Post on 23-Dec-2015
description
Tinjauan Pustaka
Meningitis Tuberkulosa pada Anak
Gabriel Susilo
Kelompok C2, 10.2012.016
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jalan Arjuna Utara No.6 Jakarta Barat 11510
Email: gabriel.susilo@civitas.ukrida.ac.id
Pendahuluan
Penyakit infeksi masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang utama di negara-
negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia. Meningitis adalah infeksi cairan otak
disertai radang yang mengenai piamater, arakhnoid, dan dalam derajat yang lebih ringan
mengenai jaringan otak dan medulla spinalis yang superfisial. Dibandingkan dengan jenis-jenis
tuberkulosa lain, meningitis tuberkulosa paling banyak menyebabkan kematian. Jumlah
penderita meningitis tuberkulosa kurang lebih sebanding dengan prevalensi infeksi oleh
mikobakterium tuberkulosa pada umumnya. Dibandingkan dengan meningitis bakterial akut
maka perjalanan penyakit lebih lama dan perubahan atau kelainan dalam CSS tidak begitu
hebat.1,2
Meningitis tuberkulosis adalah radang selaput otak akibat komplikasi tuberkulosa primer.
Secara histologik meningitis tuberkulosa merupakan meningo-ensefalitis dimana terjadi invasi ke
selaput dan jaringan susunan saraf pusat.1 Berikut kasus yang penulis dapatkan, seorang anak
laki-laki berusia 5 tahun dibawa Ibunya ke UGD RS karena kejang kaku diseluruh tubuhnya dan
berulang sejak 1 hari yang lalu.
1
Isi dan Pembahasan
Anatomi
Otak dan medulla spinalis dilindungi oleh meningea yang melindungi struktur saraf yang
halus, membawa pembuluh darah dan sekresi cairan, yaitu cairan serebrospinal yang
memperkecil benturan atau goncangan.3
a. Lapisan luar (Duramater)
Dura terdiri dari dua lapisan jaringan ikat yang padat dan keras. Lapisan luar yang
melapisi tengkorak berfungsi sebagai periosteum dan secara kuat melekat pada tulang. Dan
lapisan dalam yang bersatu dengan lapisan luar merupakan selaput otak yang sebenarnya dan
menghadap rongga subdural yang sangat sempit untuk membentuk bagian-bagian falx serebri,
tentorium serebeli dan diafragma sellae.3
b. Lapisan tengah (Arakhnoid)
Merupakan selaput yang halus tetapi kuat yang memisahkan piamater dari dura mater
terdiri dari membrane selular luar dan lapisan jaringan ikat dalam. Membentuk sebuah kantung
atau balon berisi cairan otak yang meliputi susunan saraf pusat. Ruangan diantara dura mater dan
arakhnoid disebut ruangan subdural yang berisi sedikit cairan jernih menyerupai getah bening.
Pada ruangan ini terdapat pembuluh darah arteri dan vena yang menghubungkan system otak
dengan mening serta dipenuhi oleh cairan serebrospinal.3
c. Lapisan dalam (Pia mater)
Merupakan selaput halus yang kaya akan pembuluh darah kecil yang mensuplai darah ke
otak dalam jumlah yang banyak dan menyelipkan dirinya ke dalam celah yang ada pada otak dan
sum-sum tulang belakang.3
A. Anamnesis
Anamnesis pada meningitis meliputi keluhan utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat
penyakit dahulu, dan pengkajian psikososial (pada anak perlu dikaji dampak hospitalisasi).2
2
Keluhan utama
Hal yang sering menjadi alasan pasien atau orang tua membawa anaknya untuk meminta
pertolongan kesehatan adalah suhu badan tinggi, kejang, dan penurunan tingkat kesadaran.2
Pada skenario diketahui seorang ibu membawa anaknya yang berusia 5 tahun ke UGD
RS karena kejang kaku seluruh tubuh dan berulang sejak 1 hari yang lalu.2
Riwayat Penyakit Sekarang (RPS)
Faktor riwayat penyakit sangat penting diketahui untuk mengetahui jenis kuman
penyebab. Di sini harus ditanya dengan jelas tentang gejala yang timbul seperti kapan mulai
terjadinya serangan, sembuh, atau bertambah buruk. Pada pengkajian klien dengan meningitis
biasanya didapatkan keluhan yang berhubungan dengan akibat infeksi dan peningkatan tekanan
intrakranial. Keluhan tersebut di antaranya sakit kepala dan demam adalah gejala awal yang
sering.2
Sakit kepala dihubungkan dengan meningitis yang selalu berat dan sebagai akibat iritasi
meningen. Demam umumnya ada dan tetap tinggi selama perjalanan penyakit. Keluhan kejang
perlu mendapat perhatian untuk dilakukan pengkajian lebih mendalam, bagaimana sifat
timbulnya kejang, stimulus apa yang sering menimbulkan kejang dan tindakan apa yang telah
diberikan dalam upaya menurunkan keluhan kejang tersebut. Adanya penurunan atau perubahan
pada tingkat kesadaran dihubungkan dengan meningitis bakteri. Disorientasi dan gangguan
memori biasanya merupakan awal adanya penyakit.2
Perubahan yang terjadi bergantung pada beratnya penyakit, demikian pula respons
individu terhadap proses fisiologis. Keluhan perubahan perilaku juga umum terjadi. Sesuai
perkembangan penyakit, dapat terjadi letargik, tidak responsif, dan koma. Pengkajian lainnya
yang perlu ditanyakan seperti riwayat selama menjalani perawatan di RS, pernahkah menjalani
tindakan invasif yang memungkinkan masuknya kuman ke meningen terutama tindakan melalui
pembuluh darah.2
RPS pasien pada skenario diketahui bahwa pasien kejang kaku seluruh tubuh berlangsung
sebanyak 3 kali dalam waktu 24 jam selama 5 menit setiap episode kejang. Diantara episode
kejang pasien tampak lemah dan sering tidur. Demam subfebris sejak 2 bulan yang lalu dan
sudah berobat ke mantri namun tidak ada perbaikan. Berat badan turun 2kg.2
3
Riwayat Penyakit Dahulu (RPD)
Pengkajian penyakit yang pernah dialami pasien yang memungkinkan adanya huhungan
atau menjadi predisposisi keluhan sekarang meliputi pernahkah pasien mengalami infeksi jalan
napas bagian atas, otitis media, mastoiditis, anemia sel sabit dan hemoglobinopatis lain, tindakan
bedah saraf, riwayat trauma kepala dan adanya pengaruh immunologis pada masa sebelumnya.2
Riwayat sakit TB paru perlu ditanyakan kepada pasien terutama jika ada keluhan batuk
produktif dan pernah menjalani pengobatan obat anti tuberkulosis yang sangat berguna untuk
mengidentifikasi meningitis tuberkulosa. Pengkajian pemakaian obat-obat yang sering digunakan
klien, seperti pemakaian obat kortikosteroid, pemakaian jenis-jenis antibiotik dan reaksinya
(untuk menilai resistensi pemakaian antibiotik) dapat menambah komprehensifnya pengkajian.
