Journal Reading Tht
-
Upload
gita-yusmira -
Category
Documents
-
view
46 -
download
2
description
Transcript of Journal Reading Tht
PENDAHULUAN
Rhinosinusitis merupakan masalah kesehatan yang saat ini semakin meningkat
signifikan, menyebabkan beban keuangan yang besar di masyarakat. Penyebab rhinosinusitis
adalah multifaktorial. Oleh karena itu manajemen penyakit ini selalu berkembang dan
kontroversial. Biasanya, rhinitis dan sinusitis muncul bersamaan pada sebagian besar
individu, oleh karena itu terminologi yang tepat adalah rhinosinusitis. Definisi klinis ini
memudahkan bagi para dokter spesialis THT dan pekerja profesional di bidang kesehatan.
ANATOMI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang
dipisahkan oleh septum nasi dibagian tengahnya sehingga menjadi kavum nasi kanan dan
kiri. Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding yaitu dinding medial, lateral, inferior dan
superior.
Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai ala nasi, tepat dibelakang nares anterior,
disebut sebagai vestibulum. Dinding medial rongga hidung adalah septum nasi. Dinding
lateral dibentuk oleh permukaan dalam prosesus frontalis os maksila, os lakrimalis, konka
superior dan konka media yang merupakan bagian dari os etmoid, konka inferior, lamina
perpendikularius os palatum, dan lamina pterigoides medial. Pada dinding lateral terdapat
empat buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling bawah ialah konka inferior, kemudian
yang lebih kecil adalah konka media, yang lebih kecil lagi konka superior, sedangkan yang
terkecil ialah konka suprema dan konka suprema biasanya rudimenter. Konka inferior
merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin etmoid, sedangkan
konka media, superior, dan suprema merupakan bagian dari labirin etmoid. Diantara konka-
konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang dinamakan dengan meatus.
Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus inferior,media dan superior.
Dinding inferior merupakan dasar hidung yang dibentuk oleh prosesus palatina os maksila
dan prosesus horizontal os palatum.
Dinding superior atau atap hidung terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior,
os nasal, prosesus frontalis os maksila, korpus os etmoid dan korpus os sfenoid. Sebagian
besar atap hidung dibentuk oleh lamina kribrosa yang dilalui filamen - filamen n.olfaktorius
yang berasal dari permukaan bawah bulbus olfaktorius berjalan menuju bagian teratas
1
septum nasi dan permukaan kranial konka superior.
Gambar 1. Anatomi hidung dan sinus paranasal
Kompleks osteomeatal (KOM)
Pada sepertiga tengah dinding lateral hidung, yaitu di meatus media, ada muara-muara
saluran dari sinus maksila, sinus frontal dan sinus etmoid anterior. Daerah ini rumit dan
sempit, dan dinamakan kompleks osteomeatal (KOM). KOM adalah bagian dari sinus
etmoid anterior. Pada potongan koronal sinus paranasal, gambaran KOM terlihat jelas yaitu
suatu rongga antara konka media dan lamina papirasea. Isi dari KOM terdiri dari
infundibulum etmoid yang terdapat dibelakang prosesus unsinatus, sel agger nasi, resesus
frontalis, bula etmoid, dan sel-sel etmoid anterior dengan ostiumnya dan ostium sinus
maksila.
2
Gambar 2. Kompleks osteomeatal
Prosesus unsinatus berbentuk bumerang memanjang dari anterosuperior ke
posteroinferior sepanjang dinding lateral hidung, melekat di anterosuperior pada pinggir
tulang lakrimal dan di posteroinferior pada ujung superior konka inferior. Prosesus unsinatus
membentuk dinding medial dari infundibulum.
Bula etmoid terletak di posterior prosesus unsinatus dan merupakan sel udara etmoid
yang terbesar dan terletak paling anterior. Bula etmoid dapat membengkak sangat besar
sehingga menekan infundibulum etmoid dan menghambat drainase sinus maksila.
Infundibulum etmoid berbentuk seperti terowongan dengan dinding anteromedial dibatasi
oleh prosesus unsinatus, dinding posterosuperior dibatasi oleh bula etmoid, dan pada bagian
posteroinferolateralnya terdapat ostium alami sinus maksila sedangkan proyeksi dari tepi
terowongan yang membuka kearah kavum nasi membentuk hiatus semilunaris anterior.
