Post on 22-Oct-2015
description
BAB I
PENDAHULUAN
Konjungtivitis flikten atau oftalmia fliktenularis adalah peradangan konjungtiva
bulbar yang terjadi akibat adanya reaksi hipersensitivitas tipe IV terhadap bakteri atau antigen
tertentu. Pada umumnya, reaksi ini terjadi terhadap tuberkuloprotein, stafilokok,
limfogranulma venereal, leimaniasis, infeksi parasit, dan infeksi di tempat lain dalam tubuh.
Pada konjungtiva akan terlihat adanya tonjolan kemerahan yang terdiri atas kumpulan sel
limfoid dibawah sel epitel yang disebut flikten.
Kelainan ini sering ditemukan pada anak-anak terutama pada anak dengan gizi kurang
atau sering mendapat radang saluran nafas atas. Sebuah penelitian yang dilakukan di India
menunjukkan bahwa tuberkulosis merupakan penyebab tersering terjadinya konjungtivitis
flikten, kemudian diikuti oleh helmintiasis dan infeksi stafilokokus. Hal ini juga terjadi di
Indonesia, dimana tuberkulosis menjadi salah satu pencetus tersering pada anak dengan gizi
kurang dan dapat juga terjadi pada orang dewasa.
BAB II
PEMBAHASAN
I. Anatomi
Konjungtiva merupakan membran mukosa yang transparan yang meliputi permukaan
dalam palpebra dan bola mata sampai sebatas limbus. 1,2
Konjungtiva dibagi menjadi 3 bagian, yaitu:
Konjungtiva palpebra
Berada di bagian posterior kelopak mata dan sukar digerakkan dari tarsus. Konjungtiva
tarsal superior dan inferior akan menutupi jaringan episklera disepanjang bola mata
sampai berbatasan dengan konjungtiva bulbar.
Konjungtiva forniks
Merupakan tempat peralihan antara konjungtiva tarsal dan konjungtiva bulbar,
strukturnya sama dengan konjunctiva palpebra namun hubungan dengan jaringa
dibawahnya lebih lemah dan membentuk lipatan-lipatan. Pada daerah konjungtiva
forniks terdapat banyak pembuluh darah sehingga mudah terjadi pembengkakan pada
daerah tersebut.
Konjungtiva bulbi
Konjungtiva bulbi terutama melapisi bagian anterior dari sklera dan umumnya menyatu
dengan sel epitelium kornea dilimbus. Didekat kantus internus konjungtiva bulbi
membentuk lipatan plika semilunaris.
Pendarahan dari konjungtiva berasal dari arteri konjungtiva posterior dan arteri siliaris
anterior, dimana kedua arteri tersebut juga melakukan anastomosis. Yang berasal dari arteri
siliaris anterior akan berjalan mengikuti otot rektus pengerak bola mata kecuali rektus
lateralis dan menembus sklera didekat limbus untuk mencapai bagian dalam mata.
Persarafan pada kornea berasal dari N. V/ Nervus Trigeminus cabang pertama/
ofltalmika.1,2,7
II. Histologi
Lapisan epitel pada konjungtiva merupakan lapisan epitel tanpa keratin dan terdiri dari
dua sampai lima lapisan sel epitel kolumnar yang superfisial. Pada lapisan dasar merupakan
sel epitel yang berbentuk kubus yang akan berubah menjadi sel epitel yang datar sebelum
terlepas nantinya. Sel epitel superfisial terdiri dari sel goblet terdapat di antara sel epitel
konjugtiva, kurang lebih 5-10% dari sel basal dan jumlah terbanyak dari sel goblet adalah
berada disekitar inferonasal dan forniks, dimana fungsi dari sel goblet adalah menghasilkan
musin dan air mata sehingga memudahkan pergerakan bola mata.
Lapisan stroma pada konjugtiva/ substansia propia terdiri dari lapisan adenoid di bagian
superfisial dan lapisan fibrosa di bagian dalam. Lapisan adenoid merupakan jaringan limfoid
dan dibeberapa area mata dapat memiliki bentuk follicle-like tanpa sentral germinatikum.
Lapisan adenoid ini baru akan berkembang saat usia beranjak 2-3 bulan. Sedangkan lapisan
fibrosa merupakan jaringan ikat yang melekat pada tarsal. Selain itu, pada stroma konjungtiva
juga terdapat kelenjar aksesoris (kelenjar krause dan kelenjar wolfring) yang mirip dengan
fungsi dan struktur kelenjar lakrimasi. Kelenjar krause lebih banyak berada pada forniks
superior dari pada forniks inferior dan kelenjar wolfring berada pada margin superior tarsus
bagian atas.2
BAB II
KONJUNGTIVITIS FLIKTEN
I. Definisi
Konjungtivitis flikten/ Konjungtivitis skrofulosa adalah merupakan radang terbatas pada
konjungtiva dengan pembentukkan satu atau lebih tonjolan kecil yang berwarna kemerahan.1
Bila terjadi pada konjungtiva saja maka disebut sebagai konjungtivitis flikten, sedangkan
apabila terjadi pada daerah limbus maka disebut sebagai keratokonjungtivitis flikten. 1,2,3
II. Etiology
Penyebab terjadinya Konjungtivitis flikten merupakan reaksi hipersensitivitas Gell dan
Coomb’s tipe IV yang dicetuskan oleh karena adanya antigen yang berasal dari bakteri.