Pengkajian riwayat ini dapat mendukung pengkajian dari riwayat penyakit sekarang dan
merupakan data dasar untuk mengkaji lebih jauh dan untuk memberikan tindakan selanjutnya.2
Riwayat Penyakit Keluarga (RPK)
Riwayat Penyakit Keluarga juga penting peranannya, dimana riwayat penyakit ini
ditanyakan untuk mengetahui apakah di keluarga tersebut ada yang pernah mengalami gejala
penyakit yang sama atau mungkin faktor resiko yang dapat menyebabkan. Beberapa penyakit
tertentu menunjukkan faktor genetik juga berpengaruh pada penyakit yang diderita anggota
keluarga.2
Pada skenario diketahui nenek pasien meniggal 1 tahun yang lalu karena batuk-batuk
kronis dan batuk darah.
Riwayat Sosioekonomi
Pada riwayat sosioekonomi perlu ditanyakan suasana, kebersihan tempat tinggal pasien.
Ditanyakan pula pekerjaan dan kesibukan pasien sehari-hari. Perlu ditanyakan pula hobi dan
kebiasaan pasien.2
B. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik penting dilakukan untuk menegakkan diagnosis bersama dengan
anamnesis dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan fisik yang dilakukan adalah pengecekan
4
tanda-tanda vital (suhu, nadi, pernafasan,dan tekanan darah) dan pemeriksaan neurologis.
Penting juga pencatatan antropometri untuk mengetahui keadaan normal pasien.1
Berikut adalah pemeriksaan neurologis yang dapat dilakukan untuk membantu
menegakkan diagnosis:
Pemeriksaan Kesadaran, Antropometri dan TTV
Pada saat pasien datang kita melihat bagaimana keadaan umum dan kesadaran pasien,
berikut merupakan tingkatan kesadaran pasien:2
1. Compos Mentis : Sadar sepenuhnya, baik terhadap dirinya maupun terhadap
lingkungannya. Pasien dapat menjawab pertanyaan pemeriksa dengan baik.
2. Apatis : kurang memberikan respon terhadap sekelilingnya atau bersifat acuh tak
acuh terhadap sekelilingnya.
3. Delirium: penurunan kesadaran disertai kekacauanmotorik dan siklus tidur bangun
yang terganggu. Pasien tampak gaduh, gelisah, kacau, disorientasi dan meronta-ronta.
4. Somnolen : keadaan mengantuk yang masih dapat pulih penuh bila dirangsang, tetapi
bila rangsang berhenti, pasien akan tertidur kembali.
5. Sopor : keadaan mengantuk yang dalam. Pasien masih dapat dibangunkan dengan
rangsang yang kuat, misalnya rangsang nyeri, tetapi pasien tidak terbangun sempurna
dan tidak dapat membrikan jawaban verbal yang baik.
6. Semi koma: penurunan ranagsangan yang tidak memberikan respon terhadap
rangsangan verbal, dan tidak dapat dibangunkan sama sekali, tetapi refleks pupil dan
kornea masih baik.
7. Coma : tidak sadar, dan tidak ada reaksi terhadap rangsangan apapun juga.
Setelah itu kita mengukur antopometri (berat dan tinggi badan pasien, serta lingkar
lengan atas karena pasien > 2 tahun), pemeriksaan TTV, dan pemeriksaan tanda rangsang
meningeal1
o Berat dan tinggi badan
o Lingkar lengan atas
o Tanda-tanda vital (TTV) :
5
Suhu (oral, rektal, axila atau telinga)
Tekanan darah
Tekanan nadi
Frekuensi pernafasan
Pemeriksaan Rangsangan Meningeal
a. Pemeriksaan Kaku Kuduk
Pasien berbaring terlentang, tangan pemeriksa ditempatkan di bawah kepala pasien.
Kemudian kepala ditekukkan (fleksi) dan diusahakan agar dagu mencapai dada. Selama
penekukan ini diperhatikan adanya tahanan. Bila terdapat kaku kuduk kita dapatkan tahanan dan
dagu tidak dapat mencapai dada. Kaku kuduk dapat bersifat ringan atau berat. Pada kaku kuduk
yang berat kepala tidak dapat ditekuk, melah sering kepala terkedik ke belakang. Pada keadaan
yang ringan, kaku kuduk dinilai dari tahanan yang dialami waktu menekukkan kepala.1
b. Pemeriksaan Tanda Kernig
Penderita yang sedang berbaring difleksikan pahanya pada persendian panggul sampai
membuat sudut 90 derajat. Setelah itu tungkai bawah diekstensikan pada persendian lutut.
