Journal Reading Tht

29
PENDAHULUAN Rhinosinusitis merupakan masalah kesehatan yang saat ini semakin meningkat signifikan, menyebabkan beban keuangan yang besar di masyarakat. Penyebab rhinosinusitis adalah multifaktorial. Oleh karena itu manajemen penyakit ini selalu berkembang dan kontroversial. Biasanya, rhinitis dan sinusitis muncul bersamaan pada sebagian besar individu, oleh karena itu terminologi yang tepat adalah rhinosinusitis. Definisi klinis ini memudahkan bagi para dokter spesialis THT dan pekerja profesional di bidang kesehatan. ANATOMI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang dipisahkan oleh septum nasi dibagian tengahnya sehingga menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding yaitu dinding medial, lateral, inferior dan superior. Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai ala nasi, tepat dibelakang nares anterior, disebut sebagai vestibulum. Dinding medial rongga hidung adalah septum nasi. Dinding lateral dibentuk oleh permukaan dalam prosesus frontalis os maksila, os lakrimalis, konka superior dan konka media yang merupakan bagian dari os etmoid, konka inferior, lamina perpendikularius os palatum, dan lamina pterigoides medial. Pada dinding lateral terdapat empat buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang 1

description

anatomi, fisiologi, rhinosinusitis kronis

Transcript of Journal Reading Tht

Page 1: Journal Reading Tht

PENDAHULUAN

Rhinosinusitis merupakan masalah kesehatan yang saat ini semakin meningkat

signifikan, menyebabkan beban keuangan yang besar di masyarakat. Penyebab rhinosinusitis

adalah multifaktorial. Oleh karena itu manajemen penyakit ini selalu berkembang dan

kontroversial. Biasanya, rhinitis dan sinusitis muncul bersamaan pada sebagian besar

individu, oleh karena itu terminologi yang tepat adalah rhinosinusitis. Definisi klinis ini

memudahkan bagi para dokter spesialis THT dan pekerja profesional di bidang kesehatan.

ANATOMI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL

Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang

dipisahkan oleh septum nasi dibagian tengahnya sehingga menjadi kavum nasi kanan dan

kiri. Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding yaitu dinding medial, lateral, inferior dan

superior.

Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai ala nasi, tepat dibelakang nares anterior,

disebut sebagai vestibulum. Dinding medial rongga hidung adalah septum nasi. Dinding

lateral dibentuk oleh permukaan dalam prosesus frontalis os maksila, os lakrimalis, konka

superior dan konka media yang merupakan bagian dari os etmoid, konka inferior, lamina

perpendikularius os palatum, dan lamina pterigoides medial. Pada dinding lateral terdapat

empat buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling bawah ialah konka inferior, kemudian

yang lebih kecil adalah konka media, yang lebih kecil lagi konka superior, sedangkan yang

terkecil ialah konka suprema dan konka suprema biasanya rudimenter. Konka inferior

merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin etmoid, sedangkan

konka media, superior, dan suprema merupakan bagian dari labirin etmoid. Diantara konka-

konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang dinamakan dengan meatus.

Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus inferior,media dan superior.

Dinding inferior merupakan dasar hidung yang dibentuk oleh prosesus palatina os maksila

dan prosesus horizontal os palatum.

Dinding superior atau atap hidung terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior,

os nasal, prosesus frontalis os maksila, korpus os etmoid dan korpus os sfenoid. Sebagian

besar atap hidung dibentuk oleh lamina kribrosa yang dilalui filamen - filamen n.olfaktorius

yang berasal dari permukaan bawah bulbus olfaktorius berjalan menuju bagian teratas

1

Page 2: Journal Reading Tht

septum nasi dan permukaan kranial konka superior.

Gambar 1. Anatomi hidung dan sinus paranasal

Kompleks osteomeatal (KOM)

Pada sepertiga tengah dinding lateral hidung, yaitu di meatus media, ada muara-muara

saluran dari sinus maksila, sinus frontal dan sinus etmoid anterior. Daerah ini rumit dan

sempit, dan dinamakan kompleks osteomeatal (KOM). KOM adalah bagian dari sinus

etmoid anterior. Pada potongan koronal sinus paranasal, gambaran KOM terlihat jelas yaitu

suatu rongga antara konka media dan lamina papirasea. Isi dari KOM terdiri dari

infundibulum etmoid yang terdapat dibelakang prosesus unsinatus, sel agger nasi, resesus

frontalis, bula etmoid, dan sel-sel etmoid anterior dengan ostiumnya dan ostium sinus

maksila.

