Post on 09-Jul-2018
EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA
KOTA LUBUK LINGGAU PROVINSI SUMATERA SELATAN
TAHUN 2009-2013
SKRIPSI
Diajukan Dalam Rangka Memenuhi Syarat Untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)
OLEH :
TRI BAYU PURNAMA
NIM : 1110101000042
PEMINATAN EPIDEMIOLOGI
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1435 H/2014 M
i
ii
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
PEMINATAN EPIDEMIOLOGI
SKRIPSI, MEI 2014
TRI BAYU PURNAMA, NIM 1110101000042
EPIDEMIOLOGI SPASIAL KASUS MALARIA KOTA LUBUK LINGGAU
PROVINSI SUMATERA SELATAN TAHUN 2009-2013
(xiii + 180 halaman, 2 bagan, 17 gambar, 6 grafik, 30 tabel, 3 lampiran)
ABSTRAK
Malaria adalah penyakit bersumber binatang yang menjadi masalah kesehatan
masyarakat dunia. Orang yang berisiko malaria sebesar 2,3 miliar atau 41% dari populasi
dunia. Riskesdas 2013 mencatat bahwa 50% provinsi di Indonesia memiliki prevalensi
malaria di atas angka nasional. Epidemiologi spasial dapat digunakan untuk
menggambarkan distribusi kasus malaria berdasarkan keruangan. Insiden malaria di Kota
Lubuk Linggau masih diatas indikator MDGs dan kota ini belum melakukan pemetaan
endemis malaria. Oleh karena itu penelitian ini bermaksud untuk mengetahui
epidemiologi spasial kasus malaria di Kota Lubuk Linggau tahun 2009-2013.
Desain penelitian epidemiologi ini adalah ecological study. Pengumpulan data
dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk data kasus malaria, BMKG
Provinsi Sumatera Selatan untuk data lingkungan dan BAPPEDA Kota Lubuk Linggau
untuk data wilayah potensi perindukan nyamuk. Analisis data dilakukan dengan ukuran
frekuensi penyakit berupa rate, proporsi dan rasio.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kasus malaria yang diperiksa laboratorium
masih jauh dibawah indikator nasional sehingga perlu upaya pencapaian target ditahun
selanjutnya dan tidak terdapat pola khusus kasus malaria ditiap bulan, curah hujan, suhu
dan kelembaban. Laki-laki dan perempuan memiliki peluang yang sama untuk terinfeksi
malaria dengan kelompok anak-anak sebagai kelompok paling banyak terserang malaria
serta diindikasikan terjadi penularan setempat malaria. Analisis spasiotemporal kasus
malaria pada wilayah endemis malaria pada kecamatan selalu mengalami perubahan dan
wilayah potensi perindukan nyamuk adalah semak belukar, hutan, ladang/kebun, sawah,
dan permukiman.Perlindungan kelompok rentan dilakukan dengan penyuluhan kesehatan
dan kerja sama lintas sektor dan program, pengobatan dengan ACT, membangun sistem
kewaspadaan dini dan modifikasi lingkungan melalui upaya larvasidasi.
Kata Kunci : Epidemiologi, Spasial, Malaria
Daftar Bacaan : 104 (1993-2014)
iii
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCE
PUBLIC HEALTH STUDY PROGRAM
DEPARTEMEN OF EPIDEMIOLOGY
UNDERGRADUATED THESIS, May 2014
TRI BAYU PURNAMA, NIM 1110101000042
MALARIA INCIDENCE IN LUBUK LINGGAU CITY SOUTH SUMATERA
PROVINCE AT 2009-2013 : SPATIAL EPIDEMIOLOGY APPROACH
(xiii + 180 pages, 2 charts, 17 pictures, 6 graphics, 30 tables, 3 attachments)
ABSTRACT
Malaria is a mosquito borne disease that become a public health problem.
Population at risk in malaria is as 2,3 billion or 41% at population in the world. Basic
Health Research 2013 noted that 50% of provinces in Indonesia have malaria prevalence
above national rate. Spatial epidemiology can be used to describe malaria cases that based
on spatial distribution. Malaria incidence in Lubuk Linggau city is still above the MDGs
indicator and this city is not yet endemic malaria mapping. Therefore, aim of this research
describes the spatial epidemiology incidence in Lubuk Linggau city at 2009-2013.
Design of this epidemiological research is ecological studies. Data is collected at
health departement Lubuk Linggau city for malaria cases data, Bureau Meteorology,
Klimatology and Geophysics South Sumatera for enviromental data and Planning and
Developing City in Lubuk Linggau for breeding places region data. Data are analyzed by
measuring the frequency of disease by means of rate, ratio and proportion.
Result of this research is malaria cases that laboratorium confirmation still under
national indicator so that need to efforts raising target in next years. Trends of this cases
by month don’t show a spesific patterns and as well as the temperature, rainfall and
humidity. Men and women have same opportunity to infecting malaria. Majority children
are infected malaria and indicated to occur indigenous transmission. Spatiotemporal
analysis of malaria cases at endemic malaria region always changes. The potential
breeding places are shrubs, woods, garden, fields and resident. Protection of group risk
could do by communication, information and education along with cooperation accross
sector and programms, treatments by ACT, building early warning systems and
enviromental modification by larvaciding.
Keyword : Epidemiology, Spatial, Malaria
Reading List : 106 (1993-2014)
iv
v
vi
vii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama lengkap : Tri Bayu Purnama
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tempat, tanggal lahir : Lubuk Linggau, 14 Oktober 1992
Warganegara : Indonesia
Agama : Islam
Alamat : Jalan Hujan Gerimis No 545 RT 07 Kelurahan
Bandung Kiri Kecamatan Lubuk Linggau Barat 2
Kota Lubuk Linggau Provinsi Sumatera Selatan
Telepon : 081996294483
Email : tbayu93@gmail.com
Pendidikan Formal:
1. SD Negeri 18 Kota Lubuk Linggau (1998-2004)
2. SMP Negeri 1 Kota Lubuk Linggau (2004-2007)
3. MA Negeri 1 (Model) Kota Lubuk Linggau (2007-2010)
4. Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Program Studi Kesehtaan Masyarakat,
Peminatan Epidemiologi (2010-2014)
viii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena
berkat taufik dan hidayahNya skripsi ini dapat terselesaikan dengan judul
“Epidemiologi Spasial Kasus Malaria di Kota Lubuk Linggau Provinsi
Sumatera Selatan tahun 2009-2013”. Skripsi ini penulis susun dalam rangka
memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat,
pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa dalam penulisan skripsi ini banyak
kekurangannya. Namun berkat bimbingan Ibu Ratri Ciptaningtyas, SKM, MHS
dan Ibu Riastuti Kusuma Wardani, MKM serta dorongan dari berbagai pihak
maka hambatan itu sedikit banyak dapat diatasi.
Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan
umumnya bagi siapa saja yang memerlukannya. Akhir kata pada kesempatan ini
penulis menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya dan rasa terima kasih
yang tak terhingga kepada:
1. Prof. Dr (hc). dr. M. K. Tadjudin, Sp.And, selaku dekan Fakultas Kedokteran
dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak (alm) dan Mamak yang telah memberikan semangat, motivasi dan
kasih sayang kepada penulis dalam menyelesaikan penelitian ini. Serta kedua
kakak dan adik yang menjadi tempat motivasi dan semangat penulis untuk
menyegerakan menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih atas doa dan
usahanya. You raise me up, to more than I can be”.
3. Ratri Ciptaningtyas, SKM, MHS selaku pembimbing I skripsi. Terima kasih
atas waktu, ilmu, bimbingan, arahan, masukan, doa, dan kepercayaannya
yang diberikan kepada penulis.
4. Riastuti Kusuma Wardani, SKM, MKM selaku pembimbing II skripsi.
Terima kasih atas bimbingan, arahan, masukan, doa, waktu dan ilmu yang
diberikan kepada penulis.
5. Minsarnawati Tahangnacca SKM., M.Kes selaku dosen penanggungjawab
Peminatan Epidemiologi Program Studi Kesehatan Masyarakat UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
6. Para Dosen Kesehatan Masyarakat UIN Jakarta yang telah memberikan
ilmunya kepada penulis.
7. Para Dosen Peminatan Epidemiologi UIN Jakarta yang telah meluangkan
waktu sibuknya kepada mahasiswa epidemiologi untuk menggali ilmu yang
dimiliki. Terima Kasih Dr I Nyoman Kandun, DR dr Hariadi Wibisono, dr
ix
Toni Wandra PhD, Dr Cicillia Windianingsih, dr Sholah Imari M.Sc dll.
Terima kasih atas dedikasinya untuk dunia pendidikan terutama mendidik
calon epidemiolog handal di masa yang akan datang.
8. Gubernur Sumatera Selatan dan Kepala Kementerian Pendidikan Provinsi
Sumatera Selatan berserta para pegawai bidang Dikmenti yang memberikan
kesempatan kepada penulis berupa beasiswa sehingga dapat menyelesaikan
studi di Program Studi Kesehatan Masyarakat FKIK UIN Jakarta.
9. Kepala Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau dan Kepala Bidang
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Terima kasih atas
kebijaksanaannya yang memberikan kesempatan untuk penulis untuk meneliti
di Lubuk Linggau.
10. Defit Kurniawan, S.Kep yang bersedia direpotkan oleh penulis untuk tempat
konsultasi tentang malaria.
11. Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Kota Lubuk Linggau
yang memberikan penulis data tata guna lahan. Terima kasih untuk Pak
Safran yang membantu perizinan penelitian di BAPPEDA dan Staf Bidang
Fisik dan Sarana yang mau memberikan data Shapefile tata guna lahan.
12. Ketua Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika Stasiun Kenten
Provinsi Sumatera Selatan. Terima kasih atas segala kemudahan yang
diberikan kepada peneliti dalam proses perizinan penelitian.
13. Indra Purna, ST, M.Si yang berbaik hati kepada penulis dengan memberikan
data yang diinginkan dalam 1 hari. Terima kasih atas segala kebaikan dan
ilmu yang bapak berikan kepada penulis.
14. Fajar Nugraha, S.Si yang memberikan ilmu spasialnya kepada penulis.
Terima kasih atas kepercayaan, ilmu, arahan dan masukkannya kepada
penulis.
15. Dr Sholah Imari, M.Sc yang memberikan ilmu epidemiologinya kepada
penulis. Semoga ilmu, kebaikan, ketekunan dan pengabdian yang diberikan
dapat menular kepada penulis. Terima kasuh atas waktu dan bimbingannya
Pak Sholah.
16. Thanks to rekan seperjuangan para epidemiolog muda. Karlina, Tika, Nida,
Najah, II, Ati, Rizka, Wiwid, Putri, Bebe, dan Luthfi. Terima kasih teman
sejawat atas segala kontribusi, ilmu, semangat dan motivasinya kepada
penulis.
17. Thanks to rekan sejawat teman mahasiswa beasiswa kemitraan santri jadi
dokter angkatan 2010. Harun, Zata, Ayu, Ana, Randi, Arum, Rendy, Iid,
Luther, Lukluk, Finti, Lisa, Rusti, Rosi, Choyin, Rico, Ali, Qori, Nando, Fifin
dan Meli. Terima kasih atas segala kontribusinya.
18. Thanks to para ahli kesehatan masyarakat di masanya nanti, teman-teman
kesmas 2010. Uda Randika, Ucup, Ilham, Fuad, Prima, Alul, Supri, Mono,
x
Aziz, Agung, Angga, Richo, Angger, Akbar, Febri, dan Furin Terima kasih
atas segala kerjasamanya.
19. Semua pihak yang telah memberikan bantuannya sehingga skripsi ini dapat
terselesaikan.
Tak ada gading yang tak retak, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih
jauh dari sempurna, namun penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi
kita semua dan berharap ada kritik atau saran yang membangun untuk
kesempurnaan skripsi ini.
Ciputat, Mei 2014
Penulis
xi
DAFTAR ISI
Lembar Pernyataan....................................................................................................... i
Abstrak ......................................................................................................................... ii
Lembar Persetujuan ...................................................................................................... iv
Daftar Riwayat Hidup .................................................................................................. vi
Kata Pengantar ............................................................................................................. vii
Daftar Isi....................................................................................................................... x
Daftar Tabel, Gambar, Grafik dan Bagan .................................................................... xii
Daftar Istilah................................................................................................................. xiii
BAB I Pendahuluan ..................................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ................................................................................................ 1
1.2. Rumusan Masalah ........................................................................................... 7
1.3. Pertanyaan Penelitian ...................................................................................... 8
1.4. Tujuan Penelitian ............................................................................................ 8
1.5. Manfaat Penelitian .......................................................................................... 9
1.6. Ruang Lingkup Penelitian............................................................................... 10
BAB II Tinjauan Pustaka ............................................................................................. 12
2.1.Malaria ............................................................................................................. 12
A. Definisi Malaria ......................................................................................... 12
B. Gejala Klinis Malaria ................................................................................. 13
C. Etiologi Malaria ......................................................................................... 14
2.2.Epidemiologi Malaria....................................................................................... 15
A. Rantai Infeksi Malaria ................................................................................ 15
B. Segitiga Epidemiologi Malaria .................................................................. 20
2.3.Sistem Informasi Geografis.............................................................................. 40
A. Definisi Sistem Informasi Geografis .......................................................... 40
B. Analisis Spasial .......................................................................................... 42
C. Epidemiologi Spasial ................................................................................. 44
2.4.Kerangka Teori................................................................................................. 48
BAB III Kerangka Konsep Dan Definisi Operasional ................................................. 50
3.1. Kerangka Konsep ............................................................................................ 51
3.2. Definisi Operasional ....................................................................................... 52
BAB IV Metodologi Penelitian .................................................................................... 57
4.1.Desain Penelitian .............................................................................................. 57
4.2.Lokasi Dan Waktu Penelitian .......................................................................... 58
4.3.Populasi Dan Sampel ....................................................................................... 58
4.4.Cara Pengumpulan Data ................................................................................... 58
4.5.Rencana Manajemen Data................................................................................ 60
4.6.Analisis Data .................................................................................................... 62
4.7.Teknik Validasi Data Sekunder ....................................................................... 63
BAB V Hasil ................................................................................................................ 65
5.1.Gambaran Kasus Malaria Di Kota Lubuk Linggau Tahun 2009-
2013 .................................................................................................................. 65
A. Frekuensi Kasus Malaria ............................................................................ 65
xii
B. Kecenderungan Kasus Malaria ................................................................... 72
5.2.Karakteristik Faktor Host (Populasi) Pada Kasus Malaria di Kota
Lubuk Linggau Tahun 2009-2013 .................................................................... 74
A. Kasus Malaria Berdasarkan Jenis Kelamin ................................................ 74
B. Kasus Malaria Berdasarkan Umur ............................................................. 78
5.3.Karakteristik Faktor Agent (Penyebab) Pada Kasus Malaria di Kota
Lubuk Linggau Tahun 2009-2013 ................................................................... 81
A. Kasus Malaria Berdasarkan Jenis Plasmodium .......................................... 81
5.4.Karakteristik Faktor Environment (Lingkungan) Pada Kasus
Malaria di Kota Lubuk Linggau Tahun 2009-2013 ........................................ 83
A. Kasus Malaria Berdasarkan Curah Hujan .................................................. 83
B. Kasus Malaria Berdasarkan Suhu .............................................................. 84
C. Kasus Malaria Berdasarkan Kelembaban .................................................. 85
5.5.Epidemiologi Spasial Malaria di Kota Lubuk Linggau ................................... 86
A. Pemetaan Endemisitas Malaria .................................................................. 86
B. Pemetaan Ketinggian .................................................................................. 117
C. Pemetaan Wilayah Potensi Perindukan Nyamuk ....................................... 118
BAB VI Pembahasan ................................................................................................... 121
6.1.Keterbatasan Penelitian .................................................................................... 121
6.2.Kejadian Malaria di Kota Lubuk Linggau tahun 2009-2013 ........................... 126
6.3.Karakteristik Karakteristik Faktor Host (Populasi) Pada Kasus
Malaria di Kota Lubuk Linggau Tahun 2009-2013 ........................................ 130
A. Kasus Malaria Berdasarkan Jenis Kelamin ............................................... 130
B. Kasus Malaria Berdasarkan Umur ............................................................ 134
6.4.Karakteristik Faktor Agent (Penyebab) Pada Kasus Malaria di Kota
Lubuk Linggau Tahun 2009-2013 ................................................................... 137
A. Kasus Malaria Berdasarkan Jenis Plasmodium ......................................... 137
6.5.Karakteristik Faktor Environment (Lingkungan) Pada Kasus
Malaria di Kota Lubuk Linggau Tahun 2009-2013 ........................................ 145
A. Kasus Malaria Berdasarkan Curah Hujan ................................................. 145
B. Kasus Malaria Berdasarkan Suhu ............................................................. 148
C. Kasus Malaria Berdasarkan Kelembaban ................................................. 152
6.6.Epidemiologi Spasial Malaria di Kota Lubuk Linggau ................................... 155
A. Pemetaan Endemisitas Malaria ................................................................. 155
B. Pemetaan Ketinggian di Kota Lubuk Linggau .......................................... 167
C. Pemetaan Wilayah Potensi Perindukan Nyamuk ...................................... 170
BAB VII Kesimpulan dan Saran .................................................................................. 175
7.1. Simpulan ......................................................................................................... 175
7.2. Saran ............................................................................................................... 176
Daftar Pustaka .............................................................................................................. 178
xiii
DAFTAR BAGAN, GAMBAR, GRAFIK, DAN TABEL
Bagan 2.1. Segitiga Epidemiologi ....................................................................................... 49
Bagan 3.1. Kerangka Konsep Penelitian ............................................................................. 51
Gambar 5.1. Pemetaan Endemisitas Malaria Tahun 2009 .................................................. 89
Gambar 5.2. Pemetaan Endemisitas Malaria Tahun 2010 .................................................. 91
Gambar 5.3. Pemetaan Endemisitas Malaria Tahun 2011 .................................................. 93
Gambar 5.4. Pemetaan Endemisitas Malaria Tahun 2012 .................................................. 95
Gambar 5.5. Pemetaan Endemisitas Malaria Tahun 2013 .................................................. 96
Gambar 5.6 Pemetaan Malaria di Kecamatan Lubuk Linggau Barat 1 .............................. 98
Gambar 5.7. Pemetaan Malaria di Kecamatan Lubuk Linggau Barat 2 ............................. 101
Gambar 5.8. Pemetaan Malaria di Kecamatan Lubuk Linggau Timur 1 ............................ 104
Gambar 5.9. Pemetaan Malaria di Kecamatan Lubuk Linggau Timur 2 ............................ 106
Gambar 5.10. Pemetaan Malaria di Kecamatan Lubuk Linggau Selatan 1 ........................ 108
Gambar 5.11. Pemetaan Malaria di Kecamatan Lubuk Linggau Selatan 2 ........................ 110
Gambar 5.12. Pemetaan Malaria di Kecamatan Lubuk Linggau Utara 1 ........................... 111
Gambar 5.13. Pemetaan Malaria di Kecamatan Lubuk Linggau Utara 2 ........................... 113
Gambar 5.14. Pemetaan Ketinggian Kota Lubuk Linggau ................................................. 117
Gambar 5.15. Pemetaan Wilayah Potensial Perindukan Nyamuk ...................................... 116
Gambar 6.1. Stadium P. falcifarum Malaria Pada Sediaan Darah Tepi ............................. 136
Gambar 6.2. Stadium P. vivax dan P. ovale Malaria Pada Sediaan Darah ......................... 137
Gambar 6.3. Stratifikasi Endemis Malaria di Indonesia ..................................................... 156
Grafik 5.1. Kecenderungan Kasus Malaria Menurut AMI dan API ................................... 71
Grafik 5.2. Kecenderungan Kasus Malaria Menurut Bulan ................................................ 72
Grafik 5.3. Kecenderungan Kasus Malaria tahun 2009-2013 ............................................. 73
Grafik 5.4. Kecenderungan Kasus Malaria Menurut Jenis Kelamin .................................. 77
Grafik 5.5. Kecenderungan Kasus Malaria Menurut Umur ................................................ 80
Grafik 5.6. Kecenderungan Kasus Malaria dan Curah Hujan ............................................. 83
Grafik 5.7. Kecenderungan Kasus Malaria dan Suhu ......................................................... 84
Grafik 5.8. Kecenderungan Kasus Malaria dan Kelembaban ............................................. 85
Tabel 3.1. Definisi Operasional Penelitian ......................................................................... 52
Tabel 4.1. Daftar Variabel, Instrumen, dan Instansi Pengumpul Data Sekunder ............... 60
Tabel 5.1. Frekuensi Kasus Malaria Klinis Tahun 2009-2013 ........................................... 66
Tabel 5.2. Frekuensi Kasus Malaria Positif Tahun 2009-2013 ........................................... 66
Tabel 5.3. Annual Malaria Incidence Tahun 2009-2013 .................................................... 68
Tabel 5.4. Annual Parasite Incidence Tahun 2009-2013 ................................................... 69
Tabel 5.5. Rasio Kasus Malaria Klinis yang Terkonfirmasi Laboratorium ........................ 70
Tabel 5.6. Kasus Malaria Berdasarkan Jenis Kelamin ........................................................ 75
Tabel 5.7. Rasio Jenis Kelamin Kasus Malaria................................................................... 75
Tabel 5.8. Distribusi Kelompok Rentan Malaria Menurut Jenis Kelamin .......................... 76
Tabel 5.9. Distribusi Kasus Malaria Menurut Umur........................................................... 78
Tabel 5.10. Distribusi Kelompok Malaria Menurut Umur ................................................. 79
Tabel 5.11 Distribusi Kasus Malaria Berdasarkan Jenis Plasmodium ................................ 82
Tabel 5.12. Distribusi Kasus Malaria Berdasarkan Kecamatan Tahun 2009-2013 ............ 87
Tabel 5.13. Distribusi Kasus Malaria (AMI) Tahun 2009 .................................................. 88
Tabel 5.14. Distribusi Kasus Malaria (AMI) Tahun 2010 .................................................. 90
xiv
Tabel 5.15. Distribusi Kasus Malaria (AMI) Tahun 2011 .................................................. 92
Tabel 5.16. Distribusi Kasus Malaria (AMI) Tahun 2012 .................................................. 94
Tabel 5.17. Distribusi Kasus Malaria (AMI) Tahun 2013 .................................................. 96
Tabel 5.18. Kecamatan dengan Jumlah Kasus Malaria (AMI) Terbesar ............................ 98
Tabel 5.19 Distribusi Kasus Malaria di Kecamatan Lubuk Linggau Barat 1 ..................... 99
Tabel 5.20 Distribusi Kasus Malaria di Kecamatan Lubuk Linggau Barat 2 ..................... 101
Tabel 5.21 Distribusi Kasus Malaria di Kecamatan Lubuk Linggau Timur 1 .................... 104
Tabel 5.22 Distribusi Kasus Malaria di Kecamatan Lubuk Linggau Timur 2 .................... 107
Tabel 5.23 Distribusi Kasus Malaria di Kecamatan Lubuk Linggau Selatan 1 .................. 109
Tabel 5.24 Distribusi Kasus Malaria di Kecamatan Lubuk Linggau Selatan 2 .................. 111
Tabel 5.25 Distribusi Kasus Malaria di Kecamatan Lubuk Linggau Utara 1 ..................... 113
Tabel 5.26 Distribusi Kasus Malaria di Kecamatan Lubuk Linggau Utara 2 ..................... 114
Tabel 5.27. Kelurahan Dengan Jumlah Kasus Malaria Terbesar (AMI) ............................ 116
Tabel 6.1. Perubahan Siklus Sporogony Nyamuk Anopheles ............................................. 146
DAFTAR ISTILAH
ABER Annual Blood Examination Rate
ACD Active Case Detection
ACT Artemisinin-based Combination Therapy
AMI Annual Malaria Incidence
API Annual Parasite Incidence
IRS Indoor Residual Spraying
LLiN Long-Lasting Insecticidal Net
MBS Mass Blood Survei
MFS Mass Fever Survei
MS Survey malariometrik,
PCD Passive Case Detection
PMD Pembantu Malaria Desa
POSMALDES Pos Malaria Desa
RDT Rapid Diagnostic Test
SPR Slide Positivity Rate
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Malaria adalah salah satu penyakit yang penularannya bersumber
melalui nyamuk (Kemenkes, 2011 dan Arsin, 2012). Nyamuk Anopheles sp
membawa parasit Plasmodium sp infektif yang masuk ke dalam tubuh
manusia melalui gigitan nyamuk betina (Chin,2012). Parasit Plasmodium sp
yang ditemukan pada manusia terdiri dari Plasmodium malariae,
Plasmodium vivax, Plasmodium falciparum, Plasmodium ovale dan
Plasmodium knowlesi (Sutanto,2008). Plasmodium yang dibawa oleh
nyamuk Anopheles sp yang menginfeksi kepada manusia menimbulkan
masalah serius dalam kesehatan masyarakat (Rumbiak, 2006).
Malaria masih menjadi masalah kesehatan masyarakat (Nizar, 2011,
Nurbayani, 2013 dan Chahaya, 2003). Hal ini dikarenakan penyakit ini
dapat mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat melalui angka kesakitan
dan kematian pada masyarakat akibat malaria (Capah, 2008). Kelompok
masyarakat yang berisiko tertular malaria adalah bayi, ibu hamil dan
seseorang yang berkunjung ke daerah endemik malaria seperti wisatawan
dan pengungsi (Harijanto, 2000 dalam Rumbiak, 2006). Penularan penyakit
tidak hanya didaerah endemis malaria saja tetapi juga pada daerah tropis dan
di dunia (Putri, 2012).
2
Malaria sekarang ini hampir ditemukan di seluruh belahan dunia
terutama pada daerah tropis dan subtropis dengan penduduk yang berisiko
terkena malaria berjumlah sekitar 2,3 miliar atau 41% dari populasi dunia
(Arsin, 2012). Sedangkan World Health Organization (WHO) tahun 2011
mengestimasikan bahwa insiden malaria di dunia mencapai 215 juta kasus
dan diantara yang terinfeksi parasit Plasmodium sekitar 655 ribu. Kemudian
wilayah yang memiliki insiden malaria tertinggi adalah wilayah Afrika
dengan estimasi jumlah kesakitan akibat malaria sebesar 174 juta kasus dan
estimasi angka kematian akibat malaria sebesar 596 ribu kasus.
Selain wilayah Afrika, wilayah Asia Tenggara merupakan wilayah
kedua terbesar jumlah kasus malaria. Estimasi jumlah angka kesakitan
malaria di Asia Tenggara sebesar 28 juta kasus dengan angka kematian
akibat malaria sebesar 38 ribu kasus. Indonesia menjadi salah satu wilayah
di Asia Tenggara yang endemis malaria (WHO,2011).
Indonesia adalah negara yang memiliki tingkat variasi endemisitas
malaria. Riset Kesehatan Dasar/Riskesdas 2013 melaporkan bahwa dari 33
Provinsi di Indonesia, 15 provinsi mempunyai prevalensi malaria di atas
angka nasional dimana sebagian besar berada di Indonesia Timur. Hal ini
dapat mengindikasikan bahwa hampir separuh dari populasi Indonesia
bertempat tinggal di daerah endemik malaria dan diperkirakan ada 30 juta
kasus malaria setiap tahunnya. Riset Kesehatan Dasar/Riskesdas 2010
melaporkan bahwa angka kesakitan malaria di Indonesia sebesar 22,9 per
1000 penduduk dan prevalensi kasus malaria secara klinis per bulan antara
3
bulan Mei – Juni 2010 adalah 10,6% dan konfirmasi mikroskopis sebesar
0,6% (Riskesdas, 2010 dalam Isnawati, 2011). Tahun 2014, Indonesia sudah
harus menurunkan jumlah kasus malaria sebesar 1 per 1000 penduduk
berdasarkan Millenium Development Goals (MDGs). Oleh karena itu
diperlukan upaya pengendalian malaria melalui pencegahan dan pengobatan
malaria dalam program pengendalian malaria oleh Kementerian Kesehatan
dan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan Provinsi.
Program pengendalian malaria telah disusun oleh Kementerian
Kesehatan melalui Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 293/MENKES/SK/IV/2009 tentang Eliminasi Malaria Di Indonesia.
Kebijakan pemerintah dalam melakukan eliminasi malaria adalah kegiatan
pengendalian yang dilakukan secara menyeluruh dan terpadu oleh
Pemerintah, Pemerintah Daerah bersama mitra kerja pembangunan
kesehatan. Mitra kerja pembangunan kesehatan adalah LSM, dunia usaha,
lembaga donor, organisasi profesi, organisasi kemasyarakatan dan
masyarakat yang saling bersinergi dengan Pemerintah (Kemenkes, 2009).
Pemerintah telah menyusun program pengendalian malaria tetapi masih ada
permasalahan dalam program pengendalian malaria di Pemerintah Daerah
terutama di era desentralisasi.
Pemerintah Daerah di zaman desentralisasi memiliki kewenangan
dalam mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui
peningkatan pelayanan, pemberdayaan masyarakat dan peningkatan daya
saing daerah (Roosihermiatie,2012). Hal ini telah diamanahkan oleh
4
Undang-Undang No 32 tahun 2004 tentang Otonomi Daerah kepada
Pemerintah Daerah. Kemudian peran Pemerintah Daerah dalam
penanggulangan malaria dalam era otonomi dan desentralisasi dilaksanakan
berdasarkan surat edaran Mendagri No. 443.41/465/SJ tentang eliminasi
malaria di Indonesia. Berdasarkan hal tersebut maka peran aktif Pemerintah
Daerah menjadi hal yang menentukan dalam eliminasi malaria dan
menyusun program pengendalian malaria. Peran Pemerintah Daerah melalui
Dinas Kesehatan Kota/Kabupaten dalam pengendalian dan eliminasi malaria
adalah merencanakan, mengorganisasi dan mengevaluasi program
pengendalian malaria. Penyusunan program pengendalian malaria harus
berdasarkan evidence base (Rumbiak, 2006).
Ilmu dasar yang dapat membuat program pengendalian malaria
berbasis evidence base adalah epidemiologi. Epidemiologi adalah ilmu yang
digunakan untuk mengatasi masalah kesehatan dengan mempelajari
distribusi, frekuensi dan determinan suatu penyakit (Last, 1983 dalam
Bhopal, 2002). Dengan mengetahuinya hal tersebut, epidemiologi
memberikan informasi tentang pemetaan distribusi kasus malaria
berdasarkan orang, tempat dan waktu yang akan digunakan dalam
penyelesaian masalah malaria. Salah satu cara dalam menyelesaikan
masalah malaria adalah melakukan penyusunan dan perencanaan program
pengendalian malaria.
Perencanaan program pengendalian malaria berbasis epidemiologi
diawali dengan menggambarkan kasus malaria berdasarkan orang, tempat
5
dan waktu. Penggambaran distribusi kasus malaria berdasarkan hal tersebut
akan membantu dalam tindakan pencegahan kasus malaria di masyarakat.
Kementerian Kesehatan RI (2009) menjelaskan bahwa tindakan pencegahan
kasus malaria dapat dilakukan dengan sistem kewaspadaan dini kejadian
luar biasa malaria dengan melihat kecenderungan waktu yang ada,
perlindungan kelompok yang paling rentan terhadap malaria berdasarkan
karakteristik masyarakat dan tindakan intervensi di daerah endemis malaria.
Namun untuk melengkapi informasi terkait karakteristik tempat, maka cara
yang dilakukan adalah dengan epidemiologi spasial.
Pendekatan epidemiologi spasial dapat menggambarkan kasus malaria
berdasarkan analisis tempat sehingga menghasilkan informasi yang lebih
detail dan komprehensif. Epidemiologi spasial adalah analisis epidemiologi
yang mampu menjelaskan analisis keruangan wilayah kasus malaria.
Analisis keruangan ini dapat membantu dalam melakukan pemetaan dan
memetakan kasus yang ada disuatu komunitas/kelompok dengan pendekatan
analisis wilayah dan lingkungan (Lawson, 2006 dan Lai, 2007).
Salah satu penyakit yang dapat menggunakan pendekatan
epidemiologi spasial adalah malaria. Epidemiologi spasial kasus malaria
memberikan informasi yang lebih komprehensif untuk menjelaskan
bagaimana kasus malaria, peran lingkungan, tempat perindukan nyamuk,
dan peta wilayah endemisitas malaria saling mempengaruhi dalam analisis
keruangan/spasial. Oleh karena itu perlu pemanfaatan pendekatan
epidemiologi spasial dalam penyelesaian masalah malaria. Tetapi salah satu
6
daerah endemis malaria yang belum melakukan pendekatan ini dalam
penyelesaian masalah malaria adalah Kota Lubuk Linggau.
Kota Lubuk Linggau merupakan salah satu kota yang berada di
Provinsi Sumatera Selatan. Angka kesakitan malaria di kota ini dari tahun
2008 sampai 2012 secara berurutan adalah 13,05 ‰, 17,88‰ (Pusdatin,
2013), 13,58 ‰, 13,13 ‰ dan 10,21 ‰ (Dinkes Lubuk Linggau, 2013).
Annual Paracite Incidence (API) di Kota Lubuk Linggau di tahun 2012
sebesar 2,79 per 1000 penduduk (Dinkes Kota Lubuk Linggau, 2013)
padahal standar yang telah ditetapkan oleh Dinas Kesehatan Provinsi
Sumatera Selatan sebesar < 1,25 per 1000 penduduk (Dinkes Provinsi
Sumsel, 2010).
Angka kesakitan malaria di Kota Lubuk Linggau berada diperingkat
ke 3 setelah Kabupaten Ogan Komering Ulu (27,07 ‰) dan Kabupaten
Lahat (22,08 ‰) dengan jumlah malaria klinis sebesar 17,88 ‰. Hal ini
berarti bahwa angka kesakitan malaria di Kota Lubuk Linggau berada diatas
rata-rata angka kesakitan malaria di Provinsi Sumatera Selatan (8,44 ‰).
Oleh karena itu program pengendalian malaria perlu disusun untuk
menurunkan angka kesakitan malaria. Penyelesaian masalah malaria ini
harus berdasarkan fakta lapangan yang telah ada sehingga penyusunan
program perencanaan malaria dapat efektif dan efisien.
Fakta lapangan selama ini sudah dikumpulkan oleh Dinas Kesehatan
melalui laporan bulanan penemuan dan pengobatan kasus malaria
berdasarkan laporan rutin puskesmas tiap bulan. Tetapi laporan yang telah
7
dikumpulkan tiap bulan belum dianalisis secara rinci dan diinterpretasi lebih
lanjut. Laporan yang telah dikumpulkan akan menghasilkan sebuah
informasi baru tentang kelompok yang berisiko, waktu kasus malaria
terbanyak, pemetaan wilayah endemis malaria, dan analisa spasial secara
deskriptif kasus malaria.
Selain itu, Kota Lubuk Linggau belum melakukan pemetaan wilayah
endemis kasus malaria sehingga pada saat adanya pendistribusian kelambu
berinsektisida yang dibagikan oleh petugas program malaria puskesmas ke
masyarakat tidak dibagikan berdasarkan daerah dengan endemis malaria.
Proporsi pembagian kelambu ke masyarakat hanya berdasarkan pengalaman
petugas sehingga program pengendalian yang dilakukan tidak efektif untuk
melindungi kelompok rentan. Oleh karena itu peneliti ingin mengetahui
gambaran epidemiologi spasial kasus malaria di Kota Lubuk Linggau.
1.2. Rumusan Masalah
Kasus malaria yang masih tinggi di Kota Lubuk Linggau dibanding
dengan pencapaian MDGs tahun 2010-2014, jumlah malaria di Provinsi
Sumatera Selatan, status endemisitas kota dan program pengendalian
malaria belum berdasarkan evidence base sehingga malaria di Kota Lubuk
Linggau menjadi masalah kesehatan. Selain itu Kota Lubuk Linggau belum
melakukan pemetaan daerah endemis malaria sehingga pembagian kelambu
berinsektisida dan larvasida sebagai program pengendalian malaria tidak
diberikan pada wilayah yang endemis malaria. Oleh karena itu, rumusan
8
masalah penelitian ini adalah bagaimana epidemiologi spasial malaria di
Kota Lubuk Linggau tahun 2009-2013.
1.3. Pertanyaan Penelitian
1. Bagaimana frekuensi dan kecenderungan kejadian malaria berdasarkan
indikator AMI dan API di Kota Lubuk Linggau tahun 2009-2013?
2. Bagaimana karakteristik faktor host (populasi) pada kasus malaria
berdasarkan jenis kelamin dan umur di Kota Lubuk Linggau tahun 2009-
2013 ?
3. Bagaimana karakteristik faktor agent (penyebab) pada kasus malaria
berdasarkan jenis Plasmodium di Kota Lubuk Linggau tahun 2009-2013
?
4. Bagaimana karakteristik faktor environment (lingkungan) pada kasus
malaria berdasarkan curah hujan, suhu dan kelembaban di Kota Lubuk
Linggau tahun 2009-2013 ?