Sel agger nasi merupakan sel ekstramural paling anterior dari sel-sel etmoid anterior.
Karena letaknya sangat dekat dengan resesus frontal, sel ini merupakan patokan anatomi
untuk operasi sinus frontal. Dengan membuka sel ini akan memberi jalan menuju resesus
frontal. Resesus frontal dapat ditemukan pada bagian anterosuperior dari meatus media dan
merupakan drainase dari sinus frontal, dapat langsung ke meatus media atau melalui
infundibulum etmoid menuju kavum nasi.
Sinus paranasal adalah rongga-rongga di dalam tulang kepala yang terletak di sekitar
hidung dan mempunyai hubungan dengan rongga hidung melalui ostiumnya. Ada 3 pasang
sinus yang besar yaitu sinus maksila, sinus frontal dan sinus sfenoid kanan dan kiri, dan
beberapa sel-sel kecil yang merupakan sinus etmoid anterior dan posterior. Sinus maksila,
3
sinus frontal dan sinus etmoid anterior termasuk kelompok sinus anterior dan bermuara di
meatus media, sedangkan sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid merupakan kelompok
sinus posterior dan bermuara di meatus superior.
Sinus Maksila
Sinus maksila berbentuk piramid. Dinding anterior sinus adalah permukaan fasial os
maksila yang disebut fosa kanina, dinding posteriornya adalah permukaan infra-temporal
maksila, dinding medialnya adalah dinding lateral rongga hidung, dinding superiornya adalah
dasar orbita dan dinding inferiornya adalah prosesus alveolaris dan palatum.
Ostium sinus maksila berada di sebelah superior dinding medial sinus dan bermuara
ke hiatus semilunaris melalui infundibulum etmoid. Dari segi klinik, yang perlu diperhatikan
dari anatomi sinus maksila adalah:
1. Dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu premolar (P1
dan P2), molar (M1 dan M2), kadang-kadang juga gigi taring (C) dan gigi molar (M3),
bahkan akar-akar gigi tersebut dapat menonjol ke dalam sinus, sehingga infeksi gigi geligi
mudah naik ke atas menyebabkan sinusitis
2. Sinusitis maksila dapat menimbulkan komplikasi orbita
3. Ostium sinus maksila terletak lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga drainase hanya
tergantung dari gerakan silia, lagipula drainase juga harus melalui infundibulum yang sempit.
Identifikasi endoskopik sinus maksila adalah melalui ostium alami sinus maksila yang
terdapat di bagian posterior infundibulum. Ostium sinus maksila biasanya berbentuk celah
oblik dan tertutup oleh penonjolan prosesus unsinatus dan bula etmoid. Sisi anterior dan
posterior dari ostium sinus maksila adalah fontanel dan terletak di sebelah inferior lamina
papirasea. Sinus maksila dapat ditembus dengan relatif aman pada daerah sedikit ke atas
konka inferior dan didekat fontanel posterior.
Sinus Etmoid
Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling bervariasi dan akhir-akhir ini
dianggap paling penting, karena dapat merupakan fokal infeksi bagi sinus-sinus lainnya. Pada
orang dewasa, bentuk sinus etmoid seperti piramid dengan dasarnya di bagian posterior.
4
Sinus etmoid berongga-rongga, terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang tawon, yang
terdapat di bagian lateral os etmoid, yang terletak di antara konka media dan dinding medial
orbita. Sel-sel ini jumlahnya bervariasi.
Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior yang
bermuara di meatus medius dan sinus etmoid posterior yang bermuara di meatus superior.
Sel-sel sinus etmoid anterior biasanya kecil-kecil dan banyak, letaknya di depan lempeng
yang menghubungkan bagian posterior konka media dengan dinding lateral (lamina basalis),
sedangkan sel-sel sinus etmoid posterior biasanya lebih besar dan lebih sedikit jumlahnya
dan terletak di posterior dari lamina basalis.
Di bagian terdepan sinus etmoid anterior ada bagian sempit, disebut resesus frontal,
yang berhubungan dengan sinus frontal. Sel etmoid yang terbesar disebut bula etmoid. Di
daerah etmoid anterior terdapat suatu penyempitan yang disebut infundibulum, tempat
bermuaranya ostium sinus maksila. Peradangan resesus frontal dapat menyebabkan sinusitis
frontal dan pembengkakan di infundibulum dapat menyebabkan sinusitis maksila.
