IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Daerah...

31
IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Daerah Penelitian 4.1.1 Desa Sidajaya Desa Sidajaya berada di wilayah Kecamatan Cipunagara Kabupaten Subang Provinsi Jawa Barat. Jumlah penduduk sebanyak 6.457 orang. Batas- batas administratif Desa Sidajaya, Utara berbatasan dengan Desa Tumaritis Kecamatan Haurgeulis, Barat berbatasan dengan Desa Tanjung Sidamulya Kecamatan Cipunagara, Selatan berbatasan dengan Desa Sumur Barang Kecamatan Cibogo dan Timur yang berbatasan dengan Desa Balaraja Kecamatan Gantar. Berdasarkan topografi wilayah, Desa Sidajaya merupakan daerah dataran rendah dengan ketinggian 70 m di atas permukaan laut. Lokasi dengan suhu yang cukup tinggi dengan suhu harian berkisar 28-30 0 C. Total Luas wilayah Desa Sidajaya seluas 1.292.430 Ha. Penggunaan lahan di wilayah ini masih didominasi oleh lahan pertanian berupa sawah dengan luas sekitar 459.000 Ha, lahan perkebunan negara yaitu kebun tebu seluas 280.000 Ha dan luas permukiman sekitar 92.320 Ha. 4.1.2 Profil Kelompok Peternak Jambu Raharja Kelompok Jambu Raharja di bentuk pada tanggal 7 September 2010 yang beralamat di Kp. Jambu Desa Sidajaya Kecamatan Cipunagara Kabupaten Subang, Jawa Barat. Sesuai dengan SK Kepala Desa Sidajaya No. 148.1/03/IX/2010 bahwa statuskelompok ini merupakan kelas lanjut. Ketua dari kelompok Jambu Raharja adalah Karna Wijaya, Sekretaris oleh Armin, dan Bendahara dipegang oleh Kartini. Adapun bidang seksi lain yaitu seksi Produksi oleh Sarja, seksi pemasaran dipegang oleh Warid seksi kesehatan oleh Juki dengan total anggota berjumlah 25 orang. Secara legalitas kelompok ini sudah diakui dan memiliki struktur organisasi yang jelas hanya saja kelompok ini belum memiliki lahan

Transcript of IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Daerah...

Page 1: IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Daerah …media.unpad.ac.id/thesis/200110/2012/200110120073_4_3197.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN . 4.1 Keadaan Umum Daerah ... hanya memperhatikan

IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Keadaan Umum Daerah Penelitian

4.1.1 Desa Sidajaya

Desa Sidajaya berada di wilayah Kecamatan Cipunagara Kabupaten

Subang Provinsi Jawa Barat. Jumlah penduduk sebanyak 6.457 orang. Batas-

batas administratif Desa Sidajaya, Utara berbatasan dengan Desa Tumaritis

Kecamatan Haurgeulis, Barat berbatasan dengan Desa Tanjung Sidamulya

Kecamatan Cipunagara, Selatan berbatasan dengan Desa Sumur Barang

Kecamatan Cibogo dan Timur yang berbatasan dengan Desa Balaraja Kecamatan

Gantar. Berdasarkan topografi wilayah, Desa Sidajaya merupakan daerah dataran

rendah dengan ketinggian 70 m di atas permukaan laut. Lokasi dengan suhu yang

cukup tinggi dengan suhu harian berkisar 28-300 C. Total Luas wilayah Desa

Sidajaya seluas 1.292.430 Ha. Penggunaan lahan di wilayah ini masih didominasi

oleh lahan pertanian berupa sawah dengan luas sekitar 459.000 Ha, lahan

perkebunan negara yaitu kebun tebu seluas 280.000 Ha dan luas permukiman

sekitar 92.320 Ha.

4.1.2 Profil Kelompok Peternak Jambu Raharja

Kelompok Jambu Raharja di bentuk pada tanggal 7 September 2010 yang

beralamat di Kp. Jambu Desa Sidajaya Kecamatan Cipunagara Kabupaten

Subang, Jawa Barat. Sesuai dengan SK Kepala Desa Sidajaya No.

148.1/03/IX/2010 bahwa statuskelompok ini merupakan kelas lanjut. Ketua dari

kelompok Jambu Raharja adalah Karna Wijaya, Sekretaris oleh Armin, dan

Bendahara dipegang oleh Kartini. Adapun bidang seksi lain yaitu seksi Produksi

oleh Sarja, seksi pemasaran dipegang oleh Warid seksi kesehatan oleh Juki

dengan total anggota berjumlah 25 orang.

Secara legalitas kelompok ini sudah diakui dan memiliki struktur

organisasi yang jelas hanya saja kelompok ini belum memiliki lahan

Page 2: IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Daerah …media.unpad.ac.id/thesis/200110/2012/200110120073_4_3197.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN . 4.1 Keadaan Umum Daerah ... hanya memperhatikan

46 perkandangan dan sekretariat khusus, sehingga ternak sapi setiap anggota

dipelihara di kandang pemiliknya masing-masing. Penghargaan yang pernah

diperoleh kelompok ini yaitu Juara III Lomba Kelompok Agribisnis Peternakan

Kategori Ternak Sapi Potong Tahun 2015 tingkat Kabupaten Subang. Berikut

adalah rincian jumlah populasi ternak sapi Peranakan Ongole di Kelompok Jambu

Raharja di Desa Sidajaya;

Tabel 8. Populasi Ternak Sapi Peranakan Ongole di Kelompok Jambu Raharja di Desa Sidajaya

Kelompok umur

Umur Jumlah ternak (ekor)

Jumlah berdasar jenis kelamin

Betina (ekor) Jantan (ekor) Pedet 0-6 bulan 5 4 1 Lepas sapih 7-12 bulan 4 3 1 Dara/muda 13-24 bulan 29 28 1 Dewasa > 24 bulan 12 12 Total 50 47 3

4.2 Karakteristik Responden

4.2.1 Usia

Data hasil penelitian memperlihatkan bahwa usia peternak berkisar antara

30-60 tahun. Berikut usia peternak disajikan pada Tabel 9.

Tabel 9. Karakteristik Responden Berdasarkan Usia

No. Selang Usia (tahun) N % 1 30-39 4 16 2 40-49 7 28 3 50-59 8 32 4 60-69 6 24

Total 25 100

Berdasarkan Tabel 9. terlihat bahwa usia peternak berkisar antara 19-59

tahun dengan usia termuda 30 tahun dan tertua 65 tahun. Persentase terbesar usia

peternak kelompok Jambu Raharja berada pada selang usia 50-59 tahun dan

urutan terbesar kedua yaitu selang 40-49 tahun.Hal ini berarti sebagian besar

Page 3: IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Daerah …media.unpad.ac.id/thesis/200110/2012/200110120073_4_3197.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN . 4.1 Keadaan Umum Daerah ... hanya memperhatikan

47 peternak masih berada dalam usia produktif dan sebagian lainnya sudah tidak

termasuk dalam usia produktif. Peternak dengan usia produktif cenderung lebih

giat mencari informasi, memiliki fisik yang relatif kuat dan akan berpengaruh

positif terhadap pengembangan usaha sapi potongnya. Sedangkan bagi sebagian

peternak yang tidak termasuk dalam usia produktif lagi kemampuannya

cenderung menurun, hal inilah yang menyebabkan pengembangan usaha akan

berjalan lambat dan pemeliharaan yang masih dilakukan secara tradisional.

Sehingga faktor usia menjadi suatu indikator yang perlu diperhatikan karena akan

mempengaruhi pola pikir dan kemampuan individu.

4.2.2 Tingkat Pendidikan dan Mata Pencaharian

Pendidikan sangat penting bagi manusia untuk mengembangkan

kemampuan dan kepribadian individu.Rincian pendidikan formal peternak

disajikan pada Tabel 10.

Tabel 10. Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan dan MataPencaharian

No. Identitas Peternak N % 1 Pendidikan Formal Tidak sekolah 12 48 SD 10 40 SMP 1 4 SMA 2 8 S1 - - 2 Pekerjaan Utama Petani 22 88 Peternak 3 12 3 Pekerjaan Sampingan Peternak 21 84 Lain-lain 4 16

Berdasarkan Tabel 10.tingkat pendidikan formal yang dicapai peternak

sebagian besar adalah Sekolah Dasar (SD). Peternak anggota kelompok Jambu

Raharja sebagian besar tidak menempuh pendidikan sebanyak 12 orang, peternak

Page 4: IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Daerah …media.unpad.ac.id/thesis/200110/2012/200110120073_4_3197.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN . 4.1 Keadaan Umum Daerah ... hanya memperhatikan

48 yang berpendidikan hingga tingkat SD sebanyak 10 orang dengan rata-rata usia 41

tahun dan sekolah menengah rata-rata berusia 37 tahun. Tingkat pendidikan

peternak ini tergolongmasih rendah. Seperti yang dikemukakan oleh Hoda (2015)

bahwa, pendidikan formal merupakan indikator awal yang dapat digunakan untuk

mengetahui kemampuan peternak dalam mengadopsi informasi dan inovasi baru,

sebab tingkat pendidikan sangat berpengaruh terhadap perubahan pola pikir dan

cara mengatasi masalah yang terjadi. Peningkatan pengetahuan peternak dapat

dilakukan melalui pendidikan informal seperti pelatihan-pelatihan.

