Post on 06-Mar-2019
39
IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Keadaan Umum Daerah Penelitian
4.1.1 Administratif Daerah
Desa Cilembu merupakan desa yang terletak di Kecamatan Pamulihan,
Kabupaten Sumedang yang memiliki luas wilayah sebesar 352,5 Ha. Desa
Cilembu terdiri dari 11 Rukun Warga (RW) dan 33 Rukun Tetangga (RT). Desa
Cilembu secara geografis memiliki ketinggian tanah 986 m dari permukaan laut,
curah hujan sebesar 1700 mm/tahun, dan secara topografi Desa Cilembu
merupakan daerah perbukitan yang memiliki suhu udara rata-rata 22oC. Desa
Cilembu secara orbitasi memiliki jarak dari pusat kecamatan sejauh 5 Km, jarak
dari ibu kota kabupaten/kodya DT.II sejauh 25 Km, jarak dari ibu kota propinsi
sejauh 45 Km, dan jarak dari ibu kota negara sejauh 240 Km. Secara administratif
Desa Cilembu memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut :
Sebelah utara : Desa Cigendel
Sebelah selatan : Desa Mekar Bakti
Sebelah barat : Desa Haur Ngombong
Sebelah timur : Desa Cimarias
4.1.2 Keadaan Penduduk Desa Cilembu
Menurut sensus terakhir tahun 2014, jumlah penduduk Desa Cilembu
sebanyak 5365 orang, dengan jumlah laki-laki 2704 orang dan jumlah perempuan
2661 orang. Jumlah penduduk Desa Cilembu menurut tingkat pendidikan
sebanyak 2744 orang merupakan lulusan pendidikan umum dan sebanyak 40
orang merupakan lulusan pendidikan khusus. Keadaan penduduk Desa Cilembu
berdasarkan mata pencaharian dapat dilihat pada Tabel 3.
40
40
Tabel 3. Mata Pencaharian Penduduk di Desa Cilembu
No. Jenis Mata Pencaharian Jumlah
Orang %
1. Pegawai Negeri Sipil 33 2,07
2. ABRI 7 0,44
3. Swasta 204 12,77
4. Wiraswasta 350 21,90
5. Tani 325 20,34
6. Pertukangan 250 15,64
7. Buruh Tani 350 21,90
8. Pensiunan 32 2,00
9. Jasa 47 2,94
Jumlah 1598 100,00
(Sumber : Profil Desa Cilembu, 2014)
Berdasarkan data Tabel 3, mayoritas penduduk Desa Cilembu memiliki
mata pencaharian dalam bidang pertanian dan wiraswasta. Mata pencaharian
penduduk Desa Cilembu dalam bidang pertanian ditunjukkan oleh penduduk yang
berprofesi sebagai buruh tani maupun petani yang bertani ubi dan tanaman
palawija seperti jagung dan padi. Ketersediaan sumberdaya alam yang baik seperti
lahan dan iklim yang mendukung untuk didirikannya suatu pertanian menjadi
salah satu alasan mengapa mayoritas penduduk di Desa Cilembu memiliki profesi
di bidang pertanian. Penduduk di Desa Cilembu yang berprofesi sebagai
wiraswasta, lebih terkonsentrasi pada wiraswasta peternakan. Banyak ditemukan
penduduk yang berprofesi lebih dari satu mata pencaharian, contohnya seperti
petani sekaligus sebagai peternak.
4.1.3 Keadaan Peternakan Desa Cilembu
Desa Cilembu merupakan salah satu daerah yang potensial untuk
didirikannya suatu usaha peternakan, hal tersebut didukung oleh kepemilikan
lahan yang cukup luas, selain itu wilayah Desa Cilembu memiliki iklim yang
41
41
mendukung. Keadaan populasi ternak tahun 2014 di Desa Cilembu Kecamatan
Pamulihan ditunjukkan pada Tabel 4.
Tabel 4. Populasi Ternak Tahun 2014 di Desa Cilembu
No. Jenis Ternak Jumlah (Ekor)
Jantan Betina
1. Ayam Buras 3500 5000
2. Ayam Pedaging 0 50000
3. Itik 10 50
4. Sapi Perah 80 475
5. Sapi Potong 10 30
6. Kerbau 3 0
7. Kambing 20 25
8. Domba 270 650
(Sumber : Data Perkembangan Sub Sektor Pertanian Desa Cilembu, 2014)
Berdasarkan data Tabel 4, Desa Cilembu merupakan wilayah yang
memiliki usaha peternakan yang beragam. Hal tersebut ditunjukkan oleh
banyaknya penduduk desa yang bermata pencaharian sebagai wiraswasta
(peternak). Jumlah populasi ternak terbanyak di Desa Cilembu adalah ternak
ayam pedaging, ayam buras, domba, dan sapi perah. Lingkup alam Desa Cilembu
seperti lahan yang luas serta iklim yang mendukung, menjadikan Desa Cilembu
sebagai desa yang potensial dalam hal usaha peternakan. Potensi peternakan yang
dimiliki Desa Cilembu harus dapat dimanfaatkan, sehingga usaha peternakannya
dapat lebih berkembang.