Sinus Frontal
Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan ke empat fetus.
Sesudah lahir, sinus frontal mulai berkembang pada usia 8-10 tahun dan akan mencapai usia
maksimal sebelum usia 20 tahun. Sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak simetris, satu
lebih besar daripada lainnya dan dipisahkan oleh sekat yang terletak di garis tengah. Kurang
lebih 15 % orang dewasa hanya mempunyai satu sinus frontal dan kurang lebih 5% sinus
frontalnya tidak berkembang.
Sinus frontal biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus berlekuk-lekuk. Tidak adanya
gambaran septum-septum dinding sinus pada foto Rontgen menunjukkan adanya infeksi
sinus. Sinus frontal dipisahkan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita dan fosa serebri
anterior, sehingga infeksi dari sinus frontal mudah menjalar ke daerah ini. Sinus frontal
berdrainase melalui ostiumnya yang terletak di resesus frontal, yang berhubungan dengan
infundibulum etmoid.
Sinus Sfenoid
Sinus sfenoid berbentuk seperti tonjolan yang terletak di lateral septum nasi. Jika
sinus sfenoid telah dibuka dan bagian dinding anterior diangkat maka akan tampak
5
konfigurasi khas dari bagian dalam sinus sfenoid; yang terdiri dari tonjolan sela tursika,
kanalis optikus dan indentasi dari arteri karotis. Sinus sfenoid mengalirkan sekretnya ke
dalam meatus superior bersama dengan etmoid posterior.
Gambar 3. Sinus paranasal
Perdarahan hidung
Bagian atas hidung rongga hidung mendapat pendarahan dari a. etmoid anterior dan
posterior yang merupakan cabang dari a. oftalmika dari a.karotis interna. Bagian bawah
rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang a.maksilaris interna, di antaranya adalah
ujung a.palatina mayor dan a.sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama
n.sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang ujung posterior konka media.
Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang – cabang a.fasialis.
Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang
a.sfenopalatina,a.etmoid anterior, a.labialis superior, dan a.palatina mayor yang disebut
pleksus Kiesselbach (Little’s area). Pleksus Kiesselbach letaknya superfisial dan mudah
cidera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis(pendarahan hidung) terutama
pada anak.
6
Gambar 4. Pleksus Kiesselbach
Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan
arterinya . Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke v.oftalmika yang
berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena di hidung tidak memiliki katup, sehingga
merupakanfaktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi hingga ke intracranial.
Persarafan hidung
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari n.etmoidalis
anterior, yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris, yang berasal dari n.oftalmikus (N.V-1).
Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari n.maksila melalui
ganglion sfenopalatinum. Ganglion sfenopalatinum selain memberikan persarafan sensoris
juga memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini
menerima serabut-serabut sensoris dari n.maksila (N.V-2), serabut parasimpatis dari
n.petrosus superfisialis mayor dan serabut-serabut simpatis dari n.petrosus profundus.
Ganglion sfenopalatinum terletak di belakang dan sedikit di atas ujung posterior konka
media.
Nervus olfaktorius. Saraf ini turun dari lamina kribrosa dari permukaan bawah bulbus
olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di
daerah sepertiga atas hidung.
7
Gambar 5. Bulbus olfaktorius
Fisiologi Hidung
Berdasarkan teori struktural, teori revolusioner dan teori fungsional, maka fungsi
fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah : 1) fungsi respirasi untuk mengatur kondisi
udara (air conditioning), penyaring udara, humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran
tekanan dan mekanisme imunologik lokal ; 2) fungsi penghidu, karena terdapanya mukosa
olfaktorius (penciuman) dan reservoir udara untuk menampung stimulus penghidu ; 3) fungsi
fonetik yang berguna untuk resonansi suara, membantu proses berbicara dan mencegah
hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang ; 4) fungsi statistik dan mekanik untuk
meringankan beban kepala, proteksi terhadap trauma dan pelindung panas; 5) refleks nasal.