5. Bagaimana epidemiologi spasial malaria berdasarkan pemetaan
endemisitas malaria, ketinggian dan potensi perindukan nyamuk di Kota
Lubuk Linggau ?
1.4. Tujuan Penelitian
A. Tujuan Umum Penelitian
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui
epidemiologi spasial kasus malaria di Kota Lubuk Linggau
9
B. Tujuan Khusus Penelitian
1. Diketahuinya frekuensi dan kecenderungan kejadian malaria
berdasarkan indikator AMI dan API di Kota Lubuk Linggau
tahun 2009-2013.
2. Diketahuinya karakteristik faktor host (populasi) pada kasus
malaria berdasarkan jenis kelamin, dan umur di Kota Lubuk
Linggau tahun 2009-2013.
3. Diketahuinya karakteristik faktor agent (penyebab) pada kasus
malaria berdasarkan jenis Plasmodium di Kota Lubuk Linggau
tahun 2009-2013.
4. Diketahuinya karakteristik faktor environment (lingkungan)
pada kasus malaria berdasarkan curah hujan, suhu, dan
kelembaban di Kota Lubuk Linggau tahun 2009-2013.
5. Diketahuinya epidemiologi spasial malaria berdasarkan
pemetaan endemisitas malaria, ketinggian dan potensi
perindukan nyamuk di Kota Lubuk Linggau.
1.5. Manfaat Penelitian
A. Manfaat untuk Peneliti
Menambah wawasan mengenai gambaran perencanaan program
pengendalian malaria dan diharapkan dapat menjadi pengembangan
kompetensi diri sesuai dengan ilmu yang diperoleh selama
perkuliahan dalam meneliti masalah yang berkaitan dengan
epidemiologi perencanaan dan pelayanan kesehatan, epidemiologi
10
penyakit menular dan program penanggulangan penyakit menular
serta menjadi bahan bacaan dan bahan referensi bagi penelitian
selanjutnya.
B. Manfaat untuk Program Studi Kesehatan Masyarakat
Hasil penelitian dapat digunakan sebagai masukan untuk
penelitian berikutnya dengan mengembangkan metode yang lebih
luas ruang lingkupnya.
C. Manfaat untuk Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau
1. Memberikan informasi epidemiologi deskriptif dan pemetaan
endemisitas wilayah kasus malaria sehingga pengambil keputusan
dapat menyusun rencana dan strategi yang efektif dalam
penanganan malaria.
2. Memberikan informasi tambahan bagi pemerintah Kota Lubuk
Linggau dalam identifikasi masalah kesehatan berbasis data
laporan malaria untuk dijadikan landasan perencanaan program
malaria secara khusus dan perencanaan program kesehatan
lainnya.
1.6. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini tentang gambaran epidemiologi spasial malaria di Kota
Lubuk Linggau tahun 2009-2013. Penelitian ini menggunakan pendekatan
epidemiologi spasial dengan desain penelitian ecological studies. Cara
pengumpulan data dilakukan dengan analisis data laporan bulanan
11
puskesmas di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau, data iklim dari Badan
Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika Sumatera Selatan dan data
spasial/keruangan dari Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Kota
Lubuk Linggau.
Penelitian dilaksanakan oleh mahasiswa peminatan Epidemiologi
Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada bulan Februari 2014
sampai Mei 2014. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran
kasus malaria berdasarkan karakteristik host, agent dan enviroment kasus
malaria di Kota Lubuk Linggau tahun 2009-2013. Setelah diketahui
gambaran kasus malaria berdasarkan variabel penelitian, maka peneliti akan
melanjutkan dengan menganalisis spasial tingkat endemisitas malaria dan
wilayah berpotensi perindukan nyamuk di Kota Lubuk Linggau.
12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Malaria
A. Definisi Malaria
Malaria sebagai penyakit infeksi yang disebabkan oleh
Plasmodium. Penyakit ini dapat menyerang manusia, kera, burung,
dan hewan primata lainnya. Plasmodium yang menginfeksi manusia
beragam (Chin,2011. Sutanto, 2008 dan Mandal, 2008). Keempat
jenis malaria dan parasit penyebabnya adalah
1. Malaria tertiana disebabkan oleh P. vivax. Malaria tipe ini
memiliki gejala demam yang terjadi setiap dua hari sekali setelah
gejala pertama.
2. Malaria tropika (jungle fever/aestivo-autumnal/demam rimba)
disebabkan oleh P. falciparum. Parasit ini menghambat jalan
darah ke otak sehingga menyebabkan koma dan kematian.
3. Malaria kuartana disebabkan oleh P. malariae. Gejala pertama
terjadi 18-40 setelah terinfeksi. Pengulangan gejala terjadi tiap
tiga hari.
4. Malaria yang paling jarang ditemukan disebabkan oleh P. ovale.
13
B. Gejala Klinis Malaria
Gejala malaria terdiri dari demam dengan rentang waktu tertentu
(parokisme) dan diselingi oleh suatu periode dimana penderita tidak
menimbulkan demam (periode laten). Gejala yang khas pada penderita
malaria timbul pada kelompok penderita non imun. Sebelum
timbulnya fase demam, biasanya penderita merasa lemah, mengeluh
sakit kepala, kehilangan nafsu makan, merasa mual, di ulu hati, atau
muntah. Semua gejala awal ini disebut gejala prodormal (Arsin, 2011
dan Kemenkes, 2011).
Selain gejala umum yang disebutkan diatas, manifestasi klinis
juga menjadi khas pada jenis malaria tertentu. Gejala dari malaria
falciparum memberikan gambaran klinis yang sangat bervariasi
seperti demam, menggigil, berkeringat, batuk, diare, gangguan
pernafasan, sakit kepala dan dapat berlanjut menjadi ikterik, gangguan
koagulasi, syok, gagal ginjal dan hati, ensefalopati akut, edema paru
dan otak, koma, dan berakhir dengan kematian. Pada orang yang
mengalami koma dan gangguan serebral dapat menunjukkan gejala
disorientasi dan delirium. (Chin,2012 dan Kemenkes, 2011).
Selain malaria falciparum, gejala klinis parasit yang lain lebih
ringan dibanding falciparum. Gejala klinis yang ditimbulkan yaitu
mulai timbulnya rasa lemah, kenaikan suhu badan secara perlahan
dalam beberapa hari serta diikuti dengan menggigil dan kenaikan suhu
badan yang cepat. Gejala lain yang timbul pada fase ini adalah sakit
14
kepala, mual dan diakhiri dengan keluar keringat yang banyak (Chin
2012).
Orang yang pertama kali terserang malaria dan tidak diobati
berlangsung selama satu minggu sampai satu bulan/lebih.
Kekambuhan akan terjadi ditandai dengan tidak adanya parasitemia
dapat berulang sampai jangka waktu 5 tahun. Infeksi malaria kuartana
dapat bertahan seumur hidup dengan atau tanpa adanya episode
serangan demam. Orang yang mempunyai kekebalan parsial atau yang
telah memakai obat profilaksis tidak menunjukkan gejala khas malaria
dan mempunyai masa inkubasi yang lebih panjang (Chin,2012 dan
Kemenkes, 2011).
C. Etiologi Malaria
Malaria disebabkan oleh protozoa dari genus Plasmodium.
Parasit Plasmodium berasal dari genus Plasmodia, famili
Plasmodiidae, orde Coccidiidae dan sub-orde Haemosporiidae.
Sekarang ini telah teridentifikasi 100 spesies dari Plasmodia yang
terdapat pada burung, monyet, binatang melata, dan manusia. Pada
manusia hanya 4 (empat) spesies yang dapat berkembang yaitu: P.
falciparum, P. vivax, P. malariae dan P. ovale (Sutanto, 2008 dan
CDC, 2012).
15
2.2. Epidemiologi Malaria
A. Rantai Infeksi Malaria
Infeksi adalah proses masuknya mikroorganisme, beradaptasi dan
menjadi patogen didalam tubuh manusia (Timmrect, 2004). Infeksi
dapat ditimbulkan oleh adanya virus, bakteri, parasit, dan jamur yang
masuk ke dalam tubuh. Infeksi ini terjadi akibat dari adanya proses
seperti rantai yang saling terkait. Proses yang saling terkait ini terdiri
dari berbagai faktor yang saling mempengaruhi. Faktor tersebut adalah
agent, reservoir, portal exit, mode of transmission, portal of entry dan
host/pejamu yang rentan. Faktor ini dapat terjadi pada penyakit menular
dan salah satunya malaria. Berikut dijelaskan secara detail tentang
rantai infeksi pada malaria.
1. Agent Malaria
Malaria disebabkan oleh protozoa dari genus Plasmodium,
genus Plasmodia, famili Plasmodiidae, orde Coccidiidae dan sub-
orde Haemosporiidae. Pada manusia hanya 5 spesies yang dapat
berkembang yaitu: P. falciparum, P. vivax, P. malariae, P. ovale
dan P. knowlesi (Loka Litbang P2B2 Ciamis, 2013, Sutanto, 2008
dan CDC, 2012). Agen penyakit ini dapat berkembang di tubuh
manusia dan nyamuk Anopheles untuk menjadi infektif.
2. Reservoir Malaria
Keberadaan nyamuk malaria sangat tergantung pada kondisi
lingkungan, keadaan wilayah seperti perkebunan, keberadaan
16
pantai, curah hujan, kecepatan angin, suhu, sinar matahari,
ketinggian tempat dan bentuk perairan yang ada. Selain itu,
keberadaan nyamuk juga dipengaruhi oleh pola tanam padi. Hal ini
dapat diketahui dari tingkat kepadatan nyamuk. Jentik-jentik
nyamuk akan nampak di sawah kira-kira padi berumur 2-3 minggu
setelah tanam dan banyak ditemukan pada saat padi mulai
berbunga sampai menjelang panen. Hal yang berbeda jika musim
tanam padi yang tidak serempak maka nyamuk dapat ditemukan
sepanjang tahun dengan dua puncak kepadatan yang terjadi sekitar
bulan februari-april dan sekitar bulan Juli-Agustus (Loka Litbang
P2B2 Ciamis, 2013).
Pada dasarnya nyamuk malaria Tempat
perkembangbiakannya di genangan-genangan air yang terkena
sinar matahari langsung seperti genangan air di sepanjang sungai,
pada kobakan-kobakan air di tanah, di mata air-mata air dan
alirannya dan pada air di lubang batu-batu (Sutanto,2008). Tetapi
hasil temuan dari Centre of Disease Controls tahun 2012
menjelaskan bahwa tempat perkembangbiakan nyamuk Anopheles
juga terdapat pada habitat yang digenangi air bersih/tidak tercemar.
Banyak spesies lebih memilih habitat dengan vegetasi pohon
seperti pohon salak dan pakis haji serta beberapa spesies
berkembang biak di lubang pohon maupun di beberapa tanaman.
17
3. Portal of Exit
Nyamuk Anopheles betina mengisap darah manusia yang
mengandung parasit pada stadium seksual (gametosit). Darah yang
dihisap oleh Anopheles berupa gamet jantan dan betina yang
selanjutnya bersatu membentuk ookinet di perut nyamuk yang
kemudian menembus di dinding perut nyamuk. Lalu ookinet yang
berada di dinding perut nyamuk akan membentuk kista pada
lapisan luar dimana akan menghasilkan ribuan sporozoit. Proses
pembentukan kista ini membutuhkan waktu 8-35 hari dan sangat
tergantung dari jenis parasit dan kondisi lingkungan. Sporozoit-
sporozoit tersebut berpindah ke seluruh tubuh nyamuk dan
beberapa mencapai kelenjar ludah nyamuk. Sporozoit yang telah
matang didalam kelenjar ludah nyamuk akan siap untuk
menularkan penyakit (Sutanto, 2008).
4. Mode of Transmission Malaria
a. Penularan Secara Alamiah
Penularan secara alamiah terjadi melalui gigitan
nyamuk Anopheles betina yang telah terinfeksi oleh
Plasmodium. Sebagian besar nyamuk menggigit pada waktu
senja dan menjelang malam hari. Beberapa vektor
mempunyai waktu puncak menggigit pada tengah malam dan
menjelang fajar (Loka Litbang P2B2 Ciamis, 2013).
18
b. Penularan Bawaan
Penularan malaria dapat terjadi dengan malaria
bawaan (congenital) yaitu terjadi penularan antara ibu yang
menderita malaria ke bayi yang baru lahir melalui tali
pusat/plasenta. Selain itu penularan terjadi melalui transfusi
darah lewat jarum suntik. Penularan malaria lewat jarum
suntik banyak terjadi pada para pengguna morfinis yang
menggunakan jarum suntik yang tidak steril (Arsin,2011).
Selain itu penularan lewat oral terjadi pada burung, ayam (P.
gallinasium), burung dara (P. relectum) dan monyet (P.
knowlesi). (Susanna, 2005).
5. Portal of Entry
Parasit infektif masuk kedalam tubuh manusia melalui
gigitan nyamuk betina Anopheles dalam bentuk sporosit. Sporosoit
yang masuk kedalam tubuh manusia akan memasuki sel-sel hati
dan membentuk stadium skison eksoeritrositer. Selanjutnya sel hati
yang terinfeksi akan pecah dan parasit aseksual memasuki aliran
darah dan berkembang membentuk siklus eritrositer. Pada tahap ini
gejala klinis akan muncul akibat dari pecahnya sebagian skison-
skison eritrositik. Didalam eritrosit yang terinfeksi, beberapa
merosoit berkembang menjadi bentuk seksual yaitu gamet jantan
(mikrogamet) dan gamet betina (makrogamet) (Sutanto, 2008 dan
CDC, 2012).
19
Gametosit biasanya muncul dalam aliran darah dalam waktu
3 hari setelah parasitemia pada P. vivax dan P. ovale, dan setelah
10-14 hari pada P. falciparum. Beberapa bentuk eksoeritrositik
pada P. vivax dan P. ovale mengalami bentuk tidak aktif
(hipnosoit) yang tinggal dalam sel-sel hati dan menjadi matang
dalam waktu beberapa bulan atau beberapa tahun yang
menimbulkan relaps. Fenomena ini tidak terjadi pada malaria
falciparum dan malaria malariae, dan gejala-gejala penyakit ini
dapat muncul kembali sebagai akibat dari pengobatan yang tidak
adekuat atau adanya infeksi dari strain yang resisten. Pada P.
malariae sebagian kecil parasit eritrositik dapat menetap bertahan
selama beberapa tahun untuk kemudian berkembang biak kembali
sampai ke tingkat yang dapat menimbulkan gejala klinis (Chin,
2012. Arsin, 2011).
6. Host / pejamu yang rentan
Semua masyarakat merupakan kelompok rentan terhadap
malaria karena penyakit ini tidak mengenal kelompok usia tertentu.
Hanya saja akan terjadi kegawatdaruratan jika malaria menyerang
kelompok ibu hamil, bayi, pengungsi dan wisatawan sehingga akan
menimbulkan komplikasi seperti malaria selebral, anemia berat,
gagal ginjal akut dan sampai menimbulkan kematian (CDC, 2012,
Sutanto, 2008 dan Kemenkes 2011).
20
B. Segitiga Epidemiologi Malaria
1. Definisi Segitiga Epidemiologi Modern Malaria
Segitiga epidemiologi modern adalah model pengembangan
segitiga epidemiologi Jhon Gordon tahun 1950 yang menekankan
pada konsep penyebab penyakit berdasarkan single causal. Konsep
segitiga epidemiologi yang dikembangkan oleh Gordon ini terdiri
dari host, agent dan environment. Penerapan konsep single causal
ini, dapat menerangkan pada kasus penyakit yang disebabkan oleh
faktor tunggal seperti penyakit menular tapi akan sangat sulit
menggambarkan penyakit yang disebabkan oleh banyak faktor
seperti penyakit kronik.
Berdasarkan kelemahan pada konsep segitiga epidemiologi
tradisional ini, maka dikembangkanlah konsep segitiga
epidemiologi modern. Konsep yang diperbaiki adalah pertama,
dengan mengganti variabel faktor agent menjadi faktor penyebab.
Kedua, faktor environment lebih dikembangkan lagi yaitu
pendekatan lingkungan tidak hanya pada konsep biologis
timbulnya penyakit tapi juga konsep lingkungan sosial dan perilaku
yang juga mempengaruhi status penyakit seseorang. Ketiga, faktor
host yang tidak hanya berorientasi pada individu saja tetapi juga
pada mempertimbangkan pada aspek kelompok dan
karakteristiknya (Timmrect, 2004).
21
2. Komponen Segitiga Epidemiologi Modern Malaria
Komponen segitiga epidemiologi modern pada kasus malaria
adalah sebagai berikut
a. Faktor Penyebab (Agent)
1) Plasmodium sp
Agent atau penyebab penyakit malaria adalah semua
unsur atau elemen hidup ataupun tidak hidup dalam
kehadirannya bila diikuti dengan kontak yang efektif
dengan manusia yang rentan akan memudahkan terjadinya
suatu proses penyakit. Agent penyebab malaria adalah
protozoa dari genus Plasmodium. Penyebab penyakit ini
adalah parasit genus Plasmodia, famili Plasmodiidae, orde
Coccidiidae dan sub-orde Haemosporiidae. Sampai saat
ini dikenal hampir 100 spesies dari Plasmodia yang
terdapat pada burung, monyet, binatang melata, dan pada
manusia hanya 4 (empat) spesies yang dapat berkembang
yaitu: P. falciparum, P. vivax, P. malariae dan P. ovale
(Loka Litbang P2B2 Ciamis, 2013, Sutanto, 2008 dan
CDC, 2012).
Sifat parasit berbeda-beda untuk setiap spesies
malaria dan hal ini mempengaruhi terjadinya manifestasi
klinis dan penularan. P. falciparum mempunyai masa
infeksi yang paling pendek, namun menghasilkan
22
parasitemia paling tinggi, gejala yang paling berat dan
masa inkubasi paling pendek. Gametosit P. falciparum
baru berkembang setelah 8 – 15 hari sesudah masuknya
parasit ke dalam darah. Gametosit P. falciparum
menunjukkan periodisitas dan infektivitas yang berkaitan
dengan kegiatan vektor menggigit. P. vivax dan P. ovale
pada umumnya menghasilkan parasitemia yang rendah,
gejala yang lebih ringan dan mempunyai masa inkubasi
yang lebih lama. Sporozoit P. vivax dan P. ovale dalam
hati berkembang menjadi Skizon jaringan primer dan
Hipnozoit. Hipnozoit ini yang menjadi sumber untuk
terjadinya relaps (Arsin, 2011 dan Sutanto, 2008).
2) Pemeriksaan Agent
a) Pemeriksaan mikroskop
Salah satu cara pemeriksaan parasit Plasmodium
sp didalam darah manusia dilakukan dengan
menggunakan mikroskop. Penggunaan mikroskop
dalam penentuan jenis parasit merupakan cara
konvensional yang dilakukan pemerintah melalui
puskesmas. Pengecekan melalui mikroskop dilakukan
dengan menggambil sediaan darah tepi dari ujung jari
lalu sedian darah tersebut diwarnai dengan pewarnaan
giemsa. Sediaan darah tersebut ditetesi cairan imersi
23
dan diperiksa dibawah mikroskop menggunakan lensa
objektif. Jika dalam sediaan darah tersebut ditemukan
parasit, maka penderita dinyatakan positif malaria
(Kemenkes, 2007)
b) Pemeriksaan rapid diagnostic test.
Rapid diagnostic test (RDT) adalah test yang
digunakan untuk mendeteksi parasit malaria. Test ini
berdasarkan deteksi antigen dari parasit malaria yang
lisis/hancur dalam darah dengan menggunakan
metode imunokhromatografi. Prinsi uji
imunokhromatografi adalah cairan akan bermigrasi
pada permukaan membrane nitroselulosa. Bila darah
penderita mengandung antigen tertentu, maka
kompleks antigen antibodi akan bermigrasi pada fase
“mobile” sepanjang strip nitroselulosa dan akan diikat
dengan antibodi momoklonal pada fase “immobile”
sehingga terlihat sebagai garis yang berwarna.
Sensitivitas rapid test dapat mencapai 90% dalam
mendeteksi P. falciparum jika jumlah parasit > 100µl
darah. Keuntungan dalam menggunakan rapid test
dibanding dengan pemeriksaan mikroskopik
(Kemenkes, 2007) adalah
24
a. Lebih sederhana dan mudah diinterpretasikan,
tidak memerlukan listrik, tidak memerlukan
pelatihan khusus seperti pada pemeriksaan
mikroskopik.
b. Mudah dipelajari atau dilatih dalam beberapa
jam sampai dengan 1 hari, masih dapat diingat
dalam waktu 1 tahun setelah mempelajarinya.
c. Variasi dari interpretasi adalah kecil antara
pembaca satu dengan pembaca yang lain.
d. Dapat disimpan pada temperatur kamar.
e. Rapid test dapat mendeteksi P. falciparum pada
waktu parasit bersekuestrasi pada kapiler darah.
Hal yang sama dapat ditemukan juga pada
placenta ibu hamil dengan infeksi P.
falciparum.
Selain itu, kekurangan pada rapid test adalah
a. Rapid test yang menggunakan HRP-2 hanya
dapat digunakan untuk mendeteksi P.
falciparum. Tidak dapat mendeteksi infeksi
Plasmodium lainnya.
b. Parasit didalam darah dapat memberikan hasil
positif dalam waktu 2 minggu setelah
pengobatan, walaupun secara pemeriksaan
25
mikroskopik parasit tidak ditemukan sehingga
membuat rancu dalam menilai hasil pengobatan.
c. Harga RDT lebih mahal daripada pemeriksaan
mikroskopik.
d. Rapid test bukan pemeriksaan yang bersifat
kuantitatif sehingga tidak digunakan untuk
menilai hasil pengobatan.
e. Kit yang digunakan dapat membedakan P.
falciparum dan non P. falciparum, tetapi tidak
dapat membedakan P.vivax, P. ovale, dan P.
malariae.
b. Faktor Kelompok dan Karakterstiknya
1) Manusia (host intermediate)
Secara umum dapat dikatakan bahwa pada dasarnya
setiap orang dapat terkena penyakit malaria. Perbedaan
prevalensi menurut umur dan jenis kelamin, ras dan riwayat
malaria sebelumnya sebenarnya berkaitan dengan
perbedaan tingkat kekebalan karena variasi keterpaparan
terhadap gigitan nyamuk. Bayi di daerah endemik malaria
mendapat perlindungan antibodi maternal yang diperoleh
secara transplasental.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa wanita
mempunyai respons imun yang lebih kuat dibandingkan
26
dengan laki-laki, namun kehamilan menambah risiko
malaria. Malaria pada wanita hamil mempunyai dampak
yang buruk terhadap kesehatan ibu dan anak, antara lain
berat badan lahir rendah, abortus, partus prematur dan
kematian janin intrauterin.
Penyakit malaria dapat menginfeksi setiap manusia,
ada beberapa faktor intrinsik yang dapat mempengaruhi
manusia sebagai penjamu penyakit malaria antara lain:
a. Umur. Penyakit malaria tidak mengenal tingkatan
umur akan tetapi akan sangat rentan pada kelompok
anak-anak. Menurut Gunawan (2000) dalam Arsin
(2011), perbedaan kejadian malaria menurut umur dan
jenis kelamin berhubungan dengan kekebalan yang
ada pada kelompok tertentu. Hal ini dikarenakan
terdapat variasi keterpaparan kepada gigitan nyamuk.
Orang dewasa yang melakukan aktivitas di luar rumah
dan malam hari akan sangat memungkinkan untuk
kontak dengan nyamuk.
b. Jenis kelamin. Infeksi malaria tidak membedakan
jenis kelamin hanya saja manifestasi klinis malaria
akan menjadi berat jika menyerang ibu hamil.
c. Ras. Ras manusia atau kelompok penduduk
mempunyai kekebalan alamiah terhadap malaria. Hal
27
ini dikarenakan kelompok penduduk yang mempunyai
Haemoglobin S (Hb S) yang dapat lebih tahan
terhadap infeksi Plasmodium falciparum. Hb S
terdapat pada penderita sickle cell anemia. Penyakit
ini adalah suatu kelainan dimana sel darah merah
penderita berubah bentuknya mirib sabit apabila
terjadi penurunan tekanan oksigen udara.
d. Riwayat malaria sebelumnya yaitu orang yang pernah
terinfeksi malaria sebelumnya. Orang yang telah
menderita malaria sebelumnya akan membentuk
imunitas terhadap malaria sehingga dapat lebih tahan
terhadap infeksi malaria.
e. Pola hidup. Pola hidup seseorang atau sekelompok
masyarakat dapat mempengaruhi terjadinya penularan
malaria. Contoh pola hidup yang mempengaruhi
terjadinya penularan malaria adalah kebiasaan tidur
tidak pakai kelambu dan sering berada di luar rumah
pada malam hari tanpa menutup badan.
f. Status gizi. Status gizi berkaitan dengan sistem
kekebalan tubuh. kekurangan zat besi dan riboflavin
mempunyai efek pencegah terjadinya malaria berat
(Harjanto, 2003).
28
2) Nyamuk Anopheles (host definitif)
Nyamuk Anopheles di Indonesia berjumlah lebih 80
spesies dan 24 spesies Anopheles dapat menularkan
malaria sehingga tidak semua spesies Anopheles dapat
menularkan malaria. Anopheles hidup beradaptasi dengan
kondisi ekologi setempat seperti hidup di air payau pada
tingkat salinitas tertentu (An. sundaicus, An. subpictus),
sawah (An. aconitus), air bersih di pegunungan (An.
maculatus), dan genangan air yang dapat sinar matahari
(An. punctulatus, An. farauti). Selain itu, nyamuk
Anopheles yang menghisap darah hanya nyamuk
Anopheles betina. Darah yang dihisap dibutuhkan untuk
pertumbuhan telurnya.
a. Umur nyamuk
Gametosit membutuhkan waktu untuk
berkembang menjadi sporozoit. Apabila umur
nyamuk lebih pendek dari proses sporogoni (5 hingga
10 hari) maka dapat dipastikan nyamuk tersebut tidak
dapat menjadi vektor.
b. Peluang kontak dengan manusia
Nyamuk tidak hanya menggigit manusia tapi
juga menggigit binatang ternak. Nyamuk memiliki
kebiasaan menggigit di luar rumah pada malam hari.
29
Setelah menggigit, nyamuk akan beristirahat di dalam
maupun di luar rumah.
c. Kepadatan nyamuk
Umur nyamuk dipengaruhi oleh suhu dimana
suhu yang paling baik untuk kepadatan nyamuk
berkisar antara 250C - 30
0C dan kelembaban 60-80%.
Kalau populasi nyamuk cukup banyak sedangkan
populasi binatang atau manusia di sekitar tidak ada
maka kepadatan nyamuk akan merugikan populasi
nyamuk itu sendiri. Sedangkan bila pada satu wilayah
cukup padat maka akan meningkatkan kapasitas
vektor yakni kemungkinan tertular akan lebih besar
(Depkes RI, 2003).
d. Kebiasaan menggigit
Nyamuk Anopheles betina menggigit antara
waktu senja dan subuh, dengan jumlah yang berbeda-
beda menurut spesiesnya. Sedangkan kebiasaan
makan dan istirahat nyamuk Anopheles dapat
dikelompokan sebagai:
a) Endofilik yakni suka tinggal dalam
rumah/bangunan
b) Eksofilik yakni suka tinggal di luar rumah
30
c) Endofagik yakni suka menggigit dalam
rumah/bangunan
d) Eksofagik yakni suka menggigit di luar rumah.
e) Antroprofilik yakni suka menggigit manusia
f) Zoofilik yakni suka menggigit binatang
c. Enviroment (Lingkungan)
1) Lingkungan Fisik
Lingkungan fisik yang mempengaruhi kasus malaria
adalah sebagai berikut (Kuswanto, 2005 dan Arsin, 2011)
a) Secara umum malaria berkurang pada ketinggian yang
semakin bertambah, hal ini berkaitan dengan
menurunnya suhu rata-rata. Pada ketinggian di atas
200 m jarang ada transmisi malaria. Hal ini bisa
berubah bila terjadi pemanasan bumi dan pengaruh
El–Nino. Di pegunungan Irian Jaya yang dulu jarang
ditemukan malaria kini lebih sering ditemukan
malaria. Ketinggian paling tinggi masih
memungkinkan transmisi malaria ialah 2500 m diatas
permukaan laut. Alat yang digunakan untuk
mengukur ketinggian suatu tempat adalah altimeter.
Altimeter adalah alat untuk mengetahui ketinggian
suatu tempat terhadap MSL (mean sea level =
1013,25 mb = 0 mdpl). Altimeter sebenarnya adalah
31
barometer aneroid yang skala penunjukkannya telah
dikonversi terhadap ketinggian.
b) Kelembaban yang rendah memperpendek umur
nyamuk, meskipun tidak berpengaruh pada parasit.
Sistem pernafasan pada nyamuk menggunakan pipa
udara yang disebut trachea dengan lubang-lubang
pada dinding tubuh nyamuk yang disebut spiracle.
Adanya spiracle yang terbuka tanpa ada mekanisme
pengaturnya, pada waktu kelembaban rendah akan
menyebabkan penguapan air dari dalam tubuh
nyamuk yang dapat mengakibatkan keringnya cairan
pada tubuh nyamuk. Salah satu musuh nyamuk adalah
penguapan. Pengukuran kelembaban di BMKG
dilakukan dengan alat Higrometer. Higrometer
rambut adalah sebuah alat pengukur kelembaban
udara dengan satuan persen yang menggunakan
prinsip muai panjang rambut dimana rambut akan
memanjang ketika kelembaban udara bertambah.
Adapun rambut yang digunakan adalah rambut
manusia atau kuda yang sudah dihilangkan lemaknya
yang kemudian dikaitkan dengan pengungkit (engsel)
yang dihubungkan dengan jarum yang menunjuk
kepada skala sehingga memperbesar perubahan skala
32
dari perubahan kecil dari panjangnya rambut
(BMKG,2014).
c) Suhu mempengaruhi perkembangan parasit dalam
nyamuk. Suhu yang optimum berkisar antara 20 - 30°
C. Makin tinggi suhu (sampai batas tertentu) makin
pendek masa inkubasi ekstrinsik (sporogoni) dan
sebaliknya makin rendah suhu makin panjang masa
inkubasi ekstrinsik. Pengaruh suhu ini berbeda bagi
setiap spesies, pada suhu 26,7° C masa inkubasi
ekstrinsik adalah 10-12 hari untuk P. falciparum dan
8-11 hari untuk P. vivax, 14-15 hari untuk P. malariae
dan P. ovale. Pengukuran suhu dan temperatur udara
dilakukan dengan menggunakan thermometer.
Pengukuran temperatur dan suhu udara yang
dilakukan oleh Badan Meteorologi, Klimatologi dan
Geofisika adalah thermometer kaca untuk peralatan
konvensional dan thermometer PT-100 untuk
peralatan digital. Thermometer kaca menggunakan air
raksa (mercury) untuk pengukuran temperatur diatas
suhu freezing point (>-38,50) dan menggunakan
alkohol jika penggukuran dibawah/sekitar freezing
point.
33
d) Curah Hujan akan mempengaruhi naiknya
kelembaban dan menambah jumlah tempat
perkembangbiakan (breeding places). Curah hujan
yang lebat menyebabkan bersihnya tempat
perkembangbiakan vektor oleh karena jentiknya
hanyut dan mati. Kasus penyakit yang ditularkan
nyamuk biasanya meninggi beberapa waktu sebelum
musim hujan atau setelah hujan. Pengaruh hujan
berbeda-beda menurut banyaknya hujan dan keadaan
fisik daerah. Pengukuran curah hujan yang dilakukan
oleh BMKG adalah Penakar hujan jenis Hellman.
Penakar hujan jenis hellman ini merupakan suatu alat
penakar hujan berjenis recording atau dapat mencatat
sendiri.Alat ini dipakai di stasiun-stasiun pengamatan
udara permukaan.Pengamatan dengan menggunakan
alat ini dilakukan setiap hari pada jam-jam tertentu
mekipun cuaca dalam keadaan baik/hari sedang
cerah.Alat ini mencatat jumlah curah hujan yang
terkumpul dalam bentuk garis vertikal yang tercatat
pada kertas pias. Alat ini memerlukan perawatan yang
cukup intensif untuk menghindari kerusakan-
kerusakan yang sering terjadi pada alat ini
(BMKG,2014).
34
e) Arus air juga mempengaruhi nyamuk Anopheles. An.
Barbirostris lebih menyukai perindukan yang airnya
statis/mengalir lambat, sedangkan An. Minimus lebih
menyukai aliran yang deras dan An. Letifer lebih
menyukai air yang tergenang.
f) Angin yaitu kecepatan dan arah angin dapat
mempengaruhi jarak terbang nyamuk dan ikut
menentukan jumlah kontak antara nyamuk dengan
manusia. Alat yang digunakan untuk mengukur
kecepatan angin adalah cup counter anemometer. Alat
ini terdiri dari tiga buah mangkuk yang dipasang
simetris pada sumbu vertikal. Pada bagian bawah dari
sumbu vertical dipasang generator, yang terputar oleh
ketiga mangkuk. Tegangan dari generator sebanding
dengan kecepatan berputar dari mangkuk - mangkuk.
Wind Vane atau alat penunjuk arah angin adalah
sebuah instrumen yang digunakan untuk mengetahui
arah horizontal pergerakan angin (angin permukaan).
Alat ini terdiri dari suatu objek tidak simetris
(contohnya suatu anak panah atau panah berbentuk
ayam jago yang menempel pada pusat gravitasinya
sehingga panah itu dapat bergerak dengan bebas di
sekitar poros horizontalnya) yang dihubungkan pada
35
vane/weather cock sensor pada anemometer
(BMKG,2014).
g) Sinar Matahari yaitu pengaruh sinar matahari terhadap
pertumbuhan larva nyamuk berbeda-beda. An.
sundaicus lebih menyukai tempat yang teduh, An.
Hyrcanus sp dan An. Pinculatus sp lebih menyukai
tempat terbuka. An. Barbirostis dapat hidup baik di
tempat yang teduh maupun yang terang. Salah satu
cara untuk melakukan pengukuran sinar matahari
dilakukan dengan mengetahui intensitas dan berapa
lama/ jam matahari bersinar mulai terbit hingga
terbenam. Matahari dihitung bersinar terang jika
sinarnya dapat membakar pias Campble stokes.
Lamanya matahari bersinar dapat dinyatakan dalam
presentase atau jam. Untuk keperluan pemasangan
dan pengamatan perlu diketahui hal-hal yang
menyangkut waktu smeu lokal dan waktu rata-rata
lokal. True Solar Day yaitu waktu antara dua gerakan
matahari melintasi meridian. Waktu yang didasarkan
panjang hari ini disebut apparent solartime atau waktu
semu lokal. Waktu ini dapat ditunjukkan oleh
sunshine recorder. Waktu semu lokal ialah waktu
yang ditentukan oleh gerakan relatif matahari
36
terhadap horizon. Sepanjang tahun lamanya
(panjangnya) True Solar Day berbeda-beda. Untuk
memudahkan perhitungan dibayangkan adanya
matahari fiktif yang beredar mengelilingi bumi
dengan kecepatan tetap selama setahun. Alat yang
digunakan adalah pengukuran sinar matahari
menggunakan jenis jordan. Alat ini mencatat sendiri
lamanya matahari bersinar dalam sehari yang terdiri
dari dua kotak berbentuk setengah silinder dan
tertutup. Di bagian dalam dipasang kertas yang sangat
peka terhadap sinar matahari langsung. Apabila
seberkas matahari langsung mengenai kertas ini akan
meninggalkan bekas yang gelap. Alat ini diatur
sedemikian sehingga satu pias dipakai untuk pagi dan
pias lainnya untuk siang hari. (Klimatologi, 2008).
h) Kadar Garam yaitu nyamuk An. Sundaicus tumbuh
optimal pada air payau yang kadar garamnya 12 –
18% dan tidak berkembang pada kadar garam 40% ke
atas. Namun di Sumatera Utara ditemukan pula
perindukan An.sundaicus dalam air tawar. Suatu alat
untuk mengukur kadar garam pada genangan-
genangan air di pantai. Digunakan pada waktu survei
nyamuk pra-dewasa. Cara penggunaan letakkan setitik
37
air yang akan diukur kadar garamnya pada kaca
spektrometer, kemudian diteropong ketinggian skala
dari kadar garam air tersebut dengan mengarahkan
spektrometer pada cahaya/tempat yang terang
(Kemenkes, 2010).
b. Lingkungan Biologi
Nyamuk sebagai vektor malaria merupakan serangga yang
sukses memanfaatkan air lingkungan, termasuk air alami dan air
sumber buatan yang sifatnya permanen maupun temporer.
Semua serangga termasuk dalam daur hidupnya (siklus
hidupnya) mempunyai tingkatan-tingkatan tertentu dan kadang-
kadang tingkatan itu satu dengan yang lainnya sangat berbeda.