Umumnya secara klasik konjungtivitis flikten dihubungkan dengan adanya infeksi
Mycobacterium tuberculosis terutama pada negara yang berkembang, sedangkan pada
Amerika Serikat penyebab terbanyak dari konjungtivitis flikten adalah bakteri
Staphylococcus aureus. Pada beberapa literatur juga dibahas penyebab dari konjungtivitis
flikten dapat disebabkan selain bakteri anatara lain infeksi virus, jamur parasit dan bahkan
infeksi gigi.4
Tabel organisme yang berkaitan dengan patogenesis konjungtivitis flikten
Mikroorganisme
Mycobacterium tuberculosis
Staphylococcus aureus
Chlamidia trachomatis
Neisseria gonorrhea
Coccidiodes immitis
Bacillus sp.
Herpes simplex virus
Ascaris lumbricoides
Hymenlepis nana
Candida albicans
III. Patogenesis
Timbulnya flikten adalah manifestasi hipersensitivitas tipe IV terhadap terhadap
patogen yang biasanya adalah m. tuberkulosis, stafilokokus, coccidioidomikosis, candida,
helmintes, virus herpes simpleks, toksin dari moluscum contagiosum yang terdapat pada
margo palpebra dan infeksi fokal pada gigi, hidung, telinga, tenggorokan, dan traktus
urogenital.1,2
Hipersensitivitas tipe IV adalah reaksi lambat terhadap antigen eksogen. Reaksi
inflamasi disebabkan oleh sel T CD4+ dan reaksi imunologis yang sama juga terjadi akibat
dari reaksi inflamasi kronis melawan jaringan sendiri. IL1 dan IL17 berkontribusi dalam
terjadinya penyakit organ spesifik yang etiologinya adalah proses inflamasi10. Reaksi
inflamasi yang berhubungan dengan sel Th1 akan didominasi oleh makrofag sedangkan, sel
Th17 akan didominasi oleh neutrofil.5
Reaksi yang terjadi pada hipersensitivitas ini dibagi menjadi 2 tahap utama:
a. Proliferasi dan diferensiasi sel T CD4+. Sel ini mengenali susunan peptida yang
ditunjukkan oleh sel dendritik dan menyekresikan IL2 yang berfungsi sebagai
autocrine growth factor untuk menstimulasi proliferasi antigen-responsived sel T.
Perbedaan antara antigen-stimulated sel T dengan Th1 atau Th17 terlihat pada
produksi sitokin oleh APC (sel dendritik dan makrofag) saat aktivasi sel T. APC
memproduksi IL12 yang menginduksi diferensiasi sel T menjadi Th1. IFN-γ akan
diproduksi oleh sel Th1 dalam perkembangannya. Jika APC memproduksi sitokin
seperti IL1, IL6, dan IL23; yang akan berkolaborasi dengan membentuk TGF- β
untuk menstimulasi diferensiasi sel T menjadi Th17. Beberapa dari diferensiasi sel ini
akan masuk kedalam sirkulasi dan menetap di memory pool selama waktu yang lama.
b. Respon terhadap diferensiasi sel T efektor apabila terjadi pajanan antigen yang
berulang akan mengaktivasi sel T akibat dari antigen yang dipresentasikan oleh APC.
Sel Th1 akan menyekresikan sitokin (umumnya IFN-γ) yang bertanggung jawab
dalam banyak manifestasi dari hipersensitivitas tipe ini. IFN-γ mengaktivasi makrofag
yang akan memfagositosis dan membunuh mikroorganisme yang telah ditandai
sebelumnya. Mikroorganisme tersebut mengekspresikan molekul MHC II, yang
memfasilitasi presentasi dari antigen tersebut. Makrofag juga menyekresikan TNF,
IL1, dan kemokin yang akan menyebabkan inflamasi. IL12 juga merupakan hasil
produksi makrofag yang akan memperkuat respon dari TH1. Semua mekanisme
tersebut akan mengaktivasi makrofag untuk mengeliminasi antigen. Jika aktivasi
tersebut berlangsung secara terus menerus maka inflamasi akan berlanjut sehingga
jaringan luka akan menjadi semakin luas.5,6
Th17 diaktivasi oleh beberapa antigen mikrobial dan self antigen dalam penyakit
autoimun. Sel Th17 akan menyekresikan IL17, IL22, kemokin, dan beberapa sitokin lain.
Kemokin ini akan merekrut neutrofil dan monosit yang akan berlanjut menjadi proses
inflamasi. Th17 juga memproduksi IL12 yang akan memperkuat proses Th17 sendiri.