4.2 Profil Kelompok Peternak Lembusari
Kelompok peternak Lembusari merupakan salah satu kelompok peternak
sapi perah yang tergabung sebagai anggota KSU Tandangsari. Kelompok peternak
Lembusari berdiri pada tahun 1990 dan terdiri dari 1 sub kelompok yaitu sub
Lembusari dengan jumlah anggota sebanyak 40 orang. Saat ini kelompok
peternak Lembusari terdiri dari 4 sub kelompok yaitu sub Lembusari 1, Lembusari
42
42
2, Lebak Jawa dan Dangdangsari. Saat ini, jumlah peternak sapi perah yang
tergabung sebagai anggota kelompok Lembusari sebanyak 92 orang.
Kelompok peternak Lembusari merupakan salah satu kelompok peternak
yang menghasilkan kualitas susu yang sangat baik. Hal tersebut ditunjukkan
dengan harga jual susu yang cukup tinggi, dengan kisaran harga susu Rp 4.000 –
Rp 4.500 per liter. Kegiatan harian yang dilaksanakan oleh anggota kelompok
peternak Lembusari yaitu penyetoran susu setiap pagi dan sore hari. Kegiatan
kelompok seperti rapat anggota dilaksanakan setiap enam bulan sekali yang
dilakukan di balai desa. Sementara itu, rapat pengurus kelompok tidak rutin
dilaksanakan dalam jangka waktu tertentu. Kelompok peternak Lembusari dapat
dikatakan mandiri dalam hal kesejahteraan anggotanya, hal ini dikarenakan
adanya iuran anggota sehingga dapat dipergunakan sebagai sarana simpan pinjam
anggota serta pemberian dana sumbangan terhadap anggota yang mengalami
musibah. Prestasi yang pernah diraih oleh kelompok peternak Lembusari salah
satunya mendapatkan hibah sapi perah sebagai bentuk penghargaan koperasi
terhadap kinerja kelompok yang memiliki kualitas susu yang sangat baik diantara
kelompok peternak lain yang tergabung di KSU Tandangsari. Kelompok peternak
Lembusari memiliki struktur organisasi yang baik dan jelas dalam pembagian
tatalaksana kegiatannya. Struktur organisasi di kelompok peternak Lembusari
terbagi ke dalam dua kepengurusan, yaitu kepengurusan inti dan kepengurusan
tiap sub. Struktur organisasi kelompok peternak Lembusari ditunjukkan pada
Ilustrasi 2.
43
43
STUKTUR ORGANISASI
KELOMPOK PETERNAK LEMBUSARI
MASA BAKTI 2013 – 2016
Ilustrasi 2. Struktur Organisasi Kelompok Peternak Lembusari Masa Bakti Tahun 2013 – 2016
Ketua Umum
Endang Atik
Sub Lembusari 1
Ketua : Tatang
Bendahara : Rohana
Sub Lembusari 2
Ketua : Entis
Bendahara : Mulyadi
Sub Lebak Jawa
Ketua : Endang
Bendahara : Ade. R.
Sub Dangdangsari
Ketua : Undang
Bendahara : Ujang
Penasehat
Oyon
Seksi Pakan
Cucu Sukarna
Tester
Didi
44
44
4.3 Identitas Responden
Responden yang dijadikan sampel pada penelitian ini sebanyak 34 orang
peternak sapi perah yang tergabung dalam kelompok Lembusari yang berada di
Desa Cilembu, Kecamatan Pamulihan, Kabupaten Sumedang dan merupakan
anggota aktif KSU Tandangsari. Karakteristik responden dibagi ke dalam tiga
karakteristik, yaitu: usia, tingkat pendidikan, dan pengalaman beternak.
4.3.1 Usia Responden
Usia pada dasarnya dapat mempengaruhi produktivitas kinerja seseorang.
Umumnya semakin tua usia seseorang maka semakin menurun kondisi fisiknya
sehingga berimplikasi terhadap menurunnya produktivitas. Usia responden pada
penelitian ini bervariasi dari antara 25-62 tahun. Seluruh responden yang
berjumlah 34 orang dalam penelitian ini, tergolong ke dalam usia produktif.
Keadaan tersebut tentunya sangat menguntungkan bagi kelangsungan usaha
ternak yang dimiliki karena responden mampu mencurahkan tenaga dan pikiran
terhadap usaha ternaknya. Selain itu, usia yang produktif dapat mendorong
responden untuk memaksimalkan potensi dan mengembangkan usaha ternaknya
seperti penambahan jumlah ternak produktif dan peningkatkan produktivitas
ternaknya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Nurhasikin dalam bpskepri (2013)
bahwa terdapat tiga kelompok umur, yaitu umur belum produktif (<15 tahun),
umur produktif (15-64 tahun), dan umur tidak produktif (>64 tahun). Usia
produktif mampu mendukung kinerja yang dimiliki seseorang, karena mereka
cenderung memiliki tenaga yang memadai dan etos kerja yang tinggi, serta lebih
terbuka terhadap penerimaan informasi dan inovasi terbaru, serta penduduk yang
produktif akan membantu dalam kelancaran segi perekonomian dan pembangunan
dalam satu wilayah.
45
45
4.3.2 Tingkat Pendidikan Responden
Pola pikir dan daya tangkap informasi dan inovasi yang dimiliki seseorang
pada dasarnya dibentuk melalui pendidikan. Tingkat pendidikan responden pada
penelitian ini bervariasi mulai dari tamat Sekolah Dasar (SD) hingga tamat
Sekolah Menengah Pertama (SMP). Tingkat pendidikan responden ditunjukkan
pada Tabel 5.