Semua nyamuk akan mengalami metamorfosa sempurna
(holometabola) mulai dari telur, jentik, pupa dan dewasa. Jentik
dan pupa hidup di air, sedangkan dewasa hidup didarat. Dengan
demikian nyamuk dikenal memiliki dua macam alam
kehidupannya, yaitu kehidupan di dalam air dan di luar air
(Depkes, 2003).
Tumbuhan bakau, lumut, ganggang dan berbagai
tumbuhan lain dapat mempengaruhi kehidupan larva karena
dapat menghalangi sinar matahari atau melindungi dari serangan
mahluk hidup lainnya. Adanya berbagai jenis ikan pemakan
larva seperti ikan kepala timah (panchx spp), gambusia, nila,
38
mujair dan lain-lain akan mempengaruhi populasi nyamuk di
suatu daerah dataran tinggi dan dataran rendah. Adanya hewan
ternak seperti sapi, kerbau dan babi dapat mengurangi jumlah
gigitan nyamuk pada manusia, apabila hewan ternak tersebut
dikandangkan tidak jauh dari rumah tempat tinggal manusia
(Arsin,2011).
3. Penilaian Kasus Malaria
Situasi malaria disuatu daerah dapat ditentukan melalui kegiatan
surveilans (pengamatan) epidemiologi. Surveilans epidemiologi dalam
pengamatan yang terus menerus atas distribusi dan kecenderungan suatu
penyakit melalui pengumpulan data yang sistematis agar dapat
ditentukan penanggulangan yang secepat-cepatnya.
Penilaian kasus malaria berdasarkan Kemenkes tahun 2006 adalah
pengamatan dapat dilakukan secara rutin melalui PCD (Passive Case
Detection) oleh fasilitas kesehatan seperti Puskesmas dan Rumah Sakit
atau ACD (Active Case Detection) oleh petugas khusus seperti PMD
(Pembantu Malaria Desa) di Jawa dan di Bali. Di daerah luar Jawa da
Bali yang tidak memiliki program pembasmian malaria dan tidak
memiliki PMD, maka pengamatan rutin tidak bisa dilaksanakan. Untuk
daerah tersebut pengamatan malaria dilakukan melalui survey
malariometrik (MS), Mass Blood Survei (MBS) dan Mass Fever Survei
(MFS). Parameter yang digunakan pada pengamatan rutin malaria adalah
:
39
a. Annual Parasite Incidence (API)
Indikator insidens merupakan peninggalan masa
eradikasi/pembasmian dengan pencarian baik secara aktif (ACD)
maupun pasif (PSD) diperhitungkan dapat menjangkau seluruh
penduduk, sehingga penderita baru dapat dietahui melalui sediaan
darah. Karena kasus malaria yang ditemukan baik melalui
pencarian aktif (ACD) maupun pasif (PCD) akan dikonfirmasikan
dengan pemeriksaan darah secara miskrokopis. API merupakan
jumlah dari penderita baru di suatu daerah dalam satu tahun
terhitung per seribu penduduk.
API =
Kasus malaria yang dikonfirmasikan(secara
mikroskopis/Lab) dalam satu tahun X 1000
Jumlah penduduk daerah tersebut
b. Annual Malaria Incidence
Annual malaria incidence (AMI) adalah kasus malaria klinis
selama satu tahun di suatu wilayah per 1.000 penduduk, dan
didapatkan dengan rumus sebagai berikut :
AMI =
Jumlah penderita malaria klinis di suatu wilayah/tahun
X 1000
Jumlah penduduk daerah tersebut
40
c. Annual Blood Examination Rate (ABER)
Annual Blood Examination Rate (ABER) adalah jumlah sediaan
darah yang diperiksa dari penduduk yang diperiksa dalam waktu satu
tahun dan dinyatakan dalam prosen (%). ABER diperlukan untuk
menilai API, karena penurunan API disertai penurunan ABER belum
berarti penurunan insiden, penurunan API berarti penurunan insidens
bila ABER meningkat.
ABER =
Jumlah sediaan darah yang diperiksa
X 1000
Jumlah penduduk yang diamati
d. Slide Positivity Rate (SPR)
Slide Positivity Rate (SPR) adalah persentase sediaan darah yang
positif dari seluruh sediaan darah yang diperiksa. Seperti penilaian
API nilai SPR baru bermakna bila nilai ABER meningkat.
2.3. Sistem Informasi Geografis
A. Definisi Sistem Informasi Geografis
Sistem Informasi Geografis merupakan sebuah sistem yang
saling berangkaian satu dengan yang lainnya. Sistem Informasi
Geografis sebagai kumpulan yang terorganisir dari perangkat keras
komputer, perangkat lunak, data geografi dan personel yang didesain
untuk memperoleh, menyimpan, memperbaiki, memanipulasi,
menganalisis, dan menampilkan semua bentuk informasi lingkungan
41
dan geografi. Dengan demikian, basis analisis dari sistem informasi
geografis adalah data spasial dalam bentuk digital yang diperoleh
melalui data satelit atau data lain terdigitasi. (Nuarsa, 2004).
Sistem ini pertama kali diperkenalkan di Indonesia pada tahun
1972 dengan nama Data Banks for Development. Munculnya istilah
Sistem Informasi Geografis seperti sekarang ini setelah dicetuskan
oleh General Assembly dari International Geographical Union di
Ottawa Kanada pada tahun 1967. Sistem Informasi Geografis dapat
dimanfaatkan untuk mempermudah dalam mendapatkan data-data
yang telah diolah dan tersimpan sebagai atribut suatu lokasi atau
obyek. Data-data yang diolah dalam SIG pada dasarnya terdiri dari
data spasial dan data atribut dalam bentuk digital. Sistem ini
merelasikan data spasial (lokasi geografis) dengan data non spasial,
sehingga para penggunanya dapat membuat peta dan menganalisa
informasinya dengan berbagai cara (Aini, 2007).
Sistem informasi geografis diharapkan mampu memberikan
menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan (Nuarsa, 2004) :
1. Penanganan data geospasial menjadi lebih baik dalam format
baku
2. Revisi dan pemutakhiran data menjadi lebih muda
3. Data geospasial dan informasi menjadi lebih mudah dicari,
dianalisa dan direpresentasikan
4. Menjadi produk yang mempunyai nilai tambah
42
5. Kemampuan menukar data geospasial
6. Penghematan waktu dan biaya
7. Keputusan yang diambil menjadi lebih baik.
Sistem informasi geografis dapat diaplikasikan di dunia
kesehatan. Aplikasi utama Sistem Informasi Geografis dalam
kesehatan masyarakat adalah (Nuarsa, 2005)
1. Membuat gambaran spasial dari peristiwa kesehatan.
2. Identifikasi risiko pekerjaan, lingkungan, kelompok risiko
tinggi dan daerah kritis
3. Stratifikasi faktor risiko
4. Analisis situasi kesehatan di suatu daerah geografis tertentu
5. Analisis pola penyakit pada berbagai tingkat agregasi
6. Surveilans dan monitoring kesehatan masyarakat
7. Perencanaan dan target upaya kesehatan
8. Alokasi sumber daya kesehatan
9. Evaluasi suatu intervensi kesehatan.
B. Analisis Spasial
Spasial berasal dari kata space yaitu ruang yang berarti bahwa
selalu mempertimbangkan aspek waktu/temporal dan juga ketinggian
atau variabel lain (Achmadi, 2005). Analisis spasial adalah satu
bidang utama di mana sistem informasi geografis dan penelitian
kesehatan digabungkan melalui studi epidemiologi lingkungan.
43
Definisi geografis atau spasial epidemiologi yang digunakan untuk
melakukan analisis spasial adalah deskripsi, eksplorasi dan pemodelan
kasus penyakit yang tidak selalu melibatkan hubungan langsung
dengan faktor lingkungan. Metode ini menggambarkan klaster
penyakit, identifikasi klaster, asosiasi dengan potensi titik dan garis
sumber polusi, dan kasus penyakit ruang-waktu (Gatrell, 1998 dalam
Lai 2007).
Pendekatan analisis melihat kasus penyakit ruang dan waktu
disebut dengan analisis spasial. Spasial mempunyai arti sesuatu yang
dibatasi oleh ruang, komunikasi dan atau transformasi sedangkan data
spasial menunjukkan posisi, ukuran dan kemungkinan hubungan
topologis (bentuk dan tata letak) dari obyek di muka bumi
(Ruswanto,2010). Selanjutnya analisis spasial adalah bagian
manajemen penyakit berbasis wilayah yang menguraikan data
penyakit secara geografi yang berkenaan dengan kependudukkan,
persebaran, lingkungan, perilaku, sosial ekonomi, kasus kasus
penyakit dan hubungan antar variabel tersebut (Ahmadi, 2005).
Data yang digunakan dalam analisis spasial dibagi menjadi
empat yaitu (Bailey, 2001)
1. Data Agregat yang dikumpulkan dari hasil sensus atau
administrasi seperti jumlah kasus, populasi berisiko, status
ekonomi, sosial, penilaian lingkungan dll
44
2. Data kasus yang dikumpulkan berdasarkan lokasi orang yang
sakit/kasus, fasilitas pelayanan kesehatan, faktor risiko
lingkungan dll.
3. Data Geostatistik yang dikumpulkan langsung sampel di lokasi
4. Data yang diukur terus menerus seperti data hasil penginderaan
jarak jauh, iklim, curah hujan dll.
C. Epidemiologi Spasial
Epidemiologi spasial menurut Lawson tahun 2006 adalah salah
satu cabang ilmu epidemiologi yang fokus pada analisis distribusi
geografis/spasial/keruangan kasus penyakit. Dalam hal yang paling
sederhana, epidemiologi spasial ini menggambarkan/menyangkut
penggunaan dan interpretasi peta lokasi penyakit serta isu-isu yang
berkaitan dengan pembuatan peta dan analisis statistik data yang
dipetakan. Selain itu, sifat peta penyakit memastikan bahwa konsep
epidemiologi banyak memainkan peran penting dalam analisis. Kedua
aspek yang berbeda dari subjek yang diamati memiliki dampak sendiri
pada metodologi yang telah dikembangkan untuk mengatasi dengan
banyak masalah yang timbul di daerah ini yang tidak dapat dijelaskan
dalam metodologi lainnya.
Pertama, jika data yang dipetakan adalah data keruangan dialam,
maka aplikasi metode statistik spasial sebagai bentuk bagian utama
dalam wilayah penelitian/subjek. Alasan ini untuk keadaan yang
faktanya studi beberapa data tersebut mengacu pada analisis
45
georeferenced yang mungkin memiliki cara yang berhubungan pada
lokasi data individu dan juga data disekitarnya. Kedua, Hal yang unik
dalam mendefinisikan epidemiologi spasial adalah data yang
digunakan dalam analisisnya data diskrit. Tidak seperti analisis
statistik spasial yang lain yang menggunakan dan fokus pada data
kontinu seperti metode geostatistik. Data yang ditemukan dalam
epidemiologi spasial sering mengambil bentuk dari lokasi titik (alamat
kasus penyakit) atau jumlah penyakit hasil laporan yang diambil
dalam jumlah yang besar seperti sensus dsb (Lawson,2006).
Sebuah studi epidemiologi spasial kemungkinan akan
menggunakan data untuk mengetahui analisis keruangan. Dua jenis
data yang diperlukan adalah penyakit dan spasial. Data penyakit akan
sangat membutuhkan konteks geografis dalam upaya
memvisualisasikan kasus penyakit. Data tambahan pada karakteristik
lingkungan atau sosiodemografi diperlukan untuk membantu dalam
memvisualisasikan baik menambah atau mendukung analisis yang
lebih mendalam dari penyakit atau status kesehatan (Lai, 2009).
Studi epidemiologi spasial suatu kejadian penyakit dan
hubungannya dengan faktor risiko yang potensial menjadi hal yang
cukup penting dalam analisis epidemiologi spasial. Berdasarkan hal
tersebut, maka ada 4 jenis pendekatan statistik yang telah
teridentifikasi yang digunakan dalam epidemiologi spasial (Bailey,
2001) yaitu;
46
1. Pemetaan penyakit (disease mapping) yaitu fokus pada
menghasilkan peta yang sebenarnya terjadi akibat dari distribusi
geografis penyakit. Hal ini berguna dalam membangun sebuah
hipotesis dalam investigasi atau bagian dalam surveilans
kesehatan dan monitoring masalah kesehatan. Sebagai contoh,
penggunaan pemetaan penyakit ini untuk mendeteksi penyakit
yang berpotensi wabah atau mengidentifikasi kecenderungan
penyakit berdasarkan waktu atau bisa juga digunakan untuk
pemetaan fasilitas pelayanan kesehatan.
2. Studi ekologis fokus pada hubungan antara penyakit yang
diamati dengan faktor risiko yang berpotensi ada di sebuah
kelompok dibanding dengan individu. Dimana kelompok
tersebut memiliki kondisi geografis yang sama. Beberapa studi
ini membantu dalam menginvestigasi etiologi penyakit dan
mungkin dapat membantu dalam target penelitian serta
memungkinkan melakukan tindakan pencegahan.
3. Studi kluster penyakit yaitu fokus untuk mengidentifikasi
wilayah geografis dengan tingkat risiko yang berbeda atau
menilai bukti/fakta yang diduga menjadi sumber bahaya. Hal ini
termasuk dalam menguatkan alasan terhadap penyebab penyakit
yang terjadi didalam tingkatan kelompok.
4. Penilaian dan monitoring lingkungan yaitu fokus pada distribusi
spasial faktor lingkungan yang berhubungan dengan kesehatan
47
dan paparan terhadap penyakit sehingga dapat dibuat/ditegakkan
kebutuhan dalam menggontrol tindakan pencegahan.
Semua studi diatas sangat tergantung pada konteks kesehatan
masyarakat dan epidemiologi. Data yang akan digunakan berdasarkan
jenis data yang tersedia. Hal ini berarti bahwa data yang tersedia
seperti data kasus-kasus individual penyakit berdasarkan tingkat
daerah/tempat maupun data dimensi waktu/temporal yang akan
digunakan untuk dianalisis dalam dimensi spasial. Tetapi perbedaan
antara empat jenis studi ini juga agak kabur/bias dalam praktek di
lapangan. Sebagai contoh, kejadian penyakit yang dipetakan sering
memainkan peran penting dalam studi awal clustering penyakit,
pemetaan penyakit umumnya menggabungkan hubungan dengan
penyebab yang mewakili faktor risiko yang diketahui untuk penyakit
ini sedangkan penilaian lingkungan mungkin menjadi awal dari
sebuah studi yang dirancang untuk menyelidiki apakah ada hubungan
antara beberapa faktor risiko yang dicurigai dan kejadian penyakit
(Bailey, 2001). Selain keempat studi diatas, epidemiologi spasial juga
menggunakan beberapa pendekatan
Pendekatan yang digunakan dalam epidemiologi spasial
membantu dalam menggembangkan analisis spasial. Analisis spasial
yang digunakan menggunakan pendekatan geografis, statistik, dan
software/tools.
48
2.4. Kerangka Teori
Segitiga epidemiologi modern adalah dasar dan landasan dalam
bidang epidemiologi yang tidak hanya menjelaskan penyakit menular
berdasarkan pendekatan biologis tapi juga memperhitungkan pendekatan
perilaku dan sosial (Timmrect, 2004). Sehingga model ini dapat
mencangkup semua aspek dalam penyakit menular dan masalah perilaku,
gaya hidup dan penyakit kronik yang ditemukan sekarang ini. Oleh karena
itu, model ini bertujuan untuk menyempurnakan kelemahan yang terdapat
pada segitiga epidemiologi tradisional. Pada model segitiga epidemiologi
modern menjelaskan bahwa kondisi dan status penyakit yang
mempengaruhi populasi tidak terjadi hanya pada satu faktor tertentu saja
tetapi juga ada faktor lain yang ikut mempengaruhi (multi faktor).
Pada kasus malaria, gambaran segitiga epidemiologi modern terdiri
dari faktor penyebab, kelompok/populasi dan karakteristiknya serta faktor
lingkungan seperti lingkungan, budaya, perilaku, faktor fisiologis dan unsur
ekologi. Penjelasan segitiga epidemiologi modern untuk kasus malaria
berdasarkan faktor penyebab dijelaskan penyebab malaria tidak hanya
ditularkan melalui gigitan nyamuk Anopheles saja, tetapi juga terjadi
penularan antara ibu hamil ke bayinya.
Selain faktor penyebab, faktor kelompok/populasi yang rentan juga
mempengaruhi kasus malaria seperti umur, jenis kelamin, pendidikan,
pekerjaan, penghasilan, status gizi, riwayat malaria dan ras. Kemudian
faktor lingkungan juga mempengaruhi kasus malaria seperti perilaku
49
manusia yang keluar dimalam hari dengan tidak menggunakan baju lengan
panjang, tidur tidak menggunakan kelambu, memelihara hewan ternak
dibelakang rumah, suhu, curah hujan, kelembaban, salinitas, ketinggian dan
tempat perindukan nyamuk malaria. Berdasarkan uraian diatas, maka
kerangka teori penelitian ini adalah
Sumber : Timmrect, 2004
Faktor Penyebab
Kelompok/populasi
dan
Karakteristiknya
Lingkungan, Budaya,
Perilaku, Ekologis dan
Faktor Fisiologis
Waktu
Bagan 2.1
Segitiga Epidemiologi
Modern
50
BAB III
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL
3.1. Kerangka Konsep
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui epidemiologi spasial kasus
malaria berdasarkan karakteristik faktor penyebab, kelompok/populasi dan
karakteristiknya serta lingkungan. Hal ini dilakukan karena dapat
memberikan sebuah informasi yang bisa dijadikan sebagai bahan
perencanaan program pengendalian malaria di Kota Lubuk Linggau.
Perencanaan program ini akan menghasilkan rencana kegiatan operasional
yang dapat membantu dalam menurunkan kasus malaria.
Kasus malaria dalam penelitian ini memanfaatkan data sekunder yang
dikumpulkan oleh Dinas Kesehatan dan Puskesmas, Badan Meteorologi,
Klimatologi, dan Geofisika serta Badan Perencanaan Pembangunan Daerah.
Karena adanya keterbatasan data yang dicatat dalam laporan di tiap-tiap
instansi dan hanya beberapa variabel tertentu yang memiliki kaitan dalam
kasus malaria maka peneliti mempertimbangkan data yang digunakan
dalam penelitian ini.
Data sekunder yang didapatkan dalam instansi Dinas Kesehatan dan
Puskesmas adalah data kasus malaria klinis, positif (umur, jenis kelamin,
jenis plasmodium), nama puskesmas beserta wilayah kerjanya. Data
sekunder dari BMKG adalah data curah hujan, suhu, dan kelembaban
sedangkan data sekunder dari BAPPEDA Kota Lubuk Linggau adalah data
51
ketinggian dan tata guna lahan. Peneliti membatasi penelitian ini pada
menggambarkan secara spasial dan deskriptif antara variabel independen
dan dependen sehingga tidak melihat adanya interaksi antar variabel
independen sebagaimana yang dimaksud dalam segitiga epidemiologi
modern yang menyatakan bahwa adanya interaksi antar 3 komponen
pembentuk segitiga epidemiologi modern tersebut.
Data yang dikumpulkan dianalisis berdasarkan kasus menurut waktu
dan orang serta analisis keruangan kasus malaria. Hasil analisis ini akan
melihat distribusi kasus, kecenderungan waktu per bulan dan tiap tahun,
distribusi kasus dan pengaruh iklim serta pemetaan daerah endemis dan
daerah risiko tinggi berdasarkan analisis keruangan/spasial. Berdasarkan
teori yang telah diuraikan pada studi kepustakaan dan tujuan dari peneliti,
maka kerangka konsep penelitian ini adalah
Bagan 3.1
Kerangka Konsep Penelitian
Faktor Penyebab
1. Jenis Plasmodium
Faktor Populasi
1. Umur
2. Jenis Kelamin
Faktor Lingkungan
1. Endemisitas Kecamatan
2. Analisis Curah Hujan
3. Analisis Kelembaban
4. Analisis Suhu
5. Analisis Ketinggian
6. Analisis Potensi Perindukan Nyamuk
Kasus Malaria
dalam Dimensi Waktu
52
3.2. Definisi Operasional
Tabel 3.1
Definisi Operasional Penelitian
No Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Pengukuran Skala
Ukur
1 Malaria
klinis
Jumlah kasus malaria
berdasarkan gejala klinis
yang tercatat dalam laporan
bulanan penemuan dan
pengobatan malaria di
Puskesmas dan Dinas
Kesehatan
Observasi laporan
Bulanan Penemuan
dan Pengobatan
Malaria
Laporan Bulanan Penemuan
dan Pengobatan Malaria
yang disajikan dalam bentuk
dummy table
Jumlah Kasus Malaria Klinis dalam
Satuan Kasus
Rasio
2 Malaria
positif
Jumlah kasus malaria yang
terkonfirmasi laboratorium
puskesmas dan tercatat
dalam laporan bulanan
penemuan dan pengobatan
malaria di Puskesmas dan
Dinas Kesehatan
Observasi laporan
Bulanan Penemuan
dan Pengobatan
Malaria
Laporan Bulanan Penemuan
dan Pengobatan Malaria
yang disajikan dalam bentuk
dummy table
Jumlah Kasus Malaria Positif dalam
Satuan Kasus
Rasio
3 Umur Umur kasus malaria positif
yang tercatat dalam laporan
bulanan penemuan dan
Observasi laporan
Bulanan Penemuan
dan Pengobatan
Laporan Bulanan Penemuan
dan Pengobatan Malaria
yang disajikan dalam bentuk
1. 0-11 bulan
2. 1-4 tahun
3. 5-9 tahun
Nominal
53
pengobatan malaria di
Puskesmas dan Dinas
Kesehatan.
Malaria dummy table 4. 10-14 tahun
5. ≥ 15 tahun
4 Jenis
Kelamin
Jenis kelamin kasus malaria
positif yang tercatat dalam
laporan bulanan penemuan
dan pengobatan malaria di
Puskesmas dan Dinas
Kesehatan
Observasi laporan
Bulanan Penemuan
dan Pengobatan
Malaria
Laporan Bulanan Penemuan
dan Pengobatan Malaria
yang disajikan dalam bentuk
dummy table
1. Laki-Laki
2. Perempuan
Nominal
5 Jenis
Plasmodium
Jenis Plasmodium kasus
malaria positif yang tercatat
dalam laporan bulanan
penemuan dan pengobatan
malaria di Puskesmas dan
Dinas Kesehatan.
Observasi laporan
Bulanan Penemuan
dan Pengobatan
Malaria
Laporan Bulanan Penemuan
dan Pengobatan Malaria
yang disajikan dalam bentuk
dummy table
1. P. falciparum
2. P. vivax
3. P. malariae
4. P. ovale
5. Mix
Nominal
6 Bulan Laporan per bulan kasus
malaria klinis yang tercatat
dalam laporan bulanan
penemuan dan pengobatan
malaria di Puskesmas dan
Dinas Kesehatan.
Observasi laporan
Bulanan Penemuan
dan Pengobatan
Malaria
Laporan Bulanan Penemuan
dan Pengobatan Malaria
yang disajikan dalam bentuk
dummy table
1. Januari
2. Februari
3. Maret
4. April
5. Mei
6. Juni
7. Juli
8. Agustus
9. September
10. Oktober
11. November
12. Desember
Nominal
54
7 Tahun Laporan per tahun kasus
malaria klinis yang tercatat
dalam rekapan laporan
bulanan penemuan dan
pengobatan malaria di
Puskesmas dan Dinas
Kesehatan.
Observasi laporan
Bulanan Penemuan
dan Pengobatan
Malaria
Laporan Bulanan Penemuan
dan Pengobatan Malaria
yang disajikan dalam bentuk
dummy table
Tahun dalam satuan Masehi Rasio
8 Endemisitas Tingkat endemisitas wilayah
kasus malaria per
puskesmas dan kelurahan
berdasarkan perhitungan
nilai AMI dari Laporan
Bulanan Penemuan dan
Pengobatan Malaria
Observasi laporan
Bulanan Penemuan
dan Pengobatan
Malaria
Laporan Bulanan Penemuan
dan Pengobatan Malaria
yang disajikan dalam bentuk
dummy table dan peta
endemisitas
1. Non Endemis/Endemis Rendah
(Low Case Incidence) jika AMI ≤
10 (Hijau)
2. Endemis Sedang (Moderate Case
Incidence) jika AMI 10-50
(Kuning)
3. Endemis Tinggi (High Case
Incidence) jika AMI ≥ 50 (Merah)
Ordinal
9 Kecamatan Kecamatan yang tercatat
dalam laporan bulanan
penemuan dan pengobatan
malaria di Dinas Kesehatan
yang berada pada kolom 2
Observasi laporan
Bulanan Penemuan
dan Pengobatan
Malaria
Laporan Bulanan Penemuan
dan Pengobatan Malaria
yang disajikan dalam bentuk
dummy table
Daftar Nama Kecamatan Nominal
10 Curah Hujan Curah hujan Kota Lubuk
Linggau yang tercatat dalam
Observasi data
Badan Meteorologi,
Laporan Bulanan curah
hujan yang disajikan dalam
Data curah hujan tiap bulan dan tahun
dalam satuan ml/bulan dan ml/tahun
Rasio
55
laporan bulanan BMKG
stasiun Kenten Provinsi
Sumatera Selatan
Klimatologi dan
Geofisika Stasiun
Sumatera Selatan
bentuk dummy table
11 Kelembaban Kelembaban Kota Lubuk
Linggau yang tercatat dalam
laporan bulanan BMKG
stasiun Kenten Provinsi
Sumatera Selatan
Observasi data
Badan Meteorologi,
Klimatologi dan
Geofisika Stasiun
Sumatera Selatan
Laporan Bulanan
kelembaban yang disajikan
dalam bentuk dummy table
Data kelembaban tiap bulan dan tahun
dalam satuan persentase
Rasio
12 Suhu Suhu Kota Lubuk Linggau
yang tercatat dalam laporan
bulanan BMKG stasiun
Kenten Provinsi Sumatera
Selatan
Observasi data
Badan Meteorologi,
Klimatologi dan
Geofisika Stasiun
Sumatera Selatan
Laporan Bulanan suhu yang
disajikan dalam bentuk
dummy table
Data suhu rata-rata tiap bulan dan
tahun dalam satuan 0C
Interval
13 Potensi
Perindukan
Nyamuk
Daerah potensi perindukan
nyamuk yang dipetakan
oleh BAPPEDA Kota
Lubuk Linggau.
Observasi Laporan
Pemetaan
BAPPEDA Kota
Lubuk Linggau
Data potensi perindukan
nyamuk yang dipetakan
oleh BAPPEDA Kota
Lubuk Linggau yang
disajikan dalam bentuk
Tabel Peta Wilayah Potensi
Perindukan Nyamuk.
1. Belukar
2. Kebun
3. Ladang
4. Sawah
5. Pemukiman
Nominal
56
14 Ketinggian Ketinggian yang dipetakan
oleh BAPPEDA Kota
Lubuk Linggau.
Observasi Laporan
Pemetaan
BAPPEDA Kota
Lubuk Linggau
Data ketinggian yang
dipetakan oleh BAPPEDA
Kota Lubuk Linggau yang
disajikan dalam bentuk
Tabel Peta Wilayah Potensi
Perindukan Nyamuk.
Data ketinggian pada seluruh wilayah
Kota Lubuk Linggau dalam satuan
meter diatas permukaan laut (mdpl)
Rasio
57
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
4.1. Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian epidemiologi deskriptif dengan
menggunakan pendekatan kuantitatif. Desain penelitian epidemiologi ini
adalah studi ekologi yaitu menggunakan data dari seluruh populasi untuk
membandingkan frekuensi penyakit yang berbeda pada dari suatu populasi
pada periode waktu yang sama dan kelompok yang sama pada periode
waktu yang berbeda (Rothman, 2008 dan Webb, 2011).
Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan kasus malaria dan
pemetaan wilayah endemis malaria berdasarkan karakteristik host, agent
dan enviroment di Kota Lubuk Linggau tahun 2009-2013. Selain dengan
menggunakan analisis tersebut dalam menggambarkan kasus malaria,
penelitian ini menggunakan analisis spasial untuk menggambarkan analisis
keruangan masalah malaria berdasarkan wilayah sehingga nantinya dapat
menjadi model intervensi wilayah program pengendalian malaria dan
program pengendalian penyakit lainnya.
58
4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Kota Lubuk Linggau dengan jumlah
kecamatan di Kota Lubuk Linggau sebanyak 8 Kecamatan dan Penelitian
ini dilaksanakan pada bulan Februari sampai Mei 2014
4.3. Populasi dan Sampel
Populasi penelitian ini adalah semua laporan bulanan penemuan dan
pengobatan kasus malaria di Kota Lubuk Linggau. Sedangkan sampel
penelitian ini adalah laporan penemuan dan pengobatan kasus malaria di
Kota Lubuk Linggau tahun 2009-2013. Data sekunder kasus 5 tahun
terakhir ini digunakan untuk melihat trend/kecenderungan kasus malaria
(Kemenkes, 2002).
4.4. Cara Pengumpulan Data
A. Metode Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data
sekunder yang didapat dari laporan bulanan penemuan dan
pengobatan malaria di Kota Lubuk Linggau tahun 2009-2013
kemudian data curah hujan, kelembaban, dan suhu yang didapat dari
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Stasiun Sumatera
Selatan serta data ketinggian dan tata guna lahan dari Badan
Perencanaan dan Pembangunan Daerah Kota Lubuk Linggau. Data
yang telah dikumpulkan dan dianalisis disajikan dalam bentuk dummy
table, grafik, dan peta.
59
Penyajian data dalam bentuk tabel berupa kasus berdasarkan
orang, tempat dan waktu. Penyajian data dalam bentuk grafik berupa
analisis kecenderungan (trend) kasus malaria dari tahun 2009-2013 di
Kota Lubuk Linggau dan analisis kasus malaria dengan curah hujan,
suhu dan kelembaban. Penyajian data dalam bentuk peta digunakan
untuk pendekatan keruangan dalam kasus malaria baik dalam bentuk
analisis wilayah endemis kasus malaria serta endemisitas kasus
malaria dengan wilayah potensi perindukan nyamuk yang nantinya
ditumpang susunkan dengan basis data yang telah dikumpulkan dari
data sekunder.
B. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian adalah alat-alat yang digunakan untuk
pengumpulan data penelitian. Instrumen penelitian ini adalah laporan
bulanan yang telah dikumpulkan oleh masing-masing instansi.
Variabel, instrumen dan instansi penelitian tersebut adalah
60
Tabel 4.1
Daftar Variabel, Instrumen dan Instansi Pengumpul Data Sekunder
No Variabel Instrumen Instansi
1 Kasus malaria, jenis
kelamin, umur, jenis
Plasmodium,
kecamatan.
Laporan Bulanan
Penemuan dan
Pengobatan Kasus
Malaria Kota Lubuk
Linggau
Dinas Kesehatan
Kota Lubuk
Linggau
2 Curah hujan, suhu, dan
kelembaban.
Laporan Bulanan
Iklim Kota Lubuk
Linggau
BMKG Provinsi
Sumatera
Selatan
3 Wilayah potensi
perindukan nyamuk
dan Ketinggian
Peta Tata Guna
Lahan, Shapefile
Ketinggian
BAPPEDA Kota
Lubuk Linggau
4.5. Rencana Manajemen Data
A. Pemeriksaan Data
Data yang telah dikumpulkan dalam tabel dummy table
diperiksa kembali untuk melihat apakah data yang telah dikumpulkan
telah lengkap. Data yang dikumpulkan dari Dinas Kesehatan,
Puskesmas, BAPPEDA, dan BMKG dikumpulkan menjadi satu lalu
dipilih data yang diinginkan dari tiap-tiap laporan tersebut. Setelah
data yang ingin dikumpulkan didapat, maka dimasukkan kedalam
tabel yang telah disiapkan agar dapat diketahui apakah data yang telah
dikumpulkan telah lengkap dan siap untuk dianalisis tahap lanjut.
61
B. Pemberian Kode
Data yang telah lengkap diberikan kode berdasarkan tujuan dari
tiap variabel. Pemberian kode juga dilakukan untuk pemetaan wilayah
dalam analisis spasial endemisitas sebuah wilayah. Data endemisitas
didapat berdasarkan perhitungan nilai AMI. Pemberian kode 1
didalam tabel (warna hijau) jika daerah tersebut non endemis/rendah,
kode 2 (warna kuning) untuk daerah endemis sedang dan kode 3
(warna merah) untuk daerah endemis tinggi. Pemberian kode ini
mempermudah dalam menganalisis spasial didalam software yang
digunakan nantinya sehingga peneliti tidak perlu melakukan analisis
data spasial secara manual dalam memetakan daerah endemis.
C. Pemasukan Data
Pemasukan data yaitu memasukan data dengan bantuan komputer
dengan aplikasi pengolah data tabular dan menggunakan aplikasi
pengolah data spasial untuk kemudian dianalisis berdasarkan
pemetaan wilayah endemisitas kasus malaria. Data yang dimasukkan
kedalam aplikasi pengolah data tabular dilakukan tahap normalisasi
data tabular. Tahapan dalam normalisasi data tabular adalah
menghapus kolom tabel yang tidak diperlukan didalam analisis data
seperti judul tabel dan menyederhanakannya judul tabel sehingga
tidak membutuhkan lebih dari 1 sel di lembar kerja pada pengolah
data tabular.
62
Setelah disederhanakan, tahap selanjutnya adalah membuka file
dbf dari atribut shapefile yang telah tersedia dari BAPPEDA. Setelah
filenya terbuka, maka tahap selanjutnya adalah menyalin kolom
primary key dalam file .dbf tadi untuk dimasukkan kedalam lembar
kerja yang telah dibuat dan memindahkan kolom primary key untuk
dicocokkan dengan nama kelurahan dengan menggunakan tekhnik
dragging. Lalu dilakukan pengecekan kembali apakah data yang
dimasukkan sudah tidak terjadi kesalahan. Tahap berikutnya adalah
menyimpan lembar kerja pengolah data tabular dalam bentuk CSV
dan data tabular tersebut siap untuk diintegrasikan kedalam data
spasial.
D. Pembersihan Data
Data yang telah dimasukkan kedalam komputer dicek kembali
untuk memastikan bahwa data tersebut tidak terdapat kesalahan, baik
kesalahan pengkodean maupun kesalahan dalam membaca kode.
Dengan demikian diharapkan data tersebut benar-benar siap untuk
dianalisis.
4.6. Analisis Data Penelitian
Data yang telah melalui tahap pengolahan data dianalisis dengan
menggunakan analisis data univariat yaitu melihat distribusi kasus malaria
berdasarkan jenis kelamin, umur, jenis Plasmodium, curah hujan, suhu, dan
kelembaban. Kemudian distribusi kasus dipetakan berdasarkan wilayah
dengan tingkat endemisitas yang telah ditentukan dalam definisi
63
operasional. Selanjutnya dipetakan dengan tumpang susun antara wilayah
endemis dengan wilayah yang berpotensi perindukan nyamuk dengan
menggunakan analisis spasial.
Analisis data penelitian untuk kasus malaria dilakukan dengan
menggunakan indikator AMI dan API. Indikator ABER dan SPR tidak
digunakan karena pada laporan bulanan penemuan dan pengobatan kasus
malaria tidak didapatkan data terkait jumlah sediaan darah yang diperiksa
sehingga analisis data menurut indikator ABER dan SPR tidak dapat
dilakukan.
4.7. Teknik Validasi Data Sekunder
Validitas data sekunder yang dilakukan dengan membandingkan data.
Pada data tersebut dicari laporan yang berbeda antara data Puskesmas dan
Dinas Kesehatan. Data digunakan ketika kasus Puskesmas dan Dinas
Kesehatan sama. Pada data yang berbeda, dilakukan tahap verifikasi data
dengan menanyakan langsung ke petugas Puskesmas dan Dinas Kesehatan
serta melakukan perhitungan sendiri untuk perhitungan matematis yang
salah rumus seperti perhitungan jumlah kasus, AMI dan API.
Data yang telah dikumpulkan dilakukan uji normalitas data untuk
mengetahui apakah data terdistribusi secara normal sebagai salah satu cara
untuk menguji validitas data yang ada. Jika data tidak terdistribusi normal
maka tahapan selanjutnya adalah dilakukan pemeriksaan kembali data
64
tersebut untuk membuktikan data yang dimasukkan tersebut memang benar
seperti yang tercatat didalam laporan.
Selain itu, validitas data sekunder juga melihat kelengkapan dokumen
laporan penemuan dan pengobatan kasus malaria. Kelengkapan dokumen
kasus malaria dari tahun 2009-2013 di Kota Lubuk Linggau yang disimpan
oleh Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau sebesar 100% dan hal yang
sama juga pada kelengkapan dokumen laporan penemuan dan pengobatan
kasus malaria berdasarkan puskesmas pada tahun 2011-2013 sebesar 100%.