Sistem Mukosiliar Hidung
Transportasi mukosiliar atau TMS adalah suatu mekanisme mukosa hidung untuk
membersihkan dirinya dengan cara mengangkut partikel-partikel asing yang terperangkap
pada palut lender ke arah nasofaring. Merupakan fungsi pertahanan local pada mukosa
hidung. Transpor mukosiliar disebut juga clearance mucosiliar atau sistem pembersih
mukosiliar sesungguhnya.
8
Gambar 6. Drainase mukosiliar
Transportasi mukosiliar terdiri dari dua sistem yang bekerja simultan, yaitu gerakan
silia dan palut lendir. Ujung silia sepenuhnya masuk menembus gumpalan mukus dan
bergerak ke arah posterior bersama dengan materi asing yang terperangkap di dalamnya ke
arah nasofaring. Aliran cairan pada sinus mengikuti pola tertentu. Transportasi mukosiliar
pada sinus maksila berawal dari dasar yang kemudian menyebar ke seluruh dinding dan
keluar ke ostium sinus alami. Kecepatan kerja pembersihan oleh mukosiliar dapat diukur
dengan menggunakan suatu partikel yang tidak larut dalam permukaan mukosa. Lapisan
mukosa mengandung enzim lisozim (muramidase), dimana enzim ini dapat merusak bakteri.
Enzim tersebut sangat mirip dengan immunoglobulin A (Ig A) , dengan ditambah beberapa
zat imunologik yang berasal dari sekresi sel. Imunoglobulin G (IgG) dan Interferon dapat
juga ditemukan pada sekret hidung sewaktu serangan akut infeksi virus. Ujung silia tersebut
dalam keadaan tegak dan masuk menembus gumpalan mukus kemudian menggerakkannya ke
arah posterior bersama materi asing yang terperangkap ke arah faring. Cairan perisiliar yang
di bawahnya akan di alirkan kearah posterior oleh aktivitas silia, tetapi mekanismenya belum
diketahui secara pasti.
Transportasi mukosiliar yang bergerak secara aktif ini sangat penting untuk kesehatan
tubuh. Bila sistem ini tidak bekerja secara sempurna maka materi yang terperangkap oleh
palut lendir akan menembus mukosa dan menimbulkan penyakit. Kecepatan dari TMS
sangatlah bervariasi, pada orang yang sehat adalah antara 1 sampai 20 mm / menit. Karena
pergerakan silia lebih aktif pada meatus inferior dan media maka gerakan mukus dalam
hidung umumnya ke belakang, silia cenderung akan menarik lapisan mukus dari meatus
9
komunis ke dalam celah-celah ini. Sedangkan arah gerakan silia pada sinus seperti spiral,
dimulai dari tempat yang jauh dari ostium. Kecepatan gerakan silia bertambah secara
progresif saat mencapai ostium, dan pada daerah ostium silia tersebut berputar dengan
kecepatan 15 hingga 20 mm/menit.
Pada dinding lateral rongga hidung sekret dari sinus maksila akan bergabung dengan
sekret yang berasal dari sinus frontal dan etmoid anterior di dekat infundibulum etmoid,
kemudian melalui anteroinferior orifisium tuba eustachius akan dialirkan ke arah nasofaring.
Sekret yang berasal dari sinus etmoid posterior dan sfenoid akan bergabung di resesus
sfenoetmoid, kemudian melalui posteroinferior orifisium tuba eustachius menuju nasofaring.
Dari rongga nasofaring mukus turun kebawah oleh gerakan menelan.
Kecepatan gerakan mukus oleh kerja silia berbeda pada setiap bagian hidung. Pada
segmen hidung anterior kecepatan gerakan silianya mungkin hanya 1/6 segmen posterior,
sekitar 1 hingga 20 mm / menit.
10
RHINOSINUSITIS KRONIK
Definisi
Rhinosinusitis adalah peradangan pada mukosa hidung dan sinus paranasal.