Mata pencaharianutama respondensebesar 88% sebagai petani,hal ini

karena dengan tingkat pendidikan yang masih rendah masyarakat menyadari di

zaman sekarang ini akan sulit mendapatkan pekerjaan, kurangnya lapangan

pekerjaan, lokasi yang sulit dijangkau menuju perkotaan, sehingga masyarakat

lebih memilih menjadi petani karena lahan persawahan yang tersedia sangat luas.

Sebesar 12% pekerjaan utama respondensebagai peternak, mereka mengandalkan

pendapatan dari hasil penjualan ternak, selebihnya mereka melakukan pekerjaan

serabutan untuk mencukupi kebutuhan lainnya. Usaha peternakan mayoritas

dijadikan sebagai usaha sampingan responden memiliki persentase sebasar 84%,

hal ini karena ternak yang dipelihara hanya dijadikan sebagai tabungan jangka

panjang bila sewaktu-waktu ada kebutuhan yang mendesak.

4.2.3 Pengalaman Beternak dan Jumlah Kepemilikan Sapi Potong

Bagi pelaku usaha peternakan sapi potong skala rumah tangga jumlah

kepemilikan ternak cenderung masih sedikit. Peternak di Desa Sidajaya banyak

memelihara sapi betina jenis Peranakan Ongole adapula yang memelihara sapi

simental dan limousin hasil persilangan dengan PO. Rincian mengenai

pengalaman beternak dan jumlah kepemilikan sapi potong disajikan pada Tabel 11

dan 12.

Page 5: IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Daerah …media.unpad.ac.id/thesis/200110/2012/200110120073_4_3197.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN . 4.1 Keadaan Umum Daerah ... hanya memperhatikan

49

Tabel 11. Karakteristik Reponden Berdasarkan Pengalaman Beternak

Pengalaman Beternak n %

< 5 tahun 8 32 ≥ 5 tahun 17 68

Berdasarkan data Tabel 11. Para peternak memiliki pengalaman beternak

yang beragam yaitu 8orang memiliki pengalaman berternak dibawah 5 tahun dan

17 peternak lebih dari lima tahun.Pengalaman dalam usaha beternak akan

mempengaruhi tingkat pengetahuan dan keterampilan peternakpeternak secara

teknis terutama dalam penanganan ternak, sehingga hal ini menjadi faktor

pendukung dalam mengembangkan usahanya.Bekal pengetahuan mengenai cara

beternak umumnya diperoleh secara turun temurun dan di dukung oleh

pengalaman peternak dalam mengikuti pelatihan dan penyuluhan.

Tabel 12. Karakteristik Reponden Berdasarkan Jumlah Kepemilikan Sapi Potong

Jumlah kepemilikan sapi

Berdasarkan kelompok umur dan jenis kelamin

n (orang ) %

1 ekor

Pedet Betina 4 16 Jantan 1 4

Muda Betina 5 20 Jantan 2 8

Dewasa Betina 13 52 Jantan - -

2 ekor

Pedet Betina - - Jantan - -

Muda Betina - - Jantan - -

Dewasa Betina 11 44 Jantan - -

3 ekor Pedet Betina - - Jantan - -

Muda Betina - - Jantan - -

Dewasa Betina 1 4 Jantan - -

Page 6: IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Daerah …media.unpad.ac.id/thesis/200110/2012/200110120073_4_3197.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN . 4.1 Keadaan Umum Daerah ... hanya memperhatikan

50

Jumlah kepemilikan sapi potong pada Tabel 12. menunjukkan mayoritas

peternak hanya mempunyai satu ekor sapi dengan persentase tertinggi yaitu 52%.

Hal ini disebabkan karena tujuan usaha ternak yang hanya sebagai tabungan masa

depan dan ketidakmampuan peternak secara finansial untuk menambah jumlah

populasi yang dipelihara. Alasan lainnya adalah tujuan pemeliharaan sebagai

penghasil sapi bakalan karena setelah pedet lahir peternak akan menjualnya untuk

menutupi kebutuhankeluarga sehinggapeternak hanya mempertahankan induk

untuk dipelihara hingga mencapai usia afkir.

4.3 Penerapan Good Breeding Practice

Good Breeding Practice(GBP) terdiri dari enam aspek, yaitu sarana dan

prasarana, cara pembibitan, kesehatan ternak, pelestarian fungsi lingkungan

hidup,sumber daya manusia serta pembinaan dan pengawasan. Penerapan GBP

dan prioritas penerapan GBP oleh peternak anggota kelompok Jambu Raharja

disajikan pada Tabel 13.

Tabel 13. Rata-rata Persentase dan Prioritas Penerapan Aspek Good Breeding Practicedi Kelompok Ternak Jambu Raharja

No Aspek Good Breeding Practice Rata-rata Nilai (%)

Ranking

1 Sarana dan prasarana 8,66 4 2 Cara pembibitan 12,01 1 3 Kesehatan ternak 11,41 2 4 Pelestarian Fungsi Lingkungan Hidup 7,04 5 5 SDM 6,83 6 6 Pembinaan dan pengawasan 9,06 3 Total 55,00

Berdasarkan Tabel 14, rata-rata persentase penerapan seluruh aspek GBP

oleh anggota kelompok Jambu Raharja sebesar 55,00%. Angka tersebut

menunjukkan bahwa penerapan tata laksana peternakan yang mengacu pada

Pedoman Pembibitan Sapi Potong yang Baik terbilang rendah, terdapat beberapa

aspek yang belum dilakukan sesuai dengan ketentuan dalam pedoman tersebut,

Page 7: IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Daerah …media.unpad.ac.id/thesis/200110/2012/200110120073_4_3197.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN . 4.1 Keadaan Umum Daerah ... hanya memperhatikan

51 kelompok ini masih berada pada tahap pengembangan sehingga berpotensi untuk

dapat meningkatkan kualitas dan perbaikan – perbaikan secara bertahap.

Berdasarkan hasil perhitungan perbandingan berpasangan terhadap aspek-

aspek GBP yang menggunakan metode AHP didapatkan urutan prioritas

penerapan aspek-aspek GBP oleh peternak diperoleh bahwa aspek cara

pembibitanmenempati urutan pertama sebagai prioritas utama dalam penerapan

GBP oleh peternak di kelompok Jambu Raharja. Hal ini karena, secara umum di

dominasi oleh pengetahuan dan pemahaman peternak yang sudah sangat baik

mengenai seleksi, perkawinan dan reproduksi sebagai bagian dalam aspek cara

pembibitan. Pengetahuan mengenai poin-poin penting pada aspek cara pembibitan

merupakan dasar dalam penerapan tatalaksana pembibitan. Pengetahuan tersebut

diperoleh peternak dari pengalaman beternak, penyuluhan, dan peran inseminator.

Prioritas kedua adalah aspek kesehatan ternak perbedaan antara nilai

eigenvektor aspek cara pembibitan dan kesehatan ternak hanya berbeda sedikit.

Hal ini berarti peternak menganggap kedua aspek tersebut memiliki tingkat

kepentingan yang sama dan hampir mendapat urutan prioritas yang sama. Sebagai

prioritas kedua tingkat pengetahuan peternak tentang kesehatan ternak relatif baik

diduga karena secara nalurinya peternak mampu membedakan tanda-tanda ternak

sehat dan sakit. Peternak pun secara tidak langsung rutin memeriksa kondisi

ternak. Selain itu, adanya peran serta dokter hewan dan paramedis yang selalu

melayani dan menangani bila adanya panggilan dari peternak.

Prioritas ketiga adalah aspek pembinaan dan pengawasan hal ini

ditunjukkan olehperan serta petugas Dinas Peternakan setempat yang sudah cukup

aktif dalam hal membina dan mengawasi terkait pengembangan peternakan

berkelanjutan di wilayah tersebut. Aspek keempat adalah sarana

prasarana,fasilitas yangdimiliki setiap peternak masih sangat terbatas dengan

perlengkapan yang sederhana. Aspek kelima adalah pelestarian fungsi lingkungan

hidup diduga karena fokus utama peternak adalah meningkatkan produksi dengan

hanya memperhatikan aspek-aspek teknis dan masih sedikit kesadaran peternak

dalam hal penanganan dan pengolahan limbah agar lebih bermanfaat. Sumber

Page 8: IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Daerah …media.unpad.ac.id/thesis/200110/2012/200110120073_4_3197.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN . 4.1 Keadaan Umum Daerah ... hanya memperhatikan

52 daya manusia mendapatkan peringkat terakhir, hal ini disebabkan karena rata-rata

usia peternak yaitu 50-55 tahun dengan tingkat pendidikan formal terbilang

rendah sehingga dalam hal penyerapan inovasi, kemampuan dan keterampilan

peternak yang semakin berkurang yang berdampak pada lambatnya

pengembangan dan perbaikan usaha ternak. Rincian pembahasan mengenai

masing-masing aspek dan sub aspek akan di bahas pada sub bab berikut.

4.3.1. Aspek Sarana Prasarana

Sarana dan prasarana menjadi aspek utama yang di bahas dalam Pedoman

Pembibitan Sapi Potong yang Baik, karena menjadi faktor utama yang perlu

diperhatikan sebelum memulai untuk menjalankan usaha peternakan sapi potong.

Berdasarkan data hasil penelitian rata-rata penerapan aspek sarana dan prasarana

anggota peternak di kelompok Jambu Raharja sebesar 44,61%nilai ini terbilang

rendah, diduga karena pemenuhan yang berkaitan dengan sarana dan prasarana

belum sesuai. Rincian penerapan GBP aspek sarana dan prasarana yang

dijalankan oleh peternak disajikan pada Tabel 14.