65
BAB V
HASIL
5.1. Kasus Malaria di Kota Lubuk Linggau Tahun 2009-2013
A. Frekuensi Kasus Malaria di Kota Lubuk Linggau Tahun 2009-
2013
Kasus malaria di Kota Lubuk Linggau masih menjadi masalah
kesehatan masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari jumlah kasus malaria
masih diatas indikator yang ditetapkan Provinsi Sumatera Selatan.
Berdasarkan profil laporan malaria yang dibuat oleh Provinsi
Sumatera Selatan tahun 2013, Kota Lubuk Linggau dikategorikan
sebagai daerah endemis sedang menurut indikator API tetapi Dinas
Kesehatan Provinsi masih belum menyatakan dengan tegas kategori
endemis sedang ini karena masih lemahnya peran laboratorium di
Sumatera Selatan dalam membantu diagnosis malaria.
Dalam laporan bulanan kasus malaria, diketahui bahwa kasus
malaria dibagi menjadi 2 yaitu kasus malaria klinis dan kasus malaria
positif. Pembagian 2 kasus malaria ini berdasarkan adanya
pemeriksaan laboratorium. Kasus malaria yang bersumber pada gejala
klinis saja disebut malaria klinis. Berikut jumlah kasus malaria klinis
Kota Lubuk Linggau tahun 2009-2013.
66
Tabel 5.1
Frekuensi Kasus Malaria Klinis Kota Lubuk Linggau 2009-2013
Tahun N
2009 3329 Kasus
2010 2434 Kasus
2011 2768 Kasus
2012 2103 Kasus
2013 2090 Kasus
Sumber : Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau Tahun 2013
Berdasarkan tabel diatas, diketahui bahwa kasus malaria klinis
di Kota Lubuk Linggau tahun 2009-2013 masih diatas 1000 kasus per
tahun. Selain malaria klinis, kasus malaria yang ada didalam laporan
bulanan malaria adalah kasus malaria positif. Kasus malaria positif
adalah kasus malaria yang bersumber dari identifikasi gejala klinis
dan laboratorium untuk membantu diagnosis kasus. Berikut jumlah
kasus malaria positif di Kota Lubuk Linggau tahun 2009-2013.
Tabel 5.2
Frekuensi Kasus Malaria Positif Kota Lubuk Linggau 2009-2013
Tahun N
Total Mikroskop RDT
2009 842 Kasus 0 Kasus 842 Kasus
2010 450 Kasus 0 Kasus 450 Kasus
2011 951 Kasus 0 Kasus 951 Kasus
2012 570 Kasus 0 Kasus 570 Kasus
2013 318 Kasus 21 Kasus 339 Kasus
Sumber : Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau Tahun 2013
Berdasarkan tabel diatas, diketahui bahwa sebanyak 842 kasus
malaria yang telah diperiksa secara mikroskop di tahun 2009 dan
tahun 2013 sudah mulai dikembangkan pemeriksaan sediaan darah
67
untuk pengecekan Plasmodium dengan menggunakan RDT sebanyak
21 kasus yang pada tahun sebelumnya tidak ada kasus malaria yang
diperiksa RDT. Kemudian kasus malaria yang diperiksa mikroskop
sebanyak 318 kasus pada tahun 2013. Hal ini berarti bahwa
pemeriksaan menggunakan laborarorium membantu dalam
meningkatkan level kasus dari suspek menjadi probable yang
kemudian kasus memang terinfeksi oleh parasit malaria.
Salah satu cara untuk membandingkan kasus malaria antar
waktu adalah dengan melakukan penilaian kejadian malaria. Frekuensi
kasus malaria ini dapat dibandingkan antar tahun dengan
menggunakan indikator AMI dan API. Hal ini dikarenakan pada kasus
malaria ini harus melihat seberapa besar kelompok yang menjadi
kelompok rentan dalam kasus malaria ini. Dengan kata lain,
membandingkan kasus malaria antar tahun harus mempertimbangkan
seberapa besar populasi yang ada di Kota Lubuk Linggau. Oleh
karena itu indikator AMI dan API berperan penting dalam penilaian
kejadian malaria secara epidemiologis.
AMI (Annual Malaria Incidence) adalah kasus malaria selama
satu tahun di suatu wilayah per 1.000 penduduk. Malaria klinis adalah
kasus malaria berdasarkan hasil pemeriksaan gejala klinis oleh tenaga
kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan seperti puskesmas dan
pustu. Kasus malaria klinis ini berada pada tingkatan suspek yaitu
kasus yang dicurigai menderita malaria berdasarkan hasil dari
68
diagnosis oleh petugas pelayanan kesehatan. Karena status dari kasus
malaria klinis ini sebagai suspek malaria, maka perlu pemeriksaan
laboratorium untuk menyakinkan bahwa suspek kasus malaria ini
adalah benar sebagai penderita malaria. Hasil penilaian kejadian
malaria berdasarkan hasil laboratorium ini dikenal dengan indikator
API. Berikut jumlah kasus malaria klinis Kota Lubuk Linggau Tahun
2009-2013.
Tabel 5.3
Annual Malaria Incidence (AMI) Kota Lubuk Linggau
Tahun 2009-2013
Tahun Jumlah Penduduk
(Orang)
N
(Kasus)
AMI (Per 1000
Penduduk)
2009 186056 3329 17,89
2010 201308 2434 12,10
2011 206086 2768 13,43
2012 208893 2103 10,07
2013 214298 2090 9,75
Sumber : Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau Tahun 2013
Berdasarkan tabel diatas, diketahui bahwa jumlah kejadian
malaria terbesar selama 5 tahun terakhir adalah tahun 2009 dengan
kejadian 17,89 kasus per 1000 penduduk sedangkan jumlah kejadian
malaria yang paling kecil selama 5 tahun terakhir berada pada tahun
2013 dengan 9,75 kasus per 1000 penduduk. Selama 5 tahun terakhir,
penurunan kejadian malaria hampir 50%. Tetapi penurunan ini belum
mampu mencapai target yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Kota
Lubuk Linggau dan Provinsi Sumatera Selatan. Oleh karena itu,
malaria masih menjadi salah satu masalah kesehatan masyarakat
69
karena target pencapaian AMI pada tahun 2013 sebesar 7 per 1000
penduduk. Selain indikator AMI, indikator lain yang digunakan adalah
API.
API (Annual Parasite Incidence) adalah kasus malaria yang
sudah dikonfirmasikan dengan pemeriksaan darah secara miskrokopis.
Dalam kasus malaria, penilaian kejadian API berdasarkan kasus
malaria positif yang sudah terkonfirmasi jenis Plasmodium didalam
darah oleh kasus malaria positif. Kasus malaria positif adalah kasus
malaria yang sudah probable yang berarti bahwa kasus malaria ini
masih dimungkinkan menderita malaria. Oleh karena ini masih
kategori dimungkinkan, maka dalam laporan bulanan kasus malaria
positif menggunakan 2 metode pemeriksaan parasit malaria dalam
darah yaitu menggunakan mikroskop dan rapid diagnostic test (RDT).
Berikut nilai API kasus malaria Kota Lubuk Linggau tahun 2009-
2013.
Tabel 5.4
Annual Parasite Incidence Kota Lubuk Linggau Tahun 2009-2013
Tahun Jumlah Penduduk
(Orang)
N
(Kasus)
API (Per 1000
Penduduk)
2009 186056 842 4,53
2010 201308 450 2,24
2011 206086 951 4,61
2012 208893 570 2,73
2013 214298 339 1,58
Sumber : Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau Tahun 2013
70
Berdasarkan tabel diatas, diketahui bahwa tahun 2009
merupakan kasus dengan jumlah kasus yang terinfeksi malaria
terbanyak selama 5 tahun terakhir. Sedangkan pada tahun 2013,
jumlah kasus yang terinfeksi malaria menurun dibanding tahun 2009-
2012. Selain itu kasus malaria yang terkonfirmasi laboratorium
menjadi penting dalam kasus malaria positif dan API. Berikut rasio
kasus malaria yang terkonfirmasi laboratorium di Kota Lubuk
Linggau tahun 2009-2013
Tabel 5.5
Rasio Kasus Malaria Klinis Yang Terkonfirmasi Laboratorium di
Kota Lubuk Linggau Tahun 2009-2013
No Tahun
Jumlah
Malaria
Positif
Jumlah
Malaria
Klinis
Rasio
(Malaria
Positif/Malaria Klinis)
1 2009 842 3329 25,29
2 2010 450 2434 18,49
3 2011 951 2768 34,36
4 2012 570 2103 27,10
5 2013 339 2090 16,22
Sumber : Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau 2013
Berdasarkan tabel diatas, diketahui bahwa kasus malaria klinis
yang diperiksa laboratorium pada tahun 2009-2013 sebesar 16,22%-
34,36%. Perbandingan jumlah kasus malaria klinis yang dikonfirmasi
laboratorium puskesmas di Kota Lubuk Linggau tahun 2009-2013
masih dibawah target pencapaian nasional. Masih rendahnya
pemeriksaan malaria positif membuat indikator API tidak dapat
menggambarkan besar masalah malaria tersebut. Oleh karena itu,
71
indikator AMI yang digunakan untuk menggambarkan besar masalah
malaria di Kota Lubuk Linggau tahun 2009-2013.
Kasus malaria selama 5 tahun terakhir mengalami
kecenderungan penurunan jumlah kasus. Hal ini dapat diketahui
selama 5 tahun terakhir dengan nilai AMI kasus malaria di Kota
Lubuk Linggau pada tahun 2009 sebesar 17,89 per 1000 penduduk
turun menjadi 9,75 per 1000 penduduk pada tahun 2013. Berikut
grafik kecenderungan kasus malaria berdasarkan AMI dan API tahun
2009-2013 di Kota Lubuk Linggau.
Grafik 5.1
Kecenderungan Kasus Malaria Menurut AMI dan API
di Kota Lubuk Linggau Tahun 2009-2013
Sumber : Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau 2013,
Berdasarkan grafik diatas, diketahui bahwa kecenderungan
kasus malaria selama 5 tahun terakhir menurun. Hal ini dapat dilihat
dari kecenderungan API dan AMI yang menurun. Tetapi terjadi
0
0,5
1
1,5
2
2,5
3
3,5
4
4,5
5
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
2009 2010 2011 2012 2013
AP
I (P
er
10
00
Pe
nd
ud
uk)
AM
I (P
er
10
00
Pe
nd
ud
uk)
Tahun
AMI
API
72
peningkatan kasus malaria berdasarkan indikator AMI dan API pada
tahun 2011. Selanjutnya kasus malaria cenderung mengalami
penurunan kasus malaria kembali.
B. Kecenderungan Kasus Malaria di Kota Lubuk Linggau Tahun
2009-2013
Kecenderungan kasus malaria berdasarkan waktu.
Kecenderungan kasus malaria berdasarkan waktu dibagi menjadi
beberapa hal yaitu kecenderungan kasus pada tiap bulan pada tahun
2009-2013. Penjelasan kecenderungan kasus malaria di Kota Lubuk
Linggau berdasarkan hal tersebut akan diketahui hasilnya secara rinci
dalam penjelasan dibawah ini.
Penemuan kasus malaria di Kota Lubuk Linggau melalui
Passive Case Detection ditiap Puskesmas dan kemudian secara rutin
tiap bulan dilaporkan ke Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau.
Berdasarkan hasil pelaporan ini dapat diketahui kecenderungan kasus
malaria berdasarkan bulan selama tahun 2009-2013. Berikut
kecenderungan kasus malaria di Kota Lubuk Linggau selama 2009-
2013.
Grafik 5.2
Kecenderungan Kasus Malaria di Kota Lubuk Linggau Tahun 2009-2013
0
50
100
150
200
250
300
Jan
uar
i
Ap
ril
Juli
Okt
ob
er
Jan
uar
i
Ap
ril
Juli
Okt
ob
er
Jan
uar
i
Ap
ril
Juli
Okt
ob
er
Jan
uar
i
Ap
ril
Juli
Okt
ob
er
Jan
uar
i
Ap
ril
Juli
Okt
ob
er
Jun
lah
Kas
us
Bulan
Kasus Malaria
Sumber : Dinas
Kesehatan Kota
Lubuk Linggau 2013
73
Berdasarkan grafik diatas, diketahui bahwa kecenderungan
kasus malaria di Kota Lubuk Linggau tahun 2009-2013 menunjukkan
kota ini sebagai daerah endemis malaria. Hal ini dapat dilihat dari
kecenderungan kasus malaria yang stabil. Kemudian pola kasus
malaria dapat dilihat dari dengan membandingkan kecenderungan
kasus malaria ditiap tahun. Berikut kecenderungan kasus malaria di
Kota Lubuk Linggau tahun 2009-2013.
Grafik 5.3
Kecenderungan Kasus Malaria di Kota Lubuk Linggau Tahun 2009-2013
Sumber : Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau 2013,
Berdasarkan grafik diatas, diketahui bahwa kecenderungan
kasus malaria di Kota Lubuk Linggau pada tahun 2009-2013
cenderung tidak memiliki pola spesifik. Hal ini dapat dilihat dari
kecenderungan kasus malaria yang terjadi bulan tertentu. Hanya pada
bulan februari-maret kasus malaria selama 5 tahun terakhir mengalami
kecenderungan peningkatan kasus. Hal ini dapat dilihat pada ada
kenaikan kasus malaria pada bulan februari dan maret tahun 2009,
0
50
100
150
200
250
300
Jum
lah
Kas
us
Bulan
2009
2010
2011
2012
2013
74
2010 dan 2012 tetapi untuk tahun 2011 dan 2013 kasus cenderung
mengalami penurunan jumlah kasus. Sebaliknya pada bulan April
sampai Juni di tahun 2010, 2011 dan 2013 kasus malaria cenderung
turun tetapi tahun 2009 dan 2012 kasus malaria dibulan tersebut
cenderung naik. Oleh karena itu selama 5 tahun terakhir ini diketahui
bahwa kecenderungan kasus malaria ditemukan disemua bulan.
5.2. Karakteristik Faktor Host (Populasi) Pada Kasus Malaria di Kota
Lubuk Linggau Tahun 2009-2013
Konsep segitiga epidemiologi modern menjelaskan bahwa salah satu
faktor yang dapat menggambarkan kasus malaria adalah faktor karakteristik
manusia. Karakteristik kasus yang menderita malaria yang tercatat dalam
laporan bulanan penemuan dan pengobatan malaria adalah umur dan jenis
kelamin. Berikut akan dijelaskan secara jelas tentang karakteristik kasus
malaria di Kota Lubuk Linggau tahun 2009-2013 berdasarkan karakteristik
orang.
A. Gambaran Kasus Malaria Berdasarkan Jenis Kelamin di Kota
Lubuk Linggau Tahun 2009-2013
Kasus malaria dapat menginfeksi pada laki-laki dan perempuan.
Berikut distribusi frekuensi kasus malaria berdasarkan jenis kelamin
Kota Lubuk Linggau tahun 2009-2013
75
Tabel 5.6.
Distribusi Frekuensi Kasus Malaria Positif di Kota Lubuk Linggau
Berdasarkan Jenis Kelamin Tahun 2009-2013
Tahun
Kasus Malaria Jumlah
(%) Laki-Laki
(Kasus)
% Perempuan
(Kasus)
%
2009 438 52,02 404 47,98 842 (100%)
2010 231 51,33 219 48,67 450 (100%)
2011 474 49,84 477 50,16 951 (100%)
2012 249 43,68 321 56,32 570 (100%)
2013 160 47,20 179 52,80 339 (100%)
Sumber : Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau Tahun 2013
Berdasarkan tabel diatas, diketahui bahwa kasus malaria
menurut jenis kelamin di Kota Lubuk Linggau tahun 2009-2013
menginfeksi pada laki-laki dan perempuan. Hal ini dapat dilihat dari
jumlah kasus malaria pada kelompok laki-laki dan perempuan tidak
terlalu berbeda secara kuantitatif. Hal ini dapat diketahui dari
rasio/perbandingan laki-laki dan perempuan yang terserang malaria.
Berikut rasio jenis kelamin kasus malaria di Kota Lubuk Linggau
tahun 2009-2013.
Tabel 5.7.
Rasio Jenis Kelamin Kasus Malaria Kota Lubuk Linggau 2009-2013
Tahun Rasio Kasus
2009 1,08
2010 1,05
2011 0,99
2012 0,77
2013 0,89
Sumber : Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau Tahun 2013
Berdasarkan tabel diatas, diketahui bahwa perbandingan laki-
laki dengan perempuan yang menderita malaria ditahun 2009 sebesar
76
1,08. Hal ini berarti bahwa perbandingan laki-laki yang terinfeksi
malaria sebesar 1,08 dibanding dengan perempuan yang terinfeksi
malaria. Perbandingan ini memiliki kecenderungan yana sama selama
5 tahun terakhir akibat dari perbandingan laki-laki yang menderita
malaria dibanding perempuan yang menderita malaria hampir 1:1. Hal
ini berarti bahwa laki-laki dan perempuan memiliki peluang yang
sama untuk terinfeksi malaria di Kota Lubuk Linggau. Walaupun
malaria menginfeksi kedua kelompok tersebut, tetapi kelompok yang
paling rentan untuk terinfeksi malaria belum tentu sama. Hal ini
disebabkan kedua kelompok ini memiliki jumlah populasi yang
berbeda di masyarakat. Oleh karena itu, untuk melihat distribusi
kelompok rentan kasus malaria berdasarkan jenis kelamin maka
digunakan indikator incidence rate. Berikut kelompok rentan kasus
malaria berdasarkan jenis kelamin di Kota Lubuk Linggau tahun
2009-2013
Tabel 5.8.
Distribusi Kelompok Rentan Berdasarkan Jenis Kelamin Kasus
Malaria Kota Lubuk Linggau 2009-2013
Tahun
Kasus Malaria
Laki-Laki Perempuan
Jumlah
Penduduk N ‰
Jumlah
Penduduk N ‰
2009 94.154 438 4,7 91.902 404 4,4
2010 100.924 231 2,3 100.384 219 2,2
2011 103.295 474 4,6 102.791 477 4,6
2012 104.621 249 2,4 104.272 321 3,1
2013 107.328 160 1,5 106.970 179 1,7
Sumber 1. Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau 2013
2. BPS Kota Lubuk Linggau 2014
77
Berdasarkan tabel diatas, diketahui bahwa tidak ada perbedaan
kelompok yang paling rentan terinfeksi malaria. Kasus malaria pada
kedua kelompok tersebut memiliki risiko yang sama menjadi
kelompok yang rentan untuk terinfeksi malaria. Hal ini dikarenakan
tidak ada perbedaan yang sangat signifikan antara jumlah penduduk
yang berjenis kelamin laki-laki dan perempuan serta jumlah kasus
malaria pada laki-laki dan perempuan. Selain itu kasus malaria
berdasarkan jenis kelamin mengalami kecenderungan turun selama 5
tahun terakhir. Berikut kecenderungan kasus malaria berdasarkan jenis
kelamin di Kota Lubuk Linggau tahun 2009-2013
Grafik 5.4
Kecenderungan Kasus Malaria Berdasarkan Jenis Kelamin di
Kota Lubuk Linggau Tahun 2009-2013
Sumber : Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau 2013
Berdasarkan grafik diatas, diketahui bahwa selama tahun 2009-
2013 kasus malaria berdasarkan jenis kelamin mengalami
kecenderungan penurunan jumlah kasus pada laki-laki dan
0
0,5
1
1,5
2
2,5
3
3,5
4
4,5
5
0
0,5
1
1,5
2
2,5
3
3,5
4
4,5
5
2009 2010 2011 2012 2013
Pe
r 1
00
0 P
en
du
du
k
Pe
r 1
00
0 P
em
du
du
k
Tahun
Laki-Laki
Perempuan
78
perempuan. Hanya pada tahun 2011, terjadi kenaikan jumlah kasus
malaria pada laki-laki dan perempuan dengan insiden kasus yang
hampir sama. Tetapi pada 2009-2013 dapat dilihat bahwa terjadi
penurunan kasus malaria yang cukup besar dikedua kelompok
tersebut.
B. Gambaran Kasus Malaria Berdasarkan Umur di Kota Lubuk
Linggau Tahun 2009-2013
Malaria adalah penyakit yang dapat menginfeksi ke semua
kelompok umur. Berikut distribusi frekuensi kasus malaria
berdasarkan umur di Kota Lubuk Linggau yang tercatat dalam laporan
bulanan penemuan dan pengobatan kasus malaria 2009-2013.
Tabel 5.9.
Distribusi Frekuensi Kasus Malaria Menurut Umur
Kota Lubuk Linggau 2009-2013
Tahun Kasus Malaria
0-11 bln 1-4 thn 5-9 thn 10-14 thn ≥ 15 thn
2009 6 65 158 164 359
2010 4 28 66 81 271
2011 9 70 161 232 479
2012 3 59 84 124 300
2013 2 22 33 50 232
Sumber : Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau Tahun 2013
Berdasarkan tabel diatas, diketahui bahwa kelompok yang
paling banyak menjadi kasus malaria 5 tahun terakhir adalah
kelompok umur ≥ 15 tahun. Hal ini dapat dilihat dari jumlah kasus
malaria dikelompok tersebut lebih banyak dibanding kelompok yang
lain. Tetapi hal ini tidak berarti bahwa kelompok tersebut adalah
79
kelompok yang paling banyak terserang malaria. Kelompok yang
paling banyak terinfeksi malaria dapat dilihat dari insiden kasus
malaria berdasarkan tiap kelompok umur. Berikut kelompok malaria
berdasarkan kelompok umur.
Tabel 5.10
Distribusi Kelompok Kasus Malaria Menurut Umur
di Kota Lubuk Linggau Tahun 2009-2013
Tahun
Kasus Malaria
0-4 tahun 5-9 thn 10-14 thn ≥ 15 thn
Jmlh
Pddk N
Per
1000
pddk
Jmlh
Pddk N
Per
1000
pddk
Jmlh
Pddk N
Per
1000
pddk
Jmlh
Pddk N
Per
1000
pddk
2009 12.588 71 3,33 18.424 158 7,85 19.904 164 7,99 135.140 359 2,44
2010 20.251 32 1,50 20.269 66 3,28 20.864 81 3,95 139.942 271 1,84
2011 20.742 79 3,71 20.314 161 7,99 20.855 232 11,3 144.175 479 3,26
2012 21.311 62 2,91 20.137 84 4,17 20.519 84 4,09 146.926 300 2,04
2013 21.950 24 1,10 20.740 33 1,60 22.682 50 2,20 149.094 232 1,56
Berdasarkan tabel diatas, diketahui bahwa selama 5 tahun
terakhir distribusi kelompok umur yang paling banyak terinfeksi
malaria adalah kelompok umur 10-14 tahun, 5-9 tahun, 0-4 tahun dan
≥ 15 tahun. Hal ini dikarenakan jumlah penduduk pada kelompok ≥
15 tahun lebih besar dibanding dengan kelompok lain walaupun
jumlah kasus malaria pada kelompok ini cukup banyak tetapi setelah
distandarisasikan maka dapat diketahui bahwa kelompok kasus
malaria paling banyak adalah kelompok usia 10-14 tahun secara
Sumber 1. Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau 2013
2. BPS Kota Lubuk Linggau 2014
80
khusus dan kelompok anak pada umumnya selama 5 tahun terakhir.
Oleh karena itu diperlukan upaya penanggulangan malaria kepada
kelompok rentan anak.
Upaya penanggulangan malaria pada kelompok rentan selain
dengan mengetahui insiden kasus malaria, dapat juga menggunakan
kecenderungan kasus malaria berdasarkan kelompok umur. Berikut
kecenderungan kasus malaria berdasarkan kelompok umur pada tahun
2009-2013.
Grafik 5.5
Kecenderungan Kasus Malaria Berdasarkan Umur di
Kota Lubuk Linggau Tahun 2009-2013
Berdasarkan grafik diatas, diketahui bahwa terjadi penurunan
jumlah kasus malaria pada semua kelompok umur. Hanya saja terjadi
peningkatan jumlah kasus malaria ditahun 2011 yang diakibatkan dari
jumlah kasus malaria disemua kelompok umur mengalami kenaikan
0
2
4
6
8
10
12
2009 2010 2011 2012 2013
Pe
r 1
00
0 P
en
du
du
k
Tahun
0-4 tahun
5-9 tahun
10-14 tahun
≥ 15 tahun
81
jumlah kasus malaria. Tetapi jumlah kasus malaria selama 5 tahun
terakhir mengalami penurunan jumlah kasus yang cukup banyak
kecuali tahun 2011.
5.3. Karakteristik Faktor Agent (Penyebab) Pada Kasus Malaria di Kota
Lubuk Linggau Tahun 2009-2013
Malaria disebabkan oleh Plasmodium yang menginfeksi manusia
sehingga parasit ini menjadi faktor penyebab (Agent) dalam kejadian
malaria. Laporan bulanan malaria mencatat bahwa pemeriksaan
Plasmodium dilakukan dengan menggunakan bantuan mikroskop sehingga
dapat diketahui jenis Plasmodium yang menginfeksi kasus malaria.
A. Karakteristik Kasus Malaria Berdasarkan Jenis Plasmodium di
Kota Lubuk Linggau Tahun 2009-2013
Malaria disebabkan oleh parasit Plasmodium yang ada didalam
tubuh kasus malaria. Jenis parasit malaria yang tercatat dalam laporan
bulanan penemuan dan pengobatan malaria adalah P. falcifarum, P.
vivax, P. malariae, P. ovale dan mix. Berikut adalah gambaran
distribusi kasus malaria menurut jenis plasmodium di Kota Lubuk
Linggau tahun 2009-2013
82
Tabel 5.11.
Distribusi Frekuensi Kasus Malaria Positif Menurut Jenis Plasmodium
Kota Lubuk Linggau 2009-2013
Tahun
Malaria Positif
P.
falciparum %
P.
vivax %
P.
malariae %
P.
ovale % Mix %
2009 26 3,1 806 96,9 0 0 0 0 0 0
2010 6 1,3 444 98,7 0 0 0 0 0 0
2011 6 0,9 629 99,1 0 0 0 0 0 0
2012 27 4,8 539 95,2 0 0 0 0 0 0
2013 53 17,2 255 82,8 0 0 0 0 0 0
Sumber : Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau Tahun 2013
Berdasarkan tabel diatas, diketahui bahwa Plasmodium yang
paling banyak ditemukan pada kasus malaria di Kota Lubuk Linggau
tahun 2009-2013 adalah P. vivax dan P. falciparum. Selama 5 tahun
terakhir, tidak pernah ditemukan P. malariae, P. ovale dan gabungan
Plasmodium yang menginfeksi manusia di Kota Lubuk Linggau.
Penentuan jenis Plasmodium didalam darah kasus berdasarkan hasil
laboratorium secara mikroskopis dan RDT.
Kasus malaria positif di Kota Lubuk Linggau hanya berdasarkan
beberapa puskesmas saja yang melakukan pemeriksaan laboratorium
sehingga tidak semua kasus malaria positif dapat terjaring dalam
pelaporan. Hal ini dikarenakan banyak puskesmas yang belum
memiliki tenaga laboratorium dan belum terlatihnya dalam
mendeteksi kasus malaria
83
5.4. Karakteristik Faktor Environment (Lingkungan) Kasus Malaria di
Kota Lubuk Linggau Tahun 2009-2013
A. Karakteristik Kasus Malaria Berdasarkan Curah Hujan di Kota
Lubuk Linggau Tahun 2009-2013
Kasus malaria ditularkan oleh nyamuk Anopheles betina.
Nyamuk ini dapat berkembang biak pada tempat yang menampung
air. Salah satu faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi
berkembang biaknya nyamuk Anopheles adalah curah hujan. Berikut
kecenderungan kasus malaria dan curah hujan di Kota Lubuk Linggau
tahun 2009-2013.
Grafik 5.6
Kecenderungan Kasus Malaria dan Curah Hujan
di Kota Lubuk Linggau Tahun 2009-2013
Sumber : 1. Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau 2013,
2. BMKG Provinsi Sumatera Selatan 2013
Berdasarkan grafik diatas, diketahui bahwa pola curah hujan di
Kota Lubuk Linggau mulai mengalami peningkatan pada bulan juli-
oktober. Kemudian jika dilihat kecenderungan kasus malaria dengan
curah hujan, maka dapat dilihat bahwa tidak terdapat pola khusus
0
50
100
150
200
250
300
0
100
200
300
400
500
600
700
800
Jan
uar
i
Ap
ril
Juli
Okt
ob
er
Jan
uar
i
Ap
ril
Juli
Okt
ob
er
Jan
uar
i
Ap
ril
Juli
Okt
ob
er
Jan
uar
i
Ap
ril
Juli
Okt
ob
er
Jan
uar
i
Ap
ril
Juli
Okt
ob
er
Cu
rah
Hu
jan
Jum
lah
Mal
aria
Klin
is
Curah Hujan Kasus Klinis
84
antara curah hujan dan kasus malaria. Pada tahun awal dapat diketahui
bahwa kasus malaria mengalami peningkatan ketika curah hujan
mengalami penurunan. Hal ini dikarenakan mulai timbulnya tempat
perkembangbiakan nyamuk Anopheles sehingga membuat semakin
tingginya kepadatan nyamuk yang berakibat pada aktivitas nyamuk
untuk menginfeksi manusia menjadi tinggi. Oleh karena itu jumlah
kasus malaria menjadi tinggi.
B. Karakteristik Kasus Malaria Berdasarkan Suhu di Kota Lubuk
Linggau Tahun 2009-2013
Selain curah hujan, faktor lain yang dapat mempengaruhi
perkembangbiakan nyamuk malaria adalah suhu. Berikut
kecenderungan kasus malaria dan suhu maksimum-minimum Kota
Lubuk Linggau tahun 2009-2013.
Grafik 5.5
Kecenderungan Kasus Malaria, Suhu Minimum dan Suhu Maksimum
di Kota Lubuk Linggau Tahun 2009-2013
Sumber :1. Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau 2013,
2. BMKG Provinsi Sumatera Selatan 2013
0510152025303540
0
50
100
150
200
250
300
Jan
uar
i
Ap
ril
Juli
Okt
ob
er
Jan
uar
i
Ap
ril
Juli
Okt
ob
er
Jan
uar
i
Ap
ril
Juli
Okt
ob
er
Jan
uar
i
Ap
ril
Juli
Okt
ob
er
Jan
uar
i
Ap
ril
Juli
Okt
ob
er
Suh
u ͦC
Kas
us
Mal
aria
Bulan
Kasus Malaria Suhu Minimum Suhu Maksimum
85
Berdasarkan grafik diatas, diketahui bahwa suhu di Kota Lubuk
Linggau berkisar 220C-32
0C. Suhu ini sangat optimum untuk
perkembangbiakan parasit dalam tubuh nyamuk sehingga terjadi kasus
malaria di Kota Lubuk Linggau tahun 2009-2013. Kecenderungan
kasus malaria dengan suhu tidak memiliki pola yang jelas. Hal ini
berarti bahwa belum dapat dipastikan bahwa pada suhu tertentu akan
menyebabkan jumlah kasus malaria.
C. Karakteristik Kasus Malaria Berdasarkan Kelembaban di Kota
Lubuk Linggau Tahun 2009-2013
Faktor yang mempengaruhi kasus malaria selain curah hujan
dan suhu adalah kelembaban. Berikut kecenderungan kasus malaria
dan kelembaban.
Grafik 5.6
Kecenderungan Kasus Malaria dan Kelembaban
di Kota Lubuk Linggau Tahun 2009-2013
Sumber :1. Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau 2013,
2. BMKG Provinsi Sumatera Selatan 2013
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
0
50
100
150
200
250
300
Jan
uar
i
Ap
ril
Juli
Okt
ob
er
Jan
uar
i
Ap
ril
Juli
Okt
ob
er
Jan
uar
i
Ap
ril
Juli
Okt
ob
er
Jan
uar
i
Ap
ril
Juli
Okt
ob
er
Jan
uar
i
Ap
ril
Juli
Okt
ob
er
Ke
lem
bab
an
Jum
lah
Kas
us
AMI Kelembaban
86
Kelembaban di Kota Lubuk Linggau selama 5 tahun terakhir
cenderung stabil. Kelembaban yang ada di Kota Lubuk Linggau ini
dapat mempengaruhi endemisitas malaria. Hal ini dikarenakan
kelembaban di Kota Lubuk berada pada suhu optimum untuk nyamuk
lebih aktif untuk menggigit dan berkontribusi untuk
perkembangbiakan nyamuk.
5.5. Epidemiologi Spasial Malaria di Kota Lubuk Linggau
Kasus malaria di Kota Lubuk Linggau berasal dari laporan bulanan
penemuan dan pengobatan malaria di Puskesmas. Laporan bulanan ini akan
dikumpulkan di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau untuk diketahui
kejadian kasus malaria. Laporan yang dikumpulkan ini dapat diketahui
daerah yang memiliki kasus malaria yang paling banyak dan
endemisitasnya. Didalam laporan bulanan malaria yang dimiliki puskesmas
dalam mewakili kecamatan telah disusun berdasarkan kelurahan/wilayah
kerja puskesmas. Oleh karena itu akan lebih baik analisis kasus malaria
berdasarkan epidemiologi spasial di Kota Lubuk Linggau.
A. Pemetaan Endemisitas Malaria di Kota Lubuk Linggau Tahun
2009-2013
Kota Lubuk Linggau terdiri dari 8 kecamatan. Tiap kecamatan
melaporkan kejadian malaria yang tercatat oleh petugas kesehatan
melalui laporan puskesmas ke dinas kesehatan. Hal ini berarti bahwa
kasus malaria yang tercatat oleh petugas puskesmas adalah kasus
87
malaria yang datang berobat ke puskesmas/passive case detection.
Berikut kasus malaria berdasarkan kecamatan tahun 2009-2013
Tabel 5.12
Distribusi Frekuensi Kasus Malaria Berdasarkan Kecamatan
Kota Lubuk Linggau Tahun 2009-2013
No Kecamatan Kasus
2009 2010 2011 2012 2013
1 Lubuk Linggau Barat 1 112 54 53 61 203
2 Lubuk Linggau Barat 2 1469 1304 1267 886 668
3 Lubuk Linggau Timur 1 407 149 9 2 0
4 Lubuk Linggau Timur 2 283 108 110 116 97
5 Lubuk Linggau Selatan 1 178 195 315 308 272
6 Lubuk Linggau Selatan 2 89 190 304 289 151
7 Lubuk Linggau Utara 1 335 29 29 256 319
8 Lubuk Linggau Utara 2 436 405 327 309 344
Sumber : Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau Tahun 2013
Berdasarkan tabel diatas, diketahui bahwa kasus malaria di
Kecamatan Lubuk Linggau Timur 1 dari tahun 2009-2013 sebesar 407
kasus, 149 kasus, 9 kasus, 28 kasus dan tidak ada kasus sama sekali di
tahun 2013. Kemudian Kecamatan Lubuk Linggau Barat 2 memiliki
jumlah kasus malaria selama 5 tahun terakhir sebanyak 1469 kasus,
1304 kasus, 1613 kasus, 722 kasus dan 715 kasus. Untuk mengetahui
wilayah yang paling besar untuk terinfeksi malaria, cara yang dapat
dilakukan adalah dengan mengetahui insiden kasus malaria tersebut.
Oleh karena itu kasus malaria di kecamatan tersebut distandarisasikan
kedalam indikator AMI. Berikut kasus kejadian malaria dalam AMI
berdasarkan Kecamatan di Kota Lubuk Linggau tahun 2009-2013.
88
Tabel 5.13.
Distribusi Kasus Malaria (AMI) Berdasarkan Kecamatan
di Kota Lubuk Linggau Tahun 2009
No Kecamatan Jumlah Penduduk Kasus AMI
1 Lubuk Linggau Barat 1 28109 112 4,0
2 Lubuk Linggau Barat 2 19421 1469 75,6
3 Lubuk Linggau Timur 1 29566 407 13,8
4 Lubuk Linggau Timur 2 25327 283 11,2
5 Lubuk Linggau Selatan 1 12544 178 14,2
6 Lubuk Linggau Selatan 2 23276 89 3,8
7 Lubuk Linggau Utara 1 26413 335 12,7
8 Lubuk Linggau Utara 2 14575 436 29,9
Sumber : Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau Tahun 2013
Berdasarkan tabel diatas, diketahui bahwa kasus malaria
terbanyak tahun 2009 adalah Kecamatan Lubuk Linggau Barat 2
dengan kasus malaria sebanyak 75,6 kasus per 1000 penduduk.
Selanjutnya adalah Kecamatan Lubuk Linggau Utara 2 dengan jumlah
kasus 29,9 kasus per 1000 penduduk dan Kecamatan Lubuk Linggau
Selatan 1 dengan jumlah kasus sebesar 14,2 kasus per 1000 penduduk.
Sebaliknya, kecamatan dengan jumlah kasus malaria paling sedikit
adalah Kecamatan Lubuk Linggau Selatan 2 dengan jumlah kasus
sebesar 3,8 kasus per 1000 penduduk. Berikut pemetaan endemisitas
malaria berdasarkan kecamatan di Kota Lubuk Linggau Tahun 2009.