Tabel 5. Tingkat Pendidikan Responden
No. Pendidikan Jumlah
Orang %
1. SD 33 97,05
2. SMP 1 2,95
Jumlah 34 100,00
Berdasarkan data Tabel 5, hampir seluruh responden (97,05%) dalam
penelitian ini memiliki tingkat pendidikan rendah yaitu hingga jenjang Sekolah
Dasar (SD) dengan persentase sebesar 97,05% dan hanya satu orang responden
dengan tingkat pendidikan hingga jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP).
Rendahnya tingkat pendidikan responden disebabkan oleh berbagai faktor, namun
salah satu faktor yang cukup mempengaruhi adalah keadaan ekonomi yang
terbatas, sehingga responden tidak mampu untuk melanjutkan pendidikan ke
jenjang yang lebih tinggi. Mubyarto (1986) menyatakan bahwa, semakin tinggi
tingkat pendidikan maka pengetahuan dan cara berpikir akan bertambah luas.
Rendah atau tingginya tingkat pendidikan responden, akan berpengaruh terhadap
proses penerimaan informasi dan inovasi, sehingga apabila pendidikannya
semakin tinggi maka informasi dan inovasi yang diterima dapat lebih mudah
dipahami.
46
46
4.3.3 Pengalaman Beternak
Pengalaman beternak akan berpengaruh terhadap berjalannya usaha ternak
yang dimiliki, terutama dalam hal tingkat pengetahuan tatalaksana beternak dan
tingkat antisipasi apabila terjadi hambatan dalam menjalankan usahanya.
Pengalaman beternak responden dalam penelitian ini mayoritas sudah cukup lama
sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 6.
Tabel 6. Pengalaman Beternak Responden
No. Pengalaman Beternak
Responden (Tahun)
Jumlah
Orang %
1. <5 0 0,00
2. 5-10 1 2,95
3. >10 33 97,05
Jumlah 34 100,00
Berdasarkan data Tabel 6, responden yang memiliki pengalaman beternak
selama 5-10 tahun adalah sebesar 2,95%, sedangkan responden yang memiliki
pengalaman beternak >10 tahun sebesar 97,05%. Tingkat pengalaman beternak
yang tinggi, menunjukkan bahwa responden sangat berpengalaman dalam
menjalankan usaha ternak sapi perah. Pengalaman beternak dapat dijadikan
sebagai sarana belajar dan bertukar informasi antara peternak satu dengan lainnya,
sehingga usaha ternak sapi perah yang dimiliki akan semakin berkembang.
4.4 Skala Kepemilikan Ternak
Skala kepemilikan didefinisikan sebagai jumlah kepemilikan ternak.
Jumlah kepemilikan sapi perah merupakan indikator keberhasilan suatu usaha
peternakan sapi perah (Murwanto, 2008). Meningkatnya jumlah ternak produktif
yang dimiliki, akan meningkatkan jumlah produksi susu, sehingga akan
berdampak terhadap pendapatan peternak. Skala kepemilikan ternak responden
pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 7.
47
47
Tabel 7. Persentase Kategori Skala Kepemilikan Ternak
No. Kategori Skala
Kepemilikan Ternak
Ternak Produktif Jumlah
Ekor Orang %
1. Kecil 1-3 18 52,94
2. Menengah 4-6 12 35,30
3. Besar ≥ 7 4 11,76
Jumlah 34 100,00
Berdasarkan data pada Tabel 7, skala kepemilikan ternak sapi perah
produktif responden sebagian besar berada pada skala kecil dengan persentase
sebesar 52,94%, responden berskala menengah sebesar 35,30%, dan sebesar
11,76% termasuk ke dalam skala besar. Kepemilikan ternak produktif tersebut
akan berpengaruh secara langsung pada total produksi susu yang dihasilkan oleh
para peternak dan akan berakibat terhadap tingkat pendapatan ekonomi
responden.
Skala usaha ternak yang kecil dapat disebabkan terbatasnya lahan, modal,
dan terbatasnya kemampuan responden untuk meningkatkan skala usahanya.
Sementara itu, hanya sebagian kecil responden yang memiliki jumlah ternak
produktif diatas 7 ekor. Responden yang memiliki ternak produktif diatas 7 ekor,
telah mampu untuk menjalankan manajemen usaha ternak yang baik, sehingga
produktivitas ternaknya terus meningkat dan perlahan pendapatannya semakin
bertambah yang pada akhirnya diinvestasikan dalam bentuk kepemilikan ternak
yang bertambah banyak.
Kepemilikan ternak sapi perah produktif yang sebagian besar berskala
kecil, lebih dipengaruhi oleh kemampuan responden dalam manajemen usaha
serta terbatasnya modal untuk meningkatkan skala usahanya. Hal tersebut sesuai
dengan pernyataan Taslim (2011) yang menyatakan bahwa, skala kepemilikan
sapi perah dibawah 7 ekor per peternak hasilnya tidak optimal dengan
produktivitas rendah berakibat kehidupan peternak yang stagnan, bahkan tidak
dapat mencukupi kebutuhan hidupnya.
48
48
4.5 Tingkat Kebutuhan Informasi Peternak
Peternak sapi perah dalam melakukan pekerjaannya akan menemui suatu
masalah dalam aktivitas kegiatan beternak sehari-hari, akan tetapi karena
keterbatasan pengetahuan yang dimiliki ini menjadi suatu kesenjangan.
Kebutuhan informasi muncul akibat kesenjangan pengetahuan yang ada dalam
diri seseorang dengan kebutuhan informasi yang diperlukan. Kondisi kesenjangan
tersebut mendorong orang untuk mencari informasi guna mengatasi permasalahan
yang dihadapinya.