2

Page 3: Journal Reading Tht

Gambar 2. Kompleks osteomeatal

Prosesus unsinatus berbentuk bumerang memanjang dari anterosuperior ke

posteroinferior sepanjang dinding lateral hidung, melekat di anterosuperior pada pinggir

tulang lakrimal dan di posteroinferior pada ujung superior konka inferior. Prosesus unsinatus

membentuk dinding medial dari infundibulum.

Bula etmoid terletak di posterior prosesus unsinatus dan merupakan sel udara etmoid

yang terbesar dan terletak paling anterior. Bula etmoid dapat membengkak sangat besar

sehingga menekan infundibulum etmoid dan menghambat drainase sinus maksila.

Infundibulum etmoid berbentuk seperti terowongan dengan dinding anteromedial dibatasi

oleh prosesus unsinatus, dinding posterosuperior dibatasi oleh bula etmoid, dan pada bagian

posteroinferolateralnya terdapat ostium alami sinus maksila sedangkan proyeksi dari tepi

terowongan yang membuka kearah kavum nasi membentuk hiatus semilunaris anterior.

Sel agger nasi merupakan sel ekstramural paling anterior dari sel-sel etmoid anterior.

Karena letaknya sangat dekat dengan resesus frontal, sel ini merupakan patokan anatomi

untuk operasi sinus frontal. Dengan membuka sel ini akan memberi jalan menuju resesus

frontal. Resesus frontal dapat ditemukan pada bagian anterosuperior dari meatus media dan

merupakan drainase dari sinus frontal, dapat langsung ke meatus media atau melalui

infundibulum etmoid menuju kavum nasi.

Sinus paranasal adalah rongga-rongga di dalam tulang kepala yang terletak di sekitar

hidung dan mempunyai hubungan dengan rongga hidung melalui ostiumnya. Ada 3 pasang

sinus yang besar yaitu sinus maksila, sinus frontal dan sinus sfenoid kanan dan kiri, dan

beberapa sel-sel kecil yang merupakan sinus etmoid anterior dan posterior. Sinus maksila,

3

Page 4: Journal Reading Tht

sinus frontal dan sinus etmoid anterior termasuk kelompok sinus anterior dan bermuara di

meatus media, sedangkan sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid merupakan kelompok

sinus posterior dan bermuara di meatus superior.

Sinus Maksila

Sinus maksila berbentuk piramid. Dinding anterior sinus adalah permukaan fasial os

maksila yang disebut fosa kanina, dinding posteriornya adalah permukaan infra-temporal

maksila, dinding medialnya adalah dinding lateral rongga hidung, dinding superiornya adalah

dasar orbita dan dinding inferiornya adalah prosesus alveolaris dan palatum.

Ostium sinus maksila berada di sebelah superior dinding medial sinus dan bermuara

ke hiatus semilunaris melalui infundibulum etmoid. Dari segi klinik, yang perlu diperhatikan

dari anatomi sinus maksila adalah:

1. Dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu premolar (P1

dan P2), molar (M1 dan M2), kadang-kadang juga gigi taring (C) dan gigi molar (M3),

bahkan akar-akar gigi tersebut dapat menonjol ke dalam sinus, sehingga infeksi gigi geligi

mudah naik ke atas menyebabkan sinusitis

2. Sinusitis maksila dapat menimbulkan komplikasi orbita

3. Ostium sinus maksila terletak lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga drainase hanya

tergantung dari gerakan silia, lagipula drainase juga harus melalui infundibulum yang sempit.

Identifikasi endoskopik sinus maksila adalah melalui ostium alami sinus maksila yang

terdapat di bagian posterior infundibulum. Ostium sinus maksila biasanya berbentuk celah

oblik dan tertutup oleh penonjolan prosesus unsinatus dan bula etmoid. Sisi anterior dan

posterior dari ostium sinus maksila adalah fontanel dan terletak di sebelah inferior lamina

papirasea. Sinus maksila dapat ditembus dengan relatif aman pada daerah sedikit ke atas

konka inferior dan didekat fontanel posterior.

Sinus Etmoid

Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling bervariasi dan akhir-akhir ini

dianggap paling penting, karena dapat merupakan fokal infeksi bagi sinus-sinus lainnya. Pada

orang dewasa, bentuk sinus etmoid seperti piramid dengan dasarnya di bagian posterior.

