Post on 03-Mar-2019
24
II. TINJAUAN PUSTAKA
S. RENDANG
Rendang adalah masakan yang berasal dari suku Minangkabau tetapi
saat ini umum disajikan di seluruh Indonesia. Rendang merupakan salah satu
makanan khas dari kebudayaan Minangkabau yang disajikan pada saat-saat
penting seperti upacara atau untuk menghormati tamu. Rendang dibuat dari
daging sapi (atau dapat juga dari daging ayam, kerbau dan bebek, atau nangka
dan ubi kayu) yang dimasak dengan santan dan rempah-rempah selama
beberapa jam sampai airnya habis dan daging menyerap bumbu rempah-
rempah. Proses memasak berubah dari merebus menjadi menggoreng saat
airnya menguap. Rempah-rempah yang digunakan yaitu jahe, kunyit,
lengkuas, daun jeruk, dan cabai. Rendang ayam atau bebek juga biasa
ditambahkan dengan asam jawa dan waktu pemasakannya tidak selama
rendang daging sapi (Anonim, 2009b).
Ada dua jenis rendang yaitu rendang kering dan basah. Rendang kering
dapat disimpan selama 3-4 bulan dan biasanya dimasak dalam acara-acara
penting untuk menjamu tamu. Rendang basah, atau biasa disebut kalio, dapat
ditemui di rumah makan Minangkabau tanpa dibekukan, dan masih dapat
dikonsumsi dalam jangka waktu sebulan (Lipoeto et al., 2001). Rendang
sering disajikan dengan nasi di Indonesia, tapi di Malaysia, pangan ini juga
disajikan dengan ketupat dan lemang.
Rendang, empal dan semur yang dimasak secara tradisional diolah
dengan cara mencampurkan daging potong dengan bumbu atau campuran
rempah-rempah, kemudian dimasak sampai matang dengan santan untuk
rendang atau dengan minyak kelapa sawit untuk empal. Bumbu yang
biasanya dipakai dalam memasak rendang adalah cabai, bawang putih,
bawang merah, dan rempah-rempah lainnya. Karena masing-masing produk
memiliki kadar air yang tinggi, yaitu 60-70%, produk-produk tersebut
cenderung untuk cepat rusak pada suhu ruang (Irawati et al., 2000).
25
T. TEKNIK IRADIASI PANGAN
Menemukan cara untuk menghambat perusakan pangan dan
mengendalikan serangan mikroorganisme telah menjadi fokus manusia
selama berabad-abad. Cara-cara pengendalian seperti pembekuan atau
pasteurisasi telah menjadi teknik yang biasa digunakan, dan diharapkan suatu
saat teknik iradiasi pangan dapat dikembangkan dan diimplementasikan di
masyarakat.
Beberapa bakteri patogen merupakan penyebab penyakit yang
ditimbulkan oleh bahan pangan (foodborne illness) dan menyebabkan 1800
kematian dan 60.000 orang sakit setiap tahunnya di Amerika Serikat (Mead et
al., 1999). Sumber kontaminasi bakteri patogen asal pangan berasal dari
produk yang tidak diolah dan disimpan dengan baik. Iradiasi pangan
mendapatkan perhatian karena meningkatnya insiden penyakit asal pangan
dalam beberapa dekade terakhir, sebab proses iradiasi secara efisien dapat
mengurangi populasi patogen seperti Salmonella, Listeria, Campylobacter, E.
coli O157:H7, dan lainnya, seperti virus, parasit dan serangga. Proses ini telah
disetujui oleh World Health Organization (WHO), Food and Agriculture
Organization (FAO), Codex Alimentarius Commission, US Food and Drug
Administration (FDA), US Department of Agriculture (USDA), American
Medical Association, American Dietetic Association, American Institute of
Food Technologists, dan otoritas kesehatan di 50 negara (Diehl, 1995). Daftar
produk yang diijinkan untuk diiradiasi berbeda-beda di tiap negara, tetapi
seringnya terbatas hanya pada rempah-rempah, herba, bumbu, beberapa buah
segar dan kering, sayuran, makanan laut, daging sapi giling, dan daging
unggas (Marchioni, 2008).
Jenis sumber radiasi yang digunakan terbatas pada radiasi yang berasal
dari sumber radionuklida yang menghasilkan sinar gamma berenergi tinggi,
sinar X dan elektron yang diakselerasi. Sumber-sumber radiasi ini juga
dikenal dengan radiasi pengion karena energi yang dikeluarkan cukup tinggi
untuk mendislokasi elektron dari atom dan molekul dan mengubahnya
26
menjadi partikel bermuatan listrik yang disebut ion. Sinar gamma dan sinar
X, seperti gelombang radio, gelombang mikro, ultraviolet dan spektrum sinar
tampak, merupakan bagian dari spektrum elektromagnetik dan ada dalam
daerah gelombang pendek, berenergi tinggi yang memiliki kekuatan
berpenetrasi yang paling besar. Letak sinar gamma dan sinar X pada
spektrum elektromagnetik diperlihatkan di gambar 1.
Gambar 1. Spektrum elektromagnetik
Sinar gamma dan sinar X memiliki sifat yang sama dan efek yang sama
pada bahan, perbedaan utamanya hanya pada sumber. Sinar X dengan energi
yang bervariasi dihasilkan dari mesin. Sinar gamma dengan energi yang
spesifik dihasilkan dari disintegrasi spontan dari radionuklida. Radionuklida
yang ada secara alami dan buatan manusia, yang dikenal dengan nama isotop
radiaoktif atau radioisotop, menghasilkan radiasi saat bahan-bahan ini secara
spontan kembali ke keadaan stabil. Waktu yang dibutuhkan oleh sebuah
radionuklida untuk mencapai setengah level radioaktivitas yang ada di awal
disebut waktu paruh, dan spesifik untuk tiap radionuklida dari elemen
tertentu. Becquerel (Bq) merupakan unit radioaktivitas dan setara dengan satu
disintegrasi per detik (ICGFI, 1999).
Radiasi pengion merupakan energi yang ditransmisikan melalui udara
dalam bentuk gelombang elektromagnetik atau sinar berkas elektron. Iradiasi
27
pangan melibatkan penggunaan sinar gamma yang dihasilkan oleh
radionuklida, baik itu kobalt-60 [1.17 dan 1.33 MeV (1 MeV = 1.6 × 10−13
J)]
atau sesium-137 (0.66 MeV), sinar berkas elektron yang dihasilkan dari
sumber mesin listrik yang dioperasikan pada atau di bawah tingkat energi 10
MeV atau sinar X yang dihasilkan dari tumbukan berkas elektron (tingkat
energi 5 MeV atau di bawahnya) pada sebuah target logam yang memiliki
densitas elektronik yang tinggi (WHO, 1999) Dosis iradiasi diukur dengan
unit gray (Gy) atau kilogray (kGy). Satu gray setara dengan penyerapan 1 J
energi dalam 1 kg bahan pangan.
Sementara itu, menurut ICGFI (1999), hanya sumber radiasi tertentu
yang dapat digunakan dalam iradiasi pangan. Sumber-sumber tersebut
diantaranya adalah radionuklida kobalt-60 (Co-60) atau sesium-137 (Cs-137);
mesin sinar X yang memiliki energi maksimum 5 juta elektron volt (MeV)
(satu elektron volt adalah jumlah energi yang diperoleh oleh sebuah elektron
ketika diakselerasi dengan daya sebesar satu volt dalam keadaan vakum); atau
akselerator elektron yang memiliki energi maksimum 10 MeV. Energi dari
sumber-sumber radiasi ini terlalu rendah untuk dapat menginduksi
radioaktivitas pada bahan apapun, termasuk pangan.
Radioisotop yang dipakai dalam penyinaran rendang iradiasi adalah
kobalt-60. Radioisotop ini memiliki aktivitas spesifik 1,1 x 103 Ci/g dan
waktu paruh 5,23 tahun. Seperti radioisotop sesium-137, radioisotop ini
memancarkan sinar beta dan gamma.
Ada tiga aplikasi dan kategori dosis yang biasa digunakan: 1) iradiasi
dosis rendah (sampai 1 kGy), dengan tujuan untuk menunda kematangan,
menghambat pertunasan, disinfetasi serangga, dan inaktivasi parasit; 2)
iradiasi dosis sedang (1-10 kGy) dengan tujuan untuk mengurangi jumlah
mikroba pencemar, mengurangi atau mengeliminasi patogen yang tidak
membentuk spora, misalnya mikroorganisme penyebab penyakit; 3) iradiasi
dosis tinggi (di atas 10 kGy) yang bertujuan untuk mengurangi jumlah
mikroorganisme sampai mencapai keadaan steril (ICGFI, 1999). Dosis di atas
10 kGy dibutuhkan untuk sterilisasi pangan yang siap makan (ready-to-eat
food) yang mensyaratkan tidak adanya mikroba dan/atau harus
28
mempertahankan penyimpanan jangka lama tanpa refrigerasi (WHO, 1999),
misalnya pangan untuk rumah sakit, pangan untuk pasien dengan kekebalan
tubuh rendah, astronot, tentara, pendaki gunung, atau orang-orang yang
memiliki hobi berkemah (Marchioni, 2008).