Biasanya kita dapat melakukan ekstensi ini sampai sudut 135 derajat, antara tungkai bawah dan
tungkai atas. Bila terdapat tahanan dan rasa nyeri sebelum mencapai sudut ini, maka dikatakan
bahwa tanda kernig positip.1
c. Pemeriksaan Tanda Brudzinski I (Brudzinski’s neck sign)
Tangan ditempatkan di bawah kepala pasien yang sedang berbaring, kita tekukkan kepala
sejauh mungkin sampai dagu mencapai dada. Tangan yang satu lagi sebaiknya ditempatkan di
dada pasien untuk mencegah diangkatnya badan. Bila tanda brudzinski positip, maka tindakan ini
mengakibatkan fleksi kedua tungkai.1
d. Pemeriksaan Tanda brudzinski II (Brudzinski’s contralateral leg sign)
Pada pasien yang sedang berbaring, satu tungkai difleksikan pada persendian panggul,
sedang tungkai yang satu lagi berada dalam keadaan ekstensi (lurus). Bila tungkai yang satu ini
ikut pula terfleksi, maka disebut tandan Brudzinski II positip. Sebagai halnya dalam memeriksa
6
adanya tanda brudzinski I, perlu diperhatikan terlebih dahulu apakah terdapat kelumpuhan pada
tungkai.1
Pemeriksaan Saraf Kranial
Pada tubuh kita didapat 12 nervus yang masing-masing mempunyai fungsi yang sangat
penting. Setiap nervus memegang peranannya masing-masing. Tetapi pada pemeriksaan fisik
untuk meningitis kita hanya memerlukan pemeriskaan saraf kranial N.III,, IV, VI, VII, dan
NXII.1
Sebelumnya pemeriksa menginspeksi mata pasien, apakah terdapat ptosis, anemis atau
kuning. Selanjutnya pemeriksaan untuk N.III, IV dan VI pemeriksa memperhatikan kelopak
mata pasien kemudian pasien diminta untuk mengikuti gerakan jari yang diberikan oleh
pemeriksa dengan matanya membentuk huruf H, pemeriksa melihat apakah gerakan mata pasien
mulus tidak ada jerky juga nigtasmus. Pemeriksa juga menanyakan pada pasien, apakah ada
diplopia (penglihatan ganda).1
Pemeriksaan N.VII, pasien diminta untuk mengangkat alis dan mengerutkan dahi. Pasien
juga diminta untuk menutup mata dan pemeriksa melihat apakah mata pasien dapat menutup
sempurna atau ada bagian yang terbuka. Pemeriksaan lainnya pasien diminta untuk menyeringai,
mecucurkan bibir dan mengembungkan pipi.1
Pemeriksaan N.XII, pasien diminta untuk menjulurkan lidah, lihat lidah pasien apa ada
fasikulasi, tremor, deviasi. Pasien juga diminta untuk menggembungkan pipi dan mendorong sisi
pipi dalam pipi bagian kiri dan kanan dengan lidah.1
Hasil pemeriksaan didapat berat badan pasien 15 kg yang seharusnya 18 kg. Pasien
tampak letargi, pucat konjugtiva anemis, ada pembesaran kelenjar getah bening, suara nafas
ronkhi basah halus pada paru kanan bawah, NIII, IV, VI abnormal. Suhu 40 0C, tekanan nadi 150
x/menit, frekuensi nafas 30x/menit, Pada pemeriksaan fisik neurologis didapat kaku duduk (+),
Brudzinski I dan II (+) dan Babinski (+).
C. Pemeriksaan Penunjang
Beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan dalam membantu penegakkan
diagnosa meningitis tuberkulosa:4
- Darah perifer lengkap, gula darah, elektrolit darah
7
- Pemeriksaan fungsi lumbal bila ada indikasi
Pada fungsi lumbal : cairan serebrospinal jernih atau santokrom, sel leukosit meningkat
sampai 500/µl, dengan hitung jenis sel limfosit dominan walaupun pada keadaan awal
dapat polimorfonuklear. Protein meningkat sampai 500 mg/dl, kadar glukosa dibawah
normal. Fungsi lumbal ulangan dapat memperkuat diagnosis.
- Pemeriksaan cairan otak
Tekanan meningkat, warna jernih atau santokrom, protein meningkat, gula menurun,
klorida menurun, lekosit meningkat sampai 500/ mm3 dengan sel mononuclear yang
dominan. Bila didiamkan beberapa jam akan terbentuk pelikula yang berbentuk sarang
labah-labah. Pada pengecatan Ziehl Neelsen dan biakan akan ditemukan kuman
mikobakterium tuberkulosa. Tes tuberculin terutama dilakukan pada bayi dan anak kecil,
hasilnya sering kali negative karena anergi, terutama pada stadium terminal.
- Pemeriksaan lainnya meliputi foto dada dan kolumna vertebralis, rekaman EEG, dan CT
Scan.1,2,5
Diagnosis meningitis tuberkulosa dapat ditegakkan secara cepat dengan PCR, ELISA dan
aglutinasi Latex. Baku emas diagnosis meningitis TB adalah menemukan Micobacterium
Tuberculosa dalam kultur Cairan Serebro Spinal. Namun pemeriksaan kultur Cairan Serebro
Spinal ini membutuhkan waktu yang lama dan memberikan hasil positif hanya pada kira-kira
setengah dari penderita.4,5
Hasil pemeriksaan penunjang pasien Hb 10g/dl, Ht 35, leukosit 6.000/ul, trombosit
200.000/ul dan pada pemeriksaan lumbal punksi didapat cairan berwarna kuning jernih,
predominan limfosit 30/ul, protein 150mg/dl, glukosa 20 mg/dl.
D. Working Diagnosis
Hasil anamnesis: pasien kejang kaku seluruh tubuh berlangsung sebanyak 3 kali dalam
waktu 24 jam selama 5 menit setiap episode kejang. Diantara episode kejang pasien tampak
lemah dan sering tidur. Demam subfebris sejak 2 bulan yang lalu dan sudah berobat ke matri
namun tidak ada perbaikan. Berat badan turun 2kg.