4

Page 5: Journal Reading Tht

Sinus etmoid berongga-rongga, terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang tawon, yang

terdapat di bagian lateral os etmoid, yang terletak di antara konka media dan dinding medial

orbita. Sel-sel ini jumlahnya bervariasi.

Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior yang

bermuara di meatus medius dan sinus etmoid posterior yang bermuara di meatus superior.

Sel-sel sinus etmoid anterior biasanya kecil-kecil dan banyak, letaknya di depan lempeng

yang menghubungkan bagian posterior konka media dengan dinding lateral (lamina basalis),

sedangkan sel-sel sinus etmoid posterior biasanya lebih besar dan lebih sedikit jumlahnya

dan terletak di posterior dari lamina basalis.

Di bagian terdepan sinus etmoid anterior ada bagian sempit, disebut resesus frontal,

yang berhubungan dengan sinus frontal. Sel etmoid yang terbesar disebut bula etmoid. Di

daerah etmoid anterior terdapat suatu penyempitan yang disebut infundibulum, tempat

bermuaranya ostium sinus maksila. Peradangan resesus frontal dapat menyebabkan sinusitis

frontal dan pembengkakan di infundibulum dapat menyebabkan sinusitis maksila.

Sinus Frontal

Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan ke empat fetus.

Sesudah lahir, sinus frontal mulai berkembang pada usia 8-10 tahun dan akan mencapai usia

maksimal sebelum usia 20 tahun. Sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak simetris, satu

lebih besar daripada lainnya dan dipisahkan oleh sekat yang terletak di garis tengah. Kurang

lebih 15 % orang dewasa hanya mempunyai satu sinus frontal dan kurang lebih 5% sinus

frontalnya tidak berkembang.

Sinus frontal biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus berlekuk-lekuk. Tidak adanya

gambaran septum-septum dinding sinus pada foto Rontgen menunjukkan adanya infeksi

sinus. Sinus frontal dipisahkan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita dan fosa serebri

anterior, sehingga infeksi dari sinus frontal mudah menjalar ke daerah ini. Sinus frontal

berdrainase melalui ostiumnya yang terletak di resesus frontal, yang berhubungan dengan

infundibulum etmoid.

Sinus Sfenoid

Sinus sfenoid berbentuk seperti tonjolan yang terletak di lateral septum nasi. Jika

sinus sfenoid telah dibuka dan bagian dinding anterior diangkat maka akan tampak

5

Page 6: Journal Reading Tht

konfigurasi khas dari bagian dalam sinus sfenoid; yang terdiri dari tonjolan sela tursika,

kanalis optikus dan indentasi dari arteri karotis. Sinus sfenoid mengalirkan sekretnya ke

dalam meatus superior bersama dengan etmoid posterior.

Gambar 3. Sinus paranasal

Perdarahan hidung

Bagian atas hidung rongga hidung mendapat pendarahan dari a. etmoid anterior dan

posterior yang merupakan cabang dari a. oftalmika dari a.karotis interna. Bagian bawah

rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang a.maksilaris interna, di antaranya adalah

ujung a.palatina mayor dan a.sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama

n.sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang ujung posterior konka media.

Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang – cabang a.fasialis.

Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang

a.sfenopalatina,a.etmoid anterior, a.labialis superior, dan a.palatina mayor yang disebut

pleksus Kiesselbach (Little’s area). Pleksus Kiesselbach letaknya superfisial dan mudah

cidera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis(pendarahan hidung) terutama

pada anak.

6

Page 7: Journal Reading Tht

Gambar 4. Pleksus Kiesselbach

Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan

arterinya . Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke v.oftalmika yang

berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena di hidung tidak memiliki katup, sehingga

merupakanfaktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi hingga ke intracranial.

Persarafan hidung

Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari n.etmoidalis

anterior, yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris, yang berasal dari n.oftalmikus (N.V-1).

Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari n.maksila melalui

ganglion sfenopalatinum. Ganglion sfenopalatinum selain memberikan persarafan sensoris

juga memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini

menerima serabut-serabut sensoris dari n.maksila (N.V-2), serabut parasimpatis dari

n.petrosus superfisialis mayor dan serabut-serabut simpatis dari n.petrosus profundus.

Ganglion sfenopalatinum terletak di belakang dan sedikit di atas ujung posterior konka

media.

Nervus olfaktorius. Saraf ini turun dari lamina kribrosa dari permukaan bawah bulbus

olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di

daerah sepertiga atas hidung.