Penggabungan istilah “Rhinosinusitis” diciptakan pertama kali pada tahun 1997 oleh ahli
Rhinology dan Komite Sinus Paranasal karena kejadian sinusitis selalu disertai dengan
rhinitis. Rhinosinusitis akut menunjukkan onset yang mendadak dari dua atau lebih gejala
berikut : terdapatnya cairan hidung, hidung tersumbat, nyeri pada wajah, anosmia atau
hiposmia. Gejala lain yang mungkin adalah demam, malaise, mudah tersinggung, sakit
kepala, sakit gigi atau batuk. Ketika gejala muncul selama 4-12 minggu maka disebut
rhinosinusitis subakut. Ketika gejala bertahan lebih dari 12 minggu, disebut sebagai
“rhinosinusitis kronis”. Yang terakhir adalah rhinosinusitis karena tidak diobati atau tidak
diobati dengan terapi yang sesuai atau rhinosinusitis akut berulang. Dikatakan rhinosinusitis
berulang apabila terjadi 4 atau lebih episode infeksi sinus akut dalam satu tahun dengan
setiap episode berlangsung selama atau sekitar 1 minggu.
Etilogi
Saat ini, studi etiologi dari sinusitis meningkat berfokus pada obstruksi osteomeatal,
alergi, polip, penyakit imunodefisiensi, dan penyakit gigi. Mikroorganisme lebih sering
dianggap sebagai penyebab sekunder. Beberapa bakteri patogen yang sering dihubungkan
dengan etiologi rinosinusitis kronik adalah Stafilokokus aureus, Pseudomonas aeruginosa,
Hemofilus influenza dan Moraxella kataralis.
Faktor Risiko
Beberapa kondisi dan fakto risiko predisposisi pasien mengalami rhinosinusitis kronis antara lain :
- Abnormalitas anatomi dari kompleks osteomeatal (contohnya diviasi septum nasi)
- Rhinitis alergi
- Polip nasal
- Rhinitis nonalergik
- Dyskinesia ciliar
11
- ISPA berulang
- Merokok
- Polusi lingkungan
- GERD
- Periodontitis
Epidemiologi
RSK merupakan masalah kesehatan yang sering terjadi dan berefek pada kualitas
hidup pasien. Di Amerika, satu dari tujuh orang dewasa di diagnosis RSK. Penyakit ini juga
menempati urutan ke 5 dari diagnosis yang paling sering memerlukan resep antibiotik. RSK
juga paling sering terdapat pada daerah dengan tingkat polusi yang tinggi.
Klasifikasi
Rhinosinusitis kronik diklasifikasikan menjadi 2 berdasarkan perbedaan mediator
inflamasi, yaitu :
1) RSK dengan Nasal Polip (CRSwNP)
- edema jaringan, kadar tumor growth factor-beta dan aktivitas T-reg rendah
- kadar eosinofil dan IgE dalam jaringan tinggi, sehingga meningkatkan IL-5 dan IL-
13 (polarisasi Th2)
2) RSK tanpa Nasal Polip (CRSsNP)
- fibrosis, infiltrasi eosinofil hanya sedikit
- meningkatkan interferon-gamma, tumor growth factor-beta dan aktivitas T-reg
(polarisasi Th1)
Patofisiologi
Patofisiologi rinosinusitis kronik terkait 3 faktor yaitu patensi ostium, fungsi silia dan
kualitas sekret. Gangguan salah satu faktor tersebut atau kombinasi faktor-faktor akan
menimbulkan sinusitis. Kegagalan transpor mukus dan menurunnya ventilasi sinus
merupakan faktor utama berkembangnya rinosinusitis kronik.
12
Patofisiologi rinosinusitis kronik dimulai dari blokade akibat edema hasil proses
radang di area kompleks osteomeatal. Blokade daerah kompleks osteomeatal menyebabkan
gangguan drainase dan ventilasi sinus-sinus anterior. Sumbatan yang berlangsung terus
menerus akan mengakibatkan terjadinya hipoksia dan retensi sekret serta perubahan pH
sekret yang merupakan media yang baik bagi bakteri anaerob untuk berkembang biak.
Bakteri juga memproduksi toksin yang akan merusak silia. Selanjutnya dapat terjadi
hipertrofi mukosa yang memperberat blokade kompleks osteomeatal. Siklus ini dapat
dihentikan dengan membuka blokade kompleks osteomeatal untuk memperbaiki drainase
dan aerasi sinus.