Pemeriksaan fisik: berat badan pasien 15kg yang seharusnya 18kg. Pasien tampak letargi,
pucat konjugtiva anemis, ada pembesaran kelenjar getah bening, suara nafas ronkhi basah halus
8
pada paru kanan bawah, NIII, IV, VI abnormal. Suhu 40 0C, tekanan nadi 150 x/menit, frekuensi
nafas 30x/menit, Pada pemeriksaan fisik neurologis didapat kaku duduk (+), brudzinski I&2 (+)
dan Babinski (+).
Pemeriksaan penunjang: Hb 10g/dl, Ht 35, leukosit 6.000/ul, trombosit 200.000/ul dan
pada pemeriksaan Lumbal Punksi didapat cairan berwarna kuning jernih, predominan limfosit
30/ul, protein 150mg/dl, glukosa 20 mg/dl.
Dilihat dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik juga pemeriksaan penunjang pasien ini
diduga menderita Meningitis Tuberkulosa.
Meningitis Tuberkulosa (TBC)
Tuberkulosa merupakan komplikasi yang paling efektif. Meningitis tuberkulosa biasanya
berasal dari pembentukan lesi perkijuan metastatik di dalam korteks serebri atau meninges yang
berkembang selama penyebaran limfohematogen infeksi primer. Lesi awal ini bertambah
besarnya dan mengeluarkan sedikit basil tuberkel ke dalam ruang subaraknoid. Hasilnya berupa
eksudat gelatin yang dapat menginfiltrasi pembuluh darah kortikomeningeal menimbulkan
radang, obstruksi dan selanjutnya infark korteks serebri. Batang otak sering merupakan tempat
keterlibatan yang paling besar, yang memberi penjelasan seringnya keterkaitan disfungsi syaraf
III, VI dan VII. Eksudat juga menganggu aliran normal CSS kedlam dan keluar sistem ventrikel
pada setinggi sisterna basilar, menimbulkan hidrosefalus komunikan. Kombinasi vaskulitis,
edema otak dan hidrosefalus menimbulkan cedera hebat yang dapat terjadi secara perlahan-lahan
atau cepat. Kelainan metabolisme elektrolit yang berat, karena pembuangan garam atau sindrom
sekresi hormon antidiuretik yang tidak tepat, juga turut membantu pada patofisiologi meningitis
tuberculosis.4
Meningitis tuberkulosa mengkomplikasi sekitar 0,3 % infeksi primer yang tidak diobati
pada anak. Meningitis ini paling sering pada anak antara umur 6 bulan dan 4 tahun. Kadang-
kadang meningitis tuberkulosa dapat terjadi beberapa tahun setelah infeksi primer, bila robekan
satu atau lebih tuberkel subependimal mengeluarkan basil tuberkel kedalam ruang subaraknoid.
Pemburukan meningitis tuberkulosa klinis dapat cepat atau perlahan-lahan. Pemburukan cepat
cenderung terjadi lebih sering pada bayi dan anak muda, yang dapat mengalami gejala hanya
untuk beberapa hari sebelum mulai hidrosefalus akut, kejang-kejang, dan edema otak. Tanda-
9
tanda dan gejala-gejala lebih sering memburuk perlahan-lahan selama beberapa minggu dan
dapat dibagi menjadi tiga stadium.4
E. Differential Diagnosis
Meningitis purulenta
Meningitis atau radang selaput otak adalah infeksi pada cairan serebrospinal (CSS)
disertai radang pada piamater dan araknoid, ruang subaraknoid, jaringan superfisial otak dan
medula spinalis. Kuman-kuman dapat masuk ke setiap bagian ruangan subaraknoid dan dengan
cepat sekali menyebar ke bagian lain, sehingga leptomening medula spinalis terkena. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa meningitis selalu merupakan suatu proses serebrospinal.
Meningitis purulenta atau Meningitis bakterialis, yaitu suatu peradangan selaput otak yang
menimbulkan eksudasi berupa pus (purulen), disebabkan oleh kuman non spesifik dan non
virus.6
Gambar 1. Perbedaan anatomi otak normal dengan meningitis7
Etiologi penyakit ini dihubungkan dengan usia penderita dan sejumlah faktor predisposisi
penjamu terhadap infeksi bakteri atau perubahan respons terhadap invasi mikroorganisme. Tetapi
perlu diingat bahwa setiap mikroorganisme dapat menimbulkan penyakit pada setiap usia.
Berikut ini etiologi meningitis berdasarkan bakteri dalam umur.6
Streptococcus serogrouf B (Streptococcus agalactiae)
- Neonatus usia 3 bulan Sebanyak 25% ibu membawa streptococcus serogroup B di
vaginanya. Profilaksis ampisilin selama persalinan pada wanita dengan resiko tinggi
(ketuban yang sudah lama pecah, demam, dll) atau pada wanita pembawa akan
menurunkan kejadian infeksi pada bayi.
10
Listeria monocytogenes dan Haemophilus influenza type B
- yang terjadi pada periode neonatal.
Escherichia coli
- Merupakan penyebab pada lebih kurang 40% kasus meningitis neonatal.
Haemophilus influenza (HI)
- Anak-anak 5 bulan – 5 tahun Bayi < 3 bulan dapat mengandung antibodi dalam serum
yang diperoleh dari ibunya dan anak umur 3 – 5 tahun mempunyai antibodi yang kuat
terhadap Haemophilus influenza (HI). Sehingga selama masa ini infeksi HI jarang terjadi.
Pemberian vaksin HIB dapat menurunkan mikroorganisme HI.
Neisseria meningitidis
- Bayi – 5 tahun dan orang dewasa muda
- Merupakan komplikasi dari meningokoksemia yang tersering yaitu fokal infeksinya dari
nasofaring. Pencegahan dapat diberikan vaksin polisakarida terhadap serogrouf A, C, Y,
dan W135.
Streptococcus pneumonia
- Semua kelompok umur sering terjadi pada pneumonia, juga pada matoiditis, sinusitis dan
fraktur tulang basiler.
Pseudomonas, Stafilococcus, Salmonella, atau Seratia
- Pada anak-anak > 12 tahun Jika respons penjamu terganggu atau terdapat kelainan-
kelainan anatomik, maka mikroorganisme-mikroorganisme tersebut dapat menginfeksi.
