Post on 05-Jan-2016
description
1. MATERI METODE
1.1. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam praktikum chitin dan chitosan ini yaitu oven, blender,
ayakan, peralatan gelas, hotplate. Bahan – bahan yang digunakan dalam praktikum kali
ini adalah limbah udang, HCl 0,75N; 1N dan 1,25 N serta NaOH 3,5%, NaOH 40%,
50% dan 60%.
1.2. Metode
1.2.1. Demineralisasi
1
HCl ditambahkan dengan perbandingan 10:1. Kelompok A1 dan A2 menggunakan HCl 0,75N, A3 dan A4 HCl 1N, dan A5 HCl 1,25N
Kemudian dipanaskan pada suhu 90oC selama 1 jam & secara kontinu dilakukan pengadukan.
Limbah udang dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan, lalu dicuci dengan air panas 2 kali, dan dikeringkan kembali.
Limbah udang kemudian dihancurkan hingga menjadi serbuk dan diayak dengan ayakan 40-60 mesh.
2
1.2.2. Deproteinasi
Lalu dicuci sampai pH netral.
Kemudian dikeringkan pada suhu 80oC selama 24 jam
Hasil demineralisasi dicampur dengan NaOH dengan perbandingan 6:1
Kemudian dipanaskan pada suhu 90oC selama 1 jam.
3
1.2.3. Deasetilasi
Kemudian disaring dan didinginkan
Lalu dicuci sampai pH netral.
Kemudian dikeringkan pada suhu 80oC selama 24 jam
Chitin yang didapat kemudian ditambahkan NaOH 40% untuk kelompok A1 dan A2, NaOH 50% untuk kelompok A3 dan A4, dan NaOH 60% untuk kelompok A5
Kemudian dipanaskan pada suhu 90oC selama 1 jam
2. HASIL PENGAMATAN
Hasil pengamatan kitin dan kitosan dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Kitin dan Kitosan
Kelompok PerlakuanRendemen Kitin I (%)
Rendemen Kitin II (%)
Rendemen Kitosan (%)
C1HCl 0,75N + NaOH 40% +
NaOH 3,5%23,45 30,00 27,43
C2HCl 0,75N + NaOH 40% +
NaOH 3,5%37,82 44,00 27,38
C3HCl 1N + NaOH 50% +
NaOH 3,5%41,67 54,55 32,16
C4HCl 1N + NaOH 50% +
NaOH 3,5%40,00 58,30 24,30
C5HCl 1,25N + NaOH 60% +
NaOH 3,5%21,19 40,32 11,25
Dari hasil pengamatan kitin dan kitosan di atas dapat dilihat bahwa perlakuan yang
diberikan untuk setiap sampel kelompok yaitu penambahan HCl dan NaOH dengan
konsentrasi yang beragam. Dari semua kelompok diatas, dapat dilihat bahwa hasil
rendemen kitin II memiliki jumlah yang lebih besar dibandingkan dengan kitin I.
Namun pada rendemen kitosan III semua kelompok mengalami penurunan.
5
3. PEMBAHASAN
3.1. Demineralisasi
Pada praktikum ini, bahan utama yang digunakan adalah limbah udang (kulit) yang
kemudian diolah membentuk kitin dan kitosan melalui proses demineralisasi,
deproteinasi, deasetilasi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Wardaniati & Setyaningsih
(___) bahwa untuk memperoleh produk kitin dan kitosan melalui proses pemisahan
mineral atau demineralisasi, pemisahan protein (deproteinasi), dilanjutkan dengan
proses deasetilasi yang menggunakan bahan utama yaitu kulit udang. Penggunaan kulit
udang dalam proses pembuatan kitin dan kitosan dikarenakan sumber potensial dimana
wilayah perairan Indonesia merupakan sumber crustacea yang mengandung kitin
berlimpah. Kulit udang sendiri mengandung protein 25-40%, kalsium karbonat 45-50%,
serta kitin 15-20% namun kandungan ini tidak sama pada setiap udang karena
tergantung dari jenis dan tempat hidupnya (Marganov, 2003).