Secara umum, kebutuhan informasi peternak terhadap informasi sapta
usaha peternakan yang paling tinggi berturut-turut yaitu mengenai informasi
pakan, pemasaran, serta bibit dan reproduksi. Informasi pakan serta bibit dan
reproduksi, dibutuhkan untuk menunjang produktivitas ternak dan regenerasi
ternak yang baik. Sementara itu, informasi pemasaran dibutuhkan dengan tujuan
mendapatkan keuntungan yang diharapkan oleh peternak atas penjualan hasil
ternaknya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebutuhan informasi sapta usaha
peternakan responden sebagian besar berada di kategori sedang dan rendah,
terutama mengenai informasi pemeliharaan, perkandangan, pengendalian
penyakit, dan informasi pasca panen.
Kebutuhan informasi peternak berskala kecil didominasi oleh informasi
mengenai pakan, pemeliharaan, dan pengendalian penyakit. Informasi pakan yang
paling dibutuhkan yaitu mengenai harga dan ketersediaan pakan. Informasi
pemeliharaan yang paling dibutuhkan yaitu informasi tatacara membersihkan
kandang. Informasi pengendalian penyakit yang paling dibutuhkan yaitu
mengenai penyakit milk fever dan mastitis. Hal tersebut diduga karena peternak
mengharapkan ternaknya tetap produktif dan terhindar dari penyakit yang mampu
merugikan peternak berskala kecil dan menghambat laju usahanya.
Kebutuhan informasi peternak berskala menengah didominasi oleh
informasi mengenai pakan, pemasaran, dan bibit dan reproduksi. Informasi pakan
yang paling dibutuhkan yaitu mengenai ketersediaan dan kandungan nutrisi
49
49
pakan. Informasi pemasaran yang paling dibutuhkan yaitu mengenai penjualan
susu seperti harga standar susu dan standar kualitas susu. Informasi bibit dan
reproduksi yang paling dibutuhkan yaitu mengenai pemilihan bibit dan penangan
estrus/birahi. Hal tersebut diduga karena peternak berskala menengah
menginginkan agar usaha ternaknya dapat terus berkembang, sehingga fondasi
usaha yang telah terbentuk seperti kepemilikan ternak dapat terus dikembangkan
dengan cara menjaga produktivitas ternak, melakukan seleksi bibit yang baik,
serta melakukan pemasaran atas hasil ternaknya.
Kebutuhan informasi peternak berskala besar didominasi oleh informasi
mengenai pemasaran dan pakan. Informasi pemasaran yang dibutuhkan yaitu
mengenai penjualan susu terutama tingkat harga susu di koperasi dan konsumen
serta harga standar susu. Informasi pakan yang dibutuhkan yaitu mengenai
kandungan nutrisi pakan, bahan penyusun pakan, dan harga pakan. Hal tersebut
diduga karena peternak berskala besar lebih berorientasi terhadap kelangsungan
usahanya melalui pemasaran hasil usaha ternaknya dan menjaga produktivitas
ternaknya tetap tinggi melalui pakan yang diberikan. Namun demikian, umumnya
kebutuhan informasi peternak berada pada kategori sedang dan rendah. Uraian
lebih jelasnya dijelaskan pada Tabel 8.
Tabel 8. Persentase Tingkat Kebutuhan Informasi
No. Uraian Kategori
Tinggi Sedang Rendah
…%...
1. Bibit dan Reproduksi 8,83 79,41 11,76
2. Pakan 55,88 35,30 8,82
3. Pemeliharaan 2,94 29,41 67,65
4. Perkandangan 0,00 20,59 79,41
5. Pengendalian Penyakit 0,00 32,35 67,65
6. Pasca Panen 0,00 29,41 70,59
7. Pemasaran 52,94 47,06 0,00
Tingkat Kebutuhan Informasi 0,00 44,12 55,88
50
50
Berdasarkan data pada Tabel 8, tingkat kebutuhan informasi responden
pada informasi bibit dan reproduksi berada pada kategori sedang dengan
persentase sebesar 79,41%, kebutuhan informasi pakan berada pada kategori
tinggi dengan persentase 55,88%, kebutuhan informasi pemeliharaan sebagian
besar berada pada kategori rendah dengan persentase 67,65%, kebutuhan
informasi perkandangan sebagian besar berada pada kategori rendah dengan
persentase 79,41%, kebutuhan informasi pengendalian penyakit berada pada
kategori rendah dengan persentase 67,65%, kebutuhan informasi pasca panen
berada pada kategori rendah dengan persentase 70,59%, dan kebutuhan informasi
pemasaran sebagian besar berada pada kategori tinggi dengan persentase sebesar
52,94%.
Kebutuhan informasi bibit dan reproduksi sebagian besar berada pada
kategori sedang (79,41%), sebagian kecil lainnya berada pada kategori rendah
dengan persentase 11,76%, dan kategori tinggi dengan persentase 8,83%. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa responden cukup antusias dalam membutuhkan
informasi bibit dan reproduksi yang meliputi informasi mengenai pemilihan bibit,
cara pembibitan, dan penanganan estrus/birahi. Pada aspek pemilihan bibit,
mayoritas responden membutuhkan informasi pada ciri-ciri bibit yang baik dan
silsilah bibit. Hal tersebut dikarenakan pada manajemen usaha peternakan yang
dimiliki, bibit yang baik dapat ditunjukkan dengan ciri-ciri fisiknya. Silsilah bibit
juga turut menentukan tingkat produktivitas dan kualitas bibit tersebut. Pada
aspek cara pembibitan, mayoritas responden membutuhkan informasi mengenai
Inseminasi Buatan (IB), meskipun telah sering dilakukan oleh responden dalam
membibitkan ternaknya, informasi IB masih dibutuhkan karena dianggap paling
mudah dan minim resiko dibandingkan cara pembibitan lain. Pada aspek
penanganan estrus/birahi, sebagian besar responden membutuhkan informasi
mengenai kelainan pada siklus birahi. Seringkali kelainan pada siklus birahi yang
ditemukan adalah tidak terlihatnya ciri-ciri birahi pada ternak, sehingga
menyebabkan hewan ternak gagal di IB, dan responden mengalami kerugian
karena ternaknya harus menunggu di IB pada periode birahi selanjutnya.