Beberapa keadaan, kelainan atau penyakit yang memudahkan terjadinya meningitis antara lain:6
Infeksi sistemik maupun fokal (septikemia, otitis media supurativa kronik, demam
tifoid, tuberkulosis paru-paru)
Trauma dan tidakan tertentu (fraktur basis kranii, pungsi/anestesi lumbal,
operasi/tindakan bedah saraf)
11
Penyakit darah, penyakit hati
Pemakaian bahan-bahan yang menghambat pembentukan antibodi
Kelainan yang berhubungan dengan imunosupression misalnya alkoholisme,
agamaglobulinemia, diabetes mellitus
Gangguan/kelainan obstretik dan ginekologis
Epilepsi
Epilepsi adalah penyakit saraf menahun yang menimbulkan serangan mendadak
berulang-ulang tak beralasan. Kata 'epilepsi' berasal dari bahasa Yunani (Epilepsia) yang berarti
'serangan'.8
Gambar 3. serangan epilepsi7
Otak kita terdiri dari jutaan sel saraf (neuron), yang bertugas mengoordinasikan semua
aktivitas tubuh kita termasuk perasaan, penglihatan, berpikir, menggerakkan.Pada penderita
epilepsi, kadang-kadang sinyal-sinyal tersebut, tidak beraktivitas sebagaimana mestinya. Hal ini
dapat diakibatkan oleh berbagai unsur-unsur, antara lain; trauma kepala (pernah mengalami
cedera di daerah kepala), tumor otak, dan lain sebagainya.8
Umumnya epilepsi mungkin disebabkan oleh kerusakan otak dalam proses kelahiran,
luka kepala, stroke, tumor otak, alkohol. Kadang-kadang, epilepsi mungkin juga karena genetika,
tapi epilepsi bukan penyakit keturunan. Tapi penyebab pastinya tetap belum diketahui.
Tuberkuloma
Tuberkuloma adalah lesi pada jaringan otak berupa masa padat yang merupakan
kumpulan jaringan nekrotik akibat infeksi kuman TB (Mycobacterium tuberkulosis) yang
menyebar dari organ lain secara hematogen, terutama berasal dari paru.10
12
Tuberkuloma intrakranial adalah lesi pada jaringan otak berupa masa padat yang
merupakan kumpulan jaringan nekrotik akibat infeksi Mycobacterium tuberkulosis. Tuberkulosis
memiliki angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi, dan masih merupakan masalah kesehatan
di masyarakat, terutama di Negara berkembang. Tuberkuloma intrakranial merupakan salah satu
kompiikasi serius dari tuberkulosis, satu persen (1%) dari pasien tuberculosis berkembang
menjadi tuberkuloma dan 10% berkaitan dengan meningitis tuberkulosis. Kejadian tuberkuloma
intrakranial merupakan 0.15-4% dari Iesi massa intrakranial.10
Upaya penegakan diagnosis tuberkuloma tidak mudah, karena banyak macam lesi massa
intrakranial menyerupai gambaran tuberkuloma, seperti tumor intrakranial ataupun penyakit
infeksi intrakranial. Semakin cepat ditegakkan diagnosis, semakin cepat dimulai terapi terhadap
tuberkuloma intrakranial, yang akan memperbaiki prognosis penderita.10
Infeksi secara spesifik disebabkan oleh Mycobacterium tuberkulosa. Spesies
Mycobacterium lainnya dapat juga sebagai penyebab infeksi, seperti misalnya Mycobacterium
africanum, Bovine tubercle baccilus, ataupun non-tuberculous mycobacteria.4,10
Gambaran klinis penderita dibagi menjadi 3 fase. Pada fase permulaan gejalanya tidak
khas, berupa malaise, apatis, anoreksia, demam, dan nyeri kepala. Setelah minggu ke dua, fase
meningitis dengan nyeri kepala, mual, muntah dan mengantuk (drowsiness). Kelumpuhan saraf
kranial dan hidrosefalus terjadi karena eksudat yang mengalami organisasi dan vaskulitis yang
menyebabkan hemiparesis atau kejang-kejang yang juga dapat disebabkan oleh proses
tuberkuloma intrakranial. Pada fase ke tiga ditandai dengan mengantuk yang progresif sampai
koma dan kerusakan fokal yang semakin berat.10
Kejang demam kompleks
Kejang demam adalah kejang yang terjadi pada anak berusia 3 bulan sampai dengan 5
tahun dan berhubungan dengan demam serta tidak didapatkan adanya infeksi ataupun kelainan
yang jelas di intrakranial.6,8
Kejang demam dibagi menjadi dua kelompok yaitu kejang demam sederhana dan kejang
demam kompleks.
13
Tabel 1. Perbedaan kejang demam sederhana dan kompleks
No Klinis KD sederhana KD kompleks
1 Durasi < 15 menit ≥ 15 menit
2 Tipe kejang Umum Umum/fokal
3 Berulang dalam satu episode 1 kali >1 kali
4 Defisit neurologis - ±
5 Riwayat keluarga kejang demam ± ±
6 Riwayat keluarga kejang tanpa demam
± ±
7 Abnormalitas neurologis sebelumnya
± ±
Sebagian besar 63% demam berupa kejang demam sederhana dan 35% berupa kejang
demam kompleks.