Langkah awal adalah demineralisasi yang dilakukan dengan mencuci limbah udang
dengan air mengalir lalu dikeringkan. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan dari
Hossain, et al (2014) bahwa untuk membuat chitosan maka langkah awal yang perlu
dilakukan adalah dengan cara demineralisasi. Kemudian limbah dicuci kembali dengan
menggunakan air panas dengan melakukan 2 kali pengulangam dan dikeringkan
kembali. Menurut Roger (1986), pencucian dilakukan untuk memisahkan bahan
pengotor yang terdapat dalam limbah padat, serta memudahkan proses demineralisasi,
mengingat bahwa salah satu sifat mineral adalah sensitif terhadap perubahan suhu.
Kemudian bahan kering tersebut dihancurkan hingga menjadi bentuk serbuk dan diayak
dengan ayakan berukuran 40-60 mesh. Bahan kemudian ditimbang sebanyak 8 gram,
lalu dicampur dengan HCl dengan perbandingan 10 : 1. Kelompok C1 dan C2
menggunakan HCl 0,75 N, C3 dan C4 menggunakan HCl 1 N, sedangkan C5 1,25 N.
Campuran tersebut kemudian dipanaskan pada suhu 900C selama 1 jam dan dilakukan
pengadukan, hal ini dilakukan untuk menghindari peluapan dari gelembung udara yang
dihasilkan selama proses pemanasan (Puspawati & Simpen, 2010). Dalam
penelitiannya, Martin (2006) menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi HCl yang
digunakan dan maka proses pemanasan juga akan semakin lama, dan akan semakin
banyak pula kandungan mineral yang hilang. Setelah itu bahan dicuci sampai hingga pH
6
7
mencapai netral, dan kemudian dikeringkan di dalam oven dengan suhu 800C selama 1
malam. Menurut Khoramu, et al (2011) bahwa langkah demineralisasi harus dilakukan
terlebih dahulu sebelum langkah deproteinasi, agar hasil rendemen yang dihasilkan
semakin banyak. Hal tersebut dapat terjadi karena mineral lebih keras jika dibandingkan
dengan protein.
Pada Tabel 1, dapat dilihat bahwa nilai rendemen kitin I terbesar terdapat pada
kelompok C1 dengan nilai 41,67% dengan perlakuan penambahan HCl 1 N, sedangkan
nilai terendah didapat dari kelompok C5 sebesar 21,19% dengan perlakuan penambahan
HCl 1,25N. Hal ini tidak sesuai dengan pernyataan Laila & Hendri (2008) bahwa
semakin banyak asam klorida yang ditambahkan maka rendemen kitin yang dihasilkan
semakin besar. Hal ini disebabkan karena senyawa mineral dalam serbuk udang
semakin mudah dilepaskan. Lehninger (1975) juga menambahkan bahwa nilai
rendemen yang tinggi juga dipengaruhi pemanasan yang dilakukan setelah penambahan
HCl. Kandungan mineral yang terlepas akan semakin banyak selama proses ekstraksi
kitin.
3.2. Deproteinasi
Tahap kedua dalam pengolahan chitin adalah tahap deproteinasi. Tahap deproteinasi
merupakan tahapan yang dilakukan untuk menghilangkan kandungan protein yang
berikatan dengan chitin (Rao et al., 1996). Krishnaveni, et al (2015) menyatakan bahwa
pada saat proses proteinase juga dapat dibantu dengan larutan sodium hikdroksida, yang
kemudian akan dipisahkan dengan menggunakan senyawa alkali dengan menggunakan
sentrifugasi. Proses deproteinasi dilakukan dengan menggunakan basa kuat NaOH,
sehingga protein akan mengalami denaturasi dan presipitasi dengan adanya perubahan
pH. Pada saat NaOH ditambahkan, maka NaOH akan mempenetrasi jaringan bahan
yang kemudian akan bereaksi dengan protein yang menyebabkan adanya kerusakan
pada ikatan garam protein, dimana kerusakan pada ikatan garam tersebut menyebabkan
adanya denaturasi dan presipitasi pada protein sehingga chitin yang berikatan dengan
protein tersebut dapat dipisahkan. Protein akan mengendap karena ion positif Na+ dari
NaOH akan mengikat ujung rantai protein yang mempunyai muatan negatif. Reaksi
pengendapan tersebut membuat protein akan terekstrak dalam bentuk natrium proteinat
(Faigin, 1997). Penggunaan kadar NaOH yang berlebih akan menyebabkan terjadinya
8
proses deasetilasi yang terlalu cepat dan depolimerisasi rantai chitin. Hal ini tentu saja
dapat menurunkan kualitas chitin yang dihasilkan (Bastaman, 1989). Kadar NaOH yang
digunakan umumnya 3,5%. Toan (2009) menyebutkan bahwa semakin kuat ikatan
tersebut maka akan semakin sulit NaOH mempenetrasi dan mempresipitasi protein
tersebut.