51
51
Kebutuhan informasi pakan sebagian besar berada pada kategori tinggi
(55,88%), sementara itu sebagian kecil lainnya berada pada kategori sedang
dengan persentase 35,30%, dan kategori rendah dengan persentase 8,82%. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa responden sangat antusias mengenai informasi
pakan yang meliputi informasi pada aspek pemberian hijauan pada ternak, aspek
pemberian konsentrat pada ternak, dan aspek jumlah pemberian hijauan dan
konsentrat pada ternak. Pada aspek pemberian hijauan pada ternak, mayoritas
responden membutuhkan informasi mengenai ketersediaan hijauan dan jenis
hijauan yang diberikan pada ternak. Hal tersebut dikarenakan responden
beranggapan semakin sulitnya mendapatkan hijauan untuk pakan ternak dengan
kualitas yang baik terutama pada saat musim kemarau. Hijauan untuk pakan
ternak biasanya didapatkan dari kebun, dengan jenis hijauan rumput gajah yang
disukai ternak dan baik untuk produktivitas ternak. Pada aspek pemberian
konsentrat pada ternak, responden membutuhkan informasi mengenai harga
konsentrat dan bahan pakan penyusun konsentrat. Harga konsentrat menjadi
perhatian responden dikarenakan pengaruh konsentrat masih belum begitu terasa
bagi peningkatan produksi susu yang dihasilkan, meskipun konsentrat yang
digunakan adalah kualitas super yang harganya lebih tinggi daripada konsentrat
kualitas reguler. Informasi bahan pakan penyusun konsentrat juga dibutuhkan
responden, karena selama ini konsentrat yang didapatkan masih harus diberi
pakan tambahan berupa kulit singkong ataupun jagung, demi meningkatkan
produksi ternak. Pada aspek jumlah pemberian hijauan dan konsentrat pada
ternak, mayoritas responden membutuhkan informasi mengenai kondisi fisiologis
ternak (umur, produksi susu, dan bobot badan) dan ketersediaan hijauan maupun
konsentrat. Hal tersebut dikarenakan selama ini responden memberikan pakan
kepada ternak, hanya dengan cara menakar tanpa memperhatikan kondisi
fisiologis ternaknya, sehingga seringkali pakan yang diberikan tidak mampu
menunjang produktivitasnya. Informasi ketersediaan hijauan dan konsentrat juga
dibutuhkan responden, dikarenakan semakin sulitnya mendapatkan hijauan yang
berkualitas baik dalam jumlah yang banyak untuk diberikan pada ternak.
52
52
Kebutuhan informasi pemeliharaan responden berada pada kategori rendah
(67,65%), sedangkan pada kategori sedang sebesar 29,41%, dan kategori tinggi
dengan persentase 2,94%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden masih
kurang antusias terhadap informasi pemeliharaan, yang meliputi aspek
membersihkan sapi, aspek membersihkan kandang, aspek pemerahan, dan aspek
pencatatan (recording). Pada informasi aspek membersihkan sapi, responden
hanya membutuhkan informasi mengenai bagian-bagian tubuh sapi yang wajib
dibersihkan. Hal tersebut dikarenakan responden telah mengetahui dan
berpengalaman dalam membersihkan sapi, terutama dalam frekuensi memandikan
sapi. Pada aspek membersihkan kandang, responden membutuhkan informasi
pada bagian-bagian kandang yang wajib dibersihkan dan cara membersihkan
kandang. Informasi tersebut dibutuhkan karena selama ini mayoritas responden
hanya membersihkan kandang pada bagian lantai saja, dan seringkali tidak
membersihkan dinding kandang. Informasi cara membersihkan kandang juga
dibutuhkan responden, hal ini dikarenakan responden hanya membersihkan
kandang dengan cara mengeruk kotoran dari lantai, hal ini tidak sesuai dengan
pernyataan Makin (2011), yang menyatakan bahwa dalam membersihkan
kandang, kandang harus dibersihkan dengan cara disemprotkan air bertekanan
tinggi. Pada aspek pemerahan, responden membutuhkan informasi mengenai
pemeriksaan kesehatan dan kebersihan sapi, pemerah, dan alat pemerah. Informasi
tersebut dibutuhkan karena meskipun responden telah sering melakukan
pemeriksaan kesehatan dan kebersihan sebelum diperah seperti mengelap ambing
dengan air hangat, ternak masih seringkali terserang penyakit. Sementara itu,
informasi mengenai frekuensi pemerahan dan teknik pemerahan tidak begitu
diperlukan responden karena dalam beternak sehari-hari, responden telah
menguasai teknis pemerahan seperti yang dinyatakan Makin (2011), yaitu
pemerahan dua kali sehari dan diperah dengan menggunakan lima jari (legeartes).