Tabel 14. Rata-Rata Persentase Penerapan Good Breeding Practice AspekSarana Prasarana

No Sub Aspek Sarana Prasarana Penerapan kelompok

1 Kesesuaian dan ketersediaan bibit berdasarkan persyaratan mutu

37,04

2 Ketersediaan prasarana dalam mendukung kegiatan pembibitan 69,17 3 Kelengkapan sarana dan alat penunjang lain dalam usaha

peternakan 46,59

4 Ketersediaan sumber pakan, air dan energi dengan jumlah cukup

42,49

5 Ketersediaan obat hewan sesuai peraturan perundang-undangan 27,78 Rata-rata 44,61

Berdasarkan data Tabel 14. menunjukkan persentase kesesuaian dan

ketersediaan bibit berdasarkan persyaratan mutu sebesar 37,04 %. Angka yang

terbilang rendah ini disebabkan karena ternak yang dihasilkan dari usaha

Page 9: IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Daerah …media.unpad.ac.id/thesis/200110/2012/200110120073_4_3197.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN . 4.1 Keadaan Umum Daerah ... hanya memperhatikan

53 pembibitan yang dijalankan peternak belum berorientasi untuk menghasilkan bibit

sesuai standar dan bersertifikasi. Di samping itu, peternak di Desa Sidajaya ini

masih banyak yang melakukan persilangan dengan jenis lain, diantaranya

disilangkan dengan sapi Limousin dan Simental. Penyediaan indukan sapi lokal

di kawasan ini sebenarnya sudah tersebar luas dan berada dalam pengawasan

dinas setempat, hanya saja teknis pemeliharaan yang dilakukan oleh peternak

yang terkadang belum sesuai dengan syarat pembibitan sebagaimana mestinya.

Hal ini dipengaruhi oleh kondisi budaya, pengetahuan, kemampuan ekonomi dan

tujuan pemeliharaan yang diterapkan oleh peternak, karena usaha yang dijalankan

peternak skala rumah tanggasecara umum hanya sekedar sebagai usaha

sampingan. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Ketut (2005) yang

menyatakan usaha ternak sapi pada umumnya masih dipelihara sebagai usaha

sampingan dimana tujuannya sebagai tabungan.

Lebih lanjut data Tabel 15menunjukan persentase ketersediaan prasarana

dalam mendukung usaha pembibitan di lokasi penelitian sebesar 69,17%. Nilai

ini sudah cukup baik diduga karena di dukung oleh kondisi wilayah yang

menunjang. Menurut Santosa (2005), dalam hal pemilihan lokasi untuk usaha

peternakan sapi potong perlu memperhatikan letak topografi dan geografi,

ketersediaan tenaga kerja, ketersediaan bahan pakan, sumber air, transpotasi dan

ketersediaan pedet bakalan untuk menunjang keberlangsungan usaha ternak.

Komponen fisik lingkungan menjadi penting karena dapat memepengaruhi

produksi dan performan seekor ternak secara langsung maupun tidak

langsungdiantaranya; suhu, kelembaban, curah hujan, tiupan angi dan intensitas

cahaya Sutedjo (2011). Reksohadiprojo (1984)menambahkan suhu yang sesuai

bagi kehidupan ternak di daerah tropik adalah 10-270 C (50-800 F) sedangkan

ternak di daerah sub tropik pada temperatur 30-600 F dengan kelembaban rendah.

Sapi PO dikenal sebagai sapi pedaging dan pekerja yang mampu bertahan

pada suhu tinggi dan cocok dipelihara di daerah dataran rendah. Suhu yang sesuai

bagi kehidupan ternak di daerah tropik adalah 10-280 C atau 50-800 F

(Reksohadiprojo, 1984). Kondisi lingkungan di lokasi penelitian memiliki suhu

Page 10: IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Daerah …media.unpad.ac.id/thesis/200110/2012/200110120073_4_3197.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN . 4.1 Keadaan Umum Daerah ... hanya memperhatikan

54 rata-rata 280 Cdan merupakan daerah dataran rendah. Suhu tersebut berada pada

kisaran suhu nyaman untuk berproduksi, namun di saat datangnyamusim kemarau

suhu akan meningkat mencapai 300 C, hal ini akan memicu terjadinya stres panas

dan akan berpengaruh negatif terhadap produktivitas.Daya dukung prasarana lain

adalah adanya fasilitas poskeswanas, rumah potong hewan (RPH), ketersediaan

lahan dan sumber hijauan yang cukup melimpah. Namun, akses lokasi kelompok

Jambu Raharja sulit dijangkau menuju jalan utama karena jarak antar desa yang

cukup jauh, fasilitas pendukung berupa poskeswanas yang belum termanfaatkan

secara optimal sehingga ketersedian obat ternak pun terbatas.

Persentase ketersediaan sumber pakan, air dan energi sebesar 42,49%.

Sumber energi yang tersedia seperti listrik untuk penerangan sudah cukup tersedia

sesuai kebutuhan namun, sumber air dan hijauan di lokasi ini sering mengalami

kekurangan saat musim kemarau datang. Ketersediaan obat hewan sesuai

persyaratan hanya sebesar 27,78% hal ini dikarenakan poskeswanas yang tersedia

belum memadai, sulit di jangkau dan harga obat yang relatif tinggi, sehingga

masih sedikit peternak yang membeli obat ke poskeswanas mereka membeli

hanya karena bila terjadi penyakit yang serius. Selain itu, persediaan obat

bukanlah bertambah tetapi justru berkurang, karena sedikit orang yang membeli

sehingga obat menjadi kadaluarsa.

Ketersediaan sarana dan alat penunjang lain pada Tabel 14. sebesar

46,59%. Hal ini terlihat dari sarana produksi berupa kandangdan peralatan yang

dimiliki belum lengkap seperti tidak adanya kandang isolasi, tempat minum, dan

tempat pengolahan limbah. Kondisi kandang yang dimiliki peternak pada

umumnya belum memenuhi standar dan dibangun pada lahan samping atau

belakang rumah. Letak kandang dekat dibangun dilahan samping dan belakang

rumah. Kondisi tersebut bertentangan dengan pernyataan Siregar (2003) bahwa

dalam penentuan lokasi kandang syaratnya tidak berdekatan dengan pemukiman

penduduk dan sekurang-kurangnya berjaraj 10 meter dari pemukiman,

pembuangan limbah tersalurkan, persediaan air cukup dan jauh dari

Page 11: IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Daerah …media.unpad.ac.id/thesis/200110/2012/200110120073_4_3197.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN . 4.1 Keadaan Umum Daerah ... hanya memperhatikan

55 keramaian.Rincian mengenai kondisi perkandangan dan kelengkapan sarana

peternakan disajikan pada Tabel 15.

Tabel 15. Kondisi Perkandangan dan Kelengkapan Sarana Peternakan di Kelompok Jambu Raharja

No Kelengkapan sarana peternakan Jumlah 1 Sistem perkandangan Trdisional 64% Semi permanen 36% 2 Kandang isolasi Ada 36% Tidak ada 64% 3 Tempat pakan Ada 100% Tidak ada 0% 4 Tempat minum Ada 0% Tidak ada 100% 5 Gudang pakan Ada 80% Tidak ada 20% 6 Gudang peralatan Ada 48% Tidak ada 52% 7 Tempat pengolahan limbah Ada 16% Tidak ada 84%

Kontruksi kandang secara umum masih tradisional dengan alas lantai

berupa tanah, bambu dan kayu, dinding kandang terbuka, hanya beberapa

peternak yang sudah membangun kandang dengan semi tradisional. Ukuran

kandang bergantung pada jumlah sapi yang dimiliki. Luas kandangternak yang

dimiliki peternak diantaranya 6-10 m2 (10 peternak) dan ≥10m2 (15peternak).

Terdapat pula kandang berbentuk kandang koloni, dimana sapi ditempatkan

padasatu kandang secara berkelompok. Hal ini dimaksudkan agar memudahkan

peternak dalam memelihara dan melakukan pengawasan terhadap ternaknya.

Page 12: IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Daerah …media.unpad.ac.id/thesis/200110/2012/200110120073_4_3197.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN . 4.1 Keadaan Umum Daerah ... hanya memperhatikan

56 Adapun yang berbentuk kandang individu hal ini sependapat dengan Rasyid dan

Hartati (2007) yaitu untuk mempermudah pengamatan terhadap aktivitas

reproduksinya terutama saat birahi untuk keberhasilan perkawinannya.

Berdasarkan data pada tabel 16, hanya sekitar 36% yang memiliki

kandang isolasi, 48% mempunyai gudang peralatan dan 16% yang mempunyai

tempat pengolahan limbah. Peternak tidak memiliki kandang isolasi maka dari itu

sapi yang sakit disatu kandangkan dengan sapi yang sehat. Hal ini terjadi akibat

terbatasnya lahan dan miniminya pengetahuan mengenai tindakan isolasi. Seluruh

peternak menyediakan tempat pakan namun tidak dengan tempat minum bagi

ternak, minum diberikan hanya menggunakan ember.Peternak hanya memberikan

air minum dalam sehari hanya 2-3 kali dalam ember kecil, jumlah ini dirasa sangat

kurang karena sebaiknya air minum disediakan secara ad libitum (Ditjenak, 2014).