Reaksi oleh sel T CD8+ akan membunuh sel yang membawa antigen. Kerusakan
jaringan oleh CTLs merupakan komponen penting dari banyak penyakit yang dimediasi oleh
sel T dengan langsung melawan histokompatibilitas antigen tersebut. Mekanisme dari CTLs
juga berperan penting untuk melawan infeksi virus. Pada infeksi virus, peptida virus akan
memperlihatkan molekul MHC I dan kompleks yang akan diketahui oleh TCR dari sel T
CD8+8. Penghancuran sel yang telah terinfeksi akan berakibat eliminasinya infeksi tersebut
dan juga akan berakibat pada kerusakan sel.
Prinsip mekanisme pembunuhan sel yang terinfeksi yang dimediasi oleh sel T yaitu
CTLs yang mengenali sel target akan menyekresikan kompleks yang berisikan perforin,
granzymes, dan protein yang disebut serglisin yang akan masuk ke sel target melalui proses
endositosis7. Dalam sitoplasma, sel target perforin memfasilitasi pengeluaran granzymes dari
kompleks. Granzymes adalah enzim protease yang memecah dan mengaktivasi kaspase, yang
akan menginduksi apoptosis dari sel target. Pengaktivasian CTLs juga mengekspresikan fast
ligand, molekul yang homolog dengan TNF, yang dapat berikatan dengan fast expressed pada
sel target dan memicu apoptosis.Sel T CD8+ juga memproduksi sitokin (IFN-γ) yang terlibat
dalam reaksi inflamasi dalam DTH, khususnya terhadap infeksi virus dan terpapar oleh
beberapa agen kontak.5,6
IV. Klasifikasi
Secara klinis konjungtivitis flikten dibagi menjadi:
a. Konjungtivitis flikten
Tanda radang/ inflamasi tidak jelas, tidak menyebar, hanya terbatas pada tempat yang
terdapat flikten dan sekret hampir tidak ada
b. Konjungtivitis kum flikten/ fliktenularis
Tanda radang/ inflamasi tampak jelas, tampak sekret mukus-mukopurulen dan
umumnya konjungtivitis flikten timbul akibat infeksi sekunder pada konjungtivitis
flikten.1,2,3
V. Manifestasi klinis
Gejala Klinis pada konjungtivitis flikten:
Berupa mata merah, mata gatal, mata berair, dan nyeri. Apabila terdapat keterlibatan
korne/ Keratokonjungtivitis fliten didapatkan gejala tambahan mulai dari fotofobia, nyeri
dan blefarospasme. Apabila disertai dengan infeksi sekunder dapat disertai dengan sekret
mukopurulen yang kental.
Gejala klinis pada kerato konjungtivitis flikten:
Umumnya gejala yang timbul pada keratokonjungtivitis flikten gejalanya hampir
sama dengan konjungtivitis flikten namun lebih berat karena melibatkan kornea.
Umumnya keluhan fotofobia, lakrimasi dan blefarospasme akan lebih berat.
Tanda Klinis pada konjungtivitis flikten:
Karakteristik dari konjungtivitis flikten adalah umumnya lesi flikten ditemukan pada
daerah dekat limbus, daerah konjungtiva palpebra maupun bulbi. Lesi flikten berukuran
kecil, berupa nodul yang berwarna pink keabu-abuan yang terdapat dibagian tengah dari
area yang hiperemis, dalam beberapa hari bagian dari permukaan nodul tersebut akan
mengalami perlunakan dan menjadi abu-abu, kemudia mencekung kemudian akan
menghilang tanpa adanya bekas.
Konjungtivitis Flikten Milier terdapat multipel flikten yang berbentuk lingkaran
disekitar limbus ataupun menyebar secara tidak merata
Tanda Klinis pada Keratokonjungtivitis Flikten
Umumnya tanda klinis yang dapat dinilai pada keratokonjungtivitis flikten
mempunyai karakteristik dimana lesi umumnya dimulai dari tepi limbus berupa
gambaran penonjolan yang yang sesuai dengan tepi limbus yang berwarna putihyang
dikelilingi oleh pembuluh darah yang mengalami dilatasi maupun ulkus marginal.
Kemudian lesi yang berada ditepi limbus akan mengalami perlunakan dan nekrosis yang
umumnya akan menyebabkan jaringan parut yang perwarna putih keabu-abuan pada
kornea. 1,3
VI. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang penting untuk konjungtivitis flikten penting untuk dilakukan
untuk mengetahui penyebab dari konjungtivitis flikten, sehingga rekurensi dari penyakit
terserbut akan berkurang.
Pemeriksaan penunjang yang dianjurkan adalah mulai dari darah lengkap,
pemeriksaan foto thoraks, tes matoux, pemeriksaan urine dan feces dan pencarian terhadap
fokus infeksi lokal seperti infeksi pada telinga maupun saluran atas.3
VII. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada kasus konjungtivitis flikten adalah mencari penyebabnya untuk
mempercepat penyebuhan dan mengurangi angka rekurensi.