Proses pendinginan merupakan proses yang dianggap mahal khususnya
di bagian tropis dan subtropis dunia. Perlakuan kimia relatif lebih murah dan
efektif, tetapi perlakuan ini meninggalkan residu, dan banyak negara telah
melarang penggunaannya karena alasan-alasan kesehatan. Oleh karena itu,
iradiasi dapat menjadi alternatif teknologi yang lebih baik (Miller, 2005).
Banyak pangan, khususnya buah-buahan dan sayuran segar, cukup
mendapatkan perlakuan dosis rendah tanpa mengalami penurunan kualitas.
Bagaimanapun, beberapa pangan, seperti daging ternak, unggas, dan beberapa
jenis hasil laut perlu mendapatkan dosis sedang (radurisasi) sampai tinggi
(radapertisasi), jika ada persyaratan tertentu dalam kualitas. Sterilitas
komersial, yang didefinisikan sebagai tidak terdapatnya bakteri, khamir, dan
kapang hidup, dapat dicapai dengan dosis antara 25-45 kGy. Enzim autolisis
yang ada pada semua pangan mentah memiliki sifat resisten terhadap dosis
radiasi ini dan harus diinaktivasi dengan perlakuan panas sedang (misalnya
blansir pada suhu 70°C) jika ingin dicapai stabilitas masa simpan dalam
jangka panjang tanpa refrigerasi. Untuk mencegah off-flavor, oksigen harus
dikeluarkan dengan cara pengemasan vakum dalam kaleng logam atau
kantong fleksibel yang dilaminasi (laminated flexible pouch). Kemudian,
proses iradiasi akan dilakukan pada suhu -20° - (-40°) C (Diehl, 1990).
Beberapa negara telah sukses menghasilkan pangan iradiasi dosis
tinggi. Salah satunya adalah Ceko. Pangan iradiasi dengan dosis tinggi yang
telah diproduksi adalah kari ayam, daging babi beku, ayam goreng dan ayam
panggang dikemas vakum dengan dosis 35-65 kGy. Pangan tersebut diiradiasi
dengan menggunakan elektron yang diakselerasi (Placek et al., 2004)
Sebelumnya, pada awal penggunaannya, iradiasi pengion telah digunakan
untuk menghasilkan pangan bagi astronot NASA dengan dosis iradiasi tinggi
mulai tahun 1995.
29
U. RENDANG IRADIASI
Beberapa produsen pada skala rumah tangga maupun industri telah
menunjukkan minat mengenai kemungkinan penggunaan iradiasi untuk
memperpanjang umur simpan produk pangan seperti rendang. Sebuah studi
yang dilakukan di sebuah pusat penelitian mengindikasikan bahwa rendang
ikan mas yang diiradiasi pada 7,5 kGy dapat disimpan lebih dari 15 hari pada
suhu ruang (Suswati, 1987). Iradiasi pada dosis yang lebih tinggi memiliki
efek nyata pada sifat sensori produk rendang tersebut, karena rendang
tersebut tidak dikemas vakum dan diiradiasi pada suhu ruang. Kombinasi
perlakuan antara iradiasi dosis sterilisasi dengan kemasan vakum pada suhu
rendah untuk menghasilkan pangan yang memiliki umur simpan stabil telah
sukses dikembangkan oleh beberapa peneliti (IAEA, 1995).
Prosedur dasar untuk mempersiapkan pangan radapertisasi (iradiasi
sterilisasi) adalah sebagai berikut (IAEA, 1995):
1. Proses termal: Untuk masa penyimpanan yang diperpanjang, enzim
proteolitik harus diinaktivasi, yang dilakukan dengan cara
memanaskan makanan sampai suhu internalnya di atas 75°C
selama sedikitnya 10 menit.
2. Pengemasan vakum: Keadaan vakum dibutuhkan karena oksigen
dapat menyebabkan kerusakan karena radiasi.
3. Pembekuan: Produk harus dibekukan sedikitnya mencapai suhu
-30°C.
4. Iradiasi: Pangan yang dikemas diiradiasi pada keadaan beku sampai
mencapai dosis minimum 25-45 kGy (tergantung pada produknya).
Rendang iradiasi yang menjadi sampel dalam penelitian ini diproduksi
oleh Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi Badan Tenaga Nuklir
Nasional (PATIR BATAN). Daging yang dibuat menjadi rendang dibeli dari
pasar lokal. Jumlah daging yang digunakan untuk membuat rendang adalah
20 bagian/kg. Bahan pengemas yang digunakan untuk mengemas rendang
adalah aluminium foil berlaminasi PET 12µ/LDPE, dengan adhesive 2µ/Al-
30
foil, 7µ/LDPE, dan 50µ /LLDPE sebagai pengemas bagian luar. Ukuran
masing-masing kantong pengemas adalah 21 × 17 cm2.
Bumbu yang dipakai dalam pembuatan rendang yang diiradiasi dapat
dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Bumbu yang dipakai dalam pembuatan rendang yang diiradiasi
Bumbu Jumlah
(g/kg daging)
Cabe merah 100
Bawang merah 100
Bawang putih 16
Daun sereh 3 helai
Daun kunyit 1 helai
Daun jeruk 6 helai
Asam kandis 1 buah
Garam 10
Lengkuas 35
Jahe 75
Santan kelapa 1,5 liter
Rendang dibuat dengan cara memotong-motong daging sapi menjadi
berbentuk kubus-kubus kecil (20 kubus/kg), dicuci menggunakan air keran,
kemudian dicampur dengan bumbu-bumbu seperti yang dicantumkan pada
tabel 1 dan direndam selama 2 jam. Setelah direndam dengan bumbu, daging
tersebut ditempatkan dalam wajan dan dimasak selama 20 menit sampai
airnya habis. Santan dan asam kandis ditambahkan ke dalam campuran
tersebut kemudian direbus kembali selama 20 menit. Setelah dimasak, daging
diambil dan campuran bumbu tanpa rendang direbus kembali selama 30
menit dalam wajan sampai campuran bumbu mengental dan berwarna coklat.
Daging yang telah masak kemudian ditaruh kembali dalam wajan dan ditumis
selama 2 jam. Rendang kemudian dibiarkan turun suhunya menjadi suhu
ruang sebelum dikemas vakum dalam kantong berlaminasi. Dua bagian
31
daging dimasukkan dalam tiap kantong dan disimpan dalam freezer semalam
pada suhu -18°C (Irawati et al., 2000).
Pangan olahan siap saji berbasis daging sapi diiradiasi dengan dosis
tinggi yaitu 45 kGy yang dilakukan di irradiator IRKA dengan kapasitas
sumber 195 kCi pada laju dosis 5,2 kGy/jam. Dosimeter untuk kalibrasi
menggunakan FW-60 film Radiochromic dan red Perspex. Kotak styrofoam
dengan ukuran yang sama dipakai sebagai wadah seperti yang digunakan
untuk iradiasi sup dan snack, berisi CO2 padat 10-15 kg untuk sekali proses
iradiasi.
Pada tahap pra-iradiasi, masing-masing bahan diolah ke dalam bentuk
produk siap santap, termasuk tahap pemanasan guna mengaktivasi enzim
autolitik, dilanjutkan dengan pengemasan, yaitu menggunakan kantung
laminasi tersebut dengan teknik vakum untuk mengurangi oksidasi lemak.
Iradiasi pangan siap saji dilakukan dengan suhu proses sekitar -50°C dengan
cara menggunakan CO2 padat (-79°C) yang diletakkan di dalam kotak
styrofoam berisi pangan siap saji. Teknik radiasi tersebut ditujukan untuk
mengeliminasi spora bakteri Clostridium botulinum dan bakteri pembentuk
spora lain seperti Bacillus spp. yang bersifat patogen, tanpa menurunkan
kualitas produk akhir. Diagram alir aplikasi radiasi pengion dari sumber
radionuklida kobalt-60 pada dosis 45 kGy pada pangan olahan siap saji
(produk berbasis ikan, daging sapi dan unggas) disajikan pada gambar 1.
32
Gambar 2. Diagram alir aplikasi radiasi pengion dari sumber radionuklida kobalt-
60 pada dosis 45 kGy terhadap pangan olahan siap saji (produk
berbasis daging) (Irawati, 2009).
Berdasarkan studi Irawati et al. (2000), hasil pengukuran kadar air, protein, lemak
dan pH rendang iradiasi yang disimpan sampai dengan 18 bulan pada suhu ruang
dapat dilihat pada tabel 2.