Gudang pakan yang dimiliki responden sebesar 80%, sebagian besar

peternak menyimpan persedian pakan di area dekat kandang, peternak tidak

memiliki bangunan khusus yang diperuntukan untuk gudang pakan. Area

penyimpanan persediaan pakan tersebut memiliki ventilasi yang baik sehingga

dapat mencegah pertumbuhan jamur. Lain halnya dengan tempat untuk

menyimpan peralatan, peternak yang memiliki gudang khusus menyimpan

peralatan hanya sebesar 48%, selebihnya peternak tidak memperhatikan hal

tersebut karena peralatan yang dimiliki adalah peralatan sederhana yang sering

digunakan sehari-hari dalam mengelola kandang.Hal ini belum sesuaidengan

Direktorat Jenderal Peternakan (2014) yang menyebutkan bahwa peralatan

penunjang lain yang perlu disediakan diantaranya tempat pakan, tempat minum,

alat kebersihan, pemotong rumput, pita dan tongkat ukur, eartag dan buku

pencatatan ternak.

4.3.2. Aspek Cara Pembibitan

Keberhasilan menjalankan usaha pembibitan sangat ditunjang oleh

kemampuan pengelolaan aspek cara pembibitan secara teknis yang bersifat

praktis. Keahlian dan keterampilan peternak merupakan perangkat lunak yang

Page 13: IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Daerah …media.unpad.ac.id/thesis/200110/2012/200110120073_4_3197.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN . 4.1 Keadaan Umum Daerah ... hanya memperhatikan

57 sangat diperlukan untuk dikuasai. Serangkaian kegiatan dalam cara pembibitan

merupakan kesatuan teknis yang saling berkaitan untuk dapat menghasilkan

ternak yang sesuai dengan harapan.Penerapan GBP aspek cara pembibitan yang

dijalankan oleh peternak disajikan pada Tabel 16.

Tabel 16. Rata-Rata Persentase Penerapan Good Breeding Practice

Aspek Cara Pembibitan No. Sub Aspek Cara Pembibitan Penerapan

Kelompok 1 Cara pemilihan bibit (seleksi) 75,52 2 Cara pemberian pakan dan menjamin kebutuhan pakan dan air 77,01 3 Manajemen pemeliharaan terhadap ternak berdasarkan

kelompok umur 65,76

4 Teknis pembibitan (perkawinan dan manajemen reproduksi) 81,94 Rata-rata 75,06

Berdasarkan Tabel 16. menunjukan bahwa peternak mengetahui cara

pemilihan bibit dengan baik dengan persenatse sebesar 75,52%. Pengetahuan

tersebut didapatkan peternak berdasarkan pengalaman secara turun temurun dan di

dukung dengan sumber informasi dari beberapa pelatihan dan penyuluhan kepada

peternak. Seluruh peternak memperoleh rumput dengan cara menyabit sendiri.

Pada musim kemarau kerap kali peternak mengalami kekurangan hijauan dan

mensubstitusinya dengan limbah pertanian seperti daun jagung dan daun tebu.

Sebesar 77,01 % peternak menjamin kebutuhan pakan dan air baik secara

kuantitas ataupun kualitas. Air yang digunakan untuk minum sapi berasal dari

sumber yang bersih sehinggaair tidak berbau, berasa, dan berwarna.

Peternak memberikan pakan dua kali dalam sehari yaitu pagi dan sore

dengan total pemberian rata-rata 50-60 kg per hari. Jenis pakan yang diberikan

mayoritas adalah jerami padi secara langsung tanpa dipotong-potong dahulu

ataupun melakukan pengawetan hijauan. Jenis pakan lain yang diberikan adalah

daun tebu, jerami jagung, rumput lapangan. Seluruh peternak dalam penelitian ini

tidak memberikan konsentrat pada pakan ternak karena masih sulit didapatkan.

Page 14: IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Daerah …media.unpad.ac.id/thesis/200110/2012/200110120073_4_3197.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN . 4.1 Keadaan Umum Daerah ... hanya memperhatikan

58

Pakan tambahan yang sering diberikan peternak antara lain adalah dedak

padi. Dedak padi merupakan hasil ikutanpengolahan padi (Oriza sativa) menjadi

berasyang sebagian besar terdiri dari lapisan kulit ari. Hasil analisa di

Laboratorium Loka Penelitian Sapi Potong (2003) menunjukan kandungan nutrisi

di dalam dedak padi adalah proteinkasar (PK) sebesar 7,85%; lemak kasar

(LK)sebesar 9,10% dan serat kasar (SK) sebesar 16,75%. Hal ini cukup untuk

memenuhi kebutuhan nutrisi sapi dan terjangkau oleh peternak untuk

membelinya.

Dedak diberikan rata-rata 1-4 kg per hari yang dicampurkan dalam pakan

untuk seluruh populasi yang ada.Pemberian minum pada ternak dirasa sangat

kurang karena hanya diberikan dua ember (± 50 liter) dalam satu hari.Kualitas dan

kuantitas pakan masih perlu diperbaiki karena bila manajemen dan pemenuhan

kebutuhan pakan masih belum sesuai hal ini akan mempengaruhi aktivitas

reproduksi ternak. Hal ini sependapat dengan Toelihere (1983) bahwa aktivitas

reproduksi dan jarak beranak 95% dipengaruhi oleh fator non genetik dan

lingkungan, mencakup tatalaksana pakan dan kesehatan.

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa peternak menerapkan

sistem pemeliharaan secara intensif, peternak yang mencari sendiri pakan untuk

ternak sambil melakukan pekerjaan utamanya sebagai petani. Teknis

pemeliharaan ternak berdasarkan kelompok umur sebesar 65,76%. Angka

menunjukkan bahwa penerapan berdasarkan pedoman termasuk dalam kategori

sedang disebabkan karena pedet yang dipelihara disatukan dengan induk hingga

umur lebih dari satu tahun, hal ini belum sesuai dengan Pedoman Pembibitan Sapi

Potong (Ditjenak, 2014) bahwa sebaiknya pedet dibiarkan bersama dengan induk

hingga usia lepas sapih yaitu 205 hari. Selain itu, karena mayoritas peternak tidak

memiliki kandang isolasi sehingga penanganan terhadap ternak sakit dan

melahirkan masih dilakukan dengan cara sederhana di dalam kandang tersebut.

Proses kawin pada ternak yang dilakuakan peternak menggunakan sistem

Inseminasi Buatan dengan bantuan inseminator. Inseminator atau paramedis

lainnya tidak melakukan kontrol secara rutin, tetapi berdasarkan laporan dari

Page 15: IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Daerah …media.unpad.ac.id/thesis/200110/2012/200110120073_4_3197.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN . 4.1 Keadaan Umum Daerah ... hanya memperhatikan

59 peternak apabila ada sapi birahi ataupun ambruk. Secara umum pengetahuan dan

pemahaman peternak mengenai ciri-ciri birahi pada sapi sudah sangat baik yang

akan menunjang keberhasilan IB. Menurut Santosa (2006) bahwa apabila

peternak maupun petugas IB terlambat dalam mendeteksi birahi serta waktu yang

tidak tepat untuk di IB maka akan menyebabkan kegagalan kebuntingan.

Hasil penelitian menunjukan,teknis pembibitan terkait perkawinan dan

manajemen reproduksi sudah sangat baik yaitu sebesar 81,94%. Peternak mulai

mengawinkan sapi dara pada umur 18 – 24 bulan. Hal ini sesuai dengan pendapat

Santosa (2006) bahwa sapi mulai dapat dikawinkan pertama kali pada umur 18-24

bulan. Dari segi reproduksi pada umumnya peternak telah paham mengenai

tanda-tanda birahi sebagai dasar perkawinan IB, meskipun menurut pengakuan

peternak perkawinan menggunakan IB sering gagal namun seluruh peternak

(100%) mengaku puas dengan layanan petugas IB. Sapi yang dimiliki oleh

peternak secara umum melakukan proses kelahiran sendiri dan mengaku tidak

pernah mengalami kesulitan. Bila terjadi gejala kesulitan peternak akan segera

menghubungi petugas medis untuk membantu proses kelahiran.

4.3.3. Aspek Kesehatan Ternak

Beberapa tindakan seperti pemeliharaan kesehatan ternak danpencegahan

penyakit merupakan bagian penting dalam pengelolaan suatu usahapeternakan.

Aspek kesehatan ternak di dalam GDFP menekankan pada pencegahan dari pada

pengobatan. Pencegahan dilakukan sebagai usaha untuk meningkatkan efisiensi

produksi, sedangkan pengobatan dipandang sebagai bentuk penyelamatan ternak

dari suatu penyakit yang menurunkan produksi. Rata-rata persentase penerapan

GBP aspek kesehatan ternak disajikan pada Tabel 17.

Page 16: IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Daerah …media.unpad.ac.id/thesis/200110/2012/200110120073_4_3197.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN . 4.1 Keadaan Umum Daerah ... hanya memperhatikan

60

Tabel 17. Rata-rata Persentase Penerapan Good Breeding Practice Aspek Kesehatan Ternak

No. Sub Aspek Kesehatan Ternak Penerapan

Kelompok

1 Pembentukan ternak yang resistan terhadap penyakit 100

2 Pencegahan penyakit masuk ke dalam peternakan 48,73

3 Penerapan manajemen peternakan yang efektif 60,88

4 Penggunaan bahan kimia dan obat ternak sesuai petunjuk 71,41

Rata-rata 70,26

Berdasarkan Tabel 17. rata-rata penerapan GBP aspek kesehatan ternak

adalah sebesar 70,26%. Lebih lanjut data memperlihatkan bahwa 100% peternak

menjamin bahwa sapi potong yang dipelihara resisten terhadap penyakit. Salah

satu cara yang efektif dalam meningkatkan daya tahan ternak adalah vaksinasi.

