mekanisme ini diawali

dengan masuknya makanan berlemak ke dalam duodenum. Lemak menyebabkan

pengeluaran hormon kolesistokinin dari mukosa duodenum, kemudian masuk kedalam

darah dan menyebabkan kandung empedu berkontraksi. Pada saat yang sama, otot polos

yang terletak pada ujung distal duktus koledokus dan sfingter Oddi mengalami relaksasi,

sehingga memungkinkan masuknya empedu yang kental ke dalam duodenum. (Guyton

and Hall, 2007).

Proses koordinasi aktifitas ini disebabkan oleh dua hal yaitu :

1) Hormonal :

Zat lemak yang terdapat pada makanan setelah sampai duodenum akan merangsang

mukosa sehingga hormon kolesistokinin akan terlepas. Hormon ini yang paling besar

peranannya dalam kontraksi kandung empedu.

2) Neurogen :

Stimulasi vagal yang berhubungan dengan fase cephalik dari sekresi cairan

lambung atau dengan refleks intestino-intestinal akan menyebabkan kontraksi dari

kandung empedu.

Rangsangan langsung dari makanan yang masuk sampai ke duodenum dan

mengenai sfingter Oddi. Sehingga pada keadaan dimana kandung empedu

lumpuh, cairan empedu akan tetap keluar walaupun sedikit.

Secara normal pengosongan kandung empedu secara menyeluruh berlangsung

selama sekitar 1 jam. Pengosongan empedu yang lambat akibat gangguan neurologis

maupun hormonal memegang peran penting dalam perkembangan inti batu. (Guyton and

Hall, 2007) .

4

Page 5: kolelitiasis NEPONG

Gambar 2a. Kontraksi sfingter Oddi dan pengisian empedu ke kandung empedu. 2b. Relaksasi sfingter Oddi dan pengosongan kandung empedu.

Komposisi Cairan Empedu

KomponenEmpedu

Hati

Empedu

Kandung Empedu

Air 97,5 gr/dl 92 gr/dl

Garam Empedu 1,1 gr/dl 6 gr/dl

Bilirubin 0,04 gr/dl 0,3 gr/dl

Kolesterol 0,1 gr/dl 0,3 – 0,9 gr/dl

Asam Lemak 0,12 gr/dl 0,3 – 1,2 gr/dl

Lecithin 0,04 gr/dl 0,3 gr/dl

Na+ 145 mEq/L  130 mEq/L 

K+ 5 mEq/L  12 mEq/L 

Ca+ 5 mEq/L  23 mEq/L 

Cl- 100 mEq/L  25 mEq/L 

HCO3- 28 mEq/L  10 mEq/L 

 

Garam empedu, lesitin, dan kolesterol merupakan komponen terbesar (90%) cairan

empedu. Sisanya adalah bilirubin, asam lemak, dan garam anorganik. (Sjamsuhidayat,

2011).

5

Page 6: kolelitiasis NEPONG

Garam Empedu

Fungsi garam empedu adalah :

Menurunkan tegangan permukaan dari partikel lemak yang terdapat dalam makanan,

sehingga partikel lemak yang besar dapat dipecah menjadi partikel-partikel kecil

untuk dapat dicerna lebih lanjut.

Membantu absorbsi asam lemak, monoglycerid, kolesterol dan vitamin yang larut

dalam lemak. (Guyton and Hall, 2007).

Prekursor dari garam empedu adalah kolesterol. Garam empedu yang masuk ke

dalam lumen usus oleh kerja kuman-kuman usus dirubah menjadi deoxycholat dan

lithocholat. Sebagian besar (90%) garam empedu dalam lumen usus akan diabsorbsi

kembali oleh mukosa usus sedangkan sisanya akan dikeluarkan bersama feses dalam

bentuk lithocholat. Absorbsi garam empedu tersebut terjadi disegmen distal dari ilium.

Sehingga bila ada gangguan pada daerah tersebut misalnya oleh karena radang atau

reseksi maka absorbsi garam empedu akan terganggu. (Guyton and Hall, 2007).

Bilirubin

Hemoglobin yang terlepas dari eritrosit akan pecah menjadi heme dan globin.

Heme bersatu membentuk rantai dengan empat inti pyrole menjadi biliverdin yang segera

berubah menjadi bilirubin bebas. Zat ini di dalam plasma terikat erat oleh albumin.

Sebagian bilirubin bebas diikat oleh zat lain (konjugasi) yaitu 80 % oleh glukuronide.

Bila terjadi pemecahan sel darah merah berlebihan misalnya pada malaria maka bilirubin

yang terbentuk sangat banyak. (Guyton and Hall, 2007).

3. DEFINISI

Sinonimnya adalah batu empedu, gallstones, biliary calculus. Batu empedu

merupakan gabungan dari beberapa unsur yang membentuk suatu material mirip batu yang

dapat ditemukan dalam kandung empedu (kolelitiasis) atau di dalam saluran empedu

(koledokolitiasis) atau pada kedua-duanya. (Doherty, 2010).