Pada Tabel 1, dapat dilihat dengan penambahan NaOH 3,5% yang sama pada semua
kelompok diperoleh nilai rendemen kitin II terbesar pada kelompok B6 senilai 41,300%
sedangkan yang paling kecil pada kelompok C3 dengan nilai 58,30%. Dengan
penambahan NaOH 3,5% didapatkan nilai rendemen yang lebih tinggi jika
dibandingkan dengan rendemen kitin. Hal ini tidak sesuai dengan pernyataan Fennema
(1985) bahwa dengan adanya pelarut basa maka protein akan terikat dengan basa yang
mengakibatkan nilai rendemen kitinnya berkurang. Kelarutan protein dan mineral dalam
kondisi basa akan lebih besar dibandingkan dengan ketidaksesuaian dengan pernyataan
tersebut dapat terjadi karena proses pemanasan, pencucian, dan penambahan HCl belum
optimal sehingga masih ada komponen mineral pada saat deproteinasi. Proses pencucian
yang kurang optimal juga mengakibatkan komponen yang tidak diharapkan tidak ikut
terbuang sehingga masa kitin akan bertambah. Proses pendinginan juga menjadi salah
satu faktor ketidaksesuaian dengan teori yaitu belum mengendapnya kitin secara
keseluruhan sehingga kitin ada yang terbuang pada saat disaring. Faktor berikutnya
adalah proses pengeringan karena bisa jadi belum semua air teruapkan sehingga berat
kitin yang terhitung masih termasuk massa air.
3.3. Deasetilasi
Dan tahap terakhir yang dilakukan adalah deasetilasi. Menurut Rogers (1986),
deasetilasi adalah proses pembentukan kitin menjadi kitosan menggunakan NaOH yang
akan menggantikan gugus asetamida dengan gugus amino. Langkah awal yang
dilakukan pada proses ini adalah kitin disiapkan dan ditambahkan dengan larutan NaOH
yang berbeda konsentrasi setiap kelompok yaitu NaOH 40% untuk kelompok C1 dan
C2, NaOH 50% untuk kelompok C3 dan C4, serta NaOH 60% untuk kelompok C5.
Penambahan NaOH yang diberikan akan mengubah konformasi kitin yang sangat rapat
menjadi renggang sehingga enzim lebih mudah kontak untuk mendeasetilasi polimer
kitin (Martinou, 1995). Setelah itu, dilakukan pengadukan selama 1 jam dan kembali
9
didiamkan selama 30 menit. Lalu dipanaskan pada suhu 90oC selama 60 menit. Menurut
Hirano (1989) dibutuhkan suhu tinggi karena kitin memiliki stuktur kristal yang panjang
serta ikatan antar ion nitrogen dan gugus karboksilnya kuat. Selain itu, Ramadhan, et al
(2010) menambahkan bahwa penggunaan konsentrasi NaO yang tinggi akan
menghasilkan rendemen kitosan yang berderajat deasetilasi tinggi. Penggunaan NaOH
sebagai pelarut berfungsi sebagai alkali yang mampu menghidrolisa kitin yang akan
mengalami proses deasetilasi dari gugus asetamida menjadi gugus amina. Setelah itu,
dilakukan pengadukan selama 1 jam dan didiamkan selama 30 menit. Lalu dipanaskan
pada suhu 90oC selama 60 menit. Menurut Rogers (1986), pengadukan berfungsi untuk
meratakan pemanasan dimana suhu tinggi ini akan meningkatkan derajat deasetalasi
kitosan. Selain itu, pendinginan selama 30 menit dilakukan untuk mengendapkan bubuk
kitosan sehingga tidak terbuang selama pencucian. Langkah selanjutnya dilakukan
penyaringan residu yang didapatkan dicuci dengan menggunakan air mengalir hingga
mencapai pH netral. Kemudian dioven dengan suhu 70oC selama 24 jam dan akhirnya
dihasilkan kitosan. Tujaun pencucian berulang-ulang menurut Rogers (1986) untuk
menurunkan basa menjadi normal. Pengeringan yang dilakukan akan menguapkan air
yang masih tersisa selama proses pencucian sehingga produk kitosan bentuknya kering.