89
Gambar 5.1
Pemetaan Endemisitas Malaria Berdasarkan Kecamatan
di Kota Lubuk Linggau tahun 2009
Berdasarkan gambar diatas, diketahui bahwa terdapat 1
kecamatan dengan endemisitas tinggi, 5 kecamatan dengan
endemisitas sedang dan 2 wilayah dengan endemisitas rendah.
Kecamatan dengan endemisitas tinggi adalah kecamatan Lubuk
Linggau Barat 2. Pemetaan endemisitas tahun 2009 ini sebagai peta
awal dalam membandingkan kasus malaria dengan pemetaan
endemisitas malaria tahun berikutnya
Selanjutnya, distribusi kasus malaria berdasarkan kecamatan
dapat diketahui dengan jumlah kasus malaria di tiap-tiap kecamatan.
Berikut ini distribusi kasus malaria tahun 2010.
90
Tabel 5.14.
Distribusi Kasus Malaria (AMI) Berdasarkan Kecamatan
Kota Lubuk Linggau Tahun 2010
No Kecamatan Jumlah Penduduk Kasus AMI
1 Lubuk Linggau Barat 1 28109 54 1,9
2 Lubuk Linggau Barat 2 19421 1304 67,1
3 Lubuk Linggau Timur 1 29566 149 5,0
4 Lubuk Linggau Timur 2 25327 108 4,3
5 Lubuk Linggau Selatan 1 12544 195 15,5
6 Lubuk Linggau Selatan 2 23276 190 8,2
7 Lubuk Linggau Utara 1 26413 29 1,1
8 Lubuk Linggau Utara 2 14575 405 27,8
Sumber : Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau Tahun 2013
Berdasarkan tabel diatas, diketahui bahwa kasus malaria
terbesar ditahun 2010 adalah Kecamatan Lubuk Linggau Barat 2
sebesar 67 kasus per 1000 penduduk, selanjutnya Kecamatan Lubuk
Linggau Utara 2 sebesar 27,8 per 1000 penduduk dan Kecamatan
Lubuk Linggau Selatan 1 sebesar 15,5 per 1000 penduduk. Puskesmas
dengan jumlah kasus malaria paling sedikit adalah Kecamatan Lubuk
Linggau Utara 1 dengan jumlah kasus sebesar 1,1 kasus per 1000
penduduk. Berikut pemetaan endemisitas malaria berdasarkan
kecamatan di Kota Lubuk Linggau Tahun 2010.
91
Gambar 5.2
Pemetaan Endemisitas Malaria Berdasarkan Kecamatan
di Kota Lubuk Linggau tahun 2010
Berdasarkan hasil pemetaan diatas, diketahui bahwa terdapat 1
kecamatan dengan endemisitas tinggi, 2 kecamatan dengan
endemisitas sedang dan 5 kecamatan dengan endemisitas rendah.
Adanya penurunan kecamatan yang endemisitas malaria ditahun 2010.
Kecamatan yang mengalami penurunan kasus malaria adalah
Kecamatan Lubuk Linggau Timur 1, Kecamatan Lubuk Linggau
Timur 2, Kecamatan Lubuk Linggau Utara 1. Kecamatan Lubuk
Linggau Barat 2 masih stabil menjadi wilayah dengan endemisitas
tinggi sedangkan Kecamatan Lubuk Linggau Barat 1 dan Kecamatan
Lubuk Linggau Selatan 2 stabil menjadi wilayah dengan endemisitas
rendah. Jika dibandingkan dengan pemetaan endemisitas malaria
tahun 2011, akan ada perubahan pemetaan endemisitas malaria.
92
Selanjutnya kasus malaria ditahun 2011 dijelaskan dalam tabel
dibawah ini.
Tabel 5.15.
Distribusi Kasus Malaria (AMI) Berdasarkan Kecamatan
Kota Lubuk Linggau Tahun 2011
No Kecamatan Jumlah Penduduk Kasus AMI
1 Lubuk Linggau Barat 1 21290 53 2,5
2 Lubuk Linggau Barat 2 30522 1267 44,5
3 Lubuk Linggau Timur 1 30899 9 0,3
4 Lubuk Linggau Timur 2 30645 110 3,6
5 Lubuk Linggau Selatan 1 12239 315 25,7
6 Lubuk Linggau Selatan 2 26414 304 11,4
7 Lubuk Linggau Utara 1 26413 29 1,1
8 Lubuk Linggau Utara 2 32356 327 10,1
Sumber : Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau Tahun 2013
Berdasarkan tabel diatas, diketahui bahwa kecamatan dengan
jumlah kasus terbesar di Kota Lubuk Linggau ditahun 2011 adalah
Kecamatan Lubuk Linggau Barat 2 dengan jumlah kasus sebesar 44,5
per 1000 penduduk lalu Kecamatan Lubuk Linggau Selatan 1 dengan
jumlah kasus sebanyak 25,7 kasus per 1000 penduduk. Selanjutnya
jumlah kasus paling sedikit adalah Kecamatan Lubuk Linggau Utara 1
dengan 0,3 kasus per 1000 penduduk. Berikut pemetaan endemisitas
malaria berdasarkan kecamatan di Kota Lubuk Linggau tahun 2011
93
Gambar 5.3
Pemetaan Endemisitas Malaria Berdasarkan Kecamatan
di Kota Lubuk Linggau tahun 2011
Pada dasarnya pemetaan endemisitas malaria tahun 2011 hampir
sama dengan hasil pemetaan endemisitas kasus malaria berdasarkan
kecamatan di Kota Lubuk Linggau tahun 2010. Hanya saja ada
peningkatan jumlah kasus malaria di Kecamatan Lubuk Linggau
Selatan 2. Oleh karena adanya peningkatan jumlah kasus, maka
Kecamatan Lubuk Linggau Selatan menjadi daerah dengan
endemisitas sedang malaria.
Berdasarkan laporan bulanan yang dimiliki oleh Dinas
Kesehatan Kota Lubuk Linggau, dapat diketahui juga daerah dengan
jumlah kasus malaria untuk tahun 2012. Berikut distribusi kasus
malaria berdasarkan Puskesmas tahun 2012.
94
Tabel 5.16.
Distribusi Kasus Malaria (AMI) Berdasarkan Puskesmas
Kota Lubuk Linggau Tahun 2012
No Kecamatan Jumlah Penduduk Kasus AMI
1 Lubuk Linggau Barat 1 21290 61 2,8
2 Lubuk Linggau Barat 2 30522 886 29,0
3 Lubuk Linggau Timur 1 29566 2 0,6
4 Lubuk Linggau Timur 2 25357 116 4,6
5 Lubuk Linggau Selatan 1 12239 308 25,2
6 Lubuk Linggau Selatan 2 26414 289 10,9
7 Lubuk Linggau Utara 1 26413 256 9,7
8 Lubuk Linggau Utara 2 32356 309 9,5
Sumber : Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau Tahun 2013
Berdasarkan tabel diatas, diakui bahwa jumlah kasus malaria
yang paling besar berdasarkan kecamatan di Kota Lubuk Linggau
adalah Kecamatan Lubuk Linggau Barat 2 dengan jumlah kasus
sebesar 29,0 per 1000 penduduk yang selanjutnya disusul oleh
Kecamatan Lubuk Linggau Selatan 1 dengan jumlah kasus sebesar
25,2 per 1000 penduduk. Ada perbedaan wilayah terbesar kasus
malaria antara tahun 2009-2012 dimana jumlah kasus malaria
terbanyak berada pada wilayah Kecamatan Lubuk Linggau Barat 2.
Sedangkan untuk tahun 2012, Kecamatan Lubuk Linggau Selatan 1
mengalami jumlah kasus yang cukup signifikan sehingga menjadi
wilayah Kota Lubuk Linggau yang memiliki jumlah kasus malaria
paling besar. Berikut pemetaan endemisitas malaria berdasarkan
kecamatan di Kota Lubuk Linggau tahun 2012
95
Gambar 5.4
Pemetaan Endemisitas Malaria Berdasarkan Kecamatan
di Kota Lubuk Linggau tahun 2012
Berdasarkan gambar diatas, diketahui bahwa tidak didapatkan
kecamatan dengan endemisitas tinggi. Endemisitas kasus malaria di
Kecamatan Lubuk Linggau 2 sudah turun dari wilayah dengan
endemisitas tinggi menjadi wilayah dengan endemisitas sedang.
Pemetaan kasus malaria tahun 2012 hampir sama dengan pemetaan
kasus malaria tahun 2011. Setelah tahun 2012 terjadi perubahan
jumlah kasus yang cukup signifikan di beberapa Puskesmas, berikut
jumlah kasus malaria di Kota Lubuk Linggau tahun 2013.
96
Tabel 5.17.
Distribusi Kasus Malaria (AMI) Berdasarkan Kecamatan
Kota Lubuk Linggau Tahun 2013
No Kecamatan Jumlah Penduduk Kasus AMI
1 Lubuk Linggau Barat 1 22361 203 9,1
2 Lubuk Linggau Barat 2 32027 668 20,8
3 Lubuk Linggau Timur 1 33482 0 0
4 Lubuk Linggau Timur 2 33670 97 2,8
5 Lubuk Linggau Selatan 1 14773 272 18,4
6 Lubuk Linggau Selatan 2 28803 151 5,2
7 Lubuk Linggau Utara 1 15811 319 20,2
8 Lubuk Linggau Utara 2 34622 344 9,9
Sumber : Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau Tahun 2013
Berdasarkan tabel diatas, diketahui bahwa jumlah kasus malaria
terbesar tahun 2013 berada pada Kecamatan Lubuk Linggau Barat 2
dengan jumlah kasus sebesar 20,8 per 1000 penduduk. Selanjutnya
diikuti oleh Kecamatan Lubuk Linggau Selatan 1 sebesar 20,2 per
1000 penduduk. Berikut pemetaan endemisitas malaria berdasarkan
kecamatan di Kota Lubuk Linggau tahun 2013.
Gambar 5.5
Pemetaan Endemisitas Malaria Berdasarkan Kecamatan
di Kota Lubuk Linggau tahun 2013
97
Berdasarkan gambar diatas, pemetaan endemisitas malaria
berdasarkan kecamatan di Kota Lubuk Linggau tahun 2013 adalah
terdapat 3 kecamatan dengan endemisitas sedang dan 5 wilayah
dengan endemisitas rendah. Kecamatan Lubuk Linggau Selatan 1
cenderung stabil menjadi daerah dengan endemisitas sedang dan
Kecamatan Lubuk Linggau Barat 1 stabil menjadi daerah dengan
endemisitas rendah.
Selanjutnya adanya penurunan tingkat endemisitas wilayah
malaria di Kecamatan Lubuk Linggau Barat 2 yang ditahun 2009-
2011 adalah daerah endemis tinggi lalu turun menjadi daerah dengan
endemis sedang di 2012 dan 2013. Selanjutnya Kecamatan Lubuk
Linggau Utara 2, Kecamatan Lubuk Linggau Timur 1 dan 2 yang juga
terjadi penurunan endemisitas wilayah yang berawal dari endemisitas
sedang menjadi endemisitas rendah. Tetapi Kecamatan Lubuk
Linggau Utara 1 dan Kecamatan Lubuk Linggau Selatan 2 yang
cenderung mengalami perubahan endemisitas wilayah. Oleh karena
itu, dapat disimpulkan bahwa selama tahun 2009-2013 Puskesmas
dengan jumlah kasus malaria terbanyak adalah
98
Tabel 5.18.
Kecamatan dengan Jumlah Kasus Malaria (AMI) Terbesar
Kota Lubuk Linggau Tahun 2011-2013
Tahun Puskesmas
Peringkat 1 Peringkat 2 Peringkat 3
2009
Kecamatan Lubuk
Linggau Barat 2
(75,6 Per 1000
Penduduk)
Kecamatan Lubuk
Linggau Utara 2
(29,9 Per 1000
Penduduk)
Kecamatan Lubuk
Linggau Selatan 1
(14,2 Per 1000
Penduduk)
2010
Kecamatan Lubuk
Linggau Barat 2
(67,1 Per 1000
Penduduk)
Kecamatan Lubuk
Linggau Utara 2
(27,8 Per 1000
Penduduk)
Kecamatan Lubuk
Linggau Selatan 1
(15,5 Per 1000
Penduduk)
2011
Kecamatan Lubuk
Linggau Barat 2
(44,5 Per 1000
Penduduk)
Kecamatan Lubuk
Linggau Selatan 1
(25,7 Per 1000
Penduduk)
Kecamatan Lubuk
Linggau Selatan 2
(11,4 Per 1000
Penduduk)
2012
Kecamatan Lubuk
Linggau Barat 2
(29 Per 1000
Penduduk)
Kecamatan Lubuk
Linggau Selatan 1
(25,2 Per 1000
Penduduk)
Kecamatan Lubuk
Linggau Selatan 2
(10,9 Per 1000
Penduduk)
2013
Kecamatan Lubuk
Linggau Barat 2
(20,8 Per 1000
Penduduk)
Kecamatan Lubuk
Linggau Utara 1
(20,2 Per 1000
Penduduk)
Kecamatan Lubuk
Linggau Selatan 1
(18,4 Per 1000
Penduduk)
Kecamatan di Kota Lubuk Linggau memiliki beberapa wilayah
kerja yaitu kelurahan. Kasus yang datang berobat ke puskesmas akan
dicatat pada laporan kasus malaria berdasarkan kelurahan. Sehingga
dapat dipastikan bahwa dimana kasus dengan jumlah kasus malaria
yang paling tinggi di kecamatan tersebut. Berikut jumlah kasus
malaria berdasarkan kelurahan di Kota Lubuk Linggau tahun 2011-
2013.
Kelurahan pertama yang digambarkan pemetaan endemisitas
malaria adalah kelurahan di Kecamatan Lubuk Linggau Barat 1.
99
Kecamatan Lubuk Linggau Barat 1 memiliki 8 kelurahan yang
menjadi wilayah kerja. 8 Kelurahan ini memiliki kasus malaria yang
hampir tersebar di tiap kelurahan. Berikut jumlah kasus malaria di
Kelurahan Kecamatan Lubuk Linggau Barat 1 tahun 2011-2013.
Tabel 5.19
Distribusi Kasus Malaria (AMI) di Kelurahan
Kecamatan Lubuk Linggau Barat 1 Kota Lubuk Linggau Tahun 2011-2013
Kelurahan Jumlah Penduduk
Kasus Malaria
2011 2012 2013
2011 2012 2013 N AMI N AMI N AMI
Bandung Kanan 1539 1539 1672 5 3,0 5 2,9 9 5,4
Sidorejo 4396 4396 4529 7 1,5 7 1,5 60 13,2
LLG Ulu 2116 2116 2249 8 3,5 8 3,5 10 4,4
LLG Ilir 1523 1523 1656 5 3,0 6 3,6 6 3,6
Pemiri 2675 2675 2808 5 1,8 5 1,9 40 14,2
Keputraan 2886 2886 3019 6 2,0 8 2,6 22 7,3
Ulak Lebar 3922 3922 4055 10 2,5 14 3,4 43 10,6
T Lebar 2233 2233 2366 7 2,9 8 3,4 13 5,5
Sumber : Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau Tahun 2013
Berdasarkan tabel diatas, diketahui bahwa kasus malaria di
tahun 2011 dan 2012 tidak terlalu dominan berada di tiap kelurahan
Kecamatan Lubuk Linggau Barat 1. Sebaliknya terjadi di 2013, Kasus
malaria terbesar berada di Kelurahan Pemiri dengan 14,2 kasus per
1000 penduduk, Kelurahan Sidorejo dengan 13,2 kasus per 1000
100
penduduk dan Kelurahan Ulak Lebar dengan 10,6 kasus per 1000
penduduk. Berikut pemetaan endemisitas malaria berdasarkan
kelurahan di Kecamatan Lubuk Linggau Barat 1.
Gambar 5.6
Pemetaan Endemisitas Kasus Malaria Kec Lubuk Linggau Barat 1
Kota Lubuk Linggau Tahun 2011-2013
2011 2012
2013
101
Berdasarkan gambar diatas, diketahui bahwa terjadi peningkatan
kasus malaria di Kelurahan Sidorejo, Kelurahan Ulak Lebar dan
Kelurahan Pasar Permiri ditahun 2012 dan 2013. Peningkatan kasus
ini berdampak pada peningkatan endemisitas wilayah yang ada di
Kecamatan Lubuk Linggau Barat 1 selama 2011-2013. Kelurahan di
Kecamatan selanjutnya adalah kelurahan di Kecamatan Lubuk
Linggau Barat 2. Berikut distribusi kasus malaria berdasarkan
kelurahan di kecamatan Lubuk Linggau Barat 2.
Tabel 5.20.
Distribusi Kasus Malaria (AMI) di Kelurahan
Kecamatan Lubuk Linggau Barat 2 Kota Lubuk Linggau Tahun 2011-2013
Kelurahan Jumlah Penduduk
Kasus Malaria
2011 2012 2013
2011 2012 2013 N AMI N AMI N AMI
Lubuk Durian 1125 1125 1262 78 61,8 16 12,7 29 23,0
Kayuara 2678 2678 2815 70 24,7 91 32,3 80 28,4
Lubuk Tanjung 3405 3405 3542 82 23,2 54 15,2 36 10,2
Tanjung Indah 2694 2694 2831 74 26,1 32 11,3 16 5,7
Tanjung Aman 3393 3393 3530 134 38,0 59 16,7 42 11,9
Lubuk Aman 1778 1778 1915 201 104,7 150 78,3 44 23,0
Pelita Jaya 1884 1884 2021 68 33,6 49 24,2 62 30,7
Bandung Ujung 3383 3383 3520 105 29,8 40 11,4 30 8,5
Sukajadi 3085 3085 3222 264 81,9 216 67,0 208 64,6
Bandung Kiri 3360 3360 3497 91 26,0 30 8,6 25 7,2
Muara Enim 3735 3735 3872 100 25,8 149 38,5 96 24,8
102
Berdasarkan tabel diatas, diketahui bahwa kasus malaria paling
banyak ditahun 2011 adalah Kelurahan Lubuk Aman dengan 104,7
per 1000 penduduk, Kelurahan Sukajadi dengan 81,9 kasus per 1000
penduduk dan Kelurahan Lubuk Durian dengan 61,8 kasus per 1000
penduduk. Kemudian untuk tahun 2012, jumlah kasus malaria
terbanyak di Kecamatan Lubuk Linggau Barat 2 adalah Kelurahan
Lubuk Aman dengan 78,3 kasus per 1000 penduduk, Kelurahan
Sukajadi dengan 67 kasus per 1000 penduduk dan Kelurahan Muara
Enim dengan 38,5 per 1000 penduduk. Selanjutnya di tahun 2013
jumlah kasus malaria terbanyak berada pada Kelurahan Sukajadi
dengan 64,6 kasus per 1000 Penduduk, Kelurahan Pelita Jaya dengan
30,7 per 1000 penduduk dan Kelurahan Kayu Ara sebesar 28,4 per
1000 penduduk. Berikut pemetaan endemisitas malaria berdasarkan
kelurahan di Kecamatan Lubuk Linggau Barat 2 tahun 2011-2013.
103
2013
2012
2011
Gambar 5.7
Pemetaan Endemisitas Kasus Malaria Kec Lubuk Linggau Barat 2 Kota Lubuk Linggau Tahun 2011-2013
104
Berdasarkan gambar diatas, diketahui bahwa kelurahan dengan
endemisitas tinggi berkurang dari tahun 2011-2013 dan daerah dengan
endemisitas rendah yang bertambah di Kecamatan Lubuk Linggau
Barat 2. Kemudian Kelurahan Sukajadi menjadi wilayah yang
endemisitas tinggi malaria dari tahun 2011-2013.
Selain Kecamatan Lubuk Linggau Barat 2, Jumlah kasus malaria
juga tercatat di Kecamatan Lubuk Linggau Timur 1 tetapi jumlah
kasus yang tercatat tidak sebanyak di Kecamatan Lubuk Linggau
Timur 1. Berikut jumlah kasus malaria di wilayah kerja Kecamatan
Lubuk Linggau Timur 1
Tabel 5.21.
Distribusi Kasus Malaria (AMI) di Kelurahan
Kecamatan Lubuk Linggau Timur 1 Kota Lubuk Linggau Tahun 2011-2013
Kelurahan Jumlah Penduduk
Kasus Malaria
2011 2012 2013
2011 2012 2013 N AMI N AMI N AMI
Cereme 6988 6840 7275 0 0 0 0 0 0
Wirakarya 3391 3391 3826 0 0 2 0,5 0 0
Jawa Kiri 2769 2769 3204 0 0 0 0 0 0
Jawa Kanan 1113 1113 1548 0 0 0 0 0 0
Jawa Kanan SS 4923 4923 5358 0 0 0 0 0 0
Mesat Seni 1647 1647 2082 1 0,5 0 0 * *
Mesat Jaya 3996 3996 4431 3 0,7 0 0 * *
Dempo 1898 1898 2333 1 0,4 0 0 * *
Karya Bakti 2990 2990 3425 4 1,2 0 0 * *
Sumber : Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau Tahun 2013
105
Berdasarkan tabel diatas, diketahui bahwa jumlah kasus malaria
di kecamatan ini tidak terlalu banyak. Hal ini dapat dilihat dari AMI di
kelurahan Kecamatan Lubuk Linggau Timur 1 tidak terlalu besar.
Kelurahan dengan jumlah kasus terbesar adalah Kelurahan Karya
Bakti. Pada tahun 2013, Kelurahan Mesat Seni, Kelurahan Mesat
Jaya, Kelurahan Dempo dan Kelurahan Karya Bakti menjadi wilayah
kerja Puskesmas Swasti Saba sehingga jumlah kasus malaria tidak
ditahun 2013 tidak diketahui. Hal ini dikarenakan tidak ditemukannya
laporan bulanan untuk Puskesmas Swasti Saba di Program
Penanggulangan Malaria Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau.
Berikut pemetaan endemisitas malaria berdasarkan kelurahan di
Kecamatan Lubuk Linggau Timur 1.
106
Gambar 5.8
Pemetaan Endemisitas Kasus Malaria Kec Lubuk Linggau Timur 1
Kota Lubuk Linggau Tahun 2011-2013
2011
2012
2013
107
Berdasarkan gambar diatas, diketahui bahwa Kelurahan
Majapahit menjadi wilayah yang memiliki peningkatan jumlah kasus
malaria selama 2 tahun terakhir sehingga berpengaruh pada
endemisitas wilayah kelurahan tersebut menjadi endemisitas sedang.
Setelah kelurahan di Kecamatan Lubuk Linggau Timur 1, berikut
distribusi kasus malaria di Kecamatan Lubuk Linggau Timur 2 tahun
2011-2013.
Tabel 5.22
Distribusi Kasus Malaria (AMI) di Kelurahan
Kecamatan Lubuk Linggau Timur 2 Kota Lubuk Linggau Tahun 2011-2013
Sumber : Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau Tahun 2013
Kelurahan Jumlah Penduduk
Kasus Malaria
2011 2012 2013
2011 2012 2013 N AMI N AMI N AMI
Taba Koji 2578 1917 2497 6 2,4 0 0,0 0 0
Taba Jemekeh 7800 7139 7719 29 3,8 20 2,6 12 1,6
Batu Urip Taba 3312 2651 3231 26 8,0 11 3,4 12 3,7
Watervang 4572 3911 4491 9 2,0 4 0,9 1 0,2
Majapahit 4305 3644 4224 29 6,9 65 15,4 66 15,6
Air Kuti 3120 2459 3039 1 0,3 1 0,3 3 1,0
Nikan Jaya 3401 2740 3320 4 1,2 8 2,4 1 0,3
Taba Lestari 1555 894 1474 6 4,1 7 4,7 2 1,4
108
Berdasarkan tabel diatas, diketahui bahwa kelurahan dengan
jumlah kasus malaria terbanyak di tahun 2011 adalah Kelurahan Batu
Urip Taba dengan jumlah kasus sebanyak 8 kasus per 1000 penduduk.
Selanjutnya Kelurahan Majapahit memiliki kasus malaria paling
banyak di tahun 2012 dan 2013 dibanding kelurahan lain di
Kecamatan Lubuk Linggau Timur 2. Jumlah kasus di Kelurahan
Majapahit di tahun 2012 dan 2013 adalah 15,4 kasus per 1000
penduduk dan 15,6 per 1000 penduduk.
Gambar 5.9
Pemetaan Endemisitas Kasus Malaria Kec Lubuk Linggau Timur 2
Kota Lubuk Linggau Tahun 2011-2013
2011 2012
2013
109
Kecamatan berikutnya yang jumlah kasus yang berbeda dengan
Kecamatan Lubuk Linggau Timur 2 adalah Kecamatan Lubuk
Linggau Selatan 1. Berikut jumlah kasus di kelurahan Kecamatan
Lubuk Linggau Selatan 1.
Tabel 5.23.
Distribusi Kasus Malaria (AMI) di Kelurahan
Kecamatan Lubuk Linggau Selatan 1 Kota Lubuk Linggau Tahun 2011-2013
Kelurahan Jumlah Penduduk
Kasus Malaria
2011 2012 2013
2011 2012 2013 N AMI N AMI N AMI
Lubuk Kupang 2953 2953 3111 49 15,7 52 16,7 53 17,0
Air Temam 1644 1644 1802 47 26,1 44 24,4 43 23,9
Rahmah 2519 2519 2677 63 23,5 47 17,5 44 16,4
P. Rahmah 895 895 1053 65 61,7 38 36,1 24 22,8
Jukung 1748 1748 1906 31 16,3 27 14,2 27 14,2
Air Kati 1539 1539 1697 34 20,0 47 27,7 39 23,0
Lubuk Binjai 947 947 1105 26 23,5 53 48,0 42 38,0
Sumber : Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau Tahun 2013
Berdasarkan tabel diatas, diketahui bahwa Kelurahan P. Rahmah
adalah Kelurahan yang memiliki jumlah kasus malaria terbesar di
tahun 2011 dengan 61,7 per 1000 penduduk. Tetapi pada tahun 2012
dan 2013, Kelurahan Lubuk Binjai menjadi kelurahan yang memiliki
kasus malaria paling besar di Kecamatan Lubuk Linggau Selatan 1
yaitu 48 kasus per 1000 penduduk dan 38 kasus per 1000 penduduk.
110
Gambar 5.10
Pemetaan Endemisitas Kasus Malaria Kec Lubuk Linggau Selatan 1
Kota Lubuk Linggau Tahun 2011-2013
Berdasarkan gambar diatas, diketahui bahwa Kecamatan Lubuk
Linggau Selatan 1 adalah daerah dengan endemisitas sedang. Hal ini
dapat dilihat dari seluruh kelurahan adalah daerah dengan endemisitas
sedang dari tahun 2011-2013. Selanjutnya kecamatan yang memiliki
kasus malaria adalah Kecamatan Lubuk Linggau Selatan 2. Berikut
kasus malaria di kelurahan Kecamatan Lubuk Linggau Selatan 2.
2011
2012
2013
111
Tabel 5.24.
Distribusi Kasus Malaria (AMI) di Kelurahan
Kecamatan Lubuk Linggau Selatan 2 Kota Lubuk Linggau Tahun 2011-2013
Kelurahan Jumlah Penduduk
Kasus Malaria
2011 2012 2013
2011 2012 2013 N AMI N AMI N AMI
Taba Pingin 3280 3280 3283 27 8,2 21 6,4 14 4,3
Moneng Sepati 1249 1249 1252 4 3,2 2 1,6 6 4,8
Marga Mulya 4080 4080 4083 64 15,7 24 5,9 20 4,9
Marga Rahayu 4905 4905 4908 36 7,3 42 8,6 19 3,9
Tanah Periuk 3949 3949 3952 39 9,9 27 6,8 11 2,8
Simpang Periuk 2583 2583 2586 74 28,6 91 35,2 45 17,4
Siring Agung 2535 2535 2538 23 9,1 35 13,8 13 5,1
Eka Marga 2262 2262 2265 14 6,2 21 9,3 9 4,0
Karang Ketuan 1571 1571 1574 23 14,6 26 16,5 14 8,9
Sumber : Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau Tahun 2013
Berdasarkan tabel diatas, diketahui bahwa Kelurahan Simpang
Periuk adalah kelurahan yang memiliki jumlah kasus paling banyak di
Kecamatan Lubuk Linggau Selatan 2 tahun 2011-2013. Jumlah kasus
malaria ditahun 2011-2013 adalah 28,6 kasus per 1000 penduduk,
35,2 kasus per 1000 penduduk dan 17,4 kasus per 1000 penduduk.
112
Gambar 5.11
Pemetaan Endemisitas Kasus Malaria Kec Lubuk Linggau Selatan 2
Kota Lubuk Linggau Tahun 2011-2013
Pada gambar diatas, diketahui bahwa Kecamatan Lubuk
Linggau Selatan 2 adalah kecamatan yang memiliki kelurahan
endemisitas rendah kecuali Kelurahan Simpang Periuk yang
cenderung menjadi wilayah dengan endemisitas sedang selama 2011-
2013. Kecamatan selanjutnya yang akan dilihat jumlah kasusnya
adalah Kecamatan Lubuk Linggau Utara 1. Berikut ini adalah jumlah
kasus malaria di Kecamatan Lubuk Linggau Utara 1.
2011 2012 2013
113
Kecamatan Lubuk Linggau Utara 1 memiliki 1 wilayah kerja
yang tercatat dalam laporan bulanan penemuan dan pengobatan kasus
malaria. Berikut distribusi kasus malaria di wilayah kerja Kecamatan
Lubuk Linggau Utara 1.
Tabel 5.25.
Distribusi Kasus Malaria (AMI) di Wilayah Kerja
Kecamatan Lubuk Linggau Utara 1 Kota Lubuk Linggau Tahun 2011-2013
Kelurahan Jumlah Penduduk
Kasus Malaria
2011 2012 2013
2011 2012 2013 N AMI N AMI N AMI
Petanang 26413 26413 26413 29 1,1 256 9,7 319 12,1
Sumber : Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau Tahun 2013
Berdasarkan tabel diatas, diketahui bahwa kasus malaria di
kelurahan Kecamatan Lubuk Linggau Utara 1 tahun 2011-2013 adalah
1,1 per 1000 penduduk, 9,7 kasus per 1000 penduduk dan 12,1 kasus
per 1000 penduduk. Berikut adalah jumlah kasus malaria terbanyak
berdasarkan kelurahan di Kota Lubuk Linggau tahun 2011-2013.
Gambar 5.12
Pemetaan Endemisitas Kasus Malaria Kec Lubuk Linggau Utara 1
Kota Lubuk Linggau Tahun 2011-2013
Kelurahan di kecamatan terakhir yang digambarkan pemetaan
endemisitas malaria adalah kelurahan di Kecamatan Lubuk Linggau Utara
2. Berikut distribusi kasus malaria berdasarkan kelurahan di Kecamatan
Lubuk Linggau Utara 2 tahun 2011-2013. 2011 2012 2013
114
Tabel 5.26.
Distribusi Kasus Malaria (AMI) di Kelurahan
Kecamatan Lubuk Linggau Utara 2 Kota Lubuk Linggau Tahun 2011-2013
Kelurahan Jumlah Penduduk
Kasus Malaria
2011 2012 2013
2011 2012 2013 N AMI N AMI N AMI
Kali Serayu 1287 1287 1704 25 14,7 23 13,5 32 18,7
Joyoboyo 3568 3568 3985 8 2,0 22 5,5 32 8,0
Megang 2919 2919 3336 3 1,0 26 7,8 26 7,8
Kemuning 3983 3983 4400 57 12,9 54 12,3 32 7,3
Ponorogo 2700 2700 3117 100 32,1 37 11,9 42 13,5
Pasar Satelit 3378 3378 3795 68 17,9 26 6,8 18 4,7
Ulak Surung 4678 4678 5095 6 1,2 25 4,9 22 4,3
Senalang 3372 3372 3789 7 1,8 25 6,6 51 13,5
Batu Urip 2106 2106 2523 48 19,0 50 19,8 53 21,0
Kenanga 4368 4368 4785 5 1,0 21 4,4 36 7,5
Sumber : Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau Tahun 2013
Berdasarkan tabel diatas, diketahui bahwa Kelurahan Ponorogo
adalah kelurahan dengan jumlah kasus terbanyak di Kecamatan Lubuk
Linggau Barat 1 tahun 2011 dengan jumlah kasus sebesar 32,1 kasus
per 1000 penduduk. Selanjutnya ditahun 2012 dan 2013 diketahui
Kelurahan Batu Urip menjadi kelurahan dengan jumlah kasus yang
paling banyak di wilayah kerja Kecamatan Lubuk Linggau Utara 2
dengan jumlah kasus sebanyak 19,8 kasus per 1000 penduduk dan 21
kasus per 1000 penduduk.
115
Gambar 5.13
Pemetaan Endemisitas Kasus Malaria Kec Lubuk Linggau Utara 2
Kota Lubuk Linggau Tahun 2011-2013
Berdasarkan gambar diatas, diketahui bahwa Kecamatan Lubuk
Linggau Utara 2 memiliki variasi dalam tingkat endemisitas malaria
tahun 2011-2013. Kelurahan Batu Urip, Kelurahan Ponorogo, dan
Kelurahan Kali Serayu adalah kelurahan yang cenderung stabil
menjadi daerah dengan endemisitas sedang. Sedangkan Kelurahan
2011 2012
2013
116
Senalang mengalami peningkatan endemisitas malaria menjadi sedang
ditahun 2013. Berikut daftar kelurahan jumlah kasus malaria terbesar
di Kota Lubuk Linggau tahun 2011-2013.
Tabel 5.27
Kelurahan dengan Jumlah Kasus Malaria (AMI) Terbesar
di Kota Lubuk Linggau Tahun 2011-2013
Tahun Kelurahan
Peringkat 1 Peringkat 2 Peringkat 3
2011
Lubuk Aman
(104,7 Per 1000
Penduduk)
Sukajadi
(81,9 Per 1000
Penduduk)
Lubuk Durian
(61,8 Per 1000
Penduduk)
2012
Lubuk Aman
(78,3 Per 1000
Penduduk)
Sukajadi
(67 Per 1000
Penduduk)
Lubuk Binjai
(48 Per 1000
Penduduk)
2013
Sukajadi
(64,6 Per 1000
Penduduk)
Lubuk Binjai
(38 Per 1000
Penduduk)
Pelita Jaya
(30,7 Per 1000
Penduduk)
117
2
3
4 5
7
8
6
1
2
3
4
5
B. Pemetaan Ketinggian di Kota Lubuk Linggau Tahun 2013
Ketinggian di Kota Lubuk Linggau sangat bervariasi. Hal ini
dapat dilihat dari rentang ketinggian minimum dan maksimum di Kota
Lubuk Linggau adalah 50 mdpl-650 mdpl (gambar 5.14). Pada
gambar tersebut dapat diketahui bahwa ada beberapa daerah yang
memiliki wilayah berbukit dengan ketinggian wilayah yang paling
banyak adalah 50-170 mdpl. Ketinggian ini akan mempengaruhi jenis
perkembangbiakan nyamuk di Kota Lubuk Linggau.
Gambar 5.14
Ketinggian Kota Lubuk Linggau Tahun 2013
Sumber : Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Kota Lubuk Linggau, 2014
118
C. Pemetaan Wilayah Potensi Perindukan Nyamuk Anopheles di
Kota Lubuk Linggau Tahun 2013
Permasalahan malaria tidak hanya dimulai dari adanya
penularan kasus malaria melalui gigitan nyamuk Anopheles saja tetapi
juga muncul permasalahan dari tempat perkembangbiakan nyamuk
Anopheles. Tempat perkembangbiakan nyamuk malaria berada pada
daerah dengan memiliki genangan air yang keruh. Kota Lubuk
Linggau terdiri dari wilayah yang memiliki variasi dalam tata guna
lahan. Tata guna lahan ini terdiri dari hutan, kebun, ladang,
permukiman, sawah, semak belukar, perkebunan, bandara dan kolam
ikan. Berdasarkan tata guna lahan tersebut ada beberapa wilayah yang
menjadi daerah yang dapat berkembangbiakan nyamuk Anopheles.
Berikut gambaran pemetaan tata guna lahan di Kota Lubuk Linggau
tahun 2013.
119
Gambar 5.15
Pemetaan Potensi Perindukan Nyamuk Anopheles
di Kota Lubuk Linggau Tahun 2013
Sumber : Badan Perencanaan dan Pembangunan Kota Lubuk Linggau 2013
Gambar 5.5
Pemetaan Endemisitas Malaria Berdasarkan Kecamatan
di Kota Lubuk Linggau tahun 2013
120
Berdasarkan hasil pemetaan diatas, diketahui bahwa Kota Lubuk
Linggau didominasi dengan daerah perkebunan. Pada dasarnya daerah
pemukiman di Kota Lubuk Linggau dikelilingi oleh ladang, semak
belukar, kebun, hutan dan sawah yang menjadi daerah yang dapat
berkembangbiaknya nyamuk Anopheles. Ketika dibandingkan dengan
pemetaan endemisitas malaria, Kecamatan Lubuk Linggau Barat 2,
Kecamatan Lubuk Linggau Utara 1 dan Kecamatan Lubuk Linggau
Selatan 1 cenderung memiliki banyak hutan, ladang, sawah dan semak
belukar.