Peternak secara rutin memberikan vaksin kepada sapi potong atas saran dan

rekomendasi dokter hewan dan paramedis. Selain pemberian vaksin, pemberian

obat cacing (deworming) juga dilakukan oleh paramedis secara berkala.

Pemberian obat cacing dilakukan sejak sapi berumur 1-2 bulan kemudian berulang

6 bulan kemudian dan sekaligus diberi vitamin. Pemberian vitamin juga dilakukan

oleh paramedis antara lain Vitamin A, D, E dan B complex (B12).

Hasil wawancara menunjukan masalah penyakit yang hinggakini masih

menyerang ternak adalah timpani (kembung), gangguan ektoparasit seperti caplak

yang menimbulkan iritasi kulit dan infeksi cacing internal. Berdasarkan hasil

penelitian Susanti dan Prabowo (2013), penyakit umum yang sering menyerang

ternak sapi diantaranya pink eye, cacingan dan penyakit yang berhubungan dengan

gangguan reproduksi antara lain, kesulitan beranak pada kelahiran pertama, sapi

keguguran dan retensi plasenta.

Seperti yang terjadi di lokasi penelitian, gejala penyakit yang sering terjadi

adalah cacingan, peternak dapat menduga bahwa sapi mereka menderita cacingan

berdasarkan ciri fisik yaitu; bulu kusam, nafsu makan kurang atau nafsu makan

Page 17: IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Daerah …media.unpad.ac.id/thesis/200110/2012/200110120073_4_3197.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN . 4.1 Keadaan Umum Daerah ... hanya memperhatikan

61 banyak tetapi sapi tetap kurus dan sering dijumpai sapi mencret. Menurut subronto

dan Tjahajati (2001) gejala umum hewan terinfeksi cacing internal antara lain

badan lemah, bulu kusam, gangguan pertumbuhan yang berlangsung lama.

Kehadiran parasitcacing dapat diketahui dari pemeriksaan feses untuk mengetahui

telur cacing. Penanggulangan terhadap infeksi parasit cacing adalah dengan

memberi bobat cacing (antelmintik), pemberian obat cacing sebaiknya dilakukan

berulang kali (Larsen, 2000).

Pengetahuan peternak secara medis cukup untuk memberikan informasi

hewan sakit atau sehat. Informasi ini didapat melalui penyuluhan yang diberikan

oleh Dinas Peternakan. Berdasarkan hasil pengamatan, tindakan pencegahan dan

pengobatan sudah dilakukan dengan baik. Hasil wawancara diperoleh bahwa

seluruh peternak melaporkan apabila ada ternaknya yang sakit kepada petugas

kesehatan atau paramedis veteriner setempat, namun tidak jarang dari mereka

yang masih menggunakan obat herbal alami atas dasar pengalamannya karena

keberadaan puskeswanas dan ketersediaan obat hewan yang masih terbatas.

Pelaksanaan program kesehatan masih terbilang rendah. Pencegahan

penyakit yang rutin dilakukan peternak seperti membersihkan kandang setiap hari

atau setidaknya dua hari sekali. Sesuai dengan pernyataan Sugeng (2002) bahwa

kandang harus dibersihkan setiap hari dan sapi-sapi harus dimandikan setiap hari

atau minimal satu minggu sekali. Pembersihan kandang dan dilanjutkan dengan

pemandian sapi ini bertujuan untuk menjaga kebersihan kandang dan menjaga

kesehatan sapi agar sapi tidak mudah terjangkit penyakit. Pengaturan lalu lintas

berupa penyediaan desinfektan dan pakaian khusus untuk masuk ke area

peternakan tidak tersedia. Hal ini menunjukkan pengetahuan peternak mengenai

bosekuriti masih kurang. Terlihat bahwa, pencegahan penyakit masuk ke dalam

peternakan hanya sebesar 48,73% nilai ini paling rendah bila dibandingkan

dengan sub aspek kesehatan ternak lainnya.

Penerapan manajemen kesehatan ternak yang efektif oleh peternak rata-

rata hanya sebesar 60,88%. Hal ini disebabkan peternak mengesampingkan hal

yang sangat penting dan mendasar yaitu catatan. Kegiatan pencatatan dapat

Page 18: IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Daerah …media.unpad.ac.id/thesis/200110/2012/200110120073_4_3197.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN . 4.1 Keadaan Umum Daerah ... hanya memperhatikan

62 memberikan keterangan tentang individu sapi terutama produktivitasnya sehingga

dapat dijadikan pedoman untuk menentukan sapi yang menguntungkan dan

pengafkiran. Catatan juga dapat dijadikan dasar dalam pengambilan keputusan

dan pengontrolan tatalaksana.Peternak menggunakan obat sesuai rekomendasi

dokter hewan dan sesuai petunjuk penerapannya. Terlihat bahwa persentase

penerapan mengenai penggunaan bahan kimia dan obat ternak sesuai petunjuk

rata-rata sebesar 71,41%. Setidaknya peternak sudah memahami cara pengobatan

ternak berdasarkan pengalaman dan informasi dari petugas kesehatan.

4.3.4. Pelestarian Fungsi Lingkungan Hidup

Upaya pelestarian lingkungan perlu dilakukan bagi pelaku usaha

peternakan untuk mengurangi dampak lingkungan seperti emisi GRK, perubahan

iklim, pencemaran terhadap air, dan hilangnya unsur hara tanah. Pada umumnya

peternak tidak memahami dampak lingkungan tersebut. Hal ini terlihat dari

pelaksanaan teknis, seperti kotoran ternak yang dibiarkan menumpuk di sekitar

kandang, penggunaan air berlebih ketika membersihkan kandang dan penggunaan

pupuk kimia untuk kebun rumput.Rincian penerapan GBP aspek pelestarian

fungsi lingkungan hidup dapat dilihat pada Tabel 18.

Tabel 18. Rata-rata Persentase Penerapan Good Breeding Practice AspekPelestarian Fungsi Lingkungan Hidup

No. Sub Aspek Pelestarian Fungsi Lingkungan Hidup Penerapan

kelompok

1 Implementasi sistem peternakan ramah lingkungan 44,44

2 Manajemen penanganan limbah 75

3 Menjamin peternakan tidak menimbulkan efek pada lingkungan 56,48

rata-rata 58,64

Rata-rata persentase penerapan GDFP aspek lingkungan sebesar 58,64%.

Lebih lanjut data menunjukan implementasi sistem peternakan ramah lingkungan

Page 19: IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Daerah …media.unpad.ac.id/thesis/200110/2012/200110120073_4_3197.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN . 4.1 Keadaan Umum Daerah ... hanya memperhatikan

63 sebesar 44,44% hal ini disebabkan rendahnya kesadaran peternak dalam mengolah

limbah dan belum menerapkan sistem peternakan berkelanjutan. Pengetahuan

yang telah didapatkan dalam sebuah penyuluhan dan pelatihan belum mampu

diterapkan oleh peternak. Bantuan dari pemerintah yang telah diterima oleh

kelompok berupa tempat dan alat pembuatan biogas belum termanfaatkan secara

maksimal oleh seluruh anggota.

Lebih lanjut data pada Tabel 18 menunjukan, penerapan manajemen

penanganan limbah sebesar 75,00%. Angka yangsudah cukup baik namun

peternak belum menerapkan proses pengolahan limbah secara maksimal. Pada

umumnya peternak tidak melakukan pengolahan limbah, peternak menjadikan

pupuk dari tumpukan kotoran ternak yang sudah mengering, adapun yang

membakarnya terlebih dahulu kemudian ditebar ke sawah. Sebagian lainnya,

kotoran ternak dibiarkan menumpuk disekitar kandang bila sudah mengering

mereka hanya membuangnya ke tempat yang jauh dari lingkungan. Kesadaran

akan perlunya pembuangan limbah ternak ke tempat khusus perlu disosialisasikan

berkenaan dengan adanya global warming dari emisi gas rumah kaca (GRK) yang

dikeluarkan dari kotoran ternak tersebut (Herawati, 2012).

Kegiatan sanitasi dan higien masih sangat rendah, dalam hal kebersihan

peternak hanya melakukan pembersihan kandang minimal sehari sekali dari

kotoran yang menumpuk. Peternak memisahkan feses terlebih dahulu sebelum

membersihkan lantai dengan air, cara seperti ini sudah baik dilakukan karena akan

lebih menghemat air. Peternak hanya menggunakan ember tanpa selang air atau

sprai controller untuk mengalirkan air saat membersihkan lantai kandang.

Pembersihan kandang dilakukan dengan alasan hanya untuk menghindari bau.

Hal ini kemungkinan disebabkan kurangnya kesadaran peternak akan kebersihan

lingkungan serta tidak adanya penyuluhan mengenai dampak lingkungan dari

peternakan sapi potong sekaligus pencegahannya dari petugas atau penyuluh dari

dinas setempat. Hal ini akan menimbulkan efek negatif terhadap lingkungan,

sesuai dengan pendapat Herawati (2012), bahwa aspek yang mempengaruhi besar

Page 20: IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Daerah …media.unpad.ac.id/thesis/200110/2012/200110120073_4_3197.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN . 4.1 Keadaan Umum Daerah ... hanya memperhatikan

64 kecilnya emisi gas adalah budidaya ternak, mencakup perkandangan, pemberian

pakan, sanitasi dan pemanfaatan kotoran.