Gambar 7. Patofisiologi Rhinosinusitis kronis
Manifestasi Klinis
Pasien dengan RSK dapat mengalami gejala-gejala antara lain : hidung tersumbat,
terdapat discharge di hidung dengan berbagai kriteria mulai encer hingga kental/bening
hingga purulen, postnasal drip, wajah terasa penuh/tidak nyaman/nyeri kepala, batuk tidak
produktif, hiposmia/anosmia, sakit tenggorokan, napas berbau busuk, lemah, anoreksia, sakit
gigi, bersin, nyeri telinga, demam.
Diagnosis Rinosinusitis Kronik
Diagnosis ditegakkan bila ditemukan 2 atau lebih gejala mayor atau 1 gejala mayor
dan 2 gejala minor.
13
Gejala Mayor :
Hidung tersumbat
Sekret pada hidung / sekret belakang hidung / PND
Sakit kepala
Nyeri / rasa tekan pada wajah
Kelainan penciuman (hiposmia / anosmia)
Gejala Minor :
Demam, halitosis
Pada anak ; batuk, iritabilitas
Sakit gigi
Sakit telinga / nyeri tekan pada telinga / rasa penuh pada telinga.
Kriteria lain dalam menegakkan rinosinusitis adalah berdasarkan European Position
Paper On Rhinosinusitis And Nasal Polyps (EPOS), 2007, maka panduan untuk
penatalaksanaan rhinosinusitis kronis pada orang dewasa bagi para dokter spesialis THT
adalah sebagai berikut :
Gejala dan tanda
- Gejala yang timbul lebih dari 12 minggu.
- Dua atau lebih gejala, salah satu yang seharusnya dijumpai adalah hidung tersumbat / pembengkakan / keluarnya cairan dari hidung ( cairan hidung yang menetes keluar bisa melalui anterior maupun posterior) :
a) ± disertai rasa sakit pada wajah / rasa tertekan pada wajah
b) ± berkurang / hilangnya penciuman
Berdasarkan anamnesis ada tanda-tanda alergi seperti : bersin , ingus yang cair,
hidung gatal dan mata gatal berair. Jika positif dijumpai tanda-tanda alergi tersebut maka
dilakukan tes alergi.
Sakit kepala merupakan salah satu tanda yang paling umum dan paling penting pada
sinusitis. Sakit kepala yang timbul merupakan akibat adanya kongesti dan edema di ostium
sinus dan sekitarnya. Sakit kepala yang bersumber dari sinus akan meningkat jika
14
membungkukkan badan dan jika badan tiba-tiba digerakkan. Sakit kepala ini akan menetap
saat menutup mata, saat istirahat atau saat berada di kamar gelap. Hal ini berbeda dengan
sakit kepala yang disebabkan oleh mata.
Nyeri yang sesuai dengan daerah sinus yang terkena dapat ada atau mungkin tidak.
Pada peradangan aktif sinus maksila atau frontal, nyeri biasanya sesuai dengan daerah yang
terkena. Pada sinus yang letaknya lebih dalam, nyeri terasa jauh di dalam kepala dan tak jelas
lokasinya. Pada kenyataannya peradangan pada satu atau semua sinus sering kali
menyebabkan nyeri di daerah frontal.
Gangguan penghidu (hiposmia) terjadi akibat sumbatan pada fisura olfaktorius di
daerah konka media. Pada kasus-kasus kronis, hal ini dapat terjadi akibat degenerasi filamen
terminal nervus olfaktorius, meskipun pada kebanyakan kasus, indera penghidu dapat
kembali normal setelah proses infeksi hilang.
Rinoskopi anterior
Pada pemeriksaan rinoskopi anterior dapat ditemukan tanda-tanda inflamasi yaitu
mukosa hiperemis, edema dan sekret mukopurulen yang terdapat pada meatus media.
Mungkin terlihat adanya polip menyertai rinosinusitis kronik.
Pemeriksaan nasoendoskopi
Pemeriksaan ini sangat dianjurkan karena dapat menunjukkan kelainan yang tidak
dapat terlihat dengan rinoskopi anterior, misalnya sekret purulen minimal di meatus media
atau superior, polip kecil, hipertrofi prosesus unsinatus, konka media bulosa, konka media
polipoid, konka media hipertrofi, konka inferior hipertrofi, post nasal drip dan septum
deviasi.
