Post on 15-Jan-2016
description
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG MASALAH
Sejak abad ke-1 Hijriah atau abad ke-7 Masehi, kawasan Asia Tenggara
mulai berkenalanan dengan “tradisi” Islam, meskipun frekuensinya tidak terlalu
besar. Pengenalan ini berlangsung sejalan dengan munculnya para saudagar
Muslim di beberapa tempat di Asia Tenggara. Bukti tertua adanya “komunitas”
Muslim di Asia Tenggara adalah dua buah makam yang bertarikh sekitar abad ke-
5 Hijriah/ke-11 Masehi di Pandurangga (kini Panrang, Viet Nam) dan di Leran
(Gresik, Indonesia).
Kehadiran Islam secara lebih nyata di Indonesia terjadi pada sekitar abad
ke-13 Masehi, yaitu dengan adanya makam dari Sultan Malik as-Saleh yang
mangkat pada bulan Ramadhan 696 Hijriah/1297 Masehi. Ini berarti bahwa pada
abad ke-13 Masehi di Nusantara sudah ada institusi kerajaan yang bercorak Islam.
Para saudagar Muslim sudah melakukan aktivitas dagangnya sejak abad
ke-7 Masehi. Beberapa kerajaan Hindu dan Buddha di Nusantara sudah
melakukan hubungan dagang dan diplomatik dengan kerajaan-kerajaan Islam di
Timur Tengah. Bukti-bukti arkeologis yang mendukung ke arah itu ditemukan di
Laut Jawa dekat Cirebon. Di antara komoditi perdagangan yang asalnya dari
Timur Tengah ditemukan indikator “keislaman” yang berupa sebuah cetakan
tangkup (mould) yang bertulisan asma‘ul husnah.
Meskipun sebagian besar masyarakat Indonesia menganut paham Sunni,
namun pada prakteknya saat ini di Sumatra dan Jawa menganut paham Syi‘ah.
Data arkeologis menunjukkan bahwa Islam yang masuk ke Nusantara berasal dari
Persia melalui Gujarat, kemudian dibawa oleh para saudagar ke Asia Tenggara,
khususnya Indonesia dan Semenanjung Tanah Melayu.
Sejak awal perkembangannya, Islam di Indonesia telah menerima
akomodasi budaya. Karena Islam sebagai agama memang banyak memberikan
norma-norma aturan tentang kehidupan dibandingkan dengan agama-agama lain.
Bila dilihat kaitan Islam dengan budaya, paling tidak ada dua hal yang perlu
diperjelas: Islam sebagai konsespsi sosial budaya, dan Islam sebagai realitas
budaya. Islam sebagai konsepsi budaya ini oleh para ahli sering disebut dengan
great tradition (tradisi besar), sedangkan Islam sebagai realitas budaya disebut
dengan little tradition (tradisi kecil) atau local tradition (tradisi local) atau juga
Islamicate, bidang-bidang yang “Islamik”, yang dipengaruhi Islam.
Tradisi besar (Islam) adalah doktrin-doktrin original Islam yang permanen,
atau setidak-tidaknya merupakan interpretasi yang melekat ketat pada ajaran
dasar. Dalam ruang yang lebih kecil doktrin ini tercakup dalam konsepsi
keimanan dan syariah-hukum Islam yang menjadi inspirasi pola pikir dan pola
bertindak umat Islam. Tradisi-tradisi ini seringkali juga disebut dengan center
(pusat) yang dikontraskan dengan peri-feri (pinggiran).
Tradisi kecil (tradisi local, Islamicate) adalah realm of influence- kawasan-
kawasan yang berada di bawah pengaruh Islam (great tradition). Tradisi local ini
mencakup unsur-unsur yang terkandung di dalam pengertian budaya yang
meliputi konsep atau norma, aktivitas serta tindakan manusia, dan berupa karya-
karya yang dihasilkan masyarakat.
Dalam istilah lain proses akulturasi antara Islam dan Budaya local ini
kemudian melahirkan apa yang dikenal dengan local genius, yaitu kemampuan
menyerap sambil mengadakan seleksi dan pengolahan aktif terhadap pengaruh
kebudayaan asing, sehingga dapat dicapai suatu ciptaan baru yang unik, yang
tidak terdapat di wilayah bangsa yang membawa pengaruh budayanya. Pada sisi
lain local genius memiliki karakteristik antara lain: mampu bertahan terhadap
budaya luar; mempunyai kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar;
mempunyai kemampuan mengintegrasi unsur budaya luar ke dalam budaya asliu;
dan memilkiki kemampuanmengendalikan dan memberikan arah pada
perkembangan budaya selanjutnya.
Sebagai suatu norma, aturan, maupun segenap aktivitas masyarakat
Indonesia, ajaran Islam telah menjadi pola anutan masyarakat. Dalam konteks
inilah Islam sebagai agama sekaligus telah menjadi budaya masyarakat Indonesia.