F. Etiologi
Meningitis tuberkulosa disebabkan oleh mikobakterium tuberkulos jenis hominis, jarang
oleh jenis bovinum atau aves. Mycobacterium tuberculosis tipe human merupakan basilus tahan
asam yang merupakan penyebab pathogen yang banyak menginfeksi sistem nervus. Penyakit ini
terdapat pada penduduk dengan keadaan sosio-ekonomi rendah, penghasilan tidak mencukupi
kebutuhan sehari-hari, perumahan tidak memenuhi syarat kesehatan minimal, hidup dan tinggal
atau tidur berdesakan, kekurangan gizi, kebersihan yang buruk. Factor suku atau ras, kurang atau
tidak mendapat fasilitas imunisasi.4
G. Epidemiologi
Kuman mikobakterium tuberkulosa paling sering menyebabkan infeksi pada paru-paru,
tetapi infeksi pada susunan saraf pusat adalah yang paling berbahaya. Kekeraban meningitis
tuberkulosa sebanding dengan prevalensi infeksi dengan mikobakterium tuberkulosa pada
umumnya. Jadi bergantung pada keadaan sosial ekonomi dan kesehatan masyarakat. Penyakit ini
14
dapat terjadi pada segala umur, tetapi jarang dibawah 6 bulan. Yang tersering adalah pada anak
umur 6 bulan sampai 5 tahun. Pada anak, meningitis tuberkulosa merupakan komplikasi infeksi
primer dengan atau tanpa penyebaran miliar. Pada orang dewasa, penyakit ini merupakan bentuk
tersendiri atau bersamaan dengan tuberculosis ditempat lain. Penyakit ini dapat menyebabkan
kematian dan cacat bila pengobatan terlambat.2
H. Patofisiologi
Meningitis tuberkulosa selalu terjadi sekunder dari proses tuberkulosis primer di luar
otak. Focus primer biasanya di paru-paru, tetapi bisa juga pada kelenjar getah bening, tulang,
sinus nasalis, traktus gastro-intestinalis, ginjal, dsb. Dengan demikian meningitis tuberkulosa
terjadi sebagai ganti penyebaran tuberkulosis paru-paru. Terjadinya meningitis bukan karena
peradangan langsung pada selaput otak oleh penyebaran hematogen, tetapi mulai pembentukan
tuberkel-tuberkel kecil (beberapa mm sampai 1 cm), berwarna putih. Terdapat pada permukaan
otak, selaput otak, sumsum tulang belakang dan tulang. Tuberkel tadi kemudian melunak, pecah
dan masuk ke ruang subaraknoid dan ventrikulus sehingga terjadi peradangan yang difus. Secara
mikroskopik tuberkel-tuberkel ini tidak dapat dibedakan dengan tuberkel-tuberkel di bagian lain
dari kulit dimana terdapat pengijuan sentral dan dikelilingi oleh sel-sel raksasa, limfosit, sel-sel
plasma dan dibungkus oleh jaringan ikat sebagai penutup atau kapsul.2
Penyebaran dapat pula terjadi secara per kontinuitatum dari peradangan organ atau
jaringan di dekat selaput otak seperti proses di nasofaring, pneumonia, bronkopneumonia,
endokarditis, otitis media, mastoiditis, thrombosis sinus kavernosus, atau spondilitis. Penyebaran
kuman dalam ruang subaraknoid menyebabkan reaksi radang pada pia dan araknoid, CSS, ruang
subaraknoid dan ventrikulus. Akibat reaksi radang ini, terbentuknya eksudat kental, serofibrinosa
dan gelatinosa oleh kuman-kuman dan toksin yang mengandung sel-sel mononuclear, limfosit,
sel plasma, makrofag, sel raksasa dan fibroblast. Eksudat ini tidak terbatas di dalam ruang
subaraknoid saja, tetapi terutama terkumpul di dasar tengkorak. Eksudat juga menyebar melalui
pembuluh-pembuluh darah pia dan menyerang jaringan otak di bawah nya, sehingga proses
sebenarnya adalah meningo-ensefalitis. Eksudat juga dapat menyumbat akuaduktus Sylvii,
foramen Magendi, foramen Luschka dengan mengakibatkan terjadinya hidrosefalus, edema papil
dan peningkatan tekanan intracranial. Kelainan juga terjadi pada pembuluh-pembuluh darah
yang berjalan dalam ruang subaraknoid berupa kongesti, peradangan dan penyumbatan, sehingga
15
selain ateritis dan flebitis juga mengakibatkan infark otak terutama pada bagian korteks, medulla
oblongata dan ganglia basalis yang kemudian mengakibatkan perlunakan otak dengan segala
akibatnya.2
I. Manifestasi Klinis
Meningitis bakterial disebut juga leptomeningitis karena organisme penyebabnya
biasanya didapatkan pada subarachnoid dan menyebar ke piamater dan arachnoid. Penyakit ini
timbul bertahap sehingga biasanya terdapat panas yang tidak terlalu tinggi, nyeri kepala dan
nyeri kuduk. Disamping itu juga terdapat riwayat penurunan berat badan, nyeri otot, nyeri
punggung, anoreksia dan mungkin sedikit demam, kemungkinan dijumpai kelainan jiwa seperti
halusinasi, waham. Setelah beberapa hari, bukti adanya keterlibatan meningen ditandai dengan
adanya letargi, iritabilitas, dan pada pemeriksaan akan dijumpai tanda-tanda rangsangan selaput
otak seperti kaku kuduk, tanda Kernig dan tanda Brudzinsky. Jika diagnosis tidak ditegakkan
pada tahap ini akan terjadi kejang, tanda fokal dan gangguan kesadaran. Terdapat peningkatan
jumlah limfosit dengan peningkatan protein dan glukosa yang rendah pada LCS.1,10
Meningitis tuberkulosa di bagi dalam 3 stadium. 2,6
Stadium I
Stadium prodromal berlangsung < 2 minggu – 3 bulan. Pada anak yang masih kecil awal
penyakit bersifat subakut, sering tanpa panas atau hanya kenaikan suhu yang ringan atau hanya
dengan tanda-tanda infeksi umum, muntah-muntah, tidak ada nafsu makan, murung, berat badan
turun, tak ada gairah, mudah tersinggung, cengeng, tidur terganggu dan gangguan kesadaran
berupa apatis. Anak yang lebih besar mengeluh nyeri kepala, tidak ada nafsu makan, obstipasi,
muntah-muntah, pola tidur terganggu. Pada orang dewasa terdapat panas yang hilang timbul,
nyeri kepala, konstipasi tak ada nafsu makan, fotofobia, nyeri punggung, halusinasi, delusi dan
sangat gelisah.