- Bahan baku yang digunakan: daging
sapi
- Bumbu
- Air
Tahap pembuatan pangan olahan sesuai resep masing-masing
Masing-masing dimasukkan dalam kondisi panas ke dalam
kantong laminasi PET/Al-foil/LLDPE (@ kemasan 300g)
kemudian divakum 80%
Dibekukan pada suhu -18°C selama 48 jam
Kotak styrofam + CO2 padat
Diiradiasi dengan dosis 45 kGy
Dikondisikan sampai sisa CO2 padat habis
kemudian produk dipindahkan dan disimpan pada
suhu 28-30°C
33
Tabel 2. Hasil pengukuran kadar air, protein, lemak dan pH rendang iradiasi
yang disimpan sampai dengan 18 bulan pada suhu ruang
Waktu
penyimpanan
(bulan)
Kadar air
(%)
Kadar protein
(%)
Kadar lemak
(%)
pH
0 59,23 16,35 27,15 6,50
6 57,20 16,20 27,00 5,70
12 56,70 16,13 26,85 5,35
18 55,55 15,93 26,50 5,30
V. RADIKAL BEBAS
Radikal bebas adalah spesies kimia yang mengandung satu atau lebih
elektron yang tidak berpasangan. Definisi tersebut dapat secara luas diartikan
dan tidak menunjukkan secara spesifik mengenai letak elektron yang tidak
berpasangan. Definisi demikian lebih disukai sebab kebanyakan ion logam
transisi dapat juga diklasifikasikan sebagai radikal bebas sehingga hubungan
erat antara oksigen dan ion logam reaktif lebih mudah dimengerti (Gutteridge,
1995).
Baik anion superoksida dan radikal hidroksi merupakan radikal bebas
yang memiliki potensi bereaksi dengan makromolekul biologis dan kemudian
memicu kerusakan jaringan. Hidrogen peroksida (H2O2) itu sendiri merupakan
agen pengoksidasi yang lemah, tetapi dengan adanya ion logam transisi seperti
besi, anion superoksida mengubah ferri menjadi ferro, yang kemudian dapat
bereaksi dengan H2O2 untuk menghasilkan hidroksi radikal yang lebih reaktif.
Reaksi berantai radikal bebas pada sistem hidup adalah peroksidasi lipida
yang diperantarai oleh radikal bebas oksigen dan dipercaya merupakan
penyebab penting perusakan membran sel dan kerusakan sel (Yoshikawa et
al., 1997).
Menurut Morello et al. (2002), pembentukan dan reaksi radikal sangat
berkaitan. Skema umum dari autoksidasi lipida – inisiasi, propagasi dan
terminasi – menyediakan sebuah kerangka reaksi radikal pada umumnya.
34
Inisiasi : pembentukan sumber primer radikal biasanya terjadi
akibat pembelahan homolitik (homolytic fission), foto-eksitasi dan
reaksi redoks yang dibantu ion logam transisi.
Propagasi: reaksi radikal-molekul menghasilkan produk reaksi
terkarakterisasi. Reaksi ini meliputi abstraksi, substitusi, adisi dan
fragmentasi.
Terminasi: Reaksi radikal-radikal akan saling menetralkan. Reaksi
meliputi penggabungan dan disproporsionasi.
Saat ini, telah banyak diketahui berbagai peran radikal bebas in vivo.
Beberapa merupakan peran negatif dan lainnya adalah peran positif. Telah
diketahui bahwa radikal superoksida anion memiliki peranan penting dalam
fagositosis. Radikal bebas juga memiliki peranan penting dalam transduksi
sinyal dan menginduksi apoptosis yang memicu kematian sel terprogram.
Keterlibatan radikal bebas sering ditunjukkan dalam oksidasi enzimatis asam-
asam lemak misalnya oleh lipoksigenase. Salah satu karakteristik reaksi
radikal bebas adalah situs serangan radikal seringnya tidak bersifat selektif
tetapi acak. Semakin reaktif suatu radikal, maka ia menjadi semakin tidak
selektif. Sebagai contoh, radikal hidroksi menyerang hampir semua molekul
secara acak. Di sisi lain, radikal peroksi lebih tidak reaktif dan menyerang
molekul secara lebih selektif. Radikal bebas menyerang lipida, gula, protein
dan DNA untuk menginduksi oksidasi dengan mekanisme berantai yang
menyebabkan kerusakan membran, modifikasi protein, deaktivasi enzim, dan
kerusakan DNA. Kerusakan-kerusakan tersebut pada akhirnya akan
menyebabkan berbagai penyakit, kanker, dan penuaan (Niki, 1997).
Lipida, asam nukleat, enzim dan protein merupakan molekul target
penting dari kerusakan biologis yang disebabkan oleh radikal bebas oksigen.
Khususnya, asam lemak tidak jenuh yang berlokasi di bagian lipofilik pada
membran sel cenderung diserang oleh radikal oksigen yang menghasilkan
peroksida lemak melalui sebuah reaksi berantai dari peroksidasi lipida
(Yoshikawa et al., 1997). Tahap-tahap dalam peroksidasi lipida dapat dilihat
pada gambar 3.
35
Gambar 3. Tahapan peroksidasi lipida (Hatherill et al., 1911)
Protein dan penyusunnya rentan terhadap serangan OH• yang dihasilkan
dari H2O2 atau alkoksi lipida dan radikal peroksi sebagai konsekuensi
pembentukan radikal intermediet peroksidasi lipida. Salah satunya adalah
lisin, yang dapat dimodifikasi oleh produk stabil dari hasil peroksidasi lipida
seperti malonaldehida atau 4-hidroksinonenal (Evans, 1990).
Menurut Supari (1996), membran plasma merupakan tempat utama
reaksi radikal bebas, karena memiliki struktur yang terdiri dari asam lemak
tidak jenuh yang sangat mudah teroksidasi (lipid peroksidasi). Rusaknya asam
lemak tidak jenuh pada membran plasma akan mengganggu permeabilitas
membran dan radikal bebas semakin mudah masuk ke dalam sel dan
mempengaruhi atau bereaksi dengan organel yang terdapat di dalam sel.
Misalnya merusak lisosom, merusak inti sel, mengakibatkan kerusakan DNA
sehingga menimbulkan mutagenesis. Hal inilah yang mendasari patogenesis
kanker. Radikal bebas juga merusak karbohidrat di dalam sel, sehingga
merusak reseptor. Perusakan asam lemak tidak jenuh akan membentuk
36
aldehida (malonaldehida) dan hidroksinonenal, yang mengakibatkan
terjadinya ikatan silang (cross linkage) pada lipida, protein, fosfolipida dan
asam nukleat.
W. EFEK IRADIASI PADA KOMPONEN PANGAN
Iradiasi pada bahan apapun dapat menghasilkan deposisi energi pada
bahan yang diiradiasi. Energi yang terdeposisi ini dapat menyebabkan reaksi
kimia yang ditunjukkan oleh pembacaan pada dosimeter. Jika bahan yang
diiradiasi merupakan pangan, perubahan kimia dalam pangan tersebut dapat
diperkirakan kejadiannya akan terus meningkat berbanding lurus dengan
naiknya dosis iradiasi (Diehl, 1995). Perubahan kimia yang diinduksi proses
radiasi merupakan bagian yang penting dalam mengevaluasi keamanan
konsumsi pangan iradiasi, karena perubahan-perubahan ini mampu
menyebabkan radiolisis komponen penyusun bahan pangan.
Radiolisis air menghasilkan •OH, e-aq dan •H yang merupakan spesies
reaktif serta hidrogen dan hidrogen peroksida yang merupakan produk akhir
yang stabil. Hidrogen dan hidrogen peroksida dihasilkan dalam jumlah kecil,
meskipun pangan diiradiasi dengan dosis tinggi. Pembentukan hidrogen
peroksida, yang diketahui merupakan agen pengoksidasi, dianggap signifikan
dalam keamanan pangan iradiasi, meskipun sebenarnya tidak begitu
signifikan dibandingkan dengan pembentukan produk intermediet yang
sangat reaktif. Radikal hidroksil merupakan agen pengoksidasi yang kuat,
elektron terhidrasi merupakan agen pereduksi yang kuat, sementara atom
hidrogen adalah agen pereduksi yang kurang efektif. Karena semua bahan
pangan mengandung senyawa yang dapat dioksidasi maupun direduksi,
reaksi-reaksi reduksi maupun oksidasi terhadap bahan pangan mungkin saja
terjadi (Diehl, 1995).
Dengan keberadaan air, karbohidrat biasanya diserang oleh radikal
•OH, sementara elektron terlarut dan atom H hanya berperan kecil. Radikal
•OH memutus ikatan hydrogen C-H dan membentuk air. Bergantung pada
posisi molekuler C=O yang dibentuk melalui disproporsionasi atau dehidrasi,
37
produk akhirnya dapat berupa asam, keton, atau aldehida. Sebagai contoh,
produk radiolitik utama yang dihasilkan dari pati jagung yang diiradiasi
adalah asam format, asetaldehida, formaldehida, maltosa, aseton, metanol,
juga malonaldehida (Diehl, 1995).
Protein juga menjadi molekul target serangan radikal bebas. Sebagai
contoh, semua residu asam amino protein merupakan target serangan radikal
hidroksi yang diproduksi oleh radiasi pengion, meski beberapa residu
dihasilkan karena sebab lain. Radikal protein dibentuk oleh sebuah serangan
radikal yang menyebabkan pemotongan rantai polipeptida, ikatan silang
(crosslinking), oksidasi dan modifikasi asam amino. Perubahan
konformasional memicu meningkatnya kerentanan terhadap proteolisis dan
denaturasi panas juga kehilangan fungsi biologis (Niki, 1997).