121
BAB VI
PEMBAHASAN
6.1. Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan yang dapat
mempengaruhi hasil penelitian, diantaranya adalah
1. Penelitian ini berdasarkan hasil pencatatan dan pelaporan kasus
malaria di Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau. Pencatatan kasus
malaria belum dapat menggambarkan karakteristik kasus malaria lebih
luas dan dimungkinkan terjadi kesalahan penelitian yang tidak dapat
dikendalikan oleh peneliti (random error) seperti kasus malaria
ditegakkan berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan kemudian hal ini
dapat menimbulkan terjadinya differential diagnosis kasus malaria
sehingga membuat terjadi kesalahan dalam menetapkan diagnosis
malaria. Selanjutnya kesalahan yang muncul adalah adanya kasus
malaria yang tidak terdeteksi di fasilitas pelayanan kesehatan milik
pemerintah.
2. Data kasus malaria berdasarkan kelurahan hanya tersedia dari tahun
2011-2013 sehingga untuk pemetaan endemisitas wilayah, trend kasus
hanya bisa dilakukan selama 3 tahun terakhir.
3. Penentuan besar masalah malaria di Kota Lubuk Linggau berdasarkan
indikator AMI. Hal ini disebabkan karena kurangnya tenaga analis
laboratorium di Puskesmas, ketidaklengkapan peralatan laboratorium
122
dan kurangnya kemampuan tenaga analis dalam memeriksa
mikroskopis malaria
4. Tidak didapatkannya kasus malaria berdasarkan kelurahan di
Kecamatan Lubuk Linggau Utara 1 sehingga tidak bisa dilakukan
pemetaan daerah dengan tingkat endemisitas di kecamatan tersebut.
Sehingga peneliti hanya dapat melakukan pemetaan endemisitas
berdasarkan Kecamatan Lubuk Linggau Utara 1.
6.2. Kejadian Malaria di Kota Lubuk Linggau Tahun 2009-2013
A. Frekuensi Kasus Malaria Berdasarkan Indikator AMI dan API
Di Kota Lubuk Linggau Tahun 2009-2013
Kasus malaria klinis di Kota Lubuk Linggau pada tahun 2009-
2013 adalah sebesar 3329 kasus ditahun 2009, 2423 kasus ditahun
2010, 2768 kasus pada tahun 2011, 2103 kasus ditahun 2012 dan pada
tahun 2013 sebanyak 2090 kasus malaria. Penetapan kasus malaria
klinis di Kota Lubuk Linggau berasal dari diagnosa petugas
puskesmas yang menemukan penderita malaria berdasarkan gejala
klinis. Besar masalah kasus malaria klinis dapat diketahui dengan
menggunakan indikator Annual Malaria Incidence (AMI) (Kemenkes,
2007).
Indikator AMI dapat digunakan pada wilayah yang melakukan
pengumpulan data kasus malaria klinis. Kota Lubuk Linggau memiliki
nilai AMI pada tahun 2009-2013 adalah sebesar 17,89 kasus per 1000
penduduk pada tahun 2009, 12,10 kasus per 1000 penduduk ditahun
2010, pada tahun 2011 sebesar 13,43 kasus per 1000 penduduk,
123
10,07kasus per 1000 penduduk ditahun 2012 dan pada tahun 2013
sebesar 9,75 per 1000 penduduk. Indikator AMI di Kota Lubuk
Linggau dapat menggambarkan besar masalah malaria dan
endemisitas malaria di Kota Lubuk Linggau.
Indikator AMI adalah kasus malaria klinis selama satu tahun di
suatu wilayah per 1.000 penduduk. Indikator ini digunakan untuk
mengetahui tingkat endemisitas dan besar masalah malaria disuatu
wilayah. Suatu wilayah dapat dikatakan endemis malaria rendah jika
diketahui nilai AMI < 10 kasus per 1000 penduduk, endemisitas
sedang jika AMI sebesar 10-50 kasus per 1000 penduduk dan wilayah
dengan endemis tinggi jika AMI > 50 kasus per 1000 penduduk
(Kemenkes, 2007). Berdasarkan kategori ini, maka dapat dipastikan
bahwa Kota Lubuk Linggau adalah wilayah dengan tingkat
endemisitas sedang berdasarkan indikator AMI pada tahun 2009-2013.
Kota Lubuk Linggau melakukan pengumpulan data kasus
malaria positif di Puskesmas dan dilaporkan ke Dinas Kesehatan Kota
Lubuk Linggau sehingga dapat dilihat besar masalah malaria
berdasarkan indikator API (Annual Parasite Incidence). Kota Lubuk
Linggau pada tahun 2009-2013 berdasarkan indikator API adalah
sebesar 4,53 kasus per 1000 penduduk pada tahun 2009, 2,24 kasus
per 1000 penduduk pada tahun 2010, pada tahun 2011 sebesar 4,61
kasus per 1000 penduduk, pada tahun 2012 sebesar 2,73 kasus per
1000 penduduk dan pada tahun 2013 sebesar 1,58 kasus per 1000
124
penduduk. Berdasarkan nilai API ini dapat diketahui besar masalah
malaria dan endemisitas malaria di Kota Lubuk Linggau berdasarkan
indikator API.
Endemisitas wilayah berdasarkan indikator API dapat diketahui
jika nilai API < 1 kasus per 1000 penduduk maka wilayah tersebut
dapat dikategorikan endemis rendah, API 1-5 kasus per 1000
penduduk dikategorikan sebagai endemis sedang dan endemis tinggi
jika API > 5 kasus per 1000 penduduk (Kemenkes, 2007).
Berdasarkan indikator tersebut, maka dapat dipastikan bahwa Kota
Lubuk Linggau adalah wilayah dengan endemis sedang. Selain itu,
indikator API dapat digunakan sebagai penentuan besar masalah
malaria di Kota Lubuk Linggau.
Berdasarkan Riskesdas 2013 menjelaskan bahwa insiden kasus
malaria sebesar 1% (Kemenkes, 2014). Dinas Kesehatan Provinsi
Sumatera Selatan tahun 2013 mencatat bahwa kejadian malaria positif
sebesar 0,46 per 1000 penduduk (Dinkes Provinsi Sumatera Selatan,
2014). Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Selatan yang memiliki
kasus malaria terbanyak adalah Kabupaten Lahat (2,92 per 1000
penduduk), Kabupaten OKU (2,68 per 1000 penduduk) dan Kota
Lubuk Linggau (1,67 per 1000 penduduk). Berdasarkan hal tersebut
dapat diketahui bahwa malaria di Kota Lubuk Linggau masih menjadi
masalah kesehatan.
125
Malaria yang masih menjadi masalah kesehatan membuat
perlunya upaya untuk menurunkan kasus malaria di Kota Lubuk
Linggau. Menurut Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Selatan tahun
2013 menjelaskan bahwa Kabupaten/Kota yang ada di Provinsi
Sumatera Selatan belum bisa menggunakan indikator API dalam
menentukan besar masalah dan endemisitas malaria. Hal ini
dikarenakan laboratorium yang ada di Puskesmas belum maksimal
digunakan. Malaria klinis yang diperiksa menggunakan laboratorium
antara 16-34% sehingga malaria positif yang teridentifikasi.
Penentuan besar masalah malaria dengan menggunakan
indikator API dapat menghasilkan informasi yang lebih akurat
dibanding dengan menggunakan indikator AMI. Hal ini dapat dilihat
dari penegakkan kasus malaria berdasarkan hasil identifikasi gejala
klinis malaria masih menimbulkan banyak permasalahan. Gejala klinis
malaria memiliki kesamaan dengan gejala klinis penyakit lain
sehingga diagnosis pembanding (differential diagnosis) menjadi lebih
besar mengalami kesalahan dalam mendiagnosis malaria. Gejala klinis
penyakit malaria hampir sama dengan gejala klinis penyakit demam
kuning fase awal, demam Lassa dan demam tifoid (Chin, 2012).
Gejala klinis malaria yang banyak membuat perlu peningkatan
diagnosis malaria. Menurut Bres (1986) dalam Bustan (2002)
membagi klasifikasi kasus menjadi suspect (kasus yang diduga),
probable (kasus yang dimungkinkan) dan confirm (kasus yang sudah
126
pasti). Peningkatan kasus ini berdasarkan hasil pemeriksaan yang
mendekati kebenaran/pasti. Pada kasus malaria probable adalah kasus
malaria yang terkonfirmasi laboratorium sederhana seperti mikroskop
dan alat diagnostik cepat (Kemenkes, 2009). Pengukuran kasus
malaria yang terkonfirmasi laboratorium disebut dengan malaria
positif dan kejadian malaria positif disuatu daerah dalam rentang
waktu yang ditentukan adalah annual parasite incidence (API).
Indikator API menjadi cukup penting dalam menggambarkan
besar masalah malaria disuatu wilayah (Kemenkes, 2009). Hal ini
dikarenakan indikator API lebih baik dari indikator AMI akibat dari
indikator API menggambarkan kasus malaria secara lebih akurat.
Keakuratan tersebut disebabkan oleh penegakkan kasus malaria
berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium bukan hanya berdasarkan
hasil anamnesis/diagnosis gejala klinis oleh tenaga kesehatan.
Pentingnya peran laboratorium dalam mengidentifikasi malaria positif
sehingga dapat menggambarkan besar masalah dan endemisitas
malaria dengan tepat sehingga program pengendalian malaria dapat
tepat sasaran.
B. Kecenderungan Kasus Malaria di Kota Lubuk Linggau Tahun
2009-2013
Kecenderungan kasus malaria terjadi pada jeda waktu antara
peralihan hujan ke kemarau. Hal ini dikarenakan terjadinya tempat
perindukan nyamuk Anopheles yang baru dan kepadatan nyamuk
127
yang tinggi (Arsin, 2012). Kepadatan dan tempat perindukan nyamuk
ini berpengaruh pada kecenderungan meningkatnya kasus malaria.
Kecenderungan kasus malaria dapat diketahui dengan adanya
pola malaria tiap bulan. Kecenderungan kasus malaria pada tahun
2009-2013 di Kota Lubuk Linggau meningkat pada bulan februari-
april dan juli-september walaupun kecenderungan kasus ini tidak
stabilselama 5 tahun terakhir. Kecenderungan peningkatan kasus ini
dipengaruhi oleh faktor musim hujan dan kemarau. Hal ini sejalan
dengan penelitian yang dilakukan oleh Arsin (2004).
Arsin (2004) menemukan bahwa kepadatan nyamuk menjadi
tinggi pada bulan Maret dan Desember (musim hujan) dan kurang
pada bulan Juni dan September (musim kering). Pengaruh waktu pada
kasus malaria dipengaruhi oleh curah hujan yang pada penelitian ini
mempunyai hubungan yang signifikan terhadap kejadian malaria (p =
0,04 < 0,05).
Hal yang sama juga dalam hasil penelitian yang dilakukan
Himeidan (2007) dalam Arsin (2012) di New Harfa Eastern Sudan.
Penelitian ini tentang variabel iklim dan penyebaran parasit malaria
falciparum yang dilakukan pengamatan selama 17 tahun (1986-2002).
Kesimpulan pada penelitian ini adalah kejadian malaria lebih tinggi
pada musim gugur (Juli-September), musim dingin (Februari-April),
dan pola curah hujan mempunyai hubungan yang bermakna dengan
kejadian malaria di daerah tersebut.
128
Penelitian yang dilakukan Odago (2005) di Uganda tentang
infeksi malaria dengan pola curah hujan. Penelitian ini menyimpulkan
bahwa ada hubungan antara kapadatan parasit malaria dalam darah
dengan pola curah hujan, dimana parasit malaria ditemukan paling
banyak pada musim hujan (bulan Februari dan puncaknya pada bulan
Mei) karena pada bulan tersebut terdapat banyak tempat perindukan
nyamuk, dan menurun pada bulan Juni–Agustus (musim panas) dan
terjadi peningkatan lagi pada bulan September sampai dengan Januari
dan pada saat permulaan musim hujan.
Kemudian pada penelitian yang sama juga dijelaskan bahwa
daerah yang musim tanamnya tidak serempak dan sepanjang tahun
ditemukan tanaman padi pada berbagai umur, maka nyamuk
Anopheles ditemukan sepanjang tahun dengan dua puncak kepadatan
yang terjadi sekitar bulan Pebruari-April dan sekitar bulan Juli-
Agustus (Odago, 2005). Syarifuddin (2008) dalam Arsin (2012)
melakukan pengamatan terhadap pola musim penularan malaria di
Sumba Timur Provinsi NTT menyimpulkan bahwa parasit malaria
(semua spesies) lebih banyak ditemukan pada musim hujan (maret)
dari pada saat musim kemarau (agustus).
Kecenderungan kasus malaria di Kota Lubuk Linggau
berdasarkan indikator AMI dan API dari tahun 2009-2013 cenderung
menurun. Hal ini dapat dilihat dari AMI Kota Lubuk Linggau pada
tahun 2009 sebesar 17,89 per 1000 penduduk turun menjadi 9,75 per
129
1000 penduduk ditahun 2013. Penurunan AMI ini diikuti dengan
penurunan API dari tahun 2009 sebesar 4,53 per 1000 penduduk
menjadi 1,75 per 1000 penduduk. Kasus malaria yang cenderung
menurun ini, polanya sama dengan kasus malaria di Provinsi Sumatera
Selatan.
Kasus malaria berdasarkan indikator API di Provinsi Sumatera
Selatan tahun 2009 sebesar 0,91 kasus per 1000 penduduk dan turun
menjadi 0,46 per 1000 penduduk di tahun 2013. Selain itu,
kecenderungan penurunan kasus malaria juga terjadi di Indonesia
secara nasional. Pada tahun 2007, insiden kasus malaria di Indonesia
sebesar 2,9 % dan cenderung turun pada tahun 2013 menjadi 1,9%.
Kecenderungan terjadinya malaria setiap tahunnya cenderung
meningkat pada bulan februari-april begitu pula pada juli-september,
tetapi kecenderungan kasus malaria di Kota Lubuk Linggau pada
bulan-bulan tersebut memiliki pola yang tidak khas/tidak stabil selalu
terjadi. Pola malaria yang khas/stabil banyak terjadi pada bulan
Februari-April dan Juli-Agustus karena pada bulan tersebut
berhubungan dengan intensitas curah hujan yang berpotensi pada
tingginya kepadatan nyamuk Anopheles spp. Sehingga perlu
ditingkatkan sistem kewaspadaan dini malaria yang sudah ada di
Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau.
Sistem kewaspadaan dini malaria dikembangkan berdasarkan
hasil kajian epidemiologi. Salah satu sumber data dan informasi yang
130
digunakan untuk kajian epidemiologi adalah laporan data penemuan
penderita malaria di Puskesmas dan Rumah Sakit serta fasilitas
pelayanan kesehatan lainnya selama 5 tahun terakhir (Imari, 2012).
Oleh karena itu perlu upaya peningkatan sistem kewaspadaan dini
malaria berupa pengamatan dan survei vektor, laporan hasil penemuan
penderita malaria melalui penemuan penderita secara aktif, penemuan
penderita demam massal dan pemeriksaan darah massal, cakupan
program malaria dan pembangunan daerah yang berhubungan dengan
ancaraman penularan malaria, migrasi penduduk antar wilayah serta
laporan hasil penyelidikan dan penanggulangan KLB malaria selama 5
tahun. Berdasarkan hasil dari sember data kasus malaria tersebut dapat
untuk menunjang pengkajian epidemiologi di sistem informasi
kesehatan dan surveilans malaria
6.3. Karakteristik Faktor Host (Populasi) Pada Kasus Malaria Di Kota
Lubuk Linggau Tahun 2009-2013.
A. Karakteristik Kasus Malaria Berdasarkan Jenis Kelamin di Kota
Lubuk Linggau tahun 2009-2013.
Rasio kasus malaria yang berjenis kelamin laki-laki dan
perempuan pada tahun 2009-2013 secara berurutan adalah 1,08, 1,05,
0,99, 0,77, dan 0,89. Oleh karena itu kasus malaria berdasarkan jenis
kelamin ini menyerang semua kelompok jenis kelamin. Hal ini
dikarenakan perbandingan kasus malaria pada laki-laki dan
perempuan sebesar 1:1. Hal ini senada dengan beberapa hasil
penelitian sebelumnya.
131
Penelitian yang dilakukan oleh Ritawati (2012) mencatat bahwa
proporsi kasus malaria pada laki-laki sebesar 51% sedangkan untuk
perempuan sebanyak 49%. Hal yang sama juga diketahui pada
Riskesdas 2013. Riskesdas 2013 melaporkan bahwa diketahui
proporsi kasus malaria positif berdasarkan jenis kelamin cenderung
sama. Hal ini dikarenakan proporsi kasus malaria pada laki-laki
sebesar 1,6% sedangkan pada perempuan sebesar 1,1%. Hal yang
berbeda pada penelitian yang dilakukan oleh Nurlette tahun 2011.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Nurlette (2011)
menjelaskan bahwa sebanyak 84,4% penderita malaria adalah laki-laki
sedangkan perempuan sebesar 23,8%. Rentang selisih proporsi kasus
malaria berdasarkan jenis kelamin pada penelitian ini cukup besar
dikarenakan 71,4% responden yang diteliti pada penelitian ini adalah
perempuan dan karakteristik pekerjaan responden paling banyak
adalah ibu rumah tangga (33,9%). Oleh karena itu proporsi malaria
pada kelompok laki-laki jauh lebih besar dibandingkan dengan
proporsi malaria pada perempuan.
Pada dasarnya infeksi malaria tidak membedakan jenis kelamin.
Hal ini dikarenakan nyamuk Anopheles betina tidak membedakan
manusia yang akan digigitnya. Sehingga laki-laki dan perempuan
memiliki peluang yang sama untuk terinfeksi malaria tapi jika
berkaitan dengan patogenitas dan virulensi malaria berdasarkan jenis
kelamin, maka perempuan berisiko lebih berat patogenitas dan
132
virulensi terinfeksi malaria dibanding laki-laki (Harmendo, 2008 dan
Chin, 2012).
Perempuan lebih berisiko untuk lebih berat patogenitas dan
virulensi malaria karena perempuan memiliki fase kehamilan. Pada
ibu hamil, gejala malaria dapat menjadi berat seperti anemia berat
badan lahir rendah, abortus, partus prematur dan kematian janin
intrauterin (Chahaya, 2003 dan Putri, 2012). Hal ini tergantung dari
kekebalan terhadap parasit malaria dan paritas (jumlah kelahiran).
Penelitian yang dilakukan oleh Rogerson (2003) diketahui bahwa
lebih dari 50 miliar ibu hamil berisiko terinfeksi malaria setiap tahun
karena pada wanita hamil terjadi penurunan respon imun sehingga
dapat menularkan malaria secara kongenital ke bayinya.
Infeksi malaria pada ibu hamil dapat merusak plasenta karena
terjadi penipisan membran dasar trofoblas. Sinusoid plasenta tertutup
oleh penggumpalan eritrosit yang mengandung pasasit dan bersamaan
dengan ini akan terjadi penumpukan makrofag intervillus dan deposit
fibrin perivillus yang diduga sebagai penyebab obstruksi
mikrosirkulasi dan penurunan aliran nutrisi terhadap janin sehingga
terjadi hipoksia. Kemudian kerusakan selanjutnya adalah terjadi
kerusakan pertumbuhan dan vaskularisasi, menurunnya uptake nutrisi
sehingga mengakibatkan retardasi pertumbuhan interurin dan
menyebabkan bayi berat badan lahir rendah (BBLR) (Rogerson, 2003
dan Chahaya, 2003).
133
Kasus malaria di Kota Lubuk Linggau berdasarkan jenis
kelamin dapat menyerang laki-laki dan perempuan sehingga dapat
dipastikan bahwa jumlah kasus malaria tersebar berdasarkan jenis
kelamin. Tetapi patogenitas dan virulensi malaria pada perempuan
menjadi cukup besar. Patogenitas dan virulensi malaria pada
perempuan dipengaruhi oleh tingkat kekebalan terhadap infeksi
parasit malaria dan paritas. Ibu hamil yang tinggal pada daerah
endemis dan tidak memiliki kekebalan terhadap malaria akan
menimbulkan malaria klinis berat sampai kematian. Salah satu gejala
klinis malaria yang timbul pada ibu hamil adalah anemia.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Gregor (1984) dalam
Chahaya (2003) menjelaskan bahwa penurunan kadar Hb dalam darah
berhubungan dengan parasitemia disebabkan oleh lisis sel darah
merah yang mengandung parasit. Oleh karena itu malaria pada
perempuan dapat menyebabkan kematian pada ibu akibat dari anemia
yang hebat dan menyebabkan bayi mejadi berat badan lahir rendah
dan kematian pada bayi. Selain itu parasit yang ada pada ibu hamil
dapat merusak plasenta sehingga parasit dapat masuk kedalam
sirkulasi darah janin.
Pada penelitian yang dilakukan Bray (1983) dalam Chahaya
(2003) menjelaskan bahwa terjadinya penularan malaria dari ibu ke
anak ini diakibatkan dari adanya kerusakan mekanik dan patologi oleh
parasit, fragsilitas dan permeabilitas plasenta yang meningkat akibat
134
demam akut dan akibat infeksi kronis. Berdasarkan hal tersebut
terjadinya penularan malaria secara kongenital kepada bayi yang
dikandungnya.
B. Karakteristik Kasus Malaria Berdasarkan Umur di Kota Lubuk
Linggau tahun 2009-2013.
Malaria di Kota Lubuk Linggau terjadi pada semua kelompok
umur. Hal ini dapat dilihat dari insiden kasus malaria di semua umur
selama 2009-2013. Kelompok malaria yang paling banyak jumlah
kasusnya pada tahun 2013 adalah kelompok umur pada anak yaitu 10-
14 tahun (2,4 per 1000 penduduk) dan 5-9 tahun (1,6 per 1000
penduduk). Penderita malaria di Sumatera Selatan tahun 2013
diketahui sebanyak 78 kasus untuk umur 0-11 bulan dan 433 kasus
pada umur 1-4 tahun. Hal ini mengindikasikan bahwa terjadi
penularan setempat kasus malaria di Sumatera Selatan (Dinkes
Provinsi Sumatera Selatan, 2014).
Pada penelitian yang dilakukan oleh Rubianti (2009)
menjelaskan bahwa kelompok umur yang paling banyak menderita
malaria adalah umur 15-24 tahun sebanyak 36,1%. Kemudian menurut
Sunarsih (2009) diketahui bahwa kasus malaria banyak diderita oleh
responden yang berumur 21-25 tahun (17,6%) dan 36-40 tahun
(14,7%). Hal yang sama juga ditemukan pada penelitian yang
dilakukan oleh Notobroto (2009) menjelaskan bahwa terdapat kasus
135
malaria menurut kelompok umur didapatkan 48,6% yang berusia
kurang dari 40 tahun dan 51,4% berusia lebih dari 40 tahun.
Riskesdas 2013 menjelaskan bahwa kelompok umur 25-54
tahun memiliki insiden malaria sebesar 2,1%. Sedangkan untuk
kelompok umur 5-14 tahun diketahui bahwa terdapat 1,9% menderita
malaria dan balita yang menderita malaria sebesar 1,45%.
Berdasarkan hal diatas, diketahui bahwa malaria menyerang pada
semua kelompok umur.
Pada dasarnya kasus malaria menyerang semua kelompok umur.
Hal yang membedakan adalah sistem kekebalan tubuh kasus terhadap
malaria. Kekebalan yang diperoleh bayi dari ibunya memberikan
perlindungan terhadap kejadian malaria. Pada orang dewasa yang
mempengaruhi kejadian malaria adalah aktivitas kegiatan diluar
rumah yang memiliki tempat perindukan nyamuk pada waktu gelap
sehingga memungkinkan untuk kontak dengan nyamuk (Harijanto,
2009).
Kasus malaria yang ditemukan pada bayi dapat mengindikasikan
adanya penularan setempat (kasus indigenous) di wilayah tersebut
(Kemenkes, 2007). Hal ini dikarenakan terjadinya penularan kasus
didalam rumah dimana bayi tidak terlindungi oleh kelambu
berinsektisida. Pendistribusian kelambu berinsektisida di Kota Lubuk
Linggau tahun 2013 tidak tersebar pada seluruh wilayah yang endemis
sedang. Kecamatan Lubuk Linggau Barat 1 mendapatkan kelambu
136
berinsektisida sebanyak 68 buah tetapi Kecamatan Lubuk Linggau
Utara 1 dan Kecamatan Lubuk Linggau Selatan 1 tidak mendapatkan
kelambu berinsektisida dari Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau
padahal ketiga kecamatan tersebut dikategorikan sebagai daerah
dengan tingkat endemis sedang. Oleh karena itu terjadi penularan
kasus malaria didalam rumah.
Penularan kasus didalam rumah disebabkan oleh Anopheles
balanbacensis yang memiliki tempat perkembangbiakan dan
peristirahatan di kandang ternak seperti sapi dan kerbau. Berdasarkan
hasil survei pertanian tahun 2013 yang dilakukan oleh Badan Pusat
Statistik Kota Lubuk Linggau diketahui bahwa Kecamatan
Lubuklinggau Utara I (521 ekor), Kecamatan Lubuklinggau Barat II
(21 ekor), dan Kecamatan Lubuklinggau Selatan I (172 ekor).
Kelompok umur malaria di Kota Lubuk Linggau menyerang
semua kelompok umur tetapi banyak pada kelompok anak-anak yang
terserang malaria. Pada penelitian yang dilakukan oleh Putri (2012)
menjelaskan bahwa malaria kongenital pada bayi menimbulkan
manifestasi klinis terjadinya BBLR 6,4 kali dan hepatomegali 12,5
kali dibanding bayi yang tidak menderita malaria kongenital. WHO
(2014) menjelaskan bahwa tiap menit terjadi kematian pada anak-anak
di Afrika akibat malaria. Salah satu cara pengendalian malaria pada
kelompok anak-anak adalah kelambu berinsektisida. Kelambu
137
berinsektisida dapat melindungi sebesar 2,39 kali untuk tidak
terinfeksi malaria (Babba, 2006).
Pada penelitian yang dilakukan oleh Jagannathan (2012)
menjelaskan bahwa adanya hubungan antara penggunaan kelambu
berinsektisida dan pemberian profilaksis malaria terhadap peningkatan
kejadian malaria pada anak. Selain penggunaan kelambu
berinsektisida pada anak-anak untuk mengurangi kejadian malaria,
pemberian suplementasi zat besi pada anak 24-48 bulan atau 5-12
tahun di daerah endemis tinggi malaria dapat mengurangi kejadian
malaria (WHO, 2014).
6.4. Karakteristik Faktor Agent (Penyebab) Pada Kasus Malaria
Berdasarkan Jenis Plasmodium di Kota Lubuk Linggau tahun
2009-2013.
Malaria adalah penyakit yang disebabkan oleh Plasmodium
yang dibawa oleh Anopheles. Plasmodium vivax menyebabkan
terjadinya malaria vivaks/malaria tersiana dan banyak ditemukan
pada daerah subtropik dan tropik. Malaria pada jenis Plasmodium ini
memiliki fase hipnozoit/fase istirahat sehingga malaria jenis ini
dapat menginfeksi kembali (relaps) tetapi sebaliknya dengan
Plasmodium falcifarum. Plasmodium falcifarum/malaria tropika
banyak ditemukan pada daerah tropil terutama Afrika dan Asia
Tenggara (Sutanto, 2008).
Plasmodium falcifarum merupakan spesies yang paling
berbahaya karena penyakit yang ditimbulkan dapat menjadi berat
138
(Sutanto, 2008). Hal ini disebabkan oleh parasit yang menginfeksi
eritrosit sehingga terjadi beberapa gangguan seperti gangguan
hemodinamik (gangguan pada fungsi ginjal, otak dan syok),
gangguan immunologik (gangguan pada respon imun yang berbeda)
dan gangguan metabolik (gangguan pada membran eritrosit,
kebutuhan nutrisi parasit, peningkatan gangguan hemodinamik dan
immunoogik serta efek pengobatan). Akan tetapi jenis Plasmodium
dapat ditemukan melalui pemeriksaan sediaan darah dengan
mikroskop dan rapid diagnostic test (RDT).
Kota Lubuk Linggau telah memeriksa kasus malaria klinis
dengan menggunakan mikroskop dan RDT. Hasil pemeriksaan
tersebut pada tahun 2013 diketahui adalah 17,2% kasus malaria
positif dikonfirmasi disebabkan oleh Plasmodium falcifarum dan
82,8% kasus malaria positif dikonfirmasi disebabkan oleh
Plasmodium vivax.
Kasus malaria di Indonesia didominasi oleh P.vivax. Pada
tahun 2009, penyebab malaria yang tertinggi adalah P. vivax (55,8%)
dan P. falcifarum sebesar 40,2%. Tetapi Riskesdas 2010 mencatat
bahwa 86,4% penyebab malaria adalah P. falcifarum, dan P. vivax
sebanyak 6,9%. (Kemenkes, 2011). Penelitian yang dilakukan oleh
Ritawati (2012) diketahui bahwa jenis parasit yang ditemukan di
Kabupaten Ogan Komering Ulu Provinsi Sumatera Selatan yaitu P.
falciparum sebanyak 23,7% dan P. vivax sebanyak 76,3%.
139
Malaria adalah penyakit yang disebabkan oleh parasit genus
Plasmodia, keluarga Sporozoa Plasmodiidae, orde Coccidiidae dan
sub-orde Haemosporiidae. Sampai saat ini dikenal hampir 100
spesies dari Plasmodia yang terdapat pada burung, monyet, binatang
melata, dan pada manusia hanya 4 (empat) spesies yang dapat
berkembang yaitu: P. falciparum, P. vivax, P. malariae dan P. ovale
(Bruce-Chwatt, 1985 dalam Arsin, 2012).
Kota Lubuk Linggau adalah kota dengan iklim tropik. Oleh
karena itu kebanyakan Plasmodium yang menginfeksi manusia
adalah P. vivax. Penyebaran Plasmodium malaria berbeda menurut
geografi dan iklim. P. falciparum banyak ditemukan didaerah tropik
beriklim panas dan basah. P.vivax banyak ditemukan didaerah
beriklim dingin, sub tropik sampai daerah tropik, P.ovale lebih
banyak ditemukan di Afrika yang beriklim tropik dan pasifik barat
(Arsin, 2012).
P.falcifarum adalah parasit yang memiliki masa infeksi yang
paling pendek namun menghasilkan parasitemia paling tinggi, gejala
yang paling berat dan masa inkubasi paling pendek. Berikut
gambaran tahapan P.falcifarum dari trophozoites sampai gametosit.
140
Gambar 6.1
Stadium P.falcifarum Malaria Pada Sediaan Darah Tipis.
\
Sumber : Kementerian Kesehatan, 2007
Selain P. falcifarum, terdapat Plasmodium lain yang dapat
menginfeksi manusia tetapi memiliki tingkat keparahan yang
berbeda. P. vivax dan P. ovale pada umumnya menghasilkan
parasitemia yang rendah, gejala yang lebih ringan dan mempunyai
masa inkubasi yang lebih lama. Sporozoit P. vivax dan P. ovale
dalam hati berkembang menjadi Skizon jaringan primer dan
Hipnozoit. Hipnozoit ini yang menjadi sumber untuk terjadinya
relaps (Arsin, 2012). Berikut gambaran stadium pada P. vivax dan P.
ovale
141
Gambar 6.2
Stadium P. vivax dan P. ovale malaria pada sediaan darah tipis
Sumber : Kementerian Kesehatan, 2007
Penyebab malaria adalah adanya parasit yang masuk ke dalam
darah manusia. Ukuran parasit Plasmodium yang sangat kecil
membuat parasit ini hanya dapat dilihat dengan menggunakan
mikroskop. Selanjutnya untuk dapat melihat parasit ini dalam
mikroskop, diperlukan bantuan pewarnaan giemsa pada sediaan
daram malaria. Sediaan darah ditetesi minyak imersi dan diperiksa
dibawah mikroskop menggunakan lensa objektif. Jika ditemukan
adanya parasit dalam pemeriksaan, maka penderita malaria
dinyatakan positif malaria (Kemenkes,2007)
142
Pemeriksaan parasit dengan gold standart adalah dengan
menggunakan mikroskop. Penggunaan mikroskop dapat dilihat
dengan secara langsung pada sediaan darah yang diambil pada kasus
yang dicurigai malaria. Pemeriksaan menggunakan pewarnaan
flourescensi dengan acridine orange yang memberikan warna
spesifik terhadap eritrosit yang terinfeksi Plasmodium (Wempi,
2011). Walaupun pemeriksaan dengan menggunakan mikroskop ini
merupakan gold standart, kekurangan dari cara ini adalah tidak
dapat menghitung jumlah parasit, tidak dapat membedakan antar
spesies dan harganya yang relatif mahal (Wempi, 2011 dan
Kemenkes, 2007).
Selain penggunaan mikroskop, cara lain untuk melihat adanya
parasit Plasmodium dalam darah adalah dengan menggunakan rapid
diagnostic test (RDT). Mekanisme kerja tes ini berdasarkan deteksi
antigen dari parasit malaria yang lisis dalam darah. Metode yang
digunakan adalah imunokhromatografi yakni cairan akan bermigrasi
pada permukaan membran nitroselulosa. Uji ini berdasarkan
“capture antigen” didarah perifer oleh antibodi monoklonal terhadap
suatu antigen malaria yang dikonjugasikan dengan zat pewarna.
Antibodi monoklonal kedua/ketiga diaplikasikan pada strip
nitroselulosa sebagai fase immobile. Jika darah penderita malaria
mengandung antigen tertenti, maka kompleks antigen antibodi akan
bermigrasi pada fase mobile sepanjang strip nitroselulosa dan akan
143
diikat dengan antibodi monoklonal pada fase immobile sehingga
dapat membentuk sebagai garis yang berwarna (Kemenkes, 2007).
Kebijakan penggunaan RDT di Indonesia dikhususkan
penderita dengan gejala klinis malaria (Kemenkes, 2007) seperti
1. Pada puskesmas terpencil didaerah endemis malaria yang
belum dilengkapi dengan mikroskop atau sarana
laboratorium pemeriksaan parasit malaria.
2. Rumah sakit yang membutuhkan karena sering adanya
penderita malaria yang datang di luar jam kerja rutin RS.
3. Pada puskesmas daerah endemis malaria yang ada fasilitas
rawat inap untuk digunakan diluar jam kerja rutin.
4. Pada daerah dengan KLB malaria
5. Daerah dimana terdapat pengungsian karena bencana alam
atau hal lain.
Keuntungan dari penggunaan RDT dibanding mikroskop
adalah lebih sederhana dan mudah untuk dinterpretasikan, mudah
dipelajari, variasi dari interpretasi adalah kecil antara pembaca satu
dengan pembaca yang lain, serta dapat mendeteksi P.falcifarum pada
waktu parasit bersekuestrasi pada kapiler darah dan dapat ditemukan
juga pada plasenta ibu hamil dengan infeksi P.falcifarum. tetapi
kelemahan dalam menggunakan RDT ini adalah hanya mampu
mendeteksi P.falcifarum dan non P.falcifarum (tidak dapat
membedakan antara P.vivax, P.ovale dan P.malariae), bukan
144
pemeriksaan yang bersifat kuantitatif sehingga tidak digunakan
untuk menilai hasil pengobatan dan harga RDT lebih mahal dari
pemeriksaan mikroskopik (Kemenkes, 2007).
Jenis Plasmodium berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium
akan menentukan jenis obat yang digunakan untuk mengatasi
malaria. Berdasarkan laporan penemuan dan pengobatan malaria di
Kota Lubuk Linggau tahun 2009-2013 diketahui bahwa tidak ada
kasus malaria positif yang diberikan pengobatan ACT. Hal ini dapat
dilihat dari laporan penemuan dan pengobatan kasus malaria.
Pengobatan malaria yang ada di Puskesmas terdiri dari pengobatan
radikal dan pengobatan klinis. Pengobatan radikal terdiri dari
pengobatan ACT dan non ACT.
Pola pengobatan pada fasilitas pelayanan kesehatan milik
pemerintah daerah Kota Lubuk Linggau dan Kabupaten Musi Rawas
seperti Puskesmas Perumnas, Puskesmas Simpang Periuk, Rumah
Sakit Umum Daerah Siti Aisyah dan Rumah Sakit Umum Daerah dr
Sobirin memberikan obat non ACT pada kelompok kasus malaria
positif. Jenis obat yang digunakan pada kelompok non ACT radikal
adalah klorokuin. Penggunaan klorokuin sudah dilarang oleh
pemerintah pusat karena resistensi obat terhadap Plasmodium
(Dasuki, 2011, Simammora, 2007 dan Kemenkes, 2007).