Menurut Radwan (2012), kitosan lebih efektif untuk mereduksi atau mengurangi luka
pada akar tomat dibandingkan dengan kitin. Kelebihan dari kitosan adalah sifatnya non
toksik serta polimer bidegradasi dan mempengaruhi aktivitas estisida pada
mikroorganisme.
Pada Tabel 1, dapat dilihat bahwa rendemen kitosan terbesar terdapat pada kelompok
C2 dengan nilai 37,38% yang diberi perlakuan penambahan NaOH dengan konsentrasi
sebesar 40% sedangkan nilai terkecil dihasilkan oleh kelompok C5 senilai 11,25%
dengan perlakuan penambahan NaOH 60%. Hasil tersebut tidak sesuai dengan pendapat
Rochima,et al (2004) yang menyatakan bahwa penggunaan konsentrasi NaOH yang
tinggi akan menghasilkan rendemen kitosan dengan derajat deasetilasi tinggi atau dapat
dikatakan nilai rendemen yang dihasilkan akan semakin tinggi. Jadi, seharusnya yang
memiliki nilai rendemen yang paling besar adalah kelompok C5 dengan konsentrasi
NaOH sebesar 60%. Derajat deasetilasi kitosan ditentukan oleh beberapa faktor seperti
konsentrasi dari NaOH, suhu, dan lamanya proses yang dilakukan. Ketidaksesuaian
10
dengan pernyataan yang ada dapat terjadi karenamenurut proses pengadukan,
pencucian, dan pengeringan yang tidak optimal Puspawati & Simpen (2008).
Aplikasi penggunaan kitosan, kitin, kitin-glukan, dan kitin glukan hidrosilat dalam
bidang pangan yang didapatkan dari fungi diuji untuk menghilangkan mineral seperti
Fe, Pb, dan Cd serta senyawa organik yang dapat mengkontaminasi wine. Tujuan
penggunaannya adalah untuk membebaskan anggur dari kontaminasi fungi dan supaya
warna dari anggur lebih bening karena kandungan logam berat seperti Pb, Cd, dan Fe
serta mikotoksin juga berkurang. Biolpolimer seperti kitin glukan, kitosan, dan kitin
hidrolisa glukan akan mengurangi level kandungan logam pada wine sehingga aman
sebagai beverages (Bornet, 2008).
Warna dari chitin dan chitosan yang didapat dalam praktikum ini yaitu kuning
kecoklatan, yang mana hasil itu tidak sesuai dengan pernyataan dari Wang et al., 2006,
yang mengatakan bahwa karakteristik chitin adalah putih, keras, tidak elastis dan tidak
larut air. Younes, et al (2015) juga menambahkan bahwa morfologi dari chitin yaitu
tidak larut di dalam air, peeryataan tersebut diperkuat dengan pendapat dari Rumengan,
et al (2014) yang juga menyatakan bahwa karakteristik dari chitin yaitu amorphous, dan
tidak elastic. Ketidaksesuain hasil praktikum dengan pernyataan yang ada dapat terjadi
karena peralatan (pengaduk kayu) yang digunakan saat praktikum tidak dalam kondisi
yang bersih, sehingga akan mempengaruhi warna yang dihasilkan menjadi sedikit
coklat. Frazier & Westhoff (1988), menyatakan bahwa sebelum menggunakan peralatan
dan bahan, sebaiknya dilakukan pencucian hingga bersih, sehingga karakteristik produk
akhir tidak akan terpengaruhi.
4. KESIMPULAN
Kitin merupakan pembentukan ulangan dari unit β(1-4) 2-acetamido-2-deoxy-D-
glucose atau N-asetil-glukosamin yang membentuk polimer.