Bagian lemak dari pangan didominasi oleh trigliserida. Dengan adanya
oksigen pada saat iradiasi, autooksidasi dipercepat dengan mekanisme yang
sama seperti autooksidasi akibat cahaya atau keberadaan logam. Jika udara
tidak dikeluarkan dari kemasan, maka peroksida dapat mencapai nilai tinggi.
Akan tetapi hal ini tidak berlaku pada pangan yang terdiri dari hanya sedikit
bagian lipida. Beberapa penelitian pada iradiasi daging menunjukkan bahwa
protein atau kemungkinan produk hasil interaksi antara karbohidrat dan
protein memberikan efek antioksidan yang meningkat dengan semakin
tingginya dosis iradiasi, sehingga dapat melindungi lipida dari perubahan
oksidatif (Diehl, 1995).
Beberapa penelitian lain pada iradiasi daging mentah menunjukkan
bahwa setelah proses iradiasi, nilai peroksida dan kadar malonaldehida
produk daging iradiasi lebih tinggi dibandingkan produk sejenis yang tidak
diiradiasi. Menurut Ahn dan Jo (1999a), radiasi pengion menghasilkan radikal
hidroksi dan dapat meningkatkan laju oksidasi lipida. Ketika molekul-
molekul menyerap energi ionisasi, maka akan menjadi sangat reaktif dan
membentuk ion atau radikal bebas. Ion dan radikal bebas ini kemudian akan
bereaksi dan membentuk produk radiolitik stabil. Senyawa volatil yang
menyebabkan off-odor pada daging iradiasi dihasilkan akibat iradiasi pada
38
molekul protein dan karbohidrat dan bukan merupakan hasil dari oksidasi
lipida.
X. KEAMANAN PANGAN
Dalam situasi praktis, yang menjadi faktor kritis bukanlah toksisitas
intrinsik dari suatu senyawa kimia, tetapi lebih kepada resiko bahaya yang
berhubungan dengan penggunaan senyawa tersebut. Dalam ilmu pangan dan
gizi, sangat penting untuk memahami konsep resiko dan keamanan relatif,
bahaya, dan toksisitas yang dihubungkan dengan konsumsi pangan. Resiko
merupakan adanya kemungkinan (probabilitas) bahwa suatu senyawa akan
menghasilkan bahaya dalam kondisi tertentu yang spesifik. Keamanan absolut,
di sisi lain, merupakan jaminan bahwa kerusakan atau cedera akibat
penggunaan suatu senyawa adalah tidak mungkin terjadi. Bagaimanapun,
keamanan mutlak tidak mungkin dapat dicapai, sehingga, konsep keamanan
relatif pun diperkenalkan (Hall, 1991). Keamanan pangan relatif kemudian
dapat didefinisikan sebagai kepastian praktis bahwa cedera atau kerusakan
tidak akan dihasilkan akibat konsumsi pangan atau ingredien yang digunakan
dalam pengolahan pangan dengan cara dan dalam jumlah yang dapat
dipertanggungjawabkan (Deshpande, 2002).
Keamanan pangan tidak hanya merujuk kepada pangan itu sendiri, tetapi juga
kepada orang yang mengonsumsi. Sebagai contoh, pangan yang dianggap
aman bagi sebagian besar orang ketika digunakan dengan cara dan dalam
jumlah yang dapat dipertanggungjawabkan dapat menjadi sangat toksik,
bahkan letal, bagi individu tertentu yang sensitif atau mempunyai alergi
(Deshpande, 2002).
Y. TOKSIKOLOGI IRADIASI
Pengertian keamanan pangan ditingkatkan dengan mendefinisikan dua
konsep dasar, toksisitas dan bahaya. Toksisitas dapat diartikan sebagai
kapasitas sebuah senyawa untuk menyebabkan bahaya atau cedera, baik kronis
39
maupun akut dalam kondisi apapun. Hal ini temasuk kapasitas untuk merusak
fetus yang sedang berkembang (teratogenisitas), mengubah kode genetik
(mutagenisitas), atau untuk menginduksi kanker (karsinogenisitas). Lebih
jauh, adanya penyimpangan apapun dari normal dilihat sebagai kemungkinan
efek negatif, meskipun perubahannya mungkin terlihat positif, misalnya
kenaikan laju pertumbuhan atau peningkatan penyerapan nutrien. Perubahan
diasumsikan negatif sampai dibuktikan menguntungkan (Deshpande, 2002).
Di sisi lain, bahaya merupakan probabilitas relatif bahwa kerusakan atau
cedera akan terjadi ketika senyawa yang digunakan dalam jumlah dan cara
yang disarankan. Pengujian keamanan suatu pangan atau ingredien harus tidak
didasarkan pada apakah pangan atau ingredien tersebut memiliki toksisitas
alami tapi berdasar pada apakah menghasilkan suatu bahaya atau tidak
(Deshpande, 2002).
Toksisitas suatu bahan dapat diartikan sebagai kapasitas bahan untuk
memicu terjadinya reaksi berkebalikan pada makhluk hidup. Dalam hal ini
berhubungan dengan timbulnya efek yang tidak diharapkan oleh tubuh (Vries,
1997).
Teknik pengujian toksisitas dapat diklasifikasikan menjadi 3 kategori
umum: teknik biologis atau bioassay, teknik yang didasarkan pada metode
kimia dan/atau fisik, dan teknik yang berdasar pada pengikatan nonkovalen
antara satu reaktan dengan reaktan yang lain. Teknik yang ketiga juga disebut
dengan binding assay. Teknik biologis atau bioassay mengukur respon yang
mengikuti pengaplikasian stimulus pada suatu sistem biologis. Stimulus yang
diaplikasikan direpresentasikan oleh standar atau sampel uji yang
mengandung senyawa yang aktif secara biologis atau analit. Sistem biologis
yang menerima stimulus mungkin merupakan organisme multiseluler, utuh,
seperti binatang atau tumbuhan; organ yang diisolasi atau jaringan dari
organisme multiseluler; atau sel utuh atau mikroorganisme. Keuntungan
teknik biologis adalah spesifitas umumnya untuk bentuk-bentuk analit yang
aktif secara biologis. Bioassay adalah metode analisis yang lebih disukai
ketika bahan uji mengandung campuran bentuk analit yang aktif maupun
inaktif yang tidak dapat dipisahkan secara efektif. Di sisi lain, analit mungkin
40
berada dalam berbagai bentuk aktif yang memengaruhi situs target yang sama
tetapi dengan aktivitas biologis yang berbeda dan ada dalam jumlah yang tidak
diketahui. Selain spesifisitas yang tinggi, uji biologis (bioassay) juga sangat
sensitif. Maka, uji biologis digunakan jika tidak ada metode alternatif lain
yang cocok dan tersedia (Deshpande, 2002).
Menurut Vries (1997), Pengujian toksisitas suatu senyawa dapat
dilakukan secara in vitro yaitu dengan menggunakan sel limfosit manusia.
Keuntungan pengujian secara in vitro adalah uji yang digunakan sangat
sensitif dan dampak yang ditimbulkan dapat dilihat langsung. Efek dari
ketoksikan suatu bahan dapat diamati dari seberapa banyak jumlah sel limfosit
yang mati bila dibandingkan dengan keadaan awal dan dengan mengamati
tingkat proliferasi sel limfosit.
Pada tahun 1980, Food and Agriculture Organization, International
Atomic Energy Agency dan World Health Organization (FAO/IAEA/WHO)
menyatakan bahwa iradiasi terhadap pangan dengan dosis rata-rata sampai
dengan 1 Mrad (10 kGy) tidak menunjukkan bahaya toksikologi dan tidak
menghasilkan perubahan nutrisi dan mikrobiologi khusus; sehingga pengujian
toksikologi bagi pangan yang demikian tidak diperlukan (WHO, 1981).
Selanjutnya, FDA mengusulkan bahwa pangan yang secara khusus diiradiasi
pada dosis tidak melebihi 100 krad dapat dianggap aman. Berdasarkan
Amandemen Bahan Tambahan Pangan (Food Additives Amendment) tahun
1958 terhadap Undang-Undang Federal Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika
(Federal Food, Drug, and Cosmetic Act) tahun 1938, iradiasi diatur sebagai
bahan tambahan pangan. Industri yang menggunakan proses iradiasi harus
menggunakan sumber-sumber iradiasi yang disetujui oleh FDA, dijelaskan
dalam Code of Federal Regulations CFR (21 CFR 179.26): sinar gamma dari
unit kobalt-60 atau sesium-137 yang disegel, elektron yang diakselerasi dari
sumber mesin (<10 MeV), atau sinar X yang dihasilkan dari sumber mesin
(<5 MeV). Karena pengurangan patogen yang diinduksi iradiasi paling efektif
jika diterapkan setelah proses pengemasan, bahan pengemas juga harus
disetujui oleh FDA sebagai bahan pengemas yang aman selama kondisi
proses (Brewer, 2009).