Plasmodium pada kasus malaria di Kota Lubuk Linggau
terbanyak diinfeksi oleh Plasmodium vivax. Hal ini dikarenakan
145
Plasmodium jenis ini banyak ditemukan di daerah yang memiliki
iklim tropik dan subtropik seperti di Indonesia dan Kota Lubuk
Linggau sehingga frekuensi Plasmodium jenis ini lebih banyak
dibanding Plasmodium jenis lainnya. Selain itu, kemampuan dari
Plasmodium vivax yang memiliki fase hipnozoit sehingga kasus
malaria vivax dapat relaps/kambuh kembali. Oleh karena itu di Kota
Lubuk Linggau masih endemis malaria karena adanya infeksi
berulang pada orang yang telah memiliki riwayat menderita malaria
sehingga untuk mencegah timbulnya relaps pada orang yang telah
menderita malaria sebelumnya, diperlukan upaya pengobatan yang
sesuai dengan jenis Plasmodium yang menginfeksi
6.5. Karakteristik Faktor Enviroment (Lingkungan) Pada Kasus Malaria di
Kota Lubuk Linggau Tahun 2009-2013.
A. Karakteristik Faktor Environment (Lingkungan) Pada Kasus
Malaria Berdasarkan Curah Hujan Di Kota Lubuk Linggau
Tahun 2009-2013 Kejadian malaria dipengaruhi oleh faktor curah hujan. Curah
hujan di Kota Lubuk Linggau tahun 2009-2013 adalah antara 184,1
mm - 280,8 mm. Pada curah hujan dengan rentang tersebut merupakan
curah hujan yang ideal untuk perkembangbiakan nyamuk Anopheles.
Nyamuk Anopheles memerlukan curah hujan minimum untuk
berkembang biak.
Curah hujan minimum yang diperlukan nyamuk untuk
berkembang biak dalah kurang lebih 1,5 mm per hari (Martens, 1999
dalam Arsin 2012). Curah hujan 150 mm per bulan mengakibatkan
146
perkembangan yang pesat bagi populasi An. Gambiae, vektor di
Kenya, dengan meletakkan telur nyamuk di kolam kecil dan genangan
air (Malakooti, 1998). Frekuensi curah hujan dengan penyinaran
matahari yang rendah akan membuat menambah habitat nyamuk dan
luasan habitat nyamuk tiap spesies Anopheles bervariasi. Curah hujan
yang terus berkurang pada lahan pertanian akan menciptakan kondisi
laguna dan tambak menjadi payau sehingga menciptakan habitat bagi
Anopheles sundaicus (Sukowati, 2004).
Penelitian yang dilakukan oleh Nawangsasi (2012) menjelaskan
bahwa terjadi peningkatan kejadian malaria pada bulan Agustus 2011
seiring dengan rendahnya curah hujan. Hal yang sama juga dijelaskan
oleh penelitian yang dilakukan oleh Hakim (2013) menjelaskan bahwa
ada hubungan yang positif antara curah hujan dengan kepadatan
nyamuk Anopheles. Ini menunjukkan bahwa tinggi rendahnya curah
hujan berpengaruh pada tinggi rendahnya kepadatan menggigit
nyamuk An. sundaicus bulan berikutnya. Selanjutnya kepadatan
menggigit nyamuk An. sundaicus mempengaruhi tingginya kasus
malaria pada bulan berikutnya. Oleh karena itu dapat disimpulkan
bahwa peningkatan jumlah curah hujan akan berpengaruh pada
peningkatan jumlah kasus malaria.
Pada umumnya hujan akan memudahkan perkembangan
nyamuk dan peningkatan jumlah kasus malaria. Besar kecilnya
kejadian akan tergantung dari jenis dan deras hujan, jenis vektor dan
147
jenis perindukan nyamuk. Hujan yang diselingi panas akan
memperbesar kemungkinan berkembang biaknya nyamuk Anopheles
(Harijanto, 2000). Pengaruh curah hujan dalam penyebaran malaria ini
adalah terbentuknya tempat perindukan nyamuk.
Peningkatan penularan malaria sangat terkait dengan intensitas
hujan yang turun baik dalam musim hujan maupun dalam musim
kemarau. Pergantian musim akan berpengaruh terhadap vektor
pembawa penyakit malaria (Babba, 2007). Pada musim kemarau
dengan sedikit hujan, genangan air yang terbentuk merupakan tempat
ideal sebagai tempat perkembangbiakan nyamuk vektor malaria.
Dengan bertambahnya tempat perkembangbiakan nyamuk, populasi
nyamuk vektor malaria juga bertambah sehingga akan terjadi
kemungkinan peningkatan penularan kasus malaria (Harmendo, 2008)
Kota Lubuk Linggau memiliki curah hujan sebesar 184,1 mm -
280,8 mm sehingga memungkinkan untuk membuat tempat
perindukan dan perkembangbiakan nyamuk malaria. Pada curah hujan
diatas membuat nyamuk Anopheles dapat berkembang biak dengan
maksimal sehingga dapat membuat terjadi peningkatan jumlah kasus
dan penularan malaria. Selain itu curah hujan berpotensi membuat
tempat perindukan nyamuk yang baru dimana tataguna lahan di Kota
Lubuk Linggau cenderung menjadi tempat perindukan dan
peristirahatan nyamuk. Akibatnya peningkatan jumlah kasus malaria
bertambah pada waktu transisi antara musim hujan dan kemarau
148
apalagi terjadi perubahan cuaca yang secara cepat yang
memungkinkan untuk terjadi genangan air dan berakhir pada
perkembangbiakan nyamuk.
B. Karakteristik Faktor Environment (Lingkungan) Pada Kasus
Malaria Berdasarkan Suhu Di Kota Lubuk Linggau Tahun 2009-
2013 Suhu maksimum Kota Lubuk Linggau tahun 2009-2013 adalah
31,90C - 34,13
0C sedangkan suhu minimum Kota Lubuk Linggau
tahun 2009-2013 adalah 21,60C -23,4
0C. Suhu di Kota Lubuk
Linggau tahun 2009-2013 sebesar 21,6 0C -34,13
0C memungkinkan
untuk nyamuk Anopheles dapat berkembang biak dengan baik. Hal ini
dikarenakan idealnya nyamuk Anopheles dapat berkembang biak
dengan optimal pada suhu 20 – 270C.
Penelitian yang dilakukan oleh Sunarsih (2009) diketahui bahwa
kondisi suhu lingkungan di lokasi penelitian mempunyai rerata 26,7OC
dengan kisaran 24,9 – 29,90C. Suhu lingkungan di lokasi penelitian ini
sangat mendukung perkembangan parasit malaria. Keadaan dengan
suhu tersebut sangat memungkinkan untuk berkembangnya vektor
penyakit malaria. Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Sibala
diketahui bahwa proporsi penderita malaria yang tinggal pada risiko
tinggi suhu rumah 20-300C diketahui sebanyak 58,3% (Sibala, 2013)
dan hal yang sama juga ditunjukkan pada penelitian yang dilakukan
oleh Sand (2013) yang mencatat bahwa proporsi kasus malaria yang
149
suhu rumahnya tidak memenuhi syarat suhu disekitar rumahnya
adalah sebanyak 58,3%.
Suhu mempengaruhi kecepatan parasit untuk berkembangbiak
dalam tubuh nyamuk dan mempengaruhi langsung perkembangan
nyamuk itu sendiri. Suhu optimum yang dibutuhkan untuk
perkembangan parasit adalah 20 – 270C (Dale, 2005). Pada kondisi
suhu yang hangat (warmer temperature), nyamuk dapat berkembang
lebih cepat dan lebih sering mencari darah, dan parasit berkembang
lebih awal dalam tubuh nyamuk (Sunarsih, 2009).
Menurut Harijanto (2000) menjelaskan bahwa suhu optimum
yang dapat mempengaruhi perkembangan parasit dalam nyamuk
adalah 20-300C. Makin tinggi suhu pada batas tertentu akan membuat
makin pendek masa inkubasi ekstrinsik parasit dan sebaliknya makin
rendah suhu makin panjang masa inkubasi ekstrinsik (masa inkubasi
yang diperlukan parasit untuk berkembang biak ditubuh vektor).
Pengaruh suhu ini berbeda bagi setiap spesies, pada suhu 26,7° C
masa inkubasi ekstrinsik adalah 10-12 hari untuk P. falciparum dan 8-
11 hari untuk P. vivax, 14-15 hari untuk P. malariae dan P. ovale.
Peningkatan suhu akan mempengaruhi aktifitas pencarian darah
pada nyamuk sehingga akan berpengaruh pada penyebaran penyakit.
Perubahan iklim juga mempengaruhi siklus sporogony yaitu waktu
yang dibutuhkan Plasmodium dalam darah sejak masuk kedalam
150
darah manusia sampai Plasmodium tersebut matang dan siap kembali
menularkan kepada manusia. Gambaran perubahan siklus sporogony
pada suhu yang berbeda adalah sebagai berikut
Tabel 6.1
Perubahan Siklus Sporogony Nyamuk Anopheles sp.
Pada suhu 200C dan 25
0C
Spesies Parasit Jumlah Hari
20°C 25°C
Plasmodium falciparum 20-23 hari 12-14 hari
Plasmodium vivax 16-17 hari 9-10 hari
Plasmodium malariae 30-35 hari 23-24 hari
Plasmodium ovale - 15-16 hari
Sumber: WHO, 1975 dalam Bouma, et al., 1996)
Selain mempengaruhi perkembangbiakan Plasmodium, suhu
juga mempengaruhi perkembangbiakan nyamuk Anopheles. Semua
spesies Anopheles dan parasit malaria pada dasarnya memerlukan
suhu antara 21 – 32oC untuk melangsungkan siklus hidupnya. Suhu
optimum untuk perkembangannya adalah 25 – 27oC dan
perkembangan nyamuk akan terhenti ketika suhu dibawah 100C dan
diatas suhu 400C. Terjadinya perubahan suhu lingkungan akibat
pemanasan global mempercepat pematangan parasit di dalam tubuh
nyamuk, meningkatkan frekuensi gigitan nyamuk, dan memberikan
kondisi yang lebih sesuai untuk perkembangan hidup nyamuk
(Soedarto, 2011)
Suhu juga merupakan karakteristik tempat perindukan yang
mempengaruhi metabolisme, perkembangan, pertumbuhan, adaptasi
151
dan sebaran geografik larva nyamuk. Peningkatan suhu 10C dapat
meningkatkan kecepatan angka metabolisme dengan rata-rata
konsumsi O2 dan CO2 sebesar 10%. Pengaruh peningkatan suhu juga
mempengaruhi proses biologis nyamuk seperti kegiatan bernafas,
detak jantung, ritme sirkulasi darah dan kegiatan enzim (Ward, 1992
dalam Arsin, 2012).
Laporan Intergovernmental Panel on Climate Change ke tiga
menyatakan bahwa pada tahun 2010 suhu global akan meningkat 1,8-
400C. Meningkatnya suhu bumi seiring dengan meningkatnya
konsentrasi gas CO2. Pada kejadian malaria, perubahan iklim yang
terjadi berdampak secara tidak langsung terhadap kejadian malaria.
Perubahan suhu mempunyai efek terhadap periode perkembangan
nyamuk meliputi siklus hidup nyamuk, frekuensi mengisap darah,
umur nyamuk dan siklus gonotropik yakni suatu periode waktu
dimana untuk pematangan telur sejak nyamuk mengisap darah sampai
dengan telur matang dan siap untuk dikeluarkan (Arsin, 2012).
Suhu di Kota Lubuk Linggau tahun 2009-2013 sebesar 21,6 0C -
34,13 0C sedangkan suhu optimal untuk berkembangbiak nyamuk
Anopheles adalah sebesar 20 – 270C sehingga berdasarkan hal tersebut
suhu di Kota Lubuk Linggau menjadi suhu yang optimal untuk
nyamuk berkembang biak. Selain mempengaruhi berkembang biak
nyamuk, suhu juga mempengaruhi masa inkubasi ekstrinsik
Plasmodium didalam tubuh nyamuk. Semakin tinggi suhu di Kota
152
Lubuk Linggau, maka semakin pendek masa inkubasi ekstrinsik
Plasmodium dan semakin sedikit waktu yang diperlukan nyamuk
untuk menginfeksi manusia serta terjadinya penularan malaria
semakin kecil.
C. Karakteristik Faktor Environment (Lingkungan) Pada Kasus
Malaria Berdasarkan Kelembaban Di Kota Lubuk Linggau
Tahun 2009-2013
Kelembaban Kota Lubuk Linggau tahun 2009-2013 adalah 83,2-
87%. Kelembaban ini dapat mempengaruhi terjadinya
perkembangbiakan nyamuk Anopheles di Kota Lubuk Linggau.
Kelembaban yang diperlukan nyamuk Anopheles untuk dapat
berkembang biak dengan baik adalah paling rendah 60%.
Harmendo (2008) menjelaskan bahwa kelembaban lingkungan
rumah di wilayah objek penelitian minimum sebesar 57%, maksimum
sebesar 86% dan kelembaban rata-rata sebesar 64,7%. Hal ini sangat
sesuai untuk hidup dan berkembang biak vektor malaria, karena
tingkat kelembaban paling rendah untuk mungkin hidupnya nyamuk
adalah 60 %.
Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Penelitian yang
dilakukan Sunarsih (2009) juga menjelaskan bahwa di Pangkalpinang
terdapat rerata kelembaban udaranya adalah 83% dengan kisaran 77,4
– 87,3%. Sehingga dengan kondisi kelembaban yang relatif tinggi ini
dimungkingkan nyamuk bisa hidup lebih lama, dan nyamuk akan
153
lebih lama pula dalam menjalankan perannya sebagai vektor penular
penyakit malaria. (Sunarsih, 2009). Kemudian menurut penelitian
yang dilakukan oleh Karim (2009) menjelaskan bahwa adalah terdapat
korelasi negatif yang rendah antara kelembaban dan kasus malaria
klinis di Kabupaten Halmahera Tengah.
Kelembaban tidak berpengaruh langsung terhadap
perkembangan parasit, tetapi mempengaruhi aktivitas dan kemampuan
bertahan nyamuk Anopheles (Sunarsih, 2009). Malhotra dan
Srivastava (1996) dalam Muslim (2008) menjelaskan bahwa
kelembaban menjadi faktor yang berpengaruh terhadap adanya vektor
di lingkungan. Jika kelembaban relatif di suatu lingkungan berada
pada kelembaban diatas 60% akan menyebabkan terjadinya
penularan/perpindahan malaria yang tinggi tetapi sebaliknya jika
kelembaban relatif berada dibawah 60% maka penularan/perpindahan
malaria akan rendah.
Kelembaban yang rendah memperpendek umur nyamuk,
meskipun tidak berpengaruh pada parasit. Tingkat kelembaban 60%
merupakan batas paling rendah untuk memungkinkan hidupnya
nyamuk, pada kelembaban lebih tinggi menyebabkan aktifitas nyamuk
menjadi lebih sering menggigit, sehingga meningkatkan penularan
malaria. Kelembaban secara tidak langsung mempengaruhi parasit
tetapi dapat mempengaruhi aktivitas dan tingkat ketahanan dari
nyamuk Anopheles. Kelembaban relatif yang dibawah 60%, hidup
154
nyamuk mungkin dapat diperpendek pada masa inkubasi eksternal
(sekitar 2 minggu) sehingga tidak akan terjadi transmisi malaria
(Gilles, 1993).
Lama hidup nyamuk yang rendah akibat dari kelembaban yang
rendah dipengaruhi oleh sistem pernafasan nyamuk. Sistem
pernafasan nyamuk menggunakan pipa-pipa udara yang disebut
trachea dengan lubang-lubang dinding yang disebut spiracle. Pada
waktu kelembaban rendah, spiracle terbuka lebar tanpa ada
mekanisme pengaturnya sehingga menyebabkan penguapan dari
dalam tubuh nyamuk (Suroso, 2001). Kisaran kelembaban udara
dipengaruhi oleh suhu udara. Namun jelas bagi serangga, kelembaban
udara yang optimum untuk perkembangan adalah 73% - 100% (Arsin,
2012).
Kelembaban Kota Lubuk Linggau berkisar pada 83,2 - 87%
yang berarti bahwa nyamuk Anopheles dapat berkembang biak dengan
baik dimana batas minimal nyamuk Anopheles dapat berkembang biak
pada kelembaban 60%. Selanjutnya kelembaban mempengaruhi
kejadian malaria dengan aktifitas nyamuk Anopheles menggigit
semakin meningkat dengan kelembaban yang tinggi dan berakibat
pada penularan malaria menjadi lebih sering. Selain mempengaruhi
pada Anopheles, hal lain yang dipengaruhi oleh kelembaban terhadap
malaria adalah parasit yang ada didalam tubuh nyamuk yang terus
berkembang biak dan dapat bertahan lebih lama pada masa inkubasi
155
eksternal yang dikarenakan kelembaban di Kota Lubuk Linggau yang
cenderung tinggi. Oleh karena itu, masa inkubasi eksternal yang
begitu lama dan ditambah perkembangbiakan nyamuk yang ideal pada
kelembaban tersebut membuat kasus malaria di Kota Lubuk Linggau
masih tinggi.
6.6. Epidemiologi Spasial Malaria Di Kota Lubuk Linggau.
A. Pemetaan Endemisitas Malaria di Kota Lubuk Linggau Tahun
2009-2013
Pemetaan wilayah endemis malaria di Kota Lubuk Linggau
tahun 2009-2013 menjelaskan bahwa terjadi perubahan wilayah yang
endemis malaria. Kecamatan Lubuk Linggau Barat 2 mengalami
perubahan wilayah endemis malaria selama 5 tahun terakhir. Pada
tahun 2009-2011, kecamatan ini adalah wilayah yang memiliki tingkat
endemis tinggi malaria tetapi pada tahun 2012-2013 terjadi penurunan
tingkat endemisitas malaria menjadi endemis sedang. Sebaliknya
terjadi ketidakstabilan endemisitas malaria pada beberapa wilayah.
Kota Lubuk Linggau memiliki 4 wilayah dengan endemis tinggi
ditahun 2011, 2 wilayah ditahun 2012 dan 1 wilayah di 2013. Wilayah
yang masih menjadi endemis tinggi selama 3 tahun terakhir adalah
Kelurahan Sukajadi, Kecamatan Lubuk Linggau Barat 2. Kelurahan
ini berada di pusat kota dimana akses informasi, transportasi, dan
komunikasi masih mudah untuk didapatkan. Hanya saja kondisi
lingkungan di kelurahan ini yang masih banyak tempat perindukan
156
nyamuk seperti kolam ikan yang tidak terawat. Selain itu memang
Kelurahan Sukajadi adalah wilayah yang endemis tinggi malaria.
Analisis penyakit berdasarkan tempat dapat dilihat dengan
memperhatikan pola penyakit berdasarkan batas-batas daerah
pemerintahan secara administratif baik desa, kecamatan,
kabupaten/kota, provinsi dan negara maupun berdasarkan batas-batas
alam yang terbentuk secara alami. Manfaat yang didapat dalam
analisis pola penyakit berdasarkan tempat adalah dapat membentuk
peta epidemiologi, membandingkan jumlah kasus antar wilayah, spot
area dan sistem informasi geografis. Salah satu penerapan analisis
pola penyakit berdasarkan tempat dapat dilakukan pada penyakit
malaria (Bustan, 2002).
Malaria adalah penyakit yang bisa muncul berulang kali sesuai
dengan keadaan lingkungan serta perubahan fenomena alam (Hakim,
2009). Pada umumnya lokasi endemis malaria adalah desa-desa
terpencil, sarana transportasi dan komunikasi sulit, akses pelayanan
kesehatan kurang, tingkat pendidikan dan sosial ekonomi masyarakat
yang rendah, serta perilaku hidup sehat yang kurang (Roy, 2012).
Hal ini menjadi faktor yang mempengaruhi tingkat endemisitas
malaria di suatu wilayah.
Penelitian yang dilakukan oleh Ompusunggu (2002) diketahui
bahwa terdapat 11 desa yang menjadi objek wisata di Provinsi Jawa
Barat pernah menjadi daerah endemis malaria tinggi selama 3 tahun
157
terakhir. Karakteristik wilayah penelitian adalah desa yang sebagian
besar penduduknya adalah petani dan pedagang serta berada
dipinggir pantai. Selain itu, letak desa jauh dari fasilitas pelayanan
kesehatan dan akses informasi serta transportasi umum yang sulit.
Penelitian yang dilakukan oleh Budiyanto (2011) menjelaskan
bahwa faktor risiko malaria di daerah endemis malaria adalah
pemakaian anti nyamuk, konstruksi rumah, pengetahuan responden
mempengaruhi kejadian malaria di daerah endemis malaria. Hal ini
dikarenakan pengaruh lingkungan terhadap adanya nyamuk
Anopheles disekitar rumah.
Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada dan berinteraksi di
sekitar manusia, baik berupa benda hidup, benda mati, benda nyata
ataupun abstrak, termasuk manusia lainnya. Lingkungan memiliki
peran penting dalam menentukan endemisitas wilayah yang ada.
Sehingga diperlukan sebuah upaya kesehatan dalam program
kesehatan lingkungan dimana berperan besar dalam mengukur,
mengawasi, dan menjaga kesehatan lingkungan (Arsin, 2012).
Endemisitas malaria di Kota Lubuk Linggau dipengaruhi oleh
kondisi lingkungan yang menjadi tempat breeding places dan resting
places nyamuk malaria. Hal ini dapat dilihat dari tersebar secara
merata tempat perindukan dan peristirahatan nyamuk seperti kebun,
sawah, ladang, pemukiman, hutan. Endemisitas malaria berdasarkan
wilayah ini memungkinkan untuk menyusun sebuah program
158
pengendalian malaria berbasis lingkungan dalam menurunkan kasus
malaria melalui kegiatan pemberantasan tempat perindukan dan
peristirahatan nyamuk.
Pada tahun 2009, Kecamatan Lubuk Linggau Utara 1 adalah
puskesmas dengan endemisitas sedang dan terjadi penurunan tingkat
endemisitas pada tahun 2010-2012 menjadi endemis rendah. Tetapi
pada tahun 2013, terjadi peningkatan kembali tingkat endemisitas
malaria di wilayah ini sehingga menjadi wilayah yang endemis
sedang. Analisis spasiotemporal juga digunakan dalam melihat
distribusi malaria di daerah lain.
Analisis spasio temporal juga dapat menggambarkan situasi
endemisitas Kota Lubuk Linggau. Kota Lubuk Linggau adalah
wilayah dengan tingkat mesoendemis malaria (endemis sedang).
Pada tahun 2009, terdapat 1 kecamatan yang endemis tinggi, 5
kecamatan endemis sedang dan 2 kecamatan dengan endemis
rendah. Kemudian pada tahun 2013, tidak terdapat kecamatan
dengan endemis tinggi, 3 kecamatan dengan endemis sedang dan 5
kecamatan dengan endemis rendah. Endemis malaria ini sangat
tergantung dari identifikasi kasus malaria oleh petugas puskesmas.
Pada tahun 2013, Provinsi Sumatera Selatan menjadi daerah
dengan kategori hipoendemis malaria. Hal ini dikarenakan nilai
indikator API pada tahun 2013 sebesar 0,46 per 1000 penduduk.
Tetapi masih ada wilayah di Provinsi Sumatera Selatan yang
159
dikategorikan menjadi daerah dengan mesoendemis. Wilayah dengan
kategori mesoendemis malaria adalah Kabupaten Lahat (2,92 per
1000 penduduk), Kabupaten OKU (2,68 per 1000 penduduk) dan
Kota Lubuk Linggau (1,67 per 1000 penduduk).
Endemis malaria tidak terjadi pada seluruh Indonesia. Endemis
malaria terjadi di Indonesia bagian timur. Berdasarkan Kementerian
Kesehatan tahun 2009, stratifikasi endemis malaria berdasarkan
indikator API di Indonesia seperti gambar dibawah ini.
Gambar 6.3
Stratifikasi Endemisi Malaria di Indonesia Tahun 2009
Sumber : Kemenkes, 2009
Berdasarkan gambar diatas, diketahui bahwa persebaran
endemisitas malaria di Indonesia hampir menyebar merata dengan
variasi endemisitas yang berbeda pada tiap pulau. Pada tahun 2013,
tingkat endemisitas malaria dibedakan menjadi hiperendemis,
mesoendemis dan hipoendemis. Dikatakan hiperendemis bila API
(Annual Parasite Incidence) lebih besar dari 50 per 1.000 penduduk
160
yaitu di Provinsi Papua, Papua Barat, dan NTT. Mesoendemis bila
API berkisar antara 1 sampai kurang dari 50 per 1.000 penduduk
yaitu di Provinsi Maluku, Bangka Belitung, Jambi, Sumatera,
Kalimantan Tengah, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Jawa
Tengah, Jawa. Hipoendemis bila nilai API 0 - 1 per 1.000,
diantaranya sebagian Jawa, Kalimantan dan Sulawesi (Kemenkes,
2013). Salah satu Provinsi yang masih endemis malaria adalah
Provinsi Sumatera Selatan.
Pada tahun 2013, Provinsi Sumatera Selatan menjadi daerah
dengan kategori hipoendemis malaria. Hal ini dikarenakan nilai
indikator API pada tahun 2013 sebesar 0,46 per 1000 penduduk.
Tetapi masih ada wilayah di Provinsi Sumatera Selatan yang
dikategorikan menjadi daerah dengan mesoendemis. Wilayah dengan
kategori mesoendemis malaria adalah Kabupaten Lahat (2,92 per
1000 penduduk), Kabupaten OKU (2,68 per 1000 penduduk) dan
Kota Lubuk Linggau (1,67 per 1000 penduduk).
Salah satu faktor yang mempengaruhi tingginya kasus malaria
disuatu daerah adalah pelayanan kesehatan (Arsin, 2012). Riskesdas
(2010) menjelaskan bahwa persentase rumah tangga yang tinggal
diperkotaan yang mengetahui keberadaan fasilitas pemeriksaan
malaria pada tiap unit pelayanan kesehatan adalah pada rumah sakit
sebesar 82%, Puskesmas/Pustu 75,1% dan praktek dokter 52,5%.
Pengetahuan masyarakat terhadap tersedianya fasilitas kesehatan
161
yang melakukan pemeriksaan malaria tidak berbanding lurus dengan
pemanfaatan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan tersebut.
Persentase pemanfaatan pemeriksaan darah malaria di rumah sakit
adalah 14,6 persen, Puskesmas 10,4 persen, praktek dokter 6,1
persen, praktek bidan 1,9 persen, Polindes 5,6 persen dan Poskesdes
4,2.
Hal yang sama juga pada penelitian yang dilakukan oleh
Efransyah (2009) di Kota Lubuk Linggau. Akses masyarakat ke
puskesmas masih cukup sulit. Hal ini dikarenakan masyarakat harus
mengeluarkan biaya Rp 20.000 untuk satu kali ke Puskesmas.
Kemudian biaya ini akan bertambah jika masyarakat tidak memiliki
persyaratan yang lengkap dalam berobat gratis. Pada penelitian yang
dilakukan oleh Sari (2013) menjelaskan bahwa ada hubungan antara
akses pelayanan kesehatan dengan pengobatan sendiri malaria klinis.
Permasalahan ini dapat membuat terjadinya fenomena gunung es
dalam menemukan kasus malaria di Kota Lubuk Linggau dan
ditambah lagi pada daerah endemis malaria gejala klinis malaria
tidak begitu jelas (Chin, 2012).
Salah satu cara untuk mengatasi masalah penemuan kasus
malaria ini adalah pengendalian malaria dengan pendampingan key
person. Pendampingan key person ini dapat berupa peningkatan
pengetahuan masyarakat tentang malaria dan pencegahannya melalui
kegiatan pemasaran sosial. Key person ini dapat berupa orang yang
162
dipercaya oleh masyarakat sekitar dalam struktur organisasi sosial
dan petugas puskesmas yang datang membina wilayah kerja
puskesmas. Sehingga paradigma penemuan kasus malaria dapat
menjadi active case detection (Yudhastuti, 2006).
Penelitian yang dilakukan oleh Darundiati (2002) menjelaskan
bahwa desa yang terletak di dataran rendah diketahui bahwa hanya
sedikit anggota keluarga responden yang menderita malaria. Pada desa
di daerah peralihan diketahui bahwa kasus malaria dijumpai lebih
banyak dan pada desa diperbukitan memiliki jumlah kasus malaria
yang lebih banyak dari daerah peralihan. Hal ini dikarenakan jarak
rumah responden dengan breeding places Anopheles maculatus yang
berbeda antar desa sehingga mempengaruhi jumlah kasus malaria
ditempat tersebut.
Selanjutnya hal yang sama juga didapatkan oleh Ritawati
(2012). Pada penelitian yang dilakukan oleh Ritawati (2012)
menjelaskan bahwa kasus malaria di Kecamatan Lengkiti Kabupaten
Ogan Komering Ulu tahun 2011 tersebar secara mengelompok. Hal ini
dikarenakan letak rumah kasus malaria yang berdekatan sehingga
dimungkinkan terjadi penularan antar warga di kecamatan tersebut
serta letak rumah warga dengan breeding places An.aconitus, An.
vagus dan An. schuefieri yang berdekatan.
Penelitian yang dilakukan oleh Karim (2012) diketahui bahwa
distribusi penderita malaria di kabupaten Halmahera Tengah pada
163
tahun 2008 tersebar merata di seluruh kecamatan. Kecamatan dengan
jumlah titik kasus malaria terbanyak adalah kecamatan Weda dengan
jumlah titik kasus sebanyak 233 titik kasus, sedangkan kecamatan
dengan jumlah titik kasus paling sedikit adalah Kecamatan Gebe
dengan jumlah titik kasus sebanyak 68 titik kasus. Pemanfaatan
analisis spasial ini digunakan untuk gambaran deskriptif distribusi dan
penyebaran penyakit (Aprisa, 2007 dalam Karim, 2012).
Sipe (2003) menjelaskan bahwa analisis spasial dapat digunakan
dalam penelitian tentang malaria dan program pengendalian malaria.
Analisis spasial terhadap malaria menjadi 4 kategori yaitu
1. Pemetaan insiden malaria yaitu pemetaan insiden malaria
berdasarkan lingkungan geografis. Fokus dari pemetaan ini adalah
menguji/melihat kecenderungan malaria diwaktu lampau dan
mengaitkannya dengan situasi sekarang (Mara, 1998).
2. Menghubungkan pemetaan antara insiden malaria dengan
variabel yang berpotensi berhubungan dengan insiden malaria
seperti suhu, curah hujan, tata guna lahan, ketinggian, jenis
kelamin, umur, migrasi penduduk, breeding site dan program
pengendalian. Pada kategori ini, perlu uji statistik untuk melihat
hubungan sebab akibat dari variabel yang berpotensi memiliki
hubungan sebab akibat (Gunawardena, 1996 ).
3. Metode yang inovatif dalam pengumpulan data. Pengumpulan
data adalah salah satu keterbatasan dalam penggunaan sistem
164
informasi geografis/analisis spasial. Sehingga keberhasilan dalam
menggunakan sistem informasi geografis dan analisis spasial
adalah tergantung dari cara inovatif dalam mengumpulakn data.
Salah satu cara yang paling sering digunakan adalah remote
sensing dengan menggunakan bantuan pemetaan satelit, aerial
photography (Hay, 2002).
4. Pemodelan risiko malaria yang akan terjadi di masa yang akan
datang (de Vries, 2000).
Anis (2007) dalam Karim (2009) menjelaskan analisis spasial
dapat menjelaskan karakteristik tempat dan pemetaan pada penyakit
menular termasuk malaria. Pemetaan akan memberikan tiga kontribusi
utama yaitu
1. Peta diharapkan muncul gambaran deskriptif mengenai distribusi
serta penyebaran penyakit.
2. Peta diharapkan dapat memberikan aspek prediktif penyebaran
penyakit menular.
3. Model interaktif, jika pada tahap dua, pola prediksi hanya sebatas
ramalan penyakit, tetapi jika menggunakan pendekatan interaktif,
kita dapat menentukan intervensi serta dampaknya bagi masa
depan.
Sunaryo (2010) menjelaskan bahwa sebagian besar jenis
penyakit berhubungan dengan aspek spasial karena salah satu sumber
terjadinya penyakit tidak terlepas dari aspek
165
spasial/keruangan/lingkungan. Kejadian malaria tidak terlepas dari
pengaruh ekologi wilayah yang memungkinkan nyamuk berkembang
cepat dan berpotensi kontak dengan manusia. Pengaruh ekologi yang
terjadi pada kejadian malaria inilah yang membuat faktor lingkungan
ini perlu dipetakan terutama kejadian malaria dengan tempat
perindukan nyamuk. Kemudian perlu memetakan kerawanan manusia
terserang malaria akibat dari kepadatan penduduk. Kerawanan
manusia terserang malaria akibat dari kepadatan penduduk dan tempat
perindukan nyamuk ini akan dianalisis dengan analisis jarak nyamuk
dari tempat perindukan nyamuk ke pemukiman penduduk.
Pembuatan jarak pemukiman dari tempat perindukan nyamuk
sangat mudah dilakukan dengan menggunakan analisis spasial.
Kemudian melakukan tindakan optimalisasi kesehatan masyarakat
dalam kegiatan pencegahan mejadi lebih tepat sasaran. Hal ini
dikarenakan analisis spasial membantu dalam menggambarkan peta
sebaran fasilitas pelayanan kesehatan dan kejadian malaria (Sunaryo,
2012).
Aplikasi sistem informasi geografis dan analisis spasial dalam
penelitian tentang malaria di Indonesia masih menjadi tantangan. Hal
ini dikarenakan ada 3 hal yang menjadi masalah besar. Permasalahan
yang pertama adalah data yang masih lemah. Permasalahan data
tentang malaria akan membuat aplikai sistem informasi geografis dan
analisis spasial menjadi tidak bermanfaat. Permasalahan yang kedua
166
adalah tekhnologi terutama komputer, software sistem informasi
geografis dan pelatihan. Permasalahan terakhir adalah fokus pada
metode yang diasumsikan bahwa jika data dan tekhnologi tidak
menjadi masalah lagi, maka pertanyaan yang muncul adalah
bagaimana sistem informasi geografis digunakan dalam meningkatkan
pemahaman tentang malaria jika analisis spasial secara statistik tidak
disetujui sebagai sebuah metodologi standar dalam peningkatan
pemahaman tentang malaria (Sipe, 2003).
Kota Lubuk Linggau belum melakukan pemetaan wilayah
endemis malaria dengan menggunakan analisis spasial. Sehingga Kota
Lubuk Linggau tidak dapat mengetahui apakah terjadi perubahan
wilayah endemis malaria selama tahun 2009-2013. Aplikasi analisis
spasial bermanfaat bagi Kota Lubuk Linggau pada pemetaan wilayah
endemis malaria, menghubungkan malaria dengan iklim, mengetahui
jarak pemukiman dan tempat perindukan nyamuk, model interaktif
dalam penyajian data serta membangun sistem informasi geografis.
Tetapi ada beberapa hal yang perlu diperbaiki sebelum menggunakan
analisis spasial dalam penyelesaian masalah malaria dan penyakit
lainnya seperti penguatan pengelolaan data di Dinas Kesehatan Kota
Lubuk Linggau, pelatihan teknologi sistem informasi geografis,
penguatan sumber daya manusia, sarana dan prasarana.
Permasalahan selanjutnya adalah kasus malaria di Kota Lubuk
Linggau masih menggunakan indikator AMI yang berarti bahwa
167
tingkat endemisitas malaria berdasarkan kecamatan hanya pada kasus
malaria klinis. Penegakan diagnosis malaria klinis berdasarkan hasil
identifikasi tenaga puskesmas yang ada di Kota Lubuk Linggau
berdasarkan gejala klinis yang dialami oleh pasien. Gejala klinis untuk
kasus malaria hampir sama dengan diagnosis pada penyakit lain
seperti demam dengue, demam thypoid, dan demam berdarah dengue.
Sehingga kasus malaria klinis masih dalam tahapan dugaan yang
berakibat pada endemisitas malaria pada daerah ini masih dalam tahap
dugaan endemis. Oleh karena itu perlu upaya pemeriksaan
laboratorium pada kasus diduga malaria yang selama ini pemeriksaan
laboratorium pada kasus malaria klinis masih lemah di Puskesmas.
B. Gambaran Pemetaan Ketinggian di Kota Lubuk Linggau Tahun
2013
Ketinggian di Kota Lubuk Linggau sebesar 50 mdpl-650 mdpl.
Ketinggian ini mempengaruhi jenis perkembangbiakan nyamuk.
Semakin tinggi suatu wilayah maka semakin berkurang jumlah kasus
malaria. Hal ini dikarenakan pengaruh suhu dan kelembaban di
ketinggian tersebut.
Penyebaran malaria dapat terjadi pada ketinggian wilayah yang
sangat bervariasi. Hal ini dapat dilihat dari ketinggian 400 m dibawah
permukaan laut seperti laut mati dan 2.800 m diatas permukaan laut
seperti di Bolivia (Arsin, 2012). Penyebaran malaria dan
168
ketinggian/topografi mempengaruhi perkembangan nyamuk dan
spesiesnya.