6

Page 7: kolelitiasis NEPONG

Gambar 3. Batu dalam kandung empedu

4. EPIDEMIOLOGI

Insiden kolelitiasis di negara barat adalah 20% sedangkan angka kejadian di

Indonesia tidak berbeda jauh dengan negara lain di Asia Tenggara. Peningkatan insiden batu

empedu dapat dilihat dalam kelompok resiko tinggi yang disebut ”4 F” : female (wanita),

fertile (subur), khususnya selama kehamilan, fat (gemuk), dan forty (empat puluh tahun).

(Sjamsuhidayat, 2011).

Kolelitiasis dapat terjadi dengan atau tanpa faktor resiko dibawah ini. Namun,

semakin banyak faktor resiko yang dimiliki seseorang, semakin besar kemungkinan untuk

terjadinya kolelitiasis. Faktor resiko tersebut antara lain :

1. Jenis Kelamin.

Wanita mempunyai resiko 3 kali lipat untuk terkena kolelitiasis dibandingkan dengan

pria. Ini dikarenakan oleh hormon esterogen berpengaruh terhadap peningkatan ekskresi

kolesterol oleh kandung empedu. Kehamilan, yang menigkatkan kadar esterogen juga

meningkatkan resiko terkena kolelitiasis. Penggunaan pil kontrasepsi dan terapi hormon

(esterogen) dapat meningkatkan kolesterol dalam kandung empedu dan penurunan

aktivitas pengosongan kandung empedu.

2. Usia.

7

Page 8: kolelitiasis NEPONG

Resiko untuk terkena kolelitiasis meningkat sejalan dengan bertambahnya usia. Orang

dengan usia > 60 tahun lebih cenderung untuk terkena kolelitiasis dibandingkan dengan

orang degan usia yang lebih muda.

3. Berat badan (BMI).

Orang dengan Body Mass Index (BMI) tinggi, mempunyai resiko lebih tinggi untuk

terjadi kolelitiasis. Ini karenakan dengan tingginya BMI maka kadar kolesterol dalam

kandung empedu pun tinggi, dan juga mengurangi garam empedu serta mengurangi

kontraksi/ pengosongan kandung empedu.

4. Makanan.

Intake rendah klorida, kehilangan berat badan yang cepat (seperti setelah operasi

gatrointestinal) mengakibatkan gangguan terhadap unsur kimia dari empedu dan dapat

menyebabkan penurunan kontraksi kandung empedu.

5. Riwayat keluarga.

Orang dengan riwayat keluarga kolelitiasis mempunyai resiko lebih besar dibanding

dengan tanpa riwayat keluarga.

6. Aktifitas fisik.

Kurangnya aktifitas fisik berhungan dengan peningkatan resiko terjadinya kolelitiasis.

Ini mungkin disebabkan oleh kandung empedu lebih sedikit berkontraksi.

7. Penyakit usus halus.

Penyakit yang dilaporkan berhubungan dengan kolelitiasis adalah crohn disease, trauma,

dan ileus paralitik.

8. Nutrisi intravena jangka lama.

Nutrisi intravena jangka lama mengakibatkan kandung empedu tidak terstimulasi untuk

berkontraksi, karena tidak ada makanan / nutrisi yang melewati intestinal. Sehingga

resiko untuk terbentuknya batu menjadi meningkat dalam kandung empedu.

(Sjamsuhidayat, 2011).

5. ETIOLOGI

Etiologi batu empedu dan saluran empedu masih belum diketahui dengan sempurna,

akan tetapi faktor predisposisi yang paling penting tampaknya adalah gangguan metabolisme

8

Page 9: kolelitiasis NEPONG

yang disebabkan oleh perubahan susunan empedu, stasis empedu dan infeksi kandung

empedu. (Price and Wilson, 2006).

a. Perubahan komposisi empedu kemungkinan merupakan faktor terpenting dalam

pembentukan batu empedu karena hati penderita batu empedu kolesterol, mengekresi

empedu yang sangat jenuh dengan kolesterol. Kolesterol yang berlebihan ini mengendap

dalam kandung empedu (dengan cara yang belum diketahui sepenuhnya) untuk

membentuk batu empedu. (Price and Wilson, 2006). Sedangkan perubahan komposisi

lainnya yaitu yang menyebabkan batu pigmen adalah terjadi pada penderita dengan high

heme turnover. Penyakit hemolisis yang berkaitan dengan batu pigmen adalah sickle cell

anemia, hereditary spherocytosis, dan beta-thalasemia. (Sjamsuhidayat, 2011). Selain itu

terdapat juga batu campuran, batu ini merupakan campuran dari kolesterol dan kalsium

bilirubinat. Batu ini sering ditemukan hampir sekitar 90% pada penderita kolelitiasis.

(Townsend, Beauchamp, 2004).

b. Stasis empedu dalam kandung empedu dapat mengakibatkan supersaturasi progresif,

perubahan komposisi kimia, dan pengendapan unsur-unsur tersebut. Gangguan kontraksi

kandung empedu atau spasme spingter Oddi, atau keduanya dapat menyebabkan stasis.