Di sisi lain budaya-budaya lokal yang ada di masyarakat, tidak otomatis hilang
dengan kehadiran Islam. Budaya-budaya lokal ini sebagian terus dikembangkan
dengan mendapat warna-warna Islam. Perkembangan ini kemudian melahirkan
“akulturasi budaya”, antara budaya local dan Islam.
1.2. RUMUSAN MASALAH
Materi yang akan dibahas didalam makalah ini adalah:
1. Bagaimana Mengetahui Proses Masuknya Islam ke Indonesia?
2. Apa Saja Kerajaan-Kerajaan Islam Yang Ada Di Indonesia?
1.3. TUJUAN
Adapun tujuan dari makalah ini adalah:
1. Untuk Mengetahui Bagaimana Proses Masuknya Islam ke Indonesia.
2. Untuk Mengetahui Apa Saja Kerajaan-Kerajaan Islam Yang Ada Di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Proses Masuknya Islam ke Indonesia
Islam adalah agama dakwah yaitu agama yang harus disiapkan,
disebarluaskan dan dikembangkan oleh penganutnya dalam situasi dan kondisi
yang bagaimanapun. Demikian pula halnya dengan apa yang dilakukan para
pedagang muslim yang juga berperan sebagai dai, dengan berbagai metode yang
digunakan berusaha mengembangkan sayap Islam seluas-luasnya sampai penjuru
Nusantara.
Semenjak Islamisasi masuk ke Indonesia, maka bermunculan berbagai
kerajaan-kerajaan Islam hingga Indonesia merdeka. Sehingga menjadikan
Indonesia sebagai negara yang mayoritas penduduknya umat Islam.
Sejarah masuknya agama Islam ke Indonesia melalui dakwah yang damai
dan bukan dengan ketajaman mata pedang.[1] Akan tetapi sejauh menyangkut
kedatangan Islam di Indonesia terdapat diskusi dan perdebatan panjang di antara
para ahli, mengenai tiga masalah pokok, tempat asal kedatangan Islam, para
pembawanya, dan waktu kedatangannya.[2]
Berbagai teori dan pembahasan yang berusaha menjawab ketiga masalah
pokok ini jelas belum tuntas, tidak hanya kurangnya data yang dapat mendukung
suatu teori tertentu, tetapi juga karena sifat sepihak dari berbagai teori yang ada.
Terdapat kecenderungan kuat, suatu teori tertentu menekankan hanya aspek-aspek
khusus dari ketiga masalah pokok, sementara mengabaikan aspek-aspek lainnya.
[3] Dan juga disebabkan oleh subjektivitas penulis.[4]
Islam menyebar di India dan semenanjung Arab hingga ke Malaya dan
masuk ke Indonesia. Pada beberapa daerah, Islam disebarkan melalui
penaklukkan, akan tetapi di Asia Tenggara Islam disebarkan oleh para pedagang
dan aktivitas sufi.[5]
Dalam berbagai literatur yang ada, banyak pendapat yang dikemukakan
oleh para ahli mengenai tiga persoalan di atas, namun di sini hanya akan
dikemukakan beberapa masalah saja.
Seorang penulis berkebangsaan Barat, Thomas W. Arnold menjelaskan
bahwa telah dibawa ke Nusantara oleh pedagang-pedagang Arab sehak abad
pertama hijriah, lama sebelum adanya catatan sejarah. Pernyataan ini diperkuat
dengan adanya perdagangan yang luas oleh orang-orang Arab dengan dunia timur
sejak masa awal Islam.[6]
Di dalam Tarikh China, pada tahun 674 M, terdapat catatan tentang
seorang pemimpin Arab yang mengepalai rombongan orang-orang Arab dan
menetap di pantai barat Sumatera. Kemudian berdasarkan kesamaan mazhab yang
dianut oleh mereka (pedagang dan muhballigh) anut, yaitu mazhab Syafi’i. Pada
masa itu mazhab Syafi’I merupakan mazhab yang dominan di pantai Corromandel
dan Malabor ketika Ibnu Batutah mengunjungi wilayah tersebut pada abad ke-14.