Pada aspek pencatatan (recording), responden mayoritas membutuhkan informasi
mengenai pencatatan jumlah produksi per hari, pencatatan jumlah pakan yang
diberikan pada ternak per hari, dan pencatatan identifikasi induk dan anak.
53
53
Informasi pencatatan jumlah produksi per hari dibutuhkan responden karena
selama ini responden tidak melakukan pencatatan pribadi. Pencatatan jumlah
produksi hanya dilaksanakan oleh petugas koperasi yang dilakukan saat menyetor
susu, selain itu tidak adanya fasilitas berupa buku catatan produksi yang diberikan
oleh koperasi kepada responden, menyulitkan responden untuk melakukan
pencatatan jumlah produksi. Informasi pencatatan jumlah pakan yang diberikan
juga dibutuhkan oleh responden. Pakan yang diberikan seringkali hanya ditakar
tanpa ada catatan pemberian pakan harian. Pencatatan jumlah pakan yang
diberikan akan memudahkan responden dalam beternak, karena dengan adanya
catatan tersebut, responden dapat mengetahui seberapa banyak ternaknya
menghabiskan pakan yang diberikan setiap harinya, selain itu catatan juga
berfungsi agar responden dapat mengetahui pakan yang harus disediakan pada
hari-hari berikutnya. Informasi pencatatan identifikasi induk dan anak dibutuhkan
responden karena akan memudahkan dalam mengidentifikasi ternak yang
dimiliki, sehingga dapat memberikan kemudahan saat akan melakukan
perkawinan maupun saat seleksi calon bibit sapi perah yang kualitasnya baik serta
produktivitasnya tinggi.
Kebutuhan informasi perkandangan responden berada pada kategori
rendah (79,41%), dan 29,41% berada pada kategori sedang. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa responden kurang antusias terhadap informasi perkandangan
yang meliputi aspek tipe kandang, aspek persyaratan kandang, dan aspek
peralatan kandang. Pada aspek tipe kandang, hampir seluruh responden
membutuhkan informasi mengenai tipe kandang konvensional dan kurang tertarik
terhadap tipe kandang lain seperti tipe loose housing atau tipe free stall system.
Hal tersebut dikarenakan responden menganggap bahwa kandang konvensional
yang mereka miliki, sudah dirasakan cukup dalam kegiatan beternak. Selain itu,
responden kurang membutuhkan informasi mengenai tipe kandang lain karena
apabila responden berniat untuk merenovasi kandangnya menjadi lebih modern,
maka responden tersebut harus menjual salah satu sapi yang dimiliki, hal
demikian dirasa kurang menguntungkan karena produktivitas sapi perah yang
54
54
dimiliki pun masih rendah. Pada aspek persyaratan kandang, pada dasarnya
responden telah memenuhi persyaratan kandang dengan baik seperti letak
kandang yang jauh dari pemukiman penduduk, memiliki ventilasi, masuk sinar
matahari, lantai kandang yang keras dan tidak licin, serta konstruksi kokoh, hanya
saja beberapa responden masih belum memiliki drainase kandang dan tempat
penampung kotoran. Dua informasi tersebut yang paling dibutuhkan oleh
responden terutama pada informasi tempat penampung kotoran, karena masalah
keterbatasan lahan yang dimiliki, sehingga belum memiliki tempat penampung
kotoran. Tempat penampung kotoran sendiri berguna sebagai tempat
menampungnya kotoran ternak, sehingga kotoran tersebut terkonsentrasi dalam
satu tempat dan dapat mengurangi pencemaran lingkungan. Sistem drainase atau
pengaliran air diperlukan agar kotoran mudah dibersihkan dan air buangan
mengalir lancar. Pada aspek peralatan kandang, sebagian besar responden
membutuhkan informasi akan peralatan dasar kandang (milk can, lap, ember,
saringan, sapu lidi, sikat, tali, dan sekop). Hal tersebut sesuai dengan pernyataan
Fauzi (2015) yang menyatakan, peralatan kandang yang perlu disiapkan antara
lain tempat pakan dan minum serta alat pembersih kandang seperti sapu lidi dan
ember. Selain itu, informasi peralatan dasar kandang dibutuhkan karena sesuai
dengan keadaan kandang, jumlah ternak, serta skala usaha yang dimiliki.
Responden kurang membutuhkan informasi mengenai peralatan modern seperti
mesin pemerah susu otomatis karena harga mesin perah yang mahal dan masih
dirasa mampu untuk memerah sapi menggunakan tangan.
Kebutuhan informasi pengendalian penyakit responden berada pada
kategori rendah (67,65%), dan 32,35% pada kategori sedang. Rendahnya
kebutuhan informasi pengendalian penyakit menunjukkan bahwa responden
kurang antusias terhadap informasi pengendalian penyakit yang mencakup aspek
pengetahuan penyakit ternak dan aspek pencegahan dan penanggulangan
penyakit. Pada aspek pengetahuan penyakit ternak, mayoritas responden
membutuhkan informasi mengenai penyakit milk fever, penyakit mastitis, dan
penyakit bloat (kembung). Ketiga penyakit ini merupakan jenis penyakit yang
55
55
paling banyak menyerang hewan ternak yang dimiliki responden. Informasi
dibutuhkan karena seringkali responden hanya memanggil keswan dari koperasi
apabila ternaknya terserang penyakit. Penyakit milk fever atau di kalangan
responden disebut dengan roboh merupakan penyakit yang menyerang sapi perah
karena kekurangan kadar kalsium dalam darah, sehingga mengakibatkan sapi
lemah kemudian tidak sanggup lagi untuk berdiri. Penyakit mastitis yaitu penyakit
radang ambing yang disebabkan ambing terinfeksi mikroorganisme akibat
kurangnya menjaga kebersihan pada ambing atau terlalu keras saat memerah sapi.