4.3.5. Sumber Daya Manusia

Peran dari pelaku usaha peternakan sangat menentukan keberlangsungan

usaha yang dijalankan. Kemampuan dan keterampilan dari sumber daya manusia

sangat diperlukan dalam menunjang keberhasilan usaha. Rincian mengenai rata-

rata penerapan sub aspek sumber daya manusia dapat dilihat pada Tabel

19berikut:

Tabel 19. Rata-rata Persentase Penerapan Good Breeding Practice AspekSumber Daya Manusia

No. Sub Aspek Sumber Daya Manusia Penerapan

kelompok

1 Memperhatikan kesehatan pekerja serta pencegahan

penularan penyakit

66,67

2 Penerapan standar prosedur kerja serta keterampilan

di bidang peternakan

58,22

3 Menjamin keamanan dan keselamatan pekerja 73,61

Rata-rata 65,92

Berdasarkan Tabel 19. persentase penerapan GDFP aspek sumber daya

manusia sebesar 65,92%. Lebih lanjut data memperlihatkan bahwa penerapan

standar prosedur kerja serta keterampilan dalam bidang peternakan memiliki nilai

yang sangat rendah dibanding sub aspek lain yaitu sebesar 68,22%. Sedangkan

modal utama dalam menjalankan usaha peternakan adalah kemampuan

pengelolaan atau manajemen dari pelaku usahanya. Hal ini dipengaruhi oleh

tingkat pendidikan peternak. Menurut Hoda (2002), pendidikan formal

merupakan indikator awal yang dapat digunakan untuk mengetahui kemampuan

peternak dalam mengadopsi informasi dan inovasi baru, sebab tingkat pendidikan

sangat berpengaruh terhadap perubahan pola pikir. Standar prosedur yang

Page 21: IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Daerah …media.unpad.ac.id/thesis/200110/2012/200110120073_4_3197.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN . 4.1 Keadaan Umum Daerah ... hanya memperhatikan

65 diterapkan oleh peternak dalam skala usaha rumah tangga biasanya dilakukan

berdasarkan kebiasaan sehari-hari dan pemahaman yang mereka miliki, mereka

tidak mempunyai standar prosedur secara tertulis namun telah ada secara tersirat.

Hal ini lah yang perlu diperbaiki secara bertahap terkait manajemen sosial

ekonomi masyarakat peternak.

Mayoritas peternak tidak memiliki pekerja atau staf dari luar, pekerjaan di

kandang dibantu oleh keluarga (family worker) dengan itu peternak beranggapan

tidak perlu menerapkan social responsible karena pekerja merupakan anggota

keluarga sendiri. Mereka yang bekerja dan bertanggungjawab atas pekerjaan di

kandang setidaknya mampu memahami bahwa kesehatan pekerja sangat penting

agar tidak menganggu aktivitas dikandang dan mencegah penularan penyakit pada

ternak. Data menunjukan sebesar 66,67% peternak selaku pengelola kandang

memperhatikan kesehatan untuk mencegah penularan penyakit dari manusia ke

hewan, tidak jarang sebagian peternak mengabaikan kondisi kesehatan mereka

dan tetap melakukan aktivitas di kandang.

Dalam hal menjamin keamanan dan keselamatan pekerja didapatkan hasil

sebesar 73,61%, hal ini ditunjukan dengan peternak tidak memperkerjakan

pekerja/anggota keluarga dibawah usia 18 tahun, menggunakan sepatu boot saat

melakukan aktivitas di kandang hanya saja belum dilengkapi dengan pakaian

khusus, hal ini disebabkan karena peternak beranggapan bahwa kegiatan

peternakan ini sudah menjadi kegiatan rutin sehari-hari dirumahnya sehingga

dirasa tidak memerlukan pakaian pelindung khusus.

4.3.6. Pembinaan dan Pengawasan

Peran pembinaan dari pihak dinas serta pengawasan dari pihak pengawas

bibit ternak perlu dilakukan secara rutin di kawasan peternakan rakyat, karena

sebagian besar potensi penghasil daging sapi justru berada di tangan peternak

skala rumah tangga walaupun keemilikannya cenderung hanya sedikit. Lebih

jelasnya data penerapan GBP aspek pembinaan dan pengawasan disajikan pada

Tabel 20 berikut:

Page 22: IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Daerah …media.unpad.ac.id/thesis/200110/2012/200110120073_4_3197.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN . 4.1 Keadaan Umum Daerah ... hanya memperhatikan

66

Tabel 20. Rata-rata Persentase Penerapan Good Breeding Practice Aspek Pembinaan dan Pengawasan

No. Sub Aspek Pembinaan dan Pengawasan Penerapan

kelompok

1 Pelaksanaan pembinaan kepada peternak 85,8

2 Pembinaan mengenai sertifikasi layak bibit 59,26

3 Pengawasan secara langsung maupun tidak langsung dari

pihak dinas dan peternak

81,48

Rata-rata 75,51

Berdasarkan hasil perhitungan penerapan sub aspek pembinaan dan

pengawasan sebesar 75,51%. Hal ini menunjukkan peran serta dari pihak dinas

peternakan setempat sudah cukup aktif. Dibuktikan dengan adanya bentuk

pembinaan kepada peternak berupa penyuluhan dan pelatihan mengenai bidang

peternakan, adanya program-program pemerintah yang mulai disalurkan kepada

kelompok-kelompok peternak di wilayah sekitar. Salah satunya dengan

ditetapkannya wilayah kecamatan ini sebagai kawasan sentra peternakan rakyat.

Adanya petugas penyuluh, inseminator, petugas medis dan kelembagaan

memiliki peranan penting untuk menunjang pengembangan peternakan sapi

potong rakyat. Selain itu, peranan dari akademisi, lembaga peneliti serta

dukungan dari pemerintah sangat diperlukan oleh peternak skala rakyat. Peternak

mengaku sangat membutuhkan binaan dan pendampingan dari berbagai pihak

yang bersangkutan. Kelompok Jambu Raharja ini sangat berpotensi untuk dapat

dikembangkan menjadi usaha peternakan berkelanjutan yang berorientasi pada

perbaikan mutu bibit yang berkualifikasi.

4.4. Produktivitas Sapi Potong

4.4.1. Karakteristik Produksi

Berdasarkan data hasil pengukuran di lokasi penelitian nilai rata-rata

ukuran lingkar dada, tinggi pundak dan panjang badan pada sapi PO lepas sapih

Page 23: IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Daerah …media.unpad.ac.id/thesis/200110/2012/200110120073_4_3197.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN . 4.1 Keadaan Umum Daerah ... hanya memperhatikan

67 secara berturut-turut adalah 109,50 cm, 97,50 cm, dan 85,75 cm. Ukuran tubuh

sapi ini lebih rendah bila dibandingkan dengan hasil penelitian Ferdianto dkk

(2013) yaitu ukuran rata-rata lingkar dada, tinggi pundak dan panjang badan

secara berturut-turut adalah 110,37 cm, 98,27 cm, dan 87,67 cm. Aryogi,

Prihandini dan Wijono (2006) menyatakan bahwa perbedaan ukuran statistik vital

pedet lepas sapih dapat diduga karena pengaruh nutrisi induknya selama menyusui

pedet.

Hartati dan Dicky (2008) menambahkan bahwa, pertumbuhan pedet

prasapih antara lain dipengaruhi oleh sifat mothering ability (sifat keibuan).

Warwick dkk.,(1983) menambahkan pascasapih merupakan masa transisi antara

ketergantungan kepada induk beralih kepada kemampuan beradaptasi untuk

memenuhi kebutuhan hidupnya untuk tumbuh. Faktor lingkungan pakan dapat

mencapai > 50 sehingga konsumsi dan nilai gizi pakan akan mempengaruhi

pertumbuhan atau pertambahan bobot hidup. Berikut adalah data hasil

pengukuran terhadap ukuran tubuh ternak berdasarkan kelompok umur :

Tabel 21. Rata-Rata Ukuran Tubuh Sapi PO Berdasarkan Kelompok Umur

Umur Rata-rata ukuran tubuh (cm) LD TP PB

7 - 12 bulan 109,67 98 86 18 - 24 bulan 142,50 119,86 126,75

>24 bulan 157,67 127,67 130,17 Keterangan : LD = Lingkar Dada; TP = Tinggi Pundak; PB= Panjang Badan

Rata-rata ukuran tubuh pada sapi PO dewasa usia 18-24 bulan berdasarkan

Tabel 22. secara berturut-turut 142,50 cm, 119,86 cm, dan 126,75 cm. Hasil

angka ini sudah memenuhi kriteriadengan standar ukuran kuantitatif sapi PO (SNI

7651.5:2015) termasuk dalam kategori kelas I yaitu dengan ukuran lingkar dada,

tinggi pundak dan panjang badan sesuai SNI secara berturut-turut adalah 138 cm,

119 cm, dan 120 cm. Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan sapi dara yang

dipelihara sudah cukup baik sebagai indikator awal dalam berproduksi.

Page 24: IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Daerah …media.unpad.ac.id/thesis/200110/2012/200110120073_4_3197.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN . 4.1 Keadaan Umum Daerah ... hanya memperhatikan

68 Pertumbuhan ukuran-ukuran tubuh dipengaruhi oleh beberapa hal Hardjosubroto

(1994) menyebutkan bahwa karakteristik eksterior merupakan sifat kualitatif dari

individu yang dikendalikan satu atau beberapa pasang gen.