[7]
Dalam pernyataan di atas, Arnold mengatakan bahwa Arabia bukan satu-
satunya tempat asal Islam dibawa, tapi juga dari Corromander dan Malabar. Versi
lain yang dipaparkan oleh Azra yang mengutip beberapa pendapat dan teori
sarjana, kebanyakan sarjana Belanda yang berpegang pada teori yang mengatakan
bahwa Islam masuk ke Nusantara berasal dari anak Benua India bukan Persia atau
Arab. Sarjana pertama yang mengemukakan teori ini adalah Pijnappel, seorang
pakar dari Leiden. Dia mengaitkan asal muasal Islam di Nusantara dengan dengan
wilayah Gujarat dan Malabar. Menurut dia, adalah orang-orang yang bermazhab
Syafi’i yang bermigrasi dan menetap di wilayah India tersebut yang kemudian
membawa Islam ke Nusantara.[8] Teori ini dikembangkan oleh Snoujk Hurgronje
Moquetta, seorang sarjana Belanda lainnya, berdasarkan hasil
penelitiannya menyimpulkan bawha tempat asal Islam di Nusantara adalah
Cambay, Gujarat. Dia berargument bahwa tipe nisan yang terdapat baik di Pasai
maupun Gresik memperlihatkan tipe yang sama dengan yang terdapat di Cambay,
India.[9]
Selain dari itu, seminar yang dilaksanakan di Medan pada tahun 1963,
tahun 1978 di Banda Aceh, dan tanggal 30 september 1980 di Rantau Kuala
Simpang tentang sejarah masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia
menyimpulkan bahwa agama Islam masuk ke Indonesia pada abad I H langsung
dari tanah Arab melalui Aceh.[10]
Kemudian daerah yang pertama kali didatangi Islam ialah pesisir
Sumatera. Para muballigh itu selain sebagai penyiar agama juga merupakan
pedagang. Dan penyiaran Islam di Indonesia dilakukan secara damai.[11]
Beberapa teori lain, sebgaimana yang dihimpun oleh Muhammad Hasan
al-Idrus menjelaskan dua teori yang berbeda yang bertolak belakang. Teori
pertama diwakili oleh sarjanawan Eropa yang menjelaskan bahwa Islam pertama
kali masuk ke Indonesia pada sekitar abad ke-13 M, ketika Marcopolo singgah di
Utara pulau Sumatera pada tahun 1292 M.[12]
Teori kedua, adalah teori yang dikemukakan oleh beberapa sarjana Arab
dan Muslim, antara lain Muhammad Dhiya’ Syahab dan Abdullah bin Nuh yang
menulis kitab al-Islam fi Indonesia, serta Syarif Alwi bin Thahir al-Haddad
seorang mufti kesultanan Johor Malaysia dalam kitabnya yang berjudul al-
Madkhal ila Tarikh al-Islam fis Syarqi al-Aqsha, keduanya menolak teori yang
dikemukakan oleh para sarjanawan Barat yang mengatakan bahwa Islam masuk
ke Asia Tenggara khusunya ke Malaysia dan Indonesia pada abad ke-13 M.
mereka meyakini bahwa Islam masuk pada abad ke-7 H, karena kerajaan Islam
baru ada di Sumatera pada sekitar akhir abad ke-5 dan ke-6 H. Hal ini mereka
pertegas dengan mengemukakan beberapa bukti, antara lain tentang sejarah
kehidupan seorang penyebar agama Islam di Jawa yakni Seikh Muhammad Ainul
Yaqin (Sunan Giri) bin Maulana Uluwwul Islam Makhdum lahir pada tahun 1355
tahun Jawa. Sedangkan ayahnya masuk ke Jawa setelah masuknya Sayrif al-
Husein raja Carmen pada tahun 1316 tahun Jawa. Setelah itu masuk Raden
Rahmat, seorang penyebar agama Islam di Jawa Timur pada tahun 1316 tahun
Jawa.[13]
Teori versi Indonesia menjelaskan bahwa Islam masuk ke Indonesia
dibawa oleh para pedangan dari Persia, Arab dan India melalui pelabuhan penting
seperti pelabuhan Lamuri di Aceh, Barus dan Palembang di Sumatera sekitar abad
I H/7 M.[14]
2.2 Kerajaan-Kerajaan Islam Di Indonesia
I. Kesultanan Samudera Pasai
Berdasarkan berita Marcopolo (th 1292) dan Ibnu Batutah (abad 13). Pada
tahun 1267 telah berdiri kerajaan Islam pertama di Indonesia, yaitu kerajaan
Samudra Pasai. Hal ini juga dibuktikan dengan adanya Batu nisan makam Sultan
Malik Al Saleh (th 1297) Raja pertama Samudra Pasai. Kesultanan Samudera
Pasai, juga dikenal dengan Samudera, Pasai, atau Samudera Darussalam, adalah
kerajaan Islam yang terletak di pesisir pantai utara Sumatera, kurang lebih di
sekitar Kota Lhokseumawe, Aceh Utara sekarang.
Kerajaan Samudra Pasai berdiri sekitar abad 13 oleh Nazimuddin Al
Kamil, seorang laksamana laut Mesir. Pada Tahun 1283 Pasai dapat
ditaklukannnya, kemudian mengangkat Marah Silu menjadi Raja Pasai pertama
dengan gelar Sultan Malik Al Saleh (1285 - 1297). Makam Nahrasyiah Tri Ibnu
Battutah, musafir Islam terkenal asal Maroko, mencatat hal yang sangat berkesan
bagi dirinya saat mengunjungi sebuah kerajaan di pesisir pantai timur Sumatera
sekitar tahun 1345 Masehi. Setelah berlayar selama 25 hari dari Barhnakar
(sekarang masuk wilayah Myanmar), Battutah mendarat di sebuah tempat yang
sangat subur. Perdagangan di daerah itu sangat maju, ditandai dengan penggunaan
mata uang emas. Ia semakin takjub karena ketika turun ke kota ia mendapati
sebuah kota besar yang sangat indah dengan dikelilingi dinding dan menara kayu.