7

Page 8: Journal Reading Tht

Gambar 5. Bulbus olfaktorius

Fisiologi Hidung

Berdasarkan teori struktural, teori revolusioner dan teori fungsional, maka fungsi

fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah : 1) fungsi respirasi untuk mengatur kondisi

udara (air conditioning), penyaring udara, humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran

tekanan dan mekanisme imunologik lokal ; 2) fungsi penghidu, karena terdapanya mukosa

olfaktorius (penciuman) dan reservoir udara untuk menampung stimulus penghidu ; 3) fungsi

fonetik yang berguna untuk resonansi suara, membantu proses berbicara dan mencegah

hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang ; 4) fungsi statistik dan mekanik untuk

meringankan beban kepala, proteksi terhadap trauma dan pelindung panas; 5) refleks nasal.

Sistem Mukosiliar Hidung

Transportasi mukosiliar atau TMS adalah suatu mekanisme mukosa hidung untuk

membersihkan dirinya dengan cara mengangkut partikel-partikel asing yang terperangkap

pada palut lender ke arah nasofaring. Merupakan fungsi pertahanan local pada mukosa

hidung. Transpor mukosiliar disebut juga clearance mucosiliar atau sistem pembersih

mukosiliar sesungguhnya.

8

Page 9: Journal Reading Tht

Gambar 6. Drainase mukosiliar

Transportasi mukosiliar terdiri dari dua sistem yang bekerja simultan, yaitu gerakan

silia dan palut lendir. Ujung silia sepenuhnya masuk menembus gumpalan mukus dan

bergerak ke arah posterior bersama dengan materi asing yang terperangkap di dalamnya ke

arah nasofaring. Aliran cairan pada sinus mengikuti pola tertentu. Transportasi mukosiliar

pada sinus maksila berawal dari dasar yang kemudian menyebar ke seluruh dinding dan

keluar ke ostium sinus alami. Kecepatan kerja pembersihan oleh mukosiliar dapat diukur

dengan menggunakan suatu partikel yang tidak larut dalam permukaan mukosa. Lapisan

mukosa mengandung enzim lisozim (muramidase), dimana enzim ini dapat merusak bakteri.

Enzim tersebut sangat mirip dengan immunoglobulin A (Ig A) , dengan ditambah beberapa

zat imunologik yang berasal dari sekresi sel. Imunoglobulin G (IgG) dan Interferon dapat

juga ditemukan pada sekret hidung sewaktu serangan akut infeksi virus. Ujung silia tersebut

dalam keadaan tegak dan masuk menembus gumpalan mukus kemudian menggerakkannya ke

arah posterior bersama materi asing yang terperangkap ke arah faring. Cairan perisiliar yang

di bawahnya akan di alirkan kearah posterior oleh aktivitas silia, tetapi mekanismenya belum

diketahui secara pasti.

Transportasi mukosiliar yang bergerak secara aktif ini sangat penting untuk kesehatan

tubuh. Bila sistem ini tidak bekerja secara sempurna maka materi yang terperangkap oleh

palut lendir akan menembus mukosa dan menimbulkan penyakit. Kecepatan dari TMS

sangatlah bervariasi, pada orang yang sehat adalah antara 1 sampai 20 mm / menit. Karena

pergerakan silia lebih aktif pada meatus inferior dan media maka gerakan mukus dalam

hidung umumnya ke belakang, silia cenderung akan menarik lapisan mukus dari meatus

9

Page 10: Journal Reading Tht

komunis ke dalam celah-celah ini. Sedangkan arah gerakan silia pada sinus seperti spiral,

dimulai dari tempat yang jauh dari ostium. Kecepatan gerakan silia bertambah secara

progresif saat mencapai ostium, dan pada daerah ostium silia tersebut berputar dengan

kecepatan 15 hingga 20 mm/menit.

Pada dinding lateral rongga hidung sekret dari sinus maksila akan bergabung dengan

sekret yang berasal dari sinus frontal dan etmoid anterior di dekat infundibulum etmoid,

kemudian melalui anteroinferior orifisium tuba eustachius akan dialirkan ke arah nasofaring.

Sekret yang berasal dari sinus etmoid posterior dan sfenoid akan bergabung di resesus

sfenoetmoid, kemudian melalui posteroinferior orifisium tuba eustachius menuju nasofaring.

Dari rongga nasofaring mukus turun kebawah oleh gerakan menelan.

Kecepatan gerakan mukus oleh kerja silia berbeda pada setiap bagian hidung. Pada

segmen hidung anterior kecepatan gerakan silianya mungkin hanya 1/6 segmen posterior,

sekitar 1 hingga 20 mm / menit.