Faktor hormonal (hormon kolesistokinin dan sekretin) dapat dikaitkan dengan

keterlambatan pengosongan kandung empedu. (Price and Wilson, 2006).

c. Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat berperan dalam pembentukan batu. Mukus

meningkatakn viskositas empedu dan unsur sel atau bakteri dapat berperan sebagai pusat

presipitasi/pengendapan. Infeksi lebih timbul akibat dari terbentuknya batu dibanding

panyebab terbentuknya batu. (Price and Wilson, 2006).

6. PATOFISIOLOGI

Batu empedu hampir selalu dibentuk dalam kandung empedu dan jarang pada saluran

empedu lainnya dan diklasifikasikan berdasarkan bahan pembentuknya. Etiologi batu

empedu masih belum diketahui dengan sempurna, akan tetapi, faktor predisposisi yang

paling penting tampaknya adalah gangguan metabolisme yang disebabkan oleh perubahan

susunan empedu, stasis empedu dan infeksi kandung empedu. Perubahan susunan empedu

mungkin merupakan yang paling penting pada pembentukan batu empedu, karena terjadi

pengendapan kolesterol dalam kandung empedu. Stasis empedu dalam kandung empedu

9

Page 10: kolelitiasis NEPONG

dapat meningkatkan supersaturasi progesif, perubahan susunan kimia, dan pengendapan

unsur tersebut. Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat berperan sebagian dalam

pembentukan batu, melalui peningkatan dan deskuamasi sel dan pembentukan mukus.

(Townsend, Beauchamp, 2004).

Sekresi kolesterol berhubungan dengan pembentukan batu empedu. Pada kondisi

yang abnormal, kolesterol dapat mengendap, menyebabkan pembentukan batu empedu.

Berbagai kondisi yang dapat menyebabkan pengendapan kolesterol adalah : terlalu banyak

absorbsi air dari empedu, terlalu banyak absorbsi garam-garam empedu dan lesitin dari

empedu, terlalu banyak sekresi kolesterol dalam empedu. Jumlah kolesterol dalam empedu

sebagian ditentukan oleh jumlah lemak yang dimakan karena sel-sel hepatik mensintesis

kolesterol sebagai salah satu produk metabolisme lemak dalam tubuh. Untuk alasan inilah,

orang yang mendapat diet tinggi lemak dalam waktu beberapa tahun, akan mudah mengalami

perkembangan batu empedu. (Townsend, Beauchamp, 2004).

Batu kandung empedu dapat berpindah kedalam duktus koledokus melalui duktus

sistikus. Didalam perjalanannya melalui duktus sistikus, batu tersebut dapat menimbulkan

sumbatan aliran empedu secara parsial atau komplet sehingga menimbulkan gejalah kolik

empedu. Kalau batu terhenti di dalam duktus sistikus karena diameternya terlalu besar atau

tertahan oleh striktur, batu akan tetap berada disana sebagai batu duktus sistikus. (Townsend,

Beauchamp, 2004).

7. MANIFESTASI KLINIS

7.1 Asimtomatik

Batu yang terdapat dalam kandung empedu sering tidak memberikan gejala

(asimtomatik). Dapat memberikan gejala nyeri akut akibat kolesistitis, nyeri bilier, nyeri

abdomen kronik berulang ataupun dispepsia, mual. Studi perjalanan penyakit sampai 50 %

dari semua pasien dengan batu kandung empedu, tanpa mempertimbangkan jenisnya,

adalah asimtomatik. Kurang dari 25 % dari pasien yang benar-benar mempunyai batu

empedu asimtomatik akan merasakan gejalanya yang membutuhkan intervensi setelah

periode waktu 5 tahun. Tidak ada data yang merekomendasikan kolesistektomi rutin

dalam semua pasien dengan batu empedu asimtomatik. (Silbernagl, Lang, 2000).

10

Page 11: kolelitiasis NEPONG

7.2 Simtomatik

Keluhan utamanya berupa nyeri di daerah epigastrium, kuadran kanan atas. Rasa

nyeri lainnya adalah kolik bilier yang berlangsung lebih dari 15 menit, dan kadang baru

menghilang beberapa jam kemudian. Kolik biliaris, nyeri pascaprandial kuadran kanan

atas, biasanya dipresipitasi oleh makanan berlemak, terjadi 30-60 menit setelah makan,

berakhir setelah beberapa jam dan kemudian pulih, disebabkan oleh batu empedu, dirujuk

sebagai kolik biliaris. Mual dan muntah sering kali berkaitan dengan serangan kolik

biliaris. (Sjamsuhidayat, 2011).

8. DIAGNOSIS

8.1 Anamnesis

Setengah sampai duapertiga penderita kolelitiasis adalah asimtomatis. Keluhan

yang mungkin timbul adalah dispepsia yang kadang disertai intoleran terhadap makanan

berlemak. Pada yang simtomatis, keluhan utama berupa nyeri di daerah epigastrium,

kuadran kanan atas atau perikomdrium. Rasa nyeri lainnya adalah kolik bilier yang

mungkin berlangsung lebih dari 15 menit, dan kadang baru menghilang beberapa jam

kemudian. Timbulnya nyeri kebanyakan perlahan-lahan tetapi pada 30% kasus timbul

tiba-tiba.