Pemeriksaan foto polos sinus
Foto polos sinus paranasal tidak sensitif dan mempunyai nilai yang terbatas pada
evaluasi rinosinusitis kronik. Foto polos yang biasa dilakukan adalah foto polos hidung dan
sinus paranasal posisi Water’s. Pada foto ini hanya tampak jelas sinus-sinus yang besar saja,
15
sedangkan daerah kompleks osteomeatal tidak jelas tampak. Air fluid level pada
rinosinusitis kronik tidak selalu dijumpai.
Pemeriksaan CT Scan
CT Scan yang biasa dilakukan adalah CT Scan sinus paranasal potongan koronal,
dimana dapat terlihat perluasaan penyakit di dalam rongga sinus dan kelainan di kompleks
osteomeatal. CT Scan dari rongga sinus dapat berguna untuk melakukan evaluasi pada kasus
rinosinusitis berulang, atau rinosinusitis dengan komplikasi dan pada pasien dengan
rinosinusitis kronik dan dipersiapkan untuk operasi. CT Scan memiliki spesifitas dan
sensitifitas yang tinggi. Sebaiknya pemeriksaan CT Scan dilakukan setelah pemberian terapi
antibiotik yang adekuat, agar proses inflamasi pada mukosa dieliminasi sehingga kelainan
anatomi dapat terlihat dengan jelas.
Penatalaksanaan
Alur penatalaksanaan RSK :
Gambar 8. Skema penatalaksanaan RSK tanpa Nasal Polip
16
Gambar 9. Skema penatalaksanaan RSK dengan Nasal Polip
Menurut guideline American Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery,
RSK harus diterapi dengan “terapi medis maksimal”. Terapi medis standar yang diberikan
meliputi medikasi topikal dan sistemik. Pembedahan dilakukan apabila terapi obat tidak
adekuat utuk mengontrol RSK.
Medikasi Topikal
1) Irigasi saline intranasal. Irigasi dengan larutan saline intranasal dapat membantu
untuk melunakkan sekret yang mengering, mengurangi edema mukosa dan
mengurangi viskositas sekret. Efek samping yang jarang terjadi antara lain hidung
terasa tidak nyaman, epistaksis, nyeri kepala dan otalgia. Tetapi secara keseluruhan
irigasi nasal masih dapat ditolerir. Beberapa penelitian mengenai penggunaan irigasi
nasal menunjukkan perbaikan kualitas hidup pada sebagian besar pasien RSK.
2) Steroid topikal. Steroid menurunkan viabilitas dan aktivasi eosinofil yang secara
tidak langsung menurunkan sekresi dari sitokin kemotaktik pada mukosa hidung dan
sel epitelial polip. Steroid topikal sinonasal digunakan untuk mencapai efek yang
maksimal pada level lokal dan meminimalisir efek sistemik. Saat ini steroid topikal
yang populer digunakan oleh para rhinologist untuk pasien RSK adalah nasal irigasi
dengan budesonide. Budesonide merupakan obat anti inflamasi steroid yang poten
dan ditolerir dengan baik oleh pasien.
17
Medikasi Sistemik
1) Oral steroid. Penelitian menunjukkan bahwa pemberian steroid oral
metilprednisolone 50 mg selama 14 hari terbukti meningkatkan kualitas hidup
pasien, tetapi banyak penelitian lain menemukan bahwa kortikosteroid sistemik
memiliki efek samping yang signifikan dimana efek samping ini akan meningkat
seiring dengan peningkatan dosis dan durasi pemberian obat. Pada pemberian
terapi steroid oral, pasien harus diberi penjelasan mengenai kemungkinan efek
negatif yang akan muncul setelah pemberian obat antara lain penurunan densitas
mineral tulang, hiperglikemi, peningkatan berat badan, pembentukan katarak lebih
dini, gangguan tidur dan gangguan kondisi psikiatrik.
2) Oral antibiotik. Antibiotik oral merupakan obat tersering yang diresepkan pasa
pasien RSK. Terapi antibiotik pada RSK dapat digunakan baik dalam jangka
waktu pendek atau panjang. Terapi jangka pendek didefinisikan sebagai durasi
penggunaan antibiotik kurang dari 4 minggu yang bertujuan untuk eradikasi
kuman, sebaliknya terapi jangka panjang digunakan untuk memberikan efek anti
inflamasi. First line drugs antibiotik yang digunakan untuk pasien RSK adalah
amoxicillin-clavulanate dan cephalosporin generasi 2 atau 3, sedangkan quinolon
digunakan sebagai second line drugs pada RSK. Pada pasien yang alergi terhadap
beta laktam, dapat diberikan obat golongan makrolid seperti azythromycin dan
clarythromycin.