10

Page 11: Journal Reading Tht

RHINOSINUSITIS KRONIK

Definisi

Rhinosinusitis adalah peradangan pada mukosa hidung dan sinus paranasal.

Penggabungan istilah “Rhinosinusitis” diciptakan pertama kali pada tahun 1997 oleh ahli

Rhinology dan Komite Sinus Paranasal karena kejadian sinusitis selalu disertai dengan

rhinitis. Rhinosinusitis akut menunjukkan onset yang mendadak dari dua atau lebih gejala

berikut : terdapatnya cairan hidung, hidung tersumbat, nyeri pada wajah, anosmia atau

hiposmia. Gejala lain yang mungkin adalah demam, malaise, mudah tersinggung, sakit

kepala, sakit gigi atau batuk. Ketika gejala muncul selama 4-12 minggu maka disebut

rhinosinusitis subakut. Ketika gejala bertahan lebih dari 12 minggu, disebut sebagai

“rhinosinusitis kronis”. Yang terakhir adalah rhinosinusitis karena tidak diobati atau tidak

diobati dengan terapi yang sesuai atau rhinosinusitis akut berulang. Dikatakan rhinosinusitis

berulang apabila terjadi 4 atau lebih episode infeksi sinus akut dalam satu tahun dengan

setiap episode berlangsung selama atau sekitar 1 minggu.

Etilogi

Saat ini, studi etiologi dari sinusitis meningkat berfokus pada obstruksi osteomeatal,

alergi, polip, penyakit imunodefisiensi, dan penyakit gigi. Mikroorganisme lebih sering

dianggap sebagai penyebab sekunder. Beberapa bakteri patogen yang sering dihubungkan

dengan etiologi rinosinusitis kronik adalah Stafilokokus aureus, Pseudomonas aeruginosa,

Hemofilus influenza dan Moraxella kataralis.

Faktor Risiko

Beberapa kondisi dan fakto risiko predisposisi pasien mengalami rhinosinusitis kronis antara lain :

- Abnormalitas anatomi dari kompleks osteomeatal (contohnya diviasi septum nasi)

- Rhinitis alergi

- Polip nasal

- Rhinitis nonalergik

- Dyskinesia ciliar

11

Page 12: Journal Reading Tht

- ISPA berulang

- Merokok

- Polusi lingkungan

- GERD

- Periodontitis

Epidemiologi

RSK merupakan masalah kesehatan yang sering terjadi dan berefek pada kualitas

hidup pasien. Di Amerika, satu dari tujuh orang dewasa di diagnosis RSK. Penyakit ini juga

menempati urutan ke 5 dari diagnosis yang paling sering memerlukan resep antibiotik. RSK

juga paling sering terdapat pada daerah dengan tingkat polusi yang tinggi.

Klasifikasi

Rhinosinusitis kronik diklasifikasikan menjadi 2 berdasarkan perbedaan mediator

inflamasi, yaitu :

1) RSK dengan Nasal Polip (CRSwNP)

- edema jaringan, kadar tumor growth factor-beta dan aktivitas T-reg rendah

- kadar eosinofil dan IgE dalam jaringan tinggi, sehingga meningkatkan IL-5 dan IL-

13 (polarisasi Th2)

2) RSK tanpa Nasal Polip (CRSsNP)

- fibrosis, infiltrasi eosinofil hanya sedikit

- meningkatkan interferon-gamma, tumor growth factor-beta dan aktivitas T-reg

(polarisasi Th1)

Patofisiologi

Patofisiologi rinosinusitis kronik terkait 3 faktor yaitu patensi ostium, fungsi silia dan

kualitas sekret. Gangguan salah satu faktor tersebut atau kombinasi faktor-faktor akan

menimbulkan sinusitis. Kegagalan transpor mukus dan menurunnya ventilasi sinus

merupakan faktor utama berkembangnya rinosinusitis kronik.

12

Page 13: Journal Reading Tht

Patofisiologi rinosinusitis kronik dimulai dari blokade akibat edema hasil proses

radang di area kompleks osteomeatal. Blokade daerah kompleks osteomeatal menyebabkan

gangguan drainase dan ventilasi sinus-sinus anterior. Sumbatan yang berlangsung terus

menerus akan mengakibatkan terjadinya hipoksia dan retensi sekret serta perubahan pH

sekret yang merupakan media yang baik bagi bakteri anaerob untuk berkembang biak.