Penyebaran nyeri pada punggung bagian tengah, skapula, atau ke puncak bahu,

disertai mual dan muntah. Lebih kurang seperempat penderita melaporkan bahwa nyeri

berkurang setelah menggunakan antasida. Kalau terjadi kolelitiasis, keluhan nyeri menetap

dan bertambah pada waktu menarik nafas dalam. (Heuman, 2011).

8.2 Pemeriksaan Fisik

Batu kandung empedu

Apabila ditemukan kelainan, biasanya berhubungan dengan komplikasi, seperti

kolesistitis akut dengan peritonitis lokal atau umum, hidrop kandung empedu, empiema

kandung empedu, atau pankretitis. Pada pemeriksaan ditemukan nyeri tekan dengan

punktum maksimum didaerah letak anatomis kandung empedu. Tanda Murphy positif

apabila nyeri tekan bertambah sewaktu penderita menarik nafas panjang karena kandung

11

Page 12: kolelitiasis NEPONG

empedu yang meradang tersentuh ujung jari tangan pemeriksa dan pasien berhenti

menarik nafas. (Heuman, 2011).

Batu saluran empedu

Batu saluran empedu tidak menimbulkan gejala dalam fase tenang. Kadang teraba

hati dan sklera ikterik. Perlu diktahui bahwa bila kadar bilirubin darah kurang dari 3

mg/dl, gejal ikterik tidak jelas. Apabila sumbatan saluran empedu bertambah berat, akan

timbul ikterus klinis. (Heuman, 2011).

8.3 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium

Batu kandung empedu yang asimtomatik umumnya tidak menunjukkan kelainan

pada pemeriksaan laboratorium. Apabila terjadi peradangan akut, dapat terjadi

leukositosis. Apabila terjadi sindroma mirizzi yaitu apabila terdapatnya batu pada duktus

sistikus menyebabkan inflamasi dan fibrosis disekitar duktus koledokus sehingga menekan

duktus koledokus akan ditemukan kenaikan ringan bilirubin serum. (Beltran, 2012). Kadar

bilirubin serum yang tinggi mungkin disebabkan oleh batu di dalam duktus koledukus.

Kadar fosfatase alkali serum dan mungkin juga kadar amilase serum biasanya meningkat

sedang setiap setiap kali terjadi serangan akut. (Doherty, 2010).

Alanin aminotransferase ( SGOT = Serum Glutamat – Oksalat Transaminase ) dan

aspartat aminotransferase ( SGPT = Serum Glutamat – Piruvat Transaminase ) merupakan

enzym yang disintesis dalam konsentrasi tinggi di dalam hepatosit. Peningkatan serum

sering menunjukkan kelainan sel hati, tapi bisa timbul bersamaan dengan penyakit saluran

empedu terutama obstruksi saluran empedu. (Doherty, 2010).

Fosfatase alkali disintesis dalam sel epitel saluran empedu. Kadar yang sangat

tinggi, sangat menggambarkan obstruksi saluran empedu karena sel ductus meningkatkan

sintesis enzym ini.

Pemeriksaan fungsi hepar menunjukkan tanda-tanda obstruksi. Ikterik dan alkali

fosfatase pada umumnya meningkat dan bertahan lebih lama dibandingkan dengan

peningkatan kadar bilirubin.

12

Page 13: kolelitiasis NEPONG

Waktu protombin biasanya akan memanjang karena absorbsi vitamin K tergantung

dari cairan empedu yang masuk ke usus halus, akan tetapi hal ini dapat diatasi dengan

pemberian vitamin K secara parenteral. (Doherty, 2010).

Pemeriksaan radiologis

o Foto polos Abdomen

Foto polos abdomen biasanya tidak memberikan gambaran yang khas karena hanya

sekitar 10-15% batu kandung empedu yang bersifat radioopak. Kadang kandung empedu

yang mengandung cairan empedu berkadar kalsium tinggi dapat dilihat dengan foto polos.

Pada peradangan akut dengan kandung empedu yang membesar atau hidrops, kandung

empedu kadang terlihat sebagai massa jaringan lunak di kuadran kanan atas yang menekan

gambaran udara dalam usus besar, di fleksura hepatica. (Heuman, 2011).

gambar 4. Foto rongent pada kolelitiasis.

o Ultrasonografi (USG)

Ultrasonografi mempunyai derajat spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi untuk

mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran saluran empedu intrahepatik maupun

ekstrahepatik. Dengan USG juga dapat dilihat dinding kandung empedu yang menebal

karena fibrosis atau udem yang diakibatkan oleh peradangan maupun sebab lain. Batu

yang terdapat pada duktus koledokus distal kadang sulit dideteksi karena terhalang oleh

udara di dalam usus. Dengan USG punktum maksimum rasa nyeri pada batu kandung

empedu yang ganggren lebih jelas daripada dengan palpasi biasa. (Heuman, 2011).