Pemberian obat kortikosteroid lokal sebagai tetes mata yang dikombinasikan dengan
antibiotik seperti Kloramfenikol + kortikosteroid dan Polimiksin + kortikosteroid
umumnya memberikan akan penyembuhan yang cukup baik. Serta diberikan roboransia
yang mengandung vitamin A, B kompleks dan C untuk membantu penyembuhan.
Pemberian antibiotik tetrasiklin secara oral dengan dosis 250 mg 4 kali sehari
diberikan selama 3 minggu memberikan efektivitas yang cukup baik pada kasus yang
disebabkan oleh karena staphylokokus, namun karena efek samping pewarnaan pada gigi
sebaiknya tetrasiklin tidak diberikan, dan diganti dengan antibiotik golongan makrolid
seperti eritromisin. (inet)
Apabila pemeberian steroid secara lokal tidak membaik, harus diberikan suntikan
kortikosteroid ( kortison asetat 0,5%) yang disuntikan subkonjunctiva di forniks superior
supaya tidak menggangu kosmetik, diberikan sebanyak 0,3-0,5 cc setiap kali sebanyak 2
kali perminggu.
Karena angka rekurensi cukup tinggi maka harus diperhatikan efek samping yang
timbul akibat penggunaan steroid dalam jangka waktu lama.1,2,3
VIII. Prognosis
Dengan penatalaksanaan yang komprehensif, umumnya konjungtivitis flikten akan
sembuh spontan dalam 1-2 minggu dan tidak meninggalkan bekas kecuali flikten pada
limbus.
Prognosis menjadi relatif lebih buruk jika terjadi flikten pada kornea, abses kornea
karena infeksi sekunder bakteri, dan perforasi kornea dalam luas yang terbatas. Namun
beberapa keadaan penyulit tersebut dapat diatasi dengan penatalaksanaan yang memadai. 1,2
BAB III
DAFTAR PUSTAKA
1. Roirdan P, Taylor A, dan Whitcher JP. Vaughan and Asbury General Opthalmology. Edisi
ke-17. New York: McGraw-Hill; 2007.
2. Kanski JJ, Bowling B. Clinical Ophthamology A Sistematic Approach. 7 Edition.
Philadelphia: Elsevier Saunders; 2011.
3. Sidarta Ilyas. Ilmu penyakit mata. Edisi ke-3, Cetakan ke-3. Jakarta: FKUI; 2009. Hal 134-
135.
4. Muthialu A, Jensen LE, Wagoner M. Phyctenular Keratokonjunctivitis: 12 old Female with
Staphylococcal Blepharitis. Eye Round.org. Febuary 27, 2009; Available from:
http://www.eyerounds.org/cases/89_Phyctenular-Keratoconjunctivitis-Staphylococcal-
Blepharitis.htm
5. Ian R. Tizard. Immunology, an Introduction. Edisi ke-4. Orlando: Saunders; 1994. Hal 298-
299, 482-484.
6. Kumar V, Fausto N, dan Abbas A. Robin and Cotran Pathologic Basis of Disease. Edisi ke-7.
Los Angeles: Saunders; 2004. Hal 720.
7. Gerard J. Tortora dan Bryan H. Derrickson. Principles of Anatomy and Physiology. Edisi ke-
5. New York: Wiley; 2005.
Siklosporin A Topikal pada Anak dengan Keratokonjungtivitis
Flikten Dependen-Steroid yang Berat
Serge Doan, Eric Gabison, Damien Gatinel, Minh-Hanh Duong, Olivia Abitbol dan Tanh
Hoang-Xuan
Abstrak
Tujuan Penelitian: Untuk mengetahui efektivitas dari siklosporin A (CsA) pada anak dengan
keratokonjungtivitis flikten dengan inflamasi kornea yang dependen steroid yang berat.
Desain Penelitian: Prospektif, Noncomparative, interventional case series.
Metode Penelitian:
Pasien: Anak dengan keratokonjungtivitis flikten yang disertai inflammasi kornea yang
dependen terhadap steroid yang berat dan tidak berespons terhadap antibiotik oral ( golongan
siklin atau eritromisin)
Intervensi: Topikal CsA 2% 4 kali sehari, pada awal terapi dikombinasi dengan
deksametasone topikal untuk minggu pertama.
Penilaian Utama Hasil Intervensi: Efektivitas dari intervensi ditentukan oleh pasien
(berdasarkan gejala pada pasein dan mata merah) dan dokter spesialis mata ( kemerahan pada
mata dan inflammasi kornea). Pasien dimonitor mengenai efek samping, dan siklosporinemia
di ukur tiap 3 bulan.