Bakteri juga memproduksi toksin yang akan merusak silia. Selanjutnya dapat terjadi

hipertrofi mukosa yang memperberat blokade kompleks osteomeatal. Siklus ini dapat

dihentikan dengan membuka blokade kompleks osteomeatal untuk memperbaiki drainase

dan aerasi sinus.

Gambar 7. Patofisiologi Rhinosinusitis kronis

Manifestasi Klinis

Pasien dengan RSK dapat mengalami gejala-gejala antara lain : hidung tersumbat,

terdapat discharge di hidung dengan berbagai kriteria mulai encer hingga kental/bening

hingga purulen, postnasal drip, wajah terasa penuh/tidak nyaman/nyeri kepala, batuk tidak

produktif, hiposmia/anosmia, sakit tenggorokan, napas berbau busuk, lemah, anoreksia, sakit

gigi, bersin, nyeri telinga, demam.

Diagnosis Rinosinusitis Kronik

Diagnosis ditegakkan bila ditemukan 2 atau lebih gejala mayor atau 1 gejala mayor

dan 2 gejala minor.

13

Page 14: Journal Reading Tht

Gejala Mayor :

Hidung tersumbat

Sekret pada hidung / sekret belakang hidung / PND

Sakit kepala

Nyeri / rasa tekan pada wajah

Kelainan penciuman (hiposmia / anosmia)

Gejala Minor :

Demam, halitosis

Pada anak ; batuk, iritabilitas

Sakit gigi

Sakit telinga / nyeri tekan pada telinga / rasa penuh pada telinga.

Kriteria lain dalam menegakkan rinosinusitis adalah berdasarkan European Position

Paper On Rhinosinusitis And Nasal Polyps (EPOS), 2007, maka panduan untuk

penatalaksanaan rhinosinusitis kronis pada orang dewasa bagi para dokter spesialis THT

adalah sebagai berikut :

Gejala dan tanda

- Gejala yang timbul lebih dari 12 minggu.

- Dua atau lebih gejala, salah satu yang seharusnya dijumpai adalah hidung tersumbat / pembengkakan / keluarnya cairan dari hidung ( cairan hidung yang menetes keluar bisa melalui anterior maupun posterior) :

a) ± disertai rasa sakit pada wajah / rasa tertekan pada wajah

b) ± berkurang / hilangnya penciuman

Berdasarkan anamnesis ada tanda-tanda alergi seperti : bersin , ingus yang cair,

hidung gatal dan mata gatal berair. Jika positif dijumpai tanda-tanda alergi tersebut maka

dilakukan tes alergi.

Sakit kepala merupakan salah satu tanda yang paling umum dan paling penting pada

sinusitis. Sakit kepala yang timbul merupakan akibat adanya kongesti dan edema di ostium

sinus dan sekitarnya. Sakit kepala yang bersumber dari sinus akan meningkat jika

14

Page 15: Journal Reading Tht

membungkukkan badan dan jika badan tiba-tiba digerakkan. Sakit kepala ini akan menetap

saat menutup mata, saat istirahat atau saat berada di kamar gelap. Hal ini berbeda dengan

sakit kepala yang disebabkan oleh mata.

Nyeri yang sesuai dengan daerah sinus yang terkena dapat ada atau mungkin tidak.

Pada peradangan aktif sinus maksila atau frontal, nyeri biasanya sesuai dengan daerah yang

terkena. Pada sinus yang letaknya lebih dalam, nyeri terasa jauh di dalam kepala dan tak jelas

lokasinya. Pada kenyataannya peradangan pada satu atau semua sinus sering kali

menyebabkan nyeri di daerah frontal.

Gangguan penghidu (hiposmia) terjadi akibat sumbatan pada fisura olfaktorius di

daerah konka media. Pada kasus-kasus kronis, hal ini dapat terjadi akibat degenerasi filamen

terminal nervus olfaktorius, meskipun pada kebanyakan kasus, indera penghidu dapat

kembali normal setelah proses infeksi hilang.

Rinoskopi anterior

Pada pemeriksaan rinoskopi anterior dapat ditemukan tanda-tanda inflamasi yaitu

mukosa hiperemis, edema dan sekret mukopurulen yang terdapat pada meatus media.

Mungkin terlihat adanya polip menyertai rinosinusitis kronik.

Pemeriksaan nasoendoskopi

Pemeriksaan ini sangat dianjurkan karena dapat menunjukkan kelainan yang tidak

dapat terlihat dengan rinoskopi anterior, misalnya sekret purulen minimal di meatus media

atau superior, polip kecil, hipertrofi prosesus unsinatus, konka media bulosa, konka media

polipoid, konka media hipertrofi, konka inferior hipertrofi, post nasal drip dan septum

deviasi.