13

Page 14: kolelitiasis NEPONG

Gambar 5. Kolelitiasis

pada USG

o Kolesistografi

Untuk penderita tertentu, kolesistografi dengan kontras cukup baik karena relatif

murah, sederhana, dan cukup akurat untuk melihat batu radiolusen sehingga dapat

dihitung jumlah dan ukuran batu. Kolesistografi oral akan gagal pada keadaan ileus

paralitik, muntah, kadar bilirubun serum diatas 2 mg/dl, okstruksi pilorus, dan hepatitis

karena pada keadaan-keadaan tersebut kontras tidak dapat mencapai hati. Pemeriksaan

kolesitografi oral lebih bermakna pada penilaian fungsi kandung empedu. (Heuman,

2011).

o Kolangiografi transhepatik perkutan

Merupakan cara yang baik untuk mengetahui adanya obstruksi dibagian atas kalau

salurannya melebar, meskipun saluran yang ukurannya normal dapat dimasuki oleh jarum

baru yang "kecil sekali". Gangguan pembekuan, asites dan kolangitis merupakan

kontraindikasi. (Heuman, 2011).

o Kolangiopankreatografi endoskopi retrograde (ERCP = Endoscopic retrograde

kolangiopankreatograft)

Kanulasi duktus koledokus dan/atau duktus pankreatikus melalui ampula Vater dapat

diselesaikan secara endoskopis. Lesi obstruksi bagian bawah dapat diperagakan. Pada

beberapa kasus tertentu dapat diperoleh informasi tambahan yang berharga, misalnya

tumor ampula, erosis batu melalu ampula, karsinoma yang menembus duodenum dan

14

Page 15: kolelitiasis NEPONG

sebagainya) Tehnik ini lebih sulit dan lebih mahal dibandingkan kolangiografi

transhepatik. Kolangitis dan pankreatitis merupakan komplikasi yang mungkin terjadi.

Pasien yang salurannya tak melebar atau mempunyai kontraindikasi sebaiknya dilakukan

kolangiografi transhepatik, ERCP semakin menarik karena adanya potensi yang baik

untuk mengobati penyebab penyumbatan tersebut (misalnya: sfingterotomi untuk jenis

batu duktus koledokus yang tertinggal). (Heuman, 2011).

o CT scan

CT scan dapat memperlihatkan saluran empedu yang melebar, massa hepatik dan

massa retroperitoneal (misalnya, massa pankreatik). Bila hasil ultrasound masih

meragukan, maka biasanya dilakukan CT scan. (Heuman, 2011).

9. PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan dari batu empedu tergantung dari stadium penyakit. Saat batu

tersebut menjadi simptomatik maka intervensi operatif diperlukan. Biasanya yang dipakai

ialah kolesistektomi. Akan tetapi, pengobatan batu dapat dimulai dari obat-obatan yang

digunakan tunggal atau kombinasi yaitu terapi oral garam empedu (asam ursodeoksikolat),

dilusi kontak dan ESWL. Terapi tersebut akan berprognosis baik apabila batu kecil < 1 cm

dengan tinggi kandungan kolesterol.

9.1 Konservatif

Penanganan operasi pada batu empedu asimptomatik tanpa komplikasi tidak

dianjurkan. Indikasi kolesistektomi pada batu empedu asimptomatik ialah

- Pasien dengan batu empedu > 2cm

- Pasien dengan kandung empedu yang kalsifikasi yang resikko tinggi

keganasan

- Pasien dengan cedera medula spinalis yang berefek ke perut. (Heuman,

2011).

Disolusi batu empedu

15

Page 16: kolelitiasis NEPONG

Agen disolusi yang digunakan ialah asam ursodioksikolat. Pada manusia,

penggunaan jangka panjang dari agen ini akan mengurangi saturasi kolesterol pada

empedu yaitu dengan mengurangi sekresi kolesterol dan efek deterjen dari asam empedu

pada kandung empedu. Desaturasi dari empedu mencegah kristalisasi.

Dosis lazim yang digunakan ialah 8-10 mg/kgBB terbagi dalam 2-3 dosis harian

akan mempercepat disolusi. Intervensi ini membutuhkan waktu 6-18 bulan dan berhasil

bila batu yang terdapat ialah kecil dan murni batu kolesterol. (Klingensmith, Chen, 2008).

Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy (ESWL)

Litotripsi gelombang elektrosyok meskipun sangat populer beberapa tahun yang

lalu, analisis biaya-manfaat pada saat ini hanya terbatas untuk pasien yang benar-benar

telah dipertimbangkan untuk menjalani terapi ini. Efektifitas ESWL memerlukan terapi

adjuvant asam ursodeoksilat. (Klingensmith, Chen, 2008).

9.2 Operatif

Open kolesistektomi

Operasi ini merupakan standar untuk penanganan pasien dengan batu empedu

simtomatik. Indikasi yang paling umum untuk kolesistektomi adalah kolik biliaris rekuren,

diikuti oleh kolesistitis akut. Komplikasi yang berat jarang terjadi, meliputi trauma duktus

empedu, perdarahan, dan infeksi. Data baru-baru ini menunjukkan mortalitas pada pasien

yang menjalani kolesistektomi terbuka pada tahun 1989, angka kematian secara

keseluruhan 0,17 %, pada pasien kurang dari 65 tahun angka kematian 0,03 % sedangkan

pada penderita diatas 65 tahun angka kematian mencapai 0,5 %. (Doherty, 2010).