Rata-rata ukuran tubuh pada sapi PO dewasa dengan usia >24 bulan

berdasarkan tabel 21. ukuran lingkar adalah 157,67 cm, tinggi pundak sebesar

127,67 cm, dan panjang badan sebesar 130,17 cm. Hasil ini bila dibandingkan

dengan standar SNI persyaratan kuantitatif bibit sapi PO betina termasuk dalam

kategori kelas II. Namun ukuran sapi di kelompok ini lebih kecil bila

dibandingkan dengan hasil penelitian dari Natasasmita dan Mudikdjo (1985) yaitu

panjang badan pada sapi Jantan 133 cm dan Betina 132 cm, lingkar dada pada sapi

Jantan 172 cm dan Betina 163 cm. Hal ini disebabkan karena induk dengan usia

yang semakin tua terlihat lebih kurus, pertumbuhan melambat dan kebutuhan

nutrisi yang didapat belum memenuhi kebutuhan karena pakan yang diberikan

mayoritas hanya jerami padi kering. Sapi induk yang dipelihara sebenarnya

berpotensi untuk ditingkatkan kembali produktivitasnya sebagai indikator awal

dalam menghasilkan bakalan yang bermutu baik, terutama bila induk betina

disilangkan dengan pejantan PO atau semen dari pejantan PO yang berkualitas

baik. Hal ini dinyatakan oleh Warwick dkk.,(1990), bahwa sifat yang secara

genetik menurun pada anaknya terutama adalah sifat yang diturunkan oleh

pejantannya. Hasil pengukuranselanjutnya terhadap ukuran tubuh dan pendugaan

bobot badan induk sapi POdengan menggunakan rumus winter di sajikan pada

Tabel 22.

Tabel 22. Rata-rata Ukuran Tubuh dan Pendugaan Bobot Badan

IndukBetina Menggunakan RumusWinter Umur

(bulan) Rata-rata ukuran tubuh

(cm) Rata-rata

(inch) Rumus Winter

LD TP PB LD PB BB (Lbs)

BB (kg)

18 - 24 142,50 119,86 126,75 48,92 51,73 586,49 266,03 ≥ 24 157,67 127,67 130,17 64,35 53,13 736,36 334,01

Keterangan : LD = Lingkar Dada; TP = Tinggi Pundak; PB= Panjang Badan, BB= Bobot Badan

Page 25: IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Daerah …media.unpad.ac.id/thesis/200110/2012/200110120073_4_3197.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN . 4.1 Keadaan Umum Daerah ... hanya memperhatikan

69

Data Tabel 22. menunjukkan bahwa ukuran tubuh rata-rata sapi PO

dengan rentan usia 18-24 bulan dan >24 bulan sudah memenuhi kriteria sesuai

standar yang ditetapkan dalam SNI 7651.5:2158 tentang bibit induk sapi PO,

dengan adanya ukuran-ukuran tubuh tersebut berguna untuk mendeteksi

pendugaan bobot badan ternak. Dalam usaha peternakan rakyat pengukuran dan

penimbangan masih jarang dilakukan, sehingga peternak tidak pernah mengetahui

berapa bobot tubuh ternaknya. Dimensi LD dan PB (cm) sangat sederhana dan

mudah diukur untuk keperluan estimasi bobot badan hidup (kg), walaupun hal ini

tidak menjamin lebih akurat dibanding penimbangan secara langsung disebabkan

error yang tidak terkontrol dititik referensi lokasi.

Berdasarkan hasil perhitungan pendugaan mengenai bobot badan sapi

dengan menggunakan rumus winter pada umur 18-24 bulan sebesar 266,03 kg.

Sedangkan untuk sapi dewasa dengan umur > 24 bulan berdasarkan pendugaan

bobot badan dengan rumus winter adalah sebesar 334,01 kg. Hasil ini sudah

cukup baik diduga karena saat ini sedang memasuki musim panen sehingga

ketersediaan hijauan cukup banyak dan jumlah konsumsi pakan yang telah

memenuhi kebetuhan 10% dari bobot badan. Natasasmita dan Mudikdjo (1985),

menambahkan bahwa bobot badan sapi Jantan dewasa dapat mencapai 350-450

kg, sedangkan sapi Betina dewasa dapat mencapai 300-400 kg.

4.4.2. Karakteristik Reproduksi

Secara keseluruhan produktivitas induk apabila di lihat dari segi

karakteristik reproduksi sudah cukup baik. Hasil penelitian menunjukan bahwa

peternak mengawinkan sapi dara pada umur 18-24 bulan dengan rata-rata sekitar

umur 20 bulan, sehingga pada umur 26-33 bulan dengan rata-rata umur 30 bulan

atau 2,5 tahun sapi dara sudah beranak untuk pertama kalinya. Angka ini cukup

baik bila dibandingkan dengan hasil penelitian Hardjosoebroto, (1980) yang

menunjukan bahwa umur beranak pertama sapi PO rata-rata terjadi pada umur 3,4

tahun. Di lain pihak, AAK (1991) menjelaskan bahwa untuk sapi tropis di

Page 26: IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Daerah …media.unpad.ac.id/thesis/200110/2012/200110120073_4_3197.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN . 4.1 Keadaan Umum Daerah ... hanya memperhatikan

70 Indonesia perkawinan pertama kali yang paling baik adalah pada umur 2 - 2,5

tahun pada saat itulah kedewasaan tubuh sudah diperoleh. Perkawinan yang

dilakukan oleh peternak di lokasi penelitian terhitung lebih cepat bila

dibandingkan dengan penjelasan tersebut, hal ini karena didorong oleh kebutuhan

ekonomi peternak agar segera mendapat keuntungan, namun tanpa disadari

sebenarnya akan menimbulkan dampak negatif kepada induk dan anak yang

dilahirkannya bila terus dibiarkan seperti itu.

Akan tetapi menunda perkawinan terlalu lama juga sangat merugikan, oleh

karena itu, peternak harus mengetahui batas-batas umur sapi yang baik untuk

dikawinkan. Namun pastikan agar sapi tidak mengalami perlambatan usia berahi

karena kekurangan nutrisi. Menurut Hardjopranjoto (1995) tingkat nutrisi yang

rendah (kualitas dan kuantitas) akan menghambat umur berahi pertama dan

pubertas akan tertunda. Berikut adalah rincian hasil rata-rata penampilan

reproduksi sapi Peranakan Ongole di lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 23.

Tabel 23. Karakteristik Reproduksi Sapi Peranakan Ongole

Berdasarkan data pada Tabel 23. rata-rata nilai S/C sapi PO di lokasi

penelitian adalah 1,7 atau sekitar 1-2 kali injeksi IB. Hasil ini sesuai dengan

pendapat Toelihere, (1979), bahwa nilai S/C yang normal berkisar antara 1,6-2,0.

Nilai S/C dalam penelitian ini masih jauh lebih tinggi apabila dibandingkan

dengan hasil laporanGunawan, (1983) bahwa nilai S/C sapi PO adalah sebesar

1,3. Menurut Santosa, (2006), tingginya nilai S/C disebabkan karena

keterlambatan peternak maupun petugas IB dalam mendeteksi birahi serta serta

No Uraian Rata-rata 1 Umur kawin pertama (bulan) 20 2 Service per Conception (S/C) 1,7 3 Umur pertama beranak (tahun) 2,46 4 Lama bunting (bulan) 9 bulan 12 hari 5 Calving Interval (bulan) 13,50 6 Selang waktu kawin kembali setelah

beranak(hari) 85

Page 27: IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Daerah …media.unpad.ac.id/thesis/200110/2012/200110120073_4_3197.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN . 4.1 Keadaan Umum Daerah ... hanya memperhatikan

71 faktor kesuburan ternak yang sangat berpengaruh. Faktor-faktor yang

mempengaruhi keberhasilan S/C diantaranya kualitas semen yang digunakan,

deteksi birahi, body condition score (BCS), tingkat kemampuan inseminator, dan

bobot hidup (Kutsiyah et al., 2002).

Selang waktu sapi untuk dapat dikawinkan kembali setelah beranak di

lokasi penelitian rata-rata adalah 85 hari. Hasil ini sudah cukup baik dan sesuai

dengan pendapat AAK (1991) bahwa, sapi-sapi induk sehabis melahirkan dapat

dikawinkan kembali setelah 60-90 hari. Hal ini dikarenakan sapi memerlukan

waktu untuk memulihkan alat reproduksinya atau dapat disebut dengan istilah

involusi uteri. Involusi uteri adalah proses pemulihan fertilitas pada hewan pasca

melahirkan, pada kondisi ini akan terjadi penyusutan kembali alat reproduksi ke

ukuran normal setelah mengalami pembesaran selama fase kebuntingan. Maka,

sekitar 2 – 3 bulan setelah melahirkan alat reproduksi sudah sembuh kembali.

Toelihere (1993) juga menambahkan dengan Interval kawin pertama

setelah beranak yaitu rata-rata 90 hari atau pada birahi ke tiga, tetapi menurut

Santosa, dkk. (2006) sapi dapat dikawinkan kembali setelah 40-60 hari (birahi

kedua) setelah melahirkan. Hal ini dapat disebabkan karena pada birahi kesatu dan

kedua sapi mengalami silent heat sehingga peternak tidak dapat mendeteksi gejela

estrus atau memang atas keterlambatan peternak dalam mendeteksi birahi dan

melakukan perkawinan pada ternak. Lamanya interval kawin pertama setelah

beranak dapat mengakibatkan panjangnya masa kosong, dampak lebih lanjut

menurunkan produksi susu total dan pendapatan peternak.