Pemeriksaan foto polos sinus

Foto polos sinus paranasal tidak sensitif dan mempunyai nilai yang terbatas pada

evaluasi rinosinusitis kronik. Foto polos yang biasa dilakukan adalah foto polos hidung dan

sinus paranasal posisi Water’s. Pada foto ini hanya tampak jelas sinus-sinus yang besar saja,

15

Page 16: Journal Reading Tht

sedangkan daerah kompleks osteomeatal tidak jelas tampak. Air fluid level pada

rinosinusitis kronik tidak selalu dijumpai.

Pemeriksaan CT Scan

CT Scan yang biasa dilakukan adalah CT Scan sinus paranasal potongan koronal,

dimana dapat terlihat perluasaan penyakit di dalam rongga sinus dan kelainan di kompleks

osteomeatal. CT Scan dari rongga sinus dapat berguna untuk melakukan evaluasi pada kasus

rinosinusitis berulang, atau rinosinusitis dengan komplikasi dan pada pasien dengan

rinosinusitis kronik dan dipersiapkan untuk operasi. CT Scan memiliki spesifitas dan

sensitifitas yang tinggi. Sebaiknya pemeriksaan CT Scan dilakukan setelah pemberian terapi

antibiotik yang adekuat, agar proses inflamasi pada mukosa dieliminasi sehingga kelainan

anatomi dapat terlihat dengan jelas.

Penatalaksanaan

Alur penatalaksanaan RSK :

Gambar 8. Skema penatalaksanaan RSK tanpa Nasal Polip

16

Page 17: Journal Reading Tht

Gambar 9. Skema penatalaksanaan RSK dengan Nasal Polip

Menurut guideline American Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery,

RSK harus diterapi dengan “terapi medis maksimal”. Terapi medis standar yang diberikan

meliputi medikasi topikal dan sistemik. Pembedahan dilakukan apabila terapi obat tidak

adekuat utuk mengontrol RSK.

Medikasi Topikal

1) Irigasi saline intranasal. Irigasi dengan larutan saline intranasal dapat membantu

untuk melunakkan sekret yang mengering, mengurangi edema mukosa dan

mengurangi viskositas sekret. Efek samping yang jarang terjadi antara lain hidung

terasa tidak nyaman, epistaksis, nyeri kepala dan otalgia. Tetapi secara keseluruhan

irigasi nasal masih dapat ditolerir. Beberapa penelitian mengenai penggunaan irigasi

nasal menunjukkan perbaikan kualitas hidup pada sebagian besar pasien RSK.

2) Steroid topikal. Steroid menurunkan viabilitas dan aktivasi eosinofil yang secara

tidak langsung menurunkan sekresi dari sitokin kemotaktik pada mukosa hidung dan

sel epitelial polip. Steroid topikal sinonasal digunakan untuk mencapai efek yang

maksimal pada level lokal dan meminimalisir efek sistemik. Saat ini steroid topikal

yang populer digunakan oleh para rhinologist untuk pasien RSK adalah nasal irigasi

dengan budesonide. Budesonide merupakan obat anti inflamasi steroid yang poten

dan ditolerir dengan baik oleh pasien.

17

Page 18: Journal Reading Tht

Medikasi Sistemik

1) Oral steroid. Penelitian menunjukkan bahwa pemberian steroid oral

metilprednisolone 50 mg selama 14 hari terbukti meningkatkan kualitas hidup

pasien, tetapi banyak penelitian lain menemukan bahwa kortikosteroid sistemik

memiliki efek samping yang signifikan dimana efek samping ini akan meningkat

seiring dengan peningkatan dosis dan durasi pemberian obat. Pada pemberian

terapi steroid oral, pasien harus diberi penjelasan mengenai kemungkinan efek

negatif yang akan muncul setelah pemberian obat antara lain penurunan densitas

mineral tulang, hiperglikemi, peningkatan berat badan, pembentukan katarak lebih

dini, gangguan tidur dan gangguan kondisi psikiatrik.