Stadium II
Gejala terlihat lebih berat. Pada anak kecil dan bayi terdapat kejang umum atau fokal.
Tanda-tanda rangsangan meningeal mulai nyata, seluruh tubuh dapat menjadi kaku dan timbul
opistotonus, terdapat tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial, ubun-ubun menonjol dan
muntah lebih hebat. Nyeri kepala yang bertambah berat dan progresif menyebabkan sianak
16
berteriak dan menangis dengan nada yang khas yaitu meningeal cry. Kesadaran makin menurun.
Refleks tendon meningkat, refleks abdomen menghilang, disertai klonus patela dan pergelangan
kaki. Terdapat gangguan nervi kraniales antara lain N.II, III, IV, VI, VII dan VIII. Dalam
stadium ini dapat terjadi deficit neurologic fokal seperti hemiparesis, hemiplegia karena infark
otak dan rigiditas deserebrasi.
Stadium III
Dalam stadium ini suhu tidak teratur dan semakin tinggi yang disebabkan oleh
terganggunya regulasi pada diensefalon. Pernapasan dan nadi juga tak teratur dan terdapat
gangguan pernapasan dalam bentuk Cheyne-Stokes atau Kussmaul, spasme klonik dan
peningkatan suhu tubuh. Gangguan miksi berupa retensi atau inkotinensia urin. Di dapatkan pula
adanya gangguan kesadaran makin menurun sampai koma yang dalam. Pada stadium ini
penderita dapat meninggal dunia dalam waktu 3 minggu bila tidak memperoleh pengobatan
sebagaimana mestinya
J. Penatalaksanaan
Penderita meningitis tuberkulosa harus dirawat di rumah sakit, dibagian perawatan
intensif. Dengan menentukan diagnosis secepat dan setepat mungkin. Pengobatan dapat segera
dimulai.2
Pengobatan
Saat ini telah tersedia berbagai macam tuberlostatika mempunyai spesifikasi farmakologik
tersendiri.2,5
Isoniazida atau INH, pada dewasa dosis 4-5 mg/kgBB/hari dosis tunggal atau terbagi
maksimum 300 mg/hari dan anak-anak 10-20 mg/kgBB/hari dosis tunggal atau terbagi.
Obat ini dapat menyebabkan polyneuritis.
Streptomycin, diberikan intramuscular selama lebih kurang 3 bulan, tidak boleh terlalu
lama. Karena bersifat autotoksik harus diberikan dengan hati-hati. Dosis 25-50 mg/hari.
17
Rifampisin, diberikan dengan dosis dewasa 600 mg atau 10-20 mg/kgBB/hari. Khusus
anak-anak di bawak 5 tahun harus bersikap hati-hati karena dapat menyebabkan neuritis
optika.
PAS atau para-amino-salycilic-acid, diberikan dengan dosis 200 mg/kgBB/hari. PAS
sering menyebabkan gangguan nafsu makan.
Etambutol, diberikan dengan dosis 25 mg/kgBB/hari sampai 1.500 mg/hari, selama lebih
kurang 2 bulan. Obat ini dapat menyebabkan neuritis optika.
Kortikosteroid biasanya dipergunakan prednisone dengan dosis 2-3 mg/kgBB/hari.
Pemberian tuberculin intratekal, ditujukan untuk mengaktivasi ensim lisosomal yang
menghancurkan eksudat di bagian dasar otak.
Pemberian ensimproteolitik seperti streptokinase secara intratekal mempunyai tujuan
untuk menghalangi adesi. Bila pengobatan diberikan cepat dan tepat, biasanya berhasil
setelah7-10 hari. Secara klinis biasanya ditandai dengan hilangnya nyeri kepala dan
gangguan mental.
K. Komplikasi
Pada stadium prodromal sukar dibedakan dengan penyakit infeksi sistemik yang disertai
kenaikan suhu. Jenis-jenis meningitis bacterial lainnya perlu dipertimbangkan secara seksama.
Hal ini berkaitan erat dengan program terapi.2,5
Meningismus
Pada meningismus juga terjadi iritasi meningeal, nyeri kepala, kaku kuduk, tanda Kernig,
kejang dan koma. Meningismus kebanyakan terdapat pada bayi dan anak yang lebih besar,
dengan gejala tiba-tiba panas, terdapat tonsillitis, pneumonia, pielitis. Dapat terjadi bersamaan
dengan apendesitis akut, demam tifoid, erisepelas, malaria, batuk rejan. Pada CSS tidak terdapat
kuman, sedangkan jumlah sel dan kadar glukosa normal. Umumnya gejala-gejala hilang dalam
beberapa hari dan tidak meninggalkan gejala sisa.
Penyakit Behcet
Terdapat ulserasi selaput lender mulut dan faring yang berulang-ulang dan orkhitis.
Dalam CSS tidak terdapat bakteri dan kadar gula normal.
18
Komplikasi lainnya
Hidrosefalus obstruktif
Meningococcal septicemia (mengingocemia) : kondisi di mana dalam darah terdapat bakteri
Sindrom Water Friderichsen (septic syok, perdarahan adrenal bilateral)
SIADH (Syndrome Inappropriate Antidiuretic Hormone) : gangguan pada hipofisis posterior
akibat peningkatan pengeluaran ADH (Hormon antidiuretik) sebagai respon terhadap
peningkatan osmolaritas darah dalam tingkat yang lebih ringan.
Efusi subdural
Kejang
Edema dan herniasi serebral (pembengkakan pada otak)
Cerebral Palsy : merupakan gangguan pada otak yang bersifat non progresif karena suatu
kerusakan atau gangguan pada sel-sel motorik pada susunan saraf pusat yang sedang tumbuh
atau belum selesai pertumbuhannya.