Kolesistektomi laparoskopik

Kelebihan tindakan ini meliputi nyeri pasca operasi lebih minimal, pemulihan

lebih cepat, hasil kosmetik lebih baik, menyingkatkan perawatan di rumah sakit dan biaya

yang lebih murah. Indikasi pembedahan batu kandung empedu adalah bila simptomatik,

adanya keluhan bilier yang mengganggu atau semakin sering atau berat. Indikasi lain

adalah yang menandakan stadium lanjut, atau kandung empedu dengan batu besar,

berdiameter lebih dari 2 cm, sebab lebih sering menimbulkan kolesistitis akut dibanding

16

Page 17: kolelitiasis NEPONG

dengan batu yang lebih kecil. Kontra indikasi absolut serupa dengan tindakan terbuka

yaitu tidak dapat mentoleransi tindakan anestesi umum dan koagulopati yang tidak dapat

dikoreksi. Komplikasi yang terjadi berupa perdarahan, pankreatitis, bocor stump duktus

sistikus dan trauma duktus biliaris. Resiko trauma duktus biliaris sering dibicarakan,

namun umumnya berkisar antara 0,5–1%. Dengan menggunakan teknik laparoskopi

kualitas pemulihan lebih baik, tidak terdapat nyeri, kembali menjalankan aktifitas normal

dalam 10 hari, cepat bekerja kembali, dan semua otot abdomen utuh sehingga dapat

digunakan untuk aktifitas olahraga. (Hunter, 2007).

Beberapa pasien dapat mengalami gejala sindrom pasca kolesistektomi seperti

dispepsia, diare yang kemungkinan disebabkan oleh sekresi berlebihan dari garam

empedu, nyeri bilier yang disebabkan oleh spasme sfingter oddi. (Engram, 2009).

9.3 Dietik

Prinsip perawatan dietetik pada penderita batu kandung empedu adalah memberi

istirahat pada kandung empedu dan mengurangi rasa sakit, juga untuk memperkecil

kemungkinan batu memasuki duktus sistikus. Di samping itu untuk memberi makanan

secukupnya untuk memelihara berat badan dan keseimbangan cairan tubuh.

Pembatasan kalori juga perlu dilakukan karena pada umumnya batu kandung

empedu tergolong juga ke dalam penderita obesitas. Bahan makanan yang dapat

menyebabkan gangguan pencernaan makanan juga harus dihindarkan. (Lesmana, 2009).

Kadang-kadang penderita batu kandung empedu sering menderita konstipasi, maka

diet dengan menggunakan buah-buahan dan sayuran yang tidak mengeluarkan gas akan

sangat membantu.

Syarat-syarat diet pada penyakit kandung empedu yaitu :

- Rendah lemak dan lemak diberikan dalam bentuk yang mudah dicerna.

- Cukup kalori, protein dan hidrat arang. Bila terlalu gemuk jumlah kalori dikurangi.

- Cukup mineral dan vitamin, terutama vitamin yang larut dalam lemak.

- Tinggi cairan untuk mencegah dehidrasi. (Lesmana, 2009).

10. KOMPLIKASI

a. Kolesistitis Akut

17

Page 18: kolelitiasis NEPONG

Kolesistitis akut adalah reaksi inflamasi akut dinding kandung empedu disertai

keluhan nyeri perut kanan atas, nyeri tekan, dan demam. (Lesmana, 2009). Hampir semua

kolesistitis akut terjadi akibat sumbatan duktus sistikus oleh batu yang terjebak dalam

kantong Hartmann. Komplikasi ini terdapat pada lima persen penderita kolesistitis.

Kolesistitis akut tanpa batu empedu disebut kolesistitis akalkulosa, dapat ditemukan pasca

bedah.

Pada kolesistitis akut, faktor trauma mukosa kandung empedu oleh batu dapat

menyebabkan pelepasan fosfolipase yang mengubah lesitin di dalam empedu menjadi

lisolesitin, yaitu senyawa toksik yang memperberat proses peradangan. Pada awal

penyakit, peran bakteria agaknya kecil saja meskipun kemudian dapat terjadi supurasi

(nanah/pernanahan). Komplikasi kolesistitis akut adalah empiema, gangrene, dan

perforasi.

Perjalanan kolesistitis akut bergantung pada apakah obstruksi dapat hilang sendiri

atau tidak, derajat infeksi sekunder, usia penderita, dan penyakit lain yang memperberat

keadaan, seperti diabetes mellitus.