Kota perdagangan di pesisir itu adalah ibu kota Kerajaan Samudera Pasai.
Samudera Pasai (atau Pase jika mengikuti sebutan masyarakat setempat) bukan
hanya tercatat sebagai kerajaan yang sangat berpengaruh dalam pengembangan
Islam di Nusantara. Kejayaan Samudera Pasai yang berada di daerah Samudera
Geudong, Aceh Utara, diawali dengan penyatuan sejumlah kerajaan kecil di
daerah Peurelak, seperti Rimba Jreum dan Seumerlang. Sultan Malikussaleh
adalah salah seorang keturunan kerajaan itu yang menaklukkan beberapa kerajaan
kecil dan mendirikan Kerajaan Samudera pada tahun 1270 Masehi.
Ketika Malikussaleh mangkat, Malikul Dhahir menggabungkan kedua
kerajaan itu menjadi Samudera Pasai. Dalam kisah perjalanannya ke Pasai, Ibnu
Battutah menggambarkan Sultan Malikul Dhahir sebagai raja yang sangat saleh,
pemurah, rendah hati, dan mempunyai perhatian kepada fakir miskin. Meskipun ia
telah menaklukkan banyak kerajaan, Malikul Dhahir tidak pernah bersikap
jemawa. Kerendahan hatinya itu ditunjukkan sang raja saat menyambut
rombongan Ibnu Battutah. Para tamunya dipersilakan duduk di atas hamparan
kain, sedangkan ia langsung duduk di tanah tanpa beralas apa-apa.
Dengan cermin pribadinya yang begitu rendah hati, raja yang memerintah
Samudera Pasai dalam kurun waktu 1297- 1326 M ini, pada batu nisannya dipahat
sebuah syair dalam bahasa Arab, yang artinya, ini adalah makam yang mulia
Malikul Dhahir, cahaya dunia sinar agama. Tercatat, selama abad 13 sampai awal
abad 16, Samudera Pasai dikenal sebagai salah satu kota di wilayah Selat Malaka
dengan bandar pelabuhan yang sangat sibuk. Bersamaan dengan Pidie, Pasai
menjadi pusat perdagangan internasional dengan lada sebagai salah satu
komoditas ekspor utama.
Pada tahun 1297 Malik Al saleh meninggal, dan digantikan oleh putranya
Sultan Muhammad (th 1297 – 1326) lebih dikenal dengan nama Malik Al Tahir,
penggantinya Sultan Ahmad (th 1326 – 1348), juga pakai nama Malik
Al Tahir, penggantinya Zainal Abidin. Raja Zainal Abidin pada tahun
1511 terpaksa melarikan diri dan meninggalkan tahtanya berlindung di Majapahit,
karena masih saudara raja Majapahit. Hal ini berarti hubungan kekerabatan Raja
Samudra Pasai dengan Raja Majapahit terbina sangat baik, menurut berita Cina
disebutkan pertengahan abad 15, Samudra Pasai masih mengirimkan utusannya ke
Cina sebagai tanda persahabatan.
Dinamika Sosial-Budaya
Selain sebagai pusat perdagangan, Pasai juga menjadi pusat perkembangan
Islam di Nusantara. Kebanyakan mubalig Islam yang datang ke Jawa dan daerah
lain berasal dari Pasai.
Eratnya pengaruh Kerajaan Samudera Pasai dengan perkembangan Islam
di Jawa juga terlihat dari sejarah dan latar belakang para Wali Songo. Sunan
Kalijaga memperistri anak Maulana Ishak, Sultan Pasai. Sunan Gunung Jati alias
Fatahillah yang gigih melawan penjajahan Portugis lahir dan besar di Pasai.
Laksamana Cheng Ho tercatat juga pernah berkunjung ke Pasai.
Dinamika Agama
Kehidupan masyarakat Samudera Pasai diwarnai oleh agama dan
kebudayaan Islam. Pemerintahnya bersifat Theokrasi (berdasarkan ajaran Islam)
rakyatnya sebagiab besar memeluk agama Islam. Raja raja Pasai membina
persahabatan dengan Campa, India, Tiongkok, Majapahit dan Malaka.
Dinamika Ekonomi
Samudra Pasai sebelum menjadi kerajaan Islam merupakan kota
pelabuhan yang berada dalam kekuasaan Majapahit, yang pada masa itu sedang
mengalami kemunduran. Setelah dikuasai oleh pembesar Islam, para pedagang
dari Tuban, Palembang, malaka, India, Cina dan lain-lain datang berdagang di
Samudra Pasai. Menurut Ibnu Batutah: Samudera Pasai merupakan pelabuhan
terpenting dan Istana Raja telah disusun dan diatur secara indah berdasarkan pola
budaya Indonesia dan Islam.
Tercatat, selama abad 13 sampai awal abad 16, Samudera Pasai dikenal
sebagai salah satu kota di wilayah Selat Malaka dengan bandar pelabuhan yang
sangat sibuk. Bersamaan dengan Pidie, Pasai menjadi pusat perdagangan
internasional dengan lada sebagai salah satu komoditas ekspor utama.