Hasil Penelitian: Diteliti dari 11 anak (13 mata) dengan umur rata-rata 9 tahun (antara 4
sampai 15 tahun). Inflammasi yang terjadi dapat dikurangi pada semua mata dalam waktu
kurang dari 14 hari. Inflammasi tidak timbul kembali dalam menggunakan CsA monoterapi,
dalam follow-up rata-rata 12 ± 8 bulan ( antara 6 sampai 31 bulan). Terapi CsA dihentikan
pada 8 pasien ( 10 mata) setelah menerima terapi dalam durasi 13 ± 9 bulan ( anatra 6 sampai
31 bulan) dan tidak terjadi rekurensi pada mata dalam waktu 10 ± 3 bulan dalam follow-up
( antara 6 samapi 12 bulan). Toleransi lokal CsA cukup baik. Tidak terdapat pasien penelitian
yang terdeteksi adanya kandungan CsA dalam darah. CsA ditarik dalam satu kasus setelah 6
bulan terapi karena timbulnya rash pada seluruh tubuh.
Kesimpulan: Pemakaian CsA 2% topikal pada jangka waktu panjang aman dan efektif pada
pasein anak dengan keratokonjungtivitis flikten yang dihubungkan dengan adanya
inflammasi kornea yang dependen steroid yang berat.
Latar Belakang
Keratokonjugtivitis flikten pada anak merupakan kasus yang jarang dan sering
megalami kesalahan diagnosis dengan penyakit yang berhubungan dengan meibomitis kronik
dan pada kebanyakan kasus Kalazion.1,2 Sering sekali juga dinamakan sebagai anak dengan
rosasea okular, karena penuman pada mata mirip dengan kasus yang ditemukan pada orang
dewasa dengan akne rosasea. Namun kelainan pada kulit tersebut sangat jarang ditemukan
pada usia anak-anak.3 Flikten timbul dalam bentuk vesikel yang bening pada konjungtiva
maupun sklera. Lesi pada kornea yang paling sering ditemukan adalah berupa flikten dan
keratopati pungtata superfisial inferior. Umumnya, keterlibatan pada kornea lebih berat
karena dapat menyebabkan ulkus pada kornea dan infiltrat, neovaskularisasi, sikatriks dan
bahkan perforasi.4 Lemua lesi yang timbul umumnya terdapat pada bagian bawah kornea.
Prognosis jangka panjang pada pengelihatan penderita penyakit tersebut dihubungkan dengan
sikatriks kornea dan astigmatisma ireguler ( Doan S, et al. AAO Annual Meeting, November
2001, New Orelans, Louisiana).
Mekanisme yang mendasari penyakit tersebut adalah reaksi hipersensitifitas tipe IV
Gell and Coombs terhadap antigen stafilokokus, dimana yang termasuk didalam antigen
stafilokokus adalah peptidoglikan dan protein A.5 Terapi pada keratokonjungtivitis flikten
ringan dan sedang adalah berupa kebersihan kelopak mata dan oral antibiotik ( golongan
siklin dan makrolid).6 Kortikosteroid topikal umumnya dipakai untuk mengendalikan
inflamasi pada kornea yang berat. Ketergantungan/ dependen terhadap steroid sering terjadi
dan dapat menyebabkan terjadinya komplikasi yang tidak diharapkan, terutama pada anak-
anak.
Siklosporin A merupakan agen immunosupresif, dimana fungsinya adalah untuk
menghambat keterlibatan imunitas seluler yaitu dengan menghambat pelepasan interleukin 2
(IL-2) oleh sel T. Siklosporin A topikal telah berhasil dalam mengobati berbagai penyakit
mata,7 seperti keratokonjugtifitis vernal,8 ulkus Mooren’s,9 rejeksi graft kornea,10
keratokonjungtivitis sika,11 dan keratitis limbus superior.12 karena penyebab yang mendasari
keratokonjungtivitis flikten, siklosporin topikal merupakan pilihan yang logis dalam
mengobati penyakit tersebut.
Dalam studi yang dilakukan ini, kami melakukan penilaian efektivitas dari
penggunaan CsA 2% sebagai terapi alternatif pada pasien dengan keratokonjungtivitis flikten
yang disertai dengan inflamasi pada kornea yang dependen terhadap steroid yang berat.
METODE
Pasien: kami melakukan seleksi anak dengan keratokonjungtivitis flikten yang berat yang
mengalami kegagalan dalam terapi dengan menggunakan antibiotik topikal dan menjaga
kebersihan palpebra, dan anak yang sudah dependen/ ketergantungan terhadap penggunaan
steroid topikal. Inflamasi di anggap berat apabila lebih dari 25% kornea bagian bawah
terlibat atau ketika aksis visual terganggu. Ketergantungan/ dependen terhadap steroid
didefinisikan sebagai inflamasi pada kornea yang timbul kembali dalam 2 bulan setelah tidak
menggunakan steroid. Semua anak telah dilakukan seleksi dan dilakukan terapi di
departemen mata di rumah sakit Bichat, Paris, Prancis dari September tahun 2000 sampai
April 2003. Studi ini merupakan studi prospective noncomparative interventional case series.