Gangguan mental
Gangguan belajar, gangguan hiperaktifitas
Attention deficit disorder (kurang perhatian)
Gangguan yang menetap pada penglihatan dan pendengaran
L. Pencegahan
Penularan perlu diwaspadai dengan mengambil tindakan – tindakan pencegahan
selayaknya untuk menghindarkan droplet infection dari penderita ke orang lain. Salah satu cara
adalah batuk dan bersin sambil menutup mulut atau hidung dengan sapu tangan atau kertas tissue
untuk kemudian didesinfeksi dengan Lysol atau dibakar. Bila penderita berbicara dianjurkan
untuk tidak terlalu dekat dengan lawan bicaranya. Ventilasi yang baik dari ruangan juga
memperkecil bahaya penularan.4 Anak – anak di bawah usia 1 tahun dari keluarga yang
menderita TBC perlu divaksinasi.5
BCG sebagai pencegahan.Vaksinasi BCG (Bacille Calmette – Guerin) Pemberian BCG
meningkatkan daya tahan tubuh terhadap infeksi oleh basil tuberkulosis yang virulen. Imunitas
timbul 6 – 8 minggu setelah pemberian BCG. Imunitas yang terjadi tidaklah lengkap sehingga
masih mungkin terjadi super infeksi meskipun biasanya tidak progresif dan menimbulkan
komplikasi yang berat. Vaksin ini mengandung basil TBC sapi yang telah dihilangkan
19
virulensinya setelah dibiakkan di laboratorium selama bertahun – tahun. Vaksinasi meninggalkan
tanda bekas luka yang nyata, biasanya di lengan bawah dan memberikan kekebalan selama 3 – 6
tahun terhadap infeksi primer dan efektif untuk rata – rata 70 % bayi yang diimunisasi.5
Efektivitas vaksin BCG adalah controversial, walaupun suah digunakan lebih dari 50
tahun diseluruh dunia. Hasilnya sangat bervariasi, beberapa penelitian baru telah
memperlihatkanperlindungan terhadap lepra, tetapi sama sekali tidak terhadap TBC. Vaksin
BCG diberikan intradermal 0.1 mL bagi anak – anak dan orang dewasa, bayi 0.05 mL.5
Sekarang pemberian BCG dianjurkan secara langsung tanpa didahului uji tuberkulin
karena cara ini dapat menghemat biaya dan mencakup lebih banyak anak. Sebagai
kemoprofilaksis biasanya dipakai INH dengan dosis 10 mg/kgBB/hari selama 1 tahun.
Kemoprofilaksis primer diberikan untuk mencegah terjadinya infeksi pada anak dengan kontak
tuberkulosis dan uji tuberkulin masih negatif yang berarti masih belum terkena infeksi atau
masih dalam masa inkubasi. Kemoprofilaksis sekunder diberikan untuk mencegah
berkembangnya infeksi menjadi penyakit, misalnya pada anak yang berumur kurang dari 5 tahun
dengan uji tuberkulin positif tanpa kelainan radiologis paru dan pada anak dengan konsensi uji
tuberkulin tanpa kelainan radiologis paru.5
Edukasi sangat penting dianjurkan untuk diberitahukan kepada keluarga dengan penderita
TBC aktif di dalamnya. Pentingnya sirkulasi udara yang baik, usaha menutup mulut pada saat
batuk atau bersin, kebersihan dari bahan – bahan pribadi dari penderita sangat banyak membantu
mengurangi penularan dari TBC.5
Edukasi tentang kepatuhan penderita dalam menjalanan terapinya juga perlu untuk
disampaikan, untuk mencegah terjadinya resistensi obat. Juga bagi ibu – ibu yang tidak mau
mengimunisasikan anaknya dengan alasan takut anaknya menjadi panas juga perlu untuk
dijelaskan lebih jauh mengapa imunisasi diperlukan, dan resiko yang akan diterima bila anak
tidak diimunisasikan.5
M. Prognosis
Bila meningitis tuberkulosa tidak diobati, prognosisnya jelek sekali. Penderita dapat
meninggal dalam waktu 6-8 minggu. Prognosis ditentukan oleh kapan pengobatan dimulai dan
pada stadium berapa. Umur penderita juga mempengaruhi prognosis. Anak dibawah 3 tahun dan
dewasa di atas 40 tahun mempunyai prognosis yang jelek.2
20
Kesimpulan
Seorang anak laki-laki berusia 5 tahun dibawa Ibunya ke UGD RS karena kejang kaku
diseluruh tubuhnya dan berulang sejak 1 hari yang lalu, menderita Meningitis Tuberkulosa. hal
ini bisa dipastikan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, dan symptom-
simptom yang terdapat pada pasien .
Daftar Pustaka
1. Lumbantobing SM. Neurologi klinik : pemeriksaan fisik dan mental. Jakarta: FKUI;
2013.h.5-6, 17-20.
2. Gleadle, Jonathan. Pengambilan anamnesis. dalam : at a glance anamnesis dan
pemeriksaan fisik. Jakarta : Penerbit Erlangga; 2007.h.1-17.
3. Sloane E. Anatomi dan fisiologi untuk pemula. Jakarta: EGC; 2003.h.1-23.
4. Diagnostic procedure : TB test. Available at
http://www.dhss.mo.gov/TBManual/file2.pdf. Acessed December 21 2005.
5. Osborn AG, Blasser SI, Salzman KI, Katzman GL, Provenzale J, Castillo M, et all.
Osborn diagnostic imaging. Canada: Amirsys/Elsevier, 2004.h.291-321.
6. Behrman, Kliegman, Arvin, editor Prof. Dr. dr. A. Samik Wahab, SpA(K) et al : Nelson,
Ilmu Kesehatan Anak, edisi 15, buku 2, Jakarta : EGC; 2009.h.1028–42.
7. Gambar diunduh dari : https://www.google.com/search?
q=meningitis&source=lnms&tbm=isch&sa=X&ei=an
8. Soetomenggolo T S, Ismael S, 1999, Buku Ajar Neurologi Anak, Jakarta : IDAI; h.363-
71.
9. Gambar diunduh dari : https://www.google.com/search?
q=pungsi+lumbal&source=lnms&tbm=isch&sa=X&ei=s
10. Martin G, Lazarus A. Epidemiology and diagnosis of tuberculosis. Postgraduate
Medicine. 2000;108(2).
21