Perubahan patologik di dalam kandung empedu mengikuti pola yang khas. Proses

awal berupa udem subserosa, lalu perdarahan mukosa dan bercak-bercak nekrosis dan

akhirnya fibrosis. Gangren dan perforasi dapat terjadi pada hari ketiga setelah serangan

penyakit, tetapi kebanyakan pada minggu kedua. Pada penderita yang mengalami resolusi

spontan, tanda radang akut baru menghilang setelah empat minggu, tetapi sampai

berbulan-bulan kemudian sisa peradangan dan nanah masih tetap ada. Hampir 90%

kandung empedu yang diangkat dengan kolesistektomi menunjukan jaringan parut lama,

yang berarti pada masa lalu pernah menderita kolesistitis, tetapi umumnya penderita

menyangkal tidak pernah merasa ada keluhan. (Sjamsuhidajat, 2011).

b. Kolesistitis Kronik

Kolesistitis kronik adalah peradangan menahun dari dinding kandung empedu,

yang ditandai dengan serangan berulang dari nyeri perut yang tajam dan hebat. Kolesistitis

kronik merupakan kelainan kandung empedu yang paling umum ditemukan. Penyebabnya

hampir selalu batu empedu. Penentu penting untuk membuat diagnosa adalah kolik bilier,

dispepsia, dan ditemukannya batu empedu pada pemeriksaan ultrasonografi atau

18

Page 19: kolelitiasis NEPONG

kolesistografi oral. Keluhan dispepsia dicetuskan oleh makanan “berat” seperti gorengan,

yang mengandung banyak lemak, tetapi dapat juga timbul setelah makan bermacam jenis

kol. Kolik bilier yang khas dapat juga dicetuskan oleh makanan berlemak dan khas kolik

bilier dirasakan di perut kanan atas. (Sjamsuhidajat, 2011).

c. Kolangitis Akut

Kolangitis akut adalah infeksi bakterial yang akut dari saluran empedu yang

tersumbat baik secara parsial atau total; sumbatan dapat disebabkan oleh penyebab dari

dalam lumen saluran empedu misalnya batu koledokus, askaris yang memasuki duktus

koledokus atau dari luar lumen misalnya karsinoma caput pankreas yang menekan duktus

koledokus, atau dari dinding saluran empedu misalnya kolangio-karsinoma atau striktur

saluran empedu.

Kolangitis akut dapat terjadi pada pasien dengan batu saluran empedu karena

adanya obstruksi dan invasi bakteri empedu. Gambaran klinis kolangitis akut yang klasik

adalah trias charcot yang meliputi nyeri abdomen kuadran kanan atas, ikterus dan demam

yang didapatkan pada 50% kasus. Kolangitis akut supuratif adalah trias charcot yang

disertai hipotensi, oliguria, dan gangguan kesadaran.

Spektrum dari kolangitis akut mulai dari yang ringan, yang akan membaik sendiri,

sampai dengan keadaan yang membahayakan jiwa di mana dibutuhkan drainase darurat.

Penatalaksanaan kolangitis akut ditujukan untuk: a) Memperbaiki keadaan umum pasien

dengan pemberian cairan dan elektrolit serta koreksi gangguan elektrolit, b) Terapi

antibiotic parenteral, dan c) Drainase empedu yang tersumbat. Beberapa studi acak

tersamar memperlihatkan keunggulan drainase endoskopik dengan angka kematian yang

jauh lebih rendah dan bersihan saluran empedu yang lebih baik dibandingkan operasi

terbuka. Studi dengan control memperkuat kesimpulan bahwa angka kematian dengan

ERCP hanya sepertiga dibandingkan dengan operasi terbuka pada pasien dengan

kolangitis yang berat. Oleh karenanya, ERCP merupakan terapi pilihan pertama untuk

dekompresi bilier mendesak pada kolangitis akut yang tidak respon terhadap terapi

konservatif. (Lesmana, 2009).

d. Pankreatitis bilier akut atau pankreatitis batu empedu

Pankreatitis adalah reaksi peradangan pancreas. Pankreatitis bilier akut atau

pancreatitis batu empedu baru akan terjadi bila ada obtruksi transien atau persisten di

19

Page 20: kolelitiasis NEPONG

papilla Vater oleh sebuah batu. Batu empedu yang terjepit dapat menyebabkan sepsis

bilier atau menambah beratnya pankreatitis.

Sejumlah studi memperlihatkan pasien dengan pankreatitis bilier akut yang ringan

menyalurkan batunya secara spontan dari saluran empedu ke dalam duodenum pada lebih

dari 80% dan sebagian besar pasien akan sembuh hanya dengan terapi suportif

kolangiografi. Sesudah sembuh pada pasien ini didapatkan insidensi yang rendah kejadian

batu saluran empedu sehingga tidak dibenarkan untuk dilakukan ERCP rutin.

Sebaliknya, sejumlah studi menunjukan bahwa pasien dengan pancreatitis bilier

akut yang berat akan mempunyai resiko yang tinggi untuk mempunyai batu saluran

empedu yang tertinggal bila kolangiografi dilakukan pada tahap dini sesudah serangan.

Beberapa studi terbuka tanpa kontrol memperlihatkan sfingterektomi endoskopik pada

keadan ini tampaknya aman dan disertai penurunan angka kesakitan dan kematian.

(Lesmana, 2009).