Pada masa pemerintahan Sultan Malikul Dhahir, Samudera Pasai
berkembang menjadi pusat perdagangan internasional. Pelabuhannya diramaikan
oleh pedagang-pedagang dari Asia, Afrika, Cina, dan Eropa.
Saat itu Pasai diperkirakan mengekspor lada sekitar 8.000- 10.000 bahara
setiap tahunnya, selain komoditas lain seperti sutra, kapur barus, dan emas yang
didatangkan dari daerah pedalaman. Bukan hanya perdagangan ekspor impor yang
maju. Sebagai bandar dagang yang maju, Samudera Pasai mengeluarkan mata
uang sebagai alat pembayaran. Salah satunya yang terbuat dari emas dikenal
sebagai uang dirham.
Hubungan dagang dengan pedagang-pedagang Pulau Jawa juga terjalin.
Produksi beras dari Jawa ditukar dengan lada. Pedagang-pedagang Jawa mendapat
kedudukan yang istimewa di pelabuhan Samudera Pasai. Mereka dibebaskan dari
pembayaran cukai.
II. KESULTANAN PERLAK
Kesultanan perlak berdiri pada tahun 840 dan berakhir pada 1292. proses
berdirinya tidak terlepas dari pengaruh Islam di Sumatera. Sebelum kesultanan
Perlak berdiri di wilayah perlak sebenarnya sudah berdiri negeri Perlak yang raja
dan rakyatnya merupakan keturunan dari Maharaja Pho He La dan pengikutnya.
Pada tahun 840 ini, rombongan yang berjumlah 100 orang dari Timur
Tengah datang ke pantai Sumatera yang dipimpin oleh nakhoda khilafah.
Rombongan ini bertujuan untuk berdagang sekaligus membawa da’I yang bertuga
untuk menyebarkan Islam di ke Perlak. Dalam waktu kurang dari setengah abad,
raja dan rakyat Perlak meninggalkan agama lama mereka yakni Hindu dan Budha
dan memeluk agama Islam.
Perkembangan selanjutnya menunjukkan bahwa salah seorang dari anak
buah nakhoda khalifah, Ali bin Muhammad bin Ja’far Shadiq dikawinkan dengan
adik Syahir Nuwi, yakni raja Perlak keturunan Parsi. Dari perkawinan mereka
lahirlah Sultan Alaiddin Sayyid Maulanan Abdul Aziz Shah yang menjadi sultan
pertama di kesultanan Perlak. Ibukota negeri Perlak yang dahulunya bernama
Bandar Perlak berubah menjadi Bandar Khalifah.
Kerajaan Perlak dipimpin oleh 18 raja yang dimulai oleh Sultan Alaiddin
Syekh Maulanan Abdul Aziz (840-864) hingga yang terakhir Sultan Makhdum
Alaiddin Malik Abdul Aziz Johan Berdaulat (1267-1292). Masa kesultanan Perlak
dibagi kepada dua masa yakni dinasti Syekh Maulanan Abdul Aziz dan dinasti
Johan Berdaulat yang merupakan keturunan dari Meurah Perlak asli.
Dinamika Agama
Masa kesultanan Perlak bersamaan dengan pergolakan dan persaingan
antara kaum Sunni dan Syiah. Hal ini juga terjadi di kesultanan Perlak. Raja
pertama kesultanan Perlak berpindah agama ke Islam dengan aliran Syiah.
Aliran Sunni mulai masuk ke Kesultanan Eprlak pada masa pemerintahan
sultan ke-3. setelah ia meninggal terjadi perang saudara antara kaum Sunni dan
Syiah yang menyebabkan situasi politik tidak menentu dan kesultanan Perlak
kosong dari kepemimpinan. Pergolakan ini terus terjadi hingga 400 tahun lamanya
dan berakhir dengan perdamaian dua belah pihak dan kembali menyatukan
kerjaan pada tahun 986.
Dinamika Politik
Dengan masuknya aliran Sunni ke kesultanan Perlak, terjadilah pergolakan
yang terus menerus di kesultanan Perlak. Seperti disebutkan di atas, bahwa karena
pergolakan tersebut kesultanan Perlak mengalami kekosongan pemimpin, hingga
kemudian kedua belah pihak berhasil didamaikan pada masa pemerintahan Sultan
Alaiddin Syed Maulanan Shah (986-988) dari kaum Syiah dan Sultan Makhdum
Alaiddin Ibrahim Shah Johan Berdaulat (986-1023) dari kelompok Sunni
Dinamika Sosial, Budaya dan Ekonomi
Perlak dikenal dengan kekayaan hasil alamnya yang didukung dengan
letaknya yang sangat strategis. Apalagi, Perlak dikenal sebagai penghasil kayu
perlak, yaitu jenis kayu yang sangat bagus untuk membuat kapal. Kondisi
semacam inilah yang membuat para pedagang dari Gujarat, Arab dan Persia
tertarik untuk datang ke daerah ini. Masuknya para pedagang tersebut juga
sekaligus menyebarkan agama Islam di kawasan ini. Selain itu, masyarakat Perlak
juga lambat laun belajar berdagang. Pada awal abad ke-8, Perlak dikenal sebagai
pelabuhan niaga yang sangat maju.