Intervensi: terapi yang digunakan adalah Siklosporin A (CsA) 2% tetes mata dalam minyak
castrol (tidak dijual secara umum, dibuat dalam departement farmasi dari Hotel-Dieu
Hospital, Paris, Prancis) 4 kali sehari, dikombinasikan dengan deksametasone ( Maxisex,
Alcon, Rueil-Malmaison, Prancis) 4 kali sehari pada minggu pertama, ditambah dengan
saline instilation ad libitum dan menjaga kebersihan palpebra. Deksametasone dihentikan
setelah 1 minggu, tanpa tapering. Terapi dengan menggunakan antbiotik sistemik dihentikan
sebelum dimulai terapi dengan menggunakan CsA. Apabila setelah terapi keadaan mata
membaik, frekuensi penetesan CsA dikurangi menjadi 3 kali sehari setelah 3 bulan dan
menjadi 2 kali perhari setelah 6 bulan. Pasien diperiksa ioleh dokter spesialis mata yang sama
setelah 1 minggu, 2 minggu, 1 bulan dan setiap 3 bulan kemudian
Penilaian Utama Hasil Intervensi: Efiktivitas CsA dinilai berdasarkan gejala pada kedua
mata, keluhan mata merah yang timbul yang dikeluhkan pasien sejak terakhir kali dilakukan
pemeriksaan dan tanda klinis yang ditemukan oleh dokter spesialis mata antara lain: skor
hiperemis pada konjungtiva (0 sampai +4), keratopati pungtata superfisial, infiltrat pada
kornea, neovaskularisasi dan sikatriks yang timbul. Toleransi pada mata dilakukan evaluasi
setiap kali visite pada pasien. Siklosporinemia dan kreatininemia dan tekanan darah
dilakukan pengukuran setelah satu bulan terapi kemudian tiap 3 bulan.
HASIL
SEBELAS PASIEN (EMPAT LAKI-LAKI DAN TUJUH WANITA, 13 MATA)
telah dilakukan pendataan pada studi (Tabel 1). Rata-rata umur adalah 9 ± 4 tahun ( dengan
umur antara 4 sampai 15 tahun), dan rata-rata penyakit sudah dialami 33 bulan ( durasi antara
8 bulan sampai 5 tahun). Pada pendataan yang dilakukan semua mata pada pasien mengalami
inflamasi yang tidak terkendali walaupun sudah diberikan antibiotik oral (eritromisin pada 7
pasien dan minosiklin pada 4 pasien), topikal steroid (8 pasien, 10 mata), normal salin dan
higine pada kelopak mata. Tiga pasien telah mendapatkan terapi topikal steroid dengan
program tapering namun mengalami inflamasi kembali. Semua anak dalam objek penelitian
mengeluhkan perasaan tidak nyaman dan/ atau nyeri dan fotofobia. Tajam pengelihatan tidak
dapat dilakukan karena umur pada anak-anak yang masih muda. Walaupun konjungtivitis
flikten dapat terlihat pada seluruh mata (Gambar-1), inflamasi aktif dan keterlibatan kornea
yang berat hanya bersifat unilateral pada 9 pasien dan 2 pasien mempunyai bilateral
keratokonjungtivitis flikten yang berat. Roseasea pada kulit dialami oleh satu pasien dalam
studi.
Follow-up pada pasien dilakukan rata-rata 12 ± 8 bulan ( anatar 6 sampai 31 bulan)
(Tabel-2). Semua gejala dan hiperemis pada konjungtive menghilang dalam 14 hari setelah
mendapatkan terapi CsA. Inflamasi kornea dapat dikendalikan dan neovaskularisasi pada
kornea dan infiltrat kataral juga menurun ( Gambar-2). Tidak didapatkan perburukan gejala
selama dilakukan follow-up. Menariknya, pasien yang mengalami keterlibatan mata yang
asimetris dan menndapatkan terapi CsA pada mata yang lebih berat, umumnya inflamasi
konjungtiva tidak terlihat perubahan pada mata yang tidak didapatkan terapi.
Siklosporin A dihentikan pada 8 kasus (73%) (10 mata) setelah rata-rata 13 ± 9 bulan
(anatara 6 sampai 31 bulan) dan tidak mengalami rekurensi dalam jangka waktu 10 bulan ± 3
bulan dari follow-up yang dilakukan paska terapi (antara 6 sampai 12 bulan). Dan sisanya
pada 3 pasien bergantung pada CsA dosis rendah ( 2 kali pemberian perhari).
Toleransi lokal sangat baik. Hanya 2 pasien yang mengeluhkan sensasi perih yang
ringan ketika dilakukan penetesan, dan tidak didapatkan adanya efek samping pada mata.