2) Oral antibiotik. Antibiotik oral merupakan obat tersering yang diresepkan pasa

pasien RSK. Terapi antibiotik pada RSK dapat digunakan baik dalam jangka

waktu pendek atau panjang. Terapi jangka pendek didefinisikan sebagai durasi

penggunaan antibiotik kurang dari 4 minggu yang bertujuan untuk eradikasi

kuman, sebaliknya terapi jangka panjang digunakan untuk memberikan efek anti

inflamasi. First line drugs antibiotik yang digunakan untuk pasien RSK adalah

amoxicillin-clavulanate dan cephalosporin generasi 2 atau 3, sedangkan quinolon

digunakan sebagai second line drugs pada RSK. Pada pasien yang alergi terhadap

beta laktam, dapat diberikan obat golongan makrolid seperti azythromycin dan

clarythromycin.

Pembedahan

Pembedahan diindikasikan apabila terapi konservatif gagal. Tujuan dari tindakan

pembedahan adalah membersihkan mukosa, eliminasi infeksi, memperbaiki obstruksi

drainase, dan mengembalikan ventilasi. Indikasi absolut dari tindakan bedah adalah :

komplikasi orbital atau intrakranial, sukpek komplikasi sepsis atau terdapat proses keganasan.

Komplikasi

Komplikasi ini biasanya terjadi pada kasus rinosinusitis akut atau rinosinusitis kronis

dengan eksaserbasi akut. Komplikasi rinosinusitis sudah semakin jarang setelah pengobatan

antibiotik. Tetapi pada masyarakat dengan tingkat sosio-ekonomi rendah yang kurang gizi

18

Page 19: Journal Reading Tht

dan tidak terjangkau oleh fasilitas kesehatan, komplikasi rinosinusitis lebih sering terjadi dan

dapat berakibat buruk misalnya sampai menjadi buta atau bahkan kematian. Komplikasi yang

terjadi dapat berupa :

1. Kelainan orbita. Infeksi dari sinus paranasal dapat meluas ke orbita secara langsung atau

melalui system vena yang tidak berkatup. Komplikasi orbita ini dapat berupa selulitis orbita

dan abses orbita. Gejalanya dapat dilihat sebagai pembengkakan kelopak mata, atau edema

merata di seluruh orbita, atau gangguan gerakan bola mata dan gangguan visus sampai jelas

adanya abses yang mengeluarkan pus. Pasien harus dirawat dan diberikan antibiotik dosis

tinggi intravena dan dirujuk ke dokter spesialis THT. Bila keadaan tidak membaik dalam 48

jam atau ada tanda-tanda komplikasi ke intrakranial, perlu dilakukan tindakan bedah.

2. Kelainan intrakranial. Dapat berupa meningitis, abses subdural, abses otak, trombosis

sinus kavernosus. Rongga sinus frontal, etmoid dan sfenoid hanya dipisahkan dengan fosa

kranii anterior oleh dinding tulang yang tipis sehingga infeksi dapat meluas secara langsung

melalui erosi pada tulang. Penyebaran infeksi dapat juga melalui sistem vena. Sinusitis

maksila karena infeksi gigi sering menyebabkan abses intrakranial. Bila ada komplikasi

intrakranial gejalanya dapat terlihat sebagai kesadaran yang menurun atau kejang-kejang.

Pasien perlu dirawat dan diberikan antibiotik dosis tinggi secara intravena dan hal ini

merupakan indikasi untuk tindakan operasi.

3. Mukokel (kista). Bila saluran keluar sinus tersumbat dapat timbul mukokel. Sering timbul

di sinus frontal meskipun dapat juga terjadi di sinus maksila, etmoid atau sfenoid. Di dalam

mukokel terjadi pengumpulan lendir yang steril yang kemudian menjadi kental. Mukokel

dapat menjadi besar dan mendesak organ disekitarnya terutama orbita. Mukokel

menimbulkan gejala sakit kepala dan pembengkakan di atas sinus yang terkena.

Pencegahan

Secara umum, pencegahan terhadap faktor risiko dapat membantu menghindari

komplikasi RSK. Termasuk pencegahan terhadap polutan lingkungan, asap rokok, dan

serangan ISPA berulang. Serangan akut rhinosinusitis harus dikelola secara optimal untuk

mencegah penyakit menjadi kronis. Vaksin influenza dan pneumokokkus juga dapat

mencegah ISPA dan rhinosinusitis.

19

Page 20: Journal Reading Tht

Prognosis

Karena sifatnya yang persisten, RSK menyebabkan morbiditas yang sangat signifikan.

Apabila RSK tidak diterapi dengan baik, dapat menurunkan kualitas hidup dan produktivitas

pasien. RSK juga dihubungkan dengan komplikasi serius antara lain abses otak dan

meningitis yang dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas secara signifikan. Pengobatan

medis secara dini dan agresif memberikan hasil yang memuaskan pada pasien RSK.

20