Kitosan adalah senyawa dengan rumus kimia poli (2-amino-2-dioksi-β-D-Glukosa)
yang dapat dihasilkan dari hidrolisa kitin dengan menggunakan basa kuat biasa.
Proses demineralisasi berfungsi untuk mengurangi kandungan mineral yang terdapat
didalam kitin.
Pencucian bermanfaat untuk menghilangkan kotoran yang masih menempel yang
mampu mencemari kitin.
Pengeringan bertujuan untuk menghilangkan sisa air panas yang menempel
sehingga akan mengalami penurunan kadar air.
Penghancuran yang dilakukan berfungsi untuk memperluas permukaan bahan dan
mempermudah senyawa pelarut kontak dengan sampel.
Penambahan HCl berfungsi untuk membentuk gas CO2 berupa gelembung udara
saat kontak dengan sampel.
Pengadukan akan meratakan pemanasan serta menghindari meluapnya gelembung-
gelembung udara yang dihasilkan selama proses ini.
Pemanasan bertujuan untuk memisahkan mineral karena dengan suhu tinggi mineral
akan semakin mudah terpisah.
Pencucian berulang-ulang berfungsi untuk menetralkan pH sampel.
Deproteinasi adalah suatu proses dengan tujuan untuk menghilangkan bahkan
melarutkan protein semaksimal mungkin dari substrat, biasanya dilakukan dengan
penambahan larutan kimia bersifat basa.
Penambahan NaOH 3,5% adalah alkali terefektif yang dapat memperbesar volume
partikel bahan sehingga ikatan antar komponen menjadi renggang.
Deasetilasi adalah proses pembentukan kitin menjadi kitosan menggunakan NaOH
yang akan menggantikan gugus asetamida dengan gugus amino.
Penambahan NaOH yang diberikan akan mengubah konformasi kitin yang sangat
rapat menjadi renggang.
Aplikasi kitin dan kitosan dalam dunia industry pangan adalah saat pembuatan wine
untuk mencegah anggur dari kontaminasi dan membuat warna dari anggur tersebut
menjadi lebih bening.
11
12
Semarang, 22 Oktober 2015
Praktikan, Asisten Dosen
Putri Sekarbumi B.C 13.70.0189 Tjan, Ivana Chandra
5. DAFTAR PUSTAKA
Bastaman, S. (1989). Studies on Degradation and Extraction of Chitin and Chitosan From Prawn Shells. Journal of Aeronautical and Chemical Engineering Vol 2(10):188-297.
Bornet, A, P.L. Teissedre.(2008). Chitosan, Chitin-glucan, and Chitin Effects ON Minerals (Iron, Lead, Cadmium) and Organic (Ochratoxin A) Contaminants in Wines. European Food Research and Technology 226: 681-689.
Faigin, C.O. (1997). Protein Stability and Stabilization of Protein Function. Landes Bioscience. Texas.
Fennema, O.R. (1985). Food Chemistry.Second Edition.Marcel Dekker, Inc., New York.
Frazier, W.C & D.C, Westhoff. (1988).Food Microbiology 4th Edition. McGraw Hill. New York.
Hirano. (1989). Production and Aplication on Chitin and Chitosan in Japan
Hossain, et al. (2014). Production and Characterization of Chitosan From Shrimp Waste. Department of Food Technology, Bangladesh Agricultural University. Bangladesh.
Khorrami, et al. (2012). Production of Chitin andChitosan from Shrimp Shell in Batch
Cultureof Lactobacillus plantarum. Department of Enviromental Science, Tarbiat Modares University, Nour, Iran.
Khrisnaveni, et al (2015). Extraction and Characterization of Chitin and Chitosan from F, solani CBNR BKRR, Synthesis of Their Bionanocomposites and Study of Their Productive Application.
Lehninger, A.L. (1975). Biochemistry. 2nd Ed. Worth Publisher Inc., New York.
Marganov.(2003). Potensi Limbah Udang sebagai Penyerap Logam Berat (Timbal, Kadmium dan Tembaga) di Perairan.Makalah Pengantar Falsafah Sains (PPS702), Program Pasca Sarjana / S3, Institut Pertanian Bogor.