Hanya satu anak yang mengalami rash pada seluruh tubuh setelah 6 bulan terapi CsA,
walaupun pasien diketahui memiliki riwayat alergi terhadap berbagai jenis obat. Kadar darah
CsA juga selalu berada di bawah batas yang diharuskan yaitu 25 ng/ml, dan kadar kreatinine
pada darah dan tekanan darah selalu berada dalam range yang normal.
DISKUSI
KEBERSIHAN KELOPAK MATA DAN ANTIBIOTIK ORAL TIDAK SELALU efektif
pada inflamasi kornea berat yang dihubungkan dengan keratokonjungtivitis flikten.
Kortikosteroid topikal dipertimbangkan sebagai salah satu pilihan terbaik pada beberapa
pasien, tetapi ketergantungan terhadap steroid sering terjadi dan menyebabkan terjadinya
katarak, glaukoma, infeksi dan penyembuhan luka menjadi lama. Meskipun menjadi sangat
penting dalam mengendalikan inflamasi yang terjadi ketika inflamasi mendekati aksis visual
dan keamanan dari penggunaan anti-inflamasi sangat penting terutama pada usia anak-anak
dengan keratokonjungtivitis flikten.
Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk mengetahui keefektifan dari
penggunaan CsA sebagai alternatif dati steroid topikal pada anak yang mengalami
keratokonjugtivitis flikten berat yang bergantung terhadap steroid dan gagal respons terhadap
obat tersebut. Untuk kepentingan ilmu pengetahuan, penelitian pertama ditujukan untuk
mengetahui ke efektifan dari penggunaan CsA pada keratokonjungtivitis flikten. Keterlibatan
dari sel T pada konjungtivitis flikten mempengaruhi keefektifan dari pemakaian obat tersebut.
Kami menggunakan sediaan siklosporin A karena telah banyak penelitian yang menujukkan
bahwa konsentrasi tersebut efektif sebagai pengobatan optimal pada keadaan mata yang
berhubungan dengan permukaan mata seperti keratokonjungtivitis vernal.13,14 Pengunaan CsA
0,05% yang merupakan sediaan yang disetujui oleh FDA dalam terapi mata kering
kosentrasinya 40 kali lebih rendah dibandingkan dengan konsentrasi yang kami gunakan,
sehingga mungkin saja memberikan efek yang lebih minimal pada keratokonjungtivitis
flikten. Pada studi awal yang dilakukan yang tidak dilakukan publikasi, kami menemukan
bahwa penggunaan CsA topikal secara terus-menerus memberikan efektifitas yang cukup
baik, sedangkan penggunaan terapi CsA yang diberhentikan dihubungkan dengan adanya
rekurensi. Kami melakukan pemberian obat CsA untuk terapi paling minimal selama 6 bulan.
Tidak didapatkan ada rekurensi yang lebih berat yang timbul dalam follow-up dan pasien
juga tidak memerlukan lanjutan terapi steroid. Namun, kami tidak dapat menilai efektivitas
dari penggunaan CsA terhadap perbaikan tajam pengelihatan, karena beberapa objek adalah
merupakan anak-anak yang masih terlalu muda dalam melakukan pengukuran. Delapan
pasien dapat dilakukan penghentian pengobatan CsA topikal dan tidak terdapat rekurensi
dalam follow-up selama 10 bulan. Walaupun inflamasi pada kornea sudah dapat dikendalikan
dalam 14 hari sejak diberikan terapi CsA pada semua pasien namun flikten pada pasien
menghilang secara bertahap. Terapi CsA topikal merupakan salah satu pilihan yang baik pada
pasien yang mengalami keratokonjungtivitis flikten.
Kami mengkombinasikan steroid topikal dengan CsA pada minggu awal terapi, namu
dalam untuk mengetahui efeikasi dari pemakaian CsA maka terapi steroi topikal kami
hentikan. Terapi menggunakan plasebo tidak dipakai karena pertimbangan etis akibat
beratnya penyakit yang diderita oleh pasien. Dan pada pasien yang kontrol juga tidak
mungkin hanya diberikan steroid topikal, karena semua anak yang didalam kelompok
penelitian tersebut sudah mendapatkan terapi steroid jangka panjang. Dalam pengalaman
kami, inflamasi umumnya timbul ketika terapi steroid dihentikan. Untuk membandingkan
efek dari penggunaan steroid dan CsA, penggunaan steroid harus dilakukan secara terus
menerus, dosis tinggi dan jangka lama (minimal 6 bulan) seperti CsA namun steroid tidak
dipakai karena efek samping yang kurang baik.
Toleransi mata terhadap pemberian CsA 2% topikal cukup baik terhadap anak-anak
dalam penelitian tersebut, namun efek pada orang dewasa belum diketahui secara pasti.
Perbedaan ambang nyeri antara pasien dewasa merupakan salah satu alasan yang
menjelaskan hal tersebut. Walaupun secara teori penggunaan CsA dapat meningkat resiko,
namun hal tersebut tidak ditemukan pada penelitian ini.