Bloat (kembung) merupakan penyakit yang disebabkan oleh pemberian hijauan
yang masih basah kepada ternak sehingga mengakibatkan ternak mengalami
kembung. Pada aspek pencegahan dan penanggulangan penyakit, responden
membutuhkan informasi mengenai vaksinasi, pemberian antibiotik, dan
memotong kuku ternak. Informasi vaksinasi dan pemberian antibiotik dibutuhkan
agar responden mengetahui obat yang tepat untuk mengatasi penyakit yang
menyerang ternak, karena selama ini vaksinasi dan pemberian antibiotik hanya
diberikan oleh koperasi apabila ternak terserang penyakit melalui perantara
keswan. Informasi memotong kuku ternak dibutuhkan oleh responden karena
ternak yang dimiliki, sebagian besar belum pernah dipotong kukunya. Selain itu,
keterbatasan pengetahuan mengenai cara dan alat yang digunakan dalam
memotong kuku ternak menyebabkan responden tidak pernah memotong kuku
ternaknya. Pemotongan kuku ternak hanya dilakukan apabila petugas keswan
koperasi mengontrol kesehatan ternak.
Kebutuhan informasi pasca panen responden berada pada kategori rendah
(70,59%) dan 29,41% berada di kategori sedang. Rendahnya kebutuhan informasi
pasca panen menunjukkan bahwa responden kurang antusias terhadap informasi
pasca panen yang mencakup aspek pengolahan susu, aspek sarana pengolah susu,
aspek pengemasan susu, dan aspek pemanfaatan limbah. Pada aspek pengolahan
susu, informasi yang paling dibutuhkan responden adalah informasi mengenai
pengolahan susu menjadi produk olahan seperti yoghurt, es krim, keju, dan
sebagainya. Informasi tersebut dibutuhkan karena pada dasarnya responden hanya
56
56
mampu mengolah susu dengan sederhana seperti dihangatkan atau didinginkan.
Responden mengetahui informasi pengolahan susu dari penyuluhan yang
diberikan pihak koperasi atau pihak pengurus kelompok, namun belum mampu
mengolah susu menjadi produk olahan karena susu yang didapatkan biasanya
langsung disetorkan ke pihak koperasi, sehingga jarang sekali responden
melakukan pengolahan susu. Selain itu, adanya keterbatasan ekonomi dan
rendahnya skala usaha yang dimiliki menyebabkan responden belum mampu
membeli bahan-bahan dan alat yang digunakan untuk mengolah susu seperti
mesin pengolahan UHT (Ultra High Temperature) atau mesin pembuat susu
bubuk. Pada aspek sarana pengolah susu, sebagian besar responden membutuhkan
informasi mengenai cooling unit yaitu alat untuk menampung dan menyimpan
susu segar dalam kondisi dingin. Informasi tersebut dibutuhkan karena alat seperti
cooling unit dianggap mampu membantu jalannya usaha yang dimiliki.
Responden membutuhkan informasi mengenai cooling unit untuk digunakan
secara bersama-sama, artinya responden mengumpulkan iuran untuk membeli alat
tersebut dan dijadikan sebagai inventaris kelompok. Hal tersebut dilakukan karena
responden belum mampu untuk membelinya secara perorangan. Pada aspek
pengemasan susu, pada dasarnya responden jarang melakukan pengemasan
terhadap susu hasil produksinya. Namun beberapa responden terutama responden
yang memiliki skala usaha menengah ke atas, membutuhkan informasi mengenai
pengemasan susu menggunakan botol plastik. Informasi tersebut dibutuhkan
untuk memenuhi permintaan susu segar dari warga sekitar atau dari luar daerah
penelitian. Selain digunakan untuk menjaga susu tetap segar, botol plastik juga
murah biaya pembuatannya dibandingkan menggunakan kaleng logam atau karton
tetrapaks, sehingga responden lebih cenderung menggunakan botol plastik apabila
harus melakukan pengemasan. Pada aspek pemanfaatan limbah, informasi yang
paling dibutuhkan oleh responden adalah informasi mengenai pengolahan kompos
dari kotoran ternak dan pengolahan energi biogas dari kotoran ternak. Informasi
pengolahan kompos dibutuhkan untuk memanfaatkan kotoran yang dihasilkan
oleh ternak. Pengolahan kompos ditujukan agar kotoran ternak dapat
57
57
dipergunakan untuk kepentingan pertanian. Responden membutuhkan informasi
pengolahan kompos karena belum mampu mengolah kotoran ternak dalam jumlah
banyak. Biasanya, responden hanya mengolah sebagian kecil kotoran ternak untuk
kemudian dijemur dan dijual. Sebagian besar lainnya hanya dibuang atau istilah
responden ‘dipalidkeun’ karena terlalu banyaknya kotoran ternak yang harus
diolah dan tidak diimbangi dengan lahan yang terbatas untuk mengolah kotoran
ternak tersebut menjadi kompos. Adanya keterbatasan waktu untuk mengolah
kompos juga menyebabkan responden masih jarang memanfaatkan kotoran ternak
menjadi kompos. Sementara itu, informasi pengolahan energi biogas dari kotoran
ternak dibutuhkan karena masih jarang sekali responden yang mengetahui cara
memanfaatkan kotoran ternak menjadi biogas. Beberapa responden sempat
mencoba untuk mengolah kotoran ternak menjadi biogas, hanya saja banyaknya
tahapan yang harus dilakukan dan rumitnya proses pengolahan membuat
responden tidak lagi tertarik untuk mengolah kotoran ternak menjadi biogas.