III. Kerajaan Langkat.
Awal kelahiran dan perkembangannya yaitu wilayah kabupaten Langkat
yang dikenal sekarang ini sebelumnya adalah sebuah kerajaan. Wilayahnya
terbentang antara aliran sungai Seruwai atau daerah Tamiang (sekarang menjadi
wilayah Aceh Tamiang) sampai ke aliran anak sungai Wampu. Terdapat sebuah
sungai lainnya si antara kedua sungai ini, yaitu sungai Batang Serangan yang
merupakan jalur pusat kegiatan nelayan dan perdagangan penduduk setempat
dengan luar negeri terutama ke Penang atau Malaysia.Sungai Batang Serangan
ketika bertemu dengan sungai Wampu, namanya menjadi sungai Langkat.
Sehingga dapat dikatagorikan bahwa kerajaan Langkat lahir dan berkembang di
sekitar kawasan sungai-sungai di daerah Langkat yang meliputi kawasan Aceh
Tamiang sampai ke Binjai dan wilayah Bahorok.
Nama kerajaan Langkat diambil dari nama sebuah pohon yaitu pohon
Langkat.[15] Pohon ini dulu banyak tumbuh di sekitar pinggiran sungai Langkat
tersebut. Jenis pohon ini sekarang langka dan hanya dijumpai di hutan-hutan
pedalaman daerah Langkat. Pohon Langkat menyerupai pohon Langsat, tetapi
rasanya pahit dan kelat. Oleh karena pusat kerajaan Langkat berada di sekitar
sungai Langkat, maka kerajaan ini akhirnya populer dengan istilah kerajaan
Langkat.
Silsilah kesultanan Langkat diambil dari nama leluhur dinasti Langkat
yang terjauh adalah Dewa Sahdan.[16] Menurut mitos yang ada, ia lahir di tengah
hutan belantara dan dibrsarkan di Kuta Buluh (tanah tinggi Karo) kira-kira hidup
pada tahun 1500 sampai 1580 Masehi. Kemudian Dewa Sahdan turun gunung dan
beberapa kali berhasil mendirikan kerajaan-kerajaan kecil, karena terlibat
peperangan dengan kerajaan-kerajaan lain, khususnya Aceh yang pada saat itu
sedang mengembangkan daerah kekuasaannya.
Pendiri kerajaan Langkat yang dikenal adalah Raja kahar, yang pada
pertengahan abad ke –18 pada tahun 1750 sejak itu, nama Langkat sebagai sebuah
kerajaan mulai terdengar walaupun daerah kekuasaannya masih belum begitu luas
dan pusat pemerintahannya masih berpindah-pindah. Baru setelah Sultan Musa
Berkuasa maka pusat kerajaan resmi berada di Kota Tanjung Pura, selanjutnya
secara damai meluaskan wilayahnya sehingga wilayah kekuasaannya bertambah
luas mulai dari perbatasan Aceh Tamiang sampai di kawasan Binjai dan Bahorok.
Setelah Sultan Musa mangkat maka kerajaan diambil alih olehSultan Abdul Aziz
dan Sultan Mahmud hingga berakhirnya kekuasaan kerajaan Langkat.
Adapun silsilah kerajaan Langkat yaitu: Dewa Sahdan (1500-1580) di
Kota Rantang hamparan Perak, Dewa Sakti (1580- w. 1612) wafat pada perang
Aceh, Raja Abdullah atau Marhum Guri (1612-1673), Raja Kahar (1673-1750) di
Kota Dalam Secanggang, Badiulzaman (1750-1814), Kejuruan Tuah Hitam
(1814-1823), Raja Ahmad (1824-1870), Sultan Musa di Tanjung Pura (1870-
1896), Sultan Abdul Aziz di Tanjung Pura (1896-1926), Sultan Mahmud di Binjai
(1926-1946).
Dinamika Keagamaan
Masyarakat melayu Langkat sebelum adanya kerajaan Langkat diketahui
sedah beragama Islam, khususnya di wilayah pesisir. Hali ini dikarenkan wilayah
Langkat yang berbatasan dengan daerah Aceh, maka ini membawa dampak bagi
perkembangan Islam. Menurut Marco polo pada tahun 1292 telah ditemukan
komunitas Muslim di wilayah Pase pada abad ke-14 M. Islam telah berkembang
do daerah pesisir timur Sumatera. Pada masa ini orang-orang melayu berperan
besar dalam penyebaran agama Islam ke pelosok Nusantara,[17] dan hubungan
perdagangan dengan semenanjung Malaka.
Kerajaan Langkat terutama setelah berpusat di Tanjung Pura, menjadikan
agama Islam sebagai pedoman atau rujukan terhadap kebijakan-kebijakan sultan
dan kerajaan secara umum. Masyarakat yang mayoritas Islam dalam perilakunya
telah mencerminkan nilai-nilai agama yang sangat kuat walaupun masih terdapat
kepercayaan-kepercayaan peninggalan Hindu, Animisme dan lain sebagainya.