Toleransi sistemik terhadap penggunaan CsA topikal cukup baik, dimana kadar CsA
didalam darah didapatkan dibawah ambang batas. Walaupun demikian, kami menyarankan
kepada pasien untuk melakukan kompres pada daerah kantus medial dengan menggunakan
jari tangan ketika melakukan penetesan CsA untuk menghidari absorbsi melalui mukosa
nasal. Berdasarkan literatur yang ada, bahwa penggunaan CsA 2% secara topikal tidak
memiliki efek samping baik sistemik maupun lokal terutama pada anak.15-17 CsA topikal 2%
memiliki efek samping yang umumnya lebih dapat ditoleransi dibandingkan penggunaan
steroid.
Kesimpulan, kami menunjukkan bahwa penggunaan CsA topikal 2% merupakan
terapi yang efektif untuk anak dengan keratokonjungtivitis flikten yang dihubungkan dengan
inflamasi pada kornea yang berat. Jumlah pasien dalam penelitian yang dilakukan tersebut
cukup kecil yaitu 11 pasien (13 mata), namun rosasea okuler yang berat didalam anak
merupakan kasus yang jarang dan sering mengalami kesalahan diagnosis. Publikasi terakhir
mengenai penyakit rosasea mata pada anak terakhir hanya melibatkan 6 anak.18 Untuk
melakukan studi yang lain dengan objek penelitian yang lebih besar dan jangka waktu yang
kebih lama dan mungkin menggunakan kurva untuk menentukan periode terapi yang optimal
dan konsentrasi untuk keamanan dalam penggunaan CsA topikal.
DAFTAR PUSTAKA
1. Thygeson P. The etiology and treatment of phlyctenular keratoconjunctivitis. Am J
Ophthalmol 1951;34:1217–1236.
2. Duke-Elder S. Phlyctenular kerato-conjunctivitis. In: Duke-Elder S, editor. System of
ophthalmology. Volume 8. Disease of the outer eye. St Louis: CV Mosby, 1965.
3. Erzurum SA, Feder RS, Greenwald MJ. Acne rosacea with keratitis in childhood. Arch
Ophthalmol 1993;111:228 –230.
4. Ostler HB. Corneal perforation in nontuberculous (staphylococcal) phlyctenular
keratoconjunctivitis. Am J Ophthalmol 1975;79:446–448.
5. Abu el Asrar AM, Geboes K, Maudgal PC, et al. Immunocytological study of phlyctenular
eye disease. Int Ophthalmol 1987;10:33–39.
6. Zaidman GW, Brown SI. Orally administered tetracycline for phlyctenular
keratoconjunctivitis. Am J Ophthalmol 1981; 92:178 –182.
7. Holland EJ, Olsen TW, Ketcham JM, et al. Topical cyclosporin A in the treatment of anterior
segment inflammatory disease. Cornea 1993;12:413– 419.
8. BenEzra D, Pe’er J, Brodsky M, Cohen E. Cyclosporine eyedrops for the treatment of severe
vernal keratoconjunctivitis. Am J Ophthalmol 1986;101:278 –282.
9. Zhao JC, Jin XY. Immunological analysis and treatment of Mooren’s ulcer with cyclosporin
A applied topically. Cornea 1993;12:481– 488.
10. Goichot-Bonnat L, Chemla P, Pouliquen Y. Cyclosporin A eyedrops in the prevention of
high-risk corneal graft rejection. II. Postoperative clinical results. J Fr Ophtalmol 1987;
10:213–217.
11. Gunduz K, Ozdemir O. Topical cyclosporin treatment of keratoconjunctivitis sicca in
secondary Sjogren’s syndrome. Acta Ophthalmol (Copenh) 1994;72:438–442.
12. Perry HD, Doshi-Carnevale S, Donnenfeld ED, Kornstein HS. Topical cyclosporine A 0.5%
as a possible new treatment for superior limbic keratoconjunctivitis. Ophthalmology
2003;110:1578 –1581.
13. Bonini S, Coassin M, Aronni S, Lambiase A. Vernal keratoconjunctivitis. Eye
2004;18:345–351.
14. Tomida I, Schlote T, Brauning J, et al. Cyclosporin A 2% eyedrops in therapy of atopic and
vernal keratoconjunctivitis. Ophthalmologe 2002;99:761–767.
15. Cosar CB, Laibson PR, Cohen EJ, Rapuano CJ. Topical cyclosporine in pediatric
keratoplasty. Eye Contact Lens 2003;29:103–107.
16. Pucci N, Novembre E, Cianferoni A, et al. Efficacy and safety of cyclosporine eyedrops in
vernal keratoconjunctivitis. Ann Allergy Asthma Immunol 2002;89:298 –303.
17. Bleik JH, Tabbara KF. Topical cyclosporine in vernal keratoconjunctivitis. Ophthalmology
1991;98:1679 –1684.
18. Nazir SA, Murphy S, Siatkowski RM, et al. Ocular rosacea in childhood. Am J Ophthalmol
2004;137:138 –144.