41
Dosis maksimum yang diijinkan untuk daging tergantung pada jenis
dagingnya, daging unggas ataukah daging merah, dan apakah daging tersebut
hanya didinginkan atau dibekukan. Penggunaan iradiasi pada daging unggas
segar maupun beku disetujui pada tahun 1992 sementara untuk daging merah
disetujui pada tahun 1997 (FSIS, 1999). Untuk pengurangan patogen,
penggunaan dosis maksimum 4,5 kGy diperbolehkan untuk daging mentah
yang dibekukan; 3,0 kGy diperbolehkan untuk daging unggas segar atau beku
(Brewer, 2009).
Sementara itu, iradiasi dengan dosis di atas 10 kGy (iradiasi dosis tinggi) pada
bahan pangan dinyatakan aman sebagaimana halnya proses sterilisasi termal
yang berlangsung sampai saat ini (WHO, 1999). Meskipun demikian, data
pendukung keamanan pangan khususnya hasil uji toksisitas makanan siap saji
iradiasi berbasis resep tradisional masih sangat terbatas khususnya di negara-
negara berkembang.
Z. OKSIDASI LEMAK
Komposisi asam lemak yang menyusun membran dan lipoprotein
awalnya ditentukan oleh jenis pangan yang dikonsumsi. Diketahui bahwa rata-
rata vegetarian memiliki asam-asam lemak tidak jenuh, orang yang banyak
memakan daging-dagingan memiliki asam arakidonat tinggi, dan orang yang
banyak mengonsumsi ikan memiliki asam lemak tidak jenuh lebih tinggi
seperti asam eikosapentaenoat (EPA) dan asam dokosahenoat (DHA) (Niki,
1997).
Asam lemak tidak jenuh yang memiliki dua atau lebih ikatan lebih
rentan terhadap serangan radikal bebas dan autooksidasi. Kemudahan relatif
dioksidasi dari asam lemak tidak jenuh meningkat seiring dengan jumlah
ikatan rangkap. Telah diamati bahwa asam arakidonat dioksidasi lebih cepat
daripada asam linoleat pada oksidasi yang diamati pada membran eritrosit dan
lipoprotein densitas rendah (Niki, 1997).
42
AA. MALONALDEHIDA
Menurut Bird dan Draper (1984), malonaldehida (MDA) merupakan
produk hasil peroksidasi lipid dalam tubuh dan sebagai indeks ketengikan
oksidatif dalam makanan. Di dalam bahan biologi, malonaldehida terdapat
dalam bentuk bebas dan sebagai kompleks dengan unsur pokok lainnya di
dalam jaringan. Malonaldehida juga merupakan produk yang dihasilkan oleh
radikal bebas melalui reaksi ionisasi di dalam tubuh dan sebagai produk
samping biosintesis prostaglandin.
Asam lemak tak jenuh (ALTJ) sangat mudah mengalami proses
oksidasi. Karbon metilen antara dua ikatan rangkap ALTJ sangat sensitif
terhadap pengurangan hidrogen dan pembentukan senyawa radikal. Oksigen
dapat menyerang asam lemak yang telah kehilangan hidrogen, membentuk
senyawa radikal yang selanjutnya akan bereaksi dengan molekul lemak
lainnya dan menghasilkan antara lain senyawa aldehid dan keton. Senyawa
aldehida seperti hidroksialkenal, malonaldehida dan senyawa karbonil rantai
pendek lainnya telah diketahui bersifat toksik terhadap sel. Konsentrasi
malonaldehida dalam bahan biologi telah digunakan secara luas sebagai
indikator dan kerusakan oksidatif pada lemak tak jenuh sekaligus merupakan
indikator keberadaan radikal bebas (Zakaria, 1996)
Analisa malonaldehida merupakan analisa radikal bebas secara tidak
langsung dan merupakan analisa yang cukup mudah untuk menentukan
jumlah radikal bebas yang terbentuk. Analisa radikal bebas secara langsung
sangat sulit dilakukan, karena radikal ini merupakan senyawa yang tidak stabil
dan cenderung untuk merebut elektron senyawa lain agar menjadi lebih stabil.
Reaksi ini berlangsung sangat cepat sehingga pengukurannya sangat sulit bila
dalam bentuk senyawa radikal bebas (Gutteridge, 1995).
Menurut Conti et al. (1991), analisa jumlah MDA dapat menggunakan
metode TBA. MDA dapat bereaksi dengan TBA membentuk senyawa
kompleks MDA-TBA melalui reaksi nucleophilic addition reaction. Kompleks
senyawa MDA-TBA yang terbentuk memiliki warna merah jambu yang dapat
diukur menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 532 nm.
43
Reaksi pembentukan kompleks MDA-TBA pada metode pengukuran kadar
malonaldehida dapat dilihat pada gambar 4.
Gambar 4. Reaksi pembentukan kompleks MDA-TBA (Anonim, 2009a)
BB. KULTUR SEL
Kultur sel merupakan teknik yang biasa digunakan untuk
mengembangbiakkan sel di luar tubuh atau in vitro. Pada kultur sel, kondisi
kultur sel dibuat semirip mungkin dengan keadaan lingkungan awal di dalam
tubuh. Hal ini dimaksudkan untuk mempertahankan spesifitas sel. Keuntungan
penggunaan kultur sel adalah lingkungan tempat hidup sel dapat dikontrol,
seperti pH, tekanan osmosis, CO2 dan O2 sehingga kondisi fisiologis dari
kultur relatif konstan. Salah satu kelemahan dari teknik ini, yaitu kultur sel
harus dilakukan dalam kondisi steril (Freshney, 1994).
Menurut Malole (1990), faktor yang mendukung pertumbuhan sel dalam
kultur adalah media pertumbuhan. Pemilihan medium merupakan langkah
yang penting di dalam teknik kultur sel. Fungsi utama kultur sel adalah untuk
bertahan hidup dan juga menyediakan substansi-substansi yang tidak dapat
disintesa oleh sel itu sendiri. Selain itu, media kultur sel berfungsi
mempertahankan pH dan osmolalitas esensial untuk viabilitas sel dan juga
menyediakan nutrisi dan energi yang dibutuhkan untuk multiplikasi dan
pertumbuhan sel.
Media dipilih berdasarkan kandungan zat gizi yang disesuaikan dengan
jenis sel yang akan ditumbuhkan (Davis, 1994). Namun, sampai saat ini media
yang paling banyak dipakai adalah RPMI-1640 yang merupakan media sintetis
yang kaya nutrisi dan merupakan media terbaik untuk menumbuhkan limfosit
tikus dan limfosit manusia untuk jangka pendek (Freshney, 1994). Kandungan
44
lengkap RPMI-1640 dapat dilihat pada lampiran 1 dan kandungan medium
PBS dapat dilihat di lampiran 2.
Pertumbuhan sel memerlukan kondisi lingkungan yang mendukung,
seperti pH lingkungan 7,4, pH di bawah 6,8 biasanya menghambat
pertumbuhan sel, temperatur 37°C, konsentrasi oksigen 95%, serta konsentrasi
karbon dioksida 5%. Pengaturan pH lingkungan yang stabil dilakukan dengan
penambahan sodium bikarbonat. Media yang mengandung buffer bikarbonat
akan membutuhkan fase gas yang mengandung CO2 untuk mempertahankan
kondisi pH tersebut, sedangkan oksigen tetap menjadi faktor utama yang
dibutuhkan sel agar dapat berkembang biak secara normal pada kondisi aerob.
Pengaturan suhu, konsentrasi gas oksigen dan karbon dioksida tersebut untuk
menyamakan kondisi media kultur seperti kondisi di dalam tubuh (Freshney,
1992).
Harrison dan Rae (1997) menyatakan fungsi penambahan sodium
bikarbonat yaitu mempertahankan pH, mempertahankan tekanan osmotik dan
menyediakan sumber energi melalui reaksi:
NaHCO3 + H2O
Na+ +HCO3- + H2O
Na+ + H2CO3 + OH
-
Na++ OH
- + H2O + CO2 kebasaan meningkat
Salah satu kelemahan penggunaan sodium bikarbonat adalah
membutuhkan campuran gas 5% atau 10% CO2 dalam 95% atau 90% udara
untuk ekuilibrasi.
Sistem buffer normal dalam media kultur merupakan sistem karbon
dioksida-bikarbonat yang analog dengan yang terjadi dalam darah. Sistem ini
merupakan sistem buffer yang lemah di mana pKanya di bawah kondisi
optimum fisiologis, sehingga membutuhkan penambahan karbon dioksida
pada headspace di atas medium untuk mencegah kehilangan karbon dioksida
dan kenaikan ion hidroksil. Kapasitas buffer medium ditingkatkan dengan
fosfat yang ada dalam balanced salt solution (BSS) (Freshney, 1992)
Penyebab kontaminasi yang paling sering terjadi adalah kegagalan
dalam menerapkan teknik aseptis yang digabung dengan kepercayaan yang
45
berlebihan pada efektifitas antibiotik. Antibiotik yang paling sering digunakan
adalah campuran penisilin dan streptomisin, meskipun ada masalah dalam
menggunakan campuran ini secara kontinu dengan alur sel yang dipertahankan
dalam jangka waktu lama. Antibiotik lain yang juga sering digunakan adalah
gentamisin (50-100 µg/ml), kanamisin (100 µg/ml) dan kloramfenikol (5
µg/ml) (Harrison dan Rae, 1997).