Selanjutnya dalam peyebaran Islam, maka sultan-sultan Langkat
membangun fasilitas-fasilitas peribadatan, mesjid-mesjid yang megah yang indah
bentuknya seperti Mesjid Azizi di Tanjung Pura, Masjid Raya Stabat dan Mesjid
Raya Binjai dan beberapa madrasah yang dibangun untuk pendidikan rohani
rakyat.[18] Sedangkan mengenai gaji-gaji guru dan nazir mesjid, demikian juga
untuk pemeliharaan gedung-gedung tersebut semuanya ditanggung oleh pihak
kerajaan.[19]
Dinamika keagamaan yang begitu kuat dapat dilihat dengan keberadaan
Babussalam sebagai pusat kegiatan Tariqat Naqsabandiyah. Ketika kesultanan
Langkat dipimpain oleh Sultan Musa, maka pusat tariqat tersebut muncul dan
menjadi sebuah simbol keagamaan pada masa itu dan bahkan sampai saat
sekarang.
Awal mula lahirnya Tariqat Naqsabandiyah ketika meninggalnya anak
Sultan Musa yang bernama Tuanku Besar dikarenakan sakit, hal ini membuat
sultan dan isterinya mengalami kesedihan mendalam dan depresi kejiwaan yang
kuat bebepara pihak yang mengkhawatirkan keadaan ini berusaha untuk
mengembalikan kesehatan dan kestabilan jiwa sultan. Maka dalam hal ini ada
seorang guru agama kerajaan yang bernama Syekh N. M. Nur mempunyai teman
sepengajian ketika di Mekkah yang bernama Syekh Abdul Wahab Rokan[20] atas
nasehatnya, maka sultan dan isteri disuruh bersuluk dan mengaji kepada Syekh
Abdul Wahab Rokan dengan harapan mudah-mudahan dengan selalu berzikir den
mengingat Allah, maka akan membuat hati lebih tenang. Sultan Musa setuju dan
akhirnya mengirimkan sebuah surat kepada Syekh yang isinya mengajak Syekh
tersebut datang ke Langkat. Surat itu diterima oleh syekh Abdul Wahab di Kubu
(sekarang Provinsi Riau). Ketika iti pula Syekh telah mendirikan tariqat di Kubu
dan akhirnya permintaan Sultan Musa dipenuhi oleh Syekh Abdul Wahab.[21]
Dinamika Sosial dan Budaya
Di masa kesultanan Langkat telah dikenal strata masyarakat atau kelas-
kelas sosial yang membedakan keturunan bangsawan dan rakyat biasa. Golongan
bangsawan adalah keturunan raja-raja yang dikenal dengan gelar-gelar tertentu
seperti tengku, sultan dan datuk.[22] Dalam hal ini peninggalan Hinduisme masih
melekat pada masyarakat. Bahkan sisa pelapisan sosial lama masih tampak dalam
prilaku masyarakat melayu saat ini.
Dengan adanya pelapisan sosial masyarakat, maka keturunan raja dan
aristokrat di Langkat mempunyai kesempatan yang lebih besar untuk hidup libeh
makmur dibandingkan dengan rakyat biasa. Meraka masing-masing diberi jabatan
dan diberi kekuasaan untuk mengatur atau mengelola kecamatan do daerah
Langkat. Pembagian kekuasaan dan hasil daerah membuat golongan bangsawan
langkat dapat hidup berkecukupan dalam bidang materi.[23]
Dinamika Ekomomi dan Intelektual
Kerajaan Langkat termasuk kerajaan yang makmur ini terlihat dari
bangunan-bangunan yang didirikan pada masa kerajaan ini seperti istana-istana
yang megah, lembaga pendidikan dan mesjid yang berdiri dengan kokoh dan kuat.
Menurut John Anderson selaku wakil pemerintahan Inggeris di Penang
menyatakan bahwa pada tahun 1823 kerajaan Langkat merupakan sebuah kerajaan
yang kaya. Ekspor ladanya bermutu sangat baik mencapai 20.000 pikul dalam
setahun. Hasil-hasil lainnya dari Langkat seperti rotan, lilin, buah-buahan, gambir
emas (dari Bahorok), gading, tembakau dan padi.[24]
Sumber penghasilan kesultanan Langkat terutama dari hasil pertanian,
pajak perkebunan asing (Deli Maatschaooij yang searang berupah menjadi
PTPN), perdagangan dan hasil pertambangan minyak Bapapte Pertoleum
Maatschappij (BPM) sehingga kesultanan Langkat terkenal dengan kerajaan yang
kaya. Kekayaan kerajaan dapat dinikmati oleh masyarakat ini dapat dirasakan
bahwa sultan setiap tahun mengeluarkan zakat dengan mengumpilkan seluruh
rakyat di mesjid atau di istana pada malam 27 Ramadhan serta memberikan
bantuan-bantuan lainnya seperti minyak lampu yang digunakan untuk penerangan
di Bulan Ramadhan.