Pembedahan
Pembedahan diindikasikan apabila terapi konservatif gagal. Tujuan dari tindakan
pembedahan adalah membersihkan mukosa, eliminasi infeksi, memperbaiki obstruksi
drainase, dan mengembalikan ventilasi. Indikasi absolut dari tindakan bedah adalah :
komplikasi orbital atau intrakranial, sukpek komplikasi sepsis atau terdapat proses keganasan.
Komplikasi
Komplikasi ini biasanya terjadi pada kasus rinosinusitis akut atau rinosinusitis kronis
dengan eksaserbasi akut. Komplikasi rinosinusitis sudah semakin jarang setelah pengobatan
antibiotik. Tetapi pada masyarakat dengan tingkat sosio-ekonomi rendah yang kurang gizi
18
dan tidak terjangkau oleh fasilitas kesehatan, komplikasi rinosinusitis lebih sering terjadi dan
dapat berakibat buruk misalnya sampai menjadi buta atau bahkan kematian. Komplikasi yang
terjadi dapat berupa :
1. Kelainan orbita. Infeksi dari sinus paranasal dapat meluas ke orbita secara langsung atau
melalui system vena yang tidak berkatup. Komplikasi orbita ini dapat berupa selulitis orbita
dan abses orbita. Gejalanya dapat dilihat sebagai pembengkakan kelopak mata, atau edema
merata di seluruh orbita, atau gangguan gerakan bola mata dan gangguan visus sampai jelas
adanya abses yang mengeluarkan pus. Pasien harus dirawat dan diberikan antibiotik dosis
tinggi intravena dan dirujuk ke dokter spesialis THT. Bila keadaan tidak membaik dalam 48
jam atau ada tanda-tanda komplikasi ke intrakranial, perlu dilakukan tindakan bedah.
2. Kelainan intrakranial. Dapat berupa meningitis, abses subdural, abses otak, trombosis
sinus kavernosus. Rongga sinus frontal, etmoid dan sfenoid hanya dipisahkan dengan fosa
kranii anterior oleh dinding tulang yang tipis sehingga infeksi dapat meluas secara langsung
melalui erosi pada tulang. Penyebaran infeksi dapat juga melalui sistem vena. Sinusitis
maksila karena infeksi gigi sering menyebabkan abses intrakranial. Bila ada komplikasi
intrakranial gejalanya dapat terlihat sebagai kesadaran yang menurun atau kejang-kejang.
Pasien perlu dirawat dan diberikan antibiotik dosis tinggi secara intravena dan hal ini
merupakan indikasi untuk tindakan operasi.
3. Mukokel (kista). Bila saluran keluar sinus tersumbat dapat timbul mukokel. Sering timbul
di sinus frontal meskipun dapat juga terjadi di sinus maksila, etmoid atau sfenoid. Di dalam
mukokel terjadi pengumpulan lendir yang steril yang kemudian menjadi kental. Mukokel
dapat menjadi besar dan mendesak organ disekitarnya terutama orbita. Mukokel
menimbulkan gejala sakit kepala dan pembengkakan di atas sinus yang terkena.
Pencegahan
Secara umum, pencegahan terhadap faktor risiko dapat membantu menghindari
komplikasi RSK. Termasuk pencegahan terhadap polutan lingkungan, asap rokok, dan
serangan ISPA berulang. Serangan akut rhinosinusitis harus dikelola secara optimal untuk
mencegah penyakit menjadi kronis. Vaksin influenza dan pneumokokkus juga dapat
mencegah ISPA dan rhinosinusitis.
19
Prognosis
Karena sifatnya yang persisten, RSK menyebabkan morbiditas yang sangat signifikan.
Apabila RSK tidak diterapi dengan baik, dapat menurunkan kualitas hidup dan produktivitas
pasien. RSK juga dihubungkan dengan komplikasi serius antara lain abses otak dan
meningitis yang dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas secara signifikan. Pengobatan
medis secara dini dan agresif memberikan hasil yang memuaskan pada pasien RSK.
20