Ketinggian memiliki hubungan dengan spesies nyamuk
Anopheles di Pulau Jawa. Hal ini dapat dilihat dari di daerah pantai
banyak ditemykan An. sundaicus dan An. tesselatus. Kemudian An.
maculatus, An. aconitus dan An. vagus ditemukan di daerah pantai dan
perbukitan. Tetapi berbeda dengan An. subpictus, An. annularis, An.
indefinitus, An. kochi dan An. flavirostis hanya ditemukan di daerah
perbukitan. Demikian pula pada An. barbirostis yang bisa ditemukan
di daerah pantai dan perbukitan/daerah dataran tinggi (Ndoen et al,
2011 dalam Lokalitbang Ciamis, 2013).
Gambar 6.4.
Skema Distribusi Nyamuk Anopheles spp. Berdasarkan Karakteristik
Topografi dan Penggunaan Lahan di Pulau Jawa
Sumber : Ndoen et al, 2011 dalam Lokalitbang Ciamis, 2013
169
Pada penelitian yang dilakukan di Raharjo (2003) menjelaskan
bahwa An. aconitus berada pada ketinggian 100-130 m dengan tempat
perkembangbiakan adalah sungai pada musim kemarau dan
persawahan pada musim penghujan. Perkembangan nyamuk An.
aconitus pada ketinggian tersebut dipengaruhi oleh faktor suhu udara
dan kelembaban. Pada penelitian yang dilakukan oleh Yawan (2006)
menjelaskan bahwa pada ketinggian berkisar 20-40 mdpl diketahui
bahwa terdapat jenis nyamuk An. farauti. Perkembangan jenis nyamuk
pada ketinggian tertentu dipengaruhi oleh suhu dan kelembaban.
Bertambahnya ketinggian pada suatu wilayah akan membuat
menurunnya suhu rata-rata di wilayah tersebut sehingga hanya jenis
Anopheles spp tertentu yang dapat berkembang biak.
Pada daerah yang dataran tinggi, perilaku nyamuk dipengaruhi
dengan kesenangan dan kebutuhannya. Pada spesies tertentu, ada
nyamuk yang senang pada tempat yang terkena sinar matahari
langsung dan ada pula yang senang pada tempat yang teduh. Tetapi
pada daerah dataran rendah, pada umumnya nyamuk memilih tempat
yang teduh, lembab dan aman. Perilaku nyamuk pada daerah ini
hanya hinggap di tempat-tempat rendah seperti tanah dan ada pula
spesies yang dinggap di persawahan, pinggiran sungai, rawa-rawa,
kolam kangkung, dan parit (Arsin, 2012).
170
C. Gambaran Pemetaan Wilayah Endemis Malaria Berdasarkan
Tata Guna Lahan Di Kota Lubuk Linggau tahun 2013.
Gambaran tata guna lahan di Kota Lubuk Linggau tahun 2013
terdiri dari hutan, kebun, ladang, permukiman, sawah dan
semak/belukar. Persebaran luasan wilayah ini didominasi oleh hutan,
kebun dan pemukiman. Pada tata guna lahan seperti ini merupakan
tempat perindukan dan peristirahatan nyamuk Anopheles. Nyamuk
Anopheles berkembangbiak dan menularkan penyakit pada tempat-
tempat tersebut. Salah satu tempat yang memiliki karakteristik
geografis yang hampir sama dengan Kota Lubuk Linggau adalah
Provinsi Bengkulu.
Pada penelitian yang dilakukan Husin (2007) diketahui bahwa
nyamuk yang menjadi vektor malaria di Provinsi Bengkulu adalah
Anopheles maculatus yang hidup di air jernih daerah pegunungan dan
An. sundaicus yang tempat perkembangbiakannya di air payau
(Prabowo, 2004) serta Anopheles nigerrimus dan An. Sundaicus.
Spesies nyamuk Anopheles yang ditemukan dan sudah dinyatakan
sebagai vektor malaria di Bengkulu dan Sumatera pada umumnya
adalah An. sundaicus sebagai vektor malaria di daerah pantai, An.
maculutus, An. nigerrimus, An. tessellatus, An sinensis sebagai vektor
malaria di pedalaman dan persawahan.
Hasil identifikasi di jenis-jenis tempat perindukan nyamuk
malaria diketahui bahwa sungai, selokan/got, dan bandar merupakan
171
tempat perindukan nyamuk yang ada di Pangkalbalam Pangkalpinang
tahun 2009. Selokan dan bandar merupakan tempat perindukan
nyamuk yang cukup dekat dengan rumah responden. Sedangkan
sungai merupakan tempat perindukan nyamuk yang keberadaannya
cukup jauh (lebih 200 m) dari rumah-rumah responden. Pada tempat
perindukan tersebut dilakukan identifikasi keberadaan jentik yang
diduga sebagai jentik nyamuk Anopheles sp (Sunarsih, 2009).
Pada daerah pantai kebanyakan tempat perindukan nyamuk
terjadi pada tambak yang tidak dikelola dengan baik, adanya
penebangan hutan bakau secara liar merupakan habitat yang potensial
bagi perkembangbiakan nyamuk An. sundaicus dan banyak aliran
sungai yang tertutup pasir (laguna) yang merupakan tempat
perindukan nyamuk An.sundaicus (Harmendo, 2008).
Tempat perindukan nyamuk Anopheles adalah di genangan-
genangan air, baik air tawar atau air payau tergantung dari jenis
nyamuk, seperti Anopheles sundaicus dan Anopheles subpictus hidup
di air payau, Anopheles aconitus hidup di air sawah, Anopheles
maculatus hidup di air bersih pegunungan. Nyamuk Anopheles
aconitus dijumpai di daerah-daerah persawahan, tempat
perkembangbiakan nyamuk ini terutama di sawah yang bertingkat-
tingkat dan di saluran irigasi (Husin, 2007).
172
Selain tempat perindukan nyamuk, tata guna lahan juga dapat
digunakan sebagai tempat peristirahatan nyamuk. Hasil observasi
lingkungan mikro menunjukkan bahwa tempat peristirahat nyamuk
yang ada meliputi: tanaman hias, pohon ilalang, pohon bambu, semak
semak, pohon nipah, dan sebagian pohon bakau. Pengamatan pada
resting places tersebut juga menunjukkan keberadaan nyamuk yang
beristirahat di tempat tersebut walau relatif sedikit. (Sunarsih, 2009).
Tempat peristirahatan nyamuk Anopheles berbeda berdasarkan
spesiesnya. An. Aconitus memiliki tempat peristirahatan di lubang
serasah yang lembab dan teduh, terletak ditengah kebun salak serta
beristirahat dipagi hari. Selain itu, nyamuk ini juga hinggap didaerah-
daerah yang lembab seperti pinggir-pinggir parit, tebing sungai, dekat
air yang selalu basah dan lembab (Husin, 2007).
Tempat perindukan dan peristirahatan nyamuk akan
berpengaruh pada pencegahan dan pemberantasan nyamuk Anopheles
yang ada disekitar rumah. Penelitian yang dilakukan oleh Hadi (2005)
mencatat bahwa jarak tempat perindukan dekat < 50 m akan
mempunyai risiko untuk terkena malaria 33,58 kali. Kemudian
penelitian yang dilakukan oleh Weraman (2000) di Kabupaten Sumba
Barat diketahui bahwa adanya genangan air di tempat perindukan
nyamuk disekitar rumah akan meningkatkan risiko tertular malaria
sebesar 8 kali. Kemudian pada penderita malaria risikonya ditemukan
larva nyamuk malaria di sekitar lingkungan rumahnya lebih besar
173
dibanding dengan yang tidak menderita malaria (Sarumpaet, 2006).
Oleh karena itu, peningkatan jumlah kasus malaria dan tata guna lahan
akan mempengaruhi tingkat endemisitas malaria.
Tata guna lahan di Kota Lubuk Linggau berupa hutan, kebun,
ladang, permukiman, sawah dan semak/belukar. Tata guna lahan ini
merupakan salah satu tempat perindukan dan peristirahatan nyamuk
Anopheles. Tempat perindukan dan peristirahatan nyamuk ini
dipengaruhi oleh faktor curah hujan dalam perkembangbiakan
nyamuk sehingga dapat menimbulkan genangan air yang
memungkinkan nyamuk Anopheles berkembang biak.
Nyamuk yang berkembang biak akan menggigit manusia di
tempat kerja atau di pemukiman rumah. Jarak rumah dari tempat
perindukan nyamuk dapat digambarkan dengan menggunakan analisis
spasial karena dapat melihat kemungkinan pemetaan wilayah yang
akan digigit nyamuk Anopheles berdasarkan jarak rumah ke tempat
perindukan nyamuk. Sehingga dapat memetakan kerentanan manusia
terserang malaria akibat dari kepadatan penduduk di Kota Lubuk
Linggau.
174
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
7.1. Simpulan
1. Kasus malaria klinis yang terkonfirmasi laboratorium dari tahun 2009-
2013 di Kota Lubuk Linggau sebesar 16,22%-34,36% dan
kecenderungan kasus malaria tidak memiliki pola khusus musim
bulanan selama 5 tahun terakhir.
2. Laki-laki dan perempuan memiliki risiko yang sama untuk terinfeksi
malaria. Hal ini dapat dilihat dari rasio insiden kasus malaria yang tidak
berbeda (1:1). Remaja umur 10-14 tahun adalah kelompok usia yang
paling banyak diserang malaria selama tahun 2009-2013 dan masih ada
bayi (< 1 tahun) yang ditemukan terinfeksi malaria di Kota Lubuk
Linggau selama 5 tahun terakhir.
3. Kasus malaria berdasarkan jenis Plasmodium di Kota Lubuk Linggau
tahun 2009-2013 lebih banyak disebabkan oleh Plasmodium vivax
dibanding dengan jenis Plasmodium lainnya.
4. Karakteristik faktor environment seperti curah hujan, suhu dan
kelembaban tidak menunjukkan kaitan dengan kejadian malaria di Kota
Lubuk Linggau tahun 2009-2013.
5. Epidemiologi spasial malaria berdasarkan kelurahan yang endemis
tinggi di Kota Lubuk Linggau adalah Kelurahan Lubuk Durian,
Kelurahan Lubuk Aman, Kelurahan Perumnas Rahma, Kelurahan
175
Sukajadi pada tahun 2011, Kelurahan Lubuk Aman dan Kelurahan
Sukajadi pada tahun 2012 serta pada tahun 2013 adalah Kelurahan
Sukajadi pada tahun 2013.
6. Epidemiologi spasial malaria menurut wilayah potensial perindukan
nyamuk di Kota Lubuk Linggau tahun 2013 adalah hutan, kebun,
ladang, pemukiman, sawah dan semak belukar. Pada daerah endemis
sedang (Kecamatan Lubuk Linggau Barat 2, Kecamatan Lubuk Linggau
Utara 2 dan Kecamatan Lubuk Linggau Selatan 1), tempat yang
potensial untuk perindukan nyamuk adalah kebun, hutan, ladang dan
semak belukar. Ketinggian Kota Lubuk Linggau berkisar pada 50-650
mdpl yang memungkinkan terjadinya variasi dalam spesies nyamuk
Anopheles.
7.2. Saran
1. Penguatan peran laboratorium dalam mendiagnosis malaria dan
penetapan endemisitas wilayah malaria seperti penambahan petugas
laboran di puskesmas yang belum aktif laboratoriumnya dan
pengendalian mutu laboratorium dengan menggunakan indikator error
rate.
2. Prioritas program pencegahan pengendalian malaria pada remaja
dengan kegiatan upaya kesehatan sekolah dan pembinaan orang tua
murid. Program pencegahan malaria pada perempuan terutama ibu
hamil dengan dilakukan skrining Plasmodium.
176
3. Program pengendalian malaria perlu diprioritaskan pada daerah yang
endemis tinggi dengan kegiatan pemberantasan malaria seperti
pendistribusian kelambu berinsektisida, pengobatan dengan Artemisinin
combination theraphy dan larvasida.
4. Kecenderungan kasus malaria di Kota Lubuk Linggau pada bulan-bulan
februari-april dan juli-september memiliki pola yang tidak khas/tidak
stabil selalu terjadi sehingga perlu meningkatkan sistem kewaspadaan
dini yang disesuaikan dengan situasi daerah Kota Lubuk Linggau
seperti pengamatan dan survei vektor, laporan hasil penemuan penderita
malaria melalui penemuan penderita secara aktif, penemuan penderita
demam massal dan pemeriksaan darah massal, cakupan program
malaria dan pembangunan daerah yang berhubungan dengan ancaman
penularan malaria, migrasi penduduk antar wilayah serta laporan hasil
penyelidikan dan penanggulangan KLB malaria selama 5 tahun.
5. Modifikasi lingkungan dan menggalang kemitraan dengan masyarakat
endemis malaria seperti kerja bakti, menanam padi dalam waktu
bersamaan, larvasidasi, dan indoor residual spraying dalam rangka
untuk membersihkan tempat perindukan nyamuk.
177
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, S. (2008). Faktor Risiko Kejadian Malaria Di Desa Lubuk Nipis
Kecamatan Tanjung Agung Kabupaten Muara Enim. Semarang: Program
Pasca Sarjana Universitas Diponegoro.
Ahmadi, U. F. (2005). Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah. Jakarta: Penerbit
Buku Kompas.
Aini, Anisah. (2007). Sistem Informasi Geografis: Pengertian Dan Aplikasinya.
Yogyakarta. STMIK AMIKOM
Arsin, Arsunan. (2004). Analisis Perilaku Masyarakat Terhadap Kejadian
Malaria di Pulau Kapoposang kabupaten Pangkajene Kepulauan. Jurnal
Kedokteran dan Farmasi MEDIKA; Jakarta.
Arsin, Andi Arsunan. (2012). Malaria di Indonesia Tinjauan Aspek Epidemiologi.
Semarang: Masagena Press.
Babba, Ikrayama, Suharyo Hadisaputro, Suwandi Sawandi. (2007). Faktor-faktor
Risiko yang Mempengaruhi Kejadian Malaria (Studi Kasus di Wilayah
Kerja Puskesmas Hamadi Kota Jayapura).
Bailey, Trevor C. (2001). Spatial Statistical Methods In Health. Cad. Saúde
Pública, Rio de Janeiro, 17(5):1083-1098.
Beale, Linda, Juan Jose Abellan, Susan Hodgson, dan Lars Jarup. (2008).
Methodologic Issues and Approaches to Spatial Epidemiology. Environ
Health Perspect 116:1105–1110.
Bhopal, R. (2002). Concepts of Epidemiology : An Integrated Introduction To The
Ideas, Theories, Principles And Methods Of Epidemiology. New York:
Oxford University Press.
BMKG. (t.thn.). Instrumentasi Dan Rekayasa Meteorologi. Dipetik 1 28, 2014,
dari Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika:
http://www.bmkg.go.id/bmkg_pusat/Inskal_Rek_Jarkom/Instrumentasi/
Budiyanto, Anif. (2011). Faktor Risiko Yang Berpengaruh Terhadap Kejadian
Malaria Di Daerah Endemis Di Kabupaten OKU. Jurnal Pembangunan
Manusia Vol.5 No.2 Tahun 2011.
Bustan, (2002). Pengantar Epidemiologi. Jakarta: Rineka Cipta
C.Gatrell, A., & Löytönen, M. (2003). GIS and Health. London: Taylor & Francis
e-Library.
178
Capah, T. (2008). Kajian Perencanaan Manajemen Lingkungan Dalam Program
Pengendalian Malaria Di Kabupaten Asmat Tahun 2008 . Semarang:
Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro.
CDC. (2012, 9 12). Malaria. Dipetik 2 7, 2014, dari Anopheles Mosquitoes:
http://www.cdc.gov/malaria/about/biology/mosquitoes/index.html
Chahaya, N. (2003). Pengaruh Malaria Selama Kehamilan. Kesehatan
Lingkungan. Medan: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera
Utara.
Chin, J., & Kandun, I. N. (2012). Manual Pemberantasan Penyakit Menular.
Jakarta: CV Infomedika.
Darundiati, Yusniar Hanani. (2002). Analisis Faktor-Faktor Risiko Malaria di
Daerah Endemis dengan Pendekatan Spasial di Kabupaten Purworejo.
Tesis. Universitas Diponegoro.
de Vries PM. (2000). A CAMERA Focus On Local Eco-Epidemiological Malaria
Risk Assessment. Universiteit Maastricht: Maastricht, Netherlands 45.
Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau (2013). Laporan Bulanan Penemuan dan
Pengobatan Malaria Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau 2009. Lubuk
Linggau: Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau.
Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau (2013). Laporan Bulanan Penemuan dan
Pengobatan Malaria Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau 2010. Lubuk
Linggau: Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau.
Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau. (2013). Laporan Bulanan Penemuan dan
Pengobatan Malaria Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau 2011. Lubuk
Linggau: Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau.
Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau. (2013). Laporan Bulanan Penemuan dan
Pengobatan Malaria Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau 2012. Lubuk
Linggau: Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau.
Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau (2013). Laporan Bulanan Penemuan dan
Pengobatan Malaria Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau 2013. Lubuk
Linggau: Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau.
Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Selatan (2010). Profil Kesehatan Provinsi
Sumatera Selatan Tahun 2010. Palembang: Dinas Kesehatan Provinsi
Sumatera Selatan.
Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Selatan. (2014). Profil Malaria Provinsi
Sumatera Selatan Tahun 2013. Palembang: Dinas Kesehatan Provinsi
Sumatera Selatan.
179
Efransyah, Lutfan Lazuardi, Mubasysyir Hasanbasri. (2009). Akses Pelayanan
Puskesmas Setelah Kebijakan Pelayanan Kesehatan Gratis di Kota Lubuk
Linggau. Jogjakarta: KPMK Universitas Gajah Mada
Gilles, H.M. (1993). The Malaria Parasitsm. Essential Malariology. Gilles, H.M.
and Warrell, D.A. (ed) Third Edition. London.
Gunawardena DM, Muthuwattac L, Weerasingha S, Rajakaruna J, Kumara WU,
Senanayaka T, Kumar Kotta P, Wickremasinghe AR, Carter R, Mendis KN.
(1996). Spatial Analysis Of Malaria Risk In An Endemic Region Of Sri
Lanka. IDRC (International Development Research Centre).
Hadi, Bambang. (2005). Kandang Ternak dan Lingkungan Kaitannya dengan Kepadatan
Vektor Anopheles Aconitus di Daerah Endemis Malaria. Tesis. Universitas
Diponegoro.
Hakim, Lukman. (2013). Faktor Risiko Penularan Malaria Di Desa Pamotan Kabupaten
Pangandaran. Aspirator. Vol.5, No. 2, 2013 : 45-54.
Hakim, Lukman. (2009). Prevalensi Malaria Asymptomatic Pada Kelompok Penduduk
Paling Berisiko Tertular di Kecamatan Kalipucang Kabupaten Ciamis Jawa Barat.
Aspirator Vol. 1 No. 1 tahun 2009: 04-10.
Harijanto, Nugroho dan Gunawan Carta A. (2009). Malaria Dari Molekuler Ke Klinis.
Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
Harijanto, P.N. (2003). Malaria : Epidemiologi, Patogenesis, Manifestasi Klinis, dan
Penanganan. Jakarta: EGC
Harmendo. (2008). Faktor Risiko Kejadian Malaria di Wilayah Kerja Puskesmas
Kenanga Kecamatan Sungailiat Kabupaten Bangka. Tesis. Program Pasca Sarjana
Universitas Diponegoro Semarang.
Hay S, Cox J, Rogers DJ, Randolph SE, Stern DI, Shanks GD, Myers MF, Snow RW.
(2002). Climate Change And The Resurgence Of Malaria In The East African
Highlands. Nature 2002, 415:905-909.
Hinelo, S. (2006). Analisis Spasial Evaluasi Program Penanggulangan Malaria di Subdit
Malaria Depkes RI (Aplikasi Provinsi Papua) Tahun 2001-2004. Depok: Program
Pasca Sarjana Universitas Indonesia.
Husin, H. (2007). Analisis Faktor Risiko Kejadian Malaria Di Puskesmas Sukamerindu
Kecamatan Sungai Serut Kota Bengkulu Propinsi Bengkulu. Semarang: Program
Pasca Sarjana Universitas Diponegoro.
Imari, Sholah. (2012). Draft Pedoman Penyelenggaraan Surveilans Dan Sistem Informasi
Malaria Daerah Pemberantasan Dan Daerah Eliminasi Malaria Di Indonesia.
Direktorat Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang Direktorat Jenderal Pp&Pl
Kementerian Kesehatan RI.
Isnawati, A., Gitawati, R., Tjitra, E., Rooslamiati, I., Raini, M., & Delima. (2011).
Rasionalisasi Penggunaan Obat Simptomatik Dan Obat Lain Yang Diberikan
180
Bersamaan Dengan Obat Artesunate-Amodiakuin Pada Subyek Malaria Di
Delapan Puskesmas Sentinel Kalimantan Dan Sulawesi. Media Litbang Kesehatan
Volume 21 Nomor 3, 124-137.
Jagannathan, Prasanna et all. (2012). Increasing incidence of malaria in children despite
insecticide-treated bed nets and prompt anti-malarial therapy in Tororo, Uganda.
Malaria Journal 2012, 11:435
Karim, Sarbaini A, A. Arsunan Arsin. (2009). Pola Spasial Kasus Malaria Dengan
Aplikasi Sistem Informasi Geografis (SIG) Di Kabupaten Halmahera Tengah 2008.
Jurnal Masyarakat Epidemiologi Indonesia Vol. 1, No. 2, Juli-Desember 2012 : 84-
89
Kemenkes. (t.thn.). Insiden Malaria di Kota Lubuk Linggau Tahun 2007-2008. Dipetik
May 12, 2013, dari Data Base Kesehatan:
http://www.bankdata.depkes.go.id/propinsi/public/report/createtablepti.
Kemenkes. (2002). Analisis Situasi Dan Penyusunan Renstra Gebrak Malaria
Kabupaten/Kota. Direktorat Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang, Dirjen
PP dan PL, Kementerian Kesehatan RI.
Kemenkes. (2006). Pedoman Surveilans Malaria. Jakarta: Subdit Pengendalian Penyakit
Bersumber Binatang, Ditjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan,
Kementerian Kesehatan.
Kemenkes RI. (2007). Pedoman Penemuan Kasus Malaria. Jakarta: Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia.
Kemenkes RI. (2007). Pedoman Teknis Pemeriksaan Parasit Malaria. Jakarta:
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.Loka Litbang Ciamis. (2013). Fauna
Anopheles. Ciamis: Kemenkes RI.
Kemenkes. (2009). Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
293/MENKES/SK/IV/2009 Tentang Eliminasi Malaria. Jakarta: Kementerian
Kesehatan.
Kemenkes RI. (2010). Riset Kesehatan Dasar 2010. Jakarta: Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia.
Kemenkes. (2011). Pedoman Penatalaksanaan Kasus Malaria. Jakarta: Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia.
Kemenkes. (2012). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor :
374/MENKES/Per/III/2010 Tentang Pengendalian Vektor. Jakarta: Direktorat
Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Kementerian
Kesehatan.
Kemenkes RI. (2014). Riset Kesehatan Dasar 2013. Jakarta: Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia.
Klimatologi. (2008). Alat-alat Klimatologi Konvensional. Dipetik 1 28, 2014, dari
Staklim Banjarbaru Article:
181
http://www.klimatologibanjarbaru.com/artikel/2008/12/alat-alat-klimatologi-
konvensional/comment-page-2/
Kuswanto. (2005). Analisis Faktor Risiko Kejadian Malaria di Kecamatan Kemrajen
Kabupaten Banyumas. Tesis. Semarang: Universitas Diponegoro.
Lai, P. C., & Mak, A. S. (2007). GIS for Health and the Environment. Verlag Berlin
Heidelberg: Springer.
Lai, P. C., So, F. M., & Chan, K. W. (2009). Spatial Epidemiological Approaches in
Disease Mapping and Analysis. New York: CRC Press.
Lawson, A. B. (2006). Statistical Methods in Spatial Epidemiology. England: John Wiley
& Sons Ltd.
Loka Litbang P2B2 Ciamis (2013). Fauna Anopheles. Ciamis: Kemenkes RI.
Maantay, J. A., & McLafferty, S. (2011). Geospatial Analysis of Environmental Health.
New York: Springer.
Malakooti. (1998). Developing a Malaria Early Warning System for Ethiopia.
Mandal, E. W. (2008). Lecture Notes : Penyakit Infeksi . Jakarta: Erlangga.
MARA. (1998). Towards an atlas of malaria risk in Africa: First technical report of the
MARA/ARMA collaboration. Durban, South Africa.
Muslim. (2008). Studi Makro Epidemiologi Kejadian Malaria dengan Pendekatan
Spasial dan Temporal Terkait Tata Guna Lahan dan Meteorologi di Kecamatan
Bintan Utara Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau. Tesis. Yogyakarta:
Universitas Gajah Mada
Musthofa, Arif. (2012). Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Perilaku Pencariang
Pengobatan Malaria Klinis Pekerja Musimam Keluar Pulau Jawa Di Puskesmas
Tegalombo Kabupaten Pacitan Tahun 2012. Tesis. Depok: Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Indonesia.
Nawangsasi, Catur Pangesti. (2012). Kajian Deksriptif Kejadian Malaria Di Wilayah
Kerja Puskesmas Rowokele Kabupaten Kebumen Tahun 2011 - April 2012. Skripsi.
Nizar, Muhammad, Lukman Hakim. (2011). Diagnostik Klinis Malaria di Kabupaten
Musi Rawas Sumatera Selatan. Aspirator Vol. 3 No. 1 Tahun 2011:49-54.
Notobroto, Hari Basuki, Atik Choirul Hidajah. (2009). Faktor Risiko Penularan Malaria
di Daerah Perbatasan. J. Penelit. Med. Eksakta, Vol. 8, No. 2, Agust 2009: 143-
151.
Nuarsa, I. W. (2005). Belajar Sendiri: Menganalisis Data Spasial Dengan Arcview GIS
3.3 Untuk Pemula. Jakarta: Elex Media Computindo.
Nurbayani, L. (2013). Faktor Risiko Kejadian Malaria di Wilayah Kerja Puskesmas
Mayong 1 Kabupaten Jepara. Jurnal Kesehatan Masyarakat Vol 2 No 1.
182
Nurdin, E. (2011). Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Malaria Di
Wilayah Tambang Emas Kecamatan IV Nagari Kabupaten Sijunjung Tahun 2011 .
Padang: Skripsi Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Andalas.
Nurlette, Febriyana Rahima, Hasanuddin Ishak, Syamsuar Manyullei. (2013). Hubungan
Upaya Masyarakat Menghindari Keterpaparan Nyamuk Dengan Kejadian Malaria
Di Wilayah Kerja Puskesmas Rijali Kecamatan Sirimau Kota Ambon Tahun 2012.
Makasar:Kesehatan Lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Hasanudin Makassar.
Odago, et al., (2005). is Mosquito Larval Source Management Appropriate for Reducing
Malaria in Areas of Extensive Flooding in The Gambia? A Cross-over Intervention
Trial.
Ompusunggu, Sahat dkk. (2002). Endemisitas Malaria di Beberapa Daerah Pariwisata
Jawa Barat. Media Litbang Kesehatan Vol. XII No. 1 Tahun 2002.
P.N. Harijanto. (2011). ACT Sebagai Obat Pilihan Malaria Ringan di Indonesia. CDK
183/Vol.38 No.2/Maret - April 2011
Prabowo, A. (2004). Malaria, Mencegah dan Mengatasinya. Jakarta: Puspa Swara.
Pratjojo, H. (2001). Studi Faktor-Faktor Internal dan Eksternal Sebagai Bahan
Penyusunan Rencana Strategis Gerakan Berantas Kembali (GEBRAK) Malaria di
Kampung Laut Kabupaten CIlacap . Semarang: Program Pasca Sarjana Universitas
Diponegoro.
Putri, A. R. (2012). Hubungan antara infeksi malaria pada ibu hamil dengan kejadian
berat badan lahir rendah dan kejadian malaria kongenital di RSUD Lewobata
Lembata. Malang: Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya.
Raharjo, Mursyid. (2003). Studi Karakteristik Wilayah Sebagai Determinan Penyebaran
Malaria Di Lereng Barat Dan Timur Pegungungan Muria Jawa Tengah.
Ritawati, Yahya. (2012). Distribusi Spasial Malaria Di Kecamatan Lengkiti Kabupaten
Ogan Komering Ulu Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2011. Jurnal Pembangunan
Manusia Vol.6 No.1 Tahun 2012.
Rogerson SJ, Pollina E, Getachew A, Tadesse E, Lema VM, Molyneux ME. (2003).
Placental monocyte infiltrates in response to Plasmodium falciparum infection and
their association with adverse pregnancy outcomes. Am J Trop Med Hyg 68: 115–
119.
Rothman, Kenneth J. (2008). Modern Epidemiology, 3rd Edition. Lippincott Williams &
Wilkins
Roosihermiatie, B., & Rukmini. (2012). Analisis Implementasi Kebijakan Eliminasi
Malaria Di Provinsi Bali. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 15 No. 2 ,
143–153.
Roy Nusa. (2012). Prevalensi Dan Keberadaan Vektor Malaria di Desa Teluk Limau,
Kecamatan Jebus, Kabupaten Bangka Barat, Provinsi Bangka Belitung. Aspirator
Vol. 4 No. 1 Tahun 2012
183
Rubianti, Irma, Trisno Agung Wibowo, Solikhah. (2009). Faktor-Faktor Risiko Malaria
di Wilayah Kerja Puskesmas Paruga Kota Bima Nusa Tenggara Barat.
Yogyakarta: Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Ahmad Dahlan.
Rumbiak, H. (2006). Analisis Manajemen Lingkungan Terhadap Kejadian Malaria Di
Kecamatan Biak Timur Kabupaten Biak - Numfor Papua. Semarang: Program
Pasca Sarjana Universitas Diponegoro.
Ruswanto, B. (2010). Analisis Spasial Sebaran Kasus Tuberkulosis Paru Ditinjau Dari
Faktor Lingkungan Dalam Dan Luar Rumah di Kabupaten Pekalongan. Semarang:
Program Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang.
Sand, Ibrahim, Hasanuddin Ishak, Makmur Selomo. (2013). Faktor Risiko Kejadian
Malaria Di Wilayah Kerja Puskesmas Baraka Kecamatan Baraka Kabupaten
Enrekangtahun 2013. Makasar: Universitas Hasanudin
Sari, Rika Maya, Lasbudi P. Ambarita. Hotnida Sitorus. (2013). Akses Pelayanan
Kesehatan Dan Kejadian Malaria Di Provinsi Bengkulu. Media Litbangkes Vol 23
No. 4, Des 2013, 158-164.
Sarumpaet, Sori Muda., Richard Tarigan. (2006). Faktor Risiko Kejadian Malaria Di
Kawasan Ekosistem Leuser Kabupaten Karo Provinsi Sumatera Utara. Universitas
Sumatera Utara
Schlagenhauf P (2004). Malaria: from prehistory to present. Infect Dis Clin North Am.
2004; 18: 189-205
Sibala, Rosdiana, Hasanuddin Ishak, Indar. (2013). Faktor Risiko Kejadian Malaria Di
Kabupaten Toraja Utara. Makasar: Universitas Hasanudin.
Sipe, Neil G, Pat Dale. (2003). Challenges in using geographic information systems (GIS)
to understand and control malaria in Indonesia. Malaria Journal 2003, 2:36
Soedarto. (2011). Malaria. Jakarta: Sagung Seto.
Sukowati S. (2004). Hubungan Iklim Dengan Penyakit Tular Vektor (DBD & Malaria).
Makalah Seminar Sehari Dampak Perubahan Iklim Terhadap Kesehatan, 6 April
2004 di Jakarta.
Sunarsih, Elvi, Nurjazuli, Sulistyani. (2009). Faktor Risiko Lingkungan dan Perilaku
Yang Berkaitan Dengan Kejadian Malaria di Pangkalbalam Pangkalpinang. J
Kesehat Lingkung Indones Vol.8 No.1 April 2009:1-9
Sunaryo. (2010). Sistem Informasi Geografis Untuk Kajian Masalah Kesehatan.
BALABA Vol. 6, No. 01, Jun 2010 : 26-27.
Suroso, T. (2001). Perubahan Iklim dan Kejadian Penyakit yang Ditularkan Vektor.
Makalah pada Semiloka Perubahan Iklim dan Kesehatan 27-29 Maret 2001 di
Ciloto. Direktorat PPBB Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan
Penyehatan Lingkungan. Departemen Kesehatan RI.
184
Susanna. (2005). Dinamika Penularan Malaria di Ekosistem Persawahan, Perbukitan,
dan Pantai (Studi di Kabupaten Jepara, Purwokerto dan Kota Batam). Depok.
Program Doktor. FKM Universitas Indonesia.
Sutanto, Inge, Pudji K. Sjarifudin Is Suhariah Ismid, dan Saleha Sungkar. (2008). Buku
Ajar Parasitologi Kedokteran. Jakarta: Departemen Parasitologi Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
Timmrect, T. C. (2004). Epidemiologi : Suatu Pengantar. alih bahasa, Munayah Fauziah.
Jakarta: EGC.
Webb, Penny & Chris Bain. (2011). Essential Epidemiology An Introduction for Students
and Health Professionals Second Edition. UK; Cambridge University Press
Wempi, I Gede. (2011). Analisis Pemeriksaan Laboratorium Pada Penderita
Malaria. BALABA Vol. 8, No. 02, Des 2012 : 58-59.
Weraman, P., (2000). Faktor Risiko Malaria dan Upaya Penanggulangan Melalui
Perawatan Kesehatan Masyarakat di Kabupaten Sumba Barat. Tesis S2,
UGM, Yogyakarta.
WHO. (2011). World Malaria Report 2011 Fact Sheet. Global Malaria
Programme.
WHO. (2013). Malaria in children under five. Diakses dari
http://www.who.int/malaria/areas/high_risk_groups/children/en/ Tanggal
12 Juni 2014 Pukul 12.00.
WHO. (2013). Malaria deaths halved among children in last decade. Diakses dari
http://www.who.int/tdr/news/2013/malaria-deaths-among-children/en/ pada
tanggal 12 Juni 2014 Pukul 13.00.
Wise, S., & Craglia, M. (2008). GIS and Evidence-Based Policy Making. Boca
Raton: CRC Press.
Yawan, S. F. (2006). Analisis Faktor Risiko Kejadian Malaria Di Wilayah Kerja
Puskesmas Bosnik Kecamatan Biak Timur Kabupaten Biak Numfor Papua.
Semarang: Program Pascasarjana Universitas Diponegoro.
Yudhastuti, Ririh, Rahmat Hargono. (2006). Pengendalian Malaria Di Daerah
Endemis Dengan Pendampingan Key Person. Jurnal Kesehatan
Lingkungan, Vol.3, No.1, Juli 2006 : 77 – 86.
120
0
5
10
15
20
25
30
35
40
Suh
u
Bulan
Suhu Minimum, Maksimum dan Rata-Rata Kota Lubuk Linggau Tahun 2009
Suhu Minimum
Suhu Maksimum
Suhu Rata-Rata
0
5
10
15
20
25
30
35
Suh
u
Bulan
Suhu Minimum, Maksimum dan Rata-Rata Kota Lubuk Linggau Tahun 2010
Suhu Minimum
Suhu Maksimum
Suhu Rata-Rata
0
5
10
15
20
25
30
35
40
Suh
u
Bulan
Suhu Minimum, Maksimum dan Rata-Rata Kota Lubuk Linggau Tahun 2011
Suhu Minimum
Suhu Maksimum
Suhu Rata-Rata
0
5
10
15
20
25
30
35
40
Suh
u
Bulan
Suhu Minimum, Maksimum dan Rata-Rata Kota Lubuk Linggau Tahun 2012
Suhu Minimum
Suhu Maksimum
Suhu Rata-Rata
DATA CURAH HUJAN, KELEMBABAN, DAN SUHU
DI KOTA LUBUK LINGGAU TAHUN 2009-2013
LAMPIRAN 3
121
0
5
10
15
20
25
30
35
Suh
u
Bulan
Suhu Minimum, Maksimum dan Rata-Rata Kota Lubuk Linggau Tahun 2013
Suhu Minimum
Suhu Maksimum
Suhu Rata-Rata0
100
200
300
400
500
600
700
800
Cu
rah
Hu
jan
Bulan
Curah Hujan Kota Lubuk Linggau Tahun 2009-2011
2009
2010
2011
2012
2013
0102030405060708090
100
Ke
lem
bab
an
Bulan
Kelembaban Kota Lubuk Linggau Tahun 2012-2013
2012
2013
65
70
75
80
85
90
95
Ke
lem
bab
an
Bulan
Kelembaban Kota Lubuk Linggau Tahun 2009-2011
2009
2010
2011
120
121
122
123
124
125
126
127
128
129
130