11. PROGNOSIS

Prognosis nya adalah tergantung dari besar atau kecilnya ukuran batu empedu,

karena akan menentukan penatalaksanaannya, serta ada atau tidak dan berat atau

ringannya komplikasi. Namun, adanya infeksi dan halangan disebabkan oleh batu yang

berada di dalam saluran biliaris sehingga dapat mengancam jiwa. Walaupun demikian,

dengan diagnosis dan pengobatan yang cepat serta tepat, hasil yang didapatkan biasanya

baik.

20

Page 21: kolelitiasis NEPONG

KESIMPULAN

Kejadian batu empedu di negara - negara industri antara 10 - 15 %. Sedangkan

penelitian di Jakarta pada 51 pasien pasien didapatkan batu pigmen pada 73% pasien dan

batu kolesterol pada 27% pasien. Prevalensi tergantung usia, jenis kelamin, dan etnis.

Kasus batu empedu lebih umum ditemukan pada wanita. Wanita mempunyai resiko 3 kali

lipat untuk terkena kolelitiasis dibandingkan dengan pria.

Etiologi batu empedu dan saluran empedu masih belum diketahui dengan

sempurna, akan tetapi faktor predisposisi yang paling penting tampaknya adalah gangguan

metabolisme yang disebabkan oleh perubahan susunan empedu, stasis empedu dan infeksi

kandung empedu. Dikenal tiga jenis batu empedu yaitu, batu kolesterol, batu pigmen atau

batu bilirubin yang terdiri dari kalsium bilirubinat, serta batu campuran.

Ultrasonografi merupakan modalitas yang terpilih jika terdapat kecurigaan

penyakit kandung empedu dan saluran empedu.

Pengobatan pada kolelitiasis tergantung pada tingkat dari penyakitnya. Jika tidak

ada gejala maka tidak diperlukan kolesistektomi. Tapi jika satu kali saja terjadi gejala,

maka diperlukan kolesistektomi. Selain itu juga dapat dilakukan penanganan non operatif

dengan cara konservatif yaitu melalui obat (ursodioksilat) dan ESWL.

21

Page 22: kolelitiasis NEPONG

DAFTAR PUSTAKA

1. Beltran MA. Mirizzi Syndrome. World J Gastroenterol. 2012; 18: 4639-4648.

2. Bloom A. Cholecystitis Treatment & Management. 2011. Available at:

http://emedicine.medscape.com/article/171886-treatment#aw2aab6b6b1aa.

3. Brunner & Suddart. Keperawatan Medical Bedah Vol 2. Jakarta: EGC; 2001.

4. Dandan I. Choledocholithiasis. 2007. Available at:

http://www.eglobalmed.com/opt/MedicalStudentdotcom/www.emedicine.com/

med/topic350.htm.

5. Doherty, GM. Biliary Tract. In : Current Diagnosis & Treatment Surgery 13th

edition. US : McGraw-Hill Companies; 2010.

6. Engram Barbara. Cholesistectomy. In: Medical Surgical Nursing Care Plans.

Delmar: A Division of Wadsworth Inc; 2009.

7. Guyton, Arthur C. Hall, John E. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. 11th edition.

Jakarta: EGC; 2007.

8. Heuman DM. Cholelithiasis. 2011. Available at: http://emedicine.medscape.

com/article/175667-overview.

9. Hunter JG. Gallstones Diseases. In : Schwart’s Principles of Surgery. 8th edition.

US : McGraw-Hill Companies; 2007.

10. Klingensmith ME, Chen LE, Glasgow SC, Goers TA, Spencer J. Biliary Surgery. In

: Washington Manual of Surgery. 5th edition. Washington : Lippincott Williams &

Wilkins; 2008.

11. Lesmana, L. Penyakit Batu Empedu. In : Sudoyo B, Alwi I, Simadibrata MK,

Setiati S Editors. Ilmu Penyakit Dalam. 5th edition. Jakarta: Interna Publishing;

2009. p. 721-26.

12. Nurman A. Kolangitis Akut Dipandang dari Sudut Penyakit Dalam. J Kedokter

Trisakti. 1999; 18(3): 123-9.

22

Page 23: kolelitiasis NEPONG

13. Price SA, Wilson LM. Kolelitiasis dan Kolesistisis. Dalam : Patofisiologi. Konsep

Klinis Proses-Proses Penyakit. 6th edition. Jakarta : EGC; 2006.

14. Shirasu T. Case report: Single-incision laparoscopic cholecystectomy for

cholecystolithiasis coinciding with cavernous transformation of the portal vein:

report of a case. 2013. Available at: http://www.biomedcentral.com/1471-

2482/13/10/abstract.

15. Silbernagl S, Lang F. Gallstones Diseases. In : Color Atlas of Pathophysiology.

New York : Thieme; 2000.

16. Sjamsuhidajat R, de Jong W. Kolelitiasis. In: Buku Ajar Ilmu Bedah. 3rd edition.

Jakarta: EGC; 2011.

17. Snell, RS. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. 6 th Edition. Jakarta: EGC;

2006.

18. Vorvick L. Choledocholithiasis. 2013. Available at:

http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000274.htm.

23