Selain itu, peralatan yang digunakan untuk mengolah biogas hasil dari hibah
pemerintah juga telah usang dan rusak, sehingga tidak dapat digunakan lagi.
Kebutuhan informasi pemasaran responden berada pada kategori tinggi
(52,94%) dan sebagian responden lainnya berada pada kategori sedang dengan
persentase 47,06%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden sangat
antusias terhadap informasi pemasaran yang mencakup aspek penjualan susu.
Pada aspek penjualan susu, responden paling membutuhkan informasi mengenai
tingkat harga susu di koperasi dan konsumen, harga standar susu per liter, dan
standar kualitas susu seperti total solid, kadar lemak, dan berat jenis. Informasi
tingkat harga susu di koperasi dan konsumen dibutuhkan oleh responden karena
responden merasakan bahwa harga jual susu di tingkat peternak masih sangat
kurang meskipun harga jual susu kelompok Lembusari merupakan salah satu yang
tertinggi di koperasi dengan harga Rp 4.300/ liter susu. Hal tersebut mendorong
responden untuk mengetahui harga yang dijual koperasi ke konsumen atau ke
pengepul susu yang lebih besar. Informasi harga standar susu per liter dibutuhkan
oleh responden karena dengan harga yang tertinggi diantara kelompok lain di
58
58
koperasi, pendapatannya terhadap responden masih dirasakan kurang
menguntungkan. Hal tersebut dikarenakan responden harus menambah biaya
operasional beternak untuk mendapatkan produksi susu yang tinggi, contohnya
dengan mengeluarkan biaya lebih untuk pakan, karena pasokan pakan dari
koperasi belum cukup mendongkrak produktivitas susu yang tinggi sehingga
harus ditambah dengan pakan tambahan. Hal inilah yang membuat responden
merasakan bahwa pengeluaran untuk biaya operasional tidak sebanding dengan
pendapatan yang dihasilkan dari harga jual susu per liternya. Informasi standar
kualitas susu seperti total solid, kadar lemak, dan berat jenis juga dibutuhkan oleh
responden, karena beberapa responden kurang memahami penilaian standar
kualitas susu tersebut. Selama ini, penilaian standar kualitas susu hanya dilakukan
oleh petugas koperasi saat penyetoran susu berlangsung, sehingga responden
masih kurang terlatih terhadap penilaian standar kualitas susu. Penyuluhan yang
diadakan pun seringkali hanya memaparkan materi lain, tanpa adanya pelatihan
tentang penilaian standar kualitas susu. Penilaian standar kualitas susu bagi
responden akan sangat diperlukan dan mampu menjadi bahan evaluasi, sehingga
dapat meminimalisir kerugian pada usahanya, terutama pada aspek penjualan
susu.
4.6 Hubungan antara Skala Kepemilikan Ternak dengan Tingkat
Kebutuhan Informasi Peternak Sapi Perah
Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan korelasi Rank
Spearman (rs) pada tingkat signifikansi 0,01 antara skala kepemilikan ternak (X)
dengan tingkat kebutuhan informasi bagi peternak sapi perah (Y), diperoleh nilai
koefisien korelasi sebesar 0,484. Mengacu pada aturan Guilford, nilai koefisien
korelasi sebesar 0,484 diartikan bahwa hubungan antar variabel cukup berarti, hal
ini menunjukkan terdapat suatu hubungan yang positif antara skala kepemilikan
ternak dengan tingkat kebutuhan informasi peternak. Dapat dikatakan bahwa
semakin tinggi skala kepemilikan ternak maka akan semakin tinggi pula tingkat
kebutuhan informasi peternak, dan begitu juga sebaliknya.
59
59
Skala kepemilikan ternak mencerminkan besarnya usaha ternak yang
dimiliki berdasarkan pada jumlah kepemilikan ternak. Tingkat kebutuhan
informasi peternak akan dipengaruhi oleh jumlah ternak yang dimilikinya. Hal ini
dikarenakan apabila jumlah ternak yang dimiliki semakin banyak, maka
kemungkinan peternak menghadapi masalah dari usaha ternaknya tersebut
semakin besar. Selain itu, dengan banyaknya jumlah ternak yang dimiliki, maka
akan semakin bervariasi pula jenis masalah yang dihadapi peternak. Peternak
yang memiliki skala usaha kecil tentu akan membutuhkan informasi yang berbeda
dengan peternak yang memiliki skala usaha besar, baik itu dari aspek teknis
maupun non teknis, sehingga akan mendorong peternak untuk melakukan
pencarian informasi untuk mengatasi masalah yang dihadapinya.
Hasil penelitian yang menunjukkan hubungan yang cukup berarti antara
skala kepemilikan ternak dengan tingkat kebutuhan informasi bagi peternak sapi
perah menunjukkan bahwa skala usaha yang diukur berdasarkan jumlah
kepemilikan ternak produktif dalam satu populasi ternak mempengaruhi tingkat
kebutuhan informasi peternak sapi perah, terutama informasi mengenai sapta
usaha peternakan.