Martinou, A.D., D. Kafetzopoulos dan V. Bouriotis. (1995). Chitin deacetylation by enzymatic means: Penelitian Andalas. 12 (V) : 138 –143.
13
14
Martin, X.K.A. (2006). Standardization of Optimum Conditions for the Production of Glucosamine Hydrochloride from Chitin. Thesis Indian Council of Agricultural Research, Chocin University of Science and Technology. Indian.
Puspawati, N. M dan I N. Simpen.(2010). Optimasi Deasetilasi Khitin dari Kulit Udang dan Cangkang Kepiting Limbah Restoran Seafood menjadi Khitosan melalui Variasi Konsentrasi NaOH.Jurnal Kimia Volume 4. Halaman 70 – 90.
Radwan, Mohamed A, Samia A.A. Farrag, Mahmoud M. Abu-Elamayem, and Nabila S. Ahmed. (2012). Extraction, Characterization, and Nematicidal Activity of Chitin and Chitosan Derived from Shrimp Shell Waste. Bio Fertil Soils 48: 463-468.
Rao, M.S, Stevens, W.F, Varum, K.M. (1996). The Proceedings of the Second Asia Pasific Chitin and Chitosan Symposium. Thailand.
Ramadhan, L. O. A. N.; C. L. Radiman; D. Wahyuningrum; V. Suendo; L. O. Ahmad; dan S.Valiyaveetiil. (2010). Deasetilasi Kitin secara Bertahap dan Pengaruhnya terhadap Derajat Deasetilasi serta Massa Molekul Kitosan.Jurnal Kimia Indonesia Vol. 5 (1), 2010, 4.17-21. Diakses pada tanggal 1 Oktober 2014.
Rochima E. 2004. Aplikasi kitin deasetilase termostabil dari Bacillus papandayan K29-14 asal Kawah Kamojang Jawa Barat pada pembuatan kitosan.Tesis.Fateta.IPB.
Rogers, E.P. (1986). Fundamental of Chemistry. Books/Cole Publishing Company. California.Science Published Ltd., England.
Rumengan, et al (2014). Structural Characteristic od Chitin and Chitosan Isolated From Biomass of Cultivated Rotifer. Faculty of Fisheries and Marine Science.
Toan, N.V. (2009). Production of Chitin and Chitosan from Partially Autolyzed Shrimp Shell Material. Open.Biomal.J Vol 1:21-24.
Wang, S.L, Lin, T.Y, Yen, Y.H, Liao, H.F, & J, Yu. (2006). Bioconversion of Shellfish Chitin Waste for the Production of Bacillus subtilis W-118 Chitinase. Carbhydr.res Vol 341:2501-2515.
Wardaniati, R.A. & S. Setyaningsih. (____). Pembuatan Chitosan dari Kulit Udang dan Aplikasinya Untuk Pengawetan Bakso.http://eprints.undip.ac.id/1718/1/ makalah_penelitian_ fix.pdf
Younes, et al (2015). Chitin and Chitosan Preparation from Marine Sources. Laboratory of Enzym Engineering and Microbiology, Univeristy of Sfax, Tunisia.
6. LAMPIRAN
6.1. Lampiran Perhitungan
Rumus :
Rendemen Chitin I =
Rendemen Chitin II =
Rendemen Chitosan =
Kelompok C1
Rendemen Chitin I =
= 23,45 %
Rendemen Chitin II =
= 30,00 %
Rendemen Chitosan =
= 27,43 %
Kelompok C2
Rendemen Chitin I =
= 37,82 %
Rendemen Chitin II =
= 44 %
Rendemen Chitosan =
= 27,38 %
Kelompok C3
15
16
Rendemen Chitin I =
= 41,67 %
Rendemen Chitin II =
= 54,55 %
Rendemen Chitosan =
= 32,16 %
Kelompok C4
Rendemen Chitin I =
=40,00 %
Rendemen Chitin II =
= 58,3 %
Rendemen Chitosan =
= 24,30 %
Kelompok C5
Rendemen Chitin I =
= 21,19 %
Rendemen Chitin II =
= 40,32 %
Rendemen Chitosan =
= 11,25 %
6.2. Diagram Alir
6.3. Laporan Sementara
6.4. Abstrak Jurnal