CC. DARAH
Darah adalah suspensi yang terdiri dari elemen-elemen atau sel-sel, dan
plasma yaitu larutan yang mengandung berbagai molekul organik dan
anorganik (Williams, 1987). Menurut Carpenter (1975), jumlah total darah
dalam tubuh hewan yang normal adalah 1/12 berat tubuhnya, sedangkan pada
manusia dewasa rata-rata memiliki volume 12-14 pints (6,816-7,952 liter).
Menurut Eurell (2004), di dalam tubuh manusia terdapat tiga jenis sel
darah, yaitu sel darah merah (eritrosit), sel darah putih (leukosit), dan keping
darah (trombosit). Sel darah merah menyusun sedikitnya 45% dari total
volume darah, sedangkan sel darah putih yang tersusun atas neutrofil, basofil,
eosinofil, limfosit dan monosit menyusun kurang dari 1% dari seluruh total
volume darah. Komposisi elemen seluler darah manusia dapat dilihat pada
tabel 3.
46
Tabel 3. Komposisi elemen seluler darah manusia (Ganong, 1990 ; Shier et
al., 2002*)
Elemen seluler Rata-rata
sel/ml
Kisaran normal
(/mm3darah)
% dari leukosit
normal
1. Leukosit
Granulosit
Neutrofil
Eosinofil
Basofil
Agranulosit
Limfosit
Monosit
9,00 x 103
5,40 x 103
2,75 x 102
35
2,750 x 103
5,40 x 102
4,00-11,00 x 103
3,00-6,00 x 103
1,50-3,00 x 102
0-100
1,50-4,0 x 103
3,00-6,00 x 102
-
50-70
1-4
0,4
20-40
2-8
2. Eritrosit
Laki-laki
Wanita
5,4 x 106
4,8 x 106
4,6-6,2 x 106*
4,2-5,4 x 106*
-
-
3. Platelet 300.000 1,5-3,5 x 105 -
DD. LIMFOSIT
Limfosit dibawa ke hampir semua jaringan dan organ vertebrata tingkat
tinggi lewat dua jaringan sirkulasi, darah dan sistem limfa. Limfosit terdapat
sebanyak 20-80% dari sel bernukleasi dalam darah dan lebih dari 99% dalam
cairan limfatik (limfa) (Weissman et al., 1978).
Limfosit merupakan bagian dari sel darah putih yang bersifat
agranulosit, berukuran kecil, berbentuk bulat dengan diameter 7-12 µm dan
banyak terdapat pada organ limfoid seperti limpa, kelenjar limfe dan timus.
Sel ini merupakan inti dalam proses respon imun spesifik karena sel-sel
limfosit dapat mengenal setiap jenis antigen, baik antigen yang terdapat pada
intraseluler maupun ekstraseluler (Kresno, 1996).
Guyton dan Hall (2006) mengatakan bahwa limfosit manusia berjumlah
sekitar 30% dari jumlah normal sel darah putih. Limfosit dapat membentuk
ratusan jenis antibodi dan limfosit sensitif yang berbeda-beda. Masing-masing
47
jenis sifatnya spesifik untuk suatu antigen yang khusus dan tiap jenisnya dapat
menggandakan diri mencapai jumlah yang sangat besar apabila distimulasi
oleh antigen spesifik yang jumlahnya cukup.
Limfosit dibentuk di dalam sumsum tulang dan berdiferensiasi menjadi
sel limfosit T dan limfosit B. Secara umum, limfosit dapat dibagi menjadi 3
kelompok utama, yaitu sel B, sel T dan sel natural killer (NK). Sel B dan sel T
memiliki reseptor pada permukaan yang mampu mengenal antigen tertentu,
sedangkan sel NK tidak memiliki reseptor untuk mengenal antigen. Pada
manusia normal, sel limfosit B berjumlah 5-15% dan sel limfosit T berjumlah
sekitar 65-80% dari jumlah limfosit dalam tubuh. Kedua sel tersebut berperan
sebagai respon spesifik di mana sel B berperan di dalam respon imun humoral
dan sel T berfungsi dalam sistem imun seluler, sedangkan sel natural killer
berperan dalam respon imun nonspesifik (Harris, 1991).
a. Limfosit T (sel T)
Limfosit T berasal dari sel hematopoetik di sumsum tulang belakang,
sel ini kemudian pindah ke timus dan menjadi dewasa. Di organ timus sel
T sangat cepat membelah diri. Pada proses pendewasaannya, sel ini
mengalami diferensiasi menjadi Thelper (Th) Tsuppresor (Ts) dan
Tcytotoxic (Tc) (Bellanti, 1993). Thelper dapat dibedakan dari Tcytotoxic
pada adanya glikoprotein yang berbeda pada permukaan membran mereka.
Sel T yang memiliki CD4 berfungsi sebagai TH sedangkan sel T dengan
CD8 pada permukaannya berfungsi sebagai TC. Sel berproliferasi menjadi
sel T memori dan berbagai sel efektor yang mensekresi berbagai limfokin.
Limfokin ini berpengaruh pada aktivasi sel B, sel Tc, sel NK dan sel lain
yang terlibat dalam respon imun (Roitt, 1991)
b. Limfosit B (sel B)
Limfosit B dewasa di sumsum tulang dan meninggalkan sumsum
tulang dengan mengekspresikan sebuah reseptor pengikatan antigen yang
unik pada membrannya. Reseptor sel B merupakan molekul antibodi
terikat membran. Ketika sebuah sel B naif, yang belum bertemu antigen,
bertemu dengan antigen yang memiliki antibodi terikat membran spesifik
untuk pertama kalinya, sel akan mulai membelah dengan cepat.
48
Progeninya akan berdiferensiasi menjadi sel B memori dan sel B efektor
yang disebut dengan sel plasma.
Sel B memori memiliki waktu hidup lebih lama dan terus
mengekspresikan antibodi terikat membrannya dengan spesifisitas yang
sama seperti B sel naif awalnya. Sel plasma tidak mengekspresikan
antibodi terikat membran dalam bentuk yang dapat disekresi. Meskipun sel
plasma hanya hidup beberapa hari, namun sel-sel ini dapat mensekresikan
antibodi dalam jumlah besar selama hidup. Diperkirakan bahwa satu sel
plasma dapat mensekresikan lebih dari 2000 molekul antibodi per detik.
Antibodi yang disekresi merupakan molekul efektor yang penting dalam
imunitas humoral (Kuby, 1997).
EE. PROLIFERASI SEL LIMFOSIT
Respon proliferasi limfosit pada sistem in vitro digunakan untuk
menggambarkan fungsi limfosit dan status imun individu. Proliferasi
merupakan fungsi biologis, yaitu proses diferensiasi dan pembelahan sel
secara mitosis (Fletcher et al., 1994). Sel limfosit juga dapat berproliferasi
secara nonspesifik jika dikultur dengan senyawa mitogen (Zakaria et al.,1992)
sehingga banyak dipakai untuk menguji aktivitas sel limfosit.
Menurut Kuby (1997), mitogen merupakan agen yang dapat
menginduksi pembelahan sel B atau T dengan persentase tinggi. Tidak seperti
imunogen, yang hanya mengaktivasi reseptor limfosit yang spesifik untuk
imunogen tersebut, sebuah mitogen dapat mengaktivasi banyak klon sel B atau
T tanpa melihat spesifitas antigennya. Karena kemampuannya ini, mitogen
dikenal sebagai aktivator poliklonal.
Beberapa jenis mitogen yang umum merupakan protein yang mengikat
gula yang disebut lektin, yang mengikat secara spesifik glikoprotein pada
permukaan berbagai sel, termasuk limfosit. Pengikatan molekul lektin ke
glikoprotein membran sering memicu aglutinasi, atau pengklusteran sel, yang
kemudian mungkin memicu aktivasi seluler dan proliferasi. Beberapa jenis
mitogen yang digunakan untuk menstimulasi aktivitas proliferasi sel limfosit
49
adalah pokeweed (PWM), fitohemaglutinin (PHA), concanavalin A (Con A),
dan lipopolisakarida (LPS) bakteri gram negatif. PHA, Con A dan PWM
adalah lektin. Terdapat sejumlah mitogen yang hanya dapat mengaktivasi sel
limfosit B atau sel limfosit T saja dan ada pula yang dapat mengaktivasi
populasi keduanya. Pokeweed merupakan jenis mitogen yang mampu
mengaktivasi kedua jenis sel limfosit B dan T. Mitogen PHA dan Con A dapat
merangsang transformasi blast subpopulasi sel T. Sementara LPS akan
bereaksi dengan membran plasma sel B dan menghasilkan aktivitas seluler
(Ganong, 1979).
PWM bersumber dari tanaman pokeweed (Phytolacca americana)
dengan struktur molekul polimerik dengan ligan di N-asetilkitobiose,
sementara Con A bersumber dari jack bean dan PHA bersumber dari kacang
merah (kidney bean). Baik Con A maupun PHA memiliki struktur molekul
tetramer (Kuby, 1997).