Data pada Tabel 23, menunjukan periode kebuntingan sapi rata-rata 9

bulan 12 hari atau sekitar 282 hari. Hal ini sudah termasuk dalam kategori ideal

menurut Toelihere (1981), periode kebuntingan sapi berkisar 280 sampai dengan

285 hari.Calving Interval (CI) adalah interval kelahiran atau jangka waktu antara

satu kelahiran dengan kelahiran berikutnya. Calving interval di lokasi penelitian

berada pada kisaran 13 bulan, hal ini sesuai dengan pendapat Toelihere, (1979)

bahwa selang beranak sapi adalah 12-13 bulan. Selang beranak yang lama akan

menyebabkan waktu untuk memproduksi susu (umur produktif) sapi tersebut

Page 28: IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Daerah …media.unpad.ac.id/thesis/200110/2012/200110120073_4_3197.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN . 4.1 Keadaan Umum Daerah ... hanya memperhatikan

72 berkurang sehingga menurunkan produktivitas. Selain itu, Toelihere (1983)

menyatakan bahwa aktivitas reproduksi dan jarak beranak 95% dipengaruhi oleh

faktor non genetik dan lingkungan, mencakup tatalaksana pakan dan kesehatan.

4.5. Analisis Pendapatan berdasarkan Income Over Feed Cost

Bagi pelaku usaha khususnya yang bergerak di bidang pembibitan sapi

potong tujuan akhir yang ingin dicapai adalah memperoleh hasil produksi yang

maksimal dan keuntungan dari jenis usaha yang dijalankannya. Untuk

menghasilkan suatu produksi,hal yang perlu diperhatikan adalah aspek

berproduksi secara teknis dan ekonomis yang keduanya akan saling

mempengaruhi. Salah satu tolak ukur yang dapat digunakan untuk mengetahui

aktivitas berproduksi adalah dengan menggunakan perhitungan pendapatan

berdasarkan Income Over Feed Cost (IOFC). IOFC adalah selisih antara

pendapatan usaha peternakan terhadap total biaya pakan. Pendapatan ini

merupakan perkalian antara nilai produksi peternakan dengan harga jual,

sedangkan biaya pakan adalah jumlah biaya yang dikeluarkan untuk

menghasilkan ternak tersebut (Prawirokusumo, 1990).

Biaya produksi yang dikeluarkan diantaranya seperti pengadaan pakan

konsentrat, tenaga kerja, kesehatan ternak, dan lain-lain juga menentukan tingkat

pendapatan peternak namun dalam hal ini, hal-hal tersebut tidak di perhitungkan

dalam analisis Income Over Feed Cost (IOFC). Income Over Feed Cost

merupakan salah satu cara untuk mengetahui efisiensi biaya yang diperoleh dari

hasil penjualan produksi yang hanya dikurangi dengan biaya pakan saja. Berikut

adalah kisaran harga jual ternak di lokasi penelitian sebagai tolak ukur

penerimaan peternak dapat dilihat pada Tabel 24:

Page 29: IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Daerah …media.unpad.ac.id/thesis/200110/2012/200110120073_4_3197.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN . 4.1 Keadaan Umum Daerah ... hanya memperhatikan

73

Tabel 24. Kisaran Harga Penjualan Ternak Sapi Peranakan Ongole

di Lokasi Penelitian Kriteria

Sapi Umur Harga Penjualan Ternak

Betina Jantan bulan Rp/ekor Rp/ekor

Pedet 3 - 7 3.000.000 - 5.000.000 6.000.000 - 8.000.000 Muda 8 - 18 8.000.000 - 10.000.000 10.000.000 - 12.000.000 Dewasa > 18 13.000.000 - 15.000.000 16.000.000 - 18.000.000

Data pada Tabel 24. menunjukan kisaran harga umum untuk penjualan

sapi PO di lokasi penelitian, kondisi harga tersebut dapat berubah tergantung pada

kondisi ternak, tempat penjualan dan moment tertentu seperti saat Hari Raya Idul

Adha. Tidak jarang peternak banyak yang menjualternaknya saat Idul Qurban

karena harga jual yang sangat tinggi. Biasanya peternak menjual ternak kepada

bandar sapi di wilayah tersebut dengan sistem penaksiran dari bandar tersebut, hal

ini menyebabkan terkadang harga jual yang diperoleh lebih rendah dan tidak

menentu. Sistem pemasaran yang seperti ini perlu dibenahi agar tidak merugikan

peternak, sebaiknya sistem penjualan dilakukan berdasarkan penimbangan bobot

badan dengan harga per kilogram yang disesuaikan dengan harga pasaran yang

berlaku saat itu. Pendapatan peternak atas biaya pakan yang dikeluarkan dapat

dilihat pada Tabel 25;

Tabel 25. Income Over Feed Cost

Uraian Jumlah Anggota

Penerimaan 2015

Pengeluaran IOFC 2015 2016 Total

(orang) Rp Rp/ST/tahun Rp/ST/tahun Rp/ST/tahun Rp/ST/tahun Total 25 348.000.000 104.937.500 209.387.500 314.325.000 33.675.000 Rata-rata 13.920.000 4.197.500 8.375.500 12.573.000 1.347.000

Berdasarkan Tabel 26 rata-rata pendapatan peternak sapi potong di

kelompok Jambu Raharja Desa Sidajaya Kec. Cipunagara, Subang adalah Rp

13.920.000/tahun. Penerimaan peternak diperoleh atas penjualan ternak dalam

Page 30: IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Daerah …media.unpad.ac.id/thesis/200110/2012/200110120073_4_3197.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN . 4.1 Keadaan Umum Daerah ... hanya memperhatikan

74 satu periode. Ternak yang dijual biasanya dimulai dari umur 1 tahun, penjualan

ternak bervariatif sesuai dengan kebutuhan peternak yang mendesak, misalnya

untuk keperluan perkawinan anaknya, kebutuhan sekolah dan lain-lain. Rata-rata

biaya pakan yang dikeluarkan per Satuan Ternak (ST) pada tahun 2015 sebesar

Rp 4.197.500 dan mengalami peningkatan dua kali lipat di tahun 206 yaitu

sebesar Rp 8.375.500/ST/tahun. Hal ini terjadi sejalan dengan bertambahnya

jumlah ternak sapi yang dipelihara. Lebih lanjut data memperlihatkan bahwa

hasil rata-rata IOFC yang didapatkan peternak sebesar Rp 1.347.000/ST/tahun

yang artinya peternak rata-rata mendapatkan keuntungan sebesar Rp 1.347.000

per ekor per tahun. Nilai positif menunjukkan bahwa usaha yang dijalankan

mendapatkan keuntungan meskipun nilainya kecil (rendah) dan bersifat fluktuatif

bergantung pada kriteria ternak yang dijual dan harga jual yang diperoleh.

Sebanyak 36% (9 orang) yang mendapatkan hasil pendapatan bernilai negatif, dan

sebanyak 64% (16 orang) yang mendapatkan hasil pendapatan bernilai positif.

Keuntungan yang didapat masih sangat minim bahkan untuk memenuhi

kebutuhan sehari-hari pun dirasa masih sangat kurang.

Berbeda dengan hasil penelitian Nurdiati dkk (2012) yang mampu

menghasilkan IOFC dari usaha sapi potong sebesar Rp 3.864.55 per ekor per hari

yang melaporkan bahwa nilai income akan sangat dipengaruhi oeh nilai

pertambahan bobot badan per hari (PBBH). Peternak (responden) dalam

penelitian ini belum memperhitungkan secara detail sampai kepada PBBH, selain

itu sistem pemasaran yang dilakukan dengan penaksiran tanpa memperhatkan

bobot badan hidup ternaklah yang menyebabkan hasil penjualan pun bernilai

rendah. Dalam analisis ini, biaya pakan yang diperhitungkan adalah biaya pakan

riil yang dikeluarkan oleh peternak.Komposisi kepemilikan sapi potong juga

menentukan tingkat pendapatan yang diperoleh peternak.

Mayoritas peternak (responden) memberi pakan berupa jerami padi,

rumput lapangan dan penambahan dedak padi. Seluruh peternak di Desa Sidajaya

tidak menggunakan konsentrat sebagai pakan penguatnya, hal ini karena

konsentrat masih sangat sulitdi dapatkan dan terbatasnya kemampuan ekonomi

Page 31: IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Daerah …media.unpad.ac.id/thesis/200110/2012/200110120073_4_3197.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN . 4.1 Keadaan Umum Daerah ... hanya memperhatikan

75 peternak untuk membelinya. Mayoritas peternak (responden) memberikan pakan

ternak menggunakan sistem cut and curry. Peternak mengarit rumput dalam

sehari rata-rata memerlukan waktu 3-5 jam untuk memperoleh satu ikat atau satu

sampai dua karung dengan kisaran 50 – 60 kg per hari yang di asumsikan bahwa

satu kilogram rumput seharga Rp 250,-

Kekurangan dari peternak kelompok Jambu Raharja ini adalah belum

dilakukannya manajemen pencatatan keuangan, sehingga pembinaan mengenai

manajemen sosial ekonomi masih sangat perlu dilakukan. Menurut Abidin

(2002), meskipun masih berskala kecil, usaha sapi ptong memerlukan pencatatan.

Selain itu perlu disusun rencana cash fow selama masa usaha dan pencatatan

pembelian barang sekecilapapun, halini mungkin tidak akan terlalu berpengaruh

jika skala usaha masih kecil namun akan sangat berpengaruh pada skala usaha

besar.Laporan laba rugi merupakan laporan keuangan yang menggambarkan hasil

usaha dalam suatu periode tertentu. Kasmir dan Jakfar (2003) menjelaskan, setiap

jangka waktutertentu perusahaan perlu menghitung hasil usaha yang dituangkan

dalam bentuk laporan laba rugi. Hasil usaha tersebut didapat dengan cara

membandingkan penghasilan dan biaya selama jangka waktu satu tahun