Dinamika Intelektual
Dengan berdirinya Madrasah al- Masrullah tahun 1912, Madrasah Aziziah
pada tahun 1914 dan Madrasah Mahmudiyah tahun 1921 maka Langkat menjadi
salah satu tempat yang dituju oleh pencari ilmu dari berbagai daerah. Disebutkan
bahwa selain dari masyarakat Langkat yang belajar di kedua maktab tersebut
maka banyak pelajar-pelajar yang datang dari dalam dan dari luar pulau Sumatera
seperti Riau, Jambi, Tapanuli, Kalimantan Barat, Malaysia, Brunei dan lan
sebagainya.[25]
Pada awalnya maktab itu hanya disediakan untuk anak-anak keturunan raja
dan bangsawan semata, namun pada perkembangannya maktab ini telah
memberikan kesempatan kepada umum untuk dapat belajat dan menuntut ilmu.
Beberapa tokoh nasional yang pernah belajar antara lain adalah Tengku Amir
Hamzah dan adam Malik (Wakil Mantan Presiden RI).
Selanjutnya Sultan Abdul Azis kemudian mendirikan lembaga pendidikan
umum bagi masyarakat Langkat yaitu sekolah HIS dan sekolah melayu yang
banyak memberikan materi-materi pelajaran umum. Berkenaan dengan masalah
intelektual, kesultanan Langkat memiliki seorang Amir Hamzah yang diknal
sebagai seorang penyair, sastrawan dan pahlawan nasional. Ia lahir pada tanggal
28 Februari 1911 di Tanjung Pura. Ayahnya bernama Tengku Pangeran Adil
adalah cucu dari Sultan Musa.
Dinamika Politik
Berkenaan dengan politik, kerajaan Langkat dapat dipisahkan dari
kerajaan-kerajaan lain yang berada di sekitarnya. Ada dua kerajaan besar yang
selalu disebut-sebut dalam sejarah yaitu Kerajaan Aceh dan Kerajaan Siak. Selain
itu pula terdapat pemerintahan Kolonian Belanda yang selalu mengadakan
intimidasi terhadap kerajaan yang lambat laun meraka dapat menguasai kerajaan
Melayu yang berada di sepanjang pesisir timur pulau Sumatera termasuk Langkat
pada pertengahan abad ke –19. Akhirnya menjelang tahun kemerdekaan Republik
Indonesia penjajahan Jepang juga berhasil menguasai kerajaan Langkat, hingga
pada tahun 1946 terjadi revolusi sosial di Sumatera Timur yang menjadi akhir
masa pemerintahan kerajan Langkat dan digantikan menjadi wilayah kabupaten.
Seperti kerajaan lainnya, kerajaan Langkat juaga tidak luput dari perang
saudara. Perang saudara terjadi antara Nobatsyah (Raja Bendahara) dengan Raja
Ahmad. Hal ini dapat diketahui bahwa sebelum tahun 1865 susunan pemerintahan
kerajaan Langkat masih sangat sederhana. Menurut laporan John Anderson selaku
wakil Pemerintahan Inggris di Penang ketika mengunjungi Langkat pada tahun
1823, Siak belum menganggkat Raja untuk Langkat namun telah memberikan
gelar “Raja Muda” kepada Ahmad dan gelar “Bendahara” kepada Nobatsyah yang
masing-masing memiliki istana yang berdekatan.
Kemajuan dan Awal keruntuhan Langkat
Pada masa pemerintahan Sultan Musa, kerajaan Langkat masih mendapat
tekanan dari Pihak Aceh dan Belanda dan beberapa daerah di sekitar kerajaan
Langkat. Pada masa kekuasaan Sultan Musa, ia selalu menekankan perjanjian
damai sehingga Langkat berkembang menjadi kerajaan yang megah dan besar.
Pada masa beliau, kerajaan memiliki dua buah istana yaitu istana Darul aman dan
istana Darussalam yang saling berdekatan.
Istana darul aman bercirikan ornamen arab dan dibuat dari batu bata,
sedangkan istana Darussalam terbuat dari kayu bercirikan ornamen Cina dan
memiliki menara seperti pagoda di bagian tengah bangunannya. Kemajuan-
kemauannya antara lain : berdirinya Tariqat naqsabandiyah, pengembangan dan
perluasan-perluasan wilayah dengan nama kejeruan(baca: kecamatan) yang
meliputi perbatasan Aceh tamiang, Bahorak dan Binjai.
Sedangkan keruntuhan kerajaan Langkat sendiri disebabkan perang
saudara. Sehingga pada tahun 1946, masyarakat Langkat membumi hanguskan
kerajaannya dan membunuh orang-orang yang dianggap antek-antek penjajah dan
keluarga kerajaan tidak luput dari peristiwa tersebut. Selanjutnya kedua istana
yang megah dibakar oleh masyarakat, karena dikhawatirkan akan dikuasai
belanda.