FF. MTT ASSAY
Teknik yang sangat luas digunakan melibatkan penggunaan garam
tetrazolium (MTT atau [3-(4,5-dimethylthiazol-2-yl)-2,5-diphenyltetrazolium
bromide] yang dimetabolisme menjadi garam formazan berwarna oleh
aktivitas enzim mitokondria pada sel hidup. Metode ini pertama kali
digunakan pada tahun 1983 sebagai metode kolorimetri yang cepat untuk
penelitian bidang imunologi dan modifikasi penggunaan metode ini telah
banyak diaplikasikan. Teknik ini sangat berguna khususnya untuk menguji
suspensi sel karena spesifisitasnya terhadap sel hidup. Pertimbangan ini tidak
begitu penting pada kultur monolayer karena sel mati kehilangan sifat
menyerapnya. Salah satu kelemahan teknik ini adalah keharusan untuk
menggunakan sel tidak tetap (unfixed cells) yang mungkin menyebabkan
keterbatasan waktu. Teknik ini memiliki potensi untuk digunakan dalam
pengujian sensitivitas obat pada tumor manusia, dan laporan-laporan awal
mengenai penelitian tersebut menunjukkan hasil yang memuaskan. Beberapa
publikasi terbaru menyebutkan beberapa masalah teknis yang memengaruhi
50
interpretasi hasil pengujian yang harus dipertimbangkan ketika merencanakan
protokol pengujian. Hal ini termasuk kemungkinan aktivitas enzim
mitokondria pada sel yang diberi perlakuan obat dan efek pengkondisian
medium oleh sel pada saat produksi formazan. Spektrum absorpsi MTT-
formazan juga diketahui tergantung pada pH dan kerapatan sel, namun sebuah
metode telah diperjelas dan mampu menjawab permasalahan dan
meningkatkan linearitas hubungan antara MTT-formazan dan kerapatan sel
khususnya pada jumlah sel yang besar (Freshney, 1992).
Uji MTT tetrazolium merupakan salah satu metode analisis kolorimetrik
untuk mengukur viabilitas sel yang paling banyak digunakan, karena MTT
dapat diubah menjadi kristal biru formazan yang tidak larut air oleh aktivitas
enzim dehidrogenase di dalam sel hidup, kemudian OD formazan secara tidak
langsung akan menunjukkan jumlah sel yang hidup. Bagaimanapun, telah
diketahui juga bahwa reliabilitas dan sensitivitas metode ini dipengaruhi oleh
berbagai faktor diantaranya volume sel, antioksidan dan senyawa berwarna
lainnya (Wang et al., 2006) .
Enzim suksinat dehidrogenase adalah salah satu enzim yang berperan
aktif selama proses respirasi seluler secara aerobik. Enzim suksinat
dehidrogenase merupakan flavoprotein yang mengandung protein dengan
ikatan Fe (besi) dan S (belerang). Enzim ini terikat pada bagian membran
mitokondria yang berfungsi sebagai reduktor selama tahapan siklus Krebs dan
transport elektron. Pada siklus Krebs, enzim ini menerima hidrogen dari
suksinat dan bertugas menghidrogenasi suksinat menjadi fumarat serta
menghasilkan FADH2. FADH2 yang dibentuk akan mengalami reoksidasi
pada rantai transport elektron yang berkaitan erat dengan pembentukan energi
(ATP) dalam proses fosforilasi oksidatif (Lehninger, 1982).
Suksinat dehidrogenase merupakan satu-satunya enzim terikat membran
dalam siklus asam sitrat, lainnya adalah komponen matriks mitokondria,
sehingga enzim ini ditempatkan untuk menyalurkan elektron secara langsung
ke mekanisme transpor elektron pada membrane mitokondria (Voet et al.,
2006).
51
Menurut Freimoser et al. (1999), MTT assay merupakan metode uji
viabilitas sel kuantitatif yang lebih praktis, cepat dan efisien dengan hasil yang
cukup akurat dibandingkan dengan menggunakan metode pewarnaan tripan
biru yang dilakukan secara manual pada pengujian sel fungi. Reduksi garam
tetrazolium merupakan cara yang dapat dipercaya untuk mendeterminasi
proliferasi sel limfosit. Garam tetrazolium MTT yang berwarna kuning
berkurang sebagai akibat proses metabolisme sel, terutama karena aktivitas
kerja enzim suksinat dehidrogenase. Kristal formazan tidak larut air berwarna
biru tua yang terbentuk dapat dilarutkan dengan pelarut organik seperti
isopropanol, etil asetat, dietil eter atau n-butanol dan kemudian diukur dengan
spectrophotometer microplate reader.
Sel yang berproliferasi aktif secara metabolik daripada sel yang tidak
berproliferasi (ada pada tahap istirahat), maka uji ini sesuai tidak hanya untuk
penentuan aktivasi sel dan proliferasi. Uji kolorimetrik merupakan uji yang
cepat dan mudah. Karena teknik ini tidak membutuhkan pencucian maupun
pemanenan sel, uji lengkap dari awal mikrokultur sampai analisis data dalam
sebuah ELISA plate reader dapat dilakukan pada lempeng mikrokultur yang
sama (Rode et al., 2009).
Reaksi reduksi pewarna MTT oleh enzim suksinat dehidrogenase yang
dihasilkan sel hidup dapat dilihat pada gambar 5.
Gambar 5. Reaksi reduksi pewarna MTT oleh enzim suksinat
dehidrogenase (The University of Queensland, 2009)
Kandungan enzim suksinat dehidrogenase relatif konstan di antara
berbagai sel dengan tipe spesifik sehingga jumlah formazan yang dihasilkan
52
dapat dipercaya berbanding lurus terhadap jumlah sel. Pengujian jumlah
proliferasi sel limfosit manusia menggunakan uji MTT dengan mengukur nilai
absorbansi yang akan digunakan untuk mendapatkan nilai indeks stimulasi
(I.S.). Metode ini sering digunakan untuk mengukur proliferasi sel dan
toksisitas sel. Semakin tinggi absorbansi maka semakin tinggi pula nilai
indeks stimulasi yang menandakan semakin banyak jumlah sel limfosit yang
hidup. Sebaliknya, semakin rendah absorbansi maka semakin rendah indeks
stimulasi yang berarti semakin banyak sel limfosit yang mati.
GG. ERITROSIT
Eritrosit adalah sel yang berukuran kecil dan berdiameter kira-kira 7,5
µm. Sel ini berbentuk lempeng bikonkaf yang artinya tipis di bagian tengah
dan tebal di bagian pinggir. Bentuknya yang khusus ini merupakan adaptasi
fungsi sel darah merah yaitu dalam mentranspor gas. Bentuknya menyebabkan
luas permukaan menjadi lebih besar di mana gas-gas dapat berdifusi. Selain
itu, membran selnya menjadi lebih dekat dengan molekul pembawa oksigen –
hemoglobin – dalam sel. Akibatnya, sel darah merah dapat dengan mudah
berubah bentuk ketika melewati kapiler. Pada pria normal, jumlah rata-rata sel
darah merah per milliliter kubik adalah 4.600.000-6.200.000 dan pada wanita
normal 4.200.000-5.400.000. Jumlah sel darah merah biasanya naik setelah
beberapa hari melakukan latihan berat atau jika sedang berada di tempat yang
lebih tinggi karena kenaikan jumlah oksigen yang dibutuhkan (Shier et al.,
2002). Pembentukan eritrosit merupakan subyek dari kontrol umpan balik.
Pembentukannya dihambat oleh kenaikan level sirkulasi sel darah merah
terhadap nilai supernormal dan distimulasi oleh anemia, juga distimulasi oleh
hipoksia dan kenaikan pada jumlah sel darah merah yang bersirkulasi
merupakan ciri umum karena aklimatisasi ketinggian (Ganong, 1990).
Karena fungsinya yang sangat penting di dalam tubuh dan
kerentanannya terhadap oksidasi, banyak sekali penelitian yang menggunakan
eritrosit sebagai model untuk mempelajari kerusakan oksidatif biomembran
dan pengaruh berbagai senyawa yang terdapat pada makanan, dalam
53
menghambat terjadinya kerusakan pada membran. Pada umumnya parameter
yang digunakan untuk mengetahui terjadinya kerusakan pada membran adalah
persentase hemolisis yang terjadi pada eritrosit. Semakin tinggi persentase
hemolisis yang terjadi menandakan semakin parahnya kerusakan yang terjadi
pada membran eritrosit, begitu pula sebaliknya, semakin rendah persentase
hemolisis yang terjadi menandakan semakin tahan membran sel terhadap
kerusakan (Amri, 2007).
Eritrosit dipilih sebagai model in vitro untuk mempelajari interaksi
oksidan/antioksidan karena membrannya kaya akan asam lemak tidak jenuh
yang sangat rentan terhadap peroksidasi yang diperantarai oleh radikal bebas,
dan dianggap dapat mewakili membran plasma secara umum (Shiva Shankar
Reddy et al., 2007).
HH. HEMOLISIS ERITROSIT
Hemolisis adalah pecahnya sel darah merah dan keluarnya hemoglobin
ke dalam plasma. Hemolisis eritrosit kemungkinan merupakan hasil akhir dari
kerusakan minor pada membran eritrosit. Integritas struktur membran
merupakan ciri penting resistansi eritrosit terhadap serangan peroksidatif
(Gratzer, 1981). Eritrosit juga rentan terhadap stres oksidatif karena adanya
fosfolipida membran yang tidak jenuh (Gain dan Shohet, 1981), paparan yang
terus menerus terhadap tensi oksigen tinggi dan adanya logam transisi dalam
jumlah berlebih yang dapat bertindak sebagai agen redoks (Pryor, 1976).
Adanya hemoglobin dan senyawa hematin lainnya mungkin juga
meningkatkan proses peroksidasi lipida (Tappel, 1953). Kerusakan sel darah
merah diperkirakan terjadi baik karena oksidasi membran atau denaturasi
hemoglobin (Hatherill et al., 1991).
Pada dasarnya ketika sel darah merah telah mencapai batas akhir masa
hidupnya, sekitar 120 hari, akan terjadi hemolisis secara alami. Proses ini
diawali dengan menurunnya volume sel hingga 13%, meningkatnya
sensitivitas membran sel karena faktor stress, menurunnya deformabilitas, dan
54
beberapa perubahan pada daya adhesi dan transpor membran (Bartosz, 1990).
Keadaan tersebut nantinya akan menuju kepada hemolisis sel darah merah.
Pengujian aktivitas antihemolisis pada sel darah merah dapat dilakukan
dengan penambahan larutan pengoksidasi seperti H2O2, senyawa-senyawa
aldehida seperti formaldehida, asetaldehida, atau glutaraldehida dan juga
aloksan (Rose dan Gyorgy, 1950)
II. ANTIOKSIDAN
Antioksidan adalah senyawa yang ketika berada dalam jumlah kecil,
dibandingkan dengan substrat yang dioksidasi, dapat menunda atau
menghambat oksidasi substrat. Antioksidan dapat beraksi pada beberapa
tahap berbeda dalam sebuah sekuensi oksidatif, sebagaimana diilustrasikan
dengan melihat oksidasi lipida yang terjadi di membran sel atau produk kaya
lipida. Antioksidan dapat bekerja dengan cara: a) membuang oksigen atau
menurunkan konsentrasi oksigen lokal; b) membuang ion logam katalitik; c)
membuang spesien kunci oksigen reaktif; d) mengikat radikal bebas yang
menginisiasi seperti spesies hidroksil, alkoksil dan peroksil; e) memutus
rantai sekuens yang telah diinisiasi; f) memecah atau mengikat oksigen
singlet (Gutteridge, 1995).
JJ. KOMPONEN BIOAKTIF DALAM BUMBU RENDANG
Dalam pembuatan rendang digunakan berbagai bumbu dan rempah,
seperti cabai merah, bawang merah, bawang putih, daun sereh, daun kencur,
daun jeruk, asam kandis, lengkuas dan jahe. Bumbu dan rempah ini juga
memiliki kandungan komponen bioaktif yang memiliki antioksidan dan
manfaat bagi kesehatan. Komponen bioaktif ini mungkin memiliki peran
membantu melawan radikal bebas yang mungkin ada pada pangan iradiasi.
55
1. Cabai merah (Capsicum anuum)
Cabai merah memiliki kandungan komponen capsaicin dan
dihidrocapsaicin yang memiliki peran dalam memberikan rasa pedas pada
cabai. Oleoresin dari cabe merah mengandung 6,38% capsaicin yang
kepedasannya setara dengan satu juta unit Scoville (Farrell, 1990).
2. Bawang Merah (Allium cepa L.)
Bawang merah (Allium cepa L.) diketahui memiliki banyak
komponen flavonoid seperti quercetin, kaempferol, yang ditemukan dalam
berbagai bentuk mono dan diglikosida, misalnya rutin (quercetin-3-
rutinoside). Selain itu, bawang merah memiliki banyak senyawa yang
mengandung sulfur yang volatil (Wetli, 2004), seperti alliin, and g-
glutamilsistein (Corzo-Martinez et al.., 2007). Senyawa bersulfur inilah
yang berperan sebagai antimikroba (Rose et al., 2005).
3. Bawang Putih (Allium sativum L.)
Bawang putih memiliki komponen bioaktif bersulfur yang tidak jauh
berbeda dengan bawang merah seperti ajoene, dan juga komponen lain
seperti b-chlorogenin dan quercetin (Rahman dan Lowe, 2006). DAS,
diallil sulfoksida (DASO), diallyl sulfone (DASO2), DADS, DATS, dan
SAC yang terdapat pada bawang putih memiliki aktivitas antikanker
(Sigounas et al., 1997).
4. Sereh (Cymbopogon citratus)
Pada penelitian yang dilakukan Yoo et al. (2008) didapatkan bahwa
sereh memiliki komponen fenolik dan flavonoid. Jumlah komponen
fenolik pada sereh sebesar 662,0 mg GAE/100 g, sementara jumlah
komponen flavonoid sebesar 300,5 mg CE/100 g. Berdasarkan penelitian
Figueirinha et al. (2008), komponen bioaktif yang terdapat pada sereh
adalah tannin, kafeat, turunan asam p-kumarat, dan glikosida flavon
(apigenin dan turunan luteolin).
56
5. Daun kunyit (Curcuma longa)
Kunyit mengandung senyawa kurkumin yang merupakan
antioksidan larut lemak yang kuat. Banyak studi telah membuktikan
aktivitas antioksidan kurkumin baik dalam sistem in vitro maupun in vivo.
Kurkumin memiliki karakteristik anti-inflamasi dan menunjukkan bahwa
komponen ini dapat menghambat peroksidasi lipida dalam berbagai model
uji hewan (Reddy dan Lokesh, 1994). Kurkumin dibiosintesis pada daun,
kemudian ditranspor ke rimpang kunyit untuk disimpan (Dixit dan
Srivastava, 2000).
6. Daun jeruk (Citrus aurantifolia)
Menurut studi Rasooli dan Razzaghi-Abyaneh (2004), minyak
esensial yang diekstrak dari daun jeruk memiliki aktivitas antifungi dan
antiaflatogenik. Senyawa-senyawa yang terkandung dalam minyak
esensial yang diekstrak dari daun jeruk adalah pinene, sabinene, myrcene,
telinene dan limonene. Senyawa dengan jumlah terbanyak pada minyak
esensial tersebut adalah limonene (85,5%).
7. Asam kandis (Garcinia xanthocymus)
Asam kandis merupakan tanaman yang termasuk keluarga Guttiferae
yang kaya akan xanthone, biflavonoid dan benzophenon (Sordat-Diserens
et al., 1989). Komponen bioaktif yang terdapat pada asam kandis adalah
xanthochymol, isoxanthochymol, volkensiflavone, morelloflavone, 1,5-
dihydroxyxanthone dan 1,7-dihydroxyxanthone (Karanjgoakar et al.,
1973).
8. Lengkuas (Alpinia galanga)
Seperti rempah lain, lengkuas kaya akan senyawa fenolik, seperti
flavonoid dan asam fenolat. Lengkuas memiliki komponen aktif kamfer,
galangi, galangol, eugenol, dan kurkumin (Muchtadi dan Sugiyono, 1992).
Menurut penelitian Mayachiew dan Devahastin (2008), ekstrak lengkuas
57
memiliki komponen aktif 1,8-cineole (20.95%), b-bisabolene (13.16%), b-
caryophyllene (17.95%) dan b-selinene (10.56%).
9. Jahe (Zingiber officinale)
Jahe memiliki komponen aktif, baik dalam bentuk volatil maupun
non-volatil. Komponen minyak yang volatil pada jahe utamanya terdiri
dari hidrokarbon sesquiterpen, yang didominasi zingeberene (35%),
curcumene (18%) dan farnesene (10%), dan l-bisabolene dan b-
sesquiphellandrene dengan jumlah lebih kecil. Persentase lebih kecil
terdiri dari dari 40 hidrokarbon monoterpenoid yaitu 1,8-cineole, linalool,
borneol, neral, dan geraniol yang memiliki jumlah paling banyak
(Govindarajan, 1982). Konstituen ini berkontribusi kepada aroma dan rasa
khas dari jahe.
Komponen non-volatil jahe seperti gingerol, shogaol, paradol, dan
zingerone menghasilkan sensasi pedas di mulut. Gingerol, yang terdiri dari
beberapa senyawa homolog kimia yang dibedakan oleh panjangnya rantai
alkil tak bercabang diidentifikasi sebagai komponen aktif dengan jumlah
terbesar pada rimpang segarnya (Govindarajan, 1982). Shogaol, bentuk
terdehidrasi dari gingerol, merupakan konstituen dominan jahe kering
(Connell and Sutherland, 1969). Paradol mirip gingerol dan merupakan
hasil hidrogenasi shogaol. Selain komponen tersebut, rimpang jahe juga
mengandung enzim proteolitik potensial yang disebut zingibain. Jahe
memiliki aktivitas antikanker, antioksidatif dan antimutagenik (Shukla dan
Singh, 2007).